Dinamika Ruang-ruang Sosial Dua Komunitas Pra Konflik Maluku

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Dinamika Ruang-ruang Sosial Dua Komunitas Pra Konflik Maluku"

Transkripsi

1 Bab Lima Dinamika Ruang-ruang Sosial Dua Komunitas Pra Konflik Maluku Pengantar Pada bagian ini, penulis akan menguraikan dinamika ruangruang sosial pra konflik [hingga tahun 1998] antara dua komunitas yang terikat dalam satu hubungan gandong di pulau Saparua; yang berbeda hubungan gandong di pulau Ambon; dan yang tidak memiliki hubungan gandong di kota Ambon. Uraian ini penting dilakukan untuk kita dapat memperoleh pengetahuan secara utuh dan menyeluruh tentang struktur masyarakat di wilayah riset. Dua Komunitas yang Memiliki Hubungan Gandong, di Pulau Saparua Ruang Sosial dan Budaya Di dalam silsilah dan tradisi lokal, negeri Siri Sori [Salam-Serani] memiliki hubungan pela dengan negeri Ouw [Kristen], negeri Siri Sori Salam memiliki hubungan pela dengan negeri Haria di pulau Saparua, sementara negeri Siri Sori Salam dan negeri Siri Sori Serani 1 terikat dalam satu hubungan gandong. 1 Negeri Siri Sori [Islam-Kristen] di pulau Saparua, Negeri Hutumuri [Kristen] di pulau Ambon, dan Negeri Tamilou [Islam] di pulau Seram merupakan negeri-negeri yang terikat dalam satu hubungan gandong. 59

2 Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku Sebelum konflik Maluku melanda pulau Saparua, warga kedua komunitas membangun kehidupan berdampingan sangat rukun dalam berbagai konteks hubungan sosial. Kerukunan tersebut dapat tercipta karena terdapat berbagai persyaratan adat sehubungan dengan persekutuan desa [baca: negeri] secara keseluruhan, yang dikenal dengan ikatan gandong tanpa mempersoalkan perbedaan agama yang ada di antara mereka. Demikian pula dengan warga masyarakat dari negeri lain yang memiliki hubungan pela. Hubungan tersebut [pela khususnya] telah ditetapkan sebelum perbedaan-perbedaan itu terjadi, yakni ketika para anggota pela masih memeluk agama asli mereka. Ikatan tersebut telah ditetapkan oleh para leluhur dalam keadaan yang khusus dan menyertakan hak-hak serta kewajiban-kewajiban tertentu 2, dan secara ketat mereka mematuhinya (itulah konsekuensi-konsekuensi dari sumpah di antara para leluhur mereka). Adapun kewajiban-kewajiban timbal-balik yang termasuk dalam perjanjian pela mencakup; saling bantu dalam peperangan, hak milik bersama, dan larangan atas perkawinan antar-pela. Karena itu, jika terjadi pelanggaran, ada dua jenis sanksi yang dikenakan baik yang diberikan oleh para penguasa negeri [desa], maupun sanksi yang diberikan oleh para leluhur 3. Untuk memelihara hubungan tersebut, biasanya dilakukan upacara bikin panas pela dan panas gandong, yang dimaknai sebagai cara untuk mengukuhkan kembali ikatan pela dan gandong tersebut, di mana kewajiban-kewajiban dan hak-hak istimewa pela dan gandong dipertegas dan dikukuhkan kembali. Namun, dengan datangnya kekuasaan kolonial dibarengi dengan intervensi berbagai kebijakan publik oleh negara, terjadilah perubahan-perubahan yang secara drastis merombak keadaan sehingga sangat mengurangi pentingnya arti ikatanikatan pela dan gandong. 2 Penetapan pela antar dua desa (baca: negeri) atau lebih dilakukan dengan cara mengikrarkan sumpah persaudaraan darah dan dimeteraikan dengan cara meminum darah yang diambil dari jari-jari mereka kemudian dicampur dengan minuman keras lokal, dari satu gelas, dan diminum oleh mereka secara bersama. Untuk lebih jelas mengenai hal ini, lihat Cooley, Di masa lampau, tidak seorangpun meragukan adanya kekuatan gaib para arwaharwah leluhur, dan tidak terpikir oleh siapapun untuk melanggar adat pela. 60

3 Dinamika Ruang-ruang Sosial Dua Komunitas Pra Konflik Maluku Sekalipun demikian, warga kedua komunitas dalam realitas kehidupan sehari-hari senantiasa berusaha secara nyata untuk merawat dan tetap mempertahankan warisan para leluhur dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satu hal yang menjadi perekat di antara mereka adalah kekuasaan terhadap hak petuanan [beschikkingscrecht]. Dari penuturan informan kunci 4 diketahui bahwa diketahui bahwa sekalipun terpisah secara agama dan pemerintahan, namun kedua negeri hanya memiliki dan terikat dalam satu petuanan [teritori]. Realitas ini sangat jarang ditemukan di manapun di Maluku. Menurut Ziwar Effendi [1987], hak petuanan dari negeri-negeri di Ambon Lease [termasuk negeri Siri Sori Salam dan Serani], di bagian daratan tidak hanya mengenai tanahnya saja, tetapi juga meliputi hutan, sungai dan segala hasilnya, perairan sepanjang pantai yang didepannya sampai ke batas air putih di mana kita bisa dapat melihat dasar lautnya. Hak terhadap petuanan yang dimiliki oleh negeri, kemudian didistribusikan kepada orang-orang yang bernaung dibawah satu kerabat [family] atau persekutuan [anak negeri] untuk menjadi hak miliknya yang dikenal dengan nama dusun dati5. Karena distribusi hak petuanan diberikan kepada kerabat atau persekutuan, maka hingga kini warga kedua komunitas terikat di dalamnya. Sebagai contoh, marga Pelupessy, Saimima dan marga lainnya di negeri Siri Sori Salam dan di negeri Siri Sori Serani, sekalipun berbeda agama, namun mereka terikat dalam satu dusun dati. Di dalam dusun dati itulah, mereka menanam pohon-pohon cengkih dan melakukan berbagai aktivitas usaha tani. Di samping itu, untuk merawat hubungan sosial antar negerinegeri yang terikat dalam ikatan pela dan gandong, biasanya terwujud dalam bentuk kerja sama. Dari penuturan salah seorang Informan yang juga merupakan tokoh masyarakat dari negeri Siri Sori Salam [I. Tukan, 4 Hasil wawancara tanggal 23 September 2010 dengan MP, 65 Tahun,Islam [Tuan Tanah]. 5 Istilah dati [datio] juga dipergunakan oleh J. Gerard Fried Riedel [1883] yang berarti petak-petak tanah yang dibagi-bagikan kepada orang-orang yang kuat kerja atau kepala-kepala rumah tangga [hoof den van huisgezinnen] dengan syarat harus ikut hongi. 61

4 Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku saat ini menjabat sebagai Ketua MUI Maluku] diketahui bahwa, ketika komunitas Islam di negeri Siri Sori Salam hendak membangun mesjid, tidak seluruh bangunan tersebut harus dikerjakan oleh warganya sendiri, tetapi ada bagian-bagian tertentu dari bangunan itu yang merupakan tanggung jawab dan harus dikerjakan oleh saudara pelanya dari negeri Haria [Kristen]. Rumah sabua yang diperuntukkan sebagai tempat kerja, material bangunannya tidak boleh disiapkan oleh mereka, tetapi harus didatangkan sekaligus dikerjakan oleh masyarakat dari negeri Ulath [Kristen]. Saudara gandong dari negeri Siri Sori Serane [Kristen] mengetahui dengan benar, apa yang menjadi tanggung jawab mereka. Lebih lanjut dikatakan bahwa, tradisi ini sudah berlangsung dari dulu, diwariskan dan dipraktekkan turun-temurun hingga kini. Ruang-ruang Politik dan Keagamaan Berdasarkan catatan sejarah serta penuturan dari para tokoh adat dan tokoh masyarakat di kedua komunitas diketahui bahwa jauh sebelum tahun 1825, warga kedua komunitas hidup pada satu pemerintah negeri, atau menurut istilah yang digunakan Cooley [1961] adalah Badan Saniri Negeri. Berbagai pengaruh telah menentukan badan tersebut yang merupakan lembaga pemerintahan negeri yang utama di negeri Siri Sori. Namanya sendiri menunjukkan kepada sejarah yang telah membentuknya. Menurut Cooley [1961], kata badan antara lain berarti sekumpulan orang yang merupakan kesatuan untuk mengerjakan sesuatu; saniri adalah istilah bahasa Seram untuk dewan yang dahulu memerintah tiga sungai 6 ; sedangkan negeri adalah bentuk melayu dari kata bahasa sansekerta nagara, yang berarti daerah, kota atau kerajaan [suatu wilayah pemerintahan]. Di dalam Badan Saniri Negeri pada saat itu, sedikitnya terdapat empat jenis jabatan. Kekuasaan politik masing-masing jabatan berkurang menurut urutannya. Di antara golongan pertama, tercakup jabatan-jabatan tradisional yang masih berfungsi penuh hingga saat ini 6 Tiga sungai tersebut adalah batang air tala, batang air sapalewa, dan batang air eti, yang terdapat di pulau Seram Bagian Barat. 62

5 Dinamika Ruang-ruang Sosial Dua Komunitas Pra Konflik Maluku seperti raja [kepala Desa] dan kepala Soa [sekumpulan mata rumah]. Menurut Cooley [1961] kedua jabatan ini telah berusia beberapa abad lamanya. Dalam kategori yang sama tercakup anggota-anggota saniri yang non tradisional yang dipilih oleh rakyat untuk mewakili subbagian dan golongan fungsional dalam masyarakat negeri. Jenis kedua, terdiri dari petugas-petugas tradisional yang memangku hanya sebagian dari tugas-tugas sejenis di masa lampau seperti misalnya tuan tanah 7. Jenis ketiga ialah petugas-petugas tradisional yang fungsi-fungsi aslinya saat ini sudah lenyap, seperti malessi atau kapitan [penghulu perang] dan terakhir, jabatan-jabatan tertentu seperti maweng [petugas keagamaan] sudah tidak diisi lagi. Pada abad empatbelas yang ditandai dengan kedatangan Bangsa Arab ke Maluku [Ambon] melalui Cina untuk berdagang rempahrempah, bersamaan dengan itu mereka juga menyebar agama Islam. Seiring dengan itu, muncul pula kekuatan baru yakni kesultanan Ternate dan Tidore sebagai satu kesatuan politik dengan ambisi penaklukkan dan perluasan wilayah kekuasaan yang ingin memperluas kekuasaan dan pengaruhnya, sekaligus menyebar agama Islam. Kemudian pada abad enam belas kedatangan Bangsa Portugis di Maluku [Ambon] di samping berdagang rempah-rempah, mereka juga menyebar agama Kristen Katolik. Kemudian kedatangan Bangsa Belanda pada abad tujuhbelas di samping untuk berdagang rempah-rempah, mereka juga menyebarkan agama Kristen Protestan [Kennedy, 1955]. Pada saat itulah, identitas berdasarkan agama Islam dan Kristen mulai dipakai sebagai pembeda. Implikasi dari realitas tersebut, maka pada tahun 1750 masyarakat Negeri Siri Sori yang telah menganut agama Islam mengajukan permohonan kepada para penguasa Belanda [overgeid] agar mereka diberikan pemerintah sendiri. Pada tanggal 17 Oktober 1817, permohonan itu diteruskan ke Ambon, tetapi ditolak. Kemudian pada tahun 1822, permohonan untuk membuat pemerintahan sendiri kembali diajukan, dan baru pada tahun 1825 permohonan tersebut dikabulkan. 7 Hingga saat penelitian ini dilakukan, jenis kedua ini masih ada dan berfungsi dan saat ini jabatan tersebut dipegang oleh Bapak Hamzah Salatalohy di Negeri Siri Sori Salam. 63

