(DIPTERA: TEPHRITIDAE) TERHADAP STRUKTUR KOMUNITAS SERANGGA DAN TUMBUHAN LOKAL ALAL HUDA JAYA. S

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "(DIPTERA: TEPHRITIDAE) TERHADAP STRUKTUR KOMUNITAS SERANGGA DAN TUMBUHAN LOKAL ALAL HUDA JAYA. S"

Transkripsi

1 IMPLIKASI EKSISTENSI Chromolaena odorata (L.) King & Robinson (ASTERACEAE) DAN AGENS HAYATINYA Cecidochares connexa Macquart (DIPTERA: TEPHRITIDAE) TERHADAP STRUKTUR KOMUNITAS SERANGGA DAN TUMBUHAN LOKAL ALAL HUDA JAYA. S SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

2 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Implikasi Eksistensi Chromolaena odorata (L.) King & Robinson (Asteraceae) dan Agens Hayatinya Cecidochares connexa Macquart (Diptera: Tephritidae) terhadap Struktur Komunitas Serangga dan Tumbuhan lokal adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini Bogor, Desember 2006 Alal Huda Jaya. S NRP. A

3 ABSTRAK ALAL HUDA JAYA. S. Implikasi Eksistensi Chromolaena odorata (L.) King & Robinson (Asteraceae) dan Agens Hayatinya Cecidochares connexa Macquart (Diptera: Tephritidae) terhadap Struktur Komunitas Serangga dan Tumbuhan Lokal. Dibimbing oleh DAMAYANTI BUCHORI dan SOEKISMAN TJITROSEMITO. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari distribusi dan kelimpahan populasi C. odorata dan agens hayatinya C. connexa, serta mempelajari struktur komunitas serangga dan tumbuhan lokal di daerah yang telah diinvasi oleh C. odorata. Kegiatan yang dilakukan adalah survei lokasi penelitian, analisis vegetasi, dan koleksi serangga. Penelitian ini berlokasi di Jawa Barat yang meliputi daerah Parung Panjang, Setu, Darmaga, Gunung Bunder, Gunung Salak, Gunung Halimun, Pakuwon, Ciawi, Cisarua, dan Cianjur. Lokasi penelitian tersebut ditentukan berdasarkan metode purposive sampling. Analisis vegetasi dilakukan dengan metode transek yang dikombinasikan dengan metode kuadrat. Koleksi serangga dilakukan di dalam petak contoh dengan memasang perangkap pitfall trap dan yellow pan trap, sedangkan perangkap malaise trap diletakkan secara diagonal diantara jalur transek. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa spesies tumbuhan eksotik invasif C. odorata terdapat disemua lokasi penelitian dan dapat tumbuh pada berbagai tipe habitat baik habitat perkebunan, hutan buatan, ladang dataran rendah, maupun ladang dataran tinggi dengan kelimpahan yang berbeda. Kelimpahan populasinya cenderung menurun seiring dengan bertambahnya ketinggian suatu lokasi. Keberadaan C. odorata diikuti pula dengan keberadaan musuh alaminya yaitu lalat puru C. connexa pada semua lokasi pengamatan, kecuali di Gunung Halimun dan Cianjur. Saat ini lalat puru C. connexa telah mapan dan menyebar secara alami. Adanya barier seperti pegunungan merupakan faktor pembatas terhadap distribusi lalat puru C. connexa. Komunitas tumbuhan yang diperoleh pada habitat C. odorata di Parung Panjang, Setu, Darmaga, dan Gunung Bunder secara keseluruhan terdiri dari individu tumbuhan yang termasuk ke dalam 21 famili dan 44 spesies. Sedangkan jumlah total komunitas serangga yang diperoleh pada habitat C. odorata di Parung Panjang, Setu, Darmaga, dan Gunung Bunder terdiri dari individu serangga yang termasuk ke dalam 14 ordo, 132 famili, dan 568 spesies. Ordo Hymenoptera, Diptera, dan Hemiptera merupakan tiga ordo terbesar yang ditemukan dengan kelimpahan individu (species abundance) dan kekayaan spesies (species richness) paling tinggi. Implikasi keberadaan C. odorata telah menyebabkan terjadinya pengambilalihan atau pergantian skala ruang oleh C. odorata terhadap spesies tumbuhan lokal serta penurunan keanekaragaman spesies tumbuhan yang berada disekitarnya. Introduksi tumbuhan eksotik invasif C. odorata dan agens hayatinya C. connexa telah menyebabkan terjadinya asosiasi dengan serangga-serangga lokal.

4 ABSTRACT ALAL HUDA JAYA. S. Implication of existence both of Chromolaena odorata (L.) King & Robinson (Asteraceae) and its biological control agent - Cecidochares connexa Macquart (Diptera: Tephritidae) to local plant and insect community structure. Supervisors: DAMAYANTI BUCHORI and SOEKISMAN TJITROSEMITO. The aims of this research were (1) to study density and population distribution of C. odorata and its biological control agent - C. connexa, and (2) to study local plant and insect community structure in invaded area of C. odorata. Several activities have been conducted i.e. survey of research sites, vegetation analysis, and insect sampling. The study sites were selected base on purposive sampling method. All area located in Bogor district (Parung Panjang, Setu, Darmaga, Gunung Bunder, Ciawi, and Cisarua), Sukabumi district (Gunung Salak, Gunung Halimun, and Pakuwon), and Cianjur district. Analysis of vegetation were conducted using combination of transect and quadrate method. Insect were sampled by setting up several traps inside the plots. Pitfall trap and yellow pan trap were set up inside the plot, whereas malaise trap were placed between two transect lines. The result found that invasive exotic plant species (C. odorata) spread on whole study sites and well-growth on different habitat types (plantations, production forest, low land, and high land). Their population densities tend to decrease with increasing altitude. The occurrences of C. odorata co-exist with its biological control, the gall flies C. connexa. Almost all study sites (except Gunung Halimun and Cianjur) found these flies. Recently, C. connexa have established and wide spread, although the present of barrier (like mountain) is restriction factor for distribution of flies in West Java. Over individual of plants consist of 21 families and 44 species were identified co-exist with C. odorata in Bogor area (Parung Panjang, Setu, Darmaga, and Gunung Bunder). In the same area, over individual of insect consist of 14 orders, 132 families, and 568 species were found in C. odorata habitat. Three dominance insect orders i.e. Hymenoptera, Diptera, and Hemiptera were collected with high species richness and abundance. Implication of existence of C. odorata caused replacement local plant species and homogenization habitat on spatial scale. Introduction of C. odorata and its biological control agent caused and consequently associate with local insects.

5 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya

6 IMPLIKASI EKSISTENSI Chromolaena odorata (L.) King & Robinson (ASTERACEAE) DAN AGENS HAYATINYA Cecidochares connexa Macquart (DIPTERA: TEPHRITIDAE) TERHADAP STRUKTUR KOMUNITAS SERANGGA DAN TUMBUHAN LOKAL ALAL HUDA JAYA. S Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Entomologi/Fitopatologi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

7 Judul Tesis : Implikasi Eksistensi Chromolaena odorata (L.) King & Robinson (Asteraceae) dan Agens Hayatinya Cecidochares connexa Macquart (Diptera: Tephritidae) terhadap Struktur Komunitas Serangga dan Tumbuhan Lokal Nama : Alal Huda Jaya. S NRP : A Program Studi : Entomologi/Fitopatologi Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc. Ketua Dr. Soekisman Tjitrosemito, M.Sc. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Entomologi/Fitopatologi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal Ujian: 28 September 2006 Tanggal Lulus: 18 Desember 2006

8 PRAKATA Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-nya penelitian dan penulisan tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah spesies eksotik invasif, dengan judul Implikasi Eksistensi Chromolaena odorata (L.) King & Robinson (Asteraceae) dan Agens Hayatinya Cecidochares connexa Macquart (Diptera: Tephritidae) terhadap Struktur Komunitas Serangga dan Tumbuhan Lokal. Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc. dan Dr. Soekisman Tjitrosemito, M.Sc. selaku komisi pembimbing, atas bimbingan, saran, dan motivasi yang telah diberikan selama persiapan penelitian sampai penulisan tesis. Kepada Akhmad Rizali, SP, M.Si terima kasih yang sebesar-besarnya atas bimbingan teknis ilmiahnya. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Nasional RI melalui Hibah Tim Pascasarjana atas bantuan dana yang diberikan sehingga penelitian ini dapat terlaksana, kepada kepala Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB yang telah memberikan izin untuk menggunakan fasilitas yang tersedia di laboratorium. Kepada kedua orang tua tercinta Ayahanda Banding Ratu (alm) dan Ibu Sundarti, semoga Allah SWT memberikan balasan amal baik mereka dengan pahala yang tak terhingga. Kepada kakakku Eteh Marina dan adik-adikku tercinta, Syukrida, Desrina, dan seluruh saudara serta Keluarga Besar di Lampung, terima kasih atas perhatian dan dukungannya selama ini. Terima kasih kepada semua pihak dan rekanrekan sekalian, anggota tim Hibah Pascasarjana, anggota Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB, serta seseorang yang akan mendampingiku kelak dikemudian hari, semoga Allah SWT membalasnya. Akhir kata tak ada gading yang tak retak, semoga tulisan ini bermanfaat, Amin!!!. Bogor, Desember 2006 Alal Huda Jaya. S

9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Menggala pada tanggal 7 Juni 1979 sebagai anak kedua dari empat bersaudara, dari Ayah Banding Ratu (alm) dan Ibu Sundarti. Tahun 1997 penulis lulus dari Madrasah Aliyah Negeri (MAN) I Bandar Lampung dan pada tahun yang sama penulis diterima di Jurusan Proteksi Tanaman Program Studi Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN), dan memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada tahun Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Magister Sains Entomologi /Fitopatologi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh penulis pada tahun 2003.

10 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... Halaman DAFTAR LAMPIRAN... xiii PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 3 Manfaat Penelitian... 3 DISTRIBUSI, KELIMPAHAN POPULASI Chromolaena odorata (L.) King & Robinson (ASTERACEAE) DAN AGENS HAYATINYA Cecidochares connexa Macquart (DIPTERA: TEPHRITIDAE) DI BOGOR, JAWA BARAT Pendahuluan... 4 Bahan dan Metode... 6 Lokasi dan Waktu Penelitian... 7 Metode Pengukuran Kelimpahan Populasi... 7 Metode Survei Keberadaan Lalat Puru C. connexa... 8 Pengambilan Contoh Tumbuhan... 8 Estimasi Populasi C. odorata dan Lalat Puru C. connexa Analisis Data Hasil dan Pembahasan Distribusi dan Kelimpahan Populasi C. odorata Distribusi dan Kelimpahan Populasi Lalat Puru C. connexa Kekayaan Spesies Tumbuhan di Habitat C. odorata Implikasi Keberadaan Tumbuhan Eksotik Invasif C. odorata terhadap Keberadaan Tumbuhan Lokal Kesimpulan xi xii

11 STRUKTUR KOMUNITAS SERANGGA PADA HABITAT TUMBUHAN EKSOTIK INVASIF: STUDI KASUS PADA HABITAT Chromolaena odorata (L.) KING & ROBINSON (ASTERACEAE) DI BOGOR, JAWA BARAT Pendahuluan Bahan dan Metode Lokasi dan Waktu Penelitian Pengambilan Contoh Serangga Analisis Data Hasil dan Pembahasan Kekayaan Spesies Serangga di Habitat C. odorata Kekayaan Spesies Hymenoptera dan Diptera di Habitat C. odorata Hubungan Keanekaragaman Serangga dengan Kondisi Habitat Asosiasi Serangga Lokal dengan Tumbuhan Eksotik Invasif C. odorata dan Agens Hayatinya C. connexa Kesimpulan PEMBAHASAN UMUM KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 52

12 DAFTAR TABEL Halaman 1 Deskripsi lokasi yang dipilih berdasarkan metode pengukuran populasi C. odorata dan lalat puru C. connexa Deskripsi lokasi yang dipilih berdasarkan metode survei keberadaan lalat puru C. connexa Jumlah Famili (F), Spesies (S), Individu (N), Indeks Shannon (H ) dan kemerataan (E) tumbuhan pada tiap habitat C. odorata Indeks kemiripan Sorensen (Cs) seluruh spesies tumbuhan antar lokasi penelitian pada habitat C. odorata Indeks Nilai Penting (INP) spesies tumbuhan tegak pada empat habitat C. odorata Indeks Nilai Penting (INP) spesies tumbuhan merambat pada empat habitat C. odorata Deskripsi lokasi yang dipilih untuk penelitian Jumlah ordo (O), famili (F), spesies (S), Individu (N), Indeks Shannon (H ) dan kemerataan (E) serangga pada tiap habitat C. odorata Jumlah famili, spesies (S), dan individu (N) ordo Hymenoptera pada tiap habitat C. odorata Jumlah famili, spesies (S), dan individu (N) ordo Diptera pada tiap habitat C. odorata Indeks kemiripan Sorensen (Cs) seluruh spesies serangga antar lokasi penelitian pada habitat C. odorata... 38

13 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Metode analisis vegetasi Kelimpahan populasi C. odorata pada empat lokasi penelitian selama tiga kali pengambilan sampel Distribusi lalat puru C. connexa dari titik pelepasan Parung Panjang- Jasinga, Bogor, dan Parung Kuda-Sukabumi, Jawa Barat Kelimpahan populasi lalat puru C. connexa pada empat lokasi penelitian selama tiga kali pengambilan sampel Kurva akumulasi spesies tumbuhan pada empat habitat C. odorata Dendogram pengelompokan spesies tumbuhan pada empat habitat C. odorata Perangkap serangga; (a) yellow pan trap (b) pitfall trap (c) malaise trap Kurva akumulasi spesies serangga pada empat habitat C. odorata Kekayaan spesies (A) dan kelimpahan individu (B) serangga yang diperoleh pada empat habitat C. odorata Kekayaan spesies (A) dan kelimpahan individu (B) serangga tanpa Formicidae yang diperoleh pada empat habitat C. odorata Dendogram pengelompokan seluruh spesies serangga pada empat habitat C. odorata Dendogram pengelompokan serangga predator dan parasitoid pada empat habitat C. odorata Dendogram pengelompokan serangga herbivor pada empat habitat C. odorata Asosiasi serangga pada tumbuhan eksotik invasif C. odorata Serangga predator yang berasosiasi dengan lalat puru C. connexa... 42

14 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Hasil analisis vegetasi kelompok spesies tumbuhan tegak pada habitat C. odorata di Parung Panjang Hasil analisis vegetasi kelompok spesies tumbuhan tegak pada habitat C. odorata di Setu Hasil analisis vegetasi kelompok spesies tumbuhan tegak pada habitat C. odorata di Darmaga Hasil analisis vegetasi kelompok spesies tumbuhan tegak pada habitat C. odorata di Gunung Bunder Hasil analisis vegetasi kelompok spesies tumbuhan merambat pada habitat C. odorata di Parung Panjang Hasil analisis vegetasi kelompok spesies tumbuhan merambat pada habitat C. odorata di Setu Hasil analisis vegetasi kelompok spesies tumbuhan merambat pada habitat C. odorata di Darmaga Hasil analisis vegetasi kelompok spesies tumbuhan merambat pada habitat C. odorata di Gunung Bunder Jumlah spesies (S), Individu (N) dan peranan serangga yang diperoleh pada empat habitat C. odorata... 57

