BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam sub bab ini akan dibahas mengenai geologi regional daerah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam sub bab ini akan dibahas mengenai geologi regional daerah"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Dalam sub bab ini akan dibahas mengenai geologi regional daerah penelitian (gambar 2.1), yang meliputi fisiografi regional, stratigrafi regional, struktur geologi regional dan aktivitas volkanisme dan magmatisme. Gambar 2.1 Peta Geologi Regional Daerah Penelitian skala 1: (Koesmono, Kusnama dan Suwarna, 1992) 4

2 Fisiografi Regional Secara umum van Bemmelen (1949) telah membagi daerah Jawa Barat menjadi empat zona fisiografi berdasarkan morfologi dan sifat tektoniknya (Gambar 2.2), berturut-turut dari utara-selatan, adalah : 1. Zona Dataran Rendah Pantai Jakarta, membentang mulai dari Serang sampai bagian timur Cirebon dengan lebar + 40 km. Terdiri atas endapan alluvial (sungai dan pantai) serta endapan gunungapi kuarter (lahar dan piroklastik). 2. Zona Bogor, menyebar mulai dari Rangkasbitung, Bogor, Purwakarta, Subang, Sumedang sampai Bumiayu (Majenang) dengan lebar + 40 km. Zona ini merupakan jalur antiklinorium lapisan-lapisan berumur Neogen yang terlipat kuat serta terintrusi secara intensif. Zona ini banyak dipengaruhi oleh aktifitas tektonik dengan arah tegasan berarah utara-selatan dan sumbu lipatan berarah barat-timur. Zona ini memiliki banyak intrusi yang berbentuk volcanic neck, stock, dan boss. 3. Zona Bandung, terletak di sebelah Selatan Zona Bogor, membentang dari Pelabuhanratu sebelah barat melalui lembah Cimandiri ke arah Sukabumi, Cianjur, Bandung, Garut dan lembah Citanduy. Zona ini merupakan puncak dari Geantiklin Jawa yang telah hancur, setelah pengangkatan pada Tersier Akhir, zona ini meluas ke arah barat sampai ke Banten yang disebut sebagai Zona Bandung Bagian Barat.

3 6 : Daerah Penelitian Gambar 2.2 Zona Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949) 4. Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat, merupakan dataran tinggi dengan puncak di sebelah selatan Bandung. Terletak memanjang dari Pelabuhan Ratu sampai Pulau Nusakambangan di sebelah selatan Segara Anakan dengan lebar + 50 km menyempit hingga beberapa kilometer di sebelah timur. Pegunungan Selatan seluruhnya merupakan sisi selatan geantiklin Jawa yang mengalami masa pengerutan yang melandai ke selatan menuju Samudera Hindia. Berdasarkan pembagian zona fisiografi Jawa Barat di atas, maka daerah Gunung Patuha, termasuk ke dalam Zona Selatan Jawa Barat.

4 Stratigrafi Regional Menurut Koesmono, Kusnama dan Suwarna (1992), formasi batuan yang menyusun daerah penelitian dari yang tertua hingga yang termuda (Tabel 2.1), di antaranya: 1. Endapan-endapan piroklastika yang tak terpisahkan (QTv) Merupakan satuan batuan tertua yang tersingkap di daerah penelitian, yaitu berumur Pliosen-Plistosen yang menindih tidak selaras Formasi Koleberes. Endapan Piroklastik berupa breksi andesit, breksi tuf dan tuf lapili. Endapan ini tersingkap di bagian barat daya dan tenggara daerah penelitian, sekitar 3% dari daerah penelitian terutupi oleh endapan ini. 2. Lahar dan Lava Gunung Kendeng (Ql (k,w)) Lahar dan Lava Gunung Kendeng berumur Plistosen menindih tidak selaras endapan piroklstik sebelumnya. Lahar dan Lava Gunung Kendeng ini berupa aliran lava yang berselingan dengan endapan lahar breksi andesit dan breksi tuf. Lahar dan Lava Gunung Kendeng ini tersingkap di utara bagian barat sampai tenggara daerah penelitian, sekitar 47% dari daerah penelitian tersusun oleh lahar dan lava ini. 3. Lava dan Lahar Gunung Patuha (Qv (p,l)) Lava dan Lahar Gunung Patuha berumur Holosen menindih tidak selaras Lahar dan Lava Gunung Kendeng. Lava dan Lahar Gunung Patuha ini berupa lava dan lahar andesit piroksin yang pejal dan berongga serta breksi lahar matriks tuf pasiran berwarna abu-abu.

5 8 Lava dan Lahar Gunung Patuha ini tersingkap di barat daya daerah penelitian, sekitar 50% daerah penelitian tersusun oleh lava dan lahar ini. Tabel 2.1 Stratigrafi daerah penelitian (Koesmono, Kusnama dan Suwarna, 1992)

6 Tektonik dan Struktur Geologi Regional Struktur geologi di pulau jawa pada umumnya berarah baratlaut-tenggara, beberapa tempat berarah baratlaut-timurlaut bahkan sebagian berarah barat-timur. Menurut Sujamto dan Roskamil (1975), pola tektonik di pulau jawa sangat dipengaruhi oleh gejala tumbukan antara lempeng Samudra Hindia ke bawah lempeng Asia Tenggara. Sebagai akibatnya terbentuklah rekahan-rekahan yang berkembang menjadi sesar-sesar karena adanya gerak vertikal. Menurut Van Bemmelen (1949), Jawa Barat telah mengalami 2 periode tektonik, yaitu: 1. Periode Tektonik Intra Miosen. Pada periode ini, berlangsung pembentukan geantiklin Jawa dibagian selatan yang menyebabkan timbulnya gaya-gaya ke arah utara sehingga terbentuk struktur lipatan dan sesar yang berumur Miosen tengah dan terutama di bagian tengah dan utara pulau Jawa. Sejalan dengan itu berlangsung pula terobosan intrusi dasit dan andesit hornblende. 2. Periode Tektonik Plio-Plistosen. Pada periode ini, terjadi proses perlipatan dan pensesaran yang diakibatkan oleh gaya-gaya yang mengarah ke utara dikarenakan oleh turunnya bagian utara Zona Bandung, sehingga menekan Zona Bogor dengan kuat. Tekanan ini menimbulkan struktur perlipatan dan sesar naik di bagian utara Zona Bogor yang merupakan suatu zona memanjang antara Subang dan Guung Ciremai, Zona sesar naik ini dikenal dengan Anjak Baribis.

