Evaluasi dan Manajemen Status Epileptikus

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Evaluasi dan Manajemen Status Epileptikus"

Transkripsi

1 CONTINUING MEDICAL EDUCATION CONTINUING MEDICAL EDUCATION Akreditasi PB IDI 2 SKP Evaluasi dan Manajemen Status Epileptikus Beny Rilianto RS Pekanbaru Medical Center, Pekanbaru, Riau, Indonesia ABSTRAK Status epileptikus (SE) membutuhkan penanganan awal yang cepat. Kehilangan autoregulasi serebral dan kerusakan neuron dimulai setelah 30 menit aktivitas kejang yang terus-menerus. Penilaian awal berfokus pada kemungkinan adanya gangguan metabolik ataupun kondisi yang membutuhkan tatalaksana segera. Penatalaksanaan tahap awal menyarankan penggunaan benzodiazepin dan fenitoin untuk menghentikan kejang, anestesi dipertimbangkan pada SE refrakter. Prognosis SE sangat bergantung pada etiologi yang mendasarinya. Kata Kunci: Status epileptikus, kejang, obat antiepilepsi ABSTRACT Status epilepticus (SE) requires immediate initial treatment. Loss of cerebral autoregulation and neuronal damage begin after 30 minutes of continuous seizure activity. Initial assessments focus on a possibility of underlying metabolic disorders or condition that requires immediate management. Early management use benzodiazepines and phenytoin to terminate seizures, the use of anesthesia is considered in refractory SE. Prognosis of SE is dependent on the underlying etiology. Beny Rilianto. Evaluation and Management of Status Epilepticus. Keywords: Status epilepticus, seizure, antiepilepsy drug PENDAHULUAN Status epileptikus (SE) merupakan keadaan emergensi medis berupa kejang (seizure) persisten atau berulang yang dikaitkan dengan mortalitas tinggi dan kecacatan jangka panjang. 1 Etiologi yang mendasari sangat menentukan prognosis SE. Pendekatan penatalaksanaan SE telah mengalami perubahan dibandingkan beberapa tahun yang lalu seiring pemahaman mengenai patofisiologi aktivitas kejang; namun penatalaksaan SE saat ini sangat bervariasi antar institusi, karena masih kurangnya data pendukung. 2 DEFINISI DAN KLASIFIKASI Lebih dari satu dekade lalu, Epilepsy Foundation of America (EFA) mendefinisikan SE sebagai kejang yang terus-menerus selama paling sedikit 30 menit atau adanya dua atau lebih kejang terpisah tanpa pemulihan kesadaran di antaranya. 3 Definisi ini telah diterima secara luas, walaupun beberapa ahli mempertimbangkan bahwa durasi kejang lebih singkat dapat merupakan suatu SE. Untuk alasan praktis, pasien dianggap sebagai SE jika kejang terus-menerus lebih dari 5 menit. 4 Saat ini, ada beberapa versi pengklasifikasian SE sebagai berikut (Treiman): 5 Generalized Convulsive SE Merupakan tipe SE yang paling sering dan berbahaya. Generalized mengacu pada aktivitas listrik kortikal yang berlebihan, sedangkan convulsive mengacu kepada aktivitas motorik suatu kejang. Subtle SE Subtle SE terdiri dari aktivitas kejang pada otak yang bertahan saat tidak ada respons motorik. Terminologi ini dapat membingungkan, karena subtle SE seperti tipe NCSE (Non-convulsive Status Epilepticus). Walaupun secara definisi subtle SE merupakan nonconvulsive, namun harus dibedakan dari NCSE lain. Subtle SE merupakan keadaan berbahaya, sulit diobati, dan mempunyai prognosis yang buruk. Nonconvulsive SE NCSE dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu absence SE dan complex partial SE. Perbedaan 2 tipe ini sangat penting dalam tatalaksana, etiologi, dan prognosis; focal motor SE mempunyai prognosis lebih buruk. Simple Partial SE Secara definisi, simple partial SE terdiri dari kejang yang terlokalisasi pada area korteks serebri dan tidak menyebabkan perubahan kesadaran. Berbeda dengan convulsive SE, simple partial SE tidak dihubungkan dengan mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Secara tradisional, SE dapat diklasifikasikan menjadi convulsive dan nonconvulsive, namun istilah ini dapat tidak tepat. Skema baru klasifikasi ILAE (International League Against Epilepsy) telah menolak penggunaan istilah nonconvulsive, karena dapat merupakan suatu keadaan yang beragam seperti kejang fokal pada limbic SE ataupun generalized seperti absence SE. Di samping itu, keadaan Alamat korespondensi beny.rilianto@gmail.com 750

2 convulsive, khususnya kejang myoclonic, dapat terlihat pada nonconvulsive SE, misalnya kejang di kelopak mata atau perioral. Skema ILAE 2001 mendefinisikan SE sebagai aktivitas kejang yang terus-menerus dan mengklasifikasikan SE menjadi dua kategori, yaitu generalized dan focal SE. Laporan ILAE Core Group (2006) mengklasifikasikan bermacam-macam tipe SE (Tabel 1), serta berusaha menghindari istilah generalized dan focal. 6 EPIDEMIOLOGI Insidens SE di Amerika Serikat berkisar 41 per individu setiap tahun, sekitar 27 per untuk dewasa muda dan 86 per untuk usia lanjut. Dua penelitian restropektif di Jerman mendapatkan insidens 17,1 per per tahun. Mortalitas SE (kematian dalam 30 hari) pada penelitian Richmond berkisar 22%. Kematian pada anak hanya 3%, sedangkan pada dewasa 26%. Populasi yang lebih tua mempunyai mortalitas hingga 38%. Mortalitas tergantung dari durasi kejang, usia onset kejang, dan etiologi. Pasien stroke dan anoksia mempunyai mortalitas paling tinggi. Sedangkan pasien dengan etiologi penghentian alkohol atau kadar obat antiepilepsi dalam darah yang rendah, mempunyai mortalitas relatif rendah. 3,7 ETIOLOGI SE sering merupakan manifestasi akut dari penyakit infeksi sistem saraf pusat, stroke akut, ensefalopati hipoksik, gangguan metabolik, dan kadar obat antiepilepsi dalam darah yang rendah. Etiologi tidak jelas pada sekitar 20% kasus. Gangguan serebrovaskuler merupakan penyebab SE tersering di negara maju, sedangkan di negara berkembang penyebab tersering karena infeksi susunan saraf pusat. Etiologi SE sangat penting sebagai prediktor mortalitas dan morbiditas. 3,8 SE tonik-klonik mempunyai 2 fase sebagai berikut: 10 Fase 1: Kompensasi Selama fase ini, metabolisme serebral meningkat, tetapi mekanisme fisiologis cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik, dan jaringan otak terlindungi dari hipoksia atau kerusakan metabolisme. Perubahan fisiologis utama terkait dengan mening kat nya aliran darah dan metabolisme otak, aktivitas otonom, dan perubahan kardiovaskuler. Fase 2: Dekompensasi Selama fase ini, tuntutan metabolik serebral sangat meningkat dan tidak dapat sepenuhnya tercukupi, sehingga me nyebabkan hipoksia dan perubahan meta bolik sistemik. Perubahan autonom tetap berlangsung dan fungsi kardiorespirasi dapat gagal mempertahankan homeostasis. MANAJEMEN Penatalaksanaan Umum 2,3,7,11,12 Prinsip penatalaksanaan SE adalah menghentikan aktivitas kejang baik klinis maupun elektroensefalografik (EEG). Penatalaksanaan SE meliputi penggunaan obat intravena yang poten, sehingga dapat menimbulkan efek samping yang serius. Oleh karena itu, langkah awal adalah memastikan bahwa pasien sedang mengalami SE. Kejang tunggal yang pulih tidak membutuhkan tatalaksana, namun jika diagnosis SE ditegakkan harus ditatalaksana secepat mungkin. Penilaian awal jalan napas dan oksigenasi sangat penting. Jika jalan napas telah bebas, intubasi tidak harus segera dilakukan, tekanan darah dan nadi harus diobservasi. Pemeriksaan neurologis dilakukan untuk mencari tanda lesi fokal intrakranial. Langkah selanjutnya mendapatkan akses intravena, pengambilan sampel darah untuk penilaian serum elektrolit, ureum, glukosa, kadar obat antiepilepsi dalam darah, skrining toksisitas obat, dan hitung darah lengkap. Infus cairan isotonik harus sudah diberikan. Hipoglikemia merupakan pencetus status epileptikus yang reversibel, glukosa 50 ml 50% dapat diberikan jika diduga suatu hipoglikemia. Tiamin dapat diberikan untuk mencegah ensefalopati Wernicke. MANIFESTASI KLINIS SE SE dihubungkan dengan perubahan fisiologis sistemik hasil peningkatan kebutuhan metabolik akibat kejang berulang dan perubahan autonom termasuk takikardi, aritmia, hipotensi, dilatasi pupil, dan hipertermia. Perubahan sistemik termasuk hipoksia, hiperkapnia, hipoglikemia, asidosis metabolik, dan gangguan elektrolit memerlukan intervensi medis. Kehilangan autoregulasi serebral dan kerusakan neuron dimulai setelah 30 menit aktivitas kejang yang terus menerus. 10 Gambar. Perubahan sistemik selama SE tonik-klonik 751

