BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Rumput Laut Sargassum crassifolium Berikut adalah klasifikasi dari Sargassum crassifolium menurut (Bold dan Wayne 1985) : Kingdom : Plantae Divisi : Phaeophyta Kelas : Phaeophyceae Ordo : Fucales Famili : Sargassaceae Genus : Sargassum Spesies : Sargassum crassifolium Gambar 1. Sargassum crassifolium Karakteristik biologi rumput laut Sargassum crassifolium (alga coklat) hidup dan tumbuh di daerah pesisir pantai dengan substrat batu karang. Sargassum crassifolium tumbuh di daerah intertidal, subtidal sampai daerah dengan ombak besar dan arus yang deras. Alga ini tumbuh pada daerah tropis dengan suhu C, salinitas ppt dan kedalaman 0,5-10 m (BONEY 1965 dalam Hidayat 2011). Sargassum crassifolium termasuk alga coklat dengan bentuk khusus, sehingga mudah untuk dibedakan antar-bagiannya. Pangkal keras atau bagian batang umumnya berbentuk silinder dan bercabang, tetapi lebih sederhana dengan segmen yang lebih pendek. Tiap cabang terdapat gelembung udara berbentuk bulat yang disebut Bladder. Pangkal poros Sargassum 6

2 7 crassifolium tumbuh dengan lambat dan daun tumbuh secara lateral dan menyamping (Bold dan Wayne, 1985). Ciri umum dari rumput laut spesies Sargassum crassifolium adalah berwarna coklat karena dominasi pigmen fikosantin yang menutupi pigmen klorofil sehingga ganggang ini terlihat berwarna coklat. Percabangan thallus pada Sargassum crassifolium membentuk formasi dua-dua tidak beraturan yang berlawanan pada sisi sepanjang thallus utama yang disebut (pinnate alternate). Thallus yang menyerupai daun (blade) tumbuh melebar dan bergerigi dengan permukaan yang licin. Daun pada ganggang ini berbentuk oval dengan ukuran panjang sekitar 40 mm dan lebar 10 mm. Sargassum crassifolium mempunyai thallus berbentuk pipih dengan percabangan rimbun dan berselang-seling menyerupai tanaman darat. Pada bagian pinggir daun yang bergerigi mempunyai gelembung yang disebut vesikel. Gelembung udara ini berfungsi mempertahankan daun agar tetap di permukaan air. Ukuran diameter gelembung udara sekitar 15 mm dengan bentuk pipih dan bersayap (Atmadja et al., 1996). Reproduksi Sargassum crassifolium terdiri dari dua cara, yaitu reproduksi secara aseksual (vegetatif) dan seksual (generatif). Reproduksi vegetatif dilakukan melalui fragmentasi. Secara generatif yaitu perkembangan individu melalui organ jantan (antherida) dan organ betina (oogenia) (Hidayat, 2011). 2.2 Senyawa Bioaktif Rumput Laut Sargassum crassifolium Dinding sel rumput laut berisi matriks polisakarida yang berlimpah yang dibentuk oleh gula netral dan gula asam yang juga ditemukan pada tumbuhan darat. Namun rumput laut juga mengandung polisakarida yang bersulfat, yang tidak terdapat pada tumbuhan darat (Pervical 1979 dalam Jasminandar 2009). Menurut Castro dkk (2006) gula tersebut terbentuk dan dengan adanya kelompok sulfat diikuti pembentukan sejumlah molekul dengan bentuk dan fungsi biologis termasuk antiviral, antikoagulasi, antitumor, dan aktivitas imunomodulator pada mamalia. Kegunaan struktur molekul polisakarida dalam aktivitas imunomodulator telah diketahui dari beberapa penelitian. Polisakarida dari jenis

3 8 rumput laut dapat menstimulasi respiratory burst dari fagosit turbot, yaitu proses yang berperan penting dalam membunuh mikroba (Castro dkk, 2006). Sargassum crassifolium merupakan jenis rumput laut dari kelas Phaeophyceae. Ekstrak Sargassum mengandung air 12,59 %, abu 51,30 %, lemak 22,90 %, serat 0,89 % dan nitrogen 20,94 % menurut penelitian Pujaningsih (2005). Sargassum crassifolium mengandung protein, mineral, polisakarida, vitamin dan senyawa dengan jumlah relatif yakni laminaran, fukoidan, selulosa, manitol, fenolat, kompleks diterpenoid, terpenoid aromatik, saponin dan flavonoid (Rosweim 1991 dalam Titi 2011). Salah satu kandungan Sargassum adalah fukoidan. Fukoidan merupakan polisakarida tersulfatasi yang memiliki rata-rata berat molekul 2000Da dan banyak ditemukan pada beberapa jenis alga coklat. Fukoidan pada umumnya tersedia dalam dua bentuk, yaitu glikosaminoglikan (GAGs) yaitu F-fukoidan, yang terdapat lebih dari 95% fukoidan di laut yang tersusun dari ester tersulfatasi L-fucose dan U-Fukoidan, tersusun sekitar 20% asam glukoronat. Fulkan tersulfatasi merupakan karakteristik utama fukoidan (venugopal 2009 dalam Titi 2011). Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa fukoidan mempunyai aktivitas imunomodulator (Zapopozhets, 1995 ; choi 2005 dalam Jasmanindar 2009). Penelitian Handayani (2004) menyatakan bahwa rumput laut Sargassum crassifolium berpotensi sebagai salah satu bahan mentah dalam pembuatan alginat. Kadar alginat yang diperoleh dari sampel rumput laut Sargassum crassifolium kering berkisar 37,91%. Selain kadar alginat yang tinggi, mutu dari alginat Sargassum crassifolium memiliki mutu alginat sesuai persyaratan alginat komersil. Berikut merupakan kandungan nutrisi pada Sargassum crassifolium seperti tercantum pada tabel 1. (Handayani, 2004).

4 9 Tabel 1. Kandungan Nutrisi Sargassum crassifolium Jenis Nutrisi Rata-rata kadar Keterangan (%, b/b) Protein Abu dan Mineral 5,19 ± 0,13 Berat basah Abu (mineral) 36,93 ± 0,34 Ca (mg/100 g) 1540,66 ± 6,99 Fe (mg/100 g) 132,65 ± 3,47 P (mg/100 g) 474,03 ± 1,01 Vitamin A (µg RE/100 g) Vitamin C (mg/100 g) Lemak (%, b/b) Alginat 489,55 ± 8,4 49,01 ± 0,75 1,63 ± 0,01 Kadar (%,b/b) 37,91 ± 0,34 Warna Kuning Kecoklatan ph 6,89 ± 0,005 Ukuran Partikel 150 mesh 2.3 Senyawa Metabolit Sekunder Alkaloid Alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar, pada umumnya alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari siklik. Alkaloid sering beracun bagi manusia dan banyak yang mempunyai kegiatan fisiologis yang menonjol sehingga digunakan secara luas dalam bidang pengobatan. Alkaloid biasanya tanpa warna, sering kali bersifat optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit yang berupa cairan (misalnya nikotina) pada suhu kamar (Harborne, 1987).

