HUBUNGAN KARAKTERSITIK SOSIAL EKONOMI WILAYAH DENGAN MASALAH GIZI GANDA PADA KELOMPOK USIA BALITA DI WILAYAH PERDESAAN DAN PERKOTAAN INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HUBUNGAN KARAKTERSITIK SOSIAL EKONOMI WILAYAH DENGAN MASALAH GIZI GANDA PADA KELOMPOK USIA BALITA DI WILAYAH PERDESAAN DAN PERKOTAAN INDONESIA"

Transkripsi

1 HUBUNGAN KARAKTERSITIK SOSIAL EKONOMI WILAYAH DENGAN MASALAH GIZI GANDA PADA KELOMPOK USIA BALITA DI WILAYAH PERDESAAN DAN PERKOTAAN INDONESIA DEWI RATIH DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

2 ABSTRACT DEWI RATIH. The Association Between Area s Socio-Economic Characteristics and Double Burden of Malnutrition in Under Five Children Group at Rural and Urban Areas of Indonesia. Under the guidances of YAYUK FARIDA BALIWATI and YAYAT HERYATNO. The aim of this study was to analyzed the association between socioeconomic characteristics and the double burden of malnutrition in under five children group in rural and urban areas of Indonesia. The research was conducted using cross sectional study design, which analyzed the 418 districts in Indonesia. The 318 districts were categorized as rural areas and 100 districts as urban areas). Data of malnutrition, the proportion of mothers complete the compulsory nine-year basic education, and household expenditure percapita were obtained from the Health Research Association (Riskesdas 2007). Data level of poverty and GDP percapita area were obtained from the Central Statistics Agency (BPS). Pearson correlation test was performed to determine the association between socio-economic characteristics and the double burden of malnutrition. The result showed that there was no association between socioeconomic characteristics (the proportion of mothers complete the compulsory nine-year basic education, expenditure percapita, GDP percapita, and the level of poverty) with the double burden of malnutrition in under five children group at rural and urban areas of indonesia. Keywords: socio-economic chracteristics, the double burden of malnutrition

3 RINGKASAN DEWI RATIH. Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi Wilayah dengan Masalah Gizi Ganda pada Kelompok Usia Balita di Wilayah Perdesaan dan Perkotaan Indonesia. Dibimbing oleh YAYUK F. BALIWATI dan YAYAT HERYATNO. Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas. Masalah gizi ganda sangat mengancam kualitas sumber daya manusia suatu bangsa. Berdasarkan Riskesdas tahun 2007 kurang gizi dan gizi lebih masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di banyak wilayah di Indonesia. Prevalensi nasional kurang gizi (gizi buruk dan gizi kurang) pada anak balita adalah 18.4 persen. Sementara itu, prevalensi nasional gizi lebih pada anak balita adalah 4.3 persen. Terdapat beberapa propinsi yang memiliki prevalensi kurang gizi dan gizi lebih melampaui prevalensi nasional yaitu Sumatera Utara, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Maluku dan Papua. Faktor penentu timbulnya masalah gizi akan berbeda di setiap wilayah yang memiliki karakteristik yang berbeda. Wilayah perdesaan dan perkotaan merupakan dua tipe wilayah dengan karakteristik sosial ekonomi yang berbeda. Menurut WHO (2008), masalah gizi merupakan efek kumulatif dari masalah sosial-ekonomi, kesehatan, dan gizi. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mempelajari keterkaitan faktor sosial ekonomi masyarakat dengan masalah gizi ganda pada kelompok usia balita di wilayah perdesaan dan perkotaan Indonesia. Tujuan khusus penelitian adalah (1) Mengetahui karakteristik sosial ekonomi (proporsi ibu lulus wajar, pengeluaran rumah tangga perkapita, PDRB perkapita, dan tingkat kemiskinan di wilayah perdesaan dan perkotaan; (2) Mengetahui masalah kurang gizi (undernutrition), masalah gizi lebih (overnutrition), dan masalah gizi ganda (double burden of malnutrition) pada kelompok usia balita di wilayah perdesaan dan perkotaan; dan (3) Menganalisis hubungan antara karakteristik sosial ekonomi wilayah dengan masalah kurang gizi, masalah gizi lebih, dan masalah gizi ganda pada kelompok usia balita di wilayah perdesaan dan perkotaan. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan desain cross-sectional study. Data yang digunakan adalah data sekunder hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 yang dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan. Selain itu digunakan pula data statistik tingkat kemiskinan dan PDRB kabupaten/kota tahun 2007 (BPS 2008). Pengolahan dan analisis data dilaksanakan pada bulan April-Juni 2011 di Kampus IPB Darmaga Bogor, Jawa Barat. Kerangka sampel penelitian ini adalah seluruh wilayah kabupaten/kota yang tercakup dalam Riskesdas Kriteria inklusi dalam pemilihan sampel penelitian ini adalah: (1) kabupaten/kota yang menjadi sampel Riskesdas 2007; dan (2) memiliki data prevalensi gizi balita, sebaran pendidikan terakhir ibu, pengeluaran rumah tangga perkapita, PDRB perkapita, dan tingkat kemiskinan. Berdasarkan kriteria tersebut diperoleh sebanyak 418 kabupaten/kota yang terdiri atas 318 wilayah dengan karakteristik dominan perdesaan dan 100 wilayah dengan karakteristik dominan perkotaan. Suatu kabupaten/kota dikatakan sebagai wilayah dengan karakteristik dominan perdesaan apabila sebagian besar rumah tangga responden Riskesdas di kabupaten/kota tersebut tinggal di wilayah administratif desa atau kelurahan yang termasuk kategori perdesaan menurut BPS. Hal sebaliknya untuk wilayah kabupaten/kota yang dikatakan wilayah karakteristik dominan perkotaan.

4 Data yang digunakan adalah prevalensi gizi balita, pendidikan terakhir ibu, pengeluaran rumah tangga perkapita, PDRB perkapita, dan tingkat kemiskinan. Data prevalensi gizi balita, pendidikan terakhir ibu, dan pengeluaran rumah tangga perkapita di peroleh dari Riskesdas tahun Data PDRB perkapita dan tingkat kemiskinan diperoleh dari Badan Pusat Statistik tahun Variabel masalah gizi lebih (overnutrition) diperoleh dari prevalensi gizi lebih (overweight). Suatu wilayah dikatakan memiliki masalah gizi lebih apabila gizi lebih di wilayah tersebut sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat menurut Departemen Kesehatan (2000), yaitu prevalensinya melampaui atau sama dengan 5 persen. Variabel masalah kurang gizi (undernutrition) diperoleh dari gabungan antara prevalensi gizi buruk (severe underweight) dan gizi kurang (moderate underweight). Suatu wilayah dikatakan memiliki masalah kurang gizi apabila memiliki prevalensi kurang gizi (gizi buruk dan gizi kurang) melampaui 18.5 persen atau belum dapat mencapai target MDGs. Variabel masalah gizi ganda merupakan variabel komposit dari variabel masalah kurang gizi dan masalah gizi lebih. Suatu wilayah dikatakan memiliki masalah gizi ganda apabila wilayah tersebut memiliki masalah kurang gizi dan masalah gizi lebih secara bersamaan. Wilayah yang tidak memiliki salah satu atau keduanya dari masalah kurang gizi dan masalah gizi lebih tidak dikatakan memiliki masalah gizi ganda. Wilayah yang memiliki masalah gizi ganda diberi skor 1 sedangkan wilayah yang tidak memiliki masalah gizi ganda diber skor 0. Pemberian skor dengan cara yang sama juga dilakukan pada variabel masalah kurang gizi dan masalah gizi lebih. Data yang diperoleh dan terkumpul dianalisa dengan menggunakan Microsoft Excel 2007 for windows dan SPSS 16.0 for windows. Tahap pengolahan data pertama adalah cleaning dan editing, kemudian dipilih berdasarkan variabel yang akan diteliti. Analisis statistik yang dilakukan yaitu statistik deskriptif dan statistik inferensia. Statistik deskripif meliputi frekuensi, rata-rata, dan tabulasi silang sedangkan statistik inferensia meliputi uji kemaknaan, uji beda, dan uji hubungan. Perbedaan nilai statistik variabel sosial ekonomi antara wilayah perdesaan dan perkotaan dianalisis menggunakan uji Independent Sample T-test. Hubungan kemaknaan antara masalah gizi ganda dengan tipe wilayah (perdesaan dan perkotaan) dianalisis menggunakan uji Chi- Square. Hubungan antar variabel dianalisis menggunakan uji korelasi Moment Pearson. Proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun di wilayah perdesaan adalah sebesar 46.5 persen. Proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun di wilayah perkotaan hampir dua kali lipat dari di perdesaan yaitu sebesar 72.9 persen. Pengeluaran perkapita di perdesaan sebesar 242 ribu rupiah/bulan, lebih rendah dari perkotaan yaitu 372 ribu rupiah/bulan. Wilayah perdesaan memiliki PDRB perkapita 9.3 juta rupiah/tahun. PDRB perkapita wilayah perkotaan lebih tinggi dari pada PDRB perkapita wilayah perdesaan yaitu 16.6 juta rupiah/tahun. Tingkat kemiskinan di perdesaan adalah 20.4 sementara di perkotaan adalah 16.6 persen. Wilayah perdesaan lebih banyak memiliki wilayah miskin dibanding wilayah perkotaan. Sebanyak 63.2 persen wilayah perdesaan merupakan wilayah miskin. Hanya 8 persen wilayah perkotaan yang termasuk kategori miskin. Masalah kurang gizi lebih banyak terjadi di perdesaan. Sebanyak 60.7 persen wilayah perdesaan memiliki masalah kurang gizi. Wilayah perkotaan yang memiliki masalah kurang gizi adalah sebanyak 23.0 persen. Kejadian masalah gizi lebih di perdesaan lebih dibanding di perkotaan. Wilayah perdesaan dengan masalah gizi lebih adalah 32.4 persen sedangkan wilayah perkotaan adalah 39 persen. Hasil penelitian menunjukkan wilayah perdesaan yang memiliki masalah

5 gizi ganda adalah sebanyak 15.4 persen. Jumlah tersebut dua kali lebih banyak dibanding di wilayah perkotaan yang hanya sebanyak 7.0 persen wilayahnya memiliki gizi ganda. Proporsi ibu balita yang menuntaskan wajar sembilan tahun berhubungan nyata dengan masalah kurang gizi di perdesaan tapi tidak berhubungan nyata dengan masalah kurang gizi di perkotaan. Adanya peningkatan proporsi ibu lulus wajar akan menurunkan kecenderungan timbulnya masalah kurang gizi di wilayah perdesaan. Proporsi ibu lulus wajar berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di perkotaan tapi tidak berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di perdesaan. Peningkatan proporsi ibu yang menuntaskan wajib belajar akan meningkatkan kecenderungan timbulnya masalah gizi lebih di wilayah perkotaan. Tidak terdapat hubungan yang nyata antara proporsi ibu lulus wajar dengan masalah gizi ganda baik di perdesaan maupun perkotaan. Terdapat hubungan nyata antara pengeluaran rumah tangga dengan masalah kurang gizi di perkotaan tapi tidak di perdesaan. Pengeluaran rumah tangga berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di perkotaan tapi tidak di perdesaan. Peningkatan pengeluaran rumah tangga akan menurunkan kecenderungan timbulnya masalah kurang gizi dan meningkatkan kecenderungan timbulnya masalah gizi lebih di wilayah perkotaan. Tidak terdapat hubungan nyata antara pengeluaran rumah tangga dengan masalah gizi ganda baik di perdesaan maupun di perkotaan. PDRB perkapita tidak berhubungan nyata dengan masalah kurang gizi baik di perdesaan dan perkotaan. PDRB perkapita juga tidak berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di perdesaan dan perkotaan. Hubungan nyata juga tidak ditemukan antara PDRB perkapita dengan masalah gizi ganda di perdesaan dan perkotaan. Tingkat kemiskinan berhubungan nyata dengan masalah kurang gizi di perdesaan tapi tidak di perkotaan. Adanya peningkatan tingkat kemiskinan akan meningkatkan kecenderungan timbulnya masalah kurang gizi di wilayah perdesaan. Sementara itu, tingkat kemiskinan tidak berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di perdesaan dan di perkotaan. Tingkat kemiskinan juga tidak berhubungan nyata dengan masalah gizi ganda di perdesaan dan perkotaan. Selain melakukan penanggulangan terhadap masalah kurang gizi pada kelompok usia balita, pemerintah harus mulai memperhatikan masalah gizi lebih yang mulai terjadi di perdesaan maupun perkotaan karena jika dibiarkan akan menjadi faktor penentu keberlangsungan kualitas generasi masa depan. Diperlukan upaya percepatan penuntasan wajib belajar sembilan tahun serta upaya untuk menurunkan tingkat kemiskinan terutama di wilayah perdesaan yang masih memiliki angka kurang gizi yang tinggi. Sementara itu, diperlukan upaya peningkatan pengetahuan gizi serta daya beli masyarakat perkotaan agar dapat menurunkan masalah kurang gizi serta gizi lebih. Dengan demikian, diharapkan dapat menurunkan pula masalah gizi ganda di perdesaan dan perkotaan. Masalah gizi ganda yang tidak berhubungan dengan karakteristik sosial ekonomi merupakan gejala yang harus diperhatikan. Hal ini menandakan bahwa masalah kurang gizi masih menjadi masalah serius dan masalah gizi lebih pun menjadi masalah yang mulai muncul di berbagai wilayah termasuk wilayah dengan karakteristik sosial ekonomi yang rendah.

6 HUBUNGAN KARAKTERSITIK SOSIAL EKONOMI WILAYAH DENGAN MASALAH GIZI GANDA PADA KELOMPOK USIA BALITA DI WILAYAH PERDESAAN DAN PERKOTAAN INDONESIA DEWI RATIH Skripsi Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

7 Judul : Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi Wilayah dengan Masalah Gizi Ganda pada Kelompok Usia Balita di Wilayah Perdesaan dan Perkotaan Indonesia Nama : Dewi Ratih NIM : I Menyetujui, Dosen Pembimbing I Dosen pembimbing II Dr. Ir. Yayuk F. Baliwati, MS Yayat Heryatno, SP, MPS Mengetahui, Ketua Departemen Gizi Masyarakat Dr. Ir. Budi Setiawan, MS Tanggal Lulus:

8 i KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi Wilayah dengan Masalah Gizi Ganda pada Kelompok Usia Balita di Wilayah Perdesaan dan Perkotaan Indonesia. Penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS dan Yayat Heryatno, SP, MPS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini. 2. Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar, MS sebagai dosen pemandu seminar dan Katrin Roosita, SP, MSi sebagai dosen penguji atas saran-saran untuk perbaikan skripsi ini. 3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan yang telah mengizinkan penulis menggunakan data untuk penelitian. 4. Keluarga tercinta atas restu dan kasih sayangnya. 5. Keluarga besar Fakultas Ekologi Manusia atas semua ilmu, pengalaman, dan kebersamaan selama ini. 6. Keluarga besar Asrama Putri Darmaga atas persaudaraan dan persahabatan yang dijalin dengan penulis. 7. Teman-teman dan seluruh pihak yang telah banyak membantu dan mendukung penulis selama ini. Bogor, September 2011 Penulis

9 ii RIWAYAT PENULIS Penulis dilahirkan di Sukabumi, 22 Januari 1988 dari pasangan Bapak Rahmat Suhenda dan Ibu Rosiah yang merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Penulis memulai pendidikan di SDN 1 Cikelat tahun 1994, kemudian dilanjutkan ke SLTP PGRI 1 Cisolok tahun 2000 dan lulus dari SMAN 1 Cisolok tahun Selanjtunya pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selanjutnya pada tahun 2007, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), IPB dengan Mayor Ilmu Gizi dan Minor Ilmu Komunikasi. Selama kuliah, penulis aktif di beberapa organisasi, diantaranya Ikatan Keluarga Muslim TPB (IKMT) tahun 2006, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FEMA tahun 2007, Forum Syiar Islam FEMA (FORSIA) tahun 2007, dan Asrama Putri Darmaga (APD) IPB tahun , Penulis pernah mengikuti program Pekan Kreativitas Mahasiswa Bidang Pengabdian Masyarakat (PKMM) dengan tiga judul berbeda dan didanai oleh DIKTI pada tahun 2007, 2008, dan Pada tahun , penulis juga pernah aktif mejadi pendamping Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya) binaan P2SDM-LPPM IPB, Posdaya Melati di Jampang Kulon, Sukabumi. Pada tahun 2009, penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Kecamatan Bogor Selatan, Kabupaten Bogor. Selain itu, pada tahun 2010 penulis juga melaksanakan Internship Dietetika (ID) di Rumah Sakit Karya Bhakti, Bogor. Selain itu penulis juga berkesempatan menjadi asisten praktikum mata kuliah Analisis Data Pangan dan Gizi tahun 2010 serta mata kuliah Perencanaan Pangan dan Gizi tahun

