PENGEMBANGAN SAPI POTONG BERBASIS INDUSTRI KELAPA SAWIT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGEMBANGAN SAPI POTONG BERBASIS INDUSTRI KELAPA SAWIT"

Transkripsi

1 206 Pengembangan Inovasi Pertanian 1(2), 2008: I Wayan Mathius PENGEMBANGAN SAPI POTONG BERBASIS INDUSTRI KELAPA SAWIT I Wayan Mathius Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Jalan Raya Pajajaran Kav. E-59, Bogor PENDAHULUAN Laju pertumbuhan penduduk Indonesia pada periode mencapai 1,5%/ tahun sehingga jumlah penduduk menjadi lebih dari jiwa dengan kepadatan rata-rata 114 jiwa/km 2 (BPS 2003). Jumlah penduduk yang terus bertambah dan tingkat pengetahuan yang makin baik menuntut ketersediaan pangan yang memadai, termasuk produk peternakan (daging, susu, telur, dan kulit/bulu), baik jumlah maupun kualitasnya. Di sisi lain, laju pertumbuhan ternak cenderung lambat dan tidak sejalan dengan peningkatan permintaan daging nasional dengan laju 6-8%/tahun (Thalib et al. 2003). Sumbangan peternakan terhadap pengadaan daging nasional pada tahun 2003 mencapai ton, sementara kebutuhan daging nasional pada tahun yang sama sekitar ton (Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan 2003). Dengan demikian, terdapat kekurangan pasokan daging dan kekurangan tersebut dipasok melalui impor dalam bentuk daging segar/beku maupun ternak hidup. Pada tahun 2003, impor sapi 1) Naskah disarikan dari bahan Orasi Profesor Riset yang disampaikan pada tanggal 31 Juli 2007 di Bogor. bakalan dari Australia mencapai ekor (Trikesowo 2004). Kondisi demikian sudah tentu tidak dapat dipertahankan sehingga perlu lebih memberikan kesempatan bagi para pelaku usaha untuk mengembangkan peternakan di dalam negeri. Pada masa yang akan datang, Indonesia dituntut untuk mampu bersaing dengan negara-negara industri yang mampu mendukung ternak tampil sesuai potensi genetiknya. Ternak ruminansia di Indonesia kurang dapat tumbuh-kembang sesuai dengan potensi genetik yang dimiliki. Tulisan ini memaparkan sumbangan pemikiran penulis tentang strategi dan langkah alternatif yang perlu ditempuh untuk mengembangkan ternak ruminansia, khususnya sapi potong, ditinjau dari aspek ketersediaan dan pemberian pakan nonkonvensional. PERKEMBANGAN DAN PERAN SAPI POTONG DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT Saat ini dunia sangat bergantung pada peternakan, tidak hanya sebagai sumber pangan hewani (daging dan susu), tetapi juga sebagai tenaga kerja, tabungan yang dapat diuangkan, uji tangkas (hiburan), ternak korban, penghasil bahan organik

2 Pengembangan sapi potong berbasis industri kelapa sawit 207 berkualitas, produk ikutan/inedible byproducts (insulin, kortison, estrogen, kulit, perekat, bahan kancing, bahan lilin, sabun, plastik, pasta gigi), dan sumber energi alternatif (biogas) (Fitzhugh et al. 1978). Di Indonesia, budi daya ternak ruminansia telah menunjang kehidupan jutaan keluarga petani-ternak, pedagang, dan jagal. Perkembangan produksi dan konsumsi daging serta populasi ternak ruminansia di Indonesia disajikan dalam Tabel 1 dan 2. Populasi sapi perah, kambing, dan domba meningkat dari tahun ke tahun, namun untuk kerbau mengalami penurunan. Sementara perkembangan sapi potong dalam dua dekade terakhir relatif Tabel 1. Produksi, impor, dan konsumsi daging nasional, Tahun Produksi Impor daging Impor sapi Konsumsi (t) (t) bakalan (ekor) (t) Sumber: Jaya (1999); Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan (2003); Trikesowo (2004). Tabel 2. Perkembangan populasi ternak ruminansia (000 ekor), Tahun Sapi perah Sapi potong Kerbau Domba Kambing Sumber: Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan (2003).

3 208 I Wayan Mathius konstan dengan jumlah pemilikan ternak tidak berubah, yakni 2-5 ekor/kepala keluarga. Populasi sapi potong yang relatif konstan tersebut boleh jadi disebabkan tingginya angka pemotongan sebagai akibat permintaan daging yang terus meningkat. Membaiknya nilai jual daging sapi memacu para pelaku usaha sapi potong untuk menyembelih sapi betina produktif sehingga populasi sapi potong saat ini berada pada posisi stagnan. Pemeliharaan sapi potong masih merupakan usaha yang bersifat pelengkap/ komplementer dalam suatu sistem usaha tani terpadu. Tujuan pemeliharaan sapi potong antara lain adalah sebagai tenaga kerja, sumber protein hewani, tabungan, dan sebagai sumber pupuk organik. Hal tersebut menunjukkan bahwa sapi potong memainkan peran cukup penting dan merupakan titik sentral kehidupan manusia (Gongal 1996). Sapi potong merupakan bagian integral dalam sistem usaha tani yang sekaligus merupakan faktor kunci keseimbangan ekologi dan sebagai pengaman penting (bufer) untuk mengatasi risiko kegagalan panen tanaman pertanian. POTENSI SAPI POTONG LOKAL DI INDONESIA Tiga bangsa sapi lokal yang berpotensi dikembangkan di Indonesia adalah sapi Ongole (Sumba Ongole dan Peranakan Ongole), sapi Bali, dan sapi Madura. Bangsa sapi tersebut telah beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan dan cekaman di wilayah Indonesia. Dari ketiga bangsa sapi lokal tersebut, sapi Bali paling tahan terhadap cekaman panas (Sutrisno et al. 1978), di samping memiliki tingkat kesuburan yang baik, kemampuan libido pejantan lebih unggul, persentase karkas tinggi (56%), dan kualitas daging baik. Dengan tata laksana pemeliharaan yang baik, sapi potong dapat tumbuh-kembang dengan laju kenaikan bobot hidup harian 750 g (Moran 1979), sementara pada kondisi pedesaan kecepatan pertumbuhan hanya mencapai rata-rata 250 g/ekor/hari (Bamualim dan Wirdahayati 2003; Fordyce et al. 2003). Siklus reproduksi sapi lokal dapat terjadi setiap saat sepanjang tahun dengan tingkat kesuburan yang tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa perkembangbiakan sapi potong dapat dilakukan setiap saat tanpa dipengaruhi oleh musim. Oleh karena itu, perkembangbiakannya dapat disesuaikan dengan ketersediaan faktor penunjang seperti pakan dan pasar. Jumlah pasokan daging sapi potong relatif konstan (Tabel 3), namun persentase sumbangannya terhadap pasokan daging menurun. Pada tahun 2003, sumbangan sapi potong terhadap pengadaan daging nasional mencapai ton. Jumlah tersebut setara dengan 18,4% total pengadaan daging nasional, sementara ternak unggas memasok 63% (Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan 2003). Daging sapi potong lokal yang semula merupakan pemasok terbesar, yakni 53,3% pada tahun 1970, berangsur-angsur turun hingga mencapai 18,4%. Peningkatan permintaan daging sapi menyebabkan makin meningkat pula jumlah sapi yang dipotong, termasuk sapi betina produktif. Keadaan tersebut memperburuk perkembangan sapi potong nasional. Pola pemeliharaan yang bersifat komplementer dan dilakukan secara tradisional menyebabkan usaha sapi potong kurang efisien. Akibatnya, perkembangan sapi potong di Indonesia rendah. Upaya meningkatkan produksi sapi potong nasional dapat dilakukan melalui

4 Pengembangan sapi potong berbasis industri kelapa sawit 209 Tabel 3. Produksi daging nasional dan sumbangan daging sapi potong dan unggas, Tahun Produksi daging (000 t) Sapi Unggas (000 t) (%) (000 t) (%) ,0 167,3 53,3 38,7 12, ,8 220,8 38,7 172,3 30, ,7 259,2 25,2 508,7 49, ,1 353,7 22,7 898,5 57, ,8 340,7 27,9 621,2 50, ,9 308,8 25,8 622,6 52, ,2 339,9 23,5 817,7 56, ,5 338,7 21,7 923,5 59, ,2 330,0 20,3 964,1 59, ,8 351,8 18, ,3 63,0 Sumber: Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan (2003). pendekatan kualitatif maupun kuantitatif. Pendekatan kualitatif sedang dan terus dilakukan melalui perbaikan mutu genetik sapi lokal dengan mempergunakan teknik inseminasi buatan (IB). Namun untuk mencapai tingkat produksi yang tinggi, perbaikan mutu genetik sapi harus diikuti dengan penyediaan dan pemberian pakan yang memadai (Jalaludin et al. 1991). Zarate (1996) melaporkan bahwa keberhasilan perbaikan mutu genetik ternak membutuhkan kondisi yang stabil, yaitu tata laksana memadai, ketersediaan pakan cukup, berkualitas dan berkelanjutan, serta kesehatan ternak baik. MASALAH PETERNAKAN SAPI POTONG Sistem pemeliharaan semi-intensif yang didasarkan pada penyediaan dan pemberian pakan dengan cara potong angkut (cut and carry) dan dengan komposisi vegetasi alam seadanya menyebabkan tingkat produksi sapi potong belum optimal. Pakan hijauan utama berasal dari hasil samping tanaman pertanian atau vegetasi alam pada daerah yang tidak dimanfaatkan sebagai areal pertanian. Pola dan pemberian pakan yang belum sesuai dengan kebutuhan merupakan penyebab utama rendahnya tingkat produktivitas ternak di daerah tropis (Chen 1990). Masalah utama dalam peningkatan produksi sapi potong adalah sulitnya menyediakan pakan secara berkesinambungan, baik jumlah maupun kualitasnya (Mathius et al. 1984; Chen 1990; Jalaludin et al. 1991; Zarate 1996). Hal tersebut menyebabkan tingkat produktivitas sapi potong menjadi rendah sehingga saat ini jarang ditemui sapi potong (sapi Bali) dengan bobot hidup melebihi bobot potong/pasar, yakni di atas 250 kg/ekor; suatu penyusutan bobot hidup yang sangat drastis dibandingkan dengan yang pernah dicapai pada masa lampau, yakni kg/ekor (Tillman 1983). Pemanfaatan lahan khususnya di Pulau Jawa dan Bali sangat intensif. Areal sekitar pemukiman di pedesaan yang sebelumnya

5 210 I Wayan Mathius digunakan sebagai padang penggembalaan umum telah beralih fungsi menjadi pemukiman, kawasan industri atau jalan raya. Setiap tahun sekitar 40 ribu ha lahan sawah produktif di Jawa beralih fungsi menjadi kegiatan nonpertanian (Departemen Pertanian 2005). Penyusutan lahan pertanian menimbulkan permasalahan serius dalam penyediaan bahan baku pakan untuk sapi potong. Menyusutnya lahan pertanian juga mengurangi peluang untuk mengembangkan budi daya hijauan pakan dan persediaan produk samping tanaman pangan untuk pakan. Semua permasalahan tersebut mengandung makna yang perlu dipelajari, bahwa pengembangan sapi potong sebaiknya diarahkan ke luar Pulau Jawa dan Bali karena ketersediaan lahan masih cukup luas. Ke depan perlu diupayakan pemecahannya dengan memanfaatkan sumber bahan pakan alternatif nonkonvensional yang tersedia sepanjang tahun, seperti produk samping perkebunan/industri perkebunan. Produk samping dan hasil ikutan industri perkebunan terus bertambah jumlahnya seiring dengan makin luasnya areal perkebunan. Salah satu perkebunan yang cukup luas arealnya dengan laju pertumbuhan 12,6%/tahun adalah perkebunan kelapa sawit (Liwang 2003). ALTERNATIF PENYEDIAAN DAN PEMBERIAN PAKAN SAPI POTONG Pakan merupakan komponen biaya produksi tertinggi dalam usaha peternakan, dengan kisaran 65-75% untuk sapi potong. Tingkat produksi dan reproduksi sapi potong di Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan di daerah temperate. Hal tersebut disebabkan ketersediaan dan pemberian pakan tidak mencukupi kebutuhan ternak, baik untuk hidup pokok maupun produksi. Kekurangan energi merupakan faktor utama rendahnya efisiensi produksi dan reproduksi sapi potong. Rendahnya kualitas nutrien pakan yang berasal dari produk samping industri pertanian menyebabkan rendahnya tingkat produksi sapi potong di Indonesia. Banyak penelitian telah dan sedang dilakukan untuk meningkatkan nilai nutrien dan nilai biologis produk samping tanaman dan hasil ikutan agroindustri. Uji lapang hasil penelitian dalam skala laboratorium telah pula dilakukan dan hasilnya cukup menjanjikan. Upaya perbaikan nilai produk samping tersebut dilakukan secara fisik (cacah, giling), kimiawi (sodium hidroksida, urea), biologis (fermentasi dan enzimatis), dan kombinasi ketiganya. Pemanfaatan produk samping tanaman pangan dan perkebunan yang telah mendapatkan perlakuan, seperti amoniasi dengan urea dan biofermentasi dengan kapang (Laconi 1998), merupakan teknologi yang siap diterapkan, meskipun perlu penambahan beberapa komponen pakan imbuhan. Pemberian blok mineral-ureamolases atau teknologi imbuhan probiotik bersama-sama dengan pakan hijauan nonkonvensional spesifik lokasi yang berkualitas rendah merupakan langkah bijak dalam upaya meningkatkan efisiensi penggunaan ransum. Salah satu pakan nonkonvensional yang belum dimanfaatkan secara optimal berasal dari industri perkebunan kelapa sawit. PRODUK SAMPING DAN HASIL IKUTAN INDUSTRI KELAPA SAWIT Di Indonesia, tanaman kelapa sawit telah dikenal sejak tahun 1848, dan pertama kali ditanam di Kebun Raya Bogor. Pengem-

