BAB II KAJIAN LITERATUR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN LITERATUR"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN LITERATUR Untuk membangun framework teoritis yang jelas sebagai dasar dilakukannya penelitian ini, penulis terlebih dahulu melakukan review terhadap beberapa literatur yang terkait dengan preferensi lokal. Review ini dilanjutkan dengan pembahasan mengenai studi-studi preferensi lokal yang pernah dilakukan serta pembahasan mengenai penyediaan set pelayanan umum perkotan yang sesuai dengan preferensi local business di Kota Depok. Secara teoritis, Tiebout (1956), Buchanan (1965), dan Oates (1968, 1999) menyatakan bahwa dalam sistem pemerintahan yang terdesentralisasi, pemerintah daerah dituntut untuk menyediakan pelayanan sedekat mungkin dengan preferensi lokalnya, karena dapat memberikan hasil yang lebih efisien. Dengan mengacu pada pernyataan tersebut, kerangka teoritis yang akan dibangun melalui review literatur ini adalah mengenai pentingnya mengalokasikan sumber daya secara efisien di era pemerintahan yang demokratis dan desentralistis, dengan mempertimbangkan aspek preferensi lokal. 2.1 Preferensi Lokal dalam Penyediaan Set Pelayanan Umum Perkotaan di era Demokratisasi dan Desentralisasi Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani; demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti kekuatan. Demokrasi merupakan sebuah bentuk kekuasaan rakyat, yang dalam perkembangan selanjutnya lebih sering diartikan sebagai sistem politik yang menempatkan kedaulatan pemerintahan di tangan rakyat. Dalam sistem pemerintahan yang demokratis, setiap anggota masyarakat memiliki kesempatan untuk menyampaikan aspirasinya secara bebas dan terbuka. Aspirasi-aspirasi ini kemudian ditampung oleh perwakilan rakyat di pemerintahan, untuk selanjutnya di jadikan sebagai masukan dalam setiap 13

2 pengambilan keputusan dan kebijakan yang akan mempengaruhi kehidupan masyarakat. Iklim pemerintahan yang demokratis sangat penting untuk diciptakan, karena dapat memberikan hasil yang efisien. Secara teoritis, literatur menyatakan bahwa pasar demokrasi dalam sistem politik dapat bekerja sama baiknya dengan pasar dalam sistem ekonomi (Wittman, 1989: 1395), karena keduanya samasama dapat memberikan hasil yang efisien. Pasar demokrasi memberikan ruang bagi pihak-pihak yang berkepentingan secara politik untuk menyuarakan aspirasinya dan bersaing secara sempurna. Pasar demokrasi juga mampu menghasilkan keputusan-keputusan yang refleksikan preferensi agregat dari anggota masyarakat dalam penyusunan rencana-rencana pembangunan kota. Dengan demikian, pasar demokrasi memberikan kesempatan untuk menghasilkan efisiensi dalam alokasi sumber daya publik, sama seperti yang terjadi di dalam pasar ekonomi. Dalam pemerintahan yang demokratis, proses kompetisi antar partai politik menjadi sangat umum terjadi. Kompetisi ini secara tidak langsung berperan sebagai semacam alat kontrol untuk menghindari kemungkinan pemerintah menyalahgunakan kepercayaan yang telah diberikan rakyat kepadanya. Apabila salah satu anggota partai politik memiliki kinerja dan reputasi yang kurang baik, maka sistem kompetisi yang ada bisa membuat masyarakat menurunkan atau bahkan menghilangkan dukungannya terhadap partai politik tersebut. Kondisi ini selanjutnya dapat dimanfaatkan oleh pihak oposisi untuk meningkatkan dukungan masyarakat terhadap partainya. Dengan demikian, pemerintah (dari partai politik terpilih) akan semakin terdorong untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab yang dimilikinya dengan lebih baik, sehingga efisiensi yang diharapkan bisa tercapai. Proses pemilihan yang dilakukan oleh masyarakat dalam era pemerintahan yang demokratis juga akan memberikan hasil yang efisien. Dalam pemerintahan yang demokratis, masyarakat bisa mengambil keputusan yang 14

3 efisien, meskipun tanpa informasi yang detail mengenai opsi pilihan yang ada. Masyarakat cukup mengetahui sedikit informasi mengenai opsi tersebut, dan mereka pun akan mampu membuat pilihan yang rasional. Pilihan yang rasional ini bisa tercapai karena masyarakat melakukan pengambilan keputusan berdasarkan pertimbangan atas preferensi yang dimilikinya. Dengan demikian, meskipun pilihan-pilihan masyarakat tidak dibuat berdasarkan informasi yang memadai, hasil yang dicapai dalam hal ini akan membuat pilihan-pilihan tersebut menjadi efisien. Sebuah sistem pemerintahan yang demokratis memungkinkan dilakukannya reduksi terhadap biaya negosiasi dan biaya transfer yang biasanya diperlukan untuk menghasilkan sebuah keputusan politik. Melalui mekanisme pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak, biaya-biaya ini dapat direduksi hingga serendah mungkin. Selain mampu mereduksi biaya pengambilan keputusan, sistem demokrasi juga dapat mereduksi persoalanpersoalan yang muncul karena adanya kelompok-kelompok penekan, kegagalan badan legislatif serta inefisiensi akibat pilihan median voter. Dengan demikian, pasar demokrasi ini mampu menghasilkan efisiensi di berbagai bidang. Supaya dapat berfungsi secara optimal, pasar demokrasi seharusnya bekerja di wilayah dengan batas administrasi yang tidak terlalu besar. Dengan batas wilayah yang tidak terlalu luas dan ukuran masyarakat yang terbatas, mekanisme pengambilan keputusan bisa dilaksanakan dengan lebih baik. Hal ini terkait dengan sejarah demokrasi langsung yang pada mulanya dilaksanakan pada distrik-distrik kecil di Yunani sekitar 2500 tahun yang lalu. Oleh karena itu, perkembangan sistem desentralisasi pada dasarnya memberikan dukungan yang cukup besar terhadap berkembangnya iklim dan pasar demokrasi dalam pemerintahan. Menurut Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan 15

4 pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (pasal 1 ayat 7). Desentralisasi ini dilakukan sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah (pasal 2 ayat 3). Dengan adanya desentralisasi, pemerintah daerah memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mengelola dan mengatur wilayahnya sendiri dalam menciptakan kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat. Desentralisasi kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah membuat iklim dan pasar demokrasi semakin berkembang. Pemerintah menjadi semakin dekat dengan masyarakat, sehingga dapat merespon kebutuhankebutuhan masyarakat dengan lebih baik dan lebih cepat. Sementara itu, respon yang lebih baik dan lebih cepat ini akan semakin mendorong masyarakat untuk terus menyampaikan aspirasi dan keinginannya kepada pemerintah. Dengan demikian, desentralisasi menghasilkan penguatan pada pasar demokrasi. Selain mampu membuat pasar demokrasi bekerja, desentralisasi juga dapat memberikan ruang bagi pemerintah untuk mengatur dan mengorganisir kembali perannya dalam menyediakan barang publik dengan biaya yang efisien (Bennet, 1990; Wildasin, 1997 dalam World Bank, 2003: 1). Dalam sistem yang terdesentralisasi, kontrol masyarakat terhadap kinerja pemerintah menjadi semakin meningkat. Oleh karena itu, pemerintah semakin terdorong untuk meningkatkan performa (kinerja) nya dengan cara mengalokasikan sumber daya publik seefektif dan seefisien mungkin. Dengan demikian, pemerintah bisa terlepas dari masalah ketidakefektifan dan ketidakefisienan (Bird dan Vaillancourt, 1999 dalam World Bank, 2003: 1) yang selama ini menjadi persoalan dalam sistem pemerintahan yang sentralistik. Dalam desentralisasi, salah satu aspek yang kewenangannya dilimpahkan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah adalah urusan fiskal. Desentralisasi fiskal ini menitikberatkan bahasannya pada penentuan fungsi pemerintah yang sesuai untuk didesentralisasikan. Fungsi pemerintah yang dimaksud diantaranya adalah fungsi stabilisasi, fungsi distribusi, dan fungsi 16

