Laporan Strategi Pembangunan Emisi Rendah Kabupaten Aceh Selatan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Laporan Strategi Pembangunan Emisi Rendah Kabupaten Aceh Selatan"

Transkripsi

1 Laporan Strategi Pembangunan Emisi Rendah Kabupaten Aceh Selatan September 2014 i

2 Daftar Isi Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... iii 1 Pengantar Pendekatan dan Metode Profil Aceh Selatan Penggunaan Lahan Tingkat Kekritisan Lahan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Aceh Selatan Identifikas Sumber Emisi melalui Analisis Tutupan Lahan Perhitungan Emisi Baseline Emisi CO2e Perubahan Emisi Berdasarkan Pelaksanaan RTRW Perubahan Emisi CO2e Berdasarkan Estimasi Perubahan Tutupan Lahan Hutan Identifikasi Aksi Mitigasi dan Penyusunan Strategi Identifikasi Aksi Mitigasi Potensi Sekuestrasi Emisi Analisis Ekonomi Tanaman Perkebunan Rakyat Rekomendasi Tanaman Perkebunan Penyusunan Strategi Pembangunan Emisi Rendah Kesimpulan Daftar Pustaka Daftar Lampiran ii

3 Daftar Tabel Table 1 : Penggunaan Lahan di Aceh Selatan Tahun Table 2 : Perubahan Penutupan Lahan di Kabupaten Aceh Selatan... 5 Table 3 : Matriks Luas Perubahan dan Penutupan Lahan di Aceh Selatan Tahun (ha)... 7 Table 4 : Nilai Biomasa Tutupan Lahan Table 5 : Matriks Emisi CO 2- e dari setiap Tutupan Lahan di Kabupaten Aceh SelatanTahun Table 6 : Rekapitulasi Emisi CO 2- e di Kabupaten Aceh Selatan Table 7 : Emisi CO2e di Kabupaten Aceh Selatan dari tahun Table 8 : Rencana pemanfaatan ruang tahun di Kabupaten Aceh Selatan Table 9 : Emisi CO2e di Kabupaten Aceh Selatan dari tahun Table 10 : Analisis Ekonomi untuk Tanaman Perkebunan Rakyat di Kabupaten Aceh Selatan Table 11 : Nilai Cadangan Karbon pada Tanaman Perkebunan Rakyat Terpilih Table 12: Strategi Pembangunan Emisi Rendah Kabupaten Aceh Selatan Daftar Gambar Figure 1 : Luasan Lahan Kritis di Aceh Selatan Tahun Figure 2 : Perubahan Penutupan Lahan di Kabupaten Aceh Selatan Tahun 2000 dan Figure 3 : Peta Tutupan Lahan Aceh Selatan Tahun 2000 dan Figure 4 : Peta Tutupan Lahan Tahun 2011 Kabupaten Aceh Selatan... 9 Figure 5 : Peta Sebaran Emisi CO2e di Kabupaten Aceh Selatan Figure 6 : Baseline emisi CO2e di Kabupaten Aceh Selatan dari tahun Figure 7: Baseline dan Perubahan emisi CO2e di Kabupaten Aceh Selatan dari tahun Figure 8 : Peta Tutupan Lahan 2011 dan Peta Rencana Pola Ruang RTRW Aceh Selatan Figure 9 : Bagan Penyusunan Strategi iii

4 1 PENGANTAR Low Emission Development Strategies (LEDS) atau Strategi Pembangunan Emisi Rendah (SPER) merupakan kerangka strategis yang menggambarkan aksi konkret, kebijakan, program dan rencana implementasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, perbaikan pengelolaan lingkungan dan pemenuhan target pembangunan (USAID). Dalam kerangka program Indonesia Forest and Climate Support (IFACS) dan lebih khusus melalui kegiatan Integration of Strategic Environment Assessment (SEA) and Low Emission Development Strategies (LEDS) into Spatial and Development Plans in USAID IFACS Target Landscapes - District: Aceh Selatan, Aceh Tenggara dan Gayo Lues, disebutkan tujuan penyusunan kajian atau analisa Strategi Pembangunan Emisi Rendah dan Laporan Assessment Kebutuhan Pembiayan ini adalah untuk memberikan pendampingan teknis kepada Kabupaten untuk mengoptimalkan strategi pembangunan emisi rendah yang : 1) mengurangi emisi GRK melalui penyusunan kembali rencana tata ruang; 2) focus pada pembangunan dan rencana pada area yang rusak dan karbon rendah; 3) menggunakan energy terbarukan untuk pertumbuhan ekonomi. SPER ini disusun dalam proses yang terintegrasi dengan penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten tersebut. Laporan ini akan memaparkan hasil analisa dan rekomendasi yang diarahkan sesuai dengan kerangka acuan kegiatan dalam kerangka program ini. 2 PENDEKATAN DAN METODE Pendekatan penyusunan SPER berdasarkan pada beberapa hal yaitu: Strategi Pembangunan Emisi Rendah (SPER) merupakan kerangka strategis yang menggambarkan aksi konkret, kebijakan, program dan rencana implementasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, perbaikan pengelolaan lingkungan dan pemenuhan target pembangunan. Kerangka ini menjadi dasar untuk pencapaian target penurunan emisi GRK jangka panjang yang terukur dibandingkan dengan skenario business-as-usual. Secara teknis, keterkaitan KLHS dan SPER berdasar pada salah satu kriteria yang telah ditetapkan dalam Penjelasan UU PPLH No. 32 Th 2009 tentang KLHS, (Pasal 16 dan Penjelasan Pasal 15 ayat 2), yaitu kriteria perubahan iklim global. Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Rencana Aksi. Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca maka aksi mitigasi untuk menurunkan emisi gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global diprioritaskan pada emisi yang dihasilkan oleh lima bidang yaitu Pertanian, Kehutanan dan Lahan Gambut, Energi dan Transportasi, Industri, dan Pengelolaan Limbah. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, pendekatan dan tahapan yang dilakukan dalam penyusunan SPER ini adalah sebagai berikut: Mengetahui kondisi yang berlaku saat ini pada tiap kabupaten. Hal ini dilakukan dengan mempelajari profil daerah. Melakukan analisis tutupan lahan Menghitung emisi exisiting sebagai baseline (business as usual) menggunakan metode historical based melalui tutupan lahan sejak tahun

5 Menghitung perubahan emisi menggunakan metode forward looking non parametric, yaitu metode untuk memprediksi emisi berdasarkan scenario yang didasarkan pada rencana tata ruang wilayah setempat Identifikasi aksi mitigasi penyusunan strategi Pendekatan dan metode yang disebutkan diatas, memiliki catatan sebagai berikut: Penghitungan proyeksi emisi GRK di masa yang akan datang dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu: 1) ekstrapolasi berdasarkan perubahan emisi di masa lalu; 2) perubahan emisi sebagai dampak dari implementasi RTRW. Namun untuk cara kedua sebenarnya diperlukan data yang lebih detail terkait dengan proyeksi tutupan lahan di tahun 2032 yang memperhitungkan rencana pola ruang. Untuk saat ini, data tersebut tidak tersedia untuk semua rencana program tata ruang 3 PROFIL ACEH SELATAN Kabupaten Aceh Selatan adalah salah satu kabupaten di Provinsi Aceh, Indonesia. Sebelum berdiri sendiri sebagai kabupaten otonom, calon wilayah Kabupaten Aceh Selatan adalah bagian dari Kabupaten Aceh Barat. Pembentukan Kabupaten Aceh Selatan ditandai dengan disahkannya Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1956 pada 4 November Kabupaten Aceh Selatan pada tanggal 10 April 2002 resmi dimekarkan sesuai dengan UU RI Nomor 4 tahun 2002 menjadi tiga Kabupaten, yaitu: Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Aceh Selatan. Wilayah Kabupaten Aceh Selatan terletak di pantai barat selatan Provinsi Aceh yang berada di ujung utara Pulau Sumatera. Berdasarkan Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1 : , wilayah daratan Kabupaten Aceh Selatan secara geografis terletak pada LU dan BT. Dengan batas-batas wilayah adalah: sebelah utara : Kabupaten Aceh Tenggara; sebelah timur : Kota Subulussalam dan Kabupaten Aceh Singkil; sebelah selatan : Samudera Hindia; sebelah barat : Kabupaten Aceh Barat Daya. Luas wilayah daratan Aceh Selatan adalah 4.176,59 Km 2 atau ,85 Ha, yang meliputi daratan utama di pesisir barat selatan Provinsi Aceh. 3.1 Penggunaan Lahan Penggunaan lahan eksisting Kabupaten Aceh Selatan tahun 2011 memperlihatkan bahwa didominasi oleh kawasan lindung, yaitu penggunaan untuk hutan lindung seluas ,54 Ha atau sekitar 38,11 % dari total luas wilayah Kabupaten Aceh Selatan. Taman Nasional Gunung Leuser seluas ,14 Ha (18,58 %), dan Suaka Margasatwa Rawa Trumon seluas ,37 Ha (13,16). Kawasan hutan lindung berada di bagian Timur dan Utara Kabupaten Aceh Selatan dan menempati lahan terbesar. Sedang kawasan Taman Nasional Gunung Leuseur yang berada di wilayah Kabupaten Aceh Selatan berada pada bagian Utara dan Tengah wilayah kabupaten. Di bagian Selatan terdapat Suaka Margasatwa Rawa Trumon. 2

6 Penggunaan lahan untuk kawasan budidaya yang paling besar adalah penggunaan untuk kegiatan pertanian lahan kering dan perkebunan, masing-masing seluas ,08 Ha (10,86 %), dan ,78 Ha (6,93 %). 3.2 Tingkat Kekritisan Lahan Table 1 : Penggunaan Lahan di Aceh Selatan Tahun 2011 NO PENGGUNAAN LAHAN LUAS (Ha) % 1 Hutan Lindung ,54 38,11 2 Hutan Produksi 6.201,99 1,48 3 Hutan Produksi Terbatas 7.884,31 1,89 4 Suaka Margasatwa Rawa Trumon ,37 13,16 5 Taman Nasional Gunung Leuser ,14 18,58 6 Danau Laut Bangko 131,50 0,03 7 Pemukiman 3.295,44 0,79 8 Permukiman Kawasan Adat Terpencil) KAT 18,40 0,00 9 Bandara 6,64 0,00 10 Perkebunan 4.915,11 1,18 11 Perkebunan Rakyat ,78 6,93 12 Pertanian Lahan Kering ,08 10,86 13 Peternakan 2.541,48 0,61 14 Sawah ,83 2,74 15 Transmigrasi ,24 3,63 Jumlah ,85 100,00 Sumber: Bappeda Kabupaten Aceh Selatan, 2012 Berdasarkan data Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) Kabupaten Aceh Selatan 2012, luas lahan kritis di Kabupaten Aceh Selatan tercatat sebesar Ha, dimana lahan kritis terbesar berada di Kecamatan Trumon Timur dan Meukek. 3