6 Pengembangan sapi potong berbasis industri kelapa sawit 211 bangan kelapa sawit sebagai penghasil minyak dimulai pada tahun Keseimbangan asam lemak jenuh dan tidak jenuh dalam minyak kelapa sawit memperkuat posisi minyak sawit sebagai bahan pangan penting (Fold 2003). Luas tanam kelapa sawit di Indonesia mencapai 2,014 juta ha pada tahun 2000, dengan laju pertumbuhan 12,6%/ tahun (Liwang 2003), sementara Malaysia memiliki luas tanam 2,941 juta ha dengan laju pertumbuhan 5,5%/tahun. Luas tanam kelapa sawit di Indonesia diperkirakan akan terus meningkat, khususnya perkebunan swasta dan perorangan. Saat ini luas tanam kelapa sawit diperkirakan telah melebihi 6,7 juta ha. Peningkatan luas tanam kelapa sawit menyebabkan produk samping kebun dan hasil ikutan pengolahan kelapa sawit juga bertambah yang berpotensi menimbulkan masalah lingkungan. Produk samping industri kelapa sawit yang belum dimanfaatkan secara optimal adalah pelepah, daun, tandan kosong, serat perasan, lumpur sawit, dan bungkil kelapa sawit. Salah satu cara pemecahannya adalah dengan memanfaatkannya untuk pakan ternak. Sapi dapat memanfaatkan produk samping tersebut sebagai pakan dan sekaligus menghasilkan pupuk organik untuk tanaman. Pola integrasi ataupun diversifikasi tanaman dan ternak diharapkan dapat menjadi bagian integral dalam usaha perkebunan. Dengan perkataan lain, pemanfaatan produk samping industri kelapa sawit pada wilayah perkebunan dapat menjadi basis pengembangan sapi potong. Kehadiran sapi potong di perkebunan kelapa sawit diharapkan dapat memberikan nilai tambah, baik secara langsung maupun tidak langsung, selain dampaknya terhadap kebersihan lingkungan. Potensi Produk Samping Tanaman dan Hasil Ikutan Industri Kelapa Sawit Secara garis besar, produk samping industri kelapa sawit dapat dikelompokkan berdasarkan asal produk, yakni yang berasal dari kebun dan dari pabrik pengolahan kelapa sawit. Produk Samping Asal Kebun. Produksi bahan kering vegetasi alam yang tumbuh di bawah tanaman kelapa sawit bervariasi, bergantung pada pola tanam yang diterapkan, khususnya pada saat tanaman belum berproduksi. Jika ditanam sebagai tanaman tunggal maka vegetasi alam yang dapat dihasilkan berkisar antara 2,8-4,8 ton bahan kering/ha/tahun (Chen et al. 1991). Produksi hijauan vegetasi alam di bawah tanaman kelapa sawit bergantung pada umur tanaman kelapa sawit, yang secara langsung berpengaruh terhadap intensitas cahaya yang mencapai areal perkebunan. Jika intensitas sinar matahari yang diterima tanaman rendah maka aktivitas fotosintesis menurun sehingga produksi vegetasi alam menjadi rendah (Whiteman 1980). Demikian pula jika dikelola dengan pola tumpang sari maka produk yang dihasilkan akan sangat bergantung pada jenis tanaman sela yang dibudidayakan. Jika panjang tajuk setiap tanaman kelapa sawit diasumsikan 4 m maka luas lahan yang tidak dapat dimanfaatkan adalah 50,3 m 2 (22/7 x 4 x 4 m). Jika setiap hektar lahan ditanami 143 pokok pohon inti maka nilai tersebut setara dengan m 2. Dengan demikian, lahan yang tersedia untuk ditanami tanaman sela sekitar m 2. Vegetasi alam yang tumbuh di areal perkebunan kelapa sawit terbatas dan tidak

7 212 I Wayan Mathius cukup untuk mendukung penyediaan pakan hijauan secara berkelanjutan. Produk samping yang dihasilkan, baik yang berasal dari tanaman (Ishida dan Hassan 1997) maupun pengolahan buah kelapa sawit (Wan Zahari et al. 2003) berpotensi untuk dioptimalkan sebagai bahan pakan ruminansia, khususnya sapi potong. Produk samping asal kebun meliputi pelepah, daun, dan batang (Kawamoto et al. 2001). Populasi tanaman kelapa sawit dengan jarak tanam 9 m x 9 m adalah 143 tanaman/ ha. Namun kenyataannya jumlah tanaman kelapa sawit setiap hektar hanya mencapai 130 pohon. Variasi jumlah tanaman pokok disebabkan oleh kondisi wilayah yang berbeda-beda. Hasil pengamatan di PT Agricinal menunjukkan bahwa setiap pohon kelapa sawit dapat menghasilkan 22 pelepah/tahun dengan bobot pelepah per batang rata-rata 7 kg (Diwyanto et al. 2004). Jumlah ini setara dengan kg (22 pelepah x 130 pohon x 7 kg) pelepah segar untuk setiap hektar dalam setahun. Total bahan kering pelepah yang dihasilkan dalam setahun mencapai kg/ha (Tabel 4). Dengan asumsi luas perkebunan kelapa sawit yang telah berproduksi 60% dari luas tanam, dan luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia 4,02 juta ha (tahun 2008) maka jumlah bahan kering pelepah yang tersedia untuk dimanfaatkan mencapai ton/tahun. Setiap pelepah dapat menyediakan 0,5 kg daun, yang setara dengan 658 kg bahan kering/ha/tahun (Tabel 4). Selain pelepah dan daun, batang kelapa sawit juga dapat dimanfaatkan sebagai pakan, namun dampaknya terhadap ternak belum banyak diketahui. Hasil Ikutan Pengolahan Buah Kelapa Sawit. Produk utama ekstraksi buah kelapa sawit adalah minyak sawit (crude palm oil, CPO), sementara hasil ikutannya adalah tandan kosong, serat perasan, lumpur sawit/solid, dan bungkil inti kelapa sawit. Liwang (2003) melaporkan setiap hektar tanaman kelapa sawit dapat menghasilkan 4 ton CPO/tahun, yang diperoleh dari + 16 ton tandan buah segar (TBS) (Jalaludin et al. 1991). Selanjutnya, setiap 1 ton TBS menghasilkan 294 kg lumpur sawit, 35 kg bungkil kelapa sawit, dan 180 kg serat perasan. Jumlah tersebut dapat disetarakan dengan kg lumpur sawit, 514 kg bungkil kelapa sawit, kg serat perasan, dan kg tandan kosong untuk setiap hektar per tahun (Tabel 4). Berdasarkan nilai tersebut maka hasil ikutan pengolahan buah kelapa sawit dari industri kelapa sawit di Indonesia mencapai ton lumpur sawit, ton bungkil kelapa sawit, ton serat perasan, dan ton tandan kosong. Mengacu pada nilai tersebut maka produksi bahan kering produk samping dari tanaman dan pengolahan kelapa sawit untuk setiap hektar dalam setahun mencapai kg. Dengan asumsi luas tanaman yang telah menghasilkan adalah 60% (4,69 juta ha) maka jumlah produk samping yang dihasilkan hampir mencapai 64 juta ton. Jika diasumsikan hanya 60% produk samping industri kelapa sawit dapat dimanfaatkan maka jumlah ternak sapi yang dapat ditampung mencapai 12 juta ekor. Dengan demikian, daya tampung industri kelapa sawit melebihi populasi sapi potong yang ada di Indonesia saat ini. NILAI NUTRISI PRODUK SAMPING INDUSTRI KELAPA SAWIT Kandungan nutrien produk samping tanaman dan hasil ikutan industri peng-

8 Pengembangan sapi potong berbasis industri kelapa sawit 213 Tabel 4. Produksi produk samping tanaman dan olahan kelapa sawit untuk setiap hektar. Produk samping Produksi Bahan segar Bahan kering Bahan kering (kg) (%) (kg) Daun tanpa lidi , Pelepah , Tandan kosong , Serat perasan , Lumpur sawit, solid , Bungkil kelapa sawit , Total biomassa Asumsi: Populasi tanaman 130 pohon/ha, Produksi pelepah 22 pelepah/pohon/tahun, Bobot pelepah 7 kg, Bobot daun per pelepah 0,5 kg, Tandan kosong 23% dari TBS, Produksi minyak sawit 4 t/ha/tahun (Liwang 2003), Tiap kg TBS menghasilkan 250 kg minyak sawit, 294 kg lumpur sawit, 180 kg serat perasan, dan 35 kg bungkil kelapa sawit (Jalaludin et al. 1991). olahan kelapa sawit telah dilaporkan oleh peneliti Malaysia (Jalaludin et al. 1991) dan Indonesia (Aritonang 1984; Mathius et al. 2004a). Kandungan dan kualitas nutrien produk samping tanaman kelapa sawit cukup rendah (Tabel 5) akibat tingginya kandungan serat kasar, namun kandungan karbohidrat dalam bentuk gula mudah larut cukup. Secara umum, kandungan nutrien produk samping tanaman kelapa sawit hampir setara dengan pakan hijauan atau produk samping tanaman pangan (Mathius et al. 1983). Sebagaimana produk samping pertanian, produk samping tanaman dan pengolahan kelapa sawit perlu diperlakukan secara khusus agar dapat dimanfaatkan secara optimal oleh ternak, baik melalui perlakuan fisik (cacah, giling, tekanan uap), kimiawi (NaOH, urea), biologis (fermentasi) maupun kombinasinya. Untuk meningkatkan konsumsi dan palatabilitas pelepah dan daun kelapa sawit perlu dilakukan pencacahan (Mathius et al. 2004b). Upaya mempertahankan dan meningkatkan kualitas nutrien pelepah kelapa sawit melalui amoniasi, pemberian molases, perlakuan alkali, pembuatan silase, tekanan uap tinggi, peletisasi, dan secara enzimatis telah dilakukan oleh para peneliti di Malaysia dan terbukti dapat meningkatkan kandungan nutrien pelepah. Pengawetan pelepah sawit dalam bentuk silase telah pula dilakukan tanpa mengubah kandungan nutrien maupun meningkatkan konsumsi (Wan Zahari et al. 2003). Lumpur sawit merupakan hasil ikutan ekstraksi minyak sawit dan mengandung air cukup tinggi. Produk samping ini dapat menimbulkan masalah lingkungan sehing-