5 alokasi. Fungsi stabilisasi merupakan fungsi yang dipegang oleh pemerintah untuk menghasilkan stabilitas ekonomi nasional dengan cara melakukan pengaturan terhadap variabel-variabel makro ekonomi. Fungsi distribusi merupakan fungsi pemerintah yang terkait dengan upaya menciptakan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Sementara itu, fungsi alokasi terkait dengan upaya penyediaan barang-barang publik yang diperuntukkan untuk seluruh masyarakat secara komunal. Dalam pemerintahan yang menganut sistem desentralisasi fiskal, ketiga fungsi tersebut dijalankan oleh pihak pemerintah daerah, dengan fokus utama pada fungsi alokasi. Sementara itu, fungsi stabilisasi dan distribusi yang dilakukan oleh pemerintah daerah hanya terbatas pada upaya penciptaan stabilitas dan pemerataan di tingkat lokal, yang tidak berdampak terhadap kondisi nasional. Dengan adanya pelimpahan kewenangan pengaturan fungsi-fungsi tersebut, pemerintah daerah semakin memiliki kewenangan untuk mengatur alokasi anggaran dan sumber-sumber pemasukan, sesuai dengan UU No. 33 Tahun Fungsi alokasi sumber daya publik akan menjadi lebih baik apabila dilakukan oleh pemerintah daerah. Hal ini terjadi karena efisien atau tidaknya alokasi yang dilakukan akan sangat tergantung pada wilayah tempat alokasi tersebut dilakukan. Secara teoritis, pemerintah daerah pada dasarnya lebih mengetahui kondisi suatu daerah dan preferensinya apabila dibandingkan dengan pemerintah pusat. Dengan demikian, penyusunan rencana alokasi sumber daya publik yang dilakukan oleh pemerintah daerah akan lebih mampu merefleksikan kebutuhan dan preferensi entitas lokalnya. Penyediaan set pelayanan umum perkotaan merupakan salah satu bentuk kegiatan mengalokasikan sumber daya publik. Penyediaan set pelayanan umum perkotaan di era demokratisasi dan desentralisasi ini perlu dilakukan dengan memperhatikan preferensi lokalnya. Hal ini penting dilakukan karena perhatian terhadap preferensi lokal akan memberikan hasil yang lebih efisien dalam 17

6 kegiatan alokasi sumber daya publik. Akibatnya, kegiatan penyediaan set pelayanan umum akan menjadi lebih efisien apabila dilakukan pada tingkat pemerintahan lokal (daerah), karena pemerintah pada tingkat lokal lebih mengetahui preferensi dari entitas lokal (local resident dan local business)-nya. Apabila penyediaan pelayanan umum perkotaan dilakukan oleh pemerintah pusat, maka kemungkinan pelayanan tersebut mendekati harapan dan kebutuhan entitas lokal menjadi sangat kecil. Pemerintah pusat akan menyediakan pelayanan umum yang cenderung seragam dengan daerah-daerah lainnya, karena tidak memahami harapan dan kebutuhan dari masing-masing entitas lokal. Ketika hal tersebut terjadi, alokasi sumber daya publik yang dilakukan oleh pemerintah menjadi tidak efisien, karena tidak digunakan seoptimal mungkin untuk memenuhi taste dan preference lokal. Untuk menghindari terjadinya inefisiensi, peran pemerintah daerah dalam menyediakan pelayanan umum perkotaan menjadi semakin besar. Pemerintah daerah selanjutnya perlu melakukan inovasi dan terobosan baru, supaya dapat menyediakan pelayanan umum perkotaan yang sesuai dengan preferensi lokalnya. Dengan demikian, alokasi sumber daya publik untuk menyediakan pelayanan umum perkotaan bisa menjadi lebih efisien. Tuntutan untuk menghasilkan efisiensi membuat preferensi lokal berkembang menjadi isu utama dalam sistem fiskal yang terdesentralisasi. Secara teoritis, efisiensi yang diharapkan baru akan tercapai ketika sumber daya dialokasikan sedemikian rupa untuk memenuhi taste dan preference lokalnya. Dengan mengetahui preferensi lokal, pemerintah akan mampu menyusun struktur penganggaran secara efisien. Dengan demikian, pertimbangan terhadap preferensi ini akan mewujudkan desentralisasi fiskal untuk menghasilkan alokasi sumber daya yang efisien, mewujudkan distribusi pendapatan dan kesejahteraan, serta mempertahankan kestabilan dan kemajuan ekonomi (Oates, 1968: 37). Pernyataan bahwa pemerintah lokal akan lebih mampu merepresentasikan preferensi lokalnya juga didukung secara teoritis dalam artikel yang ditulis oleh 18

7 Tiebout (1956). Artikel tersebut menjelaskan pendapat Samuelson dan Musgrave yang menyatakan bahwa meskipun sangat penting untuk dipertimbangkan, preferensi sangat sulit untuk diungkapkan (Tiebout, 1956: 417). Oleh karena itu, masyarakat umumnya akan mengabaikan preferensi yang mereka miliki dan berusaha untuk menikmati pelayanan yang telah tersedia sambil menghindar untuk membayar pajak. Dalam upaya mengatasi persoalan ini, setidaknya terdapat tiga hal yang perlu dilakukan. 1) mengungkapkan preferensi masyarakat, 2) menyediakan barang dan jasa pelayanan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dan 3) membebankan pajak kepada masyarakat, sesuai dengan pelayanan yang diberikan. (Tiebout, 1956: ). Pertanyaannya kemudian, apakah ada perangkat institusi sosial yang dapat mendekati ketiga tujuan di atas? Dalam artikel yang ditulisnya, Tiebout menyatakan bahwa dalam perangkat institusi sosial di tingkat lokal, ketiga hal tersebut sangat mungkin untuk diwujudkan. Secara lebih detail, Tiebout menjelaskan bahwa pada daerahdaerah otonom yang terdesentralisasi (pemerintahan berada di tingkat lokal), preferensi tersebut dapat diketahui melalui pola pemilihan lokasi tempat tinggal. Menurutnya pendapatnya, pemerintah pada tingkat lokal umumnya memiliki pola pendapatan dan pengeluaran yang sudah di-set sedemikian rupa dan berbedabeda satu sama lainnya. Oleh karena itu, setiap anggota masyarakat dapat memilih lokasi tempat tinggal yang paling memenuhi preferensinya. Penyediaan pelayanan umum di tingkat lokal pada dasarnya dapat memberikan kepuasan yang tertinggi kepada masyarakat. Hal ini terjadi karena pemerintah lokal/ daerah memiliki kemampuan untuk menyediakan pelayanan sedekat mungkin dengan preferensi lokalnya. Ada atau tidaknya pertimbangan terhadap preferensi lokal akan mempengaruhi besarnya dukungan entitas lokal terhadap kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah. Ketika preferensi lokal dijadikan sebagai pertimbangan dalam menyusun kebijakan, entitas-entitas lokal tanpa ragu akan mendukung implementasi dari kebijakan tersebut. Namun sebaliknya, apabila 19

8 kebijakan dibuat tanpa pertimbangan terhadap preferensi lokal, entitas-entitas lokal akan memberikan respon yang berbeda-beda dalam menanggapi upaya implementasi kebijakan tersebut. Dengan demikian, untuk memperoleh dukungan entitas lokal terhadap kebijakan yang dikeluarkannya, pemerintah daerah perlu memasukkan preferensi lokal sebagai dasar penyusunan kebijakan penyediaan set pelayanan umum perkotaan. Apabila ternyata preferensi tersebut tidak direfleksikan dalam rencana penyediaan set pelayanan umum perkotaan, entitas lokal memiliki beberapa cara untuk meresponnya. Cara pertama adalah dengan melakukan perpindahan ke lokasi lain yang menyediakan pelayanan sesuai dengan preferensinya. Cara kedua adalah dengan upaya menyampaikan aspirasi melalui forum-forum deliberatif yang dapat dipercaya. Sementara itu, cara ketiga dilakukan dengan menerima pelayanan apapun yang sudah diberikan oleh pemerintah (diam saja). Cara-cara tersebut dalam terminologi Albert Hirschman (1970) dikenal dengan istilah Exit, Voice, dan Loyalty. Keputusan entitas lokal untuk keluar dari tempat asalnya dan mencari tempat tinggal yang baru (exit) pada dasarnya dipengaruhi oleh dua hal utama, yaitu besarnya pajak dan jenis pelayanan umum perkotaan yang disediakan. Apabila terdapat banyak lokasi dengan set pelayanan umum dan besar pajak yang berbeda-beda, entitas-entitas lokal akan cenderung memilih lokasi dengan set pelayanan perkotaan dan besar pajak yang sesuai dengan preferensinya. Entitasentitas lokal akan lebih suka membayar pajak untuk memperoleh pelayanan umum perkotaan yang sesuai dengan kebutuhannya. Meskipun demikian, tindakan perpindahan (exit) ini hanya dapat terjadi apabila asumsi-asumsi Tiebout berikut ini terpenuhi: Entitas lokal (consumer-voter) dapat bergerak bebas. Dia bisa pindah ke lokasi-lokasi yang menyediakan pelayanan sesuai dengan preferensinya, 20

