I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang"

Transkripsi

1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki wilayah laut yang luas dan kaya akan sumber daya alam. Salah satu kekayaan sumber daya alam dari laut adalah rumput laut yang kaya akan manfaat. Rumput laut atau sea weeds secara ilmiah dikenal dengan istilah alga atau ganggang. Rumput laut juga merupakan salah satu komoditas perikanan penting di Indonesia. Potensi ekspor produk olahan rumput laut ini dapat didukung dengan teknologi pascapanen yang tepat untuk menghasilkan produk rumput laut yang memenuhi standar mutu komersil. Rumput laut jenis Eucheuma cottonii termasuk dalam golongan ganggang merah (Rhodophyceae) penghasil karaginan. Karaginan merupakan hidrokoloid yang penting karena memiliki aplikasi yang sangat luas dalam industri pangan dan nonpangan. Jenis rumput laut ini dikembangkan karena memiliki prospek yang bagus disamping keuntungan yang baik serta berbagai manfaatnya. Dalam dunia industri dan perdagangan karaginan mempunyai manfaat yang sama dengan agar-agar dan alginat. Karaginan dapat digunakan sebagai bahan baku untuk industri farmasi, kosmetik, makanan dan lain-lain. Kegunaan karaginan, antara lain sebagai pengatur kestabilan produk, bahan pengental, pembentuk gel dan pengemulsi (Sadhori, 1995 ; Kordi dan Ghufran, 2011). Perlakuan alkali panas dilakukan dengan menggunakan metode ohmik sebagai subtitusi metode pemanasan konvensional. Metode ohmik pada dasarnya adalah suatu proses dimana bahan pangan (cair, padatan, atau campuran antara keduanya) dipanaskan secara simultan dengan mengalirkan arus listrik melaluinya (Salengke, 2000). Bahan pangan yang dilewati arus listrik memberi respon berupa pembangkitan panas secara internal akibat adanya tahanan listrik dalam bahan pangan tersebut (Salengke, 2000). Dalam proses produksi semi-refined carrageenan (SRC), kecepatan reaksi modifikasi precursor karaginan menjadi karaginan sangat tergantung pada kecepatan penyerapan alkali ke dalam matriks 1

2 jaringan sel-sel rumput laut. Pada sistim pengolahan dengan pemanasan konvensional, kecepatan reaksi berlangsung lambat sehingga proses pengolahan umumnya dilakukan antara 3 6 jam. Penelitian Sastry dkk., (2001) menunjukkan bahwa pemanasan ohmik dapat mempercepat proses pengeringan dengan peningkatan laju pengeringan (drying rate) bila dibandingkan dengan pemanasan konvensional ataupun dengan microwave. Hal ini akan berdampak pada penurunan konsumsi energi dan mempersingkat waktu pemanasan. Oleh karena itu, maka dilakukanlah penelitian yang memfokuskan pada studi karakteristik pemanasan ohmik selama proses alkalisasi. 1.2 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik pemanasan ohmik selama proses alkalisasi rumput laut Eucheuma cottonii, dan menentukan rendemen karaginan kasar (Semi Refine Carrageenan) yang diperoleh dari proses alkalisasi. Penelitian ini berguna sebagai bahan informasi bagi industri rumput laut dalam mengoptimalkan produksi Alkali Treated Cottonii (ATC). Penelitian ini juga dapat dijadikan dasar dalam perancangan alat dan mesin pemanasan secara ohmik yang sesuai dengan karakteristik rumput laut jenis Eucheuma cottonii. 2

3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut Euchema Cottoni Rumput laut adalah salah satu sumber daya hayati yang terdapat di wilayah pesisir dan laut. Sumberdaya ini biasanya dapat ditemui di perairan yang berasiosiasi dengan keberadaan ekosistem terumbu karang. Rumput laut alam biasanya dapat hidup di atas substrat pasir dan karang mati. Selain tumbuh bebas di alam, beberapa jenis rumput laut juga banyak dibudidayakan oleh sebagian masyarakat pesisir Indonesia. Rumput laut atau alga laut (sea weed) merupakan salah satu komoditas perikanan penting di Indonesia. Indonesia menduduki posisi penting sebagai produsen rumput laut dunia. Produksi rumput laut dapat diperoleh dari rumput laut yang tumbuh alami dan rumput laut yang dibudidayakan, baik di laut maupun di tambak. Lahan di daerah pesisir merupakan sumber daya alam yang sangat luas dan dapat digunakan untuk pembudidayaan rumput laut. Kebutuhan rumput laut yang terus menunjukkan peningkatan, baik pasar domestik maupun pasar dunia, merupakan prospek yang besar bagi pengembangan rumput laut (Kordi dan Ghufran, 2011). Alga atau ganggang terdiri dari empat kelas, yaitu Rhodophyceae (ganggang merah), Phaeophyceae (ganggang coklat), Chlorophyceae (ganggang hijau), dan Cyanophyceae (ganggang hijau-biru). Pembagian ini didasarkan atas pigmen yang dikandunganya. (Indriani dan Sumarsih, 1997). Klasifikasi taksonomi rumput laut jenis Eucheuma cottonii (Anggadiredja dkk., 2006) : Kingdom : Plantae Divisio : Rhodophyta Kelas : Rhodophyceae Bangsa : Gigartinales Suku : Solierisceae Marga : Eucheuma Jenis : Eucheuma cottonii (Kappaphycus alvarezii) Eucheuma cottonii merupakan salah satu jenis rumput laut merah (Rhodophyceae). Rumput laut jenis cottonii sering juga dikenal dengan nama Kappaphycus alvarezii karena karaginan yang dihasilkan termasuk fraksi kappa- 3

4 karaginan. Oleh karena itu, Eucheuma cottonii secara taksonomi disebut Kappaphycus alvarezii. Nama cottonii umumnya lebih dikenal dan umumnya digunakan dalam dunia perdagangan nasional maupun internasional dimana rumput laut yang dikirim harus memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan (Tabel 1) (Samsuar, 2006). Tabel 1. Standar Mutu Rumput Laut Kering untuk Euchema, Gelidium, Gracilaria Dan Hypnea Karakteristik Syarat Eucheuma Gelidium Gracilaria Hypnea Kadar air maksimal (%) Benda asing maksimal (%) 5*) 5**) 5**) 5**) Bau Spesifik rumput laut Sumber : Poncomulyo dkk., (2006). Spesifik rumput laut Spesifik rumput laut *) Benda asing adalah garam, pasir, karang, kayu dan jenis lain **) Benda asing adalah garam, pasir, karang, dan kayu Spesifik rumput laut Ciri fisik Eucheuma cottonii adalah mempunyai thallus silindris, permukaan licin dan menyerupai tulang rawan (cartilogeneus). Warna Eucheuma cottonii tidak selalu tetap, kadang-kadang berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu atau merah. Perubahan warna thallus sering terjadi karena faktor lingkungan (Anggadiredja dkk., 2006). Kejadian ini merupakan suatu proses adaptasi kromatik yaitu penyesuaian antara proporsi pigmen dengan berbagai kualitas pencahayaan. Penampakan thallus bervariasi mulai dari bentuk sederhana sampai kompleks. Duri-duri pada thallus runcing memanjang, agak jarang dan tidak bersusun melingkari thallus. Percabangan ke berbagai arah dengan batangbatang utama keluar saling berdekatan ke daerah basal (pangkal). Tumbuh melekat ke substrat dengan alat perekat berupa cakram. Cabang-cabang pertama dan kedua tumbuh dengan membentuk rumpun yang rimbun dengan ciri khusus mengarah ke arah datangnya sinar matahari (Samsuar, 2006). 4

5 Umumnya Eucheuma cottonii tumbuh dengan baik di daerah pantai terumbu. Habitat khasnya adalah daerah yang memperoleh aliran air laut yang tetap, variasi suhu harian yang kecil dan substrat batu karang mati. Beberapa jenis Eucheuma cottonii mempunyai peranan penting dalam dunia perdagangan internasional sebagai penghasil ekstrak karaginan. Kadar karaginan dalam setiap spesies Eucheuma berkisar antara % tergantung pada jenis dan lokasi tempat tumbuhnya. Jenis ini asal mulanya didapat dari perairan Sabah (Malaysia) dan Kepulauan Sulu (Filipina). Selanjutnya dikembangkan ke berbagai negara sebagai tanaman budidaya. Lokasi budidaya rumput laut jenis ini di Indonesia antara lain Lombok, Sumba, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Lampung, Kepulauan Seribu, dan Perairan Pelabuhan Ratu (Samsuar, 2006). 2.2 Karaginan Karaginan adalah zat aditif alami yang banyak dimanfaatkan dalam berbagai industri, terutama industri makanan dan kosmetik. Semi-refined carrageenan (SRC) adalah salah satu produk karaginan dengan tingkat kemurnian lebih rendah dibandingkan refined carrageenan, karena masih mengandung sejumlah kecil selulosa yang ikut mengendap bersama karaginan. SRC secara komersial diproduksi dari rumput laut jenis Eucheuma cottonii melalui proses ekstraksi menggunakan larutan alkali (Kalium hidroksida / KOH) (Parwata dan Oviantari, 2007). Karaginan merupakan getah rumput laut yang diperoleh dari hasil ekstraksi rumput laut merah dengan menggunakan air panas (hot water) atau larutan alkali pada suhu tinggi. Karaginan adalah senyawa hidrokoloid yang merupakan susunan dari senyawa polisakarida rantai panjang yang diekstraksi dari rumput laut. Sebagian besar kappa karaginan diekstraksi dari rumput laut jenis Eucheuma cottonii. Karaginan merupkan polisakarida yang linear dan merupakan molekul galaktan dengan unit-unit utamanya berupa glukosa (Pancomulyo dkk., 2006 ; Kordi dan Ghufran, 2011). 5

6 Menurut Poncomulyo dkk., (2007) berikut sifat-sifat karaginan dalam media pelarut: 1. Lamda karaginan larut dalam air panas (suhu C). Kappa dan iota karaginan larut pada suhu di atas 70 0 C. 2. Kappa, lamda, iota karaginan larut dalam susu panas. Dalam susu dingin kappa dan iota tidak larut, sedangkan lambda karaginan akan membentuk dispersi. 3. Kappa karaginan dapat membentuk gel dengan ion kalium, sedangkan iota karaginan membentuk gel dengan ion kalsium. Lamda karaginan tidak dapat membentuk gel 4. Semua jenis karaginan stabil pada ph netral dan alkali. Pada ph asam karagian akan terhidrolisis. Berdasarkan sifat jelly yang terbentuk, karaginan dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu kappa karaginan (jelly bersifat kaku, getas, kertas), iota karaginan (jelly lembut, fleksibel, dan lunak) dan lamda karaginan (tidak dapat membentuk jelly tetapi berbentuk cairan kental) (Setiawati, 2007). Proses produksi karaginan semi refine lebih banyak diaplikasikan untuk rumput laut Eucheuma cottonii. Produk SRC dapat berbentuk chips, dan tepung (Anggadireja dkk., 2006). Tabel 2. Beberapa Teknologi Pengolahan Karaginan dari Euchemua sp Bahan Baku Tahap Proses Jenis/Tipe Metode Bentuk Karaginan Produk E. spinosum refine iota-karaginan metode alkohol powder E. cottonii refine semirefine Sumber : Anggadiredja dkk., kappa-karaginan food grade kappa-karaginan industrial grade kappa-karaginan metode alkohol metode pressing alkali panas alkali panas powder powder chip powder chip powder 6