7 6,000 5,000 5,026 5,006 4,000 3,000 2,416 2,000 1, , ,695 1, , ,224 Figure 1 : Luasan Lahan Kritis di Aceh Selatan Tahun 2011 Sumber: SLHD Kabupaten Aceh Selatan, Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Aceh Selatan Kabupaten Aceh Selatan mengalami pemekaran pada tahun 2002 yaitu mekar menjadi tiga Kabupaten, yaitu: Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Aceh Selatan. Sejak dimekarkan hingga saat ini Kabupaten Aceh Selatan belum memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Namun demikian proses penyusunan RTRW sedang berlangsung saat ini, yang diperkirakan telah dimulai pada tahun Perkembangan terakhir mengenai proses penetapan RTRW ini adalah draft RTRW ini telah memperoleh persetujuan substansi dari BKPRN berdasarkan SK Menteri Pekerjaan Umum Nomor No HK Dr/535 tanggal 18 Desember Saat ini PemKab Aceh Selatan sedang menunggu jadwal untuk pembahasan RanQanun dengan DPRD. Surat permohonan untuk pembahasan RanQanun kepada DPRD Kab. Aceh Selatan sudah dikirimkan oleh Bupat Aceh Selatan pada bulan Maret Terlepas dari proses penyusunan RTRW yang sedang berlangsung tersebut, saat ini Kabupaten Aceh Selatan dengan dukungan USAID IFACS sedang menyusun KLHS RTRW tersebut. Mengingat draft RTRW sudah tersedia dan proses penetapannya menjadi qanun sedang berlangsung, penyusunan KLHS disini diutamakan sebagai satu bentuk peningkatan kapasitas dan telaah dari muatan RTRW yang ada saat ini, dengan harapan hasil dari KLHS ini dapat menjadi masukan bagi Pemkab Aceh Selatan untuk pelaksanaan penyusunan rencana tata ruang yang lebih rinci dan kegiatan perencanaan pembangunan lainnya. 4 IDENTIFIKAS SUMBER EMISI MELALUI ANALISIS TUTUPAN LAHAN Penyusunan SPER diawali dengan memahami kondisi daerah dan melakukan identifikasi sumber emisi. Dalam hal ini, analisis tutupan lahan menjadi satu metode yang digunakan untuk mengetahui besaran emisi pada Kabupaten Gayo Lues. 4

8 Kabupaten Aceh Selatan sebagian besar atau 70% wilayahnya memiliki tutupan lahan hutan, untuk itu kegiatan yang berpotensi menimbulkan emisi adalah kegiatan manusia yang menimbulkan perubahan penggunaan lahan hutan menjadi bukan hutan (deforestasi ataupun degradasi hutan). Untuk memastikan sumber sumber emisi yang berpotensi menimbulkan emisi di Kabupaten Aceh Selatan diupayakan proses pelingkupan. Pelingkupan LEDS (emisi yang akan dihitung, dianalisa, dan diturunkan) memiliki kriteria: kategori sumber emisi yang dihitung kemungkinan merupakan kategori yang menimbulkan/menyerap emisi besar, memiliki peluang mitigasi tinggi, dan merupakan kategori dimana pemerintah daerah memiliki kewenangan. Berdasarkan hasil pelingkupan oleh beberapa pemangku lintas kepentingan (stakeholders) maka emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang dihitung adalah Emisi GRK berasal dari kegiatan manusia dalam bidang Land Use, Land Use Change and Forestry (LULUCF). Emisi GRK berasal dari LULUCF secara garis besar dihitung melalui 2 tahapan yaitu: 1. Analisis perubahan tutupan lahan (land cover) 2. Perhitungan emisi Tutupan lahan (land cover) dan land use merupakan suatu obyek alami atau buatan manusia yang menutupi seluruh permukaaan bumi dimana manusia melakukan aktifitasnya. Pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi menyebabkan kebutuhan akan lahan sangat besar. Akibatnya Land cover dan land use dari tahun ke tahun mengalami perubahan yang sangat pesat. Perubahan tutupan lahan yang menyebabkan deforestasi dan degradasi lahan menyebabkan emisi gas rumah kaca meningkat. Pada analisa perubahan tutupan lahan ini, bahan yang digunakan adalah Peta landcover dari BAPLAN Kepmenhut th 2000, 2003, 2006, 2009, dan tahun Dan alat yang digunakan adalah seperangkat alat komputer dengan sofware Arc GIS. Berdasarkan peta tutupan lahan dari BAPLAN Kepmenhut th 2000, 2003, 2006, 2009, dan tahun 2011 di Kabupaten Aceh Selatan mempunyai 16 detail klasifikasi yaitu bandara, hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan rawa primer, hutan rawa sekunder, lahan terbuka, perkebunan, permukiman, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur, rawa, sawah, semak belukar, semak belukar rawa, tambak dan tubuh air. Luas pada masing-masing penggunaan dan penutupan lahan dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 2. Table 2 : Perubahan Penutupan Lahan di Kabupaten Aceh Selatan Tahun 2000, 2003, 2006, 2009, dan 2011 Tutupan lahan th 2000 th 2003 th 2006 th 2009 th bandara hutan lahan kering primer hutan lahan kering sekunder hutan rawa primer hutan rawa sekunder lahan terbuka perkebunan

9 Tutupan lahan th 2000 th 2003 th 2006 th 2009 th permukiman pertanian lahan kering pertanian lahan kering campur rawa sawah semak belukar semak belukar rawa tambak tubuh air Total Tabel diatas memperlihatkan bahwa pada kurun waktu 11 tahun dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2011 tidak terjadi perubahan penggunaan lahan yang berarti. Hanya pada tutupan lahan hutan lahan kering sekunder terjadi penurunan dari luas dari 111,269 ha pada tahun 2000 menjadi 108,359 ha pada tahun Sedangkan pada tutupan lahan semak belukar terjadi peningkatan dari luas 27,443 ha pada tahun 2000 menjadi 30,291 ha pada tahun Gambaran perubahan tutupan lahan tersebut dalam bentuk bagan, dapat dilihat sebagai berikut: th 2000 th 2003 th 2006 th 2009 th 2011 tubuh air tambak semak belukar rawa semak belukar sawah rawa pertanian lahan kering campur pertanian lahan kering permukiman perkebunan Gambar 2 : Perubahan Penutupan Lahan di Kabupaten Aceh Selatan Tahun 2000 dan 2011 Perubahan penggunaan lahan selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir, dapat dilihat pada tabel berikut : 6

10 Table 3 : Matriks Luas Perubahan dan Penutupan Lahan di Aceh Selatan Tahun (ha) Tahun 2000 Tahun 2011 A B C D E F G H I J K L M N O P Total bandara A 6.9 hutan lahan kering primer hutan lahan kering sekunder B C hutan rawa primer D hutan rawa sekunder E lahan terbuka F perkebunan G 7721 permukiman H pertanian lahan kering pertanian lahan kering campur I J 5366 rawa K 39.9 sawah L semak belukar M semak belukar rawa N tambak O 6.7 tubuh air P Total

11 Tabel diatas memperlihatkan bahwa penurunan tutupan lahan hutan lahan kering sekunder sebagian besar (2.851,5 ha) berubah menjadi semak belukar. Begitu pula hal nya dengan hutan rawa sekunder yang berubah menjadi semak belukar rawa seluas ha. Peta tutupan lahan Aceh Selatan dari tahun 2000 dan tahun 2009 dapat dilihat pada gambar dibawah ini: Gambar 3 : Peta Tutupan Lahan Aceh Selatan Tahun 2000 dan

12 Berikut ini tutupan lahan Aceh Selatan tahun 2011: Gambar 4 : Peta Tutupan Lahan Tahun 2011 Kabupaten Aceh Selatan 5 Perhitungan Emisi Perhitungan emisi yang diakibatkan oleh perubahan tutupan lahan ditujukan untuk melakukan analisis perhitungan emisi atau Karbon dioksida (CO 2 e) yang diakibatkan oleh perubahan land cover (biomasa) dan land use dari tahun 2000 sampai dengan tahun Dalam perhitungan emsi ini, bahan yang digunakan adalah peta perubahan land cover dan land use Kabupaten Aceh Selatan dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2011, data biomasa dari setiap jenis penutupan dan penggunaan lahan. Alat yang digunakan adalah seperangkat alat komputer dengan sofware Arc GIS. Brown (1997) mendefinisikan biomassa sebagai jumlah total bahan organik hidup di atas permukaan tanah pada tanaman khususnya pohon (daun, ranting, cabang, batang utama, dan kulit) yang dinyatakan dalam berat kering oven ton per unit area. Biomassa atau bahan oganik adalah produk fotosintesis. Dalam proses fotosintesis, butir-butir hijau daun berfungsi sebagai sel surya yang menyerap energi matahari guna mengkonversi karbon dioksia dengan air menjadi senyawa karbon, hidrogen dan oksigen (CHO). Umumnya Karbon menyusun 45-50% bahan kering dari tanaman(biomasa) (Kusmana et al.1992). Hutan menyimpan biomasa vegetasi yang sangat tinggi, sehingga hutan mempunyai fungsi sebagai penyerap karbon dioksida (CO 2 ). Biomassa vegetasi bertambah karena menyerap karbon dioksida dari udara dan mengubah zat tersebut menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis. Estimasi 9

13 nilai Karbon dioksida (CO 2 ) didekati dari perbandingan berat molekul CO 2 dan C sebesar nilai CO 2 e = 44/12 x C atau CO 2 e = 3,67 x C. Nilai biomasa yang digunakan pada perhitungan emisi atau Karbon dioksida untuk setiap tutupan lahan diberikan pada tabel berikut ini: Table 4 : Nilai Biomasa Tutupan Lahan Tutupan lahan biomasa (ton/ha) Sumber hutan lahan kering primer 350 IPCC 2003 hutan lahan kering sekunder 260 Achmad 2013 hutan tanaman 130 IPCC 2003 padang rumput 6.2 IPCC 2003 pertanian lahan kering 72 Achmad 2013 pertanian lahan kering campur 72 Achmad 2013 sawah 66 Achmad 2013 semak belukar 70 IPCC 2003 semak belukar rawa 69 Achmad 2013 Perkebunan sawit 33 marispatin et al (2010) Hutan rawa primer Riau Istomo (2002) Hutan rawa sekunder 108 sulsel solichin (2011) perkebunan rakyat ginting (1995) Hutan Kota 84 Setiawan (2007) Sumber: Disarikan dari Berbagai Sumber Hasil perhitungan emisi CO2e dalam kurun waktu 11 tahun pada tabel berikut ini: 10