15 PENDAHULUAN Latar Belakang Banyak biota yang secara langsung maupun tidak langsung terbawa oleh manusia ke bagian dunia yang lain. Hal ini dimungkinkan dengan dimulainya era eksplorasi yang dapat menghilangkan penghalang biogeografi yang sebelumnya mengisolasi biota benua selama jutaan tahun (Mooney & Cleland 2001). Setelah keluar dari habitat alaminya, biota asing tersebut segera menjadi penginvasi agresif yang lebih kompetitif daripada biota lokal dan mengakibatkan pengaruh merusak dalam ekosistem serta menimbulkan kerugian yang nyata bagi produksi pertanian (Schoonhoven et al. 1996). Sifat invasif biota eksotik pada habitat baru disebabkan karena tidak ada musuh alami (natural enemy) yang mampu mengendalikan seperti di habitat aslinya. Spesies eksotik invasif pada habitat baru dapat menyebabkan terjadinya homogenisasi biotik yaitu pengantian spesies lokal oleh spesies pendatang (Olden et al. 2004). Sebagai contoh, Bromus tectorum merupakan tanaman yang diintroduksi ke Amerika Utara sekitar tahun Dalam kurun waktu 20 tahun B. tectorum telah mapan di daerah pegunungan bagian barat Amerika Utara. Pada tahun 1930 B. tectorum telah berhasil menginvasi dan mendominasi lebih dari km 2 habitat pegunungan di bagian barat Amerika Utara karena peningkatan kemampuan migrasi dan populasinya (Mooney & Cleland 2001). Contoh lain adalah Eichhornia crassipes atau eceng gondok merupakan tumbuhan eksotik invasif pada ekosistem perairan di Indonesia dan beberapa negara di Asia Tenggara (Kasno et al. 2001). Dampak keberadaan gulma ini sangat nyata akibat adanya akumulasi biomassa, penutupan permukaan danau dan sungai secara cepat, serta dapat menyebabkan terjadinya pendangkalan danau dan sungai. Keberadaan spesies eksotik invasif cenderung merugikan karena merupakan ancaman yang serius terhadap ekosistem dan keanekaragaman hayati (Wittenberg & Cock 2003). Spesies eksotik invasif mampu beradaptasi dan mendominasi suatu habitat baru yang awalnya di dominasi oleh spesies lokal sehingga bisa memicu terjadinya homogenisasi biotik dan perubahan struktur komunitas pada habitat baru tersebut. Selain itu, kemampuan kompetisi spesies eksotik invasif

16 2 mampu mengalahkan spesies lokal sehingga dapat menyebabkan spesies lokal kalah bersaing dan akhirnya bisa memicu terjadinya kepunahan (Olden et al. 2004; Untung 2005). Chromolaena odorata (L.) King & Robinson (Asteraceae) atau kirinyuh merupakan spesies tumbuhan eksotik invasif dan merupakan gulma penting pada habitat perkebunan di Indonesia (Anonim 1991). Tumbuhan ini berasal dari Amerika yang diintroduksi ke kebun raya di Dakka (India), Jawa, dan Peradeniya (Srilanka) pada abad ke-19 (Binggeli 1997). Di Indonesia tumbuhan ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1934 di Lubuk Pakam, Sumatera Utara (Tjitrosemito 1999). Saat ini persebaran C. odorata sudah sangat luas, meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur, dan Irian Jaya (Sipayung & Chenon 1995). Tjitrosemito (1998) melaporkan bahwa persebaran tumbuhan ini sangat cepat karena kemampun dan efisiensinya, bahkan di laboratorium pertumbuhan C. odorata sangat cepat pada 8 minggu pertama. Pengendalian C. odorata dengan memanfaatkan agens hayatinya telah dilakukan di Indonesia. Upaya ini diawali dengan mengintroduksi serangga herbivor Pareuchaetes pseudoinsulata Rego Barros (Lepidoptera: Arctiidae) dari Guam, Amerika Serikat dan pertama kali di lepaskan pada tahun Namun P. pseudoinsulata hanya berhasil menekan populasi tumbuhan tersebut di Sumatera Utara, sedangkan di Jawa dilaporkan tidak berhasil. Selanjutnya pada tahun 1993 kembali diintroduksi lalat puru Cecidochares connexa Macquart (Diptera: Tephritidae) dari Columbia dan mulai dilepas pada tahun 1995 setelah memperoleh izin pelepasan yang dikeluarkan oleh Menteri Pertanian (Tjitrosemito 1998; Chenon et al, 2002). Sampai saat ini lalat puru C. connexa keberadaannya telah mapan dan menyebar secara alami khususnya di Jawa Barat. Sayangnya sampai saat ini, kajian terhadap lalat puru C. connexa sebagai agens hayati C. odorata masih terbatas pada keberhasilan pelaksanaan introduksi, perbanyakan massal, dan pelepasannya di lapangan tanpa diikuti kajian secara komprehensif. Belum pernah dilakukan penelitian untuk memonitor distribusi, kelimpahan populasi, dan bagaimana dampak keberadaan spesies eksotik invasif C. odorata dan agens hayati C. connexa terhadap struktur komunitas serangga dan

17 3 tumbuhan lokal. Tanpa adanya usaha monitoring, dikhawatirkan terjadi penurunan tingkat keanekaragaman hayati pada ekosistem tersebut tidak dapat dipantau, terutama tempat atau habitat yang jauh dari titik pelepasan (Simberloff 1996). Bertitik tolak dari uraian di atas, kajian terhadap spesies eksotik invasif C. odorata dan agens hayatinya C. connexa dianggap penting sehingga nantinya dapat digunakan untuk menganalisis dampak yang terjadi akibat introduksi spesies eksotik invasif tersebut dan agens hayatinya. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk (1) mempelajari distribusi dan kelimpahan populasi C. odorata dan agens hayatinya lalat puru C. connexa, (2) mempelajari struktur komunitas serangga dan tumbuhan di daerah yang telah diinvasi oleh C. odorata dengan mengambil studi kasus di daerah Bogor, Jawa Barat. Manfaat Penelitian Hasil yang diperoleh melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai (1) distribusi dan kelimpahan populasi spesies tumbuhan eksotik invasif C. odorata dan agens hayatinya lalat puru C. connexa, (2) struktur komunitas serangga dan tumbuhan di daerah yang telah diinvasi oleh C. odorata, (3) fenomena ekologi introduksi spesies eksotik dapat menyebabkan terjadinya asosiasi antara spesies eksotik tersebut dengan serangga lokal dalam struktur komunitas baru, sehingga menjadi rekomendasi bagi pemerintah bahwa perlunya upaya perhatian dan penyaringan yang ketat terhadap spesies eksotik yang didatangkan dari luar.

18 DISTRIBUSI, KELIMPAHAN POPULASI Chromolaena odorata (L.) King & Robinson (ASTERACEAE) DAN AGENS HAYATINYA Cecidochares connexa Macquart (DIPTERA: TEPHRITIDAE) DI BOGOR, JAWA BARAT PENDAHULUAN Invasi spesies eksotik merupakan ancaman yang serius terhadap suatu ekosistem alami dan keanekaragaman hayati. Penghalang alami seperti samudera, pegunungan, dan padang pasir telah terlampaui sekitar abad ke dua puluh, sehingga memberikan peluang suatu spesies untuk mengalami koevolusi dan berkembang dalam suatu ekosistem baru. Keadaan ini disebabkan karena adanya aktivitas manusia seperti perdagangan dan perjalanan, sehingga dapat menyebabkan perpindahan suatu spesies baik disengaja maupun tidak disengaja ke berbagai bagian dunia lainnya (Wittenberg & Cock 2003). Setelah keluar dari habitat alaminya, spesies eksotik tersebut berkembang dan beradaptasi dengan lingkungan sekitar sehingga menjadi penginvasi yang agresif. Selain itu, spesies eksotik tersebut mampu berkompetisi dengan spesies lokal, menggeser keberadaannya, menyebabkan kerusakan ekosistem alami, serta menimbulkan kehilangan yang nyata bagi produksi pertanian (Schoonhoven et al. 1996). C. odorata merupakan tumbuhan eksotik invasif yang berasal dari Amerika Selatan dan Amerika Tengah yang telah menyebar ke Asia, Asia Tenggara, dan beberapa daerah di Afrika (Anonim 1991). Tumbuhan ini sengaja diintroduksi ke Kalkuta (India) sebagai tanaman hias pada tahun 1840-an (Ramachandra 1920 dalam Tjitrosemito 1997). Persebaran tumbuhan tersebut saat ini telah mencapai Asia Tenggara termasuk Indonesia dan Australia yang telah berubah status menjadi gulma yang tumbuh secara mapan dan sangat merugikan (Tjitrosemito 1997). Di indonesia persebaran C. odorata sudah sangat luas, meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur, dan Irian Jaya (Sipayung & Chenon 1995). Spesies ini dapat menyebar secara cepat karena kemampuan dan efisiensi persebarannya (Binggeli 1997).

19 5 Berbagai upaya pengendalian telah dilakukan untuk mengatasi pesatnya perkembangan populasi C. odorata di Indonesia. Salah satu teknik yang dikembangkan adalah pengendalian hayati secara klasik dengan mengintroduksi lalat puru Cecidochares connexa Macquart (Diptera: Tephritidae) dari Columbia pada tahun 1993 dan mulai dilepas pada tahun 1995 setelah memperoleh izin pelepasan yang dikeluarkan oleh Menteri Pertanian. Pelepasan lalat puru C. connexa telah dilakukan di Jawa Barat yang meliputi daerah Hutan Tanaman Industri Parung Panjang-Jasinga, Bogor pada tahun 1995, Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi tahun 1996, dan padang pengembalaan Cagar Alam Pangandaran, Ciamis pada tahun Selain itu, pada tahun 1996 pelepasan lalat puru C. connexa juga dilakukan di Saradan, Madiun, Jawa Timur (Tjitrosemito 1998; Tjitrosemito 2000; Widayanti et al. 2001). Sampai saat ini, lalat puru C. connexa telah menyebar secara alami khususnya di daerah Bogor, Jawa Barat. Lalat puru C. connexa merupakan lalat berwarna hitam yang berukuran panjang 6.9 mm dan lebar 2 mm dengan rentang sayap 11.2 mm untuk imago betina, sedangkan imago jantan berukuran panjang 5.6 mm dan lebar 1.8 mm dengan rentang sayap 10 mm (Widayanti et al. 1999). Lalat puru C. connexa meletakkan telur pada pucuk terminal maupun lateral daun C. odorata yang belum membuka. Telur menetas 4-7 hari setelah oviposisi dan larva yang baru menetas masuk ke dalam jaringan batang. Menjelang instar akhir, larva akan membuat saluran keluar yang disebut dengan jendela puru. Stadia pupa membutuhkan waktu hari. Lama hidup lalat puru C. connexa dewasa berkisar antara 5-11 hari (McFadyen et al. 2003), sedangkan siklus hidupnya antara hari dengan rata-rata 60 hari (Chenon et al. 2002) Penggunaan lalat puru C. connexa sebagai agens hayati untuk mengendalikan C. odorata pada beberapa daerah khususnya di Bogor, Jawa Barat kurang memberikan hasil yang memuaskan. Hasil survei di lapangan memperlihatkan bahwa kelimpahan populasi C. odorata tetap tinggi meskipun telah terinvestasi oleh lalat puru C. connexa. Tjitrosemito (1999b) melaporkan bahwa pada musim kemarau populasi C. odorata sebagai inang bagi lalat puru C. connexa menjadi kering dan sangat rendah sehingga telur yang diletakkan oleh

20 6 imago betina lalat puru C. connexa tidak dapat menyelesaikan siklus hidupnya. Ketika musim hujan, C. odorata tumbuh kembali secara serentak yang berasal dari populasi sebelumnya dimana pucuk C. odorata bertambah banyak dan meningkat dengan pesat. Keadaan ini menyebabkan kelimpahan populasi lalat puru C. connexa tidak mampu mengimbangi populasi inangnya yang tumbuh dengan populasi yang sangat berlimpah sehingga mengakibatkan kurang efektifnya lalat puru tersebut untuk menekan populasi C. odorata. Selain itu, hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa batang C. odorata yang terinvestasi oleh puru justru memiliki jumlah pucuk yang lebih banyak dibandingkan yang tidak terinvestasi oleh puru. Penelitian di Indonesia hanya terfokus pada keberhasilan pelaksanaan introduksi lalat puru C. connexa dan pengembangan metode pembiakan massal dalam upaya pemanfaatan serangga ini untuk mengendalikan C. odorata. Belum pernah dilakukan evaluasi distribusi dan kelimpahan populasi lalat puru C. connexa sebagai agens hayati untuk mengendalikan spesies eksotik invasif C. odorata. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi dan kelimpahan populasi C. odorata dan lalat puru C. connexa, serta mempelajari struktur komunitas tumbuhan di daerah yang telah di invasi oleh C. odorata dengan mengambil studi kasus di daerah Bogor, Jawa Barat. BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan dua metode yaitu (1) metode pengukuran kelimpahan populasi C. odorata dan lalat puru C. connexa, (2) metode survei keberadaan lalat puru C. connexa. Metode pertama difokuskan untuk mempelajari secara spesifik kelimpahan populasi C. odorata dan lalat puru C. connexa berdasarkan perbedaan habitat dan ketinggian tempat. Metode kedua hanya difokuskan untuk melihat distribusi dan keberadaan lalat puru C. connexa pada suatu lokasi berdasarkan gradien jarak dari titik pelepasan, ketinggian tempat, serta adanya barier berupa pegunungan.

