BAB III SOLUSI BISNIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III SOLUSI BISNIS"

Transkripsi

1 BAB III SOLUSI BISNIS 3.1. Analisis Solusi Bisnis Solusi bisnis dibuat berdasarkan akar permasalahan yang terjadi di lapangan. Akar permasalahan yang terjadi dibidang rantai pasok distribusi PT.PERTAMINA (Persero) adalah sebagai berikut: pertama tidak adanya kepastian sumber pasokan suatu depot dari suatu supply point sehingga sistem distribusi menjadi tidak efektif dan efisien, dan kedua tidak adanya singkronisasi antara demand dan kapasitas tanki timbun depot (inventory management). Solusi bisnis yang ingin dicapai dalam proyek akhir ini adalah kepastian rute kapal dan freight cost, kepastian sumber pasokan depot dari suatu supply point, perubahan atau penambahan kapasitas tanki timbun depot, dan lokasi barrier disetiap envelope. Diharapkan dengan pendekatan solusi tersebut di atas distribusi BBM yang dioperasikan oleh PT PERTAMINA (Persero) akan lebih efektif dan efisien, tanpa mengurangi service level yang sudah dicapai sebelumnya. Untuk memperjelas akar permasalahan, permasalahan dan solusi bisnis yang akan dibahas dapat dilihat pada Gambar 3.1. PERMASALAHAN AKAR PERMASALAHAN SOLUSI BISNIS Double Handling (ditangani lebih dari 1 supply) Meningkatnya freight cost BBM Terjadi depot kritis dan krisis Tangki Timbun tdk mencukupi thruput (DOT) / demand Rute distribusi tidak efisien dan efektif Rekomendasi perubahan TT di depot dan instalasi Rancangan jalur distribusi pola envelope Gambar 3.1 Diagram Permasalahan, Akar Masalah dan Solusi Bisnis 57

2 3.2. Metodologi Solusi Bisnis Sebuah perusahaan akan mencapai competitive advantage jika perusahaan tersebut lebih produktif, lebih efisien, dan dapat lebih memuaskan komsumen dibandingkan pesaingnya. Salah satu alasan pengurangan cycle time adalah agar produksi dapat berubah dari make-to-forecast menjadi make-to-order, namun syaratnya komsumen tidak boleh menunggu terlalu lama antara waktu pemesanan dan waktu penerimaan. Proyek akhir ini ditujukan untuk mengefisienkan serta mengefektifkan kinerja depot depot dan jalur rantai pasok di Indonesia. Pada hakekatnya tujuan dari proyek akhir ini adalah untuk: 1. Membandingkan ongkos distribusi eksisting dengan distribusi envelope. 2. Membuat alternatif solusi pola distribusi dengan berpedoman kepada konsep envelope yang sekarang telah dijadikan master program dan akan direalisasikan dalam waktu dekat. 3. Membuktikan bahwa dengan menggunakan distribusi pola envelope dapat menurunkan biaya operasional distribusi dan menghasilkan kepastian rute pada kapal-kapal yang dimiliki oleh PT PERTAMINA (Persero). 4. Memberikan kepastian volume produk premium, kerosene dan solar (PKS) yang diangkut oleh suatu kapal pada rute yang telah ditentukan. 5. Merekomendasikan perubahan atau penambahan volume tanki timbun depot. 6. Memberikan kepastian jumlah volume BBM yang harus diimpor dengan berpedoman pada supply kilang dalam negeri, sehingga diharapkan akan menghilangkan atau setidaknya mengurangi pembelian BBM impor diharga spot. 7. Memberikan alternatif solusi tempat penyimpanan atau penimbunan BBM yang berfungsi sebagai barrier envelope untuk mengatasi depot-depot yang mengalami kondisi kritis dengan menggunakan pendekatan landed cost di envelope masingmasing. 8. Menghindari terjadinya penumpukan antrian kapal akibat tidak tersedianya supply dari kilang dan penyimpanan BBM impor yang terpusat di satu tempat Metodologi proyek akhir dibuat dengan tujuan agar proyek akhir dapat berlangsung secara sistematis dan mampu menghasilkan solusi yang tepat dan bermanfaat bagi PT PERTAMINA (Persero). Gambar 3.2 menunjukan diagram alir tahapan metode pemecahan masalah yang akan dilakukan pada proyek akhir ini. 58

3 STUDI KONDISI PERUSAHAAN PENGENALAN SISTEM DITRIBUSI EKSISTING IDENTIFIKASI KONSEP ENVELOPE STUDI LITERATUR PENENTUAN METODE SOLUSI MASALAH PENGUMPULAN DATA DEMAND & SUPPLY KAPASITAS - TANGKI TIMBUN JARAK DENGAN SUPPLY POINT SEWA, DAYA ANGKUT &JENIS KAPAL KONDISI GEOGRAFIS TRHUPUT HARIAN USULAN RUTE PENGOLAHAN DATA & ANALISA COST / KL / LT RENCANA IMPLEMENTASI Gambar 3.2 Diagram Alir Pengerjaan Proyek Akhir Penjelasan tahapan proyek akhir pada Gambar 3.1 adalah sebagai berikut: Studi Kondisi Perusahaan. Tahapan ini bertujuan untuk mengetahui kondisi perusahaan dimulai dari sejarah perusahaan, lingkup usaha, uraian unit kerja, visi misi perusahaan, kebijakan umum, struktur organisasi, budaya perusahaan, dan terutama untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh mengenai sistem distribusi dan kondisi infrastruktur (depot, kilang dan kapal) sepanjang jalur rantai pasok yang dijalankan PT PERTAMINA (Persero). 59

4 Pengenalan kondisi perusahaan ini dilakukan selama masa internship, dengan waktu tiga bulan dari bulan Februari 2008 sampai Mei Pengenalan Sistem Distribusi Eksisting Setelah mengenal kondisi perusahaan, tahap berikutnya adalah mengidentifikasi jalur distribusi. Tahap identifikasi ini dilakukan terbatas pada isu bisnis dalam pendistribusian BBM eksisting untuk produk premium, kerosene dan solar saja, hal ini dilakukan untuk menjaga fokus penyelesaian masalah sehingga proyek akhir dapat berlangsung efektif. Pembuatan proyek akhir ini melanjutkan tesis yang telah diteliti sebelumnya oleh Nova Triantoso (MBA Reguler 35) dengan judul Optimasi Rantai Pasok Terpadu di PT PERTAMINA (Persero), tentang konsep envelope. Untuk mempermudah pengenalan masalah, maka pada proyek akhir ini dilakukan wawancara dengan para stakeholders dan peneliti sebelumnya. Wawancara dilakukan sebatas pada kekurangan-kekurangan sistem distribusi dan evaluasi yang sedang dan akan diperbaiki oleh perusahaan. Isu utama yang diangkat dalam proyek akhir ini adalah identifikasi kondisi eksisting depot dan jalur rantai pasok PT PERTAMINA (Persero) untuk produk premium, solar dan kerosen di Indonesia. Diharapkan dengan melakukan identifikasi ini akan diperoleh gambaran secara menyeluruh tentang karakteristik demand BBM, kondisi geografis daerah, kondisi infrastruktur setiap elemen rantai pasok dan sistem distribusi BBM Identifikasi Konsep Envelope Tahapan berikutnya adalah mengidentifikasikan konsep envelope yang telah dibuat sebelumnya. Apa dasar justifikasi envelope, bagaimana sistem distribusi envelope, bagaimana jalur perhitungannya, berapa tingkat visibilitas konsep envelope dan kekurangan serta kelebihan konsep envelope, dilakukan dalam tahap ini. Dengan melakukan identifikasi konsep envelope, diharapkan peneliti akan mendapatkan kesamaan konsep, sistematika dan tujuan pembuatan konsep envelope, sehingga rute yang dibuat menjadi lebih sempurna Studi Literatur Tujuan dalam rantai pasok ialah memastikan material terus mengalir dari sumber ke konsumen akhir. Bagian-bagian (parts) yang bergerak di dalam rantai pasok haruslah berjalan secepat mungkin. Dengan tujuan mencegah terjadinya penumpukan inventori, 60

5 maka arus material diatur sedemikian rupa agar bagian-bagian dari satu lokal dapat bergerak dalam koordinasi yang teratur. Istilah yang sering digunakan ialah synchronous. (Knill, 1992). Ditinjau dari sisi inventory cost, pengurangan inventory cost akan berpengaruh terhadap peningkatan kinerja keuangan dan operasional perusahaan, namun hal ini dapat dilakukan selama tidak terjadi kondisi stock-out. Kesimpulannya pengurangan cycle time dan inventory cost hanya dapat dilakukan jika tidak terjadi pengurangan kepuasan pelanggan. Distribusi adalah ibarat urat nadi suatu perusahaan, kecepatan dan standar service level yang baik sangat diperlukan dalam situasi bisnis yang kompetitif. PT PERTAMINA (Persero) sebagai pemain sumber energi yang paling lama di dalam negeri sudah tentu memilki jaringan distribusi yang luas, dan infrastruktur yang handal, tetapi apakah kedua hal tersebut akan terus menjamin PT PERTAMINA (Persero) sebagai market leader di Indonesia. Sistem distribusi yang baik adalah sistem distribusi yang fleksibel dan dinamis sesuai dengan strategi perusahaan serta keinginan konsumen (consumer centris). Sistem distribusi yang efektif dan efisien mencerminkan citra dan keunggulan perusahaan dalam pengelolaan manajemen operasi perusahaan yang profesional, handal dan berorientasi pada profit. Studi literatur yang dilakukan pada proyek akhir ini terkait dengan optimasi dan evaluasi eksisting yang sedang dan telah dilakukan. Studi literatur ini dilakukan untuk mengetahui tentang kondisi ideal supply dan distribusi yang berlandaskan pada teori. Kesenjangan antara teori dan kondisi realisasi di lapangan akan dijadikan titik tolak dalam merumuskan kebijakan perbaikan sistem distribusi yang akan diterapkan dan langkah implementasi apa yang harus dilakukan oleh perusahaan Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam proyek akhir ini adalah berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dan observasi. Observasi dilakukan sepenuhnya di kantor pusat PT PERTAMINA (Persero), Divisi Supply dan Distribusi. Hal ini dilakukan karena seluruh kegiatan kontrol dalam pendistrbusian BBM dilakukan dari kantor pusat. Wawancara dilakukan karena tidak tersedianya waktu dan kondisi yang memungkinkan untuk melakukan survey lapangan secara langsung ke fasilitas-fasilitas PT PERTAMINA (Persero) yang tersebar di seluruh 61

6 wilayah Indonesia. Diharapkan dengan mewawancarai para stakeholders yang berpengalaman, solusi masalah yang dihasilkan akan mendekati kondisi sebenarnya. Wawancara dilakukan dengan beberapa key person yang terkait dengan manajemen supply and distribution, antara lain: 1. Manajer Evaluasi dan Pendukung (Manager Support and Evaluation) 2. Manajer Perencanaan dan Operasional (Manager Planning and Operation) 3. Asisten Manajer Evaluasi dan Pendukung (Asisten Manager Support and Evaluation) 4. Asisten Manajer Perencanaan dan Operasional (Asisten Manager Planning and Operation) Data sekunder diperoleh dari data-data pendukung peneliti sebelumnya ditambah dengan data-data terbaru dalam penentuan kebijakan distribusi BBM. Selain itu untuk mendapatkan gambaran lingkungan eksternal kondisi perusahaan yang berlandaskan opini publik, maka ditambah dengan data-data dari internet Pengolahan dan Analisis Selain melihat dari sisi profitabilitas perusahaan, pengolahan dan analisis dilakukan dengan menggunakan dasar justifikasi kebutuhan produk yang bersifat continue dan urgent (terus menerus dan harus ada). Hal ini diambil karena keputusan yang dibuat akan sangat berpengaruh pada kehidupan hajat hidup orang banyak. Pengolahan dan analisis pada proyek akhir ini menggunakan software yang diperoleh dari PT PERTAMINA (Persero) maupun dari hasil pencarian peneliti sendiri. Untuk lebih jelasnya maka dapat dilihat pada sub bab berikutnya yang menjelaskan diagram alir proses pengolahan data Rencana Implementasi Pada intinya konsep envelope ditujukan untuk mengatasi depot krisis dan kritis yang sering terjadi pada saat sekarang ini. Konsep envelope merupakan salah satu alternatif master program yang akan diterapkan oleh PT PERTAMINA (Persero) dalam waktu dekat, maka dari itu dibutuhkan kerjakeras, ketegasan dan keberanian dari pihak perusahaan untuk menetapkan suatu konsep distribusi yang efektif dan efisien. Perubahan sistem distribusi baru akan mempunyai dampak sosial yang cukup besar dalam tubuh perusahaan, terkait dengan elite politik, dominasi kekuasaan dan budaya 62

