BAB I PENDAHULUAN. Pajak sebagai salah satu lingkungan bisnis perusahaan mempengaruhi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Pajak sebagai salah satu lingkungan bisnis perusahaan mempengaruhi"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak sebagai salah satu lingkungan bisnis perusahaan mempengaruhi berbagai keputusan yang diambil oleh perusahaan, salah satunya adalah keputusan pendanaan. Pajak mempengaruhi keputusan pendanaan perusahaan karena membedakan perlakuan pemajakan antara bunga (konsekuensi yang timbul dari kegiatan pendanaan eksternal dengan sumber dana dari utang (debt financing) dengan dividen (konsekuensi yang timbul dari kegiatan pendanaan eksternal dengan sumber dana dari ekuitas (equity financing). Perbedaan perlakuan tersebut adalah perbedaan pengakuan biaya yang timbul dari kegiatan pendanaan. Biaya yang timbul dari debt financing (biaya bunga) dapat diakui sebagai biaya fiskal (sesuai UU No. 36 Tahun 2008 Pasal 6 ayat (1). Sedangkan biaya yang timbul dari equity financing (dividen) tidak dapat diakui sebagai biaya fiskal (sesuai UU No. 36 Tahun 2008 Pasal 9 ayat (1). Mayoritas sistem perpajakan di dunia (termasuk di Indonesia) memperlakukan bunga dan dividen secara berbeda, yaitu dengan mengakui biaya bunga sebagai biaya fiskal sedangkan dividen tidak dapat diakui sebagai biaya fiskal. Biaya fiskal (biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan) merupakan pengurang penghasilan bruto perusahaan, sehingga dengan biaya fiskal yang besar, maka pajak yang harus dibayar oleh perusahaan berkurang. Biaya bunga diakui sebagai biaya fiskal karena biaya bunga merupakan biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk menjalankan usaha 1

2 (cost of doing business). Sedangkan dividen pada dasarnya merupakan pembagian laba (dividen dibagikan kepada pemilik atau pemegang saham jika perusahaan memperoleh laba sesudah pajak yang positif), sehingga tidak dapat diakui sebagai biaya fiskal. Karena sistem perpajakan mengakui biaya bunga sebagai biaya fiskal (sehingga memberikan manfaat pajak bagi perusahaan), maka secara implisit sistem perpajakan mendorong perusahaan untuk melakukan debt financing daripada equity financing. Hal tersebut dikenal dengan istilah debt bias. Debt bias menyebabkan berbagai distorsi di bidang ekonomi (De Moijj, 2011; Hemmelgarn dan Nicodeme, 2012) Pertama, debt bias menghasilkan perusahaan yang cenderung memiliki DER tinggi, sehingga perusahaan lebih rentan bangkrut, karena memiliki bankruptcy cost (cost of financial distress) yang besar seiring dengan peningkatan utang (De Moijj, 2011). Dengan DER tinggi, perusahaan memperoleh insentif pajak (berupa pengakuan biaya bunga yang besar sebagai biaya fiskal). Dengan biaya fiskal yang besar, maka Penghasilan Kena Pajak (PKP) perusahaan berkurang Kedua, debt bias dituding memperparah krisis keuangan. Sekalipun beberapa peneliti (Slemrod, 2009; Lloyd, 2009; Keen dan Others, 2010; Hemmelgarn dan Nicodeme, 2010) menilai bahwa debt bias bukan merupakan penyebab utama krisis keuangan, tetapi debt bias menyebabkan debt financing lebih disukai perusahaan, sehingga jika ada banyak perusahaan memiliki utang besar dan jatuh tempo pada saat krisis, maka debt bias dapat memperparah krisis. 2

3 Ketiga, debt bias membuka peluang bagi perusahaan untuk menurunkan laba yang dilaporkan (reported profit) di laporan keuangan (De Moijj, 2011). Hal tersebut dilakukan perusahaan dengan mempersulit penentuan PKP. Penentuan PKP dipersulit perusahaan dengan penggunaan instrumen keuangan hibrida (hybrid financial instrument) sebagai sumber pendanaan. Perkembangan instrumen keuangan hibrida yang cukup pesat memungkinkan instrumen tersebut mengandung unsur utang dan ekuitas (seperti convertible bond), sehingga batas antara utang dengan ekuitas menjadi kurang jelas. Hal tersebut mempersulit penentuan PKP, karena utang dan ekuitas diperlakukan berbeda menurut UU PPh yang berlaku. Keempat, debt bias dimanfaatkan oleh perusahaan multinasional (multi national corporation (MNC) sebagai celah untuk melakukan perencanaan pajak. MNC disinyalir lazim melakukan perencanaan pajak. MNC memanfaatkan pengakuan biaya bunga sebagai biaya fiskal sebagai salah satu sarana untuk menekan beban pajak, sehingga muncul kecenderungan bahwa fungsi utang bukan hanya sebagai sumber pendanaan saja tetapi juga sebagai sarana untuk menekan beban pajak. Praktik menekan beban pajak dengan menggunakan utang dikenal dengan istilah thin capitalization. Metoda thin capitalization yang dilakukan MNC adalah dengan jalan mendanai perusahaan anak dengan pinjaman dari perusahaan induk, hal tersebut dilakukan untuk memperoleh manfaat pajak dari biaya bunga. Dengan mengakui setoran modal dari perusahaan induk sebagai utang, maka bunga yang dibayar oleh perusahaan anak kepada perusahaan induk tidak dapat dilaporkan sebagai dividen, sehingga muncul istilah dividen terselubung. Dari uraian tersebut, maka 3

4 dapat disimpulkan bahwa thin capitalization merupakan metoda yang digunakan oleh perusahaan, pada umumnya, untuk menekan beban pajak dengan melaporkan ekuitas sebagai utang. Tarif pajak penghasilan yang berbeda-beda di setiap negara dimanfaatkan oleh MNC yang memiliki perusahaan anak di berbagai negara sebagai sarana untuk menekan beban pajak. MNC menekan beban pajak dengan cara mendanai perusahaan anak dengan utang (jika perusahaan anak berlokasi di negara dengan tarif pajak penghasilan yang tinggi) dan mendanai perusahaan anak dengan ekuitas (jika perusahaan anak berlokasi di negara dengan tarif pajak penghasilan yang rendah). Alasan lain perusahaan lebih memilih debt financing (dibanding equity financing) selain memberikan manfaat pajak adalah karena utang tidak menimbulkan biaya kepemilikan. Biaya kepemilikan timbul jika perusahaan melakukan equity financing (misal: menerbitkan saham). Dalam equity financing, investor (pemegang saham) memiliki hak untuk mengendalikan perusahaan, sehingga jika perusahaan berencana menerbitkan saham baru, maka pemegang saham lama mungkin saja menolak rencana tersebut, karena mereka enggan untuk berbagi kepemilikan dengan pemegang saham baru. Pemegang saham memperoleh return yang tidak tetap atas investasi yang mereka tanamkan ke perusahaan (dividen dibagikan jika perusahaan memperoleh laba sesudah pajak yang positif) dan memperoleh prioritas terakhir dalam pembagian aset perusahaan jika perusahaan mengalami pailit. Sedangkan dalam debt financing, kreditor tidak memiliki hak untuk mengendalikan perusahaan, namun mereka berhak memperoleh return yang tetap atas investasi yang mereka tanamkan ke perusahaan (bunga harus tetap dibayarkan sekalipun perusahaan mengalami 4

