BAB IV PENGKAJIAN PENGARUH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV PENGKAJIAN PENGARUH"

Transkripsi

1 BAB IV PENGKAJIAN PENGARUH Pada bagian berikut akan dijelaskan secara berjenjang (tiering) implikasi rencana tata ruang (rencana struktur ruang dan rencana pola ruang) dan implikasi program perwujudan ruang.implikasi rencana tata ruang dimaksud, utamanya dikaitkan dengan isu strategis KLHS, dimana dalam telaahnya juga membahas potensi implikasi terhadap TNGL dan kawasan lindung lainnya sebagai sistem penopang kehidupan yang sangat penting bagi Kabupaten Aceh Selatan. Beberapa jasa lingkungan yang nyata seperti sebagai pencegah banjir dan erosi, penyuplai air untuk pertanian, industri, kebutuhan seharihari masyarakat dan keindahan alam (dapat dikembangakan untuk pariwisata). Selain itu, TNGL dan Kawasan Ekosistem Leuser, juga Suaka Margasatwa Rawa Singkil juga memiliki fungsi penting dalam pengaturan iklim lokal yang berkontribusi pada pencegahan pemanasan global, karena diperkirakan sekitar 1,5 milyar ton karbon terkandung di hutan ini. 4.1 Implikasi Rencana Struktur Tata Ruang Pada dasarnya Rencana Struktur Ruang Kabupaten Aceh Selatan terdiri dari dua bagian yaitu 1) sistem pusat kegiatan, dan 2) sistem jaringan prasarana utama. Hasil identifikasi implikasi muatan RTRW terhadap isu strategis pembangunan berkelanjutna di Kabupaten Aceh Selatan menghasilkan 8 (delapan) muatan rencana struktur ruang yang dapat memberikan dampak negative terhadap isu pembangunan berkelanjutan, yaitu sebagai berikut: 1) Pengembangan Sistem Pusat Kegiatan a. Pengembangan PKL Tapaktuan b. Pengembangan PKLp Bakongan 2) Pengembangan jaringan jalan baru pada 6 ruas yaitu a. ruas Despot Keude Trumon Cut Bayu b. ruas Buloh Seuma Kuala Baru c. ruas Alue Rumbia Simpang Tiga d. ruas Bukit Mas Alue Saya e. ruas Brahan Seuneubok Keranji f. ruas Seunebok Keranji Laot Bangko Gambaran lokasi dari tiap muatan rencana struktur ruang yang memiliki dampak terhadap isu strategis adalah sebagaimana terlihat pada gambar berikut ini: 47

2 Gambar 11. Peta Identifikasi Rencana Struktur Ruang Terkait Isu Strategis Pembangunan Berkelanjutan Implikasi dan Mitigasi Pengembangan PKL Tapaktuan Tapaktuan yang merupakan ibukota Kabupaten Aceh Selatan ditetapkan sebagai kawasan perkotaan Pusat Kegiatan Lokal (PKL). Dengan demikian kawasan Tapaktuan akan dikembangkan sebagai kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten/kota atau beberapa kecamatan. Sebagian besar areal Tapaktuan adalah daerah pegunungan dengan elevasi curam. Dari luas areal sekitar Ha, hanya 5 persen saja yang dapat dikembangkan sebagai areal terbangun atau hanya sekitar 500 Ha. Kawasan yang dapat dibangun umumnya berada di sebelah barat, yaitu di daerah pesisir yang rawan abrasi dan berpotensi terpapar hantaman tsunami. Pembangunan pada sebelah timur umumnya berada pada areal dengan elevasi curam dapat dilakukan dengan memperhatikan elevasi yang aman agar tidak menyebabkan atau terkena dampak longsor. Lokasi pengembangan PKL Tapaktuan berada di daerah dataran rendah dan merupakan daerah rawan banjir akibat buruknya drainase. Saat ini kejadian banjir sering terjadi di Tapaktuan, setidaknya sekali dalam setahun terutama 48

3 di daerah yang jalan raya lebih tinggi dari pada areal pemukiman. Pada beberapa lokasi, ketinggian banjir dapat mencapai 50 cm. Lokasi pengembangan PKL Tapaktuan saat ini telah berupa kawasan terbangun yang dilengkapi berbagai fasilitas, seperti fasilitas perdagangan, fasilitas pendidikan, dan lain sebagainya; serta infrastruktur wilayah. Rencana pengembangan PKL Tapaktuan di daerah rawan banjir terkait dengan isu strategis peningkatan frekuensi kejadian banjir dan meluasnya hama/penyakit tanaman pala. Rencana pengembangan Tapaktuan sebagai PKL di daerah rawan banjir, terutama daerah yang tidak memiliki drainase yang baik diperkirakan dapat meningkatkan potensi frekuensi banjir. Sebagai kawasan perkotaan, Tapaktuan akan dikembangkan sebagai kawasan dengan ciri kegiatan budidaya perkebunan pada sisi utara dan kegiatan non pertanian pada sisi barat dengan dominasi kawasan berupa kawasan terbangun. Pembangunan kawasan terbangun akan mengurangi kemampuan dataran rendah dan dataran banjir dalam menampung dan menyalurkan air, sehingga dapat berdampak pada meningkatnya intensitas banjir di kawasan tersebut. Untuk mengurangi dampak terhadap peningkatan frekuensi banjir, maka mitigasi/alternatif yang perlu dilakukan adalah: Pembangunan kawasan perkotaan diarahkan pada lokasi yang lebih tinggi namun berada pada elevasi yang aman untuk dijadikan kawasan terbangun disertai upaya-upaya mitigasi terhadap tanah longsor dan pengurangan kecepatan aliran air pada saat hujan; Perbaikan drainase kawasan perkotaan, baik yang sudah terbangun maupun yang direncanakan sebagai kawasan pengembangan perkotaan disertai upaya-upaya perubahan perilaku masyarakat dalam pengelolaan sampah; Melakukan normalisasi dan optimalisasi sungai yang diharapkan dapat memperbesar daya tampung sungai terutama pada saat hujan disertai dengan upaya reboisasi lahan kritis dan daerah aliran sungai. Menetapkan kawasan lindung di luar kawasan hutan atau ruang terbuka terbuka hijau. Hal ini perlu dilakukan terutama pada rencana kawasan terbangun yang berada pada atau dekat dengan lokasi yang elevasinya curam dan pada sempadan sungai; Mendorong peran serta masyarakat untuk melakukan penanaman tanaman perkebunan (pala) dengan memperhatikan aspek lingkungan. Pembukaan lahan baru pada kawasan budidaya untuk penanaman pala diharapkan tidak dilakukan secara sekaligus pada hamparan yang luas. Pembangunan jalan produksi menuju kebun masyarakat harus dilakukan dan direncanakan secara matang sehingga memberi manfaat 49

4 yang besar kepada perkebunan, karena umumnya jalan produksi di Tapaktuan dibangun pada lokasi yang curam. Kerjasama lintas sektor dalam pengelolaan sampah melibatkan solidaritas masyarakat Peninjauan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) Peningkatan sumberdaya manusia pekebun pala, termasuk melalui penyuluhan Melakukan inovasi penyediaan bibit tanaman pala, termasuk penyambungan antar varietas dengan tanaman atasnya pala lokal yang ada Larangan penangkapan burung predator/pemangsa ulat dan pengayaan jenis burung pemangsa ulat Implikasi dan Mitigasi Pengembangan PKLp Bakongan Bakongan direncanakan dikembangkan sebagai kawasan perkotaan yang dipromosikan sebagai PKL. Dengan demikian kawasan Bakongan akan dikembangkan sebagai pusat pelayanan yang merupakan kawasan perkotaan dengan skala pelayanan beberapa kecamatan/desa. Lokasi pengembangan PKLp Bakongan berada di daerah dataran rendah dan merupakan daerah rawan banjir. Saat ini kejadian banjir sering terjadi di Bakongan, setidaknya sekali dalam setahun terutama di daerah yang merupakan kawasan rawa. Ketinggian banjir dapat mencapai 75 cm. Lokasi pengembangan PKLp Bakongan saat ini telah berupa kawasan terbangun yang dilengkapi berbagai fasilitas, seperti fasilitas perdagangan, fasilitas pendidikan, dan lain sebagainya; serta infrastruktur wilayah. Gambar 12. Kawasan Terbangun di Bakongan yang Sudah Berkembang 50

5 Rencana pengembangan PKLp Bakongan di daerah rawan banjir terkait dengan isu strategis peningkatan frekuensi kejadian banjir. Rencana pengembangan Bakongan sebagai PKLp di daerah rawan banjir, terutama daerah rawa diperkirakan dapat meningkatkan potensi frekuensi banjir. Sebagai kawasan perkotaan, Bakongan akan dikembangkan sebagai kawasan dengan ciri kegiatan budidaya non-pertanian, sehingga dominasi kawasan berupa kawasan terbangun. Pembangunan kawasan terbangun yang akan mengurangi kemampuan dataran rendah dan dataran banjir dalam menampung air, sehingga dapat berdampak pada meningkatnya intensitas banjir di kawasan tersebut. Pengembangan kawasan perkotaan tanpa perencanaan sistem drainase yang baik juga dapat meningkatkan potensi ancaman terjadinya banjir. Perkembangan kawasan terbangun di Bakongan disadari diperlukan untuk memberikan pelayanan bagi wilayah Kabupaten Aceh Selatan, terutama kawasan Bakongan, Kota Bahagia dan sekitarnya. Di sisi lain kawasan Bakongan merupakan kawasan daerah yang sering terlanda banjir oleh karena berada di dataran rendah yang merupakan dataran banjir serta rawa. Untuk mengurangi dampak terhadap peningkatan frekuensi banjir, maka mitigasi/alternatif yang perlu dilakukan adalah: Pembangunan kawasan perkotaan diarahkan pada daerah yang tidak berawa dan bukan merupakan kawasan hutan. Berdasarkan data citra satelit, saat ini kawasan lokasi pengembangan PKL yang sudah terbangun berada di sebelah Utara Sungai yang melewati Bakongan. Sejumlah areal di kawasan tersebut merupakan dataran yang sebagian lagi berupa rawa (terutama kawasan di sekitar sungai). Pengembangan kawasan perkotaan yang didelineasi pada saat penyusunan rencana rinci perlu diarahkan pada kawasan yang bukan berupa rawa. Pengembangan kawasan perkotaan Bakongan perlu diarahkan dengan model intensif dengan membatasi luas areal kawasan perkotaan sesuai kebutuhan lahan pengembangan 20 tahun ke depan. Delineasi kawasan perkotaan yang jelas perlu dilakukan pada saat penyusunan rencana rinci dengan mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan untuk mencegah pengembangan kawasan perkotaan di daerah yang sering terpapar banjir. Penyiapan rencana mitigasi bencana banjir untuk kawasan perkotaan. Sebagai kawasan yang rawan banjir, maka rencana mitigasi bencana banjir perlu disiapkan dan menjadi kesatuan dalam rencana 51

