2 TINJAUAN PUSTAKA. Sumber : Broecker (1991) Gambar 1. Sirkulasi massa air dunia (the great conveyor belt)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "2 TINJAUAN PUSTAKA. Sumber : Broecker (1991) Gambar 1. Sirkulasi massa air dunia (the great conveyor belt)"

Transkripsi

1 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Massa Air Samudera Tiga samudera di dunia memiliki hubungan satu dengan lainnya membentuk suatu sistem sirkulasi unik yang ditampilkan pada Gambar 1. Sistem ini mengedarkan massa air samudera yang dikenal dengan sirkulasi massa air dunia (the great conveyor belt). Sirkulasi dimulai dari Samudera Atlantik Utara bagian utara. Adanya proses pendinginan (cooling) dan penguapan (evaporation) menyebabkan densitas massa air ini tinggi sehingga tenggelam ke lapisan lebih dalam membentuk North Atlantic Deep Water (NADW) yang mengalir ke Samudera Atlantik Selatan pada kedalaman m. Sampai di ujung selatan Samudera Atlantik Selatan, aliran massa air berbelok ke arah timur bergabung dengan Arus Antartika. Sumber : Broecker (1991) Gambar 1. Sirkulasi massa air dunia (the great conveyor belt) Massa air ini terus bergerak memasuki selatan Samudera Hindia kemudian ke timur memasuki selatan Samudera Pasifik Selatan. Massa air di bagian selatan Samudera Hindia sebagian aliran berbelok ke utara sampai sekitar katulistiwa dan naik ke permukaan. Demikian pula dengan aliran yang sampai ke ujung selatan Samudera Pasifik Selatan juga berbelok ke utara masuk ke Samudera Pasifik, melewati katulistiwa dan naik ke permukaan (Broecker 1991; Gordon 1986).

2 6 Sirkulasi massa air ini disebut sirkulasi massa air dalam, sedangkan sistem peredaran massa air permukaan dimulai ketika kekosongan yang disebabkan oleh tenggelamnya massa air di Samudera Atlantik bagian utara diisi oleh massa air yang berasal dari Samudera Hindia bagian selatan. Selanjutnya kekosongan massa air di lapisan atas Samudera Hindia akan menyebabkan massa air Samudera Pasifik mengalir ke Samudera Hindia melalui perairan Indonesia bagian timur yang dikenal dengan Arlindo. 2.2 Lintasan Arlindo Pada Gambar 2. diperlihatkan lintasan Arlindo tanda panah hitam massa air yang berasal dari termoklin Pasifik Utara, tanda panah abu-abu adalah massa air yang berasal dari termoklin Pasifik Selatan dan panah putus-putus sirkulasi massa air permukaan Laut Jawa akibat pengaruh musim. Besarnya transpor dinyatakan dalam Sv (1 Sv = 10 6 m 3 s -1 ), angka warna hitam menunjukkan nilai transpor. Nilai massa transpor di Selat Makassar tahun 1997 (Gordon and McClean 1999; Susanto and Gordon 2005), Selat Lombok dari Januari 1985 Januari 1986, Laut Timor (antara Timor dan Australia) diukur pada Maret 1992 April 1993 (Molcard et al. 1996), Selat Ombai (bagian utara Timor dan Pulau Alor Desember 1995 Desember 1996). Massa air pada kedalaman lebih besar dari 1500 m yang melintasi Selat Lifamatola berdasarkan pengukuran current meter selama 3,5 bulan di awal tahun 1985 menuju Laut Banda diperkirakan sebesar 1,5 Sv (van Aken et al. 1988). Perkiraan nilai transpor ini kemudian di revisi menjadi 2,5 Sv (van Aken et al. 2009). Angka warna merah menunjukkan massa air transpor selama periode INSTANT tahun Di Selat Lifamatola, angka warna hijau adalah massa air transpor selama INSTANT pada kedalaman lebih besar dari 1250 m, yang mewakili massa air ke Laut Seram dan Laut Banda (Gordon et al. 2010). Sumber utama Arlindo adalah massa air termoklin Pasifik Utara yang mengalir melalui Selat Makassar dikedalaman sill 650 m, masuk ke Laut Flores dan Laut Banda. Selanjutnya kontribusi Arlindo dari massa air termoklin yang lebih dangkal dan massa air perairan dalam yang berasal dari Pasifik Selatan masuk ke perairan Indonesia melalui rute bagian timur yaitu Laut Maluku dan Laut Halmahera dengan massa air yang lebih tinggi densitasnya melintasi Selat

3 7 Lifamatola dikedalaman sill 1940 m, Arlindo bergerak ke luar menuju bagian timur Samudera Hindia melalui selat sepanjang rangkaian pulau-pulau Sunda Kecil seperti Selat Ombai (kedalaman sill 350 m), Selat Lombok (300 m), Laut Timor (1890 m) (Ffield and Gordon 1992; Gordon 2001) Sumber : Gordon, et al., 2008 Gambar 2. Arus lintas Indonesia Kompleksitas geografi dengan selat-selat yang sempit, basin yang dalam menyebabkan lintasan Arlindo memiliki lintasan yang komplek pula. Hal ini mengakibatkan massa air mengalami modifikasi melalui percampuran, upwelling dan fluks udara-laut sebelum bergerak ke menuju Samudera India. Arus Katulistiwa Utara/North Equatorial Current (AKU) membawa massa air asal Pasifik Utara sedangkan Arus Katulistiwa Selatan/South Equatorial Current (AKS) membawa massa air asal Pasifik Selatan ke bagian barat Samudera Pasifik kemudian masuk ke perairan timur Indonesia. Pada Musson Barat Laut (musim barat) AKU yang berada kira-kira 9ºLU bergerak ke barat menuju Filipina, AKU bercabang dua menjadi Arus Mindanao (Mindanao Current), yakni arus yang bergerak ke arah selatan sepanjang pantai timur Mindanao dan arus yang berbelok ke arah utara menjadi pemasok awal Arus Kuroshio.

4 8 2.3 Keadaan Umum Perairan Selat Makasar Transpor Massa Air di Perairan Selat Makasar Kondisi oseanografi Perairan Selat Makasar merupakan bagian dari Perairan Indonesia yang mentransfer massa air hangat dan bersalinitas rendah dari Samudera Pasifik menuju Samudera India. Oleh karena itu perairan Indonesia memegang peranan penting secara integral dalam sirkulasi termohalin global dan fenomena iklim (Sprintall et al. 2000; Gordon 2001). Bahang dan massa air yang bersalinitas rendah yang dibawa oleh Arus Lintas Indonesia (Arlindo) berdampak terhadap perimbangan parameter bahang dan salinitas di kedua samudera. Letak geografis perairan Selat Makasar yang memanjang dari arah utara selatan, dan sepanjang tahun secara umum transpor massa air permukaan tidak mengalami perubahan arah, yaitu dari utara ke selatan kecuali pada bagian selatan yakni pada daerah pertemuan antara massa air Laut Jawa, Laut Flores dan perairan Selat Makasar bagian Selantan. Pada bagian ini tampak nyata perubahan transpor massa air permukaan yang sesuai dengan angin muson. Selama Muson Timur massa air dari Laut Flores bertemu dengan air yang keluar dari Selat Makasar dan mengalir bersama ke Laut Jawa. Dalam kondisi ini banyak massa air pada lapisan permukaan akan terangkut dan bergerak ke barat, berakibat muncul ruang kosong di permukaan yang memungkinkan massa air lapisan bawah naik untuk mengisinya. Namun demikian karena kecepatan menegak air relatif kecil (5 x 10-4 cm/detik), maka disimpulkan bahwa peristiwa penaikan massa air di daerah ini tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap pola air (Illahude 1970). Transpor maksimum pada berbagai lokasi seperti Selat Makasar, Selat Lombok, Selat Ombai, Laut Sawu dan dari Laut Banda ke Samudera India terjadi pada saat bertiupnya angin muson tenggara antara Juli September dan minimum saat muson barat laut antara Nopember Februari (Meyers et al. 1995; Gordon and McClean 1999; Molcard et al. 1996; Hautala et al. 2001). Pada Muson Barat massa air dari Laut Jawa bertemu dengan massa air yang keluar dari Selat Makasar dan mengalir bersama ke arah Laut Flores. Puncak transpor maksimum Arlindo di gerbang masuk dan keluar diperkirakan terjadi pada waktu yang berbeda sehingga diduga terjadi penyimpanan massa air di perairan Indonesia (Ffield and Gordon 1992). Di