7 Kelarutan karaginan di dalam air dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya suhu, senyawa organik, garam yang larut dalam air, serta tipe karaginan itu sendiri. Derajat kekentalan karaginan dipengaruhi oleh konsentrasi, suhu, dan volume bahan lain yang larut dalam campuran tersebut. Kekentalan karaginan dalam membentuk gel dibedakan dari yang kuat sampai rapuh dengan tipe yang lembut dan elastis. Sedangkan teksturnya tersebut yakni tergantung dari jenis karaginan, konsentrasi, keberadaan ion-ion lain, keberadaan larutan lain, serta senyawa hidrokoloid yang tidak membentuk gel (Anggadireja dkk., 2006). Karakteristik daya larut karaginan juga dipengaruhi oleh bentuk garam dari gugus ester sulfatnya. Jenis sodium umumnya lebih mudah larut, sementara jenis potasium lebih sukar larut. Hal ini menyebabkan kappa karaginan dalam bentuk garam potasium lebih sulit larut dalam air dingin dan diperlukan panas untuk mengubahnya menjadi larutan, sedangkan dalam bentuk garam sodium lebih mudah larut. Lambda karaginan larut dalam air dan tidak tergantung jenis garamnya (Samsuar, 2006). Kappa-karaginan merupakan fraksi yang mampu membentuk gel dalam air dan bersifat reversible yaitu meleleh jika dipanaskan dan membentuk gel kembali jika didinginkan. Proses pemanasan dengan suhu yang lebih tinggi dari suhu pembentukan gel akan mengakibatkan polimer karaginan dalam larutan menjadi random coil (acak). Bila suhu diturunkan, maka polimer akan membentuk struktur double helix (pilinan ganda) dan apabila penurunan suhu terus dilanjutkan polimer-polimer ini akan saling terikat silang secara kuat dan dengan makin bertambahnya bentuk heliks akan terbentuk agregat yang bertanggung jawab terhadap terbentuknya gel yang kuat. Jika diteruskan, ada kemungkinan proses pembentukan agregat terus terjadi dan gel akan mengerut sambil melepaskan air (Samsuar, 2006). 7

8 Tabel 3. Daya kelarutan Karaginan pada Berbagai Media Pelarut Medium Kappa-karaginan Iota-karaginan Lamda-karaginan Air panas Larut di atas 60 0 C Larut di atas 60 0 C Larut Air dingin Garam natrium Garam Na larut, Larut larut, garam K, Ca tidak larut garam Ca memberi dispersi thixotropic Susu panas Larut Larut Larut Susu dingin Garam Na, Ca, K, Tidak larut larut tidak larut, tetapi akan mengambang Larutan gula pekat Panas, larut Larut, sukar Larut, panas Larutan garam Tidak larut Larut panas Larut panas Sumber : Kordi dan Ghufran, Pemanfaatan karaginan pada industri biasanya digunakan sebagai stabilisator, pengental, pembentuk gel, pengemulsi, pengikat dan pencegah kristalisasi dalam industri makanan atau minuman, farmasi, serta industri kosmetik (Setiawati, 2007). 2.3 Alkali Treated Cottonii (ATC) Rumput laut penghasil karaginan seperti Eucheuma cottonii yang baru dipanen umumnya memiliki kadar air sekitar 85% dan harus dikeringkan hingga kadar air 30-35%, yang merupakan kadar air standar untuk kualitas ekspor. Rumput laut penghasil karagian dapat dengan mudah menjadi semi-refine carrageenan (SRC) melalui proses alkalisasi, SRC sering juga disebut alkalimodified flour (AMF) atau alkali-treated carrageenophyte (ATC) (Suryaningrum dkk., 2003) Menurut Parwata dan Oviantari (2007) proses ekstraksi dilakukan menggunakan larutan KOH 8,0% pada suhu 100 o C selama 60 menit. Ekstraksi semi-refined carrageenan (SRC) dilakukan dengan tahapan proses sebagai berikut: 1. Sampel rumput laut kering dipotong-potong menjadi bagian-bagian yang lebih kecil secara merata. 2. Rumput laut dimasak dalam larutan KOH 8,0% pada suhu 100 o C selama 60 menit sampai terbentuk gel 8

9 3. Gel karaginan kemudian dipisahkan dari larutan pengekstrak dengan penyaringan, 4. Karaginan dicuci menggunakan air untuk menghilangkan sisa-sisa larutan alkali, kemudian dikeringkan. 5. Karaginan kering digiling (digerus) menjadi tepung karaginan (SRC). Karaginan dalam jaringan rumput laut terikat pada dinding sel. Pemecahan dinding sel melalui perlakukan pemanasan dan perlakuan lainnya yang dapat memecah dinding sel dapat berdampak pada hasil karaginan yang tinggi. Metode tradisional produksi karaginan didasarkan pada kemampuan osmosis rumput laut. Pemanasan rumput laut dalam air cenderung mendesak karaginan terekstraksi keluar dari jaringan sel rumput laut. Metode ekstraksi dengan air panas seperti ini akan menghasilkan karaginan tanpa campuran bahan kimia yang dalam perdagangan dikenal dengan nama native carrageenan. Akan tetapi, rendemen ekstraksi akan lebih rendah dibandingkan pemanasan dalam larutan alkali (Suryaningrum dkk., 2003). Dalam pengolahan rumput laut untuk menghasilkan produk seperti karaginan, agar, dan alginat, larutan alkali yang digunakan sebagai medium pemasakan memiliki dua fungsi. Pertama, alkali membantu proses pemuaian (pembengkakan) jaringan sel-sel rumput laut yang mempermudah keluarnya karaginan, agar, atau alginat dari dalam jaringan. Kedua, apabila alkali digunakan pada konsentrasi yang cukup tinggi, dapat menyebabkan terjadinya modifikasi struktur kimia karaginan akibat terlepasnya gugus 6-sulfat dari karaginan sehingga terbentuk residu 3,6-anhydro-D-galactose dalam rantai polysakarida (Yasita dan Rachmawati, 2010) Berdasarkan metode ekstraksi yang digunakan, dapat diperoleh dua jenis ekstrak karaginan yaitu semi-refined dan refined carrageenan. Suhu pemasakan untuk memproduksi semi-refined carrageenan dipertahankan dibawah o C untuk mencegah larutnya karaginan dalam larutan alkali. Setelah proses pemasakan, rumput laut kemudian dibilas beberapa kali dan dikeringkan. Produk kering yang dihasilkan kemudian digiling menjadi tepung dan dijual sebagai tepung rumput laut atau sebagai semi-refined carrageenan. Produk semi-refined 9

10 carrageenan umumnya digunakan dalam produksi daging kaleng dan pakan hewan piaraan (Yasita dan Rachmawati, 2010). Proses ekstraksi karaginan dari rumput laut secara tradisional dilakukan dengan pemanasan dalam larutan alkali dengan medium pemanas berupa aliran uap yang dikontrol debitnya untuk mengontrol suhu pemanasan. Suhu proses bervariasi antara o C untuk menghasilkan ATC (alkali treated carragenophyte) atau semi-refined carrageenan (SRC) dan o C untuk memproduksi refined carrageenan. Penggunaan suhu yang lebih rendah pada produksi SRC dimaksudkan agar karaginan yang terkandung dalam rumput laut tidak larut kedalam larutan alkali yang akan menurunkan rendemen SRC yang dihasilkan (Yasita dan Rachmawati, 2010). Tahap penting ekstraksi semi-refined carrageenan (SRC) terletak pada proses pemasakan dengan larutan alkali. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi produksi ATC yaitu umur panen, suhu alkalisasi dan konsentrasi alkali yang digunakan. Rendemen tertinggi (dalam bentuk tepung ATC) diperoleh dengan penggunaan larutan KOH 10% (Andriani, 2006). Penelitian lain Purwata dan Oviantari (2007) menunjukkan bahwa kuantitas dan kualitas SRC dapat dipengaruhi oleh konsentrasi larutan alkali, waktu pemasakan, serta kualitas bahan baku antara lain kadar air dan kadar pengotor. Menurut Parwata dan Oviantari (2011) bahwa kadar air dalam bahan baku rumput laut dapat mempengaruhi produk SRC. Industri-industri karaginan biasanya mensyaratkan kadar air bahan baku rumput laut maksimal 37%. Karena metode ekstraksi dengan air panas akan menghasilkan karagianan tanpa campuran bahan kimia, tetapi hasil rendemen ekstraksi akan lebih rendah dibanding dengan pemanasan dalam larutan. Keberadaan air dalam jumlah banyak dalam jaringan rumput laut kemungkinan dapat menghalangi masuknya larutan alkali ke dalam jaringan rumput laut tersebut, sehingga tidak dapat mengekstrak karaginan yang ada di dalamnya. Kadar air yang terlalu rendah (rumput laut terlalu kering) kemungkinan dapat menyebabkan jaringan rumput laut keras, sehingga sulit ditembus oleh larutan alkali, akibatnya karaginan sulit terekstrak. Selain itu, kandungan air dalam jaringan rumput laut memungkinkan terjadinya reaksi enzimatik yang 10

11 dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas karaginan yang dihasilkan (Anggadiredja dkk., 2006). Penelitian Purwata dan Oviantari (2007) menunjukkan bahwa variasi perlakuan kadar air rumput laut dengan interval 10% sampai 50% berbanding lurus terhadap rendemen ATC namun berbanding terbalik terhadap viskositas ATC yang dihasilkan. Kualitas SRC yang dihasilkan diharapkan dapat sesuai dengan standar mutu foodgrade. Dapat dilihat pada Tabel 4 standar mutu karaginan. Tabel 4. Standar Mutu Karaginan Parameter Komersial Food Agriculture Organization (FAO) Food Chemical Codex (FCC) European Economic Community (EEC) Kadar Air (%) 14,34± 0,25 Maks. 12 Maks. 12 Maks. 12 Kadar Abu (%) 18,60 ±0, Kekuatan gel 685,50± 13, (dyne/cm 2 ) Titik Leleh 50,21 ±1,05 ( 0 C) Titik Gel ( 0 C) 34,10 ± 1, Sumber : A/S kobenhvas Pektifabrik (1978) dalam Yasita dan Dian (2010). 2.4 Rendemen Rendemen karaginan sebagai hasil ekstraksi dihitung berdasarkan rasio antara berat karaginan yang dihasilkan dengan berat rumput laut kering yang digunakan. Rendemen dipengaruhi oleh jenis, iklim, metode ekstraksi, waktu pemanenan dan lokasi budidaya. Selain itu rendemen juga dipengaruhi oleh skala produksi, dimana skala produksi yang besar akan menghasilkan rendemen yang besar pula. Perhitungan rendemen dilakukan untuk mengetahui persentase karaginan yang dihasilkan dari rumput laut kering yang digunakan berdasarkan umur panen, konsentrasi KOH dan lama ekstraksi (Samsuar, 2006). 2.5 Pemanasan Ohmik (Ohmic Heating) Konsep pemanasan ohmik atau dikenal juga dengan pemanasan Joule (joule heating) adalah pemanasan produk pangan dengan cara melewatkan pada aliran listrik. Pemanasan ohmik umumnya untuk membunuh mikroorganisme, 11