7 10 Menurut Baumman (1973), Jawa Barat bagian baratdaya dibagi menjadi empat fase tektonik, yaitu: 1. Fase Tektonik Oligo-Miosen. Pada fase ini terjadi proses pengangkatan di daerah gunung Selatan Jawa Barat, membentuk struktur yang berarah barat-timur. Hasil kegiatan tektonik ini ditandai dengan adanya hubu ngan tidak selaras antara Formasi Walad dan Formasi jampang yang ada diatasnya. Dalam fase tektonik ini aktivitas vulkanisme cukup kuat, hal ini ditandai dengan banyaknya endapan-endapan yang mengandung material vulkanik. 2. Fase Tektonik Miosen Tengah. Pada fase ini terjadi suatu kegiatan tektonik yang cukup besar.pada bagian baratdaya Pulau Jawa mengalami pengangkatan dan perlipatan yang selanjutnya diikuti oleh pembentukan sesar-sesar. Arah perlipatan dan sesarnya barat-timur. Struktur yang terjadi ini mempengaruhi seluruh endapan batuan berumur Miosen Bawah. 3. Fase Tektonik Plio-Plistosen. Pada fase ini terjadi sutau kegiatan tektonik yang cukup besar, yang tejadi pada kala Pliosen Atas sampai Plistosen Bawah. Fase ini merupakan penyebab terjadinya beberapa wrench faults yang berarah timurlaut-baratdaya dan memotong struktur-struktur yang ada, namun tidak diketahui dengan pasti, apakah kegitan tektonik ini terjadi hingga zaman Kuarter. 4. Fase Tektonik Kuarter. Pada fase ini terjadi bersamaan dengan kegiatan vulkanisme kuarter dan hampir seluruh kepulauan indonesia terpengaruh oleh kegiatannya. Aktivitas tektonik ini membentuk struktur-struktur yang

8 11 aktif, yang sekarang berada di Pegunungan Selatan Jawa Barat. Gerak tektonik pada fase ini diperkirakan jauh lebih aktif dibandingkan fase sebelumnya. Situmorang (1976), menyatakan bahwa arah pergerakan relatif menimbulkan tekanan kompresi lateral berarah utara-selatan. Arah tekanan kompresi utama tersebut selanjutnya dipakai sebagai dasar untuk menganalisa pola struktur di Pulau Jawa (Gambar 2.3). Gambar 2.3 Peta Konsep Tektonik Sesar Ulir (Situmorang, dkk, 1976) Aktivitas Volkanisme dan Magmatisme Tatanan tektonik daerah penelitian secara umum termasuk ke dalam tatanan tektonik regional Jawa Barat, dan jalur magmatik yang menjadi bagian dari satuan tektonik regional di Jawa Barat dibagi menjadi beberapa tahap dalam aktivitasnya (Gambar 2.4) (Soeria, Atmadja, dkk., 1994).

9 12 Gambar 2.4 Jalur magmatik Tersier Pulau Jawa (Soeria, Atmadja, dkk., 1994) Zaman Kapur Peristiwa tektonik di Pulau Jawa pada Zaman Kapur ditandai dengan subduksi lempeng samudera Hindia-Australia yang menyusup ke bawah lempeng benua Eurasia. Jalur subduksi tersebut dicirikan oleh kehadiran batuan ofiolit berumur Kapur yang merupakan bagian dari jalur subduksi purba berupa melange dan sebagai Satuan Batuan Dasar Jawa. Berdasarkan pengukuran struktur kelurusan dan sesar yang banyak memotong komplek ofiolit, menunjukkan arah umum Timurlaut-Baratdaya atau sesuai dengan arah yang dinamakan arah Meratus. Sedangkan di Jawa Barat, batuan yang tersingkap berhubungan dengan jalur subduksi purba ini berumur Tersier (Eosen awal), berupa olistostrom yang terdapat di Ciletuh dan secara tektonik satuan ini berhubungan dengan batuan ofiolit yang terbreksikan dan mengalami serpentinisasi pada jalur -jalur persentuhannya.

10 13 Zaman Tersier Satuan tektonik pada Zaman Tersier yang berupa jalur magmatik menjadi dua perioda kegiatan, yaitu Eosen Akhir-Miosen Awal dan Miosen Akhir-Pliosen. Hasil kegiatan magmatik Eosen Akhir-Miosen Awal di Jawa Barat, tersingkap di Pangandaran-Cikatomas berupa aliran lava dan breksi lahar yang tergolong dalam Fm. Jampang yang berumur Oligosen-Miosen Awal. Satuan hasil kegiatan magmatik ini terdiri dari kumpulan batuan volkanik yang dinamakan Formasi Andesit Tua berumur Oligosen-Miosen Awal dan tersingkap hampir di sepanjang pantai selatan P.Jawa, kecuali di Jawa Tengah. Kegiatan magmatik Tersier yang lebih muda (Miosen Akhir-Pliosen) di Jawa Barat dapat diamati di komplek Pegunungan Sanggabuana (Cianjur), sebelah Barat Laut Kota Bandung. Di daerah ini diperkirakan sedikitnya ada tiga komplek batuan volkanik, yaitu komplek volkanik Sanggabuana, kubah lava di Jatiluhur, serta jenjang-jenjang volkanik dan sumbat lava di sebelah Selatan Sanggabuana. Petrografi batuannya berkisar antara basalt hingga andesit piroksen, dan susunan kimianya berkisar antara kalk-alkalin dan kalk-alkalin kaya Kalium. Beberapa singkapan batuan volkanik Tersier akhir di Jawa Barat juga dapat diamati di komplek Wayang Windu berupa lava andesit piroksen, dengan susunan kimianya berupa kalkalkalin, dan sejumlah aliran lava basalt di daerah Bayah (sebelah Barat Cikotok) dengan catatan umur Miosen Tengah, susunan kimiawinya menunjukkan hasil busur kepulauan toleitis. Berdasarkan hasil penelitian terhadap sebaran dan umur batuan volkanik Tersier lainnya di Jawa Barat, diperoleh gambaran bahwa jalur magma Tersier ini tersebar hampir meliputi seluruh bagian tengah Jawa Barat dan

