BAB I PENDAHULUAN I.1.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN I.1."

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Perkebunan kelapa sawit di Indonesia semakin menarik untuk dikembangkan dan dibudidayakan, mengingat semakin tingginya permintaan hasil olahan pohon kelapa sawit dari tahun ke tahun. Ada banyak perkebunan kelapa sawit yang tersebar di pulau-pulau besar di Indonesia seperti pulau Sumatera dan Kalimantan, salah satu yang terkenal adalah daerah Muara Wahau. Muara Wahau merupakan salah satu wilayah perkebunan kelapa sawit yang menjadi pionir sawit di daerah Kutai Timur, Kalimantan Timur. Dengan bukti bahwa daerah tersebut berkembang pesat adalah peredaran uang di masyarakat setiap bulannya mencapai puluhan miliar rupiah. Dalam konservasinya untuk mempertahankan kualitas, maka dibutuhkan sebuah informasi yang menyeluruh dan detil terhadap perkembangan tiap pohon sawit setiap tahunnya.salah satu yang sangat esensial untuk diperhatikan yakni kesehatan pohon sawit. Untuk mendukung kegiatan pemantauan kesehatannya, saat ini telah berkembang teknologi penginderaan jauh yang semakin canggih berupa kombinasi Lidar dan Foto Udara Multispektral 4 band. Dengan kombinasi tersebut, kualitas kesehatan pohon sawit dapat dipetakan dengan cepat dalam area yang luas dan dianalisis dalam resolusi spasial yang tinggi, jauh lebih baik jika dibandingkan dengan citra satelit. Hasil keluarannya dapat digunakan dalam pengambilan keputusan penanganan berikutnya secara efektif dan efisien. Kesehatan tanaman dapat dilihat dan diinterpretasi dari beberapa bagian dari tanaman tersebut yang mampu terekam oleh kamera dari udara misalnya kanopi pohon, tinggi pohon dan warna daun. Kanopi merupakan kumpulan tajuk yang terbentuk oleh cabang-cabang dan dedaunan pohon-pohon hutan yang ratarata mempunyai ketinggian 30 meter dari atas tanah dan tumbuhnya rapat serta tumpang tindih sehingga tajuknya saling bertautan membentuk kesinambungan serta menjadi atap hutan (Buttler 2008, dalam Cendramadi 2011). Secara alamiah

2 2 (pertumbuhan liar di hutan), tinggi batang pohon kelapa sawit dapat mencapai 30 m, tetapi secara komersial (dalam budi daya perkebunan) jarang sekali tinggi tanaman kelapa sawit melebihi ketinggian m. Hal ini berhubungan dengan kemudahan pelaksanaan panenan buah dan pemeliharaan lainnya, misalnya pemangkasan daun (Setyamidjaja 1991). Menurut Risanda (2008), daun kelapa sawit yang sehat dan segar berwarna hijau tua sedangkan yang terindikasi terkena penyakit, warna daun akan menjadi kuning pucat, adapula yang berwarna abuabu mengkilap, bercak kecokelatan serta merah keunguan yang disebabkan oleh kekurangan beberapa unsur hara. Tanaman kelapa sawit yang terindikasi penyakit sangat penting dan perlu untuk dipetakan karena akan sangat membantu para pemilik kebun kelapa sawit untuk melihat distribusi tanaman yang terindikasi tidak normal dalam areal yang luas. Selain itu, dapat diketahui pula dengan tepat posisi - posisi tanaman yang terkena penyakit melalui koordinat yang disajikan di peta. Dengan adanya peta distribusi, maka akan dapat diambil keputusan penanganan secara tepat dan cepat. Data foto udara multispektral yang telah diproses menjadi ortofoto multispektral dan dibuat mosaik, akan mampu memberikan gambaran secara visual, persebaran tanaman sawit yang terindikasi penyakit atau tidak normal. Dengan kemampuan multispektralnya serta resolusi spasial yang tinggi sampai ke fraksi sentimeter, seorang interpreter akan dengan cepat dapat mengidentifikasikan dan mengklasifikasikan tanaman sawit yang sehat dan yang sakit hanya dengan mengkombinasikan band NIR dengan band RGB membentuk keluaran CIR yang memberikan perubahan warna asli menjadi warna semu sehingga nampak perbedaan kesehatan tanamannya lebih jelas terlihat. I.2. Lingkup Kegiatan Lingkup kegiatan pada proyek ini meliputi : 1. Data yang digunakan adalah data foto udara multispektral dengan rincian band : a. Band Biru ( λ = 0,4 μm 0,5 μm dan DN = ) b. Band Hijau ( λ = 0,5 μm 0,6 μm dan DN = )

3 3 c. Band Merah ( λ = 0,6 μm 0,7 μm dan DN = ) d. Band NIR ( λ = 0,7 μm 0,95 μm dan DN = ) yang diakuisisi pada tanggal 8 April Akuisisi data dilakukan dengan menggunakan alat Airborne LiDAR ALS70 Leica dan kamera udara digital RCD30 yang terintegrasi dan dipasang pada pesawat Pilatus Porter PC6. 2. Lokasi penelitian adalah di kawasan Muara Wahau, Kutai Timur, Kalimantan Timur. 3. Tanaman yang diteliti dalam proyek ini adalah pohon kelapa sawit yang dewasa. 4. Data masukan yang digunakan dalam pemrosesan ortofoto hanya menggunakan data lidar (*.las). 5. Unsur tanaman sawit yang menjadi parameter indikasi penyakit secara visual yakni warna daun. 6. Asumsi nilai NDVI yang digunakan sebagai indikator kesehatan tanaman sawit dalam proyek ini adalah dari 0,1-0,2 dikelaskan sebagai sawit terindikasi penyakit dan 0,2-0,9 sebagai sawit yang sehat. I.3. Tujuan Proyek Tujuan dari dilaksanakannya proyek ini adalah membuat peta distribusi tanaman sawit terindikasi penyakit dari ortofoto multispektral. lain : I.4. Manfaat Proyek Pelaksanaan proyek ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara 1. Untuk bidang akademik, yaitu diharapkan dapat dijadikan bahan referensi mengenai pengolahan raw foto udara multispektral hingga menjadi ortofoto multispektral.

