VARIABILITAS MASSA AIR PERMUKAAN DARI DATA SATELIT DI PERAIRAN SELAT MAKASAR SRI SURYO SUKORAHARJO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VARIABILITAS MASSA AIR PERMUKAAN DARI DATA SATELIT DI PERAIRAN SELAT MAKASAR SRI SURYO SUKORAHARJO"

Transkripsi

1 xv VARIABILITAS MASSA AIR PERMUKAAN DARI DATA SATELIT DI PERAIRAN SELAT MAKASAR SRI SURYO SUKORAHARJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 xvi PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul: Variabilitas Massa Air Permukaan dari Data Satelit di Perairan Selat Makasar adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Januari 2012 Sri Suryo Sukoraharjo NIM: C

3 xvii ABSTRACT SRI SURYO SUKORAHARJO. Variability of Water Mass Surface from Satellite Data at Makasar Strait. Supervised by DJISMAN MANURUNG, INDRA JAYA, BONAR P. PASARIBU, and JONSON L. GAOL. Indonesian waters have an important role as an integral part of the global thermohaline circulation and climate phenomena. The Makassar Strait waters are part of Indonesian waters which is the main path of the Indonesian throughflow. These waters channeled the transfer of warm water mass and low salinity of the Pacific Ocean to the Hindian Ocean. Heat and low salinity water masses carried by the Indonesian throughflow parameters affect the balance of heat and salinity in the ocean. This study aims to analyze spatial and temporal variability of the sea level, sea surface temperature and chlorophyll concentration from remote sensing data in the waters of Makassar Strait. In particular, the analysis was carried out on the upwelling process in the southern waters of Makassar Strait and the chlorophyll concentration in the initial source of water mass associated with a high concentration of chlorophyll in the waters of Makasar Strait. The Fourier Transform and Wavelet Analysis were used to perform time series analysis, spatial and temporal analysis. The results showed that high variability of sea level, sea surface temperature and chlorophyll concentration in the waters of Makassar Strait is influenced by season. The Indonesian throughflow water masses originating from the North Pacific waters brought low chlorophyll concentrations. The low concentration of chlorophyll in the waters of the North Pacific was due to the lack of direct nutrient supply from the mainland. In conclusions, Makasar Strait have a high concentration of chlorophyll throughout the year. Key word : chlorophyll concentration, Makasar Strait, sea surface temperature

4 xviii RINGKASAN SRI SURYO SUKORAHARJO. Variabilitas Massa Air Permukaan dari Data Satelit di Perairan Selat Makasar. Dibimbing oleh DJISMAN MANURUNG, INDRA JAYA, BONAR P. PASARIBU, dan JONSON L. GAOL. Perairan Indonesia memiliki peranan penting secara integral dalam sirkulasi termohalin global dan fenomena iklim. Kondisi oseanografi Perairan Selat Makasar adalah bagian dari Perairan Indonesia yang merupakan lintasan utama dari arus lintas Indonesia. Perairan ini mentransfer massa air hangat dan bersalinitas rendah dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia. Bahang dan massa air yang bersalinitas rendah yang dibawa oleh arus lintas Indonesia berdampak terhadap perimbangan parameter bahang dan salinitas di kedua samudera. Dengan memperhatikan penelitian-penelitian yang telah dilakukan dan saling melengkapi informasi tentang dinamika perairan Selat Makasar, maka perlu dilakukan pengamatan variabilitas oseanografi menggunakan data penginderaan jauh satelit hubungannya dengan sumber daya ikan di perairan Selat Makasar. Penelitian ini bertujuan menganalisis variabilitas tinggi muka laut, suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil dari data penginderaan jauh secara spasial dan temporal di perairan Selat Makasar. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kesuburan perairan di Selat Makasar. Data suhu permukaan laut, konsentrasi klorofil dan tinggi muka diolah dengan menggunakan perangkat lunak ferret menjadi deret waktu sesuai dengan daerah pengamatan. Selanjutnya data-data tersebut dianalisis secara spasial dan temporal untuk melihat pola sebarannya seperti pergerakan massa air, penaikan massa air dan front. Selanjutnya diolah dengan pendekatan wavelet transform berupa continuous wavelet transform yang digunakan untuk mendeteksi kemungkinan adanya hubungan antara dua times series secara bersamaan dan proses sebab akibat diantara keduanya, selanjutnya cross wavelet transform yang akan memunculkan fase power dan relatif dalam domain frekuensi-waktu dan kemudian menggunakan analisis wavelet coheren, untuk mengetahui koherensi yang signifikan dari data yang diolah. Berdasarkan analisis ini dapat diketahui adanya pengaruh seasonal dan intraseasonal dengan menginterpretasi periodisitas data yang dominan. Hasil penelitian menunjukan variabilitas tinggi muka laut, suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil di Perairan Selat Makasar dipengaruhi keadaaan musim. Konsentrasi klorofil saat musim timur lebih tinggi dan kecenderungan meningkat konsentrasinya terutama dibagian selatan perairan, sedangkan suhu permukaan laut dan tinggi muka laut lebih rendah. Pada saat musim barat konsentrasi klorofil tinggi terlihat di sekitar Kalimantan Timur dan bergerak ke arah timur di bagian selatan Selat Makasar sebagai akibat tidak langsung dari tingginya curah hujan sehingga membawa kandungan zat hara dari limpasan air daratan seperti sekitar Perairan Delta Mahakam, untuk nilai suhu permukaan laut relatif rendah dan tinggi muka laut lebih tinggi dibagian selatan dibandingkan bagian utara perairan. Kesimpulan penelitian ini menunjukkan bahwa variabilitas tinggi muka laut, suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil di Perairan Selat Makasar dan sekitarnya dipengaruhi musim. Konsentrasi klorofil saat musim timur lebih tinggi dan kecenderungan meningkat konsentrasinya terutama

5 xix dibagian selatan perairan, sedangkan suhu permukaan laut dan tinggi muka laut lebih rendah. Pada saat musim barat konsentrasi klorofil tinggi terlihat di sekitar Kalimantan Timur dan bergerak ke arah timur di bagian selatan Selat Makasar sebagai akibat tidak langsung dari tingginya curah hujan sehingga membawa kandungan zat hara dari limpasan air daratan seperti sekitar Perairan Delta Mahakam, untuk nilai suhu permukaan laut relatif rendah dan tinggi muka laut lebih tinggi dibagian selatan dibandingkan bagian utara perairan. Kesuburan Perairan Selat Makasar terjadi sepanjang tahun, disebabkan adanya massa air permukaan pada saat musim barat yang bergerak dari Laut Jawa yang mengandung konsentrasi klorofil tinggi ke Perairan Selat Makasar dan adanya pengaruh tidak langsung dari tingginya curah hujan pada musim tersebut sehingga kandungan zat hara dari daratan terbawa oleh limpasan air sungai ke Perairan Selat Makasar. Pada saat musim timur, disebabkan adanya penaikan massa air di bagian selatan Perairan Selat Makasar. Kata Kunci: arus lintas Indonesia, konsentrasi klorofil, Selat Makasar, suhu permukaan laut

6 xx Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.

7 xxi

8 xxii VARIABILITAS MASSA AIR PERMUKAAN DARI DATA SATELIT DI PERAIRAN SELAT MAKASAR SRI SURYO SUKORAHARJO Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Kelautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

9 xxiii Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Prof. Dr. Ir Setyo Budi Susilo, M.Sc 2. Dr. Ir. Agus S. Atmadipoera Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Aryo Hanggono, DEA 2. Dr. Ir. Nyoman M.N. Natih, M.Si

10 xxiv Judul Disertasi Nama NIM : Variabilitas Massa Air Permukaan dari Data Satelit di Perairan Selat Makasar : Sri Suryo Sukoraharjo : C Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc Ketua Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc Anggota Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Si Anggota Prof. Dr. Ir. Bonar P. Pasaribu, M.Sc Anggota Mengetahui Ketua Program Studi Ilmu Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Neviaty Zamani, M.Sc Tanggal Ujian: 26 Januari 2012 Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal Lulus:

11 xxv

12 xxvi Sesungguhnya Allah menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baik bentuk, masing-masing ciptaan-nya memiliki nilai manfaat dan saling menyempurnakan bagi kehidupan.

13 xxvii PRAKATA Tiada kata yang patut untuk diucapkan selain ucapan Alhamdulillah, segala puji dan syukur hanya kepada Allah SWT, yang memberikan rahmat dan rahim- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini dengan judul Variabilitas Massa Air Permukaan dari Data Satelit di Perairan Selat Makasar. Penyelesaian tulisan ini berbagai pihak telah banyak membantu, perkenankanlah penulis menghaturkan terimakasih yang berlimpah kepada: 1. Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir Indra Jaya, M.Sc, Prof. Dr. Ir. Bonar P. Pasaribu, dan Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak mengarahkan dan membimbing penulis. 2. Dr. Ir. Neviaty Zamani, M.Sc. sebagai Ketua Program Studi Ilmu Kelautan beserta staf yang banyak membantu dalam hal administrasi akademik selama menempuh pendidikan. 3. Dr. Aryo Hanggono, DEA selaku Ketua Pusat Pengkajian dan Perekayasaan Teknologi Kelautan dan Perikanan yang telah memberikan ijin tugas belajar program studi doktor di Sekolah Pascasarjana IPB. 4. Pimpinan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang telah memberikan bantuan beasiswa. 5. Rekan-rekan mahasiswa Ilmu Kelautan (Bintang Marhaeni, Miswar Budi Mulya, Muhammad Ramli, Herlisman dan Ngadiran) atas dukungan, semangat dan kebersamaannya. 6. Semua pihak yang telah memberikan dukungan dalam penyelesaian pendidikan program doktor. 7. Terkhusus kepada kedua orang tuaku tercinta dan istri serta anak-anakku. Penulis menyadari keterbatasan ilmu dan kemampuan yang dimiliki dalam penulisan disertasi sehingga masih ada kekurangan. Semoga tulisan ini dapat memiliki nilai manfaat bagi kehidupan manusia. Bogor, Januari 2012 Sri Suryo Sukoraharjo

14 xxviii RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 31 Juli 1970 sebagai anak keempat dari pasangan Soeroso dan Sri Wulan P. Pendidikan sarjana ditempuh di program studi Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor (IPB), lulus tahun Pada Tahun 1999, penulis menyelesaikan pendidikan magister di program studi Teknologi Kelautan Pascasarjana IPB. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi Ilmu Kelautan di perguruan tinggi yang sama diperoleh tahun Beasiswa pendidikan program doktor diperoleh dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Penulis saat ini bekerja sebagai peneliti di Pusat Pengkajian dan Perekayasaan Teknologi Kelautan dan Perikanan. Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab penulis ialah teknologi kelautan. Selama pendidikan program doktor, telah menulis dua artikel jurnal dengan judul Menduga penaikan massa air dengan menganalisis pola pergerakan angin di Perairan Selat Makasar pada jurnal KELAUTAN NASIONAL terakreditasi nomor: 301/AU2/P2MBI/08/2010. Artikel lain berjudul Variabilitas konsentrasi klorofil di Perairan Selat Makasar: Pendekatan Wavelet akan diterbitkan pada jurnal SEGARA. Artikel jurnal tersebut merupakan bagian dari penelitian program doktor penulis.

15 xv DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... xv DAFTAR TABEL... xvi DAFTAR GAMBAR... xvii DAFTAR LAMPIRAN... xx 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Hipotesa TINJAUAN PUSTAKA Massa Air Samudera Lintasan Arlindo Keadaan Umum Perairan Selat Makasar Transpor Massa Air di Perairan Selat Makasar Pola Angin di Perairan Selat Makasar Transformasi Wavelet Penginderaan Jarak Jauh METODE PENELITIAN Lokasi Metode Pengumpulan Data Data Suhu Permukaan Laut, Klorofil dan Tinggi Muka Laut Data Curah Hujan dan Angin Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Variabilitas Tinggi Muka Laut Suhu Permukaan Laut Klorofil Pengaruh Massa Air dan Kesuburan Perairan Selat Makasar KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

16 xvi DAFTAR TABEL Halaman 1. Spesifikasi teknis MODIS (Conboy 2004) Karakteristik kanal spektral pada MODIS (Conboy 2004) Posisi lokasi pengamatan Jenis, banyaknya dan sumber data... 25

17 xvii DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Sirkulasi massa air dunia (the great conveyor belt) Arus lintas Indonesia Profil musiman (kiri) dan kecepatan massa transpor. Nilai kecepatan rata-rata mewakili MAK-barat dan MAK-timur. Koordinat vertikal diberikan dalam decibar (dbar), mendekati meter (m). tanda menunjukkan arah aliran ke selatan dan tanda + menunjukkan arah sebaliknya (Gordon et al. 2010) Hubungan antara suhu dan SOI dari data XBT 100 m (Ffield et al. 2000) Lokasi penelitian Tinggi muka laut pada bulan Juli, Agustus dan bulan September dari tahun Tinggi muka laut pada bulan Oktober, Nopember dan bulan Desember dari tahun Tinggi muka laut pada bulan Januari, Februari dan bulan Maret dari tahun Tinggi muka laut pada bulan April, Mei dan bulan Juni dari tahun Deret waktu tinggi muka laut di daerah pengamatan JW, MK6 dan MK Deret waktu tinggi muka laut di daerah pengamatan MK3, MK4 dan MK Power spectrum wavelet tinggi muka laut daerah pengamatan Sul1, Sul2 dan MK Power spectrum wavelet tinggi muka laut daerah pengamatan MK2, MK3 dan MK Power spectrum wavelet tinggi muka laut daerah pengamatan JW dan KR Tinggi muka laut pada bulan Januari dan Desember Tinggi muka laut pada bulan Januari dan Desember

18 xviii 17. Deret waktu tinggi muka laut untuk daerah pengamatan Sul1, Sul2 dan MK Cross wavelet transform tinggi muka laut dari daerah pengamatan Sul1, Sul2, MK1, dan MK Cross wavelet transform tinggi muka laut dari daerah pengamatan MK2, MK3, MK4, JW dan KR Wavelet coherence tinggi muka laut daerah pengamatan Sul1, Sul2, MK1 dan MK Wavelet coherence tinggi muka laut daerah pengamatan MK3, MK4, JW dan KR Suhu permukaan laut rataan bulanan di bulan September, Oktober dan Nopember Suhu permukaan laut rataan bulanan di bulan Desember, Januari dan Februari Suhu permukaan laut rataan bulanan di bulan Maret, April, dan Mei Suhu permukaan laut rataan bulanan di bulan Juni, Juli dan Agustus Deret waktu suhu permukaan laut di daerah pengamatan JW, MK6 dan MK Deret waktu suhu permukaan laut di daerah pengamatan MK3, MK4 dan MK Deret waktu suhu permukaan laut daerah pengamatan Sul1, Sul2 dan MK Power spectrum wavelet suhu permukaan laut daerah pengamatan Sul1, Sul2 dan MK Power spectrum wavelet suhu permukaan laut daerah pengamatan MK2, MK3 dan MK Power spectrum wavelet suhu permukaan laut daerah pengamatan JW dan KR Konsentrasi klorofil rataan bulanan di bulan Juni, Juli dan Agustus Konsentrasi klorofil rataan bulanan di bulan September, Oktober dan Nopember Konsentrasi klorofil rataan bulanan di bulan Desember, Januari, dan Februari... 71

19 xix 35. Konsentrasi klorofil rataan bulanan di bulan Maret, April dan Mei Deret waktu konsentrasi klorofil di daerah pengamatan Sul1, Sul2 dan MK Cross wavelet transform konsentrasi klorofil dari daerah pengamatan Sul1, Sul2, MK1, MK Cross wavelet transform konsentrasi klorofil dari daerah pengamatan MK3, MK4, JW dan KR Wavelet coherence konsentrasi klorofil di daerah pengamatan Sul1, Sul2, MK1 dan MK Wavelet coherence konsentrasi klorofil di daerah pengamatan MK3, MK4, JW dan KR Pola pergerakan angin pada bulan Januari Juni Pola pergerakan angin pada bulan Juli Desember Deret waktu curah hujan dan konsentrasi klorofil di daerah pengamatan MK2, MK5 dan Sul Peta sebaran klorofil di perairan Delta Mahakam dari citra LandSat ETM pada 24 Mei Wavelet coherence suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil di daerah pengamatan Sul1, Sul2, dan MK Wavelet coherence suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil di daearah pengamatan MK2, MK3, and MK Wavelet coherence tinggi muka laut dan konsentrasi klorofil di daerah pengamatan Sul1, Sul2, dan MK Wavelet coherence tinggi muka laut dan konsentrasi klorofil di daerah pengamatan MK2, MK3, dan MK

20 xx DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Tahapan proses analisis data dengan perangkat lunak ferret Tahapan proses analisis data dengan pendekatan wavelet transform

21 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah perairan Indonesia merupakan lintasan sistem angin muson (monsoon) yang dalam setahun terjadi dua kali pembalikan arah. Arus permukaan di Perairan Indonesia sangat dipengaruhi oleh angin ini, sehingga pola arus yang terbentuk sangat ditentukan oleh musim yang sedang berlangsung. Pada bulan Juni hingga Agustus (musim timur) bertiup angin timur dengan arah arus permukaan bergerak dari timur ke barat, sedangkan pada bulan Desember hingga Februari (musim barat) bertiup angin barat dengan arah arus permukaan bergerak dari arah barat ke timur. Pada bulan Maret ke Mei serta September ke Nopember berlangsung musim pancaroba (peralihan), dimana pada musim ini gerakan arus permukaan tidak teratur (Wyrtki 1961). Selain angin muson, arus permukaan di Perairan Indonesia juga di pengaruhi oleh Arus Lintas Indonesia (Arlindo) yang tidak hanya krusial dalam keseimbangan bahang dan nilai salinitas di Samudera Hindia tetapi juga memainkan satu peranan penting dalam sirkulasi global dari massa air di lapisan termoklin (Piola and Gordon 1985; Gordon 1986; Broecker 1991). Arlindo memiliki keragaman yang tinggi baik secara musiman maupun tahunan. Keragaman musiman berkaitan dengan adanya pergantian arah angin di Indonesia. Menurut Gordon dan Susanto (2003), laju transpor tertinggi ditemukan pada saat Muson Tenggara, yaitu selama bulan Juni sampai Agustus sedangkan aliran lintasan terendah pada saat muson barat laut yaitu pada bulan Desember sampai Februari. Philander and Pacanowski (1986) menyebutkan bahwa sebagai perairan yang berada di sekitar katulistiwa, Selat Makasar memiliki variabilitas musiman Arlindo yang berhubungan dengan pengaruh skala besar. Oleh karena itu perairan ini dipengaruhi kuat oleh gelombang di khatulistiwa dari jenis gelombang panjang seperti gelombang Kelvin, gabungan Gravitasi-Rossby dan juga gelombang gravitasi yang mempunyai periode dari 5-30 hari. Hal ini menggambarkan peranan perairan Indonesia sebagai penghubung massa air dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia. Meskipun sepanjang tahun aliran ini cenderung ke arah selatan, aliran akan mengalami variabilitas dan karakteristik yang berubah-ubah

22 2 secara musiman maupun tahunan baik arah, volume transpor dan lapisan termoklin. Penginderaan jauh satelit (Inderaja) dapat mendeteksi perairan Indonesia yang luas, salah satunya dengan menggunakan satelit lingkungan dan cuaca National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA). Satelit ini dilengkapi dengan sensor Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR) yang dapat mendeteksi suhu permukaan laut dengan menggunakan kanal infra merah jauh. Beberapa sensor satelit yang biasanya digunakan untuk aplikasi kelautan; Seaviewing Wide Field-of-view Sensor (SeaWiFS), Ocean Color Temperatur Scanner (OCTS), Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) dan sensor altimeter Topography Experiment (TOPEX). Data yang dapat diperoleh dari sensor-sensor tersebut diantaranya suhu permukaan laut (SPL), konsentrasi klorofil, kandungan uap air, angin permukaan laut dan arus. Dari data sensor satelit yang diproses dapat diinterpretasikan fenomena laut yang dihubungkan dengan potensi keberadaan ikan seperti proses upwelling yakni peristiwa naiknya massa air dari kedalaman tertentu ke permukaan laut, kondisi ini dicirikan dengan menurunnya suhu, dan meningkatnya nilai salinitas di daerah tersebut dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Hal ini, diikuti dengan meningkatnya kandungan zat hara dan penurunan konsentrasi oksigen terlarut. Jika massa air yang kaya zat hara ini berhasil mencapai lapisan eufotik maka zat hara yang melimpah akan merangsang perkembangan fitoplankton di lapisan permukaan yang selanjutnya akan meningkatkan kesuburan perairan dan pada akhirnya akan meningkatkan populasi ikan di perairan tersebut (Wyrtki 1961 dan Illahude 1970). Fenomena laut lainnya berupa pembentukan daerah front yakni bertemunya dua massa air yang berbeda. Penelitian yang berhubungan dengan massa air di Perairan Indonesia telah banyak dilakukan diantaranya Inter-Ocean Exchange of Thermocline Water (Gordon 1986); The Effect of Indonesian Throughflow on Ocean Circulation and Heat Exchange With the Atmosphere (Godfrey 1996); Termohaline Stratification of the Indonesian Seas Model and Observations (Gordon and McClean 1999); Indo-Pacific Throughflow and its Seasonal Variations. In the ASEAN-Australia Regional Ocean-Dynamics Expeditions (Aung 1998); The ASEAN-

