BEPS Dalam Kerangka Kerja Sama G20 Dan Implementasinya Kepada Indonesia

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BEPS Dalam Kerangka Kerja Sama G20 Dan Implementasinya Kepada Indonesia"

Transkripsi

1 BEPS Dalam Kerangka Kerja Sama G20 Dan Implementasinya Kepada Indonesia Ditulis oleh Nanang Zainal Arifin 1. Pendahuluan Isu Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) telah menarik perhatian banyak negara di dunia akhir-akhir ini. Begitu pula dengan negara-negara anggota G20 yang telah membahas isu ini secara intensif pada tahun 2014 di bawah Presidensi Australia. Hal ini dikarenakan implementasi BEPS dapat merugikan dan menjadi ancaman bagi negaranegara yang menerapkan tarif pajak normal/tinggi dalam sistem perpajakannya, serta dapat mendorong terciptanya unfairness di dalam perekonomian global. Perbedaan tarif pajak yang dianut negara-negara di dunia, mendorong kesempatan melakukan tax arbitrage yang pada umumnya dimanfaatkan oleh perusahaan multinasional (MNCs) dalam perencanaan pajaknya. oleh karenanya banyak negara berpotensi kehilangan pendapatan pajak yang substansial dikarenakan tergerusnya basis penerimaan pajak atau karena perpindahan keuntungan (profit shifting) ke negara lain yang menerapkan tarif pajak lebih rendah. Dalam jangka panjang, praktek ini dapat menganggu kesinambungan fiskal suatu negara dalam rangka membiayai pembangunan ekonomi negaranya. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh BEPS tersebut menjadi semakin jelas dengan ditemukannya bukti bahwa banyak perusahaan multinasional (MNCs) yang dengan sengaja menghindari kewajiban pajaknya dengan cara mengalihkan keuntungan perusahaan ke negara lain yang menerapkan tarif pajak lebih rendah atau tarif pajaknya nol. Praktek seperti ini telah menimbulkan persepsi bahwa BEPS telah mengakibatkan pemerintah kehilangan banyak penghasilannya yang bersumber dari penerimaan pajak perusahaan. G20 bekerjasama dengan OECD telah mengambil langkah-langkah konkrit untuk mengatasi masalah yang disebabkan oleh BEPS tersebut. Isu BEPS juga telah menjadi salah satu agenda prioritas G20 yang harus diselesaikan tidak hanya pada saat Presidensi Rusia tahun 2013, namun pembahasan isu ini berlanjut pada saat Presidensi Australia tahun Secara spesifik, G20 telah meminta OECD untuk melakukan kajian secara komprehensif bekerjasama dengan beberapa negara partner guna mengatasi permasalahan yang diakibatkan oleh BEPS tersebut. 1 Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,

2 2. Definisi BEPS Base erosion and profit shifting (BEPS) merupakan istilah yang digunakan oleh negaranegara anggota G-8, G-20 dan OECD untuk menjelaskan praktek usaha yang dilakukan oleh banyak perusahaan Multinasional (MNCs) untuk memindahkan keuntungan usahanya melalui skema transfer pricing ke negara yang menerapkan tarif pajak rendah/nol (Wells dan Lowell, 2013, hal.3). Secara umum, selain melalui transfer pricing, praktek BEPS juga dapat terjadi karena adanya praktek hybrid mismatches yaitu pemberlakuan transaksi yang berbeda oleh setiap negara untuk menghindari pajak dan pemberian special purpose entities (SPE) yang telah memberi keleluasaan kepada MNCs untuk mengalihkan keuntungan usahanya ke negara lain (Love, P 2013). Praktek semacam ini dapat menciptakan kompetisi yang tidak sehat diantara pelaku usaha, menciptakan ketidakadilan kepada wajib pajak untuk mematuhi kebijakan perpajakan yang sama, dan juga mengarah kepada alokasi sumber daya yang tidak efisien. Lebih jauh, praktek BEPS akan berdampak pada hilangnya pendapatan potensial yang diterima setiap negara karena keuntungan suatu perusahaan akan ditransfer ke negara lain yang mengenakan kebijakan tarif pajak rendah. Dengan demikian praktek BEPS oleh MNCs akan menjadi tantangan serius bagi setiap negara dan dapat merugikan bagi negara-negara yang menerapkan tarif pajak normal atau tinggi. 3. Penyebab dan Dampak Masalah BEPS Selama beberapa dekade, negara berkembang telah menjadi korban atas penerapan sistem perpajakan internasional yang tidak adil, fair dan tidak efektif. Namun, ketika masalah yang ditimbulkan oleh BEPS mulai merugikan negara maju karena sebagian besar negara tersebut menerapkan tarif pajak normal/tinggi, pemimpin negara G20 dan OECD mulai membahasnya lebih serius untuk mencari solusinya. Terkait hal ini, OECD telah menyampaikan laporannya mengenai BEPS yang mencakup analisis yang komprehensif terhadap penyebab utama dan konsekuensi yang mungkin muncul yang diakibatkan oleh BEPS. Berikut disampaikan beberapa penyebab dan konsekuensi potensial yang dapat terjadi sebagai akibat masalah BEPS, sebagai berikut. Penyebab isu BEPS: a. Praktek profit shifting yang dilakukan oleh MNCs untuk meminimalkan pembayaran pajak mereka dan memaksimalkan profit mereka merupakan penyebab utama BEPS. b. Regulasi perpajakan global konvensional (yang disusun 80 tahun lalu) sudah tidak dapat mengatur perkembangan dunia usaha yang semakin kompleks. 2 Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,

3 c. Sistem perpajakan yang berlaku saat ini (konvensional) memudahkan dan mendorong MNCs untuk melakukan praktek pengurangan kewajiban pajaknya. d. Penyalahgunaan penghindaran pajak oleh MNCs telah memberikan keunggulan kompetitif bagi mereka, meskipun hal ini mendorong munculnya masalah keadilan dan kepatuhan pajak. e. Saat ini telah berkembang praktek di mana MNCs tidak membayar kewajiban pajaknya di negara di mana mereka beroperasi dan mendapatkan keuntungan usaha. f. Penyelesaian secara sepihak dan parsial tidak akan berhasil mengatasi masalah BEPS. Hanya dengan pendekatan yang komprehensif dan multilateral, dengan melibatkan semua negara dapat menyelesaikan masalah ini. Dampak yang ditimbulkan oleh BEPS: a. Menyebabkan risiko serius bagi penerimaan pajak suatu negara, kedaulatan dan keadilan perpajakan baik bagi negara maju maupun negara berkembang, khususnya bagi negara-negara yang menerapkan tarif pajak normal/tinggi. b. Mendorong berkembangnya praktek profit shifting ke negara low-tax jurisdiction oleh MNCs. Perbedaan tarif pajak menimbulkan kesempatan melakukan tax arbitrage, yang pada umumnya dimanfaatkan oleh MNCs dalam tax planning-nya. Mendorong meningkatnya praktek tax dispute dan tax arbritage apabila tidak diselesaikan secara tepat dan cepat. Apabila wajib pajak dalam negeri memandang bahwa MNCs dapat dengan mudah menghindari kewajiban pajaknya, maka hal ini akan menggangu kepatuhan wajib pajak lainnya. 4. Perdebatan seputar isu BEPS Meskipun sudah banyak dorongan khususnya dari negara-negara anggota G20 dan OECD untuk menyelesaikan praktek BEPS oleh MNCs yang merugikan, namun perdebatan mengenai seberapa besar dampak yang ditimbulkan oleh praktek profit shifting oleh MNCs terhadap perekonomian negara lain masih menjadi pertanyaan. Sebuah artikel dalam harian The Russia Corporate World mengangkat isu mengenai pros and cons for assets deoffshorization for business. Perdebatan yang mewarnai artikel ini adalah tidak ada dampak langsung yang sama kepada semua negara atas praktek BEPS oleh MNCs. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan praktek shifting yang dilakukan oleh MNCs di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat dengan Rusia dan negara-negara pecahan Uni Soviet dan Eropa Timur. Negara Barat yang merupakan pendukung utama proyek BEPS paling terkena dampak yang signifikan atas praktek profit 3 Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,

4 shifting oleh MNCs yang beroperasi di negaranya. Disamping itu, MNCs yang beroperasi di negara-negara Barat banyak yang mendirikan anak perusahaannya di negara lain yang menerapkan tarif pajak rendah. Namun, praktek yang sama tidak sepenuhnya terjadi di Rusia dan negara Eropa Timur. MNCs Rusia sebagian besar melakukan praktek pengalihan aset dan properti yang mereka miliki ke negara lain dengan tujuan untuk perlindungan properti dan aset mereka, bukan pengalihan profit mereka. Selanjutnya, mereka bahkan menempatkan induk perusahaannya di negara lain, bukanlah anak perusahaan sebagaimana yang dilakukan oleh MNCs di negara-negara Barat. Terkait perbedaan praktek MNCs ini, terdapat anggapan bahwa dukungan Amerika terhadap proyek BEPS merupakan upaya Amerika Serikat untuk memaksakan kebijakan perpajakan dalam negerinya ke semua negara di dunia. Perbankan European Union (EU) mempunyai pandangan yang berbeda dalam upaya untuk menyelesaikan praktek MNCs yang merugikan dengan profit shifting-nya. EU berpandangan bahwa masalah profit shifting oleh MNCs tidak perlu diselesaikan dengan membuat sistem perpajakan internasional yang baru, namun cukup diatasi dengan melakukan penguatan regulasi dan pengawasan untuk mengatur operasi MNCs di dalam negeri. Saat ini, EU telah membuat regulasi yang mengatur operasi MNCs, di mana setiap perusahaan yang terdaftar di EU akan mempunyai satu akun bank dan selanjutnya akan dikenakan pajak berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku di EU. House of Lord di United of Kingdom (UK) mempunyai pandangan berbeda dalam menyelesaikan praktek MNCs yang merugikan negara yang ditempati. UK lebih memilih pendekatan unilateral dengan memperkuat regulasi perpajakan nasionalnya dalam mengatur praktek MNCs yang merugikan tersebut dan tetap mempertahankan sistem perpajakan internasional yang berlaku saat ini. Pendekatan ini berbeda dengan apa yang dilakukan oleh OECD dengan proyek BEPS-nya. OECD berpandangan sistem perpajakan saat ini sudah tidak cocok lagi dengan kondisi dan lingkungan usaha yang semakin kompleks sehingga perlu dilakukan modernisasi. Disamping itu, OECD juga memilih pendekatan multilateral untuk menyelesaikan isu BEPS dengan melibatkan banyak negara dalam pelaksanaannya. 5. Justifikasi Pentingnya Memerangi BEPS Isu BEPS sangat penting untuk diatasi, tidak hanya karena berpotensi mengganggu penerimaan pajak suatu negara, tetapi juga dapat menciptakan kompetisi yang tidak seimbang di dalam perekonomian global yang akan mengarah pada instabilitas sektor 4 Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,

