BAB IV MEKANISME PENYEDIAAN SET PELAYANAN UMUM PERKOTAAN YANG SESUAI DENGAN PREFERENSI LOCAL BUSINESS DI KOTA DEPOK

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV MEKANISME PENYEDIAAN SET PELAYANAN UMUM PERKOTAAN YANG SESUAI DENGAN PREFERENSI LOCAL BUSINESS DI KOTA DEPOK"

Transkripsi

1 BAB IV MEKANISME PENYEDIAAN SET PELAYANAN UMUM PERKOTAAN YANG SESUAI DENGAN PREFERENSI LOCAL BUSINESS DI KOTA DEPOK Analisis yang telah dilakukan terhadap data sekunder dan primer telah menghasilkan informasi mengenai urutan kepentingan penyediaan set pelayanan umum perkotaan berdasarkan preferensi local business di Kota Depok. Dalam sistem pemerintahan yang demokratis dan desentralistis, penyediaan set pelayanan umum perkotaan di Kota Depok seharusnya memasukkan pertimbangan atas urutan preferensi ini. Namun ternyata tidak demikian. Hasil analisis tingkat kepuasan menunjukkan bahwa tingkat kepuasan yang dirasakan local business terhadap set pelayanan umum perkotaan yang ada saat ini masih sangat rendah. Unit-unit bisnis ini cenderung merasa kurang puas terhadap pelayanan fisik dan non fisik perkotaan yang telah disediakan oleh pemerintah. Rendahnya kepuasan ini mengindikasikan bahwa hingga saat ini, penyediaan set pelayanan umum perkotaan di Kota Depok belum memasukkan pertimbangan atas preferensi local business-nya. Untuk memperbaiki kondisi tersebut, pemerintah kota harus mulai mempertimbangkan dan merefleksikan preferensi local business dalam kegiatan penyusunan rencana penyediaan set pelayanan umum perkotaan. Meskipun terlihat sederhana, proses untuk membuat preferensi ini terefleksi dalam rencana penyediaan set pelayanan umum perkotaan ini memiliki tantangan tersendiri. Oleh karena itu, perumusan mekanisme yang tepat dalam memasukkan preferensi ini ke dalam rencana penyediaan set pelayanan umum perkotaan menjadi penting untuk dilakukan. Mekanisme ini nantinya akan mampu meminimalisir tantangantantangan yang dihadapi dalam proses merefleksikan preferensi ini dalam rencana. Dengan demikian, Kota Depok akan dapat menyediakan set pelayanan umum perkotaan secara efektif, dengan alokasi sumber daya yang lebih efisien. 77

2 4.1 Set Pelayanan Umum Perkotaan yang Sesuai dengan Preferensi Local Business Penyediaan pelayanan umum perkotaan akan menjadi lebih efisien apabila dilakukan dengan mengikuti urutan prioritas yang disampaikan oleh local business di Kota Depok. Adapun urutan prioritas penyediaan yang diberikan local business untuk set pelayanan fisik perkotaan adalah jaringan jalan, jaringan air bersih, jaringan listrik, jaringan telekomunikasi, ketersediaan kawasan usaha untuk bisnis, jaringan air kotor dan drainase, pengumpulan dan pengelolaan sampah, serta terminal angkutan orang dan barang. Sementara itu, urutan prioritas penyediaan pelayanan non fisik perkotaan yang dimiliki oleh local business ini diantaranya adalah jaminan keamanan usaha, kemudahan perizinan usaha, kepastian hukum, kesesuaian antara pajak yang dibayar dengan pelayanan yang diperoleh, serta kemudahan menyuarakan aspirasi. Secara teoritis, ketersediaan akses jalan merupakan aspek mendasar yang perlu diperhatikan oleh pemerintah kota untuk dapat meningkatkan minat investasi di daerahnya. Kondisi jaringan jalan yang memadai akan memperlancar proses distribusi barang dan jasa dari dan menuju lokasi usaha. Sebaliknya, kondisi jalan yang kurang baik akan menghambat proses distribusi, sehingga pada akhirnya akan memberikan dampak langsung terhadap kelancaran usaha bisnis di Kota Depok. Mengingat pentingnya peran fasilitas ini, sudah sewajarnya apabila penyediaan jaringan jalan yang memadai menjadi prioritas utama dalam alokasi sumber daya publik di Kota Depok. Selain ketersediaan jaringan jalan yang memadai, local business memerlukan ketersediaan air bersih untuk mendukung produktivitas usahanya. Untuk kegiatan usaha perdagangan eceran yang mendominasi jenis usaha di Kota Depok, ketersediaan air bersih mungkin tidak akan mempengaruhi produktivitas usahanya secara langsung. Sementara untuk usaha bisnis yang bergerak di bidang reparasi alat-alat, ketersediaan air bersih akan sangat mempengaruhi kelancaran usahanya. Namun karena jaringan air bersih ini 78

3 termasuk ke dalam set pelayanan dasar perkotaan yang mutlak untuk disediakan, dan sampai saat ini belum tersedia dengan baik, local business menempatkannya sebagai prioritas kedua. Untuk mendukung kelancaran usaha, local business memerlukan pasokan listrik dan ketersediaan jaringan telekomunikasi yang memadai. Oleh karena itu, local business di Kota Depok menempatkan kedua bentuk pelayanan fisik ini sebagai prioritas ketiga dan keempat yang harus disediakan oleh Pemerintah Kota Depok. Sementara itu, hal yang tidak kalah pentingnya untuk disediakan adalah kawasan usaha untuk bisnis. Kawasan usaha baru yang saat ini banyak bermunculan di Kota Depok, ternyata dinilai beberapa local business sebagai sesuatu yang mematikan. Itulah sebabnya mengapa penyediaan kawasan usaha untuk bisnis ditempatkan pada posisi kelima, karena penyediaannya tidak jauh lebih penting dari penyediaan jaringan jalan, jaringan air bersih, listrik serta telekomunikasi. Meskipun jaringan air kotor dan pengelolaan sampah merupakan sesuatu yang juga penting untuk mendukung kelangsungan usaha, local business di Kota Depok hanya menempatkan penyediaannya di posisi ke enam dan ke tujuh. Hal ini terjadi karena dengan kondisi pelayanan yang ada saat ini, Kota Depok masih dapat terhindar dari bahaya banjir dan penumpukkan sampah. Sementara itu, terminal menjadi prioritas akhir yang penyediaannya perlu diperhatikan oleh pemerintah kota. Untuk penyediaan pelayanan non fisik perkotaan, local business menyatakan bahwa keamanan merupakan prioritas utama yang penyediaannya harus diperhatikan oleh pemerintah kota. Tanpa jaminan keamanan yang memadai, local business akan enggan beroperasi di Kota Depok. Tanpa jaminan keamanan, local business juga akan mengalami kesulitan untuk bertahan dan berkembang. Oleh karena itu, dalam upaya meningkatkan minat investasi dan mempertahankan usaha-usaha yang saat ini sudah berjalan, pemerintah perlu memberikan jaminan terhadap keamanan usaha local business di Kota Depok. 79