23 3 Australia Regional Ocean Dynamics Expeditions Indo-Pacific Throughflow and Its Seasonal Variations (Cresswell 1998). Penelitian-penelitian tersebut dilakukan dengan berbagai macam pendekatan seperti pengukuran langsung maupun pemodelan, yang hasilnya saling melengkapi dan menambah informasi tentang variabilitas oseanografi di Perairan Indonesia. Oleh karena itu diperlukan pendekatan lain untuk mempelajari variabilitas parameter oseanografi di perairan Indonesia yakni melalui data penginderaan jauh satelit. Dalam penelitian ini dilakukan pendekatan wavelet transform untuk mengamati variabilitas oseanografi tersebut dengan menggunakan data Inderaja satelit di Perairan Selat Makasar. Dengan pendekatan wavelet transform ini dapat diketahui periodesitas dan kapan waktu terjadinya variabilitas oseanografi tersebut. Perairan Selat Makasar merupakan perairan yang cukup unik karena merupakan lintasan utama dari Arlindo. Selain Arlindo, massa air dari Laut Jawa dan Delta Mahakam juga mengalir ke Selat Makasar. Terjadinya proses penaikan massa air (upwelling) di perairan selatan Selat Makasar juga mempengaruhi kondisi perairan di Selat Makasar. Adanya berbagai proses dan fenomena yang mempengaruhi perairan Selat Makasar akan berpengaruh terhadap kesuburan perairan dan secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak terhadap kelimpahan sumberdaya perikanan. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian lebih mendalam terhadap variabilitas parameter oseanografi dari satelit di Selat Makasar. 1.2 Perumusan Masalah Posisi geografis perairan Selat Makasar di antara Laut Sulawesi dan Laut Jawa serta perairan ini juga merupakan lintasan primer bagi Arus Lintas Indonesia (Arlindo) menyebabkan kondisi oseanografi perairan Selat Makasar mempunyai variabilitas yang tinggi, selain dipengaruhi oleh massa air dalam selat, juga dipengaruhi oleh variabilitas oseanografi di luar selat dan keadaan iklim (Illahude (1970); Susanto and Gordon (2005); Ffield et al. (2000)) Pengaruh muson dan fenomena global seperti El Niño Southern Oscillation (ENSO) mengakibatkan variabilitas massa air Selat Makasar mengalami perbedaan intensitasnya pada musim barat dan musim timur. Hal yang sama juga

24 4 terjadi pada lapisan termoklin yang akan mengalami fluktuasi sebagai akibat dari variabilitas Arlindo (Susanto and Gordon 2005). Fenomena upwelling, masuknya limpasan massa air dari sungai-sungai di sekitar Kalimatan dan massa air dari Laut Jawa ke Perairan Selat Makasar serta perubahan lapisan termoklin akibat ENSO, berpengaruh terhadap tingkat kesuburan perairan dalam hal ini digunakan sebagai indikator adalah tinggi rendahnya konsentrasi klorofil di perairan tersebut. Fakta menunjukkan bahwa di Perairan Selat Makasar terjadi penangkapan ikan sepanjang tahun, dengan perkataan lain perairan ini secara terus-menerus mengalami penyuburan. Untuk itu perlu dikaji proses dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kesuburan Perairan Selat Makasar. Pendekatan yang dilakukan untuk mengkaji hal tersebut adalah dengan menganalisis variabilitas parameter oseanografi dari inderaan sensor satelit yakni data tinggi muka, suhu permukaan laut, dan konsentrasi klorofil sebagai indikator kesuburan perairan. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Menganalisis variabilitas tinggi muka laut, suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil dari data penginderaan jauh secara spasial dan temporal di perairan Selat Makasar. 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kesuburan perairan di Selat Makasar. 1.4 Hipotesa Konsentrasi klorofil sebagai indikator kesuburan perairan tinggi sepanjang waktu yang berakibat pada kelimpahan ikan di Perairan Selat Makasar.

25 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Massa Air Samudera Tiga samudera di dunia memiliki hubungan satu dengan lainnya membentuk suatu sistem sirkulasi unik yang ditampilkan pada Gambar 1. Sistem ini mengedarkan massa air samudera yang dikenal dengan sirkulasi massa air dunia (the great conveyor belt). Sirkulasi dimulai dari Samudera Atlantik Utara bagian utara. Adanya proses pendinginan (cooling) dan penguapan (evaporation) menyebabkan densitas massa air ini tinggi sehingga tenggelam ke lapisan lebih dalam membentuk North Atlantic Deep Water (NADW) yang mengalir ke Samudera Atlantik Selatan pada kedalaman m. Sampai di ujung selatan Samudera Atlantik Selatan, aliran massa air berbelok ke arah timur bergabung dengan Arus Antartika. Sumber : Broecker (1991) Gambar 1. Sirkulasi massa air dunia (the great conveyor belt) Massa air ini terus bergerak memasuki selatan Samudera Hindia kemudian ke timur memasuki selatan Samudera Pasifik Selatan. Massa air di bagian selatan Samudera Hindia sebagian aliran berbelok ke utara sampai sekitar katulistiwa dan naik ke permukaan. Demikian pula dengan aliran yang sampai ke ujung selatan Samudera Pasifik Selatan juga berbelok ke utara masuk ke Samudera Pasifik, melewati katulistiwa dan naik ke permukaan (Broecker 1991; Gordon 1986).

26 6 Sirkulasi massa air ini disebut sirkulasi massa air dalam, sedangkan sistem peredaran massa air permukaan dimulai ketika kekosongan yang disebabkan oleh tenggelamnya massa air di Samudera Atlantik bagian utara diisi oleh massa air yang berasal dari Samudera Hindia bagian selatan. Selanjutnya kekosongan massa air di lapisan atas Samudera Hindia akan menyebabkan massa air Samudera Pasifik mengalir ke Samudera Hindia melalui perairan Indonesia bagian timur yang dikenal dengan Arlindo. 2.2 Lintasan Arlindo Pada Gambar 2. diperlihatkan lintasan Arlindo tanda panah hitam massa air yang berasal dari termoklin Pasifik Utara, tanda panah abu-abu adalah massa air yang berasal dari termoklin Pasifik Selatan dan panah putus-putus sirkulasi massa air permukaan Laut Jawa akibat pengaruh musim. Besarnya transpor dinyatakan dalam Sv (1 Sv = 10 6 m 3 s -1 ), angka warna hitam menunjukkan nilai transpor. Nilai massa transpor di Selat Makassar tahun 1997 (Gordon and McClean 1999; Susanto and Gordon 2005), Selat Lombok dari Januari 1985 Januari 1986, Laut Timor (antara Timor dan Australia) diukur pada Maret 1992 April 1993 (Molcard et al. 1996), Selat Ombai (bagian utara Timor dan Pulau Alor Desember 1995 Desember 1996). Massa air pada kedalaman lebih besar dari 1500 m yang melintasi Selat Lifamatola berdasarkan pengukuran current meter selama 3,5 bulan di awal tahun 1985 menuju Laut Banda diperkirakan sebesar 1,5 Sv (van Aken et al. 1988). Perkiraan nilai transpor ini kemudian di revisi menjadi 2,5 Sv (van Aken et al. 2009). Angka warna merah menunjukkan massa air transpor selama periode INSTANT tahun Di Selat Lifamatola, angka warna hijau adalah massa air transpor selama INSTANT pada kedalaman lebih besar dari 1250 m, yang mewakili massa air ke Laut Seram dan Laut Banda (Gordon et al. 2010). Sumber utama Arlindo adalah massa air termoklin Pasifik Utara yang mengalir melalui Selat Makassar dikedalaman sill 650 m, masuk ke Laut Flores dan Laut Banda. Selanjutnya kontribusi Arlindo dari massa air termoklin yang lebih dangkal dan massa air perairan dalam yang berasal dari Pasifik Selatan masuk ke perairan Indonesia melalui rute bagian timur yaitu Laut Maluku dan Laut Halmahera dengan massa air yang lebih tinggi densitasnya melintasi Selat

27 7 Lifamatola dikedalaman sill 1940 m, Arlindo bergerak ke luar menuju bagian timur Samudera Hindia melalui selat sepanjang rangkaian pulau-pulau Sunda Kecil seperti Selat Ombai (kedalaman sill 350 m), Selat Lombok (300 m), Laut Timor (1890 m) (Ffield and Gordon 1992; Gordon 2001) Sumber : Gordon, et al., 2008 Gambar 2. Arus lintas Indonesia Kompleksitas geografi dengan selat-selat yang sempit, basin yang dalam menyebabkan lintasan Arlindo memiliki lintasan yang komplek pula. Hal ini mengakibatkan massa air mengalami modifikasi melalui percampuran, upwelling dan fluks udara-laut sebelum bergerak ke menuju Samudera India. Arus Katulistiwa Utara/North Equatorial Current (AKU) membawa massa air asal Pasifik Utara sedangkan Arus Katulistiwa Selatan/South Equatorial Current (AKS) membawa massa air asal Pasifik Selatan ke bagian barat Samudera Pasifik kemudian masuk ke perairan timur Indonesia. Pada Musson Barat Laut (musim barat) AKU yang berada kira-kira 9ºLU bergerak ke barat menuju Filipina, AKU bercabang dua menjadi Arus Mindanao (Mindanao Current), yakni arus yang bergerak ke arah selatan sepanjang pantai timur Mindanao dan arus yang berbelok ke arah utara menjadi pemasok awal Arus Kuroshio.

28 8 2.3 Keadaan Umum Perairan Selat Makasar Transpor Massa Air di Perairan Selat Makasar Kondisi oseanografi Perairan Selat Makasar merupakan bagian dari Perairan Indonesia yang mentransfer massa air hangat dan bersalinitas rendah dari Samudera Pasifik menuju Samudera India. Oleh karena itu perairan Indonesia memegang peranan penting secara integral dalam sirkulasi termohalin global dan fenomena iklim (Sprintall et al. 2000; Gordon 2001). Bahang dan massa air yang bersalinitas rendah yang dibawa oleh Arus Lintas Indonesia (Arlindo) berdampak terhadap perimbangan parameter bahang dan salinitas di kedua samudera. Letak geografis perairan Selat Makasar yang memanjang dari arah utara selatan, dan sepanjang tahun secara umum transpor massa air permukaan tidak mengalami perubahan arah, yaitu dari utara ke selatan kecuali pada bagian selatan yakni pada daerah pertemuan antara massa air Laut Jawa, Laut Flores dan perairan Selat Makasar bagian Selantan. Pada bagian ini tampak nyata perubahan transpor massa air permukaan yang sesuai dengan angin muson. Selama Muson Timur massa air dari Laut Flores bertemu dengan air yang keluar dari Selat Makasar dan mengalir bersama ke Laut Jawa. Dalam kondisi ini banyak massa air pada lapisan permukaan akan terangkut dan bergerak ke barat, berakibat muncul ruang kosong di permukaan yang memungkinkan massa air lapisan bawah naik untuk mengisinya. Namun demikian karena kecepatan menegak air relatif kecil (5 x 10-4 cm/detik), maka disimpulkan bahwa peristiwa penaikan massa air di daerah ini tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap pola air (Illahude 1970). Transpor maksimum pada berbagai lokasi seperti Selat Makasar, Selat Lombok, Selat Ombai, Laut Sawu dan dari Laut Banda ke Samudera India terjadi pada saat bertiupnya angin muson tenggara antara Juli September dan minimum saat muson barat laut antara Nopember Februari (Meyers et al. 1995; Gordon and McClean 1999; Molcard et al. 1996; Hautala et al. 2001). Pada Muson Barat massa air dari Laut Jawa bertemu dengan massa air yang keluar dari Selat Makasar dan mengalir bersama ke arah Laut Flores. Puncak transpor maksimum Arlindo di gerbang masuk dan keluar diperkirakan terjadi pada waktu yang berbeda sehingga diduga terjadi penyimpanan massa air di perairan Indonesia (Ffield and Gordon 1992). Di

29 9 samping itu jalur lintasan Arlindo mempunyai konfigurasi geografi yang kompleks dengan kombinasi dasar perairan yang dangkal dan dalam serta kuatnya arus pasang surut pada berbagai kanal sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan karakter massa air akibat percampuran. Fenomena Iklim seperti ENSO yang terjadi di barat Pasifik juga memegang peranan penting dalam variabilitas Arlindo. Selama fase El Niño transpor Arlindo mengalami pelemahan, bahang dan massa air dengan salinitas yang rendah jauh lebih sedikit ditransfer ke Samudera Hindia (Gordon 2001). Observasi menunjukkan bahwa komposisi massa air Arlindo berasal dari massa air termoklin Pasifik Utara, meski pada kedalaman yang lebih dalam (massa airnya lebih dingin dari 6 C) massa airnya secara langsung berasal dari Pasifik Selatan (Gordon and Susanto 2003). Sementara itu di Samudera Hindia berasosiasi dengan sistem muson dan fenomena Dipole Mode (Saji et al. 1999). Susanto et al menyebutkan bahwa dari data paras laut dan mooring memperlihatkan variabilitas intraseasonal (30 60 hari) yang kemungkinan merupakan respon gelombang Kelvin dari Samudera Hindia yang masuk ke Perairan Selat Makassar melalui Selat Lombok dan Gelombang Rossby dari Samudera Pasifik. Mereka juga mengungkapkan bahwa karakteristik intraseasonal ditandai dengan periode hari yang berhubungan dengan Gelombang Rossby dari Samudera Pasifik yang merambat melalui Laut Sulawesi. Berikutnya periode hari yang merupakan karakter Gelombang Kelvin terlihat di Bali (Selat Lombok). Meskipun demikian karakter tersebut tidak terlihat di Tarakan, hal ini menandakan bahwa gelombang-gelombang tersebut mengalami pelemahan setelah melewati Selat Makasar. Aliran transpor Arlindo yang diduga oleh Susanto and Gordon (2005) dengan menggunakan model profil sederhana memperkirakan transpor lapisan permukaan adalah 9,3 Sv. Mode normal berdasarkan pengujian Wajsowicza et al. (2003) untuk tahun 1997 adalah 6,4 Sv dengan batas permukaan dan yang paling rendah 1,6 Sv dan 4,7 Sv. Hal ini disebabkan karena pendekatan yang digunakan oleh keduanya berbeda. Gordon and Susanto (2003) melakukanya dengan menggunakan tiga pendekatan profil (Profil A, B dan C) secara vertikal yang berbeda-beda untuk setiap musim.

30 10 Analisis momentum dan keseimbangan energi menunjukkan bahwa transpor total Arus Lintas Indonesia tidak tergantung secara eksklusif terhadap perbedaan tekanan inter-ocean yaitu beda tekanan muka laut antara Pasifik dan Hindia tetapi lebih oleh faktor-faktor lain termasuk angin lokal (muson), gesekan dasar dan resultan dari gaya-gaya tekanan yang bekerja pada sisi internal seperti geometri perairan yang menimbulkan aksi pasang surut yang membawa pengaruh yang signifikan terhadap variabilitas dan karakteristik arah arus (Burnett et al. 2003). Susanto and Gordon (2005) mengungkapkan bahwa aliran Arlindo ke utara di bawah lapisan 300 meter pada September 1997 pertengahan Februari 1998 terjadi selama puncak El Niño 1997/1998, hal ini diduga pengaruh Gelombang Kelvin dari Samudera Hindia. Massa air Arlindo yang ke utara juga terjadi di Mei 1997 (Sprintall et al. 2000). Transpor massa air Arlindo yang melalui Selat Makasar hasil pengamatan dari Januari Nopember 2006 The International Nusantara Stratification and Transport (INSTANT) program adalah 11.6 ± 3.3 Sv (Sv = 10 6 m 3 /s). Massa air transpor ini lebih besar 27 % dari data yang diamati periode El Niño yang kuat selama tahun Nilai maksimum massa air transpor terjadi saat akhir musim barat dan musim timur, dengan minimum massa air transport terjadi pada bulan Oktober Desember (Gordon et al. 2010). Massa air transpor dari Samudera Pasifik yang melewati Selat Makasar pada kedalaman sill 680 meter merupakan 80 % total massa air transpor Arlindo (Gordon 2001). Lapisan termoklin maksimun (v-maks) terjadi pada musim timur (Juli-September) dan musim barat (Januari- Maret) dengan kedalaman antara meter. Rasio rata-rata kecepatan dari MAK - timur ke MAK-barat adalah 0,95 (lapisan permukaan ), 0,84 (pertengahan - termoklin ) dan 0,76 (lebih rendah termoklin). Kecepatan maksimum termoklin dan intensifikasi aliran barat Labani konsisten dengan data Arlindo (Gordon and McClean 1999; Susanto and Gordon 2005). Pada Gambar 3 sebelah kiri terlihat kedalaman termoklin meter profil kecepatan bervariasi terhadap musim: V-max yang lebih besar terjadi selama bulan Juli /Agustus /September (JAS, musim timur), relatif terhadap bulan Januari /Februari /Maret (JFM, musim barat). Profil JAS dan JFM membalikkan posisi relatif pada kedalaman di bawah 220 db, menunjukkan aliran massa air

31 11 lebih dalam di Selat Makasar pada saat musim barat. Pada Gambar 3 sebelah kanan terlihat V-max lebih dalam selama musim barat laut, Februari -Maret 2004, Maret-April 2005 dan Februari-April 2006; dengan V- max lebih yang dangkal selama musim tenggara, Juli- September 2004, 2005 dan Termoklin V-max memperlihatkan fluktuasi semi-tahunan, dengan nilai tertinggi pada tahap lainnya yang dipengaruhi oleh musim: Februari-April 2004, Juli-September 2004, Maret- April 2005, Agustus- September 2005, Februari -Maret 2006, Juni-September Kecepatan ke arah selatan yang kuat di tahun 2006 terlihat menonjol sebagai sebuah anomali. Adanya massa air ke utara yang diduga merupakan pengaruh gelombang Kelvin pada bulan Mei 2004 dan 2005 sedangkan pada bulan Mei 2006 tidak terlihat. Suhu adalah suatu besaran fisika yang menyatakan banyaknya aliran bahang yang terkandung dalam suatu benda. Suhu air laut terutama di lapisan permukaan sangat tergantung pada jumlah bahang yang diterima dari sinar matahari. Daerahdaerah yang paling banyak menerima bahang sinar matahari adalah daerah-daerah yang terletak pada lintang rendah, dan akan semakin berkurang bila letaknya semakin mendekati kutub. Gambar 3. Profil musiman (kiri) dan kecepatan massa transpor. Nilai kecepatan rata-rata mewakili MAK-barat dan MAK-timur. Koordinat vertikal diberikan dalam decibar (dbar), mendekati meter (m). tanda menunjukkan arah aliran ke selatan dan tanda + menunjukkan arah sebaliknya (Gordon et al. 2010).

