BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pemahaman dan penekanan cara pandang para peneliti tentang subak Sutawan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pemahaman dan penekanan cara pandang para peneliti tentang subak Sutawan"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian dan Karakteristik Subak Pengertian tentang subak relatif beragam. Hal ini akibat dari perbedaan pemahaman dan penekanan cara pandang para peneliti tentang subak Sutawan (2008). Dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 9 Tahun 2012, subak adalah organisasi tradisional di bidang tata guna air dan atau tata tanaman di tingkat usahatani pada masyarakat adat di Bali yang bersifat sosio-agraris, religious, ekonomis yang secara historis terus tumbuh dan berkembang. Definisi ini ditetapkan oleh Gubernur Bali tanggal 17 Desember Sutawan (2008) memberikan beberapa definisi tentang subak, yaitu (1) subak sebagai sistem irigasi, selain merupakan sistem fisik juga merupakan sistem sosial. Sistem fisik diartikan sebagai lingkungan fisik yang berkaitan erat dengan irigasi seperti sumber-sumber air beserta fasilitas irigasi berupa empelan, bendung atau dam, saluran-saluran air, bangunan bagi, dan sebagainya, sedangkan sistem sosial adalah organisasi sosial yang mengelola sistem fisik tersebut; (2) subak sebagai organisasi petani pemakai air yang sawah-sawah para anggotanya memperoleh air dari sumber yang sama dan mempunyai satu atau lebih Pura Bedugul, serta mempunyai otonomi penuh baik ke dalam (mengurus kepentingan rumah tangganya sendiri), maupun ke luar dalam arti kata bebas mengadakan hubungan langsung dengan pihak luar secara mandiri; dan (3) subak sebagai lembaga irigasi dan pertanian yang bercorak sosio-religius terutama 11

2 12 bergerak dalam pengelolaan air untuk produksi tanaman setahun khususnya padi berdasarkan prinsip THK. Di samping itu, Geertz (1980) berpendapat bahwa subak selain sebagai masyarakat irigasi, subak juga merupakan satu unit perencanaan pertanian, suatu badan hukum yang otonom, dan sebuah komunitas yang religius. Goris (1954) berpendapat bahwa kira-kira tahun 600 masehi terdapat sistem persawahan yang teratur di Bali. Hal ini dibuktikan oleh adanya aungan (terowongan) tempat mengalirnya air ke sungai dan selanjutnya ke lahan pertanian. Walaupun demikian, belum dapat diungkapkan dengan pasti sejak kapan subak di Bali mulai terbentuk. Keberadaan subak dapat dilihat pada beberapa prasasti, seperti Prasasti Trunyan, Prasasti Sukawana, Prasasti Bebetin, Prasasti Raja Purana. Dalam Prasasti Trunyan tertulis bahwa tahun 881 masehi telah dikenal istilah makar aser yang berarti pekaseh atau pengurus pengairan. Pada tahun 882 masehi dalam Prasasti Sukawana ditemukan istilah huma (sawah) dan perlak (tegalan), kemudian dalam Prasasti Bebetin tahun 896 masehi ditemukan istilah undagi lancah (tukang pembuat perahu), undagi batu (tukang pembuat batu), dan undagi pengarung (tukang membuat terowongan air). Pada masa itu sudah dikenal adanya kilan (bangunan pembagi air) yang mengalirkan air masuk ke petakan sawah. Tahun 1072 masehi, dalam Prasasti Raja Purana disebutkan telah ada pembagian air yang masuk ke petak sawah secara baik dan adil yang berasal dari satu sumber (Purwita, 1997).

3 13 Menurut Purwita (1997), berdasarkan beberapa prasasti tersebut, secara faktual pada tahun 1072 masehi di Bali sudah terbentuk organisasi yang mengatur sistem pengairan di sawah beserta segala kegiatan yang dilakukan oleh anggotanya yang dikenal dengan nama subak. Pada saat Bali berada di bawah naungan Kerajaan Majapahit tahun 1343, diangkat asidahan yang mengkoordinir subak-subak yang ada di Bali (sekarang bernama sedahan) dan bertugas mengurus pungutan upeti atau tigasana (pajak) pertanian. Di setiap kabupaten dibentuk Sedahan Agung yang mengkoordinasikan sedahan-sedahan dalam konteks pembinaan subak dan pemungutan pajak pertanian, pada masa pemerintahan Belanda di Bali. Selain itu, Belanda juga membagi sawah-sawah menurut tingkat kesuburan tanah, sehingga tanah-tanah yang ada di Bali menjadi berklas-klas. Pembagian tanah ini ada hubungannya dengan besar kecilnya pajak yang dipungut. Pembayaran pajak pertanian dilakukan dalam bentuk uang. Dalam upaya mengintensifkan pembayaran pajak, pemerintahan Belanda mengadakan pengukuran luas tanah secara pasti yang disebut klasier (klasifikasi). Berdasarkan hasil klasifikasi dapat diketahui secara pasti luas sawah maupun tegalan, sehingga besarnya pajak dapat ditetapkan. Purwita (1997) berpendapat bahwa secara kualitatif subak di Bali berkembang. Hal ini antara lain dilihat dari tata organisasi semakin rapi, sehingga subak menjadi wahana yang baik bagi usaha pemerintah untuk meningkatkan intensifikasi pertanian dan berfungsi membantu pemerintah dalam menyalurkan pupuk kepada petani serta sebagai komunikator dalam program siaran perdesaan dan sebagai sarana kontak antar petani dengan pemerintah.

4 14 Dalam Perda Provinsi Bali No. 9 Tahun 2012 tentang subak, dapat diketahui beberapa hal sebagai berikut. 1. Subak berasaskan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan konsep THK dijiwai Agama Hindu (Pasal 2). 2. Tujuan subak mencakup: (1) memelihara dan melestarikan organisasi subak; (2) mensejahterakan kehidupan petani; (3) mengatur pengairan dan tata tanaman; (4) melindungi dan mengayomi petani; dan (5) memelihara serta memperbaiki saluran air ke sawah (Pasal 3). 3. Kedudukan dan fungsi subak di Provinsi Bali sebagai organisasi tradisional yang mengayomi masyarakat adat di Bali di bidang pertanian dan pengairan (Pasal 7). 4. Subak sebagai organisasi tradisional mempunyai fungsi: (1) membantu pemerintah dalam meningkatkan pembangunan di bidang pertanian; (2) melaksanakan hukum adat dan adat istiadat dalam subak; (3) menetapkan awig-awig sebagai suatu kesepakatan dalam mengatur kepentingan sosial, pertanian, dan keagamaan; (4) membina dan melestarikan nilai-nilai agama dan adat istiadat Bali serta tetap menjaga persatuan dan kesatuan anggota berdasarkan paras paros segilik seguluk selunglung sebayantaka; (5) menjaga, memelihara, mengembangkan, dan memanfaatkan kekayaan subak dan prasarana-prasarana irigasi lainnya guna menjamin kelancaran tertibnya irigasi dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat; (6) mengembangkan kemampuan krama subak untuk meningkatkan produktivitas, pendapatan, dan kesejahteraan petani; dan (7) menjaga

5 15 kelestarian wilayah subak dan lingkungannya dalam rangka pertanian berkelanjutan (Pasal 8). Subak sebagai organisasi tradisional di Bali memiliki ciri-ciri sebagai berikut. (1) Mempunyai prajuru subak (staf pengurus). (2) Mempunyai krama subak (anggota subak). (3) Mempunyai wilayah berupa areal persawahan dengan batas-batas yang jelas. (4) Mempunyai sumber air irigasi dari sebuah empelan (bendungan). (5) Mempunyai satu atau lebih Pura tempat pemujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewi Kesuburan. (6) Mempunyai awig-awig (peraturanperaturan dasar). (7) Mempunyai otonomi penuh baik ke dalam (mengurus rumah tangganya sendiri) maupun keluar (bebas mengadakan hubungan langsung dengan pihak luar). Ketujuh ciri yang dimiliki tersebut dapat menjamin tercapainya tujuan subak (Sutawan, 1986). Subak sebagai organisasi memiliki struktur organisasi subak yang disajikan pada Gambar 2.1. Pekaseh (Ketua Subak) Kelian Tempek (Ketua Tempek) Penyarikan (Sekretaris) Juru raksa/petengen (Bendahara) Beberapa juru arah Krama tempek (anggota tempek). Anggota dari semua tempek adalah anggota Subak. Gambar 2.1. Bagan Susunan Organisasi Subak yang Memiliki Beberapa Tempek Tanpa Status Semiotonom (Sutawan, 2008)