9 214 I Wayan Mathius Tabel 5. Komposisi nutrisi produk samping tanaman dan hasil ikutan pengolahan buah kelapa sawit. Bahan/produk BK Abu PK SK L BETN Ca P GE samping (%)... % BK... (kal/g) Daun tanpa lidi 46,18 13,40 14,12 21,52 4,37 46,59 0,84 0, Pelepah 26,07 5,10 3,07 50,94 1,07 39,82 0,96 0, Solid/lumpur sawit 24,08 14,40 14,58 35,88 14,78 16,36 1,08 0, Bungkil 91,83 4,14 16,33 36,68 6,49 28,19 0,56 0, Serat perasan 93,11 5,90 6,20 48,10 3, Tandan kosong 92,10 7,89 3,70 47,93 4,70-0,24 0, Sumber: Mathius et al. (2004a). ga upaya untuk mengatasinya dilakukan dengan mengurangi kandungan air lumpur sawit untuk selanjutnya digunakan sebagai bahan pakan. Produk hasil pemisahan lumpur sawit dari airnya disebut solid atau blondo (Jawa). Solid mengandung protein kasar 14% dari bahan kering. Upaya untuk meningkatkan kandungan nutrien solid telah pula dilakukan dengan fermentasi secara aerob. Proses tersebut dapat meningkatkan kandungan protein kasar dan energi masing-masing menjadi 43,4% dan 2,34 kkal EM/g (Yeong et al. 1983). Fermentasi dengan menggunakan Aspergillus niger telah dilakukan oleh para peneliti Balai Penelitian Ternak, Ciawi-Bogor, dan dilaporkan dapat meningkatkan kandungan protein kasar dari 12,21% menjadi 24,5%, sementara kandungan energi metabolis meningkat dari 1,6 menjadi 1,7 kkal/g (Pasaribu et al. 1998; Sinurat et al. 1998; Purwadaria et al. 1999). Namun, teknologi fermentasi tersebut masih perlu disempurnakan agar dapat diterapkan pada skala lapang (Sinurat et al. 2004). Bungkil kelapa sawit mengandung nutrien dan nilai biologis yang tinggi sehingga sangat berpotensi sebagai pakan ternak. Tandan kosong dan serat perasan juga berpotensi sebagai bahan pakan, namun belum banyak dimanfaatkan karena mengandung serat kasar yang cukup tinggi. Upaya meningkatkan nilai nutrien produk samping tersebut untuk pakan ternak ruminansia belum banyak dilakukan, dan lebih banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku kompos. Pengolahan pelepah sawit sacara kimiawi dengan menggunakan 8% sodium hidroksida (NaOH) dapat meningkatkan kecernaan bahan kering dari 43,2% menjadi 58% (Jalaludin et al. 1991). Penggunaan sodium hidroksida hingga 12% maupun perlakuan fisik (tekanan uap), kombinasi perlakuan NaOH dengan tekanan uap menurunkan tingkat kecernaan bahan kering. Belum diketahui alasan yang kuat mengapa perlakuan tersebut dapat menurunkan tingkat kecernaan bahan kering. PEMANFAATAN PRODUK SAMPING INDUSTRI KELAPA SAWIT UNTUK SAPI POTONG Produk samping tanaman dan hasil ikutan pengolahan buah kelapa sawit belum dimanfaatkan secara optimal, khususnya sebagai bahan dasar ransum ternak ruminansia (Noel 2003). Sebagian besar produk

10 Pengembangan sapi potong berbasis industri kelapa sawit 215 samping tersebut mengandung serat kasar cukup tinggi. Oleh karena itu, bila diberikan secara tunggal kepada ternak ruminansia dapat menyebabkan ternak kekurangan pasokan nutrien. Menyadari hal tersebut, para peneliti berupaya untuk meningkatkan nilai nutriennya dengan berbagai cara (Jalaludin et al. 1991). Ditinjau dari kandungan nutrien, pelepah kelapa sawit dapat digunakan sebagai sumber atau pengganti pakan hijauan yang umum diberikan sebagai bahan dasar pakan (Hassan dan Ishida 1992), sementara Mathius et al. (2004a) membatasi jumlah pemberian pelepah maksimal 33% dari total kebutuhan bahan kering untuk sapi Bali. Selanjutnya studi awal yang dilakukan Hassan dan Ishida (1992) pada sapi Kedah Kalantan menunjukkan bahwa tingkat kecernaan bahan kering pelepah dapat mencapai 45%. Upaya Wan Zahari et al. (2003) untuk meningkatkan nilai nutrien dan biologis pelepah melalui pembuatan silase dengan menambahkan urea atau molases belum memberikan hasil yang signifikan, tetapi nilai nutrien cenderung meningkat. Namun pemberiannya disarankan tidak melebihi 30%. Untuk meningkatkan konsumsi dan kecernaan pelepah dapat dilakukan dengan menambahkan produk ikutan pengolahan buah kelapa sawit. Penampilan sapi yang diberi pelepah segar atau silase dalam bentuk kubus cukup menjanjikan. Pemberian tepung pelepah dalam bentuk pelet tidak disarankan karena ukurannya terlalu kecil, sehingga waktu tinggal pelet dalam saluran pencernaan menjadi singkat dan tidak dapat dimanfaatkan secara optimal oleh ternak. Untuk mengoptimalkan penggunaan pelepah kelapa sawit, pemotongan menjadi bentuk kubus (1-2 cm 3 ) lebih disarankan. Pemberian pelepah sebagai bahan dasar ransum dalam jangka panjang menghasilkan kualitas karkas yang baik. Daun kelapa sawit juga dapat digunakan sebagai pengganti pakan hijauan. Namun, pemanfaatan daun kelapa sawit sebagai pakan memiliki kelemahan dalam penyediaannya, yaitu adanya lidi sehingga menyulitkan ternak dalam mengkonsumsinya. Masalah tersebut dapat diatasi dengan pencacahan yang dilanjutkan dengan pengeringan, penggilingan untuk selanjutnya diberikan kepada ternak dalam bentuk pelet atau balok. Tandan kosong mengandung serat kasar yang tinggi, yang diindikasikan dengan kandungan serat detergen asam (ADF) yang mencapai 61%, serta memiliki nilai biologis yang rendah. Oleh karena itu, pemanfaatannya disarankan dicampur dengan bahan pakan yang berkualitas. Penggunaannya dalam ransum sapi berkisar antara 30-50% dan harus dicacah terlebih dahulu agar ukurannya layak dikonsumsi (+ 2 cm). Serat perasan merupakan hasil ikutan ekstraksi minyak sawit, dan mengandung protein kasar 6% dan serat kasar 48%. Hassan dan Ishida (1992) melaporkan bahwa kemampuan ternak untuk mengkonsumsi serat perasan cukup rendah karena nilai kecernaannya juga rendah, hanya 24-30%. Upaya untuk meningkatkan nilai nutrien dan biologis serat perasan dengan perlakuan kimia (alkali) dan fisik (tekanan tinggi) kurang memberikan manfaat yang berarti, sehingga pemanfaatan serat perasan untuk pakan belum dapat disarankan. Lumpur sawit mengandung protein kasar 12-14%, namun kandungan air yang tinggi (75%) menyebabkan produk samping ini kurang disukai ternak. Kandungan energi yang rendah dengan abu yang tinggi menyebabkan lumpur sawit tidak dapat

11 216 I Wayan Mathius digunakan secara tunggal sebagai pakan. Upaya untuk meningkatkan kandungan nutrien dan biologis lumpur sawit melalui fermentasi memberi peluang pemanfaatan produk samping tersebut sebagai pakan ternak ruminansia. Namun, jumlah pemberiannya yang aman belum diketahui dengan pasti. Pemberian lumpur sawit dikombinasikan dengan bungkil kelapa sawit memberikan respons positif pada ternak sapi (Jalaludin et al. 1991). Bungkil inti kelapa sawit merupakan produk samping yang berkualitas karena mengandung protein kasar cukup tinggi, yakni 16-18%, sementara kandungan serat kasarnya 36%. Pemanfaatan bungkil dengan penambahan produk samping lainnya perlu dilakukan untuk mengoptimalkan penggunaan bungkil sebagai pakan ternak sapi. Uraian di atas memperlihatkan bahwa hampir seluruh produk samping tanaman dan hasil ikutan pengolahan buah kelapa sawit dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pakan ternak ruminansia, meskipun pemberian secara tunggal tidak disarankan. Kelemahan salah satu produk samping dapat dilengkapi dengan kelebihan produk samping lainnya. Imbangan setiap bagian produk samping dalam pakan lengkap belum diketahui dengan pasti. Hasil penelitian awal pada sapi Bali belum mampu menjawab permasalahan tersebut, meskipun imbangan pelepah, solid, dan bungkil kelapa sawit 1 : 1 : 1 (dasar bahan kering) mampu memenuhi kebutuhan hidup pokok sapi Bali. Sapi Bali muda (umur 1,5 tahun) yang digunakan dalam penelitian baru didatangkan dari daerah yang bukan berbasis perkebunan kelapa sawit. Oleh karena itu, hasil penelitian saat itu baru dapat menunjukkan bahwa ternak sapi dapat memanfaatkan pelepah, solid, dan bungkil kelapa sawit sebagai bahan utama pakan dengan fase adaptasi yang cukup lama (+ 3 bulan). Hal tersebut tercermin pada penampilan ternak yang kurang memuaskan pada 3 bulan pertama. Uji biologis pakan yang tersusun dari campuran produk samping kelapa sawit pada sapi telah dilakukan oleh Mathius et al. (2004a). Ransum dengan imbangan 1/3 bagian cacahan daging pelepah, 1/3 bagian solid, dan 1/3 bagian bungkil inti kelapa sawit memberikan hasil terbaik, meskipun belum optimal (pertambahan bobot hidup harian 0,338 kg). Rendahnya tingkat konsumsi solid karena tingginya kandungan air bahan sehingga menurunkan tingkat palatabilitas. Salah satu upaya untuk meningkatkan palatabilitas solid adalah melalui fermentasi. Fermentasi secara aerobik dengan Aspergillus niger telah dilakukan Sinurat et al. (2004). Dilaporkan bahwa kandungan protein kasar produk fermentasi tersebut meningkat menjadi 22,1% (dasar bahan kering), sementara kandungan energi bruto bertambah menjadi kal/g (Mathius et al. 2005). Namun, teknologi fermentasi tersebut masih memerlukan penyempurnaan. Solid segar yang dihasilkan oleh decanter masih mengandung air cukup tinggi (sekitar 75%) sehingga proses fermentasi tidak efektif. Pada kondisi seperti itu, bakteri pembusuk akan mudah tumbuh. Kadar air sangat berpengaruh terhadap keberhasilan fermentasi. Kandungan air substrat lebih dari 60% menghasilkan produk yang kurang baik (Sinurat et al. 2004). Pengkajian fermentasi campuran solid-bungkil dengan kandungan air yang berbeda menunjukkan terjadinya kehilangan bahan kering selama proses fermentasi, sementara kandungan protein kasarnya juga berbeda (Tabel 6). Kehilangan bahan kering selama proses fermentasi disebabkan mikroorganisme menggunakan sub-

12 Pengembangan sapi potong berbasis industri kelapa sawit 217 Tabel 6. Kehilangan bahan kering produk fermentasi. Kadar bahan kering Bahan kering produk Kehilangan bahan Kadar protein substrat awal fermentasi kering kasar (%) (%) (%) (%) 50 62,62 18,74 19, ,25 18,70 20, ,94 36,43 18,67 24* *Proses fermentasi gagal, dan ditumbuhi oleh kapang pengganggu. strat untuk berkembang biak dan menghasilkan air dan karbon dioksida sebagai sisa metabolisme. Oleh karena itu, kehilangan bahan kering dapat digunakan sebagai indikator pertumbuhan mikroorganisme dalam substrat. Pada penelitian ini, kehilangan bahan kering tertinggi tercapai pada substrat dengan kadar air awal 60%, sedangkan kadar proteinnya tidak berbeda. Meskipun demikian, perlakuan kadar air 60% adalah yang terbaik karena protein sejati (protein kasar minus protein terlarut) yang ada pada produk lebih tinggi dari produk kedua perlakuan lainnya. Kandungan protein produk fermentasi yang diperoleh pada percobaan ini (Tabel 7) lebih rendah dibanding yang dilaporkan Sinurat et al. (1998). Oleh karena itu, penyempurnaan proses fermentasi perlu dilakukan. Produk fermentasi cukup baik digunakan sebagai sumber protein dalam penyusunan konsentrat pakan sapi. Umumnya konsentrat sapi hanya mengandung protein sekitar 14%. Dengan demikian, produk fermentasi perlu dicampur dengan bahan lain seperti lumpur sawit segar, bungkil inti sawit dan/atau serat perasan untuk mencapai kadar protein ransum yang diinginkan. Dengan asumsi bahwa kualitas produk fermentasi dapat meningkat dua kali dari bahan bakunya maka jumlah ternak yang dapat diberi produk fermentasi menjadi dua kali pula. Pengujian lebih lanjut terhadap kandungan nutrien produk fermentasi dari imbangan terbaik, yakni dengan kadar bahan kering 40%, menunjukkan hasil sebagaimana tertera pada Tabel 7. Selanjutnya imbangan ini digunakan sebagai bahan pada uji biologis pada ternak sapi. Hasil pengujian biologis produk fermentasi dibandingkan dengan konsentrat komersial menunjukkan bahwa ternak tidak mengalami gangguan pencernaan. Substitusi solid tanpa fermentasi dengan produk fermentasi meningkatkan nafsu makan ternak (Tabel 8). Sapi yang mendapat pakan solid fermentasi memberikan respons yang positif dan konsumsi bahan kering meningkat (2,4% vs 3,04% bobot hidup). Peningkatan jumlah pemberian solid terfermentasi hingga 66% justru menurunkan konsumsi bahan kering. Pola konsumsi protein kasar dan energi mengikuti pola konsumsi bahan kering. Ternak sapi yang mendapatkan ransum yang tersusun dari solid terfermentasi mengkonsumsi lebih banyak protein dan energi. Konsekuensi dari tingkat konsumsi ransum, yang sekaligus mempengaruhi konsumsi nutrien lainnya, terutama protein