5 9 samping itu jalur lintasan Arlindo mempunyai konfigurasi geografi yang kompleks dengan kombinasi dasar perairan yang dangkal dan dalam serta kuatnya arus pasang surut pada berbagai kanal sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan karakter massa air akibat percampuran. Fenomena Iklim seperti ENSO yang terjadi di barat Pasifik juga memegang peranan penting dalam variabilitas Arlindo. Selama fase El Niño transpor Arlindo mengalami pelemahan, bahang dan massa air dengan salinitas yang rendah jauh lebih sedikit ditransfer ke Samudera Hindia (Gordon 2001). Observasi menunjukkan bahwa komposisi massa air Arlindo berasal dari massa air termoklin Pasifik Utara, meski pada kedalaman yang lebih dalam (massa airnya lebih dingin dari 6 C) massa airnya secara langsung berasal dari Pasifik Selatan (Gordon and Susanto 2003). Sementara itu di Samudera Hindia berasosiasi dengan sistem muson dan fenomena Dipole Mode (Saji et al. 1999). Susanto et al menyebutkan bahwa dari data paras laut dan mooring memperlihatkan variabilitas intraseasonal (30 60 hari) yang kemungkinan merupakan respon gelombang Kelvin dari Samudera Hindia yang masuk ke Perairan Selat Makassar melalui Selat Lombok dan Gelombang Rossby dari Samudera Pasifik. Mereka juga mengungkapkan bahwa karakteristik intraseasonal ditandai dengan periode hari yang berhubungan dengan Gelombang Rossby dari Samudera Pasifik yang merambat melalui Laut Sulawesi. Berikutnya periode hari yang merupakan karakter Gelombang Kelvin terlihat di Bali (Selat Lombok). Meskipun demikian karakter tersebut tidak terlihat di Tarakan, hal ini menandakan bahwa gelombang-gelombang tersebut mengalami pelemahan setelah melewati Selat Makasar. Aliran transpor Arlindo yang diduga oleh Susanto and Gordon (2005) dengan menggunakan model profil sederhana memperkirakan transpor lapisan permukaan adalah 9,3 Sv. Mode normal berdasarkan pengujian Wajsowicza et al. (2003) untuk tahun 1997 adalah 6,4 Sv dengan batas permukaan dan yang paling rendah 1,6 Sv dan 4,7 Sv. Hal ini disebabkan karena pendekatan yang digunakan oleh keduanya berbeda. Gordon and Susanto (2003) melakukanya dengan menggunakan tiga pendekatan profil (Profil A, B dan C) secara vertikal yang berbeda-beda untuk setiap musim.

6 10 Analisis momentum dan keseimbangan energi menunjukkan bahwa transpor total Arus Lintas Indonesia tidak tergantung secara eksklusif terhadap perbedaan tekanan inter-ocean yaitu beda tekanan muka laut antara Pasifik dan Hindia tetapi lebih oleh faktor-faktor lain termasuk angin lokal (muson), gesekan dasar dan resultan dari gaya-gaya tekanan yang bekerja pada sisi internal seperti geometri perairan yang menimbulkan aksi pasang surut yang membawa pengaruh yang signifikan terhadap variabilitas dan karakteristik arah arus (Burnett et al. 2003). Susanto and Gordon (2005) mengungkapkan bahwa aliran Arlindo ke utara di bawah lapisan 300 meter pada September 1997 pertengahan Februari 1998 terjadi selama puncak El Niño 1997/1998, hal ini diduga pengaruh Gelombang Kelvin dari Samudera Hindia. Massa air Arlindo yang ke utara juga terjadi di Mei 1997 (Sprintall et al. 2000). Transpor massa air Arlindo yang melalui Selat Makasar hasil pengamatan dari Januari Nopember 2006 The International Nusantara Stratification and Transport (INSTANT) program adalah 11.6 ± 3.3 Sv (Sv = 10 6 m 3 /s). Massa air transpor ini lebih besar 27 % dari data yang diamati periode El Niño yang kuat selama tahun Nilai maksimum massa air transpor terjadi saat akhir musim barat dan musim timur, dengan minimum massa air transport terjadi pada bulan Oktober Desember (Gordon et al. 2010). Massa air transpor dari Samudera Pasifik yang melewati Selat Makasar pada kedalaman sill 680 meter merupakan 80 % total massa air transpor Arlindo (Gordon 2001). Lapisan termoklin maksimun (v-maks) terjadi pada musim timur (Juli-September) dan musim barat (Januari- Maret) dengan kedalaman antara meter. Rasio rata-rata kecepatan dari MAK - timur ke MAK-barat adalah 0,95 (lapisan permukaan ), 0,84 (pertengahan - termoklin ) dan 0,76 (lebih rendah termoklin). Kecepatan maksimum termoklin dan intensifikasi aliran barat Labani konsisten dengan data Arlindo (Gordon and McClean 1999; Susanto and Gordon 2005). Pada Gambar 3 sebelah kiri terlihat kedalaman termoklin meter profil kecepatan bervariasi terhadap musim: V-max yang lebih besar terjadi selama bulan Juli /Agustus /September (JAS, musim timur), relatif terhadap bulan Januari /Februari /Maret (JFM, musim barat). Profil JAS dan JFM membalikkan posisi relatif pada kedalaman di bawah 220 db, menunjukkan aliran massa air

7 11 lebih dalam di Selat Makasar pada saat musim barat. Pada Gambar 3 sebelah kanan terlihat V-max lebih dalam selama musim barat laut, Februari -Maret 2004, Maret-April 2005 dan Februari-April 2006; dengan V- max lebih yang dangkal selama musim tenggara, Juli- September 2004, 2005 dan Termoklin V-max memperlihatkan fluktuasi semi-tahunan, dengan nilai tertinggi pada tahap lainnya yang dipengaruhi oleh musim: Februari-April 2004, Juli-September 2004, Maret- April 2005, Agustus- September 2005, Februari -Maret 2006, Juni-September Kecepatan ke arah selatan yang kuat di tahun 2006 terlihat menonjol sebagai sebuah anomali. Adanya massa air ke utara yang diduga merupakan pengaruh gelombang Kelvin pada bulan Mei 2004 dan 2005 sedangkan pada bulan Mei 2006 tidak terlihat. Suhu adalah suatu besaran fisika yang menyatakan banyaknya aliran bahang yang terkandung dalam suatu benda. Suhu air laut terutama di lapisan permukaan sangat tergantung pada jumlah bahang yang diterima dari sinar matahari. Daerahdaerah yang paling banyak menerima bahang sinar matahari adalah daerah-daerah yang terletak pada lintang rendah, dan akan semakin berkurang bila letaknya semakin mendekati kutub. Gambar 3. Profil musiman (kiri) dan kecepatan massa transpor. Nilai kecepatan rata-rata mewakili MAK-barat dan MAK-timur. Koordinat vertikal diberikan dalam decibar (dbar), mendekati meter (m). tanda menunjukkan arah aliran ke selatan dan tanda + menunjukkan arah sebaliknya (Gordon et al. 2010).

