KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK GEOLOGI KARYA REFERAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK GEOLOGI KARYA REFERAT"

Transkripsi

1 KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK GEOLOGI KARYA REFERAT ALTERASI HIDROTERMAL LINGKUNGAN ph ASAM DI PERMUKAAN PADA SISTEM PANAS BUMI DISUSUN OLEH SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 YOGYAKARTA JUNI 2015

2 LEMBAR PENGESAHAN KARYA REFERAT ALTERASI HIDROTERMAL LINGKUNGAN ph ASAM DI PERMUKAAN PADA SISTEM PANAS BUMI Diajukan untuk memenuhi syarat kurikulum program strata-1 Jurusan Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Yogyakarta, 29 Juni 2015 Dosen Pembimbing Penyusun Dr. Agung Harijoko, S.T. M.Eng. NIP Saefudin Juhri 12/333298/TK/39700 SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 i

3 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wata ala yang telah memberikan anugerah dan nikmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat berjudul Alterasi Hidrotermal Lingkungan ph Asam di Permukaan pada Sistem Panas Bumi yang disusun untuk memenuhi syarat kelulusan mata kuliah referat. Selain itu, dalam penyelesaian laporan ini penulis juga dibantu oleh beberapa pihak. Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Agung Harijoko, S.T., M.Eng. selaku dosen pembimbing referat yang telah memberi arahan, masukan, dan pengetahuan demi terselesaikanya referat ini Dalam penyusunan referat ini, penulis tidak luput dari kesalahan dan kekurangan. Sehingga penulis berharap kritik yang membangun, saran, koreksi, dan masukan dari para pembaca demi peningkatan kemampuan penulis dalam membuat suatu karya yang bermanfaat. Terakhir, penulis berharap bahwa tulisan ini dapat memberi manfaat seluas-luasnya bagi para pembaca, baik secara langsung maupun tidak langsung. Yogyakarta, Juni 2015 Penulis, Saefudin Juhri 12/333298/TK/39700 SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 ii

4 DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR SARI i ii iii v vi vii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Maksud dan Tujuan Ruang Lingkup Pembahasan Metode Penyusunan 5 BAB II SISTEM HIDROTERMAL 2.1. Definisi Sistem Hidrotermal Komponen Sistem Hidrotermal Klasifikasi Sistem Hidrotermal 12 BAB III FLUIDA HIDROTERMAL 3.1. Klorida Sulfat Bikarbonat Sulfat-Klorida Klorida Encer-(Bikarbonat) Summary 26 BAB IV MINERAL ALTERASI HIDROTERMAL 4.1. Alterasi dan Mineral Alterasi Mineral Alterasi ph Asam di Permukaan 30 SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 iii

5 BAB V STUDI KASUS 5.1. Lapangan Panasbumi Otake, Kyushu, Jepang Lapangan Panasbumi Copahue, Argentina Lapangan Panasbumi Unzen Jigoku, Kyushu, Jepang 36 BAB VI PEMBAHASAN 38 BAB VII KESIMPULAN 42 DAFTAR PUSTAKA 43 SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 iv

6 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Struktur konseptual untuk sistem hidrotermal yang didominasi oleh fasa cair (liquid dominated) dengan relief rendah (Nicholson, 1993) 9 Gambar 2.2. Struktur konseptual untuk sistem panas bumi yang didominasi oleh fase gas (vapour dominated) menurut Nicholson, Gambar 2.3. Skema pembentukan mineral deposit pada sistem kaldera Creede tipikal untuk sistem asam sulfat (Mosier, dkk., 1986) 12 Gambar 3.1. Manifestasi air panas klorida (chloride spring) yang dikelilingi oleh sinter 20 Gambar 3.2. Manifestasi mud pool atau kolam lumpur panas pada sistem panas bumi 22 Gambar 3.3. Manifestasi kolam air panas (hot pool) 22 Gambar 3.4. Manifestasi fumarola 22 Gambar 5.1. Peta persebaran zona alterasi di Lapangan Panasbumi Otake (Taguchi, dkk., 2006) 33 Gambar 5.2. Peta Lapangan Panasbumi Copahue, Argentina serta daerah alterasinya (Mas, G.R., dkk., 1996) 35 Gambar 6.1. Bagan hubungan sistem hidrotermal, tipe fluida, tipe alterasi, dan mineral hasil alterasi 40 SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 v

7 DAFTAR TABEL Tabel 1. Klasifikasi sisem panas bumi 13 Tabel 2. Rangkuman karakteristik fluida hidrotermal 26 Tabel 3. Rentang kestabilan mineral terhadap suhu (Morrison, 1997 dengan modifikasi) 32 Tabel 4. Rentang kestabilan mineral terhadap suhu (Morrison, 1997 dengan modifikasi) 39 SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 vi

8 SARI Panasbumi merupakan energi alternatif yang kini mulai dikembangkan di negara-negara yang memiliki potensi panasbumi. Selain karena ramah lingkungan, energi panasbumi juga bersifat terbarukan. Indonesia merupakan salah satu Negara dengan potensi energi panasbumi yang sangat besar. Untuk itu perlu pengetahuan yang cukup luas dan komprehensif untuk mendukung perkembangan energi panasbumi di Indonesia. Referat ini membahas mengenai alterasi hidrotermal akibat interaksi fluida asam dengan batuan di permukaan. Diawali dengan pemaparan menganai sistem hidrotermal itu sendiri, kemudian fluida panas bumi, dan mineral apa saja yang dapat terbentuk akibat alterasi ini, serta dipaparkan pula beberapa studi kasus yang diambil dari penelitian terdahulu di berbagai lokasi untuk menunjukkan keterkaitan mineral hasil alterasi dengan fluida yang mengalterasi. Dari hasil studi pustaka mengenai teori-teori panasbumi dan mineral alterasi, disertai dengan studi kasus di beberapa lapangan panasbumi, disimpulkan bahwa alterasi ph asam di permukaan akan membentuk mineral-mineral seperti kaolinit, dickite, opal, kristobalit, jarosit, alunit, dan oksida besi. Selain mineral-mineral tersebut, dapat juga terbentuk mineral lain yang memiliki asosiasi dengan mineral tadi. Kata kunci: Panas bumi, alterasi, ph asam, permukaan SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 vii

9 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Panas bumi merupakan energi yang dihasilkan dari aktivitas tektonik bumi yang masih aktif hingga sekarang. Aktivitas tektonik ini dapat berperan langsung dalam pembentukan panas bumi maupun secara tidak langsung yaitu melalui aktivitas vulkanisme. Banyak negara yang telah memanfaatkan energi ini, baik melalui pemanfaatan langsung (direct use) maupun pemanfaatan tidak langung. Negaranegara tersebut umumnya berada pada batas antara lempeng yang saling berinteraksi. Interaksi ini dapat berupa konvergen, divergen, maupun transform. Beberapa negara yang berada di batas konvergen antar lempeng antara lain Chili, Selandia Baru, Jepang, Filipina, bahkan negara kita Indonesia (Ellis dan Mahon, 1977). Adapula negara yang berada di batas lempeng divergen, seperti Iceland, Ethiopia, dan Uganda; atau di batas transform seperti di Amerika Serikat. Indonesia merupakan negara kepulauan yang dihasilkan dari pertemuan antara Lempeng Australia dengan Lempeng Eurasia menghasilkan busur kepulauan Sumatera, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, serta Sulawesi; juga tumbukan Lempeng Australia dengan Lempeng Pasifik yang menghasilkan busur kepulauan Papua dan Maluku. Akibat pembentukan kepulauan di Indonesia yang dihasilkan dari interaksi antar lempeng, Indonesia memiliki potensi energi panas bumi yang cukup besar. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya gunung api aktif yang ada di Indonesia. Gunung api merupakan bukti nyata bahwa di daerah tersebut terjadi transfer panas SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/

10 dari bawah bumi menuju ke permukaan. Transfer panas inilah yang nantinya dapat digunakan sebagai sumber energi panas bumi. Selain itu banyak pula manifestasi permukaan yang ada di Indonesia yang dapat membuktikan bahwa prospek panas bumi cukup besar di sini. Misalnya mataair panas, geyser, fumarol, solfatara, dan sebagainya. Energi panas bumi di Indonesia sendiri sudah berkembang. Pada tahun bahkan sudah ada pengeboran panas bumi hingga kedalaman 66 meter di area Kawah Kamojang (Ellis & Mahon, 1977). Ellis & Mahon (1977) menjelaskan bahwa hingga saat ini kawasan ini sudah mampu menghasilkan energi listrik sebesar 140 MWe. Selain di kawasan Kawah Kamojang, pengembangan energi panas bumi juga sudah ada di kawasan Gunung Sibayak yang mampu menghasilkan 2 MWe, kawasan Lahendong menghasilkan 20 MWe, Dataran Tinggi Dieng menghasilkan 60 Mwe, dan Gunung Salak dengan kapasitas 330 MWe. Serta kawasan Wayang Windu dan kawasan Darajat. Melihat potensi panas bumi yang sangat besar di Indonesia, kita tentu dapat optimis bahwa Indonesia mampu mencukupi kebutuhan energinya dengan panas bumi. Meski begitu, kebutuhan energi di Indonesia justru masih didominasi oleh energi fosil yang notabene tidak dapat diperbaharui dan lebih tidak ramah lingkungan dibandingkan dengan energi panas bumi. Hal ini disebabkan perhatian pemerintah yang hingga saat ini masih berfokus pada energi fosil. Meski begitu kita juga perlu memahami bahwa tidak semua panas bumi dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Kita perlu mengidentifikasi apakah suatu lapangan memang dapat dimanfaatkan sebagai energi panas bumi atau justru SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/

11 potensi kebencanaannya lebih besar daripada potensi kemanfaatannya. Serta kita juga perlu memahami bahwa suatu lapangan panas bumi yang sudah bisa dipanen adalah lapangan panas bumi yang sudah matang dan potensi bahayanya sudah menurun. Teknologi saat ini tidak memungkinkan kita untuk dapat memanfaatkan energi panas bumi di daerah gunung api aktif seperti Gunung Merapi atau Gunung Krakatau. Sehingga kita perlu mengeksplor dimana energi panas bumi yang dapat kita manfaatkan untuk diekstrak energi panasnya. Metode eksplorasi yang baik mencakup 3G, yaitu Geologi, Geokimia, dan Geofisika. Eksplorasi panas bumi dimulai dengan pemahaman geologi suatu daerah, mencakup litologi, struktur geologi, morfologi, dan sejarah geologi daerah tersebut. Kemudian dilakukan analisa geokimia untuk mengetahui karakteristik batuan reservoar, karakteristik fluida hidrotermal, dan prospek energi panas yang dapat diekstrak. Dan sebagai tahap akhir adalah analisa geofisika untuk mengetahui secara pasti dimanakah titik akumulasi fluida panas yang dapat diambil. Salah satu analisa awal yang digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya energi panas bumi di suatu daerah adalah adanya manifestasi permukaan. Manifestasi merupakan kenampakan di permukaan bumi yang diakibatkan proses perpindahan panas dari bawah bumi. Manifestasi menandakan bahwa di bawah permukaan daerah tersebut sedang berlangsung perpindahan panas. Manifestasi yang umum ditemukan antara lain solfatara yaitu lubang erupsi hidrotermal yang mengeluarkan fluida dengan kandungan gas sulfur, fomarol yaitu lubang erupsi yang menghasilkan fluida didominas H2O, mata air panas, geyser, kolam alami yang mendidih, tanah beruap, dan sebagainya. SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/