21 7 Lokasi dan Waktu Penelitian Metode Pengukuran Kelimpahan Populasi. Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan metode purposive sampling, yaitu lokasi yang dijumpai C. odorata, dengan pertimbangan tipe habitat dan ketinggian tempat. Dari hasil survei pendahuluan maka ditetapkan daerah yang terpilih sebagai tempat pengambilan sampel: (1) Hutan Tanaman Industri (HTI) Parung Panjang-Jasinga mewakili habitat perkebunan dan tempat pelepasan lalat puru C. connexa, (2) Desa Setu- Jasinga mewakili habitat ladang dataran rendah, (3) Kampus IPB Darmaga mewakili habitat hutan buatan, dan (4) Gunung Bunder mewakili habitat ladang dataran tinggi (Tabel 1). Penelitian dilakukan dari bulan Agustus 2004 hingga Juni Tabel 1 Deskripsi lokasi yang dipilih berdasarkan metode pengukuran kelimpahan populasi C. odorata dan lalat puru C. connexa Lokasi/Desa Parung Panjang Setu Darmaga Gunung Bunder Koordinat (LS dan BT) 1) LS BT LS BT LS BT LS BT Ketinggian (mdpl) 2) Jarak (km) 3) Kondisi Habitat Hutan tanaman industri dengan tanaman utama Acacia mangium disertai populasi C. odorata dominan Lahan terbuka dengan dominasi Melastoma affine dan C. odorata yang berbatasan dengan lahan tanaman budidaya (kacang tanah, kedelai, dan jagung) Tanaman sengon (Albizia falcataria) dengan dominasi C. odorata dan Widelia trilobata yang berbatasan dengan jalan raya Lahan terbuka dengan dominasi Ageratum conyzoides dan Boreria alata yang berbatasan dengan lahan persawahan dan tanaman budidaya (jagung, talas, pisang, kopi, dan singkong) 1) LS = Lintang selatan, BT = Bujur timur, 2) Meter di atas permukaan laut, 3) Jarak lokasi dari titik pelepasan C. connexa

22 8 Metode Survei Keberadaan Lalat Puru C. connexa. Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan metode purposive sampling, yaitu lokasi yang dijumpai C. odorata, dengan pertimbangan gradien jarak dari tempat pelepasan lalat puru C. connexa, ketinggian tempat, serta adanya barier berupa pegunungan. Dari hasil survei pendahuluan maka ditetapkan daerah yang terpilih sebagai tempat pengambilan sampel, yaitu Hutan Tanaman Industri (HTI) Parung Panjang- Jasinga, Bogor dan Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi sebagai tempat pelepasan lalat puru C. connexa, Desa Setu-Jasinga, Kampus IPB Darmaga, Gunung Bunder, Gunung Salak, Gunung Halimun, Ciawi, Cisarua, dan Cianjur (Tabel 2). Tabel 2 Deskripsi lokasi yang dipilih berdasarkan metode survei keberadaan lalat puru C. connexa Lokasi/Desa Koordinat (LS dan BT) 2) Ketinggian (mdpl) 3) Jarak (km) 4) Jarak (km) 5) Parung Panjang 1) LS, BT Pakuwon 1) LS, BT Setu LS, BT Darmaga LS, BT Gunung Bunder LS, BT Gunung Salak LS, BT Gunung Halimun LS, BT Ciawi LS, BT Cisarua LS, BT Cianjur LS, BT Cianjur LS, BT ) Lokasi pelepasan lalat puru C. connexa, 2) LS = Lintang selatan, BT = Bujur timur, 3) Meter di atas permukaan laut, 4) Jarak lokasi dari titik pelepasan di Parung Panjang, 5) Jarak lokasi dari titik pelepasan di Pakuwon Pengambilan Contoh Tumbuhan Pengambilan contoh tumbuhan dilakukan dengan cara analisis vegetasi menggunakan metode transek yang dikombinasikan dengan metode kuadrat (Cox 2002). Pada masing-masing lokasi dibuat 5 jalur transek sepanjang 30 m dengan

23 9 jarak antara transek 15 m (Gambar 1). Sepanjang jalur transek dibuat petak contoh berbentuk bujur sangkar (2 m x 2 m) dengan jarak 15 m, sehingga pada masing-masing transek terdapat 3 petak contoh, jadi ada 15 petak contoh pada setiap lokasi penelitian. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak tiga kali pada setiap lokasi penelitian, yaitu bulan Agustus 2004, Mei 2005, dan Juni Pengambilan sampel antara bulan Agustus 2004 dan Mei 2005 bukan merupakan petak contoh yang permanen, tetapi antara bulan Mei 2005 dan Juni 2005 merupakan petak contoh yang permanen. Gambar 1 Metode analisis vegetasi. Semua spesies tumbuhan dalam petak contoh dihitung jumlah individunya. Setiap spesies tumbuhan diambil contoh spesimennya dan selanjutnya diidentifikasi di Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Identifikasi

24 10 dilakukan dengan mengacu buku Kostermans et al. (1987) dan Laumonier et al. (1987). Spesies tumbuhan yang tidak diketahui nama ilmiahnya diidentifikasi di Herbarium SEAMEO-BIOTROP Bogor. Estimasi Populasi C. odorata dan Lalat Puru C. connexa Untuk mengestimasi populasi C. odorata, di dalam setiap petak contoh jumlah pucuk C. odorata dihitung sehingga setiap batang C. odorata bisa terdiri dari beberapa pucuk. Jumlah pucuk lebih akurat untuk mengestimasi populasi C. odorata dibandingkan jumlah batang karena serangan lalat puru C. connexa terdapat di pucuk tanaman yang merupakan tempat terbentuknya bunga dan buah. Populasi lalat puru C. connexa diestimasi dengan menghitung kelimpahan jumlah puru di dalam setiap petak contoh, sedangkan populasi C. odorata ditentukan dengan menghitung jumlah pucuk pada setiap batang C. odorata dalam setiap petak contoh tersebut. Analisis Data Data keseluruhan spesies tumbuhan yang diperoleh pada setiap lokasi dapat diduga dengan menggunakan kurva akumulasi spesies yang dibuat dengan program EstimateS 6.0b1 (Colwell 2000). Jumlah spesies tumbuhan yang diperoleh pada setiap petak contoh diacak sebanyak 50 kali menggunakan program tersebut. Prediksi kekayaan spesies tumbuhan diduga dengan abundance-based coverage estimator (ACE) (Colwell & Coddington 1994). Indeks keanekaragaman tumbuhan diukur berdasarkan Shannon-Wiener (H ) = -Σ p i ln p i dimana p i = proporsi spesies ke-i terhadap total jumlah spesies, Indeks kemerataan berdasarkan Shannon-Wiener (E) = H /ln (S) dimana S = total jumlah spesies yang diperoleh. Kemiripan komunitas tumbuhan antar lokasi diukur dengan menggunakan Indeks Sorensen (Cs) = 2j / a+b dimana j adalah jumlah spesies yang ditemukan di daerah a dan b, a = jumlah spesies yang ditemukan di daerah a, b = jumlah spesies yang ditemukan di daerah b (Magurran 1988; Kreb 1998). Indeks tersebut dihitung dengan mengggunakan Biodiv97 yang merupakan perangkat lunak macro pada Microsoft Excel. Matrik yang diperoleh

25 kemudian di analisis lanjut dengan menggunakan analisis kelompok (cluster analysis) (Krebs 1998). Pengelompokan dalam bentuk dendogram menggunakan Unweighted Pair-Group Average (UPGMA) dan jarak Euclidean yang dibuat dengan perangkat lunak Statistica for Windows 6.0 (StatSoft 1995). Analisis vegetasi dihitung dengan menentukan kerapatan, frekuensi, dan indeks nilai penting (INP) menggunakan rumus Dumbois-Mueller (Cox 2002) sebagai berikut: Jumlah individu suatu spesies i Kerapatan Mutlak (i) = Jumlah total luas area petak sampel Kerapatan mutlak spesies i Kerapatan Relatif (i) = Kerapatan total seluruh spesies Jumlah satuan petak sampel yang diduduki spesies i Frekuensi Mutlak (i) = Jumlah petak sampel yang dibuat dalam analisis Frekuensi mutlak spesies i Frekuensi Relatif (i) = Frekuensi total seluruh spesies 11 Indeks Nilai Penting (i) = Kerapatan relatif (i) + Frekuensi relatif (i) HASIL DAN PEMBAHASAN Distribusi dan Kelimpahan Populasi C. odorata Tumbuhan eksotik invasif C. odorata merupakan tumbuhan asli dari Amerika Selatan dan Amerika Tengah yang kemudian menyebar ke Asia Tenggara (Anonim 1991). Hasil pengamatan pada semua lokasi penelitian di Jawa Barat khususnya daerah Bogor, C. odorata cenderung menempati lahan yang terbuka seperti di sisi jalan, tepian sawah yang kondisi tanahnya kering, ladang, dan perkebunan. Selain itu, C. odorata juga dapat tumbuh di bawah tegakan hutan yang terbuka tajuknya, bahkan masih bisa hidup pada daerah yang didominasi oleh batu-batuan. Pada lahan yang dibudidayakan seperti sawah,

26 12 ladang, dan hutan tanaman industri, keberadaan C. odorata memiliki status sebagai gulma penting yang merugikan karena populasinya sangat padat sehingga mampu berkompetisi dengan tanaman budidaya dalam memperoleh unsur hara yang dibutuhkan (Tjitrosemito 1998). Persebaran C. odorata saat ini sudah sangat luas yang dapat tumbuh pada berbagai tipe habitat dengan kelimpahan populasi yang berbeda, namun kelimpahan populasinya cenderung menurun seiring dengan bertambahnya ketinggian suatu lokasi. Binggeli (1997) melaporkan bahwa C. odorata hanya dapat tumbuh pada ketinggian dibawah 1000 mdpl. Keadaan ini dibuktikan dari hasil survei yang dilakukan di Gunung Bunder, dimana populasi C. odorata hanya ditemukan sampai pada ketinggian 650 mdpl. Pada ketinggian lebih dari 650 mdpl C. odorata tidak dijumpai tetapi lebih didominasi oleh Austroeupatorium inulaefolium (L.) (Asteraceae) dengan kelimpahan populasi yang sangat tinggi. A. inulaefolium merupakan spesies tumbuhan yang secara taksonomi masih memiliki hubungan kekerabatan dekat dengan C. odorata yang berada dalam satu famili yaitu Asteraceae (McFadyen et al. 2003). Untuk melihat kelimpahan populasi C. odorata pada berbagai tipe habitat yang berbeda, dipilih empat lokasi yang mewakili habitat perkebunan (Parung Panjang), hutan buatan (Darmaga), ladang dataran rendah (Setu), dan ladang dataran tinggi (Gunung Bunder). Dari hasil observasi yang dilakukan pada empat habitat C. odorata memperlihatkan bahwa kelimpahan populasi C. odorata tertinggi diperoleh pada habitat C. odorata di Parung Panjang dibandingkan dengan habitat C. odorata lainnya (Gambar 2). Habitat C. odorata di Parung Panjang adalah perkebunan yang merupakan Hutan Tanaman Industri dengan tanaman utama Acacia mangium. Kelimpahan populasi C. odorata pada empat habitat tersebut meningkat seiring dengan bertambahnya waktu pengambilan sampel yang dilakukan sebanyak tiga kali kecuali pada habitat C. odorata di Darmaga (Gambar 2). Kelimpahan populasi C. odorata antara bulan Agustus 2004 dan Mei 2005 mengalami peningkatan, tetapi bukan berasal dari populasi yang sama. Sedangkan antara bulan Mei 2005 dan Juni 2005 kelimpahan populasi C. odorata

27 13 juga mengalami peningkatan yang berasal dari populasi waktu pengamatan sebelumnya. Pada bulan Agustus 2004 kelimpahan populasi C. odorata mencapai titik terendah kemudian meningkat pada bulan Mei 2005 kecuali pada habitat C. odorata di Darmaga dan mencapai puncaknya pada bulan Juni Menurunnya populasi C. odorata di Darmaga pada bulan Mei 2005 disebabkan karena adanya pemangkasan di habitat tersebut, namun pada bulan berikutnya yaitu Juni 2005 kelimpahan populasi C. odorata kembali mengalami peningkatan. m 2 Jumlah pucuk/ P. Panjang Darmaga Setu Gn. Bunder 0 Agustus 2004 Mei 2005 Juni 2005 Waktu pengamatan Gambar 2 Kelimpahan populasi C. odorata pada empat lokasi penelitian selama tiga kali pengambilan sampel. Rendahnya populasi pucuk C. odorata pada bulan Agustus disebabkan karena kondisi iklim yang memasuki musim kemarau sehingga menyebabkan batang C. odorata menjadi kering. Keringnya bagian batang dan daun C. odorata tidak menyebabkan kematiannya, karena walaupun terlihat seperti mati tetapi akar yang berada di dalam tanah tetap hidup. Bulan Mei batang kirinyuh tumbuh kembali sehingga pucuk C. odorata bertambah banyak sampai menjelang waktu berbunga (fase vegetatif). Kemudian pada bulan berikutnya yaitu bulan Juni populasi C. odorata akan tumbuh secara serentak sehingga populasinya meningkat dengan pesat dimana sebagian pucuk telah berubah menjadi bunga (fase generatif) (Tjitrosemito 1999). Keadaan inilah yang menyebabkan kurang

28 14 efektifnya lalat puru C. connexa untuk menekan populasi C. odorata karena kelimpahan populasi lalat puru tidak mampu mengimbangi populasi inangnya yang tumbuh dengan populasi yang sangat berlimpah. Distribusi dan Kelimpahan Populasi Lalat Puru C. connexa Lalat puru C. connexa mulai dilepas pada tahun 1995 setelah memperoleh surat izin pelepasan yang dikeluarkan oleh Menteri Pertanian. Di Jawa Barat ada tiga titik pelepasan lalat puru C. connexa yang dilakukan di Parung Panjang- Jasinga, Bogor pada bulan Desember tahun 1995, Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi pada bulan Mei dan Juni tahun 1996, dan Cagar Alam Pangandaran, Ciamis pada bulan Oktober tahun 1999 (Tjitrosemito 1998; Widayanti et al. 2001). Dalam penelitian ini, pengamatan terhadap distribusi lalat puru C. connexa hanya difokuskan pada titik pelepasan di Parung Panjang-Jasinga (128 mdpl) dan Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi (300 mdpl). Distribusi lalat puru C. connexa berdasarkan lokasi penelitian disajikan pada gambar 3. Gambar 3 Distribusi lalat puru C. connexa dari titik pelepasan Parung Panjang- Jasinga, Bogor, dan Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi Jawa Barat.

29 15 Hasil observasi berdasarkan metode survei keberadaan lalat puru C. connexa, memperlihatkan bahwa setelah 10 tahun dilepas lalat puru C. connexa memiliki kemampuan menyebar cukup jauh dari titik pelepasannya baik dari Parung Panjang-Jasinga, Bogor maupun dari Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi. Secara spesifik, untuk mengetahui keberadaan lalat puru C. connexa pada suatu lokasi berasal dari titik pelepasan di Parung Panjang-Jasinga, Bogor atau dari Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi sulit untuk diketahui secara pasti. Walaupun demikian, keberadaan lalat puru C. connexa tersebut pada suatu lokasi dipastikan berasal dari titik pelepasan yang terdekat. Keberadaan lalat puru C. connexa di daerah Setu (128 mdpl), Darmaga (170 mdpl), dan Gunung Bunder (650 mdpl) berasal dari titik pelepasan di Parung Panjang-Jasinga, Bogor. Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwasanya keberadaan lalat puru C. connexa di daerah Darmaga dan Gunung Bunder juga bisa berasal dari titik pelepasan di Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi (Gambar 3). Di Gunung Bunder yang berjarak 35 km dari titik pelepasan di Parung Panjang-Jasinga dan 21 km dari titik pelepasan di Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi (Tabel 2), lalat puru C. connexa masih dijumpai walaupun dengan kelimpahan populasi yang sangat rendah. Keberadaan lalat puru C. connexa di Gunung Bunder lebih banyak berasal dari titik pelepasan di Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi karena memiliki jarak yang lebih dekat dari titik pelepasan tersebut dibandingkan dari titik pelepasan di Parung Panjang-Jasinga, Bogor. Di Darmaga yang berjarak relatif hampir sama baik dari titik pelepasan di Parung Panjang-Jasinga, Bogor (31 km) maupun dari titik pelepasan di Pakuwon- Parung Kuda, Sukabumi (32 km) (Tabel 2), keberadaan lalat puru C. connexa berasal dari kedua titik pelepasan tersebut. Keberadaan lalat puru C. connexa di daerah Ciawi (443 mdpl) dan Cisarua (962 mdpl) berasal dari titik pelepasan yang terdekat yaitu berasal dari Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi. Begitu juga keberadaan lalat puru C. connexa yang dijumpai di Gunung Salak (700 mdpl) yang merupakan distribusi dari titik pelepasan di Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi.

