BAB VII PEMBAHASAN UMUM
|
|
- Ari Lie
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB VII PEMBAHASAN UMUM Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya issu hangat yang banyak dibicarakan dalam beberapa tahun belakangan ini, yaitu berkaitan dengan spesies eksotik invasif. Perhatian banyak dicurahkan pada implikasi introduksi spesies eksotik invasif, terutama spesies tumbuhan invasif dan agens pengendalian hayatinya berupa serangga herbivor. Keberadaan spesies eksotik invasif cenderung merugikan karena merupakan ancaman serius terhadap ekosistem dan keanekaragaman hayati (Wittenberg & Cock 2003; Primack et al. 1998). Hal ini didasarkan pada kemungkinan terjadinya kompetisi interspesifik. Jika spesies eksotik introduksi tersebut lebih dominan daripada spesies lokal, besar kemungkinan akan terjadi dampak negatif terhadap keanekaragaman hayati lokal, bahkan tidak mustahil akan terjadi kepunahan spesies lokal. Olden et al. (2004) menyatakan bahwa spesies eksotik invasif pada habitat yang baru dapat menyebabkan terjadinya homogenisasi biotik dan pergantian spesies lokal dengan spesies introduksi. Salah satu spesies tumbuhan yang dikenal sangat invasif dan telah menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia, adalah eceng gondok, Eichhornia crassipes (Mart.) Solms. (Pontederiaceae) (Gopal & Sharma 1981). Untuk mengatasi invasi eceng gondok di Indonesia, pengendalian hayati dengan musuh alami gulma tersebut yang berupa serangga herbivor telah menjadi pilihan. Dua spesies agens hayati Neochetina spp. (Coleoptera: Curculionidae) telah diintroduksi, yaitu N. eichhorniae pada tahun 1975 (Subagyo et al. 1977) dan N. bruchi pada tahun 1975 (Widayanti et al. 1998). Keberadaan spesies tumbuhan invasif eceng gondok bukan hanya memiliki dampak langsung (direct effect) berupa homogenisasi vegetasi akuatik, tetapi diprediksi juga memiliki dampak tidak langsung (indirect effect) terhadap komunitas serangga yang berasosiasi dengan komunitas tumbuhan tersebut. Selain itu, introduksi Neochetina spp. sebagai agens hayati eceng gondok perlu mendapat perhatian yang serius sebab dikhawatirkan dapat menimbulkan
2 161 dampak negatif terhadap komunitas spesies bukan sasaran (spesies nontarget) (Pearson & Callaway 2003), baik berupa direct effect maupun indirect effect. Meskipun issu spesies eksotik invasif telah menjadi pembicaraan hangat para ahli ekologi dalam beberapa tahun terakhir, termasuk di Indonesia, namun evaluasi mengenai implikasi keberadaan spesies invasif tersebut terhadap keanekaragaman hayati lokal (komunitas tumbuhan dan serangga) sejauh ini belum banyak dilakukan. Hal ini terutama berkaitan dengan spesies invasif eceng gondok dan agens hayatinya, Neochetina spp.. Pertanyaan yang muncul adalah: (1) Seberapa jauh implikasi keberadaan eceng gondok terhadap komunitas tumbuhan akuatik?, (2) Seberapa jauh implikasi keberadaan eceng gondok terhadap komunitas serangga?, (3) Bagaimana persebaran dan kelimpahan Neochetina spp. di lapangan dan bagaimana dampaknya terhadap eceng gondok?, dan (4) Apakah ada dampak nontarget dari introduksi agens hayati Neochetina spp.. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa keberadaan spesies invasif eceng gondok secara langsung dapat mengakibatkan terjadinya homogenisasi vegetasi akuatik. Hal ini ditunjukkan oleh penurunan secara nyata jumlah spesies tumbuhan akuatik pada suatu ekosistem perairan akibat invasi eceng gondok. Ekosistem perairan yang terinfestasi oleh eceng gondok akan didominasi oleh spesies tumbuhan tersebut karena sebagian besar spesies tumbuhan akuatik tidak mampu berkompetisi dengan eceng gondok. Selain itu, penyederhanaan komposisi vegetasi akibat keberadaan eceng gondok secara tidak langsung dapat menurunkan kekayaan dan keanekaragaman spesies serangga pada vegetasi akuatik. Ada indikasi yang kuat bahwa keberadaan eceng gondok dapat memicu terjadinya homogenisasi spesies serangga yang berasosiasi dengan komunitas tumbuhan akuatik. Introduksi Neochetina spp. sebagai agens hayati eceng gondok di Indonesia ternyata tidak memberikan hasil yang memuaskan. Efektivitas agens hayati ini dalam menekan perkembangan populasi eceng gondok sangat rendah. Dengan demikian, tujuan introduksi agens hayati ini, yaitu untuk merestorasi keseimbangan populasi spesies lokal (Bellows 2001), sejauh ini tidak tercapai.
3 162 Namun demikian, potensi terjadinya pergeseran tanaman inang agens hayati tersebut sangat kecil dan sejauh ini tidak ada bukti terjadi ekspansi kisaran inang oleh agens hayati tersebut di lapangan. Selain itu, ada indikasi bahwa keberadaan agens hayati tersebut sama sekali tidak memiliki implikasi terhadap komunitas serangga yang hidup pada habitat eceng gondok. Dominasi eceng gondok pada suatu ekosistem perairan diduga berkaitan dengan daya adaptasi dan laju reproduksinya yang sangat tinggi. Kondisi ini mengakibatkan spesies tumbuhan lain kalah berkompetisi sehingga seringkali eceng gondok menggantikan vegetasi lainya (Center et al. 2002). Beberapa spesies tumbuhan akuatik hanya mampu hidup pada habitat eceng gondok apabila kepadatan populasi tumbuhan ini rendah. Jianqing (2002) melaporkan bahwa penurunan populasi eceng gondok akibat pengendalian yang dilakukan di Wenzhou, Provinsi Zhejiang, Cina, telah mendorong spesies tumbuhan lokal (Paspalum spp.) kembali tumbuh dan menginfestasi ruang yang kosong. Selain mengakibatkan pergeseran komposisi spesies tumbuhan akuatik pada suatu ekosistem perairan, ada indikasi bahwa keberadaan eceng gondok juga dapat mengakibatkan pergeseran komunitas serangga. Komposisi spesies tumbuhan yang lebih beragam pada lokasi tanpa eceng gondok (TEG), memberikan peluang untuk dihuni oleh serangga dengan kekayaan spesies dan kelimpahan individu yang lebih tinggi dibandingkan pada lokasi dengan eceng gondok (DEG). Tingginya kekayaan spesies serangga pada lokasi TEG diduga terjadi karena komposisi spesies tumbuhan yang lebih beragam menyediakan relung yang lebih bervariasi untuk dihuni oleh lebih banyak spesies serangga. Hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa terjadi pergeseran komposisi spesies serangga dominan (Diptera dan Hymenoptera) antara lokasi TEG dan lokasi DEG. Pada lokasi TEG, kekayaan spesies Hymenoptera lebih tinggi daripada Diptera, sedangkan pada lokasi DEG, kekayaan spesies Diptera dan Hymenoptera relatif sama. Hal ini diduga terutama berkaitan dengan perbedaan fungsi ekologi kedua ordo serangga tersebut. Serangga yang tergolong dalam ordo Diptera dominan berperan sebagai saprofagus, sementara anggota ordo Hymenoptera sebagian besar berperan sebagai parasitoid (Borror et al. 1996).