3 Setelah pemberian oksigen, kadar gas darah seharusnya diukur untuk memastikan oksigenasi sudah adekuat. Asidosis, hiperpireksia, dan hipertensi tidak perlu ditangani, karena merupakan keadaan umum pada tahap awal SE dan akan membaik setelah penatalaksanaan umum dilakukan. Pencitraan CT scan direkomendasikan setelah stabilisasi jalan napas dan sirkulasi. Jika hasil pencitraan negatif, pungsi lumbal dapat dipertimbangkan untuk menyingkirkan etiologi infeksi. Monitoring Elektroensefalografi (EEG) Continuous EEG (ceeg) sangat berguna pada penatalaksanaan SE di ruang intensive care unit (ICU), dilakukan dalam satu jam sejak onset jika kejang masih berlanjut. Ini bermanfaat untuk mempertahankan dosis obat antiepilepsi selama titrasi dan mendeteksi berulangnya kejang. Indikasi penggunaan ceeg pada SE adalah kejang klinis yang masih berlangsung atau SE yang tidak pulih dalam 10 menit, koma, postcardiac arrest, dugaan nonconvulsive SE pada pasien dengan perubahan kesadaran. Durasi ceeg seharusnya paling sedikit dalam 48 jam. 3,9 TERAPI Sampai saat ini belum ada konsensus baku penatalaksanaan SE berkaitan dengan pemilihan obat dan dosis. Tidak ada obat yang ideal untuk tatalaksana SE. Banyak penulis setuju bahwa lorazepam (0,1 mg/kgbb) atau diazepam (0,15 mg/kgbb) dapat diberikan pada tahap awal, disusul fenitoin (15-20 mg/ kgbb) atau fosfenitoin (18-20 mg/kgbb). Jika benzodiazepin dan fenitoin gagal, fenobarbital dapat diberikan dengan dosis 20 mg/kgbb, namun harus mendapatkan perhatian khusus karena dapat menyebabkan depresi pernapasan. Jika kejang tetap berlanjut, pertimbangkan pemberian anestesi umum, dapat digunakan agen seperti midazolam, propofol, atau pentobarbital. 2,3,5,12 1. Benzodiazepin Diazepam 3 Diazepam merupakan obat pilihan pertama (level evidence A pada banyak penelitian). Obat memasuki otak secara cepat, setelah menit akan terdistribusi ke tubuh. Walaupun terdistribusi cepat, eliminasi waktu paruh mendekati 24 jam. Sangat berpotensi sedatif jika terakumulasi dalam tubuh pada pemberian berulang. Diazepam dengan dosis 5-10 mg intravena dapat menghentikan kejang pada sekitar 75% kasus. Diazepam dapat diberikan secara intramuskuler atau rektal. Efek samping termasuk depresi pernapasan, hipotensi, sedasi, iritasi jaringan lokal. Sangat berpotensi hipotensi dan depresi napas jika diberikan bersamaan obat antiepilepsi lain, khususnya barbiturat. Walaupun demikian, diazepam masih merupakan obat penting dalam manajeman SE karena efeknya yang cepat dan berspektrum luas. Lorazepam 3 Lorazepam merupakan pilihan golongan benzodiazepin untuk menajemen SE. Lorazepam berbeda dengan diazepam dalam beberapa hal. Obat ini kurang larut dalam lemak dibandingkan diazepam dengan waktu paruh dua hingga tiga jam dibandingkan diazepam yang 15 menit, sehingga mempunyai durasi lebih lama. Lorazepam juga mengikat reseptor GABAergic lebih kuat daripada diazepam, sehingga durasi aksinya lebih lama. Efek antikonvulsan lorazepam berlangsung 6-12 jam pada rentang dosis 4-8 mg. Agen ini berspektrum luas dan berhasil menghentikan kejang pada 75-80% kasus. Efek sampingnya sangat identik dengan diazepam. Oleh karena itu, lorazepam juga merupakan pilihan untuk manjemen SE. Midazolam 3,5 Midazolam merupakan golongan benzodiazepin yang bereaksi cepat, penetrasi cepat melewati sawar darah otak, dan durasi yang singkat. Midazolam dapat digunakan sebagai agen alternatif untuk SE refrakter. Walau pun midazolam jarang merupakan pilihan per tama untuk kejang akut di Amerika Serikat, obat ini sangat umum digunakan di Eropa. 2. Agen Antikonvulsan Fenitoin 3,5 Fenitoin merupakan salah satu obat yang efektif mengobati kejang akut dan SE. Disamping itu, obat ini sangat efektif pada manajemen epilepsi kronik, khususnya pada kejang umum sekunder dan kejang parsial. Keuntungan utama fenitoin adalah efek sedasinya yang minim. Namun, sejumlah efek samping serius dapat muncul seperti aritmia dan hipotensi, khususnya pada pasien di atas usia 40 tahun. Efek tersebut sangat dihubungkan dengan pemberian obat yang terlalu cepat. Di samping itu, iritasi lokal, flebitis, dan pusing dapat muncul pada pemberian intravena. Fenitoin sebaiknya tidak dicampur dengan dekstrosa 5%, melainkan salin normal untuk menghindari pembentukan kristal. Fosfenitoin 3,5 Fosfenitoin adalah pro-drug dari fenitoin yang larut dalam air yang akan dikonversi menjadi fenitoin setelah diberikan secara intravena. Seperti fenitoin, fosfenitoin digunakan dalam tatalaksana kejang akut tonik-klonik umum atau parsial. Fosfenitoin dikonversi menjadi fenitoin dalam waktu 8 sampai 15 menit. Dimetabolisme oleh hati dan mempunyai waktu paruh 14 jam. Karena 1,5 mg fosfenitoin ekuivalen dengan 1 mg fenitoin, maka dosis, konsentrasi, dan kecepatan infus intravena digambarkan sebagai phenytoin equivalent (PE). Dosis awal 15 sampai 20 mg PE per kgbb, dan diberikan dengan kecepatan 150 mg PE per menit, kecepatan pemberian infus tiga kali lebih cepat dari fenitoin intravena. Fosfenitoin lebih disukai, karena bekerja lebih cepat dan iritasi vena yang lebih minimal (menghindari risiko purple-glove syndrome yang terjadi pada fenitoin). Efek samping dari fosfenitoin termasuk parestesia dan pruritus, namun muncul jika diberikan dalam pemberian yang terlalu cepat. Pemberian intravena dihubungkan dengan hipotensi, sehingga monitoring jantung dan tekanan darah yang ketat dilakukan. Walaupun fosfenitoin lebih baik daripada fenitoin, namun kelemahannya adalah harga yang mahal dan tidak terdapat di semua rumah sakit. 3. Barbiturat Fenobarbital 3,5 Fenobarbital digunakan setelah benzodiazepin atau fenitoin gagal mengontrol SE. Loading dose 15 sampai 20 mg per kgbb. Karena fenobarbital dosis tinggi bersifat sedatif, proteksi jalan napas sangat penting, dan risiko aspirasi merupakan perhatian khusus. Fenobarbital intravena juga dihubungkan dengan hipotensi sistemik. Jika dilakukan pemberian intramuskuler, maka dilakukan pada otot besar, seperti gluteus maximus. Defisit neurolgis permanen dapat timbul jika diinjeksikan berdekatan dengan 752

