Komparasi Kelayakan Finansial Usaha Perkebunan Sawit Rakyat dengan Sistem Integrasi Sawit-Sapi dengan Usaha Perkebunan Sawit Tanpa Sistem Integrasi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Komparasi Kelayakan Finansial Usaha Perkebunan Sawit Rakyat dengan Sistem Integrasi Sawit-Sapi dengan Usaha Perkebunan Sawit Tanpa Sistem Integrasi"

Transkripsi

1 Komparasi Kelayakan Finansial Usaha Perkebunan Sawit Rakyat dengan Sistem Integrasi Sawit-Sapi dengan Usaha Perkebunan Sawit Tanpa Sistem Integrasi Yudi Setiadi Damanik, Diana Chalil, Riantri Barus, Apriandi Saragih Program Studi Magister Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara ABSTRAK Indonesia merupakan salah satu produsen kelapa sawit terbesar di dunia dengan produksi minyak kelapa sawit pada tahun 2014 mencapai sebesar 29, ribu ton, dengan share sebesar 44.46% dari total produksi CPO dunia. CPO tersebut dihasilkan dari hampir 11 juta ha luas lahan dimana lebih dari 40% nya merupakan perkebunan rakyat. Rata-rata kepemilikan lahan petani sawit tersebut adalah 2 ha dan belum cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Oleh karena itu, petani berusaha melakukan ekspansi lahan sawit untuk dapat meningkatkan pendapatan keluarga. Namun, saat ini ketersediaan lahan sudah sangat terbatas, sehingga petani tidak dapat lagi melakukan ekspansi lahan. Sebagai alternatif, petani dapat menggunakan lahan secara intensif dengan melakukan sistem integrasi. Namun tidak banyak yang telah mengembangkannya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis komparasi kelayakan sawit sistem integrasi dengan ternak sapi dibandingkan dengan tanaman sawit tanpa sistem integrasi. Kelayakan finansial dianalisis dengan NPV, Net B/C, IRR, payback period, dan analisis sensitivitas. Sementara manajemen kelompok dianalisis secara deskriptif melalui kesesuaian pola tanam sawit dan produksi sapi. Data analisis finansial diperoleh dari usaha integrasi sawit-sapi yang telah berhasil di di Nagori Partimbalan, Kecamatan Bandar Masilam, Kabupaten Simalungun, Propinsi Sumatera Utara. Analisis manajemen kelompok dilakukan di KUD Mukti Jaya, Kecamatan Sungai Lilin, Kabupaten Musi Banyuasin, Propinsi Sumatera Selatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intensifikasi dengan integrasi sawit-sapi layak secara finansial dengan NPV sebesar , IRR 33,33% dan payback period sebesar 7 tahun 8 bulan tahun, sementara dengan ekstensifikasi diperoleh NPV , IRR 23,58% dan payback period 11 tahun 4 bulan. Di samping itu, integrasi juga dapat menurunkan resiko. Dari hasil analisis sensitivitas, jika harga TBS turun menjadi Rp 1.000/kg maka usaha integrasi sawit-sapi akan memberikan NPV yang lebih tinggi yaitu sebesar dibandingkan dengan ekstensifikasi yaitu sebesar Di samping itu, integrasi sawit-sapi sangat sesuai untuk perkebunan yang akan direplanting dan memerlukan pupuk organik untuk perbaikan kondisi tanah. Dengan demikian diharapkan perkebunan sawit tersebut akan lebih berkelanjutan. Pola integrasi sawit-sapi akan dikelola dalam manajemen kelompok dnegan melibatkan 50 petani dengan total luas lahan 100 ha. Penanaman rumput akan dilakukan sebanyak 24 kali mengikuti pertumbuhan berat badan sapi. Pola pertanaman dilakukan setiap bulan dalam waktu 3 bulan, sehingga akan terdapat 8 blok pertanaman. Kata kunci: integrasi sawit-sapi, kelayakan finansial, analisis sensitivitas PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu produsen kelapa sawit terbesar di dunia dengan produksi minyak kelapa sawit pada tahun 2014 mencapai sebesar 29, ribu ton (Statistik Indonesia, 2015), dengan share sebesar 44.46% dari total produksi CPO dunia.

2 CPO tersebut dihasilkan dari ,30 ribu ha luas lahan dimana 41,55% (4.551,90 ribu ha) adalah perkebunan rakyat (Statistik Indonesia, 2015). Namun secara individu, kepemilikan lahan sawit per petani relatif kecil. Data Statistik Perkebunan Indonesia tahun bahwa rata-rata kepemilikan adalah 2,2 ha per petani dengan rata-rata produktivitas yang hanya mencapai 3,2 ton/ha pada tahun 2013 (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2014). Dengan demikian rata-rata petani merasa tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan berusaha untuk memperluas kebun sawit mereka, namun lahan yang tersedia sudah semakin terbatas dengan harga yang cukup mahal. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan integrasi tanaman dengan ternak, salah satunya adalah integrasi sawit dengan sapi. Hasil kajian Manti dkk (2003) serta Ilham dan Saliem (2011) menunjukkan bahwa integrasi sapi dengan kelapa sawit memberikan nilai NPV positif dengan IRR 21 39%. Namun belum ada analisis komparasi antara metode intensifikasi dengan sistem integrasi sawit-sapi dan metode ekstensifikasi perkebunan sawit. Pola pemeliharaan ternak pada kawasan industri kelapa sawit dapat dilakukan secara semi intensif maupun intensif. Pola semi intensif dilakukan dengan cara menggembalakan ternak pada kawasan industri kelapa sawit secara terbatas dengan pengawasan. Pola ini kurang disukai tetapi dapat menghemat biaya penyiangan 32-73%, bila dibandingkan dengan tanpa digembalakan (Pedoman Umum Integrasi, 2011). Pola intensif dapat dilakukan dengan menyiapkan kandang di areal perkebunan dan menyiapkan pakan dengan memanfaatkan produk samping/ikutan industri kelapa sawit. Dengan pola dikandangkan akan memudahkan pemilik dalam pemeliharaan dan pengumpulan kotoran ternak (Pedoman Umum Integrasi, 2011). Dalam pola intensif, pakan diperoleh dari limbah perkebunan seperti solid, pelepah, dan bungkil sawit serta dari hijauan yang berada di sekitar perkebunan (Bank Indonesia, 2010). Pola intensif juga dapat dilakukan dengan menanam rumput gajah sebagai pakan hijauan utama di lahan perkebunan sawit. Menurut Adiwijaya (2016) pola intensif lebih baik karena pertambahan berat badan lebih tinggi, dan kotoran dan urine sapi juga dapat dikumpulkan dan diaplikasikan ke tanaman sawit. Di samping itu, apabila sapi dilepas dikandang juga beresiko menyebarkan penyakit Ganoderma sp. Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan kelayakan integrasi kelapa sawit sapi, dimana petani kelapa sawit rakyat menggunakan lahan sawit mereka untuk menanam king grass sebagai sumber pakan hijauan bagi sapi, dengan usaha perkebunan sawit saja.

3 METODE PENELITIAN Sistem integrasi sapi sawit yang akan dikaji adalah penggemukan dan pembibitan sapi dengan sistem pemeliharaan intensif, dimana sapi dipelihara dikandang tanpa ada diangon. Petani sawit rakyat sekaligus akan menjadi peternak sapi dengan memanfaatkan areal perkebunan sawit. Skala usaha ternak sapi adalah 50 ekor pembibitan dan 50 ekor penggemukan yang akan dilakukan secara individu ataupun berkelompok. Pakan hijauan sapi yang diberikan adalah jenis king grass (rumput gajah) yang ditanam di lahan kelapa sawit. Kotoran sapi akan ditampung dan digunakan sebagai pupuk kompos pada perkebunan sawit. LOKASI DAN DATA PENELITIAN Penelitian dilakukan di Nagori Partimbalan, Kecamatan Bandar Masilam, Kabupaten Simalungun, Propinsi Sumatera Utara yang mempunyai petani yang sudah berhasil menerapkan sistem integrasi kelapa sawit dengan sapi potong, dan di Kecamatan Sei Lilin Kabupaten Musi Banyuasin, Propinsi Sumatera Selatan yang mempunyai koperasi dengan petani sawit sebagai anggotanya. Petani tersebut tergolong mampu dan mempunyai cukup modal untuk melakukan intensifikasi atau ekstensifikasi dalam peremajaan kebun sawitnya. Data dari lokasi Sumatera Utara digunakan untuk analisis finansial sedangkan data dari lokasi Sumatera Selatan digunakan untuk menganalisis metode implementasi pada kelompok petani sawit. Sampel petani sawit yang sudah berhasil menerapkan sistem integrasi sebanyak satu orang sedangkan sampel petani yang belum menerapkan sebanyak 107 orang. METODE ANALISIS DATA Untuk analisis kelayakan metode yang digunakan yaitu analisis kelayakan investasi. Analisis kelayakan investasi yang digunakan yaitu analisis NPV, IRR, dan Payback period yang dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: IRR i NPV n t t0 1 B C NPV i t t 1 1 i2 i1 NPV1 NPV2 dimana B= Benefit (Penerimaan), C = Cost (biaya), n= umur ekonomis, i = tingkat suku bunga ( interestrate), dan t= waktu. Jangka waktu yang digunakan dalam analisis