4 163 Laju pertumbuhan vegetatif eceng gondok yang tinggi mengakibatkan tumbuhan ini selalu memiliki daun tua dan membusuk sehingga lokasi DEG lebih banyak dihuni oleh spesies serangga dari ordo Diptera. Bagian tumbuhan yang membusuk merupakan salah satu substrat utama yang dimanfaatkan imago Diptera sebagai makanan dan tempat peletakan telur (Borror et al. 1996). Sementara itu, tingginya kekayaan spesies Hymenoptera pada lokasi TEG diduga berhubungan dengan ketersediaan inang. Tingginya kelimpahan individu Homoptera pada lokasi TEG, yang merupakan inang utama parasitoid telur dari famili Encyrtidae dan Scelionidae (Driesche & Bellow 1996), sedikit banyak akan mempengaruhi kekayaan spesies Hymenoptera secara keseluruhan. Selain itu, kebanyakan imago parasitoid Hymenoptera sangat membutuhkan sumber makanan tambahan berupa tepung sari dan nektar dari tumbuhan berbunga tertentu, serta embun madu yang dihasilkan oleh serangga dari ordo Homoptera (Altieri & Nicolls 2004). Komposisi vegetasi yang lebih beragam pada lokasi TEG sangat menguntungkan bagi serangga herbivor polifag karena tersedia lebih banyak sumber daya, terutama makanan, untuk menunjang perkembangan populasi serangga tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh tingginya kelimpahan individu serangga herbivor polifag pada lokasi TEG, yaitu ordo Homoptera dan Orthoptera, meskipun kekayaan spesies kedua ordo tersebut rendah. Menurut Schoonhoven et al. (1998), dari 25 spesies Orthoptera yang ditemukan di Inggris, 51% merupakan herbivor polifag dan 41% merupakan herbivor olygofag pada famili Graminae. Hasil penelitian ini juga mengindikasikan bahwa serangga herbivor merupakan kelompok yang paling rentan terhadap perubahan komposisi vegetasi akibat keberadaan spesies invasif eceng gondok. Kondisi ini dapat dimengerti terutama karena sebagian besar spesies serangga herbivor bersifat monofag. Schoonhoven et al. (1998) melaporkan bahwa dari spesies serangga herbivor di Inggris, 80% di antaranya dianggap sebagai spesialis atau monofag. Selain itu, keanekaragaman komunitas serangga pada suatu ekosistem sangat dipengaruhi oleh struktur spasial, keanekaragaman habitat dan komposisi
5 164 habitat (Kruess 2003). Semakin sederhana komposisi vegetasi pada suatu habitat akibat invasi spesies tumbuhan eksotik invasif, semakin sedikit spesies serangga herbivor yang dapat hidup pada habitat tersebut. Keberadaan eceng gondok pada suatu ekosistem perairan secara nyata dapat menyebabkan penurunan kekayaan, keanekaragaman dan kemerataan spesies serangga herbivor pada vegetasi akuatik. Serangga herbivor polifag (Homoptera dan Orthoptera) memiliki kekayaan spesies yang jauh lebih tinggi pada lokasi TEG dibandingkan pada lokasi DEG. Hasil analisis kemiripan dengan skala dua dimensi juga menunjukkan bahwa komposisi spesies serangga herbivor pada lokasi TEG sangat berbeda dengan komposisi spesies serangga herbivor pada lokasi DEG. Hal ini terjadi karena komposisi spesies tumbuhan yang lebih beragam pada lokasi TEG memberikan peluang yang lebih besar untuk dihuni oleh lebih banyak spesies serangga herbivor polifag. Schoonhoven et al. (1998) menyatakan bahwa serangga herbivor polifag cenderung untuk memakan lebih banyak tumbuhan dari spesies yang berbeda untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya, yang seringkali berbeda untuk setiap fase pertumbuhan serangga herbivor tersebut. Selanjutnya, Schoonhoven et al. (1998) menyatakan bahwa setiap spesies tumbuhan menyediakan suatu mikrohabitat yang unik bagi serangga. Semakin banyak spesies tumbuhan yang dijumpai pada suatu area, semakin banyak variasi mikrohabitat dan semakin banyak spesies serangga yang mampu didukungnya, sebab kebutuhan mikrohabitat setiap serangga sangat spesifik. Dominasi eceng gondok ternyata dapat mempengaruhi komunitas seranggga pada tingkat trofik yang lebih tinggi, yaitu musuh alami serangga herbivor (predator dan parasitoid). Fenomena ini dikenal dengan istilah efek domino (Quicke 1997). Efek domino pada predator dan parasitoid dapat terjadi karena hampir setengah dari jumlah spesies predator dan parasitoid didukung oleh serangga herbivor (Bernays 1998). Dengan demikian hampir dapat dipastikan bahwa kepunahan suatu spesies serangga herbivor dapat mengakibatkan kepunahan satu atau lebih spesies predator atau parasitoid. Efek domino terhadap komunitas serangga pada tingkat trofik yang lebih tinggi
6 165 terutama terjadi pada kelompok parasitoid, sebab parasitoid kebanyakan bersifat monofag dan olygofag (Naumann 1991; Quicke 1997). Efek domino pada parasitoid teramati pada kelompok Hymenoptera parasitoid. Hal ini ditunjukkan oleh kekayaan dan keanekaragaman spesies Hymenoptera parasitoid yang cenderung lebih rendah pada lokasi DEG daripada lokasi TEG. Analisis kemiripan dengan skala dua dimensi juga memperlihatkan bahwa komposisi spesies Hymenoptera parasitoid pada lokasi TEG dan lokasi DEG sangat berbeda. Berkaitan dengan fenomena ini, Jervis dan Kidd (1996) menyatakan bahwa secara umum musuh alami menunjukkan perilaku yang spesifik dalam pencarian inang, yang sangat dipengaruhi oleh komunitas tumbuhan dimana mangsa atau inangnya hidup. Menurut Hawkins (1994), perilaku makan suatu spesies serangga herbivor sangat mempengaruhi jumlah spesies parasitoid yang didukung oleh spesies herbivor tersebut. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa perubahan komunitas Hymenoptera parasitoid merupakan konsekuensi dari penurunan kekayaan, keanekaragaman dan kemerataan spesies serangga herbivor akibat keberadaan spesies invasif eceng gondok. Hal ini ditunjukkan oleh adanya korelasi positif yang nyata antara kekayaan spesies Hymenoptera parasitoid dengan kekayaan spesies dan kelimpahan individu serangga herbivor (Homoptera dan Lepidoptera). Hasil analisis korelasi juga memperlihatkan bahwa kekayaan spesies Hymenoptera parasitoid memiliki hubungan yang lebih kuat dengan kekayaan spesies dan kelimpahan individu serangga herbivor dari ordo Homoptera daripada dengan ordo Lepidoptera. Hal ini diduga berkaitan dengan jumlah spesies Lepidoptera yang terkoleksi jauh lebih rendah dibandingkan Homoptera. Akan tetapi, secara umum terlihat bahwa kelompok Hymenoptera parasitoid yang dominan (famili Eulopidae, Encyrtidae, Scelionidae dan Braconidae) sangat tergantung kepada Homoptera dan Lepidoptera herbivor. Keempat famili tersebut dilaporkan merupakan parasitoid pada Homoptera dan Lepidoptera (Gaoulet & Huber 1993; Driesche & Bellows 1996). Berkaitan dengan agens hayati eceng gondok, Neochetina spp., hasil pengamatan mengindikasikan bahwa N. eichhorniae telah terdistribusi secara