9 consumer-voter diasumsikan memiliki informasi yang cukup tentang pola pendapatan dan pengeluaran dari masing-masing lokasi, ada banyak lokasi yang bisa dipilih, tidak terdapat batasan atas pergerakan yang dilakukan entitas, tidak terdapat ekstenal ekonomi, terdapat manager yang mampu mengukur jumlah entitas optimal dalam setiap lokasi untuk meminimumkan biaya penyediaan barang publik, lokasi-lokasi yang memiliki jumlah entitas kurang dari optimal, akan berupaya menarik entitas baru. Sementara lokasi-lokasi yang sudah memiliki jumlah optimal berusaha untuk menjaga agar populasinya tetap konstan. Pilihan untuk melakukan exit, yang dalam terminologi public choice dikenal dengan istilah public choice with mobility, ini pada dasarnya menunjukkan bentuk ketidakpercayaan entitas lokal akan kemungkinan dilakukannya perbaikan kondisi oleh pihak pemerintah. Pilihan tindakan lainnya yang dapat dilakukan oleh entitas lokal ketika set pelayanan umum perkotaan yang disediakan tidak sesuai dengan preferensinya adalah dengan mengeluarkan pendapat (voice). Dalam konsep public choice, bentuk pilihan tindakan ini dikenal dengan istilah public choice without mobility. Biasanya, upaya untuk menyuarakan pendapat ini dilakukan dengan kegiatan voting (pemungutan suara). Metode pengambilan keputusan yang umum digunakan ketika voting berlangsung adalah pengambilan keputusan berdasarkan suara mayoritas (majority voting). Menurut metode ini, pilihan yang didukung oleh suara mayoritas akan menjadi pilihan yang direalisasikan oleh pemerintah. Sebagai 21

10 contoh misalnya, terdapat pilihan infrastruktur kota yang perlu disediakan untuk mendukung upaya peningkatan kesejahteraan lokal. Infrastruktur kota yang dijadikan opsi pilihan diantaranya adalah jaringan jalan, jaringan air bersih, dan jaringan telekomunikasi. Karena sumber daya publik yang tersedia sangat terbatas, pemerintah daerah harus selektif memilih jenis pelayanan yang menjadi prioritas utama untuk disediakan. Untuk menentukan prioritas tersebut, dilakukan mekanisme pengambilan suara (voting). Apabila dari hasil voting diperoleh suara mayorita yang menginginkan pembangunan jaringan jalan didahulukan, maka pemerintah akan memprioritaskan alokasi sumber daya pada penyediaan jaringan jalan. Keputusan untuk mengalokasikan sumber daya tersebut akan menjadi efisien, karena sudah sesuai dengan preferensi entitas lokalnya. Pilihan untuk menyuarakan pendapat ini biasanya muncul ketika entitas lokal merasa masih ada kesempatan untuk menuntut peningkatan kualitas penyediaan pelayanan umum perkotaan. Pilihan ini juga biasanya muncul ketika di dalam di daerah tersebut terdapat forum-forum deliberatif yang memungkinkan kegiatan voting ini untuk dilakukan. Apabila forum-forum musyawarah (deliberatif) ini tidak tersedia, maka alternatif upaya penyampaian aspirasi bisa dilakukan dengan cara lain yang sifatnya biasa hingga yang sifatnya anarkis. Pihak-pihak yang masih merasa tidak puas dengan pelayanan yang diberikan, bisa saja melakukan aksi protes baik secara individual maupun kelompok, demonstrasi massa, pemberian petisi, hingga aksi pengrusakan atau tindakan-tindakan lain yang dapat menghambat jalannya pembangunan set pelayanan umum perkotaan. Pilihan tindakan lainnya yang dapat dijadikan alternatif oleh entitas lokal untuk merespon penyediaan pelayanan umum perkotaan yang tidak sesuai dengan preferensinya adalah dengan diam/ tidak melakukan apa-apa (loyalty). Pilihan tindakan ini bisa dilakukan karena tiga alasan. Pertama, karena entitas lokal tersebut merasa bahwa dirinya tidak dapat memberikan pengaruh yang 22

11 berarti terhadap kebijakan penyediaan set pelayanan umum perkotaan. Entitas lokal yang memilih tindakan ini karena alasan pertama umumnya menunggu peran pemerintah untuk melakukan koreksi sendiri terhadap kesalahan/ kekurangan yang dilakukannya. Kedua, karena tidak tersedia media yang dapat menjadi sarana penyampaian aspirasi kepada pihak pemerintah. Ketiga, karena alasan kecintaan terhadap kota tempat tinggalnya. Entitas lokal yang melakukan pilihan tindakan ini karena alasan ketiga biasanya akan menerima kondisi kotanya, seperti apapun keadaannya. Meskipun dalam beberapa hal, pilihan tindakan ini bisa menjadi tindakan terbaik, apabila masyarakat terus-menerus menunjukkan sikap loyalty ini, upaya perbaikan atas kualitas dan jenis pelayanan umum perkotaan yang disediakan akan sulit untuk dicapai. Pemahaman atas preferensi lokal sangat penting untuk dilakukan, karena dapat membuat alokasi sumber daya publik menjadi lebih efisien. Mengapa sumber daya publik harus dialokasikan dengan efisien? Sumber daya publik harus dialokasikan secara efisien karena ketersediaannya sangat terbatas. Apabila sumber daya tersebut jumlahnya tidak terbatas, kebutuhan setiap pihak tentunya akan dapat terpenuhi dengan mudah. Namun kenyataannya tidak demikian. Sumber daya tersedia dalam jumlah yang terbatas, sehingga alokasinya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut harus dilakukan secara efisien. Secara teknis, suatu kondisi dinyatakan efisien, apabila otuput yang dihasilkan dari suatu proses, lebih besar daripada input yang dibutuhkan. Namun dalam kegiatan alokasi sumber daya publik, konsep efisiensi yang digunakan berbeda. Alokasi sumber daya akan menjadi efisien apabila perubahan kondisi suatu pihak menjadi lebih baik (better off) bisa dilakukan tanpa membuat kondisi pihak lain menjadi lebih buruk (worse off). Dengan kata lain, suatu pihak bisa meningkatkan kesejahteraannya tanpa menurunkan kesejahteraan pihak lain. Sementara itu, dalam model pertukaran ekonomi, efisiensi bisa terjadi jika dan hanya jika Marginal Rates of Substitution (MRS) setiap pihak, yang diperoleh dari fungsi ordinal utilitas adalah sama. Apabila terjadi pertukaran 23

12 barang antara pihak A dan pihak B, maka konsep ini menjelaskan bahwa efisiensi akan terjadi ketika MRS A = MRS B. Dengan kata lain, besarnya pengorbanan atas konsumsi suatu barang untuk menaikkan konsumsi barang lainnya adalah sama. Meskipun demikian, konsep efisiensi yang selanjutnya akan digunakan dalam penelitian adalah konsep efisiensi secara ekonomi. Efisien dalam penelitian ini dapat dicapai ketika pelayanan umum perkotaan disediakan sesuai dengan taste dan preference lokalnya. Konsep efisiensi ini apabila dikombinasikan dengan konsep equity (kesetaraan), pada akhirnya akan menghasilkan fungsi kesejahteraan sosial (social welfare function). Fungsi kesejahteraan sosial ini menunjukkan hubungan antara distribusi tingkat kepuasan yang dimiliki oleh seluruh entitas dengan penilaian terhadap kepuasan sosial secara menyeluruh yang diperoleh dari distribusi sumber daya (Friedman, 1976: 43). Menurut konsep ini, apabila sumber daya dapat dialokasikan seefisien mungkin dan seluruh entitas lokal merasakan kepuasan karena preferensinya diperhatikan (dalam pengalokasian sumber daya tersebut), kesejahteraan sosial akan mengalami peningkatan. Dengan kata lain, alokasi sumber daya secara efisien dan perhatian terhadap preferensi lokal merupakan dasar dari terciptanya kesejahteraan sosial. Pertanyaannya kemudian, mengapa untuk menghasilkan alokasi sumber daya yang efisien diperlukan pertimbangan mengenai preferensi lokal? Apabila ditinjau dari sudut pandang kebijakan, hampir semua kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah memiliki kaitan yang erat dengan upaya mengalokasikan sumber daya secara efisien. Sementara itu, analisis preferensi lokal pada dasarnya merupakan bagian dari analisis mikroekonomi yang umum digunakan sebagai dasar penyusunan kebijakan publik. Oleh karena itu, penilaian atas efektivitas dan efisiensi dari suatu kebijakan baru bisa dilakukan apabila preferensi lokalnya diketahui. Ketika sebuah kebijakan alokasi sumber daya publik dibuat dengan mempertimbangkan preferensi lokal, maka bisa dipastikan kebijakan tersebut akan menjadi lebih efisien, dan demikian pula sebaliknya. 24