10 iii DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... iv PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 3 Hipotesis Penelitian... 3 Kegunaan Penelitian... 4 TINJAUAN PUSTAKA... 5 Masalah Gizi Ganda... 5 Karakteristik Sosial Ekonomi... 9 Pendidikan Ibu... 9 Pengeluaran rumah tangga perkapita Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kemiskinan Perdesaan dan Perkotaan KERANGKA PEMIKIRAN METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisis Data Definisi Operasional HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sosial Ekonomi Gambaran Umum Status Gizi Balita di Indonesia Masalah Kurang Gizi, Gizi Lebih dan Gizi Ganda Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi dengan Masalah Kurang Gizi, Masalah Gizi Lebih, dan Masalah Gizi Ganda Proporsi Ibu Lulus Wajib Belajar (Wajar) 9 Tahun Pengeluaran Rumah Tangga Perkapita Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Perkapita Tingkat Kemiskinan KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 39

11 iv DAFTAR TABEL Halaman 1 Kriteria status gizi berdasarkan Z-score BB/U menurut WHO Target dan indikator tujuan pertama MDGs Kriteria masalah kesehatan masyarakat menurut prevalensi masalah gizi Jenis data yang dikumpulkan Keragaan statistik variabel sosial ekonomi wilayah kabupaten/kota Proporsi status gizi balita menurut indikator BB/U Sebaran wilayah kabupaten/kota menurut masalah kurang gizi, masalah gizi lebih, dan masalah gizi ganda Sebaran wilayah kabupaten/kota dengan masalah gizi ganda serta bebas masalah kurang gizi dan masalah gizi lebih menurut Riskesdas Sebaran wilayah kabupaten/kota dengan masalah gizi ganda menurut karakteristik sosial ekonomi wilayah Rata-rata variabel sosial ekonomi wilayah menurut masalah gizi ganda Hubungan proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun dengan masalah gizi Hubungan pengeluaran rumah tangga perkapita dengan masalah gizi Hubungan PDRB perkapita dengan masalah gizi Hubungan tingkat kemiskinan dengan masalah gizi Hubungan variabel sosial ekonomi dengan masalah kurang gizi, masalah gizi lebih, dan masalah gizi ganda... 32

12 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan nasional adalah usaha untuk meningkatkan kualitas dan perikehidupan manusia dan masyarakat Indonesia yang dilakukan secara terus menerus, berlandaskan kemampuan nasional dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan tantangan perkembangan global. Fokus pembangunan itu sendiri tidak terbatas pada pembangunan fisik semata tetapi pembangunan nonfisik dengan konsep pembangunan manusia. Tujuan utama pembangunan nasional adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas, yaitu yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat dan kesehatan yang prima disamping penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Sumber daya manusia yang berkualitas merupakan faktor penting dalam upaya meningkatkan produktivitas dan daya saing bangsa pada persaingan global. Namun, ada banyak hal yang dapat menyebabkan menurunnya kualitas sumber daya manusia. Masalah gizi ganda merupakan masalah yang sedang dihadapi banyak negara, terutama negara berkembang. Masalah ini sangat mengancam kualitas sumber daya manusia suatu bangsa. Menurut FAO (2006), masalah gizi ganda merupakan keadaan suatu populasi yang memiliki masalah kurang gizi (undernutrition) dan masalah gizi lebih (overnutrition) yang terjadi pada saat yang bersamaan. WHO (2005) mengemukakan bahwa ada 170 juta anak balita kurus di dunia, 3 juta diantaranya akan meninggal setiap tahunnya akibat kurus. Akan tetapi, WHO juga memperkirakan setidaknya sebanyak 20 juta anak balita yang mengalami kegemukan. Masalah gizi ganda semakin meningkat di negara berkembang. Demikian pula halnya Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang memiliki masalah gizi ganda ditandai dengan adanya masalah kurang gizi dan gizi lebih yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, gizi buruk (severe underweight) dan gizi kurang (moderate underweight) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di banyak wilayah di Indonesia. Prevalensi nasional gizi buruk pada anak balita adalah 5.4 persen, dan gizi kurang pada balita adalah 13.0 persen.

13 2 Balita yang kurang gizi mempunyai risiko meninggal lebih tinggi dibandingkan balita yang tidak kurang gizi. Setiap tahun kurang lebih 11 juta balita di seluruh dunia meninggal karena penyakit-penyakit infeksi seperti ISPA, diare, malaria, campak, dan lain-lain. Ironisnya, sebanyak 54 persen dari kematian tersebut berkaitan dengan kurang gizi (Hadi 2005). Menurut Mahgoub (2006), kurang gizi berpengaruh terhadap pertumbuhan fisik, tingkat kesakitan, tingkat kematian, perkembangan kognitif, reproduksi, dan kemampuan kerja fisik. Sementara itu, gizi lebih mulai menjadi masalah di berbagai wilayah di Indonesia (Hadi 2005). Prevalensi nasional gizi lebih pada anak balita adalah 4.3 persen. Masalah gizi lebih pada anak-anak merupakan salah satu masalah yang sedang mendapat perhatian banyak negara. Setengah dari anak yang mengalami kelebihan berat badan atau obesitas akan tumbuh menjadi orang dewasa yang obesitas. Seperti telah diketahui, obesitas merupakan faktor risiko berbagai masalah kesehatan kronis seperti diabetes tipe 2, penyakit jantung koroner, hipertensi, dan berbagai jenis kanker (FAO 2006). Terdapat beberapa propinsi yang memiliki prevalensi kurang gizi dan gizi lebih secara bersamaan melampaui prevalensi nasional yaitu Sumatera Utara, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Maluku dan Papua. Menurut FAO (2006), tingginya angka kurang gizi dan gizi lebih seringkali dianggap sebagai isu yang terpisah antara masyarakat miskin dan kaya tapi pada kenyataannya keduanya meningkat sejalan dengan meningkatnya kemiskinan. Fenomena ini yang kemudian berkembang menjadi masalah gizi ganda yang umumnya terjadi di negara-negara berkembang. Besarnya kejadian masalah gizi berbeda antar wilayah. Berdasarkan Riskesdas 2007, prevalensi kurang gizi berbeda antara di perdesaan dengan di perkotaan, demikian pula dengan prevalensi gizi lebih. Prevalensi kurang gizi (gizi kurang dan gizi buruk) di perdesaan sebesar 20.0 persen sedangkan di perkotaan sebesar 16.9 persen. Sementara itu prevalensi gizi lebih di perdesaan sebesar 3.9 persen dan di perkotaan 4.9 persen. Menurut Fotso (2008), anak yang berada di perdesaan lebih berisiko untuk mengalami masalah gizi, terkena penyakit, dan meninggal dibanding anak yang berada di perdesaan. Salah satu penyebabnya adalah adanya perbedaan karakteristik sosial ekonomi seperti pendidikan ibu dan pendapatan rumah tangga antara wilayah perdesaan dan perkotaan. Sobalia (2009) menyatakan bahwa tingkat sosial ekonomi mempunyai dampak signifikan pada status gizi.

14 3 Menurut Bappenas (2007), masalah gizi berawal dari ketidakmampuan rumah tangga mengakses pangan, baik karena masalah ketersediaan di tingkat lokal, kemiskinan, pendidikan dan pengetahuan akan pangan dan gizi, serta perilaku masyarakat. Jika permasalahan gizi yang ada tidak segera diatasi, maka dalam jangka menengah dan panjang akan terjadi kehilangan generasi yang dapat mengganggu kelangsungan kepentingan bangsa dan negara. Hal ini akan berdampak pada tingginya angka kesakitan dan kematian, penurunan kemampuan belajar, anggaran kesehatan yang meningkat serta penurunan produktivitas kerja. Oleh karena itu perlu dianalisis hubungan karakteristik sosial ekonomi dengan masalah gizi ganda. Dengan demikian, masalah gizi ganda diharapkan dapat segera dicegah dan diatasi. Tujuan Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mempelajari keterkaitan faktor sosial ekonomi wilayah dengan masalah gizi ganda pada kelompok usia balita di wilayah perdesaan dan perkotaan Indonesia. Tujuan khusus penelitian adalah: 1. Mengetahui karakteristik sosial ekonomi (proporsi ibu lulus wajib belajar, pengeluaran rumah tangga perkapita, PDRB perkapita, dan tingkat kemiskinan di wilayah perdesaan dan perkotaan; 2. Mengetahui masalah kurang gizi (undernutrition), masalah gizi lebih (overnutrition), dan masalah gizi ganda (double burden of malnutrition) pada kelompok usia balita di wilayah perdesaan dan perkotaan; dan 3. Menganalisis hubungan antara karakteristik sosial ekonomi wilayah dengan masalah kurang gizi, masalah gizi lebih, dan masalah gizi ganda pada kelompok usia balita di wilayah perdesaan dan perkotaan. Hipotesis Penelitian Beberapa hipotesis yang diajukan antara lain: 1. Semakin tinggi proporsi ibu lulus wajib belajar 9 tahun maka kecenderungan timbulnya masalah gizi ganda pada kelompok usia balita di suatu wilayah semakin rendah; 2. Semakin tinggi pengeluaran rumah tangga perkapita maka kecenderungan timbulnya masalah gizi ganda pada kelompok usia balita di suatu wilayah semakin rendah;

15 4 3. Semakin tinggi PDRB perkapita maka kecenderungan timbulnya masalah gizi ganda pada kelompok usia balita di suatu wilayah semakin rendah; dan 4. Semakin tinggi tingkat kemiskinan maka kecenderungan timbulnya masalah gizi ganda pada kelompok usia balita di suatu wilayah semakin tinggi. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menyediakan informasi mengenai masalah gizi ganda pada anak balita kaitannya dengan karakteristik sosial ekonomi. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan pemerintah dan pihak terkait untuk memutuskan suatu kebijakan atau program intervensi terkait dengan masalah akses sosial dan ekonomi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

16 5 TINJAUAN PUSTAKA Masalah Gizi Ganda Pembangunan suatu bangsa bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan setiap warga negara. Peningkatan kemajuan dan kesejahteraan bangsa sangat tergantung pada kemampuan dan kualitas sumberdaya manusianya. Ukuran kualitas sumberdaya manusia dapat dilihat pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM), sedangkan ukuran kesejahteraan masyarakat antara lain dapat dilihat pada tingkat kemiskinan dan status gizi masyarakat. Akan tetapi saat ini Indonesia masih memiliki masalah gizi, baik masalah kurang gizi maupun masalah gizi lebih (Bappenas 2007). Masalah gizi dapat diketahui melalui keadaan status gizi masyarakat. Antropometri merupakan cara pengukuran status gizi yang sering digunakan di masyarakat. Cara pengukuran status gizi ini digunakan secara luas karena pengukurannya yang murah dan mudah untuk dilakukan. Penelitian memperlihatkan bahwa hasil pengukuran antropometri dapat menunjukkan sasaran yang tepat pemberian intervensi gizi, mengidentifikasi kesenjangan sosial ekonomi masyarakat, dan mengevaluasi respon suatu intervensi terhadap masalah gizi (Cogill 2001). Status gizi dapat dilihat melalui indikator berat badan terhadap umur (BB/U), tinggi badan terhadap umur (TB/U), atau berat badan terhadap tinggi badan (BB/TB). Berat badan terhadap umur (BB/U) merefleksikan massa tubuh dalam hubungannya dengan umur kronologi (Riyadi 2001). Indikator BB/U memberikan gambaran tentang status gizi yang sifatnya umum, tidak spesifik. Tinggi rendahnya prevalensi kurang gizi yang diukur dengan indikator BB/U mengindikasikan ada tidaknya masalah gizi pada balita, tetapi tidak memberikan indikasi apakah masalah gizi tersebut bersifat kronis atau akut (Depkes 2008). Menurut Depkes (2008), untuk menilai status gizi anak balita melalui indikator BB/U, dilakukan dengan mengkonversi angka berat badan meneurut umur ke dalam bentuk nilai terstandar (Z-score) dengan menggunakan baku antropometri WHO Selanjutnya berdasarkan nilai Z-score masing-masing indikator tersebut, status gizi balita dikelompokkan menjadi gizi buruk (severe undeweight), gizi kurang (moderate underweight), gizi baik, dan gizi lebih. Tabel 1 menyajikan pengelompokan status gizi menurut Z-score BB/U.

17 6 Tabel 1 Kriteria status gizi berdasarkan Z-score BB/U menurut WHO 2006 Indikator Kategori Z-score Gizi buruk < -3.0 BB/U Gizi kurang >=-3.0 s/d Z-score <-2.0 Gizi baik >=-2.0 s/d Z-score <=2.0 Gizi lebih >2.0 Sumber: Depkes 2008 Millenium Development Goals (MDGs) yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai tujuan pembangunan milenium merupakan paradigma pembangunan global yang disepakati secara internasional oleh 189 negara anggota PBB dalam KTT milenium PBB bulan september 2000 silam. Majelis umum PBB kemudian melegalkannya ke dalam Resolusi Majelis Umum PBB No 55/2 tanggal 18 September 2000 tentang Deklarasi milenium perserikatan bangsa-bangsa (Bappenas 2007). Terdapat delapan tujuan yang dirumuskan dalam MDGs yaitu: (1) Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan; (2) Mencapai pendidikan dasar untuk semua; (3) Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; (4) Menurunkan angka kematian anak; (5) Meningkatkan kesehatan ibu; (6) Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya; (7) Memastikan kelestarian lingkungan hidup; dan (8) Membangun kemitraan global untuk pembangunan (lebih rinci dapat dilihat di lampiran 2). Tabel 2 Target dan indikator tujuan pertama MDGs No Target Indikator 1 Menurunkan proporsi penduduk yang tingkat pendapatannya di a) Persentase penduduk dengan pendapatan di bawah US$1 (PPP) per hari. bawah US$1 perhari menjadi b) Persentase penduduk dengan tingkat setengahnya dalam kurun waktu konsumsi di bawah garis kemiskinan nasional. c) Indeks kedalaman kemiskinan. d) Indeks keparahan kemiskinan. e) Proporsi konsumsi penduduk termiskin 2 Menurunkan proporsi penduduk yang menderita kelaparan menjadi setengahnya dalam kurun waktu Sumber: Bappenas 2007 (kuantil pertama). a) Persentase anak-anak berusia di bawah 5 tahun yang mengalami gizi buruk (severe underweight). b) Persentase anak-anak berusia di bawah 5 tahun yang mengalami gizi kurang (moderate underweight). Setiap tujuan tersebut memiliki memiliki target dan indikator masingmasing. Tujuan pertama MDGs yaitu menanggulangi kemiskinan dan kelaparan memiliki dua target. Tabel 2 menyajikan target dan indikator untuk mencapai tujuan pertama MDGs. Prevalensi balita dengan gizi buruk dan gizi kurang

18 7 merupakan indikator yang dipakai untuk mencapai target kedua dari tujuan pertama MDGs. Indonesia dikatakan sudah dapat menurunkan proporsi pendduk yang menderita kelaparan menjadi setengahnya dalam kurun waktu apabila pada tahun 2015 prevalensi balita yang mengalami gizi buruk dan gizi kurang sebesar 18.5 persen (Bappenas 2007 dan Depkes 2008). Walaupun masalah gizi lebih tidak termasuk ke dalam target ataupun indikator MDGs akan tetapi adanya masalah gizi lebih harus diperhatikan pula. Menurut BPPSDMK (2011), bersamaan dengan masalah kurang gizi yang tinggi, fenomena gizi lebih merupakan ancaman yang serius karena terjadi di berbagai strata ekonomi, pendidikan, desa-kota, dan lain sebagainya. Menurut Menteri Kesehatan RI, Indonesia masih menghadapi masalah-masalah kurang gizi terutama yang kronis dan akut, disisi lain juga harus segera menanggulangi masalah gizi lebih yang sampai saat ini merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit degeneratif. Meskipun prevalensi gizi lebih sudah mengkhawatirkan, tapi keberadaannya sebagai suatu ancaman nyata bagi kesehatan belum banyak disadari masyarakat. Berdasarkan prevalensi ambang batas penentuan besaran masalah gizi Direktorat Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan RI tahun 2000, gizi buruk menjadi masalah kesehatan masyarakat apabila prevalensinya lebih dari atau sama dengan 1 persen, sedangkan gizi kurang dan gizi lebih menjadi masalah kesehatan masyarakat apabila prevalensinya lebih dari atau sama dengan 5 persen. Tabel 3 menyajikan kategori ambang batas masalah gizi sebagai masalah kesehatan masyarakat menurut Departemen Kesehatan RI tahun Tabel 3 Kriteria masalah kesehatan masyarakat menurut prevalensi masalah gizi Masalah gizi Bebas Masalah Berdasarkan prevalensi Masalah Masalah Ringan Sedang Masalah Berat Gizi buruk (severe underweight) < 1% 1% Gizi kurang (moderate underweight) < 5% 5-9.9% % >20% Gizi lebih (overweight) < 5% 5-9.9% % >20% Sumber: Direktorat Gizi Masyarakat, Depkes (2000) dalam Ali AR (2007) Masalah gizi ganda merupakan keadaan pada suatu masyarakat dengan masalah kurang gizi dan masalah gizi lebih yang terjadi bersamaan. Fenomena masalah gizi ganda semakin banyak terjadi terutama di negara-negara berkembang. Fenomena ini tidak terbatas pada negara berkembang dengan pendapatan tinggi tapi juga terjadi di seluruh dunia. Masalah gizi ganda pada