12 melalui efek termal. Teknik ini terutama digunakan untuk material yang dapat mengalir. Pemanasan ohmik kembali banyak di minati karena meningkatnya ketersediaan dan kualitas material elektroda (Muhtadi dan Ayustaningwarno, 2010 ; Sastry dkk., 2011). Keterbatasan perlakuan pemanasan konvesional telah dikenal di industri pangan, dimana kualitas produk tidak sesuai dengan yang diinginkan selain juga berhubungan dengan sensivitas produk pangan terhadap panas. Pemanasan microwave telah diaplikasikan secara luas dalam penyiapan bahan pangan rumah tangga. Akan tetapi aplikasi komersial untuk inaktivasi mikroba masih menjadi pembatas karena terjadinya penyebaran panas yang tidak seragam (Muhtadi dan Ayustaningwarno, 2010). Walaupun perlakuan ohmik bukan merupakan olah minimal yang sesungguhnya, akan tetapi jika desain dan penerapan yang hati-hati dilakukan akan terjadi peningkatan yang signifikan dibandingkan perlakuan panas konvensional. Tidak seperti pemanasan konvensional dimana pemanasan dari permukaan yang panas menuju bagian dalam, proses ohmik melibatkan internal generation pada kecepatan terkontrol, sehingga merupakan proses HTST yang dapat diterapkan untuk produk pangan solid (Muhtadi dan Ayustaningwarno, 2010). Pemanasan ohmik merupakan suatu proses dimana arus listrik (khususnya arus bolak-balik AC) dilewatkan melalui bahan pangan. Akibatnya, terjadi pembangkitan energi internal pada bahan pangan. Prinsip dasar pemanasan ini akan menghasilkan sebuah pola pemanasan luar dan dalam. Konstruksi pemanas ohmik terdiri dari sumber arus dan reaktor yang disisipi dengan elektroda. Vibrasi sel menyebabkan terjadinya friksi dan disipasi dalam bentuk panas (Silva, 2002). Dalam bidang pengolahan pangan, pemanasan ohmik didefinisikan sebagai suatu proses dimana bahan pangan (cair, padatan, atau campuran antara keduanya) dipanasi secara simultan dengan mengalirkan arus listrik melaluinya. Dalam hubungannya dengan pengolahan rumput laut, peningkatan laju diffusi ini dapat membantu mempercepat laju diffusi alkali kedalam jaringan sel-sel sehingga kecepatan reaksi modifikasi dapat ditingkatkan sehingga lama 12

13 pengolahan dapat diturunkan (Salengke, 2000). Bahan pangan yang dilewati arus listrik memberi respon berupa pembangkitan panas secara internal akibat adanya tahanan listrik dalam bahan pangan tersebut (Sastry dkk., 2001). Jumlah panas yang dibangkitkan dalam bahan pangan akibat aliran arus berhubungan langsung dengan kerapatan arus yang ditimbulkan oleh besarnya medan listrik (field strength) dan konduktivitas listrik dari bahan pangan yang diolah. Teknologi pemanasan ohmik dapat diterapkan, tidak hanya untuk cairan, tetapi juga untuk multi-fase campuran cair-padat, khususnya di media ini akan sulit untuk proses menggunakan penukar panas konvensional (Sastry dan Qiong, 1993) dalam Delgado dkk., 2012). Pemanasan ohmik mengambil nama dari hukum Ohm yang dikenal sebagai hubungan antara arus, tegangan, dan hambatan (persamaan 1). Bahan makanan terhubung antara elektroda memiliki resistansi peran dalam rangkaian. I = V R. (1) Tahanan dari bahan makanan untuk melewatkan arus listrik menyebabkan panas yang dihasilkan dalam makanan. Dengan kata lain, energi listrik dikonversi menjadi energi panas (Sastry dan Salengke, 1998). Waktu pemanasan ohmik bergantung pada gradien tegangan yang digunakan. Gradien tegangan meningkat, panas yang dihasilkan per unit waktu meningkat, dan karena itu waktu pemanasan yang diperlukan untuk mencapai temperatur berkurang. Skala waktu dapat diatur dengan memilih parameter gradien tegangan (Icier, 2012). Konduktivitas listrik adalah ukuran dari seberapa baik suatu zat mentransmisikan muatan listrik yang dinyatakan dalam Siemens per meter (S/m). Konduktivitas listrik adalah rasio densitas substansi pada kekuatan medan listrik dan dipengaruhi oleh komposisi kimia dari suatu zat. Dalam terminologi pemanasan ohmik, konduktivitas adalah ukuran dari isi mineral atau ion. Untuk bahan makanan, bahan ion yang paling umum garam (NaCl). Semakin tinggi jumlah garam terlarut dalam zat, semakin tinggi konduktivitas (Anderson, 2008). Suatu bahan pangan dengan konduktivitas listrik ditempatkan diantara dua elektroda (Gambar 1) dengan kekuatan medan, menghasilkan laju generasi energi internal (internal energi generation rate) (Muhtadi dan Ayustaningwarno, 2010): 13

14 Gambar 1. Model Pemanas Ohmik dan Reaktor Ohmik Untuk bahan pangan solid, konduktivitas listrik tergantung pada suhu dan gradient voltage. Konduktivitas listrik mengalami kenaikan signifikan pada 70 o C ke atas. Jika jaringan sayuran dikenakan pemanasan konvensional, konduktivitas listrik akan meningkat tajam pada suhu 60 0 C, akibat pecahnya dinding sel. Ketika jaringan selular dipanaskan secara ohmik, suhu konduktivitas listrik menjadi lebih meningkat, akibat karena terjadinya electro-osmosis tergantung dari besarnya medan voltase yang digunakan. Pada voltage tinggi, electro-osmosis mendorong ion-ion melewati membran dinding sel bahkan pada suhu lebih rendah. Pada kekuatan medan yang cukup, dapat digunakan hubungan linear Ϭ antara T (Muhtadi dan Ayustaningwarno, 2010) : Ϭ T = Ϭ ref [1 + m(t-t ref ) (2) Dimana Ϭ T adalah konduktivitas listrik pada suhu T, Ϭ ref adalah konduktivitas listrik pada suhu reference (T ref ) dan m adalah koefiesien suhu. Peningkatan konduktivitas brarti bahwa pemanasan ohmik menjadi lebih relatif efektif pada suhu lebih tinggi. Karena konduktivitas listrik tergantung pada konsentrasi ion, maka memungkinkan untuk mengubahnya menggunakan perlakuan sederhana seperti penambahan garam pada bahan pangan. Karena penurunan konduktivitas listrik bahan pangan yang direndam air disebabkan hilangnya senyawa ionik dalam air. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan (Sastry dan Salengke, 1998) konduktivitas listrik bahan pangan meningkat secara linier dengan peningkatan suhu sehingga proses pemanasan menjadi semakin efektif dengan semakin meningkatnya suhu selama proses pemanasan ohmik berlangsung. Konduktivitas listrik cenderung meningkat ketika ukuran partikel menurun, walaupun kesimpulan secara general tidak dapat 14

15 dilakukan tanpa memperhitungkan bentuk dan orientasi partikel (Muhtadi dan Ayustaningwarno, 2010). Di atas kekuatan medan listrik tertentu, atau jika materi telah diolah secara termal, kurva konduktivitas listrik-suhu sering menjadi linear. seperti terlihat pada Persamaan (3) (Sastry dkk, 2001 ): σ = σ mt. (3) Prinsip pemanasan ohmik sangat sederhana seperti digambarkan dalam gambar 1. Pemanasn ohmik didasarkan pada bagian arus listrik bolak-balik (AC) melalui tubuh seperti sistem makanan partikel cair yang berfungsi sebagai hambatan listrik di mana panas dihasilkan. Tegangan AC diterapkan pada elektroda di kedua ujung badan produk. Kekuatan medan listrik dapat bervariasi dengan menyesuaikan celah elektroda atau tegangan yang dikenakan. Namun, faktor yang paling penting adalah konduktivitas listrik dari produk dan ketergantungannya pada suhu. Jika produk memiliki lebih dari satu fase seperti dalam kasus campuran cairan dan partikulat, konduktivitas listrik semua tahap harus dipertimbangkan. Konduktivitas listrik meningkat dengan kenaikan suhu, menunjukkan bahwa pemanasan ohmik menjadi lebih efektif dalam meningkatkan suhu, yang secara teoritis dapat mengakibatkan pemanasan runaway. Perbedaan dalam hambatan listrik dan ketergantungan suhu antara dua fase dapat membuat karakteristik pemanasan sistem yang sangat rumit (Delgado dkk., 2012). Untuk menghasilkan panas, bahan pangan harus memiliki konduktivitas listrik yang cukup sehingga dapat dilalui oleh arus listrik. Pemanas Ohmik menggunakan arus bolak balik. Pemanas ohmik berbeda dengan pemanas microwave dari segi penggunaan frekuensi. Pemanas Ohmik dioperasikan dengan frekuensi rendah (50 sampai dengan 60 Hz). Tegangan diatur sehingga mencapai suhu akhir yang dikehendaki, meskipun terjadi fluktuasi dalam komposisi pasokan dan laju aliran (Berk, 2009). Ketika jaringan selular dipanaskan secara ohmik, suhu konduktivitas menjadi linier ketika gradient voltage dinaikkan hal ini menjelaskan bahwa terjadi non-linearitas pada gradient voltage rendah (20 sampai 30 V/cm). Penjelasannya adalah terjadinya electro-osmosis ketika pemanasan ohmik digunakan yang tergantung dari besar medan voltase yang digunakan. Pada gradient voltage tinggi, 15

16 electro-osmosis mendorong ion-ion melewati membran dinding sel bahkan pada suhu lebih rendah (Muhtadi dan Ayustaningwarno, 2010). Karena konduktivitas listrik tergantung pada konsentrasi ion, maka memungkinkan untuk mengubahnya menggunakan perlakuan sederhana seperti penambahan garam. Penurunann konduktivitas listrik dalam sampel yang direndam air disebabkan hilangnya senyawa ionik dalam air (Muhtadi dan Ayustaningwarno, 2010). Penelitian yang telah dilakukan (Salengke, 2000) menunjukkan bahwa teknologi ohmik sangat potensial untuk diaplikasikan dalam bidang pengolahan pangan karena selain menimbulkan efek pemanasan, juga dapat menyebabkan terjadinya permeabilisasi dinding sel. Peningkatan permeabilisasi dinding sel pada berbagai produk pertanian terjadi akibat pemanasan secara ohmik. Peningkatan permeabilisasi dinding sel tersebut dapat berperan dalam mempercepat proses reaksi, meningkatkan laju difusi senyawa melewati dinging sel, meningkatkan rendemen ekstraksi senyawa dan cairan dari dalam sel, serta meningkatkan laju pengeringan. Pemanasan ohmik digunakan untuk berbagai situasi dimana perlakuan panas konvensional sulit untuk diterapkan. Fouling adalah masalah utama ketika bahan pangan berprotein terekspos oleh perlakuan teransfer panas permukaan. Proses ohmik dapat dipergunakan dengan beberapa keuntungan karena pemanasan terjadi secara internal energy generation dan tidak memerlukan pemanasan permukaan. Aplikasi lain adalah perlakuan panas pada surimi dan berbagai produk ikan. Efisensi kerja pemanas ohmik dapat ditingkatkan dengan melengkapi sistem kontrol otomatis. Pada pemanasan konvensional, produk mengalami waktu pemanasan yang lama pada suhu yang optimal untuk aktivitas protease. Dengan menggunakan perlakuan ohmik yang tepat dapat diperoleh peningkatan kualitas tekstur pada produk akhir. Pemanasan ohmik juga memiliki proses yang cukup baik dalam sterilisasi komersial dari campuran solid-liquid (Muhtadi dan Ayustaningwarno, 2010). Potensi aplikasi dari pemanasan ohmik meliputi proses blansir, evaporasi, dehidrasi, fermentasi dan ekstraksi. Perhatian utama dari aplikasi perlakuan panas tersebut adalah dalam mengontrol mikroba. Pemanasan ohmik telah digunakan 16