6 16 Sudarta (2005) berpendapat bahwa subak memiliki beberapa nilai tradisional, yaitu (1) nilai kepercayaan yang bersumber pada religi Hindu; (2) nilai kerja; (3) nilai kerjasama yang terlihat dalam bentuk gotong royong dan tolong menolong; (4) nilai musyawarah mufakat; (5) nilai awig-awig; (6) nilai efisiensi dan efektivitas; (7) nilai dewasa-ayu; dan (8) nilai pelestarian alam. Nilai-nilai tradisional subak di atas relevan dengan inovasi di bidang pertanian. Bahkan nilainilai tradisional itu dilaksanakan secara terpadu dengan nilai-nilai modern. 2.2 Fungsi Subak Pengelolaan subak bertujuan untuk memberikan kesejahteraan kepada anggotanya. Untuk mewujudkan tujuan tersebut pengelola dihadapkan pada fungsi dan tugas pokok dalam subak. Fungsi dan tugas yang dilakukan oleh subak dibagi atas fungsi internal dan eksternal. Secara eksternal, subak mempunyai fungsi dan peranan yang sangat penting dalam pembangunan pertanian dan perdesaan. Secara internal, subak mempunyai peranan, fungsi, dan tugas yang sangat penting dan mutlak bagi kehidupan organisasi subak maupun anggota-anggotanya dalam hubungannya dengan pertanian. Berikut ini diuraikan lima fungsi/aktivitas subak menurut Sutawan (2008) Pencarian dan distribusi air irigasi Sutawan (2008) membedakan pengertian pengalokasian dan pendistribusian air irigasi. Pengalokasian air irigasi adalah kegiatan menjatahkan atau kegiatan memberikan hak pemanfaatan air yang tersedia kepada setiap anggota subak. Di pihak lain, pendistribusian air irigasi adalah penyaluran atau pemberian jatah air yang telah ditetapkan itu dari saluran induk sampai kepada

7 17 petak sawah tiap anggota agar dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk produksi pangan khususnya beras. Sudarsana (1984) mengemukakan bahwa fasilitas irigasi yang dibangun subak untuk mendapat air irigasi dari suatu sumber adalah empelan, aungan, saluran, dan bangunan fisik lainnya. Air yang telah didapatkan oleh subak kemudian didistribusikan ke sawah anggota subak sesuai dengan haknya. Hak atas air anggota subak ditentukan berdasarkan luas sawah yang diukur dengan tektek atau kecoran. Secara umum, air irigasi satu tektek diberikan untuk sawah seluas antara 30 sd 40 are. Satu tektek adalah besarnya air yang mengalir melalui penampang dengan lebar sekitar lima cm dan tinggi sekitar satu cm. Satu tektek air berarti satu porsi air. Hak air satu tektek menuntut kontribusi tenaga kerja (ayahan) sebanyak satu orang tenaga kerja pada setiap kegiatan subak dan kontribusi materi atau uang (disebut peturunan) sebesar satu porsi (Sutawan, 2008). Sutawan (2008) berpendapat bahwa pendistribusian air ke sawah petani pada umumnya menggunakan dua metode, yaitu (1) metode pengaliran kontinyu (continuous flow) dan (2) metode bergilir. Dalam metode pengaliran kontinyu, semua petani mendapatkan air secara serempak pada musim hujan dan musim kemarau. Artinya, semua pintu air dalam keadaan terbuka terus menerus sepanjang tahun. Sebaliknya, dalam metode bergilir tidak semua anggota subak mendapatkan air pada suatu waktu tertentu. Oleh karena itu, dalam metode bergilir, wilayah subak dibagi dalam dua atau tiga kelompok persawahan.

8 18 Dalam metode bergilir, setiap kelompok persawahan menerima air irigasi pada waktu yang berbeda. Apabila wilayah subak dibagi dalam dua kelompok persawahan maka pada musim hujan kedua kelompok menerima air irigasi (MT Padi I), sedangkan pada musim kemarau untuk MT Padi II: kelompok I menanam padi dan kelompok II menanam palawija, kemudian MT III: kelompok I menanam palawija dan kelompok II menanam padi. Metode ini disebut nugel bumbung (metode bergilir). Apabila persawahan dibagi dalam tiga kelompok maka pada musim hujan semua kelompok menerima air irigasi, tetapi pada musim kemarau kelompok hulu (persawahan di bagian hulu) berhak menerima air yang pertama, kemudian digeser ke kelompok menengah (maongin), dan terakhir digeser ke kelompok hilir (ngasep). Dalam beberapa subak, alokasi air dimulai dari bagian hilir, kemudian ke bagian tengah, dan terakhir ke bagian hulu (Sutawan, 2008). Jaringan irigasi subak sudah dikonstruksi sedemikian lengkap seperti dalam uraian berikut. 1. Empelan/buka/free intake (bangunan pengambilan utama) di sumber airnya dilengkapi dengan langki atau tanjerig (pembatas aliran banjir). 2. Telabah (saluran pembawa) untuk mengalirkan air dari bangunan utama yang dilengkapi dengan bangunan pelengkap seperti abangan (talang), telepus (siphon), petaku (terjunan), pekiyuh (peluap samping). 3. Aungan (terowongan) yang dilengkapi dengan lubang udara dan lubang kontrol, di mana bila lubang tersebut ditempatkan mendatar disebut dengan calung dan bila tegak disebut dengan bindu.

9 19 4. Bangunan pembagi air dari pembagi utama sampai saluran pembawa di petak sawah, yaitu tembuku aya (bangunan bagi utama), tembuku pemaron (bangunan bagi), tembuku daanan (bangunan sadap), tembuku pengalapan (bangunan pembagi di petak sawah). 5. Saluran irigasi dari tembuku pemaron disebut dengan telabah pemaron (saluran sekunder), sedangkan saluran irigasi yang membawa air dari tembuku daanan (bangunan sadap) ke petak sawah disebut dengan telabah daanan (saluran tersier). 6. Telabah pengutangan (saluran pembuangan) yaitu saluran yang berfungsi untuk membuang kelebihan air dari petak sawah yang dialirkan kembali ke pangkung (lembah alam). Berdasarkan sistem saluran irigasi subak seperti diperlihatkan pada Gambar 2.2 maka dapat dilihat bahwa saluran irigasi dapat melintasi beberapa wilayah administratif. Dengan demikian, keanggotaan subak tidak terbatas dalam satu wilayah administratif. Satu lembaga subak keanggotaannya dapat berasal lebih dari satu desa adat, kecamatan bahkan kabupaten yang berbeda, sesuai dengan wilayah hidrologis dan topografinya. Oleh karena itu, subak dapat dikatakan sebagai lembaga yang otonom terlepas dari lembaga desa adat. Namun demikian, hubungan antara desa adat dengan subak telah berjalan secara harmonis karena masing-masing lembaga dipayungi oleh filosofi ajaran Agama Hindu yang sangat mendalam yaitu THK (Sushila, 2006). Jaringan irigasi subak disajikan pada Gambar 2.2.

10 20 Gambar 2.2. Jaringan Irigasi Subak (Sushila, 2006) Operasi dan pemeliharaan fasilitas Menurut Sutawan (2008), berdasarkan tanggung jawab operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi, maka subak dapat dibedakan menjadi (1) subak yang sepenuhnya dikelola oleh petani, yaitu semua urusan persubakan ditangani oleh petani termasuk operasi dan pemeliharaan bendung, jaringan utama, maupun

11 21 jaringan tersier dan (2) subak yang dikelola secara patungan, yaitu jaringan utama (jaringan primer dan sekunder) dikelola oleh pemerintah, sedangkan jaringan tersier oleh subak. Sebagian besar (70%) subak berada dalam katagori yang kedua. Berdasarkan Peraturan Menteri No. 32/PRT/M/2007 tentang Pedoman Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi, operasi jaringan irigasi adalah upaya pengaturan air irigasi pada jaringan irigasi yang meliputi penyediaan, pembagian, pemberian, penggunaan, pembuangan dan konservasi air irigasi termasuk kegiatan membuka dan menutup pintu bangunan irigasi, menyusun rencana tata tanam, sistem golongan, menyusun rencana pembagian air, kalibrasi, pengumpulan data, pemantauan dan evaluasi. Pengertian pemeliharaan jaringan irigasi adalah upaya menjaga dan mengamankan jaringan irigasi agar selalu dapat berfungsi dengan baik guna memperlancar pelaksanaan operasi dan mempertahankan kelestariannya (Peraturan Menteri No. 32/PRT/M/2007, 2007) Mobilisasi sumberdaya dan penggalian dana Pada umumnya, sumber dana subak adalah (1) sarin tahun, yaitu iuran yang dibayar oleh anggota subak setiap habis panen padi. Sarin tahun umumnya dalam bentuk gabah yang besarnya sesuai dengan luas sawah atau hak atas air; (2) peturunan, yaitu iuran yang dibayar oleh anggota subak secara insidental sesuai dengan kebutuhan subak. Bentuk peturunan dapat berupa uang atau material; (3) dedosan atau denda, yaitu pelaku pelanggaran awig-awig didenda sesuai dengan besar kecilnya pelanggaran; (4) pengoot; (5) hasil-hasil yang diperoleh dari berbagai kegiatan bisnis yang dilakukan oleh subak, seperti