30 16 Saat ini lalat puru C. connexa telah mapan dan menyebar secara alami. Adanya barier seperti pegunungan merupakan faktor pembatas terhadap distribusi lalat puru C. connexa. Keadaan ini dibuktikan dengan tidak dijumpainya lalat puru C. connexa tersebut di daerah Cianjur 1 (714 mdpl) dan Cianjur 2 (608 mdpl), serta di Gunung Halimun (650 mdpl), namun keberadaan inangnya C. odorata pada tiga daerah tersebut masih bisa ditemukan. Adanya barier Gunung Halimun bagian selatan merupakan faktor pembatas terhadap distribusi lalat puru C. connexa sehingga tidak ditemukannya lalat puru tersebut di daerah Gunung Halimun. Di daerah Cianjur, lalat puru C. connexa juga tidak dijumpai karena adanya barier berupa Gunung Gede dan Gunung Pangranggo sehingga menyebabkan terbatasnya distribusi lalat puru tersebut. Kelimpahan populasi lalat puru C. connexa dipelajari secara spesifik pada 4 lokasi penelitian berdasarkan perbedaan habitat dan ketinggian lokasi penelitian. Empat lokasi tersebut mewakili habitat perkebunan (Parung Panjang), hutan buatan (Darmaga), ladang dataran rendah (Setu), dan ladang dataran tinggi (Gunung Bunder). Hasil observasi berdasarkan metode pengukuran populasi pada empat lokasi penelitian tersebut memperlihatkan bahwa keberadaan C. odorata diikuti juga dengan keberadaan musuh alaminya yaitu lalat puru C. connexa. Lalat puru mampu menyebar secara alami dan beradapatasi pada setiap habitat tetapi memiliki kelimpahan berbeda yang dipengaruhi oleh ketersediaan inangnya, kondisi habitat, dan keberadaan musuh alami. Berdasarkan hasil survei, kelimpahan populasi lalat puru C. connexa meningkat seiring dengan bertambahnya waktu pengambilan sampel kecuali kelimpahan lalat puru di Gunung Bunder yang relatif hampir sama selama tiga kali pengambilan sampel (Gambar 4). Kelimpahan populasi lalat puru C. connexa antara bulan Agustus 2004 dan Mei 2005 mengalami peningkatan, tetapi bukan berasal dari populasi yang sama. Sedangkan antara bulan Mei 2005 dan Juni 2005 kelimpahan populasi lalat puru C. connexa juga mengalami peningkatan yang berasal dari populasi waktu pengamatan sebelumnya. Pada bulan Agustus 2004, kelimpahan populasi lalat puru C. connexa di Parung Panjang, Darmaga dan Setu memiliki kelimpahan yang terendah, kemudian meningkat pada bulan Mei 2005

31 17 dan mencapai puncaknya pada bulan Juni Keadaan ini disebabkan karena selama musim kemarau bulan Agustus 2004 kelimpahan populasi C. odorata juga rendah karena batang mengalami kekeringan dan mati sehingga menurunkan kelimpahan populasi lalat puru C. connexa. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Tjitrosemito (1999b) yang menyatakan bahwa kelimpahan populasi lalat puru lebih tinggi pada musim hujan (Mei dan Juni) dibandingkan pada waktu musim kemarau (Agustus). Pada musim kemarau, jumlah pucuk C. odorata sebagai inang bagi lalat puru C. connexa kurang memadai sehingga telur yang diletakkan selama musim kemarau tidak dapat menyelesaikan siklus hidupnya. Hal ini mengindikasikan bahwa populasi lalat puru C. connexa sangat dipengaruhi oleh ketersediaan C. odorata sebagai inangnya. 20 Agustus 2004 Mei 2005 Juni 2005 m 2 Jumlah puru/ P. Panjang Darmaga Setu Gn. Bunder Lokasi Gambar 4 Kelimpahan populasi lalat puru C. connexa pada empat lokasi penelitian selama tiga kali pengambilan sampel. Kelimpahan populasi lalat puru C. connexa cenderung menurun seiring betambahnya ketinggian suatu tempat. Keadaan ini dibuktikan berdasarkan hasil pengamatan di Gunung Bunder pada ketinggian 650 mdpl yang memperlihatkan rendahnya kelimpahan populasi lalat puru C. connexa selama tiga kali pengambilan sampel (Gambar 4). Hal ini disebabkan karena kelimpahan populasi C. odorata sebagai inang bagi lalat puru juga rendah sehingga mempengaruhi kelimpahan populasi lalat puru tersebut. Selain itu, kondisi habitat di Gunung

32 18 Bunder berupa pegunungan yang memiliki perbedaan suhu dan kelembaban dengan dataran rendah menyebabkan terbatasnya distribusi lalat puru yang berdampak terhadap rendahnya kelimpahan populasi lalat puru C. connexa di lokasi tersebut. Terbentuknya puru pada batang dapat mengurangi pertumbuhan batang, produksi biji, dan penyimpanan karbohidrat untuk cadangan makanan (Erasmus et al. 1992). Jika terdapat dalam jumlah banyak, puru batang dapat menghambat pertumbuhan bahkan mematikan inangnya (Ehler et al dalam McFadyen et al. 2003). Adanya lalat dalam puru batang C. odorata diharapkan mampu untuk menurunkan populasinya. Berdasarkan pengamatan secara visual di lapangan memperlihatkan bahwa intensitas serangan lalat puru sangat tinggi terhadap setiap batang dan pucuk C. odorata, namun keberadaan puru tersebut tidak mematikan C. odorata. Terbentuknya puru pada batang dan pucuk hanya bisa menghambat pertumbuhan C. odorata saja. Walaupun lalat puru C. connexa tidak mampu menurunkan populasi inangnya secara nyata, C. odorata yang telah terinfestasi oleh puru memiliki produksi biji yang rendah dan proses perkecambahan juga menurun terutama bila seluruh pucuk terinfestasi oleh puru. Fenomena lain yang dijumpai adalah banyaknya C. odorata dengan tinggi kurang dari 100 cm, selain itu terlihat secara umum diameter batang lebih kecil bila dibandingkan dengan diameter batang yang normal. Chenon et al melaporkan bahwa tinggi batang C. odorata yang terinfestasi oleh lalat puru C. connexa memiliki kisaran antara cm sedangkan panjang batang normal berkisar antara cm. Kekayaan Spesies Tumbuhan di Habitat C. odorata Dengan menggunakan metode transek yang dikombinasikan dengan metode kuadrat, diharapkan dapat memberikan gambaran keseluruhan spesies tumbuhan yang ditemukan pada setiap habitat C. odorata. Keanekaragaman spesies tumbuhan pada empat habitat C. odorata berdasarkan metode analisis vegetasi dan jumlah plot yang dibuat memperlihatkan bahwa pengambilan contoh spesies tumbuhan sudah dapat menggambarkan keseluruhan spesies tumbuhan yang ada pada masing-masing habitat C. odorata. Hal ini ditunjukkan dengan landainya

33 19 kurva akumulasi spesies hasil observasi di lapangan pada keempat habitat C. odorata tersebut (Gambar 5). Keanekaragaman spesies tumbuhan pada empat habitat C. odorata memperlihatkan bahwa kekayaan spesies (species richness) tertinggi diperoleh di Darmaga dan terendah di Parung Panjang (Gambar 5). Hal ini mengindikasikan bahwa habitat C. odorata di Darmaga memiliki keanekaragaman tumbuhan yang lebih beragam dibandingkan habitat C. odorata di daerah lain. Berdasarkan nilai penduga ACE, jumlah spesies tumbuhan yang dikoleksi tertinggi diperoleh di Darmaga, Gunung Bunder, dan Setu (ACE 100%), sedangkan terendah diperoleh di Parung Panjang (ACE 95.6%) dari total jumlah spesies yang ada Darmaga (ACE 100%) Setu (ACE 100%) Gn. Bunder (ACE 100%) P. Panjang (ACE 95.6) Jumlah spesies Jumlah petak contoh Gambar 5 Kurva akumulasi spesies tumbuhan pada empat habitat C. odorata. Hasil analisis vegetasi pada empat habitat C. odorata ditemukan sebanyak individu tumbuhan yang termasuk ke dalam 21 famili dan 44 spesies (Tabel 3). Kelimpahan individu (species abudance) tumbuhan terbesar diperoleh dari habitat C. odorata di Gunung Bunder yaitu sebesar individu. Kekayaan spesies dan jumlah famili tertinggi di dapat di Darmaga yaitu 26 spesies dan 14 famili. Berdasarkan perhitungan nilai indeks keanekaragaman Shannon dan kemerataan (evenness), spesies tumbuhan tertinggi diperoleh pada habitat C. odorata di Setu masing-masing sebesar 1.26 dan 0.39.

34 Tabel 3 Jumlah Famili (F), Spesies (S), Individu (N), Indeks Shannon (H ) dan kemerataan (E) tumbuhan pada tiap habitat C. odorata Lokasi penelitian F S N H' E Parung Panjang Setu Darmaga Gunung Bunder Total Hasil perhitungan indeks kemiripan Sorensen (Cs) memperlihatkan bahwa antara lokasi Parung Panjang dan Setu memiliki indeks kemiripan tertinggi yaitu 0.65 atau sekitar 65% komposisi spesies tumbuhan yang ditemukan adalah sama. Komposisi spesies tumbuhan antara Parung Panjang dengan Gunung Bunder memiliki indeks kemiripan terendah yaitu 0.40 atau sekitar 40% komposisi spesies tumbuhan yang ditemukan sama pada kedua habitat C. odorata tersebut (Tabel 4). Tabel 4 Indeks kemiripan Sorensen (Cs) seluruh spesies tumbuhan antar lokasi penelitian pada habitat C. odorata Lokasi penelitian Parung Panjang Setu Darmaga Gunung Bunder Parung Panjang 1.00 Setu Darmaga Gunung Bunder Habitat C. odorata di Parung Panjang merupakan perkebunan dengan tanaman utama A. mangium, sedangkan Setu merupakan lahan terbuka dengan dominasi M. affine. Tingginya kemiripan komposisi spesies tumbuhan pada kedua habitat tersebut diduga karena memiliki sejarah penggunaan lahan yang sama sebelum Parung Panjang di tanami dengan A. mangium. Selain itu, jarak yang dekat (6 km) dengan ketinggian yang sama (128 mdpl) juga merupakan faktor yang mempengaruhi keberadaan spesies tumbuhan yang ditemukan pada

35 21 kedua lokasi tersebut. Kondisi habitat C. odorata di Gunung Bunder yang berbatasan langsung dengan lahan persawahan dan tanaman jagung serta berada pada ketinggian 650 mdpl, diduga menjadi penyebab perbedaan komposisi spesies tumbuhan dengan habitat C. odorata di Parung Panjang. Berdasarkan hasil analisis pengelompokan menunjukkan bahwa habitat C. odorata di Setu dan Parung Panjang berada dalam satu kelompok, sedangkan kelompok lainnya terdiri dari habitat C. odorata di Gunung Bunder dan Darmaga (Gambar 6). Dengan demikian melalui pendekatan matriks kemiripan dan gambar dendogram maka komunitas tumbuhan pada empat habitat C. odorata dapat dibedakan secara tegas berdasarkan komposisi spesies penyusun pada masingmasing habitat C. odorata tersebut Jarak ketidaksamaan Setu Prg. Panjang Gn. Bunder Darmaga Gambar 6 Dendogram pengelompokan spesies tumbuhan pada empat habitat C. odorata. Implikasi Keberadaan Tumbuhan Eksotik Invasif C. odorata terhadap Keberadaan Tumbuhan Lokal Indeks nilai penting (INP) spesies tumbuhan pada setiap habitat C.odorata memiliki perbedaan. Kelompok spesies tumbuhan tegak yang memiliki indeks nilai penting tertinggi pada habitat C. odorata di Parung Panjang, Setu, dan

36 22 Darmaga adalah C. odorata dengan nilai penting masing-masing sebesar 47%, 28.20%, dan 49.57%, sedangkan di Gunung Bunder Boreria alata memiliki indeks nilai penting tertinggi yaitu sebesar 73.38% (Tabel 5). Untuk kelompok spesies tumbuhan merambat, indeks nilai penting tertinggi di Parung Panjang dan Setu adalah Cyrtococcum oxyphyllum dengan nilai penting masing-masing sebesar 131.8% dan 89.97%, di Darmaga indeks nilai penting tertinggi adalah Panicum repens sebesar 98.34%, sedangkan di Gunung Bunder adalah Axonopus compressus dengan nilai penting sebesar 72.85% (Tabel 6). Dengan demikian spesies-spesies yang memiliki indeks nilai penting tertinggi merupakan spesies yang mempunyai kemampuan adaptasi dan toleransi yang lebih baik dibandingkan dengan spesies yang lainnya, baik bila dihubungkan dengan pengaruh keberadaan C. odorata maupun dalam kaitannya dengan kompetisi dengan spesies lain sehingga spesies-spesies tumbuhan tersebut mendominasi pada setiap habitat C. odorata tersebut. Tabel 5 Indeks Nilai Penting (INP) spesies tumbuhan tegak pada empat habitat C. odorata No. Spesies Lokasi penelitian / INP (%) P. Panjang Setu Darmaga Gn. Bunder 1 Chromolaena odorata 47.00* 28.20* 49.57* Boreria leavis Corchorus aestuans Ageratum conyzoides Imperata cylindrica Mimosa pudica Urena lobata Boreria alata * 9 Spesies lain # Total *) INP tertinggi pada setiap habitat C. odorata #) Tetracera scandens, Breynia racemosa, Melastoma affine, Lantana camara, Hydrocotyle sibthorpioides, Phyllanthus urinaria, Scleria ciliaris, Clidemia hirta, Stachytarpheta jamaicensis, Solanum involucratum, Mimosa invisa, Pennisetum polystachyon, Panicum maximum, Mimosa pigra, Amaranthus spinosus, Nephrolepis bisserata, Cyclosorus aridus, Bergia capendis, Pityrogramma tartara

37 Tabel 6 Indeks Nilai Penting (INP) spesies tumbuhan merambat pada empat habitat C. odorata No. Spesies Lokasi penelitian / INP (%) P. Panjang Setu Darmaga Gn. Bunder 1 Cyrtococcum oxyphyllum 131.8* 89.97* Axonopus compressus * 3 Lygodium microphyllum Operculina turpethum Ipomoea triloba Panicum repens * - 7 Ischaemum timorense Rostellularia sundana Spesies lain Total *) INP tertinggi pada setiap habitat C. odorata # ) Chrysopogon aciculatus, Mikania micrantha, Centrosema pubescen, Widelia trilobata, Eleusine indica, Commelina diffusa, Setaria palmifolia, Cyperus kyllingia, Eragrostis unioloides 23 Hasil perhitungan indeks nilai penting untuk spesies tumbuhan eksotik invasif C. odorata di Parung Panjang, Setu, dan Darmaga memperlihatkan bahwa kelimpahan populasi tumbuhan ini mendominasi pada tiga habitat tersebut kecuali di Gunung Buder (Tabel 5). Keadaan ini mengindikasikan bahwa kehadiran spesies tumbuhan eksotik invasif C. odorata pada tiga habitat tersebut telah menyebabkan terjadinya pengambilalihan atau pergantian skala ruang, yaitu tempat atau ruang yang seharusnya ditempati oleh spesies-spesies tumbuhan lokal kemudian diambil alih keberadaannya oleh tumbuhan eksotik invasif C. odorata. Selain itu, kehadiran tumbuhan eksotik invasif C. odorata pada empat lokasi penelitian menyebabkan terjadinya penurunan keanekaragaman spesies tumbuhan yang berada di sekitarnya. Hal ini diperkuat berdasarkan hasil perhitungan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener yang memperlihatkan rendahnya nilai indeks keanekaragaman tumbuhan pada keempat habitat C. odorata tersebut (Tabel 3). Pada 8 minggu pertama setelah tumbuh dari biji, C. odorata mengalokasikan sebagian besar hasil fotosintesis atau biomassanya untuk pembentukan daun. Setelah 8 minggu pertama, hasil fotosintesis atau biomassanya diarahkan untuk pembentukan batang sehingga C. odorata membentuk tumbuhan yang banyak daunnya dan terlihat rindang, padat serta rapat

