KEANEKARAGAMAN HYMENOPTERA PARASITOID PADA HABITAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEANEKARAGAMAN HYMENOPTERA PARASITOID PADA HABITAT"

Transkripsi

1 KEANEKARAGAMAN HYMENOPTERA PARASITOID PADA HABITAT Chromolaena odorata (L.) KING & ROBINSON (ASTERACEAE): STUDI PARASITOID YANG BERASOSIASI DENGAN Cecidochares connexa MACQUART (DIPTERA: TEPHRITIDAE) DI DAERAH BOGOR JOSEPH THOMAS TOISUTA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul : Keanekaragaman Hymenoptera Parasitoid pada Habitat Chromolaena odorata (L.) King & Robinson (Asteraceae): Studi Parasitoid yang Berasosiasi dengan Cecidochares connexa Macquart (Diptera: Tephritidae) di daerah Bogor adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Pebruari 2007 Joseph Thomas Toisuta A

3 ABSTRAK JOSEPH THOMAS TOISUTA. Keanekaragaman Hymenoptera Parasitoid pada Habitat Chromolaena odorata (L.) King & Robinson (Asteraceae): Studi Parasitoid yang berasosiasi dengan Cecidochares connexa Macquart (Diptera: Tephritidae) di daerah Bogor. Dibimbing oleh UTOMO KARTOSUWONDO dan NINA MARYANA. Penelitian Keanekaragaman Hymenoptera parasitoid dilaksanakan di beberapa tempat di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, diantaranya Parung Panjang (HTI), Kecamatan Jasinga; Desa Setu, Kecamatan Jasinga; Gunung Bunder, Kecamatan Pamijahan; dan kampus IPB, Kecamatan Darmaga. Penelitian dilaksanakan mulai Agustus 2005 sampai Pebruari Penelitian bertujuan untuk (1) mempelajari keanekaragaman hymenoptera parasitoid pada habitat C. odorata (kirinyuh), (2) mempelajari hymenoptera parasitoid yang dominan berasosiasi dengan lalat C. connexa dan habitat inangnya C. odorata dengan mengambil studi kasus di daerah Bogor, Jawa Barat. Koleksi serangga hymenoptera parasitoid dilakukan dalam petak contoh dengan memasang perangkap nampan kuning dan perangkap malaise, serta koleksi parasitoid yang berasosiasi dengan lalat C. connexa dilakukan dengan mengoleksi puru C. odorata dari lapangan. Hasil penelitian keanekaragaman hymenoptera parasitoid pada empat lokasi berdasarkan perangkap nampan kuning dan perangkap malaise memperlihatkan bahwa kekayaan spesies (species richness) tertinggi diperoleh di Darmaga dan terendah di Parung Panjang. Hymenoptera yang dikumpulkan dari keempat lokasi adalah 1737 individu, 8 super famili, 25 famili dan 178 morfospesies. Kelimpahan individu hymenoptera parasitoid terbesar diperoleh di Gunung Bunder sebesar 566 individu. Kekayaan spesies hymenoptera tertinggi di Darmaga sebesar 121 individu. Kemiripan komposisi spesies serangga hymenoptera parasitoid memperlihatkan bahwa Setu, Gunung Bunder dan Darmaga memiliki indeks kemiripan tertinggi (0.63 atau 63%) sedangkan Parung Panjang dengan Gunung Bunder yang terendah (0.54 atau 54%). Hymenoptera parasitoid yang ditemukan berasosiasi langsung dengan lalat C. connexa yaitu famili Ormyridae (genus Ormyrus), famili Eupelmidae (genus Eupelmus), famili Eucoilidae (genus Gronotoma), dan famili Braconidae.

4 ABSTRACT JOSEPH THOMAS TOISUTA. Diversity of parasitic Hymenoptera in Chromolaena odorata (L.) King & Robinson (Asteraceae) habitat: Study of parasitoid that associated with Cecidochares connexa Macquart (Diptera: Tephritidae). Supervisor: UTOMO KARTOSUWONDO and NINA MARYANA. Parasitic hymenoptera diversity was studied in several location in Bogor district, West Java i.e. Parung Panjang (HTI), Setu village, Gunung Bunder, and Darmaga IPB campus. This research was conducted from August 2005 to February The objectives of this research were (1) to study the diversity of hymenoptera parasitic in habitat of C. odorata and (2) to study dominancy of parasitic hymenoptera that associate with flies - C. connexa and its habitat. Parasitoid sampling was conducted using yellow pan trap and malaise trap in 15 plots per location. This research was conducted to assemble parasitoid, gall collection, which is C. connexa symptom in C. odorata. Over 1737 individual belongs to 8 super families, 25 families and 178 morphospecies of parasitic hymenoptera were identified coexist in C. odorata habitat. Based on traps, the result showed that the highest species richness was found in Darmaga IPB campus and the lowest was in Parung Panjang. The highest abundance of parasitic hymenoptera was found in Gunung Bunder (566 individual) and the highest species richness was found in Darmaga (121 species). The similarity of species composition showed that the most similar species composition were in Setu, Gunung Bunder and Darmaga (63%). In contrast Parung Panjang and Gunung Bunder is the lowest (54%). We found four species of Hymenoptera parasitoid that associate with C. connexa i.e. Ormyrus sp. (Family Ormyridae), Eupelmus sp. (Family Eupelmidae), Gronotoma sp. (Famili Eucoilidae), and Famili Braconidae.

5 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya

6 KEANEKARAGAMAN HYMENOPTERA PARASITOID PADA HABITAT Chromolaena odorata (L.) KING & ROBINSON (ASTERACEAE): STUDI PARASITOID YANG BERASOSIASI DENGAN Cecidochares connexa MACQUART (DIPTERA: TEPHRITIDAE) DI DAERAH BOGOR JOSEPH THOMAS TOISUTA Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Entomologi/Fitopatologi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

7 Judul Tesis : Keanekaragaman Hymenoptera Parasitoid pada Habitat Chromolaena odorata (L.) King & Robinson (Asteraceae): Studi Parasitoid yang Berasosiasi dengan Cecidochares connexa Macquart (Diptera: Tephritidae) di daerah Bogor Nama : Joseph Thomas Toisuta NRP : A Program Studi : Entomologi/Fitopatologi Disetujui, Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Utomo Kartosuwondo, M.S. Ketua Dr. Ir. Nina Maryana, M.Si. Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Entomologi/Fitopatologi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc. Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS. Tanggal Ujian : 16 Januari 2007 Tanggal Lulus : 5 Pebruari 2007

8 PRAKATA Selaku mahluk ciptaan Tuhan yang berakal budi perlu pujian syukur dipanjatkan kepada Sang Pencipta Allah Bapa dalam Yesus Kristus, atas berkat dan anugerahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis yang berjudul Keanekaragaman Hymenoptera Parasitoid pada Habitat Chromolaena odorata (L.) King & Robinson (Asteraceae): Studi Parasitoid yang Berasosiasi dengan Cecidochares connexa Macquart (Diptera: Tephritidae) di daerah Bogor. Penelitian ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada komisi pembimbing yang terdiri dari Bapak Prof. Dr. Ir. Utomo Kartosuwondo, M.S. selaku ketua komisi, dan Ibu Dr. Ir. Nina Maryana, M.Si. selaku anggota komisi atas pengarahan, bimbingan, saran dan motivasi yang telah diberikan mulai penyusunan usulan penelitian, pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis. Kepada Akhmad Rizali SP, M.Si penulis berterima kasih sebesar-besarnya atas bimbingan dan sarannya dalam pengolahan data maupun penulisan. Kepada Bapak Rosichon Ubaidillah (LIPI-Cibinong) penulis berterima kasih atas bantuannya dalam mengidentifikasi spesimen. Selain itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Rektor IPB, Dekan Pascasarjana IPB, Ketua Program Studi Entomologi/Fitopatologi dan seluruh Staf Pengajar yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan studi pada Program studi Entomologi/ Fitopatologi. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan dana penelitian ini melalui program Hibah Tim Pasca Sarjana DIKTI tahun Penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Papa tercinta Sibrandus M. Toisuta dan Mama tercinta Martha Toisuta/P serta seluruh keluarga di Ambon dan di Jakarta atas doa, kasih sayangnya dan pengorbanan yang diberikan agar penulis dapat menyelesaikan studi. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan tim Hibah Pascasarjana; anggota Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator Departemen Proteksi Tanaman IPB; Persekutuan Mahasiswa Maluku (PERMAMA) Bogor atas dukungan doa dan motivasi selama ini; seseorang yang akan mendampingiku kelak dikemudian hari; serta semua pihak atas dukungan dan bantuannya selama dan sesudah penelitian. Semoga Bapa di Sorga memberikan balasan amal baik mereka dengan pahala tak terhingga. Semoga tesis ini bermanfaat. Amin. Bogor, Pebruari Joseph Thomas Toisuta

9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ambon pada tanggal 11 Agustus 1978, sebagai anak keenam dari tujuh bersaudara dari pasangan Sibrandus M. Toisuta dan Martha Toisuta/P. Penulis menamatkan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas pada SMA Negeri 2 Ambon pada tahun Pada tahun 1997, penulis melanjutkan pendidikan pada Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura (UNPATTI) Ambon. Penulis memilih Program Studi Hama dan Penyakit Tumbuhan (HPT) dengan spesialisasi Ilmu Hama Tumbuhan dan berhasil meraih gelar Sarjana Pertanian pada tahun Penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S 2 tahun 2003 pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan Program Studi Entomologi/Fitopatologi.

10 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xiv PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 4 Manfaat Penelitian... 4 TINJAUAN PUSTAKA... 5 Gulma Invasif Chromolaena odorata... 5 Morfologi dan Taksonomi Chromolaena odorata... 5 Penyebaran Chromolaena odorata... 6 Lalat Cecidochares connexa Macq. (Diptera: Tephritidae)... 7 Biologi Cecidochares connexa... 7 Agens Pengendali Biologi Chromolaena odorata... 8 Pelepasan Cecidochares connexa sebagai Agens Pengendali Biologi... 9 Parasitoid Lalat Cecidochares connexa BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Pengambilan Contoh Serangga Koleksi Hymenoptera Parasitoid pada Chromolaena odorata dari Lapangan Sortasi dan Identifikasi Serangga Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Keanekaragaman Hymenoptera Parasitoid di Habitat Chromolaena odorata... 17

11 Keanekaragaman Hymenoptera Parasitoid dari Perangkap Nampan Kuning Keanekaragaman Hymenoptera Parasitoid dari Perangkap Malaise Hubungan Keanekaragaman Hymenoptera Parasitoid dengan Kondisi Habitat Chromolaena odorata Parasitoid yang Berasosiasi dengan Lalat Cecidochares connexa Status dan Keberadaan Parasitoid dan Predator yang Berasosiasi dengan Lalat Cecidochares connexa Parasitoid Famili Ormyridae Parasitoid Famili Braconidae Parasitoid Famili Eupelmidae Parasitoid Famili Eucoilidae Predator dan Serangga lain yang berasosiasi dengan Cecidochares connexa KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 43

12 DAFTAR TABEL No. Halaman 1. Deskripsi lokasi yang dipilih untuk penelitian Jumlah superfamili, famili, morfospesies, individu, indeks shannon, dan kemerataan serangga ordo Hymenoptera pada lokasi pengambilan contoh berdasarkan perangkap nampan kuning dan malaise Jumlah morfospesies ordo Hymenoptera parasitoid yang ditemukan pada perangkap nampan kuning dan malaise Hymenoptera parasitoid yang ditemukan dari perangkap nampan kuning pada empat lokasi penelitian Hymenoptera parasitoid yang ditemukan dari perangkap malaise pada empat lokasi penelitian Indeks kemiripan Sorensen (Cs) seluruh spesies hymenoptera parasitoid antara lokasi penelitian pada habitat Chromolaena odorata... 26

13 DAFTAR GAMBAR No. Halaman 1. Skema pengambilan contoh serangga di empat lokasi penelitian Perangkap yang dipakai dalam penelitian; a. perangkap nampan kuning (yellow pan trap), b. perangkap malaise (malaise trap) Puru pada Chromolaena odorata dengan jendela pada salah satu sisinya Wadah plastik yang dipakai untuk mengamati kemunculan imago Cecidochares connexa dan imago parasitoid dari puru Chromolaena odorata Kekayaan spesies dan kelimpahan individu hymenoptera parasitoid yang ditemukan di empat lokasi pengamatan Dendogram pengelompokan spesies hymenoptera parasitoid pada empat habitat Chromolaena odorata Famili parasitoid yang ditemukan dari empat lokasi pengamatan Parasitoid famili Ormyridae yang berasosiasi dengan lalat Cecidochares connexa Parasitoid famili Braconidae yang berasosiasi dengan lalat Cecidochares connexa Parasitoid famili Eupelmidae yang berasosiasi dengan lalat Cecidochares connexa Parasitoid famili Eucoilidae yang berasosiasi dengan lalat Cecidochares connexa Predator yang berasosiasi dengan lalat puru C. connexa; a. Belalang sembah, b. Sycanus sp. dan c. Kumbang kubah... 35

14 DAFTAR LAMPIRAN No. Halaman 1. Jadwal pengambilan contoh serangga pada habitat Chromolaena odorata Jumlah Morfospesies (MS) dan Individu (N) hymenoptera parasitoid yang diperoleh pada empat habitat Chromolaena odorata berdasarkan perangkap nampan kuning dan malaise Jumlah Morfospesies (MS) dan Individu (N) hymenoptera parasitoid yang diperoleh pada empat habitat Chromolaena odorata berdasarkan perangkap nampan kuning Jumlah Morfospesies (MS) dan Individu (N) hymenoptera parasitoid yang diperoleh pada empat habitat Chromolaena odorata berdasarkan perangkap malaise Parasitoid yang muncul dari koleksi puru pada Chromolaena odorata di empat lokasi pengambilan contoh... 50