4 4 2. Manfaat lainnya adalah untuk bidang agronomi, yakni sebagai alternatif pelengkap data dalam mengkaji dan melakukan konservasi terkait dengan kesehatan pohon kelapa sawit. I.5. Landasan Teori I.5.1. Foto Udara Multispektral Proses pemotretan udara dengan menggunakan pesawat terbang dipengaruhi oleh cuaca seperti kecepatan angin, tekanan udara, dan suhu sehingga mempengaruhi attitude terbang pesawat yang akan memiliki efek terhadap jalur terbang pesawat dan proses pengambilan foto. Semakin kuat efek yang diterima pesawat, maka jalur terbang pesawat akan menjadi tidak stabil dan foto yang dihasilkan pun kurang memiliki kualitas yang sesuai dengan standar. Oleh karenanya, sebelum melakukan pengambilan foto, perlu diketahui karakteristik terbang pesawat, alat yang sudah dikalibrasi., dan kondisi cuaca yang mendukung sehingga pemotretan udara menjadi efektif dan efisien serta mampu menghasilkan data foto udara digital dengan kondisi baik. Gambar I.1. Variasi pergerakan pesawat di udara serta pengaruhnya terhadap foto yang dihasilkan (Sumber : Habib 2007, dalam Hastuti 2014)

5 5 Umumnya, foto udara dihasilkan dalam warna pankromatik karena menggunakan saluran lebar. Foto udara multispektral merupakan foto udara yang diperoleh pada tempat dan ketinggian yang sama dengan menggunakan lebih dari satu spektrum elektromagnetik. Biasanya digunakan satu kamera berlensa empat dengan menggunakan saluran biru, hijau, merah, dan inframerah dekat. Proses perekamannya dilakukan secara serentak sehingga pada setiap sekali pemotretan, dihasilkan empat foto yang saluran elektromagnetiknya berbeda. Kelebihan foto udara multispektral terletak pada kemampuannya untuk mempertajam perbedaan rona antara dua obyek atau lebih. Penajaman rona pada foto udara multispektral dapat dimanfaatkan untuk pengamatan visual tanpa perubahan, pengamatan visual dengan pemotretan kembali, dan paduan warna aditif dengan alat pengamat (Liliesand dan Kiefer 2000). Pada foto udara multispektral, tiap saluran mempunyai keunggulannya sendiri. Berikut ini adalah keunggulan dan manfaat saluran merah, hijau, biru dan inframerah menurut Rehder (1985) dalam Liliesand dan Kiefer (2000) : 1. Saluran biru (0,4 μm 0,5 μm) Saluran biru merupakan saluran yang peka terhadap pantulan air sehingga sering digunakan dalam mengindera kelembaban atmosfer, kedalaman air, dan kekeruhan air. 2. Saluran hijau (0,5 μm 0,6 μm) Saluran hijau dapat digunakan untuk membedakan tanaman sehat dan tanaman sakit. 3. Saluran merah (0,6 μm 0,7 μm) Saluran merah merupakan saluran yang baik untuk membedakan vegetasi dan bukan vegetasi. 4. Saluran inframerah dekat (0,7 μm 0,95 μm) Saluran inframerah bermanfaat untuk mendeteksi tanaman ataupun hutan yang mengalami gangguan. Dengan saluran ini, juga dapat memudahkan untuk membedakan tanah dengan vegetasi, tanah dengan air, menggambarkan badan air,dan mengidentifikasi tanaman pertanian.

6 6 Gambar I.2. Panjang gelombang spektrum elektromagnetik (Sumber : fm) I.5.2. Orientasi dalam Orientasi dalam merupakan proses mencari hubungan antara sistem berkas dengan sistem foto, yang biasanya secara manual disebut centering foto, dengan memasukkan data kalibrasi kamera. Setiap pemotretan udara dengan mengggunakan foto udara digital akan menghasilkan foto dalam sistem koordinat piksel (kolom, baris) yang memiliki titik origin pada pojok kiri atas. Agar dapat menghasilkan model dalam bentuk geometris yang tepat maka perlu dilakukan proses transformasi dari koordinat piksel menjadi koordinat foto (x,y) yang memiliki titik origin pada pusat foto. Unsur-unsur yang diperlukan untuk proses orientasi dalam diantaranya panjang fokus kamera, ukuran negatif film atau CCD pada kamera digital. Model matematis yang dapat digunakan untuk proses transformasi koordinat citra ke koordinat foto adalah sebagai berikut (Harnanto 2012, dalam Pranadita 2013) : x = a1 + a2 u + a3 v... (I.1) y = a4 + a5 u + a6 v... (I.2) Keterangan : x,y = Sistem koordinat foto

7 7 u,v = Sistem koordinat piksel a1,..., a6 = Parameter transformasi Parameter transformasi diperoleh dari hasil hitungan rumus (I.1) dan (I.2) yaitu dengan menentukan koordinat minimal tiga buah tanda tepi kamera dalam sistem koordinat piksel. Jika diketahui lebih dari tiga tanda tepi maka dapat dilakukan perhitungan kuadrat terkecil untuk dapat menentukan parameter interior orientasi kamera. I.5.3. Direct Georeferencing Georeferencing adalah proses penentuan posisi sensor kamera udara ke sistem koordinat tanah. Georeferencing terdiri dari dua jenis yakni indirect georeferencing dan direct georeferencing. Perbedaan dari kedua proses tersebut disajikan dalam tabel I.1. berikut. Tabel I.1. Perbedaan Indirect dan Direct Georeferencing Indirect Georeferencing Direct Georeferencing Penentuan sensor kamera dilakukan Penentuan sensor kamera secara dengan proses AT (aerial langsung dengan menggunakan triangulation) peralatan tambahan (IMU dan GPS) Membutuhkan titik kontrol tanah dan Dapat meminimalisir jumlah titik titik ikat (tie point) yang banyak kontrol tanah sehingga dapat mempercepat proses pemetaan selain menghemat biaya keseluruhan Tidak terlalu memperhatikan kesalahan Memperhitungkan kesalahan sistematik sistematik Metode direct georeferencing dapat menghasilkan proses penentuan eksterior orientasi dengan ketelitian tinggi, dengan persyaratan pemilihan peralatan, metode akuisisi dan proses pengolahan dilakukan dengan tepat sehingga dapat ditambahkan dalam proses AT. Koreksi antara jarak pusat GPS di