8 12 Lapisan air dipermukaan laut tropis pada umumnya hangat dan variasi hariannya tinggi. Perairan Indonesia mempunyai kisaran suhu sekitar C pada lapisan permukaan. Pada daerah tertentu, tempat yang sering terjadi upwelling, keadaan suhu dapat menjadi lebih rendah sekitar 25 0 C yang disebabkan massa air dingin terangkat ke atas (Wyrtki 1961). Suhu permukaan perairan Selat Makasar dipengaruhi oleh keadaan cuaca antara lain curah hujan, penguapan, kelembaban udara, kecepatan angin dan penyinaran matahari. Proses penyinaran dan pemanasan matahari pada musim barat lebih banyak berada di belahan bumi selatan, sehingga suhu berkisar antara C dan di bagian utara khatulistiwa suhu berkisar antara C. Pada musim timur, suhu perairan Indonesia bagian utara akan naik menjadi C dan suhu permukaan di perairan sebelah selatan akan turun menjadi C (Wyrtki 1961). Sebaran suhu vertikal di laut secara umum dapat dibedakan menjadi tiga lapisan yaitu; lapisan homogen(homogeneous layer) di bagian paling atas, lapisan termoklin(discontinuity layer) di tengah, dan lapisan dingin(deep layer) di lapisan dalam. Pada lapisan permukaan terjadi pencampuran massa air yang diakibatkan oleh adanya angin, arus, dan pasang surut sehingga merupakan lapisan homogen. Lapisan termoklin merupakan lapisan yang mengalami perubahan suhu yang relatif cepat, antara massa air hangat dengan massa air yang lebih dingin di bawahnya. Umumnya diikuti dengan penurunan oksigen terlarut dan penaikan yang cepat dari kadar zat hara (Wrytki 1961). Selama musim barat lapisan homogen dapat mencapai kedalaman 100 meter dari permukaan perairan dengan suhu antara C dan salinitas perairan berkisar 32,5-33,5. Di bawah lapisan homogen, terdapat lapisan termoklin dengan kedalaman meter dan suhu berkisar C serta salinitas antara 34,0-34,5. Selanjutnya lapisan dalam, dari kedalaman sekitar 300 meter sampai dasar perairan dengan suhu antara C dan salinitas antara 34,0-34,5. Pada musim timur, lapisan homogen dapat mencapai lapisan yang tipis, yakni sekitar 50 meter dari permukaan perairan. Suhu dilapisan ini berkisar C dan salinitas 34,0-34,5. Lapisan termoklin yang terbentuk saat musim timur terjadi pada kedalaman meter dengan suhu antara C dan salinitas 34,5-36,0. Kemudian lapisan dalam yang terbentuk dari kedalaman 400 meter

9 13 sampai ke dasar perairan dengan suhu antara C dan salinitas antara 34,0-34,5 ( Illahude 1970). Suhu rerata pada kedalaman 150 meter sebesar 20 0 C dan semakin menurun suhunya dengan interval 5 0 C setiap penurunan kedalamaman 100 meter. Lapisan isotherm 15 0 C meningkat 35 db selama El Niño bulan Desember 1997 dan kembali turun 35 db ketika La Niña bulan Juli Gambar 4 menunjukkan data XBT selama 15 tahun adanya korelasi yang sangat tinggi antara suhu pada lapisan termoklin, transpor Arlindo di Selat Makasar dengan karakteristik ENSO yang dapat dilihat dari perubahan Indeks Osilasi Selatan sebesar Korelasi menurun pada kedalaman rata-rata meter sebesar Volume transpor di Selat Makasar melemah selama fase El Niño berkorelasi 0.67 dengan melemahnya suhu. Transpor energi internal di Selat Makasar sebesar 0.63 PW selama La Niña bulan Desember Februari 1997, dan 0.39 selama El Niño bulan Desember 1997 Februari 1998 (Ffield et al. 2000). Gambar 4. Hubungan antara suhu dan SOI dari data XBT 100 m (Ffield et al. 2000) Pola Angin di Perairan Selat Makasar Perairan Indonesia, merupakan penghubung antara dua sistem Samudera yaitu Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, maka sifat dan kondisinya banyak dipengaruhi oleh kedua Samudera tersebut, khususnya Samudera Pasifik. Pengaruh ini terlihat antara lain pada sebaran massa air, arus, pasang surut dan kesuburan perairan. Keadaan yang demikian menyebabkan perairan Indonesia sangat dipengaruhi oleh iklim muson (musim), sehingga memberikan sifat yang

10 14 khas bagi perairan Indonesia. Keadaan iklim muson di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga musim yakni Musim Timur (Juni - Agustus), Musim Barat (Desember - Maret), dan Musim Peralihan (April - Mei dan September - Nopember). Keadaan ini mempengaruhi sifat dan kondisi perairan-perairan Indonesia, misalnya perairan Selat Makasar, Laut Banda, Laut Flores dan Laut Sulawesi (Wyrtki 1961). Selat Makasar merupakan perairan yang terletak di antara Pulau Kalimatan dan Pulau Sulawesi. Selat ini berbatasan dengan Laut Sulawesi di sebelah Utara dan dengan Laut Jawa serta Laut Flores di sebelah Selatan. Kondisi oseanografis Selat Makasar ini selain dipengaruhi oleh massa air dalam selat, juga dipengaruhi oleh dinamika oseanografi di luar selat dan keadaan iklim. Perairan pantai Kalimatan dan perairan sepanjang pantai Sulawesi yang mengapit Selat Makasar juga berperan terhadap dinamika massa air dalam selat tersebut (Illahude 1970). Angin utama yang berhembus di perairan Selat Makasar adalah angin muson. Angin ini dalam setahun mengalami pembalikan arah dua kali. Perubahan arah dan pergerakan angin muson ini berhubungan erat dengan terjadinya perbedaan tekanan udara di atas Benua Asia dan Australia. Pada bulan Desember- Februari umumnya angin bertiup dari Benua Asia ke Benua Australia sehingga di atas perairan Selat Makasar angin bertiup dari arah utara ke arah selatan selat atau angin Muson Barat dan pada bulan Juni-Agustus angin bertiup dari Benua Australia ke Benua Asia yang mengakibatkan arah angin di atas perairan Selat Makasar bertiup dari arah tenggara ke arah utara atau angin Muson Timur (Wyrtki 1961). Pergantian angin muson dari Muson Barat ke Muson Timur menimbulkan berbagai macam pengaruh terhadap sifat perairan Selat Makasar. Selama angin Muson Barat berhembus, curah hujan akan meningkat yang berakibat menurunnya nilai salinitas perairan. Sebaliknya pada Muson Timur, terjadi peningkatan salinitas akibat penguapan yang besar, ditambah dengan masuknya massa air yang bersalinitas tinggi dari Samudera Pasifik melalui Laut Sulawesi dan masuk ke perairan Selat Makasar (Wyrtki 1961).