6 pembangunan kawasan perkotaan, termasuk didalamnya pembangunan drainase yang baik; Mendorong pemanfaatan lahan kawasan perkotaan pada kawasan yang tidak rawan banjir (bukan kawasan berawa) melalui pengembangan kebijakan insentif/disinsentif; Pengembangan peraturan zonasi untuk kawasan rawan banjir sebagai bagian dari upaya mitigasi bencana banjir; Pembangunan tanggul pada beberapa lokas, contoh Desa Ujong Pulo Cut dan Desa Cangoi Seubadeh, Muara Bakongan, Muara Desa Ujong Panju Bakotim, Kuala Cangkuni Seubadeh; Normalisasi Sungai; Dilakukan upaya-upaya mengurangi kegiatan penebangan liar Implikasi dan Mitigasi Pengembangan Jaringan Jalan Baru Berdasarkan kajian tim KLHS Kabupaten Aceh Selatan, terdapat 6 (enam) ruas rencana pembangunan jalan baru yang diidentifikasi dapat memberikan implikasi terhadap isu strategi pembangunan berkelanjutan. Keenam rencana ruas jalan baru tersebut adalah: 1) Ruas Despot Keude Trumon Cut Bayu, sepanjang 7,48 km; 2) Ruas Buloh Seuma Kuala Baru, sepanjang 19,43 km; 3) Ruas Alue Rumbia Simpang Tiga, sepanjang 20,92 km; 4) Ruas Bukit Mas Alue Saya, sepanjang 5,10 km; 5) Ruas Brahan Seunebok Keranji, sepanjang 9,54 km; dan 6) Ruas Seunebok Keranji Laot Bangko, sepanjang 5,44 km Berikut adalah uraian terkait implikasi rencana pembangunan ruas jalan baru terhadap isu strategis pembangunan berkelanjutan serta rekomendasi alternatif/mitigasi Ruas Despot Keude Trumon Cut Bayu (kolektor primer K4) sepanjang 7,48 km Rencana pembangunan jalan baru ruas Despot Keude Trumon Cut Bayu berlokasi di kawasan Trumon. Trase jalan direncanakan melewati daerah rawa. Rencana pembangunan jalan pada ruas ini diperkirakan dapat memberikan implikasi terhadap isu peningkatan frekuensi banjir, terutama karena pembangunan jalan baru dapat berpotensi mendorong pengembangan kawasan terbangun di sekitarnya yang pada gilirannya mengakibatkan 52

7 berkurangnya kapasitas rawa dalam menampung air hujan sehingga mengakibatkan banjir. Pembangunan jalan juga dapat mendorong pengembangan kawasan budidaya di sekitarnya. Peningkatan kawasan budidaya akan membuka dan mengalih fungsi kawasan rawa dan berakibat pada berkurangnya kapasitas rawa dalam menampung air hujan sehingga dapat mengakibatkan banjir. Kejadian banjir dapat mengakibatkan berbagai kerugian bagi masyarakat, seperti kegagalan panen, terganggunya aktivitas masyarakat, penurunan kesehatan masyarakat, dan lain sebagainya. Pengembangan jaringan jalan pada ruas Despot Keude Trumon Cut Bayu dipandang penting untuk meningkatkan akses masyarakat. Agar pembangunan ruas jalan tetap dapat berjalan dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan mengurangi ancaman banjir, maka usulan mitigasi yang perlu dilakukan adalah: Melakukan kajian lingkungan yang lebih detail terkait dampak pembangunan jalan baru pada ruas Despot Keude Trumon Cut Bayu yang berada di kawasan rawa. Kajian lingkungan tersebut untuk mengkaji kelayakan dan dampak lingkungan pembangunan jaringan jalan baru di daerah rawa. Peningkatan upaya pengendalian alih fungsi lahan pada kawasan di sekitar jaringan jalan yang akan dibangun agar tidak berkembang menjadi kawasan budidaya; Pembangunan jalan baru dilakukan dengan melalui meningkatan elevasi jalan yang dibangun lebih tinggi serta dilengkapi dengan sistem drainase dengan kapasitas yang cukup besar; Pengintegrasian rencana pembangunan jaringan jalan baru dengan rencana pengendalian banjir kawasan Ruas Buloh Seuma Kuala Baru sepanjang 19,43 km Rencana pembangunan jalan baru ruas Buloh Seuma Kuala Baru berlokasi di kawasan Trumon dan melintasi kawasan Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Kawasan SM Rawa Singkil merupakan kawasan hutan konservasi, sehingga penggunaan lahan di kawasan ini untuk pembangunan jalan memerlukan perijinan dari Kementerian Kehutanan. Rencana pembangunan jalan pada ruas ini diperkirakan dapat memberikan dampak terhadap isu peningkatan frekuensi banjir. Pembangunan jalan baru akan membuka lahan rawa serta dapat berpotensi mendorong berkembangnya kawasan budidaya di sekitar jaringan jalan yang dibangun. 53

8 Pembukaan lahan untuk pembangunan jalan dan ditambah oleh potensi pembukaan lahan untuk pengembangan kawasan budidaya lainnya akan berimplikasi pada berkurangnya kemampuan kawasan rawa dalam menampung air sehingga dapat meningkatkan ancaman kejadian banjir di kawasan tersebut. Beberapa usulan mitigasi/alternatif untuk mengurangi potensi peningkatan kejadian banjir akibat pembangunan ruas jalan Buloh Seuma Kuala Baru adalah: Melakukan kajian lingkungan yang lebih detail terkait dampak pembangunan jalan baru pada ruas Buloh Seuma Kuala Baru yang berada di kawasan rawa. Kajian lingkungan tersebut untuk mengkaji kelayakan dan dampak lingkungan pembangunan jaringan jalan baru di daerah rawa. Peningkatan upaya pengendalian alih fungsi lahan pada kawasan di sekitar jaringan jalan yang akan dibangun agar tidak berkembang menjadi kawasan budidaya; Melakukan proses perijinan pembangunan jalan baru pada Kementerian Kehutanan. Pembangunan jalan baru dilakukan dengan melalui meningkatan elevasi jalan yang dibangun lebih tinggi serta dilengkapi dengan sistem drainase dengan kapasitas yang cukup besar; Pengintegrasian rencana pembangunan jaringan jalan baru dengan rencana pengendalian banjir kawasan Ruas Alue Rumbia Simpang Tiga sepanjang 20,92 km Rencana pembangunan jalan baru dengan ruas Alue Rumbia Simpang Tiga merupakan jaringan jalan yang direncanakan menghubungkan Samadua dengan Manggamat sepanjang 20,92 km. Ruas jalan baru ini melintasi kawasan hutan lindung serta perbukitan dengan kelerengan lahan yang cukup tinggi. Rencana pembangunan jalan di kawasan hutan lindung harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Kementerian Kehutanan. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku proses pemanfaatan lahan kawasan hutan lindung untuk pembangunan jalan dapat dilakukan melalui pelepasan status kawasan hutan pada lahan untuk pembangunan jalan baru atau melalui proses pinjam pakai. Rencana pembangunan jalan baru pada ruas ini diperkirakan dapat memberikan implikasi terhadap isu strategis peningkatan frekuensi banjir. Pengembangan ruas jalan baru ini dapat mendorong berkembangnya kegiatan budidaya yang mengalih fungsi kawasan hutan yang dilintasi jaringan jalan. 54

9 Berkembangnya kawasan budidaya pada kawasan hutan pada gilirannya dapat mengurangi kemampuan kawasan untuk meresapkan air ke dalam tanah sehingga berpotensi meningkatkan kejadian banjir di kawasan hilirnya. Pembangunan jaringan jalan pada kawasan perbukitan dengan kelerengan lahan yang cukup tinggi juga pada berimplikasi pada peningkatan kejadian tanah longsor yang diakibatkan oleh pembukaan lahan untuk pembangunan jalan. Dengan kata lain, kinerja layanan/jasa ekosistem terutama layanan dari manfaat yang didapat dari pengaturan ekosistem seperti fungsi hidrologis dan pengaturan tentang pengendalian banjir harus betul-betul diperhatikan. Pembukaan jalan selebar 0,06 x m 2 atau sekitar 125 hektar yang sepertinya tidak luas dibandingkan luas dataran atau DAS di Tapaktuan (10- an ribu ha), namun akan tetap mengganggu aliran air karena trase jalan tersebut memotong lereng. Pada saat hujan yang lama (terlebih deras), pembukaan sebagian hutan lindung tersebut akan mengurangi jumlah air hujan terinfiltrasi ke dalam tanah dan akan menjadi konsentrasi aliran permukaan (overlandflow) yang dapat menyebabkan banjir. Semakin kecil luas hutan di suatu DAS, semakin tinggi niali debit maksimumnya. Usulan tindakan mitigasi untuk mengurangi potensi peningkatan kejadian banjir akibat pembangunan ruas jalan Alue Rumbia Simpang Tiga adalah: Melakukan kajian lingkungan yang lebih detail terkait dampak pembangunan jalan baru pada ruas Alue Rumbia Simpang Tiga yang berada di kawasan hutan. Kajian lingkungan tersebut untuk mengkaji kelayakan dan dampak lingkungan pembangunan jaringan jalan baru di kawasan hutan. Peningkatan upaya pengendalian alih fungsi lahan pada kawasan di sekitar jaringan jalan yang akan dibangun agar tidak berkembang menjadi kawasan budidaya; Melakukan proses perijinan pembangunan jalan baru pada Kementerian Kehutanan. Pembangunan jalan baru dilakukan denegan melakukan peningkatan elevasi jalan yang dibangun lebih tinggi serta dilengkapi dengan sistem drainase dengan kapasitas yang cukup besar; Pengintegrasian rencana pembangunan jaringan jalan baru dengan rencana pengendalian banjir kawasan 55