4 Selain keamanan, kemudahan izin usaha juga menjadi alasan mengapa iklim investasi di suatu daerah berkembang, sementara di daerah lainnya tidak. Kemudahan izin usaha pada dasarnya merupakan sebuah insentif yang dapat mendorong peningkatan kegiatan usaha bisnis di suatu daerah. Pengurusan izin usaha yang panjang dan berbelit-belit akan membuat local business berkembang menjadi usaha-usaha yang bentuknya informal. Akibatnya, meskipun berkembang dalam jumlah yang banyak, usaha tersebut tidak akan memberikan kontribusi yang nyata bagi keuangan daerah. Oleh karena itu, kemudahan dalam pengurusan izin ini menjadi penting untuk diperhatikan. Hal ini sangat erat kaitannya dengan upaya merangsang minat investasi dan membuat kegiatan usaha memberikan kontribusi yang nyata pada perekonomian suatu kota. Hal lain yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah masalah kepastian hukum, kesesuaian besar pajak yang dibayarkan dengan pelayanan yang diterima, serta kemudahan untuk menyampaikan aspirasi. Tanpa ketiga hal tersebut, kemungkinan local business melakukan perpindahan ke luar Kota Depok akan menjadi sangat besar. Hal ini sesuai dengan apa yang telah dinyatakan secara teoritis oleh Tiebout (1956: 420). Local business sangat sensitif terhadap perbedaan besar pajak usaha yang ditetapkan oleh daerah (Oates, 1969: 45). Apabila sistem perpajakan dan alokasi sumber daya yang ada tidak sesuai dengan harapannya, Local business bisa pindah ke tempat lain dengan sistem perpajakan dan alokasi sumber daya yang lebih sesuai. Padahal, local business memiliki peran yang besar dalam menggerakkan perekonomian di daerah tempatnya berada. Oleh karena itu, prioritas yang disusun oleh local business ini menjadi sangat penting untuk direfleksikan dalam rencana penyediaan set pelayanan umum perkotaan. Pilihan-pilihan urutan di atas telah dibuat oleh local business Kota Depok berdasarkan atas pertimbangan rasionalitas yang dimiliki unit bisnis tersebut. Oleh karena itu, apabila urutan-urutan tersebut bisa direfleksikan 80

5 dalam rencana penyediaan set pelayanan umum perkotaan, alokasi sumber daya publik di Kota Depok bisa dilakukan dengan lebih efisien. Sebagai bagian dari entitas lokal, local business memiliki hak agar preferensinya diperhatikan oleh pemerintah. Perhatian ini dapat dilakukan dengan banyak cara, salah satunya adalah dengan memperhatikan aspirasi yang disampaikan oleh local business. Hal ini secara eksplisit ditunjukkan oleh 93,1 % unit bisnis Kota Depok yang menyatakan bahwa preferensi yang disampaikan oleh local business, sangat penting untuk diperhatikan dan direfleksikan dalam rencana penyediaan set pelayanan umum perkotaan. Menurut local business, perhatian tersebut sudah menjadi kewajiban yang dipegang oleh pemerintah selaku pemangku kepentingan publik. 4.2 Penyediaan Set Pelayanan Umum Perkotaan di Kota Depok Saat ini, kebijakan penyediaan set pelayanan umum perkotaan di Kota Depok masih dilakukan tanpa memperhatikan preferensi local business-nya. Perhitungan kebutuhan pelayanan perkotaan masih dilakukan berdasarkan standar pemenuhan kebutuhan minimum perkotaan yang dikeluarkan oleh Dinas PU Cipta Karya, Propinsi Jawa Barat. Hal ini dilakukan, karena pada saat ini pemerintah kota masih memposisikan dirinya sebagai pihak yang paling mengetahui kebutuhan entitas lokalnya, termasuk local business. Kondisi ini pada akhirnya membuat alokasi sumber daya publik yang dilakukan oleh Kota Depok menjadi tidak efisien. Preferensi local business sampai saat ini belum dijadikan sebagai pertimbangan oleh pihak pemerintah kota dalam menyusun rencana penyediaan set pelayanan umum perkotaan karena belum terdapat saluransaluran (forum) yang secara khusus menampung aspirasi dari local business ini. Akibatnya, meskipun local business berusaha semaksimal mungkin untuk membuat preferensinya di dengar oleh pemerintah, belum tentu aspirasi tersebut sampai kepada pihak yang seharusnya bertanggung jawab. Selama ini, usaha menyampaikan aspirasi usaha bisnis hanya dilakukan dengan memanfaatkan peran koperasi-koperasi usaha. Namun pada kenyataannya 81

6 koperasi tersebut belum dapat berperan optimal untuk menyampaikan aspirasi dari local business kepada pemerintah. Ketiadaan saluran-saluran aspirasi tersebut membuat 46,6 % local business Kota Depok tidak tahu harus menyampaikan preferensinya ke mana. Meskipun ada kesempatan untuk menyampaikan preferensinya, local business belum bisa memperoleh jaminan bahwa preferensi tersebut akan direfleksikan dalam rencana penyediaan set pelayanan umum kota. Hal ini terjadi karena kesadaran pemerintah pemerintah kota untuk memperhatikan preferensi local business ini masih sangat rendah. Meskipun pelayanan umum perkotaan yang disediakan belum sesuai dengan preferensinya, local business di Kota Depok memiliki kecenderungan untuk merasa puas dengan apa yang sudah disediakan oleh pemerintah saat ini. Kondisi seperti ini seolah-olah mengindikasikan bahwa meskipun tidak ada proses pertimbangan terhadap preferensi, pemerintah kota sudah mampu menyediakan pelayanan perkotaan yang sesuai dengan kebutuhan local business. Namun setelah di kaji lebih dalam, sikap puas yang ditunjukkan oleh local business tersebut muncul karena karakteristik loyalty yang cenderung dimiliki oleh unit-unit bisnis terhadap Kota Depok. Hasil analisis menunjukkan bahwa 33,33% local business di Kota Depok memiliki kecenderungan untuk tidak melakukan apa-apa ketika fasilitas perkotaan yang disediakan tidak sesuai dengan kebutuhannya. Karakteristik inilah yang disebutkan Hirschmann (1970) sebagai bentuk kesetiaan (loyalty) local business terhadap pemerintah. Karakteristik ini pula yang kemudian membuat local business mau menerima segala kondisi pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Meskipun sebenarnya kondisi tersebut masih belum memenuhi preferensi yang dimilikinya. Kondisi local business yang cenderung menerima keadaan tidak membuat aspirasi (preferensi) usaha bisnis ini menjadi kurang penting untuk diperhatikan. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, sebagian local business Kota Depok juga memiliki potensi untuk menyuarakan pendapatnya (voice) dan pindah (exit) ketika dalam jangka panjang pemerintah tetap tidak 82

