BAB III KARAKTERISTIK KONSELOR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III KARAKTERISTIK KONSELOR"

Transkripsi

1 BAB III KARAKTERISTIK KONSELOR A. KONSELOR SEBAGAI PRIBADI Di dalam kegiatan konseling, seorang konselor berhadapan dan bertatapan langsung dengan orang lain (klien). Dua pribadi saling bertemu dan bertatap muka, maka terjadi interaksi yang melibatkan faktor-faktor kognitif maupun afektif. Yang seorang ingin memberikan sesuatu dan yang seorang lagi ingin memperoleh sesuatu. Dalam memberikan maupun menerima, keduanya sangat besar dipengaruhi konstelasi kepribadian masing-masing yang amat pribadi atau oleh faktor manusianya. (Gunarsa, 1996) Stewart (dalam Gunarsa, 1996) mengemukakan bahwa salah satu ciri dasar untuk menjadi seorang effective helper adalah liking people. Menyenangi orang lain akan memberikan dampak tertentu dalam interaksi yang terjadi, antara lain berkurangnya ketegangan sehingga menjamin kelancaran interaksi yang terjadi. Apabila kelancaran interaksi dapat dicapai, maka tujuan pertemuan akan mudah terpenuhi. Konselor dapat melakukan kegiatan konseling dan klien dapat memperoleh sesuatu sesuai dengan apa yang dibutuhkan dan dikehendaki. Gunarsa (1996) mengemukakan bahwa konselor sebagai pribadi dengan macam-macam konstelasi dan gambaran kepribadiannya, mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan dalam melakukan kegiatan konseling, khususnya kegiatan konseling sebagai profesi. Lebih lanjut, mengenai pentingnya konselor sebagai pribadi ditekankan oleh Comb, et al (1969), Corey (1991) dan Rollo May (1967). Comb, et al (1969) menyimpulkan dari hasil pebelitiannya bahwa: teknik yang banyak dilakukan dalam konseling adalah diri sendiri sebagai alat (self as instrument) yaitu pribadi konselor menjadi fasilitator untuk pertumbuhan yang positif dari klien. Hal yang sama ditekankan juga oleh Corey (1991) bahwa: alat yang paling penting adalah dirinya sendiri sebagai pribadi (yourself as a person). Corey mengemukakan bahwa para konselor hendaknya mengalami sebagai klien pada suatu saat, karena pengenalan terhadap diri sendiri dapat menaikkan tingkatan kesadaran diri (self awareness). Rollo May (1967) menyatakan bahwa 36

2 hal yang penting bagi seseorang agar dapat menjadi konselor yang baik adalah dirinya sendiri ( The personal equation is all-important in caounseling ). George & Cristiani (dalam Gunarsa,1996) mengemukakan ada 3 hal penting mempengaruhi kegiatan konseling sebagai kegiatan profesional, yaitu: 1. kualitas pribadi 2. pengetahuan profesi 3. keterampilan khusus konseling Ketiganya tidak berdiri sendiri tetapi saling pengaruh-mempengaruhi dan mempengaruhi pula efektifitas sesuatu kegiatan konseling dilakukan. Gunarsa (1996) juga mengemukakan bahwa konselor sebagai pribadi dengan ciri kepribadiannya yang mempengaruhi kegiatannya sebagai konselor yang professional, telah lama diperhatikan oleh para ahli dalam bidang konseling, termasuk juga oleh organisasinya. Salah satu organisasi yang telah memperhatikan hal ini adalah Ikatan Nasional Bimbingan Kejuruan (National Vocational Guidance Association) yang pada tahun 1949 mengemukakan ciri umum yang perlu dimiliki seorang konselor adalah: 1. menaruh minat yang mendalam terhadap orang lain dan penyabar 2. peka terhadap sikap dan tindakan orang lain 3. memiliki kehidupan emosi yang stabil & objektif 4. memiliki kemampuan untuk dipercaya orang lain 5. menghargai fakta Kemudian pada tahun 1964, Ikatan Konselor untuk Konseling dan Supervisi ( Association for Counseling Education & Supervision) menunjukkan bahwa seorang konselor harus memiliki sekelompok kualitas dasar kepribadian sebagai berikut: 1. percaya kepada setiap orang 2. menghayati nilai-nilai kemanusiaan setiap individu 3. peka terhadap dunia sekelilingnya 4. sikap keterbukaan 5. memahami diri sendiri 6. menghayati profesionalitas 37

3 George & Cristiani (dalam Gunarsa, 1996) mengintisarikan ciri-ciri konselor yang efektif sebagai berikut: 1. Membuka diri dan menerima pengalaman sendiri Keterbukaan di sini diartikan sebagai keterbukaan terhadap diri sendiri. Menerima pengalaman diri sendiri diartikan sebagai menerima berbagai kehidupan perasaan sebagaimana yang dirasakan dan dialami sebagaimana adanya, agar dapat menguasai perilakunya.dengan menyadari reaksi-reaksi emosinya sendiri, seseorang dapat memilih hal-hal yang perlu dilakukan dan tidak mengikuti perasaan yg mendorong melakukan sesuatu perbuatan tanpa disadari. 2. Menyadari akan nilai dan pendapatnya sendiri Artinya mengerti apa yang penting bagi dirinya dan dapat menentukan norma-norma untuk kehidupannya. Ia dapat memutuskan dan menentukan perilaku yang sesuai dengan nilai yg dianutnya. Dapat menemukan peranan yang berarti dalam kehidupannya yang memberinya petunjuk untuk berhubungan dengan orang lain dan lingkungan di sekitarnya. Ia juga dapat menghindari perilaku yang tidak efektif tetapi sebaliknya dapat melibatkan dalam perilaku yang positif dan bermanfaat. 3. Dapat membina hubungan hangat dan mendalam dengan orang lain Dapat menghargai orang lain sebagai orang lain dengan kehidupan perasaan dan pendapatnya. Dapat memperlihatkan kehangatan terhadap orang lain tanpa harus khawatir akan memperoleh reaksi negatif dari orang lain, tanpa terlibat terlalu jauh artinya masih ada jarak yang harus dipertahankan yaitu tidak menimbulkan salah tafsir bahwa ia mau berbuat dan berkorban apa saja buat orang lain. 4. Dapat membiarkan diri sendiri dilihat orang lain sebagaimana adanya Ciri ini diperlihatkan dengan sikap wajar. Jika seseorang dapat memahami dan menerima kehidupan perasaannya sesuai dengan pengalamannya, ia tidak perlu memaksakan perasaannya kepada orang lain, juga tidak perlu menutupi diri sehingga orang lain melakukan sesuatu penilaian tertentu. Hal ini berarti juga mau menjadi diri sendiri dan mau pula mengekspresikan diri melalui perkataan, perasaan dan perilakunya 38

4 5. Menerima tanggung jawab pribadi dari perilakunya sendiri Artinya mampu mengatasi kegagalan dan kelemahan, tidak menolak kegagalan dan tidak menyalahkan orang lain atas kegagalannya. Berarti juga dapat menerima kritik dengan reaksi baik dan tidak sebaliknya justru mempertahankan & melindungi diri 6. Mengembangkan tingkatan aspirasi yang realistik Artinya dapat menilai seberapa jauh sesuatu tujuan ditempatkan sesuai dengan kenyataan atau keadaan yang dimiliki untuk dapat mencapainya Corey juga mengemukakan daftar karakteristik kepribadian sebagai konselor yang efektif. Diakuinya bahwa daftar karakteristik kerpibadian tersebut bukan merupakan daftar yang kaku, yang harus dimiliki atau dicontoh oleh para terapis/konselor, namun sebagai rangsangan untuk memeriksa diri sendiri mengenai pendapatnya bagaimana gambaran seseorang yang dapat membuat sesuatu yang sangat berbeda di dalam kehidupan orang lain. Adapun daftar karakteristik kepribadian tersebut adalah: 1. memiliki identitas 2. menghargai diri sendiri 3. bisa mengenal & menerima kekuatannnya sendiri 4. terbuka akan perubahan 5. memperluas kesadaran terhadap diri sendiri dan orang lain 6. bersedia dan mentoleransikan keraguan-raguan 7. mengembangkan gaya konselingnya sendiri 8. bisa mengalami dan memahami dunianya klien sekalipun empati bukan mau memiliki 9. merasa bebas dan pilihan-pilihannya berorientasi ke kehidupan 10. ia adalah ia sebagaimana adanya, tulus dan jujur 11. memiliki sentuhan humor 12. bisa berbuat salah dan bersedia mengakui kesalahannya 13. pada umumnya hidup dalam waktu sekarang 14. menghargai pengaruh kebudayaan 15. mampu menciptakan kembali diri sendiri 39

5 16. menentukan pilihan yang sesuai untuk hidupnya 17. memiliki minat yang tulus terhadap kesejahteraan orang lain (penjelasan baca dalam buku yang berjudul Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi karangan Gerald Corey) Latipun juga mengungkap bahwa untuk menopang peran sebagai konselor yang efektif, dia perlu mengetahui apa dan siapa "pribadinya". Dimick (1970) mengemukakan bahwa kesadaran konselor terhadap personalnya akan menguntungkan klien. Dimensi personal yang harus disadari konselor dan perlu dimiliki, secara singkat sebagai berikut. a. Spontanitas Sikap Spontanitas (spontanity) konselor merupakan aspek yang sangat penting dalam hubungan konseling. Spontanitas khususnya menyangkut kemampuan konselor untuk merespon peristiwa ke situasi yang sebagaimana dilihatnya dalam hubungan konseling. Kegiatan konseling sangat banyak menuntut kemampuan bersikap ini. Jika dibandingkan dengan kegiatan belajar mengajar, hubungan konseling tidak dapat direncanakan sebelumnya. Konselor tidak dapat membuat rencana A, B, C, dan seterusnya, tetapi perlu kesiapan untuk berinteraksi dan secara spontan merespon apa yang diperolehnya sepanjang hubungan konseling. b. Fleksibelitas Fleksibelitas (flexibility) adalah kemampuan dan kemauan konselor untuk mengubah, memodifikasi, dan menetapkan cara-cara yang digunakan jika keadaan mengharuskan. Fleksibelitas mencakup spontanitas dan kreativitas, Fleksibelitas juga tidak terpisahkan dari keduanya. Dengan sikap fleksibelitas ini klien akan mampu merealisasikan potensinya dan ini sangat penting dalam hubungan konseling. 40