4 Tapering off Pada pasien yang ditatalaksana dengan infus kontinu obat antiepilepsi harus disaraf tepi. Saat ini, untuk penanganan SE refrakter lebih sering digunakan agen lain (midazolam, propofol, pentobarbital) daripada fenobarbital. Pentobarbital 1,5,13 Merupakan barbiturat kerja singkat yang bersifat sedatif, hipnotif, dan besifat antikonvulsan. Digunakan hanya untuk SE refrakter, jika agen lain gagal untuk menghentikan kejang. Pasien membutuhkan intubasi dan dukungan ventilasi. Dibandingkan fenobarbital, pentobarbital mempunyai penetrasi yang lebih cepat dan waktu paruh yang lebih singkat, sehingga dapat sadar lebih cepat dari koma ketika penyapihan (weaning). Efektivitas pentobarbital lebih tinggi daripada propofol dalam mengakhiri SE refrakter. Suatu studi mendapatkan tingkat keberhasilan pentobarbital yang tinggi (92% dengan perbandingan 80% untuk midazolam dan 73% untuk propofol). Namun demikian, sangat dihubungkan dengan tingginya ke jadian hipotensi dibandingkan midazolam dan propofol (77% vs 42% dan 30%). 4. Anestesi Umum Propofol 1,5,11-13 Propofol merupakan suatu senyawa fenolik yang tidak berhubungan dengan obat antikonvulsan lain. Propofol sangat larut dalam lemak, sehingga dapat bereaksi dengan cepat, mempunyai sifat anestesi jika diberikan secara intravena dengan dosis 1-2 mg/kgbb, sangat efektif dan nontoksik. Beberapa publikasi melaporkan penggunaan infus jangka panjang propofol dapat di terapkan pada SE. Propofol dapat menyebabkan depresi napas dan depresi serebral, sehingga membutuhkan intubasi dan ventilasi. Hipotensi mungkin membutuhkan penatalaksanaan segera. Penggunaan jangka panjang (atau dosis tinggi >5 mg/kg/jam dalam 48 jam) dapat menyebabkan asidosis, aritmia jantung, dan rabdomiolisis (propofol infusion syndrome) yang fatal, khususnya pada anak usia muda, sehingga propofol sebaiknya tidak digunakan digunakan pada kelompok ini. teruskan 12 sampai 24 jam setelah kejang berhenti. Jika selama periode tapering off terdapat kejang, maka pengobatan dengan infus kontinu harus diperpanjang dengan memperhatikan adanya kejang baik secara klinis maupun EEG. Jika tidak ada kejang, maka tapering off dapat diteruskan. 4 SIMPULAN Status epileptikus merupakan masalah neuroemergensi yang membutuhkan tatalaksana yang cepat dan komprehensif. Di samping itu, evaluasi penyebab SE sangat penting untuk menentukan prognosis. Walaupun sampai saat ini belum ada konsensus penatalaksanaan SE yang baku, beberapa peneliti merekomendasikan penggunaan benzodiazepin sebagai obat lini pertama untuk mengakhiri kejang akut dan fenitoin untuk lini kedua. Jika kejang tidak berhenti dan menjadi status epleptikus refrakter, dapat dipertimbangkan pemberian agen anestesi umum. Pentobarbital merupakan terapi paling efektif untuk SE refrakter dibandingkan midazolam dan propofol pada banyak kasus, namun efek samping seperti depresi pernapasan perlu mendapat perhatian khusus. DAFTAR PUSTAKA 1. Abend NS, Duglas DJ. Treatment of refractory status epilepticus. Pediatric Neurol. 2008; 38(6): Manno EM. New management strategies in the treatment of status epilepticus. Mayo Clin Proc. 2003; 78: Sirven JI, Waterhouse E. Management of status epilepticus. Am Fam Physician 2003; 68(3): Arif H, Hirsch LJ. Treatment of status epilepticus. Semin Neurol. 2008; 28: Roth Jl. Status epilepticus [Internet] Apr 28 [cited 2014 Aug 1]. Available from: 6. Panayiotopolus CP. Status epilepticus. A clinical guide to epileptic syndrome and their treatment. Springer; 2010: Chen JWY, Wasterlain CG. Status epilepticus: Pathophysiology and managemenet in adults. Lancet Neurology; 6: Murthy JMK. Convulsive status epilepticus: Treatment. The association of physician of India [Internet]. [cited 2 Agustus 2014]. Available from 9. Lowenstein DH. Current concepts: Status epilepticus. N Engl J Med. 1998; 338(14): Shorvon S. Treatment of status epilepticus. J Neurol Nerusurg Psychiatry 2001; 70: Rajshekher J. Recent in the management status epilepticus: Article review. Indian J Crit Care Med. 2005; 9: Durham D. Management of status epilepticus. Critical care and resuscitation. 1999; 1: Claassen J, Hirsch LJ, Emerson RG, Mayer SA. Treatment of refractory status epilepticus with pentobarbital, propofol, or midazolam: A systematic review. Epilepsia 2002; 43:

5 Lampiran. Manajemen Status Epileptikus 3,4 WAKTU TINDAKAN 0-5 menit Tatalaksana umum: Oksigenasi Stabilisasi jalan napas, pernapasan, dan hemodinamik Akses IV dan berikan infus normal salin dengan tetesan lambat Pemeriksaan darah ke laboratorium Cek kadar glukosa Monitoring EKG 5-10 menit Tiamin 100 mg IV dan D50% 50 ml IV Diazepam 0,15 mg/kg IV atau lorazepam 0,1 mg/kg IV dalam 1-2 menit, ulangi setelah 5 menit jika masih kejang Jika tidak ada akses IV, berikan diazepam per rektal atau midazolam intranasal, bukal, atau intramuskuler menit Jika kejang masih berlanjut, berikan fenitoin 20 mg/kg IV (50 mg/menit) atau fosfenitoin 20 mg/kg IV (150 mg/ menit). Jika masih kejang, tambahkan 5-10 mg/kg menit Intubasi, pasang kateter urin, mulai perekaman EEG, cek temperatur Berikan fenobarbital dengan loading dose 20 mg/kg IV (100 mg/menit) menit Jika kejang masih berlanjut, induksi koma dengan pilihan: Midazolam 0,2 mg/kg IV, ulangi dosis 0,2-0,4 mg/kg IV bolus setiap 5 menit hingga maksimal loading dose 2 mg/kg, kemudian dosis pemeliharaan 0,05-2,9 mg/kg/jam, titrasi dengan monitoring EEG. Atau Propofol 1-2 mg/kg, ulangi 1-2 mg/kg tiap 3-5 menit sampai kejang berhenti dengan loading dose maksimal 10 mg/kg, diikuti 1-15 mg/kg/jam, titrasi dengan monitoring EEG. Atau Pentobarbital dosis awal 5 mg/kg IV, selanjutnya 5 mg/kg IV bolus hingga kejang berhenti, lanjutkan infus pentobarbital 1 mg/kg/jam, infus dilambatkan setiap 6 jam untuk memastikan bangkitan kejang berhenti dengan pedoman monitoring EEG, observasi tekanan darah dan pernapasan. Jika perlu berikan pressor untuk mempertahankan tekanan darah. 754