11 14 mungkin sampai ke utara yang umurnya secara berangsur menjadi bertambah muda ke arah utara. Dengan demikian terdapat kemungkinan bahwa kegiatan vulkanisme selama zaman Tersier ini diawali dari bagian selatan Jawa (Miosen Awal) dan secara berangsur bergeser ke arah utara. Mengingat bahwa jalur subduksinya sendiri bergeser secara berangsur ke Selatan dimulai dari kedudukannya pada awal Tersier pada punggungan bawah permukaan laut di Selatan Jawa dan sekarang berada di sebelah Selatannya, maka dapat dipastikan bahwa sudut penunjaman pada jalur subduksi menjadi semakin landai. Zaman Kuarter Satuan tektonik lainnya berupa jalur magma yang membentuk volkanik berumur Kuarter, menempati bagian tengah Jawa-Barat atau dapat juga dikatakan berimpit dengan jalur magmatik Tersier muda. Jalur volkanik Kuarter sebagai jalur magmatik paling muda, memiliki potensi energi panasbumi yang hingga saat ini sebagian telah dimanfaatkan secara komersial. 2.2 Teori Dasar Energi panasbumi merupakan sumber panasbumi alami di dalam bumi yang terperangkap pada kedalaman tertentu dan dapat dimanfaatkan secara ekonomis. Energi panasbumi merupakan hasil interaksi batuan panas dan air yang mengalir di sekitar dan dapat diperbaharui.

12 Sistem Panasbumi Terdapat beberapa persyaratan terbentuknya sistem panasbumi yaitu: 1. Adanya sumber panasbumi berupa magma atau sisa panas dari batuan terobosan. 2. Persediaan air yang cukup dan terjadi sirkulasi dekat sumber panasbumi agar terbentuk uap air panas 3. Adanya batuan reservoir, berupa batuan porous yang dapat menyimpan uap air 4. Adanya batuan penudung (caprock) yang dapat menahan hilangnya uap air, berupa batuan kedap, biasanya batulempung teralterasi 5. Adanya rekahan sebagai media transport uap air panas 6. Adanya fluida panas dengan temperatur 45º-240º C Sistem panasbumi berdasarkan lokasi dan tatanan hidrologinya dibagi menjadi dua, yaitu (Browne, 1989): 1. Sistem panasbumi relief rendah Sistem panasbumi ini dicirikan oleh topografi yang relatif rendah yang memungkinkan fluida panasbumi dari dalam mencapai permukaan, dan keluar sebagai manifestasi seperti kolam air alkali korida dan endapan sinter silika. Air panas ini berasal dari air meteorik yang memiliki ph mendekati netral dan biasanya memiliki salinitas rendah. 2. Sistem panasbumi relief tinggi Sistem panasbumi ini sangat umum di Indonesia dimana tatanan busur kepulauan yang memungkinkan terbentuknya morfologi curam dan

13 16 volkanisme andesitik berpengaruh terhadap hidrologi yang berasosiasi dengan sistem panasbumi. Air alkali klorida dari dalam sangat jarang mencapai permukaan tanah, maka sebagai penggantinya, pada sistem panasbumi ini terdapat zona dua fasa dengan ketebalan beberapa ribu meter yang diekspresikan oleh manifestasi di permukaan seperti fumarol, steaming ground, dan solfatara. Air meteorik yang berasal dari air hujan yang jatuh pada lereng yang curam akan tercampur dan mengalami kondensasi dengan gas dan uap yang naik ke permukaan, membentuk satu atau lebih lapisan kondensat (condensate layer) pada level yang lebih tinggi daripada air alkali klorida yang berada di dalam. Fluida kondensat asam ini bisa juga bergerak secara lateral di bawah permukaan dan keluar sebagai mata air panas asam. Sistem hidrothermal berdasarkan siklus pembentukannya dibagi menjadi dua tipe (Ellis dan Mahon,1977), yaitu sistem berputar (cyclic system) dan sistem tersimpan (storage system). Sistem berputar (cyclic system), dimulai dari masuknya air (permukaan) terpanaskan oleh sumber panas di dalam berupa magma lalu muncul kembali ke permukaan sebagai akibat gravitasi sehingga memungkinkan adanya gejala artesis. Pada sistem ini terdapat lapisan batuan dengan permeabilitas yang baik sehingga memungkinkan sistem ini terus berputar. Sedangkan pada sistem tersimpan (storage system), air akan tersimpan dalam akuifer dan terpanaskan di tempat dan tidak menunjukkan gejala apapun di permukaan. Pada sistem tertutup terdapat lapisan batuan yang impermeabel sebagai lapisan penutup.

14 17 Pembentukan sistem berputar antara lain membutuhkan: 1. formasi batuan yang memungkinkan air mengalami sirkulasi 2. sumber panas 3. ketersediaan air yang cukup 4. ketersediaan waktu dan area permukaan untuk pertukaran panas sehingga memungkinkan air terpanaskan, 5. terdapat jalur air untuk naik ke permukaan Berdasarkan aktivitas volkanik, sistem berputar dibagi menjadi: 1. sistem temperatur tinggi yang berasosiasi dengan volkanisme resen 2. sistem temperatur tinggi zona non-volcanic pada aktivitas tektonik Kenozoik 3. sistem air hangat dekat zona aliranpanas normal Alterasi Hidrothermal Alterasi hidrothermal merupakan suatu proses interaksi fluida dan batuan yang berhubungan dengan respon mineral, tekstur, dan kimiawi batuan sebagai akibat dari perubahan temperatur dan kondisi kimiawi lingkungan melalui kehadiran air panas, uap, atau gas (Henley & Ellis, 1983, op. cit., Wohletz & Heiken, 1992). Proses alterasi hidrothermal meliputi proses penggantian (replacement) mineral, pelarutan (leaching), dan pengendapan mineral secara langsung yang mengisi urat ataupun rongga (vug). Pada proses ini, tipe dan intensitas alterasi hidrothermal yang sedang berlangsung dapat merefleksikan lingkungan baru bagi batuan reservoir.