5 keuangan global. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui bahwa upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi BEPS telah memiliki justifikasi yang kuat. Berikut beberapa justifikasi pentingnya memerangi BEPS. a. Saat ini banyak negara di dunia termasuk negara anggota G20 dan European Union (EU) memberlakukan tarif pajak normal/tinggi (non-low tax jurisdiction). Hal ini menyebabkan negara-negara tersebut paling rentan terkena dampak dari praktek BEPS yang dilakukan oleh MNCs, sehingga memiliki kepentingan yang kuat untuk mencegah dan mengatasi dampak yang ditimbulkan oleh BEPS. Sesuai dengan data website mengenai corporate tax worldwide guidance, dapat dilihat besaran tarif pajak korporasi untuk semua negara anggota G20 sebagaimana tabel di bawah. G20 Tax Comparison Corporate Income Capitals Gain Branch No. Country Tax Rate (%) Tax Rate (%) Tax Rate (%) 1 Argentina Australia Brazil Canada China France 33 1/3 0/15/33 1/3 33 1/3 7 Germany Indonesia India Italy / Japan Republic of Korea Mexico Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,

6 14 Russia 5/20 5/20 5/20 15 Saudi Arabia 30 to South Africa Turkey United Kingdom United States European Union Sumber : Data diolah dari Guide-Country-list b. Kemajuan teknologi informasi yang dimiliki oleh MNCs dan sistem ekonomi digital yang berlaku saat ini sangat memungkinkan banyak MNCs memiliki kemampuan untuk melakukan profit shifting ke negara yang menerapkan tarif pajak lebih rendah untuk memaksimalkan keuntungan perusahaannya. Namun, hal ini menimbulkan kerugian bagi negara yang menjadi lokasi usaha karena tergerusnya penerimaan negara dari pendapatan pajak korporasi tersebut (potential loss of revenues for home countries). Berdasarkan data empiris yang dirilis oleh OECD di bawah disebutkan bahwa negaranegara anggota OECD terkena dampak yang cukup signifikan atas praktek profit shifting yang dilakukan oleh MNCs. Ketika negara-negara kecil yang memberlakukan tarif pajak rendah menikmati masuknya foreign direct investment (FDI) yang cukup signifikan sebesar ribuan persen dari total GDP negara tersebut. Adapun negaranegara anggota OECD hanya menikmati masuknya FDI sebesar 36% dari total GDP negara tersebut. 6 Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,

7 c. Berdasarkan laporan OECD mengenai BEPS tahun 2013 (hal. 61), OECD telah melakukan review atas berbagai kajian terkait isu BEPS dan ditemukan bukti bahwa terdapat hubungan tidak langsung antara pengenaan tarif pajak rendah dengan profit shifting yang dilakukan oleh MNCs. Disamping itu, juga ditemukan fakta bahwa terdapat beberapa negara yang sengaja menerapkan rejim perpajakan dengan tingkat pajak yang rendah (low-tax jurisdiction), dan mengambil manfaat tersendiri dari hal tersebut. Hal ini telah menciptakan unfairness dalam tataran sistem perpajakan global, terutama bagi negara-negara yang menerapkan sistem perpajakan secara normal. d. Terdapat dukungan yang kuat oleh negara anggota G20 dan OECD untuk segera mengambil langkah konkrit dalam mengatasi BEPS. G20 juga mendapat dukungan dari banyak negara agar diciptakan standar perpajakan baru yang memungkinkan diberlakukan tarif pajak yang sama (setara) kepada seluruh pembayar pajak, termasuk melalui penguatan komitmen ekonomi dan komitmen politik. Hal ini akan bermanfaat mengurangi ketidakefisienan alokasi sumber daya di dunia. Indonesia secara khusus akan secara aktif mendukung pembahasan isu transparansi dan mekanisme pertukaran informasi pajak secara global, namun hendaknya dapat diperkuat dengan implementasi dari hasil kesepakatan yang sudah ada selama ini. e. Sistem perpajakan internasional yang berlaku saat ini sudah tidak sesuai dan tidak mampu untuk mengatur operasi MNCs di seluruh dunia, terlebih dengan adanya tantangan usaha yang lebih kompleks dan meningkatnya praktek ekonomi digital saat ini. Disamping itu, isu penguatan regulasi dan pengawasan lintas batas negara untuk operasi MNCs juga masih menjadi tantangan. Oleh karena itu, proyek BEPS yang diprakarsai oleh OECD merupakan salah satu upaya untuk menciptakan sistem perpajakan internasional yang lebih tepat dan cocok untuk diterapkan dalam kondisi perekenomian global di abad ke-21 ini. 6. Kerja sama Internasional untuk Mengatasi BEPS a. Pertemuan G20 tingkat Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral pada bulan Juli 2013 telah mengesahkan Global Action Plan yang disusun oleh OECD dalam rangka mengatasi isu BEPS secara komprehensif. Implementasi rencana aksi ini akan mengakibatkan terjadinya perubahan yang signifikan di dalam regulasi perpajakan internasional sejak tahun 1920, seperti: Peraturan perpajakan internasional akan dikembangkan untuk mengatasi kesenjangan sistem perpajakan antar negara yang berbeda, namun tetap 7 Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,

8 menghormati kedaulatan setiap negara untuk merancang aturan perpajakannya sendiri. Peraturan perjanjian pajak dan transfer pricing yang berlaku saat ini akan ditinjau ulang untuk memperbaiki kekurangan yang ada dan untuk menyelaraskannya dengan substansi dan penciptaan nilai. Penciptaan iklim yang lebih transparan melalui pelaporan oleh perusahaanperusahaan (MNCs) kepada pemerintah atas alokasi keuntungan perusahaan mereka di seluruh dunia. Semua rencana aksi BEPS ini diharapkan dapat diimplementasikan dalam kurun waktu 18 sampai dengan 24 bulan mendatang. b. Pelaksanaan Proyek BEPS oleh OECD Proyek BEPS yang dilaksanakan oleh OECD dan G20 telah menjadi prioritas utama agenda perpajakan yang dibahas di G20, sebagai jawaban atas berbagai bukti di berbagai bidang bahwa implementasi perpajakan kontemporer telah banyak merugikan dan masih jauh dari kondisi ideal yang diharapkan. Proyek BEPS ini ditujukan untuk mengimplementasi rencana aksi OECD untuk mengatasi masalah BEPS untuk 2 tahun ke depan. Saat ini telah berhasil dirumuskan 15 rencana aksi yang dapat membantu pemerintah dengan berbagai instrument kebijakan yang diperukan untuk mengatasi masalah BEPS dan secara tidak langsung membantu meningkatkan koherensi dalam implementasi sistem perpajakan internasional. Pada tahun 2014, OECD akan menyelesaikan output untuk 7 rencana aksi yang telah dikaji yaitu mengenai digital economy, hybrid mismatch, transfer pricing, harmful tax practices, preventing treaty abuse dan developing a multilateral instrument. 8 rencana aksi sisanya dijadwalkan akan selesai dibahas pada akhir tahun Tujuan utama proyek BEPS adalah untuk menguji tantangan yang dihadapi oleh digital economy yang diakibatkan oleh ketentuan perpajakan yang berlaku saat ini. Laporan dari proyek ini khususnya mengenai opsi kebijakan yang diperlukan dalam mengatasi isu digital economy diharapkan selesai pada bulan September Laporan ini akan memberikan kontribusi signifikan bagi penyelesaian ke-6 rencana aksi lainnya yang jatuh tempo pada tahun Final outcomes yang diharapkan melalui proyek BEPS adalah terciptanya sistem perpajakan internasional yang sesuai untuk abad ke-21, peningkatan integritas sistem perpajakan, penghindaran 8 Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,

9 terhadap aktivitas yang merugikan, penciptaan level of the playing field untuk semua bisnis, dan meningkatkan kepastian bisnis melalui pengurangan terhadap ketidakcocokan sistem perpajakan yang berlaku serta memperkenalkan standar perpajakan internasional baru yang disepakati secara global. c. Direktur CTPA-OECD, Pascal Saint Amans, mengirimkan kepada Kepala PKPN- BKF yang intinya menginformasikan rencana OECD untuk membentuk perjanjian deklarasi pemberian dukungan bagi studi BEPS yang dilakukan OECD, serta mengundang Pemerintah Indonesia untuk turut serta menandatangani deklarasi tersebut pada kesempatan pertemuan tingkat Menteri yang akan diselenggarakan pada tanggal Mei Berdasarkan persetujuan lisan dari Menteri Keuangan, Kepala PKPN telah memberikan jawaban yang intinya memberikan dukungan terhadap penelitian OECD terkait BEPS tersebut. d. Indonesia mendukung pelaksanaan proyek BEPS dan bersedia menjadi Associate Member. Namun secara administrasi, bergabungnya Indonesia dalam proyek BEPS memiliki konsekuensi kewajiban kontribusi iuran sekitar 51,000 per tahun. Untuk tahun 2013 ini, Kementerian Keuangan belum mengalokasikan pembayaran iuran tersebut, dan anggarannya baru diusulkan pada tahun Pada tanggal 2 September 2013, Badan Kebijakan Fiskal secara resmi telah menjawab surat undangan OECD kepada Indonesia untuk menjadi Associate Member of BEPS dan menyatakan kesiapan Indonesia untuk berpartisipasi dalam proyek BEPS tersebut, termasuk kesiapan pembayaran kontribusinya pada tahun Perkembangan Pembahasan isu BEPS di G20/OECD Pembahasan isu BEPS di G20 terus mengalami progres yang menggembirakan. Hampir dalam setiap pertemuan G20, OECD menyampaikan update informasi mengenai perkembangan proses pembahasan isu ini. Sesuai dengan position paper untuk isu BEPS yang telah disusun oleh PKPPIM, BKF untuk pertemuan G20 Finance and Central Bank Deputies pada tanggal Desember 2013 di Canberra, Australia, berikut kami sampaikan perkembangan pembahasan isu tersebut, sebagai berikut. Pembahasan isu international tax system kembali mengemuka di G20 ketika pada pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 (G20 MGM) di Mexico tanggal 5-6 November 2012, sebagian besar Menteri Keuangan menunjukkan perhatian yang besar atas penyelesaian masalah base erosion and profit shifting (BEPS). Para menteri keuangan juga menyambut baik kerja OECD terkait isu ini dan 9 Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,