5 kerugian) dan memperoleh prioritas pertama dalam pembagian aset perusahaan jika perusahaan mengalami pailit. Untuk mengatur kegiatan pendanaan usaha Wajib Pajak (WP), Pemerintah berencana memberlakukan kembali kebijakan pembatasan DER. Undang-undang yang mengatur pembatasan DER adalah UU No. 36 Tahun 2008 Pasal 18 ayat (1) tentang perbandingan antara utang dan ekuitas/modal (DER). Bunyi pasal tersebut adalah Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan perhitungan pajak berdasarkan Undang-undang ini. Pemerintah pernah memberlakukan kebijakan pembatasan DER seiring dengan penerbitan KMK No. 1002/KMK.04/1984 pada 8 Oktober DER dalam KMK tersebut ditetapkan sebesar 3,0 atau 3:1 atau 300%. Namun kebijakan tersebut dicabut sejak 8 Maret 1985 dengan diterbitkannya KMK No. 254/KMK.01/1985. Kebijakan pembatasan DER diharapkan mampu mempengaruhi keputusan pendanaan perusahaan sebagai WP agar perusahaan tidak terlalu bergantung pada utang sebagai sumber pendanaan. Menurut Dirjen Pajak, kebijakan ini diharapkan mampu membatasi praktik thin capitalization yang disinyalir dipraktikkan oleh perusahaan di Indonesia. Kebijakan ini juga diharapkan dapat memicu perusahaan yang belum listing di Bursa Efek di Indonesia (perusahaan tertutup) yang memiliki DER diatas batasan DER yang ditetapkan dalam KMK (misal diatas 3,0) memilih untuk melakukan IPO (menjadi perusahaan terbuka), karena jika perusahaan tersebut tidak melakukan 5

6 IPO, maka perusahaan tersebut akan kesulitan untuk mendanai ekspansi usaha dan berpotensi terkena disinsentif pajak jika tambahan utang perusahaan menyebabkan DER perusahaan melampaui batasan DER yang ditetapkan. Perusahaan tertutup memiliki dua pilihan sumber pendanaan (eksternal dan internal). Pendanaan eksternal hanya dimungkinkan dengan private debt financing (mengajukan kredit ke bank dan/atau lembaga keuangan lainnya). Sedangkan public debt financing (menerbitkan dan menjual obligasi ke masyarakat) dan equity financing (menerbitkan dan menjual saham ke masyarakat) tidak dapat dilakukan oleh perusahaan tertutup. Dengan melakukan IPO, maka perusahaan memiliki alternatif pilihan sumber pendanaan yang lebih banyak (private debt financing, public debt financing, dan equity financing). Perusahaan yang melakukan IPO diharapkan mampu memperbaiki kinerja usaha dan terbuka dengan kondisi keuangannya. Kebijakan pembatasan DER mengundang kontroversi di kalangan pengusaha. Pendapat pengusaha terpecah terkait kebijakan ini. Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) merupakan salah satu pihak yang menolak kebijakan ini. Argumentasi yang digunakan oleh pihak KADIN untuk menolak kebijakan ini adalah karena kebijakan ini dinilai dapat memperburuk iklim investasi di Indonesia. Wakil Ketua KADIN Bidang Fiskal, Moneter, dan Kebijakan Publik, Haryadi Sukamdhani, menyatakan bahwa upaya tersebut (memberlakukan kebijakan pembatasan DER) sama saja dengan memperlambat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Haryadi juga menyatakan bahwa Pemerintah tidak seharusnya memberlakukan kebijakan pembatasan DER. Karena menurutnya, perbankan selama ini telah menetapkan batasan DER. Pengusaha 6

7 telah mengikuti batasan DER yang ditetapkan oleh perbankan, yaitu sebesar 2,33 (utang 70% dan ekuitas 30%). Batasan DER tersebut diklaim kalangan dunia usaha telah berjalan dengan baik, sehingga Pemerintah tidak perlu memberlakukan kebijakan baru. Haryadi, lebih lanjut menyatakan bahwa Pemerintah menuding pengusaha memperbesar biaya bunga sebagai upaya untuk mengurangi pajak. Padahal peningkatan utang sektor swasta disebabkan oleh tren suku bunga saat ini yang tengah menurun dan tidak terkait dengan perencanaan pajak. Hariyadi pun membantah apabila kalangan dunia usaha dinilai kerap berutang dalam jumlah besar dan dalam jangka waktu pendek. Disisi lain Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Sofjan Wanandi, merupakan salah satu pihak yang menyetujui kebijakan ini (meskipun dengan beberapa syarat). Menurutnya, kebijakan ini bertujuan baik yaitu agar pengusaha berjaga-berjaga. Namun Sofjan mengingatkan bahwa kebijakan pembatasan DER jangan terlalu kaku, mengingat saat ini sebagian besar pembangunan dilakukan oleh pengusaha, sehingga diharapkan kebijakan ini tidak kontraproduktif dengan pembangunan. Sofjan selanjutnya menyatakan bahwa Pemerintah seharusnya melihat perbedaan pada setiap perusahaan dari segi pendanaan. Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) merupakan salah satu pihak yang tidak mempermasalahkan kebijakan ini. Menurut Sekjen HIPMI, Harry Warganegara, kebijakan pembatasan DER tidak masalah jika diberlakukan. Ini suatu hal yang wajar, katanya. Menurutnya, kebijakan tersebut diperlukan untuk menjaga stabilitas ekonomi. Tingginya utang luar negeri perusahaan yang umumnya bersifat jangka pendek dan menggunakan 7

8 mata uang asing berpotensi menciptakan instabilitas keuangan dan makroekonomi. Pada akhirnya, keadaan ini dapat menimbulkan kepanikan dan pelarian modal asing ke luar negeri (capital flight). Kementerian Keuangan masih terus mengkaji sektor usaha yang akan dikenakan pembatasan DER. Menurut Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Bambang Brodjonegoro, saat ini Pemerintah masih mendalami jumlah sektor yang akan diatur, apakah cukup dua sektor, yaitu sektor keuangan (perbankan) dan sektor rill atau lebih dari dua sektor. Penetapan besar DER yang dibatasi perlu mempertimbangkan beberapa faktor. Pertama, BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit). BMPK ditetapkan oleh Bank Indonesia melalui Peraturan Bank Indonesia No. 7/3/PBI/2005 sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Bank Indonesia No. 8/13/PBI/2006 dan dilengkapi oleh Paket Kebijakan Perbankan April BMPK merupakan persentase maksimum penyediaan dana yang diperkenankan terhadap modal bank. BMPK ditetapkan maksimum sebesar 20% dari modal bank (30% untuk perusahaan yang listing di Bursa Efek di Indonesia dengan porsi kepemilikan publik sebesar 40% yang wajib dipertahankan sampai kredit lunas (Paket Kebijakan Perbankan April 2008). Dengan besar BMPK 20%, maka perusahaan dapat mengoperasikan aset sebesar Rp5 dengan dana Rp1 yang berasal dari ekuitas dan sisanya (Rp4) didanai oleh utang. Kedua, rata-rata DER perusahaan yang listing di Bursa Efek di Indonesia (perusahaan terbuka). Perusahaan terbuka, seperti perusahaan pada umumnya, memiliki karakteristik bisnis yang berbeda-beda. Oleh karena itu, mereka memiliki struktur modal yang berbeda-beda. Rata-rata DER perusahaan terbuka juga harus diperhatikan dalam 8