15 18 Faktor-faktor utama yang mempengaruhi alterasi hidrothermal (Browne, 1989) yaitu: 1. Temperatur dan perbedaan temperatur antara host rock dan fluida yang hadir 2. Komposisi kimiawi fluida 3. Konsentrasi fluida hidrohermal 4. Komposisi host rock 5. Kinetika reaksi atau tingkat alterasi/ pengendapan mineral 6. Lamanya (durasi) interaksi antara fluida dan batuan 7. Permeabilitas Stabilitas mineral hidrothermal dinyatakan dalam fungsi temperatur terhadap ph fluida, dimana konsentrasi dan rasio unsur fluida serta tekanan dianggap konstan (Gambar 2.5). Corbett dan Leach (1998) membagi kelompok mineral berdasarkan tipe alterasinya menjadi enam grup mineral sebagai berikut: Grup Silika Merupakan grup mineral yang paling stabil pada fluida dengan ph rendah (biasanya <2) yang biasanya berasosiasi dengan sedikit fasa titanium-iron, seperti rutile. Dibawah kondisi asam yang ekstrim, opaline silika, kristobalit, dan tridimit akan bertemu di permukaan di atas level sistem hidrothermal klorida, atau pada temperatur <100º C (Leach, et. al., 1985). Pada ph fluida yang lebih tinggi, silika amorf akan terbentuk pada temperatur <100º C. Kuarsa hampir selalu hadir pada temperatur lebih tinggi, sedangkan kalsedon hadir pada temperatur menengah ( º C), khususnya pada kondisi pengendapa relatif cepat. Perbedaan tipe

16 19 Gambar 2.5 Mineral alterasi yang umumnya hadir pada sistem hidrothermal (Corbett dan Leach, 1998) fasa silika dipengaruhi kinetika pengendapannya, contohnya silika amorf yang terbentuk pada temperatur >200º C pada lingkungan pengendapan cepat.

17 20 Grup Alunit Pada kondisi fluida dengan ph >2, mineral alunit akan terbentuk bersama mineral silika pada kisaran temperatur yang panjang (Stoffregen, 1987, op. cit., Leach, 1994). Kehadiran alunit berasosiasi dengan andalusit pada temperatur tinggi (biasanya > º C). Lingkungan pembentukan mineral alunit dibagi berdasarkan bentuk kristalnya (Rye, et. al., 1992, op. cit., Leach, 1994), yaitu: 1. steam-heated alunite, 2. supergene alunite, 3. magmatic alunite, dan 4. magmatic vein/ breccia alunite. Grup Kaolin Mineral pada grup kaolin akan terbentuk pada kondisi fluida dengan ph sekitar 4, dan akan hadir bersamaan dengan mineral grup alunit pada kondisi fluida transisi (ph sekitar 3-4). Berdasarkan penelitian pada sistem geothermal di Filipina (Leach,et. al., 1985), diperoleh zonasi pembentukan mineal grup kaolin yang terbentuk seiring dengan peningkatan kedalaman dan temperatur. Kaolin terbentuk pada kedalaman dangkal pada temperatur rendah (< º C), dan pirofilit terbentuk pada kedalaman dan temperatur lebih besar (< º C). Dickite terbentuk pada zona transisi antara level pembentukan kaolin dan pirofilit. Diaspor hadir bersama alunit dan/ atau fasa grup kaolin, umumnya hadir pada zona silisifikasi. Grup Illit Mineral dari grup illit akan terbentuk pada kondisi fluida dengan ph 5-6, dan akan hadir bersamaan dengan mineral grup kaolin pada ph 4-5, tergantung dari temperatur dan salinitas fluida. Smektit hadir pada temperatur rendah (<100

18 21 150º C), illit-smektit hadir pada temperatur º C, illit pada temperatur º C, dan muskovit pada temperatur >250º C. Serisit yang merupakan muskovit halus (fine- grained muscovite) dapat berisi mineral illit, dan bertemu pada level transisi antara illit dan kristal muskovit yang lebih kasar. Mineral smektit yang hadir pada mineral lempung illit-smektit akan menurun secara progresif seiring dengan peningkatan temperatur sampai melebihi sekitar º C. Kristalinitas mineral illlit dan serisit akan meningkat seiring peningkatan temperatur, dan dapat diketahui dari hasil analisis X-RD. Grup Klorit Mineral klorit-karbonat dominan hadir pada kondisi fluida mendekati netral, dan akan hadir bersama mineal grup illit pada kondisi fluida dengan ph 5-6. Interlayer klorit-smektit hadir pada temperatur rendah, dan berubah menjadi klorit pada temperatur lebih tinggi. Grup Kalk-Silikat Mineral grup kalk-silikat terbentuk pada kondisi fluida dengan ph netralalkalin. Zeolit-klorit-karbonat terbentuk pada kondisi dingin, dan pembentukan epidot yang diikuti amfibol sekunder (aktinolit) terbentuk secara progresif pada temperatur lebih tinggi. Zeolit merupakan mineral yang sensitif terhadap temperatur, dan hydrous zeolite hadir mendominasi pada kondisi dingin (< º C), sedangkan hydrated zeolite seperti laumontit ( º C) dan wairakit ( º C) hadir secara progresif pada level lebih dalam dan temperatur lebih tinggi pada sistem hidrothermal. Mineral epidot hadir sebagai butiran awal kristal pada temperatur sekitar º C, dan mengkristal lebih sempurna pada

19 22 temperatur lebih tinggi (> º C). Amfibol sekunder (biasanya aktinolit) hadir pada sistem hidrothermal aktif dan stabil pada temperatur > º C. Biotit hadir mendominasi pada tubuh intrusi porfiri. Pada sistem aktif, biotit sekunder tumbuh pada temperatur > º C. Pembagian zona alterasi hidrothermal dilakukan untuk menentukan tipe alterasi pada tiap-tiap grup mineral. Corbett dan Leach (1998) membagi zona alterasi menjadi lima zona, yaitu: zona argilik lanjut ( advanced argillik), argilik (argilic), filik (phyllic), propilitik (propylitic), dan potasik (potassic). Zona Argilik Lanjut Terdiri dari mineral yang terbentuk pada kondisi ph rendah (<4) (contohnya: grup mineral silika dan alunit) dan hadir melimpah bersama grup mineral alunit dan kaolinit. Zona ini memiliki variasi temperatur tinggi rendah, dan mencakup ubahan sulfida tinggi (high sulphidation) dan ubahan asam sulfat. Zona Argilik Terdiri dari mineral yang terbentuk pada kondisi ph sekitar 4-6 dan temperatur rendah (> º C). Zona ini dicirikan oleh kehadiran mineral kaolin dan smektit yang melimpah, serta mineral illit/ illit-smektit yang kadang hadir, dan klorit yang kadang hadir. Zona Filik Mineral pada zona filik terbentuk pada kondisi ph sekitar 4-6 dan temperatur lebih tinggi (> º C). Zona ini dicirikan oleh kehadiran mineral serisit (atau muskovit), dan pada temperatur tinggi kadang hadir pirofilitandalusit, dan kadang hadir mineral klorit.

