BAB I PENDAHULUAN. Streptococcus suis serotipe 2 merupakan yang paling banyak

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Streptococcus suis serotipe 2 merupakan yang paling banyak"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Streptococcus suis pada babi merupakan bakteri Gram positif berbentuk coccus, bersifat fakultatif anaerob yang menimbulkan penyakit zoonosis pada manusia (Gottschalk and Segura, 2000). Secara serologis, sampai saat ini Streptococcus suis dibedakan menjadi 35 serotipe. Diantara 35 serotipe, hanya sebagian serotipe yang menyebabkan infeksi pada babi yaitu serotipe 1-9 dan serotipe 14. Streptococcus suis serotipe 2 merupakan yang paling banyak prevalensinya dalam menimbulkan penyakit pada babi dan manusia (Salasia dan Lammler, 1994; Wisselink et al, 2000). Serotipe 2 mempunyai patogenesitas tertinggi dalam menginfeksi babi dan manusia, dan merupakan satu-satunya serotipe yang umum ditemukan pada infeksi manusia (Gottschalk et al., 2007). Infeksi S. suis dapat menyebabkan septisemia, meningitis, artritis dan kematian terutama pada babi muda. Infeksi juga dapat terjadi pada saluran pernafasan sehingga dapat menyebabkan bronkopneumonia (Wisselink et al., 2000). Infeksi S. suis sebenarnya telah dikenal secara luas di Eropa, Amerika, Hong Kong dan akhir-akhir ini ternyata diketahui sudah menyebar di Asia Tenggara (Gottschalk et al,. 2007; Wertheim et al., 2009). Pada tahun 1998 hingga 2006 terjadi outbreak streptococcosis pada babi di China yang disebabkan oleh S. suis dengan penanda virulensi MRP+, EF+, dan Sly+ (Jiang et al., 2009). Outbreak tersebut juga menyerang manusia di wilayah propinsi Jiangsu China 1

2 pada tahun 1998 menyebabkan 14 orang meninggal dunia dari 25 kasus. Outbreak di Sichuan pada tahun 2005 menyebabkan 38 orang meninggal dari total 215 kasus (Yu et al., 2007). Pada bulan April 2001-April 2002 dan Juli 2005-Juli 2007 di Thailand Utara terjadi 43 kasus pasien terinfeksi S. suis, 16 orang diantaranya mengalami meningitis dan 8 orang yang sembuh dari meningitis mengalami ketulian (Fongcom et al., 2009). Berdasarkan data yang dilaporkan pada tahun 2009 terdapat 700 kasus infeksi S. suis pada manusia, sebagian besar terjadi di Asia Tenggara (Werthein et al., 2009). Selama ini tidak ada laporan adanya infeksi dari manusia ke manusia (Yu et al., 2006). Meskipun gejala klinis dan karakter epidemiologi tampak secara spesifik, akan tetapi penyakit ini masih belum dikenal dan tidak terdiagnosis, bahkan di kalangan human medicine kasus ini tidak tercatat (Mai et al., 2008). Melihat fakta di lapangan, beberapa peneliti menyatakan bahwa S. suis meningitis pada manusia kemungkinan tidak terdiagnosa (underdiagnosed) karena masyarakat dan dokter kurang menyadari adanya resiko penyakit ini, dan diagnosis biasanya tidak diarahkan pada kuman ini (Kerdsin et al., 2009). Di Indonesia telah dilaporkan adanya infeksi S. suis yang diisolasi dari cairan persendian babi pada tahun 2008 di Timika Papua (Salasia et al., 2011). Temuan ini merupakan indikasi kuat keberadaan S. suis di Indonesia yang kemungkinan keberadaannya underdiagnosed dan dikelirukan dengan bakterial meningitis yang lain, sehingga diperlukan riset yang mendalam terhadap S. suis meningitis. Di Indonesia belum berkembang perangkat diagnostik untuk deteksi S. 2

3 suis meningitis. Banyaknya kasus meningitis maupun ketulian di Indonesia kemungkinan karena adanya underdiagnosed S. suis meningitis. Kontrol penyakit sulit dilakukan karena vaksin kurang efektif dan efisien, serta kurangnya perangkat diagnostik yang sensitif. PCR assay dikembangkan untuk mendeteksi serotipe 1, 2, 7 dan 9 (Wisselink et al., 2000). Deteksi cepat dan akurat keberadaan S. suis sangat penting untuk penentuan diagnosis dan pengobatan infeksi, membantu mengontrol terjadinya epidemik, dan meningkatkan kesembuhan pasien. Metode kultur bakteri membutuhkan waktu yang lama, sehingga menyebabkan kondisi pasien yang terinfeksi semakin memburuk. Oleh karena itu diperlukan suatu perangkat diagnostik yang dapat mendeteksi S. suis secara cepat dan akurat (Holden et al., 2009). Untuk deteksi penyakit di lapangan diperlukan metode yang cepat dan akurat untuk mencegah penyebaran infeksi S. suis. Muramidase released protein (MRP) merupakan salah satu faktor virulensi potensial pada S. suis yang dapat dikembangkan menjadi sarana deteksi infeksi S. suis di Indonesia. Pada tahun 2011 Supriyati telah melakukan kloning gen penyandi muramidase released protein S. suis. Kloning gen mrp dari S. suis merupakan langkah awal untuk pengembangan alat deteksi yang mudah dan praktis untuk mendeteksi infeksi S. suis pada skala peternakan maupun industri (jangka pendek) dan untuk pengembangan kandidat vaksin dari imunogen MRP yang berasal dari S. suis (jangka panjang) (Supriyati, 2015). Salah satu cara deteksi S. suis adalah secara serologis berdasarkan antigen dan antibodi anti MRP 864 rekombinan menggunakan metode antigen capture 3

4 ELISA. Metode ini dipilih karena dapat digunakan untuk mendeteksi adanya infeksi awal S. suis dengan kadar antigen yang rendah dengan tingkat sensitifitas dan spesifisitas yang baik. Latex agglutination berbasis antibodi anti MRP 864 juga dapat digunakan untuk deteksi cepat infeksi S. suis di lapangan, karena metode ini sangat praktis, murah, cepat dan akurat. Kedua metode ini dipilih agar infeksi S.suis di lapangan dapat diketahui secara cepat, sehingga dapat meminimalisir penyebaran infeksi S.suis yang bersifat zoonosis. B. Permasalahan 1. Apakah antigen protein hasil ekspresi dari plasmid rekombinan yang mengandung gen mrp 864 (protein MRP) dapat menginduksi terbentuknya antibodi pada mencit? 2. Apakah antibodi anti MRP 864 dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan S. suis pada babi yang terinfeksi dengan metode ELISA dan latex agglutination? C. Tujuan 1. Mengembangkan prototype diagnostik berbasis antibodi terhadap antigen MRP 864 rekombinan Streptococcus suis. 2. Mendeteksi keberadaan S. suis secara serologis pada babi di lapangan dengan menggunakan ELISA dan latex agglutination. D. Manfaat Menghasilkan perangkat diagnostik berbasis antibodi poliklonal anti MRP 864 rekombinan S. suis yang dapat digunakan sebagai sarana deteksi 4

5 infeksi S. suis di lapangan berdasarkan reaksi antigen dan antibodi yang dapat diaplikasikan secara cepat, akurat dan ekonomis. E. Keaslian Penelitian Ruch and Smith (1982) melakukan penelitian tentang aplikasi antibodi monoklonal terhadap karbohidrat Streptococcus grup B pada latex agglutination dan immunoprecipitin assay. Penelitian tentang pemisahan M- like protein pada Streptococcus Group C (Streptococcus equi subsp. zooepidemicus) dengan metode sodium dodecyl sulphate-poliacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE), produksi antibodi dan teknologi hibridoma telah dilakukan oleh Purwantoro (2005). Artdita (2011) melakukan penelitian tentang pengembangan deteksi serologis terhadap infeksi S. suis di Indonesia berdasarkan marker virulen muramidase released protein. Pada tahun 2013 Salasia et al. melakukan penelitian tentang pengembangan deteksi cepat Staphylococcus aureus pada sapi perah dengan latex agglutination berbasis clumping factor. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan perangkat diagnostik untuk infeksi S. suis di Indonesia berdasarkan marker muramidase released protein hasil rekombinan yang diaplikasikan pada metode antigen capture ELISA dan latex agglutination. 5

6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Streptococcus suis 1. Klasifikasi dan sifat Killper-Bälz dan Schleifer (1987) mengklasifikasikan S. suis dalam Kingdom Bacteria, Phylum Firmicutes, Class Bacili, Order Lactobacillales, Family Streptococcaceae, Genus Streptococcus, Species Streptococcus suis. Streptococcus suis merupakan bakteri Gram positif, bersifat anaerob fakultatif dan berdasarkan klasifikasi Lancefield`s, mempunyai struktur dinding sel yang masuk dalam klasifikasi Streptococcus group D (Salasia et al., 1995; Gottschalk dan Segura, 2000). Streptococcus suis berbentuk sferik, tunggal, berpasangan maupun tersusun dalam bentuk rantai panjang, koloni tumbuh seperti titik-titik embun pada permukaan media kultur, tumbuh baik pada kondisi mikroaerofilik atau fakultatif anaerob dan bersifat α-, β-, ataupun γ- hemolitik (Higgins dan Gottschalk, 1990 ; Salasia dan Lämmler, 1994b). Streptococcus suis yang diklasifikasikan dalam strain serotipe 2 merupakan agen infeksi yang mempunyai virulensi tinggi dan sering ditemukan pada hewan sakit (Higgins dan Gottschalk, 2000). 6