10 meminta untuk menyampaikan laporannya pada pertemuan MGM selanjutnya di Moscow pada tanggal Februari Pada pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 (G20 MGM) di Moscow, Rusia pada tanggal Februari 2013, OECD telah menyampaikan laporannya mengenai Adressing Base Erosion and Profit Shifting, yang telah dirilis pada tanggal 12 Februari 2013 secara garis besar membahas mengenai jenis-jenis aktivitas tax planning wajib pajak yang umumnya menjadi penyebab utama BPES dan identifikasi hal-hal yang mempengaruhinya, diantaranya: (i) Tidak samanya tarif pajak yang menyebabkan arbitrasi dalam implementasinya; (2) keseimbangan sumbersumber pajak; (3) pembiayaan diantara kelompok yang sama; (4) isu transfer pricing; (5) efektifitas aturan anti-penghindaran pajak; dan (6) dukungan rejim tertentu. Dalam laporan OECD tersebut juga disampaikan bahwa perlunya dukungan politis dari negara anggota dan non-negara anggota OECD untuk mengatasi isu BEPS ini. Hal ini dikarenakan penyelesaian isu BEPS tidak dapat diselesaikan oleh satu negara saja, melainkan diperlukan koordinasi internasional yang lebih baik, terutama mengenai transparansi dan pertukaran informasi di bidang perpajakan. OECD juga menghimbau agar dilakukan upaya pencegahan yang bersifat komprehensif dan internasional dalam mengatasi BEPS dimaksud. Deputy Prime Minister Treasurer of Australia (Wayne Swan) melalui surat tanggal 13 Februari 2013 kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia meminta dukungan dari Pemerintah Indonesia terhadap upaya-upaya memperkuat Global Financial System, dengan turut berpartisipasi dalam penyusunan comprehensive global action plan untuk meningkatkan sustainabilitas dan integritas sistem perpajakan global. Pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 (G20 MGM) di Washington DC pada tanggal April 2013 yang menyepakati untuk mengangkat isu ini sebagai salah satu agenda utama G20 ke depan, khususnya terkait isu base erosion and profit shifting (BEPS). Pertemuan ini juga menyepakati bahwa masih banyak hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah penghindaran pajak internasional, terutama yang dilakukan melalui pemberian fasilitas bebas pajak (tax haven). G20 MGM juga menyambut baik laporan Global Forum, OECD mengenai efektivitas pertukaran informasi dan mengapresiasi kemajuan yang telah dicapai oleh banyak negara. Pada pertemuan G20 MGM (tingkat Menteri Keuangan) bulan Juli 2013 akan meminta OECD menyampaikan proposalnya yang lebih komprehensif mengenai isu BEPS. 10 Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,

11 Untuk KTT G20 di St. Petersburg pada bulan September 2013, G20 MGM mendorong semua negara untuk menandatangani atau menyatakan minatnya untuk menandatangani kesepakatan the Multilateral Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters, dan meminta OECD melaporkan perkembangannya. Selanjutnya G20 MGM juga menyambut baik telah dilaksanakannya pertukaran informasi di bidang perpajakan secara otomatis dan berharap hal ini dapat diterapkan juga kepada semua pihak yang telah mengikatkan diri dalam perjanjian/treaty sesuai dengan standar yang berlaku. Pada pertemuan Sherpa Ke-3 di St. Petersburg tanggal Mei 2013, sebagain besar Sherpa G20 mendukung diangkatnya isu perpajakan khususnya BEPS sebagai agenda G20. Dalam hal ini, Sherpas mengharapkan pembahasan kongkrit terkait masalah ini dalam kesempatan pertemuan Finance Deputies dan Finance Ministers mendatang. Beberapa negara anggota menyatakan bahwa pembahasan isu pajak merupakan langkah penting bagi G20, dan pesan yang tegas dari Leaders akan menjadi dukungan politik yang cukup kuat serta sinyal positif kepada pasar. Sementara OECD menyampaikan perkembangan pelaksanaan komitmen G20 terkait isu transparansi dan pertukaran informasi perpajakan melalui Global Tax Forum. Pada pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 pada tanggal Juli 2013, G20 MGM telah mengesahkan rencana aksi yang komprehensif untuk mengatasi BEPS yang telah disampaikan oleh OECD. Selanjutnya, MGM juga menyambut baik pendirian proyek BEPS yang digagas oleh G20 dan OECD dan mengajak semua negara yang tertarik terhadap masalah BEPS untuk menjadi anggota. Pada pertemuan G20 Summit di Saint Petersburg pada tanggal 5-6 September 2013 para pemimpin negara G20 menegaskan kembali komitmen untuk mengatasi isu BEPS dan kerjasama dalam pertukaran informasi perpajakan secara otomotis, serta menyepakati pertukaran informasi ini sebagai standar global yang baru di bidang perpajakan. Pada pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 tanggal Oktober 2013, G20 MGM sepakat untuk terus mengawal implementasi agenda perpajakan yang terlalu ambisi dan menunggu laporan rutin dari Global Forum dan the OECD, khususnya mengenai pembuatan standar baru untuk pertukaran informasi secara otomatis dan implementasi rencana aksi BEPS. 11 Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,

12 Pada tanggal November 2013 telah diselenggarakan pertemuan 6 th Meeting of Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes di Jakarta. Pertemuan ini membahas 2 agenda utama yaitu: Cara untuk lebih mempromosikan pertukaran informasi perpajakan guna memastikan bahwa semua orang, di semua negara dapat membayar bagiannya secara adil. Penyusunan kriteria untuk merilis peringkat kepatuhan terhadap lebih dari 50 negara, yang dapat ditinjau dari segi ketersediaan, akses dan pertukaran informasinya. Pada pertemuan ini juga dilakukan penandatanganan nota kesepahaman mengenai Konvensi Multilateral tentang Bantuan Administratif Timbal Balik dalam Masalah Pajak. Pada pertemuan G20 tingkat Deputi Keuangan dan Bank Sentral tanggal Desember 2013 di Canberra, Australia, para Deputies telah bertukar pandangan mengenai agenda international tax yang penting untuk dilanjutkan pembahasannya pada pertemuan G20 di bawah presidensi Australia tahun Disamping itu, juga turut dibahas mengenai mekanisme kerja sama antara DWG dan finance track dalam membahas agenda perpajakan, isu-isu apa yang dapat diselesaikan di DWG dan bagaimana cara terbaik untuk membantu negara berkembang dalam mengembangkan kapasitasnya mengenai administrasi perpajakan. Pada pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 tanggal Februari 2014 di Sydney, Australia, G20 kembali mendukung rencana aksi global terhadap BEPS berdasar prinsip perpajakan yang sehat. G20 berpendapat bahwa keuntungan harus dikenakan pajak di mana aktivitas ekonomi dilakukan serta mengharapkan perkembangan soal BEPS sesuai dengan jadwal yang ditetapkan. Pada G20 International Tax Symposium di Tokyo, Jepang tanggal 9-10 Mei 2014 isu BEPS kembali dibahas dengan fokus pada negara-negara berkembang, khususnya di wilayah Asia-Pasifik. Simposium ini juga membahas tentang tantangan pada ekonomi digital dan pengaruhnya pada sistem pajak internasional. Pada tanggal 16 September 2014, OECD telah merilis tujuh deliverables dari rencana aksi yang direncanakan selesai pada tahun Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,

13 Pada pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 tanggal September 2014 di Cairns, Australia, G20 kembali menyatakan dukungannya terhadap penyelesaian proyek BEPS yang direncanakan sekesai pada akhir tahun Pembahasan terkini pada pertemuan G20 Summit tanggal November 2014 di Brisbane, Australia, G20 kembali menegaskan bahwa keuntungan harus dikenai pajak di mana kegiatan ekonomi dilakukan dan nilai tambah diciptakan. G20 juga menyambut baik perkembangan signifikan pada isu BEPS dan berkomitmen akan menyelesaikannya pada akhir Rencana Aksi BEPS, Update dan Tindaklanjutnya Rencana Aksi Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) ditujukan untuk mengatasi kekhawatiran banyak negara terhadap masalah berkurangnya pendapatan negara dari pajak yang diakibatkan perencanaan pajak agresif yang dilakukan secara terstruktur oleh MNCs. Kerugian negara dimungkinkan menjadi lebih besar lagi mengingat kemajuan teknologi informasi yang dimiliki oleh MNCs semakin canggih dan berlangsungnya praktek perekonomian digital saat ini. Praktek perekonomian digital mempunyai karakteristik adanya ketergantungan transaksi pada aset tidak berwujud, penggunaan secara besarbesaran data terutama data pribadi, dan kesulitan dalam menentukan yurisdiksi/negara di mana penciptaan nilai terjadi. Pada pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 tanggal Juli 2013, telah disahkan rencana aksi OECD yang komprehensif untuk mengatasi BEPS. Selanjutnya, MGM juga menyambut baik pelaksanaan proyek BEPS yang digagas oleh G20 dan OECD, serta mengajak semua negara yang memiliki keprihatinan yang tinggi terhadap masalah BEPS untuk menjadi anggota. Secara Secara umum rencana aksi BEPS membahas 4 prinsip utama, yaitu: a. Membangun koherensi pajak penghasilan perusahaan secara internasional melalui penetralan dampak tarif pajak yang berbeda, memperkuat regulasi pengawasan terhadap perusahaan asing, membatasi berkurangnya penerimaan pajak, dan melawan praktek-praktek perpajakan yang merugikan secara lebih efektif. b. Meningkatkan manfaat atas penerapan standar perpajakan internasional, seperti mencegah penyalahgunaan perjanjian perpajakan internasional, menghindari pemalsuan status Permanent Establisment (PE), memperbaiki regulasi mengenai 13 Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,

14 transfer pricing atas barang tak berwujud, atas risiko dan area yang berisiko tinggi lainnya. c. Menjamin transparansi yang sejalan dengan upaya memperkuat kepastian hukum dan prediktabilitas. d. Mempercepat proses implementasi rencana aksi BEPS beserta langkah-langkah nyata yang akan diambil. Pada 16 September 2014, OECD telah merilis tujuh rencana aksi BEPS yang jatuh tempo di tahun 2014, sebagai berikut. Action 1 : Addressing the Tax Challenges of the Digital Economy Ekonomi digital adalah proses yang dihasilkan teknologi informasi & komunikasi dan masih akan terus berkembang sehingga dibutuhkan langkah lebih lanjut di masa depan untuk mengevaluasi dampaknya pada sistem pajak. Ekonomi digital memiliki beberapa elemen kunci yang relevan dari kacamata perpajakan, seperti mobilitas, ketergantungan pada data & network effects. Ekonomi digital juga berperan besar dalam operasi global MNE. Walau ekonomi digital tidak menciptakan risiko BEPS baru, beberapa elemen kuncinya mempertajam risiko BEPS yang telah ada. Ke depan, isu-isu yang secara spesifik mengarah ke ekonomi digital wajib dievaluasi, seperti penggunaan barang tak berwujud dan penggunaan data. Ekonomi digital juga menimbulkan tantangan perpajakan yang lebih luas bagi para pembuat kebijakan terkait hubungan antar MNE, data dan karakteristik perusahaan serta pengumpulan PPN. Langkah ke depan yang akan diambil terkait ekonomi digital antara lain isu pengenaan pajak, khususnya PPN di transaksi digital serta memantau efek dari deliverables pada ekonomi digital jika ada langkah tambahan yang diperlukan. Action 2 : Neutralising the Effects of Hybrid Mismatch Arrangements Penerapan aturan perpajakan yang berbeda antar negara dapat menimbulkan penangguhan pajak ganda dan sering kali sulit untuk menentukan negara mana yang mengalami kerugian pajak. Laporan action plan memberikan dua macam rekomendasi untuk isu ini, yaitu rekomendasi untuk peraturan dalam negeri dan rekomendasi untuk isu-isu P3B. Rekomendasi peraturan dalam negeri berisi rekomendasi untuk pengaturan yang menghasilkan deduction/ no inclusion (D/NI) outcomes dan double deduction (DD) outcomes. 14 Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,