20 23 Zona Propilitik Mineral pada zona propilitik terbentuk pada kondisi fluida dengan ph netral- alkalin dan temperatur rendah-tinggi. Pada temperatur rendah (< º C) disebut sebagai zona sub-propilitik, dicirikan oleh kehadiran mineral zeolit yang menggantikan epidot. Pada temperatur lebih tinggi (> º C) disebut sebagai zona propilitik dalam (inner proyllitic zone), dicirikan oleh kehadiran mineral amfibol sekunder (biasanya aktinolit). Sedangkan mineral yang umumnya hadir pada semua zona propilitik yaitu albit atau K-felspar sekunder. Zona Potasik Mineral pada zona potasik terbentuk pada kondisi fluida dengan ph netralalkalin dan temperatur tinggi (> º C). Zona ini dicirikan oleh kehadiran mineral biotit, K-felspar, magnetit, ± aktinolit, ± klinopiroksen. Pada kondisi yang sama, mineralogi skarn dapat terbentuk jika batuan asal (host rock) berupa sedimen karbonatan yang akan membentuk zona mineral kalk-silikat seperti garnet, klinopiroksen, dan tremolit Intensitas Alterasi Derajat alterasi (alteration rank) digunakan sebagai indikasi empiris dari temperatur dan permeabilitas di lapangan gunungapi yang dapat ditunjukkan melalui studi kehadiran mineral sekunder. Intensitas merupakan istilah objektif yang ditujukan bagi batuan yang telah mengalami alterasi (per ubahan) dan dapat diukur secara kuantitatif (Browne, 1989). Intensitas alterasi dapat dilihat berdasarkan perhitungan rasio persentase mineral sekunder (SM) terhadap total mineral (TM) pada tiap kedalaman (tabel 2.2).

21 Tabel 2.2 Intensitas alterasi (Browne, 1989) 24

BAB IV ANALISIS ASPEK PANASBUMI

BAB IV ANALISIS ASPEK PANASBUMI BAB IV ANALISIS ASPEK PANASBUMI IV.1 Pendahuluan Energi panasbumi merupakan sumber panasbumi alami di dalam bumi yang terperangkap pada kedalaman tertentu dan dapat dimanfaatkan secara ekonomis. Energi

Lebih terperinci

BAB III ALTERASI HIDROTERMAL BAWAH PERMUKAAN

BAB III ALTERASI HIDROTERMAL BAWAH PERMUKAAN BAB III ALTERASI HIDROTERMAL BAWAH PERMUKAAN III.1 Teori Dasar III.1.1 Sistem Panasbumi Sistem geotermal merupakan sistem perpindahan panas dari sumber panas ke permukaan melalui proses konveksi air meteorik

Lebih terperinci

Bab III Karakteristik Alterasi Hidrotermal

Bab III Karakteristik Alterasi Hidrotermal Bab III Karakteristik Alterasi Hidrotermal III.1 Dasar Teori Alterasi hidrotermal adalah suatu proses yang terjadi akibat interaksi antara fluida panas dengan batuan samping yang dilaluinya, sehingga membentuk

Lebih terperinci

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL. 4.1 Teori Dasar

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL. 4.1 Teori Dasar BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL. Teori Dasar Alterasi hidrotermal adalah suatu proses yang terjadi akibat adanya interaksi antara fluida hidrotermal dengan batuan samping yang dilaluinya, sehingga membentuk

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, van Bemmelen (1949) membagi Jawa Barat menjadi 4 bagian yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan Jawa

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Menurut van Bemmelen (1949), fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Utara Jawa Barat, Zona Antiklinorium Bogor, Zona Gunungapi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi dan Geomorfologi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timur-barat ( van Bemmelen, 1949 ). Zona tersebut dari arah utara

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barattimur (van Bemmelen, 1949 dalam Martodjojo, 1984). Zona-zona ini dari utara ke

Lebih terperinci

BAB 2 Tatanan Geologi Regional

BAB 2 Tatanan Geologi Regional BAB 2 Tatanan Geologi Regional 2.1 Geologi Umum Jawa Barat 2.1.1 Fisiografi ZONA PUNGGUNGAN DEPRESI TENGAH Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949). Daerah Jawa Barat secara fisiografis

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum Jawa Barat dibagi menjadi 3 wilayah, yaitu wilayah utara, tengah, dan selatan. Wilayah selatan merupakan dataran tinggi dan pantai, wilayah tengah merupakan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Indonesia merupakan tempat pertemuan antara tiga lempeng, yaitu Lempeng Eurasia yang relatif diam, Lempeng Pasifik Barat yang relatif bergerak ke arah baratlaut, dan Lempeng Hindia

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.2 Fisiografi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 4 zona (Gambar 2.1), pembagian zona tersebut berdasarkan sifat-sifat morfologi dan tektoniknya (van

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona fisiografi yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949) (Gambar 2.1). Zona-zona tersebut dari utara ke selatan yaitu:

Lebih terperinci

BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL

BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL 4.1 Pengertian Ubahan Hidrotermal Ubahan hidrotermal adalah proses yang kompleks, meliputi perubahan secara mineralogi, kimia, dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi larutan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum wilayah utara Jawa Barat merupakan daerah dataran rendah, sedangkan kawasan selatan merupakan bukit-bukit dengan sedikit pantai serta dataran tinggi.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 1 BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di daerah Subang, Jawa Barat, untuk peta lokasi daerah penelitiannya dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Peta Lokasi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timurbarat (Van Bemmelen, 1949). Zona tersebut dari arah utara ke selatan meliputi: 1. Zona

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Daerah Jawa Barat memiliki beberapa zona fisiografi akibat pengaruh dari aktifitas geologi. Tiap-tiap zona tersebut dapat dibedakan berdasarkan morfologi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi empat bagian besar (van Bemmelen, 1949): Dataran Pantai Jakarta (Coastal Plain of Batavia), Zona Bogor (Bogor Zone),

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL 3.1 Fisiografi Jawa Barat Van Bemmelen (1949) membagi zona fisiografi Jawa Barat menjadi empat bagian (Gambar 3.1). Pembagian zona yang didasarkan pada aspek-aspek fisiografi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Van Bemmelen (1949) secara fisiografi membagi Jawa Barat menjadi 6 zona berarah barat-timur (Gambar 2.1) yaitu: Gambar 2.1. Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen,

Lebih terperinci

Bab IV Sistem Panas Bumi

Bab IV Sistem Panas Bumi Bab IV Sistem Panas Bumi IV.1 Dasar Teori Berdasarkan fluida yang mengisi reservoir, sistem panas bumi dibedakan menjadi 2, yaitu sistem panas bumi dominasi air dan sistem panasbumi dominasi uap. 1. Sistem

Lebih terperinci

(25-50%) terubah tetapi tekstur asalnya masih ada.