9 perumusan kebijakan pembatasan DER. Jika rata-rata DER perusahaan terbuka lebih rendah dari DER yang ditetapkan, maka mungkin saja thin capitalization marak terjadi untuk memperoleh manfaat pajak dari biaya bunga. Disisi Pemerintah, pemberlakuan kebijakan pembatasan DER berpotensi meningkatkan penerimaan pajak. Peningkatan tersebut sebesar biaya bunga yang tidak dapat diakui sebagai biaya fiskal (non-deductible interest expense) dikalikan dengan tarif PPh Badan yang berlaku. Peningkatan penerimaan pajak bagi Pemerintah, dengan kata lain, merupakan peningkatan beban pajak bagi perusahaan (disinsentif pajak). Peningkatan tersebut pada akhirnya dibebankan kepada konsumen (masyarakat) berupa penyesuaian (umumnya kenaikan) harga barang dan/atau jasa yang diproduksi perusahaan. Dampak lain atas pemberlakuan kebijakan pembatasan DER adalah berpotensi memperburuk iklim investasi Indonesia. Misal jika batasan DER yang ditetapkan sebesar 3,0 (sesuai KMK tahun 1984), maka perusahaan perlu memiliki ekuitas sebesar Rp1,25 dan utang sebesar Rp3,75 untuk mengoperasikan aset sebesar Rp5. Jika batasan DER yang ditetapkan mengikuti besar BMPK (4,0), maka perusahaan mampu mengoperasikan aset sebesar Rp5, dengan ekuitas hanya sebesar Rp1 dan utang sebesar Rp4, sehingga dapat dikatakan bahwa kebijakan pembatasan DER menimbulkan cost berupa berkurangnya jumlah investasi yang dapat dilakukan oleh perusahaan dengan jumlah ekuitas yang sama besar. Dengan konsekuensi tersebut, maka efektivitas kebijakan pembatasan DER perlu diteliti lebih lanjut. 9

10 1.2 Rumusan Masalah 1. Apakah kebijakan pembatasan DER perlu diberlakukan kembali? Kebijakan pembatasan DER untuk saat ini dirasakan belum perlu diberlakukan kembali, karena dinilai menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kebijakan ini justru kontraproduktif dengan sikap Pemerintah yang ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Disisi Pemerintah, pemberlakuan kebijakan ini berpotensi meningkatkan penerimaan pajak. Namun disisi perusahaan, pemberlakuan kebijakan ini justru meningkatkan beban pajak perusahaan. Selain itu, kebijakan ini dinilai kompleks dalam implementasinya, karena setiap sektor perusahaan memiliki kebutuhan dan struktur modal yang berbeda, sehingga besar batasan DER yang ditetapkan juga harus berbeda. Hal tersebut membuat peraturan pajak menjadi semakin kompleks. Kebijakan pembatasan DER (secara implisit) telah diberlakukan untuk sektor perbankan, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap sektor non-perbankan. Bank Indonesia (secara implisit) telah memberlakukan kebijakan ini, yaitu dalam bentuk BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit). Namun perlu dicatat, bahwa kebijakan pembatasan DER oleh Bank Indonesia (BMPK) lebih bertujuan untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit dalam rangka menjaga kesehatan sektor perbankan (dengan mengatur bank untuk tidak memberikan kredit yang terkonsentrasi kepada satu atau beberapa debitor). Pemberian kredit yang terkonsentrasi kepada satu atau beberapa debitor dinilai berisiko tinggi, karena jika debitor tidak mampu membayar kembali 10

11 pokok dan bunga pinjaman (kredit macet), maka operasional bank menjadi terganggu. Pemberlakuan kebijakan pembatasan DER tampaknya lebih berpengaruh positif jika diberlakukan bagi perusahaan yang belum listing di Bursa Efek di Indonesia (perusahaan tertutup), karena dinilai menguntungkan bagi pasar modal Indonesia. Perusahaan tertutup yang kekurangan dana untuk ekspansi usaha dan memiliki DER diatas yang ditetapkan akan terdorong untuk melakukan IPO (menjadi perusahaan terbuka), karena jika perusahaan mengajukan kredit secara berlebihan untuk ekspansi usaha maka perusahaan mengalami disinsentif pajak. Kebijakan pembatasan DER tampaknya lebih efektif jika diberlakukan untuk multi national corporation (MNC), karena sumber pendanaan MNC rentan akan perekayasaan. Perekayasaan yang dimaksud adalah thin capitalization, yaitu suatu metoda umumnya untuk menekan beban pajak yang digunakan MNC dengan melaporkan ekuitas sebagai utang dalam rangka memperoleh manfaat pajak dari biaya bunga. Tarif pajak yang berbeda-beda di setiap negara juga dimanfaatkan MNC untuk menekan beban pajak, yaitu dengan mendanai perusahaan anak dengan debt financing (jika perusahaan anak beroperasi di negara dengan tarif pajak yang tinggi) dan dengan equity financing (jika perusahaan anak beroperasi di negara dengan tarif pajak yang rendah). Kebijakan pembatasan DER merupakan salah satu strategi intensifikasi pajak yang dilakukan Pemerintah untuk meningkatkan 11

12 penerimaan pajak. Namun sampai saat ini, masih banyak perusahaan sebagai WP yang belum/tidak membayar pajak (karena belum terdaftar sebagai WP dan/atau belum memiliki NPWP), sehingga strategi yang lebih tepat dilakukan Pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak adalah dengan strategi ekstensifikasi. 2. Berapa besar batasan DER yang ditetapkan? Jika kebijakan pembatasan DER tetap diberlakukan, maka besar batasan DER yang ditetapkan perlu memperhatikan status perusahaan listing di Bursa Efek di Indonesia (perusahaan terbuka) atau belum/tidak listing di Bursa Efek di Indonesia (perusahaan tertutup) dan klasifikasi usaha (sektor) perusahaan. Efektivitas kebijakan pembatasan DER benar-benar bergantung pada besar batasan DER yang ditetapkan. Jika besar batasan DER yang ditetapkan lebih longgar dari rata-rata pasar (rata-rata DER sektor perusahaan) dan/atau ketentuan BMPK, maka muncul peluang bagi perusahaan untuk melakukan thin capitalization dalam rangka mengklaim biaya bunga yang lebih besar. Sebaliknya, jika besar batasan DER yang ditetapkan lebih ketat dari rata-rata pasar dan/atau ketentuan BMPK, maka memunculkan distorsi ekonomi yaitu: di satu sisi, penerimaan pajak meningkat, namun di sisi lain, iklim investasi Indonesia menjadi kurang ramah bagi pelaku usaha, karena kegiatan investasi perusahaan menjadi terhambat jika perusahaan kekurangan modal untuk ekspansi usaha. Jika perusahaan kekurangan modal untuk 12

13 ekspansi usaha, maka perusahaan akan mengajukan kredit atau menerbitkan dan menjual obligasi. Namun jika kebijakan pembatasan DER diberlakukan, peningkatan utang menyebabkan disinsentif pajak (jika peningkatan utang tersebut menyebabkan DER perusahaan melampaui batasan DER yang ditetapkan). Disinsentif pajak tersebut menyebabkan perusahaan enggan untuk melakukan ekspansi usaha, yang pada akhirnya memperlambat pertumbuhan ekonomi. Besar batasan DER yang ditetapkan untuk perusahaan terbuka seharusnya berbeda dengan perusahaan tertutup. Besar batasan DER untuk perusahaan terbuka sebaiknya ditetapkan sebesar rata-rata DER perusahaan terbuka di sektor yang sama atau tidak berbeda jauh dari besar BMPK. Besar batasan DER untuk perusahaan tertutup sebaiknya tidak jauh berbeda dari perusahaan terbuka, yaitu dengan mempertimbangkan besar rata-rata DER perusahaan terbuka di sektor yang sama. Besar batasan DER juga harus memperhatikan sektor usaha perusahaan. Sektor usaha tertentu cenderung memiliki DER tinggi (seperti sektor keuangan dan pertambangan), sehingga besar batasan DER juga harus dibedakan menurut sektor usaha perusahaan. 3. Apakah konsekuensi atas kebijakan pembatasan DER? Pemberlakuan kebijakan pembatasan DER disisi Pemerintah membawa dampak berupa meningkatnya penerimaan pajak, namun berpotensi mengurangi kontribusi investasi terhadap Produk Domestik 13

