INTERAKSI PREDASI TERI (Stolephorus spp.) SELAMA PROSES PENANGKAPAN IKAN DENGAN BAGAN RAMBO: HUBUNGANNYA DENGAN KELIMPAHAN PLANKTON AMIRUDDIN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "INTERAKSI PREDASI TERI (Stolephorus spp.) SELAMA PROSES PENANGKAPAN IKAN DENGAN BAGAN RAMBO: HUBUNGANNYA DENGAN KELIMPAHAN PLANKTON AMIRUDDIN"

Transkripsi

1 INTERAKSI PREDASI TERI (Stolephorus spp.) SELAMA PROSES PENANGKAPAN IKAN DENGAN BAGAN RAMBO: HUBUNGANNYA DENGAN KELIMPAHAN PLANKTON AMIRUDDIN SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

2 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Interaksi pemangsaan Teri (Stolephorus spp.) selama Proses Penangkapan Ikan dengan Bagan Rambo; Hubungannya dengan Kelimpahan Plankton adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini. Bogor, Agustus 2006 A m i r u d d i n NIM C

3 iii ABSTRAK AMIRUDDIN. Interaksi Predasi Teri (Stolephorus spp.) selama Proses Penangkapan Ikan dengan Bagan Rambo: Hubungannya dengan Kelimpahan Plankton. Dibimbing oleh M. Fedi A. Sondita, Richardus F. Kaswadji dan Domu Simbolon. Ketertarikan ikan memasuki catchable area bagan rambo selain karena faktor cahaya, juga dapat disebabkan oleh faktor makanan. Faktor kedua menjadi penting jika terjadi interaksi pemangsaan antar berbagai jenis ikan. Teri adalah salah satu penghubung antar plankton dan ikan dalam ekosistem laut, dimana teri memangsa plankton dan dimangsa oleh beberapa ikan pemangsa. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis interaksi pemangsaan teri (Stolephorus spp.) selama proses penangkapan ikan dengan bagan rambo dan keterkaitannya dengan hasil tangkapan dan kelimpahan plankton. Penelitian dilaksanakan dari bulan Mei sampai Juli 2005, di Selat Makassar perairan Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan. Pengambilan data lapangan dilakukan pada malam hari mengikuti operasi penangkapan ikan 1 unit bagan rambo pada 8 stasion penelitan dalam waktu dan tempat yang berbeda. Pada setiap stasion penelitian dilakukan pengambilan sampel air laut untuk pengamatan plankton, pengambilan sampel ikan untuk identifikasi dan analisis interaksi pemangsaan dan mencatat komposisi dan jumlah tangkapan ikan pada setiap waktu hauling. Interkasi pemangsaan teri selama proses penangkapan ikan dengan bagan rambo terjadi ketika teri memangsa plankton dan dimangsa oleh beberapa ikan pemangsa. Makanan teri hitam (Stolephorus insularis) terdiri dari zooplankton (94%) dan fitoplankton (6%), hal ini preferensi teri hitam terhadap zooplankton sebagai makanan utamanya. Preferensi ini juga ditunjukkan oleh indeks pilihan makanan yang menunjukkan nilai positif untuk makanan zooplankton dan nilai negatif untuk fitoplankton. Jenis makanan yang banyak dimangsa oleh teri hitam adalah Copepoda (50%) dan Malacostraca (27%), telur/larva (9%), nauplius (5%) dan diatom (4%) sedangkan kumulatif plankton lain hanya sebesar 5%. Terdapat korelasi positif antara jumlah zooplankton dalam makanan teri hitam dengan kelimpahan zooplankton di perairan (R 2 = 0,643), namun tidak terhadap fitoplankton. Korelasi positif terjadi juga antara jumlah tangkapan teri hitam dengan kelimpahan zooplankton di perairan (R 2 = 0,403). Teri (Stolephorus spp.) dimangsa oleh beberapa ikan pemangsa utamanya selar. Proporsi volume teri dalam total makanan selar berkisar antara 77,8% sampai 91,3% dengan frekuensi pemangsaan antara 80% sampai 100%. Kata kunci : predasi, bagan rambo, plankton, teri (Stolephorus spp.).

4 iv ABSTRACT AMIRUDDIN. Predation of Anchovy during Capture Process of Bagan Rambo: its Relation to Plankton Abundance. Under the supervision of M. Fedi A. Sondita, Richardus F. Kaswadji and Domu Simbolon. Fish movement into the catchable area of bagan rambo (lifnet) may not only due to the influence of light but also the presence of their preys. Hence, there maybe some interaction among biotas in the catchable area that builds a food chain. This research describes anchovy, its preys (the plankton) and predators of the anchovy during capture process. Data were collected during bagan rambo operation from May July 2005 in 8 locations in Makassar Strait. The interaction between the anchovy and plankton, and between anchovy and its predators ware based on the presence and quantitative of substances found in the digestive system of the anchovy and its predators, and the correlation between the catch of the anchovy and the abundance of the plankton. There was significant correlation between the amount of anchovy food in its stomach and the abundances of zooplankton in the waters (R 2 = 0,643), but not with abundances of phytoplankton. Number of anchovy predated by its prey was also correlated with the abundances of the anchovy (R 2 = 0,403). The anchovy was also preyed mainly selar (Selar); other predator were peperek (Leiognathus), alu-alu (Sphyraena), buntal (Diodon), kwee (Caranx), kerong-kerong (Therapon), bambangan (Lutjanus) and lencam (Lethrinus). Keywords : predation, liftnet, plankton, anchovy (Stolephorus spp.).

5 v INTERAKSI PREDASI TERI (Stolephorus spp.) SELAMA PROSES PENANGKAPAN IKAN DENGAN BAGAN RAMBO: HUBUNGANNYA DENGAN KELIMPAHAN PLANKTON AMIRUDDIN Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

6 vi Judul Tesis Nama NIM : Interaksi Predasi Teri (Stolephorus spp.) selama Proses Penangkapan Ikan dengan Bagan Rambo: Hubungannya dengan Kelimpahan Plankton : A m i r u d d i n : C Disetujui, Komisi Pembimbing Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, M.Sc Ketua Dr. Ir. Richardus F. Kaswadji, M.Sc Angggota Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si Anggota Ketua Pogram Studi Teknologi Kelautan Diketahui, Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc MS Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, Tanggal Ujian: 14 Juni 2006 Tanggal Lulus:

7 vii PRAKATA Puji syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis: Interaksi Predasi Teri (Stolephorus spp.) selama Proses Penangkapan Ikan dengan Bagan Rambo: Hubungannya dengan Kelimpahan Plankton. Sebelum penelitian dan penyusunan tesis ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setulusnya kepada: (1) Bapak Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan saran yang konstruksif. (2) Bapak Dr. Ir. Richardus F. Kaswadji, M.Sc dan Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya dalam memberikan bimbingan, arahan dan saran yang konstruksif. (3) Bapak Dr. Ir. Mulyono Baskoro, M.Sc selaku penguji luar komisi atas koreksi, saran dan pertanyaan yang memberikan bobot tersendiri tesis ini. (4) Dekan Sekolah Pascasarjana dan Ketua Program Studi Teknologi Kelautan Institut Pertanian Bogor beserta para staf pengajar yang telah banyak membekali ilmu pengetahuan dan wawasan penulis. (5) Pemerintah Kabupaten Buton dan Pemerintah Kota Bau-Bau yang telah membantu dana selama kuliah, penelitian dan penyelesaian tesis ini. (6) Rekan-rekan Mahasiswa Program Studi Teknologi Kelautan khususnya angkatan 2002 dan 2003 atas segala kerjasama dan dukungannya selama ini. (7) Rekan-rekan PTD: Baharuddin, Ali, Takril, Aminah, Suri, Pak Sultan. (8) Pak Hatta, Ismail, Ridho, Rista, Evi, dan Pak Amir Barru atas segala kerjasama dan bantuannya dalam pengambilan data lapangan. (9) Adik Fannyes atas segala kebaikan dan dukungannya yang tak pernah putus. (10) Teristimewa kedua orangtua: ibunda Masrifa dan ayahanda Sail Laanda serta seluruh keluarga atas segala bantuan, dukungan, doa dan pengertiannya selama menyelesaikan studi.

8 viii (11) Semua pihak yang telah memberikan dukungan dan sumbangsi pemikiran dalam penyelesaian tesis ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini, masih jauh dari kesempurnaan. Olehnya itu, segala saran dan kritikan yang sifatnya konstruktif dengan senang hati penulis harapkan. Semoga tesis ini bermanfaat adanya. Bogor, Agustus 2006 Penulis

9 ix RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Makassar pada tanggal 29 Januari 1976 dari ibu Masrifa dan ayah Sail Laanda. Penulis merupakan putra bungsu dari lima bersaudara. Tahun 1994 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Kendari Sulawesi Tenggara dan pada tahun 1996 lulus seleksi masuk Universitas Hasanuddin Makassar di Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan melalui jalur UMPTN. Februari 2003 melanjutkan pendidikan program magister sains pada Program Studi Teknologi Kelautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor melalui bantuan pendidikan Pemerintah Kabupaten Buton dan Pemerintah Kota Bau-Bau.

10 x DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman xiii xiv xvi 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Penelitian Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian Hipotesis TINJAUAN PUSTAKA Perikanan Bagan Rambo Gambaran Umum Teri (Stolephorus spp.) Plankton Kebiasaan Makanan Pemangsaan (Predasi) METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Alat dan Bahan Penelitian Metode Pengambilan Data Kelimpahan plankton Hasil tangkapan ikan Interaksi pemangsaan teri terhadap plankton Interaksi pemangsaan teri oleh ikan pemangsa Analisis Data Kelimpahan plankton Hasil tangkapan ikan Interaksi pemangsaan teri terhadap plankton Interaksi pemangsaan teri oleh ikan pemangsa HASIL Gambaran Umum Kondisi Perairan Kabupaten Barru Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil Tangkapan Ikan Pemangsaan Teri Hitam (Stolephorus insularis) terhadap Plankton Pemangsaan Teri (Stolephorus spp.) oleh Ikan Pemangsa... 43

11 xi 5 PEMBAHASAN Kondisi Perairan di Kabupaten Barru Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil Tangkapan Ikan Pemangsaan Pemangsaan teri hitam (Stolephorus insularis) terhadap plankton Pemangsaan teri (Stolephorus spp.) oleh ikan pemangsa KESIMUPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 60

12 xii DAFTAR TABEL Halaman 1 Waktu dan posisi pengambilan data lapangan Alat dan bahan penelitian Rata-rata dan simpangan baku parameter (sb) suhu, kecepatan arus, salinitas, dan oksigen terlarut di perairan Kabupaten Barru Kelimpahan plankton secara vertikal pada kedalaman 0, 5 dan 10 meter serta kelimpahan rata-rata ± simpangan baku (sb) selama penelitian Jumlah, rata-rata dan rasio jenis ikan yang tertangkap oleh bagan rambo selama penelitian Indeks pilihan makanan (E) teri hitam... 39

13 xiii DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka pemikiran penelitian Diagram alir rumusan masalah penelitian Bagan rambo sebelum dan saat operasi penangkapan ikan Anatomi teri Stolephorus spp. (Hutomo et al., 1987) Peta lokasi pengambilan data lapangan Pengambilan sampel air untuk pengamatan plankton Estimasi berat ikan untuk menduga total hasil tangkapan (a) Hasil tangkapan dalam 1 hauling; (b) Hasil tangkapan dalam 1 keranjang Sampel teri (Stolephorus spp.) untuk analisis komposisi makanan Kondisi suhu dan salinitas perairan Kabupaten Barru Kondisi kecepatan arus dan oksigen terlarut (DO) perairan Kabupaten Barru Kelimpahan rata-rata fitoplankton pada setiap stasion penelitian Kelimpahan rata-rata zooplankton pada setiap stasion penelitian Kelimpahan rata-rata plankton setiap Stasion penelitian dan fase bulan Kelimpahan rata-rata plankton berdasarkan waktu hauling Hasil tangkapan rata-rata berdasarkan stasion penelitian dan fase bulan selama penelitian Jumlah tangkapan rata-rata semua jenis ikan dan jenis teri setiap waktu hauling selama penelitian Fungsi regresi antara kelimpahan fitoplankton di perairan dan hasil tangkapan teri Fungsi regresi antara kelimpahan zooplankton di perairan dan hasil tangkapan teri... 36

14 xiv 19 Fungsi regresi linear antara hasil tangkapan teri dengan hasil tangkapan ikan non teri Indeks bagian terbesar (index of preponderence) makanan teri hitam Jumlah makanan teri hitam dalam setiap waktu hauling Hubungan kelimpahan fitoplankton di perairan dan makanan teri hitam Hubungan kelimpahan zooplankton di perairan dan makanan teri hitam Komposisi makanan teri hitam berdasarkan indeks bagian terbesar (index of preponderence) pada setiap stasion penelitian Hubungan jumlah pemangsaan teri oleh peperek dan jumlah tangkapan teri selama penelitian Hubungan jumlah pemangsaan teri oleh selar dan jumlah tangkapan teri selama penelitian Jumlah teri yang dimangsa oleh ikan lain... 45

15 xv DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Komposisi dan kelimpahan plankton per hauling pada setiap stasion penelitian Hasil sidik ragam terhadap data plankton per hauling pada setiap stasion penelitian Komposisi jenis ikan hasil tangkapan bagan rambo per hauling pada setiap stasion penelitian Jumlah ikan hasil tangkapan bagan rambo per hauling pada setiap stasion penelitian Hasil sidik ragam dan analisis korelasi hasil tangkapan ikan antar waktu hauling dan antar stasion penelitian Index of preponderence makanan teri hitam (Stolephoeus insularis) per hauling pada setiap stasion penelitian Indeks pilihan makanan teri hitam (Stolephorus insularis) Perbandingan plankton yang terdapat dalam perairan dan makanan teri hitam (Stolephoeus insularis) Hasil sidik ragam dan analisis korelasi komposisi makanan teri hitam (Stolephorus insularis) pemangsaan teri (Stolephorus spp.) oleh beberapa ikan pemangsa Gambar beberapa genus plankton yang ditemukan dalam perairan dan makanan teri hitam (Stolephorus insularis)... 84

16 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bagan adalah salah satu jenis alat tangkap yang menggunakan cahaya sebagai alat bantu penangkapan. Berdasarkan cara pengoperasiannya bagan dapat dikelompokkan sebagai jaring angkat atau liftnet (von Brandt 1985, Hutomo et al. 1987). Salah satu jenis bagan yang banyak dioperasikan oleh masyarakat di Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan adalah bagan rambo. Dikatakan bagan rambo berhubungan dengan ukuran kerangka perahu bagan yang mencapai 32 m x 30 m dan pengggunaan lampu listrik sebagai sumber cahaya dalam kapasitas besar yang dapat mencapai watt (Sudirman 2003). Saat ini di perairan Kabupaten Barru telah beroperasi sekitar seratus lebih bagan rambo dengan berbagai macam ukuran. Prinsip penangkapan ikan dengan alat tangkap bagan rambo pada dasarnya memanfaatkan tingkah laku ikan, khususnya respon ikan terhadap cahaya. Iluminasi cahaya ke dalam kolom perairan akan mengarahkan ikan-ikan yang bersifat fototaksis positif untuk mendekati sumber cahaya tersebut sehingga memasuki catchable area bagan rambo. Namun demikian, ikan yang masuk di catchable area dimungkinkan juga karena ketersediaan sumber makanan. Kondisi perairan yang lebih terang akan lebih memudahkan ikan untuk menangkap mangsanya. Secara umum dapat dikatakan bahwa terdapat tiga kelompok ikan yang memasuki catchable area bagan rambo yaitu : (1) ikan yang murni bersifat fototaksis positif; (2) ikan yang bertujuan mencari makan; dan (3) ikan yang bersifat fototaksis positif dan bertujuan mencari makan (Gambar 1). Selama pengoperasian bagan rambo terjadi interaksi pemangsaan yang melibatkan berbagai jenis ikan mulai dari ikan planktivor yang memakan plankton sampai ke ikan karnivor dan omnivor. Ikan kecil memangsa organisme yang lebih kecil, sebaliknya ia juga akan dimangsa oleh ikan lain dari trofik level lebih tinggi. Interaksi pemangsaan ini dapat diketahui dengan melakukan analisis isi perut (stomach analysis) pada ikan-ikan hasil tangkapan. Teri merupakan jenis ikan kecil yang banyak dimangsa oleh ikan-ikan lain, sedangkan teri sendiri memanfaatkan plankton sebagai makanannya. Teri adalah makanan bagi ikan-ikan lain dan merupakan penghubung dalam rantai

17 2 makanan antara plankton dengan ikan yang lebih besar maka dapat dikatakan teri merupakan salah satu komponen utama dalam ekosistem laut Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian. 1.2 Rumusan Masalah Penelitian Bagan rambo dapat menangkap ikan dalam jumlah yang besar, utamanya jenis ikan pelagis kecil. Ikan diarahkan masuk dalam catchable area bagan rambo dengan memanfaatkan ketertarikannya terhadap cahaya, sehingga dapat dikatakan cahaya merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan hasil tangkapan. Namun kenyataannya terdapat variasi jumlah tangkapan pada kondisi perairan dan pencahayaan yang sama. Hal ini mungkin saja disebabkan oleh faktor lain seperti faktor makanan. Ketersediaan makanan baik dalam jumlah dan kualitas serta kemudahan mendapatkan makanan merupakan variabel penting bagi struktur

18 3 komunitas dalam suatu perairan. Ketersediaan makanan itu sendiri selain dipengaruhi oleh kondisi biotik, juga oleh kondisi abiotik (Effendie 1997). Hasil tangkapan utama bagan rambo adalah jenis teri (Stolephorus spp.). Variasi hasil tangkapan teri selain disebabkan oleh faktor pencahayaan, dapat saja disebabkan oleh ketersediaan makanannya dalam kolom perairan saat itu. Laevastu dan Hayes (1981) menyatakan bahwa teri mempunyai pola pergerakan vertikal yang jelas, dimana pada siang hari berada di dasar perairan dan bermigrasi ke daerah dangkal dan permukaan pada malam hari. Terdapat suatu dugaan bahwa migrasi vertikal teri pada malam hari bertujuan untuk mencari makan dimana kondisi perairan yang terang karena pencahayaan bagan rambo membantu teri dalam menangkap mangsanya. Kehadiran teri akan mengarahkan ikan-ikan karnivor dan omnivor sebagai pemangsa untuk masuk dalam catchable area bagan rambo, sehingga terjadi interaksi pemangsaan, yaitu teri memakan organisme yang lebih kecil (plankton), sedangkan teri sendiri dimangsa oleh ikan-ikan karnivor dan omnivor. Hal yang menarik adalah bagaimana interaksi pemangsaan teri itu terjadi. Interaksi pemangsaan yang dimaksud adalah apa dan seberapa besar teri memanfaatkan makanannya dan di makan oleh pemangsanya, serta apakah interaksi pemangsaan teri bersama-sama dengan penangkapan teri oleh nelayan secara kontinyu dapat merubah struktur komunitas di suatu perairan. Kajian ini belum diketahui dengan baik dan dibutuhkan analisis yang komprehensif dari berbagai aspek sehingga relatif sulit untuk dilakukan. Penelitian ini sebagai studi awal yang diharapkan dapat membantu memberikan informasi interaksi pemangsaan teri khususnya yang terjadi selama proses pengoperasian bagan rambo (Gambar 2). Gambar 2 Diagram alir rumusan masalah penelitian.

19 4 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: (1) Menjelaskan pemangsaan teri (Stolephorus insularis) terhadap plankton selama proses penangkapan ikan dengan bagan rambo. (2) Menjelaskan tingkat pemangsaan teri (Stolephorus spp.) oleh beberapa ikan pemangsa selama proses penangkapan ikan dengan bagan rambo. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang interaksi pemangsaan ikan teri dan penjelasan lain tentang variabilitas jenis dan jumlah hasil tangkapan serta ketertarikan teri memasuki area penangkapan (catchable area) bagan rambo. 1.4 Hipotesa Hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini, yaitu: (1) Terdapat korelasi antara kelimpahan plankton di perairan dengan jumlah teri yang memasuki cathable area bagan rambo (hasil tangkapan). (2) Terdapat korelasi antara jenis dan kelimpahan plankton di perairan dengan jenis dan jumlah plankton yang dimangsa oleh teri. (3) Terdapat korelasi antara jumlah tangkapan teri dengan jumlah tangkapan beberapa jenis ikan lain. (4) Terdapat korelasi antara jumlah tangkapan teri dengan jumlah pemangsaan teri oleh beberapa jenis ikan pemangsa teri.

20 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Bagan Rambo Bagan merupakan salah satu jenis alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan pelagis kecil, menggunakan cahaya lampu sebagai atraksi untuk mengarahkan ikan dan penggunaan jaring dengan mata jaring yang berukuran kecil. Bagan telah banyak mengalami perkembangan baik bentuk maupun ukuran yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga sesuai dengan daerah penangkapannya. Berdasarkan cara pengoperasiaannya, bagan dikelompokkan sebagai jaring angkat atau liftnet (von Brandt 1985, Hutomo et al. 1987), namun karena menggunakan cahaya lampu untuk mengumpulkan ikan maka disebut juga light fishing (Subani dan Barus 1989). Bagan termasuk kedalam light fishing yang menggunakan lampu sebagai alat bantu untuk merangsang atau menarik perhatian ikan untuk berkumpul di bawah cahaya lampu, kemudian dilakukan penangkapan dengan jaring yang telah tersedia (Ayodhyoa 1981). Ada dua jenis bagan yang ada di Indonesia, yang pertama adalah bagan tancap yaitu jenis bagan yang ditancapkan secara tetap di perairan pada kedalaman 5 10 meter, dan jenis kedua adalah bagan apung yaitu bagan yang dapat dipindahkan dari satu daerah penangkapan ke daerah penangkapan lainnya (Baskoro 1999). Jenis bagan apung selanjutnya dapat diklasifikasikan menjadi bagan satu perahu, bagan dua perahu, dan bagan menggunakan mesin. Perkembangan terakhir mengenai teknologi penangkapan ikan dengan bagan di Indonesia adalah penggunaan bagan berukuran besar yang umumnya disebut sebagai bagan rambo (Nadir 2000). Bagan rambo mempunyai ukuran yang lebih besar dan konstruksinya tampak lebih kokoh serta jumlah lampu yang digunakan lebih banyak (Gambar 3). Perahu bagan dapat dikatakan sebagai bangunan utama bagan rambo karena selain berfungsi sebagai pengapung, di atas bangunan tersebut terkonsentrasi seluruh peralatan serta merupakan tempat kegiatan pada saat operasi penangkapan. Bentuk dan konstruksi perahu dirancang khusus, yaitu berbentuk pipih memanjang dengan dimensi utama panjang 30 meter, lebar 2 meter dan dalam 3,5 meter. Selain perahu, komponen lainnya adalah rangka bagan dan tiang utama

21 6 bagan. Adanya bangunan kayu yang berbentuk rangka merupakan ciri khas bagan. Ukuran panjang dan lebar rangka bagan adalah 32 m x 30 m, dirangkai pada sisi kiri dan kanan perahu. Tiang utama berjumlah 2 buah, merupakan tempat mengikat rangka bagan sehingga dapat berdiri kokoh. Tali pengikat menggunakan kawat baja yang dibentangkan antara rangka bagan dan tiang utama bagan. Semua bahan dari perahu, rangka dan tiang utama bagan terbuat dari kayu pilihan. Selain itu dilengkapi dengan jaring, roller, generator dan lampu merkuri (Nadir 2000; Sudirman 2003). Lebih lanjut dikatakan bahwa pengoperasian bagan rambo dapat dilakukan pada bulan terang, karena kekuatan cahaya yang digunakan sangat tinggi sehingga penetrasi cahaya yang masuk ke perairan akan lebih dalam dan dapat menarik kawanan ikan pada jarak yang jauh. Gambar 3 Bagan rambo sebelum dan saat operasi penangkapan ikan Hal yang menarik dalam pengoperasian bagan rambo ini adalah penggunaan cahaya lampu dari sumber listrik dalam kapasitas yang besar. Jumlah lampu yang digunakan berkisar unit. Berdasarkan fungsinya lampu dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu lampu untuk menarik ikan sehingga memasuki catchable area dan lampu untuk mengkonsentrasikan ikan yang telah tertarik pada cahaya lampu (Sudirman 2003). Namun demikian tertariknya ikan oleh cahaya tidak semata-mata disebabkan oleh sifat fototaksis positif tersebut tetapi juga karena motif lain. Lebih lanjut dikatakan bahwa bagi ikan cahaya juga merupakan indikasi adanya makanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan dalam keadaan lapar akan lebih mudah terpikat oleh cahaya dibandingkan dalam keadaan kenyang.

