November L a p o r a n N u s a n t a r a 1 VOLUME 10 NOMOR 4

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "November L a p o r a n N u s a n t a r a 1 VOLUME 10 NOMOR 4"

Transkripsi

1 November 2015 L a p o r a n N u s a n t a r a 1 VOLUME 10 NOMOR 4

2 Halaman ini sengaja dikosongkan L a p o r a n N u s a n t a r a

3 Daftar Isi Kata Pengantar Bagian I Bagian II Bagian III Bagian IV Bagian V Bagian VI Lampiran Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek Ekonomi Daerah Perekonomian Sumatera Boks I: Dampak Asap Terhadap Perekonomian (Asesmen Awal) Perekonomian Jawa Boks II: Kesenjangan Pembangunan Pantai Utara dan Pantai Selatan Jawa Perekonomian Kalimantan Boks III: Potensi Pengembangan Industri Petrokimia di Kalimantan Perekonomian Kawasan Timur Indonesia Boks IV: Progress Perkembangan Infrastruktur Pendukung Konektivitas Kawasan Timur Indonesia Isu Khusus Daerah Isu Khusus 1: Memperkuat Daya Saing Industri Isu Khusus 2: Optimalisasi Potensi Pariwisata dalam Mendukung Percepatan Pengembangan Ekonomi Informasi lebih lanjut dapat menghubungi: Bank Indonesia Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Grup Asesmen Ekonomi Divisi Asesmen Ekonomi Regional Ph , Fax , L a p o r a n N u s a n t a r a

4 Halaman ini sengaja dikosongkan L a p o r a n N u s a n t a r a

5 Dalam proses perumusan kebijakan, Bank Indonesia mempertimbangkan berbagai dinamika perekonomian dan isu terkini dalam perspektif kewilayahan. Secara periodik, pembahasan menyeluruh terkait perkembangan perekonomian terkini dan berbagai isu strategis yang mengemuka di daerah dilakukan antara Dewan Gubernur dengan Kepala Departemen Regional yang mewakili 4 (empat) wilayah di seluruh Indonesia 1. Pembahasan tersebut memberikan pemahaman mendalam terkait kondisi makroekonomi disertai berbagai aspek risiko spasial yang berkembang dan menjadi bagian penting dalam proses perumusan kebijakan. Pada triwulan III 2015, indikator ekonomi di berbagai daerah mengindikasikan perbaikan perekonomian Indonesia. Perbaikan ekonomi terutama didorong oleh peningkatan investasi seiring dengan realisasi berbagai proyek infrastruktur berskala besar di berbagai daerah. Perbaikan ekonomi juga ditopang oleh meningkatnya konsumsi swasta, khususnya konsumsi lembaga non profit yang melayani rumah tangga (LNPRT) sehubungan dengan persiapan penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak. Perbaikan ekonomi global yang masih lambat disertai oleh rendahnya harga komoditas berdampak pada terbatasnya perbaikan kinerja ekspor luar negeri di berbagai daerah, terutama yang berbasis pada ekspor dari sumber daya alam (SDA). Perekonomian nasional tumbuh sebesar 4,73%, membaik dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tumbuh 4,67%. Perbaikan perekonomian nasional terutama ditopang oleh perbaikan yang berlangsung di Jawa dan Sumatera. Memasuki triwulan IV 2015, perkembangan indikator ekonomi di berbagai daerah mengindikasikan berlanjutnya arah perbaikan kinerja ekonomi. Membaiknya kinerja perekonomian daerah terutama bersumber dari peningkatan realisasi belanja pemerintah dan investasi khususnya terkait pembangunan proyek-proyek infrastruktur berskala besar. Selain itu, pelaksanaan Pilkada serentak pada awal Desember 2015 akan turut menopang perbaikan kinerja ekonomi di berbagai daerah. Perbaikan kinerja industri manufaktur diprakirakan akan mendorong perekonomian Jawa tumbuh meningkat pada kuartal terakhir Namun, perkembangan ekspor komoditas akan masih terbatas menahan perbaikan kinerja ekonomi Sumatera dan Kalimantan, serta diperkirakan menyebabkan pertumbuhan KTI masih cenderung tumbuh melambat meski masih berada pada level yang cukup tinggi. Kabut asap yang berlangsung di awal triwulan IV 2015 diperkirakan menghambat aktivitas ekonomi di sejumlah daerah di Sumatera dan Kalimantan. Secara keseluruhan tahun, kinerja perekonomian di berbagai daerah pada tahun 2015 diprakirakan tercatat tumbuh lebih lambat dibanding capaian di tahun 2014, kecuali di KTI. Inflasi di berbagai daerah pada triwulan III 2015 masih terkendali disertai koreksi harga beberapa komoditas pangan strategis. Laju inflasi kumulatif (year-to-date) di berbagai daerah cenderung rendah dan berada di bawah kumulatif periode yang sama dalam empat tahun terakhir. Inflasi kumulatif di Sumatera tercatat merupakan yang terendah yakni sebesar 1,64%, sementara inflasi kumulatif tertinggi tercatat di Kalimantan (3,57%). Minimalnya tekanan inflasi sepanjang periode ini terutama dipengaruhi oleh terjaganya pasokan dan kelancaran distribusi, terutama untuk bahan pangan. Selain itu, adanya kebijakan penurunan tarif bawah angkutan udara di yang berlaku pada awal September 2015 turut berkontribusi pada rendahnya tekanan inflasi di berbagai daerah. Memasuki awal triwulan IV 2015, perkembangan laju inflasi di berbagai daerah masih tetap terkendali. Sebagian besar daerah mencatat berlanjutnya koreksi harga pangan seiring dengan pasokan yang cukup melimpah. Namun, tekanan inflasi yang lebih tinggi terjadi di sebagian Kalimantan akibat kenaikan tarif angkutan udara, kenaikan harga beras lokal, serta terkendalanya pasokan dari luar Kalimantan. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2016 diprakirakan membaik terutama di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Prakiraan meningkatnya pertumbuhan ekonomi Jawa didorong oleh optimisme terhadap investasi bangunan terkait dengan percepatan pembangunan proyek infrastruktur berskala besar di bidang transportasi dan ketenagalistrikan dan perbaikan ekspor manufaktur. Di sisi harga, perkembangan inflasi di berbagai daerah 1 Terhitung sejak 2015, bahasan ekonomi dan keuangan daerah dibagi menjadi 4 (empat) wilayah yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Kawasan Timur Indonesia (KTI-mencakup Sulawesi, Maluku, Papua, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur). L a p o r a n N u s a n t a r a i

6 pada tahun 2016 diperkirakan tetap terkendali dan sejalan dengan kisaran sasaran inflasi nasional sebesar 4±1%. Permintaan domestik diperkirakan masih akan tumbuh secara moderat disertai ekspektasi inflasi yang tetap terjaga. Dukungan kebijakan dan koordinasi yang semakin kuat antara Bank Indonesia dan pemerintah di tingkat pusat dan daerah, terutama dalam pengendalian inflasi memberikan optimisme terhadap terkendalinya inflasi di Asesmen lengkap mengenai dinamika terkini dan prospek ekonomi daerah diuraikan secara lengkap dalam buku Laporan Nusantara. Pada edisi kali ini, Laporan Nusantara mengangkat isu khusus mengenai peran fiskal dalam mengakselerasi pertumbuhan ekonomi daerah dan isu mengenai kedaulatan energi yang merupakan salah satu agenda prioritas pembangunan pada era Kabinet Kerja. Penyusunan buku Laporan Nusantara ini dilakukan secara bersama antara Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter (DKEM) dan Departemen Regional I IV yang masing-masing membawahi regional Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Kawasan Timur Indonesia. Akhir kata, kami berharap buku Laporan Nusantara ini dapat menjadi referensi para pemangku kepentingan dan pemerhati ekonomi daerah, serta menjadi salah satu kontribusi Bank Indonesia dalam pembangunan ekonomi daerah. Jakarta, 19 November 2015 Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Juda Agung Direktur Eksekutif L a p o r a n N u s a n t a r a ii

7 PERKEMBANGAN TERKINI EKONOMI DAERAH Perekonomian nasional terindikasi mulai menunjukkan perbaikan pada Triwulan III Realisasi pertumbuhan ekonomi pada triwulan laporan tercatat sebesar 4,73% atau sedikit meningkat dibandingkan pertumbuhan pada Triwulan I dan II sebelumnya (4,72% dan 4,67%). Perbaikan ekonomi terutama didorong oleh meningkatnya investasi seiring dengan mulai bergeraknya serta percepatan realisasi proyek-proyek infrastruktur berskala besar di berbagai daerah. Meningkatnya konsumsi swasta juga turut menopang perbaikan ekonomi, meski peningkatan konsumsi ini lebih dikontribusi oleh konsumsi lembaga non profit yang melayani rumah tangga (LNPRT) terkait pengeluaran untuk persiapan penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak. Di sisi lain, dinamika pemulihan ekonomi global yang berjalan lambat dan diikuti oleh rendahnya harga komoditas berdampak pada masih terbatasnya perbaikan kinerja ekspor luar negeri di berbagai daerah, terutama yang berbasis pada ekspor dari sumber daya alam (SDA). Kondisi ini menyebabkan perbedaan kenaikan angka pertumbuhan ekonomi antar daerah. Jawa mampu mencatat pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dibandingkan daerah di luar Jawa yang secara umum masih tumbuh melambat, bahkan Kalimantan mencatat pertumbuhan negatif. Sumber: BPS (diolah) Gambar I.1. Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah Triwulan III 2015 Perekonomian seluruh daerah di Jawa pada triwulan III 2015 tumbuh meningkat dengan kenaikan tertinggi dialami DKI Jakarta, sementara perbaikan ekonomi Sumatera relatif masih terbatas. Pertumbuhan ekonomi Jawa secara agregat tercatat sebesar 5,39% (yoy), lebih tinggi dibanding periode triwulan sebelumnya yang sebesar 5,04%. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi berbagai daerah di Jawa terutama didorong oleh kenaikan investasi seiring dengan akselerasi pembangunan proyek-proyek infrastruktur berskala besar di bidang transportasi seperti Tol Trans Jawa, Mass Rapid Transit (MRT), pelabuhan dan bandara. Selain itu, meningkatnya kinerja sektor keuangan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Jakarta hingga mencapai mencapai 5,96% pada triwulan laporan. Realisasi proyek infrastruktur berskala besar seperti pembangunan tol trans Sumatera, pembangkit listrik, dan infrastruktur pendukung untuk Asian Games, berkontribusi pada perbaikan ekonomi Sumatera. Meski demikian, kinerja ekspor yang masih terbatas seiring dengan lemahnya permintaan global disertai harga komoditas yang rendah menahan laju perbaikan ekonomi Sumatera lebih L a p o r a n N u s a n t a r a 1

8 lanjut. Di wilayah ini terdapat dua provinsi yakni Riau dan Aceh yang juga tercatat masih mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi karena menurunnya kinerja tambang meski tidak sedalam triwulan sebelumnya. Di sisi lain, ekonomi Kawasan Timur Indonesia (KTI) kembali tumbuh melambat dan Kalimantan bahkan mencatat pertumbuhan negatif untuk pertama kalinya dalam 10 tahun terakhir. Kendati pertumbuhan ekonomi berbagai daerah di KTI secara agregat masih cukup tinggi yakni sebesar 7,75%, namun angka tersebut lebih rendah dibanding periode triwulan sebelumnya (9,03%). Di wilayah KTI ini, Provinsi Papua juga kembali mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi (-0,53%) setelah tumbuh tinggi pada triwulan sebelumnya (12,77%). Kembali melambatnya pertumbuhan ekonomi KTI dipengaruhi oleh melambatnya kinerja produksi pertanian sebagai dampak kekeringan yan melanda beberapa daerah, serta faktor harga komoditas yang masih cenderung turun. Meski demikian, akselerasi pembangunan proyek infrastruktur berskala besar seperti jalan tol Manado-Bitung, jalur kereta api Makassar-Pare-pare, dan pelabuhan baru Makassar dapat menopang pertumbuhan ekonomi KTI secara keseluruhan. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Kalimantan tercatat turun 0,41% pada triwulan laporan. Kondisi ini terutama dipengaruhi oleh perekonomian Kalimantan Timur yang terkontraksi (-3,49%), jauh lebih dalam dibanding periode triwulan sebelumnya (-0,9%) karena penurunan kinerja produksi batubara seiring kinerja ekspor yang masih terbatas, serta turunnya produksi (lifting) gas. Perkembangan penyaluran kredit mulai menunjukkan adanya peningkatan di beberapa daerah. Hingga akhir triwulan III 2015, penyaluran kredit perbankan tumbuh relatif meningkat meski dalam besaran yang terbatas. Pertumbuhan kredit secara tahunan (year-on-year) yang meningkat terutama terjadi di Sumatera (10,6%), Jawa (11,0%), dan Kalimantan (12,0%). Sementara pertumbuhan kredit di KTI masih relatif stabil sebesar 12%. Mulai meningkatnya pertumbuhan penyaluran kredit terjadi baik ke sektor rumah tangga maupun sektor korporasi. Meningkatnya penyaluran kredit kepada sektor korporasi di berbagai daerah terutama untuk kebutuhan modal kerja dan investasi, sementara peningkatan kredit kepada sektor rumah tangga terutama untuk kendaraan bermotor dan kredit pemilikan rumah. Di sisi lain, risiko kredit yang tercermin dari non performing loans, baik pada kredit ke sektor korporasi maupun kepada sektor rumah tangga, masih terjaga dibawah 5% walaupun dengan kecenderungan yang meningkat. Perkembangan aktivitas transaksi keuangan melalui sistem pembayaran masih cenderung tumbuh melambat. Secara agregat, nilai transaksi yang dilakukan melalui sistem Real-Time Gross Settlement (RTGS) pada triwulan III tumbuh negatif sebesar 6,18% setelah pada triwulan sebelumnya tumbuh sebesar 16,31%. 1 Sementara itu, nilai transaksi melalui sistem kliring juga tercatat tumbuh melambat dari 4,54% di triwulan sebelumnya menjadi 3,21%. Dari segi volume transaksi, baik melalui sistem RTGS maupun kliring, juga tumbuh melambat. Perlambatan transaksi keuangan melalui RTGS dan kliring terjadi di seluruh daerah. Memasuki triwulan IV 2015, perkembangan indikator ekonomi di berbagai daerah secara agregat mengindikasikan berlanjutnya arah perbaikan kinerja ekonomi. Membaiknya kinerja perekonomian daerah terutama bersumber dari realisasi belanja pemerintah yang diyakini akan terus meningkat hingga akhir tahun. Sejalan dengan hal tersebut, investasi diperkirakan terus meningkat khususnya terkait pembangunan proyekproyek infrastruktur berskala besar. Selain itu, pelaksanaan Pilkada serentak pada awal Desember 2015 akan turut menopang perbaikan kinerja ekonomi di berbagai daerah. Berbagai faktor tersebut disertai membaiknya kinerja industri manufaktur akan mendorong perekonomian Jawa tumbuh meningkat pada kuartal terakhir Namun, perkembangan ekspor komoditas yang masih terbatas disertai prospek penurunan harga komoditas yang berlanjut menahan perbaikan kinerja ekonomi Sumatera dan Kalimantan, serta diperkirakan menyebabkan pertumbuhan KTI masih cenderung tumbuh melambat meski masih berada pada level yang 1 Melambatnya volume transaksi melalui sistem BI RTGS juga turut dipengaruhi oleh pembatasan transaksi melalui sistem RTGS minimal Rp100 juta sebagaimana Surat Edaran Bank Indonesia No.16/18/DPSP Tanggal 28 November 2014 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/1/DASP tanggal 21 Januari 2010 Perihal Penyelenggaraan Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement L a p o r a n N u s a n t a r a 2

9 cukup tinggi. Selain itu, dampak kabut asap yang menghambat aktivitas ekonomi di sejumlah daerah di Sumatera dan Kalimantan turut menekan kinerja ekonomi secara agregat di dua wilayah tersebut (Lihat Boks I Dampak Kabut Asap Terhadap Perekonomian). Pertumbuhan Ekonomi Konsumsi RT Tabel I.1. Tendensi Arah Perekonomian Daerah Triwulan IV 2015* SUMATERA JAWA KALIMANTAN TIMUR INDONESIA Tendensi Asesmen Tendensi Asesmen Tendensi Asesmen Tendensi Asesmen Meningkat karena didorong oleh konsumsi swasta dan akselerasi pembangunan infrastruktur Membaik ditopang oleh pulihnya pulihnya aktivitas belanja pasca dampak kabut asap meski perbaikan lebih lanjut tertahan oleh harga komoditas Meningkat karena didorong oleh konsumsi swasta, akselerasi pembangunan infrastruktur, dan perbaikan ekspor manufaktur Permintaan masyarakat di akhir tahun diperkirakan meningkat menjelang Natal dan tahun baru Meningkat karena ditopang oleh konsumsi dan perbaikan ekspor LNG Optimisme konsumen masih terjaga Melambat karena terbatasnya konsumsi swasta dan kinerja ekspor yang terbatas Meski terdapat peryaan Natal dan akhir tahun. Namun tertahan oleh kinerja sektor ekonomi yg melambat. Konsumsi LNPRT Belanja Pilkada serentak Belanja Pilkada serentak Belanja Pilkada serentak Belanja Pilkada serentak Konsumsi Pemerintah Penyerapa belanja pemerintah yang lebih rendah dibanding periode yang sama tahun lalu. Didorong percepatan realisasi belanja daerah dan dana desa. Masih terbatasnya penyerapan anggaran terutama di Kaltim Akselerasi Penyerapan belanja pemerintah. Investasi (PMTB) Ekspor LN Impor LN Percepatan realisasi pembangunan infrastruktur, terutama untuk mendukung pelaksanaan ASEAN Games Terbatasnya volume ekspor komoditas perkebunan, terkait faktor global Untuk mendukung kebutuhan bahan baku di Kepri Percepatan realisasi pembangunan infrastruktur berskala besar seperti jalan tol, pelabuhan, dan bandara Perbaikan permintaan ekspor untuk beberapa komoditas a.l garmen & kendaraan bermotor. Didorong oleh peningkatan impor barang konsumsi menjelang akhir tahun dan barang modal. * Tendensi arah kondisi ekonomi secara tahunan (year-on-year) Tertundanya penyelesaian pembangunan proyek infrastruktur terutama karena sebagai dampak kabut asap yang melanda beberapa daerah di Kalimantan Perbaikan ekspor LNG, namun batubara masih akan melemah Impor barang modal naik untuk penyelesaian smelter Investasi swasta (disektor pertambangan dan sub sektor property) tertahan dengan terbatasnya permintaan baik global maupun domestik. Melambatnya kinerja ekspor tembaga dan nikel, disertai berakhirnya izin ekspor tembaga NTB. Terutama akibat penurunan impor barang modal terkait dengan progress pembangunan smelter yang terbatas. Secara keseluruhan tahun, kinerja perekonomian di berbagai daerah pada tahun 2015 diprakirakan tercatat tumbuh lebih lambat dibanding capaian di tahun 2014, kecuali di KTI. Dinamika ekonomi global yang masih diwarnai oleh tingginya ketidakpastian serta rendahnya harga komoditas berdampak kepada masih terbatasnya kinerja ekspor daerah pada keseluruhan tahun Selain itu, realisasi belanja fiskal di tingkat pusat dan daerah juga cenderung terbatas terutama pada paruh pertama 2015 sehingga belum mampu menstimulasi perekonomian secara optimal. Perekonomian KTI diperkirakan dapat mencatat angka pertumbuhan yang lebih tinggi pada 2015 yang didorong oleh kinerja ekspor daerah antara lain berupa bahan mentah tambang setelah diijinkannya kembali ekspor sebagai kompensasi pembangunan smelter. Berbagai perkembangan ekonomi daerah terkini mengindikasikan pertumbuhan ekonomi secara agregat pada keseluruhan tahun 2015 berada bias ke bawah dari kisaran 4,7-5,1%. Gambar I.2. Peta Inflasi Daerah, Oktober 2015 L a p o r a n N u s a n t a r a 3

10 Di sisi perkembangan harga, inflasi di berbagai daerah pada triwulan III 2015 masih terkendali disertai koreksi harga beberapa komoditas pangan strategis. Laju inflasi kumulatif (year-to-date) di berbagai daerah yang cenderung rendah dan berada di bawah kumulatif periode yang sama dalam empat tahun terakhir menunjukkan terkendalinya inflasi. Inflasi kumulatif di Sumatera tercatat merupakan yang terendah yakni sebesar 1,64%, sementara inflasi kumulatif tertinggi tercatat di Kalimantan (3,57%). Minimalnya tekanan inflasi sepanjang periode ini terutama dipengaruhi oleh terjaganya pasokan dan kelancaran distribusi, terutama untuk bahan pangan. Pada akhir triwulan III 2015 bahkan sebagian besar daerah mencatat terjadinya deflasi karena koreksi harga komoditas pangan seiring dengan panen di sejumlah daerah sentra produksi. Selain itu, adanya kebijakan penurunan tarif bawah angkutan udara di yang berlaku pada awal September 2015 turut berkontribusi pada rendahnya tekanan inflasi di berbagai daerah. Terkendalinya inflasi sepanjang periode ini berdampak pada turunnya inflasi secara tahunan (year-on-year) yang hingga akhir triwulan III 2015 tercatat sebesar 5,90% di Sumatera, 6,11% di Jawa, 6,80% di KTI, dan 7,40% di Kalimantan 2. Memasuki awal triwulan IV 2015, perkembangan laju inflasi di berbagai daerah masih tetap terkendali. Sebagian besar daerah mencatat berlanjutnya koreksi harga pangan seperti cabai merah, cabai rawit, daging ayam ras, telur ayam ras dan ikan segar seiring dengan pasokan yang cukup melimpah. Meski demikian, tekanan inflasi yang lebih tinggi terjadi di Kalimantan karena tingginya kenaikan inflasi di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Beberapa faktor yang menyebabkan tekanan inflasi di Kalimantan lebih tinggi antara lain tekanan kenaikan tarif angkutan udara, kenaikan harga beras lokal, serta terkendalanya pasokan dari luar Kalimantan karena dampak kabut asap dan kebakaran hutan. Secara tahunan (year-on-year), inflasi masih cukup tinggi meskipun berangsur turun di hampir seluruh wilayah dan hingga akhir tahun 2015 diperkirakan berada sejalan dengan sasarannya yakni sebesar 4 1%. Terkendalinya inflasi di berbagai daerah tidak terlepas dari berbagai upaya yang ditempuh oleh Pemerintah di tingkat pusat dan daerah dalam menjaga stabilitas harga. Langkah pemerintah di tingkat pusat untuk memperkuat pasokan pangan antara lain melalui upaya intensif mendorong produksi pertanian, serta upaya khusus yang dilakukan untuk menindak aksi penimbunan daging, serta pemberian ijin impor sapi kepada Bulog berdampak positif pada terkendalinya harga pangan di daerah. Selain itu, koordinasi pengendalian inflasi yang ditempuh oleh Bank Indonesia dan Pemerintah di tingkat pusat dan daerah difokuskan pada tindak lanjut arahan Presiden RI pada Rakornas VI TPID 3 antara lain untuk mempercepat pembangunan infrastruktur pangan, memperkuat kerjasama dengan aparat keamanan dalam pengendalian inflasi, serta mengintensifkan komunikasi untuk pengelolaan ekspektasi inflasi masyarakat. Koordinasi pengendalian inflasi juga lebih diarahkan pada upaya-upaya kebijakan untuk mengatasi persoalan struktural di daerah dengan mengacu pada peta jalan (roadmap) pengendalian inflasi daerah yang telah disusun. PROSPEK DAN TANTANGAN EKONOMI DAERAH Prospek Ekonomi Daerah Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2016 diprakirakan membaik terutama di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Prospek perekonomian daerah tahun 2016, secara agregat mengindikasikan perbaikan perekonomian nasional yang diprakirakan akan tumbuh pada kisaran 5,0-5,4%. Prakiraan meningkatnya pertumbuhan ekonomi Jawa didorong oleh optimisme terhadap investasi terutama investasi bangunan terkait dengan percepatan pembangunan proyek-proyek infrastruktur berskala besar di bidang transportasi dan ketenagalistrikan. Selain itu, perbaikan ekspor manufaktur turut berdampak positif bagi peningkatan ekonomi Jawa seiring dengan prakiraan membaiknya permintaan dari negara-negara mitra tujuan ekspor utama terutama US dan Eropa. Masih kuatnya permintaan domestik turut menopang peningkatan ekonomi Jawa di 2 Masih tingginya level inflasi secara year-on-year lebih disebabkan oleh faktor base effect kenaikan harga BBM pada November Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) VI TPID diselenggarakan pada 27 Mei 2015 yang dipimpin langsung oleh Presiden RI L a p o r a n N u s a n t a r a 4

11 2016. Meningkatnya realisasi pembangunan berbagai proyek infrastruktur berskala besar juga diperkirakan turut memacu perbaikan ekonomi Sumatera pada Percepatan pembangunan infrastruktur di Sumatera juga terkait dengan persiapan sarana dan prasarana penunjang kegiatan Asian Games yang akan berlangsung di tahun Sementara itu, masih rendahnya harga komoditas di pasar ekspor berimbas pada kinerja ekspor Sumatera sehingga diperkirakan menahan laju perbaikan ekonomi Sumatera lebih lanjut. Prospek harga komoditas, terutama pertambangan, yang masih rendah diperkirakan turut menahan laju peningkatan ekonomi Kalimantan lebih lanjut. Meski demikian, mulai beroperasinya industri smelter di beberapa daerah di Kalimantan dapat menopang kinerja ekonomi Kalimantan tumbuh lebih tinggi di Di sisi lain, perekonomian KTI diperkirakan tumbuh lebih lambat pada 2016 yang terutama disebabkan oleh masih terbatasnya kinerja ekspor karena faktor harga komoditas yang rendah dan kebijakan pembatasan ekspor mineral sebagai bagian dari upaya mendorong hilirisasi. Di sisi harga, perkembangan inflasi di berbagai daerah pada tahun 2016 diperkirakan tetap terkendali dan sejalan dengan kisaran sasaran inflasi nasional sebesar 4±1%. Hal ini didukung oleh masih terbatasnya tekanan kenaikan harga komoditas seiring dengan laju pemulihan ekonomi global yang diperkirakan masih berlangsung secara gradual. Selain itu, permintaan domestik diperkirakan masih akan tumbuh secara moderat disertai ekspektasi inflasi yang tetap terjaga. Dukungan kebijakan dan koordinasi yang semakin kuat antara Bank Indonesia dan pemerintah di tingkat pusat dan daerah, terutama dalam pengendalian inflasi memberikan optimisme terhadap terkendalinya inflasi di Selain itu, terkendalinya inflasi didukung oleh langkah koordinasi pengendalian inflasi daerah yang difokuskan untuk mengatasi permasalah struktural dengan mengacu pada peta jalan (roadmap) pengendalian inflasi daerah. Meski demikian, risiko kenaikan inflasi di daerah pada 2016 diperkirakan cukup besar terutama terkait dengan kemungkinan implementasi sejumlah kebijakan energi oleh Pemerintah. Beberapa rencana pemerintah terkait kebijakan energi tersebut antara lain penyesuaian harga LPG 3 Kg, pengalihan pelanggan listrik dengan daya 900VA ke 1300VA, penyesuaian tarif listrik rumah tangga kelompok 1300VA dan 2200 VA sesuai dengan harga keekonomiannya yang semulai direncanakan diimplementasi pada 2015, dan penyesuaian harga BBM. Penyesuaian harga jual komoditas sebagai dampak dari perubahan nilai tukar rupiah (passthrough nilai tukar) diperkirakan turut menjadi risiko bagi inflasi. Selain itu, risiko terkait dengan dampak El Nino diperkirakan menyebabkan mundurnya masa panen sehingga dapat memengaruhi pasokan pada pada periode paceklik. Tantangan Ke Depan Perkembangan ekonomi daerah sepanjang tahun 2015 memberikan beberapa catatan penting yang perlu menjadi perhatian guna upaya meningkatkan kinerja ekonomi daerah. Pertama, perkembangan harga komoditas yang masih terus menurun disertai lambatnya pemulihan ekonomi global yang berdampak pada kinerja ekspor, khususnya untuk daerah-daerah yang selama ini mengandalkan ekspor komoditas primer. Tingginya ketergantungan pada komoditas primer di beberapa daerah ditengah situasi global yang diwarnai ketidakpastian menyebabkan turunnya pendapatan ekspor yang pada akhirnya berakibat pada penurunan daya beli masyarakat. Hal ini juga berimbas pada pendapatan fiskal daerah sehingga berimbas pada terbatasnya kemampuan belanja daerah untuk menstimulasi perekonomian. Untuk menjaga keberlanjutan pembangunan ekonomi daerah, maka penyesuaian strategi kebijakan yang bersifat struktural sangat diperlukan. Kebijakan diversifikasi komoditas ekspor dan terutama komoditas hasil olahan melalui industrialisasi dan atau hilirisasi yang mampu memberi nilai tambah yang lebih tinggi. Kebijakan dapat dilakukan melalui insentif fiskal maupun non-fiskal, disertai sinergi kebijakan yang kuat antara pusat dan daerah. Kedua, peran industri dalam perekonomian yang justru cenderung menurun di tengah upaya mendorong peningkatan nilai tambah perekonomian. Hal itu tercermin dari pangsa sektor industri dalam PDB dan pangsa ekspor sektor industri yang menurun. Penurunan kinerja tersebut sejalan dengan melemahnya daya saing industri, khususnya industri medium & high tech, disertai persaingan global yang semakin meningkat. Hal ini, L a p o r a n N u s a n t a r a 5

12 antara lain disebabkan oleh sejumlah permasalahan struktural yang masih mengemuka, termasuk infrastruktur logistik, yang perlu segera diatasi. Pengembangan industri perlu diperkuat melalui strategi peningkatan daya saing dengan fokus pada kebijakan penguatan struktur industri, akses pasar dan kualitas tenaga kerja. Selain itu, pengembangan industri secara keseluruhan terus dilakukan dengan mengacu pada roadmap untuk mencapai industri nasional yang kuat, berdaya saing, serta berbasis inovasi dan teknologi. (Lihat Isu Khusus 1. Memperkuat Daya Saing Industri) Ketiga, pengembangan kepariwisataan perlu menjadi salah satu perhatian khusus mengingat potensinya dalam mendorong perekononomian dan juga sebagai sumber devisa nasional. Namun, pengembangan potensi kepariwisataan juga masih terkendala oleh permasalahan infrastruktur, khususnya aksesibilitas, sehingga menekan daya saingnya diantara negara-negara kawasan. Hal ini tercermin dari jumlah kunjungan wisatawan asing yang masuk ke Indonesia yang berada jauh dibawah negara Thailand dan Malaysia 4. Berbagai langkah yang telah dilakukan Pemerintah seperti kebijakan pembebasan visa kunjungan menjadi total 90 negara, kemudahan wisatawan mancanegara masuk ke Indonesia menggunakan yacht (kapal), dan mempercepat pengembangan infrastruktur bandara dan pelabuhan laut perlu perlu diperkuat dengan upaya mendorong daya saing pariwisata. Fokus perhatian adalah pada upaya penyediaan infrastruktur pendukung aksesibilitas yang memadai antar destinasi wisata, termasuk peningkatan kapasitas bandara dan/atau pembangunan bandara baru yang saat ini sudah tidak lagi memadai sebagai pintu masuk atau hub pariwisata nasional, penyediaan sarana (amenities) yang mendukung, serta pengembangan atraksi. (Lihat Isu Khusus 2. Optimalisasi Potensi Pariwisata Dalam Mendukung Percepatan Pengembangan Ekonomi). Keempat, penyerapan belanja daerah yang masih terbatas ditengah semakin meningkatnya alokasi transfer daerah. Hal ini menyebabkan dana milik pemerintah daerah di perbankan masuk dalam kecenderungan meningkat cukup tinggi pada akhir Triwulan III Di sisi lain, alokasi belanja pemerintah daerah pada RAPBN 2016 yang meningkat hingga 21,5% atau menjadi Rp782,2 triliun memberikan peluang besar dalam mempercepat pengembangan ekonomi daerah. Untuk itu, diperlukan berbagai langkah strategis untuk memastikan penyerapan belanja daerah tepat waktu dan sasaran, khususnya yang ditujukan untuk pengembangan infrastruktur daerah, termasuk upaya meningkatkan kapasitas desa dalam pengelolaan dana desa. Kelima, mengantisipasi potensi risiko inflasi di 2016, koordinasi pengendalian inflasi di tingkat pusat maupun daerah melalui TPI dan TPID perlu difokuskan pada upaya untuk meminimalkan dampak inflasi dari beberapa rencana kebijakan energi pemerintah pada awal tahun 2016, memitigasi kemungkinan gangguan pasokan akibat potensi pergeseran masa panen disertai upaya untuk terus memperkuat kesinambungan pasokan pangan. Upaya pengendalian inflasi ke depan perlu terus dipertajam dengan mengacu pada tahapan peta jalan atau roadmap pengendalian inflasi guna mengatasi permasalahan inflasi secara lebih struktural. Laporan Nusantara ini disarikan dari hasil pertemuan Dewan Gubernur Bank Indonesia dengan para Kepala Departemen Regional pada 12 November 2015 di Yogyakarta. Pertemuan tersebut dilakukan secara periodik untuk membahas perkembangan terkini kosongkan dan berbagai isu strategis yang menjadi perhatian di daerah sebagai bahan pertimbangan penting dalam perumusan kebijakan di Bank Indonesia. 4 UNWTO mencatat pada tahun 2014 jumlah kunjungan wisatawan asing yang masuk ke Indonesia sebesar 9,8 juta orang, sementara wisatawan asing yang masuk ke Malaysia dan Thailand masing-masing berada di kisaran 26 juta orang. L a p o r a n N u s a n t a r a 6

13 PERTUMBUHAN EKONOMI Perekonomian Sumatera pada triwulan III 2015 membaik dibandingkan triwulan sebelumnya, terjadi akselerasi pertumbuhan dari 2,88% (yoy) menjadi 3,04% (yoy). Membaiknya pertumbuhan ekonomi Sumatera terutama didorong oleh pembangunan proyek-proyek pemerintah. Belanja pemerintah yang masih terbatas pada Semester I mulai mengalami akselerasi pada triwulan III 2015, terutama untuk pembangunan infrastruktur seperti persiapan Asian Games Secara sektoral, pertumbuhan ekonomi terutama ditopang oleh sektor industri pengolahan, konstruksi, serta membaiknya sektor pertambangan meskipun masih tumbuh negatif. Secara spasial, peningkatan perekonomian terjadi di Sumsel dan Lampung. Pada triwulan laporan, Riau dan Aceh masih tercatat mengalami kontraksi pertumbuhan meski tidak sedalam triwulan sebelumnya. Namun, bencana kabut asap di beberapa provinsi telah memberi dampak terhadap melemahnya konsumsi terutama di tiga provinsi yang mengalami bencana kabut asap terbesar yakni Riau, Jambi dan Sumatera Selatan. Pemulihan ekonomi diprakirakan akan terus berlanjut hingga triwulan IV Pertumbuhan ekonomi triwulan mendatang akan didorong oleh masih berlanjutnya pembangunan infrastruktur Pemerintah, pelaksanaan kegiatan Pilkada serentak yang dilaksanakan di 4 provinsi dan 80 kota/kabupaten, serta meningkatnya konsumsi swasta khususnya konsumsi rumah tangga. Dari sisi sektoral, pertumbuhan triwulan mendatang akan bersumber dari meningkatnya kinerja pertanian terutama produksi tanaman bahan makanan (tabama), disertai membaiknya produksi migas hingga November 2015 dibandingkan periode sebelumnya, dan membaiknya kinerja produksi batubara seiring dengan beroperasinya double track kereta api di Sumatera Selatan. Selain itu, paska bencana kabut asap, kinerja sektor utama diprakirakan kembali meningkat 5. Perbaikan diperkirakan akan terjadi di seluruh provinsi. Secara keseluruhan, perekonomian Sumatera pada tahun 2015 diprakirakan tumbuh pada kisaran 3,40% atau melambat dibandingkan tahun 2014 yang sebesar 4,64%. Melemahnya harga komoditas dan permintaan dunia membuat kinerja sektor utama Sumatera menurun. Kondisi ketidakpastian situasi perekonomian menyebabkan sektor swasta cenderung menahan investasi yang bersifat ekspansi. Permasalahan tersebut diperparah dengan kekeringan yang lebih panjang serta dampak kabut asap yang berlangsung pada triwulan III hingga awal triwulan IV Berbagai kondisi tersebut pada akhirnya menekan laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Belanja pemerintah yang masih relatif rendah hingga triwulan III 2015 diperkirakan turut mempengaruhi melambatnya pertumbuhan ekonomi Sumatera. Pertumbuhan ekonomi Sumatera diprakirakan membaik pada tahun 2016 yakni berada pada kisaran 4,0 4,5%. Membaiknya pertumbuhan ekonomi Sumatera terutama berasal dari perbaikan sisi domestik melalui peningkatan kinerja sektor utama. Selain itu, paket kebijakan ekonomi yang disertai agenda pembangunan infrastruktur Pemerintah telah memberi persepsi positif terhadap ekspektasi kondisi ekonomi ke depan, serta diprakirakan mendorong perbaikan konsumsi rumah tangga. Perbaikan ekonomi pada tahun 2016 diprakirakan akan terjadi atau didukung oleh seluruh provinsi. Berbagai indikator makroekonomi daerah mengindikasikan tren perbaikan perekonomian Sumatera kedepan. 5 Sektor utama perekonomian Kawasan Sumatera adalah sektor pertanian, pertambangan, industri pengolahan, serta perdagangan besar dan eceran. L a p o r a n N u s a n t a r a 7

14 Konsumsi Konsumsi Swasta Pertumbuhan konsumsi swasta pada triwulan III 2015 melambat dibandingkan triwulan sebelumnya terutama bersumber dari melambatnya konsumsi rumah tangga. Konsumsi rumah tangga tercatat tumbuh sebesar 4,78% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 5,16% (yoy). Penurunan konsumsi rumah tangga diindikasikan akibat melemahnya daya beli masyarakat yang tercermin dari Indeks Penjualan Eceran yang menurun, serta dampak bencana kabut asap sehingga membuat masyarakat tidak dapat beraktivitas secara normal terutama di Jambi, Riau, dan Sumatera Selatan. Perlambatan konsumsi swasta juga tercermin dari pertumbuhan penyaluran kredit konsumsi yang mengalami perlambatan (Grafik II.1) serta Indeks Keyakinan Konsumen yang menurun (Grafik II.2). Konsumsi swasta diprakirakan akan mengalami perbaikan pada triwulan IV 2015, didorong oleh konsumsi rumah tangga dan konsumsi lembaga non profit rumah tangga (LNPRT). Peningkatan konsumsi swasta diperkirakan didorong oleh penyelenggaran Pilkada di 4 provinsi dan 80 kota/kabupaten seluruh Sumatera. Selain itu, perkiraan panen kelapa sawit pada akhir tahun akan meningkatkan pendapatan masyarakat sehingga akan mendorong konsumsi rumah tangga di triwulan IV Untuk keseluruhan tahun, konsumsi swasta diperkirakan tumbuh melambat dibandingkan periode tahun sebelumnya. Kondisi ini banyak dipengaruhi oleh penurunan pendapatan masyarakat yang mayoritas bergantung pada sektor pertanian akibat penurunan harga komoditas internasional. Hal ini diperparah dengan bencana kabut asap yang berlangsung relatif lebih lama dibandingkan tahun sebelumnya. Grafik II.1. Perkembangan Kredit Konsumsi Grafik II.2. Indeks Keyakinan Konsumen Konsumsi Pemerintah Pertumbuhan konsumsi pemerintah pada triwulan III 2015 meningkat signifikan dibandingkan triwulan sebelumnya. Konsumsi pemerintah tercatat tumbuh dari 2,79% (yoy) menjadi 6,54% (yoy). Pertumbuhan ini terjadi di hampir seluruh provinsi kecuali Kep. Riau dan Kep. Bangka Belitung. Hal ini juga tercermin dari menurunnya simpanan Pemda di perbankan dari 21,86% (yoy) pada triwulan II 2015 menjadi 17,25% (yoy) pada triwulan III 2015 (Grafik II.3). Pada triwulan IV konsumsi pemerintah diprakirakan akan terus meningkat meski pertumbuhannya secara tahunan tetap memperlihatkan perlambatan. Realisasi konsumsi pemerintah sampai dengan triwulan III 2015 masih relatif rendah, hanya terdapat tiga provinsi yang realisasi anggarannya lebih tinggi dari realisasi triwulan III tahun lalu, yaitu Sumatera Utara, Riau, dan Kep. Riau (Tabel II.1). Belanja pemerintah daerah terkait pelaksanaan Pilkada serentak pada akhir triwulan IV 2015 yang berlangsung di 4 provinsi dan 80 kabupaten/kota secara persentase masih tergolong rendah sehingga diprakirakan tidak akan mampu mendukung penyerapan anggaran secara optimal. Hal ini memperkuat prakiraan bahwa realisasi belanja pemerintah daerah pada tahun 2015 akan lebih rendah dibandingkan realisasi tahun L a p o r a n N u s a n t a r a 8