15 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah gulma sebenarnya telah ada sejak manusia mengusahakan pertanian. Bahkan semasa manusia purba masih mengumpulkan bahan makanan dari tumbuhan, mereka sudah harus berurusan dengan tumbuhan yang tidak dikehendaki (gulma) dan hanya mengambil tumbuhan (bagian dari tumbuhan) yang dapat dimakan. Tumbuhan yang tidak dikehendaki saat itu hanya sekedar mempersulit usaha mendapatkan makanan saja, dan dapat diatasi (Tjitrosoedirdjo et al. 1984). Mooney dan Cleland (2001) melaporkan bahwa secara langsung maupun tidak langsung banyak spesies tumbuhan terbawa oleh manusia ke bagian dunia yang lain. Hal ini dimungkinkan dengan dimulainya era eksplorasi yang dapat menghilangkan penghalang biogeografi yang sebelumnya mengisolasi biota benua selama jutaan tahun. Menurut Schoonhoven et al. (1996) bahwa kehilangan hasil pertanian yang disebabkan gulma melampaui kehilangan hasil oleh serangga. Pengeluaran untuk herbisida di seluruh dunia 30% lebih tinggi daripada insektisida. Chromolaena odorata (L.) R.M. King & H. Robinson (kirinyuh) termasuk dalam famili Asteraceae, merupakan gulma eksotik yang berasal dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Tumbuhan ini kemudian diintroduksi ke kebun raya di Dakka (India), Jawa (Indonesia) dan Peradeniya (Srilangka) pada abad ke-19 (Binggeli 1997). Di Indonesia gulma ini merupakan gulma penting di padang penggembalaan dan perkebunan kelapa, kelapa sawit, karet, kakao, tebu, kapas dan sengon. Gulma ini di padang penggembalaan sangat merugikan karena dapat menimbulkan keracunan pada hewan - hewan yang memakannya. Keracunan ini diduga disebabkan oleh kandungan nitrat yang sangat tinggi, terutama pada tunas-tunas yang tumbuh kembali sesudah pemangkasan (Torres & Paller 1989). C. odorata termasuk gulma darat yang mudah menyebar, selain karena bijinya relatif kecil dan ringan, juga terdapat rambut-rambut tambahan

16 2 sehingga mudah diterbangkan angin. Selain itu bijinya juga akan segera berkecambah apabila kelembaban cukup (McFadyen 1988). C. odorata di Indonesia pertama kali dilaporkan pada tahun 1934 di Lubuk Pakam, Sumatera Utara. Sekarang ini penyebaran gulma tersebut sudah sangat luas, meliputi Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara Timur dan beberapa daerah di luar Jawa lainnya (Tjitrosemito 1999). Menurut Tjitrosemito (1998) bahwa penyebaran gulma ini sangat cepat karena kemampuan dan efisiensi dalam pertumbuhan dan penyebarannya, bahkan di laboratorium pertumbuhan kirinyuh sangat cepat pada delapan minggu pertama. Di daerah asalnya C. odorata bukan merupakan gulma yang penting, maka muncul pemikiran menarik untuk menyelenggarakan pengendalian biologi secara klasik. Sipayung dan Chenon (1995) melaporkan bahwa berbagai upaya teknik pengendalian terhadap gulma ini telah dilakukan seperti pengendalian secara fisik baik manual maupun mekanis, serta secara kimiawi. Biaya operasional pengendalian gulma ini cukup mahal, bahkan pengendalian secara kimiawi bila dilakukan terus menerus dalam jangka waktu lama, menimbulkan masalah pencemaran lingkungan (Nishimoto et al. 1991). Di Indonesia, penggunaan agens pengendali biologi dalam pengendalian C. odorata dilakukan dengan mengintroduksi Pareuchaetes pseudoinsulata Rego Barros (Lepidoptera: Arctiidae) dari Guam, Amerika Selatan dan pertama kali di lepaskan pada tahun Namun P. pseudoinsulata hanya berhasil menekan populasi gulma tersebut di Sumatera Utara, sedangkan di Jawa dilaporkan tidak berhasil. Selanjutnya pada tahun 1993 kembali diintroduksi spesies Cecidochares connexa Macq. (Diptera: Tephritidae) dari Colombia oleh Balai Penelitian Kelapa Sawit (BPKS) Marihat, Sumatera Utara. Pada tahun 1995 setelah memperoleh izin pelepasan yang dikeluarkan oleh Menteri Pertanian (Tjitrosemito 1998; Sipayung & Chenon 1995). Lalat C. connexa merupakan serangga yang digunakan sebagai agen biokontrol gulma C. odorata (Tjitrosemito 1998). Di daerah asalnya, gulma ini tidak menjadi masalah karena diserang oleh lebih dari 200 spesies serangga

17 3 musuh alaminya (Waterhouse 1994). Di Indonesia gulma ini cepat menyebar karena tidak ada musuh alami yang menyerangnya (Tjitrosoedirdjo 1989). Selain itu, kemampuan adaptasi dan kompetisinya yang kuat (Tjitrosoedirdjo 1989) menjadikan kirinyuh sebagai gulma eksotik invasif pada tanaman perkebunan seperti kelapa, kelapa sawit, karet, kakao, tebu, kapas dan sengon (SEAWIC 1991) serta dapat menurunkan hasil panen (Setiadi 1989; Syamsudin et al. 1993; Tjitrosemito 1998). Serangga mempunyai kekayaan spesies yang lebih besar dibandingkan dengan organisme lain yang ada di bumi. Jumlah serangga yang sangat besar inilah yang menyebabkan serangga berperan sebagai pengatur utama dalam ekosistem (Samways 1994). Peranan serangga di alam ini diantaranya sebagai pemakan tumbuhan, penyerbuk, pemakan darah, parasit dan berperan sebagai pengatur populasi serangga lain yaitu predator dan parasitoid (Evans 1984). Menurut LaSalle (1993), parasitoid merupakan musuh alami yang paling penting pada kebanyakan hama tanaman dan bertindak sebagai spesies kunci pada beberapa ekosistem. Keanekaragaman parasitoid yang tinggi dan tingkat parasitisasi pada populasi inang yang tinggi membuat parasitoid menjadi subyek penelitian ekologis di lapangan demikian pula di laboratorium (Hassel & Waage 1984). Keberhasilan lalat C. connexa sebagai agen biokontrol dapat dipengaruhi oleh musuh alami serangga tersebut. Serangga dengan larva yang berkembang pada tubuh organisme lain sebagai inang dan umumnya menyebabkan kematian inang disebut parasitoid (Gulan & Cranston 2000). Berdasarkan cara hidupnya, parasitoid dapat bersifat soliter (satu inang dengan satu individu parasitoid) dan gregarius (satu inang dengan dua hingga beberapa ratus parasitoid). Pengendalian biologi gulma kirinyuh sampai sekarang ini masih mengalami kendala, diduga diantaranya adalah adanya musuh alami (parasitoid dan predator) yang menyerang lalat C. connexa. Sampai sekarang ini belum diketahui dengan jelas parasitoid yang dominan menyerang lalat C. connexa.

18 4 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk (1) mempelajari keanekaragaman hymenoptera parasitoid pada habitat C. odorata, (2) mempelajari hymenoptera parasitoid yang dominan berasosiasi dengan lalat C. connexa dan habitat C. odorata yang merupakan tumbuhan inang lalat tersebut, dengan studi kasus di daerah Bogor, Jawa Barat. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dasar tentang parasitoid pada lalat C. connexa yang berasosiasi dengan gulma C. odorata di sekitar Bogor, Jawa Barat.

19 TINJAUAN PUSTAKA Gulma Invasif Chromolaena odorata Morfologi dan Taksonomi Chromolaena odorata C. odorata adalah tumbuhan perdu, tinggi m kadang-kadang mencapai 7 m atau lebih apabila ada pohon yang menopangnya, sehingga seolah-olah merambat. Gulma ini merupakan tumbuhan herba pada waktu muda, kemudian berkembang menjadi tumbuhan berkayu dan bercabang banyak. C. odorata merupakan tumbuhan tahunan, batang yang telah dipangkas dapat tumbuh kembali terutama pangkal batangnya. Pangkasannya pun bila ditanam dapat tumbuh kembali. Batang berwarna kuning keabu-abuan, sedikit berbulu dan silindris. Posisi daun pada batang berhadapan, daun berwarna merah kecoklatan waktu muda dan hijau pada waktu dewasa. Bentuk daun bulat telur dengan ujung meruncing, bergerigi kasar atau hampir rata, permukaan daun berbulu halus, pada waktu masih muda berbau jika diremas. Rangkaian bunga adalah bunga majemuk yang tersusun dalam malai rata, terdiri dari 3-5 bongkol bunga yang masing-masing terdapat unit bunga. Bunga berukuran kecil, berkelopak pembungkus 5 baris, mahkota bunga berwarna putih keunguan, sedikit berbau, berbentuk seperti genta, berlobi lima, masingmasing lobi berbentuk segitiga. Putik bunga terbelah dua dan memanjang. Buah dalam bongkol, bersudut, coklat atau hitam, dengan rambut-rambut pendek pada sudut-sudutnya, panjang rambut-rambut 5 mm, bulu papus berwarna putih dengan panjang 5 mm (Tjitrosemito & Kasno 1997). Menurut Guitier (1993) bahwa bobot tiap buah yang sudah kering itu kira-kira 0.2 mg. C. odorata termasuk famili Asteraceae/Compositae. Famili ini dulu dibagi dalam 12 tribes (puak), tetapi sekarang ini dengan penemuan-penemuan di bidang biokimia, analisis tepung sari maupun anatomi, famili ini mengalami banyak modifikasi (Tjitrosemito & Kasno 1997). Gulma ini memiliki beberapa nama umum seperti devil weed (Inggris), semak merdeka atau putihan (Indonesia), kirinyuh (Sunda), pokok kapal terbang

20 6 atau pokok german (Malaysia), gonoy (Filipina) dan di Thailand dikenal dengan saab sua. Di India gulma ini dikenal sebagai asam patcha yang hidup di hutan jati sebagai tumbuhan bawah yang sangat tebal (Tjitrosemito 1996). Di Indonesia C. odorata dapat tumbuh pada daerah dengan ketinggian m dpl baik di tempat terbuka maupun terlindung. Khusus di pulau Jawa, C. odorata hidup pada daerah dengan ketinggian m dpl dengan curah hujan 1500 mm/tahun (Tjitrosoedirdjo 1989). Gulma ini dapat ditemui di sisi jalan, tanah persawahan yang telah kering, lahan yang tidak diolah, di bawah tegakan hutan yang terbuka tajuknya serta di tepi-tepi jalan hutan. Selain itu gulma ini dapat tumbuh pada lahan yang miskin hara bahkan masih dapat hidup pada daerah berbatu (Tjitrosemito 1996). Penyebaran Chromolaena odorata Gulma C. odorata di introduksi ke kebun raya di Dakka (India), Jawa dan Peradeniya (Srilangka) pada abad ke-19 serta ke Afrika bagian selatan sebagai tanaman hias pada awal abad ke-20. Di Afrika bagian barat, tumbuhan tersebut secara tidak sengaja diintroduksi bersama-sama biji-bijian tanaman kehutanan di Nigeria pada tahun Pada tahun 1952 dengan sengaja diintroduksi ke Pantai Gading untuk mengendalikan gulma alang-alang (Imperata spp.) berdasarkan rekomendasi ahli botani terkenal Auguste Chevalier. Di Queesland (Australia) introduksi tumbuhan ini diduga berasal dari biji-bijian padang rumput yang terkontaminasi dari luar negeri (Binggeli 1997). Gulma C. odorata selain terintroduksi dan menyebar di sejumlah pulau di daerah tropis, juga didapatkan di sejumlah wilayah sub tropis (Binggeli 1997). Penyebaran gulma ini sudah sejak tahun 1934, hingga saat ini penyebarannya telah mencapai Asia Tenggara termasuk Indonesia dan Australia. Gulma ini telah berubah status menjadi gulma yang tumbuh secara mapan dan sangat merugikan (Tjitrosemito & Kasno 1997). Tjitrosemito (1999) melaporkan bahwa keberadaan gulma ini di Indonesia pertama kali pada tahun 1934 di Lubuk Pakam Sumatera Utara dan tahun 1940 di Bogor, Jawa Barat.

