VARIABILITAS DAN KARAKTERISTIK ARUS LINTAS INDONESIA HUBUNGANNYA DENGAN FLUKTUASI LAPISAN TERMOKLIN DI PERAIRAN SELAT MAKASSAR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VARIABILITAS DAN KARAKTERISTIK ARUS LINTAS INDONESIA HUBUNGANNYA DENGAN FLUKTUASI LAPISAN TERMOKLIN DI PERAIRAN SELAT MAKASSAR"

Transkripsi

1 VARIABILITAS DAN KARAKTERISTIK ARUS LINTAS INDONESIA HUBUNGANNYA DENGAN FLUKTUASI LAPISAN TERMOKLIN DI PERAIRAN SELAT MAKASSAR HALIKUDDIN UMASANGAJI C SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Variabilitas dan Karakteristik Arus Lintas Indonesia Hubungannya dengan Fluktuasi Lapisan Termoklin di Perairan selat Makassar adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogo November 2006 Halikuddin Umasangaji NRP C

3 ABSTRAK HALIKUDDIN UMASANGAJI. Variabilitas dan Karakteristik Arus Lintas Indonesia Hubungannya dengan Fluktuasi Lapisan Termoklin di Perairan Selat Makassar. Dibimbing oleh MULIA PURBA dan JOHN I. PARIWONO. Broecker (1997) menyebutkan bahwa perairan Indonesia adalah satusatunya penghubung massa air dari Samudera Pasifik menuju Samudera India. Akibat terbentuknya gradien tekanan antara barat Pasifik dengan timur laut Samudera India massa air mengalir melalui perairan timur Indonesia yang kemudian dikenal dengan Arus Lintas Indonesia (Indonesian Throughflow) atau disingkat Arlindo. Sepanjang tahun aliran selalu mengarah ke selatan dan tenggara. Namun demikian, karena dinamika internal, regional dan global aliran ini mengalami beberapa fluktuasi harian, musiman, antar musiman maupun tahunan. Setiap tahun aliran ini mentransfer bahang dan garam dari Samudera Pasifik menuju Samudera India oleh karena itu Arlindo dianggap sebagai komponen kunci dalam sistem iklim global. Penelitian ini bertujuan untuk mengakaji dan menganalisa variabilitas dan Karakteristik Arlindo, Menghitung volume transpor melalui pengkuran arus maupun pendekatan geostropik serta mengkaji fluktuasi lapisan termoklin akibat dari menguat dan melemahnya aliran pada periode musim yang berbeda. Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data arus yang diperoleh dari Mooring Aanderaa pada 2 stasiun di Selat Makassar (dari BPPT Jakarta), Data CTD diakses melalui website LamontDoherty Earth Observatory (LDEO) Columbia University, USA dan data Southern Oscillation Index (SOI) dari tahun yang diperoleh dari ). Data dianalisa dengan menggunakan Time Series Analysis untuk melihat variabilitas pramusiman, musiman dan tahunan dengan menggunakan software Matlab versi 6.0 dan Statistica release 6 sedangkan untuk melihat kekuatan dan arah arus digunakan software Visual Basic versi 6.0. Data CTD diolah dengan menggunakan software Ocean Data View versi 5.7 untuk melihat sebaran melintang suhu sepanjang transek dimana dilakukan analisis termoklin. Data Southern Oscillation Index (SOI) selanjutnya digambarkan dalam grafik untuk melihat periode terjadinya fase ElNino dan LaNina. Hasil analisa terhadap karakteristik arus memperlihatkan kecepatan arus menguat pada musim timur dan melamah pada musim barat meskipun terdapat anomali sebagai akibat dari kejadian ElNino dan LaNina. Aliran arus konsisten mengarah ke tenggara dan selatan sepanjang tahun meski terjadi pembelokan ke utara yang diduga akibat dari propagasi Gelombang Kelvin dan gerakan kompensasi terhadap kontinyutas. Variabilitas Arus di Selat Makassar memiliki beberapa periode dominan yang merupakan signal periode pergantian musim, Gelombang Kelvin serta adanya signal tahunan yang merepresentasikan kekuatan musim. Transpor Arlindo juga mengalami pelemahan pada musim barat dan sebaliknya menguat pada musim timur sebagaiamana halnya dengan hasil perhitungan kecepatan arus. Hasil perhitungan geostropik memperlihatkan fluktuasi yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan arus hasil pengukuran. Selain itu juga kecepatan dan volume transpor geostropik tidak terlalu memperlihatkan karakter Arlindo yang sebenarnya. Lapisan termoklin berada lebih dangkal pada musim barat dan tertekan lebih dalam pada musim timur, namun demikian fluktuasi ini masih dipengaruhi kuat oleh kejadian ENSO dan LaNina.

4 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya

5 VARIABILITAS DAN KARAKTERISTIK ARUS LINTAS INDONESIA HUBUNGANNYA DENGAN FLUKTUASI LAPISAN TERMOKLIN DI PERAIRAN SELAT MAKASSAR OLEH HALIKUDDIN UMASANGAJI C Tesis Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Kelautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

6 Judul Tesis : Variabilitas dan Karakteristik Arus Lintas Indonesia Hubungannya dengan Fluktuasi Lapisan Termoklin di Perairan Selat Makassar Nama : Halikuddin Umasangaji NRP : C Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Mulia Purba, M.Sc Ketua Dr. Ir. John I. Pariwono Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.Sc Tanggal Ujian : 6 Juni 2006 Tanggal Lulus :

7 Al Quran surat Annur Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh gelombang, yang di atasnya gelombang (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindihbertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun. Al Quran Surat Ar Rahman Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu, antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui masingmasing. Maka ni'mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Happiness comes from being uncomfortable as often as possible so you are always learning and growing. Rich Hatch, 101 Survival Secrets (The Lyons Press), 1999 Yang sederhana ini kupersembahkan Untuk Papi dan Mami, Kakakkakak, Adikadik, IParipar serta Ponakanponakan tercinta.

8 PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, kekuatan dan semangat sehingga tugas akhir guna meraih gelar Magister Science di bidang Oseanografi Fisik ini dapat diselesaikan. Tesis dengan judul Variabilitas dan Karakteristik Arus Lintas Indonesia Hubungannya dengan Fluktuasi Lapisan Termoklin di Perairan Selat Makassar adalah bagian dari studi Pascasarjana pada Program Studi Ilmu Kelautan di Institut Pertanian Bogor. Dengan selesainya penulisan tesis ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih dan rasa hormat yang setinggitingginya kepada : 1. Bapak Dr. Ir. Mulia Purba, MSc selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. John I. Pariwono sebagai anggota yang telah meluangkan waktu serta dengan penuh kesabaran telah membimbing dan mengarahkan penulis semenjak pengumpulan data, pengolahan hingga penyelesaian penulisan tesis ini. Bapak Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc selaku penguji tamu atas saran dan koreksi serta kerja sama yang baik selama penulis menuntut ilmu di Pascasarjana IKL IPB. 2. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pusat Jakarta melalui UPT Baruna Jaya yang telah menyediakan datadata yang diperlukan, LDEO (Lamont Doherty Earth and Observatory) Columbia University di Amerika Serikat terutama Prof. Dr. Arnold Gordon dan Dr. Dwi Susanto atas kesediaan datadatanya, Dr. Hendrik van Akeen di NIOZ Belanda dan Prof. Matthias Tomczak di Flinders University atas support dan reference yang diberikan. 3. Orangorang yang terdekat dalam hidup ini : Papi dan Mami, Kakakkakak dan Adikadik atas iringan do a dan kesabaran yang telah diberikan hingga kini. 6. Rekanrekan selama studi (Ninith, Heron, Mukti, Ningsih (ITB), Pak Sakka, Wike, Mas Hoyyie) serta seluruh temanteman yang telah saling mendukung baik selama studi maupun dalam penulisan tesis ini. Menyadari tesis ini masih jauh dari kesempurnaan maka diharapkan saran dan kritik yang konstruktif demi kesempurnaan isi dari tesis ini kelak.

9 RIWAYAT HIDUP Penulis adalah putra ke enam dari sembilan bersaudara yang dilahirkan di Waitina Kab. Kepulauan Sula (Kepsul), Maluku Utara pada tanggal 3 Maret 1974 adalah buah perkawinan pasangan Purnawirawan H.Umar Umasangaji dan Sitti Zawiahtul Hakimah. Pendidikan tinggi diawali tahun 1992 pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Univ. Pattimura Ambon melalui Program PMDK (Penelusuran Minat Bakat dan Kemampuan). Gelar Sarjana Ilmu Kelautan diraihnya 4 tahun kemudian dan mulai bekerja pada Loka Budidaya Laut Ambon. Pada tahun 1998 bekerja sebagai tenaga lepas pada PT. ASDP (Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan) Cabang Ambon hingga pada tahun 2000 diangkat sebagai staf edukatif pada Univ. Khairun, Ternate. Pada tahun 2003 hingga kini bekerja sebagai staf edukatif di Universitas yang sama setelah diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil. Pada tahun 2002 melalui Beasiswa (BPPS Dikti) penulis berkesempatan mengikuti Pendidikan Pascasarjana (S2) pada Prog. Studi Ilmu Kelautan IPB dan memilih minat Oseanografi Fisik. Selama mengikuti pendidikan di IPB penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan pelatihan dan seminarseminar Kelautan baik sebagai peserta maupun pembicara antara lain seminar ISOI (Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia) yang diselenggarakan di Jakarta, Bandung dan Denpasar. Karya ilmiah yang telah diterbitkan oleh Jurnal Segara (BRKP DKP) Jakarta adalah Karakteristik Massa Air di Selat Lifamatola pada Musim Barat. Sebagai partisipan pada Program Pemantauan Arus Lintas Indonesia yang merupakan kerjasama 5 negara (Indonesia, Australia, USA, Perancis dan Belanda) melalui Ekspedisi INSTANT (International Nusantara Stratification and Transport) dari tahun 2003 sekarang. Pada tahun 2006 tergabung dalam Tim Ahli Revitalisasi Sumber Daya Pesisir dan Lautan di Provinsi Maluku Utara. Selain itu penulis juga aktif dalam kegiatan penyelaman (Diving) di bawah naungan Jakarta Underwater Scuba Society (JaUWS) yang bermarkas di Senayan, Jakarta.

10 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Kerangka Pemikiran... 3 Perumusan dan Pendekatan Masalah... 4 Tujuan dan Manfaat Penelitian... 5 Hipotesis... 7 TINJAUAN PUSTAKA... 8 Arus Lintas Indonesia (Indonesian Throughflow)... 8 Variabilitas Arus Lintas Indonesia Transpor Arlindo Fluktuasi Lapisan Termoklin di Selat Makassar Respon Arlindo terhadap ENSO METODE PENELITIAN Lokasi dan waktu Penelitian Metode Pengukuran Pengukuran Arus (Mooring ADCP) Pengukuran CTD Pengolahan dan Analisis Data Analisa Time Series (Time Series Analysis) Pembuatan Grafik Stickplot Arah dan Kecepatan Arus Perhitungan Volume Transpor Nyata Perhitungan Arus Geostropik Perhitungan Lapisan termoklin HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun Fluktuasi Arus dalam Ranah Frekuensi Arus di Selat Makassar Spektrum Densitas Energi Arus Transpor Massa Air yang Melintasi Selat Makassar Kecepatan Arus Geostropik dan Volume Transpor Fluktuasi Lapisan Termoklin akibat Transpor Arlindo KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

11 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Periode dan densitas energi dari fluktuasi arus yang dominan di Selat Makassar dari Desember 1996 Februari Tabel 2. Volume transpor massa air yang melintasi Selat Makassar Tabel 3. Lapisan termoklin pada Musim Timur di Selat Makassar (data bulan Agustus 1993) Tabel 4. Lapisan termoklin pada Musim Barat di Selat Makassar (data bulan Februari 1994) Tabel 5. Lapisan termoklin pada Musim Barat di Selat Makassar (data bulan November 1996) Tabel 6. Lapisan termoklin pada Musim Barat di Selat Makassar (data bulan Februari 1998)... 61

12 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Diagram alir kerangka pemikiran dan perumusan masalah...4 Gambar 2. Edaran raya massa air dunia (The great conveyor belt)...9 Gambar 3. Lintasan Arus Lintas Indonesia (Arlindo)...10 Gambar 4. Arah transpor Arlindo tiap lapisan kedalaman...15 Gambar 5. a. Peta lokasi CTD 1993, 1994, 1996, 1998 (analisis arus geostropik)...19 b. Peta lokasi Mooring ADCP...19 Gambar 6. Peta lokasi CTD (analisa lapisan termoklin)...20 Gambar 7. Sketsa mooring dan posisi lapisan kedalaman Andeera...23 Gambar 8. Grafik stickplot arah dan kecepatan arus pada Bulan Desember 1996 Februari 1997 di lapisan kedalaman 350 meter (stasiun 1)...29 Gambar 9. Grafik stickplot arah dan kecepatan arus pada Bulan Juni Agustus 1997 di lapisan kedalaman 350 meter (stasiun 1)...30 Gambar 10. Grafik stickplot arah dan kecepatan arus pada Bulan Desember 1997 Februari 1998 di lapisan kedalaman 350 meter (stasiun 1)...30 Gambar 11 Indeks Osilasi Selatan (Southern Oscillation Index) tahun Gambar 12 Grafik stickplot arah dan kecepatan arus di lapisan kedalaman 1500 meter Bulan Desember 1996 Februari 1997 yang menunjukkan arah arus mengalami penyimpangan (reversal) yang diduga karena gerakan kompensasi terhadap kontinuitas pada kanal yang sempit...32 Gambar 13 Grafik stickplot arah dan kecepatan arus di lapisan kedalaman 350 meter Bulan Mei dan Juni 1997 yang menunjukkan arah arus mengalami penyimpangan (reversal) yang diduga karena propagasi dari Gelombang Kelvin...33 Gambar 14 Grafik stickplot arah dan kecepatan arus di lapisan kedalaman 1500 meter Bulan Juni 1997 Agustus 1997 yang menunjukkan arah arus mengalami penyimpangan (reversal) yang diduga karena gerakan kompensasi terhadap kontinuitas pada kanal yang sempit...33 Gambar 15 Grafik stickplot arah dan kecepatan arus di lapisan kedalaman 1500 meter Bulan Desember 1997 Februari 1998 yang menunjukkan arah arus mengalami penyimpangan (reversal) yang diduga karena gerakan kompensasi terhadap kontinuitas pada kanal yang sempit...34

13 Gambar 16 Grafik stickplot arah dan kecepatan arus pada Bulan Desember 1996 Februari 1997 (Musim Barat, fase LaNina) di lapisan kedalaman 350 meter (stasiun 2)...35 Gambar 17 Grafik stickplot arah dan kecepatan arus pada Bulan Juni 1997 Agustus1997 (Musim Timur) di lapisan kedalaman 350 meter (stasiun 2)...36 Gambar 18 Grafik stickplot arah dan kecepatan arus pada Bulan Desember 1997 Februari 1998 (Musim Timur) di lapisan kedalaman 350 meter (stasiun 2)...36 Gambar 19 Grafik stickplot kecepatan dan arah arus pada bulan Mei dan Juni 1997 dimana terjadi penyimpangan (reversal) arah arus ke utara dan barat laut yang diduga karena propagasi Gelombang Kelvin...38 Gambar 20 Grafik stickplot arah dan kecepatan arus di lapisan kedalaman 1500 meter Bulan Desember 1996 Februari 1997 yang memperlihatkan arah arus mengalami penyimpangan (reversal) yang diduga karena gerakan kompensasi terhadap kontinuitas pada kanal yang sempit...38 Gambar 21 Grafik stickplot arah dan kecepatan arus di lapisan kedalaman 1500 meter Bulan Juni 1997 Agustus 1997 yang menunjukkan arah arus mengalami penyimpangan (reversal) yang diduga karena gerakan kompensasi terhadap kontinuitas pada kanal yang sempit...39 Gambar 22 Grafik stickplot arah dan kecepatan arus di lapisan kedalaman 1500 meter Bulan Desember 1997 Februari 1998 yang menunjukkan arah arus mengalami penyimpangan (reversal) yang diduga karena gerakan kompensasi terhadap kontinuitas pada kanal yang sempit...39 Gambar 23 Spektrum densitas energi arus pada lapisan kedalaman 205 m stasiun 1 yang telah ditapis 50 jam Gambar 24 Spektrum densitas energi arus pada lapisan kedalaman 255 m stasiun 1 yang telah ditapis 50 jam Gambar 25 Spektrum densitas energi arus pada lapisan kedalaman 355 m stasiun 1 yang telah ditapis 50 jam Gambar 26 Spektrum densitas energi arus pada lapisan kedalaman 200 m stasiun 2 yang telah ditapis 50 jam Gambar 27 Spektrum densitas energi arus pada lapisan kedalaman 250 m stasiun 2 yang telah ditapis 50 jam Gambar 28 Spektrum densitas energi arus pada lapisan kedalaman 350 m stasiun 2 yang telah ditapis 50 jam Gambar 29 Spektrum densitas energi arus pada lapisan kedalaman 1500 m stasiun 2 yang telah ditapis 50 jam

14 Gambar 30. Sebaran melintang sigmat dan anomali kedalaman dinamik transek 1 Agustus Gambar 31. Sebaran melintang sigmat dan anomali kedalaman dinamik transek 2 Agustus Gambar 32. Sebaran melintang sigmat dan anomali kedalaman dinamik transek 1 Februari Gambar 33. Sebaran melintang sigmat dan anomali kedalaman dinamik transek 2 Februari Gambar 35. Kecepatan arus geostropik transek 1 pada bulan Agustus Gambar 36. Kecepatan arus geostropik transek 2 pada bulan Agustus Gambar 37. Kecepatan arus geostropik transek 1 pada bulan Februari Gambar 38. Kecepatan arus geostropik transek 2 pada bulan Februari Gambar 39. Fluktuasi lapisan termoklin sepanjang Selat Makassar dari tahun Gambar 40. Grafik fluktuasi lapisan termoklin sepanjang Selat Makassar ( )....63

15 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Sketsa mooring Aanderaa di Selat Makassar Lampiran 2 CTD (Conductivity Temperature and Depth) dan Spesifikasinya Lampiran 3 Grafik stickplot kekuatan dan arah arus tiap lapisan kedalaman di stasiun 1 selat Makassar Lampiran 4 Grafik stickplot kekuatan dan arah arus tiap lapisan kedalaman di stasiun 2 selat Makassar Lampiran 5 Tabel periodesitas spektrum energi arus pada tiap lapisan Kedalaman pada stasiun Lampiran 6 Tabel periodesitas spektrum energi arus pada tiap lapisan Kedalaman pada stasiun Lampiran 7 Data Southern Oscillation Index (SOI).. 94

16 PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan iklim global sekitar 3 4 juta tahun yang lalu telah mempengaruhi evolusi hominidis melalui pengeringan di Afrika dan mungkin pertanda zaman es pleistosin kirakira 2,75 juta tahun yang lalu. Banyak penjelasan dari fenomena iklim ini melibatkan perubahan dalam sirkulasi dari Samudera Atlantik Utara oleh karena tutupan dari daratan yang sempit di Panama. Tertutupnya Arus Lintas Indonesia 3 4 juta tahun yang lalu yang mengakibatkan perubahan iklim ini, terutama kekeringan di Afrika (Cane dan Molnar 2001). Pernyataan ini memberikan gambaran bahwa betapa pentingnya Arus Lintas Indonesia (Arlindo) memainkan peranannya dalam fenomena iklim global. Arus Lintas Indonesia membawa massa air dengan temperatur dan salinitas yang memodifikasi budget bahang dan massa air dengan salinitas rendah serta fluks bahang udara laut dari Samudera Pasifik dan Samudera India serta dapat memainkan suatu peranan dalam ElNino/Southern Oscillation (ENSO) dan fenomena Iklim Muson Asia. Observasi menunjukkan bahwa komposisi massa air Arlindo berasal dari massa air termoklin Pasifik Utara, meski pada kedalaman yang lebih dalam (massa airnya lebih dingin dari 6 C) massa airnya secara langsung berasal dari Pasifik Selatan (Gordon et al. 2003). Alasan bahwa asal usul aliran berasal dari Pasifik Utara adalah berdasarkan pada pertimbangan nilai salinitas. Gordon (1986) memetakan salinitas ratarata dari massa air dengan kisaran suhu 10º 20ºC yang dilewati Arlindo. Nilai salinitas yang berada pada kisaran suhu tersebut memiliki gradien 0,05 psu sepanjang lintasan dari selatan Mindanao sampai Selat Makassar dan Laut Banda menuju Samudera India melalui Selat Lombok dan Laut Timor. Jadi massa air yang masuk dan muncul dalam lintasan Arlindo adalah massa air Air Ugahari Pasifik Utara, AUPU (North Pacific Intermediate Water). Gradien salinitas yang besar yaitu 0,5 psu terlihat antara perairan timur Indonesia dan pesisir Pantai Utara Papua New Guinea. Hal ini pada dasarnya memisahkan massa air AUPU dari massa air Air Ugahari Pasifik Selatan (ASPS) yang lebih asin.