8 8 pesawat harus diperhitungkan dengan jarak pusat foto dan jarak baseline antara GPS di tanah dengan GPS di pesawat harus diperhitungkan karena akan berpengaruh terhadap ketelitian posisi. Metode ini masih dalam tahap pengembangan sistem kalibrasi boresight (perbedaan sudut yang terbentuk antara IMU dan sensor kamera) dan juga dapat mengukur kesalahan sistematik sensor kamera (nilai focal length). Untuk lebih jelas dapat diperhatikan Gambar I.3. dan I.4. di bawah ini. Kamera udara untuk merekam objek di atas permukaan bumi Gambar I.3. Visualisasi sistem direct georeferencing Inertial Measurement Unit Z b X 0 z b G P S X b y X 0 b b x INS/IMU GPS pada pesawat sebagai roving mengukur nilai omega, phi, kappa untuk GPS pada ground/ta nah sebagai base atau station referensi GNSS antenna phase centre c e z C a m X b Metode diferential Kinematik, Menentukan Koordinat X, Y, Z O perspective c centre y p Camera / Sensor c x P image point ( Rp ) Object coordinate system X X Gambar I.4. Sistem direct georeferencing dalam bentuk geometrikal Y P object point

9 9 Transformasi koordinat dari koordinat foto ke koordinat tanah dengan parameter sensor frame foto dapat dibentuk dengan persamaan (Fritsch 2014) : X X R R x X X l l b Cam b b 0 b Cam P Cam GPS...(I.3) Data GPS/IMU harus dihubungkan dengan sensor kamera yang telah diorientasikan, yang prosesnya disebut dengan koreksi boresight alignment dengan parameter : : : I.5.4. Triangulasi Udara Triangulasi udara merupakan bagian dari tahapan pemrosesan fotogrametri yang cukup kompleks. Dengan adanya transisi foto udara dari konvensional ke digital, maka muncul istilah triangulasi udara digital. Pekerjaan identifikasi, pemilihan transfer, dan pengukuran titik ikat foto dilakukan secara digital juga. Dalam sudut pandang yang lebih sempit, triangulasi udara terbagi atas 4 fase (Schenk 1996) yakni persiapan, transfer titik, perhitungan titik, dan bundle block adjustment. Bundle block adjusment merupakan proses yang dilakukan untuk menghubungkan secara langsung sistem koordinat foto menjadi sistem koordinat tanah, tanpa melakukan proses orientasi relatif dan orientasi absolut. Secara umum bundle adjusment dapat digambarkan dengan menggunakan persamaan transformasi sebangun tiga dimensi. Keterangan : X,Y,Z λ ω ϕ Ϗ x,y,z xo,yo,zo = Posisi titik pada koordinat tanah = Faktor skala = Parameter rotasi = Posisi titik pada koordinat foto = Posisi pusat proyeksi kamera pada sistem koordinat foto

10 10 Apabila dilihat secara visual hubungan antara sistem koordinat foto dengan sistem koordinat tanah dapat dilihat pada Gambar I.4. Gambar I.5. Hubungan koordinat foto dengan koordinat tanah (Sumber : Harintaka dkk 2008, dalam Pranadita 2013) Dengan mendistributifkan antara parameter yang berada pada gambar I.5 dengan rumus I.4 maka persamaan konform tiga dimensi dapat dibentuk menjadi rumus I.5. Keterangan : r11,r12,...,r33 xp,yp,zp Xp,Yp,Zp Xo,Yo,Zo = Parameter rotasi terhadap setiap sumbu = Koordinat titik pada sistem koordinat foto = Koordinat titik pada sistem koordinat tanah = Posisi pusat proyeksi kamera pada tanah

11 11 Untuk menunjukkan bahwa posisi sebuah obyek yang berada di foto, dipermukaan tanah dan pusat proyeksi berada dalam satu garis lurus maka dapat dibangun sebuah persamaan kolinier atau persamaan kesegarisan, yaitu dengan cara membagi baris ke-1 dan baris ke-2 dengan baris ke-3, sehingga diperoleh persamaan I.6 dan I.7. Persamaan I.6 dan I.7 merupakan persamaan non linear dan masih memiliki enam parameter yang belum diketahui nilainya yaitu Xo, Yo, Zo, ω, ϕ, Ϗ. Karena persamaan I.6 dan I.7 bukan persamaan linear maka dilakukan proses linearisasi dengan menggunakan deret tailor yaitu dengan menurunkan persamaan I.6 dan I.7 ke masing-masing parameter, sehingga diperoleh persamaan I.8 dan I.9. Berdasarkan persamaan I.7 dan I.8 maka akan diperoleh parameter eksterior orientasi yang dapat digunakan untuk membangun model stereo. Hasil statistik perataan dari proses triangulasi udara harus memenuhi ketentuan berikut (KAK Pemotretan Udara dari BIG 2014) : - Sigma naught < ukuran piksel (mikron) - RMSE titik minor < 0,5 x ukuran piksel (mikron) - Nilai residual maksimal titik minor < 1,5 x ukuran piksel (mikron) - RMSE titik kontrol < 0,5 meter - Nilai residual maksimal titik kontrol < 1 meter Apabila ditemukan hasil yang tidak memenuhi persyaratan diatas, maka

12 12 pelaksanaan Triangulasi Udara harus diulang dengan mengeliminasi kesalahan yang muncul dan dihitung ulang sampai hasil yang diperoleh sudah sesuai dengan persyaratan yang ditentukan. I.5.5. Ortofoto Ortofoto adalah foto udara yang memiliki proyeksi orhtogonal sehingga memiliki keseragaman skala dan tidak memiliki kesalahan pergeseran relief sehingga bisa digunakan dalam pemetaan (Habib 2007, dalam Pranadita 2013). Pada dasarnya sebuah foto memiliki karakteristik tertentu di antaranya, memiliki proyeksi perspektif, skala tidak seragam pada keseluruhan obyek yang tergambar, terdapat perbedaan bentuk antara obyek tergambar dengan obyek di lapangan. Gambaran karakteristik foto dapat dilihat seperti Gambar I.6. e d c b a Foto Udara Titik pusat proyeksi A B C D E Datum A B C D E Gambar I.6. Proyeksi pada foto Sedangkan karakteristik peta: terproyeksi secara orthogonal, skala yang sama, dan tidak adanya perbedaan bentuk antara obyek tergambar dengan obyek di lapangan. Karakteristik peta dapat dilihat seperti Gambar I.7. a b c d e Peta A B C D E A B C D E Datum Gambar I.7. Proyeksi pada peta