21 7 Gulma ini toleran terhadap berbagai iklim sub tropis dan tropis. Gulma ini juga dominan dan mapan pada daerah yang terganggu, padang rumput, daerah bekas hutan yang belum ditanami dan perkebunan. Gulma ini dapat menyebar secara cepat karena kemampuan dan efisiensi penyebarannya (Binggeli 1997). Binggeli (1997) melaporkan bahwa ada tingkat kepadatan yang tinggi di Pantai Gading, tumbuhan ini dapat menghasilkan sekitar 109 biji/ha. Buah secara khas disebarkan oleh angin. Pelepasan biji sangat memerlukan kondisi cuaca yang kering dan berangin. Penyebaran oleh hewan juga dimungkinkan. Penyebaran C. odorata saat ini meliputi seluruh wilayah Indonesia mulai dari Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara Timur dan beberapa daerah di luar pulau Jawa lainnya. Di Jawa maupun di luar pulau Jawa tumbuhan ini merupakan gulma penting pada sistem produksi pertanian (Tjitrosoedirjo et al. 1991; Tjitrosemito 1996), tanaman perkebunan dan juga hutan tanaman industri jati karena dapat berkompetisi secara kuat dengan tanaman budidaya sehingga dapat menurunkan hasil panen (Syamsudin et al. 1993). Kehadiran C. odorata pada tanaman perkebunan (kakao, karet, kelapa sawit, kelapa dan kapas) dapat menyebabkan kehilangan hasil terutama di pulau Jawa dan Kalimantan (Sipayung & Chenon 1995). Di daerah pengembalaan hutan lindung Panunjang, Jawa Barat, keberadaan C. odorata dapat mengurangi hamparan padang pengembalaan banteng (Bos javanicus) dan rusa (Muntiacus muncak). Keadaan serupa juga ditemui di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. Invasi C. odorata di padang rumput menyebabkan menurunnya ketersediaan hijauan pakan sehingga mengganggu kehidupan fauna yang dilindungi (Tjitrosemito 1998). Lalat Cecidochares connexa Macq. (Diptera: Tephritidae) Biologi Cecidochares connexa Imago C. connexa berwarna hitam, mempunyai sayap transparan dengan gambaran pita hitam berpola menarik (banded wings) berselang-seling dengan

22 8 bagian yang transparan; matanya berwarna merah. Pada bagian toraks dan abdomen juga terdapat pola pita yang berselang-seling antara hitam dan putih. Imago betina dapat dibedakan dengan imago jantan dari ovipositornya yang menarik, disamping ukuran tubuhnya yang lebih besar. Imago betina meletakkan telurnya dengan cara menyisipkan ovipositor ke dalam jaringan pucuk, telur diletakkan di dalam pucuk daun yang belum membuka, secara berkelompok di antara daun-daun (Tjitrosemito 1999). Telur yang diletakkan dalam satu pucuk bervariasi jumlahnya, tetapi umumnya yang ditemukan di lapang berkisar antara 1 12 butir telur setiap pucuk. Sipayung dan Chenon (1995) melaporkan bahwa dalam satu pucuk dijumpai 2 16 butir telur. Telur lalat ini berwarna putih krem, berbentuk lonjong dengan ujung agak meruncing, berukuran 0.7 mm dan diameter 0.2 mm, masa inkubasi telur ± 7 hari. Larva yang baru menetas berukutan 0.7 x 0.2 mm, larva dewasa berukuran 4.2 x 2.1 mm, larva diduga mengalami 3 4 instar, periode perkembangan larva ±35 hari. Pupa lalat ini berukuran 4.2 x 2.1 mm, berwarna putih kekuningan pada waktu masih muda dan menjadi coklat kehitaman dengan kedua ujungnya hitam, periode perkembangan pupa ± 19 hari. Siklus hidup lalat C. connexa ± 61 hari (Tjitrosemito 1999). Agens Pengendali Biologi Chromolaena odorata Lalat puru C. connexa diketahui dengan sinonim Urophora connexa Macquart tahun 1848, Trypeta nigerrima Loew tahun 1862 dan Oedaspis leucotricha Schiner Spesies lalat ini disimpan dalam koleksi di U.S.National Museum (USNM), Washington DC. Dr. G. Steyskal dari USNM berdasarkan spesimen dari Bolivia dan Trinidad memberi nama Procecidochares connexa. Dr. Allen Norrbom, seorang ahli spesialis Tephritidae di USNM mengkonfirmasi identifikasi tersebut. Dr. Allen Norrbom tidak menerima nama P. Connexa seperti yang telah digunakan pada literatur sebelumnya dan memberi nama Cecidochares connexa pada tahun 1992 (Munniappan & Bamba 2002).

23 9 Berbagai teknik pengendalian telah dilakukan seperti secara fisik (manual dan mekanis) dan kimiawi, keduanya memerlukan biaya mahal (Sipayung & Chenon 1995). Di Indonesia, pengendalian biologi gulma C. odorata dengan mengintroduksi P. pseudoinsulata yang dilepaskan pada tahun Pada tahun 1993, diintroduksi spesies C. connexa dari Colombia dan pelepasan dilakukan pada tahun Agen pengendali biologi lainnya adalah Actinote anteas Doubleday & Hewitson (Lepidoptera: Nymphalidae) diimpor dari Costa Rica, namun evaluasinya belum dilakukan (Chenon et al. 2002). Lalat C. connexa dapat mengakibatkan menurunnya jumlah cabang dan daun kirinyuh sehingga pertumbuhan kirinyuh menjadi terhambat. Serangga ini juga mengakibatkan penurunan produksi bunga dan biji sehingga menurunkan jumlah kirinyuh di alam (Orapa & Bofeng 2004). Pelepasan Cecidochares connexa sebagai Agens Pengendali Biologi Di Indonesia, lalat puru diintroduksi dari Colombia pada tahun 1993 oleh Balai Penelitian Kelapa Sawit (BPKS) Marihat, Sumatera Utara. Pelepasan lalat C. connexa telah dilakukan di Jawa Barat yang meliputi daerah Hutan Tanaman Industri Parung Panjang, Bogor pada tahun 1995, Parung Kuda Sukabumi tahun 1996 dan padang pengembalaan Cagar Alam Pangandaran, Ciamis pada tahun Selain itu, pada tahun 1996 pelepasan lalat C. connexa juga dilakukan di Saradan, Madiun, Jawa Timur (Widayanti et al. 2001). Sampai saat ini, lalat C. connexa telah menyebar secara alami khususnya di daerah Bogor, Jawa Barat. Hasil survei menunjukkan bahwa penggunaan lalat C. connexa dalam pengendalian C. odorata pada beberapa daerah khususnya di Bogor, Jawa Barat kurang memberikan hasil yang memuaskan. Pertumbuhan populasi C. odorata tetap tinggi meskipun telah terserang oleh lalat C. connexa yang ditandai dengan banyaknya puru yang terbentuk.

24 10 Parasitoid Lalat Cecidochares connexa Istilah parasitoid pertama kali digunakan oleh Ruter pada tahun 1913 untuk menjelaskan serangga yang hidup sebagai larva pada jaringan arthopoda lain (biasanya serangga) yang kemudian dimatikannya (Hassel & Waage 1984). Meskipun demikian, istilah tersebut baru dapat diterima secara luas sejak 20 tahun terakhir (Godfray 1994). Parasitoid sering dianggap sebagai predator yang sangat efisien yang mampu menyempurnakan perkembangannya dalam satu ekor inang yang hanya dibunuh pada waktu larva parasitoid menyelesaikan perkembangannya (Evans 1984) dan sering ditemukan sejumlah parasitoid berkembang secara gregarius pada inang yang sama (Godfray 1994). Hymenoptera merupakan salah satu ordo yang sangat penting sebagai parasitoid dan predator. Ordo ini banyak ditemukan pada ekosistem daratan dan berinteraksi dengan spesies lain dalam ekosistem (LaSalle & Gauld 1993). Hymenoptera Apocrita terbagi dalam 10 superfamili dan 48 famili yang sebagian besar bersifat parasitoid, namun beberapa diantaranya diketahui sebagai herbivor, pembuat puru dan predator. Sampai saat ini telah diketahui 39 famili hymenoptera parasitik sebagai parasitoid (LaSalle & Gauld 1993). Hymenoptera parasitik merupakan kelompok spesies subordo Apocrita yang jumlahnya sangat banyak dan berperan cukup penting (LaSalle 1993). Kelompok parasitoid ini tidak hanya dapat membantu pembentukkan keanekaragaman spesies serangga yang tinggi, tetapi juga dapat menekan perkembangan herbivor dalam mengurangi sebagian besar tanaman inangnya (LaSalle & Gauld 1993). Pelaksanaan penelitian di Indonesia selama ini hanya terfokus pada keberhasilan pelaksanaan introduksi lalat C. connexa dan pengembangan metode pembiakan massal dalam pemanfaatan serangga ini untuk mengendalikan gulma C. odorata. Pengendalian biologi gulma C. odorata di Indonesia khususnya di Bogor, Jawa Barat mengalami kendala, kendala tersebut diduga karena adanya musuh alami (parasitoid) yang menyerang lalat C. connexa.

25 BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan metode purposive sampling, yaitu lokasi yang dijumpai Chromolaena odorata (kirinyuh), dengan pertimbangan tipe lanskap dan ketinggian tempat. Dari hasil survei pendahuluan maka ditetapkan empat lokasi sebagai lokasi pengambilan contoh di Kabupaten Bogor: (1) Hutan Tanaman Industri (HTI) Parung Panjang, Kecamatan Jasinga mewakili lanskap perkebunan; (2) Desa Setu, Kecamatan Jasinga mewakili lanskap ladang; (3) Gunung Bunder, Kecamatan Pamijahan mewakili lanskap pegunungan; dan (4) Kampus IPB, Kecamatan Darmaga mewakili lanskap urban (Tabel 1). a) Tabel 1 Deskripsi lokasi yang dipilih untuk penelitian Lokasi/desa Parung Panjang Jarak Koordinat Ketinggian (km) a) (LS dan BT) b) (m dpl) c) Kondisi habitat LS 128 Hutan tanaman industri, BT tanaman utamanya Acacia mangium (Fabaceae) disertai populasi kirinyuh dominan 128 Lahan terbuka dengan dominasi Melastoma malabathricum (Melastomataceae) dan populasi kirinyuh sedikit, berbatasan dengan lahan tanaman budidaya (jagung, kacang tanah, dan kedelai) Setu LS BT Darmaga LS BT Gunung Bunder LS BT Jarak lokasi dari titik pelepasan Cecidochares connexa, Timur, c) m dpl = meter di atas permukaan laut 170 Tanaman sengon dengan dominasi kirinyuh dan Widelia trilobata (Asteraceae) 650 Lahan terbuka dengan dominasi Ageratum conyzoides (Asteraceae) dan Boreria alata (Rubiaceae)yang berbatasan dengan lahan tanaman (padi, jagung, talas, pisang, kopi, dan singkong) b) LS = Lintang Selatan, BT = Bujur

26 12 Penelitian laboratorium berlangsung di laboratorium Biosistematika Serangga dan Bioekologi Parasitoid dan Predator Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan dari bulan Agustus 2005 hingga Pebruari Pengambilan Contoh Serangga Pada masing-masing lokasi dibuat 5 jalur transek sepanjang 30 m dengan jarak antara transek 15 m. Sepanjang jalur transek dibuat petak contoh berbentuk bujur sangkar (2 m x 2 m) dengan jarak 15 m antar petak contoh sehingga pada masing-masing transek terdapat 3 petak contoh. Dengan demikian pada setiap lokasi penelitian terdapat 15 petak contoh (Gambar 1). 15 m 15 m (30 m) 15 m 15 m Petak contoh (2 x 2 m) 15 m 15 m Keterangan : = petak contoh = perangkap nampan kuning = perangkap malaise Gambar 1 Skema pengambilan contoh serangga di empat lokasi penelitian

27 13 Perangkap yang digunakan dalam pengambilan contoh serangga pada setiap lokasi penelitian yaitu perangkap nampan kuning (yellow pan trap) dan perangkap malaise (malaise trap) (Dent & Walton 1997). Perangkap nampan kuning yang digunakan adalah wadah plastik berukuran 15 cm x 25 cm x 7 cm (Gambar 2a). Perangkap nampan digunakan untuk mengumpulkan serangga yang aktif terbang dan yang tertarik dengan warna kuning. Perangkap nampan tersebut dapat menangkap wereng (Homoptera), kumbang daun (Coleoptera) dan beberapa serangga parasitoid (Hymenoptera) (Dent & Walton 1997). Nampan kuning diisi dengan air sabun dan garam secukupnya untuk mengurangi tegangan permukaan, sehingga serangga yang terperangkap tenggelam dan mati. Selanjutnya nampan kuning diletakkan pada permukaan tanah sebanyak 2 buah dalam setiap petak contoh, sehingga pada setiap lokasi penelitian terdapat 30 buah nampan kuning yang dipasang selama 24 jam. Perangkap malaise terbuat dari jaring yang berbentuk seperti tenda (berbentuk prisma). Pada bagian puncaknya dipasang botol plastik yang berfungsi sebagai perangkap (Gambar 2b). Serangga terbang akan menabrak jaring kemudian serangga akan bergerak ke atas mengikuti pola jaring menuju ke botol perangkap. Perangkap malaise efektif untuk menangkap Diptera, Hymenoptera dan Lepidoptera. Coleoptera, Hemiptera dan Homoptera hanya sedikit diperoleh dengan menggunakan perangkap ini (Dent & Walton 1997). a b Gambar 2 Perangkap yang dipakai dalam penelitian; a. perangkap nampan kuning (yellow pan trap), b. perangkap malaise (malaise trap)

28 14 Perangkap malaise ditempatkan secara diagonal masing-masin0067 di antara transek 2 3 dan transek 4-5, sehingga pada setiap lokasi pengambilan contoh digunakan 2 buah perangkap malaise yang dipasang selama 24 jam. Serangga yang tertangkap dengan perangkap nampan kuning dan malaise dibersihkan dari kotoran. Selanjutnya serangga disimpan di dalam tabung film berisi alkohol 70% untuk diidentifikasi di laboratorium Koleksi Hymenoptera Parasitoid pada Chromolaena odorata dari Lapangan Puru yang dikoleksi merupakan puru yang berasal dari empat lokasi penelitian, dan telah berisi pupa lalat Cecidochares connexa dengan ciri sudah terdapat jendela (windowed gall) pada C. odorata (Gambar 3). Gambar 3 Puru pada Chromolaena odorata dengan jendela pada salah satu sisinya. Puru yang berjendela memiliki warna jendela kecoklatan, jendela yang berwarna kecoklatan ini diduga telah terparasit. Pada setiap lokasi dilakukan tiga kali pengambilan puru, setiap kali koleksi diambil 10 puru per rumpun untuk tiap lokasi sehingga total pengambilan puru adalah 100 puru. Tangkai kirinyuh yang berpuru dipotong dan dibersihkan kemudian dibawa ke