7 menyediakan pelayanan sesuai dengan preferensinya. Dengan kata lain, meskipun tingkat mobilitas local business ini cenderung rendah, dalam jangka panjang potensi untuk pindah ke kota-kota lain di Jabodetabek tetap ada. Walaupun karakteristik loyalty mendominasi local business di Kota Depok, pemerintah kota seharusnya semakin memiliki kewajiban untuk memasukkan pertimbangan preferensi tersebut dalam penyusunan rencana. Hal ini terjadi karena potensi unit bisnis tersebut menyuarakan pendapat dan melakukan perpindahan juga tetap ada. Suatu saat, local business bisa pindah dan membawa investasinya ke kota-kota lain dengan set pelayanan yang lebih memenuhi preferensinya. Kondisi ini seharusnya bisa menjadi salah satu pemicu bagi pemerintah untuk dapat menyediakan pelayanan umum perkotaan yang sesuai dengan preferensi local business di Kota Depok. 4.3 Mekanisme Memasukkan Preferensi Local Business dalam Rencana Penyediaan Set Pelayanan Umum Perkotaan di kota Depok Untuk menghasilkan efisiensi, preferensi local business harus benarbenar dipertimbangkan dalam penyediaan set pelayanan umum perkotaan. Pertanyaannya kemudian, bentuk mekanisme seperti apa yang mampu membuat preferensi tersebut diperhatikan dalam rencana penyediaan pelayanan kota? Menurut local business Kota Depok, setidaknya terdapat empat mekanisme yang dapat digunakan untuk membuat preferensi mereka didengar oleh pemerintah. Mekanisme tersebut diantaranya adalah: 1. membentuk forum-forum usaha bisnis sebagai penyalur aspirasi ke tingkat pemerintah, 2. melakukan upaya dialog dengan pemerintah, 3. memfasilitasi pembentukkan kotak suara, dan 4. melakukan demo kepada pemerintah. 83

8 Meskipun terlihat sederhana, mekanisme-mekanisme di atas belum tentu dapat menjadi alternatif yang efektif dalam proses memasukkan pertimbangan preferensi ke dalam rencana penyediaan pelayanan umum perkotaan. Mekanisme-mekanisme ini dapat digunakan ketika local business mau berperan secara proaktif untuk menyuarakan preferensinya dan pemerintah memiliki kesediaan untuk memperhatikan apa yang disampaikan oleh local business tersebut. Persoalannya, hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat keaktifan local business Kota Depok dalam menyuarakan aspirasinya masih rendah. Hal ini terjadi karena sebagian besar local business memiliki karakteristik loyal terhadap wilayahnya. Sementara itu, hasil analisis juga menunjukkan bahwa kesadaran pemerintah Kota Depok untuk memperhatikan preferensi local business masih sangat kurang. Kondisi ini terlihat dari tidak tersedianya forum (saluran) tempat local business menyampaikan harapannya kepada pemerintah. Dengan karakteristik tersebut, upaya untuk membentuk forum usaha bisnis sebagai penyalur aspirasi ke tingkat pemerintah akan sulit dilakukan. Upaya dialog dengan pemerintah juga akan mengalami hambatan, karena pemerintah pada dasarnya tidak menyediakan ruang khusus untuk dilakukannya dialog dengan unit-unit bisnis tersebut. Upaya pembentukan kotak suara juga tidak akan berhasil secara optimal apabila belum ada kesadaran dari pemerintah untuk memperhatikan masukan-masukan unit bisnis di dalam kotak saran tersebut. Dan akhirnya, upaya demo menjadi satusatunya jalan untuk membuat pemerintah memahami preferensi local business. Namun sekali lagi, hasil analisis menunjukkan bahwa local business yang berniat menyampaikan aspirasinya lewat demo hanyalah sebagian kecil. Sementara itu sisanya lebih memilih diam dan menerima kondisi pelayanan yang sudah diberikan oleh pemerintah sampai saat ini. Oleh karena itu, dalam rangka memasukkan pertimbangan atas preferensi local business ke dalam rencana penyediaan set pelayanan umum perkotaan, diperlukan upaya untuk meningkatkan kesadaran atas pentingnya 84

9 preferensi dari kedua belah pihak (local business dan pemerintah). Meskipun demikian, mengingat adanya karakteristik loyal dari local business, inisiasi lebih banyak diharapkan berasal dari pihak pemerintah kota. Namun untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah kota perlu memiliki political will yang kuat untuk mau memahami pentingnya preferensi local business ini. Kesadaran pemerintah kota akan pentingnya memperhatikan preferensi local business ini bisa dilakukan dengan banyak cara. Cara pertama yang bisa digunakan adalah dengan mengembangkan penelitian-penelitian mengenai preferensi lokal. Hasil penelitian mengenai preferensi lokal ini dapat digunakan sebagai masukan bagi pemerintah untuk menyusun kebijakan penyediaan set pelayanan umum perkotaan yang efektif dengan alokasi sumber daya yang efisien. Apabila disampaikan dengan baik, hasil-hasil penelitian ini akan menarik perhatian pemerintah. Dan secara perlahan-lahan, pemerintah akan semakin terdorong untuk memahami preferensi lokal, termasuk preferensi local business, lalu mulai memasukkan preferensi tersebut sebagai pertimbangan dalam menyusun rencana penyediaan set pelayanan umum perkotaan. Cara kedua yang bisa dilakukan untuk meningkatkan political will dari pemerintah adalah dengan melakukan upaya-upaya pengembangan Kualitas Sumber Daya Aparat Pemerintahan. Pengembangan kualitas SDM ini bisa dilakukan dengan memberikan pelatihan-pelatihan (training) kepada aparat pemerintah tentang pentingnya memasukkan pertimbangan atas preferensi lokal ke dalam rencana alokasi sumber daya publik di suatu kota. Melalui training, pengetahuan aparat pemerintah mengenai preferensi lokal akan bertambah. Bertambahnya pengetahuan ini diharapakan akan membuat aparat pemerintah semakin paham bahwa efisiensi hanya dapat dicapai apabila pertimbangan atas taste dan preference lokal dijadikan sebagai pertimbangan dalam mengalokasikan sumber daya publik. Sementara upaya untuk meningkatkan political will dari aparat pemerintah tersebut dilakukan, upaya lainnya untuk meningkatkan peran aktif dari local business dalam menyuarakan aspirasinya juga perlu ditingkatkan. 85