17 2 Arlindo memiliki keragaman yang tinggi baik secara musiman maupun tahunan. Keragaman musiman berkaitan dengan adanya pergantian arah angin di Indonesia. Menurut Wyrtki (1987); Gordon dan Susanto (2003), laju transpor tertinggi ditemukan pada saat Muson Tenggara, yaitu selama bulan Juni sampai Agustus sedangkan aliran lintasan terendah pada saat muson barat laut yaitu pada bulan Desember sampai Februari. Selanjutnya Gordon dan Susanto (2003) juga menyebutkan keragaman tahunan Arlindo antara lain berkaitan dengan fenomena ENSO yang mempengaruhi iklim dunia secara global. Philander (1986) menyebutkan bahwa sebagai perairan yang berada di sekitar katulistiwa (equator), Selat Makassar memiliki variabilitas musiman Arlindo yang berhubungan dengan pengaruh skala besar. Oleh karena itu perairan ini dipengaruhi kuat oleh gelombang di khatulistiwa dari jenis gelombang panjang seperti gelombang Kelvin, gabungan GravitasiRossby dan juga gelombang gravitasi yang mempunyai periode dari 5 30 hari. Berbagai fenomena di atas menggambarkan peranan perairan Indonesia sebagai penghubung massa air dari Samudera Pasifik menuju Samudera India. Meskipun sepanjang tahun aliran ini cenderung ke arah selatan, aliran akan mengalami variabilitas dan karakteristik yang berubahubah secara musiman maupun tahunan baik arah, volume transpor dan lapisan termoklin. Beberapa penelitian seperti Gordon (1986); Godfrey (1996); Gordon et al. (1999); Aung (1998); Cresswell (1998) dengan pendekatan geostropik, pemodelan maupun pengukuran arus telah dilakukan dengan memperoleh hasil yang berbedabeda. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan guna mengungkapkan fenomena lainnya. Fenomena tersebut antara lain penyebab menguat dan melemahnya transpor serta pembalikan (reversal) arah Arlindo pada lapisanlapisan tertentu. Hal ini dianggap akan menambah pemahaman tentang dinamika yang terjadi pada Arlindo khususnya di Selat Makassar sebagai lintasan primer. Sebagaimana dikemukakan di depan bahwa Arlindo mempunyai peranan penting dalam perubahan iklim global maka sudah selayaknya penelitian tentang dinamika yang terjadi di perairan Selat Makassar secara kontinyu sangat perlu dilakukan dari berbagai aspek sehingga dapat melengkapi pengetahuan tentang pertukaran massa air antara kedua samudera serta akibatakibat yang ditimbulkan

18 3 secara global. Salah satu langkah yang ditempuh adalah penelitian tentang variabilitas arus dan karakteristik arus itu sendiri serta besarnya volume transport dan mengkaji lapisan termoklin pada kedua musim yang berbeda. Masalah utama dalam penelitian ini adalah bahwa volume dan distribusi dari Arlindo belum diketahui dengan baik, sehingga mendorong para peneliti untuk lebih intensif melakukan observasi maupun pemodelan tentang sirkulasi antar samudera Pasifik dan Samudera India. Kerangka Pemikiran Massa air laut yang saling berhubungan antara tiga samudera di permukaan bumi membentuk suatu sistem sirkulasi peredaran massa air dunia yang disebut edaran massa air dunia (Broecker 1997). Sirkulasi dimulai dari Samudera Atlantik Utara bagian utara. Adanya proses penguapan menyebabkan massa air tenggelam ke lapisan dalam, membentuk North Atlantic Deep Water (NADW) atau Air Dalam Atlantik Utara (ADAU) yang mengalir ke Samudera Atlantik Selatan pada kedalaman meter. Sampai di ujung selatan Samudera Atlatik Selatan aliran massa air berbelok ke arah timur bergabung dengan Arus Antartika. Massa air ini terus bergerak memasuki ujung selatan Samudera India kemudian ke timur memasuki ujung selatan Samudera Pasifik Selatan. Di ujung selatan Samudera India, sebagian aliran berbelok ke utara sampai sekitar katulistiwa dan naik ke permukaan (Broecker 1997 ; Gordon et al. 1994). Selanjutnya (Broecker 1997) juga menyebutkan aliran yang sampai ke ujung selatan Samudera Pasifik Selatan juga berbelok ke utara masuk ke Samudera Pasifik, melewati katulistiwa dan naik ke permukaan. Sirkulasi massa air ini disebut sirkulasi massa air dalam, sedangkan sistem peredaran massa air permukaan adalah bergeraknya massa air yang yang berasal dari Samudera India bagian selatan untuk mengisi kekosongan yang disebabkan oleh tenggelamnya massa air di Samudera Atlantik bagian utara. Selanjutnya kekosongan massa air di lapisan atas Samudera India ini akan menyebabkan massa air Samudera Pasifik mengalir ke Samudera India melalui perairan Indonesia bagian timur, yang kemudian dikenal dengan Arlindo dimana lintasan primernya adalah Selat Makassar.

19 4 Lebih lanjut Wyrtki (1987) dan Gordon et al. (1994) menyebutkan bahwa gaya penggerak utama Arlindo pada lapisan m adalah perbedaan tekanan permukaan laut yang kuat antara Samudera Pasifik dan Samudera India (Gambar 1). Perbedaan ketinggian permukaan laut antara kedua samudera tersebut mencapai 16 cm. Kondisi ini menimbulkan gradien tekanan ke arah Samudera India sehingga massa air Samudera Pasifik mengalir ke Samudera India dan mengisi perairan timur Indonesia. Aliran ini sepanjang tahun mengalir ke selatan, namun oleh karena karakteristik perairan Indonesia bagian timur yang begitu kompleks mengakibatkan dinamika internal yang kuat serta pengaruh muson dan fenomena global lainnya di katulistiwa sehingga mengakibatkan Arlindo mengalami variabilitas dan karakteristik yang beragam dalam periode harian, musiman maupun tahunan. Selain itu juga pengaruh muson dan fenomena global seperti Samudera Pasifik (barat) Beda Paras Laut (Sea Level) Samudera India (timur laut) ARLINDO (di Selat Makassar) Interaksi Internal Angin Lokal, gesekan dasar,pasut, geometri perairan Dinamika Regional Musiman, antar musim, Kelvin Wave, Rossby Wave. Dinamika Global ENSO Variabilitas harian dan Musiman, tahunan? Karakteristik Time domain (Kecepatan dan arah)? Fluktuasi Volume Transpor? Perubahan Kedalaman Lapisan Termoklin? Gambar 1 Diagram alir kerangka pemikiran dan perumusan masalah

20 5 ENSO mengakibatkan volume transpor massa air Arlindo mengalami perbedaan intensitasnya pada musim barat dan musim timur. Hal yang sama juga dialami oleh lapisan termoklin yang akan mengalami fluktuasi sebagai akibat dari variabilitas Arlindo (Gambar 1). Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peranan Perairan Indonesia sebagai suatu lintasan dalam mentransfer massa air Samudera Pasifik ke Samudera Hindia. Arlindo secara signifikan mempengaruhi keseimbangan suhu dan massa air dengan nilai salinitas yang lebih rendah dari kedua samudera ini. Oleh karena itu dapat dipertimbangkan sebagai komponen kunci dalam ENSO dan fenomena iklim muson. Sirkulasi meridional, stratifikasi, suhu permukaan laut dan muka laut akan berubah secara signifikan jika volume transport aliran Arlindo bernilai nol (Sprintall et al. 2004). Perumusan dan Pendekatan Masalah Arlindo dianggap sebagai bocoran dari massa air bagian barat Pasifik tropis yang mengalir menuju ke bagian tenggara Samudera India tropis melalui perairan Indonesia. Arlindo merupakan satu lintasan penting yang mentransfer signal iklim dan anomalinya dimana pengaruhnya dapat dirasakan di seluruh samudera dunia. Bahang dan massa air yang bersalinitas rendah yang diangkut oleh Arlindo diperkirakan mempengaruhi perimbangan kedua parameter tersebut di kedua samudera yaitu Pasifik dan India. Volume dan distribusi dari Arlindo belum diketahui dengan baik, sehingga mendorong para peneliti untuk lebih intensif melakukan observasi maupun pemodelan tentang sirkulasi antar samudera ini (Sprintall et al. 2004). Massa air dari Laut Sulawesi mengalir ke selatan menuju ke Selat Makassar dan memasuki Selat Lombok dan Laut Flores (Gordon 2001), sedangkan massa air dari Laut Maluku mengalir menuju ke Laut Banda dan bergabung dengan aliran dari Selat Makassar. Massa air dari Perairan Indonesia ini kemudian mengalir ke luar melalui tiga perairan yaitu Selat Lombok (Murray and Arief 1988), Selat Ombai dan Laut Timor (Potemra et al. 2002). Transpor Arlindo sepanjang tahun selalu mengalir ke selatan dengan intensitas volume yang bervariasi akibat dari perbedaan tinggi paras laut antara

21 6 barat Pasifik dan timur laut Samudera India yang berbedabeda setiap musim. Namun demikian Burnet et al. (2003) menyatakan melalui analisis keseimbangan momentum dan energi menunjukkan bahwa total transpor Arlindo tidak tergantung secara eksklusif pada perbedaan tekanan antar samudera tetapi pada faktorfaktor lain termasuk angin lokal, gesekan dasar, serta aksi tekanan pada sisi internal. Karena kompleksitasnya Perairan Indonesia seperti selat yang sempit serta pengaruh muson membawa dampak yang signifikan terhadap variabilitas dan karakteristik serta lapisan termoklin pada perairan dimana dilintasi oleh Arlindo. Permasalahan dalam penelitian ini adalah seberapa besar pengaruh dinamika internal, regional dan global terhadap variabiltas dan karakteristik Arlindo serta fluktuasi lapisan termoklin akibat dari melemah dan menguatnya transpor Arlindo di Selat Makassar. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengkaji dan menganalisis variabilitas dan karakteristik Arlindo pada Musim Barat dan Musim Timur untuk tiap lapisan kedalaman. 2. Menghitung besarnya transpor Arlindo dari hasil pengukuran arus dan pendekatan geostropik pada musim barat dan musim timur. 3. Mengkaji dan menganalisis lapisan termoklin pada periode musim yang berbeda sebagai indikasi dari melemah dan menguatnya transpor Arlindo. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang dinamika Arlindo baik untuk kepentingan perikanan maupun fenomena iklim global. Untuk kepentingan fenomena iklim global dapat dikatakan bahwa jika intensitas Arlindo kuat, berarti perpindahan bahang ke Samudera India pun semakin tinggi dengan demikian maka penguapan di Samudera India pun semakin tinggi yang membawa dampak kepada perubahan iklim global. Selain itu hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berarti terhadap pengeksplorasian sumberdaya hayati laut, karena jika terdeteksi adanya periode ElNino berarti dapatlah diinformasikan akan datangnya upwelling yang intensif terutama di selatan Jawa, barat Sumatera dan Selatan Selat Makassar. Hal ini

22 7 disebabkan karena pada fase ElNino angin musson tenggara yang berhembus di selatan Jawa lebih kuat dari biasanya. Hembusan angin ini mengakibatkan massa air bergerak sejajar garis pantai. Namun demikian Efek Coriolis membelokkan gerak massa air ke arah laut lepas (Transpor Ekman) yang mengakibatkan kekosongan massa air di pantai. Kekosongan inilah yang akan diisi oleh massa air yang berasal dari dasar perairan yang kaya akan nutrien. Hal inilah yang merupakan indikasi kesuburan perairan meningkat selama fase ElNino di wilayah Selatan Jawa, Selatan Sulawesi dan Barat Sumatera. Hipotesis Mengacu pada berbagai perkembangan literatur (penelitian terakhir) maka dibuat dugaan sementara (hipotesis) yang berkaitan dengan permasalahan tersebut di atas antara lain : 1. Signal musiman mendominasi variabilitas Arlindo di Selat Makassar dibandingkan dengan signal lainnya, terutama di lapisan permukaan. 2. Aliran arus di Selat Makassar di dominasi oleh aliran komponen v (utara selatan) dengan signal yang lebih kuat jika dibandingkan dengan komponen u (timur barat) karena aliran sepanjang tahun bergerak ke selatan.

23 TINJAUAN PUSTAKA Arus Lintas Indonesia (Indonesian Seas Throughflow) Broecker (1997) dan Gordon (1987) menyebutkan bahwa tiga samudera di permukaan bumi memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya. Keterkaitan ini membentuk suatu sistem sirkulasi yang unik (Gambar 2). Sistem ini yang mengedarkan massa air dunia yang dikenal dengan edaran massa air dunia (the great conveyor belt). Sirkulasi dimulai dari Samudera Atlantik Utara bagian utara. Adanya proses pendinginan (cooling) dan penguapan (evaporation) menyebabkan densitas massa air ini tinggi sehingga tenggelam ke lapisan yang dalam membentuk North Atlantic Deep Water (NADW) atau Air Dalam Atlantik Utara (ADAU) yang mengalir ke Samudera Atlantik Selatan pada kedalaman m. Sampai di ujung selatan Samudera Atlantik Selatan, aliran massa air berbelok ke arah timur bergabung dengan Arus Antartika. Massa air ini terus bergerak memasuki ujung selatan Samudera India kemudian ke timur memasuki ujung selatan Samudera Pasifik selatan. Di ujung bagian selatan Samudera India sebagian aliran berbelok ke utara sampai sekitar katulistiwa dan naik ke permukaan. Demikian pula dengan aliran yang sampai ke ujung selatan Samudera Pasifik Selatan juga berbelok ke utara masuk ke Samudera Pasifik, melewati katulistiwa dan naik ke permukaan (Broecker 1997; Gordon 1987). Sirkulasi massa air ini disebut sirkulasi massa air dalam, sedangkan sistem peredaran massa air permukaan dimulai ketika kekosongan yang disebabkan oleh tenggelamnya massa air di Samudera Atlantik bagian utara diisi oleh massa air yang berasal dari Samudera India bagian selatan. Selanjutnya kekosongan massa air di lapisan atas Samudera India akan menyebabkan massa air Samudera Pasifik mengalir ke Samudera India melalui perairan Indonesia bagian timur yang dikenal dengan Arus Lintas Indonesia (Indonesian Seas Throughflow). Arlindo dianggap sebagai bocoran dari massa air di bagian barat Pasifik tropis menuju ke bagian tenggara Samudera India Tropis melalui perairan Indonesia.

24 9 Gambar 2 Edaran raya massa air (the great conveyor belt). Sumber : W. Broecker 1997 Arlindo merupakan suatu lintasan penting dalam mentransfer signal iklim dan anomalinya di seluruh samudera dunia. Sementara bahang dan massa air dengan salinitas rendah yang dibawa oleh Arlindo diketahui mempengaruhi perimbangan kedua parameter pada basin di kedua samudera (Sprintall et al. 2004). Analisis Cane and Molnar (2001) tentang perubahan sirkulasi permukaan laut yang mana mereka percaya bahwa suatu gerbang samudera berada di perairan Indonesia yang sempit telah terjadi lebih dari 5 juta tahun yang lalu. Gerbang inilah yang bekerja sebagai katup terhadap aliran massa air dari Samudera Pasifik menuju Samudera India. Meskipun Plate tektonik di wilayah perairan Indonesia begitu rumit tapi Cane and Molnar menunjukkan bahwa lintasan ini mengatur massa air yang mengalir dari Pasifik ke India 5 juta tahun yang lalu adalah lebih lebar dan lebih dalam serta berada lebih ke selatan dibandingkan dengan keberadaannya sekarang. Pengetahuan tentang sirkulasi lautan di perairan Indonesia telah m engalami peningkatan selama beberapa dekade terakhir. Pengetahuan tentang Arus Lintas Indonesia tidak hanya krusial dalam keseimbangan bahang dan nilai salinitas di

25 10 Samudera India tetapi juga memainkan satu peranan penting dalam sirkulasi global dari massa air di lapisan termoklin. Hal ini menarik perhatian para peneliti untuk melakukan penelitian yang berkesinambungan (Godfrey and Golding 1981; Piola and Gordon 1985; Gordon 1986; Broecker 1991). Gambar 3 Lintasan Arus Lintas Indonesia (Arlindo) Sumber : Gordon 2001 dipublikasikan oleh Program INSTANT Tanda panah tebal pada Gambar 3 memperlihatkan massa air yang berasal dari termoklin Pasifik Utara dan tanda panah putusputus adalah massa air yang berasal dari termoklin Pasifik Selatan. Besarnya transpor dinyatakan dalam Sv (10 6 m 3 s 1 ) diberikan dalam warna merah. Transpor sebesar 10,5 Sv yang dicetak miring adalah jumlah aliran yang melalui Kepulauan Sunda Kecil. ME adalah Mindanao Eddy sedangkan HE adalah Halmahera Eddy. Superskrip pada Gambar menunjukkan : 1. Transpor di Selat Makassar tahun 1997 (Gordon et al. 1999); 2. Selat Lombok (Murray and Arief 1988; Murray et al. 1989) dari Januari 1985 Januari 1986; 3. Laut Timor (antara Timor dan Australia) diukur pada Maret 1992 April 1993 (Molcard et al. 1996); 4. Laut Timor Oktober 1987 dan Maret 1988 (Cresswell et al. 1993); 5. Selat Ombai (bagian utara Timor dan Pulau Alor

26 11 Desember 1995 Desember 1996 (Molcard et al. 2001); 6. Antara Pulau Jawa dan Australia dari tahun data XBT (Meyers et al. 1995; Meyers 1996); 7. Lapisan 470 m dari Arus Katulistiwa Selatan di timur Samudera India Oktober 1997 (Quadfasel et al. 1996); 8. Ratarata Arlindo Arus Katulistiwa Selatan yang ditentukan oleh WOCE WHP (Gordon et al. 1997). Tanda panah tipis menunjukkan aliran massa air yang melintasi Selat Lifamatola menuju Laut Banda yang diperkirakan sebesar 1 Sv (van Aken et al. 1988). Perairan Indonesia merupakan satu lintasan yang mentransfer massa air yang hangat dan bersalinitas rendah dari Samudera Pasifik menuju Samudera India. Oleh karena itu perairan Indonesia memegang peranan penting secara integral dalam sirkulasi termohalin global dan fenomena iklim (Sprintall et al dan Gordon 2001). Bahang dan massa air yang bersalinitas rendah yang dibawa oleh Arlindo berdampak terhadap perimbangan kedua parameter di kedua samudera (Bryden dan Imawaki 2001; Wijffels 2001; Wajsowicz dan Schneider 2001). Dalam perairan internal Indonesia, hasil observasi dan pemodelan mengindikasikan bvahwa sumber utama Arlindo adalah massa air termoklin Pasifik Utara yang mengalir melalui Selat Makassar (kedalaman sill 650 m). Selanjutnya kontribusi Arlindio dari massa air termoklin yang lebih dangkal dan massa air perairan dalam yang berasal dari Pasifik Selatan masuk ke perairan Indonesia melalui rute bagian timur yaitu Laut Maluku dan Laut Halmahera dengan massa air yang lebih tinggi densitasnya melintasi Selat Lifamatola (kedalaman sill 1940 m), Arlindo bergerak ke luar menuju bagiahn timur Samudera India melalui selat sepanjang rangkaian pulaupulau Sunda Kecil seperti Selat Ombai (kedalaman sill 350 m), Selat Lombok (300 m), Laut Timor (1890 m). Kompleksitas geografi wilayah dengan selatselat yang sempit, basin yang dalam menyebabkan lintasan Arlindo yang kompleks pula. Hal ini mengakibatkan massa air mengalami modifikasi oleh karena percampuran, upwelling dan fluks udaralaut sebelum bergerak ke luar menuju Samudera India. Arus Katulistiwa Utara, AKU (North Equatorial Current) membawa massa air asala Pasifik Utara sedangkan Arus Katulistiwa Selatan, AKS (South Equatorial Current) membawa