29 15 laboratorium. Kemudian setiap puru diletakkan dalam wadah plastik berdiameter 7 cm dan tinggi 10 cm yang bagian atasnya diberi kain kasa (Gambar 4). Pengamatan dilakukan terhadap kemunculan imago lalat C. connexa dan imago parasitoid. Imago lalat C. connexa dan imago parasitoid yang muncul diberi kapas yang mengandung larutan madu 10%. Imago lalat C. connexa dan imago parasitoid diamati hingga mati, setelah itu parasitoid dimasukkan kedalam wadah yang telah berisi alkohol 70% dan diberi label untuk di identifikasi. Gambar 4 Wadah plastik yang dipakai untuk mengamati kemunculan imago Cecidochares connexa dan imago parasitoid dari puru Chromolaena odorata Sortasi dan Identifikasi Serangga Sortasi dan identifikasi contoh serangga yang dikoleksi dari lapangan dilakukan di Laboratorium Biosistematika Serangga dan Bioekologi Parasitoid dan Predator, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut

30 16 Pertanian Bogor. Serangga ordo Hymenoptera diidentifikasi sampai tingkat famili dan morfospesies (hanya diberi kode). Identifikasi serangga hymenoptera parasitoid untuk tingkat famili dilakukan dengan mengacu buku Goulet dan Huber (1993). Spesimen serangga hymenoptera parasitoid yang muncul dari koleksi puru pada masing-masing lokasi kemudian diidentifikasi dengan menggunakan kunci identifikasi yang tersedia. Parasitoid yang muncul dari puru diidentifikasi sampai tingkat famili dan identifikasi lanjut dilakukan hingga tingkat genus di LIPI-Cibinong (bantuan identifikasi dari Bapak Rosichon Ubaidillah). Analisis Data Indeks keanekaragaman serangga diukur berdasarkan Shannon-Wiener (H ) = -Σ p i ln p i, dimana p i = proporsi spesies ke-i terhadap total jumlah spesies, sedangkan Indeks kemerataan serangga berdasarkan Shannon-Wiener (E) = H /ln (S), dimana S = total jumlah spesies yang diperoleh (Magurran 1988; Krebs 1998). Indeks tersebut dihitung dengan mengggunakan Biodiv97 yang merupakan perangkat lunak macro pada Microsoft Excel. Kemiripan komunitas serangga antar lokasi diukur dengan menggunakan Indeks Sorensen (Cs) = 2j / a+b, dimana j adalah jumlah spesies yang ditemukan didaerah a dan b, a = jumlah spesies yang ditemukan di daerah a, b = jumlah spesies yang ditemukan di daerah b (Magurran 1988; Krebs 1998). Indeks tersebut juga dihitung dengan mengggunakan Biodiv97. Matrik yang diperoleh kemudian di analisis lanjut dengan menggunakan analisis kelompok (cluster analysis) (Krebs 1998). Pengelompokan dalam bentuk dendogram menggunakan Unweighted Pair-Group Average (UPGMA) dan jarak Euclidean yang dibuat dengan perangkat lunak Statistica for Windows 6.0 (StatSoft 1995).

31 HASIL DAN PEMBAHASAN Keanekaragaman Hymenoptera Parasitoid di Habitat Chromolaena odorata Jumlah keseluruhan hymenoptera parasitoid yang dikumpulkan berdasarkan dua perangkap yang digunakan (perangkap nampan kuning dan malaise) dari keempat lokasi pengamatan adalah 1737 individu, 178 morfospesies, 25 famili dan 8 superfamili (Tabel 2). Tabel 2 Jumlah superfamili, famili, morfospesies, individu, indeks shannon dan kemerataan Hymenoptera parasitoid pada lokasi pengambilan contoh berdasarkan perangkap nampan kuning dan malaise Parameter L o k a s i Total keseluruhan P.Panjang S e t u Darmaga Gn.Bunder dari 4 lokasi SF F MS N H E Keterangan : SF = superfamili, F = famili, MS = morfospesies, N = Individu, H = indeks shannon (keanekaragaman), E = kemerataan Kelimpahan individu hymenoptera parasitoid terbesar diperoleh dari habitat C. odorata di Gunung Bunder yaitu sebesar 566 individu. Kekayaan spesies hymenoptera tertinggi di Darmaga yaitu 121 morfospesies. Famili terbanyak juga diperoleh di Darmaga sebanyak 21 famili. Berdasarkan hasil penelitian, pada lokasi Parung Panjang hymenoptera parasitoid yang dikumpulkan sebanyak 323 individu yang termasuk dalam 86 morfospesies, dan 19 famili. Pada lokasi Setu hymenoptera parasitoid yang dikumpulkan sebanyak 419 individu yang termasuk dalam 103 morfospesies, dan 20 famili. Pada lokasi Darmaga hymenoptera parasitoid yang dikumpulkan

32 18 sebanyak 427 individu yang termasuk dalam 121 morfospesies, dan 21 famili. Sedangkan di lokasi Gunung Bunder dikumpulkan sebanyak 566 individu yang termasuk dalam 91 morfospesies, dan 17 famili. Dari jumlah tersebut, Parung Panjang memiliki jumlah individu yang lebih kecil dibandingkan dengan ketiga lokasi lainnya. Hal ini disebabkan habitat pengambilan contoh di Parung Panjang merupakan hutan tanaman industri dengan tanaman utamanya Acacia mangium disertai populasi C. odorata dominan. Sedangkan pada ketiga lokasi pengambilan contoh lainnya terdapat berbagai jenis tanaman lain disamping C. odorata. Berdasarkan nilai indeks keanekaragaman shannon dan kemerataan (evenness), spesies serangga hymenoptera parasitoid tertinggi diperoleh pada habitat kirinyuh di lokasi Setu yaitu secara berurutan dan Lokasi Setu memiliki keanekaragaman hymenoptera parasitoid lebih tinggi dibandingkan dengan Darmaga (H = 3.459), Parung Panjang (H = 2.868) dan Gunung Bunder (H = 2.782). Nilai indeks kemerataan serangga hymenoptera di Setu lebih tinggi dibadingkan dengan Darmaga (E = 0.825), Parung Panjang (E = 0.739) dan Gunung Bunder (E = 0.702). Hasil ini menunjukkan bahwa besarnya jumlah individu yang dikumpulkan dari Gunung Bunder tidak diikuti dengan tingginya indeks keanekaragaman Shannon. Hal ini disebabkan dalam perhitungan indeks keanekaragaman Shannon tidak hanya jumlah individu yang menentukan besarnya nilai indeks, tetapi kekayaan jenis (species richness) juga sangat menentukan. Nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H ) dipengaruhi oleh kemerataan spesies dalam komunitas (Magurran 1988; Krebs 1998). Menurut Magurran (1988) indeks kemerataan spesies (E) sangat sensitif terhadap kelimpahan spesies di dalam sampel. Nilai kemerataan spesies akan cenderung menuju nol apabila komunitas tersebut didominasi oleh satu spesies (Heong et al. 1991). Hasil pengambilan contoh yang dilakukan memperlihatkan bahwa kekayaan spesies Hymenoptera dan kelimpahan individu Hymenoptera terbesar yang dikumpulkan dari keempat habitat kirinyuh adalah superfamili Platygastroidea

33 19 (Gambar 5). Superfamili Chalcidoidea merupakan superfamili terbesar kedua, superfamili Ichneumonoidea menempati urutan terbesar ketiga. Superfamili Proctotrupoidea, Ceraphronoidea, Evanioidea, Cynipoidea dan Mymarommatoidea merupakan superfamili minor yang ditemukan sedikit pada masing-masing habitat kirinyuh Prg.Panjang S e t u Darmaga Gn.Bunder 400 Jumlah Individu Ichneumonoidea Evanioidea Cynipoidea Proctotrupoidea Platygastroidea Ceraphronoidea Mymarommatoidea Chalcidoidea Super famili Gambar 5 Kekayaan spesies dan kelimpahan individu hymenoptera parasitoid yang ditemukan di empat lokasi pengamatan Hymenoptera parasitoid yang ditemukan dari perangkap nampan kuning dan malaise tiap lokasi pengambilan contoh menunjukkan bahwa ada 8 superfamili (Tabel 3). Pada superfamili Ichneumonoidea ditemukan kedua anggota familinya yaitu famili Ichneumonidae dan famili Braconidae, superfamili Evanioidea hanya ditemukkan 1 famili yaitu famili Evaniidae.

34 20 Tabel 3 Jumlah morfospesies ordo Hymenoptera parasitoid yang ditemukan pada perangkap nampan kuning dan malaise No. Superfamili Famili Jumlah MS 1. Ichneumonoidea Ichneumonidae 17 Braconidae Evanioidea Evaniidae 3 3. Cynipoidea Figitidae 1 Eucoilidae 3 4. Proctotrupoidea Proctotrupidae 1 Heloridae 1 Diapriidae 6 5. Platygastroidea Scelionidae 33 Platygasteridae 9 6. Ceraphronoidea Megaspilidae 1 Ceraphronidae 7 7. Mymarommatoidea Mymarommatidae 3 8. Chalcidoidea Chalcididae 6 Eurytomidae 1 Pteromalidae 6 Torymidae 2 Ormyridae 1 Eupelmidae 3 Encrytidae 24 Aphelinidae 2 Signiphoridae 1 Eulophidae 15 Elasmidae 1 Mymaridae 9 T o t a l 178 Ket: MS = Morfospesies Pada superfamili Cynipoidea ditemukan 2 famili yaitu famili Figitidae dan famili Eucoilidae, superfamili Proctotrupoidea ditemukan 3 famili (Proctotrupidae, Heloridae dan Diapriidae). Pada superfamili Platygastroidea ditemukan kedua famili yaitu famili Scelionidae dan famili Platygasteridae, untuk superfamili Ceraphronoidea ditemukan kedua famili yaitu famili Megaspilidae dan famili Ceraphronidae, sedangkan superfamili Mymarommatoidea ditemukan famili Mymarommatidae. Pada superfamili

35 21 Chalcidoidea ditemukan 12 famili (Chalcididae, Eurytomidae, Pteromalidae, Torymidae, Ormyridae, Eupelmidae, Encrytidae, Aphelinidae, Signiphoridae, Eulophidae, Elasmidae dan Mymaridae). Keanekaragaman parasitoid di alam ditentukan oleh banyak faktor. Faktor yang dapat menentukan keanekaragaman serangga parasitoid selain ditentukan oleh lansekap suatu wilayah, ditentukan pula antara lain oleh kondisi lokal dari daerah dan musim tanam, juga praktek pertanian yang dilakukan termasuk pola penanaman dari suatu daerah. Keseluruhan jumlah individu (N) dan morfospesies (MS) hymenoptera parasitoid tiap lokasi pengambilan contoh berdasarkan kedua perangkap di habitat C. odorata terlampir pada Lampiran 2. Keanekaragaman Hymenoptera Parasitoid dari Perangkap Nampan Kuning Berdasarkan perangkap nampan kuning dari empat lokasi pengambilan contoh, pada habitat C. odorata hymenoptera parasitoid yang ditemukan adalah 1499 individu yang termasuk dalam 154 morfospesies, 22 famili, dan 8 superfamili (Tabel 4). Keanakaragaman hymenoptera parasitoid pada keempat lokasi berdasarkan perangkap nampan kuning memperlihatkan bahwa kekayaan spesies beragam di Setu, dari 22 famili yang ditemukan berdasarkan perangkap nampan kuning terdapat 19 famili di lokasi Setu lebih banyak bila dibandingkan dengan ketiga lokasi yang lain. Keadaan ini mengindikasikan bahwa habitat C. odorata di lokasi Setu memiliki keanekaragaman hymenoptera parasitoid yang lebih beragam dibandingkan habitat C. odorata di lokasi pengambilan contoh lain. Hal ini diduga karena kondisi habitat, lokasi Setu merupakan lahan terbuka dengan dominasi Melastoma malabathricum (Melastomataceae) dan C. odorata berbatasan dengan lahan tanaman budidaya (jagung, kacang tanah, dan kedelai) sehingga mengakibatkan kekayaan spesies mencapai 19 famili.

36 Tabel 4 Hymenoptera parasitoid yang ditemukan dari perangkap nampan kuning pada empat lokasi penelitian Superfamili F a m i l i P.Panjang L o k a s i S e t u Darmaga Gn.Bunder 22 Jumlah Individu Ichneumonoidea Ichneumonidae Braconidae Evanioidea Evaniidae Cynipoidea Figitidae Eucoilidae Proctotrupoidea Proctotrupidae Heloridae Diapriidae Platygastroidea Scelionidae Platygasteridae Ceraphronoidea Megaspilidae Ceraphronidae Mymarommatoidea Mymarommatidae Chalcidoidea Chalcididae Eurytomidae Pteromalidae Eupelmidae Encrytidae Aphelinidae Signiphoridae Eulophidae Mymaridae J u m l a h Famili yang paling banyak ditemukan dari empat lokasi pengambilan contoh adalah famili Scelionidae di Parung Panjang (106 individu), Setu (111 individu), Darmaga (126 individu) dan Gunung Bunder (204 individu). Famili yang relatif sedikit ditemukan adalah famili Megaspilidae, Eurytomidae dan Signiphoridae, famili-famili ini hanya ditemukan masing-masing pada 1 lokasi pengambilan contoh. Famili Megaspilidae hanya ditemukan di Parung panjang, famili Eurytomidae hanya ditemukan di Gunung Bunder, serta famili Signiphoridae hanya ditemukan di Darmaga.