10 Peran aktif ini bisa ditingkatkan dengan cara membentuk forum-forum bisnis. Forum tersebut secara berkala akan menjadi tempat bagi local business untuk berdiskusi dan menyuarakan aspirasinya. Selain dapat digunakan untuk mendorong peningkatan political will pemerintah, hasil studi mengenai preferensi lokal juga dapat digunakan untuk mendorong peningkatan peran aktif local business dalam menyampaikan aspirasinya. Hasil-hasil penelitian dan studi mengenai preferensi lokal dapat dijadikan sebagai salah satu input dalam kegiatan diskusi forum bisnis. Hasilhasil penelitian tersebut diharapkan mampu mendorong local business untuk aware akan pentingnya menyampaikan preferensi yang mereka miliki kepada pihak pemerintah. Karena pemerintah sudah memahami pentingnya preferensi lokal, aspirasi yang disampaikan oleh local business tentu akan semakin diperhatikan. Dengan demikian, secara sederhana, mekanimse yang dapat ditawarkan untuk membuat preferensi local business terefleksi dalam rencana penyediaan set pelayanan umum perkotaan adalah sebagai berikut: 1. membentuk forum-forum bisnis di tingkat lokal atas inisiasi pemerintah dan atau local business, sebagai saluran penyampaian preferensi. Forum-forum ini bisa dibentuk berdasarkan batasan administrasi kecamatan maupun jenis kegiatan usaha pokok yang dilakukannya, 2. menyelenggarakan diskusi informal di dalam forum-forum bisnis, untuk memperoleh urutan preferensi local business di setiap forum bisnis, 3. meng-agendakan pertemuan antara forum-forum bisnis dengan pemerintah kota, 4. membangun kesepakatan antara forum bisnis dan pemerintah kota. (dalam kesepakatan tersebut disepakati bahwa pemerintah kota akan memasukkan pertimbangan terhadap preferensi local business dalam penyusunan rencana penyediaan set pelayanan umum perkotaan). 86

11 Dengan kata lain, mekanisme yang ditawarkan adalah dengan membangun kesepakatan antara forum-forum (kelompok) bisnis dengan pihak pemerintah melalui forum deliberatif (musyawarah) dan demokratis. Dalam forum deliberatif ini, potensi untuk menyamakan pendapat menjadi lebih besar (Snary, 2004 dalam Schiveli, 2007: 261). Forum deliberatif seperti ini juga memiliki potensi untuk mengurangi rasa frustasi dan permusuhan yang seringkali menjadi resiko (Slovic, Fischoff dan Lichtenstein, 1982; dalam Schiveli, 2007: 261) dari kegiatan diskusi yang dilakukan oleh dua pihak dengan kepentingan yang berbeda. Oleh karena itu, mekanisme ini dapat dikatakan sebagai mekanisme yang paling dapat diterima dalam kegiatan mendudukkan prioritas penyediaan pelayanan perkotaan berdasarkan preferensi local business Kota Depok. Pada tingkat local business, kegiatan diskusi internal yang dilakukan dalam forum-forum bisnis akan menjadi lebih efisien apabila dilakukan dengan cara-cara yang cenderung informal. Menurut Kasperson, Golding dan Tuller (1992), proses yang infomal lebih efektif untuk digunakan dalam membangun kesepakatan (Schiveli, 2007: 259). Dengan cara-cara informal, proses pertukaran informasi untuk memperoleh kesepakatan mengenai preferensi akan berlangsung dengan lebih baik. Untuk lebih jelasnya, lihat gambar 4.1 berikut: 87

12 GAMBAR 4.1 MEKANISME MEMASUKKAN PREFERENSI LOCAL BUSINESS KE DALAM RENCANA PENYEDIAAN SET PELAYANAN UMUM KOTA FORUM BISNIS 1 FORUM BISNIS 2 FORUM BISNIS 3 Local business A Local business B Local business C Local business D Local business E Local business F Diskusi Informal I Diskusi Informal II Diskusi Informal III Alternatif Urutan Preferensi 1 Alternatif Urutan Preferensi 2 Alternatif Urutan Preferensi 3 Hasil penelitian/ studi preferensi lokal Musrenbang Perwakilan forum bisnis 1,2,3 Forum musyawarah antara local business dengan pemerintah kota Kesepakatan untuk memperhatikan preferensi local business dalam penyusunan rencana penyediaan set pelayanan umum perkotaan Training aparat pemerintah tentang pentingnya pemahaman atas preferensi lokal Sumber: Hasil analisis, 2007 Proses memasukkan preferensi local business ke dalam rencana merupakan sebuah proses yang melibatkan banyak pihak. Pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan ini diantaranya adalah local business dan pemerintah kota. Masing-masing pihak memiliki kepentingannya masing-masing. Local business memiliki kepentingan untuk membuat preferensinya didengarkan oleh pemerintah. Sementara itu, pemerintah memiliki kepentingan untuk mengalokasikan sumber daya publik yang jumlahnya terbatas secara efisien. Oleh karena itu, konsistensi untuk dapat saling mendengarkan masukan menjadi sangat diperlukan. Pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan musyawarah ini harus mampu meningkatkan kepercayaan sosial (social trust) antarpihak. Hal ini penting, karena kepercayaan sosial merupakan dasar dari kegiatan pembangunan 88

13 kesepakatan.. Apabila local business tidak percaya kepada institusi pengambil keputusan, proses pembangunan kesepakatan tidak akan berjalan dengan baik, demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, kepercayaan antara kedua belah pihak harus dibangun terlebih dahulu dengan inisiasi yang lebih banyak berasal dari pihak institusi (pemerintah). Apabila kita kembalikan kepada usulan upaya yang disampaikan oleh local business, mekanisme ini sudah merangkum keempat usulan yang ada. Untuk dapat melakukan mekanisme ini, terlebih dahulu dilakukan pembentukan forum-forum pengusaha sebagai lembaga penampung preferensi local business dengan inisiasi yang berasal dari pihak pemerintah dan atau local business itu sendiri. Selanjutnya, melalui forum bisnis tersebut, local business bisa melakukan dialog dan diskusi dengan pihak pengambil keputusan (pemerintah). Dengan kepercayaan yang sudah terbangun antara kedua belah pihak, pihak pengambil keputusan memiliki tanggung jawab untuk mempertimbangkan preferensi yang telah disampaikan oleh local business dalam rencana penyediaan set pelayanan umum perkotaan. Mekanisme ini juga bisa diintegrasikan dengan upaya membuat kotak saran. Kotak saran dapat dijadikan sarana untuk mengumpulkan aspirasi secara tertutup, sebelum aspirasi tersebut dijadikan sebagai bahan rembug antara forum (kelompok) bisnis dengan pemerintah. Apabila pada kenyataannya nanti pemerintah tidak dapat memegang kepercayaan yang diberikan (preferensi tetap tidak diperhatikan dalam penyusunan rencana penyediaan set pelayanan umum perkotaan), local business bisa melakukan protes (demo). Protes (demo) yang dilakukan ini tentunya akan menjadi sangat beralasan, karena pemerintah mengingkari kepercayaan sosial dan kesepakatan yang sudah dibangun sebelumnya oleh kedua belah pihak. Melalui mekanisme ini, jaminan bahwa preferensi local business akan dimasukkan sebagai pertimbangan dalam penyediaan pelayanan umum perkotaan menjadi lebih besar. Dengan demikian, kesempatan untuk mewujudkan efisiensi dalam kegiatan alokasi sumber daya publik juga menjadi lebih besar. 89