22 7 2.2 Gambaran Umum Teri (Stolephorus spp.) Menurut Munro (1967) yang dikutip oleh Haumahu (1995) klasifikasi teri sebagai berikut : Filum : Animalia Sub filum : Vertebrata Kelas : Pisces Sub kelas : Teleostei Ordo : Clupeiformes Famili : Engraulidae Genus : Stolephorus Teri dikenal juga sebagai anchovy, umumnya berukuran kecil sekitar 6-9 cm, tetapi ada juga yang berukuran relatif besar misalnya Stolephorus commersoni dan Stolephorus indicus dapat mencapai panjang 17,5 cm. Ikan ini umumnya menghuni perairan dekat pantai dan estuaria, hidup bergerombol utamanya yang berukuran kecil tetapi yang berukuran lebih besar lebih bersifat soliter (Hutomo et al. 1987) Stolephorus spp. mempunyai tanda-tanda khas yaitu umumnya tidak berwarna atau agak kemerah-merahan, bagian samping tubuhnya terdapat garis putih keperakan seperti selempang yang memanjang dari kepala sampai ekor, bentuk tubuh bulat memanjang (fusiform) dan termampat samping (compressed) dengan sisik berukuran kecil dan tipis serta mudah lepas (Gambar 4). Tulang atas rahang memanjang mencapai celah insang. Sirip dorsal umumnya tanpa duri pradorsal, sebagian atau seluruhnya terletak dibelakang anus pendek dengan jarijari lemah sekitar buah. terletak Sirip caudal bercagak dan tidak bergabung dengan sirip anal, duri abdominal hanya terdapat antara sirip pektoral dan ventral berjumlah tidak lebih dari 7 buah (Hutomo et al. 1987; Hauhamu 1995). Teri menyebar pada daerah yang sangat luas. Daerah penangkapannya terdapat di Samudera Hindia sebelah timur sampai Samudera Pasifik Tengah bagian barat. Penyebaran ke selatan sampai daerah Australia, ke arah timur di daerah Jepang dan Hawai. Ikan pelagis memiliki pola pergerakan vertikal yang jelas, dimana pada siang hari ikan berada dekat dasar perairan. Laevastu dan Hayes (1981) mengemukakan bahwa teri selama siang hari membentuk

23 8 gerombolan di dasar perairan dan bermigrasi menuju permukaan pada malam hari dimana tebalnya gerombolan ini adalah 6-15 m. Kedalaman renang dari gerombolan teri bervariasi selama siang hari dan bermigrasi ke daerah yang dangkal (permukaan) pada waktu pagi dan sore hari. Hal ini berkaitan erat dengan cahaya, teri menyukai intensitas cahaya tertentu dan kedalaman dari intensitas bervariasi sesuai dengan waktu, derajat perawanan dan koefisien ekstinksi dari air. Beberapa sifat fisika-kimia air merupakan salah satu faktor eksternal yang berpengaruh terhadap perkembangan ikan teri. Dalam kondisi alamiah, faktor lingkungan yang berpengaruh adalah suhu, oksigen terlarut, periode penyinaran dan ketersediaan pakan (Omori dan Ikeda 1984). Gambar 4 Anatomi teri Stolephorus spp. (Hutomo et al. 1987) Peningkatan atau penurunan suhu dari kisaran optimum akan berhubungan dengan laju pencernaan karena pada suhu yang lebih rendah dari suhu normal, nafsu makan ikan akan berkurang atau bahkan terhenti. Sebaliknya peningkatan suhu sampai batas tertentu akan merangsang hewan air untuk makan dan meningkatkan aktivitas fisiologi seperti metabolisme dan pencernaan pakan. Suhu juga mempengaruhi laju metabolisme, tingkah laku, kelangsungan hidup dan distribusi ikan. Laevastu dan Hayes (1981) mengemukakan bahwa kisaran suhu bagi kehidupan dan pemijahan ikan teri adalah 13 C - 29 C. Lebih lanjut dijelaskan bahwa oksigen terlarut dalam air sangat penting bagi kehidupan dan perkembangan larva yaitu untuk proses metabolisme dan kecepatan makan. Kedua proses ini akan terhenti bila kekurangan oksigen. Penurunan kandungan

24 9 oksigen dalam air akan menurunkan laju metabolisme aktif dan menghambat aktivitas spesies seperti pertumbuhan, perkembangan dan pergerakan. Salinitas pada perairan pantai umumnya bervariasi karena input aliran sungai. Variasi salinitas ini akan mempengaruhi osmoregulasi ikan dan menentukan kemampuan mengapung telur ikan. Salinitas juga mempengaruhi distribusi dan kelimpahan ikan karena ikan bertoleransi terhadap kisaran salinitas tertentu. Pengaruh salinitas terhadap ikan juga berkaitan dengan orientasi migrasi ikan sebagai respon terhadap gradien salinitas, serta pengaruhnya terhadap keberhasilan reproduksi. Teri pada umumnya bersifat pelagis dan hidup pada lingkungan perairan pesisir (Laevastu dan Hayes 1981). 2.3 Plankton Plankton merupakan organisme renik yang melayang pasif dalam kolom air, tidak dapat melawan pergerakan massa air karena kemampuan renangnya yang sangat lemah (Parson et al. 1977). Plankton berukuran mikroskopik antara 0, µm, hidupnya melayang atau mengapung dan tidak mempunyai kemampuan renang melawan arus, secara umum terbagi atas fitoplankton dan zooplankton (Nybakken 1992; Romimohtarto dan Juwana 2001). Fitoplankton merupakan plankton yang bersifat nabati yang mampu memanfaatkan zat-zat anorganik dan merubahnya menjadi zat organik dengan bantuan sinar matahari melalui proses fotosintesis yang hasilnya disebut produksi primer (Nybakken 1992). Menurut Kaswadji et al. (1995) fitoplankton merupakan awal dari model rantai makanan di lautan, organisme ini dimangsa oleh zooplankton yang kemudian akan dimangsa oleh ikan dan predator lainnya sehingga mengantarkan energi dan materi ke jenjang trofik yang lebih tinggi. Komponen komunitas fitoplankton dalam suatu perairan senantiasa mengalami perubahan dari waktu ke waktu sehingga akan menimbulkan proses suksesi. Jenis tertentu pada suatu saat akan muncul, kadang-kadang terjadi ledakan populasi dan pada saat yang lain jenis tersebut akan berkurang atau hilang sama sekali dan posisinya akan digantikan oleh jenis yang lain (Nybakken 1992). Banyaknya fitoplankton di perairan biasanya berhubungan dengan konsentrasi fosfat, nitrat, silikat dan unsur hara lain. Dalam kondisi tertentu unsur

25 10 hara ini akan menurun jika populasi fitoplankton naik, demikian pula sebaliknya unsur hara akan meningkat saat populasi fitoplankton (Prescod 1973). Parsons et al. (1977) mengelompokkan alga yang mewakili fitoplankton di lautan terdiri atas delapan kelas yaitu Cyanophyceae (alga biru-hijau), Rhodophyceae (alga merah), Dynophyceae (dinoflagellata), Haptophyceae (termasuk cocolithophora), Chrysophycae (alga kuning-kecoklatan), Xanthophyceae (alga kuning), Chlorophyceae (alga hijau) dan Bacillariophyceae (diatom). Diantara kelas-kelas tersebut, Bacillariophyceae dan Dynophyceae merupakan alga yang umum di laut. Lebih lanjut dikatakan bahwa distribusi fitoplankton yang tidak merata disebabkan oleh beberapa faktor antara lain angin, masukan air sungai, up welling, variasi unsur hara, kedalaman perairan, adanya arus bawah, aktivitas pemangsaan dan adanya percampuran massa air. Zooplankton merupakan anggota plankton yang bersifat hewani, jenisnya sangat beranekaragam dan terdiri dari berbagai macam larva dan plankton bentuk dewasa yang dimiliki oleh hampir seluruh filum hewan (Newell dan Newell 1977). Nybakken (1992) membedakan zooplankton berdasarkan daur hidupnya menjadi dua kelompok yaitu : (1) holoplankton, merupakan organisme plankton yang seluruh daur hidupnya bersifat plankton yang meliputi Copepoda, rotatoria dan chaetognata; dan (2) meroplankton, merupakan organisme yang hanya sebagian daur hidupnya bersifat plankton yaitu masa larva yang meliputi larva ikan, larva krustasea dan larva moluska. Umumnya perairan yang mempunyai kandungan zooplankton yang tinggi, memakan fitoplankton sedemikian cepatnya sehingga fitoplankton tidak memiliki kesempatan untuk melakukan pembelahan sel. Bila jumlah zooplankton menurun dan menjadi sedikit, kondisi ini memberikan kesempatan kepada fitoplankton untuk tumbuh sehingga menghasilkan konsentrasi yang tinggi (Nybakken 1992). Lebih lanjut dijelaskan bahwa siklus pembelahan sel fitoplankton relatif lebih cepat dari siklus reproduksi zooplankton sehingga fitoplankton dapat bertambah dalam waktu yang relatif lebih cepat. Walaupun zooplakton akan memakan fitoplankton, namun karena siklus reproduksinya lebih lama maka untuk mencapai jumlah maksimum dibutuhkan waktu.

26 11 Hubungan antara fitoplankton dan zooplankton terjadi di dalam rantai makanan dimana zooplankton memakan fitoplankton, proses ini dinamakan grazing (pemangsaan). Grazing (pemangsaan) tidak hanya sebagai penyebab mortalitas fitoplankton tetapi juga merubah komposisi fitoplankton. Adanya grazing inilah yang menyebabkan perubahan biomassa fitoplankton di perairan (Frost 1977). Nybakken (1992) menyatakan bahwa laju siklus reproduksi fitoplankton jauh lebih cepat dari pada zooplankton dan proses pemangsaan terjadi terus menerus sehingga komposisi fitoplankton tetap stabil. Hal ini berlangsung dalam jumlah yang tetap sepanjang tahun, sehingga proses pemangsaan tersebut tidak banyak mempengaruhi jumlah fitoplankton secara keseluruhan. Tomascik et al. (1997) menyatakan bahwa jumlah plankton di permukaan perairan pada pagi hari berbeda dengan siang hari. Hal ini penting untuk melihat migrasi vertikal, dimana plankton-plankton hewani cenderung berpindah di kedalaman yang lebih dalam selama siang hari dan menuju ke permukaan pada malam hari (Basmi 1990). Banyak plankton hewani yang menghindari sinar matahari yang terlampau kuat di permukaan pada siang hari dan menyusup ke lapisan yang lebih dalam, baru setelah malam hari plankton tersebut kembali ke permukaan, sedangkan pada perairan yang lebih dangkal banyak yang bermigrasi dekat dasar perairan selama siang hari dan akan mucul ke permukaan pada malam hari. Migrasi vertikal bukan saja pada holoplankton seperti Copepoda, tetapi juga pada meroplankton seperti pada bermacam-macam mikroplankton (Tomascik et al. 1997). 2.4 Kebiasaan Makanan Menurut Effendie (1997) yang dimaksud dengan kebiasaan makanan (food habits) adalah jenis, kualitas dan kuantitas makanan yang dimakan oleh ikan. Ketersedian makanan merupakan faktor yang menentukan ukuran populasi, pertumbuhan, reproduksi dan dinamika populasi serta kondisi ikan yang ada di suatu perairan (Nikolsky 1963). Makanan yang telah digunakan oleh ikan akan mempengaruhi sisa ketersediaan makanan, sebaliknya dari makanan yang diambil tersebut akan mempengaruhi keberhasilan hidupnya. Adanya makanan yang

27 12 tersedia dalam perairan selain dipengaruhi oleh kondisi biotik seperti tersebut diatas, ditentukan pula oleh kondisi abiotik lingkungan seperti suhu, cahaya, ruang dan luas permukaan (Effendie 1997). Jumlah makanan yang dibutuhkan oleh suatu jenis ikan tergantung pada macam makanan, kebiasaan makanan, kelimpahan ikan, suhu air dan kondisi ikan yang bersangkutan. Jenis-jenis makanan yang dimakan oleh suatu spesies ikan biasanya biasanya tergantung pada umur ikan, tempat dan waktu (Effendie 1997). Adapun struktur pencernaan yang berperan dalam adaptasi makanan adalah mulut, gigi, tapis insang, lambung dan usus (Lagler 1972). Makanan yang dimanfaatkan oleh ikan, pertama-tama digunakan untuk memelihara tubuh dan menggantikan organ-organ tubuh yang rusak, kelebihan makanan digunakan untuk pertumbuhan. Menurut Nikolsky (1963) bahwa urutan kebiasaan makanan ikan dibedakan kedalam 4 kategori berdasarkan persentase bagian terbesar yang terdiri dari makanan utama, yaitu makanan yang biasa dimakan dalam jumlah besar; makanan pelengkap, yaitu makanan dalam saluran pencernaan dalam jumlah yang lebih sedikit; dan makanan tambahan, yaitu makanan yang ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit; selain itu terdapat juga makanan pengganti, yaitu makanan yang dikonsumsi jika makanan utama tidak tersedia. Effendie (1997) mengelompokkan ikan berdasarkan makanannya sebagai ikan sebagai pemakan plankton, pemakan tanaman, pemakan dasar, pemakan detritus, ikan buas dan pemakan campuran. Selanjutnya berdasarkan kepada jumlah variasi dari makanan tadi, ikan dapat dibagi menjadi eurypagic yaitu ikan pemakan bermacam-macam makanan, stenophagic yaitu ikan pemakan makan yang macamnya sedikit atau sempit dan monophagic yaitu ikan yang makanannya terdiri dari satu macam makanan saja. Effendie (1997) mengemukakan jika ditelaah makanan ikan itu sejak dari awal pembentukannya sampai ke makanan yang dimakan oleh ikan, sebenarnya merupakan mata rantai yang dinamakan rantai makanan (food chains). Plankton tumbuh-tumbuhan melalui proses fotosintesis dapat memproduksi bahan organik dari bahan anorganik (produsen primer), organisme yang memakan nprodusen primer dinamakan konsumer primer, organisme yang memakan konsumer primer dinamakan konsumer skunder, dan seterusnya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa

28 13 panjang pendeknya rantai makanan tergantung dari macam, ukuran atau umur ikan, namun kenyataannya dalam interaksi makan-pemakan terjadi tumpang tindih, dimana satu jenis konsumen memakan beberapa jenis makanan dan satu jenis produsen di makan oleh beberapa jenis konsumen sehingga membentuk suatu jaringan yang dinamakan jaring-jaring makanan (food webs). Popova (1978) mengemukakan bahwa komposisi makanan konsumer tergantung dari sifat-sifat morfologi, pola hidup dan tingkah laku pemangsa. Ketersediaan makanan untuk ikan ditentukan oleh berbagai faktor dan yang terutama adalah kehadiran dan kelimpahan relatif dari tipe makanan tertentu. Bila salah satu macam makanan ikan tersedia dalam jumlah melimpah pada suatu perairan, belum tentu makanan tersebut menjadi bagian penting dalam susunan makanan ikan. Jika makanan yang disukai tidak ditemukan, ikan akan mengganti organisme makanannya walaupun kelimpahan organisme makanan ini rendah. Dikemukakan lebih lanjut bahwa selain kelimpahan, pemangsaan juga tergantung pada distribusi spesies makanan dalam perairan, tingkah laku, aktivitas dan ukuran makanan maupun ikan pemangsa. Mempelajari makanan ikan-ikan pemangsa dapat melalui: (1) penentuan komposisi spesies dan ukuran dari organisme makanan yang ditemukan dalam saluran pencernaan; (2) penentuan laju pencernaan; dan (3) penentuan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh ikan. Menurut Hyslop (1980), studi tentang makanan ikan didasarkan pada analisis isi saluran pencernaan saat ini merupakan standar dalam ekologi ikan. Berbagai metode digunakan untuk menentukan makanan yang dominan dikonsumsi oleh ikan. Metode tersebut mencakup frekuensi kejadian, metode jumlah, metode volumetrik dan metode gravimetrik (Popova 1978). Analisis isi saluran pencernaan yang dilakukan di alam berdasarkan pada kelebihan dan kelemahan metode yang ada (Hyslop 1980). Menurut Effendie (1979) keuntungan menggunakan metode frekuensi kejadian adalah organisme makanan dengan mudah diidentifikasi, cepat dan membutuhkan peralatan yang minimum. Kelemahannya metode ini kurang memberikan indikasi tentang jumlah relatif jenis makanan yang terdapat dalam lambung. Metode jumlah merupakan metode yang relatif cepat dan mudah dikerjakan serta memberikan identifikasi spesies yang jelas. Kelemahan dari

29 14 metode ini adalah organisme makanan yang berukuran kecil yang mungkin lebih cepat dicerna tidak tercatat. Dengan analisis volumetrik, volume total dari kategori makanan yang dikonsumsi oleh ikan ditentukan sebagai persentase total volume dari semua lambung. Perhitungan dari rata-rata dimensi spesies makanan didasarkan pada jumlah individu yang selanjutnya akan menentukan volume ratarata. Kelebihan dari metode volumetrik adalah dapat digunakan khusus untuk organisme makanan dengan variasi makanan yang dimakan berukuran besar. 2.5 Pemangsaan (Predasi) Pemangsaan mempunyai arti pengrusakan dengan cara dimakan atau dimangsa, sedangkan ikan pemangsa (predator) biasanya diartikan sebagai musuh. Hal yang perlu diketahui dalam hubungan mangsa pemangsa adalah jenis, jumlah dan ukuran ikan yang dimangsa serta bagaimana frekuensi pemangsa mengambil mangsanya (Effendie 1997). Umumnya para ahli biologi menganggap bahwa predator semuanya spesies karnivor, termasuk ikan pemakan ikan (piscivor) dan pemakan bermacammacam invertebrata mulai dari berukuran kecil sampai berukuran besar. Menurut Weatherley dan Gill (1987) ada 11 prinsip mengenai hubungan mangsa dan pemangsa pada ikan : 1) Jumlah ikan yang dimakan oleh piscivor lebih banyak dibandingkan dengan jumlah ikan yang ditangkap oleh nelayan. 2) Ukuran mangsa yang dimakan oleh pemangsa semakin bertambah besar dengan bertambah besarnya ukuran pemangsa. 3) Pemangsa memiliki kesukaan (preferensi) pada spesies mangsa dengan ukuran tertentu. 4) Pemangsa umumnya mengambil bermacam-macam mangsa. 5) Pemangsaan terhadap suatu jenis mangsa memungkinkan terjadi perubahan terhadap kepadatan mangsa. 6) Pemangsa mungkin mengganti makanannya dengan spesies lain dalam suatu suatu kesetimbangan biologi. 7) Jumlah mangsa berkurang akibat pemangsaan oleh tekanan pemangsa. 8) Komposisi komunitas mangsa dipengaruhi oleh pemangsa.

30 15 9) Populasi mangsa yang melimpah dapat merangsang pertumbuhan dan densitas pemangsa. 10) Persaingan antara spesies pemangsa dapat mempengaruhi pertumbuhan dan densitas populasi. 11) Pemangsaan terhadap mangsa tertentu dapat menurunkan persaingan diantara spesies mangsa sehingga dapat penambahan keragaman komunitas mangsa. Lebih lanjut dikemukakan bahwa kebanyakan spesies ikan memiliki kebiasaan makan yang bervariasi. Umumnya ikan memperlihatkan tingkat kesukaan makan terhadap organisme makanan tertentu dan hal ini terlihat dalam organisme makanan yang predominan dalam lambungnya Teri adalah ikan pemakan plankton. Pada ukuran < 40 mm, teri umumnya memakan fitoplankton dan zooplankton berukuran kecil, sedangkan pada ukuran > 40 mm, ikan teri memanfaatkan zooplankton (Copepoda) berukuran besar (Hutomo et al. 1987). Berdasarkan kajian isi lambung teri dalam beberapa interval waktu pada malam hari (Sudirman 2003) diketahui bahwa ikan ini aktif mencari makan sebelum tengah malam (pukul 22:00), dimana tingkat kepenuhan isi lambung selama waktu itu lebih tinggi dibandingkan 2 waktu lainnya (pukul 01:00 dan 05:00).

31 3 METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap pengambilan data lapangan yang berlangsung selama 2 bulan dari akhir bulan Mei sampai dengan awal bulan Juli 2005, dan tahap analisis sampel di laboratorium. Pengambilan data lapangan dilakukan di 8 stasion penelitian pada periode waktu yang berbeda dalam selang waktu satu minggu (Tabel 1). Pengambilan data mingguan ini mengikuti saran Margalef (1978) agar dapat mengamati peristiwaperistiwa yang terjadi di alam selama selang waktu tersebut. Lokasi penelitian dilaksanakan di daerah penangkapan ikan (fishing ground) bagan rambo di perairan Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan, pada bagian timur Selat Makassar (Gambar 5). Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Ekologi Laut Universitas Hasanuddin dan Laboratorium Mikro Biologi Institut Pertanian Bogor. Tabel 1 Waktu dan posisi pengambilan data lapangan Stasion Posisi Penelitian Waktu Lintang Bujur Stasion 1 29 Mei o 19'12" LS 119 o 36'53" BT Stasion 2 04 Juni o 20'38" LS 119 o 36'15" BT Stasion 3 10 Juni o 21'50" LS 119 o 32'01" BT Stasion 4 17 Juni o 20'16" LS 119 o 34'48" BT Stasion 5 27 Juni o 18'03" LS 119 o 33'07" BT Stasion 6 01 Juli o 16'09" LS 119 o 35'12" BT Stasion 7 08 Juli o 14'33" LS 119 o 35'29" BT Stasion 8 15 Juli o 13'19" LS 119 o 36'46" BT

32 17 PETA LOKASI PENELITIAN PERAIRAN KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN Gambar 5 Peta lokasi pengambilan data lapangan.