6 c. Konsentrasi Dalam hubungan konseling membutuhkan kemampuan untuk berkonsentrasi (concentration). Kepedulian konselor kepada kliennya di antaranya ditunjukkan dengan kemampuan berkonsentrasi ini. Konsentrasi berarti keadaan konselor untuk berada "di sini" dan "saat ini". Dia bebas dari berbagai hambatan dan secara total memfokuskan pada perhatiannya kepada klien. Konsentrasi mencakup dua dimensi, yaitu verbal dan non verbal. Konsentrasi secara verbal berarti konselor mendengarkan apa isi verbalisasi klien, cara verbalisasi itu diungkapkan dan makna bagi klien (personal meaning) yang ada di balik kata-kata uang diungkapkan. Sedangkan konsentrasi secara non verbal adalah konselor memperhatikan seluruh gerakan, ekspresi, intonasi, dan perilaku yang lainnya yang ditunjukkan oleh klien dan kesemuanya berhubungan dengan pribadi klien. d. Keterbukaan Keterbukaan (openness) adalah kemampuan konselor untuk mendengarkan dan menerima nilai-nilai orang lain, tanpa melakukan distorsi dalam menemukan kebutuhannya sendiri. Keterbukaan bukan berarti konselor itu bebas nilai. Konselor tidak perlu melakukan pembelaan diri dan tidak perlu berbasa-basi jika mendengar dan menerima nilai orang lain. Dalam hal nilai, memang adakalanya nilai yang dianut konselor berbeda dengan nilai yang dianut klien. Konselor yang efektif toleran terhadap adanya perbedaan-perbedaan nilai itu. Keterbukaan tidak bermakna konselor menyetujui atau tidak menyetujui apa yang dipikirkan, dirasakan, atau yang dikatakan klien. Keterbukaan mengandung arti kemauan konselor bekerja keras untuk menerima pandangan klien sesuai dengan yang dirasakan dan/atau yang dikomunikasikan. Keterbukaan juga merupakan kemauan konselor untuk secara terus menerus menguji kembali dan menetapkan nilai-nilainya sendiri dalam pertumbuhan dan perkembangannya. e. Stabilitas emosi 41

7 Personal konselor yang efektif memiliki stabilitas emosional {emotional stability). Stabilitas emosional berarti jauh dari kecenderungan keadaan psikopatologis. Dengan kata lain, secara emosional personal konselor dalam keadaan sehat, tidak mengalami gangguan mental yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangannya. Stabilitas emosional tidak berarti konselor harus selalu tampak senang dan gembira, tetapi keadaan konselor menunjukkan sebagai person yang dapat menyesuaikan diri dan terintegratif. Pengalaman emosional yang tidak stabil dapat saja dialami setiap orang termasuk konselor. Pengalaman ini dapat dijadikan sebagai kerangka untuk lebih dapat memahami klien dan sikap empatik, dan jangan sampai pengalaman ini dapat berefek negatif dalam hubungan kon-seling. f. Berkeyakinan akan kemampuan untuk berubah Keyakinan akan kemampuan untuk berubah selalu ada dalam bidang psikologi, pendidikan dan konseling. Apa perlunya bidang itu dikembangkan jika bukan sebagai proses untuk mengubah perilaku, sikap, keyakinan dan perasaan individu. Konselor selalu berkeyakinan bahwa setiap orang pada dasarnya berkemampuan untuk mengubah keadaannya yang mungkin belum sepenuhnya optimal dan tugas konselor adalah membantu sepenuhnya proses perubahan itu menjadi lebih efektif. g. Komitmen pada rasa kemanusiaan Konseling pada dasarnya mencakup adanya rasa komitmen pada rasa kemanusiaan (humaness} dan bermaksud memenuhi atau mencapai segenap potensinya. Komitmen ini perlu dimiliki konselor dan menjadi dasar dalam usahanya membantu klien mencapai keinginan, perhatiannya, dan kemauannya. h. Kemauan membantu klien mengubah lingkungannya Konselor yang efektif di antaranya bersedia untuk selalu membantu klien mencapai pertumbuhan, keistimewaan, lebih baik, berkebebasan, dan keautentikan. Perhatian konselor bukan membantu klien tunduk atau 42

8 menyesuaikan dengan lingkungannya di mana klien berada. Tugas konselor adalah membantu klien untuk mampu mengubah lingkungannya sesuai dengan potensi yang dimiliki. Dengan demikian, klien menjadi subjek yang lebih bertanggung jawab terhadap lingkungannya bukan orang yang. selalu mengikuti apa kata lingkungannya. i. Pengetahuan konselor Tugas konselor membantu kliennya untuk meningkatkan dirinya secara keseluruhan. Konselor sendiri juga perlu menjadi pribadi yang utuh. Untuk dapat mencapai demikian dia harus mengetahui ilmu perilaku, mengetahui filsafat, mengetahui lingkungannya. Pada akhirnya, konselor harus bijak dalam memahami dirinya sendiri, orang lain, kondisi dan pengalamannya dalam hal peningkatan aktualisasi dirinya sebagai pribadi yang utuh. Usaha untuk terus belajar mengenai diri dan orang lain menjadi tuntutan seorang konselor. Dalam hal ini konselor harus siap untuk melakukan koreksi terhadap dirinya sendiri dan terbuka dari kritik orang lain. j. Totalitas Konselor sebagai pribadi yang total, berbeda dan terpisah dengan orang lain. Dalam konteks ini konselor perlu memiliki kualitas pribadi yang baik, yang mencapai kondisi kesehatan mentalnya secara positif. Konselor memiliki otonomi, mandiri, dan tidak menggantungkan pribadinya secara emosional kepada orang lain. di bawah ini diambil dari :Munro et al, 1983 Penyuluhan (counseling) suatu pendekatan berdasarkan keterampilan Latihan A 1. Diskusikanlah dg 4 orang teman mengapa anda ingin menjadi konselor 43

9 2. Sesudah itu periksalah seberapa jauh keterbukaan, ketelitian, kejujuran dlm menyatakan diri Anda sendiri 3. Apakah Anda menyembunyikan beberapa hal, hanya mengatakan hal-hal yg Anda anggap baik & dapat diterima orang lain saja? 4. bagaimana pendapat teman-teman tentang taraf keterbukaan Anda? Latihan B dlm kelompok dua-dua, selesaikan kalimat-kalimat di bawah ini: saya sebagai konselor: a. saya termasuk orang yang.. b. kekuatan-kekuatan yang saya miliki adalah.. c. kelemahan-kelemahan saya adalah d. yang paling sering saya butuhkan dari orang lain adalah. e. Yang paling sering saya berikan kepada orang lain adalah Setelah selesai, diskusikanlah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini, dalam kelompok besar 1. seberapa jauh keterbukaan, ketelitian, kejujuran dlm menyatakan diri Anda sendiri? 2. kalimat-kalimat manakah yang paling mudah diselesaikan? Dan yang paling sulit? Mengapa? 3. apakah yang telah anda pelajari tentang diri anda sendiri? Manfaat: menjadi konselor - mempelajari dorongan-dorongan untuk menjadi konselor (misal : konselor menolong orang lain dg maksud menghindari permasalahannya sendiri tdk akan efektif), niat/dorongan konselor akan segera diketahui oleh klien - mengembangkan kesadaran tentang diri sendiri - memperhatikan ciri/sifat kepribadian yang semestinya dimiliki oleh konselor agar konseling berhasil 44

10 menampilkan dirinya sebagai manusia apa adanya menyadari kondisinya sendiri tdk hanya kondisi klien menyadari factor-faktor yang ikut mempengaruhi proses konseling 45

11 B. KONSELING BAGI KONSELOR Apakah para konselor atau terapis harus mengalami konseling atau terapi sebelum mereka menjadi praktisi? Dibawah ini dikutip tentang Gerald Corey (1988) Adapun pendapatnya sebagai berikut: Menurut Gerald Corey (1988) bahwa para terapis harus memiliki pengalaman menjadi klien. Pengalaman itu bisa diperoleh sebelum atau selama menjalani latihan. Akan tetapi, dia sangat setuju dengan bentuk pengalaman pertumbuhan pribadi, baik individual maupun kelompok atau kedua-duanya, sebagai prasyarat bagi praktek memberikan konseling kepada orang lain. Gerald Corey (1988) tidak berasumsi bahwa para calon terapis adalah orang-orang yang "sakit" dan perlu "disembuhkan". Akan tetapi, dia yakin bahwa kita semua memiliki titik-titik buta, bahwa kita semua memiliki bentuk urusan yang tak selesai yang bisa menghambat keefektifan kita sebagai terapis, dan bahwa kita semua bisa menjadi lebih. Terapi harus dipandang bukan sebagai tujuan pada dirinya, melainkan sebagai cara untuk membantu seorang calon terapis agar menjadi pribadi yang terapeutik, yang akan memiliki peluang yang lebih besar untuk memberikan suatu pengaruh yang signifikan dan positif terhadap klien-kliennya. Gerald Corey (1988) ingin menekankan nilai dari konseling individual atau kelompok bagi kita saat kita mulai memberikan konseling kepada orang lain. Dari pengalaman, penulis menemukan bahwa, ketika mulai memberikan konseling, luka-luka lama terbuka kembali dan perasaan-perasaan yang tidak tereksplorasi muncul ke permukaan. Penulis tidak mampu menghadapi depresi klien karena penulis gagal menangani cara yang digunakan penulis sendiri untuk menghindari depresi. Menjadi terapis memaksa kita untuk mengonfrontasikan rintangan-rintangan yang tidak tereksplorasi yang berkaitan dengan kesepian, kekuasaan, kematian, seksualitas, orang tua kita, dan sebagainya. Juga, ketika kami mulai bekerja sebagai konselor, Kami kerap mengalami impotensi profesi dan merasa ingin membebaskan diri. Penulis mendorong para calon konselor agar merasakan ketidakberdayaan dan keputusasaan mereka sendiri, tetapi disertai 46

12 tekad untuk tidak gampang menyerah, setidaknya tidak tanpa memberikan kesempatan kepada diri sendiri untuk menguji kemampuan. Di sini penulis melihat konseling pribadi sebagai bantuan yang wajar bagi kerja para terapis pemula. Sebagai terapis, mereka tidak diharapkan untuk menggunakan waktu klien mereka untuk menyelesaikan masalah-masalah pribadi mereka sendiri, tetapi dengan mengungkapkan kesadaran, mereka bisa menempatkan diri pada penanganan area-area dalam kehidupan mereka sendiri yang perlu dieksplorasi lebih dalam. Belajar menjadi konselor jadinya bukan sekadar berusaha memperoleh kecakapan-kecakapan melakukan intervensi terapeutik terhadap orang lain. ia bisa menjadi suatu kekuatan yang menunjang pertumbuhan pribadi konselor itu sendiri. Gerald Corey (1988) ingin menyaksikan bentuk pengalaman-pengalaman konseling individual dan kelompok yang berorientasi kepada pertumbuhan, digabungkan. Kecondongan penulis adalah kepada kelompok-kelompok pertumbuhan pribadi, yang daripadanya para calon konselor bisa memperoleh banyak umpan balik yang bermanfaat. Fokus dari pengalaman kelompok harus kepada membantu individu agar lebih menyadari mengapa dia ingin menjadi konselor. Pertanyaan-pertanyaan untuk dieksplorasi adalah: 1. Mengapa saya mengejar karir dalam profesi membantu orang lain? 2. Apa kebutuhan-kebutuhan dan motivasi-motivasi saya? 3. Ganjaran-ganjaran apa yang saya terima dan menjadi konselor? 4. Bagaimana saya bisa membedakan antara pemuasan kebutuhan-kebutuhan klien dan pemuasan kebutuhan-kebutuhan saya sendiri? Pertanyaan-pertanyaan lain yang bisa bermanfaat untuk ditanyakan dalam pengalaman pertumbuhan pribadi adalah: 1. Apa masalah-masalah saya, dan apa yang saya lakukan untuk menyelesaikannya? 2. Mungkinkah masalah-masalah saya itu menghambat keefektifan kerja saya sebagai konselor? 3. Apa nilai-nilai saya, dari mana nilai-nilai itu berasal, dan apakah nilai-nilai itu akan mempengaruhi gaya konseling saya? 47