15 Grafik II.3. Perkembangan Posisi Simpanan Pemda Sumatera di Bank Umum Investasi Tabel II.1. Perkembangan Realisasi Belanja Pemerintah Daerah PROVINSI REALISASI BELANJA Growth Anggaran III 2014 (%) III 2015 (%) ACEH 39,40 27,87-4,58 SUMUT 50,66 52,00 1,80 SUMBAR 57,76 49,97 12,25 RIAU 15,18 32,30 29,08 JAMBI 53,89 48,27 7,59 KEPRI 38,94 49,34 1,67 SUMSEL 52,32 51,72 19,09 BENGKULU 57,31 45,40 9,38 LAMPUNG 63,15 56,64 5,69 BABEL 45,74 45,31 6,08 TENDENSI Kinerja investasi pada triwulan III 2015 meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya, sejalan peningkatan realisasi proyek infrastruktur Pemerintah maupun swasta 6. Investasi Sumatera tumbuh sebesar 2,45% (yoy), lebih tinggi dibandingkan triwulan II 2015 yang tumbuh sebesar 1,06% (yoy). Meningkatnya kinerja investasi di Sumatera tercermin dari kenaikan konsumsi semen (Grafik II.5) dari -3,10% (yoy) pada triwulan II 2015 menjadi 18,20% (yoy), serta pertumbuhan penyaluran kredit investasi dari 10,02% (yoy) di triwulan II 2015 menjadi 13,64% (yoy) di triwulan III 2015 (Grafik II.4). Grafik II.4. Kredit Investasi Sumatera Grafik II.5. Konsumsi Semen Sumatera Ke depan, investasi diprakirakan akan terus meningkat, didorong oleh realisasi belanja pemerintah pada triwulan IV Beberapa pembangunan infrastruktur pemerintah akan berlanjut hingga triwulan IV 2015, diantaranya fasilitas infrastruktur untuk Asian Games 2018 di Sumatera Selatan, serta megaproyek tol trans Sumatera, meski baru berjalan di wilayah Lampung (Bakauheni Terbanggi Besar). Selain investasi pemerintah, investasi swasta seperti industri pengolahan di Kep. Riau, serta properti, perkebunan, dan industri pengolahan di Riau diprakirakan meningkat 7. Namun demikian, secara keseluruhan tahun 2015, pertumbuhan investasi di Sumatera diprakirakan masih relatif lebih lambat dibandingkan Ekspor Bencana kabut asap berimbas pada kinerja ekspor Sumatera yang tertekan lebih dalam pada triwulan laporan. Penurunan kinerja ekspor pada triwulan III 2015 terutama disebabkan oleh penurunan kinerja ekspor antar daerah yang dalam sehingga perbaikan ekspor luar negeri karena migas belum mampu untuk mengkompensasi. Hasil liaison mengonfirmasi kabut asap menghambat aktivitas petani sehingga tidak dapat memanen hasil kelapa sawit, mempersulit kegiatan penambang, serta menghambat kegiatan perdagangan 6 Hasil liaison menyebutkan bahwa terjadi peningkatan investasi dari 0,54 menjadi 0,65. 7 Hasil liaison Kep. Riau menyebutkan bahwa terjadi peningkatan pada investasi industri pengolahan khususnya industri elektronik, sementara hasil liaison menyebutkan bahwa terjadi peningkatan pada pembangunan properti di Riau seperti hotel dan apartemen. L a p o r a n N u s a n t a r a 9

16 antar daerah. Hal ini sejalan dengan kinerja ekspor luar negeri non migas yang relatif masih melambat (Grafik II.6) terutama pada komoditas kelapa sawit dan batubara (Grafik II.7). Kinerja ekspor luar negeri Sumatera mulai mengalami perbaikan terutama di migas dari Sumatera Selatan dan Riau meski masih tumbuh negatif. Grafik II.6. Perkembangan Nilai Ekspor dan Impor Luar Negeri Sumatera Grafik II.7. Perkembangan Nilai Ekspor Komoditas Sumatera Kinerja ekspor pada triwulan IV 2015 diprakirakan membaik sejalan dengan pemulihan kinerja sektor utama Sumatera. Hasil liaison mengonfirmasi optimisme pelaku usaha terhadap kinerja ekspor luar negeri ke depan. Namun, pertumbuhan kinerja ekspor diprakirakan masih terbatas akibat koreksi harga komoditas khususnya kelapa sawit, karet, dan minyak bumi masih terus terjadi (Tabel II.2). Perkembangan kinerja ekspor terkini mengindikasikan bahwa ekspor Sumatera untuk keseluruhan tahun 2015 diprakirakan tumbuh melambat dibandingkan tahun Tabel II.2. Proyeksi Harga Komoditas Internasional Sumber: IMF Commodity Prices Outlook Impor Perkembangan aktivitas impor Sumatera mengalami peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya baik yang berasal dari luar negeri maupun antardaerah. Sejalan dengan peningkatan investasi serta pemenuhan kebutuhan pengembangan infrastruktur. Peningkatan impor terutama didorong oleh meningkatnya impor barang modal (Grafik II.8), seperti besi baja dan pupuk (Grafik II.9). Ke depan, impor diperkirakan masih tumbuh lebih tinggi didorong oleh kebutuhan pembangunan berbagai proyek infrastruktur serta kebutuhan konsumsi yang cenderung meningkat di akhir tahun. Namun demikian, dengan capaian hingga triwulan III 2015, kinerja impor tahun 2015 diperkirakan mengalami perlambatan, terutama sebagai akibat melambatnya pembangunan di awal tahun. L a p o r a n N u s a n t a r a 10

17 Grafik II.8. Perkembangan Nilai Kelompok Impor Sumatera Grafik II.9. Perkembangan Nilai Komoditas Impor Sumatera Kinerja Sektor Utama Daerah Sektor Pertanian Perlambatan sektor pertanian masih berlanjut hingga triwulan III 2015, terutama akibat kekeringan dan diperparah oleh adanya bencana kabut asap yang melanda sebagian daerah di Sumatera. Sektor pertanian tercatat tumbuh 0,37% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 2,30% (yoy). Penurunan kinerja ini terjadi di hampir seluruh provinsi, dengan penurunan paling signifikan terjadi di provinsi Riau 8. Pada triwulan ini, terjadi kekeringan yang lebih luas dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini menyebabkan turunnya produksi perkebunan di Riau dan juga produksi Tabama di Lampung. Selain itu, bencana kekeringan juga menyebabkan dampak kebakaran hutan tahun ini lebih parah dibandingkan tahun 2014, sehingga berimbas cukup besar pada aktivitas perekonomian sebagian daerah di Sumatera 9. Sumber: Bloomberg Grafik II.10. Harga CPO Internasional Grafik II.11. Kredit Sektor Pertanian Sektor pertanian diprakirakan membaik pada triwulan IV 2015, terutama didorong oleh masuknya musim panen kelapa sawit. Selain itu, perkembangan harga internasional juga menunjukkan sedikit perbaikan ke level USD525,94/mt dibandingkan triwulan III 2015 sebesar USD469,17/mt (Grafik II.10), sehingga dapat menjadi insentif bagi pelaku usaha. Indikasi peningkatan sektor pertanian tercermin dari pertumbuhan kredit sektor pertanian pada triwulan III 2015 yang mula membaik (Grafik II.11). Hasil liaison juga menunjukan kecenderungan yang sama, dimana penjualan sektor pertanian, baik domestik maupun ekspor, diperkirakan akan mengalami pertumbuhan pada triwulan IV. Namun dengan perkembangan tersebut, sektor pertanian diprakirakan masih tetap akan mengalami perlambatan untuk keseluruhan tahun 2015 jika dibandingkan tahun Hal ini terutama disebabkan oleh penurunan permintaan global yang menyebabkan harga internasional komoditas perkebunan pada tahun ini lebih rendah dibandingkan tahun Kontraksi sektor pertanian Riau 9,37% (yoy). 9 Hasil liaison menyebutkan bahwa terbatasnya jarak pandang ini membuat banyak petani kesulitan ketika melakukan panen L a p o r a n N u s a n t a r a 11

18 Sektor Pertambangan Kontraksi sektor pertambangan masih berlanjut pada triwulan III 2015, namun tidak sedalam triwulan II Sektor pertambangan tercatat mengalami penurunan -1,62% (yoy), sedikit lebih baik dibandingkan kontraksi pada triwulan II 2015 yang tercatat sebesar -2,17% (yoy). Perbaikan tersebut terutama dipengaruhi oleh kinerja lifting minyak bumi di Riau (Grafik II.12). Selain itu, kinerja pertambangan batubara di Sumatera Selatan juga mengalami perbaikan meski di tengah penurunan harga komoditas internasional. Hal ini dikarenakan hasil produksi batubara tersebut terutama dimaksudkan untuk memenuhi permintaan domestik. Di sisi lain, kinerja penambangan timah sempat mengalami penurunan akibat diberlakukannya Peraturan Menteri Perdagangan No 33/M-Dag/Per/5/ pada bulan Agustus 2015, yang mengakibatkan industri timah menunggu petunjuk teknis untuk memperoleh izin persetujuan ekspor. Hal ini sempat mengakibatkan kenaikan harga timah. Perbaikan kontraksi sektor pertambangan diprakirakan masih akan berlanjut hingga triwulan mendatang. Pendorong utama perbaikan sektor pertambangan ini diprakirakan bersumber dari kinerja lifting minyak bumi yang meningkat 11,72% (yoy) hingga November 2015, serta beroperasinya PLTU mulut tambang, yaitu PLTU Banjarsari. Namun, minimnya eksplorasi migas di Sumatera, membuat produksi terus menurun (Grafik II.12), sehingga kinerja sektor pertambangan pada keseluruhan tahun 2015 diperkirakan mengalami kontraksi yang lebih dalam dibandingkan periode Sumber: Kementerian ESDM Grafik II.12. Perkembangan dan Proyeksi Lifting Minyak di Riau Sumber: Bloomberg Grafik II.13. Harga Batubara Internasional Sektor Industri Pengolahan Pertumbuhan sektor industri pengolahan mengalami peningkatan pada triwulan III 2015 dibandingkan triwulan II Kinerja industri pengolahan tercatat tumbuh sebesar 4,38% (yoy), lebih tinggi dari triwulan sebelumnya sebesar 2,86% (yoy). Secara spasial, peningkatan kinerja industri pengolahan terjadi di hampir seluruh provinsi dengan yang terbesar dialami oleh Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, dan Lampung. Peningkatan tersebut sejalan dengan pertumbuhan kinerja penyaluran kredit sektor industri pengolahan yang mengalami peningkatan dari 10,02% (yoy) pada triwulan II 2015 menjadi 17,84% (yoy) pada triwulan III 2015 (Grafik II.14). Peningkatan tersebut juga dikonfirmasi oleh beberapa hasil survei Bank Indonesia 11. Peningkatan kinerja industri pengolahan diprakirakan masih terjadi hingga triwulan IV 2015 mendatang. Hal ini sejalan dengan prakiraan masuknya musim panen kelapa sawit di sejumlah daerah sehingga akan mendorong kinerja industri pengolahan kelapa sawit. Selain itu, produksi pupuk di Aceh diperkirakan berkontribusi bagi 10 Permendag merevisi Permendag Nomor 44/M-Dag/Per/7/2014 tentang Ketentuan Ekspor Timah dengan tujuan untuk menjaga Sumber Daya Alam agar Berkelanjutan. Di Permendag baru, jenis timah yang dapat diekspor adalah Timah Murni Batangan, Timah Solder, dan Barang Lainnya dari Timah. Perdagangan timah murni batangan, untuk ekspor maupun domestik, wajib melalui Bursa Timah. Dalam melakukan ekspor, eksportir harus memiliki pengakuan Eksportir Terdaftar (ET) baik untuk ET-Timah Murni Batangan atau ET-Timah Industri. Selain itu, eksportir juga harus memiliki Persetujuan Ekspor (PE) untuk mencantumkan perkembangan kinerja ekspor timah serta pelaku usaha dari waktu ke waktu. 11 ditunjukkan dengan peningkatan Indeks Kegiatan Dunia Usaha Sektor Industri Pengolahan serta hasil liaison penjualan sektor industri pengolahan L a p o r a n N u s a n t a r a 12

19 peningkatan industri di Sumatera. Prakiraan tersebut, sejalan dengan ekspektasi pelaku usaha yang masih positif dalam melihat prospek ekonomi ke depan 12. Setelah mengamati capaian hingga triwulan III 2015, sektor industri pengolahan diperkirakan mengalami perlambatan pada keseluruhan tahun 2015 sebagai akibat dari melemahnya permintaan dunia, sehingga menyebabkan harga internasional dan harga domestik khususnya komoditas perkebunan menurun (Grafik II.15). Grafik II.14. Kredit ke Sektor Industri Pengolahan PERKEMBANGAN INFLASI Grafik II.15. Harga Lokal TBS Sumatera Inflasi Sumatera pada triwulan III 2015 melambat dibandingkan triwulan sebelumnya. Inflasi Sumatera triwulan III 2015 tercatat 6,79% (yoy) lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 7,74% serta realisasi inflasi nasional 6,83% (yoy) (Grafik II.16). Kondisi tersebut juga terlihat dari perkembangan inflasi tahun kalender (periode Januari September) sebesar 1,64% (ytd), lebih rendah dibandingkan inflasi nasional 2,24% (ytd). Hal ini dikarenakan pelemahan tekanan inflasi khususnya di Sumatera Barat dan Jambi yang mencatatkan angka negatif (deflasi). Sementara itu, inflasi tahun kalender tertinggi terjadi di Provinsi Kepulauan Riau mencapai 3,65% (ytd). Berdasarkan disagregrasi inflasi, melambatnya laju inflasi di triwulan III 2015 terutama disebabkan oleh penurunan inflasi volatile food (Grafik II.17). Terjaganya pasokan bahan makanan baik dari Kawasan Sumatera maupun luar wilayah berdampak pada turunnya harga bahan makanan seperti bawang merah, cabai merah dan tomat. Beberapa komoditas aneka daging juga mengalami penurunan harga sehingga berdampak terhadap penurunan harga daging ayam sebagai substitusi. Namun, untuk komoditas beras justru cenderung naik akibat berakhirnya masa panen raya serta dampak El Nino yang melanda beberapa daerah sentra produksi beras seperti Jawa dan Provinsi Lampung. Dari sisi permintaan, bencana kabut asap yang melanda beberapa provinsi di Sumatera menyebabkan menurunnya aktivitas perdagangan dan permintaan masyarakat sehingga mempengaruhi turunnya harga. Selanjutnya, tekanan inflasi administered price juga menurun disebabkan oleh penyesuaian harga BBM yakni untuk jenis non premium 13 dan peningkatan tarif angkutan udara. Perayaan hari besar keagamaan pada bulan Juli disertai dengan budaya pulang kampung bersama menyebabkan meningkatnya intensitas penerbangan sampai dengan bulan Agustus. Dari sisi inflasi inti, tekanan harga sesuai dengan datangnya tahun ajaran baru yang selalu ditandai dengan kenaikan biaya pendidikan seperti Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Atas. Pada triwulan IV 2015, tekanan inflasi diprakirakan menurun dibandingkan triwulan III Sampai dengan bulan Oktober 2015, inflasi tahun kalender (Januari Oktober) baru mencapai 1,42% sejalan dengan deflasi yang terjadi di bulan Oktober yang lebih rendah dari nasional 2,16%. Secara spasial, dua provinsi masih mencatatkan angka deflasi yakni Sumatera Barat (-1,21%/ytd) dan Jambi (-0,04%/ytd). Rendahnya inflasi Sumatera Barat dan Jambi disebabkan oleh menurunnya komoditas volatile food seiring dengan tercukupinya 12 yang tercermin dari Indeks Kegiatan Usaha Sektor Industri Pengolahan yang diperkirakan meningkat dari -2,95% menjadi 6, Penyesuaian harga bbm per 1 September 2015 sebesar Rp700 - Rp800/liter untuk jenis oktan 92, Rp150 Rp700/liter untuk jenis oktan 95, serta Rp1.100 untuk solar non subsisdi L a p o r a n N u s a n t a r a 13

20 pasokan yang berasal dari Kerinci (Jambi) dan Sumatera Utara. Sementara itu, inflasi tahun kalender tertinggi dialami oleh provinsi Lampung dan Kepulauan Riau, masing-masing sebesar 3,12% dan 2,91%. Tingginya inflasi Lampung disebabkan oleh meningkatnya bahan makanan seperti beras sebagai dampak dari kekeringan El Nino. Sementara tingginya inflasi Kepulauan Riau dipengaruhi oleh meningkatnya harga bahan makanan sejak adanya pembatasan dan pengetatan pengawasan impor bahan makanan terutama beras dan hortikultura. Selama ini, pasokan bahanan makanan di Kepulauan Riau sebagian besar dipenuhi melalui impor. Sumber: BPS, diolah Grafik II.16 Inflasi Tahunan Sumatera dan Nasional (%) Sumber: BPS, diolah Grafik II.17. Disagregasi inflasi Sumatera Tabel II.3 Komoditas Penyumbang Inflasi Tertinggi Triwulan Juli-September 2015 Sumber: BPS, diolah Grafik II.18. Inflasi Tahun Kalender Per Provinsi Sumatera Sumber: BPS, diolah Secara keseluruhan, inflasi Sumatera tahun 2015 diperkirakan lebih rendah dibandingkan tahun 2014, yakni di kisaran 2,70%, di bawah sasaran inflasi nasional. Terjaganya pasokan pangan, penurunan harga BBM di awal tahun, terbatasnya konsumsi masyarakat sejalan dengan rendahnya pendapatan menyebabkan rendahnya angka inflasi Sumatera tahun Risiko inflasi dalam dua bulan mendatang (November Desember) diprakirakan bersumber dari meningkatnya harga komoditas volatile food terkait dengan risiko kekeringan akibat El Nino yang melanda Sumatera Bagian Selatan dan Jawa serta normalisasi harga tiket pesawat di beberapa provinsi yang sempat turun akibat tidak adanya penerbangan saat bencana kabut asap September- Oktober. Koordinasi Pengendalian Inflasi Dalam rangka upaya pengendalian inflasi, TPID di Sumatera telah melaksanakan beberapa kegiatan dengan beberapa kegiatan unggulan daerah, meliputi: a. Mengoperasionalkan Gedung Pengendalian Inflasi di Provinsi Sumatera Barat yang berfungsi sebagai terminal agrobisnis dalam rangka menyeimbangkan permintaan-penawaran dan stabilisasi harga komoditas pangan utama di Provinsi Sumatera Barat; L a p o r a n N u s a n t a r a 14

21 b. Diversifikasi pangan dan konsumsi produk lokal di Provinsi Bengkulu. TPID Provinsi Bengkulu menghimbau kepada Pemerintah Daerah, pengusaha, dan masyarakat setempat untuk mengkonsumsi produk-produk hasil lokal termasuk konsumsi pisang yang merupakan komoditas utama Provinsi Bengkulu sebagai sarapan; c. Program sentuh air dan tanah, serta pembentukan klaster perikanan di Provinsi Kepulauan Riau; d. Pembentukan klaster cabai di Provinsi Bangka Belitung; e. Pembentukan klaster cabai dan padi di Jambi; Selain kegiatan tersebut, beberapa provinsi telah mengadakan kerjasama antar daerah dalam rangka menjaga pasokan serta menstabilkan harga, antara lain: a. Kerjasama dalam pengendalian pasokan cabai merah di Kabupaten Batubara dan Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara; b. Persiapan Memorandum of Understanding (MoU) kerjasama antar daerah Kota Padang dan Kota Solok, Provinsi Sumatera Barat; c. Pertukaran informasi bahan pangan di Pulau Bintan dan Kota Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau; d. Pengadaan kegiatan temu usaha pengusaha cabai merah di Palembang dan Kabupaten Ogan Komering Ilir, Provinsi Sumatera Selatan; e. Kerjasama penyediaan bahan pangan antara Provinsi Lampung dengan Provinsi DKI Jakarta. Tindak Lanjut Rakornas TPID Menindaklanjuti arahan Presiden dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID), TPID se-sumatera telah melakukan langkah-langkah sebagai berikut: Arahan dalam Rakornas Progress 1 Pembentukan TPID Kab/Kota Masih 6 Kabupaten di Prov. Lampung dan 6 Kabupaten di Prov. Aceh belum memiliki TPID 2 Identifikasi komoditas penyumbang inflasi Semua TPID Provinsi telah memiliki PIHPS dan menyusun mapping komoditas utama penyumbang inflasi ke dalam Roadmap Pengendalian Inflasi Provinsi 3 Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pangan Pembangunan 16 Lumbung Pangan (Sumut), Lembaga Distribusi Pangan (Sumsel),Pasar Induk & Distribusi Regional (Sumbar), Gedung Inflasi (Sumbar), Irigasi Usaha Tani (Bengkulu), dan Jalan Usaha Tani (Aceh) 4 Penanaman cabai merah di pekarangan Sosialisasi dan pelaksanaan Program Kawasan Rumah Pangan 5 Alokasi anggaran untuk stabilisasi harga (pasar murah, subsidi angkut) 6 Pengawasan pasokan dan distribusi bahan makanan bersama aparat penegak hukum 7 Penguatan Komunikasi dan Kerjasama Antar Daerah Lestari Hampir semua provinsi sudah mengalokasi anggaran untuk subsidi angk. barang dan pasar murah, serta melakukan program stabilisasi harga Inspeksi mendadak yang dilakukan oleh TPID bekerja sama dengan aparat hukum Rakor tim teknis dan HLM (semua provinsi), Kajian Perdagangan Antar Daerah (Aceh, Sumut, Jambi, Kepri), MoU Kerjasama Antar Daerah (Aceh, Sumut) 8 Mendorong Peluang Hilirisasi/Industri Program PTSP untuk kemudahan perizinan industrilisasi (Sumut) 9 Percepatan Realisasi APBN/APBD Untuk Stimulus Ekonomi Fasilitasi percepatan pembangunan PLTA dan PLTG (Sumut), serta pembangunan tol trans Sumatera (Sumut dan Sumsel) L a p o r a n N u s a n t a r a 15

22 STABILITAS SISTEM KEUANGAN, PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN, DAN PENGELOLAAN UANG TUNAI RUPIAH Ketahanan Sektor Korporasi Kinerja penyaluran kredit korporasi tumbuh meningkat sejalan dengan perbaikan ekonomi di Sumatera. Pada triwulan III 2015, kredit korporasi tumbuh 16,27% (yoy), lebih tinggi jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang sebesar 9,4% (yoy) (Grafik II.19). Secara sektoral, peningkatan penyaluran kredit didorong oleh peningkatan penyaluran kredit di ketiga sektor utama, yaitu sektor pertanian, sektor industri pengolahan, dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran (Grafik II.20). Berdasarkan provinsi, pertumbuhan kredit mulai terjadi di hampir seluruh provinsi terutama Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Jambi. Ketahanan keuangan korporasi di wilayah Sumatera masih terjaga dengan tingkat risiko kredit yang masih berada di bawah 5%, meski cenderung meningkat (Grafik II.21). NPL kredit korporasi pada triwulan III 2015 sedikit meningkat dibandingkan triwulan II 2015, yaitu dari 3,11% menjadi 3,19%. Kenaikan NPL terjadi pada debitur perkebunan kelapa sawit yang diperkirakan akibat masih rendahnya harga komoditas CPO internasional. Sementara itu, penghimpunan dana korporasi mengalami peningkatan dari 8,56% (yoy) menjadi 16,10% (yoy) pada triwulan III 2015 (Grafik II.22). Peningkatan terjadi pada seluruh komponen DPK, dengan peningkatan tertinggi terjadi pada komponen tabungan yaitu dari kontraksi 10,40% (yoy) pada triwulan II 2015 menjadi tumbuh sebesar 28,40% (yoy). Grafik II.19. Perkembangan Kredit Korporasi Sumatera Grafik II.20. Perkembangan Kredit Sektor Utama Sumatera Grafik II.21. Perkembangan NPL Kredit Korporasi Sumatera Grafik II.22. Perkembangan DPK Korporasi Ketahanan Sektor Rumah Tangga Kinerja sektor rumah tangga 14 masih relatif stabil dengan risiko NPL yang masih terjaga. Pertumbuhan Kredit konsumsi meningkat terbatas dari 14,14% (yoy) di triwulan II 2015 menjadi 14,53% (yoy) pada triwulan III (Grafik II.23). Peningkatan terjadi pada penyaluran kredit properti, yaitu dari kontraksi sebesar 2,07% (yoy) menjadi tumbuh sebesar 4,90% (yoy). Kondisi ini diperkirakan karena adanya kebijakan Bank Indonesia terkait pelonggaran LTV (Loan To Value) untuk kredit poperti dan kredit kendaraan bermotor. Peningkatan kredit rumah tangga tersebut masih disertai risiko NPL yang terjaga rendah meski sedikit meningkat dibanding 14 Definisi kredit rumah tangga yaitu kredit sektor Penerima Kredit Bukan Lapangan Usaha dengan mengecualikan Sektor Bukan Lapangan Usaha Lainnya L a p o r a n N u s a n t a r a 16

23 triwulan sebelumnya yakni dari 2,04% menjadi 2,06% pada triwulan III 2015 (Grafik II.24). Peningkatan NPL terjadi pada kredit properti dan kredit kendaraan bermotor. Masih rendahnya harga komoditas internasional yang berdampak terhadap penurunan pendapatan diperkirakan memberikan andil terhadap kenaikan NPL di sektor rumah tangga. Pada triwulan III 2015 penghimpunan dana 15 sektor rumah tangga masih mengalami perlambatan (Grafik II.25). Penghimpunan dana tumbuh sebesar 8,1% pada triwulan III 2015, lebih rendah dibanding triwulan sebelumnya yang sebesar 8,9%. Perlambatan terjadi pada komponen deposito dan giro, sementara tabungan justru mengalami peningkatan. Berdasarkan perkembangan debt service ratio pada triwulan III 2015, pengeluaran masyarakat untuk konsumsi cenderung meningkat, namun alokasi untuk tabungan cenderung turun (Grafik II.26). Grafik II.23. Perkembangan Kredit Rumah Tangga Sumatera Grafik II.24. Perkembangan NPL Kredit Rumah Tangga Sumatera Grafik II.25. DPK Rumah Tangga Grafik II.26. Debt Service Ratio Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Kredit UMKM di Sumatera mengalami peningkatan namun masih terbatas yang disertai dengan menurunnya kualitas kredit yang disalurkan. Penyaluran kredit UMKM pada triwulan III 2015 tumbuh sebesar 4,43% (yoy), sedikit meningkat dibandingkan pertumbuhan pada triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 3,78% (yoy). Peningkatan tersebut didorong oleh kredit UMKM untuk industri pengolahan sementara penyaluran kredit untuk Perdagangan, Hotel, dan Restoran (PHR) yang merupakan pangsa terbesar masih melambat. Secara spasial, peningkatan kredit UMKM utamanya berasal dari peningkatan di provinsi Sumatera Utara, Riau, Jambi dan Lampung. Selanjutnya, perkembangan kualitas kredit UMKM yang disalurkan tercatat mengalami penurunan yang tercermin dari meningkatnya NPL kredit UMKM dari 6,10% pada triwulan II 2015 menjadi 6,38% pada triwulan III Definisi dana rumah tangga yaitu dana yang dihimpun dari nasabah perseorangan (bukan korporasi, Pemerintah, dan Bank). L a p o r a n N u s a n t a r a 17

24 Rp Triliun Kredit UMKM Pertumbuhan (Skala Kanan, %yoy) NPL (Skala Kanan,%) I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III Pertanian Industri Pengolahan PHR Lainnya Grafik II.27 Perkembangan Kredit UMKM Sumatera Pengelolaan Sistem Pembayaran Grafik II.28 Pangsa Sektor Utama Kredit UMKM Sumatera Kegiatan sistem pembayaran non tunai pada triwulan III 2015 melambat dibandingkan triwulan II Transaksi perbankan melalui Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) pada Triwulan III 2015 tumbuh 2,65% (yoy), jauh lebih rendah dibanding triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 23,2% (yoy). Kegiatan kliring perbankan di wilayah Sumatera juga mengalami penurunan sebesar 16,4% (yoy), lebih dalam dibandingkan triwulan II 2015 yang juga mengalami penurunan sebesar 13,05% (yoy). Total transaksi RTGS Sumatera pada triwulan III 2015 mencapai Rp887,18 triliun,sementara total transaksi kliring mencapai Rp53,27 triliun. Tabel II.4. Perkembangan RTGS Sumatera Perkembangan RTGS Sumatera I II III IV I II III IV I II III Nilai (Rp Milliar) Volume (ribu lembar) Pertumbuhan (%yoy) Nilai 22,8 8,9 17,4 22,1 3,1 8,1 14,6 15,8 26,9 23,2 2,6 Volume 5,0 (1,0) (8,1) (5,9) (6,5) (6,5) (3,2) (9,2) (38,4) (40,4) (41,3) Tabel II.5. Perkembangan Kliring Sumatera Perkembangan Kliring Sumatera I II III IV I II III IV I II III Nilai (Rp Milliar) Volume (lembar) Pertumbuhan (%yoy) Nilai 6,53 (2,35) 4,72 (3,51) (6,03) 1,92 (5,77) 1,26 (6,50) (13,05) (16,4) Volume 7,74 1,75 13,40 1,98 (3,11) 4,33 (10,47) (2,47) (10,16) (16,31) (24,1) Kinerja Pengelolaan Uang Tunai Rupiah Grafik II.29. Perkembangan Inflow-outflow Sumatera Tabel II.6 Perkembangan Inflow-Outflow Provinsi di Sumatera Provinsi Inflow Outflow Net Outflow (Inflow) Aceh Sumut ( ) Riau Kepri Jambi Sumbar ( ) Bengkulu Sumsel Babel Lampung Sumatera Transaksi keuangan tunai rupiah di Triwulan III 2015 tercatat mengalami net outflow, namun lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya. Net outflow ini dialami oleh hampir seluruh provinsi di Sumatera kecuali Sumatera Barat dan Sumatera Utara yang cenderung selalu mencatat net inflow. Secara total, net outflow Sumatera di Triwulan III 2015 mencapai Rp4,66 triliun meningkat 23,31% (yoy). Berdasarkan provinsinya, aliran L a p o r a n N u s a n t a r a 18

25 uang keluar (outflow) terbesar berasal dari Provinsi Aceh yang mencapai Rp1,25 triliun. Sementara itu, perkembangan uang palsu pada triwulan III 2015 ini menunjukkan peningkatan dari lembar menjadi lembar dengan temuan uang palsu terbanyak masih berada di Lampung dan Sumatera Utara. PROSPEK PEREKONOMIAN Prospek Pertumbuhan Ekonomi Perekonomian Sumatera pada tahun 2016 diproyeksikan dapat tumbuh lebih tinggi dibandingkan tahun 2015 yakni pada kisaran 4,0 4,5%. Prospek membaiknya ekonomi Sumatera tersebut diprakirakan akan terjadi di seluruh provinsi di Sumatera. Perbaikan ekonomi diprakirakan lebih didorong dari transaksi domestik sementara permintaan pasar global belum pulih. Disamping itu, kinerja sektor utama juga diprakirakan akan membaik. Hal ini didasari oleh optimisme persepsi positif dari berbagai paket kebijakan Pemerintah serta stimulus fiskal yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Dengan adanya berbagai insentif tersebut, akan memberikan dorongan investasi di Sumatera. Realisasi proyek infrastruktur yang masih terbatas di tahun 2015 akibat kendala teknis diperkirakan dapat terakselerasi pada tahun mendatang. Kenaikan kapasitas produksi domestik akan semakin didorong oleh berjalannya hilirisasi yang antara lain ditandai dari beroperasinya kawasan industri Sei Mangke di Sumatera Utara, mandatory biodiesel, dan regasifikasi di Arun. Dengan berbagai perbaikan ini, diprakirakan akan mendorong perbaikan konsumsi rumah tangga di tahun Faktor risiko yang perlu diperhatikan adalah produktivitas tanaman tabama dan perkebunan akibat El Nino yang terjadi pada 2015, harga komoditas yang masih menurun, kapasitas fiskal yang belum baik, serta perlambatan perekonomian Tiongkok. Dalam menghadapi berbagai risiko eksternal dan domestik, Pemerintah dan berbagai pihak perlu terus berkoordinasi. Pemerintah perlu terus mendorong realisasi belanja di sisa Diversifikasi pasar tujuan ekspor perlu terus dilakukan untuk meminimalisasi risiko perlambatan ekonomi di sejumlah negara partner dagang yang berjalan. Selain itu, Pemerintah perlu memikirkan diversifikasi sumber pertumbuhan ekonomi, terutama untuk daerah dengan ketergantungan SDA tinggi. Sektor yang potensial untuk lebih dikembangkan adalah sektor Pariwisata karena akan melibatkan multisektor serta kemampuan mendatangkan pendapatan bagi masyarakat yang lebih besar dan lebih luas. Prospek Inflasi Inflasi Sumatera pada akhir tahun 2016 diperkirakan meningkat dibandingkan tahun 2015 namun masih berada dalam target sasaran inflasi nasional sebesar 4%±1%. Beberapa risiko inflasi di tahun 2016 antara lain terkait komoditas volatile foods sebagai dampak lanjutan dari El Nino serta risiko La Nina di akhir tahun mendatang. Berdasarkan data historis, fenomena El Nino akan diikuti dengan fenomena La Nina yang ditandai dengan tingginya curah hujan sehingga berpotensi terjadinya banjir dan dapat menganggu produksi serta distribusi barang terutama bahan makanan. Namun demikian, dengan ketersediaan informasi dan koordinasi yang intensif diharapkan dapat mengelola dampak dari fenomena alam tersebut terhadap kestabilan harga pangan. Dari sisi komoditas administered price, tekanan inflasi berasal dari kenaikan tarif listrik yakni (i) adanya pengalihan pelanggan listrik dengan daya 900 watt menjadi 1300 watt; (ii) penyesuaian tarif listrik rumah tangga 1300 watt dan 2200 watt sesuai harga keekonomian; (iii) serta penyesuaian harga LPG 3 kg yang dapat berpotensi meningkatkan inflasi ke depan. Selanjutnya, tekanan inflasi inti diprakirakan berasal dari meningkatnya permintaan pada tahun mendatang sejalan dengan membaiknya perekonomian. Tekanan inflasi pada kelompok inti diprakirakan relatif moderat dibandingkan dua kelompok lainnya. Realisasi belanja infrastruktur pemerintah yang belum optimal di tahun ini diperkirakan akan berjalan dengan lebih cepat pada tahun mendatang sehingga dapat mendorong peningkatan permintaan terutama akan bahan bangunan. Sementara itu, perlu diwaspadai risiko dampak lanjutan fluktuasi nilai tukar yang diperkirakan akan memberikan tekanan inflasi di tahun mendatang. L a p o r a n N u s a n t a r a 19

26 FENOMENA KEBAKARAN HUTAN DI SUMATERA DAN KALIMANTAN Kebakaran lahan dan hutan semakin menarik perhatian dunia internasional sebagai isu lingkungan dan ekonomi, terlebih bahwa kebakaran hutan menjadi kejadian yang terus berulang dalam 20 tahun terakhir ini. Kebakaran hutan umumnya disebabkan beberapa hal, antara lain kondisi cuaca dan iklim; kondisi sosial budaya masyarakat yang membuka lahan pertanian baru dengan cara membakar hutan dengan pertimbangan efisiensi biaya dan waktu; serta pembalakan liar dan perambahan hutan. Faktor utama penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia adalah 55% terkait dengan land clearing atau pembebasan lahan untuk pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit, lahan pertanian masyarakat, maupun pembalakan hutan. Pembukaan lahan dengan cara dibakar ini dimungkinkan melalui UU No. 32 Tahun 2009 Pasal 69 dengan luas lahan yang dapat dibakar maksimal 2 hektar per kepala keluarga untuk ditanami jenis tanaman varietas lokal. Intensitas kebakaran hutan yang melanda sejumlah daerah di Indonesia pada 2015 merupakan yang tertinggi sejak periode 1997/ Intensitas El Nino yang menguat pada tahun 2015 menjadi faktor utama yang menyebabkan meluasnya kebakaran hutan yang selanjutnya diikuti oleh kabut asap di beberapa wilayah. El Nino adalah gejala meningkatnya suhu permukaan laut yang signifikan di Samudera Pasifik. Fenomena El Nino yang melanda Indonesia tahun ini berdampak ke bagian Selatan dari Sumatera dan Kalimantan. Adanya fenomena El Nino menyebabkan curah hujan yang rendah dan kekeringan melanda sejumlah daerah (Gambar II.1). Sumber: BMKG Gambar II.1. Sebaran Dampak El Nino Terhadap Curah Hujan di Indonesia Titik api yang menjadi indikator intensitas kebakaran hutan terbanyak di Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan serta Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Berdasarkan pemantauan satelit, jumlah titik api di tahun 2015 jauh lebih banyak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kondisi ini berlangsung mulai dari akhir Agustus sampai dengan akhir Oktober 2015 pada saat kemarau di bagian selatan Indonesia. Memburuknya kualitas udara tidak hanya berdampak terhadap kesehatan tetapi juga berdampak terhadap aktivitas perekonomian di daerah-daerah tersebut. 16 Intensitas maupun durasi El Nino pada tahun 1997/1998 memiliki index ENSO 2,3 dengan durasi kekeringan hingga 12 bulan (Intensitas El Nino saat ini berada pada angka 2,1 atau hampir mendekati periode 1997/1998). L a p o r a n N u s a n t a r a 20

