BAB 2 KAJIAN LITERATUR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 KAJIAN LITERATUR"

Transkripsi

1 10 BAB 2 KAJIAN LITERATUR 2.1 Preferensi Lokal dalam Demokratisasi dan Desentralisasi Pembangunan Kota Demokrasi merupakan suatu sistem politik yang menempatkan kedaulatan berada di tangan rakyat. Demokrasi memungkinkan masyarakat untuk mengekspresikan kebutuhannya dan memperoleh apa yang mereka inginkan. Dengan kata lain, demokrasi merupakan sistem politik yang bersifat terbuka dan liberal. Dalam pembangunan yang bersifat demokratis, aspirasi masyarakat menjadi sangat penting untuk diperhatikan agar pembangunan dapat berhasil. Pembangunan yang berhasil tersebut juga tidak terlepas dari indikasi adanya dukungan masyarakat dan tercapainya alokasi sumber daya publik yang efektif dan efisien. Pada dasarnya, cara kerja demokrasi dalam sistem politik sama dengan cara kerja pasar dalam sistem ekonomi (Wittman, 1989 : 1395). Perwujudan demokrasi dapat menghasilkan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan menghasilkan efisiensi dalam alokasi sumber daya publik. Hal ini dikarenakan dalam pasar demokrasi juga terdapat persaingan sempurna antar pihak yang berkepentingan dalam pembangunan. Pasar demokrasi akan menghasilkan kebijakan yang efisien yang mencerminkan agregasi dari preferensi seluruh stakeholder yang berpartisipasi dalam pembangunan. Menurut Witmann (1989), terdapat beberapa hal yang menjadi dasar pemikiran bahwa demokrasi akan menghasilkan efisiensi, yakni sebagai berikut : 1. Sistem demokrasi mendorong terciptanya kompetisi dalam disain institusi politik sehingga akan berimplikasi pada tercapainya efisiensi. Adanya faktor kompetisi, reputasi, monitoring, dan disain kontrak yang optimal dalam suatu sistem demokrasi dapat mengurangi kesempatan terjadinya prilaku elit politik yang tidak bertanggung jawab. Partai politik dapat diibaratkan sebagai produsen dalam sistem pasar ekonomi. Apabila elit

2 11 politik dari suatu partai politik memiliki reputasi dan kinerja yang buruk, maka masyarakat tidak akan memilihnya kembali untuk periode berikutnya dan masyarakat bisa saja memberhentikannya. Hal ini tentu membuka peluang bagi partai-partai politik oposisi untuk memperoleh dukungan masyarakat. Dengan demikian, tercipta kompetisi antar partai politik yang mendorong partai-partai tersebut berupaya melaksanakan pembangunan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak. Kompetisi tersebut akan mendorong terciptanya efisiensi meskipun biaya untuk melakukan monitoring publik cukup mahal. 2. Keterbatasan informasi dan kemungkinan terjadinya bias informasi yang diperoleh masyarakat tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keputusan masyarakat untuk membuat pilihan secara rasional. Meskipun beberapa individu membuat pilihan yang tidak rasional, hukum large number cenderung akan menghasilkan pilihan mayoritas yang rasional. Efisiensi dapat tercapai meskipun masyarakat yang membuat pilihan (voter) tidak memperoleh informasi yang lengkap. Dengan hanya mengetahui tindakan apa yang akan diambil para calon elit politik yang akan dipilih, voter dapat memutuskan pilihan yang rasional yaitu pilihan yang sesuai dengan preferensinya. Oleh sebab itu, para elit politik yang berkompetisi tidak perlu menyediakan informasi yang terlalu detail ketika terdapat ketidaksesuaian antara preferensi voter dengan outcome dari proses politik. 3. Berkembangnya demokrasi dalam sistem politik dapat mengurangi besarnya biaya negosiasi/biaya transfer (biaya untuk menghasilkan keputusan). Eksternalitas muncul karena adanya biaya negosiasi dan biaya transfer yang tinggi (terdapat perbedaan antara biaya privat dan biaya sosial, seperti biaya yang timbul karena terjadi perubahan keputusan mayoritas menjadi keputusan minoritas yang tidak diinginkan). Pasar politik menjadi tidak efisien apabila suatu kelompok tidak memperhitungkan biaya atau manfaat yang

3 12 ditimbulkannya terhadap kelompok lain. Dalam sistem demokrasi, partai politik dapat berperan dalam mengurangi eksternalitas antara badan legislatif. Outcome yang dihasilkan akan tetap sama untuk berbagai alokasi hak politik selama biaya negosiasi tersebut rendah. Cara kerja demokrasi secara tidak langsung akan menekan biaya sosial yang timbul akibat aktivitas rent seeking. Jika rent seeking bukan merupakan masalah yang dipandang serius dalam psar ekonomi, maka hal itu juga bukan merupakan masalah yang serius dalam pasar politik. 4. Prilaku politik yang mempengaruhi efisiensi seperti kompetisi pressure group, kegagalan badan legislatif, pilihan median voter dapat dikoreksi dengan adanya demokrasi dalam sistem politik. Maksimasi pemungutan suara akan menghasilkan kebijakan yang efisien. Voter akan memilih kandidat yang menjanjikan kepuasan yang maksimal bagi voter jika kandidat tersebut terpilih. Jadi, probabilitas voting merupakan fungsi diferensial dari utilitas voter baik voter tersebut masuk ke dalam pressure group maupun tidak sehingga distorsi yang disebabkan pressure group dapat diabaikan. Perwujudan demokrasi dalam pembangunan juga berkaitan dengan pentingnya desentralisasi dalam pembangunan. Proses institusionalisasi demokrasi partisipatif akan terdorong melalui desentralisasi dan devolusi kewenangan ke tingkat lokal karena partisipasi optimum warga dapat ditingkatkan dengan mengurangi ukuran dari unit pengambilan keputusan (Suhirman, 2006 : 23). Melalui penerapan desentralisasi, pemerintah lokal yang berada dekat dengan masyarakat lokal lebih dapat merespon apa yang menjadi preferensi masyarakat lokal dibandingkan dengan pemerintah pusat. Dengan demikian, dalam desentralisasi, aspirasi dan kepentingan masyarakat menjadi orientasi utama pembangunan wilayah atau kota. Hal ini berarti desentralisasi pembangunan dapat membantu demokrasi bekerja dengan baik.

4 13 Melalui perwujudan desentralisasi, preferensi masyarakat dapat terakomodasi dengan baik karena pemerintah lokal dapat merespon aspirasi dan kebutuhan masyarakat secara langsung dan cepat. Oleh sebab itu, perlu dipahami bahwa desentralisasi yang sesungguhnya tidak hanya sebatas menyerahkan sebagian tugas dan fungsi pemerintah pusat kepada pemerintah lokal. Akan tetapi, desentralisasi seharusnya menempatkan nilai demokrasi sebagai hal utama yang mendasari penyelenggaraan pembangunan daerah. Kebijakan pembangunan (ekonomi publik) pada dasarnya bertujuan untuk menentukan alokasi sumber daya yang efisien, mencapai distribusi pendapatan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat yang diinginkan, serta mempertahankan perekonomian yang stabil dan maju (Oates, 1968 : 37). Berdasarkan tujuan tersebut, dalam desentralisasi pembangunan, dikenal adanya desentralisasi fiskal yang menekankan pada penentuan fungsi atau instrumen pemerintah yang paling baik untuk didesentralisasikan dalam penyelenggaraan pembangunan. Fungsi pemerintah tersebut meliputi tiga fungsi pokok yaitu alokasi, distribusi dan stabilisasi. Fungsi alokasi berkaitan dengan penyediaan dan pelayanan barangbarang publik yang peruntukannya secara komunal dan tidak dapat dimiliki secara perorangan. Fungsi distribusi terkait dengan pemerataan kesejahteraan masyarakat untuk mencapai pertumbuhan yang optimal. Fungsi stabilisasi mencakup pengaturan variabel ekonomi makro untuk mencapai stabilitas ekonomi secara nasional. Pada sistem sentralisasi pembangunan, pemerintah pusat mendominasi ketiga fungsi tersebut. Sedangkan pada sistem desentralisasi, sebagian besar wewenang dan tanggung jawab pemerintah pusat diserahkan kepada pemerintah daerah/kota. Dengan kata lain, sebagian tugas dan kewenangan pemerintah pusat yang meliputi alokasi, distribusi dan stabilisasi diserahkan kepada pemerintah daerah/kota. Hal ini bertujuan agar pembangunan daerah/kota dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Bila ditinjau dari derajat kewenangan dan tanggung jawab pemerintah daerah/kota, dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan diantara ketiga fungsi tersebut. Pemerintah daerah memiliki derajat kewenangan dan tanggung jawab