7 166 luas di Jawa Barat dan dapat dikatakan sudah mapan, sebaliknya N. bruchi tidak ditemukan dalam penelitian ini. Ketidakmapanan N. bruchi diduga terjadi karena kegagalan adaptasi spesies tersebut. Center et al. (2002) menyatakan bahwa kecil kemungkinan terjadi kompetisi interspesifik antara N. eichhorniae dan N. bruchi, sebab kedua spesies tersebut memiliki perilaku yang berbeda, misalnya preferensi untuk tempat peletakan telur. Selain itu, Ochiel et al. (2001) juga melaporkan bahwa kedua spesies agens hayati ini telah mapan di Danau Victoria, Kenya. Hasil penelitian di Indonesia juga mengindikasikan bahwa kedua spesies kumbang ini coexist di habitat yang sama (Widayanti et al. 1999). Ada indikasi bahwa N. eichhorniae lebih banyak menyebar secara pasif daripada aktif. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa kumbang tersebut tidak ditemukan di Karawang yang terisolasi dari sumber penyebaran. Massa eceng gondok yang hanyut melalui saluran irigasi menuju daerah tersebut secara intensif dibersihkan petani untuk menghindari terhambatnya aliran air. Padahal menurut Tjitrosoedirdjo et al. (2003), pergerakan massa eceng gondok yang hanyut bersama aliran air merupakan sarana utama bagi kumbang tersebut untuk menyebar secara pasif. Secara umum kelimpahan individu N. eichhorniae yang ditemukan pada penelitian ini dapat dikatakan sangat rendah dibandingkan yang ditemukan di negara lain. Ogwang (2001) melaporkan bahwa selama tahun 1997, pada hamparan eceng gondok ditemukan rata-rata 25 ekor per rumpun pada beberapa bagian Danau Victoria, Uganda. Tingginya kelimpahan agens hayati ini di daerah tersebut telah mengakibatkan penurunan populasi eceng gondok yang cukup nyata, sehingga kejadian itu merupakan keberhasilan penurunan populasi gulma yang paling spektakuler dalam sejarah pengendalian hayati gulma. Rendahnya kelimpahan N. eichhorniae di Indonesia pada umumnya diduga disebabkan oleh tingginya mortalitas pupa, misalnya dimakan oleh ikan predator (Kasno et al. 2001). Widayanti et al (1999) juga menemukan bahwa laba-laba serigala (wolf spider) memangsa larva N. bruchi. Bahkan bebek juga diketahui dapat berperan sebagai predator larva, pupa, dan imago N. eichhorniae (Sukisman; komunikasi pribadi). Kendala lain berupa penyakit yang disebabkan
8 167 oleh patogen, di antaranya microsporidia (Rebelo & Center 2001). Selain itu, nisbah kelamin betina imago N. eichhorniae yang lebih rendah dibandingkan jantan. Rasio antara betina dan jantan N. eichhorniae yang ditemukan dalam penelitian ini adalah 2:3, padahal Julien et.al (1999) melaporkan bahwa rasio antara betina dan jantan kumbang ini di California adalah 1:1. Proporsi imago betina yang lebih rendah daripada jantan berpengaruh negatif terhadap perkembangan populasi kumbang tersebut. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap intensitas kerusakan daun dan parameter pertumbuhan eceng gondok terlihat bahwa populasi N. eichhorniae tidak mampu menimbulkan pengaruh yang nyata terhadap eceng gondok. Hal ini berkaitan erat dengan kelimpahan individu kumbang ini yang sangat rendah (rata-rata kurang dari 5 ekor/rumpun) sehingga tidak mampu menimbulkan kerusakan yang nyata pada eceng gondok. Tjitrosemito (2002) menyatakan bahwa dua pasang imago N. eichhorniae membutuhkan waktu 1 bulan untuk mematikan 1 rumpun eceng gondok. Padahal waktu yang dibutukan eceng gondok untuk menggandakan jumlah rumpunnya (doubling time) di beberapa negara tropis dilaporkan berkisar antara 9,2-32,2 hari (Gopal & Sharma 1981). Dengan adanya kendala-kendala perkembangan populasi N. eichhorniae, baik berupa musuh alami maupun persentase imago betina yang rendah, telah mengakibatkan populasi kumbang tersebut di Indonesia dalam kurun waktu hampir tiga dekade setelah diintroduksi selalu saja rendah. Keberadaan musuh alami N. eichhorniae, yang belum semuanya diidentifikasi, dan persentase imago betina yang rendah diprediksi menyebabkan kelimpahan individu kumbang tersebut khususnya di wilayah Jawa Barat, bahkan di Indonesia pada umumnya, akan selalu rendah. Pengaruh polutan pada ekosistem perairan terhadap laju reproduksi dan keperidian N. eichhorniae kiranya perlu mendapat perhatian. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa sebagian besar ekosistem perairan di Indonesia mengalami polusi pada tingkat yang memprihatinkan. Kelimpahan agens hayati N. eichhorniae diprediksi tidak pernah cukup tinggi untuk menekan perkembangan populasi eceng gondok di Indonesia. Sebaliknya agens hayati ini juga tidak akan punah selama eceng gondok masih