4 kelayakan ini yaitu 25 tahun untuk tanamana sawit dan 15 tahun untuk ternak sapi. Setelah diperoleh nilai NPV dan IRR untuk kondisi normal, maka dilakukan analisis sensitivitas dengan perubahan berat badan dan tingkat kelahiran sapi. Selain itu juga akan dianalisis penghematan penggunaan pupuk jika kotoran dan kencing sapi diaplikasikan ke kebun sawit atau tambahan pendapatan jika kotoran sapi tersebut dijual. Implementasi sistem integrasi sawit-sapi dianalisis secara deskriptif dengan membagi kebutuhan luas pertanaman rumput ke dalam blok-blok kebun sawit. Luas dan waktu pertanaman rumput per blok akan disesuaikan dengan kebutuhan pakan berdasarkan pertambahan jumlah berat sapi yang dipelihara. ANALISIS DAN PEMBAHASAN USAHA PEMBIBITAN DAN PENGGEMUKAN SAPI Asumsi dasar yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pengelolaan ternak dilakukan dengan kombinasi pembibitan 50 ekor induk sapi dan penggemukan 50 ekor jantan. Satu siklus pembibitan dilakukan selama 24 bulan sedangakan satu siklus penggemukan dilakukan selama 3 bulan. Kombinasi antara pembibitan dan penggemukan dilakukan agar waktu tunggu petani untuk memperoleh hasil tidak terlalu lama yaitu dari usaha penggemukan. Usaha pembibitan dilakukan agar sumber bibit sapi diperoleh dari pengelolaan sendiri. Perkembangan kebutuhan rumput untuk permbibitan tersebut adalah sebagai berikut. Tabel 1. Perkembangan Kebutuhan Rumput untuk Bibit Bulan Simulasi perkembangan sapi Jumlah sapi (ekor) Keb. Rumput per hari (kg) 0 50 I (3B) 50 3, I + 50 A 52 3, I (3B) + 50 A (6B) 63 3, I + 50 A + 50 A (12B) 77 4, I (3B) + 50 A (6B) + 50 A (18B) 100 6, I + 50 A + 50 A (12B) + 50 A (24B) 127 7,620 Penggemukan 50 A (24B) I (3B) + 50 A (6B) + 50 A (18B) 100 6, I + 50 A + 50 A (12B) + 50 A (24B) 127 7,620 Penggemukan 50 A (24B) I (3B) + 50 A (6B) + 50 A (18B) 100 6,000

5 Bulan Simulasi perkembangan sapi Jumlah sapi (ekor) Keb. Rumput per hari (kg) I + 50 A + 50 A (12B) + 50 A (24B) 127 7,620 Penggemukan 50 A (24B) I (3B) + 50 A (6B) + 50 A (18B) 100 6, I + 50 A + 50 A (12B) + 50 A (24B) 127 7,620 Penggemukan 50 A (24B) I (3B) + 50 A (6B) + 50 A (18B) 100 6, I + 50 A + 50 A (12B) + 50 A (24B) 127 7,620 Penggemukan 50 A (24B) I (3B) + 50 A (6B) + 50 A (18B) 100 6, I + 50 A + 50 A (12B) + 50 A (24B) 127 7,620 Penggemukan 50 A (24B) Sapi yang berumur 24 bulan dianggap 1 ekor sapi, sehingga anak sapi yang berumur 1 bulan dianggap setara dengan 1/24 ekor sapi. Indeks ini digunakan untuk menghitung jumlah lembu dan jumlah makanan yang dibutuhkan. Dari perhitungan tersebut juga dapat dihitung kebutuhan luas kandang dengan kapasitas 27 ekor. Kandang untuk pembibitan adalah kandang koloni, sehingga sapi diatur berdasarkan koloni berat badan dan kekuatan makan. Kandang koloni yang harus disiapkan adalah kandang koloni induk, kandang penyapihan anak, kandang anak umur 1 tahun dan kandang karantina untuk beranak serta kandang kawin. Kandang kawin disiapkan untuk sistem perkawinan alami, dimana pejantan yang disiapkan ada di dalam kandang kawin tersebut. Sementara kebutuhan pakan lembu untuk penggemukan dapat dilihat pada Tabel 2. Kebutuhan pakan tersebut dapat diperhitungkan dari berat (bobot) lembu. Kebutuhan pakan lembu adalah 15% dari bobotnya, dimana kebutuhan pakan tersebut 15% dipenuhi dari hijauan dan 85% dipenuhi dari makanan tambahan yaitu konsentrat. Tabel 2. Kebutuhan Pakan untuk Penggemukan Sapi Bulan Bobot lembu Keb. pakan Rumput Konsentrat Pakan (kg) (kg) (%) (15%) (kg) (85%) 1 15, , , , , , , , ,295

6 Dengan pemenuhan kebutuhan pakan seperti pada Tabel 2. maka produktivitas pertambahan bobot yang ditargetkan yaitu 1 kg/hari dan pertambahan bobot sebesar 100 kg/siklus. Sehingga umur siklus penggemukan sapi selama 3 bulan dan setahun 4 kali penjualan sapi. Kebutuhan pakan induk lembu untuk pembibitan hanya dipenuhi dari pakan hijauan. Dengan skala 50 ekor sapi indukan dan 50 ekor sapi penggemukan, maka dibutuhkan luas pertanaman rumput hingga 76,54 ha atau setara dengan 100 ha kebun sawit. PENGELOLAAN PENANAMAN HIJAUAN PAKAN TERNAK DI LAHAN SAWIT Hijauan pakan ternak merupakan makanan pokok bagi ternak sapi. Sehingga penanaman hijauan pakan ternak harus sesuai dengan kebutuhan makanan ternak setiap hari. Dalam penelitian ini, tanaman hijauan pakan ternak adalah rumput gajah (king grass). Tanaman rumput gajah ini memiliki nutrisi dan protein yang tinggi bagi ternak sapi. Selain itu tanaman rumput gajah merupakan tanaman yang memiliki produktivitas tinggi dan perawatan yang relatif mudah pengerjaan dan pengelolaannya untuk skala lembu yang besar. Pada tulisan ini, rumput gajah ditanami di gawangan ( intercrop) tanaman sawit. Sehingga penanaman disesuaikan dengan umur tanaman sawit. Asumsi yang digunakan yaitu penanaman rumput gajah dilakukan bersamaan dengan peremajaan ( replanting) sawit. Penentuan luas tanaman rumput gajah adalah sebagai berikut: luas blok 30 Ha sawit memiliki ukuran lebar 300 m dan panjang 1000 m. Sistem tanam sawit dengan segitiga sama sisi dengan jarak tanam sawit 9,2 m x 9,2 m x 9,2 m dan jarak antar baris sawit 7,97 m dan populasi tanaman sawit 136/ha. Jumlah pasar pikul sebanyak 62 pasar pikul yang berukuran 1 m x 300 m. Luasan yang dapat ditanami rumput adalah jumlah luas gawangan sawit dikurangi dengan luas piringan dan pasar pikul yaitu : = = Maka rasio luasan rumput gajah per 1 ha sawit adalah 0,7632 ha. Dengan rasio tersebut, maka untuk memenuhi kebutuhan rumput seluas 76,54 ha dibutuhkan kebun sawit seluas 100 ha. Penanaman rumput di antara lahan sawit dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan pakan. Rumput sudah bisa dipanen pada umur 100 hari, setelah dipanen, rumput akan kembali bisa dipanen 100 hari kemudian, demikian seterusnya. Sebelum penanaman rumput, tanah sebaiknya digemburkan dengan menggunakan mesin jonder atau luku