11 Transformasi Wavelet Konsep Transformasi Wavelet telah dirumuskan sejak awal 1980-an oleh beberapa ilmuwan seperti Morlet, Grosmann, Daubechies dan lain-lain. Sampai sekarang transformasi Fourier mungkin masih menjadi transformasi yang paling populer di area Pemrosesan Sinyal Digital (PSD). Transformasi Fourier memberitahukan informasi frekuensi dari sebuah sinyal, tapi tidak informasi waktu (tidak dapat diketahui dimana/kapan frekuensi itu terjadi). Karena itulah transformasi Fourier hanya cocok untuk sinyal stationer (sinyal yang informasi frekuensinya tidak berubah menurut waktu). Untuk menganalisis sinyal yang frekuensinya bervariasi di dalam waktu, diperlukan suatu transformasi yang dapat memberikan resolusi frekuensi dan waktu disaat yang bersamaan, biasa disebut Analisis Multi Resolusi (AMR). AMR dirancang untuk memberikan resolusi waktu yang baik dan resolusi frekuensi yang buruk pada frekuensi tinggi suatu sinyal, serta resolusi frekuensi yang baik dan resolusi waktu yang buruk pada frekuensi rendah suatu sinyal. Pendekatan ini sangat berguna untuk menganalisis sinyal dalam aplikasi-aplikasi praktis yang memang memiliki lebih banyak frekuensi rendah. Wavelet adalah gelombang yang berukuran lebih kecil dan pendek bila dibandingkan dengan sinyal pada sinusoid pada umumnya, di mana energinya terkonsentrasi pada selang waktu tertentu yang digunakan sebagai alat untuk menganalisa sinyal-sinyal non-stasioner (Anant and Dowla 1997). Salah satu metoda yang baik untuk menganalisis gelombang sinyal yang terlokalisir adalah wavelet transformation. Transformasi wavelet adalah suatu AMR yang dapat merepresentasikan informasi waktu dan frekuensi suatu sinyal dengan baik. Transformasi wavelet menggunakan sebuah jendela modulasi yang fleksibel, ini yang paling membedakannya dengan Short Time Fourier Transformation (STFT), yang merupakan pengembangan dari transformasi Fourier. STFT menggunakan jendela modulasi yang besarnya tetap, ini menyebabkan dilema karena jendela yang sempit akan memberikan resolusi frekuensi yang buruk dan sebaliknya jendela yang lebar akan menyebabkan resolusi waktu yang buruk.

12 16 Metode transformasi wavelet ini dapat digunakan untuk menapis data atau meningkatkan mutu kualitas data; dapat juga digunakan untuk mendeteksi fenomena varian waktu serta dapat digunakan untuk pemampatan data (Foster et al. 1994). Transformasi Wavelet dapat digunakan untuk menunjukkan kelakukan sementara (temporal) pada suatu sinyal, misalnya dalam bidang geofisika (sinyal seismik), fluida, medik dan lain sebagainya. Karena kemampuannya melihat data dari berbagai sisi, wavelet mampu menyederhanakan dan mengurangi noise tanpa memperlihatkan penurunan mutu. Pada transformasi wavelet digunakan istilah translasi dan skala, karena istilah waktu dan frekuensi sudah digunakan oleh transformasi Fourier. Translasi adalah lokasi jendela modulasi saat digeser sepanjang sinyal, berhubungan dengan informasi waktu. Skala berhubungan dengan frekuensi, skala tinggi (frekuensi rendah) berhubungan dengan informasi global dari sebuah sinyal, sedangkan skala rendah (frekuensi tinggi) berhubungan dengan informasi detail. Pada dasarnya, transformasi wavelet dapat dibedakan menjadi dua tipe berdasarkan nilai parameter translasi dan skala, yaitu transformasi wavelet kontinu (continue wavelet transform, CWT), dan diskrit (discrete wavelet transform, DWT). Prinsip kerja CWT dengan menghitung sebuah sinyal dengan sebuah jendela modulasi pada setiap waktu dengan setiap skala yang diinginkan. Jendela modulasi yang mempunyai skala fleksibel inilah yang biasa disebut induk wavelet atau fungsi dasar wavelet. CWT menganalisa sinyal dengan perubahan skala pada window yang dianalisis, pergeseran window dalam waktu dan perkalian sinyal serta mengintegral semuanya sepanjang waktu (Polikar 1996). CWT secara matematika dapat didefinisikan sebagai berikut: * s, (t)dt... (1) dimana γ(s,τ) adalah fungsi sinyal setelah transformasi, dengan variabel s (skala) dan τ (translasi) sebagai dimensi baru. f(t) sinyal asli sebelum transformasi. Fungsi dasar * s, (t) di sebut sebagai wavelet, dengan * menunjukkan konjugasi kompleks. Inversi dari CWT dapat didefinisikan sebagai berikut: s, (t)d.... (2)

13 17 Fungsi dasar wavelet s,τ(t) dapat didesain sesuai kebutuhan untuk mendapatkan hasil transformasi yang terbaik, ini perbedaan mendasar dengan transformasi fourier yang hanya menggunakan fungsi sinus sebagai jendela modulasi. Fungsi dasar wavelet secara matematika dapat didefinisikan sebagi berikut: s, (t) = (...(3) faktor digunakan untuk normalisasi energi pada skala yang berubah-ubah. Mexican Hat, yang merupakan normalisasi dari derivatif kedua fungsi Gaussian adalah salah satu contoh fungsi dasar CWT; s, (t) = (1-...(4) Contoh lain adalah fungsi dasar Morlet, yang merupakan fungsi bilangan kompleks: ( -... (5) dengan dan (1 + -1/2 Dibandingkan dengan CWT, DWT dianggap relatif lebih mudah pengimplementasiannya. Prinsip dasar dari DWT adalah bagaimana cara mendapatkan representasi waktu dan skala dari sebuah sinyal menggunakan teknik penapisan digital dan operasi sub-sampling. Sinyal pertama-tama dilewatkan pada rangkain filter high-pass dan low-pass, kemudian setengah dari masing-masing keluaran diambil sebagai sample melalui operasi sub-sampling. Proses ini disebut sebagai proses dekomposisi satu tingkat. Keluaran dari filter low-pass digunakan sebagai masukkan di proses dekomposisi tingkat berikutnya. Proses ini diulang sampai tingkat proses dekomposisi yang diinginkan. Gabungan dari keluaran-keluaran filter high-pass dan satu keluaran filter low-pass yang terakhir, disebut sebagai koefisien wavelet, yang berisi informasi sinyal hasil transformasi yang telah terkompresi. Pasangan filter high-pass dan low-pass yang