13 13 Menurut Habib (2007), dalam Pranadita (2013) dengan dibentuknya ortofoto maka akan diperoleh beberapa keuntungan dalam pekerjaan yang dilakukan, di antaranya: 1. Hasil ortofoto akan memiliki karakteristik yang sama seperti peta tetapi dengan lebih banyak fitur. 2. Pengguna dapat menggambar garis dan mengukur jarak tanpa memerlukan stereo-plotters. 3. Salah satu alternatif pembuatan peta dengan biaya rendah karena ortofoto dapat dilakukan secara otomatis. Pembuatan ortofoto membutuhkan waktu yang lebih singkat dan biaya yang lebih murah apabila dibandingkan dengan pembuatan peta vector. Foto yang dijadikan ortofoto dapat dimanipulasi sehingga kualitas foto dapat ditingkatkan dengan melakukan perubahan konsistensi, kontras, sharpening, filtering dan lain sebagainya (Habib 2007, dalam Pranadita 2013). Ortofoto dibuat dengan menggunakan data EO dan DTM. DTM yang dihasilkan minimal memiliki resolusi 32 bit dengan sampling space 2,5 meter x 2,5 meter. Tahapan pembuatan ortofoto adalah sebagai berikut (KAK Pemotretan Udara dari BIG 2014) : a. Persiapan data meliputi foto udara, hasil AT dan DEM (dengan ketelitian dan resolusi yang sesuai untuk pembuatan ortofoto skala 1: 5.000). b. Proses ortorektifikasi foto udara menggunakan hasil AT dan DEM. c. Mosaik foto per blok, meliputi pembuatan seamline dan tone/color balancing. d. Cropping mosaik foto per NLP. e. Export ke format GeoTIFF resolusi 15 cm. Ortofoto yang telah dibuat harus diperiksa ketelitiannya dengan mengukur koordinat premark pada ortofoto. Ketelitian yang disyaratkan adalah ketelitian horizontal 1 m. Ortofoto yang dihasilkan kemudian dibuat mosaik. Secara detil Wolf (1983) dalam Lillesand and Kiefer (2000), menyatakan mosaik foto udara merupakan gabungan dari dua atau lebih foto udara yang saling bertampalan sehingga terbentuk paduan citra (image) yang berkesinambungan dan menampilkan daerah yang lebih luas. Foto yang telah

14 14 dimosaik tidak akan terlihat lagi frame-frame fotonya yang bertampalan karena telah terintegrasi menjadi satu bagian (seamless). I.5.6. Koreksi Radiometrik Koreksi radiometrik dilakukan untuk memperbaiki kualitas visual dan memperbaiki nilai- nilai pixel yang tidak sesuai dengan nilai pantulan atau pancaran spektral objek yang sebenarnya (Arhatin 2010). Proses koreksi radiometrik mencakup koreksi efek - efek yang berhubungan dengan sensor untuk meningkatkan (enhancing) setiap piksel (picture element) dari foto, sehingga objek yang terekam mudah diinterpretasikan atau dianalisis untuk menghasilkan data yang benar dan sesuai dengan keadaan di lapangan. Beberapa contoh metode yang dapat dipakai dalam koreksi radiometrik, diantaranya adalah metode penyesuaian histogram dan metode penyesuaian regresi. I.5.7. Interpretasi Foto Udara Wolf (1983), JARS (1993) dalam Lillesand and Kiefer (2000), menyatakan ada 8 kunci yang dipergunakan untuk melakukan klasifikasi obyek secara visual, yaitu bentuk, ukuran, pola, tone, bayangan, rona atau warna, tekstur dan asosiasi. Pada awalnya kunci interpretasi sangat cocok diterapkan pada citrafoto udara pankromati, tetapi dapat diterapkan pada citra satelit. Jika citra memiliki saluran multispektral maka dapat dibuat warna natural sehingga kenampakan obyek dapat digunakan teknik filtering dengan menggunakan filter yang sesuai. Berapa jenis filter digunakan untuk mengekstrak titik, garis, dan sisi obyek pada citra digital. I.5.8. Skema Klasifikasi Skema adalah alur atau tahapan pelaksanaan suatu kegiatan sedangkan klasifikasi adalah penggolongan objek ke dalam kelas-kelas berdasarkan kriteria tertentu (Kartini 1999). Pemilihan skema klasifikasi merupakan rencana untuk memilih kategori-kategori yang akan dipakai untuk mengelompokkan nilai piksel kedalam kelas-kelas tertentu. Ada berbagai macam skema klasifikasi penggunaan

15 15 lahan yang bisa digunakan. Dalam penelitian ini digunakan skema klasifikasi berdasarkan nilai digital hasi dari NDVI yang terbagi menjadi tiga kelas yakni non vegetasi, sehat, dan terindikasi sakit. Dengsn indikatornya secara visual adalah warna daun yang diamati dalam foto CIR serta rentang nilai NDVI yang dibagi menjadi 3 kelas yakni dari -1 sampai 0,1 sebagai non vegetasi, 0,1-0,2 sebagai sawit terindikasi penyakit, 0,2-0,9 sebagai sawit sehat. Foto Multispektral Non Vegetasi Sawit Sehat Terindikasi sakit Gambar I.8. Skema klasifikasi yang akan digunakan dalam proyek I.5.9. Analisa Spektral Pantulan Energi dari pantulan dan pancaran gelombang elektromagnetik dari obyek dipermukaan bumi yang diterima oleh sensor, dimanfaatkan oleh sistem penginderaan jauh untuk memperoleh nilai spektral dari suatu obyek. Nilai spektral dari obyek dipermukaan bumi berasal dari nilai energi yang diterima oleh sensor tersebut. Setiap obyek memiliki karakteristik dan respon yang berbeda terhadap suatu panjang gelombang elektromagnetik, dan panjang gelombang elektromagnetik tertentu memiliki respon yang berbeda ketika berinteraksi dengan obyek, sehingga dapat ditemukan obyek yang sama akan memiliki respon spektral yang berbeda jika berada pada kondisi yang berbeda. Respon spektral obyek dipermukaan bumi dipengaruhi oleh azimut matahari, sudut ketinggian matahari, arah relatif sensor terhadap nadir dan kondisi obyek tersebut. Sudut