38 24 jumlah daunnya. Keadaan seperti ini menyebabkan C. odorata bersifat agresif karena akan segera menutupi pertumbuhan kecambah spesies tumbuhan lain yang kurang cepat pertumbuhannya sehingga akan menghambat pertumbuhan kecambah spesies tumbuhan tersebut dan bahkan dapat menyebabkan kematian kecambah (Tjitrosemito 1997). Keberadaan tumbuhan eksotik invasif C. odorata ini pertumbuhannya akan berkompetisi dengan spesies-spesies tumbuhan lain yang berada dibawahnya baik dari kelompok tumbuhan tegak maupun yang merambat. Apabila C. odorata ini menaungi spesies-spesies tumbuhan yang berada di bawahnya secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama, maka dapat menyebabkan hilangnya spesies-spesies tumbuhan yang berada di bawah naungan C. odorata tersebut (Tjitrosemito 22 Agustus 2006, komunikasi pribadi). KESIMPULAN Persebaran spesies tumbuhan eksotik invasif C. odorata di Jawa Barat khususnya daerah Bogor sudah sangat luas. C. odorata dapat tumbuh pada berbagai tipe habitat meliputi habitat perkebunan, hutan buatan, ladang dataran rendah, maupun ladang dataran tinggi dengan kelimpahan yang berbeda. Kelimpahan populasinya cenderung menurun seiring dengan bertambahnya ketinggian suatu lokasi. Keberadaan C. odorata diikuti pula dengan keberadaan musuh alaminya yaitu lalat puru C. connexa pada semua lokasi pengamatan, kecuali di Gunung Halimun dan Cianjur. Ada dua titik pelepasan lalat puru C. connexa yaitu di Parung Panjang-Jasinga, Bogor dan Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi. Lalat puru C. connexa saat ini telah mapan keberadaannya dan menyebar secara alami serta memiliki kemampuan persebaran yang cukup jauh baik dari titik pelepasannya di Parung Panjang-Jasinga, Bogor maupun dari titik pelepasan di Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi. Lalat puru C. connexa mampu hidup pada berbagai ketinggian tempat yang berbeda, namun kelimpahan populasinya menurun seiring dengan bertambahnya ketinggian suatu tempat. Adanya barier

39 25 berupa pegunungan merupakan faktor pembatas terhadap distribusi lalat puru C. connexa. Kelimpahan populasi lalat puru C. connexa sangat dipengaruhi oleh ketersediaan inangnya yaitu C. odorata. Komunitas tumbuhan yang diperoleh pada habitat C. odorata di Parung Panjang, Setu, Darmaga, dan Gunung Bunder secara keseluruhan terdiri dari individu tumbuhan yang termasuk ke dalam 21 famili dan 44 spesies. Tingkat kemiripan komposisi spesies tumbuhan tertinggi terdapat pada habitat C. odorata antara Parung Panjang dan Setu yaitu 65%, sedangkan yang terendah diperoleh pada habitat C. odorata antara Parung Panjang dengan Gunung Bunder sebesar 40%. Kelimpahan populasi C. odorata pada lokasi penelitian di Parung Panjang, Setu, dan Darmaga mendominasi berdasarkan perhitungan indeks nilai penting kecuali di Gunung Bunder. Implikasi dari keberadaan spesies tumbuhan eksotik invasif C. odorata pada tiga habitat tersebut telah menyebabkan terjadinya pengambilalihan atau pergantian skala ruang, yaitu tempat atau ruang yang seharusnya ditempati oleh spesies-spesies tumbuhan lokal kemudian diambil alih keberadaannya oleh tumbuhan eksotik invasif C. odorata. Selain itu, kehadiran tumbuhan eksotik invasif C. odorata pada empat lokasi penelitian menyebabkan terjadinya penurunan keanekaragaman spesies tumbuhan yang berada di sekitarnya.

40 STRUKTUR KOMUNITAS SERANGGA PADA HABITAT TUMBUHAN EKSOTIK INVASIF: STUDI KASUS PADA HABITAT Chromolaena odorata (L.) KING & ROBINSON (ASTERACEAE) DI BOGOR, JAWA BARAT PENDAHULUAN Keberadaan spesies eksotik invasif merupakan suatu ancaman yang serius terhadap ekosistem dan keanekaragaman hayati (Wittenberg & Cock 2003). Spesies eksotik invasif dapat menyebabkan homogenisasi biotik, merubah suatu komunitas, dan kepunahan spesies lokal (Olden et al. 2004; Untung 2005). Sebagai contoh, kirinyuh atau Chromolaena odorata (Asteraceae) adalah spesies tumbuhan eksotik invasif. Kemampuan adaptasinya dapat mendominasi suatu habitat, seperti di hutan lindung Panunjang, Jawa Barat dan Taman Nasional Baluran, Jawa Timur (Tjitrosemito 1998). Pengendalian kirinyuh dengan memanfaatkan agens hayatinya telah dilakukan dengan mengintroduksi lalat pembentuk puru Cecidochares connexa Macquart (Diptera: Tephritidae) pada tahun 1993 dari Columbia (McFadyen et al. 2003). Di Jawa Barat lalat puru C. connexa mulai dilepas pada tahun 1995 di Hutan Tanaman Industri Parung Panjang-Jasinga, Bogor (Tjitrosemito 1998). Sampai saat ini lalat puru C. connexa telah mapan keberadaannya dan menyebar secara alami. Keberadaan spesies eksotik dapat dikendalikan dengan teknik pengendalian hayati, seperti C. odorata yang dikendalikan dengan lalat puru C. connexa. Namun tidak semua pengendalian spesies eksotik berhasil menurunkan populasi inangnya. Kemapanan populasi agens hayati yang tidak mampu menurunkan populasi inangnya dapat memfasilitasi efek bottom-up yang menghubungkan gulma sasaran dengan organisme lokal lainnya (Pearson & Callaway 2003). Pengendalian hayati merupakan teknik pengendalian yang penting dalam menghadapi invasi spesies eksotik, namun agens hayati tersebut dapat berdampak merugikan pada spesies lokal. Dari beberapa hasil penelitian memperlihatkan bahwa agens hayati yang inangnya spesifik dapat menimbulkan efek tidak

41 27 langsung (indirect effects) melalui interaksi dan subsidi jaring-jaring makanan. Efek tidak langsung dapat terjadi melalui penggantian ekosistem ketika agens hayati secara fisik dan fungsional menggantikan spesies lokal (Pearson & Callaway 2003). Sampai saat ini, studi ekologi mengenai dampak keberadaan spesies ekostik invasif C. odorata belum pernah dilakukan, seperti penelitian bagaimana dampak keberadaan C. odorata dan agens hayati C. connexa terhadap struktur komunitas serangga lokal. Berdasarkan permasalahan di atas, maka diperlukan suatu penelitian untuk mengetahui struktur komunitas serangga pada habitat C. odorata. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari struktur komunitas serangga di daerah yang telah diinvasi oleh C. odorata dengan mengambil studi kasus di daerah Bogor, Jawa Barat. BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan metode purposive sampling, yaitu lokasi yang dijumpai C. odorata, dengan pertimbangan tipe habitat dan ketinggian tempat. Dari hasil survei pendahuluan maka ditetapkan daerah yang terpilih sebagai tempat pengambilan sampel: (1) Hutan Tanaman Industri (HTI) Parung Panjang-Jasinga mewakili habitat perkebunan dan tempat pelepasan lalat puru C. connexa, (2) Desa Setu-Jasinga mewakili habitat ladang dataran rendah, (3) Kampus IPB Darmaga mewakili habitat hutan buatan, dan (4) Gunung Bunder mewakili habitat ladang dataran tinggi (Tabel 7). Penelitian dilakukan dari bulan Agustus 2004 hingga Juni Pengambilan Contoh Serangga Pada masing-masing lokasi dibuat 5 jalur transek sepanjang 30 m dengan jarak antara transek 15 m (Gambar 1). Sepanjang jalur transek dibuat petak contoh pengambilan sampel berbentuk bujur sangkar (2 m x 2 m) dengan jarak 15 m, sehingga pada masing-masing transek terdapat 3 petak contoh, jadi ada 15

42 28 petak contoh pada setiap lokasi penelitian. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 3 kali pada setiap lokasi penelitian, yaitu bulan Agustus 2004, Mei 2005, dan Juni Tabel 7 Deskripsi lokasi yang dipilih untuk penelitian Lokasi/Desa Parung Panjang Setu Darmaga Gunung Bunder 1) Koordinat (LS dan BT) 1) LS BT LS BT LS BT LS BT Ketinggian (mdpl) 2) Jarak (km) 3) Kondisi Habitat Hutan tanaman industri dengan tanaman utama Acacia mangium disertai populasi C. odorata dominan Lahan terbuka dengan dominasi Melastoma affine dan C. odorata yang berbatasan dengan lahan tanaman budidaya (kacang tanah, kedelai, dan jagung) Tanaman sengon (Albizia falcataria) dengan dominasi C. odorata dan Widelia trilobata yang berbatasan dengan jalan raya Lahan terbuka dengan dominasi Ageratum conyzoides dan Boreria alata yang berbatasan dengan lahan persawahan dan tanaman budidaya (jagung, talas, pisang, kopi, dan singkong) LS = Lintang selatan, BT = Bujur timur, 2) Meter di atas permukaan laut, 3) Jarak lokasi dari titik pelepasan C. connexa Pengambilan sampel serangga pada setiap petak contoh menggunakan perangkap jebak (pitfall trap), perangkap nampan kuning (yellow pan trap), dan perangkap malaise (malaise trap) (Gambar 7). Perangkap jebak terbuat dari gelas plastik bekas air mineral volume 220 ml, diameter mulut gelas 7 cm dan tinggi 10 cm. Gelas diisi 110 ml larutan air sabun dan garam secukupnya untuk mengurangi tegangan permukaan, sehingga serangga yang terperangkap tenggelam dan mati Perangkap jebak ditempatkan sebanyak 4 buah pada setiap petak contoh sehingga terdapat 60 buah perangkap jebak yang dipasang selama 24 jam pada setiap lokasi penelitian.

43 29 a b c Gambar 7 Perangkap serangga yang digunakan; (a) yellow pan trap (b) pitfall trap (c) malaise trap. Nampan kuning yang digunakan adalah wadah plastik berukuran 15 cm x 25 cm x 7 cm. Nampan kuning diisi dengan air sabun dan garam secukupnya untuk mengurangi tegangan permukaan, sehingga serangga yang terperangkap tenggelam dan mati. Selanjutnya nampan kuning diletakkan pada permukaan tanah sebanyak 2 buah dalam setiap petak contoh, sehingga terdapat 30 buah nampan kuning yang dipasang selama 24 jam pada setiap lokasi penelitian. Perangkap malaise terbuat dari jaring yang berbentuk seperti tenda (berbentuk prisma). Pada bagian puncaknya dipasang botol plastik yang berfungsi sebagai perangkap. Perangkap malaise efektif untuk serangga yang aktif terbang, serangga terbang akan menabrak jaring kemudian serangga akan bergerak ke atas mengikuti pola jaring menuju botol perangkap. Perangkap ditempatkan secara diagonal masing-masing diantara transek 2-3 dan transek 4-5, sehingga terdapat 2 buah perangkap malaise yang dipasang selama 24 jam. Serangga yang tertangkap dengan perangkap jebak, nampan kuning, dan malaise dibersihkan dari kotoran. Selanjutnya disimpan dalam tabung film berisi alkohol 70% untuk diidentifikasi di laboratorium. Sortasi dan identifikasi sampel serangga yang dikoleksi dari lapangan dilakukan di Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Semua serangga yang diperoleh dipisahkan berdasarkan ordonya. Selanjutnya identifikasi dilanjutkan sampai morfospesies tingkat famili (hanya diberi kode). Identifikasi serangga untuk tingkat famili mengacu pada kunci identifikasi yang tersedia.

44 30 Analisis Data Data keseluruhan spesies serangga yang diperoleh pada setiap lokasi dapat diduga dengan menggunakan kurva akumulasi spesies yang dibuat dengan program EstimateS 6.0b1 (Colwell 2000). Jumlah spesies serangga yang diperoleh pada setiap petak contoh diacak sebanyak 50 kali menggunakan program tersebut. Prediksi kekayaan spesies serangga diduga dengan abundancebased coverage estimator (ACE) (Colwell & Coddington 1994). Indeks keanekaragaman serangga diukur berdasarkan Shannon-Wiener (H ) = -Σ p i ln p i dimana p i = proporsi spesies ke-i terhadap total jumlah spesies, Indeks kemerataan berdasarkan Shannon-Wiener (E) = H /ln (S) dimana S = total jumlah spesies yang diperoleh. Kemiripan komunitas serangga antar lokasi diukur dengan menggunakan Indeks Sorensen (Cs) = 2j / a+b dimana j adalah jumlah spesies yang ditemukan di daerah a dan b, a = jumlah spesies yang ditemukan di daerah a, b = jumlah spesies yang ditemukan di daerah b (Magurran 1988; Kreb 1998). Indeks tersebut dihitung dengan mengggunakan Biodiv97 yang merupakan perangkat lunak macro pada Microsoft Excel. Matrik yang diperoleh kemudian dianalisis lanjut dengan menggunakan analisis kelompok (cluster analysis) (Krebs 1998). Pengelompokan dalam bentuk dendogram menggunakan Unweighted Pair-Group Average (UPGMA) dan jarak Euclidean yang dibuat dengan perangkat lunak Statistica for Windows 6.0 (StatSoft 1995). HASIL DAN PEMBAHASAN Kekayaan Spesies Serangga di Habitat C. odorata Keanekaragaman spesies serangga pada empat habitat C. odorata berdasarkan perangkap yang digunakan memperlihatkan bahwa kekayaan spesies (species richness) tertinggi diperoleh di Darmaga dan terendah di Parung Panjang (Gambar 8). Keadaan ini mengindikasikan bahwa habitat C. odorata di Darmaga memiliki keanekaragaman serangga yang lebih beragam dibandingkan habitat C. odorata di daerah lain. Berdasarkan nilai penduga ACE, jumlah spesies serangga

45 31 yang dikoleksi tertinggi diperoleh di Setu (ACE 77.2%), sedangkan terendah diperoleh di Gunung bunder (ACE 70%) dari total jumlah spesies yang ada. Jumlah spesies Setu (ACE 77.2%) P. Panjang (ACE 72.4%) Darmaga (ACE 74.9%) Gn. Bunder (ACE 70%) Jumlah petak contoh Gambar 8 Kurva akumulasi spesies serangga pada empat habitat C. odorata. Dari empat lokasi pengambilan sampel pada habitat C. odorata diperoleh individu serangga yang termasuk ke dalam 14 ordo, 132 famili, dan 568 spesies (Tabel 8). Kelimpahan individu (species abundance) serangga terbesar diperoleh dari habitat C. odorata di Setu yaitu sebesar individu (37%). Kekayaan spesies tertinggi didapat di Darmaga yaitu 345 spesies. Ordo dan famili terbanyak juga diperoleh di Darmaga yaitu 13 ordo dan 103 famili. Berdasarkan nilai indeks keanekaragaman Shannon dan kemerataan (evenness), spesies serangga tertinggi diperoleh pada habitat C. odorata di Gunung Bunder masingmasing sebesar 4.13 dan Tabel 8 Jumlah ordo (O), famili (F), spesies (S), Individu (N), Indeks Shannon (H ) dan kemerataan (E) serangga pada tiap habitat C. odorata Lokasi penelitian O F S N H' E Parung Panjang Setu Darmaga Gunung Bunder Total

46 32 Dari hasil sampling yang dilakukan terlihat bahwa kekayaan spesies dan kelimpahan individu terbesar yang dikumpulkan dari empat habitat C. odorata adalah ordo Hymenoptera (Gambar 9). Ordo Diptera merupakan ordo terbesar kedua yang diikuti oleh Ordo Hemiptera yang menempati urutan terbesar ketiga. Ordo Orthoptera, Coleoptera, Blattodea, Dermaptera, Isoptera, Lepidoptera, Mantodea, Neuroptera, Odonata, Psocoptera, dan Thysanoptera merupakan ordo minor yang ditemukan pada masing-masing habitat C. odorata tersebut. u Jumlah individ Jumlah spesies 200 P. Panjang A 180 Setu 160 Darmaga 140 Gn. Bunder Hymenoptera Diptera Hemiptera Ordo Lain P. Panjang B Ordo Setu Hymenoptera Diptera Hemiptera Ordo Lain Ordo Darmaga Gn. Bunder Gambar 9 Kekayaan spesies (A) dan kelimpahan individu (B) serangga yang diperoleh pada empat habitat C. odorata. Keseluruhan serangga yang diperoleh pada empat habitat C. odorata memperlihatkan bahwa ordo Hymenoptera mendominasi pada habitat tersebut. Kelimpahan individu Hymenoptera pada empat habitat C. odorata sebanyak

47 individu dari total individu yang ditemukan. Berdasarkan kelimpahan individu relatif, sekitar dari ordo Hymenoptera yang diidentifikasi didominasi oleh famili Formicidae. Keadaan ini menunjukkan bahwa famili Formicidae merupakan salah satu kelompok organisme yang dominan di ekosistem terestrial. Selanjutnya bila Formicidae dikeluarkan dari sampel, kekayaan spesies ordo Hymenoptera tetap mendominasi, namun secara kelimpahan individu ordo Diptera memiliki kelimpahan individu yang paling banyak kecuali pada habitat C. odorata di Gunung Bunder yang didominasi oleh ordo Hymenoptera (Gambar 10). Jumlah spesies Jumlah individu A P. Panjang Setu Darmaga Gn. Bunder Hymenoptera Diptera Hemiptera Ordo Lain P. Panjang B Ordo Setu Darmaga Gn. Bunder Hymenoptera Diptera Hemiptera Ordo Lain Ordo Gambar 10 Kekayaan spesies (A) dan kelimpahan individu (B) serangga tanpa Formicidae yang diperoleh pada empat habitat C. odorata.