33 Alat dan Bahan Penelitian Penelitian ini menggunakan beberapa peralatan untuk mengambil sampel air laut, ikan hasil tangkapan, pengukuran beberapa parameter lingkungan dan analisis sampel di laboratorium (Tabel 2). Tabel 2 Alat dan bahan penelitian No Alat dan Bahan Fungsi Alat 1. 1 unit bagan rambo instrumen kegiatan penelitian 2. Unit titrasi Winkler mengukur oksigen terlarut 3. Salinometer mengukur salinitas 4. Termometer mengukur suhu 5. Plankton net mengambil sampel plankton 6. Pompa air mengambil sampel plankton di kedalaman 7. Mistar ukur mengukur panjang ikan 8. Botol sampel menyimpan sampel air dan ikan 9. Mikroskop mengamati plankton/material makanan 10. Peralatan bedah membedah material isi perut 11. Pipet mengambil sampel air 12. Sedgwick Rafter counting mencacah plankton 13. Object glass mengamati komposisi makanan Teri 13. GPS menentukan koordinat lokasi penelitian 14. Buku identifikasi mengidentifikasi sampel plankton/ikan Bahan 1. Spesies target obyek penelitian 2. Aquades membuat pengenceran 3. Formalin 5 % mengawetkan sampel ikan 4. Lugol 2 % mengawetkan sampel plankton 3.3 Metode Pengambilan Data Pengambilan data lapangan dilakukan pada malam hari dalam waktu dan lokasi yang berbeda mengikuti operasi satu unit bagan rambo dalam selang waktu satu minggu. Penggunaan satu unit bagan rambo dimaksudkan untuk mengetahui alur penangkapan yang dilakukan dan menghindari bias data komposisi hasil tangkapan karena perbedaan faktor pencahayaan bagan rambo. Selang waktu satu minggu berarti juga mengikuti satu fase bulan, yaitu bulan gelap, bulan seperempat, bulan terang dan bulan tigaperempat. Pada setiap stasion penelitian

34 19 dilakukan pengukuran kualitas perairan, pengambilan sampel air untuk pengamatan plankton, pengambilan sampel ikan untuk identifikasi jenis dan analisis interaksi pemangsaan, serta mencatat hasil tangkapan yang disesuaikan dengan waktu hauling. Waktu hauling dibagi menjadi tiga, yaitu hauling I (jam 21:00-22:00), hauling II (jam 01:00-02:00) dan hauling III (jam 04:30-05:00) Kelimpahan plankton Pengukuran kelimpahan plankton dilakukan terhadap fitoplankton dan zooplankton pada setiap waktu hauling dalam tiga kedalaman yaitu 0 meter (permukaan perairan), 5 meter dan 10 meter. Pengukuran kelimpahan plankton pada ketiga kedalaman tersebut disesuaikan dengan posisi vertikal schooling teri di kolom perairan selama proses setting bagan rambo. Posisi schooling ini didasarkan pada hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sudirman (2003) yang mendeteksi tingkah laku teri dengan alat hidroakustik selama proses setting bagan rambo yang menemukan bahwa schooling teri umumnya ditemukan pada kedalaman 10 meter sampai ke arah permukaan. Sampel air laut disaring sebanyak 60 liter dengan plankton net (Gambar 6), kemudian ditempatkan dalam botol sampel sebanyak 30 ml dan diawetkan dengan larutan lugol 2%. Penyaringan sampel air laut menggunakan dua jenis plankton net, yaitu plankton net mesh size 60 µm untuk pengamatan fitoplankton dan plankton net mesh size 90 µm untuk pengamatan zooplankton. Sampel air laut di kedalaman 5 dan 10 meter diambil menggunakan pompa sehingga plankton yang teramati adalah plankton pada kedalaman tersebut. Gambar 6 Pengambilan sampel air untuk pengamatan plankton

35 20 Hasil saringan sampel air laut kemudian diambil sebanyak 1 ml menggunakan pipet dan diletakkan dalam Sedgwick Rafter counting, selanjutnya diperiksa menggunakan mikroskop, diidentifikasi dan dihitung jumlah individu organisme per liter air laut. Pemeriksaan diulang sebanyak tiga kali dan nilai yang diperoleh dirata-ratakan. Identifikasi genus menggunakan buku identifikasi Newell dan Newell (1977), yaitu dengan menyesuaikan bentuk anatomi yang tampak melalui pengamatan mikroskop dengan gambar dan keterangan yang ada dalam buku identifikasi Hasil tangkapan Ikan Bagan rambo menangkap berbagai macam jenis ikan pelagis. Dalam penelitian ini hasil tangkapan dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu : (1) kelompok ikan tangkapan utama yang berarti jenis ikan yang tertangkap pada semua atau hampir semua waktu pengambilan sampel; (2) kelompok ikan lain yang berarti jenis ikan yang tertangkap pada waktu-waktu tertentu. Berat hasil tangkapan diestimasi dari volume ikan yang diukur dari satuan keranjang, dimana berat 1 keranjang ikan diasumsikan sama dengan 10 kg (Gambar 7a). Pengambilan sampel hasil tangkapan dilakukan pada setiap ikan yang secara visual tampak berbeda sehingga diduga mempunyai perbedaan jenis (Gambar 7b). Selanjutnya diidentifikasi di laboratorium.. (a) (b) Gambar 7 Estimasi berat ikan untuk menduga total hasil tangkapan (a) Hasil tangkapan dalam 1 hauling; (b) Hasil tangkapan dalam 1 keranjang.

36 Interaksi pemangsaan teri terhadap plankton Interaksi pemangsaan teri terhadap plankton dilakukan melalui pengamatan komposisi makanan teri. Jenis teri yang dianalisis adalah jenis yang ditemukan paling dominan selama penelitian. Pengambilan sampel dilakukan dalam setiap hauling dengan mengambil secara acak masing-masing 10 ekor sampel teri yang mempunyai ukuran tubuh relatif hampir sama (Gambar 8). Sampel diawetkan menggunakan larutan formalin 5% dan selanjutnya dibawa ke laboratorium. Pengambilan sampel teri dengan ukuran tubuh yang relatif sama dilakukan untuk menghindari bias data terhadap perubahan kebiasaan makanan karena perbedaan ukuran tubuh, seperti yang diungkapkan oleh Effendie (1997) bahwa pada ikan jenis yang sama dapat berbeda kebiasaan makanannya antara lain disebabkan oleh perbedaan umur dan ukuran tubuh. Gambar 8 Sampel teri (Stolephorus spp.) untuk analisis komposisi makanan. Pengukuran panjang total tubuh teri dilakukan dengan cara menghitung panjang dari ujung kepala terdepan sampai sirip ekor paling belakang. Bagian perut teri dibedah yaitu dari bagian anus ke arah perut bagian atas. Seluruh makanan yang ada dalam saluran pencernaan selanjutnya dikeluarkan, diencerkan dengan aquades, digerus dan ditempatkan pada Sedgwick Rafter counting untuk kemudian diamati menggunakan mikroskop. Perhitungan jumlah organisme makanan teri dilakukan secara subyektif terutama pada organisme makanan dengan bagian tubuh yang tidak utuh, dimana organisme yang berukuran setengah

37 22 dari ukuran tubuh dihitung sebagai 1 organisme makanan sedangkan bagian tubuh lain yang terpisah seperti kaki dan antena tidak dihitung Interaksi pemangsaan teri oleh ikan pemangsa Analisis interaksi pemangsaan teri oleh ikan pemangsa dilakukan pada ikan-ikan yang diduga memangsa teri yang tertangkap dengan bagan rambo. Pengambilan sampel dilakukan dalam setiap sampling pada beberapa jenis ikan secara acak kelompok yaitu 2 jenis dari kelompok ikan tangkapan utama dan 5 jenis dari kelompok ikan tangkapan lain. Hal ini dilakukan karena komposisi jenis tangkapan teri yang sangat beranekaragam. Sampel ikan yang diambil mempunyai ukuran tubuh yang relatif hampir sama. Selanjutnya diawetkan dengan larutan formalin 5% dan dibawa ke laboratorium. Sampel ikan masing-masing diukur panjang total tubuhnya dengan cara menghitung panjang dari ujung kepala terdepan sampai sirip ekor paling belakang. Dibedah pada perutnya dari bagian anus menuju bagian atas perut ikan di bawah gurat sisi sampai ke operculum ikan bagian belakang, kemudian lambung dan usus diambil dan ujung bagian usus diikat untuk menghidari adanya material yang hilang. Volume lambung dan usus dihitung dan dikeluarkan seluruh makanan yang ada. Makanan berupa teri dan bukan teri dipisahkan, selanjutnya makanan berupa teri dihitung jumlah dan volumenya. Selain itu juga dihitung jumlah lambung yang berisi teri dan tidak berisi teri. 3.4 Analisis Data Kelimpahan plankton Kelimpahan fitoplankton dan zooplankton (jumlah individu per liter air laut) dihitung dengan rumus (Hariyadi et al. 2002) : Keterangan : ind n A C 1 ltr = x x x. (1) p B D E n = jumlah individu yang teramati p = jumlah kotak yang diamati (40 kotak) A = luas Sedgwick Rafter cell (20 x 50 mm = 1000 mm 2 ) B = luas 1 kotak Sedgwick Rafter cell ( 1 mm 2 ) C = volume air yang tersaring (30 ml)

38 23 D = volume air yang diamati (1 ml) E = volume air yang disaring (60 ltr) Kelimpahan pada kedalaman 0 meter, 5 meter dan 10 meter dirataratakan dan hasilnya diasumsikan sebagai kelimpahan fitoplankton dan zooplankton dalam kolom perairan dari kedalaman 0 10 meter Kelimpahan fitoplankton dan zooplankton disajikan dalam bentuk grafik berdasarkan stasion penelitian, kategori dominan yang ditemukan dan waktu hauling. Untuk melihat perbedaan rata-rata kelimpahan antar waktu hauling dan perbedaan rata-rata kelimpahan antar kedalaman digunakan analisis sidik ragam (one way ANOVA). Sebelumnya dilakukan uji kenormalan data, dimana data yang tidak normal ditransformasikan dengan logaritma natural. Jika terdapat perbedaan nyata maka dilakukan uji lanjut Bonferroni untuk mengetahui populasi yang berbeda Hasil tangkapan ikan Data hasil tangkapan ikan disajikan dalam bentuk grafik berdasarkan fase bulan atau stasion penelitian dan waktu hauling. Analisis hasil tangkapan dilakukan dengan membandingkan hasil tangkapan rata-rata antar periode hauling dan antar stasion penelitian dengan analisis sidik ragam. Selanjutnya dilakukan analisis regresi linear sederhana untuk melihat fungsi antara hasil tangkapan teri dengan kelimpahan fitoplankton dan hasil tangkapan teri dengan kelimpahan zooplankton yang masing-masing dihitung dengan rumus (Walpole 1995) : Keterangan : y = a + bx...(2) y = jumlah teri yang tertangkap (ekor) x = kelimpahan fitoplankton dan kelimpahan zooplankton (jumlah individu/liter) a dan b = koefesien regresi Untuk mengetahui apakah terdapat keterkaitan antara jumlah hasil tangkapan teri dengan hasil tangkapan ikan lainnya (layang, kembung, cumi, tembang, japuh, peperek, selar, ikan lain) masing-masing dilakukan analisis korelasi yaitu dengan

39 24 melihat nilai koefesien korelasi (r) antara 2 variabel (x = tangkapan teri dan y = tangkapan ikan lain ) dengan rumus (Walpole 1995) : r = n n n n n n xi yi xi i= i= 1 i= 2 n n 2 xi xi n yi i 1 i 1 i= 1 = y n = i= 1 i y i 2... (3) Interaksi pemangsaan teri terhadap plankton Jumlah dan jenis plankton yang dikonsumsi oleh teri dihitung dengan metode frekuensi kejadian dan metode jumlah. Pendekatan metode frekuensi kejadian adalah mencatat jumlah lambung teri yang mengandung masing-masing organisme makanan, sedangkan pendekatan dengan metode jumlah adalah mencatat jumlah plankton yang terdapat dalam masing-masing saluran pencernaan teri berdasarkan kategori tertentu. Nilai yang diperoleh dengan metode jumlah selanjutnya dikonversi menjadi volume dengan cara pembobotan masing-masing organisme makanan. Pembobotan dilakukan secara subyektif, yaitu dengan membandingkan ukuran masing-masing organisme makanan dimana organisme yang terkecil diberi bobot dengan nilai terendah. Komposisi makanan teri dihitung dengan index of preponderence (IP) atau indeks bagian terbesar dengan rumus (Natarajan dan Jhingran 1961 yang diacu oleh Effendie 1979) : Vi. Oi IPi = x100%... (4) n ( V. O ) i= 1 i i Keterangan : i = jumlah jenis makanan IP i = index of preponderence V i = proporsi volume satu macam makanan O i = proporsi frekuensi kejadian satu macam makanan?v i.o i = jumlah V i.o i dari semua macam makanan Hasil analisis memberikan informasi tentang jenis dan komposisi makanan yang dimakan oleh teri yang kemudian dideskripsikan dalam bentuk grafik.

40 25 Komposisi fitoplankton dan zooplankton yang terdapat dalam makanan teri dan yang terdapat dalam perairan dibanding dalam bentuk tabel absentpresent, yaitu : (1) komponen fitoplankton dan zooplankton yang terdapat dalam makanan teri dan perairan; (2) komponenen fitoplankton dan zooplankton yang terdapat dalam makanan teri tetapi tidak terdapat dalam perairan; dan (3) komponen fitoplankton dan zooplankton yang tidak terdapat dalam makanan teri tetapi terdapat dalam perairan. Selanjutnya untuk mengetahui apakah suatu jenis plankton merupakan pilihan utama dari makanan teri dilakukan analisis indeks pilihan yaitu membandingkan jumlah plankton yang terdapat dalam makanan teri dengan kelimpahan jenis plankton di perairan dengan rumus (Effendie 1979) : E r r Keterangan : E i i =... (5) i + r i p i p p i = indeks pilihan = jumlah relatif jenis organisme yang dimakan = jumlah relatif jenis organisme yang terdapat di perairan Nilai indeks pilihan (E ) berkisar antara -1 sampai +1 yang menunjukkan semakin mendekati +1 maka suatu jenis plankton merupakan pilihan utama makanan teri. Keterkaitan antara jumlah fitoplankton dan zooplankton yang terdapat dalam makanan teri dengan kelimpahan fitoplankton dan zooplankton di perairan dinyatakan dalam bentuk fungsi regresi linear sederhana dan analisis korelasi seperti pada dalam rumus (2) dan (3) Interaksi pemangsaan teri oleh ikan pe mangsa Analisis interaksi teri sebagai makanan pemangsa dihitung dengan metode volumetrik (V). Pendekatan metode volumetrik adalah menghitung proporsi volume teri sebagai makanan dengan volume total lambung pemangsa teri (Effendie 1979). Untuk mengetahui apakah terdapat keterkaitan antara proporsi volume teri sebagai makanan dan proporsi frekuensi kejadian pemangsaan teri dengan jumlah tangkapan teri oleh bagan rambo dinyatakan dalam bentuk fungsi regresi linear sederhana dan analisis korelasi seperti dalam persamaan (2) dan (3).

41 4 HASIL 4.1 Gambaran Umum Kondisi Perairan di Kabupaten Barru Kondisi perairan di lokasi penelitian digambarkan melalui data-data suhu, salinitas, kecepatan arus dan oksigen terlarut (DO) yang diperoleh melalui hasil pengukuran malam hari di permukaan perairan pada 8 stasion pengambilan data. Suhu perairan rata-rata adalah 27,6 o C dengan nilai minimum dan maksimum masing-masing sebesar 27 o C dan 28 o C yang menggambarkan kondisi suhu perairan yang relatif homogen (Tabel 3). Suhu maksimum terjadi pada semua stasion penelitian tetapi pada periode hauling yang berbeda (Gambar 9). Salinitas perairan rata-rata adalah 29,6 (Tabel 3), salinitas maksimum mencapai 31 yang umumnya diperoleh pada pengukuran di hauling III (jam 04:30-05:00), sedangkan salinitas yang rendah terjadi pada hauling I (jam 21:00-22:00) mencapai 28. Pada stasion 3 dan 4 yang terletak lebih jauh dari daratan utama ditemukan kecenderung salinitas lebih tinggi dibandingkan stasion 1, 2, 6, 7 dan 8 yang terletak lebih dekat dengan daratan, utamanya pada stasion 1 dan 8 yang terletak dekat dengan muara sungai (Gambar 9). Tabel 3 Nilai rata-rata, minimum dan maksimum parameter suhu, kecepatan arus, salinitas, dan oksigen terlarut (DO) di perairan Kabupaten Barru Parameter Suhu ( o C) Salinitas ( ) Kec. arus (m/detik) DO (mgo 2 /l) Rata-rata 27,6 29,6 0,07 5,69 Minimum ,05 4,36 Maksimum ,11 7,14 Kecepatan arus permukaan berkisar antara 0,05 0,11 m/detik dengan rata-rata sebesar 0,07 m/detik (Tabel 3). Kecepatan arus yang lebih besar biasanya terjadi pada hauling I (jam 21:00-22:00) sedangkan pada hauling II (jam 01:00-02:00) dan III (jam 04:30-05:00) kecepatan arus relatif lebih rendah kecuali pada stasion 8 dimana kecepatan arus pada waktu hauling I lebih rendah dari pada hauling III (Gambar 10).

42 27 Suhu Perairan di Lokasi Penelitian suhu ( C) Hauling 1 Hauling 2 Hauling 3 St 1 st 2 st 3 st 4 st 5 st 6 st 7 st 8 Salinitas (ppt) Salinitas di Lokasi Penelitian Hauling 1 Hauling 2 Hauling 3 St 1 st 2 st 3 st 4 st 5 st 6 st 7 st 8 Gambar 9 Kondisi suhu dan salinitas perairan Kabupaten Barru. Hasil pengukuran oksigen terlarut (DO) memperlihatkan nilai yang cukup besar. Rata-rata nilai oksigen terlarut adalah 5,69 mgo 2 /liter, nilai maksimum diperoleh pada pengukuran di stasion 6 yang mencapai 7,14 mgo 2 /liter dan nilai minimum pada stasion 4 sebesar 4,36 mgo 2 /liter (Tabel 3). Oksigen terlarut pada hauling III cenderung lebih rendah dibandingkan hauling I dan II, kecuali pada stasion 2 (Gambar 10).

43 28 Kec. arus (mtr/dtk) Kecepatan Arus di Lokasi Penelitian Hauling 1 Hauling 2 Hauling 3 St 1 st 2 st 3 st 4 st 5 st 6 st 7 st 8 Oksigen Terlarut (DO) di Lokasi Penelitian DO (mgo2/l) Hauling 1 Hauling 2 Hauling 3 St 1 st 2 st 3 st 4 st 5 st 6 st 7 st 8 Gambar 10 Kondisi kecepatan arus dan oksigen terlarut (DO) perairan Kabupaten Barru. 4.2 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Komposisi fitoplankton yang ditemukan terdiri dari 3 kelas, yaitu Bacillariophyceae (diatom), Chrysophyseae dan Dynophyceae (dinoflagellata) yang masing-masing terdiri dari 19 genus, 2 genus dan 12 genus. Pada setiap stasion penelitian kelas Bacillariophyceae ditemukan paling melimpah, kecuali

44 29 pada stasion 8, sedangkan kelas Chrysophyseae selalu ditemukan dalam kelimpahan yang kecil bahkan pada stasion 1 tidak ditemukan sama sekali (Gambar 11). Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa komponen terpenting fitoplankton adalah kelas Bacillariophyceae dan Dynophyceae pada semua stasion penelitian. Bacillariophyceae yang banyak teramati terdiri dari genus Chaetoceros, Bidulphia, Coscinodiscus, Leptocylindricus dan Rhizosolenia. Meskipun demikian terdapat beberapa genus yang ditemukan dalam jumlah yang relatif lebih sedikit yaitu Asterionella, Bacillaria, Fragilaria, Nitzschia, Paralia, Pleurosigma, Skeletonema dan Thalassiosira. Selain itu terdapat beberapa genus yang juga teramati tetapi dalam jumlah dan frekuensi kemunculan yang sangat kecil seperti Dytilum, Eucampia, Guinardia, Lauderia, dan Streptotecha. Untuk kelas Dynophyceae yang umum ditemukan adalah Ceratium, Dinophysis, Gymnodinium (Lampiran 1). Bacillariophyceae Chrysophyceae Dynophyceae Kelimpahan (x100 ind/ltr) st 1 st 2 st 3 st 4 st 5 st 6 st 7 st 8 Stasion penelitian Gambar 11 Kelimpahan rata-rata fitoplankton pada setiap stasion penelitian (garis vertikal pada tiap titik menunjukkan simpangan baku). Komposisi zooplankton dibedakan dalam 10 kategori. Terdapat 5 kategori utama yang banyak ditemukan yaitu Ciliata, Copepoda, Malocostraca, Rhyzopodea serta larva dan telur, sedangkan kategori yang paling sedikit ditemukan adalah Hydrozoa. Jika kategori didasarkan pada kelas maka didapatkan kelas Crustaceae (Copepoda, Nauplius, Rhizopodea, Malacostraca) yang

45 30 mendominasi seluruh stasion penelitian. Setiap kategori tidak selalu ditemukan dalam tiap stasion, seperti Hydrozoa yang hanya ditemukan pada stasion 2, 3, 4 dan 5, selain itu Branchiopoda, Nauplius serta telur dan larva tidak ditemukan pada beberapa stasion penelitian, sedangkan Ciliata, Rhizopodea, Copepoda dan Malocostraca ditemukan pada semua stasion penelitian (Gambar 12). Selama penelitian ditemukan 46 genus zooplankton. Genus yang umum ditemukan adalah Strombilidium, Tintinnopsis, Calanus, Microcalanus, Pseudocalanus, Meganyctiphanes, Balanus naupli, Calanus naupli serta telur ikan (Lampiran 1). Kelimpahan (ind/ltr) Ciliata Rhizopodea Hydrozoa Branchiopoda Copepoda Malacostraca Moluska Polychaeta Nauplius Telur dan Larva st 1 st 2 st 3 st 4 st 5 st 6 st 7 st 8 Stasion penelitian Gambar 12 Kelimpahan rata-rata zooplankton pada setiap stasion penelitian. Hasil pengamatan plankton selama penelitian menunjukkan bahwa ratarata kelimpahan fitoplankton pada 8 stasion penelitian masing-masing di tiga kedalaman adalah individu/liter, sedangkan rata-rata kelimpahan zooplankton sebesar individu/liter dengan nilai simpangan baku masingmasing sebesar individu/liter dan 352 individu/liter yang menunjukkan perbedaan yang cukup besar nilai tengah kelimpahan plankton antar stasion penelitian (Tabel 4). Kelimpahan fitoplankton selalu ditemukan dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan zooplankton.

46 31 Tabel 4 Kelimpahan plankton secara vertikal pada kedalaman 0, 5 dan 10 meter serta kelimpahan rata-rata ± simpangan baku (sb) selama penelitian Plankton Kedalaman Fitoplankton Zooplankton 0 meter ± ± meter ± ± meter ± ± 346 Rata-rata ± ± 352 Terdapat variasi kelimpahan fitoplankton dan zooplankton antar stasion penelitian. Kelimpahan fitoplankton tertinggi ditemukan pada stasion 5 dan terendah pada stasion 7, sedangkan untuk zooplankton kelimpahan tertinggi pada stasion 6 dan terendah stasion 4 (Gambar 13). Hasil sidik ragam kelimpahan fitoplankton berdasarkan stasion penelitian menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal yang sama pada sidik ragam zooplankton menunjukkan perbedaan nyata kelimpahan berdasarkan stasion penelitian. Uji lanjut sidik ragam metode Bonferroni menunjukkan stasion penelitian mana saja berbeda nyata rata-rata kelimpahan fitoplankton dan zooplankton yang disajikan dalam Lampiran 2. Fitoplankton St = Stasion penelitian Zooplankton Fitoplankton (x100 ind/liter) Bulan 3/4 Bulan gelap Bulan 1/4 Bulan terang Bulan 3/4 Bulan gelap Bulan 1/4 Bulan terang St1 St2 St3 St4 St5 St6 St7 St 8 Stasion Penelitian Zooplankton (x100 ind/liter) Gambar 13 Kelimpahan rata-rata plankton setiap stasion penelitian dan fase bulan (garis vertikal pada tiap titik menunjukkan simpangan baku).