16 16 azimuth matahari adalah sudut yang terbentuk antara arah utara dengan matahari. Sudut ketinggian matahari adalah sudut vertikal yang terbentuk antara permukaan dengan arah matahari. Karakteristik pantulan spektral dari vegetasi dipengaruhi oleh kandungan pigmen daun, material organik, air dan karakteristik struktural daun seperti bentuk daun dan luas daun (Huete 2012). Vegetasi memiliki karakter spektral yang unik bila dibandingkan dengan obyek tanah maupun air pada saluran panjang gelombang tampak maupun pada panjang gelombang inframerah. Nilai pantulan vegetasi pada saluran panjang gelombang tampak memiliki nilai pantulan yang rendah pada panjang gelombang biru dan merah hal ini disebabkan oleh serapan klorofil untuk fotosintesis, vegetasi memiliki nilai yang tinggi pada panjang gelombang hijau, hal ini menyebabkan vegetasi terlihat berwarna hijau. Pada panjang gelombang infra merah dekat, nilai pantulan dari vegetasi lebih tinggi dari pada panjang gelombang tampak hal ini disebabkan oleh struktur daun. Pada panjang gelombang inframerah pendek pantulan daun meningkat seiring dengan menurunnya kadar air pada daun, untuk itu saluran inframerah pendek dapat digunakan untuk melihat vegetasi yang sakit. Pada panjang gelombang inframerah tengah pantulan vegetasi menurun yang disebabkan oleh serapan yang kuat oleh air. Gambar I.9. Pantulan spektral vegetasi. Tanda panah menunjukkan panjang gelombang sensor optik terhadap vegetasi. A : Saluran Biru, B : Saluran Hijau, C : Saluran Merah, D : Inframerah dekat, E : Inframerah pendek (Sumber :

17 17 I NDVI Formula Indeks Vegetasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah formula NDVI. NDVI merupakan salah satu indeks vegetasi yang tertua, terbanyak, dan paling sering digunakan untuk membedakan vegetasi. Nilai NDVI ditentukan dalam persamaan : NDVI = Saluran inframerah dekat (NIR) saluran merah (RED)...(I.10) Saluran inframerah dekat (NIR) + saluran merah (RED) NDVI mempunyai nilai antara -1 yang menunjukkan daerah dengan tingkat kerapatan sangat rendah, hingga nilai +1 yang menunjukkan daerah dengan tingkat kerapatan sangat tinggi (Danoedoro 1996). Prinsip dari NDVI adalah bahwa tumbuhan hidup akan menyerap gelombang matahari untuk melakukan proses fotosintesis. Pada tanaman berklorofil, visible light (RGB) akan diserap sampai dengan setengahnya sedangkan gelombang inframerah (0,7 1,1 µm) akan dipantulkan. Sehingga pada tanaman yang sehat, daun-daunnya akan menyerap gelombang visible paling banyak dan memantulkan inframerah dekat paling banyak juga (Zhang dkk 2009, dalam Priyani 2013). Pada citra inframerah dekat yang berwarna hitam putih, menandakan hitam adalah NIR paling banyak diserap, sedangkan putih adalah NIR paling banyak dipantulkan. Lebih jelasnya disajikan dalam Gambar I.8. berikut. NIR Visible NIR Visible 60 % 18 % 35 % 8 % Sawit Sehat Sawit Sakit Gambar I.10. Hubungan penyerapan gelombang visible dan NIR pada tanaman sehat dan tanaman yang sakit

18 18 NDVI berkorelasi dengan kemampuan fotosintesis tumbuhan dan energi yang terserap dari kanopi tumbuhan. Tumbuhan sehat akan mempunyai kenampakan nilai NIR paling cerah dan nilai NDVI paling tinggi. Terdapat perbedaan nilai NDVI pada tangkai daun yang sehat dengan tangkai daun tidak sehat. Pada tangkai daun yang sehat mempunyai rerata nilai 0.6, sedangkan tangkai daun yang tidak sehat berada pada rentang 0.1 sampai dengan 0.2 ( Zhang dkk 2009, dalam Priyani 2013).

19 19

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file PENGINDERAAN JAUH copyright@2007 --- anna s file Pengertian Penginderaan Jauh Beberapa ahli berpendapat bahwa inderaja merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh data di permukaan bumi, jadi inderaja

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 10 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO Citra nonfoto adalah gambaran yang dihasilkan oleh sensor nonfotografik atau sensor elektronik. Sensornya

Lebih terperinci

ix

ix DAFTAR ISI viii ix x DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Emisivitas dari permukaan benda yang berbeda pada panjang gelombang 8 14 μm. 12 Tabel 1.2. Kesalahan suhu yang disebabkan oleh emisivitas objek pada suhu 288

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kemajuan teknologi saat ini berpengaruh besar pada bidang survei dan pemetaan. Metode pengumpulan data spasial saat ini tidak hanya dilakukan secara langsung di lapangan

Lebih terperinci

ISTILAH DI NEGARA LAIN

ISTILAH DI NEGARA LAIN Geografi PENGERTIAN Ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL PENGOLAHAN CITRA DIGITAL Aditya Wikan Mahastama mahas@ukdw.ac.id Sistem Optik dan Proses Akuisisi Citra Digital 2 UNIV KRISTEN DUTA WACANA GENAP 1213 v2 Bisa dilihat pada slide berikut. SISTEM OPTIK MANUSIA

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

JENIS CITRA

JENIS CITRA JENIS CITRA PJ SENSOR Tenaga yang dipantulkan dari obyek di permukaan bumi akan diterima dan direkam oleh SENSOR. Tiap sensor memiliki kepekaan tersendiri terhadap bagian spektrum elektromagnetik. Kepekaannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan materi yang terdiri dari agregat (butiran) padat yang tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain serta dari bahan bahan organik yang telah

Lebih terperinci

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA I. Citra Foto Udara Kegiatan pengindraan jauh memberikan produk atau hasil berupa keluaran atau citra. Citra adalah gambaran suatu objek yang

Lebih terperinci

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH 01. Teknologi yang terkait dengan pengamatan permukaan bumi dalam jangkauan yang sangat luas untuk mendapatkan informasi tentang objek dipermukaan bumi tanpa bersentuhan

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data PENGINDERAAN JAUH KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data Lanjutan Sumber tenaga * Alamiah/sistem pasif : sinar matahari

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 08 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH Penginderaan jauh (inderaja) adalah cara memperoleh data atau informasi tentang objek atau

Lebih terperinci

INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K

INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K 5410012 PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH. ACARA 2 Mozaik Foto Udara dan Pengamatan Sterioskop. Oleh : Muhamad Nurdinansa [ ]

LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH. ACARA 2 Mozaik Foto Udara dan Pengamatan Sterioskop. Oleh : Muhamad Nurdinansa [ ] LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH ACARA 2 Mozaik Foto Udara dan Pengamatan Sterioskop Oleh : Muhamad Nurdinansa [120722420614] FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU GEOGRAFI UNIVERSITAS NEGERI MALANG Februari 2013

Lebih terperinci

ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI

ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI Oleh: Nama Mahasiswa : Titin Lichwatin NIM : 140722601700 Mata Kuliah : Praktikum Penginderaan Jauh Dosen Pengampu : Alfi Nur Rusydi, S.Si., M.Sc