5 14 yang paling besar pada fungsi alokasi, kemudian diikuti dengan fungsi distribusi dan paling kecil pada fungsi stabilisasi. Fungsi stabilisasi yang dipegang oleh pemerintah daerah hanya terbatas pada penciptaan stabilitas dalam lingkup lokal yang tidak berdampak secara nasional. Beberapa faktor yang mendasari bahwa peran alokasi sebaiknya didominasi oleh pemerintah daerah/kota yaitu (Oates, 1999): Pemerintah lokal berada lebih dekat dengan masyarakat lokal sehingga lebih mengetahui kondisi daerah dan preferensi masyarakat lokal dibandingkan dengan pemerintah pusat. Implikasinya, penyediaan barang dan jasa publik yang dilakukan oleh pemerintah daerah/kota cenderung akan lebih sesuai dengan kebutuhan dan selera penduduk setempat. Namun berbeda halnya bila penyediaan barang dan jasa publik dilakukan oleh pemerintah pusat karena penyediaan barang dan jasa publik kemungkinan bersifat seragam dengan daerah lainnya sehingga kurang sesuai dengan selera penduduk setempat. Dengan demikian, penyediaan barang dan jasa publik oleh pemerintah lokal akan lebih efisien dan kesejahteraan masyarakat lokal juga dapat meningkat. Output penyediaan barang dan jasa publik yang efisien tentunya berada pada level yang berbeda-beda antara daerah yang satu dengan daerah lainnya. Ketika penduduk di suatu daerah merasa tidak puas dengan penyediaan barang dan jasa publik di daerahnya, maka sebagian besar penduduk di daerah tersebut kemungkinan besar akan pindah ke daerah lain yang menyediakan barang dan jasa yang lebih sesuai dengan selera dan preferensi mereka. Hal ini tentu saja akan berdampak pada penurunan perolehan pendapatan daerah berkaitan dengan besarnya pajak yang diterima daerah dari penduduk lokal. Implikasinya, pemerintah lokal akan terdorong untuk menciptakan inovasi serta mengutamakan apa yang menjadi preferensi masyarakat lokal dalam penyediaan barang dan jasa publik. Dalam melaksanakan fungsinya tersebut, pemerintah dari berbagai level memerlukan instrumen fiskal yang spesifik. Sebagian penerimaan pajak dari tiaptiap daerah dikumpulkan oleh pemerintah pusat untuk kemudian dibagikan kembali ke masing-masing daerah dalam bentuk intergovermental grants.

6 15 Pemerintah pada level tertentu juga dapat memberikan surplus pendapatan yang diperolehnya kepada pemerintah pada level yang lebih rendah (hal ini dikenal dengan istilah revenue sharing). Pemberian grant dapat menginternalisasi eksternalitas benefit antar jurisdiksi dan dapat mengembangkan sistem pajak yang lebih baik secara keseluruhan. Bentuk grant itu sendiri dapat dibedakan menjadi conditional grant dan unconditional grant. Conditional grant merupakan bentuk pemberian dana dari pemerintah pusat yang penggunaannya dibatasi untuk kepentingan pembangunan tertentu. Sedangkan unconditional grant dimaksudkan untuk tujuan pemerataan fiskal yang dapat membantu perkembangan daerah yang memiliki kapasitas fiskal yang rendah. Dengan demikian, desentralisasi fiskal dapat berimplikasi terhadap perkembangan ekonomi daerah dan peningkatan performansi politik pada berbagai tahapan pembangunan yang berbeda-beda. Berkembangnya demokratisasi dan desentralisasi dalam pembangunan tersebut secara eksplisit berimplikasi pada pentingnya mempertimbangkan preferensi lokal dalam penentuan kebijakan dan pengelolaan pembangunan kota. Dengan mengetahui preferensi lokal, maka pemerintah kota akan mampu untuk menyusun kebijakan pembangunan yang efektif dan efisien bagi kotanya. Penyusunan kebijakan yang efektif dan efisien tersebut akan berimplikasi pada penyediaan barang dan jasa publik yang dapat meningkatkan kesejahteraan seluruh segmen masyarakat kota (Tannian dan Stapleford, 1981 : 37). Bersamaan dengan itu, penduduk kota akan mendukung implementasi prioritas pembangunan kota sehingga sasaran pembangunan kota juga dapat tercapai. Dalam pencapaian kesesuaian antara tujuan dan sasaran kebijakan dengan kenyataan di lapangan, terdapat faktor-faktor yang dapat menjadi penyebab kegagalan implementasi suatu kebijakan pembangunan. Faktor penyebab kegagalan tersebut diantaranya yaitu kurangnya informasi dalam merumuskan kebijakan dan kurangnya dukungan dari seluruh segmen masyarakat kota terhadap kebijakan tersebut. Kekurangan informasi akan mengakibatkan adanya gambaran yang kurang tepat baik pada objek kebijakan maupun kepada para pelaksana dari isi kebijakan yang akan dilaksanakannya (Tangkilisan, 2003 : 10).

7 16 Implementasi kebijakan juga akan sulit untuk dilaksanakan bila dukungan masyarakat terhadap kebijakan tersebut sangat kurang. Selain itu, program pembangunan akan berlangsung secara berkelanjutan jika didukung oleh partisipasi masyarakat yang tinggi. Dengan demikian, partisipasi masyarakat dalam menyatakan preferensi mereka sangat diperlukan pada tahapan penyusunan prioritas pembangunan. Pemahaman preferensi lokal dalam kerangka otonomi daerah terkait dengan kerangka tata pemerintahan yang baik (good governance) dan keberhasilan implementasi kebijakan pembangunan. Dengan memahami preferensi lokal, maka informasi mengenai apa yang sebenarnya menjadi preferensi masyarakat terhadap prioritas pembangunan kota dapat teridentifikasi secara tepat dan jelas. Dengan demikian, pemerintah kota dapat menyusun program kerja yang efektif yang mendekati keinginan masyarakatnya karena memang sudah seharusnya masyarakat kota memperoleh apa yang mereka inginkan. Menurut Hirschmann (1970), terdapat tiga karakteristik utama prilaku individu yang merupakan respon terhadap pembangunan kota yang tidak sesuai dengan preferensi mereka atau yang tidak memberikan kepuasan yang maksimal bagi mereka. Dengan memahami karakteristik tersebut, maka dapat diketahui implikasinya terhadap perkembangan suatu kota sehingga dapat dirumuskan upaya untuk mengantisipasi dampak negatif dari karakteristik prilaku tersebut. Ketiga karakteristik prilaku tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Exit Dalam merespon ketidaksesuaian pembangunan di suatu kota dengan preferensi lokal, terdapat kemungkinan bahwa masyarakat di kota tersebut pindah ke kota lain yang pembangunannya sesuai dengan preferensi mereka. Tindakan respon tersebut juga dikenal dalam konsep public choice dengan istilah public choice through mobility. Menurut Tiebout, salah satu faktor yang mempengaruhi individu dalam memilih tempat tinggalnya adalah besarnya pajak dan set pelayanan yang tersedia. Jika terdapat banyak daerah dengan besar pajak dan set pelayanan yang berbeda satu sama lainnya, tiap individu

8 17 tentunya akan memilih lokasi yang dapat memberikan kepuasan terbesar bagi mereka. Akan tetapi, apabila daerah menggunakan pajak property dalam menyediakan set pelayanan publiknya, maka masyarakat cenderung tidak akan melakukan exit sebagai respon terhadap ketidakpuasan mereka pada pembangunan kota meskipun pada akhirnya pelayanan publik menjadi tidak efisien. Asumsi yang digunakan Tiebout dalam konsep public choice through mobility (Fisher, 1996) tersebut adalah : 1. Individu bebas melakukan pergerakan atau perpindahan ke lokasi yang dapat memberikan kepuasan maksimum bagi mereka 2. Individu memiliki pengetahuan yang jelas tentang perbedaan besarnya pajak dan set pelayanan yang tersedia di setiap lokasi 3. Terdapat banyak lokasi yang dapat menjadi pilihan 4. Tidak ada batasan atas perpindahan atau pergerakan individu 5. Tidak terdapat spillover atas keuntungan dan pajak pelayanan publik di lokasi tersebut 6. Adanya manager di setiap lokasi yang dapat menarik populasi dalam jumlah yang tepat untuk meminimumkan besarnya rata-rata penyediaan barang publik 2. Voice Karakteristik prilaku voice dalam konsep public choice merupakan salah satu bentuk dari public choice without mobility (Fisher, 1996). Ketika masyarakat lokal merasa tidak puas dengan pembangunan yang tidak sesuai dengan preferensinya, respon masyarakat dapat berupa tindakan menyuarakan atau merundingkan preferensinya dengan pemerintah atau profesional pembangunan. Tindakan tersebut juga bisa diwujudkan dengan mekanisme voting. Voice merupakan suatu bentuk dalam mengekspresikan ketidakpuasan terhadap hasil pembangunan atau kualitas pelayanan yang diperoleh dengan menyuarakan keinginannya dan menuntut adanya peningkatan kualitas.