19 8 berbagai negara dengan budaya dan kebiasaan makan yang berbeda-beda. Ada banyak bukti menunjukkan bahwa ketika kondisi ekonomi meningkat, obesitas dan penyakit tidak menular pun meningkat dengan angka gizi kurang yang tinggi pula (FAO 2006). Menurut Kimani-Murage et al. (2010), transisi gizi merupakan penyebab utama dibalik terjadinya masalah gizi ganda. Transisi gizi merupakan fenomena yang ada di masyarakat dimana kurang gizi dan gizi lebih menjadi masalah kesehatan secara bersamaan di masyarakat tersebut. Transisi pola makan berupa perubahan komposisi diet tradisional yang umumnya berasal dari tanaman yang rendah lemak dan kaya serat ke diet al.a barat yang kayak energi dan rendah serat merupakan salah satu penyebabnya. Popkin (2003) menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat menyebabkan adanya transisi gizi adalah adanya transisi laju ekonomi, urbanisasi, globalisasi, teknologi, dan perubahan sosial. Ini adalah fenomena yang ditemui di negara-negara berkembang yang sedang mengalami peningkatan laju ekonomi. Menurut Lanigan dan Singhal (2008), kurang gizi adalah faktor risiko yang serius untuk masalah kesehatan dan menambah banyak sekali beban penyakit di negara dengan pendapatan rendah-menengah. Kurang gizi pada masa anakanak meningkatkan risiko-risiko yang merugikan pada tahapan kehidupan berikutnya seperti gangguan perkembangan kognitif, pencapaian pendidikan yang rendah, rentan terkena berbagai penyakit kronis dan mengalami kelebihan berat badan bahkan obesitas. Kurang gizi berhubungan dengan tingginya prevalensi penyakit infeksi. Pada populasi yang mengalami transisi epidemiologi dan demografi peningkatan gizi lebih dan obesitas mulai terlihat seiring dengan kurang gizi dan dan penyakit infeksi pun masih tinggi. Gizi lebih dan obesitas termasuk ke dalam kategori sepuluh faktor risiko tertinggi berbagai penyakit tidak menular (WHO 2002). Menurut Hadi (2005), pembangunan bidang kesehatan nasional akan semakin berat dengan adanya masalah gizi ganda karena baik kurang gizi maupun gizi lebih sangat erat kaitannya dengan aspek kesehatan yang lain. Masih besarnya beban masalah kesehatan yang bersumber dari defisiensi gizi dan penyakit infeksi disatu sisi dan makin meningkatnya masalah kesehatan yang bersumber dari masalah gizi lebih dan penyakit-penyakit degeneratif disisi lain perlu diantisipasi dengan melakukan perubahan kebijakan yang mendasar

20 9 dalam upaya pelayanan kesehatan, baik upaya pelayanan kesehatan perorangan maupun upaya pelayanan kesehatan masyarakat. Karakteristik Sosial Ekonomi Masalah gizi merupakan efek kumulatif dari masalah sosial-ekonomi, kesehatan, dan gizi (WHO 2008). Riset menunjukkan bahwa tingkat sosial ekonomi keluarga anak mempunyai dampak signifikan pada pertumbuhan dan perkembangan. Pada semua usia anak dari keluarga kelas atas dan menengah mempunyai tinggi badan lebih dari keluarga strata sosial ekonomi rendah. Penyebab perbedaan ini kurang jelas, meskipun kesehatan dan gizi yang kurang baik pada tingkat sosial ekonomi rendah mungkin merupakan faktor signifikan. Sumber makanan bergizi (khususnya protein) sulit didapatkan, dan faktor lain (misalnya ukuran keluarga besar dan ketidakteraturan dalam makan, tidur, dan latihan fisik) dapat memainkan peran. Keluarga dari kelompok sosial ekonomi rendah mungkin kurang memiliki pengetahuan atau sumber daya yang diperlukan untuk memberikan lingkungan yang aman, menstimulasi, dan kaya gizi yang membentuk perkembangan optimal (Fotso et al. 2008). Pendidikan Ibu Salah satu faktor sosial ekonomi yang ikut mempengaruhi tumbuh kembang anak adalah pendidikan. Pendidikan yang tinggi diharapkan sampai kepada tingkah laku yang baik. Tingkat pendidikan ibu yang rendah memiliki konsekuensi terhadap rendahnya kemampuan ekonomi dan pengetahuan gizi. Tingkat pendidikan ibu yang rendah mengurangi peluang untuk mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang relatif tinggi, sehingga kemampuan untuk menyediakan makanan dengan kualitas dan kuantitas yang cukup juga terbatas, apalagi dengan tingkat pengetahuan gizi yang rendah (Nurmiati 2006).. Menurut Sobalia (2009) Keadaan gizi seorang anak banyak ditentukan oleh perilaku pengasuhnya. Kekurangan gizi bisa pula muncul akibat ketidaktahuan. Berbagai penelitian menunjukkan peningkatan pendidikan ibu di suatu negara merupakan komponen penting dalam menurunkan prevalensi kurang gizi di negara tersebut. Pengetahuan dan pendidikan orang tua sangat penting dalam menentukan status gizi keluarga, karena pendidikan seseorang dapat membantu sampainya informasi tentang kesehatan juga gizi, sehingga kurangnya pendidikan merupakan penyebab tidak langsung timbulnya masalah gizi pada anak.

21 10 Tingkat pengetahuan akan mempengaruhi konsumsi melalui pemilihan pangan. Orang yang berpendidikan lebih tinggi cenderung memilih makanan yang lebih baik dalam jumlah dan mutunya dibandingkan mereka yang berpendidikan rendah (Mariani 2002). FAO (1989) menyatakan tingkat pendidikan ibu, status kesehatan, dan lingkungan hidup dapat berpengaruh terhadap apa dan berapa banyak penduduk mengkonsumsi pangan serta terhadap status gizinya. Kurang makan dan kurang gizi karena berbagai faktor seperti rendahnya persediaan pangan, pendidikan, serta kondisi kesehatan dapat menimbulkan dampak serius dan berakhir lama pada kesehatan tubuh individu dan keluarga. Saat ini, pemerintah Indonesia menjalankan program wajib belajar (Wajar) 9 tahun. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2008 Tentang Wajib Belajar. Pengertian wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah. Pendidikan dasar tersebut adalah jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah, berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTS), atau bentuk lain yang sederajat. Pengeluaran rumah tangga perkapita Data-data sosial di Indonesia yang berasal dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), mengukur kesejahteraan bukan dari pendapatan tetapi dari konsumsi atau pengeluaran. Setiap rumah tangga sampel mempunyai data total pengeluaran perbulan (dalam rupiah), tetapi ini bukan secara langsung menjadi ukuran kesejahteraan karena harus dilihat dulu berapa jumlah anggota rumah tangganya. Jika total pengeluaran perbulan dibagi dengan jumlah anggota rumah tangga maka akan diperoleh data pengeluaran rumah tangga perkapita perbulan. Pengeluaran rumah tangga perkapita inilah yang digunakan sebagai ukuran kesejahteraan penduduk dan rumah tangga. Angka kemiskinan, indeks ketimpangan kemiskinan, indeks keparahan kemiskinan dan gini rasio, semua perhitungaannya merujuk ke pengeluaran rumah tangga perkapita ini (Andi 2006). Pengeluaran rumah tangga perkapita merupakan salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran keadaan kesejahteraan penduduk.

22 11 Pengeluaran rumah tangga perkapita mencerminkan pendapatan keluarga (Sugianti 2009). Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu daerah dalam satu periode tertentu adalah data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. PDRB pada dasarnya merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu daerah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir (netto) yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi (BPS 2009). PDRB berasal dari sembilan sektor usaha yang terdiri atas: (1) pertanian, (2) pertambangan dan penggalian, (3) industri pengolahan, (4) listrik, gas, dan air bersih, (5) bangunan (konstruksi), (6) perdagangan, hotel, dan restoran, (7) pengangkutan dan komunikasi, (8) keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan, serta (9) jasa-jasa termasuk pelayanan pemerintah (BPS 2005). PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahun. Sementara itu, PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai harga dasar. PDRB atas dasar harga berlaku dapat digunakan untuk melihat pergeseran dan struktur ekonomi, sedangkan harga konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun (BPS 2009). Nilai PDRB dibagi menjadi dua, yaitu PDRB yang dihitung dengan migas dan PDRB yang dihitung tanpa migas. PDRB dengan migas menunjukkan keseluruhan nilai barang dan jasa yang dihasilkan ditambah dengan sektor migas. Sumber daya migas merupakan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui sehingga suatu saat akan habis. Dengan adanya pembagian PDRB ini dapat menunjukkan perkembangan besarnya nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu wilayah di masa yang akan datang, sehingga dapat diketahui besarnya PDRB wilayah tersebut saat sumber daya migas sudah habis (BPS 2005). Data PDRB adalah salah satu indikator ekonomi makro yang dapat menunjukkan kondisi perekonomian daerah setiap tahun (BPS 2009). Sementara itu, PDRB perkapita adalah indikator makro yang secara agregat dapat

23 12 digunakan untuk menggambarkan kondisi kesejahteraan masyarakat dari gerak pertumbuhan ekonomi di daerah yang bersangkutan (Bappenas 2008). Kemiskinan Kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar manusia antara lain adalah terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, bagi laki-laki maupun perempuan (Bappenas 2004 dalam Harniati 2008). Menurut Bappenas (2008), angka kemiskinan memberi gambaran mengenai intensitas penduduk dengan tingkat pendapatan terendah di perekonomian. Kemiskinan merupakan hulu dari berbagai permasalahan yang ada seperti tingginya angka kesakitan dan kematian, pengangguran, gizi buruk, serta rendahnya kualitas sumber daya manusia (Trihono dan Gitawati 2009). Menurut Bappenas (2008), salah satu akibat kemiskinan adalah ketidakmampuan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam jumlah dan kualitas yang baik. harus dapat menurunkan tingkat kemiskinan setiap rumah tangga untuk dapat mewujudkan ketahanan pangan dan gizi serta memberikan akses kepada pendidikan dan pelayanan kesehatan. Dari berbagai faktor penyebab masalah gizi, kemiskinan dinilai memiliki peranan penting dan bersifat timbal balik, artinya kemiskinan akan menyebabkan kurang gizi dan individu yang kurang gizi akan berakibat atau melahirkan kemiskinan. Tingkat dan kualitas konsumsi makanan anggota rumah tangga miskin tidak memenuhi kecukupan gizi sesuai kebutuhan. Dengan asupan makanan yang tidak mencukupi, anggota rumah tangga, termasuk anak balitanya menjadi lebih rentan terhadap infeksi sehingga sering menderita sakit. Keluarga miskin dicerminkan oleh profesi/mata pencaharian yang biasanya adalah buruh/pekerja kasar yang berpendidikan rendah sehingga tingkat pengetahuan pangan dan pola asuh keluarga juga kurang berkualitas. Keluarga miskin juga ditandai dengan tingkat kehamilan tinggi karena kurangnya pengetahuan tentang keluarga berencana dan adanya anggapan bahwa anak dapat menjadi tenaga kerja yang memberi tambahan pendapatan keluarga. Namun demikian, banyaknya anak justru mengakibatkan besarnya

24 13 beban anggota keluarga dalam sebuah rumah tangga miskin (Bappenas 2008). Menurut BPS (2007), daerah miskin adalah wilayah kabupaten/kota dengan karakterisik kemiskinan diatas persen kemiskinan nasional (lebih dari 16.5%). Perdesaan dan Perkotaan Menurut undang-undang (UU) No.24 Tahun 1992 pasal 1, wilayah didefinisikan sebagai ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Menurut Pipip (2011), pengklasifikasian wilayah menjadi wilayah perdesaan atau perkotaan dilakukan melalui Sensus. Wilayah yang dicakup adalah desa atau kelurahan yang berada langsung dibawah kecamatan. Klasifikasi didasarkan pada skor yang dihitung dari kepadatan penduduk, persentase rumah tangga yang bekerja di bidang pertanian, dan tersedianya fasilitas kota seperti sekolah, pasar, rumah sakit, jalan aspal, dan listrik (BPS 2003). Definisi perkotaan adalah suatu tempat dengan (1) kepadatan penduduknya lebih dibandingkan dengan kondisi pada umumnya; (2) pencaharian utama penduduknya bukan merupakan aktivitas ekonomi primer/pertanian; dan (3) tempatnya merupakan pusat budaya, administrasi, atau pusat kegiatan ekonomi wilayah sekitarnya menurut (Daldjoeni 2003 dalam Humayrah 2009). Menurut Komsiah (2007), wilayah perdesaan ditandai dengan sebagian besar penduduknya memiliki mata pencaharian di bidang pertanian.

25 14 KERANGKA PEMIKIRAN Masalah gizi ganda merupakan keadaan pada suatu masyarakat dengan gizi kurang dan gizi lebih yang terjadi bersamaan (FAO 2006). Salah satu cara yang bisa digunakan untuk mengukur status gizi masyarakat adalah dengan menggunakan pengukuran antropometri. Berat badan menurut umur (BB/U) merefleksikan massa tubuh dalam hubungannya dengan umur kronologi. Indikator BB/U memberikan gambaran tentang status gizi yang sifatnya umum, tidak spesifik. Tinggi rendahnya prevalensi gizi buruk atau gizi buruk dan kurang mengindikasikan ada tidaknya masalah gizi pada balita, tetapi tidak memberikan indikasi apakah masalah gizi tersebut bersifat kronis atau akut (Depkes RI 2008). Masalah gizi merupakan efek kumulatif dari masalah sosial-ekonomi, kesehatan, dan gizi (WHO 2008). Faktor sosial ekonomi mempunyai kaitan dengan tingkat prevalensi masalah gizi di masyarakat, baik gizi kurang maupun gizi lebih. Menurut Kimani-Murage (2010), transisi gizi merupakan penyebab utama dibalik terjadinya masalah gizi ganda. Popkin (2003) menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat menyebabkan adanya transisi gizi adalah adanya transisi laju ekonomi, urbanisasi, globalisasi, teknologi, dan perubahan sosial. Ini adalah fenomena yang ditemui di negara-negara berkembang yang sedang mengalami peningkatan laju ekonomi. Aspek sosial dapat dilihat dari tingkat pendidikan ibu sedangkan aspek ekonomi dilihat dari pengeluaran rumah tangga perkapita, tingkat kemiskinan, dan PDRB perkapita. Pendidikan memiliki pengaruh positif terhadap status gizi, baik status gizi jangka pendek maupun jangka panjang (Alderman & Gracia (1994) dalam Mariani (2002)). Semakin tinggi pendidikan maka pengetahuan mengenai praktik kesehatan dan gizi anak akan semakin baik. Menurut Bappenas (2008), dari berbagai faktor penyebab masalah gizi, kemiskinan dan tingkat kesejahteraan dinilai memiliki peranan penting sebagai pencetus masalah gizi. Pengeluaran rumah tangga perkapita mencerminkan pendapatan masyarakat (Sugianti 2009). Sementara itu, PDRB perkapita adalah indikator makro yang secara agregat dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi kesejahteraan masyarakat dari gerak pertumbuhan ekonomi di daerah yang bersangkutan (Bappenas 2008).