27 12 massa air asal Pasifik Selatan ke bagian barat Samudera Pasifik Tropika kemudian masuk ke perairan timur Indonesia (Gambar 3). Pada Musson Barat Laut (musim barat) AKU yang berada kirakira 9ºLU bergerak ke barat menuju Filipina, AKU bercabang dua menjadi Arus Mindanao (Mindanao Current), yakni arus yang bergerak sepanjang pantai timur Mindanao dan arus yang berbelok ke arah utara menjadi pemasok awal Arus Kuroshio. Field and Gordon (1992); Gordon et al. (1994); Gordon and Fine (1995); Ilahude and Gordon (1996) menyebutkan bahwa terdapat dua kemungkinan jalur lintasan masuk Arlindo menuju perairan Indonesia, yakni melalui jalur barat (utama) dan jalur timur (sekunder). Jalur utama Arlindo mulai dari sebelah selatan Mindanao bergerak ke Laut Sulawesi, kemudian ke Selat Makassar, masuk ke Laut Flores dan Laut Banda. Pintu masuk Arlindo lainnya adalah dari Laut Maluku dan Laut Halmahera. Arlindo pada kedua perairan ini kemudian memasuki Laut Seram dan masuk ke Laut Banda (Gambar 3). Variabilitas Arus Lintas Indonesia (Indonesian Throughflow) Pengetahuan tentang variabilitas antar musiman di wilayah sekitar perairan Indonesia adalah kompleks oleh karena beberapa alasan. Pertama, wilayah ini merupakan wilayah dimana MaddenJulian Oscilation (MJOs) memiliki signal angin permukaan yang terkuat. Kedua, Perairan Indonesia berada di wilayah ekuator dan gelombang panjang yang mengakibatkan sirkulasi lautan dimana angin sebagai penyebab gaya permukaan. Ketiga, kompleksitas geometri garis pantai di wilayah ini, ketika berinteraksi dengan aliran yang berubah secara musiman (Qiu et al. 1999) Variabilitas Arlindo dapat dibedakan atas skala ruang maupun waktu yang pada akhirnya mempengaruhi estimasi terhadap laju transpor maupun fluks bahang dan massa air besalinitas rendah. Puncak transpor maksimum Arlindo di gerbang masuk dan keluar diperkirakan terjadi pada waktu yang berbeda sehingga diduga terjadi penyimpanan masa air di perairan Indonesia (Ffield and Gordon 1992). Di samping itu jalur lintasan Arlindo mempunyai konfigurasi geografi yang kompleks dengan kombinasi dasar perairan yang dangkal dan dalam serta

28 13 kuatnya arus pasang surut pada berbagai kanal sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan karakter massa air akibat percampuran. Perairan Indonesia tak dapat dipisahkan dari pengaruh dinamika regional di Samudera Pasifik dan Samudera India. Akibat dari pengaruh ini aliran Arlindo mengalami variasi mulai dari periode musiman, antar musiman sampai antar tahunan. Fenomena Iklim seperti ENSO (ElNino Southern Oscillation) yang terjadi di barat Pasifik juga memegang peranan penting dalam variabilitas Arlindo. Sementara itu di Samudera India berasosiasi dengan sistem muson dan fenomena Dipole Mode (Saji et al. 1999). Variabilitas musiman maupun tahunan diakibatkan oleh arah angin yang berubah mengikuti sistem muson AustraliaAsia (Australasia). Transpor maksimum pada berbagai lokasi seperti Selat Makassar, Selat Lombok, Selat Ombai, Laut Sawu dan dari Laut Banda ke Samudera India terjadi pada saat bertiupnya angin muson tenggara antara Juli September dan minimum saat muson barat laut antara November Februari ( Meyers et al. 1995; Gordon et al. 1999; Molcard et al. 2000; Hautala et al. 2001). Selanjutnya Susanto et al juga menyebutkan bahwa dari data paras laut dan mooring memperlihatkan variabilitas intraseasonal (30 60 hari) yang kemungkinan merupakan respon gelombang Kelvin dari Samudera India yang masuk perairan Selat Makassar melalaui Selat Lombok dan Gelombang Rossby dari Samudera Pasifik. Mereka juga mengungkapkan bahwa karakteristik intraseasonal ditandai dengan periode hari yang berhubungan dengan Gelombang Rossby dari Samudera Pasifik yang merambat melalui Laut Sulawesi. Berikut periode hari yang merupakan karakter Gelombang Kelvin terlihat di Bali (Selat Lombok). Meskipun demikian karakter tersebut tidak terlihat di Tarakan, hal ini menandakan bahwa gelombanggelombang tersebut mengalami pelemahan setelah melewati Selat Makassar. Penelitian terakhir yang dilakukan oleh Purba dan Atmadipoera (2005) menemukan bahwa geostropik permukaan yang diperkirakan dari anomaly tinggi permukaan laut sangat berfluktuasi dan tidak menggambarkan aliran Arlindo yang mana menurut pengamatan umumnya ke selatan dan terfokus pada lapisan termoklin. Akan tetapi seperti halnya karakter Arlindo, arus permukaan ini

29 14 menguat ke selatan pada bulan Juni Agustus dan aliran cenderung ke utara pada bulan Desember Maret. Transpor Arlindo Transpor massa air dari Samudera Pasifik menuju Samudera India melalui perairan Indonesia memiliki ketergantungan yang kuat terhadap fase ENSO. Selama fase ElNino transport Arlindo mengalami pelemahan, bahang dan massa air dengan salinitas yang rendah jauh lebih sedikit ditransfer ke Samudera India (Gordon 2001) Beberapa studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa aliran transpor Arlindo bervariasi mulai dari 1,7 18,6 Sv (Gordon 1986 dan Godfrey 1996). (Aung 1998; Cresswell 1998) melakukan pengukuran secara langsung di Selat Makassar pada lapisan di bawah permukaan di bagian utara pada tahun 1993 dan di bagian selatan 1997 (Gordon et al. 1999) telah menghasilkan transpor ke arah selatan sebesar 11 Sv dan 9,3 Sv. Estimasi ini menghasilkan variasi yang cukup signifikan. Hal ini disebabkan karena distribusi data yang tidak memadai serta kurangnya pengukuran langsung serta besarnya variasi musiman sampai antar tahunan yang kemungkinan menimbulkan bias yang besar jika waktu survey tidak cukup lama. Estimasi transpor terbaru agak berbeda dengan estimasi sebelumnya. Transpor tahun 1997 diestimasi oleh Susanto dan Gordon (2003) dengan menggunakan model dengan profil sederhana untuk memperkirakan transpor lapisan permukaan adalah 9,3 Sv. Mode normal berdasarkan pengujian Wajsowicz et al. (2003) untuk tahun 1997 adalah 6,4 Sv dengan batas permukaan dan yang paling rendah 16,0 dan 4,7 Sv. Hal ini disebabkan karena pendekatan yang digunakan oleh keduanya berbeda. Susanto dan Gordon (2003) melakukanya dengan menggunakan tiga pendekatan profil (Profil A, B dan C) secara vertikal yang berbedabeda untuk setiap musim. Lebih lanjut Burnet et al. (2003) melalui analisis momentum dan keseimbangan energi menunjukkan bahwa transpor total Arus Lintas Indonesia tidak tergantung secara eksklusif terhadap perbedaan tekanan interocean yaitu beda tekanan muka laut antara Pasifik dan India tetapi lebih oleh faktorfaktor lain termasuk angin lokal (muson), gesekan dasar dan resultante dari gayagaya

30 15 tekanan yang bekerja pada sisi internal seperti geometri perairan yang menimbulkan aksi pasang surut yang membawa pengaruh yang signifikan terhadap variabilitas dan karakteristik arah arus. Gambar 4 Arah transpor Arlindo di Selat Makassar tiap lapisan kedalaman ( ) (tanda + menunjukkan arah aliran ke utara sedangakan tanda menunjukkan arah aliran ke selatan (Sumber : Gordon and Susanto 2003) Sebagaimana dikemukakan oleh Susanto dan Gordon (2003) bahwa terdapat aliran Arlindo ke utara di bawah lapisan 250 meter pada September 1997 pertengahan Februari 1998 selama puncak ElNino, sedangkan aliran ke utara pada lapisan 200 m diduga karena sinyal tibanya Gelombang Kelvin dari Samudera India. (Gambar 4). Dinamika Lapisan Te rmoklin di Selat Makassar Pengukuran Arlindo di Selat Makassar menunjukkan profil transpor yang kompleks yang merupakan implikasi dari fluks termohalin interocean dan budget massa air hangat di barat Pasifik tropis yang sangat kuat dan persisten terjadi di lapisan termoklin bukan di lapisan permukaan yang hangat (Gordon and Susanto, 1999; Gordon et al. 1999a) Ffield et al mengungkapkan bahwa melalui data XBT selama 15 tahun adanya korelasi yang besar antara ENSO dan lapisa termoklin terutama pada lapisan 100 m sebesar 0,77. Korelasi ini agak rendah untuk lapisan 150 m dan 400 m yaitu sebesar 0,59.

31 16 Pada saat ElNino muka laut turun dan termoklin menaik di wilayah Flores Makassar hingga bagian barat Laut Banda. Selama ElNino 1987 isoterm 20 di Selat Makassar lebih dangkal 20 meter dibandingkan dengan ratarata kedalaman lapisan termoklin pada kondisi normal. Meyers (1997) juga menemukan isotherm 20 C berada lebih dangkal selama ElNino di wilayah keluar Arlindo antara barat laut Australia dan Jawa. Lebih lanjut transpor Arlindo di Selat Makassar berhubungan dengan lapisan termoklin dimana jika transpor melemah lapisan termoklin dangkal selama fase El Nino (Bray et al. 1996; Meyers, 1996; Ffield et al. 2000). Ffield et al. (2000) juga menyebutkan bahwa korelasi antara lapisan termoklin dan laju transpor ke arah selatan di Selat Makassar dengan r = 0,67. Respon Arlindo Terhadap ENSO Studi Model dan Observasi menunjukkan bahwa transport Arlindo dipengaruhi oleh ENSO. Transpor lebih besar selama kondisi LaNina dan melemah pada saat terjadi ElNino (Kindle et al. 1989; Bray et al. 1996; Fieux et al. 1996; Gordon and Fine, 1996; Meyers, 1996; Potemra et al. 1997). Selanjutnya Gordon and McClean (1999) menemukan ratarata tahunan 12 Sv selama LaNina dan ratarata sebesar 4 Sv selama ElNino. Observasi dengan menggunakan mooring di Selat Makassar menemukan korelasi yang kuat antara kuatnya laju transport dan ENSO 1997/1998 dengan nilai korelasi sebesar 0,73. Selama bulanbulan ElNino Desember 1997 Februari 1998 ratarata transport sebesar 5,1 Sv sementara selama bulanbulan LaNina Desember 1996 Februari 1997 nilai rataratanya adalah 12,5 Sv. Banyak perbedaan laju transpor Arlindo karena efek ENSO dimana pada fase ENSO laju transport mengalami pelemahan sebaliknya pada fase LaNina transpor mengalami penguatan. Pada kondisi normal transpor mengalami penguatan pada musim timur yaitu pada bulan Juni Agustus, sebaliknya transpor mengalami pelemahan pada musim barat yaitu pada bulan Desember Februari. (Gordon et al. 1999a) selain itu juga transpor Arlindo dipengaruhi oleh event intraseasonal seperti Gelombang Kelvin dari Samudera India dan Gelombang Rossby dari Samudera Pasifik (Sprintall et al. 2000; Susanto et al. 2000).

32 17 Ffield et al. (2000) mengungkapkan transpor energi internal selama bulanbulan LaNina yaitu pada Desember 1996 sampai Februari 1997 terhitung sebesar 0,63 PW (1 PW = 1 x W) dan 0,39 PW selama bulanbulan ElNino Desember 1997 Februari Dari berbagai hasil penelitian di atas menunjukkan betapa besarnya pengaruh ENSO dan LaNina baik terhadap transpor massa air maupun energi yang diangkut oleh Arlindo dari Pasifik menuju Samudera India melalui Perairan Indonesia.

33 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Data arus diperoleh dari Mooring Aanderaa yang merupakan bagian dari Program Arlindo IndonesiaUSA pada dua lokasi di Selat Makassar masingmasing pada posisi 2 51,7 LS;118 27,5 BB (Stasiun 1) dan 2 51,2 LS;118 37,7 BB (Stasiun 2). Lokasi Mooring tersebut disajikan dalam Gambar 5 (a), data tersebut diperoleh dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jakarta. Selain itu juga digunakan data Southern Oscillation Index (SOI) dari yang diperoleh dari Bureau of Meteorology Australia ( 2005). Data CTD (Conductivity Temperature and Depth) yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil survei Arlindo Mixing 1993/1994, Arlindo Circulation 1996/1998 yang diperoleh dari website LamontDoherty Earth Observatory (LDEO) Columbia University, USA ( Posisi lokasi pengambilan data CTD disajikan dalam Gambar 5 (b) dan Gambar 6 peta lokasi penelitian. Metode Pengkuran Pengukuran Arus Data arus yang digunakan adalah hasil pengukuran mooring Aanderaa dengan sistem akustik yang ditambat selama 14 bulan. Andera itu sendiri mencatat besar dan arah arus pada kedalaman tertentu (200 m, 250 m, 350 m, 750 m, dan 1500 m) dengan interval perekaman setiap 20 menit. Prinsip kerja sensor Aanderaa ini berdasarkan Shift Doppler tentang perambatan suara. Kerja alat ini bergantung kepada adanya partikelpartikel atau bendabenda renik dalam air yang bersifat menghamburkan suara. Suatu alat pengirim bunyi (transducer) mengirimkan satu berkas suara yang sempit dan berfrekuensi tinggi yang hamburannya akan diterima oleh pesawat penerima. Pesawat penerima ini dipasang sedemikian rupa sehingga hanya bisa mengawasi sebagian kecil saja dari volume air di tempat bunyi itu merambat. Berkas bunyi itu akan mengenai partikelpartikel padat yang mengambang dan bergerak bersama

34 19 geraknya arus. Berkas bunyi yang dihamburkan oleh partikel yang sedang bergerak akan mengalami perubahan frekuensi, sesuai azas Doppler yakni perubahan frekuensi sebuah sinyal suara yang diterima dari obyekobyek yang bergerak dimana frekuensi akan bertambah jika mendekati objek dan berkurang jika bergerak menjauhinya. Besarnya frekuensi tersebut akan sebanding dengan kecepatan gerak partikel, yang berarti sesuai pula dengan kecepatan arus yang diamati ( 2002). Besaranya perubahan itu dikalibrasi menjadi ukuran besarnya arus oleh sensor Aanderaa. (a) Gambar 5 (a) Peta Lokasi Mooring Andera (data dikumpulkan dalam Program Arlindo Indonesia Amerika Serikat (USA)). (b) Peta Lokasi CTD Tahun 1993, 1994 (data dikumpulkan dalam Proyek Arlindo Mixing), 1996, 1998 (data dikumpulkan dalam Proyek Arlindo Circulation). (Transek 1, 2, 3 digunakan dalam analisis arus geostropik. (b)

35 20 (a) (b) (c) Gambar 6 Peta lokasi transek CTD yang digunakan untuk analisa lapisan termoklin (a) Agustus 1993 (b) Februari 1994 (c) November 1996 (d) Februari 1998 (d)

36 21 Pengukuran CTD Pengukuran suhu, salinitas dengan menggunakan alat CTD (Conductivty, Temperature, Depth) SBE 37SM MicroCAT (spesifikasi alat, lampiran 2) merupakan instrumen yang terdiri dari beberapa sensor untuk mengukur kondiktivitas, suhu dan tekanan air. Instrumen CTD menggunakan selsel elektroda sebagai sensor untuk mengukur konduktivitas, temperatur dan tekanan perairan. Selsel elektroda ini merupakan material nonkristal homogen yang disebut pyrex cell yang berbentuk tabung kaca yang dilapisi platina pada permukaan elektrodanya. Air laut yang mengalir akan melewati selsel elektroda ini dan sensor akan mengukur suhu, konduktivitas dan tekanan air dari permukaan sampai kedalaman tertentu. Pengolahan dan Analisis Data 1. Analisa Deret Waktu (Time Series Analysis) Data arus yang direkam dengan interval waktu 20 menit kemudian dirataratakan perjam guna pengurangan jumlah data yang besar. Untuk mengamati variabilitas Arlindo di Selat Makassar pada dua stasiun mooring yang terletak di Labbani Channel (memotong lintasan Arlindo) maka data deret waktu tersebut dilakukan analisis deret waktu (spektrum energi) guna ditelaah periodesitas dari fluktuasi arus pada kedua stasiun tersebut. Untuk itu dilakukan penapisan (filter) 50 jam dengan menggunakan Fast Fourier Transform (FFT) guna menghilangkan fluktuasi frekwensi tinggi. Penapisan ini menggunakan perangkat lunak Matlab 6.0. Data yang diperoleh setelah mangalami penapisan (pemfilteran) terhadap data awal pada sembarang positif t dari x tn sampai x t+m diberikan oleh (Bendat and Piersol 1971) : k=+ m Y t = wk xt+ k = w n xt n w xt 1 + w0xt + w1xt wmxt + k= n k = n, n + 1,...1,0,1...m1,m 1 m...(1) dimana : n dan m adalah jumlah cakupan masingmasing ke sebelah kiri dan kanan dari x t sedangkan w k adalah fungsi pembobotan. Dalam penelitian ini fungsi pembobotan yang digunakan adalah fungsi pembobotan Lanczos dengan

37 22 pertimbangan hasil lebih halus (smooth) dibandingkan dengan fungsi pembobotan lainnya. Bentuk dan fungsi pembobotan Lanczos adalah (Hamming dalam Topogulf Group 1986) : W k sin( 2π ( i 1) f = π( i 1) c ) sin( π( i 1) / N x π( i 1)/ N w w...(2) Dimana f c adalah pemotongan frekuensi penapisan yaitu 50 jam dan N adalah freuensi Nyquist guna menghilangkan fluktuasi atau signal dengan periode sampai 50 jam yang merupakan komponen harmonik pasang surut. Analisa ini dilakukan dengan menggunakan software Matlab 6.0. Selanjutnya data hasil penapisan ditentukan densitas spektrum energi untuk menelaah energi dari fluktuasi arus yang signifikan. Dengan menggunakan Metode Fast Fourier Transform (FFT), komponen Fourier (X(f k )) dari deret waktu x t yang dicatat pada selang waktu h (1 jam) diberikan oleh Bendat dan Piersol (1971) : X ( f k N ) = h 1 2πkt x exp i...(3) t t= 0 N Dimana t = 0,1,2,...N 1 h = selang perekaman data (1 jam), N adalah jumlah pengamatan. Nilai densitas energi spektrum (S x ) dihitung sebagai berikut : 2h 2 S x = X ( f k )...(4) N Analisis Spektrum Energi ini menggunakan Software Statistica Pembuatan Grafik Vektor atau Stickplot Arah dan Kecepatan Arus Pembuatan grafik vektor ini dimaksudkan agar mempermudah penggambaran dan pembacaan arah dan kecepatan arus sehingga secara visual terlihat fluktuasi yang terjadi. Pembuatan grafik vektor ini dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Visual Basic versi 6.0. Grafik stickplot ditampilkan tiap bulan untuk setiap lapisan kedalaman.

