Daftar isi Kata Pengantar Bagian I 1. Bagian II 9. Bagian III 27. Bagian IV 51. Bagian V 71. Lampiran 87

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Daftar isi Kata Pengantar Bagian I 1. Bagian II 9. Bagian III 27. Bagian IV 51. Bagian V 71. Lampiran 87"

Transkripsi

1

2

3

4 IV

5 Daftar isi v Kata Pengantar vii Bagian I 1 Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek Ekonomi Daerah Bagian II 9 Perekonomian Sumatera Boks 1 22 Peran Pembangunan Infrastruktur Pertanian Terhadap Perekonomian Sumatera Bagian III 27 Perekonomian Jawa Boks 2 46 Peningkatan Produksi Pangan di Jawa Melalui Pencegahan Alih Fungsi Lahan dan Perbaikan Pascapanen Bagian IV 51 Perekonomian Kawasan Timur Indonesia Boks 3 67 Perbaikan Jaringan Distribusi Untuk Ketahanan Pangan Kawasan Timur Indonesia Bagian V 71 Isu Strategis : Mendorong Reformasi Pangan dalam Rangka Menjamin Ketersediaan Pangan dan Keterjangkauan Harga Bagi Masyarakat, serta Mengurangi Kesenjangan Kesejahteraan Lampiran 87 V

6

7 A sesmen terkait dinamika perekonomian regional dan berbagai isu terkini dalam perspektif kewilayahan menjadi salah satu pertimbangan dalam proses perumusan kebijakan Bank Indonesia yang melengkapi asesmen menyeluruh terkait perekonomian global dan nasional. Secara periodik, Dewan Gubernur dengan Kepala Departemen Regional yang mewakili 3 (tiga) wilayah di seluruh Indonesia 1 telah melakukan pembahasan secara komprehensif mengenai perkembangan perekonomian terkini dan berbagai isu strategis yang mengemuka di daerah. Pembahasan tersebut memberikan pemahaman lebih jelas mengenai tantangan dan permasalahan terkait kondisi makroekonomi disertai berbagai aspek risiko spasial yang berkembang dan menjadi bagian penting dalam proses perumusan kebijakan. Perekonomian nasional pada triwulan IV 2016 masih menunjukkan kinerja yang positif, yaitu tumbuh 4,9%, sedikit lebih rendah dibandingkan dengan triwulan III 2016 yang tumbuh 5,0%. Perlambatan tersebut dipengaruhi oleh melambatnya perekonomian Jawa, sementara peningkatan pertumbuhan terjadi di Sumatera dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang mampu menahan perlambatan ekonomi yang lebih dalam. Pertumbuhan Jawa ditopang oleh perbaikan konsumsi rumah tangga, investasi, serta ekspor ditengah melemahnya konsumsi pemerintah. Sementara, pertumbuhan di Sumatera didorong oleh peningkatan ekspor dan konsumsi pemerintah. Di KTI, pertumbuhan didorong tingginya akselerasi kinerja ekspor luar negeri seiring menguatnya harga berbagai komoditas utama. Pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi terjadi di wilayah KTI yaitu Provinsi Papua, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan. Sementara, sejumlah daerah mencatatkan pertumbuhan yang terbatas antara lain Provinsi Riau dan Kalimantan Barat, bahkan Provinsi Kalimantan Timur mencatat pertumbuhan negatif. Secara keseluruhan 2016, perekonomian tumbuh 5,02%, lebih tinggi dibanding tahun Kondisi ini didorong oleh akselerasi Jawa dan Sumatera; sementara KTI masih tumbuh melambat. Pertumbuhan ekonomi didorong oleh perbaikan konsumsi rumah tangga dan ekspor, ditengah terbatasnya konsumsi pemerintah dan investasi. Indikator ekonomi terkini di berbagai daerah mengindikasikan bahwa secara agregat, perekonomian pada triwulan I 2017 akan tumbuh lebih baik terutama di Jawa dan Sumatera. Pertumbuhan ditopang oleh meningkatnya konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah serta ekspor luar negeri. Lebih tingginya pertumbuhan konsumsi rumah tangga didukung masih kuatnya optimisme konsumen. Sementara itu, konsumsi pemerintah meningkat seiring komitmen percepatan pengesahan dan realisasi APBD. Di sisi eksternal, kinerja ekspor diprakirakan meningkat sejalan dengan membaiknya harga komoditas dan upaya peningkatan ekspor melalui diversifikasi negara tujuan ekspor. Perkembangan inflasi di berbagai daerah pada 2016 terjaga pada level yang rendah yaitu berada dalam sasaran inflasi nasional, sebesar 3,02% (yoy). Realisasi inflasi pada periode ini ditopang oleh minimalnya kebijakan penyesuaian tarif oleh pemerintah ditengah stabilnya inflasi inti dan dukungan pasokan pangan yang mencukupi sehingga mampu menekan inflasi volatile foods. Realisasi inflasi terendah terjadi di Jawa (2,59%), diikuti KTI (2,90%), dan Sumatera (4,53%). Inflasi Sumatera yang lebih tinggi dibandingkan wilayah lainnya 1 Sesuai SE No.18/86/Intern tentang Departemen Regional I, II, dan III, tanggal 30 September 2016, maka terhitung sejak terbitan kali ini, bahasan ekonomi dan keuangan daerah dibagi menjadi 3 (tiga) wilayah yaitu Sumatera, Jawa, dan Kawasan Timur Indonesia (mencakup Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur).

8 disebabkan oleh peningkatan harga komoditas cabai merah akibat gangguan produksi menjelang akhir tahun. Memasuki awal triwulan I 2017, tekanan inflasi masih terjaga di berbagai daerah terutama di Jawa dan KTI. Sementara inflasi di Sumatera tercatat relatif tinggi terutama di Bangka Belitung (7,95%) dan Sumatera Utara (5,89%). Tekanan inflasi di awal triwulan I 2017 terutama didorong oleh inflasi administered price dan volatile foods terutama cabai rawit. Perekonomian pada triwulan II 2017 diperkirakan tumbuh meningkat di seluruh wilayah ditopang peningkatan konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, investasi, serta ekspor. Secara keseluruhan tahun 2017, perekonomian daerah secara agregat diperkirakan tumbuh di kisaran 5,0%-5,4%, lebih tinggi dibanding Peningkatan optimisme konsumen, berlanjutnya pembangunan infrastruktur pemerintah serta perbaikan investasi swasta merupakan sumber pertumbuhan ekonomi di Pada edisi kali ini, Laporan Nusantara mengangkat isu khusus mengenai Mendorong Reformasi Pangan dalam rangka Menjamin Ketersediaan Pangan dan Keterjangkauan Harga bagi Masyarakat, serta Mengurangi Kesenjangan Kesejahteraan. Isu tersebut penting diangkat mengingat tantangan peningkatan populasi yang disertai dengan ancaman perubahan iklim di tengah belum efisiennya pengelolaan pangan nasional dan distribusi pangan yang dilakukan dapat menimbulkan potensi krisis bagi pemenuhan pangan nasional. Untuk itu kebijakan reformasi pangan perlu dilakukan secara terintegrasi baik dari sisi produksi dan pengelolaan pasca panen hingga penataan rantai tata niaga dan pola distribusi untuk menjaga ketersediaan pasokan pangan di berbagai wilayah, dan memastikan akses pangan yang terjangkau dan berkelanjutan bagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Penyusunan buku Laporan Nusantara ini dilakukan secara bersama antara Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter (DKEM) serta Departemen Regional I, II, dan III yang masing-masing membawahi regional Sumatera, Jawa, dan Kawasan Timur Indonesia. Akhir kata, kami berharap buku Laporan Nusantara ini dapat bermanfaat dan menjadi acuan bagi para pemangku kepentingan dan pemerhati ekonomi daerah, serta menjadi salah satu kontribusi Bank Indonesia dalam pembangunan ekonomi daerah. Jakarta, 23 Februari 2017 Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Juda Agung Direktur Eksekutif

9 Perkembangan Terkini Perekonomian Daerah Perekonomian nasional pada triwulan IV 2016 tumbuh 4,94%, lebih rendah dibanding triwulan sebelumnya yang tumbuh 5,01%. Dari sisi kewilayahan, pertumbuhan tersebut dipengaruhi oleh melambatnya perekonomian Jawa, yang memiliki pangsa ekonomi sebesar 58%. Meski demikian, pertumbuhan Sumatera dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang lebih tinggi dari triwulan sebelumnya mampu menahan perlambatan ekonomi nasional lebih dalam. Terdapat 11 provinsi yang mencatat perlambatan pertumbuhan ekonomi di triwulan IV 2016, yaitu Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, dan Sulawesi Tengah. Sementara, provinsi Kalimantan Timur masih menjadi satu-satunya yang tumbuh negatif sejak Perekonomian Jawa pada triwulan IV 2016 tumbuh cukup kuat 5,45%; meskipun melambat dari triwulan sebelumnya, didorong konsumsi rumah tangga dan perdagangan. Wilayah Jawa, sebagai penopang utama ekonomi nasional, masih mencatat pertumbuhan ekonomi yang cukup kuat, kedua setelah KTI, yang didorong baik dari sisi permintaan maupun pengeluaran (lapangan usaha). Sumber pertumbuhan ekonomi dari sisi permintaan adalah perbaikan konsumsi rumah tangga, investasi, serta ekspor. Faktor musiman Natal dan Tahun Baru berhasil meningkatkan permintaan konsumsi rumah tangga. Investasi tumbuh meningkat ditopang baik oleh investasi bangunan maupun nonbangunan. Sementara, perbaikan ekspor didorong terutama oleh sektor makananminuman, kimia dan otomotif. Namun, konsumsi pemerintah yang tumbuh negatif membuat ekonomi Jawa tumbuh lebih rendah dibanding triwulan III Langkah konsolidasi fiskal oleh Pemerintah, seiring terbatasnya pencapaian pajak, mendorong Pemerintah untuk melakukan sejumlah efisiensi pengeluaran seperti pengadaan barang dan jasa serta perjalanan dinas, termasuk pemotongan dan penundaan transfer dana ke berbagai daerah 2. Namun, dampak dari penundaan transfer dana ke daerah tersebut terhadap PDRB tampak relatif terbatas. Sementara itu, dari sisi pengeluaran atau lapangan usaha utama, perlambatan ekonomi Jawa dipengaruhi oleh melambatnya kinerja jasa keuangan dan asuransi. Hal ini tercermin dari rendahnya Nilai Tambah Bruto bank umum pada triwulan laporan. Meski demikian, meningkatnya kinerja perdagangan mampu menahan perlambatan yang lebih dalam. Perekonomian Sumatera pada triwulan IV 2016 tumbuh 4,49%, lebih tinggi dari triwulan sebelumnya, didukung oleh ekspor serta industri pengolahan. Wilayah Sumatera, yang memiliki pangsa ekonomi kedua terbesar terhadap nasional, mencatat pertumbuhan yang lebih tinggi dari triwulan III 2016 yang tumbuh 4,03%. Ekspor wilayah, baik ke luar negeri maupun antar daerah, tercatat meningkat. Sejumlah perusahaan di Sumatera melaporkan telah terjadi kenaikan volume kontrak penjualan biodiesel yang tinggi 3. Selain itu, ekspor luar negeri meningkat didukung perbaikan harga komoditas utama seperti CPO, karet, batubara, dan kopi. 2 PMK No.125/PMK.07/2016 tentang Penundaan Penyaluran Sebagian Dana Alokasi Umum Tahun Anggaran 2016 memangkas Rp65 triliun anggaran K/L dan Rp68,8 triliun DAU ke daerah. 3 Permen ESDM No.26/2016 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (BBN) Jenis Biodiesel dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit; sesuai penahapan kewajiban minimal pemanfaatan BBN. 1

10 Adapun konsumsi masih relatif terjaga yang didorong membaiknya konsumsi pemerintah seiring dengan realisasi belanja akhir tahun. Sementara konsumsi rumah tangga tetap tumbuh cukup baik meski melambat dibanding triwulan sebelumnya. Perlambatan disebabkan oleh menurunnya konsumsi makanan-minuman seiring tingginya tekanan harga pangan pada paruh kedua Sejalan dengan itu, investasi di Sumatera juga tumbuh melambat terutama pada investasi nonbangunan yang terkait dampak dari kebijakan penundaan DAU dan pemotongan DAK. Peningkatan ekspor dan masih tumbuhnya konsumsi menopang kinerja lapangan usaha industri pengolahan dan perdagangan. Kedua lapangan usaha tersebut menjadi pendorong utama akselerasi Sumatera di triwulan laporan. Perekonomian Kawasan Timur Indonesia (KTI) pada triwulan IV 2016 tumbuh 5,54% didorong oleh ekspor luar negeri, pertanian dan pertambangan. Wilayah KTI tumbuh lebih tinggi dibanding triwulan III 2016 yang tumbuh 5,39%. Membaiknya pertumbuhan tersebut terutama disebabkan oleh tingginya akselerasi kinerja ekspor luar negeri. Menguatnya harga berbagai komoditas utama seperti batubara, nikel, tembaga, emas, dan CPO memberi sumbangan signifikan pada kinerja ekspor luar negeri di semua wilayah di KTI. Berdasarkan lapangan usaha utama, pertumbuhan KTI ditopang oleh meningkatnya kinerja pertanian, khususnya tabama, dan kinerja pertambangan seiring perbaikan harga ekspor. Sementara lapangan usaha utama lainnya, seperti industri pengolahan dan konstruksi masih tumbuh melambat. Hal ini memberikan tekanan pendapatan bagi masyarakat sehingga mempengaruhi perlambatan konsumsi rumah tangga di semua wilayah. Sejalan dengan itu, konsumsi pemerintah dan investasi, khususnya di Bali Nusra dan Sulampua tumbuh lebih rendah akibat terhambatnya pembangunan proyek infrastruktur pemerintah dan dampak dari konsolidasi fiskal daerah oleh Pemerintah. Gambar I.1. Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah Triwulan IV 2016 (% yoy) Perekonomian nasional pada tahun 2016, berhasil tumbuh 5,02%, lebih tinggi dibanding tahun 2015 yang tumbuh 4,88%. Lebih tingginya pertumbuhan ekonomi 2016 tersebut didorong oleh akselerasi Jawa dan Sumatera; sementara KTI masih tumbuh melambat. Perekonomian Jawa tumbuh dari 5,47% menjadi 5,59%; sementara Sumatera tumbuh dari 3,53% menjadi 4,29%. Pertumbuhan ekonomi Jawa dan Sumatera terutama karena dukungan konsumsi rumah tangga dan ekspor. Dari sisi sektoral, perbaikan ekonomi di Jawa didorong oleh lapangan usaha perdagangan dan jasa-jasa. Sementara, di Sumatera didukung oleh akselerasi 2

11 perdagangan dan konstruksi, serta kontraksi yang lebih rendah di pertambangan. Di sisi lain, menurunnya kinerja konsumsi pemerintah dan investasi, menahan pertumbuhan lebih lanjut di seluruh wilayah. Di KTI, perlambatan konsumsi pemerintah dan investasi membuat KTI tumbuh lebih rendah dibanding tahun Perlambatan ekonomi KTI terutama terjadi di wilayah Bali Nusra dan Sulampua, seiring penurunan kinerja pada lapangan usaha konstruksi, pertambangan, dan industri pengolahan. Meski demikian, ekspor luar negeri KTI yang meningkat signifikan dibanding tahun 2015, khususnya terkait ekspor batubara Kalimantan, mampu menahan perlambatan ekonomi menjadi lebih dalam. PDRB Pertumbuhan Ekonomi Konsumsi RT Konsumsi Pemerintah Investasi (PMTB) AGREGASI Tabel I.1. Tendensi Arah Perekonomian Daerah Triwulan I 2017* SUMATERA JAWA KAWASAN TIMUR INDONESIA Tendensi Asesmen Tendensi Asesmen Tendensi Asesmen Didorong konsumsi dan ekspor serta akselerasi pertanian & perkebunan. Perbaikan daya beli seiring peningkatan penghasilan. Percepatan pengesahan APBD & realisasi belanja di awal tahun, peningkatan monitoring anggaran secara berkala. Siklus investasi di awal tahun masih dalam proses pengadaan/penyiapan lahan dan pengadaan tender. Didorong konsumsi pemerintah, serta akselerasi pertanian, industri pengolahan, dan jasa keuangan. Tertahan kenaikan UMK yang tidak setinggi tahun lalu di tengah kenaikan tarif listrik, BBM dan biaya pengurusan surat kendaraan. Ditopang oleh pelaksanaan Pilkada Serentak, pencairan dana Bansos yang dimajukan menjadi Februari 2017 serta kenaikan tunjangan PNS. Masih terbatasnya investasi swasta dan proyek pembangunan pemerintah masih dalam tahap pengadaan/perencanaan. Tertahan melambatnya ekspor; serta penurunan kinerja pertanian & pertambangan. Tren peak season awal tahun. Kenaikan UMP dan terkendalinya inflasi menjaga daya beli masyarakat. Komitmen percepatan lelang proyek milik pemerintah. Upaya peningkatan PAD di berbagai daerah. Persiapan dan penyelenggaraan Pilkada. Komitmen percepatan realisasi proyek konstruksi pemda. Investasi sektor utama diperkirakan meningkat dalam rangka peningkatan kapasitas produksi. Ekspor LN Impor LN Harga komoditas & permintaan global membaik. Dampak naiknya ekspor dan permintaan domestik. Kondisi global membaik, meski negara mitra dagang masih terbatas mempengaruhi lemahnya permintaan ekspor. Penurunan impor barang konsumsi & barang modal seiring dengan masih rendahnya konsumsi & investasi pada awal tahun. * Tendensi arah kondisi ekonomi secara tahunan (year-on-year) Keterangan : hijau (berkontribusi positif terhadap PDRB), merah (berkontribusi negatif terhadap PDRB) Ekspor perikanan di Bali dan Maluku melambat. Negosiasi ekspor mineral membuat target produksi Papua dan NTB turun. Impor stok bahan baku smelter di Sulawesi dan Kalimantan. Konsumsi masyarakat yang masih kuat. Perekonomian pada triwulan I 2017 terindikasi membaik terutama di Jawa dan Sumatera. Perekonomian secara agregat akan didorong oleh meningkatnya konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah serta ekspor luar negeri (Tabel I.1). Konsumsi rumah tangga diprakirakan membaik meski terbatas akibat tekanan daya beli seiring kebijakan penyesuaian tarif administered prices. Konsumsi pemerintah diprakirakan meningkat seiring komitmen percepatan pengesahan dan realisasi APBD, serta pencairan dana Bantuan Sosial. Selain itu, adanya Pilkada Serentak pada pertengahan Februari 2017 juga mendorong naiknya konsumsi pemerintah di triwulan I Kinerja ekspor diprakirakan meningkat sejalan dengan membaiknya harga komoditas. Namun, kondisi global yang masih diliputi ketidakpastian berpotensi menekan permintaan. Perekonomian dunia sepanjang tahun 2017 diprakirakan tumbuh meningkat meskipun pertumbuhan ekonomi beberapa negara mitra dagang, khususnya di Eropa dan Asia, masih terbatas 4. Di sisi lain, kinerja investasi diprakirakan melambat, terutama di Jawa dan Sumatera, seiring siklus investasi pemerintah yang masih dalam tahap perencanaan dan pengadaan. Sementara, investasi swasta juga diperkirakan masih terbatas. Berdasarkan lapangan usaha utama, perekonomian Jawa ditopang akselerasi jasa keuangan dan pertanian. Perbaikan jasa 4 Proyeksi World Economic Outlook, World Bank, Consensus Forecasting, dan Bank Indonesia 3

12 keuangan di Jawa terindikasi dari meningkatnya permintaan kredit seiring pelonggaran stance kebijakan moneter. Sementara, perbaikan pertanian Jawa didorong oleh panen raya pada triwulan I 2017 yang didukung rendahnya risiko ketidakstabilan cuaca. Membaiknya lapangan usaha pertanian ini juga terjadi di Sumatera, dan menjadi penopang akselerasi perekonomian wilayah ini. Sementara, perlambatan di KTI terutama terjadi di wilayah Bali Nusra dan Sulampua seiring masih terbatasnya kinerja pertambangan, pertanian, dan industri pengolahan. Perlambatan kinerja pertambangan KTI terutama dipengaruhi oleh produksi tembaga yang tidak optimal karena telah berakhirnya izin ekspor yang dimiliki oleh produsen di Papua dan NTB. Stabilitas Keuangan Daerah Kinerja korporasi di daerah, seiring dengan pertumbuhan sektor ekonomi di berbagai wilayah, telah meningkat yang tercermin dari kinerja kredit sektor korporasi 5 pada triwulan IV Penyaluran kredit ke sektor usaha pada triwulan laporan berhasil tumbuh 7,50% (yoy), lebih tinggi dibanding triwulan lalu 5,75% (yoy). Pertumbuhan kredit di berbagai daerah ditopang oleh perbaikan kredit ke lapangan usaha industri pengolahan, terutama di wilayah Jawa & Sumatera. Kredit pertambangan di Sumatera dan KTI sudah menunjukkan pola recovery seiring dengan membaiknya harga komoditas. Namun, perlambatan kredit PHR dan Pertanian di KTI dan Sumatera menyebabkan kredit korporasi di kedua wilayah ini tumbuh lebih rendah dibanding triwulan III Pertumbuhan kredit korporasi didukung tingkat nonperforming loan (NPL) yang cenderung menurun di semua wilayah. NPL lapangan usaha utama masih di bawah 5%, kecuali Pertambangan di Sumatera dan KTI. Kinerja keuangan sektor rumah tangga juga tumbuh meningkat dibanding triwulan lalu. Hal ini tercermin dari penyaluran kredit rumah 5 Kredit korporasi disini merupakan kredit yang disalurkan kepada lapangan usaha tangga yang tumbuh 7,23%, lebih tinggi dibanding triwulan III 2016 yang tumbuh 5,11%. Peningkatan kredit rumah tangga tersebut terjadi di Sumatera dan KTI, terutama untuk kredit pemilikan rumah dan kredit multiguna. Peningkatan pertumbuhan kredit rumah tangga di semua wilayah tersebut terjadi seiring dengan semakin membaiknya NPL. Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah Aktivitas transaksi keuangan pada triwulan IV 2016 tumbuh cukup signifikan sejalan dengan pertumbuhan perekonomian, baik melalui RTGS maupun Kliring. Nilai transaksi keuangan melalui sistem Real Time Gross Settlement (RTGS) sepanjang triwulan IV 2016 tumbuh 11,45% (yoy) atau senilai Rp triliun, meningkat dibanding triwulan sebelumnya yang tumbuh negatif 3,91%. Demikian halnya dari sisi volume yang menunjukkan peningkatan transaksi pada sistem RTGS, yakni membaik dari negatif 51,54% menjadi negatif 24,19% atau meningkat sekitar 375 ribu transaksi. Perputaran kliring melalui Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) pada triwulan IV 2016 secara nominal terlihat semakin membaik. Meskipun masih tumbuh negatif 6,22% (yoy) atau senilai Rp962 triliun, namun nilai tersebut naik signifikan dibanding triwulan sebelumnya yang tumbuh negatif 25,36%. Secara volume, transaksi perputaran kliring juga membaik dari negatif 25,58% menjadi negatif 20,83% atau meningkat sekitar 11,3 juta transaksi. Secara tahunan, Peredaran uang kartal juga menunjukkan peningkatan sejalan dengan ekonomi yang tumbuh di daerah. Kondisi tersebut tercermin dari meningkatnya outflow uang kartal dari Bank Indonesia sepanjang triwulan IV 2016 yang mencapai pertumbuhan 0,12% (yoy), jauh lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh negatif 32,42% (yoy). Secara keseluruhan tahun 2016, transaksi ekonomi meningkat dibanding tahun lalu, baik melalui transaksi tunai maupun nontunai. 4

13 Peningkatan transaksi tunai tercermin dari outflow uang kartal dari Bank Indonesia sepanjang tahun 2016 yang mencapai Rp610,4 triliun; lebih tinggi dibanding tahun lalu yang sebesar Rpp566,3 triliun. Sementara transaksi nontunai tercermin dari perputaran kliring yang mencapai Rp3.695 triliun atau 113,8 juta transaksi; meningkat dibanding tahun lalu yang sebesar Rp3.241 triliun atau 113,5 juta transaksi. Gambar I.2. Peta Inflasi Daerah, Januari 2017 (yoy) Perkembangan Inflasi Inflasi 2016, secara agregat daerah, tercatat berada pada sasaran inflasi nasional 4 1%. Inflasi secara nasional tercatat sebesar 3,02% (yoy), jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata historisnya selama 5 tahun terakhir yang mencapai 5,64%. Realisasi inflasi terendah terjadi di Jawa (2,59%), diikuti KTI (2,90%), dan Sumatera (4,53%). Terjaganya inflasi 2016 dipengaruhi oleh (i) kebijakan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif listrik nonsubsidi untuk daya 900 V, (ii) apresiasi Rupiah yang menimalisasi dampak imported inflation, (iii) tertahannya konsumsi masyarakat di tengah kondisi ekonomi yang belum tumbuh optimal, serta (iv) terjaganya harga komoditas volatile foods; terutama beras, telur ayam, dan daging ayam ras. Meski demikian, inflasi Sumatera tercatat mendekati batas atas kisaran target akibat inflasi cabai merah di berbagai daerah di Sumatera pada paruh kedua Secara keseluruhan, terkendalinya inflasi di berbagai daerah tidak terlepas dari peran berbagai pihak. Bank Indonesia, sebagai otoritas moneter, konsisten dalam mengelola bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas nilai tukar, mengelola permintaan, serta mengarahkan ekspektasi inflasi inti. Selain itu, pembangunan infrastruktur oleh pemerintah juga turut mendorong kelancaran distribusi antar daerah. Berbagai kebijakan pemerintah yang dilakukan berhasil menjaga stabilitas harga volatile foods diantaranya melalui peningkatan produksi dan penguatan cadangan pangan nasional (terutama beras), pengendalian impor bahan makanan strategis, optimalisasi Tol laut dan Gerai Maritim, pemberantasan penimbunan komoditas, serta optimalisasi Bulog dalam menjaga pasokan selain beras. Disamping itu, koordinasi yang terus menguat pada Tim Pengendalian Inflasi (TPI) dan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID), serta berbagai kebijakan innovatifnya telah berhasil menjaga ketersediaan pasokan pangan, keterjangkauan harga, kelancaran distribusi, dan komunikasi yang intensif untuk mengelola ekspektasi inflasi masyarakat. Permasalahan informasi asimetris terkait data/informasi harga antara produsen, pedagang dan konsumen yang mendorong terjadinya ekspektasi inflasi juga akan dapat ditekan dengan telah tersedianya sistem Pusat Informasi Harga Pangan Strategis 5

14 (PIHPS) di masyarakat, yang dapat diakses baik melalui website maupun aplikasi mobile phone. Memasuki awal triwulan I 2017, tekanan inflasi masih terjaga di berbagai daerah di Jawa dan KTI. Berdasarkan rilis inflasi Januari 2017, tekanan inflasi tahunan (yoy) wilayah secara berurut dari yang terendah adalah Jawa (3,12%), KTI (3,42%), dan Sumatera (4,75%). Tingginya inflasi tahunan di Sumatera dibandingkan wilayah lain disumbang oleh sejumlah provinsi yang mencatatkan inflasi di atas rentang sasaran 4±1%, yaitu Bangka Belitung (7,95%), Sumatera Utara (5,89%), Sumatera Barat (5,39%), Bengkulu (5,33%), dan Riau (5,21%). Tekanan inflasi di awal triwulan I 2017 lebih tinggi dibandingkan akhir tahun 2016 terutama didorong inflasi administered price. Tekanan inflasi pada bulan Januari 2017 disumbang oleh peningkatan biaya perpanjangan STNK, tarif listrik, tarif pulsa ponsel, bensin, dan cabai rawit. Kenaikan biaya perpanjangan STNK 6 lebih dari 100% terjadi di semua daerah, dengan kenaikan tertinggi terjadi di Jawa. Adapun inflasi tarif listrik terjadi seiring penyesuaian tarif listrik untuk pelanggan daya 900 VA nonsubsidi. Selanjutnya, komoditas BBM juga mengalami kenaikan yaitu Pertamax, Pertalite, Pertamina Dex, dan Dexlite, masing-masing sebesar Rp300/liter seiring dengan peningkatan harga minyak dunia. Selain komoditas administered prices diatas, inflasi pada Januari 2017 juga disumbang oleh volatile foods, terutama cabai rawit. Komoditas ini selama empat bulan terakhir mengalami inflasi cukup tinggi. Anomali cuaca dan puncak hujan yang merata di Indonesia menyebabkan penurunan produksi cabai rawit seiring dengan (i) menurunnya ekspektasi hasil produksi yang mendorong sebagian petani menunda waktu tanam, (ii) terjadinya gangguan distribusi hasil panen, serta (iii) merebaknya berbagai Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yang 6 PP 60/2016 tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang menggantikan PP No. 50 Th 2010 dan berlaku sejak 6 Januari merusak tanaman seperti patek (Jawa Tengah & DIY) dan virus Gemini (Sumatera). Meski demikian, koreksi harga komoditas terutama cabai merah di berbagai daerah pada periode awal tahun 2017 mampu menahan peningkatan inflasi yang lebih tinggi. Prospek dan Tantangan Ekonomi Daerah Prospek Ekonomi Daerah Perekonomian daerah pada triwulan II 2017 diperkirakan tumbuh meningkat di seluruh wilayah. Secara agregat, peningkatan pertumbuhan tersebut ditopang perbaikan seluruh komponen PDRB, yaitu konsumsi rumah tangga dan pemerintah, investasi, serta ekspor. Secara sektoral, lapangan usaha utama di berbagai wilayah diprakirakan akan membaik. Untuk wilayah Sumatera, peningkatan ekonomi akan ditopang oleh akselerasi pertanian, industri pengolahan, perdagangan, dan konstruksi. Sementara, meningkatnya ekonomi wilayah Jawa didorong industri pengolahan, perdagangan, dan konstruksi. Adapun peningkatan perekonomian wilayah KTI akan ditopang oleh kinerja pertanian, pertambangan, industri pengolahan, dan perdagangan. Perekonomian daerah secara agregat pada tahun 2017 diperkirakan tumbuh di kisaran 5,0%-5,4%, lebih tinggi dibanding Perbaikan pertumbuhan ekonomi 2017 diperkirakan berlangsung di seluruh wilayah. Optimisme konsumen yang cukup kuat diperkirakan akan mampu menjadi fondasi pertumbuhan konsumsi rumah tangga serta perdagangan antar daerah. Selain itu, pembangunan infrastruktur pemerintah di berbagai daerah diprakirakan mampu mendorong peningkatan investasi fisik. Beberapa paket kebijakan pemerintah terkait deregulasi perijinan dan berbagai insentif investasi diharapkan mampu menarik investasi swasta yang lebih tinggi di sepanjang tahun Selain itu, perbaikan kondisi ekonomi dan capaian positif tax amnesty diharapkan mampu 6

15 mendukung kondisi fiskal pemerintah yang lebih baik dan perbaikan kinerja konsumsi pemerintah. Sementara itu, peningkatan ekspor di berbagai daerah juga ditopang oleh prakiraan membaiknya perekonomian dunia, volume perdagangan dunia, serta perbaikan harga komoditas seperti minyak, gas alam, CPO, karet, aluminium, timah, dan nikel. Inflasi pada 2017 diperkirakan masih berada dalam kisaran sasaran inflasi nasional 4±1%, namun lebih tinggi dari Hal tersebut didukung terkendalinya inflasi inti seiring stabilnya nilai tukar rupiah serta minimnya ancaman cuaca yang dapat mengganggu produksi tanaman pangan dan hortikultura. Namun, penyesuaian administered prices patut diwaspadai karena berpotensi memberikan tekanan inflasi Hingga akhir tahun 2017, penyesuaian TTL nonsubsidi 900 VA dan BBM nonsubsidi akan menjadi risiko inflasi kedepan seiring kenaikan harga minyak dunia. Kedepan, Pemerintah Daerah perlu memberi perhatian khusus yang berimbang baik pada pencapaian pertumbuhan ekonomi maupun pengendalian inflasi. Sesuai dengan arahan Presiden pada Rakornas TPID VII 2016, dalam konteks pengendalian inflasi kedepan, Pemerintah Daerah perlu (i) segera membentuk TPID bagi daerah yang belum memilikinya; (ii) merumuskan dukungan intervensi atau program pengendalian harga yang diperlukan dengan alokasi APBD yang memadai; (iii) bersama-sama dengan penegak hukum untuk melakukan pengawasan kewajaran stok pangan di gudanggudang daerah secara berkala; (iv) melakukan monitoring kondisi infrastruktur distribusi pangan daerah dan segera melakukan perbaikan yang diperlukan; serta (v) mencermati kondisi distribusi pasokan pangan dan mengidentifikasi faktor-faktor yang memicu disparitas harga. High Level Meeting TPI-TPID 7 menyepakati tiga hal terkait pengendalian inflasi kedepan. 7 Diselenggarakan di Kantor Bank Indonesia, Jakarta pada 25 Januari 2017 Pertama, menekan laju inflasi volatile food (VF) menjadi di kisaran 4-5%, melalui (i) penguatan infrastruktur logistik pangan di daerah, khususnya pergudangan untuk penyimpanan komoditas; (ii) membangun sistem data lalu lintas barang, khususnya komoditas pangan; (iii) penggunaan instrumen dan insentif fiskal untuk mendorong peran pemerintah daerah dalam stabilisasi harga; (iv) mendorong diversifikasi pola konsumsi pangan masyarakat, khususnya untuk konsumsi cabai dan bawang segar, antara lain dengan mendorong inovasi industri produk pangan olahan; (v) penguatan kerjasama antar daerah; (vi) mempercepat pembangunan infrastruktur konektivitas; dan (vii) memperbaiki pola tanam pangan. Kedua, mengendalikan dampak lanjutan dari penyesuaian kebijakan administered prices (AP), seperti pengendalian tarif angkutan umum; serta ketiga, melakukan pentahapan (sequencing) kebijakan AP, termasuk rencana implementasi konversi beberapa jenis subsidi langsung menjadi transfer tunai (a.l. pupuk, raskin, dan LPG 3 kg). Tantangan Ke Depan Sepanjang 2017, perekonomian daerah akan dihadapkan pada berbagai tantangan, baik global maupun domestik. Di tengah ekonomi global yang diprakirakan membaik, ekonomi negara mitra dagang, khususnya Eropa dan sebagian Asia, diproyeksikan masih tumbuh terbatas. Di tengah perkiraan perbaikan volume perdagangan dunia, kebijakan ekonomi AS yang bersifat cenderung lebih protektif berisiko menekan pertumbuhan ekonomi dunia. Meski dampak langsung terhadap kinerja investasi dan ekspor Indonesia tidak terlalu besar, mengingat eksposurnya yang relatif kecil, namun dampak tidak langsungnya perlu dicermati. Di sisi domestik, kemampuan fiskal masih relatif terbatas seiring potensi pajak yang belum dapat terserap secara optimal. Disamping itu, proses transisi kepemimpinan daerah hasil Pilkada 2017 berisiko menghambat pengambilan kebijakan strategis terkait pembangunan infrastruktur. 7

16 Momentum Pilkada juga berpotensi mendorong investor untuk berperilaku wait and see. Di sisi lain, kebijakan peningkatan Domestic Market Obligation (DMO) mineral dan batubara di tengah belum kuatnya serapan domestik, berpotensi menahan peningkatan produksi. Lebih jauh, ekspor mineral bersyarat 8 juga menjadi tantangan kinerja ekspor pertambangan. Sementara itu, langkah pengendalian inflasi masih dihadapkan pada berbagai risiko dan tantangan struktural. Masih terbatasnya kapasitas produksi pangan, struktur pasar yang belum efisien, distribusi, tata niaga dan logistik pangan serta infrastruktur pertanian yang belum memadai merupakan tantangan terbesar bagi stabilitas harga pangan dalam jangka panjang. Kondisi ini menyebabkan tingginya ketergantungan produksi pangan terhadap faktor iklim dan cuaca, serta besarnya disparitas harga antara produsen-konsumen maupun antarwilayah. Di samping itu, masih terbatasnya kapasitas dan akses transportasi di beberapa daerah juga seringkali mendorong kenaikan inflasi yang bersumber dari angkutan, terutama pada periode peak seasons. Kebijakan reformasi pangan secara integratif perlu dilakukan untuk menjaga ketersediaan pangan, sistem distribusi pangan yang efisien, harga pangan yang terjangkau dan stabil, serta untuk menekan ketimpangan kesejahteraan. Jumlah penduduk yang terus meningkat juga membutuhkan ketersediaan pangan yang terus bertambah baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Pengelolaan pangan nasional yang masih belum optimal tercermin dengan jelas dari level, gejolak, serta disparitas harga antar daerah yang tinggi. Disamping itu, indikator tingkat kesejahteraan petani yang masih rendah juga mencerminkan masih buruknya pengelolaan pangan nasional. Tantangan yang masih dihadapi yaitu: (i) rendahnya produksi dan produktivitas 8 PP. No. 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas PP No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. pangan yang bersumber dari keterbatasan luas lahan olahan, teknik pertanian yang belum optimal, pengolahan pasca panen yang buruk, dan minimnya insentif untuk menjadi petani; (ii) dukungan infrastruktur pangan dan konektivitas yang belum optimal; (iii) akses pembiayaan kepada petani yang masih terbatas; (iv) distribusi dan tata niaga pangan yang panjang dan kurang efisien; serta (v) struktur pasar yang kurang kompetitif. Untuk menjawab sejumlah tantangan tersebut, dapat disampaikan beberapa rekomendasi, di antaranya: (i) pemberdayaan petani melalui pengenalan atau penerapan model corporate/ cooperative farming dengan tujuan agar implementasi teknik pertanian serta mekanisasi pertanian menjadi lebih optimal sehingga produksi dan produktivitasnya dapat meningkat lebih tinggi dan memenuhi skala ekonomi produksi; (ii) penguatan sisi tata niaga pangan melalui penguatan fungsi pasar induk dan pasar tradisional utama yang ditopang oleh Pusat Distribusi dan Logistik Nasional, dengan tujuan agar produksi pangan dari petani yang sudah menjalankan fungsi korporasi dapat disalurkan langsung tanpa melalui perantara yang panjang ke pasar; (iii) penguatan pembiayaan petani, yaitu dengan penguatan kelembagaan petani maka diharapkan risiko usaha tani menjadi lebih rendah sehingga perbankan akan lebih berani untuk membantu pembiayaan ke petani (hulu). Sebagai faktor pendukung (enabler), sangat diperlukan percepatan pembangunan infrastruktur pertanian dan pendukungnya seperti waduk, irigasi, gudang, prasarana jalan, dan akses lokasi pertanian. Selain itu, untuk efisiensi distribusi dan tata niaga pangan perlu didorong penerapan konsep e-commerce (digital ekonomi) secara luas. (Lihat Isu Khusus Mendorong Reformasi Pangan dalam rangka Menjamin Ketersediaan Pangan dan Keterjangkauan Harga bagi Masyarakat, serta Mengurangi Kesenjangan Kesejahteraan ). 8