13 218 I Wayan Mathius Tabel 7. Kandungan nutrien bungkil inti sawit, lumpur sawit dan produk fermentasinya. Uraian Bungkil inti sawit Lumpur sawit Produk fermentasi Bahan kering Protein kasar 12,20 11,94 22,10 Protein sejati 13,59 10,94 19,74 Lemak 9,60 10,40 18,56 Abu 3,50 28,65 25,85 Serat kasar 21,70 29,76 18,60 Kalsium 0,36 0,74 1,24 Fosfor 0,71 0,46 0,65 Energi total (kal/g) Tabel 8. Konsumsi dan pertambahan bobot hidup harian sapi dengan berbagai perlakuan pakan limbah sawit. Parameter R1 R2 R3 R4 Konsumsi BK (kg/e) Pelepah 1,84 1,28 1,79 1,74 Solid - 0, Solid fermentasi - 1,27 1,25 1,84 Bungkil kelapa sawit - - 1,74 - Konsentrat 2, Total 4,72 3,55 4,75 3,58 % bobot hidup 3,19 2,43 3,04 2,33 Konsumsi (g/e) Protein kasar 373,40 290,40 536,70 440,55 Serat kasar ,20 823, ,50 Energi total (kkal) Bahan organik , , ,50 PBHH (g/hari) Efisiensi konsumsi penggunaan pakan 11,36 9,93 7,04 7,09 R1 : pelepah + konsentrat komersial R2 : pelepah + solid tanpa fermentasi + bungkil inti sawit R3 : pelepah + solid fermentasi + bungkil inti sawit R4 : pelepah + solid fermentasi kasar dan energi, adalah pertambahan bobot hidup harian. Laju pertambahan bobot hidup harian pada penelitian ini berkisar antara 0,310-0,582 kg/hari (Tabel 8), lebih tinggi dari yang dilaporkan Sudana (1992) dengan kisaran 0,089-0,208 kg/hari. Hasil pengamatan Panjaitan et al. (2003) terhadap penampilan sapi Bali pada kondisi lapang di daerah NTB selama 3 tahun menunjukkan bahwa pertambahan bobot hidup anak sapi Bali yang belum disapih adalah 0, ,11 kg/ekor/hari,

14 Pengembangan sapi potong berbasis industri kelapa sawit 219 sementara pertambahan bobot hidup harian sapi Bali muda/pascasapih 0,23 + 0,11 kg. Nilai tersebut lebih rendah dibanding yang diperoleh pada penelitian ini. Nilai pertambahan bobot hidup harian pada sapi yang mendapat ransum solid tanpa fermentasi (0,310 kg) adalah yang terendah, dan yang tertinggi diperoleh pada sapi yang mendapat ransum yang tersusun dari 33% produk terfermentasi (0,582 kg), dan berbeda dengan pertambahan bobot hidup harian sapi yang diberi ransum yang tersusun dari 66% produk fermentasi (0,474 g). Hasil penelitian ini juga menunjukkan, tingkat efisiensi penggunaan pakan/ransum terbaik diperoleh pada ternak yang mendapat ransum solid 33%, dengan nilai 7,04, dan yang terendah pada sapi yang mendapat ransum komersial, yakni 11,36. Mengacu pada data yang diperoleh, diyakini bahwa ternak sapi dapat dikembangkan dengan mengandalkan produk samping industri kelapa sawit (Mathius et al. 2004b). Dengan kata lain, produk samping industri kelapa sawit dapat diandalkan sebagai sumber utama pakan sapi. MODEL PENGEMBANGAN USAHA SAPI POTONG DI TINGKAT LAPANG Pakan yang dapat disediakan oleh industri perkebunan kelapa sawit bersumber pada dua lokasi, yaitu: (1) kebun kelapa sawit, yang dapat menyediakan bahan baku utama berupa vegetasi alam, pelepah, dan daun; dan (2) pabrik kelapa sawit yang dapat menyediakan pakan tambahan berupa solid dan bungkil inti sawit. Produk ikutan pengolahan buah sawit dapat disediakan dalam bentuk seadanya (segar) maupun dalam bentuk olahan yang diperkaya kandungan nutriennya melalui fermentasi. Proses pengkayaan dapat dilakukan oleh perusahaan atau pihak lain, seperti koperasi perusahaan, yang selanjutnya bertindak menjadi pemasok. Diharapkan pemasok memperoleh nilai tambah dari penjualan produk kepada pengguna. Didasarkan pada pertimbangan kesesuaian daya dukung wilayah (pakan), ketersediaan tenaga kerja, serta sarana dan prasarana maka pendekatan dalam upaya pengembangan sapi potong di kawasan industri kelapa sawit dapat dikelompokkan dalam dua model, yaitu: (1) model usaha perbanyakan, penyediaan bakalan, dan bibit sapi potong; dan (2) model pembesaran dan penggemukan sapi potong. Model pertama dapat dilakukan pada tingkat para pemanen pada kebun inti dan petani plasma pada kebun binaan, sedangkan model kedua dapat dijalankan oleh perusahaan atau koperasi perusahaan. Model Usaha Perbanyakan dan Penyediaan Sapi Potong Bakalan Terbatasnya luas lahan garapan para pemanen atau petani-kebun maka usaha cow-calf operation sebaiknya diterapkan dengan jumlah ternak terbatas, yakni 2 ekor sapi potong/ha kebun kelapa sawit. Dengan demikian, petani-kebun dengan lahan garapan 2-4 ha dapat memelihara 4-8 ekor sapi potong, sementara pemanen (karyawan) dengan luas ancak/olahan ha dapat memelihara ekor sapi potong. Untuk menekan biaya produksi, baik biaya tenaga kerja maupun penyediaan pakan, khususnya pakan hijauan, maka pola pemeliharaan sebaiknya dilakukan secara semi-intensif, yaitu ternak dikan-

15 220 I Wayan Mathius dangkan pada malam hari dan digembalakan secara terbatas (dengan pengawasan/diikat) pada siang hari. Agar daya dukung pakan hijauan lokal tersedia sepanjang tahun maka penggembalaan harus diatur. Defoliasi yang berlebihan dapat terjadi, sehingga keseimbangan vegetasi yang ada harus dipertahankan dan bahkan ditingkatkan untuk menghindari kerusakan kebun akibat kelebihan daya tampung (over-grazing). Pemberian pakan yang bersumber hanya dari pelepah-daun kelapa sawit, vegetasi alam, dan produk samping tanaman pangan belum mampu memenuhi kebutuhan nutrien sapi potong sehingga akan mengganggu siklus reproduksi dan produksi. Oleh karena itu, ternak perlu mendapat pakan tambahan hasil ikutan pengolahan kelapa sawit. Dengan pengaturan sistem perkawinan yang terarah, para pemanen/petani-kebun dapat menjual ternak bakalan berumur 1-1,5 tahun secara periodik dan berkelanjutan mulai pada tahun kedua atau ketiga. Jumlah ternak yang dijual bergantung pada jumlah kepemilikan ternak dan jumlah ternak betina yang dimiliki. Pengeluaran sapi jantan anak diarahkan sebagai sapi bakalan untuk pembesaran dan penggemukan. Diharapkan pihak perusahaan atau yang ditunjuk dapat menampung sapi bakalan untuk selanjutnya dibesarkan, digemukkan, dan dipasarkan. Sapi betina anak dapat didistribusikan kembali ke pemanen/petanikebun untuk dijadikan calon induk. Pola yang diterapkan di tingkat pemanen/petani-kebun tersebut dapat pula diarahkan sebagai sumber bibit sapi potong. Dengan sistem pendataan yang baik, diyakini program tersebut dapat diarahkan untuk penyediaan sapi potong bibit. Model Usaha Pembesaran dan Penggemukan Kontinuitas pengadaan sapi bakalan dari model perbanyakan dan penyediaan bakalan sangat menentukan keberadaan usaha pembesaran dan penggemukan sapi potong. Untuk itu dibutuhkan ketersediaan pakan yang berkelanjutan, sumber daya manusia yang terampil, serta sarana dan prasarana yang memadai. Ketersediaan pakan tidak hanya dalam bentuk hijauan sebagai pakan pokok, tetapi juga bahan pakan tambahan agar kebutuhan ternak akan nutrien terpenuhi. Pakan tambahan dapat disusun dari hasil ikutan industri kelapa sawit yang telah diperkaya kandungan nutriennya dan dilengkapi dengan pakan imbuhan sebagai sumber mineral dan vitamin. Untuk memudahkan dalam tata laksana harian pengelolaan usaha tersebut, maka pengembangan model pembesaran dan penggemukan sebaiknya diarahkan ke daerah di sekitar pabrik pengolahan kelapa sawit. Hasil ikutan solid dan bungkil inti kelapa sawit merupakan komponen penting bahan pakan sumber protein dan energi. Hasil ikutan yang telah diperkaya kandungan nutriennya dapat diformulasikan sebagai bahan pakan tambahan sehingga pemberian pakan lengkap, dalam arti cukup jumlah dan baik kualitasnya, dapat dipenuhi dan bobot hidup siap potong dapat tercapai dalam waktu tertentu. Dengan asumsi konsumsi bahan kering untuk sapi potong sebanyak 4% dari bobot hidup, dan kapasitas produksi produk samping dan hasil ikutan industri pengolahan kelapa sawit diketahui, maka daya tampung ternak untuk pembesaran dan penggemukan dalam suatu wilayah industri dapat dihitung.

16 Pengembangan sapi potong berbasis industri kelapa sawit 221 Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pemberian pakan yang tersusun dari pelepah kelapa sawit, solid yang diperkaya, dan bungkil inti kelapa sawit dapat meningkatkan pertambahan bobot hidup harian sebesar 0,6 kg/hari (Mathius et al. 2005). Sementara pemberian cacahan pelepah ditambah solid yang belum diperkaya dan bungkil inti kelapa sawit hanya memberikan pertambahan bobot hidup harian 0,34 kg (Mathius et al. 2004a). Pemeliharaan sapi secara tradisional hanya mampu menghasilkan pertambahan bobot hidup sapi prasapih 0,21-0,41 kg/hari (Bamualim dan Wirdahayati 2003; Panjaitan et al. 2003) dan pada sistem feedlot 0,40 kg/ hari (Oka 2003). Sapi Bali pascasapih dengan kondisi pemeliharaan tradisional di NTT mampu memberikan pertambahan bobot hidup harian 0,21 kg (Bamualim dan Wirdahayati (2003), sementara di NTB mampu tumbuh 0,23 kg/hari (Panjaitan et al. 2003). Untuk efisiensi pemanfaatan pakan maka penyediaan dan pemberian pakan perlu diperhitungkan sebaik mungkin agar dapat memenuhi kebutuhan harian ternak (konsumsi bahan kering 4% dari bobot hidup). Hal ini juga untuk mencegah pemborosan pemberian pakan, terutama bila perbedaan bobot hidup individu sapi dalam suatu kelompok cukup besar. Perubahan yang terjadi setiap hari pada masingmasing ternak perlu mendapat perhatian sehingga diperlukan sumber daya manusia yang terampil. Sistem pemeliharaan secara intensif mengharuskan pengelolaan yang profesional sehingga model ini disarankan dilakukan oleh badan usaha/anak perusahaan (seperti koperasi), yang sekaligus dapat bertindak sebagai inti usaha sapi potong. PENUTUP Untuk memenuhi permintaan daging perlu diupayakan penyediaan dan pemberian pakan yang memadai agar produktivitas sapi potong dapat ditingkatkan. Sapi potong dapat mengubah pakan berserat menjadi sumber pangan yang berkualitas. Produk samping tanaman pertanian belum dimanfaatkan secara optimal, khususnya produk samping perkebunan dan hasil ikutan industri kelapa sawit. Dengan inovasi teknologi yang ada, pemanfaatan limbah dan produk samping industri kelapa sawit dapat meningkatkan pertambahan bobot hidup harian sapi potong hingga 72% atau 0,60 kg. Jika diasumsikan luas lahan perkebunan kelapa sawit (di luar Pulau Jawa dan Bali) yang sedang berproduksi ha (tahun 2002) maka industri kelapa sawit dapat menampung + 8,5 juta satuan ternak. Dengan demikian, populasi sapi potong yang ada di Indonesia dapat ditampung oleh industri kelapa sawit. Pada saat ini baru 51% populasi sapi potong berada di luar Pulau Jawa dan Bali. Oleh karena itu, perlu pemikiran lebih lanjut dalam penentuan kebijakan penetapan kawasan industri pengembangan, terutama dikaitkan dengan skala kepemilikan/pengelolaan sapi potong yang lebih banyak jumlahnya. Mengacu pada pola kepemilikan perkebuan kelapa sawit (rakyat, swasta dan BUMN), pola usaha sapi potong yang disarankan adalah: (1) pola usaha penyediaan bakalan dan perbanyakan bibit, dan (2) pola pembesaran dan penggemukan. Pola kedua membutuhkan perhatian yang lebih banyak, terutama penyediaan pakan, sehingga pola ini harus dilakukan secara