26 15 Karakteristik Sosial Ekonomi Wilayah: - Proporsi ibu lulus wajar 9 tahun - Pengeluaran rumah tangga perkapita - Tingkat kemiskinan - PDRB perkapita Transisi Masalah Gizi Masalah Gizi pada Kelompok Usia Balita - Masalah kurang gizi (undernutrition) - Masalah gizi lebih (overnutrition) Masalah Gizi Ganda (Double Burden of Malnutrition) pada Kelompok Usia Balita Gambar 1 Kerangka pemikiran faktor yang mempengaruhi masalah gizi ganda Keterangan: Variabel yang diteliti Hubungan yang diteliti Variabel yang diteliti Hubungan yang diteliti

27 16 METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan desain cross-sectional study. Data yang digunakan adalah data sekunder hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 yang dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes), Departemen Kesehatan. Selain itu digunakan pula data statistik tingkat kemiskinan dan PDRB kabupaten/kota tahun Pengolahan dan analisis data dilaksanakan pada bulan April-Juni 2011 di Kampus IPB Darmaga Bogor, Jawa Barat. Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh Kerangka sampel penelitian ini adalah seluruh wilayah kabupaten/kota yang tercakup dalam Riskesdas Sampel Riskesdas 2007 di tingkat kabupaten/kota berasal dari 440 kabupaten/kota yang tersebar di 33 propinsi. Jumlah tersebut merupakan sebagian dari jumlah keseluruhan kabupaten/kota di Indonesia (456 kabupaten/kota). Sebanyak 16 kabupaten tidak termasuk dalam sampel Riskesdas 2007 karena merupakan pengembangan kabupaten baru yang pada saat perencanaan Riskesdas belum diperhitungkan. Terdapat 2 kabupaten yang masuk dalam sampel Riskesdas 2007, namun tidak masuk kedalam sampel Susenas Kriteria inklusi dalam pemilihan sampel penelitian ini adalah: (1) kabupaten/kota yang menjadi sampel Riskesdas 2007; dan (2) memiliki data prevalensi gizi balita, sebaran pendidikan terakhir ibu, pengeluaran rumah tangga perkapita, PDRB perkapita, dan tingkat kemiskinan. Berdasarkan kriteria tersebut diperoleh sebanyak 418 kabupaten/kota. Sebanyak 318 kabupaten/kota terkategori sebagai wilayah perdesaan dan 100 kabupaten/kota terkategori sebagai wilayah perkotaan. Pengklasifikasian kabupaten/kota menjadi termasuk wilayah dengan karakteristik dominan perdesaan atau perkotaan menggunakan persentase jumlah penduduk yang tinggal di wilayah administratif desa/kelurahan yang dikategorikan sebagai wilayah perdesaan atau perkotaan. Suatu kabupaten/kota dikatakan sebagai wilayah dengan karakteristik dominan perdesaan apabila sebagian besar rumah tangga responden Riskesdas di kabupaten/kota tersebut tinggal di wilayah administratif desa atau kelurahan yang termasuk kategori perdesaan menurut BPS. Hal sebaliknya untuk wilayah kabupaten/kota yang dikatakan wilayah karakteristik dominan perkotaan.

28 17 Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan berupa data sekunder, meliputi data status gizi balita dan karakteristik sosial ekonomi wilayah. Semua data merupakan data dalam kurun waktu Data diperoleh dari data mentah (raw data) dan laporan Riskesdas 2007 serta publikasi BPS. Tabel 4 Jenis data yang dikumpulkan No Variabel Sumber Data 1 Prevalensi gizi buruk, gizi kurang, dan gizi lebih kabupaten/kota Laporan Riskesdas 2007 (Balitbangkes, Kementerian Kesehatan RI) 2 Klasifikasi perdesaan atau perkotaan wilayah tempat tinggal Data mentah (Raw data) Riskesdas 2007 (Balitbangkes, Kementerian Kesehatan RI) 3 Karakteristik sosial ekonomi a. Pendidikan terakhir ibu Data mentah (Raw data) Riskesdas 2007 b. Pengeluaran rumah tangga perkapita c. PDRB perkapita (Balitbangkes, Kementerian Kesehatan RI) PDRB kabupaten/ kota di Indonesia (BPS) d. Tingkat kemiskinan Indikator sosial ekonomi tingkat propinsi 2007 (BPS) Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh dan terkumpul dianalisa dengan menggunakan Microsoft Excel 2007 for windows dan SPSS 16.0 for windows. Tahap pengolahan data pertama adalah cleaning dan pengeditan data yang sudah ada, kemudian dipilih berdasarkan variabel yang akan diteliti. Tahap selanjutnya adalah pembuatan variabel menurut data yang ada. Variabel masalah gizi lebih (overnutrition) diperoleh dari prevalensi gizi lebih (overweight). Suatu wilayah dikatakan memiliki masalah gizi lebih apabila gizi lebih di wilayah tersebut sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat menurut Departemen Kesehatan (2000), yaitu prevalensinya melampaui atau sama dengan 5 persen. atau menjadi masalah kesehatan masyarakat menurut Departemen Kesehatan. Variabel masalah kurang gizi (undernutrition) diperoleh dari gabungan antara prevalensi gizi buruk (severe underweight) dan gizi kurang (moderate underweight). Suatu wilayah dikatakan memiliki masalah kurang gizi apabila memiliki prevalensi kurang gizi (gizi buruk dan gizi kurang) melampaui 18.5 persen atau belum dapat mencapai target MDGs. Pengkategorian masalah kurang gizi tidak menggunakan kategori kesehatan masyarakat menurut Departemen Kesehatan karena jika menggunakan kategori ini semua wilayah kabupaten/kota di Indonesia masuk ke dalam kategori wilayah dengan masalah

29 18 kurang gizi (prevalensi kurang gizi lebih dari atau sama dengan 5 persen) sehingga digunakan target pencapaian MDGs. Variabel masalah gizi ganda merupakan variabel komposit dari variabel masalah kurang gizi dan masalah gizi lebih. Suatu wilayah dikatakan memiliki masalah gizi ganda apabila wilayah tersebut memiliki masalah kurang gizi dan masalah gizi lebih secara bersamaan. Wilayah yang tidak memiliki salah satu atau keduanya dari masalah kurang gizi dan masalah gizi lebih tidak dikatakan memiliki masalah gizi ganda. Wilayah yang memiliki masalah gizi ganda diberi skor 1 sedangkan wilayah yang tidak memiliki masalah gizi ganda diber skor 0. Pemberian skor dengan cara yang sama juga dilakukan pada variabel masalah kurang gizi dan masalah gizi lebih. Variabel proporsi ibu balita lulus wajib belajar (wajar) sembilan tahun adalah persentase ibu balita yang telah menuntaskan pendidikan minimal SMP atau sederajat di suatu wilayah. Sementara itu, variabel pengeluaran rumah tangga perkapita merupakan rata-rata pengeluaran rumah tangga perkapita di suatu wilayah. Variabel PDRB perkapita adalah nilai PDRB suatu wilayah dibagi dengan jumlah penduduk pertengahan tahun wilayah tersebut. Kemudian data tingkat kemiskinan adalah persentase jumlah penduduk yang termasuk kategori miskin di suatu wilayah. Wilayah dikatakan miskin apabila memiliki penduduk miskin melebihi dari penduduk miskin nasional (16.5%). Analisis statistik yang dilakukan yaitu statistik deskriptif dan statistik inferensia. Statistik deskripif meliputi frekuensi dan rata-rata sedangkan statistik inferensia meliputi uji Chi-Square, uji Independet sample t-test, dan uji korelasi Moment Pearson. Keterkaitan antara proporsi masalah gizi ganda dengan tipe wilayah wilayah (perdesaan dan perkotaan) dianalisis menggunakan uji Chi- Square. Perbedaan nilai statistik variabel antara wilayah perdesaan dan perkotaan dianalisis menggunakan uji Independent sample t-test. Hubungan antar variabel dianalisis menggunakan uji korelasi Moment Pearson.

30 19 Definisi Operasional Masalah gizi ganda (double burden of malnutrition) adalah suatu keadaan yang dialami oleh suatu wilayah dimana terjadi masalah kurang gizi (undernutrition) dan masalah gizi lebih (overnutrition) secara bersamaan. Masalah kurang gizi (undernutrition) adalah masalah yang dialami wilayah apabila memiliki prevalensi gizi buruk (severe underweight) dan gizi kurang (moderate underweight) melebihi dari 18.5 persen (target MDGs Indonesia tahun 2015). Masalah gizi lebih (overnutrition) adalah masalah yang dialami wilayah apabila memiliki prevalensi gizi lebih (overweight) melampaui atau sama dengan 5 persen (Klasifikasi masalah kesehatan masyarakat Depkes (2000)). Prevalensi masalah gizi adalah persentase balita di suatu wilayah yang mengalami status gizi tertentu. Gizi buruk (severe underweight) adalah status gizi balita yang mempunyai Z- score indeks berat badan menurut umur (BB/U) kurang dari -3 SD terhadap total balita. Gizi kurang (moderate underweight) adalah status gizi balita yang mempunyai Z-score indeks berat badan menurut umur (BB/U) -3 SD sampai dengan kurang dari -2 SD terhadap total balita. Gizi baik adalah status gizi balita yang mempunyai Z-score indeks berat badan menurut umur (BB/U) -2 sampai dengan 2. Gizi lebih (overweight) adalah status gizi balita yang mempunyai Z-score indeks berat badan menurut umur (BB/U) lebih dari 2 SD terhadap total balita. Proporsi ibu lulus Wajar sembilan tahun adalah persentase ibu di suatu wilayah yang lulus minimal SMP atau sederajat. Pengeluaran rumah tangga perkapita adalah rata-rata pengeluaran rumah tangga perkapita (rupiah perbulan) di suatu wilayah yang terdiri atas pengeluaran pangan dan nonpangan. Tingkat kemiskinan adalah persentase penduduk miskin yang terdapat di suatu wilayah. Wilayah miskin adalah wilayah yang memiliki penduduk miskin melebihi dari penduduk miskin nasional (16.5%). PDRB perkapita adalah pendapatan rata-rata tiap individu di suatu wilayah yang merupakan hasil bagi antara PDRB dengan jumlah penduduk pertengahan tahun wilayah tersebut.

31 20 Perdesaan adalah wilayah dengan karakteristik dominan perdesaan ditandai sebagian besar rumah tangga responden Riskesdas tinggal di wilayah administratif desa atau kelurahan yang termasuk kategori perdesaan menurut BPS. Perkotaan adalah wilayah dengan karakteristik dominan perkotaan ditandai sebagian besar rumah tangga responden Riskesdas tinggal di wilayah administratif desa atau kelurahan yang termasuk kategori perkotaan menurut BPS.

32 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sosial Ekonomi Karakteristik sosial ekonomi yang diteliti dalam penelitian ini terdiri atas proporsi ibu lulus wajib belajar (wajar) 9 tahun, pengeluaran rumah tangga perkapita, PDRB perkapita, dan tingkat kemiskinan. Berikut disajikan keragaan statistik variabel sosial ekonomi pada tabel 5. Tabel 5 Keragaan statistik variabel sosial ekonomi wilayah kabupaten/kota Wilayah Perdesaan Proporsi Ibu lulus wajar (%) Pengeluaran rumah tangga perkapita (Rp/bln) PDRB Perkapita (Rp/thn) Tingkat Kemiskinan (%) Rata-rata ,000 9,311, Standar deviasi ,634 6,133, Perkotaan Total Rata-rata ,000 16,600, Standar deviasi ,606 12,050, Rata-rata ,679 11,056, Standar deviasi ,288 8,530, t= t= t= t= Uji Statistik p=0.025* p=0.000* p=0.000* p=0.000* Keterangan: *berbeda nyata pada α=0.05 Proporsi ibu lulus wajib belajar (wajar) sembilan tahun adalah persentase ibu balita disuatu wilayah yang telah menuntaskan pendidikan minimal SMP atau sederajat. Secara nasional, rata-rata proporsi ibu yang lulus wajib belajar 9 tahun adalah 52.8 persen. Rata-rata proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun di perdesaan adalah sebesar 46.5 persen. Rata-rata proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun di perkotaan yaitu sebesar 72.9 persen. Berdasarkan uji statistik, proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun di perdesaan berbeda dengan proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun di perkotaan (t= , p=0.025). Pengeluaran rumah tangga perkapita adalah rata-rata pengeluaran rumah tangga perkapita yang terdiri atas pengeluaran pangan dan nonpangan di suatu wilayah. Berdasarkan penelitian yang disajikan pada tabel 4, rata-rata pengeluaran rumah tangga perkapita nasional adalah 273 ribu rupiah/bulan. Rata-rata pengeluaran rumah tangga perkapita di perkotaan adalah 372 ribu rupiah/bulan. Rata-rata pengeluaran rumah tangga perkapita di perdesaan yaitu 242 ribu rupiah/bulan. Berdasarkan uji statistik, terdapat perbedaan antara

33 22 pengeluaran rumah tangga perkapita di perdesaan dengan di perkotaan (t= , p=0.000). PDRB perkapita adalah pendapatan rata-rata tiap individu di suatu wilayah yang merupakan hasil bagi antara PDRB dengan jumlah penduduk pertengahan tahun wilayah tersebut. Rata-rata PDRB perkapita Indonesia adalah sebesar 11.1 rupiah/tahun. Wilayah di perdesaan memiliki rata-rata PDRB perkapita yang lebih rendah dibandingkan angka nasional, yaitu 9.3 juta rupiah/tahun. Sementara itu rata-rata PDRB perkapita wilayah perkotaan adalah 16.6 juta rupiah/tahun. Berdasarkan uji statistik, PDRB perkapita wilayah perdesaan berbeda dengan PDRB perkapita wilayah perkotaan (t=-7.992, p=0.000). Tingkat kemiskinan adalah persentase penduduk miskin yang terdapat di suatu wilayah. Tingkat kemiskinan di Indonesia adalah sebesar 16.5 persen. Wilayah perdesaan lebih banyak memiliki wilayah miskin dibanding wilayah perkotaan. Tingkat kemiskinan wilayah perdesaan sebesar 20.4 persen, lebih tinggi dari nasional. Sebanyak 63.2 persen wilayah perdesaan merupakan wilayah miskin. Tingkat kemiskinan di perkotaan yaitu sebesar 16.6 persen. Hanya 8 persen wilayah perkotaan yang termasuk kategori miskin. Berdasarkan uji statistik, tingkat kemiskinan wilayah perdesaan berbeda dengan tingkat kemiskinan wilayah perkotaan (t=11.161, p=0.000). Gambaran Umum Status Gizi Balita di Indonesia Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 merupakan salah satu wujud pengejawantahan dari 4 grand strategy Departemen Kesehatan, yaitu berfungsinya sistem informasi kesehatan yang evidence-based melalui pengumpulan data dasar dan indikator kesehatan. Indikator yang dihasilkan berupa antara lain status kesehatan dan faktor penentu kesehatan yang bertumpu pada konsep Henrik Blum, merepresentasikan gambaran wilayah nasional, propinsi dan kabupaten/kota. Salah satu data dasar yang dihimpun dalam Riskesdas 2007 adalah data status gizi balita. Penilaian status gizi balita yang dilaksanakan pada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 meliputi penilaian status gizi menurut indikator berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Penelitian ini hanya menganalisis status gizi balita yang diukur melalui indikator BB/U.

34 23 Tabel 6 Proporsi status gizi balita menurut indikator BB/U Wilayah Gizi Buruk (%) Gizi Kurang (%) Gizi Baik (%) Gizi Lebih (%) Perdesaan Perkotaan Total Sumber: Riset Kesehatan Dasar 2007 Hasil Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa prevalensi nasional gizi buruk pada balita adalah 5.4 persen. Prevalensi gizi buruk di perdesaan sebesar 6.4 persen lebih tinggi dibandingkan di perkotaan yaitu sebesar 4.2 persen. Sementara itu, prevalensi nasional gizi kurang pada balita adalah 13 persen. Sama halnya dengan prevalensi gizi buruk, prevalensi gizi kurang di perdesaan lebih tinggi dibanding di perkotaan. Prevalensi gizi kurang di perdesaan adalah sebesar 14 persen dan di perkotaan sebesar 11.7 persen. Dengan demikian, prevalensi nasional untuk gizi buruk dan gizi kurang adalah 18.4 persen. Bila dibandingkan dengan target MDGs untuk Indonesia sebesar 18.5 persen, maka secara nasional target tersebut sudah terlampaui. Namun apabila data prevalensi dilihat terpisah antara wilayah perdesaan dan perkotaan, maka target MDGs tersebut baru dapat dicapai oleh wilayah perkotaan dengan prevalensi gabungan gizi kurang dan gizi buruk sebesar 16.9 persen. Sementara itu, wilayah perdesaan memiliki prevalensi sebesar 20.4 persen sehingga belum dapat mencapai target MDGs. Sebanyak 216 kabupaten/kota di Indonesia belum dapat mencapai target MDGs. Proporsi balita dengan status gizi baik secara nasional adalah 77.2 persen (perdesaan=75.7% dan perkotaan=79.3%). Gianyar dan Tabanan merupakan dua Kabupaten dengan proporsi balita dengan status gizi baik terbesar yaitu masing-masing sebesar 90 persen dan 90.6 persen. Dengan demikian sebanyak 9 dari 10 balita di kabupaten tersebut memiliki status gizi baik. Secara keseluruhan, baik di perdesaan, perkotaan maupun nasional, gizi lebih tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat karena prevalensinya tidak melebihi 5 persen. Namun secara wilayah kabupaten/kota, terdapat sebanyak 142 kabupaten/kota yang memiliki prevalensi gizi lebih melampaui 5 persen. Dengan demikian di kabupaten/kota tersebut gizi lebih menjadi masalah kesehatan masyarakat.