9 168 ada. Hal ini didasarkan pada beberapa hasil penelitian yang sejauh ini menunjukkan bahwa N. eichhorniae dan N. bruchi hanya dapat menyelesaikan siklus hidupnya pada eceng gondok (Subagyo et al. 1977; Center 1994; Tjitrosoedirdjo et al. 1995). Hasil pengamatan pada uji preferensi tanpa pilihan menunjukkan bahwa ada kemungkinan imago N. eichhorniae dapat hidup pada beberapa inang alternatif, meskipun dalam kondisi terpaksa dan dalam kurun waktu tertentu. Kemampuan imago N. eichhorniae untuk bertahan hidup pada beberapa tumbuhan inang alternatif atau inang sementara sebenarnya dapat bersifat positif bagi kemapanan agens biologi tersebut di lapangan. Keberadaan inang alternatif sangat diperlukan untuk mempertahankan populasinya ketika eceng gondok sebagai inang utama tidak ada, misalnya karena aktivitas pembersihan eceng gondok dari ekosistem perairan. Sebaliknya, kondisi tersebut juga dapat bersifat negatif apabila inang alternatifnya adalah spesies langka atau tanaman budidaya, lebih-lebih jika terjadi pergeseran tanaman inang yang disebabkan oleh ketiadaan eceng gondok secara permanen dari suatu ekosistem perairan. Kemampuan imago N. eichhorniae untuk memakan dan bertahan hidup dalam kurun waktu tertentu pada beberapa spesies tumbuhan selain eceng gondok tidak serta-merta mengindikasikan bahwa telah terjadi pergeseran atau ekspansi kisaran inang. Ketidakmampuan kumbang ini untuk menyelesaikan siklus hidupnya pada spesies tumbuhan tertentu menunjukkan bahwa spesies tumbuhan tersebut hanya berperan sebagai inang alternatif sementara (Widayanti et al. 1999). Keberadaan inang alternatif bahkan sangat dibutuhkan untuk mendukung distribusi agens pengendalian biologi ini di lapangan. Hasil uji preferensi dengan metode pilihan menunjukkan bahwa imago N. eichhorniae yang telah menemukan eceng gondok tidak lagi berpindah ke tumbuhan uji lainnya. Pengamatan pada tiga jam setelah perlakuan menunjukkan bahwa hampir semua imago kumbang telah berada pada tanaman eceng gondok. Dengan kata lain, waktu yang dibutuhkan kumbang tersebut untuk menemukan inangnya relatif singkat. Hal ini mengindikasikan bahwa kumbang tersebut memiliki preferensi dan tingkat kekhususan inang yang tinggi
10 169 terhadap eceng gondok. Selain itu, N. eichorniae hanya memilih eceng gondok untuk tempat meletakkan telurnya. Julien et al. (1999) juga melaporkan bahwa pada percobaan tanpa pilihan, betina kumbang ini hanya dapat meletakkan telur pada tujuh spesies tumbuhan uji yang tergolong famili Pontederiaceae dan Commelinaceae. Sebagian telur yang diletakkan juga tidak menetas, atau kalaupun telur dapat menetas, larvanya segera mati. Hal ini mengindikasikan bahwa sangat kecil kemungkinan N. eichhorniae dapat menyelesaikan siklus hidupnya pada tumbuhan selain eceng gondok. Schaffner (2001) menyatakan bahwa secara alami serangga herbivor memilih inang yang sesuai untuk menyelesaikan siklus hidupnya pada tumbuhan tersebut. Jadi, tanaman inang bukan hanya menyediakan makanan, tetapi juga harus dapat menunjang pertumbuhan serangga herbivor untuk menyelesaikan siklus hidupnya. Studi keberadaan N. eichhorniae pada tumbuhan akuatik dan terestrial di sekitar ekosistem perairan juga menunjukkan bahwa kemungkinan terjadinya ekspansi tanaman inang di lapangan sangat kecil. Dari hasil pengamatan insitu yang dilakukan, baik pada tumbuhan akuatik di sekitar hamparan eceng gondok maupun pada tumbuhan terestrial di sekitar ekosistem perairan, tidak ditemukan individu N. eichhorniae maupun gejala aktivitas makannya. Hasil yang sama juga dilaporkan Kartosuwondo et al. (2006) bahwa di lapangan tidak terjadi ekspansi tanaman inang oleh N. eichhorniae. Pengamatan insitu pada tumbuhan tersetrial di sekitar danau Lido, yang meliputi 38 spesies dari 21 famili, tidak ditemukan individu imago kumbang tersebut maupun gejala aktivitas makannya. Berkaitan dengan potensi dampak non-target introduksi individu N. eichhorniae, ada indikasi bahwa keberadaan agens hayati N. eichhorniae sama sekali tidak memiliki implikasi terhadap komunitas serangga yang hidup pada habitat eceng gondok. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa kelimpahan individu sebagian besar kelompok serangga yang dijumpai pada habitat eceng gondok tidak berkaitan dengan kelimpahan individu N. eichhorniae. Hubungan positif yang nyata hanya dijumpai antara kelimpahan individu agens hayati tersebut dengan kelimpahan individu ordo Dermaptera, Diptera, Orthoptera dan Thysanoptera. Namun demikian, korelasi yang nyata tersebut tidak semuanya
11 170 dapat dijelaskan karena tidak semua ordo-ordo serangga tersebut berasosiasi langsung dengan N. eichhorniae. Ordo Hemiptera, Lepidoptera, Orthoptera dan Thysanoptera diduga memiliki asosiasi dengan N. eichhorniae karena sebagian besar spesies serangga ini berperan sebagai herbivor pada eceng gondok. Sementara itu, ordo Dermaptera, Mantodea dan Odonata diduga dapat berperan sebagai predator agens hayati tersebut. Dari keenam ordo serangga tersebut, hanya Orthoptera dan Dermaptera yang menunjukkan korelasi yang nyata dengan kelimpahan individu N. eichhorniae, namun korelasinya juga cukup lemah. Hasil analisis kemiripan Sorensen menunjukkan bahwa komposisi spesies serangga secara keseluruhan pada habitat eceng gondok, dengan dan tanpa keberadaan N. eichhorniae, cukup berbeda. Akan tetapi, tingkat kemiripan komposisi spesies serangga umum pada habiat eceng gondok antar lokasi yang sama-sama ditemukan agens hayati tersebut juga rendah. Pola yang sama juga ditemukan pada komunitas serangga dari taksa yang sama, yaitu Coleoptera. Sementara itu, komposisi spesies serangga herbivor pada habitat eceng gondok dengan dan tanpa keberadaan agens hayati tersebut justru memiliki tingkat kemiripan yang tinggi, yakni di atas 50%. Tingkat kemiripan komposisi spesies serangga herbivor pada habitat eceng gondok antar lokasi pengambilan sampel yang sama-sama ditemukan agens hayati tersebut juga relatif sama. Bertitik tolak pada uraian di atas dapat dikatakan bahwa perbedaan komposisi spesies serangga lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terkait dengan lokasi pengambilan sampel daripada faktor keberadaan N. eichhorniae. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kanekaragaman komunitas serangga pada suatu ekosistem sangat dipengaruhi oleh struktur spasial, keanekaragaman habitat dan komposisi habitat (Kruess 2003), konsentrasi atau dispersi spasial tumbuhan inang (Altieri & Nicholls 2004), sebab setiap spesies serangga membutuhkan mikrohabitat yang unik atau spesifik (Schoonhoven et al. 1998). Selain itu, faktor abiotik atau fisik juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan kelestarian suatu spesies serangga (Confrancesco 2000).
PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian
PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Spesies asing invasif telah menjadi issu hangat yang banyak dibicarakan dalam beberapa tahun belakangan ini, terutama berkaitan dengan spesies tumbuhan invasif. Banyak
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Kumbang Neochetina eichhorniae sebagai Agens Pengendali Biologi Eceng Gondok Bioekologi N. eichhorniae
TINJAUAN PUSTAKA Kumbang Neochetina eichhorniae sebagai Agens Pengendali Biologi Eceng Gondok Kumbang N. eichhorniae pertama kali diintroduksi sebagai agens pengendali biologi eceng gondok adalah di USA
Lebih terperinciIMPLIKASI KEBERADAAN SPESIES ASING INVASIF ECENG GONDOK DAN AGENS HAYATINYA, NEOCHETINA SPP
IMPLIKASI KEBERADAAN SPESIES ASING INVASIF ECENG GONDOK DAN AGENS HAYATINYA, NEOCHETINA SPP. (COLEOPTERA: CURCULIONIDAE), TERHADAP KOMUNITAS TUMBUHAN AKUATIK DAN SERANGGA S A P D I SEKOLAH PASCASARJANA
Lebih terperinciPersebaran Agens Hayati Neochetina spp. (Coleoptera: Curculionidae) Di Jawa Barat Dan DKI Jakarta
Perhimpunan Entomologi Indonesia J. Entomol. Ind., April 2006, Vol. 3, No. 1, 20-29 Persebaran Agens Hayati Neochetina spp. (Coleoptera: Curculionidae) Di Jawa Barat Dan DKI Jakarta SAPDI, D. BUCHORI,
Lebih terperinciPermasalahan OPT di Agroekosistem
Permasalahan OPT di Agroekosistem Dr. Akhmad Rizali Materi: http://rizali.staff.ub.ac.id Konsekuensi Penyederhaan Lingkungan Proses penyederhanaan lingkungan menjadi monokultur pertanian memberi dampak
Lebih terperinciBIOLOGI DAN KISARAN EKSPANSI Neochetina eichhorniae WARNER (COLEOPTERA: CURCULIONIDAE) SETELAH PELEPASAN DI LAPANGAN ASMAUL HUSNA
BIOLOGI DAN KISARAN EKSPANSI Neochetina eichhorniae WARNER (COLEOPTERA: CURCULIONIDAE) SETELAH PELEPASAN DI LAPANGAN ASMAUL HUSNA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI
Lebih terperinciPENGELOLAAN HAMA SECARA HAYATI Oleh : Awaluddin (Widyaiswara)
PENGELOLAAN HAMA SECARA HAYATI Oleh : Awaluddin (Widyaiswara) A. Pendahuluan Konsepsi Integrated Pest Control atau Pengendalian Hama Terpadu (PHT) mulai diperkenalkan pada tahun 1959 yang bertujuan agar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pencernaan dan dapat mencegah kanker. Salah satu jenis sayuran daun yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sayuran daun merupakan salah satu sumber vitamin dan mineral essensial yang sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia, selain itu sayuran daun banyak mengandung serat. Serat
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Populasi Kepinding Tanah ( S. coarctata
15 HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Populasi Kepinding Tanah (S. coarctata) Secara umum tampak bahwa perkembangan populasi kepinding tanah terutama nimfa dan imago mengalami peningkatan dengan bertambahnya
Lebih terperinciBAHAN DAN METODE. = pengamatan minggu kedua = Pengamatan minggu berikutnya
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan dari April 2005 sampai Februari 2006. Kegiatan ini dibagi dua bagian, yaitu penelitian lapangan dan penelitian laboratorium. Penelitian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. daya tarik tinggi baik untuk koleksi maupun objek penelitian adalah serangga
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan kekayaan keanekaragaman jenis flora dan fauna yang tinggi. Salah satu kekayaan fauna di Indonesia yang memiliki daya tarik tinggi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Fluktuasi populasi dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik meliputi makanan,
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fluktuasi populasi dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik meliputi makanan, predasi, kompetisi, suhu, kelembaban, intensitas cahaya, dll., dan faktor intrinsik meliputi
Lebih terperinciSistem Populasi Hama. Sistem Kehidupan (Life System)
Sistem Populasi Hama Dr. Akhmad Rizali Materi: http://rizali.staff.ub.ac.id Sistem Kehidupan (Life System) Populasi hama berinteraksi dengan ekosistem disekitarnya Konsep sistem kehidupan (Clark et al.
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. antara telur dan tertutup dengan selaput. Telur mempunyai ukuran
TINJAUAN PUSTAKA Ulat kantong Metisa plana Walker Biologi Hama Menurut Borror (1996), adapun klasifikasi ulat kantong adalah sebagai berikut: Kingdom Phyllum Class Ordo Family Genus Species : Animalia
Lebih terperinciMusuh Alami. Pengendalian Hayati
Musuh Alami Dr. Akhmad Rizali Pengendalian Hayati Pengunaan musuh alami untuk mengendalikan hama Murah, efektif, permanen dan tidak berdampak negatif bagi lingkungan Aspek Memanfaatkan musuh alami yang
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Perkembangan Populasi Rhopalosiphum maidis Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kutu daun R. maidis mulai menyerang tanaman jagung dan membentuk koloni sejak tanaman berumur
Lebih terperinci2016 PENGARUH PEMBERIAN BERBAGAI MACAM PAKAN ALAMI TERHAD APPERTUMBUHAN D AN PERKEMBANGAN FASE LARVA
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kupu-kupu merupakan satwa liar yang menarik untuk diamati karena keindahan warna dan bentuk sayapnya. Sebagai serangga, kelangsungan hidup kupu-kupu sangat
Lebih terperinciSEMINAR NASIONAL MASYARAKAT BIODIVERSITAS INDONESIA UNAND PADANG, 23 APRIL Biodiversitas dan Pemanfaatannya untuk Pengendalian Hama
SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT BIODIVERSITAS INDONESIA UNAND PADANG, 23 APRIL 26 Biodiversitas dan Pemanfaatannya untuk Pengendalian Hama Seminar Nasional Biodiversitas 23 April 26 Grand Inna Muara Hotel
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Serangga predator Bioekologi Menochilus sexmaculatus
TINJAUAN PUSTAKA Serangga predator Serangga predator adalah jenis serangga yang memangsa serangga hama atau serangga lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan serangga predator sudah dikenal
Lebih terperinciBAB III GANGGUAN OLEH SERANGGA HAMA
BAB III GANGGUAN OLEH SERANGGA HAMA Serangga merupakan kelompok hama paling banyak yang menyebabkan kerusakan hutan. Hama tanaman hutan pada umumnya baru menimbulkan kerugian bila berada pada tingkat populasi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. mudah dikenali oleh setiap orang. Seperti serangga lainnya, kupu-kupu juga mengalami
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kupu-kupu merupakan serangga yang memiliki keindahan warna dan bentuk sayap sehingga mudah dikenali oleh setiap orang. Seperti serangga lainnya, kupu-kupu juga mengalami
Lebih terperinciVI. PEMBAHASAN 6. 1 Komposisi dan Kelimpahan Serangga Pengunjung Komposisi dan Kelimpahan Ordo Serangga Pengunjung
112 VI. PEMBAHASAN 6. 1 Komposisi dan Kelimpahan Serangga Pengunjung 6. 1. 1 Komposisi dan Kelimpahan Ordo Serangga Pengunjung Keseluruhan serangga pengunjung bunga caisin yang ditemukan dari 15 titik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakangMasalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakangMasalah Kopi termasuk komoditas perkebunan yang banyak diperdagangkan di dunia internasional. Negara Indonesia merupakan peringkat ke-4 penghasil kopi terbesar di dunia
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaman dan Proporsi Artropoda Permukaan Tanah pada Pertanaman Kentang Artropoda permukaan tanah yang tertangkap pada pertanaman kentang sebanyak 19 52 ekor yang berasal dari ordo
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Biodiversitas Biodiversitas mencakup keseluruhan ekosistem. Konsep tersebut mencoba untuk menekan variasi habitat yang diterapkan pada suatu area. Biodiversitas meliputi
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Pengaruh Ketiadaan Inang Terhadap Oviposisi di Hari Pertama Setelah Perlakuan Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin lama S. manilae tidak mendapatkan inang maka
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Lampung memiliki keanekaragaman kupu-kupu yang cukup tinggi. Keanekaragaman kupu-kupu ini merupakan potensi sumber daya alam hayati
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lampung memiliki keanekaragaman kupu-kupu yang cukup tinggi. Keanekaragaman kupu-kupu ini merupakan potensi sumber daya alam hayati namun belum dimanfaatkan secara optimal.