9 18 Sedangkan exit merupakan suatu bentuk ketidakpercayaan dan keraguan bahwa tidak akan ada upaya perbaikan kondisi pembangunan, Masyarakat cenderung akan memilih prilaku exit apabila masyarakat memiliki banyak pilihan untuk bertempat tinggal atau membuka usaha di kota lain yang dapat memberikan kualitas pelayanan yang lebih baik daripada kota yang ditempatinya. Sedangkan prilaku voice dipilih karena tidak tercipta kompetisi yang cukup ketat antar satu kota dengan kota yang lain sehingga masyarakat merasa tidak ada peningkatan kualitas pelayanan yang akan mereka peroleh apabila mereka exit atau pindah ke kota lain. Masyarakat akan cenderung lebih memilih voice daripada exit apabila fungsi demand mereka terhadap pembangunan bersifat tidak elastis dan kesempatan untuk exit sangat kecil. Karakteristik masyarakat yang memilih voice yaitu berupaya melakukan perubahan terhadap suatu kebijakan pembangunan yang dianggap tidak efektif dan tidak efisien. Bentuk voice bisa berupa aksi protes individu maupun aksi dalam memobilisasi opini publik (seperti demonstrasi, tindakan protes atau memberi petisi secara kolektif). Masyarakat yang merasa tidak puas terhadap pembangunan tersebut bahkan bisa saja melakukan tindakan yang mengganggu jalannya pembangunan dan bukan membantu terciptanya perbaikan. 3. Loyalty Individu yang memiliki karakteristik loyalty tidak berupaya untuk mempengaruhi pembangunan agar sesuai dengan yang diinginkannya. Individu tersebut berharap bahwa profesional pembangunan akan mampu melakukan upaya koreksi sendiri tanpa perlu diberitahu. Individu yang memilih prilaku loyalty biasanya merasa bahwa dia tidak dapat memiliki pengaruh yang berarti terhadap kebijakan pembangunan. Selain itu, prilaku loyalty juga cenderung dipilih apabila tidak ada media sebagai sarana individu untuk dapat menyuarakan keinginannya serta biaya untuk exit sangat tinggi

10 19 dan hampir tidak mungkin dilakukan. Karakteristik loyalty ini juga biasanya dimiliki oleh masyarakat yang telah memiliki kecintaan terhadap tempat tinggalnya yang memiliki nilai historis tersendiri. Dalam karakteristik masyarakat loyalty tersebut, sulit tercapai upaya perbaikan kualitas pelayanan atau pembangunan dalam jangka pendek. Perumusan kebijakan pembangunan pada dasarnya sangat bergantung pada hasil analisis kebijakan, namun pada kenyataannya seringkali tidak terlepas dari aspek politik. Padahal dalam melakukan analisis kebijakan tersebut, dibutuhkan intelectual skill sehingga keputusan yang diambil merupakan keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Analisis preferensi lokal merupakan bagian dari analisis mikroekonomi. Analisis mikroekonomi tersebut menjadi salah satu fundamental skill dalam analisis kebijakan (Friedman, 1976 : 3). Menurut Friedman, perumusan kebijakan yang hanya melibatkan proses politik tanpa adanya analisis (skill) tidak akan menghasilkan efisiensi dan equity. Padahal kesejahteraan masyarakat dapat tercapai apabila tercipta efisiensi dan equity. Sebagian besar perumusan kebijakan pembangunan kota berkaitan erat dengan alokasi sumber daya. Ketersediaan sumber daya yang terbatas sedangkan kebutuhan elemen masyarakat kota baik resident maupun business yang tidak terbatas dan berbeda satu sama lain menuntut penggunaan sumber daya agar efektif, efisien dan merata. Dalam hal ini, kebijakan publik dalam mengalokasikan sumber daya yang tersedia tentu saja perlu melibatkan keputusan kolektif dari berbagai segmen masyarakat lokal dalam suatu kota. Alokasi sumber daya akan efisien apabila seseorang dapat meningkatkan kesejahteraannya tanpa menurunkan kesejahteraan orang lain. Dalam pemahaman terhadap konsep efisiensi tersebut, penting untuk memahami bagaimana preferensi individu dalam membuat keputusan alokasi sumber daya. Setiap individu tentu saja memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda dalam menggunakan sumber daya yang terbatas dan berusaha memaksimumkan tingkat kepuasan mereka. Menurut Friedman, terdapat empat asumsi yang digunakan untuk memodelkan keputusan individu dalam mengalokasikan sumber daya, yaitu :

11 20 1. Setiap individu memiliki urutan preferensi Setiap individu dapat membandingkan kemungkinan bundle atau koleksi barang dan jasa dan akan prefer atau menganggap setara yang satu terhadap yang lain. 2. Tingkat kepuasan individu tidak terbatas Tingkat kepuasan individu setidaknya terhadap suatu barang bersifat tidak terbatas, meskipun umumnya kepuasan individu terhadap barang tertentu pada periode waktu tertentu bersifat terbatas selain karena dibatasi oleh budget. 3. Setiap individu lebih menginginkan keragaman dalam penggunaan paket (bundle) yang tersedia 4. Setiap individu memutuskan pilihan alokasi sumber daya yang sesuai dengan urutan preferensinya Hal ini menunjukkan bahwa individu lebih mengutamakan kepentingan diri sendiri dan terinformasi dengan baik (mengetahui pilihan mana yang terbaik untuk diputuskan). Asumsi ini merupakan model rasionalitas individu dalam mengambil keputusan. Tiga asumsi yang pertama merupakan fungsi ordinal utilitas (ordinal utility function). Asumsi yang keempat merupakan bentuk tindakan rasional individu dalam memaksimalkan utilitasnya. Preferensi individu tersebut kemudian dapat dianalisis secara statistik dan dari hasil analisis tersebut dapat ditentukan alokasi sumber daya yang efisien. Efisiensi akan tercapai ketika Marginal Rate of Substitution setiap individu, yang diperoleh dari fungsi ordinal utilitas tersebut adalah sama. Marginal Rate of Substitution menggambarkan besarnya pengorbanan atas konsumsi suatu barang untuk menaikkan konsumsi barang lainnya. Selanjutnya, konsep efisiensi tersebut diintegrasikan dengan konsep equity (pemerataan alokasi sumber daya) sehingga menghasilkan fungsi social welfare.

12 21 Fungsi social welfare tersebut menunjukkan hubungan antara distribusi tingkat utilitas seluruh elemen dalam masyarakat dengan penilaian mengenai kepuasan sosial secara keseluruhan yang diperoleh dari distribusi sumber daya. Dari analisis fungsi tersebut, dapat ditentukan kebijakan pembangunan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat kota. Dengan mengetahui preferensi lokal terhadap prioritas pembangunan, maka selanjutnya dapat dilakukan penyusunan anggaran pembangunan yang tepat. Struktur pendapatan daerah dapat didisain sedemikian rupa sehingga dapat membiayai penyediaan fasilitas publik yang sesuai dengan preferensi lokal. Dengan demikian, alokasi dana pembangunan dapat dilakukan dengan efisien. Selain itu, tujuan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai. 2.2 Studi Studi Mengenai Preferensi Lokal Studi mengenai preferensi lokal di Indonesia yang sudah pernah dilakukan yaitu studi mengenai preferensi lokal di kota - kota metropolitan Jabodetabek sebagai suatu faktor yang penting dalam mendukung pembangunan dan manajemen kota metropolitan yang berkelanjutan (Johnny Patta, 2004). Dalam studi mengenai preferensi lokal tersebut, disebutkan bahwa dalam sistem desentralisasi fiskal yang dikembangkan pada masyarakat yang demokratis, pemerintah lokal diharapkan dapat menyediakan pelayanan yang mendekati preferensi masyarakat lokal baik local resident maupun local business. Dengan mengetahui preferensi lokal secara tepat, maka pemerintah lokal akan mampu menyusun kebijakan yang sesuai untuk penyediaan pelayanan yang efektif dan alokasi sumber daya yang efisien secara spasial (Johnny Patta, 2004 : 2). Studi mengenai preferensi lokal di kota-kota di Jabodetabek dilakukan dengan metode survey research untuk mendapatkan informasi mengenai preferensi masyarakat dalam hal pelayanan perkotaan di wilayah studi. Selanjutnya, dilakukan review terhadap pelayanan pelayanan dasar perkotaan yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah setelah otonomi daerah diberlakukan. Hasil studi tersebut kemudian dapat memberikan masukan bagi