14 Table 5 : Matriks Emisi CO 2- e dari setiap Tutupan Lahan di Kabupaten Aceh SelatanTahun Tutupan Lahan Tahun 2011 Tahun 2000 A B C D E F G H I J K Total Tanah kosong A Daerah terbangun B Semak belukar C Hutan D Sawah E Perkebunan F Kolam G Rawa H Belukar lahan kering I Badan air J Awan K Total Table 6 : Rekapitulasi Emisi CO 2- e di Kabupaten Aceh Selatan Emisi Ton Emisi sekuestrasi Ton Emisi GRK Ton luas (ha) Ha Emisi 8.3 ton/ha Emisi 0,9276 ton/ha/tahun 11

15 Hasil perhitungan emisi CO2e dalam kurun waktu 11 tahun seperti ditunjukkan tabel diatas, maka di Kabupaten Aceh Selatan dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2011 dihasilkan emisi total sebesar 3,861,816 ton, Emisi sekuestrasi sebesar -377,175 ton, sehingga emisi yang menyebabkan gas rumah kaca sebesar 3,484,641 ton, atau sebesar 8.3 ton/ha, atau 0,92 ton/ha/tahun. Emisi CO2e yang menyebabkan gas rumah kaca yang diakibatkan oleh perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi belukar, tanah terbuka, dan pertanian lahan kering menyebar pada semua Kecamatan di Kabupaten Aceh Selatan seluas 7747 ha. Sebaran spasial dari Emisi CO2e yang disebabkan perubahan tutupan lahan hutan diberikan pada gambar berikut ini : 5.1 Baseline Emisi CO2e Gambar 5 : Peta Sebaran Emisi CO2e di Kabupaten Aceh Selatan Seperti sudah dijelaskan di depan bahwa SPER akan dijadikan sebagai kerangka strategis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, perbaikan pengelolaan lingkungan dan pemenuhan target pembangunan. Kerangka ini menjadi dasar untuk pencapaian target penurunan emisi GRK jangka panjang yang terukur dibandingkan dengan skenario baseline emisi CO2e. Baseline emisi CO2e dibangun dari data perubahan nilai biomasa pada setiap tutupan lahan dalam selang waktu 3 tahun-an yaitu tutupan lahan tahun , tahun , tahun , dan tahun Hasil perhitungan emisi CO2e di Kabupaten Aceh Selatan dalam selang waktu 3 tahun-an yaitu tahun , tahun , tahun , dan tahun diberikan pada Tabel 7 dan pendugaan emisi CO2e kedepan mengikuti model: 12

16 Emisi Co2e (ton/ha) Y = ln(x) Keterangan: Y = emisi CO2e X = perubahan selama waktu tertentu (tahun) Model pendugaan emisi CO2e tersebut memberikan nilai R 2 sebesar 80.9% artinya model tersebut dapat digunakan sebagai baseline emisi CO2e. Model pendugaan emisi CO2e diberikan pada Gambar 5. Table 7 : Emisi CO2e di Kabupaten Aceh Selatan dari tahun Emisi Th Th Th Th Emisi CO2e (ton) , , , ,38 Emisi sekuestrasi (ton) 0,00 0,00 0,00-291,37 Emisi bersih (ton) , , , ,76 Luas (ha) , , , ,92 Emisi CO2e (ton/ha) 0,30 0,23 2,82 0,01 Baseline Emisi CO2e (ton/ ha) Perubahan dalam tahun y = ln(x) R² = Emisi CO2e (ton/ha) Log. (Emisi CO2e (ton/ha)) Gambar 6 : Baseline emisi CO2e di Kabupaten Aceh Selatan dari tahun Perubahan Emisi Berdasarkan Pelaksanaan RTRW Setelah perhitungan emisi existing diperoleh, kemudian dilakukan perhitungan perubahan emisi sebagai prediksi berdasarkan scenario pelaksanaan RTRW Kabupaten Aceh Selatan (metode forward looking non parametric). Emisi dihitung berdasarkan rencana pemanfaatan ruang tahun yang dimuat dalam RTRW Kabupaten Aceh Selatan. Rencana pemanfaatan ruang yang dimuat dalam RTRW Kabupaten Aceh Selatan adalah sebagai berikut: 13

17 Table 8 : Rencana pemanfaatan ruang tahun di Kabupaten Aceh Selatan Rencana Pola Ruang Tahun Luas (ha) Luas (%) Bandara 62 0,0 Hankam 53 0,0 Holdingzone ,7 Hutan Lindung ,0 Hutan Produksi ,1 Hutan Produksi Konversi ,8 Kawasan Imbuhan Air Tanah ,7 Kawasan Industri Menengah 2 0,0 Perikanan 24 0,0 Perkebunan ,2 Perkebunan Rakyat ,4 Permukiman KAT 18 0,0 Permukiman Pedesaan ,6 Permukiman Perkotaan ,4 Pertanian Lahan Kering ,1 Peternakan ,5 Sawah ,7 Sempadan Pantai ,3 Sempadan Sungai ,9 Suaka Marga Satwa Rawa Singkil ,5 Sungai ,5 Taman Nasional Gunung Leuser ,9 Tempat Pembuangan Akhir 3 0,0 Transmigrasi ,6 (blank) 349 0,1 Total ,0 Analisis penurunan emisi CO 2 e pada SPER merupakan integrasi dari KLHS yaitu analisis terhadap rencana pemanfaatan ruang yang dituangkan dalam RTRW Kabupaten Aceh Selatan sebagaimana disebutkan pada tabel diatas, menunjukkan bahwa rencana pemanfaatan ruang tahun mampu mengsekuestrasi emisi CO2e sebesar ton/ha, hasil ini lebih kecil/rendah dari pendugaan emisi CO2e berdasarkan baseline yang ditetapkan yaitu sebesar ton/ha. Hasil perhitungan Emisi CO2e di Kabupaten Aceh Selatan dari tahun diberikan pada Tabel 9 dan penurunan emisi CO2e pada RTRWK KLHS tahun terhadap baseline diberikan pada Gambar 7. 14

18 Table 9 : Emisi CO2e di Kabupaten Aceh Selatan dari tahun Emisi Th Emisi CO2e (ton) ,22 Emisi sekuestrasi (ton) ,38 Emisi bersih (ton) ,16 Luas (ha) ,92 Emisi CO2e (ton/ha) -72,76 Figure 7: Baseline dan Perubahan emisi CO2e di Kabupaten Aceh Selatan dari tahun Pada bagan diatas terlihat bahwa bila RTRW dilaksanakan sesuai dengan muatan yang ada didalamnya, maka diprediksi terjadi sekuestrasi emisi sebesar ton/ha. Sekuestrasi emisi tersebut dipengaruhi oleh pemanfaatan ruang yang paling besar berupa hutan lindung, Suaka Marga Satwa Rawa Singkil (SMSRS), dan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Pemanfaatan lahan lainnya adalah kawasan budidaya yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat paling luas adalah peruntukan untuk perkebunan rakyat yaitu sebesar 5,4% atau seluas ha serta pertanian lahan kering sebesar 9,1% atau seluas ha - dibandingkan dengan kondisi tahun Sekuestrasi yang terjadi dari perhitungan scenario ini sudah termasuk kalkulasi dari perubahan lahan dari kawasan hutan menjadi perkebunan rakyat, meliputi luas total sebesar Ha dan tersebar di: Kec. Kluet Selatan seluas 1.102,04 Ha; Kec. Bakongan seluas 40,22 Ha; Kec. Bakongan Timur seluas 2.300,34 Ha; Kec. Kluet Timur seluas 4.700,6 Ha; Kec. Trumon seluas 2.434,53 Ha; Kec. Trumon Tengah seluas 1.466,08 Ha; serta Kec. Trumon Timur seluas 1.890,90 Ha. 15

19 Perubahan status hutan yang diusulkan berubah adalah sebagai berikut: Hutan lindung (HL) seluas ha di seluruh Aceh Selatan kecuali Trumon Suaka Margasatwa Rawa Trumon (Singkil) seluas ha Hutan produksi terbatas seluas ha di Kluet Timur dan Kota Bahagia. Gambar berikut menyandingkan peta tutupan lahan tahun 2011 dengan peta rencana pola ruang RTRW Kabupaten Aceh Selatan: Figure 8 : Peta Tutupan Lahan 2011 dan Peta Rencana Pola Ruang RTRW Aceh Selatan 16

20 Data penurunan emisi atau sekuestrasi emisi dari perbandingan tutupan lahan tahun 2011 dan scenario pemanfaatan ruang menjadi gambaran target pencapaian emisi dalam pembangunan di Aceh Selatan. Pada bagian selanjutnya akan dilakukan telaah lebih lanjut terhadap potensi sekuestrasi emisi dari perkebunan rakyat setelah terlebih dahulu membahas mengenai identifikasi opsi atau aksi mitigasi dibawah ini. 5.3 Perubahan Sekuestrasi Emisi CO2e Berdasarkan Perkiraan yang Paling Mungkin Terjadi Pada sub bab sebelumnya sudah disampaikan hasil perhitungan estimasi emisi CO2e berdasarkan Achmad 2013 perubahan tutupan lahan existing tahun 2000_2011 sampai dengan perubahan tutupan lahan yang diakibatkan oleh pelaksanaan RTRW Kabupaten Aceh Selatan, yang menghasilkan emisi sekuestrasi sebesar ton/ha. Hasil ini sangat ideal karena pada RTRW luas seluruh kawasan hutan diperuntukan untuk tutupan lahan hutan. Pada sub bab ini disampaikan juga hasil perhitungan estimasi sekuestrasi emisi CO2e berdasarkan estimasi perubahan tutupan lahan hutan sebagai bentuk perkiraan yang paling mungkin terjadi, karena pada kondisi existing pada kawasan hutan tutupan lahannya tidak semuanya berupa hutan. Di Kabupaten Aceh Selatan perhitungan estimasi emisi CO2e yang diakibatkan oleh perubahan tutupan lahan hutan dilakukan pada hutan lahan kering sekunder, karena pada hutan lahan kering primer dari tahun tidak mengalami perubahan. Tahap pertama yang dilakukan adalah merumuskan model perubahan tutupan lahan hutan lahan kering sekunder menggunakan data tutupan lahan hutan lahan kering sekunder dari tahun (Tabel 10). Hasil perhitungan model diberikan pada Gambar 9. Table 10 Luas perubahan penutupan lahan hutan lahan kering sekunder eksisting tahun Luas (ha) Tutupan Lahan Th 2000 Th 2003 Th 2006 Th 2009 Th 2011 Hutan Lahan Kering Sekunder y = x R² =