10 Ruas Bukit Mas Alue Saya sepanjang 5,10 km Rencana pembangunan jalan baru dengan ruas Bukit Mas Alue Saya berada di Kecamatan Meukek. Rencana pembangunan ruas jalan baru ini akan melintasi kawasan hutan lindung serta perbukitan dengan kelerengan lahan yang cukup tinggi. Rencana pembangunan jalan di kawasan hutan lindung harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Kementerian Kehutanan. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku proses pemanfaatan lahan kawasan hutan lindung untuk pembangunan jalan dapat dilakukan melalui pelepasan status kawasan hutan pada lahan untuk pembangunan jalan baru atau melalui proses pinjam pakai. Rencana pembangunan jalan baru pada ruas ini diperkirakan dapat memberikan dampak terhadap isu strategis peningkatan frekuensi banjir. Pengembangan ruas jalan baru ini dapat mendorong berkembangnya kegiatan budidaya yang mengalih fungsi kawasan hutan yang dilintasi jaringan jalan. Berkembangnya kawasan budidaya pada kawasan hutan pada gilirannya dapat mengurangi kemampuan kawasan untuk meresapkan air ke dalam tanah sehingga berpotensi meningkatkan kejadian banjir di kawasan hilirnya. Usulan tindakan mitigasi untuk mengurangi potensi peningkatan kejadian banjir akibat pembangunan ruas jalan Bukit Mas Alue Saya adalah: Melakukan kajian lingkungan yang lebih detail terkait dampak pembangunan jalan baru pada ruas Bukit Mas Alue Saya yang berada di kawasan hutan. Kajian lingkungan tersebut untuk mengkaji kelayakan dan dampak lingkungan pembangunan jaringan jalan baru di kawasan hutan. Peningkatan upaya pengendalian alih fungsi lahan pada kawasan hutan di sekitar jaringan jalan yang akan dibangun agar tidak berkembang menjadi kawasan budidaya; Melakukan proses perijinan pembangunan jalan baru pada Kementerian Kehutanan. Pembangunan jalan baru dilakukan dengan melakukan peningkatan elevasi jalan yang dibangun lebih tinggi serta dilengkapi dengan sistem drainase dengan kapasitas yang cukup besar; Pengintegrasian rencana pembangunan jaringan jalan baru dengan rencana pengendalian banjir kawasan; 56

11 Ruas Brahan Seuneubok Keranji sepanjang 9,54 km Pembangunan jalan baru ruas Brahan Seuneubok Keranji direncanakan melintasi kawasan sawah dan lahan bergambut. Sebagai informasi areal gambut di Kabupaten Aceh Selatan terdapat di Kecamatan Kluet Selatan, Bakongan, Bakongan Timur, Trumon, dan Trumon Timur. Pembangunan jaringan jalan di kawasan lahan gambut berpotensi mengurangi kapasitas kawasan untuk menampung air sehingga dapat meningkatkan kejadian banjir. Lahan bergambut atau gambut (kedalaman > 50 cm) merupakan lahan atau kawasan yang selalu tergenang baik terkena pengaruh pasang surut air laut atau tidak. Pembukaan lahan bergambut atau gambut dapat dipastikan akan mengganggu ekosistem gambut tersebut baik terutama dari fungsi hidrologis maupun ekologisnya sebagai wujud daya dukung lingkungan. Pembangunan jalan yang akan mengokupasi lahan seluas lebih kurang 65 ha pasti akan mengganggu aliran air dan pergerakan atau aktifitas fauna darat atau satwa di sekitarnya. Kejadian banjir dapat berimplikasi pada sejumlah kerugian bagi masyarakat, seperti kegagalan panen, terhambatnya perekonomian dan aktivitas masyarakat lainnya, terganggunya kesehatan masyarakat, dan lain sebagainya. Usulan tindakan mitigasi untuk mengurangi potensi peningkatan kejadian banjir akibat pembangunan ruas jalan Brahan Seuneubok Keranji adalah: Melakukan kajian lingkungan yang lebih detail terkait dampak pembangunan jalan baru pada ruas Brahan Seuneubok Keranji yang berada di kawasan rawa. Kajian lingkungan tersebut untuk mengkaji kelayakan dan dampak lingkungan pembangunan jaringan jalan baru di daerah rawa. Pembangunan jalan baru dilakukan dengan melakukan peningkatan elevasi jalan yang dibangun lebih tinggi serta dilengkapi dengan sistem drainase dengan kapasitas yang cukup besar; Pengintegrasian rencana pembangunan jaringan jalan baru dengan rencana pengendalian banjir kawasan 57

12 Ruas Jalan baru ruas Seunebok Keranji Laot Bangko (lokal primer) sepanjang 6,55 km (jaringan jalan menuju Danau Laot Bangko) Pembangunan jalan baru ruas Seunebok Keranji Laot Bangko direncanakan untuk memberikan akses ke kawasan wisata Danau Laot Bangko yang berada di kawasan TNGL. Pembangunan jalan baru ini melintasi zona inti Taman Nasional Gunung Leuseur. Pembangunan jalan baru ini menjadikan akses menuju Danau Laot Bangko bertambah dibanding akses masuk berupa jalan setapak dan aliran sungai yang sudah tersedia sebelumnya. Pembangunan jalan baru pada zona inti TNGL yang merupakan kawasan hutan konservasi memerlukan persetujuan dari Kementerian Kehutanan. Danau Laot Bangko yang berada di hamparan dataran rendah di bagian hilir dan lembah Krueng Kluet yang sangat rawan banjir bila curah hujan tinggi. Kondisi ini disebabkan ketidakmampuan sungai-sungai yang melewati dataran rendah ini untuk menampung volume air, sehingga menggenangi dataran rendah tersebut. Perubahan mendasar terhadap komponen biofisik, seperti tanah, air, udara, serta flora dan fauna akan terjadi, disamping juga akan terjadi kecenderungan perubahan keanekaragaman hayati, misal penurunan indeks keanekaragaman hayati terhadap stabilitas ekosistem. Pembangunan ruas jalan baru ruas Seuneubok Keranji Laot Bangko dapat berimplikasi pada terbukanya akses dari kawasan budidaya ke zona inti TNGL. Terbukanya akses tersebut dapat mendorong berkembangnya kegiatan budidaya yang mengalih fungsi kawasan hutan yang dilintasi jaringan jalan baru apabila tidak dilakukan pengawasan dan pengendalian pemanfaatan lahan yang ketat. Berkembangnya kawasan budidaya pada kawasan hutan di TNGL pada gilirannya dapat mengurangi kemampuan kawasan untuk meresapkan air ke dalam tanah sehingga berpotensi meningkatkan kejadian banjir di kawasan hilirnya. Selain itu, potensi alih fungsi lahan hutan untuk kegiatan budidaya juga dapat mengancam kelestarian keanekagaman hayati serta ekosistem TNGL. Rekomendasi bagi rencana pembangunan jalan baru pada ruas Seunebok Keranji Danau Laot Bangko adalah memberikan alternative rencana pembangunan lain, aitu melalui pengembangan jaringan jalan setapak yang sudah ada, yaitu pada ruas Indra Damai Laot Bangko. Ruas jalan setapak ini sudah ada dan digunakan untuk kepentingan pemantauan TNGL serta jalur untuk kegiatan ekowisata. Akses menuju kawasan danau Laot Bangko selanjutnya dilanjutkan dengan jalan setapak ke arah danau. Pengembangan alternatif jaringan jalan baru ini untuk mencegah terbukanya banyak terlalu 58

13 banyak akses ke Danau Laot Bangko yang dapat menganggu kelestarian ekosistem TNGL di sekitar kawasan tersebut. Pengembangan alternatif jaringan jalan baru ini juga telah mengikuti rencana pengembangan kawasan ekowisata (siteplan) Danau Laot Bangko yang telah dikembangkan oleh Balai TNGL. 4.2 Implikasi Rencana Pola Ruang Rencana Pola Ruang Aceh Selatan terdiri dari tiga bagian yaitu 1) kawasan lindung, 2) kawasan budidaya, dan 3) pola ruang laut. Hasil identifikasi muatan RTRW yang memiliki potensi dampak negatif terhadap isu strategis untuk Rencana Pola Ruang, mencatat bahwa terdapat tiga rencana yang terkait dengan kawasan budidaya dinilai memiliki potensi dampak negative, yaitu: 1) Kawasan peruntukan perkebunan rakyat seluas Ha yang dikembangkan pada kawasan APL 2) Kawasan peruntukan perkebunan rakyat seluas Ha yang dikembangkan pada kawasan hutan yang diusulkan untuk perubahan status 3) Kawasan peruntukan pertambangan, yang meliputi: Potensi pertambangan Emas di Labuhan Haji Timur, Kluet Tengah, Pasieraja, Sawang, Meukek dan Samadua. Potensi pertambangan Tambang Bijih Besi di Trumon Tengah, Luet Tengah, Trumon Timur, Meukek, Sawang dan Pasieraja. Potensi pertambangan Galena/Timah Hitam di Bakongan dan Kota Bahagia Potensi pertambangan Batubara di Pasieraja dan Tapaktuan Implikasi dan Mitigasi Rencana Kawasan Peruntukan Perkebunan Rakyat seluas Ha yang Dikembangkan pada Kawasan APL Pengembangan kawasan perkebunan rakyat direncanakan dalam 2 (dua) jenis kawasan, yaitu pengembangan kawasan peruntukan perkebunan rakyat yang berada di kawasan APL (area penggunaan lain) serta pengembangan kawasan peruntukan perkebunan rakyat di kawasan hutan yang diusulkan perubahan status lahannya. Pada bagian ini dijelaskan implikasi terkait dengan rencana kawasan peruntukan perkebunan rakyat yang dikembangkan pada kawasan APL. Implikasi pertama terkait dengan isu alih fungsi lahan sawah menjadi perkebunan dan kedua terkait isu hama/penyakit tanaman pala. 59