13 4. Bagaimana saya berhubungan dengan perasaan-perasaan saya sendiri? 5. Apakah saya berani dan bersedia mengambil risiko? 6. Apakah saya bersedia mengalami dan melakukan apa yang saya anjurkan kepada klien untuk dilakukan? 7. Cara-cara apa yang saya gunakan dalam menghindari penggunaan kekuatan-kekuatan saya sendiri? 8. Dan bagaimana saya bisa menggunakan lebih penuh kekuatan potensial saya? 9. Apa yang menghambat saya untuk terbuka, jujur, dan riel? 10. Siapa orang yang menarik, dan kepada siapa saya tidak suka? 11. Bagaimana orang lain mengalami saya? 12. Apa pengaruh saya terhadap orang lain? 13. Apakah saya peka terhadap reaksi-reaksi orang lain, terhadap bagaimana mereka merespons saya dan saya merespons mereka? Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas merefleksikan area-area yang mungkin menjadi fokus dalam pengalaman pertumbuhan pribadi. Sasaran dari pengalaman pertumbuhan pribadi itu adalah menyediakan suatu situasi di mana para konselor sampai kepada pemahaman diri yang lebih besar. Penulis tidak pernah berhenti merasa heran atas perlawanan yang penulis temui di kalangan profesional terhadap masalah ini. Penulis mendengar argumen, "Mensyaratkan terapis untuk menjadi klien dalam konseling pribadi adalah berlandaskan model penyakit medis. Itu ibarat mengatakan bahwa seorang ahli bedah tidak bisa melaksanakan pembedahan yang dia tidak pernah menjalaninya." Penulis sama sekali tidak bisa menerima analogi tersebut. Penulis berpegang pada keyakinan yang kuat bahwa terapis tidak bisa diharapkan membuka pintu bagi klien jika dia tidak terbuka bagi dirinya sendiri. Jika saya takut untuk mengalami ketakutan saya. bagaimana saya bisa membantu orang lain untuk menerima ketakutannya? Jika saya memiliki pandangan yang terbatas. bagaimana saya bisa membantu klien-klien saya agar memperluas pandangan mereka atas menjadi apa mereka kiranya? Bagaimanapun meskipun penulis memandang pengalaman terapeutik sebagai perlu bagi para calon konselor, penulis tidak meyakini pengalaman 48

14 pertumbuhan pribadi itu sebagai suatu pengalaman yang cukup dan lengkap pada dirinya sendiri. Penulis yakin bahwa pengalaman pertumbuhan pribadi hanya suatu jalan di mana seorang terapis bisa secara aktif berbuat sesuatu untuk menjadi Iebih terapeutik dalam hubungannya dengan orang lain. C. ASPEK KLIEN DALAM HUBUNGAN KONSELING Klien, disebut pula helpee, merupakan orang yang perlu memperoleh perhatian sehubungan dengan masalah yang dihadapinya. Keberhasilan konseling, selain karena faktor kondisi yang diciptakan konselor, cara penanganan, dan aspek konselor sendiri, ditentukan pula oleh faktor klien. Siapakah klien itu? Rogers menyatakan bahwa klien itu orang yang hadir ke konselor dan kondisinya dalam keadaan cemas atau tidak kongruensi. Sekalipun klien itu individu yang memperoleh bantuan, dia bukanlah objek, atau individu yang pasif, atau yang tidak memiliki kekuatan apa-apa. Dalam konteks konseling, klien adalah subjek yang memiliki kekuatan, motivasi, memiliki kemauan untuk berubah, dan pelaku bagi perubahan dirinya.tentunya sebagai pribadi dan manusia pada umumnya dia memiliki masalah atau sejumlah masalah yang membutuhkan bantuan dari pihak lain untuk memecahkannya. Namun demikian keberhasilan dalam mengatasi masalahnya itu sebenarnya sangat ditentukan oleh pribadi klien sendiri. Peran konselor dalam hubungan konseling lebih sebagai instrumen untuk memudahkan klien melakukan perubahan dirinya. Secara umum, klien datang ke konselor karena satu atau beberapa alasan, di antaranya: atas kemauannya sendiri, kemauan atau anjuran keluarga dan sahabat-sahabatnya, atau atas rujukan dari profesional lain. Apapun alasanya dia menjumpai konselor, klien sebenarnya sudah mengupayakan untuk mengatasi masalahnya sendiri tanpa bantuan orang lain, atas bantuan orang lain, atau atas bantuan profesional lain (Monro dkk., 1983; Harris, 1995). Kehadiran klien ke konselor tentunya karena upaya-upaya sebelumnya tidak membuahkan hasil yang 49

15 dia harapkan, dan mengharapkan upayanya ke konselor membuahkan hasil yang lebih baik. Setiap klien memiliki kebutuhan dan/atau harapan tertentu terhadap penyelenggaraan konseling. Kebutuhan (need} lebih bersifat "keharusan" untuk dipenuhi dan jika tidak terpenuhi akan mengalami hambatan-hambatan psikologis yang lebih berat baginya. Sedangkan harapan (expectation) lebih merupakan keinginan-keinginan yang tidak mengharuskan untuk terpenuhi. Namun demikian dapat saja harapan klien merupakan kebutuhannya, atau harapannya dapat berbeda dengan kebutuhannya Selain kebutuhan, klien juga memiliki harapan-harapan terhadap kegiatan konseling. Harapan klien dapat sesuai dengan masalah yang dialami, dapat pula berlebih-lebihan atau sangat sederhana. Harapan klien ini sangat dipengaruhi oleh persepsinya tentang fungsi dan pengalaman-pengalamannya dalam hubungannya dengan konseling. Dalam beberapa kasus diketahui banyak klien datang ke konseling dengan harapan dapat langsung keluar dari masalahnya dan meminta dorongan dari konselor untuk mengatasinya. 1. Harapan klien Studi yang cukup detail tentang harapan konseling telah dikemukakan Dennis P. Saccazzo (1978). Dalam penelitiannya dijumpai bermacam-macam harapan sebagai alasan klien datang ke konselor. Harapan-harapan klien adalah sebagai berikut. 1. Untuk memperoleh kesempatan membebaskan diri dari kesulitan. 2. Untuk mengetahui lebih jauh model terapi yang sesuai dengan masalahnya. 3. Mengetahui lebih jauh kesulitan/masalah yang dialami sebenarnya. 4. Memperoleh ketenangan dan kepercayaan diri dari rasa ketegangan dan rasa yang tidak menyenangkan. 5. Mengetahui atau memahami alasan yang ada di balik perasaan dan perilakunya. 6. Mendapat dukungan tentang yang hams dilakukan. 7. Untuk memperoleh kepercayaan dalam melakukan sesuatu atau perilaku baru yang berbeda dengan orang lain. 50

16 8. Mengetahui perasaan-perasaan apa yang sebenarnya sedang dialami dan bagaimana seharusnya melakukan. 9. Untuk mendapatkan sa.ran atau nasihat, bagaimana agar hidupnya dapat bermakna dan berguna baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. 10. Agar orang lain menanggapi sebagaimana layaknya. 11.Agar dirinya lebih baik dalam melakukan kontrol din. 12. Agar memperoleh sesuatu secara langsung seperti yang terpikirkan dan yang dirasakan. 13. Melepaskan diri dari masalah-masalah khusus. 14. Lain-lain. Dapatkah segenap keinginan klien itu dilayani dengan konseling? Tentunya tidak semua keinginan harus diatasi melalui konseling, dan tidak semua yang dibantu melalui proses konseling juga dapat terselesaikan secara baik pula. Konseling diselenggarakan sebagai salah satu fasilitas yang memungkinkan individu mencoba mengatasi masalahnya dengan bantuan konselor. Bantuan yang sungguh-sungguh dan tulus dari konselor berarti klien memperoleh dorongan sosial dari pihak lain, dan hal ini lebih memungkinkan klien dapat mengatasi masalah yang dihadapi. Karena klien membawa masalah dan memiliki keinginan tertentu untuk dapat diselesaikan melalui hubungan konseling, konselor tentunya tidak dapat menghindar. Justru sebaliknya dia dapat memanfaatkan keinginan klien itu sebagai motivasi untuk mengubah dirinya atas masalah yang dirasakan. 2. Sintesa harapan klien dan pandangan konselor Berdasarkan uraian di atas dapat memunculkan sebuah pertanyaan, apakah konseling dilaksanakan sesuai dengan teori dan pandangan konselor atau disesuaikan dengan harapan klien? Adakah harapan klien yang tidak selaras dengan tujuan-tujuan konseling? Pietrofesa (1978) mengemukakan bahwa konseling harus dapat dilakukan dengan melakukan sintesis antara keduanya. Konselor diharapkan mampu menjembatani antara teori yang dipelajari dengan kondisi nil di lapangan berupa harapan-harapan kliennya. Upaya sintesis 51

17 ini perlu dilakukan karena konseling bukan bermaksud mencari kepuasan konselor dalam menerapkan teori-teorinya, tetapi untuk kebaikan kliennya. Oleh karena itu, konselor tidak sesuka hati menentukan sendiri tujuan-tujuan konseling. Hackney dan Nye mengatakan bahwa penentuan tujuan konseling harus dilakukan mutual, artinya dilakukan secara bersama-sama konselor dengan kliennya (Pietrofesa dkk., 1978). Proses mutual itu dapat dilakukan sebagai berikut. 1. Konselor mula-mula memahami mengapa klien datang ke konseling. 2. Konselor mulai membantu klien mengeksplorasi perasaan dan perilaku yang mengganggu. 3. Konselor dan klien mulai memfbrmulasi tujuan konseling secara bersama yang akan mengarahkan pada problem solving dan kebutuhan klien Berdasarkan kerangka pemikiran ini, tahap pertama adalah memahami latar belakang, harapan atau motivasi klien datang ke konseling. Tahap kedua adalah melakukan eksplorasi untuk memahami klien lebih mendalam, dan baru tahap berikutnya adalah menentukan tujuan konseling secara mutual. Setelah tujuan-tujuan konseling itu dirumuskan barulah proses pemecahan masalah dan rencana tindakan dibicarakan lebih lanjut. Kerjasama konselor dan klien dalam menentukan tujuan konseling adalah sangat penting. Menurut Corey (1988) penentuan tujuan ini harus dilakukan sejak awal dan secara evolusioner. Artinya tujuan konseling dapat dirumuskan tahap demi tahap sampai pada rumusan tujuan yang lebih lengkap dalam memecahkan masalah klien. Penentuan tujuan pada tahap awal ini untuk menentukan apakah konselor dan kliennya dapat bekerja sama, dan apakah tujuan-tujuan kedua belah pihak bisa sejalan. Jika tujuan yang hendak dicapai oleh kedua belah pihak ternyata tidak se-jalan, hubungan konseling tidak dapat dilangsungkan (Pietrofesa dkk., 1978). Proses penentuan tujuan itu menurut Corey sebagai berikut. (1) Terapis memiliki tujuan dan klien memiliki tujuan; (2) Terapis perlu mengeksplorasi tujuan-tujuan yang diharapkan dalam hubungan terapetik; dan (3) Klien memiliki 52