7 kerbau. Penggunaan luku kerbau dimaksudkan agar pencangkolan tanah tidak terlalu dalam yang akan mengakibatkan akar sawit rusak. Bibit rumput gajah diambil dari batang rumput gajah yang sudah tua yang memiliki panjang sekitar setengah meter. Bibit ditanam secara tidur agar setiap ruas batang mengeluarkan tunas dan ditaburkan pupuk SP-36 secukupnya kemudian ditutupi dengan tanah. Penanaman rumput mulai dilakukan 100 hari sebelum sapi dibeli. Hal ini dilakukan agar pada saat sapi dibeli, sumber pakan hijauan sudah tersedia. Penanaman tahap pertama dilakukan seluas 27,33 ha dan dilakukan bertahap selama 3 bulan, dimana setiap bulan dilakukan penanamn seluas 9,1 ha. Kebutuhan luas lahan per bulan berbeda-beda tergantung simulasi jumlah sapi seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1. Produktivitas rumput dipengaruhi oleh umur tanaman sawit karena semakin tua sawit semakin panjang kanopi daun sawit yang menutupi lahan rumput. Kanopi yang semakin panjang akan menyebabkan kurangnya penyinaran di dalam lahan sawit yang pada akhirnya dapat menurunkan produktivitas rumput. Namun pada tanaman sawit yang sudah tua, tanaman sudah mulai tinggi, sehingga sinar matahari dapat kembali masuk ke lahan sawit. Adapun produktivitas rumput adalah 12,5 ton /ha pada sawit berumur 1-5 tahun, 11,5 ton /ha pada sawit berumur 6-10 tahun, 10,5 ton /ha pada sawit berumur tahun, 11 ton /ha pada sawit berumur dan 11,5 ton /ha pada sawit berumur tahun. Gambar 1. Pola Pertanaman Rumput di antara Tanaman Sawit

8 ANALISIS KELAYAKAN Analisis kelayakan yang dilakukan pada penelitian ini adalah analisis kelayakan integrasi sawit-sapi, dengan skala ternak sapi 50 ekor induk untuk usaha pembibitan dan 50 ekor sapi untuk usaha penggemukan. Selain itu juga dilakukan analisis kelayakan usaha perkebunan sawit jika nilai investasi yang digunakan untuk usaha ternak sapi digunakan untuk ekspansi perkebunan sawit. Nilai investasi usaha ternak sapi adalah Rp Jika diasumsikan harga lahan kosong sebesar Rp per hektar, maka ekspansi perkebunan sawit yang dilakukan adalah sebesar 80 hektar. Permasalahannya adalah bahwa ketersediaan lahan sudah sangat terbatas, sehingga harga lahan untuk ekstensifikasi bisa menjadi lebih tinggi. Jika harga lahan meningkat, maka tentu saja usaha ternak sapi menjadi lebih menguntungkan. Dari hasil analisis kelayakan menunjukkan usaha perkebunan sawit dengan sistem integrasi memberikan NPV sebesar , IRR 33,33% dan payback period sebesar 7 tahun 8 bulan tahun sementara dengan ekstensifikasi diperoleh NPV , IRR 23,58% dan payback period 11 tahun 4 bulan. Jika dilihat dari nilai NPV, maka nilai NPV ekspansi sawit lebih tinggi dibandingkan NPV usaha integrasi sawit-sapi. Namun jika dilihat dari IRR dan payback period, nilai IRR usaha integrasi sawit-sapi lebih tinggi dibandingkan dengan usaha ekspansi sawit, dengan payback period yang lebih cepat. Nilai IRR yang lebih tinggi menunjukkan bahwa dengan integrasi pengembalian hasil dari investasi yang ditanamkan lebih tinggi. Analisis sensitivitas dilakukan dengan asumsi jika harga TBS turun hingga mencapai Rp per kg. Dengan kondisi tersebut, maka nilai NPV dan IRR usaha integrasi sawit-sapi lebih tinggi dibandingkan usaha ekspansi sawit. Hasil analisis kelayakan dan sensitivitas dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Ringkasan Hasil Analisis Kelayakan dengan Analisis Sensitivitas Uraian NPV IRR Net B/C Intergrasi sawit-sapi ,33% 6,52 Ekstensifikasi sawit ,58% 3,32 Intergrasi sawit-sapi harga turun menjadi Rp 1.000/kg Ekstensifikasi sawit harga turun menjadi Rp 1.000/kg Payback Periode 7 tahun 8 bulan 10 tahun 3 bulan ,92% 5,50 8 tahun ,24% 2,64 10 tahun 1 bulan

9 Tabel 3. menunjukkan bahwa dengan integrasi akan mengurangi resiko yang ditunjukkan dari nilai NPV, IRR, dan Net B/C yang lebih tinggi. Diversifikasi, atau membagi aset pada investasi yang berbeda akan mengurangi fluktuasi usaha dan akan mengurangi resiko dibandingkan dengan investasi pada satu jenis usaha. Hal ini disebabkan karena setiap usaha memberikan respon yang berbda terdahadap perubahan ekonomi (Price T. Rowe). Selain dapat meminimalkan resiko, dengan usaha integrasi, maka diperoleh kotoran sapi yang dapat digunakan sebagai pupuk organik. Pupuk organik diaplikasikan satu kali dalam setahun dengan dosis 4 karung per pohon. Dengan penggunaan pupuk organik tersebut, maka dapat dilakukan pengurangan penggunaan pupuk kimia. Belum ada penelitian khusus yang dilakukan untuk menguji berapa besar pengurangan pupuk kimia akibat penggunaan pupuk organik. Asumsi yang digunakan diperoleh dari petani yang sudah mengaplikasikan model integrasi ini. Dari pengalaman yang sudah dilakukan, dengan aplikasi pupuk organik yang berasal dari kotoran sapi, pengurangan pupuk kimia yang dapat dilakukan hingga mencapai 50%, tanpa mengurangi produktivitas tanaman sawit. Penurunan jumlah penggunaan pupuk kimia dalam jangka panjang, tidak hanya akan mengurangi biaya tetapi yang lebih penting lagi akan meminimalisasi penuruna kesuburan tanah (Jalaludin, 1997), sehingga usaha menjadi lebih berkelanjutan. Penanaman rumput di antara tanaman sawit juga akan mengurangi penggunaan pestisida kimia yang seharusnya digunakan untuk menyemprot gulma. Dengan demikian, polusi tanah dan lingkungan juga dapat dikurangi (Jalaludin, 1997). Menurut Kurniadinata dan Novizan (2005), penggunaan pupuk anorganik dalam jangka panjang secara terus-menerus dapat menyebabkan kerusakan struktur tanah, menurunkan ph tanah, menggangu keseimbangan organisme didalam tanah dan mengganggu kualitas air permukaan dan pada akhirnya akan berdampak buruk pada kesuburan tanah dan lingkungan di sekitar areal perkebunan. Dengan demikian perlu penambahan pupuk organik. Sutejo (2002) menyatakan bahwa penggunaan pupuk anorganik sebaiknya diikuti dengan pemberian pupuk organik sebagai pelengkap dan penyeimbang penggunaan pupuk anorganik, karena sifatnya yang mampu menjaga struktur tanah dan menjaga keseimbangan organisme di dalam tanah. Penggunaan bahan kimia dalam jangka panjang akan mengubah ekologi tanah dan akan mengurangi biodiversity yang pada akhirnya akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Jalaludin, 1997).