27 Sumber: Global Fire Data Sumber: BNPB, data per-21 Oktober 2015 Gambar II.2. Jumlah Kumulatif Titik Kebakaran Hutan Terdeksi Gambar II.3. Peta Kebakaran Hutan di Sumatera dan Satelit NASA Kalimantan DAMPAK KABUT ASAP TERHADAP PEREKONOMIAN Adanya kabut asap mengganggu aktivitas perekonomian seperti terbatasnya jarak pandang untuk pesawat mendarat, menurunnya kegiatan perdagangan, meningkatnya biaya logistik darat serta menurunnya okupansi hotel. Berdasarkan data liaison, penurunan frekuensi penerbangan di Kalimantan selama dua bulan mencapai 40-50%, pembatalan penerbangan mencapai 90% di Jambi, penurunan omset perusahaan penerbangan mencapai 50% di Riau serta turunnya jumlah penumpang di Bandara Sultan Mahmud Baddarudin II Palembang mencapai 20,89%. Dari sisi perdagangan, hasil survei awal mengindikasikan penurunan omset penjualan mencapai 40-50% di beberapa daerah di Kalimantan dan 20 30% di Sumatera. Di samping itu, jarak pandang berkendara yang pendek juga menyebabkan terganggunya distribusi logistik (waktu tempuh lebih lama) sehingga meningkatkan biaya hingga mencapai 12% di Kalimantan Barat dan 9% di Kalimantan Tengah. Meski kabut asap memengaruhi kelancaran distribusi barang, dampak terhadap inflasi tidak terlalu berpengaruh di Sumatera, dikarenakan pada saat yang bersamaan tekanan permintaan terhadap komoditi pangan di wilayah Sumatera Bagian Tengah juga menurun akibat dari penurunan aktivitas ekonomi. Rendahnya aktivitas perekonomian di bulan September hingga Oktober 2015 juga menyebabkan turunnya okupansi hotel, yakni hingga mencapai 20% di Sumatera. Dampak kabut asap terhadap pendidikan dan kesehatan masyarakat juga cukup signifikan. Ribuan pelajar tingkat SD hingga SMA diliburkan untuk jangka waktu kurang lebih 2 bulan. Hal ini berdampak pada kualitas pendidikan pelajar. Dampak terhadap kesehatan masyarakat terkait dengan meluasnya penderita Infeksi Saluran Pernafasan (ISPA) telah mencapai total sekitar 544 ribu orang. Hal ini berdampak pada penurunan produktivitas tenaga kerja yang turut berpengaruh ke kinerja perekonomian. Adapun dampak dari kabut asap terhadap penurunan produksi kelapa sawit diperkirakan baru terjadi dalam 6 bulan ke depan. Potensi penurunan produksi kelapa sawit hingga 15% diakibatkan oleh terganggunya proses penyerbukan buah kelapa sawit dengan terhalangnya sinar matahari. Selain itu, kebakaran hutan yang dikaitkan dengan isu pembukaan lahan sawit memberikan sentimen negatif terhadap CPO Indonesia di dunia yang dianggap tidak ramah lingkungan. Hal ini berpotensi menurunkan permintaan CPO dari Indonesia. Penurunan kegiatan ekonomi akibat kabut asap juga terindikasi pada kondisi cash inflow-outflow yang tercatat di Bank Indonesia, meski kinerja penyaluran kredit masih relatif terjaga. Sebagian daerah yang terkena dampak kebakaran hutan mengalami net cash inflow pada periode September hingga Oktober 2015 dengan disertai penurunan cash outflow lebih dalam dibandingkan periode yang sama di Kondisi ini memberikan indikasi adanya penurunan peredaran uang di daerah yang terkena dampak kabut asap. Sementara itu, kinerja penyaluran kredit relatif masih terjaga di sebagian besar daerah yang terkena dampak kabut asap, kecuali di L a p o r a n N u s a n t a r a 21

28 Provinsi Jambi dan Kalimantan Tengah yang mengalami perlambatan pertumbuhan kredit investasi dan modal kerja. Grafik II.30. Cash Outflow Jambi, Riau dan Sumatera Selatan Grafik II.31. Cash Outflow Kalimantan Hasil simulasi awal mengindikasikan bencana kabut asap yang melanda sejumlah daerah di Sumatera dan Kalimantan berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi secara nasional sebesar 0,03%-0,05% 17. Potensi penurunan kinerja perekonomian terbesar diperkirakan terjadi di Provinsi Riau dan Jambi. Sementara itu, dampak dari kabut asap terhadap perekonomian wilayah Kalimantan relatif lebih moderat. Kalimantan Barat diprakirakan akan menerima dampak terbesar dari kabut asap yang memengaruhi kinerja perekonomian di wilayah Kalimantan. Estimasi dampak sebesar 0,03% hingga 0,05% juga memerhitungkan dampak kabut asap terhadap perekonomian provinsi sekitar khususnya Lampung dan Sumatera Barat dalam level yang lebih moderat. Ke depan, diperlukan upaya yang sistematis guna menekan kembali terjadinya kebakaran hutan mengingat imbasnya yang sangat buruk terhadap kesehatan maupun kepada aktivitas masyarakat ekonomi masyarakat. Beberapa langkah yang perlu menjadi prioritas antara lain (1) peninjauan kembali kebijakan di kawasan rawan kebakaran terkait dengan ijin pembakaran hutan; (2) mendorong strategi preventif berupa edukasi kepada aparat pemerintah dan masyarakat; (3) pemberdayaan masyarakat melalui pembentukan kelompok di tingkat desa (RT/RW) sebagai media partisipasi masyarakat dalam monitoring/koordinasi pembakaran lahan dengan pemerintah; dan (4) penegakan dan kepastian hukum (law enforcement) Simulasi dampak menggunakan pendekatan analisis Input Output dan CGE Indoterm dengan asumsi terjadi penurunan output pada sektor perdagangan hotel dan restoran, angkutan udara, serta meningkatnya biaya transportasi darat. 18 Perusahaan yang terbukti melakukan pembakaran lahan akan dibekukan HGU-nya. L a p o r a n N u s a n t a r a 22

29 PERTUMBUHAN EKONOMI Pertumbuhan ekonomi Jawa pada triwulan III 2015 membaik sesuai perkiraan, yakni sebesar 5,39%(yoy) 19. Sumber utama pertumbuhan ekonomi berasal dari Provinsi DKI Jakarta (5,96%;yoy), diikuti oleh Jawa Timur (5,44%;yoy) dan Jawa Barat (5,03%;yoy). Membaiknya perekonomian Jawa didorong oleh peningkatan konsumsi pemerintah, khususnya belanja infrastruktur, dan perbaikan kinerja ekspor. Beberapa realisasi belanja infrastruktur pemerintah pada triwulan III 2015 antara lain megaproyek mass rapid transportation (MRT), Jalan Tol Trans dan Non Trans Jawa, serta peningkatan kapasitas beberapa bandara di Jawa. Membaiknya ekspor Jawa didorong oleh ekspor antar daerah yang tercermin dari peningkatan transaksi perdagangan antar pulau, sedangkan kinerja ekspor luar negeri masih tumbuh terbatas sejalan dengan pemulihan ekonomi negara mitra dagang yang berlangsung secara gradual 20. Kondisi tersebut mempengaruhi kinerja ekonomi secara sektoral, khususnya perbaikan kinerja industri pengolahan dan perdagangan, yang ditandai dengan beroperasinya lini produk baru pada industri besi baja, garment dan auto parts. Membaiknya kinerja kedua sektor tersebut juga mempengaruhi sektor jasa keuangan, dengan meningkatnya permintaan kredit investasi dan konsumsi. Di sisi lain, sektor pertanian masih tumbuh melambat akibat pergeseran musim tanam sehingga menurunkan angka produksi sebagai dampak El Nino. Perekonomian Jawa pada triwulan IV 2015 diprakirakan tumbuh lebih baik dibandingkan triwulan III 2015 yakni pada level 5,54%, sejalan dengan perkembangan beberapa indikator perekonomian terkini 21. Sumber utama pertumbuhan ekonomi Jawa diprakirakan berasal dari konsumsi swasta khususnya menjelang pelaksanaan pilkada serentak pada akhir tahun, dan konsumsi pemerintah seiring dengan komitmen untuk mempercepat realisasi belanja infrastruktur maupun belanja modal Pemerintah Daerah se-jawa. Sedangkan pertumbuhan kinerja ekspor diprakirakan relatif stabil paska lonjakan permintaan saat Lebaran maupun kondisi ekonomi global khususnya pemulihan ekonomi Amerika Serikat dan Eropa yang masih terbatas. Secara sektoral, membaiknya perekonomian Jawa telah direspon sektor industri pengolahan dengan penambahan lini produk baru sebagai bentuk strategi diversifikasi produk untuk pasar ekspor. Selain itu, peningkatan konsumsi pemerintah terkait proyek infrastruktur dan konsumsi swasta khususnya properti residensial menjadi pendorong utama peningkatan kinerja sektor konstruksi. Kondisi tersebut, diprakirakan akan mendorong capaian penyaluran kredit, sehingga meningkatkan laba jasa keuangan, baik perbankan maupun Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB). Secara keseluruhan tahun 2015, perekonomian Jawa berpotensi tumbuh dibawah kisaran prakiraan sebelumnya 22. Hal ini dipengaruhi oleh melemahnya konsumsi rumah tangga, pemulihan kinerja ekspor luar negeri yang lebih lambat dari perkiraan dan masih lemahnya realisasi investasi swasta meski pemerintah telah berupaya untuk mendorong peningkatan belanja infrastruktur untuk penopang kinerja perekonomian. Secara sektoral, penurunan konsumsi rumah tangga dan permintaan dari negara mitra dagang mempengaruhi capaian laba sektor industri pengolahan, konstruksi dan jasa keuangan. Di beberapa daerah, hal ini mengakibatkan pengurangan tenaga kerja, khususnya pada industri padat karya, seperti garmen & tekstil, logam, alas kaki, plastik, industri rokok dan mebel. 19 Proyeksi pertumbuhan ekonomi Jawa pada triwulan III 2015 adalah 5,3%-5,5%. 20 Pertumbuhan ekspor antara daerah 12.1%;yoy, sedangkan ekspor luar negeri -1.18%;yoy. 21 Proyeksi pertumbuhan ekonomi Jawa pada triwulan IV 2015 adalah 5,54%. 22 Proyeksi pertumbuhan ekonomi Jawa tahun 2015 adalah 5,3%-5,5%. L a p o r a n N u s a n t a r a 23

30 Pertumbuhan ekonomi Jawa tahun 2016 diprakirakan tumbuh lebih baik pada kisaran 5,3%-5,7% (yoy). Kondisi tersebut sejalan dengan potensi membaiknya ekonomi global 23, harga komoditas internasional 24 serta terjaganya stabilitas nilai tukar. Selain itu, berbagai paket kebijakan ekonomi yang telah dikeluarkan pemerintah disikapi positif oleh investor asing, sehingga mendorong outlook investasi positif menurut lembaga rating Standard & Poor s. Dari domestik, agenda pembangunan infrastruktur Pemerintah ke depan masih akan terus menjadi penggerak utama ekonomi di Jawa, sekaligus menjadi insentif bagi swasta untuk melakukan investasi. Kondisi tersebut diprakirakan akan mampu meningkatkan daya beli masyarakat ke depan 25. Konsumsi Konsumsi Swasta Pertumbuhan konsumsi swasta melambat pada triwulan III 2015, terutama disebabkan oleh konsumsi rumah tangga 26. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga turun dari 4,73% pada triwulan II 2015 (yoy) menjadi 4,24% (yoy), meski di sisi lain konsumsi lembaga non profit mengalami peningkatan dari -12,26% (yoy) menjadi 4,61% (yoy). Melambatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga disebabkan oleh penurunan tingkat penghasilan sehingga berdampak pada melemahnya daya beli masyarakat. Di beberapa daerah telah terjadi penurunan tingkat ketersediaan lapangan kerja akibat pertumbuhan kinerja sektor utama yang cenderung melambat. Hal ini sejalan dengan hasil Survei Konsumen (SK) yang mengindikasikan terus menurunnya tingkat keyakinan konsumen (IKK) akibat terbatasnya ketersediaan lapangan kerja dan menurunnya tingkat penghasilan masyarakat (Grafik III.I dan Grafik III.2). Demikian pula dengan indeks penjualan riil pada Survei Penjualan Eceran (SPE) pun juga mengalami penurunan pertumbuhan dari 15,2% (yoy) menjadi 0,3% (Grafik III.3). Hasil survei tersebut, mengindikasikan bahwa masyarakat cenderung menahan konsumsi terutama dengan mempertimbangkan ekpektasi akan kondisi ekonomi yang belum stabil. Salah satu pertumbuhan konsumsi rumah tangga berasal dari pembiayaan perbankan. Pada triwulan III 2015 kredit konsumsi tumbuh lebih tinggi dari triwulan sebelumnya, dari 9,9% (yoy) menjadi 10,4%, terutama untuk penyaluran kredit kendaraan bermotor dan properti residensial masing-masing sebesar 6,9% (yoy) dan 8,0% (Grafik III.4). Grafik III.1. Indeks Keyakinan Konsumen Grafik III.2. Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini Membaiknya pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV 2015 diprakirakan menjadi pendorong bagi pertumbuhan konsumsi. Ekspektasi positif terhadap membaiknya ekonomi domestik tercermin dari indeks pendapatan bulanan rumah tangga serta persepsi membaiknya ketersediaan lapangan kerja dan penghasilan 23 Outlook PDB Dunia membaik (IMF, Consensus Forecast) di kisaran 3.6% - 3.7%, khususnya Amerika, Eropa dan Jepang. 24 Prakiraan IMF atas kenaikan harga komoditas internasional yaitu CPO, batu bara, karet dan aneka logam. 25 Hasil Survei Konsumen mengindikasikan indeks lapangan kerja dan penghasilan meningkat pada 3 atau 6 bln mendatang. 26 Pertumbuhan konsumsi swasta pada triwulan II ,35% (yoy), sedangkan di triwulan III 2015 menjadi 4,25% (yoy) L a p o r a n N u s a n t a r a 24

31 masyarakat pada akhir tahun 27 (Grafik III.2). Selain itu, momentum perayaan Natal dan Tahun Baru di triwulan IV dapat menjadi salah satu faktor pendorong lainnya bagi pertumbuhan konsumsi rumah tangga sehingga turut mendorong perbaikan kinerja konsumsi swasta secara keseluruhan. Namun masih terdapat risiko yang dapat menahan pertumbuhan konsumsi rumah tangga, terutama pada kelompok rumah tangga tani akibat penurunan produksi pertanian sebagai dampak El Nino. Selain konsumsi rumah tangga, konsumsi lembaga non profit diprakirakan tumbuh meningkat sejalan dengan pelaksanaan Pilkada serentak di akhir tahun. Meski demikian, konsumsi swasta secara keseluruhan tahun 2015 diprakirakan tetap akan tumbuh lebih rendah dibandingkan 2014, baik pada konsumsi rumah tangga maupun konsumsi lembaga non profit. Perlambatan pertumbuhan konsumsi swasta pada tahun 2015 diakibatkan oleh belum optimalnya kinerja sektor strategis seperti industri dan perdagangan, sehingga mempengaruhi ketersediaan lapangan kerja dan penurunan tingkat penghasilan di sektor tersebut. Grafik III.3. Indeks Penjualan Eceran (SPE) Grafik III.4. Kinerja Kredit Konsumsi Konsumsi Pemerintah Pertumbuhan konsumsi pemerintah meningkat dari 1,49% (yoy) menjadi 5,67% (yoy). Rendahnya realisasi belanja pemerintah pada semester I 2015, mendorong pemerintah baik di pusat dan daerah untuk melakukan percepatan realisasi belanja, namun masih relatif rendah dibandingkan rata-rata historisnya 28. Secara spasial, realisasi belanja tertinggi terjadi di Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan capaian di atas 50%, lebih tinggi dari realisasi APBD se-jawa yaitu 47% (Tabel III.1). Di sisi lain, realisasi belanja DKI Jakarta cenderung rendah yakni di kisaran 28%-29%. Pola capaian rendah yang masih berlanjut ini disebabkan tertundanya pengesahan APBD, sehingga realisasi anggaran baru dapat dilakukan pada triwulan II. Beberapa faktor yang menjadi penyebab lambatnya realisasi belanja oleh pemerintah diantaranya panitia pengadaan yang lebih berhati-hati, adanya deregulasi aturan hibah, serta keterbatasan sumber daya manusia terutama pada proses pengadaan proyek. Data sementara mengindikasikan hingga akhir triwulan III 2015, penyerapan anggaran belanja daerah di Jawa hanya berada pada kisaran 50% dan sebagian besar merupakan belanja operasional. Penyerapan belanja APBD di DKI Jakarta bahkan tercatat hanya 35%, merupakan yang terendah di Pulau Jawa. Sementara itu, masih rendahnya realisasi APBD tercermin pada simpanan pemerintah di perbankan daerah (Grafik III.5). Tercatat hingga Triwulan III 2015, selisih dana SILPA Pemda masih di atas Rp. 5 Triliun. Hal ini didorong dengan diterimanya transfer dana desa dari Pusat ke Kab/Kota di kisaran 80%. Ke depan, dibutuhkan penguatan pengawasan belanja Pemerintah agar dana SILPA Pemda dapat dimanfaatkan secara optimal bagi pembangunan daerah. Tracking realisasi belanja Pemerintah di triwulan IV menunjukkan adanya kecenderungan meningkat. Namun, secara keseluruhan tingkat realisasi belanja pemerintah tahun ini masih lebih rendah dibandingkan 2014, 27 Survei Konsumen (SK) di wilayah Jawa 28 Rata-rata hitoris dalam 60% dalam 5 tahun terakhir, namun pada periode triwulan III baru mencapai 55%. L a p o r a n N u s a n t a r a 25

32 dengan rata-rata di kisaran 86%. Beberapa permasalahan diantaranya perubahan nomenklatur, rotasi pejabat, perubahan kebijakan gubernur terkait penerima bansos berbadan hukum dan keterlambatan lelang menjadi penyebab rendahnya serapan anggaran tahun ini, khususnya di Provinsi DKI Jakarta, mengingat selama 2 (dua) tahun berturut-turut capaian realisasinya berada di bawah rata-rata Provinsi lainnya 29. Grafik III.5. Perkembangan DPK Pemerintah - Spasial Investasi Anggaran Realisasi APBD APBD 2015 Q3 Q3 Provinsi (Rp miliar) DKI Jakarta % 28% 61% 55% Jawa Barat % 50% 86% 85% Banten % 48% 79% 88% Jawa Tengah % 51% 94% 84% DIY % 52% 87% 87% Jawa Timur % 51% 98% 85% Jawa % 47% 84% 81% Sumber: DJPK Depkeu Tabel III.1. Realiasi APBD - Spasial Pertumbuhan investasi di Jawa pada triwulan III 2015 mengalami peningkatan dari 4,82% (yoy) menjadi 5,40% (yoy), yang didorong oleh peningkatan investasi dalam negeri. Kondisi tersebut sejalan dengan peningkatan realisasi investasi dalam negeri sebesar 30.4% dibandingkan tahun lalu, sedangkan investasi luar negeri relatif stabil (Grafik III.6 dan Grafik III.7). Selain itu, hasil liaison di Jawa juga mengonfirmasi adanya perbaikan belanja investasi swasta dalam negeri (Grafik III.8), seperti penambahan lini produk baru pada sektor industri pengolahan dan persiapan operasional kilang minyak di Tuban. Selain investasi swasta, investasi pemerintah juga cenderung meningkat sejalan dengan pola historisnya. Hal ini ditandai dengan realisasi beberapa proyek infrastruktur diantaranya penyelesaian Waduk Jatigede, pembangunan MRT, konstruksi Jalan Trans Jawa dan Non Trans Jawa dan perluasan beberapa bandara di Jawa. Pertumbuhan investasi dalam negeri diindikasikan lebih didominasi oleh investasi bangunan. Hal ini tercermin dari indikator impor barang modal yang masih dalam tren perlambatan, yaitu -28,2% (yoy). Sumber: BKPM Grafik III.6. Kinerja Investasi PMA Sumber: BKPM Grafik III.7. Kinerja Investasi PMDN 29 Target realisasi belanja APBD provinsi se-jawa pada triwulan IV di kisaran 80%. L a p o r a n N u s a n t a r a 26

33 Grafik III.8. Likert Scale Investasi dan perkiraannya Grafik III.9 Indikator Perekonomian Mitra Dagang (PMI) Perkembangan di atas juga mengindikasikan bahwa investasi Jawa masih didominasi realisasi proyek infrastruktur pemerintah dengan skala besar, meski hasil SKDU mengindikasikan bahwa beberapa perusahaan besar tetap melakukan investasi sesuai rencana di awal tahun. Ke depan, investasi diprakirakan akan meningkat. Hasil liaison 30 mengonfirmasi, bahwa beberapa industri tercatat melakukan ekspansi pada triwulan IV, melalui penambahan lini produksi, powerplant dan gudang. Secara keseluruhan tahun 2015, kinerja investasi diprakirakan tumbuh lebih tinggi dibandingkan tahun 2014, terutama didorong oleh belanja infrastruktur Pemerintah yang memegang peranan strategis sebagai engine of growth Jawa di tengah belum pulihnya realisasi belanja investasi swasta, khususnya asing. Ekspor Impor Ekspor Pertumbuhan ekspor pada triwulan III 2015 membaik didorong oleh peningkatan kinerja ekspor antar daerah, sedangkan ekspor luar negeri masih tumbuh terbatas seiring masih belum pulihnya perekonomian mitra dagang (Grafik III.8). Membaiknya pertumbuhan ekspor antar daerah terutama di DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat didorong oleh perbaikan ekonomi domestik, khususnya di Sumatera dan KTI. Komoditas yang diperdagangkan ke daerah tersebut masih didominasi hasil olahan industri dan produk pertanian Jawa. Selanjutnya, kinerja ekspor luar negeri Jawa mulai tumbuh positif yaitu 0,40% (yoy) setelah di triwulan II 2015 mengalami kontraksi sebesar -2,72% (Grafik III.9). Pemulihan ekspor luar negeri sejalan dengan hasil liaison beberapa perusahaan di Jawa (Grafik III.11), seperti di Provinsi Jawa Barat 31 yang menyatakan permintaan ekspor autoparts ke Amerika Serikat dan Filipina meningkat. Demikian pula untuk perusahaan dengan komoditas ekspor non migas seperti produk garmen, plastik kemasan produk pertanian, security paper, barang kayu dan rotan serta rokok di Jawa Tengah 32 yang juga mengalami peningkatan, khususnya di kawasan Eropa dan Amerika Utara. Sama halnya dengan ekspor besi dan baja dari Provinsi Banten 33 ke negara mitra ekspor seperti Korea, India, Thailand, Malaysia, dan Vietnam yang juga mengalami peningkatan pada triwulan ini. Pada triwulan IV 2015, kinerja ekspor Jawa diprakirakan tumbuh stabil. Sumber pertumbuhan ekspor Jawa berasal dari ekspor luar negeri seiring dengan perbaikan perekonomian Amerika Serikat dan Eropa, walaupun tidak setinggi perkiraan sebelumnya. Penguatan nilai tukar dolar diprakirakan dapat mendorong peningkatan margin sejumlah pengusaha eksportir, khususnya untuk produk garmen, mebel, kerajinan (handycraft) dan makanan minuman. Sementara itu, ekspor antar daerah diprakirakan tumbuh relatif stabil. Pertumbuhan 30 Liaison KPw Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Tengah 31 Liaison KPw Provinsi Jawa Barat 32 Liaison KPw Provinsi Jawa Tengah 33 Liaison KPw Provinsi Jawa Tengah L a p o r a n N u s a n t a r a 27

34 ekspor antar daerah didorong oleh membaiknya ekonomi di Luar Jawa, khususnya Sumatera dan KTI. Selain itu, perayaan Natal dan Tahun Baru di luar Jawa diprakirakan akan dapat mendorong pertumbuhan ekspor antar daerah. Secara keseluruhan tahun 2015, pertumbuhan ekspor Jawa diprakirakan melambat, sebagai akibat menurunnya permintaan antar pulau dan belum pulihnya ekonomi global. Melambatnya pertumbuhan ekonomi wilayah luar Jawa turut mempengaruhi transaksi perdagangan domestik, khususnya Provinsi Jawa Timur dan DKI Jakarta, sebagai hub ekonomi luar Jawa. Sementara itu, belum pulihnya ekonomi global turut mempengaruhi kinerja perdagangan luar negeri Jawa, khususnya produk pertambangan dan hasil olahan industri. Impor Kinerja impor pada triwulan III masih mengalami kontraksi, meski tidak sedalam triwulan sebelumnya didorong oleh peningkatan impor antar daerah. Meningkatnya impor antar daerah dikarenakan adanya kenaikan permintaan bahan baku lokal untuk sektor industri, terutama di daerah DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten yang merupakan sentra industri pengolahan di Jawa. Sementara itu, pertumbuhan impor luar negeri menyentuh angka positif yaitu 0,40% (yoy) setelah di triwulan II 2015 hanya tumbuh sebesar -2,72% (yoy), (Grafik III.101). Peningkatan kinerja impor luar negeri lebih dikarenakan oleh meningkatnya permintaan impor bahan baku sebagai respon dari meningkatnya kapasitas produksi industri pengolahan, sedangkan impor barang konsumsi dan barang modal relatif masih lemah (Grafik III.13), meski Pemerintah telah menetapkan insentif fiskal pajak barang mewah. Grafik III.10. Kinerja Ekspor Jawa Grafik III.11. Kinerja Impor Jawa Grafik III.12. Likert Scale Ekspor Jawa Grafik III.13. Kinerja Impor Barang Modal Pada triwulan IV 2015, pertumbuhan impor diprakirakan lebih tinggi dari triwulan III seiring dengan meningkatnya kebutuhan impor bahan baku lokal dan luar negeri guna memenuhi kebutuhan sektor industri dan konstruksi. Keterbatasan kapasitas ekonomi domestik masih belum mampu mengatasi ketergantungan impor bahan baku dan barang modal yang masih cukup tinggi. Secara keseluruhan 2015, transaksi impor Jawa diprakirakan tumbuh melambat, baik impor antar daerah maupun impor luar negeri, sebagai akibat L a p o r a n N u s a n t a r a 28

35 menurunnya kinerja sektor utama industri pengolahan terutama dialami sentra industri di Jawa Barat, Jawa Tengah dan DKI Jakarta. Kinerja Produksi Sektor Utama Sektor Industri Pengolahan Perkembangan kinerja sektor industri pengolahan di Jawa secara agregat mengalami peningkatan dibandingkan triwulan II Sektor industri pengolahan pada triwulan III 2015 tumbuh 4,70% (yoy), lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh 3,75% (yoy). Membaiknya kinerja industri pengolahan terjadi hampir di semua provinsi, kecuali Jawa Tengah yang mengalami perlambatan dari 3,72% (yoy) di triwulan II 2015, menjadi 3,65% (yoy). Sementara kenaikan tertinggi terjadi di Jawa Barat dari sebelumnya 3,17% (yoy) di triwulan II 2015, menjadi 4,88% (yoy). Hasil liaison mengindikasikan adanya peningkatan kapasitas produksi pada subsektor TPT, alas kaki, otomotif dan makan minum. Pada subsektor TPT dan alas kaki, meningkatnya penjualan terjadi pada perusahaan yang berorientasi ekspor dengan teknologi terkini. Industri otomotif menunjukkan perbaikan yang tercermin dari peningkatan produksi varian baru untuk pasar domestik dan ekspor (Grafik III.14). Meningkatnya sektor industri pengolahan juga tercermin dari kinerja kredit pada sektor tersebut yang tumbuh menjadi 17,3% (yoy) pada triwulan laporan dari 16,0% (yoy) pada triwulan sebelumnya (Grafik III.15). Pada triwulan IV 2015, pertumbuhan sektor industri pengolahan diperkirakan meningkat didorong oleh meningkatnya permintaan. Pembangunan proyek infrastruktur pemerintah akan mendorong peningkatan permintaan terhadap barang olahan industri seperti baja dan semen. Berdasarkan hasil liaison, salah satu perusahaan tekstil terbesar di Jawa optimis kenaikan ekspor sebesar 10% (yoy) untuk produk kain sunscreen. Optimisme perbaikan permintaan ekspor menjelang Natal, juga dikonfirmasi oleh industri makanan minuman, furniture, TPT, tembakau, kendaraan bermotor dan alas kaki. Namun secara keseluruhan tahun 2015, kinerja industri pengolahan masih tumbuh lebih rendah dibandingkan 2014, akibat lemahnya permintaan global dan domestik di sepanjang semester I Hal ini berdampak pada penurunan laba pada sektor otomotif, kimia dan elektronik akibat menurunnya penjualan, sementara di sisi lain terjadi kenaikan biaya produksi khususnya upah tenaga kerja. Grafik III.14. Produksi Industri Kendaraan Bermotor Sektor Konstruksi Grafik III.15. Kredit Industri Pengolahan Kinerja sektor konstruksi di Jawa pada triwulan III 2015 tumbuh lebih tinggi sebesar 4,99% (yoy) dibandingkan triwulan II 2015 yang tercatat 3,85% (yoy). Meningkatnya sektor konstruksi merupakan dampak dari upaya pemerintah dalam percepatan pembangunan infrastruktur diantaranya jalan tol, bandara, pelabuhan dan mega proyek MRT. Selain itu, berdasarkaan Survei Harga Properti Residensial (SHPR), jumlah pembangunan rumah pada triwulan III 2015 juga meningkat seiring dengan program sejuta rumah pemerintah. Program ini diprakirakan masih akan berlangsung hingga tahun 2016 melihat progress hingga semester II 2015 menurut data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR) baru mencapai 400 ribu unit. L a p o r a n N u s a n t a r a 29

36 Meningkatnya aktivitas belanja infrastruktur pemerintah terlihat dari realisasi belanja modal yang menunjukkan peningkatan di seluruh provinsi. Selain investasi pemerintah sektor konstruksi juga didorong oleh investasi swasta melalui pembangunan sejumlah pabrik pada triwulan III Peningkatan aktivitas konstruksi secara keseluruhan tercermin dari pertumbuhan konsumsi semen pada triwulan III 2015 sebesar 3% (yoy), setelah sebelumnya mengalami kontraksi di triwulan II 2015 sebesar -2% (yoy) (Grafik III.16). Pada triwulan IV 2015, sektor konstruksi diprakirakan masih akan tumbuh lebih tinggi terutama didorong oleh percepatan pembangunan proyek infrastruktur pemerintah menjelang akhir tahun. Selain itu, berdasarkan SHPR kenaikan penjualan properti residensial di triwulan III 2015 masih akan berlanjut hingga triwulan IV 2015 (Grafik III.17). Secara keseluruhan, kinerja sektor konstruksi tahun 2015 diprakirakan tumbuh lebih rendah. Penurunan penjualan properti residensial serta belum pulihnya belanja investasi bangunan pihak swasta menyebabkan terbatasnya pertumbuhan sektor konstruksi tahun ini. Tercatat pendorong pertumbuhan hanya bersumber dari belanja infrastruktur pemerintah pusat dan daerah. Grafik III.16. Pertumbuhan Konsumsi Semen Pulau Jawa Sektor Pertanian Grafik III.17. Kinerja Penjualan Properti Residensial Survei Properti Harga Residensial Perkembangan kinerja sektor pertanian pada triwulan III 2015 mengalami penurunan cukup, yaitu dari 6,10% (yoy) menjadi 2,04% (yoy) (Grafik III.18). Penurunan kinerja sektor pertanian merupakan dampak dari kekeringan yang disebabkan El Nino dan terjadi hampir di seluruh Jawa sebagai sentra produksi bahan pangan nasional. Hal ini menyebabkan gagal panen di sejumlah daerah sehingga mengurangi target produksi bahan pangan yang telah ditetapkan. Adapun komoditas yang mengalami gangguan produksi terbesar adalah padi. Untuk meminimalisir kerugian yang terjadi akibat gagal panen, petani banyak yang mengalihkan pola tanam dari padi ke palawija dan buah musiman seperti yang terjadi di Jawa Timur dan Jawa Barat. Selain tanaman pangan, kinerja subsektor pertanian lainnya seperti peternakan dan perikanan juga mengalami perlambatan. Pada subsektor peternakan, perlambatan masih tertahan oleh meningkatnya permintaan daging pada saat Idul Fitri dan Idul Adha. Secara spasial, provinsi yang memberikan sumbangan terbesar terhadap penurunan pertumbuhan sektor pertanian di Jawa adalah Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Perlambatan pada sektor pertanian juga terindikasi dari meningkatnya risiko kredit atau NPL dari triwulan II 2015 (Grafik III.19). Pada triwulan IV 2015, sektor pertanian diperkirakan masih akan mengalami perlambatan dibandingkan triwulan III Kondisi tersebut disebabkan dampak El Nino masih akan dirasakan akibat pergeseran pola tanam hampir di seluruh sentra produksi Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Jawa Tengah. Selain El Nino, produksi bahan pangan masih dihadapi oleh risiko lainnya yaitu serangan hama wereng dan ulat. L a p o r a n N u s a n t a r a 30

37 Grafik III.18. Kinerja Sektor Pertanian Grafik III.19. Perkembangan Kredit Pertanian Sektor Jasa Keuangan Pertumbuhan sektor jasa keuangan pada kuartal III 2015 ditopang oleh meningkatnya kinerja sektor perbankan, yang tercermin dari meningkatnya kredit yang disalurkan menjadi 11,12% (yoy) dari 10,67% (yoy). Meningkatnya kinerja perbankan di wilayah Jawa juga terlihat dari meningkatnya laba secara keseluruhan yang naik dari 6,49% (yoy) menjadi 13,42% (yoy) pada triwulan laporan. Perbaikan kinerja perbankan ditopang dari kenaikan pendapatan operasional dengan pertumbuhan mencapai 10,08% (yoy), setelah mengalami kontraksi sebesar -6,66% pada triwulan II Sementara itu, pertumbuhan Net Interest Margin (NIM) relatif stabil pada level 15,61% (yoy) atau hanya tumbuh sebesar 0,25% (Grafik III.20). Secara spasial, perbaikan kinerja perbankan terutama didorong oleh perbankan di DKI Jakarta dan Jawa Timur yang mampu mendorong peningkatan laba pendapatan operasional (Grafik III.21). di sisi lain, perlambatan pertumbuhan kinerja sektor non-perbankan menahan pertumbuhan sektor jasa keuangan yang lebih tinggi, dimana nilai transaksi pasar modal (total transaksi dari IDX, Sharia Stock dan LQ45) mengalami penurunan dari Rp 852,32 triliun menjadi Rp 658, 55 T pada triwulan III Grafik III.20. Perkembangan Laba Perbankan Grafik III.21. Perkembangan Laba Perbankan - Spasial Pertumbuhan sektor jasa keuangan diprakirakan tumbuh melambat pada triwulan IV 2015 yang disebabkan oleh masih belum dapat tumbuhnya sektor jasa perbankan dan juga jasa non perbankan (transaksi pasar modal). Penyaluran kredit oleh perbankan diprakirakan masih akan tumbuh meski tidak akan setinggi tahun sebelumnya. Sementara itu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang menjadi indikator bagi pasar modal menunjukkan kinerja yang menurun pada kuartal III 2015 dan diprakirakan akan cenderung stabil pada triwulan IV Penurunan kinerja pasar modal pada triwulan laporan salah satunya disebabkan oleh ketidakpastian kebijakan Bank sentral AS sehingga investor cenderung menahan (wait and see) di akhir tahun, sehingga transaksi investor asing pada bulan Desember diperkirakan cenderung stabil. Untuk keseluruhan tahun 2015, pertumbuhan pada seluruh sektor jasa keuangan diprakirakan akan sedikit melambat dibandingkan tahun Pertumbuhan kredit pada tahun 2015 yang berada di bawah pencapaian tahun L a p o r a n N u s a n t a r a 31

38 sebelumnya menjadi salah satu faktor utama melambatnya kinerja sektor perbankan, sementara kinerja pasar modal belum menunjukkan peningkatan kinerja yang berarti. PERKEMBANGAN INFLASI Tekanan inflasi pada triwulan III 2015 secara umum masih terkendali. Terkendalinya inflasi tercermin dari inflasi kumulatif hingga September 2015 yang berada pada level yang rendah yakni 2,24%. Inflasi kumulatif terendah tercatat terjadi di Jawa Tengah (1,54%), sedangkan yang tertinggi tercatat di Banten (2,97%). Minimalnya tekanan inflasi selama periode triwulan ini terutama dipengaruhi oleh cukup terjaganya pasokan dan minimalnya gangguan distribusi, terutama untuk pangan. Selain itu, tarif angkutan antar kota yang turun pasca lebaran berkontribusi positif bagi rendahnya tekanan inflasi di Jawa. Perkembangan ini menyebabkan inflasi secara tahunan (year-on-year) cenderung menurun yakni dari 7,07% pada akhir triwulan sebelumnya menjadi 6,71%. Dilihat berdasarkan disagregasinya, inflasi volatile food (VF) yang secara bulanan sempat mengalami tekanan kenaikan cukup tinggi pada periode Juli dan Agustus, berangsur mengalami penurunan di akhir triwulan laporan. Meningkatnya tekanan VF pada dua bulan pertama periode triwulan III 2015 dipengaruhi oleh naiknya harga beras dan daging ayam ras karena terbatasnya pasokan ditengah permintaan yang cukup tinggi terutama pada awal triwulan laporan yang merupakan periode Idul Fitri. Namun, pada akhir triwulan laporan, tekanan kenaikan VF kembali mereda dan bahkan tercatat mengalami koreksi harga seiring dengan meningkatnya pasokan beberapa komoditas pangan strategis seperti aneka cabai, daging ayam ras, dan bawang merah. Perkembangan ini menyebabkan secara tahunan inflasi VF masih berada pada level yang cukup tinggi yakni 8,50% (yoy) di akhir triwulan III Pada kelompok inflasi administered prices (AP), tekanan kenaikan harga relatif minimal dan tercatat mengalami koreksi pada dua bulan terakhir di triwulan III Minimalnya tekanan AP terutama dipengaruhi oleh adanya penyesuaian ke bawah berbagai tarif angkutan paska periode peak season terkait Ramadhan. Kontribusi terbesar dari penurunan tarif angkutan terutama berasal dari tarif angkutan antar kota, diikuti oleh tarif kereta api, dan tarif angkutan udara. Secara tahunan, inflasi AP pada akhir triwulan III 2015 tercatat sebesar 11,08% (yoy). Sementara itu, Inflasi inti cenderung mengalami tekanan pada triwulan III 2015, terutama dipicu oleh naiknya biaya pendidikan di seluruh jenjang. Hal ini seiring dengan masuknya tahun ajaran baru yang jatuh pada bulan Juli-Agustus Namun, tekanan kenaikan inflasi inti kembali mereda pada akhir triwulan III Dengan meredanya tekanan pada akhir triwulan laporan, maka inflasi inti pada akhir triwulan III 2015 tercatat sebesar 5,63% (yoy). Grafik III.22.Perkembangan Inflasi Grafik III.23.Disagregasi Kelompok Inflasi L a p o r a n N u s a n t a r a 32

39 Grafik III.24.Perkembangan Inflasi Spasial Grafik III.25.Inflasi dengan Perkiraan Harga 3 bulan Survei Konsumen Memasuki awal triwulan IV 2015, tekanan inflasi diprakirakan cenderung terus menurun, sehingga inflasi keseluruhan tahun 2015 akan berada dalam kisaran sasaran inflasi tahun 2015 (Grafik III.22). Pada bulan Oktober 2015 berbagai daerah di Jawa secara agregat mengalami deflasi sebesar -0,11% (mtm) atau secara year-on-year berada pada level 6,11%. Deflasi yang terjadi pada bulan Oktober ini lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata historisnya 34. Secara umum, inflasi Jawa sejak Januari hingga Oktober 2015 sebesar 2,13% (ytd). Deflasi terbesar berasal dari kelompok administered prices, terutama karena turunnya tarif tenaga listrik dan bahan bakar rumah tangga. Penurunan tarif listrik terjadi dalam dua bulan berturutturut, yakni pada bulan September dan Oktober 35. Sementara itu, terjaganya pasokan daging ayam ras dan telur ayam ras turut mendorong deflasi pada komoditas volatile food, mengikuti penurunan harga yang sudah terjadi pada bulan September. Demikian pula tekanan harga beras mulai mengalami penurunan seiring dengan mulai masuknya musim hujan di penghujung bulan Oktober 2015 yang meningkatkan optimisme produksi padi di wilayah Jawa. Tingkat inflasi wilayah Jawa untuk tahun 2015 diprakirakan berada pada kisaran 2,7% hingga 3,1% (yoy) terutama karena menurunnya tingkat inflasi kelompok adminsitered prices seiring berakhirnya dampak kenaikan harga BBM pada bulan November 2014 (faktor base effect). Selain itu, adanya penundaan kenaikan TTL hingga awal tahun 2016 dan rencana penurunan harga solar juga akan membuat inflasi dari kelompok administered prices semakin menurun. Sedangkan dari kelompok volatile food, stabilnya harga beras (berlalunya El Nino) dan harga daging ayam ras (pasokan kembali normal) mampu menahan kenaikan inflasi yang lebih tinggi. Meskipun masih perlu diwaspadai beberapa risiko hingga akhir tahun 2015 seperti dampak lanjutan El Nino sehingga mengakibatkan mundurnya musim tanam, kenaikan cukai dan PPN rokok sekitar 10%, harga emas perhiasan yang sedang dalam tren meningkat dalam dua bulan terakhir dan produksi cabaicabaian dan bawang merah yang diprakirakan tidak sebesar prediksi sebelumnya. Koordinasi Pengendalian Inflasi Rapat koordinasi nasional (Rakornas) VI TPID tahun 2015 yang diselenggarakan pada bulan Mei 2015 menghasilkan beberapa arahan Presiden Republik Indonesia yang akan ditindaklanjuti oleh seluruh TPID dalam rangka pengendalian inflasi daerah. Berbagai upaya yang telah dilaksanakan oleh TPID di wilayah Jawa dalam merespon arahan tersebut adalah sebagai berikut: 34 Rata-rata historis inflasi Jawa pada bulan Oktober yaitu 0,19% (mtm). 35 Penurunan tarif terjadi pada semua golongan dengan kisaran penurunan sebesar Rp12/kWh Rp16/kWh L a p o r a n N u s a n t a r a 33