12 Selain manifestasi tadi, salah satu fenomena yang dapat mencirikan adanya prospek panas bumi adalah alterasi hidrotermal. Alterasi hidrotermal merupakan proses perubahan mineralogi pada batuan yang diakibatkan oleh interaksi antara fluida panas bumi dengan batuan. Alterasi ini umumnya terjadi di sekitar manifestasi panas bumi. Pemahaman tentang alterasi ini sangat penting untuk mengetahui bagaimana perilaku fluida saat berkontak dengan batuan sekitarnya. Sehingga kita mampu menganalisa apa yang terjadi di bawah permukaan. Hal ini sangat berkaitan dalam penentuan potensi positif dan negatif dari suatu lapangan panas bumi. Sehingga pemahaman mengenai alterasi, mineral alterasi, batuan yang teralterasi, dan fluida yang mengalterasi sangat penting dalam pengembangan dan pemanfaatan energi panas bumi Maksud dan Tujuan Maksud dibuatnya referat ini adalah mempelajari lebih lanjut dan secara khusus berfokus pada alterasi ph asam di permukaan pada lingkungan panas bumi sebagai panduan untuk memahami kondisi sistem panas bumi di suatu daerah. Sedangkan tujuan referat ini antara lain: a. Mengetahui dan memahami berbagai macam sistem panas bumi dan klasifikasinya b. Mengetahui manifestasi apa saja yang dapat terbentuk di permukaan c. Mengetahui berbagai jenis fluida hidrotermal serta fluida yang terbentuk di permukaan d. Mengetahui dan memahami mineral alterasi apa yang dapat terbentuk akibat interaksi fluida hidrotermal ber-ph asam dengan batuan di permukaan SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/

13 1.3. Ruang Lingkup Pembahasan Pembahasan pada referat ini akan meliputi berbagai sistem panas bumi serta klasifikasinya berdasarkan basis klasifikasi yang berbeda-beda menurut beberapa peneliti, manifestasi apa saja yang menandakan adanya sistem hidrotermal, jenisjenis fluida hidrotermal, fluida apa yang dapat terbentuk di permukaan beserta karakterisitiknya, mineral alterasi apa saja yang dapat terbentuk akibat interaksi fluida asam dengan batuan di permukaan, serta bagaimana karakterisitik mineral alterasi tersebut Metode Penyusunan Metode yang digunakan dalam menyusun referat ini adalah dengan melakukan studi literatur dengan cara mengambil atau menyitir dari media textbook, jurnal, serta tulisan ilmiah lain, baik berupa media cetak maupun media elektronik, yang berkaitan dengan sistem panas bumi dan alterasi hidrotermal. Penyusunan sitiran dari literatur dilakukan sesuai kaidah penulisan ilmiah yang diakui. SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/

14 BAB II SISTEM HIDROTERMAL 2.1. Definisi Sistem Hidrotermal Sistem hidrotermal dapat didefinisikan sebagai suatu sistem yang dapat mengantarkan energi panas dari dalam bumi ke permukaan dengan media fluida air. Dalam mengantarkan energi panas dari bawah ke permukaan, fluida panas bumi memiliki berbagai komponen yang dibutuhkan untuk mencapai permukaan. Komponen-komponen yang saling berhubungan ini, dapat membentuk konfigurasi yang mempengaruhi perilaku dan hasil dari sistem panas bumi tersebut. Sistem hidrotermal tidak dapat dilepaskan dari sistem geotermal. Karena sistem hidrotermal terbentuk oleh sistem geotermal yang menggunakan fluida air sebagai media untuk menyalurkan energi panas dari bawah ke permukaan. Sistem geotermal sendiri menurut Ellis & Mahon (1977) adalah suatu lapangan atau area geotermal yang memiliki batas permukaan dan berada pada kondisi hidrologibatuan tertentu. Nicholson (1993) menambahkan bahwa suatu sistem geotermal tertentu memiliki karakteristik yang dapat dibedakan dengan sistem geotermal lain serta memiliki potensi yang tertentu pula Komponen Sistem Hidrotermal Sistem hidrotermal sangat dipengaruhi oleh komponen yang membentuknya. Setiap komponen tersebut dapat menentukan karakteristik akhir dari fluida hidrotermal yang meliputi suhu, tekanan, dan komposisi kimia dari fulida tersebut. Komponen-komponen yang berpengaruh terhadap suatu sistem hidrotermal antara lain: SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/

15 a. Sumber panas Sumber panas dari suatu sistem hidrotermal umumnya berupa tubuh intrusi magma. Namun ada juga sumber panas hidrotermal yang bukan berasal dari batuan beku. Nicholson (1993) membagi sistem geotermal berdasarkan sumber panasnya menjadi 2, yaitu : Volcanogenic system : yaitu sistem hidrotermal yang sumber panasnya berasal dari aktivitas magma. Tipe ini umumnya menghasilkan fluida dengan temperatur yang tinggi. Perbedaan tubuh magma yang mengintrusi juga dapat berpengaruh pada perbedaan sistem geotermal. Intrusi magma yang bersifat andesitik, umumnya membentuk geometri intrusi dengan diameter kecil namun secara vertikal dekat dengan permukaan. Sedangkan magma yang bersifat asam, umumnya memiliki tubuh yang berdiameter lebar, namun secara vertikal jauh di bawah permukaan. Hal ini berimplikasi pada perbedaan teknik eksplorasi dan eksploitasi hidrotermal. Selain itu, perbedaan tubuh intrusi ini juga dapat menghasilkan perbedaan manifestasi di permukaan. Non-volcanogenic system : sistem hidrotermal yang sumber panasnya tidak berkaitan dengan aktivitas magmatik. Pada sistem ini, panas dihasilkan bukan dari magma, tapi dari aktivitas tektonik pada suatu daerah. Panas dapat dihasilkan dari peristiwa uplift basement rock yang masih panas, atau bisa juga berasal dari sirkulasi air tanah dalam yang mengalami pemanasan akibat adanya perlipatan atau patahan. Sistem ini dapat menghasilkan fluida dengan temperatur tinggi atau rendah. b. Fluida yang bersirkulasi Jenis fluida yang bersirkulasi dalam sistem hidrotermal juga berperan penting SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/

16 dalam menentukan karakter suatu sistem hidrotermal. Ellis & Mahon (1977) membagi jenis fluida atau air hidrotermal menjadi 4 macam: Air juvenil, yaitu air yang berasal dari batuan magma primer yang sebelumnya belum pernah menjadi bagian dari hidrosfer. Air magmatik, yaitu air yang berasal dari magma, namun tidak harus berupa air juvenil. Karena magma juga dapat berasosiasi dengan air meteorik yang berada jauh di bawah permukaan atau air dari material sedimen Air meteorik, yaitu air yang termasuk dalam sirkulasi atmosfer Air connate atau air formasi, yaitu air yang sudah tidak lagi termasuk dalam sirkulasi atmosfer. Jenis air ini awalnya termasuk air meteorik yang terperangkap oleh batuan sedimen yang sangat dalam dan sudah tidak berkontak lagi dengan air meteorik dan sirkulasi atmosfer dalam skala waktu geologi yang panjang. Air ini umumnya berasal dari air laut, namun sudah mengalami perubahan akibat berinteraksi dengan batuan wadah dalam waktu yang sangat panjang. Air metamorfik, ialah air yang berasal dari modifikasi khusus dari air connate yang berasal dari rekristalisasi mineral hydrous menjadi mineral yang kurang hydrous selama proses metamorfisme. Fluida yang berperan pada sistem geotermal dapat berupa gas maupun cairan. Nicholson (1993) membagi sistem geotermal berdasarkan jenis fluida yang mendominasi reservoar, apakah gas (vapour daminated) seperti pada gambar 2.2 atau cairan (liquid dominated) seperti pada gambar 2.1. Pada banyak lapangan panas bumi, umumnya kedua fluida tersebut hadir pada zona dua fasa (two-phase zones) dimana uap dan air bercampur. SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/

17 Gambar 2.1. Struktur konseptual untuk sistem hidrotermal yang didominasi oleh fase cair (liquid dominated) dengan relief rendah (Nicholson, 1993) Gambar 2.2. Struktur konseptual untuk sistem panas bumi yang didominasi oleh fase gas (Vapour dominated) menurut Nicholson, 1993 c. Zona permeabel Agar suatu sistem hidrotermal dapat bersirkulasi dengan baik, fluida tersebut membutuhkan jalan agar dapat berpindah dan menghantarkan panas yang diperolehnya dari tubuh magma. Jalan untuk berpindahnya fluida tersebut kita sebut SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/

18 sebagai zona permeabel, yaitu zona yang dapat melalukan fluida. Zona permeabel dapat berupa berbagai fitur, baik struktur geologi maupun berupa litologi. Zona permeabel berupa struktur geologi umumnya berupa sesar atau kekar. Sesar atau kekar ini dapat menyisakan ruang atau celah atau rekahan yang dapat menjadi ruang untuk berpindahnya fluida hidrotermal. Sedangkan litologi yang dapat menjadi zona permeabel adalah litologi yang bersifat dapat meloloskan air dalam jumlah yang signifikan. Litologi ini umumnya disebut sebagai akuifer. Sifat ini dapat dimiliki oleh litologi tersebut selama proses sedimentasi maupun setelah sedimentasi. d. Batuan reservoar Batuan reservoar adalah batuan yang dapat menyimpan dan meloloskan air dalam jumlah yang signifikan. Batuan ini umumnya memiliki porositas dan permeabilitas yang cukup baik. Kedua karakter tadi sangat berpengaruh terhadap kecepatan sirkulasi fluida panas bumi. Nicholson (1993) membagi sistem geotermal berdasarkan suhu reservoar. Jika suhu reservoar lebih kecil dari 150 o C diklasifikasikan sebagai temperatur rendah, sedangkan jika suhu reservoar diatas 150 o C disebut temperatur tinggi. Suhu reservoar ini berpengaruh terhadap pemanfaatan panas dari suatu sistem panas bumi. Temperatur tinggi umumnya dimanfaatkan untuk pembangkit listrik, dan sisa uap yang suhunya sudah menurun dapat digunakan untuk penggunaan langsung, contohnya sebagai pemanas ruangan pada greenhouse, pengeringan furniture, dan sebagainya. Sedangkan jika suhu reservoar rendah, umumnya panas yang dihasilkan hanya dapat digunakan untuk penggunaan langsung. Batuan reservoar juga sangat berpengaruh terhadap komposisi kimia dari fluida SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/

19 hidrotermal. Sebab fluida hidrotermal akan mengalami reaksi dengan batuan reservoar yang akan merubah karakter kimia dari fluida tersebut. Akibat reaksi ini, kita dapat mengetahui jenis batuan reservoar yang menyimpan fluida hidrotermal melalui analisis kimia. Nicholson (1993) menjelaskan bahwa batuan vulkanik, sedimen klastik, dan batuan karbonat umumnya akan menghasilkan fluida hidrotermal dengan karakter kimia yang dapat dibedakan satu dengan yang lainnya. Pengetahuan tentang batuan reservoar yang mempengaruhi komposisi akhir dari fluida panas bumi sangat penting karena dapat diaplikasikan sebagai geotermometer dan prediksi pada pembentukan kerak (scaling) di sumur pemboran. Hal ini sangat dibutuhkan untuk mengetahui apakah suatu sistem panas bumi bersifat ekonomis atau justru merugikan. e. Batuan impermeabel Batuan impermeabel pada sistem panas bumi umumnya merupakan batuan yang telah mengalami alterasi hidrotermal. Alterasi hidrotermal ini mampu menghasilkan mineral mineral yang bersifat kedap air, yaitu mineral lempung. Mosier dkk. (1986) dalam Livo, dkk. telah membuat model pembentukan mineral lempung untuk tipikal sistem hidrotermal asam sulfat seperti pada gambar 2.3. Model ini menggambarkan bagaimana fluida mampu bergerak naik ke atas dan bereaksi dengan batuan samping (wallrock) dan menghasilkan mineral alterasi. Mineral yang terbentuk di daerah yang dalam adalah kuarsa, adularia, illite, dan sulfida. Sedangkan mineral yang terbentuk di dekat permukaan adalah kuarsa, alunit, dan kaolinit. SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/

20 White dkk. (1975) dalam Livo, dkk. juga melakukan penelitian tentang alterasi pada sistem asam sulfat di daerah Porcelain Terrace di Norris Geyser Basin. White menyimpulkan bahwa pada kedalaman kaki, mineral lempung yang terbentuk adalah lapisan campuran antara illitemontmorilonite dengan pirit. Pada kedalaman yang lebih dangkal yaitu kaki, yang terbentuk adalah kaolinit, sparse montmorilonite, Gambar 2.3. Skema pembentukan mineral deposit pada sistem kaldera Creede tipikal untuk sistem asam sulfat (Mosier dkk, 1986) kristobalit, kalsedon, goetit, dan sanidin. Dan pada daerah permukaan hingga kedalaman 200 ft alunit, kaolinit, kristobalit, dan sanidin terbentuk Klasifikasi Sistem Hidrotermal Umumnya para peneliti mengklasifikasikan sistem hidrotermal berdasarkan sirkulasi fluida dan secara umum dibagi menjadi sistem terbuka dan sistem tertutup. Sistem tertutup adalah apabila fluida hidrotermal tidak mengalami sirkulasi, fluida hanya dipanaskan dan tetap di reservoar. Transfer panas berlangsung secara konduksi, yaitu perpindahan panas melalui media tanpa ada perpindahan material dari media tersebut. Sedangkan sistem terbuka adalah apabila fluida hidrotermal SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/