14 Gambar 13. Peta Identifikasi Rencana Pola Ruang Terkait Isu Strategis Pembangunan Berkelanjutan Perluasan lahan perkebunan rakyat seluas Ha dapat berpotensi mendorong alih fungsi lahan sawah. Berdasarkan pengamatan lapangan, terdapat sejumlah lahan sawah yang terlantar dan berubah menjadi lahan untuk perkebunan, salah satunya untuk kelapa sawit. Perluasan areal perkebunan rakyat yang mengalih fungsi lahan sawah dikhawatirkan dapat mengganggu kestabilan ketahanan pangan daerah. Untuk mencegah meluasnya alih fungsi lahan sawah menjadi perkebunan, maka mitigasi rencana pengembangan kawasan peruntukan perkebunan rakyat untuk isu ini adalah sebagai berikut: Proses perijinan perubahan status hutan dari Kementerian Kehutanan; Larangan pengembangan perkebunan (terutama kelapa sawit) pada kawasan pertanian lahan basah (sawah) agar tidak terjadi penurunan produksi pertanian tanaman pangan; Menetapkan PLP2B melalui qanun untuk mencegah alih fungsi lahan sawah untuk kawasan perkebunan kelapa sawit; Mengembangkan aplikasi konservasi tanah dan air (KTA) untuk mencegah banjir dan longsor akibat kerusakan lahan Komoditas unggulan perkebunan rakyat di Kabupaten Aceh Selatan adalah tanaman pala. Saat ini permasalahan utama yang dialami petani pala adalah 60

15 hama/penyakit. Terutama yang disebabkan oleh jamur akar putih dan tanaman penggerek. Apabila pengembangan perkebunan rakyat untuk tanaman pala dilakukan dengan tidak memperhatikan pemeliharaan yang baik serta prinsip konservasi tanah dan air, maka dikhawatir pengembangan perkebunan rakyat untuk tanaman pala akan meningkatkan jumlah tanaman pala yang terserang hama/penyakit. Untuk mencegah meluasnya areal lahan perkebunan pala yang terserang hama/penyakit, maka mitigasi rencana pengembangan kawasan peruntukan perkebunan rakyat, khususnya yang akan dikembangkan untuk tanaman pala adalah: Tidak menanam tanaman pala dalam satu hamparan luas secara monokultur; Mem-bera-kan lahan terlebih dahulu sebelum ditanam dengan tanaman pala yang baru. Umumnya masyarakat segera mengganti tanaman pala yang terserang hama/penyakit dengan tanaman pala yang baru. Untuk mencegah meluasnya hama/penyakit tanaman pala, maka lahan terlebih dahulu harus di-bera sebelum ditanam kembali dengan tanaman pala yang baru. Hal ini terkait dengan prinsip konservasi tanah dan air; Peningkatan peningkatan sumberdaya manusia pekebun pala, termasuk melalui penyuluhan Implikasi dan Mitigasi Rencana Kawasan Peruntukan Perkebunan Rakyat pada Kawasan Hutan yang Diusulkan untuk Perubahan Status Selain perkebunan rakyat yang direncakan di kawasan APL, RTRW Kabupaten Aceh Selatan juga menetapkan rencana pengembangan perkebunan rakyat pada kawasan hutan yang diusulkan perubahan statusnya. Kawasan perkebunan rakyat ini meliputi areal seluas Ha dan tersebar di: Kec. Kluet Selatan seluas 1.102,04 Ha; Kec. Bakongan seluas 40,22 Ha; Kec. Bakongan Timur seluas 2.300,34 Ha; Kec. Kluet Timur seluas 4.700,6 Ha; Kec. Trumon seluas 2.434,53 Ha; Kec. Trumon Tengah seluas 1.466,08 Ha; serta Kec. Trumon Timur seluas 1.890,90 Ha. Perubahan status hutan yang diusulkan berubah adalah sebagai berikut: Hutan lindung (HL) seluas ha di seluruh Aceh Selatan kecuali Trumon 61

16 Suaka Margasatwa Rawa Trumon (Singkil) seluas ha Hutan produksi terbatas seluas ha di Kluet Timur dan Kota Bahagia. Berdasarkan potensi komoditas unggulan di Kabupaten Aceh Selatan, perkebunan rakyat yang akan dikembangkan di kawasan hutan dapat dikembangkan baik untuk komoditas pala yang merupakan komoditas unggulan serta kelapa sawit. Pengembangan kawasan hutan untuk perkebunan rakyat dapat berimplikasi terhadap isu peningkatan frekuensi banjir serta meningkatnya serangan hama/penyakit tanaman pala. Terkait dengan isu peningkatan frekuensi banjir, pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan rakyat dikhawatirkan dapat meningkatkan frekuensi banjir, terutama saat lahan baru dibuka dan akan ditanami oleh tanaman perkebunan (atau saat tanaman masih berusia muda). Pembukaan lahan dapat mengurangi kemampuan lahan untuk menginfiltrasi air hujan ke dalam tanah sehingga dapat mengakibatkan banjir di kawasan bawahannya. Pengembangan kawasan perkebunan rakyat yang akan dikembangkan di kawasan hutan, terutama yang berlokasi di wilayah Selatan Kabupaten Aceh Selatan berpotensi untuk dikembangkan sebagai perkebunan kelapa sawit. Beberapa tahun terakhir, pengembangan kebun kelapa sawit mulai menjadi primadona, terutama di bagian Selatan Kabupaten Aceh Selatan. Penetapan kawasan peruntukan perkebunan dapat dimungkinkan dikembangkan menjadi kawasan perkebunan kelapa sawit sehingga luas perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Aceh Selatan dapat meningkat dengan pesat terutama di Kecamatan Bakongan, Bakongan Timur, Trumon Timur, dan Trumon. Perluasan ini sangat didorong oleh pendirian pabrik kelapa sawit (PKS) yang mengolah tandan buah kelapa sawit segar (TBS) menjadi minyak kelapa sawit mentah (Crude Plam Oil = CPO) di PT Sawit Sukses Selalu (Kluet), Subulusalam dan Singkil yang lebih dekat lokasinya dari pada di Meulaboh. Disamping itu, harga kelapa sawit relatif menjanjikan lebih banyak keuntungan dari pada harga tanaman pangan. Perluasan kebun kelapa sawit di kawasan hutan dan daerah berlereng akan dapat mengganggu kinerja layanan/jasa ekosistem karena tanaman bawah (undercover) tanaman kelapa sawit umumnya jarang sehingga memudahkan kejadian aliran permukaan dibandingkan hutan sekunder yang lebih rapat. Kebun kelapa sawit yang telah berumur remaja (10 tahun) dan tajuknya telah rapat menutupi tanah mempunyai nilai koefisien aliran permukaan (C) sebesar 0,20-0,25 (Murtilaksono, 2008), sedangkan hutan yang tutupan tajuknya atau luasnya lebih dari 35% dari luas daerah aliran sungai (DAS) 62

17 mempunyai nilai C lebih kecil dari 0,18 (Yuwono, 2011). Semakin besar nilai C, semakin besar debit aliran sungai dan semakin besar peluang kejadian banjir dalam suatu DAS, dan sebaliknya. Untuk mengurangi potensi banjir yang disebabkan oleh pembukaan lahan perkebunan di kawasan hutan, maka rekomendasi mitigasinya adalah sebagai berikut: Proses perijinan perubahan status kawasan hutan dari kementerian kehutanan; Penyiapan dokumen kajian lingkungan untuk mengkaji kelayakan pengembangan perkebunan rakyat serta pengkajian dampak pengembangan kawasan perkebunan terhadap lingkungan di sekitarnya; Pembukaan lahan perkebunan rakyat dilakukan secara bertahap; Pengembangan lahan perkebunan rakyat dilakukan dengan memperhatikan kaidah konservasi tanah dan air; Membuat kanal-kanal untuk mengendalikan banjir yang didahului dengan kajian lingkungan hidup untuk pembangunan kanal ini Sedang terkait dengan isu peningkatan hama/penyakit tanaman pala, pengembangan kawasan perkebunan rakyat khususnya yang akan dikembangkan untuk tanaman pala apabila tidak diimbangi dengan upaya pemeliharaan serta melakukan konservasi tanah dan air yang baik, maka dapat mengakibatkan meningkatnya lahan perkebunan tanaman pala yang terserang hama/penyakit tanaman pala. Untuk mengurangi dampak tersebut, maka tindakan mitigasi yang direkomendasikan adalah sebagai berikut: Tidak menanam tanaman pala dalam satu hamparan luas secara monokultur; Mem-bera-kan lahan terlebih dahulu sebelum ditanam dengan tanaman pala yang baru. Umumnya masyarakat segera mengganti tanaman pala yang terserang hama/penyakit dengan tanaman pala yang baru. Untuk mencegah meluasnya hama/penyakit tanaman pala, maka lahan terlebih dahulu harus di-bera sebelum ditanam kembali dengan tanaman pala yang baru. Hal ini terkait dengan prinsip konservasi tanah dan air; Peningkatan kemampuan masyarakat dalam pemeliharaan tanaman pala 63