40 Tabel III.2. Tindak Lanjut Arahan Presiden dalam Rakornas VI TPID No. Arahan Presiden dalam Rakornas VI Kegiatan yang dilakukan 1. Pembentukan TPID Pembentukan TPID di seluruh Provinsi dan Kota/Kabupaten di wilayah Jawa telah dilaksanakan 2. Identifikasi komoditas pendorong inflasi Melakukan identifikasi permasalahan jangka pendek dan struktural, antara lain melalui: Adanya Petugas Informasi Pasar (PIP) untuk pemantauan harga, pencatatan luas tanam dan analisa pasar di wilayah Jawa Kajian strategis mengenai sumber inflasi volatile food 3. Percepatan pembangunan infrastruktur pangan 4. Gerakan pertanaman cabai di pekarangan rumah Membenahi saluran distribusi pangan Percepatan perbaikan infrastruktur jalan raya, khususnya di titik jalur distribusi Dukungan terhadap realisasi pembangunan embung di sentra produksi Pembangunan kawasan hutan untuk pembangunan waduk-waduk baru Mendorong kegiatan Rumah Pangan Lestari dan kegiatan urban farming 5. Alokasi anggaran untuk stabilisasi harga Pemantauan realiasi anggaran yang bersumber dari APBN/APBD yang akan digunakan dalam operasi pasar untuk stabilisasi harga pangan strategis 6. Pemantauan lapangan secara intensif Penguatan pemantauan harga langsung ke pasarpasar tradisional yang dapat bekerjasama dengan dinas terkait 7. Penguatan komunikasi dan kerja sama Memperkuat komunikasi dan kerjasama melalui PIHPS nasional Merancang suatu model kerjasama, baik itu G to G maupun secara B to B 8. Hilirisasi/industrialisasi Daerah Mendukung usulan pengadaan penggilingan (value added) untuk setiap desa Pelatihan wirausaha baru industri makanan dan minuman untuk berbagai komoditas Peningkatan akses serta revitalisasi SRG dalam mendukung permodalan petani 9. Realisasi APBN/APBD utnuk menstimulus ekonomi Pembentukan Tim Percepatan Pelaksanaan Anggaran (TEPPA) dan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) STABILITAS SISTEM KEUANGAN, PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN, DAN PENGELOLAAN UANG TUNAI RUPIAH Penyaluran pinjaman oleh sektor perbankan di wilayah Jawa pada triwulan III 2015 (berdasarkan lokasi proyek) tumbuh meningkat bila dibandingkan kuartal sebelumnya (Grafik III.26). Hal ini sejalan dengan pertumbuhan ekonomi wilayah Jawa yang mulai membaik. Total penyaluran kredit mencapai angka Rp triliun atau memiliki share sebesar terhadap nasional (69%), tumbuh 11,12% (yoy), di atas pertumbuhan periode L a p o r a n N u s a n t a r a 34

41 sebelumnya yang sebesar 10,67% (yoy). Peningkatan tersebut didorong oleh pertumbuhan penyaluran pada kredit investasi dan kredit konsumsi, sedangkan kredit modal kerja justru mengalami perlambatan pertumbuhan. Di sisi lain, pertumbuhan kredit diikuti juga oleh meningkatnya penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar 14,03% (yoy), lebih tinggi bila dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 13,40% (yoy). Jumlah DPK yang dihimpun dalam wilayah Jawa mencapai Rp triliun atau setara dengan 77% DPK di seluruh wilayah Indonesia. Secara umum, di tengah meningkatnya pertumbuhan pertumbuhan kredit, kualitas kredit yang disalurkan masih tetap terjaga meski rasio non performing loan (NPL) mengalami sedikit kenaikan dari 2,25% menjadi 2,41% pada kuartal III Dengan akselerasi pertumbuhan DPK yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan kredit, maka Loan to Deposit Ratio (LDR) sedikit menurun ke level 79,42%, atau lebih rendah dari LDR triwulan III 2015 yang berada pada level 80,62%. Grafik III.26. Perkembangan Kredit & Dana Pihak Ketiga Ketahanan Sektor Korporasi Grafik III.27. Perkembangan Kredit Korporasi & RT Peningkatan fungsi intermediasi perbankan dalam penyaluran kredit ke sektor korporasi cenderung meningkat. Pertumbuhan penyaluran kredit kepada sektor korporasi berada pada level 11,56% (yoy), meningkat bila dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 10,30%(yoy) (Grafik III.27). Pertumbuhan kredit korporasi masih didukung dengan rasio NPL yang masih terjaga pada level 2,36% (Grafik III.28). Hingga triwulan III 2015, sektor industri pengolahan (dengan share 34%) dan sektor perdagangan (dengan share 17%) masih menjadi sektor unggulan terbesar bagi sektor korporasi. Pemberian pinjaman untuk kedua sektor tersebut meningkat sebesar 17,27% (yoy) untuk sektor industri pengolahan dan 11,85% (yoy) untuk sektor perdagangan. Namun perlu diwaspadai, meningkatnya pertumbuhan kredit untuk sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, diikuti dengan peningkatan rasio NPL 36 (Grafik III.28). Sementara itu, kredit perbankan ke sektor utama lainnya yakni sektor pertanian, juga meningkat cukup signifikan dari 23,98% (yoy) menjadi 29,62% (yoy) pada akhir triwulan III 2015 meski di tengah perlambatan pertumbuhan sektor pertanian. Hal tersebut diprakirakan sebagai salah satu bentuk persiapan petani yang mulai memasuki periode masa tanam berikutnya. Sementara itu bila dilihat secara spasial, Provinsi Banten (dengan share sebesar 8%) mengalami peningkatan penyaluran kredit korporasi tertinggi 37 (Grafik III.29). Namun apabila dilihat secara keseluruhan, meningkatnya kredit korporasi di wilayah Jawa terutama didorong oleh Provinsi DKI Jakarta, dengan share kredit korporasi tertinggi (59%) yang tumbuh meningkat dari sebesar 8,72% (yoy) menjadi 10,16% (yoy) pada triwulan III Hal tersebut terutama disumbang oleh penyaluran kredit investasi. Peningkatan kredit korporasi juga terjadi di 36 Tercatat NPL Industri Pengolahan meningkat dari 2,18% (Tw II 2015) menjadi 2,52%, sedangkan sektor perdagangan meningkat dari 3,09% menjadi 3,45%. 37 Pertumbuhan kredit di Banten naik menjadi 18,51% (yoy) dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar 14,24% (yoy) L a p o r a n N u s a n t a r a 35

42 Jawa Barat (memiliki share sebesar 13%) yang tumbuh menjadi 9,82% (yoy) pada triwulan laporan dari sebelumnya sebesar 7,94% (yoy). Grafik III.28. Kredit Korporasi Sektor Utama Ketahanan Sektor Rumah Tangga Grafik III.29. Pertumbuhan Kredit Korporasi Spasial Penyaluran kredit bagi sektor rumah tangga juga mengalami peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya, atau berada pada level 10,81% (yoy) (Grafik III.30). Peningkatan tersebut didorong oleh pertumbuhan kredit kepemilikan rumah (KPR), kredit kendaraan bermotor (KKB) dan Kredit Kepemilikan Apartemen/Ruko (KPA). Hal ini merupakan dampak pelonggaran aturan loan to value. Jumlah total kredit KPR dan KPA yang telah diberikan di wilayah Jawa per posisi triwulan III 2015 mencapai Rp 244 triliun atau mengalami pertumbuhan sebesar 8,04% (yoy), meningkat bila dibandingkan dengan pertumbuhan pada kuartal II 2015 yang hanya sebesar 4,81% (yoy). Pertumbuhan KPR di wilayah Jawa terutama untuk pembiayaan rumah dengan tipe 22 m 2 sampai dengan 70 m 2 yang mampu meningkat 14,0% (yoy), di atas pencapaian periode sebelumnya yang sebesar 10,78% (yoy). Sedangkan untuk rumah dengan tipe <21 m 2 dan tipe >70 m 2 justru mengalami perlambatan. Namun demikian, pertumbuhan penyaluran KPR perlu diwaspadai mengingat kualitas KPR sedikit menurun, dimana rasio NPL mulai meningkat dari 2,16% menjadi 2,27% pada kuartal III 2015 (Grafik III.31). Grafik III.30. Penyaluran Kredit Sektor Rumah Tangga Grafik III.31. NPL Kredit Sektor Rumah Tangga Pemberian kredit kendaraan bermotor (KKB) di wilayah Jawa juga menunjukkan peningkatan dari 5,78% (yoy) menjadi 6,94% (yoy) pada triwulan III Hal ini dikarenakan meningkatnya konsumsi masyarakat pada hari raya Idul Fitri (faktor seasonal) dan pelonggaran aturan LTV melalui Peraturan Bank Indonesia yang berdampak positif terhadap permintaan KKB. Namun sama halnya dengan KPR, peningkatan pertumbuhan KKB juga diikuti dengan penurunan kualitas KKB, dimana tingkat rasio NPL KKB cenderung meningkat ke level 1,29% L a p o r a n N u s a n t a r a 36

43 dari sebelumnya 1,10%. Di sisi lain, pertumbuhan dari kredit multiguna relatif melambat dibandingkan triwulan sebelumnya 38, dengan kualitas kredit yang masih cukup terjaga dan stabil pada level 1,16%. Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Penyaluran kredit untuk sektor UMKM di wilayah Jawa pada triwulan III 2015 menunjukkan peningkatan, setelah mengalami perlambatan yang cukup dalam di triwulan sebelumnya. Pertumbuhan kredit UMKM menjadi 8,66% (yoy) di triwulan laporan dari sebelumnya 7,14% (yoy) (Grafik III.32). Namun membaiknya pertumbuhan kredit tidak diikuti meningkatnya kualitas kredit yang tercermin dari rasio tingkat NPL yang meningkat. Tingkat NPL kredit UMKM pada kuartal III 2015 berada pada angka 4,15%, di atas level triwulan sebelumnya yang sebesar 4,01%. Menurunnya kualitas kredit, salah satunya dipengaruhi oleh melemahnya konsumsi swasta yang pada akhirnya menurunkan kemampuan rentabilitas dari pelaku usaha pada skala UMKM. Secara spasial per provinsi, kredit UMKM dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi DKI Jakarta mengalami perlambatan dibandingkan sebelumnya (Grafik III.33). Sementara untuk provinsi lainnya di wilayah Jawa mampu mencatatkan peningkatan pertumbuhan kredit UMKM. Rasio NPL untuk seluruh provinsi mengalami peningkatan kecuali Daerah Istimewa Yogyakarta yang kualitas kreditnya membaik dari sebelumnya 3,28% menjadi 3,09% pada triwulan laporan. Sementara itu, share kredit UMKM terhadap total kredit outstanding di wilayah Jawa menurun tipis dari 16,57% menjadi 16,0% pada bulan September Grafik III.32. Pertumbuhan & NPL Kredit UMKM Pengelolaan Sistem Pembayaran Grafik III.33. Penyaluran Kredit UMKM Spasial Pada triwulan III 2015, nilai transaksi non-tunai dari penggunaan fasilitas Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI RTGS) terkontraksi sebesar -12,61 % (yoy) bila dibandingkan periode sebelumnya (Grafik III.34). Secara spasial, penurunan nilai transaksi RTGS terjadi di seluruh provinsi, terkecuali pada Daerah Istimewa Yogyakarta. Transaksi RTGS terbesar masih terpusat di Provinsi DKI Jakarta dengan kontribusi mencapai 82,26% dari total transaksi keseluruhan wilayah Jawa. Melambatnya transaksi RTGS di wilayah Jawa sejalan dengan melemahnya konsumsi swasta maupun rumah tangga yang tidak sekuat periode yang sama tahun lalu. Sejalan dengan menurunnya nominal transaksi RTGS pada triwulan III 2015, maka volume transaksi di wilayah Jawa juga mengalami penurunan atau tumbuh negatif sebesar 46,98% (yoy) dengan transaksi yang tercatat sebesar 1,15 juta lembar. 38 Pertumbuhan kredit multiguna tumbuh lebih rendah dari 27,3% menjadi 23,1% L a p o r a n N u s a n t a r a 37

44 Grafik III.34. Transaksi RTGS Grafik III.35. Transaksi Kliring Sejalan dengan penurunan transaksi RTGS, transaksi yang menggunakan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) pada triwulan III 2015 juga menurun (Grafik III.35). Nilai transaksi SKNBI tercatat sebesar Rp579 T atau hanya tumbuh sebesar 0,33% (yoy), lebih rendah bila dibandingkan dengan periode sebelumnya. Secara volume, transaksi SKNBI tercatat sebesar 23,2 juta lembar, tumbuh melambat sebesar 0,3% (yoy) dibandingkan periode sebelumnya. Meski peraturan pengiriman dana di bawah Rp 100 juta harus melalui SKNBI telah diimplementasikan, namun jumlah nominal transaksi SKNBI masih belum menunjukkan peningkatan. Pengelolaan Uang Tunai Rupiah Pada triwulan III 2015, wilayah Jawa masih mengalami net-inflow 39 di sebagian besar provinsi (Grafik III.36). Kondisi tersebut disebabkan oleh karakteristik Jawa sebagai daerah produksi yang menyalurkan produknya keluar wilayah Jawa. Pada triwulan III 2015 hanya provinsi DKI Jakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta mengalami net-outflow. Secara keseluruhan, wilayah Jawa mengalami net inflow sebesar Rp4,25 triliun pada triwulan III 2015 sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan priode yang sama pada tahun 2014 yang mengalami net inflow sebesar Rp4,27 triliun. Grafik III.36. Perkembangan Netflow Grafik III.37. Temuan UPAL Jumlah uang palsu (UPAL) yang dilaporkan kepada Bank Indonesia pada triwulan III 2015 meningkat bila dibandingkan kuartal sebelumnya (Grafik III.37). Jumlah UPAL yang ada di Bank Indonesia sebanyak lembar. Meningkatnya laporan UPAL di Jawa tidak terlepas dari membaiknya tingkat awareness masyarakat dan perbankan terhadap uang palsu, yang didukung oleh peran aktif kepolisian bersama instansi terkait dalam menindak kejahatan pemalsuan uang. Peningkatan pemahaman terkait ciri-ciri keaslian uang akan terus ditingkatkan agar masyarakat dapat semakin waspada dalam membedakan uang asli dengan uang yang diragukan keasliannya. 39 Net-Inflow adalah kondisi ekonomi ketika lebih banyak uang yang masuk (cash inflow) dibandingkan dengan uang yang keluar (cash outflow) L a p o r a n N u s a n t a r a 38

45 PROSPEK PEREKONOMIAN Prospek Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi Jawa tahun 2016 diperkirakan tumbuh di kisaran 5,3%-5,7% (yoy), lebih tinggi dari prakiraan tahun 2015 di kisaran 5,28% (yoy). Dari sisi domestik, berbagai pembangunan infrastruktur akan menjadi sumber utama penggerak roda ekonomi secara keseluruhan, terutama bagi daerah di sekitar lokasi proyek. Sejalan dengan kondisi tersebut, permintaan diperkirakan akan membaik tercermin dari optimisme penghasilan yang meningkat pada Survei Konsumen. Hal ini sejalan prakiraan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Selain itu, paket kebijakan pemerintah yang dikeluarkan mulai semester II 2015 dalam mendukung pertumbuhan ekonomi akan mulai memberikan dampak secara bertahap ke depan. Dari faktor global, membaiknya perekonomian negara mitra dagang Indonesia seperti Amerika Serikat, China dan Eropa akan meningkatkan permintaan komoditas ekspor dalam negeri. Pergerakan nilai tukar yang diprediksi bergerak stabil serta meningkatnya investment grade dari lembaga Fitch Rating terhadap Indonesia dapat meningkatkan sentimen positif investor asing untuk berinvestasi di Indonesia dan Jawa khususnya. Berbagai optimisme tersebut, sejalan dengan membaiknya indikator pertumbuhan ekonomi yang berasal dari domestik dan global. Namun terdapat beberapa risiko yang berpotensi menghambat laju perekonomian Jawa. Tertundanya belanja fiskal Pemda akibat penyesuaian pejabat daerah paska Pilkada serentak pada akhir tahun 2015 dapat menunda keberlanjutan pembangunan di daerah. Selain itu, belum pulihnya harga komoditas tambang dan perkebunan dikhawatirkan juga turut mempengaruhi kinerja ekonomi khususnya wilayah luar Jawa yang berpotensi mengganggu kinerja perdangangan antar daerah. Faktor risiko lainnya yaitu anomali cuaca La Nina yang berpotensi mengakibatkan banjir dapat mengganggu kinerja sektor pertanian sebagai salah satu sektor pendukung perekonomian di Jawa. Dalam menghadapi berbagai risiko tersebut, Bank Indonesia bekerjasama dengan pihak terkait perlu mengawasi dinamika perekonomian domestik dan global serta menetapkan bentuk bauran kebijakan yang tentu mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia dan Jawa pada khususnya. Prospek Inflasi Tingkat inflasi wilayah Jawa pada tahun 2016 diprakirakan akan berada di atas pencapaian inflasi tahun 2015, namun masih berada dalam kisaran target inflasi 2016 sebesar 4±1%. Tekanan inflasi pada tahun 2016 diprakirakan akan lebih besar seiring dengan meningkatnya risiko inflasi pada semua kelompok inflasi dan di seluruh daerah wilayah Jawa. Dari kelompok administered prices, rencana penyesuaian harga untuk beberapa komoditas, seperti LPG dan Tarif Tenaga Listrik (TTL) diperkirakan akan memberikan tekanan yang cukup besar, ditambah dengan adanya potensi penyesuaian harga BBM bersubsidi (Premium dan Solar). Sementara itu, tekanan juga akan berasal kelompok volatile food, dimana dampak El Nino akan memberikan tekanan terhadap komoditas beras pada awal tahun Dampak El Nino tersebut meningkatkan inflasi pada produk turunan beras seperti nasi dengan lauk. Seiring dengan berakhirnya fenomena El Nino di penghujung tahun 2015, maka risiko selanjutnya yang dikhawatirkan adalah dampak La Nina, yang secara historis berpotensi untuk menyebabkan banjir yang dapat merusak tanaman pangan di beberapa daerah pada tahun Tekanan inflasi pada kelompok inti diprakirakan relatif moderat dibandingkan dua kelompok lainnya. Meskipun demikian, perlu diwaspadai risiko dampak lanjutan menguatnya nilai tukar US Dollar terhadap barang-barang konsumsi, khususnya barang impor. Dengan meningkatnya tekanan inflasi pada tahun 2016, maka peran aktif dari TPID akan sangat diperlukan dalam menjaga kestabilan harga di daerah. L a p o r a n N u s a n t a r a 39

46 Pengembangan ekonomi Jawa masih memerlukan ketersediaan infrastruktur yang memadai dan dapat menjamin keterhubungan yang baik antar seluruh daerah di Jawa. Memperhatikan kemajuan ekonomi Jawa saat ini yang relatif lebih baik di sepanjang Jawa bagian utara, mengindikasikan ketimpangan sarana dan prasarana pendukung terutama infrastruktur. Kesenjangan pembangunan Jawa utara dan selatan, pada akhirnya juga mempengaruhi keseimbangan Jawa bagian barat, tengah, dan timur. Untuk itu, pengembangan akses infrastruktur yang menghubungkan dari barat ke pantai timur maupun utara ke selatan mutlak diperlukan guna mendukung aksesibilitas orang maupun barang. Upaya untuk mengatasi persoalan ketimpangan pembangunan pantai utara dan selatan Jawa perlu diselaraskan dalam mendukung pembangunan sektor manufaktur dan pariwisata. Berdasarkan klasifikasi tipologi klassen dengan menggunakan data rata-rata pertumbuhan ekonomi dan ratarata PDRB per kapita, dapat terlihat bahwa kawasan selatan masih relatif tertinggal dibandingkan kawasan utara Jawa. Hal ini terlihat dari persentase jumlah kabupaten/kota di kawasan selatan Jawa yang tergolong sebagai daerah tertinggal (kuadran III) masih lebih tinggi dibandingkan kawasan utara Jawa. Selain itu, 54% kabupaten/kota di daerah selatan masih memiliki pertumbuhan ekonomi di bawah angka nasional, sementara di daerah utara hanya 42% yang berada di bawah angka nasional Sementara itu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tidak menunjukkan adanya perbedaan yang berarti antara daerah-daerah di pantai utara dengan pantai selatan. Meski tingkat kemiskinan lebih terkonsentrasi di daerah pantai selatan, namun alokasi belanja pendidikan yang lebih besar di daerah pantai selatan, yakni 45% dibandingkan di utara 34%, diharapkan dapat mengatasi ketimpangan dalam hal kualitas sumber daya manusia. Sumber: BPS (diolah) Grafik III.38. Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi dengan PDRB per Kapita Sumber: BPS (diolah) Grafik III.39. Indikator Kualitas Sumber Daya Manusia Sementara itu, ketersediaan infrastruktur di Jawa, baik pelabuhan, bandara maupun jaringan rel kereta api, masih terpusat di pantai utara. Semisal ketersediaan jaringan kereta api barang, yang terindikasi dari jumlah stasiun origin pengiriman barang. Demikan halnya dengan infrastruktur jalan, sebagaimana tercermin dari konektivitas pantai utara yang sudah terhubung dari Provinsi Banten hingga Provinsi Jawa Timur. Di jalur pantai selatan, masih terdapat beberapa ruas di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang masih belum terhubung (+157 km). Kondisi masih rendahnya keterhubungan di pantai selatan ini diperparah dengan kualitas jalan yang tidak memadai. Indikator rasio jumlah kerusakan jalan kab/kota pantai selatan lebih tinggi, yaitu 39,94% dibandingkan Pantai Utara (31,82%). Indikator rasio kerapatan jalan juga mengindikasikan bahwa tingkat kemudahan dalam menjangkau antar daerah yang dihubungkan oleh infrastruktur jalan di Pantai Selatan lebih rendah. Kemajuan ekonomi pantai utara tidak terlepas dari daya dukung infrastrukturnya yang lebih memadai, khususnya bagi berkembangnya industri pengolahan. Dari 85 ribu perusahaan industri terdaftar di L a p o r a n N u s a n t a r a 40

47 Kemenperin, 67% terdapat di sepanjang pantai utara. Sementara itu, di pantai selatan Jawa lebih didominasi sektor pariwisata, meskipun masih banyak yang belum tereksplorasi, dengan keterbatasan infrastruktur yang ada. Kesenjangan tersebut berpotensi menjadi semakin lebar seiring dengan beberapa proyek strategis pemerintah yang direncanakan masih dipusatkan pada Pantai Utara Jawa. Selain itu akses keuangan Pantai Utara juga lebih baik dibandingkan Selatan, yang tercermin dari rasio antara jaringan kantor bank terhadap luas daerah. Tercatat Pantai Utara memiliki rasio 0,37, lebih tinggi dari Pantai Selatan (0,12). Sumber: Kemenhub (diolah) Grafik III.40. Pemetaan Kondisi Infrastrktur di Wilayah Jawa Dalam hal pemerataan beban jalan, Pemerintah telah melakukan penyeimbangan melalui mekanisme moda share, sehingga beban angkutan tidak terkonsentrasi hanya melalui jalan darat. Selain itu, Kementerian terkait telah berupaya melakukan pengembangan jaringan jalan yaitu Jalan Penghubung Lintas, Lintas Utara, Lintas Tengah, Lintas Selatan dan Lintas Pantai Selatan serta pembangunan expressway Pulau Jawa. Untuk mendukung pembangunan yang lebih merata melalui peningkatan daya saing industri manufaktur dan optimalisasi peran pariwisata dalam pertumbuhan ekonomi di wilayah Jawa, diperlukan sinergitas antar kawasan (kabupaten, kota, provinsi dan kementerian terkait). Hal ini dikarenakan pada perencanaan dan realisasi pembangunan atau pengembangan infrastruktur akan melibatkan banyak pihak dan membutuhkan keputusan dari berbagai instansi terkait. Salah satu cara lain untuk dapat segera menciptakan pertumbuhan ekonomi yang merata antara kawasan utara dan selatan yaitu dengan mendorong penanaman modal ke arah kawasan selatan dan memberikan insentif seperti tax holiday kepada investor yang akan melakukan penanaman modal di kawasan selatan. Tabel III.2. Pemetaan Kondisi Infrastruktur di Wilayah Jawa L a p o r a n N u s a n t a r a 41

48 PERTUMBUHAN EKONOMI Perekonomian Kalimanta Perekonomian Kalimantan pada triwulan III 2015 untuk pertama kalinya mengalami kontraksi pertumbuhan dalam 10 tahun terakhir. Pertumbuhan ekonomi Kalimantan triwulan III 2015 mengalami kontraksi 0,41% (yoy), atau turun dari sebelumnya 1,09% (yoy) pada triwulan II Kontraksi pertumbuhan terutama bersumber dari penurunan sektor pertambangan Kalimantan Timur yang sangat dalam, akibat produksi batubara yang tumbuh negatif dan lifting gas alam yang melambat. Selain itu, pertumbuhan yang menurun juga disumbang oleh permintaan komoditi CPO yang melemah, khususnya dari Eropa karena stok komoditas subtitusi CPO, rapeseed oil, yang melimpah. Sektor pertambangan yang terkontraksi lebih dalam dan pelemahan perkebunan, berimbas menekan kinerja ekspor lebih dalam. Sementara itu, impor mengalami peningkatan terutama impor barang modal, yang digunakan untuk penyelesaian proyek smelter di Kalimantan Barat serta beberapa proyek pemerintah. Memasuki triwulan IV 2015, pertumbuhan ekonomi Kalimantan diperkirakan mulai tumbuh membaik meski masih cenderung terbatas. Perekonomian Kalimantan diperkirakan tumbuh tipis menjadi 0,01% (yoy) pada triwulan IV Perbaikan pertumbuhan didorong oleh industri pengolahan, terutama LNG karena adanya peningkatan lifting gas alam. Sejalan dengan hal tersebut, ekspor LNG ke luar negeri meningkat utamanya ke Jepang. Hal tersebut didukung oleh berbagai indikator perekonomian, antara lain prognosa lifting gas alam, yang tumbuh meningkat. Secara keseluruhan tahun, perekonomian Kalimantan tumbuh melambat pada tahun 2015 pada kisaran 0,54% (yoy), atau lebih rendah dari tahun sebelumnya (3,19%, yoy). Kondisi ini terutama dipengaruhi oleh kontraksi yang terjadi pada sektor pertambangan. Di samping itu, melemahnya permintan batubara global disertai harga yang cenderung terus menurun berdampak negatif pada kinerja sektor pertambangan. Demikian halnya dengan industri hasil perkebunan yang cenderung tumbuh melambat sepanjang tahun 2015 akibat produksi yang menurun seiring dengan rendahnya harga di pasar ekspor. Penurunan kinerja pertambangan dan perkebunan pada gilirannya berimbas pada melemahnya konsumsi masyarakat. Konsumsi Konsumsi Swasta Pertumbuhan konsumsi swasta (konsumsi rumah tangga dan konsumsi lembaga swasta nirlaba) berbagai daerah di Kalimantan meningkat pada triwulan III Provinsi yang mengalami pertumbuhan konsumsi swasta tertinggi antara lain Kalimantan Selatan (5,75%) dan Kalimantan Tengah (4,96%). Meningkatnya konsumsi swasta utamanya lebih didorong oleh meningkatnya aktivitas lembaga atau organisasi politik menjelang pelaksanaan Pilkada serentak di beberapa daerah yang mendorong peningkatan konsumsi lembaga swasta nirlaba. Dari sisi konsumsi rumah tangga, peningkatan dipengaruhi oleh adanya beberapa event perayaan hari besar keagamaan seperti Ramadhan, Idul Adha, serta periode tahun ajaran baru dan liburan sekolah. Hal tersebut sejalan dengan Survei Tendensi Konsumen yang menunjukan peningkatan optimisme pada triwulan III 2015 (Grafik IV.1). Selain itu, peningkatan konsumsi rumah tangga terlihat dari hasil liaison dan Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang masing-masing menunjukkan terjadinya kenaikan penjualan domestik dan kecenderungan peningkatan realisasi kegiatan usaha. Namun, peningkatan konsumsi rumah tangga tertahan oleh menurunnya pendapatan karena melemahnya kinerja sektor pertanian dan pertambangan. Perkembangan konsumsi swasta juga terlihat dari penghimpunan DPK dan penyaluran kredit (Grafik IV.2). Dana Pihak Ketiga (DPK) menunjukan kecenderungan perlambatan pada triwulan III, khususnya pada deposito, sementara penyaluran kredit konsumsi tercatat tinggi. L a p o r a n N u s a n t a r a 42

49 Sumber: BPS, diolah Grafik IV.1. Indeks Tendensi Konsumen (ITK) Grafik IV.2. Pertumbuhan Tahunan Kredit Konsumsi Memasuki triwulan IV 2015, konsumsi swasta diperkirakan masih terus melanjutkan tren peningkatan pertumbuhan. Optimisme konsumen dalam memandang perekonomian ke depan masih terjaga, hal tersebut terkonfirmasi dari Indeks Tendensi Konsumen di triwulan IV, yang masih berada pada level yang cukup tinggi (Grafik IV.1). Selain itu, hasil liaison dan SKDU kepada pelaku usaha perdagangan hotel dan restoran, menunjukkan optimisme pelaku usaha akan terjadinya peningkatan penjualannya dan kenaikan margin, serta perkiraan terjadinya peningkatan kegiatan usaha. Dari sisi pembiayaan, diperkirakan konsumen masih menggunakan dana di perbankan untuk membiayai konsumsi mereka. Hal tersebut terkonfirmasi dari hasil Survei Konsumen yang memperlihatkan jumlah konsumen memanfaatkan kartu kredit dan kredit lainnya cenderung sedikit meningkat dibandingkan periode sebelumnya. Selain itu hasil Survei Konsumen juga menunjukkan adanya penurunan penggunaan deposito oleh konsumen, yang diindikasikan untuk membiayai kebutuhan konsumen di tengah belum pulihnya perekonomian Kalimantan. Secara kumulatif tahun 2015, konsumsi rumah tangga diproyeksikan akan melambat dibandingkan dengan tahun Melemahnya konsumsi rumah tangga sejalan dengan menurunnya kinerja sektor utama Kalimantan (pertanian, industri dan pertambangan) yang menurunkan ketersediaan lapangan pekerjaan, yang pada akhirnya berimbas pada penurunan pendapatan rumah tangga. Perkembangan kredit konsumsi sampai dengan September juga mengindikasikan adanya penurunan pertumbuhan pada tahun berjalan 2015 apabila dibandingkan dengan tahun Konsumsi Pemerintah Konsumsi pemerintah pada triwulan III 2015 melambat dibandingkan periode sebelumnya. Masih terbatasnya penyerapan anggaran, terutama di Kalimantan Timur, menyababkan pertumbuhan konsumsi pemerintah masih terbatas. Sampai dengan triwulan III 2015 belanja pemerintah daerah Kalimantan Timur tercatat sebesar 45,10% dari anggaran atau lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yaitu sebesar 49,39% (Grafik IV.3). Selain itu, tingkat konsumsi pemerintah yang nilainya tidak terpaut jauh pada tahun 2015 dan 2014, terkonfirmasi dari penempatan dana PEMDA di perbankan khususnya pada bulan September 2015 yang hanya sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan posisi September 2014 (Grafik IV.4). Tingginya pertumbuhan konsumsi pemerintah Kalimantan Timur pada triwulan III 2014, akibat telatnya pencairan dana bagi hasil pada tahun tersebut, sehingga memberikan efek perlambatan pada periode yang sama tahun Memasuki triwulan IV 2015, konsumsi pemerintah diperkirakan masih akan berada pada tren yang melambat. Terbatasnya realisasi konsumsi pemerintah diperkirakan masih berlangsung hingga akhir tahun. Meski demikian, secara keseluruhan tahun 2015, konsumsi pemerintah diperkirakan akan meningkat dibandingkan dengan tahun Tren peningkatan terutama terjadi pada semester pertama, meski peningkatan tersebut tertahan akibat perlambatan konsumsi pemerintah pada semester kedua. Peningkatan konsumsi pemerintah pada semester pertama, antara lain disebabkan oleh terhambatnya pola konsumsi di Kalimantan Timur pada semester pertama tahun 2014, pasca terlambatnya pencairan Dana Bagi Hasil pada tahun L a p o r a n N u s a n t a r a 43

50 Sumber: DJPK, Biro Keuangan Provinsi Grafik IV.3. Realisasi Konsumsi Pemda Grafik IV.4. Penempatan Dana Pemda di Perbankan INVESTASI Investasi Kalimantan pada triwulan III 2015 meningkat, dengan peningkatan terjadi di hampir seluruh provinsi. Provinsi yang tercatat mengalami kenaikan investasi pertumbuhan tertinggi adalah Kalimantan Timur, Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan. Peningkatan pertumbuhan investasi terutama terkait dengan pembangunan smelter sebagaimana terindikasi dari kenaikan impor barang modal. Selain itu, terdapat beberapa proyek yang mulai dikerjakan pada triwulan III, antara lain pembangunan PLTU di Tabalong (Kalimantan Selatan), pengembangan gas di Tarakan (Kalimantan Utara), serta perbaikan jalan di beberapa daerah di Kalimantan. Realisasi investasi Penanaman Modal Asing juga mengindikasikan terjadinya peningkatan. Pada aspek pembiayaan, kredit investasi mengindikasikan terjadinya peningkatan pada triwulan III 2015, apabila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Hasil survei kegiatan dunia usaha, juga mengkonfirmasi kondisi investasi pada triwulan III 2015 yang lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan II Meski demikian, secara umum investasi bangunan melambat dibandingkan periode sebelumnya yang terkonfirmasi dari kinerja sektor konstruksi. Sumber: BKPM, diolah Grafik IV.5. Realisasi PMA di Kalimantan Sumber: BKPM, diolah Grafik IV.6. Realisasi PMDN di Kalimantan Memasuki triwulan IV 2015, investasi diperkirakan tetap tumbuh meningkat. Masih tingginya pertumbuhan investasi didorong oleh penyelesaian smelter di Kalimantan Barat. Melihat secara keseluruhan tahun 2015, investasi Kalimantan diperkirakan relatif stabil pada level yang tinggi. Hal tersebut, terutama disebabkan oleh masih banyaknya penyelesaian proyek infrastruktur di berbagai provinsi di Kalimantan, serta pembangunan smelter di Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan sehingga mendorong investasi pada tahun Ekspor Ekspor Kalimantan pada triwulan III 2015 terkontraksi lebih dalam dibandingkan dengan triwulan II Penurunan tersebut terutama dipengaruhi oleh melambatnya ekspor antar daerah dan ekspor luar negeri yang masih terkontraksi. Melambatnya ekspor antar daerah sejalan dengan menurunnya produksi CPO dan L a p o r a n N u s a n t a r a 44

51 batubara untuk domestik. Sementara kontraksi yang masih dialami ekspor luar negeri disebabkan oleh penurunan ekspor migas dan batubara (Grafik IV.7.), terutama ke India. Adapun provinsi yang mengalami penurunan ekspor paling dalam adalah Kalimantan Timur yang merupakan daerah eksportir komoditas tambang, sementara ekspor provinsi lainnya masih tumbuh meskipun cenderung melambat. Memasuki triwulan IV 2015, total ekspor diperkirakan membaik. Perbaikan ekspor utamanya didorong oleh ekspor antar daerah yang meningkat didukung perbaikan industri olahan. Kembali normalnya cuaca pada bulan November mendorong produksi pertanian khususnya tanaman bahan makanan. Namun, ekspor luar negeri diperkirakan masih terkontraksi. Produksi batubara diperkirakan tidak dapat mencapai target produksi yang ditetapkan, sedangkan dari sisi harga masih belum ada perbaikan harga komoditas dimaksud. Hal tersebut terkonfirmasi dari hasil liaison pada bulan Oktober 2015, yang menunjukkan belum adanya kecederungan perbaikan ekspor luar negeri sebagaimana tercermin pada likert scale penjualan ekspor yang lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya. Belum membaiknya kinerja ekspor sektor pertambangan, terutama komoditas batubara menjadi faktor utama tertahannya pertumbuhan ekspor Kalimantan. Untuk keseluruhan tahun 2015, perkembangan ekspor Kalimantan diperkirakan tumbuh negatif. Kinerja produksi batubara dan harga komoditas tersebut yang masih dalam tren menurun menjadi faktor utama terkontraksinya pertumbuhan ekspor. Selain itu, beberapa faktor lain seperti kinerja sektor perkebunan juga diperkirakan belum membaik, produksi smelter masih belum optimal dan ekspor mineral yang semula akan dimulai pada tahun 2015 masih belum dapat terealisir sehingga akan menyebabkan ekspor terkontraksi cukup dalam pada tahun Sejalan dengan perlambatan produksi CPO sejak awal tahun, ekspor antar daerah juga mengalami perlambatan. Selain itu, tidak tercapainya target serapan batubara domestik juga turut berperan terhadap perlambatan ekspor antar daerah. Impor Grafik IV.7. Pertumbuhan Tahunan Ekspor Berdasar Komoditas, % Grafik IV.8. Likert Scale Penjualan Ekspor Impor meningkat dibandingkan dengan periode sebelumnya dipengaruhi terutama oleh meningkatnya aktivitas impor barang modal (Grafik IV.9.). Meningkatnya impor terutama terjadi di Provinsi Kalimantan Barat, Selatan dan Timur seiring dengan berlanjutnya proses pembangunan industri olahan dan pembangunan infrastruktur. Kenaikan impor luar negeri untuk penyelesaian smelter diperkirakan terus terjadi sampai akhir Selain itu, impor barang konsumsi di Kalimantan secara umum juga mengalami kenaikan sejalan dengan konsumsi rumah tangga yang meningkat pada triwulan III Hal tersebut, pada akhirnya mendorong impor secara keseluruhan di tahun Di sisi lain, impor antar daerah tumbuh melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. L a p o r a n N u s a n t a r a 45