37 23 Berdasarkan hasil penelitian, hymenoptera parasitoid yang dikumpulkan dengan menggunakan perangkap nampan kuning sangat beragam, hal ini disebabkan perangkap nampan kuning yang di pasang tiap lokasi sebanyak 30 buah. Perangkap nampan kuning berfungsi untuk mengumpulkan serangga yang aktif terbang. Keseluruhan Jumlah individu dan morfospesies berdasarkan perangkap nampan kuning pada keempat lokasi dapat dilihat pada Lampiran 3. Keanekaragaman Hymenoptera Parasitoid dari Perangkap Malaise Pengambilan contoh pada habitat C. odorata di empat lokasi penelitian dengan menggunakan perangkap malaise ditemukan 236 individu hymenoptera parasitoid. Hymenoptera parasitoid yang ditemukan termasuk dalam 73 morfospesies, 18 famili, dan 7 superfamili (Tabel 5). Tabel 5 Hymenoptera parasitoid yang ditemukan dari perangkap malaise pada empat lokasi penelitian Superfamili Famili L o k a s i Jumlah P.Panjang Setu Darmaga Gn.Bunder Individu Ichneumonoidea Ichneumonidae Braconidae Evanioidea Evaniidae Cynipoidea Eucoilidae Proctotrupoidea Proctotrupidae Diapriidae Platygastroidea Scelionidae Ceraphronoidea Ceraphronidae Chalcidoidea Chalcididae Eurytomidae Pteromalidae Torymidae Ormyridae Eupelmidae Encrytidae Eulophidae Elasmidae Mymaridae J u m l a h

38 24 Keanekaragaman Hymenoptera parasitoid pada keempat lokasi berdasarkan perangkap malaise memperlihatkan bahwa kekayaan spesies beragam di Darmaga. Dari 18 famili yang ditemukan, pada lokasi Darmaga ditemukan lebih banyak bila dibandingkan dengan ketiga lokasi yang lain, yaitu sebanyak 13 famili. Keadaan ini mengindikasikan bahwa habitat kirinyuh di Darmaga memiliki keanekaragaman hymenoptera parasitoid yang lebih beragam dibandingkan habitat kirinyuh di lokasi pengambilan contoh lain. Famili yang paling banyak ditemukan dari empat lokasi pengambilan contoh adalah famili Scelionidae dan famili Braconidae. Famili Scelionidae di Parung panjang (5 individu), Setu (22 individu), Darmaga (11 individu) dan Gunung Bunder (19 individu). Famili Braconidae di Parung panjang (11 individu),setu (14 individu), Darmaga (18 individu) dan Gunung Bunder (12 individu). Famili yang paling sedikit ditemukan adalah famili Elasmidae, Eurytomidae, dan Proctotrupidae, famili-famili ini hanya ditemukan masingmasing pada 1 lokasi pengambilan contoh. Famili Elasmidae dan Eurytomidae hanya ditemukan di Darmaga, famili Proctotrupidae hanya ditemukan di Gunung Bunder. Jumlah individu dan morfospesies berdasarkan perangkap malaise pada keempat lokasi dapat dilihat secara lengkap pada Lampiran 4. Hasil pengambilan contoh menunjukkan bahwa dari kedua perangkap (nampan kuning dan malaise) ternyata hymenoptera parasitoid pada perangkap nampan kuning lebih beragam dibandingkan dengan perangkap malaise. Pada perangkap nampan kuning ditemukan 1499 individu yang termasuk dalam 22 famili, sedangkan perangkap malaise ditemukan 236 individu yang termasuk dalam 18 famili. Hal ini disebabkan perangkap nampan kuning yang dipasang pada tiap lokasi jumlahnya lebih banyak daripada jumlah perangkap malaise, dimana perangkap nampan kuning tiap lokasi terdiri dari 30 nampan kuning dan 2 perangkap malaise. Berdasarkan hasil pengambilan contoh, dari kedua perangkap ini memperlihatkan bahwa ada famili-famili yang terperangkap pada perangkap malaise yang tidak ditemukan pada perangkap nampan kuning. Famili

39 25 Torymidae, Ormyridae, dan Elasmidae yang terperangkap pada perangkap malaise tetapi tidak ditemukan pada perangkap nampan kuning. Hal ini disebabkan kedua perangkap ini memiliki kelebihan dan kekurangan masingmasing, serta ketiga famili tersebut diduga cenderung lebih memilih perangkap malaise dan famili tersebut lebih aktif terbang. Hubungan Keanekaragaman Hymenoptera Parasitoid dengan Kondisi Habitat Chromolaena odorata Habitat C. odorata pada masing-masing lokasi memiliki perbedaan dalam kondisi habitat maupun ketinggian dari permukaan laut (Tabel 1). Habitat C. odorata di Darmaga (hutan buatan dengan tanaman utama sengon (Albizia falcataria)) memiliki kekayaan morfospesies serangga hymenoptera parasitoid tertinggi yang terdiri dari 121 morfospesies diikuti oleh Setu dan Gunung Bunder masing-masing 103 morfospesies dan 91 morfospesies (Tabel 2). Keadaan ini berbeda dengan Parung Panjang (hutan tanaman industri dengan tanaman utama Acacia mangium) yang memiliki kekayaan spesies serangga hymenoptera parasitoid terendah yaitu 86 morfospesies. Kekayaan morfospesies serangga hymenoptera parasitoid pada habitat C. odorata di Darmaga sangat tinggi diduga karena selain adanya tanaman utama juga terdapat komposisi vegetasi tumbuhan yang lebih beragam sehingga mempengaruhi kekayaan spesies serangga di sekitarnya bila dibandingkan dengan habitat C. odorata di Setu, Gunung Bunder, dan Parung Panjang yang memiliki komposisi vegetasi tumbuhan yang cenderung lebih sedikit dibandingkan dengan Darmaga. Kemiripan komposisi spesies serangga hymenoptera parasitoid antar lokasi dengan menggunakan indeks kemiripan Sorensen (Cs) memperlihatkan bahwa antara lokasi Gunung Bunder dan lokasi Setu, lokasi Gunung Bunder dan lokasi Darmaga memiliki indeks kemiripan tertinggi yaitu 0.63 atau sekitar 63% dari spesies serangga yang ditemukan adalah sama (Tabel 6).

40 Tabel 6 Indeks kemiripan Sorensen (Cs) seluruh spesies hymenoptera parasitoid antara lokasi penelitian pada habitat Chromolaena odorata Lokasi penelitian Parung Panjang S e t u Darmaga Gunung Bunder Parung Panjang 1.00 Setu Darmaga Gunung Bunder Hal ini disebabkan kondisi habitat lokasi Setu dan Gunung Bunder merupakan lahan terbuka dan masing-masing lokasi berbatasan dengan lahan tanaman budidaya. Sedangkan pada lokasi Gunung Bunder dan lokasi Darmaga indeks kemiripan diduga dipengaruhi oleh jarak dari tempat pelepasan lalat puru C. connexa. Komposisi spesies serangga hymenoptera parasitoid yang ditemukan di Gunung Bunder dengan Parung Panjang memiliki indeks terendah yaitu 0.54 yang mengindikasikan bahwa spesies serangga hymenoptera parasitoid yang ditemukan memiliki kemiripan sekitar 54%. Komposisi spesies serangga hymenoptera pada kedua lokasi ini rendah disebabkan kondisi habitat dan kondisi lahan yang berbeda, serta ketinggian kedua lokasi dari permukaan laut yang berbeda. Lokasi Parung Panjang merupakan hutan tanaman industri dengan tanaman utama A. mangium, sedangkan Setu merupakan lahan terbuka dengan dominasi Melastoma malabathrichum. Kedua lokasi ini memiliki tipe penggunaan lahan yang berbeda, tetapi memiliki komposisi kemiripan spesies serangga. Diduga banyaknya kesamaan ini karena pengaruh faktor vegetasi pada kedua habitat C. odorata tersebut memiliki kesamaan sehingga mempengaruhi keberadaan serangga di sekitarnya. Selain itu, jarak yang dekat (6 km) dengan ketinggian yang sama (128 mdpl) juga merupakan faktor yang mempengaruhi keberadaan spesies serangga yang ditemukan pada lokasi tersebut. Kondisi habitat C. odorata di Gunung Bunder yang berbatasan langsung dengan lahan persawahan dan tanaman jagung serta berada pada ketinggian 650 mdpl,

41 27 diduga menjadi penyebab perbedaan komposisi spesies serangga dengan habitat C. odorata di Parung Panjang. Berdasarkan hasil analisis pengelompokan menunjukkan bahwa keanekaragaman serangga hymenoptera parasitoid pada empat habitat C. odorata masih berada dalam satu kelompok (Gambar 6). Hal ini mengindikasikan bahwa keempat habitat C. odorata memiliki komposisi spesies serangga yang relatif masih sama Jarak ketidakmiripan Prg.Panjang Setu Darmaga Gn.Bunder Gambar 6 Dendogram pengelompokan spesies hymenoptera parasitoid pada empat habitat Chromolaena odorata

42 28 Parasitoid yang Berasosiasi dengan Lalat Cecidochares connexa Hasil koleksi puru dari empat lokasi penelitian memperlihatkan bahwa hymenoptera parasitoid yang berasosiasi langsung dengan lalat puru C. connexa adalah famili Ormyridae, famili Braconidae, famili Eupelmidae dan famili Eucoilidae (Gambar 7). Gejala lalat puru C. connexa yang terparasit yaitu puru telah berjendela dan berwarna kecoklatan. 25 Prg.Panjang S e t u Gn.Bunder Darmaga Jumlah Individu Braconidae Eucoilidae Eupelmidae Ormyridae F a m i l i Gambar 7 Famili parasitoid yang ditemukan dari empat lokasi pengamatan Berdasarkan hasil koleksi puru dari lokasi pengambilan contoh, jumlah hymenoptera parasitoid paling banyak ditemukan adalah di lokasi Parung Panjang. Hymenoptera parasitoid yang ditemukan adalah famili Braconidae, famili Eucoilidae, famili Eupelmidae dan famili Ormyridae (Lampiran 5). Lokasi Setu ada 3 jenis parasitoid yaitu: famili Braconidae, famili Eupelmidae dan famili Ormyridae. Lokasi Darmaga terdapat 2 jenis parasitoid yaitu: famili

43 29 Braconidae dan famili Ormyridae, sedangkan lokasi Gunung Bunder ditemukan 3 jenis parasitoid yaitu: famili Braconidae, famili Eupelmidae dan famili Ormyridae. Hasil koleksi puru yang diperoleh dari empat lokasi penelitian ternyata ditemukan famili Ormyridae yang paling dominan bila dibandingkan dengan famili lainnya. Kelimpahan Ormyridae pada masing-masing lokasi adalah Parung Panjang 22 individu, Setu 12 individu, Darmaga 1 individu dan Gunung Bunder 2 individu. Famili Braconidae kelimpahannya pada masing-masing lokasi adalah: Parung Panjang 1 individu, Setu 3 individu, Darmaga 1 individu dan Gunung Bunder 2 individu. Hal ini menunjukkan bahwa dari keempat habitat C. odorata, hymenoptera parasitoid dapat berasosiasi dengan lalat C. connexa dan yang paling baik di Parung Panjang dengan ditemukannya empat jenis hymenoptera parasitoid. Keberadaan parasitoid pada lalat C. connexa sebelumnya telah dilaporkan oleh Cruttwell (1974 dalam McFadyen et al. 2003). Di Meksiko, ditemukan parasitoid Hymenoptera Torymus embilicatum (Torymidae), Eupelmus sp. (Eupelmidae), dan Neocatolaccus sp. (Pteromalidae) dari larva lalat C. connexa di dalam puru. Di Brazil utara, Heterospilus paltidipes dan H. humeralis (Braconidae) ditemukan pada larva lalat C. connexa. Gulma Chromolaena odorata yang merupakan gulma darat invasif, persebarannya sangat luas meliputi daerah perkebunan hingga daerah urban dan juga daerah dataran rendah hingga dataran tinggi. Keberadaan gulma ini menurun dengan bertambahnya ketinggian suatu lokasi. Hal ini sangat nyata, dimana pada lokasi Gunung Bunder yang ketinggiannya 650 m dpl populasi C. odorata sangat sedikit. Keberadaan hymenoptera parasitoid yang ditemukan baik berdasarkan perangkap maupun koleksi puru dari empat lokasi pengambilan sampel, menunjukkan bahwa adannya peranan dari gulma C. odorata. Hal ini karena C. odorata memiliki bunga (nektar) yang merupakan makanan dari imago parasitoid. Hasil koleksi puru dari empat lokasi pengambilan contoh

44 30 memperlihatkan bahwa ada empat parasitoid yang ditemukan berasosiasi dengan lalat C. connexa. Jika dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dari kedua perangkap nampan kuning dan perangkap malaise ditemukan juga empat parasitoid tersebut. Dari perangkap nampan kuning, keempat parasitoid tersebut hanya ditemukan tiga parasitoid yaitu Famili Braconidae, Famili Eucoilidae, dan Famili Eupelmidae. Sedangkan Famili Ormyridae tidak ditemukan, hanya ditemukan pada koleksi puru secara langsung dari lapangan. Pada perangkap malaise keempat parasitoid tersebut juga ditemukan. Status dan Keberadaan Parasitoid dan Predator yang Berasosiasi dengan Lalat Cecidochares connexa Parasitoid Famili Ormyridae Hasil koleksi puru dari empat lokasi pengambilan contoh, ditemukan imago parasitoid famili Ormyridae. Famili ini termasuk dalam superfamili Chalcidoidea. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa famili tersebut diduga Ormyrus sp. dengan ciri-ciri sebagai berikut: panjang tubuh imago ± 3 mm, imago betina berwarna merah metalik dan kecoklatan pada bagian toraks dan abdomen, dengan mata berwarna merah (Gambar 8). Sedangkan imago Jantan berwarna metalik hijau dengan mata berwarna hitam, memiliki 7 ruas flagela antena, serta 4 ruas tarsus tungkai. Famili Ormyridae merupakan parasitoid pada lalat puru famili Cecidomyiidae dan Tephritidae (Ordo Diptera). Ormyrus sp. merupakan endoparasitoid soliter pada larva dan pupa lalat C. connexa (Baucek 1988). Hasil penelitian Chenon et al. (2002) dan McFadyen et al. (2003) di Balai Penelitian Marihat, Sumatera Utara Ormyrus merupakan parasitoid C. connexa. Ormyrus ditemukan sebagai endoparasitoid soliter yang didapat dari larva dan pupa C. connexa di Sumatera dan Jawa. Berdasarkan Natural History Museum: Chalcididae Database genus Ormyrus telah tersebar di seluruh benua (Pitkin 2003).