5 10 Gambar 2. Struktur Dasar Alkaloid Flavonoid Flavonoid merupakan senyawa turunan fenol, warnanya bisa berubah bila ditambah basa atau amonia, jadi senyawa flavonoid mudah dideteksi pada kromatografi atau dalam larutan. Flavonoid mengandung sistem aromatik yang terkonjugasi, oleh karena itu senyawa ini menunjukkan pita serapan kuat pada daerah spektrum UV dan spektrum tampak (Harborne, 1987). Flavonoid merupakan senyawa metabolit sekunder yang bersifat polar, namun masih terdapat senyawa flavonoid yang memiliki kepolaran rendah. Isoflavon, flavonon, flavon methyl, flavonol merupakan flavonoid dengan tingkat kepolaran yang rendah (Anderson dan Markam 2006 dalam karlina 2013 ). Flavonoid pada umumnya terdapat dalam tumbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida (Harborne, 1987). Gambar 3. Struktur Dasar Senyawa Flavonoid Saponin Saponin merupakan golongan senyawa glikosida yang mempunyai struktur steroid dan mempunyai sifat-sifat khas yang dapat membentuk larutan kolodial dalam air dan membentuk buih/busa bila dikocok. Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun, serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis sel darah. Pencarian saponin

6 11 dalam tumbuhan telah dirangsang oleh kebutuhan primer sapogenin yang mudah diperoleh (Harborne, 1987). Gambar 4. Contoh Struktur Senyawa Saponin Tanin Tanin terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh, dalam angiospermae terdapat khusus dalam jaringan kayu. Menurut batasannya, tanin dapat bereaksi dengan proteina membentuk kopolimer mantap yang tak larut dalam air (Harborne, 1987). Sehingga dalam identifikasi senyawa tanin indikasi nilai positifnya berupa endapan yang berwarna kecoklatan. Bila menggunakan jaringan kering, hasil tanin mungkin agak berkurang karena terjadinya pelekatan tanin pada tempatnya di dalam sel. Perkiraan kuantitatif tanin dalam suatu jaringan tumbuhan tidak akan disadari jika adanya fenol lain yang dapat menganggu cara kimia yang tidak khas, dalam praktiknya sangat sukar mengekstraksi keseluruhan tanin dalam tumbuhan terutama jenis tanin terkondensi. Tanin terkondensi tersebar luas terutama dalam tumbuhan berkayu dan kadar tanin dalam daun lebih dari 2% bobot keringnya (Harborne, 1987). Gambar 5. Contoh Struktur Senyawa Tanin

7 Triterpenoid / Steroid Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena. Uji yang banyak digunakan ialah reaksi Lieberman-Burchard yang dengan kebanyakan triterpena dan sterol yang memberikan warna hijau-biru (Harborne, 1987). Sterol adalah triterpena yang kerangka dasarnya sistem cincin siklopentana perhidrofenantreana. Dahulu sterol dianggap sebagai senyawa satwa sebagai hormon kelamin, asam empedu dll) tetapi sekarang ini makin banyak senyawa tersebut ditemukan dalam jaringan tumbuhan (Harborne, 1987). (a) Gambar 6. Struktur Dasar Senyawa Triterpenoid (a) dan Steroid (b) (b) 2.4 Ekstraksi Ekstraksi merupakan proses pemisahan suatu zat dari campurannya dengan pembagian sebuah zat terlarut antara dua pelarut yang tidak dapat bercampur untuk mengambil zat terlarut tersebut dari suatu pelarut ke pelarut lain. Ekstraksi dapat dilakukan dengan dua fase, yaitu fase akuades dan fase organik. Fase akuades menggunakan air dan fase organik menggunakan pelarut organik (Rahayu, 2009). Tujuan dari ekstraksi adalah untuk menarik komponenkomponen kimia yang terdapat dalam bahan alam. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses ekstraksi adalah lamanya ekstraksi, suhu dan pelarut yang digunakan. Pelarut yang digunakan tergantung kepada sifat kepolaran komponen yang akan diisolasi. Ada tiga jenis pelarut yaitu pelarut polar, semi polar dan non polar. Prinsip pelarut adalah like dissolve like, artinya pelarut polar akan melarutkan senyawa polar dan pelarut non polar akan melarutkan senyawa non polar (Haughton, Achmadi dalam Septirusli 2012). Pemilihan pelarut didasarkan

8 13 dari titik didihnya. Pelarut dengan titik didih rendah akan hilang karena penguapan, sedangkan pada pada pelarut bertitik didih tinggi baru dapat dipisahkan dengan suhu tinggi (Sabel dan Waren dalam Septirusli 2012). Bahan dan senyawa kimia akan mudah larut pada pelarut yang relatif sama kepolarannya. Semakin besar konstanta dielektrik, maka semakin polar pelarut tersebut (Pelczar dan Chan 1998 dalam Septirusli 2012). Tabel 2. Beberapa jenis pelarut dan sifat fisiknya Pelarut Titik Didih ( 0 C ) Titik Beku ( 0 C ) Konstanta Dielektrik Heksana ,8 Dietil eter ,3 Kloroform ,8 Etil asetat ,0 Aseton ,7 Etanol ,3 Metanol ,6 Air / Akuades ,2 2.5 Imunomodulator Imunomodulator merupakan suatu senyawa atau zat yang dapat meningkatkan daya tahan tubuh dari serangan penyakit. Fungsi imunomodulator adalah memperbaiki sistem imun, yaitu stimulasi (imunostimulan) atau menekan/menormalkan reaksi imun yang abnormal (imunosupresan) (Djauzi, 2003). Menurut Collegate (1993) dalam Syarifah (2006), ada beberapa golongan senyawa yang dapat berperan sebagai imunomodulator, yaitu golongan karbohidrat, terpen, steroid, flavonoid, glikoprotein, alkaloid dan beberapa senyawa organik lain yang mengandung nitrogen. Faktor-faktor yang mempengaruhi sistem imunitas antara lain adalah faktor genetis, umur, kondisi metabolik, anatomi tubuh, status gizi, fisiologi tubuh dan sifat dari benda asing yang masuk ke dalam tubuh (Bellanti, 1993 dalam Syarifah, 2006).

9 14 Menurut Baratawidjadja (2002), Imunomodulator adalah obat yang dapat mengembalikan dan memperbaiki sistem imun yang fungsinya terganggu atau untuk menekan yang fungsinya berlebihan. Obat golongan imunomodulator bekerja menurut tiga cara, yaitu melalui imunorestorasi, imunostimulasi dan imunosupresi. Imunorestorasi dan imunostimulasi disebut imunopotensiasi atau up regulation, sedangkan imunosupresif disebut down regulation. Imunorestorasi adalah cara untuk mengembalikan fungsi sistem imun yang terganggu dengan memberikan berbagai komponen sistem imun. Seperti imunoglobulin dalam bentuk immune serum globulin (ISG), hyperimmune serum globulin (HSG), plasma dan lainnya. Imunostimulasi adalah cara memperbaiki fungsi sistem imun dengan menggunakan bahan yang merangsang sistem tersebut. Bahan-bahan yang dapat merubah dan meningkatkan respon imun disebut biological response modifier (BRM). Imunosupresi adalah cara untuk menekan respon pertahanan tubuh atau menekan respon imun. 2.6 Udang Windu (Penaeus monodon) Berikut adalah klasifikasi udang windu (Penaeus monodon) (Setiawan dkk, 2004). Kingdom : Animalia Phyllum : Arthropoda Class : Crustaceae Ordo : Decapoda Famili : Panaeidae Genus : Penaeus Spesies : Penaeus monodon