17 222 I Wayan Mathius intensif. Dalam tata laksana keseharian, sebaiknya pola ini dikelola dalam bentuk kelompok dan/atau oleh perusahaan inti/ koperasi. Untuk mendapat hasil yang memuaskan, kedua pola ini perlu dilakukan seiring-sejalan secara simultan. Jika kedua pola ini berjalan berdampingan, diyakini produktivitas sapi potong dapat ditingkatkan dan sekaligus memberi nilai tambah bagi industri kelapa sawit. Dengan perkataan lain, pendapatan per satuan luas lahan perkebunan kelapa sawit dapat meningkat. DATAR PUSTAKA Aritonang, D Pengaruh Pemberian Bungkil Inti Sawit dalam Ransum Babi yang Sedang Tumbuh. Disertasi. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bamualim, A. and R.B. Wirdahayati Nutrition and management strategies to improve Bali cattle in eastern Indonesia. In K. Entwistle and D.R. Lindsay (Eds.). Strategies to Improve Bali Cattle in Eastern Indonesia. ACIAR Proc. No. 110: BPS Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Chen, C.P Management of forage for animal production under tree crops. p Proc. Integrated Tree Cropping and Small Ruminant Production System. SR-CRSP. Univ. California Davis, USA. Chen, C.P., H.K. Wong, and I. Dahlan Herbivores and plantation. p In Recent Advances on the Nutrition of Herbivores. Selangor-Malaysia. MSAP. Departemen Pertanian Rencana Pembangunan Pertanian Tahun Departemen Pertanian, Jakarta. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan Buku Statistik Peternakan Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Jakarta. Diwyanto, K., D. Sitompul, I. Manti, I.W. Mathius, dan Soentoro Pengkajian pengembangan usaha sistem integrasi kelapa sawit-sapi. hlm Dalam Setiadi et al. (Ed.). Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pemerintah Provinsi Bengkulu dan PT Agricinal. Fitzhugh, G.H., H.J. Hodgson, O.J. Scoville, T.D. Nguyen, and T.C. Byerly The Role of Ruminants in Support of Man. Winrock International, Arkansas USA. Fold, N Oil palm: Market and trade. Burotrop Bull. 19: Fordyce, G., T. Panjaitan, Muzani, and D. Poppi Management to facilitate genetic improvement of Bali cattle in eastern Indonesia. In K. Entwistle and D.R. Lindsay (Eds.). Strategies to Improve Bali Cattle in Eastern Indonesia. ACIAR Proc. No. 110: Gongal, G.N Aspects of the focal theme. Anim. Res. Dev. 43/44: Hassan, O.A. and M. Ishida Status of utilization of selected fibrous crop residues and animal performance with special emphasis on processing of oil palm frond (OPF) for ruminant feed in Malaysia. Trop. Agric. Res. Series 24: Ishida, M. and O.A. Hassan Utilization of oil palm frond as cattle feed. JARQ 31: Jalaludin, S., Y.W. Ho, N. Abdullah, and H. Kudo Strategies for animal improvement in Southeast Asia. In

18 Pengembangan sapi potong berbasis industri kelapa sawit 223 Utilization of Feed Resources in Relation to Utilization and Physiology of Ruminants in the Tropics. Trop. Agric. Res. Series 25: Jaya, U Daging sapi Indonesia berpeluang ekspor. Semai 2(3): 6-9. Kawamoto, H., M. Wan Zahari, N.I. Mohd Shukur, M.S. Mohd Ali, Y. Ismail, and S. Oshio Palatability, digestibility and voluntary intake of processed oil palm fronds in cattle. JARQ 35(3): Laconi, E.B Peningkatan Mutu Pod Kakao Melalui Amoniasi dengan Urea dan Fermentasi dengan Phanerochaete chrysosporium serta Penjabarannya ke dalam Formulasi Ransum Ruminansia. Disertasi Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Liwang, T Palm oil mill effluent management. Burotrop Bull. 19: 38. Mathius, I-W., M. Rangkuti, dan L.P. Batubara Pemanfaatan jerami kacang tanah sebagai pakan domba. hlm Prosiding Seminar Pemanfaatan Limbah Pangan dan Limbah Pertanian untuk Makanan Ternak. Lembaga Kimia Nasional LIPI Bandung. Mathius, I-W., J.E. van Eys, M. Rangkuti, N. Thomas, dan W.L. Johnson Karakteristik sistem pemeliharaan ternak ruminansia kecil di Jawa Barat: Aspek makanan. hlm Prosiding Domba dan Kambing di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Mathius, I-W., D. Sitompul, B.P. Manurung, dan Azmi. 2004a. Produk samping tanaman dan pengolahan kelapa sawit sebagai bahan pakan ternak sapi potong: Suatu tinjauan. hlm Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pemerintah Provinsi Bengkulu dan PT Agricinal. Mathius, I-W., Azmi, B.P. Manurung, D.M. Sitompul, dan E. Priyatomo. 2004b. Integrasi sapi-sawit: Imbangan pemanfaatan produk samping sebagai bahan dasar pakan. hlm Prosiding Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali dan CASREN. Mathius, I-W., A.P. Sinurat, B.P. Manurung, D.M. Sitompul, dan Azmi Pemanfaatan produk fermentasi lumpur-bungkil sebagai bahan pakan sapi potong. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Moran, J.B The performances of Indonesian breeds of cattle in Indonesia when fed high concentrate diets. Mimeo Report. Center for Animal Researh and Development, Bogor. Noel, J.M Processing and byproducts. Burotrop Bull. 19: 8. Oka, L Performance of Bali cattle heifers and calves prior to weaning in the feedlot system. In K. Entwistle and D.R. Lindsay (Eds.). Strategies to Improve Bali Cattle in Eastern Indonesia. ACIAR Proc. No. 110: Panjaitan. T., G. Fardyce, and D. Poppi Bali cattle performance in dry tropics of Sumbawa. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 8(3): Pasaribu, T., A.P. Sinurat, T. Purwadaria, Supriyati, dan H. Hamid Peningkatan nilai gizi lumpur sawit melalui proses fermentasi: Pengaruh jenis kapang, suhu dan lama proses enzi-

INOVASI TEKNOLOGI PEMANFAATAN PRODUK SAMPING INDUSTRI KELAPA SAWIT SEBAGAI PAKAN RUMINANSIA

INOVASI TEKNOLOGI PEMANFAATAN PRODUK SAMPING INDUSTRI KELAPA SAWIT SEBAGAI PAKAN RUMINANSIA INOVASI TEKNOLOGI PEMANFAATAN PRODUK SAMPING INDUSTRI KELAPA SAWIT SEBAGAI PAKAN RUMINANSIA I-WAYAN MATHIUS Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002 ABSTRAK Ketergantungan akan komponen impor bahan

Lebih terperinci

PRODUK SAMPING TANAMAN DAN PENGOLAHAN BUAH KELAPA SAWIT SEBAGAI BAHAN DASAR PAKAN KOMPLIT UNTUK SAPI: Suatu Tinjauan

PRODUK SAMPING TANAMAN DAN PENGOLAHAN BUAH KELAPA SAWIT SEBAGAI BAHAN DASAR PAKAN KOMPLIT UNTUK SAPI: Suatu Tinjauan PRODUK SAMPING TANAMAN DAN PENGOLAHAN BUAH KELAPA SAWIT SEBAGAI BAHAN DASAR PAKAN KOMPLIT UNTUK SAPI: Suatu Tinjauan I-WAYAN MATHIUS 1, DAPOT SITOMPUL 2, B.P. MANURUNG 3 dan AZMI 3 1 Balai Penelitian Ternak,

Lebih terperinci

PAKAN LENGKAP BERBASIS BIOMASSA SAWIT: PENGGEMUKAN SAPI LOKAL DAN KAMBING KACANG

PAKAN LENGKAP BERBASIS BIOMASSA SAWIT: PENGGEMUKAN SAPI LOKAL DAN KAMBING KACANG 0999: Amir Purba dkk. PG-57 PAKAN LENGKAP BERBASIS BIOMASSA SAWIT: PENGGEMUKAN SAPI LOKAL DAN KAMBING KACANG Amir Purba 1, I Wayan Mathius 2, Simon Petrus Ginting 3, dan Frisda R. Panjaitan 1, 1 Pusat

Lebih terperinci

RENCANA PENGEMBANGAN PETERNAKAN PADA SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KALIMANTAN SELATAN

RENCANA PENGEMBANGAN PETERNAKAN PADA SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KALIMANTAN SELATAN RENCANA PENGEMBANGAN PETERNAKAN PADA SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KALIMANTAN SELATAN MASKAMIAN Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan Jl. Jenderal Sudirman No 7 Banjarbaru ABSTRAK Permintaan pasar

Lebih terperinci

SUMBERDAYA INDUSTRI KELAPA SAWIT DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI NASIONAL

SUMBERDAYA INDUSTRI KELAPA SAWIT DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI NASIONAL SUMBERDAYA INDUSTRI KELAPA SAWIT DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI NASIONAL Firman RL Silalahi 1,2, Abdul Rauf 3, Chairani Hanum 3, dan Donald Siahaan 4 1 Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Medan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Upaya memenuhi kebutuhan hijauan ternak ruminansia saat ini, para

I. PENDAHULUAN. Upaya memenuhi kebutuhan hijauan ternak ruminansia saat ini, para I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya memenuhi kebutuhan hijauan ternak ruminansia saat ini, para peternak selayaknya memanfaatkan bahan pakan yang berasal dari hasil ikutan produk sampingan olahan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI PADA KAWASAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI PROVINSI JAMBI

PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI PADA KAWASAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI PROVINSI JAMBI Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa SawitSapi PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI PADA KAWASAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT BAMBANG PRAYUDI 1, NATRES ULFI 2 dan SUPRANTO ARIBOWO 3 1 Balai Pengkajian

Lebih terperinci

Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri 0lahannya sebagai Pakan Ternak produk samping agroindustri perkebunan. Dari pe

Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri 0lahannya sebagai Pakan Ternak produk samping agroindustri perkebunan. Dari pe OPTIMASI PENGGUNAAN PRODUK SAMPING KELAPA SAWIT SEBAGAI PAKAN RUMINANSIA WISRI PUASTUTI Balai Penelitian Ternak, PO Box 22/ Bogor /6002 ABSTRAK Pemanfaatan pakan alternatif sebagai pakan andalan di masa

Lebih terperinci

POTENSI LIMBAH SAWIT UNTUK PAKAN TERNAK SAPI DI KALIMANTAN SELATAN

POTENSI LIMBAH SAWIT UNTUK PAKAN TERNAK SAPI DI KALIMANTAN SELATAN POTENSI LIMBAH SAWIT UNTUK PAKAN TERNAK SAPI DI KALIMANTAN SELATAN ENI SITI ROHAENI BPTP Kalimantan Selatan Jl. Panglima Batur Barat No. 4 Banjarbaru, kalimantan Selatan Telpon (0511) 4772346 dan Fax (0511)