15 Rekomendasi untuk isu-isu P3B berisi rekomendasi untuk entitas berkewarganegaraan ganda, ketentuan P3B bagi entitas transparan dan interaksi antara peraturan dalam negeri dan P3B. Action 5 : Countering Harmful Tax Practices More Effectively, Taking into Account Transparency and Substance OECD telah lama menjajaki isu ini, dimulai dari laporan Harmful Tax Competition: An Emerging Global Issue di tahun Action Plan ini dimaksudkan untuk memperbarui laporan-laporan tersebut untuk disesuaikan dengan keadaan masa ini. Perubahan laporan diprioritaskan pada dua hal, yaitu pengumpulan informasi mengenai kegiatan ekonomi di rezim pajak khusus dan peningkatan transparansi. Review untuk menentukan apakah suatu rejim termasuk harmful atau tidak telah dilakukan ke seluruh member OECD. Langkah selanjutnya yang akan dilakukan adalah memperluas lingkup deliverables ini ke negara-negara lain di luar OECD. Action 6 : Preventing the Granting of Treaty Benefit in Inappropriate Circumstances Action Plan ini difokuskan pada tiga hal, yaitu penyusunan rekomendasi mengenai aturan domestik untuk mencegah penyalahgunaan aturan P3B, penjelasan bahwa P3B tidak dimaksudkan untuk penghindaran pajak berganda, dan identifikasi pertimbangan yang harus dilakukan oleh suatu negara sebelum melakukan perjanjian P3B dengan negara lain. Rekomendasi mengenai aturan domestik mencakup dua hal, yaitu kasus pemanfaatan loophole di P3B dan kasus penggunaan P3B untuk mengakali peraturan domestik. Beberapa perubahan untuk OECD Model Tax Convention mengenai action plan ini telah diusulkan di deliverables. Action 8 : Guidance on Transfer Pricing Aspects of Intangibles Action Plan ini dimaksudkan untuk memperbarui OECD Transfer Pricing Guidelines for Multinational Enterprises and Tax Administrations, khususnya pada transfer pricing barang tidak berwujud (intangibles). Perubahan yang dilakukan antara lain penjelasan definisi barang tak berwujud, petunjuk untuk mengidentifikasi transaksi barang tak berwujud, dan penentuan kondisi wajar dan lazim untuk transaksi barang tak berwujud. 15 Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,

16 Action 13 : Guidance on Transfer Pricing Documentation and Country-by-Country Reporting Deliverables berisi revisi mengenai standar untuk dokumentasi transfer pricing serta template country-by-country untuk pelaporan pendapatan, pajak, dan aktivitas ekonomi lainnya yang relevan. Standar ini berisi country-by-country report, master file dan local file yang akan mengharuskan wajib pajak untuk menggunakan posisi transfer pricing yang konsisten serta menyediakan informasi bagi otoritas pajak untuk mengukur risiko transfer pricing. Standar ini juga dapat menentukan di mana sumber daya untuk audit dapat diturunkan secara efektif. Action 15 : Developing a Multilateral Instrument to Modify Bilateral Tax Treaties Instrumen multilateral diperlukan karena sistem bilateral dirasa masih memberi kesempatan untuk praktek penghindaran pajak dan dinilai terlalu menghabiskan waktu karena jumlahnya terlalu banyak. Deliverables menilai bahwa instrumen multilateral memiliki banyak manfaat serta sisi negatifnya dapat dihindari serta memungkinkan untuk dijalankan karena mekanisme hukum telah tersedia untuk mencapai instrument seimbang yang membahas tantangan teknis & politis. Ke depannya, OECD merencanakan akan mengadakan konferensi internasional untuk membahas instrument multilateral di Selain itu, action plan on BEPS yang berhubungan dengan P3B harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum komponen substantif instrument multilateral dapat diselesaikan. Selanjutnya, ringkasan untuk 8 (delapan) rencana aksi BEPS yang akan diselesaikan pada tahun 2015 adalah sebagai berikut. Action 3: Strengthen controlled foreign company Memperkuat pengawasan terhadap perusahaan asing (Controlled Foreign Companies). Salah satu sumber kekhawatiran yang disebabkan oleh BEPS adalah kemungkinan terjadinya pengalihan penghasilan melalui lembaga asing yang terbentuk untuk menghindar dari kewajiban perpajakan. Action 4: Limit base erosion via interest deductions and other financial payments Membatasi tergerusnya pendapatan melalui pemotongan bunga dan pembayaran transaksi keuangan lainnya. 16 Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,

17 Action 7: Prevent the artificial avoidance of permanent establishment status Mencegah pemalsuan atas status permanent establishment (PE). Berdasarkan standar internasional, suatu negara mungkin tidak mengenakan pajak atas keuntungan perusahaan asing kecuali perusahaan itu memiliki status PE di negara tersebut. Action 9: Assure that transfer pricing outcomes are in line with value creation: risks and capital Memastikan bahwa hasil transfer pricing adalah sejalan dengan penciptaan nilai untuk risiko dan permodalan. Action 10: Assure that transfer pricing outcomes are in line with value creation: other high-risk transactions Memastikan bahwa hasil dari transfer pricing adalah sejalan dengan penciptaan nilai untuk transaksi lainnya yang berisiko tinggi. Action 11: Establish methodologies to collect and analyze data on BEPS and the actions to address it Mengembangkan metodologi untuk mengumpulkan dan menganalisis data tentang BEPS dan tindakan/upaya untuk mengatasinya. Action 12: Require taxpayers to disclose their aggressive tax planning arrangements Mewajibkan wajib pajak untuk menyampaikan perencanaan pajaknya yang agresif. Perbaikan pengungkapan rencana perpajakan dapat membantu pemerintah (Ditjen Pajak) dan pengambil keputusan di bidang perpajakan untuk mengidentifikasi daerah yang berisiko, dan juga berfungsi sebagai pencegah keterlibatan di dalam perencanaan pajak yang agresif. Action 14: Make dispute resolution mechanisms more effective Membuat mekanisme penyelesaian perselisihan menjadi lebih efektif. Aksi untuk melawan praktek BEPS harus dilengkapi dengan tindakan untuk menjamin kepastian dan prediktabilitas yang diperlukan untuk meningkatkan investasi. 17 Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,

18 Pembahasan rencana aksi BEPS yang dilakukan oleh OECD telah dilaporkan pada saat pertemuan G20 Finance and Central Bank Deputies di Canberra, Australia pada tanggal Desember Pada pertemuan G20 Deputies tersebut, OECD telah menyampaikan update program kerja untuk menyelesaikan rencana aksi BEPS. Program kerja OECD dibagi di dalam 2 tahap penyelesaian yaitu 7 rencana aksi telah menghasilkan output pada akhir bulan September 2014 dan sisanya 8 rencana aksi ditargetkan menghasilkan output pada tahun Output yang akan dihasilkan oleh proyek BEPS pada tahun 2014 dan 2015 adalah sebagai berikut. a. Output untuk 7 rencana aksi BEPS yang jatuh tempo pada tahun 2014 No. Action Plan Expected Outputs 1. Addresses the tax challenges of the digital economy Report identifying issues raised by the digital economy and possible actions to address them 2. Neutralize the effects of hybrid mismatch schemes (debt-equity instruments and entities) Changes to the OECD Model Tax Convention Recommendations regarding the design of domestic rules 5. Counter harmful tax practices more effectively, taking into account transparency and substance Finalize review of member country regimes 6. Prevent treaty abuse Changes to the OECD Model Tax Convention Recommendations regarding the design of domestic rules 8. Assure that transfer pricing outcomes are in line with value creation: intangibles Changes to Transfer Pricing Guidelines and possibly to the OECD Model Tax Convention 13. Re-examine transfer pricing documentation Changes to Transfer Pricing Guidelines and recommendations regarding the design of domestic rules 15. Develop a multilateral instrument Report identifying relevant public international law and tanx issues 18 Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,

19 b. Output untuk 8 rencana aksi BEPS yang jatuh tempo pada tahun 2015 No. Action Plan Expected Outputs 3. Strengthen controlled foreign company Recommendations regarding the design of domestic rules 4. Limit base erosion via interest deductions and other financial payments Recommendations regarding the design of domestic rules 7. Prevent the artificial avoidance of permanent establishment status Changes to the OECD Model Tax Convention 9. Assure that transfer pricing outcomes are in line with value creation: risks and capital Changes to the Transfer Pricing Guidelines and possibly to the OECD Model Tax Convention 10. Assure that transfer pricing outcomes are in line with value creation: other high-risk transactions Changes to the Transfer Pricing Guidelines and possibly to the OECD Model Tax Convention 11. Establish methodologies to collect and analyze data on BEPS and the actions to address it Recommendations regarding data to be collected and methodologies to analyze them 12. Require taxpayers to disclose their aggressive tax planning arrangements Recommendations regarding the design of domestic rules 14. Make dispute resolution mechanisms more effective Changes to the OECD Model Tax Convention Sumber: issues Note, session 7, International tax, pertemuan G20 Deputies, Desember 2013, Canberra, Australia 9. BEPS dan Kebijakan Perpajakan di Indonesia Indonesia memandang bahwa BEPS dapat menyebabkan risiko tinggi terhadap penerimaan negara dari pajak, kedaulatan pajak, dan kepercayaan terhadap keutuhan sistem perpajakan yang dimiliki oleh setiap negara. BEPS telah menyebabkan pemerintah kehilangan penerimaan yang signifikan dari pajak korporasi yang disebabkan perencanaan pajak yang dilakukan oleh MNCs yang mendorong mereka mengalihkan keuntungan perusahaannya ke negara lain yang memberikan fasilitas perpajakan lebih menguntungkan atau yang menerapkan tarif pajak rendah. 19 Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,