18 4.2.3 Implikasi dan Mitigasi Rencana Pengembangan Kawasan Peruntukan Pertambangan Rencana pengembangan kawasan peruntukan pertambangan - apapun jenis tambang dan lokasinya - di Kabupaten Aceh Selatan dapat berimplikasi terhadap 2 (dua) isu strategis, yaitu isu peningkatan frekuensi banjir serta isu pertambangan tidak ramah lingkungan. Implikasi terhadap peningkatkan intensitas banjir, disebabkan didasarkan pada terbukanya lahan (termasuk kawasan hutan) untuk kegiatan pertambangan mengakibatkan perubahan bentang alam dan mengurangi kemampuan lahan untuk menyerap (menginflitrasi) air hujan ke dalam tanah. Akibatnya pembukaan lahan untuk kegiatan pertambangan dapat mengakibatkan intensitas banjir di kawasan hilirnya. Sebagai informasi kegiatan pertambangan di Aceh Selatan menggunakan metode tambang terbuka atau surface mining, artinya kegiatan menambang dilakukan dengan melakukan bukaan di atas permukaan tanah. Kegiatan ini akan membabat habis vegetasi di atasnya dan membongkar tanah dan batuan di atas deposit tersebut. Agar pengembangan kawasan peruntukan pertambangan tidak mengakibatkan peningkatan frekuensi banjir, maka tindakan mitigasi yang perlu dilakukan adalah: Penyiapan dokumen lingkungan untuk mengkaji kelayakan kegiatan pertambangan serta mengkaji dampak terhadap lingkungan di sekitarnya; Penyiapan rencana mitigasi banjir yang diakibatkan oleh pembukaan lahan untuk kegiatan pertambangan; Penetapan kewajiban reklamasi kawasan tambang paska kegiatan penambangan; Peningkatan pengawasan dan pengendalian kegiatan pertambangan; Perlu penetapan yang jelas wilayah pertambangan rakyat sehingga dapat dipilih daerah yang dikaji tidak akan menimbulkan banjir Implikasi terhadap isu tambang yang tidak ramah lingkungan didasarkan pada proses dan pertambangan yang dilakukan terutama oleh masyarakat/perorangan yang tidak terkontrol dan terawasi dengan baik dilakukan secara tidak ramah lingkungan. Salah satu proses penambangan yang tidak ramah lingkungan adalah tidak memiliki sistem pembuangan dan pengolahan limbah yang baik. Implikasi kegiatan tambang ini pada lingkungan, diantaranya: 64

19 Pencemaran sungai karena sebagian pembuangan limbah langsung dialirkan ke sungai Pencemaran air tanah karena sebagian zat hasil proses terbuang terbuka, meresap ke dalam tanah Sedimentasi pada sungai akibat proses bukaan tambang Potensi penyakit berbahaya dari cemaran zat kimia yang terakumulasi Dampak pencemaran akan dirasakan oleh masyarakat hilir dari lokasi front tambang, dan biasanya bersifat akumulatif atau dirasakan dalam jangka waktu lama. Dengan demikian, ke depan kinerja layanan/jasa lingkungan akan semakin terpengaruh negatif. Daya tampung yang berupa kemampuan media air untuk mengasimilasi bahan pencemar semakin menurun jika tanpa pengelolaan yang memadai. Kegiatan pemrosesan tambang yang menggunakan bahan sianida Kegiatan pemrosesan hasil tambang skala rumah tangga yang banyak ditemukan di kawasan Manggamat dengan menggunakan mercuri Gambar 14. Pengolahan Tambang Rakyat 65

20 Untuk mencegah pengembangan kawasan peruntukan pertambangan yang tidak ramah lingkungan, maka tindakan mitigasi yang perlu dilakukan adalah: Peningkatan pengawasan dan pengendalian kegiatan pertambangan; Penerapan penegakan hukum (law enforcement) yang ketat terhadap kegiatan penambangan yang tidak ramah lingkungan; Perlu pengawasan yang ketat terhadap peredaran mecury dan senida serta Bahan Beracun Berbahaya (B3) lainnya utamanya B3 yang digunakan dalam pertambangan; Kegiatan pertambangan harus dilengkapi dengan dokumen lingkungan yang lengkap; Merelokasi kegiatan pengelolaan emas jauh dari pemukiman penduduk dan pergantian teknologi yang ramah lingkungan; Peningkatan sosialisasi pada masyarakat terkait kegiatan penambangan yang lebih ramah lingkungan; Perlu penetapan keteria yang jelas terhadap penambangan galian C sehingga tidak salah dalam pemberian rekomendasi. Gambar 15. Kondisi Pertambangan di Aceh Selatan 66

21 4.3 Rekomendasi untuk Muatan RTRW Secara umum rencana struktur ruang, rencana pola ruang, dan penetapan kawasan strategis kabupaten di Kabupaten Aceh Selatan telah dilakukan secara seksama. Namun demikian, dalam telaah dampak yang dilakukan melalui KLHS, ditemukan bahwa sebagian dari rencana tata ruang yang dinilai memiliki potensi yang memberikan implikasi terhadap isu strategis. Oleh karenanya implikasi terhadap isu strategis yang dapat mungkin timbul dari pelaksanaan sejumlah rencana tata ruang tersebut dapat diminimalisasi melalui sejumlah tindakan mitigasi. Rencana tindakan mitigasi yang direkomendasikan bagi pelaksanaan rencana tata ruang Kabupaten Aceh Selatan dilakukan berdasarkan pertimbangan prinsip pembangunan berkelanjutan agar pembangunan yang dilakukan dapat tetap menjamin berlangsungan kehidupan di masa datang. Pertimbangan yang digunakan adalah prinsip keseimbangan antara kepentingan lingkungan, ekonomi, dan sosial; prinsip keterkaitan antarsektor dan antar-wilayah; serta prinsip keadilan untuk memberikan akses bagi masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya alam di wilayah Kabupaten Aceh Selatan. Tabel berikut menguraikan rekomendasi mitigasi/alternatif terhadap pelaksanaan muatan RTRW Kabupaten Aceh Selatan agar pembangunan tetap dapat berjalan secara berkelanjutan. Tabel 11 : Rekomendasi Mitigasi Terhadap Muatan Rencana Struktur Ruang No. Usulan Mitigasi/Alternatif Rekomendasi Mitigasi/Alternatif 1. Rencana Pengembangan PKL Tapaktuan 1.1 Isu Strategis: Frekuensi banjir yang sering terjadi a. Pembangunan kawasan perkotaan diarahkan pada lokasi yang lebih tinggi namun berada pada elevasi yang aman untuk dijadikan kawasan terbangun disertai upaya-upaya mitigasi terhadap tanah longsor dan pengurangan kecepatan aliran air pada saat hujan; b. Perbaikan drainase kawasan perkotaan, baik yang sudah terbangun maupun yang direncanakan sebagai kawasan pengembangan perkotaan disertai upaya-upaya perubahan perilaku masyarakat dalam pengelolaan sampah; c. Melakukan normalisasi dan optimalisasi sungai yang diharapkan dapat memperbesar daya tampung sungai Pengembangan kawasan perkotaan secara terbatas sesuai dengan proyeksi kebutuhan 20 tahun mendatang, yang delineasinya ditetapkan dalam rencana rinci pengembangan kawasan perkotaan Tapaktuan. Dalam rencana rinci tersebut, arah pengembangan kawasan perkotaan juga perlu diarahkan pada kawasan yang lebih tinggi. Penyusunan rencana rinci tersebut perlu dilengkapi dengan peraturan zonasi untuk mengurangi risiko bencana banjir dan tanah longsr serta penyiapan rencana mitigasi bencana tersebut. 67

22 No. Usulan Mitigasi/Alternatif Rekomendasi Mitigasi/Alternatif terutama pada saat hujan disertai dengan upaya reboisasi lahan kritis dan daerah aliran sungai. d. Menetapkan kawasan lindung di luar kawasan hutan atau ruang terbuka terbuka hijau. Hal ini perlu dilakukan terutama pada rencana kawasan terbangun yang berada pada atau dekat dengan lokasi yang elevasinya curam dan pada sempadan sungai; e Mendorong peran serta masyarakat untuk melakukan penanaman tanaman perkebunan (pala) dengan memperhatikan aspek lingkungan. Pembukaan lahan baru pada kawasan budidaya untuk penanaman pala diharapkan tidak dilakukan secara sekaligus pada hamparan yang luas. f Kerjasama lintas sektor dalam pengelolaan sampah melibatkan solidaritas masyarakat g Peninjauan kembali Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) 1.2 Isu Strategis : Hama/Penyakit Tanaman Pala a Peningkatan sumberdaya manusia pekebun pala, termasuk melalui penyuluhan b c Melakukan inovasi penyediaan bibit tanaman pala, termasuk penyambungan antar varietas dengan tanaman atasnya pala lokal yang ada Larangan penangkapan burung predator/pemangsa ulat dan pengayaan jenis burung pemangsa ulat 2. Rencana Pengembangan PKLp Bakongan 1.1 Isu Strategis: Frekuensi banjir yang sering terjadi a. Pembangunan kawasan perkotaan diarahkan pada daerah yang tidak berawa dan bukan merupakan kawasan hutan b. Pengembangan kawasan perkotaan Bakongan perlu diarahkan dengan model intensif dengan membatasi luas areal kawasan perkotaan sesuai Terkait dengan upaya pengurangi penyebaran hama/penyakit tanaman pala, maka dalam pengembangan perkebunan pala perlu dilakukan melalui beberapa upaya, seperti tidak melakukan penanaman tanaman pala dalam satu hamparan luas secara monokultur; melakukan konservasi tanah dan air sebelum mengganti tanaman pala yang terserang hama/penyakit dengan tanaman yang baru; peningkatan kemampuan masyarakat dalam pemelliharaan dan pengelolaan perkebunan pala, melakukan inovasi bibit tanaman pala, serta mengeluarkan larangan penangkapan burung predator hama pala dengan tegas Pengembangan kawasan perkotaan secara terbatas sesuai dengan proyeksi kebutuhan 20 tahun mendatang, yang delineasinya ditetapkan dalam rencana rinci pengembangan kawasan perkotaan Bakongan. Dalam rencana rinci tersebut, arah 68