47 32 Kelimpahan rata-rata fitoplankton tertinggi berdasarkan waktu hauling ditemukan pada waktu hauling II (jam 01:00 02:00) mencapai individu/liter dan terendah pada waktu hauling I (jam 20:30 21:30) sebesar individu/liter, sedangkan kelimpahan rata-rata zooplankton tertinggi ditemukan pada waktu hauling III (jam 04:30 05:00) yang mencapai individu/liter dan terendah pada waktu hauling I sebesar individu/liter (Gambar 14). Namun demikian, Hasil sidik ragam tidak menunjukkan perbedaan yang nyata kelimpahan rata-rata baik fitoplankton maupun zooplankton atau variasi kelimpahan pada ketiga waktu hauling relatif kecil (Lampiran 2). 200 Fitoplankton Zooplankton 20 Fitoplankton (x100 ind/ltr) Zooplankton (x100 ind/ltr) 0 I (jam 21:00-22:00) II (jam 01:00-02:00) III (jam 04:30-05:00) Waktu Hauling 0 Gambar 14 Kelimpahan rata-rata plankton berdasarkan waktu hauling. 4.3 Hasil Tangkapan Ikan Jenis ikan yang tertangkap oleh bagan rambo selama penelitian sebanyak 58 jenis (Lampiran 3) dengan total berat tangkapan sebesar kg. Kelompok ikan yang paling sering dan banyak tertangkap adalah kelompok teri yang terdiri dari 4 jenis yaitu teri hitam (Stolephorus insularis), teri merah (Stolephorus buccaneri), teri putih (Stolephorus heterolobus) dan teri (Stolephorus indicus) dengan jumlah berat tangkapan sebesar kg atau 28,75% dari total tangkapan (Tabel 5). Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan, terdapat juga satu jenis teri yaitu Stolephorus tri yang biasa tertangkap oleh bagan rambo tetapi selama penelitian ini tidak ditemukan. Selain itu kelompok ikan lain yang relatif banyak

48 33 tertangkap adalah layang (Decapterus ressulli, D. macrosoma), kembung (Rastrelliger kanugarta, R. neglectus), cumi (Loligo chinensis, L. duvaucelli, L. edulis, Sebroteithis lessoniana), tembang (Sardiniella spp., S. fibriata, S. sirm), japuh (Dussumieria acuta), peperek (Leionathus aureus, L. spelenden, L. equulus, Gazza minuta), dan selar (Selar Crumenopthalmus, Selaroides leptolepis, Megalapsis cordila) (Lampiran 3 dan 4). Tabel 5 Jumlah, rata-rata dan rasio jenis ikan yang tertangkap oleh bagan rambo selama penelitian No Jenis Ikan Jumlah (kg) Rata-rata (kg) Rasio (%) 1 Teri (Stolephorus spp.) ,1 28,8 2 Layang (Decapterus spp.) ,6 12,6 3 Kembung (Rastrelliger spp.) ,8 9,7 4 Cumi-cumi (Loligo spp.) ,0 7,9 5 Tembang (Sardiniella spp.) ,8 9,1 6 Japuh (Dussumieria acuta) ,9 2,9 7 Peperek (Leiognathus spp.) ,3 11,4 8 Selar (Selar spp.) ,6 6,0 9 Ikan lain-lain ,8 11,7 Jumlah ,8 100,0 Ikan-ikan lain yang tertangkap oleh bagan rambo selama penelitian tetapi dalam jumlah yang relatif sedikit adalah kwee (Caranx para, C. bucelentus, C. sexfasciatus, Carangoides ciliarius), ikan bulan (Mane maculata), cipa-cipa (Atropus atropus), alu-alu (Sphyraena jello, S. genie), kucul (Sphyraena obtusata), cendro (Tylosurus crocodilus), julung-julung (Hemichampus far), layur (Trichiurus savala), rambeng (Dipterygonosus spp.), kerong-kerong (Therapon theraps, T. jarpua), samu-samu (Rabdania spp.), ikan terbang (Cypsilurus poecilopterus), kuniran (Parupeneus barberinus, Upenus mollucensis), buntal (Arothron immaculatus, A. hispidus, Diodon halocanthus, D. liturosus), triger (Pseudobalistes fuscus, Rhinechanthus verrucosus), baronang (Siganus spinus), ekor kuning (Caesio lunaris), lolosi biru (Caesio caerulaurea), jenaha (Lutjanus russeli), bambangan (Lutjanus sanguineus), lencam (Letrinus lentjen, L. nebulosus) dan beseng-beseng (Apogon deoderleni, A. fragilis).

49 34 Jumlah dan komposisi hasil tangkapan selama penelitian menunjukkan adanya perbedaan berdasarkan stasion penelitian atau fase bulan. Tangkapan yang relatif besar diperoleh pada stasion 3 (bulan ¼), stasion 6 (bulan gelap) dan stasion 7 (bulan ¼) masing-masing sebesar kg, kg dan kg (Gambar 15; Lampiran 5). Sedangkan hasil tangkapan paling sedikit di peroleh pada stasion 8 (bulan terang) sebesar 255 kg, dimana pada stasion penelitian ini hanya dilakukan dua kali hauling karena hasil tangkapan yang sedikit pada hauling I. Terlihat bahwa ada perbedaan komposisi tangkapan dominan antara fase bulan terang dengan fase bulan lain. Pada fase bulan terang (stasion 4 dan stasion 8) tangkapan yang lebih besar dari kelompok cumi dengan proporsi masing-masing sebesar 37,4 % dan 66,7% dari total tangkapan saat itu, sedangkan pada fase bulan lain hasil tangkapan yang dominan umumnya dari kelompok teri (Lampiran 5). 400 Bulan 3/4 Bulan gelap Bulan 1/4 Bukan teri Teri Bulan Bulan 3/4 Bulan gelap Bulan 1/4 terang Bulan terang 200 Tangkapan bukan teri (kg) Tangkapan teri (kg) 0 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 St 7 St 8 Stasion Penelitian 0 Gambar 15 Hasil tangkapan rata-rata berdasarkan stasion penelitian dan fase bulan selama penelitian. Analisis hasil tangkapan menurut waktu hauling menunjukkan perbedaan hasil tangkapan setiap waktu hauling. Tangkapan rata-rata tertinggi diperoleh pada hauling III yaitu menjelang pagi hari (jam ) sebesar 354,4 kg, kemudian hauling I (sebelum tengah malam jam ) sebesar 271,9 kg dan terendah pada hauling II (tengah malam jam ) sebesar 151,4 kg (Gambar 16). Walaupun secara rata-rata hasil tangkapan tertinggi diperoleh pada hauling III tetapi pada kenyataannya pada beberapa stasion

50 35 penelitian yaitu stasion 2 dan 3 ditemukan tangkapan tertinggi diperoleh pada hauling I, sedangkan tangkapan terendah selalu terjadi pada hauling II. Untuk jenis teri, hasil tangkapan rata-rata tertinggi juga terjadi pada hauling III sebesar 113,4 kg, kemudian hauling I sebesar 74,6 kg dan terendah pada hauling II sebesar 27,9 kg, bahkan pada stasion 1 hasil tangkapan teri di hauling II hanya 5 kg. Hasil sidik ragam terhadap rata-rata hasil tangkapan setiap waktu hauling, baik tangkapan semua jenis ikan dan teri menunjukkan perbedaan yang nyata. Uji lanjut sidik ragam memperlihatkan trend yang sama yaitu berbeda nyata antara hauling I dengan II dan antara hauling II dan III, sedangkan antara hauling I dan III tidak berbeda nyata (Lampiran 5). Jumlah tangkapan (kg) Semua Jenis Tangkapan Tangkapan Teri 354,4 27,.9 15,.4 113,4 74,6 27,9 I (jam 20:30-21:30) II (jam 01:00-02:00) III (jam (04:30-05:00) Waktu hauling Gambar 16 Jumlah tangkapan rata-rata semua jenis ikan dan jenis teri setiap waktu hauling selama penelitian. Uji korelasi hasil tangkapan teri hubungannya dengan kelimpahan plankton di perairan (masing-masing terhadap kelimpahan fitoplankton dan zooplankton) menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara kelimpahan fitoplankton di perairan dengan jumlah tangkapan teri, sedangkan hubungan kelimpahan zooplankton dengan jumlah tangkapan teri menunjukkan adanya korelasi dengan tingkat signifikan a = 0,05. Fungsi regresi antara kelimpahan fitoplankton dan hasil tangkapan teri tidak menunjukkan hubungan yang linear (Gambar 17). Fungsi regresi antara kelimpahan zooplankton di perairan dan

51 36 jumlah tangkapan teri menunjukkan suatu hubungan linear dapat dijelaskan dengan nilai koefisien determinasi sebesar (Gambar 18). Hasil tangkapan teri (kg) y = -0,0066x + 164,55 R 2 = 0, Fitoplankton di perairan (ind/liter) Gambar 17 Fungsi regresi antara kelimpahan fitoplankton di perairan dan hasil tangkapan teri Hasil tangkapan teri (kg) y = 0,1552x - 121,46 R 2 = 0, Zooplankton di perairan (individu/liter) Gambar 18 Fungsi regresi antara kelimpahan zooplankton di perairan dan hasil tangkapan teri Hasil tangkapan teri yang dihubungkan dengan jumlah tangkapan ikan lain menunjukkan adanya trend yang hampir sama, dimana kenaikan hasil tangkapan teri diikuti oleh kenaikan hasil tangkapan kelompok ikan lain. Fungsi regresi

52 37 antara hasil tangkapan teri dan tangkapan ikan kelompok lain menunjukkan hubungan linear dapat dijelaskan dengan koefisien determinasi sebesar 0,4533 (Gambar 19). Uji korelasi antara hasil tangkapan teri dengan ikan lain selain teri yaitu layang, kembung, cumi, tembang, japuh, peperek, selar, dan ikan lain menunjukkan bahwa hasil tangkapan teri berkorelasi positif dengan hasil tangkapan layang, tembang, peperek, selar dan ikan lain (Lampiran 5). 400 tangkapan ikan selain teri (kg) y = 0,7066x + 134,44 R 2 = 0, Tangkapan teri (kg) Gambar 19 Fungsi regresi antara hasil tangkapan teri dengan hasil tangkapan ikan selain teri 4.4 Pemangsaan Teri Hitam (Stolephorus insularis) terhadap Plankton Analisis makanan teri yang dilakukan pada jenis teri hitam menunjukkan bahwa seluruh komponen makanannya adalah plankton. Berdasarkan nilai indeks bagian terbesar (Indeks of preponderence), kelompok zooplankton lebih banyak ditemukan yaitu sebesar 94%, sedangkan fitoplankton hanya sebesar 6% (Gambar 20a). Terdapat 3 kelas kelompok fitoplankton yang ditemukan yaitu Bacillariophyceae (diatom), Dynophyceae (dinoflagellata) dan Chrysophyceae tetapi Chrysophyceae ditemukan dalam nilai yang sangat kecil. Kelompok zooplankton terdiri dari Ciliata, Rhizopodea, Hydrozoa, Branchipoda, Copepoda, Malacostraca, Nauplius, larva dan telur, serta plankton lain. Hasil analisis juga

53 38 menunjukkan bahwa terdapat 5 komponen plankton yang dominan dari makanan teri hitam yaitu Copepoda (50%), Malacostraca (27%), telur dan larva (9%), Nauplius (5%) dan diatom (4%) (Gambar 20b). Fitoplankton 6% Zooplankton Plankton lain Diatom Malacostraca Copepoda Nauplius Telur/larva 5% 9% 5% 4% 27% 94% (a) 50% (b) Gambar 20 Indeks bagian terbesar (Index of preponderence) makanan teri hitam. Analisis indeks pilihan makanan yang membandingkan antara plankton yang terdapat dalam makanan teri hitam dengan kelimpahan plankton di perairan menunjukkan seluruh komponen fitoplankton memberikan kecenderungan nilai negatif sebaliknya seluruh komponen zooplankton memberikan kecenderungan nilai positif utamanya Copepoda dan Malacostraca (Tabel 6, Lampiran 7). Nilai indeks pilihan makanan untuk kelompok fitoplankton masing-masing adalah Bacillariophyceae -0,17; Chrysophyceae -0,77; Dynophyceae -0,30. sedangkan untuk kelompok zooplankton adalah Rhizopodea 0,76; Branchiopoda 0,70; Copepoda 0,81; Malacostraca 0,82; Nauplius 0,75; serta larva dan telur 0,75. Semakin besar nilai positif menunjukkan tingkat preferensi teri hitam terhadap suatu organisme makanan. Perbandingan antara plankton yang terdapat dalam makanan teri dengan plankton dalam perairan pada tingkat komposisi genus menunjukkan bahwa terdapat beberapa genus yang ditemukan dalam makanan teri hitam namun tidak ditemukan dalam pemeriksaan komposisi plankton di perairan tetapi dalam jumlah dan frekuensi kemunculan yang sangat kecil (Lampiran 8). Jumlah makanan teri hitam setiap waktu hauling secara umum tidak jauh berbeda. Jumlah organisme makanan teri hitam setiap waktu hauling menunjukkan bahwa jumlah makanan pada hauling III (jam 04:30 05:00) lebih

54 39 besar dibandingkan hauling lainnya, kemudian hauling I (jam 2`:00 22:00) dan terkecil pada hauling II (jam 01:00 02:00) (Gambar 21). Jika dibandingkan dengan kelimpahan plankton di perairan pada setiap waktu hauling, ternyata menunjukkan pola yang berbeda, dimana untuk kelompok fitoplankton kelimpahan tertinggi diperoleh pada hauling II dan terendah pada hauling I, sedangkan kelimpahan zooplankton tertinggi ditemukan pada hauling III dan terendah pada hauling I. Uji sidik ragam jumlah makanan teri terhadap waktu hauling menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara ketiga waktu hauling ( Lampiran 9). Tabel 6 Indeks pilihan makanan (E) teri hitam Plankton Indeks Pilihan Makanan Fitoplankton Bacillariophyceae Chrysophyceae Dynophyceae Zooplankton Ciliata 0.59 Rhizopodea 0.76 Hydrozoa 0.53 Branchiopoda 0.70 Copepoda 0.81 Malacostraca 0.82 Nauplius 0.75 Telur dan Larva 0.75 Organisme makanan (individu) I (jam 21:00-22:00) II (jam 01:00-02:00) III (jam 04:30-05:00) Waktu Hauling Gambar 21 Jumlah makanan teri hitam dalam setiap waktu hauling

55 40 Uji korelasi antara kelimpahan fitoplankton di perairan dan jumlah plankton dalam makanan teri hitam menunjukkan tidak ada korelasi yang nyata, sedangkan uji korelasi antara kelimpahan zooplankton dalam perairan dengan jumlah zooplankton dalam makanan teri hitam menunjukkan adanya korelasi yang nyata (Lampiran 9). Analisis regersi antara kelimpahan fitoplankton di perairan dan jumlah fitoplankton dalam makanan teri hitam menunjukkan suatu hubungan yang tidak linear dengan nilai koefesien determinasi sebesar 0,0013 (Gambar 22). Analisis regresi antara kelimpahan zooplankton di perairan dengan jumlah zooplankton dalam makanan teri hitam memperlihatkan suatu hubungan linear positif yang dapat dijelaskan dengan koefesien determinasi sebesar (R 2 ) 0,64 (Gambar 23). Hubungan positif tersebut dapat diartikan sebagai kenaikan kelimpahan zooplankton di perairan akan meningkatkan jumlah konsumsi teri hitam terhadap zooplankton, dan sebaliknya penurunan jumlah kelimpahan zooplankton akan menurunkan jumlah konsumsi zooplankton oleh teri hitam. Fitoplankton dalam makanan teri (individu) y = 0,0012x + 375, R 2 = 0, Fitoplankton dalam perairan (individu/liter) Gambar 22 Hubungan kelimpahan fitoplankton di perairan dan makanan teri hitam.

56 41 Zooplankton dalam makanan teri (individu) y = 0,3514x + 17,193 R 2 = 0, Zooplankton dalam perairan (individu/liter) Gambar 23 Hubungan kelimpahan zooplankton di perairan dan makanan teri hitam. Komposisi makanan teri hitam pada setiap stasion penelitian menunjukkan perbedaan pada jenis makanan dominan yang ditemukan. Namun demikian, secara umum nilai index of preponderence menunjukkan terdapat dua sub kelas dari kelompok zooplankton yang ditemukan dominan pada setiap stasion penelitian yaitu Copepoda dan Malacostraca (Gambar 24). Copepoda paling dominan dibandingkan plankton lain ditemukan pada stasion 2, 3, 4, 5 dan 6, bahkan pada stasion 4 jumlahnya mencapai 70%. Malacostraca ditemukan paling banyak pada stasion 1 dan 8. Telur dan larva juga ditemukan dominan, tetapi pada stasion 1 dan 2 terdapat dalam jumlah yang sangat kecil. Selain itu, terdapat beberapa jenis plankton yang cukup banyak ditemukan dalam makanan teri hitam, yaitu Rhizopodea (stasion 1 dan 5), diatom (stasion 1, 2, 5 dan 7), Nauplius (stasion 2 dan 4), Branchiopoda (stasion 3, 6 dan 8) serta dinoflagellata (stasion 5).

57 42 Rhizopodea 3% Diatom 4% Nauplius 12% Diatom 6% Copepoda 34% Malacostraca 21% Malacostraca 56% Plankton lain 3% Stasion 1 Stasion 2 Plankton lain 4% Copepoda 57% Telur/larva 26% Branchiopoda 5% Malacostraca 10% Telur/larva 6% Nauplius 6% Plankron lain 8% Copepoda 42% Malacostraca 21% Plankton lain 6% Stasion 3 Stasion 4 Copepoda 70% Telur/larva 21% Diatom 4% Dinoflagellata 4% Rhizopodea 5% Telur/larva 19% Branchiopoda 12% Malacostraca 23% Copepoda 40% Malacostraca 25% Copepoda 37% Plankton lain 3% Stasion 5 Stasion 6 Plankton lain 7% Telur/larva 38% Diatom 5% Copepoda 16% Plankton lain 5% Telur/larva 20% Branchiopoda 9% Copepoda 17% Plankton lain 6% Malacostraca 36% Stasion 7 Stasion 8 Malacostraca 48% Gambar 24 Komposisi makanan teri hitam berdasarkan indeks bagian terbesar (Index of preponderence) pada setiap stasion penelitian

58 Pemangsaan Teri (Stolephorus spp.) oleh Ikan Pemangsa Pengamatan pemangsaan teri oleh ikan-ikan pemangsa dilakukan pada 8 jenis ikan yaitu peperek, selar, alu-alu, buntal, kwee, kerong-kerong, bambangan dan lencam. Tetapi hanya dua jenis ikan yang dapat dianalisis pada semua stasion penelitian yaitu peperek dan selar. Berdasarkan proporsi volume makanan leiognathus, menunjukkan bahwa proporsi jumlah teri lebih besar dari makanan selain teri (Lampiran 10). Hal ini menunjukkan bahwa isi lambung peperek sebagian besar terdiri dari teri. Proporsi volume makanan berupa teri dalam total makanan peperek bervariasi setiap stasion penelitan, proporsi terbesar teri sebagai organisme makanan pada stasion 3 dan 7 masing-masing mencapai 80% dan terendah pada stasion 8 sebesar 53%. Analisis regresi antara jumlah tangkapan teri oleh bagan rambo dengan jumlah teri dalam makanan peperek menunjukkan adanya korelasi positip dengan koefesien determinasi sebesar 0,1915 (Gambar 25). Proporsi volume teri dalam total makanan peperek (%) y = 0,0275x + 64,049 R 2 = 0, Tangkapan teri (kg) Gambar 25 Hubungan jumlah tangkapan teri dan proporsi teri dalam makanan peperek selama penelitian Jumlah teri yang dikonsumsi oleh selar berkisar antara 12 sampai 29 ekor teri (Lampiran 10). Variasi nilai ini berbeda untuk setiap stasion dan ukuran tubuh selar. Jumlah makanan terbesar diperoleh pada stasion 3 sedangkan jumlah terkecil pada stasion 7. Analisis frekuensi kejadian makanan menunjukkan bahwa

59 44 pada sebagian besar stasion penelitian yaitu stasion 2, 3, 4, 6 dan 8 seluruh lambung ikan selar terdapat teri, sedangkan pada stasion lain proporsi frekuensi kejadian mencapai 80%. Analisis regresi antara jumlah tangkapan teri oleh bagan rambo dengan jumlah teri dalam makanan selar peperek menunjukkan adanya korelasi positip dengan koefesien determinasi sebesar 0,681 (Gambar 26). Hal ini dapat diartikan bahwa kenaikan jumlah tangkapan teri oleh bagan rambo berarti juga menunjukkan semakin banyak teri yang dikonsumsi oleh selar. Proporsi volume teri dalam total makanan selar (%) y = 0,021x + 81,198 R 2 = 0, Tangkapan teri (kg) Gambar 26 Hubungan jumlah pemangsaan teri oleh selar dan jumlah tangkapan teri selama penelitian Komposisi makanan alu-alu, buntal, kwee, kerong-kerong, bambangan dan lencam keseluruhannya berisi organisme teri masing-masing pada semua stasion penelitan. Untuk buntal frekuensi kejadian makanan mencapai 100% pada stasion 2 dan 3. Jenis ikan yang paling banyak memanfaatkan teri sebagai makanannya adalah jenis kwee yang mencapai 36 ekor teri pada stasion 1 (Gambar 27).