10 MANAJEMEN KELOMPOK DALAM IMPLEMENTASI SISTEM INTEGRASI Pengaturan manajemen kelompok dalam implementasi sistem integrasi sapi sawit didasarkan pada luas lahan sawit yang dimiliki petani. Luas lahan sawit yang dimiliki per petani adalah seluas 2 ha. Dengan demikian, untuk mencapai lahan 100 ha dibutuhkan keterlibatan 50 orang petani. Jika satu kelompok terdiri dari orang petani, maka jumlah kelompok yang terlibat adalah 2 kelompok tani. Dengan skala usaha 50 ekor induk sapi untuk pembibitan dan 50 ekor sapi untuk penggemukan, maka satu orang petani bertanggung jawab terhadap 1 ekor induk dan 1 ekor sapi penggemukan. Ada dua pekerjaan utama dalam usaha ternak sapi, yaitu pemeliharaan rumput dan pemeliharaan sapi. Dalam pemeliharaan rumput diperlukan 3 orang tenaga kerja untuk mengarit ditambah 1 orang tenaga kerja untuk menyemprot, sedangkan dalam pemeliharaan sapi diperlukan 6 orang tenaga kerja. Kegiatan dalam pemeliharaan sapi yaitu mengambil rumput, menggiling rumput, mengaduk konsentrat, memberi makan sapi dan membersihkan kandang. Maka dalam usaha ternak sapi dibuthkan 10 orang tenaga kerja setiap hari. Jika 10 orang tenaga kerja tersebut dikerjakan oleh petani sendiri, maka 50 petani dapat dibuat dalam 10 kelompok kerja yang bekerja secara bergiliran selama 5 hari. Dengan demikian, selain mendapatkan hasil dari penjualan sapi, petani juga bisa mendapatkan tambahan dari upah sebagai tenaga kerja. Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian pengelolaan penanaman pakan hijauan, total kebutuhan luas lahan rumput adalah 76 ha atau setara dengan 100 ha kebun sawit. Pada saat pertama sekali usaha ternak sapi dimulai, dengan 50 ekor induk dan 50 ekor sapi jantan untuk penggemukan, kebutuhan rumput per hari adalah 3.337,50 kg yang dihasilkan dari 0,27 ha, sehingga dalam 100 hari dibutuhkan 27,33 ha rumput. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka dibutuhkan 32 ha kebun sawit, atau 16 kapling yang ditanam bertahap dalam waktu 3 bulan. Penanaman dimulai 3 bulan sebelum sapi mulai dipelihara yaitu sebanyak 11 ha, bulan kedua ditanam 11 ha, dan bulan ketiga ditanam 10 ha. Pada bulan ke-6, karena terjadi penambahan berat badan, maka kebutuhan pakan hijauan juga bertambah menjadi 3.536,30 kg, dengan demikian dibutuhkan tambahan penanaman rumput seluas 2 ha atau setara dengan 8 ha kebun sawit (4 kapling). Rumput sudah mulai ditanaman pada bulan ke-3 bertahap hingga bulan ke-5. Penambahan luas pertanaman rumput dilakukan hingga tahun ke-11 mengikuti pertambahan kebutuhan pakan ternak. Pola manajemen penanaman rumput dapat dilihat pada Tabel 4.

11 Tabel 4. Pola Penanaman Rumput Tahap penanaman Bulan ke- Tahun ke- Luas Tanam Rumput (ha) Luas Kebun Sawit (Ha) Luas Kebun Sawit (Ha) ,32 11 (1) I 1,52 0,5 (2) 6 5 0, ,56 2 (3) ,08 3 (4) II ,12 4 (5) III 15,20 7 (6) VI 7,60 3 (7) XI 7,70 3 (8) Total 76, Sesuai dengan Tabel 4. maka penanaman rumput akan dilakukan dalam 8 blok dengan pembagian seperti pada Gambar 2. Pada setiap blok akan dilakukan tiga tahap pertanaman, setiap bulan, selama tiga bulan, sehingga total pertanaman adalah sebanyak 24 kali Gambar 2. Pola Manajemen Kelompom dalam Penanaman Rumput

12 KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa intensifikasi dengan integrasi sawit-sapi secara finansial layak dapat digunakan sebagai alterntif. Usaha perkebunan sawit dengan sistem integrasi memberikan NPV sebesar , IRR 33,33% dan payback period sebesar 7 tahun 8 bulan tahun sementara dengan ekstensifikasi diperoleh NPV , IRR 23,58% dan payback period 11 tahun 4 bulan. Dari hasil analisis sensitivitas, jika harga TBS turun menjadi Rp 1.000/kg maka usaha integrasi sawit-sapi akan memberikan NPV yang lebih tinggi yaitu sebesar dibandingkan dengan ekstensifikasi yaitu sebesar Integrasi sawit-sapi dalam jangka panjang akan mengurangi penggunaan pupuk dan pestisida kimia, sehingga dapat mengurangi polusi tanah. Di samping itu, integrasi sawit-sapi sangat sesuai untuk perkebunan yang akan direplanting dan memerlukan pupuk organik untuk perbaikan kondisi tanah. Dengan demikian diharapkan perkebunan sawit tersebut akan lebih berkelanjutan. Pola integrasi sawit-sapi akan dikelola dalam manajemen kelompok dengan melibatkan 50 petani dengan total luas lahan 100 ha. Penanaman rumput akan dilakukan sebanyak 24 kali mengikuti pertumbuhan berat badan sapi. Pola pertanaman dilakukan setiap bulan selama waktu tiga bulan, sehingga akan terdapat 8 blok pertanaman.

SISTEM INTEGRASI SAPI DI PERKEBUNAN SAWIT PELUANG DAN TANTANGANNYA

SISTEM INTEGRASI SAPI DI PERKEBUNAN SAWIT PELUANG DAN TANTANGANNYA Suplemen 5 SISTEM INTEGRASI SAPI DI PERKEBUNAN SAWIT PELUANG DAN TANTANGANNYA Latar Belakang Sejak tahun 2008, Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan telah menginisiasi program pengembangan ternak sapi yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Permintaan pangan hewani terutama daging sapi meningkat cukup besar

I. PENDAHULUAN. Permintaan pangan hewani terutama daging sapi meningkat cukup besar 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Permintaan pangan hewani terutama daging sapi meningkat cukup besar sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk baik pada tingkat nasional maupun wilayah provinsi. Untuk

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU MARZUKI HUSEIN Dinas Peternakan Provinsi RIAU Jl. Pattimura No 2 Pekanbaru ABSTRAK Sebagai usaha sampingan

Lebih terperinci

pengusaha mikro, kecil dan menegah, serta (c) mengkaji manfaat ekonomis dari pengolahan limbah kelapa sawit.

pengusaha mikro, kecil dan menegah, serta (c) mengkaji manfaat ekonomis dari pengolahan limbah kelapa sawit. BOKS LAPORAN PENELITIAN: KAJIAN PELUANG INVESTASI PENGOLAHAN LIMBAH KELAPA SAWIT DALAM UPAYA PENGEMBANGAN USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH DI PROVINSI JAMBI I. PENDAHULUAN Laju pertumbuhan areal perkebunan

Lebih terperinci

Pengembangan Wilayah Sentra Produksi tanaman, menyebabkan pemadatan lahan, serta menimbulkan serangan hama dan penyakit. Di beberapa lokasi perkebunan

Pengembangan Wilayah Sentra Produksi tanaman, menyebabkan pemadatan lahan, serta menimbulkan serangan hama dan penyakit. Di beberapa lokasi perkebunan BAB VII PENUTUP Perkembangan industri kelapa sawit yang cepat ini disebabkan oleh beberapa alasan, antara lain : (i) secara agroekologis kelapa sawit sangat cocok dikembangkan di Indonesia ; (ii) secara

Lebih terperinci

RENCANA PENGEMBANGAN PETERNAKAN PADA SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KALIMANTAN SELATAN

RENCANA PENGEMBANGAN PETERNAKAN PADA SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KALIMANTAN SELATAN RENCANA PENGEMBANGAN PETERNAKAN PADA SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KALIMANTAN SELATAN MASKAMIAN Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan Jl. Jenderal Sudirman No 7 Banjarbaru ABSTRAK Permintaan pasar

Lebih terperinci

VII. PEMBAHASAN ASPEK FINANSIAL

VII. PEMBAHASAN ASPEK FINANSIAL VII. PEMBAHASAN ASPEK FINANSIAL 7.1. Proyeksi Arus Kas (Cashflow) Proyeksi arus kas merupakan laporan aliran kas yang memperlihatkan gambaran penerimaan (inflow) dan pengeluaran kas (outflow). Dalam penelitian

Lebih terperinci

DESAIN PEMBANGUNAN KEBUN DENGAN SISTEM USAHA TERPADU TERNAK SAPI BALESIA

DESAIN PEMBANGUNAN KEBUN DENGAN SISTEM USAHA TERPADU TERNAK SAPI BALESIA DESAIN PEMBANGUNAN KEBUN DENGAN SISTEM USAHA TERPADU TERNAK SAPI BALESIA DAPOT SITOMPUL PT Agricinal PENDAHULUAN Usaha ternak terpadu dengan perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu sistem management

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI PADA KAWASAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI PROVINSI JAMBI

PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI PADA KAWASAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI PROVINSI JAMBI Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa SawitSapi PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI PADA KAWASAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT BAMBANG PRAYUDI 1, NATRES ULFI 2 dan SUPRANTO ARIBOWO 3 1 Balai Pengkajian

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis dan Sumber Data 4.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis dan Sumber Data 4.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Peternakan Domba Tawakkal, yang terletak di Jalan Raya Sukabumi, Desa Cimande Hilir No.32, Kecamatan Caringin, Kabupaten

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka Tipologi usaha peternakan dibagi berdasarkan skala usaha dan kontribusinya terhadap pendapatan peternak, sehingga bisa diklasifikasikan ke dalam kelompok berikut:

Lebih terperinci

Budidaya Sapi Potong Berbasis Agroekosistem Perkebunan Kelapa Sawit ANALISIS USAHA Seperti telah dikemukakan pada bab pendahuluan, usaha peternakan sa