23 No. Usulan Mitigasi/Alternatif Rekomendasi Mitigasi/Alternatif c d e f g kebutuhan lahan pengembangan 20 tahun ke depan. Delineasi kawasan perkotaan yang jelas perlu dilakukan pada saat penyusunan rencana rinci dengan mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan untuk mencegah pengembangan kawasan perkotaan di daerah yang sering terpapar banjir Penyiapan rencana mitigasi bencana banjir untuk kawasan perkotaan. Mendorong pemanfaatan lahan kawasan perkotaan pada kawasan yang tidak rawan banjir (bukan kawasan berawa) melalui pengembangan kebijakan insentif/ disinsentif; Pengembangan peraturan zonasi untuk kawasan rawan banjir sebagai bagian dari upaya mitigasi bencana banjir. Pembangunan tanggul pada beberapa lokasi, contoh Desa Ujong Pulo Cut dan Desa Cangoi Seubadeh, Muara Bakongan, Muara Desa Ujong Panju Bakotim, Kuala Cangkuni Seubadeh; Normalisasi Sungai; pengembangan kawasan perkotaan juga perlu diarahkan pada kawasan yang tidak berawa untuk menghindari banjir di kawasan yang akan dikembangkan. Penyusunan rencana rinci tersebut perlu dilengkapi dengan peraturan zonasi untuk mengurangi risiko bencana banjir serta penyiapan rencana mitigasi bencana banjir. h Dilakukan upaya-upaya mengurangi kegiatan penebangan liar. 2. Rencana Pengembangan Jaringan Jalan Baru pada Enam Ruas Jalan: Ruas Despot Keude Trumon Cut Bayu Ruas Buloh Seuma Kuala Baru Ruas Alue Rimba Simpang Tiga Ruas Bukit Mas Alue Saya Ruas Brahan Seuneubok Keranji Ruas Seuneubok Keranji Laut Bangko 2.1 Isu Strategis: Frekuensi banjir yang sering terjadi a. Melakukan kajian lingkungan yang lebih detail terkait dampak pembangunan jalan baru pada ruas Despot Keude Trumon Cut Bayu yang berada di kawasan rawa. b. Peningkatan upaya pengendalian alih fungsi lahan pada kawasan di sekitar jaringan jalan yang akan dibangun agar tidak berkembang menjadi kawasan budidaya; c. Pembangunan jalan baru melalui meningkatan elevasi jalan yang dibangun lebih tinggi serta dilengkapi dengan sistem drainase dengan kapasitas yang cukup besar; Untuk pembangunan ke-enam ruas jalan baru perlu dilakukan setelah dokumen kajian lingkungan disiapkan.pada tahap berikutnya rencana pembangunan jalan harus dilakukan dengan mengikuti standar teknis pembangunan jalan serta didukung oleh upaya peningkatan pengendalian pemanfaatan lahan di sekitar jaringan jalan baru. 69

24 No. Usulan Mitigasi/Alternatif Rekomendasi Mitigasi/Alternatif d. Pengintegrasian rencana pembangunan jaringan jalan baru dengan rencana pengendalian banjir kawasan e Tambahan usulan alternatif khususnya untuk rencana ruas Seuneubok Laot Bangko :Alternatif pengembangan jaringan jalan setapak yang sudah ada, yaitu pada ruas Indra Damai Suak Belimbing Laot Bangko. Akses menuju kawasan danau Laot Bangko selanjutnya dilanjutkan dengan jalan setapak ke arah danau. Pengembangan alternatif jaringan jalan baru ini untuk mencegah terbukanya banyak terlalu banyak akses ke Danau Laot Bangko yang dapat menganggu kelestarian ekosistem TNGL di sekitar kawasan tersebut. Pengembangan alternatif jaringan jalan baru ini juga telah mengikuti rencana pengembangan kawasan ekowisata (siteplan) Danau Laot Bangko yang telah dikembangkan oleh Balai TNGL Pengembangan jaringan jalan setapak pada ruas Indra Damai Suak Belimbing Laot Bangko. Akses menuju kawasan danau Laot Bangko selanjutnya dilanjutkan dengan jalan setapak ke arah danau. Agar tetap dapat memberikan akses menuju kawasan Danau Laot Bangko yang akan dikembangkan sebagai kawasan ekowisata, maka rekomendasi pengembangannya dengan mengembangkan alternatif jalan yang telah ditetapkan oleh Balai TNGL dalam site plan pengembangan ekowisata Danau Laot Bangko Tabel 12 : Rekomendasi Mitigasi terhadap Pelaksanaan Muatan Rencana Pola Ruang No. Usulan Mitigasi/Alternatif Rekomendasi Mitigasi/Alternatif 1 Kawasan Peruntukan Perkebunan Rakyat seluas ha yang Dikembangkan pada Kawasan APL 1.1 Isu Strategis: Alih fungsi lahan sawah untuk perkebunan A Proses perijinan perubahan status hutan dari Kementerian Kehutanan B Larangan pengembangan kebun kelapa sawit pada kawasan pertanian lahan basah (sawah) agar tidak terjadi penurunan produksi pertanian tanaman pangan; b c Menetapkan kawasan lahan pertanian berkelanjutan melalui qanun untuk mencegah alih fungsi lahan sawah untuk kawasan perkebunan kelapa sawit; Mengembangkan aplikasi konservasi tanah dan air (KTA) untuk mencegah banjir dan longsor akibat kerusakan lahan Pengembangan kawasan peruntukan perkebunan rakyat pada kawasan APL perlu dikembangkan melalui upaya penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan untuk mencegah alih fungsi lahan sawah menjadi kawasan perkebunan kelapa sawit. 1.2 Isu Strategis : Sebaran hama dan penyakit tanaman pala makin meluas a Tidak menanam tanaman pala dalam satu Terkait dengan upaya pengurangi penyebaran hamparan luas secara monokultur; hama/penyakit tanaman pala, maka upaya b Mem-bera-kan lahan terlebih dahulu sebelum ditanam dengan tanaman pala yang baru. Umumnya masyarakat segera pengembangan perkebunan pala perlu dilakukan melalui beberapa upaya, seperti 70

25 No. Usulan Mitigasi/Alternatif Rekomendasi Mitigasi/Alternatif c mengganti tanaman pala yang terserang hama/penyakit dengan tanaman pala yang baru. Untuk mencegah meluasnya hama/penyakit tanaman pala, maka lahan terlebih dahulu harus di-bera sebelum ditanam kembali dengan tanaman pala yang baru; Peningkatan kemampuan masyarakat dalam pemeliharaan tanaman pala tidak melakukan penanaman tanaman pala dalam satu hamparan luas secara monokultur; melakukan konservasi tanah dan air sebelum mengganti tanaman pala yang terserang hama/penyakit dengan tanaman yang baru; serta peningkatan kemampuan masyarakat dalam pemelliharaan dan pengelolaan perkebunan pala 2 Kawasan Peruntukan Perkebunan Rakyat seluas ha yang dikembangkan pasa Kawasan Hutan yang Diusulkan untuk Perubahan Status 2.1 Isu Strategis: Frekuensi banjir yang sering terjadi a Penyiapan dokumen kajian lingkungan untuk mengkaji kelayakan pengembangan perkebunan rakyat serta pengkajian dampak pengembangan kawasan perkebunan terhadap lingkungan di sekitarnya; b c d e Proses perijinan perubahan status kawasan hutan dari kementerian kehutanan; Pembukaan lahan perkebunan rakyat dilakukan secara bertahap; Pengembangan lahan perkebunan rakyat dilakukan dengan memperhatikan kaidan konservasi tanah dan air Membuat kanal-kanal untuk mengendalikan banjir yang didahului dengan kajian lingkungan hidup untuk pembangunan kanal ini Upaya untuk mencegah peningkatan banjir juga perlu dilakukan melalui aplikasi konservasi tanah dan air yang diakibatkan oleh kerusakan lahan sehingga mengurangi kemampuan lahan untuk menyerap air hujan 2.2 Isu Strategis : Sebaran hama dan penyakit tanaman pala makin meluas a Tidak menanam tanaman pala dalam satu hamparan luas secara monokultur; b Mem-bera-kan lahan terlebih dahulu sebelum ditanam dengan tanaman pala yang baru. Umumnya masyarakat segera mengganti tanaman pala yang terserang hama/penyakit dengan tanaman pala yang baru. Untuk mencegah meluasnya hama/penyakit tanaman pala, maka lahan terlebih dahulu harus di-bera sebelum ditanam kembali dengan tanaman pala yang baru; c Peningkatan kemampuan masyarakat dalam pemeliharaan tanaman pala 3 Kawasan Peruntukan Pertambangan 3.1 Isu Strategis: Frekuensi Banjir yang Masih Sering Terjadi a Penyiapan dokumen lingkungan untuk mengkaji kelayakan kegiatan pertambangan serta mengkaji dampak terhadap lingkungan di sekitarnya; Terkait dengan upaya pengurangi penyebaran hama/penyakit tanaman pala, maka upaya pengembangan perkebunan pala perlu dilakukan melalui beberapa upaya, seperti tidak melakukan penanaman tanaman pala dalam satu hamparan luas secara monokultur; melakukan konservasi tanah dan air sebelum mengganti tanaman pala yang terserang hama/penyakit dengan tanaman yang baru; serta peningkatan kemampuan masyarakat dalam pemelliharaan dan pengelolaan perkebunan pala Pengembangan kawasan pertambangan perlu dilakukan dengan menyiapkan kajian lingkungan terlebih dahulu untuk mengkaji 71

LAMPIRAN BERITA ACARA

LAMPIRAN BERITA ACARA LAMPIRAN BERITA ACARA KONSULTASI PUBLIK HASIL KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN ACEH SELATAN TAHUN 2012-2032 Tapaktuan, 25 Agustus 2014 Proses penyampaian masukan

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS

RINGKASAN EKSEKUTIF KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS PEMERINTAH KABUPATEN ACEH SELATAN PROVINSI ACEH RINGKASAN EKSEKUTIF KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS RANPERDA RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN ACEH SELATAN TAHUN 2014 2O34 September 2014 1. Pendahuluan

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; Lampiran III : Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor : 21 Tahun 2012 Tanggal : 20 Desember 2012 Tentang : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2012 2032 KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso KATA PENGANTAR Sebagai upaya mewujudkan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif, efisien dan sistematis guna menunjang pembangunan daerah dan mendorong perkembangan wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

BAB III PROSES DAN METODOLOGI

BAB III PROSES DAN METODOLOGI BAB III PROSES DAN METODOLOGI 3.1 Persiapan Pelaksanaan KLHS Persiapan pelaksanaan KLHS, dilakukan dengan mengadakan pertemuan yang dihadiri beberapa SKPD terkait, perwakilan masyarakat dan pihak lain

Lebih terperinci

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.797, 2015 KEMEN PU-PR. Rawa. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Laporan Strategi Pembangunan Emisi Rendah Kabupaten Aceh Selatan

Laporan Strategi Pembangunan Emisi Rendah Kabupaten Aceh Selatan Laporan Strategi Pembangunan Emisi Rendah Kabupaten Aceh Selatan September 2014 i Daftar Isi Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... iii 1 Pengantar... 1 2 Pendekatan dan Metode... 1 3 Profil Aceh Selatan...