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Temuan Studi Temuan-temuan yang diperoleh dari hasil studi mengenai penyediaan set pelayanan umum perkotaan yang sesuai dengan preferensi local business di Kota Depok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses demokratisasi yang berlangsung sejak tahun 1998 memberikan pengaruh besar terhadap sistem pemerintahan di Indonesia. Proses yang menawarkan mekanisme keterbukaan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN LITERATUR

BAB II KAJIAN LITERATUR BAB II KAJIAN LITERATUR Untuk membangun framework teoritis yang jelas sebagai dasar dilakukannya penelitian ini, penulis terlebih dahulu melakukan review terhadap beberapa literatur yang terkait dengan

Lebih terperinci

PENILAIAN KEPUASAN TERHADAP FASILITAS NON FISIK PERKOTAAN

PENILAIAN KEPUASAN TERHADAP FASILITAS NON FISIK PERKOTAAN Berdasarkan analisis tingkat kean local business terhadap fasilitas pelayanan umum perkotaan yang sifatnya fisik, diperoleh informasi bahwa: jenis pelayanan yang cenderung memberikan kean yang lebih tinggi

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 99 BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Temuan Studi Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dalam penelitian ini, terdapat beberapa hal sebagai temuan studi yaitu sebagai berikut : 1. Karakteristik

Lebih terperinci

BAB III DATA DAN ANALISIS

BAB III DATA DAN ANALISIS BAB III DATA DAN ANALISIS 3.1 Data Penelitian mengenai Penyediaan Set Pelayanan Umum Perkotaan yang Sesuai dengan Preferensi Local Business di Kota Depok ini menggunakan dua jenis data, yaitu data sekunder

Lebih terperinci

BAB III DATA DAN ANALISIS

BAB III DATA DAN ANALISIS BAB III DATA DAN ANALISIS 3.1 Data Penelitian mengenai Penyediaan Set Pelayanan Umum Perkotaan yang Sesuai dengan Preferensi Local Business di Kota Depok ini menggunakan dua jenis data, yaitu data sekunder

Lebih terperinci

BAB 4 UPAYA MEREFLEKSIKAN PREFERENSI LOKAL DALAM PENYUSUNAN PRIORITAS PEMBANGUNAN KOTA BANDUNG

BAB 4 UPAYA MEREFLEKSIKAN PREFERENSI LOKAL DALAM PENYUSUNAN PRIORITAS PEMBANGUNAN KOTA BANDUNG 92 BAB 4 UPAYA MEREFLEKSIKAN PREFERENSI LOKAL DALAM PENYUSUNAN PRIORITAS PEMBANGUNAN KOTA BANDUNG 4.1 Penyusunan Prioritas Pembangunan Kota Pada Era Otonomi Daerah Penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia

Lebih terperinci

pembangunan (misalnya dalam Musrenbang). Oleh sebab itu, pemerintah tidak mengetahui secara tepat apa yang sebenarnya menjadi preferensi lokal

pembangunan (misalnya dalam Musrenbang). Oleh sebab itu, pemerintah tidak mengetahui secara tepat apa yang sebenarnya menjadi preferensi lokal 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyelenggaraan desentralisasi pembangunan di Indonesia pada era otonomi daerah tidak dapat terpisahkan dari upaya perwujudan demokrasi dalam pembangunan. Sebagaimana

Lebih terperinci

DAFTAR REFERENSI Buku Teks dan Jurnal Ilmiah

DAFTAR REFERENSI Buku Teks dan Jurnal Ilmiah DAFTAR REFERENSI Buku Teks dan Jurnal Ilmiah Buchanan, James M. An Economic Theory of Clubs. Economica 32, Februari 1965. Cullis, John G dan Phillip R. Jones. 1992. Public Finance and Public Choice Analytical

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan proses perubahan kearah yang lebih baik, mencakup seluruh dimensi kehidupan masyarakat suatu daerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

MATRIK 2.3 RENCANA TINDAK PEMBANGUNAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA TAHUN 2011

MATRIK 2.3 RENCANA TINDAK PEMBANGUNAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA TAHUN 2011 MATRIK 2.3 TINDAK PEMBANGUNAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA TAHUN KEMENTERIAN/LEMBAGA : KEMENTERIAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL I A Program Percepatan Pembangunan Daerah pusat produksi daerah 1. Meningkatnya

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR : 8 TAHUN 2009 SERI : E NOMOR : 2

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR : 8 TAHUN 2009 SERI : E NOMOR : 2 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR : 8 TAHUN 2009 SERI : E NOMOR : 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG KERJASAMA PEMERINTAH KABUPATEN KEBUMEN DENGAN BADAN USAHA DALAM PENYEDIAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Dalam rangka

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TEMANGGUNG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menciptakan

Lebih terperinci

VI. SIMPULAN DAN SARAN. pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa : Non Pemerintah Dalam Penetapan dan Penyusunan RKPD

VI. SIMPULAN DAN SARAN. pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa : Non Pemerintah Dalam Penetapan dan Penyusunan RKPD VI. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan uraian dan keterangan yang telah dijabarkan dalam pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Kesetaraan Para Pemangku Kepentingan Dari Unsur Pemerintah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rencana kerja OPD (Renja OPD) adalah dokumen perencanaan OPD untuk periode satu tahun, yang memuat kebijakan, program dan kegiatan pembangunan baik yang dilaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : TAHUN 2009 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : TAHUN 2009 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : TAHUN 2009 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT

SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NO. 6 2009 SERI. E PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 6 TAHUN 2009 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan pendapatan perkapita sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Posisi komunikasi dan pembangunan ibarat dua sisi mata uang yang

BAB I PENDAHULUAN. Posisi komunikasi dan pembangunan ibarat dua sisi mata uang yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Posisi komunikasi dan pembangunan ibarat dua sisi mata uang yang saling mendukung dan tidak bisa dipisahkan. Secara konseptual, komunikasi dan pembangunan memandang

Lebih terperinci

BAB 3 PREFERENSI LOKAL TERHADAP PRIORITAS PEMBANGUNAN KOTA BANDUNG

BAB 3 PREFERENSI LOKAL TERHADAP PRIORITAS PEMBANGUNAN KOTA BANDUNG 38 BAB 3 PREFERENSI LOKAL TERHADAP PRIORITAS PEMBANGUNAN KOTA BANDUNG 3.1 Survey Preferensi Lokal Terhadap Prioritas Pembangunan Kota Bandung Penelitian mengenai preferensi lokal terhadap prioritas pembangunan

Lebih terperinci

Implementasi Program Pemberdayaan Masyarakat Upaya penanggulangan kemiskinan yang bertumpu pada masyarakat lebih dimantapkan kembali melalui Program

Implementasi Program Pemberdayaan Masyarakat Upaya penanggulangan kemiskinan yang bertumpu pada masyarakat lebih dimantapkan kembali melalui Program Implementasi Program Pemberdayaan Masyarakat Upaya penanggulangan kemiskinan yang bertumpu pada masyarakat lebih dimantapkan kembali melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK) mulai tahun Konsepsi Pemberdayaan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO

PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO SALINAN PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUKOMUKO NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN MUKOMUKO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUKOMUKO,