12 22 kontrak/lelang bebek. Lelang bebek yaitu subak mengontrakkan sawahnya sehabis panen padi kepada para pengembala itik selama dua minggu; dan (6) bantuan pemerintah, yaitu pemerintah membantu subak dalam merehabilitasi sarana dan prasarana (Pitana, 1997; Sudarta, 2002; dan Sutawan, 2008). Menurut Sudarta dkk. (1989), Pitana (1997), dan Sutawan (2008), dana subak yang terkumpul dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan subak, meliputi pemeliharaan dan perbaikan fasilitas air irigasi (bendungan, saluran air irigasi, dan terowongan), pemeliharaan dan perbaikan pura subak, upacara keagamaan, administrasi, rapat-rapat subak, imbalan pengurus subak, dan keperluan-keperluan lainnya Penanganan persengketaan/konflik Subak sebagai lembaga irigasi sering mengalami konflik terkait dengan air irigasi. Di samping itu, konflik juga dapat bersumber pada batas-batas tanah sawah, adanya pepohonan di perbatasan sawah yang menaungi sawah orang lain, hewan peliharaan yang merusak tanaman orang lain, dan sebagainya (Sutawan, 2008). Menurut Sutawan (2008), konflik yang tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan akan dibawa dalam rapat subak. Umumnya konflik yang terjadi tidak sampai menimbulkan benturan fisik dan dapat diselesaikan baik di tingkat tempek maupun di tingkat subak Penyelenggaraan kegiatan ritual Salah satu keunikan subak dibandingkan dengan organisasi petani pemakai air di luar Bali adalah adanya upacara keagamaan dengan frekuensi yang cukup

13 23 tinggi. Upacara keagamaan mengikuti siklus kehidupan padi, ada yang dilakukan di tingkat petani dan ada pula di tingkat tempek (Sutawan, 2008). Menurut Sutawan (2008), upacara keagamaan di tingkat petani adalah (1) ngendagin (memasukkan air ke sawah); (2) ngurit (saat menabur benih di pembibitan); (3) nuasen (menanam padi); (4) neduh (saat padi berumur 35 hari); (5) biyukukung (saat padi bunting); (6) banten manyi (saat mulai panen); (7) mantenin (setelah padi disimpan di lumbung). Pada umumnya, upacara keagamaan yang dilaksanakan petani di tingkat tempek baik di subak-gede maupun non subak-gede adalah (1) mendak toya, yaitu upacara pada saat mulai mencari air untuk pertama kalinya sebelum MT padi; (2) mebalik sumpah, yaitu upacara yang dilakukan pada saat padi berumur sekitar dua minggu; (3) merebu, yaitu upacara dilakukan menjelang panen; (4) ngusaba, yaitu upacara yang dilaksanakan setelah selesai panen; (5) nangluk merana, yaitu upacara yang dilakukan apabila padi diserang hama dan penyakit yang dipandang membahayakan; (6) pakelem, yaitu upacara yang dilakukan sewaktu-waktu bergabung dengan subak lain; dan (7) odalan, yaitu upacara yang dilakukan di berbagai pura yang disungsung oleh subak. Keterikatan dan kekompakan dalam kelompok tani di kawasan subak tidak semata-mata karena kepentingan air irigasi, tetapi disebabkan adanya nilai-nilai religius yang berkaitan dengan filosofi dan ditaati oleh anggota subak. Semua aspek kehidupan anggota subak tidak terlepas dari upacara dan sajen sebagai perwujudan doa permohonan keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

14 24 Nilai-nilai religius inilah yang menyebabkan organisasi subak tetap ajeg sampai sekarang (Sutawan, 2008). 2.3 Optimalisasi Pengelolaan Fungsi Subak Subak sebagai suatu organisasi memerlukan manajemen yang baik untuk mencapai tujuan. Manajemen adalah seni untuk mencapai hasil yang diinginkan secara gemilang dengan sumberdaya yang tersedia bagi organisasi. Manajemen suatu organisasi merupakan sederetan fungsi, yaitu meliputi fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengendalian, dan pengkoordinasian (5P). Untuk menopang berhasil tidaknya kelima fungsi tersebut perlu ditambah dua fungsi yaitu pengkomunikasian dan pemotivasian. Manajemen sebagai sebuah roda, dengan manajer sebagai porosnya. Kelima fungsi manajemen merupakan jari-jari yang mempengaruhi langsung ke luar kepada tujuan manajer. Roda manajemen melukiskan perlunya memandang manajemen sebagai satu kesatuan, yang masing-masing fungsinya terkait pada keterkaitan antar fungsi yang selaras dan tumpang tindih satu sama lain. Masing-masing fungsi diperlukan sebagaimana jari-jari diperlukan pada roda. Perencanaan menguraikan penetapan program khusus untuk mencapai hasil. Pengorganisasian mencakup pemaduan bagianbagian organisasi agar cocok satu sama lain. Pengarahan merupakan daya upaya untuk menunjukkan jalan terbaik. Pengkoordinasian menggambarkan usaha-usaha untuk memastikan bahwa gigi roda organisasi bertautan dengan lancar. Pengendalian berarti pemeriksaan atas tercapai tidaknya tujuan (David dan Erickson, 1992).

15 25 Motivasi sebagai pemutar atau pengatur kecepatan untuk menjalankan fungsi tersebut. Motivasi menimbulkan gerakan sehingga roda dapat bergerak maju atau mundur. Motivasi yang baik menghasilkan manajemen yang cekatan, efisien, berhasil, dan bergerak menuju sasaran, sedangkan motivasi yang buruk dapat mengakibatkan hal yang sebaliknya. Gambar tempat seluruh roda manajemen berputar menunjukkan komunikasi. Tanpa komunikasi yang baik roda manajemen segera mulai goyang dan mendesit. Bila perhatian tidak diberikan cukup cepat maka seluruh roda tampaknya akan pecah (David dan Erickson, 1992). Perhatian terhadap roda manajemen tersebut perlu dilakukan pula terhadap manajemen subak agar subak dapat mencapai tujuannya. Subak memiliki sumberdaya yang terbatas untuk dialokasikan ke dalam berbagai fungsi/aktivitas subak termasuk aktivitas usahatani di lahan sawah. Usahatani merupakan salah satu aktivitas dalam aktivitas pengelolaan sumberdaya subak. Produksi tanaman pangan khususnya padi merupakan produksi utama lahan sawah. Sementara itu, komoditi lainnya dapat diusahakan dalam luas lahan tertentu yang telah ditetapkan oleh subak. Menurut Doll dan Orazem (1984), dalam proses produksi terdapat tiga hubungan dasar sebagai berikut. 1 Hubungan antara faktor-faktor produksi dengan hasil yang tetap. Hal ini dapat digambarkan dengan bentuk isoquant. 2 Hubungan antara faktor-faktor produksi dengan hasil yang tidak tetap, yang digambarkan dengan fungsi produksi (production function). 3 Hubungan antara produk satu dengan produk yang lain, yang digambarkan dengan production possibilities curve (PPC).

16 26 PPC merupakan tempat kedudukan kombinasi beberapa komoditas yang diusahakan menurut dimensi ruang dan waktu (Arsyad, 1997). Tiga kombinasi pada PPC adalah (1) kombinasi komplementer, yaitu peningkatan dari satu produk akan menyebabkan peningkatan pada produk yang lain, (2) kombinasi suplementer, yaitu peningkatan satu produk tidak meningkatkan produk yang lain (tetap), dan (3) kombinasi kompetitif, adalah peningkatan satu produk akan menyebabkan penurunan produk yang lain. Dalam pengambilan keputusan atas dasar PPC perlu memperhatikan konsep opportunity cost. Konsep opportunity cost adalah apabila hendak meningkatkan salah satu produk tertentu maka produk yang lain harus dikurangi. Menurut Epp dan Malone (1981), maksimisasi profit terjadi pada PPC dengan kombinasi kompetitif, karena pada daerah tersebut terjadi persaingan penggunaan sumberdaya terbatas. Hubungan antara kombinasi dua produk (output) dari sumberdaya (input) yang terbatas dapat dilihat pada Gambar 2.3. Q 1 PL Q 1 * A PPC 0 Q 2 * Q 2 Gambar 2.3. Hubungan antara Dua Output dari Pengalokasian Input yang Terbatas (Epp dan Malone, 1981)