60 45 Jumlah Teri (ind) alu-alu buntal kwee kerong-kerong bambangan lencam ` 5 0 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 St 7 St 8 Stasion Penelitian Gambar 27 Jumlah teri yang dimangsa oleh ikan lain

61 5 PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Perairan di Kabupaten Barru Perairan Kabupaten Barru terletak di pantai barat pulau Sulawesi dan merupakan bagian dari Selat Makassar. Perairan ini merupakan salah satu pintu masuk arus lintas Indonesia (ARLINDO) dari arah utara sehingga secara umum kondisi perairannya banyak dipengaruhi oleh massa air laut dari Samudera Pasifik. Hasil pengukuran beberapa parameter perairan selama penelitian menunjukkan bahwa kondisi perairan Kabupaten Barru relatif homogen dimana fluktuasi nilai-nilai yang diperoleh relatif kecil. Pengukuran suhu dan salinitas perairan menunjukkan nilai maksimum umumnya terjadi pada hauling III menjelang pagi hari (jam 04:30-05:00). Salinitas maksimum pada hauling III dapat disebabkan kondisi pasang yang terjadi menjelang pagi hari dimana massa air bergerak dari arah lautan dengan salinitas yang lebih tinggi menuju ke arah daratan, sebaliknya salinitas pada hauling I (jam 21:00-22:00) ditemukan salinitas lebih rendah mencapai 28, dimana pada waktu ini terjadi surut dan massa air banyak mendapat pengaruh dari massa air daratan utama sehingga salinitasnya lebih rendah. Pada stasion 3, 4 yang terletak lebih jauh dari daratan utama ditemukan kecenderung salinitas lebih tinggi dibandingkan stasion 1, 2, 6, 7 dan 8 yang terletak lebih dekat pantai. Hal ini disebabkan pengaruh masukan massa air dari daratan utama dengan salinitas yang lebih rendah pada stasion dekat pantai utamanya pada stasion 1 dan 8 yang terletak dekat dengan muara sungai (Gambar 9). Kecepatan arus yang lebih besar biasanya terjadi pada hauling I yang dapat disebabkan pengaruh angin yang bertiup cukup kencang pada saat itu. Walaupun arus untuk arus daerah dekat pantai umumnya pengaruh pasang surut lebih besar dibandingkan pengaruh angin, namun pengukuran yang dilakukan hanya pada arus permukaan sehingga pengaruh angin dapat lebih dominan. Umumnya arus pada musim barat lebih kencang daripada arus yang terjadi pada musim timur. Hasil pengukuran oksigen terlarut (DO) memperlihatkan nilai yang cukup besar. Konsentrasi DO di perairan ini berada di atas batas minimum untuk

62 47 mendukung kehidupan di perairan seperti yang disebutkan oleh Prescot (1973) yaitu sebesar 2,0 mgo 2 /liter. 5.2 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Keterkaitan yang erat antara fitoplankton sebagai sumber energi di lautan dengan zooplankton merupakan tahap awal penghantaran energi ke jenjang trofik yang lebih tinggi. Tidak teridentifikasinya korelasi nyata antara kelimpahan fitoplankton dan zooplankton yang berarti bahwa peningkatan kelimpahan fitoplankton tidak disertai dengan peningkatan kelimpahan zooplankton saat itu yang dapat disebabkan adanya time lag karena zooplankton membutuhkan waktu untuk tumbuh mengikuti pertumbuhan fitoplankton. Jika diamati lebih seksama, terdapat trend bahwa peningkatan kelimpahan fitoplankton dalam suatu periode pengambilan data akan diikuti oleh kenaikan kelimpahan zooplankton setelah pengambilan data selanjutnya (Gambar 13). Fenomena ini masih perlu dikaji lagi karena selama penelitian stasion pengambilan data berada pada lokasi yang berbeda. Hubungan yang tidak nyata antara kelimpahan fitoplankton dan zooplankton juga ditemukan oleh Hauhamu (1995) di teluk Ambon dan Umar (2002) di teluk Siddo yang menemukan perbedaan temporal keaneragaman dan dominansi antara fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton yang ditemukan adalah kelas Bacillariophyceae (diatom), Dynophyceae (dinoflagellata) dan Chrysophycae, dimana kelas Bacillariophyceae adalah yang paling umum ditemukan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Parson et al. (1977), yang mengelompokkan fitoplankton di lautan menjadi delapan kelas yaitu Cyanophyceae, Rhodophyceae, Dynophyceae, Haptophyceae, Chrysophycae, Xanthophyceae, Chlorophyceae dan Bacillariophyceae (diatom). Diantara kelas-kelas itu, kelas Bacillariophyceae dan Dynophyceae merupakan fitoplankton yang umum ditemukan di laut. Dalam perairan tropis, umumnya Bacillariophyceae ditemukan dalam kelimpahan yang sangat tinggi. Hal ini disebabkan kelas Bacillariophyceae memiliki laju penggandaan yang relatif cepat dari kelas lainnya, tetapi dalam kasus tertentu, Dynophyceae dapat dijumpai dalam kelimpahan yang tinggi dan mampu menghambat pertumbuhan plankton

63 48 sehingga terjadi blooming spesies tertentu seperti yang terjadi pada kasus red tide. Penelitian ini hanya menemukan 3 kelas fitoplankton, sementara Parson et al. (1977) menyatakan bahwa terdapat 8 kelas fitoplankton di lautan. Hal ini disebabkan oleh faktor waktu pengambilan sampel plankton yang dilakukan pada waktu malam hari sehingga berpengaruh terhadap keanekaragaman jenis yang diperoleh. Anakotta (2002) dalam penelitiannya di teluk Kupang dan menemukan komposisi dan kelimpahan fitoplankton pada malam hari lebih kecil dibandingkan pada siang hari. Komposisi jenis zooplankton lebih banyak ditemukan dibandingkan fitoplankton, anggota kelompok zooplankton jumlahnya lebih besar dari kelompok fitoplankton. Zooplankton itu sendiri terdiri dari berbagai macam organisme akuatik hewani baik yang bersifat holoplankton seperti Copepoda maupun meroplankton seperti larva ikan, larva moluska dan lain-lain. Selain itu faktor migrasi vertikal zooplankton yang cenderung naik ke permukaan pada malam hari menyebabkan jenis zooplankton lebih banyak ditemukan pada penelitian ini. Kelimpahan zooplankton secara umum didominasi oleh sub kelas Copepoda, namun demikian terdapat variasi kelimpahan berdasarkan komposisi jenis pada setiap stasion penelitian. Beberapa jenis melimpah pada stasion penelitian tertentu tetapi kemudian tidak ditemukan pada stasion yang lain. Hal ini menunjukkan adanya perkembangan komunitas yang dinamis, sehingga suatu jenis dapat lebih dominan dari yang lainnya pada interval waktu tertentu tetapi kemudian menjadi langka pada interval waktu yang lain. Seperti yang ditunjukkan oleh larva dan telur ikan, ditemukan cukup dominan pada stasion 1, 6, 7 dan 8 tetapi pada stasion 2 dan 4 menjadi langka bahkan pada stasion 3 tidak ditemukan sama sekali. Selain itu sub kelas Malacostraca ditemukan dalam jumlah yang sedikit pada stasion 4 tetapi kemudian dominan stasion 7 dan 8 (Gambar 12).

64 Hasil Tangkapan Ikan Hasil tangkapan bagan rambo sangat beranekaragam, terdiri dari berbagai spesies. Secara umum jumlah hasil tangkapan didominasi oleh ikan-ikan tangkapan utama seperti teri, kembung, layang, cumi, tembang, japuh, peperek dan selar yang mencapai 88,3% dari total hasil tangkapan (Tabel 5), selebihnya adalah ikan lain yang termasuk by-catch dan discard. Jenis ikan tangkapan utama tersebut termasuk ikan demersal dan pelagis yang berukuran kecil yang dimungkinkan karena bagan rambo menggunakan jaring dengan mesh size yang berukuran kecil. Keanekaragaman jenis tangkapan dapat dikatakan sebagai konsekuensi dari fishing ground di daerah tropis yang memiliki variasi jenis ikan yang lebih banyak dibandingkan daerah lain. By-cath dapat diartikan sebagai hasil tangkapan sampingan dan masih bernilai ekonomis. Termasuk kelompok ini dalam hasil tangkapan bagan rambo adalah kwee (Caranx), alu-alu (Sphyraena), baronang (Siganus), bambangan (Lutjanus) dan beberapa jenis ikan lain. Discard adalah hasil tangkapan sampingan yang tidak bernilai ekonomis dan biasanya dibuang kembali ke laut karena tidak dimanfaatkan. Termasuk dalam kelompok ini adalah buntal (Diodon, Arothron), beseng-beseng (Apogon) dan lain-lain. Berdasarkan pengamatan di lapangan, jumlah hasil tangkapan sampingan yang termasuk discard hampir ditemukan setiap waktu hauling tetapi dalam jumlah yang sangat sedikit atau dapat dikatakan hampir semua tangkapan bagan rambo dimanfaatkan. Jumlah hasil tangkapan yang diperoleh dapat dijadikan gambaran besarnya schooling ikan yang masuk pada catchable area bagan rambo. Jenis dominan yang paling banyak ditangkap adalah teri (Stolephorus) yang mencapai 28,8% dari total total hasil tangkapan (Tabel 5). Terdapat variasi hasil tangkapan teri pada setiap stasion penelitian. Tangkapan yang relatif besar ditemukan pada stasion 3, 6 dan 7 (Gambar 15). Pada stasion ini kelimpahan zooplankton juga ditemukan relatif tinggi. Terdapat dugaan bahwa hasil tangkapan teri berhubungan dengan kelimpahan zooplankton pada saat itu, dengan pertimbangan bahwa salah satu tujuan teri memasuki catchable area bagan rambo adalah untuk mencari makan dan makanan teri adalah zooplankton, dimana kondisi perairan yang lebih terang karena cahaya lampu bagan rambo menjadi daya tarik dalam membantu teri untuk

65 50 menangkap mangsanya. Hal ini juga berkaitan dengan migrasi verikal zooplankton yang berada disekitar permukaan perairan pada saat malam hari. Namun demikian, proses ini tidak sesederhana penjelasan di atas dan masih terdapat faktor-faktor lain yang bersama-sama memberi pengaruh dalam menentukan jumlah tangkapan teri oleh bagan rambo. Korelasi positif hasil tangkapan teri dengan kelimpahan zooplankton di perairan menunjukkan bahwa kelimpahan zooplankton di perairan memberikan kontribusi terhadap jumlah hasil tangkapan sebanyak 40,3%; selain itu masih terdapat faktor-faktor lain yang tidak terukur dalam penelitian ini. Faktor lain tersebut diduga adalah kondisi fisik-kimia perairan dan pencahayaan bagan rambo, diduga memberikan kontribusi dalam menentukan variasi jumlah tangkapan. Selain itu faktor teknis penangkapan seperti pelolosan ikan pada saat proses hauling dapat juga memberi pengaruh jumlah hasil tangkapan. Oleh karena itu perlu dikaji lebih lanjut sejauh mana pengaruh kondisi fisik-kimia perairan dan teknis penangkapan terhadap hasil tangkapan ikan bagan rambo. Data jumlah hasil tangkapan teri berdasarkan waktu hauling menunjukkan bahwa tangkapan terbesar umumnya terjadi di hauling III (jam 04:30 05:00), kemudian pada hauling I (jam 21:00 22:00) dan terendah terjadi pada hauling II (jam 01:00 02:00) (Gambar 16). Hal ini dapat diartikan bahwa penangkapan efektif teri oleh bagan rambo dapat dilakukan pada hauling III dan I. Jika hal ini dihubungkan dengan kelimpahan plankton sebagai makanan teri, ternyata jumlah tangkapan tidak berkorelasi dengan besarnya kelimpahan plankton yang relatif sama pada setiap waktu hauling (Gambar 14). Selain itu, jika dihubungkan dengan faktor cahaya lampu bagan sebagai daya tarik ikan untuk masuk ke catchable area ternyata juga tidak berkorelasi karena besarnya intensitas lampu selalu sama tetapi diperoleh hasil tangkapan yang berbeda-beda. Terdapat beberapa dugaan yang dapat menyebabkan perbedaan hasil tangkapan pada setiap hauling, diantaranya adalah kebiasaan waktu makan ikan (feeding periodicity) dan kondisi lingkungan. Feeding periodicity dapat diartikan sebagai periode (waktu) ikan mengambil makanannya dalam waktu 24 jam (Effendie, 1997). Ikan teri melakukan aktivitas mencari makan pada malam hari yaitu saat menjelang malam hari sampai menjelang pagi hari, namun dari hasil

66 51 analisis makanan diketahui bahwa tingkat kepenuhan isi perut teri yang banyak berisi zooplankton ditemukan pada hauling III sehingga dapat diartikan bahwa teri aktif mengambil makanannya menjelang pagi hari. Kondisi perairan juga diduga mempengaruhi hasil tangkapan teri utamanya suhu dan salinitas, dimana terjadi peningkatan suhu dan salinitas menjelang pagi hari yang berkesesuaian dengan peningkatan hasil tangkapan. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Hauhamu (1995) bahwa peningkatan suhu sampai batas tertentu akan merangsang hewan air untuk makan dan meningkatkan aktivitas fisiologi seperti metabolisme dan pencernaan makanan. Perbandingan antara hasil tangkapan teri dengan hasil tangkapan ikan selain teri menunjukkan trend yang hampir sama. Keberadaan teri dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi ikan-ikan lain utamanya untuk jenis ikan yang bukan fototaksis positif untuk masuk dalam catchable area bagan rambo. Jumlah tangkapan teri menunjukkan korelasi positif dengan beberapa jenis ikan tangkapan utama lain yaitu layang (Decapterus), tembang (Sardinella), peperek (Leiognathus), selar (Selar) dan ikan lain dimana kenaikan jumlah tangkapan teri juga diikuti oleh kenaikan jumlah tangkapan ikan selain teri pada saat itu. 5.4 Pemangsaan Individu-individu mahkluk hidup dihubungkan oleh adanya interaksi makan-memakan. Interaksi ini terjadi karena individu-individu memiliki keinginan untuk selalu ingin hidup dan berjuang untuk memanfaatkan sumberdaya yang ada untuk mempertahankan jenisnya, (Ediyono et al diacu oleh Sudirman 2003). Selanjutnya dikatakan bahwa semua mahkluk hidup yang hidup bersama-sama pada suatu habitat atau ekosistem yang sama akan berinteraksi satu dengan lainnya. Interaksi yang terjadi dapat bersifat menguntungkan (mutualisme dan komensalisme), merugikan (predasi, kompetisi, parasitisme) atau bersifat netral yang tidak saling mengganggu antar populasi walaupun berada dalam habitat yang sama dan memiliki kebutuhan yang sama karena tercukupinya kebutuhan. Effendie (1997) mengungkapkan bahwa jika ditelaah makanan ikan sejak dari awal pembentukannya sampai ke makanan yang dimakan oleh ikan,

67 52 sebenarnya merupakan rantai makanan (food chain). Fitoplankton dapat memproduksi bahan organik dari bahan anorganik (produsen primer) yang dimangsa oleh zooplankton (konsumer primer) dan selanjutnya zooplankton akan dimangsa oleh ikan kecil seperti teri sebagai (konsumer sekunder) dan teri akan dimangsa juga oleh ikan yang lebih besar dari trofik level yang lebih tinggi. Dapat juga interaksi makan-pemakan terjadi tumpang tindih, dimana satu jenis produsen dimangsa oleh beberapa jenis konsumen dan satu jenis konsumen memakan beberapa jenis makanan sehingga terbentuk suatu jaringan makanan (food webs). Hal ini juga ditunjukkan dalam penelitian ini, dimana teri selain memangsa zooplankton juga memangsa fitoplankton, selain itu teri sebagai produsen juga dimangsa oleh beberapa jenis ikan pemangsa seperti selar, peperek, buntal, kwee dan ikan-ikan lain Pemangsaan teri hitam (Stolephorus insularis) terhadap plankton Kelimpahan teri selain disebabkan oleh faktor lingkungan juga oleh ketersediaan makanannya di perairan. Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa makanan teri jenis Stolephorus insularis keseluruhannya adalah plankton. Berdasarkan analisis indeks pilihan makanan terlihat bahwa kecenderungan Stolephorus insularis lebih banyak memilih zooplankton dari pada fitoplankton utamanya zooplankton dari kelompok Copepoda, Malacostraca, Polychaeta, Nauplius dan Branchiopoda. Hal ini menunjukkan tingkat preferensi Stolephorus insularis terhadap makanannya yang lebih menyukai zooplankton daripada fitoplankton. Hutomo et al. (1987) menyatakan bahwa teri termasuk ikan bersifat selective feeder yang memanfaatkan jenis-jenis makanan yang menjadi kesukaannya dan sesuai dengan kebutuhannya. Preferensi makanan Stolephorus spp. terhadap zooplankton juga disebutkan oleh Burhanuddin et al. (1975) yang memeriksa komposisi makanan teri jenis Stolephorus devisi dan mendapatkan Copepoda dan fragmen crustacea lain sebagai kelompok dominan yang banyak ditemukan. Selain itu Hauhamu (1995) pada jenis Stolephorus spp. dan Sudirman (2003) pada teri jenis Stolephorus insularis serta beberapa penelitian lainnya mendapatkan hasil yang sama.

68 53 Pemangsaan fitoplankton oleh teri kemungkinan lebih disebabkan karena keberadaan fitoplankton di perairan dalam kelimpahan yang besar, sehingga lebih memudahkan teri memangsa fitoplankton. Hal ini lebih jelas jika melihat komposisi makanan dari kelompok fitoplankton yang banyak ditemukan adalah kelas Bacillorophyceae, sedangkan kelas Bacillorophyceae itu sendiri merupakan komponen utama plankton di perairan. Kelas Bacillorophyceae yang dominan ditemukan adalah dari genus Chaetoceros, Coscinodiscus, Leptocylinricus dan Rhizosolenia. Hasil yang hampir sama diperoleh oleh Sumadhiharga (1978) dan Manuhutu (1988) pada penelitiannya di Teluk Ambon yang melaporkan bahwa dalam lambung Stolephorus spp. ditemukan fitoplankton dari genus Trichodesmium, Coscinodiscus dan Rhizosollenia. Penelitian ini menunjukkan bahwa hasil tangkapan teri banyak dipengaruhi faktor ketersediaan makanan (pemangaan teri terhadap zooplankton), namun kesimpulan sementara ini perlu dikaji lebih jauh. Penelitian selanjutnya diharapkan mengkaji hubungan hasil tangkapan dengan faktor lain yang diduga mempengaruhi hasil tangkapan seperti kondisi perairan, pencahayaan lampu bagan rambo dan beberapa faktor lain Pemangsaan teri (Stolephorus spp.) oleh ikan pemangsa Keberadaan teri dalam food web di lautan sangat penting karena merupakan penghubung antara plankton dengan ikan-ikan lain. Teri sebagai konsumer tingkat pertama akan dimangsa oleh ikan kecil sebagai konsumer tingkat kedua yang selanjutnya dimangsa lagi oleh ikan-ikan pada trofik level yang lebih tinggi sampai pada top konsumer sehingga terbentuk rantai makanan. Dapat juga terjadi teri dimangsa oleh ikan pada tingkat trofik level lain sehingga terbentuk suatu jaringan makanan dan terjadi tumpang tindih relung makanan. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa teri dimangsa oleh beberapa jenis predator yang masuk pada catchable area bagan rambo. Hal ini dapat diartikan bahwa kedatangan ikan-ikan tertentu pada area penangkapan bagan rambo selain disebabkan oleh ketertarikan ikan oleh cahaya lampu, juga karena keberadaan teri sebagai daya tarik ikan lain. Kesimpulan ini didasarkan pada hasil

69 54 pemerikasaan isi perut pada beberapa jenis ikan hasil tangkapan dimana ditemukan teri sebagai organisme makanan yang dominan. Analisis isi perut dalam penelitian ini hanya dilakukan pada beberapa jenis ikan tangkapan utama yaitu selar dan peperek secara kontinyu sehingga tidak bisa menjelaskan interaksi pemangsaan teri oleh ikan-ikan lain seperti kembung, layang, cumi, tembang, dan beberapa ikan jenis lain yang masuk di catchable area bagan rambo. Namun demikian, berdasarkankan uji korelasi antara hasil tangkapan teri dengan beberapa kelompok ikan yang tertangkap oleh bagan rambo terlihat bahwa hasil tangkapan teri secara signifikan berkorelasi dengan tangkapan layang, tembang, peperek, selar dan ikan lain. Hasil pemeriksaan isi perut juga menunjukkan beberapa jenis ikan yang masuk dalam kelompok ikan lain yang diketahui secara pasti melakukan aktivitas pemangsaan terhadap teri selama berada di catchable area bagan rambo adalah alu-alu, buntal, kwee, kerong-kerong, bambangan dan lencam. Namun pemeriksaan ini tidak dilakukan secara kontinyu selama penelitian karena jenis ikan-ikan tersebut hanya tertangkap pada periode tertentu. Penelitian lebih lanjut diharapkan dapat memeriksa secara kontinyu semua jenis ikan yang tertangkap oleh bagan rambo sehingga diketahui dengan baik motivasi kedatangannya pada catchable area bagan rambo apakah karena mencari makan, faktor cahaya atau faktor lain. Hasil analisis statistik juga memperlihatkan bahwa semakin banyak teri yang masuk di catchable area bagan rambo maka semakin banyak pula teri dimangsa oleh ikan-ikan pemangsa. Hal ini disebabkan kemudahan ikan-ikan pemangsa untuk menangkap mangsanya. Selain itu jika melihat dalam skala yang lebih luas maka hal ini juga menunjukkan sifat ikan-ikan pemangsa untuk memanfaatkan potensi sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan makanannya yang secara maksimal. Secara umum keberadaan teri pada catchable area bagan rambo mempunyai peran yang sangat penting atas kehadiran ikan-ikan pemangsa, sehingga populasi ikan teri di daerah fishing ground akan sangat menentukan populasi ikan-ikan lainnya. Ditinjau dari segi kelestarian ikan-ikan lain seperti

70 55 selar dan peperek di fishing ground tersebut maka populasi ikan teri perlu dipertahankan. Hal yang menarik, kaitannya pemangsaan teri oleh ikan pemangsa dengan penangkapan teri oleh manusia (nelayan) terdapat suatu kompetisi tidak langsung antara ikan pemangsa dengan nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya yang sama. Eksploitasi secara berlebihan teri oleh nelayan akan mengurangi sumber makanan bagi ikan-ikan lain dan dapat mempengaruhi pertumbuhannya yang akhirnya akan mengurangi potensi sumberdaya perikanan untuk kebutuhan manusia itu sendiri. Oleh karena itu perlu pengkajian lebih lanjut terhadap persaingan secara tidak langsung antara ikan pemangsa teri dengan nelayan serta bagaimana dampaknya terhadap potensi sumberdaya teri tersebut maupun kedua kompetitor itu sendiri. Pengelolaan perikanan tangkap haruslah berkesinambungan yaitu dengan mempertimbangan keseimbangan potensi sumberdaya yang ada. Menurut Kaswadji (2006 komunikasi pribadi) disebutkan bahwa keseimbangan potensi suatu sumberdaya perikanan secara umum tergantung dari 2 faktor, yaitu (1) faktor yang dapat menambah stok ikan (input) yaitu rukruitmen dan pertumbuhan; dan (2) faktor yang dapat mengurangi stok ikan (output) yaitu mortalitas alami dan penangkapan. Stok ikan akan mengalami penurunan jika faktor input lebih kecil dari output, sebaliknya jika input lebih besar dari output maka terjadi surplus stok ikan. Pemanfaatan yang optimal terjadi jika input seimbang dengan output. Rukruitmen, pertumbuhan dan mortalitas ikan merupakan proses alami dan sangat sulit kontrol oleh manusia, sedangkan penangkapan merupakan faktor yang dapat kontrol. Dengan demikian pengelolaan perikanan tangkap yang berkesinambungan akan lebih bijaksana jika dilakukan dengan pengaturan sistem penangkapan.

71 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Terjadi interkasi pemangsaan teri selama proses penangkapan ikan dengan bagan rambo, dimana teri memangsa plankton dan dimangsa oleh beberapa ikan pemangsa. Komposisi makanan teri hitam (Stolephorus insularis) terdiri dari zooplankton (94%) dan fitoplankton (6%) yang menunjukkan preferensi teri hitam yang lebih memilih zooplankton sebagai makanan utamanya. Hal ini juga ditunjukkan oleh indeks pilihan makanan yang menunjukkan nilai positif untuk makanan zooplankton dan nilai negatif untuk fitoplankton. Jenis makanan yang banyak dimangsa oleh teri hitam yaitu Copepoda (50%) dan Malacostraca (27%), telur/larva (9%), nauplius (5%) dan diatom (4%) sedangkan kumulatif plankton lain hanya sebesar 5%. Terdapat korelasi positif antara jumlah zooplankton dalam makanan teri hitam terhadap kelimpahan zooplankton di perairan dengan koefesien determinasi (R 2 ) sebesar 0,643, tetapi tidak terhadap fitoplankton. Selain itu terdapat korelasi positif antara jumlah tangkapan teri hitam dengan kelimpahan zooplankton di perairan dengan nilai koefesien determinasi (R 2 ) sebesar 0,403. Teri (Stolephorus spp.) dimangsa oleh beberapa ikan pemangsa seperti peperek, selar, alu-alu, buntal, kwee, kerong-kerong, bambangan dan lencam. Proporsi valome teri dalam total makanan peperek dan selar diatas 50% pada semua stasion penelitian, juga menunjukkan korelasi positif dengan jumlah tangkapan teri saat itu, dengan nilai koefesien determinasi masing-masing sebesar 0,192 dan 0,681. Selain itu jumlah tangkapan teri berkorelasi dengan jumlah tangkapan layang, tembang, peperek, selar dan ikan lain. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang dapat memeriksa secara kontinyu semua jenis ikan yang tertangkap oleh bagan rambo dan beberapa parameter lingkungan sehingga dapat diketahui dengan baik motivasi kedatangan ikan pada catchable area bagan rambo apakah karena mencari makan, cahaya lampu atau karena faktor lain.

72 DAFTAR PUSTAKA Anakotta ARF Studi Kebiasaan Makanan Ikan-ikan yang Tertangkap di Sekitar Ekosistem Mangrove Pantai Oesapa dan Oebelo Teluk Kupang Nusa Tenggara [Tesis]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. 103 hal. Ayodhyoa AU Metode Penangkapan Ikan. Bogor. Yayasan Dewi Sri. 90 hal. Baskoro MS Capture Process of The Floated Bamboo-Platform Liftnet With Light Attraction (Bagan) [Disertasi]. Doctoral Course of Marine Sciences and Technology Graduate School of Fisheries. Tokyo. Tokyo University of Fisheries. 149 hal. Basmi J Makanan Plankton dan Plankton sebagai Makanan. Bogor. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. 52 hal. Burhanuddin, Hutomo M dan S Martosewojo A Priliminary Study on the Growth and Food of Stolephorus spp. from the Jakarta Bay. Jakarta. Marine Research in Indonesia. 30 hal. Effendie MI Metoda Biologi Perikanan. Bogor. Yayasan Dwi Sri. 112 hal. Effendie MI Biologi Perikanan. Yogyakarta. Yayasan Pustaka Nusatama. 163 hal. Ediyono SH, Hendrawad DI, Nugroho AS, dan Yusuf M Prinsip-prinsip Lingkungan dalam Pembangunan Berkelnjutan. Jakarta. Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 196 hal. Frost BW Grazing: the Physiological Ecology of Plankton. London. Blackwell Scientific Publication. 491 hal. Hall SJ The Effects of Fishing on Marine Ecosystem and Communities. London. Blackwell Science Ltd. 274 hal. Haryadi S, Suryadiputra INN dan Widigdo B Limnologi Metode Analisis Kualitas Air. Bogor. Laboratorium Limnologi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. 124 hal. Hauhamu S Hubungan antara Kelimpahan Ikan Teri (Stolephrus spp.) dengan Kelimpahan Plankton [Tesis]. Bogor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 107 hal.