Lebih terperinci

Tahapan Persiapan Penyusunan RP4D Kabupaten merupakan kegiatan yang bersifat administratif dengan tujuan mempersiapkan pihak penyelenggaran kegiatan

Tahapan Persiapan Penyusunan RP4D Kabupaten merupakan kegiatan yang bersifat administratif dengan tujuan mempersiapkan pihak penyelenggaran kegiatan BAGIAN I Persiapan Penyusunan RP4D Kabupaten Tahapan Persiapan Penyusunan RP4D Kabupaten merupakan kegiatan yang bersifat administratif dengan tujuan mempersiapkan pihak penyelenggaran kegiatan Penyusunan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.8, 2016 SUMBER DAYA ENERGI. Percepatan Pembangunan. Infrastruktur Ketenagalistrikan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

RENCANA KERJA PEMBANGUNAN DAERAH (RKPD) KABUPATEN NGAWI TAHUN 2012 BAB I PENDAHULUAN

RENCANA KERJA PEMBANGUNAN DAERAH (RKPD) KABUPATEN NGAWI TAHUN 2012 BAB I PENDAHULUAN LAMPIRAN : PERATURAN BUPATI NGAWI NOMOR : 31 TAHUN 2011 TANGGAL : 24 MEI 2011 1.1. Latar Belakang RENCANA KERJA PEMBANGUNAN DAERAH (RKPD) KABUPATEN NGAWI TAHUN 2012 BAB I PENDAHULUAN Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan hasil penelitian yang diurakan pada Bab IV maka dapat disimpulkan bahwa proses perumusan kebijakan sertifikasi pendidik

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kesiapan Kebijakan dalam Mendukung Terwujudnya Konsep Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT)

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kesiapan Kebijakan dalam Mendukung Terwujudnya Konsep Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT) BAB V PEMBAHASAN Pembahasan ini berisi penjelasan mengenai hasil analisis yang dilihat posisinya berdasarkan teori dan perencanaan yang ada. Penelitian ini dibahas berdasarkan perkembangan wilayah Kecamatan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Bandung, 2013 KEPALA BPPT KOTABANDUNG. Drs. H. DANDAN RIZA WARDANA, M.Si PEMBINA TK. I NIP

KATA PENGANTAR. Bandung, 2013 KEPALA BPPT KOTABANDUNG. Drs. H. DANDAN RIZA WARDANA, M.Si PEMBINA TK. I NIP KATA PENGANTAR Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat-nya, kami dapat menyelesaikan Rencana Kerja (RENJA) Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Kota Bandung Tahun

Lebih terperinci

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KENDARI Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1 Arah Kebijakan Ekonomi Daerah 3.1.1 Kondisi Ekonomi Daerah Tahun 2011 dan Perkiraan Tahun 2012 Kerangka Ekonomi Daerah dan Pembiayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi

Lebih terperinci

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2015

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2015 Lampiran I Peraturan Bupati Pekalongan Nomor : 15 Tahun 2014 Tanggal : 30 Mei 2014 RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2015 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dokumen perencanaan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT - 270 - PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA/KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 02 TAHUN 2010 TENTANG MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH MALUKU

PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 02 TAHUN 2010 TENTANG MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH MALUKU PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 02 TAHUN 2010 TENTANG MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH MALUKU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR MALUKU, Menimbang : a.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Otonomi daerah yang disahkan melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN WALI KOTA BANDUNG NOMOR TAHUN 2017 TENTANG RENCANA UMUM PENANAMAN MODAL TAHUN

RANCANGAN PERATURAN WALI KOTA BANDUNG NOMOR TAHUN 2017 TENTANG RENCANA UMUM PENANAMAN MODAL TAHUN RANCANGAN PERATURAN WALI KOTA BANDUNG NOMOR TAHUN 2017 TENTANG RENCANA UMUM PENANAMAN MODAL TAHUN 2017-2025 MENIMBANG Melaksanakan Pasal 7 Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2012 Tentang Rencana Umum Penanaman

Lebih terperinci

PETUNJUK TEKNIS PENYELENGGARAAN MUSRENBANG DESA/ KELURAHAN

PETUNJUK TEKNIS PENYELENGGARAAN MUSRENBANG DESA/ KELURAHAN PETUNJUK TEKNIS PENYELENGGARAAN MUSRENBANG DESA/ KELURAHAN A. Pengertian 1. Musrenbang Desa/ Kelurahan adalah forum musyawarah tahunan yang dilaksanakan secara partisipatif oleh para pemangku kepentingan

Lebih terperinci

VI. SIMPULAN DAN SARAN. pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa : belakang kualifikasi peserta, Jumlah peserta menurut gender; Jumlah

VI. SIMPULAN DAN SARAN. pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa : belakang kualifikasi peserta, Jumlah peserta menurut gender; Jumlah VI. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan uraian dan keterangan yang telah dijabarkan dalam pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Data Musrenbang secara garis besar ketersediaan data seputar

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 58 TAHUN : 2006 SERI : D PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 58 TAHUN : 2006 SERI : D PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 58 TAHUN : 2006 SERI : D PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KOTA CIMAHI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

RENCANA KERJA (RENJA) DINAS PEKERJAAN UMUM BINA MARGA PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2016

RENCANA KERJA (RENJA) DINAS PEKERJAAN UMUM BINA MARGA PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2016 PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR RENCANA KERJA (RENJA) DINAS PEKERJAAN UMUM BINA MARGA PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2016 DINAS PEKERJAAN UMUM BINA MARGA PROVINSI JAWA TIMUR JL. GAYUNG KEBONSARI NO. 167 SURABAYA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LANDAK,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOLITOLI NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOLITOLI NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOLITOLI NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH DAN PELAKSANAAN MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN TOLITOLI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dapat memberikan pengaruh positif sekaligus negatif bagi suatu daerah. Di negara maju pertumbuhan penduduk mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan adalah proses yang dilakukan secara sadar dan berkelanjutan mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat. Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 58 TAHUN : 2006 SERI : D PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 58 TAHUN : 2006 SERI : D PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 58 TAHUN : 2006 SERI : D PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KOTA CIMAHI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA KEDIRI

PEMERINTAH KOTA KEDIRI PEMERINTAH KOTA KEDIRI PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG TRANSPARANSI DAN PARTISIPASI DALAM PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KEDIRI, Menimbang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH TAHUN 2005-2025 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... i ii BAB

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH KOTA SAMARINDA TAHUN 2011

BAB II GAMBARAN UMUM RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH KOTA SAMARINDA TAHUN 2011 BAB II GAMBARAN UMUM RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH KOTA SAMARINDA TAHUN 2011 A. Isu Strategis Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kota Samarinda Tahun 2011 merupakan suatu dokumen perencanaan daerah

Lebih terperinci

MAJU, MANDIRI, ADIL DAN SEJAHTERA. RPJMD

MAJU, MANDIRI, ADIL DAN SEJAHTERA. RPJMD Pendahuluan 1. 1 LATAR BELAKANG Rencana Jangka Menengah Daerah () Provinsi Jambi 2010-2015 merupakan penjabaran visi, misi dan program Gubernur dan Wakil Gubernur Jambi terpilih berdasarkan Pemilihan Kepala