18 gagasan yang samar dan kacau apa yang diharapkan dari terapis, pokoknya ingin bebas dari masalahnya. Dari tahap-tahap inilah tujuan-tujuan secara evolusioner dapat dirumuskan secara bersama-sama menjadi lebih konkret. 53

19 B. KONSELING BAGI KONSELOR Apakah para konselor atau terapis harus mengalami konseling atau terapi sebelum mereka menjadi praktisi? Dibawah ini dikutip tentang Gerald Corey (1988) Adapun pendapatnya sebagai berikut: Menurut Gerald Corey (1988) bahwa para terapis harus memiliki pengalaman menjadi klien. Pengalaman itu bisa diperoleh sebelum atau selama menjalani latihan. Akan tetapi, dia sangat setuju dengan bentuk pengalaman pertumbuhan pribadi, baik individual maupun kelompok atau kedua-duanya, sebagai prasyarat bagi praktek memberikan konseling kepada orang lain. Gerald Corey (1988) tidak berasumsi bahwa para calon terapis adalah orang-orang yang "sakit" dan perlu "disembuhkan". Akan tetapi, dia yakin bahwa kita semua memiliki titik-titik buta, bahwa kita semua memiliki bentuk urusan yang tak selesai yang bisa menghambat keefektifan kita sebagai terapis, dan bahwa kita semua bisa menjadi lebih. Terapi harus dipandang bukan sebagai tujuan pada dirinya, melainkan sebagai cara untuk membantu seorang calon terapis agar menjadi pribadi yang terapeutik, yang akan memiliki peluang yang lebih besar untuk memberikan suatu pengaruh yang signifikan dan positif terhadap klien-kliennya. Gerald Corey (1988) ingin menekankan nilai dari konseling individual atau kelompok bagi kita saat kita mulai memberikan konseling kepada orang lain. Dari pengalaman, penulis menemukan bahwa, ketika mulai memberikan konseling, luka-luka lama terbuka kembali dan perasaan-perasaan yang tidak tereksplorasi muncul ke permukaan. Penulis tidak mampu menghadapi depresi klien karena penulis gagal menangani cara yang digunakan penulis sendiri untuk menghindari depresi. Menjadi terapis memaksa kita untuk mengonfrontasikan rintangan-rintangan yang tidak tereksplorasi yang berkaitan dengan kesepian, kekuasaan, kematian, seksualitas, orang tua kita, dan sebagainya. Juga, ketika kami mulai bekerja sebagai konselor, Kami kerap mengalami impotensi profesi dan merasa ingin membebaskan diri. Penulis mendorong para calon konselor agar merasakan ketidakberdayaan dan keputusasaan mereka sendiri, tetapi disertai 54

20 tekad untuk tidak gampang menyerah, setidaknya tidak tanpa memberikan kesempatan kepada diri sendiri untuk menguji kemampuan. Di sini penulis melihat konseling pribadi sebagai bantuan yang wajar bagi kerja para terapis pemula. Sebagai terapis, mereka tidak diharapkan untuk menggunakan waktu klien mereka untuk menyelesaikan masalah-masalah pribadi mereka sendiri, tetapi dengan mengungkapkan kesadaran, mereka bisa menempatkan diri pada penanganan area-area dalam kehidupan mereka sendiri yang perlu dieksplorasi lebih dalam. Belajar menjadi konselor jadinya bukan sekadar berusaha memperoleh kecakapan-kecakapan melakukan intervensi terapeutik terhadap orang lain. ia bisa menjadi suatu kekuatan yang menunjang pertumbuhan pribadi konselor itu sendiri. Gerald Corey (1988) ingin menyaksikan bentuk pengalaman-pengalaman konseling individual dan kelompok yang berorientasi kepada pertumbuhan, digabungkan. Kecondongan penulis adalah kepada kelompok-kelompok pertumbuhan pribadi, yang daripadanya para calon konselor bisa memperoleh banyak umpan balik yang bermanfaat. Fokus dari pengalaman kelompok harus kepada membantu individu agar lebih menyadari mengapa dia ingin menjadi konselor. Pertanyaan-pertanyaan untuk dieksplorasi adalah: 5. Mengapa saya mengejar karir dalam profesi membantu orang lain? 6. Apa kebutuhan-kebutuhan dan motivasi-motivasi saya? 7. Ganjaran-ganjaran apa yang saya terima dan menjadi konselor? 8. Bagaimana saya bisa membedakan antara pemuasan kebutuhan-kebutuhan klien dan pemuasan kebutuhan-kebutuhan saya sendiri? Pertanyaan-pertanyaan lain yang bisa bermanfaat untuk ditanyakan dalam pengalaman pertumbuhan pribadi adalah: 14. Apa masalah-masalah saya, dan apa yang saya lakukan untuk menyelesaikannya? 15. Mungkinkah masalah-masalah saya itu menghambat keefektifan kerja saya sebagai konselor? 16. Apa nilai-nilai saya, dari mana nilai-nilai itu berasal, dan apakah nilai-nilai itu akan mempengaruhi gaya konseling saya? 55

21 17. Bagaimana saya berhubungan dengan perasaan-perasaan saya sendiri? 18. Apakah saya berani dan bersedia mengambil risiko? 19. Apakah saya bersedia mengalami dan melakukan apa yang saya anjurkan kepada klien untuk dilakukan? 20. Cara-cara apa yang saya gunakan dalam menghindari penggunaan kekuatan-kekuatan saya sendiri? 21. Dan bagaimana saya bisa menggunakan lebih penuh kekuatan potensial saya? 22. Apa yang menghambat saya untuk terbuka, jujur, dan riel? 23. Siapa orang yang menarik, dan kepada siapa saya tidak suka? 24. Bagaimana orang lain mengalami saya? 25. Apa pengaruh saya terhadap orang lain? 26. Apakah saya peka terhadap reaksi-reaksi orang lain, terhadap bagaimana mereka merespons saya dan saya merespons mereka? Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas merefleksikan area-area yang mungkin menjadi fokus dalam pengalaman pertumbuhan pribadi. Sasaran dari pengalaman pertumbuhan pribadi itu adalah menyediakan suatu situasi di mana para konselor sampai kepada pemahaman diri yang lebih besar. Penulis tidak pernah berhenti merasa heran atas perlawanan yang penulis temui di kalangan profesional terhadap masalah ini. Penulis mendengar argumen, "Mensyaratkan terapis untuk menjadi klien dalam konseling pribadi adalah berlandaskan model penyakit medis. Itu ibarat mengatakan bahwa seorang ahli bedah tidak bisa melaksanakan pembedahan yang dia tidak pernah menjalaninya." Penulis sama sekali tidak bisa menerima analogi tersebut. Penulis berpegang pada keyakinan yang kuat bahwa terapis tidak bisa diharapkan membuka pintu bagi klien jika dia tidak terbuka bagi dirinya sendiri. Jika saya takut untuk mengalami ketakutan saya. bagaimana saya bisa membantu orang lain untuk menerima ketakutannya? Jika saya memiliki pandangan yang terbatas. bagaimana saya bisa membantu klien-klien saya agar memperluas pandangan mereka atas menjadi apa mereka kiranya? Bagaimanapun meskipun penulis memandang pengalaman terapeutik sebagai perlu bagi para calon konselor, penulis tidak meyakini pengalaman 56

22 pertumbuhan pribadi itu sebagai suatu pengalaman yang cukup dan lengkap pada dirinya sendiri. Penulis yakin bahwa pengalaman pertumbuhan pribadi hanya suatu jalan di mana seorang terapis bisa secara aktif berbuat sesuatu untuk menjadi Iebih terapeutik dalam hubungannya dengan orang lain. C. ASPEK KLIEN DALAM HUBUNGAN KONSELING Klien, disebut pula helpee, merupakan orang yang perlu memperoleh perhatian sehubungan dengan masalah yang dihadapinya. Keberhasilan konseling, selain karena faktor kondisi yang diciptakan konselor, cara penanganan, dan aspek konselor sendiri, ditentukan pula oleh faktor klien. Siapakah klien itu? Rogers menyatakan bahwa klien itu orang yang hadir ke konselor dan kondisinya dalam keadaan cemas atau tidak kongruensi. Sekalipun klien itu individu yang memperoleh bantuan, dia bukanlah objek, atau individu yang pasif, atau yang tidak memiliki kekuatan apa-apa. Dalam konteks konseling, klien adalah subjek yang memiliki kekuatan, motivasi, memiliki kemauan untuk berubah, dan pelaku bagi perubahan dirinya.tentunya sebagai pribadi dan manusia pada umumnya dia memiliki masalah atau sejumlah masalah yang membutuhkan bantuan dari pihak lain untuk memecahkannya. Namun demikian keberhasilan dalam mengatasi masalahnya itu sebenarnya sangat ditentukan oleh pribadi klien sendiri. Peran konselor dalam hubungan konseling lebih sebagai instrumen untuk memudahkan klien melakukan perubahan dirinya. Secara umum, klien datang ke konselor karena satu atau beberapa alasan, di antaranya: atas kemauannya sendiri, kemauan atau anjuran keluarga dan sahabat-sahabatnya, atau atas rujukan dari profesional lain. Apapun alasanya dia menjumpai konselor, klien sebenarnya sudah mengupayakan untuk mengatasi masalahnya sendiri tanpa bantuan orang lain, atas bantuan orang lain, atau atas bantuan profesional lain (Monro dkk., 1983; Harris, 1995). Kehadiran klien ke konselor tentunya karena upaya-upaya sebelumnya tidak membuahkan hasil yang 57

23 dia harapkan, dan mengharapkan upayanya ke konselor membuahkan hasil yang lebih baik. Setiap klien memiliki kebutuhan dan/atau harapan tertentu terhadap penyelenggaraan konseling. Kebutuhan (need} lebih bersifat "keharusan" untuk dipenuhi dan jika tidak terpenuhi akan mengalami hambatan-hambatan psikologis yang lebih berat baginya. Sedangkan harapan (expectation) lebih merupakan keinginan-keinginan yang tidak mengharuskan untuk terpenuhi. Namun demikian dapat saja harapan klien merupakan kebutuhannya, atau harapannya dapat berbeda dengan kebutuhannya Selain kebutuhan, klien juga memiliki harapan-harapan terhadap kegiatan konseling. Harapan klien dapat sesuai dengan masalah yang dialami, dapat pula berlebih-lebihan atau sangat sederhana. Harapan klien ini sangat dipengaruhi oleh persepsinya tentang fungsi dan pengalaman-pengalamannya dalam hubungannya dengan konseling. Dalam beberapa kasus diketahui banyak klien datang ke konseling dengan harapan dapat langsung keluar dari masalahnya dan meminta dorongan dari konselor untuk mengatasinya. 1. Harapan klien Studi yang cukup detail tentang harapan konseling telah dikemukakan Dennis P. Saccazzo (1978). Dalam penelitiannya dijumpai bermacam-macam harapan sebagai alasan klien datang ke konselor. Harapan-harapan klien adalah sebagai berikut. 1. Untuk memperoleh kesempatan membebaskan diri dari kesulitan. 2. Untuk mengetahui lebih jauh model terapi yang sesuai dengan masalahnya. 3. Mengetahui lebih jauh kesulitan/masalah yang dialami sebenarnya. 4. Memperoleh ketenangan dan kepercayaan diri dari rasa ketegangan dan rasa yang tidak menyenangkan. 5. Mengetahui atau memahami alasan yang ada di balik perasaan dan perilakunya. 6. Mendapat dukungan tentang yang hams dilakukan. 7. Untuk memperoleh kepercayaan dalam melakukan sesuatu atau perilaku baru yang berbeda dengan orang lain. 58