17 untuk mengolah buah utuh di Jepang dan UK seperti dalam proses ekstraksi minyak lemon. Unit komersial dalam penolahan telur cair juga dilakukan di US (Muhtadi dan Ayustaningwarno, 2010). Keunggulan utama dari pemanasan ohmik adalah cepat dan sistem pemanasannya yang relatif seragam dan merata, termasuk untuk produk yang mengandung partikulat. Hal tersebut mengurangi jumlah total panas yang kontak dengan produk dibandingkan dengan pemanaan konvensional yang memerlukan waktu untuk terjadinya penetrasi panas ke bagian pusat bahan dan pemanasan partikulat lebih lambat dari fluida. Dalam pemanasan ohmik, partikel dapat memepercepat pindah panas dengan melakukan formulasi pada kandungan senyawa ionic yang tepat di dalam fase fluida dan fase partikulat untuk meyakinkan level konduktivitas listrik yang tepat (Muhtadi dan Ayustaningwarno, 2010). 17

18 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April Juli 2012 di Laboratorium Processing Jurusan Teknologi Pertanian, Program Studi Keteknikan Pertanian, Fakultas Pertanian dan Teaching Industry, Universitas Hasanuddin, Makassar 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lainterpal plastik, jergen, gunting, reaktor ohmik, sistem akusisi (logger) dan data SPSS,mesin pengering tray drier type cross flow, timer, timbangan analitik Mettler Toledo PL60L-S ketelitian 0,01 gram, termometer, desikator, kamera digital, stirer magnetic, komputer (PC), gelas ukur. Bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi larutan kalium hidroksida (KOH) 0.5 dan 1 N, air laut, aluminium foil, aquades, kertas label, kertas, kain saring, dan rumput laut segar jenis Eucheuma cottonii dengan umur panen 50 hari yang diperoleh dari Desa Lasitaeng, Kecamatan Taneterilau, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. 3.3 Perlakuan Penelitan Perlakuan yang diberikan dalam penelitian meliputi perbedaan voltage selama alkalisasi dengan pemanasan ohmik, waktu dan suhu pemanasan, serta konsentrasi alkali yang digunakan. Matriks perlakuan penelitian dapat dilihat pada Tabel 5. Dimana : CTR : Alkalisasi secara konvensional ΔV : Tegangan SWA-R : Perbandingan rumput laut dengan larutan alkali 18

19 Tabel 5. Table matriks perlakuan PERLAKUAN: ΔV (60, 80 V), WKT (0,5, 1, 2 JAM), SUHU (70, 75, 80) PARAMETER TETAP : SWAR (1:20); C-ALKALI ( 0,5 N dan 1 N); SUHU PENGERINGAN 60C; KEC. UDARA 1.5 m/det. MATRIKS PERLAKUAN Kode Δv Wkt T-akhir SWA-R C-alkali A1 CTR :20 0,5 N dan 1 N A :20 0,5 N dan 1 N A :20 0,5 N dan 1 N A4 CTR :20 0,5 N dan 1 N A :20 0,5 N dan 1 N A :20 0,5 N dan 1 N A7 CTR :20 0,5 N dan 1 N A8 60 0,5 70 1:20 0,5 N dan 1 N A9 80 0,5 70 1:20 0,5 N dan 1 N A10 CTR :20 0,5 N dan 1 N A :20 0,5 N dan 1 N A :20 0,5 N dan 1 N A13 CTR :20 0,5 N dan 1 N A :20 0,5 N dan 1 N A :20 0,5 N dan 1 N A16 CTR :20 0,5 N dan 1 N A ,5 75 1:20 0,5 N dan 1 N A ,5 75 1:20 0,5 N dan 1 N A19 CTR :20 0,5 N dan 1 N A :20 0,5 N dan 1 N A :20 0,5 N dan 1 N A22 CTR :20 0,5 N dan 1 N A :20 0,5 N dan 1 N A :20 0,5 N dan 1 N A25 CTR :20 0,5 N dan 1 N A ,5 80 1:20 0,5 N dan 1 N A ,5 80 1:20 0,5 N dan 1 N 3.4 Prosedur Penelitian Prosedur penelitian ini meliputi persiapan bahan, pemanasan dalam larutan alkali (alkalisasi) dan ekstraksi karaginan dari E. Cottonii, dan pengeringan. Adapun tahapan penelitian sebagai berikut: 19

20 A. Persiapan Bahan Tahap persiapan bahan adalah menyiapkan rumput laut jenis Eucheuma cottonii dengan umur panen 50 hari. Kemudian dicuci menggunakan air laut untuk menghilangkan benda asing yang melekat. Setelah bersih lalu dijemur di atas terpal plastik hingga mencapai kadar air sekitar 30%. Larutan KOH yang digunakan terdiri atas dua konsentrasi yaitu 0,5 N dan 1 N. Larutan 0.5 N KOH diperoleh dengan melarutkan gram KOH dalam 1 liter aqaudes, sedangkan larutan KOH 1 N dengan melarutkan gram KOH ke dalam 1 liter aquades. B. Alkalisasi dan modifikasi karaginan Tahapan alkalisasi dan modifikasi karaginan dari Eucheuma cottonii dengan pemanasan ohmik adalah mengambil rumput laut jenis Eucheuma cottonii sebanyak 45 gram yang akan dijadikan sebagai sampel percobaan dan dibagi menjadi 3 bagian masing-masing sampel sebanyak 15 gram untuk setiap ulangan. Setelah itu, Eucheuma cottonii dipanaskan dalam 0.5 dan 1 N larutan KOH dengan menggunakan reaktor ohmik. Rasio Eucheuma cottoni: KOH yaitu 1:20 (g/ml) untuk setiap perlakuan. Proses pemanasan ini dilakukan pada tiga suhu yaitu 70 0 C, 75 0 C, dan 80 0 C dengan lama pemanasan 0.5 jam, 1 jam, dan 2 jam. Selama proses pemanasan, karaginan yang terkandung dalam rumput laut akan termodifikasi agar gugus sulfat dalam molekul karaginan berkurang, sehingga kekuatan gelnya meningkat. Setelah proses pemanasan, rumput laut yang telah diproses dipisahkan dari larutan KOH dengan cara disaring dan dibilas dengan air mengalir, kemudian dikeringkan dalam alat pengering tray drier type cross flow hingga kadar air 12%. Alkali treated cottonii (ATC) yang diperoleh kemudian ditimbang untuk menentukan rendemen ATC yang diperoleh. 20

21 3.5 Parameter Pengamatan Rendemen karaginan sebagai hasil ekstraksi dihitung berdasarkan rasio antara berat karaginan yang dihasilkan dengan berat rumput laut kering yang digunakan. Untuk mengetahui rendemen ATC (Alkali-Treated Cottonii) yang dihasilkan, maka dilakukan perhitungan dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Rendemen ATC = Berat ATC Berat padatan rumput Laut x 100%.. (4) 3.6 Rancangan Percobaan dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan empat faktor utama yaitu: konsentrasi KOH dengan 2 taraf, suhu alkalisasi dengan 3 taraf, lama alkalisasi dengan 3 taraf,dan tegangan dengan 2 taraf. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 2 (dua) kali dengan jumlah satuan percobaan yang diamati adalah: 2x3x3x2x2 = 72 unit. Y ijklm Konsentrasi KOH (A): A1 = 1 N A2 = 0,5 N Faktor suhu alkalisasi (B): B1 = 70 O C B2 = 75 O C B3 = 80 O C Faktor waktualkalisasi (C): C1 = 0,5 jam C2 = 1 jam C3 = 2 jam Faktor tegangan (D) D1 = 60 V D2 = 80 V = µ + A i + B j + C k + D l + AB ij + AC ik + AD il + BC jk + BD jl + CD il +ABC ijk + ABD ijl + ACD ikl + BCD jkl + ABCD ijkl + ε ijklm.... (4) Y ijklm = Nilai pengamatan µ = Nilai tengah umum A i = Pengaruh konsentrasi larutan dengan taraf ke i (i = 1,2) B j = Pengaruh suhu alkalisasi dengan taraf ke j (i = 1,2,3) 21

22 C k = Pengaruh waktu alkalisasi dengan taraf ke k (i = 1,2,3) D l = Pengaruh tegangan dengan taraf ke l (i = 1,2) AB ij = Pengaruh interaksi konsentrasi dengan taraf ke i (i = 1,2) dengan suhu alkalisasi dengan taraf ke j (i = 1,2,3) AC ik = Pengaruh interaksi konsentrasi dengan taraf ke i (i = 1,2) dengan waktu alkalisasi dengan taraf ke k (i = 1,2,3) AD il = Pengaruh interaksi konsentrasi dengan taraf ke i (i = 1,2) dengantegangan dengan taraf ke l (i = 1,2) BC jk = Pengaruh interaksi suhu alkalisasi dengan taraf ke j (i = 1,2,3)dengan waktu alkalisasi dengan taraf ke k (i = 1,2,3) BD jl = Pengaruh interaksi suhu alkalisasi dengan taraf ke j (i = 1,2,3) dengantegangan dengan taraf ke l (i = 1,2) CD il = Pengaruh interaksi suhu waktu alkalisasi dengan taraf ke k (i =1,2,3)dengan tegangan dengan taraf ke l (i = 1,2) ABC ijk = Pengaruh interaksi konsentrasi dengan taraf ke i (i = 1,2), suhu alkalisasi dengan taraf ke j (i = 1,2,3)dengan waktu alkalisasi dengan taraf ke k (i = 1,2,3) ABD ijl = Pengaruh interaksi konsentrasi dengan taraf ke i (i = 1,2), suhu alkalisasi dengan taraf ke j (i = 1,2,3)dengan tegangan dengan taraf ke l (i = 1,2) ACD ikl = Pengaruh interaksi konsentrasi dengan taraf ke i (i = 1,2), waktu alkalisasi dengan taraf ke k (i = 1,2,3)dengan tegangan dengan taraf ke l (i = 1,2) BCD jkl = Pengaruh interaksisuhu alkalisasi dengan taraf ke j (i = 1,2,3)dengan tegangan dengan taraf ke l (i = 1,2) ABCD ijk l = Pengaruh interaksi konsentrasi dengan taraf ke i (i = 1,2), suhu alkalisasi dengan taraf ke j (i = 1,2,3), waktu alkalisasi dengan taraf ke k (i = 1,2,3)dengan tegangan dengan taraf ke l (i = 1,2) = Galat Percobaan ε ijklm 22

23 Mulai Rumput Laut, umur panen 50 hari Pencucian dengan air air laut laut Penjemuran hingga kadar air air 30% 30% Penyiapan Larutan Alkali 0,5 N dan 1 N Alkalisasi dengan Pemanasan Ohmik Lama Pemanasan 0,5,1, 2 jam; dan Suhu Pemanasan 70, 75, 80 O C Penyaringan Pengeringan Pencucian Pengukuran : Rendemen Selesai Gambar 2. Bagan alir penelitian 23

24 Suhu ( o C) Suhu ( o C) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Kuat Medan Listrik dan Konsentrasi Larutan KOH terhadap Laju Pemanasan Bahan pangan yang dilewati arus listrik memberi respon berupa pembangkitan panas secara internal akibat adanya tahanan listrik dalam bahan pangan tersebut. Jumlah panas yang dibangkitkan dalam bahan pangan akibat aliran arus berhubungan langsung dengan kerapatan arus yang ditimbulkan oleh besarnya medan listrik (field strength) dan konduktifitas listrik dari bahan pangan yang diolah (Sastry, 2011) V, 0.5N 60 V, 0.5N 80 V, 1N 60 V, 1N Waktu (s) Gambar 2. Pemanasan Ohmik Suhu Target 70 o C V, 0.5N 60 V, 0.5N 80 V, 1N 60 V, 1N Waktu (s) Gambar 3. Pemanasan Ohmik Suhu Target 75 o C. 24