17 27 Pengelola yang rasional akan mempertimbangkan setiap titik yang ada pada PPC. Pada Gambar 2.3, titik yang berada dibawah PPC mewakili tingkat produksi dibawah potensi sumberdaya yang tersedia. Titik singgung (titik A) antara PPC dengan garis harga merupakan kombinasi output Q 1 dan Q 2 yang dapat memaksimalkan penerimaan. Garis harga adalah rasio (negatif) antara harga Q 1 dan Q 2. Rasio harga (slope garis harga) yang negatif ini mewakili laju pertukaran Q 1 dan Q 2. Di titik A, pada PPC terjadi tradeoff fisik antara Q 1 dan Q 2, sedangkan garis harga merupakan tradeoff finansial (Darmawan, 2011). Berkaitan dengan sumberdaya subak yang terbatas merupakan kendala dalam menjalankan beragam fungsi subak maka perlu perencanaan yang matang dalam alokasi penggunaan sumberdaya tersebut. Hal ini perlu dilaksanakan agar tujuan subak untuk mensejahterakan anggotanya dapat dicapai. Untuk memecahkan permasalahan tersebut maka diperlukan optimalisasi pengelolaan fungsi/aktivitas subak. Keuntungan dari model optimalisasi adalah model mampu mengungkapkan dua hal penting dari permasalahan yang dihadapi, yaitu (1) penyelesaiannya memberikan nilai-nilai bagi alternatif aktivitas yang diperlukan untuk mencapai nilai maksimal atau minimal dari fungsi tujuan, dan (2) menunjukkan kendala-kendala yang perlu untuk dilonggarkan guna memperbaiki nilai optimal dari fungsi tujuan. Kedua permasalahan ini dapat dipecahkan dengan menggunakan program linier (Heady dan Agrawal, 1972; Siagian, 1987; Mulyono, 1991; dan Taha, 1992).

18 28 Keunggulan program linier dalam optimalisasi pengelolaan fungsi subak adalah (1) penyelesaiannya dapat memberikan nilai-nilai bagi alternatif aktivitas yang diperlukan untuk mencapai produktivitas maksimal subak, dan (2) menunjukkan kendala-kendala yang perlu untuk dilonggarkan untuk memperbaiki nilai produktivitas subak. Pengoptimalan penggunaan sumberdaya subak dapat menentukan pola pengelolaan fungsi subak yang paling menguntungkan dari beberapa alternatif aktivitas yang ada. Program linier pada hakekatnya merupakan suatu teknik perencanaan yang bersifat analitis. Analisis yang dipakai adalah model matematika, dengan tujuan menemukan beberapa kombinasi alternatif pemecahan masalah. Setelah itu menemukan beberapa alternatif pemecahan masalah, kemudian dipilih alternatif yang terbaik di antaranya dalam rangka menyusun strategi dan langkah-langkah lebih lanjut tentang alokasi sumberdaya yang terbatas guna mencapai tujuan yang diinginkan secara optimal (Heady dan Agrawal, 1972; Siagian, 1987; Mulyono, 1991; dan Taha, 1992). Program linier sebagai alat optimasi pertama kali dipakai tahun 1947 oleh seorang ahli matematika George Dantzig dalam memecahkan masalah pasokan pada Angkatan Udara Amerika Serikat. Metode tersebut dikembangkan untuk memecahkan masalah kegiatan-kegiatan di sektor perekonomian yang lebih luas seperti di sektor perhubungan, sektor perindustrian, dan sektor lainnya (Heady dan Agrawal, 1972; Siagian, 1987; Mulyono, 1991; dan Taha, 1992).

19 Landasan Teori Hubungan fungsi produksi dengan pemograman linier Fungsi produksi menunjukkan hubungan teknis antara input dengan output. Dalam konsep efisiensi produksi dikenal istilah efisiensi teknik dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknik mengacu pada tingkat output maksimum yang secara teknik produksi dapat dicapai dari penggunaan kombinasi input tertentu dalam proses produksi. Sedangkan efisiensi ekonomis mengacu pada kombinasi penggunaan input yang secara ekonomis mampu menghasilkan output tertentu dengan biaya yang seminimal mungkin pada tingkat harga input yang berlaku (Gaspersz, 2008). Doll dan Orazem (1978) berpendapat bahwa efisiensi ekonomi sebagai konsep normatif terjadi jika sumberdaya yang tersedia dialokasikan secara optimal dalam proses produksi. Dalam kegiatan usahatani, petani anggota subak berhadapan dengan faktor produksi yang terbatas. Oleh karena itu, dalam penelitian ini semua fungsi diasumsikan berada dalam kondisi linier. Sesuai dengan Hukum Minimum Leibig yang menyebutkan bahwa input yang terbatas jumlahnya mempunyai hubungan yang linier dengan output. Hal ini berarti kenaikan output proporsional terhadap input yang jumlahnya terbatas. Seperti dinyatakan oleh Hartono (1983) bahwa petani dengan modal yang terbatas sering dihadapkan dengan fungsi produksi linier. Menurut Heady dan Agrawal (1972) program linier merupakan suatu metode analisis yang secara matematis dapat menurunkan suatu keputusan yang optimal bagi pengambilan keputusan dalam rencana ekonomi yang tidak terbatas

20 30 pada satu macam kendala saja. Hubungan antara fungsi produksi dengan program linier disajikan pada Gambar 2.4. P 1 X 2 A P 2 X 2 * C E B 0 X 1 * X 1 Keterangan: P 1 : aktivitas produksi 1 P 2 : aktivitas produksi 2 A : output yang dihasilkan oleh P 1 B : output yang dihasilkan oleh P 2 AB : production indifferent curve AC : profit indifferent curve X 1 *, X 2 * : sumberdaya X 1 dan X 2 yang tersedia E : keuntungan maksimum Gambar 2.4. Hubungan antara Input dengan Berbagai Output (Baumol, 1977) Pada Gambar 2.4 (Baumol, 1977) menjelaskan bahwa apabila aktivitas produksi 1 (P 1 ) menghasilkan 10 unit Q di titik A dan aktivitas produksi 2 (P 2 ) menghasilkan 10 unit Q di titik B maka terbentuk kurva AB yang sering disebut production indifferent curve, yaitu merupakan suatu kurva yang menggambarkan aktivitas produksi (P 1 dan P 2 ) yang dapat menghasilkan produksi sama. Jika satu unit Q dapat menghasilkan keuntungan Rp 1,00 pada P 1 maka 10 unit Q akan menghasilkan keuntungan Rp 10,00. Apabila satu unit Q dapat menghasilkan keuntungan Rp 1,25 pada P 2 maka untuk menghasilkan keuntungan sebesar Rp 10,00 maka P 2 harus memproduksi sebesar delapan unit Q. Oleh karena itu terbentuk profit indifferent curve (AC), yaitu kurva yang menggambarkan

21 31 keuntungan yang sama dari aktivitas produksi P 1 dan P 2. Pada Gambar 2.4 dapat dilihat bahwa melalui penggunaan input sebesar X 1 dan X 2 dari sumberdaya yang tersedia akan menghasilkan keuntungan maksimum di titik E Prinsip optimasi dalam pengelolaan fungsi subak Subak memiliki sumberdaya terbatas dalam menjalankan fungsifungsinya. Oleh karena itu, salah satu keputusan manajerial yang sangat penting adalah alokasi sumberdaya subak yang terbatas. Salah satu metode analisis yang baik untuk menyelesaikan persoalan alokasi sumberdaya adalah metode program linier (linear programming/lp). Dalam analisis program linier dirumuskan suatu hubungan antara inputoutput adalah linier dan koefisien input-output mempunyai nilai penduga tunggal. Metode LP dapat digunakan dalam perencanaan ekonomi skala makro karena LP memiliki keunggulan-keunggulan tertentu. Keunggulan-keunggulan metode LP adalah sebagai berikut. 1. LP telah berhasil menjadi alat analisis yang berdayaguna tinggi dalam perencanaan pembangunan. 2. LP sebagai alat pembangunan ekonomi lebih realistis. 3. Metode LP memperhatikan kendala-kendala sumberdaya dan sumberdana yang tersedia (Heady dan Agrawal, 1972; Siagian, 1987; Mulyono, 1991; dan Taha, 1992). Selain keunggulan-keunggulan tersebut maka LP juga memiliki kelemahan-kelemahan, yaitu sebagai berikut. 1. Tidak mudah menetapkan fungsi tujuan.