7 perusahaan yang sudah mengakar berpuluh-puluh tahun. Rencana Implementasi secara detail akan dijelaskan pada Bab IV. 3.3 Metoda Penelitian Proyek akhir ini menggunakan metoda yang bersifat kuantitatif dan kualitatif seputar distribusi dan rantai pasok BBM di PT.PERTAMINA (Persero). Adapun metoda yang dipakai diantaranya: Saving matrix Method Saving matrix method adalah suatu metode untuk menentukan rantai pasok terpadu dengan batasan waktu. Tahapan yang digunakan dalam analisis ini adalah: 1. Identifikasi jarak antara matrix asal dan tujuan 2. Identifikasi savings matrix, yaitu mencari jalur yang paling optimal dari matrix asal tujuan. 3. Menentukan jenis kapal tanker yang dipakai dan rute angkutan Tahapan pertama sampai ketiga digunakan untuk menetapkan jenis kapal tanker dan mencari rute yang optimal untuk meminimasi jarak tempuh pengiriman BBM Identifikasi Matrix Jarak Identifikasi matrix jarak setiap depot dan kilang yang akan dikunjungi. Jarak digunakan sebagai pengganti dari ongkos transportasi dan distribusi antar lokasi (Chopra and Meindl, 2004:437). Bila ongkos transportasi antara lokasi diketahui, maka dapat digunakan sebagai pengganti variabel jarak. Jarak distribusi di notasikan dengan Dist (A, B) di dalam grid antara lokasi A dengan titik koordinat (Xa, Ya) dan lokasi B dengan koordinat (Xb, Yb) dapat diformulasikan sebagai berikut: Dist (A,B) = [(Xa-Xb) 2 + (Ya-Yb) 2 ] -1/2 Jarak antar lokasi adalah tahapan selanjutnya untuk mengevaluasi saving matix Identifikasi Saving Matrix Saving matrix mewakili penghematan dalam penggunaan moda transportasi untuk mendistribusikan produk kedua tempat dengan menggunakan satu moda angkutan. Penghematan dapat dievaluasi pada variabel jarak, waktu, dan ongkos (cost). 63

8 Rute pengiriman dapat diidentifikasi dari urutan tiap lokasi yang dikunjungi oleh moda angkutan, sebagai contoh: rute dari DC (Depot Utama) depot penyalur x DC (Depot Utama). Berawal dari depot utama ke depot penyalur x. Penghematan dapat diidentifikasi dari koordinat S(x,y) jarak dapat dihemat bila rute perjalanan dari depot utama depot penyalur x depot penyalur y depot utama yang dihasilkan dan dikombinasikan dari satu rute perjalanan. Penghematan ini dapat diformulasikan sebagai berikut: S(x,y) = Dist(DC,x) + Dist (DC,y) Dist (x,y) Menentukan Jenis dan Rute Perjalanan Kapal Tanker Pemilihan jenis dan rute kapal tanker pada umumnya disesuaikan dengan limitasi kapasitas daya angkut kapal dan sistem kompartemen yang dimiliki masingmasing kapal. Keputusan yang diambil pada pemilihan jenis dan rute perjalanan, memiliki kecenderungan untuk memaksimalkan penghematan ongkos distribusi dan pengurangan jumlah kapal tanker yang beroperasi. Pertimbangan jalur distribusi merupakan salah satu objek dari penghematan. Bila keadaan jalur distribusi/rantai pasok harus memenuhi dua atau lebih titik yang terpisah, maka untuk melakukan penghematan kedua rute tersebut dapat dikombinasikan dengan batasan sistem pengiriman. Sistem pengiriman yang dimaksud adalah pola distribusi berurut atau lebih dikenal dengan nama multy-port yang pada dasarnya bertujuan untuk meminimasi jarak tempuh pengiriman dan pengurangan moda angkutan. Berikut adalah cara penentuan sistem distribusi multy-port (Chopra and Meindl, 2004:442). Farthest insert (sisipan terjauh) Penentuan jalur distribusi (termasuk penentuan distribusi langsung dari DC/ Depot Utama) kepada setiap konsumen/depot penyalur. Sisipan terjauh bertujuan untuk meminimalisasi peningkatan jarak pengiriman, cara meminimalisasi hal tersebut adalah dengan menyisipkan demand yang potensial pada jalur distribusi dengan pertimbangan menyisipkan demand yang terjauh untuk menghindari pembuatan rute baru. Proses tersebut dilanjutkan sampai dengan semua demand terlayani dan masuk ke dalam jalur distribusi. 64

9 Nearest Insert (sisipan terdekat) Penentuan jalur distribusi (termasuk penentuan distribusi langsung dari DC/depot utama) kepada setiap depot penyalur. Sisipan terdekat bertujuan untuk meminimalisasi peningkatan jarak pengiriman, cara meminimalisasi hal tersebut adalah dengan menyisipkan demand yang potensial pada jalur distribusi, dengan pertimbangan menyisipkan demand yang terdekat untuk menghindari pembuatan rute baru dan tidak terlayaninya demand. Proses tersebut dilanjutkan sampai dengan semua demand terlayani dan masuk ke dalam jalur distribusi. Nearest Neighbor (sisipan dari tetangga terdekat) Pada tahap ini jalur distribusi berawal dari sumber, prosedur ini mengikutsertakan demand terdekat ke dalam jalur distribusi yang terdekat dengan demand terakhir yang dikunjungi oleh moda angkutan sampai dengan semua demand telah terkunjungi. Sweep (menjalar) Pada prosedur sweep, demand yang ada pada grid terpilih (biasanya sumber itu sendiri) dan menjalar. Jalur distribusi dibangun oleh demand beruntun dalam proses order (Chopra and Meindl, 2004:443). Pola multy-port yang dipakai dalam proyek akhir ini merupakan penggabungan beberapa teori di atas. 3.4 Pola Sistem Distribusi Sistem distribusi yang dipakai dalam proyek akhir ini menggunakan pola campuran antara point-to-point dan multy-port. Pola point-to-point biasanya dilakukan pada depot yang memiliki demand yang besar, sehingga jenis kapal yang digunakannya pun berkapasitas besar. Pola point-to-point ini banyak dilakukan di zona envelope dua yang memiliki karakteristik demand BBM yang besar disetiap titik timbunnya. Pola multy-port dipakai jika depot-depot di sekitar daerah sumber memiliki komposisi yang seimbang antara kapasitas tanki timbun dengan demand yang dimilikinya, jika karakternya sama maka dimungkinkan untuk melakukan pola multy-port, selain itu ada pertimbangan jarak, tingkat service level, kondisi geografis atau medan yang akan dilalui dan batasan efisiensi dalam daya angkut kapal. Hasil ini harus diuji lagi dengan 65

10 asumsi jika pemenuhan demand depot dilakukan dengan pola point-to-point, hal ini dilakukan untuk menguji kelayakan pola multy-port yang dibuat. Informasi yang akurat tentang kondisi dan kapabilitas depot di lapangan sangat multak diperlukan dalam pembuatan pola multy-port, karena jika terjadi kesalahan dalam penjadwalan di salah satu depot saja, maka akan mengakibatkan keterlambatan di depot tujuan berikutnya. Pola yang dipakai dalam multy-port menggunakan sistem berantai seri (bukan pararel), sehingga dengan mempertimbangkan tingkat keakuratan dan kedetailan informasi di lapangan, diharapkan pola multy-port yang dibuat benarbenar optimal Tahapan Perancangan Rute, Demand Rata-rata vs Supply Rata-rata Perancangan rute distribusi BBM pada proyek akhir ini diawali dengan melakukan identifikasi titik-titik observasi yang berupa sea depot, inland depot, instalasi, jobber dan kilang di seluruh wilayah Indonesia secara menyeluruh. Penentuan titik-titik observasi diambil berdasarkan kelengkapan data yang diperoleh dari PT.PERTAMINA (Persero) seperti data demand, supply, kapasitas timbun, jadwal pemberangkatan kapal eksisting, jenis kapal tanker yang dapat melakukan loading dan loading di suatu depot, waktu yang dibutuhkan ketika melakukan bongkar muat dan data kordinat depot. Dari hasil verifikasi keseluruhan data diperoleh 118 titik observasi yang terbagi dalam 6 buah kilang utama, 4 buah instalasi, 6 buah depot utama, 7 terminal transit, 2 buah ship to ship, 2 buah tanki timbun, 78 buah sea depot, 11 buah inland depot, dan 2 jobber. Untuk kelengkapan nama titik observasi tersebut dapat dilihat pada BAB II tentang kondisi eksisting sistem distribusi dimasing-masing envelope. Tahap identifikasi titik-titik observasi dilakukan bersamaan dengan perhitungan kebutuhan volume BBM impor baik secara nasional maupun per-envelope. Untuk menghitung agregat volume impor yang dibutuhkan, maka data yang digunakan adalah data rata-rata demand dan supply BBM dari bulan Oktober sampai Desember Dengan menggunakan data rata-rata selama tiga bulan tersebut, diharapkan hasil perhitungan kebutuhan volume BBM dan pembuatan rute di setiap depot akan mendekati kondisi realiasasi di lapangan, selain itu solusi yang dihasilkan pun akan memiliki jangka waktu ketahanan model yang lebih lama. 66

11 DATA LOKASI & KOORDINAT Identifikasi Depot, Ins, Kilang dan Jobber yg masuk dlm observasi Saving Matrix Identifikasi Jarak DATA DEMAND & SUPPLY VOLUME IMPORT Metoda dan Rute Kapal 1. Farthest insert (Sisipan terjauh) 2. Nearest Insert (Sisipan terdekat) 3. Nearest Neighbor (tetangga terdekat) 4. Sweep (Menjalar) Flow of material BBM base on source of supply point RUTE DISTRIBUSI BBM DGN POLA POINT-TO-POINT & MULTIPORT JENIS KAPAL TANKER Faktor pertimbangan 1. Kondisi Geografis 2. Tanki Timbun Eksisting 3. Kesesuaian demand dgn TT KOMPOSISI PRODUK & VOLUME BBM COST 1. Round Trip Days (RTD) 2. Jumlah Kapal IN OUT à Inventory Mngt Rekomendasi perubahan TT di Depot dan Instalasi Gambar 3.3 Diagram Alir Pengolahan Data Perhitungan volume impor akan digabungkan dengan hasil pengolahan dari perhitungan saving matrix, identifikasi jarak antar depot dan pola rute pra-klarifikasi. Hasil dari penggabungan ini adalah berupa flow of material yang terdiri dari produk premium, kerosene dan solar di masing-masing envelope. Penggabungan ini dilakukan agar kegiatan supply menjadi lebih efektif dan efisien. Sebagai tahap awal perancangan flow of material dibuat berdasarkan kedekatan lokasi depot dengan lokasi sumber supply, tanpa melihat besaran kapasitas tanki timbun yang dimiliki oleh masing-masing depot. Tahap selanjutnya adalah menentukan rute 67