Budidaya Sapi Potong Berbasis Agroekosistem Perkebunan Kelapa Sawit ANALISIS USAHA Seperti telah dikemukakan pada bab pendahuluan, usaha peternakan sa Kelayakan Usaha BAB V KELAYAKAN USAHA Proses pengambilan keputusan dalam menentukan layak tidaknya suatu usaha sapi potong dapat dilakukan melalui analisis input-output. Usaha pemeliharaan sapi potong

Lebih terperinci

Prospek Pengembangan Sistem Integrasi Perkebunan Kelapa Sawit dan Peternakan Sapi untuk Meningkatkan Pendapatan Petani di Kabupaten Lampung Selatan

Prospek Pengembangan Sistem Integrasi Perkebunan Kelapa Sawit dan Peternakan Sapi untuk Meningkatkan Pendapatan Petani di Kabupaten Lampung Selatan Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Teknologi Pertanian Politeknik Negeri Lampung 24 Mei 2014 ISBN 978-602-70530-0-7 halaman 349-355 Prospek Pengembangan Sistem Integrasi Perkebunan Kelapa Sawit dan

Lebih terperinci

VII. KELAYAKAN ASPEK FINANSIAL

VII. KELAYAKAN ASPEK FINANSIAL VII. KELAYAKAN ASPEK FINANSIAL Kelayakan aspek finansial merupakan analisis yang mengkaji kelayakan dari sisi keuangan suatu usaha. Aspek ini sangat diperlukan untuk mengetahui apakah usaha budidaya nilam

Lebih terperinci

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :......

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :...... LAMPIRAN 50 Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama :... 2. Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :... 4. Pendidikan Terakhir :.. 5. Mata Pencaharian a. Petani/peternak

Lebih terperinci

INTEGRASI SAPI-SAWIT DI KALIMANTAN TENGAH (Fokus Pengamatan di Kabupaten Kotawaringin Barat)

INTEGRASI SAPI-SAWIT DI KALIMANTAN TENGAH (Fokus Pengamatan di Kabupaten Kotawaringin Barat) INTEGRASI SAPI-SAWIT DI KALIMANTAN TENGAH (Fokus Pengamatan di Kabupaten Kotawaringin Barat) Ermin Widjaja PENDAHULUAN Luas perkebunan di Kalimantan Tengah berkembang dengan pesat dari 712.026 Ha pada

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gorontalo. Terdiri dari 18 Kecamatan, 191 Desa, dan 14 Kelurahan. Letak

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gorontalo. Terdiri dari 18 Kecamatan, 191 Desa, dan 14 Kelurahan. Letak BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Wilayah Penelitian Kabupaten Gorontalo memiliki letak yang sangat strategis sebagai pusat akses lintas daerah karena posisinya berada di titik tengah wilayah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hal ini dikarenakan munculnya kesadaran dari masyarakat mengenai pentingnya

I. PENDAHULUAN. hal ini dikarenakan munculnya kesadaran dari masyarakat mengenai pentingnya I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian organik kini mulai menjadi peluang baru dalam usaha pertanian, hal ini dikarenakan munculnya kesadaran dari masyarakat mengenai pentingnya mengonsumsi makanan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. cruciferae yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Sawi memiliki nilai gizi yang

I. PENDAHULUAN. cruciferae yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Sawi memiliki nilai gizi yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kesadaran manusia akan kesehatan menjadi salah satu faktor kebutuhan sayur dan buah semakin meningkat. Di Indonesia tanaman sawi merupakan jenis sayuran

Lebih terperinci

Inovasi Ternak Dukung Swasembada Daging dan Kesejahteraan Peternak

Inovasi Ternak Dukung Swasembada Daging dan Kesejahteraan Peternak Agro inovasi Inovasi Ternak Dukung Swasembada Daging dan Kesejahteraan Peternak Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Jl. Ragunan No.29 Pasar Minggu Jakarta Selatan www.litbang.deptan.go.id 2 AgroinovasI

Lebih terperinci

VII. ANALISIS FINANSIAL

VII. ANALISIS FINANSIAL VII. ANALISIS FINANSIAL Usaha peternakan Agus Suhendar adalah usaha dalam bidang agribisnis ayam broiler yang menggunakan modal sendiri dalam menjalankan usahanya. Skala usaha peternakan Agus Suhendar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit merupakan komoditi utama perkebunan di Indonesia. Komoditas kelapa sawit mempunyai peran yang cukup strategis dalam

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit merupakan komoditi utama perkebunan di Indonesia. Komoditas kelapa sawit mempunyai peran yang cukup strategis dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelapa sawit merupakan komoditi utama perkebunan di Indonesia. Komoditas kelapa sawit mempunyai peran yang cukup strategis dalam perekonomian Indonesia. Pertama, minyak

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa SawitSapi POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN ABDULLAH BAMUALIM dan SUBOWO G. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

Produktivitas Optimal PENDAHULUAN 13/07/2017 PT PADASA ENAM UTAMA. Bahan Tanaman. Manajemen Kebun. Oleh: Lambok Siahaan.

Produktivitas Optimal PENDAHULUAN 13/07/2017 PT PADASA ENAM UTAMA. Bahan Tanaman. Manajemen Kebun. Oleh: Lambok Siahaan. IMPLEMENTASI BEST MANAGEMENT PRACTICES (BMP) MELALUI PEMELIHARAAN KESEHATAN TANAH SEBAGAI BAGIAN DARI PENGELOLAAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT BERKELANJUTAN Oleh: Lambok Siahaan PT PADASA ENAM UTAMA PENDAHULUAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya peningkatan produksi tanaman pangan khususnya pada lahan sawah melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. Pertambahan jumlah penduduk

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. sampai dengan 30 tahun tergantung dengan letak topografi lokasi buah naga akan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. sampai dengan 30 tahun tergantung dengan letak topografi lokasi buah naga akan V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Kelayakan Usahatani Buah Naga Buah naga merupakan tanaman tahunan yang sudah dapat berbuah 1 tahun sampai dengan 1,5 tahun setelah tanam. Buah naga memiliki usia produktif

Lebih terperinci

V. PROFIL PETERNAK SAPI DESA SRIGADING. responden memberikan gambaran secara umum tentang keadaan dan latar

V. PROFIL PETERNAK SAPI DESA SRIGADING. responden memberikan gambaran secara umum tentang keadaan dan latar V. PROFIL PETERNAK SAPI DESA SRIGADING A. Karakteristik Responden Responden dalam penelitian ini adalah peternak yang mengusahakan anakan ternak sapi dengan jumlah kepemilikan sapi betina minimal 2 ekor.

Lebih terperinci

pengembangan KERBAU KALANG SUHARDI, S.Pt.,MP Plasmanutfah Kalimantan Timur

pengembangan KERBAU KALANG SUHARDI, S.Pt.,MP Plasmanutfah Kalimantan Timur pengembangan KERBAU KALANG SUHARDI, S.Pt.,MP Plasmanutfah Kalimantan Timur Latar Belakang 1. Kebutuhan konsumsi daging cenderung mengalami peningkatan sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang potensial sebagai sumber bahan baku minyak atsiri. Indonesia menghasilkan 40 jenis dari 80 jenis minyak atsiri yang di perdagangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rumput gajah odot (Pannisetum purpureum cv. Mott.) merupakan pakan. (Pannisetum purpureum cv. Mott) dapat mencapai 60 ton/ha/tahun

BAB I PENDAHULUAN. Rumput gajah odot (Pannisetum purpureum cv. Mott.) merupakan pakan. (Pannisetum purpureum cv. Mott) dapat mencapai 60 ton/ha/tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rumput gajah odot (Pannisetum purpureum cv. Mott.) merupakan pakan hijauan unggul yang digunakan sebagai pakan ternak. Produksi rumput gajah (Pannisetum purpureum

Lebih terperinci

Berdasarkan tehnik penanaman tebu tersebut dicoba diterapkan pada pola penanaman rumput raja (king grass) dengan harapan dapat ditingkatkan produksiny

Berdasarkan tehnik penanaman tebu tersebut dicoba diterapkan pada pola penanaman rumput raja (king grass) dengan harapan dapat ditingkatkan produksiny TEKNIK PENANAMAN RUMPUT RAJA (KING GRASS) BERDASARKAN PRINSIP PENANAMAN TEBU Bambang Kushartono Balai Penelitian Ternak Ciawi, P.O. Box 221, Bogor 16002 PENDAHULUAN Prospek rumput raja sebagai komoditas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Peternakan Sapi Perah Salah satu bidang usaha agribisnis peternakan yang memiliki potensi cukup besar dalam meningkatkan kesejahtraan dan kualitas sumberdaya manusia