17 Perekonomian Sumatera pada triwulan IV 2016 tumbuh 4,49% (yoy), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan triwulan sebelumnya sebesar 4,03% (yoy). Peningkatan tersebut dipengaruhi oleh perbaikan ekspor dan konsumsi pemerintah ditengah konsumsi rumah tangga dan investasi yang tumbuh terbatas. Di sisi lain, perbaikan lapangan usaha pertanian, industri pengolahan, dan perdagangan menjadi sumber pertumbuhan perekonomian Sumatera dari sisi penawaran. Dalam perkembangannya, inflasi selama triwulan laporan tercatat sebesar 4,53% (yoy), lebih tinggi dari 4,28% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Hal itu disebabkan oleh berlanjutnya peningkatan harga cabai merah serta kenaikan tarif angkutan udara. Sementara, inflasi administered prices dan inflasi inti relatif terkendali. Kondisi makroekonomi yang membaik berimbas pada berkurangnya tekanan risiko stabilitas keuangan daerah yang ditandai dengan menurunnya risiko kredit, meningkatnya pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK), dan terkendalinya rasio Non Performing Loan (NPL). Secara keseluruhan ekonomi Sumatera tumbuh lebih tinggi dari 3,5% (yoy) pada 2015 menjadi 4,3% (yoy) pada akhir Konsumsi rumah tangga, investasi, dan net ekspor menjadi penopang percepatan akselerasi ditengah konsumsi pemerintah yang lebih rendah. Secara sektoral, pertumbuhan yang tinggi didorong oleh seluruh lapangan usaha utama di Sumatera, yaitu pertanian, industri pengolahan, pertambangan, dan perdagangan. Pertumbuhan sektor utama ditopang perbaikan harga komoditas pertanian, produksi tanaman bahan makanan yang lebih tinggi dan perbaikan daya beli masyarakat. Di sisi lain, perbaikan lapangan usaha pertambangan belum setinggi perkiraan akibat perbaikan harga komoditas tambang yang masih terbatas. Perbaikan ekonomi di Sumatera diperkiraan berlanjut pada triwulan I 2017 dengan dukungan konsumsi rumah tangga dan net ekspor sejalan dengan perbaikan permintaan eksternal dan domestik serta harga komoditas. Musim panen yang berlangsung pada komoditas perkebunan berdampak pada perbaikan lapangan usaha pertanian serta industri pengolahan. Secara keseluruhan 2017, ekonomi Sumatera diperkirakan akan tumbuh lebih tinggi dari tahun 2016, yaitu pada kisaran 4,5 5,0%, yang bertumpu pada perbaikan konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, dan realisasi investasi. Sementara itu, inflasi pada triwulan I 2017 dan keseluruhan tahun 2017 diprakirakan masih dalam kisaran targetnya (4±1%) seiring penurunan tekanan inflasi volatife food. Namun, potensi risiko kenaikan inflasi administered prices seiring penyesuaian subsidi energi masih membayangi selama periode laporan. Pertumbuhan Ekonomi Perekonomian Sumatera pada triwulan IV 2016 tumbuh meningkat dari 4,0% (yoy) pada triwulan III menjadi 4,5% (yoy). Peningkatan harga komoditas utama serta meningkatnya konsumsi pemerintah pasca penundaan alokasi Dana Alokasi Umum (DAU) di triwulan III 2016 memberi dampak positif bagi perekonomian Sumatera pada triwulan laporan. Akselerasi pertumbuhan di triwulan IV 2016 terjadi pada hampir di seluruh provinsi, kecuali Provinsi Kepulauan Riau dan Lampung (Tabel II.1). Belum membaiknya ekspor produk elektronika dari Kepulauan Riau serta penurunan produksi singkong di Lampung 9 akibat harga jual yang 9 Komoditas singkong merupakan salah satu penopang pertumbuhan lapangan usaha Pertanian. Lampung merupakan sentra produksi singkong terbesar di Indonesia dengan pangsa 30% terhadap produksi nasional. 9

18 jatuh menjadi penyebab sumbangan pertumbuhan ekonomi kedua daerah tersebut terhadap Sumatera mengalami penurunan. Kinerja konsumsi rumah tangga di Sumatera tertahan akibat daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih. Pada periode laporan, konsumsi rumah tangga tercatat tumbuh 4,7% (yoy), lebih rendah dibandingkan pertumbuhan triwulan III 2016 sebesar 4,9% (yoy). Kenaikan inflasi volatile food ditengarai menjadi menjadi faktor penyebab tertahannya peningkatan konsumsi bahan makanan. Tabel II.1. Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Sumatera (%, yoy) Indikator Makroekonomi Daerah IV I II II IV 2016 Aceh Sumut Sumbar Riau Jambi Kep. Riau Sumsel Bengkulu Lampung Kep. Babel PDRB (% YoY) Keterangan: *) data sementara, P ) proyeksi Sumber: BPS (diolah) Penyaluran kembali DAU mendorong perbaikan konsumsi pemerintah pada triwulan IV Kontraksi konsumsi pemerintah berkurang dari minus 5,6% (yoy) pada triwulan III 2016, menjadi minus 3,6% (yoy). Kondisi ini ditopang penyaluran Dana Alokasi Umum (DAU) dari pemerintah pusat yang sebelumnya sempat ditunda. Realisasi investasi pada triwulan IV 2016 melambat akibat terhambatnya realisasi pembangunan infrastruktur pemerintah. Investasi pada triwulan laporan tercatat tumbuh sebesar 4,4% (yoy), lebih rendah daripada triwulan III 2016 sebesar 4,5% (yoy). Lebih rendahnya investasi tersebut terutama disebabkan oleh realisasi pembangunan infrastruktur pemerintah berskala besar yang masih terkendala, terutama karena masalah pembebasan lahan. Dari sisi swasta, perilaku wait and see dalam berinvestasi merupakan respon pengusaha terhadap risiko dampak ketidakpastian pertumbuhan ekonomi global terhadap perekonomian Indonesia. Hasil liaison yang dilakukan terhadap beberapa perusahaan di Sumatera menunjukkan bahwa investasi yang pada triwulan IV 2016 masih terbatas pada pemeliharaan rutin. Selain itu, laju pertumbuhan kredit investasi menunjukkan penurunan dari 6,5% (yoy) menjadi 3,4% (yoy). Rendahnya investasi juga tercermin dari hasil liaison yang menunjukkan likert scale investasi triwulan IV 2016 yang lebih rendah (Grafik II.1). Grafik II.1. Perkembangan Likert Scale Kapasitas Produksi dan Investasi Kinerja net ekspor Sumatera mengalami peningkatan yang ditopang oleh ekspor antar daerah. Selama triwulan IV 2016, net ekspor tercatat tumbuh sebesar 15,8% (yoy), naik secara signifikan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 5,3% (yoy). Peningkatan ekspor antar daerah terutama karena kenaikan volume kontrak penjualan biodiesel sejumlah perusahaan. Harga komoditas Sumber Daya Alam (SDA) dan pertumbuhan ekonomi dunia yang mulai membaik belum berkontribusi nyata terhadap kinerja ekspor luar negeri Sumatera. Secara keseluruhan 2016, hampir seluruh provinsi di Sumatera mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi. Ekonomi Sumatera tumbuh sebesar 4,3% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan 2015 yang mencapai 3,5%. Peningkatan pertumbuhan tersebut terjadi di hampir di seluruh provinsi di wilayah Sumatera. Konsumsi rumah tangga, investasi, dan net ekspor menjadi sumber penopang akselerasi 10

19 ekonomi ditengah konsumsi pemerintah yang tumbuh tidak setinggi tahun Namun, terdapat beberapa faktor menghambat pertumbuhan ekonomi Sumatera lebih lanjut antara lain, gangguan panen Tanaman Bahan Makanan (tabama) akibat banjir besar yang melanda sentra produksi pada awal pertengahan tahun 2016 di Sumatera Barat, dan penurunan lifting minyak akibat belum adanya kepastian perpanjangan kontrak bagi hasil produksi Blok Rokan di Provinsi Riau. Perekonomian Sumatera triwulan I 2017 diprakirakan akan melanjutkan tren perbaikan dan tumbuh lebih tinggi dibandingkan triwulan IV 2016, terutama didorong oleh konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, dan ekspor. Perbaikan daya beli masyarakat tercermin dari meningkatnya pendapatan masyarakat seiring perbaikan harga komoditas perkebunan, dan terus berjalannya pemulihan ekspor. Percepatan persetujuan APBD di hampir seluruh provinsi di Sumatera diperkirakan akan mendukung percepatan realisasi belanja pemerintah. Sementara, investasi diperkirakan masih tertahan sejalan dengan siklus investasi yang masih dalam proses lelang atau pengadaan di awal tahun. Secara sektoral, pertumbuhan ekonomi ditopang oleh perbaikan kinerja sektor pertanian seiring dengan musim panen raya tanaman bahan pangan dan peningkatan produksi perkebunan. Industri pengolahan diperkirakan tumbuh tinggi ditopang perbaikan produksi perkebunan.sementara, lapangan usaha pertambangan diperkirakan masih belum tumbuh setinggi yang diharapkan seiring masih terbatasnya permintaan dan harga komoditas tambang. Kinerja konstruksi juga terbatas sejalan dengan pola realisasi investasi proyek infrastruktur yang cenderung minim di awal tahun. Kinerja Lapangan Usaha Pertanian Kinerja lapangan usaha pertanian pada triwulan IV 2016 mulai tumbuh sejalan dengan mulai masuknya musim panen. Kinerja lapangan usaha pertanian pada triwulan laporan tumbuh 3,8% (yoy), dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 3,7% (yoy). Produksi tanaman bahan makanan dan hortikultura akibat pergeseran musim tanaman menopang kinerja sektor pertanian di periode laporan. Perbaikan harga tandan buah segar dan getah karet menjadi insentif bagi kinerja perkebunan (Grafik II.2). Namun demikian, kinerja sektor pertanian masih belum optimal, terindikasi dari laju pertumbuhan kredit sektor pertanian di Sumatera yang cenderung menurun pada akhir tahun (Grafik II.3). Sumber: Dinas Perkebunan (diolah) Grafik II.2. Perkembangan Harga TBS dan Bokar Grafik II.3. Pertumbuhan Kredit Pertanian Pada triwulan I 2017, kinerja lapangan usaha pertanian diprakirakan akan meningkat lebih tinggi, didorong musim panen raya pada dan perbaikan harga komoditas perkebunan. Selain 11

20 itu, penerapan kebijakan B20 10 pada industri pengolahan CPO akan berpengaruh positif dalam menjaga permintaan produk olahan kelapa sawit di dalam negeri. Pertambangan Kinerja lapangan usaha pertambangan pada triwulan IV 2016 masih berada pada zona kontraksi, terutama akibat penurunan lifting minyak Riau dan terbatasnya perbaikan harga komoditas. Pada periode laporan, kinerja pertambangan tercatat -1,0% (yoy) menurun dibandingkan sebelumnya -0,7% (yoy). Penurunan lifting minyak di Riau terjadi seiring dengan ketidakpastian perpanjangan kontrak Blok Rokan dan minimnya investasi baru (Grafik II.4). Di sisi lain, perbaikan harga komoditas pertambangan, di sisi lain, menjadi faktor penahan penurunan kinerja pertambangan lebih lanjut. Industri Pengolahan Kinerja industri pengolahan pada triwulan IV 2016 meningkat ditopang industri CPO dan perbaikan produksi perkebunan. Lapangan usaha industri pengolahan pada triwulan IV 2016 tercatat tumbuh 5,2% (yoy), lebih baik dari triwulan sebelumnya yang tumbuh 3,6% (yoy). Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) mengindikasikan peningkatan realisasi kegiatan industri pengolahan, seperti produksi crumb rubber, suplai bahan baku kelapa sawit dan permintaan biodiesel (Grafik II.5). Grafik II.5. SKDU Industri Pengolahan Sumber: Bloomberg (diolah) Grafik II.4. Perkembangan Lifting Migas Sumatera Kontraksi pertambangan diprakirakan masih akan berlanjut di triwulan I 2017 sejalan belum pulihnya lifting minyak dan kurang optimalnya pertambangan utama lainnya. Penurunan lifting Migas di Riau diperkirakan masih berlanjut selama tahun Di sisi lain, kinerja pertambangan utama lainnya, seperti batubara, timah, dan nikel diperkirakan masih belum mampu secara signifikan mendorong pertumbuhan pertambangan akibat terbatasnya permintaan dan perbaikan harga. 10 kewajiban pencampuran bahan bakar nabati (BBN) dalam solar sebesar 20 persen Pada triwulan I 2017, kinerja lapangan usaha industri pengolahan diprediksi mengalami pertumbuhan yang lebih lambat dibanding triwulan IV Hal ini lebih disebabkan oleh based effect dimana pada triwulan I 2016, industri pengolahan telah mengalamai pertumbuhan yang cukup tinggi. Perdagangan Kinerja lapangan usaha perdagangan pada triwulan IV 2016 membaik didorong peningkatan konsumsi masyarakat dan realisasi APBD menjelang akhir tahun. Sektor perdagangan tumbuh dari 6,0% (yoy) menjadi 7,5% (yoy) pada akhir triwulan laporan. Laju konsumsi masyarakat dan inflasi yang relatif terkendali, didukung peningkatan realisasi APBD di akhir tahun berhasil menggerakan sektor perdagangan di triwulan IV Peningkatan aktivitas perdagangan dimaksud juga tercermin dari hasil liaison terhadap beberapa perusahaan utama di wilayah Sumatera yang menunjukkan 12

21 perbaikan penjualan domestik pada triwulan IV 2016 (Grafik II.6 dan Grafik II.7). infrastruktur Trans-Sumatera dan berbagai pembangunan sarana fisik dalam rangka Asian Games di Palembang berkontribusi besar pada kinerja konstruksi. Peningkatan konstruksi juga tercermin dari positifnya hasil SKDU sektor bangunan triwulan laporan (Grafik II. 8) Grafik II.6. Likert Scale Penjualan Pada triwulan I 2017, kinerja lapangan usaha konstruksi diprediksi kembali tumbuh melambat dibanding triwulan IV 2016 sejalan siklus perlambatan realisasi proyek pada awal tahun. Siklus proyek di awal tahun yang masih dalam tahap perencanaan dan lelang serta terdapatnya APBD beberapa provinsi yang belum disahkan, antara lain Bangka Belitung dan Lampung, berpotensi menahan pertumbuhan sektor konstruksi. -5 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV SKDU Perdagangan Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha Grafik II.7. SKDU Perdagangan Dibandingkan triwulan IV 2016, pada triwulan I 2017, lapangan usaha perdagangan diprakirakan sedikit melambat sebagai dampak perilaku masyarakat menahan konsumsi sejalan rencana penyesuaian harga BBM. Adanya rencana kebijakan penyesuaian harga BBM diperkirakan akan menahan kinerja di perdagangan akibat masyarakat yang akan menahan konsumsi barang barang tahan lama seperti mobil dan motor. Meskipun mengalami perlambatan, kinerja perdagangan di perkirakan masih tumbuh positif karena relatif kuatnya konsumsi. Konstruksi Pertumbuhan lapangan usaha konstruksi pada triwulan IV 2016 meningkat dipengaruhi oleh pelaksanaan beberapa proyek infrastruktur pemerintah. Lapangan usaha konstruksi pada triwulan laporan hingga tercatat tumbuh 6,6% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 6,4% (yoy). Realisasi proyek Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha Grafik II.8. Realisasi Kegiatan Usaha Bangunan Secara keseluruhan tahun 2016, kinerja lapangan usaha utama di wilayah Sumatera meningkat terutama didorong perbaikan pada Provinsi Sumatera Utara, Riau, dan Sumatera Selatan yang memiliki kontribusi cukup besar dalam pertumbuhan ekonomi wilayah. Dari sisi pengeluaran, akselerasi didukung perbaikan konsumsi masyarakat sejalan peningkatan daya beli masyarakat, produksi tabama yang lebih tinggi, dan harga komoditas yang meningkat. Dari sisi lapangan usaha, akselerasi terutama terjadi pada pertanian dan industri pengolahan yang juga merupakan sektor utama di hampir seluruh provinsi. Sementara lapangan usaha pertambangan diperkirakan belum mampu berkontribusi besar setinggi sebelumnya akibat 13

22 masih terbatasnya perbaikan harga komoditas tambang. Fiskal Daerah Serapan belanja daerah di Sumatera pada triwulan IV 2016 menunjukkan penurunan, terutama pada serapan belanja rutin. Realisasi belanja pemerintah daerah hampir di seluruh wilayah Sumatera mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2015 dari rata-rata sebesar 80,18% menjadi hanya sebesar 77,18%. Hampir seluruh provinsi berada di bawah ratarata, kecuali Riau, Bengkulu, Babel, dan Kepri (Grafik II.10). Namun, pada akhir tahun 2016, terdapat pencairan DAU yang sebelumnya di tunda yang dapat meningkatkan kapasitas fiskal daerah. Hal ini terlihat dari peningkatan simpanan dana Pemerintah Daerah (Pemda) pada perbankan Sumatera pada triwulan IV 2016 (Grafik II.9). Grafik II.9. Pertumbuhan Simpanan Pemda di Perbankan Sumber : Tepra Grafik II.10. Realisasi APBD Tahun 2015 vs 2016 Perkembangan Inflasi Inflasi wilayah Sumatera pada triwulan IV 2016 tercatat 4,53% (yoy), lebih tinggi dibanding triwulan sebelumnya 4,28% (yoy) terutama akibat tekanan inflasi volatile food. Peningkatan harga komoditas cabai merah yang terjadi sejak triwulan III 2016 hingga pertengahan Desember 2016 menjadi penyebab utama peningkatan inflasi. Sementara itu, inflasi administered prices dan inflasi inti relatif terkendali. Hal ini merupakan hasil dari koordinasi Tim Pengedalian Inflasi Daerah (TPID) di level provinsi dan kabupaten/kota. Inflasi volatile food pada triwulan IV 2016 disebabkan oleh serangan virus kuning dan keriting di sejumlah sentra produksi cabai merah. Wabah virus kuning dan keriting melanda beberapa provinsi di Sumatera dengan dampak terbesar berada di Provinsi Sumatera Utara. Bencana virus kuning mengakibatkan gagal panen pada sekitar hektar lahan cabai merah di Sumatera Utara. Tingginya ketergantungan terhadap pasokan cabai merah dari sentra produksi di Sumatera Utara dan kendala konektivitas mengakibatkan sejumlah daerah seperti Provinsi Aceh, Sumatera Barat, Riau, dan Bengkulu mencatatkan inflasi yang juga cukup tinggi, sejalan dengan bobot NK cabai merah pada sejumlah daerah tersebut yang juga tergolong tinggi. Selain itu, adanya bencana letusan Gunung Sinabung mempengaruhi produksi sayuran dan hortikultura, sehingga menambah tekanan pada inflasi pada volatile food. Provinsi Sumatera Utara dan Kep. Bangka Belitung mencatatkan laju inflasi tahunan yang cukup tinggi akibat kenaikan harga cabai merah. Inflasi di Sumatera Utara yang mencapai 6,3% (yoy) disebabkan oleh peningkatan harga cabai merah (Grafik II.11). Sementara, inflasi di Kep. Bangka Belitung yang sebesar 6,8% (yoy), selain disebabkan oleh kenaikan harga cabai merah, juga disebabkan oleh kendala distribusi khususnya yang melalui transportasi laut. Kondisi 14

23 ini diakibatkan oleh cuaca laut yang tidak kondusif yaitu berupa ombak tinggi. Sumber : PIHPS Grafik II.11. Perkembangan Harga Cabai Merah Pada triwulan I 2017, perkembangan inflasi di Sumatera diprakirakan tetap terkendali dan masih mendukung dalam mencapai kisaran target inflasi nasional 4±1%. Kendati terdapat risiko kenaikan inflasi administered prices, berlangsungnya musim panen tabama dan normalisasi tiket angkutan udara pasca peak season akhir tahun 2016, diperkirakan akan menahan dampak kenaikan inflasi IHK. Selain itu, intensitas upaya pengendalian inflasi yang dilakukan oleh TPID di berbagai daerah diprakirakan mampu menahan inflasi lebih tinggi selama triwulan laporan. Secara keseluruhan tahun 2016, inflasi Sumatera meningkat dari 3,05% (yoy) pada 2015 menjadi 4,53% (yoy) terutama akibat tekanan inflasi volatile food. Sementara inflasi administered prices dan inflasi inti cenderung lebih rendah (Grafik II.12). Kendati volatile food masih tinggi, namun secara tahunan tekanan komponen inflasi tersebut cenderung mereda. Sumber: BPS (diolah) Grafik II.13. Perkembangan Inflasi Hingga Januari 2017 Sumber: BPS (diolah) Grafik II.12. Disagregasi inflasi tahunan Inflasi Sumatera pada Januari 2017 tercatat 4,75% (yoy), lebih tinggi dari capaian pada Desember 2016 (4,53%, yoy), terutama akibat inflasi administered prices. Hal ini seiring dengan kenaikan biaya administrasi STNK dan penyesuaian tarif listrik 900 VA. Di sisi lain, tekanan inflasi volatile food terus menurun sejalan dengan mulai masuknya musim panen Tabama, termasuk panen komoditas cabai merah. Sejumlah upaya pengendalian inflasi dilakukan oleh 164 TPID di Sumatera dalam rangka meningkatkan kesiapan daerah dalam mengantisipasi lonjakan permintaan, memfasilitasi kerjasama antar daerah, serta mendorong produksi pangan melalui perbaikan sarana prasarana produksi pertanian. Beberapa kegiatan TPID di beberapa provinsi antara lain : a. Program Toko Tani yang tersebar di kota maupun pedesaan di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, dan Lampung sejumlah 412 toko. b. Operasi Pasar dan Pasar Murah untuk komoditas bahan pangan di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, dan Bengkulu. Kegiatan tersebut dilakukan secara insidental saat harga komoditas makanan mengalami lonjakan harga 15

24 c. Urban Farming pada Kep. Riau, Sumatera Selatan, dan Lampung khususnya komoditas cabai merah. d. Peningkatan produksi dengan pembentukan klaster dan gerakan menanam cabai di lahan pekarangan dilakukan pada provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Kep. Bangka Belitung, dan Lampung. Stabilitas Keuangan Daerah Ketahanan Sektor Korporasi Kinerja Korporasi dan Penilaian Risiko Secara umum, kondisi sistem keuangan di Sumatera membaik, yang tercermin dari dari kondisi risiko kredit (NPL) yang masih terjaga ditengah penurunan pertumbuhan kredit. Pada triwulan IV 2016, pertumbuhan kredit total sedikit menurun menjadi 6,35% (yoy) dari sebelumnya 6,50% (yoy). Di sisi lain, NPL menurun menjadi 2,67% dari sebelumnya 3,07%, dan berada pada level yang terjaga. Hal ini menunjukkan kemampuan bayar debitur yang semakin baik seiring dengan pemulihan ekonomi domestik yang terus berjalan. keuangan perusahaan di sektor utama Sumatera mulai berlangsung sejak awal tahun Kemampuan korporasi dalam membayar beban utang juga semakin membaik. Hal ini tercermin pada indikator rasio beban utang korporasi (debt service ratio) yang turun dari 13,45% menjadi 13,06% yang sejalan dengan membaiknya kinerja perusahaan di bidang agroindustri. Grafik II.15. Indikator Solvabilitas Korporasi Grafik II.16. Indikator SBT - SKDU Eksposur Perbankan pada Sektor Korporasi Sumber: Bloomberg & Laporan Keuangan BEI, diolah Grafik II.14. Indikator Profitabilitas Korporasi Ketahanan sistem keuangan daerah Sumatera pada sektor korporasi relatif terjaga. Kondisi ini ditunjukkan oleh perbaikan beberapa indikator rasio Return On Asset (ROA), Return On Equity (ROE), dan Current Ratio (Grafik II.14, II. 15). Selain itu, saldo bersih tertimbang SKDU realisasi kegiatan usaha juga menunjukkan peningkatan (Grafik II.16). Adapun tren perbaikan kinerja Perkembangan Dana Pihak Ketiga (DPK) korporasi di perbankan mengalami pertumbuhan yang positif setelah pada akhir triwulan III 2016 mencatatkan perlambatan (Grafik II.17). Dalam perkembangannya, pertumbuhan DPK korporasi pada triwulan IV tercatat sebesar 5,40% (yoy) dari sebelumnya - 5,09% (yoy). Peningkatan pertumbuhan DPK terjadi di seluruh provinsi di Sumatera. Pertumbuhan DPK korporasi tertinggi tercatat di Kep. Bangka Belitung (24,40%), Riau (24,07%), dan Sumatera Utara (10,59%). Sementara, DPK korporasi di Aceh, Riau, Kep. Riau, dan Riau yang 16

25 pada triwulan III 2016 mencatatkan pertumbuhan negatif menunjukkan perbaikan. Grafik II.19. Perkembangan NPL Korporasi Grafik II.17. Perkembangan DPK Korporasi Penyaluran kredit perbankan kepada sektor korporasi tumbuh lebih lambat dari 5,98% (yoy) pada triwulan III 2016 menjadi 5,43% (yoy) pada triwulan IV Berdasarkan sektor utama Sumatera, perlambatan penyaluran kredit terutama terjadi pada sektor pertanian. Sementara, kredit sektor industri pengolahan dan perdagangan mengalami peningkatan (Grafik II. 18). Ketahanan Sektor Rumah Tangga Pertumbuhan DPK Rumah Tangga Sumatera pada triwulan IV 2016 mencatatkan laju pertumbuhan yang lebih tinggi didorong perbaikan pendapatan dan keyakinan masyarakat terhadap kondisi perekonomian (Grafik II.20). DPK perseorangan tumbuh dari 9,20% (yoy) di triwulan III 2016 menjadi 10,5% (yoy) pada triwulan IV Perbaikan kondisi pendapatan masyarakat yang terkonfirmasi dari tingkat keyakinan konsumen (Survei Konsumen) yang meningkat (Grafik II.21) serta kenaikan Nilai Tukar Petani (NTP). Perbaikan NTP terjadi disebagian besar daerah di Sumatera seperti Riau, Jambi, dan Kepri. Sumber: Bank Indonesia Grafik II.18. Perkembangan Kredit Korporasi Di tengah perlambatan kredit korporasi, rasio non-performing loans (NPL) sektor korporasi juga mengalami penurunan. Kecenderungan penurunan NPL kredit korporasi telah terjadi sejak triwulan III tahun 2015 sejalan dengan berlakunya ketentuan OJK bagi Bank Umum maupun Bank Umum Syariah/Unit Usaha Syariah untuk menahan penurunan kualitas kredit dengan tetap mengedepankan prinsip kehatihatian dalam rangka stimulus perekonomian pada sektor keuangan. Grafik II.20. Perkembangan DPK Perseorangan Di sisi lain, kredit rumah tangga juga menunjukan peningkatan. Kredit sektor rumah tangga pada triwulan IV 2016 tumbuh 7,23% (yoy), lebih tinggi dibanding triwulan sebelumnya sebesar 5,11%. Dilihat dari komponennya, Kredit Pemilikan Rumah (KPR) mengalami peningkatan dari semula 5,51% menjadi 6,75%. Meskipun masih negatif, Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) mengalami 17

26 peningkatan di triwulan IV 2016 dari negatif 14,36% menjadi sebesar negatif 6,51%. Perkembangan tidak lepas dari dampak pelonggaran LTV yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan ekspansi kredit. Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia Grafik II.21. Perkembangan IKK, IKE, dan IEK Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Pada triwulan IV 2016, laju pertumbuhan kredit UMKM di Sumatera menunjukkan perlambatan sejalan dengan menurunnya kredit total. Secara tahunan, penyaluran kredit UMKM pada triwulan IV 2016 tercatat sebesar 5,20%, lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 6,15%. Perlambatan kredit UMKM pada sektor perdagangan dan perdagangan, yang memiliki pangsa besar. Kredit UMKM pada sektor perdagangan melambat dari 10,61% (yoy) ke 5,71% (yoy) dan kredit UMKM pada sektor pertanian turut melambat menjadi 1,99% (yoy) dari sebelumnya 3,26% (yoy). Dari sisi risiko, rasio NPL kredit UMKM mengalami penurunan meski tetap perlu diwaspadai. Grafik II.22. Perkembangan Kredit Perorangan Kondisi risiko di sektor rumah tangga masih terjaga dengan NPL yang rendah. Hal ini telihat dari penurunan rasio NPL sektor rumah tangga menjadi 3,62% pada triwulan IV 2016, dari sebelumnya sebesar 4,10%. Walaupun masih dalam batas aman, risiko NPL sektor rumah tangga perlu diwaspadai seiring daya beli masyarakat di wilayah Sumatera yang bertumpu pada kinerja komoditas Sumber Daya Alam (SDA) yang masih belum pulih sepenuhnya. Perkembangan harga komoditas yang masih diwarnai ketidakpastian patut menjadi perhatian bagi stabilitas sektor keuangan. Grafik II.23. Perkembangan Pertumbuhan Kredit UMKM dan NPL Kredit UMKM Tabel II.2. Perkembangan Kredit & NPL UMKM sektoral Sektor Ekonomi Share Growth (%yoy) Rasio NPL (%) Q1'16 Q2'16 Q3'16 Q4'16 Q1'16 Q2'16 Q3'16 Q4'16 Pertanian 20.2% Pertambangan 0.8% Industri Pengolahan 5.7% LGA 0.4% Konstruksi 6.1% PHR 54.2% Transportasi 3.1% Jasa Keuangan 4.4% Kredit UMKM Sumber: Bank Indonesia Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah Sistem Pembayaran Non Tunai Sejalan dengan aktivitas ekonomi Sumatera yang terus bertumbuh, transaksi kliring pada triwulan IV 2016 menunjukkan peningkatan. 18

27 Pada periode laporan, secara volume transaksi kliring tercatat tumbuh sebesar 15,37% (yoy) atau lebih baik dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (12,24%, yoy) (Grafik II.24). Di sisi nominal, penurunan transaksi kliring lebih disebabkan oleh adanya ketentuan pembatasan nominal kliring untuk RTGS. Beberapa provinsi yang memiliki aktivitas transaksi terbesar adalah Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, dan Lampung. Upaya perluasan distribusi Uang Layak Edar dan pecahan yang sesuai serta pengendalian uang palsu terus dilakukan. Hingga triwulan IV 2016, berbagai upaya telah dilakukan, seperti kas keliling, pembukaan kas titipan, dan sosialisasi Ciri-Ciri Keaslian Uang Rupiah (Cikur). Dalam hal penanganan uang palsu, temuan uang palsu (Upal) di wilayah Sumatera pada triwulan IV 2016 mengalami penurunan (Grafik II.27). Grafik II.24. Volume Kliring Pengelolaan Uang Rupiah Sesuai dengan pola musimannya, peningkatan aktivitas konsumsi masyarakat dan realisasi belanja pemerintah menjelang akhir tahun mendorong arus uang kartal pada triwulan IV 2016 untuk mengalami net outflow yang lebih tinggi. Aliran uang kartal di regional Sumatera pada periode laporan mengalami net outflow sebesar Rp16,18 triliun. Secara spasial, Sumatera Barat merupakan satu-satunya provinsi di Sumatera yang mengalami net inflow sebesar Rp 0,13 triliun, sementara Riau menjadi penyumbang net outflow terbesar dengan nilai Rp4,00 triliun (pangsa 24,71%) (Grafik II.25). Seiring dengan arus kartal yang meningkat dan kebijakan Clean Money Bank Indonesia, pemusnahan Uang Tidak Layak Edar (UTLE) pada triwulan IV 2016 mengalami peningkatan. Hal ini juga tercermin dari rasio pemusnahan UTLE terhadap inflow yang naik dari 31,04% pada triwulan III 2016 menjadi sebesar 57,74% (Grafik II.26). Grafik II.25 Aliran Uang Masuk dan Keluar Grafik II. 26. Grafik Pemusnahan UTLE Grafik II. 27. Grafik Jumlah Temuan Uang Palsu (UPAL) Keuangan Inklusif Keuangan inklusif di wilayah Sumatera terus meningkat sejalan dengan peningkatan 19

28 ketersediaan layanan keuangan digital (LKD). Hingga Desember 2016, jumlah agen LKD di Sumatera telah mencapai agen dengan jumlah rekening sebesar Jumlah ini mengalami peningkatan dibandingkan dengan jumlah agen LKD pada bulan September 2016 yang sebesar agen. Provinsi dengan jumlah agen LKD terbesar adalah Sumatera Utara, Riau, dan Sumatera Selatan. Grafik II. 28. Perkembangan Jumlah Agen dan Rekening LKD 2016 Prospek Perekonomian Prospek Pertumbuhan Ekonomi Perekonomian Sumatera pada triwulan II dan keseluruhan 2017 diperkirakan terus melanjutkan pertumbuhannya, ditopang perbaikan konsumsi rumah tangga, pemerintah dan realisasi investasi. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan II 2017 diperkirakan meningkat dan terus berlanjut hingga secara keseluruhan tahun 2017 mencapai kisaran 4,5-5,0%. Prakiraan membaiknya konsumsi rumah tangga, pemerintah, dan meningkatnya realisasi investasi pada tahun 2017 ditopang oleh optimisme keyakinan konsumen yang masih relatif tinggi, sebagai indikasi daya beli masyarakat yang masih kuat dan berlanjut di tahun Konsumsi pemerintah Pilkada meningkat seiring dengan pelaksanaan Pilkada serentak di 48 wilayah di Sumatera. Selain itu, investasi diperkirakan meningkat di dukung kinerja industri pengolahan yang membaik dan pertambangan serta terus berlangsungnya pembangunan infrastruktur dalam rangka Asian Games. Daya beli masyarakat yang membaik, kinerja korporasi yang terus meningkat, dan peran serapan anggaran pemerintah daerah yang tinggi menjadi faktor yang menjadi sumber perbaikan ekonomi di Sumatera. Perbaikan pertumbuhan juga terjadi merata di seluruh provinsi di wilayah Sumatera. Tabel II.3. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Sumatera 2017 Indikator 2017 P Makroekonomi Daerah I P II P 2017 P Aceh 3,4-3,9 3,1-3,6 3,2-3,7 Sumut 5,1-5,6 5,3-5,8 5,2-5,7 Sumbar 4,7-5,2 5,5-6,0 5,2-5,7 Riau 2,3-2,8 2,6-3,1 2,8-3,3 Jambi 6-6,5 5,4-5,9 5,0-5,5 Kep. Riau 5-5,5 5,3-5,8 5,1-5,6 Sumsel 5-5,5 5,1-5,6 5,1-5,6 Bengkulu 5,2-5,7 5,4-5,9 5,2-5,7 Lampung 4,9-5,4 4,9-5,4 5,0-5,5 Kep. Babel 4,2-4,7 4,3-4,8 4,2-4,7 PDRB (% YoY) 4,3-4,8 4,5-5,0 4,5-5,0 Pertumbuhan ekonomi Sumatera pada 2017 berasal dari perbaikan kinerja lapangan usaha utama Sumatera terutama pertanian, industri pengolahan, konstruksi, perdagangan, dan pertambangan. Lapangan usaha pertanian diperkirakan dapat tumbuh lebih tinggi sejalan dengan upaya peningkatan produksi tabama yang telah dirintis pada 2016 dan membaiknya permintaan bahan baku komoditas perkebunan untuk mendukung kebutuhan industri pengolahan. Perkembangan harga komoditas dan permintaan yang cenderung membaik menopang kinerja lapangan usaha industri pengolahan dan pertambangan. Adapun lapangan usaha konstruksi diprediksi tumbuh tinggi seiring dengan realisasi proyek infrastruktur pemerintah, seperti jalan tol, bendungan, pelabuhan, dan proyek persiapan Asian Games Prospek Inflasi Inflasi Sumatera tahun 2017 masih akan berada dalam rentang target inflasi nasional 4±1% kendati realisasi inflasi Januari