52 Grafik IV.9. Pertumbuhan Impor Tahunan, % KINERJA SEKTOR UTAMA DAERAH Sektor Pertambangan Pada triwulan III 2015 sektor pertambangan, yang merupakan sektor dengan pangsa terbesar di Kalimantan, mengalami kontraksi semakin dalam. Sektor pertambangan terkontraksi sebesar 8,11% (yoy) atau lebih dalam dibanding triwulan sebelumnya yang terkontraksi 3,36% (yoy). Menurunnya kinerja sektor pertambang disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan lifting migas akibat sudah tuanya sumur dan turunnya produksi batubara akibat rendahnya permintaan global. Menurunnya permintaan batubara oleh India, terutama disebabkan adanya peningkatan produksi batubara di negara tersebut. Penurunan permintaan dari Tiongkok terjadi karena perlambatan ekonominya menyebabkan permintaan energinya berkurang. Selain itu, kebijakan pengurangan polusi dengan shifting sumber energi menjadi lebih bersih seperti energi terbarukan dan gas juga turut memengaruhi permintaan batubara secara umum. Sedikit meningkatnya ekspor ke Tiongkok pada triwulan laporan bersifat temporer karena adanya penambang di Tiongkok sempat menurunkan produksi di awal triwulan III untuk menahan kerugian di tengah koreksi harga yang masih terus berlangsung. Pada triwulan IV 2015, kinerja sektor pertambangan diperkirakan mengalami kontraksi lebih dalam hingga mencapai -8,94% (yoy). Hal tersebut terutama disebabkan oleh penurunan produksi batubara dan minyak bumi. Selain itu, permintaan ekspor dari Tiongkok, India dan Korea Selatan diperkirakan masih cenderung lemah. Faktor utama yang menahan permintaan di pasar Tiongkok adalah akibat perlambatan ekonomi dan isu pencerman lingkungan. Selain itu, pasar India mulai meningkatkan produksi Coal India Ltd (BUMN, satusatunya produsen batubara) sehingga secara tidak langsung menyebabkan tertahannya permintaan akan batubara dari negara lain. Dampak penerapan pajak impor batubara di Korea Selatan sejak 2014 sudah mulai memberikan dampak negatif pada ekspor Indonesia, yakni mulai terjadinya shifting permintaan Korea ke Australia. Faktor lain yang menghambat pertumbuhan sektor pertambangan adalah semakin ketatnya kompetisi di pasar ekspor batubara dunia, pasca masuknya Afrika Selatan sebagai eksportir besar baru di dunia yang berekspansi ke Asia. Selain batubara, produksi minyak juga menjadi faktor penahan pertumbuhan, dengan prognosa produksi minyak bumi pada triwulan IV 2015 diperkirakan turun hingga terkontraksi sampai dengan 37,6% (yoy). Di sisi lain, prognosa lifting gas mengalami peningkatan sampai 7,3% (yoy), sehingga menahan turunnya kinerja sektor pertambangan lebih dalam. L a p o r a n N u s a n t a r a 46

53 (juta ton) Produksi g. yoy (RHS) (% yoy) I II III IV I II III IV I II III Sumber : IHS MCCloskey, diolah Grafik IV.10. Produksi Batubara PKP2B Kalimantan Sumber: KPPBC, diolah Grafik IV.11. Pertumbuhan Ekspor Komoditas Batubara Berdasarkan Provinsi Sumber : Kementerian ESDM, diolah Grafik IV.12.Lifting Gas Kalimantan Sumber: Kementerian ESDM, diolah Grafik IV.13.Lifting Minyak Kalimantan Selama tahun 2015, sektor pertambangan diperkirakan mengalami kontraksi lebih dalam dibandingkan tahun Hal tersebut sejalan dengan penurunan produksi batubara sebagai dampak lesunya permintaan global, terutama pasar Tiongkok. Konsumsi energi Tiongkok yang melambat, merespon pertumbuhan ekonominya yang melambat dari 7,3% (yoy) menjadi 6,8% (yoy) serta usaha menekan emisi sehingga terjadi pergeseran penggunaan sumber energi dari batubara menjadi gas alam dan energi terbaharukan. Selain itu, pasar batubara Tiongkok semakin ketat pasca masuknya batubara Afrika Selatan. Demikian pula pasar India tidak memberikan dampak yang maksimal pada permintaan batubara Kalimantan. Meskipun India mengalami peningkatan permintaan energi karena peningkatan pertumbuhan ekonomi dari 7,3% (yoy) menjadi 7,5% (yoy), namun peningkatan permintaan energi diimbangi oleh peningkatan produksi batubara Coal India Ltd dan masuknya Afrika Selatan sebagai kompetitor sehingga pasar batubara India semakin ketat. Sektor Industri Pengolahan Industri pengolahan Kalimantan pada triwulan III 2015 membaik meski masih tumbuh pada level yang rendah. Sektor industri pengolahan tumbuh dari -1,06% (yoy) menjadi 0,17% (yoy). Hal ini sejalan dengan hasil likert scale Kalimantan yang mengindikasikan adanya perbaikan ekspor dari produk industri olahan pada triwulan III, khususnya industri LNG dan karet. Produksi LNG tumbuh membaik dari -1,1% (yoy) menjadi 2,98% (yoy) (Grafik IV.14.), dan produksi karet meningkat dari 13,6% (yoy) menjadi 35,3% (yoy). Meski demikian, kenaikan pertumbuhan sektor dimaksud tertahan oleh perlambatan pada industri CPO dan pupuk. Melemahnya industri CPO terutama disebabkan oleh turunnya permintaan Eropa di tengah mencukupinya stok rapeseed oil yang merupakan produk substitusi CPO. Pada triwulan IV 2015, industri olahan diperkirakan dapat terus membaik. Industri olahan diperkirakan tumbuh 4,50% (yoy) pada triwulan IV Perbaikan tersebut sejalan dengan hasil SKDU yang mengindikasikan adanya perbaikan kegiatan dunia usaha dan prompt manufacturing index yang meningkat. Perbaikan utamanya didukung oleh meningkatnya produksi LNG dan pupuk. Membaiknya produksi LNG disebabkan oleh optimisme lifting gas, sehingga produksi LNG di triwulan IV 2015 berpotensi meningkat sampai dengan 15,8% (yoy). Sementara itu, dengan beroperasinya pabrik PKT V dan tutupnya PKT I membuat kapasitas produksi L a p o r a n N u s a n t a r a 47

54 pupuk urea dan amonia meningkat, masing-masing sebesar 18,7% (yoy) dan 13,8% (yoy). Di sisi lain, industri hasil perkebunan sawit dan karet menjadi faktor penahan. Terus terkoreksinya harga karet menjadi pendorong turunnya tingkat produksi, bahkan berdasarkan hasil liaison di Kalimantan Barat, penoreh karet sudah mulai alih profesi menjadi petani lada dan sawit. Grafik IV.14. Produksi LNG Kalimantan 140 (indeks) Indeks Produksi g yoy (RHS) (% yoy) I II III IV I II III IV I II III IV I II III Grafik IV.15. Produksi Pupuk Sumber : KPPBC, diolah Grafik IV.16.Ekspor Karet Luar Negeri Kalimantan Sumber: KPPBC, diolah Grafik IV.17.Ekspor CPO Kalimantan ke luar Negeri Pada keseluruhan tahun 2015, sektor industri pengolahan diperkirakan tumbuh melambat dari 2,19% (yoy) menjadi 0,12% (yoy). Perlambatan terjadi di semua provinsi, dengan perlambatan yang terbesar terjadi di Kalimantan Tengah. Perlambatan tersebut terutama disebabkan oleh menurunnya kinerja industri CPO dan produksi kilang BBM. Perlambatan pada industri CPO terjadi akibat penerapan moratorium tahun 2011, yang membekukan izin ekspansi lahan sawit di rawa dan gambut sehingga menyebabkan pertumbuhan lahan 4 tahun setelahnya (tahun 2015) mengalami perlambatan. Potensi perlambatan yang semakin dalam cukup besar terkait dengan dampak kekeringan akibat el nino yang menyebabkan produktivitas CPO menurun. Selain CPO, perlambatan juga disumbang oleh produksi kilang minyak di Balikpapan yang terindikasi turun sampai dengan -2,6% (yoy). Di sisi lain, perkembangan produksi LNG berpotensi meningkat menjadi tumbuh 2,8% (yoy) apabila lifting gas dapat terealisasi optimal. Produksi pupuk juga menjadi penopang pertumbuhan 2015 pasca beroperasinya PKT V pada bulan November Sektor Pertanian Sektor pertanian Kalimantan pada triwulan III 2015 tumbuh melambat dari 5,18% (yoy) menjadi 3,50% (yoy). Arah pertumbuhan ini sejalan dengan hasil SKDU yang mengindikasikan terjadinya perlambatan di sektor pertanian (Grafik IV.18). Secara spasial, perlambatan terjadi di semua provinsi Kalimantan kecuali Kalimantan Barat. Perlambatan terutama disebabkan oleh melambatnya hasil produksi TBS sawit. Namun di sisi lain, peningkatan kinerja subsektor tanaman bahan makanan menjadi penahan menurunnya sektor pertanian. Produksi tanaman bahan makanan diperkirakan meningkat, khususnya produksi padi yang merupakan implikasi dari peningkatan luas tanam karena mengeringnya lahan rawa akibat El Nino. Sektor pertanian diperkirakan stabil pada triwulan IV 2015 dengan pendorong utama pertumbuhan dari tanaman bahan makanan. Produksi padi diperkirakan meningkat sejalan dengan peningkatan luas lahan melalui program Upaya Khusus (UPSUS) dan mengeringnya lahan rawa. Pada sisi lain, kenaikan tabama L a p o r a n N u s a n t a r a 48

55 ditahan oleh penurunan perkebunan sawit dan karet. Moratorium lahan sawit tahun 2011, menjadi salah satu penyebab penurunan kinerja produksi komoditas dimaksud. Sementara, pada komoditi karet, rendahnya harga menjadi faktor penghambat kinerja produksinya. Perlambatan perkebunan membuat kinerja sektor pertanian pada tahun 2015 secara keseluruhan lebih rendah dibandingkan dengan tahun Sumber : BPS, diolah Grafik IV.18.Pertumbuhan Sektor Pertanian PERKEMBANGAN INFLASI Grafik IV.19.Realisasi SKDU Pertanian Perkembangan inflasi di berbagai daerah Kalimantan sepanjang triwulan III 2015 relatif terjaga. Hal ini tercermin dari laju kumulatif inflasi (year-to-date) periode Januari-September 2015 yang tercatat sebesar 3,57% (ytd), lebih rendah dibanding rata-rata periode yang sama dalam empat tahun terakhir yaitu sebesar 5,56% (ytd). Terjaganya inflasi terutama didukung oleh terkendalinya kenaikan harga pangan seiring dengan terjaganya stok bahan makanan terutama beras. Tekanan inflasi di wilayah ini meningkat pada Juli 2015 yang didorong oleh peningkatan permintaan memasuki periode Ramadhan. Beberapa komoditas yang menunjukkan kenaikan harga antara lain daging ayam ras, telur, dan bawang merah. Berbagai upaya yang cukup intensif dilakukan oleh pemerintah daerah bersama TPID dalam rangka menjaga kenaikan laju inflasi, antara lain melalui penyelenggaraan pasar murah dan program komunikasi lainnya. Kegiatan tersebut dilakukan untuk menahan tekanan kenaikan harga lebih lanjut. Pada bulan Agustus dan September, tekanan inflasi kembali mereda yang tercermin pada penurunan laju inflasi tahunan pada periode dimaksud. Secara tahunan (year-onyear), inflasi di Kalimantan masih berada pada level yang tinggi karena pengaruh tingginya tekanan inflasi volatile food akibat masih belum optimalnya ketersediaan sarana distribusi dan struktur pasar yang cenderung oligopoli. Inflasi Kalimantan pada September 2015 tercatat sebesar 7,4% (yoy), dengan inflasi tertinggi terjadi di Provinsi Kalimantan Barat (8,84%) dan Kalimantan Timur (7,33%). Memasuki awal triwulan IV 2015, inflasi berbagai daerah di Kalimantan mengalami tekanan lebih tinggi. Pada Oktober 2015, inflasi Kalimantan tercatat sebesar 0,28% (mtm) dan secara tahunan menjadi 7,55% (yoy), naik dibandingkan dengan periode sebelumnya (Grafik IV.20). Kenaikan inflasi terjadi utamanya pada kelompok volatile foods akibat pasokan yang berkurang. Andil inflasi volatile foods terbesar berasal dari subkelompok sayur-sayuran sebesar 0,21%. Berdasarkan informasi dari Dinas Pertanian, Kelautan dan Perkebungan (DPKP) Kota Balikpapan mayoritas petani sayuran dataran rendah (sawi hijau, kangkung, bayam) mengalami gagal panen akibat kekeringan. Selain itu, sub kelompok ikan segar yang memberikan andil inflasi cukup besar yakni 0,02%, juga mengalami kenaikan inflasi khususnya pada komoditas ikan gabus di Provinsi Kalimantan Selatan. Kemarau panjang menyebabkan rawa yang merupakan habitat ikan gabus kekeringan sehingga pasokan ikan gabus menurun cukup signifikan. Di sisi lain, faktor penahan kenaikan harga volatile foods berasal dari deflasi pada subkelompok daging dan hasilnya serta bumbu-bumbuan. Sejumlah komoditas hortikultura seperti cabe merah mengalami penurunan harga. Bahkan koreksi harga cabai merah di Kalimantan Selatan merupakan yang terbesar secara nasional mencapai 49,55% (mtm). Pada kelompok administered prices, inflasi tahunan tercatat lebih rendah dibandingkan dengan bulan sebelumnya serta terhadap inflasi nasional. Pada Oktober 2015, kelompok administered prices tercatat mengalami inflasi sebesar 8,98% (yoy), lebih rendah dibandingkan bulan September sebesar 10,24% (yoy). Capaian inflasi ini juga lebih rendah dibandingkan inflasi nasional yang L a p o r a n N u s a n t a r a 49

56 tercatat sebesar 9,83% (yoy). Penurunan kelompok administered prices terutama didorong oleh koreksi tarif listrik, dan bahan bakar rumah tangga. Koreksi tarif listrik sejalan dengan kebijakan tariff adjustment pada kelompok pelanggan listrik dengan daya diatas 2200VA. Penurunan inflasi komoditas bahan bakar rumah tangga bersumber dari koreksi harga LPG 12 kg sebesar Rp6.000 per tabung atau Rp500 per kg pada 15 September Sumber: data BPS diolah Grafik IV.20. Perkembangan Inflasi Kalimantan dan Nasional Sumber: BPS (diolah menggunakan pendekatan kelompok) Grafik IV.21. Disagregasi Inflasi Kalimantan Sampai dengan akhir triwulan IV 2015, inflasi Kalimantan diproyeksi turun menjadi 4,99% (yoy). Penurunan inflasi terjadi di semua kelompok, yaitu volatile foods, administered prices, dan inti. Menurunnya inflasi volatile foods, terutama didukung oleh meningkatnya produksi padi. Sementara pada kelompok administered prices, hilangnya dampak kenaikan BBM November 2014 serta implementasi dampak paket kebijakan III (turunnya harga BBM dan LPG serta diskon tarif listrik waktu tertentu), dapat menurunkan inflasi dari kelompok ini. Dari sisi inflasi inti, terjaganya ekspektasi harga baik dari konsumen dan pelaku usaha turut mendorong ke bawah tekanan inflasi. Hal tersebut sejalan dengan hasil Survei Konsumen yang menunjukan ekspektasi konsumen pada 3 bulan mendatang cenderung menurun. Selain itu, likert scale hasil liaison mengindikasikan tren penurunan harga jual yang masih akan berlanjut beberapa bulan ke depan. Grafik IV.22. Perkembangan Ekspektasi Harga 3 bulan yang Akan Datang Hasil Survei Konsumen Grafik IV.23. Perkembangan Perkiraan Harga yang Akan Datang Hasil Liaison Meskipun demikian, terdapat beberapa beberapa risiko yang berpotensi meningkatkan tekanan inflasi pada periode mendatang. Pada kelompok volatile foods, dampak lanjutan kekeringan akibat El Nino yang diperkirakan akan berlanjut hingga akhir tahun, berpotensi menyebabkan berkurangnya pasokan bahan makanan ke wilayah Kalimantan. Pada sisi administered prices, beberapa kebijakan energi terkait penyesuaian tariff listrik rumah tangga, pengalihan pelanggan listrik dengan daya 450VA dan 900VA ke daya 1300VA, serta penyesuaian harga LPG 3 kg, meningkatkan risiko kenaikan inflasi ke depan. Selain itu, penyelenggaraan Pemilukada serentak pada Desember 2015, akan ikut meningkatkan risiko tekanan inflasi dipenghujung tahun L a p o r a n N u s a n t a r a 50

57 Koordinasi Pengendalian Inflasi Mencermati sejumlah risiko inflasi di 2015, antara lain dampak el nino terhadap produksi pangan nasional, kenaikan konsumsi masyarakat pada masa pilkada akhir 2015 dan kenaikan batas atas tarif angkutan udara, TPID di Wilayah Kalimantan senantiasa berupaya untuk mengantisipasi tekanan inflasi kedepan. Adapun sejumlah rekomendasi yang akan ditindaklanjuti oleh TPID wilayah Kalimantan antara lain: (1) mencermati risiko peningkatan harga yang mungkin timbul dan mempengaruhi pasokan beras, TPID akan berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait dalam rangka menjaga stok bahan pangan serta memantau ketersediaannya. Tindaklanjut lainnya yaitu, (2) TPID Kalimantan akan bekerjasama dengan BULOG untuk membuka gerai beras lokal di Pasar Kahayan dan Pasar Besar Kalimantan Tengah, (3) mengoptimalkan kandang dan kolam penyangga menjelang akhir tahun 2015, (4) melakukan komunikasi melalui talk show dan press rilis dengan masyarakat untuk mengendalikan ekspektasi. Sehubungan dengan bencana kabut asap yang melanda sejumlah wilayah di Kalimantan (Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat), tedapat beberapa kegiatan yang telah dikoordinasikan oleh TPID Provinsi Kalimantan Tengah antra lain mengadakan HLM Khusus bencana kabut asap di kota Sampit. Selain itu, TPID Kalimantan Tengah juga melaksanakan pasar penyeimbang, dalam rangka menekan dampak inflasi akibat bencana kabut asap, yang akan berlangsung sampai dengan akhir STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN Ketahanan Sektor Korporasi Pembiayaan ke sektor korporasi di Kalimantan pada triwulan III 2015 didominasi oleh sektor pertanian, terutama disalurkan untuk perkebunan sawit dengan pangsa 32,57% terhadap total kredit. Selain sektor pertanian, sektor pertambangan, industri dan perdagangan juga memiliki peran yang cukup dominan dalam pembiayaan oleh sektor korporasi Kalimantan dengan pangsa masing-masing 15,41%, 13,64% dan 11,44%. Pada triwulan III 2015, pembiayaan sektor korporasi di Kalimantan mengalami peningkatan, terutama didorong oleh menguatnya kredit industri olahan (Grafik IV.24), yang memiliki pangsa cukup besar yaitu sebesar 13,64%. Peningkatan pertumbuhan kredit tertinggi terjadi di Provinsi Kalimantan Tengah dan terendah di Provinsi Kalimantan Selatan. 120 (% yoy) Total Pertambangan Pertanian Industri I II III IV I II III IV I II III IV I II III Grafik IV.24. Pertumbuhan Kredit Sektoral 12 (% NPL) 2014-I 2014-II 2014-III 2014-IV 2015-I 2015-II III Grafik IV.25. NPL Sektoral Meski demikian, risiko kredit korporasi cenderung mengalami peningkatan pada triwulan III Hal tersebut tercermin pada kenaikan NPL dari 4,29% menjadi 4,91% (Grafik IV.25). Kontraksi yang terjadi di perekonomian Kalimantan Timur menyebabkan NPL meningkat baik pada sektor utama, yakni pertambangan maupun pendukungnya (Grafik IV.26). Tingkat risiko tertinggi berada di Kalimantan Timur dengan NPL mencapai 6,8%, sementara di provinsi lainnya tingkat NPL masih berada pada level yang baik atau berada di bawah 5%. Namun kondisi dimaksud perlu diwaspadai karena pergerakan NPL dimaksud memilki kecenderungan meningkat cukup cepat, terutama sejak 2014 (Grafik IV.27) L a p o r a n N u s a n t a r a 51

58 18 (% NPL) 2014-I II III IV I II III Grafik IV.26. NPL Sektoral Kaltim Grafik IV.27. NPL Per Provinsi Kemudian, pertumbuhan penghimpunan DPK sektor korporasi, pada triwulan III 2015 tercatat mengalami kontraksi sebesar 3,27% (yoy) dari triwulan sebelumnya yang tumbuh 5,28% (yoy). Secara spasial, kontraksi tersebut terutama berasal dari Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur (Grafik IV.28), yang masingmasing terkontrakasi sebesar 17,34% (yoy) dan 7,65% (yoy). Sedangkan Provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat masing-masing mencatat pertumbuhan sebesar 13,54% (yoy) dan 2,63% (yoy). Kontraksi pertumbuhan DPK sektor korporasi di Kalimantan, terutama didorong oleh didominasi dana murah yaitu tabungan dan deposito, sedangkan giro masih tumbuh meningkat (Grafik IV.29). 100 (% yoy) Kalimantan Kalbar Kalteng Grafik IV.28. Pertumbuhan DPK Per Provinsi Ketahanan Sektor Rumah Tangga Kalsel Kaltim I II III IV I II III IV I II III IV I II III Grafik IV.29. Pertumbuhan DPK Per Form Stabilitas sistem keuangan sektor rumah tangga di Kalimantan masih terjaga. Hal ini terindikasi dari meningkatnya kredit sektor tumah tangga yang diikuti dengan rendahnya risiko kredit. Kredit sektor rumah tangga meningkat dari 14,67% (yoy) menjadi 15,33% (yoy), hal ini sejalan dengan konsumsi rumah tangga yang meningkat pada triwulan III Peningkatan tersebut terutama didorong oleh kenaikan kredit multiguna yang mencapai 24,99% (yoy), kredit perumahan sebesar 11,63% (yoy), kredit ruko 4,89% (yoy), dan KKB 0,32% (yoy) (Grafik IV.30). Peningkatan kredit tersebut diikuti dengan tingkat risiko yang masih tetap terjaga. Hal tersebut tercermin pada rendahnya tingkat NPL sektor rumah tangga pada triwulan III 2015, yaitu sebesar 1,99% atau relatif tidak mengalami perubahan dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu 1,96% (Grafik IV.31). Semua provinsi di Kalimantan menunjukan NPL tercatat yang cukup rendah atau berada di bawah 5%. Masih tingginya ketahanan stabilitas sistem keuangan sektor rumah tangga juga terindikasi oleh rendahnya level debt-to-service ratio Kalimantan pada triwulan III 2015 (Grafik IV.32). Berdasarkan hasil Survei Konsumen, tingkat DSR Kalimantan tercatat hanya sebesar 13,86%. Secara spasial, level debt-to-service ratio di seluruh provinsi di Kalimantan juga masih dalam level yang sehat yakni jauh di bawah 30%, atau pada rentang 12,70% hingga 17,65%. Sementara itu, DPK perseorangan di Kalimantan masih tumbuh relatif stabil (Grafik IV.33). Pada triwulan III 2015, DPK di Kalimantan tumbuh sebesar 7,24% (yoy), atau relatif sama dibandingkan periode sebelumnya yang tumbuh 7,25% (yoy) (% NPL) Kalimantan Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim I II III IV I II III IV I II III IV I II III (% yoy) Total Giro Tabungan Deposito I II III IV I II III IV I II III IV I II III L a p o r a n N u s a n t a r a 52

59 100 (% yoy) Total KPR/KPA Ruko KKB 80 Multiguna I II III IV I II III IV I II III IV I II III Grafik IV.30. Pertumbuhan Kredit RT 4.0 (% NPL) I 2014-II 2014-III 2014-IV 2015-I 2015-II 2015-III Total KPR/KPA Ruko KKB Multiguna Grafik IV.31.Perkembangan NPL Grafik IV.32. Debt-to-Service Ratio Per Provinsi Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Grafik IV.33.Pertumbuhan DPK Perseorangan Penyaluran kredit untuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Kalimantan pada triwulan III 2015 cenderung meningkat. Pertumbuhan kredit UMKM naik dari 4,78% (yoy) pada triwulan II 2015, menjadi 5,81% (yoy) pada triwulan III Hal ini sejalan dengan kinerja kredit UMKM nasional yang menunjukkan peningkatan, akibat dorongan realisasi khususnya pada sektor perdagangan. Secara spasial, kredit UMKM hampir di seluruh provinsi Kalimantan pada triwulan III 2015 meningkat. Di sisi lain, risiko kredit UMKM di Kalimantan masih tetap perlu diwaspadai. NPL kredit UMKM yang berada di atas 5% selama tiga triwulan berturut-turut dan dalam tren meningkat hinggga mencapai 5,95% pada akhir triwulan III Peningkatan risiko kredit tersebut terjadi di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan yang perekonomiannya didominasi oleh sektor pertambangan, yang sedang mengalami tren perlambatan. NPL kredit UMKM pada sektor pertambangan tercatat paling tinggi yaitu sebesar 14,47%, diikuti sektor konstruksi dan sektor jasa, dengan NPL masing-masing sebesar 13,95% dan 12,71%. 70 (% yoy) Total Pertanian Konstruksi Perdagangan I II III IV I II III IV I II III IV I II III Grafik IV.34. Pertumbuhan Kredit UMKM 40 (% yoy) Grafik IV.35. Pertumbuhan DPK Per Form Berdasarkan rasio-rasio yang ada, keuangan inklusif di Kalimantan cenderung masih belum sebaik di wilayah lainnya. Hal ini tercermin pada masih rendahnya rasio rekening per penduduk di Kalimantan dibandingkan dengan nasional. Selain itu, dukungan keuangan dalam perekonomian relatif masih terbatas yang diindikasikan oleh rasio kredit dan DPK terhadap PDRB di Kalimantan yang cenderung tidak setinggi nasional. Secara spasial Kalimantan Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim I II III IV I II III IV I II III IV I II III (% NPL) 2014-I 2014-II 2014-III 2014-IV I 2015-II 2015-III L a p o r a n N u s a n t a r a 53

60 ketersediaan jumlah bank paling baik berada di Kalimantan Timur, yang juga berdampak pada tingginya rasio rekening terhadap penduduk dewasa. Namun demikian, dalam hal dukungan terhadap PDRB, Kalimantan barat merupakan yang paling baik dicerminakn dari rasio kredit dan DPK terhadap PDRB. Sementara itu, dukungan terhadap UMKM paling baik berada di Kalimantan Tengah (Tabel IV.1). Tabel IV.1 Indikator Keuangan Inklusif Sumber: BPS, Bank Indonesia, diolah Pengelolaan Sistem Pembayaran Sejalan dengan perlambatan kinerja ekonomi wilayah Kalimantan pada triwulan III 2015, pertumbuhan transaksi non tunai secara agregat menunjukan perlambatan dari 45,74% (yoy) menjadi 30,48% (yoy) dengan total transaksi Rp361,35 triliun. Perlambatan pada periode laporan berumber dari deselerasi transaksi RTGS dari 49,38% (yoy) menjadi 32,4% (yoy). Perlu dicermati bahwa kenaikan nominal transaksi RTGS sejak triwulan II 2015, disinyalir merupakan dampak dari penerapan kebijakan kewajiban penggunaan Rupiah di wilayah NKRI. Selain itu, transaksi kliring masih tumbuh meningkat, meski masih berada pada level yang rendah 3,36% (yoy). Tabel IV.2 Perkembangan RTGS Kalimantan I II III IV I II III IV I II III Nilai (Rp triliun) g. Nilai (% yoy) Volume (ribu lembar) g. Volume (% yoy) Pengelolaan Uang Tunai Rupiah Tabel IV.3 Perkembangan Kliring Kalimantan I II III IV I II III IV I II III Nilai (Rp triliun) g. Nilai (% yoy) Volume (ribu lembar) g. Volume (% yoy) Transaksi tunai Bank Indonesia se-kalimantan pada triwulan III 2015 tercatat mengalami net outflow Rp2,99 triliun. Net outflow tersebut masih berada dalam pola normal sistem pembayaran tunai Kalimantan, yakni pada triwulan II sampai dengan IV setiap tahunnya, terjadi net outflow uang kartal. Sejalan dengan lesunya perekonomian, permintaan uang tunai juga tidak setinggi sebelumnya. Hal tersebut tercermin pada perlambatan pertumbuhan outflow yang lebih dalam dibandingkan dengan inflow. Pertumbuhan outflow yang melambat cukup dalam, yaitu dari 29,3% (yoy) menjadi hanya tumbuh 2,31% (yoy). Sementara itu inflow tumbuh sedikit melambat dari 9,67% (yoy) menjadi 8,17% (yoy). L a p o r a n N u s a n t a r a 54

61 Secara spasial, net outflow terjadi di hampir semua provinsi kecuali Kalimantan Selatan yang mengalami net inflow. Pada triwulan laporan, perkembangan uang yang diragukan keasliannya sedikit menunjukkan peningkatan dari 706 lembar menjadi 772 lembar dengan temuan terbanyak di Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Tabel IV.4 Perkembangan Inflow-Outflow Provinsi di Kalimantan Provinsi Inflow Outflow Net Outflow Kalbar 2,236,209 2,404, ,111 Kalteng 1,267,214 2,938,429 1,671,215 Kalsel 2,878,654 2,130, ,815 Kaltim 2,968,003 4,864,227 1,896,224 Kalimantan 9,350,079 12,337,814 2,987,735 Grafik IV.36 Perkembangan Inflow-outflow Kalimantan PROSPEK PEREKONOMIAN Prospek Pertumbuhan Ekonomi Pada tahun 2016, perekonomian Kalimantan diproyeksi tumbuh membaik. Perekonomian Kalimantan diprakirakan tumbuh di kisaran 2,0%-2,5% (yoy). Prospek membaiknya pertumbuhan terutama didorong oleh berkurangnya kontraksi di sektor pertambangan serta meningkatnya kinerja sektor industri dan pertanian. Pada sisi permintaan, peningkatan ditopang oleh perbaikan ekspor. Kemudian secara spasial, perbaikan perekonomian Kalimantan pada 2016 diprakirakan akan terjadi di semua daerah. Sektor pertambangan diperkirakan membaik terutama didukung oleh adanya potensi peningkatan permintaan batubara untuk kebutuhan PLTU di berbagai negara Asia dan peningkatan produksi mineral pasca beroprasinya smelter alumina di Kalimantan Barat dan smelter besi di Kalimantan Selatan. Meski demikian, lifting gas alam, yang mendominasi migas Kalimantan, diperkirakan tidak setinggi tahun 2015 sehingga menjadi penahan perbaikan pertambangan lebih lanjut. Berdasarkan asumsi APBN 2016, lifting gas nasional diperkirakan turun dari BOPD menjadi BOPD. Kinerja sektor industri pengolahan diproyeksi meningkat karena terdapat smelter baru yang mulai beroperasi dan kinerja CPO di perkirakan sudah mengalami perbaikan. Pada tahun 2016 diperkirakan terdapat smelter yang akan beroperasi di Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan. Perbaikan industri CPO sejalan dengan semakin landainya koreksi harga pada tahun Namun demikian, perlu diwaspadai dampak El Nino di 2015 yang berpotensi menurunkan produktivitas CPO di tahun Di sisi lain, produksi LNG diperkirakan menjadi faktor penghambat di sektor industri. Menurunnya asumsi lifting gas semakin membatasi produksi LNG di Kalimantan. Sementara itu, sektor pertanian diproyeksi meningkat didukung oleh naiknya kinerja subsektor perkebunan. Masih terus meningkatnya produktivitas sawit Kalimantan menjadi faktor pendorong peningkatan output. Selain itu, stabilnya harga karet pada level USD 80-50/ton, diperkirakan menjadi sentimen positif peningkatan perkebunan karet sehingga akan memberikan dampak kenaikan pada pertumbuhan sektor pertanian secara keseluruhan. Prospek Inflasi Pada tahun 2016, inflasi Kalimantan diperkirakan masih tetap terjaga. Inflasi Kalimantan 2016 diperkirakan berada pada kisaran 4,79%-5,29%. Adapun permasalahan struktural yang dihadapi Kalimantan menyebabkan inflasi masih berada di atas target inflasi nasional. Kemudian, pada kelompok volatile foods, permasalahan L a p o r a n N u s a n t a r a 55

62 struktural berasal dari rendahnya produksi tanaman pangan dan kurang baiknya distribusi di Kalimantan. Upaya penyelesaian berbagai permasalahan ini telah dituangkan dalam roadmap pengendalian inflasi yang disusun oleh Tim Pengendalian Inflasi Daerah di Kalimantan dan telah diturunkan menjadi program-program di daerah yang dapat dilaksanakan sehingga diharapkan dapat meredam tekanan inflasi yang akan dihadapi. Selain itu, pada kelompok administered prices dan inflasi inti masih terdapat beberapa risiko yang perlu diwaspadai, antara lain penyesuaian tariff angkutan udara dan barang-barang impor seiring dengan masih adanya potensi penguatan USD serta peningkatan tarif dasar listrik dan harga elpiji 3Kg. Terjaganya inflasi pada tahun 2016 didukung menurunnya tekanan inflasi di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Optimisme produksi tanaman pangan di Kalimantan Selatan menjadi penahan kenaikan inflasi volatile foods. Di sisi lain, inflasi di Kalimantan Timur diperkirakan naik pada tahun 2016, sejalan dengan membaiknya permintaan masyarakat. Dalam survei konsumen, indeks perkiraan harga 6 bulan yang akan datang meningkat. L a p o r a n N u s a n t a r a 56

63 Dinamika perkembangan ekonomi global yang tengah diwarnai ketidakpastian yang tinggi disertai turunnya harga komoditas mengisyaratkan pengembangan ekonomi ke depan tidak lagi dapat mengandalkan komoditas primer. Perekonomian Kalimantan yang selama ini memperoleh keuntungan dari boom harga komoditas khususnya batubara, dalam beberapa waktu terakhir justru menghadapi tantangan yang berat dengan turunnya harga komoditas di pasar ekspor. Sejak akhir tahun 2011, harga batubara terus mengalami koreksi. Tercatat koreksi Harga Batubara Acuan (HBA) sejak tahun 2012 sampai dengan 2015 masing-masing sebesar -22,74%, -1,76%, -19,5% dan -11,23% (ytd Oktober 2015). Selain itu, mulai tingginya preferensi konsumen untuk beralih pada energi ramah lingkungan menjadi menjadi faktor yang akan menekan bagi berkembanganya permintaan batubara primer ke depan. Oleh karena itu, peran permintaan domestik kedepannya menjadi sangat penting bagi sektor tambang batubara, baik melalui pembangunan PLTU maupun pengembangan industri bernilai tambah tinggi. Potensi kekayaan barang tambang yang begitu besar dimiliki oleh Kalimantan memberikan peluang yang besar untuk dimanfaatkan lebih lanjut sebagai bahan baku bagi industri bernilai tambah tinggi cukup besar. Salah satunya adalah sebagai input bagi industri kimia. Saat ini Indonesia banyak melakukan impor bahan kimia dasar, khususnya sebagai input industri di Pulau Jawa. Secara konvensional, bahan dasar industri petrokimia bersumber dari minyak bumi dan gas alam, yang cadangannya sudah semakin menipis di Indonesia (minyak 21,4 tahun, gas 54 tahun-skk Migas). Seiring perkembangan teknologi, bahan dasar industri petrokimia kini dapat dihasilkan dengan proses gasifikasi batubara yang cadangannya relatif melimpah di Indonesia, terutama di Kalimantan (52,3 miliar ton, ESDM) dan Sumatera (52,48 miliar ton, ESDM). Beberapa produk petrokimia yang sudah dihasilkan di Kalimantan antara lain methanol ( ton/tahun), ammonia (2,7 juta ton/tahun), urea (2,8 juta ton/tahun) dan granular urea ( ton/tahun). Gambar IV.1. Peta Ringkas Produk Petrokimia Melalui proses gasifikasi batubara, berbagai produk petrokimia dapat dihasilkan seperti methanol, ammonia dan olefin yang berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Dari Gambar IV.1 dapat dilihat gasifikasi batubara dapat menjadi subtitusi gas bumi yang diantaranya akan menghasilkan ammonia dan methanol. Produk methanol yang dihasilkan nantinya akan diolah lebih lanjut menjadi ethylene, propylene serta olefin yang dapat menjadi input industri di Pulau Jawa. Selama ini produk tersebut diperoleh melalui impor namun dengan adanya tambahan produk dari Kalimantan maka defisit neraca perdagangan akan terjaga. L a p o r a n N u s a n t a r a 57

64 Pengembangan industri petrokimia di Kalimantan perlu menjadi prioritas sebagai salah satu sumber bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Melalui Rencana Induk Pengembangan industri Nasional (RIPIN) , pemerintah merencanakan konsep pengembangan industri petrokimia berbasis gasifikasi batubara di Kalimantan. Adapun beberapa langkah konkrit pengembangan industri petrokimia dasar yang akan dibangun di Kalimantan antara lain, (1) pengembangan kawasan petrokimia berbasis gas dan batubara atau Coal Bed Methan (CBM) di Kalimantan Selatan, (2) industri petrokimia berbasis batubara di Kalimantan Timur, (3) Coal to Methanol (output 1,4 juta ton methanol/tahun) di Kalimantan Utara dan (5) Industri Ammonium nitrat (dapat digunakan sebagai campuran pupuk dan pembius) di Kalimantan Timur. Meski demikian, masih terdapat beberapa tantangan dalam pengembangannya ke depan, terutama terkait dengan ketersediaan infrastruktur dan energi. Untuk itu, dalam pengembagan industri petrokimia perlu adanya sinergi kebijakan antara pusat dan daerah yang difokuskan pada penyediaan sarana dan prasarana, serta pembiayaan yang dibutuhkan untuk tumbuh berkembangnya industri tersebut. L a p o r a n N u s a n t a r a 58

65 PERTUMBUHAN EKONOMI Perekonomian Kawasan Timur Indonesia (KTI) pada triwulan III 2015 tumbuh lebih lambat dari triwulan sebelumnya. Perlambatan pertumbuhan ekonomi terutama terjadi di sejumlah provinsi yang bertumpu sektor primer pertanian dan pertambangan. Pertumbuhan ekonomi KTI melambat dari 9,03% (yoy) pada triwulan II 2015 menjadi 7,75% (yoy) pada triwulan III Provinsi yang tumbuh melambat adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan bahkan Papua tercatat tumbuh negatif. Potensi perlambatan ekonomi yang lebih dalam di KTI tertahan oleh membaiknya produksi dan ekspor tembaga di Nusa Tenggara Barat (NTB), serta industri pengolahan di Sulawesi Tengah yang didukung oleh beroperasinya pabrik baru LNG dan smelter nikel. Memasuki periode triwulan IV 2015, pertumbuhan ekonomi KTI terindikasi masih dalam tren yang melambat. Potensi melambatnya pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh penurunan produksi pertambangan sejalan dengan tren harga komoditas global yang masih menurun serta berakhirnya izin ekspor tembaga di NTB. Selain itu, kekeringan yang berlangsung dari Februari hingga Oktober menyebabkan bergesernya musim tanam komoditas tanaman baahan makanan (tabama) ke bulan November dan Desember, sehingga berpengaruh ke penurunan kinerja sektor pertanian. Perlambatan pada kedua sektor primer tersebut turut berdampak pada perlambatan kinerja sektor industri yang mengolah hasil tambang dan pertanian. Di sisi lain, beroperasinya pabrik baru LNG dan smelter nikel di Sulawesi Tengah, serta diberikannya perpanjangan ijin ekspor tembaga Papua relatif dapat menopang perekonomian pada triwulan berjalan. Untuk keseluruhan tahun 2015, perekonomian KTI diperkirakan tumbuh pada 7,4%-7,8% atau lebih tinggi dibanding capaian tahun 2014 (6,03%) meski lebih disebabkan oleh faktor dapat dilakukannya kembali ekspor barang tambang mineral yang sempat terhenti sebagai bagian dari upaya mendorong hilirisasi. Konsumsi Konsumsi Swasta Kinerja konsumsi swasta pada triwulan III 2015 tumbuh melambat dibandingkan triwulan sebelumnya yang terutama disebabkan oleh perlambatan konsumsi rumah tangga. Konsumsi rumah tangga tumbuh melambat dari 5,87% (yoy) pada triwulan II 2015 menjadi 5,27% (yoy) pada triwulan laporan. Hal ini diperkirakan dipengaruhi oleh penurunan harga komoditas SDA yang menyebabkan pendapatan ekspor relatif terbatas. Selain itu, penurunan produksi pertanian akibat kekeringan yang terjadi di sebagian sentra produksi pangan yaitu di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Bali, turut memberikan tekanan pada konsumsi rumah tangga (Grafik V.1). Keyakinan konsumen rumah tangga yang tercermin pada Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) di beberapa kota besar di KTI juga terkonfirmasi menurun, khususnya pada indikator ketepatan waktu pembelian barang tahan lama (Grafik V.2). Di sisi lain, perlambatan konsumsi swasta tertahan oleh membaiknya kinerja konsumsi lembana non pemerintah yang melayani rumah tangga (LNPRT). Konsumsi LNPRT pada triwulan laporan tumbuh meningkat signifikan dari -1,46% (yoy) pada triwulan II 2015, menjadi 8,96% (yoy). Peningkatan konsumsi LNPRT terutama terkait dengan meningkatnya belanja persiapan pelaksanaan Pilkada serentak di Desember Memasuki triwulan IV 2015, konsumsi rumah tangga cenderung tumbuh stabil dibandingkan triwulan sebelumnya. Berbagai indikator terkini mengonfirmasi tendensi stabilnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan berjalan. Meski demikian, tren penurunan indeks keyakinan konsumen (IKK) terindikasi masih berlanjut. Indikasi masih relatif lemahnya konsumsi rumah tangga juga tercermin dari ekspektasi penurunan pendapatan oleh responden survei konsumen. Selain itu, kredit konsumsi juga masih dalam tren yang menurun. Adapun perayaan hari besar keagamaan nasional (Natal) dan event akhir tahun diperkirakan akan menjadi penopang konsumsi rumah tangga baik dari pembelian barang maupun jasa termasuk jasa L a p o r a n N u s a n t a r a 59

