BAB I PENDAHULUAN. dengan tang, elevator, atau pendekatan trans-alveolar. Ekstraksi bersifat. irreversible dan terkadang menimbulkan komplikasi.
|
|
- Farida Siska Darmali
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pencabutan gigi merupakan suatu prosedur bedah yang dapat dilakukan dengan tang, elevator, atau pendekatan trans-alveolar. Ekstraksi bersifat irreversible dan terkadang menimbulkan komplikasi. 1 Komplikasi beberapa saat setelah ekstraksi yang dapat terjadi diantaranya adalah dry socket (Alveolitis) dan infeksi. Alveolitis disebabkan hilangnya bekuan akibat lisis, mengelupas, atau keduanya. Alveolitis ini biasanya disebabkan oleh Streptococcus, tetapi lisis juga bisa terjadi tanpa keterlibatan bakteri. Sedangkan infeksi terjadi karena adanya potensi penyebaran infeksi, misalnya Perikoronitis atau Abses, dan kemungkinan karena bakteri dan bisa juga kedua hal tersebut menyebabkan terjadinya infeksi. 2 Pemeriksaan kultur yang dilakukan oleh Brown dkk, dan Birn diambil dari penderita Alveolitis, ditemukan bermacam-macam mikroorganisme, ada yang aerob dan ada yang anaerob. 3 Anaerob artinya hidup tanpa udara. Bakteri anaerob berkembang pada tempat-tempat yang sedikit atau sama sekali tidak mengandung oksigen. Kumankuman ini normalnya ditemukan di mulut, saluran pencernaan dan vagina serta pada kulit. Penyakit-penyakit yang disebabkan oleh bakteri anaerob antara lain gas gangren, tetanus dan botulisme. Dan hampir semua infeksi yang terjadi pada gigi disebabkan oleh bakteri anaerob. 4 1
2 Terapi antibiotik mempunyai peranan yang sangat penting untuk mendapatkan hasil yang memuaskan dalam suatu pengobatan infeksi gigi dan jaringan sekitarnya, akan tetapi penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat meningkatkan resisten kuman. Pemilihan antibiotik secara tepat adalah dengan memeriksa secara mikrobiologis kuman penyebab infeksi, selanjutnya mengadakan uji kepekaan. 5 Sebuah penelitian mengenai prevelensi bakteremia terkait dengan perawatan gigi menyatakan bahwa intensitas bakteremian secara signifikan lebih besar setelah pencabutan gigi dibandingkan dengan perawatan gigi lainnya. 6 Sebelumnya telah dilakukan penelitian tentang prevalensi kuman anaerob yang dominan pada alveolitis dan juga perbedaan kepekaan kuman anaerob yang dominan terhadap beberapa antibiotik oleh Netty Nelly Kawulusan dalam tesisnya yang berjudul Identifikasi dan Uji Kepekaan Kuman Aerob pada Alveolitis Pasca Pencabutan Gigi. Dalam beberapa dasawarsa terakhir, jumlah antibiotik yang beredar di pasaran bertambah banyak, demikian pula dengan pemakaiannya, banyak bakteri patogen yang beradaptasi dalam lingkungan dan menjadi resisten terhadap atibiotik. Sampai saat ini belum ada data mengenai jenis kuman anaerob dan resisten kuman anaerob penyebab Alveolitis Berdasarkan hal tersebut diatas, maka dilakukan penelitian tentang Uji kepekaan antibiotik terhadap kuman anaerob pasca pencabutan gigi. 2
3 1.2 RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka pokok permasalahan adalah sebagai berikut: 1. Bakteri apa saja yang terdapat pada penderita Alveolitis? 2. Bagaimana perbedaan kepekaan kuman anaerob yang dominan terhadap beberapa antibiotik pada Alveolitis? 1.3 TUJUAN PENELITIAN Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi kuman anaerob yang dominan pada alveolitis dan juga perbedaan kepekaan kuman anaerob yang dominan terhadap beberapa antibiotik. 1.4 MANFAAT PENELITIAN Bagi Pasien Memberikan informasi mengenai kuman anaerob yang dominan pada alveolitis dan juga perbedaan kepekaan kuman anaerob yang dominan terhadap beberapa antibiotik Bagi Pihak Institusi Pendidikan Sebagai sumber bacaan di Perpustakaan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin. 3
4 1.4.3 Bagi Peneliti Sebagai penerapan mata kuliah metodologi penelitian, serta sebagai masukan pengetahuan tentang kuman anaerob yang dominan pada alveolitis dan juga perbedaan kepekaan kuman anaerob yang dominan terhadap beberapa antibiotik Bagi Peneliti Lainnya Dapat menjadi bahan pertimbangan untuk melakukan penelitian-penelitian lebih lanjut dengan variabel yang belum diteliti. 4
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KOMPLIKASI PASCA EKSTRAKSI / PENCABUTAN GIGI Komplikasi beberapa saat setelah ekstraksi yang dapat terjadi diantaranya adalah dry socket (Alveolitis) dan infeksi. Alveolitis disebabkan hilangnya bekuan akibat lisis, mengelupas, atau keduanya. Alveolitis ini biasanya disebabkan oleh streptococcus, tetapi lisis juga bisa terjadi tanpa keterlibatan bakteri. Sedangkan infeksi terjadi karena adanya potensi penyebaran infeksi, misalnya perikoronitis atau abses, dan kemungkinan karena bakteri dan bisa juga kedua hal tersebut menyebabkan terjadinya infeksi ALVEOLITIS Alveolitis (Dry socket) adalah komplikasi setelah pencabutan gigi yang terjadi pada hari kedua dan ketiga, dengan keluhan rasa sakit yang sangat mengganggu penderita dan dapat berlanjut menjadi komplikasi yang lebih serius. 1,7,23 Banyak definisi yang berbeda dari Alveolitis, terakhir dikatakan Alveolitis sebagai nyeri post operasi di dalam dan sekitar alveolar gigi, serta meningkat keparahannya antara hari pertama dan ketiga setelah pencabutan, disertai dengan sebagian atau total disintegrasi dari faktor pembekuan darah intraalveolar, dengan atau tanpa halitosis. 8 5
6 2.2.1 Gambaran Klinis Alveolitis Dry socket biasanya akan muncul pada hari ke 3-5 sesudah tindakan bedah atau pencabutan gigi. Keluhan utamanya adalah timbulnya rasa sakit yang hebat. Pada pemeriksaan terlihat alveolus terekspos dan sensitive, terselimuti kotoran dan disertai dengan munculnya peradangan gingiva. Menurut Pedlar dan kawankawan (2001), akan terlihat adanya sisa clot yang berwarna abu-abu, mukosa sekitar dan alveolus akan berwarna merah dan bengkak. Inflamasi akan menyebar secara mesiodistal melalui alveolus, menyebabkan timbulnya rasa empuk pada gigi disebelahnya jika dilakukan penekanan. Biasanya jika hal ini terjadi pasien akan merasa bahwa telah terjadi salah pencabutan gigi karena akan muncul rasa sakit pada gigi sebelahnya. Selain itu juga akan timbul bau mulut dan terdapat local lymphadenitis Faktor Predisposisi yang Mempengaruhi Terjadinya Dry Socket Ada beberapa faktor predisposisi yang dapat mempengaruhi terjadinya Dry Socket seperti : Usia, Jenis kelamin (Kontrasepsi, dan Kehamilan), Merokok, Trauma bedah, Bakteri, Kondisi inflamasi marginal, Perikoronitis, Pulpitis / Inflamasi Periapikal, Penggunaan Antibiotik Sistemik, Penggunaan Obat Kumur Chlorhexidine, Hemostatik lokal, dan Teknik Anastesi. 10 a. Usia Dalam beberapa penelitian yang telah dilakukan terdapat hubungan peningkatan terjadinya Dry socket dengan peningkatan usia, menurut Malaki penelitian yang dilakukan Mc Gregor terjadi peningkatan dari 2,7% pada 6
7 kelompok usia Tahun sampai 8,6% pada kelompok usia Tahun, dan turun lagi menjadi 2,9% pada usia Tahun, walaupun tidak dijelaskan lebih rinci mengenai hubungan ini. b. Jenis Kelamin dan Kontrasepsi Perbedaan jenis kelamin menunjukkan perbedaan angka prevalensi terjadinya Dry socket yang menggambarkan pada wanita lebih besar dibanding pada pria. Angka prevalensi pada wanita disebabkan 2 faktor, pertama Dry socket lebih sering ditemukan pada wanita yang sedang mengalami menstruasi dan kedua kelihatannya ada hubungannya dengan pada wanita yang menggunakan pil kontrasepsi, menurut Catellani yang pernah melakukan penelitian hal ini ada pengaruhnya dengan efek dari hormon oestrogen yang dapat menstimulasi fibrinolisis. 3. Merokok Menurut beberapa penelitian merokok mempunyai hubungan korelasi yang signifikan dengan terjadinya Dry socket. Patogenesisnya adalah dengan peningkatan aktifitas dari fibrinolisis pada waktu merokok. Menurut penelitian yang dilakukan Meechan dan kawan kawan pada orang yang merokok setelah pencabutan gigi bahwa terjadi pengurangan pembekuan darah pada socket secara signifikan pada orang yang merokok dibanding dengan bukan perokok. 4. Trauma Bedah Efek trauma sebagai faktor penyebab terhambatnya penyembuhan luka setelah pencabutan gigi telah dikemukakan pertama kali oleh Alling dan 7
8 Kerr pada tahun1957. Efek panas yang ditimbulkan dari bur yang mengenai tulang alveolar juga dapat mengganggu pembekuan darah yang akhirnya dapat menimbulkan Dry socket. Pada penelitian yang dilakukan secara klinis menunjukkan bahwa pencabutan yang sulit atau seperti gigi yang patah pada waktu pencabutan menunjukkan secara signifikan rata rata jumlah yang lebih tinggi untuk terjadinya Dry socket dibanding pada pencabutan normal, selain itu trauma jaringan lunak juga pada prosedur pencabutan gigi ada hubungannya dengan terjadinya Dry socket, ini disebabkan karena pada trauma menimbulkan mediator - mediator peradangan. 5. Bakteri Keberadaan bakteri juga ada hubungannya dengan terjadinya Dry socket, ketika koagulasi yang terbentuk setelah pencabutan aliran saliva dengan mudah memasuki lokasi bekas pencabutan, tempat inilah yang menjadi persinggahan dari saliva sedangkan pada saliva terdapat bakteri. Selanjutnya ada juga hubungan antara jumlah bakteri aerob dan anaerob yang ada sebelum pencabutan yang nantinya akan berkembang pada koagulum yang nantinya akan menimbulkan Dry socket, dimana pasien yang mengalami Dry socket menunjukkan jumlah bakteri yang lebih banyak sebelum operasi daripada pasien yang mengalami penyembuhan socket normal. Keterangan mengenai fenomena ini faktanya bahwa beberapa tipe dari streptococcus dan staphilococcus dalam penelitian ini dapat membuat fibrinolisis dari pembekuan darah. 8