6 Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku Dan sejak saat itulah, negeri Siri Sori terbagi menjadi dua, yakni Negeri Siri Sori Salam [amapati] dan Negeri Siri Sori Serani [amalatu]. Walaupun terpisah secara pemerintahan dan agama yang dianut, namun kedua negeri tersebut [hingga kini] tetap memiliki dan terikat menjadi satu secara adat, serta hanya memiliki satu petuanan [teritorial]. Karena itu, sekalipun intervensi berbagai kebijakan publik oleh negara [seperti misalnya, Undang-undang nomor 5 tahun 1979 tentang Sistem Pemerintahan Desa, Undang-undang nomor 22 tahun1992 dan Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Sitem Pemerintahan Daerah] dan diberlakukan secara nasional, ternyata tidak berpengaruh secara signifikan dalam masyarakat sehingga jabatan-jabatan tradisional [seperti raja, kepala soa, tuan tanah] itu masih tetap dipraktikkan hingga kini di kedua negeri tersebut. Pada saat pelantikan raja negeri Siri Sori Serani atau Siri Sori Salam [bulan Maret Tahun 2011] misalnya, sebelum calon raja tersebut dilantik secara resmi oleh Bupatti Maluku Tengah dalam upacara pemerintahan, mereka telah dilantik terlebih dahulu secara adat oleh kepala adat, dalam satu upacara adat. Walaupun berbeda dari segi agama yang dianut, namun dalam realitas kehidupan sehari-hari warga kedua komunitas senantiasa tidak menjadikan perbedaan tersebut sebagai hambatan sehingga menimbulkan jarak sosial di antara mereka. Yang terjadi justru sebaliknya, kerukuran hidup di antara mereka senantiasa diwujudkan dalam berbagai konteks hubungan sosial. Pada saat komunitas Kristen di negeri Siri Sori Serani merayakan Hari Natal atau pada saat komunitas Islam di negeri Siri Sori Salam merayakan Lebaran misalnya, aktivitas saling mengunjungi untuk bersilaturahmi di antara mereka satu dengan yang lain berlangsung sangat intensif. Ada kebiasaan di mana dua hari sebelumnya, ada warga yang mengantarkan hasil kebun [berupa pisang, dan umbi-umbian] kepada saudara gandong mereka yang akan merayakan hari raya keagamaan. Di samping itu, ada saudara pela yang datang untuk bersilaturahmi, satu atau dua hari sebelumnya mereka juga mengantarkan hasil kebun kepada saudara pela yang akan merayakan hari raya keagamaan. Demikian pula pada saat meninggalnya salah 64

7 Dinamika Ruang-ruang Sosial Dua Komunitas Pra Konflik Maluku seorang anggota keluarga dari salah satu marga tertentu [Pelupessy, misalnya] di negeri Siri Sori Salam, biasanya yang diberitahu pertamatama adalah keluarga besar Pelupessy di negeri Siri Sori Serani, dan sebaliknya. Setelah diketahui, di samping pergi untuk melayat jenazah, mereka juga membawa serta hasil kebun untuk dapat dipergunakan setelah usai acara pemakaman dalam Ibadah Syukur [Kristen] dan atau Tahlilan [Islam] pada malam hari. Pembentukan Ruang-ruang dan Jejaring Baru di Negeri Siri Sori Pada tahun 1937 ketika delapan keluarga etnis Buton [Islam] dari suku Tomia, Papalia, Kalidupa dan Raha di Sulawesi Tenggara dengan menggunakan perahu layar mereka datang ke pulau Saparua, setibanya di pesisir pantai negeri Siri Sori Serani kemudian mereka mendatangi pemerintah negeri 8 untuk memohon izin tinggal di negeri Siri Sori Serani. Saat itu, mereka diizinkan untuk membangun pemukiman dan menempati petuanan [tanah dati] milik keluarga Pelupessy dan Puloumahuny yang letaknya berbatasan dengan negeri Saparua. Petuanan tersebut bernama Waehenahia. Dengan bertambahnya jumlah penduduk etnis Buton dari tahun ke tahun mengakibatkan semakin luasnya wilayah pemukiman. Untuk menunaikan Ibadah, mereka diberi izin untuk mendirikan Mesjid di dalam pemukiman mereka. Pada tahun 1950-an, datang pula kurang lebih sebelas kepala keluarga etnis Buton khususnya dari suku Siompo dan meminta izin dari pemerintah negeri 9 untuk menempati tanah milik negeri Siri Sori Serani. Saat itu, diberikan izin untuk mendirikan pemukiman di tanah dati milik keluarga Palijama dan Sapulette yang letaknya berbatasan dengan petuanan negeri Tuhaha. Petuanan tersebut bernama Gunung Panjang. Tidak sebatas pemukiman saja, tetapi mereka juga diijinkan untuk mengolah tanah di sekitar areal pemukiman yang ditempati mereka untuk diusahakan sebagai lahan pertanian. Hasil usaha tani yang diperoleh selain untuk dikonsumsikan sendiri, sebagian juga dijual ke pasar di kota Kecamatan Saparua. Dalam bidang keagamaan, 8 Saat itu, Daniel Kesaulya menjadi Raja di Negeri Siri Sori Serani. 9 Saat itu, Zeke Sopaheluwakan menjadi Raja di Negeri Siri Sori Serani. 65

8 Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku mereka juga diijinkan untuk mendirikan Mesjid yang biasanya dimanfaatkan setiap saat oleh mereka untuk menunaikan ibadah. Dalam realitas kehidupan sehari-hari, interaksi timbal-balik antara mereka dengan penduduk setempat berlangsung sangat intensif dalam berbagai konteks hubungan sosial. Karena itu selama menghuni kedua wilayah pemukiman tersebut, mereka tidak pernah diganggu. Yang terjadi justru sebaliknya, munculnya rasa saling percaya antara mereka dengan penduduk setempat sehingga mereka dipercayakan untuk menjaga dan merawat perkebunan cengkih milik warga setempat, dan bila tiba musim panen maka mereka [warga etnis Buton] juga dipercayakan untuk memetiknya kemudian hasilnya dibagi dua dengan para pemilik. Oleh pemilik tanah, mereka tidak diperbolehkan untuk menanam tanaman umur panjang [seperti Cengkih], kalaupun menanam maka mereka hanya memperoleh status sebagai hak pakai, bukan hak milik, ini diijinkan 10. Menurut pengakuan Bapak Johanes bahwa pada saat setiap musim panen cengkih, La Tara diberikan ijin untuk memetik hasil panennya, namun karena ia [La Tara] sangat jujur maka biasanya La Tara membawa dan memberikan sebagian kecil dari hasil panennya kepada Bapak Johanes. Ada kalanya diterima, tetapi kebanyakan dikembalikan kepada La Tara untuk dimanfaatkan membiayai kebutuhan hidup keluarganya. Sedangkan anak-anak yang usia sekolah, biasanya memanfaatkan Sekolah Dasar yang terdapat di negeri Siri Sori Serani. Jika sudah tamat, dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan lebih tinggi [seperti SMP atau SMU] yang terdapat di kota Kecamatan Saparua. Dua Komunitas yang Berbeda Hubungan Gandong, di Pulau Ambon Ruang Sosial dan Budaya Dalam realitas kehudpan sehari-hari, warga komunitas Islam di negeri Tulehu dan warga komunitas Kristen di negeri Waai menge- 10 Dibuktikan oleh Bapak Johanis Pelupessy [75 tahun, Kristen] dari Surat Perjanjian yang dibuatnya secara bersama dengan La Tara [salah seorang etnis Buton] yang menanam Cengkih di atas tanah dati miliknya. 66

9 Dinamika Ruang-ruang Sosial Dua Komunitas Pra Konflik Maluku tahui benar dengan siapa atau dengan kelompok mana mereka memiliki hubungan kerabat. Kualitas hubungan kerabat antar warga kedua komunitas ditentukan melalui panggilan, sebutan atau sapaan seseorang terhadap yang lain. Tidak ada perbedaan terminologi kekerabatan pada warga kedua komunitas. Ketika berjumpa di ruang-ruang publik, mereka menggunakan bahasa melayu Ambon untuk menyebut kerabatnya yang secara umum menggunakan kata sapaan basudara (bersaudara). Kata basudara bagi mereka merupakan ekspresi untuk menyapa orang-orang yang memiliki hubungan dekat satu dengan yang lainnya. Hubungan-hubungan kekerabatan yang dibangun dari berbagai latar belakang peristiwa yang pernah dialami bersama kemudian ketika mereka terlibat dalam proses-proses sosial secara intensif, ternyata memperlihatkan adanya sebuah gambaran tentang pluralisme di kalangan warga kedua komunitas yang saling berinteraksi satu dengan lainnya. Perbedaan agama yang dianut, tidak merupakan hambatan yang dapat mengurangi keinginan mereka untuk membangun kehidupan berdampingan secara serasi. Untuk menjaga dan merawat hubungan tersebut, dijumpai adanya mekanisme tradisional yang diwariskan dari waktu ke waktu kemudian dipraktikkan hingga kini, dan ternyata berfungsi positif untuk mempertegas struktur kekerabatan di antara warga kedua komunitas. Salah seorang informan kunci [DB, 48 tahun, Kristen] menuturkan bahwa, marga Bakarbessy [Kristen] di negeri Waai dan marga Tawainella, Ohorella dan marga Umarella [Islam] di negeri Tulehu memiliki pertalian darah [famili] yang terbentuk atas dasar hubungan perkawinan [afinitas]. Persekutuan kerabat antara keempat marga tersebut dikenal dengan nama anak cucu marlou. Untuk merawat hubungan kekerabatan di antara mereka, biasanya secara berkala diwujudkan dalam bentuk aktivitas cuci keramat leluhur mereka. Di samping itu, aktualisasi hubungan tersebut senantiasa tercermin juga dalam berbagai bentuk kerja sama 11 [dalam istilah lokal 11 Kerja sama dalam bahasa asli disebut masohi meskipun hanya mencakup kerja sama dalam keadaan tertentu. Cooley [1987] mengatakan bahwa dalam kenyataannya, kerja 67