66 pariwisata. Konsumsi LNPRT juga diprediksi tumbuh lebih tinggi dibandingkan triwulan III 2015 seiring dengan pelaksanaan Pilkada serentak. Hal tersebut telah mulai tercermin dari omset penjualan eceran yang tumbuh positif dan terus meningkat hingga posisi akhir Oktober 2015 (Grafik V.3). Secara keseluruhan 2015, konsumsi rumah tangga tumbuh melambat meski terdapat dukungan konsumsi LNPRT yang meningkat di akhir tahun. Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Grafik V.1. Nilai Tukar Petani Konsumsi Pemerintah Grafik V.2. Indeks Keyakinan Konsumen, Survei Konsumen Bank Indonesia Pada triwulan III 2015, laju pertumbuhan penyerapan anggaran KTI melambat, sehingga berbeda dengan pola siklikalnya. Pertumbuhan konsumsi pemerintah pada triwulan III 2015 melambat dari 5,29% (yoy) pada triwulan II 2015 menjadi 4,09% (yoy). Salah satu kendala dalam realisasi belanja terkait dengan lebih lambatnya proses lelang dan administrasi pengadaan sebagai dampak dari keterlambatan pengesahan APBD di awal tahun seperti yang terjadi di Sulawesi Barat, NTT dan NTB. Lambatnya realisasi anggaran juga tercermin dari posisi giro pemerintah daerah yang masih cukup tinggi hingga September 2015 (Grafik V.4) Giro Pemerintah Daerah ggiro Pemda - Skala Kanan Rp Triliun %, yoy I II III IV I II III IV I II III (20) (40) Grafik V.3. Omset Penjualan Eceran, Survei Penjualan Eceran Bank Indonesia Grafik V.4. SimpananGiro Pemerintah Daerah Pada triwulan IV 2015, mengikuti pola siklikalnya, pertumbuhan konsumsi pemerintah diperkirakan akan lebih tinggi dari triwulan sebelumnya. Realisasi anggaran yang belum optimal hingga triwulan III 2015 diperkirakan akan dapat diakselerasi pada triwulan akhir tahun Adapun faktor pendorong realisasi belanja terutama berasal dari komponen belanja operasional. Sementara itu, pelaksanaan Pilkada di Desember 2015 juga akan turut mendukung realisasi belanja APBD yang lebih tinggi. Realisasi akhir tahun yang lebih tinggi tersebut berpotensi mendorong pertumbuhan konsumsi pemerintah yang lebih tinggi pada tahun 2015 dibandingkan dengan tahun Investasi Pada triwulan III 2015, Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) mencatat pertumbuhan yang meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya. Kinerja investasi tumbuh sebesar 10,07% (yoy), meningkat dari pertumbuhan sebelumnya yang tercatat 9,87% (yoy), didukung khususnya oleh investasi bangunan. Investasi bangunan tersebut terutama berasal dari proyek pembangunan infrastruktur pendukung konektivitas L a p o r a n N u s a n t a r a 60

67 (pelabuhan laut, bandar udara, jalan) oleh pemerintah yang saat ini tengah berjalan (lihat Boks Progress Perkembangan Infrastruktur Pendukung Konektivitas di KTI) 40. Namun, progress proyek pembangunan infrastruktur pendukung konektivitas hingga September 2015, masih berada pada level relatif rendah terkait dengan berbagai kendala teknis. Sementara itu, progress beberapa proyek pembangunan fisik yang bersumber dari investasi swasta dan bersifat multiyears, diantaranya pusat perbelanjaan, hotel, kompleks perumahan dan pabrik smelter, juga belum terlalu menjanjikan. Investasi swasta tertahan sejalan dengan dinamika ekonomi nasional dan global yang masih dalam tren melambat. Indikator penanaman modal asing (PMA) maupun dalam negeri (PMDN) turut mengonfirmasi lemahnya kinerja investasi swasta (Grafik V.5). Adapun dukungan dari sisi perbankan untuk investasi tercatat relatif stabil pada triwulan III 2015 (Grafik V.6). Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal, diolah Grafik V.5. Realisasi Penanaman Modal Grafik V.6. Penyaluran Kredit Investasi Grafik V.7. Investasi Pada Kategori Industri Pengolahan, SKDU Bank Indonesia Pada triwulan IV 2015, PMTB diperkirakan tumbuh melambat terutama sebagai pengaruh dari perlambatan investasi swasta. Hal ini diperkirakan terkait dengan perilaku investor secara umum masih cenderung wait and see terkait dengan masih berjalan lambatnya pemulihan ekonomi domestik maupun global. Perlambatan investasi diprediksi terjadi baik pada investasi bangunan maupun non bangunan dari sejumlah proyek swasta yang mencakup proyek smelter, hotel dan restoran, serta properti. Meski belanja modal pemerintah diperkirakan membaik pada triwulan berjalan, namun diperkirakan belum akan dapat mendorong pertumbuhan yang lebih tinggi pada investasi secara total. Berdasarkan hasil SKDU, indikator realisasi investasi pada sektor industri pengolahan juga mengalami penurunan sehingga memperkuat dugaan pelemahan investasi (Gravik V.7). Secara keseluruhan 2015, perlambatan investasi pada paruh kedua 2015 diprediksi tidak memengaruhi kinerja investasi untuk tumbuh lebih tinggi pada tahun 2015 daripada tahun sebelumnya. 40 Sejumlah proyek infrastruktur yang berjalan adalah proyek di Pelabuhan Gili Mas (NTB), Pelabuhan Perikanan Nusantara Teluk Awang (NTB), Gorontalo Outer Ring Road (Gorontalo), Jalan Nasional Wilayah I Provinsi Papua (Papua), pengembangan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin (Sulawesi Selatan), dan proyek pembangunan Bandara Buntu Kunik Tana Toraja (Sulawesi Selatan). L a p o r a n N u s a n t a r a 61

68 Ekspor Pada triwulan III 2015, kinerja ekspor tercatat tumbuh melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang bersumber baik dari penurunan ekspor luar negeri maupun ekspor antar daerah. Ekspor luar negeri tumbuh 9.33% (yoy) pada triwulan III 2015, melambat cukup dalam dibandingkan pertumbuhan pada triwulan II 2015 sebesar 44,0%(yoy), terutama karena melambatnya pertumbuhan ekspor pertambangan (Grafik V.8). Kondisi ini antara lain terkait dengan penyesuaian pelaku usaha terhadap kebijakan pengaturan ekspor barang mineral tambang 41 disertai masih lemahnya permintaan ekspor untuk barang-barang tambang. Hal ini berdampak pada terbatasnya ekspor olahan nikel dari Sulawesi. Di sisi lain, ekspor tembaga yang berasal dari NTB meningkat tinggi untuk mengejar target pemenuhan kuota sebelum ijin ekspor berakhir pada September Sementara itu, ekspor antara daerah juga tercatat mengalami pertumbuhan yang negatif meski tidak sedalam triwulan sebelumnya. Menurunnya produksi hasil perkebunan komoditas kakao serta produksi tabama menjadi salah satu penyebab terjadinya penurunan ekspor antar daerah. Sementara itu, produksi perikanan tangkap yang meningkat sebagai dampak positif dari El Nino relatif dapat menahan penurunan ekspor antar daerah yang lebih dalam. Memasuki triwulan IV 2015, ekspor diperkirakan masih akan tumbuh lebih lambat dengan berlanjutnya penurunan kinerja ekspor luar negeri maupun antar daerah. Ekspor luar negeri berpotensi tertahan oleh ekspor pertambangan tembaga dari NTB yang menurun dengan berakhirnya ijin ekspor tembaga sesuai ketentuan yang telah ditetapkan. Menurunnya permintaan global terhadap produk olahan tambang yang tercermin dari tren penurunan harga komoditas SDA, diprediksi juga akan menambah tekanan pada kinerja ekspor KTI pada triwulan berjalan. Selain itu, dukungan dari ekspor produk pertanian juga diperkirakan masih terbatas, seiring dengan berakhirnya puncak panen komoditas tabama dan kakao. Secara keseluruhan kinerja ekspor tahun 2015 masih diproyeksikan membaik dibandingkan tahun 2014 sebagai pengaruh tingginya pertumbuhan ekspor pada paruh pertama tahun Impor Pada triwulan III 2015, impor KTI tumbuh melambat dibandingkan triwulan sebelumnya terutama pada komponen impor antar daerah, sementara impor luar negeri cenderung meningkat dalam level yang moderat. Perlambatan impor antar daerah disebabkan oleh penurunan permintaan secara umum di KTI. Meski masih tumbuh negatif, kontraksi dari impor luar negeri mengecil terutama pada impor barang modal dan bahan baku (Grafik V.9). Meningkatnya kebutuhan bahan baku untuk industri menjadi sumber perbaikan impor barang modal selama triwulan III Selain itu, pelaku usaha juga meningkatkan persediaan bahan baku sebagai persiapan dalam menghadapi periode peak season akhir tahun. Impor luar negeri pada triwulan III 2015 tumbuh sebesar 0,10% (yoy), setelah sebelumnya terkontraksi sebesar -0,90% (yoy). Pada triwulan IV 2015, impor luar negeri diperkirakan tumbuh rendah. Pergerakan impor yang menurun tersebut diperkirakan sebagai dampak dari melambatnya kinerja pertambangan sehingga kebutuhan barang modal relatif terbatas. Selain itu, progress pembangunan smelter yang relatif lebih lambat, sejalan dengan telah selesainya pembangunan sejumlah pabrik smelter pada periode sebelumnya, turut menjadi penyebab menurunnya impor barang modal. 41 Permendag No.4/2015 mengatur penggunaan L/C untuk Ekspor Barang Tertentu termasuk di dalamnya ekspor mineral tambang L a p o r a n N u s a n t a r a 62

69 Total Ekspor - Skala Kiri gpertanian gindustri gpertambangan Total Impor - Skala Kiri gbarang Modal 1, Juta US$ %, yoy (50) (100) (150) gbahan Baku gbarang Konsumsi Juta US$ %, yoy (200) I II III IV I II III I II III IV I II III Sumber: Bea Cukai, diolah Grafik V.8. Ekspor Luar Negeri Menurut Komoditas Sumber: Bea Cukai, diolah Grafik V.9. Impor Luar Negeri Menurut Sektor Barang Kinerja Sektor Utama Daerah Sektor Pertambangan dan Penggalian Sektor pertambangan dan penggalian di KTI mengalami perlambatan pada triwulan III 2015 terutama disebabkan oleh kontraksi pada sektor pertambangan di Papua. Angka pertumbuhan sektor pertambangan pada triwulan III 2015 tercatat sebesar 13,71% (yoy), lebih lambat dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 21,98% (yoy). Penurunan produksi konsentrat tembaga dan emas di Papua (Grafik V.10) disebabkan oleh penyesuaian pelaku usaha dalam merespons kebijakan terkait penggunaan L/C dalam ekspor. Selain itu, El Nino juga turut memengaruhi produksi pertambangan di Papua terkait dengan kurangnya pasokan air untuk proses produksi. 42 Adapun kinerja pertambangan tembaga di NTB dan nikel matte di Sulawesi Selatan (Grafik V.11) tercatat masih mengalami peningkatan, sehingga dapat menahan perlambatan lebih lanjut di sektor pertambangan. Unit Produksi Tembaga (Juta Pon) Produksi Emas (Ribu Ons) gproduksi Tembaga (Papua) Sumber: Produsen, diolah gproduksi Emas (Papua) I II III IV I II III IV I II III IV I II III Grafik V.10. Produksi Emas & Tembaga Papua %, yoy (50) (100) Ton Metrik 25,000 Sumber: Produsen, diolah Grafik V.11. Produksi Nikel Matte Sulsel Pada triwulan IV 2015, sektor pertambangan KTI diperkirakan kembali mengalami perlambatan yang terutama bersumber dari turunnya kinerja pertambangan di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan NTB. Perlambatan kinerja produksi nikel matte di Sulawesi Selatan disebabkan oleh adanya konsolidasi untuk mencapai target produksi. Sementara itu, sektor pertambangan di Sulawesi Tenggara diperkirakan tidak akan tumbuh lebih cepat dari triwulan III 2015 karena adanya pesimisme terhadap permintaan negara mitra dagang pada komoditas bijih nikel. Adapun untuk NTB, perlambatan disebabkan oleh belum adanya izin ekspor bagi produsen konsentrat tembaga sehingga produksi terbatas hanya untuk pengolahan di smelter dalam negeri 20,000 15,000 10,000 5,000 0 Produksi Nikel Matte gproduksi Nikel Matte (Sulawesi Selatan) I II III IV I II III IV I II III IV I II III %, yoy (10) (20) (30) 42 Hasil liaison/komunikasi dengan stakeholder di Papua dan informasi anekdotal L a p o r a n N u s a n t a r a 63

70 saja. 43 Meski diperkirakan kembali melambat pada triwulan berjalan, kinerja sektor pertambangan pada keseluruhan tahun 2015 diproyeksikan tetap lebih baik dibandingkan dengan tahun Sektor Industri Pengolahan Pada triwulan III 2015, sektor industri pengolahan KTI tumbuh melambat sejalan dengan melemahnya perekonomian di KTI. Angka pertumbuhan pada sektor industri tercatat sebesar 6,61% (yoy) setelah tumbuh sebesar 10,75% (yoy) pada triwulan II Perlambatan kinerja sektor industri terindikasi pada industri makanan di Sulawesi Selatan dan industri pengolahan hasil tambang di Sulawesi Tenggara. Produksi terigu dari Sulawesi Selatan mengalami kontraksi setelah meningkat pada triwulan sebelumnya karena demand yang tinggi pada periode Lebaran (Grafik V.12). Sejumlah industri mikro dan kecil di beberapa daerah yang sebagian mengolah produk makanan juga menunjukkan kinerja yang menurun (Grafik V.13). Kinerja industri pengolahan nikel di Sulawesi Tenggara masih melanjutkan tren penurunan karena permintaan global yang belum pulih (Grafik V.14). Di sisi lain, aktivitas hilirisasi dari bijih nikel menjadi nickel pig iron (NPI) dan LNG di Sulawesi Tengah terus meningkat. Kegiatan produksi dari fasilitas hilirisasi baru tersebut dimulai pada triwulan laporan, seiring dengan dilakukannya ekspor ke luar negeri , , , , , ,000 80,000 60,000 40,000 20,000 0 Ton Metrik Produksi Terigu %, yoy gproduksi Terigu (Sulawesi Selatan) I II III IV I II III IV I II III IV I II III (5) (10) (15) (20) (25) (30) Bali Maluku Utara Gorontalo NTT Indeks I II III IV I II III IV I II III IV I II III Sumber: Produsen, diolah Grafik V.12. Produksi Terigu Sulawesi Selatan Sumber : BPS, diolah Grafik V.13. Indeks Produksi Industri Mikro dan Kecil Ton Ni Produksi Feronikel %, yoy 6,000 gproduksi Feronikel (Sulawesi Tenggara) 5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 0 I II III IV I II III IV I II III IV I II III (10) (20) (30) (40) Sumber: Produsen, diolah Grafik V.14. Produksi Feronikel Sulawesi Tenggara Pada triwulan IV 2015, kinerja sektor industri pengolahan diperkirakan meningkat karena dorongan faktor musiman serta masih adanya base effect dari pengoperasian fasilitas baru yang mendukung hilirisasi di Sulawesi Tengah. Memasuki periode akhir tahun, kegiatan industri makanan olahan dan pakaian jadi akan terdorong oleh adanya event hari besar keagamaan nasional (Natal) dan musim liburan akhir tahun. Aktivitas dari smelter baru di Sulawesi Tengah juga diperkirakan akan semakin meningkat seiring dengan optimisme 43 Hasil liaison/komunikasi dengan stakeholder di NTB dan informasi anekdotal 44 Hasil liaison kepada fasilitas hilirisais baru di Sulawesi Tengah L a p o r a n N u s a n t a r a 64

71 terhadap permintaan global pada komoditas nikel. 45 Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) terkait perkiraan kinerja industri pengolahan pada triwulan IV 2015 juga menunjukkan peningkatan. Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Laju pertumbuhan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan pada triwulan III 2015 mengalami perlambatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, seiring dengan produksi tabama yang mengalami kontraksi. Angka pertumbuhan sektor pertanian tercatat sebesar 4,04% (yoy) setelah sebelumnya tumbuh sebesar 6,50% (yoy). Pada triwulan laporan terjadi kekeringan yang menyebabkan kegagalan panen pada sejumlah provinsi yang menjadi sentra produksi di KTI yaitu Provinsi Gorontalo dan Sulawesi Selatan. Di samping itu, beberapa daerah lain juga mengalami penurunan produksi pertanian seperti di Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, Bali, NTB, dan NTT. Berlalunya musim panen raya semakin menekan kinerja subsektor pertanian pada triwulan laporan. Indikator Nilai Tukar Petani (NTP) di beberapa daerah juga tidak sebaik periode sebelumnya (Grafik V.2). Dari subsektor perkebunan, meski terdapat panen di awal triwulan laporan, produksi kakao tidak mampu menopang kinerja sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan, meski harga internasional kakao sedikit meningkat (Grafik V.15). 3.5 US$/kg Kakao gharga - Skala Kanan %, yoy (10) (20) Sumber: World Bank, diolah Grafik V.15. Harga Internasional Kakao Pada triwulan IV 2015, subsektor pertanian diperkirakan akan kembali tumbuh melambat terutama karena dampak dari kekeringan yang berkepanjangan yang menyebabkan produksi tabama di beberapa daerah lebih rendah dari perkiraan. Selain itu, juga terjadi pergeseran musim tanam di beberapa sentra produksi pertanian 46. Kinerja produksi Kakao pada beberapa daerah sentra juga diperkirakan akan lebih rendah seiring dengan penurunan produktivitas, meski tren peningkatan harga jual kakao berpotensi untuk berlanjut. Subsektor perikanan juga diperkirakan melambat seiring dengan dimulainya musim paceklik ikan pada bulan November 2015 yang merupakan pengaruh dari tingginya gelombang laut dan curah hujan. Sektor Konstruksi Pada triwulan III 2015, pertumbuhan sektor konstruksi tercatat meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya. Sektor ini mampu tumbuh sebesar 8,94% (yoy) pada triwulan II 2015 menjadi 10,77% (yoy) pada triwulan III 2015, seiring dengan adanya dukungan dari proyek-proyek pembangunan infrastruktur pemerintah. Proyek pembangunan infrastruktur pendukung konektivitas yang berjalan saat ini diantaraya adalah 9 pelabuhan laut, 8 bandar udara dan 9 jalan nasional 47. Meski demikian, progress pembangunan infrastruktur tersebut masih 45 Hasil liaison kepada fasilitas hilirisasi baru di Sulawesi 46 Hasil Liaison kepala pelaku usaha pertanian menunjukkan bahwa musim tanam bergeser hingga ke akhir November, sehingga sebagian sentra yang semula diperkirakan berproduksi di akhir triwulan IV bergeser ke awal tahun Rincian progress dan kapasitas masing-masing proyek dijelaskan pada Boks Progress PerkembanganInfrastruktur Konektivitas Kawasan Timur Indonesia L a p o r a n N u s a n t a r a 65

72 relatif terbatas, sehingga menahan potensi pertumbuhan sektor konstruksi yang lebih tinggi. Dari sisi swasta, pembangunan berbagai proyek multiyears pada beberapa sektor strategis khususnya pabrik smelter cenderung lambat, seiring dengan perilaku investor yang masih menunggu perbaikan ekonomi nasional dan global 48. Hal tersebut dikonfirmasi dengan turunnya jumlah proyek baru skala besar (lebih dari US$200 juta) yang telah memasuki konstruksi pada triwulan III Jumlah proyek skala besar yang telah memasuki konstruksi tersebut hanya sebanyak 65 proyek, jauh lebih rendah dari triwulan sebelumnya yang tercatat mencapai 169 proyek (Grafik V.16). Sumber: BCI Asia, diolah Grafik V.16. Jumlah Proyek Baru Dalam Tahap Konstruksi Pada triwulan IV 2015, pertumbuhan sektor konstruksi diperkirakan relatif stabil dibandingkan triwulan sebelumnya. Pertumbuhan konstruksi pada periode berjalan ditopang oleh masih berlangsungnya proyek infrastruktur pemerintah, ditengah indikasi masih terbatasnya proyek konstruksi swasta. Perkembangan ekonomi nasional dan global yang tidak sebaik perkiraan, menyebabkan terbatasnya realisasi investasi khususnya pada sektor pertambangan. Meski demikian, pertumbuhan konstruksi untuk keseluruhan tahun 2015 diperkirakan masih akan meningkat daripada tahun sebelumnya dengan adanya ekspansi proyek konstruksi di awal tahun hingga triwulan III PERKEMBANGAN INFLASI Proyek Jumlah Proyek gproyek - Skala Kanan I II III IV I II III IV I II III IV Laju inflasi KTI pada triwulan III 2015 tercatat mengalami perlambatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yaitu dari 7,43% (yoy) menjadi 7,25% (yoy). Secara spasial, penurunan inflasi terutama terjadi di Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, Bali, NTB, dan NTT. Berdasarkan komponen disagregasinya, inflasi tahunan yang lebih rendah pada triwulan III 2015 disebabkan oleh penurunan inflasi administered prices. Adanya penyesuaian tarif dasar listrik (TDL), penurunan harga bahan bakar, serta koreksi berbagai tarif angkutan pasca Lebaran menjadi faktor utama penurunan inflasi. Beberapa komoditas pangan juga tercatat berkontribusi pada penurunan inflasi, yaitu komoditas cabai merah, bawang merah, dan ikan segar. Hal tersebut didukung oleh kondisi pasokan yang membaik selama triwulan laporan sehingga harga mengalami penurunan. Meski demikian, inflasi volatile food secara keseluruhan masih mencatat kenaikan yang terutama sebagai pengaruh dari peningkatan inflasi pada komoditas beras (Grafik V.17). Adapun inflasi inti tercatat meningkat secara terbatas dari triwulan II ke triwulan III 2015, ditengah tren depresiasi nilai tukar. Hal ini sejalan denganpermintaan pasca Lebaran yang lebih rendah. Mengawali triwulan IV 2015, inflasi pada bulan Oktober 2015 tercatat rendah, yakni sebesar 0,09% (mtm). Inflasi terutama didorong oleh kelompok transpor, sandang, dan bahan makanan. Inflasi terjadi hampir di seluruh kelompok barang konsumsi, namun tertahan oleh deflasi pada kelompok bahan makanan. Kelompok makanan jadi dan transpor merupakan kelompok dengan inflasi tertinggi. Pada kelompok makanan jadi, %, yoy (20) (40) (60) (80) (100) (120) 48 Industri olahan hasil tambang memiliki ketergantungan tinggi terhadap dinamika ekonomi Negaratujuan utama antara lain Cina, Jepang dan Eropa. Ekonomi ketiga Negara tersebut saat ini masih dalam kondisi yang melambat. L a p o r a n N u s a n t a r a 66

73 kenaikan harga terjadi subkelompok minuman tidak beralkohol dan tembakau. Kenaikan harga rokok dan beberapa jenis minuman kemasan serta gula pasir menjadi faktor pendorong meningkatnya tekanan inflasi. Untuk kelompok transpor, penyumbang utama inflasi adalah tarif angkutan udara. Penurunan inflasi kelompok bahan makanan terutama pada komoditas aneka bumbu. Survei ekspektasi konsumen jangka pendek di Makassar (bobot tertinggi kota IHK di KTI) juga cenderung turun pada Oktober 2015 (Grafik V.18). Prospek laju inflasi yang lebih rendah pada triwulan berjalan didukung oleh penyesuaian pada kelompok administered prices dan volatile food, sementara inflasi inti diperkirakan relatif stabil. Dengan perkembangan tersebut, inflasi hingga akhir tahun 2015 diprakirakan sebesar 4,26% (yoy) atau lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya (8,31%, yoy) (10) (20) (30) Beras Daging Ayam Ras Cabe Merah - Skala Kanan Bawang Merah - Skala Kanan %, yoy %, yoy (100) Indeks Ekspektasi Harga Konsumen Inflasi KTI (mtm) Kumulatif 3 Bulan - Skala Kanan % (1) (2) Grafik V.17. Perkembangan Harga Komoditas, Survei Pemantauan Harga Bank Indonesia Koordinasi Pengendalian Inflasi Grafik V.18. Ekspektasi Harga Konsumen Jangka Pendek, Survei Konsumen Bank Indonesia Pola historis perayaan hari besar keagamaan nasional (Idul Fitri) dan musim liburan mewarnai pergerakan inflasi pada periode triwulan III Karakteristik inflasi KTI yang juga dipengaruhi oleh sisi supply, khususnya terkait pasokan dan distribusi bahan makanan, menuntut adanya koordinasi yang baik dan berkesinambungan untuk mengambil langkah antisipatif. Hal ini agar dampak inflasi terutama dengan adanya sejumlah kebijakan tarif dapat diminimalkan. Hasil dari koordinasi yang semakin baik melalui forum Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) di KTI terlihat dari inflasi Lebaran periode Juli 2015 yang tercatat sebesar 0,99% (mtm), lebih rendah dari pola historis yang berada di atas 1% (mtm). Untuk mengatasi permasalahan ketersediaan pangan dan menjaga fluktuasi inflasi administered prices selama periode triwulan III 2015, TPID di masing-masing provinsi telah melakukan berbagai upaya untuk menstabilkan harga baik melalui program peningkatan produksi pangan maupun koordinasi dan pemantauan bersama dengan stakeholder di daerah. Secara umum, langkah-langkah yang ditempuh oleh TPID dapat dirangkum sebagai berikut: Tabel V.1. Rencana Aksi TPID L a p o r a n N u s a n t a r a 67

74 Upaya untuk lebih berkoordinasi di daerah terkait pengendalian inflasi juga telah dirumuskan oleh TPID di masing-masing daerah melalui penyusunan Roadmap Pengendalian Inflasi. Identifikasi komoditas-komoditas yang memiliki bobot besar dalam struktur nilai konsumsi inflasi daerah serta memiliki frekuensi tinggi sebagai penyumbang inflasi bulanan, telah dilakukan di setiap provinsi. Hal tersebut menjadi tahap awal dalam penyusunan langkah dan program kebijakan yang lebih efektif. Tantangan yang dihadapi dalam upaya pengendalian inflasi, baik tantangan jangka pendek maupun struktural akan terus dievaluasi dalam rangka lebih memfokuskan penyusunan program kerja TPID seluruh daerah. STABILITAS SISTEM KEUANGAN, PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN, DAN PENGELOLAAN UANG TUNAI RUPIAH Ketahanan Sektor Korporasi Memasuki triwulan III 2015, kredit korporasi KTI masih menunjukkan pertumbuhan, namun kondisi tersebut disertai dengan NPL yang meningkat. Pertumbuhan kredit korporasi KTI tercatat sebesar 21,43% (yoy) pada triwulan laporan atau meningkat dari triwulan sebelumnya yang sebesar 20,59% (yoy) (Grafik V.19). Pertumbuhan kredit korporasi didorong oleh akselerasi kredit pada sektor perdagangan dan pertambangan serta masih tingginya realisasi kredit pada sektor industri. Faktor penahan pertumbuhan kredit korporasi muncul dari sektor pertanian yang mencatatkan kontraksi 9,85% (yoy) seiring dengan faktor cuaca yang kurang mendukung produksi pertanian. Grafik V.19. Pertumbuhan Kredit Korporasi Grafik V.20. NPL Kredit Korporasi Sementara itu, pada triwulan laporan NPL tercatat semakin meningkat dari 4,56% pada triwulan sebelumnya menjadi 4,78% pada triwulan laporan (Grafik V.20). Kondisi tersebut disebabkan oleh peningkatan NPL pada sektor subsektor perdagangan eceran di Papua dan Papua barat serta subsektor akomodasi di Sulawesi Selatan. Di sisi lain, pertumbuhan dana korporasi KTI masih melanjutkan tren perlambatan sebagaimana terjadi pada triwulan sebelumnya. Ketahanan Sektor Rumah Tangga Perkembangan kredit sektor rumah tangga menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan pada triwulan laporan. Hal tersebut ditandai dengan terakselerasinya kredit di tengah NPL yang relatif terjaga. Kredit sektor rumah tangga tercatat tumbuh sebesar 12,26% (yoy) pada triwulan laporan atau lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 11,91% (yoy) (Grafik V.21). Akselerasi kredit rumah tangga didorong oleh meningkatnya pertumbuhan KPR serta kredit multiguna. Peningkatan KPR yang didorong oleh realisasi kredit untuk jenis rumah menengah dan besar, sejalan dengan terbitnya ketentuan baru LTV oleh BI pada pertengahan 2015 yang lebih memberikan ruang untuk ekspansi kredit perumahan. Sementara itu, ketahanan sektor rumah tangga terpantau masih sangat baik. Rasio NPL relatif terjaga di level 1,54% pada triwulan laporan atau lebih rendah dibanding triwulan sebelumnya yang sebesar 1,56% (Grafik V.22). Di sisi lain, penghimpunan dana rumah tangga di KTI menunjukkan adanya perlambatan pada triwulan III 2015 dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, yaitu dari 9,04% (yoy) menjadi 8,64% (yoy). Perlambatan tersebut bersumber dari jenis simpanan deposito, dan sebaliknya akselerasi simpanan rumah tangga terjadi di L a p o r a n N u s a n t a r a 68

75 rekening giro dan tabungan. Kondisi tersebut sejalan dengan hasil survei konsumen KTI yang mengonfirmasi menurunnya porsi penghasilan masyarakat KTI yang dialokasikan untuk tabungan dari 17,6% di triwulan lalu menjadi 16,2% pada triwulan laporan. Grafik V.21. Pertumbuhan Kredit Rumah Tangga Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Grafik V.22. NPL Kredit Rumah Tangga Dari sisi UMKM, perlambatan pertumbuhan kredit UMKM yang terjadi sejak dua tahun ke belakang masih terus berlanjut hingga saat ini. Namun, kualitas kredit UMKM pada triwulan laporan relatif mengalami perbaikan. Kredit UMKM terus tumbuh melambat pada triwulan III 2015, yaitu dari 10,04% (yoy) pada triwulan sebelumnya menjadi 6,7% (yoy) (Grafik V.23). Perlambatan tersebut disebabkan oleh menurunnya pertumbuhan penyaluran kredit kepada UMKM di sektor perdagangan, pertanian dan industri. Perlambatan tersebut juga terkait erat dengan sikap perbankan yang cenderung menahan laju penyaluran kreditnya untuk lebih fokus kepada perbaikan kualitas kredit. Hal tersebut tercermin dari NPL kredit UMKM yang relatif membaik pada triwulan laporan. NPL kredit UMKM berada di level 4,35% dari sebelumnya yang sebesar 4,63% (Grafik V.24). Penurunan NPL juga sangat terkait erat dengan kondisi suku bunga kredit UMKM yang dalam tren menurun semenjak satu tahun terakhir. Grafik V.23. Pertumbuhan Kredit UMKM Pengelolaan Sistem Pembayaran Grafik V.24. NPL Kredit UMKM Kegiatan sistem pembayaran nontunai di KTI berdasarkan dari indikator transaksi kliring dan transaksi real time gross settlement (RTGS) tercatat mengalami penurunan, sejalan dengan perlambatan ekonomi pada triwulan laporan. Transaksi dengan RTGS tercatat mengalami kontraksi sebesar 0,04% (yoy) pada triwulan III 2015 setelah tumbuh sebesar 8,31% (yoy) pada triwulan II 2015 (Grafik V.25). Sementara itu, transaksi dengan kliring, hingga triwulan III 2015, tercatat mengalami kontraksi sebesar 12,63% (yoy) setelah membukukan pertumbuhan sebesar 4,43% (yoy) pada triwulan sebelumnya (Grafik V.26). Dalam rangka meningkatkan intensitas penggunaan instrumen sistem pembayaran nontunai, Bank Indonesia terus menggalakkan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) di wilayah KTI. Sampai dengan triwulan III 2015, GNNT telah disosialisasikan dan diimplementasikan melalui MoU terkait elektronifikasi pembayaran gaji L a p o r a n N u s a n t a r a 69

76 (payroll) pegawai pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota. Beberapa provinsi juga telah melakukan kerja sama dengan pihak ketiga (selain pemerintah) untuk pelaksanaan elektronifikasi pembayaran, salah satunya adalah Provinsi Maluku. Kerja sama dilakukan dalam pembayaran jasa kepelabuhan dengan ASDP serta transaksi pembayaran di kampus Universitas Pattimura. Grafik V.25. Perkembangan Total Transaksi RTGS Pengelolaan Uang Tunai Rupiah Grafik V.26. Perkembangan Total Transaksi Kliring Pengedaran uang kartal di KTI tercatat mengalami peningkatan pada sisi inflow maupun outflow selama triwulan III Kondisi tersebut dipegaruhi oleh peningkatan kebutuhan uang kartal masyarakat di bulan Juli menjelang hari raya Idul Fitri (Grafik V.27). Peningkatan tersebut juga dipengaruhi oleh pembayaran gaji ke13 di bulan Juli serta realisasi proyek pemerintah untuk pembayaran termin proyek di pertengahan tahun. Sementara itu, temuan uang palsu sempat mengalami lonjakan pada bulan Juli namun kembali mengalami penurunan memasuki akhir triwulan III 2015 (Grafik V.28). Upaya untuk meningkatkan kehati-hatian masyarakat terhadap penipuan dengan uang palsu terus digiatkan oleh Bank Indonesia di daerah melalui berbagai sosialisasi mengenai ciri-ciri keaslian uang Rupiah. PROSPEK PEREKONOMIAN Prospek Pertumbuhan Ekonomi Perekonomian KTI diproyeksikan mengalami perlambatan dengan kisaran pertumbuhan antara 6,4% -6,8% (yoy) pada tahun Faktor perlambatan terkait dengan pesimisme pelaku usaha pertambangan terkait kontinuitas (perpanjangan) izin ekspor. Melihat perkembangan di akhir 2015, perpanjangan izin ekspor luar negeri untuk komoditas konsentrat tembaga dari NTB masih mengalami ketidakpastian. Faktor risiko dari perekonomian KTI bersumber internal maupun eksternal. Dari sisi internal, terdapat berbagai kendala dalam merealisasikan pembangunan infrastruktur dan hilirisasi. Untuk itu, pembangunan infrastruktur dan smelter di KTI perlu dikawal dengan komitmen bersama untuk mengatasi segala hambatan baik di level teknis maupun kebijakan. Faktor risiko yang lain adalah kebijakan morotarium dan transshipment yang menurunkan kinerja produksi ikan tangkap dan olahannya. El Nino juga menjadi hal yang perlu diwaspadai karena menurunkan produksi tabama, khususnya padi. Dari sisi eksternal, harga komoditas global yang masih cenderung menurun, memberikan risiko pada terbatasnya kinerja ekspor KTI, khususnya pada komoditas CPO, kakao, bijih nikel, dan tembaga. Potensi berlanjutnya perlambatan ekonomi Tiongkok dan Jepang juga dapat memengaruhi tingkat permintaan komoditas ekspor ikan olahan. Prospek Inflasi Pada tahun 2016, inflasi KTI diperkirakan meningkat sejalan dengan tekanan dari inflasi administered prices dan inflasi inti. Fokus pemerintah pusat untuk memperluas ruang fiskal melalui pengurangan subsidi energi (listrik dan gas) menjadi salah satu faktor yang dapat memengaruhi tekanan inflasi administered prices. Sementara itu, meningkatnya pertumbuhan ekonomi diperkirakan juga akan memberikan tekanan dari sisi L a p o r a n N u s a n t a r a 70

77 demand yang terindikasi dari akselerasi konsumsi rumah tangga termasuk permintaan perumahan. Selain itu, belanja dan investasi infrastruktur pemerintah juga berpotensi memberikan dorongan dari sisi demand. Upaya peningkatan produksi pangan melalui penguatan infrastruktur dan konektivitas diharapkan juga akan turut mendukung penurunan inflasi ke tingkat yang lebih rendah. Ekspektasi masyarakat diperkirakan relatif terkendali seiring dengan berbagai upaya pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah dalam mengendalikan inflasi. Dukungan TPID terutama dalam membangun awareness terhadap risiko inflasi di daerah. Terjaganya ekspektasi akan mendukung pencapaian inflasi yang stabil dan rendah, di tengah tekanan nilai tukar yang masih mungkin terjadi. L a p o r a n N u s a n t a r a 71