25 Suhu ( o C) V, 0.5N 60 V, 0.5N 80 V, 1N 60 V, 1N Waktu (s) Gambar 4. Pemanasan Ohmik Suhu Target 80 o C Pengaruh kuat medan listrik dan konsentrasi larutan KOH terhadap laju pemanasan ditunjukkan seperti pada Gambar 1, 2, dan 3. Perlakuan tegangan listrik 80 V dengan konsentrasi larutan KOH 1 N memberikan laju pemanasan paling cepat, sedangkan perlakuan tegangann listrik 60V dengan konsentrasi larutan KOH 0.5 N memberikan laju pemanasan paling lambat. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suhu pemanasan 70 o C pada perlakun 60 V, 0.5 N, 80 V, 0.5N, 60 V, 1N dan 80 V, 1 N masing-masing sebesar 3.5, 2.5, 2.5 dan 1.75 menit. Dan perlakuan suhu pemanasan 75 o C perlakuan 60 V, 0.5N, 80 V, 0.5N, 60 V, 1 N dan 80 V, 1 N masing-masing sebesar 4.1, 2.66, 2.6 dan 2.16 menit, dan Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suhu pemanasan 80 0 C pada perlakuan 60 V, 0.5 N, 80 V, 0.5 N, 60 V, 1 N dan 80 V, 1 N masing-masing sebesar 5 menit 2.75, 2.66 dan 1.75 menit. Dari ketiga suhu tersebut suhu pemanasan 70 o C pada tegangan 80 V hanya memerlukan 1.75 menit untuk mencapai suhu pemanasan dengan konsentrasi 1 N. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan tegangann listrik dan konsentrasi larutan KOH akan mempercepat laju pemanasan Eucheuma cottonii dengan mengalirkan arus listrik melaluinya. Dimana waktu pemanasan ohmik bergantung pada gradien tegangan yang digunakan. Semakin tinggi tegangan, maka panas yang dihasilkan pun meningkat dan memerlukan waktu lebih singkat untuk mencapai suhu pemanasan (Icier, 2012). Dalam hubungannya dengan pengolahan rumput laut, peningkatan laju diffusi ini dapat membantu mempercepat laju diffusi alkali kedalam jaringan sel- 25

26 Konduktivitas (S/m) sel sehingga kecepatan reaksi modifikasi dapat ditingkatkan sehingga lama pengolahan dapat diturunkan (Salengke, 2000). 4.2 Pengaruh Suhu Pemanasan terhadap Konduktivitas Listrik Konduktivistas listrik yang dihasilkan selama proses alkalisasi Eucheuma cottoniii dipengaruhi oleh kuat medan listrik dan konsentrasi larutan alkali KOH yang digunakan. Semakin besar medan listrik yang digunakan maka konduktivitas listrik yang dihasilkan juga semakin besar, demikian pula pada perlakuan konsentrasi larutan KOH yang tinggi akan menyebabkan kenaikan konduktivitas listrik dalam reactor air(muhtadi dan Ayustaningwarno, 2010). Gambar 5. Pengaruh Suhu terhadap Konduktivitas Listrik dengan Konsentrasi Larutan KOH pada Suhu 70 O C = 0.094T R² = = 0.082T R² = = 0.058T R² = = 0.050T R² = Suhu (oc) 80 V, 0.5N 60 V, 0.5N 80 V, 1N 60 V, 1N Gambar 6. Pengaruh Suhu terhadap Konduktivitas Listrik dengan Konsentrasi Larutan KOH pada Suhu 75 O C. 26

27 Konduktivitas (S/m) = 0.091T R² = = 0.082T R² = = 0.047T R² = = 0.041T R² = Suhu (oc) 80 V, 0.5N 60 V, 0.5N 80 V, 1N 60 V, 1N Gambar 7. Pengaruh Suhu terhadap Konduktivitas Listrik dengan Konsentrasi Larutan KOH pada Suhu 80 O C Pengaruh perlakuan tegangan listrik dan konsentrasi larutan terhadap konduktivitas listrik reaktor ditunjukkan pada Gambar 5, 6, dan 7. Laju konduktivitas listrik tertinggi diperoleh pada perlakuan tegangan listrik 80 V dengan konsentrasi larutan KOH 1 N. Sedangkan laju konduktivitas listrik terendah diperoleh pada perlakuan tegangan listrik 60 V dengan konsentrasi larutan 0.5 N. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kuat medan listrik dan konsentrasi larutan KOH yang digunakan, maka konduktivitas listrik yang dihasilkan juga semakin tinggi. Konduktivistas listrik yang dihasilkan selama proses alkalisasi Eucheuma cottoniii dipengaruhi oleh kuat medan listrik dan konsentrasi larutan alkali KOH yang digunakan. Semakin besar medan listrik yang digunakan maka konduktivitas listrik yang dihasilkan juga semakin besar, demikian pula pada perlakuan konsentrasi larutan KOH yang tinggi akan menyebabkan kenaikan konduktivitas listrik dalam reaktor. Kenaikan suhu larutan dalam reaktor menyebabkan kenaikan konduktivitas listrik secara linier untuk semua perlakuan. Perlakuan pengaruh suhu dengan kombinasi kuat medan listrik dan konsentrasi larutan KOH dimana pada suhu 70 o C dengan variasi 60 V, 0.5 N, 80 V, 0.5 N, 60 V, 1 N dan 80 V, 1 N memberikan persamaan regresi masingmasing = 0.107T ; = 0.106T ; = 0.053T dan = 0.047T , dengan koefisien korelasi (R2) masing-masing sebesar 0.995; 27

28 0.996; dan sedangkan suhu 75 o C dengan variasi 60 V, 0.5 N; 80 V, 0.5 N; 60 V, 1 N dan 80 V, 1 N memberikan persamaan regresi masing-masing = 0.094T ; = 0.082T ; = 0.058T dan = 0.050T , dengan koefisien determinasi (R2) masing-masing sebesar 0.988; 0.991; dan Dan pada perlakuan suhu 80 o C = 0.091T ; = 0.082T ; = 0.047T dan = 0.041T , dengan koefisien korelasi (R2) masing-masing sebesar 0.995; 0.998; dan Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan Sastry dan Salengke (1998), konduktivitas listrik bahan pangan meningkat secara linier dengan peningkatan suhu sehingga proses pemanasan menjadi semakin efektif dengan semakin meningkatnya suhu selama proses pemanasan ohmik berlangsung. 4.3 Total Konsumsi Energi listrik Selama Proses Alkalisasi Eucheuma Cottoni dengan Pemanasan Ohmik Gambar 8. Total Konsumsi Energi listrik Selama Proses Alkalisasi Eucheuma cottonii dengan Pemanasan Ohmik. Grafik total konsumsi energi (Gambar 8) menunjukkan bahwa konsumsi energi tertinggi pada perlakuan dengan suhu 80 o C, konsentrasi 0.5N, Tegangan 80 V, lama alkalisasi 1 jam total energi yang terpakai adalah sebesar kwh dan konsumsi energi terendah pada suhu 75 o C, tegangan 80 V, konsentrasi 1 N lama alkalisasi 0.5 jam adalah kwh. Total konsumsi energi selama proses pemanasan ohmik ditentukan oleh besarnya arus yang mengalir dan lama pemanasan selama proses pemanasan berlangsung. Semakin besar arus yang 28

29 dihasilkan menyebabkan konsumsi energi menjadi lebih besar. Demikian pula, semakin lama proses pemanasan berlangsung menyebabkan konsumsi energi yang semakin besar. 4.4 Hasil Rendemen Dengan Perbandingan Konsentrasi 0.5 N dan 1 N Rendemen merupakan salah satu parameter penting dalam menilai efektif tidaknya proses pembuatan tepung karaginan. Efektif dan efisiennya proses ekstraksi bahan baku untuk pembuatan tepung karaginan dapat dilihat dari nilai rendemen yang dihasilkan. Perhitungan rendemen dilakukan untuk mengetahui persentase karaginan yang dihasilkan dari rumput laut kering yang digunakan berdasarkan, konsentrasi KOH, suhu, tegangan dan lama alkalisasi. Rata-rata nilai rendemen karaginan yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara %. Grafik rendemen karaginan (Gambar 9) menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi larutan KOH 1 N memberikan rendemen lebih tinggi dari pada perlakuan KOH 0.5 N. Rendemen tertinggi diperoleh pada sampel A9 dengan perlakuan suhu 70 o C, dengan konsentrasi KOH 1 N dan lama alkalisasi 0.5 jam. Rendemen terendah pada sampel A24 dengan perlakuan 80 V, suhu 80 o C dengan lama alkalisasi 2 jam. Rendemen yang dihasilkan pada penelitian ini masih memenuhi standar minimum rendemen karaginan yaitu sebesar 25 %. 29

30 A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 A9 A10 A11 A12 A13 A14 A15 A16 A17 A18 A19 A20 A21 A22 A23 A24 A25 A26 A27 55% 50% 45% 40% 35% 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0% 0.5 N 1 N Gambar 9. Rendemen dengan Perbandingan Konsentrasi 0.5 N dan 1 N Keterangan : A1(CTR)= 1jam, 70 o C, A10(CTR)= 1jam, 75 o C A19(CTR)= 1jam, 80 o C, A2= 1 jam, 70 o C, 60 V A11= 1 jam, 75 o C, 60 V A20= 1jam, 80 o C, 60 V A3= 1 jam, 70 o C, 80 V A12= 1 jam, 75 o C, 80 V A21= 1jam, 80 o C, 80 V A4 (CTR)= 2 jam, 70 o C A13(CTR)= 2 jam,75 o C A22 (CTR)= 1jam, 80 o C A5= 2 jam, 70 o C, 60 V A14 = 2 jam, 75 o C, 60 V A23= 2jam, 80 o C, 60 V A6= 2 jam, 70 o C, 80 V A15= 2 jam, 75 o C, 80 V A24= 2jam,80 o C,80 V A7 (CTR)= 3 jam,70 o C, A16(CTR)= 3 jam, 75 o C A25(CTR)= 3jam, 80 o C A8= 0,5 jam,70 o C,60 V A17= 0,5 jam, 75 o C, 60 V A26= 0,5 jam, 80 o C, 60 V A9= 0,5 jam, 70 o C, 80 V A18= 0,5 jam, 75 o C, 80 V A27= 0.5 jam, 80 o C, 80 V Hasil analisis ragam rendemen karaginan menunjukkan interaksi antara konsentrasi KOH, lama alkalisasi, dan suhu memberikan pengaruh nyata terhadap rendemen karaginan yang dihasilkan, sedangkan interaksi volt memberi pengaruh tidak nyata. Sedangkan Berdasarkan uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa lama pemasakan 0.5 jam memiliki nilai rendemen tertinggi dan berbeda nyata dengan lama pemasakan 2 jam serta tidak berbeda nyata dengan lama pemasakan 1 jam. Perlakuan suhu pemasakan 70 o C menunjukkan nilai rendemen tertinggi dan berbeda nyata dengan suhu 75 o C serta berbeda nyata dengan suhu 80 o C. Perlakuan tegangan 60 V dan 80 V terhadap hasil rendemen dimana hasilnya tidak berbeda nyata. Demikian pula dengan perlakuan konsentrasi 1 N 30