24 8. Mengetahui perasaan-perasaan apa yang sebenarnya sedang dialami dan bagaimana seharusnya melakukan. 9. Untuk mendapatkan sa.ran atau nasihat, bagaimana agar hidupnya dapat bermakna dan berguna baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. 10. Agar orang lain menanggapi sebagaimana layaknya. 11.Agar dirinya lebih baik dalam melakukan kontrol din. 12. Agar memperoleh sesuatu secara langsung seperti yang terpikirkan dan yang dirasakan. 13. Melepaskan diri dari masalah-masalah khusus. 14. Lain-lain. Dapatkah segenap keinginan klien itu dilayani dengan konseling? Tentunya tidak semua keinginan harus diatasi melalui konseling, dan tidak semua yang dibantu melalui proses konseling juga dapat terselesaikan secara baik pula. Konseling diselenggarakan sebagai salah satu fasilitas yang memungkinkan individu mencoba mengatasi masalahnya dengan bantuan konselor. Bantuan yang sungguh-sungguh dan tulus dari konselor berarti klien memperoleh dorongan sosial dari pihak lain, dan hal ini lebih memungkinkan klien dapat mengatasi masalah yang dihadapi. Karena klien membawa masalah dan memiliki keinginan tertentu untuk dapat diselesaikan melalui hubungan konseling, konselor tentunya tidak dapat menghindar. Justru sebaliknya dia dapat memanfaatkan keinginan klien itu sebagai motivasi untuk mengubah dirinya atas masalah yang dirasakan. 2. Sintesa harapan klien dan pandangan konselor Berdasarkan uraian di atas dapat memunculkan sebuah pertanyaan, apakah konseling dilaksanakan sesuai dengan teori dan pandangan konselor atau disesuaikan dengan harapan klien? Adakah harapan klien yang tidak selaras dengan tujuan-tujuan konseling? Pietrofesa (1978) mengemukakan bahwa konseling harus dapat dilakukan dengan melakukan sintesis antara keduanya. Konselor diharapkan mampu menjembatani antara teori yang dipelajari dengan kondisi nil di lapangan berupa harapan-harapan kliennya. Upaya sintesis 59

25 ini perlu dilakukan karena konseling bukan bermaksud mencari kepuasan konselor dalam menerapkan teori-teorinya, tetapi untuk kebaikan kliennya. Oleh karena itu, konselor tidak sesuka hati menentukan sendiri tujuan-tujuan konseling. Hackney dan Nye mengatakan bahwa penentuan tujuan konseling harus dilakukan mutual, artinya dilakukan secara bersama-sama konselor dengan kliennya (Pietrofesa dkk., 1978). Proses mutual itu dapat dilakukan sebagai berikut. 1. Konselor mula-mula memahami mengapa klien datang ke konseling. 2. Konselor mulai membantu klien mengeksplorasi perasaan dan perilaku yang mengganggu. 3. Konselor dan klien mulai memfbrmulasi tujuan konseling secara bersama yang akan mengarahkan pada problem solving dan kebutuhan klien Berdasarkan kerangka pemikiran ini, tahap pertama adalah memahami latar belakang, harapan atau motivasi klien datang ke konseling. Tahap kedua adalah melakukan eksplorasi untuk memahami klien lebih mendalam, dan baru tahap berikutnya adalah menentukan tujuan konseling secara mutual. Setelah tujuan-tujuan konseling itu dirumuskan barulah proses pemecahan masalah dan rencana tindakan dibicarakan lebih lanjut. Kerjasama konselor dan klien dalam menentukan tujuan konseling adalah sangat penting. Menurut Corey (1988) penentuan tujuan ini harus dilakukan sejak awal dan secara evolusioner. Artinya tujuan konseling dapat dirumuskan tahap demi tahap sampai pada rumusan tujuan yang lebih lengkap dalam memecahkan masalah klien. Penentuan tujuan pada tahap awal ini untuk menentukan apakah konselor dan kliennya dapat bekerja sama, dan apakah tujuan-tujuan kedua belah pihak bisa sejalan. Jika tujuan yang hendak dicapai oleh kedua belah pihak ternyata tidak se-jalan, hubungan konseling tidak dapat dilangsungkan (Pietrofesa dkk., 1978). Proses penentuan tujuan itu menurut Corey sebagai berikut. (1) Terapis memiliki tujuan dan klien memiliki tujuan; (2) Terapis perlu mengeksplorasi tujuan-tujuan yang diharapkan dalam hubungan terapetik; dan (3) Klien memiliki 60

26 gagasan yang samar dan kacau apa yang diharapkan dari terapis, pokoknya ingin bebas dari masalahnya. Dari tahap-tahap inilah tujuan-tujuan secara evolusioner dapat dirumuskan secara bersama-sama menjadi lebih konkret. Sumber: Corey, G Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Terjemahan. Bandung : PT. Eresco George, R.L & Cristiani Theory, Method and Processes of Counseling and Psychotherapy. New Jersey : Prentice Hall Inc Gunarsa, S.D Konseling dan Psikoterapi. Jakarta : Gunung Mulia Latipun Psikologi Konseling. Malang : Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang 61

Psikologi Konseling Konseling dengan Psikoterapi. Guidance

Psikologi Konseling Konseling dengan Psikoterapi. Guidance Modul ke: Fakultas Psikologi Psikologi Konseling Konseling dengan Psikoterapi. Guidance Agustini, M.Psi., Psikolog Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Pendahuluan Jesse B. Davis: Orang pertama

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian kecerdasan emosional

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian kecerdasan emosional BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kecerdasan Emosional 2.1.1 Pengertian kecerdasan emosional Kecerdasan emosional, secara sederhana dipahami sebagai kepekaan mengenali dan mengelola perasaan sendiri dan orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Situasi global membuat kehidupan semakin kopetitif dan membuka peluang bagi manusia untuk mencapai status dan tingkat kehidupan yang lebih baik. Dapak positip dari kondisi

Lebih terperinci

Psikologi Konseling. Pengertian, Tujuan, Proses, dan Karakteristik Konselor. Muhammad Ramadhan, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI

Psikologi Konseling. Pengertian, Tujuan, Proses, dan Karakteristik Konselor. Muhammad Ramadhan, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI Psikologi Konseling Modul ke: Pengertian, Tujuan, Proses, dan Karakteristik Konselor Fakultas PSIKOLOGI Muhammad Ramadhan, M.Psi, Psikolog. Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Kontrak Belajar

Lebih terperinci

KONSELING REMAJA Putri Marlenny P, S.Psi, M.Psi, Psikolog Rumah Duta Revolusi Mental HP/WA :

KONSELING REMAJA Putri Marlenny P, S.Psi, M.Psi, Psikolog Rumah Duta Revolusi Mental HP/WA : KONSELING REMAJA Putri Marlenny P, S.Psi, M.Psi, Psikolog Rumah Duta Revolusi Mental HP/WA : 081-5687-1604 NB : Materi ini telah TIM RDRM persentasikan di Dinas Kesehatan Kota Semarang 2017 About Me Nama

Lebih terperinci

Teori dan Teknik Konseling. Nanang Erma Gunawan

Teori dan Teknik Konseling. Nanang Erma Gunawan Teori dan Teknik Konseling Nanang Erma Gunawan nanang_eg@uny.ac.id Konselor memiliki daya terapeutik Diri konselor adalah sebagai instrumen Memiliki pengetahuan mengenai: - teori kepribadian dan psikoterapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keterlibatan Belajar Siswa, (Surakarta : Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2011), 2

BAB I PENDAHULUAN. Keterlibatan Belajar Siswa, (Surakarta : Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2011), 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sikap pasif siswa sering ditunjukan dalam sebuah proses belajar, hal ini terlihat dari perilaku siswa dalam sebuah proses belajar yang cenderung hanya berperan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konseling merupakan salah satu aktivitas layanan yang penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. Konseling merupakan salah satu aktivitas layanan yang penting dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konseling merupakan salah satu aktivitas layanan yang penting dalam keseluruhan pemberian layanan bimbingan dan konseling di sekolah.counseling is the heart

Lebih terperinci

Presented by : Ayu Puspita Sari Psychology 2k11 UIN SA SBY

Presented by : Ayu Puspita Sari Psychology 2k11 UIN SA SBY Presented by : Ayu Puspita Sari Psychology 2k11 UIN SA SBY INTRODUCTION Sebagai reaksi terhadap apa yang disebutnya ketrbatasan mendasar dari psikoanalisis, Carl R. Rogers lalu mengembangkan terapi client-centered.

Lebih terperinci

A. Identitas : Nissa (Nama Samaran)

A. Identitas : Nissa (Nama Samaran) A. Identitas Nama Umur Jenis kelamin Agama Pekerjaan Asal Sekolah Kelas : Nissa (Nama Samaran) : 18 tahun : Perempuan : Islam : Siswa : SMA Negeri 1 Sanden : XII Semester : 1 Alamat B. Deskripsi Kasus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan berinteraksi dengan orang lain demi kelangsungan hidupnya. Karena pada

BAB I PENDAHULUAN. dan berinteraksi dengan orang lain demi kelangsungan hidupnya. Karena pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk individu dan sekaligus makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Manusia perlu berkomunikasi dan berinteraksi

Lebih terperinci

Psikologi Konseling. Psikologi Konseling. Psikologi Psikologi

Psikologi Konseling. Psikologi Konseling. Psikologi Psikologi MODUL PERKULIAHAN Psikologi Konseling Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 05 61033 Abstract Dalam perkuliahan ini akan didiskusikan mengenai Ketrampilan Dasar Konseling:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nasional pada pasal 1 ayat 6 yang menyatakan bahwa guru pembimbing sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Nasional pada pasal 1 ayat 6 yang menyatakan bahwa guru pembimbing sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara legalitas keberadaan bimbingan dan konseling di Indonesia tercantum dalam undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal

Lebih terperinci

KETERAMPILAN KONSELING : KLARIFIKASI, MEMBUKA DIRI, MEMBERIKAN DORONGAN, MEMBERIKAN DUKUNGAN, PEMECAHAN MASALAH DAN MENUTUP PERCAKAPAN

KETERAMPILAN KONSELING : KLARIFIKASI, MEMBUKA DIRI, MEMBERIKAN DORONGAN, MEMBERIKAN DUKUNGAN, PEMECAHAN MASALAH DAN MENUTUP PERCAKAPAN KETERAMPILAN KONSELING : KLARIFIKASI, MEMBUKA DIRI, MEMBERIKAN DORONGAN, MEMBERIKAN DUKUNGAN, PEMECAHAN MASALAH DAN MENUTUP PERCAKAPAN oleh Rosita E.K., M.Si Konsep dasar dari konseling adalah mengerti

Lebih terperinci

PENTINGNYA KEPRIBADIAN SEORANG KONSELOR DALAM KONSELING. Oleh: Dra. Fransisca Mudjijanti, M.M.