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Tanaman kehutanan adalah tanaman yang tumbuh di hutan yang berumur

III. METODE PENELITIAN. Tanaman kehutanan adalah tanaman yang tumbuh di hutan yang berumur 47 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan

Lebih terperinci

Keberhasilan Pembangunan Peternakan di Kabupaten Bangka Barat. dalam arti yang luas dan melalui pendekatan yang menyeluruh dan integratif dengan

Keberhasilan Pembangunan Peternakan di Kabupaten Bangka Barat. dalam arti yang luas dan melalui pendekatan yang menyeluruh dan integratif dengan Keberhasilan Pembangunan Peternakan di Kabupaten Bangka Barat Pembangunan peternakan merupakan bagian dari pembangunan pertanian dalam arti yang luas dan melalui pendekatan yang menyeluruh dan integratif

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan konsumsi daging sapi penduduk Indonesia cenderung terus meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia dan kesadaran masyarakat akan

Lebih terperinci

KAJIAN PENGEMBANGAN SISTEM PERTANIAN TERINTEGRASI TANAMAN TERNAK

KAJIAN PENGEMBANGAN SISTEM PERTANIAN TERINTEGRASI TANAMAN TERNAK LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2014 KAJIAN PENGEMBANGAN SISTEM PERTANIAN TERINTEGRASI TANAMAN TERNAK Oleh : Nyak Ilham Saptana Bambang Winarso Herman Supriadi Supadi Yonas Hangga Saputra PUSAT ANALISIS SOSIAL

Lebih terperinci

DAFTAR ISI... SAMPUL DALAM. PERNYATAAN KEASLIAN KARYA SKRIPSI.. ABSTRACT... RINGKASAN... HALAMAN PERSETUJUAN.. TIM PENGUJI.. RIWAYAT HIDUP.

DAFTAR ISI... SAMPUL DALAM. PERNYATAAN KEASLIAN KARYA SKRIPSI.. ABSTRACT... RINGKASAN... HALAMAN PERSETUJUAN.. TIM PENGUJI.. RIWAYAT HIDUP. DAFTAR ISI ISI SAMPUL DALAM. PERNYATAAN KEASLIAN KARYA SKRIPSI.. ABSTRACT... ABSTRAK RINGKASAN... HALAMAN PERSETUJUAN.. TIM PENGUJI.. RIWAYAT HIDUP. KATA PENGANTAR. DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah dibuka maka investasi harus terus dilanjutkan sampai kebun selesai

BAB I PENDAHULUAN. telah dibuka maka investasi harus terus dilanjutkan sampai kebun selesai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bisnis perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu bisnis yang dinilai prospektif saat ini. Karakteristik investasi dibidang perkebunan kelapa sawit teramat berbeda

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring semakin meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia, harus diimbangi dengan peningkatan hasil pertanian untuk mencukupi kebutuhan pokok makanan. Kebutuhan yang

Lebih terperinci

Konsep Awal Pembangunan Ekonomi Pertanian Secara Kolektif melalui Organisasi

Konsep Awal Pembangunan Ekonomi Pertanian Secara Kolektif melalui Organisasi 1 Lampiran 1 Konsep Awal Pembangunan Ekonomi Pertanian Secara Kolektif melalui Organisasi Untuk dapat membayangkan sebuah model pembangunan ekonomi pertanian secara kolektif, maka mestilah dilihat dan

Lebih terperinci

VII. ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL

VII. ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL VII. ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL Pada penelitian ini dilakukan analisis kelayakan finansial untuk mengetahui kelayakan pengusahaan ikan lele, serta untuk mengetahui apakah usaha yang dilakukan pada kelompok

Lebih terperinci

STRATEGI USAHA PENGEMBANGAN PETERNAKAN YANG BERKESINAMBUNGAN

STRATEGI USAHA PENGEMBANGAN PETERNAKAN YANG BERKESINAMBUNGAN STRATEGI USAHA PENGEMBANGAN PETERNAKAN YANG BERKESINAMBUNGAN H. MASNGUT IMAM S. Praktisi Bidang Peternakan dan Pertanian, Blitar, Jawa Timur PENDAHULUAN Pembangunan pertanian berbasis sektor peternakan

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL USAHA TERNAK SAPI DESA SRIGADING. seperti (kandang, peralatan, bibit, perawatan, pakan, pengobatan, dan tenaga

ANALISIS HASIL USAHA TERNAK SAPI DESA SRIGADING. seperti (kandang, peralatan, bibit, perawatan, pakan, pengobatan, dan tenaga VI. ANALISIS HASIL USAHA TERNAK SAPI DESA SRIGADING A. Ketersediaan Input Dalam mengusahakan ternak sapi ada beberapa input yang harus dipenuhi seperti (kandang, peralatan, bibit, perawatan, pakan, pengobatan,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Melon (Cucumis melo L.) merupakan salah satu buah yang dikonsumsi segar.

PENDAHULUAN. Melon (Cucumis melo L.) merupakan salah satu buah yang dikonsumsi segar. PENDAHULUAN Latar Belakang Melon (Cucumis melo L.) merupakan salah satu buah yang dikonsumsi segar. Pada perusahaan makanan dan minuman, melon digunakan sebagai bahan penyedap rasa dan memberikan aroma

Lebih terperinci

KUESIONER RESPONDEN PEMILIK ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL DAN PROSPEK PEMASARAN BUDIDAYA GAHARU PENGENALAN TEMPAT PETUGAS PROGRAM STUDI KEHUTANAN

KUESIONER RESPONDEN PEMILIK ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL DAN PROSPEK PEMASARAN BUDIDAYA GAHARU PENGENALAN TEMPAT PETUGAS PROGRAM STUDI KEHUTANAN Lampiran 1 KUESIONER RESPONDEN PEMILIK ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL DAN PROSPEK PEMASARAN BUDIDAYA GAHARU Dusun PENGENALAN TEMPAT Desa Kecamatan Kabupaten Provinsi Sumatera Utara No urut sampel PETUGAS

Lebih terperinci

Peluang Investasi Agribisnis Jagung

Peluang Investasi Agribisnis Jagung Halaman1 Peluang Investasi Agribisnis Jagung Jagung termasuk tanaman yang Familiar bagi sebagian masyarakat. Seiring dengan perkembangan teknologi, saat ini banyak beredar jenis jagung. Untuk lebih mengenal

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memegang peranan penting dalam struktur ekonomi nasional. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya berperan dalam pembentukan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan produksi protein hewani untuk masyarakat Indonesia selalu meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh peningkatan penduduk, maupun tingkat kesejahteraan

Lebih terperinci

OPTIMALISASI USAHA PENGGEMUKAN SAPI DI KAWASAN PERKEBUNAN KOPI

OPTIMALISASI USAHA PENGGEMUKAN SAPI DI KAWASAN PERKEBUNAN KOPI OPTIMALISASI USAHA PENGGEMUKAN SAPI DI KAWASAN PERKEBUNAN KOPI Pita Sudrajad, Muryanto, dan A.C. Kusumasari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah E-mail: pitosudrajad@gmail.com Abstrak Telah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Jagung manis merupakan salah satu jenis jagung yang mulai dikembangkan dalam sekala luas. Jagung manis memiliki banyak manfaat sebagai makanan tambahan, sayuran, bahan

Lebih terperinci

VII ANALISIS ASPEK FINANSIAL

VII ANALISIS ASPEK FINANSIAL VII ANALISIS ASPEK FINANSIAL Aspek finansial merupakan aspek yang dikaji melalui kondisi finansial suatu usaha dimana kelayakan aspek finansial dilihat dari pengeluaran dan pemasukan usaha tersebut selama

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Meningkatnya jumlah penduduk dan adanya perubahan pola konsumsi serta selera masyarakat kearah protein hewani telah meningkatkan kebutuhan akan daging sapi. Program

Lebih terperinci

RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN DAN PENDANAAN INDIKA DINAS PERKEBUNAN DAN PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN DAN PENDANAAN INDIKA DINAS PERKEBUNAN DAN PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN DAN PENDANAAN INDIKA DINAS PERKEBUNAN DAN PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN Tujuan Sasaran RPJMD Kinerja Utama Program dan Kegiatan Indikator

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laju peningkatan produktivitas tanaman padi di Indonesia akhir-akhir ini cenderung melandai, ditandai salah satunya dengan menurunnya produksi padi sekitar 0.06 persen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanaman kelapa sawit memiliki arti penting bagi pembangunan perkebunan nasional, selain mampu menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat dan juga mengarah pada kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB XVI KEGIATAN AGRIBISNIS