14 18 digunakan harus merupakan Quadrature Mirror Filter (QMF), yaitu pasangan filter yang memenuhi Persamaan (6): n. g[....(6) dengan h[n] adalah filter high-pass, g[n] adalah filter low-pass dan L adalah panjang masing-masing filter. 2.5 Penginderaan Jarak Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan alat tanpa adanya kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand and Kiefer 1987). Data suhu permukaan laut (SPL) dapat diperoleh dengan dua cara yang sangat berbeda, yang pertama menggunakan metode pengukuran konvensional yang secara langsung menggunakan alat-alat pengukur temperatur di permukaan laut; yang kedua menggunakan metode estimasi dengan memanfaatkan wahana satelit penginderaan jauh. Ada banyak faktor yang mempengaruhi estimasi SPL dengan menggunakan data satelit penginderaan jauh. Agar diperoleh data yang mempunyai perbedaan terkecil dengan data in situ, maka pada saat proses pengolahan data penginderaan jauh harus memperhitungkan berbagai faktor koreksi radiometris. Brown et al. (1985) menyatakan bahwa perkiraan SPL yang menggunakan data satelit dipengaruhi oleh faktor sensor dan proses kalibrasi, algoritma koreksi atmosfer, prosedur dan pengolahan data serta interaksi permukaan laut dengan lapisan atmosfer di atas permukaan laut yang diamati. Gambaran tentang faktor-faktor yang berpengaruh pada proses ekstraksi data SPL dengan menggunakan data satelit meliputi proses-proses fisik pada lapisan atmosfer, pengolahan data digital, proses kalibrasi dan konversi serta faktor koreksi atmosfer (Callison et al. 1989). Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) bermula dari diluncurkannya satelit EOS-AM dan EOS-PM sebagai bagian dari NASA Earth Observing System (EOS). Satelit yang pertama kali membawa MODIS yaitu AM- 1 atau disebut juga dengan Terra. Terra sukses diluncurkan pada tanggal 18

15 19 Desember Peluncuran MODIS kedua disebut dengan FM1 (Flight Model 1) yang dibawa oleh pesawat luar angkasa Aqua (EOS PM-1) dan sukses pula diluncurkan pada tanggal 4 Mei Dengan menggunakan MODIS kita dapat mengetahui lebih awal informasi tentang permukaan bumi, atmosfer dan fenomena laut secara luas dan dapat digunakan oleh berbagai komunitas di seluruh dunia. MODIS dilengkapi oleh high radiometric sensitivity (12 bit) dalam 36 band spektral yang mempunyai panjang gelombang antara 0,4 µm sampai 14,4 µm. Spektrum yang dimiliki oleh MODIS sama dengan yang ada pada AVHRR dan SeaWiFS, bahkan lebih banyak. Resolusi spasial pada kanal 1 dan 2 enam belas kali lebih baik daripada AVHRR atau SeaWiFS dan pada kanal 3 sampai 7 empat kali lebih tinggi. Kanal yang lain mempunyai resolusi spasial yang sama dengan AVHRR atau SeaWiFS. MODIS berada pada ketinggian 705 km dengan orbit polar sun-synchronous, descending node (Terra) pada 10;30 a.m. atau 1;30 p.m. pada ascending node (Aqua) dan mengelilingi bumi setiap satu sampai dua hari. Spesifikasi teknis pada MODIS dapat dilihat pada Tabel 1, sedangkan karakteristik dari masing-masing band pada satelit MODIS dapat dilihat pada Tabel 2. Orbit Jenis Scan Rate Swath Dimensions Telescope Size Weight Power Data Rate Quantization Tabel 1. Spesifikasi teknis MODIS (Conboy 2004) Spesifikasi 705 km, 10;30 a.m. descending node (Terra) or 1;30 p.m. ascending node (Aqua), sun-synchronous, near-polar, circular 20.3 rpm, cross track 2330 km (cross track) by 10 km (along track at nadir) cm. Off-axis, afocal (collimated), with intermediate field stop 1.0 x 1.6 x 1.0 m kg W (single orbit average) Spatial Resolutions 250 m (bands 1-2) 500 m (bands 3-7) 1000 m (bands 8-36) 10.6 Mbps (peak daytime); 6.1 Mbps (orbital average) 12 bits Design Life 6 years

16 20 Tabel 2. Karakteristik kanal spektral pada MODIS (Conboy 2004) Primary use Band Bandwitdh(nm) Spasial resolution(m) Land/Cloud/Aerosols Boundaries Land / Cloud / Aerosols Properties Ocean Color/Phytoplankton/Biogeochemistry Atmospheric Water Vapor Surface/Cloud Temperature Atmospheric Temperature Cirrus Clouds Water Vapor Cloud Properties Ozone Surface/Cloud Temperature Cloud Top Altitude

17 21 Aplikasi penginderaan jauh dibidang kelautan sangat luas diantaranya berupa indentifikasi pola perairan, meteorologi kelautan, pendugaan potensi sumberdaya perikanan, suhu permukaan laut, produktivitas perairan, mendeteksi tumpahan minyak, peta jalur pelayaran dan navigasi (CCRS 2005).

TINJAUAN PUSTAKA Arus Lintas Indonesia ( Indonesian Seas Throughflow

TINJAUAN PUSTAKA Arus Lintas Indonesia ( Indonesian Seas Throughflow TINJAUAN PUSTAKA Arus Lintas Indonesia (Indonesian Seas Throughflow) Broecker (1997) dan Gordon (1987) menyebutkan bahwa tiga samudera di permukaan bumi memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya. Keterkaitan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan iklim global sekitar 3 4 juta tahun yang lalu telah mempengaruhi evolusi hominidis melalui pengeringan di Afrika dan mungkin pertanda zaman es pleistosin kira-kira

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

VARIABILITAS MASSA AIR PERMUKAAN DARI DATA SATELIT DI PERAIRAN SELAT MAKASAR SRI SURYO SUKORAHARJO

VARIABILITAS MASSA AIR PERMUKAAN DARI DATA SATELIT DI PERAIRAN SELAT MAKASAR SRI SURYO SUKORAHARJO xv VARIABILITAS MASSA AIR PERMUKAAN DARI DATA SATELIT DI PERAIRAN SELAT MAKASAR SRI SURYO SUKORAHARJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 xvi PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Indonesia merupakan area yang mendapatkan pengaruh Angin Muson dari tenggara pada saat musim dingin di wilayah Australia, dan dari barat laut pada saat musim

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1 Pada bulan Desember 1996 Februari 1997 yang merupakan puncak musim barat

Lebih terperinci

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin Umum Perairan Indonesia memiliki keadaan alam yang unik, yaitu topografinya yang beragam. Karena merupakan penghubung dua system samudera

Lebih terperinci

Lampiran 1. Karakteristik satelit MODIS.

Lampiran 1. Karakteristik satelit MODIS. LAMPIRAN Lampiran 1. Karakteristik satelit MODIS. Pada tanggal 18 Desember 1999, NASA (National Aeronautica and Space Administration) meluncurkan Earth Observing System (EOS) Terra satellite untuk mengamati,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Arus Eddy Penelitian mengenai arus eddy pertama kali dilakukan pada sekitar tahun 1930 oleh Iselin dengan mengidentifikasi eddy Gulf Stream dari data hidrografi, serta penelitian

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu Salah satu parameter yang mencirikan massa air di lautan ialah suhu. Suhu adalah suatu besaran fisika yang menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Kesuburan Perairan dan Oseanografi Fisika 4.1.1. Sebaran Ruang (Spasial) Suhu Permukaan Laut (SPL) Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) di perairan Selat Lombok dipengaruhi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise Peta sebaran SPL dan salinitas berdasarkan cruise track Indomix selengkapnya disajikan pada Gambar 6. 3A 2A

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi geografis lokasi penelitian Keadaan topografi perairan Selat Sunda secara umum merupakan perairan dangkal di bagian timur laut pada mulut selat, dan sangat dalam di mulut

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang terletak pada wilayah ekuatorial, dan memiliki gugus-gugus kepulauan yang dikelilingi oleh perairan yang hangat. Letak lintang Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Samudera Hindia mempunyai sifat yang unik dan kompleks karena dinamika perairan ini sangat dipengaruhi oleh sistem angin musim dan sistem angin pasat yang

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Perairan Laut Banda 2.1.1 Kondisi Fisik Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara 26 29 O C (Syah, 2009). Sifat oseanografis perairan Indonesia bagian