22 32 2. Jika fungsi tujuan telah ditetapkan, tidak dengan mudah dapat ditemukan adanya berbagai kendala sosial kelembagaan, finansial, dan lainnya yang mungkin menghambat pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. 3. Berdasarkan tujuan tertentu dan sekumpulan kendala maka mungkin kendalakendala tersebut tidak dapat dinyatakan secara langsung sebagai ketidaksamaan linier. 4. Jika masalah teratasi, masalah pokoknya adalah masalah memperkirakan nilai yang relevan dari berbagai koefisien konstan yang masuk ke dalam masalah linier. 5. Bahwa LP didasarkan pada asumsi hubungan linier antara input dan output, padahal dalam kenyataan kebanyakan hubungan input-output adalah tidak linier. 6. Teknik ini mengasumsikan adanya persaingan murni dalam produk dan pasar faktor produksi, tetapi kompetisi murni bukanlah suatu realita. 7. Teknik LP didasarkan pada asumsi penerimaan konstan dalam perekonomian, sedangkan dalam kenyataan penerimaan itu tidak konstan (Heady dan Agrawal, 1972; Siagian, 1987; Mulyono, 1991; dan Taha, 1992). Selain keunggulan dan kelemahan tersebut maka dalam menggunakan LP diperlukan beberapa asumsi, yaitu sebagai berikut. 1. Linearity artinya fungsi-fungsi tujuan dan batasan-batasan harus berupa suatu fungsi linier. 2. Additivity yaitu nilai tujuan tiap-tiap kegiatan tidak saling pengaruh mempengaruhi. Maksud asumsi ini adalah kenaikan nilai tujuan (Z) yang

23 33 diakibatkan oleh kenaikan suatu kegiatan dapat ditambahkan tanpa mempengaruhi bagian nilai (Z) yang diperoleh dari kegiatan lain. 3. Proportionality artinya naik turunnya nilai (Z) dan penggunaan sumber atau fasilitas yang tersedia akan berubah secara sebanding dengan perubahan tingkat kegiatan. 4. Divisibility artinya baik input maupun output dapat berupa bilangan pecahan. 5. Non-negativity artinya setiap input, output serta penyelesaian yang dihasilkan tidak boleh negatif. 6. Deterministic (certainty), single value expectation, artinya semua input atau koefisien dari aktivitas harus mempunyai nilai tertentu atau pasti (Heady dan Agrawal, 1972; Siagian, 1987; Mulyono, 1991; dan Taha, 1992). Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam optimalisasi penggunaan sumberdaya subak menggunakan metode LP perlu dipertimbangkan agar hasilnya secara operasional dapat diterapkan dengan kendala yang dimiliki subak, sehingga dapat menghasilkan produktivitas maksimal. Langkah-langkah yang diperlukan dalam penyusunan model program linier adalah (1) menentukan aktivitas; (2) menentukan sumberdaya; (3) menghitung input-output setiap aktivitas (koefisien aktivitas); (4) menentukan kapasitas kendala; (5) menyusun model (Heady dan Agrawal, 1972; Siagian, 1987; Mulyono, 1991; dan Taha, 1992).

24 Program linier dalam bentuk primal Menurut Heady dan Agrawal (1972), Siagian (1987), Mulyono (1991), dan Taha (1992), secara umum bentuk matematis model program linier yang memaksimalkan fungsi tujuan adalah sebagai berikut. I Fungsi tujuan: Maksimalkan Z= C 1 X 1 + C 2 X C n X n II Faktor pembatas: a 11 X 1 + a 12 X a 1n X n < b 1 a 21 X 1 + a 22 X a 2n X n < b 2.. a m1 X 1 + a m2 X a mn X n < b m Di mana: X 1, X 2,, X n > 0 Dalam bentuk sederhana menjadi: I Fungsi tujuan: Memaksimalkan Z = n CijXj j 1 II Faktor pembatas: n j 1 aijxj bi III Aktivitas tidak negatif: X j > 0 untuk seluruh j. Di mana: i = 1, 2, 3,, m (banyaknya faktor pembatas) j = 1, 2, 3,, n ( banyaknya aktivitas) Keterangan: Z C X n a mn b m : fungsi tujuan yang dimaksimalkan : kontribusi : aktivitas-aktivitas : koefisien input-output dari masing-masing aktivitas : batas sumberdaya yang tersedia

25 Program linier dalam bentuk dual Menurut Heady dan Agrawal (1972), Siagian (1987), Mulyono (1991), dan Taha (1992), setiap masalah primal dalam program linier akan diikuti dengan masalah dual (kembar). Teori dual dalam programasi linier memegang peranan penting terutama untuk analisis sensitivitas. Persoalan program linier dalam bentuk: Memaksimalkan: Z = C j X j dengan Kendala: a ij X j b i, untuk i = 1, 2, 3,, m dan X j 0, untuk j = 1, 2, 3, n. Hal ini disebut primal problem, sedangkan dualnya adalah: Y 0 = b i Y i, Dengan syarat: a ij Y i C j untuk j = 1, 2, 3,, n dan Y i 0, untuk i = 1, 2, 3,, m. Kondisi optimal dari masalah primal merupakan satu-satunya jawaban yang feasible bagi permasalahan dual. Oleh karena itu, nilai Z maksimal pada masalah primal adalah Y 0 minimum pada masalah dual. Jika jawaban optimal masalah primal telah ditentukan maka nilai-nilai dual variabelnya (shadow price) dipakai untuk mengevaluasi apakah alokasi sumberdaya harus dirubah. Shadow price Y i * untuk sumber i menunjukkan berapa harga per unit yang bersedia dibayar untuk menaikkan alokasi sumberdaya tersebut (Heady dan Agrawal, 1972; Siagian, 1987; Mulyono, 1991; dan Taha, 1992). Hubungan antara permasalahan primal dengan dual suatu program linier oleh Heady dan Agrawal (1972), Siagian (1987), Mulyono (1991), dan Taha (1992) digambarkan seperti pada Gambar 2.5.

26 36 PRIMAL Koefisien X 1 X 2 X 3 X n NK D U A L K Y 1 a 11 a 12 a 13 a 1n b 1 Koefisien o e Y 2 a 21 a 22 a 23 a 2n b 2 Fungsi f Y 3 a 31 a 32 a 33 a 3n b 3 Tujuan i s i Minimisasi e n Y m a m1 a m2 a m3 a mn b m NK C 1 C 2 C 3 C n Koefisien Fungsi Tujuan Maksimisasi Gambar 2.5. Hubungan Primal-Dual dalam Persoalan Program Linier (Heady dan Agrawal, 1972; Siagian, 1987; Mulyono, 1991; dan Taha, 1992) Pada Gambar 2.5, bagian mendatar adalah masalah primal dan bagian tegak adalah masalah dualnya. Hubungan antara primal-dual adalah sebagai berikut. 1. Parameter di batasan primal (dual) merupakan variabel dual (primal). 2. Koefisien fungsi tujuan primal (dual) merupakan nilai kanan bagi dual (primal). 3. Jika primal adalah masalah maksimisasi maka dualnya adalah minimisasi atau sebaliknya. 4. Jika masalah primal mempunyai n variabel dan m kendala maka dualnya mempunyai m variabel dan n kendala. 5. Penyelesaian salah satu primal atau dual akan memberikan suatu penyelesaian untuk keduanya.

27 37 Dual dari masalah primal adalah masalah primal dari dual. Berikut adalah hubungan primal-dual dalam persoalan programasi linier (Heady dan Agrawal, 1972; Siagian, 1987; Mulyono, 1991; dan Taha, 1992). Setelah diketahui penyelesaian maksimal dari suatu masalah programasi linier maka dilanjutkan dengan analisis sensitivitas yang dapat digunakan untuk mendeterminasi pengaruh perubahan nilai koefisien input-output dan sumberdaya yang tersedia pada solusi optimal. Menurut Heady dan Agrawal (1972), Siagian (1987), Mulyono (1991), dan Taha (1992), analisis sensitivitas terdiri atas dua bentuk, yaitu (1) perubahan koefisien biaya (variabel price programming) dan (2) perubahan faktor pembatas (variabel resource programming). Lebih jelas kedua bentuk analisis ini adalah sebagai berikut. 1. Variabel price programming. Analisis ini digunakan untuk mendeterminasi pengaruh perubahan harga sumberdaya dan aktivitas. Bentuk secara matematiknya: Memaksimalkan: Z = C X, dengan syarat: Ax B dan X 0 Di mana: C = c 1, c 2, c 3,, c j1,, c n1 (untuk permasalahan asli) C = c 1, c 2, c 3,,c j1,, c n1 (untuk permasalahan baru) C dan C berbeda pada elemen ke-j, di mana j 0 dan C j = Cj + j Maka permasalahan baru menjadi: Memaksimalkan Z = C X dengan syarat Ax B dan x Variabel resource programming. Analisis ini digunakan untuk mendeterminasi pengaruh perubahan jumlah sumberdaya yang tersedia. Bentuk matematiknya: Memaksimalkan: Z = C X dengan syarat: Ax B dan X 0