10 15 Tubuh udang Gambar 7. Morfologi udang windu (Penaeus monodon) Sumber : Maulidin, 2011 dibagi atas dua bagian utama, yaitu bagian kepala yang menyatu dengan dada (cephalothorax), dan bagian tubuh sampai ke ekor (abdomen). Bagian kepala ditutupi sebuah kelopak kepala (cerapace) yang di bagian ujungnya meruncing dan bergigi yang disebut dengan cucuk kepala (rostrum). Semua tubuh terbagi atas ruas-ruas yang ditutupi oleh kerangka luar yang mengeras dan terbuat dari chitin. Di bagian kepala terdapat 13 ruas dan di bagian perut 6 ruas. Mulut terletak di bagian bawah kepala, diantara rahangrahang (mandibula), dan di kanan kiri sisi kepala yang tertutup oleh kelopak kepala terdapat insang. Di bagian kepala terdapat beberapa anggota tubuh yang berpasang-pasangan, antara lain sungut kecil (antenulla), sirip kepala (scophocerit), sungut besar (antena), rahang (mandibula), alat pembantu rahang (maxilla) yang terdiri atas dua pasang, dan maxilliped yang terdiri atas tiga pasang, serta kaki jalan (periopoda) yang terdiri atas lima pasang (Maulidin, 2011). Udang windu memiliki 19 pasang appendage, 5 pasang terdapat di bagian kepala, masing-masing antenulla pertama dan antenulla kedua yang berfungsi untuk penciuman dan keseimbangan, mandibula untuk mengunyah serta maxillula dan maxilla untuk membantu makan dan bernafas. Tiga pasang appendage yang terakhir merupakan kesatuan bagian mulut. Bagian dada memiliki tiga pasang maxilliped yang berfungsi untuk berenang dan mengonsumsi makanan. Bagian adan memiliki lima pasang kaki renang yang berguna untuk berenang serta

11 16 sepasang uropoda untuk membantu melakukan gerakan melompat dan naik turun (Hidayat, 2011). Gambar 8. Siklus hidup Udang Windu Sumber : Sahidir 2011 Daur hidup udang windu menurut Wyben dan Sweeney (1991) dalam Al- Rozi (2008) adalah udang betina bertelur telur naupli zoeae mysis poslarva juvenil udang dewasa. Stadia nauplius merupakan stadia awal yang terjadi pada saat telur udang windu menetas. Selanjutnya ke stadia zoea, stadia zoea terdiri dari 3 substadia yang berlangsung selama 6 hari dan mengalami perubahan bentuk 3 kali. Berlanjut pada stadia mysis yang dicirikan oleh bentuk larva yang menyerupai dewasa. Pleopod dan telson mulai berkembang dan larva bergerak mundur. Stadia mysis mengalami perubahan bentuk menjadi poslarva. Selama 5 hari pertama pada stadia poslarva, udang masih bersifat planktonis dan pada poslarva-6 udang windu sudah mulai merayap didasar (Toro dan Soegiarto, 1979 dalam Hidayat 2011). Tahapan pertumbuhan dan perkembangan udang windu secara umum mengalami pergantian kulit dimulai dati meteas sampai dengan postlarva yang siap ditebar dalam tambak. Ada 4 fase larva udang windu, yaitu fase nauplius, zoea, mysis dan postlarva. Apabila pada tahap awal udang dapat menunjukkan respon positif terhadap pakan yang diberikan, yang ditunjukkan oleh kelancaran perkembangan mulai dari nauplius, zoea, mysis sampai postlarva (PL),maka diharapkan perkembangan selanjutnya di tambak juga akan mengikuti respon

12 17 awal tersebut. Sebagai dasar perbandingan, pada umumnya perkembangan nauplius menjadi zoea memerlukan waktu 2-3 hari, zoea-mysis 3 hari, mysis-pl 13-4 hari, serta PL1 sampai siap tebar hari. Menurut Djunaidah (1989) dan Mudjiman. A (1981) dalam Sahidir (2010) perkembangan stadia pada udang windu yaitu : 1. Naupli; naupli menetas dari telur. Pada stadia ini memiliki 5 tahapan perubahan stadia. Stadia ini belum aktif mencari makan dan melayanglayang di antara permukaan dan dasar laut, yakni bersifat demersal. naupli masih menggunakan cadangan makanan yang dimiliki oleh tubuhnya sehingga tidak memerlukan asupan pakan dari luar. Akan tetapi, pada stadia naupli 5 telah diberikan pakan alami berupa fitoplankton (terutama diatom). Periode ini dijalani selama jam dan larva mengalami enam kali pergantian kulit. 2. Zoea; stadia ini merupakan stadia kritis dimana pada stadia ini merupakan awal mulai makan phytoplankton yang berasal dari lingkungan perairan sekelilingnya. Pada stadia ini tubuh udang mengalami perpanjangan dibandingkan pada stadia naupli. Protozoea memiliki kemampuan renang aktif ke lapisan permukaan laut dan menghanyut sebagai plankton. Pada 3 stadia ini terdapat perkembangan mata dan rostrum. zoea memiliki kebiasaan makan dengan cara menyerap (filter feeder). Kebutuhkan asupan pakan ini didapatkan dari media pemeliharaan berupa fitoplankton. Pakan alami yang diberikan pada stadia ini berupa Chaetoceros sp., Pavlova lutheri, Nannochloris oculata, Skeletonema costatum, Thalassiosira pseudonana dan Tetraselmis sp. Periode ini memerlukan waktu sekitar jam dan pada saat itu larva mengalami tiga kali pergantian kulit. 3. Mysis; stadia ini dikarakteristikan dengan tubuh yang lebih panjang. Pada stadia mysis, telson dan pleopod sudah mulai tampak. Mysis memiliki kebiasaan makan dengan cara menyerap (filter feeder). Kebutuhan asupan

13 18 pakan diperoleh dari media pemeliharaan berupa Skeletonema costatum dan artemia. Periode ini memerlukan waktu jam dan larva mengalami pergantian kulit sebanyak tiga kali. 4. Post larva; perkembangan dan organ tubuh pada stadia ini sama dengan udang dewasa. Pada stadia ini udang banyak menghabiskan waktu didasar kolam dan menyukai untuk memakan hewan-hewan kecil yang hidup di dasar laut (benthos). Udang windu mencapai sub-stadium post larva sampai 20 tingkatan. Pertumbuhan optimal udang windu pada salinitas ppt, tetapi udang windu dapat bertahan hidup dikisaran salinitas 3-45 ppt. Kisaran suhu yang aman pada udang windu 28 0 C 32 0 C, ph 7,5-8,5 dan oksigen terlarut (DO) lebih dari nilai 3 (SNI Produksi udang windu, 2009 dalam Hidayat 2011). Selama pertumbuhan udang windu mengalami pergantian kulit (moulting). Semakin cepat udang berganti kulit, semakin cepat pula pertumbuhan udang (Hidayat, 2011) Sistem Imun Udang Windu Sistem imun udang diawali dari pemahaman sistem imun pada krustasea, dimana udang merupakan bagian dari krustasea (avertebrata). Sistem imun krustasea dalam hal ini udang, merupakan sistem imun non spesifik. Kebanyakan avertebrata mempunyai sirkulasi yang terbuka, sel darah disebut hemosit atau coelomocytes (Ratcliffe, 1985). Sistem imun dibagi menjadi dua yaitu, sistem imun spesifik dan non spesifik. Sistem imun non spesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi serangan mikroorganisme, sehingga dapat memberikan respon langsung. Sedangkan sistem imun spesifik merupakan pertahanan tubuh terhadap patogen tertentu yang telah berhasil melewati sistem imun non spesifik. Imunitas avertebrata tidak memproduksi antibodi spesifik atau dapat dikatakan memiliki antibodi yang sangat sedikit. Dikatakan bahwa imunitas avertebrata dipengaruhi oleh interaksi sel fagositosis dengan patogen (Ratcliffe, 1985).