13 22 institusi pemerintah daerah dan DPRD dalam menyusun kebijakan mengenai penyediaan pelayanan yang sesuai dengan preferensi masyarakat lokal, menciptakan efektivitas pelayanan perkotaan dan efisiensi alokasi sumber daya serta membangun kesadaran masyarakat lokal untuk membayar pajak daerah (Johnny Patta, 2004 : 5). Selain studi preferensi lokal di kota-kota di Jabodetabek, juga pernah dilakukan studi dengan isu utama preferensi lokal yaitu preferensi lokal terhadap set pelayanan umum dengan mengambil studi kasus Kota Depok (Johnny Patta, 2006). Studi tersebut memfokuskan pembahasan pada perubahan iklim politis (demokratisasi dan desentralisasi) apakah mengarah pada kesesuaian dengan teori-teori dan model-model pengelolaan pembangunan perkotaan di negara maju atau tidak. Pembahasan dalam studi tersebut juga tidak lupa mencatat bahwa kondisi yang ada di Indonesia belum tentu cocok dengan kondisi di negara maju. Dengan menggunakan metode survey research, hasil penelitian tersebut memberikan penjelasan mengenai preferensi local resident terhadap set pelayanan umum perkotaan di Kota Depok. Secara garis besar, studi-studi mengenai preferensi lokal tersebut menekankan pada pentingnya preferensi lokal untuk diperhatikan dalam pengambilan kebijakan dan pengelolaan pembangunan kota sejak otonomi daerah diberlakukan. Salah satu bentuk perwujudan otonomi daerah tersebut adalah dikembangkannya desentralisasi fiskal dan demokrasi dalam pembangunan sehingga penyediaan pelayanan umum perkotaan sudah seharusnya disesuaikan dengan preferensi masyarakat lokal. Hal tersebut dimaksudkan agar keputusan pembiayaan penyediaan pelayanan perkotaan mendekati biaya yang sebenarnya. Dengan demikian, penyediaan pelayanan umum perkotaan dan penanggaran pembangunan akan lebih efisien apabila sesuai dengan karakteristik lokalnya. Sistem desentralisasi fiskal juga akan berimplikasi pada penyediaan pelayanan umum yang berbeda-beda antara daerah yang satu dengan yang lain sehingga penetapan pajak daerah juga berbeda-beda. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap keputusan local resident maupun local business dalam memilih lokasi tempat tinggal ataupun lokasi usaha. Masyarakat lokal tentu akan

14 23 cenderung menggunakan hak politik untuk memilih tinggal di kota yang menetapkan pajak dan penyediaan paket pelayanan umum yang sesuai dengan apa yang menjadi preferensinya. Dengan demikian, preferensi lokal menjadi isu yang penting dalam pengelolaan pembangunan yang berkelanjutan. 2.3 Preferensi Lokal dalam Konteks Pembangunan Kota di Indonesia Pembangunan di Indonesia yang kini bersifat desentralistik berjalan seiring dengan perkembangan demokratisasi. Pemerintah daerah kini diberikan wewenang untuk mengatur daerahnya secara otonom dan aspirasi masyarakat juga semakin dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan publik. Kondisi ini secara langsung maupun tidak langsung telah mempengaruhi pengembangan kebijakan dan pengelolaan pembangunan kotakota di Indonesia, termasuk pembangunan di Kota Bandung. Di samping itu, berkembangnya desentralisasi dan demokratisasi dalam pembangunan kota juga mengindikasikan pentingnya memahami dan mempertimbangkan preferensi lokal dalam pengambilan kebijakan pembangunan kota Perkembangan Menjelang Otonomi Daerah di Indonesia Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur atau menghasilkan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pada masa orde baru, dalam mencapai tujuan pembangunan tersebut, pelaksanaan pembangunan dilandaskan pada asas trilogi pembangunan yaitu stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan. Namun karena terjadi tindakan penyalahgunaan kekuasaan pada masa orde baru yaitu tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme, maka tujuan pembangunan tersebut tidak dapat tercapai. Selanjutnya, Indonesia memasuki masa orde reformasi dan berusaha memulihkan kondisi politik dan ekonomi yang terpuruk. Akan tetapi, pada masa orde reformasi tersebut, perekonomian masih memburuk, pengangguran meningkat, kualitas pelayanan publik menurun, dan kurs devisa meningkat. Kondisi tersebut sebenarnya merupakan dampak lanjutan dari kegagalan orde baru dalam menjalankan pembangunan sebagaimanamestinya.

15 24 Untuk memperbaiki kondisi pembangunan di Indonesia yang semakin memburuk, pemerintah kemudian mengambil kebijakan untuk menerapkan desentralisasi dalam pembangunan. Pemerintah menyadari adanya kelemahan dalam sistem sentralisasi yang selama ini diterapkan dalam pembangunan yaitu terdapat kesulitan dalam melaksanakan program daerah secara efektif untuk negara yang sangat besar seperti Indonesia. Pemerintah juga menyadari perlunya memasukkan pengalaman dan pengetahuan mengenai daerah dalam proses pembentukan atau pengambilan keputusan karena sebelumnya kesempatan pemerintah daerah untuk terlibat dalam melaksanakan program pembangunan nasional masih kurang. Oleh sebab itu, kebijakan desentralisasi tersebut bertujuan untuk mewujudkan keadilan antara kemampuan dan hak daerah, peningkatan PAD dan pengurangan subsidi dari pemerintah pusat, serta mendorong pembangunan daerah sesuai dengan aspirasi masing-masing daerah (Suparmoko, 2002 : 16). Kebijakan desentralisasi tersebut kemudian diwujudkan dengan pengembangan otonomi daerah yang menekankan pada upaya memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, serta mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Kewenangan daerah mencakup kewenangan hampir setiap aspek dalam pemerintahan kecuali bidang politik luar negeri, peradilan, moneter, fiskal, agama, dan pembangunan ekonomi secara makro. Keputusan yang lebih banyak ditentukan pemerintah pusat meliputi keputusan yang berkaitan dengan aspek pemerataan antar daerah, kemampuan administrasi pemerintah daerah yang masih lemah, kondisi dan kemampuan keuangan antar daerah, pengurangan gerakan separatis, serta perencanaan nasional dalam pembangunan sosial dan ekonomi (Suparmoko, 2002 : 19). Melalui pengembangan otonomi, daerah diharapkan mampu menyediakan jasa pelayanan publik yang bervariasi sesuai dengan preferensi atau keinginan masyarakat. Pemerintah daerah yang lebih dekat dengan penduduk diharapkan lebih tanggap terhadap kebutuhan masyarakatnya sendiri sehingga kesalahan atau kekurangan yang dibuat dalam mekanisme pengambilan keputusan akan lebih

16 25 sedikit. Proses politik juga diharapkan akan lebih cepat, sederhana dan efisien, serta akan terdorong terciptanya inovasi dalam bidang administrasi dan ekonomi. Namun, pada kenyataannya, pengembangan otonomi daerah di Indonesia masih menghadapi banyak kendala dan tantangan, terutama dalam hal kesiapan daerah yang meliputi keuangan dan kemampuan sumber daya manusia dalam mengelola dana dan menciptakan pelayanan yang berkualitas baik kepada masyarakat. Pemerintah daerah juga masih terlihat boros dalam mengalokasikan dana pembangunan sehingga belum tercapai efisiensi. Akibatnya, sebagian besar masyarakat menjadi apatis dan kurang mendukung kebijakan pemerintah, terutama dalam membayar pajak Desentralisasi Fiskal di Indonesia Pengembangan otonomi daerah di Indonesia juga berimplikasi terhadap sistem desentralisasi fiskal di Indonesia. Kebijakan mengenai desentralisasi fiskal di Indonesia terdapat pada UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang merupakan pengganti UU No 25 Tahun Pada era desentralisasi, pemerintah kota kini memiliki wewenang yang lebih besar dalam menjalankan fungsi alokasi dan distribusi dibandingkan dengan era sebelumnya. Dalam UU No. 33 Tahun 2004, disebutkan bahwa sumber pendapatan daerah meliputi : Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang berasal dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah. Lain-lain PAD yang sah meliputi hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, komisi/potongan ataupun bentuk lain sebagai hasil dari penjualan/pengadaan barang/jasa oleh daerah. Dana perimbangan, meliputi dana bagi hasil, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana bagi hasil bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Proporsi DAU antara daerah provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan imbangan kewenangan antara provinsi dan