20 Lebih jauh, otoritas pajak juga mengindikasikan adanya dorongan yang kuat untuk menyelesaikan masalah yang diakibatkan BEPS. Mereka juga menyampaikan bahwa sistem perpajakan tidak rusak total akibat BEPS, dan otoritas perpajakan di Indonesia mendukung dilakukannya kajian mengenai bagaimana melakukan pembagian pajak yang adil antar negara. Namun demikian, otoritas pajak mengingatkan bahwa setiap negara harus berhati-hati apabila akan meninggalkan sistem perpajakan yang berlaku saat ini. Sebaliknya, juga tidak setuju apabila MNCs membayar kewajiban pajaknya lebih rendah dari yang dibayar oleh perusahaan domestik. Menurut Wattimury (2013, hal. 22) terdapat beberapa pandangan dari otoritas pajak di Indonesia, sebagai berikut: a. Ada 2 hal yang berada pada saat yang bersamaan yaitu BEPS dan kompetisi perpajakan antar negara. Kompetisi ini yang menyebabkan adanya BEPS. b. Prinsip utama yang perlu dipahami adalah otoritas perpajakan tidak berpikir bahwa tujuan dari proyek BEPS adalah untuk meningkatkan sumber pendapatan pajak suatu negara. c. Pemerintah perlu mendapat bantuan teknis dari OECD untuk memahami dan melaksanakan rencana aksi BEPS. d. Pemerintah perlu menyusun peraturan perpajakan yang komprehensif dan meminta wajib pajak untuk mematuhinya. Tidak perlu memikirkan apakah wajib pajak akan melaksanakan regulasi tersebut atau tidak. Masih menurut laporan yang disusun oleh Watimury (2013, hal ), OECD menganggap BEPS bukanlah masalah yang diciptakan oleh satu atau beberapa perusahaan tertentu, namun merupakan akibat dari peraturan perpajakan yang ada. Berikut disampaikan beberapa kebijakan dalam negeri Indonesia yang mendorong aktivitas BEPS oleh MNCs, sebagai berikut: a. Kebijakan Transfer Pricing Undang-undang pajak penghasilan di Indonesia memberi wewenang kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk membuat penyesuaian transfer pricing lebih awal, meskipun hal ini sulit dilakukan dalam prakteknya. Ketentuan transfer pricing pertama kali diperkenalkan pada tahun 2008 ketika pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) yang mewajibkan wajib pajak untuk mengelola dokumentasi mengenai transfer pricing. Namun, kelemahan regulasi ini adalah tidak adanya pedoman yang jelas mengenai kriteria dokumentasi yang dipersyaratkan serta tidak adanya hukuman bagi perusahaan yang melanggar. Disamping itu, masalah utama 20 Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,

21 kebijakan transfer pricing di Indonesia adalah tidak adanya Unit Investigasi Khusus pada Direktorat Jenderal Pajak dan pertanyaan mengenai transfer pricing paling sering muncul pada saat dilakukan audit pajak rutin. b. Tax Haven Country Meskipun Indonesia tidak termasuk negara tax haven yang menerapkan tarif pajak rendah atau membebaskan sebagian jenis pajaknya, namun pemerintah Indonesia kesulitan dalam mengatasi BEPS. Pada tahun 2009, otoritas pajak pernah berencana menempatkan petugas pajaknya di negara yang tergolong tax haven country untuk menghukum perusahaan domestik yang membandel dengan menghindari kewajiban pajaknya secara rutin. Pada tahun 2011, Direktorat Jenderal Pajak telah mengeluarkan Surat Edaran No. 29/PJ/2011 (SE-29) tanggal 4 April 2011 mengenai rencana dan strategi pelaksanaan audit perpajakan. Pada waktu lampau, Indonesia pernah membuat daftar hitam negara-negara yang menerapkan tax haven. c. Thin Capitalization Thin capitalization adalah pinjaman (loan) berupa uang atau modal dari pemegang saham atau orang yang memiliki hubungan khusus dengan peminjam. Beberapa modus pemberian pinjaman dalam praktek thin capitalization adalah: Direct loan, dimana investor juga bertindak selaku wajib pajak asing. Back to backloan, di mana investor harus mengalihkan dananya melalui pihak ketiga. Loan parallel, di mana investor asing harus bermitra dengan perusahaan domestik, yang juga memiliki anak perusahaan di negara investor. Apabila perusahaan mengalami kebangkrutan karena rugi maka kreditor diijinkan untuk memotong kewajiban pajaknya. Tetapi apabila perusahaan dapat mendistribusikan pinjaman dari pembayaran nasabahnya, maka kreditor tidak mendapat insentif apa-apa, kecuali menerima pengembalian modalnya tanpa dipotong pajak. d. Treaty Shopping Banyak negara telah menjalin kesepakatan dengan negara lain untuk mengurangi dampak dari pengenaan pajak berganda. Kebanyakan praktek treaty shoping dimaksudkan untuk menikmati pemberian fasilitas tarif pajak rendah sebagaimana 21 Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,

22 dijamin di dalam perjanjian dan biasanya dilakukan melalui pendirian FDI di Indonesia. e. Controlled Foreign Corporation (CFC) Wajib pajak dalam negeri cenderung membayar lebih rendah kewajiban pajaknya atas keuntungan investasi anak perusahaannya di luar negeri dan kelebihan itu harus didistribusikan kepada para pemegang saham. Model CFC yang lazim dilaksanakan adalah dengan memanfaatkan hubungan khusus dengan pemegang saham mayoritas, sehingga perusahaan asing dapat dikontrol dengan tidak membagikan deviden atau menahannya. 10. Posisi Indonesia di G20 terkait isu BEPS Dalam setiap pertemuan G20 yang dihadiri oleh delegasi Indonesia, Kementerian Keuangan selalu menyusun posisi Indonesia atas agenda BEPS. Pada pertemuan G20 terkini yaitu pertemuan G20 Deputi Keuangan dan Bank Sentral terkini yang dilaksanakan di Canberra, Australia pada tanggal Desember 2013, delegasi Indonesia telah menyusun posisi Indonesia dalam pembahasan isu BEPS, sebagai berikut. Indonesia mendukung dilanjutkannya pembahasan agenda addressing Base Erosion and Profit Sharing (BEPS) dan agenda pertukaran informasi perpajakan dalam rangka meningkatkan kesinambungan dan integritas sistem perpajakan global. Indonesia akan mengimplementasi BEPS action plan secara komprehensif, utamanya dalam aksi untuk melawan praktek perpajakan yang merugikan lebih efektif, penyalahgunaan perjanjian dan kewajiban wajib pajak untuk menyampaikan perencanaan pajaknya yang agresif. Agar manfaat proyek BEPS ini dapat maksimal dirasakan oleh kalangan bisnis dan masyarakat luas, maka diperlukan pemahaman yang baik oleh tax regulators di setiap negara dan dilakukan program outreach yang intensif untuk kalangan bisnis dan masyarakat umum. Kerjasama global dalam mengatasi BEPS harus didasarkan pada skema voluntary basis, di mana dalam pelaksanaannya harus menyesuaikan dengan kondisi/regulasi di masing-masing negara. 22 Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,

23 11. Beberapa ketentuan di Indonesia yang telah sejalan dengan rencana aksi BEPS Terkait dengan kesiapan Indonesia dalam implementasi rencana aksi BEPS ini, Pusat Kebijakan Penerimaan Negara (PKPN), Badan Kebijakan Fiskal telah memberikan masukan mengenai beberapa ketentuan perpajakan di Indonesia yang telah sejalan dengan rencana aksi BEPS, sebagai berikut. 1. Dalam action-1, Tim proyek BEPS OECD baru ingin mengidentifikasi isu internasional terkait digital economy. Terkait hal ini, UU PPh di Indonesia telah memiliki pengaturan terkait digital economy. 2. Terkait dengan action-2 dan 3, Indonesia telah memiliki ketentuan tentang CFC Rule dalam PMK 256/PMK.03/2008 dan Per DJP nomor: PER - 59/PJ/ Terkait dengan action-4, Indonesia sedang menyusun ketentuan mengenai Thin Capitalization (DER / Debt to Equity Ratio). 4. Terkait dengan action-5, review hingga Sept 2014 ditargetkan hanya bagi negara anggota OECD, sehingga tidak termasuk Indonesia (Indonesia belum anggota OECD). Selain itu, pemberian fasilitas perpajakan di Indonesia ditujukan untuk menarik Real/Direct Investment (seperti Tax Holiday, Tax Allowance) sehingga sebenarnya telah sekaligus memperhatikan/mencegah harmful tax practice. 5. Terkait action-6, kebijakan P3B Indonesia terkini telah mengadopsi prinsip anti-treaty abuse. Klausul anti-treaty abuse telah terdapat dalam beberapa P3B Indonesia dengan negara mitra. Selain itu, ketentuan domestik Indonesia juga telah memberikan pengaturan mengenai anti-treaty abuse. 6. Terkait dengan action 8,9,10,12,13, dan 14, Indonesia telah memiliki ketentuan mengenai Transfer Pricing, Transfer Pricing Documentation, Advance Pricing Agreement (APA), Mutual Agreement Procedure (MAP), dan Pertukaran Informasi (Exchange of Information). 7. Terkait dengan action-15, Indonesia telah menandatangani Convention on Mutual Assistance in Tax Matters yang bersifat multilateral. Indonesia menunggu penyelesaian usulan multilateral instrument terkait P3B dari tim BEPS. 23 Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,

Base Erosion and Profit Shifting (BEPS): Aktivitas Ekonomi Global dan

Base Erosion and Profit Shifting (BEPS): Aktivitas Ekonomi Global dan Base Erosion and Profit Shifting (BEPS): Aktivitas Ekonomi Global dan Peran OECD Oleh Rakhmindyarto, Peneliti Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. transaksi dalam pasar ruang virtual ini sering disebut E-Commerce. Transaksi

BAB I PENDAHULUAN. transaksi dalam pasar ruang virtual ini sering disebut E-Commerce. Transaksi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam era globalisasi, transaksi perdagangan lintas negara semakin mudah seiring kemajuan di bidang teknologi komunikasi dan transportasi. Kemajuan teknologi informasi

Lebih terperinci

No ke luar Indonesia. Dengan adanya pusat-pusat pelarian pajak/perlindungan dari pengenaan pajak (tax haven), dan belum adanya mekanisme serta

No ke luar Indonesia. Dengan adanya pusat-pusat pelarian pajak/perlindungan dari pengenaan pajak (tax haven), dan belum adanya mekanisme serta TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.6051 KEUANGAN. Perpajakan. Informasi. Akses. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 95) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