7 2. Infeksi Streptococcus suis pada Babi Babi dewasa maupun babi muda dapat bertindak sebagai karier S. suis pada hidung, tonsil dan nasofaring tanpa menunjukkan gejala sakit (Arends et al., 1984; Mogollon et al., 1991; Prieto et al., 1994). Bakteri S.suis berpredileksi pada saluran pernafasan bagian atas terutama bagian cavum nasal dan tonsil, juga pada saluran pencernaan babi (Higgins dan Gottschalk, 2006). Gejala klinis pada babi antara lain anoreksia, depresi, kemerahan pada kulit, kepincangan, inkoordinasi dan demam, selanjutnya diikuti gejala syaraf yang lebih nyata seperti paralisis, paddling movement, opistotonus dan spasmus tetanik (Clifton dan Hadley, 1983). Infeksi Streptococcus suis serotipe 2 pada manusia dapat menyebabkan septisemia dan meningitis yang sering kali diperparah dengan endophthalmitis, dan cochleitis (Arends dan Zanen, 1988). Infeksi ini seringkali disebabkan oleh serotipe 2 dan sedikit oleh serotipe 4 dan 14 (Higgins and Gottschalk, 1990; Trottier et al., 1991). Streptococcus suis kemungkinan masuk melalui luka kecil atau melalui pernafasan (Arends dan Zanen, 1988). Streptococcus suis berperan sebagai agen zoonotik berbagai penyakit berbahaya pada manusia, terutama pada manusia yang pekerjaannya terekspos babi atau produk olahan babi (Lun et al., 2007; Wertheim et al., 2009). 3. Faktor Virulensi Streptococcus suis dilaporkan mempunyai berbagai macam determinan virulensi, antara lain: 7

8 a. Capsular Polysaccharide (CPS) Capsular Polysaccharide (CPS) dilaporkan berfungsi sebagai antifagositik. CPS S. suis serotipe 2 mempunyai berat molekul (BM) sekitar 100 kda dan tersusun dari rhamnosa (N-acetylgalactosamine), galaktosa, glukosa, N-acetylglucosamine, dan asam sialat. Asam sialat adalah yang paling utama dan merupakan faktor virulensi penentu patogenesitas suatu serotipe S. suis. (Smith et al., 1999; Gottschalk dan Segura, 2000). b. Adesin Adesin merupakan senyawa kimia dengan BM 36 kda. Adesin memiliki struktur peptida yang mengikat dissacharidesgalactosyl (alpha1-4)-galactose (Galα-4gal). Molekul Galα 1-4 adalah bagian dari trihexosylceramide (GbO 3 ) yang terdapat pada membran sel hospes. Senyawa GbO 3 merupakan glikolipid yang ada di eritrosit, sehingga adesin bertanggung jawab atas kemampuan dalam mengaglutinasi eritrosit (Gottschalk dan Segura, 2000). c. Muramidase Released Protein (MRP) dan extracellular factor (EF) Muramidase release protein (MRP) dan extracellular factor (EF) merupakan 2 faktor virulensi yang penting pada S. suis. berat molekul MRP 136 kda dan EF 110 kda (Jacobs et al., 1994 ; Salasia dan Lämmler, 1994b). Keberadaan protein EF selalu berkorelasi dengan MRP, namun fungsi protein EF secara pasti belum diketahui dengan jelas (Timoney, 2004). Berdasarkan korelasi protein MRP dan EF, terdapat 3 macam 8

9 fenotipe dari S. suis yaitu MRP+EF+ sebagai faktor virulen yang biasanya diisolasi dari babi sakit, fenotipe MRP-EF- yang biasanya diisolasi dari babi sehat, serta fenotipe MRP+EF- yang dapat diisolasi dari dari manusia sakit akibat infeksi S. suis (Vecht et al., 1992; Salasia et al., 1995; Galina et al., 1996; Vecht et al., 1996). d. Haemolysin/Suilysin (Sly) Suilysin mempunyai berat molekul 54 kda (Jacobs et al., 1994; Timoney, 2004). Karakterisasi strain pathogen S. suis serotipe 2 selalu berasosiasi dengan adanya suilysin (Smith et al., 1997). Keberadaan suilysin juga berkorelasi dengan protein MRP dan EF. Kejadian babi sakit terinfeksi S. suis dengan virulensi tinggi umumnya terekspresi MRP +, EF +, Sly + (Staats et al., 1999; Gottschalk et al., 2007), sedangkan pada babi sehat terekspresi MRP-, EF-, Sly- (Allgaire et al., 2001). 4. Patogenesis Streptococcus suis Anak babi merupakan hospes penting dalam penyebaran agen infeksi ke babi lain dalam suatu populasi peternakan. Mekanisme penularan pada anak babi biasanya melalui transmisi vertikal. Beberapa hewan terkadang menunjukkan kondisi sehat tetapi bersifat carrier yang berbahaya bagi populasi babi lainnya. Babi yang bersifat carrier tidak menunjukkan gejala klinis dan dalam waktu cepat atau lambat akan berkembang menjadi bakteremia, terkadang septikemia dan meningitis (Gottschalk dan Segura, 2000). 9

10 Mekanisme pathogenesis infeksi S. suis seperti teori Trojan-horse style yang memperlihatkan kemampuan S. suis untuk bertahan dalam sel mononuklear. Bakteri yang bertahan dalam sel mononuklear mampu menyebar dan menyebabkan lesi meningitis yang patognomonik, ditandai dengan tidak ditemukannya lesi pada sel endotel jaringan mikrovaskular otak (Gottschalk dan Segura, 2000; Timoney, 2004). Streptococcus suis menggunakan wilayah tonsil sebagai jalan untuk masuk ke host, kemudian masuk ke leukosit mononuklear dan menuju cairan cerebrospinal (CSF) melalui choroid plexus. Stimulasi produksi sitokin oleh makrofag yang terinfeksi, diduga menyebabkan peradangan yang menembus dari darah ke CSF. (Williams, 1990; Chanter et al., 1993). Peningkatan sel pada CSF memblok area fluid efflux, meningkatkan tekanan intrakranial dan dapat membahayakan sistem saraf (Williams and Blakemore, 1990). B. Polymerase Chain Reaction (PCR) Polymerase chain reaction (PCR) merupakan reaksi enzimatik untuk melipatgandakan suatu sekuen nukleotida tertentu secara eksponensial dengan cara in vitro. Kelebihan metode ini adalah pelipatgandaan fragmen deoxyribonucleicacid (DNA) dapat dilakukan secara cepat dan dapat menggunakan komponen dalam jumlah sangat sedikit (Sambrook et al., 1989; Yuwono, 2006). 10

11 Empat komponen utama proses PCR yaitu DNA template (fragmen DNA yang akan dilipatgandakan), primer (suatu sekuen oligonukleotida pendek yang terdiri atas basa nukleotida yang digunakan unuk mengawali sintesis rantai DNA, deoksiribonukleotida trifosfat (dntp) yang terdiri dari deoxyadenosine (datp), deoxycytidine (dctp), deoxyguanine (dgtp), dan deoxythymidine (dttp), enzim DNA polymerase, dan komponen tambahan yaitu buffer. (Sambrook et al., 1989). Dengan ditemukannya teknik PCR di samping juga teknik-teknik lain seperti sekuensing DNA, telah merevolusi bidang sains dan teknologi khususnya di bidang diagnosa penyakit genetik, kedokteran forensik dan evolusi molekular (Handoyo dan Rudiretna, 2000). Keunggulan PCR dikatakan sangat tinggi. Hal ini didasarkan atas spesifitas, efisiensi dan keakuratannya. Spesifitas PCR terletak pada kemampuannya mengamplifikasi sehingga menghasilkan produk melalui sejumlah siklus. Keakuratan yang tinggi karena DNA polymerase mampu menghindari kesalahan pada amplifikasi produk. Masalah yang berkenaan dengan PCR yaitu biaya PCR yang masih tergolong tinggi. Selain itu kelebihan lain metode PCR dapat diperoleh pelipatgandaan suatu fragmen DNA (110 bp, 5x10-9 mol) sebesar kali setelah dilakukan 20 siklus reaksi selama 220 menit. Reaksi ini dilakukan dengan menggunakan komponen dalam jumlah sangat sedikit, DNA cetakan yang diperlukan hanya sekitar 5 µg, oligonukleotida yang diperlukan hanya sekitar 1 mm dari reaksi ini biasa dilakukan dalam volume µl. DNA template yang digunakan juga tidak perlu dimurnikan terlebih dahulu sehingga metode PCR dapat digunakan untuk melipatgandakan suatu 11