29 mengindikasikan peningkatan. Tekanan inflasi harga pangan diperkirakan akan berkurang di tahun 2017 akibat membaiknya iklim dan dampak pengendalian inflasi baik dari sisi koordinasi kelembagaan, kerja sama antar daerah, maupun operasi pasar. Meski demikian, potensi risiko tekanan harga dari administered prices tetap membayangi inflasi perkembangan inflasi secara triwulanan. Pada triwulan II 2017, inflasi diperkirakan akan lebih tinggi dari triwulan I 2017 akibat adanya tekanan harga menjelang bulan puasa dan hari besar keagamaan. 21

30 Boks 1 Sejalan dengan RPJMN dan Nawacita ke-7 yaitu mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor-sektor strategis ekonomi domestic dengan salah satu prioritas utamanya yaitu membangun kedaulatan pangan, maka Sumatera, sebagai salah satu lumbung pangan nasional, memiliki peran yang penting dalam mewujudkan target tersebut. Salah satu modal awal menuju kedaulatan pangan adalah pemenuhan kebutuhan pangan melalui produksi domestik yang dapat memastikan ketahanan pangan nasional yang berkelanjutan. Oleh karena itu, upaya peningkatan produksi pertanian pangan memerlukan dukungan yang memadai, terutama dari sisi sarana prasarana, selain dari sisi teknis budidaya. Ketahanan pangan yang terjaga akan mampu menyediakan pasokan yang mencukupi kebutuhan masyarakat secara berkesinambungan dan terjangkau yang artinya dapat menjaga tingkat inflasi pangan yang rendah dan stabil serta sehingga memberikan dampak yang positif pada perekonomian. Perkembangan Lapangan Usaha Pertanian di Sumatera Lapangan usaha (LU) Pertanian merupakan salah satu sektor utama yang berkontribusi penting bagi perekonomian Sumatera. Dengan pangsa mencapai 23,1% 11, LU Pertanian memiliki kontribusi terbesar dalam perekonomian Sumatera yang disusul oleh LU Industri Pengolahan dan LU Pertambangan, masingmasing dengan pangsa 20,6% dan 12,7%. LU Pertanian didominasi oleh subsektor tanaman bahan makanan (tabama) dan perkebunan, masing-masing dengan pangsa sebesar 24,3% dan 45,3%. Selain terkait dengan pemenuhan produksi pangan, sektor pertanian juga memiliki peran penting dalam hal penyerapan tenaga kerja dan mendukung kinerja industri 11 Berdasarkan perhitungan PDRB tahun pengolahan di Sumatera yang mayoritas berbasis agribisnis. Saat ini, sektor pertanian Sumatera mampu menyerap 44,4% tenaga kerja, sementara industri pengolahan hanya menyerap sebesar 7,0% tenaga kerja. Dalam jangka waktu 13 tahun terakhir, pertanian di Sumatera menunjukkan kecenderungan perubahan komposisi antar sub lapangan usaha yang cukup signifikan. Sub lapangan usaha pertanian tanaman bahan makanan yang semula memiliki pangsa yang terbesar yaitu 33% ( ), kini hanya memiliki pangsa 24% ( ). Sedangkan, pangsa sub lapangan usaha perkebunan mengalami peningkatan cukup tinggi yaitu dari 32% ( ) menjadi 45% ( ), terutama sejak berlangsungnya era boom commodity prices. Dinamika diatas sangat mempengaruhi kondisi kedua subsektor tersebut dalam hal pemenuhan kebutuhan pasar, skala ekonomi usaha pertanian, dan akses pada sistem keuangan. Selain itu, perkembangan kemajuan lapangan usaha pertanian Sumatera masih sangat terbatas. Hal ini terindikasi dari fase perkembangan 12 yang masih berada pada tahap awal yaitu fase agricultural surplus 13 pada sub lapangan usaha tabama dan agricultural integration pada sub lapangan usaha perkebunan (Grafik II.29). Perkebunan relatif memiliki tingkat penguasaan lahan 14, orientasi pasar, penggunaan teknologi dan aspek 12 Briones dan Pelipe Agriculture and Structural Transformation in Developing Asia: Review and Outlook. ADB Economic Working Paper Series No Perkembangan sektor pertanian dikategorikan ke dalam 4 (empat) fase berdasarkan pendapatan per kapita sektor pertanian, produktivitas pertanian, surplus output pertanian, dan keterkaitan sektor pertanian dengan sektor ekonomi lain. 13 Surplus untuk komoditas padi dan cabai merah, namun defisit untuk komoditas bawang merah. 14 Rata-rata kepemilikan lahan tabama kurang dari 2 Ha/rumah tangga petani, sedangkan lahan perkebunan pada skala industri terbatas. 22

31 pembiayaan yang lebih baik daripada pertanian. Selain itu, dukungan infrastruktur pertanian juga masih terbatas, antara lain terbatasnya irigasi dan waduk/bendungan sebagai sumber air. tingkat irigasi nasional yang mencapai 64,7%. Sebagian besar daerah di Sumatera memiliki persentase lahan teririgasi dibawah 40% (Tabel II.4). Walaupun beberapa daerah memiliki persentase lahan irigasi yang relatif tinggi antara lain Sumatera Barat (81%), Bengkulu (71%), dan Kep. Bangka Belitung (66%), namun pemanfaatan irigasi masih belum optimal. Secara umum, kualitas irigasi Sumatera yang berada dalam kondisi baik hanya sebesar 54%, sementara sisanya dalam kondisi rusak ringan (12%), rusak sedang (16,8%) dan rusak berat (16%). Sumber : Briones dan Pelipe, 2013 Grafik II.29. Stages of Agricultural Development Pembangunan Infrastruktur Pertanian Pendukung Produksi Pangan Menurut Food and Agriculture Organisation (FAO), potensi tinggi Indonesia dalam pertanian dapat dioptimalkan jika infrastruktur pertanian tersedia dengan kuantitas yang memadai, khususnya irigasi dan waduk/bendungan. Tabel II.4. Perkembangan Irigasi di Sumatera No. Provinsi % Lahan yang Dialiri Irigasi 1 Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kepulauan Bangka Belitung Kepulauan Riau SUMATERA Sumber: Kemenpera Saat ini, lahan persawahan Sumatera yang telah memiliki irigasi masih terbatas dan dengan kualitas yang perlu ditingkatkan. Lahan persawahan yang memiliki irigasi hanya mencapai 47,7% 15, lebih rendah dibandingkan Sumber : BPS Grafik II.30. Perbandingan Produktivitas Lahan Komoditas Pangan 15 Berdasakan hasil FGD Bank Indonesia Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada Januari

32 Sebagai akibat dari relatif rendahnya lahan pertanian teririgasi di Sumatera, tingkat produktivitas pertanian untuk tanaman padi, cabai merah, dan bawang merah menjadi rendah. Meski mengalami tren peningkatan, produktivitas ketiga komoditas tersebut masih dibawah produktivitas nasional. Pencapaian upaya pemerintah mengakselerasi pembangunan infrastruktur pertanian masih sangat terbatas akibat terkendala masalah lahan dan sosial masyarakat. Pemerintah telah berupaya mengakselerasi berbagai pembangunan infrastruktur pertanian termasuk waduk/bendungan dan irigasi. Di Sumatera, sampai dengan tahun 2019, pembangunan irigasi ditargetkan mencapai ha lahan irigasi baru dan ha rehabilitasi lahan irigasi. Namun, hingga akhir tahun 2016, realisasi pembangunan masih sangat terbatas yaitu hanya ha pembangunan irigasi baru atau hanya 19,78% dari target dan ha rehabilitasi lahan irigasi atau 29,31% dari target. Selain itu, terdapat rencana pembangunan 12 waduk/bendungan baru di Sumatera sepanjang Dari sejumlah 7 proyek pembangunan waduk/bendungan yang tengah berjalan, terdapat 4 waduk yang berada dalam kategori below schedule yaitu, Waduk Jambo Aye di Aceh, Bendungan Lausimeme di Sumatera Utara, Bendungan Sukaraja III dan Bendungan Segalaminder di Lampung. Terbatasnya realisasi pembangunan waduk/bendungan tersebut sebagian besar disebabkan oleh masalah pembebasan lahan, perijinan alih lahan, dan berbagai masalah sosial kemasyarakatan. Dampak Kebijakan Pembangunan Infrastruktur Pertanian Terhadap Perekonomian Sumatera Pembangunan infrastruktur pertanian di Sumatera akan berdampak positif terhadap ekonomi Sumatera melalui peningkatan produktivitas dan kesinambungan produksi pertanian. Pembangunan infrastruktur pertanian akan mampu meningkatkan produktivitas pertanian melalui penurunan biaya produksi dan ekspansi lahan seiring perluasan wilayah teririgasi. Simulasi dampak terhadap pembangunan infrastruktur pertanian yang tengah berjalan yaitu sejumlah sejumlah 7 (tujuh) proyek pembangunan waduk/bendungan dan irigasi mengindikasikan adanya dampak positif bagi PDRB dan inflasi yang signifikan. Pembangunan infrastruktur pertanian akan berdampak pada peningkatan PDRB Sumatera sebesar 0,08% per tahun atau sekitar Rp223 T dan penambahan serapan angkatan kerja sebesar 0,09% per tahun atau sekitar total tenaga kerja tambahan. Selain itu, inflasi Sumatera diperkirakan akan mengalami penurunan sebesar 0,02% per tahun (Tabel II.5). Tabel II.5. Perkembangan Irigasi di Sumatera No. Provinsi Efek PDRB Inflasi Tenaga Kerja 1 Aceh Sumut Sumbar Bengkulu Riau Kepri Jambi Babel Sumsel Lampung Sumatera Mengingat dampak pembangunan infrastruktur pertanian terhadap perekonomian di Sumatera yang signifikan, maka koordinasi antara pemerintah pusat dari pemerintah daerah terkait berbagai kendala implementasi pembangunan infrastruktur pertanian perlu diperkuat dan dilakukan secara konsisten. Hal ini terutama ditujukan bagi penanganan kendala pembebasan lahan. Implementasi peraturan Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW) yang memberikan jaminan hukum bagi pembangunan infrastruktur hukum serta keberlangsungan lahan pertanian memerlukan dukungan dan komitmen khususnya dari Pemerintah Daerah. 24

33 Selain itu, sinergitas pengelolaan dan pemeliharaan yang dilakukan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk pembangunan, pengelolaan dan pemeliharaan antara jaringan utama (primer dan sekunder) dan tersier sangat diperlukan agar optimalisasi pengairan lahan pertanian dapat tercapai dan mampu mendukung peningkatan produksi pertanian. Efek multiplier kesejahteraan dan peningkatan tenaga kerja yang dihasilkan dari peningkatan produktivitas pertanian dari perbaikan infrastruktur pertanian perlu mendapat perhatian dan dikoordinasikan dengan baik antar berbagai pemangku kepentingan agar kesejahteraan wilayah Sumatera semakin meningkat dan lebih merata. 25

34 26 Halaman ini sengaja dikosongkan

35 Ekonomi Jawa di triwulan IV 2016 masih tumbuh cukup kuat sebesar 5,45% (yoy) meski mengalami perlambatan dibanding triwulan III 2016 yang tumbuh sebesar 5,70% (yoy). Perlambatan ekonomi Jawa terutama dipengaruhi oleh konsumsi pemerintah yang mengalami kontraksi lebih dalam dibandingkan triwulan sebelumnya, namun dapat tertahan oleh membaiknya konsumsi rumah tangga dan ekspor. Sementara dari sisi penawaran, perlambatan didorong oleh lapangan usaha industri pengolahan, terutama pada industri otomotif dan logam dasar. Meski demikian, pertumbuhan ekonomi Jawa untuk keseluruhan tahun 2016 tercatat membaik dibandingkan tahun Ekonomi Jawa tahun 2016 tercatat tumbuh 5,59% (yoy) meningkat dibanding tahun 2015 yang sebesar 5,47% (yoy). Akselerasi ekonomi Jawa ditopang oleh perbaikan konsumsi rumah tangga seiring meningkatnya daya beli masyarakat serta membaiknya kinerja ekspor ke seluruh mitra dagang utama, yaitu Amerika Serikat, Tiongkok dan Eropa. Dari sisi sektoral, perbaikan kinerja lapangan usaha perdagangan dan jasa-jasa menjadi pendorong utama ekonomi Jawa tahun Tekanan inflasi Jawa triwulan IV 2016 relatif terkendali, dengan tekanan bersumber dari kelompok volatile food dan administered prices. Tekanan inflasi dari kelompok volatile food bersumber dari kenaikan harga komoditas hortikultura yaitu bawang merah dan cabai merah. Tekanan inflasi juga disumbang oleh kelompok administered prices, seiring penyesuaian harga angkutan udara, tarif listrik dan bensin. Tingkat inflasi tahunan Jawa pada tahun 2016 tercatat lebih rendah dibandingkan tahun Laju inflasi tahunan Jawa pada tahun 2016 tercatat sebesar 2,59% (yoy), lebih rendah dari tahun 2015 yang sebesar 3,12% (yoy). Faktor utama yang mendukung capaian inflasi yang lebih rendah pada tahun 2016 disebabkan oleh deflasi kelompok administered prices dan stabilnya inflasi kelompok inti. Namun tekanan inflasi dari kelompok volatile food masih relatif tinggi, terutama kenaikan harga komoditas hortikultura akhir tahun Pada tahun 2017 pertumbuhan ekonomi Jawa diprakirakan akan berada pada rentang 5,4-5,8% (yoy) atau lebih tinggi dibandingkan tahun 2016, ditopang membaiknya konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah dan ekspor. Sejalan dengan membaiknya permintaan domestik dan luar negeri, kinerja lapangan usaha khususnya industri pengolahan diperkirakan akan mengalami perbaikan dan menjadi penopang pertumbuhan ekonomi Jawa di Sementara itu, laju inflasi tahunan Jawa untuk tahun 2017 diprakirakan lebih tinggi dari tahun 2016, namun masih dalam rentang sasaran target inflasi 4% ± 1%. Tekanan terbesar di tahun 2017 diperkirakan berasal dari komoditas administered prices terutama kenaikan biaya administrasi STNK dan penyesuaian TTL untuk golongan 900 VA. Tekanan inflasi lebih lanjut diperkirakan dapat ditahan oleh kelompok volatile food, yang diperkirakan akan relatif terjaga seiring berjalannya berbagai program upaya pengendalian inflasi daerah TPID yang telah disusun. Pertumbuhan Ekonomi Pada Triwulan IV 2016, perekonomian Jawa menunjukkan kinerja yang positif meskipun mengalami perlambatan. Perekonomian Jawa tumbuh sebesar 5,45% (yoy) melambat dibanding triwulan III 2016 yang sebesar 5,70% (yoy). Hampir seluruh provinsi di Jawa mengalami perlambatan kecuali Banten dan Jawa Tengah yang masih tumbuh meningkat di triwulan IV Tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi terjadi di Provinsi Banten yang tumbuh 5,53% (yoy), sementara pertumbuhan ekonomi terendah berada di Daerah Istimewa Yogyakarta yang tumbuh sebesar 4,71% (yoy). 27

36 Tabel III.1. Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Jawa Provinsi IV Total I II III IV Total DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Jawa Sumber: BPS (diolah) Perlambatan ekonomi Jawa dipengaruhi oleh perlambatan konsumsi pemerintah. Penerimaan pajak yang tidak sesuai target disikapi pemerintah dengan melakukan konsolidasi fiskal antara lain dengan melakukan pemotongan atau penundaan anggaran oleh pemerintah pusat ke daerah. Kondisi tersebut menyebabkan rasionalisasi belanja rutin seperti pembelian perlengkapan dan perjalanan dinas. Kontraksi pada konsumsi pemerintah terjadi hampir di seluruh provinsi kecuali Jawa Barat dan Banten. Adapun kontraksi konsumsi pemerintah terbesar terjadi di Jawa Timur. Sumber: BPS (diolah) Grafik III.1. Pertumbuhan Ekonomi Menurut Penggunaan (Triwulanan) Momentum liburan Natal dan Tahun Baru, mendorong konsumsi rumah tangga tumbuh lebih tinggi dan menjadi penopang perekonomian Jawa di triwulan IV Peningkatan belanja rumah tangga saat liburan akhir tahun mendorong peningkatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang terindikasi dari peningkatan Indeks Penjualan Riil (IPR) dan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK). IPR tercatat meningkat menjadi 177,6, lebih tinggi dari triwulan III 2016 yang sebesar 159,7. Sementara IKK terus mengalami peningkatan sejak awal tahun hingga triwulan IV 2016 yang mencapai 118,27. Peningkatan konsumsi rumah tangga juga tercermin dari permintaan kredit konsumsi yang tumbuh 9,16% (yoy), meningkat dibanding triwulan sebelumnya yang sebesar 8,65% (yoy). Sumber: Bank Indonesia Grafik III.2. Perkembangan Kredit Konsumsi, IPR dan IKK Peningkatan pertumbuhan investasi di Jawa mampu menahan perlambatan ekonomi yang lebih dalam. Membaiknya pertumbuhan sektor konstruksi seiring dengan realisasi pembayaran termin akhir proyek-proyek infrastruktur di triwulan laporan yang meliputi antara lain LRT Jabodetabek, Jalan Tol Seroja, Bandara Kertajati serta jalan tol Trans Jawa. Selain itu, investasi dari sektor swasta juga mulai tumbuh, terindikasi dari hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU), yang menunjukan meningkatnya impor barang modal dan juga peningkatan permintaan kredit investasi. Saldo Bersih Tertimbang (SBT) SKDU tercatat sebesar 9,91%, lebih tinggi dari triwulan sebelumnya yang sebesar 7,92% (yoy). Impor barang modal mulai menunjukkan peningkatan pada triwulan IV 2016, terlihat dari kontraksinya yang membaik dari sebelumnya -8,12% (yoy) menjadi sebesar -2,74% (yoy). Peningkatan investasi juga dicerminkan oleh peningkatan kredit investasi yang tumbuh dari semula 9,10% (yoy) menjadi 10,4% (yoy) pada triwulan laporan. Kinerja ekspor Jawa menunjukkan perbaikan seiring dengan meningkatnya permintaan 28

37 global, terutama mitra dagang utama Jawa. Pertumbuhan ekspor terutama disumbang oleh komoditas makanan dan minuman, otomotif, logam dasar dan kimia. Berdasarkan negara tujuannya, pertumbuhan ekspor ke Tiongkok dan Amerika Serikat sebagai mitra dagang utama Jawa, mengalami peningkatan. Kinerja impor menunjukkan pertumbuhan dengan kenaikan terjadi pada impor bahan baku. Impor bahan baku tercatat tumbuh sebesar 12,47% (triwulan III 3,61%, yoy), diikuti barang konsumsi 19,55% (triwulan III 11,51%, yoy) dan barang modal yang masih terkontraksi 2,74% (triwulan III -8,12%, yoy). meningkatnya pendapatan masyarakat dan perbaikan kinerja ekspor selama tahun Provinsi yang mengalami peningkatan pertumbuhan yaitu Jawa Barat, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta, sementara provinsi yang tumbuh melambat adalah Banten dan Jawa Tengah sedangkan DKI Jakarta tercatat stabil. Meskipun stabil, pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta sebesar 5,85% (yoy) adalah yang tertinggi di Jawa, sementara yang terendah adalah Daerah Istimewa Yogyakarta yang tumbuh 5,05% (yoy). Sumber: BPS (diolah) Grafik III.5. Pertumbuhan Ekonomi Menurut Penggunaan (Tahunan) Sumber: Bank Indonesia dan Bea Cukai (diolah) Grafik III.3. Perkembangan SKDU, Impor Barang Modal dan Kredit Investasi Sumber: Bea Cukai Grafik III.4. Perkembangan Ekspor dan Impor Luar Negeri Perekonomian Jawa tercatat mengalami akselerasi untuk keseluruhan tahun 2016 yaitu tercatat tumbuh sebesar 5,59% (yoy) meningkat dibanding tahun 2015 sebesar 5,47% (yoy). Akselerasi pertumbuhan ekonomi Jawa ditopang oleh perbaikan konsumsi rumah tangga seiring Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi Jawa tahun 2016 masih ditopang oleh membaiknya konsumsi RT dan kinerja ekspor. Indikasi pertumbuhan konsumsi RT ditunjukkan dari optimisme masyarakat yang lebih baik dari tahun sebelumnya dengan IKK di tahun 2016 sebesar 118,3, jauh lebih tinggi dibandingkan akhir tahun 2015 sebesar 106,4. Membaiknya daya beli masyarakat juga tercermin dari peningkatan pembelian kendaraan bermotor, baik roda dua maupun roda empat. Selain itu, perkembangan impor barang konsumsi juga meningkat pada tahun 2016 menjadi 15,54% (yoy), setelah sebelumnya terkontraksi 9,67% (yoy) pada tahun Kinerja ekspor luar negeri Jawa pada tahun 2016 tumbuh meningkat, didorong oleh sektor makanan minuman, kimia dan otomotif. Ekspor Jawa mencatat pertumbuhan positif sebesar 1,58% (yoy), jauh lebih tinggi daripada tahun 2015 yang sempat terkontraksi sebesar 1,29% 29

38 (yoy). Kinerja ekspor ke seluruh mitra dagang utama, yaitu Amerika Serikat, Eropa dan Tiongkok menunjukkan peningkatan. Berdasarkan hasil liaison Bank Indonesia, peningkatan penjualan sektor makanan dan minuman dipengaruhi adanya ekspansi pasar sejumlah perusahaan ke beberapa negara termasuk di ASEAN. Kenaikan ekspor juga tercermin dari ekspor jasa. Berdasarkan hasil rilis dari BPS, pertumbuhan ekspor jasa Jawa di tahun 2016 tercatat sebesar 4,45% (yoy), meningkat dari tahun 2015 sebesar - 2,27% (yoy). Berdasarkan data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan III 2016, peningkatan ekspor jasa utamanya didorong oleh freight dan jasa perjalanan (travel). Akselerasi perekonomian tahun 2016 tertahan oleh perlambatan konsumsi pemerintah dan realisasi investasi. Melambatnya pertumbuhan konsumsi pemerintah dipengaruhi oleh pengurangan pengeluaran pemerintah daerah antara lain untuk pengadaan perlengkapan dan perjalanan dinas, seiring dengan kebijakan penundaan transfer ke daerah. Beberapa proyek infrastruktur yang dibiayai oleh dana dari pusat juga terpaksa tertunda yaitu pembangunan jembatan Srandakan (DIY), pembangunan jalan dan jembatan serta normalisasi sungai dan saluran irigasi di Kabupaten Tangerang (Banten) serta pembangunan waduk (DKI Jakarta). Sumber: Bea Cukai Grafik III.6. Perkembangan Ekspor Berdasarkan Negara Tujuan Utama Perekonomian Jawa diprakirakan tumbuh stabil pada triwulan I Kuatnya pertumbuhan ekonomi turut didukung oleh pertumbuhan konsumsi rumah tangga maupun investasi, meski masih terbatas. Lebih lanjut, meskipun kinerja ekspor mulai menunjukkan perbaikan sepanjang tahun 2016, kondisi global yang masih penuh dengan ketidakpastian masih berisiko menyebabkan lemahnya permintaan ekspor. Setelah sempat mengalami kontraksi yang cukup dalam pada triwulan sebelumnya, peningkatan konsumsi pemerintah juga menjadi penopang ekonomi Jawa pada triwulan I Akselerasi konsumsi pemerintah salah satunya didorong oleh penyelenggaraan PILKADA serentak di 2 provinsi, 8 kabupaten dan 5 kota di Jawa. Selain itu, peningkatan belanja pemerintah turut disumbangkan oleh pencairan dana bantuan sosial yang lebih awal, pencairan Dana Desa tahap I dan kenaikan tunjangan PNS. Lebih lanjut, penyaluran Dana Alokasi Umum (DAU) bulan September-Desember 2016 yang sempat ditunda pada Desember 2016 diperkirakan akan mampu mendorong belanja di awal tahun. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan I 2017 diprakirakan terbatas seiring menurunnya indeks keyakinan konsumen pasca berlalunya momen seasonal konsumsi. Pelemahan Indeks Keyakinan Konsumen didorong oleh melemahnya indeks penghasilan konsumen, lapangan pekerjaan dan kegiatan dunia usaha. Selain itu, kenaikan UMK awal tahun 2017 yang tidak setinggi tahun 2016 di tengah resiko tekanan harga, terutama pada komoditas administered prices juga dapat mempengaruhi daya beli masyarakat. Realisasi investasi, baik dari pemerintah maupun sektor swasta diperkirakan masih terbatas pada triwulan I Beberapa proyek pembangunan infrastruktur pemerintah masih belum terealisasi karena masih berada dalam tahap pengadaan/perencanaan. Realisasi investasi pemerintah juga masih tertahan karena adanya penyesuaian Struktur Organisasi dan Tata Kelola (SOTK) yang baru. Selain itu, belum jelasnya ketentuan yang mengatur pengembalian dana talangan yang dikeluarkan oleh Badan 30

39 Usaha Jalan Tol (BUJT) dalam menanggung biaya pembebasan lahan di proyek jalan tol trans Jawa, berisiko pada mundurnya waktu perkiraan pembangunan. Sementara, realisasi investasi sektor swasta juga diperkirakan akan mulai meningkat pada triwulan II Kinerja Lapangan Usaha Perlambatan ekonomi Jawa pada triwulan IV 2016 disebabkan oleh melambatnya beberapa lapangan usaha utama terutama industri pengolahan. Meskipun demikian, perlambatan tersebut tertahan oleh membaiknya kinerja lapangan usaha pertanian, konstruksi dan perdagangan. Untuk keseluruhan tahun 2016, lapangan usaha utama di Jawa juga tercatat melambat, kecuali lapangan usaha perdagangan dan jasa-jasa sehingga mampu menopang akselerasi pertumbuhan ekonomi Jawa pada tahun otomotif dan industri logam dasar yang ditunjukkan oleh melambatnya penjualan otomotif pada triwulan IV 2016, khususnya pada penjualan domestik. Tertundanya pembangunan beberapa proyek infrastruktur pada tahun 2016 turut memberikan dampak pada melambatnya industri semen dan logam dasar. Meskipun demikian, perlambatan tersebut tertahan oleh peningkatan kinerja industri makanan, minuman dan tembakau. Sumber: Liaison Bank Indonesia Grafik III.8. Perkembangan Industri Pengolahan Sumber: BPS (diolah) Grafik III.7. Pertumbuhan Lapangan Usaha Utama Industri Pengolahan Kinerja industri pengolahan mengalami perlambatan, sehingga belum mampu mendorong pertumbuhan ekonomi Jawa. Pada triwulan IV 2016, lapangan usaha industri pengolahan mencatat pertumbuhan 4,10% (yoy), lebih rendah dari triwulan sebelumnya yang tumbuh 4,26% (yoy). Kondisi tersebut terkonfirmasi oleh hasil liaison Bank Indonesia dimana likert scale penjualan industri pengolahan turun menjadi 0,29 dari 0,56 pada triwulan sebelumnya. Beberapa sub lapangan usaha yang mengalami perlambatan antara lain industri Sumber: Bank Indonesia Grafik. III.9. Perkembangan Kapasitas Utilisasi (Survei Kegiatan Dunia Usaha) Secara tahunan, kinerja industri pengolahan tahun 2016 terpantau lebih rendah dari tahun Pada tahun 2016 industri pengolahan tumbuh 4,29% (yoy), melambat dari tahun sebelumnya yang tercatat sebesar 4,76% (yoy). Perlambatan kinerja industri pengolahan juga terindikasi dari utilisasi kapasitas produksi yang stabil. Berdasarkan SKDU, tingkat kapasitas utilisasi pada tahun 2016 relatif stabil pada level 81%. Perlambatan kinerja industri pengolahan salah satunya disumbang oleh sub lapangan 31

40 usaha semen, seiring semakin ketatnya persaingan usaha dan juga permintaan domestik yang tidak mengalami kenaikan yang signifikan. Hal tersebut menyebabkan overcapacity sehingga menekan harga jual produk dan berdampak negatif pada kinerja perusahaan. Sementara itu, membaiknya harga komoditas dunia belum dapat meningkatkan kinerja industri logam dasar. Kinerja industri pengolahan diprakirakan membaik pada triwulan I Hal ini didorong oleh peningkatan kinerja industri makanan dan minuman serta industri tekstil dan pakaian jadi, terutama untuk meningkatkan stok dalam rangka persiapan memenuhi permintaan pada saat bulan Ramadhan di triwulan II Selain itu, beroperasinya pusat otomotif siap rakit/completely knock down (CKD) di Jawa Barat berpotensi mengakselerasi volume produksi industri otomotif. Membaiknya kinerja industri pengolahan juga terindikasi dari SBT ekspektasi kegiatan usaha berdasarkan hasil SKDU yang meningkat dari sebelumnya 2,84% pada triwulan IV 2016 menjadi 6,13% pada triwulan I Konstruksi Realisasi proyek infrastruktur dari pemerintah dan sektor swasta mampu mendorong kinerja lapangan usaha konstruksi pada triwulan laporan. Kinerja lapangan usaha konstruksi terpantau membaik dengan tingkat pertumbuhan 4,14% (yoy), meningkat dari 3,86% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Peningkatan kinerja terutama didorong oleh realisasi proyek infrastruktur pemerintah dan swasta. Beberapa proyek infrastruktur utama yang masih berlangsung antara lain pembangunan New Priok, MRT, LRT, Fly Over Semanggi, dan pembangunan enam ruas tol dalam kota di DKI Jakarta. Selain itu, beberapa proyek infrastruktur lainnya seperti tol Seroja, Bandara Kertajati sisi darat, dan LRT di Jawa Barat; pembangunan pabrik baja, semen, karet, kimia dan elektronik di Banten; pembangunan PLTU Batang dan tol Pejagan-Pemalang di Jawa Tengah; pembangunan Bandara New Yogyakarta di DIY dan pembangunan tol Trans Jawa di Jawa Timur, diperkirakan juga dapat memberikan sumbangan positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Jawa. Selain itu, pembangunan perumahan di Jawa mengalami peningkatan, terlihat dari meningkatnya permintaan seiring kenaikan Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) di triwulan IV Sumber: Bank Indonesia Grafik. III.10. Pertumbuhan Tahunan Indeks Harga Properti Residensial Untuk keseluruhan tahun 2016, kinerja lapangan usaha konstruksi mengalami perlambatan, meski sempat membaik pada triwulan IV Lapangan usaha konstruksi tumbuh sebesar 4,06% (yoy), lebih rendah daripada triwulan sebelumya yang mencapai 4,92% (yoy). Penghematan yang dilakukan oleh pemerintah pusat berdampak pada pengurangan transfer ke daerah sehingga turut menghambat pelaksanaan pembangunan sejumlah infrastruktur pemerintah. Kinerja lapangan usaha konstruksi diprakirakan tumbuh lebih rendah pada triwulan I 2017 seiring proses proyek pemerintah yang masih dalam tahap pengadaan. Proyek pembangunan pemerintah diperkirakan baru akan terakselerasi pada mulai triwulan II Sementara itu, investasi sektor swasta juga diperkirakan tumbuh terbatas sebagaimana tercermin dari SBT lapangan usaha konstruksi (hasil SKDU) yang turun dari 2,28% pada triwulan IV 2016 menjadi 1,20% pada triwulan I

41 Pertanian Curah hujan tinggi akibat La Nina berdampak positif pada lapangan usaha pertanian. Lapangan usaha pertanian tumbuh 6,64% (yoy) pada triwulan laporan, lebih tinggi dari 4,85% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Kondisi curah hujan yang tinggi membuat produksi padi menjadi lebih efisien akibat biaya pengairan relatif lebih rendah di samping mampu memitigasi dampak negatif hama. Sumber: Kementerian Pertanian Grafik III.11. Perkembangan Produksi Padi Nasional per Caturwulan Secara tahunan, walaupun komoditas hortikultura sempat mengalami sedikit gangguan pada akhir tahun, kinerja lapangan usaha pertanian relatif stabil sehingga mampu menopang pertumbuhan ekonomi Jawa secara keseluruhan. Kondisi tersebut didukung oleh cuaca yang relatif kondusif bagi pertanian bahan makanan, terutama padi. Selain itu, perubahan pola tanam memungkinkan terjadinya musim panen sepanjang tahun, yang berdampak positif pada ketersediaan bahan pangan. Berlangsungnya puncak panen raya untuk komoditas padi diperkirakan mampu mendorong kinerja lapangan usaha pertanian pada triwulan I Hal ini sesuai dengan perkiraan kondisi cuaca yang membaik dan kondusif untuk kegiatan usaha pertanian pada tahun 2017 sehingga pola tanam dan panen diperkirakan akan kembali normal. Peningkatan kinerja pertanian juga terindikasi dari SBT ekspektasi kegiatan usaha pertanian (hasil SKDU) yang meningkat dari sebelumnya 1,51% pada triwulan IV 2016 menjadi 6,64% pada triwulan I Perdagangan Momen Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) di akhir tahun dapat meningkatkan kinerja lapangan usaha pada triwulan laporan. Pada triwulan laporan, lapangan usaha perdagangan dapat tumbuh 5,12% (yoy), meningkat dari 4,48% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Survei Penjualan Eceran (SPE) menunjukkan peningkatan pertumbuhan Indeks Penjualan Riil (IPR) yang naik dari 159,7 menjadi 177 pada triwulan laporan. Peningkatan usaha perdagangan juga terindikasi dari peningkatan penjualan kendaraan bermotor, terutama untuk kendaraan bermotor roda dua. Secara tahunan, kinerja lapangan usaha perdagangan menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi Jawa. Lapangan usaha perdagangan tumbuh meningkat dari 4,06% (yoy) pada tahun 2015 menjadi 4,96% (yoy) pada tahun Penjualan ritel pada tahun laporan tercatat mengalami peningkatan, yang tercermin dari peningkatan IPR dan penjualan mobil yang sempat terkontraksi cukup dalam pada tahun Sementara itu, perdagangan luar negeri juga kembali tumbuh positif, setelah pada tahun 2015 sempat mengalami kontraksi. Perbaikan penjualan ekspor terutama terjadi pada ekspor ke negara mitra dagang, yaitu Tiongkok dan Amerika Serikat. Sumber: Bank Indonesia dan AISI Grafik III.12. Perkembangan LU Perdagangan dan Penjualan Kendaraan Bermotor 33

42 Kinerja lapangan usaha perdagangan diprakirakan akan mengalami perlambatanpada triwulan I Hal tersebut dipengaruhi oleh masih lemahnya permintaan pada awal tahun Selain itu, meningkatnya tekanan harga juga beresiko mempengaruhi daya beli masyarakat yang dapat berdampak pada kinerja perdagangan. Jasa Keuangan Di tengah pertumbuhan kredit perbankan yang melambat di akhir tahun, kinerja jasa keuangan tercatat mengalami perlambatan pertumbuhan. Kinerja sektor jasa keuangan pada triwulan IV 2016 mengalami perlambatan dari 9,45% (yoy) pada triwulan III 2016 menjadi 2,93% (yoy). Nilai Tambah Bruto (NTB) bank umum pada triwulan laporan tercatat menurun dari 13,64% (yoy) menjadi 3,18% (yoy). Penurunan terjadi pada seluruh komponen pembentuknya yaitu FISIM (jasa intermediasi), provisi/komisi maupun pada pendapatan sekunder. Sumber: Bank Indonesia Grafik III.13. Perkembangan Kinerja Jasa Keuangan Secara tahunan, kinerja sektor jasa keuangan tahun 2016 mengalami perlambatan. Pertumbuhan jasa keuangan melambat menjadi8,97% (yoy), lebih rendah daripada tahun sebelumnya 9,48% (yoy). Melambatnya kinerja lapangan usaha jasa keuangan sejalan dengan penyaluran kredit yang masih mengalami perlambatan di tahun 2016, serta FISIM perbankan maupun provisi yang tercatat lebih rendah. Setelah mengalami perlambatan pada triwulan IV 2016, kinerja lapangan usaha jasa keuangan diperkirakan akan terakselerasi pada triwulan I Hal ini terutama didorong oleh meningkatnya kredit sejalan dengan pelonggaran kebijakan moneter, sehingga pendapatan perbankan dari jasa bunga, provisi dan komisi diperkirakan juga akan tumbuh lebih tinggi dibandingkan triwulan IV Fiskal Daerah Realisasi belanja APBD pada tahun 2016 tercatat lebih rendah bila dibandingkan dengan tahun Kinerja realisasi Belanja pada tahun 2016 mengalami penurunan menjadi 80%, di bawah realisasi tahun 2015 sebesar 83%. Penurunan ini terjadi akibat belum maksimalnya realisasi di tingkat kabupaten/kota, meskipun realisasi di tingkat provinsi secara umum mengalami kenaikan. Dengan pangsa APBD kabupaten/kota yang mencapai 66% dari total APBD di Jawa (280 triliun rupiah), maka penurunan realisasi anggaran dari 82% (2015) menjadi 74% (2016) menarik turun realisasi anggaran secara keseluruhan tahun Sebanyak 33 dari 113 kabupaten/kota di Jawa memiliki realisasi di bawah 60%. Tabel III.2. Realisasi Belanja Daerah Tahun 2015 Tahun 2016 Provinsi Anggaran Realisasi Anggaran Realisasi (Rp Triliun) (%) (Rp Triliun) (%) DKI Jakarta 63 69% 57 82% Jawa Barat % % Banten 22 80% 32 72% Jawa Tengah 69 84% 95 76% D.I. Yogyakarta 12 94% 13 81% Jawa Timur 89 94% % Jawa % % Sumber: Biro Ekonomi dan TEPRA (diolah) Di sisi lain, realisasi APBD pada tingkat provinsi meningkat pada tahun Realisasi belanja APBD 2016 untuk 6 (enam) provinsi di Jawa meningkat dari 82% pada 2015 menjadi 89% pada Peningkatan realisasi terbesar terjadi di DKI Jakarta yaitu dari 69% menjadi 81%. Kenaikan realisasi di DKI Jakarta disebabkan oleh proses penganggaran yang lebih baik pada tahun 34

