a,\s :"'2, arnn 'rf F KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI NOMOR 57 M{ /xep/1/201o TENTANG SYARAT TEKNIS METER ARUS VOLUMETRIK

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "a,\s :"'2, arnn 'rf F KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI NOMOR 57 M{ /xep/1/201o TENTANG SYARAT TEKNIS METER ARUS VOLUMETRIK"

Transkripsi

1 :"'2, a,\s t arnn 'rf F DEPAI TEMEN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREI$ORAT JENDERAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI Jalan N4 Rdwan Rais No. 5 Jakarta Te Ia KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI NOMOR 57 M{ /xep/1/201o TENTANG SYARAT TEKNIS METER ARUS VOLUMETRIK DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI. Menimbang Mengingat a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 3 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 08/M-DAG lperl tentang Alat-alat Ukur, Takar, Timbang, dan Perlengkapannya (UTTP) Yang Wajib Ditera dan Ditera Ulang, perlu mengatur syarat teknis meter arus volumetrik; b. bahwa penetapan syarateknis meter arus volumetrik, diperlukan untuk mewujudkan kepastian hukum dalam pemeriksaan, pengujian, dan penggunaan m-eter arus volumetrik sebagai upaya menjamin kebenaran pengukuran volume cairan dinamis bahan bakar minyak; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksudalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri; 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 11 Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 3193); 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1999 Nomor 42. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821): 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2Q01 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4884), 4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 20Q4 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor '12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844), 5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633);

2 Keputusan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Nomor. 57 lmwftep/tlzo1a * o. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus lbukota Jakarta Sebagai lbukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4744)', 7. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1985 tentang Wajib dan Pembebasan Untuk Ditera dan/atau Ditera Ulang Serta Syarat-syarat Bagi Alat-alat Ukur, Takar, Timbang, dan Perlengkapannya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 4,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3283); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1987 tentang Satuan Turunan, Satuan Tambahan, dan Satuan Lain Yang Berlaku (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1987 Nomor lt,tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3351); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten lkota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 10 Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 50 Tahun 2008; 11. Keputusan Presiden Nomor 84iP Tahun 2009 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu ll; 12. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara; 13 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 61/MPP/Kepl2l1998 tentang Penyelenggaraan Kemetrologian sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 251 IMPP lkep/6/1 999; 14 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 635/M PP/Kepl tentang Tanda Tera; 15. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 01/M-DAG lperl3l2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Perdagangan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Perdagangan N om or 241 M-D AG/P E R/6/2009 ; 16 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor SO/M-DAG/PER/1 0/2009 tentang Unit Kerja dan Unit Pelaksana Teknis Metrologi Legal; 17. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/1 0/2009 tentang Penilaian Terhadap Unit Pelaksana Teknis dan Unit Pelaksana Teknis Daerah Metrologi Legal, 18. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor O8/M-DAG lperl3l2010 tentang Alat-alat Ukur, Takar, Timbang, dan Perlengkapannya (UTTP) Yang Wajib Ditera dan Ditera Ulang;

3 Keputusan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Nomor. tt lpay/kep/t/2010 MEMUTUSKAN: Menetapkan : pertama KEDUA KETIGA : Memberlakukan Syarat Teknis Meter Arus Volumetrik yang selanjutnya disebut ST Meter Arus Volumetrik sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri ini. : ST Meter Arus Volumetrik sebagaimana dimaksudalam Diktum PERTAMA merupakan pedoman bagi petugas dalam melaksanakan kegiatan tera dan tera ulang serta pengawasan meter arus volumetrik. : Keputusan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negerini mulai berlaku cada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal I l4aret 2010 DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI, SUBAGYO

4 LAMPIRAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI NOMOR t rtlw$/xnp/rlzorc TANGGAL : Jldaret2010 BAB I BAB ll BAB lll BAB lv BAB V BAB Vl Pendahuluan 1.1. Latar Belakang 1.2. Maksudan Tujuan 1.3. Pengertian Daftar lsi Persyaratan Administrasi 2.1. Ruang Lingkup 2.2. Penerapan 2.3. ldentitas 2.4. Persyaratan Meter Arus Volumetrik Sebelum Peneraan Persyaratan Teknis dan Persyaratan Kemetrologian 3.1. Persyaratan Teknis 3.2. Persyaratan Kemetrologian Pemeriksaan dan Pengujian 4.1. Pemeriksaan 4.2. Pengujian Tera dan Tera Ulang Pembubuhan Tanda Tera 5.1. Tempat Tanda Tera 5.2. Penandaan Tanda Tera Penutup DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI. SUBAGYO

5 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu tujuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal adalah untuk melindungi kepentingan umum melalui jaminan kebenaran pengukuran dan adanya ketertiban dan kepastian hukum dalam pemakaian satuan ukuran, standar satuan, metode pengukuran, dan Alat-alat Ukur, Takar, Timbang, dan Perlengkapannya (UTTP). Dalam ketentuan Pasal 12 Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal, mengamanatkan pengaturan UTTP yang wajib ditera dan ditera ulang, dibebaskan dari tera atau tera ulang, atau dari kedua-duanya, serta syarat-syarat yang harus dipenuhi. Dalam melaksanakan amanat tersebut di atas, telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1985 tentang Wajib dan Pembebasan Untuk Ditera dan/atau Ditera Ulang Serta Syarat-syarat Bagi Alat-alat Ukur, Takar, Timbang, dan Perlengkapannya. Adapun UTTP yang wajib ditera dan ditera ulang adalah UTTP yang dipakai untuk keperluan menentukan hasil pengukuran, penakaran, atau penimbangan untuk kepentingan umum, usaha, menyerahkan atau menerima barang, menentukan pungutan atau upah, menentukan produk akhir dalam perusahaan, dan melaksanakan peraturan perundang-undangan. Untuk menjamin kebenaran hasil pengukuran dimaksud dan dalam upaya menciptakan kepastian hukum, maka terhadap setiap UTTP wajib dilakukan tera dan tera ulang yang berpedoman pada syarat teknis UTTP. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu disusun syarat teknis UTTP yang wajib ditera dan ditera ulang yang merupakan pedoman bagi petugas dalam melaksanakan kegiatan tera dan tera ulang serta pengawasan UTTP Maksud dan Tujuan 1. Maksud Untuk mewujudkan keseragaman dalam pelaksanaan kegiatan tera dan tera ulang Meter Arus Volumetrik. 2. Tujuan Tersedianya pedoman bagi petugas dalam melaksanakan kegiatan tera dan tera ulang serta pengawasan Meter Arus Volumetrik Pengertian 1. Meter Bahan Bakar Minyak yang selanjutnya disebut Meter Arus adalah alat ukur cairan dinamis untuk bahan bakar minyak yang terdiri dari badan ukur dan badan hitung untuk mengukur volume cairan yang mengalir melalui badan ukur. 2. Meter Arus Volumetrik adalah Meter Arus yang badan ukurnya mempunyai ruang ukur dan cairan yang diukur menggerakkan dinding-dinding organ di dalam badan ukur yang merupakan batas ruang ukur, sehingga memungkinkan pengukuran secara kontinyu. 3. Pompa ukur BBM adalah instalasi Meter Arus lengkap yang tersusun dan merupakan kesatuan dalam satu kabinet serta umumnya digunakan untuk mengukur volume BBM yang diisikan ke dalam tangki kendaraan bermotor. 5

6 4. Instalasi Ukur adalah seluruh peralatan teknis yang mencakup semua alat ukur, alat ukur bantu dan alat-alat bantu lain yang tersusun sedemikian rupa sehingga menjadi satu rangkaian yang memenuhi persyaratan untuk pengukuran baik yang tetap maupun yang dapat dipindah-pindah. 5. Instalasi Meter Arus lengkap adalah suatu instalasi ukur yang alat ukur utamanya Meter Arus. 6. Badan ukur adalah bagian Meter Arus yang pada saat pengukuran berlangsung, bagian dalamnya dilalui sekaligus menentukan baik secara langsung maupun tidak langsung volume cairan yang sedang diukur. 7. Ruang ukur adalah ruang badan ukur yang digunakan untuk menentukan volume cairan yang diukur. 8. Badan hitung adalah bagian Meter Arus yang digunakan untuk menunjukan hasil pengukuran volume cairan yang diukur. 9. Alat hitung harga adalah bagian badan hitung yang menunjukkan jumlah harga yang harus dibayar oleh konsumen sesuai dengan harga satuan yang berlaku atas sejumlah cairan yang ditunjuk oleh alat hitung volume. 10. Alat hitung volume adalah bagian badan hitung yang menunjukkan volume cairan yang diukur. 11. Alat hitung kontinyu adalah alat hitung harga dan volume yang elemen pertamanya berputar atau bergerak kontinyu. 12. Alat hitung diskontinyu adalah alat hitung harga dan volume yang elemen pertamanya berputar atau bergerak diskontinyu. 13. Penjumlah harga adalah bagian badan hitung yang menunjukkan jumlah harga yang sesuai dengan jumlah volume yang diukur secara terus menerus. 14. Penjumlah volume adalah bagian badan hitung yang menghitung dan menunjukkan jumlah volume cairan yang diukur secara terus-menerus. 15. Penunjuk adalah bagian yang tetap atau bergerak dari badan hitung yang posisinya menunjukkan harga atau hasil pengukuran volume. 16. Skala adalah garis atau titik yang tersusun secara teratur sedemikian rupa sehingga dapat menunjukkan nilai atau besaran ukur. 17. Mata skala adalah daerah antara sumbu-sumbu dua garis skala yang berurutan. 18. Garis dasar skala adalah garis yang ditarik melalui tengah-tengah skala yang pendek. 19. Lebar mata skala adalah panjang garis yang diukur pada garis dasar skala, antara sumbu-sumbu dua skala yang berurutan. 20. Alat penjatah adalah alat bantu yang dapat disetel untuk menghentikan penyerahan secara otomatis sesuai volume yang dikehendaki. 21. Alat kompensasi suhu adalah suatu alat kompensasi untuk menentukan volume cairan (minyak bumi) dari temperatur operasional ke temperatur dasar. 22. Temperatur operasional adalah temperatur cairan ukur pada waktu pengukuran. 23. Temperatur dasar adalah temperatur yang merupakan dasar perhitungan dalam penyerahan volume cairan, ditentukan 28 C, atau apabila ditentukan lain. 24. Alat Justir adalah alat yang dapat disetel, agar kesalahan penunjukan Meter Arus yang bersangkutan ada didalam batas-batas kesalahan penunjukan yang diizinkan. 25. Cairan uji adalah jenis cairan yang digunakan pada pengujian Meter Arus yang bersangkutan. 6