13 Dengan mengetahui preferensi lokal, pemerintah daerah dapat menyusun rencana penyediaan set pelayanan umum perkotaan yang lebih sesuai dengan kebutuhan entitas lokalnya. Dengan mengetahui jenis-jenis pelayanan umum yang dibutuhkan, pemerintah dapat menyusun struktur pendapatan dan pengeluaran daerah yang sesuai untuk membiayai penyediaan tersebut. Dengan struktur yang tepat, besarnya pajak yang dibebankan kepada masyarakat juga akan lebih sesuai dengan biaya yang sebenarnya dibutuhkan. Akibatnya, entitas lokal akan terdorong untuk membayar pajak sebagaimana mestinya, karena mereka juga akan memperoleh set pelayanan yang sesuai dengan preferensinya. Apabila hal ini terjadi, alokasi sumber daya publik akan menjadi efisien dan kesejahteraan dari entitas lokal pun bisa ditingkatkan. 2.2 Studi-Studi mengenai Preferensi Lokal Pentingnya perhatian terhadap preferensi lokal telah memacu dilakukannya penelitian di bidang tersebut. Untuk kasus di Indonesia, sampai saat ini sudah terdapat dua buah penelitian mengenai preferensi lokal. Kedua penelitian tersebut dilakukan oleh Patta, pada tahun 2004 dan Pada tahun 2004, penelitian difokuskan pada preferensi lokal (local resident dan local business) di kota-kota Jabodetabek. Sementara itu, pada tahun 2006, penelitian secara lebih spesifik difokuskan pada preferensi masyarakat lokal (local resident) di Kota Depok. Penelitian mengenai preferensi lokal di Jabodetabek dilakukan untuk mengidentifikasi dan memahami preferensi local resident dan local business di kota-kota Jabodetabek sejak otonomi daerah diberlakukan di Indonesia (Patta, 2004: 4). Penelitian ini dilakukan kepada 2400 responden yang berasal dari populasi pemilih/ voters tetap yang tersebar secara merata di 24 kota di Jabodetabek. Responden-responden tersebut selanjutnya ditanya mengenai urutan preferensinya terhadap set pelayanan umum perkotaan yang meliputi pelayanan pemadam kebakaran, pemeliharaan jalan lokal, perawatan kebersihan jalan lokal, 25

14 pengumpulan sampah, penyediaan taman, perencanaan perkotaan, pelayanan pendidikan, serta pelayanan kesehatan. Dengan mengetahui preferensi local resident dan local business di kotakota Jabodetabek, upaya untuk mendukung pembangunan dan manajemen kota yang berkelanjutan di kawasan Metropolitan Jabodetabek bisa berlangsung dengan lebih baik. Hal ini terjadi, karena dalam sistem desentralisasi fiskal yang berkembang saat ini, pemerintah lokal semakin diharapkan untuk menyediakan pelayanan sedekat mungkin dengan preferensi local resident dan local businessnya. Dengan mengetahui preferensi lokal secara tepat, pemerintah lokal akan mampu menyusun kebijakan yang sesuai dalam penyediaan pelayanan yang efektif dengan alokasi sumber daya yang efisien secara spasial (Patta, 2004: 2). Penelitian selanjutnya mengenai preferensi lokal di Kota Depok pada tahun 2006 pada dasarnya merupakan hasil pengembangan dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Setelah preferensi masyarakat lokal di kota-kota Jabodetabek diketahui, peneliti secara spesifik ingin mengetahui bagaimana sebenarnya preferensi local resident yang berada di Kota Depok, sebagai salah satu kota yang terdapat di wilayah Jabodetabek. Penelitian dengan judul Preferensi Lokal terhadap Set Pelayanan Umum di Kota Depok diawali dengan pertimbangan teoritis normatif yang menyatakan bahwa penyediaan set pelayanan umum kota di era desentralisasi dan demokratisasi seharusnya mendekati preferensi lokal di kota tersebut (Musgrave, 1939, 1959; Samuelson, 1954; Tiebout, 1956; dan Oates 1972, 1999 dalam Patta, 2006). Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk menguji apakah harapan teoritis normatif di atas terjadi secara empirik di lapangan, baik dalam skenario ex ante maupun ex post (Patta, 2006). Kedua penelitian tersebut menjelaskan pentingnya memperhatikan preferensi lokal (resident dan business) dalam pengambilan kebijakan dan pengelolaan pembangunan kota setelah era otonomi daerah diberlakukan. Dengan memasukkan pertimbangan terhadap preferensi, pemerintah dapat 26

15 menyediakan pelayanan sedekat mungkin dengan kebutuhan lokalnya. Penyediaan pelayanan umum perkotaan dan penganggaran pembangunan akan lebih efisien apabila sesuai dengan karakteristik lokalnya. Apabila efisiensi tersebut bisa terpenuhi, upaya untuk menciptakan pembangunan kota yang berkelanjutan akan dapat tercapai. 2.3 Studi Penyediaan Set Pelayanan Umum Perkotaan yang sesuai dengan Preferensi Local Business di Kota Depok Proses demokratisasi dan desentralisasi yang berlangsung di Indonesia sejak tahun 1998 memberikan pengaruh besar terhadap kebijakan pengelolaan kota-kota di Indonesia. Pengelolaan kota yang semula dilakukan secara otoriter sentralistik, dengan adanya proses ini mulai dikelola dengan cara-cara yang lebih demokraatis dan desentralistis. Penyediaan pelayanan umum perkotaan yang semula dilakukan secara terpusat, dengan adanya sistem desentralisasi mulai dilakukan oleh pemerintah daerah dengan mempertimbangkan preferensi lokalnya. Pertimbangan atas preferensi lokal menjadi penting untuk dilakukan dalam sistem pemerintahan yang demokratis dan desentralistis. Hal ini terjadi karena dengan pertimbangan terhadap preferensi, pemerintah akan dapat menyediakan pelayanan umum perkotaan sedekat mungkin dengan kebutuhan lokalnya. Dengan menyediakan pelayanan sesuai dengan kebutuhan, sumber daya publik yang jumlahnya terbatas akan dapat dialokasikan secara efisien. Selain itu, kesesuaian penyediaan penyediaan pelayanan umum perkotaan dengan preferensi lokal juga akan sangat mendukung upaya pencapaian tujuan pembangunan dari suatu kota. Kota Depok adalah sebuah kota yang memiliki tujuan untuk berkembang menjadi Kota Pusat Perdagangan dan Jasa. Dengan tujuan seperti ini, setiap tahunnya jumlah kegiatan usaha di Kota Depok selalu mengalami peningkatan. Kondisi ini ditunjukkan dengan perkembangan jumlah SIUP (Surat Izin Usaha 27

16 Perdagangan) yang dikeluarkan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Depok setiap tahunnya. Untuk lebih jelasnya, perkembangan kegiatan usaha di Kota Depok dapat dilihat pada tabel berikut ini: TABEL II.1 REKAPITULASI PERKEMBANGAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN JUMLAH SIUP YANG DIKELUARKAN DI KOTA DEPOK KECAMATAN Sawangan Pancoran Mas Sukmajaya Cimanggis Beji Limo TOTAL Sumber: Kota Depok dalam angka dan Disperindag Jabar, 2007 Pada tahun 1999, Disperindag Kota Depok mengeluarkan 410 SIUP, kemudian pada tahun 2001 sebanyak 646 SIUP, dan saat ini (2007) tercatat ada 1534 SIUP di Kota Depok. Sebanyak 1534 badan usaha dengan SIUP tersebut tersebar di seluruh Kota Depok. Kegiatan usaha ini sebagian besar terdapat di Kecamatan Sukmajaya (402 badan usaha) dan Cimanggis (355 badan usaha). Sementara itu, kecamatan dengan jumlah badan usaha yang paling sedikit adalah Kecamatan Sawangan (93 badan usaha) (Disperindag Jawa Barat, 2007) Untuk lebih jelasnya, sebaran kepadatan dari kegiatan usaha yang terdapat di Kota Depok ini adalah sebagai berikut: 28