17 26 kabupaten/kota. Sedangkan DAK ditetapkan setiap tahun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Lain-lain pendapatan, yang terdiri dari pendapatan hibah dan pendapatan dana darurat. Pinjaman daerah, yang terdiri dari pinjaman jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Ketentuan dana perimbangan berdasarkan undang-undang tersebut adalah sebagai berikut : 1. Dana Bagi Hasil Dana bagi hasil yang bersumber dari pajak terdiri atas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Pajak Penghasilan (PPh). Dana bagi hasil yang bersumber dari sumber daya alam berasal dari kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi. 2. Dana Alokasi Umum DAU yang dibagikan kepada daerah berasal dari APBN dengan tujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah dan jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26 % dari pendapatan dalam negeri neto yang ditetapkan dalam APBN. DAU untuk suatu daerah dialokasikan berdasarkan celah fiskal (kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah) dan alokasi dasar (berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah). 3. Dana Alokasi Khusus Dana alokasi khusus juga berasal dari APBN dan dialokasikan bagi kabupaten/kota untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah. Daerah penerima DAK wajib memiliki dana pendamping sekurangkurangnya 10 % dari alokasi DAK untuk menyatakan komitmen dan tanggung jawab dari pemerintah daerah yang bersangkutan. DAK dapat digunakan untuk membiayai kebutuhan yang sulit diperkirakan dengan rumus alokasi

18 27 umum, seperti pembangunan jalan di kawasan terpencil dan/atau kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional seperti proyek kemanusiaan untuk memenuhi kebutuhan dasar, proyek yang dibiayai donor nasional dan internasional, dan dana reboisasi. Penyelenggaraan tugas pemerintah daerah dan DPRD dibiayai atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sedangkan penyelenggaraan tugas pemerintah pusat di daerah dibiayai atas beban APBN. APBD dipersiapkan oleh pemerintah daerah dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah atas persetujuan DPRD (satu bulan setelah penetapan APBD). Perubahan APBD tersebut selambat-lambatnya 3 bulan sebelum tahun anggaran berakhir. Komposisi pengeluaran dalam APBD meliputi pengeluaran rutin (gaji pegawai dan belanja barang, pembiayaan DPRD dan Kepala Daerah) dan pengeluaran pembangunan untuk sektor-sektor (transportasi, lingkungan hidup dan pendidikan). Pajak daerah tidak hanya berfungsi sebagai sumber pendapatan daerah. Pajak juga dapat berperan sebagai alat pengatur alokasi dan distribusi kegiatan ekonomi dalam suatu wilayah. Sebagai sumber pendapatan daerah, penetapan pajak tersebut harus memenuhi prinsip Smith s Canons yaitu (Suparmoko, 2002 : 56-57) : Keadilan (equity), beban pajak harus dirasakan adil oleh berbagai golongan pendapatan yang berbeda (vertikal) dan dirasakan adil oleh berbagai sektor yang berbeda pada golongan pendapatan yang sama (horizontal). Kepastian (certainty), pajak dikenakan secara jelas, pasti dan tegas kepada setiap wajib pajak sehingga menolong pemerintah dalam membuat perkiraan mengenai rencana pendapatan daerah dan ada keikhlasan dan kesungguhan bagi wajib pajak dalam membayar pajak. Kelayakan (convenience), wajib pajak harus dengan senang hati membayar pajak kepada pemerintah karena pajak yang dibayarnya layak dan tidak memberatkan wajib pajak. Oleh karena itu, pemerintah daerah harus menggunakan uang pajak untuk menyediakan pelayanan secara optimal dan masyarakat tahu bahwa uang tersebut tidak diselewengkan penggunaannya.

19 28 Efisien, pajak daerah jangan sampai menciptakan biaya pemungutan yang lebih tinggi dibandingkan pendapatan pajak yang diterima pemerintah daerah. Ketepatan (adequacy), pajak tersebut tepat pada waktunya dan jangan sampai memperberat anggaran pendapatan dan belanja pemerintah daerah yang bersangkutan Preferensi Lokal dalam Perencanaan Pembangunan di Kota Bandung Dalam UU No. 32 Tahun 2004, diatur mengenai berbagai aspek pemerintahan daerah, salah satunya adalah regulasi mengenai perencanaan dan penganggaran di tingkat daerah. Berdasarkan undang-undang tersebut, terdapat dokumen perencanaan dan penganggaran yang harus dikeluarkan oleh pemerintah daerah yang terdiri dari : 1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) 2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 3. Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra-SKPD) 4. Rencana Kerja Pemerintah/Pembangunan Daerah (RKPD) 5. Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja-SKPD) Secara substansi, dokumen perencanaan tersebut bersifat hirarkis yaitu dokumen yang jangka waktunya lebih panjang menjadi rujukan bagi dokumen yang jangka waktunya lebih pendek. Di samping itu, pemerintah daerah juga berkewajiban menyusun perencanaan tata ruang. Akan tetapi, tampaknya dokumen perencanaan pembangunan dengan dokumen perencanaan tata ruang belum terintegrasi dengan baik. Kota Bandung merupakan salah satu kota di Indonesia yang memiliki laju pembangunan cukup pesat dan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi di Indonesia. Berdasarkan hasil Susenas 2005, penduduk Kota Bandung berjumlah sekitar jiwa dengan perbandingan antara jumlah penduduk laki-laki dan perempuan hampir seimbang. Pada tahun 2005, laju pertumbuhan penduduk Kota Bandung mencapai 1,72 % dan tingkat kepadatan sebesar jiwa/km2. Luas wilayah Kota Bandung yaitu 167,3 km2 dan terbagi atas 6 Wilayah

20 29 Pengembangan (WP) yang terdiri dari Wilayah Pengembangan Cibeunying, Karees, Tegallega, Bojonegara, Ujung Berung, dan Gedebage. Tenaga kerja di Kota Bandung terserap paling banyak pada sektor perdagangan dan jasa, selanjutnya di sektor industri, transportasi dan komunikasi, keuangan, listrik/gas/air, dan pertanian. Oleh sebab itu, sektor industri, perdagangan dan jasa memegang peranan yang sangat penting dalam mendorong peningkatan laju petumbuhan ekonomi di Kota Bandung. Sebagian besar penduduknya berstatus buruh atau karyawan yakni sekitar 58,24 % dan berusaha sendiri sekitar 25, 76 %. Potensi sumber daya manusia di Kota Bandung tergolong tinggi, baik dalam jumlah maupun kualitasnya. Terdapat banyak ahli di berbagai bidang dan pemuka agama dan tercipta kerukunan dalam kehidupan sosial masyarakat. Pembangunan sarana dan prasarana di Kota Bandung juga telah mengikuti berbagai tuntutan perkembangan aktivitas kota. Akan tetapi, penataan ruang Kota Bandung masih belum teratur apalagi sejak peristiwa terjadinya longsor sampah di kawasan TPA Leuwigajah yang memakan korban jiwa. Pemerintah Kota Bandung kemudian mengalami kesulitan mencari lokasi TPA yang baru sehingga banyak sampah yang tidak terangkut dan dibiarkan menumpuk di TPS. Akibatnya kualitas pelayanan sampah di Kota Bandung menjadi sangat buruk dan kenyamanan masyarakat dalam beraktivitas menjadi terganggu. Dalam Rencana Strategis (Renstra) Kota Bandung pada tahun , terdapat visi, misi, tujuan, strategi, program dan kegiatan daerah. Renstra tersebut memberikan arahan bagi Pemerintah Kota Bandung dalam penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan pembangunan, dan pelaksanaan pelayanan publik di Kota Bandung untuk periode tahun Dalam rencana strategis tersebut, disebutkan bahwa keberhasilan implementasi rencana pembangunan ditentukan oleh komitmen yang kuat oleh setiap stakeholder pembangunan, kondusifitas kota (ketentraman, ketertiban, keberadaan sarana dan prasarana, komitmen untuk menegakkan supremasi hukum), dan faktor pendukung lainnya seperti aksesibilitas yang tinggi dan perekonomian yang cukup baik.

21 30 Adapun yang menjadi visi Kota Bandung dalam Renstra tersebut yaitu Kota Bandung sebagai Kota Jasa yang Bermartabat (Bersih, Makmur, Taat, dan Bersahabat). Penjabaran visi tersebut adalah sebagai berikut : 1. Kota Bandung bersih dari sampah, KKN, penyakit masyarakat yang bertentangan dengan moral agama dan budaya (judi, pelacuran, narkoba, premanisme) 2. Kota Bandung memberikan kemakmuran bagi warganya 3. Warga Kota Bandung menjadi warga yang taat agama, hukum, dan aturan sehingga tercipta kemanan, kenyamanan, dan ketertiban dalam kehidupan sosial masyarakat 4. Warga Kota Bandung menjadi warga yang bersahabat, santun, akrab, dan menyenangkan bagi orang yang berkunjung serta ramah lingkungan Dari visi tersebut, ditetapkan misi Kota Bandung yang meliputi : Mengembangkan SDM yang handal dan religius (pendidikan, kesehatan, moral keagamaan). Mengembangkan perekonomian kota yang adil, yang mencakup peningkatan perekonomian kota yang tangguh, sehat dan berkeadilan dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat, menciptakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha. Mengembangkan sosial budaya kota yang ramah dan berkesadaran tinggi serta berhati nurani, yang mencakup peningkatan partisipasi masyarakat dalam rangka meningkatkan ketenagakerjaan, meningkatkan kesejahteraan sosial, keluarga, pemuda dan olah raga serta kesetaraan gender. Meningkatkan penataan kota, yang mencakup pemeliharaan serta peningkatan prasarana dan sarana kota agar sesuai dengan dinamika peningkatan kegiatan kota dengan tetap memperhatikan tata ruang kota dan daya dukung lingkungan kota. Meningkatkan kinerja pemerintah kota secara profesional, efektif, efisien, akuntabel dan transparan, yang mencakup pemberdayaan aparatur pemerintah dan masyarakat.