14 Bruto (PDB). Investasi (Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto (PMTDB), sebagai salah satu komponen dalam PDB, menyumbang 23,95% (2010), 24,42% (2011), 25,24% (2012) PDB Indonesia. Peningkatan kontribusi investasi terhadap PDB dari tahun 2010 sampai 2012 mungkin tidak terulang lagi jika kebijakan pembatasan DER diberlakukan, karena investasi perusahaan menjadi tertekan. Misal jika batasan DER yang ditetapkan sebesar 3,0 (sesuai KMK tahun 1984), maka perusahaan perlu memiliki ekuitas sebesar Rp1,25 dan utang sebesar Rp3,75 untuk mengoperasikan aset sebesar Rp5. Jika batasan DER yang ditetapkan mengikuti besar BMPK (4,0), maka perusahaan mampu mengoperasikan aset sebesar Rp5, dengan ekuitas hanya sebesar Rp1 dan utang sebesar Rp4, sehingga dapat dikatakan bahwa pembatasan DER menimbulkan cost, yaitu berupa berkurangnya jumlah investasi yang dapat dilakukan oleh perusahaan dengan jumlah ekuitas yang sama besar. Perusahaan yang memiliki DER diatas yang ditetapkan mengalami disinsentif pajak (yaitu sebesar biaya bunga yang tidak dapat dikurangkan (non-deductible interest expense) dikalikan tarif PPh Badan yang berlaku). Disinsentif tersebut menyebabkan beban pajak perusahaan bertambah dan pada akhirnya dibebankan kepada konsumen (masyarakat) berupa penyesuaian (umumnya kenaikan) harga barang dan/atau jasa yang diproduksi perusahaan. Kenaikan tersebut menyebabkan penurunan permintaan barang dan/atau jasa (dengan 14

15 asumsi daya beli masyarakat konstan), yang pada akhirnya menurunkan konsumsi agregat dalam perekonomian. Dampak positif pemberlakuan kebijakan pembatasan DER bagi Pemerintah antara lain meningkatkan penerimaan pajak (karena tidak seluruh biaya bunga dapat diakui sebagai biaya fiskal) dan membatasi ruang gerak praktik thin capitalization (karena penggunaan utang secara berlebihan menimbulkan disinsentif pajak). Namun bagi perusahaan, pemberlakuan kebijakan ini tampaknya lebih banyak menimbulkan dampak negatif antara lain iklim investasi Indonesia menjadi kurang ramah bagi perusahaan (karena perusahaan yang memiliki utang besar,yang sebenarnya digunakan untuk ekspansi usaha, mengalami disinsentif pajak). Disinsentif tersebut menyebabkan perusahaan enggan untuk melakukan ekspansi usaha jika belum/tidak memiliki modal yang cukup. Pada akhirnya, keengganan perusahaan untuk melakukan ekspansi usaha berpotensi menimbulkan dampak negatif atas pemberlakuan kebijakan ini bagi Pemerintah, yaitu berupa pengurangan kesempatan kerja dan perlambatan pertumbuhan ekonomi. 15

16 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meneliti apakah kebijakan pembatasan DER perlu diberlakukan kembali atau tidak, kemudian untuk meneliti alternatif batasan DER yang dapat digunakan sebagai batasan DER dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK). Penelitian ini juga bertujuan untuk meneliti efektivitas pemberlakuan kebijakan pembatasan DER, yang difokuskan pada penerimaan PPh Badan dan praktik thin capitalization, dan untuk meneliti faktor-faktor yang menjadikan utang lebih menarik (dibanding ekuitas) sebagai sumber pendanaan eksternal perusahaan sampel 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian diharapkan memberi manfaat kepada pihak-pihak terkait, antara lain: 1. Bagi peneliti. Menjawab rasa keingintahuan peneliti tentang faktor-faktor yang menjadikan utang lebih menarik (dibanding ekuitas) sebagai sumber pendanaan eksternal sampel dan tentang efektivitas kebijakan pembatasan DER dilihat dari tujuannya, yaitu untuk meningkatkan penerimaan PPh Badan dan membatasi praktik thin capitalization. 2. Bagi Pemerintah. Pemerintah diharapkan mampu memformulasikan kebijakan pembatasan DER yang tidak menimbulkan dampak negatif terlalu besar bagi dunia usaha. Pemerintah juga diharapkan mampu menganalisis dan/atau mengantisipasi setiap loopholes yang mungkin muncul sebagai akibat pemberlakuan kebijakan ini. 16

17 3. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan mampu melakukan pengembangan dari keterbatasan penelitian ini. 1.5 Sistematika Penulisan Penelitian ini disusun dalam 5 (lima) bab dengan sistematika sebagai berikut: Bab I Pendahuluan Bab ini menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II Tinjauan Literatur Bab ini menjelaskan mengenai literatur dan teori yang digunakan peneliti dalam penelitian. Bab III Metodologi Penelitian Bab ini menjelaskan mengenai metoda penelitian, jenis penelitian, populasi dan sampel penelitian, sumber data penelitian, metoda analisis, dan alat analisis. Bab IVAnalisis dan Pembahasan Bab ini berisi uraian dan penjelasan tentang gambaran umum hasil penelitian yang diperoleh dari analisis data penelitian. Bab V Penutup Bab ini merupakan bab terakhir dalam penelitian yang berisi kesimpulan dan saran dari hasil analisis data penelitian. Daftar Pustaka 17

BAB I PENDAHULUAN. menurunkan defisit transaksi berjalan ke tingkat yang sustainable. Dari sisi

BAB I PENDAHULUAN. menurunkan defisit transaksi berjalan ke tingkat yang sustainable. Dari sisi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dari sisi domestik, pertumbuhan ekonomi diperkirakan memasuki fase konsolidasi sehubungan dengan belum rampungnya langkah-langkah untuk menurunkan defisit transaksi

Lebih terperinci

VII. SIMPULAN DAN SARAN

VII. SIMPULAN DAN SARAN VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1. Simpulan Hasil analisis menunjukkan bahwa secara umum dalam perekonomian Indonesia terdapat ketidakseimbangan internal berupa gap yang negatif (defisit) di sektor swasta dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah telah memberikan beberapa kemudahan untuk dapat lebih

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah telah memberikan beberapa kemudahan untuk dapat lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Persaingan dunia usaha dalam situasi perekonomian saat ini semakin lama semakin ketat. Hal ini dikarenakan banyak perusahaan yang berkembang cukup pesat dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. objek pajak melalui peningkatan jumlah PMA. Namun, dalam meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. objek pajak melalui peningkatan jumlah PMA. Namun, dalam meningkatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan bisnis yang terjadi di Indonesia dapat dijadikan suatu kesempatan untuk menarik investor dari luar negeri agar menanamkan modalnya di Indonesia. Semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perekonomian Indonesia pada tahun 2013 tumbuh sebesar 5,78 persen

BAB I PENDAHULUAN. Perekonomian Indonesia pada tahun 2013 tumbuh sebesar 5,78 persen BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perekonomian Indonesia pada tahun 2013 tumbuh sebesar 5,78 persen dibanding tahun 2012, dimana semua sektor ekonomi mengalami pertumbuhan. Pertumbuhan tertinggi terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam menjalankan kegiatan operasionalnya akan membutuhkan struktur. modal yang kuat untuk meningkatkan laba agar tetap mampu