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis-Jenis Predator Pada Tanaman Jagung Jenis-jenis predator yang tertangkap pada tanaman jagung dengan sistem pola tanam monokultur dan tumpangsari adalah sama yakni sebagai
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:
TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera : Noctuidae :
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Semak Daun merupakan salah satu pulau yang berada di Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Pulau ini memiliki daratan seluas 0,5 ha yang dikelilingi
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. pembentukan, peruntukan, dan perkembangannya ditujukan untuk memenuhi
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agroekosistem Perkebunan Kopi Agroekosistem perkebunan merupakan ekosistem binaan yang proses pembentukan, peruntukan, dan perkembangannya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan manusia
Lebih terperinciVI. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN UMUM. 6.1 Pembahasan Umum. Berdasarkan hasil penelitian perkembangan Ostrinia furnacalis di Desa
VI. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN UMUM 6.1 Pembahasan Umum Berdasarkan hasil penelitian perkembangan Ostrinia furnacalis di Desa Manawa Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo, di peroleh bahwa kontribusi terbesar
Lebih terperinci(Pertemuan 5) TANAMAN DAN FAKTOR LINGKUNGAN LINGKUNGAN BIOTIK
(Pertemuan 5) TANAMAN DAN FAKTOR LINGKUNGAN LINGKUNGAN BIOTIK EKOLOGI PERTANIAN (AGROEKOLOGI) Bagaimana mengaplikasikan konsep dan prinsip-prinsip ekologi untuk mendesain dan memanage sistem produksi pangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pertanian, subsektor perkebunan mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu subsektor pertanian yang berpotensi untuk dijadikan andalan adalah subsektor perkebunan. Sebagai salah satu subsektor yang penting dalam sektor pertanian,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. memiliki sebaran jenis serangga yang unik. Selain jenis-jenis yang sebarannya
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai negara tropis yang dilalui garis ekuator terpanjang, Indonesia memiliki sebaran jenis serangga yang unik. Selain jenis-jenis yang sebarannya tersebar
Lebih terperinciIMPLIKASI KEBERADAAN SPESIES ASING INVASIF ECENG GONDOK DAN AGENS HAYATINYA, NEOCHETINA SPP
IMPLIKASI KEBERADAAN SPESIES ASING INVASIF ECENG GONDOK DAN AGENS HAYATINYA, NEOCHETINA SPP. (COLEOPTERA: CURCULIONIDAE), TERHADAP KOMUNITAS TUMBUHAN AKUATIK DAN SERANGGA S A P D I SEKOLAH PASCASARJANA
Lebih terperinciLampiran 3. Rubrik Penilaian Jawaban Esai Ekologi
106 Lampiran 3. Rubrik Penilaian Jawaban Esai Ekologi 1. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa energi matahari akan diserap oleh tumbuhan sebagai produsen melalui klorofil untuk kemudian diolah menjadi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Komoditas hortikultura buah apel (Malus sylvestris (L.) Mill) merupakan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komoditas hortikultura buah apel (Malus sylvestris (L.) Mill) merupakan bagian penting dalam sektor pertanian, karena kebutuhan apel di Indonesia memiliki permintaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) merupakan taman nasional yang ditunjuk berdasarkan SK Menhut No 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, perubahan
Lebih terperinci2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan
4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chironomida Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat ditemukan
Lebih terperinciWaspadai Kemunculan Pengorok Daun (Liriomyza sp) pada Tanaman Kopi
PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO Jalan Raya Dringu Nomor 81 Telp. (0335) 420517 PROBOLINGGO 67271 Pendahuluan Waspadai Kemunculan Pengorok Daun (Liriomyza sp) pada Tanaman Kopi Oleh : Ika Ratmawati, SP,
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar belakang
PENDAHULUAN Latar belakang Lepidoptera adalah serangga bersayap yang tubuhnya tertutupi oleh sisik (lepidos = sisik, pteron = sayap) (Kristensen 2007). Sisik pada sayap kupu-kupu mengandung pigmen yang
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi
HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi Acerophagus papayae merupakan endoparasitoid soliter nimfa kutu putih pepaya, Paracoccus marginatus. Telur, larva dan pupa parasitoid A. papayae berkembang di dalam
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Jumlah Infestasi terhadap Populasi B. tabaci pada Umur Kedelai yang Berbeda
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Jumlah Infestasi terhadap Populasi B. tabaci pada Umur Kedelai yang Berbeda 4.1.1 Pengaruh Jumlah Infestasi terhadap Populasi B. tabaci Berdasarkan hasil penelitian
Lebih terperinci5 Potensi menimbulkan masalah kerusakan lingkungan 6 Potensi menimbulkan masalah sosial. - Potensi menimbulkan masalah sosial di masyarakat 1 3
LAMPIRAN 5 54 Lampiran Penilaian potensi risiko OPT Penilaian potensi risiko OPT Kategori penilaian Total skor Penilaian potensi masuk, menetap dan menyebar Potensi masuk - Bentuk media pembawa dan tujuan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Kebugaran T. chilonis pada Dua Jenis Inang Pada kedua jenis inang, telur yang terparasit dapat diketahui pada 3-4 hari setelah parasitisasi. Telur yang terparasit ditandai dengan perubahan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem
6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Burung Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem maupun bagi kepentingan kehidupan manusia dan membantu penyebaran Tumbuhan yang ada disuatu kawasan
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasll penelitian disajikan dengan memaparkan hasil pengukuran faktor
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasll penelitian disajikan dengan memaparkan hasil pengukuran faktor fisik, kimia terlebih dahulu agar diperoleh gambaran kondisi mikroklimat tanah gambut pada areal penelitian.