48 34 Kekayaan Spesies Hymenoptera dan Diptera di Habitat C. odorata Total jumlah Hymenoptera yang dikumpulkan dari empat habitat C. odorata adalah individu yang terdiri dari 43 famili dan 265 morfospesies. Kekayaan spesies tertinggi diperoleh pada habitat C. odorata di Darmaga yang terdiri dari 176 morfospesies, 35 famili, dan individu. Sedangkan kekayaan spesies terendah diperoleh pada habitat C. odorata di Parung Panjang dan Gunung Bunder masing-masing terdiri dari 137 morfospesies, 32 famili dan individu pada habitat C. odorata di Parung Panjang dan 28 famili serta individu pada habitat C. odorata di Gunung Bunder (Tabel 9). Tabel 9 Jumlah famili, spesies (S), dan individu (N) ordo Hymenoptera pada tiap habitat C. odorata Lokasi penelitian Total Famili P. Parung Setu Darmaga Gn.Bunder Peranan S N S N S N S N S N Ampulicidae Predator Braconidae Parasitoid Eucoilidae Parasitoid Eupelmidae Parasitoid Ormyridae Parasitoid Encrytidae Parasitoid Ichneumonidae Parasitoid Scelionidae Parasitoid Vespidae Polinator Famili lain* Total Total Famili * Anthophoridae, Aphilinidae, Apidae, Bethylidae, Bradynobaenidae, Ceraphronidae, Chalcididae, Chrysididae, Colletidae, Diapriidae, Elasmidae, Eulopidae, Eurytomidae, Evanidae, Fidellidae, Figitidae, Formicidae, Heloridae, Megachilidae, Megasphilidae, Mutillidae, Mymaridae, Mymarommatidae, Platygasteridae, Pompilidae, Proctotrupidae, Pteromalidae, Rhopalosomatidae, Scoliidae, Sierolomorphidae, Signiporidae, Sphecidae, Tiphiidae, Torymidae Secara umum famili-famili Hymenoptera yang ditemukan terdiri dari kelompok parasitoid, predator dan polinator. Hasil pengamatan secara visual memperlihatkan bahwa kelompok parasitoid yang berasosiasi langsung dengan lalat puru C. connexa berasal dari famili Braconidae, Eucoilidae, Eupelmidae, dan Ormyridae. Menurut Gooulet dan Huber (1993), famili Braconidae dilaporkan bersifat ektoparasit pada larva Lepidoptera dan Coleoptera, pada ordo Diptera bersifat endoparasit, sedangkan famili Ormyridae merupakan parasitoid puru pada

49 35 lalat famili Cecidomyiidae dan Tephritidae (Ordo Diptera). Famili Eucoilidae merupakan parasitoid pupa pada ordo Diptera (Boror et al. 1981), sedangkan famili Eupelmidae bersifat parasitoid pada Ordo Diptera (famili Cecidomyiidae) (Nauman 1991). Famili Braconidae dan Eucoilidae masing-masing terdiri dari 22 morfospesies dan 3 morfospesies yang ditemukan pada empat habitat C. odorata. Famili Eupelmidae terdiri dari 3 morfospesies sedangkan famili Ormyridae hanya terdiri dari 1 morfospesies yang dijumpai pada habitat C. odorata di Parung Panjang, Setu, dan Darmaga, sedangkan di Gunung Bunder tidak ditemukan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Hymenoptera dari kelompok parasitoid memiliki kekayaan spesies dan kelimpahan individu yang lebih tinggi dibandingkan Hymenoptera dari kelompok polinator maupun predator (Tabel 9). Famili Braconidae, Encyrtidae, Ichneumonidae, dan Scelionidae memiliki jumlah spesies dan kelimpahan individu yang paling tinggi pada habitat C. odorata di Parung Panjang, Setu, Darmaga, dan Gunung Bunder. Tingginya kekayaan spesies dan kelimpahan individu kelompok Hymenoptera parasitoid pada empat habitat C. odorata tidak terlepas dari ketersediaan tumbuhan berbunga pada masing-masing habitat tersebut. Terdapat lima spesies tumbuhan yang diperoleh pada empat habitat C. odorata, yaitu Ageratum conyzoides, Melastoma affine, Mimosa pudica, Phyllanthus urinaria, dan Axonopus compressus (Tabel Lampiran 1 sampai 8). Vegetasi ini merupakan tumbuhan liar yang umum dijumpai di sekitar habitat ladang, sawah, dan perkebunan. Tumbuhan liar merupakan tempat mengungsi, berlindung, dan bertahan hidup bagi Hymenoptera dari kelompok parasitoid. Altieri dan Nicholls (2004) melaporkan bahwa tumbuhan liar dapat berperan sebagai tempat berlindung atau pengungsian musuh alami apabila kondisi pertanaman tidak sesuai seperti ketika tanaman tidak ada (saat panen), pemberaan, dan perlakuan insektisida. Selain itu, hasil penelitian Kartosuwondo (2001) melaporkan bahwa ketersediaan tumbuhan berbunga pada suatu ekosistem tidak hanya mampu meningkatkan lama hidup dan keperidian parasitoid, tetapi juga meningkatkan keanekaragaman spesies parasitoid.

50 Ordo Diptera yang berhasil dikumpulkan dari empat habitat C. odorata sebanyak individu yang terdiri dari 35 famili dan 120 morfospesies. Kekayaan spesies tertinggi diperoleh pada habitat C. odorata di Gunung Bunder yang terdiri dari 71 morfospesies, 25 famili, dan 795 individu. Sedangkan kekayaan spesies terendah diperoleh pada habitat C. odorata di Parung Panjang yang terdiri dari 47 morfospesies, 22 famili dan 627 individu (Tabel 10). Familifamili Diptera yang ditemukan terdiri dari kelompok herbivor, predator, saprofag, dan polinator. Tabel 10 Jumlah famili, spesies (S), dan individu (N) ordo Diptera pada tiap habitat C. odorata Lokasi penelitian Total Famili P. Parung Setu Darmaga Gn.Bunder Peranan S N S N S N S N S N Cecidomyiidae Herbivor Dolicophodidae Predator Phoridae Saprofag Tabanidae Polinator Tephritidae Herbivor Famili lain Total Total Famili* * Anthomyiidae, Asteiidae, Calliphoridae, Carnidae, Ceratopogonidae, Chamaemyiidae, Chloropidae, Culicidae, Curtonotidae, Diastatidae, Diopsidae, Drosophilidae, Ephydridae, Lauxanidae, Micropezidae, Muscidae, Mycetophilidae, Otitidae, Pipunculidae, Sarcophagidae, Scathophagidae, Scatopsidae, Sciaridae, Sphaeroceridae, Stratiomyidae, Syrphidae, Tachinidae, Tethinidae, Therevidae, Tipulidae 36 Kelompok herbivor terdiri dari 2 famili yaitu famili Cecidomyiidae (3 morfospesies) dan Tephritidae (3 morfospesies selain C. connexa). Menurut Boror et al. (1981) famili Cecidomyiidae merupakan kelompok pembentuk puru pada batang dan daun tanaman, sedangkan famili Tephritidae selain menyebabkan terbentuknya puru pada tanaman juga menyebabkan kerusakan pada buah. Keberadaan spesies dari famili Cecidomyiidae dan Tephritidae (selain C. connexa) yang berperan sebagai herbivor pada habitat C. odorata diduga memiliki potensi untuk berkompetisi dengan lalat puru C. connexa. Walalupun belum diketahui secara pasti spesies-spesies tersebut berinteraksi dengan C. odorata, namun spesies tersebut dikhawatirkan berpotensi untuk menyebabkan terbentuknya puru pada tumbuhan eksotik invasif C. odorata. Waterhouse (1994)

51 37 melaporkan bahwa di Amerika Selatan ada 8 spesies dari famili Cecidomyiidae dan 2 spesies dari famili Tephritidae yang berpotensi sebagai agens hayati untuk mengendalikan C. odorata. Famili Dolicophodidae dan Phoridae memiliki kekayaan spesies dan kelimpahan individu tertinggi (Tabel 10). Menurut Boror et al. (1981) Famili Dolicophodidae merupakan kelompok predator yang jumlah individunya berlimpah di hutan dan padang rumput. Melimpahnya kekayaan spesies dan kelimpahan individu Famili Dolicophodidae diduga terkait dengan banyaknya mangsa yang berada disekitar vegetasi pada keempat habitat C. odorata tersebut. Famili Phoridae termasuk dalam kelompok serangga saprofag (Boror et al. 1981). Adanya kotoran dan daun membusuk yang berasal dari vegetasi di sekitar habitat C. odorata merupakan makanan bagi kelompok serangga saprofag, sehingga menyebabkan tingginya kekayaan spesies dan kelimpahan individu serangga dari famili tersebut. Serangga saprofag sangat berguna dalam proses jaring makanan karena membantu menguraikan bahan organik yang ada. Dari hasil perangkap yang digunakan berupa pitfall trap, yellow pan trap, dan malaise trap tidak banyak imago lalat puru C. connexa yang dijumpai pada habitat C. odorata. Keadaan ini dibuktikan pada habitat C. odorata di Parung Panjang, Setu, dan Darmaga secara berturut-turut hanya ditemukan sebanyak 5, 3, dan 2 individu lalat puru C. connexa, sedangkan di Gunung Bunder tidak dijumpai sama sekali. Untuk mengukur populasi lalat puru C. connexa di lapangan tidak dapat diukur dengan menggunakan metode berupa perangkap pitfaall trap, yellow pan trap, dan malaise trap, tetapi dengan metode koleksi puru langsung dari lapangan atau dengan menggunakan staner trap yang diberi metyl eugenol. Hubungan Keanekaragaman Serangga dengan Kondisi Habitat Kondisi masing-masing habitat C. odorata memiliki perbedaan (Tabel 7). Habitat C. odorata di Darmaga (hutan buatan dengan tanaman utama A. falcataria) memiliki kekayaan spesies serangga tertinggi yang terdiri dari 345 spesies diikuti oleh Setu dan Gunung Bunder masing-masing 300 spesies dan 277 spesies. Keadaan ini berbeda dengan Parung Panjang (perkebunan dengan

52 38 tanaman utama A. mangium) yang memiliki kekayaan spesies serangga terendah yaitu 262 spesies (Tabel 8). Tingginya kekayaan spesies serangga pada habitat C. odorata di Darmaga diduga karena selain adanya tanaman utama juga terdapat komposisi vegetasi tumbuhan yang lebih beragam sehingga mempengaruhi kekayaan spesies serangga di sekitarnya dibandingkan dengan habitat C. odorata di Parung Panjang, Setu, dan Gunung Bunder yang memiliki komposisi vegetasi tumbuhan yang cenderung lebih sedikit di banding Darmaga. Kemiripan komposisi spesies serangga yang diperoleh antar lokasi dengan menggunakan indeks kemiripan Sorensen (Cs) memperlihatkan bahwa antara Parung Panjang dan Setu memiliki indeks kemiripan tertinggi yaitu 0.63 atau sekitar 63% dari spesies serangga yang ditemukan adalah sama. Komposisi spesies serangga yang ditemukan di Gunung Bunder dengan Parung Panjang memiliki indeks terendah yaitu 0.49 yang mengindikasikan bahwa spesies serangga yang ditemukan memiliki kemiripan sekitar 49% (Tabel 11). Tabel 11 Indeks kemiripan Sorensen (Cs) seluruh spesies serangga antar lokasi penelitian pada habitat C. odorata Lokasi penelitian Parung Panjang Setu Darmaga Gunung Bunder Parung Panjang 1.00 Setu Darmaga Gunung Bunder Habitat C. odorata di Parung Panjang merupakan perkebunan dengan tanaman utama A. mangium, sedangkan Setu merupakan lahan terbuka dengan dominasi M. malabathrichum. Dari tipe penggunaan lahan antara keduanya memiliki perbedaaan, tetapi memiliki komposisi kemiripan spesies serangga yang cukup tinggi. Diduga banyaknya kesamaan ini karena pengaruh faktor vegetasi pada kedua habitat C. odorata tersebut memiliki kesamaan sehingga mempengaruhi keberadaan serangga di sekitarnya. Selain itu, jarak yang dekat (6 km) dengan ketinggian yang sama (128 mdpl) juga merupakan faktor yang

53 39 mempengaruhi keberadaan spesies serangga yang ditemukan pada kedua lokasi tersebut. Kondisi habitat C. odorata di Gunung Bunder yang berbatasan langsung dengan lahan persawahan dan tanaman jagung serta berada pada ketinggian 650 mdpl, diduga menjadi penyebab perbedaan komposisi spesies serangga dengan habitat C. odorata di Parung Panjang. Berdasarkan hasil analisis pengelompokan menunjukkan bahwa keanekaragaman serangga pada empat habitat C. odorata masih berada dalam satu kelompok (Gambar 11). Hal ini mengindikasikan bahwa keempat habitat C. odorata di Parung Panjang, Setu, Darmaga, dan Gunung Bunder memiliki komposisi spesies serangga yang relatif masih sama Jarak ketidaksamaan Setu Prg. Panjang Gn. Bunder Darmaga Gambar 11 Dendogram pengelompokan seluruh spesies serangga pada empat habitat C. odorata. Keadaan serupa juga terlihat pada hasil analisis pengelompokan serangga dari kelompok predator dan parasitoid pada keempat habitat C. odorata di Parung Panjang, Setu, Darmaga, dan Gunung Bunder yang memperlihatkan bahwa komposisi komunitas spesies serangga predator dan parasitoid relatif masih sama pada empat habitat C. odorata tersebut (Gambar 12). Namun berbeda dengan hasil analisis pengelompokan serangga dari kelompok herbivor, yang menunjukkan bahwa komunitas serangga herbivor pada habitat C. odorata di

54 40 Parung Panjang, Setu, dan Darmaga berada dalam satu kelompok, sedangkan kelompok lainnya adalah komunitas serangga herbivor pada habitat C. odorata di Gunung Bunder (Gambar 13) Jarak ketidaksamaan Setu Prg. Panjang Gn. Bunder Darmaga Gambar 12 Dendogram pengelompokan serangga predator dan parasitoid pada empat habitat C. odorata Jarak ketidaksamaan Gn. Bunder Prg. Panjang Setu Darmaga Gambar 13 Dendogram pengelompokan serangga herbivor pada empat habitat C. odorata.