17 29

18 Dengan kondisi tersebut, penyediaan set pelayanan umum perkotaan di Kota Depok seharusnya dilakukan dengan memperhatikan preferensi dari local business-nya. Local business di Kota Depok merupakan bentuk sumber daya terbatas yang sifatnya mobile (dapat berpindah tempat), sehingga keberadaannya di suatu daerah penting untuk diperhatikan. Local business (unit bisnis lokal) ini sangat sensitif terhadap perbedaan besar pajak usaha yang ditetapkan oleh daerah (Oates, 1969: 45). Apabila sistem perpajakan dan alokasi sumber daya yang ada tidak sesuai dengan harapannya, Local business bisa pindah ke tempat lain dengan sistem perpajakan dan alokasi sumber daya yang lebih sesuai. Padahal, local business memiliki peran yang besar dalam menggerakkan perekonomian di daerah tempatnya berada. Suatu daerah tidak dapat menetapkan pajak yang terlalu besar bagi kegiatan-kegiatan produktif, tanpa memunculkan resiko pindahnya local business ke daerah lain (Oates, 1968: 45). Local business umumnya sangat peka terhadap hal-hal seperti itu. Oleh karena itu, sistem perpajakan dan alokasi sumber daya yang ada harus diatur sedemikian rupa, sehingga tidak menjadi alasan bagi kepindahan unit bisnis beserta investasinya ke lokasi lain. Dengan kata lain, penetapan alokasi sumber daya dan sistem pajak di suatu daerah seharusnya memperhatikan preferensi dari local business. Untuk menjaga kelangsungan usaha di suatu lokasi, diperlukan dukungan fasilitas pelayanan umum yang memadai. Dalam modul peningkatan iklim usaha lokal yang dikeluarkan oleh World Bank (2000), disebutkan bahwa fasilitas umum yang dapat mendukung kelangsungan usaha lokal dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu fasilitas yang sifatnya fisik dan fasilitas yang sifatnya non fisik. Fasilitas fisik perkotaan yang perlu disediakan untuk mendukung kelangsungan usaha lokal diantaranya adalah: 1. ketersediaan akses jalan yang memadai, 2. ketersediaan terminal angkutan barang dan orang, 3. ketersediaan kawasan khusus usaha, 30

19 4. ketersediaan jaringan air bersih 5. ketersediaan saluran pembuangan air kotor dan drainase, 6. ketersediaan tempat-tempat pengelolaan sampah yang memadai, 7. ketersediaan energi listrik, serta 8. ketersediaan jaringan telekomunikasi yang memadai. Sementara itu, fasilitas non fisik perkotaan yang perlu disediakan untuk mendukung kelangsungan usaha berdasarkan literatur yang sama diantaranya adalah: 1. kepastian hukum, 2. kesesuaian pajak dengan pelayanan yang diberikan, 3. kemudahan pengurusan izin usaha, 4. jaminan keamanan, serta 5. kemudahan menyuarakan aspirasi Komponen-komponen fasilitas fisik perkotaan yang menunjang kelangsungan usaha di atas pada dasarnya sudah memiliki definisi yang jelas, sehingga tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut. Sementara itu, komponen fasilitas non fisik perkotaan banyak mengacu pada hal-hal yang masih cukup abstrak. Oleh karena itu, untuk menyamakan pemahaman atas komponen non fisik di atas, diperlukan beberapa penjelasan sebagai berikut: kepastian hukum: konsistensi pemerintah daerah dalam menetapkan aturan perundangan (tidak berubah-ubah, bisa dipegang dalam jangka waktu yang cukup panjang, sehingga menghasilkan kestabilan pada apa yang diaturnya), kesesuaian pajak dengan pelayanan yang diberikan: local business memperoleh pelayanan yang sesuai dengan pajak yang mereka bayarkan. Dengan kata lain, pungutan yang dibebankan kepada local 31

20 business memang digunakan untuk menyediakan pelayanan-pelayanan yang mendukung usaha local business tersebut, kemudahan pengurusan izin usaha: kemudahan local business dalam memperoleh izin tertentu guna mendukung kegiatan usahanya (memberikan prosedur pengurusan izin secara jelas, sehingga izin dapat diperoleh dalam waktu yang cukup singkat dan tanpa prosedur yang berbelit-belit), jaminan keamanan: dukungan kelangsungan usaha dari sudut pandang keamanan. Terbebas dari segala macam gangguan dan ancaman (dari luar/ lingkungan) yang dapat mengganggu kelancaran usaha yang dilakukan oleh local business, kemudahan menyuarakan aspirasi: tersedianya ruang-ruang diskusi, bagi local business untuk menyampaikan pendapat dan aspirasinya. Tidak ada upaya untuk menghalang-halangi local business dalam menyampaikan aspirasinya. Karena secara teoritis, set pelayanan fisik dan non fisik perkotaan di atas diperlukan untuk mendukung kelangsungan kegiatan usaha di suatu kota, penyediaannya menjadi sangat penting untuk disediakan. Oleh sebab itu, preferensi local business atas poin-poin di atas seharusnya terefleksikan dalam alokasi anggaran pembangunan yang dikeluarkan oleh pemerintah Kota Depok. Pada kenyataannya saat ini, preferensi local business di Kota Depok masih belum terefleksi dalam rencana penyediaan set pelayanan umum perkotaan. Hal ini terjadi karena pihak pemerintah Kota Depok hingga saat ini masih didominasi oleh karakteristik pemerintahan berstatus quo. Pihak pemerintah dengan karakteristik status quo selalu mengharapkan segala sesuatu dilakukan sebagaimana mestinya, tanpa berupaya untuk melakukan terobosan dan inovasi baru untuk mengarah kepada kondisi yang lebih baik lagi. Karakteristik status 32

21 quo ini tercermin dalam kegiatan penyusunan rencana penyediaan pelayanan umum perkotaan. Rencana penyediaan set pelayanan umum perkotaan masih disusun berdasarkan standar-standar pemenuhan kebutuhan minimum perkotaan, yang belum tentu sesuai dengan preferensi local business-nya. Dalam proses penyusunan rencana pembangunan, dikenal mekanisme Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan). Mekanisme ini merupakan salah satu upaya yang sudah dilakukan oleh pemerintah Kota Depok untuk memperoleh masukan-masukan dalam perencanaan pembangunan dari entitas-entitas lokal (termasuk local business di dalamnya). Musrenbang dilakukan secara bertahap, mulai dari tingkat kelurahan (yang dilaksanakan setiap awal bulan Maret), kecamatan (setiap awal bulan April), serta kota (setiap bulan Mei). Local business pada dasarnya merupakan bagian dari entitas lokal di perkotaan. Oleh karena itu, preferensi yang mereka miliki terhadap set pelayanan umum perkotaan seharusnya juga dapat disampaikan melalui mekanisme Musrenbang. Upaya mendengarkan preferensi local business diperlihatkan dengan adanya upaya untuk melibatkan pihak KADIN dalam Musrenbang. Pihak KADIN ini diharapkan mampu menjadi penyalur aspirasi/ wakil dari seluruh local business di Kota Depok. Namun persoalannya, pihak KADIN tersebut masih sangat terfokus pada self interest nya sendiri, sehingga misi untuk menyampaikan preferensi dari local business seringkali terabaikan. Akibatnya, preferensi tersebut tidak sampai kepada pihak pemerintah kota. Selain itu, persoalan lain yang juga dihadapi oleh Musrenbang ini adalah masalah sosialisasi. Kurangnya sosialisasi mengenai Musrenbang membuat sebagian local business di Kota Depok tidak mengetahui keberadaan forum Musrenbang sebagai media penyampaian masukan atas rencana pembangunan (penyediaan pelayanan umum perkotaan). Adanya status quo dalam pemerintahan dan upaya pemenuhan self interest dari pihak yang seharusnya menjadi wakil local business membuat 33