(25-50%) terubah tetapi tekstur asalnya masih ada. ` BAB IV ALTERASI HIDROTHERMAL 4.1 Pendahuluan Mineral alterasi hidrotermal terbentuk oleh adanya interaksi antara fluida panas dan batuan pada suatu sistem hidrotermal. Oleh karena itu, mineral alterasi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timur-barat (van Bemmelen, 1949). Zona tersebut dari arah utara ke selatan meliputi: 1. Zona

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 GEOGRAFIS Jawa bagian barat secara geografis terletak diantara 105 0 00-108 0 65 BT dan 5 0 50 8 0 00 LS dengan batas-batas wilayahnya sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat (Gambar 2.1), berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya dibagi menjadi empat bagian (Van Bemmelen, 1949 op. cit. Martodjojo, 1984),

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut van Bemmelen (1949), secara fisiografis daerah Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Jawa Barat Utara, Zona Antiklinorium Bogor,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografis Regional Secara fisiografis, Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Barat menjadi 4 zona, yaitu Zona Dataran Pantai Jakarta, Zona Antiklinorium Bandung, Zona Depresi Bandung,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi 4 bagian besar zona fisiografi (Gambar II.1) yaitu: Zona Bogor, Zona Bandung, Dataran Pantai Jakarta dan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Indonesia merupakan tempat pertemuan antara tiga lempeng besar, yaitu Lempeng Eurasia yang relatif diam, Lempeng Pasifik yang relatif bergerak ke arah Barat Laut, dan Lempeng Hindia

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI REGIONAL Jawa barat dibagi atas beberapa zona fisiografi yang dapat dibedakan satu sama lain berdasarkan aspek geologi dan struktur geologinya.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografi, Pulau Jawa berada dalam busur kepulauan yang berkaitan dengan kegiatan subduksi Lempeng Indo-Australia dibawah Lempeng Eurasia dan terjadinya jalur

Lebih terperinci

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949)

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949) BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat menurut van Bemmelen (1949) terbagi menjadi enam zona (Gambar 2.1), yaitu : 1. Zona Gunungapi Kuarter 2. Zona Dataran Aluvial Jawa Barat Utara

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Pada dasarnya Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi empat bagian (Gambar 2.1) berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya, yaitu: a.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat oleh van Bemmelen (1949) pada dasarnya dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI REGIONAL Kabupaten Brebes terletak di Jawa Tengah bagian baratlaut. Fisiografi Jawa Tengah berdasarkan Bemmelen (1949) terbagi atas 6 zona (Gambar 2.1), yaitu: 1.

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI REGIONAL

BAB II TATANAN GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI REGIONAL BAB II TATANAN GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI REGIONAL II.1 Tektonik Regional Daerah penelitian terletak di Pulau Jawa yang merupakan bagian dari sistem busur kepulauan Sunda. Sistem busur kepulauan ini merupakan

Lebih terperinci

III.4.1 Kuarsa sekunder dan kalsedon

III.4.1 Kuarsa sekunder dan kalsedon III.4.1 Kuarsa sekunder dan kalsedon Kuarsa sekunder adalah mineral silika yang memiliki temperatur pembentukan relatif panjang, berkisar 180 0 C hingga lebih dari 300 0 C (Reyes, 1990). Kehadiran kuarsa

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Regional Jawa Tengah berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Barat di sebelah barat, dan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI JAWA BARAT Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi 4 zona, yaitu: 1. Dataran Pantai Jakarta. 2. Zona Bogor 3. Zona Depresi Tengah Jawa Barat ( Zona

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Tengah oleh van Bemmelen, (1949) dibagi menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: Dataran Aluvial Jawa Utara, Gunungapi Kuarter,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Kabupaten Brebes terletak di Jawa Tengah bagian barat. Fisiografi Jawa Tengah berdasarkan Van Bemmelen (1949) terbagi atas 6 zona (Gambar 2.1), yaitu: 1.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Propinsi Jawa Tengah secara geografis terletak diantara 108 30-111 30 BT dan 5 40-8 30 LS dengan batas batas sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah selatan

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB II TATANAN GEOLOGI BAB II TATANAN GEOLOGI 2.1 Geologi Regional 2.1.1 Fisiografi dan Morfologi Batu Hijau Pulau Sumbawa bagian baratdaya memiliki tipe endapan porfiri Cu-Au yang terletak di daerah Batu Hijau. Pulau Sumbawa

Lebih terperinci

BAB II Geologi Regional

BAB II Geologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat menurut van Bemmelen (1949) terbagi menjadi empat zona, yaitu : 1. Zona Dataran Pantai Jakarta (Coastal Plains of Batavia) 2. Zona Bogor (Bogor

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Alterasi dan Endapan Hidrotermal Alterasi hidrotermal merupakan suatu proses yang kompleks yang melibatkan perubahan mineralogi, tekstur, dan komposisi kimia batuan. Proses tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada aspek geologi serta proses sedimentasi yang terjadi pada daerah penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada aspek geologi serta proses sedimentasi yang terjadi pada daerah penelitian. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tugas Akhir mahasiswa merupakan suatu tahap akhir yang wajib ditempuh untuk mendapatkan gelar kesarjanaan strata satu di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi Berdasarkan zona fisiografi wilayah Jawa Barat dibagi menjadi 4 zona (van Bemmelen, 1949), yang diuraikan sebagai berikut: UZona Dataran Pantai Jakarta Zona ini

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Lampung Selatan tepatnya secara geografis, terletak antara 5 o 5'13,535''-

II. TINJAUAN PUSTAKA. Lampung Selatan tepatnya secara geografis, terletak antara 5 o 5'13,535''- 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Lokasi Penelitian Tempat penelitian secara administratif terletak di Gunung Rajabasa, Kalianda, Lampung Selatan tepatnya secara geografis, terletak antara 5 o 5'13,535''-

Lebih terperinci

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta, BAB II Geomorfologi II.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat telah dilakukan penelitian oleh Van Bemmelen sehingga dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949 op.cit Martodjojo,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi enam zona berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949). Zona-zona ini (Gambar 2.1) dari utara ke selatan yaitu: Gambar 2.1. Peta

Lebih terperinci

BAB V SEJARAH GEOLOGI

BAB V SEJARAH GEOLOGI BAB V SEJARAH GEOLOGI Berdasarkan data-data geologi primer yang meliputi data lapangan, dan data sekunder yang terdiri dari ciri litologi, umur dan lingkungan pengendapan, serta pola struktur dan mekanisme