28 38 Di mana: B = b 1, b 2,, b i,, b m (untuk permasalahan asli) B = b 1, b 2,, b i,, bm (untuk permasalahan baru) B dan B berbeda pada elemen ke-i, di mana i 0 atau i 0 dan b i = b + i, maka persamaan baru menjadi: Memaksimalkan Z = C X dengan syarat: Ax B dan x 0. Perubahan yang terjadi setelah dicapainya penyelesaian yang optimal terdiri atas beberapa hal sebagai berikut. 1. Perubahan nilai kanan fungsi batasan. Perubahan ini menunjukkan adanya pengetatan atau pelonggaran batasan tersebut. Makin besar nilai kanan suatu fungsi batasan, berarti makin longgar dan sebaliknya, semakin ketat batasan tersebut bilamana nilai kanan dari fungsi batasan diperkecil. 2. Perubahan pada koefisien fungsi tujuan. Perubahan ini menunjukkan adanya perubahan kontribusi masing-masing produksi terhadap tujuan. 3. Perubahan pada koefisien teknis fungsi batasan. Koefisien-koefisien yang menunjukkan berapa bagian kapasitas sumberdaya yang digunakan oleh satu satuan kegiatan. Perubahan terhadap koefisien-koefisien teknis fungsi-fungsi tujuan akan mempengaruhi fungsi-fungsi batasan pada dual program sehingga akan mempengaruhi penyelesaian optimal. 4. Menambahkan batasan baru. Penambahan batasan baru akan mempengaruhi penyelesaian optimal apabila batasan baru tersebut aktif atau semua sumberdaya habis digunakan. Oleh karena itu, tambahan batasan baru dapat mempengaruhi penyelesaian optimal. Dalam program ini, peningkatan produktivitas dicapai melalui pengurangan input yang tidak perlu dan mengurangi sedikit output. Pengurangan

29 39 input lebih besar daripada pengurangan output (Heady dan Agrawal, 1972; Siagian, 1987; Mulyono, 1991; dan Taha, 1992). 2.5 Penelitian Terdahulu Beberapa hasil penelitian subak terkait dengan penelitian ini adalah sebagai berikut. Suyatna (1982) meneliti tentang ciri-ciri kedinamisan kelompok sosial tradisional di Bali dan peranannya dalam pembangunan. Sistem pertanian di Bali berkait erat dengan sistem subak, karena sistem subak mengelola sistem irigasi dari sektor pertanian, dan juga mengatur pola dan jadual tanam. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sistem subak menjadi penunjang utama dari eksistensi sektor pertanian. Sistem subak juga memiliki peranan yang sangat nyata dalam proses pembangunan nasional. Dengan demikian, untuk menyelamatkan sektor pertanian maka sistem subak sangat perlu lebih diberdayakan. Windia (2002) meneliti tentang transformasi sistem irigasi subak yang berlandaskan Konsep THK. Sistem irigasi subak merupakan teknologi yang sepadan bagi anggota subak yang bersangkutan. Sistem irigasi subak bersifat memiliki peluang untuk ditransformasi ke wilayah lain, sejauh nilai-nilai kesepadanan teknologi yang dimiliki dapat terpenuhi. Sarjana (2005) meneliti tentang keberdayaan masyarakat pedesaan dalam pelestarian subak di Bali (Kasus Subak Giri Mertha Yoga, Desa Mengani, Bangli). Budiasa (2005) mendeskripsikan eksistensi institusi subak dengan berbagai aktivitasnya baik yang mengelola sistem irigasi permukaan maupun

30 40 sistem irigasi pompa air tanah serta menawarkan beberapa konsep pengembangan sistem pertanian beririgasi berkelanjutan berbasis sistem subak dan konsep perencanaan strategis pengembangan dan penguatan institusi subak. Suamba (2005) telah merumuskan pola pengembangan unit usaha pada subak yang ditujukan untuk menunjang kemandirian dalam pengelolaan jaringan irigasi. Sutawan (2005) merumuskan konsep subak lestari/berkelanjutan. Kelestarian subak akan terwujud jika (1) kelestarian organisasi subak (institutional sustainability); (2) kelestarian jaringan irigasi (technical sustainability); (3) kelestarian produksi pangan (economic sustainability); (4) kelestarian ekosistem lahan sawah (ecological sustainability); (5) dan kelestarian nilai-nilai sosial budaya/ritual keagamaan (socio-cultural sustainability); dan kelestarian DAS dan sumberdaya air bagian hulu (environmental sustainability) dapat dijaga. Telah banyak dilakukan penelitian tentang subak. Di atas telah disajikan beberapa penelitian terkait dinamika subak; pemberdayaan subak; transformasi sistem irigasi subak; pelestarian subak. Penelitian tersebut menggambarkan bagian dari road map kebaruan penelitian tentang Optimalisasi Pengelolaan Fungsi Sistem Subak di Daerah Irigasi Kedewatan, Provinsi Bali, karena belum pernah dilakukan peneliti sebelumnya. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan analisis kuantitatif menggunakan programasi linier dengan unit analisisnya adalah subak. Penelitian dilakukan dalam satu daerah irigasi.

31 41 Di samping itu, road map kebaruan penelitian tentang Optimalisasi Pengelolaan Fungsi Sistem Subak di Daerah Irigasi Kedewatan, Provinsi Bali disajikan dalam bentuk ontologi, epistemologi, dan aksiologi sebagai berikut. 1. Ontologi dalam penelitian ini, terdiri atas: (1) pola pengelolaan fungsi subak yang optimal; (2) kelestarian sistem subak; (3) sistem subak memiliki peluang untuk ditransformasi; dan (4) telah ditemukan indikator dalam mentransformasi subak. Dengan demikian, subak dapat dilestarikan. 2. Epistemologi Penelitian Optimalisasi Pengelolaan Fungsi Sistem subak di Daerah Irigasi Kedewatan, Provinsi Bali didukung oleh beberapa analisis yang terdiri atas: (1) analisis kelayakan usahatani; (2) analisis kebutuhan air irigasi; dan (3) analisis program linier. 3. Aksiologi penelitian ini, terdiri atas: (1) meningkatkan keragaan subak; (2) alternatif pola pengelolaan fungsi subak yang selayaknya dilaksanakan oleh Subak Lodtunduh dan Subak Padanggalak: (3) alternatif teknik distribusi air irigasi yang dapat dilaksanakan berkaitan dengan melestarikan dan mentransformasikan subak.

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP. khususnya dalam pengelolaan sumberdaya air irigasi. Pengelolaan sumberdaya

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP. khususnya dalam pengelolaan sumberdaya air irigasi. Pengelolaan sumberdaya BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP 3.1 Kerangka Berpikir Subak sangat berperan dalam pembangunan pertanian beririgasi, khususnya dalam pengelolaan sumberdaya air irigasi. Pengelolaan sumberdaya air irigasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 275 juta orang pada tahun Sebagian besar penduduk Indonesia hidup dari

BAB I PENDAHULUAN. 275 juta orang pada tahun Sebagian besar penduduk Indonesia hidup dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk keempat terbesar di dunia (Syarief, 2011). Jumlah penduduk Indonesia diprediksi akan menjadi 275 juta orang pada tahun

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN Aktivitas usahatani sangat terkait dengan kegiatan produksi yang dilakukan petani, yaitu kegiatan memanfaatkan sejumlah faktor produksi yang dimiliki petani dengan jumlah yang terbatas.

Lebih terperinci

2.6.2 Subak sebagai sistem non fisik Kerangka Pemikiran...30 III. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian

2.6.2 Subak sebagai sistem non fisik Kerangka Pemikiran...30 III. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM...i PERNYATAAN KEASLIAAN PENELITIAN...ii ABSTRACT...iii ABSTRAK...iv RINGKASAN...v HALAMAN PERSETUJUAN...vii TIM PENGUJI...viii RIWAYAT HIDUP...ix KATA PENGANTAR...x DAFTAR

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tri Hita Karana

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tri Hita Karana BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Organisasi tradisional petani yang mengelola air irigasi dapat ditemui di berbagai belahan dunia, salah satunya adalah sistem irigasi subak di Bali. Subak merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hasil pertanian. Jumlah penduduk Idonesia diprediksi akan menjadi 275 juta

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hasil pertanian. Jumlah penduduk Idonesia diprediksi akan menjadi 275 juta BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Irigasi Indonesia adalah Negara yang sebagian besar penduduknya hidup dari pertanian dengan makanan pokoknya bersumber dari beras, sagu, serta ubi hasil pertanian.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BREBES Nomor : 21 Tahun : 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BREBES, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Teori Produksi Produksi adalah suatu kegiatan atau proses yang mentransformasikan masukan (input) menjadi hasil keluaran (output) yang berupa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUMBAWA, Menimbang : a. bahwa keberadaan sistem irigasi beserta keberhasilan pengelolaannya

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK TIMUR, Menimbang : a. bahwa irigasi merupakan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. dan objek utamanya adalah optimalisasi pengelolaan fungsi sistem subak di Subak