Lebih terperinci

PAPARAN FORUM PERANGKAT DAERAH DAN RAPAT KOORDINASI TEKNIS (RAKORTEK) PEMBANGUNAN TINGKAT PROVINSI KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2017

PAPARAN FORUM PERANGKAT DAERAH DAN RAPAT KOORDINASI TEKNIS (RAKORTEK) PEMBANGUNAN TINGKAT PROVINSI KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2017 PAPARAN Palangka Raya, 20 Maret 2017 FORUM PERANGKAT DAERAH DAN RAPAT KOORDINASI TEKNIS (RAKORTEK) PEMBANGUNAN TINGKAT PROVINSI KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2017 KEPALA BAPPEDALITBANG PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infrastruktur memegang peranan penting sebagai salah satu roda

BAB I PENDAHULUAN. Infrastruktur memegang peranan penting sebagai salah satu roda BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infrastruktur memegang peranan penting sebagai salah satu roda penggerak pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Keberadaan infrastruktur yang memadai sangat diperlukan

Lebih terperinci

VI. PENUTUP. Berdasarkan hasil dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka peneliti dapat

VI. PENUTUP. Berdasarkan hasil dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka peneliti dapat VI. PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka peneliti dapat menarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Pembangunan Kabupaten Pringsewu relatif lebih baik dibandingkan

Lebih terperinci

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan Menimbang : a. bahwa dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 677/Kpts-II/1998 jo Keputusan Menteri

Lebih terperinci

BAB II EVALUASI PELAKSANAAN RENJA SKPK TAHUN LALU 2.1. EVALUASI PELAKSANAAN RENJA SKPK TAHUN LALU DAN CAPAIAN RENSTRA SKPK

BAB II EVALUASI PELAKSANAAN RENJA SKPK TAHUN LALU 2.1. EVALUASI PELAKSANAAN RENJA SKPK TAHUN LALU DAN CAPAIAN RENSTRA SKPK BAB II EVALUASI PELAKSANAAN RENJA SKPK TAHUN LALU 2.1. EVALUASI PELAKSANAAN RENJA SKPK TAHUN LALU DAN CAPAIAN RENSTRA SKPK Rencana Kerja Bappeda Kabupaten Aceh Selatan adalah penjabaran perencanaan tahunan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang : a. bahwa Daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang LAMPIRAN I PERATURAN BUPATI PROBOLINGGO NOMOR TAHUN 2013 TANGGAL BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan adalah sebuah proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. Amanat undang-undang dalam penyempurnaan sistem perencanaan dan

BAB V PEMBAHASAN. Amanat undang-undang dalam penyempurnaan sistem perencanaan dan 104 BAB V PEMBAHASAN Musrenbang di Kabupaten Gunungkidul Amanat undang-undang dalam penyempurnaan sistem perencanaan dan penganggaran akan merubah paradigma pada proses perencanaan dan penganggaran mulai

Lebih terperinci

BAB VI MONITORING DAN EVALUASI SANITASI

BAB VI MONITORING DAN EVALUASI SANITASI BAB VI MONITORING DAN EVALUASI SANITASI 6.1 Gambaran Umum Struktur Monev Sanitasi Tujuan utama strategi Monev ini adalah menetapkan kerangka kerja untuk mengukur dan memperbaharui kondisi dasar sanitasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rencana kerja adalah dokumen rencana yang memuat program dan kegiatan yang diperlukan untuk mencapai sasaran pembangunan, dalam bentuk kerangka regulasi dan kerangka

Lebih terperinci

penelitian 2010

penelitian 2010 Universitas Udayana, Bali, 3 Juni 2010 Seminar Nasional Metodologi Riset dalam Arsitektur" Menuju Pendidikan Arsitektur Indonesia Berbasis Riset DESAIN PERMUKIMAN PASCA-BENCANA DAN METODA PARTISIPASI:

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perubahan sistem pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kabupaten Sintang merupakan salah satu kabupaten di Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara lain, yaitu Malaysia khususnya Negara Bagian Sarawak. Kondisi ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses yang dilaksanakan terus-menerus untuk mencapai tingkat kehidupan masyarakat yang sejahtera lahir dan batin. Proses tersebut dilaksanakan

Lebih terperinci

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR TAHUN 2016 PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN INSENTIF DAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

RENCANA KERJA (RENJA) DINAS PERUMAHAN RAKYAT, KAWASAN PERMUKIMAN DAN PERTANAHAN KABUPATEN PURWOREJO

RENCANA KERJA (RENJA) DINAS PERUMAHAN RAKYAT, KAWASAN PERMUKIMAN DAN PERTANAHAN KABUPATEN PURWOREJO RENCANA KERJA (RENJA) DINAS PERUMAHAN RAKYAT, KAWASAN PERMUKIMAN DAN PERTANAHAN KABUPATEN PURWOREJO TAHUN 2018 DAFTAR ISI DAFTAR ISI BAB I : PENDAHULUAN.. 2 1.1 Latar Belakang 2 1.2 Landasan Hukum.. 4

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUMBAWA, Menimbang : a. bahwa keberadaan sistem irigasi beserta keberhasilan pengelolaannya

Lebih terperinci

BUPATI BANYUWANGI PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI BANYUWANGI PROVINSI JAWA TIMUR 1 BUPATI BANYUWANGI PROVINSI JAWA TIMUR Menimbang Mengingat SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN

Lebih terperinci

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 15 TAHUN 2006 TENTANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA BUPATI KUDUS, Menimbang :

Lebih terperinci

Perluasan Lapangan Kerja

Perluasan Lapangan Kerja VII Perluasan Lapangan Kerja Perluasan lapangan kerja untuk menciptakan lapangan kerja dalam jumlah dan mutu yang makin meningkat, merupakan sebuah keniscayaan untuk menyerap angkatan kerja baru yang terus

Lebih terperinci

TARGET PEMBANGUNAN TAHUN KEMENTERIAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

TARGET PEMBANGUNAN TAHUN KEMENTERIAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL Lampiran. 200 20 202 203 204 2 3 4 5 6 7 8 9 PROGRAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL 67,7 68 68,5 7 72,2 DEPUTI BIDANG PENGEMBANGAN SUMBER DAYA. Meningkatkan indek kualitas pembangunan manusia

Lebih terperinci

MANAJEMEN PRODUKSI AGRIBISNIS

MANAJEMEN PRODUKSI AGRIBISNIS MANAJEMEN PRODUKSI AGRIBISNIS Prof. Dr. Almasdi Syahza,, SE., MP. Email: asyahza@yahoo.co.id dan syahza@telkom.net Tujuan Memahami konsep manajemen produksi agribisnis. Memahami ruang lingkup manajemen

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2009 TENTANG KAWASAN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 20

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari. nasional, sebagai upaya terus menerus ke arah perubahan yang lebih baik guna