22 kegiatan alokasi sumber daya publik yang dilakukan di Kota Depok ini menjadi kurang efisien. Apabila Depok merupakan satu-satunya tempat bagi local business untuk membuka usahanya, inefisiensi yang terjadi tidak akan menimbulkan persoalan yang besar. Namun karena Kota Depok merupakan bagian dari wilayah administratif yang lebih luas (Jabodetabek, Propinsi Jawa Barat, dsb), inefisiensi tersebut akan memberikan pengaruh yang cukup signifikan. Dalam era pemerintahan yang terdesentralisasi, setiap lokalitas (wilayah lokal) berkompetisi satu sama lainnya untuk menjadi yang terbaik. Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini, Kota Depok sesungguhnya sedang berada dalam arena kompetisi dengan kota-kota lain yang berada di sekitarnya. Setiap daerah/ kota sama-sama bersaing untuk dapat menarik investasi dari local business yang sifatnya mobile (dapat berpindah). Apabila kondisi penyediaan pelayanan umum perkotaan yang tidak efisien tersebut terus dibiarkan, local business di Kota Depok lama-kelamaan akan pindah ke kotakota lain (di sekitar Kota Depok) yang lebih mampu menyediakan pelayanan sesuai dengan preferensinya dan dengan alokasi sumber daya publik yang efisien. Untuk merubah kondisi pelayanan di Kota Depok agar menjadi lebih baik dari sebelumnya, perlu dilakukan sebuah studi mengenai penyediaan set pelayanan umum perkotaan yang sesuai dengan preferensi local business di Kota Depok. Melalui studi ini, preferensi dari local business dapat diketahui, dan selanjutnya akan dapat direfleksikan dalam rencana penyediaan set pelayanan umum perkotaan. Dengan demikian, kegiatan alokasi sumber daya publik untuk menyediakan set pelayanan umum perkotaan di Kota Depok bisa dilakukan dengan lebih efektif dan lebih efisien. 34

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses demokratisasi yang berlangsung sejak tahun 1998 memberikan pengaruh besar terhadap sistem pemerintahan di Indonesia. Proses yang menawarkan mekanisme keterbukaan

Lebih terperinci

BAB IV MEKANISME PENYEDIAAN SET PELAYANAN UMUM PERKOTAAN YANG SESUAI DENGAN PREFERENSI LOCAL BUSINESS DI KOTA DEPOK

BAB IV MEKANISME PENYEDIAAN SET PELAYANAN UMUM PERKOTAAN YANG SESUAI DENGAN PREFERENSI LOCAL BUSINESS DI KOTA DEPOK BAB IV MEKANISME PENYEDIAAN SET PELAYANAN UMUM PERKOTAAN YANG SESUAI DENGAN PREFERENSI LOCAL BUSINESS DI KOTA DEPOK Analisis yang telah dilakukan terhadap data sekunder dan primer telah menghasilkan informasi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Temuan Studi Temuan-temuan yang diperoleh dari hasil studi mengenai penyediaan set pelayanan umum perkotaan yang sesuai dengan preferensi local business di Kota Depok

Lebih terperinci

PENILAIAN KEPUASAN TERHADAP FASILITAS NON FISIK PERKOTAAN

PENILAIAN KEPUASAN TERHADAP FASILITAS NON FISIK PERKOTAAN Berdasarkan analisis tingkat kean local business terhadap fasilitas pelayanan umum perkotaan yang sifatnya fisik, diperoleh informasi bahwa: jenis pelayanan yang cenderung memberikan kean yang lebih tinggi

Lebih terperinci

BAB III DATA DAN ANALISIS

BAB III DATA DAN ANALISIS BAB III DATA DAN ANALISIS 3.1 Data Penelitian mengenai Penyediaan Set Pelayanan Umum Perkotaan yang Sesuai dengan Preferensi Local Business di Kota Depok ini menggunakan dua jenis data, yaitu data sekunder

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 99 BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Temuan Studi Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dalam penelitian ini, terdapat beberapa hal sebagai temuan studi yaitu sebagai berikut : 1. Karakteristik

Lebih terperinci

pembangunan (misalnya dalam Musrenbang). Oleh sebab itu, pemerintah tidak mengetahui secara tepat apa yang sebenarnya menjadi preferensi lokal

pembangunan (misalnya dalam Musrenbang). Oleh sebab itu, pemerintah tidak mengetahui secara tepat apa yang sebenarnya menjadi preferensi lokal 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyelenggaraan desentralisasi pembangunan di Indonesia pada era otonomi daerah tidak dapat terpisahkan dari upaya perwujudan demokrasi dalam pembangunan. Sebagaimana

Lebih terperinci

BAB III DATA DAN ANALISIS

BAB III DATA DAN ANALISIS BAB III DATA DAN ANALISIS 3.1 Data Penelitian mengenai Penyediaan Set Pelayanan Umum Perkotaan yang Sesuai dengan Preferensi Local Business di Kota Depok ini menggunakan dua jenis data, yaitu data sekunder

Lebih terperinci

BAB 2 KAJIAN LITERATUR

BAB 2 KAJIAN LITERATUR 10 BAB 2 KAJIAN LITERATUR 2.1 Preferensi Lokal dalam Demokratisasi dan Desentralisasi Pembangunan Kota Demokrasi merupakan suatu sistem politik yang menempatkan kedaulatan berada di tangan rakyat. Demokrasi

Lebih terperinci

BAB 4 UPAYA MEREFLEKSIKAN PREFERENSI LOKAL DALAM PENYUSUNAN PRIORITAS PEMBANGUNAN KOTA BANDUNG

BAB 4 UPAYA MEREFLEKSIKAN PREFERENSI LOKAL DALAM PENYUSUNAN PRIORITAS PEMBANGUNAN KOTA BANDUNG 92 BAB 4 UPAYA MEREFLEKSIKAN PREFERENSI LOKAL DALAM PENYUSUNAN PRIORITAS PEMBANGUNAN KOTA BANDUNG 4.1 Penyusunan Prioritas Pembangunan Kota Pada Era Otonomi Daerah Penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang dasar 1945 yang mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas provinsi-provinsi

Lebih terperinci

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Pemikiran Pada dasarnya negara Republik Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terdapat juga transfer, seperti tunjangan sosial yang merupakan bantuan

BAB I PENDAHULUAN. terdapat juga transfer, seperti tunjangan sosial yang merupakan bantuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang dilakukan pemerintah berkaitan dengan penerimaan (pendapatan) dan pengeluaran (belanja) uang oleh pemerintah yang dapat mempengaruhi

Lebih terperinci

DAFTAR REFERENSI Buku Teks dan Jurnal Ilmiah

DAFTAR REFERENSI Buku Teks dan Jurnal Ilmiah DAFTAR REFERENSI Buku Teks dan Jurnal Ilmiah Buchanan, James M. An Economic Theory of Clubs. Economica 32, Februari 1965. Cullis, John G dan Phillip R. Jones. 1992. Public Finance and Public Choice Analytical

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang,

I. PENDAHULUAN. dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tekad pemerintah pusat untuk meningkatkan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya bersumber dari prinsip dasar yang terkandung dalam UUD 1945 Pasal 18 yang berbunyi

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam Pendahuluan Sejalan dengan semakin meningkatnya dana yang ditransfer ke Daerah, maka kebijakan terkait dengan anggaran dan penggunaannya akan lebih

Lebih terperinci

BAB IV STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH

BAB IV STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH BAB IV STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH 4.1. Strategi dan Tiga Agenda Utama Strategi pembangunan daerah disusun dengan memperhatikan dua hal yakni permasalahan nyata yang dihadapi oleh Kota Samarinda dan visi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. terdiri dari dua kata yakni antos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti Undang-

BAB II KAJIAN PUSTAKA. terdiri dari dua kata yakni antos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti Undang- BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi daerah Istilah Otonomi Daerah atau Autonomy berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yakni antos yang berarti sendiri dan nomos yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah di Indonesia telah membawa

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah di Indonesia telah membawa BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses pembangunan ekonomi bertujuan untuk meningkatkan kemajuan suatu bangsa melalui peningkatan kesejahteraan rumah tangga atau penduduk. Kemajuan suatu bangsa tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Semenjak bergulirnya gelombang reformasi, otonomi daerah menjadi salah

BAB I PENDAHULUAN. Semenjak bergulirnya gelombang reformasi, otonomi daerah menjadi salah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semenjak bergulirnya gelombang reformasi, otonomi daerah menjadi salah satu topik sentral yang banyak dibicarakan. Otonomi daerah menjadi wacana dan bahan kajian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sejak memasuki era reformasi, perkembangan akuntansi sektor publik di Indonesia dituntut untuk lebih demokratis. Upaya penyelenggaraan pemerintahan daerah

Lebih terperinci

Arah Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Daerah

Arah Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Daerah XXII Arah Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan bentuk pengelolaan keuangan daerah dalam pengalokasian sumber daya di daerah secara optimal, sekaligus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah mengharuskan untuk diterapkannya kebijakan otonomi daerah. Meskipun dalam UUD 1945 disebutkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengembangan Wilayah Pada dasarnya pengembangan adalah proses dimana individu, kelompok, organisasi, institusi dan masyarakat meningkatkan kemampuannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam Undang-Undang Dasar 1945 antara lain menegaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Tonggak perubahan yang bergerak sejak tahun 1998 dengan pergantian pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan dalam aspek