Curiculum vitae. Dokter umum 1991-FKUI Spesialis anak 2002 FKUI Spesialis konsultan 2008 Kolegium IDAI Doktor 2013 FKUI

Curiculum vitae. Dokter umum 1991-FKUI Spesialis anak 2002 FKUI Spesialis konsultan 2008 Kolegium IDAI Doktor 2013 FKUI Curiculum vitae Nama : DR.Dr. Setyo Handryastuti, SpA(K) Tempat/tanggal lahir : Jakarta 27 Januari 1968 Pekerjaan : Staf pengajar Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM Pendidikan : Dokter umum 1991-FKUI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN DEFINISI ETIOLOGI

BAB I PENDAHULUAN DEFINISI ETIOLOGI BAB I PENDAHULUAN Banyaknya jenis status epileptikus sesuai dengan bentuk klinis epilepsi : status petitmal, status psikomotor dan lain-lain. Di sini khusus dibicarakan status epileptikus dengan kejang

Lebih terperinci

Algoritme Tatalaksana Kejang Akut dan Status Epileptikus pada Anak

Algoritme Tatalaksana Kejang Akut dan Status Epileptikus pada Anak Algoritme Tatalaksana Kejang Akut dan Status Epileptikus pada Anak Yazid Dimyati Divisi Saraf Anak Departemen IKA FKUSU / RSHAM Medan UKK Neurologi / IDAI 2006 Pendahuluan Kejang merupakan petunjuk adanya

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Menurut Fadila, Nadjmir dan Rahmantini (2014), dan Deliana (2002), kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38

Lebih terperinci

KEJANG PADA ANAK. Oleh: Nia Kania, dr., SpA., MKes

KEJANG PADA ANAK. Oleh: Nia Kania, dr., SpA., MKes KEJANG PADA ANAK Oleh: Nia Kania, dr., SpA., MKes Kejang merupakan suatu manifestasi klinis yang sering dijumpai di ruang gawat darurat. Hampir 5% anak berumur di bawah 16 tahun setidaknya pernah mengalami

Lebih terperinci

doi: /j.seizure British Epilepsy Association Published by Elsevier Ltd Baarid Luqman Hamidi

doi: /j.seizure British Epilepsy Association Published by Elsevier Ltd Baarid Luqman Hamidi Stase Neurofisiologi-EEG Journal Reading Case report Oral ketamine Controlled Refractory Nonconvulsive Status Epilepticus in an Elderly Patient Poh-Shiow Yeh a,b,*, Hsiu-Nien Shen c, Tai-Yuan Chen d doi:10.1016/j.seizure.2011.06.001

Lebih terperinci

Kejang Pada Neonatus

Kejang Pada Neonatus Kejang Pada Neonatus Guslihan Dasa Tjipta Emil Azlin Pertin Sianturi Bugis Mardina Lubis 1 DIVISI PERINATOLOGI Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU/RSUP H.Adam Malik Medan 2 Definisi : Kejang merupakan

Lebih terperinci

EMBOLI CAIRAN KETUBAN

EMBOLI CAIRAN KETUBAN EMBOLI CAIRAN KETUBAN DEFINISI Sindroma akut, ditandai dyspnea dan hipotensi, diikuti renjatan, edema paru-paru dan henti jantung scr cepat pd wanita dlm proses persalinan atau segera stlh melahirkan sbg

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian yang berskala cukup besar di Indonesia dilakukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian yang berskala cukup besar di Indonesia dilakukan oleh BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG Penelitian yang berskala cukup besar di Indonesia dilakukan oleh survei ASNA (ASEAN Neurological Association) di 28 rumah sakit (RS) di seluruh Indonesia, pada penderita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan.

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Propofol telah digunakan secara luas untuk induksi dan pemeliharaan dalam anestesi umum. Obat ini mempunyai banyak keuntungan seperti mula aksi yang cepat dan pemulihan

Lebih terperinci

Fellow Clinical Neurophysiology UMC Utrecht The Netherlands

Fellow Clinical Neurophysiology UMC Utrecht The Netherlands Curriculum Vitae Irawan Mangunatmadja, Tempat/tgl lahir: Martapura, 28 Februari Status: Menikah + 2 anak wanita Pendidikan: SMA 8 Jakarta - 1977 Dokter umum FKUI 1984 Dokter anak FKUI 1993 Spesialis Anak

Lebih terperinci

Takrif/pengertian. 1/2/2009 Zullies Ikawati's Lecture Notes

Takrif/pengertian. 1/2/2009 Zullies Ikawati's Lecture Notes EPILEPSI Takrif/pengertian epilepsi : kejadian kejang yang terjadi berulang (kambuhan) Kejang : manifestasi klinik dari aktivitas neuron yang berlebihan di dalam korteks serebral Manifestasi klinik kejang

Lebih terperinci

Kejang Demam (KD) Erny FK Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Kejang Demam (KD) Erny FK Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Kejang Demam (KD) Erny FK Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Tingkat kompetensi : 4 Kompetensi dasar : mampu mendiagnosis dan melakukan tatalaksana secara paripurna Sub-kompetensi : Menggali anamnesa untuk

Lebih terperinci

Dr. Ade Susanti, SpAn Bagian anestesiologi RSD Raden Mattaher JAMBI

Dr. Ade Susanti, SpAn Bagian anestesiologi RSD Raden Mattaher JAMBI Dr. Ade Susanti, SpAn Bagian anestesiologi RSD Raden Mattaher JAMBI Mempunyai kekhususan karena : Keadaan umum pasien sangat bervariasi (normal sehat menderita penyakit dasar berat) Kelainan bedah yang

Lebih terperinci

KELOMPOK E DEPERTEMEN ANAK SRIYANTI B. MATHILDIS TAMONOB RANI LEKSI NDOLU HARRYMAN ABDULLAH

KELOMPOK E DEPERTEMEN ANAK SRIYANTI B. MATHILDIS TAMONOB RANI LEKSI NDOLU HARRYMAN ABDULLAH ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN KEJANG DEMAM SEDERHANA (KDS) KELOMPOK E DEPERTEMEN ANAK SRIYANTI B. MATHILDIS TAMONOB RANI LEKSI NDOLU HARRYMAN ABDULLAH PENGERTIAN KDS adalah demam bangkitan kejang yang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38 o C) yang disebabkan oleh proses

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38 o C) yang disebabkan oleh proses BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Kejang Demam Kejang demam atau febrile convulsion ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38 o C) yang disebabkan oleh proses