7 26. Cairan ukur adalah jenis cairan yang boleh diukur volumenya oleh Meter Arus yang bersangkutan. 27. Volume uji adalah volume yang diukur oleh Meter Arus yang bersangkutan pada setiap kali pengujian. 28. Volume ukur adalah volume yang diukur oleh Meter Arus yang bersangkutan pada setiap kali pengukuran. 29. Kapasitas maksimum/minimum adalah batas kecepatan alir maksimum/minimum sesuai kemampuan mengukur Meter Arus yang bersangkutan. 30. Penyerahan minimum adalah volume terkecil yang diperkenankan untuk diukur. 31. Volume siklus adalah volume yang diukur sesuai dengan satu putaran as yang keluar dari badan ukur. 32. Elemen alat hitung adalah bagian dari alat hitung yang mempunyai skala atau berangka. 33. Elemen pertama alat hitung adalah elemen alat hitung yang mempunyai nilai skala terkecil. 34. Diameter pipa sambung adalah diameter nominal pipa masuk dan pipa keluar badan ukur Meter Arus. 35. Kecepatan alir atau debit adalah volume yang diukur oleh Meter Arus tersebut per satuan waktu. 36. Kondisi uji adalah keadaan selama pengujian berlangsung yang mencakup kecepatan alir, temperatur, tekanan dan cairan uji pada setiap kali pengujian. 37. Kondisi ukur adalah keadaan selama pengukuran volume berlangsung yang mencakup kecepatan alir, temperatur, tekanan dan cairan ukur pada setiap kali pengukuran. 38. Kesalahan penunjukan dalam persen adalah perbandingan yang dinyatakan dalam persen antara penunjukan alat hitung volume dikurangi oleh volume sebenarnya yang melalui Meter Arus, dengan volume yang disebut belakangan. 39. Koreksi penunjukan dalam persen adalah perbandingan yang dinyatakan dalam persen antara volume sebenarnya yang melalui meter dikurangi oleh penunjukan alat hitung volume, dengan penunjukan alat hitung volume. 40. Ketidaktetapan Meter Arus adalah selisih penunjukan antara dua pengujian berurutan dalam kondisi uji yang sama. 7

8 BAB II PERSYARATAN ADMINISTRASI 2.1. Ruang Lingkup Syarat teknis ini mengatur tentang persyaratan teknis dan persyaratan kemetrologian untuk Meter Arus Volumetrik Penerapan Syarat teknis ini berlaku untuk Meter Arus Volumetrik untuk bahan bakar minyak Identitas 1. Pada setiap Meter Arus harus terdapat keterangan-keterangan yang jelas terbaca dan tidak mudah terhapus dalam kondisi penggunaan Meter Arus secara wajar, yaitu: a. pada plat alat hitung dan atau pada plat tanda pengenal memberikan keterangan sebagai berikut: 1) nama dan alamat pabrik pembuat atau merek pabriknya; 2) lambang pabrik; 3) nomor seri dan tahun pembuatan; 4) model; 5) jenis cairan yang diukur; 6) kapasitas maksimum dan kapasitas minimum; 7) tekanan kerja maksimum; dan 8) interval suhu jika suhu cairan yang diukur dapat lebih rendah daripada -10 o C atau lebih tinggi daripada +50 o C. b. satuan pada plat alat hitung harus menyatakan volume yang diukur. 2. Badan hitung dapat memiliki suatu tanda dan suatu nomor pengenal khusus yang dilekatkan pada badan hitung. 3. Apabila ada kemungkinan menimbulkan kekeliruan, maka arah aliran arus dinyatakan dengan tanda panah pada selubung badan ukur Persyaratan Meter Arus Volumetrik Sebelum Peneraan 1. Meter Arus Volumetrik yang akan ditera harus memiliki Surat Izin Tipe atau Izin Tanda Pabrik. 2. Label tipe harus terlekat pada Meter Arus Volumetrik asal impor yang akan ditera. 3. Meter Arus Volumetrik yang diproduksi didalam negeri harus memiliki label yang memuat merek pabrik dan nomor Surat Izin Tanda Pabrik. 4. Meter Arus Volumetrik yang diproduksi didalam negeri harus memiliki label yang memuat merek pabrik dan nomor Surat Izin Tanda Pabrik dan label tipe untuk Meter Arus Volumetrik asal impor sebelum ditera. 5. Meter Arus Volumetrik yang akan ditera ulang harus sudah ditera sebelumnya. 8

9 BAB III PERSYARATAN TEKNIS DAN PERSYARATAN KEMETROLOGIAN 3.1. Persyaratan Teknis 1. Badan Hitung a. Umum 1) Alat hitung yang mempunyai satu atau beberapa elemen yang bergerak harus menunjukkan volume dalam satuan yang diizinkan. 2) Pembacaan alat hitung harus pasti dan mudah serta apabila alat hitung tersebut mempunyai beberapa elemen, pemasangannya harus dilakukan sedemikian rupa, sehingga pembacaan hasil pengukuran dapat dilakukan secara mudah dengan membaca deretan angka-angka dari berbagai elemen tersebut. 3) Nilai skala elemen pertama alat hitung harus dalam bentuk 1.10 n, 2.10 n atau n dalam satuan volume yang diizinkan dan n bilangan bulat. 4) Penunjukan maksimum alat hitung harus dalam bentuk 1.10 n, n atau n dalam satuan volume yang diizinkan dan n bilangan bulat. 5) Apabila skala dari elemen alat hitung seluruhnya terlihat, maka nilai satu putaran dari elemen alat hitung tersebut harus dalam bentuk 10 n satuan volume yang diizinkan. Ketentuan ini tidak berlaku untuk elemen alat hitung yang sesuai penunjukan maksimumnya. 6) Pada alat hitung yang mempunyai beberapa elemen yang seluruh garisgaris skalanya terlihat, nilai tiap satu putaran elemen pertama yang bergerak harus sama dengan nilai satu mata skala dari elemen kedua berikutnya dan seterusnya. b. Alat Hitung 1) Suatu elemen dari alat hitung dapat bergerak kontinyu atau diskontinyu tetapi apabila elemen-elemen yang bukan elemen pertama sebagian saja dari skalanya yang terlihat melalui jendela-jendela, maka elemen-elemen itu harus bergerak diskontinyu kecuali elemen pertamanya diperkenankan bergerak kontinyu maupun diskontinyu. 2) Suatu elemen yang bergerak kontinyu harus mempunyai skala bergaris dan suatu penunjuk yang memungkinkan penentuan nilai yang diukur pada saat perputaran elemen tersebut di atas berhenti. 3) Apabila elemen yang disebut pada angka 2) berbentuk skala melingkar yang tetap dan sebuah jarum penunjuk yang berputar, maka arah putaran jarum harus searah dengan putaran jarum jam. 4) Dalam suatu alat hitung yang mempunyai beberapa elemen, bergerak majunya angka sebuah elemen yang bergerak diskontinyu harus berhenti ketika elemen yang sebelumnya menunjuk angka nol kecuali elemen pertama. Gerak maju suatu elemen harus berhenti pada waktu elemen yang sebelumnya melakukan gerakan putar tidak lebih dari sepersepuluh putaran. 5) Apabila gerakan elemen pertama alat hitung adalah diskontinyu, maka diizinkan penempatan satu atau beberapa angka nol di sebelah kanan elemen pertama. 9

10 6) Apabila alat hitung terdiri atas gabungan antara elemen yang disebut pada angka 3) dengan beberapa elemen yang bergerak diskontinyu, maka di sebelah kanan elemen terakhir dari deretan elemen yang bergerak diskontinyu ini dapat ditempatkan satu atau beberapa angka nol sehingga tiap angka pada elemen terakhir tersebut mempunyai nilai yang sama dengan satu putaran penuh dari jarum penunjuk yang dimaksud pada angka 3) serta elemen yang berbentuk skala melingkar yang tetap dengan sebuah jarum penunjuk yang berputar tersebut berfungsi sebagai elemen pertama. c. Skala 1) Tebal garis skala tidak boleh melebihi seperempat lebar mata skala. 2) Garis-garis skala yang menunjukan nilai sebesar kelipatan 1.10 n, n atau n dalam satuan volume yang diizinkan dan n merupakan bilangan bulat, hanya dibedakan oleh panjangnya. 3) Lebar yang sebenarnya suatu mata skala atau yang setelah diperbesar secara optik tidak boleh kurang dari 2 mm. 4) Tinggi angka-angka yang sebenarnya atau yang setelah diperbesar secara optik tidak boleh kurang dari 4 mm. 5) Apabila elemen pertama alat hitung mempunyai gerak kontinyu dan mempunyai suatu skala bergerak yang hanya untuk sebagian terlihat melalui sebuah jendela, maka panjang jendela tersebut ke arah perpindahannya skala harus sekurang-kurangnya 1,5 kali jarak antara dua garis skala angka berurutan. d. Gerakan Alat Hitung Bergeraknya alat hitung oleh badan ukur harus tepat dan dapat tahan lama serta dilakukan dengan menggunakan suatu alat hubung mekanis atau dengan suatu alat magnetis permanen. 2. Badan Ukur a. Badan ukur harus tahan terhadap tekanan sesuai dengan spesifikasinya yang minimal 10 kg/cm 2. b. Badan ukur harus tahan terhadap pengaruh dari suhu dan cairan yang diukur. c. Badan ukur tidak boleh ada kebocoran pada tekanan pemakaian. 3. Alat Justir a. Alat justir dapat berupa alat penyetel ruang ukur atau penyetel pada penghantar antara badan ukur dan badan hitung. b. Meter Arus harus dilengkapi alat justir yang dapat mengubah perbandingan antara volume yang ditunjuk oleh alat hitung dengan volume yang sebenarnya dari yang diukur serta alat justir tersebut dapat berupa konstruksi roda gigi khusus yang dapat diubah-ubah susunannya serta sudah terpasang dalam Meter Arus yang bersangkutan. c. Apabila alat justir tersebut mengubah perbandingan dimaksud secara diskontinyu, maka nilai-nilai perubahan perbandingan yang berurutan tidak boleh berbeda lebih daripada 0,2 %. d. Penjustiran dengan cara penyadapan tidak diperkenankan e. Meter Arus untuk kontrol dalam perusahaan boleh tidak dilengkapi dengan alat justir. 10