32 12 Lapisan air dipermukaan laut tropis pada umumnya hangat dan variasi hariannya tinggi. Perairan Indonesia mempunyai kisaran suhu sekitar C pada lapisan permukaan. Pada daerah tertentu, tempat yang sering terjadi upwelling, keadaan suhu dapat menjadi lebih rendah sekitar 25 0 C yang disebabkan massa air dingin terangkat ke atas (Wyrtki 1961). Suhu permukaan perairan Selat Makasar dipengaruhi oleh keadaan cuaca antara lain curah hujan, penguapan, kelembaban udara, kecepatan angin dan penyinaran matahari. Proses penyinaran dan pemanasan matahari pada musim barat lebih banyak berada di belahan bumi selatan, sehingga suhu berkisar antara C dan di bagian utara khatulistiwa suhu berkisar antara C. Pada musim timur, suhu perairan Indonesia bagian utara akan naik menjadi C dan suhu permukaan di perairan sebelah selatan akan turun menjadi C (Wyrtki 1961). Sebaran suhu vertikal di laut secara umum dapat dibedakan menjadi tiga lapisan yaitu; lapisan homogen(homogeneous layer) di bagian paling atas, lapisan termoklin(discontinuity layer) di tengah, dan lapisan dingin(deep layer) di lapisan dalam. Pada lapisan permukaan terjadi pencampuran massa air yang diakibatkan oleh adanya angin, arus, dan pasang surut sehingga merupakan lapisan homogen. Lapisan termoklin merupakan lapisan yang mengalami perubahan suhu yang relatif cepat, antara massa air hangat dengan massa air yang lebih dingin di bawahnya. Umumnya diikuti dengan penurunan oksigen terlarut dan penaikan yang cepat dari kadar zat hara (Wrytki 1961). Selama musim barat lapisan homogen dapat mencapai kedalaman 100 meter dari permukaan perairan dengan suhu antara C dan salinitas perairan berkisar 32,5-33,5. Di bawah lapisan homogen, terdapat lapisan termoklin dengan kedalaman meter dan suhu berkisar C serta salinitas antara 34,0-34,5. Selanjutnya lapisan dalam, dari kedalaman sekitar 300 meter sampai dasar perairan dengan suhu antara C dan salinitas antara 34,0-34,5. Pada musim timur, lapisan homogen dapat mencapai lapisan yang tipis, yakni sekitar 50 meter dari permukaan perairan. Suhu dilapisan ini berkisar C dan salinitas 34,0-34,5. Lapisan termoklin yang terbentuk saat musim timur terjadi pada kedalaman meter dengan suhu antara C dan salinitas 34,5-36,0. Kemudian lapisan dalam yang terbentuk dari kedalaman 400 meter

33 13 sampai ke dasar perairan dengan suhu antara C dan salinitas antara 34,0-34,5 ( Illahude 1970). Suhu rerata pada kedalaman 150 meter sebesar 20 0 C dan semakin menurun suhunya dengan interval 5 0 C setiap penurunan kedalamaman 100 meter. Lapisan isotherm 15 0 C meningkat 35 db selama El Niño bulan Desember 1997 dan kembali turun 35 db ketika La Niña bulan Juli Gambar 4 menunjukkan data XBT selama 15 tahun adanya korelasi yang sangat tinggi antara suhu pada lapisan termoklin, transpor Arlindo di Selat Makasar dengan karakteristik ENSO yang dapat dilihat dari perubahan Indeks Osilasi Selatan sebesar Korelasi menurun pada kedalaman rata-rata meter sebesar Volume transpor di Selat Makasar melemah selama fase El Niño berkorelasi 0.67 dengan melemahnya suhu. Transpor energi internal di Selat Makasar sebesar 0.63 PW selama La Niña bulan Desember Februari 1997, dan 0.39 selama El Niño bulan Desember 1997 Februari 1998 (Ffield et al. 2000). Gambar 4. Hubungan antara suhu dan SOI dari data XBT 100 m (Ffield et al. 2000) Pola Angin di Perairan Selat Makasar Perairan Indonesia, merupakan penghubung antara dua sistem Samudera yaitu Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, maka sifat dan kondisinya banyak dipengaruhi oleh kedua Samudera tersebut, khususnya Samudera Pasifik. Pengaruh ini terlihat antara lain pada sebaran massa air, arus, pasang surut dan kesuburan perairan. Keadaan yang demikian menyebabkan perairan Indonesia sangat dipengaruhi oleh iklim muson (musim), sehingga memberikan sifat yang

34 14 khas bagi perairan Indonesia. Keadaan iklim muson di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga musim yakni Musim Timur (Juni - Agustus), Musim Barat (Desember - Maret), dan Musim Peralihan (April - Mei dan September - Nopember). Keadaan ini mempengaruhi sifat dan kondisi perairan-perairan Indonesia, misalnya perairan Selat Makasar, Laut Banda, Laut Flores dan Laut Sulawesi (Wyrtki 1961). Selat Makasar merupakan perairan yang terletak di antara Pulau Kalimatan dan Pulau Sulawesi. Selat ini berbatasan dengan Laut Sulawesi di sebelah Utara dan dengan Laut Jawa serta Laut Flores di sebelah Selatan. Kondisi oseanografis Selat Makasar ini selain dipengaruhi oleh massa air dalam selat, juga dipengaruhi oleh dinamika oseanografi di luar selat dan keadaan iklim. Perairan pantai Kalimatan dan perairan sepanjang pantai Sulawesi yang mengapit Selat Makasar juga berperan terhadap dinamika massa air dalam selat tersebut (Illahude 1970). Angin utama yang berhembus di perairan Selat Makasar adalah angin muson. Angin ini dalam setahun mengalami pembalikan arah dua kali. Perubahan arah dan pergerakan angin muson ini berhubungan erat dengan terjadinya perbedaan tekanan udara di atas Benua Asia dan Australia. Pada bulan Desember- Februari umumnya angin bertiup dari Benua Asia ke Benua Australia sehingga di atas perairan Selat Makasar angin bertiup dari arah utara ke arah selatan selat atau angin Muson Barat dan pada bulan Juni-Agustus angin bertiup dari Benua Australia ke Benua Asia yang mengakibatkan arah angin di atas perairan Selat Makasar bertiup dari arah tenggara ke arah utara atau angin Muson Timur (Wyrtki 1961). Pergantian angin muson dari Muson Barat ke Muson Timur menimbulkan berbagai macam pengaruh terhadap sifat perairan Selat Makasar. Selama angin Muson Barat berhembus, curah hujan akan meningkat yang berakibat menurunnya nilai salinitas perairan. Sebaliknya pada Muson Timur, terjadi peningkatan salinitas akibat penguapan yang besar, ditambah dengan masuknya massa air yang bersalinitas tinggi dari Samudera Pasifik melalui Laut Sulawesi dan masuk ke perairan Selat Makasar (Wyrtki 1961).

35 Transformasi Wavelet Konsep Transformasi Wavelet telah dirumuskan sejak awal 1980-an oleh beberapa ilmuwan seperti Morlet, Grosmann, Daubechies dan lain-lain. Sampai sekarang transformasi Fourier mungkin masih menjadi transformasi yang paling populer di area Pemrosesan Sinyal Digital (PSD). Transformasi Fourier memberitahukan informasi frekuensi dari sebuah sinyal, tapi tidak informasi waktu (tidak dapat diketahui dimana/kapan frekuensi itu terjadi). Karena itulah transformasi Fourier hanya cocok untuk sinyal stationer (sinyal yang informasi frekuensinya tidak berubah menurut waktu). Untuk menganalisis sinyal yang frekuensinya bervariasi di dalam waktu, diperlukan suatu transformasi yang dapat memberikan resolusi frekuensi dan waktu disaat yang bersamaan, biasa disebut Analisis Multi Resolusi (AMR). AMR dirancang untuk memberikan resolusi waktu yang baik dan resolusi frekuensi yang buruk pada frekuensi tinggi suatu sinyal, serta resolusi frekuensi yang baik dan resolusi waktu yang buruk pada frekuensi rendah suatu sinyal. Pendekatan ini sangat berguna untuk menganalisis sinyal dalam aplikasi-aplikasi praktis yang memang memiliki lebih banyak frekuensi rendah. Wavelet adalah gelombang yang berukuran lebih kecil dan pendek bila dibandingkan dengan sinyal pada sinusoid pada umumnya, di mana energinya terkonsentrasi pada selang waktu tertentu yang digunakan sebagai alat untuk menganalisa sinyal-sinyal non-stasioner (Anant and Dowla 1997). Salah satu metoda yang baik untuk menganalisis gelombang sinyal yang terlokalisir adalah wavelet transformation. Transformasi wavelet adalah suatu AMR yang dapat merepresentasikan informasi waktu dan frekuensi suatu sinyal dengan baik. Transformasi wavelet menggunakan sebuah jendela modulasi yang fleksibel, ini yang paling membedakannya dengan Short Time Fourier Transformation (STFT), yang merupakan pengembangan dari transformasi Fourier. STFT menggunakan jendela modulasi yang besarnya tetap, ini menyebabkan dilema karena jendela yang sempit akan memberikan resolusi frekuensi yang buruk dan sebaliknya jendela yang lebar akan menyebabkan resolusi waktu yang buruk.

36 16 Metode transformasi wavelet ini dapat digunakan untuk menapis data atau meningkatkan mutu kualitas data; dapat juga digunakan untuk mendeteksi fenomena varian waktu serta dapat digunakan untuk pemampatan data (Foster et al. 1994). Transformasi Wavelet dapat digunakan untuk menunjukkan kelakukan sementara (temporal) pada suatu sinyal, misalnya dalam bidang geofisika (sinyal seismik), fluida, medik dan lain sebagainya. Karena kemampuannya melihat data dari berbagai sisi, wavelet mampu menyederhanakan dan mengurangi noise tanpa memperlihatkan penurunan mutu. Pada transformasi wavelet digunakan istilah translasi dan skala, karena istilah waktu dan frekuensi sudah digunakan oleh transformasi Fourier. Translasi adalah lokasi jendela modulasi saat digeser sepanjang sinyal, berhubungan dengan informasi waktu. Skala berhubungan dengan frekuensi, skala tinggi (frekuensi rendah) berhubungan dengan informasi global dari sebuah sinyal, sedangkan skala rendah (frekuensi tinggi) berhubungan dengan informasi detail. Pada dasarnya, transformasi wavelet dapat dibedakan menjadi dua tipe berdasarkan nilai parameter translasi dan skala, yaitu transformasi wavelet kontinu (continue wavelet transform, CWT), dan diskrit (discrete wavelet transform, DWT). Prinsip kerja CWT dengan menghitung sebuah sinyal dengan sebuah jendela modulasi pada setiap waktu dengan setiap skala yang diinginkan. Jendela modulasi yang mempunyai skala fleksibel inilah yang biasa disebut induk wavelet atau fungsi dasar wavelet. CWT menganalisa sinyal dengan perubahan skala pada window yang dianalisis, pergeseran window dalam waktu dan perkalian sinyal serta mengintegral semuanya sepanjang waktu (Polikar 1996). CWT secara matematika dapat didefinisikan sebagai berikut: * s, (t)dt... (1) dimana γ(s,τ) adalah fungsi sinyal setelah transformasi, dengan variabel s (skala) dan τ (translasi) sebagai dimensi baru. f(t) sinyal asli sebelum transformasi. Fungsi dasar * s, (t) di sebut sebagai wavelet, dengan * menunjukkan konjugasi kompleks. Inversi dari CWT dapat didefinisikan sebagai berikut: s, (t)d.... (2)

37 17 Fungsi dasar wavelet s,τ(t) dapat didesain sesuai kebutuhan untuk mendapatkan hasil transformasi yang terbaik, ini perbedaan mendasar dengan transformasi fourier yang hanya menggunakan fungsi sinus sebagai jendela modulasi. Fungsi dasar wavelet secara matematika dapat didefinisikan sebagi berikut: s, (t) = (...(3) faktor digunakan untuk normalisasi energi pada skala yang berubah-ubah. Mexican Hat, yang merupakan normalisasi dari derivatif kedua fungsi Gaussian adalah salah satu contoh fungsi dasar CWT; s, (t) = (1-...(4) Contoh lain adalah fungsi dasar Morlet, yang merupakan fungsi bilangan kompleks: ( -... (5) dengan dan (1 + -1/2 Dibandingkan dengan CWT, DWT dianggap relatif lebih mudah pengimplementasiannya. Prinsip dasar dari DWT adalah bagaimana cara mendapatkan representasi waktu dan skala dari sebuah sinyal menggunakan teknik penapisan digital dan operasi sub-sampling. Sinyal pertama-tama dilewatkan pada rangkain filter high-pass dan low-pass, kemudian setengah dari masing-masing keluaran diambil sebagai sample melalui operasi sub-sampling. Proses ini disebut sebagai proses dekomposisi satu tingkat. Keluaran dari filter low-pass digunakan sebagai masukkan di proses dekomposisi tingkat berikutnya. Proses ini diulang sampai tingkat proses dekomposisi yang diinginkan. Gabungan dari keluaran-keluaran filter high-pass dan satu keluaran filter low-pass yang terakhir, disebut sebagai koefisien wavelet, yang berisi informasi sinyal hasil transformasi yang telah terkompresi. Pasangan filter high-pass dan low-pass yang

38 18 digunakan harus merupakan Quadrature Mirror Filter (QMF), yaitu pasangan filter yang memenuhi Persamaan (6): n. g[....(6) dengan h[n] adalah filter high-pass, g[n] adalah filter low-pass dan L adalah panjang masing-masing filter. 2.5 Penginderaan Jarak Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan alat tanpa adanya kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand and Kiefer 1987). Data suhu permukaan laut (SPL) dapat diperoleh dengan dua cara yang sangat berbeda, yang pertama menggunakan metode pengukuran konvensional yang secara langsung menggunakan alat-alat pengukur temperatur di permukaan laut; yang kedua menggunakan metode estimasi dengan memanfaatkan wahana satelit penginderaan jauh. Ada banyak faktor yang mempengaruhi estimasi SPL dengan menggunakan data satelit penginderaan jauh. Agar diperoleh data yang mempunyai perbedaan terkecil dengan data in situ, maka pada saat proses pengolahan data penginderaan jauh harus memperhitungkan berbagai faktor koreksi radiometris. Brown et al. (1985) menyatakan bahwa perkiraan SPL yang menggunakan data satelit dipengaruhi oleh faktor sensor dan proses kalibrasi, algoritma koreksi atmosfer, prosedur dan pengolahan data serta interaksi permukaan laut dengan lapisan atmosfer di atas permukaan laut yang diamati. Gambaran tentang faktor-faktor yang berpengaruh pada proses ekstraksi data SPL dengan menggunakan data satelit meliputi proses-proses fisik pada lapisan atmosfer, pengolahan data digital, proses kalibrasi dan konversi serta faktor koreksi atmosfer (Callison et al. 1989). Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) bermula dari diluncurkannya satelit EOS-AM dan EOS-PM sebagai bagian dari NASA Earth Observing System (EOS). Satelit yang pertama kali membawa MODIS yaitu AM- 1 atau disebut juga dengan Terra. Terra sukses diluncurkan pada tanggal 18

39 19 Desember Peluncuran MODIS kedua disebut dengan FM1 (Flight Model 1) yang dibawa oleh pesawat luar angkasa Aqua (EOS PM-1) dan sukses pula diluncurkan pada tanggal 4 Mei Dengan menggunakan MODIS kita dapat mengetahui lebih awal informasi tentang permukaan bumi, atmosfer dan fenomena laut secara luas dan dapat digunakan oleh berbagai komunitas di seluruh dunia. MODIS dilengkapi oleh high radiometric sensitivity (12 bit) dalam 36 band spektral yang mempunyai panjang gelombang antara 0,4 µm sampai 14,4 µm. Spektrum yang dimiliki oleh MODIS sama dengan yang ada pada AVHRR dan SeaWiFS, bahkan lebih banyak. Resolusi spasial pada kanal 1 dan 2 enam belas kali lebih baik daripada AVHRR atau SeaWiFS dan pada kanal 3 sampai 7 empat kali lebih tinggi. Kanal yang lain mempunyai resolusi spasial yang sama dengan AVHRR atau SeaWiFS. MODIS berada pada ketinggian 705 km dengan orbit polar sun-synchronous, descending node (Terra) pada 10;30 a.m. atau 1;30 p.m. pada ascending node (Aqua) dan mengelilingi bumi setiap satu sampai dua hari. Spesifikasi teknis pada MODIS dapat dilihat pada Tabel 1, sedangkan karakteristik dari masing-masing band pada satelit MODIS dapat dilihat pada Tabel 2. Orbit Jenis Scan Rate Swath Dimensions Telescope Size Weight Power Data Rate Quantization Tabel 1. Spesifikasi teknis MODIS (Conboy 2004) Spesifikasi 705 km, 10;30 a.m. descending node (Terra) or 1;30 p.m. ascending node (Aqua), sun-synchronous, near-polar, circular 20.3 rpm, cross track 2330 km (cross track) by 10 km (along track at nadir) cm. Off-axis, afocal (collimated), with intermediate field stop 1.0 x 1.6 x 1.0 m kg W (single orbit average) Spatial Resolutions 250 m (bands 1-2) 500 m (bands 3-7) 1000 m (bands 8-36) 10.6 Mbps (peak daytime); 6.1 Mbps (orbital average) 12 bits Design Life 6 years

40 20 Tabel 2. Karakteristik kanal spektral pada MODIS (Conboy 2004) Primary use Band Bandwitdh(nm) Spasial resolution(m) Land/Cloud/Aerosols Boundaries Land / Cloud / Aerosols Properties Ocean Color/Phytoplankton/Biogeochemistry Atmospheric Water Vapor Surface/Cloud Temperature Atmospheric Temperature Cirrus Clouds Water Vapor Cloud Properties Ozone Surface/Cloud Temperature Cloud Top Altitude

41 21 Aplikasi penginderaan jauh dibidang kelautan sangat luas diantaranya berupa indentifikasi pola perairan, meteorologi kelautan, pendugaan potensi sumberdaya perikanan, suhu permukaan laut, produktivitas perairan, mendeteksi tumpahan minyak, peta jalur pelayaran dan navigasi (CCRS 2005).

42 22 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Lokasi penelitian adalah Perairan Selat Makasar, dengan posisi lintang antara 6 0 LU-8 0 LS dan posisi bujur antara BT. Penelitian ini membagi daerah pengamatan menjadi 10 dengan ukuran 1 0 x 1 0. Pembagian daerah pengamatan ini, berdasarkan aliran massa air Arlindo yang masuk ke Perairan Indonesia (Gordon et al. 2010). Daerah Pengamatan Sul1 merupakan awal massa air permukaan yang masuk dari Samudera Pasifik Utara ke Perairan Sulawesi, daerah pengamatan Sul2 di Perairan Sulawesi, daerah pengamatan MK1 awal massa air permukaan dari Perairan Sulawesi masuk ke Perairan Selat Makasar, daerah pengamatan MK2 mewakili daerah pengamatan dekat Pulau Kalimantan yang diharapkan dapat mengindikasikan adanya pengaruh daratan Kalimantan terhadap Perairan Selat Makasar, daerah pengamatan MK3 yang mewakili dekat Sulawesi, daerah pengamatan MK4 yang mewakili massa air permukaan yang keluar dari Perairan Selat Makasar, daerah pengamatan MK5 merupakan daerah dengan adanya pengaruh penaikan massa air di Perairan Selat Makasar bagian selatan, daerah MK6 merupakan daerah antara daerah pengamatan MK2 dan JW untuk mengetahui adanya sirkulasi massa air dari Laut Jawa ke Perairan Selat Makasar dan sebaliknya, daerah JW mewakili perairan Laut Jawa dan daerah KR mewakili daerah Karimata. Peta daerah penelitian dan pembagian lokasi pengamatan berdasarkan lintang bujur dapat dilihat pada Gambar 5 dan Tabel Metode Pengumpulan Data Data Suhu Permukaan Laut, Klorofil dan Tinggi Muka Laut Data SPL yang digunakan adalah data citra penginderaan jauh dengan sensor MODIS. Data ini di kelola oleh the NOAA CoastWatch Program NASA's, Goddard Space Flight Center, dan OceanColor Web. Spasial grid data 0,05 derajat bujur x 0,05 derajat lintang, geografis. Akurasi nominal data, ±1 derajat Celsius (SWFSC 2006).

43 23 8 La 4 C ut a in la Se n ta Sul1 Sul2 Kalimantan ar MK1 Mak as 0 Sela t KR Sulawesi MK2MK3-4 Laut Banda MK6 Laut Jawa JW MK4 MK5 Jawa Laut Flores Gambar 5. Lokasi penelitian Tabel 3. Posisi lokasi pengamatan 0 0 Ket Lintang( LU) Sul1 4,25-5,25 125,50-126,50 Sul2 3,00-4,00 122,00-123,00 MK1 0,50-1,50 119,00-120,00 Ket 0 Bujur( BT) 0 MK2 Lintang( LS) 2,50-3,50 Bujur( BT) 116,75-117,75 MK3 2,50-3,50 117,75-118,75 MK4 5,65-6,65 117,50-118,50 MK5 6,00-7,00 119,25-120,25 MK6 4,00-5,00 116,50-117,50 JW 4,65-5,65 114,50-115,50 KR 2,75-3,75 107,00-108,00 129

44 24 Data yang digunakan dari Juli 2002 Mei 2010, merupakan data 8 harian yang diunduh dari laman National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) Fisheries Service (SWFSC 2006). Data nilai-nilai SPL ini telah divalidasi dan dibandingkan dengan data suhu buoy dari National Data Buoy Center. Algoritma yang digunakan dalam mendapatkan data SPL berdasarkan Brown and Minnett (1999). Untuk lebih jelasnya tentang algoritma ini dapat dibaca dalam tulisan dengan judul MODIS Infrared Sea Surface Temperature Algorithm, Algorithm Theoretical Basis Document Version 2.0 (Brown and Minnett 1999). Data klorofil yang digunakan dalam penelitian adalah data citra penginderaan jauh dengan sensor MODIS. Data ini di kelola oleh the NOAA CoastWatch Program NASA's, Goddard Space Flight Center, dan OceanColor Web. Spasial grid data 0,05 derajat bujur x 0,05 derajat lintang, geografis. Data yang digunakan adalah data 8 harian dari bulan Juli 2002 sampai dengan bulan Mei 2010, yang diunduh dari NOAA Fisheries Service (SWFSC 2006). Data ini sudah diproses dengan menggunakan perangkat lunak sistem analisis Data SeaWiFS (SeaDAS) (Fu et al. 1998). Koreksi atmosfer telah diterapkan pada data klorofil ini untuk menghasilkan pengukuran radiansi yang meninggalkan air (Gordon & Wang 1994, Shettle & Fenn 1979). Data tinggi muka laut yang digunakan adalah data citra penginderaan jauh gabungan yaitu JASON-1, TOPEX/POSEIDON, ENVISAT, GFO, ERS 1/2, dan GEOSAT dengan sensor altimeter. Data ini di kelola oleh NOAA CoastWatch dan AVISO. Spasial grid data 0,25 derajat bujur x 0,25 derajat Latitude, geografis. Data ini merupakan data bulanan dari Juli 2002 Mei 2010, yang diunduh dari NOAA Fisheries Service (SWFSC 2006). Akurasi data mendekati 1 cm (Stammer and Wunsch 1994; Callahan et al. 2009) Data Curah Hujan dan Angin Data curah hujan diunduh dari laman National Aeronautics and Space Administration (NASA) (Hegde 2010). Data curah hujan yang digunakan telah diakuisisi menggunakan analisis GES-DISC Interactive Online Visualization ANd analysis Infrastructure (Giovanni) sebagai bagian dari the NASA's Goddard Earth Sciences (GES) Data and Information Services Center (DISC). Data ini