38 23 3. Perhitungan Volume Transpor Nyata Volume transport massa air yang melewati Selat Makassar dihitung dengan menggunakan asumsi bahwa Selat Makassar merupakan suatu kanal sehingga untuk menghitung besarnya debit massa air yang melewati dengan i l9 menggunakan Q = = i= l 1 ( v. A) dimana Q adalah debit massa air, v adalah kecepatan arus dan A adalah luas penampang pada tiap lapisan kedalaman dimana Andera ditempatkan. l 1 l 9 menyatakan luas permukaan dimana Aanderaa 1 9 ditempatkan. Sebelum perhitungan di atas dilakukan terlebih dahulu data mooring dirataratakan per bulan untuk setiap lapisan, sedangkan luas penampang dihitung dari setiap lapisan dimana Andera diletakkan. Asumsi yang digunakan dalam perhitungan ini adalah kecepatan perkiraan dari alat yang paling bawah ke dasar linier hingga 0 dan alat paling atas ke permukaan kecepatan linier hingga 0 (Gordon 1999). Gambar 7 Sketsa mooring dan posisi kedalamannya pada kedua stasiun dimana Aanderaa di tempatkan di Selat Makassar

39 24 Setiap blok warna pada Gambar 7 menyatakan kecepatan yang seragam di setiap kedalaman. Kecepatan di tiap kedalaman tersebut mengacu kepada data mooring. Untuk data kecepatan pada kedalaman yang tidak mempunyai data pengukuran, kecepatan dapat diperoleh dengan menarik garis linier dari data kecepatan yang sudah ada. V 1 V 5 menunjukkan kecepatan acuan di tiap kedalaman berdasarkan data mooring yang diperoleh. Kotak putih adalah tempat pengukuran data kecepatan pada setiap stasiun mooring. Garis merah adalah Sketsa asumsi yang digunakan dalam perhitungan dimana kecepatan perkiraan dari alat yang paling bawah ke dasar linier hingga 0 dan alat ke permukaan kecepatan linier hingga 0. Garis hitam adalah bentuk saluran dimana mooring Aanderaa ditempatkan. 5. Perhitungan Arus Geostropik Dalam menelaah sirkulasi massa air yang diakibatkan oleh arus geostropik, maka dibuat sebaran medan tekanan massa air yang dinyatakan dengan menghitung sigmat, anomali spesifik volume dan sebaran melintang anomali kedalaman dinamik. Dari hasil analisis ini selanjutnya dibuat topografi dinamik pada kedalaman 0 dbar, 25 dbar, 50 dbar, 75 dbar, 100 dbar, 200 dbar dan 300 dbar semuanya relatif terhadap permukaan 400 dbar. Perhitungan sigmat, spesifik volume, anomali kedalaman dinamik berdasarkan metode yang dikembangkan oleh (Neumann dan Pierson 1966) Perhitungan sigmat diperoleh dengan terlebih dahulu menghitung nilai sigma0 dengan rumus berikut : B j S j σ = (1) j= 0 dimana : B0 = 0, B1 = 0, B2 = 4, E4 B3 = 6, E6 S = Salinitas (psu)

40 25 Dari nilai σ 0 tersebut nilai σ σ t dapat dihitung sebagai berikut : 4 i ait 3 2 i= 0 i j t = + Aij( σ 0 t t A )...(2) + 0 j= 0 i= 1 dimana : t = Temperatur ( C) A 10 = 1,0 A 0 = 67,26 A 11 = 4,7867E3 a 1 = 4, A 12 = 9,8185E5 a 2 = 0, A 13 = 1,0843E6 a 3 = 1, E3 A 20 = 0 a 4 = 1, E7 A 21 = 1,8030E5 A 22 = 8,164E7 A 23 = 1,667E8 Kedalaman dinamik ditetapkan berdasarkan D = D 35,0,p +?D. D 35,0,p adalah kedalaman dinamik dari permukaan isobar dengan tekanan p yang diukur berdasarkan standar air laut dengan salinitas 35 pada suhu 0 C. D 35 = α dp...(2),0, p p p0 35,0, p Nilai spesifik volume air laut standard (α 35,0,p ) didasarkan pada rumus empiris Fofonoff dan Tabata (1962). Setelah didapat nilai anomali kedalaman dinamik (?D) berdasarkan persamaan :?D = ( δ + δ ) i 2 i 1 + ( p + p i i 1 )...(3) p dimana ; D 0 = 0 ; i = lapisan kedalaman kei, dan?d = δ p0 dp. Dari hasil perhitungan anomali kedalaman dinamik (?D), dibuat grafik sebaran melintang anomali kedalaman dinamik yang menggambarkan garisgaris pada permukaan isobar di bawah permukaan laut yang memiliki nilai kedalaman dinamik sama. Berdasarkan gambar tersebut dapat diketahui pergerakan massa air berupa arus geostropik antara dua stasiun yang berdekatan. Sebelum mengkonversi anomali kedalaman dinamik menjadi topografi dinamik ditetapkan dulu level of no motion atau reference level, suatu kedalaman dimana tidak gerak (arus) antara dua stasiun tersebut. Dalam analisis ini kedalaman level of no motion

41 26 adalah 400 m untuk transek 1 bulan Agustus 1993 dan transek 1 bulan Februari Sedangkan data pada transek 2 bulan Agustus 1993 dan transek 2 bulan Februari 1994 kedalaman level of no motion ditetapkan 2000 m sesuai dengan kedalaman minimum transek tersebut. Arah arus geostropik ditetapkan dengan melihat gambar sebaran melintang anomali kedalaman dinamik pada setiap transek, karena adanya perbedaan tekanan yang dinyatakan dalam kedalaman dinamik. 6. Perhitungan Lapisan Termoklin Data CTD bulan Agustus 1993, Desember 1994, 1996 dan 1998 (stasiun CTD lihat Gambar 6) dibuat transek sejajar aliran dari utara ke selatan. Masingmasing data dimasukkan dalam program Excel dan dihitung gradien suhu per meter. Menurut Ross (1970) bahwa lapisan termoklin adalah lapisan dimana gradien suhu lebih dari 0,1 C/m. Dari data ini pula dicari Batas Atas Lapisan Termoklin dan Batas Bawah Lapisan Termoklin dan selanjutnya didapatkan ketebalan lapisan termoklin. Data tersebut kemudian dirataratakan lagi pada setiap titik CTD untuk setiap musim sehingga dapat ditemukan Batas Atas, Batas Bawah, dan Ketebalan Lapisan Termoklin pada setiap periode musim. Selanjutnya dicari standar deviasi setiap data untuk melihat heterogenitas data setiap musim.

42 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1 Pada bulan Desember 1996 Februari 1997 yang merupakan puncak musim barat arah arus pada tiap lapisan kedalaman tidak memperlihatkan suatu perbedaan yang signifikan setiap bulan. Sepanjang musim aliran cenderung mengalir ke arah tenggara dan selatan sebagaimana disajikan dalam grafik stickplot pada Gambar 8. Kecepatan arus melemah sejalan dengan bertambahnya kedalaman. Kecepatan maksimum 48,60 cm/det pada lapisan kedalaman 205 m dan minimum 1,20 cm/det pada kedalaman 755 m. Kecepatan ratarata arus pada musim ini sebesar 27,23 cm/det. Pada bulan Maret Mei 1997 yang merupakan masa peralihan pertama menuju musim timur, pola arus masih belum mengalami perubahan yang signifikan. Pola arus pada musim ini dapat dilihat pada grafik stickplot sebagaimana disajikan pada lampiran 4. Kecepatan maksimum 43,08 cm/det pada lapisan kedalaman 255 m dan minimum 29,37 cm/det pada lapisan kedalaman 355 m. Kecepatan ratarata 31,19 cm/det. Data pada musim peralihan 1 mengalami kekosongan pada kedalaman 750 m. Penyimpangan arah arus terjadi ke arah barat daya dan utara dari arah arus umumnya sepanjang musim. Penyimpangan ini terjadi dengan kecepatan yang cukup lemah. Kecepatan arus ratarata pada musim peralihan pertama ini mencapai 23,50 cm/det. Selanjutnya pada bulan Juni Agustus 1997 yang merupakan puncak musim timur kecepatan arus maksimum cukup tinggi yaitu 47,63 cm/det ke arah tenggara dan selatan pada lapisan kedalaman 205 m. Kecepatan minimum sebesar 10,55 cm/det pada lapisan kedalaman 750 m dengan kecepatan ratarata sebesar 33,59 cm/det. Arah arus mengalami penyimpangan ke arah barat daya dan utara pada kedalaman 350 meter terutama pada bulan Juni. Gambaran fenomena ini disajikan dalam Gambar 9. Memasuki musim peralihan kedua yaitu bulan September November 1997 arah arus mulai bergerak tidak menentu terutama pada lapisan di bawah 255 meter dan kecepatan arus cenderung mengecil dibandingkan periode musim

43 29 sebelumnya. Pada lapisan kedalaman 350 m dan 750 m memperlihatkan arah arus yang cenderung bergerak ke arah barat laut dan utara sebagaimana disajikan dalam Gambar pada Lampiran 4. Kecepatan maksimum mencapai 42,23 cm/det pada lapisan kedalaman 205 m. Kecepatan minimum sebesar 2,85 cm/det dengan kecepatan ratarata sebesar 22,69 cm/det. Desember 1996 Januari 1997 Februari 1997 Gambar 8 Grafik stickplot arah dan kecepatan arus pada Bulan Desember 1996 Februari 1997 (Musim Barat, Fase LaNina) di lapisan kedalaman 350 meter (stasiun 1) Lebih lanjut pada puncak musim barat berikutnya yaitu pada Desember 1997, Januari 1998 dan Februari 1998 sebagaimana disajikan dalam Gambar 10 memperlihatkan kecepatan arus terlemah dari periodeperiode sebelumnya. Kecepatan arus maksimum hanya mencapai 40,94 cm/det pada kedalaman 205 m dan minimum 9,50 cm/det pada kedalaman 755 m. Kecepatan arus ratarata pada periode musim ini adalah sebesar 20,31 cm/det. Grafik stickplot arus pada stasiun 1 sebagaimana disajikan dalam Gambar 8, 9 dan 10 memperlihatkan kecepatan arus tertinggi terdapat pada musim timur yaitu sebesar 33,59 cm/det (Juni 1997 Agustus 1997). Namun demikian terdapat keunikan pada musim barat (Desember 1996 Februari 1997, Gambar 8) dengan kecepatan arus ratarata yang sangat

44 30 tinggi jika dibandingkan dengan musim barat (Desember 1997 Februari 1998). Peristiwa ini diduga karena pada musim tersebut adalah fase LaNina sebagaimana diperlihatkan pada nilai Southern Oscillation Index (SOI) yang disajikan dalam Gambar 11. Juni 1997 Juli 1997 Agustus 1997 Gambar 9 Grafik stickplot arah dan kecepatan arus pada Bulan Juni 1997 Agustus 1997 (Musim Timur) di lapisan kedalaman 350 meter (stasiun 1) Nilai indeks pada Desember 1996 sampai Februari 1997 adalah positif yang berarti masa terjadinya LaNina. Index ini mengindikasikan kekuatan angin pasat dimana jika nilai indeks tinggi, gradien tekanan antara timur dan barat pasifik tropis juga tinggi (Stewart 2003). Hal ini mengakibatkan angin pasat yang kuat sehingga mendorong massa air menumpuk di barat pasifik tropis dan menaikkan paras laut di wilayah tersebut. Akibatnya terbentuk kemiringan yang curam mengarah ke pantai selatan Jawa dan Sumbawa. Fenomena inilah yang mengakibatkan aliran arus yang kuat menuju ke selatan. Gordon et al. (1999) juga menyebutkan bahwa transpor Arlindo menguat pada fase LaNina.

45 31 Desember 1997 Januari 1998 Februari 1998 Gambar 10 Grafik stickplot arah dan kecepatan arus pada Bulan Desember 1997 Februari 1998 (Musim Barat, fase ElNino) di lapisan kedalaman 350 meter (stasiun 1) Gambar 11 Indeks Osilasi Selatan (Southern Oscillation Index) tahun Terdapat pola pergantian arah arus dalam periode mingguan (7 15 hari). Fenomena ini terjadi terutama pada lapisan kedalaman 1500 meter sebagaimana disajikan dalam Gambar 12, 13 dan 14. Hal ini diduga oleh karena gerakan kompensasi yang mengimbangi kontinuitas aliran kuat yang terjadi pada kanal yang sempit (recirculate). Selain itu juga fenomena ini diduga merupakan signal komponen pasut periode panjang Mm dan Mf yaitu lebih dari seminggu hingga 30 hari. Sebagaimana Lisitzin (1974) menyebutkan bahwa perairan yang posisinya berada pada 0 10 S komponen Mm dan Mf memberikan kontribusi yang relatif besar yaitu masingmasing sekitar 22,31% dan 41,11%. Kondisi ini menunjukkan

46 32 bahwa pengaruh komponen pasut periode panjang terhadap dinamika laut seperti perairan Indonesia cukup besar. Desember 1996 Januari 1997 Februari 1997 Gambar 12 Grafik stickplot arah dan kecepatan arus di lapisan kedalaman 1500 meter Bulan Desember 1996 Februari 1997 yang menunjukkan arah arus mengalami penyimpangan (reversal) yang diduga karena gerakan kompensasi terhadap kontinuitas pada kanal yang sempit Arah arus yang sesekali bergerak tak menentu arah hingga persisten ke arah utara dan barat laut juga terjadi terutama pada lapisan 350 meter sebagaimana disajikan dalam Gambar 13. Fenomena ini diduga kuat oleh karena propagasi Kelvin Wave dari Samudera India yang merambat masuk melalui Selat Lombok. Sprintall at al. (2000) menyebutkan bahwa signal Gelombang Kelvin ditemukan di Lintasan Arus Pantai Jawa (APJ) dan berbelok ke utara melalui Selat Lombok dan memasuki Selat Makassar.

47 33 Mei 1997 Juni 1997 Gambar 13 Grafik stickplot arah dan kecepatan arus di lapisan kedalaman 350 meter Bulan Mei dan Juni 1997 yang menunjukkan arah arus mengalami penyimpangan (reversal) yang diduga karena propagasi dari Gelombang Kelvin Juni 1997 Juli 1997 Agustus 1997 Gambar 14 Grafik stickplot arah dan kecepatan arus di lapisan kedalaman 1500 meter Bulan Juni 1997 Agustus 1997 yang menunjukkan arah arus mengalami penyimpangan (reversal) yang diduga karena gerakan kompensasi terhadap kontinuitas pada kanal yang sempit.

48 34 Desember 1997 Januari 1998 Februari 1998 Gambar 15 Grafik stickplot arah dan kecepatan arus di lapisan kedalaman 1500 meter Bulan Desember 1997 Februari 1998 yang menunjukkan arah arus mengalami penyimpangan (reversal) yang diduga karena gerakan kompensasi terhadap kontinuitas pada kanal yang sempit. Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 2 Seperti halnya lokasi mooring sebelumnya, mooring stasiun 2 memperlihatkan pola arus yang relatif sama (Gambar 16,17 dan 18). Pada bulan Desember 1996, Januari 1997 dan Februari 1997 (Gambar 16) yang merupakan awal pengamatan menampakkan kecepatan arus yang lebih tinggi dibandingkan dengan kecepatan arus pada stasiun 1. Kecepatan arus tertinggi mencapai 52,15 cm/det pada kedalaman 250 m dan kecepatan minimum 0,32 cm/det pada kedalaman 750 meter dengan kecepatan ratarata sebesar 30,05 cm/det. Pada lapisan 1500 m arah arus berbalik 180 menuju ke arah barat laut dan utara dengan kecepatan yang sangat lemah. Berikut pada bulan Maret, April dan Mei 1997 yang merupakan fase peralihan 1 menuju ke musim timur, kecepatan arus pada lapisan 200 m hingga 350 meter masih cukup tinggi. Grafik stickplot pada periode musim peralihan 1 dapat dilihat pada Lampiran 5. Kecepatan maksimum arus hingga mencapai 49,17

49 35 cm/det dengan arah yang konsisten ke selatan, tenggara dan barat daya. Kecepatan minimum hanya 2,68 cm/det pada lapisan kedalaman 1500 m dengan kecepatan ratarata sebesar 28,38 cm/det. Mulai dari lapisan kedalaman 350 meter arah arus mulai berbalik ke utara dengan kecepatan yang melemah dibandingkan dengan pada lapisan 200 meter. Periode puncak musim timur yaitu pada bulan Juni, Juli dan Agustus 1997 memperlihatkan arah arus yang unik. Pada minggu pertama bulan Mei dan Juni arah arus sesekali mengarah ke barat laut hingga ke utara pada kedalaman 350 meter (Gambar 17). Kecepatan arus maksimum pada musim ini mencapai 53,07 cm pada kedalaman 350 m dan minimum 0,63 cm/det pada kedalaman 1500 m. Kecepatan ratarata arus pada musim ini adalah sebesar 29,85 cm/det. Pada periode September, Oktober dan November 1997 yang merupakan fase peralihan 2 menuju musim barat kecepatan arus perlahan melemah dengan arah yang konsisten ke selatan dan tenggara. Kecepatan arus maksimum masih cukup tinggi hingga mencapai 45,14 cm/det pada kedalaman 250 m dan minimum adalah 4,42 cm/det pada kedalaman 1500 m. Kecepatan arus ratarata lebih rendah dari periode musim timur yaitu hanya 20,57 cm/det. Desember 1996 Januari 1997 Februari 1997 Gambar 16 Grafik stickplot arah dan kecepatan arus pada Bulan Desember 1996 Februari 1997 (Musim Barat, fase LaNina) di lapisan kedalaman 350 meter (stasiun 2)

50 36 Juni 1997 Juli 1997 Agustus 1997 Gambar 17 Grafik stickplot arah dan kecepatan arus pada Bulan Juni 1997 Agustus1997 (Musim Timur) di lapisan kedalaman 350 meter (stasiun 2) Desember 1997 Januari 1998 Februari 1998 Gambar 18 Grafik stickplot arah dan kecepatan arus pada Bulan Desember 1997 Februari 1998 (Musim Timur) di lapisan kedalaman 350 meter (stasiun 2) Pada musim barat berikutnya yaitu bulan Desember 1997 Februari 1998 kecepatan arus melemah dengan nilai maksimum hanya mencapai 40,47 cm/det pada kedalaman 250 m. Gambaran kekuatan dan arah arus untuk periode musim

51 37 ini disajukan dalam Gambar 18. Kecepatan ini merupakan terlemah dari periodeperiode lainnya. Kecepatan minimum mencapai 3,93 cm/det pada kedalaman 1500 m. Kecepatan arus ratarata pada periode musim ini hanya mencapai 18,43 cm/det. Arah arus masih menunjukkan keunikan pada lapisan 1500 m yang mengarah ke utara, hal ini menyimpang dari karakter Arlindo sebenarnya sebagaimana digambarkan dalam Gambar 20. Hasil stickplot pada stasiun 2 memberikan gambaran yang relatif sama dengan fenomena yang terjadi pada satsiun 1. Namun demikian kecepatan arus pada stasiun 2 cenderung lebih kuat. Arah dan kecepatan arus masih menunjukkan karakter yang sama dimana kecepatan arus melemah dengan bertambahnya kedalaman sedangkan arah arus konsisten ke selatan dan tenggara serta pada periode musim tertentu dan lapisan tertentu mengarah ke utara. Menurut Susanto dan Gordon (2003) mengarahnya aliran arus ke utara pada kedalaman 200 m 350 m pada bulan September 1997 Februari 1998 diduga akibat pengaruh ENSO yang kuat pada bulanbulan tersebut. Mereka juga menyebutkan bahwa selama puncak ElNino September 1997 Februari 1998 aliran mengarah ke utara inilah yang mereduksi total transpor ke selatan. Pada akhir Mei dan Juni 1997 juga terlihat arah arus mengarah ke utara pada lapisan kedalaman 350 meter (Gambar 19). Sedangkan Sprintall et al. (2000) menyebutkan bahwa pada periode waktu yang relatif singkat yaitu dari Akhir Mei sampai awal Juni, di sisi timur Selat Makassar terdapat arus yang mengarah ke utara. Aliran arus ke utara ini berhubungan dengan tibanya Gelombang Kelvin di Selat Makassar yang merambat dari Selat Lombok. Dalam penelitian ini ditemukan aliran yang mengalami pembalikan arah tidak hanya terjadi pada bulanbulan tertentu tretapi sepanjang tahun terutama di lapisan dalam (750 m 1500 m). Sehingga diduga kuat pembalikan ini bukan disebabkan karena ElNino tetapi oleh karena gerakan kompensasi terhadap suatu kontinuitas sebagaimana disajikan dalam Gambar 21 dan 22. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya yaitu terdapat keunikan seperti pada dua periode musim barat yaitu Desember 1996 Februari 1997 (Gambar 16) dan Desember 1997 Februari 1998 (Gambar 18). Periode musim barat pada Desember 1996 Februari 1997 menunjukkan kecepatan arus yang cukup tinggi

52 38 dibandingkan periode musim barat pada Desember 1997 Februari Padahal kecepatan arus maksimum di Selat Makassar terjadi pada saat angin musson tenggara antara Juli September dan minimum saat Muson Barat Laut antara November Februari sebagaimana dikemukakan oleh (Meyers et al. 1995; Gordon et al. 1999; Molcard et al. 2000; Hautala et al. 2001). Mei 1997 Juni 1997 Gambar 19 Grafik stickplot kecepatan dan arah arus pada bulan Mei dan Juni 1997 dimana terjadi penyimpangan (reversal) arah arus ke utara dan barat laut yang diduga karena propagasi Gelombang Kelvin Desember 1996 Januari 1997 Februari 1997 Gambar 20 Grafik stickplot arah dan kecepatan arus di lapisan kedalaman 1500 meter Bulan Desember 1996 Februari 1997 yang memperlihatkan arah arus mengalami penyimpangan (reversal) yang diduga karena gerakan kompensasi terhadap kontinuitas pada kanal yang sempit

53 39 Juni 1997 Juli 1997 Agustus 1997 Gambar 21 Grafik stickplot arah dan kecepatan arus di lapisan kedalaman 1500 meter Bulan Juni 1997 Agustus 1997 yang menunjukkan arah arus mengalami penyimpangan (reversal) yang diduga karena gerakan kompensasi terhadap kontinuitas pada kanal yang sempit Desember 1997 Januari 1998 Februari 1998 Gambar 22 Grafik stickplot arah dan kecepatan arus di lapisan kedalaman 1500 meter Bulan Desember 1997 Februari 1998 yang menunjukkan arah arus mengalami penyimpangan (reversal) yang diduga karena gerakan kompensasi terhadap kontinuitas pada kanal yang sempit Fenomena ini diduga kuat karena pada akhir 1996 pertengahan Februari 1997 adalah fase LaNina dimana pada bulanbulan tersebut menguatnya angin pasat yang mengangkut massa air dari Samudera Pasifik Tropis bagian tengah

54 40 menuju ke bagian barat Pasifik. Akibatnya paras laut di Barat Pasifik menaik sehingga kemiringan yang mengarah ke Samudera India (selatan Jawa dan Sumbawa) semakin curam. Fenomena inilah yang merupakan indikasi menguatnya aliran pada musim tersebut. Kejadian sebaliknya terjadi pada musim barat (Desember 1997 Februari 1998) dengan lemahnya aliran yang diduga desebabkan karena pada bulanbulan tersebut adalah masa terjadinya ENSO yang cukup kuat (Indeks SOI menunjukkan nilai negatif, Gambar 11) yang berarti lemahnya angin pasat. Jika hal ini terjadi maka paras laut di barat pasifik menurun, sehingga kemiringan yang mengarah ke Samudera India tidak terlalu curam. Hal ini yang merupakan indikasi lemahnya aliran pada musim tersebut. Fluktuasi Arus dalam Ranah Frekuensi di Selat Makassar Spektrum Densitas Energi Arus Hasil analisis Spektrum Densitas Energi Arus (SDEA) dari dua lokasi mooring Aanderaa (Stasiun 1 dan Stasiun 2) yang memotong Selat Makassar disajikan dalam Gambar SDEA kedua mooring yang disajikan pada gambar menunjukkan variasi yang sangat besar antara kedua komponen u (timur barat) dan v (utara selatan). Periode dan densitas energi dari fluktuasi arus yang dominan di Selat Makassar juga disajikan dalam Tabel 1. Gambar memperlihatkan untuk stasiun 2 SDEA lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun 1. Hal ini konsisten dengan stickplot arus hasil analisis dalam ranah waktu dimana kecepatan arus lebih kuat pada stasiun 2 dibandingkan dengan stasiun 1. Hasil SDEA pada stasiun 1 (lapisan kedalaman 205 m), untuk komponen u terlihat (Gambar 23 (a)) Spektrum Densitas Energi Arus (SDEA) yang signifikan adalah pada periode tahunan (annually) dan antarmusiman (intraseasonal). Hal yang sama juga terjadi untuk komponen v namun dengan densitas energi yang lebih tinggi dibandingkan dengan komponen u. Untuk komponen u spektrum densitas energi signifikan pada periode 40 harian hingga 340 harian. Berikut pada lapisan kedalaman 250 meter hingga lapisan kedalaman 355 meter menunjukkan signal yang sama yaitu mulai dari 80 harian hingga 340 harian.