21 Figure 9. Model estimasi perubahan tutupan lahan hutan lahan kering sekunder Model pendugaan luas tutupan lahan hutan lahan kering sekunder memberikan nilai R 2 sebesar 78% artinya model tersebut dapat digunakan untuk menduga pendugaan luas tutupan lahan hutan lahan kering sekunder tahun Selanjutnya dengan menggunakan hasil model ini dilakukan estimasi luas tutupan lahan hutan lahan kering sekunder tahun Hasil Estimasi Luas penutupan lahan Hutan Lahan Kering Sekunder tahun disajikan pada Tabel 11. Table 11 Estimasi Luas penutupan lahan Hutan Lahan Kering Sekunder berdasarkan model tahun Tutupan Lahan Hutan Lahan Kering Sekunder Luas (ha) Th 2000 Th 2003 Th 2006 Th 2009 Th 2011 Th 2020 Th Selanjutnya analisis estimasi emisi CO2e dihitung berdasarkan scenario perubahan tutupan lahan dari hutan lahan kering sekunder menjadi semak belukar dan dari hutan lahan kering sekunder menjadi pertanian lahan kering, dengan pendekatan nilai biomasa hutan lahan kering sekunder sebesar 260 ton/ha (Achmad 2013), semak belukar sebesar 70 ton/ha (IPCC 2003), dan pertanian lahan kering sebesar 72 ton/ha (Achmad 2013). Hasil perhitungan estimasi Nilai Simpanan Biomasa, Carbon, dan CO2e pada tutupan lahan hutan kering sekunder tahun (ton) disajikan pada Tabel 12. Sedangkan hasil Estimasi Nilai Simpanan CO2e pada tutupan lahan hutan lahan kering sekunder, Semak belukar, dan Pertanian lahan kering tahun (ton) disajikan pada Tabel 13. Table 12 Estimasi Nilai Simpanan Biomasa, Carbon, dan CO2e pada tutupan lahan hutan kering sekunder tahun (ton) Tahun Luas (ha) Nilai Biomas (ton) Nilai Carbon (ton) Nilai CO2e (ton) Table 13 Estimasi Nilai Simpanan Biomasa, Carbon, dan CO2e pada tutupan lahan hutan lahan kering sekunder, Semak belukar, dan Pertanian lahan kering tahun (ton) Nilai CO2e (ton) Tahun hutan lahan kering sekunder Semak belukar Pertanian lahan kering

22 Nilai CO2e (ton) Tahun hutan lahan kering sekunder Semak belukar Pertanian lahan kering Analisis estimasi emisi CO 2 e berdasarkan scenario perubahan tutupan lahan dari tahun dari hutan lahan kering sekunder menjadi semak belukar menghasilkan emisi CO2e sebesar ton atau ton/ha. Dan dari hutan lahan kering sekunder menjadi pertanian lahan kering menghasilkan emisi CO2e sebesar ton atau ton/ha, hasil ini lebih besar dari pendugaan emisi CO2e berdasarkan baseline yang ditetapkan yaitu sebesar ton/ha. Hasil perhitungan Emisi CO2e ini di Kabupaten Aceh Selatan dari tahun diberikan pada Tabel 14 dan Tabel 15 Table 14 Estimasi emisi CO2e pada perubahan tutupan lahan dari hutan lahan kering sekunder menjadi Semak belukar, dan dari hutan lahan kering sekunder menjadi Pertanian lahan kering tahun Perubahan tutupan lahan Perubahan luas (ha) Emisi CO2e (ton) Emisi CO2e (ton/ha) Th Th hutan lahan kering sekunder- Semak belukar hutan lahan kering sekunder - Pertanian lahan kering Table 15 Estimasi emisi CO2e pada perubahan tutupan lahan dari hutan lahan kering sekunder menjadi Semak belukar, dan dari hutan lahan kering sekunder menjadi Pertanian lahan kering tahun Perubahan tutupan lahan Perubahan luas (ha) Emisi CO2e (ton) Emisi CO2e (ton/ha) Th Th hutan lahan kering sekunder Semak belukar hutan lahan kering sekunder - Pertanian lahan kering

23 6 IDENTIFIKASI AKSI MITIGASI DAN PENYUSUNAN STRATEGI 6.1 Identifikasi Aksi Mitigasi Di dalam proses penyusunan SPER, proses indentifikasi aksi dilakukan untuk mendapatkan serangkaian aksi yang akan dilakukan untuk mencapai satu tujuan tertentu terkait dengan pembangunan emisi rendah. Dalam proses yang dilakukan pada proses penyusunan SPER Aceh Selatan, aksi-aksi yang digunakan disini adalah aksi-aksi mitigasi yang disusun dalam proses KLHS RTRW Aceh Selatan. Dalam proses KLHS, disusun sejumlah usulan mitigasi untuk muatan RTRW yang memiliki dampak atau pengaruh negative terhadap isu-isu strategis pembangunan berkelanjutan. Usulan aksi mitigasi tersebut dilakukan cek muatan dengan penurunan emisi dengan tujuan memeriksa setiap mitigasi tidak bertentangan dengan prinsip opsi aksi pembangunan emisi rendah. Dan hasil cek muatan tersebut diperoleh hasil bahwa tidak ada muatan yang kontra produktif dengan penurunan emisi dan sebagian berkontribusi langsung dengan penurunan emisi, sebagian lainnya berkontribusi tidak langsung. Usulan mitigasi yang disebutkan diatas merespon 11 muatan RTRW yang dinilai memiliki dampak atau pengaruh terhadap isu-isu strategis pembangunan berkelanjutan. Dari usulan mitigasi yang ada belum terlihat usulan mitigasi yang bersifat pemanfaatan energy terbarukan secara langsung, mengingat RTRW merupakan salah satu rencana dengan lingkup makro. Selengkapnya daftar muatan RTRW dan usulan mitigasinya dapat dilihat pada lampiran. Selanjutnya kajian SPER ini mencoba membahas mengenai peluang atau potensi penurunan emisi melalui Rencana Pengembangan Kawasan Perkebunan Rakyat yang merupakan salah satu muatan dari RTRW Kabupaten Gayo Lues. Rencana ini dipilih untuk ditelaah lebih lanjut karena memiliki potensi perolehan sekuestrasi emisi lebih baik bila dilakukan dengan langkah yang tepat, selain itu pemda memiliki kewenangan penuh untuk intervensi dalam pelaksanan rencana ini. 6.2 Potensi Sekuestrasi Emisi Pemanfaatan ruang pada RTRWK Kabupaten Aceh Selatan (Tabel 9) menunjukkan beberapa laokasi pemanfaatan ruang yang berkontribusi besar terhadap sekuestrasi emisi, yaitu berupa kawasan lindung (68.4%) yang terdiri dari hutan lindung 37%, Suaka Marga Satwa Rawa Singkil 12.5%, dan Taman Nasional Gunung Leuser 18.9%. Selain itu terdapat kawasan budidaya yang terdiri dari pertanian lahan kering 9.1% dan perkebunan rakyat 5.4%. Tambahan lagi, pada pemanafaatan ruang ini disebutkan mengenai holding zone seluas 15,613 ha atau 3.7%. Sekuestrasi emisi pada kawasan hutan lindung, suaka margasatwa maupun TNGL tidak terlalu membahayakan karena kawasan ini relatif aman terhadap gangguan berdasarkan penetapan fungsi kawasannya. Berbeda halnya dengan kawasan budidaya yaitu pertanian lahan kering dan perkebunan rakyat. Kawasan budidaya memiliki potensi mengalami kerusakan yang besar bila pengelolaannya tidak tepat. Potensi sekuestrasi emisi di Aceh Selatan ditekankan pada perkebunan rakyat dengan luas ha atau 5.4% dari luas ruang Aceh Selatan. Pertanian lahan kering walaupun memiliki persentase yang 20

24 cukup besar yaitu 9.1% tidak dilakukan telaah lebih jauh mengingat apapun tanaman yang ditanam menghasilkan biomassa yang sama. Sementara itu pilihan tanaman pada perkebunan dalam hal ini perkebunan rakyat memiliki potensi sekuestrasi positif terhadap emisi. Telaah pada potensi sekuestrasi emisi pada perkebunan rakyat dilakukan melalui analisis ekonomi terhadap beberapa tanaman perkebunan rakyat. Mengenai holding zone, akan turut menjadi salah satu perhitungan, karena peruntukan holding zone ini mengarah pada perkebunan rakyat Analisis Ekonomi Tanaman Perkebunan Rakyat Kawasan perkebunan rakyat di Kabupaten Aceh Selatan sebagian besar mempunyai tutupan lahan berupa kebun Pala. Hasil wawancara dengan masyarakat Aceh Selatan secara purposive sampling menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat menginginkan untuk tetap menanam pala. Tetapi ada juga yang menginginkan untuk menanam coklat atau kopi pada kebun kebun dekat rumah. Analisis ekonomi untuk beberapa tanaman perkebunan rakyat dapat dilihat pada table berikut ini: Table 16 : Analisis Ekonomi untuk Tanaman Perkebunan Rakyat di Kabupaten Aceh Selatan Pilihan SPER Perkebunan rakyat: Luas (ha) Produktivitas lahan (ton/ha) Harga jual (Rp/kg) (x 1000) Nilai Ekonomi Lahan (Rp) (x 1000) Pala , Coklat , Kopi robusta , Kopi arabika , Sere wangi , Nilam , Kelapa Sawit , Hutan dapat dikonversi (holding zone): Pinus merkusi , Agathis loranthifolia , Karet , Dari table diatas, terlihat bahwa komoditas pala yang paling memberikan nilai ekonomi paling tinggi yaitu sebesar Rp , tanaman Pala juga mempunyai cadangan karbon yang tinggi juga yaitu sebesar 164 ton/ha (lihat table 16). Kedua sere wangi memberikan nilai ekonomi sebesar Rp , tetapi hanya mempunyai simpanan karbon yang rendah yaitu sebesar 0,13 ton/ha. Komoditas Nilam dibandingkan dengan serewangi 21