10 Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku disebut masohi]. Pada saat pembangunan rumah-rumah ibadah [Mesjid dan Gereja] misalnya, warga kedua komunitas ikut serta untuk melaksanakannya. Pada tahun 1965 ketika warga komunitas Kristen di negeri Waai membangun gedung Gereja baru [permanen], warga komunitas Islam dari negeri Tulehu dan dari negeri Morela ikut terlibat dalam pekerjaan tersebut hingga rampung dan diresmikan pada tahun Demikian pula sebaliknya ketika dilakukan renovasi bangunan mesjid [mesjid pertama/tua] di negeri Tulehu tahun 1998, warga komunitas Kristen dari negeri Waai ikut terlibat hingga pekerjaan tersebut rampung. Tidak sebatas pembangunan rumah-rumah ibadah saja tetapi dalam upacara pelantikan raja yang dilaksanakan oleh salah satu komunitas, biasanya warga komunitas yang lain juga ikut terlibat untuk mempersiapkan berbagai keperluan sehubungan dengan pelaksanaan upacara tersebut. Keterlibatan warga kedua komunitas secara timbal-balik dalam berbagai aktivitas sehubungan dengan kepentingan negeri sebagai suatu keseluruhan seperti ini, mesti dipahami sebagai suatu panggilan moral. Karena itu tanpa di minta kehadiran pun [diundang], namun bila diketahui, mereka pasti akan datang. Jika sudah selesai baru kemudian mengetahui, pasti mereka akan memberikan protes sosial kepada warga komunitas yang melaksanakannya. Terhadap realitas seperti ini, Cooley [1987] dalam penelitiannya pada sebuah desa di pulau Ambon mengatakan bahwa seluruh interaksi yang bersifat kerja sama itu mempunyai suatu fungsi bersama yaitu mengikat para anggota kelompok lebih erat dan mempermudah usaha memenuhi kebutuhan sosial, memantapkan masyarakat dan membuatnya lebih serasi serta lebih terpadu. Lebih lanjut dikatakan bahwa, kenyataannya negeri-negeri di pulau Ambon dan Lease tidak hanya dapat bertahan, tetapi juga berkembang dengan baik meskipun terjadi banyak perubahan dan adanya kekuatan-kekuatan yang merusak dari luar, menegaskan kehadiran yang vital dari pola-pola interaksi tersebut. sama yang merupakan penggabungan tenaga dan ketrampilan dalam penyelesaian pekerjaan yang tidak terjangkau oleh kekuasaan perorangan atau keluarga, adalah gejala umum yang terdapat pada negeri-negeri di Maluku Tengah. 68

11 Dinamika Ruang-ruang Sosial Dua Komunitas Pra Konflik Maluku Dalam aspek yang lain, diketahui bahwa dermaga pelabuhan rakyat yang terdapat di negeri Tulehu merupakan salah satu dermaga yang sangat ramai disingahi oleh kapal-motor dan speed boad yang mengangkut penumpang dari dan ke pulau Seram, Haruku, Saparua dan pulau Nusalaut. Pada saat tiba, biasanya para penumpang beristirahat beberapa saat untuk makan atau minum pada sejumlah warung yang letaknya di samping ruang tunggu dermaga. Jika hendak melanjutkan perjalanan ke kota Ambon, mereka kemudian dapat menggunakan jasa angkutan umum [angkot] yang sehari-hari biasanya parkir menunggu penumpang di samping dermaga. Para pengemudi angkot tersebut ada yang berasal dari negeri Tulehu, tetapi ada pula yang berasal dari negeri Waai. Para pengemudi angkot dari negeri Tulehu tidak pernah melarang atau membatasi kehadiran para pengemudi dari negeri Waai untuk mengangkut penumpang ke kota Ambon. Mereka saling mengenal dan pernah memiliki pengalaman yang sama dalam berbagai konteks hubungan sosial. Tidak sebatas di dermaga saja, tetapi ada kalanya mereka saling memasuki negeri Waai dan negeri Tulehu untuk melayani penumpang yang akan bepergian ke kota Ambon. Pada sore menjelang malam hari, biasanya mereka [para pengemudi angkot] bertemu di negeri Waai sambil duduk di tepi pantai dan secara bersama-sama mengkonsumsi minuman keras lokal [Sopi], kemudian mereka terlibat dalam berbagai percakapan. Tema-tema percakapan lebih banyak menyangkut dengan aktivitas yang mereka lakukan dari hari lepas hari sebagai pengemudi angkot, serta tema-tema percakapan lainnya, seperti kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari, dan sebagainya. Dalam bidang pendidikan anak misalnya, karena tidak tersedianya jenjang pendidikan tingkat atas [SMU] di negeri Waai maka setelah anak-anak mereka menamatkan jenjang pendidikan pertama [SLTP] biasanya mereka memanfaatkan fasilitas pendidikan tingkat atas yang ada di negeri Tulehu. Pada saat itu, tidak ada larangan atau pembatasan terhadap kehadiran calon siswa dari negeri Waai yang akan melanjutkan pendidikan. Ketika anak-anak mereka diterima, tidak ada perlakukan yang berbeda dari para guru terhadap para siswa. 69

12 Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku Yang terjadi justru sebaliknya, para siswa dari negeri Waai senantiasa mendapat perlakuan yang sama dengan siswa yang berasal dari negeri Tulehu. Ruang Politik dan Keagamaan Menurut tuturan sejarah diketahui bahwa jauh sebelum terjadi kontak dengan dunia luar ketika warga kedua komunitas masih memeluk agama suku, mereka hidup dan menempati tujuh negeri [Eri] yang letaknya di pegunungan. Semua lokasi pemukiman dinamakan Negeri Lama 12 di mana mereka pernah menjalani kehidupan bersama. Jarak antara Eri yang satu dengan Eri yang lainnya relatif tidak jauh. Nama-nama dari ketujuh Eri tersebut meliputi, Eri Eluhu, Eri Nani, Eri Poking Sau, Eri Pating Saung, Eri Hunimua, Eri Amaheru, dan Eri Amalaeng. Hampir dapat dipastikan bahwa penyebaran pemukiman yang ditempati oleh warga kedua komunitas yang terjadi kala itu tampaknya didasarkan pada suatu kelompok kerabat atau Soa 13. Sebagaimana dinyatakan oleh Kennedy [1955] bahwa pada awalnya Soa merupakan suatu kelompok kekerabatan. Kadang kala rumah tau 14, bertepatan sama dengan soa. Karena itu Cooley [1987] menyatakan bahwa salah satu tugas pokok dari suatu kelompok keturunan satu garis ialah penguasaan serta administrasi tanah. Tanah itu dikelola secara komunal oleh soa. Seperti telah disebutkan dalam penguraian sebelumnya bahwa kedatangan Bangsa Arab ke Maluku [Ambon] melalui Cina untuk berdagang rempah-rempah pada abad empatbelas, bersamaan dengan itu mereka juga menyebar agama Islam. Serentak dengan itu, muncul pula kekuatan baru yakni kesultanan Ternate dan Tidore yang ingin memperluas kekuasaan dan pengaruhnya, sekaligus menyebar agama Islam. Kemudian, pada abad enambelas kedatangan Bangsa Portugis di Maluku [Ambon] di samping berdagang rempah-rempah, mereka juga 12 Cooley [1987] mengatakan bahwa, negeri lama adalah negeri pertama yang ditempati oleh warga dan letaknya di pegunungan. 13 Cooley [1987] mengatakan bahwa, Soa adalah kelompok keturunan uni-lateral. 14 Rumah tau [atau lumatau] adalah istilah asli untuk kelompok keturunan satu garis, yaitu mata-rumah. 70

13 Dinamika Ruang-ruang Sosial Dua Komunitas Pra Konflik Maluku menyebar agama Kristen Katolik, dan disusul pula pada abad tujuhbelas kedatangan Bangsa Belanda dengan tujuan yang sama yakni, selain berdagang rempah-rempah mereka juga menyebarkan agama Kristen Protestan. Pada saat itulah, identitas berdasarkan agama Islam dan Kristen mulai dipakai sebagai pembeda. Ketika warga kedua komunitas diperhadapkan dengan berbagai pengaruh yang datang dari luar tersebut, mengakibatkan sebagian besar di antara mereka sudah mengenal agama Islam dan meninggalkan agama Suku. Ketika Portugis dan Belanda mulai menguasai pulau Ambon, para misionaris Katolik dan Protestan berusaha untuk mengkristenkan warga kedua komunitas. Sejak saat itu, warga kedua komunitas terpecah menjadi dua bagian. Ada sebagian warga yang menganut agama Islam, dan ada pula sebagian yang menganut agama Kristen. Mereka yang menganut agama Kristen tetap tinggal di pemukimannya, sedangkan yang tidak bersedia kemudian menyebar dan melarikan diri dan menetap di beberapa tempat. Menurut Cooley [1987], tidak dapat diragukan pula bahwa selain peperangan, masuknya agama Islam dan agama Kristen telah menyebabkan sejumlah kelompok tertentu berpindah dengan suka-rela seperti, misalnya, apabila perbedaan agama menimbulkan perpecahan pada negeri menjadi dua kelompok atau lebih. Pada saat menetap di wilayah tersebut, kemudian mereka mengganti nama marga 15 dengan marga yang lain. Warga yang melarikan diri ke arah utara yaitu ke negeri Liang, marga Kayadoe diganti menjadi marga Lesi, marga Talaperu menjadi marga Oper, dan marga Matakupan menjadi marga Rehalat. Warga yang melarikan diri ke arah barat menuju negeri Wakal, negeri Morela dan ke negeri Hative (negeri Mamala dan negeri Morela pada saat itu masih menjadi satu negeri). Mereka terdiri dari marga Salamoni kemudian diganti menjadi marga Sasole, marga Renalaiselan kemudian diganti menjadi Lauselan, marga Reawaruw kemudian diganti menjadi marga Sialara di negeri 15 Tidak diketahui secara pasti apa yang menjadi alasan sehingga keluarga-keluarga tersebut mengganti nama marga mereka dengan marga yang lain, ketika mereka meninggalkan wilayah pemukiman [Eri] pertama dan menetap di wilayah pemukiman yang baru. 71