45 31 1 mm Gambar 8 Parasitoid Famili Ormyridae yang berasosiasi dengan lalat Cecidochares connexa Parasitoid Ormyrus sp. yang ditemukan dari hasil koleksi puru pada empat lokasi pengambilan contoh, menunjukkan bahwa lokasi Parung Panjang lebih banyak ditemukan bila dibandingkan tiga lokasi lainnya. Hal ini karena lokasi Parung Panjang pernah dilakukan pelepasan lalat C. connexa sebagai agens hayati dari C. odorata, pelepasan ini dilakukan oleh BIOTROP pada tahun Pada saat pelepasan C. connexa yang diintroduksi dari Colombia, diduga lalat puru C. connexa telah terparasit oleh Ormyrus sp. Selain itu kelimpahan populasi lalat puru C. connexa berlimpah sehingga menyebabkan tingginya populasi parasitoid Ormyrus sp. Parasitoid Famili Braconidae Hasil koleksi puru dari empat lokasi pengambilan contoh, ditemukan imago parasitoid famili Braconidae (Gambar 9). Braconidae merupakan anggota dari superfamili Ichneumonoidea. Berdasarkan hasil identifikasi parasitoid famili Braconidae memiliki ciri-ciri sebagai berikut: panjang tubuh imago ± 2 mm, imago berwarna oranye dan matanya berwarna hitam, memiliki 24 ruas flagela antenna, memiliki 4 ruas tarsus tungkai, dan merupakan parasitoid larva C. connexa.

46 32 1mm Gambar 9 Parasitoid famili Braconidae yang berasosiasi dengan lalat Cecidochares connexa Parasitoid Famili Braconidae ditemukan dari hasil koleksi puru pada empat lokasi pengambilan contoh, hal ini menunjukkan bahwa selain parasitoid Ormyrus sp. yang dominan juga ditemukan parasitoid ini. Menurut Goulet dan Huber (1993), famili Braconidae dilaporkan bersifat ektoparasitoid pada larva ordo Lepidoptera dan ordo Coleoptera, pada ordo Diptera bersifat endoparasitoid. Parasitoid Famili Eupelmidae Hasil koleksi puru dari empat lokasi pengambilan contoh, ditemukan imago parasitoid famili Eupelmidae (Gambar 10). Famili ini termasuk dalam superfamili Chalcidoidea. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa famili tersebut diduga Eupelmus sp. dengan ciri-ciri sebagai berikut: panjang tubuh imago ± 3 mm, imago berwarna coklat dan matanya berwarna coklat, kepala pipih dan toraks menonjol lebih tinggi dari pada abdomen serta memiliki ovipositor, memiliki 8 ruas flagellum antena, serta tungkai berwarna coklat dan memiliki 4 ruas tarsus. Eupelmus sp. merupakan ektoparasitoid soliter pada larva dan pupa lalat C. connexa. Famili Eupelmidae bersifat parasitoid pada ordo Diptera (famili Cecidomyiidae) (Nauman 1991).

47 33 3 mm 1mm Gambar 10 Parasitoid famili Eupelmidae yang berasosiasi dengan lalat Cecidochares connexa Parasitoid Eupelmus sp. yang ditemukan berdasarkan hasil koleksi puru dari empat lokasi pengambilan contoh, menunjukkan bahwa parasitoid Eupelmus sp. ditemukan pada tiga lokasi pengambilan contoh (Parung Panjang, Setu dan Gunung Bunder). Pada lokasi Darmaga parasitoid Eupelmus sp. tidak ditemukan. Parasitoid Famili Eucoilidae Hasil koleksi puru dari empat lokasi pengambilan contoh, ditemukan imago parasitoid famili Eucoilidae (Gambar 11). Famili ini termasuk dalam superfamili Cynipoidea. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa famili tersebut diduga Gronotoma sp. dengan ciri-ciri sebagai berikut: panjang tubuh 2 mm dengan antena berjumlah 13 ruas bertipe moniliform, imago berwarna hitam, dan tungkai berwarna coklat serta memiliki 4 ruas tarsus. Famili Eucoilidae merupakan parasitoid pupa pada ordo Diptera. Gronotoma sp. merupakan endoparasitoid larva-pupa (Boror et al. 1981). Parasitoid Gronotoma sp. yang ditemukan dari hasil koleksi puru pada empat lokasi pengambilan contoh, menunjukkan bahwa parasitoid ini hanya ditemukan pada lokasi Parung Panjang. Hal ini karena lokasi Parung Panjang pernah dilakukan pelepasan lalat C. connexa sebagai agens hayati dari

48 34 1mm Gambar 11 Parasitoid famili Eucoilidae yang berasosiasi dengan lalat Cecidochares connexa C. odorata, selain itu diduga karena kelimpahan populasi lalat puru C. connexa berlimpah sehingga menyebabkan parasitoid Gronotoma sp. bisa berasosiasi. Predator dan Serangga lain yang berasosiasi dengan Cecidochares connexa Keberadaan serangga herbivor eksotik berupa lalat puru C. connexa juga akan berasosiasi dengan serangga lokal atau bahkan dengan organisme lain di habitat baru. Asosiasi serangga lokal terhadap lalat puru C. connexa yang terjadi diantaranya adalah musuh alami. Selain musuh alami berupa parasitoid (ordo Hymenoptera), ada juga predator yang berasosiasi dengan C. connexa dari ordo Hymenoptera, Coleoptera, Hemiptera, dan Mantodea. Musuh alami ini cenderung mempengaruhi populasi serangga herbivor lalat puru C. connexa, dan pada akhirnya akan berdampak terhadap populasi tumbuhan eksotik invasif C. odorata yang merupakan inang dari lalat C. connexa tersebut. Musuh Alami (Predator) yang ditemukan pada saat pengambilan contoh adalah belalang sembah (Mantodea: Mantidae) (Gambar 12.a). Predator belalang sembah (Mantodea: Mantidae) memangsa pupa C. connexa dalam puru yang berjendela. Selain predator belalang sembah yang ditemukan pada saat pengambilan contoh ditemukan juga predator Sycanus sp. (Hemiptera: Reduviidae) memangsa larva instar akhir atau pupa yang berada di dalam puru

49 35 (Gambar 12.b). Perilaku memangsanya dengan cara menusukkan stilet ke dalam puru yang berjendela kemudian menghisap cairan larva dan pupa sehingga meninggalkan eksuvianya saja. Pada saat pengambilan contoh ditemukan juga kumbang kubah (Coleoptera: Coccinellidae) pada pucuk-pucuk C. odorata (Gambar 12.c). Sebagian besar famili kumbang kubah bersifat predator yang memangsa hama pada fase telur sampai dewasa dan lainnya bertindak sebagai hama tanaman (Lilies 2001). Karena sifatnya sebagai predator, kumbang ini diduga selain memangsa kutudaun juga memangsa telur dan larva C. connexa instar awal yang baru menetas. b c a Gambar 12 Predator yang berasosiasi dengan lalat puru Cecidochares connexa; a. Belalang sembah, b. Sycanus sp., dan c. Kumbang kubah Hasil pengamatan memperlihatkan ada serangga lain yang berasosiasi dengan tumbuhan eksotik invasif C. odorata yaitu kutudaun (Hemiptera: Aphididae). Kutudaun membentuk koloni pada bagian batang dan pucuk C. odorata yang masih muda. Klingauf (1987) melaporkan bahwa bagian pucuk tanaman yang aktif tumbuh dan berkembang biasanya dipilih oleh kutudaun karena aktifitas pertumbuhan dan proses metabolismenya tinggi. Kutudaun menghisap jaringan floem pada lamina daun sehingga jaringan lamina daun mati yang menyebabkan daun berkeriting. Keberadaan kutu aphid pada pucuk muda C. odorata menyebabkan kehadiran koloni semut (Hymenoptera:

(DIPTERA: TEPHRITIDAE) TERHADAP STRUKTUR KOMUNITAS SERANGGA DAN TUMBUHAN LOKAL ALAL HUDA JAYA. S

(DIPTERA: TEPHRITIDAE) TERHADAP STRUKTUR KOMUNITAS SERANGGA DAN TUMBUHAN LOKAL ALAL HUDA JAYA. S IMPLIKASI EKSISTENSI Chromolaena odorata (L.) King & Robinson (ASTERACEAE) DAN AGENS HAYATINYA Cecidochares connexa Macquart (DIPTERA: TEPHRITIDAE) TERHADAP STRUKTUR KOMUNITAS SERANGGA DAN TUMBUHAN LOKAL

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Metode Penelitian Penyediaan Koloni Lalat Puru C. connexa untuk Penelitian Lapangan

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Metode Penelitian Penyediaan Koloni Lalat Puru C. connexa untuk Penelitian Lapangan BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian merupakan penelitian lapangan yang dilaksanakan pada bulan April 005 Februari 006. Penelitian biologi lapangan dilaksanakan di salah satu lahan di

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN SERANGGA HYMENOPTERA (KHUSUSNYA PARASITOID) PADA AREAL PERSAWAHAN, KEBUN SAYUR DAN HUTAN DI DAERAH BOGOR TJUT AHMAD PERDANA R.

KEANEKARAGAMAN SERANGGA HYMENOPTERA (KHUSUSNYA PARASITOID) PADA AREAL PERSAWAHAN, KEBUN SAYUR DAN HUTAN DI DAERAH BOGOR TJUT AHMAD PERDANA R. KEANEKARAGAMAN SERANGGA HYMENOPTERA (KHUSUSNYA PARASITOID) PADA AREAL PERSAWAHAN, KEBUN SAYUR DAN HUTAN DI DAERAH BOGOR TJUT AHMAD PERDANA R. DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Gambar 1 Diagram alir kegiatan penelitian.

Gambar 1 Diagram alir kegiatan penelitian. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Desa Harjobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi penelitian berada pada ketinggian 343 meter

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan 3 TINJAUAN PUSTAKA Lalat Buah (Bactrocera spp.) Biologi Menurut Departemen Pertanian (2012), lalat buah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Phylum Klass Ordo Sub-ordo Family Genus Spesies : Arthropoda

Lebih terperinci

Cecidochares connexa, Lalat Argentina Pengendali Gulma Siam

Cecidochares connexa, Lalat Argentina Pengendali Gulma Siam Cecidochares connexa, Lalat Argentina Pengendali Gulma Siam Roosmarrani Setiawati, SP. POPT Ahli Muda Pernahkan Anda menjumpai gulma seperti tampak pada gambar di bawah ini? Ya, gulma ini seringkali tumbuh

Lebih terperinci

TANGGAP FUNGSIONAL PARASITOID TELUR Trichogramma pretiosum Riley terhadap TELUR INANG Corcyra cephalonica Stainton pada PERTANAMAN KEDELAI

TANGGAP FUNGSIONAL PARASITOID TELUR Trichogramma pretiosum Riley terhadap TELUR INANG Corcyra cephalonica Stainton pada PERTANAMAN KEDELAI TANGGAP FUNGSIONAL PARASITOID TELUR Trichogramma pretiosum Riley terhadap TELUR INANG Corcyra cephalonica Stainton pada PERTANAMAN KEDELAI Oleh : Mia Nuratni Yanti Rachman A44101051 PROGRAM STUDI HAMA

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Family Genus

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999).