12 distribusi dan jenis kapal tanker yang akan digunakan dengan mempertimbangkan besaran kapasitas tanki timbun di masing-masing depot. Tahapan penentuan rute distribusi dan jenis kapal tanker menghasilkan komposisi produk BBM yang akan dibawa dan banyaknya frekuensi pemberangkatan kapal dalam satu bulan atau satu periode. Pola rute yang buat menggunakan asumsi bahwa satu rute alur distribusi dari lokasi sumber supply ke lokasi depot penyalur hanya ditangani oleh kapal tanker yang sama dan tidak berubah-ubah, atau dengan kata lain setiap kapal hanya memiliki satu rute perjalan, kecuali jika sisa utilitas atau waktu luang kapal pada suatu rute masih cukup besar, sehingga dimungkinkan untuk melayani rute lainnya yang berdekatan. Faktor pertimbangan yang digunakan dalam penentuan jenis kapal adalah medan yang akan dilalui, kapasitas tanki timbun eksisting dan kesesuaian karakteristik demand dengan tanki timbun di masing-masing depot. Faktor pertimbangan terakhir dipakai ketika akan menentukan pola multy-port, pertimbangan terkahir ini diambil karena tingkat efektivitas dan efisiensi pola multy-port dalam suatu rantai distribusi belum tentu selalu lebih unggul, hal ini terjadi ketika tanki timbun yang dimiliki oleh suatu depot sangat minim, jika dibandingkan dengan demand yang dimilikinya. Untuk memperjelas cara perhitungan dan contoh kasus dapat dilihat pada penjelasan solusi rute di envelope yang menggunakan pola campuran multy-port dan point-to-point. Hasil akhir yang ingin dicapai dalam proyek akhir ini adalah penghematan ongkos distribusi dan rekomendasi perubahan atau penambahan komposisi tanki timbun, serta penentuan titik lokasi cadangan yang berfungsi sebagai buffer di masingmasing envelope. Ongkos distribusi yang dimaksud adalah berupa freight cost atau ongkos total per-kilo liter atau per-liter dari satu lokasi sumber supply ke lokasi depot penyalur. Sedangkan rekomendasi penambahan tanki timbun di buat jika waktu buffer yang miliki suatu depot kurang dari waktu tempuh yang dapat dicapai dari supply point terdekatnya, sehingga depot tersebut rentan terhadap kondisi kritis. Walaupun demikian jalur rute yang dibuat pada proyek tugas akhir ini sudah dapat dijalankan tanpa adanya penambahan kapasitas tanki timbun di depot. Penentuan titik lokasi cadangan buffer envelope dibuat untuk menangani kekurangan supply yang disebabkan oleh kilang shutdown, ataupun masalah lain seperti kerusakan pompa dan cuaca. Besarnya kapasitas timbun produk yang harus dimiliki oleh masing-masing depot dapat dilihat pada bagian Lampiran A E. 68

13 3.6 Ongkos per KL (Freight cost) Pemerintah bersama jajarannya meminta PT PERTAMINA (Persero) untuk membuat kepastian ongkos di masing-masing rute, tetapi sampai sekarang freight cost yang diinginkan tersebut sulit untuk diketahui secara pasti karena pola distribusi yang berjalan masih bersifat acak, sehingga ongkos yang diketahui hanya berupa agregat secara keseluruhan. PT PERTAMINA (Persero) menggunakan firing sytem dalam mendistribusikan BBM, atau sistem dadakan ketikan terjadi indikasi depot kekurangan supply atau kilang bermasalah. Walaupun flow of material produk sudah dibuat, pengambilan supply BBM untuk depot kritis seringkali dilakukan dengan mengambil persediaan dari depot lain yang masih memiliki cadangan cukup besar, padahal kegiatan tersebut dapat menyebabkan berubahnya arus distribusi dan sistem inventory depot yang bersangkutan, serta berimbas pada perubahan jadwal rute kapal. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya pergerakan kapal tanker dari barat ke timur Indonesia yang dirasakan kurang efektif dan efisien. Freight cost adalah Round Trip Days (RTD) dikali dengan sewa kapal ditambah biaya operasional dan biaya pelabuhan. Ongkos dan formula perhitungan distribusi point-to-point dan multy-port memiliki perbedaan dalam hal cakupan depot yang akan dilalui oleh suatu kapal tanker. Formula yang dipakai dalam perhitungan pola point-topoint adalah sebagai berikut: Freight Cost per-kl = (2(sea days + loading + unloading) x sewa kapal per-hari) + bungker consumption sea + bungker consumption loading + bungker consumption discharging + portcharge Formula yang dipakai dalam perhitungan pola multy-port adalah sebagai berikut: Freight Cost per-kl = ((sea days + loading + unloading) x sewa kapal per-hari) + bungker consumption sea + bungker consumption loading + bungker consumption discharging + portcharge) + ((sea days + unloading) x sewa kapal per-hari) + bungker consumption sea + bungker consumption discharging + portcharge) ((sea days x sewa kapal per-hari) + bungker consumption sea) 69

14 Komposisi produk BBM yang dibawa oleh setiap kapal tanker disesuaikan dengan tanki timbun eksisting yang dimiliki masing-masing depot. Karena berbagai keterbatasan data yang diperoleh dari perusahaan, maka perhitungan freight cost masih menggunakan beberapa asumsi dalam perhitungannya. Asumsi-asumsi tersebut adalah: 1. Biaya sewa dan kecepatan kapal tanker untuk masing-masing jenis diwakili oleh satu buah kapal yang dianggap dapat mengambarkan populasi jenis kapal tersebut. Kecepatan kapal (knot) menggunakan kecepatan rata-rata kapal tersebut. 2. Berat jenis produk premium, kerosene dan solar diwakili oleh produk solar yang mempunyai berat jenis tertinggi. 3. Jarak dihitung dengan satuan mil laut. 4. Konversi mata uang rupiah memakai indeks Rp 9300,00 per 1 $ US. 5. Kekosongan data waktu loading dan unloading kapal di depot-depot atau lokasi lainnya diasumsikan dengan menggunakan standar waktu yang telah ditetapkan oleh PT PERTAMINA (Persero). 6. Hanya ada satu nilai freight cost untuk setiap rute baik untuk rute yang menggunakan point-to-point maupun multy-port Faktor faktor yang Dipertimbangkan Dalam Perancangan Rute Rute dalam distribusi merupakan hasil integrasi antara kegiatan-kegiatan yang terjadi dalam suatu proses rantai pasok. Pembuatan suatu rute kapal memerlukan pertimbangan dan perhitungan yang baik dan matang. Berdasarkan data distribusi tahun 2007, PT PERTAMINA (Persero) memiliki 111 depot dan 6 kilang yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dan ditangani oleh 118 kapal tanker dengan berbagai tipe. Dengan evaluasi dan pembuatan pola rute baru diharapakan sistem distribusi akan menjadi lebih efektif dan efisien. Faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam penentuan jalur atau routing adalah: 1. Volume demand di masing-masing depot 2. Volume ketersediaan BBM di lokasi sumber supply 3. Kapasitas tanki timbun di depot dan di sumber supply. 4. Jarak lokasi depot dengan lokasi sumber supply terdekat. 5. Jenis dan ongkos sewa kapal. 6. Kondisi geografis atau medan yang akan dilalui. 7. Volume objective thruput per-hari dari masing-masing depot. 70

15 8. Karakteristik inventory dan demand di masing-masing depot (diperlukan dalam menentukan pola multy-port). 3.8 Kebutuhan Impor vs Kilang Data volume material balance pada bulan Oktober sampai Desember merupakan masa peak season konsumsi BBM di dalam negeri, kondisi ini dijelaskan pada BAB II tentang karakteristik demand BBM nasional. Berdasarkan alasan tersebut maka dapat diprediksi kebutuhan BBM diawal tahun akan berada di bawah atau bergerak di sekitar angka rata-rata demand Oktober sampai Desember. BBM impor diasumsikan seluruhnya berasal dari Singapore. Berdasarkan hasil perbandingan rata-rata demand dan supply data material balance Oktober sampai Desember diperoleh bahwa volume impor BBM yang dibutuhkan setiap bulan adalah KL BBM yang terdiri dari KL premium, KL kerosene, dan KL solar. Walaupun demikian jumlah realisasi BBM yang diimpor dari Singapore melebihi jumlah BBM impor tersebut di atas. Menurut data Oktober sampai Desember BBM impor dari Singapore berjumlah KL, terdiri dari KL premium, KL kerosene, dan KL solar, jadi terdapat kelebihan BBM sekitar 780,529 KL atau sekitar 77% yang mayoritas merupakan produk solar. Kelebihan impor ini mungkin diperuntukan bagi sektor industri yang tidak tercantum dalam penelitian proyek akhir. Tabel 3.1 Demand, Produksi Kilang dan Kebutuhan Impor BBM (dalam KL) REGION Demand BBM / bln Jml kebutuhan BBM Import Premium Kerosine Solar SUM Premium Kerosine Solar SUM ENVELOPE 1 329, , ,674 1,041, ,637 12, , ,890 ENVELOPE 2 721, , ,943 1,565,161 59, ,412 ENVELOPE 3 276, , , , ,720 56, , ,447 ENVELOPE 4 176,620 91, , , ENVELOPE 5 26,927 18,122 72, , SUM 1,532, ,754 1,691,660 4,019, ,769 68, ,202 1,026,749 KILANG Produksi BBM / bln Premium Kerosine Solar SUM Dumai 99,799 94, , ,882 ENVELOPE 1 Plaju 104,993 74,818 75, ,071 ENVELOPE 1 Cilacap 404, , ,961 1,020,600 ENVELOPE 2 Balongan 253,923 61, , ,810 ENVELOPE 2 Balikpapan 244, , , ,391 ENVELOPE 4 Kasim-Sorong 5,713 3,278 8,904 17,895 ENVELOPE 5 SUM 1,113, ,258 1,143,926 3,000,649 71

16 Jika menganalogikan pemenuhan kebutuhan BBM depot berdasarkan pada kecukupan dan kedekatan supply point disuatu daerah maka untuk daerah Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya dan Kupang, tidak memerlukan tambahan BBM dari impor, karena produksi Kilang Balikpapan cukup besar untuk memenuhi demand keempat daerah di atas. Untuk daerah envelope 2 dan 3 yang mendapat tambahan impor adalah daerah pesisir utara Pulau Jawa, hal ini dilakukan karena pertimbangan jarak tempuh dan ongkos yang lebih dekat dan murah jika pengiriman dilakukan dari Singapore. Untuk wilayah Sumatera atau envelope 1, supply impor dilakukan pada beberapa daerah di bagian pesisir barat Sumatera yang terbentang dari Daerah Istimewa Aceh sampai Provinsi Lampung. Berdasarkan perimbangan perhitungan demand dan produksi kilang, maka BBM impor untuk produk premium di transfer ke daerah envelope 1, 2 dan 3, sedangkan untuk produk kerosene dan solar di transfer ke daerah envelope 1 dan 3. Produk solar merupakan produk impor terbesar. Untuk memperjelas gambaran di atas dapat dilihat pada Gambar Import KRUENG RAYA LHOK SEUMAWE Lokal Import Premium Import Kerosine MEULABOH UP. I - PKL. BRANDAN LAB. DELI SIBOLGA P. NATUNA ENVEPOPE 1 TARAKAN TAHUNA Import Solar G. SITOLI UP. II - DUMAI SIAK TT. TLK. KABUNG JAMBI BENGKULU ENVEPOPE SINGAPORE TJ.UBAN P. SAMBU UP. III - PLAJU PANJANG T. SEMANGKA PLUMPANG TT. TG. GEREM/MERAK BITUNG P. BATAM TOBELO TOLI - TOLI BONTANG SINTANG MOUTONG PONTIANAK SAMARINDA DONGGALA BALIKPAPAN PARIGI CILIK RIWUT SAMPIT KOLONDALE PALOPO PKL.BUN P. PISANG ENVEPOPE 4 BANJARMASIN PARE - PARE STS KOTA BARU KOTA BARU UJ. PANDANG SEMARANG CAMPLONG SURABAYA STS KALBUT MENENG UP. IV BADUNG MAUMERE CILACAP REO AMPENAN L. TUKA TT. TLK BIMA ENDE MANGGIS ENVEPOPE 3 WAINGAPU GORONTALO Solar SUBUNG POSO LUWUK SANANA BANGGAI NAMLEA KENDARI KOLEKA RAHA BAU -BAU TERNATE PABUHA BIAK SORONG MANOKWARI TT. SERUI WAY AME BULA NABIRE MASOHI FAK - FAK KAIMANA TUAL KALABAHI SAUMLAKI DILI ATAPUPU KUPANG DOBO ENVEPOPE 5 JAYAPURA MERAUKE Gambar 3.4 Perbandingan Volume BBM Lokal & Impor 72