22 31 Mengembangkan sistem keuangan kota, mencakup sistem pembiayaan pembangunan yang dilaksanakan pemerintah, swasta dan masyarakat. Untuk mencapai misi yang telah ditetapkan tersebut, maka disusun program-program pembangunan sebagai berikut : pendidikan, pengembangan IPTEK, kesehatan (pelayanan dan pemberdayaan masyarakat, pengawasan obat, makanan, bahan berbahaya), kehidupan dan pendidikan beragama pengembangan industri, perdagangan, usaha koperasi, usaha kecil, investasi, pariwisata (produk dan pemasaran), agrobisnis kerukunan beragama, ketenagakerjaan, pelayanan/partisipasi sosial, pemberdayaan perempuan, pelayanan kependudukan, pembinaan pemuda dan olahraga, seni budaya pengembangan Kawasan Gedebage, penataan sarana dan prasarana, transportasi, lingkungan hidup, permukiman, tata ruang dan penatagunaan tanah, pedayagunaan aset pemerintah kota perencanaan kota, peningkatan hukum, sarana dan prasarana aparatur pemerintah kota, pengembangan aparatur, kelembagaan, kualitas pengawasan, pelayanan, partisipasi politik, kerjasama antara daerah dan kota, ketentraman dan ketertiban lingkungan sistem pembiayaan pembangunan, kinerja BUMD, pengembangan kemitraan Adapun yang menjadi bidang prioritas pembangunan di Kota Bandung yaitu : pendidikan : Bandung Cerdas 2008 kesehatan : Bandung Sehat 2007 kemakmuran : Pencapaian LPE 11 % Tahun 2008 lingkungan hidup : Bandung Hijau 2006 seni dan budaya : Bandung Kota Seni dan Budaya 2008 olahraga : Bandung Berprestasi 2008 agama : Bandung Kota Agamais 2008

23 32 Berdasarkan RKPD Kota Bandung Tahun 2006, pendapatan Kota Bandung Tahun 2006 diprediksikan sejumlah Rp ,3 dengan rincian sebagai berikut. Pendapatan Asli Daerah ( ,31) - Pajak Daerah : Rp ,- - Retribusi Daerah : Rp ,- - Lain-lain PAD yang sah : Rp ,- Dana Perimbangan ( ,93) - DAU : Rp ,- - Bagi hasil pajak dan bantuan keuangan dari propinsi : Rp ,- Lain-lain pendapatan yang sah : Rp ,- Selanjutnya, prediksi anggaran belanja mengacu pada pencapaian visi dan ketujuh bidang prioritas pembangunan. Untuk tahun 2006, mengingat keterbatasan anggaran maka pembagian alokasi anggaran per misi pembangunan didasarkan kepada lomponen-komponen pencapaian IPM Kota Bandung. Pembagiannya dapat dilihat pada tabel berikut ini. No. Tabel II.1 Alokasi Anggaran Belanja Kota Bandung Tahun 2006 Per Misi Pembangunan Program Pencapaian Misi Persentase Alokasi Anggaran Belanja 1 Mengembangkan SDM yang handal dan 15 % religius 2 Mengembangkan perekonomian kota yang adil 20 % 3 Mengembangkan sosial budaya kota yang 15 % ramah dan berkesadaran tinggi dan berhati nurani 4 Meningkatkan penataan kota 30 % 5 Meningkatkan kinerja pemerintah kota secara 10 % profesional, efektif, efisien, akuntabel dan transparan 6 Mengembangkan sistem keuangan kota 10 % Sumber : Rencana Kerja Perangkat Daerah Kota Bandung Tahun 2006

24 33 Selain Renstra dan RKPD, juga disusun Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung (RTRW) yang menjadi acuan bagi pemerintah dalam penyelenggaraan penataan ruang di Kota Bandung. Berdasarkan RTRW Kota Bandung Tahun , terdapat beberapa isu strategis pembangunan di Kota Bandung yaitu : 1. Masih terpusatnya sistem kegiatan perkotaan 2. Upaya antisipasi perkembangan yang kurang responsif terutama yang disebabkan oleh tekanan ekonomi 3. Terdesaknya bangunan yang memiliki nilai historis oleh bangunan baru 4. Belum optimalnya fungsi kota Bandung sebagai kota jasa 5. Penggunaan ruang publik yang tidak sesuai dengan yang direncanakan 6. Kualitas pelayanan publik yang belum optimal 7. Tingkat pelayanan (level of service) jalan dan sarana transportasi yang rendah 8. Rendahnya kemampuan pemeliharaan dan pengendalian pemanfaatan ruang publik Rencana struktur pelayanan Kota Bandung berdasarkan RTRW Kota Bandung Tahun , dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

25 34 Gambar 2.1 Rencana Struktur Pelayanan Kota Bandung Sumber : RTRW Kota Bandung Tahun

26 35 Keterlibatan masyarakat juga diupayakan dalam kegiatan perencanaan pembangunan maupun penataan ruang di Kota Bandung. Hal ini dilakukan dengan mengacu pada UU No. 24/1992 tentang penataan ruang dan UU No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Dalam perspektif UU No.25 Tahun 2004, partisipasi merupakan salah satu pendekatan dalam perencanaan pembangunan yaitu perencanaan yang dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) terhadap pembangunan (Suhirman, 2006 : 27). Dalam undang-undang tersebut, juga disebutkan bahwa tujuan perencanaan salah satunya adalah mengoptimalkan partisipasi masyarakat. Oleh sebab itu, sebagai bentuk perwujudan partisipasi masyarakat, maka dalam proses melakukan perencanaan dan penganggaran daerah terdapat tahapan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) yang melibatkan partisipasi masyarakat luas. Dalam proses penyusunan dokumen perencanaan pembangunan daerah tersebut, terdapat dua kegiatan penting yang menentukan kualitas dokumen perencanaan yaitu kegiatan menyusun rancangan awal dokumen rencana yang dilakukan oleh pemerintah melalui birokrasi dan kegiatan Musrenbang dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Kegiatan yang pertama merupakan proses yang teknokratis sedangkan kegiatan kedua adalah proses partisipatif. Hal tersebut menandakan bahwa proses perencanaan pembangunan, terutama pada tahap awal perencanaan, belum seluruhnya melibatkan partisipasi masyarakat untuk menyatakan preferensinya terhadap pembangunan kota. Dalam forum Musrenbang, pemerintah dan masyarakat bersama-sama merumuskan dan memutuskan prioritas program yang akan dibiayai. Berdasarkan mekanisme Musrenbang, warga telah dilibatkan baik sebagai peserta maupun sebagai pengambil keputusan (Suhirman, 2006 : 28). Dengan demikian, dalam proses musrenbang tersebut, masyarakat lokal seharusnya dapat menyatakan preferensi mereka terhadap pembangunan di daerah mereka. Namun, pada kenyataannya, belum seluruh anggota masyarakat turut berpartisipasi dalam proses Musrenbang tersebut sehingga preferensi masyarakat lokal secara umum tidak terefleksikan dalam prioritas pembangunan yang akan didanai. Selain itu,

27 36 partisipasi masyarakat secara umum juga hanya dalam lingkup wilayah yang kecil (belum dalam konteks Kota Bandung secara luas). Mekanisme Musrenbang dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel II.2 Proses Musrenbang Berdasarkan Surat Edaran Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional Tahap Musyawarah di Tingkat Desa/Komunitas Musyawarah di Tingkat Kecamatan Forum-Forum Sektoral Musyawarah di Tingkat Kota/Kabupaten Kegiatan Pemisahan program skala desa (DAUD) dan yang akan diusulkan ke tingkat yang lebih tinggi (didanai APBD) Kompilasi usulan desa ke dalam sektor dengan skala kecamatan Daftar program investasi yang diusulkan untuk skala kecamatan Pembahasan estimasi alokasi anggaran untuk kecamatan Penetapan prioritas program investasi di kecamatan (misal 5 prioritas) Penetapan prioritas program skala kota/kabupaten Daftar program skala kecamatan dan skala kota/kabupaten Delegasi dari berbagai kecamatan membahas program investasi dengan sektor Pembahasan tujuan dan program sektoral serta estimasi alokasi anggaran sektor Penetapan prioritas program investasi (dirinci per kecamatan) Penetapan program yang akan diajukan untuk dana Non-APBD Menetapkan tujuan dan indikator pencapaian kinerja pemerintahan Penyepakatan estimasi pendapatan daerah Kelembagaan Masyarakat Peserta : terbuka untuk setiap warga Pemilihan delegasi desa untuk perencanaan di tingkat yang lebih tinggi (3-5 orang) Peserta : perwakilan dari desa, asosiasi di tingkat kecamatan Pemilihan delegasi kecamatan (jumlah 3-5 orang) Peserta : delegasi kecamatan dan organisasi sektor yang bergerak dalam skala kota Pemilihan delegasi forum sektoral skala kota untuk hadir di forum Musrenbang kota/daerah Peserta : delegasi kecamatan dan delegasi forumforum sektoral