12 sekuen DNA dalam genom bakteri hanya dengan mencampukan kultur bakteri di dalam tabung PCR (Yusuf, 2010). Elektroforesis gel agarosa umumnya digunakan untuk separasi DNA. Pemisahan molekul-molekul ini didapat dari molekul asam nukleat (DNA) yang bermuatan negatif (katoda) bergerak melalui gel agarosa ke muatan positif (anoda) pada medan elektrik. Molekul yang ukurannya lebih kecil akan bermigrasi lebih cepat dibanding molekul yang ukurannya lebih besar. Keuntungan elektroforesis gel agarosa yaitu mudah diperoleh dan tidak mendenaturasi sampel yang diuji, sedangkan kerugiannya adalah gel dapat meleleh dan buffer dapat habis selama elektroforesis berlangsung, selain itu material genetik yang tidak diharapkan bisa berada di tempat yang tidak diharapkan (Yuwono,2006). C. Sodium Dodecyl Sulphate - Polyacrylamide Gel Electrophoresis Dasar metode Sodium Dodecyl Suplhate - Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS PAGE) adalah elektroforesis. Elektroforesis adalah perpindahan molekul dalam larutan sebagi respon kepada sebuah medan. Kecepatan perpindahan ini tergantung kekuatan medan, muatan medan, besar dan bentuk molekul dan juga kekuatan ion, viskositas serta suhu medium dimana molekul tersebut berpindah (Rybicki dan Purves, 2007). Polyacrylamide gel electrophoresis (PAGE) terbentuk dari polimerisasi antara acrylamide sebagai monomer dengan N, N -methylene-bis(acrylamide) (sebagai cross-linker) disertai dengan penambahan katalis yaitu 12

13 tetramethylethylene-diamine (TEMED) serta inisiator (amonium persulfate) (Richards dan Lecanidou, 1974). Muatan ion atau kelompok ion akan berpindah jika berada pada suatu medan listrik (Pommerannz dan Meloan, 1978). Protein merupakan komponen amphoteric, muatannya tergantung pada ph medium dimana protein tersebut tersuspensi. Pada larutan dengan ph dibawah titik iso elektrisnya, protein memiliki muatan negatif dan berpindah menuju anoda pada medan listrik (Rybicki dan Purves, 2007). Sodium Dodecyl Sulphate (juga dikenal dengan Lauryl Sulfat) merupakan senyawa anion, artinya ketika dalam larutan, molekul molekulnya memiliki muatan negatif tanpa memperhatikan kisaran ph. Muatan negatif SDS merusak kebanyakan struktur kompleks protein dan memperkuat tarikan menuju anoda (kutub positif) pada medan listrik (Capprete, 1996). Beta merkaptoetanol (tiol) digunakan untuk mereduksi semua ikatan disulfida yang ada pada protein. SDS merupakan detergen lemah yang akan mengikat protein dan memutuskan ikatan diantara subunit penyusun. Sistem gel SDS merupakan alat kualitatif yang berguna. Preparat dapat segera dianalisa sifat homogenitasnya. Protein homogen menghasilkan satu pita. Berat molekul protein dapat ditetapkan dengan mempergunakan protein baku yang telah diketahui berat molekulnya dan memperbandingkan nilai Rf (mobilitas relatif) yang diperoleh. Pita berwarna atau band dapat diketahui dengan suatu reaksi pewarnaan seperti pewarnaan dengan Coomasie blue. Elektrogram yang dihasilkan oleh metode elektroforesis dapat segera dikuantitatifkan dengan alat densitometer (Suhartono, 1989). 13

14 Pada gel dengan densitas yang seragam, jarak perpindahan relatif pada protein (Rf) adalah berbanding terbalik dengan log massanya. Jika protein yang telah diketahui massanya bergerak secara simultan dengan protein yang belum diketahui massanya, hubungan antara Rf dan massa dapat diplotkan, kemudian massa dari protein yang belum diketahui dapat dihitung (Capprete, 1996). D. Antibodi Spesifik Antibodi dihasilkan oleh sel plasma yang merupakan fase akhir perkembangan sel B. berbeda dengan sel T, sel B dapat mengenali antigen dalam bentuk aslinya (native). Sel B mengenali antigen melalui antibodi yang terdapat pada permukaan sel, menjadi aktif dan mengalami peralihan produksi immunoglobulin (Ig) kelas IgM menjadi IgG (class switch), meningkatkan spesifisitas dan afinitas immunoglobulin yang dihasilkan dan mengalami diferensiasi menjadi sel plasma atau sel memori dan terus mengalami pembelahan selama masih ada sitokin (Palladino et al., 1995). Produksi antibodi poliklonal diperoleh secara langsung dari sampel serum hewan yang diimunisasi menggunakan antigen tertentu. Produk ini berasal dari banyak klon limfosit dari tubuh hospes yang diimunisasi serta mampu memberikan respon (Burgess, 1995). Respon antibodi terhadap antigen umumnya merupakan kombinasi sejumlah besar antibodi monoklonal. Untuk menjawab berbagai permasalahan diagnostik, sudah cukup jika digunakan antibodi poliklonal, karena antiserum ini memiliki berbagai antibodi yang dapat berikatan 14

15 dengan berbagai epitop pada suatu antigen sehingga reaksi yang multiple ini tetap dapat menimbulkan kompleks antigen-antibodi. Antibodi monoklonal dapat digunakan untuk kepentingan deteksi atau diagnosis dan produksi skala besar karena lebih spesifik dibandingkan antibodi poliklonal (Burgess, 1995; Hau dan Hoosier, 2002; Mikkelsen dan Corton, 2004). Antibodi poliklonal lebih sensitif daripada antibodi monoklonal tetapi tidak spesifik. Sisi sensitif ini dilihat berdasarkan sifatnya yang heterogen sehingga antibodi poliklonal mempunyai area selektivitas dan afinitas yang lebih luas (Burgess, 1995; Mikkelsen dan Corton, 2004). Prinsip produksi antibodi poliklonal dengan cara mengimunisasi hewan dengan antigen yang memiliki banyak epitop, sehingga antibodi yang dihasilkan banyak jenisnya tergantung bagian epitop yang dikenalinya (Janeway et al., 2001). Waktu produksi antibodi poliklonal pada umumnya 4 hingga 8 minggu (Burgess, 1995; Hau dan Hoosier, 2002). E. Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) merupakan metode yang sering digunakan untuk mengetahui adanya reaksi antigen-antibodi, serta untuk pemeriksaan respon imun humoral. Metode ELISA sangat sensitif dan mampu mendeteksi konsentrasi antigen maupun antibodi dalam konsentrasi yang rendah (dalam piko atau nano gram). Ciri utama metode ini adalah penggunaan indikator enzim dalam reaksi imunologisnya (Janeway, et al., 2001). 15

16 Beberapa teknik ELISA diantaranya adalah langsung (direct), tidak langsung (indirect), sandwich/antigen capture dan kompetitif. Teknik ELISA langsung (direct) merupakan deteksi yang paling sederhana diantara metode ELISA yang lain. Teknik ELISA tidak langsung (indirect) merupkan teknik ELISA paling sederhana untuk pengukuran titer antibodi (Wang, 2006). Teknik antigen capture (sandwich) ELISA atau penangkapan antigen menggunakan antibodi yang terikat pada dasar microplate untuk menangkap antigen secara spesifik. Teknik ini lebih sensitif namun kurang spesifik (Campbell dan Landry, 2006). Pada teknik ELISA kompetitif antibodi yang dikenal dengan yang tidak dikenal akan bersaing mendapatkan tempat untuk berikatan dengan antigen. Dibandingkan dengan metode langsung dan non-kompetitif, teknik ini lebih cepat dan spesifik tapi kurang sensitif (Campbell dan Landry, 2006). Antigen capture (sandwich) ELISA merupakan salah satu uji diagnostik untuk mendeteksi adanya antigen dengan menggunakan antibodi poliklonal maupun antibodi monoklonal (Estuningsih, 2006). Ikatan spesifik antara antigen dan antibodi adalah faktor yang paling penting dalam keberhasilan antigen capture ELISA. Spesifisitas uji dimodifikasi dengan menggunakan antibodi monoklonal dari single strain atau multiple strain. Antibodi monoklonal akan mengenali epitop tunggal sehingga dapat mendeteksi dan mengkuantifikasi antigen yang spesifik. Akan tetapi, antibodi poliklonal biasanya dipilih untuk meningkatkan sensitifitas. Kelebihan dari metode antigen capture ELISA adalah sampel yang digunakan tidak harus dipurifikasi sebelum analisis dan uji ini sangat sensitif, 2 hingga 5 kali lebih sensitif dibandingkan direct atau indirect ELISA 16

17 (Mei et al., 2012). Uji ini spesifik karena dua antibodi digunakan untuk menangkap dan mendeteksi antigen. Selain itu uji ini memiliki fleksibilitas dan sensitifitas yang tinggi. F. Latex Agglutination Latex agglutination merupakan metode untuk mendeteksi adanya ikatan antigen-antigen melalui sensitisasi partikel latex (Gella et al., 1991). Dalam stabilitas latex aglutinasi, partikel latex disensitisasi untuk mempertahankan sensitivitas aglutinasi setelah penyimpanan pada suhu 4 o C selama minimal 4 bulan (Xu Xiaojuan et al., 2005). Uji aglutinasi latex telah banyak dipakai di laboratorium klinik untuk mendeteksi berbagai penyakit infeksius (Natalia, 2001; Gella et al., 1991; Amrita Lab., 2014). Singer dan Plotz (1956) pertama kali mempelajari uji aglutinasi latex (LATs) dengan menggunakan polystyrene monodisperse (PS) dan partikel polyvinyltoluene polymere yang mendukung adsorbsi biomolekuler. Tahun 1957 uji aglutinasi latex mulai dipakai untuk tes kehamilan, dan setelah itu digunakan untuk mendeteksi lebih dari 1000 penyakit infeksius (Bangs Lab., 2013). Sejak saat itu banyak perusahaan di seluruh dunia mengembangkan dan memasarkan uji latex aglutinasi untuk mendeteksi antigen atau antibodi baik bakteri, cendawan, parasit, virus, maupun rickettsia dan juga digunakan untuk mendeteksi hormon, obat-obatan, penyakit autoimun dan protein serum (Natalia, 2001; Gella et al., 1991). Uji ini tidak memerlukan biaya yang tinggi, sederhana, dan cepat. Waktu yang dibutuhkan tidak lebih dari tiga menit, sudah cukup untuk mencapai hasil 17