BAB I PENDAHULUAN. dalam menjalankan kegiatan operasionalnya akan membutuhkan struktur. modal yang kuat untuk meningkatkan laba agar tetap mampu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perusahaan-perusahaan yang sedang mengalami masa perkembangan dalam menjalankan kegiatan operasionalnya akan membutuhkan struktur modal yang kuat untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang cukup pesat khususnya pada perusahaan go public. Hal ini ditandai

BAB I PENDAHULUAN. yang cukup pesat khususnya pada perusahaan go public. Hal ini ditandai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada masa sekarang ini dalam dunia usaha mengalami perkembang yang cukup pesat khususnya pada perusahaan go public. Hal ini ditandai dengan berlakunya perdagangan bebas.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dunia bisnis yang sedang memasuki era globalisasi mengakibatkan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dunia bisnis yang sedang memasuki era globalisasi mengakibatkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dunia bisnis yang sedang memasuki era globalisasi mengakibatkan persaingan semakin tajam, sehingga setiap perusahaan dituntut untuk senantiasa berproduksi secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mengambil langkah meningkatkan BI-rate dengan tujuan menarik minat

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mengambil langkah meningkatkan BI-rate dengan tujuan menarik minat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia pernah mengalami krisis pada tahun 1997, ketika itu nilai tukar rupiah merosot tajam, harga-harga meningkat tajam yang mengakibatkan inflasi yang tinggi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Struktur modal merupakan masalah yang sangat penting bagi perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Struktur modal merupakan masalah yang sangat penting bagi perusahaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Struktur modal merupakan masalah yang sangat penting bagi perusahaan karena modal merupakan salah satu dari faktor penggerak dalam perusahaan untuk menjalankan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebanyak 25 perusahaan baru di tahun 2011, 23 perusahaan baru di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebanyak 25 perusahaan baru di tahun 2011, 23 perusahaan baru di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dalam era globalisasi ini, persaingan antar perusahaan sangat ketat. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya jumlah perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jangka pendek maupun jangka panjang yang ingin dicapai. Tujuan jangka pendek

BAB I PENDAHULUAN. jangka pendek maupun jangka panjang yang ingin dicapai. Tujuan jangka pendek BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada era globalisasi dan persaingan bisnis yang semakin ketat, industri bisnis dituntut untuk terus berkembang dan menyesuaikan diri dengan perubahan bisnis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah liberalisasi sektor keuangan di Indonesia bisa dilacak ke belakang,

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah liberalisasi sektor keuangan di Indonesia bisa dilacak ke belakang, BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Sejarah liberalisasi sektor keuangan di Indonesia bisa dilacak ke belakang, setidaknya sejak tahun 1983 saat pemerintah mengeluarkan deregulasi perbankan (Pakjun 1983).

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menjalankan kegiatan bisnis, perusahaan pasti memerlukan modal agar dapat menopang kegiatan usahanya. Modal tersebut dapat diperoleh dari hutang maupun ekuitas.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pajak Penghasilan (PPh) mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. Myes dan Majluf Disebut sebagai pecking order theory karena teori ini

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. Myes dan Majluf Disebut sebagai pecking order theory karena teori ini BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Teoretis 2.1.1 Pecking Order Theory Pecking order theory adalah teori struktur modal yang di rumuskan oleh Myes dan Majluf 1984. Disebut sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (saham), reksa dana, instrumen derivatif maupun instrumen lainnya. Pasar Modal

BAB I PENDAHULUAN. (saham), reksa dana, instrumen derivatif maupun instrumen lainnya. Pasar Modal BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pasar modal (capital market) merupakan pasar untuk berbagai instrumen keuangan jangka panjang yang bisa diperjualbelikan, baik surat utang (obligasi), ekuiti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun 1989 menjadi 288 emiten pada tahun 1999 (Susilo dalam. di Bursa Efek Indonesia mencapai 442 emiten (www.sahamok.com).

BAB I PENDAHULUAN. tahun 1989 menjadi 288 emiten pada tahun 1999 (Susilo dalam. di Bursa Efek Indonesia mencapai 442 emiten (www.sahamok.com). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasar modal di Indonesia sejak tahun 1997 mengalami perkembangan yang cukup pesat. Hal ini dapat dilihat dari 56 emiten pada tahun 1989 menjadi 288 emiten pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menggemparkan dunia. Krisis keuangan ini telah berkembang menjadi masalah

BAB I PENDAHULUAN. menggemparkan dunia. Krisis keuangan ini telah berkembang menjadi masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Krisis keuangan di Amerika Serikat (AS) yang terjadi di tahun 2008 sangat menggemparkan dunia. Krisis keuangan ini telah berkembang menjadi masalah serius. Krisis keuangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam melakukan kegiatan sehari-hari perusahaan melakukan usahanya

BAB I PENDAHULUAN. Dalam melakukan kegiatan sehari-hari perusahaan melakukan usahanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam melakukan kegiatan sehari-hari perusahaan melakukan usahanya agar dapat berkembang dari tahun ke tahun membutuhkan modal. Setiap perkembangan usaha juga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pecking Order Theory menurut Myers (1984), menyatakan bahwa perusahaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pecking Order Theory menurut Myers (1984), menyatakan bahwa perusahaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Packing Order Theory Pecking Order Theory menurut Myers (1984), menyatakan bahwa perusahaan lebih menyukai internal financing yaitu perusahaan lebih cenderung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perusahaan yang dibangun oleh pemilik modal bertujuan untuk menjalankan bisnis yang dapat memberikan return tertentu bagi pemilik modal. Dalam menjalankan bisnisnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. signifikan, hal ini ditandai dengan diterbitkannya paket-paket deregulasi

BAB I PENDAHULUAN. signifikan, hal ini ditandai dengan diterbitkannya paket-paket deregulasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Industri perbankan di Indonesia telah mengalami perkembangan yang signifikan, hal ini ditandai dengan diterbitkannya paket-paket deregulasi keuangan, moneter dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maksimal seperti yang telah ditargetkan, perusahaan dapat berbuat banyak bagi

BAB I PENDAHULUAN. maksimal seperti yang telah ditargetkan, perusahaan dapat berbuat banyak bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perolehan laba merupakan tujuan akhir yang dicapai suatu perusahaan yang terpenting adalah perolehan laba atau keuntungan yang maksimal, di samping hal-hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Semakin terintegrasinya ekonomi domestik dengan ekonomi dunia membuat

BAB I PENDAHULUAN. Semakin terintegrasinya ekonomi domestik dengan ekonomi dunia membuat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Semakin terintegrasinya ekonomi domestik dengan ekonomi dunia membuat Indonesia semakin rentan terhadap berbagai gejolak pada lingkungan eksternal, baik yang bersifat

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Kebijakan struktur modal melibatkan pertimbangan trade-off antara risiko

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Kebijakan struktur modal melibatkan pertimbangan trade-off antara risiko BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 Teori trade-off (trade-off theory) Kebijakan struktur modal melibatkan pertimbangan trade-off antara risiko dengan tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring berjalannya waktu, umumnya suatu perusahaan memerlukan dana

BAB I PENDAHULUAN. Seiring berjalannya waktu, umumnya suatu perusahaan memerlukan dana BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Seiring berjalannya waktu, umumnya suatu perusahaan memerlukan dana untuk melakukan ekspansi, memperbaiki struktur modal, meluncurkan produk baru atau untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi pada saat ini. Bank berfungsi sebagai lembaga

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi pada saat ini. Bank berfungsi sebagai lembaga 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor perbankan di Indonesia memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi pada saat ini. Bank berfungsi sebagai lembaga intermediasi keuangan yakni sebagai

Lebih terperinci

Subdirektorat Perjanjian dan Kerjasama Perpajakan Internasional DIREKTORAT PERATURAN PERPAJAKAN II