Lebih terperinci

3.3.2 Perencanaan Jalur Terbang Perencanaan Pemotretan Condong Perencanaan Penerbangan Tahap Akuisisi Data...

3.3.2 Perencanaan Jalur Terbang Perencanaan Pemotretan Condong Perencanaan Penerbangan Tahap Akuisisi Data... DAFTAR ISI 1. BAB I. PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Rumusan Masalah... 3 1.3 Pertanyaan Penelitian... 4 1.4 Tujuan Penelitian... 4 1.5 Manfaat Penelitian... 4 2. BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Seiring dengan berkembangnya permintaan akan pemetaan suatu wilayah dalam berbagai bidang, maka semakin berkembang pula berbagai macam metode pemetaan. Dengan memanfaatkan

Lebih terperinci

9. PEMOTRETAN UDARA. Universitas Gadjah Mada

9. PEMOTRETAN UDARA. Universitas Gadjah Mada 9. PEMOTRETAN UDARA 1. Perencanaan Pemotretan Persiapan pemotretan udara. mencakup : maksud dan tujuan pemotretan, penentuan dan perhitungan spesifikasi foto udara (skala jenis, dan hasil), perhitungan

Lebih terperinci

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002) BAB III METODA 3.1 Penginderaan Jauh Pertanian Pada penginderaan jauh pertanian, total intensitas yang diterima sensor radar (radar backscattering) merupakan energi elektromagnetik yang terpantul dari

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 LAMPIRAN Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 17 Lampiran 2. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 2006 18 Lampiran 3. Peta sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun

Lebih terperinci

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi Ukuran Hubungan antar obyek Informasi spasial dari obyek Pengambilan data fisik dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman perkebunan utama di Indonesia. Kelapa sawit menjadi komoditas penting dikarenakan mampu memiliki rendemen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

Citra Satelit IKONOS

Citra Satelit IKONOS Citra Satelit IKONOS Satelit IKONOS adalah satelit inderaja komersiil pertama yang dioperasikan dengan tingkat ketelitian 1 meter untuk model pankromatik dan 4 meter untuk model multispektral yang merupakan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing) Pengolahan awal citra (Pre Image Proccesing) merupakan suatu kegiatan memperbaiki dan mengoreksi citra yang memiliki kesalahan

Lebih terperinci

SAMPLING DAN KUANTISASI

SAMPLING DAN KUANTISASI SAMPLING DAN KUANTISASI Budi Setiyono 1 3/14/2013 Citra Suatu citra adalah fungsi intensitas 2 dimensi f(x, y), dimana x dan y adalahkoordinat spasial dan f pada titik (x, y) merupakan tingkat kecerahan

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA 3.1 Kebutuhan Peta dan Informasi Tinggi yang Teliti dalam Pekerjaan Eksplorasi Tambang Batubara Seperti yang telah dijelaskan dalam BAB

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain:

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain: BAB II TEORI DASAR 2.1 Tutupan Lahan Tutupan Lahan atau juga yang biasa disebut dengan Land Cover memiliki berbagai pengertian, bahkan banyak yang memiliki anggapan bahwa tutupan lahan ini sama dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan pembangunan pada suatu negara dapat dijadikan sebagai tolak ukur kualitas dari pemerintahan suatu negara. Pembangunan wilayah pada suatu negara dapat

Lebih terperinci

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

BAB 2 TEKNOLOGI LIDAR

BAB 2 TEKNOLOGI LIDAR BAB 2 TEKNOLOGI LIDAR 2.1 Light Detection and Ranging (LiDAR) LiDAR merupakan sistem penginderaan jauh aktif menggunakan sinar laser yang dapat menghasilkan informasi mengenai karakteristik topografi permukaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kandungan air kanopi (Canopy Water Content) sangat erat kaitannya dalam kajian untuk mengetahui kondisi vegetasi maupun kondisi ekosistem terestrial pada umumnya. Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sumberdaya alam ialah segala sesuatu yang muncul secara alami yang dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan manusia pada umumnya. Hutan termasuk kedalam sumber daya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Posisi Indonesia berada di daerah tropis mengakibatkan hampir sepanjang tahun selalu diliputi awan. Kondisi ini mempengaruhi kemampuan citra optik untuk menghasilkan

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini serta tahapan-tahapan yang dilakukan dalam mengklasifikasi tata guna lahan dari hasil

Lebih terperinci

PERBANDINGAN NILAI KOORDINAT DAN ELEVASI ANTAR MODEL STEREO PADA FOTO UDARA HASIL TRIANGULASI UDARA

PERBANDINGAN NILAI KOORDINAT DAN ELEVASI ANTAR MODEL STEREO PADA FOTO UDARA HASIL TRIANGULASI UDARA Perbandingan Nilai Koordinat dan Elevasi Antar Model pada Foto Udara Hasil Triangulasi Udara... (Susetyo & Gularso) PERBANDINGAN NILAI KOORDINAT DAN ELEVASI ANTAR MODEL STEREO PADA FOTO UDARA HASIL TRIANGULASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini akan dibahas teori yang berkaitan dengan sistem pendeteksi orang tergeletak mulai dari : pembentukan citra digital, background subtraction, binerisasi, median filtering,

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Tabel 2.1 Jenis Peta menurut Skala. Secara umum, dasar pembuatan peta dapat dinyatakan seperti Gambar 2.1

BAB II DASAR TEORI. Tabel 2.1 Jenis Peta menurut Skala. Secara umum, dasar pembuatan peta dapat dinyatakan seperti Gambar 2.1 BB II DSR TEORI 2.1. Pemetaan Peta adalah penyajian grafis dari seluruh atau sebagian permukaan bumi pada suatu bidang datar dengan skala dan sistem proyeksi peta tertentu. Peta menyajikan unsurunsur di

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Tutupan Lahan di Lapangan Berdasarkan hasil observasi lapangan yang telah dilakukan di Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara, dan Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, menyebutkan Cagar Budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pembangunan yang terus berjalan setiap harinya menyebabkan perubahan penggunaan lahan secara cepat. Apabila peristiwa ini tidak dikelola dengan baik, maka akan menyebabkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.. Variasi NDVI Citra AVNIR- Citra AVNIR- yang digunakan pada penelitian ini diakuisisi pada tanggal Desember 008 dan 0 Juni 009. Pada citra AVNIR- yang diakuisisi tanggal Desember