14 Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku Morela.Warga yang melarikan diri ke negeri Wakal adalah marga Reawaruw kemudian diganti menjadi marga Lemaru, sedangkan warga yang melarikan diri sampai ke negeri Hative hingga kini belum diketahui. Warga yang melarikan diri ke arah selatan yakni ke negeri Tulehu, adalah keluarga dari marga Salamoni kemudian diganti menjadi Tuasalamoni, marga Tuanahu kemudian diganti menjadi marga Nahumaruri. Sedangkan warga yang melarikan diri ke arah Timur yakni di negeri Kailolo adalah keluarga dengan marga Marasabessy dan hingga kini marga ini tidak mengalami perubahan. Mereka kemudian mendiami Negeri Kailolo sampai saat ini. Warga yang melarikan diri dan menetap hingga kini di negeri Liang, Morela, Tulehu dan ke negeri Kailolo, seluruhnya menganut agama Islam. Dalam penelitiannya di Desa Allang di pulau Ambon, Cooley [1987] mencatat bahwa tibanya orang Eropa dan ditegakkannya kekuasaan kolonial, menampilkan kekuatan-kekuatan baru. Kekuasan Belanda menghancurkan sistem pemerintahan tradisional yang disebut Uli 16 dan sebagai gantinya menetapkan negeri-negeri yang berdiri sendiri, yang langsung tunduk pada pejabat-pejabat Belanda. Ini dimaksudkan agar lebih mudah diperalat untuk mencapai tujuan ekonomi Belanda, terutama monopoli perdagangan rempah-rempah, juga untuk menjamin adanya masyarakat yang tertib dan patuh. Cooley menyatakan bahwa di beberapa bagian di Maluku Tengah [termasuk di pulau Ambon dan kepulauan Lease] telah terjadi beberapa kali peperangan antar kelompok yang sengit. Kekuatan-kekuatan dari luar, termasuk dari Eropa, berkali-kali terlibat di dalamnya. Suatu pergolakan umum ditimbulkan oleh perpindahan tempat pemukiman dari pegunungan ke pesisir pantai. Beberapa mata rumah, bahkan soa, dalam sebuah aman telah dipunahkan atau dibuang ke tempat lain sebagai hukuman. Gubernur Belanda di Ambon memimpin hongitochten [ekspedisi penghukuman] terhadap pemukim-pemukim yang tidak mentaati aturan yang diterapkan Belanda. Ekspedisi-ekspedisi 16 Cooley [1987] mengatakan bahwa Uli adalah kumpulan dari beberapa aman [negeri] yang berkedudukan di pegunungan. Aman yang berpengaruh dalam masing-masing Uli hingga kini disebut negeri lama. Biasanya Uli itu terdiri dari lima atau sembilan aman. Uli sudah ada sebelum orang Belanda tiba tahun 1605, atau bahkan sebelum kedatangan Portugis tahun

15 Dinamika Ruang-ruang Sosial Dua Komunitas Pra Konflik Maluku tersebut diangkut dengan kora-kora [perahu perang] yang dituntut dari negeri-negeri dan didayung oleh penduduk negeri itu sendiri. Tingkat dan keikutsertaan warga dalam ekspedisi-ekspedisi tersebut menentukan apakah mereka menerima hadiah atau hukuman dari Belanda. Perpindahan dan ketidakstabilan merupakan ciri kurun waktu terbentuknya negeri [kira-kira tahun ]. 17 Dalam masa itu, banyak hal yang hilang dari struktur pemerintahan negeri, dan yang masih tersisa hingga kini hanya soa dan mata rumah. Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa pada masa itu, penjajah Belanda telah memanfaatkan pola pemerintahan tradisional dengan membaginya ke dalam tiga kepangkatan dengan jabatan raja sebagai yang tertinggi. Hingga kini, gelar raja tetap digunakan warga kedua komunitas [termasuk negeri-negeri yang ada di Maluku Tengah]. Raja biasanya berasal dari tingkat tertinggi bangsawan negeri. Kedudukan tersebut menurut Cooley [1987] cenderung untuk diwariskan secara turun-temurun. Pada masa lampau, putra sulung menggantikan ayahnya menjadi raja. Saniri Negeri kemudian melantiknya sesudah ayahnya meninggal. Memasuki tahun 1990-an, warga kedua komunitas telah menyepakati bahwa raja itu harus berasal dari salah satu mata-rumah tertentu yang dianggap memiliki hak keturunan dan tanggung jawab tradisional untuk memerintah. Cooley [1987] mencatat bahwa di kebanyakan negeri di Maluku Tengah, sedikitnya terdapat dua mata-rumah dengan hak istimewa demikian, yakni mata-rumah yang berkuasa sebelum masa penjajahan dan mata-rumah yang berkuasa karena diangkat oleh penguasa Belanda. Akan tetapi, sepanjang ingatan para tua-tua adat di dua komunitas yang diteliti, hanya satu mata-rumah saja yang memerintah. Apabila kekuasaan itu direbut oleh orang-orang yang tidak memiliki hak keturunan, menurut penuturan mereka bahwa dalam hal demikian maka kemalangan akan menimpa keluarga yang menyerobot kekuasaan dan juga melanda negeri. Pada umumnya mereka meyakini bahwa hak-hak istimewa pada kelompok keturunan tertentu, sesuai dengan ketentuan adat. Dikatakan selanjutnya bahwa, sebelum tahun 1960, raja benar-benar adalah penguasa mutlak yang lebih 17 Lihat, F.L. Cooley,

16 Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku ditakuti daripada dihormati. Ia mewakili seluruh kekuasaan para leluhur, di dalam garis keturunan mereka ia berdiri dan atas nama mereka ia memerintah. Ruang Ekonomi dan Perdagangan Dalam kehidupan warga kedua komunitas ada dua sektor yang memberikan andil dalam perekonomian mereka, yakni sektor pertanian, dan sektor perikanan. Sektor lain yang cukup berperan juga adalah sektor perdagangan [termasuk restoran] serta sektor pengangkutan/ transportasi dan komunikasi. Dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dari hari lepas hari, warga kedua komunitas cenderung menggantungkan sepenuhnya dari sektor pertanian, terutama pada tanaman cengkih yang merupakan tanaman warisan para leluhur, diusahakan mereka dari waktu ke waktu hingga kini. Karena itu, mereka umumnya bekerja sebagai petani, kemudian beralih sebagai nelayan. Hanya bagian kecil dari mereka saja yang bekerja sebagai buruh pelabuhan maupun sebagai pegawai negeri. Cengkih dan Pala merupakan komoditas perdagangan yang pada masa lalu selalu diincar oleh bangsa Cina, Arab, Portugis dan Belanda 18. Kedua jenis komoditas tersebut [khususnya cengkih] hingga kini banyak diusahakan [ditanami] oleh warga masyarakat kedua komunitas maupun di negeri-negeri lainnya di pulau Ambon, Seram dan di kepulauan Lease. Pada masa pemerintahan Orde Baru ketika diterapkannya kebijakan monopoli cengkih oleh BPPC, para pedagang membeli cengkih dari masyarakat dengan harga yang relatif murah [per-kg hanya tujuh ribu rupiah]. Sebelum ada monopoli oleh BPPC, para pedagang keturunan Cina biasanya membeli cengkih dari masyarakat dengan harga yang relatif cukup tinggi yakni dua puluh hingga dua puluh lima ribu rupiah per-kg. Akibatnya kebijakan monopoli tersebut, banyak warga kedua komunitas yang menebang pohon-pohon cengkih 18 Lihat, A. Coresao [ed], The Suma Oriental of Tome Pires, [London, 1944]. Coresao menjelaskan bahwa pedagang-pedagang bangsa Melayu mengatakan bahwa Tuhan menciptakan Timor untuk Kayu Cendana, Banda untuk Pala dan Maluku untuk Cengkih, dan barang perdagangan ini tidak dikenal di lain-lain tempat di dunia kecuali ditempat-tempat yang disebutkan sebelumnya; dan telah saya tanyakan dan selidiki apakah barang ini terdapat ditempat lain dan semua orang katakan tidak. 74

17 Dinamika Ruang-ruang Sosial Dua Komunitas Pra Konflik Maluku mereka dan diganti dengan tanaman coklat. Ini disebabkan karena, harga coklat di pasaran saat itu jauh lebih baik daripada harga cengkih. Pada hal, selama ini cengkih merupakan satu-satunya komoditas perdagangan yang memberikan kontribusi sangat besar dalam menunjang ekonomi rumah tangga warga kedua komunitas. Pada saat itu, warga kedua komunitas mulai memusatkan perhatian untuk meningkatkan usaha dalam bidang perikanan. Informasi yang diperoleh dari para informan [AT, 39 tahun, Islam dan FS, 41 tahun, Kristen] yang sehari-hari bekerja aktif sebagai nelayan menuturkan bahwa, dengan menggunakan empat buah motor ikan [dua buah di antaranya yang dimiliki warga sedangkan dua buah lainnya adalah bantuan dari Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi], sejumlah warga komunitas Islam di negeri Tulehu pergi melaut untuk menangkap ikan. Demikian pula bagi komunitas Kristen di negeri Waai, dengan menggunakan lima buah jaring bobo milik warga, sejumlah warga pergi melaut untuk menangkap ikan. Sebagian besar dari hasil tangkapan biasanya mereka menjualnya ke pasar, baik ke pasar di kota Ambon maupun di jual kepada para pengusaha perikanan di pelabuhan Tulehu. Para informan menuturkan bahwa ternyata aktivitas ini [sebagai nelayan] cukup menjanjikan. Sumbangan yang diberikan oleh sektor perikanan ternyata sangat signifikan dalam menunjang ekonomi keluarga dari warga kedua komunitas. Oleh karena itu, banyak di antara warga kedua komunitas yang sebelumnya menekuni pekerjaan usaha tani sebagai petani kemudian beralih untuk menekuni usaha di bidang perikanan [dan bekerja sebagai nelayan]. Sejak tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh hingga tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh delapan, harga cengkih di pasaran relatif cukup baik. Para pedagang membeli cengkih dari masyarakat dengan harga tiga hingga empat puluh ribu rupiah per-kg. 19 Realitas ini tidak secara signifikan dapat merubah pola usaha warga kedua komunitas yang telah terlanjut bekerja sebagai nelayan. Bagi mereka, dengan bekerja sebagai nelayan setiap hari mereka dapat memperoleh 19 Hasil wawancara tanggal 27 Oktober 2010 dengan DB, 47 tahun [Kristen] dan MS, 56 tahun [Islam] 75

18 Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku pendapatan tetap [per hari seorang nelayan dapat memperoleh seratus lima puluh hingga dua ratus ribu rupiah] dari hasil tangkapan dan ternyata sangat membantu ekonomi keluarga warga. Pembentukan Ruang-ruang dan Jejaring Baru di Negeri Waai dan Negeri Tulehu Jauh sebelum konflik Maluku yang terjadi di kota Ambon kemudian menyebar ke pulau Ambon, para migran etnis Buton dari Sulawesi Tenggara sudah datang dan membangun pemukiman di dalam petuanan kedua negeri. Para informan yang diwawancarai [DB, 47 tahun, Kristen dan MS, 56 tahun, Islam] menuturkan bahwa mereka tidak mengetahui secara pasti pada tahun berapa para migran etnis buton tersebut menempati negeri Waai dan negeri Tulehu. Berdasarkan ceritera-ceritera yang diperoleh dari para orang tua-tua mereka maka dapat dikatakan bahwa, nampaknya sebelum mereka lahir lagi para migran tersebut sudah ada. Di negeri Tulehu, para migran tersebut membangun dua buah pemukiman, satu pemukiman letaknya berbatasan dengan negeri Suli sedangkan pemukiman yang lainnya letaknya dekat dengan dergama pelabuhan Tulehu yang dikenal dengan nama Mamoking. Para migran tersebut selain membangun pemukiman, mereka juga diijinkan oleh pemerintah negeri untuk melakukan aktivitas pertanian di atas tanah dati milik beberapa keluarga di dalam petuanan negeri Tulehu. Mereka [para transmigran] memanfaatkan tanah untuk melaksanakan aktivitas usaha tani dengan status sebagai hak pakai bukan hak milik. Karena itu, mereka tidak diijinkan untuk menanam jenis-jenis tanaman umur panjang seperti cengkih dan mereka hanya diperbolehkan untuk menanam jenis-jenis tanaman umur pendek saja, seperti pisang, pepaya, dan sebagainya. Dalam realitas kehidupan sehari-hari, dinamika interaksi antar warga etnis Buton dengan penduduk setempat berlangsung sangat intensif. Selama hidup secara bersama dengan penduduk negeri Tulehu dan menjalani berbagai aktivitas kehidupan dari hari lepas hari, mereka tidak pernah diganggu oleh penduduk setempat. Hal ini dapat tercipta 76