25 mempunyai harga jual yang tinggi tetapi produktivitasnya rendah. Sedangkan kelapa sawit mempunyai nilai ekonomi yang lebih rendah dari serewangi tetapi kelapa sawit mampu menyimpan carbon yang lebih tinggi yaitu sebesar 33 ton/ha. Alternatif selanjutnya tanaman kopi robusta mempunyai harga jual yang tinggi dan cadangan karbon yang cukup (32 ton/ha). Table 17 : Nilai Cadangan Karbon pada Tanaman Perkebunan Rakyat Terpilih Pilihan SPER Simpanan Biomasa*) (ton/ha) Simpanan Carbon*) (ton/ha) Perkebunan rakyat: Pala Karet Coklat Kopi robusta Kopi arabika Sere wangi Nilam Pinus Kelapa Sawit Agathis 123,40 Sementara itu pada pemanfaatan ruang terkait dengan holding zone yang dapat dikonversi di Aceh Selatan seluas ha apabila dikonversi menjadi hutan tanaman karet dan diambil getahnya maka pada kawasan ini berpotensi mempunyai nilai ekonomi sebesar Rp , dan mampu menyimpan carbon yang tinggi yaitu sebesar 113 ton/ha. Alternatif yang lain apabila hutan ini dikonversi menjadi hutan pinus. Berdasarkan pengalaman sadapan pinus yang telah dilakukan di Perum Perhutani, produktivitas sadapan getah pinus adalah 9 gram/pohon/hari. Dengan memperhitungkan luas areal yang disadap adalah 50 % dari maka potensi getah pinus yang dihasilkan adalah sebesar 17,1 ton per hari. Dengan asumsi harga getah pinus sebesar Rp ,- per kg maka potensi pendapatan yang akan diterima bila dilakukan penyadapan pinus di kawasan hutan yang dapat dikonversi di Kabupaten Aceh Selatan adalah sebesar Rp per hari atau Rp /tahun. Dan apabila ditanami dengan Agathis, dengan asumsi berdasarkan hasil penelitian di Lampung produktivitas sadapan getah Agathis adalah 0,28 ton/ha dan harga jual Rp maka Tegakan pinus tua di Kabupaten Aceh Selatan akan mempunyai nilai ekonomi sebesar Rp apabila diambil getahnya. Selain dapat diambil getahnya, hutan agathis mempunyai simpanan Carbon yang tinggi yaitu sebesar 123 ton/ha Rekomendasi Tanaman Perkebunan Memperhatikan analisa ekonomi pada beberapa tanaman perkebunan dan biomassa yang ada, pada pengembangan kawasan perkebunan rakyat direkomendasikan pemilihan tanaman yang tepat sebagai berikut: 1). Pada kawasan perkebunan rakyat direkomendasikan: Pada lahan yang subur perkebunan rakyat ditanami dengan tanaman Pala 22

26 Pada lahan yang kurang subur perkebunan rakyat ditanami dengan pinus tumpangsari dengan tanaman sere wangi atau nilam. Pada lahan yang dekat dengan rumah ditanami dengan tanaman kopi robusta atau coklat. 2). Pada kawasan holding zone dapat dikonversi direkomendasikan untuk dikonversi menjadi hutan tanaman dengan jenis Agathis, Karet, atau Pinus yang diproduksi getahnya. 6.3 Penyusunan Strategi Pembangunan Emisi Rendah Identifikasi dan pelingkupan aksi yang dihasilkan dan dipaparkan pada bagian sebelumnya menjadi dasar bagi penyusunan strategi bagi pembangunan emisi rendah di Gayo Lues. Pola yang digunakan dalam penyusunan strategi ini adalah sebagai berikut: Strategi Strategi Strategi Mitigasi Mitigasi Mitigasi Mitigasi Mitigasi Mitigasi Muatan RTRW Muatan RTRW Muatan RTRW Figure 10 : Bagan Penyusunan Strategi Sesuai dengan bagan diatas, aksi-aksi mitigasi yang dihasilkan dari proses KLHS, kemudian di telaah dengan pengelompokan dan disusun strategi terhadap kumpulan aksi-aksi tersebut. Hasil dari telaah aksi-aksi mitigasi tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini : 23

27 Table 18: Strategi Pembangunan Emisi Rendah Kabupaten Aceh Selatan Strategi Program/Rencana Aksi Pemanfaatan kawasan budidaya yang ada secara optimal untuk mendukung pengembangan agroindustry yang memperhatikan lingkungan hidup 1). Pengembangan kawasan peruntukan perkebunan rakyat pada kawasan APL seluas 22,400 ha 2). Pengembangan kawasan peruntukan perkebunan rakyat pada kawasan hutan (holding zone) seluas 15,600 ha Melakukan intensifikasi pertanian Menetapkan kawasan lahan pertanian berkelanjutan melalui qanun untuk mencegah alih fungsi lahan sawah menjadi perkebunan kelapa sawit Membuka kawasan perkebunan rakyat secara bertahap Memilih komoditas yang paling memberikan nilai ekonomi dan cadangan karbon yang tinggi Pengembangkan kawasan perkotaan dengan model intensif 1) Pengembangan PKLp Bakongan Pembangunan kawasan perkotaan diarahkan pada daerah yang tidak berawa dan bukan merupakan kawasan hutan Penetapan delineasi kawasan terbangun yang terbatas pada saat penyusunan Rencana Rinci (RDTR) pusat pelayanan Pengembangan peraturan zonasi untuk permukiman perkotaan Melakukan reboisasi dan penghijauan untuk lahan kritis dan terbuka karena pembangunan baik di kawasan hutan dan non hutan 1) ruas jalan Despot Keude Trumon - Cut Bayu (kolektor primer K4) sepanjang 7,48 Km; 2) ruas jalan Buloh Seuma - Kuala Baru (kolektor primer K4) sepanjang 19,43 Km; 3) ruas jalan Brahan - Seuneubok Keranji (kolektor primer K4) sepanjang 9,54 Km. 4) ruas jalan Alue Rumbia - Simpang Tiga (kolektor primer K4) sepanjang 20,92 Km; 5) ruas jalan Bukit Mas - Alue Saya (kolektor primer K4) sepanjang 5,10 Km. 6) ruas jalan Saunebok Keranji - Laot Bangko (lokal primer) sepanjang 6,55 Km (jalan menuju Danau Laot Bangko) 7) Pembangunan Terminal C di Labuhan Haji (Gampong Padang Bakau, Kec. Labuhan Haji) Kajian lingkungan yang lebih detail terkait dampak pembangunan jalan baru; Pembangunan dilakukan tidak pada kawasan yang ditetapkan sebagai kaw. pertanian lahan pangan berkelanjutan; Penyediaan lahan sawah pengganti pada lokasi lain sesuai dengan arahan RTRWK; Reboisasi pada lahan-lahan yang sudah terbuka Penghijauan pada lahan kritis Reboisasi kawasan bantaran sungai Pemilihan tanaman perkebunan yang tepat Penetapan, pemeliharaan, pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan pemanfaatan 1) Rencana Pengembangan Jaringan Jalan Baru pada Enam Ruas Jalan: Menyiapkan dokumen lingkungan (dan kelengkapan dokumen lainnya) yang baik untuk setiap proyek pembangunan dalam kaitannya dengan pelaksanaan rencana 24

28 Strategi Program/Rencana Aksi ruang pada rencana pengembangan kawasan Ruas Despot Keude Trumon Cut Bayu Ruas Buloh Seuma Kuala Baru Ruas Alue Rimba Simpang Tiga Ruas Bukit Mas Alue Saya Ruas Brahan Seuneubok Keranji Ruas Seuneubok Keranji Laut Bangko 2) Kawasan peruntukan pertambangan 3) Pengembangan kawasan peruntukan perkebunan rakyat pada kawasan APL 4) Pengembangan kawasan peruntukan perkebunan rakyat pada kawasan hutan pembangunan Meningkatkan pengawasan dan pengendalian kegiatan pertambangan Penegakan hukum yang ketat pada kegiatan pertambangan yang tidak ramah lingkungan Penetapan kewajiban reklamasi kawasan tambang paska kegiatan tambang Peningkatan pengendalian fungsi lahan pada kawasan sekitar jaringan jalan agar tidak berkembang menjadi kawasan budidaya Sosialisasi pada masyarakat mengenai kegiatan tambang yang lebih ramah lingkungan 7 KESIMPULAN Kajian SPER untuk Kabupaten Aceh Selatan sebagaimana dipaparkan pada laporan ini, memberikan kesimpulan sebagai berikut: 1. Analisis tutupan lahan tahun memperlihatkan bahwa terjadi tutupan lahan hutan lahan kering sekunder terjadi penurunan dari luas dari 111,269 ha pada tahun 2000 menjadi 108,359 ha pada tahun Sedangkan pada tutupan lahan semak belukar terjadi peningkatan dari luas 27,443 ha pada tahun 2000 menjadi 30,291 ha pada tahun Hasil perhitungan emisi CO2e dalam kurun waktu 11 tahun ( ) dihasilkan emisi total sebesar 3,861,816 ton, Emisi sekuestrasi sebesar -377,175 ton, sehingga emisi yang menyebabkan gas rumah kaca sebesar 3,484,641 ton, atau sebesar 8.3 ton/ha, atau 0,92 ton/ha/tahun 3. Analisis estimasi emisi CO 2 e berdasarkan scenario perubahan tutupan lahan dari tahun dari hutan lahan kering sekunder menjadi semak belukar menghasilkan emisi CO2e sebesar ton atau ton/ha. Dan dari hutan lahan kering sekunder menjadi pertanian lahan kering menghasilkan emisi CO2e sebesar ton atau ton/ha, hasil ini lebih besar dari pendugaan emisi CO2e berdasarkan baseline yang ditetapkan yaitu sebesar ton/ha. 4. Rencana pemanfaatan ruang tahun mampu mengsekuestrasi emisi CO2e sebesar ton/ha, hasil ini lebih kecil/rendah dari pendugaan emisi CO2e berdasarkan baseline yang ditetapkan yaitu sebesar ton/ha 5. SPER pada Aceh selatan terdiri dari 1) pemanfaatan kawasan budidaya secara optimal; 2) Melakukan reboisasi dan penghijauan untuk lahan kritis dan terbuka karena pembangunan baik di kawasan hutan dan non hutan; 3) pengembangan kawasan perkotaan dengan model 25

29 intensif; 4) Penetapan, pemeliharaan, pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan pemanfaatan ruang pada rencana pengembangan kawasan. 6. Opsi pemanfatan ruang dalam SPER di Kabupaten Aceh Selatan yang direncanakan mengacu pada pemanfaatan ruang yang dituangkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) hasil KLHS yang direncanakan selama 20 tahun kedepan yaitu th SPER yang disusun tidak berdiri sendiri melainkan dilakukan atas rencana program RTRW. SPER memberikan gambaran lebih jelas mengenai hal-hal yang harus menjadi perhatian dan pertimbangan dalam implementasi RTRW. Proses penyusunan SPER yang dilakuan juga terintegrasi dengan dengan KLHS yang dilakukan atas RTRW. 8. Pemanfatan ruang sebagaimana dituangkan dalam RTRW Kabupaten yang direncanakan untuk dilaksanakan dalam 20 tahun kedepan yaitu tahun dengan masukan SPER harus dapat dilaksanakan sebaik mungkin. Implementasi RTRW menjadi satu hal yang sangat penting, komitmen pemda untuk melaksanakan kebijakan RTRW ini dengan tegas dan konsisten akan menghasilkan secara nyata pemenuhan target pembangunan yang mendorong pertumbuhan ekonomi tanpa meninggalkan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan 26