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yaitu berbagai jenis ikan untuk memenuhi permintaan sebagai sumber
Lebih terperinciGambar 1. Gejala serangan penggerek batang padi pada stadium vegetatif (sundep)
HAMA PENGGEREK BATANG PADI DAN CARA PENGENDALIANNYA Status Penggerek batang padi merupakan salah satu hama utama pada pertanaman padi di Indonesia. Berdasarkan luas serangan pada tahun 2006, hama penggerek
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padi merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia dan dunia. Produksi padi terus dituntut meningkat untuk memenuhi konsumsi masyarakat. Tuntutan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ulat grayak merupakan hama penting pada tanaman tembakau (Nicotiana tabacum
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Spodoptera litura F. (Lepidoptera: Noctuidae) yang lebih dikenal dengan ulat grayak merupakan hama penting pada tanaman tembakau (Nicotiana tabacum L.) (Natawigena,
Lebih terperinciPeran Varietas Tahan dalam PHT. Stabilitas Agroekosistem
Peran Varietas Tahan dalam PHT Dr. Akhmad Rizali Stabilitas Agroekosistem Berbeda dengan ekosistem alami, kebanyakan sistem produksi tanaman secara ekologis tidak stabil, tidak berkelanjutan, dan bergantung
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu (Indriyanto, 2006). Relung ekologi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Relung Ekologi Relung (niche) menunjukkan peranan fungsional dan posisi suatu organisme dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu (Indriyanto, 2006). Relung ekologi juga
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang sangat produktif dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan ini terletak di
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Siklus Hidup B. tabaci Biotipe-B dan Non-B pada Tanaman Mentimun dan Cabai
16 HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Hasil identifikasi dengan menggunakan preparat mikroskop pada kantung pupa kutukebul berdasarkan kunci identifikasi Martin (1987), ditemukan ciri morfologi B. tabaci
Lebih terperinciEFEKTIVITAS ISOLAT DAN METODE PAPARAN Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin TERHADAP MORTALITAS DAN MIKOSIS Spodoptera litura Fabricius
EFEKTIVITAS ISOLAT DAN METODE PAPARAN Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin TERHADAP MORTALITAS DAN MIKOSIS Spodoptera litura Fabricius NASKAH SKRIPSI Diajukan guna memenuhi salah satu persyaratan untuk
Lebih terperinciIcerya purchasi & Rodolia cardinalis
Pengendalian Hayati Merupakan salah satu cara pengendalian hama yang tertua dan salah satu yang paling efektif. Catatan sejarah: tahun 300-an (abad keempat) petani di Kwantung, Cina, telah memanfaatkan
Lebih terperinciHAMA KUMBANG BIBIT Plesispa reichei PADA TANAMAN KELAPA. Amini Kanthi Rahayu, SP. POPT Ahli Pertama
HAMA KUMBANG BIBIT Plesispa reichei PADA TANAMAN KELAPA Amini Kanthi Rahayu, SP POPT Ahli Pertama Latar Belakang Berbagai hama serangga banyak yang menyerang tanaman kelapa, diantaranya kumbang badak Oryctes
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pertanian organik adalah sistem manajemen produksi terpadu yang
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1. Sawah organik dan non-organik Pertanian organik adalah sistem manajemen produksi terpadu yang menghindari penggunaan pupuk buatan, pestisida kimia dan hasil rekayasa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. jumlahnya melebihi 80% dari hewan yang ada di dunia (Grimaldi dan Engel,
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Serangga merupakan hewan yang mendominasi kehidupan di bumi jumlahnya melebihi 80% dari hewan yang ada di dunia (Grimaldi dan Engel, 2005). Secara antroposentris serangga
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional,
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional, khususnya pembangunan sektor pertanian. Perkebunan juga berperan dalam membangun perekonomian nasional,
Lebih terperinciDi Indonesia, spesies asing invasif diketahui telah menimbulkan permasalahan, salah satunya adalah Mikania micrantha Kunth (Asteraceae) yang
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Spesies Asing Invasif (Znvasive AIien Species) Spesies invasif adalah suatu spesies yang muncul, sebagai akibat dari aktivitas manusia, melampaui penyebaran normalnya dan mengancam
Lebih terperinciUji Parasitasi Tetrastichus brontispae terhadap Pupa Brontispae Di Laboratorium
Uji Parasitasi Tetrastichus brontispae terhadap Pupa Brontispae Di Laboratorium Oleh Ida Roma Tio Uli Siahaan Laboratorium Lapangan Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBPPTP) Medan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. inventarisasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan data tentang jenis-jenis tumbuhan bawah
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Inventarisasi Inventarisasi adalah kegiatan pengumpulan dan penyusunan data dan fakta mengenai sumber daya alam untuk perencanaan pengelolaan sumber daya tersebut. Kegiatan
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Penelitian Ketinggian wilayah di Atas Permukaan Laut menurut Kecamatan di Kabupaten Karanganyar tahun 215 Kecamatan Jumantono memiliki ketinggian terendah 3 m dpl
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berfungsi sebagai ecosystem engineer (Keller & Gordon, 2009) atau juga soil
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semut adalah serangga yang memiliki keanekaragaman cukup tinggi. Seluruh anggota semut masuk dalam anggota Famili Formicidae. Keberadaan serangga ini sangat melimpah
Lebih terperinci1. tikus 2. penggerek batang padi 3. wereng coklat
1. tikus 2. penggerek batang padi 3. wereng coklat Wereng coklat, (Nilaparvata lugens Stal) ordo Homoptera famili Delphacidae. Tubuh berwarna coklat kekuningan - coklat tua, berbintik coklat gelap pd
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Symphylid memiliki bentuk yang menyerupai kelabang, namun lebih kecil,
8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hama Symphilid Symphylid memiliki bentuk yang menyerupai kelabang, namun lebih kecil, berwarna putih dan pergerakannya cepat. Dalam siklus hidupnya, symphylid bertelur dan telurnya
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. 1. Jumlah spesies dalam komunitas yang sering disebut kekayaan spesies
TINJAUAN PUSTAKA Keragaman dan Keanekaragaman Serangga Indeks Keanekaragaman dapat digunakan untuk menyatakan hubungan kelimpahan species dalam komunitas. Keanekaragaman species terdiri dari 2 komponen
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Aturan karantina di negara-negara tujuan ekspor komoditi buah-buahan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aturan karantina di negara-negara tujuan ekspor komoditi buah-buahan Indonesia telah disusun sedemikian ketat. Ketatnya aturan karantina tersebut melarang buah-buahan
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun
TINJAUAN PUSTAKA 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) 1.1 Biologi Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun seperti atap genting (Gambar 1). Jumlah telur
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN UMUM 1.1. Latar belakang
1. PENDAHULUAN UMUM 1.1. Latar belakang Estuari merupakan daerah pantai semi tertutup yang penting bagi kehidupan ikan. Berbagai fungsinya bagi kehidupan ikan seperti sebagai daerah pemijahan, daerah pengasuhan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mencapai 20 mm per hari) begitu pula dengan produksi bijinya. Biji gulma
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Gulma siam (Chromolaena odorata) tercatat sebagai salah satu dari gulma tropis. Gulma tersebut memiliki tingkat pertumbuhan yang sangat cepat (dapat mencapai 20 mm per
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Seperti yang dijelaskan Sudaryanto dan Swastika (2007), bahwa