55 Asosiasi Serangga Lokal dengan Tumbuhan Eksotik Invasif C. odorata dan Agens Hayatinya C. connexa Fenomena ekologi introduksi spesies tumbuhan eksotik invasif dapat menyebabkan terjadinya asosiasi dalam struktur komunitas baru. Hasil pengamatan memperlihatkan ada spesies serangga yang berasosiasi dengan tumbuhan eksotik invasif C. odorata yaitu kutu aphid (Hemiptera: Aphididae). Kutu aphid membentuk koloni pada bagian batang dan pucuk C. odorata yang masih muda (Gambar 14). Klingauf (1987) melaporkan bahwa bagian pucuk tanaman yang aktif tumbuh dan berkembang biasanya dipilih oleh kutu aphid karena aktifitas pertumbuhan dan proses metabolismenya tinggi. Kutu aphid menghisap jaringan floem pada lamina daun sehingga jaringan lamina daun mati yang menyebabkan daun berkeriting. Keberadaan kutu aphid pada pucuk muda C. odorata menyebabkan kehadiran koloni semut (Hymenoptera: Formicidae). Asosiasi semut dengan kutu aphid karena adanya eksresi embun madu (honey) kutu aphid yang dimanfaatkan oleh koloni semut. Ditemukan dua spesies semut yang berasosiasi dengan kutu aphid yaitu Anoplolepis gracilipes dan Crematogaster sp.01 (Gambar 14). 41 Gambar 14 Asosiasi serangga pada tumbuhan eksotik invasif C. odorata. Keberadaan serangga herbivor eksotik juga akan berasosiasi dengan serangga lokal di habitat baru. Asosiasi serangga lokal terhadap lalat puru C. connexa yang terjadi diantaranya adalah musuh alami. Musuh alami ini terdiri atas predator dan parasitoid dari ordo Hymenoptera, Coleoptera, Hemiptera, dan

56 42 Mantodea. Semut merupakan kelompok predator dari ordo Hymenoptera yang banyak dijumpai pada bagian batang dan pucuk C. odorata. Terbentuknya koloni semut yang banyak dijumpai disekitar batang dan pucuk muda C. odorata selain berasosiasi dengan kutu aphid, semut juga memangsa kelompok telur yang diletakkan oleh imago betina C. connexa pada bagian pucuk terminal dan lateral. Selain itu semut mampu menembus puru yang berjendela dan memangsa larva atau pupa yang berada di dalamnya. McFadyen et al. (2003) melaporkan bahwa spesies semut Tetraponera sp. (Pseudomyrmecinae) mampu menembus puru yang telah berjendela dan memangsa larva dan pupa didalamnya. Kumbah kubah (Coleoptera: Coccinellidae) dijumpai pada pucuk-pucuk C. odorata (Gambar 15). Sebagian besar famili kumbang kubah bersifat predator yang memangsa hama pada fase telur sampai dewasa dan lainnya bertindak sebagai hama tanaman (Boror et al. 1981). Karena sifatnya sebagai predator, kumbang ini diduga selain memangsa kutu aphid juga memangsa telur dan larva C. connexa instar awal yang baru menetas. Belalang sembah (Mantodea: Mantidae) memangsa pupa C. connexa dalam puru yang berjendela. Perilaku makan serangga ini menyebabkan puru menjadi terkoyak (Gambar 15). Predator Sycanus sp. (Hemiptera: Reduviidae) memangsa larva instar akhir atau pupa yang berada di dalam puru. Perilaku memangsanya dengan cara menusukkan stilet ke dalam puru yang berjendela kemudian menghisap cairan larva dan pupa sehingga meninggalkan eksuvianya saja. Gambar 15 Serangga predator yang berasosiasi dengan lalat puru C. connexa.

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Spesies asing invasif telah menjadi issu hangat yang banyak dibicarakan dalam beberapa tahun belakangan ini, terutama berkaitan dengan spesies tumbuhan invasif. Banyak

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Metode Penelitian Penyediaan Koloni Lalat Puru C. connexa untuk Penelitian Lapangan

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Metode Penelitian Penyediaan Koloni Lalat Puru C. connexa untuk Penelitian Lapangan BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian merupakan penelitian lapangan yang dilaksanakan pada bulan April 005 Februari 006. Penelitian biologi lapangan dilaksanakan di salah satu lahan di

Lebih terperinci

BAB VII PEMBAHASAN UMUM

BAB VII PEMBAHASAN UMUM BAB VII PEMBAHASAN UMUM Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya issu hangat yang banyak dibicarakan dalam beberapa tahun belakangan ini, yaitu berkaitan dengan spesies eksotik invasif. Perhatian banyak

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BIOLOGI DAN KISARAN INANG LALAT PURU Cecidochares connexa (MACQUART) (DIPTERA: TEPHRITIDAE) SEBAGAI AGENS HAYATI GULMA KIRINYUH MURNI INDARWATMI

BIOLOGI DAN KISARAN INANG LALAT PURU Cecidochares connexa (MACQUART) (DIPTERA: TEPHRITIDAE) SEBAGAI AGENS HAYATI GULMA KIRINYUH MURNI INDARWATMI BIOLOGI DAN KISARAN INANG LALAT PURU Cecidochares connexa (MACQUART) (DIPTERA: TEPHRITIDAE) SEBAGAI AGENS HAYATI GULMA KIRINYUH MURNI INDARWATMI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

Lebih terperinci

Keanekaragaman Parasitoid dan Parasitisasinya pada Pertanaman Padi di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun

Keanekaragaman Parasitoid dan Parasitisasinya pada Pertanaman Padi di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Hayati, September 2003, hlm. 85-90 ISSN 0854-8587 Vol. 10. No. 3 Keanekaragaman Parasitoid dan Parasitisasinya pada Pertanaman Padi di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Diversity and Parasitism of

Lebih terperinci

Cecidochares connexa, Lalat Argentina Pengendali Gulma Siam

Cecidochares connexa, Lalat Argentina Pengendali Gulma Siam Cecidochares connexa, Lalat Argentina Pengendali Gulma Siam Roosmarrani Setiawati, SP. POPT Ahli Muda Pernahkan Anda menjumpai gulma seperti tampak pada gambar di bawah ini? Ya, gulma ini seringkali tumbuh

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN KUBIS PADA TIGA SISTEM BUDI DAYA A. MUBARRAK

PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN KUBIS PADA TIGA SISTEM BUDI DAYA A. MUBARRAK PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN KUBIS PADA TIGA SISTEM BUDI DAYA A. MUBARRAK SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK A. MUBARRAK. Perkembangan Hama dan Penyakit Tanaman

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN HYMENOPTERA PARASITOID PADA HABITAT

KEANEKARAGAMAN HYMENOPTERA PARASITOID PADA HABITAT KEANEKARAGAMAN HYMENOPTERA PARASITOID PADA HABITAT Chromolaena odorata (L.) KING & ROBINSON (ASTERACEAE): STUDI PARASITOID YANG BERASOSIASI DENGAN Cecidochares connexa MACQUART (DIPTERA: TEPHRITIDAE) DI

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN SERANGGA HYMENOPTERA (KHUSUSNYA PARASITOID) PADA AREAL PERSAWAHAN, KEBUN SAYUR DAN HUTAN DI DAERAH BOGOR TJUT AHMAD PERDANA R.

KEANEKARAGAMAN SERANGGA HYMENOPTERA (KHUSUSNYA PARASITOID) PADA AREAL PERSAWAHAN, KEBUN SAYUR DAN HUTAN DI DAERAH BOGOR TJUT AHMAD PERDANA R. KEANEKARAGAMAN SERANGGA HYMENOPTERA (KHUSUSNYA PARASITOID) PADA AREAL PERSAWAHAN, KEBUN SAYUR DAN HUTAN DI DAERAH BOGOR TJUT AHMAD PERDANA R. DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

TANGGAP FUNGSIONAL PARASITOID TELUR Trichogramma pretiosum Riley terhadap TELUR INANG Corcyra cephalonica Stainton pada PERTANAMAN KEDELAI

TANGGAP FUNGSIONAL PARASITOID TELUR Trichogramma pretiosum Riley terhadap TELUR INANG Corcyra cephalonica Stainton pada PERTANAMAN KEDELAI TANGGAP FUNGSIONAL PARASITOID TELUR Trichogramma pretiosum Riley terhadap TELUR INANG Corcyra cephalonica Stainton pada PERTANAMAN KEDELAI Oleh : Mia Nuratni Yanti Rachman A44101051 PROGRAM STUDI HAMA

Lebih terperinci

Gambar 1 Diagram alir kegiatan penelitian.

Gambar 1 Diagram alir kegiatan penelitian. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Desa Harjobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi penelitian berada pada ketinggian 343 meter

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK (Diversity Of Pitcher Plants ( Nepenthes Spp ) Forest

Lebih terperinci

AKILMAD RIZALI. Keragaman Serangga dan Peranannya pada Daerah Persawahan

AKILMAD RIZALI. Keragaman Serangga dan Peranannya pada Daerah Persawahan AKILMAD RIZALI. Keragaman Serangga dan Peranannya pada Daerah Persawahan di Taman Nasional Gunung Halimun, Desa Malasari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat (Di bawah bimbingan Damayanti Buchori dan Hermanu Triwidodo).

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

TUNGAU PADA TANAMAN STROBERI. Oleh: NURFITRI YULIANAH A

TUNGAU PADA TANAMAN STROBERI. Oleh: NURFITRI YULIANAH A TUNGAU PADA TANAMAN STROBERI Oleh: NURFITRI YULIANAH A44103045 PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 ABSTRAK NURFITRI YULIANAH. Tungau pada Tanaman

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 19 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada remnant forest (hutan sisa) Kawasan Konservasi Hutan Duri PT. Caltex Pacifik Indonesia dengan luas 255 hektar di dalam kawasan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biodiversitas ( Biodiversity

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biodiversitas ( Biodiversity II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biodiversitas (Biodiversity) Biodiversitas atau keanekaragaman hayati adalah berbagai macam bentuk kehidupan, peranan ekologi yang dimilikinya dan keanekaragaman plasma nutfah

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG Oleh: Muhammad Firly Talib C64104065 PROGRAM STUDI ILMU DAN

Lebih terperinci

PEMANTAUAN DAN KAJIAN KEBERADAAN KUMBANG KHAPRA,

PEMANTAUAN DAN KAJIAN KEBERADAAN KUMBANG KHAPRA, PEMANTAUAN DAN KAJIAN KEBERADAAN KUMBANG KHAPRA, Trogoderma granarium Everts., (COLEOPTERA: DERMESTIDAE) DAN HAMA GUDANG LAINNYA DI WILAYAH DKI JAKARTA, BEKASI, SERANG, DAN CILEGON MORISA PURBA SEKOLAH

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA The Diversity Of Kantong Semar (Nepenthes spp) Protected Forest

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan selama dua bulan pengamatan dari bulan Juli hingga Agustus 2009 di Pondok Ambung, Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan

Lebih terperinci

KARAKTERISASI ALAT PENANGKAP IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANTAI UTARA JAWA BARAT FIFIANA ALAM SARI SKRIPSI

KARAKTERISASI ALAT PENANGKAP IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANTAI UTARA JAWA BARAT FIFIANA ALAM SARI SKRIPSI KARAKTERISASI ALAT PENANGKAP IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANTAI UTARA JAWA BARAT FIFIANA ALAM SARI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA Lalat penggorok daun, Liriomyza sp, termasuk serangga polifag yang dikenal sebagai hama utama pada tanaman sayuran dan hias di berbagai negara. Serangga tersebut menjadi hama baru

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kumbang Neochetina eichhorniae sebagai Agens Pengendali Biologi Eceng Gondok Bioekologi N. eichhorniae

TINJAUAN PUSTAKA Kumbang Neochetina eichhorniae sebagai Agens Pengendali Biologi Eceng Gondok Bioekologi N. eichhorniae TINJAUAN PUSTAKA Kumbang Neochetina eichhorniae sebagai Agens Pengendali Biologi Eceng Gondok Kumbang N. eichhorniae pertama kali diintroduksi sebagai agens pengendali biologi eceng gondok adalah di USA

Lebih terperinci

ANALISIS VEGETASI DAN PENDUGAAN CADANGAN KARBON DI KAWASAN HUTAN CAGAR ALAM LEMBAH HARAU KABUPATEN 50 KOTA SUMATERA BARAT

ANALISIS VEGETASI DAN PENDUGAAN CADANGAN KARBON DI KAWASAN HUTAN CAGAR ALAM LEMBAH HARAU KABUPATEN 50 KOTA SUMATERA BARAT ANALISIS VEGETASI DAN PENDUGAAN CADANGAN KARBON DI KAWASAN HUTAN CAGAR ALAM LEMBAH HARAU KABUPATEN 50 KOTA SUMATERA BARAT SKRIPSI MHD. IKO PRATAMA 091201072 BUDIDAYA HUTAN PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh Okky Ekawati H

SKRIPSI. Oleh Okky Ekawati H SKRIPSI PERAN TUMBUHAN BERBUNGA DALAM MENJAGA KEBERADAAN PARASITOID HAMA PENTING PADI Oleh Okky Ekawati H0709086 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit

Lebih terperinci

METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian 11 METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan dari bulan Januari sampai Juni 2009. Pengamatan serangga dilakukan di dua lokasi, yaitu pada pertanaman H. multifora di lingkungan Kampus Institut

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

ANALISIS KERUSAKAN TANAMAN KOPI AKIBAT SERANGAN HAMA

ANALISIS KERUSAKAN TANAMAN KOPI AKIBAT SERANGAN HAMA ANALISIS KERUSAKAN TANAMAN KOPI AKIBAT SERANGAN HAMA Hypothenemus hampei Ferr. (Coleoptera: Scolytidae) PADA PERTANAMAN KOPI DI KABUPATEN TAPANULI UTARA SKRIPSI OLEH : Darwin Silitonga 100301161 AGROEKOTEKNOLOGI

Lebih terperinci

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Vol. 2 (1): 1 6 Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Gustap Baloari 1, Riza Linda 1, Mukarlina 1 1 Program Studi Biologi, Fakultas

Lebih terperinci

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di lapang dan di Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor, pada bulan Mei

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 YANG SELALU DI HATI Yang mulia:

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi

Lebih terperinci

PENGELOLAAN HAMA SECARA HAYATI Oleh : Awaluddin (Widyaiswara)

PENGELOLAAN HAMA SECARA HAYATI Oleh : Awaluddin (Widyaiswara) PENGELOLAAN HAMA SECARA HAYATI Oleh : Awaluddin (Widyaiswara) A. Pendahuluan Konsepsi Integrated Pest Control atau Pengendalian Hama Terpadu (PHT) mulai diperkenalkan pada tahun 1959 yang bertujuan agar

Lebih terperinci

I. MATERI DAN METODE PENELITIAN Letak Giografis Lokasi Penelitian Pekanbaru terletak pada titik koordinat 101 o o 34 BT dan 0 o 25-