21 mengalami sirkulasi, ada fluida yang masuk reservoar (in flow) dan ada fluida yang keluar dari reservoar (out flow). Perpindahan kalor atau panas terjadi secara konveksi, yaitu perpindahan panas melalui media bersamaan dengan perpindahan material dari media tersebut. Tabel 1. Klasifikasi sisem panas bumi berdasarkan Ellis & Mahon (1977) Basis Klasifikasi Origin dari Cyclic Storage fluida Temperatur reservoar High-temperatutre Warm water Sumber panas Volcanic Tectonic activity Asal fluida Sedimentary basin Metamorphic system Ada/tidaknya caprock Open Close Ellis & Mahon (1977) membagi sistem panas bumi berdsarkan asal dari fluida panas bumi tersebut menjadi: Cyclic system yaitu apabila suatu fluida hidrotermal berasal dari air meteorik yang mengalami infiltrasi dan masuk jauh ke bawah permukaan, kemudian terpanaskan, dan bergerak naik ke permukaan sebagai fluida panas. Pada sistem ini, air meteorik mengalami recharge dari hujan yang mengalami infiltrasi, sehingga siklus sistem berjalan terus menerus. Ellis & Mahon (1977) juga menjelaskan bahwa untuk membentuk sistem ini, dibutuhkan beberapa persyaratan, yaitu (1) adanya batuan permeabel yang memungkinkan air meteorik bergerak turun ke sirkulasi air tanah dalam, (2) adanya sumber panas, (3) kemampuan air yang memadai, (4) waktu yang tepat dan luas permukaan yang tepat untuk pertukaran panas agar air dapat dipanaskan, serta (5) adanya jalur untuk air bergerak ke permukaan. SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/

22 Ellis & Mahon (1977) membagi sistem ini berdasarkan suhu yaitu sistem bersuhu panas dan sistem bersuhu hangat. Sistem bersuhu panas dibagi lagi berdasarkan asosiasinya dengan vulkanik menjadi sistem bersuhu panas berasosiasi dengan vulkanik dan sistem bersuhu panas di zona aktivitas tektonik non-vulkanik. a. Sistem bersuhu panas berasosiasi dengan vulkanik terkini Sistem ini hadir di berbagai situasi. Umumnya berasosiasi dengan vulkanik tipe andesitik, dasitik, dan riolitik; jarang yang berasosiasi dengan vulkanik tipe basaltik (McNith, 1970 dalam Ellis & Mahon, 1977). Ada banyak lapangan geotermal yang memiliki struktur geologi yang terbentuk akibat aktifitas tektonik seperti blok patahan, pembentukan graben, maupun lembah rifting, namun tidak berhubungan dengan pembentukan pusat vulkanisme. Lokasi yang paling baik adalah pada perpotongan batas patahan utama pada blok struktur. Contohnya adalah beberapa lapangan geotermal di Selandia Baru, lapangan Salton Sea di California, dan lapangan Cerro Prieto di Meksiko yang berasosiasi dengan graben utama. Adapula lapangan yang berasosiasi dengan struktur kaldera dan ada yang berasosiasi dengan gunungapi tertentu yang banyak dijumpai di lapangan panas bumi di Indonesia. Air pada sistem panas bumi ini berasal dari air meteorik yang mengalami sirkulasi hingga ke kedalaman tertentu melalui rekahan, kemudian pada kedalaman itu air mengalami pemanasan dan bergerak naik kembali akibat gaya konvektif. Sebagian besar jalan air untuk naik keatas berupa rekahan yang dihasilkan akibat patahan maupun rekahan yang terbentuk akibat intrusi magma. Pada zona yang berporositas tinggi, air yang telah terpanaskan tersebut dapat menyebar luas. Pada kedalaman yang lebih dangkal, mungkin terjadi resirkulasi sistem konveksi air yang SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/

23 mengalami pendinginan akibat terjadi boiling pada tekanan yang rendah dekat permukaan, sedangkan proses mixing dapat terjadi di pertemuan antara fluida panas dengan zona air dingin pada semua kedalaman. Adanya batuan impermeable yang bertindak sebagai penudung mungkin dapat mengurangi intensitas keluarnya fluida ke permukaan, namun adanya kebocoran membuat fluida tetap dapat keluar dalam bentuk fumarola jika yang keluar adalah uap pada elevasi yang tinggi dan dalam bentuk mataair panas pada elevasi yang lebih rendah. Pemanasan fluida di bawah permukaan biasanya berhubungan dengan intrusi magma, dimana panas berpindah melalui mekanisme konduksi melewati batuan hingga mengenai fluida. Proses transfer panas ini dapat dibantu dengan adanya rekahan yang terbentuk karena tekanan akibat adanya panas. Agar sistem ini dapat berjalan terus-menerus, perlu adanya sirkulasi fluida yang mengenai tubuh magma. Selain dari air meteorik, magma juga dapat mengeluarkan fluida yang disebut fluida magmatik. Penambahan fluida magmatik ini akan menambah salinitas fluida hidrotermal secara keseluruhan. b. Sistem bersuhu panas di daerah tektonik aktif non-vulkanik Terdapat beberapa contoh lapangan panas bumi yang diklasifikasikan oleh Ellis & Mahon (1977) sebagai system panas bumi bersuhu panas namun tak berasosiasi dengan proses vulkanisme, diantaranya adalah lapangan panas bumi Larderello di Itali dan Lapangan Kizildere, Turki. Kedua lapangan panas bumi tersebut memiliki ciri khas tersendiri yang tidak dimiliki oleh lapangan panas bumi lainnya. Lapangan panas bumi Larderello merupakan daerah perbukitan dengan tinggi hingga 1 km dan memanjang hingga 50 km yang disebut Perbukitan Metalliferous. SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/

24 Ciri lithologi di daerah tersebut dipaparkan oleh Ellis & Mahon (1977) berupa sekis dan kuarsit berumur paleozoik, batugamping berumur mesozoik yang tersingkap bersama lapisan batuan sedimen berupa batulempung, shale, dan batupasir; dimana batulempung tersebut menjadi lapisan cap yang impermeabel. Struktur geologi terutama berupa struktur-struktur kompresi seperti lipatan dan patahan thrust (Burgassi, 1964 dalam Ellis & Mahon, 1997). Kemudian terjadi subsidence pada Post-Pliosen (Burgassi, 1964 dalam Ellis & Mahon, 1997). Sedangkan menurut Marinelli (1969) dalam Ellis Mahon (1997) Larderello terbentuk dari graben pada bagian puncak dari dome yang dihasilkan oleh intrusi granit di bawahnya. Struktur inilah yeng menjadi zona permeabel sehingga fluida hidrotermal dapat bergerak naik ke permukaan. Aktivitas panas di daerah ini berupa urat uap air dan air yang terpanaskan oleh uap. Sedangkan pengeboran sumur pada daerah ini menghasilkan uap yang bersuhu 150 hingga 260 dengan tekanan maksimum 39 bar. Mineral hasil alterasi yang umum ditemukan di daerah ini berupa adularia, zeolite, klorit, kalsit, kuarsa, anhidrit dan pistasit yang ditemukan pada basement berupa kuarsit dan slate (Marinelli, 1969 dalam Ellis & Mahon, 1977). Marinelli juga menyebutkan bahwa terdapatnya mineral karbonat pada basement kemungkinan disebabkan oleh sirkulasi fluida dari kedalaman yang lebih dangkal yang melewati litologi batugamping. c. Sistem air hangat di zona aliran panas Sistem ini umumnya terbentuk di daerah yang tersusun oleh batuan beku dan batuan metamorf yang mengalami pengkekaran atau sesar yang signifikan. Struktur ini memberikan jalan kepada air dari kedalaman yang dangkal untuk bersirkulasi SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/

25 hingga kedalaman yang lebih dalam. Air ini kemudian akan mengalami penambahan temperatur seiring ia bergerak ke bawah menuju gradien geotermal yang lebih tinggi. Air yang telah terpanaskan kemudian bergerak naik kembali menghasilkan mataair hangat dengan temperatur dibawah titik didih (100 C). Air panas ini umumnya bersifat klorida-bikarbonat-sulfat dengan kandungan nitrogen, metana dan karbon dioksida. Storage System terbentuk apabila air tersimpan pada batuan dalam skala waktu geologi yang cukup lama dan terpanaskan secara insitu, baik sebagai fluida dalam formasi maupun sebagai air dari proses hidrasi pada mineral. Storage system ini dibagi berdasarkan host atau batuan tempat tersimpannya fluida tersebut, dapat berupa batuan sedimen (Sedimentary basin system) maupun batuan metamorf (Metamorphic system). a. Sedimentary basin system Fluida pada sistem cekungan sedimen umumnya diperoleh saat sedimen terendapkan. Sedimen akan terendap bersama air yang menjadi media transportasinya. Jumlah air ini akan bertambah apabila sedimen tersebut terendapkan pada lingkungan laut yang merupakan penampung air terbesar. Air yang terdapat pada batuan tersebut lama-kelamaan akan berkurang akibat proses kimia, mineralogi dan biologis yang terjadi selama proses litifikasi. Salinitas pada air yang dihasilkan oleh air formasi ini umumnya lebih tinggi dibanding salinitas pada air magmatik. Selain itu, air yang berasal dari air laut ini juga akan mengakibatkan komponen ion klorida pada air formasi yang mengalami pemanasan akan meningkat. Terdapat beberapa proses yang dapat mengubah sifat air pada sistem SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/

26 cekungan sedimen ini, antara lain presipitasi, rekristalisasi, hidrasi atau dehidrasi, aktifitas organisme, perubahan kondisi ph atau redoks, dilusi atau pencampuran dengan air lain, pelarutan material sedimen, dan ultrafiltrasi atau reverse osmosis. b. Metamorphic system Sistem ini sebenarnya belum terbukti kebenarannya. System ini diusulkan oleh White et al (1973) dalam Ellis & Mahon (1997) sebagai origin dari mataair panas di bagian utara dari pesisir California dimana endapan merkuri atau raksa umumnya berasosiasi dengan area ini. Mata air panas tersebut mengeluarkan air yang bersifat sodium bikarbonat dengan kandungan amonia dan boron yang cukup signifikan, serta kandungan isotop oksigen dan hidrogen yang diduga bukan berasal dari air meteorik namun dari pelepasan air saat proses metamorfisme batuan sedimen asal laut berjalan. Pemboran pada daerah ini menghasilkan fluida bertemperatur 186 C pada kedalaman 430 m. SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/

27 BAB III FLUIDA HIDROTHERMAL Fluida hidrotermal umumnya memiliki berbagai karakteristik yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi jenis fluida tertentu. Karakteristik tersebut diantaranya adalah ph, suhu dan komposisi. Perbedaan komposisi pada fluida ini merupakan hasil dari proses interaksi antara batuan dan fluida di bawah permukaan bumi, selain itu juga dipengaruhi oleh asal dari fluida tersebut. Nicholson (1993) mengklasifikasikan fluida hidrotermal ini berdasarkan kandungan anion dominan pada fluida tersebut Klorida Nicholson (1993) dalam bukunya Geothermal Fluids menjelaskan mengenai air klorida. Tipe air ini disebut juga sebagai alkali-klorida atau klorida netral. Tipe air ini memiliki kandungan anion dominan berupa ion klorida (Cl - ). Tipe air ini merupakan tipe fluida geotermal dalam yang umum ditemukan pada sistem temperatur tinggi. Mata air panas yang mengandung klorida dalam jumlah besar di permukaan umumnya berasal langsung dari resevoar panas bumi yang mengindikasikan adanya zona permeabel di daerah tersebut. Berdasarkan tipe sistem hidrotermal berdasarkan reliefnya, munculnya mata air panas klorida belum tentu mengindikasikan adanya up flow. Air klorida umumnya keluar pada mata air panas seperti dicontohkan pada Gambar 3.1. yang merupakan chloride spring yang ada di Sumatera atau kolam air panas dengan aliran yang baik, dan geyser. SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/