Subdirektorat Perjanjian dan Kerjasama Perpajakan Internasional DIREKTORAT PERATURAN PERPAJAKAN II Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak PMK-169/PMK.010/2015 PENENTUAN BESARNYA PERBANDINGAN ANTARA UTANG DAN MODAL PERUSAHAAN UNTUK KEPERLUAN PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN (Debt-to-Equity

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Tabel 1 Perkembangan obligasi korporasi

1 PENDAHULUAN. Tabel 1 Perkembangan obligasi korporasi 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pasar modal merupakan suatu sarana bagi pelaku bisnis untuk mendapatkan kebutuhan dana jangka panjang dengan cara memperjualbelikan instrumen keuangan. Salah satu instrumen

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perkembangan sektor perekonomian yang mendukung kelancaran aktivitas

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perkembangan sektor perekonomian yang mendukung kelancaran aktivitas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan sektor perekonomian yang mendukung kelancaran aktivitas ekonomi di Indonesia, khususnya sektor makanan dan minuman sangat menarik untuk di cermati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peluang yang akan dihadapi oleh Indonesia dengan adanya AFTA. AFTA

BAB I PENDAHULUAN. peluang yang akan dihadapi oleh Indonesia dengan adanya AFTA. AFTA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asean Free Trade Area (AFTA) 2015 telah berlangsung. Banyak tantangan dan peluang yang akan dihadapi oleh Indonesia dengan adanya AFTA. AFTA merupakan kerja sama antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangannya. Peran sektor perbankan dalam memobilisasikan dana

BAB I PENDAHULUAN. perkembangannya. Peran sektor perbankan dalam memobilisasikan dana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan jumlah bank swasta nasional yang sangat pesat mulai tahun 1980-an membawa perekonomian Indonesia ke suatu tahapan baru dalam perkembangannya. Peran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada era globalisasi sekarang ini, persaingan dalam dunia usaha

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada era globalisasi sekarang ini, persaingan dalam dunia usaha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada era globalisasi sekarang ini, persaingan dalam dunia usaha semakin ketat dan perusahaan berlomba lomba untuk mengembangkan usahanya. Oleh karena itu, dibutuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Era globalisasi membuka peluang interaksi dan komunikasi tanpa batas antar

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Era globalisasi membuka peluang interaksi dan komunikasi tanpa batas antar BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Era globalisasi membuka peluang interaksi dan komunikasi tanpa batas antar Negara. Indonesia yang termasuk dalam anggota Negara ASEAN, mulai tahun 2015

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bentuk investasi kredit kepada masyarakat yang membutuhkan dana. Dengan

I. PENDAHULUAN. bentuk investasi kredit kepada masyarakat yang membutuhkan dana. Dengan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Fungsi pokok bank sebagai lembaga intermediasi sangat membantu dalam siklus aliran dana dalam perekonomian suatu negara. Sektor perbankan berperan sebagai penghimpun dana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sektor perbankan menjadi salah satu sektor yang berperan penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. Sektor perbankan menjadi salah satu sektor yang berperan penting dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor perbankan menjadi salah satu sektor yang berperan penting dalam membangun perekonomian sebuah negara karena bank berfungsi sebagai lembaga perantara keuangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan utama investor dalam menanamkan modalnya di sebuah perusahaan yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan utama investor dalam menanamkan modalnya di sebuah perusahaan yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Persaingan dunia bisnis semakin hari semakin ketat dan sangat kompetitif. Terbukti jika perusahaan tidak dapat menghadapi tantangan ini sangat banyak perusahaan-perusahaan

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS. minuman yang tercatat di Bursa Efek Jakarta. Pengambilan sampel dan purposive

BAB II URAIAN TEORITIS. minuman yang tercatat di Bursa Efek Jakarta. Pengambilan sampel dan purposive BAB II URAIAN TEORITIS A. Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan oleh Tobing (2006) mengenai Pengaruh Struktur Modal terhadap Profitabilitas pada Industri Makanan dan Minuman yang Tercatat di Bursa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia bisnis dewasa ini cenderung semakin pesat. Tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia bisnis dewasa ini cenderung semakin pesat. Tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan dunia bisnis dewasa ini cenderung semakin pesat. Tingkat persaingan yang sudah semakin tinggi menuntut setiap perusahaan agar mampu menerapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, yang belum memiliki rumah. Disisi lain pemerintah juga sulit untuk

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, yang belum memiliki rumah. Disisi lain pemerintah juga sulit untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2011, menyebutkan bahwa masih ada sekitar 14 juta keluarga, atau 23% dari 61 juta keluarga di Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam masa pembangunan seperti sekarang ini, persaingan usaha di berbagai sektor semakin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam masa pembangunan seperti sekarang ini, persaingan usaha di berbagai sektor semakin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam masa pembangunan seperti sekarang ini, persaingan usaha di berbagai sektor semakin tajam. Hal ini menyebabkan setiap perusahaan berupaya untuk mempertahankan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Grafik 1.1 Perkembangan NFA periode 1997 s.d 2009 (sumber : International Financial Statistics, IMF, diolah)

BAB 1 PENDAHULUAN. Grafik 1.1 Perkembangan NFA periode 1997 s.d 2009 (sumber : International Financial Statistics, IMF, diolah) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam beberapa dekade terakhir, perekonomian Indonesia telah menunjukkan integrasi yang semakin kuat dengan perekonomian global. Keterkaitan integrasi ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2. untuk mencapai tingkat kestabilan harga secara mantap. 3. untuk mengatasi masalah pengangguran.

BAB I PENDAHULUAN. 2. untuk mencapai tingkat kestabilan harga secara mantap. 3. untuk mengatasi masalah pengangguran. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan jangka panjang yang dilaksanakan di Indonesia bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur dengan mengacu pada Trilogi Pembangunan (Rochmat Soemitro,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sejenis dengan merk yang berbeda beda dan kualitas dari barang tersebut yang

BAB I PENDAHULUAN. sejenis dengan merk yang berbeda beda dan kualitas dari barang tersebut yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Menghadapi persaingan global antar perusahaan terutama perusahaan manufaktur membuat persaingan dunia usaha ini menjadi lebih ketat khususnya antar perusahaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banyak negara (termasuk Indonesia) menganggap sektor industri sebagai motor

BAB I PENDAHULUAN. Banyak negara (termasuk Indonesia) menganggap sektor industri sebagai motor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semakin ketatnya persaingan menyebabkan negara-negara di dunia berlombalomba membenahi perekonomiannya. Sektor industri diyakini sebagai sektor pemimpin (leading

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perekonomian di Indonesia mengalami krisis moneter yang sempat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perekonomian di Indonesia mengalami krisis moneter yang sempat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perekonomian di Indonesia mengalami krisis moneter yang sempat melanda pada akhir tahun 2000, dimana banyak sekali perusahaan dari berbagai industri mengalami keterpurukan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimana kebutuhan ekonomi antar negara juga semakin saling terkait, telah

BAB I PENDAHULUAN. dimana kebutuhan ekonomi antar negara juga semakin saling terkait, telah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejalan dengan perkembangan ekonomi internasional yang semakin pesat, dimana kebutuhan ekonomi antar negara juga semakin saling terkait, telah meningkatkan arus perdagangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham (shareholder). Pengambilan

BAB I PENDAHULUAN. memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham (shareholder). Pengambilan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kondisi ekonomi global yang terus maju pada saat ini, akan dapat menimbulkan persaingan usaha yang sangat ketat, hal ini akan mendorong manajer perusahaan dalam meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketat. Hal ini disebabkan semakin banyaknya perusahaan yang berdiri dan