35 24 Masalah Kurang Gizi, Gizi Lebih dan Gizi Ganda Masalah kurang gizi (undernutrition) adalah masalah yang dialami suatu wilayah apabila belum dapat mencapai target MDGs untuk prevalensi gizi buruk dan gizi kurang sebesar 18.5 persen. Berdasarkan hasil penelitian, sebanyak 51.7 persen wilayah kabupaten/kota Indonesia mengalami masalah kurang gizi. Sebanyak 60.7 persen wilayah perdesaan memiliki masalah kurang gizi. Wilayah perkotaan yang memiliki masalah kurang gizi adalah sebanyak 23.0 persen. Berdasarkan uji statistik, terdapat keterkaitan antara sebaran masalah kurang gizi dengan tipe wilayah (x 2 = 0.981, p=0.000). Masalah kurang gizi sering terjadi sejak bayi masih dalam kandungan, balita, remaja, dan akan terus berlanjut terutama pada remaja putri dan wanita dewasa. Anak-anak yang kurang gizi akan tertinggal pertumbuhan fisik, mental dan intelektualnya. Gangguan pertumbuhan ini akan mengakibatkan tingginya angka kematian anak, berkurangnya potensi belajar dan daya tahan tubuh terhadap penyakit serta berkurangnya produktifitas kerja (Soekirman 2000). Tabel 7 Sebaran wilayah kabupaten/kota menurut masalah kurang gizi, masalah gizi lebih, dan masalah gizi ganda Wilayah Masalah kurang gizi Masalah gizi lebih Masalah gizi ganda n % n % n % Perdesaan (n=318) Tidak ada Ada Perkotaan (n=100) Tidak ada Ada Total (n=418) Tidak ada Ada Uji statistik (x 2 = 0.981, p=0.000*) (x 2 = 0.254, p=0.182) (x 2 = 0.671, p=0.003*) Keterangan: *keterkaitan nyata pada α=0.05 Berdasarkan kategori ambang batas masalah gizi Departemen Kesehatan tahun 2000, sebanyak 34.0 persen wilayah kabupaten/kota di Indonesia memiliki masalah gizi lebih (overnutrition) yaitu dengan prevalensi gizi lebih melebihi 5 persen. Terdapat sebanyak 32.4 persen wilayah perdesaan yang mengalami masalah gizi lebih. Wilayah perkotaan yang memiliki masalah gizi lebih adalah sebanyak 39.0 persen. Berdasarkan uji statistik, tidak terdapat keterkaitan antara sebaran masalah gizi lebih dengan tipe wilayah (x 2 = 0.254, p=0.182). Fenomena gizi lebih merupakan ancaman yang serius karena terjadi di berbagai strata ekonomi, pendidikan, desa-kota, dan lain sebagainya. Menurut Menteri Kesehatan RI, Indonesia masih menghadapi masalah-masalah kurang

36 25 gizi terutama yang kronis dan akut, disisi lain juga harus segera menanggulangi masalah gizi lebih yang sampai saat ini merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit degeneratif. Meskipun prevalensi gizi lebih sudah mengkhawatirkan, tapi keberadaannya sebagai suatu ancaman nyata bagi kesehatan belum banyak disadari masyarakat (BPPSDMK 2011). Berdasarkan hasil penelitian, terdapat sebanyak 56 kabupaten/kota atau 13.4 persen wilayah di Indonesia mengalami masalah gizi ganda. Rincian data kabupaten/kota yang memiliki masalah gizi ganda disajikan dalam lampiran 3. Wilayah perdesaan yang memiliki masalah gizi ganda adalah sebanyak 15.4 persen dari keseluruhan wilayah perdesaan. Jumlah tersebut dua kali lebih banyak dibanding di wilayah perkotaan yang hanya sebanyak 7.0 persen wilayahnya memiliki gizi ganda. Berdasarkan uji statistik, terdapat keterkaitan antara sebaran masalah gizi ganda dengan tipe wilayah (x 2 = 0.671, p=0.003). Hasil penelitian menunjukkan Sebagian besar wilayah perdesaan (45.3%) yang tidak memiliki masalah gizi ganda adalah karena wilayah tersebut tidak memiliki masalah gizi lebih. Akan tetapi sebagian besar wilayah perkotaan (45.0%) yang tidak memiliki masalah gizi ganda adalah karena wilayah tersebut tidak memiliki masalah kurang gizi dan juga tidak memiliki masalah gizi lebih. Tabel 8 menyajikan sebaran wilayah dengan masalah gizi ganda serta bebas masalah kurang gizi dan masalah gizi lebih. Wilayah yang memiliki masalah gizi ganda tersebar di 22 propinsi di Indonesia. Propinsi dengan proporsi wilayah kabupaten/kota terbanyak yang memiliki masalah gizi ganda adalah Propinsi Jambi. Sebanyak 4 dari 10 kabupaten/kota di Propinsi Jambi memiliki masalah gizi ganda. Selain itu, Propinsi Jambi tidak memiliki kabupaten/kota yang terbebas dari masalah kurang gizi dan masalah gizi lebih secara bersamaan. Propinsi Jawa Barat, Bali, Lampung, DI Yogyakarta, dan Jawa Tengah merupakan propinsi yang tidak memiliki wilayah kabupaten/kota dengan masalah gizi ganda serta memiliki proporsi tertinggi wilayah kabupaten/kota yang bebas dari masalah kurang gizi serta masalah gizi lebih secara bersamaan. Lebih dari separuh kabupaten/kota di propinsi tersebut bebas dari kedua masalah tersebut secara bersamaan. Wilayah kabupaten/kota lain yang tidak tidak tercantum dalam tabel merupakan daerah yang tidak memiliki masalah gizi ganda namun memiliki salah satu diantara masalah kurang gizi atau masalah gizi lebih.

37 26 Tabel 8 Sebaran wilayah kabupaten/kota dengan masalah gizi ganda serta bebas masalah kurang gizi dan masalah gizi lebih menurut Riskesdas 2007 No Propinsi Total Jumlah Kabupaten/kota Bebas masalah Masalah gizi ganda kurang gizi dan masalah gizi lebih n % n % 1 NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia

38 27 Berdasarkan data hasil penelitian yang disajikan pada tabel 9, Sebagian besar wilayah kabupaten/kota (34 kabupaten/kota) yang memiliki masalah gizi ganda merupakan wilayah yang memiliki proporsi ibu lulus wajib belajar 9 tahun lebih rendah dari rata-rata nasional atau kurang dari 52.8 persen. Sebagian besar wilayah kabupaten/kota (34 kabupaten/kota) yang memiliki masalah gizi ganda merupakan wilayah dengan pengeluaran rumah tangga perkapita yang lebih rendah dari rata-rata nasional, atau kurang dari 273 ribu rupiah/bulan. Masalah gizi ganda juga lebih banyak terjadi di wilayah kabupaten/kota dengan PDRB perkapita wilayah yang lebih rendah dibanding PDRB perkapita nasional. Sebanyak 33 kabupaten/kota yang memiliki masalah gizi ganda memiliki PDRB perkapita kurang dari 11.1 juta rupiah/tahun. Tabel 9 Sebaran wilayah kabupaten/kota dengan masalah gizi ganda menurut karakteristik sosial ekonomi wilayah Jumlah kabupaten/kota Karakteristik sosial ekonomi Diatas Dibawah rata-rata nasional rata-rata nasional Total Proporsi ibu lulus wajar Pengeluaran rumah tangga perkapita PDRB perkapita Tingkat kemiskinan Dengan demikian, masalah gizi ganda terjadi di wilayah dengan karakteristik sosial ekonomi yang lebih baik dibandingkan rata-rata nasional maupun sebaliknya. Akan tetapi daerah dengan karakteristik sosial ekonomi wilayah yang lebih rendah dari karakteristik sosial ekonomi nasional memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk mengalami masalah gizi ganda. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan proporsi ibu lulus wajar, pengeluaran rumah tangga, dan PDRB sangat diperlukan. Selain itu harus pula dilakukan upaya untuk mengurangi tingkat kemiskinan. Secara keseluruhan, karakteristik sosial ekonomi wilayah yang tidak memiliki masalah gizi ganda lebih baik dibandingkan wilayah yang memiliki masalah gizi ganda. Tabel 10 menyajikan karakteristik sosial ekonomi di wilayah yang memiliki gizi ganda dan wilayah yang tidak memiliki masalah gizi ganda. Rata-rata proporsi ibu lulus wajib belajar 9 tahun di wilayah yang tidak memiliki masalah gizi ganda adalah 53.7 persen sedangkan di wilayah yang memiliki masalah gizi ganda sebesar 47.2 persen. Rata-rata pengeluaran rumah tangga perkapita wilayah yang tidak memiliki masalah gizi ganda adalah 274 ribu rupiah/bulan sementara wilayah yang memiliki masalah gizi ganda adalah 267

39 28 ribu rupiah/bulan. Rata-rata PDRB perkapita wilayah yang tidak memiliki masalah gizi ganda sebesar 11.1 juta rupiah/tahun sedangkan wilayah yang memiliki masalah gizi ganda sebesar 10.8 juta rupiah/tahun. Tingkat kemiskinan wilayah yang tidak memiliki masalah gizi ganda adalah 18.0 persen sementara tingkat kemiskinan wilayah yang memiliki masalah gizi ganda adalah 20.5 persen. Tabel 10 Rata-rata variabel sosial ekonomi wilayah menurut masalah gizi ganda Masalah gizi ganda Proporsi Ibu lulus Wajar (%) Pengeluaran rumah tangga perkapita (rupiah) PDRB Perkapita (rupiah) Tingkat Kemiskinan (%) Ada ,092 10,846, Tidak ada ,544 11,088, Total ,679 11,056, Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi dengan Masalah Kurang Gizi, Masalah Gizi Lebih, dan Masalah Gizi Ganda Proporsi Ibu Lulus Wajib Belajar (Wajar) 9 Tahun Berdasarkan hasil penelitian, proporsi ibu balita yang menuntaskan wajar sembilan tahun berhubungan nyata dengan masalah kurang gizi di perdesaan (r=-0.233, p=0.000) tapi tidak berhubungan nyata dengan masalah kurang gizi di perkotaan (r=-0.172, p=0.093). Nilai r yang negatif menunjukkan adanya hubungan kebalikan antara proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun dengan masalah kurang gizi. Adanya peningkatan proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun akan menurunkan kecenderungan timbulnya masalah kurang gizi di wilayah perdesaan. Tabel 11 Hubungan proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun dengan masalah gizi Wilayah Masalah kurang gizi Masalah gizi lebih Masalah gizi ganda r p r p r p Perdesaan ** Perkotaan ** Keterangan: ** berhubungan nyata pada α=0.01 Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Mahgoub (2006) di Bostwana, Afrika menunjukkan hubungan yang kuat antara kenaikan tingkat pendidikan ibu dengan penurunan angka kurang gizi pada anak-anak. Tidak terdapatnya hubungan nyata proporsi ibu lulus Wajar sembilan tahun di perkotaan diduga karena ibu di wilayah perkotaan lebih mudah mengakses media-media yang memberikan edukasi terkait kesehatan dan gizi sehingga ibu yang memiliki pendidikan pada tingkat yang lebih rendah pun dapat memiliki pengetahuan

40 29 tentang kesehatan dan gizi sama baiknya dengan ibu dengan pendidikan yang lebih tinggi darinya. Proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di perkotaan (r=0.293, p=0.001) tapi tidak berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di perdesaan (r=0.031, p=0.551). Peningkatan proporsi ibu yang menuntaskan wajib belajar 9 tahun akan meningkatkan kecenderungan timbulnya masalah gizi lebih di wilayah perkotaan. Nurmiati mengemukakan bahwa tingkat pendidikan yang tinggi akan meningkatkan kemampuan ekonomi dan pengetahuan gizi. Tingkat pendidikan yang tinggi meningkatkan peluang untuk mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang relatif tinggi sehingga kemampuan untuk menyediakan makanan dengan kualitas dan kuantitas yang cukup juga meningkat. Hubungan searah yang terjadi antara proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun dengan masalah gizi lebih diduga karena peningkatan proporsi hanya seiring dengan peningkatan kemampuan ekonomi tanpa adanya peningkatan pengetahuan gizi. Berdasarkan uji korelasi Moment Pearson, tidak terdapat hubungan yang nyata antara proporsi ibu lulus Wajar sembilan tahun dengan masalah gizi ganda baik di perdesaan (r=-0.084, p=0.164) maupun di perkotaan (r=-0.022, p=0.841). Hal ini mengindikasikan bahwa ada atau tidaknya peningkatan proporsi ibu yang lulus wajar sembilan tahun tidak berhubungan nyata dengan peningkatan atau penurunan kecenderungan suatu wilayah baik di perdesaan maupun perkotaan untuk mengalami masalah gizi ganda. Pengeluaran Rumah Tangga Perkapita Hasil uji korelasi Moment Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata antara pengeluaran rumah tangga perkapita dengan masalah kurang gizi di perkotaan (r=-0.215, p=0.042) tapi tidak di perdesaan (r=-0.066, p=0.271). Pengeluaran rumah tangga perkapita juga berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di perkotaan (r=0.224, p=0.032) tapi tidak di perdesaan (r=0.076, p=0.228). Peningkatan pengeluaran rumah tangga perkapita akan menurunkan kecenderungan timbulnya masalah kurang gizi dan meningkatkan kecenderungan timbulnya masalah gizi lebih di wilayah perkotaan. Tabel 12 Hubungan pengeluaran rumah tangga perkapita dengan masalah gizi Wilayah Masalah kurang gizi Masalah gizi lebih Masalah gizi ganda r p r p r r Perdesaan Perkotaan * * Keterangan: *berhubungan nyata pada α=0.05

41 30 Pengeluaran rumah tangga perkapita merupakan salah satu indiaktor yang dapat memberikan gambaran keadaan kesejahteraan masyarakat (Sugianti 2009). Masyarakat yang sejahtera akan memiliki akses terhadap pangan dan kesehatan lebih baik. Tidak terdapatnya hubungan pengeluaran rumah tangga perkapita dengan masalah kurang gizi dan gizi lebih di perdesaan diduga karena masyarakat di wilayah perdesaan lebih bisa memenuhi kebutuhan pangannya dengan memanfaatkan sumberdaya yang mereka kelola sendiri seperti pangan hasil kebun atau pekarangan rumah. Berdasarkan data hasil penelitian yang disajikan pada tabel 12, tidak terdapat hubungan nyata antara pengeluaran rumah tangga perkapita dengan masalah gizi ganda baik di perdesaan (r=0.102, p=0.071) maupun di perkotaan (r=-0.075, p=0.523). Adanya atau tidaknya peningkatan pengeluaran rumah tangga perkapita tidak berhubungan dengan peningkatan atau penurunan kecenderungan timbulnya masalah gizi ganda di suatu wilayah perdesaan maupun perkotaan. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Perkapita PDRB perkapita merupakan indikator makro yang secara agregat dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi kesejahteraan masyarakat dari gerak pertumbuhan ekonomi di wilayah yang bersangkutan (BPS 2009). Tabel 13 menyajikan hubungan antara PDRB perkapita dengan masalah gizi di perdesaan dan perkotaan. Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa PDRB perkapita tidak berhubungan nyata dengan masalah kurang gizi di perdesaan (r=0.023, p=0.681) dan perkotaan (r=-0.155, p=0.132). PDRB perkapita juga tidak berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di perdesaan (r=-0.015, p=0.981) dan perkotaan (r=0.194, p=0.053). Tabel 13 Hubungan PDRB perkapita dengan masalah gizi Wilayah Masalah kurang gizi Masalah gizi lebih Masalah gizi ganda r p r p r p Perdesaan Perkotaan Hubungan nyata juga tidak ditemukan antara PDRB perkapita dengan masalah gizi ganda di perdesaan (r=0.072, p=0.243) dan perkotaan (r=-0.045, p=0.697). Dengan demikian, Ada atau tidaknya peningkatan PDRB perkapita tidak berhubungan nyata dengan peningkatan atau penurunan kecenderungan timbulnya masalah kurang gizi, masalah gizi lebih, dan masalah gizi ganda di wilayah perdesan maupun perkotaan.