18 dengan sensitivitas dan spesifitas yang dapat dibandingkan dengan uji aglutinasi lain. Keuntungan tambahan adalah bahwa uji ini tidak memerlukan pengenceran serum, tidak memerlukan peralatan untuk pembacaan hasil, tidak membutuhkan waktu inkubasi yang panjang dan tidak memerlukan peralatan khusus sehingga dapat diaplikasikan dalam kondisi lapangan (Natalia, 2001; Ramos et al., 2014; Bangs Lab., 2013). Teknik ini didasarkan pada reaksi imunoaglutinasi antara antibodi atau antigen yang diikatkan pada partikel latex (Natalia, 2001). Reaksi antara partikel antigen dan antibodi dalam gumpalan yang terlihat disebut aglutinat. Antibodi yang menghasilkan reaksi tersebut dikenal sebagai agglutinin. Prinsip reaksi aglutinasi mirip dengan reaksi presipitasi, yang bergantung pada antigen polivalen silang. Pada konsentrasi antigen-antibodi yang optimal, ikatan antigen-antibodi kompleks akan membentuk aglutinasi (Amrita Lab., 2014). Uji ini dapat digunakan untuk mendeteksi suatu antigen maupun antibodi. Adanya ikatan antigen-antibodi spesifik akan terdeteksi melalui partikel latex yang sudah dilapisi antigen maupun antibodi yang tersuspensi. Jika serum yang mengandung antibodi spesifik ditambahkan ke dalam campuran, maka akan terbentuk ikatan antigen-antibodi komplex, dan terjadi aglutinasi. Aglutinasi akan mengubah suspensi latex yang semula halus menjadi gumpalan, karena partikel latex yang saling berikatan. Namun jika tidak terdapat antibodi spesifik dalam serum tersebut, maka campuran latex dan serum tetap tersebar merata. Uji ini dilakukan dengan meneteskan antigen maupun antibodi yang akan dideteksi dan 18

19 suspensi latex dengan jumlah yang sama pada gelas objek, kemudian mencampur keduanya hingga homogen (Hendrix and Sirois, 2002). Menurut Bolivar dan Gonzales (2005) reaksi aglutinasi dapat digunakan untuk mendeteksi antigen dan antibody dengan beberapa model yang berbeda, dan memiliki keterbatasan masing-masing dalam aplikasinya. Beberapa reaksi aglutinasi yang sering digunakan diantaraanya adalah : a. Direct latex agglutination Metode ini digunakan untuk mendeteksi adanya antigen atau hapten pada sampel. Antibodi yang telah berikatan dengan partikel latex dicampur dengan suspensi sampel. Antigen yang terdapat dalam sampel akan bereaksi dengan antibody dan akan membentuk agregat. Jika sampel tidak mengandung antigen, maka agregat tidak akan terbentuk. Metode ini digunakan untuk mendeteksi antigen polivalen misalnya protein dan mikroorganisme. b. Indirect latex agglutination Metode ini digunakan untuk mendeteksi adanya antibodi pada sampel. Antigen yang telah berikatan dengan partikel latex dicampur dengan suspensi sampel. Antibodi yang terdapat dalam sampel akan bereaksi dengan antigen dan akan membentuk agregat. Jika sampel tidak mengandung antibodi, maka agregat tidak akan terbentuk. Metode ini 19

20 digunakan untuk monovalent dan polivalen antigen seperti obat, hormon steroid dan protein. Latex aglutinasi merupakan metode yang sensitif dan spesifik untuk mendeteksi berbagai macam antigen bakteri dari cairan tubuh pasien yang mengalami infeksi sistemik, salah satunya meningitis. Dibandingkan dengan immunoelektoforesis, latex aglutinasi tidak membutuhkan peralatan yang rumit dan personil terlatih untuk aplikasinya. Metode ini lebih cepat dan lebih sensitif jika dibandingkan dengan immunoelektoforesis untuk mendeteksi antigen polisakarida yang terlarut dalam cairan tubuh (Webb and Baker, 1980). Salah satu kelemahan dari metode latex aglutinasi adalah keterbatasan ketersediaannya. Latex tes kit komersial telah dikembangkan untuk pengelompokkan secara serologis Streptococcus grup A, B, C, D, F dan G dari media padat dan cair (Webb and Baker, 1980). G. Landasan Teori Streptococcus suis merupakan agen zoonotik yang berbahaya pada babi dan manusia. Patogenesis infeksi S. suis biasanya berhubungan dengan faktor virulensi. Salah satu faktor virulensi yang penting pada S. suis adalah muramidase released protein (MRP). Protein MRP dapat diisolasi dari babi dan manusia yang terinfeksi S. suis dan dapat berperan sebagai antigen yang menginduksi munculnya antibodi anti MRP 864 pada hewan coba yang diimunisasi. Adanya interaksi antara antigen dan antibodi dapat dimanfaatkan sebagai sarana diagnosis suatu penyakit. Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) merupakan 20

21 metode yang sering digunakan untuk mengetahui adanya reaksi antigen-antibodi. Metode ini sangat sensitif karena mampu mendeteksi antigen dan antibodi dalam konsentrasi yang rendah. Prinsip kerja latex agglutination adalah terjadinya aglutinasi yang disebabkan adanya ikatan antara partikel latex yang telah disensitisasi serum yang mengandung antibodi dengan antigen tertentu. Metode antigen capture ELISA dan latex agglutination dapat digunakan untuk mendeteksi adanya infeksi penyakit secara serologis karena adanya ikatan antara antigen dan antibodi. H. Hipotesis Antibodi anti MRP 864 rekombinan S. suis dapat diproduksi pada mencit yang diimunisasi dengan antigen protein hasil ekspresi dari plasmid rekombinan yang disisipi gen mrp 864 (protein MRP 864). Selanjutnya, antigen protein MRP 864 dan antibodi anti MRP 864 dapat digunakan sebagai detektor spesifik untuk deteksi cepat adanya infeksi S. suis pada babi di lapangan dengan metode antigen capture ELISA dan latex agglutination. 21

22 BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Hewan dan Laboratorium Biokimia, Program Studi Bioteknologi, Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada. B. Bahan Penelitian Isolat E. coli BL-21(Invitrogen) yang ditransformasi dengan plasmid rekombinan pet SUMO Protein Expression System (Invitrogen, USA) yang disisipi gen mrp 864 dan isolat Streptococcus suis R 225 koleksi Prof. Dr. drh. Siti Isrina Oktavia Salasia, Bagian Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada digunakan dalam penelitian ini. Sejumlah 40 sampel serum babi carrier dan sakit berdasarkan gejala klinis diperoleh dari Wamena, Wouma, Napua, dan Sigim Papua. Mencit Balb/c 10 ekor dari Unit Pengembangan Hewan Percobaan (UPHP) UGM. Bahan yang diperlukan untuk media pertumbuhan transforman E. coli yang mengandung gen mrp 864 S. suis adalah tryptone, yeast extract, yeast extract agar, NaCl, NaOH, aquabidestilata, kanamycin. Untuk isolasi plasmid rekombinan diperlukan reagen kit GeneJet Plasmid Miniprep Kit : Resuspension solution, Lysis solution, Neutralization solution, Wash Solution, RNase A, Elution Buffer (Fermentas, Canada). Untuk PCR diperlukan primer forward dan reverse, PCR master mix, PCR water, dan sampel DNA plasmid. 22

23 Untuk mengetahui ukuran DNA digunakan marker DNA dengan ukuran 1 Kb (Bioline). Untuk Ekspresi protein diperlukan IPTG. Untuk Purifikasi protein digunakan kit Protino Ni-TED 2000 Packed Columns (Macherey Nagel). Untuk SDS-PAGE diperlukan bahan acrylamide (Sigma, USA), bis-acrylamide (Sigma, USA), TEMED / N,N,N,N-tetramethyletylene diamine (Biorad, USA), ammonium persulphate / APS (Merck, Jerman), SDS / Sodium Dedocyl Sulphate (Merck, Jerman), tris / hydroymethyl amino methane (Merck, Jerman) Methanol (Merck, Jerman), Ethanol (Merck, Jerman), coomassive brilliant blue. Untuk mengetahui ukuran protein digunakan protein ladder (1 st Base). Untuk uji ELISA diperlukan buffer pelapis/ coating buffer, buffer inkubasi, buffer pencuci, larutan untuk blocking, buffer substrat, substrat NPP, serta Bovine Serum Albumine (BSA). Untuk uji latex aglutinasi diperlukan partikel latex (Difco, Jerman), NaCl fisiologis, glicyn saline buffer, sodium azide. C. Alat Peralatan utama yang digunakan dalam penelitian ini antara lain mastercycler PCR (Eppendorf, Jerman), ultra violet transiluminator (Hoefer, USA), mikrosentrifus (Eppendorf, Jerman), shaker incubator (Athena, Taipei), imunowasher (Biorad, USA), ELISA reader (Biorad, USA), inkubator (Memmert, Jerman), unit elektroforesis (Eppendorf, Jerman), unit SDS PAGE (Eppendorf, Jerman), waterbath (Memmert, Jerman), spektrofotometer (Beckman, USA), laminar air flow (Esco, China), vortex (Heidolph, Jerman), power supply (Uniquip, Jerman) freezer -20ºC (LG, Jepang), autoclave (All America, Amerika). 23