55 41 Tabel 1 Periode dan densitas energi dari fluktuasi arus yang dominan di Selat Makassar dari Desember 1996 Februari 1998 No Komponen u ( timur barat) Periode Densitas Keterangan Fluktuasi Energi (hari) (cm 2 /siklus per jam) No Komponen v (utara selatan) Periode Densitas Keterangan Fluktuasi Energi (hari) (cm 2 /siklus per jam) Stasiun 1 Lapisan 205 meter Tahunan Tahunan Semitahunan Semitahunan Antarmusiman Antarmusiman Musiman Musiman Bulanan Musiman Bulanan Bulanan Lapisan 255 meter Tahunan Tahunan Semitahunan Semitahunan Antarmusiman Antarmusiman Musiman Musiman Musiman Musiman Musiman Musiman Lapisan 355 meter Semitahunan Tahunan Antarmusiman Semitahunan Antarmusiman Antarmusiman Antarmusiman Antarmusiman Bulanan Antarmusiman Bulanan Bulanan Stasiun 2 Lapisan 200 meter Tahunan Tahunan Semitahunan Semitahunan Antarmusiman Antarmusiman Antarmusiman Antarmusiman Antarmusiman Bulanan Bulanan Bulanan Lapisan 250 meter Tahunan Tahunan Semitahunan Semitahunan Antarmusiman Antarmusiman Antarmusiman Antarmusiman Antarmusiman Antarmusiman Bulanan Bulanan Lapisan 350 meter Tahunan Tahunan Semitahunan Semitahunan Antarmusiman Antarmusiman Antarmusiman Antarmusiman Antarmusiman Antarmusiman Bulanan Bulanan Lapisan 1500 meter Tahunan Bulanan Semitahunan Bulanan Antarmusiman Bulanan Bulanan Bulanan Bulanan Bulanan Bulanan Bulanan

56 42 Data yang digunakan dalam penelitian ini mengalami kekosongan yang cukup banyak pada lapisan kedalaman 750 m sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan analisa Spektrum Densitas Energi Arus. Selanjutnya hasil SDEA di stasiun 2, untuk komponen u (kedalaman 200 m) memperlihatkan SDEA signifikan pada periode 40 harian hingga 340 harian. Namun demikian densitas energi memperlihatkan SDEA pada stasiun cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan SDEA pada stasiun 1. Spektrum densitas energi arus melemah pada kedalaman 1500 m, pelemahan ini juga konsisten dengan stickplot hasil analisis dalam ranah waktu yang mmperlihatkan kecepatan arus pada lapisan kedalaman ini sangat lemah. Pada kedua kelompok SDEA ini terlihat dominasi salah satu komponen yaitu komponen v (utara selatan) yang lebih signifikan dibandingkan dengan komponen u (timur barat). Oleh karena itu dapat dikatakan komponen v (utaraselatan yang mendominasi aliran Arlindo di Selat Makassar. Melemahnya energi spektrum pada komponen timurbarat ini juga didukung oleh grafik stickplot yang menunjukkan karakter kecepatan arus yang lemah ke arah timur dan barat. Sebaliknya, menguatnya spektrum energi dengan puncakpuncak yang signifikan untuk komponen v (utara selatan) pun konsisten dengan grafik stickplot arus. Fenomena ini juga diduga mencerminkan karakter Arlindo yang sepanjang tahun mengalir dari utara ke selatan meskipun mengalami pelemahan pada periodeperiode tertentu. Hasil analisis spektrum energi arus pada kedua mooring Aanderaa terlihat perbedaan energi spektral dimana stasiun 2 menunujukkan energi spektral tertinggi dibandingkan stasiun 1. Kelompok data komponen v menunujukkan energi spektral tertinggi untuk tiap lapisan kedalaman. Hal ini menandakan bahwa aliran arus di Selat makassar didominasi oleh sinyal arus yang mengalir utara selatan. Sebagaimana diketahui bahwa Selat Makassar adalah lintasan utama Arlindo dimana sepanjang tahun aliran mengalir ke selatan meskipun pada periodeperiode tertentu aliran mengalami penyimpangan. Seperti halnya pada bulanbulan tertentu (Mei Juni) aliran mengalami pembalikan arah ke utara meskipun dengan kecepatan yang lemah sebagaimana dikemukakan oleh Gordon dan Susanto (2003).

57 43 Arus yang mengalir di perairan Selat Makassar memiliki beberapa sinyal yang mempunyai nilai spektrum energi tinggi. Nilai spektrum energi yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan nilai spektrum energi lainnya menandakan bahwa sinyal arus tersebut relatif lebih dominan dibandingkan sinyalsinyal arus lainnya. Dari hasil penelitian ini ditemukan beberapa signal arus yang mendominasi variabilitas arus di Selat Makassar. Periodesitas utama yang ditemukan pada spektrum energi arus dengan nilai signifikan antara lain periode 40 harian yang diperkirakan merupakan signal Gelombang Rossby, hal yang sama juga ditemukan Susantio et al (2000). Signal 90 harian diduga kuat merupakan signal yang merepresentasikan Gelombang Kelvin yang merambat melalui Selat Lombok meskipun telah mengalami pelemahan ketika memasuki Selat Makassar. Susanto et al. (2000) menyebutkan bahwa dari data paras laut dan mooring di Selat Makassar terdapat variabilitas intraseasonal yang kemungkinan merupakan respon Gelombang Kelvin dari Samudera India melalui Selat Lombok. (a) (b) Gambar 23 Spektrum densitas energi arus pada lapisan kedalaman 205 m stasiun 1 yang telah ditapis 50 jam. (a) Komponen u (timurbarat), (b) Komponen v (utara selatan. Garis putusputus (merah) adalah batas signifikan pada selang kepercayaan 95%

58 44 (a) (b) Gambar 24 Spektrum densitas energi arus pada lapisan kedalaman 255 m stasiun 1 yang telah ditapis 50 jam. (a) Komponen u (timurbarat), (b) Komponen v (utara selatan. Garis putusputus (merah) adalah batas signifikan pada selang kepercayaan 95% (a) (b) Gambar 25 Spektrum densitas energi arus pada lapisan kedalaman 355 m stasiun 1 yang telah ditapis 50 jam. (a) Komponen u (timurbarat), (b) Komponen v (utara selatan. Garis putusputus (merah) adalah batas signifikan pada selang kepercayaan 95%

59 45. (a) (b) Gambar 26 Spektrum densitas energi arus pada lapisan kedalaman 200 m stasiun 2 yang telah ditapis 50 jam. (a) Komponen u (timurbarat), (b) Komponen v (utara selatan. Garis putusputus (merah) adalah batas signifikan pada selang kepercayaan 95% (a) (b) Gambar 27 Spektrum densitas energi arus pada lapisan kedalaman 250 m stasiun 2 yang telah ditapis 50 jam. (a) Komponen u (timurbarat), (b) Komponen v (utara selatan. Garis putusputus (merah) adalah batas signifikan pada selang kepercayaan 95%

60 46 (a) (b) Gambar 28 Spektrum densitas energi arus pada lapisan kedalaman 350 m stasiun 2 yang telah ditapis 50 jam. (a) Komponen u (timurbarat), (b) Komponen v (utara selatan. Garis putusputus (merah) adalah batas signifikan pada selang kepercayaan 95% (a) (b) Gambar 29 Spektrum densitas energi arus pada lapisan kedalaman 1500 m stasiun 2 yang telah ditapis 50 jam. (a) Komponen u (timurbarat), (b) Komponen v (utara selatan. Garis putusputus (merah) adalah batas signifikan pada selang kepercayaan 95%

61 47 Signal dengan periodesitas 136 harian (4 bulanan) merupakan signal bulanan yang merepresentasikan periode pergantian musim yakni dari musim barat ke peralihan 1, peralihan 1 ke musim timur, musim timur ke peralihan 2 dan selanjutnya kembali ke musim barat. Hal ini juga dikemukakan oleh Purba dan Atmadipoera (2005) yang menemukan fluktuasi paras laut di Selat Makassar dengan periodesitas yang sama. Lebih lanjut periodesitas 340 harian (tahunan) diduga merupakan signal tahunan yang merepresentasikan perbedaan kekuatan musim. Hal ini mengandung arti bahwa naik turunnya muka laut di Barat Pasifik dan Timur Laut Samudera India pada musim yang berbeda selalu tidak sama. Misalnya dari periode musim barat yang satu ke musim barat berikutnya. (Purba dan Atmadipoera 2005) melalui analisa anomali paras laut menyebutkan bahwa setiap tahun terdapat perbedaan kekuatan musim yang menimbulkan perbedaan paras laut antara bagian utara dan selatan Selat Makassar. Hasil analisis spektrum energi arus pada kedua stasiun ini menunjukkan bahwa energi signifikan dengan densitas energi tertinggi terdapat pada lapisan kedalaman meter yang merupakan lapisan termoklin dengan periodesitas harian. Hal ini menunjukkan bahwa aliran Arlindo mencapai nilai maksimum pada lapisan kedalaman meter. Aung (1995); Gordon et al. (1999); Gordon and Susanto (1999) mengungkapkan bahwa aliran Arlindo dominan ke selatan dan terkonsentrasi pada lapisan termoklin. Transpor Massa Air yang Melintasi Selat Makassar (Desember 1996 Februari 1998) Hasil perhitungan volume transpor yang merupakan penjumlahan semua volume massa air yang melewati 9 penampang di mana Andeera ditempatkan pada kedua stasiun disajikan pada Tabel 2. Stasiun 1 pada kedalaman 205 m, 255 m, 355 m dan 750 m sedangkan stasiun 2 masingmasing pada kedalaman 200 m, 250 m, 350 m, 750 m dan 1500 m. Dari Tabel tersebut juga dapat dilihat bahwa ternyata volume transpor maksimum ditemukan pada bulan Januari 1997 yaitu sebesar 12,7 Sv dan transpor minimum ditemukan pada bulan Oktober 1997 sebesar 2,0 Sv. Ratarata nilai transpor selama 14 bulan adalah 6,89 Sv. Hasil ini

62 48 berbeda dengan nilai yang diperoleh Gordon dan Susanto (2001) yaitu sebesar 9,4 Sv. Hal ini disebabkan karena Gordon dan Susanto (2001) menghitung volume transpor tanpa mengurangi aliran ke arah utara akibat pembelokan oleh Kelvin Wave. Dari perhitungan tersebut juga dapat dikatakan bahwa volume transpor Arlindo menguat pada musim timur dan melemah pada musim barat. Transpor Arlindo terkuat terjadi pada saat Muson Tenggara (Juli September) dan transpor terlemah terjadi pada saat Muson Barat Laut (November Februari). Hal ini disebabkan karena pada musim tersebut dimana berkembangnya Musson Tenggara dengan kuatnya Arus Katulistiwa Selatan (AKS) ke arah barat yang mana porosnya bergeser mencapai pantai selatan Jawa Sumbawa yang mengakibatkan massa air tersedot ke arah barat (Wyrtki 1961). Keadaan ini mengindikasikan Arlindo menguat pada musim ini. Hal ini juga dikemukakan oleh penelitipeneliti sebelumnya (Meyers et al. 1995; Gordon et al. 1999; Molcard et al. 2000; Hautala et al. 2001) No Tabel 2 Volume transpor massa air yang melintasi Selat Makassar Waktu 1 Desember Januari ,7 3 Februari ,1 4 Maret ,6 5 April ,7 Debit (Sv) Debit (Sv) Keterangan 1 Sv = 10 6 m 3.s 1 1 Sv = 10 6 m 3.s 1 6 Mei ,47 +1,63 7 Juni ,65 +2,35 8 Juli ,6 9 Agustus ,4 10 September ,6 11 Oktober ,0 12 November ,0 13 Desember ,6 14 Januari ,9 15 Februari ,0 Ratarata 6,89 +1,99 () aliran ke selatan (+) aliran ke utara

63 49 Selain itu terdapat keunikan dimana pada musim barat (Desember 1996 Februari 1997) terdapat jumlah transpor yang jauh lebih besar dibandingkan dengan transpor pada musim barat (Desember 1997 Februari 1998). Fenomena yang menyimpang ini diduga kuat sebagai dampak dari fenomena LaNina yang terjadi pada akhir tahun Pada saat terjadi LaNina tiupan Angin Pasat Tenggara (southeast trade) berlangsung lebih kuat dan lebih mantap melampaui keadaan normalnya (Ilahude 1999). Fenomena inilah yang diduga menaikkan paras laut di bagian barat pasifik yang mengakibatkan gradien paras laut antara barat pasifik dengan timur laut Samudera India lebih tinggi dari keadaan normal. Akibatnya dorongan massa air ke selatan pun semakin kuat, yang pada akhirnya meningkatkan volume transport Arlindo yang seharusnya pada keadaan normal melemah. Untuk menjelaskan fenomena ini juga dapat dilihat dari grafik SOI (Southern Oscilation Index) (Gambar 11) dimana pada akhir tahun 1996 Februari 1997 nilai indeks positif yang menunjukkan fase LaNina. Transpor Arlindo sangat lemah pada musim barat (Desember 1997 Februari 1998) diduga disebabkan karena pada musim ini adalah fase ElNino yang kuat dimana nilai Indeks SOI menunjukkan nilai negatif. Fenomena ini yang merupakan indikasi melemahkan transpor Arlindo. Lebih lanjut, dalam penelitian ini juga dilakukan perhitungan terhadap besarnya volume transpor yang mengarah ke utara pada bulan Mei dan Juni 1997 yang diduga merupakan propagasi Gelombang Kelvin, sebagaimana dikemukakan oleh Susanto dan Gordon (2003). Besarnya volume transpor ratarata yang mengarah ke utara tersebut adalah sebesar 1,99 Sv. Kecepatan Arus Geostropik dan Volume Transpor Data hasil penelitian tahun 1993 yang direcord pada musim timur dibuat tiga transek masingmasing transek 1 yang terletak paling selatan, transek 2 terletak di bagian tengah Selat Makassar (tepatnya di Labbani Channel) sedangkan transek 3 terletak paling utara. Hal yang sama juga dilakukan untuk data tahun Untuk menganalisa arus geostropik hanya dipilih transek 1 dan

64 50 transek 2, karena transek 3 tidak memenuhi syarat untuk dilakukan analisa geostropik. Hasil analisis data yang disajikan dalam Gambar memperlihatkan bahwa selisih anomali kedalaman dinamik antara stasiun dengan nilai yang sama terdapat pada lapisan kedalaman 400 db untuk transek 1 (kedalaman perairan minimum 600 m). Oleh karena itu kedalaman inilah yang dijadikan papar acuan yang merupakan level of no motion. Berikut Level of no motion pada transek 2 ditemukan pada lapisan kedalaman 1600 meter. Kedalaman ini diasumsikan sebagai kedalaman dimana gerakan massa air sudah tidak ada lagi (Defant 1941 dalam Neumann and Pierson 1966) Sebaran Melintang Sigmat dan Anomali Kedalaman Dinamik Periode Musim Timur (Agustus 1993) yang disajikan dalam Gambar 30 memperlihatkan sebaran melintang sigmat (transek 1) dimana garisgaris isopiknal 24,5 27 kg/m 3 dari permukaan hingga lapisan termoklin terlihat membentuk kemiringan ke arah barat dari stasiun 4 1. Hal ini berbeda dengan orientasi nilai densitas pada lapisan di bawah 200 m dimana nilai densitas membentuk kemiringan ke arah timur transek. Ini menunjukkan bahwa aliran massa air akan bergerak dari densitas tinggi menuju daerah yang berdensitas rendah. Bishop (1984) menyebutkan apabila pada suatu perairan terjadi perbedaan densitas mendatar maka massa air di daerah dengan densitas yang tinggi akan bergerak menuju daerah dengan densitas rendah. Dari profil anomali kedalaman dinamik transek 1 juga terlihat hal yang sama dimana anomali kedalaman dinamik membentuk kemiringan dari stasiun 4 ke stasiun 3. Kemiringan yang seragam dari lapisan 0 dbar hingga 100 dbar relatif terhadap papar acuan 400 dbar. Kemiringan yang terbentuk ini mengakibatkan massa air bergerak dari stasiun 4 menuju ke stasiun 3. Namun karena transek berada di belahan Bumi Bagian Selatan (BBS) maka akan dibelokkan oleh coriolis effect ke kiri sehingga massa air bergerak keluar kertas (tenggara). Sebaliknya pada lapisan 200 dan 300 db aliran mengarah masuk kertas (barat laut). Stasiun selanjutnya tidak dapat dilakukan analisis anomali kedalaman