11 4. Penyerahan Minimum a. Penyerahan minimum harus ditetapkan sebagai berikut: 1) apabila elemen pertama alat hitung bergerak kontinyu volume yang sama dengan 100 kali volume yang sesuai dengan 2 mm dari lebar mata skala atau volume yang sesuai dengan 20 kali nilai skala, volume-volume tersebut dipilih yang terbesar; dan 2) apabila elemen pertama alat hitung bergerak diskontinyu volume yang sesuai dengan nilai 200 mata skala. b. Nilai penyerahan minimum yang ditentukan berdasarkan cara-cara tersebut di atas harus berbentuk 1.10 n, n atau n dalam satuan volume yang diizinkan dan n merupakan bilangan bulat. 5. Alat Perlengkapan Meter Arus dapat dilengkapi dengan alat-alat perlengkapan, akan tetapi alat-alat tersebut tidak mempengaruhi sifat-sifat kemetrologian Meter Arus yang bersangkutan atau pengaruhnya relatif kecil sekali dan dapat diabaikan, kecuali Meter Arus yang dilengkapi dengan alat kompensasi. a. Alat pengenol (zero setting) 1) Badan hitung harus dilengkapi dengan alat pengenol. 2) Meter Arus untuk kontrol dalam perusahaan boleh tidak dilengkapi alat pengenol. 3) Pada alat hitung kontinyu, apabila terdapat penunjukan sisa setelah dikembalikan pada angka nol, maka selisih maksimum yang diizinkan antara penunjukan tersebut dengan penunjukan nol tidak boleh melebihi setengah nilai mutlak kesalahan maksimum yang diizinkan bagi penyerahan minimum dan tidak melebihi seperlima nilai mata skalanya. 4) Pada alat hitung diskontinyu, setelah penunjukannya dikembalikan ke angka nol, maka penunjukan harus betul-betul nol, tanpa menimbulkan keragu-raguan. b. Penjumlah volume 1) Badan hitung yang dilengkapi dengan alat pengenol harus dilengkapi pula dengan penjumlah volume. 2) Penjumlahan volume tidak boleh mempunyai alat pengenol. 3) Penunjukan penjumlahan volume harus merupakan deretan angka. 4) Satuan penunjukan penjumlah volume harus disebut dan harus sesuai dengan ketentuan yang pada angka 1 huruf a angka 1). 5) Nilai mata skala elemen pertama penjumlah volume harus berbentuk 1.10 n, n atau n dalam satuan volume yang diizinkan dan n bilangan bulat serta nilai mata skala elemen pertama tersebut harus sama atau lebih besar dari pada nilai mata skala elemen pertama alat hitung volume. 6) Penjumlah volume dipasang sedemikian rupa, sehingga penunjukannya dapat dibaca oleh yang berkepentingan. 7) Apabila dimungkinkan untuk melihat penunjukan penjumlah volume dan alat hitung volume pada waktu yang bersamaan, maka ukuran angka penjumlah volume tidak boleh lebih besar daripada setengah ukuran angka pada alat hitung volume. 11

12 c. Badan hitung yang mempunyai alat hitung ganda 1) Badan hitung dapat mempunyai beberapa alat hitung. 2) Apabila skala dari masing-masing alat hitung dapat mempunyai nilai yang berbeda-beda, maka penyerahan minimum harus ditetapkan berdasarkan alat hitung yang mata skalanya terbesar. 3) Untuk seluruh volume yang diukur berdasarkan penunjukan dari alat hitung yang berbeda, tidak boleh berselisih lebih besar daripada nilai mutlak kesalahan maksimum yang diizinkan terhadap penyerahan minimum. d. Alat hitung harga 1) Alat hitung volume dengan sederetan angka dan dengan alat pengenol dapat dilengkapi dengan suatu alat hitung harga yang juga terdiri dari deretan angka dengan alat pengenol dan sebagai satuan harga adalah harga per satuan volume. 2) Harga satuan harus dapat diatur dan harga satuan-satuan yang dipilih harus ditunjukan oleh suatu alat penunjuk. 3) Alat pengatur penunjukan harga harus dikaitkan pada alat hitung harga sedemikian rupa sehingga harga yang ditunjukan yang menyatakan harga volume yang diukur harus selalu sama dengan hasil kali harga satuan yang dipilih dengan volume yang ditunjuk. 4) Ketentuan yang berhubungan dengan alat hitung kontinyu, begitu pula persyaratan pada huruf a, b, dan c harus diterapkan secara analog terhadap alat hitung harga kecuali persyaratan pada huruf a angka 3) yang berkenaan dengan pengembalian ke angka nol diatur dalam angka 10). 5) Ukuran dari angka-angka alat hitung harga tidak boleh melebihi ukuran angka-angka alat hitung volume. 6) Sebutan rupiah (Rp) harus tercantum pada alat hitung harga. 7) Alat pengenol pada alat hitung harga dan alat hitung volume harus dibuat sedemikian rupa, sehingga secara otomatis dapat mengembalikan kedua penunjukan ke angka nol. 8) Putaran alat hitung harga : a) Apabila berputarnya elemen pertama alat hitung harga adalah kontinyu, maka harga suatu volume yang sama dengan nilai mutlak kesalahan maksimum yang diizinkan terhadap penyerahan minimum harus sekurang-kurangnya sama dengan seperlima harga mata skala elemen pertama alat hitung harga, akan tetapi tidak lebih rendah daripada harga yang sesuai dengan suatu interval sebesar 2 mm pada skala elemen pertama tersebut. b) Apabila berputarnya elemen pertama pada alat hitung harga diskontinyu, maka harga suatu volume yang sama dengan nilai mutlak kesalahan maksimum yang diizinkan terhadap penyerahan minimum harus sekurang-kurangnya sama dengan dua loncatan mata skala alat hitung harga. 9) Dalam kondisi pemakaian biasa, selisih antara harga yang ditunjuk dan harga yang dihitung dengan cara mengalikan harga satuan dengan volume yang ditunjuk tidak boleh melampaui harga cairan yang sama dengan nilai mutlak kesalahan maksimum yang diizinkan bagi penyerahan minimum. 12

13 10) Pada alat hitung harga dengan penunjukan kontinyu, apabila terdapat penunjukan sisa setelah dikembalikan pada angka nol, maka selisih maksimum yang diizinkan antara penunjukan tadi dengan penunjukan nol sama dengan setengah harga suatu volume yang sama dengan nilai mutlak kesalahan maksimum yang diizinkan bagi penyerahan minimum dan tidak melebihi seperlima mata skala elemen pertama alat hitung harga. 11) Pada suatu alat hitung harga dengan penunjukan diskontinyu, setelah penunjukan dikembalikan pada angka nol, maka penunjukannya harus benar-benar nol tanpa menimbulkan keragu-raguan. e. Alat pencap volume dan atau harga 1) Sebuah alat pencap untuk angka volume dapat dipasang pada suatu badan hitung. 2) Nilai mata skala pencapan harus dalam bentuk 1.10 n, n atau n satuan volume yang diizinkan dan n adalah bilangan bulat serta nilai tersebut di atas setinggi-tingginya sama dengan nilai mutlak kesalahan maksimum yang diizinkan bagi penyerahan minimum dan harus dicantumkan pada badan alat pencap. 3) Angka-angka satuan yang dipakai atau lambangnya dan jika perlu tanda komanya harus dicapkan oleh alat pencap di atas kartu. 4) Selain dari itu alat pencap dapat mencap keterangan singkat dari penyerahan yang dilakukan misalnya: nomor urut, tanggal, tempat pengukuran, sifat cairan dan sebagainya. 5) Apabila alat pencap dapat mengulangi pencapannya sebelum sesuatu penyerahan baru dimulai, maka hasil pencapan ulang tersebut harus sepenuhnya sesuai dan mempunyai nomor urut yang sama. 6) Terhadap volume yang ditentukan berdasarkan selisih antara dua nilai yang dicapkan atau bahkan apabila salah satu diantaranya dinyatakan oleh angka nol, maka haruslah tidak mungkin untuk menarik kartu dari alat pencap kartu selama pengukuran berlangsung. 7) Apabila alat pencap dan alat hitung masing-masing mempunyai sebuah alat yang mengembalikan penunjukan pada angka nol, maka alat ini harus dibuat sedemikian rupa, sehingga pengembalian pada angka nol dari salah satu menyebabkan pengembalian pada angka nol dari yang lainnya. 8) Selisih antara volume yang ditunjuk dan volume yang dicapkan tidak melampaui nilai satu mata skala pencapan. 9) Alat pencap, selain dapat mencapkan besarnya volume yang diukur, juga dapat mencapkan harganya termasuk harga satuannya dan untuk penjualan langsung pada umum, alat pencap dapat juga hanya mencapkan harga yang harus dibayar, apabila alat tersebut dihubungkan dengan alat hitung harga yang dapat dilihat oleh pembeli. Sedangkan angka rupiah (Rp) dan komanya harus dicapkan oleh alatalat tersebut serta angka-angka pencapan harga harus mempunyai ukuran paling besar sama dengan ukuran angka-angka pencapan volume. 10) Nilai mata skala pencapan harga harus dalam bentuk 1.10 n, n atau n dalam satuan rupiah dan n adalah bilangan bulat serta nilai mata skala pencapan harga tersebut di atas tidak boleh melampaui harga suatu volume cairan yang sama dengan nilai skala mutlak kesalahan 13

14 maksimum yang diizinkan bagi penyerahan minimum yang tercantum pada plat skala alat hitung. 11) Badan hitung yang dilengkapi alat pencap dan atau alat hitung harga: a) Apabila badan hitung dilengkapi dengan alat hitung harga, maka selisih antara harga yang ditunjuk dan harga yang dicapkan tidak boleh melampaui nilai mata skala pencapan. b) Apabila badan hitung tidak dilengkapi dengan alat hitung harga, maka selisih antara harga yang dicapkan dan harga yang dihitung berdasarkan volume yang ditunjukkan dan harga satuan, harus memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam huruf d angka 9). f. Alat penjatah volume dan alat penjatah harga 1) Badan hitung dapat dilengkapi dengan alat penjatah volume. 2) Volume yang diinginkan ditentukan lebih dahulu dengan cara menyetel suatu alat berskala yang mempunyai tanda batas atau menyetel alat berangka yang dapat menunjuk volume yang diinginkan. 3) Apabila bekerjanya suatu alat penjatah volume dilakukan dengan memakai beberapa alat pengatur yang satu sama lain tidak ada hubungannya, maka nilai mata skala yang berkenaan dengan suatu alat pengatur harus sama dengan nilai mata skala dari alat pengatur berikutnya. 4) Alat penjatah volume boleh diatur sedemikian rupa, sehingga untuk mengulangi penyerahan volume yang dipilih tidak perlu menyetel alat pengaturnya lagi. 5) Apabila dimungkinkan melihat secara bersamaan angka yang ditunjukkan oleh alat penjatah volume dan angka yang ditunjukkan oleh alat hitung volume, maka angka-angka yang disebut pertama harus dapat dibedakan secara jelas daripada yang disebut kemudian, dengan syarat ukuran-ukuran angka yang disebut pertama harus lebih kecil. 6) Alat penjatah dapat mempunyai konstruksi yang kedudukan penunjukannya tetap selama pengukuran berlangsung, dapat pula mempunyai mempunyai konstruksi yang kedudukan penunjukannya berangsur-angsur kembali ke angka nol. 7) Dalam kondisi pemakaian yang biasa, selisih yang terdapat antara volume yang dijatahkan dan volume yang ditunjukkan oleh alat hitung pada akhir pelaksanaan pengukuran tidak boleh melampaui setengah nilai mutlak dari kesalahan maksimum yang diizinkan bagi penyerahan minimum. 8) Volume yang dijatahkan dan volume yang ditunjukkan oleh alat hitung harus dinyatakan dengan satuan yang sama. Satuan ini atau lambangnya harus dicantumkan pada alat penjatah. 9) Nilai mata skala terkecil dari alat penjatah tidak boleh lebih kecil daripada nilai mata skala elemen pertama alat hitung. 10) Jika dianggap perlu, maka alat penjatah boleh dilengkapi dengan alat yang dapat menghentikan cairan secara mendadak. 11) Apabila sebuah alat penjatah dilengkapi dengan alat untuk memperlambat debit aliran pada akhir pengukuran, maka untuk mencegah penyetelan secara tidak sah, pada alat perlengkapan tersebut harus disediakan tempat-tempat penyegelan. 14

15 12) Ketentuan pada angka 7) dan angka 11) tidak berlaku bila suatu alat pencap kartu dipasang pada Meter Arus, tetapi alat penjatahnya tidak terlihat oleh umum. 13) Meter Arus yang dilengkapi dengan alat hitung harga dapat pula dilengkapi dengan alat penjatah harga yang menghentikan mengalirnya cairan jika harga yang ditunjuk telah sesuai dengan harga yang telah disetel sebelumnya. Persyaratan pada angka 2) sampai dengan angka 12) berlaku juga untuk alat penjatah harga. g. Alat kompensasi suhu 1) Alat kompensasi suhu hanya boleh dipasang pada Meter Arus yang menunjukkan volume ukurnya pada suhu dasar. 2) Alat kompensasi suhu harus mempunyai bulb sebagai sensor suhu dan boleh dilengkapi dengan gravity selector untuk memilih specific gravity yang sesuai dengan cairan ukurnya. 3) Pada alat kompensasi suhu harus terdapat keterangan-keterangan yang jelas terbaca dan tidak mudah terhapus mengenai: a) merek; b) model/tipe; dan c) nomor seri/tahun pembuatan. 4) Alat kompensasi suhu dipasang di antara badan ukur dan badan hitung volume. 5) Meter Arus yang dilengkapi dengan alat kompensasi suhu dapat ditambah dengan alat penunjuk volume ukur pada suhu operasional. 6) Alat kompensasi suhu diuji tersendiri. 6 Instalasi Ukur a. Instalasi ukur harus mempunyai perlengkapan untuk memisahkan dan menampung zat-zat padat yang mengotori cairan antara lain penampung lumpur, saringan dan sebagainya. b. Instalasi ukur harus dilengkapi dengan alat pemisah udara untuk memisahkan gas atau udara yang terbawa oleh cairan. Alat pemisah udara tersebut dapat ditiadakan, jika cairan disalurkan ke Meter Arus dengan cara gerak jatuh (gravitasi), atau pada instalasi ukur untuk cairan yang kental (minyak pelumas), apabila kemungkinan pencampuran gas atau udara ke dalam cairan dapat dicegah secara sempurna. c. Instalasi ukur dengan kapasitas kurang dari 100 l/min harus dilengkapi dengan gelas penglihat untuk mengamati dengan mudah gas atau udara yang terbawa oleh cairan. Gelas penglihat tidak diperlukan, jika dinding dari ruang ukurnya tembus cahaya, atau pada instalasi ukur dari tangki ukur yang penyerahannya dilakukan dengan cara gerak jatuh dan kemungkinan tercampurnya gas atau udara di dalam dapat diatasi dengan pemasangan peralatan lain yang sesuai. Gelas penglihat harus dibuat sedemikian rupa, sehingga gelembung-gelembung gas atau udara yang terbawa dalam cairan dapat terlihat, walaupun pada kecepatan alir maksimum. Pada instalasi ukur yang besar dapat juga diizinkan alat penunjuk gas yang dilengkapi dengan alat pemberi tanda secara optik atau akustik. d. Instalasi ukur untuk penyerahan yang memerlukan waktu lama harus dilengkapi dengan suatu alat penampung gas yang menampung sebagian dari gas atau udara yang mungkin terbawa dalam cairan. 15

16 e. Saluran-saluran penyerahan harus disusun sedemikian rupa, sehingga dapat dijamin bahwa volume cairan yabg diukur dapat diserahkan secara keseluruhan, baik melalui satu cabang maupun beberapa cabang, akan tetapi pencabangan saluran penyerahan diizinkan apabila dapat diatur sedemikian rupa sehingga dapat ditampung cairan hanya dari satu cabang penyerahan saja. Pada instalasi ukur yang bekerjanya dengan sistem slang penyerahan penuh, maka bagian yang lemas dari saluran penyerahan harus dibuat sedemikian rupa dan sewaktu tidak digunakan dapat ditempatkan sehingga udara yang ada di dalamnya dapat dijamin akan terkumpul di suatu gelas penglihat dan selanjutnya dapat dikeluarkan lewat suatu kran pelepas. f. Instalasi ukur harus dilengkapi dengan perlengkapan yang cocok atau sesuai untuk memberikan batasan yang tidak meragukan pada cairan yang diukur, seperti perlengkapan penutupan aliran yang diatur secara baik dan gelasgelas pelimpah. g. Instalasi ukur, jika pada penggunaannya terdapat kemungkinan bahwa cairannya dapat mengalir balik, maka antara alat pemisah gas dan Meter Arus harus dipasang suatu katup penahan aliran balik. h. Instalasi ukur harus dibangun sedemikian rupa, sehingga pengujianpengujian yang harus dilaksanakan, demikian juga pembubuhan tanda-tanda tera dapat dilakukan dengan mudah. i. Jika kemampuan pompa yang dimiliki instalasi ukur begitu besar sehingga dapat memompa cairan dengan kecepatan alir yang melebihi 120% dari kapasitas maksimum Meter Arus tersebut, maka suatu alat pengatur harus dipasang sebelum instalasi ukur, dengan maksud agar Meter Arus terhindar dari pembebanan lebih. Aturan ini juga berlaku untuk instalasi gerak jatuh. j. Alat-alat instalasi ukur harus disusun menurut urutan sesuai dengan gambar 3.1 di bawah ini : Gambar 3.1 Alat-Alat Instalasi Ukur P S AE PG M G K = Pompa (agar dibuatkan bypass). = Saringan (boleh di depan pompa). = Pemisah udara/gas. = Penampung gas. = Meter Arus Volumetrik = Gelas penglihat = Kran/nozzle (pistol kran) 16

17 3.2. Persyaratan Kemetrologian 1. Batas kesalahan penunjukan instalasi Meter Arus lengkap a. Batas kesalahan penunjukan yang diizinkan pada pengujian pertama terhadap suatu instalasi Meter Arus lengkap dalam kondisi ukur yang lazim, tercantum dalam tabel 3.1 di bawah ini : Tabel 3.1 Batas Kesalahan Penunjukan Volume Ukur (liter) Batas Kesalahan Penunjukan 0,02 sampai 0,1 ± 2 ml 0,1 sampai 0,2 ± 2 % dari volume ukur 0,2 sampai 0,4 ± 4 ml 0,4 sampai 1 ± 1 % dari volume ukur 1 sampai 2 ± 10 ml 2 lebih ± 0,5 % Batas kesalahan penunjukan untuk penyerahan minimum adalah dua kali dari nilai tersebut di atas untuk volume ukur yang bersangkutan. Untuk penyerahan cairan yang lebih besar dari penyerahan minimum tersebut di atas, batas kesalahan penunjukan sesuai dengan tabel di atas tetapi tidak lebih kecil daripada batas kesalahan penunjukan pada penyerahan minimum. b. Batas kesalahan penunjukan untuk: 1) instalasi Meter Arus gas yang dicairkan; 2) instalasi Meter Arus bagi cairan yang diukur pada suhu lebih rendah dari pada -10 C atau lebih tinggi dari pada +50 C; dan 3) instalasi ukur yang kecepatan alir minimumnya tidak melebihi 1 (satu) liter per jam. adalah dua kali dari apa yang ditetapkan dalam huruf a tabel 3.1. c. Jika di dalam batas-batas kemampuan instalasi ukur, kesalahan penunjukan yang diakibatkan oleh perubahan kecepatan alir pada penyerahan volume tertentu kesemuanya bertanda sama (positif semua atau negatif semua), maka sekurang-kurangnya satu dari kesalahan penunjukan ini sama atau lebih kecil daripada nilai setengah kesalahan penunjukan maksimum yang diizinkan untuk volume ukur yang bersangkutan. 2. Batas kesalahan penunjukan Meter Arus tersendiri a. Meter Arus Kerja Batas kesalahan penunjukan pada tera maupun tera ulang untuk Meter Arus kerja tersendiri berlaku batas kesalahan sebagaimana ditetapkan dalam angka 1 huruf a. Diisyaratkan pula bahwa kesalahan penunjukan selain harus memenuhi persyaratan pada angka 1 huruf a, b, dan c, harus mempunyai kurva kesalahan penunjukan untuk masing-masing kondisi uji yang bersangkutan yang tidak boleh cenderung meningkat terus atau menurun terus. b. Meter Arus Induk Batas kesalahan maksimum yang diizinkan pada tera maupun tera ulang adalah kurang lebih 0,2 % untuk setiap kondisi uji. 17

18 Disyaratkan pula bahwa kesalahan penunjukan untuk masing-masing kondisi uji yang bersangkutan tidak boleh cenderung meningkat terus atau menurun terus. 3. Ketidaktetapan a. Meter Arus Kerja Batas terbesar ketidaktetapan yang diizinkan untuk Meter Arus kerja dalam kondisi uji adalah sama dengan 0,1%, dengan catatan bahwa pengujian yang dilakukan dalam masing-masing kondisi uji tersebut harus sekurangkurangnya tiga kali. b. Meter Arus Induk Batas terbesar ketidaktetapannya adalah 0,05 %, dengan catatan bahwa pengujian yang dilakukan dalam masing-masing kondisi uji tersebut harus sekurang-kurangnya tiga kali. 4. Batas kesalahan dan ketidaktetapan alat kompensasi suhu Batas kesalahan terbesar rata-rata pada tera maupun tera ulang untuk alat kompensasi suhu adalah ± 0,1 %, sedangkan batas ketidaktetapan maksimum yang diizinkan adalah 0,05 %, dengan catatan bahwa pengujian yang dilakukan dalam masing-masing kondisi uji tersebut harus sekurang-kurangnya tiga kali. 5. Cairan Uji Meter Arus yang berfungsi untuk mengukur bahan bakar minyak (premium, minyak tanah, dan solar), pengujiannya selain dengan cairan ukurnya juga dapat dilakukan dengan premium, minyak tanah atau solar. Mengenai batas kesalahan penunjukannya berlaku nilai-nilai dalam tabel 3.2. Karena kesalahan penunjukan Meter Arus sedikit banyak tergantung pada cairan uji yang digunakan, maka kesalahan penunjukannya ditetapkan seperti pada tabel 3.2 di bawah ini. Tabel 3.2 Batas Kesalahan Penunjukan Untuk Cairan Uji No Pada pengujian dengan Batas kesalahan penunjukan untuk cairan uji sama dengan cairan ukurnya Batas kesalahan penunjukan untuk cairan uji berbeda dengan cairan ukurnya (1) (2) (3) 1 Bensin ± 0,5 % -0,5 sampai +0,4 % 2 Minyak tanah ± 0,5 % -0,4 sampai +0,4 % 3 Solar ± 0,5 % -0,4 sampai +0,5 % 18

19 BAB IV PEMERIKSAAN DAN PENGUJIAN 4.1. Pemeriksaan Pemeriksaan Meter Arus dilakukan untuk memastikan bahwa Meter Arus memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan dalam syarat teknis ini. 4.2 Pengujian Tera dan Tera Ulang 1. Ketentuan umum Pada waktu melakukan pengujian, alat yang menutup dan membuka mengalirnya cairan harus dapat dibuka dan ditutup secara teratur tidak mendadak. Dalam segala hal harus diusahakan agar cara pembukaan dan penutupan kran tidak berpengaruh besar terhadap hasil pengukurannya. Kran harus menggunakan kran cepat. Pada saat akan berakhirnya penakaran, kran penyerahan harus ditutup secara teratur tanpa mempertimbangkan bahwa Meter Arus harus berhenti bekerja pada suatu penunjukan tertentu. Suatu cara untuk menutup kran penyerahan dengan mendadak, khususnya pada instalasi ukur dengan pipa-pipa yang besar diameternya atau panjang salurannya, harus dihindarkan karena sentakan tekanan yang timbul dapat merusak instalasi. Pengukuran volume yang lewat pada umumnya dilakukan dengan bejana ukur. Pada cairan yang berbuih banyak seperti solar, maka pada pengujian dengan kecepatan alir tinggi harus diusahakan tindakan pencegahan dengan menggunakan bejana ukur bercorong untuk menghindarkan tertumpahnya buih, yang berarti menghindarkan kesalahan pengukuran. Jika tidak terdapat bejana ukur yang bercorong dapat pula digunakan bejana ukur yang berpenampung. Setelah pengukuran berakhir, maka yang tertampung dalam penampung tersebut diukur dengan takaran standar. Pengukuran seperti ini akan menambah kesalahan, sedapat mungkin harus dihindari. 2. Pengujian Meter Arus dengan alat hitung diskontinyu: a. Cairan uji Pengujian sedapat mungkin dilaksanakan dengan cairan uji yang sama dengan cairan ukurnya. b. Pengujian untuk menentukan kesalahan penunjukan dari Meter Arus dilakukan pengujian dengan berbagai kecepatan alir, yaitu : 1) pada kecepatan alir maksimum dan minimum; dan 2) pada kecepatan alir yang sedang (sesuai pemakaian). Bagi Meter Arus yang memiliki alat pengenol dan alat penjatah volume, maka pada waktu pengujian alat-alat tersebut harus digunakan. c. Pengujian alat hitung 1) Pada pengujian kebenaran alat hitung yang harus diamati adalah: Jika terdapat alat pengenol, maka alat ini tidak perlu dipergunakan untuk tiap-tiap pengukuran. 19

20 Sebelum pengujian Meter Arus harus dialiri cairan lebih dahulu, sehingga jarum (bagi alat hitung tromol, tromol kedua dari belakang) sedikit-dikitnya berputar satu kali. Jika badan hitung dilengkapi penjumlah, maka alat ini harus diamati apakah mengaitnya tromol-tromol angka sudah betul. Untuk ini dilewatkan cairan secukupnya sehingga pengaitan tromol angka kedua dari belakang telah terjadi. Dalam hal pengaitan secara beruntun selama pengujian yang dilakukan tidak terlaksana, maka diluar pengujian harus dilewatkan cairan secukupnya sehingga pengaitan secara beruntun terjadi. 2) Pada Meter Arus dengan pembacaan dua sisi harus juga diamati apakah penunjukan pada kedua sisinya cocok satu sama lain. d. Pengujian alat penjatah volume 1) Pengujian alat penjatah volume dilaksanakan dengan menghubungkannya dengan urutan pengujian pada angka 2 huruf b, serta tiga pengujian khusus lainnya, sebagaimana disebut pada angka 2) di bawah ini. 2) Pengujian khusus harus dilaksanakan pada kecepatan alir sedang (lebih kecil dari kecepatan alir maksimum). Untuk ini alat penjatah harus disetel pada volume: a) kira-kira 0,9 dari kemampuan alat penjatah; b) kira-kira 0,5 dari kemampuan alat penjatah; dan c) kira-kira 0,2 dari kemampuan alat penjatah. Meskipun demikian, pada alat penjatah yang mempunyai kemampuan menjatah yang besar sekali dapat diuji dengan volume uji yang lebih kecil daripada menurut persyaratan tersebut di atas. e. Pengujian alat penghitung harga 1) Terhadap alat hitung harga yang memiliki hanya satu harga satuan tidak diperlukan pengujian kebenaran yang khusus. 2) Terhadap Meter Arus yang dilengkapi dengan alat hitung harga yang memiliki harga satuan yang dapat disetel, maka alat hitung harganya harus diuji. 3) Pengujian sering dilakukan pada kecepatan alir tertinggi dan pada setengah harga satuan tertinggi. Pada semua pengujian dengan kecepatan alir tinggi karenanya harus disetel harga satuan tertinggi, sebaliknya pada pengujian dengan kecepatan alir yang lebih rendah disetel harga pokok yang berlaku. Pengujian-pengujian ini boleh digabungkan dengan urutan pengujian pada angka 2 huruf b, angka 2 huruf c dan angka 2 huruf d. Harga yang ditunjuk tidak boleh berbeda lebih dari yang ditetapkan oleh peryaratan pada bab III sub bab 3.1 angka 5 huruf d angka 9). f. Pengujian alat pencap kartu a) Pencapan pada kartu dilakukan sewaktu-waktu. Hasil pencapan harus sesuai dengan penunjukan alat hitung volume dan jika dianggap perlu dengan penunjukan alat hitung harga. 20

21 b) Pada alat pencap kartu yang dihubungkan dengan alat penjatah volume, harus diuji bahwa pencapan hanya dapat terlaksana jika volume yang dijatah telah diserahkan. Hasil pencapan dan angka penjatah volume harus sesuai. g. Formulir pengujian Untuk mencatat hasil pengujian digunakan formulir uji sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1 (UAM 1) atau Lampiran 2 (UAM 2) atau Lampiran 3 (UAM 3). 3. Pengujian Meter Arus dengan alat hitung kontinyu a. Cairan uji Pengujian dilakukan sedapat mungkin dengan cairan uji yang sama dengan cairan ukurnya. b. Dalam rangka pengujian Meter Arus diperkenankan untuk menguji beberapa Meter Arus yang sama kapasitasnya dan konstruksinya secara seri dalam suatu tempat pengujian. c. Penentuan kesalahan penunjukan 1) Untuk menentukan kesalahan penunjukan Meter Arus harus dilakukan pengujian-pengujian dengan kecepatan alir yang berbeda-beda, yaitu: a) pengujian pada kapasitas minimum; b) pengujian pada kira-kira 1,5 sampai 2,5 kali kapasitas minimum; c) pengujian pada kira-kira 0,5 sampai 0,75 kali kapasitas maksimum; dan d) pengujian pada kapasitas maksimum. Jika pengujian pada kapasitas maksimum tidak dapat tercapai, maka pengujian dilakukan pada kecepatan alir yang dapat dicapai, akan tetapi serendah-rendahnya pada 75% dari kapasitas maksimumnya. 2) Volume ujinya harus dipilih sedemikian rupa, sehingga: a) pada Meter Arus dengan jarum berputar atau jarum dan tromol atau cakram berputar: (1) banyaknya waktu yang diperlukan untuk pengujian paling sedikit satu menit; (2) jarum atau cakram yang berputar tercepat melakukan putaran paling sedikit tiga kali; dan (3) volume ujinya paling sedikit 1 liter. b) pada Meter Arus dengan penunjukan berupa tromol penghitung, maka: (1) banyaknya waktu yang diperlukan untuk pengujian paling sedikit satu menit; (2) tromol angka yang berputar tercepat melakukan putaran paling sedikit tiga kali; (3) banyaknya cairan uji paling sedikit tiga kali lipat dari besarnya penyerahan minimum yang berlaku bagi Meter Arus tersebut; dan (4) volume ujinya paling sedikit 1 liter. 21

22 3) Meter Arus yang dilengkapi dengan alat pengenol atau alat penjatah volume diuji dengan mengikutsertakan alat pelengkap ini jika besarnya volume uji adalah sama atau lebih dari besarnya penyerahan minimum. Ketidaktetapan yang timbul sewaktu pengembalian penunjukan ke nol tidak perlu diperhitungkan, jika penyimpangan dari kedudukan nolnya tidak melebihi batas kesalahan penunjukan bagi pengujian untuk penyerahan minimumnya. 4) Jika pengujian dilakukan dengan cairan uji yang sama dengan cairan ukurnya, maka untuk semua kecepatan alir kesalahan penunjukannya tidak boleh lebih besar dari pada ± 0,5 % dari volume yang dialirkan/ diserahkan. Bagi Meter Arus yang digunakan untuk minyak ringan harus diperhatikan persyaratan pada bab III sub bab 3.2 angka 5. Jika pengujian dilakukan dengan cairan uji lain, maka untuk pengujian ini harus ditentukan batas kesalahan penunjukan lain. Penetapannya dilakukan secara insindental oleh Direktorat Metrologi. d. Pengujian penyerahan minimum 1) Pengujian penyerahan minimum dilakukan pada kecepatan alir yang sedang. Pada Meter Arus dengan alat pengenol, pengujiannya dilakukan dengan menggunakan alat ini. Jika terdapat alat pengenol dan alat penjatah bersama-sama, maka dalam pengujian digunakan pula kedua alat ini. Harus diperhatikan bahwa pada masing-masing pengujian, kecepatan alirnya tidak boleh banyak berbeda satu sama lain. 2) Volume ujinya sama dengan volume terkecil yang boleh diserahkan. Pengukuran dilakukan 5 (lima) kali. 3) Batas kesalahan penunjukan yang berlaku untuk pengujian pada penyerahan minimum berlaku persyaratan pada bab III sub bab 3.2 angka 1 huruf a. 4) Pada Meter Arus yang memiliki alat hitung dengan plat jarum atau alat hitung dengan plat angka berputar atau alat hitung dengan tromol angka, maka untuk penyimpangan dari masing-masing hasil pengukuran terhadap hasil pengukuran berikutnya yang berurutan (ketidaktetapan), bab III sub bab 3.2 angka 3. Bagi Meter Arus yang lain sama dengan batas kesalahan penunjukan untuk volume terkecil yang boleh diserahkan. e. Pengujian badan hitung Pengujian badan hitung dilakukan dengan menghubungkan dengan pengujian pada angka 3 huruf c dan huruf d. Meskipun demikian, pada badan hitung yang mempunyai penjumlah, harus diperhatikan bahwa gerakan putar dari alat hitung dan dari penjumlah harus sesuai. Pengujian untuk menentukan perbedaan penunjukan pada Meter Arus yang mempunyai penunjukan lebih dari satu: 1) Pada Meter Arus yang mempunyai penunjukan lebih dari satu (misalnya Meter Arus dengan plat jarum ganda), penyimpangan (perbedaan penunjukan) antara masing-masing penunjukan tidak boleh lebih besar dari batas kesalahan penunjukan pada penyerahan volume minimum. 22

DIREKTORAT JENDERAT PERDAGANGAN DALAM NEGERI

DIREKTORAT JENDERAT PERDAGANGAN DALAM NEGERI DEPARTEMEN PERDAGANGAN. REPUBLIK IND('NESIA DIREKTORAT JENDERAT PERDAGANGAN DALAM NEGERI Jaan l\,4.1 Ridwan Rais No.5 Jakarta 10110 Tel. 021-3440408, fa. 021-3858185 KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI NoMoR eglpwlrepll lzoto TENTANG SYARAT TEKNIS METER GAS DIAFRAGMA

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI NoMoR eglpwlrepll lzoto TENTANG SYARAT TEKNIS METER GAS DIAFRAGMA ? 4l/fi z vtln DEPARTEMEN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA > DIREKTORAT JENDERAT PERDAGANGAN DALAM NEGERI Jalan M.l Ridwan Rais No.5 Jakarta 10110 Tel. 02'1-3440408. fa 021-3858185 KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DTREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI NOMOR fi/my/kr'e/t/2010 TENTANG SYARAT TEKNIS POMPA UKUR BAHAN BAKAR GAS

KEPUTUSAN DTREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI NOMOR fi/my/kr'e/t/2010 TENTANG SYARAT TEKNIS POMPA UKUR BAHAN BAKAR GAS DEPARTE]U EN TIEPUBLII( AF PERDAGANGAN IND('NESIA DIREKTORAT JENDERAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI Jalan N4.l Ridwan Rals No 5 Jakarta 10110 Ter. 0213440408, fil. 021-3858185 KEPUTUSAN DTREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI NOMOR ta /PDy{ llkvp h /2o1o TENTANG SYARAT TEKNIS METER GAS ROTA RY PISTON DAN TURBIN

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI NOMOR ta /PDy{ llkvp h /2o1o TENTANG SYARAT TEKNIS METER GAS ROTA RY PISTON DAN TURBIN DEPARTEInEN PERDAGANGAN FEPUBLIK IND('NESIA DIREKTORAT JENDERAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI Jdtr l\.4.1 Ridwan Ras No.5 Jakarla 10110 Iel. 02.1-3440408, fd. 021-3858185 KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN

Lebih terperinci

lft\n KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI NoMOR 26 lpd\t /KEp lt /zo1o TENTANG SYARAT TEKNIS TANGKI UKUR WAGON

lft\n KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI NoMOR 26 lpd\t /KEp lt /zo1o TENTANG SYARAT TEKNIS TANGKI UKUR WAGON '41'//7',7/t.. t lft\n _ -.,tlf - DEPARTEMEN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI Jl. M.l. Ridwan Rais No. 5 Jakarta 10110 rel. 021-2352A520(Langsung) Tel. 021-3858171

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI NOMOR tg /PDN n<ep/5/2010 TENTANG SYARAT TEKNIS MANOMETER

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI NOMOR tg /PDN n<ep/5/2010 TENTANG SYARAT TEKNIS MANOMETER DEPARTEMEN PERDAGANGAN. REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI Jalan Ny'.l Ridwan Rals No.5 Jakarta 10110 Tel. 021-3440408, fa. 021'3858185 KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN

Lebih terperinci

,/r4f. filt\\s. KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI NOMOR zl lwwftnp/r/2o10 TENTANG SYARAT TEKNIS METER TAKSI

,/r4f. filt\\s. KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI NOMOR zl lwwftnp/r/2o10 TENTANG SYARAT TEKNIS METER TAKSI -t" // ==F,/r4F. 7Zt \- filt\\s. DIREKTORAT JENDERAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI DEPARTEMEN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA Jl. M.l. Ridwan Rais No. 5 Jakarta 10110 Tel. o21-23528520(langsung) Tel. 021-3858171

Lebih terperinci

Keputusan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Nomor : 4g/pD$/kap /t/zo1o

Keputusan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Nomor : 4g/pD$/kap /t/zo1o > "'l/2 -_!- fi/\\$ -'"4 l. DEPARTEMEN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI '101 Jl. M.l, Ridwan Rais No. 5 Jakarta 10 fel. 021-23528520(Langsung) Tel. 021-385817'l

Lebih terperinci

Menteri Perdagangan Republik Indonesia

Menteri Perdagangan Republik Indonesia Menteri Perdagangan Republik Indonesia PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 08/M-DAG/PER/3/2010 TENTANG ALAT-ALAT UKUR, TAKAR, TIMBANG, DAN PERLENGKAPANNYA (UTTP) YANG WAJIB DITERA DAN

Lebih terperinci

2 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara

2 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1565, 2014 KEMENDAG. Alat Ukur. Takar. Timbang. Perlengkapan. Tera dan Tera Ulang. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70/M-DAG/PER/10/2014 TENTANG

Lebih terperinci

TENTANG SYARAT TEKNIS METER KADAR AIR

TENTANG SYARAT TEKNIS METER KADAR AIR DEPAI TEMEN REPUBLII( vl {1t F > IND('NESIA DIREKTORAT JENDERAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI Jalan Ny'.l Ridwan Rais No.5 Jakarta 10110 Tel. 021-3440408, fil. 02'1-3858185 KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN

Lebih terperinci

BEJANA UKUR. Tergolong alat ukur metrologi legal yang wajib ditera dan ditera ulang (Permendag No. 8 Tahun 2010);

BEJANA UKUR. Tergolong alat ukur metrologi legal yang wajib ditera dan ditera ulang (Permendag No. 8 Tahun 2010); Eka Riyanto Tanggo BEJANA UKUR Tergolong alat ukur metrologi legal yang wajib ditera dan ditera ulang (Permendag No. 8 Tahun 010); Bejana ukur wajib memiliki Ijin Tanda Pabrik atau Ijin Tipe; Tidak ada

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1150, 2012 KEMENTERIAN PERDAGANGAN. Metrologi Legal. UTTP. Tanda Tera. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69/M-DAG/PER/10/2012 TENTANG TANDA TERA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Maksud Dan Tujuan 1. Maksud Untuk mewujudkan keseragaman dalam pelaksanaan kegiatan tera dan tera ulang meter air.

BAB I PENDAHULUAN Maksud Dan Tujuan 1. Maksud Untuk mewujudkan keseragaman dalam pelaksanaan kegiatan tera dan tera ulang meter air. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu tujuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal adalah untuk melindungi kepentingan umum melalui jaminan kebenaran pengukuran dan adanya

Lebih terperinci

2 Mengingat : 1. c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perdagangan tent

2 Mengingat : 1. c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perdagangan tent BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1566, 2014 KEMENDAG. Alat Ukur. Takar. Timbang. Perlengkapannya. Satuan Ukur. Pengawasan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71/M-DAG/PER/10/2014

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1321, 2014 KEMENDAG. Tanda Sah. Tera. Penggunaan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54/M-DAG/PER/9/2014 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

2015, No Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan L

2015, No Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan L BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1989, 2015 KEMENDAG. Tanda Sah. Tahun 2016. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 96/M-DAG/PER/11/2015 TENTANG TANDA SAH TAHUN 2016 DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 11, Tamba

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 11, Tamba BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.674, 2017 KEMENDAG. Pengawasan Metrologi Legal. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/M-DAG/PER/5/2017 TENTANG PENGAWASAN METROLOGI LEGAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Maksud dan Tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Maksud dan Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu tujuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal adalah untuk melindungi kepentingan umum melalui jaminan kebenaran pengukuran dan adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu tujuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang etrologi Legal adalah untuk melindungi kepentingan umum melalui jaminan kebenaran pengukuran dan adanya ketertiban

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1981 TENTANG METROLOGI LEGAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1981 TENTANG METROLOGI LEGAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1981 TENTANG METROLOGI LEGAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk melindungi kepentingan umum perlu adanya

Lebih terperinci

ctarif BIAYA TERA Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1983 Tanggal 11 Juli 1983 Presiden Republik Indonesia,

ctarif BIAYA TERA Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1983 Tanggal 11 Juli 1983 Presiden Republik Indonesia, ctarif BIAYA TERA Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1983 Tanggal 11 Juli 1983 Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa susunan tarif uang tera yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor

Lebih terperinci

BAB V METER GAS ROTARY PISTON DAN TURBIN

BAB V METER GAS ROTARY PISTON DAN TURBIN BAB V METER GA ROTARY PITON DAN TURBIN Indikator Keberhasilan : Peserta diharapkan mampu menjelaskan konstruksi dan prinsip kerja meter gas rotary piston dan turbin. Peserta diharapkan mampu menjelaskan

Lebih terperinci

PERUBAHAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 26 TAHUN 1983 TENTANG TARIF BIAYA TERA Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1986 Tanggal 22 Maret 1986

PERUBAHAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 26 TAHUN 1983 TENTANG TARIF BIAYA TERA Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1986 Tanggal 22 Maret 1986 PERUBAHAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 26 TAHUN 1983 TENTANG TARIF BIAYA TERA Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1986 Tanggal 22 Maret 1986 Menimbang : Presiden Republik Indonesia, a. bahwa dengan semakin

Lebih terperinci

2016, No Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan L

2016, No Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan L BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1533, 2016 KEMENDAG. Tanda Sah. Tahun 2017. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR 70/M-DAG/PER/10/2016 TENTANG TANDA SAH TAHUN 2017 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia

Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR : 180/MPP/Kep/5/2000. TENTANG TANDA TERA TAHUN 2001 MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 635/MPP/Kep/10/2004 TENTANG TANDA TERA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 635/MPP/Kep/10/2004 TENTANG TANDA TERA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 33 KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 635/MPP/Kep/10/2004 TENTANG TANDA TERA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 639/MPP/Kep/10/2004 TENTANG KETENTUAN DAN SYARAT TEKNIS TANGKI UKUR MOBIL

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 639/MPP/Kep/10/2004 TENTANG KETENTUAN DAN SYARAT TEKNIS TANGKI UKUR MOBIL 33 KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 639/MPP/Kep/10/2004 TENTANG KETENTUAN DAN SYARAT TEKNIS TANGKI UKUR MOBIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERINDUSTRIAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47/M-DAG/PER/12/2010 TENTANG TANDA TERA TAHUN 2011 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47/M-DAG/PER/12/2010 TENTANG TANDA TERA TAHUN 2011 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47/M-DAG/PER/12/2010 TENTANG TANDA TERA TAHUN 2011 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47/M-DAG/PER/12/2010 TENTANG TANDA TERA TAHUN 2011 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47/M-DAG/PER/12/2010 TENTANG TANDA TERA TAHUN 2011 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47/M-DAG/PER/12/2010 TENTANG TANDA TERA TAHUN 2011 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.80,2012 PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44/M-DAG/PER/12/2011 TENTANG TANDA TERA TAHUN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERDAGANGAN

Lebih terperinci

2017, No Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan L

2017, No Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan L BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1718, 2017 KEMENDAG. Tanda Sah. Tahun 2018. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 89 TAHUN 2017 TENTANG TANDA SAH TAHUN 2018 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN2006 TENTANG TANDA TERA TAHUN 2006 GUBERNUR JAWA TIMUR,

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN2006 TENTANG TANDA TERA TAHUN 2006 GUBERNUR JAWA TIMUR, GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN2006 TENTANG TANDA TERA TAHUN 2006 GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : bahwa dengan terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor : 16/ M - DAG/

Lebih terperinci

Menteri Perdagangan Republik Indonesia

Menteri Perdagangan Republik Indonesia Menteri Perdagangan Republik Indonesia PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 52/M-DAG/PER/10/2009 TENTANG TANDA TERA TAHUN 2010 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1974 TENTANG TARIP UANG TERA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1974 TENTANG TARIP UANG TERA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1974 TENTANG TARIP UANG TERA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa berhubung susunan Tarip Uang Tera sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PENYELENGGARAAN TERA/TERA ULANG

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PENYELENGGARAAN TERA/TERA ULANG WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PENYELENGGARAAN TERA/TERA ULANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, WALIKOTA YOGYAKARTA, Menimbang

Lebih terperinci

TARIP UANG TERA Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1967 tanggal 6 Pebruari Presiden Republik Indonesia,

TARIP UANG TERA Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1967 tanggal 6 Pebruari Presiden Republik Indonesia, 2 1967 TARIP UANG TERA Menimbang: TARIP UANG TERA Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1967 tanggal 6 Pebruari 1967 Presiden Republik Indonesia, bahwa berhubung dengan keadaan, dianggap perlu mengubah susunan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER-01/MEN/1992 TENTANG SYARAT SYARAT KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PESAWAT KARBID

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER-01/MEN/1992 TENTANG SYARAT SYARAT KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PESAWAT KARBID MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER-01/MEN/1992 TENTANG SYARAT SYARAT KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PESAWAT KARBID MENTERI TENAGA KERJA

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI NOMOR 25/wN IKEP/t/2a1o TENTANG SYARA TEKNIS TANGKI UKUR TETAP SILINDER TEGAK

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI NOMOR 25/wN IKEP/t/2a1o TENTANG SYARA TEKNIS TANGKI UKUR TETAP SILINDER TEGAK > '--t/ F..at 'a DEPARTEMEN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI Jl. N/.1. Ridwan Rais No. 5 Jakarta 10110 Iel. O21-2352a520(Lan gsu n g) Tel. 021-3858171 (Sentral),

Lebih terperinci

2015, No Indonesia Nomor 3193); 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 19

2015, No Indonesia Nomor 3193); 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 19 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1988, 2015 KEMENDAG. Tanda Tera. Perubahan PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95/M-DAG/PER/11/2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI NoMoR lzlrnwr?ep /, I zata. Mengingat TENTANG SYARAT TEKNIS ALAT UKUR PANJANG

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI NoMoR lzlrnwr?ep /, I zata. Mengingat TENTANG SYARAT TEKNIS ALAT UKUR PANJANG -"1// -: - 72..Lfirt\N -'-41. DEPARTEMEN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI Jl. M,l. Ridwan Rais No. 5 Jakarta 10110 Tel. 021-23528520(Langsung) Tel. 021-3858171

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1966 TENTANG TARIP UANG TERA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1966 TENTANG TARIP UANG TERA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1966 TENTANG TARIP UANG TERA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa berhubung dengan keadaan, dianggap perlu mengubah susunan tarip uang tera

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.39, 2013 KEMENTERIAN PERDAGANGAN. Alat Ukur. Perlengkapan. Impor. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74/M-DAG/PER/12/2012 TENTANG ALAT-ALAT UKUR,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1969 TENTANG TARIP UANG TERA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1969 TENTANG TARIP UANG TERA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1969 TENTANG TARIP UANG TERA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Bahwa berhubung susunan Tarip Uang Tera sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 42 TAHUN 2005 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 42 TAHUN 2005 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 42 TAHUN 2005 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2005 TENTANG PENGELOLAAN LABORATORIUM KEMETROLOGIAN

Lebih terperinci

Menteri Perdagangan Republik Indonesia

Menteri Perdagangan Republik Indonesia Menteri Perdagangan Republik Indonesia PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 50/M-DAG/PER/10/2009 TENTANG UNIT KERJA DAN UNIT PELAKSANA TEKNIS METROLOGI LEGAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Maksud dan Tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Maksud dan Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu tujuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal adalah untuk melindungi kepentingan umum melalui jaminan kebenaran pengukuran dan adanya

Lebih terperinci

MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA

MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR 74/M-DAG/PER/ 12/2012 TENTANG ALAT-ALAT

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI NOMOR l5lw$ lkep/3/2010 TENTANG SYARA TEKNIS METER PROVER

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI NOMOR l5lw$ lkep/3/2010 TENTANG SYARA TEKNIS METER PROVER DEPARTE U EN PEHDAGANGAN REPUBLII( IND()NESIA DIREKTORAT JENDERAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI Jalan M I Ridwan Rais No 5 Jakarta 101 10 Te. 021-3440408 la 021-3858185 KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 522/MPP/Kep/8/2003

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 522/MPP/Kep/8/2003 KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 522/MPP/Kep/8/2003 TENTANG TANDA TERA TAHUN 2004 MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang a. bahwa untuk

Lebih terperinci

METER GAS ROTARY PISTON DAN TURBIN

METER GAS ROTARY PISTON DAN TURBIN METER GAS ROTARY PISTON DAN TURBIN JENIS METER GAS INDUSTRI Meter gas industri yang umum digunakan dalam transaksi perdagangan adalah : Positif Displacement ( yang banyak digunakan adalah tipe rotary piston

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.556, 2009 KEMENTERIAN PERDAGANGAN. Label. Pencantuman.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.556, 2009 KEMENTERIAN PERDAGANGAN. Label. Pencantuman. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.556, 2009 KEMENTERIAN PERDAGANGAN. Label. Pencantuman. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 62/M-DAG/PER/12/2009 TENTANG KEWAJIBAN PENCANTUMAN LABEL

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1981 TENTANG METROLOGI LEGAL [LN 1981/11, TLN 3193]

UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1981 TENTANG METROLOGI LEGAL [LN 1981/11, TLN 3193] UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1981 TENTANG METROLOGI LEGAL [LN 1981/11, TLN 3193] BAB VIII KETENTUAN PIDANA Pasal 32 (1) Barangsiapa melakukan perbuatan yang tercantum dalam Pasal 25 1, Pasal 26 2, Pasal

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.556, 2009 KEMENTERIAN PERDAGANGAN. Label. Pencantuman.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.556, 2009 KEMENTERIAN PERDAGANGAN. Label. Pencantuman. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.556, 2009 KEMENTERIAN PERDAGANGAN. Label. Pencantuman. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 62/M-DAG/PER/12/2009 TENTANG KEWAJIBAN PENCANTUMAN LABEL

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA PERUBAHAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 26 TAHUN 1983 TENTANG TARIF BIAYA TERA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA PERUBAHAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 26 TAHUN 1983 TENTANG TARIF BIAYA TERA Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1986 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 26 TAHUN 1983 TENTANG TARIF BIAYA TERA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa dengan

Lebih terperinci

Menteri Perdagangan Republik Indonesia PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28/M-DAG/PER/12/2005 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA

Menteri Perdagangan Republik Indonesia PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28/M-DAG/PER/12/2005 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA Menteri Perdagangan Republik Indonesia PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28/M-DAG/PER/12/2005 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI PENGUJIAN ALAT-ALAT UKUR, TAKAR, TIMBANG DAN PERLENGKAPANNYA

Lebih terperinci

BAB II. LANDASAN TEORI

BAB II. LANDASAN TEORI BAB II. LANDASAN TEORI 2.1. Mengenal Motor Diesel Motor diesel merupakan salah satu tipe dari motor bakar, sedangkan tipe yang lainnya adalah motor bensin. Secara sederhana prinsip pembakaran pada motor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Maksud dan Tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Maksud dan Tujuan 1 2 3 4 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu tujuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal adalah untuk melindungi kepentingan umum melalui jaminan kebenaran pengukuran dan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 11, 1981 (LEMBAGA INTERNASIONAL. PERDAGANGAN. TINDAK PIDANA. KUHP. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara

Lebih terperinci

Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia

Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia 33 Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 637/MPP/Kep/10/2004 TENTANG KETENTUAN ALAT-ALAT UKUR, TAKAR,TIMBANG

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI NOMOR 300.K/38/M.pe/1997 TENTANG KESELAMATAN KERJA PIPA PENYALUR MINYAK DAN GAS BUMI

KEPUTUSAN MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI NOMOR 300.K/38/M.pe/1997 TENTANG KESELAMATAN KERJA PIPA PENYALUR MINYAK DAN GAS BUMI Page 1 of 7 KEPUTUSAN MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI NOMOR 300.K/38/M.pe/1997 TENTANG KESELAMATAN KERJA PIPA PENYALUR MINYAK DAN GAS BUMI MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI NOMOR z{ffin/tapblzala TENTANG SYARAT TEKNIS METER KWh

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI NOMOR z{ffin/tapblzala TENTANG SYARAT TEKNIS METER KWh DEPARTE]i,IEN PERDAGANGAN REPUBLII( INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERDAGANGAN DAAM NEGERI Jalan M I Ridwan Rais No. 5 Jakafta 101 10 Tel. 021-3440408 fa. 021-3858185 KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR 2 TAHUN 2016

PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR 2 TAHUN 2016 PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN STRUKTUR DAN BESARAN TARIF RETRIBUSI TERA/TERA ULANG DALAM LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR 2 TAHUN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1985 TENTANG WAJIB DAN PEMBEBASAN UNTUK DITERA DAN/ATAU DITERA ULANG SERTA SYARAT-SYARAT BAGI ALAT-ALAT UKUR, TAKAR, TIMBANG, DAN PERLENGKAPANNYA PRESIDEN

Lebih terperinci

TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN TERA/TERA ULANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA,

TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN TERA/TERA ULANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA, SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN TERA/TERA ULANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA, Menimbang a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Maksud dan Tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Maksud dan Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu tujuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal adalah untuk melindungi kepentingan umum melalui jaminan kebenaran pengukuran dan adanya

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31/M-DAG/PER/10/2011 TENTANG BARANG DALAM KEADAAN TERBUNGKUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31/M-DAG/PER/10/2011 TENTANG BARANG DALAM KEADAAN TERBUNGKUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31/M-DAG/PER/10/2011 TENTANG BARANG DALAM KEADAAN TERBUNGKUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

Laporan Tugas Akhir Pembuatan Modul Praktikum Penentuan Karakterisasi Rangkaian Pompa BAB II LANDASAN TEORI

Laporan Tugas Akhir Pembuatan Modul Praktikum Penentuan Karakterisasi Rangkaian Pompa BAB II LANDASAN TEORI 3 BAB II LANDASAN TEORI II.1. Tinjauan Pustaka II.1.1.Fluida Fluida dipergunakan untuk menyebut zat yang mudah berubah bentuk tergantung pada wadah yang ditempati. Termasuk di dalam definisi ini adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu perkembangan pengaplikasian teknologi yang telah lama

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu perkembangan pengaplikasian teknologi yang telah lama BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Dalam perkembangan teknologi elektronika dewasa ini, sudah sangat maju baik dibidang industri, pertanian, kesehatan, pertambangan, perkantoran, dan lain-lain.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG RETRIBUSI TERA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO

PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO NOMOR : 06 TAHUN 2009 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN TERA DAN TERA ULANG ALAT-ALAT UKUR, TAKAR, TIMBANG DAN PERLENGKAPANNYA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 11, Tamb

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 11, Tamb No.1199, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENDAG. UTTP. Izin Pembuatan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53/M-DAG/PER/7/2016 TENTANG IZIN PEMBUATAN ALAT-ALAT UKUR, TAKAR, TIMBANG,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA MANUSIA METROLOGI LEGAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA MANUSIA METROLOGI LEGAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA MANUSIA METROLOGI LEGAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209); 4.

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209); 4. WALIKOTA PADANG PERATURAN DAERAH KOTA PADANG NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG TERA DAN ATAU TERA ULANG ALAT UKUR, ALAT TAKAR, ALAT TIMBANG DAN PERLENGKAPANNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG,

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM. 35 TAHUN 2003 T E N T A N G PENYELENGGARAAN ANGKUTAN ORANG DI JALAN DENGAN KENDARAAN UMUM

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM. 35 TAHUN 2003 T E N T A N G PENYELENGGARAAN ANGKUTAN ORANG DI JALAN DENGAN KENDARAAN UMUM KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM. 35 TAHUN 2003 T E N T A N G PENYELENGGARAAN ANGKUTAN ORANG DI JALAN DENGAN KENDARAAN UMUM MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang : a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. turbulen, laminar, nyata, ideal, mampu balik, tak mampu balik, seragam, tak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. turbulen, laminar, nyata, ideal, mampu balik, tak mampu balik, seragam, tak BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aliran Aliran dapat diklasifikasikan (digolongkan) dalam banyak jenis seperti: turbulen, laminar, nyata, ideal, mampu balik, tak mampu balik, seragam, tak seragam, rotasional,

Lebih terperinci

2012, No.661.

2012, No.661. 25 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM. 39 TAHUN 2012 TENTANG PENGGUNAAN BAHAN BAKAR GAS JENIS COMPRESSED NATURAL GAS (CNG) PADA KENDARAAN BERMOTOR Contoh 1 GAMBAR INSTALASI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a.

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 7 2013 SERI : C PERATURAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR 07 TAHUN 2013 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN TERA/TERA ULANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BEKASI, Menimbang

Lebih terperinci

V4tN. z^{/a'2- tentang Alat-alat Ukur, Takar, Timbang, dan

V4tN. z^{/a'2- tentang Alat-alat Ukur, Takar, Timbang, dan z^{/a'2- > =< V4tN KEMENTERIAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL STANDARDISASI DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN Jl. M.l. Ridwan Rais No. 5 Gedung I Lt.6 Jakarta 101 10 Telp. 021-3840986 Fax.

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI NOMOR: 300.K/38/M.PE/1997 TENTANG KESELAMATAN KERJA PIPA PENYALUR MINYAK DAN GAS BUMI,

KEPUTUSAN MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI NOMOR: 300.K/38/M.PE/1997 TENTANG KESELAMATAN KERJA PIPA PENYALUR MINYAK DAN GAS BUMI, [Home] KEPUTUSAN MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI NOMOR: 300.K/38/M.PE/1997 TENTANG KESELAMATAN KERJA PIPA PENYALUR MINYAK DAN GAS BUMI, MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI Menimbang: a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Metrologi adalah ilmu tentang ukur-mengukur secara luas. Di Indonesia, metrologi dikelompokkan menjadi 3 kategori utama yaitu metrologi legal, metrologi industri dan

Lebih terperinci

7. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambaha

7. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambaha WALIKOTA PADANG PERATURAN DAERAH KOTA PADANG NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG TERA DAN ATAU TERA ULANG ALAT UKUR, ALAT TAKAR, ALAT TIMBANG DAN PERLENGKAPANNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1 Latar Belakang Pengukuran kualitas dan kuantitas cairan Bahan Bakar Minyak atau sering disebut dengan BBM merupakan kegiatan yang sangat penting dalam hal serah terima perdagangan (custody

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA SURABAYA

PEMERINTAH KOTA SURABAYA PEMERINTAH KOTA SURABAYA RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR TAHUN TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN TERA/TERA ULANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA, Menimbang a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG KEGIATAN USAHA HILIR MINYAK DAN GAS BUMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG KEGIATAN USAHA HILIR MINYAK DAN GAS BUMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, pres-lambang01.gif (3256 bytes) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG KEGIATAN USAHA HILIR MINYAK DAN GAS BUMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG KEGIATAN USAHA HILIR MINYAK DAN GAS BUMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG KEGIATAN USAHA HILIR MINYAK DAN GAS BUMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG KEGIATAN USAHA HILIR MINYAK DAN GAS BUMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 ayat (1),

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1985

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1985 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1985 TENTANG WAJIB DAN PEMBEBASAN UNTUK DITERA DAN/ATAU DITERA ULANG SERTA SYARAT-SYARAT BAGI ALAT-ALAT UKUR, TAKAR, TIMBANG, DAN PERLENGKAPANNYA PRESIDEN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1962 TENTANG TARIP UANG TERA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1962 TENTANG TARIP UANG TERA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1962 TENTANG TARIP UANG TERA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa berhubung dengan keadaan dan terdapatnya kekurangan-kekurangan dalam susunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian saat ini sangat tergantung pada pengukuran dan pengujian yang handal, terpercaya, dan diakui secara internasional. Jadi secara langsung maupun tidak langsung

Lebih terperinci

- rl. KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI NOMOR S4lwq l,ffip /5/2o1o TENTANG SYARAT TEKNIS TANGKI UKUR MOBIL

- rl. KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI NOMOR S4lwq l,ffip /5/2o1o TENTANG SYARAT TEKNIS TANGKI UKUR MOBIL F {at a> DIREKTORAT JENDERAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI t:t - - rl DEPARTEMEN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA Jl. M.l. Ridwan Rais No. 5 Jakarta 10110 rel. O21-23528520(Langsun g) Tel. 021-3858171 (Sentral),

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1964 TENTANG TARIP UANG TERA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1964 TENTANG TARIP UANG TERA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 1964 TENTANG TARIP UANG TERA PRESIDEN, Menimbang : bahwa perlu mengubah susunan Tarip Uang Tera sesuai dengan berubahnya keadaan; Mengingat : 1. pasal 5 ayat 2 dan pasal

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 73/MPP/Kep/3/2000 TENTANG KETENTUAN KEGIATAN USAHA PENJUALAN BERJENJANG

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 73/MPP/Kep/3/2000 TENTANG KETENTUAN KEGIATAN USAHA PENJUALAN BERJENJANG KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 73/MPP/Kep/3/2000 TENTANG KETENTUAN KEGIATAN USAHA PENJUALAN BERJENJANG MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

IV. PENDEKATAN RANCANGAN

IV. PENDEKATAN RANCANGAN IV. PENDEKATAN RANCANGAN A. Kriteria Perancangan Pada prinsipnya suatu proses perancangan terdiri dari beberapa tahap atau proses sehingga menghasilkan suatu desain atau prototipe produk yang sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Studi Pustaka. Persiapan Dan Pengesetan Mesin. Kondisi Baik. Persiapan Pengujian. Pemasangan Alat Ukur

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Studi Pustaka. Persiapan Dan Pengesetan Mesin. Kondisi Baik. Persiapan Pengujian. Pemasangan Alat Ukur BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Diagram Alir Metodologi Penelitian Didalam melakukan pengujian diperlukan beberapa tahapan agar dapat berjalan lancar, sistematis dan sesuai dengan prosedur dan literatur

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI. No : PER.04/MEN/1980 TENTANG SYARAT-SYARAT PEMASANGAN DAN PEMELIHARAN ALAT PEMADAM API RINGAN.

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI. No : PER.04/MEN/1980 TENTANG SYARAT-SYARAT PEMASANGAN DAN PEMELIHARAN ALAT PEMADAM API RINGAN. PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI No : TENTANG SYARAT-SYARAT PEMASANGAN DAN PEMELIHARAN ALAT PEMADAM API RINGAN. MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI: Menimbang : Mengingat : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

W A L I K O T A B A N J A R M A S I N

W A L I K O T A B A N J A R M A S I N W A L I K O T A B A N J A R M A S I N PERATURAN DAERAH KOTA BANJARMASIN NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN TERA / TERA ULANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJARMASIN, Menimbang

Lebih terperinci

dihapuskan dan diganti sedemikian rupa sehingga bahagian daftar itu merupakan sebagai terlukis dibawah ini: "20 meter 2x8.- -2x ,5 dan 2 meter

dihapuskan dan diganti sedemikian rupa sehingga bahagian daftar itu merupakan sebagai terlukis dibawah ini: 20 meter 2x8.- -2x ,5 dan 2 meter PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1958 TENTANG MELENGKAPI PERATURAN PEMERINTAH NO. 14 TAHUN 1951 TENTANG TARIP UANG TERA Menimbang: Presiden Republik Indonesia, Bahwa berhubung dengan

Lebih terperinci