Lebih terperinci

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL 4.1. Tinjauan umum Ubahan Hidrothermal merupakan proses yang kompleks, meliputi perubahan secara mineralogi, kimia dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi larutan hidrotermal

Lebih terperinci

BAB III ALTERASI HIDROTERMAL

BAB III ALTERASI HIDROTERMAL BAB III ALTERASI HIDROTERMAL 3.1 Tinjauan Umum White (1996) mendefinisikan alterasi hidrotermal adalah perubahan mineralogi dan komposisi yang terjadi pada batuan ketika batuan berinteraksi dengan larutan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 GEOGRAFIS Propinsi Jawa Barat secara geografis terletak diantara 105 00 00-109 00 00 BT dan 5 50 00-7 50 00 LS. Secara administratif, Jawa Barat di bagian utara berbatasan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kaolin merupakan massa batuan yang tersusun dari mineral lempung dengan kandungan besi yang rendah, memiliki komposisi hidrous aluminium silikat (Al2O3.2SiO2.2H2O)

Lebih terperinci

BAB V SINTESIS GEOLOGI

BAB V SINTESIS GEOLOGI BAB V INTEI GEOLOGI intesis geologi merupakan kesimpulan suatu kerangka ruang dan waktu yang berkesinambungan mengenai sejarah geologi. Dalam merumuskan sintesis geologi, diperlukan semua data primer maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembentuk tanah yang intensif adalah proses alterasi pada daerah panasbumi.

BAB I PENDAHULUAN. pembentuk tanah yang intensif adalah proses alterasi pada daerah panasbumi. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya tanah longsor adalah tingkat ketebalan tanah yang tinggi dengan kekuatan antar material yang rendah. Salah satu pembentuk

Lebih terperinci

BAB 2 TATANAN GEOLOGI

BAB 2 TATANAN GEOLOGI BAB 2 TATANAN GEOLOGI Secara administratif daerah penelitian termasuk ke dalam empat wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Sinjai Timur, Sinjai Selatan, Sinjai Tengah, dan Sinjai Utara, dan temasuk dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah Jawa Barat. Secara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah Jawa Barat. Secara BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lokasi Daerah Penelitian Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah Jawa Barat. Secara geografis, daerah penelitian terletak dalam selang koordinat: 6.26-6.81

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI REGIONAL Berdasarkan kesamaan morfologi dan tektonik, Van Bemmelen (1949) membagi daerah Jawa Timur dan Madura menjadi tujuh zona, antara lain: 1. Gunungapi Kuarter

Lebih terperinci

BAB IV SISTEM PANAS BUMI DAN GEOKIMIA AIR

BAB IV SISTEM PANAS BUMI DAN GEOKIMIA AIR BAB IV SISTEM PANAS BUMI DAN GEOKIMIA AIR 4.1 Sistem Panas Bumi Secara Umum Menurut Hochstein dan Browne (2000), sistem panas bumi adalah istilah umum yang menggambarkan transfer panas alami pada volume

Lebih terperinci

STUDI ALTERASI DAN MINERALISASI DAERAH TAMBAKASRI DAN SEKITARNYA, KECAMATAN SUMBERMANJING WETAN KABUPATEN MALANG, PROVINSI JAWA TIMUR

STUDI ALTERASI DAN MINERALISASI DAERAH TAMBAKASRI DAN SEKITARNYA, KECAMATAN SUMBERMANJING WETAN KABUPATEN MALANG, PROVINSI JAWA TIMUR STUDI ALTERASI DAN MINERALISASI DAERAH TAMBAKASRI DAN SEKITARNYA, KECAMATAN SUMBERMANJING WETAN KABUPATEN MALANG, PROVINSI JAWA TIMUR ABSTRAK Sapto Heru Yuwanto (1), Lia Solichah (2) Jurusan Teknik Geologi

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, menurut van Bemmelen (1949) Jawa Timur dapat dibagi menjadi 7 satuan fisiografi (Gambar 2), satuan tersebut dari selatan ke utara adalah: Pegunungan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Daerah penelitian berada di Pulau Jawa bagian barat yang secara fisiografi menurut hasil penelitian van Bemmelen (1949), dibagi menjadi enam zona fisiografi

Lebih terperinci

STUDI UBAHAN HIDROTERMAL

STUDI UBAHAN HIDROTERMAL BAB IV STUDI UBAHAN HIDROTERMAL 4.1 TEORI DASAR Ubahan hidrotermal merupakan proses yang kompleks, meliputi perubahan secara mineralogi, kimia, dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi larutan hidrotermal

Lebih terperinci

LABORATORIUM GEOLOGI OPTIK DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK - UNIVERSITAS GADJAH MADA

LABORATORIUM GEOLOGI OPTIK DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK - UNIVERSITAS GADJAH MADA PRAKTIKUM PETROGRAFI BORANG MATERI ACARA: PETROGRAFI BATUAN ALTERASI Asisten Acara: 1... 2.... 3.... 4.... Nama Praktikan :... NIM :... Borang ini ditujukan kepada praktikan guna mempermudah pemahaman

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Cekungan Jawa Barat Utara merupakan cekungan sedimen Tersier yang terletak tepat di bagian barat laut Pulau Jawa (Gambar 2.1). Cekungan ini memiliki penyebaran dari wilayah daratan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi Menurut van Bemmelen (1949), Jawa Timur dibagi menjadi enam zona fisiografi dengan urutan dari utara ke selatan sebagai berikut (Gambar 2.1) : Dataran Aluvial Jawa

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Daerah penelitian hanya berada pada area penambangan PT. Newmont Nusa Tenggara dan sedikit di bagian peripheral area tersebut, seluas 14 km 2. Dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cekungan Bogor merupakan cekungan yang terisi oleh endapan gravitasi yang memanjang di tengah-tengah Provinsi Jawa Barat. Cekungan ini juga merupakan salah satu kunci

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertipe komposit strato (Schmincke, 2004; Sigurdsson, 2000; Wilson, 1989).