Lebih terperinci

PELEPAH DAN DAUN SAWIT SEBAGAI PAKAN SUBSTITUSI HIJAUAN PADA PAKAN TERNAK SAPI POTONG DI KABUPATEN LUWU TIMUR SULAWESI SELATAN

PELEPAH DAN DAUN SAWIT SEBAGAI PAKAN SUBSTITUSI HIJAUAN PADA PAKAN TERNAK SAPI POTONG DI KABUPATEN LUWU TIMUR SULAWESI SELATAN PELEPAH DAN DAUN SAWIT SEBAGAI PAKAN SUBSTITUSI HIJAUAN PADA PAKAN TERNAK SAPI POTONG DI KABUPATEN LUWU TIMUR SULAWESI SELATAN (Midrib and leaf palm as substituting forages for feed cattle at East Luwu

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa SawitSapi POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN ABDULLAH BAMUALIM dan SUBOWO G. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. keberhasilan usaha pengembangan peternakan disamping faktor bibit dan

TINJAUAN PUSTAKA. keberhasilan usaha pengembangan peternakan disamping faktor bibit dan TINJAUAN PUSTAKA Sumberdaya Pakan Pakan adalah bahan makanan tunggal atau campuran, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diberikan kepada hewan untuk kelangsungan hidup, berproduksi, dan berkembang

Lebih terperinci

Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri 0lahannya sebagai Pakan Ternak cukup tinggi, nutrisi yang terkandung dalam lim

Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri 0lahannya sebagai Pakan Ternak cukup tinggi, nutrisi yang terkandung dalam lim POTENSI LIMBAH SAWIT SEBAGAI BAHAN BAKU PAKAN ALTERNATIF PADA AYAM NUNUKAN PERIODE PRODUKSI IMAM SULISTIYONO dan NUR RIZQI BARIROH Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Timur JI. Pangeran M.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kehidupan dan kelangsungan populasi ternak ruminansia. Menurut Abdullah et al.

I. PENDAHULUAN. kehidupan dan kelangsungan populasi ternak ruminansia. Menurut Abdullah et al. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hijauan merupakan bahan pakan sumber serat yang sangat diperlukan bagi kehidupan dan kelangsungan populasi ternak ruminansia. Menurut Abdullah et al. (2005) porsi hijauan

Lebih terperinci

KOMPOSISI KIMIA BEBERAPA BAHAN LIMBAH PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN

KOMPOSISI KIMIA BEBERAPA BAHAN LIMBAH PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN KOMPOSISI KIMIA BEBERAPA BAHAN LIMBAH PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN NINA MARLINA DAN SURAYAH ASKAR Balai Penelitian Ternak, P.O. Box 221, Bogor 16002 RINGKASAN Salah satu jenis pakan

Lebih terperinci

HIJAUAN GLIRICIDIA SEBAGAI PAKAN TERNAK RUMINANSIA

HIJAUAN GLIRICIDIA SEBAGAI PAKAN TERNAK RUMINANSIA HIJAUAN GLIRICIDIA SEBAGAI PAKAN TERNAK RUMINANSIA I Wayan Mathius Balai Penelitian Ternak, Bogor PENDAHULUAN Penyediaan pakan yang berkesinambungan dalam artian jumlah yang cukup clan kualitas yang baik

Lebih terperinci

Menurut Ditjen Perkebunan (2011) bahwa luas areal perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia adalah 9,1 juta ha Kawasan secara ekonomis kurang

Menurut Ditjen Perkebunan (2011) bahwa luas areal perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia adalah 9,1 juta ha Kawasan secara ekonomis kurang 1 2 Menurut Ditjen Perkebunan (2011) bahwa luas areal perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia adalah 9,1 juta ha Kawasan secara ekonomis kurang produktif untuk penyediaan sumber pakan & menjadi kawasan

Lebih terperinci

PELUANG PEMANFAATAN LIMBAH SAWIT UNTUK PENGGEMUKAN TERNAK SAPI

PELUANG PEMANFAATAN LIMBAH SAWIT UNTUK PENGGEMUKAN TERNAK SAPI PELUANG PEMANFAATAN LIMBAH SAWIT UNTUK PENGGEMUKAN TERNAK SAPI ENI SITI ROHAENI, AKHMAD HAMDAN dan AHMAD SUBHAN Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan Jl. RO Ulin Loktabat, Banjarbaru,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit merupakan komoditi utama perkebunan di Indonesia. Komoditas kelapa sawit mempunyai peran yang cukup strategis dalam

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit merupakan komoditi utama perkebunan di Indonesia. Komoditas kelapa sawit mempunyai peran yang cukup strategis dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelapa sawit merupakan komoditi utama perkebunan di Indonesia. Komoditas kelapa sawit mempunyai peran yang cukup strategis dalam perekonomian Indonesia. Pertama, minyak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit adalah salah satu komoditas non migas andalan Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit adalah salah satu komoditas non migas andalan Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelapa sawit adalah salah satu komoditas non migas andalan Indonesia. Selain menghasilkan produksi utamanya berupa minyak sawit dan minyak inti sawit, perkebunan kelapa

Lebih terperinci

Pengaruh Lumpur Sawit Fermentasi dalam Ransum Terhadap Performa Ayam Kampung Periode Grower

Pengaruh Lumpur Sawit Fermentasi dalam Ransum Terhadap Performa Ayam Kampung Periode Grower Jurnal Peternakan Sriwijaya Vol. 4, No. 2, Desember 2015, pp. 41-47 ISSN 2303 1093 Pengaruh Lumpur Sawit Fermentasi dalam Ransum Terhadap Performa Ayam Kampung Periode Grower F.N.L. Lubis 1*, S. Sandi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Permintaan pangan hewani terutama daging sapi meningkat cukup besar

I. PENDAHULUAN. Permintaan pangan hewani terutama daging sapi meningkat cukup besar 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Permintaan pangan hewani terutama daging sapi meningkat cukup besar sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk baik pada tingkat nasional maupun wilayah provinsi. Untuk

Lebih terperinci

POTENSI PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI DAN KELAPA SAWIT RAKYAT DI PROPINSI BENGKULU. Afrizon dan Andi Ishak

POTENSI PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI DAN KELAPA SAWIT RAKYAT DI PROPINSI BENGKULU. Afrizon dan Andi Ishak POTENSI PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI DAN KELAPA SAWIT RAKYAT DI PROPINSI BENGKULU Afrizon dan Andi Ishak Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu ABSTRAK Integrasi sapi dengan kelapa

Lebih terperinci

Prof. Dr. Ir. Erika Budiarti Laconi, MS. Prof. Dr. Ir. Erika Budiarti Laconi, MS. Prof. Dr. Ir. Erika Budiarti Laconi, MS.

Prof. Dr. Ir. Erika Budiarti Laconi, MS. Prof. Dr. Ir. Erika Budiarti Laconi, MS. Prof. Dr. Ir. Erika Budiarti Laconi, MS. ORASI ILMIAH GURU BESAR ORASI ILMIAH GURU BESAR HARMONISASI KEBIJAKAN INTEGRASI SAPI PERKEBUNAN UNTUK MENDUKUNG KECUKUPAN DAGING HARMONISASI KEBIJAKAN INTEGRASI SAPI PERKEBUNAN UNTUK MENDUKUNG KECUKUPAN

Lebih terperinci

Inovasi Ternak Dukung Swasembada Daging dan Kesejahteraan Peternak

Inovasi Ternak Dukung Swasembada Daging dan Kesejahteraan Peternak Agro inovasi Inovasi Ternak Dukung Swasembada Daging dan Kesejahteraan Peternak Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Jl. Ragunan No.29 Pasar Minggu Jakarta Selatan www.litbang.deptan.go.id 2 AgroinovasI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. memadai, ditambah dengan diberlakukannya pasar bebas. Membanjirnya susu

PENDAHULUAN. memadai, ditambah dengan diberlakukannya pasar bebas. Membanjirnya susu I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sapi perah mempunyai potensi yang sangat besar untuk dikembangkan di Indonesia, dikarenakan kebutuhan akan susu domestik dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan

Lebih terperinci

Jurnal Dinamika Pertanian Volume XXIX Nomor 3 Desember 2014 ( ) ISSN

Jurnal Dinamika Pertanian Volume XXIX Nomor 3 Desember 2014 ( ) ISSN Jurnal Dinamika Pertanian Volume XXIX Nomor 3 Desember 2014 (255-262) ISSN 0215-2525 USAHA PENGGEMUKAN SAPI POTONG BERBASIS LIMBAH INDUSTRI KELAPA SAWIT (KASUS PADA KELOMPOK TERNAK DI DESA BUKIT HARAPAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan kebutuhan daging sapi lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan daging sapi. Ternak sapi,

Lebih terperinci

Sistem Usahatani Terpadu Jagung dan Sapi di Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan

Sistem Usahatani Terpadu Jagung dan Sapi di Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan Sistem Usahatani Terpadu Jagung dan Sapi di Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan Matheus Sariubang, Novia Qomariyah dan A. Nurhayu Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan Jl. P. Kemerdekaan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LIMBAH PASAR SEBAGAI PAKAN RUMINANSIA SAPI DAN KAMBING DI DKI JAKARTA

PEMANFAATAN LIMBAH PASAR SEBAGAI PAKAN RUMINANSIA SAPI DAN KAMBING DI DKI JAKARTA PEMANFAATAN LIMBAH PASAR SEBAGAI PAKAN RUMINANSIA SAPI DAN KAMBING DI DKI JAKARTA DKI Jakarta merupakan wilayah terpadat penduduknya di Indonesia dengan kepadatan penduduk mencapai 13,7 ribu/km2 pada tahun

Lebih terperinci

FORMULASI RANSUM PADA USAHA TERNAK SAPI PENGGEMUKAN

FORMULASI RANSUM PADA USAHA TERNAK SAPI PENGGEMUKAN AgroinovasI FORMULASI RANSUM PADA USAHA TERNAK SAPI PENGGEMUKAN Usaha penggemukan sapi potong semakin menarik perhatian masyarakat karena begitu besarnya pasar tersedia untuk komoditas ini. Namun demikian,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Nenas adalah komoditas hortikultura yang sangat potensial dan penting di dunia.

I. PENDAHULUAN. Nenas adalah komoditas hortikultura yang sangat potensial dan penting di dunia. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nenas adalah komoditas hortikultura yang sangat potensial dan penting di dunia. Buah nenas merupakan produk terpenting kedua setelah pisang. Produksi nenas mencapai 20%

Lebih terperinci

Ditulis oleh Mukarom Salasa Minggu, 19 September :41 - Update Terakhir Minggu, 19 September :39

Ditulis oleh Mukarom Salasa Minggu, 19 September :41 - Update Terakhir Minggu, 19 September :39 Ketersediaan sumber pakan hijauan masih menjadi permasalahan utama di tingkat peternak ruminansia. Pada musim kemarau tiba mereka terpaksa harus menjual dengan harga murah untuk mengatasi terbatasnya hijauan

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. diikuti dengan meningkatnya limbah pelepah sawit.mathius et al.,

I.PENDAHULUAN. dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. diikuti dengan meningkatnya limbah pelepah sawit.mathius et al., I.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Produksi yang menurun dan meningkatnya impor daging di Indonesia yang dikarenakan alih fungsi lahan yang digunakan untuk pembuatan perumahan dan perkebunan. Untuk memenuhi

Lebih terperinci

Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri 0lahannya sebagai Pakan Ternak unggul (DISTANBUNNAK TANAH BUMBU, 2006). ANDJAM

Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri 0lahannya sebagai Pakan Ternak unggul (DISTANBUNNAK TANAH BUMBU, 2006). ANDJAM POTENSI LIMBAH PENGOLAHAN KELAPA SAWIT UNTUK PAKAN TERNAK DI KABUPATEN TANAH BUMBU (Kasus di PT. Gawi Makmur Kalimantan, Satui) SURYANA, AGus HASBIANTG dan YANUAR PRIBADI Balai Selatan ii. P. Batur Barat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertumbuhan tubuh dan kesehatan manusia. Kebutuhan protein hewani semakin

I. PENDAHULUAN. pertumbuhan tubuh dan kesehatan manusia. Kebutuhan protein hewani semakin I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Protein hewani merupakan zat makanan yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan tubuh dan kesehatan manusia. Kebutuhan protein hewani semakin meningkat seiring dengan meningkatnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Boer Jawa (Borja) Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan antara kambing Afrika lokal tipe kaki panjang dengan kambing yang berasal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. besar untuk dikembangkan, sapi ini adalah keturunan Banteng (Bos sundaicus)

I. PENDAHULUAN. besar untuk dikembangkan, sapi ini adalah keturunan Banteng (Bos sundaicus) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sapi Bali adalah salah satu bangsa sapi murni yang mempunyai potensi besar untuk dikembangkan, sapi ini adalah keturunan Banteng (Bos sundaicus) dan mempunyai bentuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan produksi protein hewani untuk masyarakat Indonesia selalu meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh peningkatan penduduk, maupun tingkat kesejahteraan

Lebih terperinci

SAMPAH POTENSI PAKAN TERNAK YANG MELIMPAH. Oleh: Dwi Lestari Ningrum, SPt

SAMPAH POTENSI PAKAN TERNAK YANG MELIMPAH. Oleh: Dwi Lestari Ningrum, SPt SAMPAH POTENSI PAKAN TERNAK YANG MELIMPAH Oleh: Dwi Lestari Ningrum, SPt Sampah merupakan limbah yang mempunyai banyak dampak pada manusia dan lingkungan antara lain kesehatan, lingkungan, dan sosial ekonomi.