30 Daftar Pustaka Achmad, E Estimasi dan Klasifikasi Biomassa pada Ekosistem Transisi Hutan Dataran Rendah di Provinsi Jambi (Disertasi) Bogor: Institute Pertanian Bogor Aalde, H et al Guidelines for National Green House Gass Inventory. Volume 4: Agriculture, Forestry and Other Land Use. Intergovernmental Panel on Climate Change. Istomo Kandungan Fosfor dan Kalsium pada Tanah dan Biomassa Hutan Rawa Gambut (Studi (Kasus di Wilayah HPH PT. Diamond Raya Timber, Bagan Siapiapi Provinsi Riau). Jurnal Manajemen hutan Tropika 12 (3) : Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Cadangan Karbon pada Berbagai Tipe Hutan dan Jenis Tanaman di Indonesia. Jakarta : Nadan Penelitian dan Oengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan Republik Indonesia Siregar, CA dan IWS Dharmawan, Kuantifikasi Biomassa Karbon pada Tegakan Aluerites Moluccana. Laporan HAsil Penelitian. Bogor : Pusat Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Solichin, Tier 3 Biomassa Assessment for Baseline Emission in Merang Peat Swamp forest Introduction (Internet, diunduh Januari Tersedia pada g_peat_swamp_forest_introduction Daftar Lampiran Lampiran 1 : Usulan Mitigasi terhadap Pelaksanaan Muatan Rencana Struktur Ruang RTRW Kabupaten Aceh Selatan Lampiran 2 : Usulan Mitigasi terhadap Pelaksanaan Muatan Rencana Pola Ruang RTRW Kabupaten Aceh Selatan 27

31 Lampiran 1 : Rekomendasi Mitigasi terhadap Pelaksanaan Muatan Rencana Struktur Ruang RTRW Kabupaten Aceh Selatan No. 1. Rencana Pengembangan PKLp Bakongan 1.1 Isu Strategis: Frekuensi banjir yang sering terjadi Usulan Mitigasi/Alternatif a. Pembangunan kawasan perkotaan diarahkan pada daerah yang tidak berawa dan bukan merupakan kawasan hutan b. Pengembangan kawasan perkotaan Bakongan perlu diarahkan dengan model intensif dengan membatasi luas areal kawasan perkotaan sesuai kebutuhan lahan pengembangan 20 tahun ke depan. Delineasi kawasan perkotaan yang jelas perlu dilakukan pada saat penyusunan rencana rinci dengan mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan untuk mencegah pengembangan kawasan perkotaan di daerah yang sering terpapar banjir c Penyiapan rencana mitigasi bencana banjir untuk kawasan perkotaan. d e Mendorong pemanfaatan lahan kawasan perkotaan pada kawasan yang tidak rawan banjir (bukan kawasan berawa) melalui pengembangan kebijakan insentif/ disinsentif; Pengembangan peraturan zonasi untuk kawasan rawan banjir sebagai bagian dari upaya mitigasi bencana banjir. 2. Rencana Pengembangan Jaringan Jalan Baru pada Enam Ruas Jalan: Ruas Despot Keude Trumon Cut Bayu Ruas Buloh Seuma Kuala Baru Ruas Alue Rimba Simpang Tiga Ruas Bukit Mas Alue Saya Ruas Brahan Seuneubok Keranji Ruas Seuneubok Keranji Laut Bangko 2.1 Isu Strategis: Frekuensi banjir yang sering terjadi a. Melakukan kajian lingkungan yang lebih detail terkait dampak pembangunan jalan baru pada ruas Despot Keude Trumon Cut Bayu yang berada di kawasan rawa. b. Peningkatan upaya pengendalian alih fungsi lahan pada kawasan di sekitar jaringan jalan yang akan dibangun agar tidak berkembang menjadi kawasan budidaya; c. Pembangunan jalan baru melalui meningkatan elevasi jalan yang dibangun lebih tinggi serta dilengkapi dengan sistem drainase dengan kapasitas yang cukup besar; d. Pengintegrasian rencana pembangunan jaringan jalan baru dengan rencana pengendalian banjir kawasan e Tambahan usulan alternatif khususnya untuk rencana ruas Seuneubok Laot Bangko : Alternatif pengembangan jaringan jalan setapak yang sudah ada, yaitu pada ruas Indra Damai Suak Belimbing. Akses menuju kawasan danau Laot Bangko selanjutnya dilanjutkan dengan jalan setapak ke arah danau. Pengembangan alternatif jaringan jalan baru ini untuk mencegah terbukanya banyak terlalu banyak akses ke Danau Laot Bangko yang dapat menganggu kelestarian ekosistem TNGL di sekitar kawasan tersebut. Pengembangan alternatif jaringan jalan baru ini juga telah mengikuti rencana pengembangan kawasan ekowisata (siteplan) Danau Laot Bangko yang telah dikembangkan oleh Balai TNGL 3. Pengembangan Terminal Tipe C di Labuhan Haji 3.1 Isu Strategis: Frekuensi banjir yang sering terjadi a b c d Penyiapan kajian lingkungan secara lengkap untuk mengkaji dampak pembangunan terminal penumpang Tipe C terhadap lingkungan sekitarnya serta menyiapkan RKL dan RPL untuk memitigasi dampak lingkungan, sosial dan ekonomi yang dapat ditimbulkan; Penyediaan lahan sawah pengganti pada lokasi lain yang sesuai dengan arahan RTRWK. Penyediaan lahan sawah pengganti tersebut disebabkan terminal dibangun di atas lahan sawah. Membangun sistem drainase di sekitar terminal untuk mencegah genangan banjir akibat lahan terbangun. Elevasi jalan dibuat lebih tinggi dan membangun drainase lingkungan dengan kapasitas yang cukup besar untuk mencegah genangan banjir 28

Skenario Optimum Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Aceh Selatan

Skenario Optimum Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Aceh Selatan Skenario Optimum Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Aceh Selatan September 2014 i Daftar Isi Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... iv 1 Pengantar... 1 2 Pendekatan dan Metode... 1 3 Profil Aceh Selatan...

Lebih terperinci

LAMPIRAN BERITA ACARA

LAMPIRAN BERITA ACARA LAMPIRAN BERITA ACARA KONSULTASI PUBLIK HASIL KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN ACEH SELATAN TAHUN 2012-2032 Tapaktuan, 25 Agustus 2014 Proses penyampaian masukan

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS

RINGKASAN EKSEKUTIF KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS PEMERINTAH KABUPATEN ACEH SELATAN PROVINSI ACEH RINGKASAN EKSEKUTIF KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS RANPERDA RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN ACEH SELATAN TAHUN 2014 2O34 September 2014 1. Pendahuluan

Lebih terperinci

BAB IV PENGKAJIAN PENGARUH

BAB IV PENGKAJIAN PENGARUH BAB IV PENGKAJIAN PENGARUH Pada bagian berikut akan dijelaskan secara berjenjang (tiering) implikasi rencana tata ruang (rencana struktur ruang dan rencana pola ruang) dan implikasi program perwujudan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pembangunan dan lingkungan hidup adalah dua bidang yang saling berkaitan. Di satu sisi pembangunan dirasakan perlu untuk meningkatkan harkat hidup manusia. Tapi di

Lebih terperinci

Pengaruh Daya Dukung Hutan Terhadap Iklim & Kualitas Udara di Ekoregion Kalimantan

Pengaruh Daya Dukung Hutan Terhadap Iklim & Kualitas Udara di Ekoregion Kalimantan Pengaruh Daya Dukung Hutan Terhadap Iklim & Kualitas Udara di Ekoregion Kalimantan Ruhyat Hardansyah, Maria C.L. Hutapea Subbidang Hutan dan Hasil Hutan Bidang Inventarisasi Daya Dukung dan daya Tampung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di dunia,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

RENCANA AKSI MITIGASI 9S TRATEGI PELAKSANAAN RENCANA TATA GUNA LAHAN

RENCANA AKSI MITIGASI 9S TRATEGI PELAKSANAAN RENCANA TATA GUNA LAHAN RENCANA AKSI MITIGASI 9S TRATEGI PELAKSANAAN RENCANA TATA GUNA LAHAN UNTUK MENDUKUNG PEMBANGUNAN RENDAH EMISI KELOMPOK KERJA PERENCANAAN PEMBANGUNAN EKONOMI HIJAU KABUPATEN BANYUMAS 0 1 6 Pengantar Pemerintah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman PENDAHULUAN Latar Belakang Terdegradasinya keadaan hutan menyebabkan usaha kehutanan secara ekonomis kurang menguntungkan dibandingkan usaha komoditi agribisnis lainnya, sehingga memicu kebijakan pemerintah

Lebih terperinci

POTENSI STOK KARBON DAN TINGKAT EMISI PADA KAWASAN DEMONSTRATION ACTIVITIES (DA) DI KALIMANTAN

POTENSI STOK KARBON DAN TINGKAT EMISI PADA KAWASAN DEMONSTRATION ACTIVITIES (DA) DI KALIMANTAN POTENSI STOK KARBON DAN TINGKAT EMISI PADA KAWASAN DEMONSTRATION ACTIVITIES (DA) DI KALIMANTAN Asef K. Hardjana dan Suryanto Balai Besar Penelitian Dipterokarpa RINGKASAN Dalam rangka persiapan pelaksanaan

Lebih terperinci

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia.

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia. D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia. 1 Pokok bahasan meliputi latar belakang penyusunan IPCC Supplement, apa saja yang menjadi

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan perekonomian masyarakat maupun Negara. Bisa melalui

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan perekonomian masyarakat maupun Negara. Bisa melalui BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses yang dijalankan beriringan dengan proses perubahan menuju taraf hidup yang lebih baik. Dimana pembangunan itu sendiri dilakukan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso KATA PENGANTAR Sebagai upaya mewujudkan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif, efisien dan sistematis guna menunjang pembangunan daerah dan mendorong perkembangan wilayah

Lebih terperinci

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan ISSN : 085-787X Policy Daftar Isi Volume 4 No. Tahun 010 Profil Emisi Sektor Kehutanan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelestarian lingkungan dekade ini sudah sangat terancam, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate change) yang

Lebih terperinci

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera 1 2 3 Pendahuluan (Sistem Perencanaan Tata Ruang - Kebijakan Nasional Penyelamatan Ekosistem Pulau Sumatera) Penyelamatan Ekosistem Sumatera dengan

Lebih terperinci

DARI DEFORESTASI, DEKOMPOSISI DAN KEBAKARAN GAMBUT

DARI DEFORESTASI, DEKOMPOSISI DAN KEBAKARAN GAMBUT REFERENCE EMISSION LEVEL (REL) DARI DEFORESTASI, DEKOMPOSISI DAN KEBAKARAN GAMBUT PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 1 Provinsi Kalimantan Timur 2014 REFERENCE EMISSION LEVEL (REL) DARI DEFORESTASI, DEKOMPOSISI