42 31 Menurut Gama (2007), hasil pembangunan belum tentu dapat dinikmati oleh semua kalangan, seringkali hanya oleh kelompok minoritas. Angka kemiskinan justru meningkat karena semakin lebarnya kesenjangan antara golongan kaya dengan golongan miskin. Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara PDRB perkapita dengan masalah kurang gizi, masalah gizi lebih, maupun masalah gizi ganda diduga karena PDRB perkapita tidak dapat benar-benar mencerminkan kesejahteraan masayarakat karena hasil pembangunan tersebut tidak terdistribusi secara merata pada seluruh masyarakat di wilayah tersebut. Selain itu, tidak adanya hubungan antara PDRB perkapita dengan masalah kurang gizi, masalah gizi lebih, dan masalah gizi ganda diduga karena sebagian besar wilayah kabupaten/kota Indonesia memiliki nilai PDRB perkapita yang rendah. Penelitian Ulfani (2010) menunjukkan bahwa 72.1 persen kabupaten/kota di Indonesia memiliki PDRB perkapita yang rendah yaitu kurang dari 12.1 juta. Dengan demikian, karena sebagian besar wilayah memiliki PDRB yang rendah maka hubungan antara PDRB perkapita dengan masalah gizi ganda menjadi tidak terlihat. Oleh karena itu, upaya pertumbuhan ekonomi perlu dioptimalkan dalam rangka meningkatkan PDRB perkapita. Tingkat Kemiskinan Kemiskinan berkaitan dengan pendapatan atau pengeluaran penduduk untuk memenuhi kebutuhannya, termasuk pangan. Salah satu akibat kemiskinan adalah ketidakmampuan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam jumlah dan kualitas yang baik (Bappenas 2008). Berdasarkan uji korelasi Moment Pearson, tingkat kemiskinan berhubungan nyata dengan masalah kurang gizi di perdesaan (r=0.163, p=0.001) tapi tidak di perkotaan (r=0.075, p=0.512). Adanya peningkatan tingkat kemiskinan akan meningkatkan kecenderungan timbulnya masalah kurang gizi di wilayah perdesaan. Sementara itu, tingkat kemiskinan tidak berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di perdesaan (r=-0.063, p=0.267) maupun di perkotaan (r=-0.086, p=0.434). Tabel 14 Hubungan tingkat kemiskinan dengan masalah gizi Wilayah Masalah kurang gizi Masalah gizi lebih Masalah gizi ganda r p r p r P Perdesaan 0.163** Perkotaan Keterangan: ** berhubungan nyata pada α=0.01

43 32 Tingkat kemiskinan juga tidak berhubungan nyata dengan masalah gizi ganda di perdesaan (r=0.037, p=0.618) dan perkotaan (r=0.083, p=0.442). Dengan demikian, ada atau tidaknya peningkatan tingkat kemiskinan tidak berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih dan gizi ganda di perdesaan dan perkotaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masalah gizi ganda terjadi baik di wilayah yang memiliki tingkat kemiskinan diatas angka nasional atau wilayah miskin maupun wilayah tidak miskin. Menurut Kimani-Murage et al. (2010), wilayah yang lebih maju menghadapi masalah gizi lebih. Namun saat ini wilayah miskin yang masih menghadapi masalah kurang gizi juga mulai menghadapi adanya masalah gizi lebih. Hal ini dikarenakan adanya transisi pola makan masyarakat. Hal ini diduga menjadikan kemiskinan tidak berhubungan dengan masalah gizi ganda. Menurut Hasan (2004), hubungan antar dua variabel atau derajat hubungan antarvariabel dapat diukur dengan koefisien korelasi (r). Pada koefisien korelasi yang bernilai 0.20 < r 0.40 menunjukkan bahwa hubungan kedua variabel tersebut lemah tapi pasti ada hubungan diantara kedua variabel tersebut. Sedangkan koefisein korelasi yang bernilai 0.40 < r 0.70 menunjukkan bahwa hubungan kedua variabel tersebut cukup kuat. Tabel 15 menyajikan hubungan antara variabel sosial ekonomi dengan masalah gizi ganda. Tabel 15 Hubungan variabel sosial ekonomi dengan masalah kurang gizi, masalah gizi lebih, dan masalah gizi ganda Variabel Masalah kurang gizi Masalah gizi lebih Masalah gizi ganda r p r p r p Perdesaan Proporsi ibu lulus wajar ** Pengeluaran rumah tangga perkapita PDRB perkapita Tingkat kemiskinan 0.163** Perkotaan Proporsi ibu lulus wajar ** Pengeluaran rumah tangga perkapita * * PDRB perkapita Tingkat kemiskinan Keterangan: *berhubungan nyata pada α=0.05 ** berhubungan nyata pada α=0.01 Berdasarkan tabel diatas, terdapat hubungan antara beberapa variabel sosial ekonomi dengan masalah kurang gizi dan masalah gizi lebih. Hubungan

44 33 yang terjadi merupakan hubungan yang lemah, hal ini diduga karena faktor sosial ekonomi bukan merupakan faktor penyebab langsung terhadap terjadinya masalah gizi melainkan penyebab dasar masalah gizi, baik masalah kurang gizi maupun masalah gizi lebih. Sebagaimana yang tertuang dalam kerangka pikir Unicef tentang masalah gizi. Menurut Unicef (1997) dalam WHO (2008), penyebab langsung terjadinya masalah gizi adalah asupan makanan dan penyakit infeksi sementara sosial ekonomi merupakan penyebab dasar. Kerangka pikir Unicef juga menunjukkan bahwa masalah gizi merupakan masalah yang disebabkan oleh berbagai penyebab yang sangat kompleks. Hubungan yang lemah antara variabel sosial ekonomi dengan masalah gizi semakin menunjukkan masalah gizi sebagai masalah yang kompleks dan penanganannya tidak hanya dilakukan dengan menangani satu aspek saja, atau dalam hal ini variabel sosial ekonomi saja. Akan tetapi terdapatnya hubungan antara variabel sosial ekonomi dengan masalah gizi mengindikasikan bahwa kondisi sosial ekonomi merupakan hal yang penting untuk diperhatikan dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia dengan status gizi yang baik. Sementara itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara karakteristik sosial ekonomi yang diteliti dengan masalah gizi ganda baik di perdesaan maupun di perkotaan. Hal ini menguatkan hipotesis banyak peneliti yang menyatakan bahwa masalah gizi ganda merupakan masalah yang banyak dialami oleh negara-negara berkembang (Kimani-Murage et al. 2010). Kejadian masalah gizi ganda semakin meningkat di berbagai negara berkembang seiring dengan adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi dan sosial. Hal ini ditandai dengan adanya transisi masalah gizi, yaitu masih tingginya masalah kurang gizi dan makin meningkatnya masalah gizi lebih (FAO 2006).

45 34 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun di wilayah perdesaan adalah sebesar 46.5 persen. Proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun di wilayah perkotaan hampir dua kali lipat dari di perdesaan yaitu sebesar 72.9 persen. Pengeluaran perkapita di perdesaan sebesar 242 ribu rupiah/bulan, lebih rendah dari perkotaan yaitu 372 ribu rupiah/bulan. Wilayah perdesaan memiliki PDRB perkapita 9.3 juta rupiah/tahun. PDRB perkapita wilayah perkotaan lebih tinggi dari pada PDRB perkapita wilayah perdesaan yaitu 16.6 juta rupiah/tahun. Tingkat kemiskinan di perdesaan adalah 20.4 sementara di perkotaan adalah 16.6 persen. Wilayah perdesaan lebih banyak memiliki wilayah miskin dibanding wilayah perkotaan. Sebanyak 63.2 persen wilayah perdesaan merupakan wilayah miskin. Hanya 8 persen wilayah perkotaan yang termasuk kategori miskin. Masalah kurang gizi lebih banyak terjadi di perdesaan. Sebanyak 60.7 persen wilayah perdesaan memiliki masalah kurang gizi. Wilayah perkotaan yang memiliki masalah kurang gizi adalah sebanyak 23.0 persen. Kejadian masalah gizi lebih di perdesaan lebih dibanding di perkotaan. Wilayah perdesaan dengan masalah gizi lebih adalah 32.4 persen sedangkan wilayah perkotaan adalah 39 persen. Hasil penelitian menunjukkan wilayah perdesaan yang memiliki masalah gizi ganda adalah sebanyak 15.4 persen. Jumlah tersebut dua kali lebih banyak dibanding di wilayah perkotaan yang hanya sebanyak 7.0 persen wilayahnya memiliki gizi ganda. Proporsi ibu balita yang menuntaskan wajar sembilan tahun berhubungan nyata dengan masalah kurang gizi di perdesaan tapi tidak berhubungan nyata dengan masalah kurang gizi di perkotaan. Adanya peningkatan proporsi ibu lulus wajar akan menurunkan kecenderungan timbulnya masalah kurang gizi di wilayah perdesaan. Proporsi ibu lulus wajar berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di perkotaan tapi tidak berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di perdesaan. Peningkatan proporsi ibu yang menuntaskan wajib belajar akan meningkatkan kecenderungan timbulnya masalah gizi lebih di wilayah perkotaan. Tidak terdapat hubungan yang nyata antara proporsi ibu lulus wajar dengan masalah gizi ganda baik di perdesaan maupun perkotaan. Terdapat hubungan nyata antara pengeluaran rumah tangga dengan masalah kurang gizi di perkotaan tapi tidak di perdesaan. Pengeluaran rumah

46 35 tangga berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di perkotaan tapi tidak di perdesaan. Peningkatan pengeluaran rumah tangga akan menurunkan kecenderungan timbulnya masalah kurang gizi dan meningkatkan kecenderungan timbulnya masalah gizi lebih di wilayah perkotaan. Tidak terdapat hubungan nyata antara pengeluaran rumah tangga dengan masalah gizi ganda baik di perdesaan maupun di perkotaan. PDRB perkapita tidak berhubungan nyata dengan masalah kurang gizi baik di perdesaan dan perkotaan. PDRB perkapita juga tidak berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di perdesaan dan perkotaan. Hubungan nyata juga tidak ditemukan antara PDRB perkapita dengan masalah gizi ganda di perdesaan dan perkotaan. Tingkat kemiskinan berhubungan nyata dengan masalah kurang gizi di perdesaan tapi tidak di perkotaan. Adanya peningkatan tingkat kemiskinan akan meningkatkan kecenderungan timbulnya masalah kurang gizi di wilayah perdesaan. Sementara itu, tingkat kemiskinan tidak berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di perdesaan dan di perkotaan. Tingkat kemiskinan juga tidak berhubungan nyata dengan masalah gizi ganda di perdesaan dan perkotaan. Saran Selain melakukan penanggulangan terhadap masalah kurang gizi pada kelompok usia balita, pemerintah harus mulai memperhatikan masalah gizi lebih yang mulai terjadi di perdesaan maupun perkotaan karena jika dibiarkan akan menjadi faktor penentu keberlangsungan kualitas generasi masa depan. Diperlukan upaya percepatan penuntasan wajib belajar sembilan tahun serta upaya untuk menurunkan tingkat kemiskinan terutama di wilayah perdesaan yang masih memiliki angka kurang gizi yang tinggi. Sementara itu, diperlukan upaya peningkatan pengetahuan gizi serta daya beli masyarakat perkotaan agar dapat menurunkan masalah kurang gizi serta gizi lebih. Dengan demikian, diharapkan dapat menurunkan pula masalah gizi ganda di perdesaan dan perkotaan. Masalah gizi ganda yang tidak berhubungan dengan karakteristik sosial ekonomi merupakan gejala yang harus diperhatikan. Hal ini menandakan bahwa masalah kurang gizi masih menjadi masalah serius dan masalah gizi lebih pun menjadi masalah yang mulai muncul di berbagai wilayah termasuk wilayah dengan karakteristik sosial ekonomi yang rendah.

47 36 DAFTAR PUSTAKA Ali AR Pengelolaan Program Gizi di Puskesmas. Polewali Mandar: Dinas Kesehatan Kabupaten Polewali Mandar. Aminuddin Laporan Modul Pembelajaran Berbasis SCL. Makassar: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin. Andi Pendekatan Quintile untuk Analisa Kemiskinan. [10 Januari 2010]. [Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Rencana aksi nasional Pangan dan gizi Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Laporan pencapaian millenium development goals Indonesia Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. [BPS] Badan Pusat Statistik Indikator Sosial Ekonomi Jakarta: Badan Pusat Statistik Republik Indonesia Produk Domestik Regional Bruto Propinsi- Propinsi di Indonesia Menurut Penggunaannya Jakarta: Badan Pusat Statistik Republik Indonesia Produk Domestik Regional Bruto Propinsi- Propinsi di Indonesia Jakarta: Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. [BPPSDMK] Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehata.n Gizi Lebih Merupakan Ancaman Masa Depan Anak. [10 Juni 2011] Cogill B Anthropometric Indicators Measurement Guide. Washington DC: Food and Nutrition Technical Assistance Project, Academy for Educational Development. [Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia Riset Kesehatan Dasar Jakarta: Departemen Kesehatan. [FAO] Food and Agriculture The double burden of malnutrition. Roma: Food and Agriculture, United Nations. Fotso JC Urban-rural differentials in child malnutrition: trends and socioeconomic correlates in sub-saharan africa. Social Science and Medicine. 44:7. Gama AS Disparitas dan konvergensi produk domestik regional bruto (PDRB) perkapita antar kabupaten/kota di Propinsi Bali. Jurnal Ekonomi dan Sosial. 2(1) Hadi H Beban Ganda Masalah Gizi Dan Implikasinya Terhadap Kebijakan Pembangunan Kesehatan Nasional. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran, Universitas Gajah Mada.

48 37 Harniati Program sektor pertanian yang berorientasi penanggulangan kemiskinan: pengalaman proyek pembinaan peningkatan pendapatan petani-nelayan kecil (P4K) sebagai sebuah model penanggulangan kemiskinan di perdesaan. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional: Meningkatkan Peran Sektor Pertanian dalam Penanggulangan Kemiskinan. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Departemen Pertanian. hlm Hasan I Analisis Data Penelitian dengan Statistik.Jakarta: PT Bumi Aksara. Humayrah W Faktor gaya hidup dalam hubungannya dengan risiko kegemukan orang dewasa di Propinsi Sulawesi Utara, DKI Jakarta, dan Gorontalo. [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Kimani-Murage et al The Prevalence of Stunting, Overweight and Obesity, and Metabolic Disease Risk in Rural South African Children. BMC Public Health. 10:158 Komsiah S Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Fakultas Komunikasi, Universitas Mercubuana. Lanigan J dan Singhal A Early Nutrition and Long-Term Health: A Practical Approach. Proc Nutr Soc: 1-8. Mahgoup et al Factor affecting prevalence of malnutrition among children under three years old age in Bostwana, AJFAND. 6(1) Mariani Hubungan pola asuh makan, konsumsi pangan, dan status kesehatan dengan status gizi anak balita [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Nurmiati Pertumbuhan dan perkembangan anak balita dengan status gizi stunting. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Oktamizar S Pengaruh krisis ekonomi terhadap alokasi pengeluaran dan coping strategi keluarga [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pipip Klasifikasi Wilayah Perkotaan dan Perdesaan. [7 Juli 2011] Popkin B The Nutrition Transition in the Developing World. Dev Policy Rev 21(5-6): Riyadi H Metode Penilaian Status Gizi. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sobalia ET Tingkat ketahanan pangan rumah tangga, kondisi lingkungan, morbiditas, dan hubungannya dengan status gizi anak balita pada rumah tangga di daerah rawan pangan Banjarnegara, Jawa Tengah [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Soekirman Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Sugianti E Faktor risiko obesitas sentral pada orang dewasa di Sulawesi Utara, Gorontalo, dan DKI Jakarta [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

49 38 Supariasa B Penilaian Status Gizi. Jakarta: Penerbit Encourage Creativity (EGC). Susilowati Pengukuran Status Gizi dengan Antropometri Gizi. Bandung: Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Jenderal Ahmad Yani. Trihono dan Gitawati R Hubungan antara Penyakit Menular dengan Kemiskinan di Indonesia. Jurnal Penyakit Menular Indonesia 1 (1): Ulfani D H Faktor-faktor sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan masalah gizi underweight, stunted, dan wasted di Indonesia [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. [WHO] World Health Organization Obesity: Preventing and Managing the Global Epidemic. Geneva WHO Child Growth Standards. Geneva: World Health Organization, United Nations Prevalence of stunting among children under five years of age. Geneva: World Health Organization, United Nations.