BAB I PENDAHULUAN. ketat. Hal ini disebabkan semakin banyaknya perusahaan yang berdiri dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persaingan dunia usaha dalam perekonomian pasar bebas semakin ketat. Hal ini disebabkan semakin banyaknya perusahaan yang berdiri dan berkembang sesuai dengan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Perhitungan Pajak Penghasilan. Utang dan Modal. Penentuan. Pencabutan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Perhitungan Pajak Penghasilan. Utang dan Modal. Penentuan. Pencabutan. No.1351, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Perhitungan Pajak Penghasilan. dan Modal. Penentuan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 169/PMK.010/2015 TENTANG PENENTUAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkembangan arus informasi dan teknologi serta transportasi yang cepat dalam

I. PENDAHULUAN. Perkembangan arus informasi dan teknologi serta transportasi yang cepat dalam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan arus informasi dan teknologi serta transportasi yang cepat dalam era globalisasi saat ini telah menjadikan ekonomi dunia bergerak sangat dinamis termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperdagangkan. Pasar modal dapat dikatakan pasar abstrak, karena yang

BAB I PENDAHULUAN. diperdagangkan. Pasar modal dapat dikatakan pasar abstrak, karena yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Pada dasarnya, pasar modal hampir sama dengan pasar lainnya, yang membedakan pasar modal dengan pasar lainnya adalah dalam hal komoditas yang diperdagangkan. Pasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada umumnya, perusahaan dalam menjalankan kegiatan bisnis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada umumnya, perusahaan dalam menjalankan kegiatan bisnis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada umumnya, perusahaan dalam menjalankan kegiatan bisnis membutuhkan sejumlah dana sebagai modal. Perusahaan sebagai suatu entitas yang beroperasi dengan menerapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki fungsi intermediasi yaitu menghimpun dana dari masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. memiliki fungsi intermediasi yaitu menghimpun dana dari masyarakat yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Menurut UU No.10 tahun 1998 : Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan yang berorientasi pada profit selalu memiliki tujuan jangka

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan yang berorientasi pada profit selalu memiliki tujuan jangka BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perusahaan yang berorientasi pada profit selalu memiliki tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang. Tujuan jangka pendek pada umumnya adalah untuk mendapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. strategi dalam rangka mengefisienkan dana dari masyarakat seperti dengan

BAB I PENDAHULUAN. strategi dalam rangka mengefisienkan dana dari masyarakat seperti dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bank sebagai lembaga keuangan yang memegang peranan penting dalam perekonomian di setiap negara, merupakan sebuah alat yang dapat mempengaruhi suatu pergerakan pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Gambaran Umum BUMN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Gambaran Umum BUMN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian 1.1.1 Gambaran Umum BUMN Badan Usaha Milik Negara (BUMN) secara umum ialah badan usaha yang seluruhnya maupun sebagian besar modalnya dimiliki oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini dunia usaha sangat tergantung sekali dengan masalah pendanaan.

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini dunia usaha sangat tergantung sekali dengan masalah pendanaan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dewasa ini dunia usaha sangat tergantung sekali dengan masalah pendanaan. Beberapa pakar sepakat bahwa untuk keluar dari krisis ekonomi ini, sektor riil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan agar dapat bertahan dan mampu bersaing dalam dunia bisnis. Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan agar dapat bertahan dan mampu bersaing dalam dunia bisnis. Tujuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam era globalisasi seperti sekarang sudah banyak berdiri peusahaan go public dalam berbagai sektor, serta pertumbuhan ekonomi yang semakin baik berdampak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perekonomian di Indonesia semakin berkembang, hal ini dapat tercermin dari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perekonomian di Indonesia semakin berkembang, hal ini dapat tercermin dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perekonomian di Indonesia semakin berkembang, hal ini dapat tercermin dari kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB) berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Oktober 1988, dan Desember Kebijakan-kebijakan tersebut telah

BAB 1 PENDAHULUAN. Oktober 1988, dan Desember Kebijakan-kebijakan tersebut telah 1 BAB 1 PENDAHULUAN A.Latar Belakang Penelitian Perkembangan pasar modal Indonesia yang pesat dimulai sejak ditetapkannya paket-paket kebijakan oleh pemerintah pada bulan Desember 1987, Oktober 1988, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Obligasi adalah sebuah instrumen pasar modal yang berbetuk hutang (debt

BAB I PENDAHULUAN. Obligasi adalah sebuah instrumen pasar modal yang berbetuk hutang (debt BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Obligasi adalah sebuah instrumen pasar modal yang berbetuk hutang (debt instrument). Obligasi dikeluarkan oleh pihak yang membutuhkan dana untuk mendapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam kegiatan ekonomi, terutama di negara yang menganut sistem

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam kegiatan ekonomi, terutama di negara yang menganut sistem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masa globalisasi seperti saat ini pasar modal memiliki peran penting dalam kegiatan ekonomi, terutama di negara yang menganut sistem ekonomi pasar. Pasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pertumbuhan investasi di suatu negara akan dipengaruhi oleh pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pertumbuhan investasi di suatu negara akan dipengaruhi oleh pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan investasi di suatu negara akan dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi di negara tersebut. Semakin baik tingkat perekonomian suatu negara, maka semakin baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akan sangat mempengaruhi iklim usaha di Indonesia. Para pelaku bisnis harus

BAB I PENDAHULUAN. akan sangat mempengaruhi iklim usaha di Indonesia. Para pelaku bisnis harus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kondisi perekonomian baik global maupun regional dalam beberapa tahun terakhir ini mengalami pasang surut, contohnya krisis ekonomi yang terjadi di Eropa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam jumlah yang memadai. Dana ini tidak hanya dibutuhkan untuk membiayai

BAB I PENDAHULUAN. dalam jumlah yang memadai. Dana ini tidak hanya dibutuhkan untuk membiayai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan membutuhkan ketersediaan dana dalam jumlah yang memadai. Dana ini tidak hanya dibutuhkan untuk membiayai jalannya kegiatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemegang saham (investor), yaitu capital gain dan dividend. Kebijakan

BAB 1 PENDAHULUAN. pemegang saham (investor), yaitu capital gain dan dividend. Kebijakan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perusahaan mempunyai tujuan untuk memaksimalkan nilai perusahaan dan kesejahteraan pemilik (shareholder) melalui keputusan atau kebijakan investasi, keputusan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS BAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Struktur Modal Struktur modal adalah perimbangan atau perbandingan antara jumlah hutang jangka panjang dengan modal sendiri (Riyanto,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dana dari investor. Pasar modal merupakan pasar untuk berbagai objek keuangan

BAB I PENDAHULUAN. dana dari investor. Pasar modal merupakan pasar untuk berbagai objek keuangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pasar modal memiliki peranan penting dalam perekonomian suatu negara, dimana pasar modal berfungsi sebagai pendanaan usaha atau untuk mendapatkan dana dari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam menjalankan kegiatan operasional, perusahaan membutuhkan dana baik dari kreditur dan investor. Pasar modal merupakan media yang dapat mempertemukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pasar modal merupakan salah satu sarana yang efektif untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pasar modal merupakan salah satu sarana yang efektif untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasar modal merupakan salah satu sarana yang efektif untuk mempercepat akumulasi dana bagi pembiayaan pembangunan melalui mekanisme pengumpulan dana dari masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara berkembang yang memiliki potensi pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara berkembang yang memiliki potensi pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara berkembang yang memiliki potensi pertumbuhan ekonomi yang sangat baik. Pertumbuhan perekonomian suatu negara dapat diukur dari perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahkan untuk keluar dari krisis ekonomi ini, sektor riil harus selalu digerakan