9 Sejauh ini tidak ada mikroorganisme yang spesifik yang dapat menimbulkan Dry socket, tetapi diperkirakan oleh para peneliti adalah Treponema Denticola mempunyai pengaruh penting untuk terjadinya Dry socket. 6. Kondisi Inflamasi Marginal Beberapa penelitian menunjukkan bahwa frekuensi terjadinya Dry socket rendah bila terdapat periodontitis marginalis. Efek ini mempunyai alasan yang jelas, karena pada kondisi ini jumlah trauma selama pencabutan berkurang sekali. 7. Perikoronitis Adanya perikoronitis (subakut dan kronis) pada beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan dengan terjadinya Dry socket ini diduga karena pada daerah perikoronal merupakan tempat yang baik untuk beberapa mikroorganisme. 8. Pulpitis / Inflamasi Periapikal Hasil dari dua buah penelitian yang dilakukan terdapat hubungan yang tidak bermakna / kecil terhadap terjadinya Dry socket pada gigi Pulpitis yang dilakukan pada pencabutan. Pada gigi dengan nekrosis pulpa disertai periodontitis apikalis yang dilakukan pencabutan menunjukkan peningkatan terjadinya Dry socket dibanding dengan gigi yang vital. 9. Penggunaan Antibiotik Sistemik Bukti secara tidak langsung peranan bakteri dalam proses terjadinya Dry socket dalam penelitian ini menunjukkan penggunaan antibiotik 9
10 golongan Penicilin secara sistemik dapat mengurangi terjadinya Dry socket. Hal ini dapat dibuktikan dengan penggunaan antibiotik golongan Penicilin sebelum pencabutan gigi yang mana efeknya dapat ditemukan juga pada bekuan darah dalam socket. Akhirnya penggunan antibiotik golongan Penicilin sebelum operasi dapat menurunkan jumlah bakteri anaerob dan aerob pada sampel darah yang diambil sebelum 48 jam setelah pencabutan gigi. 10. Penggunaan Obat Kumur Chlorhexidine Penggunaan anti mikroba lokal dengan obat kumur seperti Chlorhexidine dapat mengontrol infeksi, berkumur sebelum atau sesudah tindakan dengan 0,1 0,2 % Chlorhexidine menunjukkan penurunan terjadinya frekuensi Dry socket setelah pengangkatan molar tiga. Kemungkinan terjadi karena pengurangan jumlah bakteri aerob dan anaerob pada saliva setelah berkumur dengan Chlorhexidine. 11. Hemostatik lokal Penggunan hemostatik lokal dilakukan karena beberapa faktor: 1. Dapat membantu koagulasi 2. Dapat mencegah pelepasan koagulum dari dinding socket 3. Membantu fungsi antibiotik dan antifibrinolitik Ada 2 macam bahan hemostatik lokal yang dapat diserap: 1. Gelatin Sponge (Spongostan) 2. Oxidized Regenerated Cellulose (Surgicel) 10
11 Menurut penelitian keduanya dapat menurunkan terjadinya Dry socket karena fungsi dari hemostatik lokal tersebut. 12. Teknik Anastesi Penggunaan anastesi lokal lebih meningkatkan resiko terjadinya Dry Socket dibanding dengan anastesi umum, jenis bahan anastesi lokal juga berpengaruh dimana xylocaine lebih tinggi frekuensi terjadinya Dry Socket dibanding dengan citanest dan teknik anastesi lokal seperti intraligamen / perisemental teknik dapat meningkatkan resiko terjadinya Dry Socket Proses Penyembuhan Socket secara Histologis 11 Apabila diperhatikan terdapat tahap yang bersamaan secara histologis pada proses penyembuhan socket dari hasil biopsi yang dilakukan pada luka bekas pencabutan. a. Tahap I koagulum Dibentuk ketika terjadi hemostatis, terdiri dari eritrosit dan leukosit dengan jumlah yang sama seperti pada peredaran darah. b. Tahap II Jaringan Granulasi Dibentuk pada dinding socket 2 3 hari setelah pencabutan yang merupakan proliferasi dari sel sel endothelial, kapiler kapiler dan beberapa leukosit dan selama 7 hari jaringan granulasi menggantikan tempat dari koagulum 11
12 c. Tahap III Jaringan Konektif Mula mula berada pada bagian tepi socket, selama 20 hari setelah pencabutan menggantikan jaringan granulasi. Jaringan konektif yang baru terdiri dari sel sel, kolagen dan serat serat fiber. d. Tahap IV Pertumbuhan Tulang Dimulai pada hari ke 7 setelah pencabutan, dimulai dari tepi dasar socket, pada hari ke 38 setelah pencabutan biasanya sudah terisi dengan tulang muda, selama 2 3 bulan tulang telah menjadi mature dan terbentuk trabekula, setelah 3 4 bulan maturasi tulang telah lengkap seluruhnya. e. Tahap V Perbaikan epithelial Dimulai ketika terjadi penutupan luka 4 hari setelah pencabutan dan biasanya akan selesai setelah 24 hari. Penyembuhan socket secara signifikan dipengaruhi oleh usia dan individual. Pada individu berusia 2 dekade aktivitas histologi penyembuhan socket yaitu sekitar 10 hari setelah pencabutan dan pada individu berusia 6 dekade atau lebih yaitu sekitar 20 hari setelah pencabutan. 12
13 0 hari 2-3 hari 7 hari 0 hari Penghentian perdarahan, pembekuan darah, 2-3 hari Bekuan darah menjadi jaringan granulasi, 7 hari Jaringan granulasi menjadi jaringan ikat jaringan Epitel osteoid 20 hari 40 hari 2 bulan 20 hari Jaringan ikat epitel osteoid (mineralisasi), 40 hari belum terbentu Jaringan Epitel tulang ikat, 2 bulan belum menghasilkan tulang Gambar 1. Proses Penyembuhan Socket (Histologis) (Andreasen 1997) 13
14 2.2.4 Pengobatan Alveolitis 3,12 Apabila tidak dilakukan perawatan, maka komplikasi ini akan hilang secara spontan dengan sendirinya. Biasanya dibutuhkan waktu selama 4 minggu dan selama itu rasa sakit akan tetap timbul. Apabila tidak dilakukan perawatan dengan benar,maka dry socket akan berkembang menjadi osteomyelitis. Dry socket adalah kondisi terbatas. Namun, karena tingkat keparahan rasa sakit yang dialami oleh pasien, biasanya memerlukan beberapa pengobatan. Kisaran pengobatan untuk soket kering meliputi perawatan diarahkan lokal ke soket, termasuk irigasi soket dengan 0,12-0,2% klorheksidin dan menginstruksikan dalam penggunaan rumah jarum suntik untuk irigasi, penempatan seperti Alvogyl (Mengandung eugenol, butamben dan iodoform), penempatan suatu obtundant seperti seng oksida eugenol dan gel lidocaine, atau kombinasi terapi ini dan jika sesuai resep antibiotik sistemik. The Royal College of Surgeons di Inggris meletakkan Nasional Clinical Pedoman pada tahun 1997, yang kemudian terakhir pada tahun 2004, bagaimana dry socket harus dirawat. Mereka menyarankan berikut: 1. Dalam kasus tertentu, radiograf harus diambil untuk menghilangkan kemungkinan akar dipertahankan atau fragmen tulang sebagai sumber nyeri, biasanya dalam kasus-kasus ketika seorang pasien baru menyajikan dengan seperti gejala. 2. Soket harus diairi dengan klorheksidin 0,12% menghangatkan digluconate untuk mengangkat jaringan nekrotik dan sehingga setiap sisa-sisa 14
15 makanan dapat dievakuasi dengan lembut. Anestesi lokal kadang-kadang mungkin diperlukan untuk ini. 3. Soket dapat ditutupi dengan obtundant dressing untuk mencegah sisa-sisa makanan masuk kedalam soket dan untuk mencegah iritasi lokal pada tulang yang terbuka. Dressing ini harus bertujuan untuk menjadi antibakteri dan antijamur, resorbable dan tidak menimbulkan iritasi lokal atau merangsang respon inflamasi. 4. Pasien harus diresepkan non-steroid anti-inflamasi obat (NSAID) analgesia, jika tidak ada kontra indikasi-in medis pada riwayat kesehatannya. 5. Pasien harus terus dipantau dan setiap 2 dan 3 kali berulang sampai nyeri reda dan pasien kemudian dapat diinstruksikan dalam irigasi soket dengan digluconate klorheksidin 0,2% dengan jarum suntik di rumah. Tingkat bukti ini cukup rendah. Pedoman ini hanya didasarkan pada pendapat ahli dan pengalaman klinis. Menurut Pederson (1996), perawatan yang dilakukan harus dilakukan dengan hati-hati. Bagian yang mengalami alveolitis dirigasi dengan menggunakan larutan saline yang hangat dan diperiksa. Lakukan palpasi yang hati-hati dengan menggunakan aplikator kapas untuk membantu dalam menentukan sensitivitas.apabila pasien tidak tahan, maka dilakukan anastesi lokal atau topikal sebelum melakukan packing. Packing ini dilakukan dengan memasukkan pembalut obat-obatan ke dalam alveolus. Pembalut diganti sesudah jam kemudian dirigasi dan diperiksa kembali. Kebanyakan dry socket akan sembuh 15
16 sesudah 4-5 hari, apabila sampai 5-7 hari maka harus dilakukan rontgen dan diperkirakan terjadi osteomyelitis. Menurut Pedlar dan kawan-kawan (2001), perawatan yang dilakukan yaitu irigasi soket dengan menggunakan larutan saline hangat untuk menghilangkan debris. Lalu lakukan pemberian antiseptic dressing untuk menutupi tulang yang terekspos. Antisepticdressing yang digunakan adalah pasta eugenol yang diletakaan di bagian korona dari soket gigi untuk menutup tulang. Biasanya dressing ini tidak perlu diganti karena akan hilang dengan sendirinya dalam beberapa hari. Ada juga dressing alternatif yang dapat digunakan yaitu Whitehead s varnish pada ribbongauze Bismuth iodoform Dan parafin paste dalam gauze dressing alternatif ini harus diganti setelah satu minggu. Sedangkan menurut Laskin (1985), perawatan yang dilakukan bertujuan untuk menghilangkan rasa sakit yang timbul akibat dari soket. Perawatan yang dilakukan dengan dua cara, yaitu: Pertama dengan terapi lokal berupa irigasi soket gigi dengan sterile isotonic saline solution atau dilute solution dari hidrogen peroksida untuk menghilangkan material nekrotik dan debris. Lalu diikuti dengan pemberian dressing dengan menggunakan eugenol atau Guaiacol anastesi topikal (butacaine) yang diletakkan pada gauze 2. Kedua sebagai tambahan dari terapi lokal adalah dengan pemberian analgesik seperti codeine sulfate (1/2 gram) atau meperidine (50 gram) setiap 3-4 jam sekali. Pasien harus selalu di evaluasi. 3. Jika rasa sakitnya telah hilang, maka pemberian medikasi di dalam soket tidak harus diganti. 16