KERTAS POSISI MASYARAKAT SIPIL INDONESIA 1

KERTAS POSISI MASYARAKAT SIPIL INDONESIA 1 KERTAS POSISI MASYARAKAT SIPIL INDONESIA 1 G20 dan Menjawab Masalah Ketimpangan, Pengangguran dan Pendanaan: Rangkuman dari Berbagai Usulan Masyarakat Sipil Indonesia Tahun 2014 merupakan tahun ke-6 pertemuan

Lebih terperinci

Perpajakan internasional

Perpajakan internasional AKUNTANSI INTERNASIONAL MODUL 13 PERTEMUAN 13 Perpajakan internasional OLEH ; NUR DIANA SE, MSi JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS ISLAM MALANG 2016 PERPAJAKAN INTERNASIONAL Tujuan Kebijakan

Lebih terperinci

2017, No penguatan basis data perpajakan untuk memenuhi kebutuhan penerimaan pajak dan menjaga keberlanjutan efektivitas kebijakan pengampunan

2017, No penguatan basis data perpajakan untuk memenuhi kebutuhan penerimaan pajak dan menjaga keberlanjutan efektivitas kebijakan pengampunan No.190, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN. Perpajakan. Informasi. Akses. Penetapan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6112). UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG AKSES INFORMASI KEUANGAN UNTUK KEPENTINGAN PERPAJAKAN

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG AKSES INFORMASI KEUANGAN UNTUK KEPENTINGAN PERPAJAKAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG AKSES INFORMASI KEUANGAN UNTUK KEPENTINGAN PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

AKSES INFORMASI KEUANGAN

AKSES INFORMASI KEUANGAN AKSES INFORMASI KEUANGAN Untuk Kepentingan Perpajakan Dedie Sugiarta Global Krisis Global tahun 2008 > berdampak pada hampir semua negara di dunia > perlambatan & ketidakpastian ekonomi dunia Diperlukan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG AKSES INFORMASI KEUANGAN UNTUK KEPENTINGAN PERPAJAKAN

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG AKSES INFORMASI KEUANGAN UNTUK KEPENTINGAN PERPAJAKAN LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 9 TAHUN 2017 TENTANG : PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG AKSES INFORMASI KEUANGAN UNTUK KEPENTINGAN PERPAJAKAN

Lebih terperinci

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil analisis dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil analisis dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: BAB VI SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan hasil analisis dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Praktik-praktik penghindaran pajak (tax avoidance) yang pada umumnya dilakukan oleh Foreign

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan Controlled Foreign..., Stenny Mariani Lumban Tobing, FISIP UI, 2008

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan Controlled Foreign..., Stenny Mariani Lumban Tobing, FISIP UI, 2008 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Globalisasi dunia yang cepat dan dinamis telah mengakibatkan hubungan perdagangan internasional semakin terbuka luas dan semakin ekstensif yang ditandai dengan terbentuknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. investor asing berkenaan dengan permasalahan utama bagi setiap investor untuk

BAB I PENDAHULUAN. investor asing berkenaan dengan permasalahan utama bagi setiap investor untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Persaingan untuk menarik investor asing menanamkan modalnya pada suatu negara semakin ketat. Oleh karena itu, negara juga secara aktif mempromosikan negaranya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Struktur modal merupakan perimbangan jumlah utang, saham

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Struktur modal merupakan perimbangan jumlah utang, saham BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Struktur modal merupakan perimbangan jumlah utang, saham preferen dan saham biasa, sehingga kebijakan struktur modal mempunyai peran yang cukup penting bagi

Lebih terperinci

BAB 3 OBJEK DAN METODA PENELITIAN. penelitian ini menggunakan satu metode dalam mengumpulkan data yang. serta karakter dari masalah yang diteliti.

BAB 3 OBJEK DAN METODA PENELITIAN. penelitian ini menggunakan satu metode dalam mengumpulkan data yang. serta karakter dari masalah yang diteliti. BAB 3 OBJEK DAN METODA PENELITIAN 3.1. Metoda Penelitian Berdasarkan karakterisitik masalah dalam penelitian ini, maka penelitian ini menggunakan satu metode dalam mengumpulkan data yang dibutuhkan untuk

Lebih terperinci

Diskusi Post event Feedback G20 Summit. INFID, 3 Oktober 2013

Diskusi Post event Feedback G20 Summit. INFID, 3 Oktober 2013 Diskusi Post event Feedback G20 Summit INFID, 3 Oktober 2013 Framework G20 Usulan Masyarakat Sipil: Hasil G20 Summit Inklusif sebagai pilar keempat dari Strong, Framework G20 tetap yaitu Strong, Sustainable

Lebih terperinci

MAKALAH PAJAK INTERNASIONAL MODEL PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

MAKALAH PAJAK INTERNASIONAL MODEL PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA MAKALAH PAJAK INTERNASIONAL MODEL PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA Oleh : Misdawati 1110531019 Risa Kurnia 1210532063 JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS ANDALAS 2015 BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

TERM OF REFERENCE TAX ON SEMINAR CONFERENCE : Transfer Pricing : Practice and Theory in Transparency Era

TERM OF REFERENCE TAX ON SEMINAR CONFERENCE : Transfer Pricing : Practice and Theory in Transparency Era TERM OF REFERENCE TAX ON SEMINAR CONFERENCE Nama Kegiatan : TAX ON SEMINAR CONFERENCE Tema : Transfer Pricing : Practice and Theory in Transparency Era Tujuan : 1. Sebagai sarana diskusi ilmiah, diseminasi,

Lebih terperinci

Indonesia, G20 dan Komitmen Anti Korupsi

Indonesia, G20 dan Komitmen Anti Korupsi Indonesia, G20 dan Komitmen Anti Korupsi 1 OLEH: MAHENDRA SIREGAR WAKIL MENTERI PERDAGANGAN PADA ROUND TABLE DISCUSSION INDONESIA, G-20 DAN KOMITMEN ANTI-KORUPSI Diselenggarakan oleh INFID. Hotel Santika

Lebih terperinci

BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan

BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan Akuntansi merupakan satu-satunya bahasa bisnis utama di pasar modal. Tanpa standar akuntansi yang baik, pasar modal tidak akan pernah berjalan dengan baik pula karena laporan

Lebih terperinci

Departemen Internasional BANK INDONESIA 27 Januari 2017

Departemen Internasional BANK INDONESIA 27 Januari 2017 1 Prioritas dan Agenda Finance Track Departemen Internasional BANK INDONESIA 27 Januari 2017 Tema, Prioritas dan Program Kerja Finance Track Presidensi G20 Jerman 2017 2 Tema utama Presidensi G20 Jerman

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penentuan status..., Benny Mangoting, FH UI, 2010

BAB 1 PENDAHULUAN. Penentuan status..., Benny Mangoting, FH UI, 2010 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemajakan atas suatu penghasilan secara bersamaan oleh negara domisili 1 dan sumber 2 menimbulkan pajak ganda internasional (international double taxation). Oleh para

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melanggar hukum (Wheatcorft, 1955) dan seringkali dikaitkan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. melanggar hukum (Wheatcorft, 1955) dan seringkali dikaitkan sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting untuk menjalankan pemerintahan dan pembiayaan pembangunan. Oleh karena itu, tidak mengherankan

Lebih terperinci

2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 59 Peraturan Pemerintah N

2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 59 Peraturan Pemerintah N No.404, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Pertukaran Informasi. Perpajakan. Tata Cara. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pajak merupakan pungutan yang bersifat wajib dan diatur oleh undang-undang. Bagi pemerintah, pajak memiliki dua fungsi utama, yaitu pajak digunakan untuk membiayai

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19/PMK.03/2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19/PMK.03/2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19/PMK.03/2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 70/PMK.03/2017 TENTANG PETUNJUK TEKNIS MENGENAI AKSES INFORMASI KEUANGAN

Lebih terperinci

Comprehensive Tax Planning 2014

Comprehensive Tax Planning 2014 Updating Manajemen Pemeriksaan Pajak dan Penyelesaian Sengketa Pajak 5 Juli 2014 Training Room Ortax 08.30 16.00 Updating Teknik Praktis Faktur Pajak (efaktur Pajak) Sesuai PER-16/PJ/2014 dan PER- 17/PJ/2014

Lebih terperinci

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA. A. Permintaan Informasi kepada Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA. A. Permintaan Informasi kepada Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR : 125/PMK.010/2015 TENTANG : PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 60/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI (EXCHANGE OF INFORMATION)

Lebih terperinci

- 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

- 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 25 /POJK.03/2015 TENTANG PENYAMPAIAN INFORMASI NASABAH ASING TERKAIT PERPAJAKAN KEPADA NEGARA MITRA ATAU YURISDIKSI

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No. 5773 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I KEUANGAN. OJK. Nasabah Asing. Perpajakan. Negara Mitra. Informasi Penyampaian. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 291). PENJELASAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI (EXCHANGE OF INFORMATION)

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI (EXCHANGE OF INFORMATION) PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI (EXCHANGE OF INFORMATION) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. objek pajak melalui peningkatan jumlah PMA. Namun, dalam meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. objek pajak melalui peningkatan jumlah PMA. Namun, dalam meningkatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan bisnis yang terjadi di Indonesia dapat dijadikan suatu kesempatan untuk menarik investor dari luar negeri agar menanamkan modalnya di Indonesia. Semakin

Lebih terperinci

ERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125/PMK.010/2015 TENTANG

ERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125/PMK.010/2015 TENTANG ERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125/PMK.010/2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 60/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI (EXCHANGE OF INFORMATION)

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KETERANGAN PERS

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KETERANGAN PERS KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA GEDUNG DJUANDA I, JALAN DR. WAHIDIN NOMOR I, JAKARTA 10710, KOTAK POS 21 TELEPON (021) 3449230 (20 saluran) FAKSIMILE (021) 3500842; SITUS www.kemenkeu.go.id KETERANGAN

Lebih terperinci

2 Mengingat d. bahwa penerapan prinsip kehati-hatian tersebut sejalan dengan upaya untuk mendorong pendalaman pasar keuangan domestik; e. bahwa penera

2 Mengingat d. bahwa penerapan prinsip kehati-hatian tersebut sejalan dengan upaya untuk mendorong pendalaman pasar keuangan domestik; e. bahwa penera No.394, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERBANKAN. BI. Prinsip. Kehati-Hatian. Utang Luar Negeri. Korporasi. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5651)

Lebih terperinci

TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI BERDASARKAN PERMINTAAN

TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI BERDASARKAN PERMINTAAN LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 125/PMK.010/2015 TENTANG : PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 60/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI (EXCHANGE

Lebih terperinci

Automatic Exchange of Financial Account Information (AEOI)

Automatic Exchange of Financial Account Information (AEOI) Automatic Exchange of Financial Account Information (AEOI) P.M John L. Hutagaol Direktur Perpajakan Internasional Semarang, 15 November 2017 Integritas Profesionalisme Sinergi Pelayanan - Kesempurnaan