Lebih terperinci

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera 1 2 3 Pendahuluan (Sistem Perencanaan Tata Ruang - Kebijakan Nasional Penyelamatan Ekosistem Pulau Sumatera) Penyelamatan Ekosistem Sumatera dengan

Lebih terperinci

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.180, 2013 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5460) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.326, 2015 KEHUTANAN. Hutan. Kawasan. Tata Cara. Pencabutan (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5794). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

BAB 7 Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Utara

BAB 7 Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Utara BAB 7 Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Utara Arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Provinsi Sumatera Utara digunakan sebagai merupakan acuan dalam pelaksanaan pengendalian

Lebih terperinci

Disampaikan Pada Acara :

Disampaikan Pada Acara : Disampaikan Pada Acara : Balancing Spatial Planning, Sustainable Biomass Production, Climate Change and Conservation (Menyeimbangkan Penataan Ruang, Produksi Minyak Sawit Berkelanjutan, Perubahan Iklim

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

WALIKOTA LANGSA PROVINSI ACEH QANUN KOTA LANGSA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

WALIKOTA LANGSA PROVINSI ACEH QANUN KOTA LANGSA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM SALINAN WALIKOTA LANGSA PROVINSI ACEH QANUN KOTA LANGSA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG ATAS RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

LAMPIRAN I. KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS TATA RUANG KABUPATEN BANYUASIN QUICK APPRAISAL

LAMPIRAN I. KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS TATA RUANG KABUPATEN BANYUASIN QUICK APPRAISAL 1. topogafinya wilayah Kabupaten Banyuasin terdiri dari 80 % daratan rendah berupa pesisir pantai, rawa pasang surut dan lebak dan 20 % darat/lahan kering LAMPIRAN I. KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS

Lebih terperinci

Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera

Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera Jakarta, 29 Juli 2011 1 2 3 Progress Legalisasi RTR Pulau Sumatera Konsepsi Tujuan, Kebijakan, Dan Strategi Rtr Pulau Sumatera Muatan

Lebih terperinci

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2011-2031 I. UMUM 1. Faktor yang melatarbelakangi disusunnya Rencana Tata Ruang

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.62, 2012 LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana alam tampak semakin meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh proses alam maupun manusia itu sendiri. Kerugian langsung berupa korban jiwa, harta

Lebih terperinci

DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH

DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH Lampiran II. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor : Tanggal : DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH Tabel-1. Lindung Berdasarkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia Mata Pencaharian Penduduk Indonesia Pertanian Perikanan Kehutanan dan Pertambangan Perindustrian, Pariwisata dan Perindustrian Jasa Pertanian merupakan proses untuk menghasilkan bahan pangan, ternak serta

Lebih terperinci

RENCANA PENGELOLAAN SDA DAN LH DAS BARITO

RENCANA PENGELOLAAN SDA DAN LH DAS BARITO RENCANA PENGELOLAAN SDA DAN LH DAS BARITO Oleh: Firman Dermawan Yuda Kepala Sub Bidang Hutan dan Hasil Hutan Bidang Perencanaan Pengelolaan SDA dan LH I. Gambaran Umum DAS Barito Daerah Aliran Sungai (DAS)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dalam rangka Konservasi Rawa, Pengembangan Rawa,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : bahwa dalam rangka Konservasi Rawa,

Lebih terperinci

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Menggantikan UU No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman

Lebih terperinci

BUPATI BATANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG NOMOR 07 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BATANG TAHUN

BUPATI BATANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG NOMOR 07 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BATANG TAHUN BUPATI BATANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG NOMOR 07 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BATANG TAHUN 2011 2031 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BATANG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

INDIKATOR PROGRAM UTAMA PEMBANGUNAN PEMANFAATAN RUANG KOTA GORONTALO TAHUN

INDIKATOR PROGRAM UTAMA PEMBANGUNAN PEMANFAATAN RUANG KOTA GORONTALO TAHUN LAMPIRAN IV INDIKATOR PROGRAM UTAMA PEMBANGUNAN PEMANFAATAN RUANG KOTA GORONTALO TAHUN 2010-2030 NO. PROGRAM KEGIATAN LOKASI BESARAN (Rp) A. Perwujudan Struktur Ruang 1 Rencana Pusat - Pembangunan dan

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI 3.1 IDENTIFIKASI PERMASALAHAN BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI PELAYANAN BADAN LINGKUNGAN HIDUP PROVINSI JAWA TENGAH Dalam penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan Bab IV Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

Kata kunci: Fungsi hutan, opini masyarakat, DAS Kelara

Kata kunci: Fungsi hutan, opini masyarakat, DAS Kelara Opini Masyarakat Terhadap Fungsi Hutan di Hulu DAS Kelara OPINI MASYARAKAT TERHADAP FUNGSI HUTAN DI HULU DAS KELARA Oleh: Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Jl. Perintis Kemerdekaan Km.16 Makassar, 90243,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pembangunan dan lingkungan hidup adalah dua bidang yang saling berkaitan. Di satu sisi pembangunan dirasakan perlu untuk meningkatkan harkat hidup manusia. Tapi di

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN 2.1 Tujuan Penataan Ruang Dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya Pasal 3,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan

Lebih terperinci

No baik hayati berupa tumbuhan, satwa liar serta jasad renik maupun non-hayati berupa tanah dan bebatuan, air, udara, serta iklim yang saling

No baik hayati berupa tumbuhan, satwa liar serta jasad renik maupun non-hayati berupa tanah dan bebatuan, air, udara, serta iklim yang saling TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5460 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 180) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

Bab II Bab III Bab IV Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kabupaten Sijunjung Perumusan Tujuan Dasar Perumusan Tujuan....

Bab II Bab III Bab IV Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kabupaten Sijunjung Perumusan Tujuan Dasar Perumusan Tujuan.... DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Gambar Daftar Grafik i ii vii viii Bab I Pendahuluan. 1.1. Dasar Hukum..... 1.2. Profil Wilayah Kabupaten Sijunjung... 1.2.1 Kondisi Fisik

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.14/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 TENTANG TATA CARA INVENTARISASI DAN PENETAPAN FUNGSI EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undangundang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang perlu

Lebih terperinci

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA PERENCANAAN WILAYAH 1 TPL 314-3 SKS DR. Ir. Ken Martina Kasikoen, MT. Kuliah 10 BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA Dalam KEPPRES NO. 57 TAHUN 1989 dan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang PEDOMAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang . 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak

Lebih terperinci

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) 1) Disampaikan pada Lokakarya Nasional Rencana Pembangunan Jangka

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS PENGGUNAAN DAN PEMANFAATAN TANAH

PEDOMAN TEKNIS PENGGUNAAN DAN PEMANFAATAN TANAH Lampiran I Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor : 2 TAHUN 2011 Tanggal : 4 Pebruari 2011 Tentang : Pedoman Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam Penerbitan Izin Lokasi, Penetapan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu permasalahan yang dihadapi negara yang sedang berkembang

I. PENDAHULUAN. Salah satu permasalahan yang dihadapi negara yang sedang berkembang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu permasalahan yang dihadapi negara yang sedang berkembang adalah pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi. Pertumbuhan penduduk mengakibatkan terjadinya peningkatan

Lebih terperinci

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan Bab 5 5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan 5.2.1 Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan Perhatian harus diberikan kepada kendala pengembangan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

Bab II. Tujuan, Kebijakan, dan Strategi 2.1 TUJUAN PENATAAN RUANG Tinjauan Penataan Ruang Nasional

Bab II. Tujuan, Kebijakan, dan Strategi 2.1 TUJUAN PENATAAN RUANG Tinjauan Penataan Ruang Nasional Bab II Tujuan, Kebijakan, dan Strategi 2.1 TUJUAN PENATAAN RUANG 2.1.1 Tinjauan Penataan Ruang Nasional Tujuan Umum Penataan Ruang; sesuai dengan amanah UU Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007 tujuan penataan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 34/Menhut -II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laporan hasil kajian Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2001 mengenai perubahan iklim, yaitu perubahan nilai dari unsur-unsur iklim dunia sejak tahun

Lebih terperinci

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d).

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d). TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 14 Informasi Geologi Untuk Penentuan Lokasi TPA UU No.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah 1. Melaksanakan k pengelolaan l sampah dan memfasilitasi i penyediaan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK PERATURAN DAERAH NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TRENGGALEK

PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK PERATURAN DAERAH NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TRENGGALEK PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK PERATURAN DAERAH NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TRENGGALEK 2012-2032 BUPATI TRENGGALEK SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN LAMONGAN

RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN LAMONGAN Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga Naskah Akademis untuk kegiatan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lamongan dapat terselesaikan dengan baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hujan adalah jatuhnya air hujan dari atmosfer ke permukaan bumi dalam wujud cair maupun es. Hujan merupakan faktor utama dalam pengendalian daur hidrologi di suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

AMDAL. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan By Salmani, ST, MS, MT.