28 Gambar 3.1. Manifestasi air panas klorida (chloride spring) yang dikelilingi oleh sinter (Anonim, 2015) Nicholson (1993) juga menjelaskan bahwa kandungan ion utama pada air ini adalah ion klorida, dengan kandungan bikarbonat dan sulfat yang bervariasi namun umumnya kurang dari komposisi klorida. Kandungan silika dan boron cukup signifikan dan juga mengandung sodium dan potassium yang cukup banyak sebagai kation utamanya. Bila berinteraksi dengan air laut atau air formasi pada beberapa sistem dapat terjadi pencampuran antara klorida dari air yang asli dengan klorida dari air laut atau air formasi tersebut. Kandungan ion klorida bisa mencapai mg/kg hingga mg/kg. Kondisi ph umumnya mendekati netral meski kadang sedikit asam atau sedikit basa. Fluida atau air klorida apabila berinteraksi dengan batuan sekitar umumnya akan membentuk tipe alterasi argilik-propilitik dengan mineral sekunder yang umum terbentuk adalah silika (amorf, kristobalit atau kuarsa), albit, adularia, ilit, klorit, apidot, zeolit, kalsit, pirit, pirhotit, dan sulfida logam dasar lainnya (Nicholson, 1993). SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/

29 3.2. Sulfat Disebut juga sebagai air asam sulfat, hal ini disebabkan karena tipe air ini umumnya memiliki ph yang rendah atau bersifat asam. Tipe air ini umumnya terbentuk di dekat permukaan sebagai hasil reaksi antara gas atau uap panas yang mengandung H2S yang beraksi dengan H2O yang ada pada zona vadose menghasilkan H2SO4 yang bersifat asam. Gas yang bereaksi tersebut merupakan gas yang berasal dari reservoar panas bumi, pada reservoar terjadi peristiwa boiling yang menyebabkan adanya pemisahan antara fase gas dengan fase liquid, sehingga gas-gas akan bergerak naik hingga permukaan, sedangkan liquid akan bergerak mengikuti gerakan air tanah dangkal sepanjang garis piezometric. Menurut Nicholson (1993) selain terbentuk di dekat permukaan atau pada kedalaman yang dangkal, air sulfat juga dapat ditemukan atau dapat bersirkulasi ke kedalaman yang lebih dalam apabila terdapat kekar atau sesar yang menjadi zona permeabel. Di daerah yang dalam, air sulfat akan mengalami pemanasan dan bercampur dengan air klorida yang bergerak naik ke atas (Nicholson, 1993). Air asam sulfat umumnya keluar di permukaan dalam bentuk kolam panas (Gambar 3.3.) atau kolam lumpur panas (Gambar 3.2.), namun bisa juga dalam bentuk mata air. Seiring dengan pemisahan antara uap dan air di bagian dalam, uap akan membawa entalpi ke permukaan dan dapat menyebabkan air permukaan terpanaskan hingga mencapai titik didih sehingga menghasilkan kolam lumpur mendidih atau tanah beruap. Proses ini dapat terjadi pada bentuk manifestasi fumarola (Gambar 3.4.). Sifat air yang asam dapat membuat batuan mengalami pelarutan sehingga menyebabkan adanya collapse yang menghasilkan bentukan gua atau kawah (Nicholson, 1993). SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/

30 Gambar 3.2. Manifestasi mud pool atau kolam lumpur panas pada sistem panas bumi (Anonim, 2015)) Gambar 3.3. Manifestasi kolam air panas (hot pool) (Stewart, 2015) Gambar 3.4. Manifestasi fumarola (Anonim, 2015) Komposisi anion utama berupa asam sulfat (H2SO4) yang dihasilkan dari oksidasi H2S, berdasarkan reaksi; H2S(g) + 2O2(aq) = 2H + (aq) + SO4 2- (aq) (H2SO4(aq)) SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/

31 Reaksi tersebut menghasilkan ion hidrogen yang merupakan penyebab sifat keasamaan air. Selain ion H dari reaksi H2S dengan O2, ion H juga dihasilkan dari reaksi antara CO2 dengan H2O yang menghasilkan H2CO3 berdasarkan reaksi: CO2(g) + H2O(l) = H + + HCO3 - (aq) (H2CO3(aq)) = 2H + (aq) + CO3 2- (aq) (H2CO3(aq)) Hasil reaksi tersebut menurut Nicholson (1993) akan menghasilkan ph minimum 2.8, sedangkan jika ph kurang dari 2, maka kemungkinan besar sudah ada kontribusi dari gas magmatik. Klorida dapat ditemukan namun dalam jumlah yang sangat sedikit, serta bikarbonat juga hadir dalam jumlah yang sedikit atau bahkan tidak ada dan semakin sedikit seiring berkurangnya ph karena H2CO3 akan pecah dan mengeluarkan gas CO2. Gas gas lain yang dapat ditemukan pada tipe air ini adalah NH3, As, dan B yang juga dihasilkan dari pemisahan gas dan air pada peristiwa boiling di zona yang lebih dalam. Reaksi antara batuan dengan air asam sulfat di dekat permukaan juga dapat melepas ion-ion logam seperti Na, K, Mg, dan Fe dari batuan dan larut ke dalam air, sehingga konsentrasi ion logam di dalam air semakin meningkat. Alterasi yang dihasilkan oleh tipe larutan ini adalah argilik lanjut (Nicholson, 1993) karena sifat asam yang menyebabkan batuan mengalami leaching secara keseluruhan. Mineral sekunder yang terbentuk antara lain kaolinit, kristobalit, haloynit, dan alunit sebagai mineral penciri. Selain itu, prose leaching yang luas dapat menghasilkan endapan silica. Mineral anhidrit, hematit, dikit, jarosit, pirit, dan campuran hematit-goetit serta sulfur juga sering ditemukan (Nicholson, 1993) Bikarbonat SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/

32 Menurut Nicholson (1993), yang termasuk tipe air ini antara lain air yang kaya akan CO2 dan air bikarbonat-sulfat netral. Nicholson juga menjelaskan bahwa keduanya terbentuk oleh gas dan uap yang terkondensasi pada air yang sedikit mengandung oksigen. Fluida seperti ini dapat terbentuk pada zona bocor yang berbentuk seperti payung yang menutupi sistem geotermal, juga dapat terbentuk pada daerah batas dari suatu sistem geotermal. Umumnya memiliki bentuk manifestasi permukaan berupa mata air panas dan mata air soda bersuhu rendah. Nicholson (1993) menambahkan bahwa ph larutan ini umumnya mendekati netral, hal ini diakibatkan oleh reaksi antara air tersebut dengan batuan sekitar selama mengalir secara lateral dekat permukaan yang menyebabkan air tersebut mengalami netralisasi yang awalnya bersifat asam. Komponen utama air ini adalah ion bikarbonat sebagai anion dan sodium sebagai kation. Sulfat mungkin ada dengan konsentrasi yang beragam dan klorida umumnya hadir dalam konsentrasi yang kecil atau bahkan tidak sama sekali (Mahon, dkk dalam Ellis & Mahon, 1977). Sifat air ini sangat reaktif, sehingga pada pemboran panas bumi sangat berpotensi menyebabkan casing atau scaling sehingga butuh tindakan tertentu (Hedenquist dan Stewart, 1985 dalam Nicholson, 1993). Alterasi yang dihasilkan dari reaksi antara tipe air ini dengan batuan sekitar berupa alterasi argilik dengan mineral sekunder yang dapat terbentuk antara lain mineral lempung seperti kaolin dan monmorilonit; mordinit, kalsit, dan kadang dapat terbentuk pula silisifikasi (Nicholson, 1993) Sulfat-Klorida SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/

33 Nicholson (1993) menjelaskan bahwa terdapat beberapa proses yang dapat menghasilkan tipe air ini, antara lain; - Bercampurnya air asam sulfat dan air klorida pada berbagai kedalaman - Keluarnya H2S yang mengakibatkan oksidasi dekat permukaan pada air klorida - Kondensasi gas magmatik dekat permukaan pada air meteorik - Kondensasi uap magmatik pada zona yang dalam - Adanya air klorida yang melewati batuan dengan komposisi kaya sulfur seperti evaporit atau batuan yang mengandung sulfur Dari beberapa proses di atas, proses yang paling umum membentuk air sulfatklorida adalah proses pertama. Air ini umumnya muncul ke permukaan sebagai mata air panas hingga hangat. ph air ini umumnya bersifat asam dengan rentang antara 2-5 (Nicholson, 1993) dengan komposisi klorida dan sulfat yang relatif seimbang. Sedangkan air yang terbentuk dari proses kondensasi gas magmatik dekat permukaan dan kondensasi uap magmatik pada zona yang dalam cenderung menghasilkan air dengan konsentrasi Cl, SO4 dan F yang tinggi. Tipe air ini juga dapat memiliki ph hingga 2-0 namun akibat reaksi dengan batuan sekitar yang menyebabkan adanya netralisasi larutan, umumnya sifat keasaman ini akan tersamarkan (Nicholson, 1993). Menurut Nicholson (1993) alterasi yang dihasilkan oleh tipe air ini umumnya berupa pencampuran antara alterasi argilik-argilik lanjut dengan alterasi propilitik. Dengan mineral sekunder yang umum terbentuk antara lain kaolin, sisa silika, SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/

34 kristobalit, alunit, klorit, kalsit, adularia, anhidrit, pirofilit, smektit, dan pencampuran hematit dan goetit Klorida Encer-(Bikarbonat) Menurut Nicholson (1993) tipe air ini terbentuk oleh pengenceran fluida yang bersifat klorida oleh air tanah maupun oleh air bikarbonat selama pergerakan lateral. Keterdapatan larutan ini umumnya terbatas pada tepi dari zona up flow dan struktur out flow pada system bertemperatur tinggi. Umumnya muncul sebagai mata air panas hingga hangat. Air ini memiliki ph mendekati netral antara 6-8 dengan komponen anion utama berupa klorida dengan bikarbonat dalam konsentrasi yang bervariasi. Tipe alterasi mirip dengan alterasi akibat air klorida namun kurang berkembang (Nicholson, 1993) Summary Tabel 2. Rangkuman karakteristik fluida hidrotermal Tipe air Klorida ph Mendekati netral Sulfat Asam Near- Surface Tempat Manifestasi terbentuk permukaan Sub-surface Mata air panas, kolam, dan geyser Mud cloudy spring pool, pool, Mineral alterasi Silika (amorf, kristobalit atau kuarsa), albit, adularia, ilit, klorit, apidot, zeolite, kalsit, pirit, pyrhotite, dan sulfida logam dasar lainnya Kaolin, kristobalit, haloynit, dan alunit (mineral penciri), anhidrit, hematit, dikit, jarosit, pirit, dan SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/

35 Bikarbonat Mendekati netral Sulfat-Klorida Asam Sub-surface atau nearsurface Klorida encer Mendekati netral Sub-surface Mata air panas atau hangat; mata air soda dingin Mata air panas atau hangat Sub-surface Mata air panas atau hangat campuran hematitgoetit serta sulfur. Mineral lempung seperti kaolin dan montmorilonit; mordinit, dan kalsit. Kaolin, sisa silika, kristobalit, alunit, klorit, kalsit, adularia, anhidrit, pirofilit, smektit, dan pencampuran hematit dan goetit Seperti air klorida SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/