Lebih terperinci

Kejang yang disertai demam

Kejang yang disertai demam Kejang Demam Yazid Dimyati UKK Neurologi IDAI Kejang yang disertai demam Kejang Demam Sederhana Kompleks Bukan Kejang Demam Menigitis Ensefalitis FS+, GEFS+, SMEI, CAE Definisi Kejang demam ialah bangkitan

Lebih terperinci

MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL

MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL Pendahuluan Parasetamol adalah golongan obat analgesik non opioid yang dijual secara bebas. Indikasi parasetamol adalah untuk sakit kepala, nyeri otot sementara, sakit menjelang

Lebih terperinci

PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM

PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM Annisa Sekar 1210221051 PEMBIMBING : dr.daris H.SP, An PETIDIN Merupakan obat agonis opioid sintetik yang menyerupai morfin yang dapat mengaktifkan reseptor,

Lebih terperinci

Biasanya Kejang Demam terjadi akibat adanya Infeksi ekstrakranial, misalnya OMA dan infeksi respiratorius bagian atas

Biasanya Kejang Demam terjadi akibat adanya Infeksi ekstrakranial, misalnya OMA dan infeksi respiratorius bagian atas ASUHAN KEPERAWATAN KEJANG DEMAM PADA ANAK B. ETIOLOGI Biasanya Kejang Demam terjadi akibat adanya Infeksi ekstrakranial, misalnya OMA dan infeksi respiratorius bagian atas C. PATOFISIOLOGI Peningkatan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Kejang Demam Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas C) 38 tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat, gangguan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Anestesi umum merupakan teknik yang sering dilakukan pada berbagai macam prosedur pembedahan. 1 Tahap awal dari anestesi umum adalah induksi anestesi. 2 Idealnya induksi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang tua. 1 Berdasarkan data pada Agustus 2010, terdapat pasien anak berusia 2-12 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anak-anak mempunyai kondisi berbeda dengan orang dewasa pada saat pra bedah sebelum masuk

Lebih terperinci

KEJANG PADA NEONATUS KELOM POK 4B :

KEJANG PADA NEONATUS KELOM POK 4B : KEJANG PADA NEONATUS KELOM POK 4B : DEFINISI Perubahan paroksismal dari fungsi neurologik (prilaku,sensorik,motorik,dan fungsi otonom sistem saraf) yang terjadi pada bayi yang berumur sampai dengan 28

Lebih terperinci

Advanced Neurology Life Support Course (ANLS) Overview

Advanced Neurology Life Support Course (ANLS) Overview Advanced Neurology Life Support Course (ANLS) Overview 1 Motto : Save our brain and nerve!! Time is brain!! 2 Latar belakang Sebagian besar kasus neurologi merupakan kasus emergensi. Morbiditas dan mortalitas

Lebih terperinci

MAKALAH KOMA HIPERGLIKEMI

MAKALAH KOMA HIPERGLIKEMI MAKALAH KOMA HIPERGLIKEMI OLEH: Vita Wahyuningtias 07.70.0279 Daftar Isi Bab 1 Pendahuluan...1 Bab 2 Tujuan...2 Bab 3 Pembahasan...3 1. Pengertian...3 2. Etiologi...4 3. Patofisiologi...4 4. Gejala dan

Lebih terperinci

Hipertensi dalam kehamilan. Matrikulasi Calon Peserta Didik PPDS Obstetri dan Ginekologi

Hipertensi dalam kehamilan. Matrikulasi Calon Peserta Didik PPDS Obstetri dan Ginekologi Hipertensi dalam kehamilan Matrikulasi Calon Peserta Didik PPDS Obstetri dan Ginekologi DEFINISI Hipertensi adalah tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmhg sistolik atau 90 mmhg diastolik pada dua kali

Lebih terperinci

ASKEP GAWAT DARURAT ENDOKRIN

ASKEP GAWAT DARURAT ENDOKRIN ASKEP GAWAT DARURAT ENDOKRIN Niken Andalasari PENGERTIAN Hipoglikemia merupakan keadaan dimana didapatkan penuruan glukosa darah yang lebih rendah dari 50 mg/dl disertai gejala autonomic dan gejala neurologic.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meningitis adalah kumpulan gejala demam, sakit kepala dan meningismus akibat

BAB I PENDAHULUAN. Meningitis adalah kumpulan gejala demam, sakit kepala dan meningismus akibat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Meningitis adalah kumpulan gejala demam, sakit kepala dan meningismus akibat inflamasi pada ruang subarachnoid yang dibuktikan dengan pleositosis cairan serebrospinalis

Lebih terperinci

PENDAHULUAN ETIOLOGI EPIDEMIOLOGI

PENDAHULUAN ETIOLOGI EPIDEMIOLOGI PENDAHULUAN Hemotoraks adalah kondisi adanya darah di dalam rongga pleura. Asal darah tersebut dapat dari dinding dada, parenkim paru, jantung, atau pembuluh darah besar. Normalnya, rongga pleura hanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Epilepsi merupakan penyakit kronis di bidang neurologi dan penyakit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Epilepsi merupakan penyakit kronis di bidang neurologi dan penyakit BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Epilepsi merupakan penyakit kronis di bidang neurologi dan penyakit kedua terbanyak setelah stroke (Blum, 2003). Epilepsi disebabkan oleh berbagai etiologi

Lebih terperinci

Manajemen Kasus Sistem Neurobehavior. dr. Riska Yulinta V, MMR

Manajemen Kasus Sistem Neurobehavior. dr. Riska Yulinta V, MMR Manajemen Kasus Sistem Neurobehavior dr. Riska Yulinta V, MMR Penyakit Sistem Saraf 1. Cedera kepala 2. Cedera medula spinalis 3. Stroke 4. Epilepsi 5. Migrain 6. Nyeri kepala klaster 7. Nyeri kepala tipe

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pasien tersebut. Pasien dengan kondisi semacam ini sering kita jumpai di Intensive

BAB I PENDAHULUAN. pasien tersebut. Pasien dengan kondisi semacam ini sering kita jumpai di Intensive BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pasien kritis adalah pasien dengan penyakit atau kondisi yang mengancam jiwa pasien tersebut. Pasien dengan kondisi semacam ini sering kita jumpai di Intensive Care

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Intensif Care Unit berkembang cepat sejak intensif care unit (Intensive Terapy

BAB I PENDAHULUAN. Intensif Care Unit berkembang cepat sejak intensif care unit (Intensive Terapy BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Intensif Care Unit berkembang cepat sejak intensif care unit (Intensive Terapy Unit) ditemukan pada tahun 1950 di daratan Eropa sebanyak 80%, saat terjadi epidemic Poliomyelitis,

Lebih terperinci

Waspada Keracunan Phenylpropanolamin (PPA)

Waspada Keracunan Phenylpropanolamin (PPA) Waspada Keracunan Phenylpropanolamin (PPA) Penyakit flu umumnya dapat sembuh dengan sendirinya jika kita cukup istirahat, makan teratur, dan banyak mengkonsumsi sayur serta buah-buahan. Namun demikian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu aspek yang penting dan banyak digunakan bagi perawatan pasien yang

BAB I PENDAHULUAN. salah satu aspek yang penting dan banyak digunakan bagi perawatan pasien yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ventilator mekanik merupakan alat yang digunakan untuk membantu fungsi pernapasan. Penggunaannya diindikasikan untuk pasien dengan hipoksemia, hiperkapnia berat dan

Lebih terperinci

Sari Pediatri, Vol. 8, No. 4, Maret 2007 Sari Pediatri, Vol. 8, No. 4, Maret 2007:

Sari Pediatri, Vol. 8, No. 4, Maret 2007 Sari Pediatri, Vol. 8, No. 4, Maret 2007: Sari Pediatri, Vol. 8, No. 4, Maret 2007: 265-269 Perbandingan Efektivitas Pengobatan Lorazepam Bukal Dengan Diazepam Rektal dalam Tata Laksana awal Kejang pada Anak Susiana Tendean, Hardiono D. Pusponegoro,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh proses kelahiran, dimana 80-90% tindakan seksio sesaria ini dilakukan dengan anestesi

BAB I PENDAHULUAN. seluruh proses kelahiran, dimana 80-90% tindakan seksio sesaria ini dilakukan dengan anestesi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indikasi tindakan seksio sesaria pada wanita hamil berkisar antara 15 sampai 20% dari seluruh proses kelahiran, dimana 80-90% tindakan seksio sesaria ini dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. namun juga sehat rohani juga perlu, seperti halnya di negara sedang

BAB I PENDAHULUAN. namun juga sehat rohani juga perlu, seperti halnya di negara sedang BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kesehatan merupakan suatu hal yang paling penting. Dengan hidup sehat kita dapat melakukan segala hal, sehat tidak hanya sehat jasmani saja namun juga sehat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Propofol adalah obat anestesi intravena yang sangat populer saat ini

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Propofol adalah obat anestesi intravena yang sangat populer saat ini BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Propofol adalah obat anestesi intravena yang sangat populer saat ini dikarenakan memiliki waktu mula kerja, durasi dan waktu pulih sadar yang singkat. 1,2 Disamping

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kejang demam merupakan salah satu kejadian bangkitan kejang yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kejang demam merupakan salah satu kejadian bangkitan kejang yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kejang demam merupakan salah satu kejadian bangkitan kejang yang sering dijumpai pada anak. Bangkitan kejang ini disebabkan oleh demam dimana terdapat kenaikan suhu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mortalitas yang tinggi pada penderitanya. Selain sebagai penyebab kematian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mortalitas yang tinggi pada penderitanya. Selain sebagai penyebab kematian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stroke merupakan salah satu penyakit yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada penderitanya. Selain sebagai penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit

Lebih terperinci

STATUS EPILEPTIKUS PENDAHULUAN II. EPIDEMIOLOGI III. ETIOLOGI

STATUS EPILEPTIKUS PENDAHULUAN II. EPIDEMIOLOGI III. ETIOLOGI STATUS EPILEPTIKUS I. PENDAHULUAN Status epileptikus adalah kondisi kejang berkepanjangan mewakili keadaan darurat medis dan neurologis utama. International League Against Epilepsy mendefinisikan status

Lebih terperinci

REKOMENDASI. Penatalaksanaan Status Epileptikus IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA 2016

REKOMENDASI. Penatalaksanaan Status Epileptikus IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA 2016 REKOMENDASI Penatalaksanaan Status Epileptikus IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA 2016 REKOMENDASI Penatalaksanaan Status Epileptikus Penyunting Sofyan Ismael Hardiono D. Pusponegoro Dwi Putro Widodo Irawan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena adanya kenaikan suhu tubuh (suhu rektal diatas 38 C) akibat suatu proses ekstrakranium tanpa adanya infeksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pada pertengahan abad ke 19, mulai diperkenalkan dua penemuan medis sangat penting bagi semua ahli bedah; yaitu anestesi dan antiseptis. Kedua penemuan ini dapt mengurangi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. EPILEPSI 1. Definisi Epilepsi adalah Cetusan listrik lokal pada substansia grisea otak yang terjadi sewaktu-waktu, mendadak, dan sangat cepat yang dapat mengakibatkan serangan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di otak. 1,2 Demam

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di otak. 1,2 Demam BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan demam dan usia, serta tidak didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di otak. 1,2 Demam adalah kenaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sirosis hati merupakan penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Stroke adalah salah satu penyakit yang sampai saat ini masih menjadi masalah serius di dunia kesehatan. Stroke merupakan penyakit pembunuh nomor dua di dunia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Status epileptikus adalah kondisi kejang berkepanjangan yang mewakili keadaan darurat medis dan neurologis. Menurut International League Against Epilepsy, status epileptikus

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Latar belakang. hilangnya kesadaran. Pada dasarnya anestesi digunakan pada tindakan-tindakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Latar belakang. hilangnya kesadaran. Pada dasarnya anestesi digunakan pada tindakan-tindakan BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang Anestesi adalah hilangnya rasa sakit yang disertai atau tanpa disertai hilangnya kesadaran. Pada dasarnya anestesi digunakan pada tindakan-tindakan yang berkaitan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa neonatus adalah masa kehidupan pertama diluar rahim sampai dengan usia

BAB I PENDAHULUAN. Masa neonatus adalah masa kehidupan pertama diluar rahim sampai dengan usia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa neonatus adalah masa kehidupan pertama diluar rahim sampai dengan usia 28 hari atau satu bulan,dimana pada masa ini terjadi proses pematangan organ, penyesuaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. baru atau berulang. Kira-kira merupakan serangan pertama dan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. baru atau berulang. Kira-kira merupakan serangan pertama dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Stroke adalah penyebab kematian terbanyak ketiga di seluruh dunia setelah penyakit jantung dan kanker dan setiap tahunnya 700.000 orang mengalami stroke baru

Lebih terperinci

BAB II STROKE HEMORAGIK

BAB II STROKE HEMORAGIK BAB II STROKE HEMORAGIK 2.1 Definisi Stroke (Penyakit Serebrovaskuler) adalah kematian jaringan otak (infark serebral) yang terjadi karena berkurangnya aliran darah dan oksigen ke otak. Stroke bisa berupa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 17 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Definisi Epilepsi Epilepsi merupakan gangguan kronik otak yang menunjukan gejala-gejala berupa serangan yang berulang yang terjadi akibat adanya ketidaknormalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bervariasi. Insidensi stroke hampir mencapai 17 juta kasus per tahun di seluruh dunia. 1 Di

BAB I PENDAHULUAN. bervariasi. Insidensi stroke hampir mencapai 17 juta kasus per tahun di seluruh dunia. 1 Di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke masih menjadi pusat perhatian dalam bidang kesehatan dan kedokteran oleh karena kejadian stroke yang semakin meningkat dengan berbagai penyebab yang semakin

Lebih terperinci

mekanisme penyebab hipoksemia dan hiperkapnia akan dibicarakan lebih lanjut.

mekanisme penyebab hipoksemia dan hiperkapnia akan dibicarakan lebih lanjut. B. HIPERKAPNIA Hiperkapnia adalah berlebihnya karbon dioksida dalam jaringan. Mekanisme penting yang mendasari terjadinya hiperkapnia adalah ventilasi alveolar yang inadekuat untuk jumlah CO 2 yang diproduksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pediatrik pada stadium light anestesi. Laringospasme merupakan keaadaan. secara mendadak akibat reflek kontriksi dari otot

BAB I PENDAHULUAN. pediatrik pada stadium light anestesi. Laringospasme merupakan keaadaan. secara mendadak akibat reflek kontriksi dari otot BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Laringospasme dan batuk merupakan komplikasi setelah ekstubasi pada pediatrik pada stadium light anestesi. Laringospasme merupakan keaadaan menutupnya glottis secara

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kejang Demam 2.1.1. Definisi Kejang demam adalah kejang yang disebabkan kenaikan suhu tubuh lebih dari 38,4 o C tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat atau gangguan elektrolit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. 45% dari kematian anak dibawah 5 tahun di seluruh dunia (WHO, 2016). Dari