28 37 Tahap Pasca Musyawarah di Tingkat Kabupaten Sumber : Suhirman, 2006 : 29 Kegiatan Mendaftar prioritas program/proyek skala kecamatan dan kota/kabupaten Penetapan program/proyek skala kecamatan dan kota/kabupaten Inventarisasi program/proyek yang telah disepakati dalam Musrenbang Kota/Kabupaten Dokumentasi program/proyek dan alokasi anggaran yang telah disepakati Penyusunan RKPD Penyusunan Kebijakan Umum, Strategi, dan Plafon APBD Penyusunan RKA SKPD Pembahasan dan Penetapan APBD Pelaksanaan Program Monitoring dan evaluasi program Kelembagaan Masyarakat Peserta : delegasi kecamatan dan forum sektoral yang hadir dalam Musrenbang kabupaten/kota

BAB II KAJIAN LITERATUR

BAB II KAJIAN LITERATUR BAB II KAJIAN LITERATUR Untuk membangun framework teoritis yang jelas sebagai dasar dilakukannya penelitian ini, penulis terlebih dahulu melakukan review terhadap beberapa literatur yang terkait dengan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TASIKMALAYA, Menimbang : a. bahwa agar kegiatan pembangunan

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 99 BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Temuan Studi Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dalam penelitian ini, terdapat beberapa hal sebagai temuan studi yaitu sebagai berikut : 1. Karakteristik

Lebih terperinci

BAB III PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DALAM PRAKTEK

BAB III PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DALAM PRAKTEK 63 BAB III PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DALAM PRAKTEK A. Konsep Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Menurut Freedman dalam anggaran

Lebih terperinci

WALIKOTA CIREBON PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA CIREBON NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KOTA CIREBON

WALIKOTA CIREBON PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA CIREBON NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KOTA CIREBON WALIKOTA CIREBON PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA CIREBON NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KOTA CIREBON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA CIREBON, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tekad pemerintah pusat untuk meningkatkan peranan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

Lebih terperinci

pembangunan (misalnya dalam Musrenbang). Oleh sebab itu, pemerintah tidak mengetahui secara tepat apa yang sebenarnya menjadi preferensi lokal

pembangunan (misalnya dalam Musrenbang). Oleh sebab itu, pemerintah tidak mengetahui secara tepat apa yang sebenarnya menjadi preferensi lokal 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyelenggaraan desentralisasi pembangunan di Indonesia pada era otonomi daerah tidak dapat terpisahkan dari upaya perwujudan demokrasi dalam pembangunan. Sebagaimana

Lebih terperinci

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DASAR PEMIKIRAN HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH DAERAH HARUS MEMPUNYAI SUMBER-SUMBER KEUANGAN YANG MEMADAI DALAM MENJALANKAN DESENTRALISASI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan daerah adalah komponen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang digunakan untuk membiayai pembangunan dan melancarkan

Lebih terperinci

jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt

jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA NOMOR 53 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2014 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

KOTA SURAKARTA PRIORITAS DAN PLAFON ANGGARAN SEMENTARA (PPAS) TAHUN ANGGARAN 2016 BAB I PENDAHULUAN

KOTA SURAKARTA PRIORITAS DAN PLAFON ANGGARAN SEMENTARA (PPAS) TAHUN ANGGARAN 2016 BAB I PENDAHULUAN - 3 - LAMPIRAN: NOTA KESEPAKATAN ANTARA PEMERINTAH KOTA SURAKARTA DENGAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR : 910/3839-910/6439 TENTANG : PRIORITAS DAN PLAFON ANGGARAN SEMENTARA APBD KOTA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Belanja Langsung Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Pasal 36 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja langsung merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Dalam rangka

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara pemerintah pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan Akuntansi Sektor Publik, Khususnya di Negara Indonesia semakin pesat seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SUKABUMI

LEMBARAN DAERAH KOTA SUKABUMI LEMBARAN DAERAH KOTA SUKABUMI TAHUN 2010 NOMOR 6 PERATURAN DAERAH KOTA SUKABUMI Tanggal : 26 Nopember 2010 Nomor : 6 Tahun 2010 Tentang : TAHAPAN, TATA CARA PENYUSUNAN, PENGENDALIAN, DAN EVALUASI PELAKSANAAN

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Polewali Mandar dalam Rencana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang LAMPIRAN : PERATURAN DAERAH NOMOR : 5 TAHUN 2016 TENTANG : PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA TAHUN 2016-2021. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG TAHAPAN, TATA CARA PENYUSUNAN, PENGENDALIAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang keuangan negara. Hal ini diindikasikan dengan telah diterbitkannya Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Otonomi Daerah Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri

Lebih terperinci

TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN A. PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Berkaitan dengan manajemen keuangan pemerintah daerah, sesuai dengan amanat UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

Pendahuluan. Latar Belakang

Pendahuluan. Latar Belakang Pendahuluan Latar Belakang Pembangunan daerah Kabupaten Bangkalan yang dilaksanakan dalam kurun waktu Tahun 2008 2013 telah memberikan hasil yang positif dalam berbagai segi kehidupan masyarakat. Namun

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perkembangan akuntansi sektor publik, khususnya di Indonesia semakin pesat dengan adanya era reformasi dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah otonomi daerah

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG TAHAPAN, TATA CARA PENYUSUNAN, PENGENDALIAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan Pemerintah Daerah di Indonesia sejak tahun 2001 memasuki era baru yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai dengan

Lebih terperinci

TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG

TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 4 TAHUN 2014 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG Bagian Hukum Setda Kabupaten Bandung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut pasal 1 ayat (h) Undang-undang RI Nomor Tahun 1999 tentang pemerintah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut pasal 1 ayat (h) Undang-undang RI Nomor Tahun 1999 tentang pemerintah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah dan Pemerintahan Daerah 2.1. Otonomi Daerah Menurut pasal 1 ayat (h) Undang-undang RI Nomor Tahun 1999 tentang pemerintah daerah, otonomi daerah adalah kewenangan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1 Kinerja Keuangan Masa Lalu 3.1.1 Kondisi Pendapatan Daerah Pendapatan daerah terdiri dari tiga kelompok, yaitu Pendapatan Asli

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO

PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO SALINAN PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUKOMUKO NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN MUKOMUKO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUKOMUKO,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Otonomi selalu dikaitkan atau disepadankan dengan pengertian kebebasan dan kemandirian. Sesuatu akan dianggap otonomi jika ia menentukan diri sendiri, membuat

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJAR,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJAR, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJAR, Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN I. VISI Pembangunan di Kabupaten Flores Timur pada tahap kedua RPJPD atau RPJMD tahun 2005-2010 menuntut perhatian lebih, tidak hanya untuk menghadapi permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Karawang Tahun merupakan tahap ketiga dari

BAB I PENDAHULUAN. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Karawang Tahun merupakan tahap ketiga dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Karawang Tahun 2016-2021 merupakan tahap ketiga dari pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kondisi perekonomian Kota Ambon sepanjang Tahun 2012, turut dipengaruhi oleh kondisi perekenomian

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat:

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah yang dikelola dan diatur dengan baik akan menjadi pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah yang dikelola dan diatur dengan baik akan menjadi pemerintahan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tatacara penyelenggaraan pemerintah mengelola dan mengatur pemerintah sangat mempengaruhi baik atau buruknya suatu pemerintahan berjalan. Pemerintah yang dikelola

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH SALINAN BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang: a. bahwa dalam

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi daerah Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat

Lebih terperinci

PERENCANAAN KINERJA BAB. A. Instrumen untuk mendukung pengelolaan kinerja

PERENCANAAN KINERJA BAB. A. Instrumen untuk mendukung pengelolaan kinerja BAB II PERENCANAAN KINERJA A. Instrumen untuk mendukung pengelolaan kinerja Pemerintah Kabupaten Gunungkidul dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik senantiasa melaksanakan perbaikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) a. Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah (PAD) menurut Halim (2001) adalah penerimaan yang diperoleh daerah