65 51 dinamik karena letak stasiun bagian barat (stasiun 1 dan 2) yang berada pada perairan dengan batimetri yang dangkal (< 300 m). Untuk transek 2 sebagaimana disajikan dalam Gambar 31 yang terletak di sebelah utara dari stasiun 1 terlihat isopiknal membentuk kemiringan yang berbeda dengan transek 1. Isopiknal terlihat menumpuk di tengah dan membentuk kemiringan ke arah timur dan barat transek. Selain itu juga terbentuknya stratifikasi yang kuat dengan isopiknal yang lebih rapat dan dangkal dibandingkan dengan transek 1. Transek 2 memiliki level of no motion yang lebih dalam yaitu 1600 m sesuai dengan batimetri perairannya yang lebih dalam dibandingkan dengan transek 1. Profil anomali kedalaman dinamik pada lapisan kedalaman m terlihat aliran geostropik dari stasiun 6 7 mengarah masuk kertas. Hal ini mengandung arti aliran geostropik mengarah ke utara. Sedangkan untuk stasiun 7 8 terjadi aliran sebaliknya yaitu geostropik mengarah ke selatan relatif terhadap papar acuan 1600 meter. Lapisan di bawah kedalaman 600 meter aliran geostropik cenderung mengalir ke luar kertas yang berarti aliran menuju ke arah selatan sesuai denga karakter Arlindo sebenarnya. Periode Musim Barat (Februari 1994) yang terdiri atas 10 stasiun dibagi dalam 2 transek sebagaimana disajikan dalam Gambar 32 masingmasing transek 1 yang terdiri dari 6 stasiun dan transek 2 terdiri dari 3 stasiun. Sebaran sigmat pada transek 1 terlihat membentuk gelombang isopiknal dan menumpuk di bagian tengah stasiun yang mengindikasikan aliran massa air yang lebih bervariasi dari satu stasiun ke stasiun lainnya. Gambar 32 (b) memperlihatkan profil anomali kedalaman dinamik dimana terdapat kekosongan data pada stasiun 2 3 dan 2 4 karena kedangkalan perairan. Dengan demikian maka analisis hanya dilakukan pada stasiun 4 5 dan 5 6. Anomali kedalaman dinamik pada stasiun 5 6 terlihat kemiringan mengarah ke timur yang menandakan massa air bergerak ke luar kertas (tenggara) kecuali pada lapisan kedalaman 300 dbar massa air bergerak ke arah barat laut. Untuk stasiun 4 5 terjadi kemiringan yang sama dengan stasiun 5 6 namun lebih curam ke arah timur stasiun. Sebaliknya stasiun 1 2 kemiringan mengarah ke barat stasiun yang menandakan massa air bergerak masuk kertas (barat laut) kecuali pada lapisan kedalaman 200 dan 300 dbar massa

66 52 air bergerak masuk kertas (tenggara). Sebaran sigmat pada transek 2 (Gambar 33) tidak membentuk kemiringan yang menyolok dari satu stasiun ke stasiun lainnya sebagaimana pada transek 1. Anomali Kedalaman Dinamik Kedalaman Dinamik (kg/m3) m 25 m 50 m 75 m 100 m 200 m 300 m Stasiun (a) Sebaran sigmat (b) Sebaran anomali kedalaman dinamik = aliran geostropik mengarah masuk bidang ( utara) = aliran geostropik mengarah keluar bidang (selatan) Gambar 30 Sebaran melintang sigmat dan anomali kedalaman dinamik pada transek 1 (stasiun 1 stasiun 4) bulan Agustus Anomali Kedalaman Dinamik Kedalaman Dinamik (Kg/m3) Stasiun 0 m 25 m 50 m 75 m 100 m 200 m 300 m 400 m 500 m 600 m 700 m 800 m 900 m 1000 m 1100 m 1200 m 1300 m 1400 m 1500 m ( (a) Sebaran sigmat (b) Sebaran anomali kedalaman dinamik dinamik Gambar 31 Sebaran melintang sigmat dan anomali kedalaman dinamik transek 2 Agustus 1993 (stasiun 5 8)

67 53 Anomali Kedalaman Dinamik Kedalaman Dinamik (Kg/m3) m 25 m 50 m 75 m 100 m 200 m 300 m Stasiun (a) Sebaran sigmat (b) Sebaran anomali kedalaman dinamik Gambar 32 Sebaran melintang sigmat dan anomali kedalaman dinamik transek 1 (stasiun 1 6) bulan Februari Kedalaman Dinamik (Kg/m3) Stasiun 0 m 25 m 50 m 75 m 100 m 200 m 300 m 400 m 500 m 600 m 700 m 800 m 900 m 1000 m 1100 m 1200 m 1300 m 1400 m 1500 m 1600 m (a) Sebaran Sigmat (b) Sebaran Anomali Kedalaman Dinamik Gambar 33 Sebaran melintang sigmat dan anomali kedalaman dinamik transek 2 (stasiun 6 8) bulan Februari 1994

68 54 Dari sebaran anomali kedalaman dinamik terlihat hampir seluruh stasiun kemiringan mengarah ke arah barat transek, kecuali pada lapisan kedalaman relatif terhadap papar acuan 1700 dbar. Hal ini mengakibatkan aliran geostropik menuju ke luar kertas (arah selatan). Aliran ini diduga merupakan representasi dari aliran Arlindo. Kecepatan Arus Geostropik dan Volume Transpor Kecepatan arus relatif terhadap permukaan isobar 400 dbar untuk transek 1 pada bulan Agustus 1993 (musim timur) disajikan dalam Gambar 35 dengan topografi kedalaman dinamik permukaan 0, 25, 50, 75, 100, 200 dan 300 dbar masingmasing relatif terhadap papar acuan 400 dbar. Untuk transek 1 yang terdiri atas 4 stasiun kecepatan arus menurun dengan bertambahnya kedalaman, hingga kedalaman 300 m pun masih terlihat adanya gerak massa air meskipun kecepatannya relatif lebih kecil dibandingkan dengan kecepatan arus di atasnya. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa karena kedangkalan perairan di stasiun 1 2 dan 2 3 maka arus geostropik hanya dianalisa pada stasiun 3 4. Kecepatan arus geostropik pada stasiun 3 4 mencapai nilai maksimum pada lapisan kedalaman 75 dbar yaitu 34,15 cm/det dan minimum pada lapisan kedalaman 300 m hanya sebesar 3,14 cm/det. Total transpor pada transek 1 yang mewakili lapisan kedalaman dbar adalah 0,32 Sv yang mengarah ke tenggara. Kecepatan arus geostropik di transek 2 sebagaimana disajikan dalam Gambar 36 memperlihatkan kecepatan arus permukaan mencapai nilai maksimum hingga 90 cm/det yang mengarah ke selatan pada stasiun paling barat. Nilai ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan kondisi arus real yang mengarah ke selatan pada stasiun paling barat, sedangkan nilai minimum mencapai 16,42 cm/det mengarah ke utara pada stasiun paling timur dengan total transpor untuk stasiun paling barat (7 8) sebesar 0,8 Sv. Kecepatan arus geostropik yang melebihi kecepatan arus real ini menunjukkan bahwa tidak selamanya arus geostropik itu merepresentasikan arus real. Kecepatan arus di transek 2 untuk setiap stasiun mengalami pergantian arah baik dari utara maupun ke selatan.

69 55 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa arah dan kecepatan arus geostropik mengalami fluktuasi dari satu stasiun ke stasiun yang lain dan tidak terlalu menggambarkan aliran Arlindo sebenarnya yang umumnya arah aliran dominan ke selatan. Hal ini jauh berbeda dengan kecepatan arus hasil pengukuran dimana aliran cenderung mengalir ke tenggara dan selatan yang merupakan karakter Arlindo meskipun pada bulanbulan tertentu aliran mengalir ke utara. Selanjutnya pada periode Februari 1994 (Musim Barat) yang disajikan dalam Gambar 37 dan 38 terdiri atas 10 stasiun yang dibagi dalam 2 transek. Transek 1 yang berada di selatan Selat Makassar terdiri atas 6 stasiun dan pada stasiun 2 terdiri atas 4 stasiun. Namun demikian, karena stasiun 1 2 dan 2 3 berada pada perairan dengan batimetri yang dangkal maka kecepatan arus yang dihasilkan sangat ekstrim. Dengan demikian maka stasiun yang dimasukkan dalam analisa hanya stasiun 3 4, 4 5 dan 5 6. Kecepatan arus geostropik maksimum mencapai 133,80 cm/det di permukaan ke arah tenggara dan kecepatan minimum sebesar 1,06 cm/det pada lapisan kedalaman 200 dbar yang mengarah ke barat laut. Total transpor yang mewakili lapisan kedalaman dbar adalah 1,19 Sv. Pada transek 2 hanya digunakan stasiun 3 4 karena stasiun 1 2 dan 2 3 berada pada perairan dengan batimetri yang dangkal. = kurva yang mewakili aliran geostropik antara stasiun 4 dan 5 = kurva yang mewakili aliran geostropik antara stasiun 5 da 6 Gambar 35 Kecepatan arus geostropik transek 1 pada bulan Agustus 1993

70 56 = Kurva yang mewakili aliran geostropik antara stasiun 7 dan 8 = Kurva yang mewakili aliran geostropik antara stasiun 8 dan 9 Gambar 36 Kecepatan arus geostropik transek 2 pada bulan Agustus 1993 Hasil analisis memperlihatkan kecepatan arus geostropik tertinggi 95,70 cm/det pada lapisan kedalaman 200 m dan terendah 14,93 cm/det pada lapisan kedalaman 300 m. Semua aliran relatif terhadap papar acuan 1500 m dan mengarah ke utara yang berlawanan dengan karakter Arlindo. Kecepatan arus ini sangat tinggi dibandingkan dengan arus hasil pengukuran. Besarnya volume transpor di transek 2 adalah 0,5 Sv. Ucida et al menyebutkan bahwa terdapat perbedaan antara kecepatan arus hasil pengukuran dengan pendekatan geostropik sebesar cm. John et al juga menyebutkan bahwa pada kedalaman maksimum perairan yang kurang dari 500 m geostropik akan lebih cepat cm/detik. Arus geostropik yang terjadi di kedua transek pada bulan Februari 1994 masih menunjukkan suatu fluktuasi yang sama baik arah maupun kecepatannnya dari stasiun yang satu ke stasiun lainnya. Arah arus geostropik terlihat dominan bergerak ke utara, fenomena ini sama sekali berlawanan dengan aliran Arlindo yang sepanjang tahun bergerak ke selatan.

71 57 = kurva yang mewakili aliran geostropik antara stasiun 1 dan 2 = kurva yang mewaikili aliran geostropik antara stasiun 2 dan 3 = kurva yang mewakili aliran geostropik antara stasiun 3 dan 4 = kurva yang mewakili aliran geostropik antara stasiun 4 dan 5 = kurva yang mewakili aliran geostropik antara stasiun 5 dan 6 Gambar 37 Kecepatan arus geostropik transek 1 pada bulan Februari 1994 = kurva yang mewakili aliran geostropik antara stasiun 7 dan 8 =kurva yang mewakili aliran geostropik antara stasiun 8 dan 9 Gambar 38 Kecepatan arus geostropik transek 2 pada bulan Februari 1994

72 58 Hasil penelitian ini menemukan kecepatan arus maksimum terjadi di lapisan termoklin pada bulan Februari (Musim Barat) dan mengarah ke utara yang berlawanan dengan karakter Arlindo pada umumnya. Lemahnya transpor pada bulan Agustus 1993 (musim timur) diduga karena pada bulan tersebut adalah fase ElNino sebagaiamana pada grafik SOI (Gambar 11) memperlihatkan nilai negatif. Fenomena inilah yang merupakan indikasi melemahnya transpor Arlindo. Hasil perhitungan ini juga jauh lebih kecil dari hasil pengukuran arus. Ini menunjukkan bahwa arus geostropik tidak selalu menggambarkan hasil yang sama dengan arus nyata. Purba dan Atmadipoera (2005) menyebutkan anomali arus geostropik permukaan sangat berfluktuasi dan tidak menggambarkan aliran Arlindo namun seperti halnya karakter Arlindo arus permukaan ini menguat ke selatan pada bulan Juni dan Agustus dan aliran cenderung ke utara pada bulan Desember Maret. Fluktuasi Lapisan Termoklin Akibat Transpor Arlindo Ross (1970) menyebutkan bahwa lapisan termoklin adalah lapisan dimana gradien suhu per meter lebih dari 0,1 C. Jika mengacu pada pernyataan tersebut maka lapisan termoklin yang ditemukan di Selat Makassar selama beberapa musim adalah sebagaimana disajikan dalam Tabel 3, 4, 5 dan 6. Tabel 3 adalah fluktuasi lapisan termoklin pada bulan Agustus 1993 yang merupakan data musim timur dan, sedangkan Tabel 4, 5 dan 6 masingmasing adalah periode musim barat tahun 1994, 1996 dan Data yang mewakili musim timur hanya satu kali pengukuran. Datadata tersebut di atas dipetakan dalam transek yang memanjang sejajar dengan aliran Arlindo yaitu dari utara ke selatan dan dibuat sebaran melintang suhu untuk masingmasing periode musim. Hasil analisa statistik deskriptif memperlihatkan bahwa untuk periode musim timur (Agustus 1993) Lapisan Batas Atas Termoklin (BAT) adalah 54,63 m dengan standar deviasi 9,16. Pada musim barat (Februari 1994) BAT berada lebih dalam yaitu 57,64 m dengan standar deviasi 11,63. Berikutnya lapisan termoklin berada jauh lebih dalam pada November 1996 (Musim Barat) yaitu 62,33 m dengan standar deviasi 19,01. BAT kembali berada lebih dangkal pada musim barat berikutnya (Februari 1998).

73 59 Menurut Gordon dan Ilahude (1996) yang meneliti di lokasi yang sama menemukan lapisan termoklin yang berada pada kedalaman 60 m 300 m. Kisaran ini tidak jauh berbeda dengan hasil yang ditemukan dalam penelitian ini. Dari Tabel 3, 4, 5 dan 6 juga dapat dikatakan bahwa ternyata lapisan termoklin berada lebih dalam pada data bulan November Pada hal diketahu bahwa bulan November yang masih dipengaruhi kuat oleh Muson Tenggara dengan aliran yang lemah, seharusnya lapisan termoklin tidak mengalami tekanan dari lapisan permukaan. Hal ini terjadi karena pada pada November 1996 adalah fase LaNina yang diduga menguatkan aliran Arlindo yang pada akhirnya menekan lapisan termoklin berada lebih dalam. Pada bulan Agustus 1993 (Musim Timur) lapisan termoklin terlihat lebih dangkal yaitu 54,53 m dibandingkan dengan musim barat. Padahal pada musim timur yang seharusnya dengan transpor Arlindo yang kuat menekan lapisan termoklin berada lebih dalam. Hal ini diduga karena pada Agustus 1993 terjadi ElNino yang merupakan indikasi lemahnya transpor Arlindo pada musim tersebut yang mengakibatkan muka laut tidak mengalami tekanan yang berarti sehingga lapisan termoklin berada jauh lebih dangkal jika dibandingkan dengan kondisi normal. Lebih lanjut terdapat fenomena yang unik pada periode Musim Barat (Februari 1998) dimana lapisan termoklin berada jauh lebih dangkal yaitu hanya 46,2 m dengan standar deviasi 4,08. Dari grafik SOI sebagaimana disajikan dalam Gambar 11 terlihat Februari 1998 merupakan fase terjadinya ElNino yang kuat sehingga diduga melemahkan aliran yang menyebabkan lapisan termoklin berada jauh lebih dangkal. Selain itu juga dari hasil pengukuran arus sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada musim barat 1998 kecepatan arus mengalami pelemahan dibandingkan dengan musimmusim lainnya. Gordon dan Susanto (1998) mengungkapkan bahwa kedalaman termoklin di Selat Makassar lebih dalam pada masa terjadinya LaNina dimana Arlindo lebih kuat dari biasanya dan sebaliknya termoklin akan berada pada lapisan yang lebih dangkal pada saat terjadinya ElNino. Hasil analisis statistik juga memperlihatkan standar deviasi tertinggi terdapat pada data November 1996 yang hampir memasuki musim barat. Hal ini diduga karena pada musim tersebut dengan kuatnya aliran mengakibatkan

74 60 percampuran massa air yang cukup tinggi sehingga posisi lapisan termoklin cenderung lebih berfluktuasi dibandingkan pada periode musim lainnya. Tabel 3 Lapisan termoklin pada Musim Timur di Selat Makassar (data bulan Agustus 1993), BAT = Batas Atas Termoklin, BAB = Batas Bawah Termoklin. No Posisi BAT (m) BAB (m) Tebal (m) Ratarata 54,63 209,68 135,02 St. Deviasi 9,16 58,53 56,35 Gambar 39 dan 40 terlihat fluktuasi lapisan termoklin yang berbedabeda pada masingmasing periode musim. Untuk periode Musim Timur (Agustus 1993), Batas Atas Lapisan Termoklin terlihat lebih dangkal dibandingkan periode Musim Barat (Februari 1994). Padahal transpor Arlindo menguat pada Musim Timur dimana seharusnya lapisan termoklin berada pada lapisan yang lebih dalam. Hal ini diduga karena pada Agustus 1993 adalah fase ElNino yang dibuktikan dengan Indeks SOI yang bernilai negatif (Gambar 11). Fenomena ini yang menjadi indikasi melemahnya transpor Arlindo yang mengakibatkan lapisan termoklin tidak mengalami tekanan yang berarti. Periode Musim Barat (November 1996) yang merupakan kondisi normal terlihat keberadaan Bata Atas Termoklin yang tidak jauh berbeda dengan Musim Barat (Februari 1994). Namun pada November 1996 terlihat lapisan termoklin berada jauh lebih dalam dengan lapisan tercampur yang lebih tebal sebagaimana pada sebaran melintang suhu (Gambar 39). Hal ini juga diperlihatkan pada Gambar 40 dimana grafik berada pada nilai tertinggi pada periode November 1996 yang berarti lapisan termoklin berada lebih dalam.

75 61 Tabel 4 Lapisan termoklin pada Musim Barat di Selat Makassar (data bulan Februari 1994), BAT = Batas Atas Termoklin, BAB = Batas Bawah Termoklin. No Posisi BAT (m) BAB (m) Tebal (m) Ratarata 57, ,08 St. Deviasi 11,03 36,30 40,25 Tabel 5 Lapisan termoklin pada Musim Barat di Selat Makassar (data bulan November 1996), BAT = Batas Atas Termoklin, BAB = Batas Bawah Termoklin. No Posisi ( ) BAT (m) BAB (m) Tebal (m) Ratarata 62,33 259, St. Deviasi 19,01 26,68 33,82 Tabel 6 Lapisan termoklin pada Musim Barat di Selat Makassar (data bulan Februari 1998), BAT = Batas Atas Termoklin, BAB = Batas Bawah Termoklin. No Posisi ( ) BAT (m) BAB (m) Tebal (m) Ratarata 46,2 217,4 171,20 St. Deviasi 4,08 32,79 29,43

76 62 Agustus 1993 Februari 1994 November 1996 Februari 1998 Gambar 39 Fluktuasi Lapisan termoklin sepanjang Selat Makassar dari tahun Perbedaan yang signifikan terlihat pada sebaran melintang suhu periode Februari 1998 dimana terlihat lapisan Batas Atas Termoklin yang sangat dangkal yaitu pada kedalaman yang kurang dari 50 m. Hal ini juga diperlihatkan pada Gambar 40 dimana pada grafik tersebut menunjukkan nilai yang lebih rendah yang menandakan batas atas lapisan termoklin berada jauh lebih dangkal dengan lapisan percampuran yang tipis. Sebagaimana dari penjelasan sebelumnya dari stickplot arus juga menunjukkan kecepatan arus yang lemah dibandingkan dengan periode musim barat yang lain. Fenomena ini yang mengindikasikan aliran yang lemah sehingga lapisan termoklin tidak mengalami tekanan menuju lapisan yang lebih dalam.

77 Agust 93 Agust 93 Agust 93 Agust 93 Agust 93 Agust 93 Agust 93 Feb94 Feb94 Feb94 Feb94 Feb94 Feb94 Feb94 Feb94 Nov96 Nov96 Feb98 Feb Gambar 40 Grafik fluktuasi lapisan termoklin sepanjang Selat Makassar ( ). Ket. Gambar : Sumbu x = Batas Atas (BAT) lapisan termoklin pada Agustus 1993, Februari 1994, November 1996 dan Februari 1998 Sumbu y = Kedalaman perairan dalam satuan (m)

78 KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN Hasil analisis terhadap kekuatan dan arah arus menunjukkan bahwa sepanjang tahun aliran arus di Selat Makassar mengarah ke selatan dan tenggara yang merupakan representasi dari karakter Arlindo. Namun demikian pada periode dan lapisan tertentu arah arus mengalami penyimpangan ke arah utara. Hal ini diduga kuat disebabkan karena Gelombang Kelvin pada lapisan meter dan resirkulasi akibat kompensasi terhadap suatu kontinuitas aliran khususnya pada lapisan kedalaman meter. Kecepatan arus mengalami penguatan pada musim timur berdasarkan hasil pengukuran arus yaitu sebesar 27,22 cm/det dan lemah pada musim barat yaitu sebesar 19,37 cm/det. Hal ini juga terjadi pada laju transpor yang dihitung dari hasil pengukuran arus. Laju transpor Arlindo terkuat pada musim timur mencapai nilai 10,6 Sv dan terlemah pada musim barat yaitu 4,6 Sv yang mengarah ke selatan. Besarnya transpor yang mengarah ke utara yang diduga karena Gelombang Kelvin adalah sebesar 1,99 Sv pada bulan Mei dan Juni. Meskipun demikian kekuatan arus dan laju transpor mengalami penyimpangan dari kondisi normal saat fase ElNino dan LaNina. Laju transpor menguat saat terjadi LaNina dan melemah saat terjadi ElNino. Variabilitas arus di Selat Makassar memiliki beberapa signal dengan periodesitas yang signifikan. Periodesitas tersebut berhubungan dengan signal periode 40 harian (intraseasonal) yang diduga merupakan signal Gelombang Rossby. Periodesitas 90 harian diduga sebagai representasi Gelombang kelvin. Selain itu terdapat signal dengan periodesitas 136 harian yang diduga merupakan signal periode pergantian musim. Periodesitas tertinggi yang ditemukan adalah 340 harian yang merupakan signal tahunan yang merepresentasikan perbedaan kekuatan musim setiap tahunnya. Signal ini menggambarkan paras laut antara bagian barat Samudera Pasifik dengan timur laut Samudera India mengalami perbedaan untuk musim yang sama pada tahun yang berbeda.