36 BAB IV MINERAL ALTERASI HIDROTERMAL 4.1. Alterasi dan Mineral Alterasi Alterasi merupakan hasil dari interaksi antara fluida yang biasanya berupa likuid, dengan batuan pada suhu hangat (<100 C) hingga suhu panas (>500 C) (Thompson & Thompson, 1996). Sedangkan mineral alterasi merupakan mineral sekunder yang terbentuk akibat proses alterasi. Thompson & Thompson (1996) menjelaskan bahwa mineral alterasi menjadi media dokumentasi sejarah postformation dari suatu batuan, itu artinya mineral alterasi menjadi kunci untuk menjelaskan proses apa yang terjadi setelah batuan terbentuk atau proses sekunder. Proses alterasi umumnya disebabkan oleh fluida yang bersifat reaktif yang menyebabakn terjadinya reaksi dengan batuan, fluida yang reaktif ini menyebabkan adanya suatu kondisi kesetimbangan baru yang memaksa mineral primer berubah menjadi mineral baru (sekunder) yang lebih stabil. Kondisi kestabilan ini bergantung pada temperatur dan karakteristik kimia fluida yang bereaksi. Mineralmineral tertentu stabil pada suhu rendah seperti talk, sedangkan mineral lain dapat stabil pada berbagai temperature tapi dengan ph yang rendah seperti kaolinit, mineral lain seperti siderit stabil pada temperatur yang tinggi (Morrison, 1997). Terdapat beberapa macam tipe alterasi, bergantung karakter fluida dan temperature, diantaranya adalah: - Alterasi Argilik, adalah alterasi yang terjadi pada suhu relatif rendah yaitu sekitar <230 C, dengan karakter fluida asam hingga netral, dan salinitas SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/

37 yang rendah. Mineral yang umum terbentuk adalah kaolinit, smektit, dan perlapisan illit-smektit (Morrison, 1997) - Argilik lanjut, merupakan alterasi yang terjadi pada suhu tinggi dan fluida yang bersifat asam (ph rendah). Mineral yang umumnya terbentuk adalah alunit, diaspor, pirofilit, dengan kuarsa, kalsedon, kaolinit, dan dickite. Mineral alterasi ini umumnya terbentuk dari uap magmatik yang bersifat asam yang mengalami kondensasi pada lingkungan porfiri (dalam), atau kondensasi fluida asam sulfat yang terbentuk dari uap kondensat yang teroksidasi pada lingkungan ephitermal (dangkal) (Morrison, 1997). - Alterasi filik, yaitu alterasi yang terbentuk pada suhu sedang hingga tinggi, dari fluida yang asam hingga netral dan dengan salinitas yang bervariasi. Mineral yang umum terbentuk adalah mineral illit atau serisit dan kuarsa, bersama dengan pirit dan mungkin anhidrit. Bisa juga terbentuk klorit, kalsit, titanit, dan rutil (Morrison, 1997) - Alterasi propilitik, terjadi akibat interaksi fluida yang bersifat netral dengan salinitas yang beragam, pada temperatur sedang ( C). Mineral yang umum terbentuk adalah illit/serisit, epidot, kuarsa, albit, kalsit, dan anhidrit. Adapula tipe alterasi propilitik bersuhu tinggi yang terbentuk dari karakter fluida yang sama namun pada suhu yang lebih tinggi (>290 C) dengan mineral penciri diantaranya aktinolit dan garnet (Morrison, 1997) - Alterasi potasik, terjadi apabila fluida memiliki karakter magmatik yang kuat, dengan salinitas tinggi, berinteraksi dengan batuan pada suhu tinggi (>300 C). Mineral yang umum terbentuk akibat alterasi ini adalah mineral SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/

38 biotit, ortoklas, kuarsa dan magnetit. Mineral aksesoris yang umum adalah anhidrit, namun bisa juga terbentuk albit, titanit, atau rutil (Morrison, 1997) - Alterasi skarn adalah alterasi yang terjadi akibat fluida yang memiliki salinitas tinggi berkontak dengan batuan yang kaya akan kalsium (Ca). Alterasi ini terjadi pada rentang suhu C. Mineral yang terbentuk adalah garnet, klinopiroksen, vesuvianit, wolastonit, epidot, amfibol, magnetit, dan kalsit. Biotit, K-feldspar, kuarsa dan klorit dapat hadir dalam jumlah yang sedikit (Morrison, 1997) Dari berbagai macam alterasi diatas, dapat kita simpulkan bahwa alterasi yang umum terjadi akibat interaksi fluida yang bersifat asam adalah alterasi argilik dan/atau argilik lanjut, tergantung suhu pada saat terjadi alterasi Mineral Alterasi ph Asam di Permukaan Mineral alterasi yang terbentuk pada ph asam umumnya berupa mineral hasil alterasi tipe argilik atau argilik lanjut. Tipe alterasi ini akan menyebabkan batuan mengalami leaching atau pencucian secara keseluruhan atau pervasive. Alterasi argilik maupun argilik lanjut dapat terjadi di permukaan maupun di zona yang lebih dalam, karena suhu pembentukan yang bervariasi dari rendah hingga tinggi. Sedangkan suhu pembentukan mineral alterasi yang terbentuk di permukaan umumnya rendah hingga sedang. Mineral-mineral yang terbentuk sebagai hasil alterasi ph asam di permukaan (low to medium temperature) menurut Morrison (1997) adalah: SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/

39 - Kaolinit Kaolinit terbentuk dari alterasi batuan yang umumnya mengandung feldspar. Biasanya terbentuk akibat interaksi dengan fluida yang bersifat asam, dapat pula terbentuk akibat fluida dengan salinitas rendah. Suhu pembentukan relatif rendah, umumnya pada rentang suhu <220 C bergantung pada kondisi ph. Biasanya berasosiasi dengan mineral kuarsa, opal, alunit, pirit (asam) atau smektit (netral). - Dickite Mineral dickite terbentuk akibat interaksi fluida asam dengan batuan, umumnya mengandung feldspar. Suhu pembentukan berada pada rentang C. umumnya berasosiasi dengan mineral kuarsa, kaolinit, kadang juga berasosiasi dengan alunit. - Opal Mineral opal terbentuk akibat replacement komponen batuan asal pada vuggy dan urat. Fluida yang berinteraksi umumnya bersifat asam dimana opal terbentuk sebagai hasil alterasi, namun juga bisa terbentuk dari fluida netral. Suhu pembentukan relatif rendah pada rentang suhu dibawah 120 C. Dapat berasosiasi dengan mineral kaolinit, sulfat dan mineral presipitasi lainnya. - Kristobalit Mineral ini juga terbentuk akibat replacement komponen batuan asal, umumnya terbentuk di sekitar solfatara dan dapat menjadi scale pada sumur pemboran. Fluida yang berperan bersifat asam hingga netral, namun lebih sering fluida yang bersifat asam. Suhu pembentukan bervariasi dari rendah hingga sedang, umumnya kurang dari 200 C. Umumnya hadir bersama kuarsa, alunit, dan sulfur. SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/

40 - Jarosite Terbentuk pada gossans atau urat. Umumnya terbentuk pada lingkungan supergene atau bisa juga terbentuk akibat alterasi asam dari mineral pirit atau mineral sulfida lainnya. Suhu pembentukan rendah, umumnya dibawah 50 C. Berasosiasi dengan mineral Natro-Jarosit, kuarsa, kaolinit, atau halloysite. - Alunit Terbentuk dari replacement mineral plagioklas dan matriks, urat dan vuggy, serta pada mata air yang bersifat asam, tinggi kandungan SO4, dan bersuhu tinggi namun kurang dari 220 C. dapat berasosiasi dengan mineral halloysite, kaolinit, atau dickite, kuarsa, pirit, opal, kristobalit, pirofilit, diaspor, sulfur, vuggy kuarsa, dan zunyite. - Oksida/Hidroksida besi Mineral yang termasuk oksida besi antara lain goethite dan limonit. Terbentuk akibat penggantian mineral magnetit dan mineral ferromagnesian pada urat dan vuggy. Fluida yang berkontribusi bersifat asam dengan suhu relatif dingin, kurang dari 260 C. Umumnya berasosiasi dengan mineral pirit, hematit, dan mineral lempung. Tabel 3. Rentang kestabilan mineral terhadap suhu (Morrison, 1997 dengan modifikasi) Mineral Kaolinit Dickite Opal Kristobalit Jarosit Alunit Oksida besi (Goethite) SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/

SISTEM PANASBUMI: KOMPONEN DAN KLASIFIKASINYA. [Bagian dari Proposal Pengajuan Tugas Akhir]

SISTEM PANASBUMI: KOMPONEN DAN KLASIFIKASINYA. [Bagian dari Proposal Pengajuan Tugas Akhir] SISTEM PANASBUMI: KOMPONEN DAN KLASIFIKASINYA [Bagian dari Proposal Pengajuan Tugas Akhir] III.1. Komponen Sistem Panasbumi Menurut Goff & Janik (2000) komponen sistem panasbumi yang lengkap terdiri dari

Lebih terperinci

BAB III ALTERASI HIDROTERMAL BAWAH PERMUKAAN

BAB III ALTERASI HIDROTERMAL BAWAH PERMUKAAN BAB III ALTERASI HIDROTERMAL BAWAH PERMUKAAN III.1 Teori Dasar III.1.1 Sistem Panasbumi Sistem geotermal merupakan sistem perpindahan panas dari sumber panas ke permukaan melalui proses konveksi air meteorik

Lebih terperinci

BAB IV SISTEM PANAS BUMI DAN GEOKIMIA AIR

BAB IV SISTEM PANAS BUMI DAN GEOKIMIA AIR BAB IV SISTEM PANAS BUMI DAN GEOKIMIA AIR 4.1 Sistem Panas Bumi Secara Umum Menurut Hochstein dan Browne (2000), sistem panas bumi adalah istilah umum yang menggambarkan transfer panas alami pada volume

Lebih terperinci

Sistem Hidrothermal. Proses Hidrothermal

Sistem Hidrothermal. Proses Hidrothermal Sistem Hidrothermal Proses Hidrothermal Sistim panas bumi di Indonesia umumnya merupakan sistim hydrothermal yang mempunyai temperatur tinggi (>225oC), hanya beberapa diantaranya yang mempunyai temperatur

Lebih terperinci

Bab IV Sistem Panas Bumi

Bab IV Sistem Panas Bumi Bab IV Sistem Panas Bumi IV.1 Dasar Teori Berdasarkan fluida yang mengisi reservoir, sistem panas bumi dibedakan menjadi 2, yaitu sistem panas bumi dominasi air dan sistem panasbumi dominasi uap. 1. Sistem

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Alterasi dan Endapan Hidrotermal Alterasi hidrotermal merupakan suatu proses yang kompleks yang melibatkan perubahan mineralogi, tekstur, dan komposisi kimia batuan. Proses tersebut

Lebih terperinci

BAB 3 PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA

BAB 3 PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA BAB 3 PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA 3.1 Data Geokimia Seperti yang telah dibahas pada bab 1, bahwa data kimia air panas, dan kimia tanah menjadi bahan pengolahan data geokimia untuk menginterpretasikan

Lebih terperinci

(25-50%) terubah tetapi tekstur asalnya masih ada.

(25-50%) terubah tetapi tekstur asalnya masih ada. ` BAB IV ALTERASI HIDROTHERMAL 4.1 Pendahuluan Mineral alterasi hidrotermal terbentuk oleh adanya interaksi antara fluida panas dan batuan pada suatu sistem hidrotermal. Oleh karena itu, mineral alterasi

Lebih terperinci

Potensi Panas Bumi Berdasarkan Metoda Geokimia Dan Geofisika Daerah Danau Ranau, Lampung Sumatera Selatan BAB I PENDAHULUAN

Potensi Panas Bumi Berdasarkan Metoda Geokimia Dan Geofisika Daerah Danau Ranau, Lampung Sumatera Selatan BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya energi yang melimpah dan beraneka ragam, diantaranya minyak bumi, gas bumi, batubara, gas alam, geotermal, dll.