17 3.9 Rantai Pasok Supply dan Distribusi Envelope Satu Demand dan Supply Envelope Satu Demand BBM envelope satu berada diperingkat ke-dua dari 5 envelope yang ada di Indonesia, demand BBM envelope ini memiliki prosentase sebesar 26% dari demand BBM nasional. Jumlah total demand envelope satu adalah KL per-bulan yang terdiri dari Kl premium (32%), kerosene KL (15%) dan solar KL (53%). Sebagian besar demand envelope satu dipenuhi oleh 2 buah kilang di Sumatera, yaitu Kilang Dumai dan Kilang Plaju, sedangkan Kilang Brandan sudah ditutup, karena dianggap sudah tidak produktif. Kedua kilang ini memproduksi BBM sebesar KL yang terdiri dari premium Kl, kerosene KL dan solar KL. Jumlah produksi kedua kilang yang masih produktif di atas hanya mampu menutupi 61% kebutuhan BBM di envelope satu. Kekurangan BBM berada pada produk premium sebesar KL (38%) dan produk solar sebesar KL (54%), sedangkan produk kerosene mengalami kelebihan produksi sebesar 13,568 KL. Langkah pertama untuk mempermudah penempatan produk BBM lokal dan impor di envelope satu adalah dengan melakukan pembagian wilayah envelope satu dalam beberapa sub area yang berdasarkan pada kedekatan lokasi depot dan kedekatan supply point. Dari hasil pengolahan dihasilkan 3 buah sub area di envelope satu yaitu di bagian utara Pulau Sumatera, tengah Pulau Sumatera dan selatan Pulau Sumatera. Pembagian ketiga sub area tersebut menghasilkan pola distribusi supply utama untuk depot utama, instalasi atau terminal transit yang berfungsi mentransfer BBM ke depot-depot penyalur. Sub area satu terdiri dari 13 titik observasi yang terdiri dari 8 buah sea depot, 3 buah inland depot dan 2 buah instalasi. Tiga belas titik observasi tersebut tersebar dalam 3 wilayah kecil yaitu: 1. Wilayah Kabung/Bungus terdiri dari: Depot Meulaboh, Depot Sibolga, Depot G.Sitoli dan Terminal Transit Kabung/Bungus. 2. Wilayah Dumai terdiri dari: Depot Dumai dan Depot Siak. 3. Wilayah Medan terdiri dari: Depot Lhokseumawe, Depot Sabang, Depot Kruengraya, Instalasi Medan, Depot Pematangsiantar dan Depot Kisaran. 73

18 Tabel 3.2 Pembagian Sub Daerah Envelope Satu SUB AREA 1 SUB AREA 2 SUB AREA 3 1 Depot Lhok Seumawe 1 Depot Kertapati 1 Depot BATAM 2 Depot Krueng Raya 2 Depot Pangkal Balam 2 Depot Natuna Group 3 Depot Meulaboh 3 Depot Baturaja 3 TT T. Uban 4 Depot Sabang 4 Depot Lahat 4 TT P. Sambu 5 Inst. Medan Group 5 Depot Lubuk Linggau 5 Depot Tembilahan 6 Depot Dumai 6 Tg. Pandan P (JOBER) 7 Depot Sibolga 7 Depot Jambi 8 Depot P. Siantar 8 Depot Pontianak 9 Depot Kisaran 9 Depot Sintang 10 Depot P. Brandan 11 Depot G. Sitoli 12 TT Teluk Kabung 13 Depot Siak sea depot Instalasi / term transit inland depot jobber Sub area dua meliputi 9 depot yang terbagi dari 4 inland depot dan 5 sea depot yang salah satunya merupakan jobber. Sub area tiga terdiri dari 3 depot dan 2 terminal transit. Terminal Transit Tanjung Uban dan Pulau Sambu pada sub area tiga merupakan terminal transit utama yang mensupply kebutuhan BBM impor ke envelope-envelope lain, selain itu ke dua terminal transit ini berfungsi sebagai tanki timbun BBM impor yang dipasok dari Singapore Flow of material BBM Envelope Satu Dengan mengutamakan kecukupan supply lokal di masing-masing envelope dan tingkat efesiensi yang berdasarkan kedekatan jarak, maka Terminal Transit Teluk Kabung memperoleh supply premium, kerosene dan solar dari Kilang Dumai, sedangkan untuk Instalasi Medan memperoleh kerosene dan solar dari Kilang Dumai di tambah supply premium, kerosene dan solar dari Singapore. Demand BBM Depot Dumai di transfer dari Kilang Dumai langsung dengan menggunakan moda pipa. Depot Siak memperoleh premium, kerosene dan solar dari Kilang Dumai, walaupun demikian jumlah pasokan premium dari Kilang Dumai ke Depot Siak hanya menutupi 83% demand premium, maka dari itu diperlukan tambahan supply premium dari Terminal Transit Tanjung Uban sebesar KL. Terminal Transit Teluk Kabung selain melayani kebutuhan lokal, melayani juga kebutuhan depot-depot sekitarnya seperti Depot Sibolga, Depot G.Sitoli dan Depot Meulaboh. Jumlah BBM yang dibutuhkan oleh Terminal Transit Teluk Kabung 74

19 ditambah dengan demand depot penyalur di sekitarnya adalah KL BBM yang terdiri dari KL premium, KL kerosene dan KL solar. Sabang Kruengraya Lhokseumawe Premium Solar Kerosine PKS Meulaboh MEDAN SNG Natuna P. Siantar Kisaran Sibolga Uban & Sambu G Sitoli DUMAI Siak Batam Pontianak Tembilahan Sintang TT, BUNGUS Jambi Pkl Balam Lubuk Linggau PLAJU Tj Pandan Lahat Baturaja Gambar 3.5 Flow of Material BBM untuk Depot Utama dan Instalasi Instalasi Medan menangani inland Depot Kisaran dan Depot Pematangsiantar dengan moda RTW (Rail Tank Wagon). Selain melayani kedua inland depot di selatan Kota Medan, Instalasi Medan melayani kebutuhan BBM sea depot di Daerah Istimewa Aceh yaitu Depot Sabang, Depot Kruengraya dan Depot Lhokseumawe. Total demand Instalasi Medan ditambah dengan demand depot-depot penyalur di sekitarnya berjumlah KL BBM, terbagi dari KL premium, Kl kerosene dan KL solar. Produksi Kilang Dumai hanya mampu memasok KL kerosene dan KL solar untuk menutupi kebutuhan Instalasi Medan, sisa kebutuhan premium, kerosene dan solar didatangkan dari Terminal Transit Tanjung Uban yang berasal dari sumber impor. 75

20 Sabang Kruengraya Lhokseumawe Premium Solar Kerosine PKS Meulaboh MEDAN Natuna P. Siantar Kisaran Sibolga Uban & Sambu G Sitoli DUMAI Siak Batam Pontianak Tembilahan Sintang TT, BUNGUS Jambi Pkl Balam Lubuk Linggau PLAJU Tj Pandan Lahat Baturaja TJ PRIOK Baturaja Gambar 3.6 Flow of Material BBM untuk Depot-Depot Penyalur Sub area tiga yaitu Terminal Transit Pulau Sambu, Depot Tembilahan, Depot Batam dan Depot Natuna memperoleh pasokan BBM dari Terminal Transit Tanjung Uban berupa premium, kerosene dan solar. Jumlah demand sub area tiga adalah KL yang terdiri dari KL premium, KL kerosene dan KL solar. Seluruh produk BBM di TT Tanjung Uban berasal dari Singapore. Sub area dua meliputi Depot Kertapati, Depot Pangkalan Balam, Depot Baturaja, Depot Lahat, Depot Lubuklinggau, Depot Jambi, Depot Pontianak, Depot Sintang dan Jobber Tanjung Pandan. Demand total BBM yang dibutuhkan sub area dua adalah KL yang terdiri dari: KL premium, KL kerosene dan KL solar. Depot Kertapati merupakan tanki timbun Kilang Plaju yang dikelola oleh Unit Pengolahan III. Produksi Kilang Plaju sebesar KL BBM yang terbagi dari KL premium, KL kerosene dan KL solar. Jika melihat perbandingan antar demand sub area dua dan produksi yang dihasilkan Kilang Plaju, maka terlihat terjadinya kelebihan stock untuk produk premium dan kerosene, sedangkan untuk produk solar mengalami kekurangan yang cukup besar yaitu KL. Kekurangan produk solar ini di penuhi dengan tambahan supply dari Terminal 76

21 Transit Tanjung Uban ke beberapa sea depot yang berada pada sub area dua, sedangkan kelebihan produk premium dan kerosene di transfer ke Depot Plumpang yang masuk dalam wilayah envelope dua. UP II T.T Kabung Sibolga G.Sitoli KILANG DUMAI Dumai Sie Siak IMPORT Ins Medan L.Seumawe Kruengraya Sabang Meulaboh Siantar Kisaran Tembilahan PREMIUM KEROSINE STS SEA DEPOT T.T Tj Uban Natuna SOLAR PKS RTW PIPA T.T P Sambu Batam/Kijang KILANG JOBBER TERM TRANSIT, DEP UTAMA, INSTALASI Jambi Pkl. Balam UP III Pontianak Sintang KILANG PLAJU Tjg. Pandan Baturaja Kertapati Lahat Lubuklinggau Gambar 3.7 Flow of Material BBM Envelope Satu Depot Kertapati memasok kebutuhan BBM inland depot yang berada di selatan Pulau Sumatera yaitu Depot Baturaja, Depot Lahat dan Depot Lubuklinggau. Jumlah demand inland depot yang ada di sub area dua berjumlah KL yang terdiri dari KL premium, KL kerosene dan KL solar. Walaupun produk solar di Depot Utama Kertapati merupakan produk utama, produk premium di tiga inland depot penyalur sekitarnya mempunyai jumlah demand terbesar. Kebutuhan BBM keempat inland depot ini dipenuhi seluruhnya oleh produksi Kilang Plaju. Sea depot yang berada di sub area dua adalah Depot Pangkalan Balam, Depot Jambi, Depot Pontianak, Depot Sintang dan Jobber Tanjung Pandan. Jumlah kebutuhan 77