73 58 Hutomo M, Burhanuddin dan Martosewojo S Sumberdaya Ikan Teri di Indonesia. Jakarta. Seri sumberdaya alam. 80 hal. Hyslop EJ Stomach Content Analysis, A Review of Methods and Their Aplication. Journal Fisheries Biology. hal Kaswadji RF, Chaeruddin A, Naulita Y, dan Natih MNM Dinamika Fitoplankton permukaan di Teluk Pelabuhan Ratu dan kaitannya dengan Rantai Makanan di Laut dan Musim Ikan [Laporan Penelitian]. Bogor. Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. 25 hal. Laevastu T, dan Hayes ML Fisheries Oceanography and Ecology. Farnham. Fishing News Book Ltd. 238 hal. Lagler KF Freshwater Biology. Dubuque. MMC Brown Comp. Publsh. 545 hal. Mallawa A Studi Mengenai Perikanan Bagan Rambo di Perairan Barru Selat Makassar [Laporan Penelitian]. Ujung Pandang. Pusat Lembaga Penelitian, Universitas Hasanuddin. 40 hal. Margalef R Sampling Design; some Examples. Phytoplankton Manual. Monogragraf on Oceanographyc Methodology. Paris. UNESCO. hal Manuhutu R Studi Biologi Ikan Puri Putih (Stolephorus indicus) dengan Penekanan pada Pertumbuhan dan Makanan di Sekitar Perairan Paperu, Teluk Saparua. Ambon. Fakultas Perikanan. Universitas Pattimura. 75 hal. Munro ISR The Fishes of New Guinea. Port Moresby. Deparment Agriculture Stock Fish. 650 hal. Nadir M Teknologi Light Fishing di Perairan Barru Selat Makassar; Deskripsi, Sebaran Cahaya dan Hasil Tangkapan [Tesis]. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 87 hal. Natarajan AV dan Jhingran AG Index of Preponderence: a Method of Grading the Food Element in the Stomach of Fishes. 8 (1): hal Newell GE, Newell RC Marine Plankton; A Practical Guide, Fifth Edition. Hutchinson Education. 244 hal. Nikolsky GW The Ecology of Fishes. London. Academic Press. 352 hal. Nontji A Laut Nusantara. Jakarta. Penerbit Djambatan. 364 hal.

74 59 Nybakken JW Biologi Laut; suatu Pendekatan Ekologi. Jakarta. PT Gramedia. 549 hal. Omori M dan Ikeda T Methods in Marine Zooplankton Ecology. New York. A Willey inc. Publ John Willey and Sons. 331 hal. Parson TR, Hargrave B dan Takahashi M Biological Oceanographyc Processes. New York-Toronto. Pergamon Press. 271 hal. Popova LA The Role of Predaceous Fish in Ecosystem. London. Blackwell Scientific Publication. hal Prescot MB Investigation of Rational Effluent and Stream Standard for Tropical Countries. Bangkok. Asian Institute Technology. 59 hal. Romimohtarto K dan Juwana S Biologi Laut; Ilmu Pengetahuan tentang Laut. Jakarta. Djambatan. 540 hal. Subani W, Barus HR Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut, Jurnal Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. Departemen Pertanian. 248 hal. Sudirman Analisis Tingkah Laku Ikan untuk Mewujudkan teknologi Ramah Lingkungan dalam Proses Penangkapan pada Bagan Rambo [Desertasi]. Bogor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 307 hal. Sumadiharga OK Beberapa Aspek Biologi Ikan Puri Stolephorus heterolobus (Rupello) di Teluk Ambon. Ambon. Jurnal Oseanologi Indonesia. hal Tomascik T, Mah AJ. Nontji A dan Mossa MK The Ecology of the Indoneian Seas, Part 2. The Ecology of Indoensian Series. Jakarta. Periplus Edition (KH) Ltd. 670 hal. Umar NA Komposisi dan Kelimpahan Fitoplankton Hubungannya dengan Kelimpahan Zooplankton (Kopepoda) dan Larva Kepiting Bakau (Scylla spp.). [Tesis]. Bogor. Program Pascasarjana Institut Pertananian Bogor. 144 hal. von Brandt A Fish Catching Methods of the World. Third Edition. Farnham. Fishing News Books Ltd. 418 hal. Walpole RE Pengantar statistika; Edisi ketiga. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. 515 hal. Weatherly AH dan Gill HS The Biology of Fish Growth. London. London Academic Press. 443 hal.

75 L A M P I R A N

76 61 Lampiran 1 Komposisi dan kelimpahan plankton per hauling pada setiap stasion penelitian Hauling 1 Hauling 2 Hauling 3 Hauling 1 Hauling 2 Hauling 3 Bacillariophyceae Asterionella Bacillaria Bidulphia Cerataulina Chaetoceros Coscinodiscus Ditylum Eucampia Fragilaria Guinardia Lauderia Leptocylindricus Nitzschia Paralia Pleurosigma Rhizosolenia Skelatonema Streptotheca Thalassiosira Chrysophyceae Halosphaera Phaeocytis Dynophyceae Alexandrium Ceratium Dinophysis Goniaulax Gymnodinium Gyrodinium Noctiluca Peridinium Phalacroma Polykrikos Prorocentrum Protoperidinium JUMLAH Stasion 1 Stasion 2 No Zooplankton Hauling 1 Hauling 2 Hauling 3 Hauling 1 Hauling 2 Hauling 3 Ciliata Condonella Epiplocyloides Flavella Helicostomella leprotitinnis Ptychocylis Strombilidium Tintinnopsis Rhizopodea Acanthochiasma Globigerina Hexacontium Thalassicolla

77 62 Lampiran 1 (lanjutan) Stasion 1 Stasion 2 No Zooplankton Hauling 1 Hauling 2 Hauling 3 Hauling 1 Hauling 2 Hauling 3 Hydrozoa Agalma sp Chelophyes Eucodonium Eudoxides Branchiopoda Conchoecia Copepoda Anomalocera Calanus Candacia Microcalanus Parathalestris Pseudocalanus Rhincalanus Temora Malacostraca Hyperia Meganyctiphanes Mesopodopsis Plesionika Schistonaysis Siriella Thysanoessa Moluska Salpa Spiratella Larva gastropoda Polychaeta Nereid Proceraca Larva Spionid Larva Nepthid Nauplius Balanus naupli Calanus naupli Telur dan Larva Larva ikan Telur ikan Sisik ikan Larva Echinodermata Spisula Larva bivalvia Unindentified form JUMLAH

78 63 Lampiran 1 (lanjutan) Stasion 3 Stasion 4 No Fitoplankton Hauling 1 Hauling 2 Hauling 3 Hauling 1 Hauling 2 Hauling 3 Bacillariophyceae Asterionella Bacillaria Bidulphia Cerataulina Chaetoceros Coscinodiscus Ditylum Eucampia Fragilaria Guinardia Lauderia Leptocylindricus Nitzschia Paralia Pleurosigma Rhizosolenia Skelatonema Streptotheca Thalassiosira Chrysophyceae Halosphaera Phaeocytis Dynophyceae Alexandrium Ceratium Dinophysis Goniaulax Gymnodinium Gyrodinium Noctiluca Peridinium Phalacroma Polykrikos Prorocentrum Protoperidinium JUMLAH Stasion 3 Stasion 4 No Zooplankton Hauling 1 Hauling 2 Hauling 3 Hauling 1 Hauling 2 Hauling 3 Ciliata Condonella Epiplocyloides Flavella Helicostomella leprotitinnis Ptychocylis Strombilidium Tintinnopsis Rhizopodea Acanthochiasma Globigerina Hexacontium

79 64 45 Thalassicolla Lampiran 1 (lanjutan) Stasion 3 Stasion 4 No Zooplankton Hauling 1 Hauling 2 Hauling 3 Hauling 1 Hauling 2 Hauling 3 Hydrozoa Agalma sp Chelophyes Eucodonium Eudoxides Branchiopoda Conchoecia Copepoda Anomalocera Calanus Candacia Microcalanus Parathalestris Pseudocalanus Rhincalanus Temora Malacostraca Hyperia Meganyctiphanes Mesopodopsis Plesionika Schistonaysis Siriella Thysanoessa Moluska Salpa Spiratella Larva gastropoda Polychaeta Nereid Proceraca Larva Spionid Larva Nepthid Nauplius Balanus naupli Calanus naupli Telur dan Larva Larva ikan Telur ikan Sisik ikan Larva Echinodermata Spisula Larva bivalvia Unindentified form JUMLAH

80 65 Lampiran 1 (lanjutan) Stasion 5 Stasion 6 No Fitoplankton Hauling 1 Hauling 2 Hauling 3 Hauling 1 Hauling 2 Hauling 3 Bacillariophyceae Asterionella Bacillaria Bidulphia Cerataulina Chaetoceros Coscinodiscus Ditylum Eucampia Fragilaria Guinardia Lauderia Leptocylindricus Nitzschia Paralia Pleurosigma Rhizosolenia Skelatonema Streptotheca Thalassiosira Chrysophyceae Halosphaera Phaeocytis Dynophyceae Alexandrium Ceratium Dinophysis Goniaulax Gymnodinium Gyrodinium Noctiluca Peridinium Phalacroma Polykrikos Prorocentrum Protoperidinium JUMLAH Stasion 5 Stasion 6 No Zooplankton Hauling 1 Hauling 2 Hauling 3 Hauling 1 Hauling 2 Hauling 3 Ciliata Condonella Epiplocyloides Flavella Helicostomella leprotitinnis Ptychocylis Strombilidium Tintinnopsis Rhizopodea Acanthochiasma Globigerina Hexacontium

81 66 45 Thalassicolla Lampiran 1 (lanjutan) Stasion 5 Stasion 6 No Zooplankton Hauling 1 Hauling 2 Hauling 3 Hauling 1 Hauling 2 Hauling 3 Hydrozoa Agalma sp Chelophyes Eucodonium Eudoxides Branchiopoda Conchoecia Copepoda Anomalocera Calanus Candacia Microcalanus Parathalestris Pseudocalanus Rhincalanus Temora Malacostraca Hyperia Meganyctiphanes Mesopodopsis Plesionika Schistonaysis Siriella Thysanoessa Moluska Salpa Spiratella Larva gastropoda Polychaeta Nereid Proceraca Larva Spionid Larva Nepthid Nauplius Balanus naupli Calanus naupli Telur dan Larva Larva ikan Telur ikan Sisik ikan Larva Echinodermata Spisula Larva bivalvia Unindentified form JUMLAH

82 67 Lampiran 1 (lanjutan) Stasion 7 Stasion 8 No Fitoplankton Hauling 1 Hauling 2 Hauling 3 Hauling 1 Hauling 3 Bacillariophyceae Asterionella Bacillaria Bidulphia Cerataulina Chaetoceros Coscinodiscus Ditylum Eucampia Fragilaria Guinardia Lauderia Leptocylindricus Nitzschia Paralia Pleurosigma Rhizosolenia Skelatonema Streptotheca Thalassiosira Chrysophyceae Halosphaera Phaeocytis Dynophyceae Alexandrium Ceratium Dinophysis Goniaula x Gymnodinium Gyrodinium Noctiluca Peridinium Phalacroma Polykrikos Prorocentrum Protoperidinium JUMLAH Stasion 7 Stasion 8 No Zooplankton Hauling 1 Hauling 2 Hauling 3 Hauling 1 Hauling 3 Ciliata Condonella Epiplocyloides Flavella Helicostomella leprotitinnis Ptychocylis Strombilidium Tintinnopsis Rhizopodea Acanthochiasma Globigerina Hexacontium

83 68 45 Thalassicolla Lampiran 1 (lanjutan) Stasion 7 Stasion 8 No Zooplankton Hauling 1 Hauling 2 Hauling 3 Hauling 1 Hauling 3 Hydrozoa Agalma sp Chelophyes Eucodonium Eudoxides Branchiopoda Conchoecia Copepoda Anomalocera Calanus Candacia Microcalanus Parathalestris Pseudocalanus Rhincalanus Temora Malacostraca Hyperia Meganyctiphanes Mesopodopsis Plesionika Schistonaysis Siriella Thysanoessa Moluska Salpa Spiratella Larva gastropoda Polychaeta Nereid Proceraca Larva Spionid Larva Nepthid Nauplius Balanus naupli Calanus naupli Telur dan Larva Larva ikan Telur ikan Sisik ikan Larva Echinodermata Spisula Larva bivalvia Unindentified form JUMLAH

84 69 Lampiran 2. Hasil sidik ragam terhadap data plankton per hauling pada setiap stasion penelitian a. Sidik ragam untuk mengidentifikasi perbedaan kelimpahan fitoplankton berdasarkan stasion penelitian Sumber Keragaman Jumlah kuadrat Derajat bebas Kuadrat tengah F hitung Signifikan Nilai tengah , ,862 58,403 0,0000 * Galat , ,637 Total , * Berbeda pada taraf nyata 0,05 b. Uji lanjut sidik ragam metode Bonferroni untuk mengidentifikasi perbedaan kelimpahan fitoplankton antar stasion penelitian Perbandingan antar stasion Stasion 1 Stasion 2 Stasion 3 Stasion 4 Stasion 5 Stasion 6 Stasion 7 Stasion 8 Stasion 1 1,00 Stasion 2 0,07 1,00 Stasion 3 1,00 1,00 1,00 Stasion 4 0,37 0,00 * 0,01 * 1,00 Stasion 5 0,00 * 0,00 * 0,00 * 0,00 * 1,00 Stasion 6 0,06 1,00 0,11 0,00 * 0,00 * 1,00 Stasion 7 0,05 0,00 * 0,00 * 1,00 0,00 * 0,00 * 1,00 Stasion 8 1,00 0,03 * 1,00 1,00 0,00 * 0,00 * 0,06 1,00 * Berbeda pada taraf nyata 0,05 c. Sidik ragam untuk mengidentifikasi perbedaan kelimpahan zooplankton antar stasion penelitian Sumber Keragaman Jumlah kuadrat Derajat bebas Kuadrat tengah F hitung Signifikan Nilai Tengah , ,869 49,553 0,000 * Galat , ,556 Total , * Berbeda pada taraf nyata 0,05

85 70 Lampiran 2. (lanjutan) d. Uji lanjut sidik ragam metode Bonferroni untuk mengidentifikasi perbedaan kelimpahan zooplankton antar stasion penelitian Perbandingan antar stasion Stasion 1 Stasion 2 Stasion 3 Stasion 4 Stasion 5 Stasion 6 Stasion 7 Stasion 8 Stasion 1 1,00 Stasion 2 1,00 1,00 Stasion 3 0,00 * 0,02 * 1,00 Stasion 4 0,26 0,04 * 0,00 * 1,00 Stasion 5 0,10 0,76 0,33 0,00 * 1,00 Stasion 6 0,00 * 0,00 * 0,00 * 0,00 * 0,00 * 1,00 Stasion 7 0,00 * 0,00 * 0,28 0,00 * 0,00 * 0,35 1,00 Stasion 8 1,00 1,00 0,13 0,00 * 1,00 0,00 * 0,00 * 1,00 * Berbeda pada taraf nyata 0,05 e. Sidik ragam untuk mengidentifikasi perbedaan kelimpahan fitoplankton antar waktu hauling Sumber Keragaman Jumlah kuadrat Derajat bebas Kuadrat tengah F hitung Signifikan Nilai tengah , ,218 0,806 ** Galat , Total ,7 22 ** Tidak berbeda pada taraf nyata 0,05 f. Sidik ragam untuk mengidentifikasi perbedaan kelimpahan zooplankton antar waktu hauling Sumber Keragaman Jumlah kuadrat Derajat bebas Kuadrat tengah F hitung Signifikan Nilai tengah 28393, ,6 0,109 0,897 ** Galat , ,1 Total ,3 22 ** Tidak berbeda pada taraf nyata 0,05

86 71 Lampiran 3. Komposisi jenis ikan hasil tangkapan bagan rambo per hauling di setiap stasion penelitian Stasion1 Stasion2 Stasion3 Stasion4 Stasion5 Stasion6 Stasion7 Stasion8 No Spesies Nama Indonesia Stolephorus buccaneri Teri v v v v v v v v 2 Stolephorus heterolobus Teri v v v v v v v v v 3 Stolephorus indicus Teri v v v v v v 4 Stolephorus insularis Teri hitam v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 5 Sardiniella fibriata Tembang v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 6 Sardiniella sirm Tembang v v v v v v v v v v v 7 Sardiniella sp. Tembang masa v v v 8 Rastrelliger kanugarta Kembung lelaki v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 9 Rastrelliger neglectus Kembung perempuan v v v v v v v v v v v v v v 10 Loligo chinensis Cumi-cumi v v v 11 Loligo duvaucelli Cumi-cumi v v v v v v v v v v 12 Loligo edulis Cumi-cumi v v v v v v v v v v v v v v 13 Sebroteithis lessoniana Cumi-cumi v v 14 Decapterus ressulli Layang v v v v v v v v v v v v v v v v v 15 Decapterus macrosoma Layang deles v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 16 Dussumieria acuta Japuh v v v v v v v v v v v v v v v 17 Leiognathus aureus Peperek v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 18 Leiognathus spelenden Peperek v v v v v v v v v v v v 19 Leiognathus equulus Peperek v v v v v v v v v 20 Gazza minuta Peperek v v v v v v v 21 Mene maculata Ikan bulan v v v v v v v v v 22 Caranx para Kwee v v 23 Carranx bucelentus Kwee v v v 24 Carans sexfasciatus Kwee v 25 Carangoides ciliarius Kwee v 26 Atropus-atropus Cipa-cipa v v 27 Selar crumenopthalmus Selar bentong v v v v v v v v v v v v v v v v v 28 Selaroides leptolepis Selar kuning v v v v v v v v v v v 29 Megalapsis cordyla Selar tetengkek v v v v v v v v 30 Sphyraena jello Alu-alu v v v v v 31 Sphyraena genie Alu-alu v v v v 32 Sphyraena obtusata Kucul v 33 Tylosurus crocodilus Cendro v v 34 Hemichampus far Julung-julung v v v v

87 72 Lampiran 3 (lanjutan) Stasion1 Stasion2 Stasion3 Stasion4 Stasion5 Stasion6 Stasion7 Stasion8 No Spesies Nama Indonesia Dipterygonosus sp Rambeng v v v v v v 36 Therapon theraps Kerong-kerong v v v 37 Therapon jarpua Kerong-kerong v v 38 Rabdania sp. Samu -samu v v v v v v 39 Trichiurus savala Layur v v 40 Cypsilurus poecilopterus ikan terbang v v v v v 41 Parupeneus barberinus Kuniran v 42 Upenus molluccensis Kuniran v 43 Arothron immaculatus Buntal v 44 Arothron hispidus Buntal v v v v v v v 45 Diodon halocanthus Buntal duri v v v v v 46 Diodon liturosus Buntal duri v v v v v v v v v 47 Pseudobalistes fuscus Triger v 48 Rhinecanthus verrucosus Triger v v 49 Siganus spinus Baronang v 50 Caesio lunaris Ekor kuning v v v 51 Caesio caerulaurea Lolosi biru v 52 Lutjanus russeli Jenaha v v 53 Lutjanus sanguineus Bambangan v v 54 Lethrinus lentjen Lencam matahari v v v 55 Lethrinus obseletus Lencam merah v 56 Lethtrinus nebulosus Lencam v 57 Apogon deoderleini Beseng-beseng v 58 Apogon fragilis Beseng-beseng v v

88 73 Lampiran 4. Jumlah ikan hasil tangkapan bagan rambo per hauling pada setiap stasion penelitian Berat Tangkapan (kg) Stasion 1 Stasion 2 Stasion 3 Stasion 4 N o Nama Indonesia Nama lokal Jumlah Jumlah Jumla h Jumla h 1 Teri Lure Layang Gappo lajang Kembung Gappo banyara Cumi-cumi Cumi Tembang Tembang Japuh Jampu-jampu Peperek Bete-bete Selar Katombong Ikan lain-lain Total Berat Tangkapan (kg) Stasion 5 Stasion 6 Stasion 7 Stasion 8 N o Nama Indonesia Nama lokal Jumlah Jumlah Jumla h Teri Lure Layang Gappo lajang Kembung Gappo banyara Cumi-cumi Cumi Tembang Tembang Japuh Jampu-jampu Peperek Bete-bete Selar Katombong Jumla h

89 74 9 Ikan lain-lain Total

90 75 Lampiran 5. Hasil sidik ragam dan analisis korelasi hasil tangkapan ikan antar waktu hauling dan antar stasion penelitian a. Sidik ragam hasil tangkapan ikan untuk mengidentifikasi perbedaan hasil tangkapan antar stasion penelitian Keragaman Jumlah Kuadrat Derajat bebas Kuadat Tengah F hitung Signifikan Nilai tengah ,019 0,120 ** Galat Total 2 22 ** Tidak berbeda pada taraf nyata 0,05 b. Sidik ragam hasil tangkapan ikan untuk mengidentifikasi perbedaan hasil tangkapan antar waktu hauling Keragaman Jumlah Kuadrat Derajat bebas Kuadat Tengah F hitung Signifikan Nilai tengah 0, ,232 4,985 0,017 * Galat 0, ,047 Total 1, * Berbeda pada taraf nyata 0,05 c. Uji lanjut Bonferroni untuk mengidentifikasi perbedaan ragam tangkapan ikan antar waktu hauling Hauling 1 Hauling 2 Hauling 3 Hauling 1 1 Hauling 2 0, Hauling 3 0, , d. Sidik ragam hasil tangkapan teri untuk mengidentifikasi perbedaan hasil tangkapan antar stasion penelitian Keragaman Jumlah Kuadrat Derajat bebas Kuadat Tengah F hitung Signifikan Nilai tengah 3, ,483 3,734 0,015 * Galat 1, ,129 Total 5, * Berbeda pada taraf nyata 0,05 e. Uji lanjut sidik ragam metode Bonferroni mengidentifikasi perbedaan ragam tangkapan teri antar stasion penelitian stasion 1 stasion 2 stasion 3 stasion 4 stasion 5 stasion 6 stasion 7 stasion 8 stasion 1 1,000 stasion 2 0,823 1,000 stasion 3 0,093 0,686 1,000 stasion 4 0,719 0,999 0,795 1,000 stasion 5 0,991 0,997 0,329 0,986 1,000 stasion 6 0,039 * 0,415 0,999 0,526 0,160 1,000 stasion 7 0,037 * 0,395 0,999 0,503 0,150 1,000 1,000 stasion 8 0,966 0,999 0,625 0,999 0,999 0,387 0,370 1,000 * Berbeda pada taraf nyata 0,05