Lebih terperinci

Penyelenggaraan Kewenangan dalam Konteks Otonomi Daerah

Penyelenggaraan Kewenangan dalam Konteks Otonomi Daerah Deddy Supriady Bratakusumah * Penyelenggaraan Kewenangan dalam Konteks Otonomi Daerah I. Pendahuluan Sejak beberapa dekade yang lalu beberapa negara telah dan sedang melakukan desentralisasi, motivasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tekad pemerintah pusat untuk meningkatkan peranan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan proses perubahan kearah yang lebih baik, mencakup seluruh dimensi kehidupan masyarakat suatu daerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Transfer antar pemerintah tersebut bahkan sudah menjadi ciri

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Transfer antar pemerintah tersebut bahkan sudah menjadi ciri BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Transfer antar pemerintah merupakan fenomena umum yang terjadi pada beberapa negara di dunia yang melaksanakan sistem pemerintahan desentralisasi. Transfer antar pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia yang dimulai dari tahun 2001 merupakan sebuah gebrakan (big bang) dari semula pemerintahan yang bersifat sentralistis menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi diawal 1998 dapat dikatakan tonggak perubahan bangsa Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi diawal 1998 dapat dikatakan tonggak perubahan bangsa Indonesia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pada era Orde Baru, pemerintah daerah tidak mempunyai kemandirian untuk berkembang. Semua kebijakan pemerintah daerah dikontrol oleh pemerintah pusat. Reformasi diawal

Lebih terperinci

APA ITU DAERAH OTONOM?

APA ITU DAERAH OTONOM? APA OTONOMI DAERAH? OTONOMI DAERAH ADALAH HAK DAN KEWAJIBAN DAERAH OTONOM UNTUK MENGATUR DAN MENGURUS SENDIRI URUSAN PEMERINTAHAN DAN KEPENTINGAN MASYARAKATNYA SESUAI DENGAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan Republik Indonesia mengatur asas desentralisasi,

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan Republik Indonesia mengatur asas desentralisasi, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sistem pemerintahan Republik Indonesia mengatur asas desentralisasi, dekosentrasi dan tugas pembantuan yang dilaksanakan secara bersama-sama. Untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di segala bidang, dan juga guna mencapai cita-cita bangsa Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum,

Lebih terperinci

Struktur kelembagaan politik, ekonomi dan sosial suatu masyarakat dapat menciptakan atau melanggengkan demokrasi, tetapi dapat pula mengancam dan mele

Struktur kelembagaan politik, ekonomi dan sosial suatu masyarakat dapat menciptakan atau melanggengkan demokrasi, tetapi dapat pula mengancam dan mele Struktur kelembagaan politik, ekonomi dan sosial suatu masyarakat dapat menciptakan atau melanggengkan demokrasi, tetapi dapat pula mengancam dan melemahkannya. Birokrasi, misalnya dapat menjadi sarana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Peralihan masa orde baru ke reformasi memberikan perubahan terhadap pemerintahan Indonesia. Salah satu perubahan tersebut adalah otonomi daerah yang merupakan

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH Perencanaan dan implementasi pelaksanaan rencana pembangunan kota tahun 2011-2015 akan dipengaruhi oleh lingkungan strategis yang diperkirakan akan terjadi dalam 5 (lima)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anggaran Daerah adalah suatu rencana keuangan yang disusun untuk satu periode mendatang yang berisi tentang Pendapatan dan Belanja Negara/ Daerah yang menggambarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) 105 Tahun 2000 tentang pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. Ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) 105 Tahun 2000 tentang pengelolaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) 105 Tahun 2000 tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah merupakan titik reformasi keuangan daerah.

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI DAN TUJUAN PEMERINTAHAN KABUPATEN SOLOK TAHUN

BAB V VISI, MISI DAN TUJUAN PEMERINTAHAN KABUPATEN SOLOK TAHUN BAB V VISI, MISI DAN TUJUAN PEMERINTAHAN KABUPATEN SOLOK TAHUN 2011-2015 5.1. Visi Paradigma pembangunan moderen yang dipandang paling efektif dan dikembangkan di banyak kawasan untuk merebut peluang dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. implikasi pada pelimpahan wewenang antara pusat dan daerah dalam berbagai bidang.

BAB 1 PENDAHULUAN. implikasi pada pelimpahan wewenang antara pusat dan daerah dalam berbagai bidang. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penerapan otonomi daerah diberlakukan sejak tanggal 1 januari 2001 membawa implikasi pada pelimpahan wewenang antara pusat dan daerah dalam berbagai bidang. Kebijakan

Lebih terperinci

Panduan diskusi kelompok

Panduan diskusi kelompok Panduan diskusi kelompok Mahasiswa duduk perkelompok (5 orang perkelompok) Mahasiswa mengambil dan membaca (DUA KASUS) yang akan di angkat sebagai bahan diskusi. Mahasiswa mendiskusikan dan menganalisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi politik yang dilancarkan pada tahun 1988 telah berhasil menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan dengan pemerintahan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor publik yang nantinya diharapkan dapat mendongkrak perekonomian rakyat

BAB I PENDAHULUAN. sektor publik yang nantinya diharapkan dapat mendongkrak perekonomian rakyat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi merupakan perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksikan dalam masyarakat bertambah (Sukirno,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan di Indonesia saat ini semakin pesat seiring dengan adanya era reformasi. Negara Indonesia yang awalnya menggunakan sistem sentralisasi dalam pemerintahannya

Lebih terperinci

BAB 3 PREFERENSI LOKAL TERHADAP PRIORITAS PEMBANGUNAN KOTA BANDUNG

BAB 3 PREFERENSI LOKAL TERHADAP PRIORITAS PEMBANGUNAN KOTA BANDUNG 38 BAB 3 PREFERENSI LOKAL TERHADAP PRIORITAS PEMBANGUNAN KOTA BANDUNG 3.1 Survey Preferensi Lokal Terhadap Prioritas Pembangunan Kota Bandung Penelitian mengenai preferensi lokal terhadap prioritas pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan, setiap daerah memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan, setiap daerah memiliki BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan, setiap daerah memiliki hak dan kewajiban untuk menjalankan dan memenuhi kebutuhannya secara efektif dan efisien. Untuk dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pemerintah pusat sehingga dengan demikian pembangunan daerah diupayakan sejalan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, desentralisasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Era desentralisasi pasca disahkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

I. PENDAHULUAN. Era desentralisasi pasca disahkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Era desentralisasi pasca disahkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 (UU RI No. 22 Tahun 1999) yang kemudian lebih disempurnakan dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penuh atas kehidupan bangsa nya sendiri. Pembangunan nasional yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. penuh atas kehidupan bangsa nya sendiri. Pembangunan nasional yang terdiri BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia sebagai Negara Kesatuan mempunyai kedaulatan penuh atas kehidupan bangsa nya sendiri. Pembangunan nasional yang terdiri dari pembangunan ekonomi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cukup rumit. Karakteristik penganggaran sektor publik berbeda dengan

BAB I PENDAHULUAN. cukup rumit. Karakteristik penganggaran sektor publik berbeda dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penganggaran pada organisasi sektor publik merupakan suatu proses yang cukup rumit. Karakteristik penganggaran sektor publik berbeda dengan penganggaran pada sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan upaya pencapaian sasaran nasional di daerah sesuai

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan upaya pencapaian sasaran nasional di daerah sesuai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan daerah merupakan upaya pencapaian sasaran nasional di daerah sesuai masalah, potensi, aspirasi dan prioritas kebutuhan masyarakat di daerah, karena

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi Daerah sebagai wujud dari sistem demokrasi dan desentralisasi merupakan landasan dalam pelaksanaan strategi pembangunan yang berkeadilan, merata, dan inklusif. Kebijakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi ciri yang paling menonjol dari hubungan keuangan antara pemerintahan

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi ciri yang paling menonjol dari hubungan keuangan antara pemerintahan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Transfer antarpemerintah merupakan fenomena umum yang terjadi di semua negara di dunia terlepas dari sistem pemerintahannya dan bahkan sudah menjadi ciri yang paling

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I UMUM Menyadari bahwa peran sektor pertanian dalam struktur dan perekonomian nasional sangat strategis dan

Lebih terperinci

3. KERANGKA PEMIKIRAN

3. KERANGKA PEMIKIRAN 3. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka pemikiran Penelitian Pemerintah pusat memberikan wewenang yang besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola pemerintahannya sendiri dalam wadah negara kesatuan Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang umum digunakan dalam menetukan keberhasilan pembangunan. Pertumbuhan ekonomi digunakan sebagai ukuran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terselenggaranya tata pemerintahan yang baik (good governance). Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang direvisi dengan Undang-Undang

I. PENDAHULUAN. terselenggaranya tata pemerintahan yang baik (good governance). Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang direvisi dengan Undang-Undang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan pembangunan yang dihadapi dewasa ini dan di masa mendatang mensyaratkan perubahan paradigma kepemerintahan, pembaruan sistem kelembagaan, peningkatan kompetensi

Lebih terperinci

KEBIJAKAN HARGA. Kebijakan Yang Mempengaruhi Insentif Bagi Produsen : Kebijakan Harga_2. Julian Adam Ridjal, SP., MP.