45 25 merupakan data curah hujan bulanan dari Juli 2002 Mei 2010 dengan spasial resolusi 2,5 derajat bujur x 2,5 derajat lintang, geografis. Data angin dalam penelitian ini diperoleh dari laman European Centre for Medium-Range Weather Forecasts (ECMWF 2010) dengan resolusi spasial 1,5 0 x 1,5 0. Data angin yang digunakan berupa data bulanan yang terdiri dari komponen timur barat(zonal) dan komponen utara selatan(meridional) pada ketinggian 10 meter di atas permukaan laut. Pada Tabel 4 memperlihatkan jenis, banyak dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini. Tabel 4. Jenis, banyaknya dan sumber data No Jenis Banyaknya data Sumber 1. SPL 380 x 10 lokasi = 3800 the NOAA CoastWatch Program NASA's, Goddard Space Flight Center, dan OceanColor Web 2. Klorofil 380 x 10 lokasi = 3800 the NOAA CoastWatch Program NASA's, Goddard Space Flight Center, dan OceanColor Web 3. Tinggi muka laut 95 x 10 lokasi = 950 NOAA CoastWatch dan AVISO 4. Curah hujan 95 x 3 lokasi = 285 GES-DISC 5. Angin 95 x 1 lokasi = 95 European Centre for Medium-Range Weather Forecasts 3.3 Analisis Data Data SPL, klorofil dan tinggi muka laut diolah dengan menggunakan perangkat lunak ferret untuk selanjutnya dianalisis secara spasial untuk melihat pola sebarannya yang dapat menunjukkan fenomena laut seperti pertemuan dua massa air, penaikan massa air dan secara temporal dilakukan analisis deret waktu sesuai dengan daerah pengamatan. Analisis deret waktu ini untuk mengidentifikasi adanya fenomena alam yang diperlihatkan oleh pengamatan berurutan dimana terdapat fenomena-fenomena yang berulang dengan mengetahui

46 26 periodisitas dominannya. Tahapan proses analisis data dengan menggunakan perangkat lunak ferret dapat dilihat pada Lampiran 1. Data SPL, klorofil dan tinggi muka laut selanjutnya diolah dengan pendekatan wavelet transform (Torrence and Compo 1998) berupa continuous wavelet transform yang digunakan untuk mendeteksi kemungkinan adanya periodisitas seperti seasonal, intra-seasonal. hubungan antara dua data deret waktu secara bersamaan dan proses sebab akibat diantara keduanya, selanjutnya cross wavelet transform yang akan memunculkan fase power dan relatif dalam domain frekuensi-waktu dan penggunaan analisis wavelet coherent untuk mengetahui koherensi yang signifikan dari data yang diolah. Berdasarkan analisis ini dapat diketahui adanya pengaruh intra-seasonal, seasonal dan inter-annual dengan menginterpretasi periodisitas data yang dominan. Tahapan proses analisis data dengan pendekatan wavelet transform dapat dilihat pada Lampiran 2. Transformasi wavelet adalah suatu transformasi yang membagi suatu sinyal dalam hal ini adalah data deret waktu curah hujan ke dalam beberapa tingkat resolusi. Pendekomposisian sinyal ke dalam resolusi yang berbeda-beda secara bertahap dari resolusi tinggi sampai resolusi rendah dinamakan analisis multiresolusi. Setiap resolusi dibedakan dengan faktor skala, yang biasa digunakan yaitu kelipatan dari dua. Jika dibandingkan dengan transformasi Fourier, maka transformasi wavelet mempunyai keunggulan yaitu dapat merepresentasikan sinyal dalam domain waktu dan domain frekuensi dengan sangat baik. Hal ini disebabkan fungsi basis dari transformasi wavelet dapat diperlebar dan dipersempit sehingga memudahkan dalam menganalisa sinyal sesuai dengan frekuensinya. Pada frekuensi tinggi digunakan fungsi basis yang sempit sedangkan pada frekuensi rendah digunakan fungsi basis yang lebar. Dalam transformasi wavelet ini dilakukan beberapa metode transformasi wavelet yang meliputi : 1. Continuous Wavelet Transform (CWT) Wavelet adalah sebuah fungsi dengan perata-rataan nol dan dibatasi oleh frekuensi dan waktu. Wavelet dapat digolongkan dengan membatasinya terhadap waktu (Δt) dan frekuensi (Δω atau lebar pita). Prinsip ketidakpastian Heisenberg menyatakan selalu terjadi antara pembatasan

47 27 dalam waktu dan frekuensi. Tanpa definisi Δt dan Δω yang jelas dapat dikatakan bahwa terdapat sebuah batas untuk bagaimana memperkecil ketidakpastian hasil Δt. Δω. Salah satu caranya dengan menggunakan wavelet Morlet didefinisikan sebagai :...(7) ω o adalah frekuensi tak berdimensi dan η adalah waktu tak berdimensi. Ketika wavelet dipergunakan untuk maksud ekstraksi fitur maka wavelet Morlet (ω o = 6) adalah pilihan yang terbaik. Wavelet Morlet menyediakan sebuah keseimbangan yang baik antara pembatasan waktu dan frekuensi. Ide dibalik CWT adalah untuk menerapkan fungsi wavelet sebagai filter bandpass terhadap seri waktu. Wavelet dilebarkan terhadap waktu bervariasi terdapat skala (s), dimana η = s.t dan dinormalisasi untuk mendapatkan satuan energi. Wavelet Morlet (ω o = 6) periode Fourier (λ ωt ) hampir sama terhadap skala (λ ωt =1.03 s). CWT dari seri waktu (x n, n=1...n) dengan langkah waktu yang sama δ t adalah konvolusi dari x n dengan penskalaan dan normalisasi wavelet sehingga daya wavelet W n X (s) 2 yang dihasilkan dapat ditulis :...(8) Dalam penerapannya wavelet lebih cepat untuk mengimplementasikan konvolusi dalam ruang Fourier (Torrence and Compo 1998). Argumen kompleks W X n (s) dapat diinterpretasikan sebagai fase lokal. CWT mempunyai tepi artifak disebabkan wavelet bukanlah pembatasan yang utuh terhadap waktu. Cone of Influence (COI) sangat berguna untuk dipergunakan sehingga efek tepi dapat diabaikan. Penggunaan COI sebagai daerah dimana power wavelet menyebabkan diskontinuitas pada tepi yang telah diturunkan menjadi e -2 dari nilai di tepi. Signifikansi statistik dari power wavelet dapat dinilai relatif terhadap hipotesa nol, dimana sinyal yang dihasilkan oleh proses stasioner dengan

48 28 latar belakang yang memberikan power spectrum (P k ). Beberapa seri waktu geofisika mempunyai karakteristik red noise yang dapat dimodelkan dengan sangat baik dengan pangkat pertama dari proses autoregressive (AR1). Power spectrum Fourier dari sebuah proses AR1 dengan lag 1 autokorelasi α (diestimasi dari pengamatan deret waktu seperti yang dilakukan oleh Allen and Smith 1996) didefinisikan sebagai;....(9) k adalah indeks frekuensi Fourier. Transformasi wavelet merupakan serangkaian bandpass filter yang diaplikasikan terhadap deret waktu dimana skala wavelet secara linier berhubungan dengan periode karakteristik filter (λ wt ). Oleh karena itu, untuk proses stasioner dengan power spektrum P k, variasi yang diberikan oleh teorema konvolusi Fourier adalah variasi sederhana yang dihubungkan dengan band P k, jika P k cukup halus maka varians yang diberikan oleh skala sederhana dengan P k dapat diaproksimasi mempergunakan konversi k -1 = λ ωt. Torrence and Compo (1998) menggunakan metode Montecarlo untuk memperlihatkan bahwa aproksimasi ini sangat baik untuk spektrum AR1. Selanjutnya diperlihatkan bahwa distribusi probabilitas power wavelet dengan menggunakan power spectrum (P k ) menjadi lebih besar dibandingkan dengan p yaitu: D...(10) υ adalah sama dengan 1 untuk riil dan 2 untuk wavelet kompleks. 2. Cross Wavelet Transform (XWT) Cross wavelet transform (XWT) dari dua seri data x n dan y n didefinisikan sebagai W XY = W X W Y*, dimana * adalah notasi kompleks konjugat. Selanjutnya didefinisikan cross wavelet power sebagai W XY. Argumen kompleks arg (W XY ) dapat diinterpretasikan sebagai fase relatif lokal antara x n dan y n dalam ruang waktu frekuensi. Teori distribusi dari

49 29 cross wavelet dari dua seri waktu dengan latar belakang power spectra P k X dan P k Y telah diberikan oleh Torrence and Compo (1998) sebagai; D...(11) Z υ (p) adalah tingkat kepercayaan (confidence level) yang dihubungkan dengan probabilitas p untuk sebuah pdf yang didefinisikan dengan akar kuadrat produk dari dua distribusi χ Sudut Fase Cross Wavelet Dalam fase berbeda antara komponen dari dua deret waktu, diperlukan perkiraan rata-rata dan selang kepercayaan dari fase yang berbeda tersebut. Untuk menghitung hubungan fase digunakan rata-rata melingkar (circular mean) dengan fase lebih besar dari 5% secara signifikan statistik yang berada di luar daerah COI. Rata-rata circular dari sekumpulan sudut (a i, i=1,...n) didefinisikan sebagai; (12) Tidak mudah untuk menghitung selang kepercayaan dari rata-rata sudut secara akurat dikarenakan fase sudut tidak independen. Jumlah dari sudut yang dipergunakan dalam perhitungan dapat ditentukan berubah-ubah dengan menambah skala resolusi. Bagaimanapun sangat menarik untuk mengetahui hamburan dari sudut disekitar rata-rata. Untuk itu didefinisikan simpangan baku melingkar (circular) sebagai : S...(13) dimana Simpangan baku melingkar dianalogkan dengan simpangan baku linier yang bervariasi dari nol sampai tak terhingga. Ini memberikan hasil yang sama terhadap simpangan baku ketika sudut terdistribusi mendekati sekitar rata-rata sudut. Dalam beberapa kasus boleh jadi alasan untuk

50 30 menghitung fase sudut rata-rata untuk setiap skala dan kemudian fase sudut dapat dihitung sebagai jumlah dari tahun. 4. Wavelet Transform Coherence (WTC) Pada umumnya koherensi Fourier digunakan untuk mengidentifikasi pita frekuensi dimana dua deret waktu saling berhubungan, satu deret data akan mengembangkan sebuah koherensi wavelet yang dapat mengidentifikasi baik pita frekuensi dan interval waktu dimana deret waktu tersebut dipengaruhi. Dalam analisis Fourier, terlebih dahulu dilakukan penghalusan (smoothing) spektrum sebelum melakukan perhitungan koherensi. Jika terdapat dua seri waktu X dan Y, dimana transformasi wavelet W X n (s) dan W Y n (s) dimana n adalah indeks waktu dan s adalah skala, maka spektrum cross wavelet didefinisikan sebagai :...(14) Tanda * menandakan kompleks konjugat. Spektrum cross-wavelet secara akurat mengdekomposisi spektra Fourier dan spektra kuadratik ke dalam ruang skala waktu. Koherensi wavelet kuadrat (wavelet squared coherency), didefinisikan sebagai nilai absolut dari cross wavelet yang telah dihaluskan kemudian dinormalisasi dengan power spectra wavelet yang juga telah dihaluskan.. (15) S menyatakan penghalusan (smoothing) baik waktu maupun skala, dan. Didalam perhitungan baik bagian real maupun imajiner dari spektrum cross wavelet dihaluskan secara terpisah sebelum mendapatkan nilai absolute, dimana angka penyebutnya adalah power spectra wavelet (setelah dikuadrat) yang telah dihaluskan. Faktor s -1 digunakan untuk mengkonversi menjadi sebuah densitas energi. Transformasi wavelet

51 31 mempunyai variansi yang kekal maka koherensi wavelet adalah sebuah presentasi yang akurat dari normalisasi kovarian antara dua deret waktu. Beda fase koherensi wavelet dinyatakan dengan :...(16) Bagian real yang telah dihaluskan ( ) dan bagian ( ) imajiner telah dihitung sebelumnya dengan menggunakan persamaan 15. Baik R 2 n (s) maupun adalah fungsi dari indeks waktu n dan skala. Proses penghalusan yang telah dilakukan dengan persamaan (15) dan (16) menggunakan weighted running average atau konvolusi baik dalam arah waktu maupun skala. Dapat dikatakan bahwa koherensi Fourier hanya bergantung kepada perubahan fungsi penghalusan demikian juga yang dilakukan terhadap koherensi wavelet. Meskipun demikian lebar dari fungsi wavelet Morlet baik dalam ruang waktu maupun Fourier menghasilkan sebuah lebar alami dari fungsi penghalusan. Penghalusan dari waktu mempergunakan sebuah filter yang diberikan oleh nilai absolut dari fungsi wavelet pada setiap skalanya, normalisasi untuk mendapatkan sebuah bobot total dari suatu kesatuan. Untuk wavelet Morlet berbentuk Gaussian dengan. Skala penghalusan dilakukan menggunakan filter boxcar dengan lebar δ jo panjang skala dekorelasi. Untuk wavelet Morlet dipergunakan δ jo =0.60 (TC98). Dengan mempergunakan filter yang berbeda-beda lebar dan jenisnya menghasilkan suatu koherensi yang lebih halus atau koherensi derau yang lebih kecil dimana masih memberikan hasil kualitatif yang sama. Filter-filter di atas adalah kesepakatan terbaik sebagaimana filter tersebut menyediakan jumlah minimal dari kebutuhan penghalusan termasuk didalamnya dua titik independen baik dalam dimensi waktu dan skala. 5. Cone of Influence (COI) Panjang deret waktu terbatas, kesalahan (error) akan muncul di awal dan akhir dari spektrum power wavelet, seperti pada transformasi Fourier. Solusi permasalahan ini adalah dengan pad di akhir deret waktu dengan

52 32 nol sebelum melakukan transformasi wavelet dan kemudian menghilangkannya. Metoda lain dengan damping cosius (Meyers et al. 1993). Dalam studi ini, deret waktu di pad (padding) dengan nol secukupnya sehingga panjang total N memenuhi pangkat dua yang berikutnya, untuk menghilangkan efek tepi (ujung) dan mempercepat transformasi Fouriernya. Padding dengan nol menimbulkan diskontinuitas dititik akhir sehingga bila skala diperbesar akan menurunkan amplitudo didekat ujung dengan semakin banyaknya nol ikut dalam analisis. COI merupakan wilayah dari spektrum wavelet yang mana pengaruh tepi menjadi suatu yang penting dan disini didefinisikan sebagai e-folding-time dipilih sehingga power wavelet untuk suatu diskontinuitas di ujung menurun dengan faktor e -2 dan memastikan bahwa efek tepi dapat diabaikan dalam titik ini. Untuk series yang siklus (misalnya sebuah strip longitudinal pada lintang yang tetap), tidak diperlukan padding dengan nol dan di lokasi tersebut tidak ada COI. Ukuran COI untuk tiap skala juga dapat menjadi ukuran dari decorelasi waktu untuk sebuah spike tunggal di dalam time series. Dengan membandingkan lebar suatu peak dalam spectrum wavelet terhadap dekorelasi waktu ini dapat dibedakan antara suatu spike pada data (kemungkinan derau acak) dan sebuah komponen harmonik pada frekuensi Fourier ekuivalennya. Data curah hujan diolah dengan menggunakan perangkat lunak ferret untuk selanjutnya dilakukan analisis deret waktu untuk mengetahui periodesitas domiman. Data angin diolah untuk menganalisis arah dan kecepatannya. Data komponen angin zonal dan meridional dirata-ratakan setiap bulannya dengan menggunakan perangkat lunak ferret kemudian ditampilkan dalam bentuk gambar arah dan kecepatan.

53 33 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Variabilitas Tinggi Muka Laut Gambar 6 sampai dengan Gambar 9 memperlihatkan tinggi muka laut bulanan rata-rata dari tahun Di perairan Sulawesi tinggi muka laut pada musim timur (Juni Agustus) umumnya lebih rendah di sekitar 2 0 LU 4 0 LU dan BT BT dibandingkan dengan bagian Utaranya. Pada musim peralihan II (September-Nopember) tinggi muka laut relatif hampir sama dengan musim timur. Pada musim barat (Desember - Februari) tinggi muka laut terlihat lebih tinggi dibandingkan musim timur dan peralihan II di perairan sekitar 2 0 LU 4 0 LU dan BT BT. Tinggi muka laut pada musim peralihan I (Maret Mei) di Perairan Sulawesi tampak secara umum berada di atas 80 cm. Tinggi muka laut di perairan Sulawesi pada musim timur relatif lebih rendah dibandingkan musim lainnya. Tinggi muka laut di perairan Sulawesi secara umum terlihat adanya variabilitas musim, di bulan Januari dan Februari tinggi muka laut relatif sama dengan kisaran cm. Di bulan Maret - Mei tinggi muka laut cenderung lebih rendah dibanding bulan sebelmnya antara cm. Tinggi muka laut pada bulan Juni relatif lebih rendah terutama disekitar 2 0 LU 4 0 LU dan BT BT dibandingkan bagian utaranya dan cenderung bertambah rendah pada bulan September antara cm dan kembali meninggi di bulan Oktober hingga bulan Desember. Di Perairan Selat Makasar tinggi muka laut tampak secara umum lebih tinggi di bagian utara (MK1) dibandingkan bagian selatan (MK4). Pada musim timur Tinggi muka laut di daerah MK4 tampak lebih rendah dibandingkan pada musim barat dengan kisaran cm. Pada musim peralihan II terlihat tinggi muka laut relatif sama dengan musim timur. Pada musim barat tinggi muka laut di daerah MK4 lebih tinggi dibandingkan musim lainnya dengan kisaran cm, sedangkan pada musim peralihan I untuk daerah MK4 relatif lebih dibandingkan dengan musim timur dan musim barat dengan kisaran cm. Secara umum berdasarkan musim, tinggi muka laut di daerah MK1 memiliki pola relatif sama dengan tinggi muka laut di daerah MK4. Variabilitas tinggi muka laut Perairan Selat Makasar bulan ke bulan terlihat jelas. Pada bulan Januari, tinggi muka laut di Perairan Selat Makasar berkisar 82

54 34 Juli cm Agustus September Gambar 6. Tinggi muka laut pada bulan Juli, Agustus dan bulan September dari tahun

55 35 Oktober cm Nopember Desember Gambar 7. Tinggi muka laut pada bulan Oktober, Nopember dan bulan Desember dari tahun

56 36 Januari cm Februari Maret Gambar 8. Tinggi muka laut pada bulan Januari, Februari dan bulan Maret dari tahun

57 37 April cm Mei Juni Gambar 9. Tinggi muka laut pada bulan April, Mei dan bulan Juni dari tahun

58 38 86 cm. Pada bulan Februari tinggi muka laut di Perairan Selat Makasar, cenderung sama dengan bulan Januari. Pada bulan Maret terlihat di bagian selatan Perairan Selat Makasar (MK4) tinggi muka laut berkisar cm dan cenderung bertambah rendah hingga bulan September dengan kisaran cm, sedangkan tinggi muka laut selama bulan Oktober Desember berkisar cm relatif lebih tinggi dibandingkan bulan September. Pada musim timur tinggi muka laut di Laut Jawa berkisar cm relatif lebih rendah dibandingkan musim barat, sedangkan pada musim peralihan II hingga musim barat tinggi muka laut relatif berbanding terbalik dengan musim timur. Untuk tinggi muka laut pada musim peralihan I memiliki pola yang relatif sama dengan musim timur. Secara umum, tinggi muka laut di Laut Jawa pada musim timur relatif lebih rendah dibandingkan musim lainnya. Di bulan Januari- Maret tinggi muka laut lebih rendah terdapat sekitar bagian selatan Laut Jawa dibandingkan dengan tinggi muka laut bagian utara laut Jawa dekat dengan Kalimantan Selatan dengan kisaran cm. Tinggi muka laut pada bulan April- Mei tampak lebih tinggi dibanding bulan sebelumnya dengan kisaran cm. Pada bulan Juni sampai bulan Oktober tinggi muka laut cenderung semakin menurun dengan kisaran cm, sedangkan di bulan November hingga bulan Desember terlihat relatif lebih tinggi dibagian utara Laut Jawa dekat perairan Kalimantan Selatan dengan kisaran cm dibandingkan dengan bagian selatannya. Pada Gambar 10 memperlihatkan deret waktu tinggi muka laut untuk daerah pengamatan JW, MK6, dan MK2. Pada musim barat di setiap daerah pengamatan secara umum tinggi muka laut terlihat lebih tinggi dibandingkan pada musim timur berkisar cm. Pergerakkan massa air permukaan pada bulan Desember dan Januari tahun 2008 terlihat adanya slope antara daerah pengamatan MK6 dan MK2 yang mengindikasikan adanya kecenderungan massa air permukaan bergerak ke utara. Indikasi adanya pergerakan ke utara juga terlihat pada bulan April-Mei 2003 tinggi muka laut di daerah Pengamatan JW lebih tinggi dibandingkan daerah MK6 dan MK2. Bulan April-Mei tahun 2004 dan tahun 2010, tinggi muka laut di daerah JW dan MK6 lebih tinggi dibandingkan daerah pengamatan MK2. Tahun 2006, tinggi muka laut daerah pengamatan MK6