BAB I PENDAHULUAN. Bahkan untuk keluar dari krisis ekonomi ini, sektor riil harus selalu digerakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Masalah pendanaan menjadi tombak dalam dunia usaha dan perekonomian. Bahkan untuk keluar dari krisis ekonomi ini, sektor riil harus selalu digerakan untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Kondisi perekonomian yang sangat ketat saat ini menyebabkan persaingan yang semakin kompetitif menjadikan tugas manajer keuangan semakin berat yaitu mencari

Lebih terperinci

BAB - I PENDAHULUAN. Tujuan utama perusahaan pada dasarnya adalah untuk meningkatkan dan

BAB - I PENDAHULUAN. Tujuan utama perusahaan pada dasarnya adalah untuk meningkatkan dan BAB - I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan utama perusahaan pada dasarnya adalah untuk meningkatkan dan memaksimalkan keuntungan pemilik perusahaan. Keuntungan perusahaan tercermin dalam laba bersih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) yang meningkat pada triwulan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mengambil peluang ini karena industri sektor properti yang terus berkembang

BAB 1 PENDAHULUAN. mengambil peluang ini karena industri sektor properti yang terus berkembang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Berinvestasi dalam bentuk properti merupakan salah satu tren investasi yang saat ini sangat berkembang di masyarakat. Tidak sedikit pula perusahaan yang mengambil

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kondisi perekonomian saat ini telah menciptakan suatu persaingan yang ketat antara perusahaan satu dengan perusahaan yang lain, sehingga perusahaan akan meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan dan meningkatkan kinerjanya agar dapat tetap bertahan dalam

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan dan meningkatkan kinerjanya agar dapat tetap bertahan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perkembangan industri manufaktur memicu perkembangan sektor industri jasa dan perdagangan, perkembangan industri yang pesar membawa implikasi pada persaingan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 94 TAHUN 2010 TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan dunia bisnis sekarang ini sangatlah pesat.hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya muncul perusahaan pesaing yang memiliki keunggulan kompetitif

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. 1. Pengertian Modal dan Strukur Modal

BAB II KAJIAN TEORI. 1. Pengertian Modal dan Strukur Modal BAB II KAJIAN TEORI A. Landasan Teori 1. Pengertian Modal dan Strukur Modal a. Pengertian Modal Menurut Munawir (2001) dalam Prabansari dan Kusuma (2005), modal adalah hak atau bagian yang dimiliki perusahaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2001, maka setiap daerah mempunyai kewenangan yang lebih luas dalam

BAB I PENDAHULUAN. 2001, maka setiap daerah mempunyai kewenangan yang lebih luas dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pada konteks ekonomi makro, tolak ukur keberhasilan perekonomian suatu daerah antara lain adalah Pendapatan daerah, tingkat kesempatan kerja dan tingkat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Teoritis 2.1.1 Struktur Modal Struktur modal merupakan perimbangan antara penggunaan modal pinjaman yang terdiri dari: utang jangka pendek yang bersifat permanen, utang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perkembangan perekonomian Indonesia setelah terjadinya krisis ekonomi pada sekitar awal tahun 1997 ternyata masih berbekas, dan bahkan dampak atas krisis

Lebih terperinci

Perpajakan internasional

Perpajakan internasional AKUNTANSI INTERNASIONAL MODUL 13 PERTEMUAN 13 Perpajakan internasional OLEH ; NUR DIANA SE, MSi JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS ISLAM MALANG 2016 PERPAJAKAN INTERNASIONAL Tujuan Kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melihat secara seksama perusahaan tersebut mempunyai laba/ pertumbuhan atas asetnya sehingga perusahaan tersebut dapat

BAB I PENDAHULUAN. melihat secara seksama perusahaan tersebut mempunyai laba/ pertumbuhan atas asetnya sehingga perusahaan tersebut dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laporan keuangan digunakan untuk menunjukkan mengenai kegiatan yang telah dilakukan oleh perusahaan. Dimana didalam laporan keuangan merupakan suatu indikator penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Globalisasi bermuara pada masalah tantangan dan peluang yang dihadapi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Globalisasi bermuara pada masalah tantangan dan peluang yang dihadapi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Globalisasi bermuara pada masalah tantangan dan peluang yang dihadapi berdasarkan pada kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh tiap perusahaan dalam menghadapi semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki banyak kebutuhan, terutama yang berkaitan dengan dana. Dana

BAB I PENDAHULUAN. memiliki banyak kebutuhan, terutama yang berkaitan dengan dana. Dana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam menjalankan suatu bisnis setiap perusahaan perbankan memiliki banyak kebutuhan, terutama yang berkaitan dengan dana. Dana merupakan elemen utama yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Gambar 1.1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Gambar 1.1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Perkembangan bisnis properti di Indonesia mengalami kenaikan yang cukup pesat pada dekade terakhir ini. Banyak indikator yang dapat dilihat di dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. investor asing berkenaan dengan permasalahan utama bagi setiap investor untuk

BAB I PENDAHULUAN. investor asing berkenaan dengan permasalahan utama bagi setiap investor untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Persaingan untuk menarik investor asing menanamkan modalnya pada suatu negara semakin ketat. Oleh karena itu, negara juga secara aktif mempromosikan negaranya

Lebih terperinci

PAJAK ATAS BUNGA PINJAMAN

PAJAK ATAS BUNGA PINJAMAN PERPAJAKAN II Modul ke: PAJAK ATAS BUNGA PINJAMAN Fakultas EKONOMI Program Studi S1 AKUNTANSI www.mercubuana.ac.id DASAR PERLAKUAN SECARA FISKAL Bunga pinjaman adalah bunga yang menjadi beban sehubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Jatuhnya perekonomian di Indonesia akibat krisis moneter yang sempat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Jatuhnya perekonomian di Indonesia akibat krisis moneter yang sempat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Jatuhnya perekonomian di Indonesia akibat krisis moneter yang sempat melanda pada akhir tahun 2000, dimana banyak perusahaan dari berbagai industri mengalami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bursa Efek Indonesia merupakan Self Regulatory Organization (SRO)

BAB I PENDAHULUAN. Bursa Efek Indonesia merupakan Self Regulatory Organization (SRO) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bursa Efek Indonesia merupakan Self Regulatory Organization (SRO) yang berperan sebagai fasilitator dalam perkembangan pasar modal di Indonesia. Menurut Husnan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang, pemerintah memerlukan dana yang tidak sedikit, dimana dana

BAB I PENDAHULUAN. berkembang, pemerintah memerlukan dana yang tidak sedikit, dimana dana BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah negara yang sedang berkembang baik dari segi pendidikan, infrastruktur, perekonomian, dan sebagainya. Untuk dapat terus berkembang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perkembangan dunia usaha saat ini semakin pesat, menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perkembangan dunia usaha saat ini semakin pesat, menimbulkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan dunia usaha saat ini semakin pesat, menimbulkan banyaknya perusahaan sejenis bermunculan dan mengakibatkan semakin ketatnya persaingan. Perusahaan-perusahaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang wajar, serta pemenuhan modal yang memadai (Widati, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. yang wajar, serta pemenuhan modal yang memadai (Widati, 2012). 0 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perusahaan perbankan merupakan lembaga keuangan yang berfungsi sebagai perantara keuangan, dimana landasan kegiatan usaha bank adalah kepercayaan dari nasabah.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) merupakan usaha yang layak diperhitungkan setiap negara. Meskipun kelihatannya UMKM merupakan usaha skala kecil yang tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. material maupun secara spiritual. Dengan demikian, pembangunan. lain meliputi aspek sosial dan politik (Todaro, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. material maupun secara spiritual. Dengan demikian, pembangunan. lain meliputi aspek sosial dan politik (Todaro, 2006). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hakikatnya, pembangunan mencerminkan adanya perubahan total suatu masyarakat untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang lebih baik dalam segala hal,

Lebih terperinci