19 Dinamika Ruang-ruang Sosial Dua Komunitas Pra Konflik Maluku selain karena lamanya hidup bersama dalam satu negeri, mereka juga memiliki pengalaman bersama dalam berbagai konteks hubungan sosial. Di samping itu, adanya kesamaan agama yang dianut oleh para migran dengan penduduk setempat nampaknya ikut memberikan sumbangan bagi terciptanya kehidupan berdampingan secara serasi. Pada saat perayaan hari-hari besar keagamaan [Lebaran] misalnya, aktivitas saling mengunjungi secara timbal-balik untuk bersilaturakhmi dengan sesama senantiasa berlangsung tanpa mempertimbangkan perbedaan asal-usul yang ada di antara mereka. Anak-anak mereka yang usia sekolah, selama ini memanfaatkan berbagai fasilitas pendidikan mulai dari Sekolah Dasar sampai pada jenjang Pendidikan Tinggi yang ada di negeri Tulehu. Demikian pula di negeri Waai, para migran etnis Buton diijinkan untuk membangun pemukiman di dua tempat di atas tanah dati milik warga setempat. Satu lokasi pemukiman terletak di perbatasan antara negeri Waai dengan negeri Liang, sedangkan lokasi yang lainnya [yang dikenal dengan nama Wainuru] terletak dekat dengan lokasi pemukiman masyarakat negeri Waai. Berdasarkan informasi dari salah seorang informan kunci [DB, 47 tahun, Kristen] pemilik tanah dati [di Wainuru] yang ditempati oleh para migran etnis Buton tersebut, menyatakan bahwa para migran diijinkan tinggal dan mereka diperbolehkan mengolah tanah tersebut selain untuk membangun pemukiman juga diusahakan/diolah untuk berkebun [usaha tani], tetapi mereka tidak diijinkan untuk menanam berbagai jenis tanaman umur panjang [Cengkih, misalnya]. Di samping membangun pemukiman, mereka juga diberi kesempatan untuk mendirikan Mesjid di dalam pemukiman mereka yang dapat dimanfaatkan untuk menunaikan ibadah. Sekalipun terdapat perbedaan agama antara para migran [Islam] dengan penduduk setempat [Kristen], namun perbedaan tersebut tidak pernah dijadikan hambatan sehingga menimbulkan jarak sosial antara satu dengan yang lain. Yang terjadi justeru sebaliknya, terwujudnya kehidupan berdampingan secara serasi di antara mereka. Realitas tersebut dapat terwujud karena lamanya hidup bersama sehingga 77

20 Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku berkembangnya rasa saling percaya antara satu dengan yang lain. Karena itu, pada saat setiap kali musim panen cengkih, warga masyarakat negeri Waai senantiasa mempekerjakan para migran untuk memetik cengkih. Adakalanya para migran yang mendatangi penduduk setempat untuk diijinkan memetik panen cengkih mereka [penduduk setempat]. Menurut informan, biasanya kalau para migran memetik panen cengkih, pembayaran upah tenaga kerja sangat tergantung dari kesepakatan yang dicapai antara para migran dengan pemilik pohon cengkih. Ada yang dibayar dengan uang tunai, tetapi ada pula yang dibayar dengan memberikan cengkih hasil petikan para migran. Selama hidup berdampingan, tidak pernah terjadi bentur-an fisik antara mereka satu dengan yang lainnya. Apabila ada aktivitas untuk membangun negeri, para migran biasanya ikut berpartisipasi secara bersama-sama dengan penduduk setempat untuk menyelesaikannya. Anak-anak usia sekolah mereka, selama ini memanfaatkan fasilitas pendidikan yang terdapat di negeri Waai [seperti Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Pertama]. Dua Komunitas yang Tidak Memiliki Hubungan Gandong Kota Ambon Ruang Sosial dan Budaya Realitas kehidupan sehari-hari yang dijalani dua komunitas di kota Ambon hampir tidak berbeda jauh dengan yang terjadi pada kehidupan masyarakat yang mendiami kota-kota lain di Indonesia. Masyarakatnya sangat heterogen, baik dari segi etnis, agama, pekerjaan dan lainnya. Pola pemukiman warga kota yang mendiami wilayah pusat kota, umumnya bersifat segregated pluralism dan hanya di beberapa wilayah saja yang cenderung bersifat integrated pluralism. Sedangkan pada wilayah non urban, pola pemukiman bersifat segregated pluralism. Realitas ini dapat terjadi karena pada wilayah ini terdiri dari negeri-negeri [daerah pedesaan] yang selama ini hidup pada masing-masing teritorial yang diklaimnya sebagai milik mereka. 78

21 Dinamika Ruang-ruang Sosial Dua Komunitas Pra Konflik Maluku Sekalipun pola pemukiman cenderung terpolarisasi menurut garis keagamaan yang dianut, namun dinamika interaksi yang terjadi tidak nampak terpolarisasi dalam berbagai konteks hubungan sosial. Karena itu, perbedaan agama, tidak dijadikan sebagai hambatan yang dapat mengurangi keinginan mereka untuk membangun kehidupan berdampingan secara serasi antara satu dengan yang lain. Untuk menjaga dan merawat hubungan tersebut, dijumpai adanya tradisi yang diwariskan dari waktu ke waktu kemudian dipraktikkan hingga kini, dan ternyata berfungsi positif untuk merawat kehidupan berdampinan. Ketika hari-hari besar keagamaan [Natal dan Lebaran] dirayakan misalnya, warga kedua komunitas saling mengunjungi untuk bersilaturahmi antara satu dengan yang lain dengan tidak mempersoalkan perbedaan agama yang dianut. Mereka terlibat dalam proses-proses interaksi sangat intensif, sehingga bagi orang luar yang baru pertama kali datang ke Ambon akan sulit untuk membedakan warga kota satu dengan yang lain dari segi agama yang dianut. Demikian pula dengan warga yang mendiami wilayah non urban, hubungan-hubungan kekerabatan yang dibangun dari berbagai latar belakang peristiwa yang pernah dialami bersama kemudian ketika mereka terlibat dalam proses-proses sosial secara intensif, ternyata memperlihatkan adanya sebuah gambaran tentang pluralisme di kalangan warga kedua komunitas yang saling berinteraksi satu dengan lainnya. Perbedaan agama yang dianut, tidak merupakan hambatan yang dapat mengurangi keinginan mereka untuk membangun kehidupan berdampingan secara serasi. Untuk menjaga dan merawat hubungan tersebut, dijumpai adanya mekanisme tradisional [panas pela, dan gandong] yang diwariskan dari waktu ke waktu kemudian dipraktikkan hingga kini, dan ternyata berfungsi positif untuk mempertegas struktur kekerabatan di antara warga kedua komunitas. Untuk merawat dan mempertahankan relasi tradisional di antara mereka, biasanya diwujudkan dalam bentuk aktivitas bersama. Pembangunan Mesjid dan Gereja misalnya, ketika dilaksanakan oleh salah satu komunitas pada salah satu negeri, biasanya dikerjakan bersama dengan komunitas lain dari negeri yang berbeda namun karena terikat dalam satu hubungan pela atau gandong. Keterlibatan bersama seperti ini, dimaknai oleh 79

22 Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku mereka sebagai suatu tanggungjawab dan kewajiban sosial. Dan hal ini bukan baru pernah terjadi, namun sudah merupakan tradisi diwariskan dari generasi ke generasi hingga kin. Ruang-ruang Politik dan Keagamaan Kota Ambon dalam proses perkembangannya tidak terlepas dari posisi intinya yakni sebagai kota pemerintahan. Posisi ini semakin diperkuat dengan diumumkannya Kota Ambon [saat itu sebagai Kotapraja] sebagai ibukota pemerintah provinsi Maluku, 20 kemudian Undang-undang Nomor 8 tahun 1965 memberi status pemerintahan baru bagi kota ini yakni berubah dari Kotapraja Ambon menjadi Kotamadya Ambon. Dengan status ganda seperti ini telah menempakan kota Ambon sebagai kota pemerintahan tersibuk di provinsi Maluku. Sejalan dengan perubahan status tersebut, maka struktur organisasi kelembagaan disesuaikan dengan status Kotamadya berupa pembentukan dinas-dinas daerah dan perusahaan daerah. Sambil menunggu ditetapkannya Peraturan Daerah [Perda] tentang pembentukan Lingkungan di kota Ambon maka pada tanggal 17 Mei tahun 1971 Walikota21 mengeluarkan Surat Keputusan Walikota Nomor 16/Kpts/1971 untuk membatalkan semua keputusan yang pernah dikeluarkan menyangkut dengan kesatuan-kesatuan administratif terendah di wilayah kota Ambon. Jika sebelumnya kesatuan terendah disebut Wijk dan Kampung, kemudian diganti dengan dibentuknya Rukun Tetangga [RT] dan Rukun Kampung [RK] dan pada saat itu tercatat sebanyak delapan Lingkungan. Sebagai bagian dari negara kesatuan Republik Indonesia, pemerintah kota Ambon dalam menjalankan roda pemerintahannya tetap merujuk pada kebijakan pemerintah pusat. Ketika intervensi Undangundang Nomor 5 tahun 1974 [tentang Pokok-pokok Pemerintahan di daerah] dan Undang-undang Nomor 5 tahun 1979 [tentang Sistem Pemerintahan Desa] kemudian disusul dengan dikeluarkan Keputusan 20 Pengumuman tersebut dikeluarkan oleh DPR-GR, dengan Nomor: Odes I/16/DPR- GR, tanggal 27 Januari tahun Saat itu, M.H. Manuputty sebagai Walikota Ambon. 80