78 Dalam mendukung transformasi ekonomi nasional serta percepatan pembangunan di Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang berkualitas dan berkesinambungan, pemerintah mencanangkan berbagai program pembangunan infrastruktur dengan titik berat pada peningkatan konektivitas di KTI. Timpangnya kondisi infrastruktur di KTI dibandingkan dengan wilayah lain menjadi faktor pentingnya pembangunan infrastruktur di KTI untuk segera direalisasikan. Pengembangan infrastruktur pendukung konektivitas di KTI diharapkan dapat mendorong industrialisasi yang mengoptimalkan potensi SDA untuk diolah agar memberikan nilai tambah yang lebih tinggi. Proyek infrastruktur yang dicanangkan oleh pemerintah dan tertuang di dalam RPJMN mencakup proyek infrastruktur pendukung konektivitas darat, laut maupun udara. Untuk merealisasikan pembangunan proyek infrastruktur di KTI yang terkait konektivitas ini telah dialokasikan anggaran sebesar Rp66 triliun sampai dengan tahun Proyek Infrastruktur Utama Konektivitas KTI Jalur KA. Makassar-Parepare-Pel.Garonggong Jalur KA. Parepare-Mamuju Jalur KA. Bit ung-goront alo-isimu Jalur KA. Manado-Bit ung Jalur KA. Sorong-Manokw ari Jalan Tol Manado Bitung By Pass Palu-Parigi By Pass Kendari-Konaw e Jalan Poros Morow ali New Port Makassar Pelabuhan Bitung Pelabuhan Lombok Pelabuhan Kupang Pelabuhan Ambon Pelabuhan Sorong Pelabuhan Merauke Pelabuhan Jayapura Pelabuhan Halmahera Bandara Miangas Bandara Siau Bandara Morow ali Bandara Buntu Kunik Bandara Namniw el Bandara Kabir Pantar Bandara W erur Bandara Korow ai Batu Sumber : Pelindo, RPJMN, RPJMD, BKPM Kemajuan Pembangunan Infrastruktur Darat Tabel V.2. Proyek Utama Infrastruktur Konektivitas KTI Lokasi Infrastruktur Darat Sulsel Sulsel, Sulbar Sulut, Gorontalo Sulut Papua Barat Sulut Sulteng Sultra Sulteng Infrastruktur Laut Sulsel Sulut NTB NTT Maluku Papua Barat Papua Papua Malut Infrastruktur Udara Sulut Sulut Sulteng Sulsel Maluku NTT Papua Papua Keterangan 145 Km 225 Km 450 Km 145 Km 390 Km 39,9 Km 48,7 Km 80 Km 52 Km 3,5 Juta TEUs/Tahun 1 Juta TEUs/Tahun m (dermaga) 90 x 20,5 m (dermaga) 7000 m (Lap. Penampung) 700 Ribu TEUs/Tahun 100 m (dermaga) Peningkatan Faspel Pemb. 4 pelabuhan & Faspel m (runway) m (runway ) m (runway) m (runway) m (runway) 900 m (runway) m (runway) 900 m (runway) Nilai Investasi 6,4 triliun 2,4 triliun 2,5 triliun 9,65 triliun 10,3 triliun 3,9 triliun 10 triliun 280 miliar 1,7 triliun 9,3 triliun 3 triliun 600 miliar 1,5 triliun 1 triliun 411 miliar 142 miliar 1 triliun 1,5 triliiun 90 miliar 68 miliar 25,5 miliar 100,6 miliar 2 miliar 20 miliar 39 miliar 20 miliar Target 2017 (Operasional) 2018 (Konstruksi) 2018 (Konstruksi) 2017 (Konstruksi) 2018 (Konstruksi) 2018 (Operasional) 2019 (Operasional) 2019 (Operasional) 2016 (Konstruksi) 2030 (Operasional) 2030 (Operasional) 2016 (Operasional) 2016 (Konstruksi) 2016 (Operasional) 2016 (Operasional) 2016 (Oprasional) 2016 (Operasional) 2016 (Operasional) 2016 (Operasional) 2016 (Operasional) 2015 (Operasional) 2018 (Operasional) 2015 (Operasional) 2018 (Operasional) 2016 (Operasional) 2018 (Operasional) Pembangunan infrastruktur pendukung konektivitas darat di KTI difokuskan pada pembangunan jalur kereta api dan pembangunan jalan bebas hambatan maupun jalan poros (non tol). Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), terdapat 5 jalur pengembangan kereta api yang menjadi prioritas, yaitu jalur Bitung-Gorontalo-Isimu, Makassar-Pare-pare-Pelabuhan Garonggong, Manado-Bitung, Pare-pare- Mamuju, dan Sorong-Manokwari. Namun, dari 5 proyek senilai Rp31,25triliun tersebut, tercatat hanya satu proyek yang telah memasuki tahap konstruksi, yaitu jalur KA Makassar-Parepare. Jalur kereta ini tengah memasuki tahap konstruksi tahap I sepanjang 10 km dan proses pembebasan lahan tahap II sepanjang 30 km L a p o r a n N u s a n t a r a 72

79 yang 90% diantaranya telah selesai. Adapun 4 proyek jalur kereta api lainnya masih dalam tahap studi kelayakan. Sementara itu, pembangunan infrastruktur jalan baik jalan tol non tol yang seluruhnya berlokasi di Pulau Sulawesi sampai dengan saat ini juga masih belum menunjukkan perkembangan yang signifikan. Dari 4 proyek utama pembangunan jalan yaitu Tol Manado-Bitung, By Pass Palu-Parigi, By Pass Kendari-Konawe dan Jalan Poros Morowali, hanya 1 (satu) proyek yang telah memasuki tahap konstruksi, yaitu pembangunan Jalan Tol Manado-Bitung. Proyek pembangunan jalan utama KTI lainnya masih dalam tahap persiapan baik di tahapan penyusunan master plan maupun perizinan AMDAL. Kendala utama dalam proyek pembangunan infrastruktur darat di KTI adalah proses pembebasan lahan. Kepemilikan lahan yang tidak jelas, permasalahan tanah adat (Papua dan Papua Barat) serta koordinasi yang belum optimal antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah merupakan faktor yang menghambat percepatan realisasi pembangunan infrastruktur darat. Kemajuan Pembangunan Infrastruktur Laut Pembangunan infrastruktur pendukung konektivitas laut sejalan dengan cita-cita pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Dalam rentang tahun , terdapat 9 proyek pembangunan infrastruktur laut di KTI yang terfokus pada peningkatan kapasitas pelabuhan, diantaranya adalah 2 pelabuhan hub di Makassar dan Bitung, serta 6 pelabuhan feeder yang tersebar di Lombok, Kupang, Ambon, Halmahera, Jayapura, dan Merauke. Dari 9 proyek dengan total investasi senilai Rp 18,5 triliun tersebut, tercatat hanya New Port Makassar dan Pelabuhan Jayapura yang telah mamasuki tahap konstruksi. Sementara 7 pelabuhan lainnya baru memasuki tahap persiapan dan perizinan (AMDAL). Faktor penghambat dalam pengembangan infrastruktur pelabuhan diantaranya adalah permasalahan pembiayaan (Bitung), proses perizinan yang memakan waktu lama serta kendala dalam proses pembebasan lahan (Kupang, Lombok, Ambon). Sumber : FGD, Liaison Gambar V.1.Progress Pengembangan Infrastruktur Konektivitas Utama KTI Kemajuan Pembangunan Infrastruktur Udara Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), terdapat 8 proyek pembangunan bandara baru di KTI di antara tahun , yaitu Bandara Bulu Kunik, Morowali, Siau, Milangas, Kabir-Pantar, Namniwei, Werur dan Korowai Batu. Dari 8 proyek bandara baru senilai Rp365 miliar tersebut, tercatat hanya 3 proyek yang mengalami perkembangan, yaitu bandara Werur dan Siau yang sudah memasuki tahap konstruksi serta Bandara Minggas yang baru memasuki tahap penyusunan AMDAL. Sementara lima bandara L a p o r a n N u s a n t a r a 73

80 lainnya belum menunjukkan perkembangan berarti. Pembangunan bandara KTI yang mayoritas dilakukan di daerah terpencil menjadi tantangan tersendiri dalam prosesnya mengingat belum banyaknya infrastruktur pendukung pembangunan. Secara umum dapat disimpulkan bahwa kemajuan pembangunan infrastruktur pendukung konektivitas di KTI masih berjalan lebih lambat dari yang diharapkan. Berbagai hambatan sosial, teknis dan koordinasi dalam realisasi proyek infrastruktur membutuhkan sinergitas yang lebih baik antara pemerintah pusat, pemerintah daerah serta pemangku kepentingan lainnya. Upaya untuk mendorong percepatan pembangunan infrastruktur juga disertai sosialisasi dan komunikasi yang baik kepada masyarakat guna menghindari terhambatnya pengerjaan proyek yang disebabkan oleh faktor sosial. Penyelesaian berbagai hambatan tersebut diharapkan mampu meningkatkan realisasi pembangunan infrastruktur konektivitas sehingga dapat menopang pertumbuhan ekonomi KTI yang saat ini berada dalam tren melambat. L a p o r a n N u s a n t a r a 74

81 Peran industri dalam perekonomian cenderung mengalami penurunan dalam satu dasawarsa terakhir ini. Hal ini terutama dipengaruhi perubahan struktur ekspor yang dominan kepada komoditas berbasis SDA dan faktor melemahnya daya saing industri. Perubahan struktur ekspor lebih kepada komoditas yang berbasis SDA tidak terlepas dari insentif boom harga komoditas yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir sehingga justru menjadi disinsentif bagi berkembangnya industri yang lebih berimbang. Selain itu,melemahnya daya saing industri, khususnya industri medium & high tech, ditengah persaingan global yang semakin meningkat menyebabkan peran industri nasional dalam rantai pasok global tergolong rendah. Pengembangan industri perlu diperkuat melalui penataan strategi dan prioritas industrialisasi yang terpadu dengan mengedepankan penguatan integrasi industri di domestik dan global, serta menjadikan Indonesia sebagai basis produksi global. Gambaran Umum Industri Nasional Peran industri nasional dalam perekonomian terus mengalami penurunan dalam satu dekade terakhir, di tengah peralihan struktur perekonomian ke sektor jasa untuk memenuhi permintaan kelas menengah domestik yang meningkat pesat. Pangsa ekspor produk industri juga mengalami penurunan dari sebesar 57% pada 2005 menjadi 43,7% di Struktur ekspor nasional juga bergeser lebih mengarah ke ekspor sumber daya alam (SDA) terkait dengan tren kenaikan harga komoditas di pasar global. Boom ekspor komoditas SDA turut menyebabkan semakin cepatnya perkembangan kelas menengah yang mendorong permintaan domestik 49. Namun, pada saat yang bersamaan industri belum dapat sepenuhnya mampu merespons atau mengimbangi berkembangnya permintaan domestik terutama dari sisi harga, jenis, dan kualitas standar tertentu sehingga berimbas pada menurunnya penguasaan pasar domestik serta terus meningkatnya impor SDA 57.0 Industri 56.3 SDA 43.7 Industri Grafik VI.1. Pangsa Lapangan Usaha PDB Grafik VI.2. Perubahan Pangsa Ekspor Secara spasial, penurunan pangsa industri dalam PDRB terbesar dialami oleh Jawa dan Kalimantan. Sebaliknya, pangsa industri dalam PDRB Kawasan Timur Indonesia (KTI) mengalami peningkatan. Sejumlah faktor memengaruhi dinamika perkembangan pangsa industri di setiap wilayah tersebut. Di wilayah Jawa, penurunan pangsa terutama terkait dengan menurunnya daya saing manufaktur dengan semakin meningkatnya kompetisi global serta berbagai kendala struktural yang dihadapi oleh industri antara lain terkait masalah keterbatasan infrastruktur, hambatan dalam investasi dan perdagangan. Di wilayah Kalimantan yang didominasi oleh industri pengolahan migas, termasuk industri petrokimia, tren penurunan pangsa industri terutama terkait dengan fantor natural declining yaitu kemampuan produksi minyak dan gas (migas) yang semakin terbatas karena faktor menuanya umur sumur/ladang eksplorasi migas. 49 Boom komoditas SDA juga cenderung mendorong apresiasi nilai tukar yang berpotensi memperlemah daya saing ekspor industri sebagai materi indikasi dari penurunan struktur ekspor industry dari pasca krisis 1998 hingga puncak boom harga komoditas SDA yang terjadi di akhir L a p o r a n N u s a n t a r a 75

82 Sementara itu, pangsa industri dalam PDRB wilayah Sumatera relatif stagnan, sebaliknya kenaikan pangsa justru terjadi di KTI. Di wilayah Sumatera, tantangan berkembangnya industri terutama berasal dari besarnya ketergantungan terhadap industri berbasis perkebunan khususnya pengolahan kelapa sawit yang tidak disertai oleh berkembangnya industri turunan yang memberikan nilai tambah lebih seperti industri minyak goreng, shortening, vegetable ghee dan margarin, bahan busa pada industri sabun, bahan kimia methyl ester, gliserin, bahan pelumas industri baja, industri tekstil, kosmetik, dan juga pengembangan industri alternatif energi biodiesel pengganti BBM. Di sisi lain, pangsa industri yang meningkat di KTI dipengaruhi oleh mulai berkembangnya hilirisasi pengolahan mineral seperti industri tepung terigu, semen, migas, meski dalam besaran yang masih relatif terbatas dan terkonsentrasi di daerah-daerah yang lebih "matang" dalam hal infrastruktur. Pengembangan industri yang belum cukup optimal di KTI terutama terkait dengan ketersediaan infrastruktur, terutama energi dan logistik, yang masih belum memadai. Grafik VI.3. Pangsa Industri dalam PDRB Daya Saing Industri Grafik VI.4. Perubahan Pangsa Ekspor Pengukuran daya saing industri dapat dilihat dari kemampuan industri dalam dalam berkompetisi di pasar ekspor global. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan melihat pada Revealed Comparative Advantage (RCA) atau yang secara sederhana dengan melihat seberapa besar pangsa sebuah produk manufaktur yang dihasilkan terhadap total produk yang sama di pasar ekspor global. Hasil pengukuran RCA menunjukkan bahwa tingkat daya saing yang baik hanya dimiliki pada industri berbasis komoditas SDA, khususnya olahan mineral tambang, sedangkan industri yang bersifat low-tech maupun medium-high tech berada dalam posisi yang masih rendah. Sumber : Anglingkusumo, dkk (2013), Transformasi Perekonomian Indonesia: Membangun Kapabilitas Industrial untuk Mendukung Migrasi ke High Income Country, Internal Working Paper 04/2013 Gambar VI.1. Penentuan Daya Saing Berdasarkan RCA (Keunggulan Komparatif) Menurunnya daya saing industri low-tech yang sebagian mengolah SDA pertanian dan perikanan mengalami penurunan daya saing sebagai pengaruh persaingan global serta peningkatan biaya produksi khususnya dari L a p o r a n N u s a n t a r a 76

83 komponen biaya tenaga kerja (tergolong industri padat karya). Sementara posisi industri medium-high tech yang tidak kompetitif terutama terkait dengan masih rendahnya integrasi industri domestik ke rantai pasok global. Dari domestik, keterbatasan kapabilitas inovasi (R&D) dan produksi menjadi tantangan terbesar, selain juga kemampuannya dalam menghasilkan produk yang memiliki standar internasional. Sebagian dari industri medium-high tech ini terkonsentrasi di Jawa karena faktor ketersediaan infrastruktur yang lebih baik dan pasokan tenaga kerja dengan kualifikasi lebih baik. Dari pengukuran RCA per wilayah, sebagian besar komoditas ekspor industri baik manufaktur maupun olahan SDA mengalami penurunan. Di Sumatera, tren penurunan keunggulan komparatif terutama pada komoditas kelapa sawit (CPO) dan timah. Tertinggalnya hilirisasi kelapa sawit dibandingkan Malaysia menjadi faktor tren penurunan keunggulan komparatif. Meski demikian, pertumbuhan eskpor kelapa sawit Sumatera masih berada di atas pertumbuhan ekspor kelapa sawit dunia. Ekspor timah dari Sumatera juga menunjukan kinerja yang lebih buruk dan saat ini telah berada di kuadran tidak kompetitif. Tabel VI.1. Daya Saing Berdasarkan RCA (Keunggulan Komparatif) Wilayah SUMATERA Tren* JAWA Tren* KALIMANTAN Tren* KTI Tren* 1 Kelapa Sawit TPT Batubara Minyak Kelapa 2 Timah Kimia Kelapa Sawit Tembaga 3 Karet Mamin Karet Nikel 4 Turunan CPO Otomotif Kayu Lapis Ikan 5 Bubur Kertas Elektronik Pupuk Kakao Tren 5 tahun terakhir Di Jawa, penurunan keunggulan komparatif terjadi pada industri tekstil dan produk tekstil (TPID) serta industri kimia. Persaingan pasar global dan fasilitas pendukung lokasi investasi menjadi faktor penurunan keunggulan komparatif industri TPT. Kebijakan perdagangan pasar bebas turut memengaruhi daya saing produk TPT terkait dengan perbedaaan dalam pengenaan bea impor. Keunggulan komparatif dari industri kimia juga mengalami kecenderungan menurun sebagai akibat dari terbatasnya kemampuan produksi bahan baku dalam negeri. Sementara itu, Kalimantan masih memiliki tren peningkatan keunggulan komparatif walaupun lebih didominasi oleh barang-barang olahan tambang dan perkebunan. Keunggulan komparatif pada industri kelapa sawit di Kalimantan juga lebih disebabkan oleh ekspansi perkebunan sawit yang cenderung meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Meski demikian, isu lingkungan menjadi tantangan terbesar dalam pengembangan daya saing industri di Kalimantan. % Proyek Proyek PMA Proyek PMDN Pangsa PMA Pangsa PMDN Grafik VI.5. Pangsa Ekspor Industri Grafik VI.6. Perubahan Pangsa Ekspor Tren penurunan keunggulan komparatif industri di KTI terindikasi pada pengolahan tembaga, nikel, serta kakao. Meski telah didorong upaya hilirisasi komoditas mineral tambang semenjak 2012, namun perkembangannya masih relatif lambat. Pengembangan industri smelter di KTI masih terbatas terkait dengan persoalan ketersediaan infrastruktur energi dan logistik yang belum memadai. Sementara daya saing industri kakao di pasar global antara lain menghadapi tantangan dari aspek spesifikasi yang belum memenuhi kebutuhan pasar. L a p o r a n N u s a n t a r a 77

84 Secara agregat, daya saing ekspor industri nasional dibandingkan dengan sejumlah negara tetangga di regional ASEAN juga lebih rendah. Hal ini merupakan tantangan yang sangat berat seiring dengan implementasi pasar tunggal Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) serta upaya mendorong ASEAN sebagai basis produksi. Pasca krisis finansial 2009, pemulihan ekspor industri dapat dimanfaatkan dengan baik oleh Indonesia dan Thailand. Namun, dalam perkembangannya semenjak 2011, pangsa ekspor industri Indonesia terus mengalami penurunan (2,0% di 2011 menjadi 1,7% di 2014), sementara pangsa ekspor industri Thailand terjaga. Grafik VI.7. Tingkat Penggunaan Komponen Teknologi pada Industri Nasional 50 Salah satu faktor yang turut berkontribusi pada penurunan pangsa ekspor industri Indonesia adalah terbatasnya daya tarik investasi khususnya penanaman modal asing (PMA) untuk pengembangan industri berorientasi ekspor. Sebagian besar PMA termasuk dari multinational corporations (MNC) yang masuk ke Indonesia lebih tertarik pada pembangunan industri dengan orientasi pasar domestik. Dalam beberapa tahun terakhir, kinerja investasi PMA jauh lebih tinggi dibandingkan investasi dari sumber penanaman modal dalam negeri (PMDN), baik dari jumlah proyek maupun nilai investasi secara total. Tren investasi PMDN ke pengembangan industri yang menurun, ditengarai sebagai pengaruh dari pelambatan ekonomi. Selain itu, tantangan pembiayaan turut menjadi aspek yang memengaruhi realisasi investasi industri dari sumber domestik. Grafik VI.8. Neraca Perdagangan Industri Hal lain yang menyebabkan daya saing ekspor industri Indonesia menurun adalah masalah keterbatasan dalam penggunaan teknologi. Berdasarkan tingkat penggunaan komponen teknologi pada produk ekspor industri, Indonesia tertinggal pada ekspor produk high-tech dan hanya unggul pada primary products dibandingkan negara peers di ASEAN. Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat pergeseran struktur ekspor dari low-tech dan high-tech menjadi medium-tech dan resource-based. Produk ekspor Indonesia memiliki tingkat kompleksitas 50 Sumber data adalah WDI, WITS (World Bank). Klasifikasiprodukmenurutkomponenteknologimenggunakan SITC 3 digit berdasarkanhatzichronoglou (1997) danlall (2000). L a p o r a n N u s a n t a r a 78

85 yang lebih rendah dalam hal penggunaan teknologi dibandingkan negara peers 51. Pergeseran struktur ekspor industri juga berimplikasi pada faktor ketergantungan impor, khususnya pada barang modal untuk investasi dan bahan baku untuk produksi. Ketergantungan impor terutama pada industri medium-high tech yang teridentifikasi dari postur defisit neraca perdagangan pada kategori tersebut. Lemahnya posisi Indonesia dalam rantai produksi global atau global production network (GPN) adalah faktor lain yang turut memengaruhi penurunan daya saing industri. Hal ini ditunjukkan dari masih rendahnya kapabilitas ekspor dalam memproses Foreign Value Added (FVA) atau kemampuan mengekspor produk olahan dengan bahan baku impor. Kondisi ini tidak terlepas dari beberapa tantangan yang dihadapi terutama terkait dengan lingkungan pendukung berkembangnya industri yang berorientasi pada ekspor atau merupakan bagian terintegrasi dari rantai pasok global. Tantangan utama terkait dengan aspek ketenagakerjaan. Kapasitas dan kapabilitas tenaga kerja yang belum optimal bagi kebutuhan industri karena masih minimnya dukungan ketersediaan pusat pelatihan formal atau pendidikan vokasi. Di samping itu, infleksibilitas tenaga kerja dengan aturan ketenagakerjaan yang relatif lebih rigid dibandingkan negara peers berpengaruh pada biaya tenaga kerja yang lebih tinggi - dalam hal pemutusan hubungan kerja (PHK). 52 Sementara itu, rasio upah minimum dibagi produktivitas Indonesia masih kalah bersaing dengan China, Malaysia dan India. Grafik VI.9. Kapabilitas Ekspor dlm GPN Grafik VI.10. Kapabilitas dlm FVA Percent of firms offering formal training Proportion of workers offered formal training (%)* China Indonesia India Malaysia Philippines Thailand Vietnam Grafik VI.11. Produktivitas Taker Grafik VI.12. Pelatihan Formal Karyawan Belum mendukungnya fasilitasi perdagangan juga menjadi faktor yang turut menghambat berkembangnya industri yang terintegrasi dengan GPN. Waktu yang dibutuhkan untuk proses ekspor dan impor di Indonesia relatif lama dibandingkan negara peers karena masih adanya hambatan akses di darat serta proses bongkar muat di pelabuhan. Indeks Logistic Performance Index (LPI) untuk Indonesia sedikit meningkat pada 2 tahun 51 Perhitungan product sophistication (EXPY) merujuk pada Hausmann, Hwang and Rodrik (2007). EXPY diukur dari proporsi ekspor atas PRODY masing-masing produk, dan PRODY merupakan tingkat kecanggihan suatu produk yang diukur dari pendapatan per kapita negara (pada PPP) pengekspor utama produk tersebut di dunia. 52 Biaya PHK dihitung dari berapa kali minggu gaji yang harus dibayarkan. Di Indonesia, jumlah pesangon dalam PHK lebih tinggi dari seluruh negara peers di ASEAN. L a p o r a n N u s a n t a r a 79

86 terakhir, meski masih lebih rendah dibandingkan mayoritas negara peers. Kondisi infrastruktur juga membaik pada 2 tahun terakhir, namun lebih rendah dibandingkan mayoritas negara peers Hari Time to export (days) Time to import (days) Grafik VI.13. Waktu Ekspor & Impor Strategi dan Prioritas Pengembangan Industri Grafik VI.14. Indeks Logistik (LPI) Menghadapi sejumlah tantangan pada daya saing industri, dibutuhkan penajaman strategi dan pengaturan prioritas dalam kebijakan industrialisasi. Dalam kaitan tersebut diperlukan kesamaan pandang dalam mencapai tujuan akhir pembangunan, yakni diarahkannya pengembangan ke industri berorientasi ekspor yang memberikan nilai tambah semaksimal mungkin. Perlu menjadi perhatian faktor dari inward network yang yang fokus pada integrasi antar lokasi industri (aglomerasi) untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas, sebagai bagian dari upaya peningkatan daya saing. Sementara di level global (outward network), perlu dioptimalkan integrasi ke rantai produksi global khususnya melalui investasi MNC Malaysia China Thailand Vietnam Indonesia India Philippines Outward Network Global Production Network Sasaran Akhir: Kesejahteraan Sosial dan & Stabilitas makro Orientasi ekspor dan peningkatan nilai tambah Upgrading dan Deepening Industri Efisiensi + Produktivitas = Daya Saing Inward Network Spatial linkages Berbasis SDA Padat Karya Teknologi Menengah Teknologi Tinggi Strategi Peningkatan Daya Saing Industri Institusi dan Leadership Skema Skema insentif Trade dan dan Investment Investment SDM & Ketenagakerjaan SDM & TK Infrastruktur Infrastruktur Efisiensi Efisiensi Teknis Teknis & business business services services Akses Akses Pembiayaan Pembiayaan Akses Pasar Akses Pasar Koordinasi (antar sektor, pusat-daerah) Trust & collective action Efektivitas manajemen pemerintahan & Tata kelola Promosi ekspor Fasilitasi investasi kawasan industri Insentif fiskal Lingkungan makro (inflasi terkendali dan nilai tukar yang stabil) Penyempurnaan sistem pendidikan nasional (Link dan Match) Keterampilan & produktivitas kerja Kebijakan TK Konektivitas (jalan, logistik, pel abuhan, customs) Energi & utilitas Kebijakanfiskal di bidang logistik Koordinasi dan regulasi Technological improvement R&D daninovasi Business services HAKI Akses pembiayaan (Financial inclusion) Modal ventura Sumber pembiayaan jangka panjang Trade Agreement Sertifikasi/ standarisasi Sistem informasi (repository) Perluasan pasar dan sistem Gambar VI.2. Bagan Konsep Strategi dan Prioritas Pengembangan Industri Nasional Kebangkitan industri perlu diawali dengan perumusan strategi dan prioritas dalam upgrading dan deepening industri menuju industri berbasis teknologi, tanpa mengesampingkan pengembangan industri padat karya maupun industri berbasis SDA yang bernilai tambah tinggi. Sejumlah strategi peningkatan daya saing dapat L a p o r a n N u s a n t a r a 80

87 difokuskan pada 7 aspek sebagai berikut : (1) institusi dan kepemimpinan; (2) skema insentif perdagangan dan investasi; (3) penguatan SDM tenaga kerja; (4) pembangunan infrastruktur; (5) efisiensi teknis dan business services; (6) akses pembiayaan; (7) akses pasar. Dalam merumuskan dan merencanakan strategi dan prioritas pembangunan industri secara lebih detil, perlu menjadi perhatian target pembangunan industri nasional sesuai dengan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) Paket kebijakan ekonomi yang sebagian besar mencakup deregulasi kebijakan industri merupakan langkah terobosan yang dapat mendorong tumbuh berkembangnya industri ke depan. Langkah kebijakan pemerintah ini merupakan awal dari kebangkitan industri nasional melalui peningkatan daya saing utamanya dengan negara peersdi kawasan regional ASEAN. Segala upaya yang dapat mendukung peningkatan daya saing industri nasional perlu senantiasa disinergikan antar institusi terkait baik pemerintah maupun swasta. Hal lain yang juga perlu menjadi perhatian adalah dinamika kebijakan perdagangan global yang terus berkembang. Kesiapan industri nasional dalam menghadapi era pasar bebas perlu dicermati terkait dengan daya saing ekspor serta potensi tergerusnya akses pasar domestik sejalan dengan semakin agresifnya negara peers dalam memanfaaatkan free trade agreement (FTA). Hilangnya penguasaan pasar domestik memberikan risiko peningkatan impor yang berdampak pada kinerja neraca perdagangan. Gambar VI.3. Kerjasama Perdagangan Pasar Bebas L a p o r a n N u s a n t a r a 81

88 Ditengah kondisi perekonomian yang masih dalam tahap perbaikan secara gradual hingga saat ini, penguatan peran sektor ekonomi yang mampu tumbuh berkelanjutan dan berbasis pada potensi domestik menjadi semakin relevan. Kedua kriteria tersebut mampu disajikan oleh sektor pariwisata yang secara kontinu mengalami peningkatan pertumbuhan, bahkan ditengah kondisi perekonomian yang kurang kondusif dan berbagai hambatan yang dihadapi. Pengembangan sektor pariwisata masih dihadapkan pada berbagai tantangan, baik yang bersifat struktural maupun jangka pendek, sehingga berdampak pada daya saing sektor pariwisata nasional yang relatif rendah dibandingkan negara-negara kawasan. Melalui berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan daya saing pariwisata nasional diantaranya berupa peningkatan akses (infrastruktur pendukung), atraksi dan amenitas, diharapkan target RPJMN pariwisata dapat tercapai. Langkah yang ditempuh untuk pengembangan pariwisata memerlukan sinergi dan komitmen antara pusat dan daerah agar kebijakan yang diputuskan ditingkat daerah dapat selaras dengan strategi pengembangan yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Selain itu, diperlukan juga komitmen ditingkat antar daerah untuk saling berkoordinasi dalam pengembangan pariwisata dalam konsep great (kewilayahan berdasarkan pintu masuk wisatawan mancanegara). Kebijakan pengembangan integrasi destinasi wisata perlu semakin ditingkatkan sebagai perwujudan konsep great diatas. Gambaran Umum Pariwisata Nasional Pariwisata merupakan sebuah industri yang berkelanjutan dengan bahan baku yang tak terbatas dan memiliki potensi untuk dapat memicu efek multiplier bagi sektor lainnya. Pariwisata memiliki peran yang strategis baik dalam perekonomian global maupun nasional. Di tingkat global, pariwisata mengambil porsi 5% (senilai USD 1,4 triliun) dari total ekspor dunia dan 9,5% dari total PDB dunia. Sementara secara nasional, peran strategis pariwisata tercermin dari solidnya kontribusi yang diberikan oleh sektor ini bagi perekonomian nasional bahkan dikala perlambatan kinerja terjadi dihampir seluruh sektor. Grafik VI.15. Share dan Growth 53 Pariwisata Grafik VI.16. Transaksi Berjalan dan Pangsa Pariwisata dalam Ekspor Pariwisata dipandang sebagai satu dari lima sektor yang dianggap akan mampu menopang akselerasi perekonomian nasional selain sektor agroindustri dan manufaktur. Pariwisata nasional selama 3 tahun terakhir tumbuh dikisaran 6%, diatas pertumbuhan PDB yang rata-rata sebesar 5,5%. Selain itu, pariwisata memiliki 53 Berdasarkan share sektor hotel dan restaurant serta jasa hiburan dan rekreasi dalam PDB. L a p o r a n N u s a n t a r a 82

89 pangsa yang cukup besar dalam PDB 54 yaitu 9,3% dan merupakan penghasil devisa kelima terbesar sejumlah USD 11,17 Juta, setelah devisa yang dihasilkan komoditas SDA unggulan ekspor (migas, batubara, CPO, & karet). Pariwisata juga diklaim mampu menyerap tenaga kerja lebih besar dibandingkan dengan sektor lain, dimana pada 2014 pariwisata nasional mampu menghasilkan 9,8 juta lapangan kerja. Grafik VI.17. Sektor Penyumbang Devisa Nasional Kinerja pariwisata nasional menunjukkan perkembangan yang cukup baik khususnya dalam lima tahun terakhir, baik terkait dengan kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) maupun wisatawan nusantara (wisnus). Jumlah wisman meningkat secara kontinu sepanjang dengan rata-rata peningkatan sekitar 7,2% per-tahun, sementara kunjungan wisnus rata-rata meningkat 2% per-tahun. Peningkatan kunjungan wisman Indonesia pada 2014 tercatat sebesar 7,2%, lebih tinggi dibandingkan rata-rata dunia yang hanya sebesar 4,7%. Pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap USD yang terjadi dalam dua tahun belakangan terindikasi memiliki korelasi yang positif terhadap peningkatan jumlah kunjungan wisman. Peningkatan kunjungan wisman disertai dengan peningkatan penerimaan devisa negara rata-rata sebesar 12,23% per tahun. Pada tahun 2014, jumlah wisman tercatat sebesar 9,4 juta orang dengan penerimaan devisa sebesar USD 11,1 Miliar. Grafik VI.18. Perkembangan Jumlah Wisatawan Mancanegara Grafik VI.19. Perkembangan Kunjungan Wisatawan Nusantara Data Kementerian Pariwisata menunjukkan bahwa wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia sebagian besar dalam rangka berlibur (57%) dan Meeting, Incentive, Convention dan Exhibition (MICE, 33%), kemudian sisanya berkunjung dalam rangka belajar dan lainnya (10%). Pada tahun 2014, jumlah wisman terbesar berasal dari Australia, kemudian diikuti oleh Singapura dan Tiongkok. Wisman asal Australia membukukan pendapatan devisa terbesar (USD Juta), sejalan dengan durasi tinggal yang lebih lama dibandingkan dengan wisman asal negara lain. Secara rata-rata, durasi tinggal wisman masih relatif singkat yaitu sekitar 7,7 hari dengan tingkat pengeluaran sekitar USD per hari. Namun, sepanjang lima tahun 54 Direct, indirect effect dan dampak ikutan (WWTC, 2014) L a p o r a n N u s a n t a r a 83

90 terakhir, lama tinggal wisman belum mengalami perubahan berarti. Hal ini mengindikasikan belum optimalnya pengembangan sisi attraction (daya tarik) destinasi bagi wisman. Secara umum, pangsa pariwisata dalam perekonomian daerah masih terbilang minim terutama di wilayah Sumatera (1,3%), Kalimantan (1,2%). Sementara pangsa pariwisata di wilayah Jawa dan KTI lebih besar yaitu masing-masing 3,98% dan 3,47%, didukung oleh daerah yang memiliki core ekonomi pariwisata dan infrastruktur pariwisata yang memadai seperti Jakarta dan Bali. Secara wilayah, kunjungan wisman terbesar berada di wilayah KTI terutama Bali-NTB, kemudian diikuti oleh Sumatera yang ditopang oleh Batam. Pariwisata di Jawa lebih didukung oleh tingginya jumlah wisnus yang mencapai 95% dari total wisatawan dengan tujuan utama MICE, sementara pariwisata Kalimantan masih relatif minim dan hanya didukung oleh kunjungan wisnus dalam rangka MICE. Gambar VI.4. Profil Wisatawan Mancanegara Permasalahan: Daya Saing Rendah terhadap negara kawasan Grafik VI.20. Devisa, Lama Kunjungan & Jumlah Wisatawan Berdasar Negara Asal Wisman Sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati dan kebudayaan yang kaya dengan jumlah aset dan aspek kepariwisataan yang lebih banyak dibandingkan dengan negara lain di kawasan, sepatutnya pariwisata Indonesia memiliki daya saing yang lebih baik. Namun, daya saing pariwisata nasional berada di peringkat 50, hanya lebih baik dari Filipina, Vietnam dan Myanmar 55. Meskipun peringkat daya saing pariwisata Indonesia mengalami perbaikan dibandingkan posisi delapan tahun sebelumnya, namun perbaikan tersebut tidak menggeser Indonesia ke posisi yang lebih baik, relatif terhadap posisi Malaysia, Singapura maupun Thailand. Perbaikan daya saing pariwisata nasional lebih didorong oleh faktor price competitiveness dan kuatnya prioritas kebijakan pemerintah terhadap sektor Tourism & Travel (T&T). Namun, persoalan infrastruktur masih mengemuka sebagai faktor yang menghambat perbaikan daya saing. Hal khusus lainnya yang mengemuka pada daya saing pariwisata nasional adalah terkait minimnya standar kesehatan dan kebersihan (hygiene) serta belum cukup kuatnya proteksi terhadap enviromental sustainability ditengah daya tarik kekuatan pariwisata natural resources. Sumber : World Economic Forum, 2015 Gambar VI.5. Peringkat Daya Saing Pariwisata Indonesia 55 Berdasarkan peringkat yang disusun oleh World Economic Forum (WEF) dalam The Travel and Tourism Competitiveness Report, 2015 L a p o r a n N u s a n t a r a 84

91 Bila dibandingkan dengan pencapaian beberapa negara peers, peran pariwisata nasional terhadap perekonomian dapat dikatakan masih relatif terbatas. Sejumlah negara seperti Malaysia, Singapura, Thailand dan Filipina mencatatkan pangsa pariwisata terhadap perekonomian yang cukup tinggi yaitu antara 10% hingga 19%. Hal ini didukung oleh cukup optimalnya kapitalisasi pariwisata di negara tersebut. Malaysia, Singapura dan Thailand merupakan tiga negara dengan jumlah kunjungan wisman dan perolehan devisa pariwisata tertinggi di kawasan, dan dukungan anggaran promosi yang jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Namun, pariwisata Indonesia dianggap masih memiliki potensi yang besar sehingga Word Travel and Tourism Council (WTTC) memperkirakan pangsa pariwisata Indonesia akan terus meningkat hingga mencapai USD 12 Miliar pada Saat ini, WTTC menempatkan Indonesia pada peringkat 12 (dari 184 negara) negara dengan tingkat pertumbuhan pariwisata tertinggi. Sumber: Paparan Kementerian Pariwisata, April 2015 Grafik VI.21. Alokasi Anggaran Promosi Upaya Pengembangan Pariwisata Nasional dan Daerah Dalam rangka mewujudkan kemandirian perekonomian berbasis sektor strategis domestik serta mendukung perekonomian yang berkelanjutan, pembangunan sektor pariwisata menjadi salah satu sasaran strategis yang harus dicapai dalam pembangunan jangka menengah Pengembangan pariwisata nasional didukung oleh keragaman potensi alam dan budaya yang disertai pengembangan industri pariwisata berbasis penciptaan nilai tambah ekonomi. Namun, pencapaian target pengembangan pariwisata nasional yang diamanatkan oleh RPJMN mensyaratkan perlunya upaya peningkatan daya saing pariwisata. Sasaran pembangunan dan peningkatan daya saing pariwisata mencakup peningkatan kinerja pariwisata dari sisi pangsa terhadap perekonomian nasional, jumlah perolehan devisa dan jumlah wisatawan baik mancanegara maupun nusantara. Sementara sasaran pembangunan pariwisata secara inklusif mencakup pengembangan dari sisi sosial yaitu peningkatan peran usaha lokal dan kualitas tenaga kerja pariwisata. Sumber : RPJMN , Bappenas Gambar VI.6. Target Pengembangan dan Arah Kebijakan Pariwisata L a p o r a n N u s a n t a r a 85

92 Untuk mencapai target RPJMMN tersebut, arah dan kebijakan strategi peningkatan daya saing pariwisata dalam lima tahun mendatang difokuskan pada (i) pembangunan destinasi pariwisata; (ii) pemasaran pariwisata nasional; (iii) pembangunan industri pariwisata; dan, (iv) pembangunan kelembagaan pariwisata. Upaya peningkatan daya saing pariwisata secara umum mencakup perbaikan dari sisi aksesibilitas, atraksi (daya tarik destinasi) dan amenitas yang juga didukung oleh perbaikan kualitas SDM dan kemudahan investasi. Strategi tersebut kemudian dituangkan secara lebih detail melalui berbagai upaya peningkatan daya saing pariwisata sebagaimana tercantum pada Gambar VI.4 dibawah. Kunci sukses peningkatan daya saing pariwisata utamanya bergantung pada dua hal yaitu terkait dengan pembangunan infrastruktur penunjang pariwisata dan SDM. Sumber : Ripparnas PP No. 50/2011, Kemenpar Gambar VI.7. Strategi Pengembangan Pariwisata Nasional Strategi pengembangan pariwisata nasional saat ini tengah diarahkan untuk pengembangan pariwisata berbasis kewilayahan melalui pengembangan Destinasi Pariwisata Nasional (DPN) 56, Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) 57 dan Kawasan Pengembangan Pariwisata Nasional (KPPN) 58. Pada tahun 2015, terdapat 10 DPN prioritas yang akan dikembangkan 59, salah satunya adalah DPN Borobudur di Jawa Tengah yang ditargetkan untuk mencapai jumlah kunjungan sebesar 2 juta wisman pada tahun Dalam implementasinya, diperlukan sinergi antara Jawa Tengah sebagai lokasi dari DPN dengan DI. Yogyakarta sebagai pintu masuk terdekat baik melalui jalur darat maupun udara. Selain pengembangan pariwisata nasional secara kewilayahan, promosi pariwisata juga dilakukan dengan mengedepankan konsep kewilayahan berdasarkan pintu masuk wisman terbesar di wilayah tersebut (great 60 ). Promosi pariwisata kewilayahan dibagi dalam 10 great, dengan tiga great utama yaitu Great Batam, Great Jakarta dan Great Bali. Selain itu, promosi pariwisata nasional difokuskan pada lima pasar utama wisman yaitu Tiongkok, Singapira, Malaysia, Australia dan Jepang. Tiongkok disasar sebagai pasar utama tujuan pariwisata ke Indonesia karena pertumbuhan wisman yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Namun demikian, wisman asal Singapura, Malaysia, Australia dan Jepang tetap diproyeksikan memiliki kontribusi besar dari jumlah dan belanja wisman. 56 Destinasi Pariwisata Nasional (DPN) adalah destinasi pariwisata yang berskala nasional (RIPPARNAS, 2011) 57 Kawasan Pengembangan Pariwisata Nasional (KPPN) : suatu ruang pariwisata yang mencakup luasan area tertentu sebagai suatu kawasan dengan komponen Kepariwisataannya, serta memiliki karakter atau tema produk wisata tertentu yang dominan dan melekat kuat sebagai komponen pencitraan kawasan tersebut (RIPPARNAS, 2011) 58 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) : kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata nasional yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan (RIPPARNAS, 2011) 59 Mencakup Borobudur-Jawa Tengah, Mandalika-NTB, Labuhan Bajo-NTT, Bromo Tengger Semeru-Jawa Timur, Kepulauan Seribu-Jakarta, Toba-Sumut, Wakatobi-Sultra, Tanjung Lesung-Banten, Morotai-Maluku Utara, dan Tanjung Kelayan-Belitung (Kemenpar, 2015) 60 Great Batam, Great Sumatera, Great Jakarta, Great Bandung, Great Yogyakarta, Great Surabaya, Great Kalimantan, Great Bali, Great Sulawesi, dan Great Maluku-Papua. L a p o r a n N u s a n t a r a 86