17 4. Jika rasa sakitnya masih muncul, maka lakukan irigasi dan dressing di dalam soket harus di ganti. Pemberian analgesik dapat diberikan secara oral maupun parenteral. Tindakan kuretase tidak boleh dilakukan sebagai perawatan dry socket Karena tindakan ini dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya penyebaran infeksi Pencegahan 8,11 Pencegahan osteitis alveolar dapat berupa obat farmacological atau non farmakologis. Non-pharmaco langkah-langkah logis termasuk mengambil riwayat yang baik, identifikasi dan jika mungkin, penghapusan faktor risiko. Intervensi farmakologis dapat dilakukan oleh satu dari agen berikut; Antibakteri sistemik dilaporkan memiliki beberapa manfaat dalam pencegahan osteitis alveolar. Studi menunjukkan hasil yang positif dengan Penisilin, Klindamisin, Eritromisin dan penggunaan Metronidazole tersedia. Beberapa peneliti Namun, tidak menemukan signifikan perbedaan dalam kejadian dry socket dengan penggunaan sistemik antibiotik. Penggunaan chlorhexidine baik sebagai obat kumur dan sebagai irrigant preoperative telah terbukti secara signifikan mengurangi jumlah populasi mikroba oral. Sekarang dilaporkan memiliki kontribusi yang signifikan dalam menurunkan kejadian dry socket. Studi tertentu telah dikaitkan menyelidiki implikasi dari penggunaan benzoat parahydroxy topikal asam dan asam traneksamat dalam pencegahan dan 17
18 mengobati bangan dry socket. Penelitian telah menemukan sebagian besar tidak ada efek menguntungkan terkait dengan penggunaan agen. Beberapa antibiotik yang dapat digunakan pada pencegahan Alveolitis: 8,11 a. Studieshave mengungkapkan bahwa penempatan obtundent eugenol mengandung ekstraksi ganti berikut re- Hasil pengujian pengurangan dry socket. Eugenol Namun juga terkait dengan menunda proses penyembuhan. b. Polimer asam polylactic digunakan pada tahun 1980 sebagai solusi akhir dari soket kering dan tersedia hari ini oleh nama Drilac. Investigasi yang dilakukan oleh Hooley dan Gordon telah melaporkan insiden yang lebih tinggi kering soket terkait dengan penggunaan asam polylactic. c. Terapi photodynamic Antimikroba tampaknya menjadi baru dan menjanjikan kemungkinan untuk pencegahan kering socket. Antimicrobial photodynamic therapy (apdt) dengan HELBO Biru dan TheraLite laser yang/ memungkinkan lokal dekontaminasi soket ekstraksi. Namun, karena penelitian terbatas yang tersedia pada pilihan ini, penulis percaya terapi photodynamic harus investigasi lanjut. Menurut Dhusia setiap dokter gigi diharapkan mengetahui langkah-langkah ini untuk mencegah terjadinya Dry Socket. 11 Langkah sebelum operasi: Gunakan obat kumur antiseptik sebelum melakukan pencabutan. Gunakan antibiotik profilaksis. 18
19 Langkah sewaktu operasi: Perhatikan tindakan asepsis. Trauma jaringan lunak dan keras yang seminimal mungkin. Perhatikan kondisi tulang yang ada setelah dilakukan pencabutan, apakah ada serpihan tulang, bagian tulang yang ekspose atau bagian tulang yang tajam. Irigasi dengan laurtan garam dan kuretase setelah dilakukan pencabutan. Apabila mungkin dilakukan penjahitan mukosa. Langkah setelah tindakan: Instruksikan pasien untuk mengigit tampon dengan betadine kurang lebih 1 jam, jangan berkumur-kumur, atau menghisap-hisap darah operasi, hindari merokok. Menjaga kebersihan mulut dan menjaga luka dari iritasi mekanik seperti mengunyah pada daerah sisi yang lain. Intake yang cukup, cairan, kalori dan protein. 2.2 MIKROORGANISME DALAM MULUT Mikroorganisme dalam rongga mulut secara normal dapat berubah menjadi bakteri patogen. Mikroorganisme oral sering dilibatkan dalam etiologi Alveolitis. Kultur luka pencabutan yang mengalami Alveolitis ini menghasilkan populasi bakteri campuran yang khas pada flora normal mulut. Penyebab Alveolitis multifaktoral yang paling dominan akibat mikroorganisme. Pada penelitian ditemukan pasien yang menderita Alveolitis mempunyai kepadatan 19
20 populasi mikroba mulut lebih banyak dibanding sebelum operasi. Populasi bakteri ini meningkat secara bermakna setelah pencabutan gigi. Streptococcus viridans merupakan kuman yang paling banyak ditemukan, juga kuman Streptococcus lactitis, Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes, Bacteroideus melaninogenicus. Selain itu juga terdapat spesies Corynebacteria, Neisseria, dan Fusiformis. 15 Tabel 2.1 Bakteri yang berperan dalam infeksi-infeksi mulut dan odontogenik*+ 4 Organisma Infeksi spatium perimandibular Abses periapikal pada anak Infeksi odontogenik orofasial Bakteremia karena pencabutan gigi Aerob (Fakultatif) Eikenella corrodens Staphylococus Streptococus Anaerob (Obligat) Actinomyces Bacteriodes Fragilis Melaninogenicus Oralis Bifidobacterium Eubacterium Fusobacterium Peptococus Peptostreptococus Propionibacterium Veillonella *) Daftar sebagian bakteri yang biasa ditemukan +) Dimodifikasi dari Newman, M. G. Goodman, A.D.: Guide to atibiotic use in dental practice. Chicago: Quintesence Publishing Co., 1984, p
21 2.3.1 Bakteri Anaerob Anaerob artinya hidup tanpa udara. Bakteri anaerob berkembang pada tempat-tempat yang sedikit atau sama sekali tidak mengandung oksigen. Kumankuman ini normalnya ditemukan di mulut, saluran pencernaan dan vagina serta pada kulit. Penyakit-penyakit yang disebabkan oleh bakteri anaerob antara lain gas gangren, tetanus dan botulisme. Dan hampir semua infeksi yang terjadi pada gigi disebabkan oleh bakteri anaerob. 4 Infeksi anaerob adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang didalam pertumbuhan dan perkembangannya tidak membutuhkan oksigen. Bakteri anaerob dapat menginfeksi luka dalam, jaringan yang terletak lebih dalam dan organ-organ internal yang sangat sedikit membutuhkan oksigen. Infeksi ini sangat khas yaitu pembentukkan abses berisi cairan nanah yang berbau busuk disertai kerusakkan jaringan. 14 Bakteri anaerob dapat menyebabkan infeksi di seluruh bagian tubuh. Misalnya: mulut, kepala dan leher. Infeksi dapat terjadi pada saluran akar gigi, gusi, rahang, tonsil, tenggorok, sinus-sinus dan telinga. 14 Mengalami kerusakkan akibat pembedahan, jejas atau penyakit. Biasanya sistem kekebalan tubuh akan membunuh bakteri yang masuk ke dalam tubuh, tetapi kadang-kadang bakteri tersebut mampu berkembang dan menyebabkan infeksi. Bagian tubuh yang mengalami kerusakkan jaringan (nekrosis) atau suplai aliran darahnya sedikit merupakan tempat-tempat yang disenangi oleh bakteri anaerob untuk tumbuh dan berkembang karena miskin akan oksigen. 4 21
22 Tanda dan gejala-gejala infeksi bakteri anaerob bervariasi tergantung lokasi infeksi pada tubuh. Secara umum, infeksi bakteri anaerob menyebabkan: 4 a. kerusakkan jaringan b. pembentukkan abses dengan nanah yang busuk serta demam c. Gejala-gejala khas infeksi bakteri anaerob sesuai lokasi di tubuh adalah: Gigi dan gusi d. Pembengkakan dan perdarahan gusi e. napas berbau dan rasa sakit f. Infeksi berat menyebabkan luka berdarah. Gram-negatif anaerob dan beberapa infeksi yang mereka hasilkan meliputi generasi berikut: 15 a. Bacteroides adalah bakteri anaerob yang biasa ditemukan dalam biakan pada infeksi intra-abdomen, abses rektal, infeksi jaringan lunak,infeksi hati. b. Fusobacterium adalah bakteri anaerob yang dapat menyebabkan abses, infeksi luka, dan infeksi paru intracranial. c. Porphyromona adalah bakteri anaerob yang dapat menyebabkan saspirasi pneumonia dan periodontitis. d. Prevotella adalah bakteri anaerob yang dapat menyebabkan infeksi intraabdomen dan infeksi jaringan lunak 22
23 Gram-positif anaerob dan beberapa infeksi yang mereka hasilkan meliputi generasi berikut: 15 a. Actinomyces adalah bakteri anaerob yang dapat menyebabkan infeksi pada kepala, leher, infeksi perut; aspirasi pneumonia. b. Bifidobacterium adalah bakteri anaerob yang dapat menyebabkan infeksi telinga, infeksi perut. c. Clostridium adalah bakteri anaerob yang dapat menyebabkan gas gangren, keracunan makanan, tetanus, kolitis pseudomembranosa. d. Peptostreptococcus adalah bakteri anaerob yang dapat menyebabkan infeksi oral, pernapasan, dan infeksi intra-abdomen. e. Propionibacterium adalah bakteri anaerob yang dapat menyebabkan infeksi shunt Identifikasi kuman anaerob Contoh jaringan dari bagian tubuh yang terinfeksi dapat diambil dengan menggunakan kapas lidi (swab) atau jarum suntik. Dengan demikian dapat ditentukan jenis bakteri yang menyebabkan infeksi. Karena bakteri ini mudah mati akibat oksigen, kuman ini sulit tumbuh dan berkembang pada biakkan jaringan nanah di laboratorium. 4 23
24 a. Cara Pengambilan Biakan Luka: 4 Jika penyebab infeksi dicurigai bakteri anaerob, spesimen tidak boleh terpapar udara lebih dari 5 menit. 1. Spesimen purulen diambil dengan lidi kapas atau diaspirasi menggunakan spuit. 2. Ditaruh dalam 1 ml cairan garam fisiologis ( yang sudah diinkubasi dalam gas pack jar > 4 jam untuk mengeliminasi oksigen ) atau bisa juga dgn menggunakan tranport media yg menggunakan cairan BHIB (biakan bakteri). 3. Spesimen harus segera diproses dalam waktu 2 jam, dan tidak perlu disimpan dalam lemari pendingin. 4. Lakukan Pewarnaan Gram. 5. Inokulasi pada media berikut untuk isolasi aerob: Media Agar Darah Media Agar Mc.Conkey 6. Inkubasi pada suhu 37 C selama 24 jam dan amati koloni yang tumbuh. 7. Untuk isolasi anaerob gunakan agar darah atau kaldu daging cincang jika ada dengan catatan: Media untuk biakan anaerob harus direduksi dengan cars disimpan dalam anaerobic jar yang berisi Gas Pak anaerob selama >4 jam untuk mengurangi tekanan Oxygen Pemrosesan spesiman harus selesai dalam waktu beberapa menit untuk meminimalkan kontak dengan oksigen 24
25 Inkubasi media yang sudah ditanami pada suhu 37 C selama 2-5 hari pada kondisi anaerob Koloni yang tumbuh harus dilakukan subkultur pada suhu 37 C dan dibiarkan tumbuh diudara (aerotolerance test). Sisanya diinkubasi secara anaerob Hanya bakteri fakultatif anaerob tumbuh diudara, sedangkan bakteri anaerob murni tidak akan tumbuh Lakukan pewarnaan Gram pada semua kasus 8. Untuk mengidentifikasi bakteri fakultatif. 9. Untuk mengidentifikasi bakteri anaerob, kirimkan media dengan pertumbuhan kuman dalam kondisi anaerob ke laboratorium rujukan. Gambar 2.1 anaerobic jar yang berisi Gas pak anaerob yang dimasukkan ke dalam inkubator yang berisi bakteri (sumber:dokumen Penelitian) 25
26 Gambar 2.2 koloni bakteri yang dikembang biakkan di medium (sumber: dokumen penelitian) Antibiotik Dalam pengobatan infeksi gigi dan jaringan sekitarnya, antibiotik memegang peranan utama sebagai kausal. Antibiotik adalah suatu substansia kimia yangdiproduksi oleh miktoorganisme tertentu dan dapat menghambat pertumbuhan kuman atau menghancurkannya. Pada umumnya antibiotika harus diberikan semata-mata atas dasar suatu indikasi terarah, dalam dosis cukup tinggi dan cukup lama. Pemilihan antibiotik secara tepat ialah dengan memeriksakan secara mikrobiologis kuman penyakit infeksi. Pasien harus disampaikan bahwa pemakaian obat menurut resep secara teratur dan teliti, merupakan hal yang menentukan bagi daya kerjanyaobat. Umumnya suatu jangka waktu perawatan berjalan 5-7 hari. 16 Faktor yang turut menunjang meningkatnya resisten terhadap obat adalah adanya pengabaian prinsip-prinsip dasar kemoterapi oleh masyarakat dan oleh klinikus, karena kurangnya informasi yang menyangkut aspek-aspek mikrobiologi dan farmakokinetik terutama pola kepekaan bakteri terhadap anti mikroba. Akibatnya terjadilah kesalahan dalam memilih dan kesalahan dalam memberikan, 26
27 sementara bakteri yang resisten terus bertambah sehingga pengobatan kausal tidak memenuhi sasaran
28 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 KERANGKA KONSEP Pencabutan Gigi Luka pada soket Mikroorganisme Gang. Hemostasis Sembuh Normal Alveolitis Usapan Luka Pembiakan Identifikasi Bakteri Kuman Anaerob Antibiotik Keterangan: : Variable yang Diteliti 28
29 3.2 JENIS PENELITIAN Penelitian yang dilakukan adalah penelitian berbentuk deskriptif dan identifikasi laboratorium. 3.3 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Waktu yang dibutuhkan untuk penelitian adalah sekitar 3 bulan, yaitu dari tanggal 01 Oktober 2012 sampai dengan tanggal 07 Desember Penelitian dilakukan di Klinik Fakultas Kedokteran Gigi Bagian Bedah Mulut Universitas Hasanuddin dan di tempat praktek serta di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas kedokteran Universitas Hasanuddin. 3.4 POPULASI DAN SAMPEL Populasi Pasien yang di diagnosa alveolitis oleh dokter Sampel Banyaknya sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 23 orang yang menderita Alveolitis. 3.5 METODE PENGAMBILAN SAMPEL Metode pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah purposive sampling. 29
30 3.6 KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI Kriteria Inklusi 1. Pasien yang menderita alveolitis 2. Penderita tidak sedang mendapat terapi antibiotik sistemik dan antiseptik oral dalam satu minggu terakhir 3. Setelah pencabutan tidak ada indikasi pemberian antibiotik Kriteria Eksklusi 1. Penderita yang menolak untuk masuk dalam penelitian ini 2. Pasien sembuh normal tanpa komplikasi 3.7 DEFINISI OPRASIONAL 1. Alveolitis adalah terjadinya desintegrasi bekuan darah pada soket bekas pencabutan gigi. Keluhan utamanya rasa sakit yang neuralgik. 2. Bakteri anaerob ialah jenis kuman yang berhasil dibiakan pada media perbenihan di laboratorium mikrobiologi 3. Kuman aerob adalah jenis kuman yang berhasil dibiakkan pada media perbenihan di laboratorium mikrobiologi. 4. Uji kepekaan adalah cara untuk melihat besarnya zone hambatan dari antibiotik yang diukur dalam mm. 5. Peka : bila lebar zona hambatan lebih besar dari standar sesuai tabel standar antibiotik yang bersangkutan. 30
31 6. Resisten : bila lebar zona hambatan lebih kecil dari standar sesuai tabel standar antibiotika yang bersangkutan. 7. Resisten : Intermediate dan resisten. 3.8 VARIABEL PENELITIAN Dalam penelitian ini digunakan 2 variabel, yaitu: a. Variabel independen : Jenis antibiotik b. Variabel Dependent : Kepekaan kuman yang diukur berdasarkan sensitif atau resisten 3.9 ALAT DAN BAHAN Alat yang digunakan Diagnostik set (kaca mulut, sonde, pinset, ekskavator), tang-tang pencabutan gigi, dental elevator, Nierbeken, disposable sirynge, gelas kumur, botol dan penutup steril, kapas lidi steril, gunting, inkubator, cawan petri, sangkelit, lampu spirtus, objek gelas, pipet, mikroskop, kamera Bahan yang digunakan 1. Alkohol 70%, betadin, tampon, kapas, handuk, kecil, anestetikum, sarung tangan, masker. 2. Media transport berupa Brain Heart Infusion Broth (B.H.I.B), media Nutrient Agar, media MacConkey s Agar, Brain Heart Infusion Agar (B.H.I.A). 31
32 3. Triple Sugar Iron Agar (T.S.I.A), Agar Sitrat, Sulfit Indol Motility (SIM), Methyl Red-Voges Proskauer (MR-VP), Urea Agar, Laktose, Glukose, Sukrose, Mannitol, dan Katalase. 4. Karbol kristal violet 1%, Lugol, Alkohol 90%, larutan Fuchsin dan air. 5. Cakram antibiotika yang digunakan adalah Cakram Amphisilin 10 g dari BBL Sensi-Disc, Cakram Amoksisilin 30 g dari BBL Sensi-Disc, Cakram Eritromisin 15 g dari BBL Sesi-Disc, Cakram Sulfonamida 25 g dari Oxoid, Cakram Siprofloksasin dari Oxoid. 32
33 3.10 ALUR PENELITIAN Alveolitis Usapan Luka Tabung Reaksi (BHIB) Inokulasi (Mac Conkey s dan Nutrient Agar) Inkubasi (Koloni tersangka) Pewarnaan Pengamatan Morfologi Kuman Gram (-) Uji Biokimia Gram (+) Uji Spesifik Uji Kepekaan Sensitif atau Resisten Dicocokkan pada Tabel Hasil Penelitian 33
34 BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 HASIL PENELITIAN Dalam penelitian ini, jumlah penderita Alveolitis yang di temukan sebanyak 23 orang selama kurun waktu 3 bulan, yaitu dari tanggal 01 Oktober 2012 sampai dengan tanggal 07 Desember Penelitian dilakukan di Klinik Fakultas Kedokteran Gigi Bagian Bedah Mulut Universitas Hasanuddin dan di tempat praktek, serta di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas kedokteranm Universitas Hasanuddin Frekuensi dan Persentase Alveolitis pada Rahang Dari 23 penderita alveolitis, sampel yang paling banyak didapatkan yaitu pada rahang bawah. Perbedaannya sangat tipis yaitu pada rahang atas sebanyak 11 sampel (47,83%) dan pada rahang bawah sebanyak 12 sampel (52,17) Tabel 4.1 Frekuensi dan presentase Alveolitis pada rahang RAHANG JUMLAH RA 11 (47.83%) RB 12 (52,17%) TOTAL PENCABUTAN 23 (100%) 34
35 Grafik 4.1 Grafik Frekuensi dan presentase Alveolitis pada rahang Frekuensi dan Presentase Alveolitis menurut Umur dan Jenis Kelamin Terlihat bahwa pada penderita Alveolitis ditemukan berbeda-beda disetiap kelompok umur, yaitu pada kelompok-kelompok, usia sebanyak 1 orang (4,35%); sebanyak 3 orang (13,04%); sebanyak 2 orang (8,70%); sebanyak 2 orang (8,70%); sebanyak 6 orang (26,09%); sebanyak 3 orang (13,04%); sebanyak 3 orang (13,04%); sebanyak 2 orang (8,70%); sebanyak 1 orang (4,35%). Kelompok umur terbanyak pada usia tahun, yaitu 6 orang (26,09%). Sedangkan dilihat menurut jenis kelamin ditemukan jenis kelamin wanita lebih banyak terkena alveolitis yaitu 19 orang (86,60%) dibandingkan dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 4 orang (17,4%). 35
36 Tabel 4.2 Frekuensi dan Presentase Alveolitis menurut Umur dan Jenis Kelamin KELOMPOK JENIS KELAMIN JUMLAH UMUR WANITA LAKI-LAKI (N) (4,35%) 0 (0%) 1 (4,35%) (8,70%) 1 (4,35%) 3 (13,04%) (8,70%) 0 (0%) 2 (8,70%) (4,35%) 1 (4,35%) 2 (8,70%) (26,09%) 0 (0%) 6 (26,09%) (13,04%) 0 (0%) 3 (13,04%) (8,70%) 1 (4,35%) 3 (13,04%) (8,70%) 0 (0%) 2 (8,70%) (0%) 1 (4,35%) 1 4,35%) JUMLAH 19 (82,60%) 4 (17,40%) 23 (100%) Grafik 4.2 Frekuensi dan Presentase Alveolitis menurut Umur dan Jenis Kelamin 36
37 4.1.3 Frekuensi dan Presentase Jenis Kuman Anaerob yang Dominan pada penderita Alveolitis Hasil biakan kultur anaerob pada penderita Alveolitis yaitu ; Gram Positif = Actynomyces sp = 6 (21,43%), Propionibacterium sp = 8 (28,57%), Streptococus sp = 5 (17,86%), Gram Negatif = Porphyromonas sp = 4 (14,28%), Barteriodes sp = 5 (17,86%). Pada tabel dapat dilihat bahwa kuman Gram Positif yang terbanyak adalah Propionibacterium sp = 8 (28,57%), dan kuman Gram Negatif yang terbanyak adalah Barteriodes sp = 5 (17,86%). Table 4.3 Frekuensi dan Presentase Jenis Kuman Anaerob yang Dominan pada 23 penderita Alveolitis JENIS KUMAN JUMLAH PRESENTASE GRAM POSITIF Actynomyces sp % Propionibacterium sp % Streptococus sp % GRAM NEGATIF Porphyromonas sp % Barteriodes sp % JUMLAH % 37
38 Grafik 4.3 Frekuensi dan Presentase Jenis Kuman Anaerob yang Dominan pada 23 penderita Alveolitis Distribusi Daya Hambat dan Rata-rata dari Beberapa Antibiotik Terhadap Kuman Anaerob yang Dominan dalam Alveolitis Distribusi daya hambat dan rata-rata dari beberapa antibiotik terhadap kuman anaerob gram positif yang dominan dalam Alveolitis yaitu pada kuman Actinomyces sp resisten pada ampisislin dan tetrasiklin, intermediate pada amoksisilin dan eritromisin, sensitif pada siprofloksasin dan sulfametoksasol. Pada kuman Actinomyces sp resisten pada ampisislin dan tetrasiklin, intermediate pada amoksisilin dan eritromisin, sensitif pada siprofloksasin dan sulfametoksasol. Dan pada kuman Streptococcus sp resisten pada ampisislin, intermediate pada amoksisilin, sensitif pada siprofloksasin, sulfametoksasol, tetrasiklin, eritromisin. Distribusi daya hambat dan rata-rata dari beberapa antibiotik terhadap kuman anaerob gram negatif yang dominan dalam Alveolitis yaitu pada kuman Porphyromonas sp resisten pada ampisislin dan eritromisin, intermediate pada 38
39 amoksisilin, sensitif pada siprofloksasin, sulfametoksasol dan tetrasiklin. Pada kuman Bakteriodes resisten pada ampisislin, intermediate pada eritromisin, sensitif pada amoksisilin, siprofloksasin, sulfametoksasol dan tetrasiklin. Tabel 4.4 Distribusi Daya Hambat dan Rata-rata dari Beberapa Antibiotik Terhadap Kuman Anaerob yang Dominan Dalam Alveolitis Jenis Kuman Gram Positif Jumlah 10µg 25µg 5µg 30µg AMP- AML- SIP- TE- SXT- 25µg E- 15µg Actinomyces sp 6 7,45 13,3 30,53 13,65 26,35 14,50 Propionibacterium sp 8 8,01 15,53 29,86 12,15 24,09 16,81 Streptococcus sp 5 10,36 14,58 34,52 20,24 24,62 21,16 Gram Negatif Porphyromonas sp 4 7,35 16,42 27,00 21,25 21,30 9,68 Bacteriodes sp 5 7,08 20,88 29,06 23,34 24,86 13,76 Keterangan: AMP-10 µg Ampisilin AML-25 µg Amoksisilin SIP-5 µg Siprofloksasin TE-30 µg Tetrasiklin SXT-25 µg Sulfametoksasol E-15 µg Eritromisin R (Resisten) I (Intermediate) S (Sensitive) 39
40 AMP-10µg AML-25µg SIP-5µg TE-30µg SXT-25µg E-15µg Actinomyces sp. Propionibacterium sp. Streptococcus sp. Porphyromonas sp. Bacteriodes sp. Grafik 4.4 Distribusi Daya Hambat dan Rata-rata dari Beberapa Antibiotik TerhadapKuman Anaerob yang Dominan Dalam Alveolitis Hasil Uji Kepekaan 5 Bakteri Anaerob yang Ditemukan Pada Alveolitis terhadap 6 Antibiotik Pada penelitian ini hasil uji kepekaan 5 bakteri anaerob yang ditemukan pada alveolitis terhadap 6 antibiotik adalah: a. Sensitif Pada 6(100%) Actinomyces terhadap siprofloksasin Pada 8(100%) Propionibacterium terhadap siprofloksasin dan sulfametoksasol. Pada 5(100%) Streptococcus terhadap siprofloksasin, sulfametoksasol, dan eritromisin. 40
41 Pada 4(100%) Porphyromonas terhadap siprofloksasin. Pada 5(100%) Bacteriodes terhadap siprofloksasin, tetrasikiln, dan sulfametaksasol. b. Resisten Semua bakteri yaitu 6 Actinomyces, 8 Propionibacterium, 5 Streptococcus, 4 Porphyromonas, 5 Bacteriodes resisten terhadap ampisilin. Tabel 4.5 Hasil Uji Kepekaan 5 Bakteri Anaerob yang Ditemukan Pada Alveolitis terhadap 6 Antibiotik Gram Positif Gram Negatif Jenis Kuman Actinomyces sp. Propionibacterium sp. Streptococcus sp. Porphyromonas sp. Bacteriodes sp. 6 (%) 8 (%) 5 (%) 4 (%) 5 %) Antibioti k R I S R I S R I S R I S R I S AMP-10 6 (100%) AML SIP (100%) TE SXT E Seluruh kuman resisten terhadap Ampisilin Seluruh kuman hampir resisten terhadap Amoksisilin Seluruh kuman sensitif terhadap Siprofloksasin Resisten dan Interrmediat Sensitif 41
42 BAB V PEMBAHASAN 5.1 FREKUENSI DAN PERSENTASE ALVEOLITIS PADA GIGI YANG DI EKSTRAKSI Dari 23 penderita alveolitis, sampel yang paling banyak didapatkan yaitu pada rahang bawah. Perbedaannya sangat tipis yaitu pada rahang atas sebanyak 11 sampel (47,83%) dan pada rahang bawah sebanyak 12 sampel (52,17). Beberapa peneliti mengatakan frekuensi alveolitis lebih tinggi pada rahang bawah dan gigi daerah molar. Alveolitis dapat saja terjadi pada setiap pasca pencabutan gigi, namun lebih sering terjadi pada pasca pencabutan gigi molar tiga impaksi. 3,20 Berdasarkan laporan dikatakan insiden Alveolitis 79% terjadi pada rahang bawah dan 21% pada rahang atas. Data yang dipublikasikan telah melaporkan, insidens 10 kali lebih besar untuk gigi rahang bawah daripada rahang atas dan mencapai 45% untuk molar ketiga rahang bawah 14 Secara anatomis maupun histologis diketahui bahwa, mandibula memiliki tulang kortikal jauh lebih padat dari maksila sehingga kelancaran perfusi darah ke dalam jaringan, dapat mengalami gangguan. Adanya gaya gravitasi menyebabkan soket pada rahang bawah cenderung untuk berkontaminasi oleh saliva dan sisa makanan. Mungkin juga kombinasi dua atau lebih dari faktor-faktor predisposisi tersebut yang menyebabkan terjadinya Alveolitis. 3,21 42
43 Pencabutan gigi lebih sering terjadi pada rahang bawah yaitu (66,31%) dibanding rahang atas (33,68%). Hal ini dihubungkan dengan pertumbuhan gigi molar pertama permanent rahang bawah yang lebih awal erupsi, sehingga kemungkinan dapat terjadi karies maupun kerusakan lebih lanjut FREKUENSI DAN PERSENTASE ALVEOLITIS MENURUT UMUR DAN JENIS KELAMIN Terlihat bahwa pada penderita Alveolitis ditemukan berbeda-beda disetiap kelompok umur, yaitu pada kelompok-kelompok, usia sebanyak 1 orang (4,35%); sebanyak 3 orang (13,04%); sebanyak 2 orang (8,70%); sebanyak 2 orang (8,70%); sebanyak 6 orang (26,09%); sebanyak 3 orang (13,04%); sebanyak 3 orang (13,04%); sebanyak 2 orang (8,70%); sebanyak 1 orang (4,35%). Kelompok umur terbanyak pada usia tahun, yaitu 6 orang (26,09%). Sedangkan dilihat menurut jenis kelamin ditemukan jenis kelamin wanita lebih banyak terkena alveolitis yaitu 19 orang (86,60%) dibandingkan dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 4 orang (17,4%). Pada penelitian ini dilihat dari segi umur, penderita Alveolitis yang terbanyak kelompok umur tahun yaitu 6 orang (26.9%). Pada penelitian sebelumnya didapatkan, adanya perubahan yang terjadi pada struktur tulang dan gigi sesuai dengan bertambahnya usia, sehingga pengalaman membuktikan pencabutan gigi akan lebih sulit. Hal ini berarti bahwa insiden Alveolitis akan meningkat sesuai dengan usia, akan tetapi pada penelitian, 43
44 menunjukkan insiden Alveolitis menurun pada usia yang lebih muda, sedangkan diapatkan insiden Alveolitis meninggi pada kelompok usia tahun dan kemudian menurun lagi pada usia lanjut. 22 Didapatkan juga bahwa jenis kelamin wanita lebih banyak, yaitu 19 orang (82,60%) dibandingkan dengan laki-laki 4 orang (17,40%). Sejumlah literatur menduga, risiko meningkatnya Alveolitis dihubungkan dengan wanita yang menggunakan kontrasepsi oral dan siklus menstruasi. 23 Faktor hormonal dilaporkan mempengaruhi terjadinya Alveolitis. Diduga komponen estrogen menyebabkan peningkatan aktivitas serum fibrinolitik dan adanya peningkatan pada proaktivator plasminogen serta aktivator pada saliva selama atau mendekati waktu menstruasi. 23 Perbedaan jenis kelamin menunjukkan perbedaan angka prevalensi terjadinya Alveolitis. Alveolitis pada wanita lebih besar dibanding pria. Hal ini disebabkan p Dry Socket lebih sering ditemukan pada wanita yang sedang mengalami menstruasi dan kedua ada hubungan pada wanita yang menggunakan pil kontrasepsi. Menurut Catellani, ada pengaruhnya dengan efek hormon oestrogen yang dapat menstimulasi fibrinolisis
45 5.3 FREKUENSI DAN PERSENTASE JENIS KUMAN ANAEROB YANG DOMINAN PADA 23 PENDERITA Hasil biakan kultur anaerob pada penderita Alveolitis yaitu; Gram Positif = Actynomyces sp = 6 (21,43%), Propionibacterium sp = 8 (28,57%), Streptococus sp = 5 (17,86%), Gram Negatif = Porphyromonas sp = 4 (14,28%), Barteriodes sp = 5 (17,86%). Pada tabel dapat dilihat bahwa kuman Gram Positif yang terbanyak adalah Propionibacterium sp = 8 (28,57%), dan kuman Gram Negatif yang terbanyak adalah Barteriodes sp = 5 (17,86%). Brown dkk. (1970) meneliti kuman pada Alveolitis dan menemukan bermacam-macam kuman. (Swanson, 1990). Birn (1973), menemukan populasi kuman campuran yang khas pada flora normal mulut. Peneliti menemukan 70% mikroorganisme aerob dan hanya 30% anaerob yang merupakan bagian dari flora bukal. Pada tahun 1986, Awang meneliti peranan bakteri anaerob dalam perkembangan Alveolitis DISTRIBUSI DAYA HAMBAT DAN RATA-RATA DARI BEBERAPA ANTIBIOTIK TERHADAP KUMAN ANAEROB YANG DOMINAN DALAM ALVEOLITIS Distribusi daya hambat dan rata-rata dari beberapa antibiotik terhadap kuman anaerob gram positif yang dominan dalam Alveolitis yaitu pada kuman Actinomyces sp resisten pada ampisislin dan tetrasiklin, intermediate pada amoksisilin dan eritromisin, sensitif pada siprofloksasin dan sulfametoksasol. Pada kuman Actinomyces sp resisten pada ampisislin dan tetrasiklin, intermediate pada amoksisilin dan eritromisin, sensitif pada siprofloksasin dan 45
46 sulfametoksasol. Dan pada kuman Streptococcus sp resisten pada ampisislin, intermediate pada amoksisilin, sensitif pada siprofloksasin, sulfametoksasol, tetrasiklin, eritromisin. Distribusi daya hambat dan rata-rata dari beberapa antibiotik terhadap kuman anaerob gram negatif yang dominan dalam Alveolitis yaitu pada kuman Porphyromonas sp resisten pada ampisislin dan eritromisin, intermediate pada amoksisilin, sensitif pada siprofloksasin, sulfametoksasol dan tetrasiklin. Pada kuman Bakteriodes resisten pada ampisislin, intermediate pada eritromisin, sensitif pada amoksisilin, siprofloksasin, sulfametoksasol dan tetrasiklin. Pada sebuah penelitian di dapatkan daya hambat rata-rata Antibiotik Siprofloksasin terhadap kuman yang dominan, lebih besar dari 21 (standar interpretasi zona hambatan sesuai National Comittee for Clinical Laboratory Standards (NCCLS) berarti semua kuman sensitif terhadap Siprofloksasin. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sato K dkk (1992). Eliopoulos dkk. (1993), menemukan Siprofloksasin merupakan antibiotik jenis fluorokuinolon yang mempunyai aktivitas antibakterial tinggi (Syahrurachman,1999). Begitu juga dengan Golongan Sulfametoksasol semua kuman Sensitif. 25 Gabrielson (1975), meneliti ternyata Eritromisin, Ampisilin dan Penisillin merupakan antibiotik yang sangat berkhasiat. Bystedt dkk (1980), menggunakan 3 antibiotik yang berbeda secara sistemik yaitu, Penisilin, Eritromisin dan Doksisilin, dan mereka menemukan penurunan insiden Alveolitis (Swenson, 1990)
47 Bila dibandingkan dengan penelitian ini, ternyata Ampisilin sudah mengalami resisten. Golongan amoksisilin hampir semuanya intermediate sehingga penggunaan antibiotik ini harus hati-hati. Kecuali untuk kuman Bacteriodes sp. masih sensitif. Antibiotik Eritromisin hampir semua juga intermediate kecuali untuk kuman Porphyromonas sp.yang sudah resisten. Golongan Tetrasiklin sebagian besar masih Sensitif kecuali untuk kuman Aktinobakterium sp dan Propionibakterium sudah resisten. 5.5 HASIL UJI KEPEKAAN 5 BAKTERI ANAEROB YANG DITEMUKAN PADA ALVEOLITIS TERHADAP 6 ANTIBIOTIK Pada penelitian ini hasil uji kepekaan 5 bakteri anaerob yang ditemukan pada alveolitis terhadap 6 antibiotik adalah: a. Sensitif Pada 6(100%) Actinomyces terhadap siprofloksasin Pada 8(100%) Propionibacterium terhadap siprofloksasin dan sulfametoksasol. Pada 5(100%) Streptococcus terhadap siprofloksasin, sulfametoksasol, dan eritromisin. Pada 4(100%) Porphyromonas terhadap siprofloksasin. Pada 5(100%) Bacteriodes terhadap siprofloksasin, tetrasikiln, dan sulfametaksasol. 47
48 c. Resisten Semua bakteri yaitu 6 Actinomyces, 8 Propionibacterium, 5 Streptococcus, 4 Porphyromonas, 5 Bacteriodes resisten terhadap ampisilin. Terlihat sampel yang diuji juga dalam jumlah kecil. Kepekaan tertinggi terlihat terhadap amoksisilin-asam klavulanat untuk Staphylococcus epidermidis (100%), sulbenisilin, penisilin G terhadap Streptococcus β haemoliticus (100 %). Resistensi tertinggi terlihat terhadap amoksisilin, ampisilin, penisilin G pada Staphylococcus epidermidis (100 %) dan Staphylococcus aureus telah resisten terhadap semua antibiotika yang diuji (100 %). 26 Antibiotika golongan lainnya, sampel yang diuji juga dalam jumlah kecil. Kepekaan tertinggi ditunjukkan oleh Staphylococcus aureus (100 %) terhadap tetrasiklin, kotrimoksazol dan fosmisin, Staphylococcus epidermidis (83.3 %) terhadap kotrimoksazol, Streptococcus β haemoliticus (100 %) terhadap siprofloksasin dan fosmisin. Resistensi tertinggi diperlihatkan kloramfenikol, siprofloksasin pada Staphylococcus aureus (100 %), tetrasiklin untuk Staphylococcus epidermidis (85.7%) dan Streptococcus β haemoliticus (57.1 %). 26 Pola kepekaan bakteri gram positif terhadap suatu jenis antibiotik adalah sebagai berikut: 26 a. Kuman Staphylococcus epidermidis. Staphylococcus epidermidis mempunyai kepekaan tertinggi berturut-turut terhadap kanamisin, netilmisin, tobramisin, sefotaksim, seftizoksim, 48
Dry Socket Elsie Stephanie DRY SOCKET. Patogenesis Trauma dan infeksi adalah penyebab utama dari timbulnya dry soket.
DRY SOCKET Definisi Dry Socket adalah suatu kondisi hilangnya blood clot dari soket gigi. Komplikasi yang paling sering terjadi, dan paling sakit sesudah pencabutan gigi adalah dry socket. Setelah pencabutan
Lebih terperinciDry Socket. 1. Pendahuluan
Dry Socket 1. Pendahuluan Pencabutan gigi adalah suatu tindakan yang biasa dilakukan pada bidang bedah mulut dan Dry Socket merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi setelah pencabutan gigi.
Lebih terperinciUJI KEPEKAAN ANTIBIOTIK TERHADAP KUMAN ANAEROB PADA ALVEOLITIS PASCA PENCABUTAN GIGI SKRIPSI. Ilfen Febrina Nineti J
UJI KEPEKAAN ANTIBIOTIK TERHADAP KUMAN ANAEROB PADA ALVEOLITIS PASCA PENCABUTAN GIGI SKRIPSI Ilfen Febrina Nineti J 111 08 111 PEMBIMBING : drg. Netty N Kawulusan, M.Kes FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terakhir dalam perawatan gigi dan mulut karena berbagai alasan, antara lain untuk
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ekstraksi gigi adalah proses pencabutan gigi dari dalam soket dan tulang alveolar. Pencabutan gigi merupakan tindakan yang sering dilakukan oleh dokter gigi (Adeyemo dkk.,
Lebih terperinci25 Universitas Indonesia
3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan desain potong lintang (cross-sectional) untuk mengetahui pola resistensi bakteri terhadap kloramfenikol, trimethoprim/ sulfametoksazol,
Lebih terperinciBAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Desain penelitian dalam penelitian ini adalah desain cross-sectional (potong lintang) dengan menggunakan data sekunder, yaitu data hasil uji kepekaan
Lebih terperinciIII. METODOLOGI PENELITIAN. Desain penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorik dengan
III. METODOLOGI PENELITIAN 3. 1. Desain Penelitian Desain penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorik dengan metode difusi Kirby-Bauer (Triatmodjo, 2008). Hasil penelitian diperoleh dengan
Lebih terperinci3. METODOLOGI PENELITIAN
3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Desain penelitian dalam penelitian ini adalah desain cross-sectional (potong lintang) dengan menggunakan data sekunder, yaitu data hasil uji kepekaan bakteri
Lebih terperinciBAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan metode survei yang bertujuan untuk menggambarkan prevalensi dry socket pada rahang atas dan rahang
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif laboratorik dengan
III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif laboratorik dengan pendekatan cross sectional, menggunakan metode difusi dengan memakai media Agar
Lebih terperinciBAB V HASIL PENELITIAN
BAB V HASIL PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Gigi dan Mulut - Pendidikan (RSGM-P FKG UI) pada periode 6 Oktober 2008-10 November 2008. Penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang mana tidak hanya terkait dengan persoalan estetika, tetapi juga
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan gigi dan mulut merupakan bagian dari kesehatan tubuh secara umum yang mana tidak hanya terkait dengan persoalan estetika, tetapi juga dapat menimbulkan masalah
Lebih terperinciFakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia BAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Definisi Menurut Pedlar dan Frame (2001) pencabutan gigi merupakan suatu prosedur bedah yang dapat dilakukan dengan tang, elevator, atau penekanan trans alveolar. 1 Pencabutan
Lebih terperinciDAFTAR RIWAYAT HIDUP
LAMPIRAN 1 DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama Lengkap Tempat/ Tanggal Lahir Jenis Kelamin Agama Alamat Orangtua Ayah Ibu Riwayat Pendidikan : Ganesh Dorasamy : Kuala Lumpur, Malaysia / 25September1986 : Laki-laki
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Koloni bakteri pada plak gigi merupakan faktor lokal yang mengakibatkan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit periodontal merupakan penyakit infeksi kronis rongga mulut dengan prevalensi 10 60% pada orang dewasa. Penyakit periodontal meliputi gingivitis dan
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. menggunakan media Mannitol Salt Agar (MSA). pada tenaga medis di ruang Perinatologi dan Obsgyn Rumah Sakit Umum
38 III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif laboratorik dengan pendekatan cross sectional, menggunakan metode difusi dengan memakai media
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Analis Kesehatan
BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain penelitian yang akan dilakukan menggunakan metode deskriptif. B. Tempat dan waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Analis
Lebih terperinciDiagnosis Penyakit Pulpa dan Kelainan Periapikal
Diagnosis Penyakit Pulpa dan Kelainan Periapikal Penyakit pulpa dan periapikal Kondisi normal Sebuah gigi yang normal bersifat (a) asimptomatik dan menunjukkan (b) respon ringan sampai moderat yang bersifat
Lebih terperinciBAB IV METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah uji klinik. Penelitian ini akan dilakukan : 1. RSGM Tamalanrea. 2.
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah uji klinik. 4.2 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode pre-test dan post-test group design. 4.3 Tempat
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian Deskriptif karena tujuan dari
28 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian Deskriptif karena tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas mikrobiologi pada udara di inkubator
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil tahu, dan terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, baik indera penglihatan, pendengaran, penciuman,
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. mengetahui mikroorganisme yang terdapat pada tangan tenaga medis dan
25 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitan ini merupakan penelitian eksperimental labolatorik untuk mengetahui mikroorganisme yang terdapat pada tangan tenaga medis dan paramedis di Instalasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang potensial yang terletak di antara fasia leher dalam, sebagai akibat penjalaran dari berbagai sumber
Lebih terperincimemfasilitasi sampel dari bagian tengah telinga, sebuah otoscope, jarum tulang belakang, dan jarum suntik yang sama-sama membantu. 4.
KONSEP MEDIK A. Pengertian Mastoiditis Mastoiditis adalah inflamasi mastoid yang diakibatkan oleh suatu infeksi pada telinga tengah, jika tak diobati dapat terjadi osteomielitis. Mastoiditis adalah segala
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II. 1. Definisi Menurut Pedlar (2001) Pencabutan gigi merupakan suatu prosedur bedah yang dapat dilakukan dengan tang (forceps), elevator atau pendekatan transalveolar. Ekstraksi
Lebih terperinciBAB 2 LATAR BELAKANG TERAPI AMOKSISILIN DAN METRONIDAZOLE SEBAGAI PENUNJANG TERAPI PERIODONTAL
BAB 2 LATAR BELAKANG TERAPI AMOKSISILIN DAN METRONIDAZOLE SEBAGAI PENUNJANG TERAPI PERIODONTAL Dasar pemikiran diindikasikannya terapi antibiotik sebagai penunjang perawatan periodontal adalah didasarkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tindakan pencabutan gigi merupakan salah satu jenis perawatan gigi yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan pencabutan gigi merupakan salah satu jenis perawatan gigi yang dilaksanakan di Poli Gigi dan Mulut Puskesmas. 1 Pencabutan gigi merupakan suatu tindakan mengeluarkan
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian observasional laboratorik untuk mengetahui
III. METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional laboratorik untuk mengetahui pertumbuhan mikroorganisme pengganti Air Susu Ibu di Unit Perinatologi Rumah Sakit
Lebih terperinciPERAWATAN PERIODONTAL
PERAWATAN EMERJENSI PERIODONTAL PERAWATAN EMERJENSI PERIODONTAL: Perawatan kasus periodontal akut yg membutuhkan perawatan segera Termasuk fase preliminari Kasus : Abses gingiva Abses periodontal akut
Lebih terperinciFakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia BAB II TINJAUAN PUSTAKA
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Definisi Ekstraksi Gigi Menurut Pedlar dkk (2001) pencabutan gigi merupakan suatu prosedur bedah yang dapat dilakukan dengan tang, elevator, atau pendekatan transalveolar.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Komplikasi yang sering terjadi pasca prosedur dental adalah infeksi yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Prosedur dental yang invasif sering diikuti dengan berbagai macam komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor dan tidak semua dapat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. semua orang tidak mengenal usia, golongan dan jenis kelamin. Orang yang sehat
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gingivitis sering ditemukan di masyarakat. Penyakit ini dapat menyerang semua orang tidak mengenal usia, golongan dan jenis kelamin. Orang yang sehat dengan kebersihan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pengobatan, gigi impaksi dan untuk keperluan prosedur ortodontik. 1, 2
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pencabutan gigi merupakan salah satu prosedur bedah minor pada mulut yang dapat dilakukan dengan tang, elevator ataupun pendekatan transalveolar. Pencabutan gigi tersebut
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode descriptive analitic
27 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode descriptive analitic karena tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas mikrobiologi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bersifat dinamis dan merupakan masalah kesehatan yang sedang dihadapi terutama
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh mikroba patogen yang bersifat dinamis dan merupakan masalah kesehatan yang sedang dihadapi terutama oleh negara-negara
Lebih terperinciBAB IV METODE PENELITIAN
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Disiplin ilmu yang terkait dalam penelitian ini adalah Ilmu Mikrobiologi dan Ilmu Bedah. 4.2 Tempat dan waktu penelitian 4.2.1 Tempat penelitian 1.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sinus yang disebabkan berbagai macam alergen. Rinitis alergi juga merupakan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rinitis alergi merupakan inflamasi kronis mukosa saluran hidung dan sinus yang disebabkan berbagai macam alergen. Rinitis alergi juga merupakan masalah kesehatan global
Lebih terperinciBAB IV METODE PENELITIAN. Ilmu Kesehatan Anak, dan Ilmu Kesehatan Masyarakat.
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Disiplin ilmu yang terkait dalam penelitian ini adalah Ilmu Mikrobiologi, Ilmu Kesehatan Anak, dan Ilmu Kesehatan Masyarakat. 4.2 Tempat dan waktu
Lebih terperinciMETODELOGI PENELITIAN. Umum DR. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung dan Laboratorium. Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dalam waktu 4
27 III. METODELOGI PENELITIAN A. Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kesehatan Daerah, Rumah Sakit Umum DR. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung dan Laboratorium Mikrobiologi
Lebih terperinciBAB III BAHAN DAN METODE
BAB III BAHAN DAN METODE III.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari hingga Maret 2012 di kawasan konservasi lumba-lumba Pantai Cahaya, Weleri, Kendal, Jawa Tengah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Periodontitis kronis, sebelumnya dikenal sebagai periodontitis dewasa
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Periodontitis kronis, sebelumnya dikenal sebagai periodontitis dewasa (adult periodontitis) atau periodontitis dewasa kronis (chronic adult periodontitis), adalah
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karies merupakan masalah kesehatan gigi yang umum terjadi di Indonesia. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan RI tahun 2004,
Lebih terperinciKomplikasi Diabetes Mellitus Pada Kesehatan Gigi
Komplikasi Diabetes Mellitus Pada Kesehatan Gigi Komplikasi diabetes mellitus pada kesehatan gigi masalah dan solusi pencegahannya. Bagi penderita diabetes tipe 2 lebih rentan dengan komplikasi kesehatan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sering ditemukan pada orang dewasa, merupakan penyakit inflamasi akibat
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit periodontal merupakan salah satu penyakit infeksi bakteri yang sering ditemukan pada orang dewasa, merupakan penyakit inflamasi akibat bakteri pada jaringan pendukung
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. maupun anaerob. Bakteri Streptococcus viridans dan Staphylococcus aureus
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rongga mulut manusia banyak terdapat berbagai jenis bakteri, baik aerob maupun anaerob. Bakteri Streptococcus viridans dan Staphylococcus aureus adalah mikroorganisme
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) merupakan suatu inflamasi pada mukosa rongga hidung
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rinitis alergi (RA) merupakan suatu inflamasi pada mukosa rongga hidung yang disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe I yang dipicu oleh alergen tertentu.
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Pencabutan Gigi Pencabutan gigi merupakan suatu proses pengeluaran gigi dari alveolus, dimana pada gigi tersebut sudah tidak dapat dilakukan perawatan lagi. Pencabutan
Lebih terperinciBAB 4 METODE PENELITIAN
BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian : eksperimental laboratorik 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian : Laboratorium Biologi Oral FKG UI Waktu penelitian : Minggu
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. selesai. Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium FIKKES Universitas. Muhammadyah Semarang, Jl. Wonodri Sendang No. 2A Semarang.
7 METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian deskriptif. A. Waktu Dan Tempat Penelitian Waktu penelitian dilakukan mulai bulan April 2007 sampai dengan
Lebih terperinciBAB III METODA PENELITIAN
BAB III METODA PENELITIAN A. Jenis penelitian Jenis penelitian ini adalah deskriptif. B. Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium mikrobiologi, Universitas Muhammadiyah Semarang.
Lebih terperinciBAB 4 METODE PE ELITIA
BAB 4 METODE PE ELITIA 4.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian : eksperimental laboratorik 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian : Laboratorium Biologi Oral FKG UI Waktu penelitian : Minggu ke-4
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Tempat penelitian di laboratorium lab. Mikrobiologi, Lantai II di kampus
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. B. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian di laboratorium lab. Mikrobiologi, Lantai II di kampus
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. karies parah, nekrosis pulpa, impaksi gigi, untuk tujuan perawatan ortodontik, 3
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pencabutan gigi merupakan prosedur yang umum dilakukan di kedokteran gigi. 1 Pencabutan gigi adalah suatu tindakan pengangkatan gigi dari soketnya pada tulang alveolar.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Periodontitis adalah inflamasi dan infeksi yang terjadi pada jaringan periodontal dan tulang alveolar penyangga gigi. Periodontitis terjadi apabila inflamasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. diantaranya adalah dengan menggunakan obat kumur antiseptik. Tujuan berkumur
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karies merupakan penyakit pada gigi dan mulut yang tersebar pada masyarakat. 1 Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk mencegah karies gigi, diantaranya
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menimbulkan masalah kesehatan gigi dan mulut. Penyakit periodontal yang sering
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit periodontal merupakan salah satu penyakit yang sering terjadi dan menimbulkan masalah kesehatan gigi dan mulut. Penyakit periodontal yang sering terjadi adalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Staphylococcus aureus merupakan patogen utama pada manusia. Setiap
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Staphylococcus aureus merupakan patogen utama pada manusia. Setiap orang mengalami infeksi Staphylococcus aureus, dengan keparahan yang bervariasi, mulai dari
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Desain penelitian ini adalah penelitian Deskriptif. Hal ini dikarenakan tujuan
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Desain penelitian ini adalah penelitian Deskriptif. Hal ini dikarenakan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi pasien ISK dan untuk
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN X O-1
27 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan posttest only control group design. 23 R : X O-1 ( ) O-2 Dalam rancangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. imunitas gingiva yang salah satu penyebabnya adalah infeksi. Infeksi disebabkan oleh
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gingivitis adalah peradangan pada gingiva, yang merupakan suatu respon imunitas gingiva yang salah satu penyebabnya adalah infeksi. Infeksi disebabkan oleh mikroorganisme
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. diterapkan dalam bidang kedokteran gigi sejak ratusan tahun yang lalu. Pierre
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Konsep penggunaan bahan kimia untuk perawatan dalam rongga mulut telah diterapkan dalam bidang kedokteran gigi sejak ratusan tahun yang lalu. Pierre Fauchard
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bakteremia didefinisikan sebagai keberadaan kuman dalam darah yang dapat berkembang menjadi sepsis. Bakteremia seringkali menandakan penyakit yang mengancam
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Denture stomatitis merupakan suatu proses inflamasi pada mukosa mulut
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Denture stomatitis merupakan suatu proses inflamasi pada mukosa mulut dengan bentuk utamanya atropik dengan lesi erythematous dan hiperplastik 1. Denture Stomatitis
Lebih terperinciSOP PERAWATAN LUKA A. KLASIFIKASI LUKA BEDAH
SOP PERAWATAN LUKA A. KLASIFIKASI LUKA BEDAH 1. Luka bersih Luka operasi yang tidak terinfeksi, dimana tidak ditemukan adanya inflamasi dan tidak ada infeksi saluran pernafasan, pencernaan, dan urogenital.
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. iskemik jaringan pulpa yang disertai dengan infeksi. Infeksi tersebut
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nekrosis pulpa merupakan kematian pulpa yang disebabkan iskemik jaringan pulpa yang disertai dengan infeksi. Infeksi tersebut disebabkan oleh mikroorganisme yang bersifat
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. diisolasi dari saluran akar yang terinfeksi dengan pulpa terbuka adalah obligat
15 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyakit pulpa dan jaringan sekitar akar gigi secara langsung maupun tidak langsung ada hubungannya dengan mikroorganisme. Bakteri yang paling banyak diisolasi
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mikroorganisme memegang peranan penting pada perkembangan penyakit pulpa dan jaringan periapikal.dari sekitar 500 spesies bakteri yang dikenal sebagai flora normal
Lebih terperinciI S O L A S I DAN E N U M E R A S I K U M A N P A T O G E N
I S O L A S I DAN E N U M E R A S I K U M A N P A T O G E N Pemeriksaan laboratorium merupakan bagian dari rangkaian pemeriksaan untuk mengetahui penyebab penyakit, menilai perkembangan penyakit setelah
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dialami oleh siapa saja dan dapat terjadi dimana saja baik dirumah, tempat
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Luka bakar merupakan cedera yang cukup sering dihadapi oleh dokter, biaya yang dibutuhkan juga cukup mahal untuk penanganannya. Luka bakar dapat dialami oleh siapa saja
Lebih terperinciOdontektomi. Evaluasi data radiografi dan klinis dari kondisi pasien
Odontektomi Odontektomi menurut Archer adalah pengambilan gigi dengan prosedur bedah dengan pengangkatan mukoperiosterial flap dan membuang tulang yang ada diatas gigi dan juga tulang disekitar akar bukal
Lebih terperinciBAB III METODA PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian deskriptif.
BAB III METODA PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian deskriptif. B. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium mikrobiologi program
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. positif yang hampir semua strainnya bersifat patogen dan merupakan bagian dari
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Staphylococcus aureus merupakan salah satu kelompok bakteri gram positif yang hampir semua strainnya bersifat patogen dan merupakan bagian dari flora normal kulit
Lebih terperinciPERSIAPAN MEDIA DAN LARUTAN PENGENCER\
PERSIAPAN MEDIA DAN LARUTAN PENGENCER\ Tujuan: 1. Mengetahui media kultur dan larutan pengencer yang digunakan dalam pekerjaan-pekerjaan mikrobiologi serta dapat membuatnya secara aseptik. 2. Untuk mensucihamakan
Lebih terperinciBAB 2 OSTEOMIELITIS KRONIS PADA RAHANG. infeksi yang terjadi dapat disebabkan oleh infeksi odontogenik. Osteomielitis dibagi
BAB 2 OSTEOMIELITIS KRONIS PADA RAHANG Osteomielitis adalah inflamasi yang terjadi pada tulang dan sumsum tulang, infeksi yang terjadi dapat disebabkan oleh infeksi odontogenik. Osteomielitis dibagi menjadi
Lebih terperinciMETODOLOGI PENELITIAN
METODOLOGI PENELITIAN Waktu Dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus 2012 di Bagian Mikrobiologi Balai Laboratorium Kesehatan Provinsi Sumatera utara.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan adalah hal yang penting di kehidupan manusia. Rasulullah
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan adalah hal yang penting di kehidupan manusia. Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda, Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ISK merupakan keadaan tumbuh dan berkembang biaknya kuman dalam saluran kemih meliputi infeksi di parenkim ginjal sampai infeksi di kandung kemih dengan jumlah bakteriuria
Lebih terperinciBAB 4 METODE PENELITIAN. 4.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik.
BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik. 4.2 Sumber Data Sampel dalam penelitian ini adalah usapan (swab) dari lesi mukosa mulut subyek
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah bakteri. Staphylococcus aureus yang mengalami kekebalan terhadap antibiotik
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah bakteri Staphylococcus aureus yang mengalami kekebalan terhadap antibiotik jenis metisilin. MRSA mengalami resistensi
Lebih terperinciSumber: dimodifikasi dari Wagner et al.
Komplikasi Odontektomi Odontektomi tergolong minor surgery, namun tetap mengandung risiko. Komplikasi dapat timbul pada saat dan setelah pembedahan, akibat faktor iatrogenik. Odontektomi dengan tingkat
Lebih terperinciBAB 2 EKSTRAKSI GIGI. Ekstraksi gigi adalah proses pencabutan gigi dari dalam soket dari tulang
BAB 2 EKSTRAKSI GIGI 2.1 Defenisi Ekstraksi gigi adalah proses pencabutan gigi dari dalam soket dari tulang alveolar. Ekstraksi gigi dapat dilakukan dengan dua teknik yaitu teknik sederhana dan teknik
Lebih terperinci1. Mitos: Menyikat gigi beberapa kali sehari merugikan enamel.
1. Mitos: Menyikat gigi beberapa kali sehari merugikan enamel. Fakta: Mungkin saja sebagian mitos ini benar. Biasanya, itu sudah cukup untuk menyikat gigi dua kali sehari, tapi jika Anda memiliki kesempatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. angka yang pasti, juga ikut serta dalam mengkontribusi jumlah kejadian infeksi. tambahan untuk perawatan dan pengobatan pasien.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Di berbagai belahan dunia, masalah infeksi masih menjadi masalah yang belum dapat ditanggulangi sepenuhnya. Di Indonesia sendiri, kejadian penyakit infeksi merupakan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia.
I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Penyakit infeksi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia. Sekitar 53 juta kematian di seluruh dunia pada tahun 2002, sepertiganya disebabkan oleh
Lebih terperinciAnalisis Hayati KEPEKAAN TERHADAP ANTIBIOTIKA. Oleh : Dr. Harmita
Analisis Hayati KEPEKAAN TERHADAP ANTIBIOTIKA Oleh : Dr. Harmita Pendahuluan Dewasa ini berbagai jenis antimikroba telah tersedia untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme. Zat anti
Lebih terperinciPANDUAN SKILL LAB BLOK MEDICAL EMERGENCY (SKILL LAB 4) PENANGANAN ABSES DAN PERIKORONITIS
PANDUAN SKILL LAB BLOK MEDICAL EMERGENCY (SKILL LAB 4) PENANGANAN ABSES DAN PERIKORONITIS JURUSAN KEDOKTERAN GIGI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN Purwokerto,
Lebih terperinciLAMPIRAN 1. Skema Alur Pikir
66 LAMPIRAN 1. Skema Alur Pikir Keberadaan bakteri mempunyai nilai yang penting dalam patogenesis pulpa dan periapeks. Eliminasi mikroorganisme dari saluran akar yang terinfeksi merupakan fokus utama pada
Lebih terperinciPENGAMBILAN SPESIMEN YANG BENAR UNTUK KULTUR RESISTENSI ANTIMIKROBA. dr.anti Dharmayanti, SpPK(K)
PENGAMBILAN SPESIMEN YANG BENAR UNTUK KULTUR RESISTENSI ANTIMIKROBA dr.anti Dharmayanti, SpPK(K) PRA ANALITIK PENANGANAN SPESIMEN MIKROBIOLOGI AMAT PENTING UTK AKURASI HASIL & INTERPRETASI SPESIMEN KULTUR
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah. akar gigi melalui suatu reaksi kimia oleh bakteri (Fouad, 2009), dimulai dari
I. PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Infeksi saluran akar adalah suatu penyakit yang disebabkan salah satunya oleh bakteri yang menginfeksi saluran akar. Proses terjadinya kerusakan saluran akar gigi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Gigi yang sehat adalah gigi yang rapi, bersih, didukung oleh gusi yang kuat dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Kesehatan gigi dan mulut merupakan bagian integral kesehatan secara keseluruhan dan perihal hidup sehingga perlu dibudidayakan diseluruh masyarakat. Gigi yang sehat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dalam rongga mulut terdapat fungsi perlindungan yang mempengaruhi kondisi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara anatomis sistem pencernaan manusia dimulai dari rongga mulut. Di dalam rongga mulut terdapat fungsi perlindungan yang mempengaruhi kondisi lingkungan saliva
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kavitas oral ditempati oleh bermacam-macam flora mikroba, yang berperan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kavitas oral ditempati oleh bermacam-macam flora mikroba, yang berperan mayor dari ekosistem yang kompleks ini yaitu dental plak yang berkembang secara alami pada jaringan
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN
24 3.1 Desain Penelitian BAB III METODOLOGI PENELITIAN Bentuk desain penelitian yang akan digunakan adalah bentuk deskriptif cross sectional untuk mengetahui pola sensitivitas Mycobacterium tuberculosis
Lebih terperinciBAB IV METODE PENELITIAN
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Mulut. Lingkup disiplin ilmu penelitian ini adalah Ilmu Kesehatan Gigi dan 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. pada kesehatan umum dan kualitas hidup (WHO, 2012). Kesehatan gigi dan mulut
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan mulut merupakan hal yang sangat penting dan berpengaruh pada kesehatan umum dan kualitas hidup (WHO, 2012). Kesehatan gigi dan mulut sering kali menjadi prioritas
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah deskriptif.
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis penelitian Jenis penelitian ini adalah deskriptif. B. Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilakukan di laboraturium Mikrobiologi Universitas Muhammadiyah Semarang.
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross-sectional untuk menguji efektivitas antiseptik menurut waktu kontak udara luar berdasarkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Madu adalah pemanis tertua yang pertama kali dikenal dan digunakan oleh
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Madu adalah pemanis tertua yang pertama kali dikenal dan digunakan oleh manusia jauh sebelum mengenal gula. Madu baik dikonsumsi saat perut kosong (Suranto, Adji :
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. mikroorganisme ke dalam tubuh, mikroorganisme tersebut masuk bersama makanan
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Flora Normal Rongga Mulut Rongga mulut merupakan pintu gerbang masuknya berbagai macam mikroorganisme ke dalam tubuh, mikroorganisme tersebut masuk bersama makanan atau minuman.
Lebih terperinciDiabetes merupakan faktor resiko periodontitis yang berkembang dua kali lebih sering pada penderita diabetes daripada penderita tanpa diabetes.
PENDAHULUAN Perawatan implan gigi adalah cara yang efisien untuk menggantikan gigi yang hilang. Namun,diabetes dapat dianggap sebagai kontraindikasi perawatan karena tingkat kegagalan sedikit lebih tinggi
Lebih terperinci