59 39 lebih tinggi dibandingkan daerah pengamatan MK2. Pada musim timur terlihat tinggi muka laut di daerah pengamatan MK2 lebih tinggi dibandingkan daerah pengamatan JW dan MK6, hal ini mengindikasikan pergerakan massa air permukaan pada musim timur mengalir ke selatan dari utara Perairan Selat Makasar. Pada bulan Maret-Mei terlihat adanya kecenderungan tinggi muka laut lebih tinggi dibandingkan bulan November-Januari. Pada bulan Januari Maret 2004 dan tahun 2005 terlihat tinggi muka laut di daerah pengamatan MK6 lebih tinggi atau sama dengan MK2, hal ini menunjukkan adanya massa air permukaan yang bergerak ke utara minimal dari daerah pengamatan MK6 ke MK2. Pada bulan Maret-Mei tahun 2003, 2008 dan tahun 2010 terlihat pula pola yang hampir sama tinggi muka laut daerah pengamatan MK6 lebih tinggi dibandingkan daerah pengamatan MK Gambar 10. Deret waktu tinggi muka laut di daerah pengamatan JW, MK6 dan MK2 Pada Gambar 11 memperlihatkan deret waktu tinggi muka laut untuk daerah pengamatan MK3, MK4, dan MK5. Pada musim barat di setiap daerah pengamatan secara umum tinggi muka laut terlihat lebih tinggi dibandingkan pada musim timur. Pergerakan massa air permukaan pada bulan Desember dan Januari pada setiap tahun pengamatan terlihat adanya slope antara daerah pengamatan

60 40 MK5 dan MK4 yang mengindikasikan adanya kecenderungan pergerakan massa air permukaan dari MK5 ke MK4. Indikasi adanya pergerakan ini terlihat pula pada musim timur dengan tinggi muka air lebih rendah dibandingkan musim barat. Tinggi muka laut daerah pengamatan MK3 selalu lebih tinggi dibandingkan dengan daerah pengamatan MK4 dan MK5, hal ini mengindikasikan bahwa massa air permukaan selalu bergerak ke arah selatan yakni dari daerah pengamatan MK3 ke daerah pengamatan MK4 dan MK5. Pada bulan Juli-September ada kecenderungan tinggi muka laut di daerah pengamatan MK5 bergerak mendekati daerah pengamatan MK4, hal ini mengindikasikan adanya pergerakan massa air permukaan di daerah tersebut Gambar 11. Deret waktu tinggi muka laut di daerah pengamatan MK3, MK4 dan MK5 Pada Gambar 12 sampai Gambar 14 memperlihatkan power spectrum wavelet dari tinggi muka laut. Di daerah pengamatan Sul1 tinggi muka laut terlihat memiliki periode intraseasonal (2-6 bulan) yang terjadi pada bulan ke 10 sampai bulan ke 30, dan berulang pada bulan ke 55 serta bulan ke 80 sampai bulan ke 110 dengan power spectrum berkisar 0,7-1,0 cm 2. Di daerah pengamatan Sul1 juga terlihat memiliki periode seasonal (12 bulan) dengan

61 41 Sul1 Sul2 MK1 Time (Month) (cm 2 ) Gambar 12. Power spectrum wavelet tinggi muka laut daerah pengamatan Sul1, Sul2 dan MK1

62 42 MK2 MK3 MK4 Time (Month) (cm 2 ) Gambar 13. Power spectrum wavelet tinggi muka laut daerah pengamatan MK2, MK3 dan MK4

63 43 JW KR Time (Month) (cm 2 ) Gambar 14. Power spectrum wavelet tinggi muka laut daerah pengamatan JW dan KR power spectrum berkisar 0,7-0,8 cm 2 tampak dari bulan ke 40 sampai bulan ke 50 dan bulan ke 70 sampai dengan bulan ke 125. Daerah pengamatan Sul2, periode intra-seasonal terlihat pada bulan pertama sampai bulan ke 10, bulan ke 20, 40, 60, 95, 110 dan bulan ke 120 dengan power spectrum 0,7-1,1 cm 2. Periode seasonal terlihat pada bulan pertama sampai bulan ke 30 dan bulan ke 60 sampai bulan ke 120 dengan power spectrum berkisar 1,0-1,15 cm 2. Daerah pengamatan MK1 tampak periode seasonal terlihat pada bulan pertama sampai bulan ke 40

64 44 dan bulan ke 80 sampai bulan ke 125 dengan power spectrum yang relatif kuat 1,0-1,15 cm 2. Periode inter-seasonal masih terlihat dengan power spectrum berkisar 0,4-0,6 cm 2 pada sepanjang bulan pengamatan. Untuk daerah pengamatan MK2, MK3, MK4, JW dan KR terlihat ada periode seasonal yang cukup jelas dengan power spectrum kuat berkisar 1,0-1,15 cm 2 di sepanjang bulan pengamatan sedangkan periode inter-seasonal tidak terlihat. Transpor massa air Arlindo yang melalui Selat Makasar dari hasil pengamatan INSTANT program Januari November 2006 adalah 11,6 ± 3,3 Sv. Transpor massa air ini lebih besar 27 % dari data yang diamati periode El Niño yang kuat selama tahun Nilai maksimum massa air transpor terjadi saat akhir musim barat dan musim timur, dengan minimum massa air transpor terjadi pada bulan Oktober Desember (Gordon et al. 2010). Susanto and Gordon (2005) mengungkapkan adanya aliran Arlindo ke utara di bawah lapisan 250 meter pada September 1997 pertengahan Februari 1998 selama puncak El Niño, sedangkan aliran ke utara pada lapisan di bawah 300 m diduga terjadi selama intrusi gelombang Kelvin Mei 1997 (Sprintall et al. 2000), Mei 2004 dan 2005 sedangkan pada bulan Mei 2006 tidak terlihat (Gordon et al. 2010). Berdasarkan hasil penelitian transpor massa air Arlindo periode 1997/1998 dan INSTANT program pada lapisan permukaan terjadi pembalikan aliran 1 sampai 2 bulan yang diamati selama musim barat terutama pada bulan Januari dan Desember tahun 2005 dan tahun 2006 (Gordon et al. 2010), konsisten dengan deret waktu Arlindo periode 1997/1998 (Gordon and Susanto 2003). Pembalikan transpor massa air pada bulan-bulan tersebut berusaha diamati melalui data penginderaan jauh satelit. Pada Gambar 15 memperlihatkan tinggi muka laut pada bulan Januari dan Desember Pada bulan Januari 2005 di Perairan Selat Makasar tinggi muka laut lebih rendah sekitar 50 cm di sekitar Kalimantan Selatan dibandingkan dengan tinggi muka laut dekat daerah Mamaju dan Majene berkisar 72 cm demikian pula tinggi muka laut di dekat Kalimantan Timur relatif lebih rendah dari tinggi muka laut dekat Sulawesi Tengah. Tinggi muka laut terlihat lebih tinggi dibagian utara dibandingkan bagian selatan perairan Selat Makasar.

65 45 Transpor massa air permukaan pada bulan ini tidak terlihat adanya pergerakan ke utara. Tidak terlihatnya pergerakan massa air permukaan ke utara diduga disebabkan resolusi data altimeter yang digunakan memiliki akurasi data 1,0 cm (Callahan et al. 2009) sehingga perubahan tinggi muka laut yang lebih kecil dari pada akurasi data tidak akan terekam. Pada bulan Desember 2005 terlihat tinggi muka laut memiliki pola yang mirip seperti bulan Januari 2005 dibagian utara Perairan Selat Makasar tampak lebih tinggi berkisar cm dibandingkan di bagian selatan yang hanya cm. Pada Gambar 16 memperlihatkan tinggi muka laut bulan Januari dan Desember Bulan Januari 2006 tinggi muka laut terlihat relatif lebih rendah di bagian selatan perairan Selat Makasar (MK4) dibandingkan bagian utara perairan (MK1). Dibagian perairan dekat Kalimantan (MK2) terlihat tinggi muka laut berkisar 74-80cm cenderung ke arah utara, sedangkan bagian timur perairan Selat Makasar, kontur cenderung ke arah selatan perairan. Tinggi muka laut di perairan Laut Jawa terlihat lebih tinggi di dekat perairan Kalimantan Tengah. Tinggi muka laut di dekat Kalimantan Tengah cenderung bergerak ke arah tenggara. Pada bulan Desember 2006 terlihat tinggi muka laut memiliki pola yang lebih rendah dibandingkan bulan Janauri Pergerakan massa air permukaan ke utara pada Gambar 17 juga tidak terlihat. El Niño adalah kondisi abnormal iklim di mana penampakan suhu permukaan laut Samudra Pasifik ekuator bagian timur dan tengah (di pantai Barat Ekuador dan Peru) lebih tinggi dari rata-rata normalnya. El Niño diindikasikan dengan beda tekanan atmosfer antara Tahiti dan Darwin yang disebut Osilasi Selatan, karena keduanya terletak di belahan bumi selatan. El Niño sering digabung dengan Osilasi Selatan menjadi ENSO. Australian Government Bureau of Meteorology (2011) menjelaskan El Niño ditandai dengan indeks osilasi selatan/southern Oscillation Index (SOI) bernilai negatif berkelanjutan dibawah - 8, artinya tekanan atmosfer di atas Tahiti lebih rendah daripada tekanan di atas Darwin, sebaliknya La Niña ditandai nilai SOI positif berkelanjutan di atas 8. Nilai antara sekitar 8 dan -8 umumnya menunjukkan kondisi netral. Pada periode El Niño yang terjadi di bulan Maret Januari 2003 dengan indeks SOI lemah, termasuk El Niño katagori lemah s/d sedang.

66 46 Januari cm Desember Gambar 15. Tinggi muka laut pada bulan Januari dan Desember 2005

67 47 Janauri cm Desember Gambar 16. Tinggi muka laut pada bulan Januari dan Desember 2006

68 48 Periode El Niño katagori lemah ditunjukkan dengan indeks SOI lemah terjadi pada Mei 2006 Januari 2007 dan bulan Oktober 2009 Februari 2010 dengan indeks SOI lemah s/d sedang. Periode La Niña terjadi pada Juni 2007 Februari 2008 dengan indeks SOI lemah s/d sedang, untuk periode La Niña katagori sedang s/d kuat dan bulan Agustus 2008 April 2009 termasuk katagori La Niña lemah dengan nilai indeks SOI lemah s/d sedang. Gambar 17 memperlihatkan deret waktu dari tinggi muka laut di daerah pengamatan Sul1, Sul2, dan MK1. Secara umum pada periode El Niño tinggi muka laut tampak lebih rendah berkisar cm dibandingkan pada periode La Niña dengan tinggi muka laut berkisar cm. Daerah pengamatan Sul1, Sul2 dan MK1 memiliki pola yang mirip, kuat dugaan di daerah tersebut pengaruh Perairan Pasifik Utara masih ada dan massa air permukaan Sul1 mempengaruhi masaa air permukaan di Sul2 dan MK1. Pada periode El Niño, untuk daerah pengamatan Sul1 terlihat tinggi muka laut paling rendah sampai 65 cm, dibandingkan daerah pengamatan lainnya, kebalikannya pada saat La Niña tinggi muka laut relatif lebih tinggi sampai 105 cm. Periode La Niña bulan Juni 2007 Februari 2008 tampak tinggi muka laut yang cenderung meningkat berkisar cm. Analisis power spektrum koherensi tinggi muka laut dilakukan untuk mengetahui hubungan antar daerah pengamatan dengan menggunakan analisis Cross Wavelet Transform (XWT) dan Wavelet Coherence (WTC). Gambar 18 dan Gambar 19 memperlihatkan XWT di daerah pengamatan Sul1, Sul2, MK1, MK2, MK3, MK4, JW dan KR. Secara umum periode seasonal tampak pada setiap daerah pengamatan. Gambar 18a tampak periode seasonal sekitar bulan ke dengan power spectrum antara 2-3 cm 2, XWT di daerah pengamatan Sul1 dan Sul2 ini menunjukkan in phase. Hal ini mengindikasikan adanya hubungan tinggi muka laut di Sul1 dan Sul2. Gambar 18b memperlihatkan XWT untuk daerah pengamatan Sul2 dan MK1, periode seasonal sekitar bulan ke 1-30 dan bulan ke dengan power spectrum antara 4-8 cm 2. XWT di daerah pengamatan ini memperlihatkan in phase di hampir semua bagian, yang mengindikasikan adanya hubungan tinggi muka laut antara Sul2 dengan MK1. XWT yang diperlihatkan

69 Gambar 17. Deret waktu tinggi muka laut untuk daerah pengamatan Sul1, Sul2 dan MK1

70 50 a b c Time (Month) Gambar 18. Cross wavelet transform tinggi muka laut dari daerah pengamatan Sul1, Sul2, MK1, dan MK3

71 51 pada Gambar 18c, untuk daerah pengamatan Sul2 dan MK1, periode seasonal sekitar bulan ke dengan power spectrum kuat antara 4-8 cm 2. XWT di daerah pengamatan ini memperlihatkan in phase di hampir semua bagian, yang mengindikasikan adanya hubungan tinggi muka laut antara Sul2 dengan MK1. Gambar 19a, Gambar 19b, dan Gambar 19c memiliki periode seasonal yang cukup jelas di sepanjang bulan daerah pengamatan dan menunjukkan in phase dengan power spectrum 4-8 cm 2. Hal tersebut mempelihatkan adanya kemungkinan hubungan yang sangat erat tinggi muka laut di antara daerah pengamatan. Pada Gambar 21b dan Gambar 21c terlihat adanya periode intraseasonal dengan power spektrum 1-2 dan menunjukkan in phase yang berarti tinggi muka laut di daerah pengamatan tersebut memiliki hubungan yang erat satu dengan yang lain. Informasi yang lebih baik dengan tingkat kepercayaan signifikan yang menunjukkan indikasi hubungan antara dua daerah pengamatan dapat menggunakan pendekatan WTC. Gambar 20 dan Gambar 21 memperlihatkan WTC pada daerah pengamatan Sul1, Sul2, MK1, MK2, MK3, MK4, JW dan KR. Periode seasonal tampak pada setiap daerah pengamatan dengan anak panah yang menunjukkan in phase. Periode ini menunjukkan kesamaan dengan periode seasonal yang diperlihatkan XWT. Hal tersebut mengindikasikan bahwa periode seasonal terjadi dengan konsisten di setiap daerah pengamatan. Gambaran umum dari pendekatan WTC memperlihatkan tinggi muka laut di daerah Sul1 dengan Sul2, Sul2 dengan MK1 dan MK1 dengan MK3 memiliki keterkaitan yang cukup kuat, patut diduga adanya indikasi perambatan tinggi muka laut dalam bentuk gelombang dengan timelag = 0,4444 bulan (± 2 minggu). Demikian pula terjadi perambatan tinggi muka laut dari daerah pengamatan KR ke JW dan daerah pengamatan JW ke MK Suhu Permukaan Laut Posisi geografis perairan Selat Makasar yang terletak di antara Laut Sulawesi dan Laut Jawa merupakan lintasan utama bagi Arlindo yang menyebabkan kondisi oseanografi Selat Makasar mempunyai variabilitas tinggi, selain dipengaruhi oleh massa air dalam selat, juga dipengaruhi oleh variabilitas

72 52 a b c Time (Month) Gambar 19. Cross wavelet transform tinggi muka laut dari daerah pengamatan MK2, MK3, MK4, JW dan KR

73 53 a b c Time (Month) Gambar 20. Wavelet coherence tinggi muka laut daerah pengamatan Sul1, Sul2, MK1 dan MK3

74 54 a b c Time (Month) Gambar 21. Wavelet coherence tinggi muka laut daerah pengamatan MK3, MK4, JW dan KR

75 55 oseanografi di luar selat dan keadaan iklim (Illahude (1970); Gordon and Susanto (2003); Ffield et al. (2000)). Kondisi oseanografi di selat ini juga merupakan bagian dari Perairan Indonesia yang mentransfer massa air hangat dan bersalinitas rendah dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia. Bahang dan massa air yang bersalinitas rendah yang dibawa oleh Arlindo berdampak terhadap perimbangan kedua parameter di kedua samudera, perairan Indonesia memegang peranan penting secara integral dalam sirkulasi termohalin global dan fenomena iklim (Sprintall et al. 2000; Gordon 2001). SPL dipengaruhi oleh keadaan cuaca antara lain curah hujan, penguapan, kelembaban udara, kecepatan angin dan penyinaran matahari. Proses penyinaran dan pemanasan matahari pada musim barat di perairan Indonesia lebih banyak berada di belahan bumi selatan, sehingga suhu berkisar antara C dan di bagian utara khatulistiwa suhu berkisar antara C. Pada musim timur, suhu perairan Indonesia bagian utara akan naik menjadi C dan suhu permukaan di perairan sebelah selatan akan turun menjadi C (Wyrtki 1961). Gambar 22 sampai dengan Gambar 25 memperlihatkan SPL rata-rata bulanan dengan kisaran suhu 26,00 0 C - 32,00 0 C. Di perairan Sulawesi SPL pada musim timur yang berlangsung dari bulan Juni - Agustus tampak lebih tinggi di sekitar 2 0 LU 4 0 LU dan BT BT dengan kecenderungan SPL yang menurun. Pada musim peralihan II (September-November) SPL relatif hampir sama dengan musim timur. Pada musim barat (Desember - Februari) SPL terlihat lebih rendah dibandingkan musim timur dan peralihan II dan SPL kisar 28,40 0 C - 29,20 0 C hampir merata di perairan Sulawesi. SPL pada musim peralihan I (Maret Mei) tampak tinggi dengan kecenderungan SPL yang meningkat. Secara umum, sebaran SPL di perairan Sulawesi pada musim barat relatif lebih rendah dibandingkan musim lainnya. SPL di perairan Sulawesi secara umum terlihat ada variabilitas bulan ke bulan, di bulan Januari dan Februari SPL relatif homogen dengan kisaran 29,15 0 C 29,45 0 C. Di bulan Maret cenderung meningkat dan mencapai kisaran tertinggi pada bulan April sebesar 29,75 0 C 30,80 0 C. SPL pada bulan Mei relatif lebih tinggi terutama disekitar 2 0 LU 4 0 LU dan BT BT dibanndingkan bagian utaranya dan cenderung bertambah rendah pada

76 56 September 0 C Oktober Nopember Gambar 22. Suhu permukaan laut rataan bulanan di bulan September, Oktober dan Nopember

77 57 Desember 0 C Januari Februari Gambar 23. Suhu permukaan laut rataan bulanan di bulan Desember, Januari dan Februari

78 58 Maret 0 C April Mei Gambar 24. Suhu permukaan laut rataan bulanan di bulan Maret, April, dan Mei

79 59 Juni 0 C Juli Agustus Gambar 25. Suhu permukaan laut rataan bulanan di bulan Juni, Juli dan Agustus

80 60 bulan Juli. SPL selama bulan Agustus Oktober cenderung meningkat di sekitar 2 0 LU 4 0 LU dan BT BT dan kembali menurun pada bulan November Desember dengan kisaran 29,00 0 C 29,65 0 C. Di perairan Selat Makasar SPL pada musim timur tampak tinggi di daerah MK2 dan kecenderungan SPL yang menurun di bulan Juli Agustus. Di bagian selatan perairan Selat Makasar (MK4) tampak pada bulan Juni SPL rendah, keadaan ini terlihat meluas ke arah barat sampai bulan September dan berangsuransur hilang pada bulan Oktober dan Desember. Hal ini konsisten dengan dugaan terjadinya penaikan massa air di daerah tersebut. Illahude (1970) dan Gordon (2001) mengungkapkan bahwa penaikan massa air di perairan Selat Makasar berlangsung selama 4 bulan dari bulan Juni sampai bulan September, yaitu akhir musim peralihan pertama, memasuki musim timur dan berakhir pada awal musim peralihan ke dua. Pada musim barat SPL tinggi terlihat di sekitar bagian selatan perairan Selat Makasar (MK4) dan kecenderungan SPL yang menurun dengan berubahnya bulan. SPL pada musim peralihan I tampak tinggi di bagian selatan perairan Selat Makasar (MK4) dan terlihat hampir semua dipermukaan perairan Selat Makasar pada bulan April kemudian berkurang di bulan Mei. Secara umum, SPL di perairan Selat Makasar pada musim peralihan lebih tinggi dibandingkan musim barat dan musim timur dan suhu di lapisan permukaan sampai kedalaman tertentu pada Musim Barat lebih hangat dibandingkan Musim Timur (Illahude and Gordon, 1996). Di perairan Selat Makasar varibilitas SPL dari bulan ke bulan tampak jelas, di bulan Januari lebih tinggi di bagian tengah (MK2 dan MK3) dan selatan perairan (MK4) dibandingkan bagian utara perairan Selat Makasar (MK1), kecenderungan ini mencapai puncaknya pada bulan April dengan kisaran SPL 29,60 0 C 30,80 0 C. Pada bulan Mei mulai terlihat di bagian selatan sebelah timur perairan Selat Makasar (MK5) adanya SPL yang relatif lebih rendah berkisar 28,40 0 C 28,80 0 C, dan cenderung bertambah rendah pada bulan Agustus dengan kisaran SPL 27,50 0 C 27,65 0 C. SPL selama bulan Juni September yang relatif lebih rendah terlihat di bagian selatan (MK4) dan bagian tengah sebelah barat perairan Selat Makasar (MK2), sedangkan saat bulan Oktober hanya ada di bagian selatan perairan (MK4). Pada bulan Nopember SPL di perairan Selat Makasar

81 61 relatif tinggi dan bulan Desember SPL di bagian utara (MK1) lebih rendah dibandingkan bagian tengah (MK2 dan MK3) dan selatan (Mk4) dengan kisaran 29,00 0 C 29,45 0 C. SPL di perairan Laut Jawa pada musim timur relatif lebih rendah ke arah timur mendekati Selat Makasar dibanding bagian baratnya dengan kecenderungan SPL yang menurun. Pada musim peralihan II SPL relatif meningkat dan mencapai tertinggi pada bulan Desember, cenderung kembali rendah pada musim barat di bulan Februari. SPL pada musim peralihan I tinggi dengan kecenderungan meningkat. Secara umum, SPL di perairan Laut Jawa pada musim timur relatif lebih rendah dibandingkan musim lainnya. SPL di bulan Januari sampai Maret cenderung lebih tinggi ke arah timur dengan kisaran 29,15 0 C 29,75 0 C dan dibulan April relatif homogen dan kisaran tertinggi 30,50 0 C 30,95 0 C. Sebaran SPL pada bulan Mei sampai Agustus relatif lebih tinggi ke arah barat mendekati Selat Karimata dengan kisaran 27,50 0 C 29,75 0 C. SPL selama bulan September berkisar 27,95 0 C 28,10 0 C dan cenderung terus meningkat sampai puncaknya pada bulan Desember dengan kisaran 30,65 0 C 30,80 0 C. Pada Gambar 26 memperlihatkan deret waktu SPL untuk daerah pengamatan JW, MK6, dan MK2. Pada musim barat di setiap daerah pengamatan secara umum SPL terlihat lebih tinggi dibandingkan pada musim timur antara 29,00 0 C-30,50 0 C. Terlihat pada Bulan Desember dan Januari, SPL di daerah pengamatan JW berhimpit dengan daerah pengamatan MK6 dan MK2. Adanya bentuk pola yang sama dan adanya slope SPL antara daerah pengamatan JW dan MK2 mengindikasikan adanya kesamaan SPL di antara ke dua pengamatan tersebut. Hal ini mengindikasikan adanya pergerakan ke utara yang terlihat pada tahun 2002, 2004, 2005, 2007, 2008 dan Ada kecenderungan pada bulan Desember dan Januari SPL di daerah pengamatan MK2, MK6 dan JW memiliki pola relatif sama. Pada musim timur tahun 2004, 2005, 2006, 2007, 2008 dan 2009 terlihat SPL di daerah pengamatan MK2 lebih tinggi dibandingkan daerah pengamatan JW dan MK6, hal ini mengindikasikan pergerakan massa air pada musim timur mengalir ke selatan dari utara Perairan Selat Makasar.