14 19 Organisme krustasea akuatik yang hidup pada lingkungan budidaya (akuakultur) baik pada habitat air tawar, laut maupun payau sering rentan terkena infeksi baik oleh parasit maupun patogen lainnya. Sehingga krustase harus mampu meningkatkan pertahanan untuk melawan organisme penyerang (antigen). Pertahanan krustasea sebagian besar berdasarkan pada aktifitas sel darah atau hemosit. Hemosit sangat penting dalam menghilangkan partikel asing yang masuk ke dalam tubuh udang. Terdapat tiga tipe hemosit pada hemolim udang yaitu sel hialin, semi granular dan granular. Sel ini memiliki morfologi dan fungsinya masing-masing (Soderhall dan Cerenius, 1992). Sel hialin berfungsi dalam aktifitas fagositosis, yaitu proses sel darah yang melindungi tubuh dengan memakan/menghancurkan partikel asing (antigen) (Cornick dan Stewart, 1978 dalam Jasmanindar 2009). 2.7 Vibrio harveyi Berikut ini merupakan klasifikasi dari bakteri Vibrio harveyi menurut Breed dkk (1948) dalam Hidayat (2011). Divisi : Protophyta Kelas : Schizomycetes Ordo : Eubacteriales Famili : Pseudomonadaceae Genus : Vibrio Spesies : Vibrio harveyi Gambar 9. Vibrio harveyi Sumber :

15 20 Morfologi Vibrio berbentuk koma atau batang pendek, bengkok atau lurus, bersel tunggal, mempunyai alat gerak berupa flagella tunggal (monotoric flagel), termasuk gram negatif, ukuran sel 1-4 µm, tidak membentuk spora. Oksidase positif, katalase positif, serta proses fermentasi karbohidratnya tidak membentuk gas (Jawestz dkk, 1984). Bakteri ini ditemukan pada air laut juga pada air payau, hal ini dibuktikan dengan ditemukannya penyakit vibriosis pada ikan air payau (Sunaryanto dkk, 1987 dalam Agung 2010). Penyakit vibriosis dikenal pembudidaya sebagai penyakit yang menyerang bagian kulit udang. Penyakit ini disebabkan oleh berbagai spesies dari jenis vibrio yang berbeda-beda, dan setiap spesies vibrio memiliki intensitas serangan yang berbeda-beda. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri ini dapat menyebabkan kematian larva udang sampai 100% dalam waktu 1-2 hari (Agung, 2010). Ciri-ciri udang yang terkena vibriosis antara lain kondisi tubuh lemah, berenang lambat, nafsu makan hilang, badan mempunyai bercak merah-merah dan pada pleopod dan abdominal serta pada malam hari terlihat menyala (Sunaryoto, 1987 dalam Al-Rozi 2008). Vibrio juga termasuk bakteri yang bersifat halofil, yaitu tumbuh rentang toleransi salinitas 5-80 ppt dan tumbuh optimal pada salinitas ppt (Taslihan, 1992). Vibrio tumbuh pada ph 4-9 dan tumbuh optimal pada ph 6,5-8,5 atau kondisi alkali dengan ph 9,0 (Herawati, 1996 dalam Al-Rozi 2008). Menurut Rheinheimer (1985) dalam Agung (2010) menyatakan bahwa Vibrio menyerang dengan merusak lapisan kutikula yang mengandung kitin dikarenakan Vibrio memiliki chitinase, lipase dan protease. Penyakit vibriosis yang disebabkan oleh vibrio ini pada umumnya menyerang udang pada stadia mysis sampai awal pasca larva sampai awal pasca larva (Taslihan, 1988). Beberapa spesies Vibrio yang ditemukan dan sering menimbulkan penyakit pada udang adalah Vibrio harveyi, Vibrio parahaemolyticus, Vibrio alginolyticus, Vibrio anguillarum, Vibrio vulvinicus dan Vibrio fluvialis (Boer dan Zafran, 1992 dalam Naiborhu, 2002).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terdapat sekitar 2500 jenis senyawa bioaktif dari laut yang telah berhasil diisolasi dan diidentifikasi, dan 93 % diantaranya diperoleh dari rumput laut (Kardono, 2004).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Udang windu merupakan komoditas perikanan laut yang memiliki peluang usaha cukup baik karena sangat digemari konsumen lokal (domestik) dan konsumen luar negeri. Hal

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Komoditas udang Vannamei ( Litopenaeus vannamei) merupakan udang asli

II. TINJAUAN PUSTAKA. Komoditas udang Vannamei ( Litopenaeus vannamei) merupakan udang asli II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) Komoditas udang Vannamei ( Litopenaeus vannamei) merupakan udang asli perairan Amerika Latin. Udang ini dibudidayakan mulai dari pantai barat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Udang windu menurut Mujiman dan Suyanto (2003) tergolong ke. Sub Ordo : Matantia. Famili: Penaedae.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Udang windu menurut Mujiman dan Suyanto (2003) tergolong ke. Sub Ordo : Matantia. Famili: Penaedae. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Udang Windu (Penaeus monodon) 2.1.1 Klasifikasi Klasifikasi Udang windu menurut Mujiman dan Suyanto (2003) tergolong ke dalam Filum : Arthropoda Sub Filum : Mandibulata

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat)

IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat) IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat) Abstrak Kulit buah langsat diekstraksi menggunakan metode maserasi dengan pelarut yang berbeda

Lebih terperinci

Gambar 10. Hasil Negatif Alkaloid Sargassum crassifolium

Gambar 10. Hasil Negatif Alkaloid Sargassum crassifolium BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4. Kandungan Metabolit Sekunder Sargassum crassifolium Sampel kering Sargassum crassifolium yang telah dihaluskan ditimbang 0,5 gram dengan menggunakan timbangan analitik untuk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kadar Air Ekstraksi dan Rendemen Hasil Ekstraksi

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kadar Air Ekstraksi dan Rendemen Hasil Ekstraksi 24 Rancangan ini digunakan pada penentuan nilai KHTM. Data yang diperoleh dianalisis dengan Analysis of Variance (ANOVA) pada tingkat kepercayaan 95% dan taraf α 0.05, dan menggunakan uji Tukey sebagai

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi Proksimat Komposisi rumput laut Padina australis yang diuji meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar abu tidak larut asam dilakukan

Lebih terperinci

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster ORDO DECAPODA Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster Kelompok Macrura Bangsa Udang dan Lobster Bentuk tubuh memanjang Terdiri kepala-dada (cephalothorax) dan abdomen (yang disebut ekor) Kaki beruas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kandungan Metabolit Sekunder Daun Rhizophora mucronata Lamk. Kandungan metabolit sekunder pada daun Rhizophora mucronata Lamk. diidentifikasi melalui uji fitokimia. Uji

