VOLUME 10 NOMOR 1. Februari 2015

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VOLUME 10 NOMOR 1. Februari 2015"

Transkripsi

1 VOLUME 1 NOMOR 1 Februari 215

2 Daftar Isi 3 Kata Pengantar 5 Bagian I Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek Ekonomi Daerah 7 Bagian II Perekonomian Sumatera 13 Bagian III Perekonomian Jawa 49 Bagian IV Perekonomian Kalimantan 99 Bagian V Perekonomian Kawasan Timur Indonesia Bagian V Isu Khusus Daerah 139 Isu Khusus 1: Strategi Pembangunan Infrastruktur Daerah Isu Khusus 2: Agenda Pembangunan Maritim Informasi lebih lanjut dapat menghubungi: Bank Indonesia Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Grup Asesmen Ekonomi Divisi Asesmen Ekonomi Regional Ph , Fax , L a p o r a n N u s a n t a r a 1

3 Bank Indonesia mempertimbangkan berbagai aspek dalam proses perumusan kebijakan, termasuk berbagai dinamika ekonomi dan isu terkini dalam perspektif kedaerahan. Pembahasan menyeluruh mengenai perkembangan perekonomian terkini dan berbagai isu strategis yang mengemuka di daerah dilakukan secara periodik antara Dewan Gubernur dengan para Kepala Departemen Regional yang mewakili 4 (empat) wilayah di seluruh Indonesia 1 dan/atau Kepala Kantor Perwakilan BI di daerah. Hasil dari pembahasan dimaksud menjadi bagian penting dalam melengkapi pemahaman Bank Indonesia terhadap kondisi makroekonomi dengan berbagai aspek risiko yang berkembang. Secara umum dapat disimpulkan bahwa perekonomian Indonesia pada triwulan IV 214 menunjukkan tandatanda pemulihan dengan mencatatkan pertumbuhan sebesar 5,1%, meningkat dari 4,92% pada triwulan III 214. Perbaikan kinerja ekonomi di Jawa yang didukung oleh membaiknya aktivitas di sektor industri pengolahan merupakan pendorong utama perbaikan perekonomian nasional. Selain itu, membaiknya perekonomian nasional juga ditopang oleh pertumbuhan ekonomi Kalimantan dan stabilnya perekonomian Sumatera. Sementara di KTI, pertumbuhan perekonomian masih tertahan karena kontraksi kinerja pertambangan yang terjadi di beberapa daerah, kecuali beberapa provinsi di Sulawesi yang tumbuh cukup tinggi didukung oleh kinerja sektor industri pengolahan dan sektor konstruksi. Secara keseluruhan tahun 214, perekonomian nasional tumbuh melambat dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebesar 5,3%, lebih rendah dibandingkan tahun 213 yang tumbuh 5,58%. Kondisi ini tidak terlepas dari berbagai tantangan yang dihadapi akibat ketidakpastian dinamika perekonomian global serta ketergantungan yang tinggi sebagian besar wilayah di Indonesia terhadap ekspor komoditas primer yang kinerjanya pada 214 masih belum membaik. Memasuki triwulan I 215, berbagai indikator perekonomian daerah mengindikasikan potensi perbaikan kinerja perekonomian masih akan berlanjut meskipun masih dibayangi berbagai risiko, baik dari sisi global maupun domestik. Perbaikan ekonomi diperkirakan terutama terjadi di KTI dan Sumatera yang ditopang oleh masih kuatnya pertumbuhan ekonomi Jawa. Perekonomian di KTI akan didorong oleh perbaikan aktivitas pertambangan seiring dengan ekspor mineral yang dapat dilakukan kembali. Sementara itu, perekonomian Jawa masih didukung oleh perbaikan sektor industri pengolahan seiring dengan perbaikan permintaan ekspor manufaktur. Di sisi lain, perekonomian di Kalimantan diperkirakan cenderung melambat karena terbatasnya ekspor batubara. Untuk keseluruhan tahun 215, perbaikan ekonomi nasional diperkirakan terus berlanjut sebagaimana tercermin pada agregasi prakiraan pertumbuhan ekonomi daerah yang tumbuh dikisaran 5,4-5,8%, lebih tinggi dibanding tahun 214. Optimisme perbaikan pertumbuhan ekonomi daerah juga bersumber dari langkah strategis pemerintah untuk menempuh beberapa agenda pembangunan infrastruktur yang diperkirakan akan mampu mengakselerasi investasi dan belanja pemerintah pada tahun 215. Di sisi inflasi, laju inflasi pada triwulan IV-214 meningkat signifikan yakni tercatat sebesar 8,36% (yoy) pada Desember 214, dibanding periode September 214 yang sebesar 4,53% (yoy). Peningkatan inflasi merupakan dampak dari implementasi kebijakan reformasi energi pada November 214 dan berkurangnya pasokan komoditas cabai merah dan beras. Kendala pasokan akibat pergeseran masa panen dan faktor cuaca yang menghambat produksi dan distribusi mengakibatkan kenaikan harga cabai merah dan beras di sejumlah daerah melebihi rata-rata tiga tahun terakhir. Peningkatan inflasi terbesar terjadi di wilayah Sumatera, Jakarta dan Jawa yang melebihi 8%. Namun, perkembangan inflasi sepanjang 214 secara umum relatif terkendali dibandingkan tahun 213. Hal ini tercermin dari sedikit lebih rendahnya realisasi inflasi di tahun 214 dibanding tahun 213 yang sebesar 8,38%. Memasuki tahun 215, tekanan inflasi tercatat mulai kembali menurun ditandai deflasi yang terjadi di sebagian besar daerah. Tekanan inflasi di berbagai daerah pada triwulan I 215 diperkirakan masih cenderung rendah 1 Terhitung sejak 215, bahasan ekonomi dan keuangan daerah dibagi menjadi 4 (empat) wilayah, yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Kawasan Timur Indonesia (KTI mencakup Sulawesi, Maluku, Papua, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur). L a p o r a n N u s a n t a r a 1

4 seiring dengan kebijakan pemerintah untuk menyesuaikan mekanisme subsidi BBM disertai prospek berlanjutnya penurunan harga minyak di pasar internasional dan mulai masuknya masa panen di berbagai daerah sentra produksi pangan. Hingga akhir tahun 215, prakiraan inflasi di berbagai daerah secara agregat masih sejalan dengan kisaran sasaran inflasi nasional sebesar 4%±1%. Kondisi ini didukung oleh prospek produksi pangan yang diperkirakan mampu mencatat surplus, kondisi curah hujan yang relatif stabil serta tren penurunan harga BBM. Meski demikian perlu tetap diwaspadai beberapa risiko yang dapat memberikan tekanan inflasi di 215 khususnya terkait dengan kesinambungan jumlah pasokan bahan pangan antar waktu di tengah estimasi surplus pangan secara tahunan. Mempertimbangkan risiko tersebut, ke depan upaya pengendalian inflasi di daerah perlu difokuskan untuk meminimalkan dampak dari kebijakan administered prices, pengelolaan pasokan pangan serta berbagai langkah kebijakan yang perlu ditempuh untuk menjaga ekspektasi masyarakat agar tetap positif. Asesmen lengkap mengenai dinamika terkini dan prospek ekonomi daerah diuraikan secara lengkap dalam buku Laporan Nusantara ini. Laporan Nusantara edisi kali ini juga mengangkat isu khusus terkait dengan agenda pembangunan infrastruktur nasional dan agenda kemaritiman yang menjadi prioritas agenda pembangunan di era Kabinet Kerja. Penyusunan buku Laporan Nusantara dilakukan bersama oleh beberapa satuan kerja di Bank Indonesia, yaitu Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter, Departemen Regional I (Sumatera), Departemen Regional II (Jawa), Departemen Regional III (Kalimantan), dan Departemen Regional IV (Sulampua-Bali-Nustra). Akhir kata, kami berharap buku Laporan Nusantara ini dapat menjadi referensi para pemangku kepentingan dan pemerhati ekonomi daerah, serta menjadi salah satu kontribusi Bank Indonesia dalam pembangunan ekonomi daerah. Jakarta, 2 Februari 215 Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Juda Agung Direktur Eksekutif L a p o r a n N u s a n t a r a 2

5 PERKEMBANGAN TERKINI EKONOMI DAERAH Tanda-tanda pemulihan ekonomi nasional mulai tampak pada di triwulan IV 214 sebagaimana terindikasi dari realisasi pertumbuhan ekonomi yang sedikit meningkat dari 4,92% menjadi 5,1% 1, terutama didorong oleh perbaikan kinerja ekonomi Jawa. Perbaikan kinerja ekonomi berbagai daerah di Jawa didorong oleh membaiknya aktivitas di sektor industri pengolahan sejalan dengan membaiknya kinerja ekspor manufaktur. Perbaikan kinerja ekonomi juga terjadi di Kalimantan seiring dengan peningkatan aktivitas di sektor pertambangan meski masih pada level yang rendah karena harga komoditas ekspor yang masih rendah. Sementara itu, kinerja ekonomi berbagai daerah di Sumatera secara agregat mulai tumbuh stabil ditopang oleh kinerja perkebunan yang membaik. Sementara itu, kinerja pertumbuhan ekonomi wilayah timur Indonesia secara agregat masih tertahan karena kontraksi kinerja pertambangan di beberapa daerah di wilayah timur Indonesia, seperti di Papua, Papua Barat, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah. Meski demikian, capaian pertumbuhan ekonomi di beberapa daerah di Sulawesi secara umum masih cukup tinggi. Sulawesi Barat bahkan dapat mencatat angka pertumbuhan hingga 1,9%, diikuti oleh Sulawesi Tengah (9,5% dan Gorontalo (8,2%) didukung oleh kinerja sektor pertanian yang cenderung tumbuh meningkat. Sumber : BPS, diolah Gambar I.1. Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah Triwulan IV 214 Secara keseluruhan, pada tahun 214 perekonomian nasional tumbuh melambat dibandingkan tahun sebelumnya. Perekonomian Indonesia pada tahun 214 tumbuh sebesar 5,3%, lebih rendah dibandingkan tahun 213 yang tumbuh 5,58%. Kondisi ini tidak terlepas dari berbagai tantangan yang dihadapi dari dinamika perekonomian global yang masih diwarnai ketidakpastian yang tinggi. Selain itu, penyesuaian terhadap 1 Badan Pusat Statistik (BPS) mulai menggunakan tahun dasar 21 dalam menghitung pertumbuhan ekonomi terhitung sejak rilis pertumbuhan ekonomi Triwulan IV 214 pada tanggal 5 Februari 215. L a p o r a n N u s a n t a r a 3

6 penerapan kebijakan pengendalian ekspor mineral yang diterapkan pada awal tahun 215 memerlukan proses konsolidasi perekonomian daerah-daerah yang menjadi basis produksi tambang mineral. Melambatnya perekonomian di berbagai daerah juga terkait dengan masih tingginya ketergantungan Sumatera, Kalimantan, dan beberapa daerah di KTI terhadap ekspor komoditas primer yang kinerjanya masih menurun. Beberapa daerah yang menunjukkan perlambatan ekonomi akibat terbatasnya kinerja sektor berbasis sumber daya alam (SDA) antara lain Provinsi Aceh, Kalimantan Timur, Riau, dan Papua. Di tengah melambatnya kinerja ekonomi di daerah-daerah basis produksi SDA, kinerja daerah yang mengandalkan kinerja manufaktur seperti Jawa dan Jakarta, serta beberapa daerah di Sulawesi masih relatif tumbuh kuat sehingga dapat menahan perlambatan ekonomi lebih lanjut. Sumber : BPS, diolah *Berdasarkan Tahun Dasar 2 Gambar I.2. Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah 214 Sejalan dengan perekonomian nasional yang mulai pulih, laju perlambatan kredit di wilayah Jawa, Jakarta, dan Sumatera pada triwulan IV-214 tidak setajam triwulan sebelumnya. Pertumbuhan kredit di berbagai daerah di Kalimantan secara agregat bahkan terindikasi mulai meningkat. Pertumbuhan penyaluran kredit di Jawa sebesar 14,73%, tergolong cukup tinggi dibandingkan wilayah lain, mengkonfirmasi kondisi perekonomian Jawa yang relatif masih terjaga. Sementara itu, penyaluran kredit di Jakarta dan Sumatera pada 214 masing-masing tumbuh sebesar 9,39%, dan 9,43%. Penyaluran kredit di Kalimantan tumbuh 9,69%, lebih tinggi dari triwulan III-214 yang tumbuh 6,85% (yoy). Secara keseluruhan 214 laju pertumbuhan kredit di semua wilayah masih melambat, namun disertai dengan tingkat non performing loans (NPL) yang relatif rendah pada kisaran 1,6% - 3,%. Secara triwulanan, terdapat indikasi perbaikan risiko kredit, terlihat dari menurunnya persentase NPL di berbagai daerah dibandingkan dengan kondisi di triwulan III-214. Namun, perkembangan harga komoditas di pasar global yang masih cenderung turun perlu diwaspadai sebagai sumber kerentanan kredit di daerah, khususnya bagi daerah yang perekonomiannya ditopang oleh kinerja komoditas sumber daya alam (SDA). Arah perbaikan kinerja perekonomian juga tercermin dari transaksi keuangan melalui sistem pembayaran non tunai. Sepanjang triwulan IV 214, transaksi pembayaran yang dilakukan melalui sistem Real Time Gross Settlement (RTGS) rata-rata sebesar Rp1,42 ribu triliun per bulan, lebih tinggi dibandingkan rata-rata transaksi RTGS pada periode triwulan sebelumnya yang sebesar Rp8,75 ribu triliun per bulan. Peningkatan aktivitas transaksi keuangan ini diperkirakan berasal dari perbaikan kinerja sektor manufaktur dan pertanian yang sedang berlangsung secara gradual. L a p o r a n N u s a n t a r a 4

7 Di sisi inflasi, setelah cenderung menurun hingga akhir triwulan III 214, laju inflasi pada triwulan IV-214 meningkat signifikan sebagai dampak implementasi kebijakan kenaikan harga BBM pada November Pada akhir tahun 214, inflasi tercatat sebesar 8,36% (yoy) naik dibanding periode September 214 yang tercatat sebesar 4,53% (yoy). Tekanan kenaikan inflasi paling tinggi tercatat dialami oleh beberapa daerah di Sumatera - Sumatera Barat bahkan merupakan daerah dengan inflasi tertinggi secara nasional - dan wilayah Sulampua-Balnustra seperti di Sulawesi Utara dan Maluku Utara. Dampak kenaikan harga BBM terhadap kenaikan tarif angkutan, harga komponen kendaraan dan biaya jasa pemeliharaan kendaraan di Sulawesi Utara dan Maluku Utara lebih besar daripada di daerah-daerah lain. Selain itu, kenaikan inflasi dipicu oleh tekanan kenaikan harga beberapa komoditas pangan strategis dan sejumlah komoditas pada kelompok inti. Tekanan kenaikan harga cabai dan beras di sejumlah daerah bahkan cenderung melebihi rata-rata tiga tahun terakhir. Kondisi ini timbul sebagai dampak rambatan dari kenaikan harga BBM, kendala pasokan karena pergeseran masa panen, dan faktor cuaca yang menghambat produksi dan distribusi. Namun, perkembangan inflasi sepanjang 214 secara umum relatif terkendali dibandingkan tahun 213. Hal ini tercermin dari sedikit lebih rendahnya realisasi inflasi di tahun 214 (8,36%) dibanding tahun 213 (8,38%). Relatif lebih terkendalinya inflasi tidak terlepas dari bauran kebijakan yang ditempuh oleh Bank Indonesia, disertai intensifnya koordinasi kebijakan pemerintah di tingkat pusat dan daerah dalam memitigasi risiko inflasi yang timbul sepanjang 214. Peran aktif daerah semakin kuat dalam mengendalikan harga-harga kebutuhan masyarakat khususnya melalui upaya memperkuat sisi produksi pangan dan menjaga kelancaran distribusi. Berbagai rekomendasi kebijakan yang dihasilkan oleh Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) mulai menyentuh persoalan struktural yang perlu diatasi segera untuk lebih menjaminnya stabilitas harga seperti masalah tata niaga produk pangan dan upaya memperluas akses pasar melalui penguatan kerjasama perdagangan antara daerah. Gambar I.3. Peta Inflasi Daerah, Januari Keputusan Menteri ESDM No. 34.PM/11/MEM/214 tanggal 17 November 214 tentang Penyesuaian Harga Jual Eceran BBM Bersubsidi, dengan rincian harga bensin premium dari Rp6.5 per liter menjadi Rp8.5 per liter dan minyak solar dari Rp5.5 per liter menjadi Rp7.5 per liter. L a p o r a n N u s a n t a r a 5

8 Memasuki tahun 215, tekanan inflasi tercatat mulai kembali menurun ditandai deflasi yang terjadi di sebagian besar daerah. Koreksi harga terjadi sebagai dampak dari kembali dilakukannya penyesuaian kebijakan subsidi BBM yang diikuti dengan penurunan harga jual BBM 3. Kebijakan ini selanjutnya diikuti adanya penurunan tarif angkutan di berbagai daerah 4 - meski belum seluruh daerah menerapkan penurunan tarif angkutan. Selain itu, beberapa daerah sentra produksi mulai memasuki masa panen, khususnya untuk komoditas aneka bumbu, sehingga berdampak pada relatif minimalnya tekanan inflasi pangan. Meski demikian, beberapa daerah di Kalimantan, Maluku, NTT dan Kepulauan Bangka Belitung mencatat inflasi yang lebih tinggi dibanding daerah lainnya. PROSPEK EKONOMI DAERAH DAN TANTANGAN KE DEPAN Prospek Ekonomi Daerah Pada triwulan I 215, berbagai indikator perekonomian daerah mengindikasikan potensi perbaikan kinerja perekonomian masih akan berlanjut. Perbaikan ekonomi diperkirakan terutama terjadi di KTI dan Sumatera, disertai masih relatif stabilnya perekonomian Jawa. Sementara itu, perekonomian Kalimantan diperkirakan kembali tumbuh melambat karena masih lemahnya indikasi perbaikan permintaan ekspor batubara - terutama dari Tiongkok - serta harga jual yang masih rendah. Potensi meningkatnya kinerja ekonomi KTI didorong oleh aktivitas pertambangan yang diperkirakan meningkat seiring dengan aktivitas ekspor mineral yang kembali dapat dilakukan khususnya di Papua dan NTB. Sementara itu, membaiknya perekonomian Sumatera bersumber dari meningkatnya aktivitas perkebunan didukung adanya perbaikan harga. Kinerja ekonomi Jawa yang stabil ditopang oleh ekspor manufaktur yang masih akan meningkat seiring dengan semakin solidnya prospek perbaikan ekonomi Amerika Serikat. Pertumbuhan Ekonomi Tendensi Kawasan Tabel I.1. Tendensi Arah Perekonomian Daerah Triwulan I 215* SUMATERA JAWA & JAKARTA KALIMANTAN TIMUR INDONESIA Asesmen Tendensi Jakarta Asesmen Tendensi Kawasan Asesmen Tendensi Kawasan Asesmen Konsumsi RT Ekpektasi konsumen turun, SPE turun, penjualan kendaraan bermotor terbatas (liaison ) Kenaikan gaji sektor swasta dan optimisme peningkatan lapangan kerja pasca terbentuknya pemerintahan baru. Ekspektasi konsumsi menurun Tingkat pendapatan di sektor utama meningkat, tekanan harga berkurang, penjualan eceran tumbuh lebih tinggi Konsumsi Pemerintah Investasi (PMTB) Simpanan pada akhir 214 masih tinggi shg diperkirakan akan dilakukan di awal tahun 215 Perbaikan kegiatan usaha (SKDU), PMDN hingga triwulan IV tumbuh tinggi Efisiensi belanja rutin pemerintah, mis: biaya rapat, perjalanan dinas & belanja pegawai. Didominasi investasi non bangunan (mesin), tindak lanjut transisi industri ke semi otomatis. Investasi bangunan didominasi belanja infrastruktur pemerintah. Penyaluran DBH lebih baik Perbaikan iklim investasi Adanya indikasi percepatan proyek pemerintah yg melalui proses pelelangan dan proyek pekerjaan umum, apalagi estimasi penyerapan anggaran di akhir tahun 214 belum optimal Selesainya proyek beberapa smelter yang sudah beroperasi serta optimalisasi kapasitas terpasang para pelaku usaha Ekspor LN Diperkirakan sejalan perbaikan industri pengolahan. Ditopang oleh komoditas ekspor utama seperti produk tekstil, kimia, dan produk makanan dan minuman Penurunan volume ekspor hasil tambang energi (batubara & migas), ekspor karet dan CPO tertahan Ijin ekspor yang telah dikantongi mendorong ekspor tembaga tumbuh signifikan Impor LN Impor meningkat. Kenaikan belanja impor mesin (swasta) & alat angkutan (pemerintah). Impor bahan baku meningkat seiring peningkatan produksi sektor industri dan belanja infrastruktur pemerintah. * Prakiraan arah kondisi ekonomi secara tahunan (year-on-year) Turunnya permintaan bahan penolong tambang Import content meningkat untuk mendukung kegiatan ekspor dan menguatnya konsumsi 3 Peraturan Menteri ESDM No.4 Tahun 215 tentang Perhitungan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. 4 Kementerian Perhubungan menerbitkan Surat Edaran No.1 Tahun 215 kepada seluruh Kepala Daerah tentang Penyesuaian Tarif Angkutan Umum Kelas Ekonomi. L a p o r a n N u s a n t a r a 6

9 Indikasi pemulihan ekonomi di berbagai daerah pada awal tahun 215 diperkirakan terus berlanjut sehingga perekonomian daerah untuk keseluruhan tahun 215 secara agregat diprakirakan tumbuh di kisaran 5,4-58%, lebih tinggi dibanding tahun 214. Semakin solidnya prospek pemulihan ekonomi di AS diperkirakan memberi dampak yang positif bagi kinerja ekspor manufaktur, terutama dari Jawa. Meski perlu tetap dicermati imbas dari perlambatan ekonomi Tiongkok yang berpotensi menahan laju pertumbuhan ekonomi lebih lanjut. Selain itu, meningkatnya kinerja sektor manufaktur Jawa juga didukung oleh kembali menggeliatnya perdagangan antardaerah, seiring dengan membaiknya perekonomian berbagai daerah di timur Indonesia. Prakiraan meningkatnya kinerja perekonomian Kalimantan dan berbagai daerah di wilayah timur Indonesia lebih banyak ditopang oleh kembali dapat dilakukannya ekspor mineral dan mulai beroperasinya beberapa smelter. Meski demikian, prospek harga komoditas di pasar global yang masih cenderung rendah sebagai imbas dari melambatnya ekonomi Tiongkok merupakan risiko bagi masih terbatasnya peningkatan ekonomi Kalimantan dan wilayah timur Indonesia. Optimisme perbaikan pertumbuhan ekonomi daerah juga bersumber dari langkah strategis pemerintah untuk menempuh beberapa agenda pembangunan. Pada awal tahun 215, pemerintah telah menetapkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah sebagai tahapan ketiga dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) , prioritas pembangunan diarahkan antara lain pada kedaulatan pangan, kedaulatan energi, penguatan konektivitas, serta pengembangan maritim dan kelautan. Dalam kerangka agenda pembangunan tersebut, pemerintah akan mempercepat pembangunan infrastruktur di berbagai daerah yang akan mulai diinisiasi pada tahun 215. Untuk mendukung hal tersebut, sebagai langkah awal, pemerintah telah melakukan beberapa penyesuaian alokasi anggaran belanja negara dalam APBN-P 215 yang sebagian besar ditujukan bagi pelaksanaan program prioritas melalui peningkatan belanja infrastruktur serta peningkatan transfer daerah. Dari sisi inflasi, tekanan inflasi di berbagai daerah pada triwulan I 215 diperkirakan masih cenderung rendah. Gambaran rendahnya inflasi yang terjadi di awal tahun 215 berpotensi akan berlanjut sepanjang triwulan I 215. Kebijakan pemerintah untuk menyesuaikan mekanisme subsidi dan penerapan harga BBM pada awal Januari disertai prospek berlanjutnya penurunan harga minyak merupakan faktor utama yang akan menyebabkan minimalnya tekanan inflasi. Rendahnya inflasi juga dipengaruhi oleh penurunan tarif angkutan meski penurunan tarif yang terjadi terindikasi cenderung lebih rendah dibanding pada saat terjadinya kenaikan November 214 (downward rigidity) 5. Selain itu, mulai masuknya masa panen di berbagai daerah sentra produksi diperkirakan turut berdampak bagi minimalnya tekanan inflasi pangan di triwulan I 215. Hingga akhir tahun 215, prakiraan inflasi di berbagai daerah secara agregat masih sejalan dengan kisaran sasaran inflasi nasional sebesar 4%±1%. Prospek pertumbuhan ekonomi nasional yang secara umum masih berada di bawah tingkat potensialnya mengindikasikan tekanan dari sisi permintaan diprakirakan masih moderat. Prospek produksi pangan, khususnya beras, secara tahunan diprakirakan akan mencatat surplus. Kondisi curah hujan yang relatif stabil dan merata sepanjang tahun, didukung dengan intensifnya kebijakan pemerintah untuk mengamankan capaian produksi pangan di 215 diyakini dapat meminimalkan tekanan inflasi pangan. Potensi kenaikan produksi beras di tahun 215 terutama dikontribusi oleh kenaikan produksi di Jawa dan Sumatera. Selain itu, minimalnya tekanan inflasi didukung prakiraan masih cukup rendahnya harga komoditas di pasar global, khususnya tren penurunan harga BBM. Meski demikian perlu tetap diwaspadai beberapa risiko yang dapat memberikan tekanan inflasi di 215. Kesinambungan pasokan beberapa komoditas pangan seperti daging sapi dan bawang putih masih akan terbatas, serta pengaruh pola musiman pada sistem pertanian nasional sehingga mengganggu kestabilan pasokan antar waktu. Prognosa sementara mengindikasikan defisit beras dapat terjadi pada Januari, Mei, 5 Besaran rata-rata penurunan tarif angkutan yang telah ditetapkan hingga akhir Januari 215, tercatat penurunan yang terjadi secara rata-rata tertimbang lebih lebih rendah (7,8%) dibanding kenaikannya pada bulan November 214 lalu (29,1%). L a p o r a n N u s a n t a r a 7

10 September dan triwulan IV 215 sebagaimana periode yang sama tahun 214. Mundurnya panen raya karena musim kemarau yang terjadi pada akhir 214 diperkirakan masih akan memengaruhi perkembangan harga beras setidaknya sampai April 215. Sama halnya dengan beras, meski produksi aneka cabai dan bawang merah secara tahunan memadai, namun kestabilan pasokan setiap periode masih sangat rentan. Selain itu, permasalahan struktur pasar yang terjadi pada perdagangan komoditas pertanian mengakibatkan kebijakan penetapan harga referensi sebagai acuan pembentukan harga di tingkat konsumen relatif belum efektif, khususnya pada komoditas cabai dan daging sapi. Beberapa risiko di atas akan memberikan dampak yang semakin besar apabila tidak ditunjang dengan kelancaran distribusi pangan terutama untuk Kawasan Timur Indonesia yang sangat mengandalkan konektivitas jalur pelayaran. Mempertimbangkan berbagai risiko tersebut, Bank Indonesia bersama pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, melalui TPI dan TPID akan meningkatkan koordinasi pengendalian inflasi yang difokuskan pada upaya meminimalkan dampak kebijakan administered prices, pengelolaan pasokan pangan serta menjaga ekspektasi masyarakat agar tetap positif. Di tingkat daerah, TPID diarahkan untuk memperkuat sinergi antara Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan perwakilan instansi vertikal, untuk mendukung agenda pemerintah dalam membangun ketahanan dan kemandirian pangan melalui penguatan infrastruktur pertanian. Oleh karena itu, program pengendalian inflasi daerah pada 215 secara umum di seluruh wilayah ditujukan untuk meningkatkan kapasitas pertanian, pengelolaan stok pangan di setiap daerah, serta percepatan implementasi kerja sama perdagangan antar daerah dalam rangka mendorong peningkatan efisiensi struktur tata niaga pangan didukung dengan ketersediaan data dan informasi pangan secara terintegrasi. Risiko dan Tantangan Ke Depan Optimisme perbaikan kondisi perekonomian di tahun 215 menghadapi beberapa risiko yang dapat memengaruhi prospek pertumbuhan ekonomi dan inflasi di daerah, yakni: (i) risiko terkait lambannya perbaikan ekonomi global akibat risiko memburuknya perekonomian Tiongkok, Euro Area, dan Jepang masih cukup besar; (ii) risiko penurunan harga komoditas ekspor sehingga menekan pendapatan ekspor daerah; (iii) risiko terkait kemampuan dan kapasitas pemerintah pusat maupun daerah dalam implementasi percepatan pembangunan infrastruktur. Sementara itu, risiko yang tekait inflasi diperkirakan lebih didominasi oleh risiko yang bersifat downside risk, antara lain yaitu prospek harga komoditas yang diperkirakan masih rendah, potensi daya beli masyarakat yang diperkirakan terbatas terkait masih rendahnya pendapatan ekspor karena faktor harga komoditas yang rendah, dan implementasi berbagai program ketahanan pangan oleh pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan produksi bahan pangan. Untuk mengatasi berbagai risiko tersebut, diperlukan strategi kebijakan yang terintegrasi dan koordinasi yang intensif, khususnya mengingat risiko yang terindentifikasi mencakup lingkup implementasi di tingkat daerah. Urgensi percepatan implementasi pembangunan infrastruktur perlu disuarakan lebih intens agar seluruh daerah yang terlibat didalamnya memilki prioritas dan tingkat kepentingan yang setara sehingga akselerasi pembangunan dapat dilakukan. Di tingkat nasional, urgensi akan pentingnya pembangunan infrastruktur yang komprehensif telah digambarkan melalui Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Fakta di lapangan mengenai kondisi ekonomi berbiaya tinggi di Indonesia di tengah melimpahnya kekayaan SDA mengindikasikan manajemen sumber daya yang belum optimal dan berujung pada rendahnya peringkat Indonesia dalam berbagai penilai peringkat daya saing ekonomi. Maka dari itu, pembangunan infrastruktur khususnya yang terkait dengan konektivitas menjadi tulang punggung utama bagi efisiensi kegiatan ekonomi sekaligus kunci quick wins untuk memacu daya saing Indonesia 6. Jika dikaitkan dengan kondisi geografis Indonesia dengan wilayah kelautan yang mendominasi, maka pembangunan konektivitas antar daerah menjadi hal yang mendesak khususnya bila dikaitkan dengan semangat untuk meminimalisir ketimpangan ekonomi antar wilayah. Selain konektivitas, fokus agenda pembangunan Kabinet Kerja juga diarahkan pada 6 Lihat Isu Khusus 1. Strategi Percepatan Pembangunan Infrastruktur. L a p o r a n N u s a n t a r a 8

11 pengembangan kemaritiman antara lain melalui optimalisasi sumber daya yang terkandung didalam wilayah kelautan Indonesia guna mendongkrak kinerja ekonomi nasional sekaligus mengurangi kesenjangan antar wilayah 7. Dalam rangka memberikan dukungan yang konstruktif khususnya bagi implementasi pembangunan infrastruktur dan pengembangan ekonomi daerah secara umum, Bank Indonesia akan berupaya meningkatkan perannya yang difokuskan pada: (a) mendorong dilakukannya reformasi struktural di daerah melalui pembenahan enabling factors dan memantau implementasi agenda pembangunan ekonomi daerah sesuai RPJMN ; (b) mendorong transaksi non-tunai dan layanan keuangan digital (LKD) yang lebih luas sebagai upaya untuk memperkuat efisiensi perekonomian nasional dan daerah, serta inklusi keuangan; (c) mengupayakan keterkaitan antara program pengembangan UMKM dan layanan keuangan digital (LKD) Bank Indonesia dengan upaya mendukung stabilisasi harga pangan dan agenda pembangunan sektor unggulan; serta (d) melakukan applied research (kajian strategis) untuk mengidentifikasi lebih dalam permasalahan pembangunan di daerah. Laporan Nusantara ini disarikan dari hasil pertemuan Dewan Gubernur Bank Indonesia dengan para Kepala Departemen Regional pada 13 Februari 215 di Jakarta. Pertemuan tersebut dilakukan secara periodik untuk membahas perkembangan terkini dan berbagai isu strategis yang menjadi perhatian di daerah sebagai bahan pertimbangan penting dalam perumusan kebijakan di Bank Indonesia 7 Lihat Isu Khusus 2. Agenda Pembangunan Maritim. L a p o r a n N u s a n t a r a 9

12 Halaman ini sengaja dikosongkan L a p o r a n N u s a n t a r a

13 PERTUMBUHAN EKONOMI Perekonomian Sumatera 1 secara agregat terindikasi tumbuh membaik pada triwulan IV 214 sebesar 4,37% (yoy), terutama ditopang oleh konsumsi swasta maupun pemerintah yang tumbuh cukup tinggi. Di sisi lain, kinerja ekspor dan investasi masih terbatas. Laju perekonomian tertinggi tercatat di Provinsi Kepulauan Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan masing-masing sebesar 7,77%, 7,52%, dan 5,96%. Secara sektoral, pertumbuhan ekonomi terutama didukung oleh sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Di sektor tersebut optimisme mulai muncul di perkebunan sawit, yang tercermin dari perbaikan harga minyak sawit (Crude Palm Oil/CPO) dan di pertanian tanaman bahan pangan, yang tercermin dari peningkatan produksi pada periode triwulan IV 214. Secara keseluruhan tahun 214, pertumbuhan ekonomi Sumatera melambat dibandingkan dengan tahun 213. Perekonomian Sumatera tercatat tumbuh sebesar 4,66 %, lebih rendah dari tahun sebelumnya yang sebesar 5,1%. Perlambatan ini terutama bersumber dari menurunnya kinerja ekspor, terutama ekspor yang berbasis komoditas perkebunan, karena rendahnya harga di pasar global. Hal ini berdampak pada melemahnya pendapatan ekspor sehingga menekan konsumsi secara keseluruhan. Selain itu, melambatnya ekonomi Sumatera juga dipengaruhi oleh produksi minyak dan gas (migas) yang terus mengalami penurunan, seperti gas di Aceh dan minyak bumi di Riau. Perlambatan ekonomi terjadi hampir di seluruh provinsi wilayah Sumatera, kecuali Kepulauan Riau dan Jambi. Perekonomian Sumatera pada triwulan I 215 diperkirakan mengalami perbaikan. Pada periode tersebut, pertumbuhan ekonomi Sumatera diperkirakan mencapai 4,2-4,7% (yoy). Pertumbuhan perekonomian Sumatera tersebut akan didukung oleh hampir seluruh provinsi di Sumatera. Peningkatan diperkirakan akan didorong oleh perbaikan kinerja sektor utama Sumatera, yaitu sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Perbaikan di sektor tersebut akan memberikan dampak positif bagi industri yang mengolah hasil-hasil dari sektor tersebut, terutama industri pengolahan komoditas perkebunan, seperti industri CPO. Selain itu, penggunaan teknologi injeksi kimia di sektor pertambangan diperkirakan dapat menahan laju penurunan lifting minyak, terutama di Provinsi Riau. Untuk keseluruhan tahun 215, ekonomi Sumatera diperkirakan akan tumbuh lebih optimis dibandingkan dengan tahun 214, yaitu diperkirakan akan tumbuh di kisaran 4,6-5,1%, didorong oleh peningkatan kinerja sektor industri pengolahan dan masih tingginya pertumbuhan sektor Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor. Konsumsi Konsumsi Swasta Konsumsi swasta Sumatera tumbuh terbatas pada triwulan IV 214, namun masih pada level yang tinggi. Secara keseluruhan tahun 214, konsumsi swasta mengalami perlambatan akibat harga komoditas yang belum membaik, seperti yang terjadi pada komoditas karet. Adanya berbagai kebijakan administered prices, terutama kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) menjelang akhir tahun, menekan daya beli masyarakat. Menurunnya daya beli masyarakat tercermin dari melambatnya penghimpunan dana masyarakat di perbankan, yang mengindikasikan bahwa masyarakat mulai menggunakan simpanan untuk memenuhi 1 Data pertumbuhan menggunakan tahun dasar 21, berbasis SNA 28, yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) 5 Februari 215. L a p o r a n N u s a n t a r a 11

14 kebutuhan. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) 3 di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, dan Lampung mengindikasi level keyakinan masyarakat terhadap perekonomian pada akhir tahun 214 mengalami penurunan. Perlambatan konsumsi swasta diperkirakan masih akan berlanjut hingga triwulan I 215. Pola musiman menunjukkan bahwa konsumsi masyarakat relatif melambat pascaperayaan keagamaan dan akhir tahun. Selain itu, dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya aktivitas belanja masyarakat pada triwulan I 215 juga diperkirakan lebih rendah. Hal ini disebabkan karena berbagai kegiatan masyarakat terkait dengan Pemilu, tidak lagi terjadi pada periode ini. Beberapa indikator hasil survei juga mengonfirmasi pelemahan konsumsi swasta. Survei Penjualan Eceran menunjukkan Indeks Penjualan Eceran 4 yang masih mengalami kontraksi hingga Januari 215 (Grafik II.1). Hal tersebut menunjukkan menurunnya kegiatan belanja masyarakat. Selain itu, survei konsumen di beberapa daerah seperti Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, dan Lampung menunjukkan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) yang lebih rendah, yaitu dari 123,9 pada triwulan IV 214, menjadi 122,31 pada Januari 215 (Grafik II.2). Indeks Indeks SPE Pertumbuhan (Skala Kanan) %yoy I II III IV I II III IV I II III IV Jan Grafik II.1. Perkembangan Survei Penjualan Eceran 14 IKK IKE IEK I II III IV I II III IV I II III IV I* Sumber : Survei Konsumen, Bank Indonesia * hingga Januari 215 Grafik II.2. Indeks Keyakinan Konsumen Konsumsi Pemerintah Konsumsi Pemerintah pada triwulan IV 214 mengalami pertumbuhan positif dan membuat capaian keseluruhan tahun 214 mengalami peningkatan. Posisi simpanan pemda di bank pada triwulan IV 214 yang lebih rendah dari triwulan sebelumnya menunjukkan adanya peningkatan belanja pemda pada periode tersebut (Grafik II.3). Meski demikian, pertumbuhan konsumsi pemerintah tersebut relatif masih terbatas, ditandai dengan posisi simpanan pada akhir tahun 214 yang lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 213 lalu, yang mengalami kontraksi sebesar 14,3% (yoy). Lebih tingginya simpanan tahun ini dibandingkan dengan tahun sebelumnya mengindikasikan bahwa persentase realisasi belanja pemerintah daerah pada tahun ini lebih kecil dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kinerja konsumsi pemerintah diperkirakan akan mengalami perbaikan pada triwulan I 215. Perbaikan tersebut akan ditopang oleh hampir seluruh provinsi di Sumatera. Komitmen beberapa pemerintah kota/kabupaten untuk mempercepat proses pelelangan, seperti yang terjadi di provinsi Riau, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan, menjadi faktor pendukung meningkatnya konsumsi pemerintah. Pada tahun sebelumnya proses pelelangan baru dilaksanakan setelah bulan Maret, sehingga pelaksanaan proyek banyak yang baru dimulai setelah memasuki triwulan II. Percepatan proses lelang tersebut akan mendorong capaian 3 Hasil Survei Konsumen (SK) yang dilakukan oleh Kantor Perwakilan BI di wilayah Sumatera. 4 Hasil Survei Penjualan Eceran (SPE) yang dilakukan di Sumatera Utara. L a p o r a n N u s a n t a r a 12

15 konsumsi Pemerintah pada triwulan I 215 yang lebih baik dari periode yang sama tahun sebelumnya. Dengan kondisi tersebut, pertumbuhan konsumsi pemerintah akan menjadi salah satu sumber pendorong ekonomi Sumatera. Rp Triliun Simpanan Pemda %yoy gsimpanan Pemda (Skala Kanan) I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV Grafik II.3. Perkembangan Posisi Simpanan Pemda Sumatera di Bank Umum %yoy Tabungan Deposito Giro I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV Grafik II.4. Perkembangan Jenis Simpanan Pemda Sumatera di Bank Umum Investasi Perbaikan investasi pada triwulan IV 214 pasca-pemilihan Umum diperkirakan masih minimal. Kondisi tersebut menyebabkan investasi Sumatera selama tahun 214 melambat dibandingkan dengan tahun 213. Dari sisi pembiayaan, dorongan terhadap investasi juga terbatas, sebagaimana tercermin dari rendahnya pertumbuhan kredit investasi di Sumatera. Pertumbuhan kredit investasi di Sumatera tercatat sebesar 5,39% (yoy), jauh lebih rendah dari triwulan sebelumnya sebesar 8,81% (yoy), dan dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 37,8% (yoy). Melambatnya investasi juga ditunjukkan oleh lebih rendahnya realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) pada tahun 214 dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Grafik II.6). Investasi yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah (Pemda) diperkirakan juga masih terbatas, yang ditandai dengan tingginya simpanan Pemda di bank umum pada triwulan IV 214. Adanya kenaikan harga BBM bersubsidi pada November 214 telah menyebabkan pelaku usaha bersikap wait and see (menunggu) atas kebijakan energi lanjutan yang akan dilakukan. Juta Ton Konsumsi Semen gkonsumsi Semen (Skala Kanan) I II III IV I II III IV I II III IV Sumber : Asosiasi Semen Indonesia Grafik II.5. Konsumsi Semen Sumatera %yoy %yoy Kredit Investasi I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal dan BI, diolah Grafik II.6. Perkembangan PMA dan PMDN serta Penyaluran Kredit Investasi Perbankan Sumatera %yoy PMDN PMA Pada triwulan I 215, investasi diperkirakan akan sedikit mengalami perbaikan. Berdasarkan hasil liaison, beberapa perusahaan swasta berencana melakukan peningkatan kapasitas seperti perluasan pabrik, penambahan mesin baru dan peningkatan kapasitas pelabuhan di Lampung, Bengkulu, dan Kepulauan Bangka Belitung. Dari sisi investasi bangunan, perbaikan investasi tercermin dari masih meningkatnya konsumsi L a p o r a n N u s a n t a r a 13

16 semen di Sumatera (Grafik II.5). Selain itu, komitmen pemerintah daerah untuk memperbaiki iklim investasi, memberikan optimisme bagi kegiatan investasi. Perdagangan Luar Negeri Ekspor Kinerja ekspor Sumatera pada triwulan IV 214 menunjukkan perlambatan dari sisi nilai, namun sedikit mengalami peningkatan dari sisi volume (Grafik II.7). Ekspor Sumatera pada triwulan IV 214 tercatat senilai USD 1,7 miliar atau mengalami kontraksi sebesar 1,1% (yoy). Kontraksi ini terjadi hampir di seluruh provinsi di Sumatera, kecuali Aceh dan Jambi. Berdasarkan komoditasnya, penurunan ekspor terjadi di seluruh komoditas utama seperti karet, kelapa sawit dan batubara (Grafik II.8). Untuk keseluruhan tahun 214, ekspor Sumatera tercatat USD 42,8 miliar, turun 3,7% (yoy) lebih dalam dibandingkan dengan tahun 213. Penurunan paling dalam terjadi pada komoditas karet dan kopi, sementara komoditas kelapa sawit dan CPO relatif mengalami perbaikan dibandingkan dengan tahun 213. Ekspor Sumatera pada triwulan I 215 diperkirakan akan meningkat, seiring dengan perbaikan perekonomian negara mitra dagang yaitu Amerika Serikat (AS). Komoditas ekspor Sumatera yang ditujukan ke pasar AS terutama karet dan kopi. Selain itu, adanya harapan perbaikan harga komoditas karet, memberikan dorongan positif bagi kegiatan pengolahan karet (crumb rubber). Di samping itu, adanya bencana banjir di Malaysia diperkirakan akan menciptakan peluang pemasaran komoditas perkebunan dari Sumatera Barat, Riau, dan Jambi. 16, 14, 12, 1, 8, 6, 4, 2, - %yoy gekspor (Skala Kanan) gimpor (Skala Kanan) I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV USD Juta Nilai Ekspor Nilai Impor %yoy Karet CPO Batubara I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV Grafik II.7. Perkembangan Ekspor Impor Sumatera Grafik II.8. Perkembangan Ekspor Komoditas Utama Impor Sementara itu, impor Sumatera juga mengalami penurunan pada triwulan IV 214 (Grafik II.1). Penurunan terutama terjadi pada komoditas barang modal dan bahan baku (Grafik II.9). Di sisi lain, pertumbuhan impor barang konsumsi terus mengalami peningkatan, seiring dengan kinerja konsumsi rumah tangga yang masih tumbuh tinggi, diikuti dengan masih meningkatnya kredit konsumsi. Dengan capaian tersebut, pertumbuhan impor keseluruhan tahun 214 lebih rendah dibandingkan dengan tahun 213. Pada triwulan I 215, impor Sumatera diperkirakan tumbuh meningkat, sejalan dengan perkiraan peningkatan investasi, terutama investasi nonbangunan. Kegiatan penambahan/perluasan kapasitas pabrik dan penambahan mesin baru akan mendorong impor barang modal di Provinsi Riau, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Selain itu, konsumsi pupuk di sektor perkebunan diperkirakan bertambah, sehingga mendorong kebutuhan impor pupuk, terutama di Provinsi Sumatera Barat dan Riau. L a p o r a n N u s a n t a r a 14

17 %yoy Total Barang Konsumsi Barang Modal Bahan Baku I II III IV I II III IV I II III IV Grafik II.9. Perkembangan Nilai Impor Sumatera Berdasarkan Jenis %yoy Pertumbuhan Nilai Impor 7 Pertumbuhan Volume Impor (1) I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV (2) (3) (4) Grafik II.1. Perkembangan Nilai dan Volume Impor Sumatera Kinerja Sektor Utama Daerah Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Kinerja sektor pertanian, kehutanan dan perikanan pada triwulan IV 214 tercatat cukup baik, sehingga secara keseluruhan tahun 214, sektor ini masih mengalami pertumbuhan positif. Pertumbuhan di sektor pertanian yang cukup tinggi terjadi di Provinsi Sumatera Barat, Riau, Jambi, dan Kepulauan Bangka Belitung. Dari sisi komoditas, perbaikan kinerja terutama didorong oleh peningkatan pertumbuhan tanaman bahan makanan, seperti yang terjadi di provinsi Sumatera Barat, Bengkulu, dan Lampung. Selain itu, perbaikan juga terjadi pada produksi kelapa sawit, yang didorong oleh harga tandan buah segar (TBS) yang lebih tinggi di Provinsi Riau (Grafik II.11) dan Sumatera Utara. Sebaliknya, kinerja karet belum menunjukkan perbaikan, seperti tercermin pada produksi karet yang terus turun di Sumatera Selatan (Grafik II.12), Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan pada triwulan I 215 diperkirakan akan tumbuh lebih tinggi, terutama di provinsi Sumatera Selatan, Lampung, dan Bengkulu. Hal ini terkonfirmasi dari Indeks Perkiraan Kegiatan Usaha 6 yang meningkat dari 1,76 menjadi 2,72 (Grafik II.13). Perbaikan kinerja terjadi pada komoditas kelapa sawit, terutama di Riau, seiring dengan harga yang mengalami perbaikan, dan komoditas beras di beberapa sentra produksi di Sumatera Selatan, Sumatera Barat, dan Bengkulu, yang diperkirakan memasuki masa panen. Rp/kg %yoy 2,5 Harga TBS % Kenaikan (Sumbu Kanan) 6 5 2, 4 3 1,5 2 1, I II III IV I II III IV I II III IV I Sumber: Dinas Perkebunan Riau Grafik II.11. Harga TBS Riau Ribu Ton Produksi Karet gproduksi Karet (Skala Kanan) I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV %yoy Sumber : Gapkindo Grafik II.12. Produksi Karet Sumatera Selatan Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang dilakukan oleh seluruh Kantor Perwakilan BI di wilayah Sumatera. L a p o r a n N u s a n t a r a 15

18 Sektor Pertambangan dan Penggalian Sektor pertambangan dan penggalian pada triwulan IV 214 mengalami pertumbuhan negatif, sehingga untuk keseluruhan tahun 214 kinerja sektor ini lebih rendah dibandingkan dengan tahun 213. Kegiatan di sektor pertambangan dan penggalian didominasi oleh produksi minyak bumi di Provinsi Riau. Berdasarkan informasi liaison, lifting minyak bumi di Riau terus mengalami penurunan dan kondisi sumur yang ada memiliki produktivitas yang terus menurun. Berdasarkan informasi dari kontak liaison, penurunan lifting minyak secara normal tercatat sebesar 18%-19% per tahun. Namun, penurunan tersebut dapat ditahan dengan teknologi injeksi kimia, sehingga penurunan selama tahun 214 diperkirakan hanya 5%-6%. Sementara itu, data perkiraan produksi batubara di provinsi Sumatera Selatan (Grafik II.14) serta data produksi bijih dan logam timah di provinsi Bangka Belitung, pada akhir tahun 214, menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan tahun 213, sehingga diperkirakan dapat menahan pertumbuhan laju penurunan sektor pertambangan nonmigas di Sumatera. Pada triwulan I 215 sektor pertambangan diperkirakan masih mengalami kontraksi, namun tidak sedalam dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Sektor pertambangan pada periode ini diperkirakan mengalami pertumbuhan -,35% (yoy). Kondisi ini juga tercermin dari Indeks Perkiraan Kegiatan Usaha sektor pertambangan, yang juga menunjukkan perbaikan walaupun masih mengalami kontraksi (Grafik II.13). Perbaikan di sektor pertambangan ditunjukkan oleh komoditas batubara di Sumatera Selatan, yang didorong oleh meningkatnya penjualan domestik. Namun, dari sisi ekspor, kinerja batubara menghadapi sejumlah tantangan jangka pendek akibat pemberlakuan kewajiban menggunakan cara pembayaran Letter of Credit (L/C) bagi para eksportir barang tertentu. 7 Sementara itu, pertumbuhan negatif, yang masih berlanjut di sektor pertambangan, tidak terlepas dari produksi lifting minyak di Riau yang terus mengalami penurunan. Indeks Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan Pertambangan I II III IV I II III IV I II III IV I Sumber : McCloskey Grafik II.13. Indeks Perkiraan Kegiatan Usaha Sektor Pertanian dan Pertambangan Sumatera kt Produksi Batubara gproduksi Batubara (Skala Kanan) %yoy Sumber : McCloskey Grafik II.14. Perkiraan Produksi Batubara Sumatera Selatan Sektor Industri Pengolahan Sejalan dengan sektor pertanian, kinerja industri pengolahan, khususnya pengolahan karet dan CPO, pada triwulan IV 214 memberikan kontribusi positif pada perekonomian Sumatera. Namun, capaian tersebut belum cukup mengangkat kinerja tahun 214 secara keseluruhan setinggi perkiraan sebelumnya. Harga CPO internasional hingga bulan Desember 214 masih mengalami penurunan 21,17% (yoy) atau sebesar USD 624,5 USD/mt (Grafik II.15). Sementara itu, harga karet internasional turun lebih dalam yaitu hingga 29,66% (yoy) atau sebesar USD 185,29 cent/kg (Grafik II.16). Harga kedua komoditas tersebut lebih rendah dibandingkan dengan harga tahun 213. Kondisi harga yang terus menurun tidak mendorong daya tarik dalam berproduksi. 7 Peraturan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 4/M-DAG/PER/1/215 Tentang Ketentuan Penggunaan Letter of Credit untuk Ekspor Barang Tertentu untuk mendorong optimalisasi dan akurasi perolehan devisa hasil ekspor khususnya hasil ekspor komoditas Sumber Daya Alam. L a p o r a n N u s a n t a r a 16

19 Hal ini terkonfirmasi dari hasil liaison, yang menunjukkan bahwa kapasitas utilisasi perusahaan penghasil CPO hanya berkisar 5% -54%, lebih rendah dari kapasitas periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 55% 8%. Kinerja industri pengolahan diperkirakan akan mengalami peningkatan pada triwulan I 215. Perbaikan kinerja sektor industri pengolahan diperkirakan akan terjadi di Sumatera Utara, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung, Sumatera Barat, dan Kepulauan Bangka Belitung. Walaupun masih dalam tren yang menurun, laju penurunan harga karet tidak sedalam periode sebelumnya, sehingga terdapat optimisme perbaikan harga di masa mendatang bagi industri pengolahan karet di Jambi. Adanya potensi perbaikan harga terlihat dari Indeks Harga Jual Komoditas industri pengolahan pada triwulan mendatang yang meningkat dari 1,65% menjadi 3,8%. Meski demikian, lemahnya pengelolaan perkebunan karet dan adanya masalah mendasar pada tata niaga dan hulu karet, membuat pertumbuhan karet diperkirakan masih akan terbatas. Industri pengolahan makanan dan minuman, khususnya kopi di Lampung dan Sumatera Utara, diperkirakan akan mengalami peningkatan, seiring dengan perbaikan permintaan dari negara mitra dagang Amerika, India dan Eropa. Industri pengolahan gula di Sumatera Utara juga diperkirakan meningkat pascadibukanya keran impor gula rafinasi pada akhir tahun 214. Sementara itu, volume ekspor CPO diperkirakan masih akan terus mengalami pertumbuhan positif dan mendorong industri pengolahan kelapa sawit di Sumatera Barat dan Riau. Sumber : Bloomberg Grafik II.15. Perkembangan Harga CPO Internasional Sumber : Bloomberg Grafik II.16. Perkembangan Harga Karet Internasional LAJU INFLASI Inflasi Sumatera pada triwulan IV 214 tercatat sebesar 8,62% (yoy), lebih tinggi daripada triwulan sebelumnya (4,64%; yoy). Realisasi inflasi tersebut berada di atas realisasi inflasi nasional (8,36%,yoy) (Grafik II.17). Berdasarkan disagegrasi inflasi, peningkatan inflasi tertinggi dialami oleh komoditas yang tergabung dalam kelompok administered prices diikuti dengan volatile foods (Grafik II.18). Meningkatnya inflasi administered prices disebabkan oleh kenaikan harga BBM bersubsidi yakni bensin dari Rp6.5 menjadi Rp8.5 serta solar dari Rp5.5 menjadi Rp7.5. Kondisi ini kemudian diikuti dengan meningkatnya tarif angkutan dalam kota dan antarkota dengan rata-rata Sumatera mencapai masing-masing 28% dan 2%. Sementara itu, peningkatan inflasi volatile food disebabkan oleh meningkatnya harga bumbu-bumbuan terutama cabai merah sebesar 137%. Turunnya produksi cabai merah, di tengah tingginya permintaan, terkait banyaknya kegiatan pada akhir tahun, menjadi penyebab meningkatnya harga komoditas ini. L a p o r a n N u s a n t a r a 17

20 Inflasi Nasional Inflasi Sumatera I II III IV I II III IV I II III IV Jan Sumber: BPS, diolah Grafik II.17. Inflasi Nasional dan Sumatera di Sumatera Sumber: BPS, diolah Grafik II.18. Disagregasi inflasi Sumatera Berdasarkan provinsi, inflasi tertinggi terjadi di Provinsi Sumatera Barat (11,57%; yoy) diikuti dengan Provinsi Bengkulu (1,85%; yoy), sementara inflasi terendah terjadi di Provinsi Kepulauan Riau (7,59%; yoy) (Grafik II.19). Tingginya inflasi di Sumatera Barat disebabkan oleh meningkatnya harga komoditas bumbu-bumbuan, terutama cabai merah. Dalam empat bulan terakhir tahun 214, harga cabai merah meningkat hampir mencapai tiga kali lipat. Meskipun Sumatera Barat merupakan salah satu sentra produksi cabai merah di Sumatera, tingginya konsumsi komoditas ini, baik untuk rumah tangga maupun hotel dan restoran serta tingginya permintaan dari luar provinsi, menyebabkan harga di dalam provinsi turut meningkat. Kondisi yang sama juga terjadi di Bengkulu, yaitu sumbangan inflasi terbesar berasal dari meningkatnya harga komoditas cabai merah yang mencapai 225% dalam empat bulan terakhir. Di sisi lain, inflasi di Kepulauan Riau relatif terjaga. Hal ini disebabkan oleh relatif stabilnya harga kelompok bahan makanan di provinsi ini, yang didukung oleh memadainya pasokan. Tekanan inflasi pada triwulan I 215 menurun, sejalan dengan menurunnya harga komoditas yang tergabung dalam kelompok administered prices dan volatile food. Kondisi tersebut tercermin dari menurunnya laju inflasi pada Januari 215 menjadi sebesar 6,63% (yoy) dari akhir tahun 214 sebesar 8,62% (yoy). Turunnya harga minyak dunia, yang diikuti dengan kebijakan pemerintah untuk menurunkan harga BBM bersubsidi dalam dua tahap yakni pada tanggal 1 dan 19 Januari 215, menyebabkan turunnya inflasi kekompok administered prices. Sampai dengan bulan Februari 215, harga bensin terjaga di level Rp6.6 dan solar di level Rp6.4. Penurunan harga BBM bersubsidi kemudian diikuti dengan keputusan pemerintah untuk mewajibkan penurunan harga tarif angkutan minimum sebesar 5% 15% oleh Organda. Namun, dari 23 kota yang menjadi basis penghitungan inflasi di Sumatera, belum semua kota melakukan penyesuaian penurunan tarif secara langsung pada bulan Januari. Beberapa kota yang sudah melakukan penyesuaian, baik untuk tarif angkutan dalam kota maupun luar kota pada bulan Januari 215 adalah Meulaboh, Banda Aceh, Lhoksumawe, Medan, Padang Sidempuan, Palembang, Lubuk Linggau, dan Bandar Lampung. Penurunan Tarif angkutan tersebut ratarata 3% 1% untuk tarif angkutan dalam kota dan 5% - 15% untuk tarif angkutan luar kota (Grafik II.2). Penurunan tersebut, masih lebih rendah dari kenaikan pada saat terjadi peningkatan harga BBM bersubsidi tahun lalu, yang secara rata-rata lebih dari 2%. Berdasarkan quick survey yang dilakukan, kondisi ini disebabkan oleh adanya biaya pembelian spare part yang juga cenderung meningkat. Dengan perilaku ini masih terdapat selisih perubahan tarif angkutan sebesar,3% akibat perubahan kebijakan tersebut. Menurunnya harga BBM juga memicu optimisme ekspektasi masyarakat terhadap penurunan harga barang. Dengan harga BBM yang lebih rendah, diharapkan akan menurunan biaya produksi, yang selanjutnya ditransmisikan ke harga barang akhir. %yoy IHK Umum Volatile Foods Core Adm. Prices I II III IV I II III IV I II III IV L a p o r a n N u s a n t a r a 18

21 %yoy Tw III-214 Tw IV-214 Tw I-215 Tw III-214 Sumatera 4,64% Tw IV-214 Sumatera 8,62% Tw I-215 Sumatera 6,63% Sumber: BPS, diolah Sumber: BPS, diolah Grafik II.19. Inflasi Provinsi di Sumatera Grafik II.2. Penuruan Tarif Angkutan Januari 215 %yoy Tarif Angkutan Dalam Kota Tarif Angkutan Luar Kota Lhoksumawe Medan P. Sidempuan Palembang Lubuk Linggau 8.21 Bandar Lampung Faktor risiko yang perlu menjadi perhatian selanjutnya adalah dampak penyesuaian harga yang asimetris terhadap perubahan harga BBM. Berdasarkan quick survey yang dilakukan kepada 88 perusahaan 8 di Sumatera mengenai perilaku apabila terjadi kenaikan atau penurunan harga BBM, 35% pengusaha menyatakan akan meningkatkan harga ketika terjadi kenaikan BBM dengan rata-rata kenaikan 6%. Sementara itu, jika terjadi penurunan harga BBM, hanya 16% pengusaha yang akan menurunkan harga jual dengan ratarata penurunan hanya 3,5%. Namun, mayoritas pengusaha masih tidak melakukan penyesuaian harga secara langsung ketika terjadi perubahan harga BBM. Sebagian besar pengusaha lebih memilih untuk efisiensi, meningkatkan pemasaran dan pengalihan energi terlebih dahulu ketika terjadi perubahan harga BBM. Faktor risiko inflasi lain muncul sebagai dampak dari penerapan Peraturan Gubernur No. 59 tahun 214 Provinsi Lampung, tentang Pengendalian Distribusi Produk Impor mulai awal Januari 215. Peraturan tersebut dikenakan pada komoditas gula, beras, kopi, jagung dan daging sapi, yang merupakan komoditas utama yang dihasilkan Lampung. Berdasarkan peraturan tersebut, memasukkan komoditas-komoditas tersebut dari luar Lampung harus mendapat izin dari Gubernur. Dengan adanya peraturan tersebut pasokan gula, beras, kopi, jagung dan daging sapi di Lampung sangat bergantung pada kemampuan produksi lokal. Peraturan ini, di sisi lain, bertujuan untuk melindungi produk komoditas lokal, di sisi lain bila kemampuan lokal tidak memadai, berpotensi memicu inflasi pangan. Koordinasi Pengendalian Inflasi Disepanjang tahun 214, koodinasi pengendalian inflasi di Sumatera terus diperkuat sisi kelembagaannya melalui pembentukan Tim Pengendalian Inflasi Daerah di 1 provinsi serta 115 kabupaten/kota. Kegiatan pengendalian inflasi di berbagai daerah di Sumatera difokuskan pada tiga hal utama yakni memperluas akses informasi harga kepada masyarakat, memperkuat kapasitas produksi pangan melalui pengembangan klaster, dan memperkuat kerjasama antar daerah. Ketiga fokus pengendalian inflasi di Sumatera tersebut dilakukan melalui beberapa program kegiatan antara lain : 1. Transparansi harga melalui pembentukan PIHPS (Pusat Informasi Harga Pangan Strategis) Sampai dengan tahun 214, provinsi yang telah memiliki PIHPS berupa papan harga elektronik adalah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, Aceh dan Jambi. Sementara itu, 8 Perusahaan yang menjadi responden adalah perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan dan industri pengolahan L a p o r a n N u s a n t a r a 19

22 pengembangan PIHPS berupa website, yang memuat harga komoditas utama, telah dibentuk di Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Jambi. Pada tahun 215, PIHPS provinsi akan diintegrasikan dengan PIHPS nasional. Dengan integrasi tersebut, nantinya, masyarakat dapat memperoleh informasi harga pangan di provinsi-provinsi lainnya di luar Sumatera. 2. Pengembangan klaster ketahanan pangan Dalam upaya untuk mengendalikan inflasi dari sisi supply, Bank Indonesia dan Pemerintah Daerah telah mengembangkan klaster pertanian, terutama untuk komoditas penyumbang inflasi utama seperti cabai merah, padi, daging sapi, dan perikanan. Pada tahun 215, pengembangan klaster pertanian akan dilanjutkan dengan penambahan lokasi baru serta peningkatan kualitas klaster melalui program inklusi keuangan. 3. Kerjasama antardaerah Program TPID kerjasama antardaerah telah dilaksanakan oleh Provinsi Lampung melalui kerjasama dengan DKI Jakarta untuk komoditas beras, daging ayam, daging sapi, dan pisang. Pada tahun 215, kerjasama antardaerah akan lebih ditingkatkan dengan menambah komoditas strategis lainnya. Menghadapi berbagai risiko inflasi ke depan, TPID di Sumatera akan lebih memfokuskan kegiatan pengendalian inflasi pada beberapa hal berikut : 1. Melanjutkan penguatan aspek kelembagaan TPID melalui : a. penyusunan roadmap pengendalian inflasi yang disepakati dari nasional sampai dengan kabupaten/kota, b. percepatan pendirian TPID di setiap Kabupaten/Kota di Sumatera. 2. Mendorong terjaganya keseimbangan kapasitas produksi, khususnya untuk komoditas pangan dengan permintaan produk-produk pertanian melalui : a. pembangunan sistem pola, waktu dan lokasi penanaman produk-produk pertanian. b. pembangunan sentra-sentra produksi pertanian (termasuk perikanan). c. pelipatgandaan jumlah petani pakar dan klaster ketahanan pangan. d. pengembangan terminal agribisnis untuk penjualan produk pertanian bersama. e. penyempurnaan neraca pangan Sumatera. f. pengembangan industri agribisnis di dekat sentra-sentra produksi bahan pangan untuk menjamin keberlanjutan absorpsi produk bahan pangan, khususnya pada saat surplus produksi g. peningkatan produktivitas pangan melalui penelitian, pendampingan dan pelatihan 3. Memberi subsidi kepada sektor transportasi publik oleh pemerintah daerah untuk mengendalikan dampak inflasi dari kenaikan biaya transpotasi. STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN Ketahanan Sektor Korporasi Perlambatan kredit Bank Umum kepada sektor korporasi pada triwulan IV 214 masih berlanjut, sejalan dengan perlambatan ekonomi di wilayah Sumatera. Pada triwulan IV 214, kredit sektor korporasi tumbuh 8,73% (yoy) lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 1,91% (yoy) (Grafik II.21). Penurunan laju pertumbuhan kredit korporasi terutama terjadi pada sektor utama, yaitu sektor pertanian, sektor perdagangan dan sektor industri pengolahan (Grafik II.22). Menurunnya harga jual komoditas utama L a p o r a n N u s a n t a r a 2

23 seperti CPO dan karet meningkatkan risiko pelaku usaha di sektor pertanian, perdagangan dan industri pengolahan yang terkait dengan komoditas-komoditas tersebut. Berdasarkan provinsi, pertumbuhan kredit korporasi terendah dialami oleh Aceh dan Kepulauan Riau. Kredit di kedua provinsi tersebut tumbuh negatif masing-masing 1,53% (yoy) dan,25% (yoy) (Grafik II.23). Menurunnya penyaluran kredit industri pengolahan di Aceh dan kredit konstruksi di Kepulauan Riau menjadi penyebab utama penurunan tersebut. Sementara itu, beberapa provinsi yang masih menunjukkan peningkatan pertumbuhan kredit korporasi yaitu Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Riau. Rp Triliun 4 Kredit Sektoral gkredit (Skala Kanan) %yoy I II III IV I II III IV I II III IV Grafik II.21. Perkembangan Kredit Korporasi Sumatera %yoy gkredit Lapangan Usaha gpertanian gindustri Pengolahan gphr I II III IV I II III IV I II III IV Grafik II.22. Perkembangan Kredit Sektor Utama Sumatera Dari sisi kualitas kredit, kinerja kredit kepada korporasi relatif masih cukup baik. Hal ini terlihat dari tingkat non performing loan (NPL) yang masih dalam batas aman (di bawah 5%). NPL kredit korporasi menunjukkan tren penurunan yakni dari 2,84% (yoy) pada triwulan lalu menjadi 2,59% (yoy) (Grafik II.3.23). Nilai NPL tersebut juga lebih rendah dari rata-rata tiga tahun terakhir sebesar 2,94% (yoy). Sejalan dengan hal tersebut, kualitas kredit kepada tiga sektor utama relatif masih terjaga, (NPL di bawah 5%), bahkan pada triwulan IV 214 NPL lebih rendah dibandingkan dengan triwulan lalu, di tengah menurunnya penyaluran kredit pada sektor-sektor tersebut (Grafik II.24). Demikian halnya dengan NPL disektor perdagangan yang cenderung lebih tinggi dibanding dengan kredit pada sektor lainnya, namun pada akhir triwulan IV 214 telah menunjukkan adanya perbaikan. 5. %yoy Tw I-214 Tw II-214 Tw III-214 Tw IV-214 Grafik II.23. Pertumbuhan Penyaluran Kredit Korporasi Provinsi % PHR Industri Pengolahan Sektoral Pertanian I II III IV I II III IV I II III IV Grafik II.24. Perkembangan NPL Kredit Korporasi Sumatera Ketahanan Sektor Rumah Tangga Penyaluran kredit konsumsi oleh bank umum tumbuh meningkat, yakni dari 9,73% (yoy) pada triwulan III 214 menjadi 1,87% (yoy) pada triwulan IV 214. Berdasarkan peruntukannya, mayoritas kredit sektor rumah tangga ditujukan untuk kredit multiguna (43,57%) diikuti dengan kredit kepemilikan rumah, apartemen dan L a p o r a n N u s a n t a r a 21

24 rukan (26,91%) serta kredit kendaraan bermotor (13,3%) (Grafik II. 25). Dibandingkan dengan pertumbuhan pada triwulan III 214, penyaluran kredit multiguna dan kendaraan bermotor masih menunjukkan percepatan pertumbuhan yakni masing-masing 31,47% dan 24,82%. Di sisi lain, kredit kepemilikan rumah cenderung melambat, yaitu tumbuh 7,31%, lebih rendah dari triwulan sebelumnya 7,94% (Grafik II.26). Berdasarkan provinsi, penyaluran kredit rumah tangga di sebagian besar provinsi masih menunjukkan peningkatan pertumbuhan, dengan pertumbuhan tertinggi di provinsi Bengkulu (Grafik II.27). Adapun penyaluran kredit rumah tangga terbesar di provinsi Sumatera Utara yang mencapai 23,11% dari total kredi rumah tangga Sumatera. Lainnya 16% KPR KPA Rukan 27% %yoy g. KKB g. Multiguna Multiguna 44% KKB 13% Grafik II.25. Pangsa Kredit Rumah Tangga g. Kredit RT g. KPR, KPA, Rukan I II III IV I II III IV I II III IV Grafik II.26. Perkembangan Kredit Rumah Tangga Sumatera Kualitas kredit sektor rumah tangga masih terjaga, dengan angka NPL yang relatif rendah dan menurun. NPL kredit rumah tangga pada triwulan IV 214 tercatat 1,62%, lebih rendah dari 1,81% pada triwulan III 214. Berdasarkan jenisnya, NPL yang tertinggi berasal dari peyaluran kredit untuk perumahan atau apartemen yakni sebesar 3,4%. NPL tersebut lebih rendah dari triwulan sebelumnya sebesar 3,82%. Sementara itu, NPL penyaluran kredit kepada kendaraan bermotor dan multiguna relatif rendah yakni masing-masing 1,18% dan,94% (Grafik II.28). 2. %yoy Tw I-214 Tw II-214 Tw III-214 Tw IV-214 Grafik II.27. Pertumbuhan Penyaluran Kredit Rumah Tangga Provinsi NPL KPR, KPA, Rukan Grafik II.28. NPL Kredit Rumah Tangga NPL Kredit RT NPL KKB NPL Multiguna I II III IV I II III IV I II III IV Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Penyaluran kredit kepada UMKM di Sumatera pada triwulan IV 214 mencapai 27,61% dari total kredit Sumatera, dengan pertumbuhan kredit mencapai 13,49% (yoy). Pertumbuhan tersebut lebih tinggi dari pertumbuhan total kredit yang sebesar 9,43%. Namun, bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 15,68% (yoy), pertumbuhan tersebut melambat. Dari sisi sektoral, kredit UMKM mayoritas disalurkan kepada sektor perdagangan sebesar 51,3%, diikuti dengan sektor pertanian sebesar 2,4%, dan L a p o r a n N u s a n t a r a 22

25 sektor industri pengolahan sebesar 6,6%. Perlambatan penyaluran kredit terutama terjadi di sektor pertanian dan industri pengolahan, sementara sektor perdagangan masih relatif stabil, yaitu tumbuh sebesar 9,9% (yoy). Berdasarkan provinsi, penyaluran kredit UMKM terbesar ditujukan ke provinsi Sumatera Barat dengan pangsa sebesar 33,83%, diikuti dengan Bengkulu sebesar 32,2% Berdasarkan kualitasnya, penyaluran kredit UMKM cenderung memiliki NPL yang relatif tinggi yakni mencapai 5,27%, meski membaik dari triwulan sebelumnya sebesar 5,63%. Dari sisi lapangan usaha, NPL kredit kepada UMKM yang tercatat tinggi yaitu sektor konstruksi dan perdagangan. Berdasarkan provinsi, kualitas kredit UMKM terbaik dialami oleh Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan NPL sebesar 3,74%, sementara terburuk dialami oleh Provinsi Aceh dengan NPL mencapai 11,56%. Rp Triliun Kredit UMKM g. Kredit UMKM % NPL Kredit UMKM I II III IV I II III IV I II III IV Grafik II.29. Perkembangan Kredit UMKM Sumatera Laiinnya 16.3% PHR 51.32% Pertanian 2.41% Konstruksi 5.67% Industri 6.57% Grafik II.3. Pangsa Sektor Utama Kredit UMKM Sumatera Kinerja Sistem Pembayaran Transaksi perbankan di wilayah Sumatera melalui Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) pada triwulan IV 214 mengalami peningkatan secara nilai, namun dari sisi volume transaksi mengalami penurunan. Secara nilai, transaksi RTGS pada triwulan IV 214 tumbuh 32,4% (yoy), menjadi Rp816 triliun, lebih besar dibandingkan dengan triwulan III yang hanya tumbuh sebesar 13,88% (yoy). Sementara itu, volume transaksi RTGS pada triwulan IV 214 turun sebesar 2,84% (yoy). Penurunan transaksi RTGS tersebut terkait dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengharuskan transaksi bernilai di bawah 1 juta menggunakan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI). Tabel II.1. Perkembangan Transaksi RTGS Sumatera Tabel II.2. Perkembangan Transaksi Kliring Sumatera L a p o r a n N u s a n t a r a 23

26 Transaksi pembayaran melalui kliring pada triwulan IV 214 mengalami peningkatan baik volume maupun nilai transaksi. Secara nilai, transaksi kliring tumbuh sebesar 9,72% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan III yang hanya 6,51% (yoy), dengan total transaksi kliring mencapai Rp.72,1 Triliun. Sementara itu, volume kliring meningkat signifikan sebesar 23,67% (yoy) pada triwulan IV 214 dibandingkan dengan triwulan III 214 yang hanya tumbuh sebesar 5,79%. Peningkatan ini merupakan akibat dari diberlakukannya ketentuan Bank Indonesia yang mengharuskan transaksi keuangan di bawah 1 juta menggunakan SKNBI dan meningkatnya transaksi masyarakat pada masa liburan akhir tahun. Kinerja Pengelolaan Uang Tunai Perkembangan aliran uang kartal di wilayah Sumatera pada triwulan IV 214 secara umum mengalami net outflows. Jumlah uang yang keluar dari Bank Indonesia (outflow) selama triwulan IV 214 mencapai Rp23,98 triliun dengan jumlah uang yang masuk (inflow) Rp14,49 triliun. Untuk tahun 214, net outflow terjadi hampir di seluruh provinsi Sumatera kecuali Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Lampung. Hal ini berhubungan dengan kegiatan perdagangan yang tinggi di ketiga provinsi tersebut. Perkembangan peredaran uang palsu di Sumatera pada tahun 214 mengalami penurunan 2,45% (yoy) dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Total peredaran uang palsu pada tahun 214 berjumlah 7827 lembar atau 6,41% dari total peredaran uang palsu Nasional. Dalam menanggulangi peredaran uang palsu, Bank Indonesia senantiasa melakukan sosialisasi ciri-ciri keaslian uang rupiah kepada masyarakat, melalui sekolah, universitas, pemerintah daerah, dan sebagainya. Selain itu, Bank Indonesia juga secara rutin melakukan kas keliling untuk menjangkau seluruh wilayah Indonesia, seperti yang dilakukan 25 2 Rp Triliun Inflow Outflow Net Inflow (Outflow) 35 3 lembar Aceh Sumut Sumbar Riau Kepri Jambi Sumsel Babel Lampung Bengkulu Grafik II.31. Perkembangan Inflow dan Outflow Sumatera (214) Grafik II.32. Perkembangan Uang Palsu PROSPEK PEREKONOMIAN Prospek Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi Sumatera pada akhir tahun 215 diperkirakan mengalami perbaikan. Ekonomi Sumatera diperkirakan tumbuh 4,6% - 5,1% (yoy), sedikit meningkat dibandingkan dengan tahun 214. Peningkatan diperkirakan terjadi hampir di seluruh provinsi di Sumatera kecuali Riau dan Jambi. Hal tersebut didukung oleh berbagai rencana infrastruktur yang akan dilaksanakan pada tahun 215, sehingga investasi diperkirakan akan meningkat. Adanya pengalihan subsidi BBM ke berbagai proyek seperti bangun desa, irigasi, dan waduk juga diperkirakan akan mendorong kegiatan investasi dan konsumsi Pemerintah. Optimisme perbaikan ekonomi negara mitra dagang dan harga komoditas internasional diperkirakan juga akan mendorong kegiatan ekspor Sumatera. L a p o r a n N u s a n t a r a 24

27 Dari sisi sektoral, perbaikan ekonomi diperkirakan akan didorong oleh sektor industri pengolahan; dan sektor perdagangan besar dan eceran, dan reparasi mobil dan sepeda motor yang masih tumbuh tinggi. Berbagai pengembangan infrastruktur jalan maupun pelabuhan diperkirakan akan mendorong aktivitas sektor industri pengolahan lebih tinggi. Selain itu, kegiatan perdagangan di kawasan Sumatera juga diperkirakan akan terus mengalami pertumbuhan akibat konsumsi rumah tangga yang masih relatif tinggi, Prospek Inflasi Inflasi Sumatera pada akhir tahun 215 diperkirakan akan mendukung pencapaian target sasaran inflasi nasional 4±1%. Inflasi Sumatera diperkirakan berada pada kisaran 3,9% - 4,4% (yoy), sejalan dengan menurunnya harga minyak dunia. Tren penurunan harga minyak dunia akan menurunkan tekanan harga pada kelompok Administered Prices seperti harga bahan bakar rumah tangga dan tarif transportasi. Menurunnya biaya produksi, akan menurunkan tekanan harga secara umum. Dengan harga minyak dunia yang cenderung turun, dan kenaikan UMP yang tidak setinggi tahun sebelumnya, memengaruhi biaya produksi yang menjadi relatif lebih rendah. Biaya produksi yang rendah akan menurunkan harga jual barang atau jasa. Selain itu, sentimen penurunan harga jual barang dan jasa akan menjaga ekspektasi masyarakat. Di sisi lain, harga komoditas yang masih cenderung rendah, akan menahan tingkat konsumsi masyarakat. Hal ini akan menekan inflasi khususnya kelompok inti (core). Faktor lain yang diperkirakan mampu menahan laju inflasi pada tahun 215 adalah faktor iklim, yang diperkirakan oleh BMKG lebih kondusif dibandingkan dengan tahun 214. Sehingga produksi bahan pangan di Sumatera seperti Sumatera Barat, Aceh, Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara diperkirakan meningkat dari tahun sebelumnya. Dengan kondisi ini supply pasokan, terutama, bahan pangan akan lebih terjamin. Selanjutnya, ketersediaan pasokan pangan yang lebih baik diperkirakan akan cukup menahan laju inflasi pada kelompok volatile food. Beberapa faktor yang dapat memperbesar inflasi pada tahun 215 adalah, penyesuaian tarif Listrik, dan kenaikan tarif pembuatan SIM. Selain itu, potensi risiko dari kenaikan imported inflation masih perlu dicermati dampaknya pada prospek inflasi Sumatera secara keseluruhan. Menghadapi risiko ini, seluruh TPID di seluruh provinsi Sumatera telah merancang roadmap jangka pendek dan jangka panjang terkait penanganan inflasi daerah yang diharapkan dapat menekan risiko peningkatan inflasi di Sumatera. L a p o r a n N u s a n t a r a 25

28 Kondisi Perekonomian Kabupaten dan Kota di Sumatera Latar belakang isu regional ini adalah adanya dugaan bahwa pertumbuhan ekonomi Sumatera selama ini lebih banyak terkonsentrasi di pusat-pusat pertumbuhan yang sebagian besar berlokasi di pantai timur Sumatera. Hal ini mendorong perlunya asesmen singkat untuk mengidentifikasi symptom awal terjadinya ketimpangan perekonomian antarkabupaten dan kota di Sumatera. Pendekatan yang diambil dalam menerjemahkan ketimpangan adalah dengan menggunakan angka Williamson Index 9 setiap kabupaten atau kota se-sumatera. Beberapa variabel yang digunakan untuk lebih memahami ketimpangan perekonomian ini yaitu tingkat kapasitas perekonomian, kapasitas fiskal serta tingkat kemiskinan. Kapasitas perekonomian diterjemahkan sebagai besaran pendapatan per kapita kabupaten atau kota yang bersangkutan. Sementara kemampuan fiskal didekati dari dua sisi yaitu dari sisi kemampuan APBD mendukung perekonomian serta sisi kemampuan PAD mendukung perekonomian daerah. Digunakannya APBD dan PAD sebagai variabel terpisah dimaksudkan untuk lebih mendalami kemampuan fiskal genuine suatu Kabupaten/Kota mengingat di dalam APBD masih terkandung Dana Alokasi yang bersumber dari pemerintah pusat. Indeks Vw -,5,5 -,15 >,15 Sumber: WorldBank-diolah Grafik II.33. Wlliamson Index berdasarkan PDRB Per Kapita Indeks Vw -,5,5 -,15 >,15 Sumber: WorldBank-diolah Grafik II.34. Wlliamson Index berdasarkan APBD Per Kapita Angka Williamson Index berdasarkan PDRB per kapita mengonfirmasi hipotesis awal bahwa pertumbuhan ekonomi di Sumatera hanya terpusat pada daerah-daerah yang selama ini telah dikenal sebagai pusat pertumbuhan, baik karena kondisi infrastrukturnya yang memadai maupun karena kandungan sumber daya alamnya. Berdasarkan hasil pemetaan, Kabupaten Bengkalis, Rokan dan Siak serta Batam, Medan dan Padang tercatat sebagai Kabupaten/Kota dengan PDRB perkapita jauh di atas rata-rata PDRB Sumatera (warna hijau tua). Seluruh Kabupaten/Kota tersebut berlokasi di pantai timur Sumatera, kecuali Kota Padang. Sementara 9 Williamson Index digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan perekonomian (pendapatan per kapita, fiskal) suatu wilayah pada waktu tertentu. Perhitungan indeks ini adalah jika mendekati 1 mengindikasikan keadaan ekonomi suatu wilayah sangat timpang dengan wilayah lainnya sebaliknya jika mendekati mengindikasikan keadaan ekonomi suatu wilayah relatif merata dibandingkan wilayah lainnya. L a p o r a n N u s a n t a r a 26

29 Kabupaten/Kota lainnya yang juga memiliki PDRB per kapita sedikit di atas rata-rata PDRB Sumatera (warna hijau muda) juga berlokasi di pantai timur Sumatera. Dari pemetaan sisi kapasitas fiskal Kabupaten/Kota dalam mendukung perekonomian juga terkonfirmasi bahwa perekonomian Kabupaten/Kota di pantai timur Sumatera jauh lebih berkembang dibandingkan dengan perekonomian Kabupaten/Kota di pantai barat Sumatera. Hal ini tercermin dari banyaknya Kabupaten/Kota di pantai timur Sumatera yang memiliki kapasitas fiskal di atas rata-rata kapasitas fiskal kabupaten/kota di Sumatera. Selain itu, variabel ini juga dapat menunjukkan indikasi pengelolaan anggaran Kabupaten/kota. Sebagai contoh pada beberapa Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara, Riau dan Sumatera Selatan memiliki kapasitas fiskal di atas rata-rata (warna hijau tua), namun memiliki PDRB per kapita di bawah ratarata. Begitu pun sebaliknya, beberapa Kabupaten/Kota yang memiliki kapasitas fiskal di bawah rata-rata namun memiliki PDRB per kapita di atas rata-rata seperti misalnya Kota Banda Aceh di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sama halnya dengan Williamson index berdasarkan APBD, Williamson index berdasarkan PAD juga mengonfirmasi lebih tingginya kapasitas fiskal asli Kabupaten/Kota di pantai timur Sumatera. Perbandingan Williamson index berdasarkan PDRB per kapita dan PAD semakin menunjukkan banyaknya Kabupaten/Kota dengan PAD di atas rata-rata PAD Sumatera, namun kurang optimal dalam mengelola kapasitas fiskal. Meskipun demikian, jika dilihat dari sebaran tingkat kemiskinannya, sebagaimana Grafik II.36, hanya Kabupaten/Kota di propinsi NAD dan sebagian Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Lampung yang memiliki tingkat kemiskinan di bawah rata-rata (warna kuning pastel) tingkat kemiskinan Kabupaten/Kota se-sumatera. Indeks Vw -,5,5 -,2 >,2 Sumber: WorldBank-diolah Grafik II.35. Wlliamson Index berdasarkan PAD Per Kapita Tingkat Kemiskinan - 12% 12-15% > 15% Sumber: WorldBank-diolah Grafik II.36. Sebaran tingkat kemiskinan Mengingat pola pertumbuhan di regional Sumatera terpusat di beberapa lokasi di pantai timur, maka perlu untuk mempertimbangkan penciptaan pusat pertumbuhan baru atau pemanfaatan pusat pertumbuhan existing di pantai Barat Sumatera seperti halnya Kota Padang untuk dapat lebih mengurangi kesenjangan perekonomian antar Kabupaten/Kota di Sumatera. L a p o r a n N u s a n t a r a 27

30 Potensi Pengembangan Perekonomian Pantai Barat Sumatera Implikasi dari ketimpangan perekonomian di Sumatera adalah diperlukannya pusat-pusat pertumbuhan baru di Sumatera, khususnya di wilayah pantai barat Sumatera. Berdasarkan identifikasi terkini pada Desember 214, 24% dari total nilai ekspor Sumatera bertujuan ke negara-negara di tepi Samudera Hindia dan 2,7% dari total ekspor ke negara-negara anggota IORA (Indian Ocean Rim Association). Adapun produk ekspor Sumatera ke negara tersebut antara lain karet remah (crumb rubber), CPO, dan kelompok kopi, teh, dan bumbu-bumbuan. Saat ini mitra dagang utama Sumatera adalah Jepang, USA dan Korea. Data World Trade Organization menunjukkan bahwa negara-negara tersebut saat ini sedang mengalami stagnasi ataupun perlambatan dalam perdagangan mereka. Sementara itu, perdagangan negara lainnya seperti India, Turki dan United Arab Emirates terus tumbuh. Kondisi ini melahirkan peluang bagi Sumatera untuk mendiversifikasi pasar ekspornya. Dengan keunggulan posisi geografis Sumatera, khususnya pantai barat yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia, potensi diversifikasi ke negara-negara di tepi Samudera Hindia dapat menjadi salah satu peluang. Saat ini 5% lalu lintas kargo curah serta dua pertiga pengapalan minyak dunia melalui Samudera Hindia. Selain itu, posisi Indonesia yang mendapat giliran sebagai ketua IORA pada akhir tahun 215 juga dapat mendorong implementasi penguatan transportasi kelautan, perikanan dan Preferential Tariff Aggreement (PTA) yang merupakan fokus utama organisasi ini. Potensi infrastruktur yang telah dimiliki, yaitu pelabuhan Teluk Bayur dan Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bungus di Sumatera Barat juga dapat dioptimalkan. Pelabuhan Teluk Bayur saat ini masih under capacity. Kondisi fishing ground di sebelah barat pantai barat Sumatera yang tidak terpengaruh musim dapat dimanfaatkan melalui PPS Bungus yang memiliki klasifikasi tertinggi pelabuhan perikanan dengan kapasitas sebesar 6 Gross Weight Tons. L a p o r a n N u s a n t a r a 28

31 BagianI PERTUMBUHAN EKONOMI Perekonomian berbagai daerah di Jawa secara agregat tumbuh meningkat pada triwulan IV 214 sebesar 6,% (yoy). Kinerja perekonomian Jawa yang lebih tinggi ini didorong oleh konsumsi rumah tangga, serta realisasi belanja pemerintah yang mencapai puncaknya di akhir tahun. Dari sisi eksternal, perbaikan ekonomi AS turut memengaruhi meningkatnya ekspor produk manufaktur Jawa, khususnya tekstil dan furnitur. Sementara itu kinerja investasi sektor swasta belum sepenuhnya pulih, sebagaimana terlihat dari masih rendahnya realisasi Penanaman Modal Asing (PMA). Meningkatnya kinerja ekspor manufaktur berimbas pada aktivitas industri manufaktur Jawa yang terus mengalami perbaikan. Selain itu, kinerja sektor perdagangan juga tercatat tumbuh membaik, didorong oleh meningkatnya transaksi perdagangan ritel di akhir tahun. Sebaliknya, sektor pertanian mengalami perlambatan, sejalan dengan minimnya panen akhir tahun dan komoditas tanaman bahan makanan yang tengah memasuki masa tanam. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi Jawa pada triwulan IV 214 ini didukung oleh peningkatan pertumbuhan di hampir seluruh provinsi, kecuali Yogyakarta. Laju pertumbuhan ekonomi tertinggi, tercatat di Jakarta dan Banten yang masing-masing tercatat tumbuh sebesar 6,2%, diikuti oleh Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat masing-masing sebesar 6,2%, 6,%, dan 5,5%. Untuk keseluruhan tahun 214, perekonomian Jawa secara keseluruhan tercatat tumbuh melambat pada level 5,5%. Perlambatan ini didorong oleh belum stabilnya pemulihan ekonomi global yang berpengaruh pada tertahannya kinerja ekspor produk manufaktur Jawa. Dari sisi investasi, sejumlah pelaku usaha cenderung menunda realisasi investasi sembari menunggu hasil Pemilu dan arah kebijakan pemerintah baru. Kinerja konsumsi pemerintah juga tumbuh terbatas seiring adanya kebijakan pengetatan anggaran yang diinisiasi pemerintah pusat. Meskipun demikian, perlambatan ini sedikit tertahan dengan terjaganya daya beli masyarakat seiring inflasi yang terkendali dan kenaikan Upah Minimum Kab/Kota (UMK) di awal tahun. Tercatat kenaikan rata-rata upah di Jawa lebih tinggi dibanding 213, kecuali Provinsi DKI Jakarta. Dari sisi sektoral, meskipun tumbuh melambat, kinerja sektor industri pengolahan masih mampu menopang perekonomian Jawa secara keseluruhan. Adapun perlambatan ekonomi didorong melemahnya sektor pertanian, terkait dengan relatif minimnya pembangunan irigasi dan gangguan cuaca. Selain itu, sektor perdagangan besar juga melambat sebagai akibat dari peningkatan biaya produksi baik dari upah pekerja maupun bahan baku impor. Memasuki awal tahun 215, ekonomi Jawa diperkirakan tumbuh stabil pada level 5,9%. Tertahannya pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 215 bersumber dari belum pulihnya kinerja investasi sektor swasta dan permintaan ekspor luar negeri. Kinerja kedua sektor ini diperkirakan baru pulih pada semester II 215, seiring dengan prospek perbaikan ekonomi Amerika Serikat dan Jepang, serta optimisme pada akselerasi ekonomi Wilayah Timur Indonesia. Sumber pertumbuhan masih berasal dari sektor rumah tangga, yang didorong oleh kenaikan pendapatan tenaga kerja formal dengan meningkatnya UMK. Dari sisi sektoral, tingginya curah hujan di beberapa sentra produksi tanaman bahan makanan dan belum pulihnya permintaan domestik menyebabkan perlambatan di sektor pertanian dan industri pengolahan. Kendati demikian, perbaikan ekonomi wilayah timur Indonesia diperkirakan dapat mendorong kinerja sektor perdagangan besar di Jawa. Secara keseluruhan ekonomi Jawa pada tahun 215 diperkirakan tumbuh pada kisaran 5,9% - 6,2%. L a p o r a n N u s a n t a r a 29

32 Konsumsi Konsumsi Rumah Tangga Kinerja konsumsi rumah tangga pada triwulan IV 214 tumbuh melambat sebagaimana terkonfirmasi dari hasil Survei Konsumen pada Indikator Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE). Kenaikan harga BBM bersubsidi pada akhir 214 memberikan tekanan pada daya beli masyarakat dan berpengaruh pada kinerja konsumsi rumah tangga. Indikasi perlambatan konsumsi rumah tangga tercermin dari hasil survei yang menunjukkan bahwa 88% responden cenderung menilai relatif signifikannya dampak kenaikan BBM, sehingga terdapat rencana mengurangi pengeluaran khususnya pada barang tahan lama. Dari sisi pembiayaan, penyaluran kredit konsumsi dalam tren peningkatan yang didominasi Kredit Multiguna dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) INDEX Grafik III.1.1. Indeks Penjualan Eceran Grafik III.1.2. Kinerja Kredit Konsumsi Untuk keseluruhan tahun 214, konsumsi rumah tangga masih tumbuh kuat sebesar 5,9%. Hal ini juga didukung oleh Survei Konsumen yang mengindikasikan adanya kenaikan tingkat penghasilan yang mempersepsikan di tahun 214. Pada triwulan I 215, konsumsi rumah tangga diperkirakan cenderung meningkat seiring dengan membaiknya daya beli masyarakat, disertai prospek minimalnya tekanan inflasi karena penurunan harga BBM dengan melemahnya harga minyak dunia. Peningkatan daya beli juga didorong kenaikan gaji tenaga kerja formal di awal tahun sebagai pengaruh dari peningkatan UMK. 14 INDEX IKK IKE IEK INDEX 15 IKE Penghasilan Konsumen Ketersediaan Lapangan Kerja Grafik III.3. Indeks Keyakinan Konsumen Konsumsi Pemerintah Grafik III.4. Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini Pada triwulan IV 214, belanja sektor pemerintah masih tumbuh terbatas di level 3,9% (yoy), seiring minimnya ruang belanja fiskal pemerintah. Hal ini dipengaruhi antara lain oleh berbagai langkah penghematan yang dilakukan oleh pemerintah sehingga turut memengaruhi kinerja konsumsi pemerintah. Pada triwulan ini, porsi belanja lebih didominasi belanja bantuan sosial dan hibah mengikuti pola umumnya menjelang akhir tahun. Kebijakan efisiensi anggaran pemerintah di tahun 214 yang merupakan inisiatif nasional memengaruhi perlambatan konsumsi pemerintah di Jawa ke level 2,9%. Di tingkat kab/kota dan provinsi, belanja pemerintah L a p o r a n N u s a n t a r a 3

33 yang tumbuh terbatas juga dipengaruhi oleh menurunnya Dana Bagi Hasil (DBH) di beberapa provinsi. Hal ini dipengaruhi oleh lesunya aktivitas sektor riil, sejalan dengan melambatnya perekonomian. Sebagai contoh, perlambatan industri tembakau yang berpengaruh pada menurunnya pendapatan DBH khususnya di Provinsi Jawa Timur. Menurunnya kinerja sektor riil juga berdampak pada lebih rendahnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang terutama bersumber dari pendapatan retribusi. Realisasi belanja pemerintah pada triwulan I 215 diperkirakan masih tumbuh terbatas. Upaya pemerintah untuk melakukan efisiensi belanja untuk keperluan rapat, perjalanan dinas dan sejumlah belanja terkait pegawai, diharapkan berdampak positif pada peningkatan pangsa belanja modal pemerintah. Namun, kebijakan ini juga diperkirakan menekan kinerja jasa perhotelan khususnya di Provinsi Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Investasi Realisasi belanja investasi swasta pada triwulan IV 214 terjaga stabil, sebagaimana tercermin dari angka realisasi investasi PMA dan PMDN di kisaran Rp3 Triliun. Meski demikian, terdapat indikasi melemahnya belanja investasi bangunan dan peningkatan komponen investasi non bangunan (mesin industri). Selain itu, capaian belanja infrastruktur skala besar juga masih tergolong rendah. Kendala terbesar masih bersumber dari sulitnya negosiasi pembebasan lahan proyek dan proses birokrasi terkait penentuan kewenangan pemerintah pusat dan daerah. 2, 16, Jumlah Proyek gjumlah (yoy) Nilai Proyek (US Juta) gnilai (yoy) , 8, Jumlah Proyek gjumlah (yoy) Nilai Proyek (Rp Milyar) gnilai (yoy) , 8 6, , 4 4, 3 4, 2 2, Grafik III.5. Kinerja Investasi PMA Grafik III.6. Kinerja Investasi PMDN Pelemahan belanja investasi swasta pada 214, disebabkan oleh lebih rendahnya realisasi investasi asing dibandingkan dengan 213. Tercatat belanja investasi di Jawa tumbuh sebesar 4,4%. Berdasarkan hasil survei dan liaison, kenaikan komponen biaya produksi yang meliputi upah tenaga kerja, tarif energi dan pajak turut memberikan sentimen negatif pada iklim investasi Jawa. Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi tercatat menurun dibandingkan tahun sebelumnya, dari USD juta menjadi USD juta atau secara pertumbuhan melambat menjadi 37% (yoy). Namun, kinerja investasi PMDN masih mampu tumbuh lebih tinggi yaitu dari Rp66 Triliun menjadi Rp97 Triliun atau tumbuh meningkat 46% (yoy). Pada triwulan I 215, kinerja investasi baik yang berasal dari sumber swasta maupun pemerintah diprediksi membaik. Berdasarkan hasil liaison, sebagian besar pelaku usaha akan melakukan investasi untuk meningkatkan efisiensi lini produksi menuju semi otomasi. Oleh karena itu, belanja investasi pada triwulan berjalan cenderung lebih didominasi kelompok non bangunan. Beberapa sektor usaha yang terindikasi akan memulai ekspansi usaha adalah industri tekstil, khususnya yang memiliki tujuan ekspor. Di sisi lain, belanja infratruktur pemerintah terindikasi masih belum optimal, meskipun Pemerintah Pusat telah menambah alokasi anggaran belanja modal dari penghematan subsidi BBM. Meski demikian, masih terdapat kendala dalam proses birokrasi perencanaan program kerja daerah yang dituangkan pada Rencana Program Kerja Daerah (RPKD). Hingga Februari 215, sebagian daerah masih belum menyelesaikan RKPD. Selain itu, rancangan APBD L a p o r a n N u s a n t a r a 31

34 juga masih belum disahkan di beberapa daerah, sehingga capaian realisasi belanja infrastruktur pada triwulan I 215 diprakirakan masih di bawah 1%, jauh lebih rendah dari target sebelumnya di kisaran 2%. Perdagangan Luar Negeri Ekspor Pada triwulan akhir 214, ekspor ke Amerika Serikat dan Jepang mengalami peningkatan seiring membaiknya prospek perekonomian di kedua negara tersebut dan momentum Natal di akhir tahun. Tercatat permintaan ekspor komoditas tekstil dan furnitur ke Amerika Serikat mengalami peningkatan, sementara peningkatan permintaan ke Jepang lebih didominasi komoditas bahan kimia organik dan hasil laut. Kinerja ekspor luar negeri Jawa tumbuh melambat menjadi 4,9% pada 214. Masih belum stabilnya pemulihan ekonomi negara maju (AS dan Jepang), serta melambatnya pertumbuhan negara berkembang (Tiongkok dan ASEAN), menyebabkan terbatasnya perbaikan ekspor. Selain itu, pemberlakuan UU Minerba pada 1 Januari 214 turut menekan kinerja ekspor hasil tambang yang sebagian besar dikirim melalui Pelabuhan Tanjung Perak, seperti komoditas tembaga dan nikel. Di sisi lain, tren penurunan harga internasional dari komoditas industri manufaktur seperti bahan kimia dan tekstil turut memengaruhi kinerja ekspor kawasan Jawa. Meskipun dalam satuan volume, kinerja kedua komoditas tersebut masih relatif stabil. Pada triwulan I 215, ekspor luar negeri diperkirakan tumbuh relatif stabil, didorong optimisme pelaku usaha di Provinsi DKI Jakarta dan Banten. Stabiltnya ekspor ditopang oleh komoditas ekspor utama seperti produk tekstil, kimia, dan produk makanan dan minuman. Untuk jenis komoditas tersebut, daya saing ekspor Jawa relatif baik, meski terdapat potensi kenaikan biaya produksi baik dari bahan baku maupun upah buruh. Namun, bagi industri yang memiliki ketergantungan terhadap bahan baku impor dan berorientasi pada pasar domestik, masih terdapat risiko nilai tukar yang berpotensi meningkatkan biaya produksi dan menekan marjin usaha. Impor Pada triwulan akhir 214, kinerja impor Jawa didorong oleh meningkatnya permintaan impor barang modal untuk kebutuhan sektor industri, seiring meningkatnya kebutuhan otomatisasi guna meningkatkan daya saing produk. Demikian pula impor bahan baku tercatat meningkat tipis yang didominasi kelompok barang rumah tangga dan tekstil. Pola ini terbentuk dari kecenderungan meningkatnya permintaan masyarakat pada momentum Natal dan Tahun Baru di akhir tahun. Di sisi lain, impor bahan baku tumbuh melambat. Kinerja impor luar negeri secara umum mengalami perlambatan menjadi 1,3% di tahun 214. Sebagai sentra produksi barang industri, impor barang Jawa didominasi untuk kebutuhan bahan baku industri. Oleh karena itu, pertumbuhannya pun cenderung diikuti kinerja ekspor dengan lag 1 2 bulan. Menurunnya permintaan ekspor dan penjualan domestik turut memengaruhi impor komoditas utama seperti bahan kimia dan besi baja. Selain itu, penurunan impor barang modal terkait dengan melambatnya aktivitas pada industri tambang di Wilayah Timur Indonesia. Hal ini mengingat sebagian besar impor barang modal yang tercatat di Jawa ditujukan ke Wilayah Indonesia Timur. Tercatat mesin industri serta kendaraan berat untuk industri tambang diimpor melalui Jawa. Adapun penurunan impor barang modal secara drastis merupakan dampak dari pemberlakuan UU Minerba pada awal 214. Pada triwulan I 215, impor luar negeri diperkirakan meningkat seiring membaiknya ekspor. Peningkatan impor lebih didorong oleh kelompok impor barang modal dan bahan baku. Sementara itu, impor barang konsumsi diperkirakan tumbuh stabil seiring masih terjaganya belanja konsumsi rumah tangga. L a p o r a n N u s a n t a r a 32

35 Kinerja Sektor Utama Daerah Sektor Industri Pengolahan Pada triwulan akhir 214, kinerja sektor industri tumbuh membaik seiring meningkatnya produksi untuk memenuhi peningkatan permintaan domestik dan ekspor luar negeri. Kenaikan permintaan didominasi barang kebutuhan pokok dan rumah tangga yang digunakan untuk menyambut Natal dan Tahun Baru. Namun, pelemahan harga global komoditas industri sedikit menekan marjin sektor produksi, khususnya komoditas bahan kimia dan tekstil yang terutama melemah menjelang akhir tahun. 54. (Indeks) I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I* Grafik III.7. Indeks Produksi dan Kapasitas Industri 3, 25, 2, 15, 1, 5, Ribu Unit Produksi Mobil Penjualan Mobil Ekspor Mobil Grafik III.8. Produksi Industri Kendaraan Pertumbuhan sektor industri pengolahan tercatat melambat pada level 5,9% (yoy) pada keseluruhan Melemahnya nilai marjin yang diperoleh pelaku usaha turut menyebabkan perlambatan kinerja sektor industri pengolahan tahun ini. Kenaikan biaya energi dan tenaga kerja terindikasi memicu terjadinya pengalihan dari industri padat karya menuju industri semi otomasi atau padat modal. Sejumlah industri juga berencana melakukan relokasi ke daerah lain yang dengan tingkat UMK lebih rendah seperti di Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Strategi ini dilakukan pelaku usaha mengingat keterbatasan dalam menaikkan harga jual di tengah ketatnya persaingan yang harus dihadapi industri domestik dari barang impor asal Tiongkok. Di sisi lain, juga terdapat upaya untuk mempertahankan marjin usaha dengan menekan biaya produksi terutama dari komponen upah. Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) juga mengindikasikan rendahnya tingkat kapasitas produksi sektor industri sebagai pengaruh dari terbatasnya nilai transaksi ekspor pada 214. Penurunan terbesar disumbang oleh subsektor Industri Logam Dasar seperti besi dan baja yang salah satunya merupakan dampak dari menurunnya aktivitas sektor pertambangan. Sementara itu penurunan kinerja pada subsektor makanan minuman dan tembakau disebabkan oleh beralihnya preferensi konsumen dari sigaret kretek tangan ke rokok filter/mesin. Pada triwulan I 215, industri pengolahan diprakirakan tumbuh membaik seiring dengan optimisme pelaku usaha atas perbaikan ekonomi domestik dan meningkatnya permintaan ekspor luar negeri. Upaya otomatisasi lini produksi diharapkan mendorong peningkatan marjin sektor industri. Namun, industri makanan pengolahan produk laut menghadapi tantangan dari terbatasnya bahan baku karena adanya pemberlakuan morotarium perizinan kapal penangkap ikan dan pembatasan impor beberapa komoditas ikan laut. Dalam jangka pendek, kebijakan ini berpotensi memengaruhi kinerja industri pengolahan seiring berkurangnya pasokan dari berbagai daerah di wilayah timur Indonesia. 1 Sektor industri pengolahan di Jawa memiliki pangsa terbesar dengan porsi mencapai 35%, dengan sumbangan tertinggi berasal dari Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat. L a p o r a n N u s a n t a r a 33

36 Sektor Konstruksi Pada triwulan IV 214, pertumbuhan sektor konstruksi di berbagai daerah di Jawa secara agregat tumbuh sebesar 5,5% (yoy). Data penjualan semen di Jawa mengindikasikan bahwa tingkat pertumbuhan konstruksi tersebut cenderung melambat dibanding periode triwulan sebelumnya. Perlambatan ini disebabkan melemahnya transaksi penjualan properti di tengah pelemahan ekonomi domestik. Selain itu, perlambatan konstruksi di Jawa terindikasi turut dipengaruhi oleh aktivitas perekonomian di berbagai daerah di Sumatera dan wilayah Timur Indonesia yang cenderung melambat. Hal ini mengingat sebagian transaksi properti di Jawa juga dilakukan oleh pembeli dari daerah-daerah di luar Jawa, khususnya daerah yang menjadi basis produksi tambang dan perkebunan. Beberapa faktor penahan pertumbuhan laju sektor konstruksi lainnya meliputi kenaikan suku bunga kredit konstruksi, dampak kebijakan KPR indent rumah kedua, serta kenaikan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) di 214 juga menjadi kendala bagi sejumlah pengembang/kontraktor untuk memulai pembangunan. Meskipun pemulihan penjualan properti residensial mulai terindikasi pada triwulan IV 214 (Grafik III.1), namun masih belum mampu menahan lemahnya pertumbuhan penjualan properti komersial. Demikian pula dengan beberapa proyek infrastruktur besar masih belum memenuhi target penyelesaian di akhir tahun antar lain realisasi konstruksi infrastruktur skala besar masih cenderung minim, yang terkendala faktor pembebasan lahan. Kondisi ini juga dikonfirmasi dari rendahnya pertumbuhan penjualan semen seluruh Provinsi di Jawa (kecuali Banten) pada tahun 214 (Grafik III.9). Berbagai perkembangan ini menyebabkan pertumbuhan sektor konstruksi tumbuh lebih rendah di kisaran 5,2% untuk keseluruhan tahun Volume Semen '13 Volume Semen '14 gsemen '13 gsemen ' (%, yoy) Kecil Menengah Besar Total (1) D. K. I. Jakarta Banten Jabar Jateng D. I. Y. Jatim Jawa I II III IV I II III IV (2) Grafik III.9. Konsumsi Semen Pulau Jawa Grafik III.1. Kinerja Penjualan Properti Residensial Pada triwulan I 215, kinerja sektor konstruksi dipersepsikan membaik oleh para pelaku usaha. Hal ini terutama didukung oleh akselerasi investasi proyek infrastruktur pemerintah di sejumlah daerah, diantaranya infrastruktur jalan dan irigasi. Meski demikian, peningkatan pertumbuhan diperkirakan masih belum signifikan, seiring masih terbatasnya pemulihan konsumsi domestik. Sektor Pertanian Kinerja sektor pertanian tercatat melambat pada triwulan IV 214, seiring masuknya musim pancaroba yang menyebabkan ketidakpastian produksi pada subsektor tabama. Indikator luas tanam padi juga menunjukan penurunan yang signifikan sehingga total produksi pertanian pada akhir tahun 214 relatif terbatas. Secara keseluruhan, kinerja sektor pertanian di tahun 214 tercatat tumbuh melambat. Tingginya tingkat curah hujan yang mengakibatkan terjadinya bencana banjir terbesar di beberapa sentra produksi tabama menjadi faktor penyebab penurunan ini. Pada triwulan I 215, kinerja sektor pertanian diprediksi mengalami peningkatan, seiring minimnya potensi banjir bila dibandingkan 214. Panen kelompok tanaman bahan makanan (tabama) pada bulan Maret berpotensi mendorong pertumbuhan sektor pertanian. Aksi agresif pemerintah dalam mendorong produksi tabama di tahun 215 berpotensi mendorong kinerja sektor ini. Pemerintah juga menjamin ketersediaan pupuk dan benih di sepanjang tahun guna mendorong program swasembada pangan. Selain itu, penggiatan L a p o r a n N u s a n t a r a 34

37 program penanaman tanaman hortikultura pada off season guna menjamin ketersediaan supply kelompok bumbu-bumbuan, juga akan mendukung peningkatan produksi (%, yoy) (%) gkredit Pertanian NPL (%) Grafik III.11. Perkembangan Kinerja Pertanian , 6, 5, 4, 3, 2, 1, - (ribu ha) Luas Lahan Padi Luas Lahan Jagung gluas Padi gluas Jagung (%, yoy) Grafik III.12. Luas Lahan Tanam dan Panen Padi LAJU INFLASI Inflasi di Jawa pada akhir tahun tercatat mencapai 8,35% (yoy), atau lebih tinggi bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (4,44 yoy). Tekanan inflasi terbesar berasal dari Provinsi Banten (1,2% yoy) dan juga DKI Jakarta yang mencapai 8,95% (yoy). Tekanan terbesar pada triwulan IV 214 disumbang oleh kelompok administered prices, terutama karena dampak lanjutan kenaikan harga BBM bersubsidi, kenaikan TTL untuk konsumen pascabayar serta penyesuaian harga LPG oleh pemerintah. Peningkatan dari kelompok administered prices diikuti oleh kelompok volatile food, yang mengalami kenaikan akibat menurunnya pasokan beberapa komoditas seperti cabe merah, beras dan ayam. Faktor cuaca yang kurang baik berdampak pada bergesernya musim panen dari beras dan cabe merah di tahun 214, khususnya di Provinsi Jawa Timur. Faktor cuaca juga mengganggu produksi daging serta telur ayam dari Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur yang memberikan tekanan cukup besar kepada kelompok volatile food. Pada triwulan I 215, inflasi Jawa diperkirakan mereda yang juga terlihat pada inflasi Januari yang turun menjadi 6,93% (yoy). Penurunan tersebut sejalan dengan kebijakan penurunan harga BBM oleh pemerintah di awal tahun 215 yang diikuti oleh penurunan tarif angkutan di berbagai daerah di Jawa. Selain itu, prakiraan realisasi panen yang sempat tertunda pada triwulan sebelumnya akan menambah pasokan pangan yang cukup besar. Namun, penurunan inflasi dari kelompok administered prices tertahan oleh kenaikan tarif kereta api per 1 Januari 215. Beberapa risiko yang masih membayangi prospek inflasi Jawa antara lain terkait dengan tingginya curah hujan di awal tahun dan dampak dari terjadinya banjir di sejumlah daerah. Kondisi ini dikhawatirkan dapat menggangu produksi pangan. Kebijakan terkait kenaikan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) beras sebesar 1% turut memberikan tekanan kepada kelompok volatile food. Meski demikia, downside risk dari inflasi diperkirakan bersumber dari kecenderungan menurunnya harga emas akan mengurangi tekanan terhadap inflasi terutama di Jakarta. Grafik III.13. Perkembangan Inflasi Grafik III.14. Disagregasi Inflasi L a p o r a n N u s a n t a r a 35

38 Koordinasi Pengendalian Inflasi Koordinasi pengendalian inflasi di 214 dilakukan melalui Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) khususnya dalam penguatan aspek produksi dan distribusi. 2 Secara keseluruhan, produksi pangan pada tahun 214 yang lebih rendah bila dibandingkan dengan tahun 213, tidak mengganggu pemenuhan permintaan di Jawa. Keberhasilan pemenuhan pasokan pangan tersebut dipengaruhi oleh koordinasi TPID pada beberapa aspek meliputi tindak lanjut kebijakan subsidi ongkos angkut khusus pada momen lebaran dan natal (TPID Provinsi Jawa Timur) serta pemasangan Papan Harga Informasi Harga Strategis (PIHPS) di beberapa pasar tradisional (TPID Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur). Untuk mengatasi berbagai risiko inflasi ke depan, TPID di berbagai daerah di Jawa secara umum akan menempuh beberapa langkah kebijakan antara lain: a. Penyusunan roadmap TPID di wilayah Jawa guna mengoptimalkan peran TPID. b. Pengembangan pusat informasi harga pangan strategis untuk memperluas akses informasi bagi masyarakat luas dengan menyertakan data harga produsen dan ketersediaan stok antar wilayah. c. Pemetaan permasalahan stok dan distribusi pangan antar provinsi. d. Penetapan indikator early warning system dan pengoptimalisasian sistem resi gudang. e. Kerjasama dengan Pemerintah Daerah guna mendorong peningkatan hasil produksi bagi komoditas penyumbang inflasi. f. Penambahan jumlah komoditas operasi pasar seperti telur ayam ras, daging ayam ras dan cabai. g. Penyelenggaraan kegiatan capacity building bagi anggota TPID. STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN Ketahanan Sektor Korporasi Penyaluran kredit korporasi dilihat dari sisi sektoral, masih didominasi oleh tiga sektor ekonomi utama di Jawa, yaitu sektor iindustri pengolahan (manufaktur), sektor perdagangan besar dan sektor konstruksi. Penyaluran kredit sektor utama pada triwulan IV 214 mengalami perlambatan, kecuali pada sektor konstruksi dengan kualitas kredit untuk seluruh sektor utama yang membaik. Sementara itu, kredit pada sektor pertanian mengalami peningkatan meskipun pangsanya relatif kecil (2,9%). Sepanjang tahun 214, kredit sektor industri pengolahan, sektor perdagangan besar dan sektor konstruksi tercatat masih dalam tren melambat, sejalan dengan menurunnya kinerja sektoral di Jawa. Adapun pertumbuhan kredit sektor pertanian dan sektor industri pengolahan masih cukup kuat pada 214, yakni masih berada di kisaran 3% - 4%. Kualitas kredit sektor utama di Jawa pun masih terjaga rendah sebagaimana tercermin dari besaran non performing loans (NPLs) di bawah 5%. Grafik III.15. Penyaluran Kredit (Lokasi Proyek) Grafik III.16. Penyaluran Kredit Sektor Utama 2 Secara kelembagaan, seluruh TPID Provinsi dan Kabupaten/Kota di wilayah Jawa telah terbentuk. L a p o r a n N u s a n t a r a 36

39 Ketahanan Sektor Rumah Tangga Secara umum, tren perlambatan ekonomi nasional tidak berpengaruh kepada penyaluran kredit sektor rumah tangga (RT). Meskipun Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan juga Kredit Pemilikan Apartemen (KPA) mengalami perlambatan, kredit sektor RT masih dapat terus tumbuh yang didorong oleh meningkatnya penyaluran Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) dan pinjaman multiguna. Penyaluran KPR hanya tumbuh sebesar 13,91% (yoy) atau jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan pertumbuhan pada tahun 213 yang mencapai 24,21%. Perlambatan kredit KPR juga diikuti dengan perlambatan harga properti, yang tercermin dari Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) di sebagian kota besar di Jawa. Kualitas kredit RT masih cukup aman pada level 1,41% atau stabil bila dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Namun, kualitas kredit KPA/ruko mengalami kenaikan dalam dua tahun terakhir, sementara kualitas kredit KPM sedikit memburuk pada tahun 214. Grafik III.17. Penyaluran Kredit RT Grafik III.18. Kualitas Kredit RT Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Upaya pengembangan UMKM pada tahun 214 memberikan hasil yang positif, dimana pertumbuhan kredit UMKM mencapai 16,87% (yoy) atau lebih tinggi dari tahun 213 yang hanya sebesar 13,82% (yoy). Meskipun demikian, share UMKM terhadap total kredit belum banyak mengalami perubahan yang saat ini mencapai 16,53%. Di tengah pelemahan ekonomi domestik, penyaluran kredit UMKM masih disertai dengan terjaganya kualitas di bawah 5%. Ke depan, penyaluran kredit pada sektor ini perlu digiatkan dengan tetap mencermati tingkat kualitas kredit. Grafik III.19. Penyaluran Kredit UMKM Grafik III.2. NPL Kredit UMKM Pengelolaan Sistem Pembayaran Sejalan dengan indikasi perbaikan aktivitas perekonomian di Jawa, pada triwulan IV 214 terdapat peningkatan transaksi non-tunai dari yang dilakukan melalui fasilitas BI RTGS. Kenaikan aktivitas transaksi keuangan terutama didorong oleh Provinsi DKI Jakarta yang memiliki porsi transaksi sebesar 86,9% dari total wilayah Jawa. Sementara itu, kegiatan transaksi yang menggunakan SKNBI menunjukkan pertumbuhan walaupun L a p o r a n N u s a n t a r a 37

40 jumlah nominal transaksi SKNBI cukup rendah bila dibandingkan dengan jumlah nominal transaksi dengan menggunakan BI RTGS. Grafik III.21. Transaksi RTGS Grafik III.22. Transaksi Kliring Pengelolaan Uang Tunai Rupiah Berdasarkan data pengelolaan uang tunai yang diperoleh hingga triwulan IV 214, wilayah Jawa lebih banyak menerima uang masuk (cash inflow) dibandingkan dengan uang yang keluar (cash outflow). Selama tahun 214, seluruh provinsi di wilayah Jawa kecuali DKI Jakarta, mengalami net inflow yang cukup besar. Bagi perekonomian di wilayah ini, cash inflow menunjukkan adanya kegiatan ekonomi yang cukup besar, dimana sebagian besar daerah di Jawa merupakan produsen. Secara keseluruhan, wilayah Jawa mengalami net inflow sebesar Rp 15,8 triliun atau berbalik dari kondisi di tahun 213 yang mengalami net outflow sebesar Rp 1,6 triliun. Perubahan kondisi tersebut sejalan dengan melambatnya konsumsi rumah tangga dan cenderung untuk mendorong tingkat simpanannya. Hal ini dikonfirmasi dari meningkatnya Dana Pihak Ketiga (DPK) Perbankan khususnya jenis deposito. Dari sisi, penemuan Uang Palsu (UPAL), di tahun 214 jumlah UPAL yang berhasil ditemukan mengalami penurunan sekitar 19,3% yang memberikan indikasi terdapatnya upaya perbaikan dalam sistem pembayaran oleh Bank Indonesia serta pihak-pihak terkait lainnya. Grafik III.23. Temuan UPAL Grafik III.24. Perkembangan Netflow PROSPEK PEREKONOMIAN Prospek Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi Jawa diproyeksikan berada di kisaran 5,9%-6,2% pada tahun 215, dengan dukungan terutama dari menguatnya konsumsi rumah tangga serta potensi perbaikan perdagangan antar pulau dan ekspor luar negeri. Sementara, kinerja investasi swasta diperkirakan masih rendah sebagai pengaruh dari terus meningkatnya biaya produksi pada sektor industri pengolahan. Berdasarkan hasil liaison, para pelaku usaha mengeluhkan rendahnya daya saing investasi di Jawa dibandingkan negara ASEAN (Vietnam, Malaysia dan Thailand). Hal ini berdampak pada rendahnya rencana investasi perusahaan PMA dibandingkan PMDN. Dari sisi sektoral, ketiga sektor utama diperkirakan tumbuh membaik. Kinerja sektor industri pengolahan diperkirakan L a p o r a n N u s a n t a r a 38

41 mengalami peningkatan kapasitas produksi pasca beroperasinya beberapa industri semi otomatis (tekstil dan tembakau), diiringi dengan meningkatnya permintaan domestik dan luar negeri. Sementara itu, sektor pertanian juga berpotensi tumbuh meningkat seiring moderatnya dampak el nino dan jaminan dukungan pemerintah dalam mendorong produksi tabama Jawa. Di sisi lain, kinerja sektor perdagangan besar didukung oleh potensi membaiknya kinerja sektor perdagangan antar pulau dan ekspor ke AS serta Jepang. Prospek Inflasi Inflasi Jawa diproyeksikan berada dalam kisaran target inflasi nasional 4%±1% (yoy) pada tahun 215. Meredanya inflasi dari kelompok administered prices cukup berpengaruh dalam menurunkan tekanan inflasi di Jawa secara keseluruhan. Kecenderungan menurunnya harga minyak dunia menjadi faktor utama penurunan tingkat inflasi ke depan. Di sisi lain, inflasi dari kelompok volatile food dan core inflation diproyeksikan relatif stabil. Berbagai rencana program peningkatan produksi pangan daerah dan peningkatan kerjasama antar daerah untuk pemenuhan pasokan pangan serta program kerja lain dari TPID diprediksi dapat menahan laju inflasi volatile food di 215. Risiko tekanan dari volatile food dan inflasi inti di tahun 215 diperkirakan bersumber dari faktor cuaca (curah hujan tinggi) di awal tahun, faktor seasonal hari raya (Imlek dan Idul Fitri) dan faktor kenaikan UMP yang akan berdampak pada peningkatan konsumsi masyarakat. L a p o r a n N u s a n t a r a 39

42 Halaman ini sengaja dikosongkan L a p o r a n N u s a n t a r a

43 PERTUMBUHAN EKONOMI Perekonomian berbagai daerah di Kalimantan pada triwulan IV 214 secara agregat mengalami perbaikan meski masih terbatas, terutama ditopang oleh adanya perbaikan kinerja investasi di beberapa daerah. Perbaikan kinerja investasi terutama terjadi di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat seiring dengan investasi pembangunan smelter. Sementara itu, kinerja konsumsi rumah tangga masih tumbuh melambat terkait dengan masih terbatasnya kinerja ekspor, khususnya batubara. Melambatnya konsumsi dipengaruhi terutama oleh melemahnya pendapatan ekspor batubara terkait masih rendahnya harga di pasar ekspor. Kinerja ekspor batubara lebih banyak ditopang oleh permintaan India di tengah masih lemahnya permintaan dari Tiongkok yang merupakan pasar tujuan ekspor terbesar untuk batubara Kalimantan. Secara umum, masih terbatasnya kinerja ekonomi Kalimantan terlihat dari capaian realisasi pertumbuhan ekonomi yang cenderung masih rendah, seperti Kalimantan Timur (3,8%) dan Kalimantan Barat (3,9%), serta Kalimantan Selatan (4,%). Untuk keseluruhan tahun 214, pertumbuhan ekonomi berbagai daerah di Kalimantan secara agregat tercatat sebesar 3,2% atau lebih rendah dibandingkan capaian di tahun 213 (3,5%). Kondisi ini tidak terlepas dari dinamika pemulihan ekonomi global yang berjalan lambat sehingga berdampak pada harga-harga komoditas di pasar global. Hal ini pada giliannya berimbas pada kinerja ekspor Kalimantan yang didominasi oleh barang tambang primer, khususnya batubara, sehingga turut menekan konsumsi rumah tangga yang banyak mengandalkan pendapatan hasil ekspor batubara. Selain itu, masih terbatasnya kinerja produksi migas di Kalimantan Timur turut berpengaruh pada lebih lambatnya kinerja ekonomi Kalimantan. Memasuki triwulan I 215, berbagai indikator ekonomi di berbagai daerah Kalimantan belum mengindikasikan berlanjutnya perbaikan kinerja ekonomi Kalimantan secara keseluruhan. Harga komoditas batubara di pasar global yang masih rendah dan perlambatan ekonomi Tiongkok yang diduga bersifat struktural berpengaruh pada perbaikan aktivitas ekonomi Kalimantan yang cenderung terbatas. Meski demikian, kinerja ekonomi Kalimantan mulai didorong oleh beroperasinya smelter alumina dan bijih besi serta pabrik pupuk di Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Hal ini diprakirakan juga akan menopang perbaikan ekonomi Kalimantan untuk keseluruhan tahun 215. Konsumsi Konsumsi Swasta Konsumsi swasta (konsumsi rumah tangga dan konsumsi lembaga swasta nirlaba) berbagai daerah di Kalimantan tumbuh melambat pada triwulan IV 214. Melambatnya konsumsi swasta sejalan dengan masih masih terbatasnya perbaikan kinerja sektor-sektor utama di Kalimantan, terutama pertambangan dan perkebunan. Harga komoditas ekspor yang masih rendah berdampak pada pendapatan ekspor masyarakat yang cenderung melemah. Indikator Nilai Tukar Petani (NTP) juga menunjukkan kecenderungan yang juga melambat (Grafik IV.1). Demikian halnya dengan penyaluran kredit konsumsi yang melambat. Untuk keseluruhan tahun 214, kinerja konsumsi swasta cenderung tumbuh melambat karena melemahnya pendapatan ekspor. Meski demikian, penyelenggaraan Pemilu 214 dapat sedikit menahan laju pelemahan konsumsi Kalimantan lebih lanjut. L a p o r a n N u s a n t a r a 41

44 Memasuki triwulan I 215, berbagai indikator konsumsi rumah tangga belum menunjukkan perbaikan yang berarti di semua provinsi, sejalan dengan masih lesunya sektor pertambangan khususnya di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Perlambatan yang terjadi pada sektor tambang akan berimplikasi pada sektor-sektor pendukungnya sehingga secara agregat akan memiliki dampak yang cukup dalam. Di sisi lain, perbaikan investasi pemerintah diperkirakan belum dapat mendorong perbaikan konsumsi masyarakat secara keseluruhan. Indikator keyakinan masyarakat juga mengindikasikan kecenderungan yang menurun di awal tahun (Grafik IV.2) NTP indeks Banjarmasin Samarinda Kalimantan (weighted) Pontianak Palangkaraya Sumber: BPS, diolah Grafik IV.1. Perkembangan Nilai Tukar Petani Konsumsi Pemerintah Grafik IV.2. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Konsumsi pemerintah pada triwulan IV 214 masih tumbuh pada level yang rendah, sehingga secara keseluruhan tahun 214 tumbuh melambat. Secara spasial, konsumsi pemerintah di sebagian besar provinsi di Kalimantan tumbuh melambat, kecuali di Kalimantan Barat yang meningkat. Menurunnya Dana Bagi Hasil (DBH) karena faktor rendahnnya harga tambang menjadi penyebab terhambatnya konsumsi pemerintah. Selain itu, kendala temporer produksi mineral selama proses konstruksi smelter juga menjadi salah satu penyebab menurunnya DBH yang berasal dari SDA. Dari sisi belanja daerah, pertumbuhan pada 214 tidak sebesar tahun 213. Faktor penahan penurunan lebih lanjut adalah adanya penyerapan anggaran pemerintah pusat di daerah terkait pelaksanaan Pemilu pada triwulan kedua dan ketiga. Memasuki triwulan I 215, konsumsi pemerintah diperkirakan cenderung meningkat didukung realisasi DBH yang tidak terlambat seperti tahun 214. Perhitungan royalti batubara sudah tersedia sehingga proses realisasi DBH sudah dapat dilakukan. Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang terus meningkat selama beberapa tahun terakhir juga menjadi sumber optimisme perbaikan pengeluaran pemerintah. Namun terdapat risiko yang menahan konsumsi pemerintah, yakni tidak disalurkannya Dana Alokasi Umum (DAU) ke Provinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten Kutai Kartanegara karena kedua provinsi ini sudah memiliki celah fiskal yang positif. Investasi Kalimantan (Weighted) KalBar KalTeng KalSel KalTim Investasi di berbagai daerah di Kalimantan pada triwulan IV 214 secara agregat mengalami sedikit perbaikan meski masih cukup terbatas. Hal ini terindikasi dari penyaluran kredit ke sektor pertambangan yang mengalami sedikit peningkatan pada akhir tahun 214. Masih terbatasnya perbaikan investasi tersebut belum dapat meningkatkan kinerja investasi Kalimantan secara keseluruhan tahun 214. Kinerja investasi di Kalimantan relatif lebih ditopang oleh perbaikan di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah seiring dengan adanya investasi pembangunan smelter. Sementara itu, melemahnya aktivitas produksi batubara, khususnya di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, karena faktor rendahnya insentif harga komoditas ekspor berdampak pada melambatnya kinerja investasi di tahun 214. Melemahnya aktivitas produksi batubara ini pada gilirannya berimbas pada kinerja sektor pendukung kegiatan produksi batubara seperti transportasi dan jasa. Hasil liaison menunjukkan bahwa rendahnya permintaan dan harga merupakan faktor utama bagi pelaku usaha untuk menunda investasi peralatan berat seperti dump L a p o r a n N u s a n t a r a 42

45 truck, excavator dan tongkang serta sparepart-nya. Pelaku usaha cenderung memilih untuk mengoptimalkan barang modal yang telah dimiliki, meski sudah melewati umur ekonomisnya. Perkembangan investasi di Kalimantan pada 214 lebih banyak ditopang oleh beberapa proyek pembangunan infrastruktur berskala besar seperti flyover Banjarmasin, Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan dan Pelabuhan Kariangau di Balikpapan, Pelabuhan Palaran di Samarinda, perluasan dermaga Pelabuhan Trisakti di Banjarmasin, PLTG Senipah di Kalimantan Timur. Meski demikian, perkembangan beberapa proyek pembangunan infrastruktur berskala besar lainnya seperti pembangunan jalan tol Samarinda-Balikpapan dan Bandara Samarinda Baru masih mengalami kendala terutama terkait lahan. Memasuki triwulan I 215, perbaikan kinerja investasi diperkirakan berlanjut terutama ditopang oleh proyek infrastruktur pemerintah. Perbaikan realisasi DBH dibandingkan triwulan yang sama tahun lalu menjadi faktor pendorong bagi pemerintah untuk melakukan proses lelang lebih awal sehingga pengerjaan proyek dapat dilakukan lebih dini. Proyek-proyek yang masih akan terus dipercepat selama tahun 215 antara lain KIPI Maloy di Kalimantan Timur, rel kereta api di Kalimantan Tengah dan pembangunan pembangkit listrik di berbagai lokasi di Kalimantan. Dari sisi investasi swasta, pelaku usaha bidang pertambangan mineral juga masih meneruskan proses konstruksi smelter. Sampai akhir tahun 214, terdapat enam smelter alumina di Kalimantan Barat dan tiga smelter besi di Kalimantan Selatan yang berada dalam proses pembangunan. Perdagangan Luar Negeri Ekspor Kinerja ekspor luar negeri Kalimantan pada triwulan IV 214 masih meneruskan tren pelemahannya. Dilihat dari negara tujuannya, ekspor ke Tiongkok masih melemah namun ekspor ke India menunjukkan peningkatan. Membaiknya permintaan ekspor batubara dari India ini terkait dengan pemenuhan kebutuhan untuk pengembangan program ekspansi listrik yang tengah dikembangkan oleh pemerintah India. Meski demikian, untuk keseluruhan tahun 214, kinerja ekspor Kalimantan tumbuh melambat yang terutama dipengaruhi rendahnya harga komoditas dipasar global dan melemahnya permintaan batubara dari Tiongkok yang hingga kuartal pertama 214 masih merupakan negara tujuan ekspor batubara terbesar Kalimantan. Di samping itu, penyesuaian pelaku usaha terhadap kebijakan pengendalian ekspor batubara dan penerapan kebijakan pengendalian ekspor mineral turut memengaruhi kinerja ekspor Kalimantan. Memasuki triwulan I 215, berbagai indikator kinerja ekspor luar negeri Kalimantan belum menunjukkan perbaikan yang berarti. Masih akan melambatnya perekonomian Tiongkok pada tahun 215 menjadi faktor penahan kinerja ekspor batubara, selain rendahnya permintaan Korea Selatan karena sudah mencukupinya stok batubara sampai dengan triwulan pertama. Demikian pula pada ekspor migas diperkirakan masih akan terus terkontraksi karena belum ditemukannya sumur migas baru. Di sisi lain, terdapat potensi kenaikan ekspor batubara ke India meneruskan trennya di tahun 214. Lebih lanjut, ekspor mineral juga diproyeksi akan mulai mengalami perbaikan pasca mulai beroperasinya smelter bauksit dan bijih besi. Impor Impor dari luar negeri ke berbagai daerah di Kalimantan pada triwulan IV 214 tercatat mengalami penurunan terutama untuk impor barang modal pendukung kegiatan pertambangan. Berdasarkan liaison, pelaku usaha di bidang pertambangan dan pengangkutan batubara cenderung menahan pembelian barang modal karena faktor harga jual di pasar internasional yang masih rendah. Selain itu, impor untuk barang investasi untuk keseluruhan tahun 214 juga melambat sejalan dengan perlambatan investasi. Untuk triwulan I 215, impor luar negeri diperkirakan masih akan tumbuh melambat seiring dengan relatif terbatasnya aktivitas pertambangan. Penurunan produksi sektor tambang akan berdampak langsung pada turunnya impor barang modal dan penolong untuk sektor tersebut. Potensi kebutuhan impor diperkirakan L a p o r a n N u s a n t a r a 43

46 bersumber dari kebutuhan terhadap pupuk terkait dengan membaiknya prospek perkebunan kelapa sawit di Kalimantan. Kinerja Sektor Utama Daerah Sektor Pertambangan Pada triwulan IV 214 sektor pertambangan di Kalimantan mengalami sedikit perbaikan yang didorong oleh kinerja produksi batubara di Kalimantan Timur. Hal ini terindikasi dari indikator produksi perusahaan dengan izin Perjanjian Karya Pengusaha Batubara (PKP2B) yang mengalami perbaikan (Grafik IV.3), meski masih dalam level yang sangat terbatas. Secara keseluruhan tahun 214, perbaikan kinerja pada akhir triwulan ini belum dapat memberi pengaruh besar pada kinerja sektor pertambangan yang tumbuh melambat cukup dalam. Kinerja sektor tambang di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur bahkan tercatat mengalami kontraksi pertumbuhan masing-masing sebesar 2,9% dan,1% (yoy) pada 214. Perlambatan di sektor ini tidak terlepas dari melemahnya permintaan global terutama dari Tiongkok yang merupakan salah satu pasar tujuan ekspor batubara terbesar dari Kalimantan, serta penerapan kebijakan penerapan pajak impor batubara berkalori rendah seperti yang dilakukan oleh Korea Selatan 1. Dari sisi domestik, penerapan kebijakan pengendalian ekpor mineral dan batubara turut memengaruhi aktivitas produksi di sektor pertambangan beberapa daerah di Kalimantan, terutama Kalimantan Tengah dan Kalimantan Bara (Grafik IV.4). Selain itu, melemahnya kinerja pertambangan berumber dari penurunan kinerja lifting gas alam dan minyak bumi di Kalimantan Timur. 8, 7, 6, 5, 4, 3, 2, 1, (juta ton) Sumber : Kementerian ESDM, diolah Grafik IV.3. Produksi Batubara Kalimantan Sumber: KPPBC, diolah Grafik IV.4. Ekspor Tambang Non Migas Kalimantan Pada triwulan I 215, kinerja sektor pertambangan diperkirakan masih tumbuh cenderung melambat utamanya karena belum membaiknya kinerja pertambangan batubara dan migas. Lesunya perekonomian Tiongkok dan sudah mencukupinya stok batubara Korea Selatan sampai dengan triwulan I tahun 215 menjadi faktor penahan kinerja produksi batubara. Pada pertambangan migas, penurunan lifting juga masih akan terus terjadi karena umur sumur-sumur migas di Kalimantan yang sudah tua. Meski demikian, kinerja sektor pertambangan diperkirakan dapat ditopang oleh beroperasinya smelter alumina dan besi masing-masing dengan kapasitas sebesar 3. ton alumina dan 315. ton besi spons per tahun. Sektor Industri Pengolahan Produksi batubara PKP2B g. Produksi batubara (Skala kanan) (% yoy) I II III IV I II III IV I II III IV I* Industri pengolahan Kalimantan pada triwulan IV 214 tumbuh melambat disebabkan oleh menurunnya kinerja industri pengolahan migas. Secara keseluruhan tahun 214, kinerja sektor industri pengolahan mengalami perbaikan yang didorong oleh kenaikan tingkat efisiensi pengilangan minyak dan kenaikan hasil pengolahan mineral Zircon seperti di Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Perbaikan juga didorong oleh (5) (1) (15) (% yoy) g. Eskpor Batubara (% yoy) g. Ekspor Mineral (Skala kanan) I II III IV I II III IV I II III IV I* (5) (1) 1 Dengan aturan ini, harga batubara Kalimantan (dengan kandungan 4.9 Kilo Calori) sebesar $89,69/ton (termasuk pajak) tidak jauh berbeda dibandingkan dengan harga Batubara Australia dengan kandungan 5.5 Kilo Calori sebesar $9,36/ton dan kalori 6. Kilo Calori sebesar $95,4/ton. L a p o r a n N u s a n t a r a 44

47 mulai beroperasinya smelter pasir zircon pada tahun 214. Selain itu, industri olahan Crude Palm Oil (CPO) juga mengalami peningkatan terkonfirmasi dari produksi CPO yang naik menjadi 16,6% (yoy) dari sebelumnya turun 6,3% (yoy) pada 213. Tingginya pertumbuhan produksi ini merupakan dampak langsung dari ekspansifnya pembukaan lahan perkebunan di berbagai daerah di Kalimantan. Di sisi lain, faktor penahan laju pertumbuhan di sektor ini berasal dari penurunan lifting gas alam yang memberikan dampak langsung pada penurunan kinerja industri gas alam cair (LNG) Sumber : Dinas Perkebunan Provinsi di Kalimantan, diolah Grafik IV.5. Produksi CPO Kalimantan Sumber: KPPBC, diolah Grafik IV.6. Ekspor CPO Kalimantan Pada triwulan I 215, perkembangan industri diperkirakan sedikit meningkat, terutama didorong oleh industri mineral pasca mulai beroperasinya smelter alumina di Kalimantan Barat dan bijih besi di Kalimantan Selatan. Perbaikan pertumbuhan juga diprakirakan bersumber dari ekspansi pabrik pupuk. Di sisi lain, industri hasil perkebunan yang didominasi oleh CPO terindikasi masih akan tertahan, tercermin dari perlambatan produksi (Grafik IV.5) dan ekspor (Grafik IV.6). Tertahannya hasil produksi terkait dengan adanya peraturan daerah yang melarang ekspansi menggunakan lahan gambut. Meskipun tertahan, kinerja produksi CPO pada triwulan I 215 diperkirakan masih akan cukup tinggi karena relatif kuatnya permintaan domestik, khususnya untuk biodiesel. Secara spasial, kinerja industri pengolahan di semua provinsi di Kalimantan mengalami perbaikan. Perbaikan di Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan terjadi sejalan dengan mulai beroperasinya smelter. Di Kalimantan Timur, diprakirakan naik didorong oleh beroperasinya pabrik pupuk. Sektor Pertanian Kinerja sektor pertanian Kalimantan pada triwulan IV 214 tumbuh membaik, didorong oleh kinerja subsektor perkebunan yang tumbuh meningkat. Ekspansi perkebunan sawit yang dilakukan sejak tahun 29 sudah mulai menunjukkan hasilnya. Meskipun demikian, perbaikan di akhir tahun tersebut belum mampu mendorong kinerja sektor pertanian untuk keseluruhan tahun 214 yang tumbuh melambat, terutama di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Produksi tanaman bahan makanan (tabama) mengalami penurunan karena adanya gagal panen di beberapa lokasi di Kalimantan. Di sisi lain, pada subsektor perkebunan produksi tandan buah sawit (TBS) sawit masih dalam tren positif. Perkembangan berbagai indikator di sektor pertanian Kalimantan mengindikasikan pada triwulan I 215 diperkirakan cenderung tumbuh melambat. Perlambatan ini terutama bersumber dari produksi tabama dan perkebunan. Banjir yang terjadi karena tingginya curah hujan mejadi faktor penyumbang perlambatan di sektor pertanian. Perlambatan sektor pertanian yang lebih dalam diperkirakan terjadi di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, luas sawah yang terendam dan diperkirakan gagal panen mencapai ha, dan di Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur, luas wilayah yang terkena banjir seluas 2 ha sawah dan 6 ha kebun sawit. LAJU INFLASI Produksi CPO Kalimantan ribu ton gproduksi CPO (skala kanan) %,yoy I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I (1) (2) Inflasi berbagai daerah di Kalimantan pada tahun 214 secara agregat tercatat turun dibandingkan tahun 213, dari 8,56% (yoy) menjadi 7,87% (yoy). Capaian inflasi ini lebih rendah dibandingkan nasional dan merupakan yang pertama kalinya dalam delapan tahun terakhir. Lebih rendahnya inflasi tercatat terjadi di Ekspor CPO Kalimantan ribu ton gekspor CPO (skala kanan) %,yoy I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I (2) (4) (6) (8) L a p o r a n N u s a n t a r a 45

48 hampir seluruh provinsi di Kalimantan, kecuali di Kalimantan Barat yang tercatat meningkat. Hal ini bersumber dari terkendalinya tekanan kenaikan harga komoditas pangan didukung perbaikan pasokan kelompok bumbubumbuan. Demikian halnya dengan inflasi berbagai komoditas pada kelompok inti yang cenderung lebih rendah karena minimalnya tekanan permintaan. Sementara itu, tekanan kenaikan inflasi administered prices meski tidak setinggi tahun sebelumnya namun masih mencatat angka dua digit yang didorong oleh kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi di bulan November. Berbeda dengan daerah lainnya, meningkatnya inflasi di Kalimantan Barat justru bersumber dari kenaikan harga komoditas pangan, khususnya komoditas sayur-sayuran yang produksinya terganggu akibat intensitas hujan yang meningkat. Komoditas lain yang memberikan sumbangan yang cukup tinggi adalah daging dan telur ayam ras. Tekanan kenaikan inflasi kelompok administered prices di Kalimantan Barat, selain bersumber dari kenaikan harga BBM bersubsidi, juga didorong oleh terjadinya kelangkaan elpiji 3 kg %, yoy VF - Indonesia VF - Kalimantan Umum - Indonesia Umum - Kalimantan %, yoy Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Indonesia Kalimantan I II III IV I II III IV I II III IV Sumber: BPS, diolah Grafik IV.7. Perkembangan Kalimantan dan Indonesia, Sumber: BPS, diolah Grafik IV.8. Perkembangan Inflasi Provinsi di Kalimantan, Memasuki awal tahun 215, tekanan inflasi di berbagai daerah di Kalimantan masih cenderung minimal. Masih rendahnya tekanan inflasi terutama bersumber dari menurunnya administered prices seiring dengan penurunan harga BBM yang berlaku pada Januari 215 yang diikuti oleh penurunan tarif angkutan di beberapa daerah di Kalimantan. Tekanan inflasi lebih banyak bersumber dari kenaikan harga komoditas pangan yang cenderung lebih tinggi dibanding daerah-daerah lainnya yang justru tengah mengalami koreksi harga. Kondisi ini diperkirakan terkait dengan berkurangnya pasokan sayur-sayuran, telur dan ayam ras, ikan segar serta beras karena beberapa kendala distribusi yang terjadi akibat faktor cuaca. Tekanan inflasi di Kalimantan terutama terjadi di Kalimantan Barat. Selain dari kenaikan harga komoditas pangan, tekanan inflasi di Kalimantan Barat juga dipicu oleh kenaikan tekanan harga pada kelompok administered prices. Hal ini dipengaruhi kelangkaan elpiji 3 kg di awal tahun serta adanya penetapan tarif batas bawah angkutan udara, mengingat bobotnya yang cukup besar dalam inflasi Kalimantan Barat. Koordinasi Pengendalian Inflasi Dalam rangka pengendalian inflasi di Kalimantan, berbagai upaya untuk mengurangi ketergantungan pasokan dari luar Kalimantan menjadi fokus utama koordinasi pengendalian inflasi melalui TPID. Secara konkrit, upaya tersebut ditandai dengan munculnya klaster ketahanan pangan khususnya untuk komoditi beras, cabai dan bawang merah di wilayah Kalimantan. Upaya untuk mendorong peningkatan kapasitas produksi pertanian merupakan salah satu fokus perhatian dari TPID di berbagai daerah di Kalimantan. Hal ini dilakukan antara lain dengan mendorong penerapan pola metode pertanaman tanaman pangan yang lebih dapat memperkuat kapasitas produksi, seperti penerapan pilot project penerapan metode tanam hazton di Kalimantan Barat 2. I II III IV I II III IV Jan Pilot project dikembangkan bersama oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Barat bersama dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat. Metode tanam hazton menggunakan jumlah bibit yang yang lebih banyak dalam satu lubang yakni mencapai 2-3 bibit dari umumnya hanya 3 atau 5 bibit. Pada tahun 214 hasil pengujian metode hazton yang diterapkan di beberapa lokasi di Kalimantan Barat menunjukkan adanya peningkatan produktivitas padi hingga 2 kali lipat. Pada tahun 215 akan dilakukan penanaman L a p o r a n N u s a n t a r a 46

49 Pengembangan akses informasi harga bagi konsumen juga merupakan bagian penting yang menjadi perhatian TPID. Beberapa daerah di Kalimantan telah terbentuk Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) seperti di Balikpapan, Banjarmasin, Pontianak, dan Samarinda. Ke depan, keberadaan pusat informasi harga ini akan diintegrasikan diantara Kabupaten/Kota dengan Provinsi dan Nasional serta dari hulu ke hilir. Nantinya diharapkan dengan terbentuknya PIHPS, informasi yang tidak simetris akan hilang. Selain itu terdapat rintisan perdagangan antar daerah di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Kalimantan Tengah dan Jawa Tengah telah menandatangani kerja sama perdagangan bidang pertanian, khususnya pasokan bawang merah Brebes ke Kalimantan Tengah. Sementara di Kalimantan Selatan terdapat program sinergi pasar sapi dan peternakan sapi antar daerah. Dimana kabupaten yang surplus sapi akan mensuplai kepada kabupaten yang kekurangan. Saat ini kerjasama dilakukan antara Kabupaten Barito Kuala sebagai penghasil sapi dengan Kabupaten Tanah Bambu yang defisit daging sapi. STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN Ketahanan Sektor Korporasi Kredit sektor perdagangan dan sektor pertanian, yang merupakan kredit dengan pangsa terbesar di Kalimantan, cenderung tumbuh meningkat. Pada triwulan IV 214, kredit sektor perdagangan tumbuh sebesar 13,7% (yoy) setelah pada triwulan III 214 tumbuh 13,% (yoy). Sementara itu, kredit di sektor pertanian tumbuh sebesar 8,9% (yoy), sedikit lebih baik dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 8,3% (yoy). Di sisi lain, meskipun masih tumbuh tinggi, kinerja kredit sektor industri tumbuh melambat menjadi dari 15,5% (yoy) pada triwulan III 214 menjadi 17,84% (yoy). % NPL Konstruksi Pengangkutan Listrik,Gas dan Air Jasa Sosial Masyarakat Jasa Dunia Usaha Pertambangan Perdagangan Pertanian Industri pengolahan % gkredit % NPL 1 Konstruksi 9 Jasa Sosial Masyarakat 8 Listrik,Gas dan Air 7 Pertambangan Pengangkutan 6 5 Jasa Dunia Usaha Perdagangan 4 3 Pertanian 2 1 Industri pengolahan % gkredit Grafik IV.9. Profil Risiko Kredit Sektoral TW III Grafik IV.1. Profil Risiko Kredit Sektoral TW IV *luas bubble menunjukkan pangsa penyerapan kredit korporasi, daerah berwarna merah menunjukkan sektor dengan perlambatan pertumbuhan kredit Peningkatan kinerja kredit sektor perdagangan dan pertanian, yang merupakan dua sektor penerima kredit utama, disertai terjaganya kualitas kredit. Hal ini tercermin dari adanya penurunan rasio non performing loans (NPL). Pada sektor perdagangan, rasio NPL mengalami penurunan dari 3,4% menjadi 2,9%. Demikian pula pada sektor pertanian yang rasio NPL-nya membaik menjadi 2,% dari sebelumnya 2,1%. Perbaikan kualitas kredit pada kedua sektor tersebut menjadi sumber penopang ketahanan sektor korporasi. Ketahanan Sektor Rumah Tangga Kredit rumah tangga di wilayah Kalimantan pada triwulan IV 214 tumbuh sebesar 11,1% (yoy), meningkat dibandingkan dengan triwulan III yang tumbuh sebesar 9,% (yoy) dengan volume kredit yang meningkat dari Rp54,5 triliun pada triwulan III menjadi Rp57,1 triliun pada triwulan IV 214. Pertumbuhan kredit terjadi pada tiga jenis kredit utama yakni Kredit Kepemilikan Rumah (KPR), Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) dan kredit 1. hektar lahan di perbatasan yang bertujuan untuk mengendalikan inflasi juga dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut. L a p o r a n N u s a n t a r a 47

50 multiguna yang pada triwulan IV masing-masing tumbuh positif. Perbaikan pertumbuhan kredit RT didorong oleh membaiknya subsektor perkebunan khususnya dari kelapa sawit dengan mayoritas penguasaan lahan yang merupakan perkebunan swasta dan rakyat berkontribusi bagi perbaikan konsumsi RT. % pangsa Multiguna Kendaraan Rumah Tinggal gmultiguna gkendaraan grumah Tinggal gkredit Total I II III IV I II III IV I II III IV % yoy 1% 8% 6% 4% 2% % -2% % yoy gkredit Multiguna NPL Kredit Multiguna % NPL I II III IV I II III IV I II III IV Grafik IV.11. Pangsa dan Pertumbuhan Kredit RT Grafik IV.12. Pertumbuhan dan NPL Kredit Multiguna Secara keseluruhan, penyaluran kredit ke sektor rumah tangga masih terjaga tercemin dari non performing loans (NPL) yang masih rendah baik pada jenis kredit multiguna, kredit pemilikan rumah, maupun kredit kendaraan bermotor. Meski masih berada pada level NPL yang rendah, namun terdapat indikasi kenaikan NPL pada ketiga jenis kredit di sektor rumah tangga tersebut (Grafik IV.12, IV.13, dan IV.14). Indikasi kenaikan NPL terutama pada jenis kredit kendaraan bermotor dan kredit multiguna. Kondisi ini diperkirakan terkait dengan tekanan pendapatan dari hasil ekspor tambang yang belum sepenuhnya pulih karena masih rendahnya harga di pasar global. % yoy gkpr NPL KPR I II III IV I II III IV I II III IV % NPL % yoy gkredit Kendaraan NPL Kredit Kendaraan% NPL I II III IV I II III IV I II III IV Grafik IV.13. Pertumbuhan dan NPL KPR Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Grafik IV.14. Pertumbuhan dan NPL KKB Penyaluran kredit untuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) pada triwulan IV dan sepanjang tahun 214 menunjukan pertumbuhan yang cenderung meningkat. Kredit UMKM tercatat tumbuh sebesar 4,6% (yoy), lebih tinggi bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 3,4% (yoy). Pada triwulan IV 214 dan selama 214 sektor perdagangan sebagai penyerap kredit UMKM terbesar 3 di Kalimantan, disusul oleh sektor pertanian dan konstruksi. Kredit UMKM dari sektor perdagangan selama 214 sempat menurun pada triwulan II dan III namun kembali membaik pada triwulan akhir meski masih lebih rendah bila dibandingkan dengan triwulan IV pada tahun sebelumnya. Pertumbuhan kredit UMKM bagi sektor pertanian terus tumbuh sejak triwulan I dan pada triwulan II hingga IV tumbuh tinggi pada kisaran 13-19% (yoy) seiring dengan perbaikan subsektor perkebunan kelapa sawit yang mampu menahan tekanan eksternal dan tetap ditopang oleh terjaganya permintaan domestik. 3 Sebanyak masing-masing 67,6%, 33,57% dan 65,73% pembiayaan perbankan kepada sektor perdagangan, sektor pertanian dan sektor konstruksi pada triwulan IV 214 diberikan melalui lini kredit UMKM L a p o r a n N u s a n t a r a 48

51 (1) (2) (3) (4) (% yoy) I II III IV I II III IV I II III IV Grafik IV.17. Perkembangan Kredit UMKM Grafik IV.18. Pangsa dan Pertumbuhan Kredit UMKM TW IV *luas bubble menunjukkan pangsa penyerapan sektoral dalam kredit UMKM secara keseluruhan sedangkan pangsa sektor menunjukkan porsi kredit UMKM dalam pembiayaan usaha pada sektor tertentu Kredit UMKM dari sektor konstruksi terus mengalami pertumbuhan yang positif terhitung sejak triwulan I dan pada triwulan II hingga IV dengan kisaran pertumbuhan 3-11% (yoy). Namun, alokasi kredit UMKM kepada total pembiayaan sektor industri pengolahan masih tumbuh melambat selama 214 sehingga pada triwulan IV 214 hanya 14%, turun 2% dari triwulan I 214. Ke depan, pembiayaan sektor UMKM di berbagai daerah di Kalimantan diperkirakan dapat terus tumbuh positif didorong oleh mulai beroperasinya Perusahaan Penjamin Kredit Daerah (PPKD) di Kalimantan Timur pada tanggal 8 Januari 215, menyusul PPKD di wilayah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah yang telah beroperasi sebelumnya. Kebijakan terbaru terkait PRONA-Proyek Operasi Nasional Agraria, yang dikeluarkan oleh BPN dan telah direalisasikan di Provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah akan semakin meningkatkan akses masyarakat kepada intermediasi perbankan. Dasar penggunaan hak komunal untuk melegalisasi lahan tanah bagi masyarakat adat di Kalimantan akan meningkatkan potensi pembiayaan seiring dengan sudah dimilikinya sertifikat aset yang dapat dijadikan agunan untuk mengajukan pinjaman ke bank tanpa harus terlebih dahulu menjalankan usaha/bisnis. Pengelolaan Sistem Pembayaran Pertanian Konstruksi PHR JDU % Pangsa Sektor Perkembangan sistem pembayaran nontunai (Kliring dan RTGS) Kalimantan pada triwulan IV 214 meningkat, sejalan aktivitas ekonomi Kalimantan yang sedikit membaik. Sistem pembayaran nontunai tumbuh membaik, dari sebelumnya -1,4% (yoy) menjadi 7,34% (yoy). Perbaikan ini bersumber dari meningkatnya transaksi RTGS, sementara transasi melalui sistem kliring cenderung tumbuh terbatas. Secara keseluruhan tahun 214 pertumbuhan sistem pembayaran nontunai mengalami penurunan, sejalan dengan perlambatan ekonomi Kalimantan pada tahun 214. Baik RTGS maupun kliring tumbuh menurun dibandingkan dengan tahun 213. Pada tahun 214, RTGS turun 1,1 % (yoy) dan kliring turun 7,89% (yoy) Perdagangan Pertanian Listrik,Gas dan Air Jasa Sosial Masyarakat Konstruksi Jasa Dunia Usaha Pengangkutan Pertambangan Industri pengolahan Lain-lain % gkredit Triliun Rp % yoy Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q Triliun Rp (% yoy) Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q Nominal yoy qtq Nominal yoy qtq Grafik IV.19. Perkembangan Volume Kliring di Kalimantan Grafik IV.2. Perkembangan Nominal RTGS di Kalimantan L a p o r a n N u s a n t a r a 49

52 Pengelolaan Uang Tunai Rupiah Masih belum pulihnya sektor utama Kalimantan juga terindikasi dari kebutuhan uang tunai di Kalimantan. Pada triwulan IV 214 kebutuhan uang tunai mengalami penurunan yang tercermin dari penurunan pertumbuhan outflow, sementara di sisi inflow mengalami kenaikan 4. Outflow Kalimantan mencatatkan penurunan kinerja dari -,28% (yoy) menjadi -6,8% (yoy) dengan nominal Rp13,5 triliun. Sementara inflow mengalami peningkatan dari 16,49% (yoy) menjadi 33,38% (yoy) dengan nominal Rp4,9 triliun. Secara total, Kalimantan masih mengalami posisi net flow negatif (net outflow) senilai Rp8,7 triliun pada triwulan IV 214. Sepanjang triwulan IV 214 terdapat kecenderungan adanya peningkatan temuan uang palsu di beberapa daerah di Kalimantan. Di sisi lain, hal ini juga menunjukkan pemahaman masyarakat terhadap keaslian uang rupiah yang semakin baik diserta semakin ketatnya pengawasan terhadap peredaran uang palsu. Untuk terus mamastikan keamanan dan keaslian uang rupiah, Bank Indonesia terus memperkuat koordinasi dengan pihak Kepolisian Republik Indonesia disertai peningkatan edukasi ciri-ciri keaslian uan rupiah kepada masyarakat luas. Beberapa Kantor Perwakilan Bank Indonesia di Kalimantan akan memperkuat kerjasama dengan Polri melalui Memorandum of Understanding (MoU) yang dititikberatkan pada penegakan hukum di bidang sistem pembayaran (5) (1) (15) Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q Outflow Inflow Netflow Grafik IV.21. Perkembangan inflow outflow PROSPEK PEREKONOMIAN Prospek Pertumbuhan Ekonomi Secara umum, pemulihan kinerja perekonomian berbagai daerah di Kalimantan pada tahun 215 diperkirakan mengalami perbaikan meski masih terbatas. Pertumbuhan ekonomi tahun 215 diprakirakan masih berada pada kisaran yang cukup rendah yakni 3,1% - 3,6% (yoy), meski sedikit lebih baik dibandingkan tahun 214. Kinerja perekonomian Kalimantan pada 215 terutama ditopang oleh prospek perbaikan kinerja perekonomian di daerah penghasil tambang mineral, yakni Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Sementara itu, perekonomian Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan masih menghadapi risiko dari melemahnya kinerja ekspor batubara. Dari sisi penggunaan, perbaikan diperkirakan terjadi pada kinerja konsumsi, investasi dan ekspor; namun dalam level yang terbatas. Peningkatan konsumsi rumah tangga sejalan dengan mulai membaiknya kinerja sektor pertanian dan cukup baiknya kinerja sektor pertambangan. Investasi diperkirakan tumbuh membaik, didukung oleh investasi yang dilakukan oleh pemerintah. Sementara kinerja ekspor diperkirakan ditopang terutama oleh prospek kinerja ekspor CPO dan karet yang diperkirakan mengalami perbaikan. Berdasarkan 4 Karakteristik aliran uang tunai yang masuk (inflow) dan atau keluar (outflow) di Kantor Perwakilan Bank Indonesia se-kalimantan cenderung outflow. Hal ini dipengaruhi pola preferensi masyarakat yang cenderung memegang uang tunai. Lebih besarnya outflow di Kalimantan dapat mengindikasikan potensi aktivitas kebutuhan transaksi masyarakat yang meningkat, demikian pula sebaliknya. L a p o r a n N u s a n t a r a 5

53 hasil liaison, ekspor karet akan meningkat secara kuantitas untuk menutupi harga yang semakin menurun. Di sisi lain, impor diperkirakan melambat karena masih belum membaiknya sektor pertambangan sehingga menurunkan impor barang modal. Dari sisi sektoral, sektor pertanian dan industri pengolahan merupakan pendorong utama perbaikan di tahun 215. Pada sektor pertanian, diperkirakan akan terjadi peningkatan produksi sejalan dengan semakin tingginya produktivitas sawit yang memasuki usia produktif. Kinerja subsektor tanaman bahan makanan juga diperkirakan meningkat didukung oleh program swasembada pangan secara Nasional. Pada sektor industri pengolahan, mulai beroperasinya smelter alumina dan besi diproyeksi akan mendorong kinerja sektor industri. Selain itu meningkatnya produksi sawit, juga akan mendorong kinerja industri CPO. Kinerja sektor pertambangan masih akan menjadi penahan laju perekonomian Kalimantan lebih lanjut. Prospek pemulihan perekonomian Tiongkok dan Jepang yang berjalan lambat berdampak pada pemulihan kinerja ekspor batubara Kalimantan. Meskipun terdapat potensi peningkatan ekspor batubara ke India, namun persaingan batubara Indonesia dengan Australia dan Afrika Selatan berisiko menahan peningkatan ini. Hal ini sebagaimana tercermin pada pangsa impor batubara dari Kalimantan menurun pada 214, sementara Australia dan Afrika Selatan meningkat. Dari sisi domestik, risiko lainnya berasal dari potensi terhambatnya proyek infrastruktur listrik sehingga serapan batubara domestik menjadi tidak maksimal. Prospek Inflasi Tekanan inflasi Kalimantan pada tahun 215 diprakirakan terkendali pada kisaran 4,6%-5,% (yoy), terutama dipengaruhi oleh minimalnya tekanan inflasi kelompok volatile food dan administered price. Pada kelompok volatile food, minimalnya tekanan inflasi pada tahun 215 didukung oleh peningkatan produksi pangan di Jawa dan Sulawesi Selatan yang merupakan dua daerah pemasok bahan makanan Kalimantan. Selain itu, sudah tersedianya cold storage untuk komoditas ikan laut juga diperkirakan memberikan dampak positif pada lebih terkendalinya volatilitas harga ikan segar. Pada komoditas administered price, terkendalinya inflasi diperkirakan berasal dari harga BBM bersubsidi yang berpotensi turun di tengah tren penurunan harga minyak dunia. Beberapa risiko ke depan diperkirakan masih akan membayangi prospek inflasi Kalimantan bersumber dari peningkatan ekspektasi inflasi masyarakat khususnya menjelang berbagai kegiatan/perayaan hari besar keagamaan. Selain itu, faktor cuaca yang sulit diprediksi berpotensi menimbulkan gangguan distribusi dan produksi bahan makanan. Oleh karena itu menjaga ketersediaan pangan antar waktu akan dijadikan salah satu fokus program TPID dalam upaya stabilisasi harga. Berbagai upaya penguatan ketahanan pangan di daerah, seperti penerapan metode tanam padi cara hazton dan pemberian bantuan sarana produksi diharapkan dapat membantu produksi pangan sehingga gejolak inflasi bahan makanan dapat lebih terkendali. L a p o r a n N u s a n t a r a 51

54 Sepanjang sepuluh tahun terakhir, ketergantungan perekonomian Kalimantan pada pertambangan serta minyak dan gas (migas) sangat tinggi. Hal ini sebagaimana tercermin dari tingginya pangsa pertambangan dan industri migas pada PDRB Kalimantan, yaitu sekitar 48%. Selain itu dilihat dari sisi penggunaan, pangsa net ekspor tercatat tinggi yaitu sebesar 45%. Lebih jauh lagi dilihat dari komoditas ekspor unggulan, batubara menyumbang ekspor Kalimantan sebesar 8%. Struktur perekonomian ini sangat rentan terhadap kondisi eksternal yang saat ini belum membaik dengan risiko yang semakin besar. Dari sisi eksternal, terdapat risiko penurunan harga komoditas yang lebih dalam di tengah perlambatan perekonomian negara utama dagang Kalimantan, yaitu Tiongkok. Sementara dari sisi domestik, di era pemerintahan baru ini terdapat kebijakan untuk mengendalikan produksi serta meningkatkan pemanfaatan batubara di dalam negeri. Kondisi listrik Kalimantan belum dapat mendukung industrialisasi Kalimantan. Saat ini penjualan listrik per kapita di Kalimantan pada tahun 213 rata-rata sebesar 468 Kwh/kapita, cukup rendah dibandingkan dengan Jawa Timur dan Banten masing-masing sebesar 748 kwh/kapita dan 794 kwh/kapita. Namun, dilihat dari sumber energinya, listrik di Kalimantan berasal dari bahan baku yang mahal yaitu sebanyak 66% dari diesel, sementara di Jawa Timur dan Banten berasal dari energi yang lebih murah yaitu PLTU masing-masing sebesar 7% dan 88%. Ke depan akan dibangun 1.9 MW listrik di Kalimantan dari total proyek Nasional sebesar 35. MW. Namun, penambahan ini belum memperhitungkan kebutuhan industri yang dibutuhkan untuk transformasi di Kalimantan. Gambar IV.1. Skema Transformasi Kalimantan Dukungan ketersediaan pasokan listrik yang memadai akan mendorong terwujudnya transformasi Kalimantan dari comparative advantage menjadi competitive advantage (Gambar IV.3). Kekayaan sumber daya alam, khususnya tambang yang dimiliki Kalimantan perlu diarahkan untuk dapat diolah lebih lanjut sehingga dapat memberikan nilai tambah yang lebih besar bagi perekonomian Kalimantan. Sebagai gambaran, untuk komoditas bauksit, berdasarkan pohon industri dari Kementerian Perindustrian, dapat diolah lebih lanjut menjadi alumina. Namun, industri pengolahan alumina tersebut belum ada di Kalimantan. Selama ini bauksit dari Kalimantan diekspor ke luar negeri dalam bentuk bahan mentah, sementara industri di dalam negeri mengimpor alumina hasil olahan bauksit. Berdasarkan simulasi perhitungan Kementerian ESDM, dengan adanya industri alumina akan memberikan nilai tambah 21 kali lipat dibandingkan bila hanya dijual dalam bentuk mentah. Pada gilirannya akan mendorong kenaikan penerimaan negara hingga 14 kali. Gambaran lainnya adalah pada komoditas biji besi yang saat ini belum didukung adanya industri sponge iron yang cukup besar. Kebutuhan sponge iron domestic selama ini diimpor dari luar negeri. Di sisi lain, biji besi di Kalimantan langsung di ekspor dalam bahan mentah. Padahal akan terdapat nilai tambah 8 kali lipat jika dilakukan L a p o r a n N u s a n t a r a 52

55 pengolahan sponge iron di Kalimantan. Lebih lanjut lagi jika terdapat produk lanjutannya akan meningkatkan nilai tambah hingga 14 kali lipat. Mencermati hal ini, untuk mendukung pencapaian sasaran pertumbuhan ekonomi Kalimantan sebagaimana tertuang di dalam RPJM, maka upaya untuk melakukan transformasi perekonomian perlu dilakukan. Prioritas perlu diberikan pada pembenahan enabling factors, khususnya terkait daya dukung energi yang memadai. Pada gilirannya, transformasi ekonomi yang dilakukan akan mendorong kenaikan nilai tambah perekonomian. L a p o r a n N u s a n t a r a 53

56 Halaman ini sengaja dikosongkan L a p o r a n N u s a n t a r a

57 PERTUMBUHAN EKONOMI Perekonomian Kawasan Timur Indonesia (KTI) 1 pada triwulan IV 214 kembali tumbuh melambat dan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata historisnya 2. Perlambatan ekonomi KTI pada triwulan IV 214 terutama disebabkan oleh penurunan kinerja ekspor nonmigas KTI sejalan dengan proses penyesuaian yang masih berlangsung di kalangan para pelaku usaha terhadap penerapan kebijakan ekspor mineral dan adanya permasalahan aspek ketenagakerjaan yang menghambat aktivitas produksi tambang di Papua. Kondisi tersebut mengakibatkan sektor pertambangan di Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua mengalami penurunan sehingga mengakibatkan kinerja pertambangan KTI secara keseluruhan mengalami kontraksi. Selain itu, masih terbatasnya pendapatan ekspor karena faktor harga komoditas rendah disertai meningkatnya tekanan harga sebagai dampak dari kenaikan harga BBM menyebabkan pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang melambat. Namun, perlambatan ekonomi KTI lebih lanjut dapat ditahan oleh kinerja positif beberapa sektor lainnya, khususnya sektor pertanian, sektor konstruksi, dan sektor perdagangan, seperti di Bali dan Nusa Tenggara. Sejalan dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi KTI untuk keseluruhan 214 tercatat sebesar 6,% (yoy) atau lebih rendah dari tahun sebelumnya (7,2%, yoy). Melambatnya kinerja ekspor pada triwulan IV 214, semakin menekan kinerja ekspor luar negeri untuk keseluruhan tahun 214. Selain itu, penerapan kebijakan pengendalian ekspor mineral berimplikasi pada terjadinya kontraksi sektor pertambangan dan penggalian sepanjang 214. Kondisi ini terutama terjadi di Sulawesi Tenggara (nikel), Sulawesi Tengah (nikel), Maluku Utara (nikel), Papua (tembaga), dan NTB (tembaga). Dampak penurunan kinerja ekspor diikuti oleh melambatnya aktivitas sektor-sektor pendukung seperti sektor perdagangan. Meski pada akhir triwulan III 214, eksportir utama tembaga di Papua dan NTB kembali mendapatkan ijin ekspor terbatas, namun hal tersebut tidak dapat mendorong kinerja produksi dan ekspor melebihi capaian di tahun sebelumnya. Memasuki periode triwulan I 215, perkembangan beberapa indikator ekonomi di berbagai daerah mengindikasikan pertumbuhan ekonomi KTI akan cenderung meningkat. Hal ini terutama dipengaruhi oleh ekspor tembaga yang dapat dilakukan kembali oleh pelaku usaha tambang utama di Papua dan NTB setelah penyelesaian komitmen dengan pemerintah. Dari sisi sektoral, sejalan dengan perkiraan pertumbuhan ekspor tembaga, produksi sektor pertambangan akan kembali meningkat setelah turun cukup tajam selama semester I 214. Optimisme tersebut diperkirakan mampu mendorong laju pertumbuhan ekonomi KTI untuk keseluruhan 215 kembali membaik di kisaran 7,6%-8,1%. Konsumsi Konsumsi Rumah Tangga Pada triwulan IV 214, pertumbuhan konsumsi rumah tangga (termasuk konsumsi lembaga nonprofit rumah tangga) tumbuh melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Melambatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga terutama disebabkan oleh tekanan harga yang meningkat signifikan pada November dan Desember, di tengah indikasi pelemahan tingkat pendapatan masyarakat akibat perlambatan kinerja ekonomi KTI sebagaimana tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) di KTI yang cenderung menurun pada periode triwulan IV 214 (Grafik V.1). 1 Terdiri dari 13 provinsi di wilayah Sulawesi, Maluku, Papua, Bali, dan Nusa Tenggara, yaitu: Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat, Papua, Bali, NTB, dan NTT. 2 Rata-rata pertumbuhan ekonomi triwulan IV tahun adalah 7,1% (yoy). L a p o r a n N u s a n t a r a 55

58 Untuk keseluruhan tahun 214, kinerja konsumsi rumah tangga berbagai daerah di KTI secara agregat masih dapat tumbuh lebih baik dibanding periode tahun sebelumnya. Hal ini tercermin dari volume perdagangan di pelabuhan laut utama KTI (Makassar, Sulawesi Selatan) yang menunjukan peningkatan. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga sepanjang 214 dipengaruhi oleh aktivitas beberapa sektor utama daerah, yaitu sektor pertanian, sektor perdagangan, dan sektor penyediaan akomodasi (hotel), sehingga diindikasikan mampu menopang pendapatan sebagian masyarakat di tengah kontraksi aktivitas pertambangan 3. Demikian pula dengan perkembangan pariwisata selama 214 yang tetap tumbuh positif, terutama dilihat dari jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang masuk melalui Denpasar, Bali (Grafik V.2). Perkembangan indikator terkini mengindikasikan konsumsi rumah tangga akan tumbuh lebih baik pada triwulan I 215. Hal ini salah satunya tercermin dari kondisi penjualan eceran pada tiga kota besar di KTI yang cenderung meningkat (Grafik V.3). Penurunan harga BBM pada bulan Januari 215 diperkirakan memberi insentif dalam mendorong konsumsi masyarakat karena peningkatan daya beli. Selain itu, potensi pertumbuhan konsumsi rumah tangga juga bersumber dari optimisme kegiatan perekonomian secara keseluruhan seiring pemulihan sektor pertambangan. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Bank Indonesia, keyakinan konsumen di beberapa kota di KTI juga cenderung meningkat di awal periode triwulan I 215, seperti di Manado (Sulawesi Utara), Jayapura (Papua), Mataram (NTB), dan Kupang (NTT). Hal tersebut didorong oleh keyakinan bahwa kondisi penghasilan saat ini lebih baik dibandingkan enam bulan yang lalu. Kendari Mataram Ambon Jayapura Denpasar Manado + Makassar + Lombok gwisman - Skala Kanan Indeks I II III IV I II III IV Ribu Orang %, yoy I II III IV I II III IV (5) (1) (15) Grafik V.1. Indeks Keyakinan Konsumen, Survei Konsumen Bank Indonesia Konsumsi Pemerintah Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Grafik V.2. Jumlah Wisatawan Mancanegara Pertumbuhan konsumsi pemerintah di KTI secara agregat mengalami perlambatan pada triwulan IV 214. Perlambatan tersebut diperkirakan terjadi akibat upaya efisiensi yang dilakukan pemerintah di akhir tahun. Hal ini tercermin dari giro Pemerintah Daerah (Pemda) yang mengalami peningkatan pertumbuhan (Grafik V.4). Pada tahun 214, secara keseluruhan konsumsi pemerintah di KTI tumbuh moderat dan cenderung stabil dibandingkan dengan tahun 213. Kondisi tersebut tercermin dari estimasi realisasi belanja operasional daerah tahun 214 (APBD Provinsi) yang tidak mencapai 8% dari anggaran yang tersedia. Pada triwulan I 215, kinerja konsumsi pemerintah diperkirakan tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan IV 214. Peningkatan pertumbuhan konsumsi pemerintah terlihat dari percepatan kegiatan pelelangan proyek-proyek Pemda yang diproyeksikan akan mendorong penyerapan anggaran sejak awal tahun. Selain itu, ada upaya untuk mendorong realisasi proyek Pemda sejak awal tahun, khususnya pada alokasi belanja rutin (operasional) dalam rangka mendukung kegiatan pekerjaan umum. Faktor lain yang juga akan ikut mendorong akselerasi pertumbuhan konsumsi pemerintah adalah rangkaian kegiatan Pilkada di tahun 215 yang dimulai sejak Februari 215, diawali dengan proses persiapan serta pendaftaran dan menjadi beban biaya dari APBD. 3 Pangsa tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian dan perdagangan di KTI bervariasi antara satu provinsi dengan provinsi yang lain dengan kisaran pangsanya adalah dari 52% sampai dengan 69%. L a p o r a n N u s a n t a r a 56

59 (1) (2) %, yoy Makassar Manado Denpasar - Skala Kanan %, yoy * 2p I II III IV I II III IV I Grafik V.3. Pertumbuhan Nominal Penjualan Eceran, Survei Penjualan Eceran Bank Indonesia (5) Rp Triliun Giro Pemerintah Daerah ggiro Pemda - Skala Kanan I II III IV I II III IV %, yoy Grafik V.4. Perkembangan Giro Pemerintah Daerah (1) (2) (3) Investasi Investasi (pembentukan modal tetap bruto/pmtb) mengalami peningkatan pertumbuhan selama triwulan IV 214. Pelaksanaan beberapa proyek multiyears dan realisasi proyek baru seperti perbaikan jalan di Sulawesi Utara, pembangunan bandara di Papua, pembangunan pembangkit listrik di beberapa daerah, pabrik semen (Manokwari, Papua Barat), infrastruktur jalan lingkar pulau-pulau (Maluku dan Maluku Utara), pusat perbelanjaan (Manado, Sulawesi Utara), serta pembangunan beberapa hotel (Sulawesi Selatan dan Bali) dapat mendorong pertumbuhan investasi yang lebih tinggi di triwulan IV 214. Secara keseluruhan pada tahun 214, perkembangan investasi sedikit lebih lambat dari tahun 213. Kondisi ini lebih dominan dipengaruhi oleh turunnya kegiatan investasi nonbangunan di sektor pertambangan seiring dengan konsolidasi yang dilakukan oleh para pelaku usaha tambang terkait implementasi kebijakan pengendalian ekspor mineral. Perlambatan investasi dikonfirmasi oleh perkembangan penyaluran kredit investasi, realisasi penanaman modal asing (PMA) maupun dalam negeri (PMDN) yang tumbuh tidak sebaik tahun sebelumnya (Grafik V.5 dan Grafik V.6). Pertumbuhan investasi pada triwulan I 215 diperkirakan kembali cenderung melambat dibandingkan triwulan IV 214. Beberapa proyek hilirisasi mineral (smelter), khususnya di Sulawesi Tenggara, yang memproduksi nickel pig iron (NPI) telah selesai dan memasuki tahap optimalisasi produksi. Selain itu, berdasarkan hasil liaison para pelaku usaha cenderung untuk mengoptimalkan kapasitas produksi terpasang (existing) sehingga investasi nonbangunan diperkirakan cenderung minimal. Faktor lain yang berpotensi ikut mendorong perlambatan investasi dari sisi pembiayaan adalah kondisi suku bunga kredit investasi yang relatif tinggi, terutama di Maluku. Namun demikian, beberapa proyek besar masih akan berlangsung di KTI, sehingga menjadi penopang agar perlambatan pertumbuhan investasi tidak semakin dalam. Proyek-proyek tersebut antara lain adalah pembangunan Train III pabrik LNG (Papua Barat), smelter (Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara), PLTS Kupang (NTT), serta pembangunan Makassar New Port (Sulawesi Selatan) Kredit Investasi gkredit Investasi - Skala Kanan Rp Triliun %, yoy I II III IV I II III IV Unit PMA (Juta US$) PMDN (Rp Miliar) 4,5 4, 3,5 3, 2,5 2, 1,5 1, 5 gpma - Skala Kanan gpmdn - Skala Kanan I II III IV I II III IV %, yoy (5) (1) (15) Grafik V.5. Penyaluran Kredit Investasi Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal Grafik V.6. Realisasi Investasi Asing dan Dalam Negeri L a p o r a n N u s a n t a r a 57

60 Perdagangan Luar Negeri Ekspor Tekanan pada kinerja ekspor luar negeri nonmigas KTI masih berlanjut akibat penurunan ekspor pertambangan pada triwulan IV 214 (Grafik V.7). Penurunan ekspor komoditas pertambangan terutama disebabkan oleh berkurangnya ekspor tembaga dari Papua akibat kendala produksi di triwulan IV 214. Selain itu, ekspor tembaga telah dipacu sebelumnya secara maksimal pada akhir tahun 213 sebelum pemberlakuan kebijakan pengendalian ekspor mineral. Perkembangan pada triwulan IV 214 tersebut pada akhirnya juga semakin menekan kinerja ekspor luar negeri untuk keseluruhan tahun 214. Ekspor luar negeri nonmigas tercatat turun hingga mencapai -25,5% (yoy) setelah pada tahun 213 mampu tumbuh sebesar 4,3% (yoy). Sebagaimana penjelasan sebelumnya, implementasi UU Minerba membuat pelaku usaha tambang nikel skala menengah ke bawah di Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah berhenti beroperasi. Bahkan eksportir bijih nikel terbesar di Sulawesi Tenggara telah menghentikan penjualan ke luar negeri. Selain komoditas pertambangan yang menjadi sumber utama kontraksi ekspor, melemahnya permintaan dari negara mitra dagang utama seperti Jepang mengakibatkan penurunan harga komoditas perikanan tangkap maupun budidaya. Demikian pula dengan ekspor LNG yang melemah karena penurunan permintaan dari Tiongkok. Pelemahan ekonomi Jepang menjadi disinsentif bagi subsektor perikanan di Maluku dan Papua, serta sebagian Sulawesi. Sedangkan terkait dengan kinerja ekspor pada komoditas perkebunan, permasalahan pengelolaan terkait umur tanaman yang sudah tua sehingga produktivitasnya cenderung menurun, serta hama penyakit menjadi penyebab perlambatan ekspor biji kakao di KTI. Pada triwulan I 215, kinerja ekspor luar negeri KTI diperkirakan mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan IV 214 terutama akan didorong oleh ekspor pertambangan (konsentrat tembaga). Kegiatan produksi dan ekspor tembaga di Papua dan NTB diperkirakan akan normal kembali seiring ijin ekspor yang telah dikeluarkan Pemerintah bagi produsen utama di kedua provinsi dimaksud. Selain dari komoditas pertambangan, sumber peningkatan ekspor berasal dari ekspor kayu olahan dari Sulawesi Selatan, mengingat harga jual komoditas kayu yang masih terus mengalami peningkatan. Selanjutnya permintaan eksternal terhadap produk industri kreatif mikro dan kecil maupun pakaian jadi, khususnya di Bali, diperkirakan masih cukup baik, sehingga berpotensi semakin mendorong perbaikan kinerja ekspor. Total Ekspor - Skala Kiri gpertanian gindustri gpertambangan 1,2 Juta US$ %, yoy 15 1, (5) 2 (1) (15) I II III IV I II III IV Juta US$ Total Impor - Skala Kiri gbahan Baku I II III IV I II III IV gbarang Modal gbarang Konsumsi %, yoy (5) (1) (15) Sumber: Bea Cukai, diolah Grafik V.7. Ekspor Luar Negeri Menurut Komoditas Grafik V.8. Impor Luar Negeri Menurut Kategori Barang Impor Pada triwulan IV 214, impor luar negeri nonmigas mengalami penurunan jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Impor luar negeri nonmigas tercatat mengalami kontraksi sebesar -1,1% (yoy) setelah mampu bertumbuh hingga 21,6% (yoy) pada triwulan III 214. Penurunan kinerja impor luar negeri terjadi pada kelompok barang modal dan bahan baku (Grafik V.8), termasuk di dalamnya komponen perlengkapan alat L a p o r a n N u s a n t a r a 58

61 transportasi (aksesoris dan suku cadang). Hal ini sejalan dengan melemahnya kegiatan ekspor pertambangan sehingga kebutuhan barang pendukung kegiatan ekspor ikut mengalami perlambatan. Selain itu, bahan baku industri khususnya makanan dan minuman setengah jadi, juga mengalami perlambatan pertumbuhan seiring permintaan yang tidak setinggi triwulan sebelumnya. Dengan perkembangan tersebut, ekspor luar negeri nonmigas juga mengalami penurunan kinerja untuk keseluruhan tahun 214 sebesar -4,1% (yoy) setelah tumbuh mencapai 11,6% (yoy) pada tahun sebelumnya. Turunnya kinerja impor luar negeri terutama disebabkan oleh penurunan kategori bahan baku dan secara khusus pada perlengkapan alat transportasi. Hal ini terkait dengan kegiatan produksi dan ekspor tambang di KTI yang mengalami penurunan dibandingkan capaian tahun sebelumnya. Pada triwulan I 215, impor luar negeri diperkirakan akan tumbuh meningkat dibandingkan dengan triwulan IV 214. Sejalan dengan pemulihan kegiatan produksi dan ekspor tambang, aktivitas pertambangan diperkirakan akan mengalami perbaikan pada triwulan I 215, sehingga kebutuhan akan barang modal dan bahan baku, termasuk komponen perlengkapan alat transportasi pendukung kegiatan produksi tambang juga akan meningkat. Sementara untuk industri lainnya, berdasarkan pengalaman sebelumnya, pelaku usaha industri makanan olahan dan hasil olahan tambang di KTI akan cenderung menjaga ketersediaan stok bahan baku pada level tertentu sejak periode awal tahun sehingga impor bahan baku berpotensi meningkat pada awal tahun. Selanjutnya, optimisme konsumsi rumah tangga dan pemerintah akan diikuti oleh meningkatnya kebutuhan kelompok barang konsumsi. Kinerja Sektor Utama Daerah Sektor Pertambangan dan Penggalian Sektor pertambangan dan penggalian KTI mengalami kontraksi pada triwulan IV 214 sebesar -9,4% (yoy). Kontraksi ini dipengaruhi terutama karena penurunan produksi pertambangan bijih nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara. Selain itu, produsen utama tembaga di KTI (Papua) juga mengalami permasalahan ketenagakerjaan sehingga menghambat aktivitas produksi. Sejak triwulan III 214, kegiatan produksi dan ekspor tembaga dari Papua dan NTB pada dasarnya sudah berlangsung normal setelah tercapai kesepakatan antara pemerintah dan produsen. Namun, masalah keselamatan kerja di Papua yang muncul pada akhir tahun 214 di salah satu site penambangan membuat aktivitas kegiatan penambangan terkendala selama beberapa waktu. Secara keseluruhan tahun 214, sektor pertambangan mengalami kontraksi sebesar -3,% (yoy) dan menjadi sumber utama perlambatan kinerja perekonomian KTI. Hal ini tercermin dari penurunan produksi mineral KTI (Grafik V.9 dan Grafik V.1). Belum siapnya smelter untuk bijih nikel di KTI juga membuat beberapa perusahaan tambang maupun kegiatan tambang rakyat terhenti, khususnya di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Kondisi kapasitas smelter tembaga di Jawa Timur yang terbatas menyebabkan produksi tembaga dari Papua dan NTB tidak bisa diserap 1% pasca penerapan UU Minerba. Berbagai faktor tersebut membuat produksi di tahun 214 tidak bisa melebihi produksi pada (5) (1) %, yoy gproduksi Tembaga (Papua) gproduksi Emas (Papua) gproduksi Konsentrat (NTB) I II III IV I II III IV I II III IV Sumber: Produsen, diolah Sumber: Produsen, diolah p) Proyeksi Bank Indonesia Grafik V.9. Pertumbuhan Produksi Tembaga dan Emas Grafik V.1. Pertumbuhan Produksi Nikel (4) (8) (12) %, yoy gproduksi Bijih Nikel (Sulawesi Tenggara) gproduksi Nikel Matte (Sulawesi Selatan) I II III IV I II III IV I II III IV Ip L a p o r a n N u s a n t a r a 59

62 Pada triwulan I 215, produksi sektor pertambangan KTI diperkirakan akan cenderung meningkat, terutama karena operasional produksi tembaga yang kembali normal. Eksportir tembaga di Papua telah memperoleh ijin ekspor sampai enam bulan ke depan setelah menyelesaikan komitmen terkait rencana pembangunan smelter. Demikian juga dengan eksportir tembaga di NTB yang dapat melakukan kegiatan ekspor hingga April 215 setelah memenuhi komitmen terkait agenda pengembangan hilirisasi. Selanjutnya, produksi bijih nikel dinilai akan tumbuh meningkat untuk mendukung kebutuhan industri feronikel dan nickel pig iron (Sulawesi Tenggara). Eksplorasi dan produksi bahan galian C (pasir) yang relatif stabil akan mendorong kinerja tambang di Sulawesi Tengah tumbuh positif. Selain itu, terdapat penambahan site tambang emas (Sulawesi Utara) serta kontinuitas peningkatan target produksi nikel matte (Sulawesi Selatan) yang akan ikut mendukung kinerja sektor pertambangan KTI. Sektor Industri Pengolahan Pada triwulan IV 214, sektor industri pengolahan mampu tumbuh cukup tinggi sebesar 9,8% (yoy). Hal ini terutama didukung oleh industri semen, makanan olahan (terigu dan crude palm oil/cpo), serta feronikel (Grafik V.11). Peningkatan produksi pada industri semen didorong oleh kegiatan investasi fisik yang membaik pada triwulan IV 214. Selanjutnya, peningkatan kinerja pada industri makanan olahan dan feronikel didorong oleh peningkatan permintaan meskipun tidak setinggi triwulan sebelumnya. Di sisi lain, subsektor industri pengolahan ikan dan gas alam (LNG) cenderung menekan tumbuhnya sektor industri secara keseluruhan karena pelemahan permintaan, sehingga secara keseluruhan pertumbuhan industri relatif tidak signifikan. Tekanan pada industri pengolahan ikan disebabkan oleh minimnya pasokan bahan baku karena harga komoditas tersebut cenderung turun serta kendala cuaca yang menghambat produksi perikanan. Adapun kinerja industri LNG yang cenderung melemah disebabkan oleh permintaan LNG dari mitra dagang yang menurun karena belum pulihnya perekonomian global. Secara keseluruhan tahun 214, sektor industri pengolahan masih tumbuh stabil pada level sebesar 8,% (yoy). Hal ini didukung oleh menguatnya permintaan komoditas feronikel (Sulawesi Tenggara) dari importir di Eropa dan Asia Timur. Sementara itu, peningkatan industri terigu (Sulawesi Selatan) didorong oleh pemenuhan target produksi dalam rangka memenuhi kebutuhan domestik. Selanjutnya, untuk industri kreatif khususnya di skala menengah ke bawah (Bali), terjadi akselerasi yang didorong oleh peningkatan permintaan yang cukup kuat dari pasar dalam negeri maupun luar negeri, yang tercermin dari peningkatan indeks produksi (Grafik V.12). Adapun beroperasinya pabrik olahan CPO baru di Sulawesi Barat turut memberikan dampak positif bagi perkembangan sektor industri pengolahan. Di sisi lain, proses renegosiasi harga jual dengan importir dari Tiongkok hingga akhir triwulan III 214 menghambat kinerja industri LNG (Papua Barat) selama tahun 214. Memasuki triwulan I 215, sektor industri pengolahan KTI diperkirakan mengalami perlambatan sejalan dengan pola historis siklus permintaan yang cenderung termoderasi di awal tahun. Beberapa proyek pembangunan fisik diperkirakan sudah akan selesai pada awal 215 sehingga pertumbuhan industri semen diperkirakan tidak akan setinggi triwulan IV 214. Demikian pula dengan industri pengolahan gas (LNG) yang diperkirakan masih menurun di awal tahun akibat perlambatan ekonomi Tiongkok yang berpengaruh pada permintaan bahan baku produksi. Hal ini tercermin dari target produksi yang tidak setinggi tahun 214. Industri makanan olahan dan hasil olahan tambang juga diperkirakan tidak mengalami akselerasi meski tetap bertumbuh dengan cukup baik seiring kondisi permintaan yang masih normal. L a p o r a n N u s a n t a r a 6

63 %, yoy gproduksi Feronikel (Sulawesi Tenggara) (1) (2) (3) (4) gproduksi Semen (KTI) gproduksi Terigu (Sulawesi Selatan) I II III IV I II III IV I II III IVp Ip Sumber: Produsen, diolah p) Proyeksi Bank Indonesia Sumber: Badan Pusat Statistik Grafik V.11. Pertumbuhan Produksi Komoditas Industri Grafik V.12. Indeks Produksi Industri Mikro dan Kecil Bali Sulawesi Tengah Gorontalo Maluku Utara Indeks I II III IV I II III IV I II III IV Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Laju pertumbuhan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan pada triwulan IV 214 masih tumbuh positif namun cenderung melambat. Musim kemarau yang relatif lebih panjang mengganggu panen subsektor tabama (padi) dan perkebunan (kakao). Khusus untuk komoditas kakao, tren harga kakao masih terus mengalami perlambatan sehingga ikut memberikan pengaruh terhadap produksi komoditas tersebut di tengah permasalahan produktivitas. Sementara itu, curah hujan dengan intensitas yang tinggi pada akhir tahun menekan produksi subsektor perikanan tangkap. Sentra produksi perikanan mencatat penurunan produksi seiring gelombang laut yang tinggi yang dapat mencapai ketinggian empat meter (Grafik V.13). Meski mengalami perlambatan di triwulan IV 214, pertumbuhan sektor pertanian di tahun 214 menunjukkan percepatan dibandingkan dengan 213. Hal ini didukung produksi tabama yang tumbuh lebih baik dari tahun sebelumnya (Grafik V.14). Program peningkatan produksi tabama melalui penguatan infrastruktur pertanian dasar (irigrasi dan peralatan tani) serta kegiatan asistensi penyuluhan di desa kabupaten/kota sentra produksi menjadi salah satu faktor pendukung akselerasi produksi pertanian di tahun 214. Pada triwulan I 215, nilai tambah sektor pertanian diperkirakan masih mengalami perlambatan pertumbuhan. Penyebaran masa panen yang belum merata di sentra penghasil komoditas pertanian utama (tabama) menjadi faktor penyebab melambatnya sektor ini. Bahkan ada kecenderungan panen padi baru akan terjadi antara April-Mei 215 akibat mundurnya periode masa tanam. Selain itu, prospek kakao di awal tahun masih belum menunjukkan optimisme yang kuat sejalan dengan masalah produktivitas tanaman yang belum terselesaikan. Terkait produksi ikan, meski ada potensi perbaikan, namun hasil tangkapan belum akan meningkat dengan signifikan karena masih adanya risiko angin muson yang menghambat nelayan untuk melaut, khususnya di Maluku. Ribu Ton 25 PPS Bitung PPS Kendari + PPN Pengambengan 2 PPN Ambon gproduksi - Skala Kanan %, yoy I II III IV I II III IV I (5) (1) Padi Jagung gpadi - Skala Kanan gjagung - Skala Kanan Juta Ton %, yoy (2) (4) (6) Sumber: Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan, diolah Grafik V.13. Produksi Ikan Tangkap Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Grafik V.14. Produksi Padi dan Jagung Sektor Konstruksi Pada triwulan IV 214, pertumbuhan sektor konstruksi di KTI mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Berbagai proyek pembangunan infrastruktur, smelter, dan hotel menjadi sumber utama L a p o r a n N u s a n t a r a 61

64 penopang pertumbuhan sektor konstruksi di triwulan ini, seperti pembangunan Gorontalo Outer Ring Road (GORR), pengembangan fasilitas pelabuhan laut 4, jalan tol Manado-Bitung (Sulawesi Utara), ruas jalan antarkota di Sulawesi Selatan, serta proyek-proyek hilirisasi mineral dan gas alam. Proyek pembangunan tersebut juga mendorong pertumbuhan sektor konstruksi secara keseluruhan tahun 214. Hal ini dikonfirmasi dengan pertumbuhan kredit perbankan yang disalurkan untuk sektor konstruksi pada tahun 214 yang tumbuh lebih tinggi dari tahun 213 (Grafik V.15). Pada triwulan I 215, pertumbuhan sektor konstruksi cenderung stabil namun ada kecenderungan potensi perlambatan sejalan dengan kinerja investasi yang relatif melambat. Beberapa proyek yang akan menjadi penopang pertumbuhan sektor konstruksi pada triwulan I 215, antara lain di Papua (pembangunan, perbaikan, dan pengembangan fasilitas transportasi), Papua Barat (konstruksi dua ruas jalan besar dari Manokwari), Sulawesi Selatan (pembangunan sektor riil), serta Sulawesi Tengah (pengembangan kawasan ekonomi). Berdasarkan hasil survei, risiko perlambatan terindikasi dari kondisi perkiraan harga jual di sektor bangunan yang cenderung melemah pada triwulan I 215 berdasarkan hasil survei (Grafik V.16) Rp Triliun Konstruksi gkredit Konstruksi - Skala Kanan %, yoy I II III IV I II III IV (2) Kegiatan Dunia Usaha Saldo Bersih Tertimbang Perkembangan Harga Jual I II III IV I II III IV IP Grafik V.15. Penyaluran Kredit Konstruksi Grafik V.16. Kegiatan Usaha dan Harga Jual Sektor Konstruksi, Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia LAJU INFLASI Laju inflasi KTI pada triwulan IV 214 tercatat mengalami peningkatan signifikan dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari 4,9% (yoy) menjadi 8,31% (yoy). Peningkatan inflasi tersebut terjadi di seluruh provinsi dengan inflasi tertinggi terjadi di Sulawesi Utara, Maluku, dan Papua. Sumber utama tekanan inflasi pada triwulan IV 214 berasal dari peningkatan inflasi pada kelompok administered prices dan volatile food. Kenaikan harga BBM bersubsidi yang diikuti dengan kenaikan tarif angkutan yang berkisar antara 1%-15% di KTI menjadi sumber utama kenaikan inflasi administered prices. Selanjutnya, kenaikan inflasi pada volatile food disebabkan oleh berbagai permasalahan di sisi pasokan dan distribusi. Kendala pasokan beras dan cabai lebih disebabkan oleh permasalah produksi yang sempat terganggu karena faktor cuaca. Khusus komoditas cabai merah, tekanan harga disebabkan permintaan yang tinggi di Sulawesi Utara. Hal ini mendorong pasokan dari Gorontalo sebagai daerah sentra produksi cabai sebagian besar didistribusikan ke daerah tersebut dengan kompensasi harga yang lebih mahal. Sementara itu, kondisi gelombang laut dan curah hujan yang tinggi juga mengakibatkan penurunan produksi komoditas perikanan (Maluku, Sulawesi Selatan, Bali) dan gangguan distribusi di sebagian wilayah KTI. Hasil Survei Pemantauan Harga (SPH) menunjukkan bahwa harga komoditas utama aneka bumbu dan ikan mengalami peningkatan signifikan di tahun 214 yaitu cabe merah, bawang putih, dan ikan layang. Sementara untuk kelompok inti, meski tren penurunan harga emas berlanjut namun tekanan inflasi masih cukup kuat sejalan dengan permintaan terhadap kelompok sandang yang masih tinggi karena adanya perayaan hari besar keagamaan. 4 Pelabuhan Anggrek (Gorontalo), Pelabuhan Tenau (NTT), Pelabuhan Bitung (Sulawesi Utara), Pelabuhan Tahuna (Sulawesi Utara), Pelabuhan Lirung (Sulawesi Utara) L a p o r a n N u s a n t a r a 62

65 Pada triwulan I 215, laju inflasi diperkirakan akan cenderung menurun dibandingkan dengan triwulan IV 214. Indikasi penurunan tersebut terlihat sejak Januari 215, meskipun deflasi yang terjadi pada periode ini masih relatif kecil yaitu sebesar,5% (mtm), sehingga inflasi tahunan tercatat sebesar 7,19% (yoy). Hal ini sejalan dengan hasil Survei Pemantauan Harga (SPH) yang menunjukkan adanya perlambatan pertumbuhan harga bumbu-bumbuan dan ikan yaitu cabe merah, bawang merah, dan ikan layang (Grafik V.17). Tren penurunan inflasi terutama disebabkan oleh keputusan Pemerintah menurunkan harga BBM (dua kali) selama bulan Januari 215. Kemudian penurunan intensitas curah hujan dan gelombang laut pada akhir triwulan I 215 diperkirakan akan memperlancar arus distribusi dan turut menurunkan inflasi volatile food. Perlu dicermati, risiko tekanan inflasi di KTI selama triwulan I 215 masih akan bersumber dari gangguan cuaca yang dapat mempengaruhi pasokan ikan dan berkurangnya pasokan pangan karena periode masa tanam, khususnya untuk komoditas beras (panen diperkirakan April-Mei). Kondisi ini sejalan dengan ekspektasi konsumen terhadap kenaikan harga barang dan jasa untuk periode tiga bulan ke depan yang masih cenderung tinggi sebagaimana hasil Survei Konsumen (Grafik V.18) %, yoy Cabe Merah Emas Perhiasan Layang Bawang Merah - Skala Kanan %, yoy * Indeks Ekspektasi Harga Konsumen Makassar Inflasi Sulsel (mtm) Kumulatif 6 Bulan - Skala Kanan Inflasi KTI (mtm) Kumulatif 6 Bulan - Skala Kanan % (2) Grafik V.17. Perkembangan Harga Komoditas, Survei Pemantauan Harga Grafik V.18. Ekspektasi Harga Jangka Pendek, Survei Konsumen Bank Indonesia Koordinasi Pengendalian Inflasi Meskipun mengalami kenaikan signifikan pada triwulan IV 214, namun inflasi di KTI masih relatif lebih rendah dari inflasi nasional. Hal ini tidak lepas dari peran koordinasi antara Bank Indonesia dan Pemerintah Daerah dalam Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) yang semakin efektif, khususnya dalam mengatasi berbagai permasalahan struktural di daerah. Sebelum Pemerintah menaikkan harga BBM pada November 214, inflasi KTI terus mengalami penurunan, bahkan hingga Oktober 214, inflasi KTI masih berada di level 4,4% (ytd). Hal ini menunjukan komitmen dan kontribusi yang semakin baik dari TPID, terutama dalam mengendalian inflasi menjelang hari raya keagamaan, sehingga pada periode tersebut inflasi tercatat cukup rendah (1,1%, mtm) dibandingkan inflasi historisnya 5. Beberapa upaya yang dilakukan dalam rangka pengendalian inflasi di KTI antara lain adalah pasar murah yang secara bersamaan dilakukan di beberapa daerah utama di masing-masing provinsi serta penguatan koordinasi dengan distributor dalam rangka manajemen stok. 5 Rata-rata inflasi pada saat Lebaran tahun 21 s.d. 212 tercatat sebesar 1,16% (mtm). Inflasi pada saat Lebaran di tahun 213 tidak dihitung karena adanya kebijakan penyesuaian harga BBM bersubsidi. L a p o r a n N u s a n t a r a 63

66 Tabel V.1. Rekomendasi dan Langkah Strategis Pengendalian Inflasi 214 Sulawesi Maluku dan Maluku Utara Papua dan Papua Barat Bali dan Nusa Tenggara Penyusunan informasi produksi, konsumsi dan stok barang Penetapan batas kenaikan tarif angkutan kota maksimal 1%-15% Pelaksanaan kegiatan operasi pasar komoditas bahan pokok, LPG dan BBM Perbaikan infrastruktur distribusi Pengendalian ekspektasi melalui media informasi Intensifikasi program kawasan rumah pangan lestari Melakukan inisiasi pembuatan asosiasi pedagang, petani dan papalele sayuran Pelaksanaan pasar murah dan inspeksi mendadak Pembentukan TPID tingkat kabupaten/kota yang belum terbentuk Penetapan batas kenaikan tarif angkutan kota maksimal Pengendalian ekspektasi melalui media informasi Memastikan ketersediaan bahan pokok Memastikan kelancaran distribusi barang Inspeksi lapangan Pelaksanaan kegiatan operasi pasar Menghimbau distributor untuk menunda kenaikan harga Pengendalian ekspektasi melalui media informasi Penghimpunan data surplus defisit komoditas pangan Pembentukan TPID tingkat kabupaten/kota yang belum terbentuk Peningkatan jumlah SPBU di jalur logistik Bali dan Nusra Penetapan batas kenaikan tarif angkutan kota sebesar maksimal 1%-15% Melaksanakan kegiatan operasi pasar Pelaksanaan kegiatan kunjungan lapangan Prioritas pembongkaran bahan pokok di pelabuhan Pengendalian ekspektasi masyarakat melalui media informasi Pasca kenaikan harga BBM, Pemerintah Daerah di KTI melakukan penerapan batas kenaikan tarif angkutan umum maksimal 1%-15%. Sementara itu, dalam rangka pengendalian dampak lanjutan dari kenaikan tarif angkutan tersebut, TPID di masing-masing provinsi melakukan beberapa langkah yaitu kegiatan inspeksi langsung dalam rangka memitigasi upaya spekulasi penimbunan BBM, melakukan komunikasi dengan distributor untuk mengelola timing dan besaran kenaikan harga beberapa komoditas (Papua), berkoordinasi dengan Bulog untuk memastikan ketersediaan pasokan beras, serta mendorong efisiensi proses bongkar muat di pelabuhan khususnya untuk komoditas pangan. Selain itu, TPID juga merekomendasikan penambahan SPBU di sepanjang jalur transportasi darat untuk wilayah Bali, Nusa Tenggara, dan Papua. Selanjutnya dalam rangka meminimalkan inflasi pada akhir triwulan IV 214, di tengah tekanan kenaikan harga BBM dan kondisi cuaca yang mengganggu jalur pelayaran, TPID secara rutin memonitor perkembangan harga dan stok di masingmasing daerah. Ke depan, upaya pengendalian inflasi 215 akan difokuskan pada langkah-langkah strategis untuk menjamin ketersediaan pasokan, mengingat sebagian besar barang kebutuhan KTI sangat bergantung pada pasokan dari daerah lain melalui perdagangan antarpulau. Beberapa daerah mulai melakukan penjajagan dalam rangka memperkuat kerja sama perdagangan antardaerah untuk komoditas pangan, seperti yang dilakukan oleh Provinsi NTT dan DKI Jakarta. Dalam kaitan tersebut, kelancaran distribusi dan pengelolaan ekspektasi masyarakat menjadi sangat penting (Tabel V.1). STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN Ketahanan Korporasi Pertumbuhan kredit korporasi (non-umkm) pada sektor utama di KTI cenderung mengalami peningkatan di triwulan IV 214. Pada akhir tahun 214, kredit korporasi (total = Rp72,2 triliun) tumbuh sebesar 13,5% (yoy), lebih tinggi dari triwulan III 214 yang tumbuh sebesar 11,5% (yoy). Peningkatan tersebut didorong oleh kredit pada sektor perdagangan, perikanan, penyediaan akomodasi, konstruksi, dan industri pengolahan (Grafik V.19). Namun demikian, kredit bagi sektor pertanian dengan pangsa 2,7% terhadap total kredit secara L a p o r a n N u s a n t a r a 64

67 keseluruhan (tanpa subsektor perikanan), justru mengalami perlambatan pada triwulan IV 214 yang sejalan dengan tren kinerja sektor pertanian yang cenderung melemah gkorporasi Produktif gpertanian gperdagangan gpertambangan - Skala Kanan %, yoy %, yoy (5) % Total Produktif Pertanian 12 Perdagangan Pertambangan I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV Grafik V.19. Pertumbuhan Kredit Sektor Utama Grafik V.2. Perkembangan NPL Kredit Sektor Utama Secara keseluruhan, NPL di KTI masih relatif stabil pada level yang rendah pada triwulan III 214, yakni 3,%. Tekanan pada kinerja sektor pertambangan juga berpengaruh terhadap kualitas pembiayaan perbankan di sektor tersebut. Relaksasi ijin ekspor yang diberikan kepada eksportir tembaga di triwulan III 214, masih belum mampu memperbaiki NPL sektor pertambangan yang cenderung meningkat dibandingkan tahun 213. Hal ini tidak terlepas dari dampak pemberlakuan UU Minerba sejak tahun 214 yang mengakibatkan sebagian usaha pertambangan di KTI berhenti beroperasi. Peningkatan NPL pada sektor pertambangan juga diikuti beberapa korporasi di sektor pertanian dan konstruksi (Grafik V.2). Pelemahan Nilai Tukar Petani mengindikasikan adanya penurunan tingkat pendapatan petani sehingga mengganggu repayment capacity dan menyebabkan peningkatan risiko instabilitas. Selanjutnya tren peningkatan suku bunga kredit diindikasikan juga mempengaruhi peningkatan NPL sektor korporasi di KTI, terutama pada sektor konstruksi. Ketahanan Rumah Tangga Pertumbuhan penyaluran kredit rumah tangga (total = Rp154,8 triliun) di KTI menunjukkan sedikit peningkatan pada triwulan IV 214. Total kredit rumah tangga yang disalurkan tumbuh sebesar 13,6% (yoy), lebih tinggi dari triwulan III 214 sebesar 12,4% (yoy). Dari aspek struktur kredit, pangsa terbesar masih dimiliki kredit rumah tangga multiguna (46,4%), diikuti kredit pemilikan rumah/kpr (26,3%), kredit rumah tangga lainnya (18,4%), kredit kendaraan bermotor/kkb (8,7%), dan perlengkapan rumah tangga (,4%). Peningkatan laju pertumbuhan kredit didorong oleh seluruh jenis kredit rumah tangga, kecuali kredit rumah tangga lainnya yang mengalami kontraksi yang cukup dalam (Grafik V.21). Peningkatan kredit rumah tangga diindikasikan merupakan dampak meningkatnya kebutuhan rumah tangga di akhir tahun seiring dengan meningkatnya kebutuhan konsumsi. Di tengah tren meningkatnya pertumbuhan kredit, kualitas kredit yang disalurkan untuk rumah tangga relatif stabil pada level yang rendah (1,3%). Pada triwulan IV penurunan NPL terjadi pada kredit jenis KPR, KKB, dan kredit multiguna (Grafik V.22), sedangkan NPL kredit jenis perlengkapan rumah tangga dan jenis lainnya masih meningkat. Kemampuan sektor rumah tangga dalam melakukan pelunasan kredit (pembayaran cicilan) yang membaik di akhir tahun merupakan dampak dari respon perbankan yang semakin selektif dan prudent. Kondisi pertumbuhan ekonomi KTI yang cenderung melemah, membuat bank lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit tidak hanya kepada sektor korporasi namun juga kepada sektor rumah tangga. Sehingga perbankan dapat menjaga rasio NPL di bawah batas aman. L a p o r a n N u s a n t a r a 65

68 %, yoy gtotal RT gkpr gkkb gmultiguna - Skala Kanan (1) (2) I II III IV I II III IV Grafik V.21. Pertumbuhan Kredit Rumah Tangga (5) % Total RT KPR KKB Multiguna I II III IV I II III IV Grafik V.22. Perkembangan NPL Kredit Rumah Tangga Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Tren melambatnya pertumbuhan kredit UMKM berlanjut pada triwulan IV 214. Faktor perlambatan kredit UMKM dinilai salah satunya adalah peningkatan suku bunga yang memberikan tekanan pada permintaan kredit sehingga menghambat laju pertumbuhan ke arah ekspansi. Jika dilihat dari pergerakan kredit UMKM secara sektoral (Grafik V.23), perlambatan terjadi hampir di seluruh sektor utama khususnya perdagangan dan penyediaan akomodasi (sektor perdagangan, hotel, dan restoran). Perlambatan pertumbuhan kredit UMKM diindikasikan juga karena keterbatasan akses UMKM dalam memperoleh pembiayaan. Sementara itu, rasio NPL tercatat membaik dari 4,2% pada triwulan III 214 menjadi 4,% pada triwulan IV 214. Penurunan NPL terjadi di semua sektor utama (Grafik V.24). Dalam rangka mendorong pengembangan kinerja UMKM dan peningkatan akses UMKM terhadap lembaga keuangan di KTI, Bank Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah Daerah dalam mengembangkan berbagai klaster komoditas yang menjadi unggulan di setiap daerah. Upaya peningkatan kinerja klaster secara tidak langsung diharapkan juga mendukung kegiatan perekonomian secara keseluruhan, serta meningkatkan kelayakan UMKM untuk memperoleh akses kepada jasa keuangan. Selanjutnya, bagi UMKM yang telah mendapatkan layanan jasa keuangan, khususnya perbankan, program Bank Indonesia diarahkan untuk memperbesar repayment capacity. Program-program selama triwulan IV 214 tersebut antara lain pemasaran pupuk olahan limbah klaster sapi bali (Sulawesi Selatan), pemasaran produk kakao (Sulawesi Tengah), dan pengembangan agrowisata berbasis kopi dan hortikultura (Bali). %, yoy gtotal UMKM gperdagangan UMKM gpenyediaan Akomodasi UMKM gkonstruksi UMKM I II III IV I II III IV Grafik V.23. Pertumbuhan Kredit UMKM % Total UMKM Perdagangan UMKM 12 Penyediaan Akomodasi UMKM Konstruksi UMKM I II III IV I II III IV Grafik V.24. Perkembangan NPL UMKM Pengelolaan Sistem Pembayaran Sejalan dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi di KTI, pertumbuhan kegiatan sistem pembayaran nontunai juga menunjukkan perlambatan pada triwulan IV 214. Perlambatan tersebut terutama terjadi pada transaksi melalui Real Time Gross Settlement (RTGS) yang nilainya tumbuh 4,3% (yoy) atau lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (14,2%, yoy) (Grafik V.25). Secara spasial, perlambatan pertumbuhan tersebut disebabkan oleh kontraksi transaksi RTGS yang terjadi di Gorontalo, Maluku Utara, dan Papua Barat. Kontraksi tersebut sejalan dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi di ketiga provinsi L a p o r a n N u s a n t a r a 66

69 tersebut. Sementara itu, di sisi lain, pertumbuhan nilai transaksi melalui kliring tercatat mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (Grafik V.26), terutama untuk kebutuhan konsumsi dan transaksi bisnis dengan skala kecil. Namun demikian, total transaksi nontunai tetap melambat mengingat pangsa transaksi nontunai dengan menggunakan kliring tidak lebih dari 1% dari total transaksi nontunai. Secara keseluruhan tahun 214, kegiatan sistem pembayaran nontunai KTI tumbuh 4,9% (yoy) melambat dibandingkan dengan tahun 213 yang tercatat sebesar 11,2% (yoy). Sama halnya dengan kondisi triwulan IV 214, perlambatan ini disebabkan oleh penurunan perlambatan pada transaksi RTGS yang juga merupakan dampak melambatnya pertumbuhan ekonomi KTI untuk keseluruhan tahun 214. Rp Triliun Total Transaksi gtransaksi - Skala Kanan %, yoy (2) (4) I II III IV I II III IV Grafik V.25. Perkembangan Total Transaksi RTGS Rp Triliun Total Transaksi gtransaksi - Skala Kanan I II III IV I II III IV %, yoy (5) (1) (15) (2) (25) Grafik V.26. Perkembangan Total Transaksi Kliring Debet Pengelolaan Pengedaran Uang Tunai Rupiah Pengedaran uang kartal di KTI tercatat mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya baik dari sisi outflow maupun inflow. Outflow tercatat tumbuh 42,7% (yoy) atau meningkat dari pertumbuhan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 12,3% (yoy). Peningkatan sisi outflow didorong oleh tingginya permintaan uang kartal di triwulan akhir yang bertepatan dengan perayaan beberapa hari besar keagamaan, yaitu Idul Adha dan Hari Raya Natal, serta periode akhir tahun anggaran untuk realisasi proyek. Secara historis, peningkatan outflow pada triwulan IV 214 tersebut akan diikuti oleh peningkatan inflow triwulan I 215 yang cukup signifikan sejak Januari 215. Sejalan dengan kondisi outflow, maka pada triwulan IV 214 secara otomatis aliran uang inflow tumbuh lebih rendah yaitu 1,73% (yoy) dan relatif sama dengan pertumbuhan pada triwulan III 214. Adapun pangsa inflow terhadap outflow berkisar kurang dari 5% yang sehingga transaksi uang tunai di Bank Indonesia KTI pada triwulan IV 214 mengalami net outflow. Tingginya arus uang yang keluar dari Bank Indonesia di KTI ke wilayah lainnya disebabkan oleh ketergantungan yang tinggi terhadap pasokan barang yang diproduksi di luar KTI. Selain itu, dengan perbandingan KTI yang sangat luas (didominasi provinsi kepulauan) dengan ketersediaan jumlah lembaga keuangan, khususnya perbankan, yang relatif minim mengakibatkan masa perputaran uang akan relatif lebih lama di KTI 6. Sementara itu, jumlah kasus temuan uang palsu mengalami sedikit peningkatan sepanjang triwulan IV 214. Hal ini terutama terjadi di daerah-daerah dengan tingkat transaksi tunai yang cukup tinggi dan bertepatan dengan liburan perayaan Natal dan Tahun Baru. Dalam rangka upaya mencegah penyebaran uang palsu, Bank Indonesia aktif melakukan koordinasi dengan Polri dan meningkatkan kegiatan sosialisasi keaslian uang rupiah lebih dengan cakupan yang lebih luas baik kepada pelajar, pelaku UMKM, maupun kepada nelayan dan petani di KTI. 6 Jumlah kantor cabang bank di KTI berdasarkan lokasi bank adalah sebanyak 632 kantor sedangkan total di Indonsia adalah kantor. (Statistik Perbankan Indonesia, November 214, OJK) L a p o r a n N u s a n t a r a 67

70 PROSPEK PEREKONOMIAN Prospek Pertumbuhan Ekonomi Perekonomian KTI pada tahun 215 diperkirakan tumbuh lebih tinggi dibandingkan 214 (6,%, yoy), yaitu pada kisaran 7,6% - 8,1% (yoy). Setelah mengalami kontraksi cukup dalam pada 214 paska implementasi kebijakan pengendalian ekspor mineral, kinerja sektor pertambangan akan membaik setelah dua eksportir utama tembaga di Papua dan NTB mendapatkan ijin ekspor. Hal ini otomatis memberikan dampak langsung terhadap peningkatan ekspor di KTI, khususnya komoditas pertambangan (tembaga). Pemulihan ekspor komoditas pertambangan sepanjang tahun 215, akan mendorong peningkatan pertumbuhan perekonomian KTI secara keseluruhan. Pemulihan pada sektor pertambangan tidak hanya akan mendorong kinerja ekspor namun secara tidak langsung juga akan menjadi tulang punggung bagi aktivitas konsumsi rumah tangga. Demikian pula dengan tren penurunan inflasi yang juga diperkirakan akan memberikan insentif bagi konsumsi rumah tangga. Sementara itu, kinerja industri pariwisata di KTI, khususnya Bali pada tahun 215 diperkirakan akan meningkat, seiring dengan upaya pemerintah untuk mencapai target kunjungan wisatawan hingga 12 juta orang pada Hal ini juga didukung oleh berbagai pembenahan sarana dan prasarana infrastruktur pariwisata seperti peningkatan kapasitas terminal baru di Bandara Internasional Ngurah Rai yang telah meningkat menjadi 25 juta orang per tahun (sebelumnya 16 juta orang per tahun). Namun, perlu diwaspadai risiko tekanan yang akan dihadapi pertumbuhan ekonomi KTI pada 215 baik dari sisi internal maupun eksternal. Pada sisi eksternal, prospek harga komoditas ekspor utama KTI di tahun 215 masih relatif mengalami kontraksi dibandingkan dengan tahun 214. Hal ini dapat menjadi disinsentif yang menghambat akselerasi kinerja sektor tradable, khususnya komoditas CPO, kakao, nikel, dan tembaga. Selain itu, kondisi perekonomian tahun 215 negara tujuan ekspor utama belum sepenuhnya pulih, yakni Tiongkok yang diperkirakan mengalami perlambatan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi Jepang yang relatif terbatas 8. Hal ini menunjukan masih ada risiko tekanan permintaan LNG oleh Tiongkok, maupun makanan olahan, nikel, atau perikanan oleh Jepang. Pada sisi internal, proses pengembangan hilirisasi mineral dalam hal ini pembangunan smelter masih membawa tantangan tersendiri, yaitu: komitmen investor dan stakeholder; proses perijinan perlu dioptimalkan, serta dukungan infrastruktur dan ketersediaan faktor produksi lainnya. Selain risiko pada sektor pertambangan, potensi risiko juga membayangi industri pariwisata meskipun relatif terbatas. Keputusan Menteri Perhubungan yang menetapkan tarif normal (tarif terendah-tarif tertinggi) serendah-rendahnya 4% dari tarif batas atas sesuai kelompok pelayanan yang diberikan (sebelumnya 3%), berpotensi mengakibat kenaikan biaya angkutan udara untuk kategori LCC (low cost carrier) atau budget airlines yang merupakan salah satu alternatif sarana transportasi para wisatawan 9. Dalam kaitannya dengan kegiatan investasi, risiko yang berpotensi menjadi penghambat adalah ketersediaan infrastruktur di KTI yang relatif minim. Beberapa provinsi di KTI bahkan memiliki rasio elektrifikasi yang masih rendah 1. Pada sektor pertanian, wacana penetapan bea keluar biji kakao dalam jangka pendek dapat menjadi faktor disinsentif untuk memproduksi kakao, meski dalam jangka menengah-panjang akan mendorong industri olahan kakao di tanah air. 7 Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. 8 Jepang diperkirakan tumbuh,6% dan Tiongkok diperkirakan tumbuh 6,8% (World Economic Outlook, Januari 215). 9 Peraturan Meteri Perhubungan No. PM-91 tahun 214 tentang Mekanisme Formulasi Penghitungan dan Penetapan Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri (Perubahan kedua atas Peraturan Menteri Perhubungan No. PM-51 tahun Rasio elektrifikasi tahun 213 yang berada di bawah 7% antara lain di NTB, NTT, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Gorontalo, dan Papua Barat (Statistik Ketenagalistrikan 214, Kemeterian ESDM) L a p o r a n N u s a n t a r a 68

71 Prospek Inflasi Inflasi pada tahun 215 diproyeksikan akan lebih rendah dari tahun 214 (8,31%, yoy) dan berada di kisaran 4,6% - 5,1% (yoy). Dengan demikian, inflasi pada akhir 215 akan berada dalam rentang sasaran inflasi nasional sebesar 4% ± 1% (yoy). Penurunan tingkat inflasi dipengaruhi oleh membaiknya ketersediaan pangan seiring dengan pertumbuhan produksi yang diperkirakan lebih baik dibandingkan dengan tahun 214. Selain itu, tekanan inflasi administered prices diperkirakan relatif terbatas pasca penurunan harga BBM di Januari 215. Hal tersebut diperkirakan akan ikut memberikan dampak lanjutan pada penurunan harga barang di akhir triwulan I 215 sebagaimana hasil survei ekspektasi pedagang yang cenderung mengalami penurunan. Pada komponen inflasi inti, laju inflasi diperkirakan akan relatif terkendali sepanjang tidak ada gejolak kenaikan harga emas yang signifikan. Secara spasial, tren penurunan laju inflasi akan terjadi merata di seluruh KTI. Dalam rangka mendorong pencapaian inflasi yang rendah dan stabil, program kerja TPID pada tahun 215 akan difokuskan untuk mendorong kegiatan produksi sebagaimana agenda Pemerintah untuk menjadikan Indonesia swasembada pangan, serta perbaikan distribusi pangan termasuk mendorong efisiensi tata niaga melalui penguatan kerja sama perdagangan antardaerah. Indeks Ekspektasi Penghasilan Ekspektasi Ketersediaan Lapangan Kerja Ekspektasi Kondisi Ekonomi Grafik V.27. Ekspektasi Kondisi Ekonomi, Survei Konsumen Bank Indonesia Indeks Ekspektasi Harga Konsumen Makassar Ekspektasi Harga Pedagang Makassar - Skala Kanan Grafik V.28. Ekspektasi Harga Jangka Panjang, Survei dari Bank Indonesia Namun, beberapa risiko tetap perlu diwaspadai khususnya dalam rangka upaya pengendalian inflasi di daerah. Pada awal 215, risiko harga pangan khususnya beras diperkirakan masih akan membayangi sampai dengan periode panen raya yang diperkirakan puncaknya pada bulan April-Mei 215. Hal ini tercermin dari pergerakan harga beras yang masih terus meningkat sampai dengan Januari 215. Selanjutnya masih terkait harga beras, keputusan Pemerintah untuk menaikan harga pokok penjualan (HPP) beras sebesar 1% berpotensi mendorong kenaikan harga di tingkat petani yang pada akhirnya akan ditransmisikan sampai dengan level konsumen. Peningkatan harga beras perlu mendapat perhatian khusus mengingat bobot komoditas tersebut cukup dominan dalam struktur nilai konsumsi. Selain itu, potensi gangguan distribusi melalui jalur laut diperkirakan masih akan terjadi di sebagian wilayah KTI sampai dengan bulan Februari Dengan tingkat ketergantungan yang tinggi dari pasokan dari wilayah di luar KTI, maka fluktuasi harga sangat rentan terjadi, tidak hanya karena permasalahan distribusi serta pengelolaan stok, namun juga dimungkinkan adanya motif spekulasi oleh distributor atau pedagang. Faktor risiko yang lain bersumber dari kelompok administered prices meskipun relatif terbatas seperti kenaikan tarif angkutan, tarif dasar listrik (TDL), maupun harga LPG 12 kg. 11 Prakiraan tinggi gelombang maksimum di KTI pada bulan Februari pada kisaran 1,5-3,5 meter (BMKG). L a p o r a n N u s a n t a r a 69

72 Halaman ini sengaja dikosongkan L a p o r a n N u s a n t a r a

73 Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) , tertuang bahwa salah satu fokus pemerintah adalah upaya mempercepat pembangunan infrastruktur guna mendorong pencapaian sasaran pertumbuhan ekonomi nasional yang berkualitas. Untuk mendukung hal tersebut, sebagai langkah awal, pemerintah telah melakukan beberapa penyesuaian alokasi anggaran belanja negara dalam APBN-P 215, yang diperoleh dari pengalihan anggaran subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan berbagai upaya penghematan anggaran belanja kementerian/lembaga. Strategi yang ditempuh oleh pemerintah untuk mempercepat pembangunan infrastruktur ini memberikan optimisme bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional di tengah belum menguntungkannya dinamika pemulihan ekonomi global yang masih berjalan lambat. Namun, agar langkah pemerintah untuk percepatan pembangunan infrastruktur dapat terlaksana dengan optimal maka perlu disertai upaya konkrit untuk memitigasi beberapa tantangan kritikal, termasuk diantaranya penguatan peran daerah dalam implementasi pembangunan infrastruktur dan pemenuhan kebutuhan pembiayaan. Salah satu tantangan utama yang dihadapi dalam pencapaian sasaran pertumbuhan ekonomi yang berkualitas adalah persoalan ketersediaan infrastruktur yang belum cukup memadai. Masih terbatasnya daya dukung infrastruktur ini merupakan penghambat utama bagi investasi dan menyebabkan inefisiensi perekonomian karena tingginya biaya logistik. Selain itu, ketimpangan yang masih terjadi antar wilayah tidak terlepas dari faktor dukungan ketersediaan infrastruktur yang masih belum seimbang. Pada gilirannya ketimpangan ini menyebabkan perekonomian nasional terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu, khususnya di Kawasan Barat Indonesia. Dalam berbagai publikasi peringkat daya saing yang dirilis oleh lembaga internasional, daya dukung infrastruktur Indonesia merupakan salah satu persoalan utama yang disoroti oleh para pelaku usaha global dalam berinvestasi di Indonesia. Pada publikasi Global Competitiveness Index (GCI) menunjukkan peringkat daya saing infrastruktur Indonesia berada pada posisi 56, masih berada di bawah negara-negara kawasan seperti Malaysia (peringkat 29), Thailand (peringkat 25), dan Singapura (peringkat 2) 1. Hal senada juga tercermin dari peringkat logistik (Logistic Performance Index, LPI) yang dirilis oleh World Bank pada 214 yang menempatkan Indonesia berada pada posisi 53 atau hanya sedikit lebih baik dibandingkan posisi Filipina (peringkat 57), namun tertinggal cukup jauh bila dibandingkan dengan Vietnam (peringkat 48), Thailand (peringkat 35), dan Malaysia (peringkat 25) 2. Masih terbatasnya daya dukung infrastruktur ini pada gilirannya menyebabkan inefisiensi ekonomi. Hal ini antara lain tercermin dari pangsa biaya logistik terhadap PDB yang mencapai 27%, jauh berada di atas negara-negara kawasan seperti Singapura, Thailand, maupun Vietnam 3. Dalam kondisi tersebut, tak pelak diperlukan langkah konkrit dalam mempercepat implementasi pembangunan infrastruktur, jika Indonesia tidak ingin lebih tertinggal di saat implementasi masyarakat ekonomi Asean. Sehubungan itu, kentalnya nuansa pembangunan infrastruktur pada RPJMN yang lalu dituangkan pada APBN-P dan Rencana Kerja Pemerintah tahun 215 merupakan langkah perlu, namun belumlah memadai. Diperlukan langkah-langkah kongkrit termasuk koordinasi berbagai institusi di Pusat- 1 Global Competitiveness Report , World Economic Forum, Connecting to Compete, World Bank, State Logistics Indonesia, World Bank, 214. L a p o r a n N u s a n t a r a 71

74 Daerah guna memastikan keberlanjutan agenda pembangunan infrastruktur tersebut. Pada 215, penekanan pengembangan infrastruktur difokuskan mendukung pertumbuhan ekonomi, pemenuhan kebutuhan kewajiban dasar, serta pembangunan infrastruktur konektivitas. Kebijakan pemerintah untuk mendorong percepatan pembangunan infrastruktur menjadi salah satu isu pokok yang diangkat pada Laporan Nusantara kali ini. Hal ini mengingat bahwa upaya percepatan pembangunan infrastruktur menjadi sebuah momentum yang memberikan optimisme bagi pencapaian pertumbuhan ekonomi nasional ditengah dinamika pemulihan perekonomian global yang berjalan lebih lambat dari yang diprakirakan. Penguatan daya dukung infrastruktur nasional merupakan bagian penting dari reformasi struktural yang akan memastikan terjaganya stabilitas harga untuk kesinambungan pencapaian pertumbuhan ekonomi. Pada bagian ini akan memberikan gambaran mengenai arah prioritas percepatan pembangunan infrastruktur dalam perspektif spasial dan tantangan yang dihadapi, termasuk langkah mitigasi yang dapat dilakukan serta dukungan peran Bank Indonesia di daerah yang dapat dilakukan sesuai koridor kewenangan yang dimilikinya. Prioritas Pembangunan Infrastruktur Untuk periode , pengembangan konektivitas nasional dititikberatkan pada penguatan transportasi laut sebagai basis bagi sistem logistik nasional. Pengembangan transportasi laut dilakukan melalui pengembangan kapasitas pelabuhan dengan ditunjang fasilitas pelabuhan yang memadai, serta membanguna short sea shipping pada jalur logistik nasional yang diintegrasikan dengan moda kereta api dan jalan raya. Sepanjang periode , Pemerintah menargetkan pengembangan 24 pelabuhan untuk mendukung pengembangan konsep "tol laut" yang terdiri dari 5 pelabuhan hub dan 19 pelabuhan feeder 4. Pelabuhan hub tersebut mencakup Pelabuhan Belawan/Kuala Tanjung, Tanjung Priok, Tanjung Perak, Makassar, dan Bitung. Sementara pelabuhan feeder terdiri dari Pelabuhan Malahayati, Batam, Jambi, Palembang, Panjang, Teluk Bayur, Tanjung Emas, Pontianak, Banjarmasin, Sampit, Balikpapan/Kariangau, Samarinda/Palaran, Tenau/Kupang, Pantoloan, Ternate, Kendari, Sorong, Ambon,dan Jayapura (Gambar V.1.). Sumber: Kementerian PPN/Bappenas Gambar VI.1. Rencana Pengembangan "Tol Laut" 4 Konsep "tol laut" adalah penyelenggaraan angkutan laut secara tetap dan teratur yang menghubungkan pelabuhan-pelabuhan hub disertai feeder dari Sumatera hingga ke Papua. L a p o r a n N u s a n t a r a 72

75 Selanjutnya, dalam pencapaian kedaulatan pangan, dukungan infrastruktur terkait ketersediaan air merupakan faktor utama bagi peningkatan kapasitas produksi pertanian. Kebijakan ketahanan air nasional diarahkan pada peningkatan kapasitas penyediaan air dan perlindungan ekosistem pendukungnya baik untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari (kebutuhan domestik) maupun untuk mendukung pembangunan pertanian, produksi, energi, industri dan lain-lain. Dalam kaitan ini pemerintah menargetkan peningkatan efektivitas dan ketersambungan jaringan irigasi dan sumber air serta pembangunan jaringan baru, termasuk melalui pembangunan waduk untuk mendukung ketersediaan air irigasi. Pada periode , pemerintah menargetkan untuk membangun 1 juta hektar jaringan irigasi baru dan rehabilitasi 3 ratus ribu hektar jaringan irigasi permukaan, air tanah, dan rawa, serta pembangunan 49 waduk dengan 21 diantaranya dimulai pada tahun 215 (Gambar V.2). Sumber: Kementerian PPN/Bappenas Gambar VI.2. Rencana Pembangunan Waduk Sementara itu, pembangunan infrastruktur terkait energi diharapkan menjembatani kondisi belum meratanya ketersediaan energi antar daerah. Data rasio elektrifikasi menunjukkan kesenjangan yang signifikan antara di Jakarta dengan 95% rumah tangganya telah memiliki akses sambungan listrik dengan rumah tangga di Papua Barat yang baru sekitar 27% rumah tangganya telah tersambung dengan akses listrik 5. Kondisi belum meratanya akses sambungan listrik ini tidak terlepas dari masih terbatasnya kapasitas pembangkit listrik. Di Kalimantan, persoalan ketersediaan pasokan listrik semakin nyata dialami di daerah-daerah terpencil perbatasan, seperti Entikong (Kalimantan Barat dan Sarawak). Demikian halnya dengan di Sumatera yang menghadapi persoalan dari defisit pasokan listrik yang kerap terjadi dan konektivitas jaringan yang belum menjangkau seluruh wilayah. Oleh sebab itu, pembangunan infrastruktur diperlukan untuk memperkuat aksesibilitas dan daya dukung ketersediaan energi. Hal ini dilakukan antara lain melalui pembangunan pembangkit listrik baru maupun meningkatkan kapasitas pembangkit yang telah ada dan perluasan cakupan wilayah pembangunan transmisi listrik dengan disertai upaya untuk melakukan konversi sumber energi pembangkit listrik dari BBM menjadi non-bbm dan mendorong pemanfaatan potensi sumber daya air untuk PLTA. Hingga akhir tahun 219, 5 Statistik PLN 213, PLN. L a p o r a n N u s a n t a r a 73

76 Pemerintah menargetkan rasio elektrifikasi nasional mencapai 96,6% dengan dukungan kapasitas terpasang pembangkit listrik 86,6 GW atau meningkat 35.9 MW dari kondisi di 214, antara lain melalui pembangunan pembangkit listrik baru. Penambahan kapasitas listrik baru ditargetkan mulai meningkat secara bertahap mulai tahun 216, sementara pada tahun 215 difokuskan pada perluasan jaringan distribusi kelistrikan dengan target perbaikan rasio elektrifikasi menjadi sekitar 85% (dari kondisi di 214 yang sebesar 81,6%). Prioritas Pembiayaan Infrastruktur dalam APBN-P 215 Sebagai langkah awal implementasi pembangunan infrastruktur, pemerintah telah melakukan penyesuaian alokasi anggaran belanja negara dalam APBN-P 215. Reformasi belanja subsidi, khususnya terkait subsidi energi, yang telah dimulai oleh pemerintah pada November 214 dapat memberikan ruang fiskal yang cukup memadai untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur. Selain itu, tambahan alokasi anggaran bersumber dari berbagai langkah kebijakan untuk penghematan anggaran belanja kementerian/lembaga. Secara keseluruhan, postur belanja Kementerian/Lembaga (K/L) dalam APBN-P 215 naik dari Rp647,3 menjadi Rp795,5 triliun, sedangkan belanja non K/L - yang didominasi oleh belanja subsidi - mengalami penurunan dari Rp745,1 triliun menjadi Rp524,1 triliun. Tabel VI.1. APBN-P 215 URAIAN APBN APBNP Selisih A. PENDAPATAN NEGARA 1.793, ,6 (31,9) I. PENDAPATAN DALAM NEGERI 1.79, ,3 (32,) 1. Pendapatan Perpajakan 1.38, 1.489,3 19,3 2. Pendapatan Negara Bukan Pajak 41,3 269,1 (141,3) II. PENDAPATAN HIBAH 3,3 3,3,1 B. BELANJA NEGARA 2.39, ,1 (55,3) I. BELANJA PEMERINTAH PUSAT 1.392, ,5 (72,9) 1. Belanja KL 647,3 795,5 148,2 2. Belanja Non KL 745,1 524,1 (221,1) a. Pembayaran Bunga Utang 152, 155,7 3,8 b. Subsidi 414,7 212,1 (22,6) (1) Subsidi Energi 344,7 137,8 (26,9) - Subsidi BBM, LPG & BBN' 276, 64,7 (211,3) - Subsidi Listrik' 68,7 73,1 4,5 (2) Subsidi Non Energi 7, 74,3 4,3 II. TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA 647, 664,6 17,6 C. KESEIMBANGAN PRIMER (93,9) (66,8) 27,2 D. SURPLUS DEFISIT ANGGARAN (245,9) (222,5) 23,4 % Defisit terhadap PDB )* (2,2) (1,9) E. PEMBIAYAAN (I + II) 245,9 222,5 (23,4) I. PEMBIAYAAN DALAM NEGERI 269,7 242,5 (27,2) II. PEMBIAYAAN LUAR NEGERI (neto) (23,8) (2,) 3,8 Sumber: Kementerian Keuangan, Pokok-Pokok Perubahan APBN Tahun Anggaran 215 Tambahan belanja Kementerian/Lembaga sebesar Rp148,2 triliun dialokasikan untuk program prioritas, yakni pembangunan infrastruktur yang mendukung pertumbuhan ekonomi, pemenuhan kebutuhan kewajiban dasar, serta pembangunan infrastruktur konektivitas. Khusus untuk pembangunan infrastruktur, alokasi dalam APBN-P 215 mencapai Rp29,9 triliun, meningkat cukup besar dari sebelumnya Rp 149,4 triliun pada tahun 214 ataupun dibandingkan dengan APBN 215 yang sebesar Rp155,4 triliun. L a p o r a n N u s a n t a r a 74

77 Anggaran transfer daerah juga mengalami kenaikan yang cukup besar dari sebelumnya sebesar Rp647 triliun pada APBN 215 menjadi Rp664,6 triliun pada APBN-P 215, yang secara keseluruhan juga diarahkan untuk pembangunan infrastruktur. Pada komponen dana perimbangan terdapat tambahan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk program prioritas sebesar Rp23 triliun. Tambahan DAK tersebut difokuskan untuk pembangunan irigasi, pertanian, perdagangan terutama rehabilitas pasar dan pembangunan sarana pasar, serta transportasi khususnya yang terkait dengan jalan dan kesehatan. Kenaikan yang cukup besar pada transfer daerah terutama karena tambahan alokasi dana desa yang naik Rp11,7 triliun menjadi sebesar Rp2,8 triliun. Dana desa untuk pertamakali dianggarkan pada APBN 215 sebagai tindaklanjut dari amanat UU No.6 Tahun 214 tentang Desa 6. Alokasi dana desa juga diarahkan untuk pembangunan infrastruktur dasar inisiatif masyarakat dengan prioritas pada (1) infrastruktur desa; (2) jalan desa dan prasarana kesehatan desa; (3) sarana dan prasarana pendidikan (4) sarana dan prasarana ekonomi produktif. Kebutuhan pendanaan infrastruktur untuk tahun 215 diperkirakan mencapai Rp236,6 triliun dari total keseluruhan kebutuhan untuk sebesar Rp5.519 triliun. APBN diperkirakan memiliki peran kritikal dengan potensi pendanaan hingga 4,14% dari total perkiraan kebutuhan, sementara pemerintah menargetkan pola dukungan pembiayaan dari BUMN dan swasta yang akan menyumbang sekitar 5% dari total kebutuhan pembiayaan infrastruktur Sementara itu, pendanaan yang bersumber dari daerah diperkirakan sebesar 9,9% yang diharapkan dialokasikan pada belanja APBD, terutama untuk dukungan pembangunan infrastruktur jalan, penyediaan air minum, dan transportasi perkotaan. Sumber: Kementerian PPN/Bappenas, diolah Grafik VI.1. Grafik Kebutuhan dan Potensi Sumber Pembiayaan Infrastruktur Tantangan dan Langkah Percepatan Pembangunan Infrastruktur Upaya untuk mempercepat pembangunan infrastruktur perlu disertai langkah kebijakan terkoordinasi dalam mengatasi tantangan yang dapat menghambat pencapaian agenda pembangunan sebagaimana tertuang dalam RPJMN Secara umum, setidaknya terdapat empat tantangan utama yang perlu diatasi untuk memastikan implementasi percepatan pembangunan infrastruktur berjalan sebagaiama diharapkan. Pertama, terbatasnya kapasitas pemenuhan barang modal dari produksi domestik untuk pembangunan infrastruktur, seperti untuk kebutuhan besi dan baja, sehingga dapat memicu kenaikan kebutuhan impor yang pada gilirannya akan memberi risiko bagi defisit neraca perdagangan. Untuk memitigasi hal ini, pemerintah perlu menempuh kebijakan yang dapat mendorong atau memberikan insentif bagi pihak swasta untuk peningkatan kapasitas produksi domestik. 6 Dana Desa diialokasikan melalui mekanisme transfer kepada kabupaten/kota. Bupati/walikota mengalokasikan Dana Desa memperhatikan: jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, tingkat kesulitan geografis. L a p o r a n N u s a n t a r a 75

78 Kedua, untuk mengatasi besarnya kebutuhan pembiayaan untuk pembangunan infrastruktur penguatan skema kerjasama pembiayaan swasta dan pemerintah seperti public-private partnership (PPP) perlu dioptimalkan dengan meminimalkan permasalahan yang selama ini menjadi kendala bagi PPP seperti ketidakjelasan pembagian risiko dan koordinasi antara pemerintah dan swasta, serta lamanya tahapan proses persiapan dari government contracting agencies. Di samping itu, perlu ditempuh strategi yang dapat memberikan insentif bagi daerah untuk dapat mengalokasikan pangsa belanja daerah dalam APBD yang lebih besar pada belanja infrastruktur. Ketiga, perkembangan penyerapan anggaran daerah yang belum menunjukkan perbaikan yang berarti pada 214 mengindikasikan masih belum optimalnya pengelolaan belanja daerah. Di tengah belum optimalnya penyerapan anggaran, transfer ke daerah terus meningkat. Selain itu, untuk pengelolaan dana desa perlu disertai tata kelola yang menjamin akuntabilitas. Keempat, birokrasi proses pengadaan atau tender yang membutuhkan proses relatif cukup panjang (antara lain terkait proses kelengkapan dokumen dan proses perijinan bagi proyek kerjasama pihak swastapemerintah) sehingga pelaksanaan atau implementasi pembangunan proyek infrastruktur cenderung baru optimal pada Triwulan III dan Triwulan IV. Di samping itu, masih terbatasnya daerah yang telah memiliki aturan mengenai tata ruang turut berkontribusi terhadap implementasi pembangunan infrastruktur di daerah. Dalam kaitan ini, perlu dilakukan penyesuaian dan atau harmonisasi pengaturan untuk memastikan keterpaduannya dengan tetap mengedepankan prinsip tata kelola yang baik. Untuk mendukung agenda pembangunan infrastruktur tersebut di atas dan dalam menghadapi berbagai tantangan implementasinya, Bank Indonesia akan secara konsisten mengarahkan kebijakannya pada upaya pencapaian stabilitas makroekonomi dan sasaran inflasi nasional. Bank Indonesia juga akan terus mendorong dilakukannya reformasi struktural di daerah melalui pembenahan enabling factors dan memantau implementasi agenda pembangunan ekonomi daerah sesuai RPJMN , serta melakukan applied research (kajian strategis) untuk mengidentifikasi lebih dalam permasalahan pembangunan di daerah. Selain itu, upaya untuk memperluas pemanfaatan transaksi non-tunai dan layanan keuangan digital (LKD) akan terus dilakukan oleh Bank Indonesia untuk memperkuat efisiensi perekonomian nasional dan daerah. ag L a p o r a n N u s a n t a r a 76

79 Revealed Competitive Advantage 2 (RCA) merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif disuatu wilayah. Pendekatan RCA dilakukan dengan cara mengevaluasi peranan komoditas tertentu dalam total perdagangan internasional suatu negara. Untuk mengetahui posisi Indonesia dalam pasar global komoditas perikanan maka dilakukan estimasi indeks RCA berdasarkan data perdagangan internasional 1 (sepuluh) negara pengekpor komoditas perikanan dunia. Menggunakan metode RCA tersebut di atas, diperoleh gambaran peta daya saing pasar ekspor produk perikanan global yang secara umum menunjukkan bahwa Indonesia menghadapi persaingan yang cukup besar. Dari negara-negara se-kawasan Asia, persaingan ekspor perikanan terjadi antara Indonesia dengan Vietnam, Thailand dan India (Grafik 3). Vietnam memiliki daya saing yang paling tinggi di antara 1 negara pengekpor utama perikanan, kemudian diikuti Chile dan Norwegia. Dalam kurun waktu 1995 hingga 213, daya saing Indonesia cenderung menurun dan ditempel ketat oleh India dan Kanada. Bila dilihat berdasarkan kelompok komoditas ekspor perikanan (Grafik 4), penurunan RCA didorong oleh penurunan daya saing ekspor komoditas hewan laut berkulit lunak yang memiliki nilai ekspor cukup besar. Namun, untuk kelompok hewan laut yang berkulit lunak yang diolah posisi Indonesia masih memiliki daya saing yang cenderung meningkat. Grafik 1. RCA Produk Perikanan 1 Negara dengan Pangsa Ekspor Terbesar ( ) Grafik 2. RCA Indonesia Tingginya daya saing perikanan negara se-kawasan, Vietnam, didorong oleh kualitas infrastruktur yang mendukung kinerja industri perikanan, yaitu pelabuhan perikanan yang memiliki prasarana industri perikanan yang memadai antara lain berupa cold storage/ice plant serta dukungan pemerintah bagi investasi swasta di industri pendukung perikanan ditingkat hulu hingga hilir. Sementara dari sisi pemasaran, pemerintah memfasilitasi penerapan standar baku sertifikasi produk sesuai dengan standar global serta melakukan promosi perdagangan internasional. 1 Disusun oleh: MHA.Ridhwan, Yenny Fridayanti dan Rakhmat Pratama, peneliti ekonomi DKEM, Bank Indonesia 2 Metode perhitungan RCA merujuk pada indeks Balassa yaitu: RCA 1 ij = X ij X ij i X ij i dengan: : Nilai Ekspor Negara i untuk komoditas j i j X ij Berdasarkan rumus diatas, ketika nilai, maka dapat diindikasikan bahwa negara i memiliki comparative advantage (keunggulan komparatif) untuk komoditas j. Semakin besar nilai indeks, semakin kuat tingkat keunggulan komparatifnya. Sebaliknya, apabila nilai, maka dapat diindikasikan bahwa negara i tidak memiliki comparative advantage untuk komoditas j. Sehingga semakin kecil nilai indeks, maka dapat dikatakan bahwa semakin tidak unggul suatu komoditas tersebut. L a p o r a n N u s a n t a r a 84

80 Tabel 1. Perbandingan Infrastruktur Perikanan antara Indonesia, Vietnam, dan Thailand Indikator Indonesia Vietnam Thailand Jumlah Pelabuhan Perikanan 33 unit >8 unit 136 unit Jumlah Cold Storage/Ice Plant 58 unit *) n/a 46 unit Jumlah Kapal Motor Terdaftar <5 gross ton Jumlah Kapal Motor Terdaftar >= 5 gross ton unit unit unit 3.19 unit 523 unit Sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Department of Fisheries, Thailand, FAO Fishery Country Profile *) termasuk milik industri pengolahan L a p o r a n N u s a n t a r a 85

81 Pembangunan maritim menjadi salah satu agenda prioritas Pemerintah yang tertuang dalam visi pembangunan Presiden Jokowi (Nawa Cita) dan RPJMN Latar belakang pembangunan maritim didasari oleh tujuan untuk mendukung pencapaian cita-cita nasional, yaitu kesejahteraan seluas-luasnya yang mengandung makna pemerataan pembangunan. Selain itu, pembangunan maritim juga dimaksudkan untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia dengan memanfaatkan SDA dan menjaga kedaulatan negara terutama di batas luar wilayah negara yang sebagian dibatasi oleh laut. 1 Paradigma pembangunan yang pada beberapa dekade terakhir lebih berorientasi ke arah daratan (land-based-development), telah menyebabkan terjadinya disparitas pembangunan dengan tertinggalnya wilayah pesisir dan kepulauan dari sisi tingkat kemajuan ekonomi. Secara spasial, disparitas tingkat ekonomi tercermin antara wilayah sisi barat (Jawa, Sumatera, dan Kalimantan) dan sisi timur Indonesia yang lebih didominasi oleh daerah kepulauan. Sumber : Kementerian Koordinator Bidang Maritiom, diolah Gambar VI.3. Agenda Pembangunan Maritim Dalam agenda pembangunan maritim, terdapat empat aspek pembangunan yang akan menjadi fokus utama, yakni pembangunan kedaulatan maritim, pengelolaan SDA dan jasa, pembangunan infrastruktur, dan penguatan SDM, Iptek, dan budaya. Dari sisi pembangunan kedaulatan maritim, penguasaan sepenuhnya atas wilayah kelautan menjadi prioritas, yang menjadi landasan bagi pengoptimalan potensi maritim di masa mendatang. Dalam kaitan tersebut, penegakan hukum maritim sesuai konvensi internasional dan penjagaan keamanan menjadi arah program Pemerintah. Sementara itu, pengelolaan SDA dan jasa ditujukan untuk mengoptimalkan keseluruhan faktor SDA baik sumber daya hayati, mineral, energi, dan kepariwisataan dengan tetap mengutamakan kelestarian lingkungan. Adapun pembangunan infrastruktur menjadi prasyarat utama keberhasilan pembangunan maritim yang menjadi program prioritas pada RPJMN Pembangunan infrastruktur maritim didukung dengan adanya realokasi anggaran APBN, sejalan dengan meningkatnya ruang fiskal pemerintah pasca penghapusan subsidi BBM. Pembangunan infrastruktur maritim juga diarahkan terintegrasi dengan rencana tata ruang wilayah dan sistem logistik nasional. Aspek terakhir dari agenda pembangunan maritim adalah penguatan SDM dan Iptek sebagai faktor enablers yang penting, khususnya dalam rangka peningkatan produktivitas. 1 Presiden Jokowi mendeklarasikan Indonesia sebagai poros maritim dunia pada ajang KTT Asia Timur di Nay Pyi Taw, Myanmar, Kamis 13 November 214. Lap o r a n N u s a n t a r a 77

82 Cerminan dari keseriusan dalam pembangunan maritim diwujudkan melalui penetapan target indikator pembangunan di 219. Dari sejumlah sasaran pembangunan maritim, pembangunan konektivitas nasional dan pengembangan ekonomi kelautan terutama yang mendukung sektor perikanan menjadi fokus dari pembahasan isu khusus ini. 2 Pembangunan konektivitas difokuskan pada pengembangan pelabuhan, moda transportasi laut yang terintegrasi dengan dukungan industri galangan kapal. 3 Sementara pembangunan ekonomi kelautan difokuskan pada peningkatan hasil perikanan dan pengembangan pelabuhan perikanan. Terdapat pula target untuk meningkatkan luas kawasan konservasi laut yang diharapkan dapat mendukung optimalisasi ekonomi kelautan di masa mendatang. Tabel VI.2. Target Pembangunan Maritim 214 INDIKATOR (Baseline) Pembangunan Konektivitas Nasional Pengembangan pelabuhan untuk menunjang tol laut Pengembangan pelabuhan penyeberangan Pembangunan kapal perintis 15 unit 76 unit Pengembangan Ekonomi Kelautan Produksi hasil perikanan (juta ton ) 22,4 4-5 Pengembangan pelabuhan perikanan 21 unit 23 unit Peningkatan luas kawasan konservasi laut 15,7 juta ha 2 juta ha Sumber : RPJMN Potensi Sektor Perikanan Sektor perikanan menjadi tulang punggung pengembangan ekonomi kelautan yang diharapkan dapat mengakselerasi perekonomian wilayah kepulauan dan mendukung pertumbuhan ekonomi dalam 5 tahun ke depan. Hal ini terindikasi dari produksi hasil perikanan yang ditargetkan naik lebih dari dua kali lipat pada 219. Peningkatan produksi hasil perikanan dimungkinkan dengan besarnya potensi yang dikandung dari kondisi geografis Indonesia sebagai negara dengan luas laut yang mencapai sekitar 7% dari keseluruhan luas teritorial dan garis pantai kedua terpanjang di dunia. 4 Saat ini pemanfaatan dari potensi perikanan masih sangat minim (sekitar 2%) yang khususnya pada perikanan budi daya. Berdasarkan data terkini, pemanfaatan perikanan tangkap di perairan umum yang baru mencapai sekitar 4%, masih sangat berpotensi dioptimalkan. Secara spasial, pangsa produksi hasil perikanan tangkap terbesar di Kawasan Indonesia Timur (KTI) terutama di wilayah Maluku, Sulawesi Selatan, dan Papua. Sementara itu, unit pengolahan perikanan terbesar di KTI terdapat di wilayah Sulawesi Utara. Adapun pemanfaatan perikanan budi daya jauh lebih rendah dibandingkan dengan perikanan tangkap, khususnya untuk budi daya di laut dan tambak. Meski demikian, pertumbuhan produksi di perikanan budi daya jauh lebih cepat dibandingkan dengan perikanan tangkap dalam 5 tahun terakhir. 5 2 Ekonomi kelautan (marine economy) adalah adalah kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan kegiatan ekonomi di darat (lahan atas) yang menggunakan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan untuk menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan umat manusia (Dahuri, 23; Kildow, 25). Sementara ekonomi maritim (maritime economy) selain dari aspek ekonomi kelautan, juga mencakup transportasi laut, galangan kapal, konstruksi dan operasional pelabuhan, industri dan jasa terkait lainnya. (Stopford, 24) 3 Dari total jumlah galangan kapal yang mencapai hampir 2 industri, sebagian besar berlokasi di kawasan Sumatera dan Kalimantan (Iperindo, 213). Setiap tahunnya dibutuhkan sekitar Rp 21,5 T untuk pengadaan kapal dari berbagai jenis yang sebagian besar juga masih harus dipenuhi melalui impor. 4 Berdasarkan estimasi, nilai ekonomi dari sektor perikanan termasuk industri pengolahan hasil perikanan mencapai sekitar 2 milyar USD tiap tahunnya atau sekitar 16,7% dari total nilai ekonomi sektor maritim (IPB) 5 Hal ini mendukung pertumbuhan PDB sektor perikanan yang lebih tinggi daripada subsektor pertanian dalam beberapa tahun terakhir. Secara rata-rata dalam 5 tahun terakhir, PDB sektor perikanan tumbuh sebesar 6,7% (yoy), jauh lebih tinggi dibandingkan dengan PDB subsektor pertanian sebesar 6,2% (yoy). L a p o r a n N u s a n t a r a 78

83 Tabel VI.3. Produksi dan Pemanfaatan Hasil Perikanan Jenis Kegiatan Perikanan Luas Perairan MSY (juta Produksi 213 Pemanfaatan (juta km 2 ) ton/tahun) (juta ton) (%) A. Perikanan Tangkap 1. Laut 5,8 6,5 7,3 5, Perairan Umum,54,9,36 4 B. Perikanan Budidaya 1. Laut, ,6 1,95 2. Tambak (Payau),1 1 1, Perairan Umum dan Tawar,14 5,7 1,72 3,17 TOTAL 6, ,62 2,95 Sumber : Statistik Kelautan dan Perikanan 213 Sumber: BPS Grafik VI.2. Pangsa Produksi Ikan Tangkap Total Produksi Perikanan Produksi Perik. Tangkap Produksi Perik. Budidaya Sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan Grafik VI.3. Pertumbuhan Produksi Perikanan Potensi yang cukup besar juga terindikasi pada ekspor hasil perikanan yang cenderung tumbuh meningkat dalam 5 tahun terakhir, sejalan dengan masih tingginya permintaan global. 6 Saat ini, ekspor hasil perikanan menyumbang sekitar 17% dari total gabungan ekspor produk pertanian dan perikanan. Meski sumbangan demikian, pada saat yang bersamaan daya saing ekspor perikanan Indonesia justru mengahdapi tantangan yang semakin besar. Estimasi yang dilakukan dengan mengunakan pendekatan Reveald Competitive Advantage bahkan mengindikasikan adanya kecenderungan melambatnya daya saing ekspor perikanan nasional dibanding beberapa negara kompetitor seperti Vietnam, Chile, Netherland, dan Thailand. (Lihat Boks Daya Saing Sektor Perikanan Indonesia). Dalam kaitan ini, maka agenda pembangunan maritim dan khususnya pengembangan sektor perikanan dengan fokus peningkatan nilai tambah, memberikan harapan bagi peningkatan ekspor di sektor perikanan untuk menjadi sumber penghasil devisa negara ke depan. Secara spasial, persebaran ekspor produk perikanan menunjukkan dominasi Indonesia wilayah barat, meskipun produksi perikanan tangkap terbesar berasal dari KTI. Hal ini terkait dengan ketimpangan dari persebaran unit pengolahan ikan, yang sebagian besar berada di kawasan Jawa 7. Lebih memadainya fasilitas logistik dan infrastruktur pendukung di kawasan Jawa, khususnya dengan adanya pelabuhan ekspor dan industri pengolahan hasil perikanan menjadi faktor yang sangat berpengaruh. Dalam kaitan tersebut, lokasi sentra industri pengolahan perikanan menjadi epicenter pendorong kemajuan kewilayahan dari sisi ekonomi kelautan, yang mana perbaikan sistem logistik dan penyediaan infrastruktur menjadi prioritas. 6 Estimasi FAO (211) mengindikasikan kenaikan permintaan dari China dan India, terkait dengan peningkatan konsumsi ikan sebagai sumber protein. 7 Di kawasan Jawa sendiri juga dapat diidentifikasi kesenjangan aglomerasi ekonomi di sektor perikanan antara pantai utara dan selatan Jawa. Hal ini merujuk pada data indikator PDRB, jumlah dan upah pekerja (Data Olah Sakernas 212), serta program pengembangan sektor perikanan. L a p o r a n N u s a n t a r a 79

84 USD Miliar * 214 * Sumber: BPS Grafik VI.4. Ekspor Produk Perikanan Sumber : BPS Grafik VI.5. Neraca Perdagangan Hasil Perikanan Nilai Ekspor Nilai Impor Surplus Perdagangan Miliar US$ Grafik VI.6. Persebaran Ekspor Produk Perikanan Berbagai tantangan baik dalam jangka pendek maupun struktural dalam pembangunan maritim menjadi fokus perhatian utama ke depan. Secara umum, hasil survei yang dilakukan oleh Bank Indonesia tahun 215 kepada para pelaku usaha di sektor perikanan mengindikasikan isu infrastruktur merupakan permasalahan terbesar yang menghambat perkembangan sektor perikanan 8. Berikutnya adalah permasalahan perijinan dan pembiayaan, regulasi dan ketegasan hukum (khususnya terkait illegal fishing). Sementara itu, kapasitas produksi, SDM, dan perpajakan yang juga menjadi faktor daya saing juga dinilai pelaku usaha sebagai masalah dengan tingkatan yang lebih rendah. Terkait dengan faktor daya saing, tantangan utama adalah pada kemampuan utk bersaing secara global dengan meningkatkan nilai tambah dari produk ekspor sektor perikanan. Hilirisasi sektor perikanan dengan pembangunan sentra industri pengolahan perlu menjadi fokus perhatian ke depan. Secara spasial, tantangan atau permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan maritim berbeda antar kawasan dengan adanya perbedaan kondisi infrastruktur, regulasi lokal, dan enablers. Sebagian besar permasalahan infrastruktur dikaitkan dengan kondisi pelabuhan, dermaga, akses trasnportasi (jalan), serta prasarana pendukung. Buruknya kondisi infrastruktur berdampak pada peningkatan biaya, khususnya biaya transport yang harus ditanggung pelaku usaha perikanan tangkap. Hal ini terutama menjadi 8 Survei dilakukan ke 122 pelaku usaha yang sebagian besar perusahaan PMDN (84%) dengan profil perusahaan besar, menengah, dan kecil masing-masing 52%, 31%, dan 17%. Adapun orientasi penjualan dari perusahaan yang disurvei adalah untuk ekspor (62%) dengan sistem kontrak (34%). Berdasarkan lokasi, survei ke perusahaan di kawasan Jawa mewakili 48% dari total responden, disusul dengan KTI sebesar 39%, dan kawasan Sumatera sebesar 12%. L a p o r a n N u s a n t a r a 8

85 Jatim masalah di KTI, yang mana sejumlah kapal ikan dengan ijin penangkapan di wilayah timur Indonesia harus membawa hasil tangkapan ke pelabuhan perikanan di kawasan Jawa (khususnya Jawa Timur). Tidak memadainya ketersediaan energi (listrik dan BBM) juga menjadi penghambat pada sektor perikanan di KTI, termasuk dalam pengembangan sentra industri pengolahan perikanan. Hasil survei ke pelaku usaha cenderung mengindikasikan pengoptimalan infrastruktur yang telah ada dengan perbaikan baik fisik maupun operasional (manajemen). Selain itu, kebijakan pembangunan zona industri pengolahan perikanan berorientasi ekspor yang selaras dengan sistem logistik nasional perlu didorong, dalam rangka efisiensi biaya logistik dan mempercepat integrasi ke rantai suplai domestik maupun global. Grafik VI.7. Persebaran Unit Pengolahan Ikan Tangkap Pengukuran indeks konektivitas menunjukkan bahwa saat ini konektivitas seluruh wilayah provinsi di KTI masih berada jauh di bawah Provinsi Jawa Timur yang dijadikan basis referensi pengukuran indeks. Hal ini berimplikasi pada tingginya tarif transportasi laut yang juga berpengaruh pada tingkat harga tinggi di KTI serta tidak mudahnya pelaksanaan ekspor impor secara langsung dari KTI ke negara mitra dagang. Masih relatif rendahnya skala ekonomi dengan minimnya pengembangan sentra perikanan di KTI, juga menyebabkan biaya logistik untuk pengiriman barang ke wilayah timur Indonesia harus memperhitungkan pula keterbatasan volume angkut balik ke kawasan Jawa yang menjadi beban biaya. Grafik VI.8. Isu Bidang Maritim yang Dihadapi Pelaku Usaha Survei Bank Indonesia, 215 L a p o r a n N u s a n t a r a 81

86 Para pelaku usaha di sektor perikanan mengindikasikan bahwa permasalahan perijinan terutama pada prosedural pengurusan ijin dan dokumen ekspor juga menjadi isu yang masih dihadapi pelaku usaha. Terdapat ekspektasi pelaku usaha pada pelayanan perijinan satu pintu yang dapat mempercepat pengurusan ijin dan dokumen ekspor-impor. Hal ini juga ditunjang dengan perbaikan operasional manajemen kepelabuhan yang akan mempersingkat waktu bongkar muat, sehingga efisiensi biaya logistik dapat tercapai. Terkait dengan hal tersebut, penyediaan kelengkapan pelabuhan seperti crane dan moda transport perlu menjadi perhatian. Adapun masalah pembiayaan terkait dengan minimnya akses dan opsi skema kredit. Hal ini dipengaruhi oleh rendahnya skala ekonomi, minimnya kemampuan pelaku usaha sektor perikanan dalam berhubungan dengan perbankan, serta terbatasnya opsi skema kredit yang ditawarkan. Dalam kaitan tersebut, peningkatan skala ekonomi menjadi prioritas dengan dukungan perbaikan infrastruktur, produktivitas serta kapasitas produksi. Peningkatan kapasitas dalam manajemen pengelolaan keuangan serta penyampaian informasi terkait akses dan skema kredit perbankan juga perlu dilakukan. Khusus untuk mendukung pembiayaan melalui akses perbankan, dukungan melalui program penjaminan kredit dapat dilakukan oleh pemerintah. Grafik VI.9. Ekspektasi Pelaku Usaha pada Pembangunan Maritim Survei Bank Indonesia, 215 Terbatasnya kapasitas produksi sektor perikanan terkait dengan minimnya jumlah kapal penangkap ikan dan faktor enablers yang dibutuhkan untuk meningkatkan produksi serta produktivitas. Jumlah kapal penangkap ikan yang masih rendah, khususnya untuk kapal dengan kapasitas dan kelengkapan memadai, menjadi tantangan pada peningkatan kapasitas produksi sektor perikanan. Saat ini harga kapal yang diproduksi dalam negeri masih lebih tinggi dari impor, sehingga perkembangan galangan kapal juga belum cukup optimal. 9 Insentif pajak untuk memfasilitasi pengembangan galangan kapal di daerah non FTZ yang cukup dominan di kawasan Jawa dan Sumatera, juga belum diberikan. Terkait dengan pembiayaan, isu yang dominan adalah fleksibilitas ketentuan tentang penjaminan kapal ke perbankan. 1 Adapun faktor ketersediaan stasiun pengisian dan ketersediaan pasokan BBM juga menjadi kendala di sebagian wilayah di KTI. Faktor enablers yang dibutuhkan sektor perikanan, khususnya kapasitas SDM dan optimalisasi Iptek menjadi tantangan ke depan. Peningkatan kapasitas SDM dan optimalisasi Iptek khususnya untuk mendukung peningkatan produktivitas baik pada perikanan tangkap maupun budi daya. Pelatihan dan pendampingan menjadi kunci dari peningkatan SDM yang berkualitas dan memiliki penguasaan Iptek di bidang perikanan. 9 Komponen domestik dari pembuatan kapal dalam negeri hanya berkisar 3% yang berpengaruh pada tingginya ketergantungan impor dan risiko dari sisi nilai tukar (Sumber : Iperindo). Selain itu, juga terdapat masalah pada kertersediaan spare-part kapal dengan harga yang terjangkau. 1 Kontribusi kredit perbankan dalam mendukung pengembangan perkapalan masih sangat rendah (pangsa kredit hanya,17% dari total kredit yang disalurkan ke sektor industri). Disparitas suku bunga kredit industri yang disalurkan ke perusahaan galangan kapal di kawasan Jawa juga terindikasi masih cukup lebar. L a p o r a n N u s a n t a r a 82

87 Adanya kebutuhan untuk menjaga mutu dan keamanan hasil perikanan melalui sertifikasi internasional, juga menjadi alasan diperlukannya peningkatan kapabilitas SDM. Dalam rangka mengupayakan perbaikan faktor enablers tersebut, Bank Indonesia juga turut berpartisipasi melalui pengembangan klaster, kewirausahaan, dan program pendampingan finansial inklusi. Meski terdapat sejumlah tantangan yang dihadapi, agenda pembangunan maritim perlu terus didukung dan dikawal dalam pelaksanaannya. Selain di tingkat pusat yang merencanakan dan mengimplementasikan kebijakan, sebagian dukungan juga diperlukan dari daerah. Dukungan pada pembangunan infrastruktur strategis menjadi hal yang paling krusial agar agenda pembangunan maritim dapat berhasil dijalankan dalam 5 tahun ke depan. Perbaikan kualitas layanan publik secara luas dan yang khususnya mendukung agenda pembangunan maritim juga perlu didorong. Terkait dengan pengaturan regulasi lokal, perlu diupayakan kebijakan yang lebih transparan dan bersifat stimulus (insentif) bagi dunia usaha di bidang maritim, khususnya pada sektor perikanan. Jawa Timur *) = 1 Cost = Rp6 Juta Sulteng= 18.4 Biaya: 18,9 Juta Sulut= Biaya= Rp2,9 Juta Malut = Biaya= Rp23,1 Juta Sorong = Biaya= Rp24,1 Juta Indeks provinsi di KTI < 3 Kualitas layanan dan kapasitas pelabuhan KTI < 3% pelabuhan Jawa Timur. Manokwari = 15.4 Biaya= Rp27,5 Juta Sulsel = 28.19**) Biaya= Rp9,9 Juta Sultra= 13.9 Biaya= Rp15,26 Juta Maluku = 2.35 Biaya= Rp2,5 Juta Jayapura= Biaya= Rp24,9 Juta Bali = Biaya= Rp 12 Juta Gap indeks tertinggi : NTT, NTB, Sultra, Sulteng Gap indeks terendah : Sulut, Sulsel, Bali NTB = 12.1 NTT = 7.55 Biaya= Rp27,3 Juta Indikator indeks Konektivitas Ukuran Kapal yg dapat sandar (X1) Jumlah Crane 3-5 ton (X2) Jumlah Perusahaan Kontainer (X3) Kapasitas Kapal (X4) 1/Waktu antri bongkar/muat (X5) Grafik VI.1. Indeks Konektivitas KTI 11 *) JawaTimur digunakan sebagaireferensipelabuhan yang sudah cukup terkoneksiyang mampu melakukan kegiatan ekspor& impor. **) Perhitungan indeks dilakukan dengan mengadopsiindeks konektivitas World Bank. Metode perhitungan adalah dengan mengukur gap antara daerah referensidengan daerah perhitungan. Indeks = ( (Xi/Xiref))/n)*1 ; Xi = nilai indikator i daerah yang dihitung, Xiref : nilai indikatori daerah referensi ag 11 Setiap provinsi diukur indeks konektivitasnya berdasarkan komponen indicator sebagai berikut : ukuran kapal yang bisa memasuki pelabuhan, jumlah crane kapasitas 3-5 ton, jumlah perusahaan kontainer yang melayani pengiriman ke pelabuhan tersebut, kapasitas kkapal serta waktu bongkar muat. L a p o r a n N u s a n t a r a 83

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012 KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012 Januari 2013 Kinerja Ekonomi Daerah Cukup Kuat, Inflasi Daerah Terkendali Ditengah perlambatan perekonomian global, pertumbuhan ekonomi berbagai daerah di Indonesia

Lebih terperinci

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009 263 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009 Tim Penulis

Lebih terperinci

Perkembangan Terkini, Prospek, dan Tantangan Ke Depan

Perkembangan Terkini, Prospek, dan Tantangan Ke Depan Ringkasan Laporan Nusantara Februari 2014 *) Perkembangan Terkini, Prospek, dan Tantangan Ke Depan PERKEMBANGAN TERKINI EKONOMI DAERAH Setelah mengalami perlambatan pada beberapa triwulan sebelumnya, realisasi

Lebih terperinci

TPI dan Pokjanas TPID. Analisis Inflasi. Analisis Inflasi Januari 2016 TPI dan Pokjanas TPID 1. Inflasi Januari 2016 Melambat dan Terkendali

TPI dan Pokjanas TPID. Analisis Inflasi. Analisis Inflasi Januari 2016 TPI dan Pokjanas TPID 1. Inflasi Januari 2016 Melambat dan Terkendali Inflasi Januari 2016 Melambat dan Terkendali Inflasi pada awal tahun 2016 mengalami perlambatan dibandingkan dengan bulan lalu. Pada Januari 2016, inflasi IHK tercatat sebesar 0,51% (mtm), lebih rendah

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI JANUARI 2017

RELEASE NOTE INFLASI JANUARI 2017 Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (Pokjanas TPID) RELEASE NOTE INFLASI JANUARI 2017 Inflasi Bulan Januari 2017 Meningkat, Namun Masih

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI APRIL 2016

RELEASE NOTE INFLASI APRIL 2016 Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (Pokjanas TPID) RELEASE NOTE INFLASI APRIL 2016 Penurunan Harga BBM dan Panen Raya Dorong Deflasi Bulan

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI DESEMBER 2017

RELEASE NOTE INFLASI DESEMBER 2017 RELEASE NOTE INFLASI DESEMBER 2017 TPI dan Pokjanas TPID INFLASI IHK Inflasi 2017 Terkendali Dan Berada Pada Sasaran Inflasi Inflasi IHK sampai dengan Desember 2017 terkendali dan masuk dalam kisaran sasaran

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI JULI 2016

RELEASE NOTE INFLASI JULI 2016 Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (Pokjanas TPID) RELEASE NOTE INFLASI JULI 2016 Inflasi Lebaran 2016 Cukup Terkendali INFLASI IHK Mtm

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI FEBRUARI 2017

RELEASE NOTE INFLASI FEBRUARI 2017 RELEASE NOTE INFLASI FEBRUARI 217 TPI dan Pokjanas TPID INFLASI IHK Inflasi Bulan Februari 217 Terkendali Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) tercatat,23% (mtm) di bulan Februari. Inflasi di bulan ini

Lebih terperinci

TPI dan Pokjanas TPID. Analisis Inflasi. Analisis Inflasi Januari 2016 TPI dan Pokjanas TPID 1

TPI dan Pokjanas TPID. Analisis Inflasi. Analisis Inflasi Januari 2016 TPI dan Pokjanas TPID 1 Penurunan Harga Pangan dan Komoditas Energi Dorong Deflasi IHK Bulan Februari Indeks Harga Konsumen (IHK) bulan Februari 2016 mengalami deflasi. Deflasi IHK pada bulan ini mencapai -0,09% (mtm). Realisasi

Lebih terperinci

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2010 245 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2010 Tim Penulis

Lebih terperinci

Inflasi IHK 2015 Berada dalam Sasaran Inflasi Bank Indonesia

Inflasi IHK 2015 Berada dalam Sasaran Inflasi Bank Indonesia Inflasi IHK 2015 Berada dalam Sasaran Inflasi Bank Indonesia Inflasi di bulan Desember menunjukkan peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan bulan lalu dan lebih tinggi dari historisnya. Inflasi

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI MARET 2017

RELEASE NOTE INFLASI MARET 2017 RELEASE NOTE INFLASI MARET 2017 TPI dan Pokjanas TPID INFLASI IHK Panen Dorong Deflasi Maret 2017 Indeks Harga Konsumen (IHK) tercatat mengalami deflasi 0,02% (mtm) di bulan Maret (Tabel 1). Deflasi bulan

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI NOVEMBER 2016

RELEASE NOTE INFLASI NOVEMBER 2016 Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (Pokjanas TPID) RELEASE NOTE INFLASI NOVEMBER 2016 Inflasi Bulan November 2016 Didorong Harga Pangan

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI JUNI 2016

RELEASE NOTE INFLASI JUNI 2016 Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (Pokjanas TPID) RELEASE NOTE INFLASI JUNI 2016 Inflasi Ramadhan 2016 Cukup Terkendali INFLASI IHK Mtm

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI APRIL 2017

RELEASE NOTE INFLASI APRIL 2017 RELEASE NOTE INFLASI APRIL 2017 TPI dan Pokjanas TPID INFLASI IHK Inflasi April 2017 Terkendali Indeks Harga Konsumen (IHK) tercatat mengalami inflasi 0,09% (mtm) di bulan April (Tabel 1). Inflasi IHK

Lebih terperinci

ANALISIS INFLASI MARET 2016

ANALISIS INFLASI MARET 2016 Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (Pokjanas TPID) ANALISIS INFLASI MARET 2016 Komoditas Pangan Dorong Inflasi IHK Maret INFLASI IHK Mtm

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI MEI 2016

RELEASE NOTE INFLASI MEI 2016 Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (Pokjanas TPID) Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter - Bank Indonesia, Pusat Kebijakan Ekonomi

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI JULI 2017

RELEASE NOTE INFLASI JULI 2017 RELEASE NOTE INFLASI JULI 2017 INFLASI IHK Inflasi Juli 2017 Terkendali Inflasi Juli 2017 terkendali sehingga masih mendukung pencapaian sasaran inflasi 2017 sebesar 4,0±1%. Inflasi Indeks Harga Konsumen

Lebih terperinci

Mei L a p o r a n N u s a n t a r a 1 VOLUME 11 NOMOR 2

Mei L a p o r a n N u s a n t a r a 1 VOLUME 11 NOMOR 2 Mei 2015 L a p o r a n N u s a n t a r a 1 VOLUME 11 NOMOR 2 Halaman ini sengaja dikosongkan L a p o r a n N u s a n t a r a Daftar Isi Kata Pengantar Bagian I Bagian II Bagian III Bagian IV Bagian V Bagian

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI AGUSTUS 2016

RELEASE NOTE INFLASI AGUSTUS 2016 Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (Pokjanas TPID) RELEASE NOTE INFLASI AGUSTUS 2016 Koreksi Harga Paska Idul Fitri Dorong Deflasi Agustus

Lebih terperinci

Daftar isi Kata Pengantar Bagian I 1. Bagian II 9. Bagian III 23. Bagian IV 39. Bagian V 55. Bagian VI 71. Lampiran 83

Daftar isi Kata Pengantar Bagian I 1. Bagian II 9. Bagian III 23. Bagian IV 39. Bagian V 55. Bagian VI 71. Lampiran 83 IV Daftar isi v Kata Pengantar vii Bagian I 1 Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek Ekonomi Daerah Bagian II 9 Perekonomian Sumatera Boks 1 20 Mendorong Pengembangan Ekonomi Batam dan Daerah Sekitarnya

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI OKTOBER 2016

RELEASE NOTE INFLASI OKTOBER 2016 Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (Pokjanas TPID) RELEASE NOTE INFLASI OKTOBER 2016 Tekanan Inflasi di Bulan Oktober 2016 Cukup Terkendali

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI DESEMBER 2016

RELEASE NOTE INFLASI DESEMBER 2016 Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (Pokjanas TPID) RELEASE NOTE INFLASI DESEMBER 2016 Inflasi 2016 Cukup Rendah dan Berada dalam Batas

Lebih terperinci

Kajian. Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Kalimantan Tengah

Kajian. Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Kalimantan Tengah Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Triwulan III 2015 1 KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat-nya (KEKR) Provinsi Kalimantan Tengah Triwulan III

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI MEI 2017

RELEASE NOTE INFLASI MEI 2017 RELEASE NOTE INFLASI MEI 2017 INFLASI IHK Inflasi Mei 2017 Terkendali Indeks Harga Konsumen (IHK) tercatat mengalami inflasi 0,39% (mtm) di bulan Mei (Tabel 1). Inflasi IHK bulan ini meningkat dibanding

Lebih terperinci

LAPORAN LIAISON. Triwulan I Konsumsi rumah tangga pada triwulan I-2015 diperkirakan masih tumbuh

LAPORAN LIAISON. Triwulan I Konsumsi rumah tangga pada triwulan I-2015 diperkirakan masih tumbuh Triwulan I - 2015 LAPORAN LIAISON Konsumsi rumah tangga pada triwulan I-2015 diperkirakan masih tumbuh terbatas, tercermin dari penjualan domestik pada triwulan I-2015 yang menurun dibandingkan periode

Lebih terperinci

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD)

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) 3.1. Asumsi Dasar yang Digunakan Dalam APBN Kebijakan-kebijakan yang mendasari APBN 2017 ditujukan

Lebih terperinci

RAKORDAL PROVINSI KALTENG TRIWULAN III 2016

RAKORDAL PROVINSI KALTENG TRIWULAN III 2016 RAKORDAL PROVINSI KALTENG TRIWULAN III 2016 EKONOMI NASIONAL KONDISI EKONOMI NASIONAL TRIWULAN II 2016 INFLASI=2,79% GROWTH RIIL : 2,4% Ekonomi Nasional dapat tumbuh lebih dari 5,0% (yoy) pada triwulan

Lebih terperinci

Analisis Perkembangan Industri

Analisis Perkembangan Industri JUNI 2017 Analisis Perkembangan Industri Pusat Data dan Informasi Juni 2017 Pendahuluan Membaiknya perekonomian dunia secara keseluruhan merupakan penyebab utama membaiknya kinerja ekspor Indonesia pada

Lebih terperinci

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III - 2009 127 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III - 2009 Tim Penulis

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI AGUSTUS 2017

RELEASE NOTE INFLASI AGUSTUS 2017 RELEASE NOTE INFLASI AGUSTUS 2017 Koreksi Harga Pangan dan Faktor Musiman Dorong Deflasi Agustus INFLASI IHK Inflasi Agustus 2017 terkendali sehingga masih mendukung pencapaian sasaran inflasi 2017 sebesar

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI OKTOBER 2017

RELEASE NOTE INFLASI OKTOBER 2017 RELEASE NOTE INFLASI OKTOBER 2017 TPI dan Pokjanas TPID Harga Pangan Dorong Inflasi Oktober 2017 Tetap Rendah INFLASI IHK Inflasi IHK sampai dengan Oktober 2017 terkendali dan mendukung pencapaian sasaran

Lebih terperinci

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER PANDANGAN GUBERNUR BANK INDONESIA PADA RAPAT KERJA PANITIA ANGGARAN DPR RI MENGENAI LAPORAN SEMESTER I DAN PROGNOSIS SEMESTER II APBN TA 2006 2006 Anggota Dewan yang terhormat, 1. Pertama-tama perkenankanlah

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI JUNI 2017

RELEASE NOTE INFLASI JUNI 2017 RELEASE NOTE INFLASI JUNI 2017 INFLASI IHK Inflasi Juni 2017 Terkendali Indeks Harga Konsumen (IHK) tercatat mengalami inflasi 0,69% (mtm) di bulan Juni (Tabel 1). Inflasi IHK pada periode puasa dan lebaran

Lebih terperinci

PAPARAN BANK INDONESIA RAKORDAL TW II 17. Kalimantan Tengah. Kalimantan Tengah

PAPARAN BANK INDONESIA RAKORDAL TW II 17. Kalimantan Tengah. Kalimantan Tengah Kalimantan Tengah PAPARAN BANK INDONESIA RAKORDAL TW II 17 Kalimantan Tengah Pertumbuhan Ekonomi & Inflasi Tahun 2017 Pasca meningkat cukup tinggi pada triwulan I 2017, ekonomi Kalimantan Tengah diperkirakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pencerminan tingkat inflasi merupakan persentasi kecepatan naiknya harga-harga

BAB I PENDAHULUAN. Pencerminan tingkat inflasi merupakan persentasi kecepatan naiknya harga-harga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian suatu negara dapat ditinjau dari variabelvariabel makroekonomi yang mampu melihat perekonomian dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Variabelvariabel

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI SEPTEMBER 2016

RELEASE NOTE INFLASI SEPTEMBER 2016 Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (Pokjanas TPID) RELEASE NOTE INFLASI SEPTEMBER 2016 Tekanan Inflasi di Bulan September 2016 Cukup Terkendali

Lebih terperinci

1. Tinjauan Umum

1. Tinjauan Umum 1. Tinjauan Umum Perekonomian Indonesia dalam triwulan III-2005 menunjukkan kinerja yang tidak sebaik perkiraan semula, dengan pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan lebih rendah sementara tekanan terhadap

Lebih terperinci

November L a p o r a n N u s a n t a r a 1 VOLUME 10 NOMOR 4

November L a p o r a n N u s a n t a r a 1 VOLUME 10 NOMOR 4 November 2015 L a p o r a n N u s a n t a r a 1 VOLUME 10 NOMOR 4 Halaman ini sengaja dikosongkan L a p o r a n N u s a n t a r a Daftar Isi Kata Pengantar Bagian I Bagian II Bagian III Bagian IV Bagian

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI SEPTEMBER

RELEASE NOTE INFLASI SEPTEMBER RELEASE NOTE INFLASI SEPTEMBER INFLASI IHK Inflasi September 2017 Terkendali Inflasi IHK sampai dengan September 2017 terkendali dan mendukung pencapaian sasaran inflasi 2017. Pada bulan September inflasi

Lebih terperinci

Asesmen Pertumbuhan Ekonomi

Asesmen Pertumbuhan Ekonomi Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Asesmen Pertumbuhan Ekonomi Penurunan momentum pertumbuhan ekonomi Kepulauan Riau di periode ini telah diperkirakan sebelumnya setelah mengalami tingkat pertumbuhan

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI PAPUA

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI PAPUA KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI PAPUA AGUSTUS 2017 Vol. 3 No. 2 Triwulanan April - Jun 2017 (terbit Agustus 2017) Triwulan II 2017 ISSN 2460-490257 e-issn 2460-598212 KATA PENGANTAR RINGKASAN

Lebih terperinci

Agustus L a p o r a n N u s a n t a r a 1 VOLUME 10 NOMOR 3

Agustus L a p o r a n N u s a n t a r a 1 VOLUME 10 NOMOR 3 Agustus 2015 L a p o r a n N u s a n t a r a 1 VOLUME 10 NOMOR 3 Halaman ini sengaja dikosongkan L a p o r a n N u s a n t a r a Daftar Isi Kata Pengantar Bagian I Bagian II Bagian III Bagian IV Bagian

Lebih terperinci

November L a p o r a n N u s a n t a r a 1 VOLUME 9 NOMOR 4

November L a p o r a n N u s a n t a r a 1 VOLUME 9 NOMOR 4 November 214 L a p o r a n N u s a n t a r a 1 VOLUME 9 NOMOR 4 Halaman ini sengaja dikosongkan L a p o r a n N u s a n t a r a Daftar Isi 3 Kata Pengantar 5 Bagian I Ringkasan Perkembangan dan Prospek

Lebih terperinci

Rakordal KALTENG. Kondisi Perekonomian Triwulan IV dan Outlook 2016

Rakordal KALTENG. Kondisi Perekonomian Triwulan IV dan Outlook 2016 Rakordal KALTENG Kondisi Perekonomian Triwulan IV dan Outlook 2016 2015 PEREKONOMIAN NASIONAL Triwulan III 2015 PDB Tw III-15: 4,73% gpdrb negatif Perbaikan perekonomian terjadi di Jawa, sementara ekonomi

Lebih terperinci

Daftar isi Kata Pengantar Bagian I 1. Bagian II 9. Bagian III 23. Bagian IV 47. Bagian V 63. Lampiran 75

Daftar isi Kata Pengantar Bagian I 1. Bagian II 9. Bagian III 23. Bagian IV 47. Bagian V 63. Lampiran 75 IV Daftar isi v Kata Pengantar vii Bagian I 1 Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek Ekonomi Daerah Bagian II 9 Perekonomian Sumatera Boks 1 19 Mentransformasi Industri Kelapa Sawit dan Karet Menjadi

Lebih terperinci

P D R B 7.24% 8.50% 8.63% 8.60% 6.52% 3.05% -0.89% Sumber : BPS Kepulauan Riau *) angka sementara **) angka sangat sementara

P D R B 7.24% 8.50% 8.63% 8.60% 6.52% 3.05% -0.89% Sumber : BPS Kepulauan Riau *) angka sementara **) angka sangat sementara Ringkasan Eksekutif Asesmen Ekonomi Di awal tahun 2009, imbas krisis finansial global terhadap perekonomian Kepulauan Riau dirasakan semakin intens. Laju pertumbuhan ekonomi memasuki zona negatif dengan

Lebih terperinci

Halaman ini sengaja dikosongkan.

Halaman ini sengaja dikosongkan. 2 Halaman ini sengaja dikosongkan. KATA PENGANTAR Puji serta syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat dan ridha- IV Barat terkini yang berisi mengenai pertumbuhan ekonomi,

Lebih terperinci

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan II-2013

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan II-2013 Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan II-2013 Asesmen Ekonomi Perekonomian Kepulauan Riau (Kepri) pada triwulan II-2013 mengalami pelemahan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Pada

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI PAPUA

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI PAPUA Vol. 3 No. 3 Triwulanan Juli - September 2017 (terbit November 2017) Triwulan III 2017 ISSN xxx-xxxx e-issn xxx-xxxx KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI PAPUA NOVEMBER 2017 DAFTAR ISI 2 3 DAFTAR

Lebih terperinci

4. Outlook Perekonomian

4. Outlook Perekonomian Laporan Kebijakan Moneter - Triwulan I-2008 4. Outlook Perekonomian Di tengah gejolak yang mewarnai perekonomian global, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2008 diprakirakan mencapai 6,2% atau melambat

Lebih terperinci

Analisis Perkembangan Industri

Analisis Perkembangan Industri APRIL 2017 Analisis Perkembangan Industri Pusat Data dan Informasi April 2017 Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan I 2017 Pada triwulan 1 2017 perekonomian Indonesia, tumbuh sebesar 5,01% (yoy). Pertumbuhan

Lebih terperinci

Rakordal KALTENG. Kondisi Perekonomian Triwulan III dan Outlook Oktober 2015

Rakordal KALTENG. Kondisi Perekonomian Triwulan III dan Outlook Oktober 2015 Rakordal KALTENG 2015 Kondisi Perekonomian Triwulan III dan Outlook 2015 19 Oktober 2015 Outline 1 Perekonomian Nasional PDB Inflasi Rupiah Outlook 2015 3 Perekonomian Proyeksi PDRB Target Inflasi Kalteng

Lebih terperinci

ANALISIS Perkembangan Indikator Ekonomi Ma kro Semester I 2007 Dan Prognosisi Semester II 2007

ANALISIS Perkembangan Indikator Ekonomi Ma kro Semester I 2007 Dan Prognosisi Semester II 2007 ANALISIS Perkembangan Indikator Ekonomi Makro Semester I 2007 Dan Prognosisi Semester II 2007 Nomor. 02/ A/B.AN/VII/2007 Perkembangan Ekonomi Tahun 2007 Pada APBN 2007 Pemerintah telah menyampaikan indikator-indikator

Lebih terperinci

Ringsek KER Zona Sumbagteng Tw.I-2009 Ekonomi Zona Sumbagteng Melambat Seiring Dengan Melambatnya Permintaan Domestik

Ringsek KER Zona Sumbagteng Tw.I-2009 Ekonomi Zona Sumbagteng Melambat Seiring Dengan Melambatnya Permintaan Domestik B O K S Ringsek KER Zona Sumbagteng Tw.I-29 Ekonomi Zona Sumbagteng Melambat Seiring Dengan Melambatnya Permintaan Domestik PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO REGIONAL Pertumbuhan ekonomi Zona Sumbagteng terus

Lebih terperinci

Suharman Tabrani Kepala Perwakilan Bank Indonesia Balikpapan

Suharman Tabrani Kepala Perwakilan Bank Indonesia Balikpapan Perkembangan Terkini, Tantangan, dan Prospek Ekonomi Suharman Tabrani Kepala Perwakilan Bank Indonesia Balikpapan Disampaikan pada MUSRENBANG RKPD 2017 KOTA BALIKPAPAN OUTLINE 2 Perekonomian Nasional Perekonomian

Lebih terperinci

Daftar isi Kata Pengantar Bagian I 1. Bagian II 9. Bagian III 31. Bagian IV 57. Bagian V 79. Lampiran 89

Daftar isi Kata Pengantar Bagian I 1. Bagian II 9. Bagian III 31. Bagian IV 57. Bagian V 79. Lampiran 89 IV Daftar isi v Kata Pengantar vii Bagian I 1 Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek Ekonomi Daerah Bagian II 9 Perekonomian Sumatera Boks 1 25 Diversifikasi Vertikal dan Horisontal Perekonomian Sumatera

Lebih terperinci

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia Perlambatan pertumbuhan Indonesia terus berlanjut, sementara ketidakpastian lingkungan eksternal semakin membatasi ruang bagi stimulus fiskal dan moneter

Lebih terperinci

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan I-2012

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan I-2012 Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan I-2012 Asesmen Ekonomi Laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Kepulauan Riau pada triwulan II 2012 tercatat sebesar 7,25%, mengalami perlambatan dibandingkan

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI SUMATERA UTARA KANTOR PERWAKILAN BANK INDONESIA WILAYAH IX

KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI SUMATERA UTARA KANTOR PERWAKILAN BANK INDONESIA WILAYAH IX KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI SUMATERA UTARA TRIWULAN III-2013 KANTOR PERWAKILAN BANK INDONESIA WILAYAH IX 2013 KATA PENGANTAR Buku Kajian Ekonomi Regional Provinsi Sumatera Utara merupakan terbitan

Lebih terperinci

Potensi Kerentanan Ekonomi DKI Jakarta Menghadapi Krisis Keuangan Global 1

Potensi Kerentanan Ekonomi DKI Jakarta Menghadapi Krisis Keuangan Global 1 Boks I Potensi Kerentanan Ekonomi DKI Jakarta Menghadapi Krisis Keuangan Global 1 Gambaran Umum Perkembangan ekonomi Indonesia saat ini menghadapi risiko yang meningkat seiring masih berlangsungnya krisis

Lebih terperinci

4. Outlook Perekonomian

4. Outlook Perekonomian 4. Outlook Perekonomian Pada tahun 2007-2008, ekspansi perekonomian Indonesia diprakirakan terus berlanjut dengan dilandasi oleh stabilitas makroekonomi yang terjaga. Pertumbuhan ekonomi pada 2007 diprakirakan

Lebih terperinci

Daftar isi Kata Pengantar Bagian I 1. Bagian II 9. Bagian III 27. Bagian IV 51. Bagian V 71. Lampiran 87

Daftar isi Kata Pengantar Bagian I 1. Bagian II 9. Bagian III 27. Bagian IV 51. Bagian V 71. Lampiran 87 IV Daftar isi v Kata Pengantar vii Bagian I 1 Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek Ekonomi Daerah Bagian II 9 Perekonomian Sumatera Boks 1 22 Peran Pembangunan Infrastruktur Pertanian Terhadap Perekonomian

Lebih terperinci

BAB 1 : PERKEMBANGAN MAKRO REGIONAL

BAB 1 : PERKEMBANGAN MAKRO REGIONAL BAB 1 : PERKEMBANGAN MAKRO REGIONAL Tren melambatnya perekonomian regional masih terus berlangsung hingga triwulan III-2010. Ekonomi triwulan III-2010 tumbuh 5,71% (y.o.y) lebih rendah dibandingkan triwulan

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL TRIWULAN I 216 website : www.bi.go.id email : empekanbaru@bi.go.id KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL VISI BANK INDONESIA : kredibel

Lebih terperinci

Publikasi ini beserta publikasi Bank Indonesia yang lain dapat diakses secara online pada:

Publikasi ini beserta publikasi Bank Indonesia yang lain dapat diakses secara online pada: Februari 2018 Publikasi ini beserta publikasi Bank Indonesia yang lain dapat diakses secara online pada: http://www.bi.go.id/id/publikasi/kajian-ekonomi-regional/ Salinan publikasi ini juga dapat diperoleh

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI REGIONAL

KAJIAN EKONOMI REGIONAL KAJIAN EKONOMI REGIONAL Provinsi Sumatera Selatan Triwulan I - 2013 Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah VII Kata Pengantar Segala puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat

Lebih terperinci

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan I-2012

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan I-2012 Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan I-2012 Asesmen Ekonomi Pada triwulan I 2012 pertumbuhan Kepulauan Riau mengalami akselerasi dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat 6,34% (yoy)

Lebih terperinci

Inflasi IHK Provinsi Sulawesi Utara. Inflasi Komoditas Utama. Periode. mtm -1,52% yoy 0,35% ytd 0,35% avg yoy 1 7,11% Beras.

Inflasi IHK Provinsi Sulawesi Utara. Inflasi Komoditas Utama. Periode. mtm -1,52% yoy 0,35% ytd 0,35% avg yoy 1 7,11% Beras. Inflasi IHK Provinsi Sulawesi Utara mtm -1,52% yoy 0,35% ytd 0,35% avg yoy 1 7,11% Inflasi Komoditas Utama Beras Minyak Goreng Daging Ayam Ras Cabai Rawit Bawang Merah Tomat Sayur Cakalang Inflasi Sulawesi

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL TRIWULAN I 216 website : www.bi.go.id email : empekanbaru@bi.go.id KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL VISI BANK INDONESIA : kredibel

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG TRIWULAN III TAHUN 2015

PERTUMBUHAN EKONOMI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG TRIWULAN III TAHUN 2015 No. 76/11/19/Th.IX, November 01 PERTUMBUHAN EKONOMI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG TRIWULAN III TAHUN 01 EKONOMI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG TRIWULAN III-01 TUMBUH,96 PERSEN MELAMBAT DIBANDING TRIWULAN II-01

Lebih terperinci

PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG

PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG 67 VI. PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG Harga komoditas pertanian pada umumnya sangat mudah berubah karena perubahan penawaran dan permintaan dari waktu ke waktu. Demikian pula yang terjadi pada

Lebih terperinci

Publikasi ini dapat diakses secara online pada:

Publikasi ini dapat diakses secara online pada: A FEBRUARI 218 Publikasi ini dapat diakses secara online pada: www.bi.go.id/web/id/publikasi Salinan publikasi dalam bentuk hardcopy dapat diperoleh di: Unit Advisory Ekonomi dan Keuangan Kantor Perwakilan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN I-2016

PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN I-2016 BPS PROVINSI LAMPUNG No. 09/05/18/Th.XVII, 4 Mei 2016 PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN I-2016 EKONOMI LAMPUNG TUMBUH 5,05 PERSEN MENGUAT DIBANDINGKAN TRIWULAN I-2015 Perekonomian Lampung triwulan I-2016

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN II-2016 EKONOMI PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN II-2016 TUMBUH 5,21 PERSEN MENGUAT DIBANDINGKAN TRIWULAN II-2015

PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN II-2016 EKONOMI PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN II-2016 TUMBUH 5,21 PERSEN MENGUAT DIBANDINGKAN TRIWULAN II-2015 BPS PROVINSI LAMPUNG No. 09/08/Th.XVII, 5 Agustus 2016 PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN II-2016 EKONOMI PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN II-2016 TUMBUH 5,21 PERSEN MENGUAT DIBANDINGKAN TRIWULAN II-2015 Perekonomian

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TAHUN 2016

PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TAHUN 2016 BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No.11/02/34/Th.XIX, 6 Februari 2017 PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TAHUN 2016 EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN 2016 TUMBUH 5,05 PERSEN LEBIH TINGGI DIBANDING TAHUN

Lebih terperinci

Dari sisi permintaan (demmand side), perekonomian Kalimantan Selatan didorong permintaan domestik terutama konsumsi rumah tangga.

Dari sisi permintaan (demmand side), perekonomian Kalimantan Selatan didorong permintaan domestik terutama konsumsi rumah tangga. No. 064/11/63/Th.XVIII, 5 November 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN III-2014 Perekonomian Kalimantan Selatan pada triwulan III-2014 tumbuh sebesar 6,19 persen, lebih lambat dibandingkan

Lebih terperinci

BAB 5 : SISTEM PEMBAYARAN

BAB 5 : SISTEM PEMBAYARAN BAB 5 SISTEM PEMBAYARAN BAB 5 : SISTEM PEMBAYARAN Transaksi sistem pembayaran tunai di Gorontalo pada triwulan I-2011 diwarnai oleh net inflow dan peningkatan persediaan uang layak edar. Sementara itu,

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL TRIWULAN I 2015 website : www.bi.go.id email : empekanbaru@bi.go.id VISI BANK INDONESIA : kredibel dan terbaik di regional melalui penguatan nilai-nilai strategis yang

Lebih terperinci

BAB 1 : PERKEMBANGAN MAKRO REGIONAL

BAB 1 : PERKEMBANGAN MAKRO REGIONAL BAB 1 : PERKEMBANGAN MAKRO REGIONAL Perekonomian Gorontalo triwulan I-2013 tumbuh 7,63% (y.o.y) lebih baik dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 7,57% (y.o.y.) Pencapaian tersebut masih

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI TRIWULAN I TAHUN 2016 PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

PERTUMBUHAN EKONOMI TRIWULAN I TAHUN 2016 PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERTUMBUHAN EKONOMI TRIWULAN I TAHUN 2016 PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG EKONOMI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG TRIWULAN I-2016 TUMBUH 3,30 PERSEN, MELAMBAT DIBANDING TRIWULAN I- No. 32/05/19/Th.X,

Lebih terperinci

Grafik 1 Laju dan Sumber Pertumbuhan PDRB Jawa Timur q-to-q Triwulan IV (persen)

Grafik 1 Laju dan Sumber Pertumbuhan PDRB Jawa Timur q-to-q Triwulan IV (persen) BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 13/02/35/Th. XII, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR I. PERTUMBUHAN DAN STRUKTUR EKONOMI MENURUT LAPANGAN USAHA Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2015

PERTUMBUHAN EKONOMI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2015 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NTB No. 12/02/52/Th.X, 5 Februari 2016 PERTUMBUHAN EKONOMI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2015 EKONOMI NUSA TENGGARA BARAT PADA TRIWULAN IV 2015 TUMBUH 11,98 PERSEN Sampai dengan

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Isi

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Isi E E Daftar Isi DAFTAR ISI HALAMAN Kata Pengantar... iii Daftar Isi... iv Daftar Tabel... vii Daftar Grafik... viii Daftar Gambar... xii Tabel Indikator Ekonomi Terpilih... xiii RINGKASAN EKSEKUTIF... 1

Lebih terperinci

Publikasi ini beserta publikasi Bank Indonesia yang lain dapat diakses secara online pada:

Publikasi ini beserta publikasi Bank Indonesia yang lain dapat diakses secara online pada: November 2017 Publikasi ini beserta publikasi Bank Indonesia yang lain dapat diakses secara online pada: http://www.bi.go.id/id/publikasi/kajian-ekonomi-regional/ Salinan publikasi ini juga dapat diperoleh

Lebih terperinci

Agustus L a p o r a n N u s a n t a r a 1 VOLUME 9 NOMOR 3

Agustus L a p o r a n N u s a n t a r a 1 VOLUME 9 NOMOR 3 Agustus 214 L a p o r a n N u s a n t a r a 1 VOLUME 9 NOMOR 3 Halaman ini sengaja dikosongkan L a p o r a n N u s a n t a r a Daftar Isi 3 Kata Pengantar 5 Bagian I Ringkasan Perkembangan dan Prospek

Lebih terperinci

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Gorontalo

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Gorontalo BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA Kajian Ekonomi Regional Provinsi Gorontalo Triwulan I 2013 Visi Bank Indonesia : Menjadi lembaga Bank Sentral yang dapat dipercaya secara nasional maupun internasional melalui

Lebih terperinci

Kinerja ekspor mengalami pertumbuhan negatif dibanding triwulan sebelumnya terutama pada komoditas batubara

Kinerja ekspor mengalami pertumbuhan negatif dibanding triwulan sebelumnya terutama pada komoditas batubara No. 063/11/63/Th.XVII, 6 November 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN III-2013 Secara umum pertumbuhan ekonomi Kalimantan Selatan triwulan III-2013 terjadi perlambatan. Kontribusi terbesar

Lebih terperinci

KONSULTASI PUBLIK RKPD PROVINSI KALTIM 2018

KONSULTASI PUBLIK RKPD PROVINSI KALTIM 2018 KONSULTASI PUBLIK RKPD PROVINSI KALTIM 218 Peran Dunia Usaha Dalam Menggerakan Ekonomi Rakyat Samarinda, 14 Maret 217 STRUKTUR EKONOMI KALTIM Seiring dengan booming harga komoditas yang terjadi pada tahun

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI SULAWESI BARAT

KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI SULAWESI BARAT KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI SULAWESI BARAT TRIWULAN-I 2013 halaman ini sengaja dikosongkan iv Triwulan I-2013 Kajian Ekonomi Regional Sulawesi Barat Daftar Isi KATA PENGANTAR... III DAFTAR ISI...

Lebih terperinci

CATATAN ATAS PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DALAM RKP Grafik 1. Tingkat Kemiskinan,

CATATAN ATAS PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DALAM RKP Grafik 1. Tingkat Kemiskinan, CATATAN ATAS PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DALAM RKP 2013 A. Perkembangan Tingkat Kemiskinan Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan September 2011 sebesar 29,89 juta orang (12,36 persen).

Lebih terperinci

Kajian Ekonomi Regional Provinsi Sulawesi Selatan

Kajian Ekonomi Regional Provinsi Sulawesi Selatan Kajian Ekonomi Regional Provinsi Sulawesi Selatan Triwulan IV 213 KANTOR PERWAKILAN BANK INDONESIA WILAYAH I SULAWESI MALUKU PAPUA Publikasi ini beserta publikasi Bank Indonesia yang lain dapat diakses

Lebih terperinci

ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran

ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran 1 ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia I.1

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TAHUN 2016

PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TAHUN 2016 BPS PROVINSI LAMPUNG No. 09/02/18 Tahun XVIII, 6 Februari 2017 PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TAHUN 2016 EKONOMI LAMPUNG TAHUN 2016 TUMBUH 5,15 PERSEN MENGUAT DIBANDINGKAN TAHUN SEBELUMNYA Perekonomian Lampung

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO ACEH

PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO ACEH PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO ACEH Ekonomi Aceh dengan migas pada triwulan II tahun 2013 tumbuh sebesar 3,89% (yoy), mengalami perlambatan dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 4,79% (yoy). Pertumbuhan

Lebih terperinci

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA TRIWULAN II Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Gorontalo

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA TRIWULAN II Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Gorontalo BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA TRIWULAN II 2013 Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Gorontalo Visi Bank Indonesia : Menjadi lembaga Bank Sentral yang dapat dipercaya secara nasional maupun internasional

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH 2016

PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH 2016 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH No. 09/02/Th.XX, 6 Februari 2017 PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH EKONOMI ACEH SELAMA TAHUN DENGAN MIGAS TUMBUH 3,31 PERSEN, TANPA MIGAS TUMBUH 4,31 PERSEN. Perekonomian Aceh

Lebih terperinci

Analisis Perkembangan Industri

Analisis Perkembangan Industri FEBRUARI 2017 Analisis Perkembangan Industri Pusat Data dan Informasi Februari 2017 Pendahuluan Pada tahun 2016 pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat sebesar 5,02%, lebih tinggi dari pertumbuhan tahun

Lebih terperinci

Perkembangan Perekonomian Terkini. Peluang Pengembangan Perekonomian. Proyeksi Perekonomian Ke depan

Perkembangan Perekonomian Terkini. Peluang Pengembangan Perekonomian. Proyeksi Perekonomian Ke depan 01 02 03 Perkembangan Perekonomian Terkini Peluang Pengembangan Perekonomian Proyeksi Perekonomian Ke depan 2 Produk Domestik Regional Bruto Nasional Balikpapan Kaltim Industri Konstruksi Transportasi

Lebih terperinci