43 2016 dibandingkan tahun 2015 yang sempat mengalami keterlambatan pengesahan APBD. Pemangkasan anggaran APBD merupakan salah satu faktor menurunnya realisasi pada tahun laporan. Selain itu, mekanisme reward dan punishment atas dasar PMK No.235/PMK.07/2015 terkait Konversi Penyaluran Dana Bagi Hasil Dan/Atau Dana Alokasi Umum Dalam Bentuk Non Tunai turut berpengaruh terhadap kinerja realisasi belanja daerah. Meski realisasi anggaran mengalami penurunan, namun porsi belanja infrastruktur di daerah terpantau meningkat. Kualitas belanja pemerintah pada tahun 2016 mengalami perbaikan yang tercermin dari peningkatan porsi belanja infrastruktur di seluruh provisi di Jawa yang naik dari 14% (54 triliun rupiah) menjadi 15% (64 triliun rupiah). Secara nominal, jumlah belanja infrastruktur tersebut meningkat sebesar 19% (yoy) dibandingkan tahun sebelumnya. Porsi dana Pemda di BPD mengalami penurunan di triwulan IV 2016, sesuai dengan pola musimannya. Pada triwulan IV 2016 dana Pemda di BPD memiliki porsi menurun dari 37% (setara Rp60,6 triliun) menjadi 33% (senilai Rp 59,3 triliun). Salah satu penyebabnya adalah adanya pemotongan anggaran yang terjadi pada tahun Sumber: Bank Indonesia Grafik III.14. Porsi Dana Pemda di BPD Perkembangan Inflasi Tekanan inflasi Jawa pada triwulan laporan, yang terutama bersumber dari kelompok volatile food dan administered prices, relatif terkendali. Laju inflasi tahunan pada triwulan IV 2016 relatif stabil yaitu 2,59% (yoy), hanya berbeda sedikit dibanding triwulan sebelumnya sebesar 2,58% (yoy). Pencapaian inflasi Jawa tersebut berada di bawah tingkat inflasi nasional yang sebesar 3,02% (yoy) dan berada di bawah rentang sasaran inflasi tahun 2016 sebesar 4% ± 1%. Sumber: BPS (diolah) Grafik III.15. Disagregasi Kelompok Inflasi Tekanan inflasi pada triwulan IV 2016 terutama disumbang oleh naiknya harga komoditas hortikultura serta adanya penyesuaian harga beberapa komoditas administered prices. Tekanan inflasi dari kelompok volatile food yang cukup tinggi pada triwulan IV 2016 terutama berasal dari kenaikan harga komoditas hortikultura yaitu bawang merah dan cabai merah. Sementara, tekanan inflasi yang disumbang kelompok administered prices berasal dari adanya penyesuaian beberapa tarif komoditas, seperti angkutan udara, tarif listrik dan bensin. Sementara itu, laju inflasi dari kelompok inti relatif stabil, dengan tekanan terbesar disumbang dari komoditas tarif pulsa ponsel. Kenaikan harga komoditas hortikultura menjadi penyumbang inflasi utama dari kelompok volatile food. Laju Inflasi tahunan kelompok volatile food tercatat sebesar 5,45% (yoy) pada 35

44 triwulan IV 2016, lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 5,92% (yoy). Penurunan produksi komoditas hortikultura, yaitu aneka cabai dan bawang merah, akibat curah hujan yang tinggi menjadi penyebab utama tekanan inflasi. Tekanan inflasi turut disumbang oleh adanya kenaikan harga beras seiring masuknya masa tanam di triwulan IV Kenaikan tekanan inflasi beras dapat diredam oleh penurunan harga daging ayam ras, sejalan dengan pasokan yang terjaga, serta mulai menurunnya harga bawang merah seiring masa panen yang terjadi di sebagian daerah sentra produksi. Sumber: BPS (diolah) Grafik III.16. Disagregasi Kelompok Inflasi Triwulan IV 2016 Sumbangan inflasi turut diberikan oleh kelompok administered prices, terutama dengan adanya kenaikan angkutan udara dan tarif listrik. Menjelang liburan akhir tahun pada bulan Desember lalu, tarif angkutan udara mengalami kenaikan hingga 17% (mtm) seiring tingginya permintaan. Tekanan dari kelompok administered prices juga bersumber dari kenaikan Tarif Tenaga Listrik (TTL) pada bulan Oktober untuk 12 golongan pelanggan yang sejalan dengan tren penguatan harga minyak dunia. Mulai meningkatnya harga minyak dunia juga berdampak kepada adanya penyesuaian harga bensin non subsidi yang mengalami kenaikan pada bulan November dan Desember Sementara itu, inflasi dari kelompok inti relatif terkendali dengan menurunnya harga emas perhiasan sejalan pergerakan harga emas dunia. Namun demikian, pada triwulan laporan terdapat tekanan inflasi yang bersumber dari kenaikan tarif pulsa ponsel. Selain itu, penyesuaian harga sewa dan kontrak rumah yang diperkirakan akan berlanjut hingga triwulan pertama tahun 2017, akan turut menambah tekanan inflasi. Tabel III.3. Komoditas Penyumbang Inflasi Komoditas Bobot yoy Andil yoy Volatile Food Cabai Merah Cabai Rawit Bawang Merah Administered Prices Rokok Kretek Filter Rokok Kretek Angkutan Udara Core Inflation Kontrak Rumah Tarif Pulsa Ponsel Sewa Rumah Sumber: BPS (diolah) Secara spasial, laju inflasi tahunan seluruh provinsi di Jawa masih berada di bawah rentang sasaran inflasi tahun 2016 maupun realisasi inflasi nasional. Tingkat inflasi tertinggi tercatat berada di provinsi Banten sebesar 2,94% (yoy) dengan tekanan yang masih bersumber dari kenaikan komoditas hortikultura dan juga penyesuaian pada beberapa komoditas administered prices. Sementara itu, laju inflasi tahunan terendah berada di Daerah Istimewa Yogyakarta yang berada pada level 2,29%. Terjaganya inflasi di D.I. Yogyakarta salah satunya disebabkan oleh relatif terjaganya inflasi komoditas angkutan udara yang tidak setinggai provinsi lainnya di Jawa. Tabel III.4. Perkembangan Inflasi Spasial Provinsi III IV I II III IV DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Jawa Sumber: BPS (diolah) 36

45 Tingkat inflasi tahunan Jawa pada 2016 tercatat lebih rendah dibandingkan 2015, terutama disebabkan oleh deflasi pada kelompok administered prices dan stabilnya inflasi dari kelompok inti. Penurunan harga bensin dan solar di awal tahun, berdampak signifikan terhadap inflasi kelompok administered prices yang mencatatkan deflasi 0,62% (yoy) pada tahun Harga minyak dunia yang masih berada dalam level yang rendah pada semester I 2016, berdampak kepada menurunnya TTL dan tarif angkutan dalam kota. Meski demikian, menjelang akhir tahun, harga minyak dunia kembali berada dalam tren peningkatan dan menahan deflasi kelompok administerd prices yang lebih dalam. Sementara itu, penyesuaian harga bertahap komoditas rokok yang dilakukan oleh produsen rokok terus memberikan sumbangan inflasi sepanjang tahun Tekanan inflasi terbesar di tahun 2016 masih berasal dari kelompok volatile food, namun dengan komoditas penyumbang inflasi terbesar yang berbeda. Komoditas beras dan daging ayam ras yang memberikan sumbangan inflasi terbesar pada tahun 2015, pada tahun 2016 relatif terjaga sehingga tidak memberikan tekanan inflasi lebih lanjut. Tekanan terbesar justru bersumber dari komoditas hortikultura, akibat gangguan produksi pada penghujung tahun 2016 seiring tingginya curah hujan. Pada bulan Januari 2017, laju inflasi bulanan di Jawa tercatat sebesar 1,02% (mtm), di atas rerata historis 0,56% (mtm) pada bulan Januari. Peningkatan biaya perpanjangan STNK yang mencapai hingga 100% memberikan sumbangan inflasi terbesar pada bulan Januari Tekanan inflasi kelompok administered prices turut ditambah oleh adanya kenaikan TTL dan harga bensin non subsidi. Sementara itu, komoditas hortikultura masih memberikan tekanan inflasi, terutama akibat kenaikan harga komoditas cabai rawit yang mencapai hingga 40% (mtm) di bulan Januari Kembali ternormalisasinya harga angkutan udara setelah melewati masa puncaknya di akhir tahun 2016 mampu menahan tekanan inflasi yang lebih tinggi. Dalam rangka upaya pengendalian inflasi di daerah, Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) di Jawa telah mengupayakan berbagai program pada tahun 2016, sesuai dengan 5 (lima) pilar roadmap pengendalian inflasi di Jawa. Berbagai program untuk menjaga inflasi kelompok volatile food dimaksud adalah: Melaksanakan Capacity building bagi anggota TPID dan pelaksanaan studi banding dalam rangka mendapatkan pengetahuan lebih lanjut dari TPID yang sudah relatif berhasil mengendalikan inflasi di daerahnya. Merealisasikan kerjasama antar BUMD dan antar daerah untuk beberapa komoditas strategis antara lain daging sapi, bawang merah dan jagung. Sumber: BPS (diolah) Grafik III.17. Disagregasi Kelompok Inflasi Tahun 2016 Melakukan riset pangan di setiap provinsi, khususnya untuk komoditas daging ayam, bawang merah, daging sapi dan aneka cabai. Melakukan penambahan fitur pada Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) dan juga melakukan sosialisasi terhadap ketersediaan data di PIHPS. Tekanan inflasi diprakirakan akan meningkat pada triwulan I 2017 terutama bersumber dari kelompok administered prices dan volatile food. 37

46 Stabilitas Keuangan Daerah Ketahanan Sektor Korporasi Kinerja korporasi 16 di kawasan Jawa menunjukkan perbaikan, baik dari sisi rentabilitas maupun solvabilitas. Membaiknya kinerja korporasi tercermin dari rasio rentabilitas korporasi yang melanjutkan tren peningkatan sejak triwulan I Demikian juga dengan rasio solvabilitas dan likuiditas yang membaik dan berada dalam level yang aman. Hal tersebut mengindikasikan ketahanan korporasi yang masih kuat di kawasan Jawa pada triwulan III terpantau relatif stabil. Rasio solvabilitas korporasi di Jawa tercatat sebesar 2,07, relatif stabil dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 2,03. Terjaganya rasio solvabilitas korporasi tidak terlepas dari rasio Debt to Equity Ratio (DER) yang sedikit menurun dari 0,97 menjadi 0,94. Penurunan rasio DER mengindikasikan preferensi korporasi untuk lebih menggunakan dana internal dibandingkan menambah jumlah porsi hutang dari pihak eksternal. Sumber: Bloomberg Grafik III.18. Perkembangan ROA dan ROE Korporasi Rasio rentabilitas korporasi kembali melanjutkan tren peningkatan setelah sempat mengalami tren penurunan hingga triwulan IV Kinerja korproasi yang tercermin dari indikator Return on Assets (ROA) mengalami peningkatan dari 5,71% menjadi 6,13%. Indikator lainnya yaitu Return on Equity (ROE) juga tercatat meningkat dari 11,54% menjadi 12,09%. Sementara itu, indikator profitabilitas juga mengalami perbaikan, terutama pada industri makanan dan minuman serta industri testil dan produk turunannya. Sementara indikator profitabilitas pada industri otomotif dan komponennya tercatat melambat. Ketahanan korporasi juga terlihat dari kemampuan perusahaan dalam memenuhi seluruh kewajibannya yang pada triwulan III 16 Korporasi di Jawa diwakilkan oleh 40 (empat puluh) perusahaan manufaktur terbesar di Jawa dan tercatat dalam Bursa Efek Indonesia Sumber: Bloomberg Grafik III.19. Perkembangan DER dan Solvability Ratio Korporasi Sumber: Bloomberg Grafik III.20. Perkembangan ICR dan Current Ratio Korporasi Kemampuan korporasi dalam memenuhi kewajiban berupa bunga pinjaman mengalami peningkatan. Rasio Interest Coverage Ratio (ICR) pada triwulan III 2016 tercatat meningkat dari 3,30 menjadi 4,19. Rasio ICR tersebut masih berada pada level aman dan menunjukkan ketahanan korporasi yang masih kuat di tengah tekanan global yang masih belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan. 38

47 Secara sektoral, rasio solvabilitas dan ICR di seluruh sektor masih tergolong aman. Secara umum seluruh sektor korporasi masih memiliki rasio solvabilitas di atas satu kali. Ini menandakan perusahaan masih memiliki kemampuan untuk memenuhi seluruh kewajibannya dengan aset yang dimiliki. Meski demikian, terdapat subsektor manufaktur yang mengalami penurunan rasio solvabilitas yaitu sektor keramik, kaca dan porselen. Dari sisi ICR, seluruh sektor juga masih berada pada level yang aman, kecuali pada industri logam dan produknya dengan ICR dibawah satu. Tabel III.5. Indikator Kinerja Korporasi Sektor ROA ROE DER Tw II Tw III Tw II Tw III Tw II Tw III Automotive & Components Food & Beverage Pulp& Paper Tobacco Manufacturers Cement Metal & Allied Products Chemicals Pharmaceuticals Textile, Garment Ceramics, Glass, Porcelain Plastics & Packaging Total Sektor Solvability ICR Current Ratio Tw II Tw III Tw II Tw III Tw II Tw III Automotive & Components Food & Beverage Pulp& Paper Tobacco Manufacturers Cement Metal & Allied Products Chemicals Pharmaceuticals Textile, Garment Ceramics, Glass, Porcelain Plastics & Packaging Total Sumber: Bloomberg Indikator rasio likuiditas yang tercermin dari current ratio, meski mengalami peningkatan, masih berada pada level yang aman. Rasio likuiditas korporasi Jawa tercatat meningkat dari 1,51 menjadi 1,55. Meningkatnya rasio likuiditas sejalan dengan peningkatan kinerja korporasi sehingga membuat aset likuid sedikit meningkat diimbangi dengan adanya penurunan liabilities. Eksposur Perbankan pada Sektor Korporasi Sejalan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi Jawa pada tahun 2016, penyaluran kredit 17 oleh perbankan juga mengalami peningkatan. Penyaluran kredit di kawasan Jawa secara keseluruhan tumbuh meningkat dari 5,92% (yoy) menjadi 8,11% (yoy). Peningkatan tersebut juga lebih tinggi jika dibandingkan dengan pertumbuhan kredit nasional yang mencapai 7,85% (yoy). Berdasarkan golongannya, baik sektor korporasi maupun perseorangan mengalami peningkatan, dengan sektor korporasi menjadi penyumbang utama peningkatan penyaluran kredit. Sumber: Bank Indonesia Grafik III.21. Perkembangan Kredit Perbankan Sejalan dengan ekonomi Jawa yang meningkat pada tahun 2016, penyaluran kredit kepada korporasi turut mengalami peningkatan. Penyaluran kredit kepada korporasi tumbuh sebesar 8,48% (yoy), meningkat dibanding triwulan sebelumnya sebesar 6,87% (yoy). Peningkatan penyaluran kredit terjadi baik pada kredit modal kerja maupun investasi. Peningkatan kredit terutama didorong peningkatan permintaan jasa keuangan, yang memiliki pangsa kredit korporasi terbesar (9,3% dari total kredit korporasi). Pemberian kredit ke lapangan usaha industri pengolahan sedikit meningkat sebesar 0,72% (yoy), setelah relatif tidak mengalami pertumbuhan pada triwulan sebelumnya. Sementara kredit pada lapangan usaha perdagangan besar dan eceran, yang 17 Berdasarkan lokasi proyek 39

48 memiliki porsi terbesar kedua pada kredit korporasi, justru melambat dari 9,14% (yoy) menjadi 7,28% (yoy). Sumber: Bank Indonesia Grafik III.22. Penyaluran Kredit Sektoral Korporasi pengolahan di triwulan IV 2016 meningkat dari 3,9% menjadi 4,0%. Ketahanan Sektor Rumah Tangga Dana Pihak Ketiga Perseorangan di Perbankan Dana Pihak Ketiga (DPK) dari golongan perseorangan tercatat mengalami perlambatan, terutama bersumber dari perlambatan giro dan deposito. Secara keseluruhan, DPK perseorangan tumbuh melambat dari 10,30% menjadi 9,38% (yoy). Sementara itu, deposito yang pangsanya mencapai 43,8% dari total DPK, tercatat melambat dari 6,20% (yoy) pada triwulan sebelumnya menjadi 3,57% (yoy). Perlambatan tersebut ditengarai akibat adanya penurunan suku bunga deposito sebanyak 124 basis poin pada deposito dengan jangka waktu 12 bulan. Sementara giro mengalami perlambatan menjadi 28,06% (yoy), sedangkan tabungan mencatat peningkatan pertumbuhan dari 11,25% (yoy) pada triwulan III-2016 menjadi 12,56% (yoy). Sumber: Bank Indonesia Grafik III.23. Rasio NPL Kredit Sektoral Korporasi Risiko kredit mengalami peningkatan meski masih berada dalam kategori aman. Peningkatan risiko kredit bermasalah tersebut ditengarai menjadi salah satu penyebab bank lebih selektif dalam menyalurkan kredit pada tahun Pada triwulan IV 2016, rasio Non Performing Loan (NPL) korporasi sedikit meningkat dari 3,18% menjadi 3,38%. Rasio NPL korporasi juga tercatat lebih tinggi dari rasio NPL kredit secara keseluruhan yang sebesar 2,90%. Menurunnya kualitas kredit korporasi didorong baik oleh kenaikan rasio NPL pada kredit modal maupun kredit investasi. Sementara itu, secara sektoral kenaikan rasio NPL tertinggi dialami oleh lapangan usaha transportasi dan telekomunikasi yang naik hingga 4,5%, lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya yang hanya sebesar 3,8%. Selain itu, kualitas kredit pada industri Sumber: Bank Indonesia Grafik III.24. Pertumbuhan DPK Perseorangan Kredit Perseorangan di Perbankan Sejalan dengan pertumbuhan kredit, kredit rumah tangga turut mengalami peningkatan khususnya pada kredit KPR dan KKB. Penyaluran kredit rumah tangga tumbuh dari 8,99% (yoy) menjadi 9,43% (yoy) pada triwulan IV Peningkatan penyaluran kredit rumah tangga terutama disumbang pertumbuhan kredit kepemilikan rumah (KPR) yang meningkat dari 6,81% (yoy) menjadi 8,37% (yoy). Penyaluran KKB juga kembali tumbuh positif sebesar 0,73% (yoy) setelah sempat terkontraksi pada triwulan 40

49 sebelumnya. Namun, kredit multiguna justru melambat dari 10,17% (yoy) pada triwulan sebelumnya menjadi 8,77% (yoy) pada triwulan IV 2016, sehingga menahan pertumbuhan laju kredit rumah tangga yang lebih tinggi. Peningkatan KKB terutama disumbang peningkatan kredit kepemilikan mobil. Kredit kepemilikan mobil tercatat meningkat cukup signifikan dari 0,91% (yoy) menjadi 7,32% (yoy) pada triwulan IV Sementara, penyaluran kredit kepemilikan sepeda bermotor relatif membaik meskipun masih terkontraksi sebesar 11,81% (yoy) pada triwulan laporan. turun ke level 1,50%, lebih rendah dari triwulan sebelumnya 1,68%. Membaiknya kualitas kredit rumah tangga bersumber dari penurunan rasio NPL KPR, KKB maupun multiguna. Penurunan risiko KPR/KPA terjadi pada seluruh tipe rumah. NPL terendah tercatat pada KPR dengan tipe 22 s.d 70 yaitu 1,80% pada triwulan IV 2016, setelah sebelumnya 2,07%. Sementara NPL KKB juga mengalami penurunan dari 1,27% menjadi 1,25%. Risiko kredit multiguna menurun dari 1,23 pada triwulan III 2016 menjadi 1,20%. Sumber: Bank Indonesia Grafik III.26. Perkembangan KPR Sumber: Bank Indonesia Grafik III.25. Pertumbuhan Kredit Rumah Tangga Peningkatan penyaluran KPR terjadi pada penyaluran KPR untuk seluruh tipe rumah. Peningkatan tersebut bersumber dari KPR tipe >70 serta KPR tipe 22 s.d 70. Sementara penyaluran KPR tipe <21 masih terkontraksi, melanjutkan pertumbuhan negatif yang terjadi selama satu tahun terakhir. Peningkatan permintaan kredit properti sejalan dengan hasil Survei Harga Properti Residensial (SHPR) yang menunjukkan adanya peningkatan pertumbuhan indeks harga properti di kota-kota besar di Jawa. Meningkatnya permintaan akan harta tetap juga tercermin dari peningkatan indeks konsumsi barang tahan lama saat ini yang lebih tinggi dibandingkan 3 bulan sebelumnya, sebagaimana ditunjukkan hasil Survei Konsumen (SK). Risiko kredit rumah tangga sedikit membaik yang tercermin dari lebih rendahnya rasio NPL. Rasio NPL untuk kredit rumah tangga tercatat Sumber: Bank Indonesia Grafik III.27. Rasio NPL Kredit Rumah Tangga Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah Sistem Pembayaran Non Tunai Sejalan dengan pola historis di akhir tahun, transaksi kliring melalui Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) mengalami pertumbuhan dari sisi volume transaksi. Volume transaksi SKNBI tercatat tumbuh meningkat dari 6,00% (yoy) menjadi 8,94% (yoy) atau mencapai 27,8 juta transaksi. Peningkatan volume transaksi 41

50 kliring ini sejalan dengan pola historis yang bertepatan dengan momen Natal dan Tahun Baru serta realisasi APBD. Sumber: Bank Indonesia Grafik III.28. Volume Transaksi SKNBI 7,7 triliun rupiah menjadi 8,4 triliun rupiah per harinya. Pengelolaan Uang Rupiah Perayaan Natal dan Tahun Baru serta realisasi APBD mendorong net-outflow di Jawa pada triwulan laporan. Pada triwulan IV 2016, wilayah Jawa kembali mengalami net-outflow sebesar 13,5 triliun rupiah, sesuai dengan pola historisnya kawasan Jawa pada periode akhir tahun. Namun net-outflow tersebut lebih rendah dibandingkan net-outflow pada periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 27,1 triliun rupiah. penggunaan uang kartal oleh masyarakat maupun pemerintah pada perayaan Natal dan Tahun Baru serta realisasi APBD di akhir tahun telah mendorong lebih banyak outflow. Sumber: Bank Indonesia Grafik III.29. Nominal Transaksi SKNBI Pemberlakuan ketentuan baru terkait caping transaksi kliring melalui SKNBI berdampak kepada melambatnya pertumbuhan nominal transaksi. Transaksi SKNBI di Jawa secara total mencapai Rp755 triliun, atau terkontraksi sebesar 7,92% (yoy). Realisasi tersebut jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang dapat tumbuh 20,73% (yoy). Faktor utama yang menyebabkan perlambatan tersebut adalah adanya pemberlakuan ketentuan baru atas caping transaksi kliring menjadi 100 juta rupiah sejak 1 Juli Pada triwulan IV 2015, sempat diberlakukan caping yang lebih besar yaitu sebesar Rp500 juta. Dengan demikian, terdapat base year effect yang menyebabkan pertumbuhan triwulan IV 2016 tercatat lebih rendah. Namun demikian, rerata transaksi harian melalui SKNBI masih mengalami peningkatan dari Sumber: Bank Indonesia Grafik III.30. Perkembangan Inflow dan Outflow Sejalan dengan penguatan koordinasi dengan instansi yang berwenang serta peningkatan upaya edukasi CIKUR (Ciri-ciri Keaslian Uang Rupiah), maka penemuan uang yang diragukan keasliannya mengalami penurunan. Jumlah uang yang diragukan keasliannya yang dilaporkan kepada Bank Indonesia pada triwulan laporan sebanyak lembar (data hingga November 2016), atau lebih rendah dari temuan triwulan sebelumnya yang mencapai lembar. Penemuan terbesar masih berasal dari Jakarta yang merupakan pusat transaksi bisnis di Indonesia. Menurunnya temuan uang yang diragukan keasliannya tidak terlepas dari semakin kuatnya koordinasi Bank Indonesia dengan pihak berwajib dalam melakukan upaya-upaya 42

51 preventif terhadap tindak pemalsuan uang serta edukasi yang dilakukan Bank Indonesia kepada masyarakat terkait ciri-ciri keaslian uang rupiah. Sementara itu, sejalan dengan upaya Bank Indonesia untuk menjaga kualitas uang beredar, rasio pemusnahan UTLE terhadap inflow tercatat meningkat pada triwulan IV Peningkatan ketersediaan uang layak edar di seluruh pelosok Indonesia juga dilakukan melalui kegiatan kas keliling oleh Bank Indonesia hingga ke seluruh pelosok daerah. Sumber: Bank Indonesia *hingga November 2016 Grafik III.31. Perkembangan Temuan Uang Palsu Sumber: Bank Indonesia Grafik III.32. Perkembangan Pemusnahan UTLE Prospek Perekonomian Prospek Pertumbuhan Ekonomi Perekonomian Jawa diprakirakan akan membaik pada triwulan II 2017, didorong oleh peningkatan konsumsi rumah tangga dan perbaikan ekspor. Seluruh provinsi di Jawa diperkirakan mengalami peningkatan, terutama ditopang oleh peningkatan pertumbuhan DKI Jakarta dan Jawa Timur. Momen bulan puasa dan Idul Fitri yang jatuh di triwulan II 2017, diperkirakan mampu menopang pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Sementara itu, permintaan ekspor yang meningkat dari mitra dagang utama yaitu Amerika Serikat dan Tiongkok akan mendorong pertumbuhan ekspor Jawa. Dari sisi penawaran, kinerja lapangan usaha industri pengolahan dan juga perdagangan diproyeksikan meningkat, terutama untuk memenuhi permintaan domestik yang naik menjelang ramadhan dan juga Idul Fitri. Secara keseluruhan tahun 2017, perekonomian Jawa diperkirakan akan tumbuh lebih tinggi dibandingkan tahun Pertumbuhan ekonomi Jawa diperkirakan akan berada pada rentang 5,4-5,8% (yoy), terutama ditopang oleh membaiknya seluruh komponen PDRB, terutama konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah dan juga ekspor. Sejalan dengan membaiknya permintaan domestik dan luar negeri, kinerja lapangan usaha khususnya industri pengolahan diperkirakan akan mengalami peningkatan dan menjadi penopang pertumbuhan ekonomi Jawa. Secara spasial, seluruh provinsi di Jawa akan mengalami pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan tahun Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi Jawa terutama masih ditopang oleh membaiknya konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah dan juga ekspor. Optimisme keyakinan konsumen yang mengindikasikan cukup kuatnya daya beli masyarakat hingga akhir tahun 2016 yang relatif tinggi diperkirakan masih akan berlanjut pada tahun Peningkatan konsumsi juga didorong oleh pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah (PILKADA) serentak yang dapat mendorong konsumsi rumah tangga dan Lembaga Non Profit yang melayani Rumah Tangga (LNPRT). Sementara itu, konsumsi pemerintah pada tahun 2017 ini juga diperkirakan akan meningkat pasca penundaan pencairan Dana Alokasi Umum (DAU) di semester II 2016 yang menyebabkan terbatasnya belanja pemerintah pada tahun Penyaluran kembali DAU ke daerah telah dilaksanakan pada akhir tahun 2016, dimana dana tersebut masuk 43

52 ke dalam Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) dan dapat digunakan sebagai tambahan dana untuk memperluas ruang belanja bagi Pemerintah Daerah di tahun Masuknya dana repatriasi Tax Amnesty dan sejumlah kebijakan pemerintah dalam upaya mendorong ease of doing business di Indonesia diperkirakan mampu meningkatkan investasi swasta dan pemerintah di tahun Pembangunan sejumlah proyek-proyek infrastruktur besar, seperti pembangunan jalan tol, bendungan, persiapan acara ASEAN Games, sarana transportasi massal, bandara dan pelabuhan masih akan berlanjut pada tahun Progress positif dari pembangunan infrastruktur juga tergambar dari alokasi anggaran infrastruktur di Jawa yang meningkat 9% pada tahun Sementara itu, minat investasi swasta juga diperkirakan mengalami peningkatan melalui pembangunan sejumlah pabrik baru dan peningkatan kapasitas produksi walaupun dalam realisasinya masih menunggu hasil PILKADA Perkembangan ekonomi global yang cenderung membaik pada tahun 2017 diharapkan dapat mendorong penjualan ekspor Jawa. Membaiknya ekonomi Jawa juga didorong peningkatan ekspor dari Jawa sejalan dengan optimisme pertumbuhan ekonomi global serta rencana pelaku usaha untuk melakukan diversifikasi negara tujuan ekspor, dari semula hanya terbatas pada Amerika Serikat dan Eropa, akan diperluas agar pangsa pasar juga mencakup negara-negara di Asia. Dari sisi impor, seiring dengan kinerja industri pengolahan yang membaik maka impor bahan baku juga meningkat untuk memenuhi peningkatan kapasitas produksi. Dari sisi penawaran, seluruh lapangan usaha utama mulai terakselerasi, terutama ditopang oleh membaiknya kinerja industri pengolahan. Perbaikan industri pengolahan terindikasi dari keyakinan pelaku usaha terhadap prospek ekonomi dunia di tahun 2017 yang akan mendorong peningkatan permintaan domestik. Sub lapangan usaha makanan dan minuman serta otomotif diperkirakan tumbuh membaik seiring peningkatan daya beli masyarakat dan peningkatan kapasitas produksi melalui beroperasinya sejumlah pabrik baru. Permintaan baja domestik diprakirakan meningkat juga terutama terkait dengan pemenuhan proyek infrastruktur pemerintah. Hal ini akan mendorong kinerja penjualan sub lapangan usaha logam. Peningkatan daya beli masyarakat akan juga mendorong perbaikan kinerja lapangan usaha perdagangan, apalagi dengan adanya pelaksanaan PILKADA serentak. Kinerja lapangan usaha konstruksi akan meningkat di tahun 2017 sejalan dengan akselerasi proyek-proyek Pemerintah yang sempat tertunda sebelumnya. Perkiraan realisasi investasi pemerintah yang lebih tinggi, mampu mendorong kinerja konstruksi, terutama dari akselerasi proyek-proyek infrastruktur di antaranya pembangunan jalan Trans Jawa, Bandara di Jawa Barat dan DIY, pelabuhan di Jakarta dan Patimban serta sarana pendukung untuk penyelenggaraan ASEAN Games di jakarta. Selain itu, kegiatan konstruksi dari pihak swasta diperkirakan juga akan cukup tinggi didorong terutama oleh membaiknya sub lapangan usaha otomotif serta tekstil dan produk turunannya. Sementara itu, produksi pertanian juga akan mengalami peningkatan seiring perkiraan berakhirnya dampak La Nina pada awal triwulan II Lebih jauh, peningkatan lapangan usaha pertanian didukung oleh adanya irigasi, kenaikan indeks tanam, Sekolah Lapang Iklim BMKG dan Upaya Khusus Sektor Pertanian serta pengaturan pola tanam. Optimisme membaiknya perekonomian Jawa masih dibayangi risiko internal maupun eksternal yang dapat menahan laju pertumbuhan ekonomi. Meski World Trade Volume diperkirakan meningkat sejalan dengan tumbuh lebih tingginya ekonomi global, namun terdapat tantangan peningkatan kegiatan perdagangan luar negeri terkait arah kebijakan 44

53 pemerintah AS pasca terpilihnya Presiden Trump. Kenaikan suku bunga lanjutan di AS masih berpotensi meningkatkan risiko terhadap nilai tukar rupiah yang dapat menghambat laju pertumbuhan ekonomi Jawa. Sementara risiko sisi internal terutama bersumber dari rencana penyesuaian administered prices sejalan dengan kebijakan lanjutan reformasi subsidi energi oleh Pemerintah yang berpotensi menahan konsumsi rumah tangga dan menghambat kegiatan produksi. Ruang fiskal juga diperkirakan masih terbatas seiring dengan risiko realisasi pendapatan pajak yang belum optimal. Sejalan dengan perekonomian Jawa yang membaik di triwulan II tahun 2017, maka tekanan inflasi diperkirakan juga akan meningkat. Tingkat inflasi tahunan Jawa diperkirakan berada pada rentang 4,5-4,9% (yoy), lebih tinggi dibandingkan perkiraan inflasi triwulan I Tekanan inflasi pada triwulan II diperkirakan akan bersumber dari kenaikan harga komoditas volatile food, seiring mulai meningkatnya permintaan domestik sejak bulan Mei bertepatan awal bulan puasa. Beberapa komoditas yang berpotensi menyumbang inflasi dari kelompok volatile food antara lain daging sapi dan daging ayam ras, seiring meningkatnya permintaan membuat masakan khas Ramadhan. Tekanan inflasi pada triwulan II turut disumbang oleh adanya kenaikan beberapa komoditas administered prices, seperti Tarif Tenaga Listrik (TTL) dan tarik angkutan. Kenaikan TTL 900 VA yang mulai diterapkan sejak Januari, diperkirakan akan memberikan sumbangan inflasi secara bertahap hingga triwulan II Meningkatnya tekanan inflasi juga akan didorong pola seasonal kenaikan tarif angkutan untuk semua moda menjelang hari raya Idul Fitri. Sumbangan terbesar diperkirakan akan bersumber dari tarif angkutan udara dan angkutan luar kota. Sementara itu, inflasi inti diperkirakan juga berisiko memberikan sumbangan inflasi terutama dari komoditas gula pasir dan emas perhiasan, seiring meningkatnya permintaan masyarakat dengan adanya pencairan gaji ke-13 atau Tunjangan Hari Raya (THR). Laju inflasi tahunan Jawa untuk tahun 2017 diperkirakan lebih tinggi dari tahun 2016, namun masih dalam rentang sasaran target inflasi tahun 2017 yaitu 4% ± 1%. Tekanan terbesar di tahun 2017 diperkirakan berasal dari komoditas administered prices, yang pada tahun 2016 mengalami deflasi sebesar 0,51% (yoy). Komoditas utama penyumbang inflasi antara lain kenaikan biaya administrasi STNK di bulan Januari dan penyesuaian TTL pada semester I tahun 2017 untuk golongan 900 VA. Selain itu, masih terdapat kemungkinan risiko tambahan dari penetapan harga BBM satu harga dan penyesuaian harga komoditas LPG. Inflasi kelompok volatile food diperkirakan masih relatif terjaga dengan semakin aktifnya berbagai program TPID dalam upaya mengendalikan inflasi daerah. Laju inflasi dari kelompok volatile food diharapkan dapat terjaga stabil, dengan peningkatan produksi beras dan terjaganya pasokan daging ayam ras dan daging sapi. Tekanan inflasi tahun 2017 diperkirakan terjadi selama periode Ramadhan dan Idul Fitri serta pada semester II yang terutama disebabkan oleh penurunan produksi hortikultura di tengah perkiraan tingginya curah hujan dan peningkatan permintaan. Beberapa upaya akan dilaksanakan oleh TPID di daerah untuk menjaga kestabilan harga bahan pangan antara lain, optimalisasi pemanfaatan PIHPS atau instrumen lain sebagai referensi harga, penguatan kerjasama antar BUMD dan antar daerah untuk komoditas pangan penyumbang inflasi serta optimalisasi produksi melalui berbagai program antara lain pengaturan pola tanam dan optimalisasi proses paska panen. 45

54 Boks 2 Peningkatan produksi tanaman pangan terus dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai target swasembada pangan melalui berbagai upaya termasuk peningkatan luas tanam dan perbaikan pascapanen. Konversi lahan yang terus terjadi di berbagai wilayah termasuk di Jawa sebagai sentra produksi pangan dan inefisiensi pengolahan pasca panen komoditas pangan terutama padi juga relatif tinggi menjadi tantangan yang perlu diatasi. Perbaikan pengolahan pascapanen akan mampu meningkatkan produksi dan menghemat kebutuhan penggunaan lahan. Konsentrasi Produksi Pangan di Jawa Jawa yang hanya memiliki luas wilayah 6,77% dari luas wilayah Indonesia, memiliki peran yang sangat penting dalam produksi tanaman pangan, hortikultura, dan sumber protein hewani di Indonesia (Gambar 1). Rasio jumlah penduduk Jawa yang mencapai 57% dari total jumlah penduduk dan kondisi infrastruktur pertanian di Jawa yang relatif lebih maju serta tanahnya yang subur, mendorong produksi pertanian di Jawa. Sumber: BPS, diolah Gambar III.1. Peran Jawa dalam Produksi Pangan Upaya Mencegah Konversi Lahan Alih fungsi lahan yang berupa konversi sawah irigasi menjadi perumahan maupun kawasan industri seiring dengan kenaikan jumlah penduduk dan manufaktur di Jawa, menjadi tantangan peningkatan produksi pertanian di Jawa. Luas lahan sawah irigasi di Jawa terus mengalamai penurunan. Pada tahun 2011, Jawa memiliki lahan irigasi seluas ribu ha sementara pada tahun 2015 berkurang 73,6 ribu hektar menjadi ribu ha. Penurunan luas lahan irigasi ini menyebabkan berkurangnya potensi produksi padi sebanyak 851,9 ribu ton per tahun. 18 Sumber: Kementerian Pertanian, diolah Grafik III.33. Luas Lahan Sawah Irigasi Jawa Beberapa upaya dilakukan oleh Pemerintah untuk menjaga keberlangsungan pangan, di antaranya melalui Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 tentang Lahan Pertanian Pangan berkelanjutan (LP2B) yang ditujukan untuk menahan laju konversi lahan pertanian. UU tersebut ditindaklanjuti dengan beberapa aturan pelaksana dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) No. 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Pertanian yang mengatur tata cara penetapan lahan sebagai kawasan pertanian berkelanjutan nasional, provinsi, maupun kabupaten. Sementara, menurut UU 41 tahun 2009 dan PP No. 1 Tahun 2011, Alih fungsi LP2B hanya dapat dilakukan untuk kepentingan publik saja dan alih fungsi lainnya tidak diperkenankan. 18 Dengan asumsi penanaman padi sebanyak 2 kali per tahun 46