24 Peralatan penunjang yang digunakan berupa mikropipet 10 µl, 200 µl, dan 1000 µl (Nichipet, Jepang), tabung mikro 1,5 ml, tabung konikel 15 ml dan 50 ml (LP, Itali), plat mikro flat bottom 96 sumuran, disposable syringe 1 ml dan 3 ml, white/yellow/blue tips (LP, Itali), tabung reaksi (Pyrex, Jepang), cawan petri (Pyrex, Jepang), tabung Erlenmeyer (Pyrex, Jepang), ose. D. Cara Kerja 1. Isolasi DNA Plasmid Rekombinan Sebanyak 100 μl transforman dikultur dalam Luria Bertani (LB) medium yang dalam setiap 100 ml mengandung kanamycin 50 μg/ml, tryptone 1 gram, yeast extract 0,5 gram, NaCl 1 gram, dan yeast extract agar 1,5 gram. Kemudian diinkubasi pada suhu 37 o C selama 48 jam. Koloni yang tumbuh diambil lalu ditanam ke LB medium cair. Kemudian diinkubasi pada suhu 37 o C selama 24 jam. Bakteri yang tumbuh pada LB cair kemudian diisolasi plasmidnya dengan menggunakan GeneJET Plasmid Miniprep Kits (Fermentas). Media LB cair disentrifus dengan kecepatan 5000 rpm dengan suhu 25ºC selama 10 menit. Supernatan dibuang, pelet disuspensikan dengan menggunakan larutan resuspensi sebanyak 250 µl. Larutan ditambahkan lysis solution sebanyak 250 µl kemudian diresuspensi. Larutan ditambahkan neuralizaton solution 250 µl kemudian diresuspensi sehingga larutan menjadi bening kembali. Larutan disentrifus dengan kecepatan 5000 rpm dengan suhu 25ºC selama 10 menit. Supernatan dari hasil sentrifus dipindahkan ke dalam GeneJET spin columns lalu disentrifus dengan kecepatan 8000 rpm dengan suhu 25ºC selama 2 menit, ditambahkan 500 µl washing solution yang sudah dicampur dengan ethanol, disentrifus kembali 24

25 dengan kecepatan 8000 rpm dengan suhu 25ºC selama 2 menit. Tabung GeneJET spin columns bagian atas dipindahkan ke dalam tabung baru, ditambahkan µl elution buffer lalu disentrifus dengan kecepatan 8000 rpm dengan suhu 25ºC selama 5 menit. Cairan dalam tabung diambil dan disimpan pada suhu -20 ºC (Invitrogen, 2010). 2. Amplifikasi gen mrp 864 Hasil isolasi plasmid rekombinan diamplifikasi dengan metode PCR. Komposisi larutan untuk proses amplifikasi gen mrp 864 bp dengan volume reaksi 25 µl terdiri dari Buffer PCR Mix Qiagen (12,5 µl), Primer Forward (2 µl ), Primer Reverse (2 µl), DNA ( 2µL), dan dh2o (6,5 µl). Proses amplifikasi dilakukan dengan kondisi sebagai berikut : denaturasi awal dengan suhu 94ºC selama 2 menit, denaturasi dengan suhu 94ºC selama 1 menit, annealing dengan suhu 58ºC selama 1 menit, extension dengan suhu 72ºC selama 1,5 menit, final extension dengan suhu 72ºC selama 2 menit dan hold dengan suhu 4ºC. Amplifikasi dilakukan sebanyak 30 siklus. Hasil amplifikasi dielektroforesis menggunakan gel agarose 2% selama 30 menit dan hasilnya diamati dengan uvtransilluminator. Tabel 1. Urutan oligonukleotida primer untuk identifikasi molekuler S. suis dengan PCR Primer Target gen mrp MRP 864 F mrp 864 R Primer sekuen 5-3 GTAACATCAGAATCACCACTTTTGGCTGGTC CAAACTATTGCAGGACAGGTAGTTACTCCATCT Panjang produk 864 bp 25

26 3. Isolasi Protein MRP 864 Rekombinan Sebanyak 500 µl kultur bakteri rekombinan diinokulasikan ke dalam 500 ml LB cair yang mengandung kanamycin 50 µg/ ml, kemudian tumbuhkan pada suhu 37 ºC selama 24 jam dalam shaker incubator, disentrifus pada kecepatan 5000 rpm selama 5 menit, supernatan dibuang. Pelet ditambahkan 2-5 ml buffer LEW, diresuspensi, dan ditambahkan 0,5 ml lysozyme 1 mg/ml, suspensi dicampur, didiamkan dalam es selama 30 menit. Suspensi bakteri disonikasi sebanyak 10 x 15 detik dengan jeda 15 detik. Suspensi bakteri disentrifus dengan kecepatan g pada suhu 4ºC selama 30 menit. Supernatan diambil dan dimasukkan dalam tabung konikel bersih. 4. Purifikasi Protein MRP 864 Rekombinan Supernatan hasil isolasi protein dimasukkan pada kolom Protino, dibiarkan menetes dengan gravitasi. Apabila supernatan sudah menetes semua, kolom Protino dicuci dengan buffer lysis equilibration washing (LEW) sebanyak dua kali. Selanjutnya dielusi dengan buffer elution sebanyak 3 kali masing-masing 3 ml, kemudian hasil elusi ditampung dengan tabung konikel steril. Profil protein dianalisis dengan SDS PAGE. 5. Perhitungan Konsentrasi Protein MRP 864 Rekombinan Konsentrasi protein MRP ditentukan menggunakan uji Biorad. Protein hasil elusi diambil masing-masing 2 µl kemudian ditambahkan 798 µl aquadest dan 200 µl larutan Biorad Protein Assay. Larutan dibaca dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 595 nm (Widayanti, 1999). 26

27 6. Induksi Antibodi pada Mencit Sebanyak 10 ekor mencit strain Balb/c jantan yang sehat secara klinis, berumur 6 minggu dengan berat sekitar 100 gram. Mencit tersebut diimunisasi dengan antigen berupa protein MRP 864 dengan dosis 25 µg per mencit (Baumgarten, 1992). Imunisasi pertama antigen diemulsikan dengan Complete Freund s adjuvant (CFA) dengan perbandingan 1:1 hingga homogen, kemudian disuntikkan ke mencit secara intra-peritoneal. Imunisasi diulang dengan interval 10 hari selama 3 kali menggunakan Incomplete Freund s adjuvant (IFA). Booster akhir disuntikkan antigen MRP secara intravena selama 3 hari berturut-turut. Satu ekor mencit digunakan sebagai kontrol (Vecht et al., 1991). Serum pada setiap mencit dipantau produksi antibodi terhadap MRP menggunakan metode ELISA (Salasia, 2000; Peter et al., 1985). 7. Pengukuran Titer Antibodi Mencit Pengukuran titer serum mencit yang telah diimunisasi dilakukan dengan metode indirect ELISA dengan membandingkan nilai absorbansi serum imunisasi dengan serum non imunisasi (Burgess, 1995). Setiap sumuran plat mikro dilapisi dengan 100 µl antigen (MRP) dalam buffer karbonat, diinkubasi semalam pada suhu 37 o C, kemudian plat mikro dicuci dengan washing solution 200 µl tiap sumuran sebanyak 3 kali. Sumuran di blocking dengan 1% BSA dalam buffer inkubasi masing-masing 200 µl selama 1 jam pada suhu 37 o C. Plat mikro dicuci dengan washing solution 200 µl tiap sumuran sebanyak 3 kali. Sebanyak 100 µl serum mencit (antibodi) ditambahkan ke tiap sumuran dengan pengenceran 1/25, 1/50, 1/100, 1/200, 1/400. 1/800, 1/1600, 1/3200, kemudian diinkubasi pada suhu 37 o C selama 1 jam. Plat mikro dicuci dengan washing solution 200 µl tiap 27

28 sumuran sebanyak 3 kali. Tahap selanjutnya, konjugat (IgG antimouse alkaline phosphatase) yang telah diencerkan dengan buffer inkubasi dengan perbandingan 1:3000 ditambahkan ke dalam sumuran dan diinkubasi 37 o C selama 1 jam. selanjutnya dilakukan pencucian sebanyak 3 kali dengan washing solution, 150 µl substrat 4-nitrophenyl-phosphate (1 mg/ml dalam buffer substrat) ditambahkan ke tiap sumuran dan diinkubasi 37 o C. Setelah 30 menit inkubasi plat mikro dibaca pada ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm. Kontrol negatif diberi buffer inkubasi sebagai pengganti antibodi. Mencit yang menunjukkan antibodi cukup tinggi dilakukan pemanenan antibodi. Titer antibodi diperoleh dari hasil perbandingan antara nilai absorbansi mencit perlakuan (imunisasi) dengan mencit kontrol (non-imunisasi). Serum dengan titer > 1,000 dapat digunakan untuk deteksi sampel serum lapangan (Burgess, 1995), tetapi dalam penelitian ini, serum dengan titer tertinggi yang akan digunakan untuk deteksi serum lapangan. 8. Panen Antibodi Anti MRP 864 Rekombinan Darah mencit diambil dengan menggunakan microhematocrit tanpa koagulan melalui plexus retroorbitalis (cantus medial) sehingga didapatkan darah mencit. Darah tersebut dimasukkan inkubator 37 o C selama 30 menit, selanjutnya dimasukkan lemari pendingin 4 o C selama 10 menit, kemudian disentrifugasi 5 menit pada rpm sehingga akan terlihat cairan bening terpisah dari gumpalan darah. Cairan bening (serum) diambil, dimasukkan dalam tabung steril dan disimpan pada suhu -20 o C (Moore, 2000a; Moore, 2000b; Thomas, 2000). 28

29 9. Deteksi Serologis S. suis pada Babi Sebanyak 40 sampel serum babi dari Wamena, Wouma, Napua dan Sigim Papua dilakukan uji serologis dengan menggunakan antigen MRP 864 dan antibodi anti MRP 864 yang telah diproduksi dengan metode antigen capture ELISA. Antibodi anti MRP 864 yang digunakan adalah pengenceran 200x. Setiap sumuran plat mikro dilapisi dengan 100 µl serum sampel, diinkubasi semalam pada suhu 37 o C. pada sumuran dilakukan washing sebanyak 3 kali, masing-masing 200 µl. sumuran di blocking dengan bovine serum albumin (BSA) dalam buffer inkubasi, masing-masing 200 µl selama 1 jam pada suhu 37 o C. Pada sumuran dilakukan washing sebanyak 3 kali, masing-masing 200 µl. Inkubasi selanjutnya dengan 100 µl antigen (MRP) dalam buffer karbonat, selama 1 jam pada suhu 37 o C, kemudian plat mikro dicuci dengan washing solution 200 µl tiap sumuran sebanyak 3 kali. Sebanyak 100 µl serum mencit (antibodi poliklonal yang telah diproduksi di proses sebelumnya) ditambahkan ke tiap sumuran dengan pengenceran 1/200, kemudian diinkubasi pada suhu 37 o C selama 1 jam. Plat mikro dicuci dengan washing solution 200 µl tiap sumuran sebanyak 3 kali. Tahap selanjutnya, konjugat (IgG antimouse alkaline phosphatase) yang telah diencerkan dengan buffer inkubasi dengan perbandingan 1:3000 ditambahkan ke dalam sumuran dan diinkubasi 37 o C selama 1 jam. Selanjutnya dilakukan pencucian sebanyak 3 kali dengan washing solution, 150 µl substrat 4- nitrophenyl-phosphate (1 mg/ml dalam buffer substrat) ditambahkan ke tiap sumuran dan diinkubasi 37 o C. Setelah 30 menit inkubasi nilai absorbansi dibaca pada ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm. Kontrol negatif diberi 29

30 buffer dan serum mencit yang tidak diimunisasi (mencit kontrol). Babi dikatakan seropositif terinfeksi S. suis bila nilai absorbansi > 1, Deteksi S. suis dengan Uji latex agglutination a. Preparasi serum Dalam penelitian ini digunakan serum mencit yang mengandung antibodi anti MRP 864 rekombinan. Darah mencit diambil melalui plexus retroorbitalis, selanjutnya darah yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabung yang sudah tersedia. Darah disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit. Setelah disentrifugasi, supernatan diambil dengan mikropipet dan dipindahkan dalam tabung steril. b. Preparasi Coating latex-serum Partikel latex yang digunakan adalah suspensi latex (Difco, German) 0,8µ dilarutkan dengan perbandingan 1:8 glycine-saline buffer (ph 8,0). Suspensi latex yang sudah disediakan dicampur dengan serum yang mengandung antibodi anti MRP 864 rekombinan dengan jumlah yang sama, kemudian dilarutkan dengan glycine-saline buffer 1:1000, selanjutnya diinkubasi semalaman pada suhu 4 o C. Partikel yang telah dicoating dicuci dengan NaCl fisiologis dan disuspensikan dengan phosphat-buffer saline (PH 7,4) yang berisi 0,02% sodium azide dan 0,05% serum yang mengandung antibodi anti MRP 864 rekombinan (Essers and Radebold, 1980). 30

31 c. Optimasi Konsentrasi S. suis Bakteri S. suis R 225 ditumbuhkan pada media Todd Hewitt Broth (THB) selama 24 jam pada suhu 37 o C dalam keadaan anaerob. Suspensi bakteri kemudian disentrifuge untuk mendapatkan pelet. Pelet diresuspensikan kembali dengan PBS steril, kemudian diukur konsentrasi bakteri berdasarkan standar Mc. Farland. Konsentrasi bakteri diencerkan sehingga tersedia bakteri dengan konsentrasi 10 10, 10 9, 10 8, 10 7, 10 6, 10 5 CFU/ml. Masing-masing konsentrasi bakteri tersebut diuji dengan latex agglutination dengan menggunakan glass slide dan kertas oxoid. Masingmasing posisi ditetesi reagen (coating latex-serum) dan masing-masing konsentrasi bakteri dengan perbandingan 1:1. Reaksi positif ditunjukkan dengan adanya aglutinasi. E. Analisis Hasil Hasil penelitian akan dianalisis secara deskriptif. 31

32 ALUR PENELITIAN Isolat transforman E. coli yang disisipi gen mrp 864 dari S. suis ditanam di LB medium Isolasi plasmid rekombinan PCR dan elektroforesis plasmid (+) gen mrp 864 (-) gen mrp 864 Isolasi Protein MRP 864 Purifikasi protein MRP 864 Imunisasi mencit dengan protein MRP 864 rekombinan Pengukuran titer antibodi mencit dengan indirect ELISA Panen antibodi anti MRP 864 Rekombinan Latex agglutination Uji serum lapangan dengan antibodi anti MRP 864 rekombinan dengan metode Antigen Capture ELISA Optimasi konsentrasi bakteri Analisis hasil Gambar 1. Alur Penelitian 32

33 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Identifikasi Transforman Bakteri E. coli BL-21 yang disimpan di gliserol ditumbuhkan kembali ke media Luria Bertani (LB) padat yang mengandung kanamycin. Sebanyak 100µl bakteri diambil dan ditanam dengan metode spreading. Media tersebut kemudian diinkubasi dalam inkubator suhu 37 o C selama 24 jam. Bakteri E. coli BL-21 merupakan vektor ekspresi yang sudah disisipi plasmid pet SUMO yang mengandung gen mrp 864 Streptococcus suis. Setelah ditanam pada media LB padat tampak tumbuh koloni berwarna putih (Gambar 2). Bakteri E. coli BL-21 mampu tumbuh pada media yang mengandung kanamycin sebab plasmid pet SUMO mengandung gen yang resisten terhadap kanamycin. Gambar 2. Pertumbuhan E. coli BL-21 yang disisipi plasmid pet SUMO yang mengandung gen mrp 864 S. suis pada media LB padat yang mengandung kanamycin. 33

34 Berikut ini adalah peta plasmid pet SUMO yang digunakan untuk ligasi produk PCR mrp 864. Gen mrp 864 diinsersi ke dalam multiple cloning site yang terdapat di antara SUMO dan T7 terminator (Gambar 3). Plasmid pet SUMO memiliki tipe sticky end sehingga gen yang akan diinsersi akan lebih mudah diligasi. Gambar 3. Peta pet SUMO 5643 bp (Invitrogen, 2010) Bakteri E. coli BL-21 yang telah telah ditransformasi dengan plasmid pet SUMO akan dapat tumbuh pada media LB yang mengandung kanamycin karena pet SUMO memiliki gen resisten terhadap antibiotik kanamycin yang dijadikan sebagai selectable marker. B. Isolasi dan Amplifikasi Plasmid Rekombinan Bakteri E. coli BL-21 yang tumbuh pada media LB padat kemudian dipindahkan ke media LB cair diinkubasi 24 jam dalam shaker suhu 37 o C. Pada saat optical density (OD) mencapai 2,451 bakteri diambil untuk selanjutnya 34

35 dilakukan isolasi plasmid rekombinan. Isolasi plasmid rekombinan menggunakan GeneJET Plasmid Miniprep Kits (Fermentas). Analisis untuk mengetahui keberadaan gen mrp 864 dilakukan dengan cara PCR. Plasmid MRP 864 rekombinan diskrining melalui amplifikasi sebanyak 30 siklus menggunakan sepasang primer. Primer mrp 864 Forward (5 GTAACATCAGAATCACCACTTTTGGCTGGTC 3 ) dan mrp 864 Reverse (5 CAAACTATTGCAGGACAGGTAGTTACTCCATCT 3 ). Primer sekuen oligonukleotida yang digunakan berdasarkan penelitian yang dilakukan Silva et al., (2006). Hasil PCR di elektroforesis pada gel agarose 2% selama 30 menit, divisualisasi dengan menggunakan UV transilluminator menghasilkan pita tunggal dengan ukuran ± 864 bp (Gambar 4). Gambar 4. Elektroforegram hasil PCR gen mrp 864 S. suis pada gel agarose 2% selama 30 menit. Isolat A, B, C2 dan D terdapat pita tunggal gen mrp 864, sedangkan pada isolat C1 tidak terdapat gen mrp

36 Elektroforesis hasil PCR tampak adanya pita tunggal berukuran 864 bp pada isolat A, B, C2, dan D sedangkan isolat C1 tidak tampak adanya pita. Metode PCR dilakukan untuk mengkonfirmasi ada atau tidaknya gen mrp 864 di dalam bakteri E. coli BL-21 yang tumbuh. Pada isolat A, B, C2 dan D tampak adanya pita tunggal berukuran 864 bp. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam bakteri E.coli BL-21 terdapat gen mrp 864, sedangkan pada isolat C1 tidak muncul adanya pita yang mengindikasikan bahwa di dalam bakteri tersebut tidak terdapat gen mrp 864. Sekuensing dilakukan untuk mengetahui urutan basa dan jumlah pasang basa. Analisis sekuen basa nukleotida dilakukan dengan menggunakan primer SUMO forward dan T7 terminator yang mengapit multiple cloning site (MCS) dimana gen insert berada. Hasil pembacaan basa nukleotida dari arah primer SUMO forward menghasilkan 961 bp dan pembacaan dari arah T7 terminator menghasilkan 262 bp. Hasil sekuensing kemudian disejajarkan secara antiparalel. Setelah disejajarkan didapatkan jumlah basa nukleotida yaitu 1118 bp (Supriyati, 2015). Hasil pengurutan sekuen gen dapat dilihat pada Tabel 2. 36

37 Tabel 2. Hasil pengurutan sekuen gen dengan primer SUMO forward dan T7 terminator (Supriyati, 2015). Sampel Urutan Basa Nukleotida 1 agattcttgtacgacggtattagaattcaagctgatcagacccctgaagatttggacatggaggataacgat attattgaggctcacagagaacagattggtggtgtaacatcagaatcaccacttttggctggtcttggtcaa aaagagttggctaaaactgaagatgcaactcttgcaaaagctatagaggatgctcaaacaaaacttgcag cagctaaggcaattttggctgactcagaagcaactgttgagcaagttgaagcgcaagtcgcagcggttaa agtagccaacgaggcgctagggaatgaattgcaaaaatacactgtagatggtctcttgacagcggctctt gatacagtagcacctgatacaactgcatcaacattgaaagttggtgatggcgaaggtacccttctagatag cactacaacagcaacgccttcaatggctgagccaaatggtgcagcaattgctccacatacacttcgaactc aagatggaattaaagcgacatcagagccaaattggtatacttttgaatcgtacgatttgtactcatataataa aaatatggctagctcaacttataaaggagctgaagttgatgcctacattcgttactctttggataatgattcgt caacaactgctgttttagcagagttggtaagtaggacaactggtgatgtgttagagaaatatacgattgaac cgggcgagagtgttacgttttcacatccgacaaaagttaatgctaataatagcaatataactgtgacttatga tacctcattagcttctgctaatactcctggagcattgaaattctctgctaatgatgatgtttattcaacaattattg tacctgcttatcagattaatacaactcgttacgtcactgaaagtggcaaagttttggcaacctatggtcttcaa actattgcaggacaggtagttactccatctagacaagcttaggtatttattcggcgcaaagtgcgtcgggtg atgctgccaacttagtcgagcaccaccaccaccaccactgagatccggctgctaacaaagcccgaaag gaagctgagttggctgctgccaccgctgagcaataacta Hasil sekuensing kemudian dilakukan pemotongan untuk menghilangkan sekuen vektor sehingga dapat diperoleh insert gen mrp 864 bp. Urutan nukleotida hasil pemotongan dianalisis homologinya dengan database gen bank dengan menggunakan program BLAST. Hasil program BLAST menunjukkan bahwa sekuen gen rekombinan mrp 864 hanya dimiliki oleh bakteri Streptococcus suis. C. Isolasi Protein MRP 864 Rekombinan Bakteri E. coli BL-21 ditumbuhkan pada LB cair yang mengandung kanamycin dan IPTG. Media LB cair di shaker selama 24 jam suhu 37 o C. Untuk mendapatkan protein, biakan bakteri tersebut kemudian disonikasi lalu disentrifuge untuk memisahkan antara pelet dan supernatan. Supernatan yang 37

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan berbentuk coccus (Rosenkranz et al., 2001). Secara serologis, sampai saat ini

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan berbentuk coccus (Rosenkranz et al., 2001). Secara serologis, sampai saat ini BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Streptococcus suis termasuk bakteri gram positif, bersifat fakultatif anaerob dan berbentuk coccus (Rosenkranz et al., 2001). Secara serologis, sampai saat ini Streptococcus

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian 14 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu, Bagian Mikrobiologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan

Lebih terperinci

Pembuatan Media Kultur Bakteri Pemanenan sel bakteri. Isolasi DNA kromosom bakteri. Kloning DNA

Pembuatan Media Kultur Bakteri Pemanenan sel bakteri. Isolasi DNA kromosom bakteri. Kloning DNA LAMPIRAN 15 15 Lampiran 1 Tahapan penelitian Pembuatan Media Kultur Bakteri Pemanenan sel bakteri Isolasi DNA kromosom bakteri Pemotongan DNA dengan enzim restriksi Kloning DNA Isolasi DNA plasmid hasil

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Penelitian dilakukan di Laboratorium Institute of Human Virology and

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Penelitian dilakukan di Laboratorium Institute of Human Virology and 23 BAB III BAHAN DAN CARA KERJA A. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilakukan di Laboratorium Institute of Human Virology and Cancer Biology of the University of Indonesia (IHVCB-UI), Jl. Salemba

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2009 hingga Februari 2010. Penelitian dilakukan di kandang pemeliharaan hewan coba Fakultas Kedokteran Hewan Institut

Lebih terperinci

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI Halaman : 1 dari 5 ISOLASI TOTAL DNA HEWAN DENGAN KIT EKSTRAKSI DNA 1. RUANG LINGKUP Metode ini digunakan untuk mengisolasi DNA dari sampel jaringan hewan, dapat dari insang, otot, darah atau jaringan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan termasuk dalam penelitian dasar yang. dilakukan dengan metode deskriptif (Nazir, 1998).

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan termasuk dalam penelitian dasar yang. dilakukan dengan metode deskriptif (Nazir, 1998). BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan termasuk dalam penelitian dasar yang dilakukan dengan metode deskriptif (Nazir, 1998). B. Populasi dan Sampel 1. Populasi yang

Lebih terperinci

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI ISOLASI TOTAL DNA TUMBUHAN DENGAN KIT EKSTRAKSI DNA PHYTOPURE Halaman : 1 dari 5 1. RUANG LINGKUP Metode ini digunakan untuk mengisolasi DNA dari sampel jaringan tumbuhan, dapat dari daun, akar, batang,

Lebih terperinci

BAB 3 PERCOBAAN. Alat elektroforesis agarosa (Biorad), autoklaf, cawan Petri, GeneAid High Speed Plasmid

BAB 3 PERCOBAAN. Alat elektroforesis agarosa (Biorad), autoklaf, cawan Petri, GeneAid High Speed Plasmid BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Alat Alat elektroforesis agarosa (Biorad), autoklaf, cawan Petri, GeneAid High Speed Plasmid Mini kit, inkubator goyang (GSL), jarum Ose bundar, kit GFX (GE Healthcare), kompor listrik

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian deskriptif. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode B. Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah sampel DNA koleksi hasil

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode deskriptif (Nazir, 1983). B. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian murni yang dilakukan dengan metode deskriptif, yaitu suatu metode penelitian untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi 17 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung pada Januari

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.1.1. Tempat Penelitian telah dilaksanakan di laboratorium BKP Kelas II Cilegon untuk metode pengujian RBT. Metode pengujian CFT dilaksanakan di laboratorium

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 39 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif. Penelitian membuat deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Parasitologi Veteriner dan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Parasitologi Veteriner dan BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Parasitologi Veteriner dan Laboratorium Biomolekuler Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga,

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat Penelitian 3.2 Metode Penelitian Persiapan dan Pemeliharaan Kelinci sebagai Hewan Coba

3. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat Penelitian 3.2 Metode Penelitian Persiapan dan Pemeliharaan Kelinci sebagai Hewan Coba 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Immunologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kandang Terpadu, Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan, mulai Maret 2010 sampai dengan Agustus 2010 di laboratorium Terpadu Bagian Mikrobiologi Medik dan laboratorium Bakteriologi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan dengan metode

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan dengan metode 16 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan dengan metode deskriptif. Penelitian deskriptif adalah suatu metode penelitian untuk membuat deskripsi,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Produksi Protein Rekombinan Hormon Pertumbuhan (rgh)

BAHAN DAN METODE. Produksi Protein Rekombinan Hormon Pertumbuhan (rgh) 11 BAHAN DAN METODE Penelitian ini terdiri atas 2 tahapan utama, yaitu produksi protein rekombinan hormon pertumbuhan (rgh) dari ikan kerapu kertang, ikan gurame, dan ikan mas, dan uji bioaktivitas protein

Lebih terperinci

ANALISA HASIL TRANSFORMASI DENGAN MENGGUNAKAN PCR KOLONI DAN RESTRIKSI

ANALISA HASIL TRANSFORMASI DENGAN MENGGUNAKAN PCR KOLONI DAN RESTRIKSI 1 ANALISA HASIL TRANSFORMASI DENGAN MENGGUNAKAN PCR KOLONI DAN RESTRIKSI PENDAHULUAN Polimerase Chain Reaction (PCR) PCR adalah suatu reaksi invitro untuk menggandakan jumlah molekul DNA pada target tertentu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al.

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al. 2004). Penyakit

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai September 2014 di Green

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai September 2014 di Green BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai September 2014 di Green House dan Laboratorium Genetika dan Molekuler jurusan Biologi Fakultas Sains dan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN. Oligonukleotida sintetis daerah pengkode IFNα2b sintetis dirancang menggunakan

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN. Oligonukleotida sintetis daerah pengkode IFNα2b sintetis dirancang menggunakan BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN Oligonukleotida sintetis daerah pengkode IFNα2b sintetis dirancang menggunakan program komputer berdasarkan metode sintesis dua arah TBIO, dimana proses sintesis daerah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Serum dan Kuning Telur Hasil AGPT memperlihatkan pembentukan garis presipitasi yang berwarna putih pada pengujian serum dan kuning telur tiga dari sepuluh ekor ayam yang

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Isolasi Fragmen DNA Penyandi CcGH Mature Plasmid pgem-t Easy yang mengandung cdna GH ikan mas telah berhasil diisolasi. Hal ini ditunjukkan dengan adanya pita DNA pada ukuran

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7 individu udang Jari yang diambil dari Segara Anakan Kabupaten Cilacap Jawa Tengah.