PENTINGNYA KEPRIBADIAN SEORANG KONSELOR DALAM KONSELING. Oleh: Dra. Fransisca Mudjijanti, M.M. PENTINGNYA KEPRIBADIAN SEORANG KONSELOR DALAM KONSELING Oleh: Dra. Fransisca Mudjijanti, M.M. Di dalam proses konseling, konselor adalah orang yang amat bermakna bagi seorang konseli. Konselor menerima

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

Reality Therapy. William Glasser

Reality Therapy. William Glasser Reality Therapy William Glasser 1. Latar Belakang Sejarah William Glasser lahir tahun 1925, mendapatkan pendidikan di Cleveland dan menyelesaikan sekolah dokter di Case Western Reserve University pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada prinsipnya sebagai makhluk sosial, antara individu yang satu dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada prinsipnya sebagai makhluk sosial, antara individu yang satu dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada prinsipnya sebagai makhluk sosial, antara individu yang satu dengan yang lainnya pasti membutuhkan kerjasama. Ketergantungan manusia satu dengan yang lain merupakan

Lebih terperinci

Psikologi Konseling Agustini, M.Psi., Psikolog MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

Psikologi Konseling Agustini, M.Psi., Psikolog MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh MODUL PERKULIAHAN Psikologi Konseling Psikologi Konseling Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 12 61033 Agustini, M.Psi., Psikolog Abstract Dalam perkuliahan ini akan

Lebih terperinci

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan BAB I 1.1 Latar Belakang Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

Lebih terperinci

Psikologi Konseling. Psikologi Konseling. Psikologi Psikologi

Psikologi Konseling. Psikologi Konseling. Psikologi Psikologi MODUL PERKULIAHAN Psikologi Konseling Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 01 61033 Abstract Dalam perkuliahan ini akan didiskusikan mengenai pendahuluan, pengertian,

Lebih terperinci

Psikologi Konseling Agustini, M.Psi., Psikolog MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

Psikologi Konseling Agustini, M.Psi., Psikolog MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh MODUL PERKULIAHAN Psikologi Konseling Psikologi Konseling Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 13 61033 Agustini, M.Psi., Psikolog Abstract Dalam perkuliahan ini akan

Lebih terperinci

Psikologi Konseling Pendekatan Konseling Rasional Emotif (Rational Emotive Therapy)

Psikologi Konseling Pendekatan Konseling Rasional Emotif (Rational Emotive Therapy) Modul ke: Psikologi Konseling Pendekatan Konseling Rasional Emotif (Rational Emotive Therapy) Fakultas Psikologi Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Pendekatan Kognitif Terapi kognitif: Terapi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Unconditional Self-Acceptance (USA). USA yang timbul dari penilaian individu

BAB II LANDASAN TEORI. Unconditional Self-Acceptance (USA). USA yang timbul dari penilaian individu BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Penerimaan diri 2.1.1 Definisi Penerimaan Diri Ellis (dalam Richard et al., 201) konsep penerimaan diri disebut Unconditional Self-Acceptance (USA). USA yang timbul dari penilaian

Lebih terperinci

Psikologi Konseling Pendekatan Terapi Realitas (Reality Therapy)

Psikologi Konseling Pendekatan Terapi Realitas (Reality Therapy) Modul ke: Fakultas Psikologi Psikologi Konseling Pendekatan Terapi Realitas (Reality Therapy) Agustini, M.Psi., Psikolog Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Pendahuluan Terapi Realitas (Reality

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendukung utama tercapainya sasaran pembangunan manusia Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pendukung utama tercapainya sasaran pembangunan manusia Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendukung utama tercapainya sasaran pembangunan manusia Indonesia adalah pendidikan yang bermutu. Pendidikan yang bermutu tidak cukup hanya dilakukan melalui transformasi

Lebih terperinci

Pengertian Bentuk komunikasi yang dilakukan oleh individu, khususnya profesi (konselor, guru, relawan, rohaniawan) dalam membantu & mendampingi klien

Pengertian Bentuk komunikasi yang dilakukan oleh individu, khususnya profesi (konselor, guru, relawan, rohaniawan) dalam membantu & mendampingi klien Pengertian Bentuk komunikasi yang dilakukan oleh individu, khususnya profesi (konselor, guru, relawan, rohaniawan) dalam membantu & mendampingi klien Fungsi komunikasi terapeutik Klien dapat merasa nyaman

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Self Efficacy 2.1.1 Pengertian Self Efficacy Self efficacy adalah keyakinan diri individu tentang kemampuannya dan juga hasil yang akan individu peroleh dari kerja kerasnya yang

Lebih terperinci

Psikologi Konseling Pendekatan Konseling Non- Directive

Psikologi Konseling Pendekatan Konseling Non- Directive Modul ke: Fakultas Psikologi Psikologi Konseling Pendekatan Konseling Non- Directive Agustini, M.Psi., Psikolog Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Dasar Filsafi Carl Rogers Mengenai Manusia Manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kualitas yang melayani, sehingga masalah-masalah yang terkait dengan sumber

BAB I PENDAHULUAN. kualitas yang melayani, sehingga masalah-masalah yang terkait dengan sumber 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Fungsi utama Rumah Sakit yakni melayani masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Seiring dengan berjalannya waktu dan semakin majunya teknologi kedokteran,

Lebih terperinci

Fenomenologi Intuitif Carl Rogers: Psikolog (Aliran Humanisme) D. Tiala (pengampu kuliah Psikoterapi dan Konseling Lintas Budaya)

Fenomenologi Intuitif Carl Rogers: Psikolog (Aliran Humanisme) D. Tiala (pengampu kuliah Psikoterapi dan Konseling Lintas Budaya) Fenomenologi Intuitif Carl Rogers: Psikolog (Aliran Humanisme) D. Tiala (pengampu kuliah Psikoterapi dan Konseling Lintas Budaya) Carl Ransom Rogers lahir pada tanggal 8 Januari 1902 di Oak Park, Illinios,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fenomena---teori adalah untuk menggambarkan dan menjelaskan fenomena.

BAB I PENDAHULUAN. fenomena---teori adalah untuk menggambarkan dan menjelaskan fenomena. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai suatu kegiatan profesional dan ilmiah, pelaksaan konseling bertitik tolak dari teori-teori yang dijadikan sebagai acuannya. Pada umumnya teori diartikan

Lebih terperinci

THEORY AND PRACTICE OF COUNSELING AND PSYCHOTHERAPY (TEORI DAN PRAKTEK DARI KONSELING DAN PSIKOTERAPI) TERAPI ADLER

THEORY AND PRACTICE OF COUNSELING AND PSYCHOTHERAPY (TEORI DAN PRAKTEK DARI KONSELING DAN PSIKOTERAPI) TERAPI ADLER THEORY AND PRACTICE OF COUNSELING AND PSYCHOTHERAPY (TEORI DAN PRAKTEK DARI KONSELING DAN PSIKOTERAPI) GERALD COREY TERAPI ADLER ALFRED ADLER ( 1870-1912 ) Pengembang psikodinamika pada terapi (8-10) thn.

Lebih terperinci

Psikologi Konseling MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh 10

Psikologi Konseling MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh 10 MODUL PERKULIAHAN Psikologi Konseling Problem Solving Counseling Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 10 MK 61033 Muhammad Ramadhan, M.Psi, Psikolog Abstract Modul

Lebih terperinci

Psikologi Konseling Adhyatman Prabowo, M.Psi. Kompetensi konselor & Karakteristik klien

Psikologi Konseling Adhyatman Prabowo, M.Psi. Kompetensi konselor & Karakteristik klien Psikologi Konseling Adhyatman Prabowo, M.Psi Kompetensi konselor & Karakteristik klien KEPRIBADIAN KONSELOR 1. Spontanitas Kemampuan konselor untuk merespon peristiwa dalam situasi seperti yang dilihat

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep koping 1.1. Pengertian mekanisme koping Koping adalah upaya yang dilakukan oleh individu untuk mengatasi situasi yang dinilai sebagai suatu tantangan, ancaman, luka, dan

Lebih terperinci

Psikologi Konseling. Psikologi Konseling. Psikologi Psikologi

Psikologi Konseling. Psikologi Konseling. Psikologi Psikologi MODUL PERKULIAHAN Psikologi Konseling Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 06 61033 Abstract Dalam perkuliahan ini akan didiskusikan mengenai Ketrampilan Dasar Konseling

Lebih terperinci

PENERAPAN PERSON CENTERED THERAPY DI SEKOLAH (EMPATHY, CONGRUENCE, UNCONDITIONAL POSITIVE REGARD) DALAM MANAJEMEN KELAS

PENERAPAN PERSON CENTERED THERAPY DI SEKOLAH (EMPATHY, CONGRUENCE, UNCONDITIONAL POSITIVE REGARD) DALAM MANAJEMEN KELAS PENERAPAN PERSON CENTERED THERAPY DI SEKOLAH (EMPATHY, CONGRUENCE, UNCONDITIONAL POSITIVE REGARD) DALAM MANAJEMEN KELAS Vivi Ratnawati Universitas Nusantara PGRI Kediri, JL. Tinalan I / 14 Kediri vievie_18@yahoo.co.id

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORETIS

BAB II TINJAUAN TEORETIS BAB II TINJAUAN TEORETIS 2.1 Tinjauan pustaka 2.1.1 Komunikasi Teraupetik Menurut Stuart (1998), mengatakan komunikasi terapeutik merupakan hubungan interpersonal antara perawat dengan klien dalam memperbaiki

Lebih terperinci

5. Pilihlah salah satu dari pilihan di bawah ini yang merupakan KELEMAHAN anda! (Jawablah dengan sejujur-jujurnya)

5. Pilihlah salah satu dari pilihan di bawah ini yang merupakan KELEMAHAN anda! (Jawablah dengan sejujur-jujurnya) Nama : No HP : Alamat : Pendidikan Terakhir : 1. Pilihlah salah satu dari pilihan di bawah ini yang merupakan KELEMAHAN anda! (Jawablah dengan sejujur-jujurnya) Pemikiran dan perhatian ditujukan ke dalam,