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai merupakan salah satu tanaman pangan penting bagi penduduk Indonesia. Seperti yang dijelaskan Sudaryanto dan Swastika (2007), bahwa kedelai merupakan sumber
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Parasitoid
TINJAUAN PUSTAKA Parasitoid Parasitoid adalah serangga yang stadia pradewasanya menjadi parasit pada atau di dalam tubuh serangga lain, sementara imago hidup bebas mencari nektar dan embun madu sebagai
Lebih terperinci2015 PENGARUH PEMBERIAN PAKAN ALAMI DAN PAKAN SINTETIS TERHADAP LAMANYA SIKLUS HIDUP
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kupu kupu adalah kelompok serangga yang termasuk ke dalam bangsa Lepidotera, yang berarti mempunyai sayap bersisik. Kupu-kupu merupakan bagian kecil dari 155.000 spesies
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan
3 TINJAUAN PUSTAKA Lalat Buah (Bactrocera spp.) Biologi Menurut Departemen Pertanian (2012), lalat buah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Phylum Klass Ordo Sub-ordo Family Genus Spesies : Arthropoda
Lebih terperinciASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS
KOMUNITAS ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS KONSEP KOMUNITAS BIOTIK Komunitas biotik adalah kumpulan populasi yang menempati suatu habitat dan terorganisasi sedemikian
Lebih terperinciI PENDAHULUAN. dengan burung layang-layang. Selain itu, ciri yang paling khas dari jenis burung
1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung Walet memiliki beberapa ciri khas yang tidak dimiliki oleh burung lain. Ciri khas tersebut diantaranya melakukan hampir segala aktivitasnya di udara seperti makan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Meidita Aulia Danus, 2015
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Lepidoptera merupakan salah satu ordo dari ClassisInsecta(Hadi et al., 2009). Di alam, lepidoptera terbagi menjadi dua yaitu kupu-kupu (butterfly) dan ngengat
Lebih terperinciVI. PEMBAHASAN UMUM Strategi pengendalian B. tabaci dengan Perpaduan Pemanfaatan Tanaman Pembatas Pinggir dan Predator
VI. PEMBAHASAN UMUM Strategi pengendalian B. tabaci dengan Perpaduan Pemanfaatan Tanaman Pembatas Pinggir dan Predator Penerapan pengendalian hama terpadu (PHT) terdiri atas 6 komponen pengendalian yang
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Biologi dan siklus hiduptrichogramma spp. (Hymenoptera : Famili Trichogrammatidae merupakan parasitoid telur yang
5 TINJAUAN PUSTAKA Biologi dan siklus hiduptrichogramma spp. (Hymenoptera : Trichogrammatidae) Famili Trichogrammatidae merupakan parasitoid telur yang bersifatgeneralis. Ciri khas Trichogrammatidae terletak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Semut (Hymenoptera: Formicidae) memiliki jumlah jenis dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Semut (Hymenoptera: Formicidae) memiliki jumlah jenis dan populasi yang berlimpah, terdiri dari 16 sub famili, 296 genus dan 15.000 spesies yang telah teridentifikasi
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Chilo saccharipaghus Bojer (Lepidoptera: Pyralidae) mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam sebelum
TINJAUAN PUSTAKA Chilo saccharipaghus Bojer (Lepidoptera: Pyralidae) Biologi Telur diletakkan pada permukaan daun, berbentuk oval, datar dan mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam
Lebih terperinciCARA CARA PENGENDALIAN OPT DAN APLIKASI PHESTISIDA YANG AMAN BAGI KESEHATAN 1) SUHARNO 2) 1) Judul karya ilmiah di Website 2)
CARA CARA PENGENDALIAN OPT DAN APLIKASI PHESTISIDA YANG AMAN BAGI KESEHATAN 1) SUHARNO 2) 1) Judul karya ilmiah di Website 2) Lektor Kepala/Pembina TK.I. Dosen STPP Yogyakarta. I. PENDAHULUAN Penurunan
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Ulat pemakan daun kelapa sawit yang terdiri dari ulat api, ulat kantung, ulat bulu merupakan hama yang paling sering menyerang kelapa sawit. Untuk beberapa daerah tertentu, ulat
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Padi (Oryza sativa L.) tergolong ke dalam Famili Poaceae, Sub- family
4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Padi Padi (Oryza sativa L.) tergolong ke dalam Famili Poaceae, Sub- family Oryzoideae dan Genus Oryza. Organ tanaman padi terdiri atas organ vegetatif dan organ generatif.
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Serangga Hypothenemus hampei Ferr. (Coleoptera : Scolytidae). Penggerek buah kopi (PBKo, Hypothenemus hampei) merupakan serangga
TINJAUAN PUSTAKA Serangga Hypothenemus hampei Ferr. (Coleoptera : Scolytidae). Penggerek buah kopi (PBKo, Hypothenemus hampei) merupakan serangga hama utama pada tanaman kopi yang menyebabkan kerugian
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem laut merupakan suatu kumpulan integral dari berbagai komponen abiotik (fisika-kimia) dan biotik (organisme hidup) yang berkaitan satu sama lain dan saling berinteraksi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tanaman akan tumbuh subur dengan seizin Allah SWT. Jika Allah tidak
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman akan tumbuh subur dengan seizin Allah SWT. Jika Allah tidak mengizinkan berbagai halangan bisa muncul yang menyebabkan tanaman itu tidak tumbuh subur, walaupun
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA A. Parasitoid Brachymeria sp.
4 I. TINJAUAN PUSTAKA A. Parasitoid Brachymeria sp. Penggunaan parasitoid sebagai agens pengendali biologis untuk mengendalikan serangga hama merupakan salah satu tindakan yang bijaksana dan cukup beralasan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dan keanekaragaman agroklimat. Keadaan tersebut menyebabkan hampir setiap
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman mangga (Mangifera indica L.) adalah tanaman asli India yang sekarang ini sudah banyak dikembangkan di Negara Indonesia. Pengembangan tanaman mangga yang cukup
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Struktur Komunitas Struktur komunitas merupakan suatu konsep yang mempelajari sususan atau komposisi spesies dan kelimpahannya dalam suatu komunitas. Secara umum
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Chilo sacchariphagus Bojer (Lepidoptera: Crambidae) diletakkan secara berkelompok dalam 2-3 baris (Gambar 1). Bentuk telur jorong
TINJAUAN PUSTAKA Chilo sacchariphagus Bojer (Lepidoptera: Crambidae) Biologi Ngengat meletakkan telur di atas permukaan daun dan jarang meletakkan di bawah permukaan daun. Jumlah telur yang diletakkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bogor merupakan kota yang terus berkembang serta mengalami peningkatan jumlah penduduk dan luas lahan terbangun sehingga menyebabkan terjadinya penurunan luas
Lebih terperincib) Kepik Mirid (Cyrtorhinus lividipennis ) c) Kumbang Stacfilinea (Paederus fuscipes)/tomcat d) Kumbang Carabid (Ophionea nigrofasciata)
Wereng batang cokelat (Nilaparvata lugens) merupakan salah satu hama penting pada pertanaman padi karena mampu menimbulkan kerusakan baik secara langsung maupun tidak langsung. WBC memang hama laten yang
Lebih terperinciRINGKASAN DAN SUMMARY
A. LAPORAN HASIL PENELITIAN RINGKASAN DAN SUMMARY Dalam kurun waktu 14 tahun terakhir ini, pertanaman sayuran di Indonesia diinfansi oleh tiga hama eksotik yang tergolong Genus Liriomyza (Diptera: Agromyzidae).
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. pertanian organik dan sistem pertanian intensif (Notarianto, 2011). Salah satu desa
10 I. PENDAHULUAN Indonesia adalah negara agraris di mana sebagian besar penduduknya hidup dari hasil bercocok tanam atau bertani, sehingga pertanian merupakan sektor yang memegang peranan penting dalam
Lebih terperinciPEMANFAATAN PARASITOID Tetrastichus schoenobii Ferr. (Eulopidae, Hymenoptera) DALAM PENGENDALIAN PENGGEREK BATANG PADA TANAMAN PADI
PEMANFAATAN PARASITOID Tetrastichus schoenobii Ferr. (Eulopidae, Hymenoptera) DALAM PENGENDALIAN PENGGEREK BATANG PADA TANAMAN PADI Arifin Kartohardjono Balai Besar Penelitian Tanaman padi ABSTRAK Penelitian
Lebih terperinci