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012 KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012 Januari 2013 Kinerja Ekonomi Daerah Cukup Kuat, Inflasi Daerah Terkendali Ditengah perlambatan perekonomian global, pertumbuhan ekonomi berbagai daerah di Indonesia

Lebih terperinci

TPI dan Pokjanas TPID. Analisis Inflasi. Analisis Inflasi Januari 2016 TPI dan Pokjanas TPID 1. Inflasi Januari 2016 Melambat dan Terkendali

TPI dan Pokjanas TPID. Analisis Inflasi. Analisis Inflasi Januari 2016 TPI dan Pokjanas TPID 1. Inflasi Januari 2016 Melambat dan Terkendali Inflasi Januari 2016 Melambat dan Terkendali Inflasi pada awal tahun 2016 mengalami perlambatan dibandingkan dengan bulan lalu. Pada Januari 2016, inflasi IHK tercatat sebesar 0,51% (mtm), lebih rendah

Lebih terperinci

Inflasi IHK 2015 Berada dalam Sasaran Inflasi Bank Indonesia

Inflasi IHK 2015 Berada dalam Sasaran Inflasi Bank Indonesia Inflasi IHK 2015 Berada dalam Sasaran Inflasi Bank Indonesia Inflasi di bulan Desember menunjukkan peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan bulan lalu dan lebih tinggi dari historisnya. Inflasi

Lebih terperinci

Perkembangan Terkini, Prospek, dan Tantangan Ke Depan

Perkembangan Terkini, Prospek, dan Tantangan Ke Depan Ringkasan Laporan Nusantara Februari 2014 *) Perkembangan Terkini, Prospek, dan Tantangan Ke Depan PERKEMBANGAN TERKINI EKONOMI DAERAH Setelah mengalami perlambatan pada beberapa triwulan sebelumnya, realisasi

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI DESEMBER 2016

RELEASE NOTE INFLASI DESEMBER 2016 Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (Pokjanas TPID) RELEASE NOTE INFLASI DESEMBER 2016 Inflasi 2016 Cukup Rendah dan Berada dalam Batas

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI DESEMBER 2017

RELEASE NOTE INFLASI DESEMBER 2017 RELEASE NOTE INFLASI DESEMBER 2017 TPI dan Pokjanas TPID INFLASI IHK Inflasi 2017 Terkendali Dan Berada Pada Sasaran Inflasi Inflasi IHK sampai dengan Desember 2017 terkendali dan masuk dalam kisaran sasaran

Lebih terperinci

Agustus L a p o r a n N u s a n t a r a 1 VOLUME 10 NOMOR 3

Agustus L a p o r a n N u s a n t a r a 1 VOLUME 10 NOMOR 3 Agustus 2015 L a p o r a n N u s a n t a r a 1 VOLUME 10 NOMOR 3 Halaman ini sengaja dikosongkan L a p o r a n N u s a n t a r a Daftar Isi Kata Pengantar Bagian I Bagian II Bagian III Bagian IV Bagian

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI OKTOBER 2016

RELEASE NOTE INFLASI OKTOBER 2016 Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (Pokjanas TPID) RELEASE NOTE INFLASI OKTOBER 2016 Tekanan Inflasi di Bulan Oktober 2016 Cukup Terkendali

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI JULI 2016

RELEASE NOTE INFLASI JULI 2016 Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (Pokjanas TPID) RELEASE NOTE INFLASI JULI 2016 Inflasi Lebaran 2016 Cukup Terkendali INFLASI IHK Mtm

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI APRIL 2016

RELEASE NOTE INFLASI APRIL 2016 Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (Pokjanas TPID) RELEASE NOTE INFLASI APRIL 2016 Penurunan Harga BBM dan Panen Raya Dorong Deflasi Bulan

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI JANUARI 2017

RELEASE NOTE INFLASI JANUARI 2017 Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (Pokjanas TPID) RELEASE NOTE INFLASI JANUARI 2017 Inflasi Bulan Januari 2017 Meningkat, Namun Masih

Lebih terperinci

Mei L a p o r a n N u s a n t a r a 1 VOLUME 11 NOMOR 2

Mei L a p o r a n N u s a n t a r a 1 VOLUME 11 NOMOR 2 Mei 2015 L a p o r a n N u s a n t a r a 1 VOLUME 11 NOMOR 2 Halaman ini sengaja dikosongkan L a p o r a n N u s a n t a r a Daftar Isi Kata Pengantar Bagian I Bagian II Bagian III Bagian IV Bagian V Bagian

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI FEBRUARI 2017

RELEASE NOTE INFLASI FEBRUARI 2017 RELEASE NOTE INFLASI FEBRUARI 217 TPI dan Pokjanas TPID INFLASI IHK Inflasi Bulan Februari 217 Terkendali Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) tercatat,23% (mtm) di bulan Februari. Inflasi di bulan ini

Lebih terperinci

TPI dan Pokjanas TPID. Analisis Inflasi. Analisis Inflasi Januari 2016 TPI dan Pokjanas TPID 1

TPI dan Pokjanas TPID. Analisis Inflasi. Analisis Inflasi Januari 2016 TPI dan Pokjanas TPID 1 Penurunan Harga Pangan dan Komoditas Energi Dorong Deflasi IHK Bulan Februari Indeks Harga Konsumen (IHK) bulan Februari 2016 mengalami deflasi. Deflasi IHK pada bulan ini mencapai -0,09% (mtm). Realisasi

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI OKTOBER 2017

RELEASE NOTE INFLASI OKTOBER 2017 RELEASE NOTE INFLASI OKTOBER 2017 TPI dan Pokjanas TPID Harga Pangan Dorong Inflasi Oktober 2017 Tetap Rendah INFLASI IHK Inflasi IHK sampai dengan Oktober 2017 terkendali dan mendukung pencapaian sasaran

Lebih terperinci

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009 263 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009 Tim Penulis

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI MEI 2016

RELEASE NOTE INFLASI MEI 2016 Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (Pokjanas TPID) Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter - Bank Indonesia, Pusat Kebijakan Ekonomi

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI NOVEMBER 2016

RELEASE NOTE INFLASI NOVEMBER 2016 Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (Pokjanas TPID) RELEASE NOTE INFLASI NOVEMBER 2016 Inflasi Bulan November 2016 Didorong Harga Pangan

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI APRIL 2017

RELEASE NOTE INFLASI APRIL 2017 RELEASE NOTE INFLASI APRIL 2017 TPI dan Pokjanas TPID INFLASI IHK Inflasi April 2017 Terkendali Indeks Harga Konsumen (IHK) tercatat mengalami inflasi 0,09% (mtm) di bulan April (Tabel 1). Inflasi IHK

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI JULI 2017

RELEASE NOTE INFLASI JULI 2017 RELEASE NOTE INFLASI JULI 2017 INFLASI IHK Inflasi Juli 2017 Terkendali Inflasi Juli 2017 terkendali sehingga masih mendukung pencapaian sasaran inflasi 2017 sebesar 4,0±1%. Inflasi Indeks Harga Konsumen

Lebih terperinci

Daftar isi Kata Pengantar Bagian I 1. Bagian II 9. Bagian III 23. Bagian IV 39. Bagian V 55. Bagian VI 71. Lampiran 83

Daftar isi Kata Pengantar Bagian I 1. Bagian II 9. Bagian III 23. Bagian IV 39. Bagian V 55. Bagian VI 71. Lampiran 83 IV Daftar isi v Kata Pengantar vii Bagian I 1 Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek Ekonomi Daerah Bagian II 9 Perekonomian Sumatera Boks 1 20 Mendorong Pengembangan Ekonomi Batam dan Daerah Sekitarnya

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI SEPTEMBER

RELEASE NOTE INFLASI SEPTEMBER RELEASE NOTE INFLASI SEPTEMBER INFLASI IHK Inflasi September 2017 Terkendali Inflasi IHK sampai dengan September 2017 terkendali dan mendukung pencapaian sasaran inflasi 2017. Pada bulan September inflasi

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI AGUSTUS 2016

RELEASE NOTE INFLASI AGUSTUS 2016 Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (Pokjanas TPID) RELEASE NOTE INFLASI AGUSTUS 2016 Koreksi Harga Paska Idul Fitri Dorong Deflasi Agustus

Lebih terperinci

ANALISIS INFLASI MARET 2016

ANALISIS INFLASI MARET 2016 Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (Pokjanas TPID) ANALISIS INFLASI MARET 2016 Komoditas Pangan Dorong Inflasi IHK Maret INFLASI IHK Mtm

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI JUNI 2016

RELEASE NOTE INFLASI JUNI 2016 Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (Pokjanas TPID) RELEASE NOTE INFLASI JUNI 2016 Inflasi Ramadhan 2016 Cukup Terkendali INFLASI IHK Mtm

Lebih terperinci

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2010 245 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2010 Tim Penulis

Lebih terperinci

Rakordal KALTENG. Kondisi Perekonomian Triwulan IV dan Outlook 2016

Rakordal KALTENG. Kondisi Perekonomian Triwulan IV dan Outlook 2016 Rakordal KALTENG Kondisi Perekonomian Triwulan IV dan Outlook 2016 2015 PEREKONOMIAN NASIONAL Triwulan III 2015 PDB Tw III-15: 4,73% gpdrb negatif Perbaikan perekonomian terjadi di Jawa, sementara ekonomi

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI MEI 2017

RELEASE NOTE INFLASI MEI 2017 RELEASE NOTE INFLASI MEI 2017 INFLASI IHK Inflasi Mei 2017 Terkendali Indeks Harga Konsumen (IHK) tercatat mengalami inflasi 0,39% (mtm) di bulan Mei (Tabel 1). Inflasi IHK bulan ini meningkat dibanding

Lebih terperinci

Kajian. Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Kalimantan Tengah

Kajian. Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Kalimantan Tengah Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Triwulan III 2015 1 KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat-nya (KEKR) Provinsi Kalimantan Tengah Triwulan III

Lebih terperinci

Daftar isi Kata Pengantar Bagian I 1. Bagian II 13. Bagian III 35. Bagian IV 61. Bagian V 93

Daftar isi Kata Pengantar Bagian I 1. Bagian II 13. Bagian III 35. Bagian IV 61. Bagian V 93 IV Daftar isi v Kata Pengantar vii Bagian I 1 Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek Ekonomi Daerah Bagian II 13 Perekonomian Sumatera Boks 1 30 Peran Pariwisata dan Industri Kreatif dalam Mendukung

Lebih terperinci

Daftar isi Kata Pengantar Bagian I 1. Bagian II 9. Bagian III 23. Bagian IV 47. Bagian V 63. Lampiran 75

Daftar isi Kata Pengantar Bagian I 1. Bagian II 9. Bagian III 23. Bagian IV 47. Bagian V 63. Lampiran 75 IV Daftar isi v Kata Pengantar vii Bagian I 1 Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek Ekonomi Daerah Bagian II 9 Perekonomian Sumatera Boks 1 19 Mentransformasi Industri Kelapa Sawit dan Karet Menjadi

Lebih terperinci

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III - 2009 127 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III - 2009 Tim Penulis

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI SEPTEMBER 2016

RELEASE NOTE INFLASI SEPTEMBER 2016 Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (Pokjanas TPID) RELEASE NOTE INFLASI SEPTEMBER 2016 Tekanan Inflasi di Bulan September 2016 Cukup Terkendali

Lebih terperinci

VOLUME 10 NOMOR 1. Februari 2015

VOLUME 10 NOMOR 1. Februari 2015 VOLUME 1 NOMOR 1 Februari 215 Daftar Isi 3 Kata Pengantar 5 Bagian I Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek Ekonomi Daerah 7 Bagian II Perekonomian Sumatera 13 Bagian III Perekonomian Jawa 49 Bagian

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI AGUSTUS 2017

RELEASE NOTE INFLASI AGUSTUS 2017 RELEASE NOTE INFLASI AGUSTUS 2017 Koreksi Harga Pangan dan Faktor Musiman Dorong Deflasi Agustus INFLASI IHK Inflasi Agustus 2017 terkendali sehingga masih mendukung pencapaian sasaran inflasi 2017 sebesar

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI MARET 2017

RELEASE NOTE INFLASI MARET 2017 RELEASE NOTE INFLASI MARET 2017 TPI dan Pokjanas TPID INFLASI IHK Panen Dorong Deflasi Maret 2017 Indeks Harga Konsumen (IHK) tercatat mengalami deflasi 0,02% (mtm) di bulan Maret (Tabel 1). Deflasi bulan

Lebih terperinci

Suharman Tabrani Kepala Perwakilan Bank Indonesia Balikpapan

Suharman Tabrani Kepala Perwakilan Bank Indonesia Balikpapan Perkembangan Terkini, Tantangan, dan Prospek Ekonomi Suharman Tabrani Kepala Perwakilan Bank Indonesia Balikpapan Disampaikan pada MUSRENBANG RKPD 2017 KOTA BALIKPAPAN OUTLINE 2 Perekonomian Nasional Perekonomian

Lebih terperinci

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER PANDANGAN GUBERNUR BANK INDONESIA PADA RAPAT KERJA PANITIA ANGGARAN DPR RI MENGENAI LAPORAN SEMESTER I DAN PROGNOSIS SEMESTER II APBN TA 2006 2006 Anggota Dewan yang terhormat, 1. Pertama-tama perkenankanlah

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI JUNI 2017

RELEASE NOTE INFLASI JUNI 2017 RELEASE NOTE INFLASI JUNI 2017 INFLASI IHK Inflasi Juni 2017 Terkendali Indeks Harga Konsumen (IHK) tercatat mengalami inflasi 0,69% (mtm) di bulan Juni (Tabel 1). Inflasi IHK pada periode puasa dan lebaran

Lebih terperinci

Daftar isi Kata Pengantar Bagian I 1. Bagian II 9. Bagian III 27. Bagian IV 51. Bagian V 71. Lampiran 87

Daftar isi Kata Pengantar Bagian I 1. Bagian II 9. Bagian III 27. Bagian IV 51. Bagian V 71. Lampiran 87 IV Daftar isi v Kata Pengantar vii Bagian I 1 Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek Ekonomi Daerah Bagian II 9 Perekonomian Sumatera Boks 1 22 Peran Pembangunan Infrastruktur Pertanian Terhadap Perekonomian

Lebih terperinci

P D R B 7.24% 8.50% 8.63% 8.60% 6.52% 3.05% -0.89% Sumber : BPS Kepulauan Riau *) angka sementara **) angka sangat sementara

P D R B 7.24% 8.50% 8.63% 8.60% 6.52% 3.05% -0.89% Sumber : BPS Kepulauan Riau *) angka sementara **) angka sangat sementara Ringkasan Eksekutif Asesmen Ekonomi Di awal tahun 2009, imbas krisis finansial global terhadap perekonomian Kepulauan Riau dirasakan semakin intens. Laju pertumbuhan ekonomi memasuki zona negatif dengan

Lebih terperinci

Daftar isi Kata Pengantar Bagian I 1. Bagian II 13. Bagian III 33. Bagian IV 61. Bagian V 91

Daftar isi Kata Pengantar Bagian I 1. Bagian II 13. Bagian III 33. Bagian IV 61. Bagian V 91 IV Daftar isi v Kata Pengantar vii Bagian I 1 Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek Ekonomi Daerah Boks 1 10 Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional: Instrumen Pengendalian Inflasi

Lebih terperinci

Daftar isi Kata Pengantar Bagian I 1. Boks Boks Bagian II 17. Boks Boks Bagian III 43. Boks Boks 6 65.

Daftar isi Kata Pengantar Bagian I 1. Boks Boks Bagian II 17. Boks Boks Bagian III 43. Boks Boks 6 65. IV Daftar isi v Kata Pengantar vii Bagian I 1 Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek Ekonomi Daerah Boks 1 12 Konvergensi Inflasi Daerah Terhadap Target Inflasi Nasional Boks 2 15 Pergerakan Harga

Lebih terperinci

Asesmen Pertumbuhan Ekonomi

Asesmen Pertumbuhan Ekonomi Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Asesmen Pertumbuhan Ekonomi Penurunan momentum pertumbuhan ekonomi Kepulauan Riau di periode ini telah diperkirakan sebelumnya setelah mengalami tingkat pertumbuhan

Lebih terperinci

Pola Inflasi Ramadhan. Risiko Inflasi s.d Akhir Tracking bulan Juni Respon Kebijakan

Pola Inflasi Ramadhan. Risiko Inflasi s.d Akhir Tracking bulan Juni Respon Kebijakan Pola Inflasi Ramadhan 1 Tracking bulan Juni 2014 2 Risiko Inflasi s.d Akhir 2014 3 Respon Kebijakan 4 Pola Inflasi Ramadhan Bila mengamati pola historis inflasi selama periode Ramadhan-Idul Fitri, umumnya

Lebih terperinci

Inflasi IHK Provinsi Sulawesi Utara. Inflasi Komoditas Utama. Periode. mtm 0,01% yoy 0,78% ytd -0,93% avg yoy 1 6,83% Beras.

Inflasi IHK Provinsi Sulawesi Utara. Inflasi Komoditas Utama. Periode. mtm 0,01% yoy 0,78% ytd -0,93% avg yoy 1 6,83% Beras. Inflasi IHK Provinsi Sulawesi Utara mtm 0,01% yoy 0,78% ytd -0,93% avg yoy 1 6,83% Inflasi Komoditas Utama Beras Minyak Goreng Daging Ayam Ras Cabai Rawit Bawang Merah Tomat Sayur Cakalang Inflasi Sulawesi

Lebih terperinci

Daftar isi Kata Pengantar Bagian I 1. Bagian II 9. Bagian III 31. Bagian IV 57. Bagian V 79. Lampiran 89

Daftar isi Kata Pengantar Bagian I 1. Bagian II 9. Bagian III 31. Bagian IV 57. Bagian V 79. Lampiran 89 IV Daftar isi v Kata Pengantar vii Bagian I 1 Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek Ekonomi Daerah Bagian II 9 Perekonomian Sumatera Boks 1 25 Diversifikasi Vertikal dan Horisontal Perekonomian Sumatera

Lebih terperinci

RAKORDAL PROVINSI KALTENG TRIWULAN III 2016

RAKORDAL PROVINSI KALTENG TRIWULAN III 2016 RAKORDAL PROVINSI KALTENG TRIWULAN III 2016 EKONOMI NASIONAL KONDISI EKONOMI NASIONAL TRIWULAN II 2016 INFLASI=2,79% GROWTH RIIL : 2,4% Ekonomi Nasional dapat tumbuh lebih dari 5,0% (yoy) pada triwulan

Lebih terperinci

Perkembangan Perekonomian Terkini. Peluang Pengembangan Perekonomian. Proyeksi Perekonomian Ke depan

Perkembangan Perekonomian Terkini. Peluang Pengembangan Perekonomian. Proyeksi Perekonomian Ke depan 01 02 03 Perkembangan Perekonomian Terkini Peluang Pengembangan Perekonomian Proyeksi Perekonomian Ke depan 2 Produk Domestik Regional Bruto Nasional Balikpapan Kaltim Industri Konstruksi Transportasi

Lebih terperinci

1. Tinjauan Umum

1. Tinjauan Umum 1. Tinjauan Umum Perekonomian Indonesia dalam triwulan III-2005 menunjukkan kinerja yang tidak sebaik perkiraan semula, dengan pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan lebih rendah sementara tekanan terhadap

Lebih terperinci

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD)

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) 3.1. Asumsi Dasar yang Digunakan Dalam APBN Kebijakan-kebijakan yang mendasari APBN 2017 ditujukan

Lebih terperinci

PAPARAN BANK INDONESIA RAKORDAL TW II 17. Kalimantan Tengah. Kalimantan Tengah

PAPARAN BANK INDONESIA RAKORDAL TW II 17. Kalimantan Tengah. Kalimantan Tengah Kalimantan Tengah PAPARAN BANK INDONESIA RAKORDAL TW II 17 Kalimantan Tengah Pertumbuhan Ekonomi & Inflasi Tahun 2017 Pasca meningkat cukup tinggi pada triwulan I 2017, ekonomi Kalimantan Tengah diperkirakan

Lebih terperinci

Rakordal KALTENG. Kondisi Perekonomian Triwulan III dan Outlook Oktober 2015

Rakordal KALTENG. Kondisi Perekonomian Triwulan III dan Outlook Oktober 2015 Rakordal KALTENG 2015 Kondisi Perekonomian Triwulan III dan Outlook 2015 19 Oktober 2015 Outline 1 Perekonomian Nasional PDB Inflasi Rupiah Outlook 2015 3 Perekonomian Proyeksi PDRB Target Inflasi Kalteng

Lebih terperinci

Inflasi IHK Provinsi Sulawesi Utara. Inflasi Komoditas Utama. Periode. mtm -0,68% yoy 2,28% ytd -0,94% avg yoy 1 6,41% Beras.

Inflasi IHK Provinsi Sulawesi Utara. Inflasi Komoditas Utama. Periode. mtm -0,68% yoy 2,28% ytd -0,94% avg yoy 1 6,41% Beras. Inflasi IHK Provinsi Sulawesi Utara mtm -0,68% yoy 2,28% ytd -0,94% avg yoy 1 6,41% Inflasi Komoditas Utama Beras Minyak Goreng Daging Ayam Ras Cabai Rawit Bawang Merah Tomat Sayur Cakalang Inflasi Sulawesi

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH TRIWULAN III

PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH TRIWULAN III BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH No. 51/11/Th.XIX, 7 November PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH TRIWULAN III - EKONOMI ACEH TRIWULAN III TAHUN DENGAN MIGAS TUMBUH 2,22 PERSEN, TANPA MIGAS TUMBUH 3,31 PERSEN

Lebih terperinci

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia Perlambatan pertumbuhan Indonesia terus berlanjut, sementara ketidakpastian lingkungan eksternal semakin membatasi ruang bagi stimulus fiskal dan moneter

Lebih terperinci

4. Outlook Perekonomian

4. Outlook Perekonomian 4. Outlook Perekonomian Pada tahun 2007-2008, ekspansi perekonomian Indonesia diprakirakan terus berlanjut dengan dilandasi oleh stabilitas makroekonomi yang terjaga. Pertumbuhan ekonomi pada 2007 diprakirakan

Lebih terperinci

LAPORAN LIAISON. Triwulan I Konsumsi rumah tangga pada triwulan I-2015 diperkirakan masih tumbuh

LAPORAN LIAISON. Triwulan I Konsumsi rumah tangga pada triwulan I-2015 diperkirakan masih tumbuh Triwulan I - 2015 LAPORAN LIAISON Konsumsi rumah tangga pada triwulan I-2015 diperkirakan masih tumbuh terbatas, tercermin dari penjualan domestik pada triwulan I-2015 yang menurun dibandingkan periode

Lebih terperinci

Grafik 1 Laju dan Sumber Pertumbuhan PDRB Jawa Timur q-to-q Triwulan IV (persen)

Grafik 1 Laju dan Sumber Pertumbuhan PDRB Jawa Timur q-to-q Triwulan IV (persen) BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 13/02/35/Th. XII, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR I. PERTUMBUHAN DAN STRUKTUR EKONOMI MENURUT LAPANGAN USAHA Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur

Lebih terperinci

Inflasi IHK Provinsi Sulawesi Utara. Inflasi Komoditas Utama. Periode. mtm -1,52% yoy 0,35% ytd 0,35% avg yoy 1 7,11% Beras.

Inflasi IHK Provinsi Sulawesi Utara. Inflasi Komoditas Utama. Periode. mtm -1,52% yoy 0,35% ytd 0,35% avg yoy 1 7,11% Beras. Inflasi IHK Provinsi Sulawesi Utara mtm -1,52% yoy 0,35% ytd 0,35% avg yoy 1 7,11% Inflasi Komoditas Utama Beras Minyak Goreng Daging Ayam Ras Cabai Rawit Bawang Merah Tomat Sayur Cakalang Inflasi Sulawesi

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2016

PERTUMBUHAN EKONOMI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2016 BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 63/11/34/Th.XVIII, 7 November PERTUMBUHAN EKONOMI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN III TAHUN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN III TUMBUH SEBESAR 4,68 PERSEN, LEBIH LAMBAT

Lebih terperinci

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Asesmen Ekonomi Pemulihan ekonomi Kepulauan Riau di kuartal akhir 2009 bergerak semakin intens dan diperkirakan tumbuh 2,47% (yoy). Angka pertumbuhan berakselerasi

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG TRIWULAN III TAHUN 2015

PERTUMBUHAN EKONOMI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG TRIWULAN III TAHUN 2015 No. 76/11/19/Th.IX, November 01 PERTUMBUHAN EKONOMI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG TRIWULAN III TAHUN 01 EKONOMI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG TRIWULAN III-01 TUMBUH,96 PERSEN MELAMBAT DIBANDING TRIWULAN II-01

Lebih terperinci

November L a p o r a n N u s a n t a r a 1 VOLUME 9 NOMOR 4

November L a p o r a n N u s a n t a r a 1 VOLUME 9 NOMOR 4 November 214 L a p o r a n N u s a n t a r a 1 VOLUME 9 NOMOR 4 Halaman ini sengaja dikosongkan L a p o r a n N u s a n t a r a Daftar Isi 3 Kata Pengantar 5 Bagian I Ringkasan Perkembangan dan Prospek

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH SEMESTER I

PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH SEMESTER I BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH No. 37/08/Th.XX, 7 Agustus 2017 PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH SEMESTER I - 2017 EKONOMI ACEH SEMESTER I-2017 DENGAN MIGAS NAIK 3,67 PERSEN, TANPA MIGAS TUMBUH 3,54 PERSEN

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN II-2016 EKONOMI PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN II-2016 TUMBUH 5,21 PERSEN MENGUAT DIBANDINGKAN TRIWULAN II-2015

PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN II-2016 EKONOMI PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN II-2016 TUMBUH 5,21 PERSEN MENGUAT DIBANDINGKAN TRIWULAN II-2015 BPS PROVINSI LAMPUNG No. 09/08/Th.XVII, 5 Agustus 2016 PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN II-2016 EKONOMI PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN II-2016 TUMBUH 5,21 PERSEN MENGUAT DIBANDINGKAN TRIWULAN II-2015 Perekonomian

Lebih terperinci

Inflasi IHK Provinsi Sulawesi Utara. Inflasi Komoditas Utama. Periode. mtm 2,86% yoy 3,67% ytd 1,90% avg yoy 1 6,51% Beras.

Inflasi IHK Provinsi Sulawesi Utara. Inflasi Komoditas Utama. Periode. mtm 2,86% yoy 3,67% ytd 1,90% avg yoy 1 6,51% Beras. Inflasi IHK Provinsi Sulawesi Utara mtm 2,86% yoy 3,67% ytd 1,90% avg yoy 1 6,51% Inflasi Komoditas Utama Beras Minyak Goreng Daging Ayam Ras Cabai Rawit Bawang Merah Tomat Sayur Cakalang Inflasi Sulawesi

Lebih terperinci

Publikasi ini beserta publikasi Bank Indonesia yang lain dapat diakses secara online pada:

Publikasi ini beserta publikasi Bank Indonesia yang lain dapat diakses secara online pada: Februari 2018 Publikasi ini beserta publikasi Bank Indonesia yang lain dapat diakses secara online pada: http://www.bi.go.id/id/publikasi/kajian-ekonomi-regional/ Salinan publikasi ini juga dapat diperoleh

Lebih terperinci

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan II-2013

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan II-2013 Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan II-2013 Asesmen Ekonomi Perekonomian Kepulauan Riau (Kepri) pada triwulan II-2013 mengalami pelemahan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Pada

Lebih terperinci

Halaman ini sengaja dikosongkan.

Halaman ini sengaja dikosongkan. 2 Halaman ini sengaja dikosongkan. KATA PENGANTAR Puji serta syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat dan ridha- IV Barat terkini yang berisi mengenai pertumbuhan ekonomi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pencerminan tingkat inflasi merupakan persentasi kecepatan naiknya harga-harga

BAB I PENDAHULUAN. Pencerminan tingkat inflasi merupakan persentasi kecepatan naiknya harga-harga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian suatu negara dapat ditinjau dari variabelvariabel makroekonomi yang mampu melihat perekonomian dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Variabelvariabel

Lebih terperinci

Ringsek KER Zona Sumbagteng Tw.I-2009 Ekonomi Zona Sumbagteng Melambat Seiring Dengan Melambatnya Permintaan Domestik

Ringsek KER Zona Sumbagteng Tw.I-2009 Ekonomi Zona Sumbagteng Melambat Seiring Dengan Melambatnya Permintaan Domestik B O K S Ringsek KER Zona Sumbagteng Tw.I-29 Ekonomi Zona Sumbagteng Melambat Seiring Dengan Melambatnya Permintaan Domestik PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO REGIONAL Pertumbuhan ekonomi Zona Sumbagteng terus

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TAHUN 2016

PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TAHUN 2016 BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No.11/02/34/Th.XIX, 6 Februari 2017 PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TAHUN 2016 EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN 2016 TUMBUH 5,05 PERSEN LEBIH TINGGI DIBANDING TAHUN

Lebih terperinci

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA TRIWULAN II Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Gorontalo

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA TRIWULAN II Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Gorontalo BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA TRIWULAN II 2013 Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Gorontalo Visi Bank Indonesia : Menjadi lembaga Bank Sentral yang dapat dipercaya secara nasional maupun internasional

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN I-2016

PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN I-2016 BPS PROVINSI LAMPUNG No. 09/05/18/Th.XVII, 4 Mei 2016 PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN I-2016 EKONOMI LAMPUNG TUMBUH 5,05 PERSEN MENGUAT DIBANDINGKAN TRIWULAN I-2015 Perekonomian Lampung triwulan I-2016

Lebih terperinci

KONSULTASI PUBLIK RKPD PROVINSI KALTIM 2018

KONSULTASI PUBLIK RKPD PROVINSI KALTIM 2018 KONSULTASI PUBLIK RKPD PROVINSI KALTIM 218 Peran Dunia Usaha Dalam Menggerakan Ekonomi Rakyat Samarinda, 14 Maret 217 STRUKTUR EKONOMI KALTIM Seiring dengan booming harga komoditas yang terjadi pada tahun

Lebih terperinci

4. Outlook Perekonomian

4. Outlook Perekonomian Laporan Kebijakan Moneter - Triwulan I-2008 4. Outlook Perekonomian Di tengah gejolak yang mewarnai perekonomian global, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2008 diprakirakan mencapai 6,2% atau melambat

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN II- 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN II- 2014 No. 048/08/63/Th XVIII, 5Agustus PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN II- Ekonomi Kalimantan Selatan pada triwulan II- tumbuh sebesar 12,95% dibanding triwulan sebelumnya (q to q) dan apabila

Lebih terperinci

BAB 5 : SISTEM PEMBAYARAN

BAB 5 : SISTEM PEMBAYARAN BAB 5 SISTEM PEMBAYARAN BAB 5 : SISTEM PEMBAYARAN Transaksi sistem pembayaran tunai di Gorontalo pada triwulan I-2011 diwarnai oleh net inflow dan peningkatan persediaan uang layak edar. Sementara itu,

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH 2016

PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH 2016 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH No. 09/02/Th.XX, 6 Februari 2017 PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH EKONOMI ACEH SELAMA TAHUN DENGAN MIGAS TUMBUH 3,31 PERSEN, TANPA MIGAS TUMBUH 4,31 PERSEN. Perekonomian Aceh

Lebih terperinci

BAB 1 : PERKEMBANGAN MAKRO REGIONAL

BAB 1 : PERKEMBANGAN MAKRO REGIONAL BAB 1 : PERKEMBANGAN MAKRO REGIONAL Tren melambatnya perekonomian regional masih terus berlangsung hingga triwulan III-2010. Ekonomi triwulan III-2010 tumbuh 5,71% (y.o.y) lebih rendah dibandingkan triwulan

Lebih terperinci

Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Sulawesi Barat

Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Sulawesi Barat Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Sulawesi Barat Mei - 2016 Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Barat Publikasi ini beserta publikasi Bank Indonesia yang lain dapat diakses secara

Lebih terperinci

ANALISIS Perkembangan Indikator Ekonomi Ma kro Semester I 2007 Dan Prognosisi Semester II 2007

ANALISIS Perkembangan Indikator Ekonomi Ma kro Semester I 2007 Dan Prognosisi Semester II 2007 ANALISIS Perkembangan Indikator Ekonomi Makro Semester I 2007 Dan Prognosisi Semester II 2007 Nomor. 02/ A/B.AN/VII/2007 Perkembangan Ekonomi Tahun 2007 Pada APBN 2007 Pemerintah telah menyampaikan indikator-indikator

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN BONGKAR BARANG

PERKEMBANGAN BONGKAR BARANG TON PERSEN BAB 1 160,000 140,000 120,000 100,000 80,000 60,000 40,000 20,000 - PERKEMBANGAN BONGKAR BARANG Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 2009 2010 2011 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00-10.00-20.00-30.00 VOLUME

Lebih terperinci

Publikasi ini dapat diakses secara online pada:

Publikasi ini dapat diakses secara online pada: A FEBRUARI 218 Publikasi ini dapat diakses secara online pada: www.bi.go.id/web/id/publikasi Salinan publikasi dalam bentuk hardcopy dapat diperoleh di: Unit Advisory Ekonomi dan Keuangan Kantor Perwakilan

Lebih terperinci

Publikasi ini beserta publikasi Bank Indonesia yang lain dapat diakses secara online pada:

Publikasi ini beserta publikasi Bank Indonesia yang lain dapat diakses secara online pada: November 2017 Publikasi ini beserta publikasi Bank Indonesia yang lain dapat diakses secara online pada: http://www.bi.go.id/id/publikasi/kajian-ekonomi-regional/ Salinan publikasi ini juga dapat diperoleh

Lebih terperinci

ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III

ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran,Triwulan III - 2005 135 ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III - 2005 Tim Penulis

Lebih terperinci

Agustus L a p o r a n N u s a n t a r a 1 VOLUME 9 NOMOR 3

Agustus L a p o r a n N u s a n t a r a 1 VOLUME 9 NOMOR 3 Agustus 214 L a p o r a n N u s a n t a r a 1 VOLUME 9 NOMOR 3 Halaman ini sengaja dikosongkan L a p o r a n N u s a n t a r a Daftar Isi 3 Kata Pengantar 5 Bagian I Ringkasan Perkembangan dan Prospek

Lebih terperinci

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Gorontalo

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Gorontalo BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA Kajian Ekonomi Regional Provinsi Gorontalo Triwulan III 2012 Visi Bank Indonesia : Menjadi lembaga Bank Sentral yang dapat dipercaya secara nasional maupun internasional

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG TRIWULAN III TAHUN 2016

PERTUMBUHAN EKONOMI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG TRIWULAN III TAHUN 2016 No. 74/11/19/Th. X, 7 November PERTUMBUHAN EKONOMI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG TRIWULAN III TAHUN EKONOMI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG TRIWULAN III- TUMBUH 3,83 PERSEN MENINGKAT DIBANDING PERTUMBUHAN TRIWULAN

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2015

PERTUMBUHAN EKONOMI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2015 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NTB No. 12/02/52/Th.X, 5 Februari 2016 PERTUMBUHAN EKONOMI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2015 EKONOMI NUSA TENGGARA BARAT PADA TRIWULAN IV 2015 TUMBUH 11,98 PERSEN Sampai dengan

Lebih terperinci

Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional LAPORAN NUSANTARA

Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional LAPORAN NUSANTARA Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional DAFTAR ISI Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional KATA

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI KALIMANTAN TIMUR DAN KALIMANTAN UTARA MEI 217 KANTOR PERWAKILAN BANK INDONESIA Provinsi Kalimantan Timur Publikasi ini dapat diakses secara online pada: www.bi.go.id/web/id/publikasi

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI RIAU TAHUN 2015

PERTUMBUHAN EKONOMI RIAU TAHUN 2015 No. 10/02/14/Th. XVII, 5 Februari 2016 PERTUMBUHAN EKONOMI RIAU TAHUN EKONOMI RIAU TAHUN TUMBUH 0,22 PERSEN MELAMBAT SEJAK LIMA TAHUN TERAKHIR Perekonomian Riau tahun yang diukur berdasarkan Produk Domestik

Lebih terperinci

SAMBUTAN GUBERNUR BANK INDONESIA SOSIALISASI PROGRAM PENGENDALIAN INFLASI BI Jakarta, 25 April 2016

SAMBUTAN GUBERNUR BANK INDONESIA SOSIALISASI PROGRAM PENGENDALIAN INFLASI BI Jakarta, 25 April 2016 SAMBUTAN GUBERNUR BANK INDONESIA SOSIALISASI PROGRAM PENGENDALIAN INFLASI BI Jakarta, 25 April 2016 Yang kami hormati, Gubernur Jawa Tengah, Bapak H. Ganjar Pranowo, Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia,

Lebih terperinci

PERSIAPAN MENJELANG BULAN RAMADHAN & HARI RAYA IDUL FITRI

PERSIAPAN MENJELANG BULAN RAMADHAN & HARI RAYA IDUL FITRI HIGH LEVEL MEETING PERSIAPAN MENJELANG BULAN RAMADHAN & HARI RAYA IDUL FITRI Denpasar, 18 Mei 2017 PERKEMBANGAN INFLASI NASIONAL 2 PERKEMBANGAN INFLASI NASIONAL 3 9.00 8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 Inflasi

Lebih terperinci

Laporan Pengendalian Inflasi Daerah

Laporan Pengendalian Inflasi Daerah Gubernur Bank Indonesia Laporan Pengendalian Inflasi Daerah Rakornas VI TPID 2015, Jakarta 27 Mei 2015 Yth. Bapak Presiden Republik Indonesia Yth. Para Menteri Kabinet Kerja Yth. Para Gubernur Provinsi

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2013

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2013 BADAN PUSAT STATISTIK No. 34/05/Th. XVI, 6 Mei 2013 INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2013 KONDISI BISNIS DAN EKONOMI KONSUMEN MENINGKAT A. INDEKS TENDENSI BISNIS A. Penjelasan

Lebih terperinci

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Gorontalo

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Gorontalo BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA Kajian Ekonomi Regional Provinsi Gorontalo Triwulan I 2013 Visi Bank Indonesia : Menjadi lembaga Bank Sentral yang dapat dipercaya secara nasional maupun internasional melalui

Lebih terperinci

PEREKONOMIAN INDONESIA TAHUN 2007: PROSPEK DAN KEBIJAKAN

PEREKONOMIAN INDONESIA TAHUN 2007: PROSPEK DAN KEBIJAKAN PEREKONOMIAN INDONESIA TAHUN 2007: PROSPEK DAN KEBIJAKAN KANTOR MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL (BAPPENAS) DIREKTORAT PERENCANAAN MAKRO FEBRUARI

Lebih terperinci