79 65 Analisis geostropik memperlihatkan arah dan kecepatan arus yang tidak terlalu menggambarkan karakter Arlindo. Kecepatan arus geostropik menguat pada Musim Barat dengan kecepatan ratarata untuk dua transek adalah 114 cm/det dengan besar transpor adalah 1,17 Sv. Sebaliknya kecepatan arus melemah pada Musim Timur dengan nilai 62,08 cm/det dengan besar transpor adalah 0,56 Sv. Fenomena ini disebabkan karena pada bulan Agustus 1993 (musim timur) adalah masa dimana terjadinya ElNino yang diduga melemahkan aliran. Transpor geostropik jauh lebih kecil dibandingkan dengan transpor berdasarkan hasil pengukuran arus, hal ini menunjukkan bahwa aliran geostropik tidak selalu menggambarkan arus nyata sebagaimana ditemukan dalam penelitian ini. Lapisan termoklin di Selat Makassar berada pada lapisan yang dangkal pada musim barat karena melemahnya aliran arus pada musim tersebut. Sebaliknya pada musim timur lapisan termoklin tertekan lebih dalam karena kuatnya arus. Meskipun demikian lapisan termoklin juga dipengaruhi kuat oleh fenomena El Nino dan LaNina. S A R A N Untuk mengetahui lebih jauh mengenai variabilitas dan karakteristik Arlindo khususnya di Selat Makassar maka selain data arus juga diperlukan data sea level (paras laut) serta data CTD yang direcord pada waktu yang sama serta dalam time series yang lebih panjang.

80 DAFTAR PUSTAKA Aung, T. H., IndoPacific Throughflow and its Seasonal Variations. In the ASEANAustralia Regional OceanDynamics Expeditions Proceedings Held in Lombok, Indonesia, June G. Cresswell and G. Wells (Eds.), Australian Marine Science and Technology Limited. Burnett, W. H., V. M. Kamenkovich, A. L. Gordon and G. L. Mellor, The Pacific/Indian Ocean Pressure Diffirence and Its Influence on The Indonesian Seas Circulations : Part I The Study with Specified Total Transport. J. Mar. Res, 61, Bendat, J. S. And A. G. Piersol, Random Data : Analysis and Measurement Procedures. WilleyInterscience, New York. Bray, N. A., S. Hautala, J. C. Chong and J. Pariwono. Large Scale Sea Level, Thermocline and Wind Variations In The Indonesian Throughflow Region. J. Geophys. Res., Broecker, W. S : The Great Conveyor Belt. Oceanogr., 4, [1.2,2.1,4.7]. Broecker, W. S Termohaline Circulations, the Achilles Heel of Our Climate System : Will Man Made CO 2 Upset the Curent Balance? Science 278 (5343) : Cane, M. A. and P. Molnar Clossing of The Indonesian Seaway as A precursor to East African Aridification Around 34 Million Years Ago. LDEO. Columbia University, Palisades, New York USA. Nature. Vol May Cresswell, G., The ASEANAustralia Regional Ocean Dynamics Expeditions IndoPacific Throughflow and Its Seasonal Variations. In the ASEANAustralia Regional 32 Ocean Dynamics Expeditions Proceeding Held in Lombok, Indonesia, June G. Cresswell and G Wells (Eds.), Australian Marine Science and Technology Limited. Cresswell, G. And J. L. Luick Measurement in The Hakmahera Sea, J. Geophys. Res., 106, Ffield, A., and A.L. Gordon Vertical Mixing in The Indonesian Thermocline. J. Geophys. Res, 22(2): Foffonof, N. P Physical Properties of Sea Water, in The Sea Vol. 1. Interscience Publications. New York.

81 67 Godfrey, J. S., The Effect of Indonesian Throughflow on Ocean Circulation and Heat Exchange With the Atmosphere : A Review. J. Geophys. Res., 101, ,238. Gordon, A Interocean Exchange of Thermocline Water. J. Phys. Oceanogr., 91, When is Appearance Reality? A comment on Why Does the Indonesian Throughflow Appear to Originate from the North Pacific. J. Phys. Oceanogr. Vol Inter Ocean Exchange Chapter 4.7 In Ocean Circulation and Climate, G. Sicdler, J. Church, and J Gould, eds., Academie Press, Gordon, A. L., R. D. Soesanto Throughflow Within Makassar Strait, Geophys. Res. Lett., 26, Gordon, A. L and R. Fine Pathways and Strength of the Indonesian Throughflow. In 1995 U.S WOCE Implementation Report Number 7, Texas A & M Uneversity, College Station, U.S.A. Gordon, A. L. And J. McClean Termohaline Stratification of the Indonesian Seas Model and Observations, J. Pys. Ocean., 29, , Hautalla, S. L., J. L. Reid and N. Bray The Distribution and Mixing of Pacific Water Masses in The Indonesian Seas. J. Geophys. Res., 101 (C5) : Hautalla, S. L., J. Sprintall, J. Potemra, A. G. Ilahude, J. C. Chong. W. Pandoe and N. Bray Velocity Structure and Transport of Indonesian Throughflow in The Major Strait Restricting Flow into The Indian Ocean. J. Geophys. Res., 106, 19,52719,546. Ilahude, A. G. and A. Gordon Thermocline Stratification Within the Indonesian Seas. J. Geophys. Res., 101 (C5): Ilahude, A. G Pengantar ke Oseanografi Fisika. Pusat Pengembangan Oseanologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. PT Rapihbudimulia. Johns E., D. R. Watts, and H. T. Rossby A test of Geostrophy in the Gulf Stream. J. Geophys. Res. 94 (C3) : Kasino, Y., E. Firring, P. Hacker, A. Sulaiman and Lukyanto Current in The Celebes and Moluccas Sea. Geophys. Res. Lett., 28, 1,263 1,266.

82 68 Kindle, J. C., H. E, Hurlburt, and E. J. Metzger On The Seasonal and Interannual Variability of The Pacific Indian Ocean Throughflow. Western Pacific International Meeting and Workshop on TOGA COARE, J. Picaut, R. Lukas, and T. Delcoroix, eds., Naumea, New Caledonia, [4.7]. Lisitzin, E Sea Level Change. Elsevier Scientific Publishing Company, New York. Meyers, G., R. J. Balley, and A. P. Worby, Geostrophic Transport of Indonesian Throughflow, Deep Sea Res., Part 1, 42, Molcard, R., A.G. Ilahude, M. Fieux, J. C. Swallow, and J. Banjarnahor Low Frequency Variability of The Current in Indonesia Channels (Savu Roti M1 and Roti Ashmore Reef M2). Deep Sea Res., 41, Murray, S. P., E. Lindstrom, J. Kindle and E. Weeks Transport Through The Vitiaz Strait, WOCE Notes. 7, Murray, S. P. And D. Arief Throughflow into The Indian Ocean through The Lombok Strait, January 1985 January Nature, 333, Neumann, G and W. J Pierson Jr Principle of The Physical Ocenography Prentice Hall, Inc. Engelwood Cliff. Philander, S. G. H and Pacanowski, R. C Properties of Long Equatorial Waves in Models of the Seasonal Cycle in the Tropical Atlantic and Pacific Oceans. J. Geophys Res, 91, Piola, A., and A. L. Gordon, On Oceanic Heat and Freshwater Fluxes 30 S. J. Phys. Oceanogr., 16, [4.7]. Pond, S. and G. L. Pickard Introductory Dynamical Oceanography 2 nd ed. Pergammon Press.New York. Potemra, J. T., R. Lukas and G. T. Mitchum Large Scale Estimation of Transport from The Pacific to The Indian Ocean. J. Geophys. Res., 102, Potemra, J. T., S. L. Hautala, J. Sprintall and W. Pandoe Interaction between The Indonesian Seas and The Indian Ocean in Observations and Numerical Models. J. Phys. Oceanogr., 32, Purba, M and A. S. Atmadipoera, Sea Level Anomaly (SLA) Variabilities and Surface Geostrophic Flow Along Sulawesi Sea, Makassar dan Lombok Straits Using TOPEX/ERS2 Altimeter Data. Proceedings The Indonesian Ocean Forum 2005 and the 13th PAMS/JECSS Workshop July , Bali Indonesia.

83 69 Qiu, B., M. Mao, and Y. Kashino, Intraseasonal Variability in The Pacific Throughflow and Region Surrounding The Indonesian Seas. J. Phys. Oceanogr. 29 : Ross, A. D Introduction to Oceanography. Meredith Corporation. New York. Saji, N. H., B. N. Goswami, P. N. Vinayachandaran, and T. Yamagata, A diploe Mode in The tropical Indian Ocean, Nature, 401, Schiller, A., J. S. Godfrey, P. C. McIntosh, G. Meyers and S. E. Wijjfels Seasonal NearSurface Dynamics and Thermodynamics of The Indian Ocean and Indonesian Throughflow in A global Ocean Circulation Model, J. Phys. Oceanogr., 28, Schneider, N The Indonesian Throughflow and The global Climate System, J. Climate, 11, Schlitzer R Ocean Data Veiw (ODV). Maret Sprintall J, A L Gordon, R. Murtugudde and R. D. Susanto A semiannual Indian Ocean Forced Kelvin Wave Observed in The Indonesian Seas in May J. Geophys. Res., 105, Stewart R. H Introduction to Physical Oceanography, pdf version. Dept. of Oceanography. Texas A & M University. textbook/pdf file/book pdf files.html. Tomczak, M. and J. S. Godfrey Regional Oceanography: An Introduction. Pergamon.Sidney. Topogulf Group Topogulf A joint Programme Initiated by IFREMER, Brest (France) IFM, Kiel (West Germany). Data Report. Vol : CTD, O2 and Nutrients. Berichte Aus Dem Institut Fur Meereskunde An Der Christian Albrachts Universitat, Kiel. Nr154. Uchida H., S. Imawaki, and J. H. Hu Comparisons of Kuroshiwo Surface Velocities Derived from Satelite Altimeter and Drifting Bouy Data. J. Oceanogr 54 : Wajsowicz, R. C., A. L. Gordon, A. Ffield, and R. D. Susanto, Estimating Transport in Makassar Strait. In : Physical Oceanography of Indian Ocean During The WOCE Periode, F. Scholt (ed), DeepSea Research II (50: ).

84 70 Webster, P. J., A. M. Moore, J. P. Loschnigg, and R. R. Leben Coupled OcenAtmosphere Dynamics in The Indian Ocean during Nature, 401, Wyrtki, K Physical Oceanography of The Southeast Asian Water. Naga Report Vol. 2. Scripps Inst. Oceanography. The University of California. La Jolla. California. Wyrtki, K Indonesian Throughflow and Associated Pressure Gradient, J. Geophys. Res., 92, 12,94112,946.

85 71 Lampiran 1 Sketsa mooring Aanderaa di Selat Makassar Stasiun 2 Stasiun 1 Sumber : LDEO Columbia University, USA

86 72 Lampiran 2 CTD (Conductivity Temperature and Depth) dan Spesifikasinya Temperature ( C ) Conductivity (S/m) Optional pressure 0 full scale range Range Pengukuran 5 sampai +35 meters /100/350/1000/ (0 70 ms/cm) 2000/3500/7000 Akurasi % of full scale (0.003 ms/cm) range Stabilitas % of full scale Resolusi (0.003 ms/cm) (0.001 ms/cm) range 0.002% of full scale range Sumber : BPPT Pusat Jakarta

87 73 Lampiran 3 Grafik stickplot kecepatan dan arah arus tiap lapisan kedalaman di stasiun 1 Selat Makassar Desember m 355 m 755 m Januari m 355 m 755 m

88 74 Februari m 355 m 755 m Maret m 355 m April m 255 m 355 m

89 75 Mei m 255 m 355 m Juni m 255 m 355 m Juli m 255 m 355 m 755 m

90 76 Agustus m 255 m 355 m September m 255 m 755 m Oktober m 255 m 355 m 755 m

91 77 November m 255 m 355 m 755 m Desember m 255 m 355 m 755 m

92 78 Januari m Februari m 255 m 355 m 755 m

93 79 Lampiran 4 Grafik stickplot kecepatan dan arah arus di stasiun 2 Selat Makassar Desember m 250 m 350 m 750 m 1500 m Januari m 250 m 350 m 750 m 1500 m

94 80 Februari m 250 m 350 m 750 m 1500 m Maret m 250 m 350 m 750 m 1500 m

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan iklim global sekitar 3 4 juta tahun yang lalu telah mempengaruhi evolusi hominidis melalui pengeringan di Afrika dan mungkin pertanda zaman es pleistosin kira-kira

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Arus Lintas Indonesia ( Indonesian Seas Throughflow

TINJAUAN PUSTAKA Arus Lintas Indonesia ( Indonesian Seas Throughflow TINJAUAN PUSTAKA Arus Lintas Indonesia (Indonesian Seas Throughflow) Broecker (1997) dan Gordon (1987) menyebutkan bahwa tiga samudera di permukaan bumi memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya. Keterkaitan

Lebih terperinci

VARIABILITAS DAN KARAKTERISTIK ARUS LINTAS INDONESIA HUBUNGANNYA DENGAN FLUKTUASI LAPISAN TERMOKLIN DI PERAIRAN SELAT MAKASSAR

VARIABILITAS DAN KARAKTERISTIK ARUS LINTAS INDONESIA HUBUNGANNYA DENGAN FLUKTUASI LAPISAN TERMOKLIN DI PERAIRAN SELAT MAKASSAR VARIABILITAS DAN KARAKTERISTIK ARUS LINTAS INDONESIA HUBUNGANNYA DENGAN FLUKTUASI LAPISAN TERMOKLIN DI PERAIRAN SELAT MAKASSAR HALIKUDDIN UMASANGAJI C 651020051 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

VARIABILITAS DAN KARAKTERISTIK ARUS LINTAS INDONESIA HUBUNGANNYA DENGAN FLUKTUASI LAPISAN TERMOKLIN DI PERAIRAN SELAT MAKASSAR

VARIABILITAS DAN KARAKTERISTIK ARUS LINTAS INDONESIA HUBUNGANNYA DENGAN FLUKTUASI LAPISAN TERMOKLIN DI PERAIRAN SELAT MAKASSAR VARIABILITAS DAN KARAKTERISTIK ARUS LINTAS INDONESIA HUBUNGANNYA DENGAN FLUKTUASI LAPISAN TERMOKLIN DI PERAIRAN SELAT MAKASSAR HALIKUDDIN UMASANGAJI C 651020051 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1 Pada bulan Desember 1996 Februari 1997 yang merupakan puncak musim barat

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Indonesia merupakan area yang mendapatkan pengaruh Angin Muson dari tenggara pada saat musim dingin di wilayah Australia, dan dari barat laut pada saat musim

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Data arus diperoleh dari Mooring Aanderaa yang merupakan bagian dari Program Arlindo Indonesia-USA pada dua lokasi di Selat Makassar masingmasing pada posisi

Lebih terperinci

KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT)

KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT) KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT) Oleh: Ince Mochammad Arief Akbar C64102063 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR Oleh : Agus Dwi Jayanti Diah Cahyaningrum C64104051 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

DINAMIKA MASSA AIR DI PERAIRAN TROPIS PASIFIK BAGIAN BARAT DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERUBAHAN MUSIM DAN EL NINO SOUTHERN OSCILLATION

DINAMIKA MASSA AIR DI PERAIRAN TROPIS PASIFIK BAGIAN BARAT DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERUBAHAN MUSIM DAN EL NINO SOUTHERN OSCILLATION DINAMIKA MASSA AIR DI PERAIRAN TROPIS PASIFIK BAGIAN BARAT DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERUBAHAN MUSIM DAN EL NINO SOUTHERN OSCILLATION Oleh : SEPTINA PAPILAYA K.L C64103024 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi Suhu Permukaan Laut (SPL) model SODA versi 2.1.6 diambil dari lapisan permukaan (Z=1) dengan kedalaman 0,5 meter (Lampiran 1). Begitu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Konsentrasi klorofil-a suatu perairan sangat tergantung pada ketersediaan nutrien dan intensitas cahaya matahari. Bila nutrien dan intensitas cahaya matahari cukup tersedia,

Lebih terperinci

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE)

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE) VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE) Oleh : HOLILUDIN C64104069 SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Arus Eddy Penelitian mengenai arus eddy pertama kali dilakukan pada sekitar tahun 1930 oleh Iselin dengan mengidentifikasi eddy Gulf Stream dari data hidrografi, serta penelitian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil dan Verifikasi Hasil simulasi model meliputi sirkulasi arus permukaan rata-rata bulanan dengan periode waktu dari tahun 1996, 1997, dan 1998. Sebelum dianalisis lebih

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sebaran Angin Di perairan barat Sumatera, khususnya pada daerah sekitar 2, o LS hampir sepanjang tahun kecepatan angin bulanan rata-rata terlihat lemah dan berada pada kisaran,76 4,1

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Kesuburan Perairan dan Oseanografi Fisika 4.1.1. Sebaran Ruang (Spasial) Suhu Permukaan Laut (SPL) Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) di perairan Selat Lombok dipengaruhi

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu Permukaan Laut (SPL) Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu benda. Secara alamiah sumber utama bahang dalam air laut adalah matahari. Daerah yang

Lebih terperinci

ARLINDO (ARUS LINTAS INDONESIA): KORIDOR PENTING DALAM SISTEM SIRKULASI SAMUDRA RAYA

ARLINDO (ARUS LINTAS INDONESIA): KORIDOR PENTING DALAM SISTEM SIRKULASI SAMUDRA RAYA ARLINDO (ARUS LINTAS INDONESIA): KORIDOR PENTING DALAM SISTEM SIRKULASI SAMUDRA RAYA Salah satu topik penelitian osenografi yang banyak mendapat perhatian dalam beberapa dekade terakhir ini adalah Arlindo

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Samudera Hindia mempunyai sifat yang unik dan kompleks karena dinamika perairan ini sangat dipengaruhi oleh sistem angin musim dan sistem angin pasat yang

Lebih terperinci

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b a Program Studi Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Tanjungpura, b Program Studi Ilmu

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar BAB II Tinjauan Pustaka II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar Matsumoto dan Yamagata (1996) dalam penelitiannya berdasarkan Ocean Circulation General Model (OGCM) menunjukkan adanya variabilitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 El Niño-Osilasi Selatan (ENSO-El Niño Southern Oscillation).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 El Niño-Osilasi Selatan (ENSO-El Niño Southern Oscillation). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 El Niño-Osilasi Selatan (ENSO-El Niño Southern Oscillation). Pada tahun 1997 terjadi pengaruh global dari kejadian ENSO yang menyebabkan anomali kondisi iklim yang berkepanjangan.

Lebih terperinci

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu Jurnal Gradien Vol. 11 No. 2 Juli 2015: 1128-1132 Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu Widya Novia Lestari, Lizalidiawati, Suwarsono,

Lebih terperinci

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA OLEH : ANDRIE WIJAYA, A.Md FENOMENA GLOBAL 1. ENSO (El Nino Southern Oscillation) Secara Ilmiah ENSO atau El Nino dapat di jelaskan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise Peta sebaran SPL dan salinitas berdasarkan cruise track Indomix selengkapnya disajikan pada Gambar 6. 3A 2A

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pelapisan Massa Air di Perairan Raja Ampat Pelapisan massa air dapat dilihat melalui sebaran vertikal dari suhu, salinitas dan densitas di laut. Gambar 4 merupakan sebaran menegak

Lebih terperinci

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut Oleh : Martono, Halimurrahman, Rudy Komarudin, Syarief, Slamet Priyanto dan Dita Nugraha Interaksi laut-atmosfer mempunyai peranan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. Kondisi Umum Perairan Selatan Jawa Perairan Selatan Jawa merupakan perairan Indonesia yang terletak di selatan Pulau Jawa yang berhubungan secara langsung dengan Samudera Hindia.