91 76 Lampiran 5. (lanjutan) f. Sidik ragam hasil tangkapan teri untuk mengidentifikasi perbedaan hasil tangkapan antar waktu hauling Keragaman Jumlah Kuadrat Derajat bebas Kuadat Tengah F hitung Signifikan Nilai tengah 1, ,821 3,595 0,041 * Galat 4, ,228 Total 6, * Berbeda pada taraf nyata 0,05 g. Uji lanjut sidik ragam metode Bonferroni untuk mengidentifikasi perbedaan ragam tangkapan teri antar waktu hauling Hauling 1 Hauling 2 Hauling 3 Hauling 1 1,000 Hauling 2 0,299 1,000 Hauling 3 1,000 0,041* 1,000 * Berbeda pada taraf nyata 0,05 h. Uji korelasi antara tangkapan teri dengan fitoplankton dan zooplankton Korelasi teri fitoplankton zooplankton teri Korelasi Parsons 1-0, Signifikan. 0,144 ** * N * Berkorelasi pada taraf nyata 0,05 ** Tidak berkorelasi pada taraf nyata 0,05 i. Uji korelasi antara hasil tangkapan teri dengan ikan selain teri Korelasi layang kembung cumi tembang japuh peperek selar ikanlain teri Korelasi Parsons 0,422 0,323-0,375 0,462 0,141 0,545 0,678 0,581 Signifikan 0,045 * 0,132 * 0,078 0,026 * 0,520 0,007 * 0,000 * 0,004 * N * Berkorelasi pada taraf nyata 0,05

92 Lampiran 6. Index of Preponderence makanan teri hitam (Stolephorus insularis) per hauling pada setiap stasion penelitian 77 Stasion 1 Stasion 2 Stasion 3 Stasion 4 No Komposisi makanan Hauling 1 Hauling 2 Hauling 3 Hauling 1 Hauling 2 Hauling 3 Hauling 1 Hauling 2 Hauling 3 Hauling 1 Hauling 2 Hauling 3 Diatom 4,3 4,9 4,3 5,6 6,3 5,0 3,3 1,7 3,5 1,1 1,9 8,4 1 Bacillaria 0,1 0,0 0,2 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 2 Biddulphia 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 3 Chaetoceros 0,5 0,7 0,0 1,2 1,1 0,9 0,6 0,2 0,0 0,5 0,1 0,7 4 Coscinodiscus 0,4 1,0 0,4 0,8 0,0 0,4 0,5 0,1 0,4 0,6 0,6 1,0 5 Fragilaria 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,2 0,0 6 Leptocylindricus 1,1 0,0 1,8 1,9 2,4 1,9 1,2 0,0 1,2 0,0 0,5 3,3 7 Nitschia 0,3 0,2 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 8 Paralia 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,2 0,2 0,2 0,0 0,0 0,0 9 Pleurosigma 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 10 Rhizosolenia 1,7 2,8 1,9 1,6 2,8 1,7 0,8 1,2 1,6 0,0 0,6 3,3 11 Skeletonema 0,3 0,2 0,0 0,0 0,1 0,0 0,1 0,0 0,2 0,0 0,0 0,0 12 Thalassiosira 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 Chrysophyceae 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,0 0,2 13 Halosphaera 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 14 Phaeocytis 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,0 0,2 Dinoflagellata 0,4 0,1 0,2 1,9 2,4 1,8 0,4 0,4 0,7 0,1 0,9 0,8 15 Ceratium 0,0 0,0 0,0 0,3 0,1 0,3 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 16 Dynophisis 0,3 0,1 0,0 0,2 0,1 0,0 0,0 0,3 0,3 0,0 0,5 0,6 17 Goniulax 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 18 Gymnodinium 0,1 0,0 0,1 0,5 0,5 0,1 0,3 0,1 0,3 0,1 0,4 0,2 19 Phalacroma 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 20 Prorocentrum 0,0 0,0 0,0 0,9 1,6 1,4 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 Ciliata 0,1 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,0 1,7 3,4 1,2 21 Codonella 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 22 Petalotricha 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 23 Strombilidium 0,1 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,0 0,7 0,0 0,0 24 Tintinopsis 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 1,0 3,4 1,2 Rhizopodea 4,1 4,1 1,5 0,0 0,0 0,0 2,6 0,6 2,3 4,1 0,5 0,0 25 Globigerina 4,1 4,1 1,5 0,0 0,0 0,0 2,6 0,6 2,3 4,1 0,5 0,0 Hydrozoa 2,3 0,0 0,0 2,2 2,0 0,0 0,0 1,0 0,1 0,0 0,0 0,0 26 Eucondonium 0,0 0,0 0,0 2,2 0,4 0,0 0,0 1,0 0,1 0,0 0,0 0,0 27 Obelia 2,3 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 28 Uedoxides 0,0 0,0 0,0 0,0 1,6 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

93 Lampiran 6 (lanjutan) 78 Stasion 1 Stasion 2 Stasion 3 Stasion 4 No Komposisi makanan Hauling 1 Hauling 2 Hauling 3 Hauling 1 Hauling 2 Hauling 3 Hauling 1 Hauling 2 Hauling 3 Hauling 1 Hauling 2 Hauling 3 Branchiopoda 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 8,2 4,1 1,5 0,0 0,0 0,0 29 Conchoecia 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 8,2 4,1 1,5 0,0 0,0 0,0 30 Philomedes 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 Copepoda 39,6 41,8 20,1 59,0 71,8 41,6 42,9 38,6 46,2 57,8 77,0 73,5 31 Calanus 0,0 0,0 0,0 24,0 22,8 11,4 0,0 0,0 0,0 38,6 69,9 61,7 32 Candacia 0,0 0,0 0,8 0,0 0,0 0,0 4,8 6,8 8,2 1,7 0,0 1,1 33 Cyclopina 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,4 0,0 0,0 0,0 34 Microcalanus 16,1 25,4 0,0 25,4 27,3 17,6 15,8 16,7 12,7 17,4 0,0 2,8 35 Pseudocalanus 23,5 16,4 15,1 9,6 21,8 12,6 21,6 13,6 19,6 0,0 0,0 0,0 36 Rhincalanus 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 37 Temora 0,0 0,0 4,2 0,0 0,0 0,0 0,7 1,6 5,3 0,0 7,2 7,9 Malacostraca 47,6 47,7 71,6 16,2 2,8 44,6 19,1 21,5 21,0 16,3 13,5 0,0 38 Athanas 0,0 0,0 0,5 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,0 0,0 0,0 0,0 39 Corystes 0,1 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 40 Hyperia 21,8 32,1 32,1 1,0 2,4 6,3 0,0 0,0 0,0 15,8 0,0 0,0 41 Meganytiphanes 11,4 13,7 26,2 1,5 0,5 15,5 19,1 21,4 20,6 0,5 13,5 0,0 42 Pagurus 0,0 2,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 43 Paratemisto 0,3 0,0 0,3 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,4 0,0 0,0 0,0 44 Siriella 0,0 0,0 0,0 13,7 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 45 Thysanoessa 14,1 0,0 12,6 0,0 0,0 22,8 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 Nauplius 0,9 0,3 0,0 15,1 12,9 6,8 0,0 0,0 0,0 7,8 2,4 9,1 46 Balanus naupli 0,7 0,3 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 3,4 0,0 0,0 47 Calanus Naupli 0,2 0,0 0,0 15,1 12,9 6,8 0,0 0,0 0,0 4,4 2,4 9,1 Telur/larva 0,7 1,1 2,4 0,0 1,9 0,1 23,1 32,0 24,7 11,0 0,3 6,8 48 larva gastropoda 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 17,1 25,4 17,1 0,0 0,0 4,5 49 Larva ikan 0,6 0,0 0,0 0,0 0,2 0,1 0,0 0,0 0,0 11,0 0,2 2,3 50 Telur ikan 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 51 Larva polychaeta 0,0 1,1 2,4 0,0 1,6 0,0 6,0 6,6 7,7 0,0 0,2 0,0 52 Unidentified form 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,4 0,0 0,0 0,0 0,2 0,0 Total 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0

94 Lampiran 6 (lanjutan) 79 Stasion 5 Stasion 6 Stasion 7 Stasion 8 No Komposisi makanan Hauling 1 Hauling 2 Hauling 3 Hauling 1 Hauling 2 Hauling 3 Hauling 1 Hauling 2 Hauling 3 Hauling 1 Hauling 3 Diatom 8,2 1,6 3,5 2,5 3,1 2,1 4,3 4,9 4,4 5,1 3,1 1 Bacillaria 0,3 0,0 0,0 0,0 0,2 0,2 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 2 Biddulphia 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,1 0,0 1,2 0,9 3 Chaetoceros 0,3 0,5 0,9 0,5 0,5 0,0 0,9 0,6 0,7 0,1 0,0 4 Coscinodiscus 0,7 1,0 0,2 0,0 0,0 0,0 0,0 0,6 0,5 0,7 0,6 5 Fragilaria 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 6 Leptocylindricus 3,2 0,0 0,3 1,2 1,2 1,0 1,4 1,9 1,6 1,6 0,1 7 Nitschia 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 8 Paralia 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,0 0,0 9 Pleurosigma 0,5 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 10 Rhizosolenia 3,2 0,0 2,1 0,7 1,3 0,9 1,9 1,7 1,4 1,4 1,4 11 Skeletonema 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 12 Thalassiosira 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 Chrysophyceae 0,0 0,0 0,0 0,1 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 13 Halosphaera 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 14 Phaeocytis 0,0 0,0 0,0 0,1 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 Dinoflagellata 3,5 4,5 2,9 0,9 0,9 0,5 2,8 3,0 2,7 2,2 1,1 15 Ceratium 0,2 0,7 0,4 0,3 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,0 16 Dynophisis 1,8 1,6 0,0 0,5 0,8 0,4 1,4 1,4 1,3 0,9 0,0 17 Goniulax 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,5 0,1 0,0 0,0 18 Gymnodinium 1,5 0,0 1,2 0,1 0,0 0,1 1,3 1,2 1,3 0,0 0,0 19 Phalacroma 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 20 Prorocentrum 0,0 2,2 1,3 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 1,2 1,1 Ciliata 0,7 0,9 0,4 1,9 1,0 0,3 0,3 0,5 0,5 0,1 0,4 21 Codonella 0,0 0,0 0,0 0,7 0,3 0,3 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 22 Petalotricha 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 23 Strombilidium 0,7 0,6 0,0 1,2 0,7 0,0 0,1 0,1 0,1 0,0 0,0 24 Tintinopsis 0,0 0,3 0,4 0,0 0,0 0,0 0,2 0,4 0,4 0,1 0,4 Rhizopodea 1,4 8,4 6,6 0,0 0,0 0,0 3,6 0,0 1,8 0,0 0,0 25 Globigerina 1,4 8,4 6,6 0,0 0,0 0,0 3,6 0,0 1,8 0,0 0,0 Hydrozoa 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 26 Eucondonium 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 27 Obelia 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 28 Uedoxides 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

95 Lampiran 6 (lanjutan) 80 Stasion 5 Stasion 6 Stasion 7 Stasion 8 No Komposisi makanan Hauling 1 Hauling 2 Hauling 3 Hauling 1 Hauling 2 Hauling 3 Hauling 1 Hauling 2 Hauling 3 Hauling 1 Hauling 3 Branchiopoda 0,0 0,0 0,0 9,9 16,9 10,0 0,0 0,0 0,0 9,1 9,5 29 Conchoecia 0,0 0,0 0,0 9,9 10,6 6,3 0,0 0,0 0,0 9,1 9,5 30 Philomedes 0,0 0,0 0,0 0,0 6,4 3,6 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 Copepoda 42,4 35,2 42,1 40,4 40,7 30,5 23,3 8,7 17,5 8,2 25,7 31 Calanus 0,0 0,0 0,0 18,0 20,1 12,5 0,0 0,1 0,0 2,7 20,0 32 Candacia 0,0 0,0 0,0 0,3 2,2 4,2 7,9 5,1 0,0 0,9 5,7 33 Cyclopina 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 34 Microcalanus 16,1 14,4 12,8 0,0 0,0 0,0 15,5 3,5 17,5 4,6 0,0 35 Pseudocalanus 1,5 1,8 13,2 14,5 18,4 13,7 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 36 Rhincalanus 3,8 0,0 3,4 7,5 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 37 Temora 21,0 19,0 12,8 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 Malacostraca 19,3 26,6 23,6 20,1 33,0 23,2 42,4 35,9 28,9 44,4 50,1 38 Athanas 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 39 Corystes 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 40 Hyperia 18,7 21,3 1,8 12,3 20,6 12,6 0,0 0,0 0,0 0,4 22,9 41 Meganytiphanes 0,6 0,3 0,0 6,7 12,2 10,6 29,2 31,8 28,9 38,4 25,4 42 Pagurus 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 43 Paratemisto 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 44 Siriella 0,0 0,0 0,0 1,0 0,2 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 45 Thysanoessa 0,0 5,1 21,8 0,0 0,0 0,0 13,2 4,1 0,0 5,6 1,8 Nauplius 1,2 0,6 4,5 0,5 2,1 3,7 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 46 Balanus naupli 1,2 0,6 4,5 0,5 1,8 3,7 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 47 Calanus Naupli 0,0 0,0 0,0 0,0 0,2 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 Telur/larva 23,2 22,0 16,3 23,8 2,3 29,7 23,3 47,0 44,2 30,7 9,4 48 larva gastropoda 0,0 0,0 0,0 19,9 0,0 16,4 0,0 33,7 30,1 15,9 0,0 49 Larva ikan 9,5 6,0 2,1 0,9 1,8 10,1 6,0 0,0 0,0 0,1 0,3 50 Telur ikan 7,0 4,8 3,1 0,8 0,0 0,0 8,4 8,3 7,8 3,1 2,6 51 Polychaeta 6,7 11,2 11,1 2,2 0,5 3,2 8,9 5,0 6,2 11,6 6,6 52 Unidentified form 0,1 0,2 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,2 0,4 Total 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0

96 81

97 Lampiran 7. Indeks pilihan makanan teri hitam (Stolephorus insularis) 82 No Plankton pi ri ri - pi ri + pi E Bacillariophyceae 0,455 0,321-0,135 0,776-0,174 1 Bacillaria 0,019 0,010-0,009 0,029-0,301 2 Bidulphia 0,038 0,010-0,028 0,048-0,574 3 Chaetoceros 0,038 0,055 0,017 0,093 0,181 4 Coscinodiscus 0,059 0,059 0,000 0,118 0,001 5 Fragilaria 0,024 0,002-0,023 0,026-0,874 6 Leptocylindricus 0,069 0,068-0,001 0,137-0,007 7 Nitzschia 0,025 0,007-0,019 0,032-0,587 8 Paralia 0,032 0,016-0,015 0,048-0,316 9 Pleurosigma 0,030 0,005-0,025 0,035-0, Rhizosolenia 0,096 0,077-0,019 0,173-0, Skelatonema 0,014 0,011-0,004 0,025-0, Thalassiosira 0,011 0,002-0,010 0,013-0,764 Chrysophyceae 0,072 0,009-0,063 0,082-0, Halosphaera 0,019 0,000-0,019 0,019-0, Phaeocytis 0,053 0,009-0,044 0,063-0,703 Dynophyceae 0,237 0,128-0,109 0,365-0, Ceratium 0,045 0,010-0,035 0,055-0, Dinophysis 0,079 0,044-0,035 0,122-0, Goniaulax 0,020 0,005-0,015 0,026-0, Gymnodinium 0,055 0,035-0,020 0,090-0, Phalacroma 0,002 0,002 0,000 0,003-0, Prorocentrum 0,036 0,032-0,004 0,068-0,054 Ciliata 0,010 0,039 0,029 0,048 0, Condonella 0,003 0,005 0,002 0,008 0, Strombilidium 0,004 0,017 0,013 0,021 0, Tintinnopsis 0,003 0,016 0,014 0,019 0,733 Rhizopodea 0,005 0,033 0,028 0,037 0, Globigerina 0,005 0,033 0,028 0,037 0,755 Hydrozoa 0,001 0,003 0,002 0,004 0, Eucodonium 0,000 0,002 0,002 0,003 0, Eudoxides 0,000 0,001 0,000 0,001 0,292 Branchiopoda 0,004 0,025 0,021 0,030 0, Conchoecia 0,004 0,025 0,021 0,030 0,698 Copepoda 0,019 0,177 0,158 0,196 0, Calanus 0,004 0,036 0,031 0,040 0, Candacia 0,002 0,025 0,023 0,028 0, Microcalanus 0,006 0,054 0,048 0,059 0, Pseudocalanus 0,004 0,044 0,040 0,048 0, Rhincalanus 0,001 0,004 0,003 0,006 0, Temora 0,001 0,015 0,014 0,016 0,870 Malacostraca 0,011 0,112 0,101 0,123 0, Hyperia 0,002 0,036 0,033 0,038 0, Meganyctiphanes 0,005 0,054 0,049 0,059 0, Siriella 0,001 0,003 0,001 0,004 0, Thysanoessa 0,002 0,020 0,017 0,022 0,788 Nauplius 0,004 0,030 0,026 0,035 0, Balanus naupli 0,001 0,013 0,012 0,015 0, Calanus naupli 0,003 0,017 0,014 0,020 0,696 Telur dan Larva 0,016 0,111 0,095 0,127 0, Larva ikan 0,003 0,014 0,011 0,017 0, Telur ikan 0,004 0,023 0,019 0,027 0, Larva polychaeta 0,006 0,048 0,042 0,054 0, Larva gastropoda 0,003 0,027 0,024 0,030 0,790 Keterangan : pi : jumlah relatif jenis organisme yang terdapat di perairan ri : jumlah relatif jenis organisme yang dimakan E : index of preponderence

98 83 Lampiran 8. Perbandingan plankton yang terdapat dalam perairan dan makanan teri Plankton Perairan Teri Plankton Perairan Teri Bacillariophyceae Hydrozoa Asterionella v X Agalma sp v X Bacillaria v v Chelophyes v X Bidulphia v v Eucodonium v v Cerataulina v X Eudoxides v v Chaetoceros v v Obelia X v Coscinodiscus v v Branchiopoda Ditylum v X Conchoecia v v Eucampia v X Philomedes X v Fragilaria v v Copepoda Guinardia v X Anomalocera v X Lauderia v X Calanus v v Leptocylindricus v v Candacia v v Nitzschia v v Cyclopina X v Paralia v v Microcalanus v v Pleurosigma v v Parathalestris v X Rhizosolenia v v Pseudocalanus v v Skelatonema v v Rhincalanus v v Streptotheca v X Temora v v Thalassiosira v v Malacostraca Chrysophyceae Athanas X v Halosphaera v v Coristes X v Phaeocytis v v Hyperia v v Dynophyceae Meganyctiphanes v v Alexandrium v X Mesopodopsis v X Ceratium v v Pagurus X v Dinophysis v v Paratemisto X v Goniaulax v v Plesionika v X Gymnodinium v v Schistonaysis v X Gyrodinium v X Siriella v v Noctiluca v X Thysanoessa v v Peridinium v X Nauplius Phalacroma v v Balanus naupli v v Polykrikos v X Calanus naupli v v Prorocentrum v v Telur dan Larva Protoperidinium v X Larva ikan v v Ciliata Telur ikan v v Condonella v v Sisik ikan v X Epiplocyloides v X Larva gastropoda v v Flavella v X Larva polychaeta v v Helicostomella v X Larva Echinodermata v X leprotitinnis v X Spisula v X Petalotricha X v Larva bivalvia v X Ptychocylis v X Strombilidium v v Tintinnopsis v v Rhizopodea Acanthochiasma v X Keterangan : Globigerina v v Ditemukan v Hexacontium v X Tidak ditemukan X Thalassicolla sp v X

99 84 Lampiran 9. Hasil sidik ragam dan analisis korelasi jumlah makanan teri hitam (Stolephorus insularis) a. Sidik ragam untuk mengidentifikasi perbedaan jumlah makanan teri hitam antar waktu hauling Sumber keragaman Jumlah Kuadrat Derajat bebas Kuadrat tengah F hitung F tabel Sig. Nilai tengah 87316, ,090 1,233 0,313 * Galat , Total , *Tidak berbeda pada taraf nyata 0,05 b. Korelasi plankton dalam perairan dengan plankton dalam makanan teri hitam Fitoplakton dalam makananteri Fitoplankton dalam Perairan Korelasi Fitoplankton dalam makananteri Korelasi Pearson 1-0,037 Signifikan. 0,434 ** N Zooplankton dalam makananteri Zooplankton dalam perairan Korelasi Zooplankton dalam makananteri Korelasi Pearson Signifikan * N * Berkorelasi pada taraf nyata 0,05 ** Tidak berkorelasi pada taraf nyata 0,05

100 85 Lampiran 10. Pemangsaan teri (Stolephorus spp.) oleh beberapa ikan pemangsa Jenis ikan Parameter Peperek Selar Alu-alu Buntal Kwee Kerong-kerong Bambangan Lencam Stasion 1 Jumlah sampel (individu) Panjang tubuh (cm) 12,3 14,7 29,1 11,3 Jumlah (N) Proporsi frekuensi pemangsaan (% F) Proporsi volume teri (% V) 54,2 77,8 43,2 72,5 Stasion 2 Jumlah sampel (individu) Panjang tubuh (cm) 15,7 18,7 32,3 10,8 29,3 16,3 Jumlah N Proporsi frekuensi pemangsaan (% F) Proporsi volume teri (% V) 73,3 85,7 50,8 80,5 60,8 89,3 Stasion 3 Jumlah sampel (individu) Panjang tubuh (cm) 16,3 20,3 37,3 11,5 25,4 16,8 24,2 Jumlah N Proporsi frekuensi pemangsaan (% F) Proporsi volume teri (% V) 80,0 90,9 83,01 83,3 87,1 86,2 88,4 Stasion 4 Jumlah sampel (individu) Panjang tubuh (cm) 11,6 14,7 11,4 19,6 24,9 Jumlah N Proporsi frekuensi pemangsaan (% F) Proporsi volume teri (% V) 65,2 85,7 72,1 91,5 53,3

101 86 Lampiran 10. (lanjutan) Jenis ikan Parameter Peperek Selar Alu-alu Buntal Kwee Kerong-kerong Bambangan Lencam Stasion 5 Jumlah sampel (individu) Panjang tubuh (cm) 12 16,6 10,6 20,1 Jumlah N Proporsi frekuensi pemangsaan (% F) Proporsi volume teri (% V) 85,0 80,0 73,7 67,8 Stasion 6 Jumlah sampel (individu) Panjang tubuh (cm) 13,2 15,1 30,8 25,6 15,7 Jumlah N Proporsi frekuensi pemangsaan (% F) Proporsi volume teri (% V) 70,0 91,3 81,6 57,1 84,6 Stasion 7 Jumlah sampel (individu) Panjang tubuh (cm) 13,1 15,3 30,3 Jumlah N Proporsi frekuensi pemangsaan (% F) Proporsi volume teri (% V) 80,0 88,9 86,4 Stasion 8 Jumlah sampel (individu) 10 5 Panjang tubuh (cm) 10,8 15,4 Jumlah N 9 14 Proporsi frekuensi pemangsaan (% F) Proporsi volume teri (% V) 52,6 85,7

102 87

103 88 Lampiran 11 Gambar beberapa genus plankton yang ditemukan dalam perairan dan makanan teri hitam (Stolephorus insularis). (a) Ceratium (b) Chaetoceros (c) Leptocylindricus (d) Dinophysis (e) Coscinodiscus (f) Calanus

104 89 Lampiran 11. (lanjutan) (g) Larva gastropoda (h) Nauplius Calanus (i) Tintinopsis (j) Temora

INTERAKSI PREDASI TERI (Stolephorus spp.) SELAMA PROSES PENANGKAPAN IKAN DENGAN BAGAN RAMBO: HUBUNGANNYA DENGAN KELIMPAHAN PLANKTON AMIRUDDIN

INTERAKSI PREDASI TERI (Stolephorus spp.) SELAMA PROSES PENANGKAPAN IKAN DENGAN BAGAN RAMBO: HUBUNGANNYA DENGAN KELIMPAHAN PLANKTON AMIRUDDIN INTERAKSI PREDASI TERI (Stolephorus spp.) SELAMA PROSES PENANGKAPAN IKAN DENGAN BAGAN RAMBO: HUBUNGANNYA DENGAN KELIMPAHAN PLANKTON AMIRUDDIN SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 ii PERNYATAAN

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Perairan di Kabupaten Barru

5 PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Perairan di Kabupaten Barru 5 PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Perairan di Kabupaten Barru Perairan Kabupaten Barru terletak di pantai barat pulau Sulawesi dan merupakan bagian dari Selat Makassar. Perairan ini merupakan salah satu pintu masuk