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Seaweed dalam dunia perdagangan dikenal sebagai rumput laut, namun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Seaweed dalam dunia perdagangan dikenal sebagai rumput laut, namun BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut Seaweed dalam dunia perdagangan dikenal sebagai rumput laut, namun sebenarnya dalam dunia ilmu pengetahuan diartikan sebagai alga (ganggang) yang berasal dari bahasa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tumbuhan Mangrove Excoecaria agallocha 2.1.1 Klasifikasi Excoecaria agallocha Klasifikasi tumbuhan mangrove Excoecaria agallocha menurut Cronquist (1981) adalah sebagai berikut

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Biologi Tetraselmis sp. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelas : Crustacea. Ordo : Decapoda. Webster et al., (2004), menyatakan bahwa lobster merupakan udang air tawar

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelas : Crustacea. Ordo : Decapoda. Webster et al., (2004), menyatakan bahwa lobster merupakan udang air tawar II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi Lobster Air Tawar Menurut Holthuis (1949) dan Riek (1968), klasifikasi lobster air tawar adalah sebagai berikut : Filum : Arthropoda Kelas : Crustacea Ordo : Decapoda Famili

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Kadar Air

HASIL DA PEMBAHASA. Kadar Air Pemilihan Eluen Terbaik Pelat Kromatografi Lapis Tipis (KLT) yang digunakan adalah pelat aluminium jenis silika gel G 60 F 4. Ekstrak pekat ditotolkan pada pelat KLT. Setelah kering, langsung dielusi dalam

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan sampel ascidian telah dilakukan di Perairan Kepulauan Seribu. Setelah itu proses isolasi dan pengujian sampel telah dilakukan

Lebih terperinci

PAKAN DAN PEMBERIAN PAKAN

PAKAN DAN PEMBERIAN PAKAN PAKAN DAN PEMBERIAN PAKAN 1. Pendahuluan Pakan alami adalah sejenis pakan ikan yang berupa organisme air. Organism ini secara ekosistem merupakan produsen primer atau level makanan dibawah ikan dalam rantai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Hasil Ekstraksi Daun dan Buah Takokak

HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Hasil Ekstraksi Daun dan Buah Takokak 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Penentuan kadar air berguna untuk mengidentifikasi kandungan air pada sampel sebagai persen bahan keringnya. Selain itu penentuan kadar air berfungsi untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) 2.1.1. Klasifikasi Secara biologis ikan lele dumbo mempunyai kelebihan dibandingkan dengan jenis lele lainnya, yaitu lebih mudah dibudidayakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengambilan Sampel Ascidian Didemnum molle Pengambilan sampel dilakukan pada Bulan Maret 2013 di perairan Kepulauan Seribu meliputi wilayah Pulau Pramuka, Pulau Panggang

Lebih terperinci

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster (lanjutan)

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster (lanjutan) ORDO DECAPODA Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster (lanjutan) LOBSTER LAUT Salah satu jenis komoditas yang biasa ditemukan di kawasan terumbu karang adalah udang barong atau udang karang (lobster).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Udang adalah hewan kecil tak bertulang belakang (invertebrata) yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Udang adalah hewan kecil tak bertulang belakang (invertebrata) yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekologi Udang Udang adalah hewan kecil tak bertulang belakang (invertebrata) yang tempat hidupnya adalah di perairan air tawar, air payau dan air asin. Jenis udang sendiri

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Rhizophora mucronata Lamk. 2.1.1. Klasifikasi Klasifikasi tumbuhan bakau (Rhizophora mucronata) menurut Duke (2006) adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Kelas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang 70% alamnya merupakan perairan

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang 70% alamnya merupakan perairan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang 70% alamnya merupakan perairan yang terdiri dari rawa, sungai, danau, telaga, sawah, tambak, dan laut. Kekayaan alam ini sangat potensial

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi Ikan Gurame (Osphronemus gouramy Lac.) Ikan gurame (Osphronemus gouramy Lac.) adalah salah satu komoditas budidaya air tawar yang tergolong dalam famili ikan Labirin (Anabantidae).

Lebih terperinci

Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat Kelangsungan Hidup BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup merupakan suatu nilai perbandingan antara jumlah organisme yang hidup di akhir pemeliharaan dengan jumlah organisme

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah daging dari ternak yang sehat, saat penyembelihan dan pemasaran diawasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah daging dari ternak yang sehat, saat penyembelihan dan pemasaran diawasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan daging merupakan bagian yang penting bagi keamanan pangan dan selalu menjadi pokok permasalahan yang mendapatkan perhatian khusus dalam penyediaan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kadar Zat Ekstraktif Mindi Kadar ekstrak pohon mindi beragam berdasarkan bagian pohon dan jenis pelarut. Berdasarkan bagian, daun menghasilkan kadar ekstrak tertinggi yaitu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Taksonomi Dan Morfologi Tanaman Durian. Kingdom : Plantae ( tumbuh tumbuhan ) Divisi : Spermatophyta ( tumbuhan berbiji )

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Taksonomi Dan Morfologi Tanaman Durian. Kingdom : Plantae ( tumbuh tumbuhan ) Divisi : Spermatophyta ( tumbuhan berbiji ) BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Durian 1. Taksonomi Dan Morfologi Tanaman Durian Menurut Rahmat Rukmana ( 1996 ) klasifikasi tanaman durian adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae ( tumbuh tumbuhan ) Divisi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Volvocales. : Tetraselmis. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Volvocales. : Tetraselmis. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tetraselmis sp. Menurut B u t c h e r ( 1 9 5 9 ) klasifikasi Tetraselmis sp. adalah sebagai berikut: Filum : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Ordo : Volvocales Sub ordo Genus

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Lele Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Filum: Chordata Kelas : Pisces Ordo : Ostariophysi Famili : Clariidae Genus : Clarias Spesies :

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Lele Dumbo 2.1.1. Taksonomi Klasifikasi atau pengelompokkan ikan lele dumbo menurut Bachtiar (2007) adalah sebagai berikut : Filum Kelas Sub kelas Ordo Sub ordo Famili

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Plankton adalah organisme yang hidup melayang layang atau mengambang di

TINJAUAN PUSTAKA. Plankton adalah organisme yang hidup melayang layang atau mengambang di 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Plankton Plankton adalah organisme yang hidup melayang layang atau mengambang di atas permukaan air dan hidupnya selalu terbawa oleh arus, plankton digunakan sebagai pakan alami

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Clownfish Klasifikasi Clownfish menurut Burges (1990) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Perciformes

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mikroalga Tetraselmis sp. merupakan salah satu mikroalga hijau.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mikroalga Tetraselmis sp. merupakan salah satu mikroalga hijau. 1 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tetraselmis sp. Mikroalga Tetraselmis sp. merupakan salah satu mikroalga hijau. Klasifikasi Tetraselmis sp. menurut Bold & Wynne (1985) adalah sebagai berikut: Filum Kelas Ordo

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dua pertiga dari luas negara Indonesia terdiri dari laut dan dilalui garis

I. PENDAHULUAN. Dua pertiga dari luas negara Indonesia terdiri dari laut dan dilalui garis I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dua pertiga dari luas negara Indonesia terdiri dari laut dan dilalui garis khatulistiwa serta kaya akan sumberdaya laut. Di samping fauna laut yang beraneka ragam dijumpai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. alam. Sebagai salah satu negara yang memiliki wilayah pantai terpanjang dan

I. PENDAHULUAN. alam. Sebagai salah satu negara yang memiliki wilayah pantai terpanjang dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara yang subur dan kaya akan sumberdaya alam. Sebagai salah satu negara yang memiliki wilayah pantai terpanjang dan terluas di dunia, Indonesia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. secara taksonomi termasuk ke dalam kelompok crustacea renik yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. secara taksonomi termasuk ke dalam kelompok crustacea renik yang 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daphnia sp 2.1.1 Klasifikasi Daphnia sp. Daphnia sp. secara taksonomi termasuk ke dalam kelompok crustacea renik yang hidup secara umum di perairan tawar (Pangkey 2009). Beberapa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perikanan. Pakan juga merupakan faktor penting karena mewakili 40-50% dari

I. PENDAHULUAN. perikanan. Pakan juga merupakan faktor penting karena mewakili 40-50% dari I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam budidaya perikanan. Pakan juga merupakan faktor penting karena mewakili 40-50% dari biaya produksi. Pakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 7. Bakteri Bacillus Sumber : Dokumentasi Pribadi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 7. Bakteri Bacillus Sumber : Dokumentasi Pribadi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembentukan Organisme Bioflok 4.1.1 Populasi Bakteri Populasi bakteri pada teknologi bioflok penting untuk diamati, karena teknologi bioflok didefinisikan sebagai teknologi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan dan Ekstraksi Sampel Uji Aktivitas dan Pemilihan Ekstrak Terbaik Buah Andaliman

HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan dan Ekstraksi Sampel Uji Aktivitas dan Pemilihan Ekstrak Terbaik Buah Andaliman 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan dan Ekstraksi Sampel Sebanyak 5 kg buah segar tanaman andaliman asal Medan diperoleh dari Pasar Senen, Jakarta. Hasil identifikasi yang dilakukan oleh Pusat Penelitian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Variabel Hama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daun pepaya dengan berbagai

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Variabel Hama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daun pepaya dengan berbagai IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Variabel Hama 1. Mortalitas Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daun pepaya dengan berbagai fase dan konsentrasi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap mortalitas hama

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Hasil pemeriksaan ciri makroskopik rambut jagung adalah seperti yang terdapat pada Gambar 4.1.

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Hasil pemeriksaan ciri makroskopik rambut jagung adalah seperti yang terdapat pada Gambar 4.1. BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Pada awal penelitian dilakukan determinasi tanaman yang bertujuan untuk mengetahui kebenaran identitas botani dari tanaman yang digunakan. Hasil determinasi menyatakan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh perbedaan jenis pelarut terhadap kemampuan ekstrak daun beluntas (Pluchea indica Less.) dalam menghambat oksidasi gula. Parameter

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Tawes 2.1.1 Taksonomi Tawes Menurut Kottelat (1993), klasifikasi ikan tawes adalah sebagai berikut: Phylum : Chordata Classis Ordo Familia Genus Species : Pisces : Ostariophysi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Infeksi merupakan masalah yang paling banyak dijumpai pada kehidupan sehari-hari. Kasus infeksi disebabkan oleh bakteri atau mikroorganisme patogen yang masuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah Kingdom Filum Class Ordo Famili Genus : Animalia : Arthopoda : Insekta : Lepidoptera : Plutellidae : Plutella

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nyamuk Aedes aegypti Aedes aegypti merupakan jenis nyamuk yang dapat membawa virus dengue penyebab penyakit demam berdarah. [2,12] Aedes aegypti tersebar luas di wilayah tropis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tumbuhan mangrove Rhizophora stylosa 2.1.1 Klasifikasi Rhizophora stylosa Menurut Cronquist (1981), taksonomi tumbuhan mangrove Rhizophora stylosa sebagai berikut : Kingdom

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Diaphanosoma sp. adalah sebagai berikut:

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Diaphanosoma sp. adalah sebagai berikut: II. TINJAUAN PUSTAKA A. Diaphanosoma sp. 1. Klasifikasi Klasifikasi Diaphanosoma sp. adalah sebagai berikut: Fillum Kelas Sub kelas Ordo Famili Genus : Arthropoda : Crustacea : Branchiopoda : Cladocera

Lebih terperinci

Penanganan induk udang windu, Penaeus monodon (Fabricius, 1798) di penampungan

Penanganan induk udang windu, Penaeus monodon (Fabricius, 1798) di penampungan Standar Nasional Indonesia Penanganan induk udang windu, Penaeus monodon (Fabricius, 1798) di penampungan ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup...

Lebih terperinci

Analisis Fitokimia (Harborne 1987) Uji alkaloid. Penentuan Bakteriostatik Uji flavonoid dan senyawa fenolik. Penentuan Bakterisidal

Analisis Fitokimia (Harborne 1987) Uji alkaloid. Penentuan Bakteriostatik Uji flavonoid dan senyawa fenolik. Penentuan Bakterisidal 6 dari 1 maka volume bakteri yang diinokulasikan sebanyak 50 µl. Analisis Fitokimia (Harborne 1987) Uji alkaloid. Sebanyak 0.1 gram serbuk hasil ekstraksi flaonoid dilarutkan dengan 3 ml kloroform dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mikroorganisme dapat menyebabkan infeksi terhadap manusia. Infeksi

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mikroorganisme dapat menyebabkan infeksi terhadap manusia. Infeksi A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Mikroorganisme dapat menyebabkan infeksi terhadap manusia. Infeksi adalah proses invasif oleh mikroorganisme dan berproliferasi di dalam tubuh yang menyebabkan sakit, mikroorganisme

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman yang berasal dari Meksiko

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman yang berasal dari Meksiko 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pepaya Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman yang berasal dari Meksiko dan Amerika Selatan, kemudian menyebar ke berbagai negara tropis, termasuk Indonesia sekitar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Klasifikasi Ikan Gurami (Osphronemus gouramy Lac.) Nomor yang dikeluarkan oleh Badan Standarisasi

TINJAUAN PUSTAKA. A. Klasifikasi Ikan Gurami (Osphronemus gouramy Lac.) Nomor yang dikeluarkan oleh Badan Standarisasi II TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi Ikan Gurami (Osphronemus gouramy Lac.) Klasifikasi ilmiah ikan gurame berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 01 6485.1 2000 yang dikeluarkan oleh Badan Standarisasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi, karena memiliki protein yang

I. PENDAHULUAN. penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi, karena memiliki protein yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Daging ayam merupakan salah satu bahan pangan yang memegang peranan cukup penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi, karena memiliki protein yang berkualitas tinggi

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 27 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Api-api (Avicennia marina (Forks.)Vierh.) Pohon api-api (Avicennia marina (Forks.)Vierh.) merupakan tumbuhan sejati yang hidup di kawasan mangrove. Morfologi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Udang vaname merupakan udang introduksi yang berasal dari Amerika dan