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. 45% dari kematian anak dibawah 5 tahun di seluruh dunia (WHO, 2016). Dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Periode neonatus merupakan waktu yang paling rawan untuk kelangsungan hidup anak. Pada tahun 2015, 2,7 juta neonatus meninggal, merepresentasikan 45% dari kematian anak

Lebih terperinci

KEJANG DEMAM SEDERHANA PADA ANAK YANG DISEBABKAN KARENA INFEKSI TONSIL DAN FARING

KEJANG DEMAM SEDERHANA PADA ANAK YANG DISEBABKAN KARENA INFEKSI TONSIL DAN FARING KEJANG DEMAM SEDERHANA PADA ANAK YANG DISEBABKAN KARENA INFEKSI TONSIL DAN FARING Pasaribu AS 1) 1) Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung ABSTRAK Latar Belakang. Kejang adalah peristiwa yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Stroke adalah penyakit atau gangguan fungsional otak akut fokal maupun global akibat terhambatnya peredaran darah ke otak. Gangguan peredaran darah otak berupa tersumbatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. subarachnoid sehingga bercampur dengan liquor cerebrospinalis (LCS) untuk mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. subarachnoid sehingga bercampur dengan liquor cerebrospinalis (LCS) untuk mendapatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anestesi spinal merupakan teknik anestesi regional yang paling sederhana dan paling efektif. Anestesi spinal dilakukan dengan memasukkan obat anestesi lokal ke dalam

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Depresi adalah suatu gangguan suasana perasaan (mood) yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Depresi adalah suatu gangguan suasana perasaan (mood) yang BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Depresi Depresi adalah suatu gangguan suasana perasaan (mood) yang mempunyai gejala utama afek depresi, kehilangan minat dan kegembiraan, dan kekurangan energi yang menuju meningkatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Stroke merupakan penyebab kematian tertinggi pada. kelompok umur tahun, yakni mencapai 15,9% dan

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Stroke merupakan penyebab kematian tertinggi pada. kelompok umur tahun, yakni mencapai 15,9% dan BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Stroke merupakan penyebab kematian tertinggi pada kelompok umur 45-54 tahun, yakni mencapai 15,9% dan meningkat menjadi 26,8% pada kelompok umur 55-64 tahun. Prevalensi

Lebih terperinci

FARMAKOLOGI ANESTESI LOKAL

FARMAKOLOGI ANESTESI LOKAL Tugas Anestesi FARMAKOLOGI ANESTESI LOKAL disusun oleh ASTRI NURFIDAYANTI 110.2004.036 FK UNIVERSITAS YARSI KEPANITERAAN KLINIK PERIODE 14 FEBRUARI-19 MARET 2011 DEPARTEMEN ANESTESI DAN REANIMASI RUMAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai pada anak. Bangkitan kejang ini terjadi karena adanya kenaikan suhu

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai pada anak. Bangkitan kejang ini terjadi karena adanya kenaikan suhu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejang demam merupakan kelainan neurologis akut yang paling sering dijumpai pada anak. Bangkitan kejang ini terjadi karena adanya kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Stroke atau yang sering disebut juga dengan CVA (Cerebrovascular Accident) merupakan gangguan fungsi otak yang diakibatkan gangguan peredaran darah otak,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang. sistem kesehatan modern. Peningkatan pelayanan di semua bidang pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang. sistem kesehatan modern. Peningkatan pelayanan di semua bidang pelayanan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan zaman, kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan kian meningkat yang berbanding lurus dengan tuntutan masyarakat untuk mendapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. otak, biasanya akibat pecahnya pembuluh darah atau adanya sumbatan oleh

BAB I PENDAHULUAN. otak, biasanya akibat pecahnya pembuluh darah atau adanya sumbatan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Menurut World Health Organization (WHO), stroke didefinisikan sebagai sebuah sindrom yang memiliki karakteristik tanda dan gejala neurologis klinis fokal dan/atau global

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN kasus stroke ( stroke iskemik dan stroke. hemoragik) dengan kematian dari kasus ini (Ropper, 2005).

BAB I PENDAHULUAN kasus stroke ( stroke iskemik dan stroke. hemoragik) dengan kematian dari kasus ini (Ropper, 2005). BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Stroke, setelah penyakit jantung dan kanker adalah penyebab kematian ketiga di Amerika Serikat. Setiap tahun di negara ini terdapat 700.000 kasus stroke (600.000 stroke

Lebih terperinci

DRUGS USED IN EPILEPSI

DRUGS USED IN EPILEPSI DRUGS USED IN EPILEPSI Dwi Bagas Legowo, dr Depart. Of Pharmacology & Therapy Medical School Malahayati University Benzodiazepine dan Barbiturate Farmakokinetik : A. Absorpsi : kecepatan absorbsi dari

Lebih terperinci

Pendahuluan. Cedera kepala penyebab utama morbiditas dan mortalitas Adanya berbagai program pencegahan

Pendahuluan. Cedera kepala penyebab utama morbiditas dan mortalitas Adanya berbagai program pencegahan HEAD INJURY Pendahuluan Cedera kepala penyebab utama morbiditas dan mortalitas Adanya berbagai program pencegahan peralatan keselamatan sabuk pengaman, airbag, penggunaan helm batas kadar alkohol dalam

Lebih terperinci

MANAJEMEN KEJANG PASCA TRAUMA

MANAJEMEN KEJANG PASCA TRAUMA Dipresentasikan pada: Pengembangan Profesi Bedah Berkelanjutan (P2B2) XIII-2016 Persatuan Dokter Spesialis Bedah Umum Indonesia (PABI) Lampung MANAJEMEN KEJANG PASCA TRAUMA DR.Dr.M.Z. Arifin,Sp.BS Department

Lebih terperinci

EEG AWAL TERAPI SEBAGAI PREDIKTOR KEKAMBUHAN PADA PENDERITA EPILEPSI YANG MENDAPAT TERAPI OBAT ANTIEPILEPSI

EEG AWAL TERAPI SEBAGAI PREDIKTOR KEKAMBUHAN PADA PENDERITA EPILEPSI YANG MENDAPAT TERAPI OBAT ANTIEPILEPSI EEG AWAL TERAPI SEBAGAI PREDIKTOR KEKAMBUHAN PADA PENDERITA EPILEPSI YANG MENDAPAT TERAPI OBAT ANTIEPILEPSI EEG IN FIRST THERAPY AS PREDICTOR RELAPSE AT EPILEPSY PATIENT WITH ANTIEPILEPTIC DRUGS THERAPY

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Stroke merupakan suatu gangguan fungsional otak yang ditandai dengan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Stroke merupakan suatu gangguan fungsional otak yang ditandai dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Stroke merupakan suatu gangguan fungsional otak yang ditandai dengan perubahan tanda klinis secara cepat baik fokal maupun global yang mengganggu fungsi

Lebih terperinci

Diagnosa Banding Kejang Pdf Download ->>->>->> DOWNLOAD

Diagnosa Banding Kejang Pdf Download ->>->>->> DOWNLOAD Diagnosa Banding Kejang Pdf Download ->>->>->> DOWNLOAD 1 / 5 2 / 5 Kejang demam / Step adalah bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuhpenatalaksanaan kejang demam meliputi pemberian obat-obat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sakit kritis nondiabetes yang dirawat di PICU (Pediatric Intensive Care Unit)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sakit kritis nondiabetes yang dirawat di PICU (Pediatric Intensive Care Unit) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hiperglikemia sering terjadi pada pasien kritis dari semua usia, baik pada dewasa maupun anak, baik pada pasien diabetes maupun bukan diabetes. Faustino dan Apkon (2005)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pada ketidakmampuan untuk mengendalikan fungsi motorik, postur/ sikap dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pada ketidakmampuan untuk mengendalikan fungsi motorik, postur/ sikap dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Palsi serebral adalah suatu kelainan statis nonprogresif yang disebabkan oleh cedera otak pada periode prenatal, perinatal dan postnatal, yang berpengaruh pada ketidakmampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bagi seorang anestesiologis, mahir dalam penatalaksanaan jalan nafas merupakan kemampuan yang sangat penting. Salah satu tindakan manajemen jalan nafas adalah tindakan