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu

Lebih terperinci

BAB 2 STUDI REFERENSI. Gambar 2-1 Kamera non-metrik (Butler, Westlake, & Britton, 2011)

BAB 2 STUDI REFERENSI. Gambar 2-1 Kamera non-metrik (Butler, Westlake, & Britton, 2011) BAB 2 STUDI REFERENSI Penelitian ini menggunakan metode videogrametri. Konsep yang digunakan dalam metode videogrametri pada dasarnya sama dengan konsep dalam metode fotogrametri. Konsep utamanya adalah

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Tinjauan Umum Teknologi Pemetaan Tiga Dimensi

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Tinjauan Umum Teknologi Pemetaan Tiga Dimensi BB 2 DSR TEORI 2.1 Tinjauan Umum Teknologi Pemetaan Tiga Dimensi Pemetaan objek tiga dimensi diperlukan untuk perencanaan, konstruksi, rekonstruksi, ataupun manajemen asset. Suatu objek tiga dimensi merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pemodelan tiga dimensi suatu obyek di atas permukaan bumi pada saat ini dapat dilakukan dengan cara teristris maupun non-teristris, menggunakan sensor aktif berupa

Lebih terperinci

Pembentukan Citra. Bab Model Citra

Pembentukan Citra. Bab Model Citra Bab 2 Pembentukan Citra C itra ada dua macam: citra kontinu dan citra diskrit. Citra kontinu dihasilkan dari sistem optik yang menerima sinyal analog, misalnya mata manusia dan kamera analog. Citra diskrit

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peta merupakan representasi dari permukaan bumi baik sebagian atau keseluruhannya yang divisualisasikan pada bidang proyeksi tertentu dengan menggunakan skala tertentu.

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Waktu penelitian dilaksanakan mulai bulan Mei sampai dengan Juni 2013 dengan lokasi penelitian meliputi wilayah Pesisir Utara dan Selatan Provinsi Jawa Barat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Teh merupakan salah satu komoditi subsektor perkebunan yang memiliki berbagai peranan dan manfaat. Teh dikenal memiliki kandungan katekin (antioksidan alami) yang

Lebih terperinci

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik 83 BAB VII ANALISIS 7.1 Analisis Komponen Airborne LIDAR Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik dengan memanfaatkan sinar laser yang ditembakkan dari wahana

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T

PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T PENGERTIAN Penginderaan Jauh atau Remote Sensing merupakan suatu ilmu dan seni untuk memperoleh data dan informasi dari suatu objek dipermukaan bumi dengan menggunakan

Lebih terperinci

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL ( DIGITAL IMAGE PROCESSING )

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL ( DIGITAL IMAGE PROCESSING ) FAKULTAS TEKNIK INFORMATIKA PENGOLAHAN CITRA DIGITAL ( DIGITAL IMAGE PROCESSING ) Pertemuan 1 Konsep Dasar Pengolahan Citra Pengertian Citra Citra atau Image merupakan istilah lain dari gambar, yang merupakan

Lebih terperinci

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. 23 LAMPIRAN

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software  For evaluation only. 23 LAMPIRAN 23 LAMPIRAN 24 Lampiran 1 Diagram Alir Penelitian Data Citra LANDSAT-TM/ETM Koreksi Geometrik Croping Wilayah Kajian Kanal 2,4,5 Kanal 1,2,3 Kanal 3,4 Spectral Radiance (L λ ) Albedo NDVI Class Radiasi

Lebih terperinci

PEMBUATAN MODEL ORTOFOTO HASIL PERKAMAN DENGAN WAHANA UAV MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK FOTOGRAMETRI

PEMBUATAN MODEL ORTOFOTO HASIL PERKAMAN DENGAN WAHANA UAV MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK FOTOGRAMETRI PEMBUATAN MODEL ORTOFOTO HASIL PERKAMAN DENGAN WAHANA UAV MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK FOTOGRAMETRI Virgus Ari Sondang 1) 1) Program Studi Survei dan Pemetaan Universitas Indo Global Mandiri Palembang Jl.

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peta menggambarkan data spasial (keruangan) yang merupakan data yang berkenaan dengan lokasi atau atribut dari suatu objek atau fenomena di permukaan

Lebih terperinci

Pengertian Sistem Informasi Geografis

Pengertian Sistem Informasi Geografis Pengertian Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang selanjutnya akan disebut SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei sampai September 2010. Lokasi penelitian di sekitar Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisi tentang latar belakang, tujuan, dan sistematika penulisan. BAB II KAJIAN LITERATUR

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisi tentang latar belakang, tujuan, dan sistematika penulisan. BAB II KAJIAN LITERATUR BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Citra yang direkam oleh satelit, memanfaatkan variasi daya, gelombang bunyi atau energi elektromagnetik. Selain itu juga dipengaruhi oleh cuaca dan keadaan atmosfer

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Terhadap Citra Satelit yang digunakan 4.2 Analisis Terhadap Peta Rupabumi yang digunakan

BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Terhadap Citra Satelit yang digunakan 4.2 Analisis Terhadap Peta Rupabumi yang digunakan BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Terhadap Citra Satelit yang digunakan Citra SPOT 4 dan IKONOS yang digunakan merupakan dua citra yang memiliki resolusi spasial yang berbeda dimana SPOT 4 memiliki resolusi

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh)

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh) BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh) Remote Sensing didefinisikan sebagai ilmu untuk mendapatkan informasi mengenai obyek-obyek pada permukaan bumi dengan analisis data yang

Lebih terperinci

BAB III IMPLEMENTASI METODE CRP UNTUK PEMETAAN

BAB III IMPLEMENTASI METODE CRP UNTUK PEMETAAN BAB III IMPLEMENTASI METODE CRP UNTUK PEMETAAN 3.1. Perencanaan Pekerjaan Perencanaan pekerjaan pemetaan diperlukan agar pekerjaan pemetaan yang akan dilakukan akan berhasil. Tahap pertama dalam perencanaan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian ini. Proses persiapan data ini berpengaruh pada hasil akhir penelitian. Persiapan yang dilakukan meliputi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 14 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan September dengan mengambil lokasi penelitian di wilayah Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya (Gambar

Lebih terperinci

Analisis Ketelitian Geometric Citra Pleiades 1A untuk Pembuatan Peta Dasar Lahan Pertanian (Studi Kasus: Kecamatan Socah, Kabupaten Bangkalan)