BAB XVI KEGIATAN AGRIBISNIS SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TERNAK RIMUNANSIA BAB XVI KEGIATAN AGRIBISNIS KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

Lebih terperinci

VII ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL

VII ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL VII ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL Analisis kelayakan finansial dalam penelitian ini ditujukan untuk mengetahui kelayakan usaha peternakan ayam ras petelur dari segi keuangan. Analisis finansial digunakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari. pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari. pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di beberapa daerah di Indonesia telah memberikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. besar untuk dikembangkan, sapi ini adalah keturunan Banteng (Bos sundaicus)

I. PENDAHULUAN. besar untuk dikembangkan, sapi ini adalah keturunan Banteng (Bos sundaicus) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sapi Bali adalah salah satu bangsa sapi murni yang mempunyai potensi besar untuk dikembangkan, sapi ini adalah keturunan Banteng (Bos sundaicus) dan mempunyai bentuk

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat pedesaan pada umumnya bermatapencaharian sebagai petani, selain usaha pertaniannya, usaha peternakan pun banyak dikelola oleh masyarakat pedesaan salah satunya

Lebih terperinci

PEMBUATAN PUPUK ORGANIK ASAL KOTORAN SAPI Hasil sampingan pemeliharaan ternak sapi atau sering juga disebut sebagai kotoran sapi tersusun dari feses,

PEMBUATAN PUPUK ORGANIK ASAL KOTORAN SAPI Hasil sampingan pemeliharaan ternak sapi atau sering juga disebut sebagai kotoran sapi tersusun dari feses, POTENSI DAN PEMANFAATAN PUPUK ORGANIK ASAL KOTORAN SAM Entang Suganda Balai Penelitian Ternak, P.O. Box 221, Bogor, 16002 PENDAHULUAN Ketersediaan unsur hara dalam tanah sangat penting artinya bagi usaha

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut data yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Perkebunan tahun 2008 di Indonesia terdapat seluas 7.125.331 hektar perkebunan kelapa sawit, lebih dari separuhnya

Lebih terperinci

SUMBERDAYA INDUSTRI KELAPA SAWIT DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI NASIONAL

SUMBERDAYA INDUSTRI KELAPA SAWIT DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI NASIONAL SUMBERDAYA INDUSTRI KELAPA SAWIT DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI NASIONAL Firman RL Silalahi 1,2, Abdul Rauf 3, Chairani Hanum 3, dan Donald Siahaan 4 1 Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Medan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit adalah salah satu komoditas non migas andalan Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit adalah salah satu komoditas non migas andalan Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelapa sawit adalah salah satu komoditas non migas andalan Indonesia. Selain menghasilkan produksi utamanya berupa minyak sawit dan minyak inti sawit, perkebunan kelapa

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI-KELAPA SAWIT DI PROVINSI BENGKULU

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI-KELAPA SAWIT DI PROVINSI BENGKULU POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI-KELAPA SAWIT DI PROVINSI BENGKULU GUNAWAN dan AZMI Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu Jl. Irian Km. 6,5 Bengkulu 38119 ABSTRAK Permintaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesempatan kerja, dan peningkatan pendapatan masyarakat. Sektor pertanian

BAB I PENDAHULUAN. kesempatan kerja, dan peningkatan pendapatan masyarakat. Sektor pertanian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pertanian di Indonesia mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian bangsa. Sektor pertanian telah berperan dalam pembentukan PDB, perolehan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Cabai (Capsicum annum L.) merupakan salah satu jenis sayuran penting yang

I. PENDAHULUAN. Cabai (Capsicum annum L.) merupakan salah satu jenis sayuran penting yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Cabai (Capsicum annum L.) merupakan salah satu jenis sayuran penting yang dibudidayakan secara komersial di daerah tropis. Hampir setiap hari produk ini

Lebih terperinci

Temu Lapang Bioindustri Sawit-Sapi

Temu Lapang Bioindustri Sawit-Sapi Temu Lapang Bioindustri Sawit-Sapi Bangkinang-Salah satu kegiatan diseminasi inovasi hasil penelitian dan Pengkajian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Riau adalah kegiatan temu lapang. Pada sabtu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terlihat dari rata-rata laju pertumbuhan luas areal kelapa sawit selama

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terlihat dari rata-rata laju pertumbuhan luas areal kelapa sawit selama I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelapa sawit merupakan salah satu komoditi perkebunan yang penting dalam perekonomian Indonesia, baik sebagai penghasil devisa maupun penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan

Lebih terperinci

HASIL SAMPINGAN KELAPA SAWIT HARAPAN BESAR BAGI PENGEMBANGAN SAPI POTONG DI PROVINSI RIAU

HASIL SAMPINGAN KELAPA SAWIT HARAPAN BESAR BAGI PENGEMBANGAN SAPI POTONG DI PROVINSI RIAU HASIL SAMPINGAN KELAPA SAWIT HARAPAN BESAR BAGI PENGEMBANGAN SAPI POTONG DI PROVINSI RIAU Ketersediaan rumput alam yang semakin terbatas dengan kualitas yang kurang memadai sudah saatnya peternak berpindah

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN. Pada bagian ini akan dijelaskan tentang konsep dan teori yang

KERANGKA PEMIKIRAN. Pada bagian ini akan dijelaskan tentang konsep dan teori yang III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Konseptual Pada bagian ini akan dijelaskan tentang konsep dan teori yang berhubungan dengan penelitian studi kelayakan usaha pupuk kompos pada Kelompok Tani

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di PT Mekar Unggul Sari, Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan alasan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Keberhasilan usaha ternak sapi bergantung pada tiga unsur yaitu bibit, pakan, dan

PENDAHULUAN. Keberhasilan usaha ternak sapi bergantung pada tiga unsur yaitu bibit, pakan, dan PENDAHULUAN Latar Belakang Peternakan di Indonesia sejak zaman kemerdekaan sampai saat ini sudah semakin berkembang dan telah mencapai kemajuan yang cukup pesat. Sebenarnya, perkembangan kearah komersial

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang keduanya tidak bisa dilepaskan, bahkan yang saling melengkapi.

I. PENDAHULUAN. yang keduanya tidak bisa dilepaskan, bahkan yang saling melengkapi. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian dan peternakan merupakan satu kesatuan terintegrasi yang keduanya tidak bisa dilepaskan, bahkan yang saling melengkapi. Pembangunan kedua sektor ini bertujuan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. untuk penggemukan dan pembibitan sapi potong. Tahun 2003 Pusat Pembibitan dan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. untuk penggemukan dan pembibitan sapi potong. Tahun 2003 Pusat Pembibitan dan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Wilayah Penelitian Pusat Pembibitan dan Penggemukan Ternak Wonggahu pada tahun 2002 dikelola oleh Dinas Pertanian, Peternakan dan Ketahanan Pangan Provinsi Gorontalo

Lebih terperinci

X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO

X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO 10.1. Kebijakan Umum Penduduk Kabupaten Situbondo pada umumnya banyak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia Sapi lokal memiliki potensi sebagai penghasil daging dalam negeri. Sapi lokal memiliki kelebihan, yaitu daya adaptasi terhadap lingkungan tinggi, mampu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan komoditas perkebunan unggulan

BAB I PENDAHULUAN. Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan komoditas perkebunan unggulan BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan komoditas perkebunan unggulan dan utama Indonesia. Tanaman yang produk utamanya terdiri dari minyak sawit (CPO) dan

Lebih terperinci

Latar Belakang. meluasnya deforestasi. Di samping itu, lahan juga dapat menjadi kritis karena

Latar Belakang. meluasnya deforestasi. Di samping itu, lahan juga dapat menjadi kritis karena Latar Belakang Permasalahan lahan kritis di Indonesia semakin besar dengan semakin meluasnya deforestasi. Di samping itu, lahan juga dapat menjadi kritis karena pemanfaatannya yang melebihi kapasitasnya.