Lebih terperinci

Prospek Pengembangan Usaha Peternakan Pola Integrasi

Prospek Pengembangan Usaha Peternakan Pola Integrasi Sains Peternakan Vol. 5 (2), September 2007: 26-33 ISSN 1693-8828 Prospek Pengembangan Usaha Peternakan Pola Integrasi Diwyanto K., A. Priyanti dan R.A. Saptati Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan,

Lebih terperinci

Petunjuk Praktis Manajemen Pengelolaan Limbah Pertanian untuk Pakan Ternak sapi

Petunjuk Praktis Manajemen Pengelolaan Limbah Pertanian untuk Pakan Ternak sapi Manajemen Pengelolaan Limbah Pertanian untuk Pakan Ternak sapi i PETUNJUK PRAKTIS MANAJEMEN PENGELOLAAN LIMBAH PERTANIAN UNTUK PAKAN TERNAK SAPI Penyusun: Nurul Agustini Penyunting: Tanda Sahat Panjaitan

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. Zat Makanan Ransum Kandungan zat makanan ransum yang diberikan selama penelitian ini secara lengkap tercantum pada Tabel 4.

PEMBAHASAN. Zat Makanan Ransum Kandungan zat makanan ransum yang diberikan selama penelitian ini secara lengkap tercantum pada Tabel 4. PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Rata-rata suhu lingkungan dan kelembaban kandang Laboratotium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja sekitar 26,99 0 C dan 80,46%. Suhu yang nyaman untuk domba di daerah

Lebih terperinci

Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri 0lahannya sebagai Pakan Ternak pemanfaatan sumberdaya pakan berupa limbah pert

Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri 0lahannya sebagai Pakan Ternak pemanfaatan sumberdaya pakan berupa limbah pert KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERBIBITAN TERNAK SAPI DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT SJAMSUL BAHRI Direkorat Perbibitan, Di jen Peternakan - Departemen Pertanian JI. Harsono RM No. 3 Gedung C Lantai VIII - Kanpus

Lebih terperinci

PENGKAJIAN PENGEMBANGAN USAHA SISTEM INTEGRASI KELAPA SAWIT-SAPI

PENGKAJIAN PENGEMBANGAN USAHA SISTEM INTEGRASI KELAPA SAWIT-SAPI PENGKAJIAN PENGEMBANGAN USAHA SISTEM INTEGRASI KELAPA SAWIT-SAPI KUSUMA DIWYANTO 1, D.M. SITOMPUL 2, ISHAK MANTI 3, I-WAYAN MATHIUS 4, SOENTORO 5 1 Puslitbang Peternakan, Jl. Pajajaran Kav E 59 Bogor 2

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan Konsumsi Bahan Kering (BK) HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan Konsumsi pakan merupakan jumlah pakan yang dimakan oleh ternak yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan proses produksi

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi yang sangat besar

PENGANTAR. Latar Belakang. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi yang sangat besar PENGANTAR Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi yang sangat besar dalam pengembangan sektor peternakan dalam rangka mendukung upaya pemerintah dalam program pemenuhan kebutuhan

Lebih terperinci

Diharapkan dengan diketahuinya media yang sesuai, pembuatan dan pemanfaatan silase bisa disebarluaskan sehingga dapat menunjang persediaan hijauan yan

Diharapkan dengan diketahuinya media yang sesuai, pembuatan dan pemanfaatan silase bisa disebarluaskan sehingga dapat menunjang persediaan hijauan yan SILASE TANAMAN JAGUNG SEBAGAI PENGEMBANGAN SUMBER PAKAN TERNAK BAMBANG KUSHARTONO DAN NANI IRIANI Balai Penelitian Ternak Po Box 221 Bogor 16002 RINGKASAN Pengembangan silase tanaman jagung sebagai alternatif

Lebih terperinci

SISTEM INTEGRASI SAPI DI PERKEBUNAN SAWIT PELUANG DAN TANTANGANNYA

SISTEM INTEGRASI SAPI DI PERKEBUNAN SAWIT PELUANG DAN TANTANGANNYA Suplemen 5 SISTEM INTEGRASI SAPI DI PERKEBUNAN SAWIT PELUANG DAN TANTANGANNYA Latar Belakang Sejak tahun 2008, Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan telah menginisiasi program pengembangan ternak sapi yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan menjadi salah satu faktor penentu dalam usaha peternakan, baik terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan tercapai bila mendapat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Pemeliharaan sapi perah bertujuan utama untuk memperoleh produksi susu yang tinggi dan efisien pakan yang baik serta mendapatkan hasil samping berupa anak. Peningkatan produksi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Meningkatnya jumlah penduduk dan adanya perubahan pola konsumsi serta selera masyarakat kearah protein hewani telah meningkatkan kebutuhan akan daging sapi. Program

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peternakan sebagai salah satu sub dari sektor pertanian masih memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia. Kontribusi peningkatan

Lebih terperinci

Seminar Oplimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawn dan industri Olahannya sebagai Pakan Ternak setelah tahun 2004 sudah mencapai luasan

Seminar Oplimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawn dan industri Olahannya sebagai Pakan Ternak setelah tahun 2004 sudah mencapai luasan POTENSI PEMANFAATAN LIMBAH PERKEBUNAN SAWIT SEBAGAI PAKAN ALTERNATIF TERNAK SAPI PADA MUSIM KEMARAU DI KABUPATEN TANAH LAUT AHMAD SUBHAN, ENI SITI ROHAENI dan AKHMAD HAMDAN Balai PengkajIan Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

METODE. Materi 10,76 12,09 3,19 20,90 53,16

METODE. Materi 10,76 12,09 3,19 20,90 53,16 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Daging dan Kerja Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Pemeliharaan ternak percobaan dilakukan dari bulan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Domba adalah salah satu ternak ruminansia kecil yang banyak. Indonesia populasi domba pada tahun 2015 yaitu ekor, dan populasi

PENDAHULUAN. Domba adalah salah satu ternak ruminansia kecil yang banyak. Indonesia populasi domba pada tahun 2015 yaitu ekor, dan populasi 1 I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Domba adalah salah satu ternak ruminansia kecil yang banyak dikembangbiakan oleh masyarakat. Pemeliharaan domba yang lebih cepat dibandingkan ternak sapi, baik sapi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pasokan sumber protein hewani terutama daging masih belum dapat mengimbangi

I. PENDAHULUAN. pasokan sumber protein hewani terutama daging masih belum dapat mengimbangi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permintaan pangan hewani asal ternak (daging, telur dan susu) dari waktu kewaktu cenderung meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, pendapatan, kesadaran

Lebih terperinci

SILASE TONGKOL JAGUNG UNTUK PAKAN TERNAK RUMINANSIA

SILASE TONGKOL JAGUNG UNTUK PAKAN TERNAK RUMINANSIA AgroinovasI SILASE TONGKOL JAGUNG UNTUK PAKAN TERNAK RUMINANSIA Ternak ruminansia seperti kambing, domba, sapi, kerbau dan rusa dan lain-lain mempunyai keistimewaan dibanding ternak non ruminansia yaitu

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. merupakan problema sampai saat ini. Di musim kemarau hijauan makanan ternak

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. merupakan problema sampai saat ini. Di musim kemarau hijauan makanan ternak 8 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Hijauan Pakan Dalam meningkatkan meningkatkan produksi ternak, ketersediaan hijauan makanan ternak merupakan bagian yang terpenting, karena lebih dari 70% ransum ternak terdiri

Lebih terperinci

Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU

Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU Tujuan Instruksional Umum : Mengetahui sistem produksi ternak kerbau sungai Mengetahui sistem produksi ternak kerbau lumpur Tujuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelinci adalah salah satu ternak penghasil daging yang dapat dijadikan sumber protein hewani di Indonesia. Sampai saat ini masih sangat sedikit peternak yang mengembangkan

Lebih terperinci

Temu Lapang Bioindustri Sawit-Sapi

Temu Lapang Bioindustri Sawit-Sapi Temu Lapang Bioindustri Sawit-Sapi Bangkinang-Salah satu kegiatan diseminasi inovasi hasil penelitian dan Pengkajian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Riau adalah kegiatan temu lapang. Pada sabtu

Lebih terperinci

Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri 0lahannya sebagai Pakan Ternak Permintaan daging dari tahun ke tahun menunjukk

Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri 0lahannya sebagai Pakan Ternak Permintaan daging dari tahun ke tahun menunjukk POTENSI DAN PELUANG PEMANFAATAN LIMBAH SAWIT SEBAGAI PAKAN TERNAK SAPI DI KALIMANTAN SELATAN ENI Srn RoHAEN!', M. SABRAN' dan M. NAJB 2 'BPTP Kalimantan Selatan iiglima Batur Barat No. 4 Banjarbaru z i

Lebih terperinci

ANALISIS BIAYA PRODUKSI PENGOLAHAN PAKAN DARI LIMBAH PERKEBUNAN DAN LIMBAH AGROINDUSTRI DI KECAMATAN KERINCI KANAN KABUPATEN SIAK

ANALISIS BIAYA PRODUKSI PENGOLAHAN PAKAN DARI LIMBAH PERKEBUNAN DAN LIMBAH AGROINDUSTRI DI KECAMATAN KERINCI KANAN KABUPATEN SIAK ANALISIS BIAYA PRODUKSI PENGOLAHAN PAKAN DARI LIMBAH PERKEBUNAN DAN LIMBAH AGROINDUSTRI DI KECAMATAN KERINCI KANAN KABUPATEN SIAK Susy Edwina, Dany Varian Putra Fakultas Pertanian Universitas Riau susi_edwina@yahoo.com

Lebih terperinci

Komparasi Kelayakan Finansial Usaha Perkebunan Sawit Rakyat dengan Sistem Integrasi Sawit-Sapi dengan Usaha Perkebunan Sawit Tanpa Sistem Integrasi

Komparasi Kelayakan Finansial Usaha Perkebunan Sawit Rakyat dengan Sistem Integrasi Sawit-Sapi dengan Usaha Perkebunan Sawit Tanpa Sistem Integrasi Komparasi Kelayakan Finansial Usaha Perkebunan Sawit Rakyat dengan Sistem Integrasi Sawit-Sapi dengan Usaha Perkebunan Sawit Tanpa Sistem Integrasi Yudi Setiadi Damanik, Diana Chalil, Riantri Barus, Apriandi

Lebih terperinci

KONVERSI SAMPAH ORGANIK MENJADI SILASE PAKAN KOMPLIT DENGAN PENGGUNAAN TEKNOLOGI FERMENTASI DAN SUPLEMENTASI PROBIOTIK TERHADAP PERTUMBUHAN SAPI BALI

KONVERSI SAMPAH ORGANIK MENJADI SILASE PAKAN KOMPLIT DENGAN PENGGUNAAN TEKNOLOGI FERMENTASI DAN SUPLEMENTASI PROBIOTIK TERHADAP PERTUMBUHAN SAPI BALI Volume 15, Nomor 2, Hal. 51-56 Juli Desember 2013 ISSN:0852-8349 KONVERSI SAMPAH ORGANIK MENJADI SILASE PAKAN KOMPLIT DENGAN PENGGUNAAN TEKNOLOGI FERMENTASI DAN SUPLEMENTASI PROBIOTIK TERHADAP PERTUMBUHAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Unit Pendidikan, Penelitian dan Peternakan Jonggol (UP3J) merupakan areal peternakan domba milik Institut Pertanian Bogor (IPB) yang terletak di desa Singasari