82 62 Pada Gambar 27 memperlihatkan deret waktu SPL untuk daerah pengamatan MK3, MK4, dan MK5. Pada musim barat di setiap daerah pengamatan secara umum SPL terlihat lebih tinggi dibandingkan pada musim timur. Pada bulan Desember dan Januari pada setiap tahun pengamatan terlihat Gambar 26. Deret waktu suhu permukaan laut di daerah pengamatan JW, MK6 dan MK Gambar 27. Deret waktu suhu permukaan laut di daerah pengamatan MK3, MK4 dan MK5

83 63 SPL antara daerah pengamatan MK5 dan MK4 yang lebih tinggi dibandingkan dengan MK3 yang mengindikasikan adanya massa air permukaan dengan nilai SPL yang relatif sama di antara daerah pengamatan tersebut dengan kisaran nilai SPL 30,00 0 C-31,00 0 C. Indikasi adanya pola yang sama terlihat pula pada musim timur antara daerah pengamatan MK4 dan MK5 dengan SPL lebih rendah berkisar 26,50 0 C-27,50 0 C dibandingkan musim barat. Adanya slope SPL antara daerah pengamatan MK4, MK5 ke MK3 pada bulan Januari tahun 2003, 2005, 2006, 2007 dan 2010 mengindikasikan massa air permukaan di daerah tersebut memiliki nilai SPL relatif sama. Gambar 28 memperlihatkan deret waktu SPL di daerah pengamatan Sul1, Sul2, dan MK1. Pada periode El Niño secara umum nilai SPL relatif lebih rendah dibandingkan pada periode La Niña. Pada periode El Niño di daerah Sul1 nilai SPL 28,50 0 C - 28,80 0 C, sedangkan pada periode La Niña nilai SPL berkisaran28,30 0 C -29,00 0 C. Terlihat untuk daerah pengamatan Sul1, Sul2 dan MK1 memiliki pola SPL yang relatif sama. Adanya pola SPL yang relatif sama antara daerah pengamatan Sul1, Sul2 dan MK1 ini mengindikasikan adanya pengaruh antara massa air permukaan di Sul1 dengan massa air permukaan di daerah pengamatan Sul2 dan antara massa air permukaan di Sul2 dengan massa air permukaan di daerah pengamatan MK1. Gambar 29 sampai Gambar 31 memperlihatkan power spectrum wavelet dari suhu permukaan laut. SPL untuk daerah pengamatan Sul1 terlihat memiliki periode seasonal yang dominan terjadi pada minggu ke dengan power spectrum 0,5-0,7 ( 0 C) 2 daerah tersebut menunjukkan karakteristik yang jelas dipengaruhi musim. Di daerah Sul1 terlihat memiliki periode intra-seasonal dengan power spectrum 0,8-0,9 ( 0 C) 2. Daerah pengamatan Sul2, periode seasonal terlihat dengan power spectrum 0,5-0,6 ( 0 C) 2 dan periode intra-seasonal terlihat dengan power spectrum kuat pada minngu ke 50, 250 dan 330. Di daerah pengamatan MK1, periode intra-seasonal terlihat pada minggu ke 60 dan minggu ke 230 dengan power spectrum 0,7-0,8 ( 0 C) 2. Periode seasonal terlihat di daerah pengamatan MK1 dengan power spectrum 0,5-0,6 ( 0 C) 2. Daerah pengamatan MK2 tampak periode seasonal dengan power spectrum 0,4-0,5 ( 0 C) 2 dan tampak

84 Gambar 28. Deret waktu suhu permukaan laut daerah pengamatan Sul1, Sul2 dan MK1

85 65 Sul1 Sul2 MK1 ( 0 C) 2 Gambar 29. Power spectrum wavelet suhu permukaan laut daerah pengamatan Sul1, Sul2 dan MK1

86 66 MK2 MK3 MK4 ( 0 C) 2 Gambar 30. Power spectrum wavelet suhu permukaan laut daerah pengamatan MK2, MK3 dan MK4

87 67 periode intra-seasonal di minggu ke 290 dengan power spectrum 0,88-0,9 ( 0 C) 2. Periode seasonal terjadi pada minggu ke dengan power spectrum 0,6-0,7 ( 0 C) 2 untuk daerah pengamatan MK3. Daerah pengamatan MK4, JW dan KR periode seasonal terlihat jelas pada power spectrum 0,8-0,9 ( 0 C) 2. Periode intraseasonal terlihat pula di daerah pemgamatan MK4, JW dan KR dengan power spectrum 0,7 0,8 ( 0 C) 2. SPL bervariasi secara empat belas harian dan bulanan di perairan Indonesia ini mengindikasikan adanya proses mixing yang dibangkitkan oleh pasang surut (Ffield and Gordon 1996). JW KR ( 0 C) 2 Gambar 31. Power spectrum wavelet suhu permukaan laut daerah pengamatan JW dan KR

88 Klorofil Gambar 32 sampai dengan Gambar 35 memperlihatkan konsentrasi klorofil rata-rata bulanan dari tahun Variabilitas klorofil sangat kecil bulan ke bulan dengan kisaran mg m -3. Di perairan Sulawesi konsentrasi klorofil pada musim timur (Juni-Agustus) dan musim peralihan II (September-November) relatif homogen. Konsentrasi klorofil pada musim barat (Desember - Februari) terlihat relatif lebih tinggi dibandingkan musim timur dan peralihan II. Konsentrasi klorofil pada musim peralihan I (Maret - Mei) tampak relatif lebih rendah dibandingkan saat musim barat. Di perairan Selat Makasar konsentrasi klorofil saat musim timur relatif lebih tinggi dan kecenderungan meningkat konsentrasinya terutama dibagian selatan perairan (MK4). Di musim peralihan II, konsentrasi klorofil tampak lebih rendah dibandingkan saat musim timur. Pada saat musim barat dan musim peralihan I konsentrasi klorofil tinggi terlihat di sekitar Kalimantan Timur (MK2) dan tampak bergerak ke arah timur di bagian selatan Selat Makasar dan beransuransur menghilang pada bulan Mei. Variabilitas bulanan konsentrasi klorofil di Perairan Selat Makasar tampak terlihat, di bulan Januari relatif lebih tinggi di bagian barat perairan(mk3) dibandingkan bagian timur perairan Selat Makasar, kecenderungan ini meningkat sampai bulan Maret. Pada bulan April variabilitas yang tinggi di bagian barat perairan mulai berkurang dan mulai terlihat konsentrasi klorofil lebih rendah di bulan Mei yang memanjang dari utara ke selatan di bagian timur perairan, konsentrasi klorofil ini beransur-ansur berkurang di bulan Agustus September. Pola variabilitas ini relatif mirip terlihat dengan luas yang lebih besar hampir di semua perairan Selat Makasar dari bulan Oktober sampai bulan Desember. Pada bulan Juni di Perairan Selat Makasar bagian selatan (MK4) tampak konsentrasi klorofil relatif lebih tinggi dibandingkan bagian tengah (MK3) dan utara perairan Selat Makasar (MK1), keadaan ini tampak meningkat sampai bulan Agustus dan berangsur-ansur hilang pada bulan Oktober. Hal ini konsisten dengan dugaan terjadinya penaikan massa air di daerah tersebut. Illahude (1970) dan Gordon (2001) menjelaskan penaikan massa air di perairan Selat Makasar dipengaruhi oleh pergerakan angin saat musim timur yang bergerak dari arah Tenggara

89 69 Mg/m 3 Gambar 32. Konsentrasi klorofil rataan bulanan di bulan Juni, Juli dan Agustus

90 70 Mg/m 3 Gambar 33. Konsentrasi klorofil rataan bulanan di bulan September, Oktober dan Nopember

91 71 Mg/m 3 Gambar 34. Konsentrasi klorofil rataan bulanan di bulan Desember, Januari, dan Februari

92 72 Mg/m 3 Gambar 35. Konsentrasi klorofil rataan bulanan di bulan Maret, April dan Mei

93 73 (Australia) menuju Asia melewati Indonesia dibelokan ke arah Utara ketika melewati khatulistiwa. Konsentrasi klorofil di perairan Laut Jawa pada musim timur relatif lebih tinggi ke arah barat dan meningkat konsentrasinya sampai bulan Agustus. Saat musim peralihan II konsentrasi klorofil relatif berkurang ke arah timur perairan. Di musim barat, konsentrasi klorofil relatif lebih tinggi dibandingkan musim peralihan II. Secara umum, SPL di perairan Laut Jawa pada musim timur relatif lebih tinggi dibandingkan musim lainnya. Variabilitas konsentrasi klorofil di perairan Laut Jawa, di bulan Januari relatif lebih tinggi dan homogen. Di bulan Februari-April konsentrasi klorofil berkurang dibandingkan bulan Januari. Konsentarsi klorofil di bulan Mei Agustus kembali meningkat dengan peningkatan yang terbesar dan merata terjadi di bulan Juli- Agutus. Pada bulan September konsentrasi klorofil mulai berkurang kembali sampai bulan Desember. Gambar 36, memperlihatkan grafik deret waktu konsentrasi klorofil di daerah pengamatan Sul1, Sul2, dan MK1. Periode El Niño bulan Maret Januari 2003, untuk daerah pengamatan Sul1 mempunyai nilai konsentrasi klorofil antara 0,01 0,05 mg m -3 relatif rendah dibandingkan daerah pengamatan lainnya. Konsentrasi klorofil tertinggi terjadi di daerah pengamatan MK1 dengan nilai konsentrasi antara 0,04 0,07 mg m -3. Hal yang relatif sama terjadi pula pada periode El Niño Mei 2006 Januari 2007 dan periode El Niño bulan Oktober 2009 Februari 2010 dengan konsentrasi klorofil terendah terjadi di daerah pengamatan Sul1 antara 0,01 0,05 mg m -3 dan konsentrasi klorofil tertinggi terjadi di daerah pengamatan MK1 0,04 0,07 mg m -3. Pada periode La Niña bulan Juni 2007 Februari 2008 konsentrasi klorofil terendah antara 0,01 0,02 mg m -3 terdapat di daerah pengamatan Sul1. Konsentrasi klorofil tertinggi terjadi didaerah pengamatan MK1 konsentrasi klorofil antara 0,06 0,08 mg m -3. Periode La Niña bulan Agustus 2008 April 2009, relatif konsentrasi klorofil lebih tinggi dibandingkan periode La Niña sebelumnya. Di daerah pengamatan Sul1 nilai konsentrasi klorofil terendah antara 0,01 0,02 mg m -3 dan konsentrasi klorofil tertinggi terlihat di daerah pengamatan MK1antara 0,06 0,08 mg m -3. Secara umum konsentrasi klorofil

94 Gambar 36. Deret waktu konsentrasi klorofil di daerah pengamatan Sul1, Sul2 dan MK1

95 75 pada periode La Niña lebih besar dibandingkan pada periode El Niño, hal ini diduga adanya pengaruh curah hujan. Di daerah pengamatan Sul1 dan Sul2 terlihat konsentrasi klorofil sepanjang tahun pengamatan relatif cukup rendah, hal ini disebabkan massa air Perairan Pasifik Utara yang rendah konsentrasinya masih mempengaruhi massa air permukaan di Laut Sulawesi. Analisis power spektrum koherensi konsentrasi klorofil dilakukan untuk mengetahui hubungan antar daerah pengamatan dengan menggunakan analisis Cross Wavelet Transform (XWT) dan Wavelet Coherence (WTC). Gambar 37 dan Gambar 38 memperlihatkan XWT konsentrasi klorofil di daerah pengamatan Sul1, Sul2, MK1, MK3, MK4, JW dan KR. Secara umum periode seasonal tampak pada setiap daerah pengamatan. Gambar 37a tampak periode spectrum di minggu atau periode intra-seasonal sekitar tahun 2007 (250 minggu) dan tahun 2009 (350 minggu). Periode seasonal (48 64 minggu) terlihat sekitar tahun ( minggu). XWT untuk daerah pengamatan Sul1 dan Sul2 menunjukkan in phase pada periode minggu dan ada menunjukkan anti phase pada periode minggu. Gambar 37b memperlihatkan XWT untuk daerah pengamatan Sul2 dan MK1, dengan periode seasonal (48-58 minggu) sekitar tahun XWT untuk daerah pengamatan ini memperlihatkan in phase di hampir semua bagian, yang mengindikasikan adanya hubungan konsentrasi klorofil di daerah pengamatan Sul2 dengan MK1. XWT yang diperlihatkan pada Gambar 37c memiliki periode yang hampir sama seperti daerah pengamatan Sul1 dan MK1 sekitar tahun dan periode intraseasonal (16-24 minggu) sekitar tahun Gambar 38a merupakan XWT daerah pengamatan MK3 dan MK4 yang memperlihatkan anti phase dengan periode seasonal (48-60 minggu) disekitar tahun , terlihat pula ada periode seasonal (20-28 minggu) yang menunjukkan in phase di tahun dan tahun Gambar 38b memperlihatkan XWT untuk daerah pengamatan KR dan JW dengan periode intra-seasonal (24 minggu) pada tahun dan tahun Periode seasonal (48-60 minggu) tampak sekitar tahun XWT untuk daerah pengamatan JW dan MK2 diperlihatkan pada Gambar 38c, periode seasonal (48-60 minggu) sekitar tahun yang menunjukkan in phase. Informasi yang

96 76 a b c Time (Week) Gambar 37. Cross wavelet transform konsentrasi klorofil dari daerah pengamatan Sul1, Sul2, MK1, MK3.

97 77 a b c Time (Week) Gambar 38. Cross wavelet transform konsentrasi klorofil dari daerah pengamatan MK3, MK4, JW dan KR.

98 78 diperoleh dari XWT yang berupa ada dan tidaknya indikasi hubungan masih cukup rendah dan masih cukup sulit untuk mengetahui apakah informasi yang diberikan itu hanyalah kebetulan atau memang hal yang sebenarnya. Diperlukan pendekatan lain untuk mendapatkan korelasi yang signifikan dengan tingkat kepercayaan yang lebih baik. Pendekatan WTC dapat digunakan untuk hal ini. Pendekatan WTC dilakukan untuk mengidentifikasikan daerah dalam ruang waktu frekuensi atau periode pada dua deret waktu berbeda (Torrence and Compo 1998). Fase yang berkorelasi satu dengan yang lain digambarkan dengan anak panah. Hubungan in phase digambarkan dengan anak panah ke kanan dan hubungan anti phase digambarkan dengan anak panah ke kiri (Grinsted et al. 2004). Gambar 39 dan Gambar 40 memperlihatkan WTC konsentrasi klorofil pada daerah pengamatan Sul1, Sul2, MK1, MK2, MK3, MK4, JW dan KR. Secara umum periode seasonal tampak pada relatif setiap daerah pengamatan. Periode ini menunjukkan kesamaan dengan periode seasonal yang diperlihatkan XTC. Hal ini mengindikasikan bahwa periode seasonal terjadi dengan konsisten di daerah pengamatan. Gambar 39a menunjukkan hubungan in phase di daerah yang signifikan untuk pengamatan Sul1 dan Sul2 dengan periode intraseasonal (18 24 minggu) disekitar tahun dengan timelag (jeda waktu) 1,333 minggu dan periode 96 minggu dan sekitar tahun dengan jeda waktu 5,333 minggu. Hal serupa menunjukkan adanya hubungan antar daerah pengamatan Sul1 dan Sul2. Hubungan in phase untuk daerah pengamatan Sul2 dan MK1 dengan periode intraseasonal (4-16 minggu) terjadi sekitar tahun 2008, periode intraseasonal (32 58 minggu) sekitar tahun dan periode minggu sekitar tahun Gambaran ini memperlihatkan adanya hubungan konsentrasi klorofil di daerah pengamatan Sul2 dengan MK1. WTC pada Gambar 39c memperlihatkan gambaran yang hampir mirip Gambar 39b dengan periode seasonal sekitar minggu di sepanjang tahun pengamatan. Gambar 40a memperlihatkan in phase dengan periode intra-seasonal (16-24 minggu) untuk daerah pengamatan MK3 dan MK4 yang terlihat sekitar minggu ke 50 sampai minggu 200 dan minggu 250 sampai 350. Periode seasonal ( minggu) pada Gambar 40a menunjukkan anti phase yang berada sekitar minggu ke satu sampai minggu ke 300. Hal ini mengindikasikan konsentrasi

99 79 a b c Time (Week) Gambar 39. Wavelet coherence konsentrasi klorofil di daerah pengamatan Sul1, Sul2, MK1 dan MK3

100 80 a b c Time (Week) Gambar 40. Wavelet coherence konsentrasi klorofil di daerah pengamatan MK3, MK4, JW dan KR

101 81 klorofil antara daerah pengamatan MK3 dan MK4 mempunyai keterkaitan kebalikan yang cukup baik. Gambar 40b WTC untuk daerah pengamatan KR dengan JW, memperlihatkan periode seasonal (48-58 minggu) sekitar minggu ke 150 sampai minggu ke 350, sedangkan periode intraseasonal (24-32 minggu) tampak pada minggu ke satu sampai minggu ke 110. WTC untuk daerah pengamatan JW dan MK2 terdapat pada Gambar 40c, periode intraseasonal pada minggu ke 75 sampai minggu ke 100, minggu ke 125 sampai minggu ke 175, dan minggu ke 350. Periode seasonal (34-60 minggu) terlihat sekitar minggu ke satu sampai minggu ke 225 dan minggu ke 300 sampai minggu ke 350. Hal ini memperlihatkan adanya hubungan antara JW dan MK2. Gambaran umum dari pendekatan WTC memperlihatkan konsentrasi klorofil di daerah Sul1 dengan Sul2, Sul2 dengan MK1 dan MK1 dengan MK3 memiliki keterkaitan yang cukup kuat, denngan konsentrasi klorofil yang rendah di daerah Sul1 kemudian saat berada di daerah MK3 konsentrasi klorofil menjadi relatif tinggi patut diduga adanya faktor pengayaan konsentrasi klorofil oleh daerah sekitarnya seperti daerah perairan delta Mahakam, sedangkan daerah MK3 dengan MK4 tidak memiliki keterkaitan yang cukup baik, hal ini diduga konsentrasi klorofil di daerah MK4 dipengaruhi oleh penaikan massa air. Konsentrasi klorofil di daerah pengamatan KR tidak ada hubungannya dengan daerah JW, diduga konsentrasi klorofil dari daerah KR tidak masuk ke daerah JW, untuk konsentrasi klorofil daerah JW dengan daerah MK2 ada keterkaitan yang cukup kuat, diduga konsentrasi klorofil di daerah JW sampai ke daerah MK2 pada musim-musim tertentu. 4.1 Pengaruh Massa Air dan Kesuburan Perairan Selat Makasar Hasil penelitian transpor massa air Arlindo periode 1997/1998 dan INSTANT program pada lapisan permukaan terjadi pembalikan aliran 1 sampai 2 bulan yang diamati selama musim barat (terutama pada bulan Januari dan Desember) tahun 2005 dan tahun 2006, konsisten dengan deret waktu Arlindo periode 1997/1998 (Gordon et al. 2003) meskipun pada tahun 2004 serangkaian pembalikan aliran permukaan lebih banyak terjadi sepanjang tahun (Gordon et al. 2010). Tinggi muka laut bulan Januari dan Desember lebih tinggi dibandingkan bulan lainya. Hal ini dipengaruhi oleh pergerakan angin yang bertiup pada bulan