Lebih terperinci

Bab 3 PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (P3B)

Bab 3 PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (P3B) Bab 3 PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (P3B) PENGERTIAN DAN TUJUAN PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA Perjanjian penghindaran pajak berganda adalah perjanjian pajak antara dua negara bilateral

Lebih terperinci

Tantangan & Peluang Administrasi Perpajakan Indonesia dalam menyambut ASEAN Economic Community

Tantangan & Peluang Administrasi Perpajakan Indonesia dalam menyambut ASEAN Economic Community Tantangan & Peluang Administrasi Perpajakan Indonesia dalam menyambut ASEAN Economic Community Prof. Dr. P.M. John L. Hutagaol Disampaikan Pada Seminar Nasional Antisipasi Sektor Perdagangan dalam Menyambut

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 29/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN LAPORAN PER NEGARA DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 29/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN LAPORAN PER NEGARA DIREKTUR JENDERAL PAJAK, PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 29/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN LAPORAN PER NEGARA DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 12 ayat (2) Peraturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Meningkatnya foreign investment merupakan salah satu dampak dari sebuah proses yang kemudian dikenal sebagai Globalization. 1 Dalam sistem ekonomi terbuka, kehidupan

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 28/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI BERDASARKAN PERMINTAAN

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 28/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI BERDASARKAN PERMINTAAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 28/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI BERDASARKAN PERMINTAAN DALAM RANGKA MELAKSANAKAN PERJANJIAN INTERNASIONAL DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/21/PBI/2014 TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/21/PBI/2014 TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/21/PBI/2014 TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang terbesar, terbukti. (http://www.kemenkeu.go.id/laporan-keuangan-pemerintahpusat,

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang terbesar, terbukti. (http://www.kemenkeu.go.id/laporan-keuangan-pemerintahpusat, perpajakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang terbesar, terbukti dari data Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2010-2014 bahwa sekitar

Lebih terperinci

PERPAJAKAN INTERNASIONAL

PERPAJAKAN INTERNASIONAL Modul ke: Fakultas EKONOMI PERPAJAKAN INTERNASIONAL Pengertian Pajak Berganda (Double taxation) para ahli, pemajakan berganda dalam aspek Nasional dan Internasional, Penerapan pajak berganda dalam UU PPh

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 240/PMK.03/2014

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 240/PMK.03/2014 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 240/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PROSEDUR PERSETUJUAN BERSAMA (MUTUAL AGREEMENT PROCEDURE) DENGAN

Lebih terperinci

Tax Consultant Profession, Its Activities and Tax Planning

Tax Consultant Profession, Its Activities and Tax Planning Tax Consultant Profession, Its Activities and Tax Planning Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI May 13, 2017 @ Kampus UI, Depok Indonesia Ratna Febrina Tax Transfer Pricing Customs Business Process Services

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 174/PMK.08/2016 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERIAN JAMINAN KEPADA PERUSAHAAN PERSEROAN (PERSERO) PT SARANA MULTI INFRASTRUKTUR DALAM RANGKA PENUGASAN PENYEDIAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sektor perbankan menjadi salah satu sektor yang berperan penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. Sektor perbankan menjadi salah satu sektor yang berperan penting dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor perbankan menjadi salah satu sektor yang berperan penting dalam membangun perekonomian sebuah negara karena bank berfungsi sebagai lembaga perantara keuangan

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 10/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 10/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DIREKTUR JENDERAL PAJAK, PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 10/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Menimbang : a. bahwa ketentuan mengenai tata cara penerapan

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 10/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 10/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DIREKTUR JENDERAL PAJAK, PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 10/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Menimbang : a. bahwa ketentuan mengenai tata cara penerapan

Lebih terperinci

Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B)

Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Perjanjian Penghindaran Berganda (P3B) Perjanjian Penghindaran Berganda (P3B) adalah perjanjian internasional di bidang perpajakan antar kedua negara guna menghindari pemajakan ganda agar tidak menghambat

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.5626 KEUANGAN. OJK. Manajemen. Resiko. Terintegerasi. Konglomerasi. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 348) PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS

Lebih terperinci

MENGENAL FOREIGN ACCOUNT TAX COMPLIANCE ACT (FATCA) DAN TINJAUAN SINGKAT DARI ASPEK HUKUM PERBANKAN INDONESIA

MENGENAL FOREIGN ACCOUNT TAX COMPLIANCE ACT (FATCA) DAN TINJAUAN SINGKAT DARI ASPEK HUKUM PERBANKAN INDONESIA MENGENAL FOREIGN ACCOUNT TAX COMPLIANCE ACT (FATCA) DAN TINJAUAN SINGKAT DARI ASPEK HUKUM PERBANKAN INDONESIA Oleh : Fransiska Ari Indrawati, S.H, LLM 1 Abstrak Pada tahun 2010 pemerintah Amerika Serikat

Lebih terperinci

KELOMPOK 3. Ani Rahmatika Dian Safitri Maria Meliana Yudha Adi Prasetyo TAX TREATY PROVISION

KELOMPOK 3. Ani Rahmatika Dian Safitri Maria Meliana Yudha Adi Prasetyo TAX TREATY PROVISION KELOMPOK 3 Ani Rahmatika Dian Safitri Maria Meliana Yudha Adi Prasetyo TAX TREATY PROVISION Bahan 1: Beneficial Owner Pengertian Beneficial Owner Menurut Vogel, sebagaimana dikutip oleh Rachmanto Surahmat

Lebih terperinci

Pertama-tama, perkenanlah saya menyampaikan permohonan maaf dari Menteri Luar Negeri yang berhalangan hadir pada pertemuan ini.

Pertama-tama, perkenanlah saya menyampaikan permohonan maaf dari Menteri Luar Negeri yang berhalangan hadir pada pertemuan ini. PAPARAN WAKIL MENTERI LUAR NEGERI NILAI STRATEGIS DAN IMPLIKASI UNCAC BAGI INDONESIA DI TINGKAT NASIONAL DAN INTERNASIONAL PADA PERINGATAN HARI ANTI KORUPSI SEDUNIA JAKARTA, 11 DESEMBER 2017 Yang terhormat

Lebih terperinci

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. 1. Atas undangan Organisasi Kesehatan Dunia, kami, Kepala Pemerintahan, Menteri dan perwakilan pemerintah datang

Lebih terperinci

ANALISIS COST AND BENEFIT KEMUNGKINAN PENERAPAN FOREIGN ACCOUNT TAX COMPLIANCE ACT (FATCA) DI INDONESIA

ANALISIS COST AND BENEFIT KEMUNGKINAN PENERAPAN FOREIGN ACCOUNT TAX COMPLIANCE ACT (FATCA) DI INDONESIA ANALISIS COST AND BENEFIT KEMUNGKINAN PENERAPAN FOREIGN ACCOUNT TAX COMPLIANCE ACT (FATCA) DI INDONESIA Dyah Ayu Puspitasari Universitas Bina Nusantara Pondok Jurang Mangu Indah, Jalan Mawar 2 Blok A17

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di tahun 2015, ASEAN akan

BAB I PENDAHULUAN. Di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di tahun 2015, ASEAN akan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di tahun 2015, ASEAN akan menjadi pasar tunggal dan berbasis produksi tunggal dimana terjadi arus barang, jasa investasi dan tenaga

Lebih terperinci

CHAPTER 14. Asrofi Rama Saputra 11/316615/EK/18639

CHAPTER 14. Asrofi Rama Saputra 11/316615/EK/18639 CHAPTER 14 Asrofi Rama Saputra 11/316615/EK/18639 The International Flow of Financial Resources Pada chapter ini, kita akan membahas tentang The International Flow of Financial Resources, yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pajak merupakan sektor pemasukan tersebesar kas negara. Penerimaan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pajak merupakan sektor pemasukan tersebesar kas negara. Penerimaan BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pajak merupakan sektor pemasukan tersebesar kas negara. Penerimaan negara dari sektor pajak memegang peranan yang sangat penting untuk kelangsungan sistem pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan tinggi dalam

BAB I PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan tinggi dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan tinggi dalam perdagangan lintas negara, terutama dipengaruhi oleh kehadiran perusahaan multinasional (Multinational

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berpartisipasi dalam pembangunan nasional. Pajak Badan lainnya (Sarwedi, 2012). Dengan melihat realita ini maka pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. berpartisipasi dalam pembangunan nasional. Pajak Badan lainnya (Sarwedi, 2012). Dengan melihat realita ini maka pemerintah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pajak adalah salah satu penerimaan negara yang sangat penting bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional di Indonesia. Apabila jumlah pajak yang diterima

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pajak sebagai salah satu lingkungan bisnis perusahaan mempengaruhi

BAB I PENDAHULUAN. Pajak sebagai salah satu lingkungan bisnis perusahaan mempengaruhi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak sebagai salah satu lingkungan bisnis perusahaan mempengaruhi berbagai keputusan yang diambil oleh perusahaan, salah satunya adalah keputusan pendanaan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan dalam berbagai bidang, tak terkecuali dalam bidang ekonomi. Menurut Todaro dan Smith (2006), globalisasi

Lebih terperinci

Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua,

Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua, SAMBUTAN GUBERNUR BANK INDONESIA DR. DARMIN NASUTION PEMBUKAAN RAPAT KOORDINASI NASIONAL TIM PENGENDALIAN INFLASI DAERAH 2011 JAKARTA, 16 MARET 2011 Yang terhormat Wakil Presiden Republik Indonesia, Prof.