Lebih terperinci

Pengembangan Wilayah Sentra Produksi tanaman, menyebabkan pemadatan lahan, serta menimbulkan serangan hama dan penyakit. Di beberapa lokasi perkebunan

Pengembangan Wilayah Sentra Produksi tanaman, menyebabkan pemadatan lahan, serta menimbulkan serangan hama dan penyakit. Di beberapa lokasi perkebunan BAB VII PENUTUP Perkembangan industri kelapa sawit yang cepat ini disebabkan oleh beberapa alasan, antara lain : (i) secara agroekologis kelapa sawit sangat cocok dikembangkan di Indonesia ; (ii) secara

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. yaitu ekor menjadi ekor (BPS, 2016). Peningkatan

PENDAHULUAN. yaitu ekor menjadi ekor (BPS, 2016). Peningkatan I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ternak Domba Garut merupakan ternak ruminansia kecil yang banyak dipelihara oleh masyarakat, karena pemeliharaannya yang tidak begitu sulit, dan sudah turun temurun dipelihara

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. kegiatan produksi antara lain manajemen pemeliharaan dan pakan. Pakan dalam

PENGANTAR. Latar Belakang. kegiatan produksi antara lain manajemen pemeliharaan dan pakan. Pakan dalam PENGANTAR Latar Belakang Peningkatan produksi peternakan tidak terlepas dari keberhasilan dalam kegiatan produksi antara lain manajemen pemeliharaan dan pakan. Pakan dalam kegiatan produksi ternak sangat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menentukan keberhasilan dalam kegiatan budidaya ikan. Kebutuhan pakan ikan

I. PENDAHULUAN. menentukan keberhasilan dalam kegiatan budidaya ikan. Kebutuhan pakan ikan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketersediaan pakan yang cukup, berkualitas, dan berkesinambungan sangat menentukan keberhasilan dalam kegiatan budidaya ikan. Kebutuhan pakan ikan akan meningkat seiring

Lebih terperinci

Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman Penyusun: Simon P Ginting BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN

Lebih terperinci

Gambar 6. Pemberian Obat Pada Domba Sumber : Dokumentasi Penelitian

Gambar 6. Pemberian Obat Pada Domba Sumber : Dokumentasi Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Secara umum penelitian ini dapat berjalan dengan baik. Meskipun demikian terdapat hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya, diantaranya adalah kesulitan mendapatkan

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. Sebagian komponen dalam industri pakan unggas terutama sumber energi

PENGANTAR. Latar Belakang. Sebagian komponen dalam industri pakan unggas terutama sumber energi PENGANTAR Latar Belakang Sebagian komponen dalam industri pakan unggas terutama sumber energi pakan yang berasal dari jagung, masih banyak yang diimpor dari luar negeri. Kontan (2013) melaporkan bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Minat masyarakat yang tinggi terhadap produk hewani terutama, daging kambing,

I. PENDAHULUAN. Minat masyarakat yang tinggi terhadap produk hewani terutama, daging kambing, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Minat masyarakat yang tinggi terhadap produk hewani terutama, daging kambing, menyebabkan ketersediaan produk hewani yang harus ditingkatkan baik dari segi

Lebih terperinci

PENGARUH SUBSTITUSI RUMPUT GAJAH DENGAN LIMBAH TANAMAN SAWI PUTIH FERMENTASI TERHADAP PENAMPILAN PRODUKSI DOMBA LOKAL JANTAN EKOR TIPIS SKRIPSI

PENGARUH SUBSTITUSI RUMPUT GAJAH DENGAN LIMBAH TANAMAN SAWI PUTIH FERMENTASI TERHADAP PENAMPILAN PRODUKSI DOMBA LOKAL JANTAN EKOR TIPIS SKRIPSI PENGARUH SUBSTITUSI RUMPUT GAJAH DENGAN LIMBAH TANAMAN SAWI PUTIH FERMENTASI TERHADAP PENAMPILAN PRODUKSI DOMBA LOKAL JANTAN EKOR TIPIS SKRIPSI Oleh : ETTY HARYANTI UTAMI FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi potong merupakan sumber utama sapi bakalan bagi usaha

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi potong merupakan sumber utama sapi bakalan bagi usaha 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Sapi potong merupakan sumber utama sapi bakalan bagi usaha penggemukan. Penggemukan sapi potong umumnya banyak terdapat di daerah dataran tinggi dengan persediaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Peternakan di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan, sehingga

I. PENDAHULUAN. Peternakan di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan, sehingga 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan, sehingga membutuhkan ketersediaan pakan yang cukup untuk ternak. Pakan merupakan hal utama dalam tata laksana

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Biskuit Pakan Biskuit pakan merupakan inovasi bentuk baru produk pengolahan pakan khusus untuk ternak ruminansia. Pembuatan biskuit pakan menggunakan prinsip dasar pembuatan

Lebih terperinci

Pemanfaatan Kulit Nanas Sebagai Pakan Ternak oleh Nurdin Batjo (Mahasiswa Pascasarjana Unhas)

Pemanfaatan Kulit Nanas Sebagai Pakan Ternak oleh Nurdin Batjo (Mahasiswa Pascasarjana Unhas) Pemanfaatan Kulit Nanas Sebagai Pakan Ternak oleh Nurdin Batjo (Mahasiswa Pascasarjana Unhas) PENDAHULUAN Sebagaimana kita ketahui, di negara Indonesia banyak ditumbuhi pohon nanas yang tersebar di berbagai

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU MARZUKI HUSEIN Dinas Peternakan Provinsi RIAU Jl. Pattimura No 2 Pekanbaru ABSTRAK Sebagai usaha sampingan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk. Domba Lokal memiliki bobot badan antara kg pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk. Domba Lokal memiliki bobot badan antara kg pada BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Lokal Domba pada umumnya dipelihara sebagai penghasil daging (Edey, 1983). Domba Lokal yang terdapat di Indonesia adalah Domba Ekor Tipis, Priangan dan Domba Ekor Gemuk.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat pesat. Populasi ayam pedaging meningkat dari 1,24 milyar ekor pada

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat pesat. Populasi ayam pedaging meningkat dari 1,24 milyar ekor pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan unggas di Indonesia saat ini sudah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Populasi ayam pedaging meningkat dari 1,24 milyar ekor pada tahun 2012 menjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena

I. PENDAHULUAN. Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena harganya terjangkau dan sangat bermanfaat bagi kesehatan. Pisang adalah buah yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan konsumsi daging sapi penduduk Indonesia cenderung terus meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia dan kesadaran masyarakat akan

Lebih terperinci

Ditulis oleh Mukarom Salasa Minggu, 19 September :41 - Update Terakhir Minggu, 19 September :39

Ditulis oleh Mukarom Salasa Minggu, 19 September :41 - Update Terakhir Minggu, 19 September :39 Jawabannya tentu tidak. Ada beberapa teknologi pengawetan hijauan pakan ternak seperti silase, hay, amoniasi, fermentasi. Namun masing-masing teknologi tersebut mempnuyai kekurangan dan kelebihan. Salah

Lebih terperinci

HASIL SAMPINGAN KELAPA SAWIT HARAPAN BESAR BAGI PENGEMBANGAN SAPI POTONG DI PROVINSI RIAU

HASIL SAMPINGAN KELAPA SAWIT HARAPAN BESAR BAGI PENGEMBANGAN SAPI POTONG DI PROVINSI RIAU HASIL SAMPINGAN KELAPA SAWIT HARAPAN BESAR BAGI PENGEMBANGAN SAPI POTONG DI PROVINSI RIAU Ketersediaan rumput alam yang semakin terbatas dengan kualitas yang kurang memadai sudah saatnya peternak berpindah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kontinuitasnya terjamin, karena hampir 90% pakan ternak ruminansia berasal dari

I. PENDAHULUAN. kontinuitasnya terjamin, karena hampir 90% pakan ternak ruminansia berasal dari I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu faktor penting dalam peningkatan produktivitas ternak ruminansia adalah ketersediaan pakan yang berkualitas, kuantitas, serta kontinuitasnya terjamin, karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkebunan sebagai salah satu sub sektor pertanian di Indonesia berpeluang besar dalam peningkatan perekonomian rakyat dan pembangunan perekonomian nasional.adanya

Lebih terperinci

PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA SAPI POTONG DI BENGKULU DALAM MENDUKUNG AGRIBISNIS YANG BERDAYA SAING

PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA SAPI POTONG DI BENGKULU DALAM MENDUKUNG AGRIBISNIS YANG BERDAYA SAING PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA SAPI POTONG DI BENGKULU DALAM MENDUKUNG AGRIBISNIS YANG BERDAYA SAING (Prospect of Beef Cattle Development to Support Competitiveness Agrivusiness in Bengkulu) GUNAWAN 1 dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012) menunjukkan bahwa konsumsi telur burung

I. PENDAHULUAN. Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012) menunjukkan bahwa konsumsi telur burung I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ternak puyuh mempunyai potensi yang tinggi untuk dikembangkan baik sebagai penghasil telur maupun penghasil daging. Menurut Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012)

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN AKHMAD HAMDAN dan ENI SITI ROHAENI BPTP Kalimantan Selatan ABSTRAK Kerbau merupakan salah satu ternak ruminansia yang memiliki potensi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan

PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan hewan ternak perah lainnya. Keunggulan yang dimiliki sapi perah tersebut membuat banyak pengusaha-pengusaha

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LIMBAH PERKEBUNAN DALAM SISTEM INTEGRASI TERNAK UNTUK MEMACU KETAHANAN PAKAN DI PROVINSI ACEH PENDAHULUAN

PEMANFAATAN LIMBAH PERKEBUNAN DALAM SISTEM INTEGRASI TERNAK UNTUK MEMACU KETAHANAN PAKAN DI PROVINSI ACEH PENDAHULUAN PEMANFAATAN LIMBAH PERKEBUNAN DALAM SISTEM INTEGRASI TERNAK UNTUK MEMACU KETAHANAN PAKAN DI PROVINSI ACEH Nani Yunizar 1), Elviwirda 1), Yenni Yusriani 1) dan Linda Harta 2) 2) 1) Balai Pengkajian Teknologi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Potong Sapi merupakan penghasil daging utama di Indonesia. Konsumsi daging sapi mencapai 19 persen dari jumlah konsumsi daging Nasional (Dirjen Peternakan, 2009). Konsumsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperlukannya diversifikasi makanan dan minuman. Hal tersebut dilakukan untuk

BAB I PENDAHULUAN. diperlukannya diversifikasi makanan dan minuman. Hal tersebut dilakukan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan konsumsi masyarakat yang terus berkembang membuat diperlukannya diversifikasi makanan dan minuman. Hal tersebut dilakukan untuk memberikan alternatif yang

Lebih terperinci

INTEGRASI SAPI-SAWIT: UPAYA PEMENUHAN GIZI SAPI DARI PRODUK SAMPING

INTEGRASI SAPI-SAWIT: UPAYA PEMENUHAN GIZI SAPI DARI PRODUK SAMPING INTEGRASI SAPI-SAWIT: UPAYA PEMENUHAN GIZI SAPI DARI PRODUK SAMPING (Integration of Cattle with Oil Palm Plantation: The fulfilment of Nutrients Requirement of Catle from By-product) A. SINURAT, T. PURWADARIA,

Lebih terperinci

LUMPUR MINYAK SAWIT KERING (DRIED PALM OIL SLUDGE) SEBAGAI PENGGANTI DEDAK PADI DALAM RANSUM RUMINANSIA

LUMPUR MINYAK SAWIT KERING (DRIED PALM OIL SLUDGE) SEBAGAI PENGGANTI DEDAK PADI DALAM RANSUM RUMINANSIA LUMPUR MINYAK SAWIT KERING (DRIED PALM OIL SLUDGE) SEBAGAI PENGGANTI DEDAK PADI DALAM RANSUM RUMINANSIA (Dried Palm Oil Sludge as A Substitute for Rice Bran on Feeding Ruminant) HARFIAH Jurusan Nutrisi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah kota pada umumnya didominasi oleh sampah organik ± 70% sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah kota pada umumnya didominasi oleh sampah organik ± 70% sebagai 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Limbah Sayuran Limbah kota pada umumnya didominasi oleh sampah organik ± 70% sebagai konsekuensi logis dari aktivitas serta pemenuhan kebutuhan penduduk kota. Berdasarkan sumber

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya peningkatan produksi tanaman pangan khususnya pada lahan sawah melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. Pertambahan jumlah penduduk

Lebih terperinci