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. Kondisi Umum Perairan Selatan Jawa Perairan Selatan Jawa merupakan perairan Indonesia yang terletak di selatan Pulau Jawa yang berhubungan secara langsung dengan Samudera Hindia.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sebaran Angin Di perairan barat Sumatera, khususnya pada daerah sekitar 2, o LS hampir sepanjang tahun kecepatan angin bulanan rata-rata terlihat lemah dan berada pada kisaran,76 4,1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah lautan yang lebih luas dibandingkan luasan daratannya. Luas wilayah laut mencapai 2/3 dari luas wilayah daratan. Laut merupakan medium yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi Suhu Permukaan Laut (SPL) model SODA versi 2.1.6 diambil dari lapisan permukaan (Z=1) dengan kedalaman 0,5 meter (Lampiran 1). Begitu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Peta lokasi penelitian disajikan pada Lampiran A. Hasil pengolahan data arus polar current rose disajikan pada Lampiran B. Hasil pengolahan data komponen arus setelah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Konsentrasi klorofil-a suatu perairan sangat tergantung pada ketersediaan nutrien dan intensitas cahaya matahari. Bila nutrien dan intensitas cahaya matahari cukup tersedia,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara. Utara terdiri dari 7 Kabupaten/Kota, yaitu : Kabupaten Langkat, Kota Medan,

TINJAUAN PUSTAKA. Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara. Utara terdiri dari 7 Kabupaten/Kota, yaitu : Kabupaten Langkat, Kota Medan, 6 TINJAUAN PUSTAKA Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara Pantai Timur Sumatera Utara memiliki garis pantai sepanjang 545 km. Potensi lestari beberapa jenis ikan di Perairan Pantai Timur terdiri

Lebih terperinci

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar BAB II Tinjauan Pustaka II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar Matsumoto dan Yamagata (1996) dalam penelitiannya berdasarkan Ocean Circulation General Model (OGCM) menunjukkan adanya variabilitas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil dan Verifikasi Hasil simulasi model meliputi sirkulasi arus permukaan rata-rata bulanan dengan periode waktu dari tahun 1996, 1997, dan 1998. Sebelum dianalisis lebih

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu Permukaan Laut (SPL) Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu benda. Secara alamiah sumber utama bahang dalam air laut adalah matahari. Daerah yang

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 El Niño-Osilasi Selatan (ENSO-El Niño Southern Oscillation).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 El Niño-Osilasi Selatan (ENSO-El Niño Southern Oscillation). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 El Niño-Osilasi Selatan (ENSO-El Niño Southern Oscillation). Pada tahun 1997 terjadi pengaruh global dari kejadian ENSO yang menyebabkan anomali kondisi iklim yang berkepanjangan.

Lebih terperinci

Kampus Bukit Jimbaran, Badung, Bali 80361, Indonesia. Abstrak

Kampus Bukit Jimbaran, Badung, Bali 80361, Indonesia. Abstrak PENGARUH ENSO TERHADAP VARIABILITAS IKLIM DI SULAWESI DENGAN MENGGUNAKAN METODE TRANSFORMASI WAVELET Ni Luh Gede Desy Suryaningsih 1, I Ketut Sukarasa 1, Ida Bagus Alit Paramarta 1, I Gede Hendrawan 1

Lebih terperinci

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut Oleh : Martono, Halimurrahman, Rudy Komarudin, Syarief, Slamet Priyanto dan Dita Nugraha Interaksi laut-atmosfer mempunyai peranan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang rawan terjadi kekeringan setiap tahunnya. Bencana kekeringan semakin sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia dengan pola dan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 7 d) phase spectrum, dengan persamaan matematis: e) coherency, dengan persamaan matematis: f) gain spektrum, dengan persamaan matematis: IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Geografis dan Cuaca Kototabang

Lebih terperinci

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b a Program Studi Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Tanjungpura, b Program Studi Ilmu

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sirkulasi Monsun di Indonesia Indonesia merupakan negara maritim yang memiliki karakteristik yang unik, yaitu terletak di antara benua Australia dan Asia dan dua samudera, yaitu

Lebih terperinci

ARLINDO (ARUS LINTAS INDONESIA): KORIDOR PENTING DALAM SISTEM SIRKULASI SAMUDRA RAYA

ARLINDO (ARUS LINTAS INDONESIA): KORIDOR PENTING DALAM SISTEM SIRKULASI SAMUDRA RAYA ARLINDO (ARUS LINTAS INDONESIA): KORIDOR PENTING DALAM SISTEM SIRKULASI SAMUDRA RAYA Salah satu topik penelitian osenografi yang banyak mendapat perhatian dalam beberapa dekade terakhir ini adalah Arlindo

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Keadaan Umum Perairan Selat Makassar. Secara geografis Selat Makassar berbatasan dan berhubungan dengan

2. TINJAUAN PUSTAKA Keadaan Umum Perairan Selat Makassar. Secara geografis Selat Makassar berbatasan dan berhubungan dengan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keadaan Umum Perairan Selat Makassar Secara geografis Selat Makassar berbatasan dan berhubungan dengan perairan Samudera Pasifik di bagian utara melalui Laut Sulawesi dan di bagian

Lebih terperinci

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA)

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA) PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA) Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA I. PENDAHULUAN Wilayah Indonesia berada pada posisi strategis, terletak di daerah

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP 1 KATA PENGANTAR Publikasi Prakiraan Awal Musim Hujan 2015/2016 di Propinsi Bali merupakan salah satu bentuk pelayanan jasa klimatologi yang dihasilkan oleh Stasiun Klimatologi Negara Bali. Prakiraan Awal

Lebih terperinci

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur http://lasiana.ntt.bmkg.go.id/publikasi/prakiraanmusim-ntt/ Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun

Lebih terperinci

VARIABILITAS DAN KARAKTERISTIK ARUS LINTAS INDONESIA HUBUNGANNYA DENGAN FLUKTUASI LAPISAN TERMOKLIN DI PERAIRAN SELAT MAKASSAR

VARIABILITAS DAN KARAKTERISTIK ARUS LINTAS INDONESIA HUBUNGANNYA DENGAN FLUKTUASI LAPISAN TERMOKLIN DI PERAIRAN SELAT MAKASSAR VARIABILITAS DAN KARAKTERISTIK ARUS LINTAS INDONESIA HUBUNGANNYA DENGAN FLUKTUASI LAPISAN TERMOKLIN DI PERAIRAN SELAT MAKASSAR HALIKUDDIN UMASANGAJI C 651020051 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Pola Iklim, Arus Pasang Surut, dan Gelombang di Selat Lombok

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Pola Iklim, Arus Pasang Surut, dan Gelombang di Selat Lombok BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pola Iklim, Arus Pasang Surut, dan Gelombang di Selat Lombok Pada sub bab ini dipaparkan mengenai keadaan di kawasan Selat Lombok yang menjadi daerah kajian dalam tugas akhir

Lebih terperinci

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM POLA DISTRIBSI SH DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan

Lebih terperinci

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS Irfan A. Silalahi 1, Ratna Suwendiyanti 2 dan Noir P. Poerba 3 1 Komunitas Instrumentasi dan Survey

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi Spasial Arus Eddy di Perairan Selatan Jawa-Bali Berdasarkan hasil visualisasi data arus geostropik (Lampiran 3) dan tinggi paras laut (Lampiran 4) dalam skala

Lebih terperinci

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221)

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu, Cahaya dan Warna Laut Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu Bersama dengan salinitas dan densitas, suhu merupakan sifat air laut yang penting dan mempengaruhi pergerakan masa air di laut

Lebih terperinci

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE)

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE) VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE) Oleh : HOLILUDIN C64104069 SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan 2.1.1 Definisi Menurut Brown dan Davis (1973) dalam Yonatan (2006) kebakaran hutan adalah suatu proses reaksi cepat dari oksigen dengan unsur-unsur lain ditandai

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ).