Lebih terperinci

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL. 4.1 Teori Dasar

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL. 4.1 Teori Dasar BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL. Teori Dasar Alterasi hidrotermal adalah suatu proses yang terjadi akibat adanya interaksi antara fluida hidrotermal dengan batuan samping yang dilaluinya, sehingga membentuk

Lebih terperinci

BAB V KIMIA AIR. 5.1 Tinjauan Umum

BAB V KIMIA AIR. 5.1 Tinjauan Umum BAB V KIMIA AIR 5.1 Tinjauan Umum Analisa kimia air dapat dilakukan untuk mengetahui beberapa parameter baik untuk eksplorasi ataupun pengembangan di lapangan panas bumi. Parameter-parameter tersebut adalah:

Lebih terperinci

LABORATORIUM GEOLOGI OPTIK DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK - UNIVERSITAS GADJAH MADA

LABORATORIUM GEOLOGI OPTIK DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK - UNIVERSITAS GADJAH MADA PRAKTIKUM PETROGRAFI BORANG MATERI ACARA: PETROGRAFI BATUAN ALTERASI Asisten Acara: 1... 2.... 3.... 4.... Nama Praktikan :... NIM :... Borang ini ditujukan kepada praktikan guna mempermudah pemahaman

Lebih terperinci

BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL

BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL 4.1 Pengertian Ubahan Hidrotermal Ubahan hidrotermal adalah proses yang kompleks, meliputi perubahan secara mineralogi, kimia, dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi larutan

Lebih terperinci

BAB IV KARAKTERISTIK AIR PANAS DI DAERAH TANGKUBAN PARAHU BAGIAN SELATAN, JAWA BARAT

BAB IV KARAKTERISTIK AIR PANAS DI DAERAH TANGKUBAN PARAHU BAGIAN SELATAN, JAWA BARAT BAB IV KARAKTERISTIK AIR PANAS DI DAERAH TANGKUBAN PARAHU BAGIAN SELATAN, JAWA BARAT 4.1 Tinjauan Umum Manifestasi permukaan panas bumi adalah segala bentuk gejala sebagai hasil dari proses sistem panasbumi

Lebih terperinci

Bab III Karakteristik Alterasi Hidrotermal

Bab III Karakteristik Alterasi Hidrotermal Bab III Karakteristik Alterasi Hidrotermal III.1 Dasar Teori Alterasi hidrotermal adalah suatu proses yang terjadi akibat interaksi antara fluida panas dengan batuan samping yang dilaluinya, sehingga membentuk

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR 2.1. Metode Geologi

BAB II TEORI DASAR 2.1. Metode Geologi BAB II TEORI DASAR 2.1. Metode Geologi Metode geologi yang dipergunakan adalah analisa peta geologi regional dan detail. Peta geologi regional menunjukkan tatanan geologi regional daerah tersebut, sedangkan

Lebih terperinci

III.4.1 Kuarsa sekunder dan kalsedon

III.4.1 Kuarsa sekunder dan kalsedon III.4.1 Kuarsa sekunder dan kalsedon Kuarsa sekunder adalah mineral silika yang memiliki temperatur pembentukan relatif panjang, berkisar 180 0 C hingga lebih dari 300 0 C (Reyes, 1990). Kehadiran kuarsa

Lebih terperinci

BAB IV MANIFESTASI PANAS BUMI DI GUNUNG RAJABASA

BAB IV MANIFESTASI PANAS BUMI DI GUNUNG RAJABASA BAB IV MANIFESTASI PANAS BUMI DI GUNUNG RAJABASA IV.1 TINJAUAN UMUM Manifestasi panas bumi adalah keluaran fluida panas bumi dari reservoar ke permukaan melalui rekahan atau melalui suatu unit batuan yang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ASPEK PANASBUMI

BAB IV ANALISIS ASPEK PANASBUMI BAB IV ANALISIS ASPEK PANASBUMI IV.1 Pendahuluan Energi panasbumi merupakan sumber panasbumi alami di dalam bumi yang terperangkap pada kedalaman tertentu dan dapat dimanfaatkan secara ekonomis. Energi

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN DAN DISKUSI

BAB VI PEMBAHASAN DAN DISKUSI BAB VI PEMBAHASAN DAN DISKUSI 6.1 Alterasi dan Fluida Hidrotermal Zona alterasi (Gambar 6.3) yang ditemukan pada Sumur BWS-H01 terdiri empat zona alterasi yaitu zona argilik (kaolinit, dikit, kuarsa sekunder,

Lebih terperinci

BAB VI DISKUSI. Dewi Prihatini ( ) 46

BAB VI DISKUSI. Dewi Prihatini ( ) 46 BAB VI DISKUSI 6.1 Evolusi Fluida Hidrotermal Alterasi hidrotermal terbentuk akibat adanya fluida hidrotermal yang berinteraksi dengan batuan yang dilewatinya pada kondisi fisika dan kimia tertentu (Pirajno,

Lebih terperinci

BAB III PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA

BAB III PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA BAB III PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA III.1 Data Geokimia Dengan menggunakan data geokimia yang terdiri dari data kimia manifestasi air panas, data kimia tanah dan data udara tanah berbagai paramater

Lebih terperinci

BAB IV PENENTUAN POTENSI PANAS BUMI

BAB IV PENENTUAN POTENSI PANAS BUMI Potensi Panas Bumi Berdasarkan Metoda Geokimia Dan Geofisika Daerah Danau Ranau, Lampung Sumatera Selatan BAB IV PENENTUAN POTENSI PANAS BUMI IV.1 Kehilangan Panas Alamiah Dalam penentuan potensi panas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan aspek tektoniknya, Indonesia berada pada jalur tumbukan tiga lempeng besar dengan intensitas tumbukan yang cukup intensif. Tumbukan antar lempeng menyebabkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN GEOLOGI. yaitu Lempeng Pasifik, Lempeng Indo - Australia, dan. dilihat pada Gambar 1.

BAB II TINJAUAN GEOLOGI. yaitu Lempeng Pasifik, Lempeng Indo - Australia, dan. dilihat pada Gambar 1. BAB II TINJAUAN GEOLOGI 2.1. Struktur Geologi Proses terjadinya sumber panas bumi di Indonesia merupakan hasil dari interaksi tiga lempeng tektonik, yaitu Lempeng Pasifik, Lempeng Indo - Australia, dan

Lebih terperinci

BAB IV GEOKIMIA AIR PANAS DI DAERAH GUNUNG KROMONG DAN SEKITARNYA, CIREBON

BAB IV GEOKIMIA AIR PANAS DI DAERAH GUNUNG KROMONG DAN SEKITARNYA, CIREBON BAB IV GEOKIMIA AIR PANAS DI DAERAH GUNUNG KROMONG DAN SEKITARNYA, CIREBON 4.1 Tinjauan Umum Pada metoda geokimia, data yang digunakan untuk mengetahui potensi panasbumi suatu daerah adalah data kimia

Lebih terperinci

STUDI UBAHAN HIDROTERMAL

STUDI UBAHAN HIDROTERMAL BAB IV STUDI UBAHAN HIDROTERMAL 4.1 TEORI DASAR Ubahan hidrotermal merupakan proses yang kompleks, meliputi perubahan secara mineralogi, kimia, dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi larutan hidrotermal

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN POTENSI PANAS BUMI DAERAH PENELITIAN

BAB 6 PEMBAHASAN POTENSI PANAS BUMI DAERAH PENELITIAN BAB 6 PEMBAHASAN POTENSI PANAS BUMI DAERAH PENELITIAN 6. 1 Hilang Panas Alamiah Dalam penentuan potensi panas bumi disuatu daerah diperlukan perhitungan kehilangan panas alamiah. Hal ini perlu dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembentuk tanah yang intensif adalah proses alterasi pada daerah panasbumi.

BAB I PENDAHULUAN. pembentuk tanah yang intensif adalah proses alterasi pada daerah panasbumi. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya tanah longsor adalah tingkat ketebalan tanah yang tinggi dengan kekuatan antar material yang rendah. Salah satu pembentuk

Lebih terperinci

BAB V ALTERASI PERMUKAAN DAERAH PENELITIAN

BAB V ALTERASI PERMUKAAN DAERAH PENELITIAN BAB V ALTERASI PERMUKAAN DAERAH PENELITIAN 5.1 Tinjauan Umum Alterasi hidrotermal adalah suatu proses yang terjadi sebagai akibat dari adanya interaksi antara batuan dengan fluida hidrotermal. Proses yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan perekonomian. Data Kementerian ESDM (2014) menyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. dan perekonomian. Data Kementerian ESDM (2014) menyatakan bahwa 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Energi listrik merupakan salah satu kebutuhan hidup masyarakat dengan penggunaan tertinggi urutan ketiga setelah bahan bakar minyak dan gas. Kebutuhan energi listrik

Lebih terperinci

BAB IV GEOKIMIA AIR PANAS

BAB IV GEOKIMIA AIR PANAS 4.1 Tinjauan Umum. BAB IV GEOKIMIA AIR PANAS Salah satu jenis manifestasi permukaan dari sistem panas bumi adalah mata air panas. Berdasarkan temperatur air panas di permukaan, mata air panas dapat dibedakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ellis and Mahon (1977) menjelaskan bahwa energi panas bumi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Ellis and Mahon (1977) menjelaskan bahwa energi panas bumi merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Ellis and Mahon (1977) menjelaskan bahwa energi panas bumi merupakan energi yang tersimpan dalam air panas ataupun uap panas pada kondisi geologi tertentu yang terletak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Komplek vulkanik Dieng di Jawa Tengah memiliki sistem panas bumi

BAB I PENDAHULUAN. Komplek vulkanik Dieng di Jawa Tengah memiliki sistem panas bumi BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Komplek vulkanik Dieng di Jawa Tengah memiliki sistem panas bumi temperatur tinggi yang berkaitan dengan gunung api (Layman, 2002). Sistem panas bumi ini dapat dibagi

Lebih terperinci

BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL DAERAH PENELITIAN

BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL DAERAH PENELITIAN BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL DAERAH PENELITIAN 4.1 Tinjauan Umum Ubahan hidrotermal merupakan proses yang kompleks meliputi perubahan secara mineralogi, kimia dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi larutan

Lebih terperinci

Karakterisasi Temperatur Bawah Permukaan Daerah NZU : Integrasi Data Geotermometer, Mineral Alterasi dan Data Pengukuran Temperatur Bawah Permukaan

Karakterisasi Temperatur Bawah Permukaan Daerah NZU : Integrasi Data Geotermometer, Mineral Alterasi dan Data Pengukuran Temperatur Bawah Permukaan Karakterisasi Temperatur Bawah Permukaan Daerah NZU : Integrasi Data Geotermometer, Mineral Alterasi dan Data Pengukuran Temperatur Bawah Permukaan Nisrina Zaida Ulfa (1), Dr. Ir. Johanes Hutabarat, M.si

Lebih terperinci

Analisis Geokimia Fluida Manifestasi Panas Bumi Daerah Maribaya

Analisis Geokimia Fluida Manifestasi Panas Bumi Daerah Maribaya Analisis Geokimia Fluida Manifestasi Panas Bumi Daerah Maribaya Oleh: Extivonus K.Fr (12012060) 1. GEOLOGI REGIONAL Daerah Maribaya terletak di utara Kota Bandung dan berdekatan dengan Lembang. Secara

Lebih terperinci

BAB III ALTERASI HIDROTERMAL

BAB III ALTERASI HIDROTERMAL BAB III ALTERASI HIDROTERMAL 3.1 Tinjauan Umum White (1996) mendefinisikan alterasi hidrotermal adalah perubahan mineralogi dan komposisi yang terjadi pada batuan ketika batuan berinteraksi dengan larutan

Lebih terperinci

V.2.4. Kesetimbangan Ion BAB VI. PEMBAHASAN VI.1. Jenis Fluida dan Posisi Manifestasi pada Sistem Panas Bumi VI.2.

V.2.4. Kesetimbangan Ion BAB VI. PEMBAHASAN VI.1. Jenis Fluida dan Posisi Manifestasi pada Sistem Panas Bumi VI.2. DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN.... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR. iv SARI... v ABSTRACT... vi DAFTAR ISI vii DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR TABEL xiv BAB I. PENDAHULUAN. 1 I.1.