31 memiliki nilai rendemen tertinggi dan berbeda nyata dengan konsentrasi 0.5 N karena perlakuan suhu yang tinggi, dan tingkat konsentrasi larutan serta waktu pemanasan yang lama menyebabkan sebagian karaginan akan terekstraksi ke larutan KOH, sehingga mengurangi rendemen yang dihasilkan, karena kandungan selulosa dalam rumput laut tinggi, sehingga mempengaruhi nilai viskositas. Hal ini sesuai dengan pernyataan Yasita, dkk (2010) dan Purwata dan Oviantari (2007) bahwa semakin lama rumput laut kontak dengan panas maupun dengan larutan pengekstrak, maka semakin banyak karaginan yang terlepas dari dinding sel. menunjukkan bahwa kuantitas dan kualitas SRC dapat dipengaruhi oleh konsentrasi larutan alkali, waktu pemasakan, serta kualitas bahan baku antara lain kadar air dan kadar pengotor. Tahap penting ekstraksi semi-refined carrageenan (SRC) terletak pada proses pemasakan dengan larutan alkali, Penggunaan suhu yang lebih rendah pada produksi SRC dimaksudkan agar karaginan yang terkandung dalam rumput laut tidak larut kedalam larutan alkali yang akan menurunkan rendemen SRC yang dihasilkan. Sedangkan pada proses pemanasan konvensional hasil rendemennya beda nyata dengan hasil pemanasan ohmik, karena pada proses pemanasan konvensional untuk menghasilkan rendemen tinggi menggunakan suhu pemanasan yang tinggi dan waktu pemanasan yang lama yaitu 3 jam, berbeda dengan pemanasan ohmik yang nilai rendemen tertinggi hanya menggunakan suhu 70 o C dan waktu pemanasan yang singkat yaitu 0.5 jam. 31

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Seaweed dalam dunia perdagangan dikenal sebagai rumput laut, namun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Seaweed dalam dunia perdagangan dikenal sebagai rumput laut, namun BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut Seaweed dalam dunia perdagangan dikenal sebagai rumput laut, namun sebenarnya dalam dunia ilmu pengetahuan diartikan sebagai alga (ganggang) yang berasal dari bahasa

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang sangat kaya hasil alam terlebih hasil perairan. Salah satunya rumput laut yang merupakan komoditas potensial dengan nilai ekonomis tinggi

Lebih terperinci

FILDZAH WAHYUDDIN G

FILDZAH WAHYUDDIN G PENGARUH PEMANASAN OHMIK SELAMA ALKALISASI TERHADAP VISKOSITAS DAN KEKUATAN GEL SEMI-REFINED CARRAGEENAN (SRC) RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii SKRIPSI Oleh FILDZAH WAHYUDDIN G 621 08 009 PROGRAM STUDI KETEKNIKAN

Lebih terperinci

Pengaruh Pemanasan Ohmik Selama Alkalisasi terhadap Viskositas dan Kekuatan Gel Semi-Refined Carrageenan (SRC) Rumput Laut Eucheuma cottonii

Pengaruh Pemanasan Ohmik Selama Alkalisasi terhadap Viskositas dan Kekuatan Gel Semi-Refined Carrageenan (SRC) Rumput Laut Eucheuma cottonii Pengaruh Pemanasan Ohmik Selama Alkalisasi terhadap Viskositas dan Kekuatan Gel Semi-Refined Carrageenan (SRC) Rumput Laut Eucheuma cottonii Ohmic Heating Effect during Alkalization of The Viscosity and

Lebih terperinci

OPTIMALISASI PRODUKSI SEMI-REFINED CARRAGEENAN DARI RUMPUT LAUT EUCHEUMA COTTONII DENGAN VARIASI TEKNIK PENGERINGAN DAN KADAR AIR BAHAN BAKU

OPTIMALISASI PRODUKSI SEMI-REFINED CARRAGEENAN DARI RUMPUT LAUT EUCHEUMA COTTONII DENGAN VARIASI TEKNIK PENGERINGAN DAN KADAR AIR BAHAN BAKU OPTIMALISASI PRODUKSI SEMI-REFINED CARRAGEENAN DARI RUMPUT LAUT EUCHEUMA COTTONII DENGAN VARIASI TEKNIK PENGERINGAN DAN KADAR AIR BAHAN BAKU Made Vivi Oviantari dan I Putu Parwata Jurusan Analisis Kimia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Rumput laut merupakan tanaman laut yang sangat populer dibudidayakan di laut. Ciri-ciri rumput laut adalah tidak mempunyai akar, batang maupun

Lebih terperinci

APLIKASI TEKNOLOGI OHMIC DALAM EKSTRAKSI KARAGINAN MURNI (REFINED CARRAGEENAN) DARI RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii. Oleh : SITI FATIMAH G

APLIKASI TEKNOLOGI OHMIC DALAM EKSTRAKSI KARAGINAN MURNI (REFINED CARRAGEENAN) DARI RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii. Oleh : SITI FATIMAH G APLIKASI TEKNOLOGI OHMIC DALAM EKSTRAKSI KARAGINAN MURNI (REFINED CARRAGEENAN) DARI RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii Oleh : SITI FATIMAH G 621 08 278 PROGRAM STUDI KETEKNIKAN PERTANIAN JURUSAN TEKNOLOGI PERTANIAN

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PEMANASAN OHMIC SELAMA PROSES ALKALISASI RUMPUT LAUT EUCHEUMA COTTONII DAN RENDEMEN SEMI REFINE CARRAGEENAN (SRC) YANG DIHASILKAN

KARAKTERISTIK PEMANASAN OHMIC SELAMA PROSES ALKALISASI RUMPUT LAUT EUCHEUMA COTTONII DAN RENDEMEN SEMI REFINE CARRAGEENAN (SRC) YANG DIHASILKAN KARAKTERISTIK PEMANASAN OHMIC SELAMA PROSES ALKALISASI RUMPUT LAUT EUCHEUMA COTTONII DAN RENDEMEN SEMI REFINE CARRAGEENAN (SRC) YANG DIHASILKAN Oleh : NONENG FAHRI. G 621 08 281 PROGRAM STUDI KETEKNIKAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan dengan panjang garis pantai 81.000 km merupakan kawasan pesisir dan lautan yang memiliki berbagai sumberdaya hayati yang sangat besar

Lebih terperinci

Studi Laju Pengeringan Semi-Refined Carrageenan (SRC) yang Diproduksi dari Rumput Laut Eucheuma cottonii

Studi Laju Pengeringan Semi-Refined Carrageenan (SRC) yang Diproduksi dari Rumput Laut Eucheuma cottonii Studi Laju Pengeringan Semi-Refined Carrageenan (SRC) yang Diproduksi dari Rumput Laut Eucheuma cottonii dengan Metode Pemanasan Konvensional dan Pemanasan Ohmic Study of Drying Rate of Semi-Refined Carrageenan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satunya adalah rumput laut. Menurut Istini (1985) dan Anggraini (2004),

BAB I PENDAHULUAN. satunya adalah rumput laut. Menurut Istini (1985) dan Anggraini (2004), BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia adalah negara kepulauan dengan kawasan pesisir dan lautan yang memiliki berbagai sumber daya hayati sangat besar dan beragam, salah satunya adalah rumput

Lebih terperinci

Prarencana Pabrik Karagenan dari Rumput Laut Eucheuma cottonii I-1

Prarencana Pabrik Karagenan dari Rumput Laut Eucheuma cottonii I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, termasuk salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia yaitu 95.181 km dan memiliki keanekaragaman hayati laut berupa

Lebih terperinci

PENGARUH KONSENTRASI KOH PADA EKSTRAKSI RUMPUT LAUT (Eucheuma cottonii) DALAM PEMBUATAN KARAGENAN

PENGARUH KONSENTRASI KOH PADA EKSTRAKSI RUMPUT LAUT (Eucheuma cottonii) DALAM PEMBUATAN KARAGENAN KONVERSI Volume 4 No1 April 2015 ISSN 2252-7311 PENGARUH KONSENTRASI KOH PADA EKSTRAKSI RUMPUT LAUT (Eucheuma cottonii) DALAM PEMBUATAN KARAGENAN Wulan Wibisono Is Tunggal 1, Tri Yuni Hendrawati 2 1,2

Lebih terperinci

Pemanfaatan: pangan, farmasi, kosmetik. Komoditas unggulan. total luas perairan yang dapat dimanfaatkan 1,2 juta hektar

Pemanfaatan: pangan, farmasi, kosmetik. Komoditas unggulan. total luas perairan yang dapat dimanfaatkan 1,2 juta hektar Komoditas unggulan Pemanfaatan: pangan, farmasi, kosmetik diperkirakan terdapat 555 species rumput laut total luas perairan yang dapat dimanfaatkan 1,2 juta hektar luas area budidaya rumput laut 1.110.900

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut Rumput laut adalah salah satu sumber daya hayati yang terdapat di wilayah pesisir dan laut. Sumberdaya ini biasanya dapat ditemui di perairan yang berasiosiasi dengan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK ALKALI TREATED COTTONII (ATC) DARI RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii PADA BERBAGAI KONSENTRASI KOH, LAMA PEMASAKAN DAN SUHU PEMANASAN OLEH :

KARAKTERISTIK ALKALI TREATED COTTONII (ATC) DARI RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii PADA BERBAGAI KONSENTRASI KOH, LAMA PEMASAKAN DAN SUHU PEMANASAN OLEH : KARAKTERISTIK ALKALI TREATED COTTONII (ATC) DARI RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii PADA BERBAGAI KONSENTRASI KOH, LAMA PEMASAKAN DAN SUHU PEMANASAN OLEH : AMRY MUHRAWAN KADIR G 621 08 011 Skripsi Sebagai salah

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji karet, dan bahan pembantu berupa metanol, HCl dan NaOH teknis. Selain bahan-bahan di atas,

Lebih terperinci

Dalam proses ekstraksi tepung karaginan, proses yang dilakukan yaitu : tali rafia. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memperoleh mutu yang lebih

Dalam proses ekstraksi tepung karaginan, proses yang dilakukan yaitu : tali rafia. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memperoleh mutu yang lebih BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Ekstraksi Tepung Karaginan Dalam proses ekstraksi tepung karaginan, proses yang dilakukan yaitu : 1. Sortasi dan Penimbangan Proses sortasi ini bertujuan untuk memisahkan

Lebih terperinci

STUDI KINETIKA PEMBENTUKAN KARAGINAN DARI RUMPUT LAUT

STUDI KINETIKA PEMBENTUKAN KARAGINAN DARI RUMPUT LAUT Laboratoium Teknik Reaksi Kimia Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember STUDI KINETIKA PEMBENTUKAN KARAGINAN DARI RUMPUT LAUT Dini Fathmawati 2311105001 M. Renardo Prathama A 2311105013

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tepung Jagung Swasembada jagung memerlukan teknologi pemanfaatan jagung sehingga dapat meningkatkan nilai tambahnya secara optimal. Salah satu cara meningkatkan nilai tambah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luas dan kaya akan sumber daya alam salah satunya adalah rumput laut. Rumput

BAB I PENDAHULUAN. luas dan kaya akan sumber daya alam salah satunya adalah rumput laut. Rumput BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki wilayah laut yang luas dan kaya akan sumber daya alam salah satunya adalah rumput laut. Rumput laut merupakan komoditas

Lebih terperinci

BAB Ι PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB Ι PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB Ι PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbagai macam obat dikonsumsi manusia untuk menjaga tubuhnya tetap sehat. Tetapi ada beberapa jenis obat yang bila dikonsumsi memiliki rasa atau aroma tidak enak sehingga