50 LAMPIRAN 39

51 40 Lampiran 1 KUESIONER RISKESDAS

52 41

53 42

TINJAUAN PUSTAKA Masalah Gizi Ganda

TINJAUAN PUSTAKA Masalah Gizi Ganda 5 TINJAUAN PUSTAKA Masalah Gizi Ganda Pembangunan suatu bangsa bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan setiap warga negara. Peningkatan kemajuan dan kesejahteraan bangsa sangat tergantung pada kemampuan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh 16 METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan desain cross-sectional study. Data yang digunakan adalah data sekunder hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sosial Ekonomi Karakteristik sosial ekonomi yang diteliti dalam penelitian ini terdiri atas proporsi ibu lulus wajib belajar (wajar) 9 tahun, pengeluaran rumah tangga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara. Menurut Bank Dunia (2000) dalam Akbar (2015), definisi kemiskinan adalah

BAB I PENDAHULUAN. negara. Menurut Bank Dunia (2000) dalam Akbar (2015), definisi kemiskinan adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan merupakan permasalahan pokok yang dialami oleh semua negara. Menurut Bank Dunia (2000) dalam Akbar (2015), definisi kemiskinan adalah kehilangan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagi kelangsungan hidup suatu bangsa. Status gizi yang baik merupakan

BAB I PENDAHULUAN. bagi kelangsungan hidup suatu bangsa. Status gizi yang baik merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadaan gizi yang baik dapat dicapai dengan memperhatikan pola konsumsi makanan terutama energi, protein, dan zat gizi mikro. Pola konsumsi makanan harus memperhatikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa. Untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa. Untuk 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam siklus hidup manusia gizi memegang peranan penting. Kekurangan gizi pada anak balita akan menimbulkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang apabila tidak

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PENCAPAIAN

PERKEMBANGAN PENCAPAIAN BAGIAN 2. PERKEMBANGAN PENCAPAIAN 25 TUJUAN 1: TUJUAN 2: TUJUAN 3: TUJUAN 4: TUJUAN 5: TUJUAN 6: TUJUAN 7: Menanggulagi Kemiskinan dan Kelaparan Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua Mendorong Kesetaraan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh 24 METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study.penelitian ini dilakukan dengan memanfaatkan data sekunder yang bersumber dari data riset

Lebih terperinci

KONSUMSI PANGAN, PENGETAHUAN GIZI, AKTIVITAS FISIK DAN STATUS GIZI PADA REMAJA DI KOTA SUNGAI PENUH KABUPATEN KERINCI PROPINSI JAMBI

KONSUMSI PANGAN, PENGETAHUAN GIZI, AKTIVITAS FISIK DAN STATUS GIZI PADA REMAJA DI KOTA SUNGAI PENUH KABUPATEN KERINCI PROPINSI JAMBI 1 KONSUMSI PANGAN, PENGETAHUAN GIZI, AKTIVITAS FISIK DAN STATUS GIZI PADA REMAJA DI KOTA SUNGAI PENUH KABUPATEN KERINCI PROPINSI JAMBI Oleh: FRISKA AMELIA PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA

Lebih terperinci

World Hunger Organization (WHO), terdapat empat jenis masalah kekurangan. Anemia Gizi Besi (AGB), Kurang Vitamin A (KVA) dan Gangguan Akibat

World Hunger Organization (WHO), terdapat empat jenis masalah kekurangan. Anemia Gizi Besi (AGB), Kurang Vitamin A (KVA) dan Gangguan Akibat yang terkait. Masalah kekurangan gizi juga merupakan masalah kesehatan tertinggi di dunia, terutama di negara negara berkembang. Menurut data dari pada World Hunger Organization (WHO), terdapat empat jenis

Lebih terperinci

BAB IV. PENCAPAIAN MDG s DI INDONESIA Hasil Pencapaian Tujuan Pertama: Penanggulangan Kemiskinan dan

BAB IV. PENCAPAIAN MDG s DI INDONESIA Hasil Pencapaian Tujuan Pertama: Penanggulangan Kemiskinan dan BAB IV PENCAPAIAN MDG s DI INDONESIA 4.1. Hasil Pencapaian Tujuan Pertama: Penanggulangan Kemiskinan dan Kelaparan Sejak pengambilan komitmen terkandung dalam Deklarasi Milenium tahun 2000 terkait dengan

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR

4 GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR 44 Keterbatasan Kajian Penelitian PKL di suatu perkotaan sangat kompleks karena melibatkan banyak stakeholder, membutuhkan banyak biaya, waktu dan tenaga. Dengan demikian, penelitian ini memiliki beberapa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia.

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia. Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa kekurangan gizi, terutama pada usia dini akan berdampak pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit sehingga berkontribusi besar pada mortalitas Balita (WHO, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. penyakit sehingga berkontribusi besar pada mortalitas Balita (WHO, 2013). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebanyak 6,6 juta anak di bawah lima tahun meninggal pada tahun 2012 di seluruh dunia, dari data tersebut malnutrisi merupakan penyebab dasar pada sekitar 45% kematian.

Lebih terperinci

Gambar 3 Hubungan ketahanan pangan rumahtangga, kondisi lingkungan, morbidity, konsumsi pangan dan status gizi Balita

Gambar 3 Hubungan ketahanan pangan rumahtangga, kondisi lingkungan, morbidity, konsumsi pangan dan status gizi Balita 22 KERANGKA PEMIKIRAN Status gizi yang baik, terutama pada anak merupakan salah satu aset penting untuk pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya manusia yang berkualitas merupakan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. RAD MDGs Jawa Tengah

DAFTAR ISI. RAD MDGs Jawa Tengah DAFTAR ISI Hal Daftar Isi... ii Daftar Tabel dan Gambar... xii Daftar Singkatan... xvi Bab I Pendahuluan... 1 1.1. Kondisi Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Jawa Tengah... 3 Tujuan 1. Menanggulangi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Data yang Digunakan

METODE PENELITIAN Data yang Digunakan METODE PENELITIAN Data yang Digunakan Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Riskesdas 2007 diselenggarakan oleh Badan Penelitian dan

Lebih terperinci

ANALISIS AKSES PANGAN SERTA PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN PADA KELUARGA NELAYAN IDA HILDAWATI A

ANALISIS AKSES PANGAN SERTA PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN PADA KELUARGA NELAYAN IDA HILDAWATI A ANALISIS AKSES PANGAN SERTA PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN PADA KELUARGA NELAYAN IDA HILDAWATI A54104039 PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS PERSEPSI DAN SIKAP TERHADAP PERAN GENDER PADA MAHASISWA FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR NI NYOMAN SUSI RATNA DEWANTI

ANALISIS PERSEPSI DAN SIKAP TERHADAP PERAN GENDER PADA MAHASISWA FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR NI NYOMAN SUSI RATNA DEWANTI ANALISIS PERSEPSI DAN SIKAP TERHADAP PERAN GENDER PADA MAHASISWA FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Oleh: NI NYOMAN SUSI RATNA DEWANTI PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA

Lebih terperinci

Ikhtisar Pencapaian MDGs Provinsi Kepulauan Riau Menurut Jumlah Indikator

Ikhtisar Pencapaian MDGs Provinsi Kepulauan Riau Menurut Jumlah Indikator Page 1 Ikhtisar Pencapaian MDGs Provinsi Kepulauan Riau Menurut Jumlah Uraian Jumlah Jumlah Akan Perlu Perhatian Khusus Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan 12 9 1 2 Mencapai Pendidikan Dasar Untuk Semua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas dicirikan dengan fisik yang tangguh, kesehatan yang

BAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas dicirikan dengan fisik yang tangguh, kesehatan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan nasional yang diupayakan oleh pemerintah dan masyarakat sangat ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM). SDM yang berkualitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan salah satu masalah dalam proses pembangunan ekonomi. Permasalahan kemiskinan dialami oleh setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (mordibity) dan angka kematian (mortality). ( Darmadi, 2008). Di negara

BAB I PENDAHULUAN. (mordibity) dan angka kematian (mortality). ( Darmadi, 2008). Di negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakancg Pada negara-negara berkembang seperti halnya Indonesia, penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama tingginya angka kesakitan (mordibity) dan angka kematian (mortality).

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan di Indonesia saat ini mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025 yang memiliki lima tujuan pokok. Salah satu tujuan pokok

Lebih terperinci

TINGKAT PARTISIPASI IBU DI POSYANDU DAN IMPLEMENTASI PROGRAM GIZI DALAM MENINGKATKAN STATUS GIZI BALITA. Oleh:

TINGKAT PARTISIPASI IBU DI POSYANDU DAN IMPLEMENTASI PROGRAM GIZI DALAM MENINGKATKAN STATUS GIZI BALITA. Oleh: RINGKASAN HIBAH KOMPETITIF PENELITIAN UNTUK PUBLIKASI INTERNASIONAL BATHCH I TINGKAT PARTISIPASI IBU DI POSYANDU DAN IMPLEMENTASI PROGRAM GIZI DALAM MENINGKATKAN STATUS GIZI BALITA Oleh: Prof. Dr. Ir.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fisik dan mentalnya akan lambat. Salah satu indikator kesehatan yang dinilai

BAB I PENDAHULUAN. fisik dan mentalnya akan lambat. Salah satu indikator kesehatan yang dinilai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap tahun lebih dari sepertiga kematian anak di dunia berkaitan dengan masalah kurang gizi, yang dapat melemahkan daya tahan tubuh terhadap penyakit. Ibu yang mengalami

Lebih terperinci

STATUS GIZI DAN RIWAYAT KESEHATAN SEBAGAI DETERMINAN HIPERURISEMIA (Studi Kasus di PT. Chevron Pacific Indonesia, Distrik Duri, Riau) ALFINDA BUDIANTI

STATUS GIZI DAN RIWAYAT KESEHATAN SEBAGAI DETERMINAN HIPERURISEMIA (Studi Kasus di PT. Chevron Pacific Indonesia, Distrik Duri, Riau) ALFINDA BUDIANTI STATUS GIZI DAN RIWAYAT KESEHATAN SEBAGAI DETERMINAN HIPERURISEMIA (Studi Kasus di PT. Chevron Pacific Indonesia, Distrik Duri, Riau) ALFINDA BUDIANTI PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingkat kesejahteraan masyarakat secara rata-rata di suatu daerah

I. PENDAHULUAN. Tingkat kesejahteraan masyarakat secara rata-rata di suatu daerah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat kesejahteraan masyarakat secara rata-rata di suatu daerah dicerminkan oleh besar kecilnya angka PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) dan PDRB Per Kapita. Kesehatan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN 1 N

METODE PENELITIAN 1 N 32 METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini merupakan bagian dari data baseline pada kajian Studi Ketahanan Pangan dan Coping Mechanism Rumah Tangga di Daerah Kumuh yang dilakukan Departemen

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu, Tempat, dan Desain Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh

METODE PENELITIAN Waktu, Tempat, dan Desain Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh METODE PENELITIAN Waktu, Tempat, dan Desain Penelitian Penelitian mengenai studi karakteristik pertumbuhan anak usia sekolah di Provinsi Jawa Barat dilaksanakan dari bulan Mei-Juli 2011 dengan menggunakan

Lebih terperinci

Secara umum seluruh keluarga contoh termasuk keluarga miskin dengan pengeluaran dibawah Garis Kemiskinan Kota Bogor yaitu Rp. 256.

Secara umum seluruh keluarga contoh termasuk keluarga miskin dengan pengeluaran dibawah Garis Kemiskinan Kota Bogor yaitu Rp. 256. ABSTRACT ERNY ELVIANY SABARUDDIN. Study on Positive Deviance of Stunting Problems among Under five Children from Poor Family in Bogor City. Under direction of IKEU TANZIHA and YAYAT HERYATNO. The objectives

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Millenium Development Goals (MDGs) adalah sebuah komitmen bersama masyarakat internasional untuk mempercepat pembangunan manusia dan pengentasan kemiskinan. MDGs ini

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Status Gizi 1. Pengertian status gizi Status gizi adalah suatu keadaan tubuh yang diakibatkan oleh keseimbangan antara asupan zat gizi dengan kebutuhan. Jika keseimbangan tadi

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. Millenuim Development Goals (MDGs) adalah status gizi (SDKI, 2012). Status

BAB 1 : PENDAHULUAN. Millenuim Development Goals (MDGs) adalah status gizi (SDKI, 2012). Status BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu indikator kesehatan yang dinilai keberhasilannya dalam Millenuim Development Goals (MDGs) adalah status gizi (SDKI, 2012). Status gizi adalah ekspresi

Lebih terperinci

Jumlah dan Teknik Pemilihan Sampel

Jumlah dan Teknik Pemilihan Sampel Penelitian METODE PENELITIAN Desain, Waktu dan Tempat Penelitian ini menggunakan desain case control bersifat Retrospective bertujuan menilai hubungan paparan penyakit cara menentukan sekelompok kasus

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Masalah. Pembangunan adalah kenyataan fisik sekaligus keadaan mental (state

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Masalah. Pembangunan adalah kenyataan fisik sekaligus keadaan mental (state BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Pembangunan adalah kenyataan fisik sekaligus keadaan mental (state of mind) dari suatu masyarakat yang telah melalui kombinasi tertentu dari proses sosial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perlu disiapkan dengan baik kualitasnya (Depkes RI, 2001 dalam Yudesti &

BAB I PENDAHULUAN. perlu disiapkan dengan baik kualitasnya (Depkes RI, 2001 dalam Yudesti & BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelompok anak sekolah merupakan salah satu segmen penting di masyarakat dalam upaya peningkatan pemahaman dan kesadaran gizi sejak dini. Anak sekolah merupakan sasaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. 1 Universitas Indonesia. Analisis pelaksanaan..., Rama Chandra, FE UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. 1 Universitas Indonesia. Analisis pelaksanaan..., Rama Chandra, FE UI, 2010. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah kemiskinan yang dihadapi, terutama, oleh negara-negara yang sedang berkembang, memang sangatlah kompleks. Kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan

Lebih terperinci

II. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 II. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu orientasi pembangunan berubah dan berkembang pada setiap urutan waktu yang berbeda. Setelah Perang Dunia Kedua (PDII), pembangunan ditujukan untuk mengejar pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai akibat dari kecenderungan pasar global, telah memberikan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai akibat dari kecenderungan pasar global, telah memberikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan ekonomi yang dialami oleh negara-negara berkembang seperti Indonesia sebagai akibat dari kecenderungan pasar global, telah memberikan berbagai dampak pada

Lebih terperinci

METODOLOGI. 3. Cakupan Imunisasi Lengkap, Departemen Kesehatan RI Badan Pusat Statistik RI (BPS RI)

METODOLOGI. 3. Cakupan Imunisasi Lengkap, Departemen Kesehatan RI Badan Pusat Statistik RI (BPS RI) 28 METODOLOGI Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian ini menggunakan desain studi deskriptif. Penelitian dilakukan dengan mengolah data sekunder yang berasal dari berbagai instansi terkait. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lebih sangat erat kaitannya dengan aspek kesehatan lain. Gizi lebih dan. nama Sindrom Dunia Baru New World Syndrome.