23 Dinamika Ruang-ruang Sosial Dua Komunitas Pra Konflik Maluku Menteri Dalam Negeri [Kepmendagri] 22 Nomor tahun 1980 tertanggal 22 september tahun 1980 tentang penetapan Desa menjadi Kelurahan, saat itu kota Ambon ditetapkan menjadi enam belas Kelurahan, yang diresmikan setahun kemudian oleh gubernur Maluku atas nama Menteri Dalam Negeri. Kemudian diterbitkan Surat keputusan Walikota tanggal 10 Oktober tahun 1981 Nomor Kep /KMA dengan menghapus delapan lingkungan yang ada sebelumnya dan memberlakukan enam belas kelurahan tersebut lengkap dengan struktur kelembagaannya sekaligus ditindaklanjuti dengan menentukan batas-batas wilayah Kelurahan oleh Walikota Ambon. Kemudian, pada tahun 1979 dikeluarkan Peraturan Pemerintah [PP] Nomor 13 tahun 1979 [kemudian direalisasi tahun 1980], di mana wilayah kota Ambon diperluas dari 4,02 km 2 menjai 377 km 2 dan dari satu kecamatan menjadi tiga kecamatan, maka hingga akhir tahun 1997 di wilayah pemerintahan kota Ambon telah terdapat dua puluh kelurahan dan tiga puluh buah Desa yang tersebar di tiga kecamatan. Dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan, pemerintah Kota mendapat kontrol dari Dewan Perwakilan Rakyar Daerah [DPRD] kota Ambon. Sebagai sebuah institusi Negara, DPRD kota Ambon memiliki struktur [terdiri dari satu orang Ketua dan dibantu oleh dua orang wakil Ketua] dengan Badan Kelengkapan Dewan [saat itu terdiri dari empat komisi]. Secara struktural, masingmasing komisi mempunyai satu orang ketua dan satu orang Wakil Ketua. Hingga tahun 1998, kehidupan politik di kota Ambon berkembang dengan baik, karena dibangun dengan dasat kerukunan serta toleransi yang diikat oleh semangat pela. Seluruh kekuatan partai politik bergabung dalam fraksi-fraksi23 di DPRD [kota Ambon]. Dengan status sebagai kota pusat pemerintahan, ternyata telah menyebabkan kota ini tumbuh dan berkembang ke arah kota modern. Warga kota mulai membutuhkan berbagai infra struktur dalam 22 Saat itu, Amir Machmud, sebagai Menteri Dalam Negeri RI. 23 Fraksi yang ada pada saat itu di DPRD kota Ambon meliputi, Fraksi Persatuan Pembangunan; Fraksi Demokrasi Pembangunan; Fraksi Karya Pembangunan; dan Fraksi ABRI. 81

24 Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku menunjang aktivitas kehidupan mereka, mulai dari kebutuhan sarana peribadatan, perumahan, air bersih, pendidikan dan lainnya. Dalam kehidupan antar umat beragama, kota Ambon merupakan pusat dari lembaga-lembaga 24 keagamaan yang ada di Maluku. Selain lembaga agama Islam, Kristen Protestan dan Kristen Katolik, terdapat pula lembaga agama Hindu dan Budha. Di kota Ambon, harmonisasi kehidupan antar umat beragama tidak saja tampak pada saat hari-hari besar keagamaan dirayakan [Natal dan Lebaran], tetapi juga ketika membangun Rumah Ibadah dari salah satu agama. Partisipasi dalam pembangunan tersebut tidak saja datang dari penduduk negeri-penegi di kota Ambon yang memiliki hubungan tradisional pela, tetapi juga dari para penganut agama yang berbeda sekalipun tidak memiliki hubungan pela. Realitas ini memberi gambaran bahwa toleransi antar para penganut agama yang berbeda di kota Ambon sangat positif untuk mewujudkan kehidupan berdampingan secara serasi dalam berbagai konteks hubungan sosial. Karena itu ketika mereka terlibat dalam proses-proses sosial secara intensif, ternyata memperlihatkan adanya sebuah gambaran tentang pluralisme di kalangan warga kota yang saling berinteraksi satu dengan lainnya. Untuk memelihara dan merawat kerukunan hidup antar umat beragama, lembaga-lembaga keagamaan yang ada di kota Ambon senantiasa membangun kerja sama dengan pemerintah Kota Ambon. Kerja sama tersebut tidak saja terkait dengan kegiatan-kegiatan seperti Pesparawi, MTQ, tetapi juga berkaitan dengan bantuan pembangunan sarana prasarana ibadah. Selain itu, lembaga-lembaga keagamaan diminta berperan juga untuk menyebarluaskan hasil-hasil pembangunan kepada umatnya, sekaligus menggerakkan umat beragama untuk berpartisipasi dalam pembangunan di kota Ambon. 24 Lembaga-lembaga keagamaan yang terdapat di kota Ambon meliputi, Sinode Gereja Protestan Maluku [GPM] yang merupakan wadah tertinggi dalam struktur kelembagaan umat Kristen Protestan di provinsi Maluku; Keuskupan Amboina yang merupakan wadah tertinggi umat Katolik di daerah ini; serta Majelis Ulama Indonesia [MUI] Maluku yang telah mengukuhkan dirinya sebagai garda terdepan umat Islam Maluku. Selain itu, terdapat pula lembaga keagamaan Hindu dan Budha di kota Ambon. 82

Dinamika Sosial Dua Komunitas yang Berbeda Gandong di Pulau Ambon Pasca Konflik Maluku

Dinamika Sosial Dua Komunitas yang Berbeda Gandong di Pulau Ambon Pasca Konflik Maluku Bab Sepuluh Dinamika Sosial Dua Komunitas yang Berbeda Gandong di Pulau Ambon Pasca Konflik Maluku Sebuah Catatan Perjalanan Ketika situasi keamanan di pulau Ambon sudah pulih [tahun 2004], masyarakat

Lebih terperinci

Bab Tiga Belas Kesimpulan

Bab Tiga Belas Kesimpulan Bab Tiga Belas Kesimpulan Kehidupan manusia senantiasa terus diperhadapkan dengan integrasi, konflik dan reintegrasi. Kita tidak dapat menghindar dari hubungan dialektika tersebut. Inilah realitas dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 A Sopaheluwakan, Tjeritera tentang Perdjandjian Persaudaraan Pela (Bongso-bongso) antara negeri

BAB I PENDAHULUAN. 1 A Sopaheluwakan, Tjeritera tentang Perdjandjian Persaudaraan Pela (Bongso-bongso) antara negeri BAB I PENDAHULUAN Di Ambon salah satu bentuk kekerabatan bisa dilihat dalam tradisi Pela Gandong. Tradisi Pela Gandong merupakan budaya orang Ambon yang menggambarkan suatu hubungan kekerabatan atau persaudaraan

Lebih terperinci

Dinamika Sosial Dua Komunitas yang Memiliki Hubungan Gandong Pasca Konflik Maluku di Pulau Saparua

Dinamika Sosial Dua Komunitas yang Memiliki Hubungan Gandong Pasca Konflik Maluku di Pulau Saparua Bab Sembilan Dinamika Sosial Dua Komunitas yang Memiliki Hubungan Gandong Pasca Konflik Maluku di Pulau Saparua Pengantar Untuk menepis sinyalemen dan pernyataan banyak kalangan tentang hubungan pela dan

Lebih terperinci

Bab Satu Pendahuluan. Ciptaan: NN.

Bab Satu Pendahuluan. Ciptaan: NN. Bab Satu Pendahuluan Hela Rotan 1 Hela hela rotan e rotan e tifa jawa, jawa e babunyi Reff, rotan, rotan sudah putus sudah putus ujung dua, dua bakudapa e. Ciptaan: NN. Syair lagu di atas mengingatkan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Dasar Pemikiran : Hipotesis Pengarah Konflik menyebabkan keterpurukan dan cenderung mengarahkan masyarakat korban konflik kembali ke negeri asal sebagai bentuk jaminan keamanan

Lebih terperinci

ORANG AMBON DALAM DINAMIKA SEJARAH

ORANG AMBON DALAM DINAMIKA SEJARAH Bab Empat ORANG AMBON DALAM DINAMIKA SEJARAH Pengantar Untuk mengkonstruksikan orang Ambon dalam dinamika sejarah secara objektif, banyak dibantu oleh hasil-hasil karya dari Z.J. Manusama, Rijali, R.Z.

Lebih terperinci

TINGGALAN MEGALITIK DI DESA TUHAHA KECAMATAN SAPARUA KABUPATEN MALUKU TENGAH

TINGGALAN MEGALITIK DI DESA TUHAHA KECAMATAN SAPARUA KABUPATEN MALUKU TENGAH TINGGALAN MEGALITIK DI DESA TUHAHA KECAMATAN SAPARUA KABUPATEN MALUKU TENGAH A. Pendahuluan Maluku merupakan propinsi dengan sebaran tinggalan arkeologis yang cukup beragam. Tinggalan budaya ini meliputi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam sejarah masyarakat Maluku, budaya sasi merupakan kearifan lokal masyarakat yang telah ada sejak dahulu kala dan merupakan komitmen bersama baik oleh masyarakat, tokoh

Lebih terperinci

BAB II. Deskripsi Lokasi Penelitian. Dalam bab ini akan disajikan deskripsi lokasi penelitian dan rincianrincian

BAB II. Deskripsi Lokasi Penelitian. Dalam bab ini akan disajikan deskripsi lokasi penelitian dan rincianrincian BAB II Deskripsi Lokasi Penelitian Dalam bab ini akan disajikan deskripsi lokasi penelitian dan rincianrincian di setiap bagian yang diperlukan dalam penelitian ini. Kita dapat mulai untuk meneliti apa

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 228

Lebih terperinci

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 4 TAHUN 2003 TENTANG PEMERINTAHAN MUKIM DALAM PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 4 TAHUN 2003 TENTANG PEMERINTAHAN MUKIM DALAM PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 4 TAHUN 2003 TENTANG PEMERINTAHAN MUKIM DALAM PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR PROVINSI

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM DESA TELUK BATIL KECAMATAN SUNGAI APIT KABUPATEN SIAK. Sungai Apit Kabupaten Siak yang memiliki luas daerah 300 Ha.

BAB II GAMBARAN UMUM DESA TELUK BATIL KECAMATAN SUNGAI APIT KABUPATEN SIAK. Sungai Apit Kabupaten Siak yang memiliki luas daerah 300 Ha. BAB II GAMBARAN UMUM DESA TELUK BATIL KECAMATAN SUNGAI APIT KABUPATEN SIAK A. Letak Geografis dan Demografis 1. Geografis Desa Teluk Batil merupakan salah satu Desa yang terletak di Kecamatan Sungai Apit

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2005 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2005 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2005 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa untuk memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam kehidupan di Indonesia pluralitas agama merupakan realitas hidup yang tidak mungkin dipungkiri oleh siapapun. Di negeri ini semua orang memiliki kebebasan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SURAKARTA TAHUN 2011 NOMOR 8 PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PEMAKAMAN

LEMBARAN DAERAH KOTA SURAKARTA TAHUN 2011 NOMOR 8 PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PEMAKAMAN LEMBARAN DAERAH KOTA SURAKARTA TAHUN 2011 NOMOR 8 PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PEMAKAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURAKARTA, Menimbang : a. bahwa kegiatan

Lebih terperinci

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat,

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat, BAB IV ANALISIS 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat, yang secara sadar maupun tidak telah membentuk dan melegalkan aturan-aturan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan suatu sistem nilai yang berlaku dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan suatu sistem nilai yang berlaku dalam kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial, berinteraksi, bermasyarakat dan menghasilkan suatu sistem nilai yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat pesisir pantai barat. Wilayah budaya pantai barat Sumatera, adalah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat pesisir pantai barat. Wilayah budaya pantai barat Sumatera, adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masyarakat yang tinggal disepanjang pinggiran pantai, lazimnya disebut masyarakat pesisir. Masyarakat yang bermukim di sepanjang pantai barat disebut masyarakat