TINJAUAN PUSTAKA. Udang vaname merupakan udang introduksi yang berasal dari Amerika dan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Udang Vaname Udang vaname merupakan udang introduksi yang berasal dari Amerika dan masuk ke Indonesia pada awal tahun 2000. Petambak memilih udang vaname sebagai komoditas budidaya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Haliman dan Adijaya (2005), klasifikasi udang vannamei

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Haliman dan Adijaya (2005), klasifikasi udang vannamei 2.1 Biologi Udang Vannamei 2.1.1 Klasifikasi BAB II TINJAUAN PUSTAKA Menurut Haliman dan Adijaya (2005), klasifikasi udang vannamei (Litopenaeus vannamei) sebagai berikut : Kingdom Sub kingdom Filum Sub

Lebih terperinci

Benih udang windu Penaeus monodon (Fabricius, 1798) kelas benih sebar

Benih udang windu Penaeus monodon (Fabricius, 1798) kelas benih sebar Standar Nasional Indonesia Benih udang windu Penaeus monodon (Fabricius, 1798) kelas benih sebar ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup...1 2 Acuan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 14. Hasil Uji Alkaloid dengan Pereaksi Meyer; a) Akar, b) Batang, c) Kulit batang, d) Daun

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 14. Hasil Uji Alkaloid dengan Pereaksi Meyer; a) Akar, b) Batang, c) Kulit batang, d) Daun BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Uji Fitokimia Sampel Kering Avicennia marina Uji fitokimia ini dilakukan sebagai screening awal untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder pada sampel. Dilakukan 6 uji

Lebih terperinci

Gambar 1. Ikan lele dumbo (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Gambar 1. Ikan lele dumbo (Sumber: Dokumentasi Pribadi) BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Biologi Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Lele dumbo adalah jenis ikan hibrida hasil silangan antara Clarias gariepinus dengan C. fuscus dan merupakan ikan introduksi yang pertama

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gejala Klinis Ikan Nilem yang Terinfeksi Aeromonas hydrophila 4.1.1 Kerusakan Tubuh Berdasarkan hasil pengamatan, gejala klinis yang pertama kali terlihat setelah ikan diinfeksikan

Lebih terperinci

Nutrisi Pakan pada Pendederan kerapu

Nutrisi Pakan pada Pendederan kerapu Nutrisi Pakan pada Pendederan kerapu Oleh: Ibnu Sahidhir Kementerian Kelautan dan Perikanan Ditjen Perikanan Budidaya Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee 2011 Biologi Benih Kerapu Pemakan daging Pendiam,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Fitoplankton adalah alga yang berfungsi sebagai produsen primer, selama

TINJAUAN PUSTAKA. Fitoplankton adalah alga yang berfungsi sebagai produsen primer, selama 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Nannochloropsis sp. Fitoplankton adalah alga yang berfungsi sebagai produsen primer, selama hidupnya tetap dalam bentuk plankton dan merupakan makanan langsung bagi

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. berflagel. Selnya berbentuk bola berukuran kecil dengan diameter 4-6 µm.

2. TINJAUAN PUSTAKA. berflagel. Selnya berbentuk bola berukuran kecil dengan diameter 4-6 µm. 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Nannochloropsis sp Mikroalga adalah tumbuhan tingkat rendah yang memiliki klorofil, yang dapat digunakan untuk melakukan proses fotosintesis. Mikroalga tidak memiliki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Bunga Rosella 1. Klasifikasi Dalam sistematika tumbuhan, kelopak bunga rosella diklasifikasikan sebagai berikut : Gambar 1. Kelopak bunga rosella Kingdom : Plantae Divisio :

Lebih terperinci

HASIL. (%) Kulit Petai 6.36 n-heksana 0,33 ± 0,06 Etil Asetat 0,32 ± 0,03 Etanol 70% 12,13 ± 0,06

HASIL. (%) Kulit Petai 6.36 n-heksana 0,33 ± 0,06 Etil Asetat 0,32 ± 0,03 Etanol 70% 12,13 ± 0,06 6 HASIL Kadar Air dan Rendemen Hasil pengukuran kadar air dari simplisia kulit petai dan nilai rendemen ekstrak dengan metode maserasi dan ultrasonikasi dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2. Hasil perhitungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lalapan karena memiliki cita rasa yang khas. Daun muda pohpohan memiliki

I. PENDAHULUAN. lalapan karena memiliki cita rasa yang khas. Daun muda pohpohan memiliki I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daun pohpohan merupakan bagian tanaman yang digunakan sebagai lalapan karena memiliki cita rasa yang khas. Daun muda pohpohan memiliki aktivitas antioksidan yang besar,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Spirulina sp.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Spirulina sp. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Spirulina sp. Spirulina sp. merupakan mikroalga yang menyebar secara luas, dapat ditemukan di berbagai tipe lingkungan, baik di perairan payau, laut dan tawar. Spirulina

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga II TINJAUAN PUSTAKA. Genus Scylla mempunyai tiga spesies lain yaitu Scylla serata, S. oseanica dan S.

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga II TINJAUAN PUSTAKA. Genus Scylla mempunyai tiga spesies lain yaitu Scylla serata, S. oseanica dan S. II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Kepiting Bakau Klasifikasi Scylla paramamosain menurut King (1995) dan Keenan (1999) dalam Pavasovic (2004) adalah sebagai berikut : Filum : Arthropoda Subfilum: Crustacea

Lebih terperinci

Induk udang rostris (Litopenaeus stylirostris) kelas induk pokok

Induk udang rostris (Litopenaeus stylirostris) kelas induk pokok Standar Nasional Indonesia Induk udang rostris (Litopenaeus stylirostris) kelas induk pokok ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN PEMBAHASAN PENDAHULUAN Taksonomi tanaman memaminkan peranan penting dalam konservasi keanekaragaman hayati, karena itu memerlukan karakterisasi yang tepat untuk distribusi serta lokalisasi daerah pada spesies dengan

Lebih terperinci

Alga (ganggang) Alga sering disebut ganggang.

Alga (ganggang) Alga sering disebut ganggang. Alga (ganggang) Alga sering disebut ganggang. Alga termasuk golongan tumbuhan berklorofil tubuh disebut talus yaitu tidak punya akar, batang dan daun. Alga dianggap sebagai bentuk tumbuhan rendah karena

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Vektor Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa vektor mekanis dan biologis, juga dapat berupa vektor primer dan sekunder.vektor mekanis adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJUAN PUSTAKA

BAB II TINJUAN PUSTAKA BAB II TINJUAN PUSTAKA 2.1. Lele Sangkuriang (Clarias gariepinus) Klasifikasi Ikan Lele Sangkuriang (Clarias gariepinus) menurut Lukito (2002), adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Kelas : Pisces

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kulit jengkol, larva

BAB III METODE PENELITIAN. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kulit jengkol, larva 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan April 2015 di Laboratorium Kimia Universitas Medan Area. 3.2 Bahan dan Alat Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah lele dumbo (C. gariepinus). Ikan ini memiliki pertumbuhan yang cepat,

BAB I PENDAHULUAN. adalah lele dumbo (C. gariepinus). Ikan ini memiliki pertumbuhan yang cepat, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ikan merupakan salah satu hewan yang memiliki potensi budidaya yang menjanjikan di Indonesia. Berbagai macam ikan dapat dibudidayakan, terutama ikan air tawar yaitu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. s n. Pengujian Fitokimia Biji Kelor dan Biji. Kelor Berkulit

HASIL DAN PEMBAHASAN. s n. Pengujian Fitokimia Biji Kelor dan Biji. Kelor Berkulit 8 s n i1 n 1 x x i 2 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Fitokimia Kelor dan Kelor Berkulit s RSD (%) 100% x Pengujian Fitokimia Kelor dan Kelor Berkulit Pengujian Alkaloid Satu gram contoh dimasukkan ke dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Clarias fuscus yang asli Taiwan dengan induk jantan lele Clarias mossambius yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Clarias fuscus yang asli Taiwan dengan induk jantan lele Clarias mossambius yang 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Lele dumbo merupakan ikan hasil perkawinan silang antara induk betina lele Clarias fuscus yang asli Taiwan dengan induk jantan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kelangsungan Hidup (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelangsungan Hidup (SR) Kelangsungan hidup merupakan suatu perbandingan antara jumlah organisme yang hidup diakhir penelitian dengan jumlah organisme

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan Larva Rajungan. Jenis Stadia dan Lama Waktu Perkembangan Larva

TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan Larva Rajungan. Jenis Stadia dan Lama Waktu Perkembangan Larva TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Larva Rajungan Jenis Stadia dan Lama Waktu Perkembangan Larva Tingkat perkembangan rajungan pada umumnya tidak berbeda dengan kepiting bakau. Perbedaannya hanya pada fase

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PLANKTON Plankton merupakan kelompok organisme yang hidup dalam kolom air dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas (Wickstead 1965: 15; Sachlan

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Subclass: Telostei. Ordo : Ostariophysi

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Subclass: Telostei. Ordo : Ostariophysi BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Klasifikasi lele masamo SNI (2000), adalah : Kingdom : Animalia Phylum: Chordata Subphylum: Vertebrata Class : Pisces

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. berkembang pada substrat dasar yang kuat (Andi dan Sulaeman, 2007). Rumput laut

1. PENDAHULUAN. berkembang pada substrat dasar yang kuat (Andi dan Sulaeman, 2007). Rumput laut 1 1. PENDAHULUAN Rumput laut atau yang biasa disebut seaweed tidak memiliki akar, batang dan daun sejati. Sargassum talusnya berwarna coklat, berukuran besar, tumbuh dan berkembang pada substrat dasar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagai anggota dari golongan krustasea, semua badan udang dan kepiting terdiri dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagai anggota dari golongan krustasea, semua badan udang dan kepiting terdiri dari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Distribusi dan Morfologi Udang Sebagai anggota dari golongan krustasea, semua badan udang dan kepiting terdiri dari ruas-ruas yang tertutup oleh kulit keras yang mengandung

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai

TINJAUAN PUSTAKA. manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai TINJAUAN PUSTAKA Pencemaran Pencemaran lingkungan adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain kedalam lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bidang perikanan memegang peranan penting dalam penyediaan protein

I. PENDAHULUAN. Bidang perikanan memegang peranan penting dalam penyediaan protein I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bidang perikanan memegang peranan penting dalam penyediaan protein hewani bagi rakyat Indonesia. Sebagian besar (74%) berasal dari laut dan sisanya (26%) dari air tawar.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Bernhard Grzimek (1973) dalam Yovita H.I dan Mahmud Amin

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Bernhard Grzimek (1973) dalam Yovita H.I dan Mahmud Amin TINJAUAN PUSTAKA Ikan Black Ghost (Apteronotus albifrons) Menurut Bernhard Grzimek (1973) dalam Yovita H.I dan Mahmud Amin dalam Rahman (2012), sistematika ikan black ghost adalah sebagai berikut : Kingdom

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat penting sehingga mampu menghadapi serangan zat asing seperti

BAB I PENDAHULUAN. sangat penting sehingga mampu menghadapi serangan zat asing seperti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada keadaan normal, paparan mikroorganisme patogen terhadap tubuh dapat dilawan dengan adanya sistem pertahanan tubuh (sistem imun). Pada saat fungsi dan jumlah sel

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN BAB 5 HASIL PENELITIAN 5.1 Hasil Uji Identifikasi Fitokimia Hasil uji identifikasi fitokimia yang tersaji pada tabel 5.1 membuktikan bahwa dalam ekstrak maserasi n-heksan dan etil asetat lidah buaya campur

Lebih terperinci

Uji Saponin Uji Triterpenoid dan Steroid Uji Tanin Analisis Statistik Uji Minyak Atsiri Penentuan Konsentrasi Hambat Tumbuh Minimum (KHTM)

Uji Saponin Uji Triterpenoid dan Steroid Uji Tanin Analisis Statistik Uji Minyak Atsiri  Penentuan Konsentrasi Hambat Tumbuh Minimum (KHTM) terbentuknya warna merah karena penambahan H 2 SO 4. Uji Saponin. Sebanyak.1 gram ekstrak jawer kotok ditambahkan 5 ml akuades lalu dipanaskan selama 5 menit. Kemudian dikocok selama 5 menit. Uji saponin

Lebih terperinci

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster (lanjutan)

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster (lanjutan) ORDO DECAPODA Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster (lanjutan) Kelompok Macrura (lanjutan) Bangsa Udang Penaeid Pada stadium post larva, anakan udang hidup merayap atau melekat pada benda2 di dasar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Ekstraksi dan Penapisan Fitokimia

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Ekstraksi dan Penapisan Fitokimia 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Ekstraksi dan Penapisan Fitokimia Metode ekstraksi yang digunakan adalah maserasi dengan pelarut etil asetat. Etil asetat merupakan pelarut semi polar yang volatil (mudah

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. graveolens L.), kemangi (Ocimum bacilicum L.) serta campuran keduanya. terhadap pertumbuhan Candida albicans in vitro yang

BAB V PEMBAHASAN. graveolens L.), kemangi (Ocimum bacilicum L.) serta campuran keduanya. terhadap pertumbuhan Candida albicans in vitro yang 1 BAB V PEMBAHASAN Penelitian mengenai efek antifungi ekstrak etanolik seledri (Apium graveolens L.), kemangi (Ocimum bacilicum L.) serta campuran keduanya terhadap pertumbuhan Candida albicans in vitro

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan nyamuk Aedes sp dalam klasifikasi hewan menurut Soegijanto (2006)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan nyamuk Aedes sp dalam klasifikasi hewan menurut Soegijanto (2006) BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Aedes sp Kedudukan nyamuk Aedes sp dalam klasifikasi hewan menurut Soegijanto (2006) adalah sebagai berikut: Kingdom Phylum Super Class Class Sub Class Ordo Sub Ordo Family Sub

Lebih terperinci

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Rendemen Ekstrak Pekat Propolis Ekstraksi propolis lebah Trigona sp dilakukan dengan metode maserasi. Menurut Anggraini (2006), maserasi adalah teknik ekstraksi yang dilakukan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fotosintesis (Bold and Wynne, 1985). Fitoplankton Nannochloropsis sp., adalah

TINJAUAN PUSTAKA. fotosintesis (Bold and Wynne, 1985). Fitoplankton Nannochloropsis sp., adalah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Nannochloropsis sp. 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Mikroalga diartikan berbeda dengan tumbuhan yang biasa dikenal walaupun secara struktur tubuh keduanya memiliki klorofil

Lebih terperinci