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ). KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pelapisan Massa Air di Perairan Raja Ampat Pelapisan massa air dapat dilihat melalui sebaran vertikal dari suhu, salinitas dan densitas di laut. Gambar 4 merupakan sebaran menegak

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 99 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Validasi Data Asimilasi GFDL 4.1.1 TRITON Stasiun pengamatan data TRITON yang digunakan untuk melakukan validasi data asimilasi GFDL sebanyak 13 stasiun dengan 12 TRITON berada

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial 5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial Hasil pengamatan terhadap citra SPL diperoleh bahwa secara umum SPL yang terendah terjadi pada bulan September 2007 dan tertinggi pada bulan Mei

Lebih terperinci

KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT)

KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT) KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT) Oleh: Ince Mochammad Arief Akbar C64102063 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

Kajian Elevasi Muka Air Laut di Perairan Indonesia Pada Kondisi El Nino dan La Nina

Kajian Elevasi Muka Air Laut di Perairan Indonesia Pada Kondisi El Nino dan La Nina Kajian Elevasi Muka Air Laut di Perairan Indonesia Pada Kondisi El Nino dan La Nina Niken Ayu Oktaviani 1), Muh. Ishak Jumarang 1), dan Andi Ihwan 1) 1)Program Studi Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Arlindo (Arus Lintas Indonesia) Arlindo adalah suatu sistem di perairan Indonesia di mana terjadi lintasan arus yang membawa membawa massa air hangat dari Samudra Pasifik menuju

Lebih terperinci

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA OLEH : ANDRIE WIJAYA, A.Md FENOMENA GLOBAL 1. ENSO (El Nino Southern Oscillation) Secara Ilmiah ENSO atau El Nino dapat di jelaskan

Lebih terperinci

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu Jurnal Gradien Vol. 11 No. 2 Juli 2015: 1128-1132 Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu Widya Novia Lestari, Lizalidiawati, Suwarsono,

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis wilayah Indonesia terletak di daerah tropis yang terbentang

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis wilayah Indonesia terletak di daerah tropis yang terbentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara geografis wilayah Indonesia terletak di daerah tropis yang terbentang antara 95 o BT 141 o BT dan 6 o LU 11 o LS (Bakosurtanal, 2007) dengan luas wilayah yang

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan METODE PENELITIAN Lokasi Penelitan Penelitian ini dilakukan pada perairan barat Sumatera dan selatan Jawa - Sumbawa yang merupakan bagian dari perairan timur laut Samudera Hindia. Batas perairan yang diamati

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

KARAKTER FISIK OSEANOGRAFI DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN SELATAN JAWA-SUMBAWA DARI DATA SATELIT MULTI SENSOR. Oleh : MUKTI DONO WILOPO C

KARAKTER FISIK OSEANOGRAFI DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN SELATAN JAWA-SUMBAWA DARI DATA SATELIT MULTI SENSOR. Oleh : MUKTI DONO WILOPO C KARAKTER FISIK OSEANOGRAFI DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN SELATAN JAWA-SUMBAWA DARI DATA SATELIT MULTI SENSOR Oleh : MUKTI DONO WILOPO C06400080 PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG KATA PENGANTAR Stasiun Klimatologi Semarang setiap tahun menerbitkan buku Prakiraan Musim Hujan dan Prakiraan Musim Kemarau daerah Propinsi Jawa Tengah. Buku Prakiraan Musim Hujan diterbitkan setiap bulan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Daerah Kajian Daerah yang akan dikaji dalam penelitian adalah perairan Jawa bagian selatan yang ditetapkan berada di antara 6,5º 12º LS dan 102º 114,5º BT, seperti dapat

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepulauan terbesar di dunia, dengan luas laut 5,8 juta km 2 atau 3/4 dari total

BAB I PENDAHULUAN. kepulauan terbesar di dunia, dengan luas laut 5,8 juta km 2 atau 3/4 dari total BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Letak geografis dan kandungan sumber daya kelautan yang dimiliki Indonesia memberikan pengakuan bahwa Indonesia merupakan negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia,

Lebih terperinci

PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG

PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG Pengaruh Fenomena La-Nina terhadap SPL Feny Arafah PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG 1) Feny Arafah 1) Dosen Prodi. Teknik Geodesi Fakultas Teknik Sipil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Arus Lintas Indonesia atau ITF (Indonesian Throughflow) yaitu suatu sistem arus di perairan Indonesia yang menghubungkan Samudra Pasifik dengan Samudra Hindia yang

Lebih terperinci

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai SUHU DAN SALINITAS. Oleh. Nama : NIM :

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai SUHU DAN SALINITAS. Oleh. Nama : NIM : Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. 2. 3. Nilai SUHU DAN SALINITAS Nama : NIM : Oleh JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA 2015 MODUL 3. SUHU DAN SALINITAS

Lebih terperinci

Gambar 1. Pola sirkulasi arus global. (www.namce8081.wordpress.com)

Gambar 1. Pola sirkulasi arus global. (www.namce8081.wordpress.com) Arus Geostropik Peristiwa air yang mulai bergerak akibat gradien tekanan, maka pada saat itu pula gaya coriolis mulai bekerja. Pada saat pembelokan mencapai 90 derajat, maka arah gerak partikel akan sejajar

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP PROPINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan YME atas berkat dan rahmat Nya kami dapat menyusun laporan dan laporan Prakiraan Musim Kemarau 2016 di wilayah Propinsi Banten

Lebih terperinci

6. TlNGGl PARAS LAUT

6. TlNGGl PARAS LAUT 6. TlNGGl PARAS LAUT 6.1 Fluktuasi Anomali Tinggi Paras Laut Fluktuasi anomali TPL di masing-masing wilayah disajikan pada Gambar 6.1.I. Pola fluktuasi TPL di wilayah UWI, UW2 dan AS1 berbeda dengan fluktuasi

Lebih terperinci

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA 2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA Pendahuluan LCSI terbentang dari ekuator hingga ujung Peninsula di Indo-Cina. Berdasarkan batimetri, kedalaman maksimum perairannya 200 m dan

Lebih terperinci

PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA

PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA Martono Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim LAPAN, Jl.dr.Djundjunan 133, Bandung, 40173 E-mail :

Lebih terperinci

ANALISIS SINYAL EL NIÑO SOUTHERN OSCILLATION (ENSO) DAN HUBUNGANNYA DENGAN VARIABILITAS ARUS LINTAS INDONESIA DI SELAT LIFAMATOLA TUGAS AKHIR

ANALISIS SINYAL EL NIÑO SOUTHERN OSCILLATION (ENSO) DAN HUBUNGANNYA DENGAN VARIABILITAS ARUS LINTAS INDONESIA DI SELAT LIFAMATOLA TUGAS AKHIR ANALISIS SINYAL EL NIÑO SOUTHERN OSCILLATION (ENSO) DAN HUBUNGANNYA DENGAN VARIABILITAS ARUS LINTAS INDONESIA DI SELAT LIFAMATOLA TUGAS AKHIR Disusun untuk memenuhi salah satu syarat kurikuler Program