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Jelly drink rosela-sirsak dibuat dari beberapa bahan, yaitu ekstrak rosela, ekstrak sirsak, gula pasir, karagenan, dan air. Tekstur yang diinginkan pada jelly drink adalah mantap

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Faktor Lingkungan Faktor lingkungan yang dimaksud adalah kondisi oseanografi dan meteorologi perairan. Faktor oseanografi adalah kondisi perairan yang berpengaruh langsung terhadap

Lebih terperinci

PEMBUATAN TEPUNG KARAGINAN DARI RUMPUT LAUT (EUCHEUMA COTTONII) BERDASARKAN PERBEDAAN METODE PENGENDAPAN

PEMBUATAN TEPUNG KARAGINAN DARI RUMPUT LAUT (EUCHEUMA COTTONII) BERDASARKAN PERBEDAAN METODE PENGENDAPAN PEMBUATAN TEPUNG KARAGINAN DARI RUMPUT LAUT (EUCHEUMA COTTONII) BERDASARKAN PERBEDAAN METODE PENGENDAPAN Prasetyowati, Corrine Jasmine A., Devy Agustiawan Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian kali ini terdiri dari bahan utama yaitu biji kesambi yang diperoleh dari bantuan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan

Lebih terperinci

R I S M A W A T I G

R I S M A W A T I G STUDI LAJU PENGERINGAN SEMI-REFINED CARRAGEENAN (SRC) YANG DIPRODUKSI DARI RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii DENGAN METODE PEMANASAN KONVENSIONAL DAN PEMANASAN OHMIC SKRIPSI OLEH R I S M A W A T I G62108259

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Perlakuan Terhadap Sifat Fisik Buah Pala Di Indonesia buah pala pada umumnya diolah menjadi manisan dan minyak pala. Dalam perkembangannya, penanganan pascapanen diarahkan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. ALAT DAN BAHAN Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah jarak pagar varietas Lampung IP3 yang diperoleh dari kebun induk jarak pagar BALITRI Pakuwon, Sukabumi.

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 67

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 67 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xi DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH... xii ABSTRAK...

Lebih terperinci

Jurnal Media Teknologi Hasil Perikanan Vol. 1, No. 2, Agustus 2013

Jurnal Media Teknologi Hasil Perikanan Vol. 1, No. 2, Agustus 2013 Jurnal Media Teknologi Hasil Perikanan Vol. 1, No. 2, Agustus 213 KARAKTERISTIK SIFAT FISIKA KIMIA KARAGINAN RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA BERBAGAI UMUR PANEN YANG DIAMBIL DARI DAERAH PERAIRAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kappaphycus alvarezii sering juga disebut cottonii, merupakan jenis rumput laut

TINJAUAN PUSTAKA. Kappaphycus alvarezii sering juga disebut cottonii, merupakan jenis rumput laut II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kappaphycus alvarezii Kappaphycus alvarezii sering juga disebut cottonii, merupakan jenis rumput laut penghasil kappa kraginan yang dibudidayakan secara komersial di daerah tropis

Lebih terperinci

Jurnal Media Teknologi Hasil Perikanan Vol. 1, No. 1, Februari 2013

Jurnal Media Teknologi Hasil Perikanan Vol. 1, No. 1, Februari 2013 KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA KARAGINAN RUMPUT LAUT JENIS Kappaphycus alvarezii PADA UMUR PANEN YANG BERBEDA DI PERAIRAN DESA TIHENGO KABUPATEN GORONTALO UTARA Maya Harun, Roike I Montolalu dan I Ketut Suwetja

Lebih terperinci

KETEKNIKAN SISTEM RUMPUT LAUT DAN PROSES PENGOLAHANNYA

KETEKNIKAN SISTEM RUMPUT LAUT DAN PROSES PENGOLAHANNYA KETEKNIKAN SISTEM RUMPUT LAUT DAN PROSES PENGOLAHANNYA DISUSUN OLEH : Yosua 125100601111007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2013 Rumput Laut Rumput laut adalah makroalga yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu sumberdaya hayati laut Indonesia yang cukup potensial adalah

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu sumberdaya hayati laut Indonesia yang cukup potensial adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sumberdaya hayati laut Indonesia yang cukup potensial adalah rumput laut atau yang dikenal dengan sebutan ganggang laut atau alga laut. Beberapa diantaranya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. internasional. Menurut Aslan (1991), ciri-ciri umum genus Eucheuma yaitu : bentuk

I. PENDAHULUAN. internasional. Menurut Aslan (1991), ciri-ciri umum genus Eucheuma yaitu : bentuk I. PENDAHULUAN Eucheuma cottonii merupakan salah satunya jenis rumput laut merah (Rhodophyceae) yang mempunyai nilai ekonomi tinggi karena mengandung karaginan yang berupa fraksi Kappa-karaginan. Rumput

Lebih terperinci

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. digunakan dalam penelitian ini adalah rumput laut

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. digunakan dalam penelitian ini adalah rumput laut 22 III BAHAN DAN METODE PENELITIAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Bahan dan Alat Penelitian, (2) Metode Penelitian, (3) Deskripsi Percobaan. 3.1. Bahan dan Alat Penelitian 3.1.1. Bahan-bahan yang digunakan

Lebih terperinci

II TINJAUN PUSTAKA. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Rumput Laut, (2) Rumput Laut

II TINJAUN PUSTAKA. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Rumput Laut, (2) Rumput Laut 11 II TINJAUN PUSTAKA Bab ini menguraikan mengenai: (1) Rumput Laut, (2) Rumput Laut Eucheuma spinosum, (3) Karaginan, (4) Ekstraksi Karaginan, (5) Pelarut, dan (6) Kegunaan Karaginan. 2.1. Rumput Laut

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN JENIS BAHAN PENGENTAL

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN JENIS BAHAN PENGENTAL IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN JENIS BAHAN PENGENTAL Pada awal penelitian ini, telah diuji coba beberapa jenis bahan pengental yang biasa digunakan dalam makanan untuk diaplikasikan ke dalam pembuatan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan meliputi pembuatan tepung jerami nangka, analisis sifat fisik dan kimia tepung jerami nangka, serta pembuatan dan formulasi cookies dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. makroskopik dan secara ilmiah dikenal dengan istilah alga. Istilah talus digunakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. makroskopik dan secara ilmiah dikenal dengan istilah alga. Istilah talus digunakan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut 2.1.1 Deskripsi Rumput Laut Rumput laut (sea weed) adalah tumbuhan talus berklorofil yang berukuran makroskopik dan secara ilmiah dikenal dengan istilah alga. Istilah

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 21 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Ubi kayu merupakan salah satu hasil pertanian dengan kandungan karbohidrat yang cukup tinggi sehingga berpotensi sebagai bahan baku pembuatan etanol. Penggunaan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei Juni 2014 di Desa Lehan Kecamatan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei Juni 2014 di Desa Lehan Kecamatan III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei Juni 2014 di Desa Lehan Kecamatan Bumi Agung Kabupaten Lampung Timur dan Laboratorium Rekayasa Bioproses dan Pasca

Lebih terperinci

Amry Muhrawan Kadir (G ) 1 Supratomo dan Salengke 2

Amry Muhrawan Kadir (G ) 1 Supratomo dan Salengke 2 KARAKTERISTIK Alkali Treated Cottonii (ATC) DARI RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii PADA BERBAGAI KOSETRASI KOH, LAMA PEMASAKA DA SUHU PEMAASA Amry Muhrawan Kadir (G62 08 0) Supratomo dan Salengke 2 ABSTRAK

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Eucheuma cottonii

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Eucheuma cottonii 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Eucheuma cottonii Menurut Doty (1985), Eucheuma cottonii merupakan salah satu jenis rumput laut merah (Rhodophyceae) dan berubah nama menjadi Kappaphycus alvarezii karena

Lebih terperinci

PENENTUAN ph OPTIMUM ISOLASI KARAGINAN DARI RUMPUT LAUT JENIS Eucheuma cottonii. I G. A. G. Bawa, A. A. Bawa Putra, dan Ida Ratu Laila

PENENTUAN ph OPTIMUM ISOLASI KARAGINAN DARI RUMPUT LAUT JENIS Eucheuma cottonii. I G. A. G. Bawa, A. A. Bawa Putra, dan Ida Ratu Laila ISSN 1907-9850 PENENTUAN ph OPTIMUM ISOLASI KARAGINAN DARI RUMPUT LAUT JENIS Eucheuma cottonii I G. A. G. Bawa, A. A. Bawa Putra, dan Ida Ratu Laila Jurusan Kimia FMIPA Universitas Udayana, Bukit Jimbaran

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Peneltian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

EFISIENSI PENGGUNAAN LARUTAN ALKALI NaOH DALAM PENGOLAHAN RUMPUT LAUT EUCHEUMA MENJADI SEMIKARAGINAN

EFISIENSI PENGGUNAAN LARUTAN ALKALI NaOH DALAM PENGOLAHAN RUMPUT LAUT EUCHEUMA MENJADI SEMIKARAGINAN EFISIENSI PENGGUNAAN LARUTAN ALKALI NaOH DALAM PENGOLAHAN RUMPUT LAUT EUCHEUMA MENJADI SEMIKARAGINAN EFFICIENT USE OF ALKALINE OF NAOH SOLUTION IN PROCESSING SEAWEED OF EUCHEUMA BEING SEMI-REFINE CARRAGEENAN

Lebih terperinci

BEBERAPA CATATAN TENTANG KARAGINAN. Oleh. Abdullah Rasyid 1) ABSTRACT

BEBERAPA CATATAN TENTANG KARAGINAN. Oleh. Abdullah Rasyid 1) ABSTRACT Oseana, Volume XXVIII, Nomor 4, 2003: 1-6 ISSN 0216-1877 BEBERAPA CATATAN TENTANG KARAGINAN Oleh Abdullah Rasyid 1) ABSTRACT SOME NOTES ON CARRAGEENAN. Carrageenan is a name for galactan polysaccharides

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan berklorofil. Dilihat dari ukurannya, rumput laut terdiri dari jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan berklorofil. Dilihat dari ukurannya, rumput laut terdiri dari jenis BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut Rumput laut atau sea weeds secara ilmiah dikenal dengan istilah alga atau ganggang. Rumput laut termasuk salah satu anggota alga yang merupakan tumbuhan berklorofil.