BAB IV METODE PENELITIAN. dan objek utamanya adalah optimalisasi pengelolaan fungsi sistem subak di Subak BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian dengan metode survei dan objek utamanya adalah optimalisasi pengelolaan fungsi sistem subak di Subak

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 41 Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sistem irigasi subak merupakan warisan budaya masyarakat Bali. Organisasi

BAB I PENDAHULUAN. Sistem irigasi subak merupakan warisan budaya masyarakat Bali. Organisasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem irigasi subak merupakan warisan budaya masyarakat Bali. Organisasi petani tersebut berwatak sosio agraris religius. Subak sebagai lembaga sosial dapat dipandang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang : a. bahwa sektor pertanian mempunyai peran yang sangat strategis

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI 1 / 70 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 41

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG, PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai keberlanjutan sistem irigasi serta untuk

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kelangkaan merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Hal ini menjadi masalah utama ketika keinginan manusia yang tidak terbatas berhadapan dengan

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Sistem Produksi Secara umum produksi dapat diartikan sebagai suatu kegiatan atau proses yang mentransformasikan masukan (input) menjadi hasil

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 41 Undang-Undang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT PEMERINTAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUMBAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa keberadaan sistem

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 41 Undang-

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, Menimbang : a. bahwa irigasi merupakan salah satu komponen penting pendukung

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TIMUR, Menimbang : a. bahwa irigasi mempunyai peranan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersendiri dalam bentuk sebuah organisasi masyarakat yang bernama Subak.

BAB I PENDAHULUAN. tersendiri dalam bentuk sebuah organisasi masyarakat yang bernama Subak. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali secara historis sudah memiliki tradisi, budaya dan komitmen religius tersendiri dalam bentuk sebuah organisasi masyarakat yang bernama Subak. Subak merupakan

Lebih terperinci

BAB III. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB III. KERANGKA PEMIKIRAN BAB III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Teori Produksi Produksi dapat diartikan sebagai suatu kegiatan atau proses yang mentransformasi masukan (input) menjadi hasil keluaran

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG PEMERINTAH KABUPATEN MALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MALANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MALANG, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam rangka menunjang ketahanan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 28 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 28 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 28 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung keberhasilan pembangunan pertanian yang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH NOMOR : 02 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI TENGAH,

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH NOMOR : 02 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI TENGAH, PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH NOMOR : 02 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI TENGAH, Menimbang : a. bahwa air mempunyai fungsi sosial dalam

Lebih terperinci

Peranan Subak Dalam Pengembangan Agribisnis Padi

Peranan Subak Dalam Pengembangan Agribisnis Padi Peranan Subak Dalam Pengembangan Agribisnis Padi I. Pendahuluan Visi pembangunan pertanian di Indonesia adalah terwujudnya masyarakat yang sejahtra khususnya petani melalui pembangunan sistem agribisnis

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR SUMATERA SELATAN,

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR SUMATERA SELATAN, PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa sumber daya air adalah merupakan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. karakteristik responden dalam penelitian ini difokuskan pada umur, pengalaman

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. karakteristik responden dalam penelitian ini difokuskan pada umur, pengalaman BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian 5.1.1 Karakteristik responden Unit analisis dalam penelitian ini adalah subak. Oleh karena itu, karakteristik responden dalam penelitian ini difokuskan pada

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 22 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI INDRAMAYU,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 22 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI INDRAMAYU, PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 22 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI INDRAMAYU, Menimbang : a. bahwa dalam rangka usaha penyediaan, pengaturan, dan pembuangan

Lebih terperinci

BAB VI HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, dan pengalaman dalam usahatani.

BAB VI HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, dan pengalaman dalam usahatani. BAB VI HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 6.1 Karakteristik Petani Sampel Berdasarkan data primer yang diperoleh dari 84 orang petani sampel, maka dapat dikemukakan karakteristik petani sampel, khususnya

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. ditentukan dengan metode purposive sampling, yaitu suatu metode penentuan lokasi

BAB IV METODE PENELITIAN. ditentukan dengan metode purposive sampling, yaitu suatu metode penentuan lokasi BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian yaitu Kecamatan Denpasar Utara Kota Denpasar, ditentukan dengan metode purposive sampling, yaitu suatu metode penentuan lokasi secara sengaja

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG IRIGASI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG IRIGASI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG, Menimbang : a. bahwa irigasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang artinya bahwa pertanian memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional. Hal ini dapat ditunjukkan dari banyaknya

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 1 TAHUN 2009

PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 1 TAHUN 2009 PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 1 TAHUN 2009 DRAFT-4 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP, Menimbang : a. bahwa pertanian mempunyai

Lebih terperinci

OPTIMALISASI PENGELOLAAN FUNGSI SISTEM SUBAK DI DAERAH IRIGASI KEDEWATAN, PROVINSI BALI

OPTIMALISASI PENGELOLAAN FUNGSI SISTEM SUBAK DI DAERAH IRIGASI KEDEWATAN, PROVINSI BALI DISERTASI OPTIMALISASI PENGELOLAAN FUNGSI SISTEM SUBAK DI DAERAH IRIGASI KEDEWATAN, PROVINSI BALI RATNA KOMALA DEWI NIM 1090471012 PROGRAM DOKTOR PROGRAM STUDI ILMU PERTANIAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berkaitan dengan sektor-sektor lain karena sektor pertanian merupakan sektor

I. PENDAHULUAN. berkaitan dengan sektor-sektor lain karena sektor pertanian merupakan sektor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang memiliki peran besar dalam perekonomian di Indonesia. Hal ini dikarenakan pertanian merupakan penghasil bahan makanan yang dibutuhkan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS, Menimbang : a. bahwa pengaturan tentang irigasi di Kabupaten Ciamis telah diatur dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Beras merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia. Pada tahun 1960, Indonesia mengimpor beras sebanyak 0,6 juta ton. Impor beras mengalami peningkatan pada tahun-tahun

Lebih terperinci

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PROVINSI SULAWESI SELATAN

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PROVINSI SULAWESI SELATAN SALINAN BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPULAUAN SELAYAR, Menimbang

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG SUBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG SUBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG SUBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa Lembaga Subak sebagai bagian dari budaya Bali merupakan organisasi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perubahan sistem pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bali memiliki sumberdaya air yang dapat dikembangkan dan dikelola secara

BAB I PENDAHULUAN. Bali memiliki sumberdaya air yang dapat dikembangkan dan dikelola secara 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali memiliki sumberdaya air yang dapat dikembangkan dan dikelola secara menyeluruh, terpadu, berwawasan lingkungan dan berkesinambungan untuk meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menyelenggarakan otonomi,

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI 5 BAB LANDASAN TEORI Efisiensi Menurut Vincent Gaspersz (998, hal 4), efisiensi adalah ukuran yang menunjukan bagaimana baiknya sumber daya digunakan dalam proses produksi untuk menghasilkan output Efisiensi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 /PRT/M/2015 TENTANG KRITERIA DAN PENETAPAN STATUS DAERAH IRIGASI

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 /PRT/M/2015 TENTANG KRITERIA DAN PENETAPAN STATUS DAERAH IRIGASI PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 /PRT/M/2015 TENTANG KRITERIA DAN PENETAPAN STATUS DAERAH IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Subak merupakan lembaga irigasi dan pertanian yang bercorak sosioreligius terutama bergerak dalam pengolahan air untuk produksi tanaman setahun khususnya padi berdasarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya peningkatan produksi tanaman pangan khususnya pada lahan sawah melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. Pertambahan jumlah penduduk

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR : 616 TAHUN : 2003 SERI : C PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 7 TAHUN 2003 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERANG Menimbang :

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI BARAT, Menimbang Mengingat : : a. bahwa irigasi mempunyai peranan

Lebih terperinci

WALIKOTA MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN PEMBERDAYAAN HIMPUNAN PETANI PEMAKAI AIR

WALIKOTA MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN PEMBERDAYAAN HIMPUNAN PETANI PEMAKAI AIR WALIKOTA MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN PEMBERDAYAAN HIMPUNAN PETANI PEMAKAI AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT IRIGASI

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT IRIGASI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT Menimbang Mengingat : a. bahwa air sebagai sumber kehidupan masyarakat yang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 143, 2001 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kita tidak dapat dipisahkan dari senyawa kimia ini. Berdasarkan UU RI No.7

BAB I PENDAHULUAN. kita tidak dapat dipisahkan dari senyawa kimia ini. Berdasarkan UU RI No.7 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam kehidupan seharihari kita tidak dapat dipisahkan dari senyawa kimia ini. Berdasarkan UU RI No.7 Tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan adalah untuk mengetahui tingkat pendapatan usahatani tomat dan faktor-faktor produksi yang mempengaruhi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30/PRT/M/2015 TENTANG PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM IRIGASI

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30/PRT/M/2015 TENTANG PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM IRIGASI MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30/PRT/M/2015 TENTANG PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM IRIGASI

Lebih terperinci

LAPORAN HIBAH PENELITIAN KETEKNIKSIPILAN

LAPORAN HIBAH PENELITIAN KETEKNIKSIPILAN LAPORAN HIBAH PENELITIAN KETEKNIKSIPILAN AKTIVITAS ASPEK TRADISIONAL RELIGIUS PADA IRIGASI SUBAK: STUDI KASUS PADA SUBAK PILING, DESA BIAUNG, KECAMATAN PENEBEL, KABUPATEN TABANAN I Nyoman Norken I Ketut

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR, Menimbang : a. bahwa irigasi merupakan salah satu

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBER NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBER, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang : a. bahwa guna mewujudkan pembangunan sektor pertanian dalam rangka

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, Menimbang : a. bahwa pengelolaan irigasi merupakan salah satu faktor pendukung bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. besar dan mampu membantu pemerintah dalam mengurangi tingkat pengangguran.