Lebih terperinci

BAB III ALTERASI HIDROTHERMAL

BAB III ALTERASI HIDROTHERMAL BAB III ALTERASI HIDROTHERMAL 3.1. Tinjauan Umum Alterasi hidrotermal merupakan proses yang kompleks, meliputi perubahan secara mineralogi, kimia dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi larutan hidrotermal

Lebih terperinci

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL 4.1. Tinjauan umum Ubahan Hidrothermal merupakan proses yang kompleks, meliputi perubahan secara mineralogi, kimia dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi larutan hidrotermal

Lebih terperinci

BAB 4 PENENTUAN POTENSI PANAS BUMI

BAB 4 PENENTUAN POTENSI PANAS BUMI BAB 4 PENENTUAN POTENSI PANAS BUMI 4.1 Hilang Panas Alamiah Besar potensi panas bumi dapat diperkirakan melalui perhitungan panas alamiah yang hilang melalui keluaran manifestasi panas bumi (natural heat

Lebih terperinci

BAB 4 ALTERASI HIDROTERMAL

BAB 4 ALTERASI HIDROTERMAL 4.1 TEORI DASAR BAB 4 ALTERASI HIDROTERMAL Alterasi adalah suatu proses yang di dalamnya terjadi perubahan kimia, mineral, dan tekstur karena berinteraksi dengan fluida cair panas (hidrotermal) yang dikontrol

Lebih terperinci

ACARA IX MINERALOGI OPTIK ASOSIASI MINERAL DALAM BATUAN

ACARA IX MINERALOGI OPTIK ASOSIASI MINERAL DALAM BATUAN ACARA IX MINERALOGI OPTIK I. Pendahuluan Ilmu geologi adalah studi tentang bumi dan terbuat dari apa itu bumi, termasuk sejarah pembentukannya. Sejarah ini dicatat dalam batuan dan menjelaskan bagaimana

Lebih terperinci

SURVEI LANDAIAN SUHU DAERAH PANAS BUMI SUMANI. Yuanno Rezky, Robertus S. L. Simarmata Kelompok Penyelidikan Panas Bumi ABSTRAK

SURVEI LANDAIAN SUHU DAERAH PANAS BUMI SUMANI. Yuanno Rezky, Robertus S. L. Simarmata Kelompok Penyelidikan Panas Bumi ABSTRAK SURVEI LANDAIAN SUHU DAERAH PANAS BUMI SUMANI Yuanno Rezky, Robertus S. L. Simarmata Kelompok Penyelidikan Panas Bumi Kata kunci : Sumani, panas bumi, landaian suhu, pengeboran. ABSTRAK Lapangan panas

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Daerah Sumatera merupakan salah satu daerah yang memiliki tatanan geologi sangat kompleks, baik dari segi sedimentologi, vulkanologi, tektonik dan potensi sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Zona Bogor (Van Bemmelen, 1949). Zona Bogor sendiri merupakan antiklinorium

BAB I PENDAHULUAN. Zona Bogor (Van Bemmelen, 1949). Zona Bogor sendiri merupakan antiklinorium BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Bantarkawung merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Brebes bagian selatan. Kecamatan ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Cilacap di sebelah

Lebih terperinci

BAB IV MANIFESTASI PERMUKAAN PANASBUMI DI DATARAN TINGGI DIENG DAN SEKITARNYA

BAB IV MANIFESTASI PERMUKAAN PANASBUMI DI DATARAN TINGGI DIENG DAN SEKITARNYA BAB IV MANIFESTASI PERMUKAAN PANASBUMI DI DATARAN TINGGI DIENG DAN SEKITARNYA 4.1 Tinjauan umum Sistem panasbumi yang ada di Indonesia umumnya berasal dari sistem afiliasi volkanik. Sistem ini ditandai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kompleks Gunung Api Arjuno Welirang (KGAW) merupakan bagian dari rangkaian gunung api aktif di Pulau Jawa yang berada di bagian selatan ibukota Surabaya, Jawa Timur.

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Penelitian dengan judul Pendugaan Suhu Reservoar Lapangan Panas. Bumi X dengan Metode Multikomponen dan Pembuatan Model Konseptual

KATA PENGANTAR. Penelitian dengan judul Pendugaan Suhu Reservoar Lapangan Panas. Bumi X dengan Metode Multikomponen dan Pembuatan Model Konseptual iii KATA PENGANTAR Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan kuasa-nya penyusun dapat menyelesaikan proposal tugas akhir ini. Penelitian dengan judul Pendugaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan sejarahnya (termasuk perkembangan kehidupan), serta proses-proses yang telah

BAB I PENDAHULUAN. dan sejarahnya (termasuk perkembangan kehidupan), serta proses-proses yang telah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar belakang penelitian Geologi adalah ilmu pengetahuan bumi mengenai asal, struktur, komposisi, dan sejarahnya (termasuk perkembangan kehidupan), serta proses-proses yang telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bumi kita tersusun oleh beberapa lapisan yang mempunyai sifat yang

BAB I PENDAHULUAN. Bumi kita tersusun oleh beberapa lapisan yang mempunyai sifat yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan rumusan masalah Bumi kita tersusun oleh beberapa lapisan yang mempunyai sifat yang berbeda-beda, diantaranya mantel bumi dimana terdapat magma yang terbentuk akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Menurut Schieferdecker (1959) maar adalah suatu cekungan yang umumnya terisi air, berdiameter mencapai 2 km, dan dikelilingi oleh endapan hasil letusannya.

Lebih terperinci

Morfologi dan Litologi Batuan Daerah Gunung Ungaran

Morfologi dan Litologi Batuan Daerah Gunung Ungaran Morfologi dan Litologi Batuan Daerah Gunung Ungaran Morfologi Gunung Ungaran Survei geologi di daerah Ungaran telah dilakukan pada hari minggu 15 Desember 2013. Studi lapangan dilakukan untuk mengetahui

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN

Bab I. Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Emas merupakan salah satu logam yang memiliki nilai yang tinggi ( precious metal). Tingginya nilai jual emas adalah karena logam ini bersifat langka dan tidak banyak

Lebih terperinci

BAB V PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOKIMIA

BAB V PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOKIMIA BAB V PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOKIMIA Tujuan metode geokimia digunakan dalam penelitian eksplorasi energi panasbumi adalah untuk mengkaji kemungkinan pengembangan sumber daya panasbumi. Parameter

Lebih terperinci

GEOLOGI DAN GEOKIMIA DAERAH PANAS BUMI GERAGAI KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PROVINSI JAMBI

GEOLOGI DAN GEOKIMIA DAERAH PANAS BUMI GERAGAI KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PROVINSI JAMBI GEOLOGI DAN GEOKIMIA DAERAH PANAS BUMI GERAGAI KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PROVINSI JAMBI Dedi Kusnadi, Lano Adhitya Permana, Dikdik Risdianto Kelompok Penyelidikan Panas Bumi, Pusat Sumber Daya Geologi

Lebih terperinci

FORMULIR ISIAN BASIS DATA SUMBER DAYA MINERAL LOGAM

FORMULIR ISIAN BASIS DATA SUMBER DAYA MINERAL LOGAM FORMULIR ISIAN BASIS DATA SUMBER DAYA MINERAL LOGAM No. Record : Judul Laporan : DATA UMUM Instansi Pelapor : Penyelidik : Penulis Laporan : Tahun Laporan : Sumber Data : Digital Hardcopy Provinsi : Kabupaten

Lebih terperinci

BAB V PENGOLAHAN DATA

BAB V PENGOLAHAN DATA BAB V PENGOLAHAN DATA Data yang didapatkan dari pengamatan detail inti bor meliputi pengamatan megakopis inti bor sepanjang 451 m, pengamatan petrografi (32 buah conto batuan), pengamatan mineragrafi (enam

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Lapangan panas bumi Wayang-Windu terletak di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Secara geografis lapangan ini terletak pada koordinat 107 o 35 00-107 o 40 00 BT dan 7 o

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daerah Wai Selabung secara administratif termasuk ke dalam wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daerah Wai Selabung secara administratif termasuk ke dalam wilayah 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Daerah Penelitian Daerah Wai Selabung secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Mekakau Ilir, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Provinsi Sumatera Selatan. Luas

Lebih terperinci

Bateman (1956) dalam buku The Formation Mineral Deposits pengertian mineral bijih adalah mineral yang mengandung satu atau lebih jenis logam dan

Bateman (1956) dalam buku The Formation Mineral Deposits pengertian mineral bijih adalah mineral yang mengandung satu atau lebih jenis logam dan Idarwati Bateman (1956) dalam buku The Formation Mineral Deposits pengertian mineral bijih adalah mineral yang mengandung satu atau lebih jenis logam dan dapat diambil secara ekonomis. mineral bijih dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang Emas merupakan logam yang bersifat lunak dan mudah ditempa, kekerasannya berkisar antara 2,5-3 (skala Mohs), serta berat jenisnya tergantung pada jenis dan kandungan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. panasbumi di permukaan berupa mataair panas dan gas. penafsiran potensi panasbumi daerah penelitian.

BAB III METODE PENELITIAN. panasbumi di permukaan berupa mataair panas dan gas. penafsiran potensi panasbumi daerah penelitian. BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Objek Penelitian Objek yang akan diamati dalam penelitian ini adalah manifestasi panasbumi di permukaan berupa mataair panas dan gas. Penelitian dikhususkan kepada aspek-aspek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kaolin merupakan massa batuan yang tersusun dari mineral lempung dengan kandungan besi yang rendah, memiliki komposisi hidrous aluminium silikat (Al2O3.2SiO2.2H2O)

Lebih terperinci

aptudika.web.ugm.ac.id

aptudika.web.ugm.ac.id aptudika.web.ugm.ac.id 41. Siklus hidrologi berperan serta dalam merubah bentuk permukaan bumi melalui proses: A. presipitasi dan evaporasi B. evaporasi dan transpirasi C. transpirasi dan infiltrasi D.

Lebih terperinci

SURVEI ALIRAN PANAS (HEAT FLOW) DAERAH PANAS BUMI PERMIS KABUPATEN BANGKA SELATAN, PROVINSI BANGKA BELITUNG

SURVEI ALIRAN PANAS (HEAT FLOW) DAERAH PANAS BUMI PERMIS KABUPATEN BANGKA SELATAN, PROVINSI BANGKA BELITUNG SURVEI ALIRAN PANAS (HEAT FLOW) DAERAH PANAS BUMI PERMIS KABUPATEN BANGKA SELATAN, PROVINSI BANGKA BELITUNG Edy Purwoto, Yuanno Rezky, Robertus S.L. Simarmata Kelompok Penyelidikan Panas Bumi, Pusat Sumber

Lebih terperinci

Gambar 6. Daur Batuan Beku, Sedimen, dan Metamorf

Gambar 6. Daur Batuan Beku, Sedimen, dan Metamorf Definisi Batuan Batuan adaiah kompleks/kumpulan dari mineral sejenis atau tak sejenis yang terikat secara gembur ataupun padat. Bedanya dengan mineral, batuan tidak memiliki susunan kimiawi yang tetap,

Lebih terperinci

SURVEI GEOLOGI DAN GEOKIMIA DAERAH PANAS BUMI TAMIANG HULU KABUPATEN ACEH TAMIANG, PROVINSI ACEH

SURVEI GEOLOGI DAN GEOKIMIA DAERAH PANAS BUMI TAMIANG HULU KABUPATEN ACEH TAMIANG, PROVINSI ACEH SURVEI GEOLOGI DAN GEOKIMIA DAERAH PANAS BUMI TAMIANG HULU KABUPATEN ACEH TAMIANG, PROVINSI ACEH oleh Dedi Kusnadi, dan Moch. Nur Hadi Kelompok Penelitian Panas Bumi Pusat Sumber Daya Geologi SARI Daerah

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pegunungan Menoreh terletak di ujung utara pegunungan Kulon Progo, bagian timur dari zona jajaran punggungan oblong domes / ridges, di sebelah barat perbatasan Propinsi

Lebih terperinci

STUDI ALTERASI DAN MINERALISASI DAERAH TAMBAKASRI DAN SEKITARNYA, KECAMATAN SUMBERMANJING WETAN KABUPATEN MALANG, PROVINSI JAWA TIMUR

STUDI ALTERASI DAN MINERALISASI DAERAH TAMBAKASRI DAN SEKITARNYA, KECAMATAN SUMBERMANJING WETAN KABUPATEN MALANG, PROVINSI JAWA TIMUR STUDI ALTERASI DAN MINERALISASI DAERAH TAMBAKASRI DAN SEKITARNYA, KECAMATAN SUMBERMANJING WETAN KABUPATEN MALANG, PROVINSI JAWA TIMUR ABSTRAK Sapto Heru Yuwanto (1), Lia Solichah (2) Jurusan Teknik Geologi

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN JUDUL...i. HALAMAN PENGESAHAN...ii. HALAMAN PERSEMBAHAN...iii. UCAPAN TERIMAKASIH...iv. KATA PENGANTAR...vi. SARI...

DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN JUDUL...i. HALAMAN PENGESAHAN...ii. HALAMAN PERSEMBAHAN...iii. UCAPAN TERIMAKASIH...iv. KATA PENGANTAR...vi. SARI... DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL...i HALAMAN PENGESAHAN...ii HALAMAN PERSEMBAHAN...iii UCAPAN TERIMAKASIH...iv KATA PENGANTAR...vi SARI...vii DAFTAR ISI...viii DAFTAR GAMBAR...xii DAFTAR TABEL...xv BAB

Lebih terperinci

BAB IV MANIFESTASI PANAS BUMI CIMANDIRI

BAB IV MANIFESTASI PANAS BUMI CIMANDIRI BAB IV MANIFESTASI PANAS BUMI CIMANDIRI 4.1 LATAR BELAKANG Lembah Sungai Cimandiri telah diketahui banyak peneliti merupakan daerah yang dipengaruhi oleh struktur geologi atau lebih dikenal dengan Zona

Lebih terperinci

BAB III ALTERASI HIDROTHERMAL

BAB III ALTERASI HIDROTHERMAL . Foto 3.8. a) dan b) Foto inti bor pada sumur BCAN 4 dan sampel breksi tuf (sampel WID-3, sumur bor BCAN-1A) yang telah mengalami ubahan zona kaolinit montmorilonit siderit. c) Mineral lempung hadir mengubah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lamongan dan di sebelah barat Gunung Argapura. Secara administratif, Ranu Segaran masuk

BAB I PENDAHULUAN. Lamongan dan di sebelah barat Gunung Argapura. Secara administratif, Ranu Segaran masuk BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Lokasi penelitian adalah Ranu Segaran, terletak di sebelah timur Gunung Lamongan dan di sebelah barat Gunung Argapura. Secara administratif, Ranu Segaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan kimia airtanah dipengaruhi oleh faktor geologi dan faktor antropogen.

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan kimia airtanah dipengaruhi oleh faktor geologi dan faktor antropogen. 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kimia airtanah menunjukkan proses yang mempengaruhi airtanah. Perubahan kimia airtanah dipengaruhi oleh faktor geologi dan faktor antropogen. Nitrat merupakan salah

Lebih terperinci

Nama : Peridotit Boy Sule Torry NIM : Plug : 1

Nama : Peridotit Boy Sule Torry NIM : Plug : 1 DIAGENESA BATUAN SEDIMEN Batuan sedimen adalah batuan yang terbentuk sebagai hasil pemadatan endapan yang berupa bahan lepas. Batuan sedimen juga dapat terbentuk oleh penguapan larutan kalsium karbonat,

Lebih terperinci

Bab III Teori Dasar. III.1 Sistem Panas Bumi

Bab III Teori Dasar. III.1 Sistem Panas Bumi Bab III Teori Dasar III.1 Sistem Panas Bumi Pada dasarnya di seluruh permukaan bumi memiliki energi panas bumi, namun besar dan jumlahnya tidak selalu sama. Di beberapa tempat yang berhubungan dengan daerah

Lebih terperinci

Citra LANDSAT Semarang

Citra LANDSAT Semarang Batuan/Mineral Citra LANDSAT Semarang Indonesia 5 s/d 7 km 163 m + 2 km QUARRY BARAT LAUT Tidak ditambang (untuk green belt) muka airtanah 163 m batas bawah penambangan (10 m dpl) 75-100 m dpl Keterangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki sumber daya panas bumi yang terdapat di daerah vulkanik, graben (vulkano-tektonik) dan non-vulkanik. Hingga saat ini, telah teridentifikasi 265 daerah

Lebih terperinci

MONITORING SUMUR-SUMUR EKSPLORASI LAPANGAN PANAS BUMI MATALOKO, KABUPATEN NGADA, PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2015

MONITORING SUMUR-SUMUR EKSPLORASI LAPANGAN PANAS BUMI MATALOKO, KABUPATEN NGADA, PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2015 MONITORING SUMUR-SUMUR EKSPLORASI LAPANGAN PANAS BUMI MATALOKO, KABUPATEN NGADA, PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2015 Anna Yushantarti, Nizar Muhamad Nurdin, dan Muhammad Kholid Kelompok Penyelidikan

Lebih terperinci

ALTERASI HIDROTERMAL PADA LAPANGAN PANAS BUMI DAERAH GUNUNG RINGGIT, PROVINSI SUMATERA SELATAN

ALTERASI HIDROTERMAL PADA LAPANGAN PANAS BUMI DAERAH GUNUNG RINGGIT, PROVINSI SUMATERA SELATAN ALTERASI HIDROTERMAL PADA LAPANGAN PANAS BUMI DAERAH GUNUNG RINGGIT, PROVINSI SUMATERA SELATAN Fitriany Amalia Wardhani 1 1 UPT Balai Informasi Konservasi Kebumian Karangsambung LIPI Email: fitr025@lipi.go.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cekungan Air Tanah Magelang Temanggung meliputi beberapa wilayah

BAB I PENDAHULUAN. Cekungan Air Tanah Magelang Temanggung meliputi beberapa wilayah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Cekungan Air Tanah Magelang Temanggung meliputi beberapa wilayah administrasi di Kabupaten Temanggung, Kabupaten dan Kota Magelang. Secara morfologi CAT ini dikelilingi

Lebih terperinci

I. ALTERASI HIDROTERMAL

I. ALTERASI HIDROTERMAL I. ALTERASI HIDROTERMAL I.1 Pengertian Larutan hidrotermal adalah cairan bertemperatur tinggi (100 500 o C) sisa pendinginan magma yang mampu merubah mineral yang telah ada sebelumnya dan membentuk mineral-mineral

Lebih terperinci

SURVEI PENDAHULUAN GEOLOGI DAN GEOKIMIA PANAS BUMI KABUPATEN BANGGAI DAN KABUPATEN BANGGAI KEPULAUAN PROVINSI SULAWESI TENGAH

SURVEI PENDAHULUAN GEOLOGI DAN GEOKIMIA PANAS BUMI KABUPATEN BANGGAI DAN KABUPATEN BANGGAI KEPULAUAN PROVINSI SULAWESI TENGAH SURVEI PENDAHULUAN GEOLOGI DAN GEOKIMIA PANAS BUMI KABUPATEN BANGGAI DAN KABUPATEN BANGGAI KEPULAUAN PROVINSI SULAWESI TENGAH Eddy Mulyadi, Arif Munandar Kelompok Penyelidikan Panas Bumi, Pusat Sumber

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOFISIKA

BAB IV PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOFISIKA BAB IV PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOFISIKA Dalam penelitian ini, penulis menggunakan 2 metode geofisika, yaitu gravitasi dan resistivitas. Dimana kedua metode tersebut saling mendukung, sehingga

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB II TATANAN GEOLOGI BAB II TATANAN GEOLOGI 2.1 Geologi Regional 2.1.1 Fisiografi dan Morfologi Batu Hijau Pulau Sumbawa bagian baratdaya memiliki tipe endapan porfiri Cu-Au yang terletak di daerah Batu Hijau. Pulau Sumbawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar I.1. Skema produksi panas bumi dan lokasi pengambilan sampel kerak silika

BAB I PENDAHULUAN. Gambar I.1. Skema produksi panas bumi dan lokasi pengambilan sampel kerak silika BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumberdaya panas bumi. Potensi panas bumi yang dimiliki Indonesia mencapai 40% dari total potensi yang dimiliki

Lebih terperinci

MONITORING SUMUR-SUMUR EKSPLORASI LAPANGAN PANAS BUMI MATALOKO, KABUPATEN NGADA, NTT TAHUN

MONITORING SUMUR-SUMUR EKSPLORASI LAPANGAN PANAS BUMI MATALOKO, KABUPATEN NGADA, NTT TAHUN MONITORING SUMUR-SUMUR EKSPLORASI LAPANGAN PANAS BUMI MATALOKO, KABUPATEN NGADA, NTT TAHUN 2012-2014 Anna Yushantarti, S.Si dan Santia Ardi M., ST Kelompok Penyelidikan Panas Bumi, Pusat Sumber Daya Geologi,

Lebih terperinci

BAB IV STUDI KHUSUS GEOKIMIA TANAH DAERAH KAWAH TIMBANG DAN SEKITARNYA

BAB IV STUDI KHUSUS GEOKIMIA TANAH DAERAH KAWAH TIMBANG DAN SEKITARNYA BAB IV STUDI KHUSUS GEOKIMIA TANAH DAERAH KAWAH TIMBANG DAN SEKITARNYA IV.1 TINJAUAN UMUM Pengambilan sampel air dan gas adalah metode survei eksplorasi yang paling banyak dilakukan di lapangan geotermal.

Lebih terperinci

SURVEI LANDAIAN SUHU SUMUR WSL-1. Robertus S.L. Simarmata, Arif Munandar Kelompok Penyelidikan Panas Bumi

SURVEI LANDAIAN SUHU SUMUR WSL-1. Robertus S.L. Simarmata, Arif Munandar Kelompok Penyelidikan Panas Bumi SURVEI LANDAIAN SUHU SUMUR WSL-1 Robertus S.L. Simarmata, Arif Munandar Kelompok Penyelidikan Panas Bumi SARI Sumur WSL-1 berlokasi di desa Tanjung Besar dengan koordinat 367187 me dan 9477147 mn, elevasi

Lebih terperinci

BAB II METODE PENELITIAN

BAB II METODE PENELITIAN BAB II METODE PENELITIAN 2.1. Metode Geologi Metode geologi yang dipergunakan adalah analisa peta geologi regional dan lokal. Peta geologi regional menunjukkan tatanan geologi regional daerah tersebut.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Lampung Selatan tepatnya secara geografis, terletak antara 5 o 5'13,535''-

II. TINJAUAN PUSTAKA. Lampung Selatan tepatnya secara geografis, terletak antara 5 o 5'13,535''- 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Lokasi Penelitian Tempat penelitian secara administratif terletak di Gunung Rajabasa, Kalianda, Lampung Selatan tepatnya secara geografis, terletak antara 5 o 5'13,535''-

Lebih terperinci

PENGUJIAN UAP/MONITORING SUMUR PANAS BUMI MATALOKO, NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2006

PENGUJIAN UAP/MONITORING SUMUR PANAS BUMI MATALOKO, NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2006 PENGUJIAN UAP/MONITORING SUMUR PANAS BUMI MATALOKO, NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN Dahlan, Soetoyo Kelompok Program Penelitian Panas Bumi ABSTRAK Dalam rangka pengembangan lanjut lapangan panas bumi Mataloko,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Posisi tektonik Indonesia terletak pada pertemuan Lempeng Eurasia, Australia dan Pasifik. Indonesia dilalui sabuk vulkanik yang membentang dari Pulau Sumatera, Jawa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertipe komposit strato (Schmincke, 2004; Sigurdsson, 2000; Wilson, 1989).

BAB I PENDAHULUAN. bertipe komposit strato (Schmincke, 2004; Sigurdsson, 2000; Wilson, 1989). BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Dinamika aktivitas magmatik di zona subduksi menghasilkan gunung api bertipe komposit strato (Schmincke, 2004; Sigurdsson, 2000; Wilson, 1989). Meskipun hanya mewakili

Lebih terperinci

PENGOLAHAN AIR SUNGAI UNTUK BOILER

PENGOLAHAN AIR SUNGAI UNTUK BOILER PENGOLAHAN AIR SUNGAI UNTUK BOILER Oleh Denni Alfiansyah 1031210146-3A JURUSAN TEKNIK MESIN POLITEKNIK NEGERI MALANG MALANG 2012 PENGOLAHAN AIR SUNGAI UNTUK BOILER Air yang digunakan pada proses pengolahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam sub bab ini akan dibahas mengenai geologi regional daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam sub bab ini akan dibahas mengenai geologi regional daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Dalam sub bab ini akan dibahas mengenai geologi regional daerah penelitian (gambar 2.1), yang meliputi fisiografi regional, stratigrafi regional, struktur geologi

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOFISIKA

BAB IV PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOFISIKA BAB IV PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOFISIKA Pada penelitian ini, penulis menggunakan 2 data geofisika, yaitu gravitasi dan resistivitas. Kedua metode ini sangat mendukung untuk digunakan dalam eksplorasi

Lebih terperinci

BAB 2 TEORI DASAR 2.1 Metode Geologi

BAB 2 TEORI DASAR 2.1 Metode Geologi BAB 2 TEORI DASAR 2.1 Metode Geologi Metode geologi yang dipakai adalah analisis peta geologi regional dan lokal dari daerah penelitian. Untuk peta geologi regional, peta yang dipakai adalah peta geologi

Lebih terperinci