102 82 tersebut. Pola pergerakan angin di Perairan Selat Makasar dapat dilihat pada Gambar 41 dan Gambar 42. Pada bulan Januari Maret angin bertiup ke arah Tenggara dengan kecepatan angin berkisar 6 m/dtk 11 m/dtk. Pada bulan April angin bertiup ke Tenggara terutama di bagian selatan perairan dengan kecepatan kira-kira 6 m/dtk. Pada bulan Mei Juni pola angin berubah bertiup ke arah Barat Laut dengan kecepatan lebih rendah di bulan Mei dan meningkat selama bulan Juni berkisar 6 m/dtk 7 m/dtk. Di bagian utara perairan Selat Makasar pada bulan April - Juni kecepatan angin relatif rendah dibawah 6 m/dtk. Pola pergerakan angin pada bulan Juli Oktober bertiup ke arah Barat Laut di bagian selatan dan ke arah Utara di bagian tengah dan utara perairan Selat Makasar. Kecepatan angin tinggi pada bulan Juli - Oktober, peningkatan kecepatan angin ini terjadi di bulan Juli dan mencapai puncaknya di bulan Agustus dengan kecepatan berkisar 5 m/dtk 8 m/dtk dan berangsur - angsur berkurang kecepatannya di bulan Oktober. Pada bulan Nopember dan Desember pola angin mengalami perubahan dari bertiup ke arah Barat Laut di bagian selatan Perairan Selat Makasar dekat dengan kecepatan angin di bawah 6 m/dtk pada bulan Nopember, dan berubah ke arah Timur dan Tenggara di Perairan Selat Makasar pada bulan Desember dengan kecepatan 6m/dtk 8 m/dtk. Angin utama yang berhembus di perairan Selat Makasar adalah angin muson. Angin ini dalam setahun mengalami pembalikan arah dua kali. Perubahan arah dan pergerakan angin muson ini berhubungan erat dengan terjadinya perbedaan tekanan udara di atas Benua Asia dan Australia. Pada bulan Desember- Februari umumnya angin bertiup dari Benua Asia ke Benua Australia sehingga di atas perairan Selat Makasar angin bertiup dari arah utara ke arah selatan selat atau angin Muson Barat. Pada bulan Juni-Agustus angin bertiup dari Benua Australia ke Benua Asia yang mengakibatkan arah angin di atas perairan Selat Makasar bertiup dari arah tenggara ke arah utara atau angin Muson Timur. Pergantian angin muson dari Muson Barat ke Muson Timur menimbulkan berbagai macam pengaruh terhadap sifat perairan Selat Makasar. Selama angin Muson Barat berhembus, curah hujan akan meningkat yang berakibat menurunnya nilai salinitas perairan. Sebaliknya pada Muson Timur, terjadi peningkatan salinitas akibat penguapan yang besar, ditambah dengan massa air yang

103 83 Jan Apr Feb Mei Mar Jun Gambar 41. Pola pergerakan angin pada bulan Januari Juni

104 84 Jul Okt Agst s Nop Sep Des Gambar 42. Pola pergerakan angin pada bulan Juli Desember

105 85 bersalinitas tinggi dari Samudera Pasifik melalui Laut Sulawesi dan masuk ke perairan Selat Makasar (Wyrtki, 1961). Pada bulan Januari dan Desember termasuk dalam musim barat, pada saat itu angin bertiup saat matahari berada di belahan bumi selatan, yang menyebabkan benua Australia musim panas, sehingga bertekanan minimum dan benua Asia lebih dingin, sehingga tekanannya maksimum. Angin bertiup dari benua Asia menuju benua Australia, dan saat menuju Selatan Khatulistiwa, maka arah gerak angin akan dibelokkan ke arah kiri. Pada periode ini, Indonesia akan mengalami musim hujan akibat adanya massa uap air yang dibawa oleh angin ini, saat melalui lautan luas di bagian utara dari Samudera Pasifik dan Laut Cina Selatan (Wyrtki 1961). Adanya pembalikan arah arus ke utara perairan tidak teramati dari data tinggi muka laut di bulan Desember 2005 yang terlihat dari lintang 6 0 LS LS dan di bulan Januari 2006 dari lintang 6 0 LS -3 0 LS. Pada saat pembalikan arah massa air ke utara perairan sebaran SPL berkisar 29,70 0 C 30,90 0 C lebih rendah dari bulan April-Juni yang berkisar 30,00 0 C 31,20 0 C. Proses penyinaran dan pemanasan matahari pada musim barat lebih banyak berada di belahan bumi selatan, sehingga suhu berkisar antara C (Wyrtki 1961). Gambar 43 memperlihatkan deret waktu curah hujan (mm/bulan) dan konsentrasi klorofil (mg m -3 ) di daerah pengamatan MK2, MK5 dan Sul1. Di daerah pengamatan MK2, saat curah hujan tinggi pada bulan Desember-Maret, konsentrasi klorofil juga tinggi berkisar 0,15-0,20 mg m -3 sebaliknya saat curah hujan rendah pada bulan Juli- Oktober, konsentrasi klorofil juga rendah berkisar berkisar 0,04-0,10 mg m -3. Terlihat adanya kecenderungan pola konsentrasi klorofil mengikuti pola dari curah hujan. Di daerah pengamatan MK5, saat curah hujan tinggi pada bulan Desember-Maret konsentrasi klorofil rendah berkisar 0,05-0,07 mg m -3 dan sebaliknya. Untuk daerah pengamatan MK5 adanya kecenderungan curah hujan tinggi tidak diikuti dengan tingginya konsentrasi klorofil. Di daerah pengamatan Sul1 saat curah hujan tinggi pada bulan Desember-Maret konsentrasi klorofil rendah berkisar 0,015-0,02 mg m -3 dan pada saat curah hujan rendah, konsentrasi klorfil juga renda. Untuk daerah pengamatan Sul1, adanya kecenderungan curah hujan tinggi tidak diikuti dengan tingginya konsentrasi klorofil. Di duga massa air permukaan dari Pasifik Utara yang

106 Gambar 43. Deret waktu curah hujan dan konsentrasi klorofil di daerah pengamatan MK2, MK5 dan Sul1.

107 87 mengandung konsentrasi klorofil rendah mempengaruhi konsentrasi klorofil di daerah pengamatan Sul1. Di Perairan Selat Makasar terutama di daerah MK2, MK3, MK4, MK5, MK6 terlihat adanya tingkat klorofil yang tinggi. Pada musim barat klorofil tinggi di terutama di daerah pengamatan MK2, MK3 dan MK6 yang disebabkan karena adanya curah hujan tinggi di daerah tersebut dan juga adanya massa air permukaan yang bergerak dari Laut Jawa yang mengandung konsentrasi klorofil relatif tinggi ke Perairan Selat Makasar. Pada saat musim timur klorofil tinggi terutama di daerah pengamatan MK3, MK4 dan MK5 yang disebabkan adanya penaikan massa air di sekitar daerah pengamatan MK5. Hubungan konsentrasi klorofil di antara daerah pengamatan Sul1, Sul2, MK1, MK3 seperti dijelaskan dengan Gambar 39. Konsentrasi klorofil yang ada di daerah pengamatan Sul1 sedikit banyak ada yang terhubung/merambat ke daerah pengamatan Sul2 kemudian merambat ke MK1 dan MK3. Berdasarkan analisis tinggi muka laut terlihat dengan jelas adanya perambatan tinggi muka laut di daerah pengamatan tersebut, patut diduga perambatan konsentrasi klorofil ini disebabkan oleh gelombang laut. Konsentrasi klorofil saat berada di daerah pengamatan Sul1 tampak relatif rendah kemudian relatif lebih tinggi saat berada di daerah pengamatan MK3, diduga tingginya konsentrasi klorofil karena adanya pengayaan konsentrasi klorofil dari daerah sekitar Selat Makasar seperti pengaruh perairan sekitar Delta Mahakam. Sutomo (2000) menjelaskan konsentrasi klorofil lebih tinggi terdapat di bagian selatan Teluk Muara Pasir yaitu di perairan Muara Teluk Apar berkisar 0,55-1,20 mg m -3. Kenaikan nutrien di laut yang dangkal berhubungan erat dengan pengaruh aliran sungai dan proses pengadukan air lapisan dasar ke atas oleh pengaruh pasang surut dan gelombang. Nutrien yang berasal dari darat berpengaruh positif terhadap pertumbuhan fitoplankton. Muchtar et al. (2000) dalam penelitiannya melihat nilai transmisi sinar pada kedalaman 2 meter di perairan Kalimantan Timur bervariasi dari 45-85%. Nilai terendah ditemui pada Muara Sungai Mahakam, sedangkan Muara Sungai Balikpapan tercatat lebih tinggi yaitu 65%, namun lebih rendah dari Muara Sungai Sangkulirang yang terletak di bagian utara Kalimantan Timur dengan nilai 60%.

108 88 Ini menunjukkan Sungai Mahakam lebih besar pengaruhnya dari sungai-sungai lainnya sehingga bahan melayang seperti zooplankton dan fitoplankton yang terbawa sampai ke laut lebih besar pula volumenya dengan nilai konsentrasi klorofil yang lebih besar dari 0,7 µg/l terdapat pada bagian permukaan pesisir pantai sebelah utara Sungai Mahakam. Gambar 44 merupakan peta sebaran klorofil di perairan Delta Mahakam pada tanggal 24 Mei Konsentrasi klorofil dengan kisaran 0,3 µg/l sampai dengan diatas 1,9 µg/l terdapat di perairan Delta Mahakam yang secara umum memperlihatkan semakin menjauhi delta konsentrasi klorofil menjadi relatif lebih rendah. Menurut Muchtar et al. (2005) pengaruh aliran Sungai Mahakam dan sungai-sungai lainnya terlihat pada kandungan oksigen dilapisan permukaan berkisar 2,16-4,13ml/l, kandungan fosfat rata-rata 0,92 µg A/l, kadar nitrat ratarata 4,59 µg A/l dan kadar rata-rata silikat 6,64 µg A/l, dengan kata lain pengaruh kedua daratan yakni Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi yang dialiri oleh sungai terlihat sekali terhadap perairan Selat Makasar. Adanya pengaruh daerah sekitar perairan Selat Makasar juga dapat di jelaskan pada Gambar 45 dan Gambar 46 yang memperlihatkan WTC suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil daearah pengamatan Sul1, Sul2, MK1, MK2, MK3, dan MK4. Terlihat untuk semua daerah pengamatan dengan power spectrum yang cukup signifikan, hubungan antara suhu permukaan laut dengan konsentrasi klorofil berada dalam anti phase saat periode seasonal yang berarti konsentrasi klorofil merupakan cermin dari suhu permukaan laut. Daerah pengamatan MK2, dan MK3 terlihat pada periode seasonal berada dalam anti phase, hal ini disebabkan adanya pengaruh dari daerah sekitar perairan Selat Makasar. Nontji (1987) menjelaskan, tingkat kesuburan di daerah pantai dan dekat muara sungai cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lepas pantai, hal tersebut disebabkan tingginya kadar zat hara di perairan pantai dibandingkan dengan lepas pantai. Muchtar et al. (2000) menjelaskan tingkat transmisi sinar yang tinggi di kawasan lepas pantai sejalan dengan tingginya tingkat kesuburan perairan, sedangkan pada perairan pesisir dengan tingkat transmisi sinar yang

109 89 Sumber Gambar; Ambarwulan et al. (2003) Gambar 44. Peta sebaran klorofil di perairan Delta Mahakam dari citra LandSat ETM pada 24 Mei 2003 rendah tingkat kesuburan juga tinggi. Hal tersebut menjelaskan terjadinya pencampuran yang sempurna, sehingga kesuburan perairan tetap tinggi. Gambar 47 dan Gambar 48 memperlihatkan WTC tinggi muka laut dan konsentrasi klorofil daearah pengamatan Sul1, Sul2, MK1, MK2, MK3, dan MK4. Di daerah pengamatan Sul1 dan MK4 pada periode seasonal berada dalam in phase dengan timeleg bulan, artinya perubahan konsentrasi klorofil terjadi bulan setelah perubahan anomali tinggi muka laut di daerah tersebut. Untuk daerah pengamatan Sul2, MK1, MK2, dan MK3 terlihat berada dalam anti phase yang menunjukkan pada periode seasonal konsentrasi klorofil merupakan cermin dari tinggi muka laut. Pengamatan tinggi muka laut di daerah Sul1, Sul2, dan MK1, terdapat periode intra-seasonal. Susanto et al. (2000) menjelaskan tentang variabilitas intra-seasonal dengan menggunakan data paras laut dan mooring yang kemungkinan merupakan respon gelombang Kelvin dari Samudera Hindia yang masuk Perairan Selat Makasar melalui Selat Lombok dan gelombang Rossby dari Samudera Pasifik. Karakteristik intra-seasonal ditandai dengan periode hari yang berhubungan dengan gelombang Rossby dari Samudera Pasifik yang

110 90 merambat melalui Laut Sulawesi. Meskipun demikian karakter tersebut tidak terlihat di Tarakan, hal ini menandakan bahwa gelombang-gelombang tersebut mengalami pelemahan setelah melewati Selat Makasar. Sprintall et al. (2000) menyebutkan signal gelombang Kelvin ditemukan di lintasan arus Pantai Jawa dan berbelok ke utara melalui Selat Lombok dan memasuki Selat Makasar.

111 91 Time (Week) Gambar 45. Wavelet coherence suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil di daerah pengamatan Sul1, Sul2, dan MK1

112 92 Time (Week) Gambar 46. Wavelet coherence suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil di daearah pengamatan MK2, MK3, and MK4

113 93. Time (Month) Gambar 47. Wavelet coherence tinggi muka laut dan konsentrasi klorofil di daerah pengamatan Sul1, Sul2, dan MK1

114 94 Time (Month) Gambar 48. Wavelet coherence tinggi muka laut dan konsentrasi klorofil di daerah pengamatan MK2, MK3, dan MK4

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan iklim global sekitar 3 4 juta tahun yang lalu telah mempengaruhi evolusi hominidis melalui pengeringan di Afrika dan mungkin pertanda zaman es pleistosin kira-kira

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Arus Lintas Indonesia ( Indonesian Seas Throughflow

TINJAUAN PUSTAKA Arus Lintas Indonesia ( Indonesian Seas Throughflow TINJAUAN PUSTAKA Arus Lintas Indonesia (Indonesian Seas Throughflow) Broecker (1997) dan Gordon (1987) menyebutkan bahwa tiga samudera di permukaan bumi memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya. Keterkaitan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Sumber : Broecker (1991) Gambar 1. Sirkulasi massa air dunia (the great conveyor belt)

2 TINJAUAN PUSTAKA. Sumber : Broecker (1991) Gambar 1. Sirkulasi massa air dunia (the great conveyor belt) 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Massa Air Samudera Tiga samudera di dunia memiliki hubungan satu dengan lainnya membentuk suatu sistem sirkulasi unik yang ditampilkan pada Gambar 1. Sistem ini mengedarkan massa

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT)

KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT) KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT) Oleh: Ince Mochammad Arief Akbar C64102063 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Indonesia merupakan area yang mendapatkan pengaruh Angin Muson dari tenggara pada saat musim dingin di wilayah Australia, dan dari barat laut pada saat musim

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Kesuburan Perairan dan Oseanografi Fisika 4.1.1. Sebaran Ruang (Spasial) Suhu Permukaan Laut (SPL) Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) di perairan Selat Lombok dipengaruhi

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1 Pada bulan Desember 1996 Februari 1997 yang merupakan puncak musim barat

Lebih terperinci

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin Umum Perairan Indonesia memiliki keadaan alam yang unik, yaitu topografinya yang beragam. Karena merupakan penghubung dua system samudera

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Samudera Hindia mempunyai sifat yang unik dan kompleks karena dinamika perairan ini sangat dipengaruhi oleh sistem angin musim dan sistem angin pasat yang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Arus Eddy Penelitian mengenai arus eddy pertama kali dilakukan pada sekitar tahun 1930 oleh Iselin dengan mengidentifikasi eddy Gulf Stream dari data hidrografi, serta penelitian

Lebih terperinci

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE)

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE) VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE) Oleh : HOLILUDIN C64104069 SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise Peta sebaran SPL dan salinitas berdasarkan cruise track Indomix selengkapnya disajikan pada Gambar 6. 3A 2A

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Konsentrasi klorofil-a suatu perairan sangat tergantung pada ketersediaan nutrien dan intensitas cahaya matahari. Bila nutrien dan intensitas cahaya matahari cukup tersedia,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi Suhu Permukaan Laut (SPL) model SODA versi 2.1.6 diambil dari lapisan permukaan (Z=1) dengan kedalaman 0,5 meter (Lampiran 1). Begitu

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. Kondisi Umum Perairan Selatan Jawa Perairan Selatan Jawa merupakan perairan Indonesia yang terletak di selatan Pulau Jawa yang berhubungan secara langsung dengan Samudera Hindia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah lautan yang lebih luas dibandingkan luasan daratannya. Luas wilayah laut mencapai 2/3 dari luas wilayah daratan. Laut merupakan medium yang

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Perairan Laut Banda 2.1.1 Kondisi Fisik Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara 26 29 O C (Syah, 2009). Sifat oseanografis perairan Indonesia bagian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sebaran Angin Di perairan barat Sumatera, khususnya pada daerah sekitar 2, o LS hampir sepanjang tahun kecepatan angin bulanan rata-rata terlihat lemah dan berada pada kisaran,76 4,1

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS

PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS Firman Ramansyah C64104010 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu Permukaan Laut (SPL) Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu benda. Secara alamiah sumber utama bahang dalam air laut adalah matahari. Daerah yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang terletak pada wilayah ekuatorial, dan memiliki gugus-gugus kepulauan yang dikelilingi oleh perairan yang hangat. Letak lintang Indonesia

Lebih terperinci

KARAKTER FISIK OSEANOGRAFI DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN SELATAN JAWA-SUMBAWA DARI DATA SATELIT MULTI SENSOR. Oleh : MUKTI DONO WILOPO C

KARAKTER FISIK OSEANOGRAFI DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN SELATAN JAWA-SUMBAWA DARI DATA SATELIT MULTI SENSOR. Oleh : MUKTI DONO WILOPO C KARAKTER FISIK OSEANOGRAFI DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN SELATAN JAWA-SUMBAWA DARI DATA SATELIT MULTI SENSOR Oleh : MUKTI DONO WILOPO C06400080 PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT

APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT Oleh: Nurlaila Fitriah C64103051 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu Jurnal Gradien Vol. 11 No. 2 Juli 2015: 1128-1132 Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu Widya Novia Lestari, Lizalidiawati, Suwarsono,

Lebih terperinci

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar BAB II Tinjauan Pustaka II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar Matsumoto dan Yamagata (1996) dalam penelitiannya berdasarkan Ocean Circulation General Model (OGCM) menunjukkan adanya variabilitas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara. Utara terdiri dari 7 Kabupaten/Kota, yaitu : Kabupaten Langkat, Kota Medan,

TINJAUAN PUSTAKA. Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara. Utara terdiri dari 7 Kabupaten/Kota, yaitu : Kabupaten Langkat, Kota Medan, 6 TINJAUAN PUSTAKA Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara Pantai Timur Sumatera Utara memiliki garis pantai sepanjang 545 km. Potensi lestari beberapa jenis ikan di Perairan Pantai Timur terdiri

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu Salah satu parameter yang mencirikan massa air di lautan ialah suhu. Suhu adalah suatu besaran fisika yang menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu

Lebih terperinci

PERAMBATAN GELOMBANG ROSSBY DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA MENGGUNAKAN METODE WAVELET

PERAMBATAN GELOMBANG ROSSBY DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA MENGGUNAKAN METODE WAVELET PERAMBATAN GELOMBANG ROSSBY DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA MENGGUNAKAN METODE WAVELET RIESNI FITRIANI SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 El Niño-Osilasi Selatan (ENSO-El Niño Southern Oscillation).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 El Niño-Osilasi Selatan (ENSO-El Niño Southern Oscillation). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 El Niño-Osilasi Selatan (ENSO-El Niño Southern Oscillation). Pada tahun 1997 terjadi pengaruh global dari kejadian ENSO yang menyebabkan anomali kondisi iklim yang berkepanjangan.