Lebih terperinci

JURNAL STUDI TENTANG SIKAP DASAR ROGERIAN YANG DIMILIKI KONSELOR SMK PGRI 4 KOTA KEDIRI

JURNAL STUDI TENTANG SIKAP DASAR ROGERIAN YANG DIMILIKI KONSELOR SMK PGRI 4 KOTA KEDIRI JURNAL STUDI TENTANG SIKAP DASAR ROGERIAN YANG DIMILIKI KONSELOR SMK PGRI 4 KOTA KEDIRI THE STUDY OF THE BASIC ATTITUDE ROGERIAN OWNED COUNSELOR VOCATIONAL HIGH SCHOOL PGRI 4 KEDIRI Oleh: Irma Rahma Wati

Lebih terperinci

Mekanisme dan Taktik Bertahan ; Penolakan Realita Dalam Konseling Oleh : Sigit Sanyata

Mekanisme dan Taktik Bertahan ; Penolakan Realita Dalam Konseling Oleh : Sigit Sanyata Mekanisme dan Taktik Bertahan ; Penolakan Realita Dalam Konseling Oleh : Sigit Sanyata sanyatasigit@uny.ac.id Abstrak Mekanisme individu untuk menghindari kenyataan yang sedang dihadapi merupakan representasi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. merupakan hak setiap individu untuk menentukan sikap, pemikiran dan emosi

BAB II LANDASAN TEORI. merupakan hak setiap individu untuk menentukan sikap, pemikiran dan emosi BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Asertif 2.1.1. Pengertian Perilaku Asertif Menurut Smith (dalam Rakos, 1991) menyatakan bahwa perilaku asertif merupakan hak setiap individu untuk menentukan sikap, pemikiran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepuasan Pasien Dalam konteks teori consumer behaviour, kepuasan lebih banyak didefinisikan dari perspektif pengalaman pasien setelah mendapatkan pelayanan rumah sakit. Kepuasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa ingin berinteraksi dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa ingin berinteraksi dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa ingin berinteraksi dengan manusia lainnya. Ketika seorang anak masuk dalam lingkungan sekolah, maka anak berperan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa dewasa yang meliputi berbagai macam perubahan yaitu perubahan biologis, kognitif, sosial dan emosional.

Lebih terperinci

Bernardus Widodo, S.Pd.,M.Pd

Bernardus Widodo, S.Pd.,M.Pd Bernardus Widodo, S.Pd.,M.Pd A. Pendahuluan Dalam perkembangannya, individu tidak dapat terlepas dari hubungannya dengan kelompok sosial lainnya, misalnya kelompok teman sebaya. Lingkungan/kelompok ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Layanan bimbingan pada dasarnya upaya peserta didik termasuk remaja untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi termasuk masalah penerimaan diri. Bimbingan

Lebih terperinci

Client Centered Therapy

Client Centered Therapy Client Centered Therapy 1. Latar Belakang Sejarah Carl Ransom Rogers (1902-1987) pada awal tahun 1940 (Corey 1986:100; Corey 1995: 291-294) pada awal tahun 1940 mengembangkan teori yang disebut non-directive

Lebih terperinci

CARL ROGERS (CLIENT CENTERED THERAPY)

CARL ROGERS (CLIENT CENTERED THERAPY) Biografi CARL ROGERS (CLIENT CENTERED THERAPY) 1. Carl Rogers dilahirkan di Illionis 8 Januari 1902 USA. 2. Ia menaruh perhatian atas ilmu pengetahuan alam dan biologi. Pengaruh filsafat J. Deway mendorong

Lebih terperinci

TERAPI REALITAS UNTUK MEMBAWA GENERASI MUDA INDONESIA KEMBALI KEPADA REALITA KEHIDUPAN SAAT INI.

TERAPI REALITAS UNTUK MEMBAWA GENERASI MUDA INDONESIA KEMBALI KEPADA REALITA KEHIDUPAN SAAT INI. TERAPI REALITAS UNTUK MEMBAWA GENERASI MUDA INDONESIA KEMBALI KEPADA REALITA KEHIDUPAN SAAT INI. Yusak Novanto, S.Psi, M.Psi, Psikolog Fakultas Psikologi Universitas Pelita Harapan Surabaya yusak.novanto@uphsurabaya.ac.id

Lebih terperinci

MOTIVASI DALAM BELAJAR. Saifuddin Azwar

MOTIVASI DALAM BELAJAR. Saifuddin Azwar MOTIVASI DALAM BELAJAR Saifuddin Azwar Dalam dunia pendidikan, masalah motivasi selalu menjadi hal yang menarik perhatian. Hal ini dikarenakan motivasi dipandang sebagai salah satu faktor yang sangat dominan

Lebih terperinci

NO. Hal yang diungkap Daftar Pertanyaan

NO. Hal yang diungkap Daftar Pertanyaan 179 LAMPIRAN 180 181 A. Pedoman Wawancara NO. Hal yang diungkap Daftar Pertanyaan 1. Perkenalan dan Rapport 2. Riwayat Penyakit 3. Dampak penyakit terhadap kehidupan secara keseluruhan 4. Aspek Tujuan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. yang terlibat di dalamnya saling mempengaruhi (Sugiyo, 2005). Komunikasi antar

BAB II KAJIAN TEORI. yang terlibat di dalamnya saling mempengaruhi (Sugiyo, 2005). Komunikasi antar BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Komunikasi 2.1.1 Pengertian komunikasi antar pribadi Komunikasi antar pribadi merupakan proses sosial dimana individu-individu yang terlibat di dalamnya saling mempengaruhi (Sugiyo,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai 1 BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Karyawan PT. INALUM 1. Pengertian Karyawan Karyawan adalah sumber daya yang sangat penting dan sangat menentukan suksesnya perusahaan. Karyawan juga selalu disebut sebagai

Lebih terperinci

MODUL PEDOMAN DAN MATERI KONSELING INDIVIDUAL PENANGGULANGAN NAFZA BAGI FASILITATOR DENGAN SASARAN ORANG TUA DAN REMAJA

MODUL PEDOMAN DAN MATERI KONSELING INDIVIDUAL PENANGGULANGAN NAFZA BAGI FASILITATOR DENGAN SASARAN ORANG TUA DAN REMAJA MODUL PEDOMAN DAN MATERI KONSELING INDIVIDUAL PENANGGULANGAN NAFZA BAGI FASILITATOR DENGAN SASARAN ORANG TUA DAN REMAJA DISUSUN OLEH YUSI RIKSA YUSTIANA BADAN PENANGGULANGAN NAFZA, KENAKALAN REMAJA, ROSTITUSI

Lebih terperinci

commit to user 6 BAB II LANDASAN TEORI A. Landasan Teori 1. Kepercayaan Diri a. Pengertian Kepercayaan diri adalah salah satu aspek kepribadian yang

commit to user 6 BAB II LANDASAN TEORI A. Landasan Teori 1. Kepercayaan Diri a. Pengertian Kepercayaan diri adalah salah satu aspek kepribadian yang 6 BAB II LANDASAN TEORI A. Landasan Teori 1. Kepercayaan Diri a. Pengertian Kepercayaan diri adalah salah satu aspek kepribadian yang paling penting pada seseorang. Kepercayaan diri merupakan atribut yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan kehadiran individu lain dalam kehidupannya. Tanpa kehadiran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lain. Menurut Supratiknya (1995:9) berkomunikasi merupakan suatu

I. PENDAHULUAN. lain. Menurut Supratiknya (1995:9) berkomunikasi merupakan suatu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Hakikat manusia adalah sebagai makhluk sosial, oleh karena itu setiap manusia tidak lepas dari kontak sosialnya dengan masyarakat, dalam pergaulannya

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Flow Akademik 1. Definisi Flow Akademik Menurut Bakker (2005), flow adalah suatu keadaan sadar dimana individu menjadi benar-benar tenggelam dalam suatu kegiatan, dan menikmatinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun informal. Keberhasilan pendidikan akan terjadi bila ada interaksi antara

BAB I PENDAHULUAN. maupun informal. Keberhasilan pendidikan akan terjadi bila ada interaksi antara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peran guru sangat strategis pada kegiatan pendidikan formal, non formal maupun informal. Keberhasilan pendidikan akan terjadi bila ada interaksi antara pendidik dengan

Lebih terperinci

Sebagai pengalaman baru

Sebagai pengalaman baru Sebagai pengalaman baru Sekurang2nya ada 6 macam pengalaman baru yg diperoleh oleh klien dalam proses konseling yaitu : 1. Mengenal konflik internal 2. Menghadapi realitas 3. Mengembangkan konsep diri

Lebih terperinci

KEMAMPUAN KONSELOR DALAM MENGELOLA KONSELING BEHAVIORAL MELALUI ALAT PENILAIAN

KEMAMPUAN KONSELOR DALAM MENGELOLA KONSELING BEHAVIORAL MELALUI ALAT PENILAIAN KEMAMPUAN KONSELOR DALAM MENGELOLA KONSELING BEHAVIORAL MELALUI ALAT PENILAIAN Oleh : Dra. Nelly Nurmelly, MM (Widyaiswara Muda Balai Diklat Keagamaan Palembang) ABSTRACT : Bimbingan dan Konseling merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk berinteraksi timbal-balik dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Memulai suatu hubungan atau

Lebih terperinci

PENDEKATAN PERKEMBANGAN DALAM BIMBINGAN DI TAMAN KANAK-KANAK

PENDEKATAN PERKEMBANGAN DALAM BIMBINGAN DI TAMAN KANAK-KANAK Pendekatan Perkembangan dalam Bimbingan di Taman Kanak-kanak 47 PENDEKATAN PERKEMBANGAN DALAM BIMBINGAN DI TAMAN KANAK-KANAK Penata Awal Bimbingan perkembangan merupakan suatu bentuk layanan bantuan yang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. seseorang karena konsep diri merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam

BAB II KAJIAN TEORI. seseorang karena konsep diri merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam BAB II KAJIAN TEORI A. Konsep diri Konsep diri adalah gambaran tentang diri individu itu sendiri, yang terjadi dari pengetahuan tentang diri individu itu sendiri, yang terdiri dari pengetahuan tentang

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DAN SIKAP TERHADAP BIMBINGAN KONSELING DENGAN TINGKAHLAKU BERKONSULTASI PADA SISWA SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DAN SIKAP TERHADAP BIMBINGAN KONSELING DENGAN TINGKAHLAKU BERKONSULTASI PADA SISWA SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DAN SIKAP TERHADAP BIMBINGAN KONSELING DENGAN TINGKAHLAKU BERKONSULTASI PADA SISWA SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat S-1 Psikologi Disusun oleh

Lebih terperinci

MODEL PEMBELAJARAN NONDIRECTIVE UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERBICARA DAN KEPERCAYAAN DIRI PESERTA DIDIK

MODEL PEMBELAJARAN NONDIRECTIVE UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERBICARA DAN KEPERCAYAAN DIRI PESERTA DIDIK MODEL PEMBELAJARAN NONDIRECTIVE UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERBICARA DAN KEPERCAYAAN DIRI PESERTA DIDIK M. Ali Rajai 1 Vismaia S. Damaianti 2 ABSTRAK Pembelajaran yang masih bersifat pemindahan isi melatarbelakangi