Lebih terperinci

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7/PMK.03/2015 TENTANG

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7/PMK.03/2015 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7/PMK.03/2015 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN DAN PELAKSANAAN KESEPAKATAN HARGA TRANSFER (ADVANCE PRICING AGREEMENT)

Lebih terperinci

Background Paper PEMBIAYAAN UNTUK PEMBANGUNAN

Background Paper PEMBIAYAAN UNTUK PEMBANGUNAN Background Paper PEMBIAYAAN UNTUK PEMBANGUNAN Pendahuluan Bakground Paper ini disusun sebagai informasi awal untuk memberikan gambaran mengenai posisi diskursus pembiayaan pembangunan saat ini. Diharapkan

Lebih terperinci

2016, No Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan; g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf f, perlu

2016, No Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan; g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf f, perlu No.298, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN OJK. Syariah. Unit Usaha. Bank Umum. Manajemen Risiko. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5988) PERATURAN OTORITAS

Lebih terperinci

Potret Kecil Transfer Pricing dalam Bingkai Besar Perdagangan Dunia

Potret Kecil Transfer Pricing dalam Bingkai Besar Perdagangan Dunia Potret Kecil Transfer Pricing dalam Bingkai Besar Perdagangan Dunia Oleh: Agung Budilaksono Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai Abstrak Transfer pricing merupakanan masalah umum perusahaan multinasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa transfer pricing dilakukan antara

BAB I PENDAHULUAN. Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa transfer pricing dilakukan antara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Adanya perusahaan multinasional membuat transfer sumber daya (baik berupa barang, jasa, laba, maupun aset) tidak hanya dilakukan antardivisi namun juga antarperusahaan

Lebih terperinci

TANYA JAWAB PERATURAN BANK INDONESIA NO.16/21

TANYA JAWAB PERATURAN BANK INDONESIA NO.16/21 TANYA JAWAB PERATURAN BANK INDONESIA NO.16/21 21/PBI/2014 TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK 1. Q: Apa latar belakang diterbitkannya PBI

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Semakin berkembangnya zaman, semakin meningkat pula frekuensi kegiatan bisnis yang terjadi di berbagai negara. Perlu diragukan jika ada seseorang yang berpendapat

Lebih terperinci

SATU DEKADE KERJASAMA EKONOMI UNI EROPA-INDONESIA EKSPOR-IMPOR PENDORONG INVESTASI UNI EROPA DI INDONESIA

SATU DEKADE KERJASAMA EKONOMI UNI EROPA-INDONESIA EKSPOR-IMPOR PENDORONG INVESTASI UNI EROPA DI INDONESIA RINGKASAN EKSEKUTIF SATU DEKADE KERJASAMA EKONOMI UNI EROPA-INDONESIA EKSPOR-IMPOR PENDORONG INVESTASI UNI EROPA DI INDONESIA DAFTAR ISI KATA PENGANTAR 4 INVESTASI UNI EROPA PENDORONG PERDAGANGAN INDONESIA

Lebih terperinci

REFORMASI PAJAK DAN KETERBUKAAN INFORMASI PROF. DR. HJ. NUNUY NUR AFIAH, SE, M.SI, AK, CA DOSEN DEPARTEMEN AKUNTANSI UNIVERSITAS PADJADJARAN

REFORMASI PAJAK DAN KETERBUKAAN INFORMASI PROF. DR. HJ. NUNUY NUR AFIAH, SE, M.SI, AK, CA DOSEN DEPARTEMEN AKUNTANSI UNIVERSITAS PADJADJARAN REFORMASI PAJAK DAN KETERBUKAAN INFORMASI PROF. DR. HJ. NUNUY NUR AFIAH, SE, M.SI, AK, CA DOSEN DEPARTEMEN AKUNTANSI UNIVERSITAS PADJADJARAN AGENDA TAX AMNESTY DAN KEPATUHAN PAJAK REFORMASI PERPAJAKAN

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/7/PBI/2002 TENTANG

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/7/PBI/2002 TENTANG PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/7/PBI/2002 TENTANG PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM RANGKA PEMBELIAN KREDIT OLEH BANK DARI BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kegiatan

Lebih terperinci

Subdirektorat Perjanjian dan Kerjasama Perpajakan Internasional DIREKTORAT PERATURAN PERPAJAKAN II

Subdirektorat Perjanjian dan Kerjasama Perpajakan Internasional DIREKTORAT PERATURAN PERPAJAKAN II Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak PMK-169/PMK.010/2015 PENENTUAN BESARNYA PERBANDINGAN ANTARA UTANG DAN MODAL PERUSAHAAN UNTUK KEPERLUAN PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN (Debt-to-Equity

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL 1 tahun ~ pemberian izin masuk kembali bagi pemegang izin tinggal terbatas pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

Feber Sormin, SE.,M.Ak.,Ak.,CA

Feber Sormin, SE.,M.Ak.,Ak.,CA Modul ke: PERPAJAKAN INTERNASIONAL Memahami definisi Perpajakan Internasional, Konsep Perpajakan Internasional (Unilateral/Bilateral, Multillateral). Fakultas EKONOMI Feber Sormin, SE.,M.Ak.,Ak.,CA Program

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS JASA KEPELABUHANAN UNTUK ANGKUTAN LAUT JALUR PELAYARAN INTERNASIONAL

KEBIJAKAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS JASA KEPELABUHANAN UNTUK ANGKUTAN LAUT JALUR PELAYARAN INTERNASIONAL KEBIJAKAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS JASA KEPELABUHANAN UNTUK ANGKUTAN LAUT JALUR PELAYARAN INTERNASIONAL Latar Belakang Angkutan laut berupa kapal-kapal dalam jalur pelayaran internasional sangat berperan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. pemisahan pengelolaan perusahaan. Pemilik (principal) melimpahkan

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. pemisahan pengelolaan perusahaan. Pemilik (principal) melimpahkan BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Teori Keagenan Teori keagenan menjelaskan tentang pemisahan kepentingan atau pemisahan pengelolaan perusahaan. Pemilik (principal)

Lebih terperinci

Pengampunan Pajak, Perusahaan Cangkang, dan Kawasan Ekonomi Khusus Oleh Akhmad Solikin, pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI *)

Pengampunan Pajak, Perusahaan Cangkang, dan Kawasan Ekonomi Khusus Oleh Akhmad Solikin, pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI *) Pengampunan Pajak, Perusahaan Cangkang, dan Kawasan Ekonomi Khusus Oleh Akhmad Solikin, pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI *) Pengampunan Pajak Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Didorong oleh dukungan penuh terhadap Konvensi tentang Hak-Hak Anak, yang

Lebih terperinci

TAX JURISDICTION. Original Paper Created by : Eka Daswindar

TAX JURISDICTION. Original Paper Created by : Eka Daswindar TAX JURISDICTION Salah satu isu terpenting dalam perpajakan internasional adalah menetapkan negara mana yang mempunyai hak untuk mengenai pajak atas penghasilan. Sistem perpajakan yang berbeda dapat menyebabkan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2015 TENTANG KERJASAMA PEMERINTAH DENGAN BADAN USAHA DALAM PENYEDIAAN INFRASTRUKTUR

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2015 TENTANG KERJASAMA PEMERINTAH DENGAN BADAN USAHA DALAM PENYEDIAAN INFRASTRUKTUR PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2015 TENTANG KERJASAMA PEMERINTAH DENGAN BADAN USAHA DALAM PENYEDIAAN INFRASTRUKTUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2002 TENTANG SURAT UTANG NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2002 TENTANG SURAT UTANG NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2002 TENTANG SURAT UTANG NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa guna mewujudkan masyarakat adil dan

Lebih terperinci

Strategi & Tantangan Pengamanan Penerimaan Pajak Tahun 2016

Strategi & Tantangan Pengamanan Penerimaan Pajak Tahun 2016 KEMENTERIAN KEUANGAN DIREKTORAT JENDERAL PA JAK Strategi & Tantangan Pengamanan Penerimaan Pajak Tahun 2016 Seminar Nasional Optimalisasi Penerimaan Pajak : Strategi & Tantangan Auditorium BRI, Gedung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesejahteraan merupakan aspek penting dari kualitas suatu bangsa.

BAB I PENDAHULUAN. Kesejahteraan merupakan aspek penting dari kualitas suatu bangsa. BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Penelitian Kesejahteraan merupakan aspek penting dari kualitas suatu bangsa. Kesejahteraan bagi seluruh masyarakat di negara tersebut menjadi salah satu tujuan dalam

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 414, 2015 PENGESAHAN. Persetujuan. Asia. Investasi Infrastruktur. Bank. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 171 TAHUN 2015 TENTANG PENGESAHAN ASIAN INFRASTRUCTURE

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.161, 2010 KEUANGAN NEGARA. Pajak Penghasilan. Penghitungan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5183) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Seluruh negara di dunia memperoleh sumber pendanaan utamanya adalah dari

BAB 1 PENDAHULUAN. Seluruh negara di dunia memperoleh sumber pendanaan utamanya adalah dari BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seluruh negara di dunia memperoleh sumber pendanaan utamanya adalah dari perpajakan. Secara sederhana pajak adalah instrumen yang dipergunakan oleh pemerintah untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan Belanja Negara (APBN) beberapa tahun belakangan. 1 Berdasarkan data

BAB I PENDAHULUAN. dan Belanja Negara (APBN) beberapa tahun belakangan. 1 Berdasarkan data BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sektor pajak merupakan sektor yang paling vital untuk sebuah negara. Hal ini dikarenakan pajak adalah salah satu sumber pendapatan negara. Dalam sejarah perjalanan

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 29/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN LAPORAN PER NEGARA DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 29/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN LAPORAN PER NEGARA DIREKTUR JENDERAL PAJAK, PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 29/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN LAPORAN PER NEGARA DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 12 ayat (2) Peraturan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/22/PBI/2014 TENTANG PELAPORAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA DAN PELAPORAN KEGIATAN PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK

Lebih terperinci

Exchange of Information: Peluang dan Tantangan

Exchange of Information: Peluang dan Tantangan Exchange of Information: Peluang dan Tantangan By CITA ( Center for Indonesia Taxation Analysis) www.cita.or.id Begitu besarnya peranan pajak dalam membiayai APBN, Indonesia masih belum mencapai kinerja

Lebih terperinci

2 Mengingat d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu mengatur kerjasama Pemerintah dan badan u

2 Mengingat d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu mengatur kerjasama Pemerintah dan badan u No.62, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA EKONOMI. Kerja Sama. Infrastruktur. Badan Usaha. Pencabutan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2015 TENTANG KERJASAMA PEMERINTAH DENGAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2002 TENTANG SURAT UTANG NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2002 TENTANG SURAT UTANG NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2002 TENTANG SURAT UTANG NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa guna mewujudkan masyarakat adil dan

Lebih terperinci

TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI BERDASARKAN PERMINTAAN

TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI BERDASARKAN PERMINTAAN LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 60/PMK.03/2014 TENTANG : TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI (EXCHANGE OF INFORMATION) TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI BERDASARKAN PERMINTAAN

Lebih terperinci

PERIZINAN PENELITIAN ASING. PP No 41/2006

PERIZINAN PENELITIAN ASING. PP No 41/2006 PERIZINAN PENELITIAN ASING PP No 41/2006 Latar Belakang Dasar Hukum: 1) UU. No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. 2) PP. No.

Lebih terperinci

No. 15/28/DPNP Jakarta, 31 Juli 2013 SURAT EDARAN. Kepada SEMUA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA SECARA KONVENSIONAL DI INDONESIA

No. 15/28/DPNP Jakarta, 31 Juli 2013 SURAT EDARAN. Kepada SEMUA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA SECARA KONVENSIONAL DI INDONESIA No. 15/28/DPNP Jakarta, 31 Juli 2013 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA SECARA KONVENSIONAL DI INDONESIA Perihal: Penilaian Kualitas Aset Bank Umum Sehubungan dengan Peraturan

Lebih terperinci