I. MATERI DAN METODE PENELITIAN Letak Giografis Lokasi Penelitian Pekanbaru terletak pada titik koordinat 101 o o 34 BT dan 0 o 25- I. MATERI DAN METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Patologi, Entomologi, dan Mikrobiologi (PEM) dan lahan kampus Universitas Islam Negeri Sultan

Lebih terperinci

ISOLASI, SELEKSI DAN OPTIMASI PERTUMBUHAN GANGGANG MIKRO YANG POTENSIAL SEBAGAI PENGHASIL BAHAN BAKAR NABATI

ISOLASI, SELEKSI DAN OPTIMASI PERTUMBUHAN GANGGANG MIKRO YANG POTENSIAL SEBAGAI PENGHASIL BAHAN BAKAR NABATI ISOLASI, SELEKSI DAN OPTIMASI PERTUMBUHAN GANGGANGG MIKRO YANG POTENSIAL SEBAGAI PENGHASIL BAHAN BAKAR NABATI YOLANDA FITRIA SYAHRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu (Indriyanto, 2006). Relung ekologi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu (Indriyanto, 2006). Relung ekologi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Relung Ekologi Relung (niche) menunjukkan peranan fungsional dan posisi suatu organisme dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu (Indriyanto, 2006). Relung ekologi juga

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. = pengamatan minggu kedua = Pengamatan minggu berikutnya

BAHAN DAN METODE. = pengamatan minggu kedua = Pengamatan minggu berikutnya BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan dari April 2005 sampai Februari 2006. Kegiatan ini dibagi dua bagian, yaitu penelitian lapangan dan penelitian laboratorium. Penelitian

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN LUMUT (BRYOPHYTA) DI KAWASAN HUTAN LINDUNG AEK NAULI KABUPATEN SIMALUNGUN PROPINSI SUMATERA UTARA TESIS OLEH

KEANEKARAGAMAN LUMUT (BRYOPHYTA) DI KAWASAN HUTAN LINDUNG AEK NAULI KABUPATEN SIMALUNGUN PROPINSI SUMATERA UTARA TESIS OLEH KEANEKARAGAMAN LUMUT (BRYOPHYTA) DI KAWASAN HUTAN LINDUNG AEK NAULI KABUPATEN SIMALUNGUN PROPINSI SUMATERA UTARA TESIS OLEH HERLINAWATI SIREGAR 087030010 PROGRAM STUDI MAGISTER BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

INDEKS KEANEKARAGAMAN JENIS SERANGGA PADA FASE VEGETATIF DAN GENERATIF TANAMAN KEDELAI (Glycine max) DI LAPANGAN SKRIPSI OLEH:

INDEKS KEANEKARAGAMAN JENIS SERANGGA PADA FASE VEGETATIF DAN GENERATIF TANAMAN KEDELAI (Glycine max) DI LAPANGAN SKRIPSI OLEH: INDEKS KEANEKARAGAMAN JENIS SERANGGA PADA FASE VEGETATIF DAN GENERATIF TANAMAN KEDELAI (Glycine max) DI LAPANGAN SKRIPSI OLEH: VERONIKA SIDABUTAR 110301139 AGROEKOTEKNOLOGI-HPT PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI

MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya

Lebih terperinci

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN 2004-2012 RENALDO PRIMA SUTIKNO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

Endang Sulismini A

Endang Sulismini A Fluktuasi Asimetri Sayap Parasitoid Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) Asal Pertanaman Kubis di Kecamatan Cibodas, Kabupaten Cianjur dan Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Pengambilan Data Metode Pengumpulan Data Vegetasi :

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Pengambilan Data Metode Pengumpulan Data Vegetasi : METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus 2008 sampai dengan Februari 2009. Penelitian dilakukan di rumah kaca Departemen Silvikultur Fakultas Kehutaan Institut

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PENGARUH KETEBALAN MEDIA PASIR TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KUALITAS AKSESI RUMPUT BERMUDA (Cynodon dactylon L.)

PENGARUH KETEBALAN MEDIA PASIR TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KUALITAS AKSESI RUMPUT BERMUDA (Cynodon dactylon L.) PENGARUH KETEBALAN MEDIA PASIR TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KUALITAS AKSESI RUMPUT BERMUDA (Cynodon dactylon L.) Oleh Chika Seriulina Ginting A34304064 PROGRAM STUDI HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

BAB III GANGGUAN OLEH SERANGGA HAMA

BAB III GANGGUAN OLEH SERANGGA HAMA BAB III GANGGUAN OLEH SERANGGA HAMA Serangga merupakan kelompok hama paling banyak yang menyebabkan kerusakan hutan. Hama tanaman hutan pada umumnya baru menimbulkan kerugian bila berada pada tingkat populasi

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS MERANTI (SHORE SPP) PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA PROPINSI KALIMANTAN BARAT

KEANEKARAGAMAN JENIS MERANTI (SHORE SPP) PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA PROPINSI KALIMANTAN BARAT KEANEKARAGAMAN JENIS MERANTI (SHORE SPP) PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA PROPINSI KALIMANTAN BARAT Diversity of Species Meranti (Shore spp) In Protected Forest Area Ambawang

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR HUBUNGAN KARAKTERISTIK ANGGOTA MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DAN BEBERAPA FAKTOR PENDUKUNG DENGAN PARTISIPASINYA DALAM PELESTARIAN HUTAN DI KAWASAN PEMANGKUAN HUTAN PARUNG PANJANG KABUPATEN BOGOR YAYUK SISWIYANTI

Lebih terperinci

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 1 EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif, dengan objek penelitian tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran, Jawa

Lebih terperinci

STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA

STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA Oleh Riza Aitiando Pasaribu C64103058 PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

EVALUASI LANJUT PENYEBARAN LALAT ARGENTINA SEBAGAI PENGENDALI GULMA SIAM

EVALUASI LANJUT PENYEBARAN LALAT ARGENTINA SEBAGAI PENGENDALI GULMA SIAM Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia, Vol. 16, No. 1, 2010: 42 46 EVALUASI LANJUT PENYEBARAN LALAT ARGENTINA SEBAGAI PENGENDALI GULMA SIAM FURTHER EVALUATION OF THE SPREAD OF Cecidochares connexa AS BIOCONTROL

Lebih terperinci

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT. SARMIENTO PARAKANTJA TIMBER KALIMANTAN TENGAH Oleh : SUTJIE DWI UTAMI E 14102057 DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS SERASAH DAN LAJU DEKOMPOSISI DI KEBUN CAMPUR SENJOYO SEMARANG JAWA TENGAH SERTA UJI LABORATORIUM ANAKAN MAHONI

PRODUKTIVITAS SERASAH DAN LAJU DEKOMPOSISI DI KEBUN CAMPUR SENJOYO SEMARANG JAWA TENGAH SERTA UJI LABORATORIUM ANAKAN MAHONI PRODUKTIVITAS SERASAH DAN LAJU DEKOMPOSISI DI KEBUN CAMPUR SENJOYO SEMARANG JAWA TENGAH SERTA UJI LABORATORIUM ANAKAN MAHONI ( Swietenia macrophylla King ) PADA BERAGAM DOSIS KOMPOS YANG DICAMPUR EM4 Sita

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999).

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999). 26 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau

Lebih terperinci

PEMANFAATAN KOMPOS DAN ZEOLIT UNTUK PENGENDALIAN BUSUK PANGKAL BATANG (BPB) PADA TANAMAN LADA JEKVY HENDRA

PEMANFAATAN KOMPOS DAN ZEOLIT UNTUK PENGENDALIAN BUSUK PANGKAL BATANG (BPB) PADA TANAMAN LADA JEKVY HENDRA PEMANFAATAN KOMPOS DAN ZEOLIT UNTUK PENGENDALIAN BUSUK PANGKAL BATANG (BPB) PADA TANAMAN LADA JEKVY HENDRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

PENGKAJIAN BAHAN PELAPIS, KEMASAN DAN SUHU PENYIMPANAN UNTUK MEMPERPANJANG MASA SIMPAN BUAH MANGGIS KEMALA SYAMNIS AZHAR

PENGKAJIAN BAHAN PELAPIS, KEMASAN DAN SUHU PENYIMPANAN UNTUK MEMPERPANJANG MASA SIMPAN BUAH MANGGIS KEMALA SYAMNIS AZHAR PENGKAJIAN BAHAN PELAPIS, KEMASAN DAN SUHU PENYIMPANAN UNTUK MEMPERPANJANG MASA SIMPAN BUAH MANGGIS KEMALA SYAMNIS AZHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya

Lebih terperinci

PENGARUH BENTUK DAN KETINGGIAN PERANGKAP STICKY TRAP KUNING TERHADAP LALAT BUAH

PENGARUH BENTUK DAN KETINGGIAN PERANGKAP STICKY TRAP KUNING TERHADAP LALAT BUAH PENGARUH BENTUK DAN KETINGGIAN PERANGKAP STICKY TRAP KUNING TERHADAP LALAT BUAH (Bactrocera spp.) (Diptera:Tephritidae) PADA TANAMAN TOMAT ( Solanum lycopersicum Mill.) DI DATARAN RENDAH SKRIPSI OLEH :

Lebih terperinci

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. A. Materi (Bahan dan Alat), Waktu dan Lokasi Penelitian

METODE PENELITIAN. A. Materi (Bahan dan Alat), Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODE PENELITIAN A. Materi (Bahan dan Alat), Waktu dan Lokasi Penelitian 1. Materi ( Bahan dan Alat) Penelitian Materi yang digunakan dalam penelitian berupa jenis tumbuhan bawah dan alkohol 70%.

Lebih terperinci

ABSTRAK DIVERSITAS SERANGGA HUTAN TANAH GAMBUT DI PALANGKARAYA KALIMANTAN TENGAH

ABSTRAK DIVERSITAS SERANGGA HUTAN TANAH GAMBUT DI PALANGKARAYA KALIMANTAN TENGAH viii ABSTRAK DIVERSITAS SERANGGA HUTAN TANAH GAMBUT DI PALANGKARAYA KALIMANTAN TENGAH Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman serangga (insecta) dan tumbuhan yang digunakan sebagai habitat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lebih dari jenis tumbuhan terdistribusi di Indonesia, sehingga Indonesia

I. PENDAHULUAN. lebih dari jenis tumbuhan terdistribusi di Indonesia, sehingga Indonesia 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki kekayaan flora dan fauna serta kehidupan liar lain yang mengundang perhatian berbagai pihak baik di dalam maupun di luar negeri. Tercatat lebih dari

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Perkembangan Populasi Rhopalosiphum maidis Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kutu daun R. maidis mulai menyerang tanaman jagung dan membentuk koloni sejak tanaman berumur

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura 12 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura Wan Abdul Rachman yang memiliki luasan 1.143 ha. Secara geografis terletak

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di tiga padang golf yaitu Cibodas Golf Park dengan koordinat 6 0 44 18.34 LS dan 107 0 00 13.49 BT pada ketinggian 1339 m di

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Serangan O. furnacalis pada Tanaman Jagung Larva O. furnacalis merusak daun, bunga jantan dan menggerek batang jagung. Gejala serangan larva pada batang adalah ditandai dengan

Lebih terperinci

INDEKS KEANEKARAGAMAN JENIS SERANGGA PADA PERTANAMAN PADI (Oryza Sativa L.) DI LAPANGAN SKRIPSI OLEH :

INDEKS KEANEKARAGAMAN JENIS SERANGGA PADA PERTANAMAN PADI (Oryza Sativa L.) DI LAPANGAN SKRIPSI OLEH : INDEKS KEANEKARAGAMAN JENIS SERANGGA PADA PERTANAMAN PADI (Oryza Sativa L.) DI LAPANGAN SKRIPSI OLEH : DIAN MUSTIKA PUTRI 100301012 AGROEKOTEKNOLOGI / HPT PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

PENILAIAN DAMPAK KEBAKARAN TERHADAP MAKROFAUNA TANAH DENGAN METODE FOREST HEALTH MONITORING (FHM) ASRI BULIYANSIH E

PENILAIAN DAMPAK KEBAKARAN TERHADAP MAKROFAUNA TANAH DENGAN METODE FOREST HEALTH MONITORING (FHM) ASRI BULIYANSIH E PENILAIAN DAMPAK KEBAKARAN TERHADAP MAKROFAUNA TANAH DENGAN METODE FOREST HEALTH MONITORING (FHM) ASRI BULIYANSIH E 14201020 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

PERBANDINGAN METODE INTERPOLASI ABRIDGED LIFE TABLE

PERBANDINGAN METODE INTERPOLASI ABRIDGED LIFE TABLE PERBANDINGANN METODE INTERPOLASI ABRIDGED LIFE TABLE DAN APLIKASINYA PADA DATAA KEMATIAN INDONESIA VANI RIALITA SUPONO SEKOLAH PASCASARJANAA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 9 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan yaitu dimulai bulan Juni hingga Agustus 2011. Lokasi penelitian bertempat di Kawasan Hutan Batang Toru Bagian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia menduduki posisi yang penting dalam peta keanekaragaman hayati di dunia karena termasuk dalam sepuluh negara dengan keanekaragaman hayati yang tinggi (Indrawan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif - eksploratif, yang

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif - eksploratif, yang 36 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif - eksploratif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 0 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu penelitian untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan gajah yang keberadaannya sudah mulai langka. Taman Nasional. Bukit Barisan Selatan termasuk ke dalam taman nasional yang memiliki

I. PENDAHULUAN. dan gajah yang keberadaannya sudah mulai langka. Taman Nasional. Bukit Barisan Selatan termasuk ke dalam taman nasional yang memiliki 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) merupakan salah satu dari tiga taman nasional yang ada di Sumatera yang dapat mewakili prioritas tertinggi unit konservasi

Lebih terperinci

KETERKONTROLAN BEBERAPA SISTEM PENDULUM SAKIRMAN

KETERKONTROLAN BEBERAPA SISTEM PENDULUM SAKIRMAN KETERKONTROLAN BEBERAPA SISTEM PENDULUM SAKIRMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Keterkontrolan

Lebih terperinci

Identifikasi dan Klasifikasi Hama Aphid (Kutu Daun) pada tanaman Kentang

Identifikasi dan Klasifikasi Hama Aphid (Kutu Daun) pada tanaman Kentang Identifikasi dan Klasifikasi Hama Aphid (Kutu Daun) pada tanaman Kentang Kehilangan hasil yang disebabkan gangguan oleh serangga hama pada usaha tani komoditas hortikultura khususnya kentang, merupakan

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) DI KAWASAN KONSERVASI RUMAH PELANGI DUSUN GUNUNG BENUAH KECAMATAN SUNGAI AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA Diversity Study of Kantong Semar Plants (Nepenthes

Lebih terperinci

BAB III METOE PENELITIAN. Penelitian ini termasuk jenis penelitian diskriptif kuantitatif. Pengambilan

BAB III METOE PENELITIAN. Penelitian ini termasuk jenis penelitian diskriptif kuantitatif. Pengambilan BAB III METOE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian diskriptif kuantitatif. Pengambilan data menggunakan metode eksplorasi yaitu dengan mengadakan pengamatan terhadap

Lebih terperinci

HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL

HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL (Kasus di Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat) HENDRO ASMORO SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kehidupan serangga sudah dimulai sejak 400 juta tahun (zaman devonian). Kirakira

I. PENDAHULUAN. Kehidupan serangga sudah dimulai sejak 400 juta tahun (zaman devonian). Kirakira I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Serangga merupakan kelompok hewan dengan jumlah spesies serta kelimpahan tertinggi dibandingkan denga n makhluk hidup lainnya seperti tumbuhan dan hewan. Terdapat berbagai

Lebih terperinci