Lebih terperinci

BAB 5 RTRW KABUPATEN

BAB 5 RTRW KABUPATEN BAB 5 RTRW KABUPATEN Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten terdiri dari: 1. Rencana Struktur dan Pola Pemanfaatan Ruang; 2. Rencana Pengelolaan Kawasan Lindung dan Budidaya; 3. Rencana Pengelolaan

Lebih terperinci

PERAN BENIH UNGGUL DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM

PERAN BENIH UNGGUL DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM PERAN BENIH UNGGUL DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM Ari Wibowo ariwibowo61@yahoo.com PUSLITBANG PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN KEMENTERIAN KEHUTANAN SEMINAR NASIONAL

Lebih terperinci

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Iman Santosa T. (isantosa@dephut.go.id) Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang manfaat serta fungsinya belum banyak diketahui dan perlu banyak untuk dikaji. Hutan berisi

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

Memahami Keragaman Sistem Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Penghitungan Opportunity Cost

Memahami Keragaman Sistem Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Penghitungan Opportunity Cost Memahami Keragaman Sistem Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Penghitungan Opportunity Cost Andree Ekadinata dan Sonya Dewi PENGENALAN METODE OPPORTUNITY COST DALAM MEKANISME PENGURANGAN EMISI DARI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna lahan dan kehutanan. Kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya kebutuhan lahan dan semakin terbatasnya sumberdaya alam menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih guna hutan sering terjadi

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. 4 TINJAUAN PUSTAKA Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang di tunjuk dan atau di tetapkan oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan perlu di tetapkan untuk

Lebih terperinci

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut SUMBER DAYA AIR Indonesia memiliki potensi lahan rawa (lowlands) yang sangat besar. Secara global Indonesia menempati urutan keempat dengan luas lahan rawa sekitar 33,4 juta ha setelah Kanada (170 juta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Program dan Kegiatan dalam dokumen ini merupakan hasil konsolidasi dan integrasi dari berbagai dokumen perencanaan terkait pengembangan sektor sanitasi dari berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha yang memanfaatkan potensi sumberdaya lahan secara maksimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat

Lebih terperinci

Pangkalanbalai, Oktober 2011 Pemerintah Kabupaten Banyuasin Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal

Pangkalanbalai, Oktober 2011 Pemerintah Kabupaten Banyuasin Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Banyuasin Tahun 2012 2032merupakan suatu rencana yang disusun sebagai arahan pemanfaatan ruang di wilayah Kabupaten Banyuasin untuk periode jangka panjang 20

Lebih terperinci

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 KATA PENGANTAR Assalaamu alaikum Wr. Wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Buku

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Papua dengan luas kawasan hutan 31.687.680 ha (RTRW Provinsi Papua, 2012), memiliki tingkat keragaman genetik, jenis maupun ekosistem hutan yang sangat tinggi.

Lebih terperinci

BAB IV PERUMUSAN KLHS DAN REKOMENDASI RPJMD

BAB IV PERUMUSAN KLHS DAN REKOMENDASI RPJMD BAB IV PERUMUSAN KLHS DAN REKOMENDASI RPJMD 4.1.Perumusan Mitigasi, Adaptasi dan Alternatif 4.1.1. Program Program yang Dirumuskan Pada umumnya program-programpada RPJMD Provinsi Jawa Barat memiliki nilai

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN 2011-2031 I. UMUM Proses pertumbuhan dan perkembangan wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Menggantikan UU No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman

Lebih terperinci

disampaikan oleh: Direktur Perencanaan Kawasan Kehutanan Kementerian Kehutanan Jakarta, 29 Juli 2011

disampaikan oleh: Direktur Perencanaan Kawasan Kehutanan Kementerian Kehutanan Jakarta, 29 Juli 2011 disampaikan oleh: Direktur Perencanaan Kawasan Kehutanan Kementerian Kehutanan Jakarta, 29 Juli 2011 Hutan : suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN CADANGAN KARBON DI KAWASAN GUNUNG PADANG KOTA PADANG

ANALISIS PERUBAHAN CADANGAN KARBON DI KAWASAN GUNUNG PADANG KOTA PADANG ANALISIS PERUBAHAN CADANGAN KARBON DI KAWASAN GUNUNG PADANG KOTA PADANG Rina Sukesi 1, Dedi Hermon 2, Endah Purwaningsih 2 Program Studi Pendidikan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang

Lebih terperinci

PENCEGAHANKEBAKARAN LAHAN DAN KEBUN. Deputi Bidang Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup Solo, 27 Maret 2013

PENCEGAHANKEBAKARAN LAHAN DAN KEBUN. Deputi Bidang Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup Solo, 27 Maret 2013 PENCEGAHANKEBAKARAN LAHAN DAN KEBUN Deputi Bidang Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup Solo, 27 Maret 2013 OUTLINE I. PENDAHULUAN II. PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN KEBAKARAN LAHAN DAN KEBUN: anggaran atau

Lebih terperinci

Bab II Bab III Bab IV Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kabupaten Sijunjung Perumusan Tujuan Dasar Perumusan Tujuan....

Bab II Bab III Bab IV Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kabupaten Sijunjung Perumusan Tujuan Dasar Perumusan Tujuan.... DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Gambar Daftar Grafik i ii vii viii Bab I Pendahuluan. 1.1. Dasar Hukum..... 1.2. Profil Wilayah Kabupaten Sijunjung... 1.2.1 Kondisi Fisik

Lebih terperinci

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Menggantikan UU No. 24 Tahun 1992 gg Tentang Penataan Ruang 1 Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman

Lebih terperinci

Land Use planning for low Emission development Strategy (LUWES)

Land Use planning for low Emission development Strategy (LUWES) Accountability and Local Level initiative for Reducing Emission From Deforestation and Degradation in Indonesia (ALLREDDI) MERENCANAKAN PEMBANGUNAN RENDAH EMISI DI KABUPATEN MERANGIN PROVINSI JAMBI Doni

Lebih terperinci

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa 3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa Lahan basah non rawa adalah suatu lahan yang kondisinya dipengaruhi oleh air namun tidak menggenang. Lahan basah biasanya terdapat di ujung suatu daerah ketinggian

Lebih terperinci

IPB International Convention Center, Bogor, September 2011

IPB International Convention Center, Bogor, September 2011 IPB International Convention Center, Bogor, 12 13 September 2011 Kerangka Latar Belakang Masalah PERTUMBUHAN EKONOMI PERKEMBANGAN KOTA PENINGKATAN KEBUTUHAN LAHAN KOTA LUAS LAHAN KOTA TERBATAS PERTUMBUHAN

Lebih terperinci

KONDISI RENCANA TATA RUANG WILAYAH ACEH TAHUN 2013 DISAMPAIKAN GUBERNUR ACEH PERTEMUAN DENGAN DUTA BESAR NORWEGIA/SCANDINAVIA 22 MEI 2013

KONDISI RENCANA TATA RUANG WILAYAH ACEH TAHUN 2013 DISAMPAIKAN GUBERNUR ACEH PERTEMUAN DENGAN DUTA BESAR NORWEGIA/SCANDINAVIA 22 MEI 2013 KONDISI RENCANA TATA RUANG WILAYAH ACEH 2012 2032 TAHUN 2013 DISAMPAIKAN GUBERNUR ACEH PERTEMUAN DENGAN DUTA BESAR NORWEGIA/SCANDINAVIA 22 MEI 2013 PENDAHULUAN PEMERINTAH ACEH Rencana umum tata ruang merupakan

Lebih terperinci

Edisi 1 No. 1, Jan Mar 2014, p Resensi Buku

Edisi 1 No. 1, Jan Mar 2014, p Resensi Buku Resensi Buku Edisi 1 No. 1, Jan Mar 2014, p.33-38 Judul Buku: : Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) Tahun 2011-2030 Penyunting Akhir : Ir. Basoeki Karyaatmadja, M.Sc., Ir. Kustanta Budi Prihatno,

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH (BAPPEDA)

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH (BAPPEDA) PEMERINTAH PROVINSI PAPUA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH (BAPPEDA) 1 1. PROSES PENYUSUNAN DILAKUKAN SECARA SWAKELOLA; 2. TIM PENYUSUN DIBENTUK DALAM KELOMPOK KERJA (POKJA) SK GUBERNUR PAPUA NOMOR

Lebih terperinci

Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera

Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera Jakarta, 29 Juli 2011 1 2 3 Progress Legalisasi RTR Pulau Sumatera Konsepsi Tujuan, Kebijakan, Dan Strategi Rtr Pulau Sumatera Muatan

Lebih terperinci

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau ABSTRAK Sejalan dengan peningkatan kebutuhan penduduk, maka kebutuhan akan perluasan lahan pertanian dan perkebunan juga meningkat. Lahan yang dulunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di permukaan bumi ini, kurang lebih terdapat 90% biomasa yang terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Di permukaan bumi ini, kurang lebih terdapat 90% biomasa yang terdapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di permukaan bumi ini, kurang lebih terdapat 90% biomasa yang terdapat dalam hutan berbentuk pokok kayu, dahan, daun, akar dan sampah hutan (serasah) (Arief, 2005).

Lebih terperinci

LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1

LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1 LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1 LAMPIRAN II CONTOH PETA RENCANA POLA RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 2 LAMPIRAN III CONTOH PETA PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS KABUPATEN L

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH SUMATERA BARAT DALAM PENGURANGAN DAMPAK PERUBAHAN IKLIM

PEMERINTAH DAERAH SUMATERA BARAT DALAM PENGURANGAN DAMPAK PERUBAHAN IKLIM I. PENDAHULUAN PEMERINTAH DAERAH SUMATERA BARAT DALAM PENGURANGAN DAMPAK PERUBAHAN IKLIM Dr. Bambang Istijono, ME Anggota Ikatan Geografi Indonesia Cabang Sumatera Barat Kepala Bappeda Provinsi Sumatera

Lebih terperinci

KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN

KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN oleh: Ruhyat Hardansyah (Kasubbid Hutan dan Hasil Hutan pada Bidang Inventarisasi DDDT SDA dan LH) Kawasan Hutan Hutan setidaknya memiliki

Lebih terperinci

Isi Paparan. REL Tanah Papua Tahun dari Sektor Kehutanan 6/22/ Roadmap Implementasi REDD+ di Tanah Papua 4.

Isi Paparan. REL Tanah Papua Tahun dari Sektor Kehutanan 6/22/ Roadmap Implementasi REDD+ di Tanah Papua 4. Oleh: Task Force Pembangunan Rendah Emisi Provinsi Papua dan Papua Barat Isi Paparan 1. Pendahuluan REL Tanah Papua Tahun 2001-2020 dari Sektor Kehutanan 3. Roadmap Implementasi REDD+ di Tanah Papua 4.