Lebih terperinci

Gambar 1. Pola sirkulasi arus global. (www.namce8081.wordpress.com)

Gambar 1. Pola sirkulasi arus global. (www.namce8081.wordpress.com) Arus Geostropik Peristiwa air yang mulai bergerak akibat gradien tekanan, maka pada saat itu pula gaya coriolis mulai bekerja. Pada saat pembelokan mencapai 90 derajat, maka arah gerak partikel akan sejajar

Lebih terperinci

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA 2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA Pendahuluan LCSI terbentang dari ekuator hingga ujung Peninsula di Indo-Cina. Berdasarkan batimetri, kedalaman maksimum perairannya 200 m dan

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Aken, H.M. Van.and S. Makarim INSTANT : Observations in Lifamatola Passage. NIOZ.

DAFTAR PUSTAKA. Aken, H.M. Van.and S. Makarim INSTANT : Observations in Lifamatola Passage. NIOZ. DAFTAR PUSTAKA Aken, H. M. Van, J. Punjanan, dan S. Saimima, 1988. Physical Aspect of The East Flushing of The East Indonesian Basins. Netherlands Journal of Sea Research 22 (4): 315-339 Aken, H. M. Van,

Lebih terperinci

berada di sisi pantai dan massa air hangat berada di lepas pantai. Dari citra yang diperoleh terlihat bahwa rrpweliit7g dapat dengan jelas terlihat

berada di sisi pantai dan massa air hangat berada di lepas pantai. Dari citra yang diperoleh terlihat bahwa rrpweliit7g dapat dengan jelas terlihat Mhd. Yudya Bakti. Ijincmrikn Peroirnn cfi SElnfnn Jaws Tinrrir - Bnli Pach h41tsinr Tinrur 1990, di bawah bimbingan Dr. Ir. Molia Purba, MSc. Sebagai Ketua komisi Pembimbing, Dr. Ir. Vincel~tius P. Siregar

Lebih terperinci

ANALISIS SINYAL EL NIÑO SOUTHERN OSCILLATION (ENSO) DAN HUBUNGANNYA DENGAN VARIABILITAS ARUS LINTAS INDONESIA DI SELAT LIFAMATOLA TUGAS AKHIR

ANALISIS SINYAL EL NIÑO SOUTHERN OSCILLATION (ENSO) DAN HUBUNGANNYA DENGAN VARIABILITAS ARUS LINTAS INDONESIA DI SELAT LIFAMATOLA TUGAS AKHIR ANALISIS SINYAL EL NIÑO SOUTHERN OSCILLATION (ENSO) DAN HUBUNGANNYA DENGAN VARIABILITAS ARUS LINTAS INDONESIA DI SELAT LIFAMATOLA TUGAS AKHIR Disusun untuk memenuhi salah satu syarat kurikuler Program

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Pola Iklim, Arus Pasang Surut, dan Gelombang di Selat Lombok

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Pola Iklim, Arus Pasang Surut, dan Gelombang di Selat Lombok BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pola Iklim, Arus Pasang Surut, dan Gelombang di Selat Lombok Pada sub bab ini dipaparkan mengenai keadaan di kawasan Selat Lombok yang menjadi daerah kajian dalam tugas akhir

Lebih terperinci

ANALISIS VARIASI MUKA LAUT DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP DAN BENOA MENGGUNAKAN METODE WAVELET

ANALISIS VARIASI MUKA LAUT DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP DAN BENOA MENGGUNAKAN METODE WAVELET ANALISIS VARIASI MUKA LAUT DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP DAN BENOA MENGGUNAKAN METODE WAVELET Oleh : Imam Pamuji C64104019 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

Kajian Elevasi Muka Air Laut di Perairan Indonesia Pada Kondisi El Nino dan La Nina

Kajian Elevasi Muka Air Laut di Perairan Indonesia Pada Kondisi El Nino dan La Nina Kajian Elevasi Muka Air Laut di Perairan Indonesia Pada Kondisi El Nino dan La Nina Niken Ayu Oktaviani 1), Muh. Ishak Jumarang 1), dan Andi Ihwan 1) 1)Program Studi Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Peta lokasi penelitian disajikan pada Lampiran A. Hasil pengolahan data arus polar current rose disajikan pada Lampiran B. Hasil pengolahan data komponen arus setelah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Daerah Kajian Daerah yang akan dikaji dalam penelitian adalah perairan Jawa bagian selatan yang ditetapkan berada di antara 6,5º 12º LS dan 102º 114,5º BT, seperti dapat

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 Data Siklon Tropis Data kejadian siklon tropis pada penelitian ini termasuk depresi tropis, badai tropis dan siklon tropis. Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data

Lebih terperinci

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah lautan yang lebih luas dibandingkan luasan daratannya. Luas wilayah laut mencapai 2/3 dari luas wilayah daratan. Laut merupakan medium yang

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR Oleh : Agus Dwi Jayanti Diah Cahyaningrum C64104051 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

Fase Panas El berlangsung antara bulan dengan periode antara 2-7 tahun yang diselingi fase dingin yang disebut dengan La Nina

Fase Panas El berlangsung antara bulan dengan periode antara 2-7 tahun yang diselingi fase dingin yang disebut dengan La Nina ENSO (EL-NINO SOUTERN OSCILLATION) ENSO (El Nino Southern Oscillation) ENSO adalah peristiwa naiknya suhu di Samudra Pasifik yang menyebabkan perubahan pola angin dan curah hujan serta mempengaruhi perubahan

Lebih terperinci

Oleh Tim Agroklimatologi PPKS

Oleh Tim Agroklimatologi PPKS Kondisi Indian Oscillation Dipole (IOD), El Nino Southern Oscillation (ENSO), Curah Hujan di Indonesia, dan Pendugaan Kondisi Iklim 2016 (Update Desember 2015) Oleh Tim Agroklimatologi PPKS Disarikan dari

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi Spasial Arus Eddy di Perairan Selatan Jawa-Bali Berdasarkan hasil visualisasi data arus geostropik (Lampiran 3) dan tinggi paras laut (Lampiran 4) dalam skala

Lebih terperinci

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221)

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu, Cahaya dan Warna Laut Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu Bersama dengan salinitas dan densitas, suhu merupakan sifat air laut yang penting dan mempengaruhi pergerakan masa air di laut

Lebih terperinci

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA)

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA) PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA) Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA I. PENDAHULUAN Wilayah Indonesia berada pada posisi strategis, terletak di daerah

Lebih terperinci

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin Umum Perairan Indonesia memiliki keadaan alam yang unik, yaitu topografinya yang beragam. Karena merupakan penghubung dua system samudera

Lebih terperinci

VARIABILITAS ARUS, SUHU, DAN ANGIN DI PERAIRAN BARAT SUMATERA SERTA INTER-RELASINYA DENGAN INDIAN OCEAN DIPOLE MODE

VARIABILITAS ARUS, SUHU, DAN ANGIN DI PERAIRAN BARAT SUMATERA SERTA INTER-RELASINYA DENGAN INDIAN OCEAN DIPOLE MODE VARIABILITAS ARUS, SUHU, DAN ANGIN DI PERAIRAN BARAT SUMATERA SERTA INTER-RELASINYA DENGAN INDIAN OCEAN DIPOLE MODE (IODM) DAN EL NINO SOUTHERN OSCILLATION (ENSO) ASYARI ADISAPUTRA SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU

Lebih terperinci

Gravitasi Vol.13 No.1 ISSN:

Gravitasi Vol.13 No.1 ISSN: Penentuan Koherensi dan Beda Fase Antara Angin dengan Arus 60m dan Arus 60m dengan Arus 100m Menggunakan Korelasi Silang Di Selat Ombai Nusa Tenggara Timur Determination of Coherence and Phase Difference

Lebih terperinci

PRISMA FISIKA, Vol. II, No. 1 (2014), Hal ISSN :

PRISMA FISIKA, Vol. II, No. 1 (2014), Hal ISSN : PRISMA FISIKA, Vol. II, No. (24), Hal. - 5 ISSN : 2337-824 Kajian Elevasi Muka Air Laut Di Selat Karimata Pada Tahun Kejadian El Nino Dan Dipole Mode Positif Pracellya Antomy ), Muh. Ishak Jumarang ),

Lebih terperinci

ILMU & TEKNOLOGI KELAUTAN (ITK 502)

ILMU & TEKNOLOGI KELAUTAN (ITK 502) ILMU & TEKNOLOGI KELAUTAN (ITK 502) Kuliah-7 Fenomena Di Laut & Perannya Dalam Kehidupan 11/9/09 J. I. Pariwono 1 Dinamika Laut Dalam 1. Dinamika di lautan disebabkan oleh banyak gaya yang bekerja di dalamnya

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG KATA PENGANTAR Stasiun Klimatologi Semarang setiap tahun menerbitkan buku Prakiraan Musim Hujan dan Prakiraan Musim Kemarau daerah Propinsi Jawa Tengah. Buku Prakiraan Musim Hujan diterbitkan setiap bulan

Lebih terperinci

KARAKTER FISIK OSEANOGRAFI DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN SELATAN JAWA-SUMBAWA DARI DATA SATELIT MULTI SENSOR. Oleh : MUKTI DONO WILOPO C

KARAKTER FISIK OSEANOGRAFI DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN SELATAN JAWA-SUMBAWA DARI DATA SATELIT MULTI SENSOR. Oleh : MUKTI DONO WILOPO C KARAKTER FISIK OSEANOGRAFI DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN SELATAN JAWA-SUMBAWA DARI DATA SATELIT MULTI SENSOR Oleh : MUKTI DONO WILOPO C06400080 PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

VARIABILITAS MASSA AIR PERMUKAAN DARI DATA SATELIT DI PERAIRAN SELAT MAKASAR SRI SURYO SUKORAHARJO

VARIABILITAS MASSA AIR PERMUKAAN DARI DATA SATELIT DI PERAIRAN SELAT MAKASAR SRI SURYO SUKORAHARJO xv VARIABILITAS MASSA AIR PERMUKAAN DARI DATA SATELIT DI PERAIRAN SELAT MAKASAR SRI SURYO SUKORAHARJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 xvi PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 7 d) phase spectrum, dengan persamaan matematis: e) coherency, dengan persamaan matematis: f) gain spektrum, dengan persamaan matematis: IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Geografis dan Cuaca Kototabang

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Banjarbaru, Oktober 2012 Kepala Stasiun Klimatologi Banjarbaru. Ir. PURWANTO NIP Buletin Edisi Oktober 2012

KATA PENGANTAR. Banjarbaru, Oktober 2012 Kepala Stasiun Klimatologi Banjarbaru. Ir. PURWANTO NIP Buletin Edisi Oktober 2012 KATA PENGANTAR i Analisis Hujan Bulan Agustus 2012, Prakiraan Hujan Bulan November, Desember 2012, dan Januari 2013 Kalimantan Timur disusun berdasarkan hasil pantauan kondisi fisis atmosfer dan data yang

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino

Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino G181 Iva Ayu Rinjani dan Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl.

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

DI PERAIRAN SELAT BALI

DI PERAIRAN SELAT BALI PEMANFAATAN DATA SUHU PERMUKAAN LAUT DARI SATELIT NOAA-9 SEBAGAI SALAH SATU PARAMETER INDIKATOR UPWELLING DI PERAIRAN SELAT BALI SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sajana Dalam Bidang

Lebih terperinci

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS Irfan A. Silalahi 1, Ratna Suwendiyanti 2 dan Noir P. Poerba 3 1 Komunitas Instrumentasi dan Survey

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

DI PERAIRAN SELAT BALI

DI PERAIRAN SELAT BALI PEMANFAATAN DATA SUHU PERMUKAAN LAUT DARI SATELIT NOAA-9 SEBAGAI SALAH SATU PARAMETER INDIKATOR UPWELLING DI PERAIRAN SELAT BALI SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sajana Dalam Bidang

Lebih terperinci

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM POLA DISTRIBSI SH DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP 1 KATA PENGANTAR Publikasi Prakiraan Awal Musim Hujan 2015/2016 di Propinsi Bali merupakan salah satu bentuk pelayanan jasa klimatologi yang dihasilkan oleh Stasiun Klimatologi Negara Bali. Prakiraan Awal

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan METODE PENELITIAN Lokasi Penelitan Penelitian ini dilakukan pada perairan barat Sumatera dan selatan Jawa - Sumbawa yang merupakan bagian dari perairan timur laut Samudera Hindia. Batas perairan yang diamati

Lebih terperinci

PERAMBATAN GELOMBANG ROSSBY DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA MENGGUNAKAN METODE WAVELET

PERAMBATAN GELOMBANG ROSSBY DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA MENGGUNAKAN METODE WAVELET PERAMBATAN GELOMBANG ROSSBY DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA MENGGUNAKAN METODE WAVELET RIESNI FITRIANI SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP PROPINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan YME atas berkat dan rahmat Nya kami dapat menyusun laporan dan laporan Prakiraan Musim Kemarau 2016 di wilayah Propinsi Banten

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu Salah satu parameter yang mencirikan massa air di lautan ialah suhu. Suhu adalah suatu besaran fisika yang menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perencanaan dan pengelolaan sumber daya air (Haile et al., 2009).

BAB I PENDAHULUAN. perencanaan dan pengelolaan sumber daya air (Haile et al., 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hujan merupakan salah satu sumber ketersedian air untuk kehidupan di permukaan Bumi (Shoji dan Kitaura, 2006) dan dapat dijadikan sebagai dasar dalam penilaian, perencanaan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

Pola dan Karakteristik Sebaran Medan Massa, Medan Tekanan dan Arus Geostropik Perairan Selatan Jawa

Pola dan Karakteristik Sebaran Medan Massa, Medan Tekanan dan Arus Geostropik Perairan Selatan Jawa Dinamika Maritim Coastal and Marine Resources Research Center, Raja Ali Haji Maritime University Tanjungpinang-Indonesia Volume 6 Number 2, February 2018 Pola dan Karakteristik Sebaran Medan Massa, Medan

Lebih terperinci

KARAKTER DAN PERGERAKAN MASSA AIR DI SELAT LOMBOK BULAN JANUARI 2004 DAN JUNI 2005

KARAKTER DAN PERGERAKAN MASSA AIR DI SELAT LOMBOK BULAN JANUARI 2004 DAN JUNI 2005 KARAKTER DAN PERGERAKAN MASSA AIR DI SELAT LOMBOK BULAN JANUARI 2004 DAN JUNI 2005 ABSTRAK (Characteristics and Circulation of Water Mass at Lombok Strait in January 2004 and June 2005) Mulia Purba 1 dan

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA 1. TINJAUAN UMUM 1.1. Curah Hujan Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang jatuh

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ).

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ). KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

Analisis Potensi Arus Lintas Indonesia Sebagai Sumber Energi Terbarukan Di Wilayah Kabupaten Halmahera Timur

Analisis Potensi Arus Lintas Indonesia Sebagai Sumber Energi Terbarukan Di Wilayah Kabupaten Halmahera Timur Analisis Potensi Arus Lintas Indonesia Sebagai Sumber Energi Terbarukan Di Wilayah Kabupaten Halmahera Timur Noir P. Purba, Firman S, dan Rama Wijaya Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Universitas

Lebih terperinci

KAJIAN ENERGI BARU DARI ARUS LINTAS INDONESIA (ARLINDO) STUDY ABOUT NEW ENERGY FROM INDONESIAN TROUGHFLOW

KAJIAN ENERGI BARU DARI ARUS LINTAS INDONESIA (ARLINDO) STUDY ABOUT NEW ENERGY FROM INDONESIAN TROUGHFLOW KAJIAN ENERGI BARU DARI ARUS LINTAS INDONESIA (ARLINDO) STUDY ABOUT NEW ENERGY FROM INDONESIAN TROUGHFLOW Noir P. Purba, Firman S, dan Rama Wijaya Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Universitas Padjadjaran

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MASSA AIR DI PERCABANGAN ARUS LINTAS INDONESIA PERAIRAN SANGIHE TALAUD MENGGUNAKAN DATA INDEX SATAL 2010

KARAKTERISTIK MASSA AIR DI PERCABANGAN ARUS LINTAS INDONESIA PERAIRAN SANGIHE TALAUD MENGGUNAKAN DATA INDEX SATAL 2010 Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 6, No. 2, Hlm.525-536, Desember 2014 KARAKTERISTIK MASSA AIR DI PERCABANGAN ARUS LINTAS INDONESIA PERAIRAN SANGIHE TALAUD MENGGUNAKAN DATA INDEX SATAL 2010

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Arus Lintas Indonesia atau ITF (Indonesian Throughflow) yaitu suatu sistem arus di perairan Indonesia yang menghubungkan Samudra Pasifik dengan Samudra Hindia yang

Lebih terperinci

ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT

ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT Oleh: Gading Putra Hasibuan C64104081 PROGRAM STUDI ILMU

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN OKTOBER 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN DESEMBER 2011, JANUARI DAN FEBRUARI 2012 PROVINSI DKI JAKARTA 1.

ANALISIS HUJAN BULAN OKTOBER 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN DESEMBER 2011, JANUARI DAN FEBRUARI 2012 PROVINSI DKI JAKARTA 1. ANALISIS HUJAN BULAN OKTOBER 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN DESEMBER 2011, JANUARI DAN FEBRUARI 2012 PROVINSI DKI JAKARTA 1. TINJAUAN UMUM 1.1. Curah Hujan Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG B M K G BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP Buletin Prakiraan Musim Kemarau 2016 i KATA PENGANTAR Penyajian prakiraan musim kemarau 2016 di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung diterbitkan untuk memberikan informasi kepada masyarakat disamping publikasi

Lebih terperinci

Definisi Arus. Pergerakkan horizontal massa air. Penyebab

Definisi Arus. Pergerakkan horizontal massa air. Penyebab Definisi Arus Pergerakkan horizontal massa air Penyebab Fakfor Penggerak (Angin) Perbedaan Gradien Tekanan Perubahan Densitas Pengaruh Pasang Surut Air Laut Karakteristik Arus Aliran putaran yang besar

Lebih terperinci

PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS

PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS Firman Ramansyah C64104010 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Sumber : Broecker (1991) Gambar 1. Sirkulasi massa air dunia (the great conveyor belt)

2 TINJAUAN PUSTAKA. Sumber : Broecker (1991) Gambar 1. Sirkulasi massa air dunia (the great conveyor belt) 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Massa Air Samudera Tiga samudera di dunia memiliki hubungan satu dengan lainnya membentuk suatu sistem sirkulasi unik yang ditampilkan pada Gambar 1. Sistem ini mengedarkan massa

Lebih terperinci

VARIABILITAS ANGIN DAN PARAS LAUT SERTA INTERAKSINYA D1 PERAIRAN UTARA DAN SELATAN PULAU JAWA EKO PUTRA SAKTI SKRIPSI

VARIABILITAS ANGIN DAN PARAS LAUT SERTA INTERAKSINYA D1 PERAIRAN UTARA DAN SELATAN PULAU JAWA EKO PUTRA SAKTI SKRIPSI VARIABILITAS ANGIN DAN PARAS LAUT SERTA INTERAKSINYA D1 PERAIRAN UTARA DAN SELATAN PULAU JAWA EKO PUTRA SAKTI SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEmOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Sebaran Suhu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bagian ini akan menjelaskan sebaran suhu menjadi dua bagian penting yakni sebaran secara horisontal dan vertikal. Sebaran

Lebih terperinci

Oseanografi Fisis. Massa Air dan Proses Percampuran

Oseanografi Fisis. Massa Air dan Proses Percampuran Oseanografi Fisis 4 Massa Air dan Proses Percampuran Karakteristik Massa Air Pemanasan Pendinginan Pembentukan Es Penguapan Pengenceran Permukaan Laut Massa Air Paling Berat dan Paling Dalam Terbentuk

Lebih terperinci

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur http://lasiana.ntt.bmkg.go.id/publikasi/prakiraanmusim-ntt/ Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun

Lebih terperinci

POLA ARUS DAN TRANSPOR SESAAT DI SELAT ALOR PADA MUSIM TIMUR (CURRENT PATTERN AND SNAPSHOT TRANSPORT WITHIN ALOR STRAIT IN THE EAST MONSOON)

POLA ARUS DAN TRANSPOR SESAAT DI SELAT ALOR PADA MUSIM TIMUR (CURRENT PATTERN AND SNAPSHOT TRANSPORT WITHIN ALOR STRAIT IN THE EAST MONSOON) POLA ARUS DAN TRANSPOR SESAAT DI SELAT ALOR PADA MUSIM TIMUR (CURRENT PATTERN AND SNAPSHOT TRANSPORT WITHIN ALOR STRAIT IN THE EAST MONSOON) Adi Purwandana Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI Jl. Pasir Putih

Lebih terperinci