Lebih terperinci

STRATEGI PESAN DALAM PERENCANAAN KOMUNIKASI P E R E N C A N A A N P E S A N D A N M E D I A M O D U L 4

STRATEGI PESAN DALAM PERENCANAAN KOMUNIKASI P E R E N C A N A A N P E S A N D A N M E D I A M O D U L 4 STRATEGI PESAN DALAM PERENCANAAN KOMUNIKASI P E R E N C A N A A N P E S A N D A N M E D I A M O D U L 4 PERENCANAAN PESAN K E G I A T A N B E L A J A R 1 Poin-Poin Pokok Perencanaan Pesan A. Bagaimana

Lebih terperinci

PRIBADI CARL ROGERS. Setelah mendapat gelar doktor dalam psikologi Rogers menjadi staf pada Rochester Guidance Center dan kemudian menjadi

PRIBADI CARL ROGERS. Setelah mendapat gelar doktor dalam psikologi Rogers menjadi staf pada Rochester Guidance Center dan kemudian menjadi 9 PRIBADI CARL ROGERS Carl Rogers adalah seorang psikolog yang terkenal dengan pendekatan terapi klinis yang berpusat pada klien (client centered). Rogers kemudian menyusun teorinya dengan pengalamannya

Lebih terperinci

MOTIVASI BERPRESTASI ABSTRACK

MOTIVASI BERPRESTASI ABSTRACK MOTIVASI BERPRESTASI ABSTRACK Materi pembelajaran 'Motivasi Berprestasi' bertujuan untuk membekali mahasiswa/i akan pengertian, pemahaman terhadap motivasi berprestasi sebagai aspek pendorong untuk mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 13 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Motivasi kerja 1. Pengertian motivasi kerja Menurut Anoraga (2009) motivasi kerja adalah sesuatu yang menimbulkan semangat atau dorongan kerja. Oleh sebab itu, motivasi kerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya perkembangan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan yang terjadi tersebut menuntut

Lebih terperinci

KOMPETENSI KONSELOR DALAM MEMBERIKAN LAYANAN BIMBINGAN BELAJAR KEPADA PESERTA DIDIK SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

KOMPETENSI KONSELOR DALAM MEMBERIKAN LAYANAN BIMBINGAN BELAJAR KEPADA PESERTA DIDIK SEKOLAH MENENGAH PERTAMA KOMPETENSI KONSELOR DALAM MEMBERIKAN LAYANAN BIMBINGAN BELAJAR KEPADA PESERTA DIDIK SEKOLAH MENENGAH PERTAMA Andika Ari Saputra 1), Agus Saputra 2), Indah Permatasari 3) Program Pascasarjana Universitas

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Penyesuaian Diri Penyesuaian berarti adaptasi yang dapat mempertahankan eksistensinya atau bisa bertahan serta memperoleh

Lebih terperinci

Psikologi Konseling Konseling Berbasis Problem

Psikologi Konseling Konseling Berbasis Problem Modul ke: Psikologi Konseling Konseling Berbasis Problem Fakultas Psikologi Agustini, M.Psi., Psikolog Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Konseling Berbasis Problem Konseling berbasis problem:

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Remaja dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Memahami Masa

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Dalam Rangka Dies Natalis Universitas Tunas Pembangunan Surakarta

Prosiding Seminar Nasional Dalam Rangka Dies Natalis Universitas Tunas Pembangunan Surakarta Prosiding Seminar Nasional Dalam Rangka Dies Natalis Universitas Tunas Pembangunan Surakarta PERAN KONSELOR SEKOLAH DALAM KETRAMPILAN EMPATI SEBAGAI USAHA PENGUATAN KARAKTER SISWA Eny Kusumawati Universitas

Lebih terperinci

Model-model Bimbingan

Model-model Bimbingan Model-model Bimbingan Urutan Presentasi Bimbingan Model Parsons Bimbingan Identik dengan Pengajaran Bimbingan Penyaluran dan Penyesuaian Bimbingan Sebagai Proses Klinis Bimbingan Pengambilan Keputusan

Lebih terperinci

KONSELING KELOMPOK.

KONSELING KELOMPOK. KONSELING KELOMPOK http://kajianpsikologi.guru-indonesia.net Latar Belakang Konseling kelompok (salah satu prosedur terapeutik) menjadi metode kelompok yang semakin populer Atkinson (1991), keuntungan

Lebih terperinci

Komunikasi Interpersonal. Dwi Kurnia Basuki

Komunikasi Interpersonal. Dwi Kurnia Basuki Komunikasi Interpersonal Dwi Kurnia Basuki Definisi Komunikasi interpersonal adalah proses pertukaran informasi diantara seseorang dengan paling kurang seorang lainnya atau biasanya di antara dua orang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. mau dan mampu mewujudkan kehendak/ keinginan dirinya yang terlihat

BAB II LANDASAN TEORI. mau dan mampu mewujudkan kehendak/ keinginan dirinya yang terlihat BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Tentang Kemandirian 2.1.1 Pengertian Kemandirian Pengertian mandiri berarti mampu bertindak sesuai keadaan tanpa meminta atau tergantung pada orang lain. Mandiri adalah

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. kegiatan belajar mengajar di dalam kelas adalah sebuah proses dimana

1. PENDAHULUAN. kegiatan belajar mengajar di dalam kelas adalah sebuah proses dimana 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian anak, baik di luar dan di dalam sekolah yang berlangsung seumur hidup. Proses

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP-KONSEP PSIKOANALAISIS DALAM KONSELING KELUARGA

APLIKASI KONSEP-KONSEP PSIKOANALAISIS DALAM KONSELING KELUARGA APLIKASI KONSEP-KONSEP PSIKOANALAISIS DALAM KONSELING KELUARGA A. Pendekatan Psikoanalisis Aliran psikoanalisis dipelopori oleh Sigmund Freud pada tahun 1896. Dia mengemukakan bahwa struktur kejiwaan manusia

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN PERILAKU MELAYANI PADA PERAWAT DI RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH ROEMANI SEMARANG. Skripsi

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN PERILAKU MELAYANI PADA PERAWAT DI RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH ROEMANI SEMARANG. Skripsi HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN PERILAKU MELAYANI PADA PERAWAT DI RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH ROEMANI SEMARANG Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. yang terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi

BAB II LANDASAN TEORI. yang terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Diri 2.1.1. Pengertian Konsep diri Konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya, yang terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh

Lebih terperinci

KOMUNIKASI TERAPEUTIK

KOMUNIKASI TERAPEUTIK A. PENGERTIAN Komunikasi terapeutik adalah suatu pengalaman bersama anatara perawat dan klien yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah klien. B. TUJUAN Tujuan Komunikasi Terapeutik : 1. Membantu pasien

Lebih terperinci

EMOTIONAL INTELLIGENCE MENGENALI DAN MENGELOLA EMOSI DIRI SENDIRI DAN ORANG LAIN Hogan Assessment Systems Inc.

EMOTIONAL INTELLIGENCE MENGENALI DAN MENGELOLA EMOSI DIRI SENDIRI DAN ORANG LAIN Hogan Assessment Systems Inc. EQ KEMAMPUAN EMOTIONAL INTELLIGENCE UNTUK MENGENALI DAN MENGELOLA EMOSI DIRI SENDIRI DAN ORANG LAIN. Laporan untuk John Doe ID UH555438 Tanggal Oktober 20, 2014 2013 Hogan Assessment Systems Inc. Pendahuluan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Kompetensi Interpersonal 1. Pengertian Kompetensi Interpersonal Menurut Mulyati Kemampuan membina hubungan interpersonal disebut kompetensi interpersonal (dalam Anastasia, 2004).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyesuaian diri merupakan salah satu persyaratan penting bagi terciptanya kesehatan mental remaja. Banyak remaja yang menderita dan tidak mampu mencapai kebahagiaan

Lebih terperinci

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB II. Tinjauan Pustaka BAB II Tinjauan Pustaka Dalam bab ini peneliti akan membahas tentang tinjauan pustaka, dimana dalam bab ini peneliti akan menjelaskan lebih dalam mengenai body image dan harga diri sesuai dengan teori-teori

Lebih terperinci

ASSALAMU ALAIKUM WR.WB.

ASSALAMU ALAIKUM WR.WB. ASSALAMU ALAIKUM WR.WB. PENDIDIKAN BERMUTU efektif atau ideal harus mengintegrasikan tiga bidang kegiatan utamanya secara sinergis, yaitu (1) bidang administratif dan kepemimpinan, (2) bidang instruksional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan menengah. Tujuan pendidikan perguruan tinggi ialah untuk

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan menengah. Tujuan pendidikan perguruan tinggi ialah untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perguruan tinggi adalah pendidikan tinggi yang merupakan lanjutan dari pendidikan menengah. Tujuan pendidikan perguruan tinggi ialah untuk mempersiapkan peserta

Lebih terperinci

Oleh Oom Sitti Homdijah Program Doctoral Sekolah Pascasarjana UPI

Oleh Oom Sitti Homdijah Program Doctoral Sekolah Pascasarjana UPI Oleh Oom Sitti Homdijah Program Doctoral Sekolah Pascasarjana UPI FOKUS CHAPTER INI PADA PENGARUH KONSELOR KELOMPOK BAIK SEBAGAI INDIVIDU ATAU SEORANG PROFESIONAL KONSELOR KELOMPOK SEBAGAI INDIVIDU Konselor

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL PSIKOLOGI PERKEMBANGAN DEWASA DAN LANSIA PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL Oleh: Dr. Rita Eka Izzaty, M.Si Yulia Ayriza, Ph.D STABILITAS DAN PERUBAHAN ANAK-DEWASA TEMPERAMEN Stabilitas

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Menurut Havighurst (1972) kemandirian atau autonomy merupakan sikap

BAB II KAJIAN TEORI. Menurut Havighurst (1972) kemandirian atau autonomy merupakan sikap BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Kemandirian 2.1.1 Pengertian Kemandirian Menurut Havighurst (1972) kemandirian atau autonomy merupakan sikap individu yang diperoleh selama masa perkembangan. Kemandirian seseorang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. merupakan sebentuk komunikasi. Sedangkan Rogers bersama Kuncaid

II. TINJAUAN PUSTAKA. merupakan sebentuk komunikasi. Sedangkan Rogers bersama Kuncaid II. TINJAUAN PUSTAKA A. Komunikasi Interpersonal 1. Pengertian Komunikasi Komunikasi mencakup pengertian yang luas dari sekedar wawancara. Setiap bentuk tingkah laku mengungkapkan pesan tertentu, sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terhadap perilakunya seseorang perlu mencari tahu penyebab internal baik fisik,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terhadap perilakunya seseorang perlu mencari tahu penyebab internal baik fisik, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perilaku seseorang adalah hasil interaksi antara komponen fisik, pikiran, emosi dan keadaan lingkungan. Namun, untuk memperkuat kontrol manusia terhadap perilakunya

Lebih terperinci

Psikologi Konseling Psychoanalysis Therapy and Person Center Therapy

Psikologi Konseling Psychoanalysis Therapy and Person Center Therapy Modul ke: Fakultas Psikologi Psikologi Konseling Psychoanalysis Therapy and Person Center Therapy Agustini, M.Psi., Psikolog Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Pendahuluan Psychoanalysis Therapy

Lebih terperinci