55 Tindak lanjut dari penetapan LP2B sendiri masih belum optimal terindikasi dari masih sedikitnya jumlah kabupaten / kota yang telah melakukan penetapan. Dari 238 kabupaten di Indonesia, baru 56 kabupaten yang menetapkan LP2B dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), sementara dari 63 kota, baru 13 kota yang telah memasukkan LP2B dalam RTRW. Penetapan yang dilakukan oleh kabupaten / kota juga dianggap belum optimal karena masih banyak yang sebatas memasukkan angka luasan dan belum menetapkan lokasi spasial secara tegas 19. Insentif Pencegahan Alih Fungsi LP2B Upaya menekan laju konversi lahan juga dilakukan melalui pemberian insentif. 20 Insentif yang diberikan oleh pemerintah dapat berupa pengembangan infrastruktur pertanian; pembiayaan penelitian dan pengembangan benih dan varietas unggul; kemudahan dalam mengakses informasi dan teknologi; penyediaan sarana dan prasarana produksi pertanian; jaminan penerbitan sertipikat hak atas tanah pada Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; dan/atau penghargaan bagi Petani berprestasi tinggi. Pemberian insentif ini dapat diberikan pada lahan pertanian yang telah ditetapkan dalam RTRW Nasional, Provinsi, Kabupaten dan atau Rencana Rinci Tata Ruang Wilayah Kabupaten / Kota. Selain itu, pada tahun 2016 Pemerintah telah melakukan pembangunan infrastruktur irigasi yang menghabiskan dana sebanyak Rp 3,6 triliun dan rehabilitasi sebanyak Rp 3,4 triliun. Pemerintah juga memberikan bantuan alsintan berupa traktor roda 2 dan roda 4, kultivator, serta pompa dengan total bantuan pada 2016 sebanyak Rp 4,1 triliun. Selain dalam bentuk 19 BPN, Penggunaan Lahan untuk Produksi Pangan, Focus Group Discussion, Jakarta : Januari Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2012 tentang Insentif Perlindungan Lahan infrastruktur, pemerintah juga telah menggelontorkan anggaran cukup besar untuk subsidi pupuk dan subsidi benih yang masingmasing tercatat sebesar Rp 30,1 triliun dan Rp 1 triliun. Pembangunan infrastruktur serta subsidi pupuk dan benih ini bertujuan untuk meningkatkan produksi pangan melaui peningkatan produktivitas lahan pertanian. Namun, alokasi anggaran untuk pembangunan infrastruktur dan subsidi perlu dihitung dengan cermat untuk mengoptimalkan dampak ekonomi bagi petani dan produksi pangan secara keseluruhan. Studi yang dilakukan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Departemen Keuangan (2012) menyebutkan bahwa alokasi anggaran untuk pembangunan infrastruktur irigasi akan memberikan dampak yang lebih besar terhadap produksi padi. Hasil simulasi pertanian di Jawa menunjukkan bahwa pengurangan subsidi pupuk sebesar 20% dan kenaikan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) sebesar 20% akan meningkatkan produksi padi 1,44%. Sementara kenaikan anggaran irigasi sebesar 20% akan menaikkan produksi padi sebesar 8,58%. Simulasi ini mengindikasikan bahwa insentif pemerintah akan lebih memberikan hasil optimal jika digunakan untuk pembiayaan irigasi pertanian. Selain insentif dalam bentuk pembangunan infrastruktur dan subsidi benih serta pupuk, PP No. 12 tahun 2012 juga menyebutkan bahwa insentif bagi lahan pangan berkelanjutan dapat diberikan oleh pemerintah kabupaten dalam bentuk keringan pajak bumi dan bangunan. Sebagai contoh di Jawa, keringanan PBB sebagai insentif menjaga lahan pangan ini telah diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten Boyolali dalam bentuk pembebasan PBB bagi lahan sawah irigasi dengan luas kurang dari meter persegi. Untuk menutup potensi pajak yang hilang, pemkab Boyolali melalukan pendataan ulang objek PBB lainnya. 47

56 Reformasi Pajak Untuk menjaga luasan lahan pangan berkelanjutan, insentif dalam bentuk pengenaan PBB perlu direvisi sehingga petani mempunyai manfaat lebih tinggi apabila tetap menjaga lahan irigasi sebagai lahan pangan. Reformasi dapat dilakukan melalui perubahan ketentuan Pajak Bumi dan Bangunan yang lebih mahal serta Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) yang lebih sulit terhadap bangunan di atas lahan pangan. Sesuai dengan UU No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah besarnya tarif PBB untuk kegiatan usaha selain perkebunan, perhutanan, dan pertambangan ditetapkan sebesar 0.3% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) setelah Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena pajak (NJOPK). Untuk meningkatkan perlindungan terhadap lahan pangan berkelanjutan, PBB untuk tanah sawah beririgasi dapat dibebaskan. Hal ini telah diimplementasikan di Kabupaten Boyolali. Luas tanah sawah yang dibebaskan dari PBB seyogianya mempertimbangkan luasan optimal tanah pertanian yang mampu memberikan pendapatan layak bagi petani dengan mempertimbangkan hasil usaha dan biaya pengerjaan lahan. maka petani berpotensi memperolah hasil sebesar Rp1,13 juta/bulan per 1 hektar sawah. 21 Ini sedikit lebih tinggi dibanding tingkat Upah Minimum Regional (UMR) di Provinsi Jawa Tengah tahun 2014 sebesar Rp 910 ribu, atau Jawa Timur sebesar Rp 1 juta. Dengan dasar perhitungan ini, luas sawah minimal yang dapat dibebaskan dari PBB adalah seluas 1 ha per petani. Data sensus pertanian tahun 2013 menunjukkan bahwa rata-rata kepemilikan lahan pertanian di Jawa adalah 2 ribu hingga 6 ribu m 2 per rumah tangga petani (Grafik III.34). Di sisi lain, disinsentif juga perlu diterapkan untuk mencegah konversi lahan pangan berkelanjutan untuk keperluan lain dengan cara memberikan bobot tinggi pada lahan pertanian sebagai pembentuk indeks terintegrasi sehingga retribusi IMB eks lahan pertanian akan jauh lebih tinggi 22. Perbaikan Pascapanen Selain mencegah alih fungsi lahan, peningkatan produksi pangan juga dapat dilakukan melalui upaya meminimalkan hasil panen yang hilang (losses) akibat proses pengolahan pasca panen yang tidak efisien. Sebagai ilustrasi, losses pascapanen padi dapat mencapai 16,5% (Perdana, 2016) yaitu dari proses pemanenan, perontokan, pengeringan, dan penggilingan. Gambar III.2. Losses Pascapanen Padi Grafik III.34. Rata-Rata Luas Lahan per Rumah Tangga Petani Sebagai gambaran, berdasarkan publikasi BPS, hasil produksi padi untuk sawah seluas 1 hektar adalah Rp 17,2 juta per musim. Dengan biaya produksi sebesar Rp 12,7 juta, maka hasil bersih adalah Rp 4,5 juta per musim tanam, Tingginya losses pada proses pasca panen padi menyebabkan rendahnya rasio beras yang dihasilkan. Selain itu, deviasi harga beras di tingkat konsumen dengan harga padi di tingkat 21 Jika diasumsikan bahwa 1 musim tanam adalah 4 bulan. 22 Rumus retribusi IMB adalah L x It x HS bg dimana L= luas bangunan, It = Indeks terintegrasi, HS bg=harga satuan retribusi bangunan. 48

57 produsen semakin lebar, sebagaimana tampak pada Grafik III.35. Inefisiensi pada proses penggilingan terjadi antara lain karena kondisi mesin penggilingan yang tua, bervariasinya varietas padi yang membutuhkan setting mesin berbeda, serta dominasi mesin penggilingan kecil yang kurang efisien. Pada komoditas hortikultura, penyusutan pascapanen terutama terjadi pada proses penyimpanan. Penyusutan komoditas bawang merah dapat mencapai 30% jika disimpan dengan menggunakan metode tradisional. Sistem penyimpanan dengan cold storage mampu menekan tingkat penyusutan menjadi 15%-20%. Sementara terobosan penyimpanan dengan teknologi controlled atmosphered storage (CAS) bahkan dapat menekan penyusutan menjadi 8%. Sumber: FAO (diolah) Grafik III.35. Produksi Beras dan Padi Sumber: Tomy Perdana (diolah) Gambar III.37. Simulasi Efisiensi Proses Perontokan Sumber: Perpadi (diolah) Grafik III.36. Struktur Penggilingan Padi Indonesia Kehilangan juga terjadi pada proses perontokan, yang dapat mencapai 8% terutama akibat prosesnya yang masih manual. Hasil simulasi menunjukkan perbaikan loss proses perontokan 4,8%, berpotensi menambah produksi beras di Jawa 1,9 juta ton per tahun (Tommy Perdana, 2016) 23 dan setara dengan penghematan luas tanam padi 183 hektar Asumsi ini diperoleh dengan menggunakan produksi padi di Jawa pada tahun 2016 sebesar 40,2 juta ton 24 Ekuivalen luas tanam = efisiensi produksi padi / IP / Pv = 1,9 juta ton / 2 / kg per ha = ha. Jika diasumsikan bahwa indeks pertanaman di Jawa adalah 2 dan produktivitas lahan pertanian padi di Jawa adalah kg/ha maka efisiensi proses perontokan sebesar 4,8%. Tabel III.6. Perbandingan Teknologi Simpan Teknologi Daya Tahan Penyusutan Tradisional 2-3 bulan 30% Cold storage 3 bulan 15-20% CAS 3-6 bulan 8% Penutup Peran Jawa sebagai sentra produksi pangan perlu dijaga agar ketahanan pangan nasional dapat terwujud. Konversi lahan pertanian menjadi salah satu ancaman bagi produksi pangan. Penetapan RTRW perlu memasukkan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) agar keberadaan LP2B terjaga. Selain itu, reformasi ketentuan perpajakan perlu dilakukan untuk memberikan insentif mempertahankan lahan pertanian. Salah satunya melalui pembebasan PBB lahan pertanian pangan hingga luasan tertentu per 49

58 rumah tangga petani dan proses izin pendirian bangunan pada lahan eks pertanian. Peningkatan efisiensi proses pasca panen yang mempu meningkatkan produksi padi dan menghemat kebutuhan luas tanam padi. 50

59 Pada triwulan IV 2016, ekonomi Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang mencakup wilayah Kalimantan, Sulampua (Sulawesi, Maluku, dan Papua), dan Balinusra (Bali dan Nusa Tenggara) tumbuh meningkat menjadi 5,5% (yoy) dari triwulan sebelumnya sebesar 5,4% (yoy). Peningkatan tersebut didorong oleh membaiknya ekspor mineral dan batubara. Di sisi perkembangan harga, laju inflasi KTI menurun dari 3,47%, (yoy) pada triwulan III 2016 menjadi 2,90% (yoy) yang terutama didukung oleh terjaganya pasokan pangan yang meliputi antara lain komoditas aneka bumbu dan ikan segar. Untuk keseluruhan 2016, ekonomi KTI tumbuh melambat dari 5,2% (yoy) pada 2015 menjadi 4,8% (yoy). Perlambatan disebabkan oleh kinerja konsumsi dan investasi yang tidak sebaik tahun sebelumnya sejalan dengan upaya efisiensi belanja operasional Pemerintah Daerah, serta belum adanya pembangunan pabrik pengolahan baru di beberapa daerah. Sementara itu, inflasi tahun 2016 (2,90%, yoy), lebih rendah daripada 2015 (4,43%, yoy) terutama didukung oleh terkendalinya inflasi inti dan terjaganya pasokan pangan pada momen perayaan hari besar keagamaan nasional dan akhir tahun. Memasuki triwulan I 2017, laju pertumbuhan ekonomi KTI diperkirakan sedikit melambat seiring terjadinya penurunan net eskpor komoditas utama KTI. Melemahnya ekspor terkait dengan berakhirnya periode izin eksportir mineral pada awal Namun demikian, ekonomi diperkirakan tumbuh meningkat pada triwulan II 2017 seiring dengan perbaikan produksi dan ekspor dari sektor ekonomi tradable. Perbaikan pada triwulan II 2017 diperkirakan akan terus berlanjut, dan mendorong pertumbuhan ekonomi keseluruhan tahun 2017 lebih baik dibandingkan Pertumbuhan ekonomi tahun 2017 diperkirakan berada pada kisaran 5,1-5,5% (yoy), ditopang oleh membaiknya seluruh komponen permintaan. Di sisi harga, pada awal triwulan I 2017, tekanan inflasi Januari 2017 meningkat seiring dengan kenaikan tarif listrik, biaya perpanjangan STNK, dan tarif pulsa telepon seluler. Kenaikan inflasi administered prices diprakirakan berlanjut hingga triwulan II 2017, serta akan menambah tekanan bagi inflasi secara keseluruhan, khususnya akibat terjadinya kenaikan tarif listrik. Dengan perkembangan tersebut dan mempertimbangkan pola historis di bulan-bulan tertentu, inflasi tahun 2017 diperkirakan meningkat dan berada pada kisaran 4,7%-5,1% (yoy). Pertumbuhan Ekonomi Perekonomian KTI pada triwulan IV 2016 secara agregat tumbuh 5,5% (yoy), sedikit lebih tinggi dari triwulan sebelumnya sebesar 5,4% (yoy). Secara spasial, peningkatan pertumbuhan ekonomi KTI dipengaruhi oleh menguatnya kinerja perekonomian di Sulampua di tengah relatif stabilnya perekonomian di Kalimantan dan melambatnya pertumbuhan ekonomi Balinusra. Akselerasi yang terjadi di Sulampua didukung oleh peningkatan kinerja sektor ekonomi tradable yang turut mendorong peningkatan net ekspor, terutama di Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat (Tabel IV.1). Kinerja net ekspor beberapa provinsi di Kalimantan juga meningkat, namun perlambatan ekonomi Kalimantan Timur menahan perbaikan kinerja pertumbuhan ekonomi Kalimantan. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Bali yang melambat menjadi sumber perlambatan Balinusra di tengah masih cukup baiknya kinerja ekonomi NTB dan NTT. 51

60 Di sisi permintaan, peningkatan pertumbuhan ekonomi KTI didorong oleh akselerasi net ekspor. Hal tersebut terjadi seiring dengan kembali positifnya kinerja ekspor luar negeri yang sejak tahun 2014 mengalami kontraksi. Perbaikan ekspor luar negeri terutama ditopang oleh kinerja ekspor komoditas batubara dari Kalimantan dan tembaga dari Papua dan NTB. Insentif dari sisi perbaikan harga menjadi faktor pendorong ekspor batubara, sedangkan peningkatan ekspor tembaga lebih dipengaruhi oleh upaya eksportir mineral untuk mengoptimalkan kuota ekspor yang izinnya akan berakhir pada Januari 2017 (UU No. 4 Tahun 2009 dan Permen ESDM No. 1 Tahun 2014 terkait Minerba). Di samping itu, kinerja ekspor antardaerah juga meningkat, ditopang oleh peningkatan hasil produksi pertanian di Sulawesi seiring tidak terjadinya anomali cuaca seperti El Nino pada tahun sebelumnya. Adapun tekanan impor luar negeri berkurang sejalan melambatnya kinerja konsumsi dan investasi. Tabel IV.1. Pertumbuhan Ekonomi Daerah di KTI Provinsi I II III IV 2016 Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur (1.2) (0.5) (0.7) (0.0) (0.3) (0.4) Kalimantan Utara Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Sulawesi Tengah Gorontalo Sulawesi Utara Maluku Maluku Utara Papua 7.5 (0.7) (5.2) Papua Barat Bali NTB NTT KTI Sumber: BPS, data realisasi periode sebelumnya direvisi Pada triwulan IV 2016, kinerja konsumsi melambat baik konsumsi rumah tangga maupun konsumsi pemerintah. Perlambatan konsumsi rumah tangga terjadi di hampir seluruh daerah, khususnya konsumsi makanan-minuman, perlengkapan rumah tangga, serta transportasikomunikasi. Perlambatan konsumsi rumah tangga terutama akibat berkurangnya peningkatan pendapatan dari sektor nontradable utama seperti industri, konstruksi, perdagangan, dan akomodasi. Indeks keyakinan konsumen di beberapa daerah menunjukkan penurunan pada triwulan IV 2016 (Grafik IV.1). Sementara itu, konsumsi pemerintah mengalami kontraksi di seluruh wilayah baik di Kalimantan, Sulampua, maupun Balinusra. Faktor utama penyebab menurunnya kinerja konsumsi pemerintah tidak terlepas dari penundaan DAU sebagai bagian dari upaya efisiensi anggaran Pemerintah Pusat yang kemudian berdampak pada menurunnya sumber pendapatan Pemerintah Daerah yang lalu diikuti oleh efisiensi belanja operasional. Grafik IV.1. Indeks Keyakinan Konsumen (Survei Konsumen Bank Indonesia) Sementara itu, komponen pembentukan modal tetap bruto (PMTB) dalam investasi mengalami perlambatan. Perlambatan tersebut terutama disebabkan oleh pertumbuhan PMTB bangunan yang tidak sebaik triwulan sebelumnya. Investasi bangunan baru belum banyak terealisasi pasca selesainya pembangunan smelter (nikel, alumina) maupun beberapa pabrik pengolahan lainnya (gula, garam, semen, LNG) di beberapa daerah. Kegiatan investasi lebih banyak ditopang oleh investasi non-bangunan, khususnya terkait upaya penambahan kapasitas produksi manufaktur. Meskipun kinerja perekonomian KTI tumbuh meningkat pada triwulan IV 2016, namun secara 52

61 keseluruhan tahun 2016 tumbuh melambat dibandingkan dengan Pertumbuhan KTI pada 2016 tercatat sebesar 4,8% (yoy), lebih rendah dari 2015 (5,2%, yoy). Perlambatan tersebut dipengaruhi melemahnya konsumsi pemerintah dan investasi (PMTB). Kontraksi konsumsi pemerintah terjadi seiring dengan penundaan pencairan DAU dan pemotongan anggaran kementerian dan lembaga yang berdampak pada berkurangnya realisasi belanja APBD terutama sejak triwulan III Sejalan dengan itu, investasi mengalami perlambatan akibat masih tertahannya penanaman modal asing seiring pesimisme investor swasta asing terhadap kondisi ekonomi nasional yang belum sepenuhnya stabil (Grafik IV.2). Di samping itu, proyek-proyek besar terkait smelter dan pabrik pengolahan SDA lainnya yang tersebar di Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, Papua Barat, NTB, dan NTT telah selesai konstruksinya dan memasuki fase operasional atau uji coba produksi pada Akibatnya, investasi bangunan secara keseluruhan belum meningkat lebih tinggi daripada tahun sebelumnya. Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal, diolah Grafik IV.2. Realisasi PMA dan PMDN di KTI Net ekspor menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi KTI pada Sumber perbaikan net ekspor terutama berasal dari ekspor luar negeri seiring dengan mulai membaiknya ekspor batubara di Kalimantan meskipun masih mengalami kontraksi (Grafik IV.3). Hal ini ditopang oleh perbaikan harga komoditas dan peningkatan permintaan dari Tiongkok. Selain net ekspor, konsumsi rumah tangga juga masih dapat tumbuh tinggi meskipun relatif stabil dibandingkan 2015, terutama konsumsi rumah tangga di Kalimantan dan Sulampua seiring inflasi yang relatif rendah dan terjaganya pendapatan di sektor sekunder dan tersier. Sumber: Bea Cukai, diolah Grafik IV.3. Volume Ekspor Batubara dari KTI Memasuki triwulan I 2017, perekonomian KTI diindikasikan sedikit melambat tercermin dari berbagai indikator dan hasil liaison. Ekonomi KTI diperkirakan tumbuh 5,4% (yoy), sedikit lebih rendah dibandingkan triwulan IV 2016 (5,5%, yoy). Perlambatan pertumbuhan ekonomi terjadi di Sulampua dan Balinusra yang disebabkan oleh melemahnya kinerja ekspor tembaga di Papua dan NTB seiring telah berakhirnya periode izin ekspor mineral mentah mulai awal Januari Selain itu, ekspor perikanan dan kayu olahan juga diperkirakan menurun akibat masalah cuaca dan ketersediaan bahan baku. Di sisi lain, impor justru tumbuh meningkat akibat peningkatan kebutuhan bahan baku smelter di Sulawesi dan Kalimantan. Konsumsi rumah tangga maupun konsumsi pemerintah diperkirakan membaik pada triwulan I Peningkatan kinerja konsumsi rumah tangga terutama dipengaruhi oleh peningkatan aktivitas pasca tahun baru dan perayaan Imlek yang mendorong kinerja perdagangan dan pariwisata, termasuk usaha akomodasi, makanan dan minuman (akmamin) di seluruh wilayah di KTI. Selain itu, peningkatan kinerja konsumsi rumah tangga juga didorong 53

62 oleh kenaikan UMP dan daya beli masyarakat yang relatif terjaga. Konsumsi pemerintah juga diperkirakan dapat tumbuh lebih cepat. Komitmen percepatan lelang proyek, upaya peningkatan PAD, dilaksanakannya Pilkada serentak di beberapa daerah, serta pencairan DAU yang sebelumnya ditunda menjadi faktor-faktor pendorong perbaikan pertumbuhan konsumsi pemerintah. membaiknya produksi hasil panen karena tidak adanya anomali cuaca. Di samping itu, produksi perkebunan karet dan kelapa sawit (tandan buah segar/tbs) di Kalimantan juga membaik sejalan peningkatan permintaan bahan baku untuk memenuhi kebutuhan industri olahannya (Grafik IV.5). Sumber: Berbagai instansi terkait, diolah Grafik IV.5. Kinerja Pertumbuhan Perkebunan di KTI Grafik IV.4. Perkembangan Kegiatan Dunia Usaha (Survei Kegiatan Dunia Usaha) dan Liaison Penjualan Domestik Kinerja investasi juga diperkirakan mengalami perbaikan pada triwulan I Percepatan kinerja investasi (PMTB) tersebut didorong oleh adanya komitmen dari Pemerintah Daerah untuk mempercepat realisasi konstruksi proyek APBD, serta lanjutan dari penambahan investasi nonbangunan milik swasta akibat pembangunan beberapa pabrik pengolahan di KTI. Investasi non-bangunan juga diperkirakan meningkat pada usaha terkait pertambangan didorong prospek harga yang semakin membaik pada 2017, khususnya nikel dan batubara. Kinerja Lapangan Usaha Pertanian Pada triwulan IV 2016, pertumbuhan lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan mengalami akselerasi dari 3,9% (yoy) menjadi 8,4% (yoy). Secara spasial, perbaikan terjadi di seluruh provinsi di Sulampua, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan NTT. Capaian ini didukung oleh peningkatan produksi tanaman bahan makanan (tabama), khususnya padi dan jagung di Sulawesi, ditopang Untuk keseluruhan tahun 2016, kinerja lapangan usaha pertanian sedikit melambat, yaitu dari 4,3% (yoy) menjadi 4,2% (yoy). Perlambatan terjadi terutama di wilayah Kalimantan dan Balinusra. Hal itu terutama karena penurunan produktivitas tabama di Kalimantan yang dipengaruhi La Nina, serta masih lemahnya permintaan bahan baku industri pengolahan hasil perkebunan selama semester I Di sisi lain, perlambatan usaha pertanian di Balinusra terjadi akibat gagal panen di beberapa daerah sentra tanaman bahan makanan akibat tingginya curah hujan, dan aksi pemogokan produsen ikan tuna di Bali terkait larangan bongkar muat di tengah laut. Pada triwulan I 2017, usaha pertanian di KTI diperkirakan masih melanjutkan tren perlambatan. Tingkat produksi pada awal 2017 tidak dapat melampaui capaian triwulan II dan III sebelumnya yang sempat tumbuh tinggi. Secara historis puncak panen memang terjadi pada triwulan II atau III. Sementara itu, berdasarkan hasil liaison kepada eksportir, produksi kakao dan jagung diperkirakan turun akibat melemahnya permintaan serta harga jual yang rendah. Kinerja ekspor hasil pertanian juga diperkirakan melambat disebabkan terganggunya produksi 54

63 perikanan akibat curah hujan yang tinggi di Maluku. Perlambatan usaha pertanian tersebut tercermin dari nilai tukar petani (NTP) di beberapa daerah sentra produksi yang cenderung menurun pada Januari 2017 (Grafik IV.6). kecilnya kuota ekspor yang turut memengaruhi tingkat produksi (Grafik IV.7). Sementara kinerja migas di Kalimantan masih terbatas terutama akibatnya menurunnya kemampuan produksi sumur-sumur migas secara natural (natural declining) di daerah tambang. Sumber: Badan Pusat Statistik Grafik IV.6. Nilai Tukar Petani Pertambangan Pertumbuhan lapangan usaha pertambangan mengalami peningkatan pada triwulan IV 2016 dari 4,5% (yoy) menjadi 6,3% (yoy). Secara spasial, kinerja pertambangan di provinsi produsen tambang utama di KTI hampir seluruhnya mengalami peningkatan, yaitu di Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara, Papua, dan NTB. Peningkatan harga batubara menjadi pendorong membaiknya produksi batubara di Kalimantan. Sementara itu, produksi nikel di Sulawesi Tenggara juga tumbuh meningkat sejalan penguatan permintaan dari industri feronikel. Sementara di Papua dan NTB, akselerasi produksi terjadi karena eksportir berusaha mengoptimalkan sisa kuota ekspor mineral mentah yang dimiliki sebelum berakhir izin ekspor mineral mentah pada awal Untuk keseluruhan tahun 2016, kinerja lapangan usaha pertambangan KTI melambat dari 2,1% (yoy) menjadi 1,4% (yoy). Hal itu bersumber dari perlambatan produksi nikel di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara yang cukup dalam akibat pemeliharaan mesin di awal 2016 dan perkembangan harga yang masih rendah hingga pertengahan tahun. Di samping itu, produksi konsentrat mineral di NTB juga mengalami perlambatan yang cukup drastis akibat semakin Sumber: Produsen, diolah Grafik IV.7. Kinerja Pertumbuhan Mineral di KTI Grafik IV.8. Perkembangan Kegiatan Dunia Usaha Pertambangan (Survei Kegiatan Dunia Usaha) Memasuki periode triwulan I 2017, usaha pertambangan diperkirakan akan mengalami perlambatan pertumbuhan. Perlambatan ini terutama dipengaruhi oleh menurunnya produksi dan ekspor tembaga karena telah berakhirnya izin ekspor yang dimiliki oleh produsen di Papua dan NTB. Ekspor pertambangan juga diperkirakan akan menurun sejalan dengan prospek harga jual komoditas tambang (Grafik IV.8) yang diperkirakan akan melemah dibandingkan triwulan sebelumnya. Industri Pertumbuhan lapangan usaha industri pengolahan mengalami perlambatan pada triwulan IV 2016, yaitu dari 6,9% (yoy) pada 55

64 triwulan sebelumnya menjadi hanya 3,0% (yoy). Perlambatan disebabkan oleh melemahnya kinerja industri makanan olahan di Sulawesi Selatan akibat rendahnya permintaan ekspor. Sementara itu, industri olahan nikel di Sulawesi Tenggara belum menunjukkan adanya tambahan produksi di tengah permintaan dari mitra dagang yang belum menguat secara signifikan. Industri olahan nikel di Sulawesi Tengah juga tercatat mengalami perlambatan yang cukup dalam. Pada triwulan IV 2015, kinerja industri Sulawesi Tengah tumbuh signifikan karena dimulainya operasional pabrik LNG dan smelter nikel. Selama tahun 2016, tidak terjadi penambahan kapasitas produksi sehingga pertumbuhan industri tercatat melambat sebagai akibat base effect. seluruh provinsi di Sulawesi, kecuali Sulawesi Utara, Bali, dan NTB. Akselerasi tersebut diperkirakan bersumber dari peningkatan produksi CPO seiring perbaikan harga serta optimisme peningkatan permintaan domestik pada industri pengolahan kayu dan karet. Hal ini sejalan dengan perkiraan dunia usaha terhadap arah perbaikan kinerja industri yang lebih baik (Grafik IV.10). Grafik IV.10. Perkembangan Kegiatan Dunia Usaha Industri Pengolahan (Survei Kegiatan Dunia Usaha) Sumber: Produsen, diolah Grafik IV.9. Kinerja Pertumbuhan Industri di KTI Pada 2016, secara total usaha industri pengolahan mengalami peningkatan dari 5,7% (yoy) menjadi 6,6% (yoy). Peningkatan ini didorong antara lain oleh telah beroperasinya smelter alumina baru di Kalimantan Barat. Selain itu, industri CPO di Kalimantan (Grafik IV.9), industri olahan kayu di beberapa daerah, serta makanan olahan di Sulampua dan Balinusra juga menunjukkan peningkatan seiring dengan terjaganya bahan baku dari usaha pertanian. Harga komoditas CPO yang membaik pada periode akhir 2016 menjadi insentif bagi penambahan produksi. Memasuki triwulan I 2017, pertumbuhan usaha industri pengolahan di KTI diperkirakan meningkat. Secara spasial, penguatan tersebut terjadi di Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Konstruksi Pada triwulan IV 2016, lapangan usaha konstruksi tumbuh melambat dibandingkan dengan triwulan III 2016, dari 5,3% (yoy) menjadi 3,2% (yoy). Perlambatan terjadi di hampir seluruh daerah, kecuali Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, dan Maluku Utara. Sejalan dengan kinerja investasi bangunan yang melambat, kegiatan konstruksi di KTI juga turut melambat. Hal itu antara lain disebabkan oleh penundaan DAU sehingga realisasi beberapa proyek Pemerintah Daerah juga mengalami penundaan. Selain itu, investasi langsung modal asing (PMA) juga menurun seiring perkembangan ekonomi dunia yang masih diliputi ketidakpastian. Untuk keseluruhan tahun 2016, kinerja lapangan usaha konstruksi tumbuh 7,4% (yoy), lebih lambat dari 2015 (4,6%, yoy). Perlambatan sepanjang tahun 2016 terjadi di hampir seluruh daerah kecuali di Kalimantan Utara, Sulawesi Barat, Papua Barat, dan Balinusra. Selesainya tahap pembangunan pabrik di beberapa daerah, sikap wait and see dari investor swasta, kendala 56

65 pembebasan lahan maupun administrasi untuk beberapa proyek strategis jalan tol dan jalur kereta api di Sulawesi, serta adanya penundaan DAU yang berdampak pada penurunan realisasi belanja modal, menjadi faktor-faktor utama penyebab perlambatan usaha konstruksi. Memasuki triwulan I 2017, lapangan usaha konstruksi diperkirakan akan tumbuh membaik. Optimisme perbaikan tersebut terutama ditopang oleh komitmen percepatan realisasi proyek pembangunan oleh Pemerintah Daerah, khususnya proyek-proyek yang belum terealisasi akibat penundaan DAU, serta proses lelang proyek-proyek baru. Sementara itu, pihak swasta masih cenderung akan menahan kegiatan investasinya di awal tahun (Grafik IV.11). mengalami peningkatan pertumbuhan dari 6,3% (yoy) menjadi 6,8% (yoy). Peningkatan tersebut terutama didorong oleh masih maraknya penyelenggaraan MICE (Meeting, Incentives, Conference and Exhibition) di beberapa kota destinasi utama di KTI. Selain itu, masih kuatnya perdagangan yang tercermin dari perkembangan volume bongkar muat di pelabuhan utama KTI yang berlokasi di Makassar dan Balikpapan (Grafik IV.12) turut menopang kinerja perdagangan. Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Grafik IV.12. Volume Bongkar Muat Pelabuhan Grafik IV.11. Perkembangan Kegiatan Dunia Usaha Bangunan (Survei Kegiatan Dunia Usaha) Perdagangan Pertumbuhan lapangan usaha perdagangan KTI pada triwulan IV 2016 mengalami perlambatan, dari 6,8% (yoy) pada triwulan sebelumnya menjadi 6,3% (yoy). Secara spasial, perlambatan terjadi di daerah-daerah yang perekonomiannya berbasis komoditas, yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua, Papua Barat, dan Nusa Tenggara. Belum pulihnya kinerja komoditas utama di daerah-daerah tersebut berdampak pada terbatasnya pengeluaran konsumsi yang kemudian berdampak kepada melemahnya lapangan usaha perdagangan. Namun demikian, sepanjang tahun 2016, lapangan usaha perdagangan mampu Grafik IV.13. Perkembangan Kegiatan Dunia Usaha PHR (Survei Kegiatan Dunia Usaha) Pada triwulan I 2017, lapangan usaha perdagangan diperkirakan akan meningkat. Hampir seluruh daerah diperkirakan mengalami akselerasi usaha perdagangan yang utamanya ditopang oleh perbaikan konsumsi, baik konsumsi rumah tangga maupun konsumsi pemerintah. Di samping itu, Survei Kegiatan Dunia Usaha menunjukkan adanya optimisme pelaku usaha terhadap perkembangan kegiatan perdagangan, hotel, dan restoran (PHR) pada triwulan berjalan (Grafik IV.13). Lanjutan periode libur akhir tahun 57

66 dan adanya perayaan tahun baru Imlek diprakirakan akan mendorong jumlah kunjungan wisatawan, khususnya dari Tiongkok. Perbaikan lebih lanjut juga didukung oleh beberapa daerah seperti Bali dan Sulawesi Utara yang telah membuka rute penerbangan langsung dengan mekanisme charter. Akomodasi Usaha akomodasi (termasuk makanan dan minuman) tumbuh melambat pada triwulan IV 2016 yaitu dari 7,4% (yoy) menjadi 6,4% (yoy). Secara spasial, perlambatan terjadi di Sulampua dan Balinusra, khususnya pada daerah-daerah yang menjadi pusat pariwisata KTI antara lain Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Bali, NTB, dan NTT. Pelemahan itu terjadi seiring berakhirnya peak season kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) pada triwulan III 2016, serta melambatnya permintaan (konsumsi). Sumber: Badan Pusat Statisik, diolah Grafik IV.14. Jumlah Wisatawan Mancanegara Namun, secara keseluruhan tahun 2016, lapangan usaha akomodasi tercatat tumbuh meningkat dari 6,3% (yoy) menjadi 6,9% (yoy). Hal ini didorong oleh peningkatan jumlah kunjungan wisman (Grafik IV.14) ke daerah pariwisata, khususnya wisman dari Tiongkok selama Masih maraknya penyelenggaraan MICE juga turut berkontribusi pada peningkatan pertumbuhan. Hasil liaison ke beberapa hotel dan resort, khususnya di Bali, mengkonfirmasi adanya peningkatan kunjungan tamu yang menginap sebagai dampak dari semakin gencarnya promosi pariwisata. Namun, peningkatan kunjungan tamu masih belum terjadi merata di daerah-daerah di luar Bali. Fiskal Daerah Penyerapan pendapatan daerah dalam APBD 25 di KTI mencatat peningkatan pada 2016 dibandingkan Secara total di KTI, realisasi pendapatan mencapai 94,2% pada 2016, yang lebih rendah dari 2015 (95,2%). Lebih rendahnya realisasi terutama dipengaruhi oleh komponen lain-lain yang dikategorikan sebagai pendapatan yang sah. Sementara itu, komponen pendapatan asli daerah (PAD) dan dana perimbangan dari Pemerintah Pusat masih mencatat peningkatan realisasi (Tabel IV.2). Namun perlu dicermati bahwa capaian dana perimbangan yang lebih tinggi tersebut lebih dipengaruhi oleh adanya perubahan APBD terkait penundaan DAU. Adanya penundaan DAU tersebut berimplikasi pada revisi APBD, yang dalam hal ini terkait dengan turunnya anggaran pendapatan. Penurunan tersebut diindikasi belum disertai dengan revisi pada realisasi DAU yang masih berstatus lebih bayar sehingga tercatat masih di atas 100%. Tabel IV.2. Realisasi Agregat APBD Provinsi di KTI Realisasi (%)* Komponen APBD 2015 Q Q4 Pendapatan APBD Provinsi Pendapatan Asli Daerah Dana Perimbangan Lain-lain Pendapatan yang Sah Belanja APBD Provinsi Belanja Operasi + Transfer Belanja Modal Belanja Tidak Terduga Sumber: SKPD masing-masing provinsi *) Angka sangat sementara Penyerapan belanja APBD di KTI pada 2016 tercatat lebih rendah daripada Realisasi belanja secara total pada 2016 tercatat sebesar 92,0%, lebih rendah dari 2015 sebesar 93,1%. Seluruh komponen belanja mengalami 25 Data realisasi APBD Pemerintah Daerah Provinsi, kecuali Provinsi Kalimantan Utara 58