Analisis Ketelitian Geometric Citra Pleiades 1A untuk Pembuatan Peta Dasar Lahan Pertanian (Studi Kasus: Kecamatan Socah, Kabupaten Bangkalan) JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, 2, (2016) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) A375 Analisis Ketelitian Geometric Citra untuk Pembuatan Peta Dasar Lahan Pertanian (Studi Kasus: Kecamatan Socah, Kabupaten Bangkalan)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu terluar suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN ANALISA

BAB 4 HASIL DAN ANALISA BAB 4 HASIL DAN ANALISA 4. Analisa Hasil Pengukuran Profil Permukaan Penelitian dilakukan terhadap (sepuluh) sampel uji berdiameter mm, panjang mm dan daerah yang dibubut sepanjang 5 mm. Parameter pemesinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan pada suatu wilayah akan berpengaruh terhadap perubahan suatu kawasan. Perubahan lahan terbuka hijau menjadi lahan terbangun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang Teknologi foto udara saat ini sudah berkembang sangat pesat, yaitu dari analog menjadi digital. Hal itu merupakan upaya untuk mendapatkan gambaran permukaan bumi secara

Lebih terperinci

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR III.1 Model Tinggi Digital (Digital Terrain Model-DTM) Model Tinggi Digital (Digital Terrain Model-DTM) atau sering juga disebut DEM, merupakan

Lebih terperinci

Suatu proses untuk mengubah sebuah citra menjadi citra baru sesuai dengan kebutuhan melalui berbagai cara.

Suatu proses untuk mengubah sebuah citra menjadi citra baru sesuai dengan kebutuhan melalui berbagai cara. Image Enhancement Suatu proses untuk mengubah sebuah citra menjadi citra baru sesuai dengan kebutuhan melalui berbagai cara. Cara-cara yang bisa dilakukan misalnya dengan fungsi transformasi, operasi matematis,

Lebih terperinci

METODE KALIBRASI IN-FLIGHT KAMERA DIGITAL NON-METRIK UNTUK KEPERLUAN CLOSE- RANGE PHOTOGRAMMETRY

METODE KALIBRASI IN-FLIGHT KAMERA DIGITAL NON-METRIK UNTUK KEPERLUAN CLOSE- RANGE PHOTOGRAMMETRY METODE KALIBRASI IN-FLIGHT KAMERA DIGITAL NON-METRIK UNTUK KEPERLUAN CLOSE- RANGE PHOTOGRAMMETRY Husnul Hidayat*, Agung Budi Cahyono, Mohammad Avicenna Departemen Teknik Geomatika FTSLK-ITS, Kampus ITS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Fotogrametri adalah suatu seni, pengetahuan dan teknologi untuk memperoleh informasi yang dapat dipercaya tentang suatu obyek fisik dan keadaan sekitarnya melalui proses

Lebih terperinci

Analisa Kondisi Ekosistem Mangrove Menggunakan Data Citra Satelit Multitemporal dan Multilevel (Studi Kasus: Pesisir Utara Surabaya)

Analisa Kondisi Ekosistem Mangrove Menggunakan Data Citra Satelit Multitemporal dan Multilevel (Studi Kasus: Pesisir Utara Surabaya) A554 Analisa Kondisi Ekosistem Mangrove Menggunakan Data Citra Satelit Multitemporal dan Multilevel (Studi Kasus: Pesisir Utara Surabaya) Deni Ratnasari dan Bangun Muljo Sukojo Departemen Teknik Geomatika,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Dinamika kependudukan terus berjalan. Jumlah penduduk terus bertambah, pembangunan makin kompleks dan berskala besar, tuntutan peningkatan kualitas hidup terus meningkat,

Lebih terperinci

GD 319 PENGOLAHAN CITRA DIGITAL KOREKSI RADIOMETRIK CITRA

GD 319 PENGOLAHAN CITRA DIGITAL KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LAPORAN PRAKTIKUM II GD 319 PENGOLAHAN CITRA DIGITAL KOREKSI RADIOMETRIK CITRA Tanggal Penyerahan : 2 November 2016 Disusun Oleh : Kelompok : 7 (Tujuh) Achmad Faisal Marasabessy / 23-2013-052 Kelas : B

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekeringan Kekeringan (drought) secara umum bisa didefinisikan sebagai kurangnya persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang memiliki wilayah yang sangat luas, kekayaan alam yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang memiliki wilayah yang sangat luas, kekayaan alam yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara yang memiliki wilayah yang sangat luas, kekayaan alam yang berlimpah, serta ditempati lebih dari 240 juta penduduk. Pembangunan di segala

Lebih terperinci

MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI

MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI Arif Supendi, M.Si MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI STANDAR KOMPETENSI Memahami pemanfaatan citra penginderaan jauh ( PJ ) dan Sistem Informasi Geografi KOMPETENSI DASAR Menjelaskan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian tugas akhir ini. Proses ini sangat berpengaruh terhadap hasil akhir penellitan. Pada tahap ini dilakukan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan lingkungan dengan suasana. fungsi dalam tata lingkungan perkotaan (Nazaruddin, 1996).

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan lingkungan dengan suasana. fungsi dalam tata lingkungan perkotaan (Nazaruddin, 1996). 5 TINJAUAN PUSTAKA Penghijauan Kota Kegiatan penghijauan dilaksanakan untuk mewujudkan lingkungan kota menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan lingkungan dengan suasana yang asri, serasi dan sejuk

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN UMUM

BAB V PEMBAHASAN UMUM BAB V PEMBAHASAN UMUM Penelitian ini pada prinsipnya bertujuan untuk menghasilkan sebuah metode dan algoritma yang dapat digunakan untuk menentukan posisi tiga dimensi dari obyek pertanian, yaitu jeruk

Lebih terperinci

IV. PENGINDERAAN JAUH

IV. PENGINDERAAN JAUH IV. PENGINDERAAN JAUH 1. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH Sabins (1996) dalam Kerle, et al. (2004) Penginderaan jauh adalah ilmu untuk memperoleh, mengolah dan menginterpretasi citra yang telah direkam yang

Lebih terperinci

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s 11 Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s, dan nilai I diperoleh berdasarkan hasil penghitungan nilai radiasi yang transmisikan oleh kanopi tumbuhan, sedangkan nilai koefisien pemadaman berkisar antara

Lebih terperinci

DAFTAR TABEL. No. Tabel Judul Tabel No. Hal.

DAFTAR TABEL. No. Tabel Judul Tabel No. Hal. DAFTAR ISI Halaman Judul... No Hal. Intisari... i ABSTRACT... iv KATA PENGANTAR... v DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xi BAB I... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2.

Lebih terperinci