Lebih terperinci

BUPATI TEMANGGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

BUPATI TEMANGGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH BUPATI TEMANGGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TEMANGGUNG, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

BUPATI SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATERA UTARA

BUPATI SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATERA UTARA BUPATI SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATERA UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA DAN PEDOMAN PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU UTARA

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU UTARA PEMERINTAH KABUPATEN LUWU UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA TAHUN 2010-2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kondisi perekonomian Kabupaten Lamandau Tahun 2012 berikut karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun 2013-2014 dapat digambarkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Realitas menunjukkan tidak semua daerah mampu untuk lepas dari pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka dalam kenyataannya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai

Lebih terperinci

SALINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GUNUNGKIDUL,

SALINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GUNUNGKIDUL, SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH DAN PELAKSANAAN MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI BANDUNG, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam Pendahuluan Sejalan dengan semakin meningkatnya dana yang ditransfer ke Daerah, maka kebijakan terkait dengan anggaran dan penggunaannya akan lebih

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2013-2018 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA KEDIRI

PEMERINTAH KOTA KEDIRI PEMERINTAH KOTA KEDIRI PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG TRANSPARANSI DAN PARTISIPASI DALAM PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KEDIRI, Menimbang

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1 Arah Kebijakan Ekonomi Daerah 3.1.1 Kondisi Ekonomi Daerah Tahun 2011 dan Perkiraan Tahun 2012 Kerangka Ekonomi Daerah dan Pembiayaan

Lebih terperinci

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kebijakan pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah secara efektif

Lebih terperinci

-1- BUPATI BENGKAYANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG

-1- BUPATI BENGKAYANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG -1- BUPATI BENGKAYANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

NOTA KESEPAKATAN PEMERINTAH KABUPATEN TANAH DATAR DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN TANAH DATAR

NOTA KESEPAKATAN PEMERINTAH KABUPATEN TANAH DATAR DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN TANAH DATAR NOTA KESEPAKATAN ANTARA PEMERINTAH KABUPATEN TANAH DATAR DENGAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN TANAH DATAR Nomor : 03/KB/BTD-2012 02/KSP/DPRD-TD/2012 TANGGAL 31 JULI 2012 TENTANG PRIORITAS DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan proses perubahan kearah yang lebih baik, mencakup seluruh dimensi kehidupan masyarakat suatu daerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DAN PELAKSANAAN MUSYAWARAH PERENCANAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Otonomi daerah yang disahkan melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLORA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang,

Lebih terperinci

Rencana Tata Ruang Wilayah dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis

Rencana Tata Ruang Wilayah dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis Rencana Tata Ruang Wilayah dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis Telah ditetapkannya Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2007 dan Keputusan Walikota Bandung Nomor 250 Tahun 2008 tentang Penjabaran Tugas Pokok,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pemerintah pusat sehingga dengan demikian pembangunan daerah diupayakan sejalan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG Nomor : 1 Tahun 2009 PEMERINTAH KABUPATEN MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG Nomor : 1 Tahun 2009 PEMERINTAH KABUPATEN MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG Nomor : 1 Tahun 2009 PEMERINTAH KABUPATEN MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG TAHAPAN, TATA CARA PENYUSUNAN, PENGENDALIAN DAN EVALUASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara. Hal ini diindikasikan dengan telah diterbitkannya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara. Hal ini diindikasikan dengan telah diterbitkannya Undangundang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang keuangan negara. Hal ini diindikasikan dengan telah diterbitkannya Undangundang No.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anggaran Daerah adalah suatu rencana keuangan yang disusun untuk satu periode mendatang yang berisi tentang Pendapatan dan Belanja Negara/ Daerah yang menggambarkan

Lebih terperinci

BUPATI SUMBA BARAT DAYA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI SUMBA BARAT DAYA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI SUMBA BARAT DAYA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA TAHUN 2014

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAHAN PUSAT DAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAHAN PUSAT DAN DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAHAN PUSAT DAN DAERAH Menimbang : Mengingat : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting yang dilakukan yaitu penggantian sistem sentralisasi menjadi

BAB I PENDAHULUAN. penting yang dilakukan yaitu penggantian sistem sentralisasi menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam waktu tujuh tahun sejak tumbangnya rezim orde baru, bangsa Indonesia terus berupaya memperbaiki sistem pemerintahannya. Bahkan upaya-upaya perubahan yang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MELAWI NOMOR 12 TAHUN 2011 T E N T A N G KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATEN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN BUPATI HUMBANG HASUNDUTAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, daerah diberi kewenangan yang luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Pengantar

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Pengantar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pengantar Pembaharuan tata kelola pemerintahan, termasuk yang berlangsung di daerah telah membawa perubahan dalam berbagai dimensi, baik struktural maupun kultural. Dalam hal penyelenggaraan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 58 TAHUN : 2006 SERI : D PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 58 TAHUN : 2006 SERI : D PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 58 TAHUN : 2006 SERI : D PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KOTA CIMAHI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang

BAB II LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang BAB II LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1. Landasan Teori 2.1. 1 Definisi dan Teori Otonomi Khusus UU No 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 6 menyatakan bahwa daerah otonom yaitu kesatuan masyarakat hukum

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA PENDAPATAN BELANJA PEMBIAYAAN. Gambar 3 Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

TINJAUAN PUSTAKA PENDAPATAN BELANJA PEMBIAYAAN. Gambar 3 Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1 Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Nomor 33 Tahun 2004

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan mendasar paradigma pengelolaan keuangan daerah terjadi sejak diterapkan otonomi daerah pada tahun 2001. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG

LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG Nomor 2 Tahun 2008 PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah membawa dampak negatif yang cukup dalam pada hampir seluruh sektor dan pelaku ekonomi. Krisis yang bermula

Lebih terperinci

BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA. Daerah. Reformasi tersebut direalisasikan dengan ditetapkannya Undang

BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA. Daerah. Reformasi tersebut direalisasikan dengan ditetapkannya Undang 10 BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA Semenjak krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia, Pemerintah Indonesia melakukan reformasi di bidang Pemerintahan Daerah dan Pengelolaan Keuangan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sistem pemerintahan daerah sangat erat kaitannya dengan otonomi daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem pemerintahan di Indonesia bersifat

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Hal mendasar dalam perencanaan pembangunan tahunan adalah kemampuannya dalam memproyeksikan kapasitas riil keuangan daerah secara

Lebih terperinci

KOTA BANDUNG DOKUMEN RENCANA KINERJA TAHUNAN BAPPEDA KOTA BANDUNG TAHUN 2016

KOTA BANDUNG DOKUMEN RENCANA KINERJA TAHUNAN BAPPEDA KOTA BANDUNG TAHUN 2016 KOTA BANDUNG DOKUMEN RENCANA KINERJA TAHUNAN BAPPEDA KOTA BANDUNG TAHUN 2016 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terselenggaranya good governance merupakan prasyarat bagi setiap pemerintahan untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BUPATI NGANJUK PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 02 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI NGANJUK PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 02 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI NGANJUK PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 02 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH, RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH, RENCANA STRATEGIS

Lebih terperinci

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA BAB II. A. Struktur Organisasi. Pemerintah Kota Bandung

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA BAB II. A. Struktur Organisasi. Pemerintah Kota Bandung BAB II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA A. Struktur Organisasi Bandung sebagai salah satu daerah Kabupaten/Kota di lingkungan Provinsi Jawa Barat, secara yuridis formil didasarkan pada Undang-undang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 58 TAHUN : 2006 SERI : D PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 58 TAHUN : 2006 SERI : D PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 58 TAHUN : 2006 SERI : D PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KOTA CIMAHI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PEMERINTAHAN DAERAH. Harsanto Nursadi

PEMERINTAHAN DAERAH. Harsanto Nursadi PEMERINTAHAN DAERAH Harsanto Nursadi Beberapa Ketentuan Umum Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB 4 UPAYA MEREFLEKSIKAN PREFERENSI LOKAL DALAM PENYUSUNAN PRIORITAS PEMBANGUNAN KOTA BANDUNG

BAB 4 UPAYA MEREFLEKSIKAN PREFERENSI LOKAL DALAM PENYUSUNAN PRIORITAS PEMBANGUNAN KOTA BANDUNG 92 BAB 4 UPAYA MEREFLEKSIKAN PREFERENSI LOKAL DALAM PENYUSUNAN PRIORITAS PEMBANGUNAN KOTA BANDUNG 4.1 Penyusunan Prioritas Pembangunan Kota Pada Era Otonomi Daerah Penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Pemerintah Daerah Dan Fungsi Pemerintah Daerah 1. Pengertian Pemerintah Daerah Menurut Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18 ayat (5), pengertian pemerintahan daerah adalah sebagai

Lebih terperinci