KEBIJAKAN HARGA. Kebijakan Yang Mempengaruhi Insentif Bagi Produsen : Kebijakan Harga_2. Julian Adam Ridjal, SP., MP. KEBIJAKAN HARGA Kebijakan Yang Mempengaruhi Insentif Bagi Produsen : Kebijakan Harga_2 Julian Adam Ridjal, SP., MP. Disampaikan pada Kuliah Kebijakan dan Peraturan Bidang Pertanian EMPAT KOMPONEN KERANGKA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pusat (sentralistik) telah menimbulkan kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa

BAB 1 PENDAHULUAN. pusat (sentralistik) telah menimbulkan kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat yaitu melalui pembangunan yang dilaksanakan secara merata. Pembangunan di Indonesia

Lebih terperinci

BAB II. Tinjauan Pustaka. Puspitasari dkk (2016) menjelaskan bahwa 1. Proses pemungutan Pajak

BAB II. Tinjauan Pustaka. Puspitasari dkk (2016) menjelaskan bahwa 1. Proses pemungutan Pajak BAB II 1. Penelitian Terdahulu Tinjauan Pustaka Puspitasari dkk (2016) menjelaskan bahwa 1. Proses pemungutan Pajak Parkir di Kota Malang telah dilaksanakan dengan baik. Proses pemungutan telah dilaksanakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelaksanaan otonomi daerah merupakan suatu harapan cerah bagi pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki kesempatan untuk mengelola,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bidang ekonomi dan keuangan. Dalam rangka meningkatkan daya guna ( efektivitas )

I. PENDAHULUAN. bidang ekonomi dan keuangan. Dalam rangka meningkatkan daya guna ( efektivitas ) I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah daerah berusaha mengembangkan dan meningkatkan perannya dalam bidang ekonomi dan keuangan. Dalam rangka meningkatkan daya guna ( efektivitas ) penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perkembangan akuntansi sektor publik, khususnya di indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perkembangan akuntansi sektor publik, khususnya di indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan akuntansi sektor publik, khususnya di indonesia semakin pesat dan banyak membawa perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan ekonomi. Adanya ketimpangan ekonomi tersebut membawa. pemerintahan merupakan salah satu aspek reformasi yang dominan.

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan ekonomi. Adanya ketimpangan ekonomi tersebut membawa. pemerintahan merupakan salah satu aspek reformasi yang dominan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang melanda indonesia pada pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat ekonomi lemah berupa ketimpangan ekonomi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Krisis harga minyak yang sempat melonjak hingga lebih dari 120 dolar

BAB I PENDAHULUAN. Krisis harga minyak yang sempat melonjak hingga lebih dari 120 dolar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Krisis harga minyak yang sempat melonjak hingga lebih dari 120 dolar Amerika bahkan rencana kenaikan harga BBM, krisis pangan dan berbagai bencana alam, serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pengelolaan pemerintah daerah baik ditingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota, memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No 22 tahun 1999 dan UU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peraturan penyelenggaraan otonomi daerah, pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembahasan, akhirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

BAB I PENDAHULUAN. pembahasan, akhirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Setelah melalui perjalanan panjang selama kurang lebih 7 tahun dalam pembahasan, akhirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa disahkan pada tanggal 15 Januari

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA PENDANAAN PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN

BAB III KERANGKA PENDANAAN PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN BAB III KERANGKA PENDANAAN PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN 2011-2015 3.1. Arah Pengelolaan Pendapatan Daerah. Implementasi otonomi daerah menuntut terciptanya performa keuangan daerah yang lebih baik. Namun pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diamanatkan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun

BAB I PENDAHULUAN. diamanatkan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka menyelenggarakan pemerintah daerah sesuai dengan yang diamanatkan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, pemerintah daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah dinyatakan secara tegas bahwa pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting daripada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian. wewenang dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian. wewenang dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian wewenang dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dimana Pemerintah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan-perubahan yang terus. menerus ke arah yang dikehendaki. Menurut Rogers dikutif Zulkarimen

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan-perubahan yang terus. menerus ke arah yang dikehendaki. Menurut Rogers dikutif Zulkarimen I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan suatu proses perubahan-perubahan yang terus menerus ke arah yang dikehendaki. Menurut Rogers dikutif Zulkarimen Nasution (2004:28) pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah sangat berdampak pada berbagai

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah sangat berdampak pada berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1. LatarBelakang Otonomi daerah merupakan kebijakan pemerintah dalam hal pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah sangat berdampak pada berbagai aspek. Salah satu aspek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. publik dalam rangka memenuhi kebutuhan dan hak publik (Mardiasmo,2002:2).

BAB I PENDAHULUAN. publik dalam rangka memenuhi kebutuhan dan hak publik (Mardiasmo,2002:2). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sektor publik merupakan entitas yang aktivitasnya memberikan pelayanan publik dalam rangka memenuhi kebutuhan dan hak publik (Mardiasmo,2002:2). Dalam menyelenggarakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai unit pelaksana otonomi daerah. Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

BAB I PENDAHULUAN. sebagai unit pelaksana otonomi daerah. Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah merupakan suatu konsekuensi reformasi yang harus dihadapi oleh setiap daerah di Indonesia, terutama kabupaten dan kota sebagai unit pelaksana otonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berakhirnya pemerintahan orde baru telah mengubah dasar-dasar

BAB I PENDAHULUAN. Berakhirnya pemerintahan orde baru telah mengubah dasar-dasar BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berakhirnya pemerintahan orde baru telah mengubah dasar-dasar penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Salah satunya adalah terjadinya perubahan sistem pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. terjadi dalam satu atau beberapa periode mendatang. Menurut Governmental

BAB I PENDAHULUAN UKDW. terjadi dalam satu atau beberapa periode mendatang. Menurut Governmental BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perencanaan dana merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari manajemen organisasi. Oleh karena itu, anggaran memiliki posisi yang penting sebagai tindakan yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Realitas menunjukkan tidak semua daerah mampu untuk lepas dari pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka dalam kenyataannya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah, namun di sisi lain memberikan implikasi tanggung jawab yang

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah, namun di sisi lain memberikan implikasi tanggung jawab yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Pergantian Pemerintahan dari Orde Baru ke orde Reformasi menuntut pelaksanaan otonomi daerah yang memberikan kewenangan yang lebih luas, nyata dan bertanggung jawab

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 21 BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Otonomi Daerah 2.1.1. Definisi Otonomi Daerah Secara filosofis otonomi daerah maksudnya adalah pemberdayaan dan intensifikasi sumber-sumber daya yang ada di daerah. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sebagaimana cita-cita kita bangsa Indonesia dalam bernegara yaitu untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perkembangan akuntansi sektor publik, khususnya di Indonesia semakin pesat dengan adanya era reformasi dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II)

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II) merupakan titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan bisa lebih mengetahui potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan diberlakukannya sistem otonomi daerah di Indonesia, pemerintah daerah memiliki hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengelola sendiri pengelolaan pemerintahannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak tahun 2001, pemerintah daerah telah melaksanakan secara serentak otonomi daerah dengan berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 22 & 25 tahun 1999, kemudian diubah

Lebih terperinci

Pengelolaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Desa Oleh Pemerintah Desa Di Desa Parakanmanggu Kecamatan Parigi Kabupaten Pangandaran.

Pengelolaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Desa Oleh Pemerintah Desa Di Desa Parakanmanggu Kecamatan Parigi Kabupaten Pangandaran. Pengelolaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Desa Oleh Pemerintah Desa Di Desa Pangandaran Wida Puspawardani ABSTRAK Berdasarkan hasil observasi di ketahui bahwa Pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Lebih terperinci