Lebih terperinci

BAB IV BUDAYA DAN ALAM PIKIR MASA PENGARUH KEBUDAYAAN ISLAM DAN BARAT

BAB IV BUDAYA DAN ALAM PIKIR MASA PENGARUH KEBUDAYAAN ISLAM DAN BARAT BAB IV BUDAYA DAN ALAM PIKIR MASA PENGARUH KEBUDAYAAN ISLAM DAN BARAT A. Pengaruh Kebudayaan Islam Koentjaraningrat (1997) menguraikan, bahwa pengaruh kebudayaan Islam pada awalnya masuk melalui negara-negara

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM DESA PAUH JALAN JALA TERJUN MEDAN. dengan Dusun 1 Pauh jadi kebanyakan orang orang menyebut desa ini dengan

BAB II GAMBARAN UMUM DESA PAUH JALAN JALA TERJUN MEDAN. dengan Dusun 1 Pauh jadi kebanyakan orang orang menyebut desa ini dengan BAB II GAMBARAN UMUM DESA PAUH JALAN JALA TERJUN MEDAN 2.1 Sejarah Desa Pauh Desa Pauh ini terletak di Jalan Jala X Lingkungan 14 Terjun Medan. Nama asli dari desa ini sebenarnya adalah Desa Terjun Jalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Letak wilayah yang strategis dari suatu daerah dan relatif mudah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Letak wilayah yang strategis dari suatu daerah dan relatif mudah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Letak wilayah yang strategis dari suatu daerah dan relatif mudah dikunjungi dari transportasi apapun sering menjadi primadona bagi pendatang yang ingin keluar dari

Lebih terperinci

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT BUPATI KOTAWARINGIN BARAT KEPUTUSAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 28 TAHUN 2002 T E N T A N G PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 7 TAHUN 2002 TENTANG KEPENDUDUKAN

Lebih terperinci

WALIKOTA BANDAR LAMPUNG PERATURAN DAERAH KOTA BANDAR LAMPUNG NOMOR 08 TAHUN 2015 TENTANG

WALIKOTA BANDAR LAMPUNG PERATURAN DAERAH KOTA BANDAR LAMPUNG NOMOR 08 TAHUN 2015 TENTANG WALIKOTA BANDAR LAMPUNG PERATURAN DAERAH KOTA BANDAR LAMPUNG NOMOR 08 TAHUN 2015 TENTANG PENYERAHAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANDAR

Lebih terperinci

Rancangan Undang-undang tentang Akuntan Publik

Rancangan Undang-undang tentang Akuntan Publik Departemen Keuangan RI Rancangan Undang-undang tentang Akuntan Publik Panitia Antar Departemen Penyusunan Rancangan Undang-undang Akuntan Publik Gedung A Lantai 7 Jl. Dr. Wahidin No.1 Jakarta 10710 Telepon:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang majemuk secara etnik, agama, ras dan golongan.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang majemuk secara etnik, agama, ras dan golongan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang majemuk secara etnik, agama, ras dan golongan. Hidup berdampingan secara damai antara warga negara yang beragam tersebut penting bagi

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI TERMINAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI TERMINAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI TERMINAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN, Menimbang : a. bahwa salah satu upaya Pemerintah

Lebih terperinci

Dinamika Konflik antar Dua Komunitas yang Memiliki Hubungan Gandong di Pulau Saparua

Dinamika Konflik antar Dua Komunitas yang Memiliki Hubungan Gandong di Pulau Saparua Bab Enam Dinamika Konflik antar Dua Komunitas yang Memiliki Hubungan Gandong di Pulau Saparua Pengantar Untuk memperoleh pengetahuan secara utuh dan menyeluruh tentang konflik yang terjadi antar warga

Lebih terperinci

- 1 - PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

- 1 - PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA - 1 - PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KLUNGKUNG, Menimbang : a. bahwa Retribusi Pengujian

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PERATURAN DAERAH KHUSUS PROVINSI PAPUA NOMOR 22 TAHUN 2008 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM MASYARAKAT HUKUM ADAT PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PARKIR DI TEPI JALAN UMUM

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PARKIR DI TEPI JALAN UMUM PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PARKIR DI TEPI JALAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BUPATI SINTANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BUPATI SINTANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT BUPATI SINTANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINTANG NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINTANG, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TENTANG TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. satuan kekerabatan suatu ikatan yang dituturkan dalam sebuah cerita rakyat,

PENDAHULUAN. satuan kekerabatan suatu ikatan yang dituturkan dalam sebuah cerita rakyat, BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang 1.1. Identifikasi Permasalahan Adanya ikatan persaudaraan ibarat adik kakak yang terjalin antar satuan kekerabatan suatu ikatan yang dituturkan dalam sebuah cerita rakyat,

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2008 NOMOR 5 PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 2 TAHUN 2008 T E N T A N G PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN Menimbang : a. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. terletak dipinggir sungai Kundur. Sekitar tahun 70-an bupati Alamsyah

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. terletak dipinggir sungai Kundur. Sekitar tahun 70-an bupati Alamsyah 10 BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Sejarah Desa Kesuma Nama Kesuma dulunya namanya adalah Kalam Pasir yang dulunya terletak dipinggir sungai Kundur. Sekitar tahun 70-an bupati Alamsyah berkunjung

Lebih terperinci

WALIKOTA MADIUN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI TEMPAT KHUSUS PARKIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA MADIUN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI TEMPAT KHUSUS PARKIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI TEMPAT KHUSUS PARKIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPULAUAN

Lebih terperinci

BUPATI MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MADIUN NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PEMAKAMAN DI KABUPATEN MADIUN

BUPATI MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MADIUN NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PEMAKAMAN DI KABUPATEN MADIUN BUPATI MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MADIUN NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PEMAKAMAN DI KABUPATEN MADIUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MADIUN, Menimbang : a. bahwa dengan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENYELENGGARAAN PERPARKIRAN DALAM WILAYAH KOTA TARAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENYELENGGARAAN PERPARKIRAN DALAM WILAYAH KOTA TARAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENYELENGGARAAN PERPARKIRAN DALAM WILAYAH KOTA TARAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN, Menimbang : a. bahwa untuk tertib dan

Lebih terperinci

WALIKOTA SERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN NAMA NAMA JALAN DI WILAYAH KOTA SERANG

WALIKOTA SERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN NAMA NAMA JALAN DI WILAYAH KOTA SERANG WALIKOTA SERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN NAMA NAMA JALAN DI WILAYAH KOTA SERANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SERANG, Menimbang : a.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA TEGAL

PERATURAN DAERAH KOTA TEGAL PERATURAN DAERAH KOTA TEGAL NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PEMAKAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TEGAL, Menimbang : a. bahwa sebagai akibat pertambahan penduduk dan untuk peningkatan kualitas

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG PEMERINTAH KABUPATEN MALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MALANG NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN TEMPAT PARKIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MALANG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka kenyamanan,

Lebih terperinci

RGS Mitra 1 of 7 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERCEPATAN PEMULIHAN PEMBANGUNAN PROPINSI MALUKU DAN PROPINSI MALUKU UTARA PASCAKONFLIK

RGS Mitra 1 of 7 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERCEPATAN PEMULIHAN PEMBANGUNAN PROPINSI MALUKU DAN PROPINSI MALUKU UTARA PASCAKONFLIK RGS Mitra 1 of 7 INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2003 TENTANG PERCEPATAN PEMULIHAN PEMBANGUNAN PROPINSI MALUKU DAN PROPINSI MALUKU UTARA PASCAKONFLIK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

WALIKOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN PELAYANAN PEMAKAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN PELAYANAN PEMAKAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN PELAYANAN PEMAKAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MAGELANG, Menimbang : a. bahwa dalam penyelenggaraan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA INSTRUKSI PRESIDEN NOMOR 6 TAHUN 2003 TENTANG PERCEPATAN PEMULIHAN PEMBANGUNAN PROPINSI MALUKU DAN PROPINSI MALUKU UTARA PASCAKONFLIK PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa saat ini masih terdapat permasalahan

Lebih terperinci

K E P E N D U D U K A N

K E P E N D U D U K A N PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 7 TAHUN 2002 TENTANG K E P E N D U D U K A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTAWARINGIN BARAT Menimbang : a. bahwa, untuk kelancaran, ketertiban

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT MELAYU BATANG KUIS. merupakan sebuah kecamatan yang termasuk ke dalam bagian Kabupaten Deli

BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT MELAYU BATANG KUIS. merupakan sebuah kecamatan yang termasuk ke dalam bagian Kabupaten Deli BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT MELAYU BATANG KUIS 2.1 Identifikasi Kecamatan Batang Kuis, termasuk di dalamnya Desa Bintang Meriah, merupakan sebuah kecamatan yang termasuk ke dalam bagian Kabupaten Deli

Lebih terperinci

BUPATI MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI KABUPATEN MAGELANG

BUPATI MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI KABUPATEN MAGELANG BUPATI MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI KABUPATEN MAGELANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAGELANG, Menimbang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN, Menimbang : a. bahwa salah satu upaya menunjang

Lebih terperinci

WALIKOTA MADIUN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PARKIR DI TEPI JALAN UMUM

WALIKOTA MADIUN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PARKIR DI TEPI JALAN UMUM WALIKOTA MADIUN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PARKIR DI TEPI JALAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Maluku Utara merupakan sebuah Provinsi yang tergolong baru. Ini adalah

BAB I PENDAHULUAN. Maluku Utara merupakan sebuah Provinsi yang tergolong baru. Ini adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Maluku Utara merupakan sebuah Provinsi yang tergolong baru. Ini adalah provinsi kepulauan dengan ciri khas sekumpulan gugusan pulau-pulau kecil di bagian timur wilayah

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 75 TAHUN 2011

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 75 TAHUN 2011 SALINAN WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 75 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF PELANGGARAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS. persaudaraan antar keluarga/gandong sangat diprioritaskan. Bagaimana melalui meja

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS. persaudaraan antar keluarga/gandong sangat diprioritaskan. Bagaimana melalui meja BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS Salah satu adat perkawinan di Paperu adalah adat meja gandong. Gandong menjadi penekanan utama. Artinya bahwa nilai kebersamaan atau persekutuan atau persaudaraan antar keluarga/gandong

Lebih terperinci

Kerajaan Ternate dan Tidore. Oleh Kelompok 08 : Faiqoh Izzati Salwa (08) Muhammad Anwar R (21) Shela Zahidah Wandadi (27)

Kerajaan Ternate dan Tidore. Oleh Kelompok 08 : Faiqoh Izzati Salwa (08) Muhammad Anwar R (21) Shela Zahidah Wandadi (27) Kerajaan Ternate dan Tidore Oleh Kelompok 08 : Faiqoh Izzati Salwa (08) Muhammad Anwar R (21) Shela Zahidah Wandadi (27) 1 Letak Kerajaan Sejarah Berdirinya Keadaan Kerajaan Kerajaan Ternate dan Tidore

Lebih terperinci

BAB III DESKRIPSI ADAT SAMBATAN BAHAN BANGUNAN DI DESA KEPUDIBENER KECAMATAN TURI KABUPATEN LAMONGAN

BAB III DESKRIPSI ADAT SAMBATAN BAHAN BANGUNAN DI DESA KEPUDIBENER KECAMATAN TURI KABUPATEN LAMONGAN BAB III DESKRIPSI ADAT SAMBATAN BAHAN BANGUNAN DI DESA KEPUDIBENER KECAMATAN TURI KABUPATEN LAMONGAN A. Deskripsi Umum tentang Desa Kepudibener 1. Letak Geografis Desa Kepudibener merupakan satu desa yang

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Masyarakat Kampung Mosso di perbatasan provinsi papua kota Jayapura

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Masyarakat Kampung Mosso di perbatasan provinsi papua kota Jayapura BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. KESIMPULAN UMUM Masyarakat Kampung Mosso di perbatasan provinsi papua kota Jayapura memiliki pergaulan hidup yang unik jika dibandingkan dengan masyarakat Papua lainnya.