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari. nasional, sebagai upaya terus menerus ke arah perubahan yang lebih baik guna BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sebagai upaya terus menerus ke arah perubahan yang lebih baik guna meningkatkan kualitas manusia

Lebih terperinci

BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL

BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL 4.1 SASARAN DAN ARAHAN PENAHAPAN PENCAPAIAN Sasaran Sektor Sanitasi yang hendak dicapai oleh Kabupaten Gunungkidul adalah sebagai berikut : - Meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Letak Kota Payakumbuh yang strategis menjadikannya sebagai salah satu kota yang memainkan peran penting di Propinsi Sumatera Barat. Kota Payakumbuh merupakan gerbang

Lebih terperinci

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP LAMPIRAN II PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN PROVINSI

Lebih terperinci

TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG

TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 4 TAHUN 2014 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG Bagian Hukum Setda Kabupaten Bandung

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pencemaran dan kerusakan lingkungan merupakan permasalahan yang cukup pelik dan sulit untuk dihindari. Jika tidak ada kesadaran dari berbagai pihak dalam pengelolaan lingkungan,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Kesimpulan-kesimpulan dari hasil penelitian dan pembahasan mengenai optimalisasi kinerja Bappeda Kota Surakarta dalam Proses Perencanaan Pembangunan Partisipatif

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2009 TENTANG KAWASAN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2009 TENTANG KAWASAN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2009 TENTANG KAWASAN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 20

Lebih terperinci

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) KOTA TANGERANG SELATAN

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) KOTA TANGERANG SELATAN Bab I Pendahuluan 1.1. LatarBelakang Pembangunan pada hakikatnya merupakan suatu proses yang berkesinambungan antara berbagai dimensi, baik dimensi sosial, ekonomi, maupun lingkungan yang bertujuan untuk

Lebih terperinci

RENCANA KERJA PEMBANGUNAN DAERAH (RKPD) PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2014 BAB I PENDAHULUAN

RENCANA KERJA PEMBANGUNAN DAERAH (RKPD) PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2014 BAB I PENDAHULUAN LAMPIRAN PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR : 39 TANGGAL : 14 Mei 2013 RENCANA KERJA PEMBANGUNAN DAERAH (RKPD) PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2014 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemerintah Daerah Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara berkembang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara berkembang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara berkembang diarahkan untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya. Keberhasilan sebuah pemerintah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang,

I. PENDAHULUAN. dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tekad pemerintah pusat untuk meningkatkan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya bersumber dari prinsip dasar yang terkandung dalam UUD 1945 Pasal 18 yang berbunyi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I - 1

BAB I PENDAHULUAN I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perencanaan pembangunan daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dan Undang-undang

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. Penelitian ini menyajikan pengamatan di 1 bh lokasi PLTP yaitu PLTP

BAB VI PENUTUP. Penelitian ini menyajikan pengamatan di 1 bh lokasi PLTP yaitu PLTP 179 BAB VI PENUTUP 6.1. Kesimpulan. Penelitian ini menyajikan pengamatan di 1 bh lokasi PLTP yaitu PLTP Gunung Salak dan meneliti kebijakan panas bumi di kementrian ESDM, PT PLN dan Pertamina Geothermal

Lebih terperinci

V BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN

V BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN V BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN Visi dan misi merupakan gambaran apa yang ingin dicapai Kota Surabaya pada akhir periode kepemimpinan walikota dan wakil walikota terpilih, yaitu: V.1

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH NO. 80 TAHUN 1999 TENTANG KAWASAN SIAP BANGUN DAN LINGKUNGAN SIAP BANGUN YANG BERDIRI SENDIRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH NO. 80 TAHUN 1999 TENTANG KAWASAN SIAP BANGUN DAN LINGKUNGAN SIAP BANGUN YANG BERDIRI SENDIRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH NO. 80 TAHUN 1999 TENTANG KAWASAN SIAP BANGUN DAN LINGKUNGAN SIAP BANGUN YANG BERDIRI SENDIRI Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA a. bahwa untuk

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 143, 2001 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB X PEDOMAN TRANSISI DAN KAIDAH PELAKSANAAN. roses pembangunan pada dasarnya merupakan proses yang berkesinambungan,

BAB X PEDOMAN TRANSISI DAN KAIDAH PELAKSANAAN. roses pembangunan pada dasarnya merupakan proses yang berkesinambungan, BAB X PEDOMAN TRANSISI DAN KAIDAH PELAKSANAAN 10.1. Program Transisii P roses pembangunan pada dasarnya merupakan proses yang berkesinambungan, berlangsung secara terus menerus. RPJMD Kabupaten Kotabaru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang LAMPIRAN PERATURAN BUPATI TEMANGGUNG NOMOR : 22 TAHUN 2013 TANGGAL : 17 MEI 2013. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah Kabupaten Temanggung Tahun 2014 merupakan pelaksanaan pembangunan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MELAWI NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MELAWI NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH +- PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MELAWI NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MELAWI, Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI PENUKAL ABAB LEMATANG ILIR,

BUPATI PENUKAL ABAB LEMATANG ILIR, BUPATI PENUKAL ABAB LEMATANG ILIR PERATURAN BUPATI PENUKAL ABAB LEMATANG ILIR NOMOR 096 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PENUKAL ABAB LEMATANG ILIR TAHUN 2015 DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses. penyusunan rencana kerja pembangunan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses. penyusunan rencana kerja pembangunan daerah. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pelaksanaan otonomi daerah tidak terlepas dari sebuah perencanaan baik perencanaan yang berasal dari atas maupun perencanaan yang berasal dari bawah. Otonomi

Lebih terperinci

RISALAH KESEPAKATAN PEMBAHASAN SIDANG KELOMPOK MUSRENBANG NASIONAL TAHUN 2010

RISALAH KESEPAKATAN PEMBAHASAN SIDANG KELOMPOK MUSRENBANG NASIONAL TAHUN 2010 Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL (MUSRENBANGNAS) TAHUN 2010 Jakarta, 28 April-1 Mei 2010 RISALAH KESEPAKATAN PEMBAHASAN SIDANG KELOMPOK

Lebih terperinci

Partisipasi dalam Mempengaruhi Kebijakan Desa. Novita Anggraeni

Partisipasi dalam Mempengaruhi Kebijakan Desa. Novita Anggraeni Aksi Sosial: Bentuk Aksi Kolektif Masyarakat Sebagai Partisipasi dalam Mempengaruhi Kebijakan Desa Novita Anggraeni novitaanggraeni.51@gmail.com novi@pattiro.org Latar Belakang Ø Masyarakat sebagai penerima

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cukup rumit. Karakteristik penganggaran sektor publik berbeda dengan

BAB I PENDAHULUAN. cukup rumit. Karakteristik penganggaran sektor publik berbeda dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penganggaran pada organisasi sektor publik merupakan suatu proses yang cukup rumit. Karakteristik penganggaran sektor publik berbeda dengan penganggaran pada sektor

Lebih terperinci