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2012 yang

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Meureudu, 28 Mei 2013 Bupati Pidie Jaya AIYUB ABBAS

KATA PENGANTAR. Meureudu, 28 Mei 2013 Bupati Pidie Jaya AIYUB ABBAS KATA PENGANTAR Sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 11 ayat (2), mengamanatkan pemerintah daerah kabupaten berwenang dalam melaksanakan penataan ruang wilayah kabupaten

Lebih terperinci

ALAM. Kawasan Suaka Alam: Kawasan Pelestarian Alam : 1. Cagar Alam. 2. Suaka Margasatwa

ALAM. Kawasan Suaka Alam: Kawasan Pelestarian Alam : 1. Cagar Alam. 2. Suaka Margasatwa UPAYA DEPARTEMEN KEHUTANAN DALAM ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM DEPARTEMEN KEHUTANAN FENOMENA PEMANASAN GLOBAL Planet in Peril ~ CNN Report + Kenaikan

Lebih terperinci

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL...

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR ISI Isi Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR... xiv I. PENDAHULUAN......1 1.1. Latar Belakang......1 1.2. Maksud dan Tujuan Studi......8 1.2.1. Maksud......8

Lebih terperinci

(RAD Penurunan Emisi GRK) Pemanasan Global

(RAD Penurunan Emisi GRK) Pemanasan Global PEMANASAN GLOBAL DAN PERUBAHAN IKLIM (RAD Penurunan Emisi GRK) Oleh : Ir. H. Hadenli Ugihan, M.Si Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sumsel Pemanasan Global Pengaturan Perubahan Iklim COP 13 (2007) Bali menghasilkan

Lebih terperinci

Panduan Pengguna Untuk Reboisasi Lahan Kritis. Indonesia 2050 Pathway Calculator

Panduan Pengguna Untuk Reboisasi Lahan Kritis. Indonesia 2050 Pathway Calculator Panduan Pengguna Untuk Reboisasi Lahan Kritis Indonesia 2050 Pathway Calculator Daftar Isi 1. Ikhtisar Lahan Kritis Indonesia... 3 2. Asumsi... 6 3. Metodologi... 7 4. Hasil Pemodelan... 8 5. Referensi...

Lebih terperinci

DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH

DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH Lampiran II. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor : Tanggal : DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH Tabel-1. Lindung Berdasarkan

Lebih terperinci

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS UNTUK EKOSISTEM TERPADU RIMBA ASISTEN DEPUTI KAJIAN KEBIJAKAN WILAYAH DAN SEKTOR KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS UNTUK EKOSISTEM TERPADU RIMBA ASISTEN DEPUTI KAJIAN KEBIJAKAN WILAYAH DAN SEKTOR KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS UNTUK EKOSISTEM TERPADU RIMBA ASISTEN DEPUTI KAJIAN KEBIJAKAN WILAYAH DAN SEKTOR KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh dan partisipatif

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Analisis Spasial

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Analisis Spasial HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Analisis Spasial Kabupaten Tulang Bawang merupakan wilayah yang dilalui oleh jalan lintas sumatera. Kecamatan Menggala merupakan pertemuan antara jalan lintas timur sumatera

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks global emisi gas rumah kaca (GRK) cenderung meningkat setiap tahunnya. Sumber emisi GRK dunia berasal dari emisi energi (65%) dan non energi (35%). Emisi

Lebih terperinci

B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005

B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005 B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005 KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan lingkungan termasuk pencegahan, penanggulangan kerusakan,

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan lingkungan termasuk pencegahan, penanggulangan kerusakan, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan lingkungan termasuk pencegahan, penanggulangan kerusakan, pencemaran, dan pemulihan kualitas lingkungan. Hal tersebut telah menuntut dikembangkannya berbagai

Lebih terperinci

PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA

PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA 5 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.36/MENHUT-II/2013 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA

Lebih terperinci

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Kondisi Geografis Wilayah Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak antara 5 54' - 7 45' LS dan 106 22' - 108 50 BT dengan areal seluas 37.034,95

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi geografis daerah kajian Kota Jakarta merupakan ibukota Republik Indonesia yang berkembang pada wilayah pesisir. Keberadaan pelabuhan dan bandara menjadikan Jakarta

Lebih terperinci

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA PERENCANAAN WILAYAH 1 TPL 314-3 SKS DR. Ir. Ken Martina Kasikoen, MT. Kuliah 10 BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA Dalam KEPPRES NO. 57 TAHUN 1989 dan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang PEDOMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan memiliki banyak fungsi ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, ekologi

BAB I PENDAHULUAN. Hutan memiliki banyak fungsi ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, ekologi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan memiliki banyak fungsi ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, ekologi dan lingkungan yang sangat penting bagi kehidupan manusia baik pada masa kini maupun pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah merupakan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi prioritas dunia saat ini. Berbagai skema dirancang dan dilakukan

Lebih terperinci

Panduan Pengguna Untuk Reboisasi Lahan Kritis. Indonesia 2050 Pathway Calculator

Panduan Pengguna Untuk Reboisasi Lahan Kritis. Indonesia 2050 Pathway Calculator Panduan Pengguna Untuk Reboisasi Lahan Kritis Indonesia 2050 Pathway Calculator Daftar Isi 1. Ikhtisar Lahan Kritis Indonesia... 3 2. Asumsi... 6 3. Metodologi... 7 4. Hasil Pemodelan... 8 5. Referensi...

Lebih terperinci

PT. SANJI WANATIRTA INDONESIA. Jalan Anggrek No. 09, Sambilegi Baru, Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta Telp: Fax:

PT. SANJI WANATIRTA INDONESIA. Jalan Anggrek No. 09, Sambilegi Baru, Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta Telp: Fax: PT. SANJI WANATIRTA INDONESIA Jalan Anggrek No. 09, Sambilegi Baru, Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta 55282 Telp: 0274 4332389 Fax: 0274 488476 0 PROPOSAL PENGUKURAN CADANGAN KARBON DALAM SKEMA PERDAGANGAN

Lebih terperinci

MODUL 6 : PENILAIAN KELENGKAPAN SUBSTANSI MATERI TEKNIS, RAPERDA, DAN PETA UNTUK STANDAR REKOMENDASI GUBERNUR

MODUL 6 : PENILAIAN KELENGKAPAN SUBSTANSI MATERI TEKNIS, RAPERDA, DAN PETA UNTUK STANDAR REKOMENDASI GUBERNUR 0 2 5 12 15 24 25 PENDAHULUAN EVALUASI MATERI TEKNIS EVALUASI RAPERDA EVALUASI PETA PEMBENTUKAN TIM UNTUK PENILAIAN KEAN SUBSTANSI REFERENSI DASAR HUKUM PENILAIAN KEAN SUBSTANSI TUJUAN INSTRUKSIONAL

Lebih terperinci

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati 1 Konservasi Lingkungan Lely Riawati 2 Dasar Hukum Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undangundang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang perlu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah harus dipandang sebagai upaya pemanfaatan sumberdaya ruang agar sesuai dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (UU No.5 Tahun 1960). Penataan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. DIREKTORAT INVENTARISASI DAN PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN DAN TATA LINGKUNGAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN TAHUN 2015 DEFORESTASI INDONESIA TAHUN 2013-2014

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUASIN NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BANYUASIN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUASIN NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BANYUASIN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUASIN NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BANYUASIN 2012-2032 1. PENJELASAN UMUM Lahirnya Undang-Undang Penataan Ruang nomor

Lebih terperinci

Warta Kebijakan. Tata Ruang dan Proses Penataan Ruang. Tata Ruang, penataan ruang dan perencanaan tata ruang. Perencanaan Tata Ruang

Warta Kebijakan. Tata Ruang dan Proses Penataan Ruang. Tata Ruang, penataan ruang dan perencanaan tata ruang. Perencanaan Tata Ruang No. 5, Agustus 2002 Warta Kebijakan C I F O R - C e n t e r f o r I n t e r n a t i o n a l F o r e s t r y R e s e a r c h Tata Ruang dan Proses Penataan Ruang Tata Ruang, penataan ruang dan perencanaan

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN 2012, No.205 4 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/Permentan/OT.140/2/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN, PANGAN

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI 3.1 IDENTIFIKASI PERMASALAHAN BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI PELAYANAN BADAN LINGKUNGAN HIDUP PROVINSI JAWA TENGAH Dalam penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

PEMBAGIAN URUSAN DAN RUANG LINGKUP

PEMBAGIAN URUSAN DAN RUANG LINGKUP 3 PEMBAGIAN URUSAN DAN RUANG LINGKUP 3.1. Pembagian Urusan Gubernur selaku pimpinan daerah provinsi dalam menyusun RAD GRK harus berpedoman pada Peraturan Presiden No 61 tahun 2011 tentang RAN GRK. Penyusunan

Lebih terperinci

Lampiran A. Kriteria (Deskripsi) Kelas Tutupan Hutan Penggunaan Lahan

Lampiran A. Kriteria (Deskripsi) Kelas Tutupan Hutan Penggunaan Lahan Lampiran A. Kriteria (Deskripsi) Kelas Tutupan Hutan Penggunaan Lahan No. Kelas 1 Hutan lahan kering primer dataran rendah 2 Hutan lahan kering primer pegunungan rendah 3 Hutan lahan kering sekunder dataran

Lebih terperinci

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS PEMERINTAH KABUPATEN ACEH SELATAN PROVINSI ACEH KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS RANPERDA RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN ACEH SELATAN TAHUN 2014 2O34 September 2014 KATA PENGANTAR Rencana Tata Ruang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya (UU RI No.41

Lebih terperinci

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal TINJUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, dan hutan payau (bahasa Indonesia), selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat

Lebih terperinci

Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya

Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya Latar Belakang Permasalahan yang menghadang Upaya pencapaian 10 juta ton surplus beras di tahun 2014 : Alih fungsi lahan sawah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pemanasan global saat ini menjadi topik yang paling hangat dibicarakan dan mendapatkan perhatian sangat serius dari berbagai pihak. Pada dasarnya pemanasan global merupakan

Lebih terperinci

Kementerian Kelautan dan Perikanan

Kementerian Kelautan dan Perikanan Jakarta, 6 November 2012 Wilayah Pesisir Provinsi Wilayah Pesisir Kab/Kota Memiliki 17,480 pulau dan 95.181 km panjang garis pantai Produktivitas hayati tinggi dengan keanekaragaman hayati laut tropis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan konsentrasi karbon di atmosfer menjadi salah satu masalah lingkungan yang serius dapat mempengaruhi sistem kehidupan di bumi. Peningkatan gas rumah kaca (GRK)

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN SINTESIS

BAB IV ANALISIS DAN SINTESIS BAB IV ANALISIS DAN SINTESIS 4.1 Analisis Pengaruh Peningkatan Penjualan Kendaraan Bermotor terhadap Peningkatan Emisi CO 2 di udara Indonesia merupakan negara pengguna kendaraan bermotor terbesar ketiga

Lebih terperinci