BAB I PENDAHULUAN. besar dan mampu membantu pemerintah dalam mengurangi tingkat pengangguran. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam menghadapi globalisasi dunia saat ini mendorong persaingan diantara para pelaku bisnis yang semakin ketat. Di Indonesia sebagai negara berkembang, pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengertian dari irigasi adalah usaha penyediaan, pengaturan, dan pembuangan air

BAB I PENDAHULUAN. pengertian dari irigasi adalah usaha penyediaan, pengaturan, dan pembuangan air BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 20 Tahun 2006 disebutkan bahwa pengertian dari irigasi adalah usaha penyediaan, pengaturan, dan pembuangan air irigasi untuk menunjang

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kelompok Tani Pondok Menteng Desa Citapen, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menggalakkan pembangunan dalam berbagai bidang, baik bidang ekonomi,

I. PENDAHULUAN. menggalakkan pembangunan dalam berbagai bidang, baik bidang ekonomi, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan sebuah negara berkembang yang terus berupaya menggalakkan pembangunan dalam berbagai bidang, baik bidang ekonomi, politik, hingga pembangunan

Lebih terperinci

PROGRAM LINIER METODE GRAFIK

PROGRAM LINIER METODE GRAFIK PROGRAM LINIER METODE GRAFIK Program Linier merupakan suatu model umum yang dapat digunakan dalam pemecahan masalah pengalokasian sumbersumber yang terbatas secara optimal. Masalah tersebut timbul apabila

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN, DAN SARAN UNTUK PENELITIAN LANJUTAN

VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN, DAN SARAN UNTUK PENELITIAN LANJUTAN VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN, DAN SARAN UNTUK PENELITIAN LANJUTAN 8.1. Kesimpulan Iuran irigasi berbasis komoditas dapat dirumuskan dengan memanfaatkan harga bayangan air irigasi. Dalam penelitian

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG IRIGASI DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG IRIGASI DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG IRIGASI DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Kombinasi Produk Optimum Penentuan kombinasi produksi dilakukan untuk memperoleh lebih dari satu output dengan menggunakan satu input. Hal ini

Lebih terperinci

BUPATI GARUT P E R A T U R A N B U P A T I G A R U T NOMOR 474 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI GARUT P E R A T U R A N B U P A T I G A R U T NOMOR 474 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI GARUT P E R A T U R A N B U P A T I G A R U T NOMOR 474 TAHUN 2011 TENTANG KEWENANGAN DAN TANGGUNG JAWAB KELEMBAGAAN PENGELOLA IRIGASI DALAM PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM IRIGASI PARTISIPATIF

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Penelitian Dalam setiap perusahaan berusaha untuk menghasilkan nilai yang optimal dengan biaya tertentu yang dikeluarkannya. Proses penciptaan nilai yang optimal dapat

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR : 3 TAHUN 2009 T E N T A N G IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI SELATAN Menimbang : a. Bahwa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN Tinjauan Pustaka Dalam masa pembangunan pertanian yang bertujuan meningkatkan hasilhasil pertanian (terutama bahan pangan pokok) untuk mencukupi

Lebih terperinci

WALIKOTA TASIKMALAYA,

WALIKOTA TASIKMALAYA, WALIKOTA TASIKMALAYA PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA Nomor : 15A Tahun 2006 Lampiran : - TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 17 TAHUN 2004 TENTANG IRIGASI WALIKOTA TASIKMALAYA,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEMALANG, Menimbang : a. bahwa peran sektor pertanian

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 4 SERI E

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 4 SERI E LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 4 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJARNEGARA, Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI PESISIR SELATAN

BUPATI PESISIR SELATAN BUPATI PESISIR SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESISIR SELATAN NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PESISIR SELATAN, Menimbang : a. bahwa irigasi merupakan salah

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Sistem Persamaan Linear dan Sistem Pertidaksamaan Linear

BAB II LANDASAN TEORI. A. Sistem Persamaan Linear dan Sistem Pertidaksamaan Linear 5 BAB II LANDASAN TEORI A Sistem Persamaan Linear dan Sistem Pertidaksamaan Linear Persamaan linear adalah bentuk kalimat terbuka yang memuat variabel dengan derajat tertinggi adalah satu Sedangkan sistem

Lebih terperinci

2 c. bahwa guna memberikan dasar dan tuntunan dalam pembentukan kelembagaan pengelolaan irigasi sebagaimana dimaksud pada huruf a, diperlukan komisi i

2 c. bahwa guna memberikan dasar dan tuntunan dalam pembentukan kelembagaan pengelolaan irigasi sebagaimana dimaksud pada huruf a, diperlukan komisi i No.640, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENPU-PR. Irigasi. Komisi. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17/PRT/M/2015 TENTANG KOMISI IRIGASI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARAWANG, Menimbang : a. bahwa air sebagai sumber kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN IRIGASI PARTISIPATIF (PIP) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN IRIGASI PARTISIPATIF (PIP) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN IRIGASI PARTISIPATIF (PIP) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai keberlanjutan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 24 TAHUN 2009 SERI E. 11 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 24 TAHUN 2009 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIREBON, Menimbang : a.

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teoritis Untuk mengetahui dampak kenaikan harga kedelai sebagai bahan baku (input) dalam industri tempe, akan digunakan beberapa teori yang berkaitan dengan hal tersebut.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat. Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah Republik

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat. Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah Republik 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Irigasi Jatiluhur terletak di Daerah Aliran Sungai Citarum Provinsi Jawa Barat. Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tahun

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI) No. 25 Tahun 1974 23 Februari 1974 No. 02/PD./DPRD/1972. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROPINSI BALI Menetapkan Peraturan Daerah yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik secara langsung maupun

Lebih terperinci

MATEMATIKA SISTEM INFORMASI 2 IT

MATEMATIKA SISTEM INFORMASI 2 IT MATEMATIKA SISTEM INFORMASI 2 IT 011215 UMMU KALSUM UNIVERSITAS GUNADARMA 2016 Penerapan Riset Operasi Bidang akuntansi dan keuangan Penentuan jumlah kelayakan kredit Alokasi modal investasi, dll Bidang

Lebih terperinci

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIDOARJO, Menimbang : a. bahwa irigasi sebagai salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

BUPATI BOGOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR

BUPATI BOGOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR RANCANGAN (Disempurnakan) BUPATI BOGOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BOGOR, Menimbang : a. bahwa fungsi irigasi memegang peranan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17/PRT/M/2015 TENTANG KOMISI IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17/PRT/M/2015 TENTANG KOMISI IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17/PRT/M/2015 TENTANG KOMISI IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Optimalisasi Distribusi Sistem distribusi adalah cara yang ditempuh atau digunakan untuk menyalurkan barang dan jasa dari produsen

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Petani dan Usahatani Menurut Hernanto (1995), petani adalah setiap orang yang melakukan usaha untuk memenuhi sebagian atau seluruh kebutuhan kehidupannya di bidang pertanian

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NO. 3 2008 SERI. E PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 15 Tahun : 2012 Seri : E

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 15 Tahun : 2012 Seri : E LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 15 Tahun : 2012 Seri : E Menimbang PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 24 TAHUN 2012 TENTANG IRIGASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akan mempengaruhi produksi pertanian (Direktorat Pengelolaan Air, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. akan mempengaruhi produksi pertanian (Direktorat Pengelolaan Air, 2010). BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Air merupakan salah satu komponen penting untuk kehidupan semua makhluk hidup di bumi. Air juga merupakan kebutuhan dasar manusia yang digunakan untuk kebutuhan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Geografi adalah mempelajari gejala-gejala di permukaan bumi secara keseluruhan dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Geografi adalah mempelajari gejala-gejala di permukaan bumi secara keseluruhan dengan 1 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Geografi Geografi adalah mempelajari gejala-gejala di permukaan bumi secara keseluruhan dengan memperhatikan tiap-tiap gejala

Lebih terperinci