67 penurunan persentase realisasi. Penundaan penyaluran DAU kepada beberapa Pemerintah Daerah menjadi salah satu penyebab utamanya. Selain itu, lebih rendahnya realisasi anggaran juga terkait kebijakan konversi DBH maupun DAU menjadi nontunai yang membutuhkan proses transisi dan administrasi tambahan, kendala teknis pembebasan lahan untuk proyek infrastruktur, serta tindak lanjut penyelesaian masalah yang tidak dapat dilakukan secepatnya akibat penyampaian laporan berkala dari satuan kerja pemerintah daerah (SKPD) yang sering terlambat. Kinerja fiskal daerah yang belum optimal pada 2016 juga tercermin dari pertumbuhan realisasi anggaran secara nominal. Pada sisi pendapatan, nominal realisasi tercatat tumbuh sebesar 11,05% (yoy) dibandingkan nominal realisasi Angka tersebut lebih rendah dari pertumbuhan 2015 dibandingkan 2014 yang tercatat sebesar 14,03% (yoy). Di sisi belanja, pertumbuhan realisasi nominal juga lebih rendah, baik pada komponen belanja modal maupun operasional. Secara total, komponen belanja hanya tumbuh sebesar 5,58% (yoy), lebih rendah dari pertumbuhan nominal realisasi periode sebesar 19,66% (yoy). Ke depan, beberapa daerah di KTI akan menerapkan strategi peningkatan efektivitas penyerapan anggaran sebagai upaya untuk peningkatan kinerja APBD Upaya-upaya tersebut akan ditempuh melalui monitoring realisasi dan saldo anggaran secara berkala bersama kepala daerah di level provinsi, percepatan lelang proyek infrastruktur, percepatan pengesahan administrasi terkait anggaran, serta optimalisasi sumber penerimaan khususnya PAD. Keberhasilan peningkatan efektivitas tersebut menjadi krusial di tengah peningkatan DAU dan dana desa, serta alokasi belanja modal di beberapa daerah yang tidak setinggi tahun Perkembangan Inflasi Inflasi KTI triwulan IV 2016 menurun dibandingkan triwulan sebelumnya, dari 3,47% (yoy) menjadi 2,90% (yoy). Penurunan tekanan inflasi kelompok komoditas volatilite foods dan core menjadi faktor utama penahan realisasi inflasi KTI. Sinergi yang semakin baik melalui TPID, khususnya pembenahan pola distribusi bahan pangan mampu meredam tekanan volatile foods pada momen perayaan Natal dan Tahun Baru. Di sisi core, terjaganya ekspektasi masyarakat dan menurunnya permintaan domestik menyebabkan level inflasi KTI berada di bawah rentang target yang ditetapkan. Inflasi yang rendah itu terjadi di tengah peningkatan inflasi kelompok administered prices sepanjang triwulan IV 2016 dipicu naiknya tarif angkutan udara menjelang dan saat momen libur akhir tahun. Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Grafik IV.15. Disagregasi Inflasi KTI Secara spasial, inflasi pada triwulan IV 2016 di sebagian besar provinsi di KTI berada di bawah rentang sasaran inflasi nasional. Inflasi tahunan terendah terjadi di Sulawesi Utara (0,35%, yoy), Gorontalo (1,30%, yoy) dan Maluku Utara (1,91%, yoy). Ketersediaan stok bahan makanan yang cukup sebagai dampak pembenahan rantai distribusi, serta terbatasnya permintaan masyarakat di akhir tahun berhasil menyebabkan rendahnya realisasi inflasi daerah. Pada Januari 2017, realisasi inflasi KTI lebih tinggi dibandingkan pola historisnya. Inflasi KTI di awal tahun 2017 tercatat sebesar 1,08% 59

68 (mtm), berada di atas pola historis 3 tahun terakhir pada bulan yang sama sebesar 0,62% (mtm). Kebijakan yang diambil pemerintah pusat, khususnya terkait penyesuaian biaya perpanjangan STNK dan tarif listrik memberikan tekanan cukup tinggi pada kelompok administered prices. Sementara tekanan inflasi dari kelompok volatile food disebabkan oleh tingginya harga komoditas cabai rawit yang berlangsung hingga awal tahun. sejak awal 2017, antara lain: (i) memastikan ketersediaan pasokan melalui pembenahan pola distribusi dan operasi pasar bekerja sama dengan BULOG dan instansi terkait lainnya; (ii) memastikan keterjangkauan harga dan pengendalian ekspektasi melalui sistem informasi perkembangan harga (PIHPS) serta sidak pasar; (iii) mendorong kelancaran distribusi melalui pembenahan infrastruktur penghubung seperti jalan dan pelabuhan; dan (iv) melakukan komunikasi yang efektif melalui press release dan talkshow dalam menjangkar ekspektasi inflasi masyarakat di level yang rendah dan stabil. Grafik IV.16. Perkembangan Harga Beberapa Komoditas (Survei Pemantauan Harga) Secara kumulatif, inflasi di hampir seluruh provinsi KTI tercatat cukup tinggi (>0,50%, ytd) di awal tahun Gangguan terhadap kelancaran pasokan dan produksi komoditas pertanian sebagai dampak fenomena La Nina yang diperkirakan akan berlangsung hingga akhir bulan Maret 2017 menjadi risiko penyebab inflasi yang tetap perlu diwaspadai selain sumber tekanan inflasi lainnya yang berasal dari kebijakan yang diambil Pemerintah Pusat, khususnya terkait penyesuaian biaya perpanjangan STNK dan penyesuaian tarif listrik 900 VA non subsidi. Selanjutnya, risiko inflasi yang berasal dari nilai tukar Rupiah yang berpotensi mempengaruhi harga BBM domestik serta harga barang impor tetap perlu diwaspadai. Dengan mempertimbangkan berbagai risiko tersebut, secara tahunan inflasi KTI pada triwulan I 2017 diperkirakan sebesar 3,81% (yoy), lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya. Dalam upaya mengendalikan tingkat inflasi, beberapa langkah telah diambil oleh Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) di KTI Grafik IV.17. Ekspektasi Harga Konsumen (Survei Konsumen) Stabilitas Keuangan Daerah Identifikasi & Pengukuran Sumber Kerentanan Pada akhir tahun 2016, sumber kerentanan terhadap stabilitas keuangan daerah di KTI, baik dari sisi eksternal maupun domestik relatif menurun. Hal ini dipengaruhi oleh ekspor yang menguat seiring prospek harga dan membaiknya pertumbuhan ekonomi negara mitra dagang, nilai tukar yang relatif stabil, serta kondusifnya suku bunga kebijakan moneter. Inflasi di akhir tahun juga relatif rendah dengan pergerakan harga properti yang masih dalam tren perlambatan. Sejalan dengan membaiknya harga komoditas dan ekspor, kinerja keuangan korporasi dan pelaku usaha di KTI turut mengalami perbaikan. Profitabilitas korporasi terbuka (hingga triwulan III 2016) serta pelaku usaha dalam survei Bank Indonesia (hingga triwulan IV 2016) tercatat membaik. Pada korporasi terbuka, perbaikan 60

69 terutama terjadi pada korporasi yang bergerak di komoditas batubara. Likuiditas (CR) juga tercatat mengalami perbaikan di tengah tingkat leverage (DER) yang menurun. Di sisi lain, repayment capacity (DSR) masih melemah sejalan dengan peningkatan hutang jangka pendek dalam beberapa tahun terakhir. Tabel IV.3. Kinerja Keuangan Korporasi Terbuka dan Pelaku Usaha di KTI Kinerja Keuangan Periode Korporasi Terbuka Q3 Profitabilitas (Return on Assets % Leverage (Debt to Equity Ratio) Likuiditas (Current Ratio) Kemampuan Bayar (ICR) Kemampuan Bayar (DSR %) Pelaku Usaha Responden SKDU 2015 Q Q Q4 Likuiditas (%Baik - %Buruk) Profitabilitas (%Baik - %Buruk) Sumber: Bloomberg (diolah dari 44 perusahaan terbuka) dan Survei Kegiatan Dunia Usaha Membaiknya kinerja keuangan korporasi diikuti oleh masih cukup kuatnya kinerja keuangan rumah tangga. Berdasarkan Survei Konsumen Bank Indonesia, DSR rumah tangga tercatat membaik, khususnya pada konsumen dengan tingkat pengeluaran sebesar Rp2 juta ke atas. Rumah tangga diindikasikan melakukan penyesuaian (lebih kepada berjaga-jaga dan tidak berlebihan) atas kegiatan konsumsi sebagai respon turunnya kinerja korporasi pada tahuntahun sebelumnya. Hal ini tercermin dari persepsi konsumen terhadap pengeluaran saat ini yang menurun di tengah kondisi pendapatan per bulan yang masih cukup kuat. Grafik IV.18. Kinerja Keuangan Rumah Tangga (Survei Konsumen) Ketahanan Sektor Korporasi Kualitas kredit korporasi menunjukkan peningkatan, walaupun penyaluran kredit perbankan di sektor korporasi pada triwulan IV 2016 masih menunjukkan perlambatan. Di samping berupaya memperbaiki kualitas kredit korporasi, saat ini perbankan ditengarai tetap berhati-hati dalam menyalurkan kredit ke korporasi. Pertumbuhan kredit korporasi pada triwulan IV 2016 tumbuh melambat dari 4,18% (yoy) menjadi 3,59% (yoy). Perlambatan terutama didorong oleh perlambatan kredit investasi, sedangkan kredit modal kerja tumbuh membaik. Secara spasial, perlambatan terjadi di Sulampua dan Balinusra. Penyaluran kredit di Kalimantan bahkan mengalami kontraksi pada triwulan IV Perlambatan pertumbuhan kredit terjadi hampir di seluruh sektor utama KTI. Di sektor sekunder, kredit masih tercatat melambat. Di sektor primer, terdapat sedikit perbaikan pertumbuhan kredit yaitu di sektor pertanian meskipun di sektor perdagangan masih mengalami konstraksi. Di sektor tersier, di antaranya di sektor perdagangan, pertumbuhan kredit mulai menunjukkan peningkatan. Tabel IV.4. Pertumbuhan dan NPL Kredit Golongan Debitur Korporasi gkredit (% yoy) NPL (%) Indikator & Wilayah IV III IV IV III IV Total Kredit Modal Kerja Investasi Pertanian Perikanan 7.44 (10.20) (6.49) Tambang (11.62) (17.01) (6.48) Industri Konstruksi (3.43) Perdagangan Akomodasi Kalimantan (0.60) (0.92) (0.56) Sulampua Balinusra Sumber: Laporan Bank Umum, diolah 61

70 NPL kredit korporasi sudah menunjukkan perbaikan walaupun masih berada di level tinggi. NPL menurun dari 6,16% menjadi 5,33%. Secara sektoral, perbaikan NPL disebabkan oleh perbaikan di sektor industri pengolahan dan konstruksi. Tingkat NPL korporasi yang berada di atas 5% terutama didorong oleh NPL sektor pertambangan (14,79%), perdagangan (6,69%) dan konstruksi (6,59%). Secara spasial, beberapa provinsi yang memiliki NPL di atas 5% antara lain Papua (12,34%), NTT (9,19%), Kaltim (8,58%) dan Papua Barat (5,07%). Aktivitas ekonomi yang relatif belum kuat juga menyebabkan pertumbuhan DPK sektor korporasi melambat dari 7,25% (yoy) menjadi 2,15% (yoy). Perlambatan penghimpunan DPK disebabkan oleh perlambatan tabungan dan giro. Di sisi lain, pertumbuhan deposito mengalami peningkatan dari 15,19% (yoy) menjadi 19,65% (yoy). Secara spasial, perlambatan penghimpunan DPK terutama terjadi di Balinusra dan Kalimantan, sedangkan Sulampua mengalami kontraksi. Sumber: Laporan Bank Umum, diolah Grafik IV.19. Pertumbuhan DPK Golongan Debitur Korporasi Ketahanan Sektor Rumah Tangga Di tengah kondisi korporasi yang masih relatif tertekan, kinerja kredit rumah tangga dapat terjaga sejalan dengan peningkatan pertumbuhan kredit dengan tingkat NPL yang masih rendah. Perubahan stance kebijakan moneter melalui pelonggaran LTV dan FTV serta kecenderungan penurunan suku bunga mulai dapat mendorong perbaikan pertumbuhan kredit rumah tangga. Secara spasial, Kalimantan dan Sulampua mengalami tren peningkatan kredit rumah tangga, sementara Balinusra mengalami perlambatan. Kredit rumah tangga meningkat dari 9,83% (yoy) pada triwulan III 2016 menjadi 11,51% (yoy) pada triwulan IV Akselerasi penyaluran kredit rumah tangga terutama tercermin dari penyaluran kredit bukan lapangan usaha yang meningkat tinggi dari 3,32% (yoy) menjadi 26,82% (yoy). Namun, peningkatan yang lebih tinggi tersebut tertahan oleh kredit kendaraan bermotor (KKB) yang mengalami kontraksi. Penyaluran KPR membaik didorong peningkatan pertumbuhan kredit di rumah tipe 22 s.d. 70. Kredit rumah tipe 22 sd. 70 tumbuh 11,81% (yoy) meningkat dari sebelumnya yang sebesar 10,98% (yoy). Di sisi lain, kontraksi terjadi pada kredit rumah tipe s.d. 21 dan tipe >70 masing-masing sebesar -4,17% (yoy) dan -2,24% (yoy). Risiko kredit rumah tangga relatif terjaga dengan tren menurun. Rasio NPL untuk kredit rumah tangga tercatat menurun ke level 1,53% (yoy) atau lebih rendah dari triwulan sebelumnya senilai 1,73% (yoy). Penurunan risiko kredit didorong oleh penurunan NPL kredit perumahan dan multiguna, sedangkan NPL KKB mengalami kenaikan. Secara spasial, penurunan NPL terjadi di semua wilayah. Tingkat NPL tertinggi berada di Kalimantan sebesar 2,10% (yoy), diikuti oleh Sulampua 1,48% (yoy) dan Balinusra 0,94% (yoy). Tabel IV.5. Pertumbuhan dan NPL Kredit Perseorangan Golongan Debitur Rumah Tangga Indikator & Wilayah gkredit (% yoy) NPL (%) IV III IV IV III IV Total Kredit Multiguna KPR KKB (10.74) (15.90) (6.63) Lainnya Kalimantan Sulampua Balinusra Sumber: Laporan Bank Umum, diolah 62

71 Pada sisi DPK, penghimpunan DPK perseorangan melambat dari 9,88% (yoy) menjadi 5,82% (yoy) sejalan dengan melambatnya DPK sektor korporasi dan terbatasnya kenaikan pendapatan rumah tangga. Perlambatan penghimpunan DPK disebabkan oleh perlambatan giro, tabungan dan deposito. Secara spasial, perlambatan terjadi baik di Sulampua, Balinusra maupun Kalimantan. Tabel IV.6. Pertumbuhan dan NPL Kredit Kategori UMKM Indikator & Wilayah gkredit (% yoy) NPL (%) IV III IV IV III IV Total Kredit Modal Kerja Investasi Pertanian Perikanan Tambang (35.09) (30.32) (7.08) Industri Konstruksi Perdagangan Akomodasi Kalimantan Sulampua Balinusra Sumber: Laporan Bank Umum, diolah Sumber: Laporan Bank Umum, diolah Grafik IV.20. Pertumbuhan DPK Golongan Debitur Perseorangan Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Pembiayaan UMKM tetap menunjukkan ketahanan cukup baik pada triwulan IV Pertumbuhan kredit UMKM masih berada di atas 10% (yoy), meskipun sedikit melambat dibandingkan triwulan sebelumnya. Perlambatan kredit UMKM terjadi di wilayah Sulampua dan Kalimantan sejalan dengan rasio NPL UMKM yang masih cukup tinggi di kedua wilayah tersebut. Secara total, rasio kredit UMKM terhadap total kredit menunjukkan peningkatan pada triwulan IV Ini menunjukkan peningkatan peran peran perbankan dalam mendorong UMKM di KTI. Secara spasial, provinsi di Kalimantan memiliki rasio yang relatif lebih rendah dibandingkan provinsi di wilayah lainnya. Sementara itu, Provinsi Sulawesi Barat, Papua, Papua Barat, dan Balinusra memiliki rasio cukup tinggi, yaitu di atas 30%. Sumber: Laporan Bank Umum, diolah Grafik IV.21. Rasio Kredit UMKM Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah Sistem Pembayaran Non Tunai Jumlah transaksi kliring melalui Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) pada triwulan IV 2016 maupun keseluruhan tahun 2016 tetap tumbuh tinggi. Volume transaksi SKNBI pada 2016 tercatat 9,6 juta transaksi dengan nominal mencapai Rp386 triliun atau mengalami pertumbuhan sebesar 30% dari sisi volume dan 57,6% dari sisi nominalnya dibandingkan tahun sebelumnya. Tingginya pertumbuhan 2016 tersebut didorong oleh switching transaksi pengguna RTGS ke kliring seiring dengan ketentuan capping transaksi RTGS yang diterapkan sejak akhir

72 Sepanjang 2016, transaksi kliring KTI mengalami net outflow yang sebagian besar mengalir ke wilayah Jawa dengan nominal Rp145,6 miliar, sementara transaksi intra wilayah KTI banyak mengalir dari wilayah Sulampua ke Kalimantan. (kualitas uang yang beredar di masyarakat) serta menekan jumlah temuan uang palsu. Tingkat soil level atau kualitas uang yang beredar di masyarakat terus mengalami peningkatan pada semester II 2016 dibandingkan semester I Pada semester II 2016, tingkat kualitas uang di KTI tercatat sebesar 7,87 (skala 1-16) untuk uang pecahan kecil dan sebesar 10,93 (skala 1-16) untuk uang pecahan besar. Grafik IV.22. Volume Transaksi Kliring Grafik IV.24. Aliran Uang Kartal Grafik IV.23. Nominal Transaksi Kliring Pengelolaan Uang Rupiah Sesuai pola historisnya, peredaran uang kartal (uang kertas dan uang logam) di wilayah KTI sepanjang triwulan IV 2016 menunjukkan tren peningkatan yang tercermin dari peningkatan outflow uang kartal. Fenomena tersebut mengindikasikan tingginya kebutuhan masyarakat akan uang tunai seiring dengan masuknya musim liburan Natal dan Tahun Baru. Di samping itu, berbagai realisasi proyek-proyek pemerintah dan swasta di akhir tahun juga turut mendorong peningkatan kebutuhan uang tunai. Peningkatan layanan perkasan terus dilakukan oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia di wilayah KTI melalui perluasan jaringan kas titipan, penambahan frekuensi kas keliling serta sosialisasi ciri-ciri keaslian uang Rupiah. Upaya ini berhasil meningkatkan tingkat soil level Tabel IV.7. Tingkat Kualitas Uang Beredar di Masyarakat Wilayah UPK Smt 1 Smt 2 Smt 1 Smt 2 Kalimantan Balinusra Sulampua KTI UPK = Uang Pecahan kecil; UPB = Uang Pecahan Besar Skala 1-16 (1: kualitas uang buruk/uang lusuh; 16: kualitas uang baik/cetakan sempurna) Grafik IV.25. Temuan Uang Palsu UPB Pada 2016, jumlah uang palsu yang dilaporkan kepada Bank Indonesia (atau yang diragukan keasliannya) tercatat menurun dibandingkan tahun 2015, yaitu dari lembar menjadi 64

73 hanya lembar. Upaya mengantisipasi peningkatan peredaran uang palsu terus dilakukan melalui edukasi kepada masyarakat mengenai ciri-ciri keaslian uang Rupiah terus. Hal tersebut juga didukung oleh penguatan koordinasi dengan perbankan dan pihak berwajib dalam menangani laporan masyarakat terkait uang yang diragukan keasliannya. Prospek Perekonomian Prospek Pertumbuhan Ekonomi Pada triwulan II 2017, ekonomi KTI diperkirakan akan tumbuh meningkat dibandingkan triwulan I Hampir seluruh provinsi diperkirakan tumbuh menguat didorong oleh perbaikan pertumbuhan ekonomi di Sulampua dan Balinusra seiring dengan menguatnya kinerja konsumsi dan investasi. Adapun Kalimantan juga diperkirakan mulai tumbuh membaik ditopang oleh meningkatnya kinerja ekspor. Dari sisi permintaan, akselerasi ekonomi KTI pada triwulan II 2017 akan didukung oleh semua komponen permintaan. Konsumsi rumah tangga diperkirakan menguat seiring peningkatan pendapatan di sektor ekonomi utama. Konsumsi pemerintah dan belanja modal juga meningkat sejalan dengan komitmen percepatan realisasi anggaran, khususnya pembangunan infrastruktur. Adapun investasi non-bangunan swasta, khususnya pada sektor pertambangan dan industri, diperkirakan meningkat seiring dengan makin optimisnya pelaku usaha. Sementara itu, net ekspor diperkirakan membaik didukung oleh terjaganya pasokan bahan baku bagi industri berorientasi ekspor di KTI. Di sisi penawaran, penguatan ekonomi KTI pada triwulan II 2017 akan ditopang oleh sektor tradable. Kinerja usaha pertambangan akan lebih menguat sejalan dengan perkiraan masih membaiknya harga komoditas dunia. Kinerja usaha pertanian juga diperkirakan membaik karena datangnya puncak panen tabama di daerah sentra dan meningkatnya produksi perikanan pasca periode curah hujan tinggi di awal tahun. Industri pengolahan juga akan berkontribusi pada peningkatan pertumbuhan melalui peningkatan produksi dari smelter baru di Kalimantan dan Sulampua. Optimisme di triwulan II 2017 akan mendukung peningkatan pertumbuhan ekonomi KTI untuk keseluruhan tahun Pertumbuhan ekonomi 2017 diperkirakan berada pada kisaran 5,1%- 5,5% (yoy), lebih tinggi dari capaian 2016 yang tercatat sebesar 4,8% (yoy). Peningkatan pertumbuhan ekonomi bersumber dari perbaikan ekonomi di wilayah Kalimantan dan Sulampua. Menguatnya perekonomian di Kalimantan didukung oleh peningkatan ekspor batubara dan hasil produksi smelter alumina baru. Sementara itu, perekonomian Sulampua akan ditopang oleh membaiknya konsumsi dan investasi pemerintah seiring dengan peningkatan realisasi beberapa proyek infrastruktur strategis dalam rangka peningkatan konektivitas. Ekspor nikel juga diperkirakan meningkat seiring prospek harga yang membaik, sementara penguatan ekspor tembaga diperkirakan masih terbatas terkendala oleh berakhirnya izin ekspor mineral mentah pada awal Grafik IV.26. Perkiraan Kinerja Pelaku Usaha (Liaison One Year Projection) Di tengah proyeksi perekonomian KTI yang tumbuh meningkat pada 2017, beberapa faktor risiko baik dari sisi eksternal maupun internal perlu mendapat perhatian. Dari sisi eksternal, kondisi pemulihan ekonomi global dan pergerakan harga komoditas yang tidak sesuai ekspektasi berisiko terhadap capaian ekspor, di samping risiko realisasi investasi swasta asing 65

74 yang tidak sebaik perkiraan. Sementara itu, dari sisi internal, masih terdapat risiko dalam peningkatan penyaluran kredit. Perbankan masih akan berhati-hati dan waspada dalam menyalurkan kredit kepada beberapa sektor yang memiliki NPL relatif tinggi. Di samping itu, regulasi pertambangan terkait pembatasan ekspor mineral mentah dan domestic market obligation (DMO) batubara juga dapat menekan ekspor apabila tidak direspon dengan tepat oleh pelaku usaha dan pemangku kepentingan terkait. Prospek Inflasi Tekanan inflasi di KTI pada triwulan II 2017 diperkirakan meningkat. Peningkatan inflasi akan terjadi di seluruh wilayah. Dilihat dari komponen disagregasi inflasi, tekanan inflasi yang meningkat terutama bersumber dari inflasi administered prices seiring dengan kebijakan subsidi tepat sasaran bagi para pelanggan listrik dengan daya 900 VA. Tekanan inflasi dari administered prices juga diperkirakan dari kenaikan harga tiket pesawat udara dan tarif transportasi lainnya pada periode peak season menjelang Lebaran. Di samping itu, inflasi inti dan volatile food juga diperkirakan meningkat pada periode puasa dan perayaan lebaran di akhir triwulan II Dengan perkiraan inflasi 2017 yang lebih tinggi dari 2016, berbagai risiko penyesuaian administered prices perlu diwaspadai. Salah satu risiko yang perlu diwaspadai adalah rencana penyesuaian harga BBM seiring dengan kenaikan harga minyak dunia. Kenaikan harga BBM menjadi risiko strategis karena memiliki dampak langsung ke tarif transportasi serta dampak tidak langsung ke inflasi inti dan volatile food. Risiko lainnya terkait fenomena La Nina yang diperkirakan masih terjadi hingga awal Apabila fenomena tersebut masih berlanjut dan berkepanjangan, inflasi pangan diperkirakan dapat meningkat. Inflasi tahun 2017 diperkirakan lebih tinggi dari Inflasi diperkirakan berada pada kisaran 4,7%-5,1% (yoy), lebih tinggi dari inflasi 2016 (2,90%, yoy). Meningkatnya tekanan inflasi 2017 terutama akan disumbangkan oleh inflasi komponen administered prices seiring dengan kenaikan tarif listrik bagi pelanggan pra-bayar dan pasca-bayar dengan daya 900 VA yang dilakukan pada Januari, Maret, dan Mei 2017; kenaikan cukai rokok; serta biaya perpanjangan STNK yang telah terjadi pada Januari Inflasi inti juga diperkirakan meningkat sejalan meningkatnya permintaan konsumsi rumah tangga. Adapun inflasi volatile food diperkirakan meningkat seiring dengan fenomena La Nina yang dapat memengaruhi produksi hortikultura dan perikanan yang terjadi sejak 2016 dan diperkirakan akan terjadi hingga awal

75 Boks 3 Progres Pengembangan Jaringan Distribusi Pangan KTI Karakteristik pemenuhan kebutuhan pangan pokok di provinsi-provinsi di KTI masih dalam kondisi defisit. Sebagian besar daerah belum mampu menghasilkan pangan pokok sendiri sehingga harus mendatangkan dari luar daerah. Kondisi tersebut menyebabkan pentingnya peranan distribusi dan tata niaga yang lancar untuk menjaga stabilitas ketersediaan pangan. Berbagai kendala distribusi dan tata niaga yang menghambat distribusi bahan pangan dapat mengganggu stabilitas ketersediaan pangan. Kondisi infrastruktur konektivitas baik melalui laut maupun darat masih kurang memadai. Sementara dari sisi tata niaga, rantai distribusi yang panjang dan posisi tawar petani yang lemah menjadi kendala upaya menjaga stabilitas harga pangan pokok. Untuk menjamin ketersediaan pasokan pangan, pemerintah telah menetapkan pembangunan dan perbaikan yang terkait distribusi dan tata niaga. Beberapa upaya tersebut antara lain terkait perbaikan logistik pangan melalui tol laut, pembangunan jalan dan gudang, pengembangan Rumah Pangan Kita (RPK) serta pengembangan Pusat Distribusi Regional (PDR). Sampai saat ini, pengembangan tol laut sebagai upaya perbaikan logistik pangan sudah cukup baik. Realisasi pengembangan pelabuhan dan trayek mencapai 90% dari rencana. Pengembangan pelabuhan utama di KTI juga telah menunjukkan kemajuan yang cukup baik. Empat pelabuhan besar utama, yaitu Bitung- Sulawesi Utara, Sorong-Papua Barat, Sukarno Hatta-Sulawesi Selatan, serta Trisakti-Kalimantan Selatan sudah beroperasi dengan kapasitas yang lebih baik dalam hal draft pelabuhan maupun max vessel size yang dilayani. Selain itu terdapat penambahan 10 trayek yaitu dari 86 menjadi 96 dalam upaya menjangkau berbagai pulau terpencil. Dari 96 trayek tersebut, satu trayek secara khusus menjadi trayek angkutan ternak sebagai salah satu solusi mengatasi kendala distribusi sapi yang terjadi selama ini. Dari sejumlah itu, 54 trayek dilayani oleh kapal negara yang terutama digunakan untuk angkutan pangan, sementara sisanya 42 trayek dilayani oleh kapal swasta yang digunakan baik untuk angkutan pangan maupun komoditas lainnya. Progres tol laut yang sudah berjalan cukup baik tercermin dari dampak pada penurunan harga di pulau-pulau terpencil. Beberapa pulau yang merasakan dampak penurunan harga signifikan yaitu Tahuna-Sulawesi Utara, Namlea-Maluku, Wanci-Sulawesi Tenggara, serta Sabu-Nusa Tenggara Timur. Komoditas-komoditas yang sebelumnya sering mengalami kenaikan harga tinggi diantaranya beras, terigu, bawang merah, gula, minyak goreng dan daging ayam ras, kini mulai mengalami penurunan harga dengan variasi harga dari -5% hingga -49% (Tabel IV.8) Tabel IV.8. Penurunan Harga Pangan Sebagai Dampak Tol Laut Pulau Komoditas % Penurunan Tahuna Namlea Wanci Sabu Sumber : Kemenko Maritim Beras 5 Terigu 6 Beras 22 Beras Merah 20 Gula 28 Minyak Goreng 15 Beras 11 Terigu 3 Gula 9 Beras 12 Terigu 7.7 Minyak 10 67

76 Meskipun dapat memberikan pengaruh positif terhadap perkembangan harga di remote area, program tol laut belum memberikan dampak nyata terhadap perkembangan harga di kotakota besar KTI. Berbagai faktor lainnya terkait distribusi dan tata niaga, seperti struktur pasar komoditas yang cenderung oligopolistik dengan adanya pelaku-pelaku pasar yang memiliki kekuatan dalam penentuan harga menyebabkan pembentukan harga menjadi tidak efisien meskipun pasokan sudah relatif tersedia. Berbeda dengan tol laut yang sudah berjalan cukup baik, perbaikan logistik pangan melalui darat belum menunjukkan peningkatan berarti. Sistem logistik pangan KTI melalui darat terutama di Kalimantan dan Sulawesi masih menghadapi terbatasnya pembangunan dan perbaikan jalan. Tingkat kemantapan jalan yang tercatat cukup baik hanya pada jalan nasional, sementara jalan provinsi dan kabupaten relatif kurang mantap. Selain itu tingkat coverage juga terbatas. Ratarata tingkat coverage di kedua pulau tersebut berada di bawah 50%, tertinggal jauh dibandingkan Jawa yang mencapai 87%. Khusus di Papua, solusi logistik pangan melalui pengembangan transportasi udara antar kabupaten menghadapi biaya yang tinggi. Pengembangan transportasi udara di Papua belum mampu menyelesaikan permasalahan kesulitan distribusi khususnya di remote area yang memiliki kondisi geografis pegunungan. Rata-rata biaya transportasi udara untuk sekali pengangkutan pangan dapat mencapai Rp8 Juta. Selain perbaikan infrastruktur dan transportasi, perbaikan distribusi juga dilakukan melalui revitalisasi pasar. Revitalisasi pasar bertujuan untuk membenahi tata niaga, serta menyediakan fasilitas penyimpanan yang cukup untuk stok pangan. Akan tetapi, proses revitalisasi pasar tersebut berjalan cukup lambat. Pada 2016 hanya 22 pasar dari total pasar yang berhasil direvitalisasi. Sementara pada 2017 hanya akan dilakukan revitaliasi terhadap 7 pasar tradisional. Rendahnya realisasi revitalisasi pasar disebabkan terbatasnya anggaran. Perbaikan distribusi dan tata niaga juga dilakukan melalui implementasi Rumah Pangan Kita (RPK). Program RPK diharapkan selain dapat memotong rantai distribusi, juga dapat memastikan ketersediaan pasokan hingga ke daerah pelosok terdalam. Sayangnya, pembenahan tata niaga melalui program RPK oleh Bulog di 2016 ini masih berjalan relatif lambat. Hanya terdapat sekitar RPK di seluruh Indonesia. Implementasi RPK menghadapi beberapa kendala, pertama, penentuan komoditas RPK di masing-masing provinsi tergantung ketersediaan jenis komoditas yang dikelola Bulog setempat. Kedua, dana yang digunakan dalam pembuatan RPK menggunakan anggaran masing-masing Divisi Regional (Divre) Bulog di masing-masing wilayah operasionalnya sehingga ketersediaan anggaran relatif terbatas. Ketiga, sulitnya pengembangan RPK di wilayah terpencil terkait kendala pemenuhan kebutuhan modal yang relatif tinggi bagi masyarakat daerah terpencil, sehingga minat terhadap RPK terbatas. Keempat, masih terbatasnya ragam komoditas yang tersedia. Terakhir, monitoring terhadap kualitas produk dan harga sulit dilakukan di seluruh Divre. Oleh karena itu, untuk peningkatan implementasi RPK, penetapan komoditas tidak dibatasi hanya pada bahan makanan pokok namun juga pada produk-produk yang dihasilkan masyarakat setempat. Selain itu, pemanfaatan IT untuk proses monitoring penjualan dan stok di masing-masing RPK dapat dipertimbangkan. Perbaikan distribusi dan tata niaga juga dapat dilakukan melalui pembangunan Pusat Distribusi Regional (PDR). PDR diharapkan dapat memotong rantai distribusi yang panjang dan tidak efisien. Di KTI, dari rencana pengembangan 3 PDR, hanya PDR Bitung-Sulut yang telah beroperasi saat ini, sementara PDR Makassar- Sulsel dan Banjarmasin-Kalsel belum beroperasi. Terhambatnya operasional PDR Makassar-Sulsel disebabkan lokasinya yang dinilai kurang strategis, serta pengelolaannya yang belum 68

77 sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pemda setempat. Selain itu, kendala pembangunan PDR Banjarmasin-Kalsel ditengarai akibat penyaluran DIPA yang baru dilakukan pertengahan 2015, sedangkan proyek PDR bukan merupakan proyek multi-years sehingga Pemerintah Daerah belum menyanggupi pelaksanaan pembangunannya dalam waktu yang terbatas. Upaya pemerintah dalam pembangunan dan perbaikan terkait distribusi dan tata niaga masih perlu terus ditingkatkan. Belum optimalnya perbaikan distribusi dan tata niaga tersebut tercermin dari masih tingginya potensi kenaikan dan gejolak harga pangan di Beberapa komoditas pangan utama seperti bawang merah, cabai rawit, daging ayam ras, bandeng dan kembung diperkirakan akan mengalami kenaikan harga di kisaran 3%-22%. Gangguan produksi akibat cuaca yang kurang kondusif disertai tata niaga dan distribusi yang belum membaik berpotensi mendorong kenaikan harga yang lebih tinggi di Untuk mengantisipasi hal tersebut, perlu dilakukan upaya percepatan perbaikan distribusi dan tata niaga untuk menjamin ketersediaan dan keterjangkauan kebutuhan pangan secara lebih berkesinambungan. Percepatan perbaikan distribusi dan tata niaga dapat ditempuh melalui koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah pusat perlu memetakan pusat-pusat produksi dan mengutamakan perbaikan distribusi dari pusatpusat produksi ke daerah defisit pangan. Pemetaan tersebut dilakukan bekerjasama dengan pemerintah daerah didukung oleh data dan informasi produksi pangan yang akurat dan kredibel. Di samping itu, perlunya peran kewenangan pemerintah pusat untuk menjadi sentral koordinasi antardaerah dalam distribusi pangan. Peran tersebut dapat dipegang oleh TPI nasional yang beranggotakan berbagai institusi pemerintahan, serta dapat berkoordinasi langsung dengan TPID di seluruh daerah yang menjadi basis penghitungan inflasi. 69

78 70 Halaman ini sengaja dikosongkan

79 Sebagai salah satu negara agraris terbesar di dunia, sudah selayaknya Indonesia untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan nasionalnya sendiri secara berkelanjutan, apalagi dihadapkan pada risiko ketidakmampuan produksi pangan dunia untuk memenuhi kebutuhan konsumsi penduduk dunia di masa datang. Sejumlah pembenahan secara terintegrasi sangat diperlukan baik dari sisi produksi, distribusi dan tata niaga pangan maupun infrastruktur penopangnya. Pengelolaan pangan nasional masih menghadapi sejumlah tantangan yaitu: (i) rendahnya produksi dan produktivitas pangan yang bersumber dari keterbatasan luas lahan olahan, teknik pertanian yang belum optimal, pengolahan paska panen yang buruk, dan minimnya insentif untuk menjadi petani; (ii) dukungan infrastruktur pangan dan konektivitas yang belum optimal; (iii) akses pembiayaan kepada Petani yang masih terbatas; (iv) distribusi dan tata niaga pangan yang panjang dan kurang efisien; dan (v) struktur pasar yang kurang kompetitif. Untuk menjawab tantangan tersebut, terdapat beberapa rekomendasi sbb.: penerapan corporate/cooperative farming agar implementasi mekanisasi dan teknik pertanian dapat lebih optimal, penguatan tataniaga pangan melalui penguatan fungsi pasar induk dan pasar tradisional utama yang ditopang oleh Pusat Distribusi dan Logistik Nasional, serta penguatan pembiayaan petani. Potensi krisis pemenuhan kebutuhan pangan dunia pada tahun Untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan sekitar 9 miliar populasi dunia, produksi pangan dunia membutuhkan peningkatan output pertanian hingga dua kali lipat kondisi saat ini. Saat ini, kecepatan peningkatan output pertanian pangan masih belum sesuai dengan yang dibutuhkan, khususnya di low income country, agar kecukupan pangan dunia dapat terjaga, (Grafik V.1). Kondisi tersebut tercermin dari tingkat pertumbuhan Total Factor Productivity (TFP) yang relatif stagnan. Lebih jauh, peningkatan produksi pangan dunia juga menghadapi tantangan potensi degradasi kualitas lahan dan keterbatasan ketersediaan air seiring dengan perubahan iklim dunia. Potensi ketidakpastian kondisi ekonomi serta konflik regional juga memberikan tantangan dalam mencapai target output produksi pangan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia, sudah selayaknya Indonesia dapat memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Dalam pemenuhan kebutuhan pangan nasional, ketergantungan impor bahan pangan Indonesia masih relatif besar dan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan negara di kawasan. Impor pangan Indonesia merupakan yang terbesar ke-20 di dunia. Di Asia, impor Indonesia hanya lebih baik dari India dan Korea Selatan. Impor pangan Indonesia terutama berupa komoditas serealia yaitu 49% dari total impor pangan 26, khususnya berupa tepung, jagung dan beras. Dalam lima tahun terakhir, volume impor terigu terus menunjukkan peningkatan dibandingkan impor beras yang relatif konstan (Grafik V.2). Hal ini mengindikasikan mulai terjadinya 26 Impor pangan mencakup komoditas daging, serealia, buah, sayuran, susu dan produk turunannya, minuman, pakan hewan, dan produk pangan lainnya. 71

80 pergeseran pola konsumsi masyarakat pada pangan hasil olahan terigu, yang pemenuhan pasokannya sangat bergantung pada impor. Sumber: Global Agricultural Report, 2016 Grafik V.1. Tantangan Pemenuhan Pangan Dunia 2050 nasional. Melebarnya gap antara harga pangan nasional dan harga internasional, misalnya beras, mengakibatkan kecenderungan pemenuhan kebutuhan pangan melalui impor menjadi lebih ekonomis. Sumber : Trade Map, Bea Cukai Grafik V.2. Impor Beras & Terigu Indonesia Sementara itu, berbagai kendala stuktural dalam distribusi dan tata niaga serta perdagangan antar wilayah mengakibatkan terjadinya disparitas harga yang tinggi baik antara produsen dan konsumen maupun antar wilayah dan antar waktu. Di berbagai wilayah di Indonesia, masyarakat dihadapkan pada kondisi disparitas harga pangan yang lebar antar wilayah, dimana harga bahan pangan di wilayah timur Indonesia cenderung lebih tinggi di samping perbedaan harga yang relatif besar antara harga ditingkat produsen dan harga di tingkat konsumen (Grafik V.3). Harga berbagai komoditas pangan nasional juga dihadapkan pada dengan tantangan harga domestik yang cenderung lebih tinggi dibandingkan harga internasional. Hal iniini mengakibatkan rendahnya daya saing pangan Sumber : BPS, Kemendag, Index Mundi Grafik V.3. Harga Beras Dalam satu dasawarsa terakhir, sektor pertanian Indonesia menunjukkan penurunan perannya dalam perekonomian nasional (Grafik V.4). Kondisi ini terlihat dari pangsa sektor pertanian dalam perekonomian yang semakin menurun serta tingkat pertumbuhan sektor pertanian dan sub-sektor pertanian pangan yang berada di bawah tingkat pertumbuhan PDB. Meskipun sektor pertanian masih mampu menyerap sebagian besar angkatan kerja pertanian (32% dari angkatan kerja), namun proporsi tenaga kerja yang 72

81 bekerja di sektor pertanian juga menunjukkan kecenderungan menurun dari tahun ke tahun. Terbatasnya produktivitas lahan petani mengakibatkan pendapatan rata-rata petani yang relatif rendah. Sebagai gambaran, petani padi hanya sanggup memiliki penghasilan Rp4,5 juta per hektar per musim tanam. Sumber : BPS, diolah Grafik V.4. Pangsa dan Pertumbuhan Sektor Pertanian Tantangan Ketahanan Pangan Untuk dapat mencapai ketahanan pangan dan menjamin pemenuhan pangan nasional dalam jangka panjang, terdapat sejumlah tantangan utama yang terindentifikasi, yang memerlukan penanganan. Tantangan tersebut mengerucut pada tantangan peningkatan produksi dan perbaikan tata niaga secara secara terintegrasi yang dapat dijabarkan lebih lanjut yaitu (i) peningkatan produksi dan produktivitas; (ii) infrastruktur pertanian; (iii) keterbatasan pembiayaan; (iv) distribusi, logistik dan tata niaga; (v) struktur pasar yang kurang efisien. Tantangan Peningkatan Produksi dan Produktivitas Pasokan Luas Lahan Petani Keterbatasan luas lahan petani merupakan salah satu faktor penghambat utama dalam upaya peningkatan produktivitas petani. Berdasarkan data terkini, mayoritas petani Indonesia tergolong sebagai petani gurem dengan rata-rata kepemilikan lahan hanya 0,25 ha (Grafik V.5). Sepanjang 2003 hingga 2013, jumlah rumah tangga petani yang memiliki lahan pertanian di atas 1 ha relatif tetap. Walaupun jumlah rumah tangga petani gurem telah menurun dari 25 juta menjadi 19 juta, petani gurem dengan luas lahan di bawah 1 ha tetap mendominasi rumah tangga petani. Sumber : Survei Pertanian BPS, diolah Grafik V.5. Luas Lahan Rumah Tangga Petani Sumber : Survei Pertanian BPS, diolah Grafik V.6. Struktur Ongkos Usaha Tanaman Padi Sementara peningkatan produktivitas lahan melalui mekanisasi pertanian masih belum optimal. Penggunaan mekanisasi pertanian pada lahan dengan luas di bawah 1 ha kurang efisien karena skala ekonomis (misal minimum 2 ha untuk tanaman padi) tidak tercapai. Kepemilikan lahan di bawah luasan lahan optimal membuat petani cenderung menghindari penggunaan mekanisasi dan inovasi pertanian karena lebih besarnya risiko kegagalan produksi tani yang dihadapi. Kondisi ini membuat petani gurem cenderung terjebak dalam kemiskinan (poverty trap) akibat ketidakmampuan petani meningkatkan produktivitasnya karena tidak optimalnya luasan lahan olahan. Apabila hal ini terjadi 73

82 pada sekelompok petani akan menciptakan kesenjangan ekonomi yang cenderung berulang atau dikenal dengan istilah inequality reproduction. Diperlukan luasan lahan minimal agar pengolahan pertanian dapat berlangsung efisien dan peningkatan produktivitas pertanian dapat terwujud (Micauber Threshold, 2014). berusia lebih dari 50 tahun. Terbatasnya regenerasi petani terutama pada kelompok usia petani dibawah 35 tahun (Grafik V.8). Sumber : Survei Struktur Ongkos Usaha Tani Padi 2008 dan Survei Usaha Tanaman Padi dan Palawija 2014 Grafik V.8. Tingkat Kemiskinan Pedesaan Sumber : Survei Usaha Tanaman Padi & Palawija 2014, BPS Grafik V.7. Perbandingan Produktivitas Lahan Padi Selain kendala struktural lahan, penerapan mekanisasi dan inovasi pertanian juga terkendala kapasitas sumber daya petani. Tingkat pendidikan petani sebagian besar hanya lulusan SD (40%). Saat ini, mekanisasi pertanian pada tanaman pangan memang masih relatif rendah dan umumnya hanya berupa penggunaan traktor (Grafik V.7). Akibatnya, produktivitas lahan pertanian padi Indonesia lebih rendah dibandingkan negara lain yaitu sebesar 4,9%. Sementara, produktivitas lahan pertanian di Vietnam, Tiongkok dan Jepang masing-masing sebesar 5,2%, 6,6% dan 6,8%. Minimnya insentif untuk menjadi petani Jumlah tenaga kerja pertanian terus mengalami penurunan. Meskipun jumlah angkatan kerja mengalami peningkatan menjadi 120 juta jiwa sepanjang , namun jumlah pekerja di sektor pertanian justru turun menjadi 40 juta jiwa. Selain itu, regenerasi petani masih sangat terbatas. Sebagian besar petani (52%) telah Sumber : BPS Grafik V.9. Upah Nominal, Upah Riil Buruh Petani & UMR Regenerasi pekerja pertanian juga diakibatkan kurangnya insentif untuk menjadi petani. Peningkatan imbal balik yang diterima petani sebagai buruh tani jauh lebih rendah dibandingkan peningkatan Upah Minimum Regional (UMR). Selain itu, gap antara upah nominal dan upah riil yang diterima oleh petani semakin melebar sehingga daya beli petani secara relatif terus tergerus. Tingkat kesejahteraan petani kemudian secara relatif menjadi lebih rendah yang tercermin dari NTP pertanian yang menurun. Minimnya imbal balik bagi petani berujung pada tingkat kemiskinan pedesaan yang lebih tinggi dari perkotaan. Kemiskinan pedesaan terutama berasal dari rumah tangga dengan kepala 74

83 keluarga yang bekerja di sektor pertanian (Grafik V.10). perusahaan penggilingan yang digagas pemerintah realisasinya masih terbatas, yaitu hanya sekitar 2% usaha penggilingan dalam kurun waktu 2011 sampai Sumber : Indikator Kesejahteraan Rakyat (2015), BPS Grafik V.10. Tingkat Kemiskinan Pedesaan Pengolahan Paska Panen yang Belum Efisien Penanganan paska panen berbagai komoditas bahan pangan umumnya masih dilakukan secara sederhana sehingga output akhir masih terbatas baik secara kuantitas ataupun kualitas. Pada komoditas beras, penanganan paska panen yang masih sederhana menyebabkan tingginya loss pasca panen hingga 16,5% (Grafik V.11). Tingkat loss ini tergolong tinggi, terutama bila dibandingkan dengan negara lain penghasil beras seperti Vietnam (10%) dan Thailand (8-14%). Selain itu, penanganan pasca panen padi juga dihadapkan pada beberapa permasalahan antara lain (i) panen yang berlangsung serentak dan dengan kualitas gabah yang beragam; (ii) kapasitas mesin pengering yang terbatas, mayoritas masih menggunakan pengeringan alami; (iii) kapasitas penggilingan padi yang ada lebih tinggi dari kebutuhan. Permasalahan pengolahan paska panen juga ditemukan di tingkat penggilingan padi. Dari sekitar 182 ribu penggilingan, 94% merupakan penggilingan kecil yang sebagian besar menggunakan mesin berusia tua yang kurang efisien. Penggilingan kecil juga memiliki akses pemasaran dan modal yang terbatas, sehingga kesulitan memperoleh bahan baku. Selain itu, hanya sekitar 60% usaha penggilingan yang saat ini masih beroperasi. Revitalisasi Sumber : FGD Fak. Pertanian Universitas Padjajara, anekdotal Grafik V.11. Tingkat Loss Penanganan Paska Panen Sumber : Perpadi, FGD Usaha Penggilingan Grafik V.12. Jumlah dan Kualitas Usaha Penggilingan Teknologi pengolahan gabah yang kurang efisien mengakibatkan tingkat konversi gabah menjadi beras (rendemen) Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan negara produsen beras lainnya. Saat ini, tingkat rendemen gabah hanya sekitar 62,7%. mayoritas usaha penggilingan hanya memiliki tingkat rendemen sebesar 55,7% dengan tingkat kualitas beras 27 mencapai 74,3%. Tingkat rendemen yang lebih tinggi dan kualitas beras yang lebih baik dimiliki oleh usaha penggilingan besar. Berdasarkan 27 Kualitas beras menunjukkan persentase jumlah beras utuh yang dihasilkan dari total input, tidak termasuk beras patah dan menir 75

84 beberapa studi, tingkat rendemen penggilingan nasional menunjukkan kecenderungan penurunan. Sumber : Berbagai sumber Grafik V.13. Perbandingan Tingkat Rendemen Tantangan Infrastruktur Dukungan Infrastruktur Pangan yang Terbatas Terbatasnya infrastruktur pertanian turut menghambat peningkatan produksi pangan. Berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, terdapat indikasi jaringan irigasi yang telah dibangun belum memberi manfaat yang optimal. Hal ini tercermin dari (i) jumlah jaringan irigasi tersier yang belum tersedia dan mendukung jaringan irigasi primer dan sekunder yang telah dibangun oleh Pemerintah Pusat; dan (ii) terdapat jaringan irigasi yang tersedia pada area yang tidak memiliki lahan persawahan (Grafik V.14). Belum optimalnya pemanfaatan jaringan irigasi disebabkan antara lain oleh belum kuatnya dukungan Pemerintah Daerah untuk peningkatan produksi pangan secara berkelanjutan. Hal ini dapat tecermin dari (i) keberlanjutan lahan sawah beririgasi yang belum dijamin oleh Pemerintah daerah; (ii) tingginya tingkat alih lahan persawahan; dan (iii) masih terbatasnya dukungan Pemerintah Daerah dalam pembangunan dan pengelolaan irigasi, khususnya irigasi tersier. Hingga saat ini, tercatat baru 34% Pemerintah Daerah yang telah menetapkan Peraturan Daerah (Perda) terkait Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Akibatnya, pembangunan jaringan irigasi yang dilakukan menghadapi resiko utilisasi jaringan irigasi yang rendah karena lahan yang direncanakan akan dilayani telah berubah fungsi. Sumber : KemenPUPERA Grafik V.14. Jaringan Irigasi Belum Optimal Dimanfaatkan Di sisi lain, konversi lahan pertanian pangan terus berlangsung dan terindikasi meningkat ditengah upaya pemerintah pusat untuk meningkatkan dukungan infrastruktur irigasi pertanian. Di Pulau Jawa, tingkat konversi lahan beririgasi jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat ekspansi jaringan irigasi. Sementara di luar Pulau Jawa, peningkatan konversi lahan beririgasi yang lebih tinggi dari ekspansi jaringan irigasi (Grafik V.15). Penurunan luasan lahan beririgasi sejak 2007 hingga 2014 secara 76

85 nasional mencapai 13,6%, terutama terjadi di wilayah Sumatera (Grafik V.16). Sumber : KemenPUPERA (Audit 2014) Grafik V.15. Konversi dan Ekspansi Lahan Beririgasi Sumber : KemenPUPERA Grafik V.16. Degradasi Infrastruktur Irigasi Tantangan Pembiayaan Akses Pembiayaan yang Terbatas Kedua, produksi hasil pertanian yang bersifat musiman mengakibatkan pendapatan petani tidak kontinu sehingga kesulitan untuk memenuhi pembayaran pokok pinjaman dan bunga secara periodik. Selain itu, petani memiliki aset yang terbatas yang dapat menjadi agunan pinjaman. Ketiga, tingkat risiko kegagalan panen masih relatif tinggi karena sangat diperngaruhi pengaruh perubahan cuaca terhadap produksi tanaman pangan. Keempat, masih lemahnya kelembagaan petani menyebabkan posisi tawar petani yang relatif rendah. Hal ini terlihat dari ketidakmampuan petani untuk menentukan harga jual kepada pedagang pengepul maupun pedagang besar. Sejumlah kendala yang dihadapi petani dalam akses pembiayaan ke lembaga keuangan formal mendorong petani lebih menggantungkan pembiayaan dari lembaga keuangan non-formal. Hasil Survei Usaha Tanaman Padi dan Palawija tahun 2014 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sebagian besar pinjaman petani padi, jagung dan kedelai bersumber dari pinjaman perorangan (Grafik V.17). Akses pembiayaan untuk pengembangan sektor pertanian khususnya tanaman bahan pangan masih terbatas. Berbagai kelemahan dari aspek produksi dan aspek kelembagaan petani mengakibatkan risiko usaha pertanian menjadi lebih tinggi sehingga menjadi disinsentif bagi perbankan maupun lembaga keuangan non-bank (LKNB) untuk menyalurkan kredit. Terdapat sejumlah faktor yang menjadi risiko pembiayaan dalam produksi tanaman bahan pangan. Pertama, dari sisi produk, output yang dihasilkan petani belum memiliki standar yang sama. Hal ini merupakan dampak dari rendahnya kualitas penanganan paska panen yang sebagian besar masih menggunakan mekanisasi sederhana. Sumber: BPS, Survei Usaha Tanaman Padi dan Palawija 2014 Grafik V.17. Sumber Pinjaman Petani Padi, Jagung dan Kedelai 77

86 Mengingat risiko pembiayaan di level hulu (onfarm) relatif tinggi, perbankan maupun LKNB memiliki preferensi penyaluran pembiayaan sektor pertanian ke level yang secara aspek kelembagaan dan collateral-nya sudah lebih baik, seperti di level hulu (off-farm) berupa usaha atau industri penghasil sarana produksi pertanian (pembibitan, agrokimia, petisida, alat dan mesin pertanian, pakan ternak, dsb.); level hilir (downstream) berupa usaha atau kegiatan pengolahan produk primer menjadi produk antara atau produk jadi (pabrik gula, pengolahan susu, oleokimia, pengolahan daging sapi, pabrik minyak kelapa sawit, dsb.); dan level jasa-jasa penunjang (supporting services) untuk mendukung kegiatan agribisnis yang meliputi perdagangan, pengangkutan dan ekspor produk agribisnis (Grafik V.18). Di sisi lain, pembiayaan melalui Sistem Resi Gudang (SRG) juga masih belum sepenuhnya dapat menjadi solusi bagi peningkatan akses pembiayaan di sektor pertanian. Penerapan SRG menghadapi kendala antara lain (i) kelembagaan petani yang masih lemah; (ii) belum terpenuhi sepenuhnya standar mutu hasil panen; (iii) skala usaha pertanian yang tidak efisien; (iv) terbatasnya sarana infrastruktur pendukung pergudangan; (v) kurangnya dukungan dan komitmen Pemerintah Daerah; (vi) belum optimalnya sinergi kebijakan mulai dari pra-panen hingga paska panen; serta, (vii) tebatasnya kapasitas SDM pengelola gudang. Berbagai permasalahan yang dihadapi tersebut menyebabkan SRG sulit mendapatkan dukungan pembiayaan lembaga keuangan. Sumber: Hasil Focus Group Discussion (FGD) dengan perbankan Grafik V.18. Ruang Lingkup Pembiayaan di Sektor Pertanian Tantangan Distribusi dan Tata Niaga yang Kurang Efisien Dari sisi distribusi, aliran perdagangan komoditas pangan antardaerah masih berlangsung kurang efisien. Secara spasial, arus perdagangan masih banyak berpusat di Jawa, sedangkan perdagangan antarwilayah di luar Jawa masih belum berkembang terutama akibat kondisi infrastruktur konektivitas yang belum memadai. Bahkan kesulitan transporasi, turut berkontribusi pada pemenuhan kebutuhan pangan di wilayah luar Jawa yang masih harus dipasok melalui Jawa dan belum dapat dipenuhi oleh wilayah tetangganya. Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan, sebagai dua provinsi yang bertetangga, pemenuhan kebutuhan pangannya perlu disuplai melalui Jawa dan tidak dari tetangganya, meskipun keduanya berada di pulau yang sama. Aliran perdagangan komoditas pangan yang tidak berimbang ini berdampak pada terjadinya disparitas harga sejumlah pangan strategis, salah satunya beras. Harga beras di KTI cenderung menjadi lebih tinggi dibandingkan wilayah-wilayah lainnya. 78

87 Surplus/Defisit Beras < ton ton ton > ton Jalur Perdagangan Data Sekunder dan Hasil Survei Sebelumnya. Jalur yang beririsan dengan hasil survei PAW. Sumber: Bank Indonesia (2015), Survei Perdagangan Antar Wilayah (PAW) Grafik V.19. Aliran Perdagangan Beras Antar Daerah Sumber: hargapangan.id (rata-rata harga 3 bulan terakhir) Grafik V.20. Disparitas Harga Beras Antar Daerah Di sisi tata niaga, posisi kapasitas dan kelembagaan petani yang masih lemah menciptakan peluang lebih besar bagi keterlibatan lebih banyak pelaku dalam rantai tata niaga. Akibatnya, rantai perdagangan komoditas pangan menjadi lebih panjang dan marjin keuntungan pedagang jauh lebih besar daripada petani. Hasil studi Bank Indonesia (2016) menunjukkan setidaknya ada lima pelaku tata niaga yang dilalui produk pangan mulai dari petani sampai ke konsumen, yaitu pengepul, distributor/supplier, pedagang besar, pedagang grosir dan pedagang eceran. Panjangnya rantai perdagangan itu mendistorsi harga jual di tingkat konsumen. Studi Bank Indonesia (2016) menunjukkan bahwa panjangnya rantai perdagangan menyebabkan harga jual komoditas bawang merah, dalam kondisi pasokan normal, yaitu dari petani sampai ke pedagang pengecer mengalami peningkatan hingga 73%, sementara pada kondisi pasokan sedikit (paceklik) dapat mencapai 81% (Grafik V.21). Sumber: Bank Indonesia (2016), Penelitian Analisis Persistensi Inflasi Komoditas Pangan Strategis di Daerah Grafik V.21. Struktur Pasar Bawang Merah Komoditas daging sapi baik pada kondisi pasokan normal maupun sedikit (paceklik), 79

88 terjadi peningkatan harga jual dari tingkat peternak hingga ke pedagang pengecer ratarata sebesar % (Grafik V.22). Sebagian besar kenaikan harga jual mengalami peningkatan tertinggi mulai dari tingkat distributor/supplier hingga pedagang grosir (wholesaler). terkait permasalahan distribusi seperti kondisi infrastruktur transportasi yang kurang memadai, kurangnya dukungan kebijakan Pemda, serta masih terjadinya pungutan tidak resmi. Terkait infrastruktur pemasaran, masih terdapat sejumlah persoalan mengenai belum adanya regulasi yang memadai untuk pengelolaan pasar, ketersediaan pasar dan gudang yang memadai, serta keterbatasan ketersediaan informasi harga pangan yang akurat bagi proses pembentukan harga. Sumber: Bank Indonesia (2016), Penelitian Analisis Persistensi Inflasi Komoditas Pangan Strategis di Daerah Grafik V.22. Struktur Pasar Daging Sapi Tidak efisiennya distribusi dan rantai perdagangan komoditas pangan juga tercermin dari hasil survei Bank Indonesia (2016) yang menunjukkan besarnya komponen pembentuk harga akhir yang berasal dari sisi pasca produksi (off-farm). Proporsi biaya offfarm perdagangan komoditas strategis pertanian dan peternakan seperti beras, cabai merah dan daging sapi relatif tinggi, yaitu lebih dari 50%. Tabel V. 1. Proporsi Biaya Off-Farm Sumber: Bank Indonesia (2016), Penelitian Analisis Persistensi Inflasi Komoditas Pangan Strategis di Daerah Beberapa faktor lainnya turut berkontribusi pada tingginya biaya off-farm antara lain Sumber: Kajian Bank Indonesia (2015) Grafik V. 23. Permasalahan Distribusi Sumber: Kajian Bank Indonesia (2015) Grafik V. 24. Permasalahan Infrastruktur Pemasaran Sebagian besar perubahan harga yang dilakukan oleh produsen didasari informasi yang berasal dari pembeli atau pedagang lainnya. Keberadaan pembeli (pengepul) maupun pedagang besar yang dominan dalam rantai perdagangan, cenderung menjadi acuan bagi pedagang lainnya dan mampu mempengaruhi perubahan harga, sehingga memperbesar kemungkinan terjadinya distorsi dalam penetapan harga. 80

89 Di sisi lain, media telekomunikasi (handphone, internet, dll.) belum berperan banyak dalam memberi informasi bagi produsen dan pedagang dalam proses pembentukan harga. Pusat Informasi dan Harga Pangan Strategis (PIHPS) yang tengah dikembangkan di berbagai daerah melalui media telekomunikasi online, diharapkan dapat berperan lebih besar. Sosialisasi pemanfaatan PIHPS ini perlu terus dilakukan secara lebih intensif. Kajian Bank Indonesia (2016) menunjukkan bahwa pada pasar komoditas cabai merah mengindikasikan adanya pelaku pasar yang memiliki kekuatan pasar (market power) sebagai penentu harga (price maker). Hasil survei menunjukkan harga jual komoditas pangan di pasar ditentukan oleh pedagang utama yang menjadi acuan pedagang lainnya, di samping mengikuti harga pasar tertinggi. Adanya peran pelaku pasar dominan dalam struktur pasar cabai merah dapat menyebabkan terganggunya pasokan yang tersedia di pasar jika pemain dominan tersebut tidak memasok cabai merah ke pasar. Sumber : Kajian Bank Indonesia Grafik V. 25. Sumber Informasi Perubahan Harga bagi Produsen (Petani/Peternak) Tantangan Struktur Pasar yang Kurang Kompetitif Struktur pasar yang kurang kompetitif menjadi salah satu faktor yang menyebabkan pembentukan harga kurang efisien dan mengakibatkan fluktuasi harga relatif besar di tingkat konsumen. Studi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menunjukkan adanya praktik kompetisi yang tidak sempurna (imperfect competition) pada struktur pasar pangan strategis. Disinyalir terjadi praktek oligopoli pada rantai perdagangan dari pengepul hingga pedagang besar pada struktur pasar komoditas cabai merah, bawang merah, jagung, dan daging sapi, terutama pada pedagang pemasok barang ke pasar induk. Sementara dari pasar induk hingga konsumen, struktur pasarnya relatif lebih berbentuk persaingan sempurna. Sumber : Kajian Bank Indonesia Grafik V. 26. Cara Menentukan Harga Jual oleh Pedagang Besar Cabai Merah Sumber : Kajian Bank Indonesia Grafik V. 27. Peran Pelaku Dominan dalam Struktur Pasar Cabai Merah Di samping itu, keberadaan pasar induk di sebagian daerah juga terindikasi belum berfungsi sebagaimana mestinya. Ini juga tantangan dalam struktur pasar komoditas pangan. Dari sekitar 133 pasar induk/besar yang tersebar di berbagai daerah, hanya 81

90 kurang dari 10% yang menjalankan fungsi sebagai pasar induk, yaitu pasar yang berfungsi sebagai tempat pengumpulan, pelelangan, penyimpanan dan penyaluran barang kebutuhan dalam jumlah besar. Sebagian besar pasar induk di daerah bahkan turut berfungsi sebagai pasar retail sehingga perannya sebagai penyangga harga di level pedagang besar belum berjalan dengan baik. pendapatan akan mendorong peningkatan permintaan untuk pemenuhan kebutuhan protein, seperti daging sapi, daging ayam, telur dan ikan. Strategi Kebijakan Berbagai tantangan tersebut di atas, memerlukan reformasi struktural di sektor pertanian melalui strategi kebijakan yang terintegrasi yang dapat menyentuh perbaikan baik dari sisi aspek kelembagaan petani, aspek tata niaga, distribusi dan logistik, dan aspek pemenuhan kecukupan pasokan. Adapun strategi kebijakan yang dapat ditempuh antara lain: Sumber: Cognos, data diolah Grafik V.28. Impor Komoditas Bahan Makanan Ke depan, pemenuhan kebutuhan pangan akan menghadapi tantangan baru sejalan dengan terjadinya perubahan pola konsumsi masyarakat, gaya hidup dan peningkatan pendapatan. Gaya hidup yang semakin serba cepat dan instan akan turut mendorong tingginya permintaan produk makanan jadi. Ini akan memicu peningkatan kebutuhan bahan baku dari industri makanan dan minuman, dan berpotensi semakin meningkatkan impor bahan makanan. Di sisi lain, peningkatan Pertama, dari sisi produksi. Penguatan kelembagaan petani dalam rangka meningkatkan posisi tawar petani baik dalam kemitraan dengan pelaku ekonomi lainnya maupun dalam hal pembiayaan. Penguatan kelembagaan petani ini sejalan dengan UU No.19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Strategi pemberdayaan petani juga ditempuh melalui pendidikan dan pelatihan; penyuluhan dan pendampingan; pengembangan sistem dan sarana pemasaran hasil pertanian; konsolidasi dan jaminan luasan lahan pertanian; penyediaan fasilitas pembiayaan dan permodalan; serta kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi. Grafik V.29. Strategi Kebijakan dan Isu-Isu Utama Reformasi Pangan 82

91 Grafik V.30. Strategi Kebijakan Integratif Reformasi Pangan Penguatan kelembagaan petani diharapkan dapat berlangsung secara bertahap dimulai dari kelembagaan berbasis komunitas (community based) yang bersifat informal, yaitu kelompok petani dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan dan kesamaan lingkungan sosial ekonomi dan sumber daya. Kelompok tani ini kemudian dapat dikembangkan lagi guna merespon peluang pasar, meningkatkan skala ekonomi serta efisiensi usaha, yaitu dengan membentuk Gabungan Kelompok Petani (Gapoktan). Gapoktan dapat berperan sebagai unit-unit usaha yang bergerak sebagai penyedia sarana dan prasarana produksi pertanian, pemasaran hingga simpan pinjam. Gapoktan ini kemudian dapat dikembangkan lagi menjadi Kelembagaan Ekonomi Petani (KEP) yang dapat berstatus badan hukum. Bahkan, untuk meningkatkan posisi tawar petani dalam melakukan kemitraan dengan pihak korporasi, ataupun untuk meningkatkan kemandirian petani, KEP dapat ditingkatkan menjadi Badan Usaha Milik Petani (BUMP) untuk mensinergikan kegiatan bisnis dan pengelolaan pertanian secara korporasi. Grafik V.31. Konsep Penerapan Corporate Farming dan Kelembagaan Badan Usaha Milik Petani (BUMP) 83

92 Penguatan dan peningkatan kelembagaan petani tersebut perlu didukung dengan pendampingan oleh Kementerian Pertanian, Pemerintah Daerah, dan asosiasi petani. Corporate farming yang dijalankan oleh BUMP, baik dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT) atau koperasi (cooperative farming) dapat menjadi alternatif solusi atas pengelolaan lahan pertanian yang selama ini kurang efisien karena berskala kecil (< 1 ha). Pengelolaan lahan pertanian dapat dilakukan di bawah BUMP melalui skema kontrak kerjasama dengan petani. Selain dalam aspek manajemen, BUMP juga dapat berperan dalam penyediaan sarana dan prasarana produksi serta mengadaptasi mekanisasi pertanian. Grafik V.32. Konsep Sistem Logistik dan Distribusi Terintegrasi Dari sisi paska produksi, BUMP dapat menyalurkan hasil panen langsung ke jaringan pasar induk. Bahkan, dapat membantu melakukan pengolahan paska panen lebih dahulu sebelum dipasarkan ke jaringan pasar induk maupun retail. Melalui corporate farming, kelembagaan petani diharapkan dapat menjadi lebih kuat, berkurang risiko usahanya sehingga membuka peluang lebih besar terhadap akses pembiayaan dari perbankan dan lembaga keuangan lainnya. Kedua, dari sisi distribusi, diperlukan sistem logistik dan distribusi yang lebih terintegrasi dengan dibentuknya Pusat Distribusi dan Logistik (PDL), yang pengelolaannya melibatkan pemerintah dan asosiasi pedagang resmi. PDL memiliki peran dalam mengatur arus komoditas dan arus informasi yang dibutuhkan dalam pemenuhan pasokan baik dari dalam maupun luar negeri (impor), serta informasi yang dibutuhkan dalam pembentukan harga di berbagai wilayah. Rantai Tata niaga yang lebih teratur memerlukan informasi aliran komoditas pangan yang tercatat dengan baik. Oleh karena itu, para pedagang yang terlibat baik pengepul, pedagang grosir meupun pengecer perlu tersertifikasi (certified) sehingga dapat menjadi Certified Seller. Dengan demikian, melalui Sistem Logistik dan Distribusi Terintegrasi, diharapkan informasi pasokan dan kondisi stok pangan dapat tersedia secara real time. Data dan informasi arus komoditas (commodity flows) antar wilayah pada suatu waktu tertentu dapat tersedia dengan akurat. Proses pembentukan harga kemudian dapat menjadi lebih efisien. Konsep ini sudah mulai diterapkan di Tiongkok oleh China National Agricultural Wholesale Markets Association (CAWA). 84

93 Keberadaan PDL perlu didukung oleh data dan informasi yang kredibel dan akurat, baik terkait arus komoditas, neraca produksi maupun kebutuhan pangan wilayah dan nasional. Keberadaan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) saat ini dapat dimanfaatkan sebagai early warning system ketersediaan pasokan pangan dan proyeksi surplus-defisit pangan ke depan yang lebih akurat. Pengadaan impor dapat dilakukan segera sebelum defisit pasokan pangan terjadi, sehingga pemenuhan pasokan lebih tepat waktu, dan secara bertanggungjawab oleh para importir teregisterasi dan termonitor secara ketat. Dengan demikian, beberapa permasalahan terkait impor, seperti: timing impor yang salah (terlambat ketika harga sudah terlanjur meningkat, atau impor masuk justru ketika kondisi supply sudah kembali normal); proses impor panjang (+2-3 bulan); tidak adanya early warning system untuk deteksi kebutuhan pangan yang diimpor; serta bottleneck birokrasi dalam pemberian ijin impor, dapat lebih teratasi. segmen konsumen, baik retail maupun industri rumah tangga. Dari sisi informasi, perusahaan e-commerce dapat berperan sebagai jembatan bagi petani untuk mengetahui referensi harga terbaik serta daerah atau pasar mana yang masih membutuhkan pasokan. Dengan demikian, jika pada kondisi pasokan melimpah, agar harga yang diterima petani tidak terlalu rendah, perusahaan e-commerce dapat membantu petani untuk menyalurkan hasil produksinya di daerah yang kekurangan pasokan dengan harga yang lebih baik. Di samping itu, dalam hal pembiayaan, perusahaan e-commerce dapat melakukan microfunding dengan menghubungkan potensial investor kepada petani yang membutuhkan pendanaan melalui crowdfunding. Skema investasi ditetapkan melalui sistem bagi hasil secara adil baik untuk pihak petani maupun investor. Salah satu solusi lain untuk memperpendek rantai perdagangan adalah melalui pengembangan e-commerce. Melalui kerjasama sistem kontrak atau bagi hasil dengan petani yang menjadi mitranya, Perusahaan e-commerce dapat memasarkan produk pertanian secara langsung ke konsumen, sehingga rantai tata niaga pangan dapat dipangkas. Melalui kerjasama dengan perusahaan e-commerce, kualitas hasil produksi dapat terjaga sesuai standar kualitas. Untuk itu, Perusahaan e-commerce perlu melakukan pendampingan terkait produksi, pola tanam dan pengolahan pasca panen agar produksi lebih optimal. Dari sisi pasca panen, petani yang menjadi mitranya didampingi untuk mampu melakukan proses sorting, grading, dan packaging untuk memenuhi kualitas sesuai masing-masing 85

94 86 Halaman ini sengaja dikosongkan

95 87

96 Tahun Dasar 2010 Indikator Makroekonomi Daerah I II III IV Ip IIp 2017p PDRB (%,yoy) Sisi Permintaan Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi LNPRT Konsumsi Pemerintah Pembentukan Modal Tetap Bruto Ekspor Impor Net Ekspor Antar Daerah Sisi Produksi Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian (1.5) - (1) (1.6) - (1.1) (1.3) - (0.8) Industri Pengolahan Pengadaan Listrik dan Gas Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang Konstruksi Perdagangan Besar, Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor Transportasi dan Pergudangan Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum Informasi dan Komunikasi Jasa Keuangan dan Asuransi Real Estate Jasa Perusahaan Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib Jasa Pendidikan Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial Jasa lainnya PDRB (%,yoy) Provinsi Aceh Provinsi Sumatera Utara Provinsi Sumatera Barat Provinsi Riau Provinsi Jambi Provinsi Kepulauan Riau Provinsi Sumatera Selatan Provinsi Bengkulu Provinsi Lampung Provinsi Kep. Bangka Belitung Inflasi IHK (%,yoy) Provinsi Aceh Provinsi Sumatera Utara Provinsi Sumatera Barat Provinsi Riau Provinsi Kepulauan Riau Provinsi Jambi Provinsi Sumatera Selatan Provinsi Bengkulu Provinsi Lampung Provinsi Kep. Bangka Belitung

97 Tahun Dasar 2010 Indikator Makroekonomi Daerah I II III IV Ip IIp 2017p PDRB (%,yoy) Sisi Permintaan Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi LNPRT Konsumsi Pemerintah Pembentukan Modal Tetap Bruto Ekspor Impor Net Ekspor Antar Daerah (1.3) - (1.7) (1.1) - (1.5) Sisi Produksi Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Pengadaan Listrik dan Gas (0.8) - (1.2) Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang Konstruksi Perdagangan Besar, Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor Transportasi dan Pergudangan Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum (5.0) - (5.4) (4.3) - (4.7) (4.7) - (5.1) Informasi dan Komunikasi Jasa Keuangan dan Asuransi Real Estate Jasa Perusahaan Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib Jasa Pendidikan Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial Jasa lainnya PDRB (%,yoy) DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Inflasi IHK (%,yoy) DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur

98 Tahun Dasar 2010 Indikator Makroekonomi Daerah I II III IV Ip IIp 2017p PDRB (%,yoy) Sisi Permintaan Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi Lembaga Nonprofit Rumah Tangga Konsumsi Pemerintah (3.2) (6.0) (0.3) Pembentukan Modal Tetap Bruto Ekspor Luar Negeri (5.7) (8.8) (7.0) (6.0) 12.2 (2.6) Impor Luar Negeri (3.0) (9.5) (2.2) (11.2) (4.8) (7.0) Sisi Produksi Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian 2.1 (2.3) (2.9) Industri Pengolahan Pengadaan Listrik dan Gas Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang Konstruksi Perdagangan Besar, Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor Transportasi dan Pergudangan Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum Informasi dan Komunikasi Jasa Keuangan dan Asuransi Real Estate Jasa Perusahaan Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib (0.4) Jasa Pendidikan Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial Jasa lainnya PDRB Menurut Provinsi (%, yoy) Provinsi Kalimantan Barat Provinsi Kalimantan Tengah Provinsi Kalimantan Selatan Provinsi Kalimantan Timur (1.2) (0.5) (0.7) (0.0) (0.3) (0.4) Provinsi Kalimantan Utara Provinsi Sulawesi Selatan Provinsi Sulawesi Barat Provinsi Sulawesi Tenggara Provinsi Sulawesi Tengah Provinsi Gorontalo Provinsi Sulawesi Utara Provinsi Maluku Provinsi Maluku Utara Provinsi Papua 7.5 (0.7) (5.2) Provinsi Papua Barat Provinsi Bali Provinsi Nusa Tenggara Barat Provinsi Nusa Tenggara Timur

99 Tahun Dasar 2010 Indikator Makroekonomi Daerah I II III IV IIp IIIp 2017p Inflasi IHK (%,yoy) Provinsi Kalimantan Barat Provinsi Kalimantan Tengah Provinsi Kalimantan Selatan Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Utara Provinsi Sulawesi Selatan Provinsi Sulawesi Barat Provinsi Sulawesi Tenggara Provinsi Sulawesi Tengah Provinsi Gorontalo Provinsi Sulawesi Utara Provinsi Maluku Provinsi Maluku Utara Provinsi Papua Provinsi Papua Barat Provinsi Bali Provinsi Nusa Tenggara Barat Provinsi Nusa Tenggara Timur

100 92 Halaman ini sengaja dikosongkan

101 Yoga Affandi Noor Yudanto Gunawan Wicaksono Maximilian T. Tutuarima Neva Andina Gaffari Ramadhan Ragil Misas Fu adi Agung Budilaksono Diah Ratnasari Warsono Sulistiyo Rizki Fitrama Frida Yunita Sinurat Andree Breitner Makahinda

102

103

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012 KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012 Januari 2013 Kinerja Ekonomi Daerah Cukup Kuat, Inflasi Daerah Terkendali Ditengah perlambatan perekonomian global, pertumbuhan ekonomi berbagai daerah di Indonesia

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI JANUARI 2017

RELEASE NOTE INFLASI JANUARI 2017 Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (Pokjanas TPID) RELEASE NOTE INFLASI JANUARI 2017 Inflasi Bulan Januari 2017 Meningkat, Namun Masih

Lebih terperinci

Daftar isi Kata Pengantar Bagian I 1. Bagian II 9. Bagian III 23. Bagian IV 47. Bagian V 63. Lampiran 75

Daftar isi Kata Pengantar Bagian I 1. Bagian II 9. Bagian III 23. Bagian IV 47. Bagian V 63. Lampiran 75 IV Daftar isi v Kata Pengantar vii Bagian I 1 Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek Ekonomi Daerah Bagian II 9 Perekonomian Sumatera Boks 1 19 Mentransformasi Industri Kelapa Sawit dan Karet Menjadi

Lebih terperinci

Perkembangan Terkini, Prospek, dan Tantangan Ke Depan

Perkembangan Terkini, Prospek, dan Tantangan Ke Depan Ringkasan Laporan Nusantara Februari 2014 *) Perkembangan Terkini, Prospek, dan Tantangan Ke Depan PERKEMBANGAN TERKINI EKONOMI DAERAH Setelah mengalami perlambatan pada beberapa triwulan sebelumnya, realisasi

Lebih terperinci

Inflasi IHK 2015 Berada dalam Sasaran Inflasi Bank Indonesia

Inflasi IHK 2015 Berada dalam Sasaran Inflasi Bank Indonesia Inflasi IHK 2015 Berada dalam Sasaran Inflasi Bank Indonesia Inflasi di bulan Desember menunjukkan peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan bulan lalu dan lebih tinggi dari historisnya. Inflasi

Lebih terperinci

TPI dan Pokjanas TPID. Analisis Inflasi. Analisis Inflasi Januari 2016 TPI dan Pokjanas TPID 1

TPI dan Pokjanas TPID. Analisis Inflasi. Analisis Inflasi Januari 2016 TPI dan Pokjanas TPID 1 Penurunan Harga Pangan dan Komoditas Energi Dorong Deflasi IHK Bulan Februari Indeks Harga Konsumen (IHK) bulan Februari 2016 mengalami deflasi. Deflasi IHK pada bulan ini mencapai -0,09% (mtm). Realisasi

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI APRIL 2017

RELEASE NOTE INFLASI APRIL 2017 RELEASE NOTE INFLASI APRIL 2017 TPI dan Pokjanas TPID INFLASI IHK Inflasi April 2017 Terkendali Indeks Harga Konsumen (IHK) tercatat mengalami inflasi 0,09% (mtm) di bulan April (Tabel 1). Inflasi IHK

Lebih terperinci

Daftar isi Kata Pengantar Bagian I 1. Bagian II 9. Bagian III 31. Bagian IV 57. Bagian V 79. Lampiran 89

Daftar isi Kata Pengantar Bagian I 1. Bagian II 9. Bagian III 31. Bagian IV 57. Bagian V 79. Lampiran 89 IV Daftar isi v Kata Pengantar vii Bagian I 1 Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek Ekonomi Daerah Bagian II 9 Perekonomian Sumatera Boks 1 25 Diversifikasi Vertikal dan Horisontal Perekonomian Sumatera

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI DESEMBER 2016

RELEASE NOTE INFLASI DESEMBER 2016 Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (Pokjanas TPID) RELEASE NOTE INFLASI DESEMBER 2016 Inflasi 2016 Cukup Rendah dan Berada dalam Batas

Lebih terperinci

Daftar isi Kata Pengantar Bagian I 1. Bagian II 9. Bagian III 23. Bagian IV 39. Bagian V 55. Bagian VI 71. Lampiran 83

Daftar isi Kata Pengantar Bagian I 1. Bagian II 9. Bagian III 23. Bagian IV 39. Bagian V 55. Bagian VI 71. Lampiran 83 IV Daftar isi v Kata Pengantar vii Bagian I 1 Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek Ekonomi Daerah Bagian II 9 Perekonomian Sumatera Boks 1 20 Mendorong Pengembangan Ekonomi Batam dan Daerah Sekitarnya

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI FEBRUARI 2017

RELEASE NOTE INFLASI FEBRUARI 2017 RELEASE NOTE INFLASI FEBRUARI 217 TPI dan Pokjanas TPID INFLASI IHK Inflasi Bulan Februari 217 Terkendali Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) tercatat,23% (mtm) di bulan Februari. Inflasi di bulan ini

Lebih terperinci

TPI dan Pokjanas TPID. Analisis Inflasi. Analisis Inflasi Januari 2016 TPI dan Pokjanas TPID 1. Inflasi Januari 2016 Melambat dan Terkendali

TPI dan Pokjanas TPID. Analisis Inflasi. Analisis Inflasi Januari 2016 TPI dan Pokjanas TPID 1. Inflasi Januari 2016 Melambat dan Terkendali Inflasi Januari 2016 Melambat dan Terkendali Inflasi pada awal tahun 2016 mengalami perlambatan dibandingkan dengan bulan lalu. Pada Januari 2016, inflasi IHK tercatat sebesar 0,51% (mtm), lebih rendah

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI DESEMBER 2017

RELEASE NOTE INFLASI DESEMBER 2017 RELEASE NOTE INFLASI DESEMBER 2017 TPI dan Pokjanas TPID INFLASI IHK Inflasi 2017 Terkendali Dan Berada Pada Sasaran Inflasi Inflasi IHK sampai dengan Desember 2017 terkendali dan masuk dalam kisaran sasaran

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI APRIL 2016

RELEASE NOTE INFLASI APRIL 2016 Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (Pokjanas TPID) RELEASE NOTE INFLASI APRIL 2016 Penurunan Harga BBM dan Panen Raya Dorong Deflasi Bulan

Lebih terperinci

ANALISIS INFLASI MARET 2016

ANALISIS INFLASI MARET 2016 Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (Pokjanas TPID) ANALISIS INFLASI MARET 2016 Komoditas Pangan Dorong Inflasi IHK Maret INFLASI IHK Mtm

Lebih terperinci

Daftar isi Kata Pengantar Bagian I 1. Bagian II 13. Bagian III 33. Bagian IV 61. Bagian V 91

Daftar isi Kata Pengantar Bagian I 1. Bagian II 13. Bagian III 33. Bagian IV 61. Bagian V 91 IV Daftar isi v Kata Pengantar vii Bagian I 1 Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek Ekonomi Daerah Boks 1 10 Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional: Instrumen Pengendalian Inflasi

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI NOVEMBER 2016

RELEASE NOTE INFLASI NOVEMBER 2016 Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (Pokjanas TPID) RELEASE NOTE INFLASI NOVEMBER 2016 Inflasi Bulan November 2016 Didorong Harga Pangan

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI JULI 2017

RELEASE NOTE INFLASI JULI 2017 RELEASE NOTE INFLASI JULI 2017 INFLASI IHK Inflasi Juli 2017 Terkendali Inflasi Juli 2017 terkendali sehingga masih mendukung pencapaian sasaran inflasi 2017 sebesar 4,0±1%. Inflasi Indeks Harga Konsumen

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI MARET 2017

RELEASE NOTE INFLASI MARET 2017 RELEASE NOTE INFLASI MARET 2017 TPI dan Pokjanas TPID INFLASI IHK Panen Dorong Deflasi Maret 2017 Indeks Harga Konsumen (IHK) tercatat mengalami deflasi 0,02% (mtm) di bulan Maret (Tabel 1). Deflasi bulan

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI MEI 2017

RELEASE NOTE INFLASI MEI 2017 RELEASE NOTE INFLASI MEI 2017 INFLASI IHK Inflasi Mei 2017 Terkendali Indeks Harga Konsumen (IHK) tercatat mengalami inflasi 0,39% (mtm) di bulan Mei (Tabel 1). Inflasi IHK bulan ini meningkat dibanding

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI JULI 2016

RELEASE NOTE INFLASI JULI 2016 Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (Pokjanas TPID) RELEASE NOTE INFLASI JULI 2016 Inflasi Lebaran 2016 Cukup Terkendali INFLASI IHK Mtm

Lebih terperinci

Daftar isi Kata Pengantar Bagian I 1. Bagian II 13. Bagian III 35. Bagian IV 61. Bagian V 93

Daftar isi Kata Pengantar Bagian I 1. Bagian II 13. Bagian III 35. Bagian IV 61. Bagian V 93 IV Daftar isi v Kata Pengantar vii Bagian I 1 Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek Ekonomi Daerah Bagian II 13 Perekonomian Sumatera Boks 1 30 Peran Pariwisata dan Industri Kreatif dalam Mendukung

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI SEPTEMBER 2016

RELEASE NOTE INFLASI SEPTEMBER 2016 Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (Pokjanas TPID) RELEASE NOTE INFLASI SEPTEMBER 2016 Tekanan Inflasi di Bulan September 2016 Cukup Terkendali

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI AGUSTUS 2016

RELEASE NOTE INFLASI AGUSTUS 2016 Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (Pokjanas TPID) RELEASE NOTE INFLASI AGUSTUS 2016 Koreksi Harga Paska Idul Fitri Dorong Deflasi Agustus

Lebih terperinci

Daftar isi Kata Pengantar Bagian I 1. Boks Boks Bagian II 17. Boks Boks Bagian III 43. Boks Boks 6 65.

Daftar isi Kata Pengantar Bagian I 1. Boks Boks Bagian II 17. Boks Boks Bagian III 43. Boks Boks 6 65. IV Daftar isi v Kata Pengantar vii Bagian I 1 Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek Ekonomi Daerah Boks 1 12 Konvergensi Inflasi Daerah Terhadap Target Inflasi Nasional Boks 2 15 Pergerakan Harga

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI AGUSTUS 2017

RELEASE NOTE INFLASI AGUSTUS 2017 RELEASE NOTE INFLASI AGUSTUS 2017 Koreksi Harga Pangan dan Faktor Musiman Dorong Deflasi Agustus INFLASI IHK Inflasi Agustus 2017 terkendali sehingga masih mendukung pencapaian sasaran inflasi 2017 sebesar

Lebih terperinci

PAPARAN BANK INDONESIA RAKORDAL TW II 17. Kalimantan Tengah. Kalimantan Tengah

PAPARAN BANK INDONESIA RAKORDAL TW II 17. Kalimantan Tengah. Kalimantan Tengah Kalimantan Tengah PAPARAN BANK INDONESIA RAKORDAL TW II 17 Kalimantan Tengah Pertumbuhan Ekonomi & Inflasi Tahun 2017 Pasca meningkat cukup tinggi pada triwulan I 2017, ekonomi Kalimantan Tengah diperkirakan

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI JUNI 2016

RELEASE NOTE INFLASI JUNI 2016 Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (Pokjanas TPID) RELEASE NOTE INFLASI JUNI 2016 Inflasi Ramadhan 2016 Cukup Terkendali INFLASI IHK Mtm

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI MEI 2016

RELEASE NOTE INFLASI MEI 2016 Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (Pokjanas TPID) Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter - Bank Indonesia, Pusat Kebijakan Ekonomi

Lebih terperinci

Asesmen Pertumbuhan Ekonomi

Asesmen Pertumbuhan Ekonomi Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Asesmen Pertumbuhan Ekonomi Penurunan momentum pertumbuhan ekonomi Kepulauan Riau di periode ini telah diperkirakan sebelumnya setelah mengalami tingkat pertumbuhan

Lebih terperinci

Mei L a p o r a n N u s a n t a r a 1 VOLUME 11 NOMOR 2

Mei L a p o r a n N u s a n t a r a 1 VOLUME 11 NOMOR 2 Mei 2015 L a p o r a n N u s a n t a r a 1 VOLUME 11 NOMOR 2 Halaman ini sengaja dikosongkan L a p o r a n N u s a n t a r a Daftar Isi Kata Pengantar Bagian I Bagian II Bagian III Bagian IV Bagian V Bagian

Lebih terperinci

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009 263 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009 Tim Penulis

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI OKTOBER 2016

RELEASE NOTE INFLASI OKTOBER 2016 Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (Pokjanas TPID) RELEASE NOTE INFLASI OKTOBER 2016 Tekanan Inflasi di Bulan Oktober 2016 Cukup Terkendali

Lebih terperinci

Perkembangan Perekonomian Terkini. Peluang Pengembangan Perekonomian. Proyeksi Perekonomian Ke depan

Perkembangan Perekonomian Terkini. Peluang Pengembangan Perekonomian. Proyeksi Perekonomian Ke depan 01 02 03 Perkembangan Perekonomian Terkini Peluang Pengembangan Perekonomian Proyeksi Perekonomian Ke depan 2 Produk Domestik Regional Bruto Nasional Balikpapan Kaltim Industri Konstruksi Transportasi

Lebih terperinci

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan II-2013

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan II-2013 Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan II-2013 Asesmen Ekonomi Perekonomian Kepulauan Riau (Kepri) pada triwulan II-2013 mengalami pelemahan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Pada

Lebih terperinci

November L a p o r a n N u s a n t a r a 1 VOLUME 10 NOMOR 4

November L a p o r a n N u s a n t a r a 1 VOLUME 10 NOMOR 4 November 2015 L a p o r a n N u s a n t a r a 1 VOLUME 10 NOMOR 4 Halaman ini sengaja dikosongkan L a p o r a n N u s a n t a r a Daftar Isi Kata Pengantar Bagian I Bagian II Bagian III Bagian IV Bagian

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI JUNI 2017

RELEASE NOTE INFLASI JUNI 2017 RELEASE NOTE INFLASI JUNI 2017 INFLASI IHK Inflasi Juni 2017 Terkendali Indeks Harga Konsumen (IHK) tercatat mengalami inflasi 0,69% (mtm) di bulan Juni (Tabel 1). Inflasi IHK pada periode puasa dan lebaran

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI OKTOBER 2017

RELEASE NOTE INFLASI OKTOBER 2017 RELEASE NOTE INFLASI OKTOBER 2017 TPI dan Pokjanas TPID Harga Pangan Dorong Inflasi Oktober 2017 Tetap Rendah INFLASI IHK Inflasi IHK sampai dengan Oktober 2017 terkendali dan mendukung pencapaian sasaran

Lebih terperinci

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD)

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) 3.1. Asumsi Dasar yang Digunakan Dalam APBN Kebijakan-kebijakan yang mendasari APBN 2017 ditujukan

Lebih terperinci

Kajian. Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Kalimantan Tengah

Kajian. Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Kalimantan Tengah Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Triwulan III 2015 1 KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat-nya (KEKR) Provinsi Kalimantan Tengah Triwulan III

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI SEPTEMBER

RELEASE NOTE INFLASI SEPTEMBER RELEASE NOTE INFLASI SEPTEMBER INFLASI IHK Inflasi September 2017 Terkendali Inflasi IHK sampai dengan September 2017 terkendali dan mendukung pencapaian sasaran inflasi 2017. Pada bulan September inflasi

Lebih terperinci

Agustus L a p o r a n N u s a n t a r a 1 VOLUME 10 NOMOR 3

Agustus L a p o r a n N u s a n t a r a 1 VOLUME 10 NOMOR 3 Agustus 2015 L a p o r a n N u s a n t a r a 1 VOLUME 10 NOMOR 3 Halaman ini sengaja dikosongkan L a p o r a n N u s a n t a r a Daftar Isi Kata Pengantar Bagian I Bagian II Bagian III Bagian IV Bagian

Lebih terperinci

1. Tinjauan Umum

1. Tinjauan Umum 1. Tinjauan Umum Perekonomian Indonesia dalam triwulan III-2005 menunjukkan kinerja yang tidak sebaik perkiraan semula, dengan pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan lebih rendah sementara tekanan terhadap

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TAHUN 2016

PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TAHUN 2016 BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No.11/02/34/Th.XIX, 6 Februari 2017 PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TAHUN 2016 EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN 2016 TUMBUH 5,05 PERSEN LEBIH TINGGI DIBANDING TAHUN

Lebih terperinci

4. Outlook Perekonomian

4. Outlook Perekonomian Laporan Kebijakan Moneter - Triwulan I-2008 4. Outlook Perekonomian Di tengah gejolak yang mewarnai perekonomian global, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2008 diprakirakan mencapai 6,2% atau melambat

Lebih terperinci

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2010 245 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2010 Tim Penulis

Lebih terperinci

Publikasi ini beserta publikasi Bank Indonesia yang lain dapat diakses secara online pada:

Publikasi ini beserta publikasi Bank Indonesia yang lain dapat diakses secara online pada: Februari 2018 Publikasi ini beserta publikasi Bank Indonesia yang lain dapat diakses secara online pada: http://www.bi.go.id/id/publikasi/kajian-ekonomi-regional/ Salinan publikasi ini juga dapat diperoleh

Lebih terperinci

Rakordal KALTENG. Kondisi Perekonomian Triwulan IV dan Outlook 2016

Rakordal KALTENG. Kondisi Perekonomian Triwulan IV dan Outlook 2016 Rakordal KALTENG Kondisi Perekonomian Triwulan IV dan Outlook 2016 2015 PEREKONOMIAN NASIONAL Triwulan III 2015 PDB Tw III-15: 4,73% gpdrb negatif Perbaikan perekonomian terjadi di Jawa, sementara ekonomi

Lebih terperinci

Inflasi IHK Provinsi Sulawesi Utara. Inflasi Komoditas Utama. Periode. mtm -0,68% yoy 2,28% ytd -0,94% avg yoy 1 6,41% Beras.

Inflasi IHK Provinsi Sulawesi Utara. Inflasi Komoditas Utama. Periode. mtm -0,68% yoy 2,28% ytd -0,94% avg yoy 1 6,41% Beras. Inflasi IHK Provinsi Sulawesi Utara mtm -0,68% yoy 2,28% ytd -0,94% avg yoy 1 6,41% Inflasi Komoditas Utama Beras Minyak Goreng Daging Ayam Ras Cabai Rawit Bawang Merah Tomat Sayur Cakalang Inflasi Sulawesi

Lebih terperinci

RAKORDAL PROVINSI KALTENG TRIWULAN III 2016

RAKORDAL PROVINSI KALTENG TRIWULAN III 2016 RAKORDAL PROVINSI KALTENG TRIWULAN III 2016 EKONOMI NASIONAL KONDISI EKONOMI NASIONAL TRIWULAN II 2016 INFLASI=2,79% GROWTH RIIL : 2,4% Ekonomi Nasional dapat tumbuh lebih dari 5,0% (yoy) pada triwulan

Lebih terperinci

P D R B 7.24% 8.50% 8.63% 8.60% 6.52% 3.05% -0.89% Sumber : BPS Kepulauan Riau *) angka sementara **) angka sangat sementara

P D R B 7.24% 8.50% 8.63% 8.60% 6.52% 3.05% -0.89% Sumber : BPS Kepulauan Riau *) angka sementara **) angka sangat sementara Ringkasan Eksekutif Asesmen Ekonomi Di awal tahun 2009, imbas krisis finansial global terhadap perekonomian Kepulauan Riau dirasakan semakin intens. Laju pertumbuhan ekonomi memasuki zona negatif dengan

Lebih terperinci

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III - 2009 127 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III - 2009 Tim Penulis

Lebih terperinci

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER PANDANGAN GUBERNUR BANK INDONESIA PADA RAPAT KERJA PANITIA ANGGARAN DPR RI MENGENAI LAPORAN SEMESTER I DAN PROGNOSIS SEMESTER II APBN TA 2006 2006 Anggota Dewan yang terhormat, 1. Pertama-tama perkenankanlah

Lebih terperinci

VOLUME 10 NOMOR 1. Februari 2015

VOLUME 10 NOMOR 1. Februari 2015 VOLUME 1 NOMOR 1 Februari 215 Daftar Isi 3 Kata Pengantar 5 Bagian I Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek Ekonomi Daerah 7 Bagian II Perekonomian Sumatera 13 Bagian III Perekonomian Jawa 49 Bagian

Lebih terperinci

Suharman Tabrani Kepala Perwakilan Bank Indonesia Balikpapan

Suharman Tabrani Kepala Perwakilan Bank Indonesia Balikpapan Perkembangan Terkini, Tantangan, dan Prospek Ekonomi Suharman Tabrani Kepala Perwakilan Bank Indonesia Balikpapan Disampaikan pada MUSRENBANG RKPD 2017 KOTA BALIKPAPAN OUTLINE 2 Perekonomian Nasional Perekonomian

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH 2016

PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH 2016 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH No. 09/02/Th.XX, 6 Februari 2017 PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH EKONOMI ACEH SELAMA TAHUN DENGAN MIGAS TUMBUH 3,31 PERSEN, TANPA MIGAS TUMBUH 4,31 PERSEN. Perekonomian Aceh

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI KALIMANTAN TIMUR DAN KALIMANTAN UTARA MEI 217 KANTOR PERWAKILAN BANK INDONESIA Provinsi Kalimantan Timur Publikasi ini dapat diakses secara online pada: www.bi.go.id/web/id/publikasi

Lebih terperinci

BAB 5 : SISTEM PEMBAYARAN

BAB 5 : SISTEM PEMBAYARAN BAB 5 SISTEM PEMBAYARAN BAB 5 : SISTEM PEMBAYARAN Transaksi sistem pembayaran tunai di Gorontalo pada triwulan I-2011 diwarnai oleh net inflow dan peningkatan persediaan uang layak edar. Sementara itu,

Lebih terperinci

Inflasi IHK Provinsi Sulawesi Utara. Inflasi Komoditas Utama. Periode. mtm 0,01% yoy 0,78% ytd -0,93% avg yoy 1 6,83% Beras.

Inflasi IHK Provinsi Sulawesi Utara. Inflasi Komoditas Utama. Periode. mtm 0,01% yoy 0,78% ytd -0,93% avg yoy 1 6,83% Beras. Inflasi IHK Provinsi Sulawesi Utara mtm 0,01% yoy 0,78% ytd -0,93% avg yoy 1 6,83% Inflasi Komoditas Utama Beras Minyak Goreng Daging Ayam Ras Cabai Rawit Bawang Merah Tomat Sayur Cakalang Inflasi Sulawesi

Lebih terperinci

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan I-2012

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan I-2012 Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan I-2012 Asesmen Ekonomi Pada triwulan I 2012 pertumbuhan Kepulauan Riau mengalami akselerasi dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat 6,34% (yoy)

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI PAPUA

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI PAPUA KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI PAPUA AGUSTUS 2017 Vol. 3 No. 2 Triwulanan April - Jun 2017 (terbit Agustus 2017) Triwulan II 2017 ISSN 2460-490257 e-issn 2460-598212 KATA PENGANTAR RINGKASAN

Lebih terperinci

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA TRIWULAN II Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Gorontalo

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA TRIWULAN II Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Gorontalo BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA TRIWULAN II 2013 Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Gorontalo Visi Bank Indonesia : Menjadi lembaga Bank Sentral yang dapat dipercaya secara nasional maupun internasional

Lebih terperinci

Publikasi ini dapat diakses secara online pada:

Publikasi ini dapat diakses secara online pada: A FEBRUARI 218 Publikasi ini dapat diakses secara online pada: www.bi.go.id/web/id/publikasi Salinan publikasi dalam bentuk hardcopy dapat diperoleh di: Unit Advisory Ekonomi dan Keuangan Kantor Perwakilan

Lebih terperinci

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Asesmen Ekonomi Pemulihan ekonomi Kepulauan Riau di kuartal akhir 2009 bergerak semakin intens dan diperkirakan tumbuh 2,47% (yoy). Angka pertumbuhan berakselerasi

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH TRIWULAN III

PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH TRIWULAN III BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH No. 51/11/Th.XIX, 7 November PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH TRIWULAN III - EKONOMI ACEH TRIWULAN III TAHUN DENGAN MIGAS TUMBUH 2,22 PERSEN, TANPA MIGAS TUMBUH 3,31 PERSEN

Lebih terperinci

Halaman ini sengaja dikosongkan.

Halaman ini sengaja dikosongkan. 2 Halaman ini sengaja dikosongkan. KATA PENGANTAR Puji serta syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat dan ridha- IV Barat terkini yang berisi mengenai pertumbuhan ekonomi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pencerminan tingkat inflasi merupakan persentasi kecepatan naiknya harga-harga

BAB I PENDAHULUAN. Pencerminan tingkat inflasi merupakan persentasi kecepatan naiknya harga-harga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian suatu negara dapat ditinjau dari variabelvariabel makroekonomi yang mampu melihat perekonomian dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Variabelvariabel

Lebih terperinci

Potensi Kerentanan Ekonomi DKI Jakarta Menghadapi Krisis Keuangan Global 1

Potensi Kerentanan Ekonomi DKI Jakarta Menghadapi Krisis Keuangan Global 1 Boks I Potensi Kerentanan Ekonomi DKI Jakarta Menghadapi Krisis Keuangan Global 1 Gambaran Umum Perkembangan ekonomi Indonesia saat ini menghadapi risiko yang meningkat seiring masih berlangsungnya krisis

Lebih terperinci

Publikasi ini beserta publikasi Bank Indonesia yang lain dapat diakses secara online pada:

Publikasi ini beserta publikasi Bank Indonesia yang lain dapat diakses secara online pada: November 2017 Publikasi ini beserta publikasi Bank Indonesia yang lain dapat diakses secara online pada: http://www.bi.go.id/id/publikasi/kajian-ekonomi-regional/ Salinan publikasi ini juga dapat diperoleh

Lebih terperinci

PERSIAPAN MENJELANG BULAN RAMADHAN & HARI RAYA IDUL FITRI

PERSIAPAN MENJELANG BULAN RAMADHAN & HARI RAYA IDUL FITRI HIGH LEVEL MEETING PERSIAPAN MENJELANG BULAN RAMADHAN & HARI RAYA IDUL FITRI Denpasar, 18 Mei 2017 PERKEMBANGAN INFLASI NASIONAL 2 PERKEMBANGAN INFLASI NASIONAL 3 9.00 8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 Inflasi

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI KALIMANTAN TIMUR FEBRUARI 218 KANTOR PERWAKILAN BANK INDONESIA Provinsi Kalimantan Timur Publikasi ini dapat diakses secara online pada: www.bi.go.id/web/id/publikasi

Lebih terperinci

SAMBUTAN GUBERNUR BANK INDONESIA SOSIALISASI PROGRAM PENGENDALIAN INFLASI BI Jakarta, 25 April 2016

SAMBUTAN GUBERNUR BANK INDONESIA SOSIALISASI PROGRAM PENGENDALIAN INFLASI BI Jakarta, 25 April 2016 SAMBUTAN GUBERNUR BANK INDONESIA SOSIALISASI PROGRAM PENGENDALIAN INFLASI BI Jakarta, 25 April 2016 Yang kami hormati, Gubernur Jawa Tengah, Bapak H. Ganjar Pranowo, Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia,

Lebih terperinci

Inflasi IHK Provinsi Sulawesi Utara. Inflasi Komoditas Utama. Periode. mtm -1,52% yoy 0,35% ytd 0,35% avg yoy 1 7,11% Beras.

Inflasi IHK Provinsi Sulawesi Utara. Inflasi Komoditas Utama. Periode. mtm -1,52% yoy 0,35% ytd 0,35% avg yoy 1 7,11% Beras. Inflasi IHK Provinsi Sulawesi Utara mtm -1,52% yoy 0,35% ytd 0,35% avg yoy 1 7,11% Inflasi Komoditas Utama Beras Minyak Goreng Daging Ayam Ras Cabai Rawit Bawang Merah Tomat Sayur Cakalang Inflasi Sulawesi

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN I-2016

PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN I-2016 BPS PROVINSI LAMPUNG No. 09/05/18/Th.XVII, 4 Mei 2016 PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN I-2016 EKONOMI LAMPUNG TUMBUH 5,05 PERSEN MENGUAT DIBANDINGKAN TRIWULAN I-2015 Perekonomian Lampung triwulan I-2016

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3. 1. Arah Kebijakan Ekonomi 3.1.1. Kondisi Ekonomi Tahun 2014 dan Perkiraan Tahun 2015 Peningkatan dan perbaikan kondisi ekonomi

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2016

PERTUMBUHAN EKONOMI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2016 BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 63/11/34/Th.XVIII, 7 November PERTUMBUHAN EKONOMI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN III TAHUN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN III TUMBUH SEBESAR 4,68 PERSEN, LEBIH LAMBAT

Lebih terperinci

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan I-2012

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan I-2012 Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan I-2012 Asesmen Ekonomi Laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Kepulauan Riau pada triwulan II 2012 tercatat sebesar 7,25%, mengalami perlambatan dibandingkan

Lebih terperinci

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia Perlambatan pertumbuhan Indonesia terus berlanjut, sementara ketidakpastian lingkungan eksternal semakin membatasi ruang bagi stimulus fiskal dan moneter

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TAHUN 2015

PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TAHUN 2015 BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 10/02/34/Th.XVIII, 5 Februari 2016 PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TAHUN 2015 EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN 2015 TUMBUH 4,9 PERSEN SEDIKIT MELAMBAT DIBANDING

Lebih terperinci

ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III

ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran,Triwulan III - 2005 135 ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III - 2005 Tim Penulis

Lebih terperinci

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Gorontalo

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Gorontalo BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA Kajian Ekonomi Regional Provinsi Gorontalo Triwulan I 2013 Visi Bank Indonesia : Menjadi lembaga Bank Sentral yang dapat dipercaya secara nasional maupun internasional melalui

Lebih terperinci

Ringsek KER Zona Sumbagteng Tw.I-2009 Ekonomi Zona Sumbagteng Melambat Seiring Dengan Melambatnya Permintaan Domestik

Ringsek KER Zona Sumbagteng Tw.I-2009 Ekonomi Zona Sumbagteng Melambat Seiring Dengan Melambatnya Permintaan Domestik B O K S Ringsek KER Zona Sumbagteng Tw.I-29 Ekonomi Zona Sumbagteng Melambat Seiring Dengan Melambatnya Permintaan Domestik PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO REGIONAL Pertumbuhan ekonomi Zona Sumbagteng terus

Lebih terperinci

Perkembangan Terkini Perekonomian Global dan Nasional serta Tantangan, dan Prospek Ekonomi ke Depan. Kantor Perwakilan BI Provinsi Kalimantan Timur

Perkembangan Terkini Perekonomian Global dan Nasional serta Tantangan, dan Prospek Ekonomi ke Depan. Kantor Perwakilan BI Provinsi Kalimantan Timur 1 Perkembangan Terkini Perekonomian Global dan Nasional serta Tantangan, dan Prospek Ekonomi ke Depan Kantor Perwakilan BI Provinsi Kalimantan Timur ALUR PIKIR 2 PEREKONOMIAN GLOBAL PEREKONOMIAN DOMESTIK

Lebih terperinci

4. Outlook Perekonomian

4. Outlook Perekonomian 4. Outlook Perekonomian Pada tahun 2007-2008, ekspansi perekonomian Indonesia diprakirakan terus berlanjut dengan dilandasi oleh stabilitas makroekonomi yang terjaga. Pertumbuhan ekonomi pada 2007 diprakirakan

Lebih terperinci

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan IV-2012

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan IV-2012 Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan -2012 Asesmen Ekonomi Pertumbuhan ekonomi Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2012 tercatat 8,21% lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2011 yang tercatat

Lebih terperinci

Kajian Ekonomi Regional Banten

Kajian Ekonomi Regional Banten Kajian Ekonomi Regional Banten Triwulan I - 2009 i Kata Pengantar Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt yang telah melimpahkan segala rahmat-nya sehingga penyusunan buku Kajian Ekonomi Regional

Lebih terperinci

LAPORAN LIAISON. Triwulan I Konsumsi rumah tangga pada triwulan I-2015 diperkirakan masih tumbuh

LAPORAN LIAISON. Triwulan I Konsumsi rumah tangga pada triwulan I-2015 diperkirakan masih tumbuh Triwulan I - 2015 LAPORAN LIAISON Konsumsi rumah tangga pada triwulan I-2015 diperkirakan masih tumbuh terbatas, tercermin dari penjualan domestik pada triwulan I-2015 yang menurun dibandingkan periode

Lebih terperinci

ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran

ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran 1 ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia I.1

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG TRIWULAN III TAHUN 2015

PERTUMBUHAN EKONOMI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG TRIWULAN III TAHUN 2015 No. 76/11/19/Th.IX, November 01 PERTUMBUHAN EKONOMI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG TRIWULAN III TAHUN 01 EKONOMI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG TRIWULAN III-01 TUMBUH,96 PERSEN MELAMBAT DIBANDING TRIWULAN II-01

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH SEMESTER I

PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH SEMESTER I BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH No. 37/08/Th.XX, 7 Agustus 2017 PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH SEMESTER I - 2017 EKONOMI ACEH SEMESTER I-2017 DENGAN MIGAS NAIK 3,67 PERSEN, TANPA MIGAS TUMBUH 3,54 PERSEN

Lebih terperinci

KONSULTASI PUBLIK RKPD PROVINSI KALTIM 2018

KONSULTASI PUBLIK RKPD PROVINSI KALTIM 2018 KONSULTASI PUBLIK RKPD PROVINSI KALTIM 218 Peran Dunia Usaha Dalam Menggerakan Ekonomi Rakyat Samarinda, 14 Maret 217 STRUKTUR EKONOMI KALTIM Seiring dengan booming harga komoditas yang terjadi pada tahun

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN I-2017

PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN I-2017 BPS PROVINSI LAMPUNG No. 09/05/18/Th.XIX, 5 Mei 2017 PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN I-2017 EKONOMI LAMPUNG TUMBUH 5,11 PERSEN MENGUAT DIBANDINGKAN TRIWULAN I-2016 Perekonomian Lampung triwulan I-2017

Lebih terperinci

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 11/02/34/Th.XVI, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN SEBESAR 5,40 PERSEN Kinerja perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) selama tahun

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2015

PERTUMBUHAN EKONOMI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2015 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NTB No. 12/02/52/Th.X, 5 Februari 2016 PERTUMBUHAN EKONOMI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2015 EKONOMI NUSA TENGGARA BARAT PADA TRIWULAN IV 2015 TUMBUH 11,98 PERSEN Sampai dengan

Lebih terperinci

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Gorontalo

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Gorontalo BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA Kajian Ekonomi Regional Provinsi Gorontalo Triwulan IV 2012 Visi Bank Indonesia : Menjadi lembaga Bank Sentral yang dapat dipercaya secara nasional maupun internasional

Lebih terperinci

Asesmen Pertumbuhan Ekonomi

Asesmen Pertumbuhan Ekonomi Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Asesmen Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi Kepulauan Riau pada triwulan II-2010 diestimasi sedikit melambat dibanding triwulan sebelumnya. Badan Pusat Statistik

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN II-2016 EKONOMI PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN II-2016 TUMBUH 5,21 PERSEN MENGUAT DIBANDINGKAN TRIWULAN II-2015

PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN II-2016 EKONOMI PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN II-2016 TUMBUH 5,21 PERSEN MENGUAT DIBANDINGKAN TRIWULAN II-2015 BPS PROVINSI LAMPUNG No. 09/08/Th.XVII, 5 Agustus 2016 PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN II-2016 EKONOMI PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN II-2016 TUMBUH 5,21 PERSEN MENGUAT DIBANDINGKAN TRIWULAN II-2015 Perekonomian

Lebih terperinci

Inflasi Bulanan Inflasi Tahunan Disagregasi Inflasi Non Fundamental Fundamental/Inti...

Inflasi Bulanan Inflasi Tahunan Disagregasi Inflasi Non Fundamental Fundamental/Inti... Daftar Isi Daftar Isi... i Daftar Tabel... iv Daftar Grafik... v Kata Pengantar... x Tabel Indikator Ekonomi Provinsi Lampung... xii Ringkasan Eksekutif... xv Bab 1 Perkembangan Ekonomi Makro Daerah...

Lebih terperinci

Laporan Analisis Pengendalian Inflasi Daerah

Laporan Analisis Pengendalian Inflasi Daerah Kantor Perwakilan Bank Indonesia INFLASI DI AWAL TAHUN 2017 DIPICU OLEH KENAIKAN TARIF YANG DIATUR PEMERINTAH INFLASI IHK SULUT (% mtm) mtm 1,10 % 1,6 % ytd 1,10 % avg (2012-2016) 5,20 % Inflasi Komoditas

Lebih terperinci