Lebih terperinci

KONSENSUS PENANGANAN KEJANG DEMAM

KONSENSUS PENANGANAN KEJANG DEMAM KONSENSUS PENANGANAN KEJANG DEMAM Editor: Hardiono D. Pusponegoro Dwi Putro Widodo Sofyan Ismael Unit Kerja Koordinasi Neurologi PP. Ikatan Dokter Anak Indonesia 2005-2008 Daftar isi Konsensus penanganan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Kejang Demam 2.1.1. Definisi Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rectal lebih dari 38ºC) yang disebabkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem kardiovaskular terdiri dari jantung, jaringan arteri, vena, dan kapiler yang mengangkut darah ke seluruh tubuh. Darah membawa oksigen dan nutrisi penting untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 60 bulan disertai suhu tubuh 38 C (100,4 F) atau lebih yang tidak. (SFSs) merupakan serangan kejang yang bersifat tonic-clonic di

BAB 1 PENDAHULUAN. 60 bulan disertai suhu tubuh 38 C (100,4 F) atau lebih yang tidak. (SFSs) merupakan serangan kejang yang bersifat tonic-clonic di BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kejang demam atau febrile seizure (FS) merupakan kejang yang terjadi pada anak dengan rentang umur 6 sampai dengan 60 bulan disertai suhu tubuh 38 C (100,4

Lebih terperinci

YUANITA ARDI SKRIPSI SARJANA FARMASI. Oleh

YUANITA ARDI SKRIPSI SARJANA FARMASI. Oleh MONITORING EFEKTIVITAS TERAPI DAN EFEK-EFEK TIDAK DIINGINKAN DARI PENGGUNAAN DIURETIK DAN KOMBINASINYA PADA PASIEN HIPERTENSI POLIKLINIK KHUSUS RSUP DR. M. DJAMIL PADANG SKRIPSI SARJANA FARMASI Oleh YUANITA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. traumatik merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan pada anak-anak dan

BAB 1 PENDAHULUAN. traumatik merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan pada anak-anak dan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cedera kepala traumatik merupakan masalah utama kesehatan dan sosial ekonomi di seluruh dunia (Ghajar, 2000; Cole, 2004). Secara global cedera kepala traumatik merupakan

Lebih terperinci

Syok Syok Hipovolemik A. Definisi B. Etiologi

Syok Syok Hipovolemik A. Definisi B. Etiologi Syok Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik dan metabolik ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. serta tidak didapatkan infeksi ataupun kelainan intrakranial. Dikatakan demam

BAB 1 PENDAHULUAN. serta tidak didapatkan infeksi ataupun kelainan intrakranial. Dikatakan demam BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kejang demam adalah bangkitan kejang terkait dengan demam dan umur serta tidak didapatkan infeksi ataupun kelainan intrakranial. Dikatakan demam apabila suhu tubuh

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA PENEGAKAN DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA NONCONVULSIVE STATUS EPILEPTIKUS (NCSE)

TINJAUAN PUSTAKA PENEGAKAN DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA NONCONVULSIVE STATUS EPILEPTIKUS (NCSE) TINJAUAN PUSTAKA PENEGAKAN DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA NONCONVULSIVE STATUS EPILEPTIKUS () DIAGNOSIS AND MANAGEMENT OF NONCONVULSIVE STATUS EPILEPTICUS () Fathia Annis Pramesti*, Machlusil Husna*, Shahdevi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berlangsung lebih dari 24 jam (kecuali ada intervensi bedah atau membawa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berlangsung lebih dari 24 jam (kecuali ada intervensi bedah atau membawa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Stroke merupakan suatu sindrom yang ditandai gangguan fungsional otak fokal maupun global secara mendadak yang berkembang dengan sangat cepat berlangsung lebih

Lebih terperinci

MODUL KEPANITERAAN KLINIK BEDAH

MODUL KEPANITERAAN KLINIK BEDAH MODUL KEPANITERAAN KLINIK BEDAH Topik : Bedah saraf Judul : Cedera Kepala ( 3b) Tujuan pembelajaran Kognitf II. 1. Menjelaskan anatomi kepala 2. Menjelaskan patogenesa cedera kepala 3. Menjelaskan diagnosis

Lebih terperinci

DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK. Oleh: Yuyun Rindiastuti Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS BAB I PENDAHULUAN

DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK. Oleh: Yuyun Rindiastuti Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS BAB I PENDAHULUAN DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK Oleh: Yuyun Rindiastuti Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di negara maju, penyakit kronik tidak menular (cronic

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan suatu penyakit kegawatdaruratan neurologis yang berbahaya

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan suatu penyakit kegawatdaruratan neurologis yang berbahaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke merupakan suatu penyakit kegawatdaruratan neurologis yang berbahaya dan dapat menyebabkan terjadinya disfungsi motorik dan sensorik yang berdampak pada timbulnya

Lebih terperinci

EMBOLI CAIRAN KETUBAN. dr.pom Harry Satria,SpOG

EMBOLI CAIRAN KETUBAN. dr.pom Harry Satria,SpOG EMBOLI CAIRAN KETUBAN dr.pom Harry Satria,SpOG PENDAHULUAN Definisi emboli cairan ketuban: Sindroma akut, ditandai dyspnea dan hipotensi, diikuti renjatan, edema paru-paru dan henti jantung secara cepat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terutama obat yang mengalami eliminasi utama di ginjal (Shargel et.al, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. terutama obat yang mengalami eliminasi utama di ginjal (Shargel et.al, 2005). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ginjal merupakan organ penting dalam mengatur kadar cairan dalam tubuh, keseimbangan elektrolit, dan pembuangan sisa metabolit dan obat dari dalam tubuh. Kerusakan

Lebih terperinci

OBAT OBAT EMERGENSI. Oleh : Rachmania Indria Pramitasari, S. Farm.,Apt.

OBAT OBAT EMERGENSI. Oleh : Rachmania Indria Pramitasari, S. Farm.,Apt. OBAT OBAT EMERGENSI Oleh : Rachmania Indria Pramitasari, S. Farm.,Apt. PENGERTIAN Obat Obat Emergensi adalah obat obat yang digunakan untuk mengembalikan fungsi sirkulasi dan mengatasi keadaan gawat darurat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Informasi Obat Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan dan pemberian informasi obat, rekomendasi obat yang independen, akurat,. 4 komprehensif, terkini,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dari data antara tahun 1991 sampai 1999 didapatkan bahwa proses

BAB I PENDAHULUAN. Dari data antara tahun 1991 sampai 1999 didapatkan bahwa proses BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dari data antara tahun 1991 sampai 1999 didapatkan bahwa proses persalinan yang disertai dengan anestesi mempunyai angka kematian maternal yang rendah (sekitar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sistem kardiovaskular dalam keadaan optimal yaitu dapat menghasilkan aliran

BAB 1 PENDAHULUAN. sistem kardiovaskular dalam keadaan optimal yaitu dapat menghasilkan aliran BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Tujuan dari terapi cairan perioperatif adalah menyediakan jumlah cairan yang cukup untuk mempertahankan volume intravaskular yang adekuat agar sistem kardiovaskular

Lebih terperinci