Lebih terperinci

Oleh Tim Agroklimatologi PPKS

Oleh Tim Agroklimatologi PPKS Kondisi Indian Oscillation Dipole (IOD), El Nino Southern Oscillation (ENSO), Curah Hujan di Indonesia, dan Pendugaan Kondisi Iklim 2016 (Update Desember 2015) Oleh Tim Agroklimatologi PPKS Disarikan dari

Lebih terperinci

Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Penelitian Terdahulu

Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Penelitian Terdahulu Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Penelitian Terdahulu Penelitian berjudul Pemodelan dan Peramalan Angka Curah Hujan Bulanan Menggunakan Analisis Runtun Waktu (Kasus Pada Daerah Sekitar Bandara Ngurah Rai), menjelaskan

Lebih terperinci

Oseanografi Fisis. Massa Air dan Proses Percampuran

Oseanografi Fisis. Massa Air dan Proses Percampuran Oseanografi Fisis 4 Massa Air dan Proses Percampuran Karakteristik Massa Air Pemanasan Pendinginan Pembentukan Es Penguapan Pengenceran Permukaan Laut Massa Air Paling Berat dan Paling Dalam Terbentuk

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG B M K G BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

POSITRON, Vol. IV, No. 2 (2014), Hal ISSN :

POSITRON, Vol. IV, No. 2 (2014), Hal ISSN : Pengaruh Fenomena El Niño Southern Oscillation dan Dipole Mode Terhadap Curah Hujan di Muhammad Elifant Yuggotomo 1,), Andi Ihwan ) 1) Stasiun Klimatologi Siantan Pontianak ) Program Studi Fisika Fakultas

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Pontianak, 1 April 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI SIANTAN PONTIANAK. WANDAYANTOLIS, S.Si, M.Si NIP

KATA PENGANTAR. Pontianak, 1 April 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI SIANTAN PONTIANAK. WANDAYANTOLIS, S.Si, M.Si NIP KATA PENGANTAR Stasiun Klimatologi Siantan Pontianak pada tahun 2016 menerbitkan dua buku Prakiraan Musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau dan Prakiraan Musim Hujan. Pada buku Prakiraan Musim Kemarau 2016

Lebih terperinci

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 4, Tahun 2015, Halaman Online di :

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 4, Tahun 2015, Halaman Online di : JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 4, Tahun 2015, Halaman 661-669 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KLOROFIL-A KAITANNYA DENGAN EL NINO SOUTHERN

Lebih terperinci

PRISMA FISIKA, Vol. II, No. 1 (2014), Hal ISSN :

PRISMA FISIKA, Vol. II, No. 1 (2014), Hal ISSN : PRISMA FISIKA, Vol. II, No. (24), Hal. - 5 ISSN : 2337-824 Kajian Elevasi Muka Air Laut Di Selat Karimata Pada Tahun Kejadian El Nino Dan Dipole Mode Positif Pracellya Antomy ), Muh. Ishak Jumarang ),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perencanaan dan pengelolaan sumber daya air (Haile et al., 2009).

BAB I PENDAHULUAN. perencanaan dan pengelolaan sumber daya air (Haile et al., 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hujan merupakan salah satu sumber ketersedian air untuk kehidupan di permukaan Bumi (Shoji dan Kitaura, 2006) dan dapat dijadikan sebagai dasar dalam penilaian, perencanaan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Banjarbaru, Oktober 2012 Kepala Stasiun Klimatologi Banjarbaru. Ir. PURWANTO NIP Buletin Edisi Oktober 2012

KATA PENGANTAR. Banjarbaru, Oktober 2012 Kepala Stasiun Klimatologi Banjarbaru. Ir. PURWANTO NIP Buletin Edisi Oktober 2012 KATA PENGANTAR i Analisis Hujan Bulan Agustus 2012, Prakiraan Hujan Bulan November, Desember 2012, dan Januari 2013 Kalimantan Timur disusun berdasarkan hasil pantauan kondisi fisis atmosfer dan data yang

Lebih terperinci

SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT

SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT Martono Divisi Pemodelan Iklim, Pusat Penerapan Ilmu Atmosfir dan Iklim LAPAN-Bandung, Jl. DR. Junjunan 133 Bandung Abstract: The continuously

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP Buletin Prakiraan Musim Kemarau 2016 i KATA PENGANTAR Penyajian prakiraan musim kemarau 2016 di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung diterbitkan untuk memberikan informasi kepada masyarakat disamping publikasi

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG ANALISIS MUSIM KEMARAU 2013 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2013/2014

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG ANALISIS MUSIM KEMARAU 2013 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2013/2014 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Asia Tenggara dan sekitarnya memiliki variabilitas laut-atmosfer yang besar akibat dari fluktuasi parameter oseanografi yang berasal dari perairan Samudera Pasifik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) xviii BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) Evapotranspirasi adalah jumlah air total yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air, dan vegetasi oleh

Lebih terperinci

Fase Panas El berlangsung antara bulan dengan periode antara 2-7 tahun yang diselingi fase dingin yang disebut dengan La Nina

Fase Panas El berlangsung antara bulan dengan periode antara 2-7 tahun yang diselingi fase dingin yang disebut dengan La Nina ENSO (EL-NINO SOUTERN OSCILLATION) ENSO (El Nino Southern Oscillation) ENSO adalah peristiwa naiknya suhu di Samudra Pasifik yang menyebabkan perubahan pola angin dan curah hujan serta mempengaruhi perubahan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 Data Siklon Tropis Data kejadian siklon tropis pada penelitian ini termasuk depresi tropis, badai tropis dan siklon tropis. Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan ( 12070 ) Telp. (021) 7353018, Fax: (021) 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

Laporan Perjalanan Dinas Chief BRKP-DKP Bagus Hendrajana, Chief FIO Mr Jianjun Liu

Laporan Perjalanan Dinas Chief BRKP-DKP Bagus Hendrajana, Chief FIO Mr Jianjun Liu Laporan Perjalanan Dinas Chief BRKP-DKP Bagus Hendrajana, Chief FIO Mr Jianjun Liu I. PENDAHULUAN Hujan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh berbagai fenomena iklim yang berkaitan dengan daerah tropis.

Lebih terperinci

Analisis Variasi Cuaca di Daerah Jawa Barat dan Banten

Analisis Variasi Cuaca di Daerah Jawa Barat dan Banten Analisis Variasi Cuaca di Daerah Jawa Barat dan Banten Ankiq Taofiqurohman S Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Bandung 40600 ABSTRACT A research on climate variation

Lebih terperinci

Adaptasi Perikanan Tangkap terhadap Perubahan dan Variabilitas Iklim di Wilayah Pesisir Selatan Pulau Jawa Berbasis Kajian Resiko MODUL TRAINING

Adaptasi Perikanan Tangkap terhadap Perubahan dan Variabilitas Iklim di Wilayah Pesisir Selatan Pulau Jawa Berbasis Kajian Resiko MODUL TRAINING Adaptasi Perikanan Tangkap terhadap Perubahan dan Variabilitas Iklim di Wilayah Pesisir Selatan Pulau Jawa Berbasis Kajian Resiko MODUL TRAINING Pusat Perubahan Iklim ITB Pengertian Iklim dan Perubahan

Lebih terperinci

3. METODOLOGI. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga Desember 2010 yang

3. METODOLOGI. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga Desember 2010 yang 3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga Desember 2010 yang terdiri dari proses pembuatan proposal penelitian, pengambilan data citra satelit, pengambilan

Lebih terperinci