AMDAL. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan By Salmani, ST, MS, MT. AMDAL Analisis Mengenai Dampak Lingkungan By Salmani, ST, MS, MT. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UULH = Undang-Undang Lingkungan Hidup no 23 Tahun 1997, yang paling baru adalah UU no 3 tahun 2009 tentang

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Tabel SD-1 Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan Utama Tabel SD-2 Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi/Status... 1

DAFTAR ISI. Tabel SD-1 Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan Utama Tabel SD-2 Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi/Status... 1 DAFTAR ISI A. SUMBER DAYA ALAM Tabel SD-1 Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan Utama... 1 Tabel SD-2 Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi/Status... 1 Tabel SD-3 Luas Kawasan Lindung berdasarkan RTRW dan

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM WILAYAH

KEADAAN UMUM WILAYAH 40 IV. KEADAAN UMUM WILAYAH 4.1 Biofisik Kawasan 4.1.1 Letak dan Luas Kabupaten Murung Raya memiliki luas 23.700 Km 2, secara geografis terletak di koordinat 113 o 20 115 o 55 BT dan antara 0 o 53 48 0

Lebih terperinci

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Menggantikan UU No. 24 Tahun 1992 gg Tentang Penataan Ruang 1 Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB 5 RTRW KABUPATEN

BAB 5 RTRW KABUPATEN BAB 5 RTRW KABUPATEN Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten terdiri dari: 1. Rencana Struktur dan Pola Pemanfaatan Ruang; 2. Rencana Pengelolaan Kawasan Lindung dan Budidaya; 3. Rencana Pengelolaan

Lebih terperinci

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu BAB I PENDAHULUAN Pembangunan pertanian merupakan bagian integral daripada pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur (Ditjen Tanaman Pangan, 1989). Agar pelaksanaan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi I. Keanekaragaman hayati UU No. 5, 1990 Pasal 21 PP No. 68, 1998 UU No. 41, 1999 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya melalui Cagar Alam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemanfaatan sumber daya alam yang semakin meningkat tanpa memperhitungkan kemampuan lingkungan telah menimbulkan berbagai masalah. Salah satu masalah lingkungan di

Lebih terperinci

Sistematika Rancangan Peraturan Presiden tentang RencanaTata Ruang Pulau/Kepulauan dan RencanaTata Ruang Kawasan Strategis Nasional

Sistematika Rancangan Peraturan Presiden tentang RencanaTata Ruang Pulau/Kepulauan dan RencanaTata Ruang Kawasan Strategis Nasional Sistematika Rancangan Peraturan Presiden tentang RencanaTata Ruang Pulau/Kepulauan dan RencanaTata Ruang Kawasan Strategis Nasional Coffee Morning Jakarta, 1 November 2011 DIREKTORAT JENDERAL PENATAAN

Lebih terperinci

19 Oktober Ema Umilia

19 Oktober Ema Umilia 19 Oktober 2011 Oleh Ema Umilia Ketentuan teknis dalam perencanaan kawasan lindung dalam perencanaan wilayah Keputusan Presiden No. 32 Th Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Kawasan Lindung

Lebih terperinci

KEPPRES 114/1999, PENATAAN RUANG KAWASAN BOGOR PUNCAK CIANJUR *49072 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 114 TAHUN 1999 (114/1999)

KEPPRES 114/1999, PENATAAN RUANG KAWASAN BOGOR PUNCAK CIANJUR *49072 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 114 TAHUN 1999 (114/1999) Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 114/1999, PENATAAN RUANG KAWASAN BOGOR PUNCAK CIANJUR *49072 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 114 TAHUN 1999 (114/1999) TENTANG PENATAAN RUANG KAWASAN

Lebih terperinci

PENGELOLAAN DAS TERPADU

PENGELOLAAN DAS TERPADU PENGELOLAAN DAS TERPADU PENGELOLAAN DAS 1. Perencanaan 2. Pelaksanaan 3. Monitoring dan Evaluasi 4. Pembinaan dan Pengawasan 5. Pelaporan PERENCANAAN a. Inventarisasi DAS 1) Proses penetapan batas DAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU - ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU - ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU - ISU STRATEGIS Perencanaan pembangunan antara lain dimaksudkan agar Pemerintah Daerah senantiasa mampu menyelaraskan diri dengan lingkungan. Oleh karena itu, perhatian kepada mandat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Lahan Kritis Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : a. Lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE JAKARTA, MEI 2005 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 48 TAHUN 2012 TENTANG KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2012-2032 DISEBARLUASKAN OLEH : SEKRETARIAT DEWAN SUMBER

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Meureudu, 28 Mei 2013 Bupati Pidie Jaya AIYUB ABBAS

KATA PENGANTAR. Meureudu, 28 Mei 2013 Bupati Pidie Jaya AIYUB ABBAS KATA PENGANTAR Sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 11 ayat (2), mengamanatkan pemerintah daerah kabupaten berwenang dalam melaksanakan penataan ruang wilayah kabupaten

Lebih terperinci

Pangkalanbalai, Oktober 2011 Pemerintah Kabupaten Banyuasin Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal

Pangkalanbalai, Oktober 2011 Pemerintah Kabupaten Banyuasin Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Banyuasin Tahun 2012 2032merupakan suatu rencana yang disusun sebagai arahan pemanfaatan ruang di wilayah Kabupaten Banyuasin untuk periode jangka panjang 20

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi Di SUB DAS CIRASEA

BAB I PENDAHULUAN. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi Di SUB DAS CIRASEA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu kawasan yang berfungsi untuk menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan sampai akhirnya bermuara

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2008 TENTANG PENATAAN RUANG KAWASAN JAKARTA, BOGOR, DEPOK, TANGERANG, BEKASI, PUNCAK, CIANJUR

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2008 TENTANG PENATAAN RUANG KAWASAN JAKARTA, BOGOR, DEPOK, TANGERANG, BEKASI, PUNCAK, CIANJUR PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2008 TENTANG PENATAAN RUANG KAWASAN JAKARTA, BOGOR, DEPOK, TANGERANG, BEKASI, PUNCAK, CIANJUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam ANNY MULYANI Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (naskah ini disalin sesuai aslinya untuk kemudahan navigasi) (sumber : SINAR TANI

Lebih terperinci

TATA RUANG & RUANG AIR TANTANGAN KOTA PALANGKA RAYA SEBAGAI CALON LOKASI PEMINDAHAN IBUKOTA NEGARA

TATA RUANG & RUANG AIR TANTANGAN KOTA PALANGKA RAYA SEBAGAI CALON LOKASI PEMINDAHAN IBUKOTA NEGARA TATA RUANG & RUANG AIR TANTANGAN KOTA PALANGKA RAYA SEBAGAI CALON LOKASI PEMINDAHAN IBUKOTA NEGARA Aris Subagiyo - Jurusan Perencanaan Wilayah & Kota - Universitas Brawijaya Disampaikan dalam Seminar Nasional

Lebih terperinci

REPUBLIK INDONESIA 47 TAHUN 1997 (47/1997) 30 DESEMBER 1997 (JAKARTA)

REPUBLIK INDONESIA 47 TAHUN 1997 (47/1997) 30 DESEMBER 1997 (JAKARTA) Menimbang : PP 47/1997, RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 47 TAHUN 1997 (47/1997) Tanggal: 30 DESEMBER 1997 (JAKARTA) Sumber:

Lebih terperinci

Rencana Tata Ruang Wilayah kota yang mengatur Rencana Struktur dan

Rencana Tata Ruang Wilayah kota yang mengatur Rencana Struktur dan RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA BANJARMASIN 2013-2032 APA ITU RTRW...? Rencana Tata Ruang Wilayah kota yang mengatur Rencana Struktur dan Pola Ruang Wilayah Kota DEFINISI : Ruang : wadah yg meliputi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1

LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1 LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1 LAMPIRAN II CONTOH PETA RENCANA POLA RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 2 LAMPIRAN III CONTOH PETA PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS KABUPATEN L

Lebih terperinci

Bab V POTENSI, MASALAH, DAN PROSPEK PENGEMBANGAN WILAYAH. 5.1 Potensi dan Kendala Wilayah Perencanaan

Bab V POTENSI, MASALAH, DAN PROSPEK PENGEMBANGAN WILAYAH. 5.1 Potensi dan Kendala Wilayah Perencanaan Bab V POTENSI, MASALAH, DAN PROSPEK PENGEMBANGAN WILAYAH 5.1 Potensi dan Kendala Wilayah Perencanaan Dalam memahami karakter sebuah wilayah, pemahaman akan potensi dan masalah yang ada merupakan hal yang

Lebih terperinci

PENGELOLAAN DAN KELESTARIAN KEBERADAAN SUMBER AIR SEBAGAI SALAH SATU UNSUR PENTING KEBUTUHAN MANUSIA

PENGELOLAAN DAN KELESTARIAN KEBERADAAN SUMBER AIR SEBAGAI SALAH SATU UNSUR PENTING KEBUTUHAN MANUSIA PENGELOLAAN DAN KELESTARIAN KEBERADAAN SUMBER AIR SEBAGAI SALAH SATU UNSUR PENTING KEBUTUHAN MANUSIA Disampaikan dalam Kegiatan Pengabdian Pada Masyarakat (PPM) Dosen: PELATIHAN DAN SOSIALISASI PEMBUATAN

Lebih terperinci

BAB VII PERENCANAAN a Konsep Ruang

BAB VII PERENCANAAN a Konsep Ruang 62 BAB VII PERENCANAAN 7.1 KONSEP PERENCANAAN 7.1.1 Konsep Dasar Perencanaan Penelitian mengenai perencanaan lanskap pasca bencana Situ Gintung ini didasarkan pada tujuan mengembalikan fungsi situ mendekati

Lebih terperinci