22 BBM sea depot yang berda pada sub area dua berjumlah 199,985 KL yang terdiri dari KL premium, 27,413 KL kerosene dan KL solar. Hampir 60% demand BBM pada sea depot sub area dua merupakan produk solar. Produk premium dan kerosene untuk Depot Jambi, Depot Pangkalan Balam, Depot Pontianak dan Depot Sintang diperoleh dari Kilang Plaju, sedangkan produk solar sepenuhnya di supply dari TT Tanjung Uban. Demand BBM Jobber Tanjung Pandan di supply seluruhnya dari Kilang Plaju. Depot Pontianak merupakan depot utama yang mensupply kebutuhan BBM untuk Depot Sintang Rute Distribusi Envelope Satu Rute kapal tanker dibuat berdasarkan flow of material BBM envelope satu yang telah dibuat sebelumnya. Pembuatan rute ini dibatasi oleh kapasitas tanki timbun di masing-masing depot, jenis kapal tanker dan kondisi geografis yang akan dilalui. Berdasarkan hasil pegolahan data envelope satu dihasilkan 22 buah rute yang sebagian besar merupakan pola distribusi point-to-point, sedangkan rute yang menggunakan pola multy-port hanya berjumlah 2 buah. Pola distribusi multy-port digunakan untuk mensupply Depot Sibolga dan Depot G Sitoli yang dipasok dari Terminal Transit Teluk Kabung dengan RTD 6.25 hari. Depot Lhokseumawe dan Depot Kruengraya dipasok dari Instalasi Medan dengan RTD 8.66 hari. Kedua pola multy-port ini menggunakan jenis kapal tipe SMALL 2 dengan besar freight cost masing-masing $ 5,67 dan $ 7,35 per-kilo liter atau Rp 43,- dan Rp 56,- per-liter Kapal tipe besar seperti GP dan MR digunakan untuk mentransfer produk BBM dari Kilang atau refenery sampai Depot Utama atau Instalasi. Hal ini memungkinkan untuk dilakukan karena besarnya kapasitas demand dan tanki timbun di tempat tujuan. Kapal besar ini digunakan untuk mentransfer BBM ke Terminal Transit Teluk Kabung dan Instalasi Medan. Berdasarkan data eksisiting tanki timbun Terminal Transit Kabung maka suppy BBM menggunakan 2 buah kapal yang terdiri dari 1 buah kapal jenis MR dan 1 buah kapal jenis GP, dengan frekuensi 2 kali untuk masing-masing kapal. Round Trip Days (RTD) dari Kilang Dumai menuju TT Kabung sebesar 10,44 hari. Kapal jenis Medium Range (MR) membawa KL BBM yang terdiri dari KL premium, KL kerosene, dan Kl solar, sedangkan kapal GP membawa KL BBM yang terdiri dari KL premium, 3,547 KL kerosene, Kl solar. Freight cost 78

23 kapal jenis MR adalah $ 4,58 per-kilo liter dan $ 6,02 per-kilo liter untuk kapal jenis GP atau Rp 43,- dan Rp 56,- per-liter. Kapal tanker tipe kecil seperti SMALL 2, SMALL 1 dan LIGHTER digunakan untuk mendistribusikan prodok BBM ke depot-depot penyalur. Untuk mendistribusikan BBM ke Depot Jambi, Depot Tembilahan dan Depot Sintang harus melalui medan sungai, sehingga tidak memungkinkan untuk menggunakan tipe kapal tanker yang besar dan sistem distribusi yang digunakan adalah sistem point-to-point. Rute nomor 8 yaitu Depot Meulaboh Depot Sabang Depot Meulaboh merupakan rute termahal yang ada di envelope satu, dengan ongkos $15,86 per KL atau Rp 120,- per liter. Instalasi Medan mendapat pasokan kerosene sebesar KL dan solar sebesar KL dari Kilang Dumai dengan menggunakan kapal jenis GP. Sisa demand Instalasi Medan ditutupi oleh TT Tanjung Uban menggunakan 1 kapal jenis SMALL 2 dengan frekuensi 4 kali dan 1 kapal jenis GP dengan frekuensi 3 kali dari Singapore. Kapal GP mengangkut 3 jenis BBM dengan jumlah KL yang terdiri dari KL premium, KL kerosene dan KL solar, sedangkan kapal jenis SMALL 2 mengangkut premium KL dan solar KL. Sabang Kruengraya Lhokseumawe Meulaboh MEDAN 6 SNG Natuna MR GP SMALL 2 SMALL 1 LIGHTER 2 P. Siantar Kisaran 1 Sibolga 4 G Sitoli DUMAI Siak Batam Uban & Sambu Pontianak Tembilahan 5 Sintang TT, BUNGUS Jambi Pkl Balam Lubuk Linggau PLAJU Tj Pandan Lahat Baturaja SBY + KALBUT TJ GEREM TJ PRIOK TSEMARANG Gambar 3.8 Rute Supply dan Distribusi BBM Depot Utama Envelope Satu 79

24 Tabel 3.3 Rute Supply dan Distribusi Envelope Satu NO ROUTE P K S TOTAL OC Type RTD frek TOTAL $/KL Rp/Lt UTILITAS 1 DUMAI Teluk Kabung DUMAI 16,322 7,095 17,037 40,454 90% MR DUMAI Teluk Kabung DUMAI 8,161 3,547 8,519 20,227 81% GP Teluk Kabung G. Sitoli Sibolga Teluk Kabung 2,098 1,446 2,795 6,340 98% SMALL DUMAI Inst. Medan DUMAI 18,945 5,148 24,093 96% GP T. Uban Inst. Medan T. Uban 21,500 1,694 21,500 44,694 99% MR T. Uban Inst. Medan T. Uban 3,626 2,977 5,587 86% SMALL Inst. Medan Lhokseumawe Kruengraya Inst. Medan 2,444 1,174 2,485 6,103 94% (2) SMALL Sabang Meulaboh Sabang ,186 2,047 58% SMALL T. Uban Siak T. Uban 3,182 3,182 91% SMALL DUMAI Siak DUMAI ,869 3,234 92% (3) SMALL T. Uban Natuna Group T. Uban ,238 2,007 57% SMALL T. Uban BATAM T. Uban 1, ,433 3,236 92% SMALL T. Uban Tembilahan T. Uban 336 1,140 1,421 2,896 83% SMALL PLAJU Jambi PLAJU 2, , % SMALL T. Uban Jambi T. Uban 2,370 2,370 68% (2) SMALL PLAJU Pangkal Balam PLAJU 1, ,308 66% SMALL T. Uban Pangkal Balam T. Uban 6,083 6,083 94% SMALL PLAJU Tg. Pandan PLAJU ,870 3,032 87% SMALL PLAJU Pontianak PLAJU 3,945 2,871 6, % SMALL T. Uban Pontianak T. Uban 5,837 5,837 90% (2) SMALL Pontianak Sintang Pontianak ,193 95% (2) LIGTER Inst. Medan Sabang Inst. Medan ,498 2,568 73% SMALL TOTAL RATA-RATA 71,372 41,615 85, , % % P Premium RTD Round Trip Days K Kerosene OC Occupacy Kapal = daya angkut standar / volume BBM yang diangkut S Solar UTILITAS Utilitas = RTD X frekuensi per-kapal Menggunakan kapal yg sama 80

25 Envelope satu menggunakan 27 buah kapal untuk melayani 22 buah rute. Dua puluh tujuh kapal tersebut terdiri dari 2 buah kapal tipe MR, 2 buah kapal tipe GP, 8 buah kapal tipe SMALL 2, 13 buah kapal tipe SMALL 1 dan 2 buah kapal tipe LIGHTER. Dari data di atas terlihat bahwa sebagian besar rute envelope satu menggunakan jenis kapal kecil seperti SMALL 1 dan SMALL 2. Kapal yang dapat digunakan pada jalur Depot Pontianak Depot Sintang hanya tipe LIGHTER, karena terbatas pada kondisi geografis yang harus melalui sungai. Kapal tipe kecil biasanya digunakan dengan 3 alasan, alasan pertama digunakan untuk depot-depot dengan demand yang tidak terlalu besar, alasan kedua karena diakibatkan kondisi geografis yang tidak memungkinkan dan yang ketiga terbatas pada kapasitas tanki timbun depot tujuan. 11 rute dari 22 buah rute yang berada pada envelope satu menggunakan kapal jenis SMALL Sabang Kruengraya Lhokseumawe 8 Meulaboh MEDAN 7 Natuna MR GP SMALL 2 SMALL 1 LIGHTER P. Siantar Kisaran Sibolga G Sitoli 3 DUMAI Batam Siak Tembilahan 15 Uban & Sambu Pontianak 21 Sintang TT, BUNGUS Jambi Pkl Balam 19 Lubuk Linggau PLAJU Lahat Baturaja 18 Tj Pandan Gambar 3.9 Rute Distribusi BBM Envelope Satu Pola distribusi baru menggunakan kapal tanker lebih sedikit dibandingkan dengan pola distribusi lama atau eksisting yang menggunakan 49 buah kapal dengan komposisi 3 buah kapal jenis MR, 6 buah kapal jenis GP, 8 buah kapal jenis SMALL2, 24 buah kapal jenis SMALL I dan 8 buah kapal jenis LIGHTER. Penghematan kapal 81

26 berjumlah 22 buah kapal yang terdiri dari 1 buah kapal jenis MR, 4 buah kapal jenis GP, 11 buah kapal jenis SMALL I dan 6 buah kapal jenis LIGHTER. Penghematan jumlah kapal akan berdampak pada pengurangan ongkos sewa kapal. Berkurangnya ongkos sewa kapal mengurangi biaya distribusi. Biaya total sewa kapal pola distribusi lama dalam envelope satu sekitar $ sedangkan pola distribusi baru $ , jadi didapat penghematan sebesar $ atau Rp per-bulan atau sebesar 43%. Depot Meulaboh berdasarkan flow of material mendapat pasokan dari Terminal Transit Teluk Kabung, tetapi karena tanki timbun yang dimiliki depot ini sangat kecil, maka pendistribusian BBM di Depot Meulaboh dialihkan ke Depot Sabang. Jika membandingkan demand BBM Depot Meulaboh yang berjumlah KL dan kapasitas tanki timbun yang berjumlah KL, maka Depot Meulaboh hanya mampu menampung 24% demand, sedangkan kapasitas tanki timbun Depot Sabang jauh lebih besar daripada demand yang dimilikinya atau sebesar 360%, sehingga bisa dikatakan tanki timbun Depot Sabang mampu menampung demand lokal hanya dengan 1 kali pengiriman saja. Sisa kapasitas tanki timbun Depot Sabang bisa digunakan sebagai tanki timbun bayangan untuk menampung demand Depot Meulaboh, keputusan ini cukup tepat dilakukan karena jarak atara kedua depot tidak terlalu jauh, dibandingkan jika menggunakan Terminal Transit Teluk Kabung atau depot-depot lain di sekitarnya. Round Trip Days pola distribusi baru di envelope satu berjumlah 649 hari dengan utilitas kapal tanker sebesar 78%. Prosentase ini menggambarkan bahwa ratarata kapal di wilayah ini mempunyai waktu instirahat selama 7 hari. Sisa waktu tersebut bisa dipakai untuk distribusi produk avtur, distribusi minyak industri, atau barrier jika terjadi perubahan jalur akibat terganggunya arus distribusi produk di supply point. Tingkat occupacy kapal di envelope satu mencapai 86%, prosentase ini cukup baik mengingat masih berada di atas batasan yang ditetapkan oleh perusahaan sebesar 45% Perubahan Tanki Timbun Envelope Satu Berdasarkan hasil analisis terdapat 6 lokasi penambahan tanki timbun dan 3 lokasi perubahan tanki timbun. Keenam lokasi penambahan tanki timbun tersebut adalah: Depot Meulaboh, Depot Sabang, Ins Medan, Depot Siak, Depot Jambi dan Jobber Tanjung Pandan. Sedangkan ketiga lokasi yang mengalami perubahan komposisi tanki timbun adalah: Depot Sibolga, T.T Kabung, dan TT Tanjung Uban. 82

BAB II EKSPLORASI ISU BISNIS

BAB II EKSPLORASI ISU BISNIS BAB II EKSPLORASI ISU BISNIS 2.1 Kerangka Konseptual Pemikiran konseptual dalam penelitian ini berdasarkan pada tantangan yang dihadapi oleh PT PERTAMINA (Persero) dalam rangka pengambilan keputusan yang

Lebih terperinci

BAB IV RENCANA IMPLEMENTASI

BAB IV RENCANA IMPLEMENTASI BAB IV RENCANA IMPLEMENTASI 4.1 Kesimpulan PT PERTAMINA (Persero) khususnya Divisi Supply dan Distribusi merencanakan, mengevaluasi dan mengoptimasi sistem distribusi dan transportasi serta kinerja internal

Lebih terperinci

MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA

MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 6034 K/12/MEM/2016 TENTANG HARGA INDEKS PASAR BAHAN BAKAR NABATI (BIOFUEL)

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR PENENTUAN POLA DISTRIBUSI LAUT YANG TEPAT UNTUK MEMINIMUMKAN BIAYA TRANSPORTASI DENGAN PENDISTRIBUSIAN YANG OPTIMAL

TUGAS AKHIR PENENTUAN POLA DISTRIBUSI LAUT YANG TEPAT UNTUK MEMINIMUMKAN BIAYA TRANSPORTASI DENGAN PENDISTRIBUSIAN YANG OPTIMAL TUGAS AKHIR PENENTUAN POLA DISTRIBUSI LAUT YANG TEPAT UNTUK MEMINIMUMKAN BIAYA TRANSPORTASI DENGAN PENDISTRIBUSIAN YANG OPTIMAL (Studi Kasus PT.PERTAMINA Persero, Jakarta.) Oleh : SRI BATHORO WRESNIADHI

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 43 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Gambaran Umum Objek Penelitian 3.1.1 Lokasi Penelitian Dalam penulisan ini penelitian dilakukan di kantor PT. Indo Mega Maritim yang terletak di Kompleks Perkantoran

Lebih terperinci

Evaluasi dan Optimasi Rute Distribusi BBM Moda Kapal Tanker di PT PERTAMINA (Persero)

Evaluasi dan Optimasi Rute Distribusi BBM Moda Kapal Tanker di PT PERTAMINA (Persero) Evaluasi dan Optimasi Rute Distribusi BBM Moda Kapal Tanker di PT PERTAMINA (Persero) PROYEK AKHIR Oleh: GILANG SATRIYA ADHI UTAMA (29106074) Program Magister Administrasi Bisnis Sekolah Bisnis dan Manajemen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat tergantung pada sarana

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat tergantung pada sarana IV-27 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat tergantung pada sarana transportasi laut sebagai sarana penghubung utama antara pulau. Distribusi barang antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (supply chain management). Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Anatan dan

BAB I PENDAHULUAN. (supply chain management). Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Anatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banyak cara dilakukan perusahaan untuk meningkatkan daya saingnya di tengah kompetisi dengan perusahaan pesaing. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah pengurangan

Lebih terperinci

Dinamika dan Tantangan Pelayaran Nasional

Dinamika dan Tantangan Pelayaran Nasional Dinamika dan Tantangan Pelayaran Nasional ICE BSD 2-4 MARCH 2017 DPP INSA 2015-2019 Jakarta, 04 April 2017 Latar Belakang Pelayaran Nasional Dasar Hukum Undang Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. KESIMPULAN Dari hasil analisis, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Dengan mempertimbangkan pelabuhan-pelabuhan terluar pada setiap pintu akses keluar

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI BADAN PUSAT STATISTIK No. 22/03/Th. XIX, 01 Maret 2016 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI FEBRUARI 2016 DEFLASI 0,09 PERSEN Pada 2016 terjadi deflasi sebesar 0,09 persen dengan Indeks Harga Konsumen

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI BADAN PUSAT STATISTIK No. 30/04/Th. XIX, 01 April 2016 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI MARET 2016 INFLASI 0,19 PERSEN Pada terjadi inflasi sebesar 0,19 persen dengan Indeks Harga Konsumen ()

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS DAN PENGOLAHAN DATA

BAB 4 ANALISIS DAN PENGOLAHAN DATA 43 BAB 4 ANALISIS DAN PENGOLAHAN DATA 4.1 Pengumpulan Data Data-data yang di peroleh dari perusahaan berasal dari departemen logistic dan purchasing. Adapun data-data yang di kumpulkan adalah data permintaan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI PROVINSI PAPUA BARAT

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI PROVINSI PAPUA BARAT BADAN PUSAT STATISTIK BPS PROVINSI PAPUA BARAT No. 44/09/91 Th. XI, 04 September PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI PROVINSI PAPUA BARAT Pada terjadi deflasi sebesar -0,62 persen dengan Indeks

Lebih terperinci

PENELAAHAN PRIORITAS BESARAN CADANGAN BAHAN BAKAR NASIONAL. Agus Nurhudoyo

PENELAAHAN PRIORITAS BESARAN CADANGAN BAHAN BAKAR NASIONAL. Agus Nurhudoyo PENELAAHAN PRIORITAS BESARAN CADANGAN BAHAN BAKAR NASIONAL Agus Nurhudoyo Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Ketenagalistrikan, Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi agusn@p3tkebt.esdm.go.id

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI ahk BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 31/05/64/Th.XIX, 2 Mei 2016 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/ DI KOTA TARAKAN BULAN APRIL 2016 0,45 PERSEN Kota Tarakan pada bulan April 2016 mengalami Inflasi sebesar

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI No. 18/04/82/Th XVI, 03 April 2017 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI Maret 2017, KOTA TERNATE DEFLASI SEBESAR 0,31 PERSEN Pada Maret 2017, Kota Ternate mengalami deflasi sebesar 0,31 persen dengan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI PROVINSI PAPUA BARAT

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI PROVINSI PAPUA BARAT BADAN PUSAT STATISTIK BPS PROVINSI PAPUA BARAT No. 05/02/91 Th. XI, 01 Februari 2017 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI PROVINSI PAPUA BARAT Pada 2017 terjadi inflasi sebesar 0,67 persen dengan

Lebih terperinci

TOPIK BAHASAN POTRET KINERJA LOGISTIK INDONESIA KEBIJAKAN UMUM TRANSPORTASI LAUT ARMADA TRANSPORTASI LAUT LALU LINTAS ANGKUTAN LAUT

TOPIK BAHASAN POTRET KINERJA LOGISTIK INDONESIA KEBIJAKAN UMUM TRANSPORTASI LAUT ARMADA TRANSPORTASI LAUT LALU LINTAS ANGKUTAN LAUT DUKUNGAN KEBIJAKAN DALAM MENGOPTIMALKAN KAPASITAS, KUALITAS DAN DAYA SAING INDUSTRI PELAYARAN NIAGA DAN PELAYARAN RAKYAT SERTA INFRASTRUKTUR PENDUKUNGNYA DALAM MEWUJUDKAN KONEKTIVITAS NASIONAL DAN NORMALISASI

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI GABUNGAN 2 KOTA IHK DI KEPULAUAN RIAU SEPTEMBER 2016 INFLASI 0,32 PERSEN

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI GABUNGAN 2 KOTA IHK DI KEPULAUAN RIAU SEPTEMBER 2016 INFLASI 0,32 PERSEN BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU No. 80/10/21/Th. XI, 3 Oktober 2016 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI GABUNGAN 2 KOTA IHK DI KEPULAUAN RIAU SEPTEMBER 2016 INFLASI 0,32 PERSEN Pada September 2016,

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI PROVINSI PAPUA BARAT

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI PROVINSI PAPUA BARAT BADAN PUSAT STATISTIK BPS PROVINSI PAPUA BARAT No. 18/04/91 Th. X, 01 April 2016 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI PROVINSI PAPUA BARAT Pada 2016 terjadi deflasi sebesar -0,07 persen dengan Indeks

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI GABUNGAN 2 KOTA IHK DI KEPULAUAN RIAU FEBRUARI 2015 DEFLASI 0,50 PERSEN

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI GABUNGAN 2 KOTA IHK DI KEPULAUAN RIAU FEBRUARI 2015 DEFLASI 0,50 PERSEN BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU No. 22/03/21/Th.X, 2 Maret 2015 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI GABUNGAN 2 KOTA IHK DI KEPULAUAN RIAU FEBRUARI 2015 DEFLASI 0,50 PERSEN Pada Februari 2015, dari gabungan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI ahk BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 50/07/64/Th.XIX, 1 Juli 2016 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/ DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BULAN JUNI 2016 1,10 PERSEN Provinsi Kalimantan Timur pada bulan Juni

Lebih terperinci

EFISIENSI BIAYA PENANGANAN FEEDSTOCK DALAM DISTRIBUSI SOLAR-INDUSTRI DENGAN METODE DISTRIBUTION REQUIREMENT PLANNING

EFISIENSI BIAYA PENANGANAN FEEDSTOCK DALAM DISTRIBUSI SOLAR-INDUSTRI DENGAN METODE DISTRIBUTION REQUIREMENT PLANNING FISINSI BIAYA PNANGANAN FDSTOCK DALAM DISTRIBUSI SOLAR-INDUSTRI DNGAN MTOD DISTRIBUTION RQUIRMNT PLANNING Dewi Shintya Pratiwi 1 dan Yudha Prambudia 2 Laboratorium Perancangan dan Optimasi Sistem Industri

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Perkembangan Indeks Harga Konsumen/Inflasi Provinsi Papua Barat No. 53/11/91 Th. XI, 01 November BERITA RESMI STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI PAPUA BARAT Perkembangan Indeks Harga Konsumen/Inflasi

Lebih terperinci

Perkembangan Indeks Harga Konsumen/Inflasi Kota Ternate

Perkembangan Indeks Harga Konsumen/Inflasi Kota Ternate Perkembangan Indeks Harga Konsumen/ Ternate No. 58/11/82/Th. XVI, 01 November 2017 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI MALUKU UTARA Perkembangan Indeks Harga Konsumen/ Ternate Oktober 2017, Ternate mengalami

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Perkembangan Indeks Harga Konsumen/Inflasi Gabungan 2 Kota No. 68/10/21/Th. XII, 2 Oktober BERITA RESMI STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPULAUAN RIAU Perkembangan /Inflasi Gabungan 2 Kota September

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI ahk BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 30/05/64/Th.XIX, 2 Mei 2016 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BULAN APRIL 2016 DEFLASI -0,34 PERSEN Provinsi Kalimantan Timur

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI PROVINSI PAPUA BARAT

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI PROVINSI PAPUA BARAT No. 01/01/91 Th. XI, 3 Januari 2017 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI PROVINSI PAPUA BARAT Pada 2016 terjadi Inflasi sebesar 0,63 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 125,72. Dari

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI PROVINSI PAPUA BARAT

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI PROVINSI PAPUA BARAT BADAN PUSAT STATISTIK BPS PROVINSI PAPUA BARAT No. 36/08/91 Th. XI, 01 Agustus 2017 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI PROVINSI PAPUA BARAT Pada 2017 terjadi inflasi sebesar 0,52 persen dengan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI PROVINSI PAPUA BARAT

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI PROVINSI PAPUA BARAT BADAN PUSAT STATISTIK BPS PROVINSI PAPUA BARAT No. 34/07/91 Th. IX, 01 Juli 2015 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI PROVINSI PAPUA BARAT Pada 2015 terjadi Inflasi sebesar 1,71 persen dengan Indeks

Lebih terperinci

Perkembangan Indeks Harga Konsumen (IHK) Provinsi Kalimantan Timur Bulan September 2017

Perkembangan Indeks Harga Konsumen (IHK) Provinsi Kalimantan Timur Bulan September 2017 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KALIMANTAN TIMUR Perkembangan Indeks Harga Konsumen (IHK) Provinsi Kalimantan Timur Bulan September 2017 Selama September 2017, terjadi deflasi sebesar 0,01 persen di Kalimantan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI No. 23/05/82/Th XVI, 02 Mei 2017 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI April 2017, KOTA TERNATE INFLASI SEBESAR 0,36 PERSEN Pada April 2017, Kota Ternate mengalami inflasi sebesar 0,36 persen dengan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI GABUNGAN 2 KOTA IHK DI KEPULAUAN RIAU AGUSTUS 2016 DEFLASI 0,28 PERSEN

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI GABUNGAN 2 KOTA IHK DI KEPULAUAN RIAU AGUSTUS 2016 DEFLASI 0,28 PERSEN BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU No. 72/09/21/Th. XI, 1 September 2016 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI GABUNGAN 2 KOTA IHK DI KEPULAUAN RIAU AGUSTUS 2016 DEFLASI 0,28 PERSEN Pada Agustus 2016, gabungan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI . 01/01/82/Th XVI, 03 Januari 2017 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI DESEMBER 20, KOTA TERNATE INFLASI SEBESAR 0,32 PERSEN Pada Desember 20, Ternate mengalami inflasi sebesar 0,32 persen dengan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI ahk BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 17/03/64/Th.XIX, 1 Maret 2016 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BULAN FEBRUARI 2016 INFLASI 0,24 PERSEN Provinsi Kalimantan Timur

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Perkembangan Indeks Harga Konsumen/Inflasi Provinsi Kalimantan Timur Bulan Oktober 2017 No. 85/64/Th.XX, 1 November 2017 BERITA RESMI STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KALIMANTAN TIMUR Perkembangan

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI Jl. Jenderal A. Yani Jakarta 13230 Kotak Pos 108 Jakarta 10002 Telepon : 4890308 Faksimili : 4897928 www.beacukai.go.id Yth. 1.

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI ahk BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 08/02/64/Th.XIX, 1 Februari 2016 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BULAN JANUARI 2016 INFLASI 0,19 PERSEN Provinsi Kalimantan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI ahk BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 86/11/64/Th.XIX, 1 November 2016 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BULAN OKTOBER 2016 DEFLASI -0,09 PERSEN Provinsi Kalimantan

Lebih terperinci

Perkembangan Indeks Harga Konsumen/Inflasi Provinsi Kalimantan Timur

Perkembangan Indeks Harga Konsumen/Inflasi Provinsi Kalimantan Timur ahk BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 09/02/64/Th.XX, 1 Februari 2017 Perkembangan Indeks Harga Konsumen/Inflasi Provinsi Kalimantan Timur BULAN JANUARI 2017 INFLASI 1,04 PERSEN Provinsi Kalimantan Timur

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI ahk BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 98 /12/64/Th.XIX, 1 Desember 2016 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BULAN NOVEMBER 2016 INFLASI 0,21 PERSEN Provinsi Kalimantan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI BADAN PUSAT STATISTIK No. 01/01/Th. XIX, 4 Januari 2016 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI DESEMBER 2015 INFLASI 0,96 PERSEN Pada 2015 terjadi inflasi sebesar 0,96 persen dengan Indeks Harga Konsumen

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI ahk BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 52/07/64/Th.XX, 3 Juli 2017 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/ DI KOTA TARAKAN BULAN JUNI 2017 1,89 PERSEN Kota Tarakan pada bulan Juni 2017 mengalami Inflasi sebesar

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI DIREKTORAT PENERIMAAN DAN PERATURAN KEPABEANAN DAN CUKAI

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI DIREKTORAT PENERIMAAN DAN PERATURAN KEPABEANAN DAN CUKAI KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI DIREKTORAT PENERIMAAN DAN PERATURAN KEPABEANAN DAN CUKAI JALAN JENDERAL A. YANI JAKARTA 13230 KOTAK POS 108 JAKARTA 10002 TELEPON

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SEKRETARIAT DIREKTORAT JENDERAL

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SEKRETARIAT DIREKTORAT JENDERAL KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SEKRETARIAT DIREKTORAT JENDERAL JALAN JENDERAL A.YANI JAKARTA 13230, KOTAK POS 108 JAKARTA 10002 TELEPON (021) 4890308; FAKSIMILE

Lebih terperinci

Buku ini bertujuan untuk memberikan gambaran kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit sepanjang tahun 2016.

Buku ini bertujuan untuk memberikan gambaran kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit sepanjang tahun 2016. 1 KATA PENGANTAR Pemantauan dan Evaluasi Kinerja diatur melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan.

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI ahk BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 25/04/64/Th.XX, 3 April 2017 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BULAN MARET 2017 INFLASI 0,15 PERSEN Provinsi Kalimantan Timur

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI . 36/07/82/Th XVI, 03 Juli 2017 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI JUNI 2017, KOTA TERNATE INFLASI SEBESAR 1,55 PERSEN Pada Juni 2017, Ternate mengalami inflasi sebesar 1,55 persen dengan indeks

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI ahk BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 42/06/64/Th.XIX, 1 Juni 2016 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BULAN MEI 2016 INFLASI 0,09 PERSEN Provinsi Kalimantan Timur pada

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI ahk BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 36/06/64/Th.XVIII, 1 Juni 2015 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR* ) BULAN MEI 2015 INFLASI 0,41 PERSEN Kalimantan Timur pada

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI ahk BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 72/09/64/Th.XIX, 1 September 2016 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BULAN AGUSTUS 2016 INFLASI 0,14 PERSEN Provinsi Kalimantan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI ahk BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 69/10/64/Th.XVIII, 1 Oktober 2015 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR* ) BULAN SEPTEMBER 2015 DEFLASI -0,11 PERSEN Kalimantan Timur

Lebih terperinci

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA 21 BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA 4.1 Profil Perusahaan Sejak didirikan pada 10 Desember 1957, Pertamina menyelenggarakan usaha minyak dan gas bumi di sektor hulu hingga hilir. Bisnis sektor hulu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam sepuluh tahun terakhir, industri alat berat Indonesia berkembang sangat pesat. Bahkan, untuk wilayah Asia Tenggara, Indonesia merupakan negara dengan industri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. PT. Semen Padang yang terletak di Jl. Raya Indarung, Padang Sumatera

BAB I PENDAHULUAN. PT. Semen Padang yang terletak di Jl. Raya Indarung, Padang Sumatera BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang PT. Semen Padang yang terletak di Jl. Raya Indarung, Padang Sumatera Barat merupakan perusahaan yang bergerak dalam industri pembuatan semen,pt. Semen Padang didirikan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI ahk BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 45/06/64/Th.XX, 2 Juni 2017 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BULAN MEI 2017 INFLASI 0,36 PERSEN Provinsi Kalimantan Timur pada

Lebih terperinci

KOTA BANDAR LAMPUNG BULAN JANUARI 2016 INFLASI SEBESAR 0,26 PERSEN JANUARI 2016 INFLASI SEBESAR 0,26 PERSEN (IHK TAHUN DASAR 2012=100)

KOTA BANDAR LAMPUNG BULAN JANUARI 2016 INFLASI SEBESAR 0,26 PERSEN JANUARI 2016 INFLASI SEBESAR 0,26 PERSEN (IHK TAHUN DASAR 2012=100) BPS PROVINSI LAMPUNG No. 02/02/18/Th.XVI, 1 Februari 2016 KOTA BANDAR LAMPUNG BULAN JANUARI 2016 INFLASI SEBESAR 0,26 PERSEN Januari 2016, Kota Bandar Lampung kembali mengalami inflasi sebesar 0,26 persen

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI ahk BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 71/09/64/Th.XX, 04 September 2017 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BULAN AGUSTUS 2017 DEFLASI -0,28 PERSEN Provinsi Kalimantan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI ahk BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 01/01/64/Th.XX, 3 Januari 2017 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BULAN DESEMBER 2016 INFLASI 1,04 PERSEN Provinsi Kalimantan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI ahk BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 51/07/64/Th.XX, 3 Juli 2017 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BULAN JUNI 2017 INFLASI 0,98 PERSEN Provinsi Kalimantan Timur pada

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI SEPTEMBER 2017 INFLASI SEBESAR 0,23 PERSEN

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI SEPTEMBER 2017 INFLASI SEBESAR 0,23 PERSEN BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI LAMPUNG PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI SEPTEMBER 2017 INFLASI SEBESAR 0,23 PERSEN Kota Bandar Lampung menempati peringkat ke-22 dan Kota Metro peringkat ke-39,

Lebih terperinci

KOTA BANDAR LAMPUNG, OKTOBER 2017 INFLASI 0,11

KOTA BANDAR LAMPUNG, OKTOBER 2017 INFLASI 0,11 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI LAMPUNG KOTA BANDAR LAMPUNG, OKTOBER INFLASI 0,11 Kelompok Bahan Makanan mengalami inflasi tertinggi sebesar 0,44 persen pada Oktober Oktober, Kota Bandar Lampung mengalami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Peranan jaringan distribusi dan transportasi sangatlah vital dalam proses bisnis dunia industri. Jaringan distribusi dan transportasi ini memungkinkan produk berpindah

Lebih terperinci

BAB 5 Simpulan dan Saran. Gambar 5.1 Pola Operasional Kapal (proposed)

BAB 5 Simpulan dan Saran. Gambar 5.1 Pola Operasional Kapal (proposed) BAB 5 Simpulan dan Saran 5.1 Simpulan 5.1.1 Simpulan Hasil Penelitian Mengacu kepada rumusan masalah, maka pola operasional yang dihasilkan dari pengolahan data (proposed) dapat dilihat pada Gambar 5.1.

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI ahk BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 33/05/64/Th.XX, 2 Mei 2017 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BULAN APRIL 2017 INFLASI 0,13 PERSEN Provinsi Kalimantan Timur pada

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI ahk BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 01/01/64/Th.XIX, 4 Januari 2016 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR* ) BULAN DESEMBER 2015 INFLASI 1,05 PERSEN Kalimantan Timur

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERBENDAHARAAN

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERBENDAHARAAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERBENDAHARAAN Yth. (Daftar terlampir) SURAT EDARAN Nomor SE- /PB/0 TENTANG BATAS MAKSIMUM PENCAIRAN DANA DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN PENERIMAAN

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SEKRETARIAT DIREKTORAT JENDERAL

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SEKRETARIAT DIREKTORAT JENDERAL KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SEKRETARIAT DIREKTORAT JENDERAL JALAN JENDERAL A.YANI JAKARTA 13230, KOTAK POS 108 JAKARTA 10002 TELEPON (021) 4890308; FAKSIMILE

Lebih terperinci

SIDANG TUGAS AKHIR MODEL PERENCANAAN PENGANGKUTAN DAN DISTRIBUSI SEMEN DI WILAYAH INDONESIA TIMUR. Oleh : Windra Iswidodo ( )

SIDANG TUGAS AKHIR MODEL PERENCANAAN PENGANGKUTAN DAN DISTRIBUSI SEMEN DI WILAYAH INDONESIA TIMUR. Oleh : Windra Iswidodo ( ) SIDANG TUGAS AKHIR MODEL PERENCANAAN PENGANGKUTAN DAN DISTRIBUSI SEMEN DI WILAYAH INDONESIA TIMUR Oleh : Windra Iswidodo (4107 100 015) Pembimbing : I G. N. Sumanta Buana, S.T., M.Eng. LATAR BELAKANG Pengembangan

Lebih terperinci

Indeks Harga Konsumen di 66 Kota (2007=100),

Indeks Harga Konsumen di 66 Kota (2007=100), Umum Banda Aceh 216,59 246,43 278,90 295,67 112,07 139,01 172,41 190,86 109,37 115,47 119,06 124,90 127,19 Lhokseumawe 217,73 242,90 273,06 295,55 111,38 124,28 143,10 154,71 108,33 116,24 121,61 130,52

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI BPS PROVINSI KALIMANTAN SELATAN. 006/02/63/Th.XVIII, 3 Februari PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI Bulan di Kota Banjarmasin terjadi inflasi sebesar 0,64 persen. Laju inflasi kumulatif tahun dan

Lebih terperinci

Perkembangan Indeks Harga Konsumen/Inflasi Kota Ternate

Perkembangan Indeks Harga Konsumen/Inflasi Kota Ternate BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI MALUKU UTARA Perkembangan Indeks Harga Konsumen/ Ternate September 2017, Ternate mengalami Deflasi sebesar 0,51 persen Pada September 2017, Ternate mengalami deflasi sebesar

Lebih terperinci

Kode Cabang. Jam Operasional. Nama Kantor. No. Urut. Regional I/ Medan. Regional II/ Palembang

Kode Cabang. Jam Operasional. Nama Kantor. No. Urut. Regional I/ Medan. Regional II/ Palembang Regional I/ Medan 1 1 105 00 KCP. Medan Pulau Pinang 08.00 s/d 15.00 2 2 105 31 KCP. Kabanjahe 08.00 s/d 15.00 3 3 106 01 KCP Medan Lapangan Merdeka 08.00 s/d 15.00 4 4 107 01 KCP Pematangsiantar Sutomo

Lebih terperinci

KOTA BANDAR LAMPUNG BULAN FEBRUARI 2016 DEFLASI SEBESAR 0,51 PERSEN FEBRUARI 2016 DEFLASI SEBESAR 0,51 PERSEN (IHK TAHUN DASAR 2012=100)

KOTA BANDAR LAMPUNG BULAN FEBRUARI 2016 DEFLASI SEBESAR 0,51 PERSEN FEBRUARI 2016 DEFLASI SEBESAR 0,51 PERSEN (IHK TAHUN DASAR 2012=100) BPS PROVINSI LAMPUNG No. 02/03/18/Th.XVI, 1 Maret 2016 KOTA BANDAR LAMPUNG BULAN FEBRUARI 2016 DEFLASI SEBESAR 0,51 PERSEN Februari 2016, Kota Bandar Lampung kembali mengalami deflasi yaitu sebesar 0,51

Lebih terperinci

BPS PROVINSI LAMPUNG FEBRUARI 2017 INFLASI GABUNGAN SEBESAR 0,54 PERSEN

BPS PROVINSI LAMPUNG FEBRUARI 2017 INFLASI GABUNGAN SEBESAR 0,54 PERSEN BPS PROVINSI LAMPUNG No. 14/03/18/Th. IV, 1 Maret 2017 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI FEBRUARI 2017 INFLASI SEBESAR 0,54 PERSEN Februari 2017, IHK Gabungan Lampung mengalami kenaikan indeks

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI No. 06/02/63/Th.XX, 1 Februari PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI Bulan, di Kota Banjarmasin terjadi inflasi sebesar 0,49 persen. Laju inflasi kumulatif tahun ( terhadap ) sebesar 0,49 persen dan

Lebih terperinci

BPS PROVINSI LAMPUNG AGUSTUS 2017 DEFLASI GABUNGAN SEBESAR 0,38 PERSEN

BPS PROVINSI LAMPUNG AGUSTUS 2017 DEFLASI GABUNGAN SEBESAR 0,38 PERSEN BPS PROVINSI LAMPUNG No. 14/09/18/Th.IV, 4 September 2017 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI AGUSTUS 2017 DEFLASI SEBESAR 0,38 PERSEN Agustus 2017, IHK Gabungan Lampung mengalami penurunan indeks

Lebih terperinci

BPS PROVINSI LAMPUNG MARET 2017 DEFLASI GABUNGAN SEBESAR 0,10 PERSEN PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI MARET 2017 DEFLASI SEBESAR 0,10 PERSEN

BPS PROVINSI LAMPUNG MARET 2017 DEFLASI GABUNGAN SEBESAR 0,10 PERSEN PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI MARET 2017 DEFLASI SEBESAR 0,10 PERSEN BPS PROVINSI LAMPUNG No. 14/04/18/Th. IV, 3 April 2017 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI MARET 2017 DEFLASI SEBESAR 0,10 PERSEN Maret 2017, IHK Gabungan Lampung mengalami penurunan indeks dari

Lebih terperinci

BAB 4 Analisis dan Bahasan

BAB 4 Analisis dan Bahasan BAB 4 Analisis dan Bahasan 4.1 Pengumpulan Data Pada proses distribusi minyak mentah konsumsi domestik, terdapat tiga lokasi pengiriman dan penyebaran hingga lokasi akhir distribusi minyak mentah yaitu

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/ INFLASI KOTA BATAM DESEMBER 2016 INFLASI 0,26 PERSEN

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/ INFLASI KOTA BATAM DESEMBER 2016 INFLASI 0,26 PERSEN PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/ INFLASI KOTA BATAM DESEMBER INFLASI PERSEN No. 01/01/2171/Th.V, 3 Januari 2017 Pada bulan Desember di Kota Batam terjadi inflasi sebesar persen dengan Indeks Harga Konsumen

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI No. 33/06/63/Th.XIX, 1 Juni PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI Bulan, di Kota Banjarmasin terjadi inflasi sebesar 0,31 persen. Laju kumulatif tahun ( terhadap Desember ) terjadi inflasi sebesar

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI 2016 BULUKUMBA INFLASI SEBESAR 0,59 PERSEN

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI 2016 BULUKUMBA INFLASI SEBESAR 0,59 PERSEN No. 01/12/7302/Th.III, 2 Desember PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI BULUKUMBA INFLASI SEBESAR 0,59 PERSEN NOVEMBER Pada, terjadi sebesar 0,59 persen dengan Indeks Harga Konsumen () sebesar 129,85

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN Perkembangan Indeks Harga Konsumen Provinsi DKI Jakarta No. 41/09/31/Th.XIX, 4 September 2017 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN DKI JAKARTA BULAN AGUSTUS 2017 MENGALAMI INFLASI 0,13 PERSEN YANG DISEBABKAN

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN (INFLASI/DEFLASI) APRIL 2016, PROVINSI RIAU DEFLASI 1,10 PERSEN

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN (INFLASI/DEFLASI) APRIL 2016, PROVINSI RIAU DEFLASI 1,10 PERSEN No. 19/5/14/Th. XVII, 2 Mei 216 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN (INFLASI/DEFLASI) APRIL 216, PROVINSI RIAU DEFLASI 1,1 PERSEN Bulan April 216, gabungan 3 kota di Provinsi Riau mengalami deflasi sebesar

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN No. 02/02/1271/Th.II, 01 Februari PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN JANUARI SIBOLGA INFLASI 1,82 PERSEN Bulan, Sibolga mengalami inflasi sebesar 1,82 persen atau terjadi kenaikan nilai Indeks Harga Konsumen

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN (INFLASI/DEFLASI) APRIL 2015, PROVINSI RIAU INFLASI 0,73 PERSEN

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN (INFLASI/DEFLASI) APRIL 2015, PROVINSI RIAU INFLASI 0,73 PERSEN No. 21/05/14/Th. XVI, 4 Mei 2015 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN (INFLASI/DEFLASI) APRIL 2015, PROVINSI RIAU INFLASI 0,73 PERSEN Bulan April 2015, gabungan 3 kota di Provinsi Riau mengalami inflasi

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN / INFLASI KOTA BATAM JANUARI 2016 INFLASI 0,49 PERSEN

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN / INFLASI KOTA BATAM JANUARI 2016 INFLASI 0,49 PERSEN No. 04/02/2171/Th.IV, 1 Februari 2016 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN / INFLASI KOTA BATAM JANUARI 2016 INFLASI PERSEN Pada Bulan Januari 2016 di Kota Batam terjadi inflasi sebesar persen. Dari 23 kota

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI No. 54/10/82/Th XV, 03 Oktober 2016 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI SEPTEMBER 2016, KOTA TERNATE INFLASI SEBESAR 0,09 PERSEN Pada September 2016, Kota Ternate mengalami inflasi sebesar 0,09

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Perkembangan Indeks Harga Konsumen/Inflasi No. 27/04/Th. XXI, 2 April 2018 BERITA RESMI STATISTIK Perkembangan Indeks Harga Konsumen/ Inflasi Maret 2018 inflasi sebesar 0,20 persen. Inflasi tertinggi terjadi

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN Perkembangan Indeks Harga Konsumen Provinsi DKI Jakarta No. 46/10/31/Th.XIX, 2 Oktober PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN DKI JAKARTA BULAN SEPTEMBER MENGALAMI INFLASI 0,05 PERSEN YANG DISEBABKAN OLEH

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/ INFLASI KOTA BATAM JUNI 2016 INFLASI 1,46 PERSEN

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/ INFLASI KOTA BATAM JUNI 2016 INFLASI 1,46 PERSEN No. /07/2171/Th.IV, 1 Juli 2016 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/ INFLASI KOTA BATAM JUNI 2016 INFLASI 1,46 PERSEN Pada Juni 2016 di Kota Batam terjadi inflasi sebesar 1,46 persen. Dari 23 kota IHK di

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI AGUSTUS 2017 BULUKUMBA INFLASI SEBESAR 0,39 PERSEN

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI AGUSTUS 2017 BULUKUMBA INFLASI SEBESAR 0,39 PERSEN No. 01/09/7302/Th.III, 04 September PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI AGUSTUS BULUKUMBA INFLASI SEBESAR 0,39 PERSEN Pada, terjadi sebesar 0,39 persen dengan Indeks Harga Konsumen () sebesar 136,39

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perusahaan akan mengalami beberapa fase perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perusahaan akan mengalami beberapa fase perkembangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Suatu perusahaan akan mengalami beberapa fase perkembangan perusahaan, yang lebih biasa disebut organizational life cycle. Organizational life cycle menggambarkan siklus

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERBENDAHARAAN SEKRETARIAT DIREKTORAT JENDERAL

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERBENDAHARAAN SEKRETARIAT DIREKTORAT JENDERAL KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERBENDAHARAAN SEKRETARIAT DIREKTORAT JENDERAL GEDUNG PRIJADI PRAPTOSUHARDJO I LANTAI II JALAN LAPANGAN BANTENG TIMUR NO. 2-4 JAKARTA 10710 TELEPON

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.06-PW TAHUN 1995 TENTANG TEMPAT PEMERIKSAAN IMIGRASI

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.06-PW TAHUN 1995 TENTANG TEMPAT PEMERIKSAAN IMIGRASI Menimbang : KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.06-PW.09.02 TAHUN 1995 TENTANG TEMPAT PEMERIKSAAN IMIGRASI MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA a. bahwa dalam rangka pengaturan lalu

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI KOTA PANGKALPINANG

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI KOTA PANGKALPINANG No. 24/04/19/Th.XIII, 1 April 2015 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI KOTA PANGKALPINANG MARET 2015 DEFLASI 0,46 PERSEN Pada Kota Pangkalpinang mengalami deflasi sebesar 0,46 persen dengan Indeks

Lebih terperinci

KOTA BANDAR LAMPUNG BULAN AGUSTUS 2017 DEFLASI SEBESAR 0,42 PERSEN AGUSTUS 2017 DEFLASI SEBESAR 0,42 PERSEN (IHK TAHUN DASAR 2012=100)

KOTA BANDAR LAMPUNG BULAN AGUSTUS 2017 DEFLASI SEBESAR 0,42 PERSEN AGUSTUS 2017 DEFLASI SEBESAR 0,42 PERSEN (IHK TAHUN DASAR 2012=100) BPS PROVINSI LAMPUNG No. 02/09/18/Th.XVII, 4 September 2017 KOTA BANDAR LAMPUNG BULAN AGUSTUS 2017 DEFLASI SEBESAR 0,42 PERSEN Agustus 2017, Kota Bandar Lampung mengalami deflasi sebesar 0,42 persen karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Transportasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari semua sektor industri. Hal itu dikarenakan hampir semua sektor industri selalu mencakup proses distribusi

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI BPS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR No. 01/04/53/Th. XVII, 1 April 2014 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI MARET 2014 NUSA TENGGARA TIMUR DEFLASI 0,14 PERSEN Pada Maret 2014 terjadi deflasi sebesar

Lebih terperinci