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999). 26 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA Lalat penggorok daun, Liriomyza sp, termasuk serangga polifag yang dikenal sebagai hama utama pada tanaman sayuran dan hias di berbagai negara. Serangga tersebut menjadi hama baru

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Populasi Kepinding Tanah ( S. coarctata

HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Populasi Kepinding Tanah ( S. coarctata 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Populasi Kepinding Tanah (S. coarctata) Secara umum tampak bahwa perkembangan populasi kepinding tanah terutama nimfa dan imago mengalami peningkatan dengan bertambahnya

Lebih terperinci

Gambar 1. Gejala serangan penggerek batang padi pada stadium vegetatif (sundep)

Gambar 1. Gejala serangan penggerek batang padi pada stadium vegetatif (sundep) HAMA PENGGEREK BATANG PADI DAN CARA PENGENDALIANNYA Status Penggerek batang padi merupakan salah satu hama utama pada pertanaman padi di Indonesia. Berdasarkan luas serangan pada tahun 2006, hama penggerek

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. tiga tipe kebun kakao di Desa Cipadang. Secara administratif, Desa Cipadang

III. METODOLOGI PENELITIAN. tiga tipe kebun kakao di Desa Cipadang. Secara administratif, Desa Cipadang 23 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan metode survai, yaitu pengambilan sampel semut pada tiga tipe kebun kakao di Desa Cipadang. Secara administratif,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. daun-daun kecil. Kacang tanah kaya dengan lemak, protein, zat besi, vitamin E

II. TINJAUAN PUSTAKA. daun-daun kecil. Kacang tanah kaya dengan lemak, protein, zat besi, vitamin E 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kacang Tanah Kacang tanah tumbuh secara perdu setinggi 30 hingga 50 cm dan mengeluarkan daun-daun kecil. Kacang tanah kaya dengan lemak, protein, zat besi, vitamin E

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di lapang dan di Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor, pada bulan Mei

Lebih terperinci

PEMANTAUAN DAN KAJIAN KEBERADAAN KUMBANG KHAPRA,

PEMANTAUAN DAN KAJIAN KEBERADAAN KUMBANG KHAPRA, PEMANTAUAN DAN KAJIAN KEBERADAAN KUMBANG KHAPRA, Trogoderma granarium Everts., (COLEOPTERA: DERMESTIDAE) DAN HAMA GUDANG LAINNYA DI WILAYAH DKI JAKARTA, BEKASI, SERANG, DAN CILEGON MORISA PURBA SEKOLAH

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae) TINJAUAN PUSTAKA Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae) Seekor imago betina dapat meletakkan telur sebanyak 282-376 butir dan diletakkan secara kelompok. Banyaknya telur dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) TINJAUAN PUSTAKA Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) Biologi Gambar 1. Telur C. sacchariphagus Bentuk telur oval, datar dan mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Saat ini Indonesia menjadi negara produsen kopi keempat terbesar dunia setelah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Saat ini Indonesia menjadi negara produsen kopi keempat terbesar dunia setelah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kopi (Coffea spp.) Saat ini Indonesia menjadi negara produsen kopi keempat terbesar dunia setelah Brazil, Vietnam dan Colombia. Dari total produksi, sekitar 67% diekspor sedangkan

Lebih terperinci

PASAR Industri Minyak Sawit Indonesia Pemerintah Industri Masyarakat PRODUK Memenuhi standar RSPO, ISPO Pengendalian hayati Mudah diaplikasikan dan efektif TEKNOLOGI Berlimpahnya komunitas parasitoid Hymenoptera

Lebih terperinci

BAB VII PEMBAHASAN UMUM

BAB VII PEMBAHASAN UMUM BAB VII PEMBAHASAN UMUM Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya issu hangat yang banyak dibicarakan dalam beberapa tahun belakangan ini, yaitu berkaitan dengan spesies eksotik invasif. Perhatian banyak

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. antara telur dan tertutup dengan selaput. Telur mempunyai ukuran

TINJAUAN PUSTAKA. antara telur dan tertutup dengan selaput. Telur mempunyai ukuran TINJAUAN PUSTAKA Ulat kantong Metisa plana Walker Biologi Hama Menurut Borror (1996), adapun klasifikasi ulat kantong adalah sebagai berikut: Kingdom Phyllum Class Ordo Family Genus Species : Animalia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada 8000 SM yaitu ke Pulau Solomon, Hebrida Baru dan Kaledonia Baru.

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada 8000 SM yaitu ke Pulau Solomon, Hebrida Baru dan Kaledonia Baru. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Tebu Tanaman tebu diduga berasal dari daerah Pasifik Selatan, yaitu New Guinea dan selanjutnya menyebar ke tiga arah yang berbeda. Penyebaran pertama dimulai pada 8000 SM

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kumbang Neochetina eichhorniae sebagai Agens Pengendali Biologi Eceng Gondok Bioekologi N. eichhorniae

TINJAUAN PUSTAKA Kumbang Neochetina eichhorniae sebagai Agens Pengendali Biologi Eceng Gondok Bioekologi N. eichhorniae TINJAUAN PUSTAKA Kumbang Neochetina eichhorniae sebagai Agens Pengendali Biologi Eceng Gondok Kumbang N. eichhorniae pertama kali diintroduksi sebagai agens pengendali biologi eceng gondok adalah di USA

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. diikuti oleh akar-akar samping. Pada saat tanaman berumur antara 6 sampai

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. diikuti oleh akar-akar samping. Pada saat tanaman berumur antara 6 sampai TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Pada saat jagung berkecambah, akar tumbuh dari calon akar yang berada dekat ujung biji yang menempel pada janggel, kemudian memanjang dengan diikuti oleh akar-akar samping.

Lebih terperinci

Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama

Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama Embriani BBPPTP Surabaya Pendahuluan Adanya suatu hewan dalam suatu pertanaman sebelum menimbulkan kerugian secara ekonomis maka dalam pengertian

Lebih terperinci

Tetratichus brontispae, PARASITOID HAMA Brontispa longissima

Tetratichus brontispae, PARASITOID HAMA Brontispa longissima Tetratichus brontispae, PARASITOID HAMA Brontispa longissima Oleh : Umiati, SP dan Irfan Chammami,SP Gambaran Umum Kelapa (Cocos nucifera L.) merupakan tanaman perkebunan industry berupa pohon batang lurus

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Serangga Ordo Hymenoptera

TINJAUAN PUSTAKA Serangga Ordo Hymenoptera TINJAUAN PUSTAKA Serangga Ordo Hymenoptera Ordo Hymenoptera termasuk ke dalam kelas Insecta. Ordo ini merupakan salah satu dari 4 ordo terbesar dalam kelas Insecta, yang memiliki lebih dari 80 famili dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit Setyamidjaja (2006) menjelasakan taksonomi tanaman kelapa sawit (palm oil) sebagai berikut. Divisi : Spermatophyta Kelas : Angiospermae Ordo : Monocotyledonae Famili

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN KUBIS PADA TIGA SISTEM BUDI DAYA A. MUBARRAK

PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN KUBIS PADA TIGA SISTEM BUDI DAYA A. MUBARRAK PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN KUBIS PADA TIGA SISTEM BUDI DAYA A. MUBARRAK SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK A. MUBARRAK. Perkembangan Hama dan Penyakit Tanaman

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

KOLEKSI HYMENOPTERA PARASITOID DENGAN KOMBINASI JARING SERANGGA DAN SEPARATOR AGUSTIN IRIANI

KOLEKSI HYMENOPTERA PARASITOID DENGAN KOMBINASI JARING SERANGGA DAN SEPARATOR AGUSTIN IRIANI KOLEKSI HYMENOPTERA PARASITOID DENGAN KOMBINASI JARING SERANGGA DAN SEPARATOR AGUSTIN IRIANI DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

Identifikasi dan Klasifikasi Hama Aphid (Kutu Daun) pada tanaman Kentang

Identifikasi dan Klasifikasi Hama Aphid (Kutu Daun) pada tanaman Kentang Identifikasi dan Klasifikasi Hama Aphid (Kutu Daun) pada tanaman Kentang Kehilangan hasil yang disebabkan gangguan oleh serangga hama pada usaha tani komoditas hortikultura khususnya kentang, merupakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Jagung manis termasuk dalam golongan famili graminae dengan nama latin Zea

II. TINJAUAN PUSTAKA. Jagung manis termasuk dalam golongan famili graminae dengan nama latin Zea II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Jagung Manis Jagung manis termasuk dalam golongan famili graminae dengan nama latin Zea mays saccarata L. Menurut Rukmana ( 2009), secara sistematika para ahli botani mengklasifikasikan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo sacchariphagus Bojer (Lepidoptera: Crambidae) diletakkan secara berkelompok dalam 2-3 baris (Gambar 1). Bentuk telur jorong

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo sacchariphagus Bojer (Lepidoptera: Crambidae) diletakkan secara berkelompok dalam 2-3 baris (Gambar 1). Bentuk telur jorong TINJAUAN PUSTAKA Chilo sacchariphagus Bojer (Lepidoptera: Crambidae) Biologi Ngengat meletakkan telur di atas permukaan daun dan jarang meletakkan di bawah permukaan daun. Jumlah telur yang diletakkan

Lebih terperinci

HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA

HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA Jambu mete merupakan tanaman buah berupa pohon yang berasal dari Brasil Tenggara. Tanaman ini dibawa oleh pelaut portugal ke India

Lebih terperinci

Menurut Borroret al (1992) serangga berperan sebagai detrivor ketika serangga memakan bahan organik yang membusuk dan penghancur sisa tumbuhan.

Menurut Borroret al (1992) serangga berperan sebagai detrivor ketika serangga memakan bahan organik yang membusuk dan penghancur sisa tumbuhan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Serangga masuk dalam filum Arthropoda dan kingdom Animalia yang memiliki keragaman Spesies terbesar dibandingkan dengan binatang yang lain yaitu hampir 75% dari total

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode yang digunakan yaitu metode deskriptif. Metode deskriptif merupakan metode yang melihat langsung fenomena, gejala, atau ciri-ciri secara langsung

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun morfologi tanaman tembakau adalah: Tanaman tembakau mempunyai akar tunggang terdapat pula akar-akar serabut

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun morfologi tanaman tembakau adalah: Tanaman tembakau mempunyai akar tunggang terdapat pula akar-akar serabut TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Tembakau adalah: Menurut Murdiyanti dan Sembiring (2004) klasifikasi tanaman tembakau Kingdom Divisi Sub divisi Class Ordo Family Genus : Plantae : Spermatophyta : Angiospermae

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Serangga Hypothenemus hampei Ferr. (Coleoptera : Scolytidae). Penggerek buah kopi (PBKo, Hypothenemus hampei) merupakan serangga

TINJAUAN PUSTAKA. Serangga Hypothenemus hampei Ferr. (Coleoptera : Scolytidae). Penggerek buah kopi (PBKo, Hypothenemus hampei) merupakan serangga TINJAUAN PUSTAKA Serangga Hypothenemus hampei Ferr. (Coleoptera : Scolytidae). Penggerek buah kopi (PBKo, Hypothenemus hampei) merupakan serangga hama utama pada tanaman kopi yang menyebabkan kerugian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Asal-usul dan Penyebaran Geografis Sifat Botani

TINJAUAN PUSTAKA Asal-usul dan Penyebaran Geografis Sifat Botani 3 TINJAUAN PUSTAKA Asal-usul dan Penyebaran Geografis Pepaya (Carica papaya) merupakan tanaman buah-buahan tropika. Pepaya merupakan tanaman asli Amerika Tengah, tetapi kini telah menyebar ke seluruh dunia

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa hidupnya.

TINJAUAN PUSTAKA. miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa hidupnya. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Sycanus sp. (Hemiptera: Reduviidae) Telur Kelompok telur berwarna coklat dan biasanya tersusun dalam pola baris miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif. Pengambilan data menggunakan metode eksplorasi, yaitu pengamatan atau pengambilan sampel

Lebih terperinci

BIOLOGI DAN KISARAN INANG LALAT PURU Cecidochares connexa (MACQUART) (DIPTERA: TEPHRITIDAE) SEBAGAI AGENS HAYATI GULMA KIRINYUH MURNI INDARWATMI

BIOLOGI DAN KISARAN INANG LALAT PURU Cecidochares connexa (MACQUART) (DIPTERA: TEPHRITIDAE) SEBAGAI AGENS HAYATI GULMA KIRINYUH MURNI INDARWATMI BIOLOGI DAN KISARAN INANG LALAT PURU Cecidochares connexa (MACQUART) (DIPTERA: TEPHRITIDAE) SEBAGAI AGENS HAYATI GULMA KIRINYUH MURNI INDARWATMI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Komoditas hortikultura buah apel (Malus sylvestris (L.) Mill) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Komoditas hortikultura buah apel (Malus sylvestris (L.) Mill) merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komoditas hortikultura buah apel (Malus sylvestris (L.) Mill) merupakan bagian penting dalam sektor pertanian, karena kebutuhan apel di Indonesia memiliki permintaan

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT BIODIVERSITAS INDONESIA UNAND PADANG, 23 APRIL Biodiversitas dan Pemanfaatannya untuk Pengendalian Hama

SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT BIODIVERSITAS INDONESIA UNAND PADANG, 23 APRIL Biodiversitas dan Pemanfaatannya untuk Pengendalian Hama SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT BIODIVERSITAS INDONESIA UNAND PADANG, 23 APRIL 26 Biodiversitas dan Pemanfaatannya untuk Pengendalian Hama Seminar Nasional Biodiversitas 23 April 26 Grand Inna Muara Hotel

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Penelitian Ketinggian wilayah di Atas Permukaan Laut menurut Kecamatan di Kabupaten Karanganyar tahun 215 Kecamatan Jumantono memiliki ketinggian terendah 3 m dpl

Lebih terperinci

Pengorok Daun Manggis

Pengorok Daun Manggis Pengorok Daun Manggis Manggis (Garcinia mangostana Linn.) merupakan tanaman buah berpotensi ekspor yang termasuk famili Guttiferae. Tanaman manggis biasanya ditanam oleh masyarakat Indonesia di pertanaman

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun II.TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun demikian burung adalah satwa yang dapat ditemui dimana saja sehingga keberadaanya sangat sulit dipisahkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi dan Morfologi Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros) kelapa sawit di Indonesia adalah kumbang tanduk O. rhinoceros.

TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi dan Morfologi Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros) kelapa sawit di Indonesia adalah kumbang tanduk O. rhinoceros. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi dan Morfologi Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros) Kumbang penggerek pucuk yang menimbulkan masalah pada perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah kumbang tanduk O. rhinoceros.

Lebih terperinci

Waspadai Kemunculan Pengorok Daun (Liriomyza sp) pada Tanaman Kopi

Waspadai Kemunculan Pengorok Daun (Liriomyza sp) pada Tanaman Kopi PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO Jalan Raya Dringu Nomor 81 Telp. (0335) 420517 PROBOLINGGO 67271 Pendahuluan Waspadai Kemunculan Pengorok Daun (Liriomyza sp) pada Tanaman Kopi Oleh : Ika Ratmawati, SP,

Lebih terperinci

Keanekaragaman Parasitoid dan Parasitisasinya pada Pertanaman Padi di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun

Keanekaragaman Parasitoid dan Parasitisasinya pada Pertanaman Padi di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Hayati, September 2003, hlm. 85-90 ISSN 0854-8587 Vol. 10. No. 3 Keanekaragaman Parasitoid dan Parasitisasinya pada Pertanaman Padi di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Diversity and Parasitism of

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera : Noctuidae :

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Van Steenis (2005), bengkuang (Pachyrhizus erosus (L.))

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Van Steenis (2005), bengkuang (Pachyrhizus erosus (L.)) TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Menurut Van Steenis (2005), bengkuang (Pachyrhizus erosus (L.)) termasuk ke dalam Kelas : Magnoliopsida, Ordo : Fabales, Famili : Fabaceae, Genus : Pachyrhizus, Spesies

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 19 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada remnant forest (hutan sisa) Kawasan Konservasi Hutan Duri PT. Caltex Pacifik Indonesia dengan luas 255 hektar di dalam kawasan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kehidupan serangga sudah dimulai sejak 400 juta tahun (zaman devonian). Kirakira

I. PENDAHULUAN. Kehidupan serangga sudah dimulai sejak 400 juta tahun (zaman devonian). Kirakira I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Serangga merupakan kelompok hewan dengan jumlah spesies serta kelimpahan tertinggi dibandingkan denga n makhluk hidup lainnya seperti tumbuhan dan hewan. Terdapat berbagai

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. Setothosea asigna, Setora nitens, Setothosea bisura, Darna diducta, dan, Darna

I. TINJAUAN PUSTAKA. Setothosea asigna, Setora nitens, Setothosea bisura, Darna diducta, dan, Darna I. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi Ulat Api (Setothosea asigna) Hama ulat api (Setothosea asigna) merupakan salah satu hama paling penting di Indonesia yang dapat merusak tanaman kelapa sawit. Spesies

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Spodoptera litura F. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Filum Kelas Ordo Famili Subfamili Genus : Arthropoda : Insecta

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi hama penggerek batang berkilat menurut Soma and Ganeshan

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi hama penggerek batang berkilat menurut Soma and Ganeshan TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama 1. Penggerek Batang Berkilat Klasifikasi hama penggerek batang berkilat menurut Soma and Ganeshan (1998) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies

Lebih terperinci

1. tikus 2. penggerek batang padi 3. wereng coklat

1. tikus 2. penggerek batang padi 3. wereng coklat 1. tikus 2. penggerek batang padi 3. wereng coklat Wereng coklat, (Nilaparvata lugens Stal) ordo Homoptera famili Delphacidae. Tubuh berwarna coklat kekuningan - coklat tua, berbintik coklat gelap pd

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo saccharipaghus Bojer (Lepidoptera: Pyralidae) mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam sebelum

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo saccharipaghus Bojer (Lepidoptera: Pyralidae) mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam sebelum TINJAUAN PUSTAKA Chilo saccharipaghus Bojer (Lepidoptera: Pyralidae) Biologi Telur diletakkan pada permukaan daun, berbentuk oval, datar dan mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. anthesis (mekar) seperti bunga betina. Tiap tandan bunga memiliki

TINJAUAN PUSTAKA. anthesis (mekar) seperti bunga betina. Tiap tandan bunga memiliki 4 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Bunga Kelapa Sawit Tandan bunga jantan dibungkus oleh seludang bunga yang pecah jika akan anthesis (mekar) seperti bunga betina. Tiap tandan bunga memiliki 100-250 spikelet (tangkai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman gladiol termasuk ke dalam famili Iridaceae dan memiliki daun yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman gladiol termasuk ke dalam famili Iridaceae dan memiliki daun yang 10 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani dan Morfologi Tanaman Gladiol Bunga gladiol yang berasal dari daratan Afrika Selatan ini memang sangat indah. Bunga ini simbol kekuatan, kejujuran, kedermawanan, ketulusan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

BAB III METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 9 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni hingga bulan Oktober tahun 2007 dengan mengambil lokasi di dua tempat, yaitu hutan alam (Resort Cibodas, Gunung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan nama latin Syzygium aromaticum atau Eugenia aromaticum. Tanaman

BAB I PENDAHULUAN. dengan nama latin Syzygium aromaticum atau Eugenia aromaticum. Tanaman BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Cengkeh adalah tumbuhan asli Maluku, Indonesia. Cengkeh dikenal dengan nama latin Syzygium aromaticum atau Eugenia aromaticum. Tanaman asli Indonesia ini tergolong

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Attacus atlas (L.) Klasifikasi Attacus atlas (L.) menurut Peigler (1980) adalah Filum Klasis Ordo Subordo Superfamili Famili Subfamily Genus : Arthropoda : Insecta

Lebih terperinci

Hercules si Perusak Tanaman Pala dan Cengkeh

Hercules si Perusak Tanaman Pala dan Cengkeh Hercules si Perusak Tanaman Pala dan Cengkeh I. Latar Belakang Tanaman pala merupakan tanaman keras yang dapat berumur panjang hingga lebih dari 100 tahun. Tanaman pala tumbuh dengan baik di daerah tropis.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. langsung dari lokasi pengamatan. Parameter yang diukur dalam penelitian adalah

BAB III METODE PENELITIAN. langsung dari lokasi pengamatan. Parameter yang diukur dalam penelitian adalah BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian diskriptif kuantitatif. Pengambilan data menggunakan metode eksplorasi, yaitu pengamatan atau pengambilan sampel

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis-Jenis Predator Pada Tanaman Jagung Jenis-jenis predator yang tertangkap pada tanaman jagung dengan sistem pola tanam monokultur dan tumpangsari adalah sama yakni sebagai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi Acerophagus papayae merupakan endoparasitoid soliter nimfa kutu putih pepaya, Paracoccus marginatus. Telur, larva dan pupa parasitoid A. papayae berkembang di dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dalam buku Steenis (2003), taksonomi dari tanaman tebu adalah Kingdom :

TINJAUAN PUSTAKA. dalam buku Steenis (2003), taksonomi dari tanaman tebu adalah Kingdom : TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Berdasarkan klasifikasi taksonomi dan morfologi Linneus yang terdapat dalam buku Steenis (2003), taksonomi dari tanaman tebu adalah Kingdom : Plantae, Divisio : Spermatophyta,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. bawah, biasanya pada pelepah daun ke Satu tumpukan telur terdiri dari

TINJAUAN PUSTAKA. bawah, biasanya pada pelepah daun ke Satu tumpukan telur terdiri dari TINJAUAN PUSTAKA Biologi Ulat Api 1. Biologi Setothosea asigna Klasifikasi S. asigna menurut Kalshoven (1981) adalah sebagai berikut : Phylum Class Ordo Family Genus Species : Arthropoda : Insekta : Lepidoptera

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat 7 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengendalian Hayati, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada bulan Februari

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and Development, PT Gunung Madu Plantations (PT GMP), Kabupaten Lampung Tengah.

Lebih terperinci

Konsep Keanekaragaman METODE Tempat dan Waktu Penelitian

Konsep Keanekaragaman METODE Tempat dan Waktu Penelitian 5 salinitas, ph, kandungan bahan-bahan, suhu dll.), dan atmosfer (atmosphere, udara: iklim, cuaca, angin, suhu, dll.) (Tarumingkeng 1991). Tarumingkeng (1991) menambahkan bahwa lingkungan biotik merupakan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. 19 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. B. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi yang diamati dalam penelitian ini adalah seluruh

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau dengan menggunakan

Lebih terperinci

Uji Parasitasi Tetrastichus brontispae terhadap Pupa Brontispae Di Laboratorium

Uji Parasitasi Tetrastichus brontispae terhadap Pupa Brontispae Di Laboratorium Uji Parasitasi Tetrastichus brontispae terhadap Pupa Brontispae Di Laboratorium Oleh Ida Roma Tio Uli Siahaan Laboratorium Lapangan Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBPPTP) Medan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) adalah tanaman perkebunan yang sangat toleran terhadap kondisi lingkungan yang kurang baik. Namun, untuk menghasilkan pertumbuhan yang sehat

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Ulat pemakan daun kelapa sawit yang terdiri dari ulat api, ulat kantung, ulat bulu merupakan hama yang paling sering menyerang kelapa sawit. Untuk beberapa daerah tertentu, ulat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Buah Naga

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Buah Naga II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Buah Naga Buah naga ( Dragon Fruit) merupakan salah satu tanaman hortikultura yang baru dibudidayakan di Indonesia dengan warna buah merah yang menyala dan bersisik hijau

Lebih terperinci

PERBAIKAN TEKNIK GRAFTING MANGGIS (Garcinia mangostana L.) SOFIANDI

PERBAIKAN TEKNIK GRAFTING MANGGIS (Garcinia mangostana L.) SOFIANDI PERBAIKAN TEKNIK GRAFTING MANGGIS (Garcinia mangostana L.) SOFIANDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 i SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jenis-Jenis Predator pada Tanaman Padi Hasil pengamatan predator pada semua agroekosistem yang diamati sebagai berikut: 1. Tetragnatha sp. Klas : Arachnida Ordo : Araneae

Lebih terperinci

TAHAP TAHAP PERKEMBANGAN TAWON KEMIT (Ropalidia fasciata) YANG MELIBATKAN ULAT GRAYAK (Spodopteraa exigua)

TAHAP TAHAP PERKEMBANGAN TAWON KEMIT (Ropalidia fasciata) YANG MELIBATKAN ULAT GRAYAK (Spodopteraa exigua) TAHAP TAHAP PERKEMBANGAN TAWON KEMIT (Ropalidia fasciata) YANG MELIBATKAN ULAT GRAYAK (Spodopteraa exigua) SKRIPSI Diajukan Untuk Penulisan Skripsi Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Sarjana Pendidikan (S-1)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit dapat tumbuh pada jenis tanah podzolik, latosol, hidromorfik

TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit dapat tumbuh pada jenis tanah podzolik, latosol, hidromorfik TINJAUAN PUSTAKA Kelapa Sawit Kelapa sawit dapat tumbuh pada jenis tanah podzolik, latosol, hidromorfik kelabu, alluvial atau regosol, tanah gambut saprik, dataran pantai dan muara sungai. Tingkat keasaman

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) banyak ditanam di daerah beriklim panas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) banyak ditanam di daerah beriklim panas II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi Tanaman Sorgum Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) banyak ditanam di daerah beriklim panas dan daerah beriklim sedang. Sorgum dibudidayakan pada ketinggian 0-700 m di

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) diterangkan bahwa klasifikasi hama Oryctes

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) diterangkan bahwa klasifikasi hama Oryctes TINJAUAN PUSTAKA Biologi Oryctes rhinoceros Menurut Kalshoven (1981) diterangkan bahwa klasifikasi hama Oryctes rhinoceros adalah sebagai berikut : Phylum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Arthropoda :

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ulat Kantong (Metisa plana) BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Ulat Kantong (M. plana) merupakan salah satu hama pada perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. Hama ini biasanya memakan bagian atas daun, sehingga

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi E. furcellata (Hemiptera : Pentatomidae) Menurut Kalshoven (1981) E. furcellata diklasifikasikan sebagai berikut : Phylum Klass Ordo Family Genus Spesies : Arthropoda

Lebih terperinci

Pengendalian serangga hama. Silvikultur Fisik mekanik Hayati : (predator, parasitoid, patogen) Genetik Kimiawi Perundangan PHT

Pengendalian serangga hama. Silvikultur Fisik mekanik Hayati : (predator, parasitoid, patogen) Genetik Kimiawi Perundangan PHT Pengendalian serangga hama Silvikultur Fisik mekanik Hayati : (predator, parasitoid, patogen) Genetik Kimiawi Perundangan PHT 1. Pengendalian secara silvikultur -Mengatur komposisi tegakan (hutan campuran)

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian 12 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Percobaan dilakukan di Desa Dukuh Asem, Kecamatan Majalengka, Kabupaten Majalengka pada tanggal20 April sampai dengan 2 Juli 2012. Lokasi percobaan terletak

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman mahkota dewa memiliki nama ilmiah Phaleria macrocarpa Boerl.,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman mahkota dewa memiliki nama ilmiah Phaleria macrocarpa Boerl., II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Mahkota Dewa 1. Klasifikasi dan Ciri Morfologi Tanaman mahkota dewa memiliki nama ilmiah Phaleria macrocarpa Boerl., dengan nama sinonim Phaleria papuana. Nama umum dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kopi (coffea sp.) adalah tanaman yang berbentuk pohon termasuk dalam famili

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kopi (coffea sp.) adalah tanaman yang berbentuk pohon termasuk dalam famili 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kopi Kopi (coffea sp.) adalah tanaman yang berbentuk pohon termasuk dalam famili Rubiceae dan genus Coffea. Tanaman ini tumbuhnya tegak, bercabang, dan bila dibiarkan

Lebih terperinci

METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian 11 METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan dari bulan Januari sampai Juni 2009. Pengamatan serangga dilakukan di dua lokasi, yaitu pada pertanaman H. multifora di lingkungan Kampus Institut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Klasifikasi tanaman kedelai Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai jenis liar Glycine ururiencis, merupakan kedelai yang

Lebih terperinci

PENGARUH BENTUK DAN KETINGGIAN PERANGKAP STICKY TRAP KUNING TERHADAP LALAT BUAH

PENGARUH BENTUK DAN KETINGGIAN PERANGKAP STICKY TRAP KUNING TERHADAP LALAT BUAH PENGARUH BENTUK DAN KETINGGIAN PERANGKAP STICKY TRAP KUNING TERHADAP LALAT BUAH (Bactrocera spp.) (Diptera:Tephritidae) PADA TANAMAN TOMAT ( Solanum lycopersicum Mill.) DI DATARAN RENDAH SKRIPSI OLEH :

Lebih terperinci