BAB I PENDAHULUAN. bertipe komposit strato (Schmincke, 2004; Sigurdsson, 2000; Wilson, 1989). BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Dinamika aktivitas magmatik di zona subduksi menghasilkan gunung api bertipe komposit strato (Schmincke, 2004; Sigurdsson, 2000; Wilson, 1989). Meskipun hanya mewakili

Lebih terperinci

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya)

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya) Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya) 3.2.2.1 Penyebaran Satuan batuan ini menempati 2% luas keseluruhan dari daerah

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 Struktur Regional Terdapat 4 pola struktur yang dominan terdapat di Pulau Jawa (Martodjojo, 1984) (gambar 2.1), yaitu : Pola Meratus, yang berarah Timurlaut-Baratdaya. Pola Meratus

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB II TATANAN GEOLOGI TATANAN GEOLOGI BAB II TATANAN GEOLOGI II.1 Struktur Regional Berdasarkan peta geologi regional (Alzwar et al., 1992), struktur yg berkembang di daerah sumur-sumur penelitian berarah timurlaut-baratdaya

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografi Regional Secara geografis, Propinsi Jawa Tengah terletak di antara 108 30-111 30 BT dan 5 40-8 30 LS dengan luas wilayah 32.548 km² (25% dari luas Pulau Jawa). Jawa

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

SISTEM PANASBUMI: KOMPONEN DAN KLASIFIKASINYA. [Bagian dari Proposal Pengajuan Tugas Akhir]

SISTEM PANASBUMI: KOMPONEN DAN KLASIFIKASINYA. [Bagian dari Proposal Pengajuan Tugas Akhir] SISTEM PANASBUMI: KOMPONEN DAN KLASIFIKASINYA [Bagian dari Proposal Pengajuan Tugas Akhir] III.1. Komponen Sistem Panasbumi Menurut Goff & Janik (2000) komponen sistem panasbumi yang lengkap terdiri dari

Lebih terperinci

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Foto 3.7. Singkapan Batupasir Batulempung A. SD 15 B. SD 11 C. STG 7 Struktur sedimen laminasi sejajar D. STG 3 Struktur sedimen Graded Bedding 3.2.2.3 Umur Satuan ini memiliki umur N6 N7 zonasi Blow (1969)

Lebih terperinci

BAB V ALTERASI PERMUKAAN DAERAH PENELITIAN

BAB V ALTERASI PERMUKAAN DAERAH PENELITIAN BAB V ALTERASI PERMUKAAN DAERAH PENELITIAN 5.1 Tinjauan Umum Alterasi hidrotermal adalah suatu proses yang terjadi sebagai akibat dari adanya interaksi antara batuan dengan fluida hidrotermal. Proses yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Geologi Regional 2. 1. 1 Fisiografi Regional Menurut van Bemmelen (1949), secara fisiografis daerah Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Jawa Barat

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geomorfologi Secara fisiografis, Jawa Tengah dibagi menjadi enam satuan, yaitu: Satuan Gunungapi Kuarter, Dataran Aluvial Jawa Utara, Antiklinorium Bogor - Serayu Utara

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: 1. Zona Paparan Sunda 2. Zona Dataran Rendah dan Berbukit 3. Zona Pegunungan

Lebih terperinci

BAB VI DISKUSI. Dewi Prihatini ( ) 46

BAB VI DISKUSI. Dewi Prihatini ( ) 46 BAB VI DISKUSI 6.1 Evolusi Fluida Hidrotermal Alterasi hidrotermal terbentuk akibat adanya fluida hidrotermal yang berinteraksi dengan batuan yang dilewatinya pada kondisi fisika dan kimia tertentu (Pirajno,

Lebih terperinci

BAB 4 ALTERASI HIDROTERMAL

BAB 4 ALTERASI HIDROTERMAL 4.1 TEORI DASAR BAB 4 ALTERASI HIDROTERMAL Alterasi adalah suatu proses yang di dalamnya terjadi perubahan kimia, mineral, dan tekstur karena berinteraksi dengan fluida cair panas (hidrotermal) yang dikontrol

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lokasi Penelitian Secara geografis, kabupaten Ngada terletak di antara 120 48 36 BT - 121 11 7 BT dan 8 20 32 LS - 8 57 25 LS. Dengan batas wilayah Utara adalah Laut Flores,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: 1. Zona Jajaran Barisan 2. Zona Semangko 3. Pegunugan Tigapuluh 4. Kepulauan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Pulau Sumatera terletak di sepanjang tepi baratdaya dari Sundaland (tanah Sunda), perluasan Lempeng Eurasia yang berupa daratan Asia Tenggara dan merupakan bagian dari Busur Sunda.

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi 4 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lokasi Penelitian Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi Rembang yang ditunjukan oleh Gambar 2. Gambar 2. Lokasi penelitian masuk dalam Fisiografi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 9 II.1 Fisiografi dan Morfologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL Area Penelitian Gambar 2-1 Pembagian zona fisiografi P. Sumatera (disederhanakan dari Van Bemmelen,1949) Pulau Sumatera merupakan salah

Lebih terperinci

Bab II Tinjauan Pustaka

Bab II Tinjauan Pustaka Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Tektonik Sumatera Proses subduksi lempeng Hindia-Australia menghasilkan peregangan kerak di bagian bawah cekungan dan mengakibatkan munculnya konveksi panas ke atas. Diapir-diapir

Lebih terperinci

BAB III ALTERASI HIDROTHERMAL

BAB III ALTERASI HIDROTHERMAL . Foto 3.8. a) dan b) Foto inti bor pada sumur BCAN 4 dan sampel breksi tuf (sampel WID-3, sumur bor BCAN-1A) yang telah mengalami ubahan zona kaolinit montmorilonit siderit. c) Mineral lempung hadir mengubah

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL A. Fisiografi yaitu: Jawa Bagian Barat terbagi menjadi 4 zona fisiografi menurut van Bemmelen (1949), 1. Zona Dataran Aluvial Utara Jawa 2. Zona Antiklinorium Bogor atau Zona Bogor

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL II.1 FISIOGRAFI DAN MORFOLOGI Secara fisiografis, daerah Jawa Tengah dibagi menjadi lima zona yang berarah timur-barat (van Bemmelen, 1949). Zona tersebut dari arah utara

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB II TATANAN GEOLOGI BAB II TATANAN GEOLOGI 2.1 Geologi Regional 2.1.1 Fisiografi dan Morfologi Batu Hijau Endapan mineral Batu Hijau yang terletak di Pulau Sumbawa bagian baratdaya merupakan endapan porfiri Cu-Au. Pulau Sumbawa

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Regional Secara geografis Propinsi Jawa Tengah terletak di antara 108 30-111 30 BT dan 5 40-8 30 LS dengan luas wilayah 32.548 km² (25% dari luas Pulau Jawa). Adapun

Lebih terperinci