Lebih terperinci

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b a Program Studi Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Tanjungpura, b Program Studi Ilmu

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 7 d) phase spectrum, dengan persamaan matematis: e) coherency, dengan persamaan matematis: f) gain spektrum, dengan persamaan matematis: IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Geografis dan Cuaca Kototabang

Lebih terperinci

ARLINDO (ARUS LINTAS INDONESIA): KORIDOR PENTING DALAM SISTEM SIRKULASI SAMUDRA RAYA

ARLINDO (ARUS LINTAS INDONESIA): KORIDOR PENTING DALAM SISTEM SIRKULASI SAMUDRA RAYA ARLINDO (ARUS LINTAS INDONESIA): KORIDOR PENTING DALAM SISTEM SIRKULASI SAMUDRA RAYA Salah satu topik penelitian osenografi yang banyak mendapat perhatian dalam beberapa dekade terakhir ini adalah Arlindo

Lebih terperinci

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

ANALISIS SINYAL EL NIÑO SOUTHERN OSCILLATION (ENSO) DAN HUBUNGANNYA DENGAN VARIABILITAS ARUS LINTAS INDONESIA DI SELAT LIFAMATOLA TUGAS AKHIR

ANALISIS SINYAL EL NIÑO SOUTHERN OSCILLATION (ENSO) DAN HUBUNGANNYA DENGAN VARIABILITAS ARUS LINTAS INDONESIA DI SELAT LIFAMATOLA TUGAS AKHIR ANALISIS SINYAL EL NIÑO SOUTHERN OSCILLATION (ENSO) DAN HUBUNGANNYA DENGAN VARIABILITAS ARUS LINTAS INDONESIA DI SELAT LIFAMATOLA TUGAS AKHIR Disusun untuk memenuhi salah satu syarat kurikuler Program

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sirkulasi Monsun di Indonesia Indonesia merupakan negara maritim yang memiliki karakteristik yang unik, yaitu terletak di antara benua Australia dan Asia dan dua samudera, yaitu

Lebih terperinci

Kampus Bukit Jimbaran, Badung, Bali 80361, Indonesia. Abstrak

Kampus Bukit Jimbaran, Badung, Bali 80361, Indonesia. Abstrak PENGARUH ENSO TERHADAP VARIABILITAS IKLIM DI SULAWESI DENGAN MENGGUNAKAN METODE TRANSFORMASI WAVELET Ni Luh Gede Desy Suryaningsih 1, I Ketut Sukarasa 1, Ida Bagus Alit Paramarta 1, I Gede Hendrawan 1

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Pola Iklim, Arus Pasang Surut, dan Gelombang di Selat Lombok

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Pola Iklim, Arus Pasang Surut, dan Gelombang di Selat Lombok BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pola Iklim, Arus Pasang Surut, dan Gelombang di Selat Lombok Pada sub bab ini dipaparkan mengenai keadaan di kawasan Selat Lombok yang menjadi daerah kajian dalam tugas akhir

Lebih terperinci

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT DESSY NOVITASARI ROMAULI SIDABUTAR SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Aken, H.M. Van.and S. Makarim INSTANT : Observations in Lifamatola Passage. NIOZ.

DAFTAR PUSTAKA. Aken, H.M. Van.and S. Makarim INSTANT : Observations in Lifamatola Passage. NIOZ. DAFTAR PUSTAKA Aken, H. M. Van, J. Punjanan, dan S. Saimima, 1988. Physical Aspect of The East Flushing of The East Indonesian Basins. Netherlands Journal of Sea Research 22 (4): 315-339 Aken, H. M. Van,

Lebih terperinci

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut Oleh : Martono, Halimurrahman, Rudy Komarudin, Syarief, Slamet Priyanto dan Dita Nugraha Interaksi laut-atmosfer mempunyai peranan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR Oleh : Agus Dwi Jayanti Diah Cahyaningrum C64104051 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Peta lokasi penelitian disajikan pada Lampiran A. Hasil pengolahan data arus polar current rose disajikan pada Lampiran B. Hasil pengolahan data komponen arus setelah

Lebih terperinci

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 4, Tahun 2015, Halaman Online di :

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 4, Tahun 2015, Halaman Online di : JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 4, Tahun 2015, Halaman 661-669 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KLOROFIL-A KAITANNYA DENGAN EL NINO SOUTHERN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil dan Verifikasi Hasil simulasi model meliputi sirkulasi arus permukaan rata-rata bulanan dengan periode waktu dari tahun 1996, 1997, dan 1998. Sebelum dianalisis lebih

Lebih terperinci

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221)

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu, Cahaya dan Warna Laut Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu Bersama dengan salinitas dan densitas, suhu merupakan sifat air laut yang penting dan mempengaruhi pergerakan masa air di laut

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA)

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA) PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA) Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA I. PENDAHULUAN Wilayah Indonesia berada pada posisi strategis, terletak di daerah

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Asia Tenggara dan sekitarnya memiliki variabilitas laut-atmosfer yang besar akibat dari fluktuasi parameter oseanografi yang berasal dari perairan Samudera Pasifik

Lebih terperinci

Gambar 1. Pola sirkulasi arus global. (www.namce8081.wordpress.com)

Gambar 1. Pola sirkulasi arus global. (www.namce8081.wordpress.com) Arus Geostropik Peristiwa air yang mulai bergerak akibat gradien tekanan, maka pada saat itu pula gaya coriolis mulai bekerja. Pada saat pembelokan mencapai 90 derajat, maka arah gerak partikel akan sejajar

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial 5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial Hasil pengamatan terhadap citra SPL diperoleh bahwa secara umum SPL yang terendah terjadi pada bulan September 2007 dan tertinggi pada bulan Mei

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Arus Lintas Indonesia atau ITF (Indonesian Throughflow) yaitu suatu sistem arus di perairan Indonesia yang menghubungkan Samudra Pasifik dengan Samudra Hindia yang

Lebih terperinci

STUDI EDDY MINDANAO DAN EDDY HALMAHERA TESIS. Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi Bandung

STUDI EDDY MINDANAO DAN EDDY HALMAHERA TESIS. Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi Bandung STUDI EDDY MINDANAO DAN EDDY HALMAHERA TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi Bandung Oleh MARTONO NIM : 22405001 Program Studi Sains Kebumian

Lebih terperinci

DINAMIKA MASSA AIR DI PERAIRAN TROPIS PASIFIK BAGIAN BARAT DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERUBAHAN MUSIM DAN EL NINO SOUTHERN OSCILLATION

DINAMIKA MASSA AIR DI PERAIRAN TROPIS PASIFIK BAGIAN BARAT DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERUBAHAN MUSIM DAN EL NINO SOUTHERN OSCILLATION DINAMIKA MASSA AIR DI PERAIRAN TROPIS PASIFIK BAGIAN BARAT DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERUBAHAN MUSIM DAN EL NINO SOUTHERN OSCILLATION Oleh : SEPTINA PAPILAYA K.L C64103024 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan METODE PENELITIAN Lokasi Penelitan Penelitian ini dilakukan pada perairan barat Sumatera dan selatan Jawa - Sumbawa yang merupakan bagian dari perairan timur laut Samudera Hindia. Batas perairan yang diamati

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Daerah Kajian Daerah yang akan dikaji dalam penelitian adalah perairan Jawa bagian selatan yang ditetapkan berada di antara 6,5º 12º LS dan 102º 114,5º BT, seperti dapat

Lebih terperinci

Kajian Elevasi Muka Air Laut di Perairan Indonesia Pada Kondisi El Nino dan La Nina

Kajian Elevasi Muka Air Laut di Perairan Indonesia Pada Kondisi El Nino dan La Nina Kajian Elevasi Muka Air Laut di Perairan Indonesia Pada Kondisi El Nino dan La Nina Niken Ayu Oktaviani 1), Muh. Ishak Jumarang 1), dan Andi Ihwan 1) 1)Program Studi Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Arlindo (Arus Lintas Indonesia) Arlindo adalah suatu sistem di perairan Indonesia di mana terjadi lintasan arus yang membawa membawa massa air hangat dari Samudra Pasifik menuju

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP 1 KATA PENGANTAR Publikasi Prakiraan Awal Musim Hujan 2015/2016 di Propinsi Bali merupakan salah satu bentuk pelayanan jasa klimatologi yang dihasilkan oleh Stasiun Klimatologi Negara Bali. Prakiraan Awal

Lebih terperinci

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM POLA DISTRIBSI SH DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan

Lebih terperinci

ANALISIS VARIASI MUKA LAUT DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP DAN BENOA MENGGUNAKAN METODE WAVELET

ANALISIS VARIASI MUKA LAUT DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP DAN BENOA MENGGUNAKAN METODE WAVELET ANALISIS VARIASI MUKA LAUT DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP DAN BENOA MENGGUNAKAN METODE WAVELET Oleh : Imam Pamuji C64104019 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

VARIABILITAS DAN KARAKTERISTIK ARUS LINTAS INDONESIA HUBUNGANNYA DENGAN FLUKTUASI LAPISAN TERMOKLIN DI PERAIRAN SELAT MAKASSAR

VARIABILITAS DAN KARAKTERISTIK ARUS LINTAS INDONESIA HUBUNGANNYA DENGAN FLUKTUASI LAPISAN TERMOKLIN DI PERAIRAN SELAT MAKASSAR VARIABILITAS DAN KARAKTERISTIK ARUS LINTAS INDONESIA HUBUNGANNYA DENGAN FLUKTUASI LAPISAN TERMOKLIN DI PERAIRAN SELAT MAKASSAR HALIKUDDIN UMASANGAJI C 651020051 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi geografis lokasi penelitian Keadaan topografi perairan Selat Sunda secara umum merupakan perairan dangkal di bagian timur laut pada mulut selat, dan sangat dalam di mulut

Lebih terperinci

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA OLEH : ANDRIE WIJAYA, A.Md FENOMENA GLOBAL 1. ENSO (El Nino Southern Oscillation) Secara Ilmiah ENSO atau El Nino dapat di jelaskan

Lebih terperinci

PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA

PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA Martono Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim LAPAN, Jl.dr.Djundjunan 133, Bandung, 40173 E-mail :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang rawan terjadi kekeringan setiap tahunnya. Bencana kekeringan semakin sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia dengan pola dan

Lebih terperinci

Analisis Variasi Cuaca di Daerah Jawa Barat dan Banten

Analisis Variasi Cuaca di Daerah Jawa Barat dan Banten Analisis Variasi Cuaca di Daerah Jawa Barat dan Banten Ankiq Taofiqurohman S Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Bandung 40600 ABSTRACT A research on climate variation

Lebih terperinci

ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR

ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR Oleh : MIRA YUSNIATI C06498067 SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur http://lasiana.ntt.bmkg.go.id/publikasi/prakiraanmusim-ntt/ Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG KATA PENGANTAR Stasiun Klimatologi Semarang setiap tahun menerbitkan buku Prakiraan Musim Hujan dan Prakiraan Musim Kemarau daerah Propinsi Jawa Tengah. Buku Prakiraan Musim Hujan diterbitkan setiap bulan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP PROPINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan YME atas berkat dan rahmat Nya kami dapat menyusun laporan dan laporan Prakiraan Musim Kemarau 2016 di wilayah Propinsi Banten

Lebih terperinci

POLA ARUS PERMUKAAN PADA SAAT KEJADIAN INDIAN OCEAN DIPOLE DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TROPIS

POLA ARUS PERMUKAAN PADA SAAT KEJADIAN INDIAN OCEAN DIPOLE DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TROPIS POLA ARUS PERMUKAAN PADA SAAT KEJADIAN INDIAN OCEAN DIPOLE DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TROPIS Martono Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPANInstitusi Penulis Email: mar_lapan@yahoo.com Abstract Indian

Lebih terperinci

Musim Hujan. Musim Kemarau

Musim Hujan. Musim Kemarau mm IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Analisis Data Curah hujan Data curah hujan yang digunakan pada penelitian ini adalah wilayah Lampung, Pontianak, Banjarbaru dan Indramayu. Selanjutnya pada masing-masing wilayah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi Spasial Arus Eddy di Perairan Selatan Jawa-Bali Berdasarkan hasil visualisasi data arus geostropik (Lampiran 3) dan tinggi paras laut (Lampiran 4) dalam skala

Lebih terperinci

VARIASI GELOMBANG LAUTDI SELAT MAKASSAR BAGIAN SELATAN

VARIASI GELOMBANG LAUTDI SELAT MAKASSAR BAGIAN SELATAN VARIASI GELOMBANG LAUTDI SELAT MAKASSAR BAGIAN SELATAN Nike Noermasari Waluyo 1, Bagus Pramujo 2 1 Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG), Tangerang Selatan 2 Badan Meteorologi Klimatologi

Lebih terperinci

Arah Dan Kecepatan Angin Musiman Serta Kaitannya Dengan Sebaran Suhu Permukaan Laut Di Selatan Pangandaran Jawa Barat

Arah Dan Kecepatan Angin Musiman Serta Kaitannya Dengan Sebaran Suhu Permukaan Laut Di Selatan Pangandaran Jawa Barat JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 3, Nomor 3, Tahun 2014, Halaman 429-437 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose Arah Dan Kecepatan Angin Musiman Serta Kaitannya Dengan Sebaran Suhu Permukaan

Lebih terperinci

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai SUHU DAN SALINITAS. Oleh. Nama : NIM :

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai SUHU DAN SALINITAS. Oleh. Nama : NIM : Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. 2. 3. Nilai SUHU DAN SALINITAS Nama : NIM : Oleh JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA 2015 MODUL 3. SUHU DAN SALINITAS

Lebih terperinci

POSITRON, Vol. IV, No. 2 (2014), Hal ISSN :

POSITRON, Vol. IV, No. 2 (2014), Hal ISSN : Pengaruh Fenomena El Niño Southern Oscillation dan Dipole Mode Terhadap Curah Hujan di Muhammad Elifant Yuggotomo 1,), Andi Ihwan ) 1) Stasiun Klimatologi Siantan Pontianak ) Program Studi Fisika Fakultas

Lebih terperinci

PENGARUH PERUBAHAN DAN VARIABILITAS IKLIM TERHADAP DINAMIKA FISHING GROUND DI PESISIR SELATAN PULAU JAWA

PENGARUH PERUBAHAN DAN VARIABILITAS IKLIM TERHADAP DINAMIKA FISHING GROUND DI PESISIR SELATAN PULAU JAWA PENGARUH PERUBAHAN DAN VARIABILITAS IKLIM TERHADAP DINAMIKA FISHING GROUND DI PESISIR SELATAN PULAU JAWA OLEH : Dr. Kunarso FOKUSED GROUP DISCUSSION CILACAP JUNI 2016 PERUBAHAN IKLIM GLOBAL Dalam Purwanto

Lebih terperinci

Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino

Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino G181 Iva Ayu Rinjani dan Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl.

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Banjarbaru, Oktober 2012 Kepala Stasiun Klimatologi Banjarbaru. Ir. PURWANTO NIP Buletin Edisi Oktober 2012

KATA PENGANTAR. Banjarbaru, Oktober 2012 Kepala Stasiun Klimatologi Banjarbaru. Ir. PURWANTO NIP Buletin Edisi Oktober 2012 KATA PENGANTAR i Analisis Hujan Bulan Agustus 2012, Prakiraan Hujan Bulan November, Desember 2012, dan Januari 2013 Kalimantan Timur disusun berdasarkan hasil pantauan kondisi fisis atmosfer dan data yang

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Keadaan Umum Perairan Selat Makassar. Secara geografis Selat Makassar berbatasan dan berhubungan dengan

2. TINJAUAN PUSTAKA Keadaan Umum Perairan Selat Makassar. Secara geografis Selat Makassar berbatasan dan berhubungan dengan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keadaan Umum Perairan Selat Makassar Secara geografis Selat Makassar berbatasan dan berhubungan dengan perairan Samudera Pasifik di bagian utara melalui Laut Sulawesi dan di bagian

Lebih terperinci

Adaptasi Perikanan Tangkap terhadap Perubahan dan Variabilitas Iklim di Wilayah Pesisir Selatan Pulau Jawa Berbasis Kajian Resiko MODUL TRAINING

Adaptasi Perikanan Tangkap terhadap Perubahan dan Variabilitas Iklim di Wilayah Pesisir Selatan Pulau Jawa Berbasis Kajian Resiko MODUL TRAINING Adaptasi Perikanan Tangkap terhadap Perubahan dan Variabilitas Iklim di Wilayah Pesisir Selatan Pulau Jawa Berbasis Kajian Resiko MODUL TRAINING Pusat Perubahan Iklim ITB Pengertian Iklim dan Perubahan

Lebih terperinci

Variabilitas Suhu Permukaan Laut Di Pantai Utara Semarang Menggunakan Citra Satelit Aqua Modis

Variabilitas Suhu Permukaan Laut Di Pantai Utara Semarang Menggunakan Citra Satelit Aqua Modis JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 1, Tahun 2015, Halaman 166-170 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose Variabilitas Suhu Permukaan Laut Di Pantai Utara Semarang Menggunakan Citra

Lebih terperinci

PRISMA FISIKA, Vol. II, No. 1 (2014), Hal ISSN :

PRISMA FISIKA, Vol. II, No. 1 (2014), Hal ISSN : PRISMA FISIKA, Vol. II, No. (24), Hal. - 5 ISSN : 2337-824 Kajian Elevasi Muka Air Laut Di Selat Karimata Pada Tahun Kejadian El Nino Dan Dipole Mode Positif Pracellya Antomy ), Muh. Ishak Jumarang ),

Lebih terperinci

Pengaruh Sebaran Konsentrasi Klorofil-a Berdasarkan Citra Satelit terhadap Hasil Tangkapan Ikan Tongkol (Euthynnus sp) Di Perairan Selat Bali

Pengaruh Sebaran Konsentrasi Klorofil-a Berdasarkan Citra Satelit terhadap Hasil Tangkapan Ikan Tongkol (Euthynnus sp) Di Perairan Selat Bali Journal of Marine and Aquatic Sciences 3(1), 30-46 (2017) Pengaruh Sebaran Konsentrasi Klorofil-a Berdasarkan Citra Satelit terhadap Hasil Tangkapan Ikan Tongkol (Euthynnus sp) Di Perairan Selat Bali I

Lebih terperinci

Indikasi Fluktuasi Arus Lintas Indonesia di sekitar Selat Makassar Berdasarkan Model Numerik

Indikasi Fluktuasi Arus Lintas Indonesia di sekitar Selat Makassar Berdasarkan Model Numerik Indikasi Fluktuasi Arus Lintas Indonesia di sekitar Selat Makassar Berdasarkan Model Numerik Evie H. Sudjono)*, D. K. Mihardja)** dan N. Sari Ningsih)** *) Puslitbang Geologi Kelautan, Bandung **) Program

Lebih terperinci

SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT

SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT Martono Divisi Pemodelan Iklim, Pusat Penerapan Ilmu Atmosfir dan Iklim LAPAN-Bandung, Jl. DR. Junjunan 133 Bandung Abstract: The continuously

Lebih terperinci

PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG

PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG Pengaruh Fenomena La-Nina terhadap SPL Feny Arafah PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG 1) Feny Arafah 1) Dosen Prodi. Teknik Geodesi Fakultas Teknik Sipil

Lebih terperinci

Physics Communication

Physics Communication Phys. Comm. 1 (1) (2017) Physics Communication http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/pc Analisis kondisi suhu dan salinitas perairan barat Sumatera menggunakan data Argo Float Lita Juniarti 1, Muh.

Lebih terperinci

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA 2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA Pendahuluan LCSI terbentang dari ekuator hingga ujung Peninsula di Indo-Cina. Berdasarkan batimetri, kedalaman maksimum perairannya 200 m dan

Lebih terperinci

VARIABILITY NET PRIMERY PRODUCTIVITY IN INDIAN OCEAN THE WESTERN PART OF SUMATRA

VARIABILITY NET PRIMERY PRODUCTIVITY IN INDIAN OCEAN THE WESTERN PART OF SUMATRA 1 VARIABILITY NET PRIMERY PRODUCTIVITY IN INDIAN OCEAN THE WESTERN PART OF SUMATRA Nina Miranda Amelia 1), T.Ersti Yulika Sari 2) and Usman 2) Email: nmirandaamelia@gmail.com ABSTRACT Remote sensing method

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 99 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Validasi Data Asimilasi GFDL 4.1.1 TRITON Stasiun pengamatan data TRITON yang digunakan untuk melakukan validasi data asimilasi GFDL sebanyak 13 stasiun dengan 12 TRITON berada

Lebih terperinci

ANALISIS POLA SEBARAN DAN PERKEMBANGAN AREA UPWELLING DI BAGIAN SELATAN SELAT MAKASSAR

ANALISIS POLA SEBARAN DAN PERKEMBANGAN AREA UPWELLING DI BAGIAN SELATAN SELAT MAKASSAR ANALISIS POLA SEBARAN DAN PERKEMBANGAN AREA UPWELLING DI BAGIAN SELATAN SELAT MAKASSAR Analysis of Upwelling Distribution and Area Enlargement in the Southern of Makassar Strait Dwi Fajriyati Inaku Diterima:

Lebih terperinci

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 2, Nomor 4, Tahun 2013, Halaman Online di :

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 2, Nomor 4, Tahun 2013, Halaman Online di : JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 2, Nomor 4, Tahun 2013, Halaman 416-421 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose Studi Variabilitas Suhu Permukaan Laut Berdasarkan Citra Satelit Aqua MODIS

Lebih terperinci

PRISMA FISIKA, Vol. I, No. 2 (2013), Hal ISSN :

PRISMA FISIKA, Vol. I, No. 2 (2013), Hal ISSN : Analisis Tingkat Kekeringan Menggunakan Parameter Cuaca di Kota Pontianak dan Sekitarnya Susi Susanti 1), Andi Ihwan 1), M. Ishak Jumarangi 1) 1Program Studi Fisika, FMIPA, Universitas Tanjungpura, Pontianak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perencanaan dan pengelolaan sumber daya air (Haile et al., 2009).

BAB I PENDAHULUAN. perencanaan dan pengelolaan sumber daya air (Haile et al., 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hujan merupakan salah satu sumber ketersedian air untuk kehidupan di permukaan Bumi (Shoji dan Kitaura, 2006) dan dapat dijadikan sebagai dasar dalam penilaian, perencanaan

Lebih terperinci