Lebih terperinci

2. Macam-Macam Norma. a. Norma Kesusilaan

2. Macam-Macam Norma. a. Norma Kesusilaan Sumber: ibnulkhattab.blogspot.com Gambar 4.3 Masyarakat yang sedang Melakukan Kegiatan Musyawarah untuk Menentukan Suatu Peraturan. 2. Macam-Macam Norma a. Norma Kesusilaan Ketika seseorang akan berbohong,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia menjamin

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG, PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pengelolaan, pemanfaatan sumberdaya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM LOKASI PENELITIAN. pada tanggal 24 juli tahun Kecamatan Tasik Putri Puyu berasal dari

BAB II TINJAUAN UMUM LOKASI PENELITIAN. pada tanggal 24 juli tahun Kecamatan Tasik Putri Puyu berasal dari BAB II TINJAUAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Sejarah Kecamatan Tasik Putri Puyu Kecamatan Tasik Putri Puyu merupakan Kecamatan yang dibentuk pada tanggal 24 juli tahun 2012. Kecamatan Tasik Putri Puyu berasal

Lebih terperinci

BAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MENGATUR PERALIHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN. A. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

BAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MENGATUR PERALIHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN. A. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa BAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MENGATUR PERALIHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN A. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 disebutkan pengertian desa

Lebih terperinci

WALIKOTA BANJARMASIN

WALIKOTA BANJARMASIN WALIKOTA BANJARMASIN PERATURAN DAERAH KOTA BANJARMASIN NOMOR 23 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN RUKUN TETANGGA (RT) DAN RUKUN WARGA (RW) DI WILAYAH KOTA BANJARMASIN DENGAN

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan data-data hasil penelitian dan pembahasan, sebagaimana telah

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan data-data hasil penelitian dan pembahasan, sebagaimana telah BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan data-data hasil penelitian dan pembahasan, sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu, maka pada bagian ini peneliti akan menarik beberapa kesimpulan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH Bagian Hukum Setda Kabupaten Bandung Tahun 2016 2 BUPATI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KECAMATAN RUMBAI PESISIR. orang jawa yang masuk dalam Wilayah Wali Tebing Tinggi. Setelah itu

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KECAMATAN RUMBAI PESISIR. orang jawa yang masuk dalam Wilayah Wali Tebing Tinggi. Setelah itu BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KECAMATAN RUMBAI PESISIR A. Letak Dan Sejarah Geografis Pada tahun 1923 Jepang masuk yang diberi kekuasaan oleh Raja Siak untuk membuka lahan perkebunan karet dan sawit yang

Lebih terperinci

GUBERNUR GORONTALO PERATURAN GUBERNUR GORONTALO NOMOR 34 TAHUN 2017 TENTANG

GUBERNUR GORONTALO PERATURAN GUBERNUR GORONTALO NOMOR 34 TAHUN 2017 TENTANG GUBERNUR GORONTALO PERATURAN GUBERNUR GORONTALO NOMOR 34 TAHUN 2017 TENTANG PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG HAK KEUANGAN DAN ADMINISTRATIF PIMPINAN DAN ANGGOTA

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Interaksi sosial pasca konflik yang terjadi di Maluku perlu mendapat perhatian

BAB V PENUTUP. Interaksi sosial pasca konflik yang terjadi di Maluku perlu mendapat perhatian BAB V PENUTUP Interaksi sosial pasca konflik yang terjadi di Maluku perlu mendapat perhatian khusus dari semua aspek yang ada, baik itu masyarakat maupun pemerintahan, walaupun pada saat ini telah tercipta

Lebih terperinci

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. SAMBUTAN MENTERI AGAMA RI PADA SOSIALISASI PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 9 TAHUN 2006/NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN TUGAS KEPALA DAERAH/WAKIL KEPALA DAERAH

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PEMAKAMAN DAN PENGABUAN MAYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PEMAKAMAN DAN PENGABUAN MAYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PEMAKAMAN DAN PENGABUAN MAYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN, Menimbang : a. bahwa Pemerintah Daerah menyelenggarakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci

QANUN ACEH NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA ADAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM,

QANUN ACEH NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA ADAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM, QANUN ACEH NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA ADAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM, Menimbang : a. bahwa lembaga adat yang berkembang dalam

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2014 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2014 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2014 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN FASILITAS PARKIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN FASILITAS PARKIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN FASILITAS PARKIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa melihat kondisi lalu lintas

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2009 NOMOR : 14 PERATURAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2009 NOMOR : 14 PERATURAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2009 NOMOR : 14 PERATURAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA CILEGON,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG RETRIBUSI TEMPAT KHUSUS PARKIR

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG RETRIBUSI TEMPAT KHUSUS PARKIR PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG RETRIBUSI TEMPAT KHUSUS PARKIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN, Menimbang : a. bahwa tempat khusus

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KATINGAN NOMOR : 5 TAHUN 2011 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KATINGAN NOMOR : 5 TAHUN 2011 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KATINGAN NOMOR : 5 TAHUN 2011 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KATINGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memberikan perlindungan dan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAMUJU UTARA TAHUN 2006 NOMOR 11 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAMUJU UTARA NOMOR : 11 TAHUN 2006 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAMUJU UTARA TAHUN 2006 NOMOR 11 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAMUJU UTARA NOMOR : 11 TAHUN 2006 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAMUJU UTARA TAHUN 2006 NOMOR 11 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAMUJU UTARA NOMOR : 11 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kekayaan budaya itu tersimpan dalam kebudayaan daerah dari suku-suku bangsa yang

BAB I PENDAHULUAN. Kekayaan budaya itu tersimpan dalam kebudayaan daerah dari suku-suku bangsa yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara kepulauan yang kaya dengan ragam kebudayaan. Kekayaan budaya itu tersimpan dalam kebudayaan daerah dari suku-suku bangsa yang memiliki

Lebih terperinci

INVENTORY SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR KELURAHAN ALAK KECAMATAN ALAK KOTA KUPANG - NUSA TENGGARA TIMUR

INVENTORY SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR KELURAHAN ALAK KECAMATAN ALAK KOTA KUPANG - NUSA TENGGARA TIMUR INVENTORY SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR KELURAHAN ALAK KECAMATAN ALAK KOTA KUPANG - NUSA TENGGARA TIMUR I. PENDAHULUAN 1.1. Gambaran Umum Sejak terbentuknya Provinsi Nusa Tenggara Timur pada 20 Desember 1958

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN, Menimbang : a. bahwa salah

Lebih terperinci

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang . WALIKOTA BANDAR LAMPUNG PERATURAN DAERAH KOTA BANDAR LAMPUNG NOMOR 08 TAHUN 2015 TENTANG PENYERAHAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM SUMBUL PEGAGAN. Sumbul Pegagan adalah salah satu dari enam belas kecamatan di Kabupaten

BAB II GAMBARAN UMUM SUMBUL PEGAGAN. Sumbul Pegagan adalah salah satu dari enam belas kecamatan di Kabupaten BAB II GAMBARAN UMUM SUMBUL PEGAGAN 2.1 Letak Geografis Sumbul Pegagan Sumbul Pegagan adalah salah satu dari enam belas kecamatan di Kabupaten Dairi, Propinsi Sumatera Utara. Secara geografis Sumbul Pegagan

Lebih terperinci

WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN PEMAKAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN PEMAKAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN PEMAKAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN, Menimbang : a. bahwa salah satu

Lebih terperinci

BAB III PENENTUAN TANAH TUNGGU BAHAULAN DI DESA SUNGAI ULIN BANJARBARU KALIMANTAN SELATAN

BAB III PENENTUAN TANAH TUNGGU BAHAULAN DI DESA SUNGAI ULIN BANJARBARU KALIMANTAN SELATAN BAB III PENENTUAN TANAH TUNGGU BAHAULAN DI DESA SUNGAI ULIN BANJARBARU KALIMANTAN SELATAN A. Gambaran Desa Sungai Ulin Dan Penduduknya Sebelum membahas lokasi penelitian secara spesifik, terlebih dahulu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Wilayah tanah air Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan dihuni oleh berbagai

I. PENDAHULUAN. Wilayah tanah air Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan dihuni oleh berbagai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wilayah tanah air Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan dihuni oleh berbagai suku bangsa, golongan, dan lapisan sosial. Sudah tentu dalam kondisi yang demikian

Lebih terperinci

BAB IV PROFIL LOKASI PENELITIAN

BAB IV PROFIL LOKASI PENELITIAN BAB IV PROFIL LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Geografis Kelurahan Pluit merupakan salah satu wilayah kelurahan yang secara administratif masuk ke dalam wilayah Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara.

Lebih terperinci

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN RUKUN TETANGGA, RUKUN WARGA, LEMBAGA KEMASYARAKATAN LAINNYA DAN DUSUN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Utara yang berjarak ± 160 Km dari Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara (Medan). Kota

BAB I PENDAHULUAN. Utara yang berjarak ± 160 Km dari Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara (Medan). Kota BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kota Kisaran adalah Ibu Kota dari Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatera Utara yang berjarak ± 160 Km dari Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara (Medan). Kota Kisaran

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 05 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DUSUN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 05 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DUSUN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 05 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMPUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PENATAAN DESA

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PENATAAN DESA SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PENATAAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG GARIS SEMPADAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG GARIS SEMPADAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG GARIS SEMPADAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PEMONDOKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PEMONDOKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG, S A L I N A N NOMOR 4/E, 2006 PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PEMONDOKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG, Menimbang : a. bahwa Kota Malang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KULON PROGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 11 TAHUN 2002 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN KULON PROGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 11 TAHUN 2002 TENTANG PEMERINTAH KABUPATEN KULON PROGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 11 TAHUN 2002 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PAMEKASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PAMEKASAN,

PEMERINTAH KABUPATEN PAMEKASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PAMEKASAN, PEMERINTAH KABUPATEN PAMEKASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BUPATI DHARMASRAYA PERATURAN DAERAH KABUPATEN DHARMASRAYA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

BUPATI DHARMASRAYA PERATURAN DAERAH KABUPATEN DHARMASRAYA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN BUPATI DHARMASRAYA PERATURAN DAERAH KABUPATEN DHARMASRAYA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI DHARMASRAYA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci