HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Wilayah Sulawesi Utara Sulawesi Utara terletak di jazirah Pulau Sulawesi yang terdiri atas 13 kabupaten/kota, 100 kecamatan, dan 1196 kelurahan/desa. Dilihat dari kondisi geografisnya, Sulawesi Utara terletak pada Lintang Utara dan Bujur Timur. Provinsi ini berbatasan dengan Laut Sulawesi, Samudra Pasifik, dan Republik Filipina (sebelah utara), Laut Maluku (sebelah timur), Teluk Tomini (sebelah selatan) dan Gorontalo (sebelah barat). Sulawesi Utara beribukota di Manado. Luas wilayah Sulawesi Utara adalah km 2 yang meliputi 9 kabupaten (Boolaang Mongondow, Bolaang Mongondow Utara, Minahasa, Kepulauan Sangihe, Kepulauan Talaud, Minahasa Selatan, Minahasa Utara, Kepulauan Sitaro, dan Minahasa Tenggara) serta 4 kota (Manado, Bitung, Tomohon, dan Kotamobagu). Jumlah penduduk Sulawesi Utara pada tahun 2007 adalah jiwa. Penduduk Sulawesi Utara terdiri atas Suku Minahasa (40%), Sangir (19.8%), Mongondow (11.3%), dan Gorontalo (7.4%). Bahasa yang digunakan di Sulawesi Utara adalah Bahasa Minahasa (Toulour, Tombulu, Tonsea, Tontemboan, Tonsawang, Ponosakan, dan Bantik), Bahasa Sangihe Talaud (Sangihe Besar, Siau, Talaud), Bahasa Bolaang Mongondow (Mongondow, Bolaang, Bintauna, Kaidipang). Agama yang dianut oleh penduduk Sulawesi Utara adalah Protestan (65%), Islam (28.4%), Katolik (6%), dan lainnya (0.6%). Pada tahun 2006, total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sulawesi Utara mencapai triliun rupiah. Kontribusinya berasal dari sektor pertanian sebesar 2.77 triliun rupiah atau 21.8% dari total PDRB diikuti sektor jasa sebesar 2.08 triliun rupiah (16.3%) kemudian sektor bangunan sebesar 1.98 triliun rupiah atau sekitar (15.6%) dari total PDRB. Upah Minimum Regional (UMR) Sulawesi Utara pada tahun 2008 adalah rupiah. Komoditas unggulan Sulawesi Utara di bidang pertanian adalah kentang, wortel dan nanas. Komoditas unggulan di bidang perikanan adalah industri ikan tuna, cakalang dan layang. Pariwisata merupakan salah satu sektor potensial yang dimiliki Sulawesi Utara sebagai salah satu sumber-daya ekonomi seperti wisata alam, wisata bahari, dan wisata budaya.

2 Gorontalo Gorontalo adalah provinsi ke-32 berdasarkan Undang-Undang nomor 38 tahun 2000 tanggal 22 Desember Gorontalo terdiri atas 6 kabupaten/kota, 65 kecamatan, dan 577 desa/kelurahan. Dilihat dari kondisi geografisnya, Gorontalo terletak antara Lintang Utara dan Bujur Timur. Gorontalo berbatasan dengan Laut Sulawesi dan Laut Pasifik (sebelah utara), Sulawesi Utara (sebelah timur), Teluk Tomini (sebelah selatan), dan Sulawesi Tengah (sebelah barat). Gorontalo beribukota di Gorontalo. Luas wilayah Gorontalo adalah km 2 yang mencakup Kabupaten Gorontalo Utara, Boalemo, Gorontalo, Pohuwato, Bone Bolango dan Kota Gorontalo. Jumlah penduduk provinsi ini pada tahun 2008 adalah jiwa. Mayoritas penduduk Gorontalo (97.5%) beragama Islam, sedangkan sisanya pemeluk agama Protestan, Katolik, Hindu dan Budha. Bahasa daerah yang digunakan di Gorontalo terbagi menjadi tiga dialek, yaitu dialek Gorontalo, dialek Bolango, dan dialek Suwawa. Pada tahun 2007, PDRB Gorontalo mencapai trilyun rupiah. UMR Gorontalo pada tahun 2008 adalah rupiah. Secara sektoral perekonomian Gorontalo didominasi oleh sektor pertanian dan sektor jasa serta sektor perdagangan, hotel dan restoran. Komoditas unggulan Gorontalo di bidang pertanian adalah jagung, padi, cabai, dan tomat. Komoditas sektor perikanan terdiri atas perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Gorontalo memiliki satu kawasan industri yaitu kawasan Industri Agro Terpadu (KIAT) yang terletak di Kabupaten Bone Bolango. DKI Jakarta DKI Jakarta adalah ibukota negara dan pusat pemerintahan, sesuai dengan Undang-Undang No. 10 tahun 1964 tanggal 31 Agustus 1964 yang menyatakan bahwa Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya adalah Ibukota Negara Republik Indonesia. DKI Jakarta terdiri atas 5 kota dan 1 kota administratif (kotif), 43 kecamatan, dan 265 kelurahan. Secara geografis, DKI Jakarta terletak antara 6 11 Lintang Selatan dan Bujur Timur. DKI Jakarta berbatasan langsung dengan Jawa Barat, Banten, dan Laut Jawa. Ibukota DKI Jakarta adalah Jakarta. Luas wilayah DKI Jakarta adalah km², terdiri atas daratan seluas km² dan lautan seluas km² yang mencakup Kota Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, dan Jakarta Pusat, sedangkan 1 kotif adalah Kotif Kepulauan Seribu.

3 Jumlah penduduk DKI Jakarta pada tahun 2006 adalah jiwa. DKI Jakarta memiliki penduduk lebih dari 300 suku bangsa dengan 200 bahasa. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) DKI Jakarta pada tahun 2006 mencapai triliun rupiah. Kontribusi terbesar berasal dari sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan yang mencapai 30.8% dari total PDRB diikuti sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor industri pengolahan dengan nilai untuk masing-masing sektor tersebut sebesar 21.5% dan 17.3%. UMR DKI Jakarta pada tahun 2008 adalah rupiah. Karakteristik Demografi dan Sosial-Ekonomi Sampel Karakteristik demografi dan sosial-ekonomi sampel terdiri atas umur, jenis kelamin, status kawin, besar keluarga, pendidikan, pekerjaan, pengeluaran per kapita, dan tipe wilayah. Tabel 2 memperlihatkan proporsi terbesar umur sampel total berkisar antara 25 dan 34 tahun (24.8%). Menurut sebaran masing-masing provinsi, proporsi terbesar umur sampel di Sulawesi Utara sekitar tahun (22.9%), sedangkan di Gorontalo (26.1%) dan DKI Jakarta (26.4%) sekitar tahun. Untuk jenis kelamin, sekitar separuh sampel total adalah perempuan (52.3%); begitu juga berdasarkan sebaran per provinsi: 51.3% sampel di Sulawesi Utara, 52.1% sampel di Gorontalo dan 53.2% sampel di DKI Jakarta adalah perempuan. Untuk status kawin, kebanyakan sampel total berstatus kawin (69.5%); demikian pula menurut sebaran tiap provinsi: mayoritas sampel di Sulawesi Utara (72.5%), Gorontalo (72.6%), dan DKI Jakarta (65.8%) berstatus kawin. Adapun untuk besar keluarga, proporsi terbesar sampel total mempunyai 3-4 anggota keluarga yang tinggal serumah (47.2%); begitu pun berdasarkan sebaran masing-masing provinsi: sekitar separuh sampel di Sulawesi Utara (51.4%) dan Gorontalo (50.2%), dan kurang dari separuh sampel di DKI Jakarta (42.5%) memiliki 3-4 anggota keluarga yang tinggal serumah. Pendidikan merupakan salah satu karakteristik demografi dan sosialekonomi sampel. Dalam Tabel 2 dapat dilihat bahwa proporsi terbesar pendidikan sampel total (29.2%) adalah tamat SMA. Menurut sebaran per provinsi, proporsi terbesar pendidikan sampel di Sulawesi Utara (26.6%) dan DKI Jakarta (37.1%) adalah tamat SMA, sedangkan proporsi terbesar pendidikan sampel di Gorontalo (29.3%) adalah tamat SD. Untuk pekerjaan, proporsi terbesar pekerjaan sampel total adalah ibu rumah tangga (28.8%), demikian juga berdasarkan sebaran tiap provinsi: sampel di Sulawesi Utara (29.5%), Gorontalo

4 (30.5%), dan DKI Jakarta (27.6%) adalah ibu rumah tangga. Proporsi terbesar kedua pekerjaan sampel total adalah petani/nelayan/buruh dan wiraswata/pedagang/jasa. Menurut sebaran masing-masing provinsi, proporsi terbesar kedua pekerjaan sampel di Sulawesi Utara (28.4%) dan Gorontalo (29.1%) adalah petani/nelayan/buruh, sedangkan di DKI Jakarta (20.1%) adalah wiraswasta/pedagang/jasa. Pengeluaran per kapita sampel merupakan salah satu ukuran tingkat sosial-ekonomi sampel. Tabel 2 menunjukkan bahwa proporsi pengeluaran per kapita sampel total hampir sama (20%). Begitu pula berdasarkan sebaran per provinsi, pada ketiga provinsi proporsi pengeluaran per kapita kurang lebih sama. Tidak terdapat perbedaan proporsi pengeluaran per kapita yang mencolok pada ketiga provinsi. Karakteristik lain sampel yang dilihat adalah karakteristik tempat tinggal. Lebih dari separuh sampel total tinggal di perkotaan (62.2%). Bila dilihat menurut sebaran tiap provinsi, kebanyakan sampel di Sulawesi Utara (63.8%) dan Gorontalo (74.6%) tinggal di perdesaan. Adapun di DKI Jakarta, semua sampel bertempat tinggal di perkotaan. Tabel 2. Karakteristik demografi dan sosial-ekonomi sampel Karakteristik Demografi dan Sosial- Ekonomi Umur Sulawesi Utara n=8885 Provinsi (%) Gorontalo n=5871 DKI Jakarta n=11805 Total n= (18.5) 1386(23.6) 2743(23.2) 5773(21.7) (21.9) 1543(26.1) 3111(26.4) 6589(24.8) (22.9) 1397(23.8) 2551(21.6) 5981(22.5) (17.6) 846(14.4) 1798(15.2) 4209(15.8) (10.1) 474(8.1) 972(8.2) 2345(8.8) (6.2) 189(3.2) 470(4.0) 1214(4.6) (2.8) 45(0.8) 160(1.4) 450(1.7) Jenis kelamin Laki-laki 4330(48.7) 2813(47.9) 5523(46.8) 12666(47.7) Perempuan 4555(51.3) 3058(52.1) 6282(53.2) 13895(52.3) Status kawin Belum kawin 1852(20.8) 1282(21.8) 3228(27.3) 6362(24.0) Kawin 6439(72.5) 4264(72.6) 7763(65.8) 18466(69.5) Cerai hidup/mati 594(6.7) 325(5.5) 814(6.9) 1733(6.5) Besar keluarga (12.6) 519(8.8) 1297(11.0) 2935(11.1) (51.4) 2948(50.2) 5021(42.5) 12533(47.2)

5 Karakteristik Demografi dan Sosial- Ekonomi Sulawesi Utara n=8885 Provinsi (%) Gorontalo n=5871 DKI Jakarta n=11805 Total n= (27.2) 1782(30.4) 3677(31.1) 7880(29.7) >6 781(8.8) 622(10.6) 1810(15.3) 3213(12.1) Pendidikan Tidak pernah sekolah 110(1.2) 180(3.1) 474(4.0) 764(2.9) Tidak tamat SD 1492(16.8) 1697(28.9) 856(7.3) 4045(15.2) Tamat SD 2298(25.9) 1722(29.3) 2265(19.2) 6285(23.7) Tamat SMP 2119(23.8) 961(16.4) 2690(22.8) 5770(21.7) Tamat SMA 2361(26.6) 1009(17.2) 4383(37.1) 7753(29.2) Tamat PT 505(5.7) 302(5.1) 1137(9.6) 1944(7.3) Pekerjaan Tidak bekerja/sekolah 1564(17.6) 1069(18.2) 2265(19.2) 4898(18.4) Ibu rumah tangga 2618(29.5) 1789(30.5) 3253(27.6) 7660(28.8) TNI/POLRI/PNS 486(5.5) 358(6.1) 373(3.2) 1217(4.6) Pegawai BUMN/swasta 393(4.4) 96(1.6) 2017(17.1) 2506(9.4) Wiraswasta/pedagang/jasa 938(10.6) 610(10.4) 2371(20.1) 3919(14.8) Petani/nelayan/buruh 2526(28.4) 1706(29.1) 1065(9.0) 5297(19.9) Lainnya 360(4.1) 243(4.1) 461(3.9) 1064(4.0) Pengeluaran per kapita Kuintil (19.2) 1130(19.2) 2351(19.9) 5187(19.5) Kuintil (20.4) 1138(19.4) 2372(20.1) 5320(20.0) Kuintil (20.0) 1181(20.1) 2365(20.0) 5319(20.0) Kuintil (20.0) 1199(20.4) 2345(19.9) 5324(20.0) Kuintil (20.4) 1223(20.8) 2372(20.1) 5411(20.4) Tipe wilayah Perkotaan 3220(36.2) 1490(25.4) 11805(100.0) 16515(62.2) Perdesaan 5665(63.8) 4381(74.6) 0(0.0) 9046(34.1) Gaya Hidup Sampel Gaya hidup sampel terdiri atas kebiasaan merokok selama satu bulan terakhir, aktivitas fisik berat, perilaku konsumsi makanan/minuman dan kondisi mental emosional. Tabel 3 menunjukkan bahwa kurang dari separuh sampel total memiliki kebiasaan merokok (33.4%), demikian pula berdasarkan sebaran masing-masing provinsi: 33.9% sampel di Sulawesi Utara, 37.8% sampel di Gorontalo dan 30.9% sampel di DKI Jakarta biasa merokok. Untuk aktivitas fisik berat, lebih dari separuh sampel total (62.9%) tidak beraktivitas fisik berat. Menurut sebaran per provinsi, separuh sampel di Sulawesi Utara (59.1%) dan Gorontalo (54.3%) dan sebagian besar sampel di DKI Jakarta (84.1%) tidak beraktivitas fisik berat.

6 Perilaku konsumsi terdiri atas konsumsi minuman beralkohol selama satu bulan terakhir, konsumsi sayuran dan buah, konsumsi makanan/minuman manis dan konsumsi makanan berlemak. Tabel 3 menunjukkan bahwa konsumsi minuman beralkohol selama satu bulan terakhir pada sampel total sebesar 10.1%. Berdasarkan sebaran tiap provinsi, konsumsi minuman beralkohol selama satu bulan terakhir di Sulawesi Utara, Gorontalo, dan DKI Jakarta berturut-turut sebanyak 18.5%, 12.1%, dan 2.8%. Hampir semua sampel total (98.5%) kurang mengonsumsi sayuran dan buah, demikian pula menurut sebaran masing-masing provinsi: 98.3% sampel di Sulawesi Utara, 99.3% sampel di Gorontalo, dan 97.5% sampel di DKI Jakarta kurang mengonsumsi sayuran dan buah. Untuk konsumsi makanan/minuman manis, kurang dari separuh sampel total mengonsumsi makanan/minuman manis 1 kali per hari (36.3%). Berdasarkan sebaran per provinsi, kurang dari separuh sampel di Sulawesi Utara (37.6%) dan Gorontalo (33.4%) mengonsumsi makanan/minuman manis > 1 kali per hari, sedangkan di DKI Jakarta, kurang dari separuh sampel mengonsumsi makanan/minuman manis 1 kali per hari (39.7%). Perilaku konsumsi lainnya yang dapat dilihat adalah konsumsi makanan berlemak. Kurang dari separuh sampel total mengonsumsi makanan berlemak 1-2 kali per minggu (27.2%). Menurut sebaran tiap provinsi, kurang dari separuh sampel di Sulawesi Utara (38.7%) dan Gorontalo (23.7%) mengonsumsi makanan berlemak < 3 kali per bulan, sedangkan di DKI Jakarta, kurang dari separuh sampel (30.9%) mengonsumsi makanan berlemak 1-2 kali per minggu. Kondisi mental emosional adalah suatu keadaan yang mengindikasikan individu mengalami suatu perubahan emosional yang dapat berkembang menjadi keadaan patologis apabila terus berlanjut (Balitbangkes, Depkes 2008). Tabel 3 menunjukkan bahwa sekitar 13.7% sampel total terganggu kondisi mental emosionalnya. Berdasarkan sebaran per provinsi, sampel yang terganggu kondisi mental emosionalnya di Sulawesi Utara, Gorontalo, dan DKI Jakarta berturut-turut adalah 9.8%, 17.4%, dan 14.6%.

7 Tabel 3. Gaya hidup sampel Gaya Hidup Sulawesi Utara n=8885 Provinsi (%) Gorontalo n=5871 DKI Jakarta n=11805 Total n=26561 Kebiasaan merokok Tidak pernah 5408(60.9) 3470(59.1) 7517(63.7) 16395(61.7) Pernah 465(5.2) 182(3.1) 636(5.4) 1283(4.8) Kadang kadang 580(6.5) 363(6.2) 872(7.4) 1815(6.8) Setiap hari 2432(27.4) 1856(31.6) 2780(23.5) 7068(26.6) Aktivitas fisik berat Tidak 5252(59.1) 3190(54.3) 9925(84.1) 18367(62.9) Ya 3633(40.9) 2681(45.7) 1880(15.9) 8194(30.8) Konsumsi minuman beralkohol Tidak 7238(81.5) 5163(87.9) 11480(97.2) 23881(89.9) Ya 1647(18.5) 708(12.1) 325(2.8) 2680(10.1) Konsumsi sayuran dan buah Kurang 8735(98.3) 5827(99.3) 11505(97.5) 26167(98.5) Cukup 150(1.7) 44(0.7) 300(2.5) 494(1.9) Konsumsi makanan/minuman manis Tidak pernah 202(2.3) 265(4.5) 380(3.2) 847(3.2) < 3 kali per bulan 527(5.9) 165(2.8) 352(3.0) 1044(3.9) 1 2 kali per minggu 787(8.9) 802(13.7) 1260(10.7) 2849(10.7) 3 6 kali per minggu 928(10.4) 809(13.8) 1276(10.8) 3013(11.3) 1 kali per hari 3098(34.9) 1868(31.8) 4688(39.7) 9654(36.3) > 1 kali per hari 3343(37.6) 1962(33.4) 3849(32.6) 9154(34.5) Konsumsi makanan berlemak Tidak pernah 888(10.0) 678(11.5) 874(7.4) 2440(9.2) < 3 kali per bulan 3376(38.0) 1391(23.7) 2340(19.8) 7107(26.8) 1 2 kali per minggu 2358(26.5) 1208(20.6) 3650(30.9) 7216(27.2) 3 6 kali per minggu 1653(18.6) 1288(21.9) 2418(20.5) 5359(20.2) 1 kali per hari 362(4.1) 815(13.9) 1710(14.5) 2887(10.9) > 1 kali per hari 248(2.8) 491(8.4) 813(6.9) 1552(5.8) Kondisi mental emosional Tidak terganggu 8011(90.2) 4848(82.6) 10076(85.4) 22935(86.3) Terganggu 874(9.8) 1023(17.4) 1729(14.6) 3626(13.7) Profil Obesitas Sentral Berdasarkan Karakteristik Demografi dan Sosial Ekonomi Tabel 4 menunjukkan sebaran sampel menurut karakteristik demografi dan sosial-ekonomi terhadap kejadian obesitas sentral. Berdasarkan kelompok umur, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel total dengan kisaran umur tahun (38.1%). Menurut sebaran masing-masing provinsi, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel dengan kisaran umur tahun di Sulawesi Utara (37.3%) dan DKI Jakarta (39.7%) dan tahun di Gorontalo (37.8%).

8 Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi obesitas sentral pada sampel total lebih tinggi pada perempuan (40.2%) dibandingkan dengan laki-laki (11.5%), demikian pula menurut sebaran per provinsi: 27.2% pada perempuan dan 13.6% pada laki-laki di Sulawesi Utara, 40.6% pada perempuan dan 8.4% pada laki-laki di Gorontalo, serta 36.9% pada perempuan dan 11.5% pada laki-laki di DKI Jakarta. Hasil penelitian sejalan dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya yang menemukan tingginya prevalensi obesitas sentral pada perempuan. Di Yunani, prevalensi obesitas sentral 36% pada laki-laki dan 43% pada perempuan (Panagiotakos et al. 2004); di Turki, 18.1% pada laki-laki dan 38.9% pada perempuan (Erem et al. 2004); di Oman, 31.5% pada laki-laki dan 64.6% pada perempuan (Al-Riyami&Afifi 2003); dan di China, 16.1% pada laki-laki dan 37.6% pada perempuan (Reynolds et al. 2007). Tingginya prevalensi obesitas sentral pada perempuan diduga akibat lebih banyaknya kelebihan lemak pusat pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki (Misra et al. 2001). Menurut status kawin, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel total yang berstatus cerai hidup atau mati (39.5%), begitu pula berdasarkan sebaran tiap provinsi: 37.5% di Sulawesi Utara, 38.8% di Gorontalo, dan 41.3% di DKI Jakarta. Hasil penelitian sejalan dengan hasil penelitian yang dilaporkan Erem et al. (2004) yang menemukan tingginya prevalensi obesitas pada sampel yang berstatus cerai. Menurut besar keluarga, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel total yang memiliki anggota keluarga 1-2 orang (30.6%), demikian pula menurut sebaran masing-masing provinsi: 33.0% di Sulawesi Utara, 31.2% di Gorontalo dan 28.4% di DKI Jakarta. Terdapat kecenderungan penurunan prevalensi obesitas sentral dengan semakin banyaknya anggota keluarga, baik pada sampel total maupun sampel per provinsi. Berdasarkan pendidikan, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel total yang tidak sekolah. Menurut sebaran tiap provinsi, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel yang tidak sekolah di DKI Jakarta (41.4%) dan tamat perguruan tinggi di Gorontalo (36.8%) dan Sulawesi Utara (38.4%). Berdasarkan pekerjaan, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel total yang bekerja sebagai ibu rumah tangga (47.1%), begitu pula menurut sebaran masing-masing provinsi: 49% di Sulawesi Utara, 46.7% di Gorontalo dan 45.1% di DKI Jakarta.

9 Menurut pengeluaran per kapita, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel total dengan pengeluaran per kapita kuintil ke-5 (30.6%), demikian pula berdasarkan sebaran per provinsi: 33.8% sampel di Sulawesi Utara, 33.0% sampel di Gorontalo, dan 26.9% sampel di DKI Jakarta memiliki pengeluaran per kapita kuintil ke-5. Terdapat kecenderungan meningkatnya prevalensi obesitas sentral seiring dengan meningkatnya pengeluaran per kapita, baik pada sampel total maupun sampel tiap provinsi. Menurut tipe wilayah, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel total yang bertempat tinggal di perkotaan (59.4%), demikian pula berdasarkan masing-masing provinsi: 35.4% sampel di Sulawesi Utara, 30.9% sampel di Gorontalo, dan 25% sampel di DKI Jakarta bermukim di perkotaan. Tabel 4. Sebaran sampel berdasarkan karakteristik demografi dan sosialekonomi terhadap kejadian obesitas sentral Karakteristik Demografi dan Sosial- Ekonomi Obesitas Sentral (%) Sulawesi Utara Gorontalo DKI Jakarta Total Umur (9.2) 134(9.7) 232(8.5) 518(9.0) (28.0) 339(22.1) 633(20.3) 1516(23.0) (35.5) 458(32.8) 792(31.0) 1971(33.0) (37.3) 308(36.4) 714(39.7) 1605(38.1) (37.2) 179(37.8) 359(36.9) 872(37.2) (34.8) 52(27.5) 177(37.7) 422(34.8) 75 80(32.7) 9(20.0) 50(31.3) 139(30.9) Jenis kelamin Laki-laki 587(13.6) 237(8.4) 636(11.5) 1460(11.5) Perempuan 2020(44.3) 1242(40.6) 2321(36.9) 5583(40.2) Status kawin Belum kawin 167(9.0) 98(7.6) 254(7.9) 519(8.2) Kawin 2217(34.4) 1255(29.4) 2367(30.5) 5839(31.6) Cerai hidup/mati 223(37.5) 126(38.8) 336(41.3) 685(39.5) Besar keluarga (33.0) 162(31.2) 368(28.4) 899(30.6) (30.2) 775(26.3) 1303(26.0) 3456(27.6) (28.4) 412(23.1) 902(24.5) 2002(25.4) >6 172(22.0) 130(20.9) 384(21.2) 686(21.4) Pendidikan Tidak sekolah 24(21.8) 29(16.1) 196(41.4) 249(32.6) Tidak tamat SD 423(28.4) 354(20.9) 281(32.8) 1058(26.2) Tamat SD 651(28.3) 469(27.2) 639(28.2) 1759(28.0) Tamat SMP 556(26.2) 223(23.2) 648(24.1) 1427(24.7)

10 Karakteristik Demografi dan Sosial- Ekonomi Obesitas Sentral (%) Sulawesi Utara Gorontalo DKI Jakarta Total Tamat SMA 767(35.2) 288(28.5) 903(20.6) 1958(25.3) Tamat PT 186(36.8) 116(38.4) 290(25.5) 592(30.5) Pekerjaan Tidak bekerja/sekolah 263(16.8) 141(13.2) 298(13.2) 702(14.3) Ibu rumah tangga 1306(49.9) 835(46.7) 1468(45.1) 3609(47.1) TNI/POLRI/PNS 190(39.1) 152(42.5) 91(24.4) 433(35.6) Pegawai BUMN/swasta 114(29.0) 18(18.8) 336(16.7) 468(18.7) Wiraswasta/pedagang/jasa 300(32.0) 144(23.6) 533(22.5) 977(24.9) Petani/nelayan/buruh 333(13.2) 136(8.0) 135(12.7) 604(11.4) Lainnya 101(28.1) 53(21.8) 96(20.8) 250(23.5) Pengeluaran per kapita Kuintil 1 431(25.3) 191(16.9) 550(23.4) 1172(22.6) Kuintil 2 496(27.4) 265(23.3) 562(23.7) 1323(24.9) Kuintil 3 520(29.3) 281(23.8) 606(25.6) 1407(26.5) Kuintil 4 546(30.7) 338(28.2) 601(25.6) 1485(27.9) Kuintil 5 614(33.8) 404(33.0) 638(26.9) 1656(30.6) Tipe wilayah Perkotaan 1139(35.4) 460(30.9) 2957(25.0) 4556(59.4) Perdesaan 1468(25.9) 1019(23.3) 0(0.0) 2487(24.8) Profil Obesitas Sentral Berdasarkan Gaya Hidup Tabel 5 menunjukkan sebaran sampel menurut gaya hidup terhadap timbulnya obesitas sentral. Berdasarkan kebiasaan merokok, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel total yang tidak pernah merokok (34.1%), demikian pula menurut sebaran per provinsi: 37.7% di Sulawesi Utara, 35.3% di Gorontalo dan 31.0% di DKI Jakarta. Berdasarkan aktivitas fisik berat, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel total yang tidak beraktivitas fisik berat (30.2%), demikian pula menurut sebaran tiap provinsi: 35.7% di Sulawesi Utara, 32.9% di Gorontalo dan 26.4% di DKI Jakarta. Berdasarkan konsumsi minuman beralkohol, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel total yang tidak mengonsumsi minuman beralkohol dalam satu bulan terakhir (28.1%), begitu pula menurut sebaran masing-masing provinsi: 32.6% di Sulawesi Utara, 27.8% di Gorontalo dan 25.5% di DKI Jakarta. Berdasarkan konsumsi sayuran dan buah, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel total yang cukup mengonsumsi sayuran dan buah (28.3%). Menurut sebaran per provinsi, prevalensi obesitas sentral tertinggi

11 ditemukan pada sampel yang cukup mengonsumsi sayuran dan buah di DKI Jakarta (30.7%) dan kurang mengonsumsi di Sulawesi Utara (29.4%) dan Gorontalo (25.2%). Berdasarkan konsumsi makanan/minuman manis, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel total yang tidak pernah mengonsumsi makanan/minuman manis (31.9%), demikian pula menurut sebaran tiap provinsi: 34.2% di Sulawesi Utara, 28.7% di Gorontalo dan 32.9% di DKI Jakarta. Berdasarkan konsumsi makanan berlemak, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel total yang mengonsumsi makanan berlemak < 3 kali per bulan (27.6%). Menurut sebaran masing-masing provinsi, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel yang mengonsumsi makanan berlemak 3-6 kali per minggu di Sulawesi Utara (34.4%) dan 1 kali per hari dan <3 kali per bulan di Gorontalo (26.4%), sedangkan di DKI Jakarta, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel yang tidak pernah mengonsumsi makanan berlemak (29.4%). Berdasarkan kondisi mental emosional, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel total yang terganggu kondisi mental emosionalnya (32.0%); demikian pula menurut sebaran per provinsi: 34.0% di Sulawesi Utara, 32.1% di Gorontalo dan 31.1% di DKI Jakarta. Tabel 5. Sebaran sampel berdasarkan gaya hidup terhadap kejadian obesitas sentral Gaya hidup Obesitas Sentral(%) Sulawesi Utara Gorontalo DKI Jakarta Total Kebiasaan merokok Tidak pernah 2038(37.7) 1226(35.3) 2333(31.0) 5597(34.1) Pernah 104(22.4) 38(20.9) 145(22.8) 287(22.4) Kadang kadang 96(16.6) 45(12.4) 133(15.3) 274(15.1) Setiap hari 369(15.2) 170(9.2) 346(12.4) 885(12.5) Konsumsi minuman beralkohol Tidak 2275(32.6) 1409(27.8) 2887(25.5) 6571(28.1) Ya 332(17.3) 70(8.8) 70(13.9) 472(14.7) Aktivitas fisik berat Tidak 1875(35.7) 1050(32.9) 2618(26.4) 5543(30.2) Ya 732(20.1) 429(16.0) 339(18.0) 1500(18.3) Konsumsi sayuran dan buah Kurang 2569(29.4) 1469(25.2) 2865(24.9) 6903(26.5) Cukup 38(25.3) 10(22.7) 92(30.7) 140(28.3) Konsumsi makanan/minuman manis

12 Gaya hidup Obesitas Sentral(%) Sulawesi Utara Gorontalo DKI Jakarta Total Tidak pernah 69(34.2) 76(28.7) 125(32.9) 270(31.9) < 3 kali per bulan 166(31.5) 38(23.0) 114(32.4) 318(30.5) 1 2 kali per minggu 239(30.4) 173(21.6) 379(30.1) 791(27.8) 3 6 kali per minggu 277(29.8) 195(24.1) 291(22.8) 763(25.3) 1 kali per hari 909(29.3) 479(25.6) 1150(24.5) 2538(26.3) > 1 kali per hari 947(28.3) 518(26.4) 898(23.3) 2363(25.8) Konsumsi makanan berlemak Tidak pernah 230(25.9) 178(26.3) 257(29.4) 665(27.3) < 3 kali per bulan 957(28.3) 367(26.4) 634(27.1) 1958(27.6) 1 2 kali per minggu 668(28.3) 277(22.9) 883(24.2) 1828(25.3) 3 6 kali per minggu 568(34.4) 321(24.9) 527(21.8) 1416(26.4) 1 kali per hari 105(29.0) 215(26.4) 434(25.4) 754(26.1) > 1 kali per hari 79(31.9) 121(24.6) 222(27.3) 422(27.2) Kondisi mental emosional Tidak terganggu 2310(28.8) 1151(23.7) 2420(24.0) 5881(25.6) Terganggu 297(34.0) 328(32.1) 537(31.1) 1162(32.0) Umur Hubungan Karakteristik Demografi dan Sosial-Ekonomi dengan Obesitas Sentral Prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada umur yang lebih tua (Tabel 4). Martins dan Marinho (2003) menyatakan bahwa kejadian obesitas sentral meningkat seiring dengan bertambahnya umur seseorang akibat penumpukan lemak tubuh, terutama lemak pusat. Hasil uji statistik menunjukkan hubungan nyata positif antara umur dengan timbulnya obesitas sentral pada ketiga provinsi (Tabel 6). Hasil analisis sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Janghorbani et al. (2007) yang menemukan kuatnya hubungan antara umur dengan obesitas. Kantachuvessiri et al. (2005) menyatakan, kecenderungan obesitas dialami oleh seseorang yang berumur lebih tua diduga akibat lambatnya metabolisme, rendahnya aktivitas fisik, seringnya frekuensi konsumsi pangan, dan kurangnya perhatian pada bentuk tubuhnya. Jenis Kelamin Hasil uji statistik menunjukkan hubungan nyata antara jenis kelamin dengan kejadian obesitas sentral pada ketiga provinsi (Tabel 6). Beberapa penelitian sebelumnya menemukan lebih tingginya kejadian obesitas sentral pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki (Al-Riyami&Afifi 2003; Martins&Marinho 2003; Guitierrez-Fisac et al. 2004; Sonmez et al. 2003; De

13 Pablos-Velasco et al. 2002). Hal ini diduga karena lebih tingginya cadangan lemak tubuh pada perempuan daripada laki-laki. Janghorbani et al. (2007) menyatakan bahwa tingginya kejadian obesitas sentral pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki karena adanya perbedaan tingkat aktivitas fisik dan asupan energi pada laki-laki dan perempuan. Perempuan menopause cenderung mengalami obesitas sentral dibandingkan dengan perempuan premenopause. Hal ini karena penurunan massa otot dan perubahan status hormon (Lee et al. 2005). Status Kawin Status kawin berhubungan nyata positif dengan kejadian obesitas sentral (Erem et al. 2004). Penelitian lain menemukan tidak terdapatnya hubungan nyata antara status kawin dengan kejadian obesitas sentral (Panagiotakos et al. 2004). Hasil uji statistik menunjukkan hubungan nyata antara status kawin dengan kejadian obesitas sentral pada ketiga provinsi (Tabel 6). Penelitian ini menemukan bahwa prevalensi obesitas sentral tertinggi pada sampel yang berstatus cerai mati/hidup (Tabel 4). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilaporkan Erem et al. (2004) yang menemukan tingginya prevalensi obesitas pada orang yang berstatus cerai daripada yang belum menikah. Terdapatnya hubungan antara status kawin dengan kejadian obesitas sentral diduga karena seseorang yang sudah menikah akan menyesuaikan diri dengan pasangannya. Penyesuaian ini dapat memengaruhi pola pikir dan perubahan gaya hidup seseorang seperti perubahan perilaku makan. Penyesuaian diri dengan pasangan yang buruk mengakibatkan tingginya depresi seseorang. Kondisi stres atau depresi ini dapat menjadikan gaya hidup yang tidak baik seperti konsumsi minuman beralkohol dan konsumsi makanan tinggi lemak. Kantachuvessiri et al. (2005) menyatakan bahwa seseorang yang mengalami depresi cenderung mengonsumsi makanan dalam jumlah yang berlebihan. Besar Keluarga Kantachuvessiri et al. (2005) menemukan bahwa besar keluarga tidak berhubungan dengan obesitas di Thailand. Penelitian di Oman juga menemukan tidak terdapatnya hubungan antara besar keluarga dengan kejadian obesitas sentral (Al-Riyami&Afifi 2003). Hasil uji statistik menunjukkan hubungan nyata negatif antara besar keluarga dengan kejadian obesitas sentral pada ketiga provinsi (Tabel 6). Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan beberapa hasil

14 penelitian sebelumnya. Terdapatnya hubungan antara besar keluarga dengan kejadian obesitas sentral diduga karena ketersediaan pangan dalam memenuhi kebutuhan anggota keluarga. Seseorang yang memiliki anggota keluarga kecil memperoleh lebih banyak bagian dalam pemenuhan pangan dibandingkan dengan yang memiliki anggota keluarga lebih besar. Pendidikan Pendidikan yang rendah berhubungan nyata dengan peningkatan kejadian obesitas sentral (Panagiotakos et al. 2004; Janghorbani et al. 2007). Aekplakorn et al. (2007) menemukan hubungan nyata negatif pada perempuan dan hubungan nyata positif pada laki-laki antara pendidikan dengan kejadian obesitas sentral di Thailand. Di Korea, pendidikan dapat menurunkan risiko obesitas sentral (Yoon et al. 2006). Hasil uji statistik menunjukkan hubungan nyata positif di Sulawesi Utara dan Gorontalo dan hubungan nyata negatif di DKI Jakarta antara pendidikan dengan kejadian obesitas sentral (Tabel 6). Hubungan pendidikan dengan kejadian obesitas sentral dalam penelitian ini tidak konsisten dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya. Hal ini diduga karena tingginya pendidikan tidak paralel dengan pengetahuan gizi seseorang. Seseorang yang memiliki level pendidikan yang tinggi, belum tentu memiliki pengetahuan gizi yang baik. Walapun pendidikan dapat memengaruhi kepercayaan dan tingkat pengetahuan (Yoon et al. 2006), seseorang yang memiliki pengetahuan yang baik tentang obesitas, masih saja melakukan perilaku yang tidak sehat seperti gaya hidup sedentary dan makan dalam jumlah yang berlebihan ketika mengalami stres (Kantachuvessiri et al. 2005). Pekerjaan Pekerjaan berhubungan dengan perubahan berat badan dan lingkar perut (Lahmann et al. 2000; Erem et al. 2004). Hasil uji statistik menunjukkan hubungan nyata antara pekerjaan dengan kejadian obesitas sentral pada ketiga provinsi (Tabel 6). Terdapatnya hubungan antara pekerjaan dengan kejadian obesitas sentral diduga karena hubungannya dengan aktivitas fisik. Penelitian ini menemukan prevalensi obesitas sentral tertinggi pada ibu rumah tangga dan terendah pada petani/nelayan/buruh (Tabel 4). Petani/nelayan/buruh memiliki aktivitas fisik yang lebih tinggi dibandingkan dengan ibu rumah tangga dan pekerja kantor. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilaporkan Erem et al. (2004) yang menemukan tingginya prevalensi obesitas pada ibu rumah

15 tangga dan pedagang. WHO (2000) menyatakan bahwa perubahan dan peningkatan proporsi pekerjaan dalam bidang pelayanan, perkantoran, dan profesi lain cenderung kurang aktivitas fisik jika dibandingkan dengan pekerjaan manual seperti yang terdapat pada masyarakat tradisional. Pengeluaran per Kapita Pendapatan rumah tangga berhubungan nyata positif dengan kejadian obesitas sentral (Erem et al. 2004; Yoon et al. 2006). Pendapatan rumah tangga per kapita seseorang paralel dengan pengeluaran per kapitanya. Hasil uji statistik menunjukkan hubungan nyata positif antara pengeluaran per kapita dengan kejadian obesitas sentral pada ketiga provinsi (Tabel 6). Hal ini diduga karena seseorang yang memiliki pendapatan yang tinggi akan lebih konsumtif sehingga pengeluarannya akan tinggi pula, terutama untuk konsumsi makanan berenergi tinggi. Hubungan pendapatan dengan kejadian obesitas sentral terletak pada ketersediaan dalam membeli dan kemampuan dalam memanfaatkan akses seperti transportasi, kecanggihan komunikasi, ketersediaan pangan, pendidikan modern. Kemudahan dalam pemanfaatan akses mendorong seseorang cenderung kurang melakukan aktivitas fisik (WHO 2000). Tipe Wilayah Kejadian obesitas sentral lebih banyak ditemukan di perkotaan dibandingkan dengan di perdesaan (Tabel 5). Hasil uji statistik menunjukkan hubungan nyata antara tipe wilayah dengan kejadian obesitas sentral di Sulawesi Utara dan Gorontalo (Tabel 6). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilaporkan Reynolds et al. (2007) yang menemukan lebih tingginya prevalensi obesitas sentral pada sampel yang tinggal di perkotaan. Hal ini diduga karena tingginya urbanisasi yang berhubungan dengan gaya hidup dan perubahan perilaku seperti rendahnya aktivitas fisik dan tingginya konsumsi makanan berlemak. Penduduk perkotaan berhubungan dengan sejumlah faktor yang memengaruhi diet, aktivitas fisik dan komposisi tubuh, yang melibatkan perubahan transportasi, akses dan kegunaan fasilitas kesehatan, pendidikan modern, komunikasi, pemasaran, ketersediaan pangan, dan perbedaan profil pekerjaan. Pada banyak negara, penduduk di perkotaan cenderung rendah mengonsumsi makanan sumber karbohidrat dan tinggi mengonsumsi makanan berprotein dan berlemak (WHO 2000).

16 Hubungan Gaya Hidup dengan Obesitas Sentral Kebiasaan Merokok Merokok berhubungan nyata negatif dengan peningkatan berat badan berdasarkan IMT, namun berhubungan nyata positif dengan peningkatan distribusi lemak perut (Canoy et al. 2004; Xu et al. 2007). Hasil uji statistik menunjukkan hubungan nyata negatif antara kebiasaan merokok dengan kejadian obesitas sentral pada ketiga provinsi (Tabel 6). Mekanisme biologi antara merokok dengan kejadian obesitas sentral masih belum jelas. Review yang dilakukan Chiolero et al. (2008) memperlihatkan bahwa di satu sisi, nikotin meningkatkan pengeluaran energi dan menurunkan nafsu makan, sedangkan di sisi lain, perokok berat memiliki berat badan lebih tinggi daripada perokok ringan atau tidak merokok, jika diimbangi dengan gaya hidup yang tidak baik seperti rendahnya aktivitas fisik, dan diet yang buruk. Di samping itu, merokok dapat memengaruhi penurunan konsentrasi estrogen pada perempuan dan testosteron pada laki-laki. Penurunan kedua jenis hormon ini dapat meningkatkan massa lemak perut. Beberapa penelitian sebelumnya menemukan lebih besarnya berat badan mantan perokok daripada perokok atau bukan perokok. Hal ini diduga karena terjadinya peningkatan asupan energi dan penurunan pengeluaran energi, penurunan aktivitas fisik, perubahan oksidasi lemak, dan metabolisme jaringan adiposa seperti aktivitas lipoprotein (Chiolero et al. 2008). Ketidakkonsistenan hasil penelitian ini dengan hasil penelitian lainnya diduga karena kelemahan studi cross-sectional yang mengambil exposure dan outcome dalam waktu yang bersamaan sehingga tidak dapat dijelaskannya mekanisme hubungan merokok dengan kejadian obesitas sentral. Aktivitas Fisik Berat Penurunan aktivitas fisik berhubungan dengan peningkatan kejadian obesitas sentral (Slentz et al. 2004; Erem et al. 2004; Zhang et al. 2008; Besson et al. 2009). Hasil uji statistik menunjukkan hubungan nyata negatif antara aktivitas fisik berat dengan kejadian obesitas sentral pada ketiga provinsi (Tabel 6). Terdapatnya hubungan antara aktivitas fisik berat dengan kejadian obesitas sentral diduga karena efek aktivitas fisik berat melalui penggunaan lemak dari daerah perut, sebagai hasil redistribusi jaringan adiposa (Koh-Banerjee et al. 2003). Beberapa penelitian longitudinal selama 12 tahun menemukan bahwa

17 exercise dapat menurunkan kelebihan berat badan, lemak tubuh total, dan lemak perut (Irwin et al. 2003; McTiernan et al. 2007). WHO (2000) menyatakan bahwa jumlah energi yang dikeluarkan pada waktu melakukan aktivitas fisik tergantung dari durasi, waktu, dan frekuensi. Aktivitas fisik berat atau sedang minimal 60 menit/hari disarankan untuk menurunkan obesitas (McTiernan et al. 2007). Adapun WHO (2003) menyarankan untuk melakukan aktivitas fisik sedang per hari selama 30 menit. Perilaku Konsumsi Konsumsi Minuman Beralkohol Konsumsi minuman beralkohol berhubungan nyata positif dengan kejadian obesitas sentral (Dorn et al. 2003; Erem et al. 2004; Panagiotakos et al. 2004; Riserus&Ingelsson 2007; Zhang et al. 2008). Hasil uji statistik menunjukkan hubungan nyata negatif antara konsumsi minuman beralkohol dengan kejadian obesitas sentral pada ketiga provinsi (Tabel 6). Hasil penelitian ini bertentangan dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya. Hubungan konsumsi minuman beralkohol dengan kejadian obesitas sentral masih kontroversial. Riserus dan Ingelsson (2007) menyatakan, minuman beralkohol berhubungan dengan kejadian obesitas sentral melalui mekanisme non-energi, seperti pengaruhnya terhadap hormon steroid yang meningkatkan simpanan lemak perut. Tingginya asupan minuman beralkohol, menyebabkan penurunan konsenstrasi darah testosteron pada laki-laki, dan rendahnya sekresi lipid hormon steroid yang menyebabkan akumulasi lemak visceral. Penelitian kohort yang dilakukan Tolstrup et al. (2008) menemukan hubungan nyata negatif antara frekuensi minuman beralkohol dengan lima tahun peningkatan lingkar perut pada perempuan, sedangkan pada laki-laki tidak berhubungan. Vadstrup et al. (2003) menemukan bahwa minuman beralkohol jenis beer dan liquor dapat meningkatkan lingkar perut, sedangkan minuman beralkohol jenis wine tidak. Ketidakkonsistenan hasil penelitian diduga karena kelemahan desain studi cross-sectional yang mengambil exposure dan outcome dalam waktu yang bersamaan sehingga tidak dapat dijelaskannya hubungan sebab akibat antara exposure dan outcome. Kemungkinan pada waktu pengambilan data, sampel yang gemuk sudah memiliki kesadaran akan dampak negatif konsumsi minuman beralkohol sehingga pada waktu wawancara dilakukan, sampel sudah tidak mengonsumsi minuman beralkohol lagi.

18 Konsumsi sayuran dan buah Konsumsi sayuran dan buah dalam jumlah yang cukup dapat menurunkan kejadian obesitas sentral (Newby et al. 2003; He et al. 2004). Drapeau et al. (2004) menyatakan bahwa peningkatan konsumsi sayuran dan buah dapat menurunkan konsumsi lemak seseorang. Konsumsi buah lebih baik untuk program pengontrolan berat badan dibandingkan dengan sayuran karena buah lebih mudah dimakan sebagai dessert atau snack. Sementara sayuran harus diolah dan dicampur dengan mentega, minyak, dan saus yang mengandung energi. Asupan serat yang berasal dari konsumsi sayuran dan buah dapat membatasi asupan energi dengan efek rendahnya densitas energi dan efek mempercepat rasa kenyang (WHO 2000). Koh-Banerjee et al. (2003) menemukan bahwa asupan serat 12 gram/hari dapat menurunkan 0.63 cm lingkar perut dalam waktu 9 tahun. Hasil uji statistik menunjukkan hubungan nyata positif di DKI Jakarta dan tidak berhubungan di Sulawesi Utara dan Gorontalo antara konsumsi sayuran dan buah dengan kejadian obesitas sentral. Hasil analisis bertentangan dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya. Hal ini diduga karena pada penelitian ini tidak diperhitungkan asupan serat dari sayuran dan buah yang dikonsumsi. Padahal serat penting dalam hubungannya dengan kejadian obesitas sentral. Di samping itu, kelemahan desain cross-sectional yang mengambil exposure dan outcome dalam waktu yang bersamaan menyebabkan tidak dapat dijelaskannya hubungan sebab akibat antara konsumsi sayuran dan buah dengan kejadian obesitas sentral. Kemungkinan pada waktu pengambilan data, sampel yang mengalami obesitas sentral sudah memiliki kesadaran akan pentingnya konsumsi sayuran dan buah dalam jumlah yang cukup. Konsumsi makanan/minuman manis Drapeau et al. (2004) menyatakan bahwa konsumsi makanan manis dapat mengakibatkan peningkatan lingkar perut. Hasil uji statistik menunjukkan hubungan nyata negatif di Sulawesi Utara dan DKI Jakarta dan tidak berhubungan di Gorontalo antara konsumsi makanan/minuman manis dengan kejadian obesitas sentral (Tabel 6). Hasil analisis bertentangan dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya. Pertama, pada penelitian ini hanya ditanyakan frekuensi konsumsi dan tidak mengukur banyak dan jenis karbohidrat dari makanan/minuman manis yang dikonsumsi sehingga hasil yang diperoleh tidak dapat menggambarkan kondisi konsumsi makanan/minuman manis sampel

19 sebenarnya. Kedua, terdapatnya bias informasi pada waktu pengambilan data. Kemungkinan responden kurang mengerti pertanyaan yang ditanyakan atau responden berusaha menutupi kondisi yang sebenarnya. Ketiga, terdapatnya kemungkinan konsumsi pemanis buatan di pasaran sebagai pengganti pemanis alami yang memiliki kandungan energi rendah sehingga tidak memberikan kontribusi energi yang tinggi. Review yang dilakukan oleh Drewnowski (2007) memperlihatkan bahwa mekanisme fisiologi mengapa konsumsi makanan manis meningkatkan lemak tubuh melibatkan tingginya densitas energi dan efek rasa lezat makanan manis serta efek lemahnya rasa kenyang. Sementara review Malik et al. (2006) mengenai asupan minuman manis dengan peningkatan berat badan memperlihatkan bahwa minuman manis berenergi menghasilkan asupan energi lebih tinggi daripada minuman manis dengan pemanis buatan. Penggantian minuman manis berenergi dengan minuman manis dengan gula buatan tidak memengaruhi total asupan energi. Konsumsi makanan berlemak Beberapa penelitian sebelumnya menemukan hubungan antara konsumsi makanan berlemak dengan peningkatan kejadian obesitas sentral (Garaulet et al. 2001; Drapeau et al. 2004; Guallar-Castillon et al. 2007). Hasil uji statistik menunjukkan hubungan nyata positif di Sulawesi Utara dan hubungan nyata negatif di DKI Jakarta antara konsumsi makanan berlemak dengan kejadian obesitas sentral (Tabel 6). Sementara di Gorontalo, tidak terdapat hubungan nyata antara konsumsi makanan berlemak dengan obesitas sentral. Hasil penelitian tidak konsisten dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya. Perbedaan hasil analisis diduga karena pada penelitian ini hanya ditanyakan frekuensi konsumsi makanan berlemak dan tidak mengukur besarnya kontribusi energi dari makanan berlemak yang dikonsumsi sampel sehingga hasil yang diperoleh tidak menggambarkan kondisi konsumsi makanan berlemak sampel sebenarnya. Mekanisme makanan berlemak menyebabkan obesitas diduga karena tingginya kontribusi energi dari makanan berlemak dan efek penurunan rasa kenyang sehingga seseorang terus mengonsumsi makanan dalam jumlah berlebihan (Drewnowski 2007). WHO (2000) menyatakan bahwa makanan berlemak mengatur sinyal yang mengontrol rasa kenyang dengan cara melemahkan, menunda, dan mencegah kenyang sehingga seseorang makan dalam jumlah yang berlebihan.

20 Kondisi Mental Emosional Lee et al (2005) menyatakan bahwa stres atau depresi berhubungan pada peningkatan lingkar perut. Hasil uji statistik menunjukkan hubungan nyata positif antara kondisi mental emosional dengan kejadian obesitas sentral pada ketiga provinsi (Tabel 6). Hal ini berarti bahwa makin terganggu kondisi mental emosional sampel, semakin meningkat prevalensi obesitas sentralnya. Hubungan antara kondisi mental emosional dengan kejadian obesitas sentral diduga karena seseorang yang terganggu kondisi mental emosionalnya cenderung mengonsumsi makanan dalam jumlah yang berlebihan (Kantachuvessiri et al. 2005). Perubahan hormon pada seseorang yang mengalami depresi atau stres diduga juga dapat menyebabkan peningkatan penumpukan lemak tubuh terutama di daerah perut. Roberts et al. (2007) menemukan bahwa depresi dapat menyebabkan peningkatan sekresi kortisol. Demikian halnya dengan Katz et al. (2000) yang menemukan tingginya level metabolit kortisol pada laki-laki yang mengalami depresi. Peningkatan konsentrasi kortisol diduga berhubungan dengan penumpukan lemak perut. Pada orang yang obese, konsentrasi kortisol cenderung lebih tinggi (WHO 2000). Tabel 6. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian obesitas sentral Variabel Koefisien Korelasi (r) Sulawesi Gorontalo DKI Jakarta Utara Umur 0.185* 0.217* 0.254* Jenis Kelamin 0.320* 0.347* 0.281* Status Kawin 0.224* 0.217* 0.244* Besar keluarga * * * Pendidikan 0.045* 0.081* * Pekerjaan 0.326* 0.361* 0.297* Pengeluaran per kapita 0.063* 0.121* 0.029* Tipe wilayah 0.099* 0.076* - Kebiasaan merokok * * * Konsumsi minuman beralkohol * * * Aktivitas fisik berat * * * Konsumsi sayuran dan buah * Konsumsi makanan/minuman manis * * Konsumsi makanan berlemak 0.043* * Kondisi mental emosional 0.034* 0.073* 0.057* * signifikan pada p<0,05

21 Faktor Risiko Obesitas Sentral Obesitas sentral merupakan kondisi kelebihan akumulasi lemak pusat atau lemak perut (WHO 2000). Beberapa penelitian sebelumnya menemukan tingginya dampak obesitas sentral terhadap berbagai penyakit degeneratif seperti diabetes tipe 2, Cardiovascular Disease (CVD), batu empedu, hipertensi, dan dislipidemia. Shen et al. (2006) menyatakan bahwa obesitas sentral lebih berhubungan dengan risiko kesehatan dibandingkan dengan obesitas umum. Obesitas disebabkan oleh adanya interaksi antara berbagai faktor. Obesitas tidak hanya dampak tingginya konsumsi makanan atau kurangnya aktivitas fisik (WHO 2000). Banyak faktor yang diduga berhubungan dengan kejadian obesitas sentral di Sulawesi Utara, Gorontalo, dan DKI Jakarta. Namun, setelah dianalisis lebih lanjut dengan analisis multivariat secara bersama, maka diperoleh beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian obesitas sentral pada ketiga provinsi yang disajikan pada Tabel 7, 8, dan 9. Hal yang menyebabkan suatu variabel tidak signifikan pada analisis multivariat, sementara pada analisis bivariat berhubungan, diduga karena obesitas sentral disebabkan oleh banyak faktor, terdapatnya confounding dan faktor yang saling berinteraksi dalam analisis menyebabkan suatu variabel menjadi tidak signifikan (Kantachuvessiri et al. 2005). Faktor Risiko Obesitas Sentral di Sulawesi Utara Faktor risiko obesitas sentral di Sulawesi Utara adalah umur 35 tahun, perempuan, berstatus kawin, berstatus cerai, tamat SMA/PT, ibu rumah tangga, TNI/POLRI/PNS, pegawai BUMN/swasta, wiraswasta/pedagang/jasa, tinggal di perkotaan, dan tidak beraktivitas fisik berat (Tabel 7). Faktor risiko obesitas sentral yang pertama adalah umur. Sampel dengan umur tahun (OR=1.863) dan 55 tahun (OR=2.136) berpeluang mengalami obesitas sentral berturut-turut dan kali lebih besar dibandingkan dengan sampel dengan umur tahun. Beberapa penelitian menemukan peningkatan kejadian obesitas sentral seiring dengan bertambahnya umur. Hal ini diduga karena terjadinya penumpukan lemak perut dengan bertambahnya umur seseorang. Kantachuvessiri et al. (2005) menyatakan bahwa tingginya risiko obesitas pada umur yang lebih tua diduga karena pada seseorang yang lebih tua terjadi penurunan metabolisme, rendahnya aktivitas fisik, dan peningkatan frekuensi konsumsi pangan. Disamping itu, umur yang lebih tua biasanya kurang begitu memperhatikan ukuran tubuhnya.

22 Faktor risiko obesitas sentral yang kedua adalah perempuan. Perempuan berpeluang mengalami obesitas sentral kali lebih besar daripada laki-laki (OR=4.259). Lemak pada perempuan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki (Misra et al. 2001). Janghorbani et al. (2007) menyatakan bahwa tingginya prevalensi obesitas sentral pada perempuan dibandingkan dengan lakilaki karena adanya perbedaan tingkat aktivitas fisik dan asupan energi pada lakilaki dan perempuan. Pada perempuan menopause akan terjadi peningkatan kandungan lemak tubuh, terutama distribusi lemak tubuh pusat (Chang et al. 2000). Faktor risiko obesitas sentral yang ketiga adalah status kawin. Sampel yang berstatus kawin (OR=3.216) dan cerai (OR=2.434) berpeluang mengalami obesitas sentral berturut-turut dan kali lebih besar daripada sampel yang belum kawin. Seseorang yang telah menikah akan menyesuaikan diri dengan pasangannya. Hal ini dapat menyebabkan perubahan gaya hidup dan perilaku makan. Sementara seseorang yang berstatus cerai hidup/mati biasanya mengalami stres atau depresi akibat transisi perkawinan dengan perceraiannya. Depresi akibat cerai hidup/mati dapat menyebabkan perubahan gaya hidup dan perilaku konsumsi seseorang. Faktor risiko obesitas sentral lainnya adalah tamat SMA/PT. Sampel yang tamat SMA/PT berpeluang mengalami obesitas sentral kali lebih besar daripada sampel yang tidak sekolah/tidak tamat SD (OR=1.364). Pendidikan berhubungan dengan kepercayaan dan tingkat pengetahuan (Yoon et al. 2006). Meskipun demikian, orang yang memiliki pengetahuan yang baik mengenai obesitas sentral masih saja melakukan gaya hidup yang tidak baik ketika mengalami depresi/stres (Kantachuvessiri et al. 2005). Hal ini diduga karena pengetahuan gizi tidak paralel dengan level pendidikan seseorang. Faktor risiko obesitas sentral selanjutnya adalah pekerjaan. Sampel yang bekerja sebagai ibu rumah tangga (OR=1.529), TNI/POLRI/PNS (OR=1.459), pegawai BUMN/swasta (OR=1.471), dan wiraswasta/pedagang/jasa (OR=1.691) berpeluang mengalami obesitas sentral berturut-turut 1.529; 1.459; 1.471; dan kali lebih besar daripada sampel yang tidak bekerja/sekolah. Kantachuvessiri et al. (2005) menyatakan bahwa pengeluaran energi bervariasi pada pekerjaan yang berbeda. Beberapa pekerjaan melibatkan tingginya pengeluaran energi sementara pekerjaan yang lain melibatkan sedikit pengeluaran energi.

23 Faktor risiko obesitas sentral lainnya adalah tipe wilayah perkotaan. Sampel yang tinggal di perkotaan berpeluang mengalami obesitas sentral kali lebih besar daripada sampel yang tinggal di perdesaan (OR=1.532). Orang yang tinggal di perkotaan lebih mudah dalam pemanfaatan akses dan ketersediaan pangan sehingga cenderung kurang aktivitas fisik (WHO 2000). Disamping itu, urbanisasi memengaruhi perubahan gaya hidup dan perubahan perilaku makan seperti tingginya konsumsi makanan berlemak. Faktor risiko obesitas sentral yang terakhir adalah tidak beraktivitas fisik berat. Sampel yang tidak beraktivitas fisik berat berpeluang mengalami obesitas sentral kali lebih besar daripada sampel yang beraktivitas fisik berat (OR=1.184). Kurangnya beraktivitas fisik menyebabkan penyimpanan kelebihan energi sebagai lemak yang menyebabkan penumpukan lemak tubuh terutama lemak pusat atau perut. Variabel-variabel yang dianalisis hanya mewakili 26.6% dari variabelvariabel yang memengaruhi kejadian obesitas sentral di Sulawesi Utara. Terdapat 73.4% variabel lain diluar variabel yang dianalisis yang berpengaruh terhadap kejadian obesitas sentral di Sulawesi Utara (Lampiran 3). Tabel 7. Faktor risiko obesitas sentral di Sulawesi Utara Variabel B Sig. OR 95,0% C.I.for OR Lower Upper Umur (0=15-34 tahun) tahun tahun Jenis kelamin (0=laki-laki) Perempuan Status kawin (0=belum kawin) Kawin Cerai Pendidikan (0= tidak sekolah/tidak tamat SD) SMA/PT Pekerjaan (0=tidak bekerja/sekolah) Ibu rumah tangga TNI/POLRI/PNS Pegawai BUMN/swasta Wiraswasta/pedagang/jasa Tipe wilayah (0=perdesaan) Perkotaan Aktivitas fisik berat (0=ya) Tidak Konstan

darah, gula darah, kolesterol total, kolesterol LDL dan trigliserida rata-rata lebih tinggi, serta kolesterol HDL dan adiponektin lebih rendah.

darah, gula darah, kolesterol total, kolesterol LDL dan trigliserida rata-rata lebih tinggi, serta kolesterol HDL dan adiponektin lebih rendah. TINJAUAN PUSTAKA Obesitas Obesitas merupakan kondisi ketidaknormalan atau kelebihan akumulasi lemak pada jaringan adiposa. Obesitas tidak hanya berupa kondisi dengan jumlah simpanan kelebihan lemak, namun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari sepuluh masalah kesehatan utama di dunia dan kelima teratas di negara

BAB I PENDAHULUAN. dari sepuluh masalah kesehatan utama di dunia dan kelima teratas di negara BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dewasa ini obesitas telah menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia, baik di negara maju ataupun negara berkembang. Menurut data World Health Organization (WHO) obesitas

Lebih terperinci

No Variabel Kategori 1 Karakteristik Demografi dan Ekonomi Umur

No Variabel Kategori 1 Karakteristik Demografi dan Ekonomi Umur METODE Desain, Waktu dan Tempat Desain penelitian adalah cross-sectional study berskala nasional bersifat deskriptif. Data yang digunakan adalah data sekunder Riskesdas 2007 yang dilakukan oleh Badan Penelitian

Lebih terperinci

Gambar Kerangka pemikiran hubungan faktor gaya hidup dengan kegemuka pada orang dewasa di Provinsi Sulawesi Utara, DKI Jakarta, dan Gorontalo.

Gambar Kerangka pemikiran hubungan faktor gaya hidup dengan kegemuka pada orang dewasa di Provinsi Sulawesi Utara, DKI Jakarta, dan Gorontalo. 102 KERANGKA PEMIKIRAN Orang dewasa 15 tahun seiring dengan bertambahnya umur rentan menjadi gemuk. Kerja hormon menurun seiring dengan bertambahnya umur, yang dapat mengakibatkan ketidakseimbangan metabolisme

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 111 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Keadaan Geografis DKI Jakarta terletak di 6 0 12 lintang selatan dan 106 0 48 bujur timur dengan luas wilayah 661,26 km2, berupa daratan 661.52 km2 dan lautan 6,977,5

Lebih terperinci

FAKTOR RISIKO OBESITAS SENTRAL PADA ORANG DEWASA DI SULAWESI UTARA, GORONTALO DAN DKI JAKARTA ELYA SUGIANTI

FAKTOR RISIKO OBESITAS SENTRAL PADA ORANG DEWASA DI SULAWESI UTARA, GORONTALO DAN DKI JAKARTA ELYA SUGIANTI FAKTOR RISIKO OBESITAS SENTRAL PADA ORANG DEWASA DI SULAWESI UTARA, GORONTALO DAN DKI JAKARTA ELYA SUGIANTI DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 ABSTRACT

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 68 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan kesehatan di Indonesia saat ini dihadapkan pada dua masalah ganda (double burden). Disamping masalah penyakit menular dan kurang gizi, terjadi pula peningkatan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 116 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sampel Pada penelitian ini, dari total sampel 10834, sebanyak 52.6%-nya adalah wanita dan 47.4% adalah pria. Seluruh sampel terkategori penduduk perkotaan. Tabel

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 1. Geografis Secara astronomis Kabupaten Bolaang Mongondow terletak antara Lintang Utara dan antara Bujur Timur. Berdasarkan posisi geografisnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lemak tubuh karena ambilan makanan yang berlebih (Subardja, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. lemak tubuh karena ambilan makanan yang berlebih (Subardja, 2004). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Obesitas atau kegemukan adalah keadaan yang terjadi apabila kuantitas jaringan lemak tubuh dibandingkan berat badan total lebih besar daripada normal. Hal ini

Lebih terperinci

FAKTOR RISIKO OBESITAS SENTRAL PADA ORANG DEWASA DI DKI JAKARTA: Analisis Lanjut Data RISKESDAS Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB 3

FAKTOR RISIKO OBESITAS SENTRAL PADA ORANG DEWASA DI DKI JAKARTA: Analisis Lanjut Data RISKESDAS Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB 3 FAKTOR RISIKO OBESITAS SENTRAL PADA ORANG DEWASA DI DKI JAKARTA: Analisis Lanjut Data RISKESDAS 2007 Elya Sugianti 1 ; Hardinsyah 2 dan Nurfi Afriansyah 3 1 Alumnus Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tetapi kurang serat (Suyono dalam Andriyani, 2010). Ketidakseimbangan antara

BAB I PENDAHULUAN. tetapi kurang serat (Suyono dalam Andriyani, 2010). Ketidakseimbangan antara 1 BAB I PENDAHULUAN a) Latar Belakang Peningkatan kemakmuran seseorang ternyata diikuti dengan perubahan gaya hidup. Pola makan mulai bergeser dari pola makan tradisional yang mengandung banyak karbohidrat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan menuju Indonesia sehat. fisik, mental dan sosial. Semua aspek tersebut akan mempengaruhi

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan menuju Indonesia sehat. fisik, mental dan sosial. Semua aspek tersebut akan mempengaruhi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sehat jiwa raga sepanjang kehidupan adalah impian dari setiap orang. Sejak kemerdekaan Indonesia berkembang menjadi negara yang mempunyai visi menjadi Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah ganda (Double Burden). Disamping masalah penyakit menular dan

BAB I PENDAHULUAN. masalah ganda (Double Burden). Disamping masalah penyakit menular dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kesehatan di Indonesian saat ini dihadapkan pada dua masalah ganda (Double Burden). Disamping masalah penyakit menular dan kekurangan gizi terjadi pula

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan gizi saat ini cukup kompleks meliputi masalah gizi ganda. Gizi

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan gizi saat ini cukup kompleks meliputi masalah gizi ganda. Gizi BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan gizi saat ini cukup kompleks meliputi masalah gizi ganda. Gizi kurang banyak dihubungkan dengan penyakit-penyakit infeksi, maka masalah gizi lebih dianggap

Lebih terperinci

METODE. Tabel 5 Pengkategorian variabel penelitian Variabel

METODE. Tabel 5 Pengkategorian variabel penelitian Variabel 104 METODE Sumber Data, Disain, Cara Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian ini menggunakan data sekunder yang bersumber dari hasil Riskesdas 2007. Riskesdas 2007 menggunakan disain penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur. diperkirakan akan meningkat pada tahun 2025 yaitu 73,7 tahun.

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur. diperkirakan akan meningkat pada tahun 2025 yaitu 73,7 tahun. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara dan kesejahteraan rakyat adalah meningkatnya usia harapan hidup, hal ini dapat dilihat dengan adanya peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebuah hal yang sangat penting bagi seorang wanita. Penampilan bagi seorang

BAB I PENDAHULUAN. sebuah hal yang sangat penting bagi seorang wanita. Penampilan bagi seorang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada era globalisasi seperti sekarang ini menjaga penampilan merupakan sebuah hal yang sangat penting bagi seorang wanita. Penampilan bagi seorang wanita dapat menunjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan RI (nomor kep.

BAB I PENDAHULUAN. Menurut pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan RI (nomor kep. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara kelautan dengan kekayaan laut maritim yang sangat melimpah, negara kepulauan terbesar di dunia dengan garis pantai yang terpanjang

Lebih terperinci

Oleh: Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS Siti Nuryati, STP, MSi Muhammad Aries

Oleh: Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS Siti Nuryati, STP, MSi Muhammad Aries ANALISIS STATUS GIZI DAN GAYA HIDUP SEBAGAI FAKTOR RISIKO HIPERTENSI & DM DI JAKARTA: IMPLIKASINYA PADA PENCEGAHAN MASALAH GIZI LEBIH, HIPERTENSI DAN DIABETES MELITUS Oleh: Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gizi terjadi pula peningkatan kasus penyakit tidak menular (Non-Communicable

BAB I PENDAHULUAN. gizi terjadi pula peningkatan kasus penyakit tidak menular (Non-Communicable BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kesehatan di Indonesia saat ini dihadapkan pada dua masalah ganda (double burden). Disamping masalah penyakit menular dan kekurangan gizi terjadi pula peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komponen tersebut akan sangat mempengaruhi kinerja kerja seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. komponen tersebut akan sangat mempengaruhi kinerja kerja seseorang, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan impian setiap orang sepanjang kehidupannya. Kesehatan juga salah satu pilar utama dalam melakukan berbagai aktivitas sehari-hari. Segala aktifitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lum masa dewasa dari usia tahun. Masa remaja dimulai dari saat pertama

BAB I PENDAHULUAN. lum masa dewasa dari usia tahun. Masa remaja dimulai dari saat pertama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja didefinisikan oleh WHO sebagai suatu periode pertumbuhan dan perkembangan manusia yang terjadi setelah masa anak-anak dan sebe lum masa dewasa dari usia 10-19

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif (Hadi, 2005). bangsa bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable

BAB 1 PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif (Hadi, 2005). bangsa bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan suatu bangsa sangat tergantung kepada keberhasilan bangsa itu sendiri dalam menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. begitu pula dengan permasalahan kardiovaskuler dan DM (Marliyanti, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. begitu pula dengan permasalahan kardiovaskuler dan DM (Marliyanti, 2010). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obesitas merupakan faktor risiko utama terjadinya penyakit kardiovaskuler dan diabetes mellitus (DM). Permasalahan obesitas sekarang ini semakin banyak begitu pula

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 24 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Geografis Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta) adalah sebuah provinsi sekaligus ibu kota negara Indonesia. Jakarta terletak di bagian barat laut Pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegemukan sebagai lambang kemakmuran. Meskipun demikian, pandangan yang

BAB I PENDAHULUAN. kegemukan sebagai lambang kemakmuran. Meskipun demikian, pandangan yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kegemukan sudah lama menjadi masalah. Bangsa Cina kuno dan bangsa Mesir kuno telah mengemukakan bahwa kegemukan sangat mengganggu kesehatan. Bahkan, bangsa Mesir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara Nation Wide mengingat prevalensinya cukup tinggi umumnya sebagian

BAB I PENDAHULUAN. secara Nation Wide mengingat prevalensinya cukup tinggi umumnya sebagian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dimasa mendatang masalah penyakit tidak menular akan menjadi perioritas masalah kesehatan di indonesia, salah satu masalah tersebut adalah masalah hipertensi. Hipertensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lebih sangat erat kaitannya dengan aspek kesehatan lain. Gizi lebih dan. nama Sindrom Dunia Baru New World Syndrome.

BAB I PENDAHULUAN. lebih sangat erat kaitannya dengan aspek kesehatan lain. Gizi lebih dan. nama Sindrom Dunia Baru New World Syndrome. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah gizi di Indonesia akhir-akhir ini cenderung menunjukkan masalah gizi ganda, disamping masih menghadapi masalah gizi kurang, disisi lain pada golongan masyarakat

Lebih terperinci

IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5 IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN.1. Kondisi Geografi dan Topografi Provinsi Papua Barat awalnya bernama Irian Jaya Barat, berdiri atas dasar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang pembentukan Provinsi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu keadaan dengan akumulasi lemak yang tidak normal atau. meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu keadaan dengan akumulasi lemak yang tidak normal atau. meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Obesitas merupakan suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu makan dan metabolisme energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologik spesifik. (1) Obesitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM Perkembangan Sejarah menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat merupakan Provinsi yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia (staatblad Nomor : 378). Provinsi Jawa Barat dibentuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. (overweight) dan kegemukan (obesitas) merupakan masalah. negara. Peningkatan prevalensinya tidak saja terjadi di negara

BAB 1 PENDAHULUAN. (overweight) dan kegemukan (obesitas) merupakan masalah. negara. Peningkatan prevalensinya tidak saja terjadi di negara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada zaman sekarang ini, kelebihan berat badan (overweight) dan kegemukan (obesitas) merupakan masalah kesehatan dunia yang semakin sering ditemukan di berbagai

Lebih terperinci

FAKTOR RISIKO OBESITAS PADA ORANG DEWASA DI DENPASAR PUTU ROSSI TYA LESTARI

FAKTOR RISIKO OBESITAS PADA ORANG DEWASA DI DENPASAR PUTU ROSSI TYA LESTARI FAKTOR RISIKO OBESITAS PADA ORANG DEWASA DI DENPASAR PUTU ROSSI TYA LESTARI DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Status kesehatan masyarakat ditunjukkan oleh angka kesakitan, angka

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Status kesehatan masyarakat ditunjukkan oleh angka kesakitan, angka BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Status kesehatan masyarakat ditunjukkan oleh angka kesakitan, angka kematian, membaiknya status gizi, dan Usia Harapan Hidup. (1) Penyakit degeneratif adalah salah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Karakteristik Subyek Penelitian Subyek penelitian ini adalah mahasiswa pendidikan dokter di Universitas muhammadiyah Yogyakarta, khususnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hipertensi memiliki istilah lain yaitu silent killer dikarenakan penyakit ini

BAB I PENDAHULUAN. Hipertensi memiliki istilah lain yaitu silent killer dikarenakan penyakit ini BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hipertensi memiliki istilah lain yaitu silent killer dikarenakan penyakit ini biasanya menyerang tanpa tanda-tanda. Hipertensi itu sendiri bisa menyebabkan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memungkinkan manusia bekerja secara maksimal (Moehji, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. memungkinkan manusia bekerja secara maksimal (Moehji, 2009). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia yang sehat setiap harinya memerlukan makanan yang cukup, baik kualitas maupun kuantitasnya sehingga memiliki kesanggupan yang maksimal dalam menjalankan kehidupannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih cukup tinggi (Paramurthi, 2014). Pada tahun 2014, lebih dari 1,9 miliar

BAB I PENDAHULUAN. masih cukup tinggi (Paramurthi, 2014). Pada tahun 2014, lebih dari 1,9 miliar BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era globalisasi mengakibatkan perilaku penduduk berubah dan menimbulkan ketidakseimbangan antara asupan makanan dengan aktivitas yang lebih banyak kurang gerak sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di hampir semua negara tak terkecuali Indonesia. Penyakit ini ditandai oleh

BAB I PENDAHULUAN. di hampir semua negara tak terkecuali Indonesia. Penyakit ini ditandai oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) atau lebih dikenal dengan istilah kencing manis atau diabetes merupakan salah satu penyakit kronis yang paling sering ditemui di hampir semua

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 4.2 Keadaan Umum Perikanan di Sulawesi Utara

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 4.2 Keadaan Umum Perikanan di Sulawesi Utara 58 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Provinsi Sulawesi Utara Provinsi Sulawesi Utara dengan ibu kota Manado terletak antara 0 15 5 34 Lintang Utara dan antara 123 07 127 10 Bujur Timur,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkara makan dan minum seperti yang tersebut dalam surat Al A Raf ayat

BAB I PENDAHULUAN. perkara makan dan minum seperti yang tersebut dalam surat Al A Raf ayat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Obesitas adalah penumpukan lemak berlebih yang dapat mengganggu kesehatan (WHO, 2011). Perlu dimengerti bahwa Allah SWT telah mengatur perkara makan dan minum

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur 57 IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta Provinsi DKI Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 7 meter diatas permukaan laut dan terletak antara

Lebih terperinci

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN OBESITAS SENTRAL DI POLIKLINIK PABRIK GULA CAMMING PTP NUSANTARA X (PERSERO) KAB.BONE

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN OBESITAS SENTRAL DI POLIKLINIK PABRIK GULA CAMMING PTP NUSANTARA X (PERSERO) KAB.BONE FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN OBESITAS SENTRAL DI POLIKLINIK PABRIK GULA CAMMING PTP NUSANTARA X (PERSERO) KAB.BONE Hasriana 1, Sukriyadi 2, H.Muhammad Yusuf 3 1 STIKES Nani Hasanuddin Makassar

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Kabupaten Kerinci 5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kerinci terletak di sepanjang Bukit Barisan, diantaranya terdapat gunung-gunung antara lain Gunung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah untuk menyejahterakan kehidupan bangsa. Pembangunan suatu bangsa

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah untuk menyejahterakan kehidupan bangsa. Pembangunan suatu bangsa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan masyarakat Indonesia merupakan usaha yang dilakukan pemerintah untuk menyejahterakan kehidupan bangsa. Pembangunan suatu bangsa dapat berhasil dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembentukan cairan empedu, dinding sel, vitamin dan hormon-hormon tertentu, seperti hormon seks dan lainnya (Gondosari, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. pembentukan cairan empedu, dinding sel, vitamin dan hormon-hormon tertentu, seperti hormon seks dan lainnya (Gondosari, 2010). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kolesterol merupakan konstituen utama membrane plasma dan lipoprotein plasma. Senyawa ini sering ditemukan sebagai ester kolesteril, dengan gugus hidroksil di posisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang serius dan merupakan penyebab yang penting dari angka kesakitan,

BAB I PENDAHULUAN. yang serius dan merupakan penyebab yang penting dari angka kesakitan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes mellitus dan komplikasinya telah menjadi masalah masyarakat yang serius dan merupakan penyebab yang penting dari angka kesakitan, kematian, dan kecacatan di

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 53 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Faktor-faktor risiko hipertensi pada pria berdasarkan nilai odds ratio (OR) tertinggi ke terendah adalah: 1.1. Konsumsi minuman alkohol jenis tradisional berisiko

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penduduk dunia meninggal akibat diabetes mellitus. Selanjutnya pada tahun 2003

BAB 1 PENDAHULUAN. penduduk dunia meninggal akibat diabetes mellitus. Selanjutnya pada tahun 2003 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada tahun 2000, World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa dari statistik kematian didunia, 57 juta kematian terjadi setiap tahunnya disebabkan oleh penyakit

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN

BAB IV HASIL PENELITIAN BAB IV HASIL PENELITIAN A. Karakteristik Responden Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-Juli 2017 dengan menggunakan data sekunder hasil Riskesdas 2013 dan SKMI 2014 yang diperoleh dari laman resmi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. WHO (2006) menyatakan terdapat lebih dari 200 juta orang dengan Diabetes

I. PENDAHULUAN. WHO (2006) menyatakan terdapat lebih dari 200 juta orang dengan Diabetes 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang WHO (2006) menyatakan terdapat lebih dari 200 juta orang dengan Diabetes Mellitus (DM) di dunia. Angka ini diprediksikan akan bertambah menjadi 333 juta orang pada tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai akibat dari kecenderungan pasar global, telah memberikan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai akibat dari kecenderungan pasar global, telah memberikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan ekonomi yang dialami oleh negara-negara berkembang seperti Indonesia sebagai akibat dari kecenderungan pasar global, telah memberikan berbagai dampak pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I 1.1 Latar Belakang PENDAHULUAN Obesitas menjadi masalah di seluruh dunia karena prevalensinya yang meningkat pada orang dewasa maupun remaja baik di negara maju maupun berkembang. Prevalensi overweight

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 63 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Fisik Daerah Penelitian Berdasarkan Badan Pusat Statistik (2011) Provinsi Lampung meliputi areal dataran seluas 35.288,35 km 2 termasuk pulau-pulau yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gizi merupakan sebuah masalah keluarga yang sifatnya jangka panjang dan kebisaan makan yang sehat harus dimulai sejak dini. Masalah gizi pada anak di Indonesia akhir-akhir

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA Keadaan Geografis dan Kependudukan

GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA Keadaan Geografis dan Kependudukan 41 IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA 4.1. Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Jakarta adalah ibu kota Negara Indonesia dan merupakan salah satu Provinsi di Pulau Jawa. Secara geografis, Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. darah merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit dan menempati

BAB I PENDAHULUAN. darah merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit dan menempati BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Departemen Kesehatan RI (2009), penyakit sistem sirkulasi darah merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit dan menempati urutan teratas pada tahun 2007

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mereka dalam dekade pertama kehidupan. Masa remaja merupakan jembatan

BAB I PENDAHULUAN. mereka dalam dekade pertama kehidupan. Masa remaja merupakan jembatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja masa yang sangat penting dalam membangun perkembangan mereka dalam dekade pertama kehidupan. Masa remaja merupakan jembatan periode kehidupan anak dan dewasa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit degeneratif akan meningkat. Penyakit degeneratif yang sering

BAB I PENDAHULUAN. penyakit degeneratif akan meningkat. Penyakit degeneratif yang sering BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan penurunan fungsi organ tubuh, maka resiko terjadinya penyakit degeneratif akan meningkat. Penyakit degeneratif yang sering terjadi pada lansia antara

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. kemungkinan diskriminasi dari lingkungan sekitar. Gizi lebih yang terjadi pada remaja,

BAB 1 : PENDAHULUAN. kemungkinan diskriminasi dari lingkungan sekitar. Gizi lebih yang terjadi pada remaja, BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gizi lebih merupakan keadaan patologis, yaitu dengan terdapatnya penimbunan lemak yang berlebihan dari yang diperlukan untuk fungsi tubuh yang normal. (1) Gizi lebih

Lebih terperinci

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Menurut WHO (2011) secara global hampir mencapai satu milyar orang memiliki tekanan darah tinggi (hipertensi) dan dua pertiga ada di negara berkembang. Hipertensi

Lebih terperinci

A. Keadaan Geografis Dan Topografi

A. Keadaan Geografis Dan Topografi BAB II GAMBARAN UMUM PROVINSI GORONTALO Profil Kesehatan Provinsi Gorontalo Provinsi Gorontalo di bentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 tahun 2000, maka secara administratif sudah terpisah dari Provinsi

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 31 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran Geografis Wilayah Secara astronomis, wilayah Provinsi Banten terletak pada 507 50-701 1 Lintang Selatan dan 10501 11-10607 12 Bujur Timur, dengan luas wilayah

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kerangka Teori 2.1.1 Definisi Diabetes Melitus DM adalah sindrom yang ditandai dengan adanya hiperglikemia kronik seperti yang dapat dilihat pada tabel 1 dan gangguan pada metabolisme

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Status Gizi Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kegemukan Karakteristik Anak Jenis Kelamin.

PEMBAHASAN Status Gizi Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kegemukan Karakteristik Anak Jenis Kelamin. 54 PEMBAHASAN Status Gizi Secara keseluruhan, prevalensi anak usia 6-14 tahun di Provinsi Sumatera Selatan yang tidak gemuk adalah 87,3% dan yang gemuk adalah 12,7%. Jika ditelusuri lebih jauh, prevalensi

Lebih terperinci

METODE. Desain, Waktu dan Tempat

METODE. Desain, Waktu dan Tempat Kerangka pemikiran dalam penelitian ini disusun berdasarkan rangkuman tinjauan teori yang ada, khususnya mengenai hubungan antara satu faktor risiko dengan faktor risiko lain yang berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lebih di Indonesia terjadi di kota-kota besar sebagai akibat adanya

BAB I PENDAHULUAN. lebih di Indonesia terjadi di kota-kota besar sebagai akibat adanya BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, pada saat ini menghadapi masalah yang berhubungan dengan pangan, gizi dan kesehatan. Dalam bidang gizi, Indonesia diperkirakan

Lebih terperinci

BUKU PUTIH SANITASI KABUPATEN MINAHASA UTARA

BUKU PUTIH SANITASI KABUPATEN MINAHASA UTARA 2.1 GEOGRAFIS, ADMINISTRATIF, DAN KONDISI FISIK 1. Geografis Kabupaten Minahasa Utara terletak pada 1 0 17 51,93 LU - 1 0 56 41,03 LU dan 124 0 40 38,39 BT - 125 0 5 15,53 BT dengan batas-batas sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latarbelakang Terdapat hukum fisika yang berbunyi energi masuk = energi terpakai. Berdasarkan prinsip kesetaraan energi tersebut maka diperlukan keseimbangan energi terutama dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan zaman mengakibatkan adanya pergeseran jenis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan zaman mengakibatkan adanya pergeseran jenis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan zaman mengakibatkan adanya pergeseran jenis penyakit. Penyakit menular sudah digantikan oleh penyakit yang tidak menular seperti penyakit degeneratif, metabolik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM. 3.1. Geografis. Kondisi Umum 14. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB III KONDISI UMUM. 3.1. Geografis. Kondisi Umum 14. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau dan Kabupaten Lingga BAB III KONDISI UMUM 3.1. Geografis Wilayah Kepulauan Riau telah dikenal beberapa abad silam tidak hanya di nusantara tetapi juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup dan pola makan, Indonesia menghadapi masalah gizi ganda yang

BAB I PENDAHULUAN. hidup dan pola makan, Indonesia menghadapi masalah gizi ganda yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam era globalisasi sekarang dimana terjadi perubahan gaya hidup dan pola makan, Indonesia menghadapi masalah gizi ganda yang artinya masalah gizi kurang belum

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. didominasi oleh penyakit infeksi bergeser ke penyakit non-infeksi/penyakit tidak

BAB 1 PENDAHULUAN. didominasi oleh penyakit infeksi bergeser ke penyakit non-infeksi/penyakit tidak BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pola penyakit sekarang ini telah mengalami perubahan dengan adanya transisi epidemiologi. Proses transisi epidemiologi adalah terjadinya perubahan pola penyakit dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anak dan remaja saat ini sejajar dengan orang dewasa (WHO, 2013). Menurut

BAB I PENDAHULUAN. anak dan remaja saat ini sejajar dengan orang dewasa (WHO, 2013). Menurut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Obesitas pada anak sampai kini masih merupakan masalah, satu dari sepuluh anak di dunia ini mengalami obesitas dan peningkatan obesitas pada anak dan remaja saat ini

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Lampung Selatan adalah salah satu dari 14 kabupaten/kota yang terdapat di Provinsi

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Lampung Selatan adalah salah satu dari 14 kabupaten/kota yang terdapat di Provinsi IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Geografi Lampung Selatan adalah salah satu dari 14 kabupaten/kota yang terdapat di Provinsi Lampung. Kabupaten Lampung Selatan terletak di ujung selatan Pulau Sumatera

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai suatu studi telah menunjukkan bahwa obesitas merupakan faktor

BAB I PENDAHULUAN. sebagai suatu studi telah menunjukkan bahwa obesitas merupakan faktor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Obesitas merupakan masalah kesehatan global dan telah muncul sebagai suatu studi telah menunjukkan bahwa obesitas merupakan faktor risiko untuk kanker, hipertensi, hiperkolesterolemia,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh PTM terjadi sebelum usia 60 tahun, dan 90% dari kematian sebelum

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh PTM terjadi sebelum usia 60 tahun, dan 90% dari kematian sebelum BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap tahun lebih dari 36 juta orang meninggal karena penyakit tidak menular (PTM) (63% dari seluruh kematian) di dunia. Lebih dari 9 juta kematian yang disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Aktivitas fisik adalah gerakan tubuh yang dihasilkan oleh kontraksi otot

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Aktivitas fisik adalah gerakan tubuh yang dihasilkan oleh kontraksi otot BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Aktivitas fisik adalah gerakan tubuh yang dihasilkan oleh kontraksi otot skelet yang dapat meningkatkan pengeluaran energi. Aktivitas fisik dapat dikategorikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penyakit tidak menular banyak ditemukan pada usia lanjut (Bustan, 1997).

BAB 1 PENDAHULUAN. penyakit tidak menular banyak ditemukan pada usia lanjut (Bustan, 1997). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit tidak menular merupakan penyakit kronis yang sifatnya tidak ditularkan dari orang ke orang. Penyakit ini memiliki banyak kesamaan dengan beberapa sebutan penyakit

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah 5.1. Kondisi Geografis BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT Propinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 o 50 ' - 7 o 50 ' Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross-sectional. Tempat

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross-sectional. Tempat 51 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross-sectional. Tempat penelitian ini berlokasi di Propinsi Lampung dan dilaksanakan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes mellitus dapat menyerang warga seluruh lapisan umur dan status

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes mellitus dapat menyerang warga seluruh lapisan umur dan status BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut WHO menyatakan bahwa gizi adalah pilar utama dari kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus kehidupan (Soekirman, 2000). Di bidang gizi telah terjadi perubahan

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR HIBAH INTERNAL

LAPORAN AKHIR HIBAH INTERNAL BIDANG ILMU*: KESEHATAN LAPORAN AKHIR HIBAH INTERNAL ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI NILAI LEMAK VISCERAL WANITA PESERTA MAJLIS TA LIM NURUL HIDAYAH CIPULIR KEBAYORAN LAMA. PENGUSUL Rachmanida Nuzrina,

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PENELITIAN

BAB 4 HASIL PENELITIAN BAB 4 HASIL PENELITIAN 4. 1 Pelaksanaan Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 21-31 Mei 2008 untuk wawancara dengan kuesioner dan tanggal 26 Mei 3 Juni 2008 untuk pemeriksaan fisik dan laboratorium.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai generasi penerus bangsa yang potensi dan kualitasnya masih perlu

BAB I PENDAHULUAN. sebagai generasi penerus bangsa yang potensi dan kualitasnya masih perlu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak sekolah merupakan sumber daya manusia di masa depan sebagai generasi penerus bangsa yang potensi dan kualitasnya masih perlu ditingkatkan. Sumber daya manusia

Lebih terperinci

HASIL PENELITIAN HUBUNGAN ANTARA KEBIASAAN MEROKOK DENGAN TEKANAN DARAH PADA NELAYAN DI KELURAHAN BITUNG KARANGRIA KECAMATAN TUMINTING KOTA MANADO

HASIL PENELITIAN HUBUNGAN ANTARA KEBIASAAN MEROKOK DENGAN TEKANAN DARAH PADA NELAYAN DI KELURAHAN BITUNG KARANGRIA KECAMATAN TUMINTING KOTA MANADO HASIL PENELITIAN HUBUNGAN ANTARA KEBIASAAN MEROKOK DENGAN TEKANAN DARAH PADA NELAYAN DI KELURAHAN BITUNG KARANGRIA KECAMATAN TUMINTING KOTA MANADO Oleh: dr. Budi T. Ratag, MPH, dkk. Dipresentasikan dalam

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN INSIDENSI DIABETES MELLITUS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MAYANG DAN LEDOKOMBO

KARAKTERISTIK FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN INSIDENSI DIABETES MELLITUS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MAYANG DAN LEDOKOMBO KARAKTERISTIK FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN INSIDENSI DIABETES MELLITUS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MAYANG DAN LEDOKOMBO Disampaikan Pada Pertemuan Ilmiah Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Jember

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditandai dengan transisi epidemiologi. Secara garis besar transisi epidemiologi

BAB I PENDAHULUAN. ditandai dengan transisi epidemiologi. Secara garis besar transisi epidemiologi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pola kejadian penyakit pada saat ini telah mengalami perubahan yang ditandai dengan transisi epidemiologi. Secara garis besar transisi epidemiologi ditandai dengan perubahan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fleksibilitas 2.1.1. Definisi fleksibilitas Fleksibilitas mengacu pada kemampuan ruang gerak sendi atau persendian tubuh. Kemampuan gerak sendi ini berbeda di setiap persendian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit jantung dan pembuluh darah (cardiovascular disease) merupakan salah satu masalah kesehatan yang masih tinggi angka morbiditas dan mortalitasnya. Dalam laporannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beranekaragam. Disaat masalah gizi kurang belum seluruhnya dapat diatasi

BAB I PENDAHULUAN. beranekaragam. Disaat masalah gizi kurang belum seluruhnya dapat diatasi BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia saat ini menghadapi masalah kesehatan yang kompleks dan beranekaragam. Disaat masalah gizi kurang belum seluruhnya dapat diatasi muncul masalah gizi lebih

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah 35 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Provinsi Lampung Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah Provinsi Lampung adalah 3,46 juta km 2 (1,81 persen dari

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. merupakan salah satu faktor resiko mayor penyakit jantung koroner (PJK). (1) Saat ini PJK

BAB 1 : PENDAHULUAN. merupakan salah satu faktor resiko mayor penyakit jantung koroner (PJK). (1) Saat ini PJK BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan kadar kolesterol darah yang dikenal dengan istilah hiperkolesterolemia merupakan salah satu faktor resiko mayor penyakit jantung koroner (PJK). (1) Saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Obesitas telah menjadi masalah di dunia, World Health Organization (WHO) memperkirakan sejak tahun 2008 sebanyak 2,8 juta penduduk meninggal setiap tahun terkait overweight

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan salah satu aspek yang menentukan kualitas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan salah satu aspek yang menentukan kualitas 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu aspek yang menentukan kualitas hidup manusia. Umumnya setiap orang ingin mencapai usia panjang dan tetap sehat, berguna, dan bahagia.

Lebih terperinci

daripada mereka yang aktif. Selain itu, aktivitas fisik yang kurang juga berhubungan dengan obesitas. Meningkatnya tingkat pendapatan juga

daripada mereka yang aktif. Selain itu, aktivitas fisik yang kurang juga berhubungan dengan obesitas. Meningkatnya tingkat pendapatan juga KERANGKA PEMIKIRAN Hipertensi merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat, baik di negara maju maupun negara berkembang. Hipertensi merupakan suatu keadaan tanpa gejala, dengan kondisi tekanan yang

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu permasalahan kesehatan di Indonesia adalah kematian anak usia bawah lima tahun (balita). Angka kematian balita di negara-negara berkembang khususnya Indonesia

Lebih terperinci