Lebih terperinci

4.2. Kadar Abu Kadar Metoksil dan Poligalakturonat

4.2. Kadar Abu Kadar Metoksil dan Poligalakturonat Kualitas pektin dapat dilihat dari efektivitas proses ekstraksi dan kemampuannya membentuk gel pada saat direhidrasi. Pektin dapat membentuk gel dengan baik apabila pektin tersebut memiliki berat molekul,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Cabai Merah (Capsicum annuum L.) Karakteristik awal cabai merah (Capsicum annuum L.) diketahui dengan melakukan analisis proksimat, yaitu kadar air, kadar vitamin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia memiliki hasil perkebunan yang cukup banyak, salah satunya hasil perkebunan ubi kayu yang mencapai 26.421.770 ton/tahun (BPS, 2014). Pemanfaatan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Kelapa termasuk dalam famili Palmae,

I PENDAHULUAN. hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Kelapa termasuk dalam famili Palmae, I PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran,(6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran,(6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran,(6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Fisik Gelatin Pengujian fisik gelatin meliputi rendemen, kekuatan gel dan viskositas. Pengujian fisik bertujuan untuk mengetahui nilai dari rendemen, kekuatan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Februari 2017 dan

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Februari 2017 dan IV. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Tempat Percobaan Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Februari 2017 dan penelitian utama dilaksanakan bulan Maret Juni 2017 di Laboratorium Teknologi

Lebih terperinci

Oleh : RAHMAT SAPUTRA G

Oleh : RAHMAT SAPUTRA G Pengaruh Konsentrasi Alkali Dan Rasio Rumput Laut-Alkali Terhadap Viskositas dan Kekuatan Gel Semi Refined Carrageenan (SRC) dari Rumput Laut Eucheuma Cottonii Oleh : RAHMAT SAPUTRA G 621 07 023 PROGRAM

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia/Biokimia Hasil Pertanian

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia/Biokimia Hasil Pertanian III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia/Biokimia Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Lampung pada bulan Juli

Lebih terperinci

OPTIMASI PROSES EKSTRAKSI PADA PEMBUATAN KARAGINAN DARI RUMPUT LAUT EUCHEUMA COTTONI UNTUK MENCAPAI FOODGRADE

OPTIMASI PROSES EKSTRAKSI PADA PEMBUATAN KARAGINAN DARI RUMPUT LAUT EUCHEUMA COTTONI UNTUK MENCAPAI FOODGRADE OPTIMASI PROSES EKSTRAKSI PADA PEMBUATAN KARAGINAN DARI RUMPUT LAUT EUCHEUMA COTTONI UNTUK MENCAPAI FOODGRADE Dian Yasita dan Intan Dewi Rachmawati Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Waktu penelitian dilaksanakan selama tiga bulan yaitu mulai dari bulan Maret hingga Mei 2011, bertempat di Laboratorium Pilot Plant PAU dan Laboratorium Teknik

Lebih terperinci

Gambar di bawah ini memperlihatkan bentuk rumput laut segar yang baru dipanen (a. Gracillaria, b. Kappaphycus, c. Sargassum) Rumput laut segar

Gambar di bawah ini memperlihatkan bentuk rumput laut segar yang baru dipanen (a. Gracillaria, b. Kappaphycus, c. Sargassum) Rumput laut segar Gambar di bawah ini memperlihatkan bentuk rumput laut segar yang baru dipanen (a. Gracillaria, b. Kappaphycus, c. Sargassum) a. www.aquaportail.com b. Dok. Pribadi c. Mandegani et.al (2016) Rumput laut

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dantujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis dan (7)

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kadar proksimat dari umbi talas yang belum mengalami perlakuan. Pada penelitian ini talas yang digunakan

Lebih terperinci

Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Larutan Perendam terhadap Rendemen Gelatin

Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Larutan Perendam terhadap Rendemen Gelatin 4. PEMBAHASAN Dalam penelitian ini dilakukan proses ekstraksi gelatin dari bahan dasar berupa cakar ayam broiler. Kandungan protein dalam cakar ayam broiler dapat mencapai 22,98% (Purnomo, 1992 dalam Siregar

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 17 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fateta-IPB.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. food menurut Food and Agriculture Organization didefinisikan sebagai makanan

BAB I PENDAHULUAN. food menurut Food and Agriculture Organization didefinisikan sebagai makanan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Makanan jajanan sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Makanan jajanan yang dijual oleh pedagang

Lebih terperinci

OPTIMASI PEMBUATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT APLIKASINYA UNTUK PERENYAH BISKUIT. Jl. Kentingan No. 36 A Surakarta

OPTIMASI PEMBUATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT APLIKASINYA UNTUK PERENYAH BISKUIT. Jl. Kentingan No. 36 A Surakarta Optimasi Pembuatan Karagenan (Anes Agustin, dkk) OPTIMASI PEMBUATAN KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT APLIKASINYA UNTUK PERENYAH BISKUIT Anes Agustin 1, Aprillia Intan Saputri 1, Harianingsih 2* 1 Jurusan Teknik

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian 1.1 Bahan

bio.unsoed.ac.id METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian 1.1 Bahan III. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian 1.1 Bahan Bahan-bahan yang digunakan yaitu Sargassum polycystum, akuades KOH 2%, KOH 10%, NaOH 0,5%, HCl 0,5%, HCl 5%,

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI 01-2891-1992) Sebanyak 1-2 g contoh ditimbang pada sebuah wadah timbang yang sudah diketahui bobotnya. Kemudian dikeringkan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas bahan-bahan untuk persiapan bahan, bahan untuk pembuatan tepung nanas dan bahan-bahan analisis. Bahan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakterisasi Bahan Baku 4.1.2 Karet Crepe Lateks kebun yang digunakan berasal dari kebun percobaan Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Ciomas-Bogor. Lateks kebun merupakan

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2013 sampai dengan Juni 2013. Lokasi pengambilan sampel rumput laut merah (Eucheuma cottonii) bertempat di Perairan Simpenan,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 14 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat ini pemerintah menghimbau masyarakat dan pengusaha untuk meningkatkan ekspor non migas sebagai sumber devisa negara. Sangat diharapkan dari sektor pertanian,

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE PENELITIAN. A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian

MATERI DAN METODE PENELITIAN. A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian II. MATERI DAN METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian a. Alat Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi jaring, bambu, pelampung, hand refraktometer,

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Industri Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran dan

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PRODUKSI ENZIM MIKROBIAL

TEKNOLOGI PRODUKSI ENZIM MIKROBIAL TEKNOLOGI PRODUKSI ENZIM MIKROBIAL Ani Suryani FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR PENDAHULUAN Sumber Enzim Tanaman dan Hewan Mikroba Enzim dari Tanaman Enzim dari Hewan Enzim dari Mikroba

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : Eucheuma spinosum, ekstraksi, iota karaginan

ABSTRAK. Kata kunci : Eucheuma spinosum, ekstraksi, iota karaginan ABSTRAK Eucheuma spinosum adalah suatu jenis rumput laut penghasil karaginan. Karaginan banyak digunakan sebagai stabilitator, emulsifier dalam bidang industri pangan, kosmetik dan obat-obatan. Kualitas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Onggok Sebelum Pretreatment Onggok yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan langsung dari pabrik tepung tapioka di daerah Tanah Baru, kota Bogor. Onggok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jenis rumput laut yang sangat tinggi. Hasil produksi rumput laut masih sebatas

BAB I PENDAHULUAN. jenis rumput laut yang sangat tinggi. Hasil produksi rumput laut masih sebatas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman jenis rumput laut yang sangat tinggi. Hasil produksi rumput laut masih sebatas industri makanan dan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 LOKASI PENELITIAN Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Analisa dan Laboratorium Proses Industri Kimia, Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Sumatera

Lebih terperinci

Pemurnian Agarose dari Agar-agar dengan Menggunakan Propilen Glikol

Pemurnian Agarose dari Agar-agar dengan Menggunakan Propilen Glikol Pemurnian Agarose dari Agar-agar dengan Menggunakan Propilen Glikol Heri Purwoto ), Siti Gustini ) dan Sri Istini ),) BPP Teknologi, Jl. MH. Thamrin 8, Jakarta ) Institut Pertanian Bogor, Bogor e-mail:

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2014 sampai dengan Januari

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2014 sampai dengan Januari 32 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2014 sampai dengan Januari 2015 di Laboratorium Teknologi Pakan dan Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan Universitas Diponegoro, Semarang.

Lebih terperinci

Tabel 2 Data hasil pengukuran kekuatan gel. (a) (b)

Tabel 2 Data hasil pengukuran kekuatan gel. (a) (b) 7 Transfer energi pada ekstraksi konvensional tidak terjadi secara langsung, diawali dengan pemanasan pada dinding gelas, pelarut, selanjutnya pada material. Sedangkan pada pemanasan mikrogelombang, pemanasan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

I PENDAHULUAN. masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG V. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 Analisis Kimia.1.1 Kadar Air Hasil analisis regresi dan korelasi (Lampiran 3) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara jumlah dekstrin yang ditambahkan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan bahan yang sangat penting dalam kehidupan manusia dan fungsinya tidak pernah digantikan oleh senyawa lain. Sebuah molekul air terdiri dari sebuah atom

Lebih terperinci

KAJIAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN KARAGINAN DARI RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii SKALA RUMAH TANGGA ABSTRAK

KAJIAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN KARAGINAN DARI RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii SKALA RUMAH TANGGA ABSTRAK Media Litbang Sulteng 2 (1) : 01 06, Oktober 2009 ISSN : 1979-5971 KAJIAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN KARAGINAN DARI RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii SKALA RUMAH TANGGA Oleh : Mappiratu 1) ABSTRAK Penelitian ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Diagram konsumsi energi final per jenis (Sumber: Outlook energi Indonesia, 2013)

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Diagram konsumsi energi final per jenis (Sumber: Outlook energi Indonesia, 2013) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Hingga kini kita tidak bisa terlepas akan pentingnya energi. Energi merupakan hal yang vital bagi kelangsungan hidup manusia. Energi pertama kali dicetuskan oleh

Lebih terperinci

MATERI DAN METOD E Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penelitian Tahap Pertama

MATERI DAN METOD E Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penelitian Tahap Pertama MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Bagian Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Budidaya Rumput Laut Desa Ketapang

II. TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Budidaya Rumput Laut Desa Ketapang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Budidaya Rumput Laut Desa Ketapang Budidaya rumput laut di Ketapang di mulai pada tahun 1990. Awalnya budidaya rumput laut dimiliki pengusaha asal Cina, sedangkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sumber daya kelautan berperan penting dalam mendukung pembangunan ekonomi daerah dan nasional untuk meningkatkan penerimaan devisa, lapangan kerja dan pendapatan penduduk.

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biokimia Hasil Pertanian Jurusan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biokimia Hasil Pertanian Jurusan III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biokimia Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung, Labaratorium Analisis

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Percobaan ini dilakukan mulai

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Percobaan ini dilakukan mulai BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Percobaan ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Benih Fakultas Pertanian,, Medan. Percobaan ini dilakukan mulai dari bulan April 2016 hingga Mei

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Lokasi Penelitian Lapangan 4.1.1 Gambaran umum Dusun Wael merupakan salah satu dari 8 Dusun nelayan yang berada di Teluk Kotania Seram Barat. Secara geografis Dusun Wael

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Preparasi selulosa bakterial dari limbah cair tahu dan sintesis kopolimer

BAB III METODE PENELITIAN. Preparasi selulosa bakterial dari limbah cair tahu dan sintesis kopolimer BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian Preparasi selulosa bakterial dari limbah cair tahu dan sintesis kopolimer superabsorbent di bawah radiasi microwave dilakukan di Laboratorium Riset Jurusan

Lebih terperinci

PENGAMBILAN PEKTIN DARI AMPAS WORTEL DENGAN EKSTRAKSI MENGGUNAKAN PELARUT HCl ENCER

PENGAMBILAN PEKTIN DARI AMPAS WORTEL DENGAN EKSTRAKSI MENGGUNAKAN PELARUT HCl ENCER PENGAMBILAN PEKTIN DARI AMPAS WORTEL DENGAN EKSTRAKSI MENGGUNAKAN PELARUT HCl ENCER Haryono, Dyah Setyo Pertiwi, Dian Indra Susanto dan Dian Ismawaty Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri,

Lebih terperinci

METODE. Materi. Rancangan

METODE. Materi. Rancangan METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2008, bertempat di laboratorium Pengolahan Pangan Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA BAHAN AJAR KIMIA DASAR

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA BAHAN AJAR KIMIA DASAR No. BAK/TBB/SBG201 Revisi : 00 Tgl. 01 Mei 2008 Hal 1 dari 9 BAB X AIR Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan kita.

Lebih terperinci