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usahatani Karet

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usahatani Karet II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usahatani Karet Usahatani karet yaitu suatu bentuk usahatani yang dilakukan petani melalui pengusahaan karet. Banyak penelitian yang melakukan penelitian terkait dengan usahatani

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Teori Manfaat dan Biaya Dalam menganalisa suatu usaha, tujuan analisa harus disertai dengan definisi-definisi mengenai biaya-biaya dan manfaat-manfaat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada awal masa orde baru tahun 1960-an produktivitas padi di Indonesia hanya

BAB I PENDAHULUAN. Pada awal masa orde baru tahun 1960-an produktivitas padi di Indonesia hanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada awal masa orde baru tahun 1960-an produktivitas padi di Indonesia hanya 1-1,5 ton/ha, sementara jumlah penduduk pada masa itu sekitar 90 jutaan sehingga produksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Agroforestry dalam Bahasa Indonesia, dikenal dengan istilah wanatani atau

I. PENDAHULUAN. Agroforestry dalam Bahasa Indonesia, dikenal dengan istilah wanatani atau I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Agroforestry dalam Bahasa Indonesia, dikenal dengan istilah wanatani atau agroforestri, arti sederhananya adalah menanam pepohonan di lahan pertanian. Sistem ini telah

Lebih terperinci

Johanis A. Jermias; Vinni D. Tome dan Tri A. Y. Foenay. ABSTRAK

Johanis A. Jermias; Vinni D. Tome dan Tri A. Y. Foenay.    ABSTRAK PEMANFAATAN GULMA SEMAK BUNGA PUTIH (Chromolaena odorata) SEBAGAI BAHAN PEMBUAT PUPUK ORGANIK BOKHASI DALAM RANGKA MENGATASI PENYEMPITAN PADANG PEMGGEMBALAAN DAN MENCIPTAKAN PERTANIAN TERPADU BERBASIS

Lebih terperinci

ANALISIS BIAYA PRODUKSI PENGOLAHAN PAKAN DARI LIMBAH PERKEBUNAN DAN LIMBAH AGROINDUSTRI DI KECAMATAN KERINCI KANAN KABUPATEN SIAK

ANALISIS BIAYA PRODUKSI PENGOLAHAN PAKAN DARI LIMBAH PERKEBUNAN DAN LIMBAH AGROINDUSTRI DI KECAMATAN KERINCI KANAN KABUPATEN SIAK ANALISIS BIAYA PRODUKSI PENGOLAHAN PAKAN DARI LIMBAH PERKEBUNAN DAN LIMBAH AGROINDUSTRI DI KECAMATAN KERINCI KANAN KABUPATEN SIAK Susy Edwina, Dany Varian Putra Fakultas Pertanian Universitas Riau susi_edwina@yahoo.com

Lebih terperinci

STUDY KELAYAKAN USAHA TERNAK SAPI DENGAN PEMANFAATAN LIMBAH KELAPA SAWIT DI PT. CITRA BORNEO INDAH KALIMANTAN TENGAH

STUDY KELAYAKAN USAHA TERNAK SAPI DENGAN PEMANFAATAN LIMBAH KELAPA SAWIT DI PT. CITRA BORNEO INDAH KALIMANTAN TENGAH STUDY KELAYAKAN USAHA TERNAK SAPI DENGAN PEMANFAATAN LIMBAH KELAPA SAWIT DI PT. CITRA BORNEO INDAH KALIMANTAN TENGAH Risca Permatasari Program Studi Magister Manajemen Konsentrasi Agribisnis Universitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Barat cendrung meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Badan Pusat

I. PENDAHULUAN. Barat cendrung meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Badan Pusat I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permintaan terhadap daging khususnya daging sapi di Propinsi Sumatera Barat cendrung meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Sumatera Barat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba merupakan salah satu ternak ruminansia kecil yang memiliki potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan sudah sangat umum dibudidayakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 15 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karet merupakan komoditas perkebunan yang sangat penting peranannya di Indonesia. Selain sebagai sumber lapangan kerja, komoditas ini juga memberikan kontribusi yang

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI PERKEBUNAN SEBAGAI UPAYA PEMBANGUNAN PETERNAKAN SAPI MENUJU SWASEMBADA DAGING 2010

PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI PERKEBUNAN SEBAGAI UPAYA PEMBANGUNAN PETERNAKAN SAPI MENUJU SWASEMBADA DAGING 2010 PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI PERKEBUNAN SEBAGAI UPAYA PEMBANGUNAN PETERNAKAN SAPI MENUJU SWASEMBADA DAGING 2010 (SUATU SUMBANG SARAN PEMIKIRAN) Oleh: Suharyanto PROGRAM STUDI PRODUKSI TERNAK JURUSAN

Lebih terperinci

VALUE ENGINEERING PERKEBUNAN KELAPA SAWIT. Ir. Darmansyah Director PT. Nan Tembo Consultant

VALUE ENGINEERING PERKEBUNAN KELAPA SAWIT. Ir. Darmansyah Director PT. Nan Tembo Consultant VALUE ENGINEERING PERKEBUNAN KELAPA SAWIT Ir. Darmansyah Director PT. Nan Tembo Consultant 1. LATAR BELAKANG Perkebunan kelapa sawit salah satu agribisnis yang cukup besar dan mempunyai pasar yang sangat

Lebih terperinci

Tabel 1. Luas areal terbesar 5 kabupaten provinsi Sumatera Utara. Tabel 2. Luas areal terbesar 5 kabupaten provinsi Riau

Tabel 1. Luas areal terbesar 5 kabupaten provinsi Sumatera Utara. Tabel 2. Luas areal terbesar 5 kabupaten provinsi Riau Lampiran 3. Luas areal perkebunan kelapa sawit tahun 2009. Tabel 1. Luas areal terbesar 5 kabupaten provinsi Sumatera Utara Kabupaten Luas Areal (Ha) Labuhan Batu 85527 Tapanuli Selatan 57144 Simalungun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian di Indonesia merupakan sektor yang terus. dikembangkan dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian di Indonesia merupakan sektor yang terus. dikembangkan dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian di Indonesia merupakan sektor yang terus dikembangkan dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pembangunan nasional. Sektor pertanian

Lebih terperinci

LAPORAN KINERJA INVESTASI. KEM.PERTAMINAFLip DESA PUDAK KECAMATAN KUMPEH ULU KABUPATEN MUAROJAMBI. (Sabtu, 16 Mei 2015)

LAPORAN KINERJA INVESTASI. KEM.PERTAMINAFLip DESA PUDAK KECAMATAN KUMPEH ULU KABUPATEN MUAROJAMBI. (Sabtu, 16 Mei 2015) LAPORAN KINERJA INVESTASI KEM.PERTAMINAFLip DESA PUDAK KECAMATAN KUMPEH ULU KABUPATEN MUAROJAMBI (Sabtu, 16 Mei 2015) Sebelum Adanya KEM Setelah Adanya KEM Disusun oleh: FW KAJANGLAKO Kota Jambi, 16 Mei

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perkebunan kelapa sawit adalah rata rata sebesar 750 kg/ha/tahun. Berarti

I. PENDAHULUAN. perkebunan kelapa sawit adalah rata rata sebesar 750 kg/ha/tahun. Berarti I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia kini memiliki 8,9 juta hektar perkebunan kelapa sawit, dari luas tanaman tersebut rakyat memiliki 3,7 juta hektar, BUMN 616.575 hektar dan perkebunan swasta

Lebih terperinci

1) Pencarian dan sewa lahan yang digunakan untuk tempat penggemukan sapi. BAB V RENCANA AKSI. 5.1 Kegiatan

1) Pencarian dan sewa lahan yang digunakan untuk tempat penggemukan sapi. BAB V RENCANA AKSI. 5.1 Kegiatan BAB V RENCANA AKSI 5.1 Kegiatan Untuk dapat mulai menjalankan bisnis penggemukan agar mendapatkan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan, disusun rencana aksi sebagai acuan dalam melakukan kegiatan sekaligus

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. menggunakan pengalaman, wawasan, dan keterampilan yang dikuasainya.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. menggunakan pengalaman, wawasan, dan keterampilan yang dikuasainya. V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Profil Petani Petani adalah pelaku usahatani yang mengatur segala faktor produksi untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kualitas

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Domba di Indonesia

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Domba di Indonesia II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Domba di Indonesia Daging domba merupakan salah satu sumber protein hewani yang cukup digemari oleh masyarakat Indonesia, disamping produk daging yang berasal dari

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sapi mencapai 19 persen dari jumlah konsumsi daging Nasional (Dirjen

II. TINJAUAN PUSTAKA. sapi mencapai 19 persen dari jumlah konsumsi daging Nasional (Dirjen 9 II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1. Ternak Sapi Sapi merupakan penghasil daging utama di Indonesia. Konsumsi daging sapi mencapai 19 persen dari jumlah konsumsi daging Nasional (Dirjen Peternakan, 2009). Konsumsi

Lebih terperinci

TERNAK KELINCI. Jenis kelinci budidaya

TERNAK KELINCI. Jenis kelinci budidaya TERNAK KELINCI Peluang usaha ternak kelinci cukup menjanjikan karena kelinci termasuk hewan yang gampang dijinakkan, mudah beradaptasi dan cepat berkembangbiak. Secara umum terdapat dua kelompok kelinci,

Lebih terperinci