Lebih terperinci

MUHAMMAD SULAIMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

MUHAMMAD SULAIMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENDEKATAN AKUSTIK DALAM STUDI TINGKAH LAKU IKAN PADA PROSES PENANGKAPAN DENGAN ALAT BANTU CAHAYA (THE ACOUSTIC APPROACH TO FISH BEHAVIOUR STUDY IN CAPTURE PROCESS WITH LIGHT ATTRACTION) MUHAMMAD SULAIMAN

Lebih terperinci

Komposisi Isi Saluran Pencernaan Ikan Teri (Stolephorus spp.) di Perairan Barru, Selat Makassar

Komposisi Isi Saluran Pencernaan Ikan Teri (Stolephorus spp.) di Perairan Barru, Selat Makassar ISSN 0853-7291 Komposisi Isi Saluran Pencernaan Ikan Teri (Stolephorus spp.) di Perairan Barru, Selat Makassar Domu Simbolon*, M. Fedi A. Sondita, dan Amiruddin Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 21 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Situ IPB yang terletak di dalam Kampus IPB Dramaga, Bogor. Situ IPB secara geografis terletak pada koordinat 106 0 34-106 0 44 BT dan

Lebih terperinci

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH Oleh : Helmy Hakim C64102077 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan 5 TINJAUAN PUSTAKA Estuari Estuari merupakan suatu komponen ekosistem pesisir yang dikenal sangat produktif dan paling mudah terganggu oleh tekanan lingkungan yang diakibatkan kegiatan manusia maupun oleh

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KELIMPAHAN FITOPLANKTON DENGAN ZOOPLANKTON DI PERAIRAN SEKITAR JEMBATAN SURAMADU KECAMATAN LABANG KABUPATEN BANGKALAN

HUBUNGAN ANTARA KELIMPAHAN FITOPLANKTON DENGAN ZOOPLANKTON DI PERAIRAN SEKITAR JEMBATAN SURAMADU KECAMATAN LABANG KABUPATEN BANGKALAN HUBUNGAN ANTARA KELIMPAHAN FITOPLANKTON DENGAN ZOOPLANKTON DI PERAIRAN SEKITAR JEMBATAN SURAMADU KECAMATAN LABANG KABUPATEN BANGKALAN Novi Indriyawati, Indah Wahyuni Abida, Haryo Triajie Jurusan Ilmu Kelautan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan

BAB I PENDAHULUAN. Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan mempunyai kemampaun berenang yang lemah dan pergerakannya selalu dipegaruhi oleh gerakan massa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian telah dilaksanakan di perairan Pulau Biawak Kabupaten Indramayu dan Laboratorium Manajemen Sumberdaya dan Lingkungan Perairan Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak pada garis

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi komunitas plankton sampai tingkat genus di Pulau Biawak terdiri dari 18 genus plankton yang terbagi kedalam 14 genera

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai merupakan suatu perairan yang airnya berasal dari air tanah dan air hujan, yang mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran tersebut dapat

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Proses penangkapan pada bagan rambo

5 PEMBAHASAN 5.1 Proses penangkapan pada bagan rambo 58 5 PEMBAHASAN 5.1 Proses penangkapan pada bagan rambo Dalam pengoperasiannya, bagan rambo menggunakan cahaya untuk menarik dan mengumpulkan ikan pada catchable area. Penggunaan cahaya buatan yang berkapasitas

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 12 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret - Juli 2011 dalam selang waktu 1 bulan sekali. Pengambilan contoh dilakukan sebanyak 5 kali (19 Maret

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makanan Alami Ikan Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam perkembangbiakan ikan baik ikan air tawar, ikan air payau maupun ikan air laut. Fungsi utama

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan di Suaka Margasatwa Muara Angke yang di

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan di Suaka Margasatwa Muara Angke yang di BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian telah dilaksanakan di Suaka Margasatwa Muara Angke yang di tumbuhi mangrove pada bulan Februari 2013. Analisis organ pencernaan

Lebih terperinci

MUHAMMAD SULAIMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

MUHAMMAD SULAIMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENDEKATAN AKUSTIK DALAM STUDI TINGKAH LAKU IKAN PADA PROSES PENANGKAPAN DENGAN ALAT BANTU CAHAYA (THE ACOUSTIC APPROACH TO FISH BEHAVIOUR STUDY IN CAPTURE PROCESS WITH LIGHT ATTRACTION) MUHAMMAD SULAIMAN

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN

BAB III METODELOGI PENELITIAN BAB III METODELOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di perairan lokasi budidaya kerang hijau (Perna viridis) Perairan Pantai Cilincing, Jakarta Utara. Sampel plankton diambil

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Metode penangkapan ikan dengan menggunakan cahaya sudah sejak lama diketahui sebagai perlakuan yang efektif untuk tujuan penangkapan ikan tunggal maupun berkelompok (Ben-Yami,

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 11 3. METODE PENELITIAN 3. 1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Danau Lido, Bogor, Jawa Barat. Danau Lido berada pada koordinat 106 48 26-106 48 50 BT dan 6 44 30-6 44 58 LS (Gambar

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di muara Sungai Citepus, Kecamatan Palabuhanratu dan muara Sungai Sukawayana, Kecamatan Cikakak, Teluk Palabuhanratu, Kabupaten

Lebih terperinci

8 POSISI JENIS IKAN YANG TERTANGKAP DALAM PIRAMIDA MAKANAN 8.1 PENDAHULUAN

8 POSISI JENIS IKAN YANG TERTANGKAP DALAM PIRAMIDA MAKANAN 8.1 PENDAHULUAN 123 8 POSISI JENIS IKAN YANG TERTANGKAP DALAM PIRAMIDA MAKANAN 8.1 PENDAHULUAN Interaksi trofik merupakan salah satu kunci untuk mengetahui peran ekologis suatu populasi atau spesies di dalam ekosistem.

Lebih terperinci

2.2. Reaksi ikan terhadap cahaya

2.2. Reaksi ikan terhadap cahaya H. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bagan apung Bagan adalah alat tangkap yang menggunakan cahaya sebagai alat untuk menarik dan mengumpulkan ikan di daerah cakupan alat tangkap, sehingga memudahkan dalam proses

Lebih terperinci

J. Sains & Teknologi, Agustus 2017, Vol. 17 No. 2 : ISSN

J. Sains & Teknologi, Agustus 2017, Vol. 17 No. 2 : ISSN J. Sains & Teknologi, Agustus 2017, Vol. 17 No. 2 : 187 192 ISSN 1411-4674 MAKANAN IKAN PELAGIS PLANKTIVOR PADA BAGAN TANCAP DENGAN INTENSITAS CAHAYA LAMPU BERBEDA Food of Planktivor Pelagic Fish in the

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) (Gambar 1) merupakan salah satu ikan pelagis kecil yang sangat potensial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang s

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang s BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Morotai yang terletak di ujung utara Provinsi Maluku Utara secara geografis berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik di sebelah utara, sebelah selatan berbatasan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilakukan di kawasan perairan Pulau Biawak, Kabupaten Indramayu. Penelitian ini dilaksanakan selama 1 bulan, dimulai dari bulan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi plankton sampai tingkat genus pada tambak udang Cibalong disajikankan pada Tabel 1. Hasil identifikasi komunitas plankton

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Iluminasi cahaya Cahaya pada pengoperasian bagan berfungsi sebagai pengumpul ikan. Cahaya yang diperlukan memiliki beberapa karakteristik, yaitu iluminasi yang tinggi, arah pancaran

Lebih terperinci

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan ix M Tinjauan Mata Kuliah ata kuliah ini merupakan cabang dari ekologi dan Anda telah mempelajarinya. Pengetahuan Anda yang mendalam tentang ekologi sangat membantu karena ekologi laut adalah perluasan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Situ Gede. Situ Gede terletak di sekitar Kampus Institut Pertanian Bogor-Darmaga, Kelurahan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat,

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 31 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 cahaya Menurut Cayless dan Marsden (1983), iluminasi atau intensitas penerangan adalah nilai pancaran cahaya yang jatuh pada suatu bidang permukaan. cahaya dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PLANKTON Plankton merupakan kelompok organisme yang hidup dalam kolom air dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas (Wickstead 1965: 15; Sachlan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al.,

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al., I. PENDAHULUAN Segara Anakan merupakan perairan estuaria yang terletak di pantai selatan Pulau Jawa, termasuk dalam wilayah Kabupaten Cilacap, dan memiliki mangroveestuaria terbesar di Pulau Jawa (7 o

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman hayati, diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia memiliki banyak hutan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 14 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Pengamatan tingkah laku ikan pada proses penangkapan ikan dengan alat bantu cahaya dilakukan di perairan Kabupaten Barru Selat Makassar, Sulawesi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Menurut klasifikasi Bleeker, sistematika ikan selanget (Gambar 1) adalah sebagai berikut (www.aseanbiodiversity.org) :

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013 III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013 hingga Januari 2014. Pengambilan sampel dilakukan di Rawa Bawang Latak, Desa Ujung

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komunitas Fitoplankton Di Pantai Balongan Hasil penelitian di perairan Pantai Balongan, diperoleh data fitoplankton selama empat kali sampling yang terdiri dari kelas Bacillariophyceae,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan September 2013

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan September 2013 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelititan Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan September 2013 bertempat di Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH Hidup ikan Dipengaruhi lingkungan suhu, salinitas, oksigen terlarut, klorofil, zat hara (nutrien)

Lebih terperinci

PRAKTIKUM PLANKTONOLOGI

PRAKTIKUM PLANKTONOLOGI KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN PRAKTIKUM PLANKTONOLOGI Pertemuan

Lebih terperinci

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi 4 2.2. Morfologi Ikan Tambakan (H. temminckii) Ikan tambakan memiliki tubuh berbentuk pipih vertikal. Sirip punggung dan sirip analnya memiliki bentuk dan ukuran yang hampir serupa. Sirip ekornya sendiri

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 11 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan dalam dua tahap yaitu pengambilan contoh ikan dan analisis kebiasaan makanan. Pengambilan contoh dilakukan selama enam bulan

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

genus Barbodes, sedangkan ikan lalawak sungai dan kolam termasuk ke dalam species Barbodes ballaroides. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol berbeda

genus Barbodes, sedangkan ikan lalawak sungai dan kolam termasuk ke dalam species Barbodes ballaroides. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol berbeda 116 PEMBAHASAN UMUM Domestikasi adalah merupakan suatu upaya menjinakan hewan (ikan) yang biasa hidup liar menjadi jinak sehingga dapat bermanfaat bagi manusia. Domestikasi ikan perairan umum merupakan

Lebih terperinci

STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA. Oleh; Galih Kurniawan C

STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA. Oleh; Galih Kurniawan C STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA Oleh; Galih Kurniawan C64104033 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Profil Objek dan Lokasi Penelitian 1. Profil Objek Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah jenis zooplankton yang ada di estuari Cipatireman pantai Sindangkerta Kecamatan

Lebih terperinci

KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN PLANKTON DI PERAIRAN PULAU GUSUNG KEPULAUAN SELAYAR SULAWESI SELATAN SKRIPSI. Oleh: ABDULLAH AFIF

KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN PLANKTON DI PERAIRAN PULAU GUSUNG KEPULAUAN SELAYAR SULAWESI SELATAN SKRIPSI. Oleh: ABDULLAH AFIF KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN PLANKTON DI PERAIRAN PULAU GUSUNG KEPULAUAN SELAYAR SULAWESI SELATAN SKRIPSI Oleh: ABDULLAH AFIF 26020110110031 JURUSAN ILMU KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yaitu berbagai jenis ikan untuk memenuhi permintaan sebagai sumber

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan selama 9 bulan dimulai dari bulan Agustus 2011

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan selama 9 bulan dimulai dari bulan Agustus 2011 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama 9 bulan dimulai dari bulan Agustus 2011 hingga April 2012. Pengambilan sampel dilakukan di Rawa Bawang Juyeuw, DAS Tulang

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 YellowfinTuna. Menurut Saanin (1984) ikan Yellowfin Tuna dapat diklasifikasikan sebagai. berikut: : Percomorphi

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 YellowfinTuna. Menurut Saanin (1984) ikan Yellowfin Tuna dapat diklasifikasikan sebagai. berikut: : Percomorphi 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 YellowfinTuna berikut: Menurut Saanin (1984) ikan Yellowfin Tuna dapat diklasifikasikan sebagai Kingdom Sub Kingdom Phylum Sub Phylum Kelas Sub Kelas Ordo Sub Ordo Famili Genus

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Teluk Palabuhan Ratu Kecamatan Palabuhan Ratu, Jawa Barat. Studi pendahuluan dilaksanakan pada Bulan September 007 untuk survey

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Clownfish Klasifikasi Clownfish menurut Burges (1990) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Perciformes

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI 2 STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan zat yang sangat penting bagi kehidupan semua makhluk hidup yang ada di bumi. Hampir 71%

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Pengambilan Data

METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Pengambilan Data 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan dari bulan Oktober 2011-April 2012 yang meliputi survei, pengambilan data dan analisis di laboratorium. Pengambilan data dilakukan pada

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek II. TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek Puntius Orphoides C.V adalah ikan yang termasuk anggota Familia Cyprinidae, disebut juga dengan ikan mata merah. Ikan brek mempunyai garis rusuk

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Lokasi penelitian mengambil tempat di pulau Pramuka Kepulauan Seribu, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Propinsi DKI Jakarta (Peta Lokasi Lampiran

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jenis Hasil Tangkapan Hasil tangkapan pancing ulur selama penelitian terdiri dari 11 famili, 12 genus dengan total 14 jenis ikan yang tertangkap (Lampiran 6). Sebanyak 6

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak di Cagar Alam Leuweung Sancang. Cagar Alam Leuweung Sancang, menjadi satu-satunya cagar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai dingin dan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sejarah Penggunaan Cahaya pada Penangkapan Ikan

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sejarah Penggunaan Cahaya pada Penangkapan Ikan 8 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Penggunaan Cahaya pada Penangkapan Ikan Pada mulanya penggunaan lampu untuk penangkapan masih terbatas pada daerah-daerah tertentu dan umumnya dilakukan hanya di tepi-tepi

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pengambilan sampel dilakukan di Perairan Morotai bagian selatan, Maluku Utara (Gambar 1) pada Bulan September 2012 dengan Kapal Riset Baruna Jaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam

I. PENDAHULUAN. besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Plankton merupakan salah satu jenis biota yang penting dan mempunyai peranan besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam air atau

Lebih terperinci

3.3. Pr 3.3. P os r ed e u d r u r Pe P n e e n l e iltiitan

3.3. Pr 3.3. P os r ed e u d r u r Pe P n e e n l e iltiitan 12 digital dengan sensifitas 0,0001 gram digunakan untuk menimbang bobot total dan berat gonad ikan, kantong plastik digunakan untuk membungkus ikan yang telah ditangkap dan dimasukan kedalam cool box,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan kembung perempuan (R. brachysoma)

METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan kembung perempuan (R. brachysoma) 11 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Ikan contoh diambil dari TPI Kalibaru mulai dari bulan Agustus sampai dengan bulan November 2010 yang merupakan hasil tangkapan nelayan Teluk Jakarta

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaan Umum Pulau Biawak Pulau Biawak terletak di sebelah utara pantai Indramayu secara geografis berada pada posisi 05 0 56 002 LS dan 108 0 22 015 BT. Luas pulau ± 120 Ha,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2006, Agustus 2006 Januari 2007 dan Juli 2007 di Daerah Aliran Sungai (DAS) Musi dengan sumber air berasal dari

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Cumi-Cumi Sirip Besar 4.1.1. Distribusi spasial Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun yang tertangkap

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS DAN KESUBURAN PERAIRAN

PRODUKTIVITAS DAN KESUBURAN PERAIRAN PRODUKTIVITAS DAN KESUBURAN PERAIRAN SAHABUDDIN PenelitiPada Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Dan Penyuluhan Perikanan Dipresentasikan pada Kuliah umum Praktik Lapang Terpadu mahasiswa Jurusan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 0 I. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Zooplankton adalah hewan berukuran mikro yang dapat bergerak lebih bebas di

I. PENDAHULUAN. Zooplankton adalah hewan berukuran mikro yang dapat bergerak lebih bebas di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Plankton adalah organisme mikroskopis yang hidup melayang bebas di perairan. Plankton dibagi menjadi fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton adalah organisme berklorofil

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Subclass: Telostei. Ordo : Ostariophysi

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Subclass: Telostei. Ordo : Ostariophysi BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Klasifikasi lele masamo SNI (2000), adalah : Kingdom : Animalia Phylum: Chordata Subphylum: Vertebrata Class : Pisces

Lebih terperinci

ADAPTASI FISIOLOGI. Ani Rahmawati Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UNTIRTA

ADAPTASI FISIOLOGI. Ani Rahmawati Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UNTIRTA ADAPTASI FISIOLOGI Ani Rahmawati Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UNTIRTA ADAPTASI FISIOLOGI LINGKUNGAN Adaptasi : Proses penyesuaian diri secara bertahap yang dilakukan oleh suatu organisme terhadap

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI JENIS PLANKTON DI PERAIRAN MUARA BADAK, KALIMANTAN TIMUR

IDENTIFIKASI JENIS PLANKTON DI PERAIRAN MUARA BADAK, KALIMANTAN TIMUR 3 Dhani Dianthani Posted 3 May, 3 Makalah Falsafah Sains (PPs ) Program Pasca Sarjana /S3 Institut Pertanian Bogor Mei 3 Dosen: Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab) Dr Bambang Purwantara IDENTIFIKASI

Lebih terperinci

PENGARUH PERIODE HARI BULAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN DAN TINGKAT PENDAPATAN NELAYAN BAGAN TANCAP DI KABUPATEN SERANG TESIS JAE WON LEE

PENGARUH PERIODE HARI BULAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN DAN TINGKAT PENDAPATAN NELAYAN BAGAN TANCAP DI KABUPATEN SERANG TESIS JAE WON LEE PENGARUH PERIODE HARI BULAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN DAN TINGKAT PENDAPATAN NELAYAN BAGAN TANCAP DI KABUPATEN SERANG TESIS JAE WON LEE SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 2 BAHAN DAN METODA BAB 2 BAHAN DAN METODA 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Mei 2010 di Danau Lut Tawar Kecamatan Lut Tawar Kota Takengon Kabupaten Aceh Tengah, dan Laboratorium Pengelolaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan sungai Sungai merupakan salah satu dari habitat perairan tawar. Berdasarkan kondisi lingkungannya atau daerah (zona) pada sungai dapat dibedakan menjadi tiga jenis,

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial 5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial Hasil pengamatan terhadap citra SPL diperoleh bahwa secara umum SPL yang terendah terjadi pada bulan September 2007 dan tertinggi pada bulan Mei

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi

III. METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi S e l a t M a k a s s a r III. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan selama 6 (enam) bulan dimulai dari bulan September 2005 sampai Februari 2006. Rentang waktu tersebut mencakup

Lebih terperinci

PROSIDING Kajian Ilmiah Dosen Sulbar ISBN:

PROSIDING Kajian Ilmiah Dosen Sulbar ISBN: JENJANG TROFIK IKAN PELAGIS DAN DEMERSAL YANG DOMINAN TERTANGKAP DI PERAIRAN KABUPATEN POLEWALI MANDAR Tenriware 1), Nur Fitriayu Mandasari 2), Sari Rahayu Rahman 3) 1) Staf Pengajar PS. Budidaya Perairan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah penangkapan ikan merupakan wilayah perairan tempat berkumpulnya ikan, dimana alat tangkap dapat dioperasikan sesuai teknis untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi Penelitian

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi Penelitian 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan selama empat bulan dari Oktober 2011 hingga Januari 2012 di Waduk Ir. H. Djuanda, Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat (Gambar 3). Pengambilan

Lebih terperinci

4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI

4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI 4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI Pendahuluan Ikan dipengaruhi oleh suhu, salinitas, kecepatan arus, oksigen terlarut dan masih banyak faktor lainnya (Brond 1979).

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rajungan (Portunus pelagicus) Menurut www.zipcodezoo.com klasifikasi dari rajungan adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Malacostrata Ordo : Decapoda

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Telaga Bromo terletak di perbatasan antara desa Kepek kecamatan

BAB III METODE PENELITIAN. Telaga Bromo terletak di perbatasan antara desa Kepek kecamatan BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Telaga Bromo terletak di perbatasan antara desa Kepek kecamatan Saptosari dan desa Karangasem kecamatan Paliyan, kabupaten Gunungkidul. B. Waktu Penelitian

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS ZOOPLANKTON DI PERAIRAN MOROSARI, KECAMATAN SAYUNG, KABUPATEN DEMAK

STRUKTUR KOMUNITAS ZOOPLANKTON DI PERAIRAN MOROSARI, KECAMATAN SAYUNG, KABUPATEN DEMAK Journal of Marine Research. Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman 19-23 Online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jmr STRUKTUR KOMUNITAS ZOOPLANKTON DI PERAIRAN MOROSARI, KECAMATAN SAYUNG, KABUPATEN

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Bawang, Provinsi Lampung selama 6 bulan dimulai dari bulan April 2013 hingga

III. METODOLOGI. Bawang, Provinsi Lampung selama 6 bulan dimulai dari bulan April 2013 hingga III. METODOLOGI A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di perairan Way Tulang Bawang, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung selama 6 bulan dimulai dari bulan April 2013 hingga September 2013.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pantai Kawasan pantai (coastal zone) merupakan zona transisi yang berhubungan langsung antara ekosistem laut dan darat (terrestrial). Kawasan pantai dan laut paparan menyediakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta Lokasi Tambak Cibalong (Sumber : Google Earth)

BAB III METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta Lokasi Tambak Cibalong (Sumber : Google Earth) BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada tanggal 15 Juni sampai dengan 6 Juli 2013 di perairan tambak udang Cibalong, Kabupaten Garut (Gambar 2). Analisis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ekosistem air tawar merupakan ekosistem dengan habitatnya yang sering digenangi

I. PENDAHULUAN. Ekosistem air tawar merupakan ekosistem dengan habitatnya yang sering digenangi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem air tawar merupakan ekosistem dengan habitatnya yang sering digenangi air tawar yang kaya akan mineral dengan ph sekitar 6. Kondisi permukaan air tidak selalu

Lebih terperinci

Gambar 4. Peta Rata-Rata Suhu Setiap Stasiun

Gambar 4. Peta Rata-Rata Suhu Setiap Stasiun BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika Perairan 4.1.1 Suhu Setiap organisme perairan mempunyai batas toleransi yang berbeda terhadap perubahan suhu perairan bagi kehidupan dan pertumbuhan organisme

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Penelitian dilakukan di perairan Pulau Penjaliran Timur, Kepulauan

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Penelitian dilakukan di perairan Pulau Penjaliran Timur, Kepulauan BAB III BAHAN DAN CARA KERJA A. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilakukan di perairan Pulau Penjaliran Timur, Kepulauan Seribu dan Teluk Jakarta. Waktu pengambilan data dilakukan pada tanggal 11

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus - September Tahapan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus - September Tahapan III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus - September 2014. Tahapan yang dilakukan dalam penelitian terdiri dari peninjauan lokasi penelitian pada

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN KAITANNYA DENGAN UNSUR HARA DAN CAHAYA DI PERAIRAN MUARA JAYA TELUK JAKARTA USMAN MADUBUN

PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN KAITANNYA DENGAN UNSUR HARA DAN CAHAYA DI PERAIRAN MUARA JAYA TELUK JAKARTA USMAN MADUBUN PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN KAITANNYA DENGAN UNSUR HARA DAN CAHAYA DI PERAIRAN MUARA JAYA TELUK JAKARTA USMAN MADUBUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 16 3. METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Pola reproduksi ikan swanggi (Priacanthus tayenus) pada penelitian ini adalah tinjauan mengenai sebagian aspek reproduksi yaitu pendugaan ukuran pertama

Lebih terperinci