BAB I PENDAHULUAN. lebih sangat erat kaitannya dengan aspek kesehatan lain. Gizi lebih dan. nama Sindrom Dunia Baru New World Syndrome. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah gizi di Indonesia akhir-akhir ini cenderung menunjukkan masalah gizi ganda, disamping masih menghadapi masalah gizi kurang, disisi lain pada golongan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian negara berkembang di dunia termasuk Indonesia menjadi salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian negara berkembang di dunia termasuk Indonesia menjadi salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagian negara berkembang di dunia termasuk Indonesia menjadi salah satu negara yang belum memperlihatkan kemajuan signifikan dalam mencapai tujuan Milenium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dan kesejahteraan manusia. Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat

BAB 1 PENDAHULUAN. dan kesejahteraan manusia. Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gizi merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan kesejahteraan manusia. Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat keseimbangan dan

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR EKONOMI TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DI KABUPATEN BOGOR. Oleh DIYAH RATNA SARI H

ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR EKONOMI TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DI KABUPATEN BOGOR. Oleh DIYAH RATNA SARI H ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR EKONOMI TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DI KABUPATEN BOGOR Oleh DIYAH RATNA SARI H14102075 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif (Hadi, 2005). bangsa bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable

BAB 1 PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif (Hadi, 2005). bangsa bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan suatu bangsa sangat tergantung kepada keberhasilan bangsa itu sendiri dalam menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas,

Lebih terperinci

BAB 1. Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh. ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang

BAB 1. Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh. ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki ketangguhan fisik, mental

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikonsumsi normal melalui proses digesti, absorbsi, transportasi,

BAB I PENDAHULUAN. dikonsumsi normal melalui proses digesti, absorbsi, transportasi, 14 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi normal melalui proses digesti, absorbsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan

Lebih terperinci

2.2 EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN RKPD SAMPAI DENGAN TAHUN 2013 DAN REALISASI RPJMD

2.2 EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN RKPD SAMPAI DENGAN TAHUN 2013 DAN REALISASI RPJMD 143 2.2 EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN RKPD SAMPAI DENGAN TAHUN 2013 DAN REALISASI RPJMD 2.2.1 Evaluasi Indikator Kinerja Utama Pembangunan Daerah Kinerja pembangunan Jawa Timur tahun 2013 diukur

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. n= z 2 1-α/2.p(1-p) d 2

METODE PENELITIAN. n= z 2 1-α/2.p(1-p) d 2 METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Desain dalam penelitian ini adalah cross sectional study. Lokasi penelitian di Desa Paberasan Kabupaten Sumenep. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan pangan. Banyak kasus kurang gizi disebabkan karena rendahnya pemahaman pola konsumsi yang sehat

Lebih terperinci

HUBUNGAN PEKERJAAN DAN PENDIDIKAN IBU TERHADAP STATUS GIZI BALITA DI DESA PULO ARA KECAMATAN KOTA JUANG KABUPATEN BIREUEN

HUBUNGAN PEKERJAAN DAN PENDIDIKAN IBU TERHADAP STATUS GIZI BALITA DI DESA PULO ARA KECAMATAN KOTA JUANG KABUPATEN BIREUEN HUBUNGAN PEKERJAAN DAN PENDIDIKAN IBU TERHADAP STATUS GIZI BALITA DI DESA PULO ARA KECAMATAN KOTA JUANG KABUPATEN BIREUEN Irwani Saputri 1*) dan Dewi Lisnianti 2) 1) Dosen Program Diploma III Kebidanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak sakit akan tetapi juga tidak sehat. Memasuki era globalisasi, Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. tidak sakit akan tetapi juga tidak sehat. Memasuki era globalisasi, Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada saat ini, sebagian besar atau 50% penduduk Indonesia dapat dikatakan tidak sakit akan tetapi juga tidak sehat. Memasuki era globalisasi, Indonesia menghadapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. MDGs lainnya, seperti angka kematian anak dan akses terhadap pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. MDGs lainnya, seperti angka kematian anak dan akses terhadap pendidikan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kasus kekurangan gizi pada anak balita yang diukur dengan prevalensi anak balita gizi kurang dan gizi buruk digunakan sebagai indikator kelaparan, karena mempunyai

Lebih terperinci

ANALISIS PERTUMBUHAN DAN DAYA SAING SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DI KOTA BEKASI PADA MASA OTONOMI DAERAH OLEH PRITTA AMALIA H

ANALISIS PERTUMBUHAN DAN DAYA SAING SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DI KOTA BEKASI PADA MASA OTONOMI DAERAH OLEH PRITTA AMALIA H ANALISIS PERTUMBUHAN DAN DAYA SAING SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DI KOTA BEKASI PADA MASA OTONOMI DAERAH OLEH PRITTA AMALIA H14103119 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Survei Antar Sensus BPS 2005 jumlah remaja di Indonesia adalah 41 juta jiwa,

BAB I PENDAHULUAN. Survei Antar Sensus BPS 2005 jumlah remaja di Indonesia adalah 41 juta jiwa, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Survei Antar Sensus BPS 2005 jumlah remaja di Indonesia adalah 41 juta jiwa, sedangkan menurut Depkes RI 2006 jumlah remaja meningkat yaitu 43 juta jiwa, dan menurut

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sulit diharapkan untuk berhasil membangun bangsa itu sendiri. (Hadi, 2012).

BAB 1 PENDAHULUAN. sulit diharapkan untuk berhasil membangun bangsa itu sendiri. (Hadi, 2012). 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan suatu bangsa sangat tergantung kepada keberhasilan bangsa itu sendiri dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, sehat, cerdas,

Lebih terperinci

PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PRAKTEK GIZI SERTA TINGKAT KONSUMSI IBU HAMIL DI KELURAHAN KRAMAT JATI DAN KELURAHAN RAGUNAN PROPINSI DKI JAKARTA

PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PRAKTEK GIZI SERTA TINGKAT KONSUMSI IBU HAMIL DI KELURAHAN KRAMAT JATI DAN KELURAHAN RAGUNAN PROPINSI DKI JAKARTA PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PRAKTEK GIZI SERTA TINGKAT KONSUMSI IBU HAMIL DI KELURAHAN KRAMAT JATI DAN KELURAHAN RAGUNAN PROPINSI DKI JAKARTA NADIYA MAWADDAH PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA

Lebih terperinci

HUBUNGAN MORBIDITAS DAN STIMULASI DENGAN TUMBUH KEMBANG ANAK BALITA BERSTATUS GIZI BAIK DAN PENDERITA KURANG ENERGI PROTEIN (KEP) DI KOTA BOGOR

HUBUNGAN MORBIDITAS DAN STIMULASI DENGAN TUMBUH KEMBANG ANAK BALITA BERSTATUS GIZI BAIK DAN PENDERITA KURANG ENERGI PROTEIN (KEP) DI KOTA BOGOR HUBUNGAN MORBIDITAS DAN STIMULASI DENGAN TUMBUH KEMBANG ANAK BALITA BERSTATUS GIZI BAIK DAN PENDERITA KURANG ENERGI PROTEIN (KEP) DI KOTA BOGOR Yulia Rimawati PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Waktu dan Tempat Cara Pemilihan Contoh

METODE PENELITIAN Desain, Waktu dan Tempat Cara Pemilihan Contoh METODE PENELITIAN Desain, Waktu dan Tempat Penelitian mengenai Pemberian Makanan Tambahan (PMT) biskuit yang disubstitusi tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) pada balita gizi kurang dan gizi buruk

Lebih terperinci

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas. Bahan Konferensi Pers Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas. Bahan Konferensi Pers Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas Bahan Konferensi Pers Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Jakarta, 18 Februari 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI 2 Rencana Pembangunan

Lebih terperinci

PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PERTUMBUHAN EKONOMI DAN MENGURANGI KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PEMERINTAH ACEH OLEH AGUS NAUFAL H

PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PERTUMBUHAN EKONOMI DAN MENGURANGI KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PEMERINTAH ACEH OLEH AGUS NAUFAL H PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PERTUMBUHAN EKONOMI DAN MENGURANGI KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PEMERINTAH ACEH OLEH AGUS NAUFAL H14052333 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan kemakmuran masyarakat yaitu melalui pengembangan. masalah sosial kemasyarakatan seperti pengangguran dan kemiskinan.

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan kemakmuran masyarakat yaitu melalui pengembangan. masalah sosial kemasyarakatan seperti pengangguran dan kemiskinan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses yang terintegrasi dan komprehensif dari perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian yang tidak terpisahkan. Di samping mengandalkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan). Maka kesehatan adalah dasar

BAB I PENDAHULUAN. Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan). Maka kesehatan adalah dasar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan adalah kebutuhan utama dan mendasar bagi kehidupan manusia. Kesehatan merupakan kondisi sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. berkembang menjadi insan yang berkualitas. sebanyak 20 juta anak balita yang mengalami kegemukan. Masalah gizi

BAB 1 PENDAHULUAN. berkembang menjadi insan yang berkualitas. sebanyak 20 juta anak balita yang mengalami kegemukan. Masalah gizi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peran ibu dalam pertumbuhan dan perkembangan anak sangatlah dominan untuk mengasuh dan mendidik anak agar tumbuh dan berkembang menjadi anak yang berkualitas.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu penyebab kekurangan gizi pada anak adalah kemiskinan. Memperbaiki gizi di masa awal kehidupan manusia dapat membangun fondasi yang kuat dalam membantu

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung berjudul Dampak Program Warung Anak Sehat (WAS) terhadap Perilaku Hygiene-Sanitasi Ibu WAS

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. beberapa zat gizi tidak terpenuhi atau zat-zat gizi tersebut hilang dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. beberapa zat gizi tidak terpenuhi atau zat-zat gizi tersebut hilang dengan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadaan gizi kurang dapat ditemukan pada setiap kelompok masyarakat. Pada hakekatnya keadaan gizi kurang dapat dilihat sebagai suatu proses kurang asupan makanan ketika

Lebih terperinci

METODOLOGI. n = 2 (σ 2 ) (Zα + Zβ) δ 2

METODOLOGI. n = 2 (σ 2 ) (Zα + Zβ) δ 2 17 METODOLOGI Desain, Waktu dan Tempat Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah experimental study yaitu percobaan lapang (field experiment) dengan menggunakan rancangan randomized treatment trial

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain Penelitian Teknik Penarikan Contoh

METODE PENELITIAN Desain Penelitian Teknik Penarikan Contoh METODE PENELITIAN Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional study. Cross sectional study dilakukan untuk mengidentifikasi dan menganalisis karakteristik

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. penduduk yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Salah satu indikator

BAB 1 : PENDAHULUAN. penduduk yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Salah satu indikator BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan seseorang dapat dapat diindikasikan oleh meningkatkatnya usia harapan hidup (UHH), akibatnya jumlah penduduk lanjut usia (lansia) semakin bertambah banyak

Lebih terperinci

ANALISIS AKTIVITAS FISIK, KONSUMSI PANGAN, DAN STATUS GIZI DENGAN PRODUKTIVITAS KERJA PEKERJA WANITA DI INDUSTRI KONVEKSI FARAH AZIIZA

ANALISIS AKTIVITAS FISIK, KONSUMSI PANGAN, DAN STATUS GIZI DENGAN PRODUKTIVITAS KERJA PEKERJA WANITA DI INDUSTRI KONVEKSI FARAH AZIIZA ANALISIS AKTIVITAS FISIK, KONSUMSI PANGAN, DAN STATUS GIZI DENGAN PRODUKTIVITAS KERJA PEKERJA WANITA DI INDUSTRI KONVEKSI FARAH AZIIZA PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PRAKTEK PEMBERIAN ASI SERTA STATUS GIZI BAYI USIA 4-12 BULAN DI PERDESAAN DAN PERKOTAAN

PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PRAKTEK PEMBERIAN ASI SERTA STATUS GIZI BAYI USIA 4-12 BULAN DI PERDESAAN DAN PERKOTAAN i PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PRAKTEK PEMBERIAN ASI SERTA STATUS GIZI BAYI USIA 4-12 BULAN DI PERDESAAN DAN PERKOTAAN ASRINISA RACHMADEWI DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah kesejahteraan rakyat yang terus meningkat dan ditunjukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. adalah kesejahteraan rakyat yang terus meningkat dan ditunjukan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Arah pembangunan jangka menengah Indonesia ke-2 (2010-2014) adalah kesejahteraan rakyat yang terus meningkat dan ditunjukan oleh membaiknya berbagai indikator pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. usia matang dan secara hukum diakui hak-haknya sebagai warga Negara.

BAB I PENDAHULUAN. usia matang dan secara hukum diakui hak-haknya sebagai warga Negara. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja merupakan kelompok manusia yang berada diantara usia kanak-kanak dan dewasa (Jones, 1997). Permulaan masa remaja dimulai saat anak secara seksual menjadi matang

Lebih terperinci

Gambar Kerangka pemikiran hubungan faktor gaya hidup dengan kegemuka pada orang dewasa di Provinsi Sulawesi Utara, DKI Jakarta, dan Gorontalo.

Gambar Kerangka pemikiran hubungan faktor gaya hidup dengan kegemuka pada orang dewasa di Provinsi Sulawesi Utara, DKI Jakarta, dan Gorontalo. 102 KERANGKA PEMIKIRAN Orang dewasa 15 tahun seiring dengan bertambahnya umur rentan menjadi gemuk. Kerja hormon menurun seiring dengan bertambahnya umur, yang dapat mengakibatkan ketidakseimbangan metabolisme

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. dr. Untung Suseno Sutarjo, M.Kes.

KATA PENGANTAR. dr. Untung Suseno Sutarjo, M.Kes. KATA PENGANTAR Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bulan September 2000, sebanyak 189 negara anggota PBB termasuk Indonesia sepakat untuk mengadopsi Deklarasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sehingga pembangunan bidang pertambangan merupakan tanggung jawab bersama. Oleh karenanya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Permasalahan Gizi Pada Balita

TINJAUAN PUSTAKA Permasalahan Gizi Pada Balita 6 TINJAUAN PUSTAKA Permasalahan Gizi Pada Balita Gizi merupakan hal penting dalam pembangunan, karena gizi adalah investasi dalam pembangunan. Gizi yang baik dapat memicu terjadi pembangunan yang pesat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan kekayaan hayati yang melimpah, hal ini memberikan keuntungan bagi Indonesia terhadap pembangunan perekonomian melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia diterjemahkan sebagai Tujuan Pembangunan Milenium yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia diterjemahkan sebagai Tujuan Pembangunan Milenium yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Millenium Development Goals atau disingkat MDG s dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai Tujuan Pembangunan Milenium yang merupakan paradigma pembangunan global

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Berat Badan Lahir Cukup (BBLC) a. Definisi Berat badan lahir adalah berat badan yang didapat dalam rentang waktu 1 jam setelah lahir (Kosim et al., 2014). BBLC

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sedep n = 93. Purbasari n = 90. Talun Santosa n = 69. Malabar n = 102. n = 87. Gambar 3 Teknik Penarikan Contoh

METODE PENELITIAN. Sedep n = 93. Purbasari n = 90. Talun Santosa n = 69. Malabar n = 102. n = 87. Gambar 3 Teknik Penarikan Contoh METODE PENELITIAN Desain, Lokasi dan Waktu Penelitian Desain penelitian adalah cross-sectional. Penelitian ini dilakukan di kebun Malabar PTPN VIII Desa Banjarsari, Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung

Lebih terperinci

METODOLOGI Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Teknik Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

METODOLOGI Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Teknik Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data 18 METODOLOGI Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Desain penelitian ini adalah cross sectional study dimana seluruh pengumpulan data dilakukan pada satu waktu. Penelitian ini dilakukan di SD Negeri 1 Malangsari

Lebih terperinci

BAB II. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SUMBA BARAT

BAB II. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SUMBA BARAT BAB II. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SUMBA BARAT 2.1. Gambaran Umum 2.1.1. Letak Geografis Kabupaten Sumba Barat merupakan salah satu Kabupaten di Pulau Sumba, salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadi sangat pesat. Pada masa ini balita membutuhkan asupan zat gizi yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. terjadi sangat pesat. Pada masa ini balita membutuhkan asupan zat gizi yang cukup BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Usia balita merupakan masa di mana proses pertumbuhan dan perkembangan terjadi sangat pesat. Pada masa ini balita membutuhkan asupan zat gizi yang cukup dalam jumlah

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem desentralistik atau otonomi daerah merupakan salah satu keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut dilatarbelakangi oleh pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penyakit tidak menular banyak ditemukan pada usia lanjut (Bustan, 1997).

BAB 1 PENDAHULUAN. penyakit tidak menular banyak ditemukan pada usia lanjut (Bustan, 1997). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit tidak menular merupakan penyakit kronis yang sifatnya tidak ditularkan dari orang ke orang. Penyakit ini memiliki banyak kesamaan dengan beberapa sebutan penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia atau lebih dari 100 juta jiwa mengalami beraneka masalah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia atau lebih dari 100 juta jiwa mengalami beraneka masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada tahun 2006, tingkat kemiskinan di Indonesia masih mencapai 17,8 persen yang berarti sekitar 40 juta jiwa masih berada di bawah garis kemiskinan. Salah satu akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stunting atau pendek merupakan salah satu indikator gizi klinis yang dapat memberikan gambaran gangguan keadaan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stunting atau pendek merupakan salah satu indikator gizi klinis yang dapat memberikan gambaran gangguan keadaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stunting atau pendek merupakan salah satu indikator gizi klinis yang dapat memberikan gambaran gangguan keadaan sosial ekonomi secara keseluruhan di masa lampau dan

Lebih terperinci

(1) menghapuskan kemiskinan dan kelaparan; (2) mewujudkan pendidikan dasar untuk semua orang; (3) mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan

(1) menghapuskan kemiskinan dan kelaparan; (2) mewujudkan pendidikan dasar untuk semua orang; (3) mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan Dr. Hefrizal Handra Fakultas Ekonomi Universitas Andalas Padang 2014 Deklarasi MDGs merupakan tantangan bagi negara miskin dan negara berkembang untuk mempraktekkan good governance dan komitmen penghapusan

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; A. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi (economic growth) merupakan salah satu indikator yang

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran 21 KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Kekurangan gizi pada usia dini mempunyai dampak buruk pada masa dewasa yang dimanifestasikan dalam bentuk fisik yang lebih kecil dengan tingkat produktifitas yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kesehatan merupakan masalah yang ada di tiap-tiap negara, baik negara miskin, negara berkembang, dan negara maju. Negara miskin cenderung dengan masalah gizi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. n = z 2 α/2.p(1-p) = (1,96) 2. 0,15 (1-0,15) = 48,9 49 d 2 0,1 2

METODE PENELITIAN. n = z 2 α/2.p(1-p) = (1,96) 2. 0,15 (1-0,15) = 48,9 49 d 2 0,1 2 METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Penelitian ini desain population survey, yaitu dengan mensurvei sebagian dari populasi balita yang ada di lokasi penelitian selama periode waktu tertentu.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Gizi Kurang Zat gizi adalah ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk melakukan fungsinya, yaitu menghasilkan energi, membangun dan memelihara jaringan, serta mengatur

Lebih terperinci