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Sebelum melakukan PCR, terlebih dahulu dilakukan perancangan primer menggunakan program DNA Star. Pemilihan primer dilakukan dengan mempertimbangkan parameter spesifisitas,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 25 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian telah berlangsung sejak bulan Januari 2012 - Juli 2012 di Laboratorium Mikrobiologi, Lab. Optik, Lab. Genetika dan Lab. Biologi Molekuler Jurusan

Lebih terperinci

II. METODELOGI PENELITIAN

II. METODELOGI PENELITIAN II. METODELOGI PENELITIAN 2.1 Metode Pengumpulan Data 2.1.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di UPT Laboratorium Biosain dan Bioteknologi Universitas Udayana. Penelitian ini berlangsung

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat 21 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan, mulai Maret sampai dengan Agustus 2010 di laboratorium Mikrobiologi Medis, laboratorium Terpadu unit pelayanan mikrobiologi

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Autentikasi Bahan Baku Ikan Tuna (Thunnus sp.) dalam Rangka Peningkatan Keamanan Pangan dengan Metode Berbasis DNA dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap BAB III METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap penyiapan templat mtdna, amplifikasi fragmen mtdna pada daerah D-loop mtdna manusia dengan teknik PCR, deteksi

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 19 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juni 2010 di Laboratorium Mikrobiologi, Biokimia dan Bioteknologi Hasil Perairan Departemen Teknologi Hasil

Lebih terperinci

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN. Pengambilan sampel. Penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN. Pengambilan sampel. Penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel 16 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN Bab ini menggambarkan tahapan penelitian yang terdiri dari pengambilan sampel, penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel, amplifikasi D-loop mtdna dengan teknik

Lebih terperinci

Pengujian Inhibisi RNA Helikase Virus Hepatitis C (Utama et al. 2000) HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Ekspresi dan Purifikasi RNA

Pengujian Inhibisi RNA Helikase Virus Hepatitis C (Utama et al. 2000) HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Ekspresi dan Purifikasi RNA 8 kromatografi kemudian diuji aktivitas inhibisinya dengan metode kolorimetri ATPase assay. Beberapa fraksi yang memiliki aktivitas inhibisi yang tinggi digunakan untuk tahapan selanjutnya (Lampiran 3).

Lebih terperinci

3 Metode Penelitian Alat

3 Metode Penelitian Alat 3 Metode Penelitian 3.1. Alat Penelitian dilakukan di Laboratorium KBK Protein dan Enzim dan Laboratorium Biokimia, Program Studi Kimia ITB. Peralatan gelas yang digunakan terdiri atas labu erlenmeyer,

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.1.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Perikanan dan Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian tentang Pengaruh Suhu Annealing pada Program PCR terhadap Keberhasilan Amplifikasi DNA Udang Jari (Metapenaeus elegans) Laguna Segara Anakan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Diagram Alir Penelitian

Lampiran 1. Diagram Alir Penelitian Lampiran 1. Diagram Alir Penelitian Kultur Isolat S. pneumoniae hasil seleksi pada Media BA 5% + Gentamisin Uji Mikrobiologis (Uji sensitivitas antibiotik) Ekstraksi DNA Duplex PCR Gen erm(b) Gen mef(a)

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN Bagan Alir Penelitian ini secara umum dapat digambarkan pada skema berikut:

BAB III METODE PENELITIAN Bagan Alir Penelitian ini secara umum dapat digambarkan pada skema berikut: BAB III METODE PENELITIAN Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: pengumpulan sampel, lisis terhadap sampel mtdna yang telah diperoleh, amplifikasi daerah HVI mtdna sampel dengan menggunakan

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Re-Karakterisasi Isolat Bakteri Re-karakterisasi bakteri pada biakan agar darah serta hasil uji gula-gula (biokimia) menggunakan Kit Microgen TM GN-ID Identification dapat dilihat

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi. Tabel 1. Jumah Sampel Darah Ternak Sapi Indonesia Ternak n Asal Sapi Bali 2 4

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi. Tabel 1. Jumah Sampel Darah Ternak Sapi Indonesia Ternak n Asal Sapi Bali 2 4 MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. penelitian ini

Lebih terperinci

BAB II. BAHAN DAN METODE

BAB II. BAHAN DAN METODE BAB II. BAHAN DAN METODE 2.1 Kultur Bakteri Pembawa Vaksin Bakteri Escherichia coli pembawa vaksin DNA (Nuryati, 2010) dikultur dengan cara menginokulasi satu koloni bakteri media LB tripton dengan penambahan

Lebih terperinci

BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Bahan 3.2 Alat

BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Bahan 3.2 Alat BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Bahan Bahan yang digunakan memiliki kualitas pro analisis atau pro biologi molekular, yaitu : primer M. tuberculosis forward: 5 GGATCCGATGAGCAAGCTGATCGAA3 (Proligo) dan primer M. tuberculosis

Lebih terperinci

DETEKSI MOLEKULER STAPHYLOCOCCUS AUREUS SEBAGAI PENYEBAB MASTITIS PADA PAYUDARA. Oleh:

DETEKSI MOLEKULER STAPHYLOCOCCUS AUREUS SEBAGAI PENYEBAB MASTITIS PADA PAYUDARA. Oleh: Jurnal Sangkareang Mataram 27 DETEKSI MOLEKULER STAPHYLOCOCCUS AUREUS SEBAGAI PENYEBAB MASTITIS PADA PAYUDARA Oleh: I Gst. Ag. Ayu Hari Triandini Dosen Akademi Kebidanan Bhakti Kencana Mataram Abstrak

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. amplifikasi daerah HVI mtdna sampel dengan menggunakan teknik PCR;

BAB III METODE PENELITIAN. amplifikasi daerah HVI mtdna sampel dengan menggunakan teknik PCR; BAB III METODE PENELITIAN Secara garis besar, langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: pengumpulan sampel; lisis terhadap sampel mtdna yang telah diperoleh; amplifikasi daerah HVI mtdna

Lebih terperinci

BAB III METODE A. Jenis Penelitian B. Populasi dan Sampel C. Waktu dan Lokasi Penelitian D. Alat dan Bahan Rizki Indah Permata Sari,2014

BAB III METODE A. Jenis Penelitian B. Populasi dan Sampel C. Waktu dan Lokasi Penelitian D. Alat dan Bahan Rizki Indah Permata Sari,2014 34 BAB III METODE A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian murni atau pure research yang dilakukan dengan metode deskriptif, yaitu suatu metode penelitian untuk membuat deskripsi, gambaran

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.1.1. Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Perikanan dan Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Karakterisasi Isolat L. plantarum dan Bakteri Indikator

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Karakterisasi Isolat L. plantarum dan Bakteri Indikator MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini berlangsung selama tujuh bulan, yakni mulai dari bulan Februari sampai dengan bulan Agustus 2011. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Ilmu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-November 2012 di

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-November 2012 di digilib.uns.ac.id BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-November 2012 di Laboratorium Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan α-amilase merupakan enzim yang mempunyai peranan penting dalam bioteknologi saat ini. Aplikasi teknis enzim ini sangat luas, seperti pada proses likuifaksi pati pada proses produksi

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN 14 BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN Konfirmasi bakteri C. violaceum dan B. cereus dilakukan dengan pewarnaan Gram, identifikasi morfologi sel bakteri, sekuensing PCR 16s rdna dan uji kualitatif aktivitas

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 20 BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif cross sectional molekuler. Data yang diperoleh berasal dari pemeriksaan langsung yang dilakukan peneliti sebanyak

Lebih terperinci

Elisa, PCR dan. Dr.Ozar Sanuddin, SpPK(K) Bagian Patologi Klinik. Medan

Elisa, PCR dan. Dr.Ozar Sanuddin, SpPK(K) Bagian Patologi Klinik. Medan Prinsip pemeriksaan metode Elisa, PCR dan Elektroforese Dr.Ozar Sanuddin, SpPK(K) Bagian Patologi Klinik Fakultas kedokteran kt USU/UISU Medan Prinsip pemeriksaan Imunologis Umumnya berdasarkan pada interaksi

Lebih terperinci

VISUALISASI HASIL PCR DENGAN METODE PCR LANGSUNG DAN TIDAK LANGSUNG PADA SAMPEL BAKTERI Pseudomonas fluorescens dan Ralstonia solanacearum

VISUALISASI HASIL PCR DENGAN METODE PCR LANGSUNG DAN TIDAK LANGSUNG PADA SAMPEL BAKTERI Pseudomonas fluorescens dan Ralstonia solanacearum VISUALISASI HASIL PCR DENGAN METODE PCR LANGSUNG DAN TIDAK LANGSUNG PADA SAMPEL BAKTERI Pseudomonas fluorescens dan Ralstonia solanacearum Pendahuluan Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah suatu teknik

Lebih terperinci

I. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juli 2012 di Laboratorium. Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung.

I. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juli 2012 di Laboratorium. Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung. 1 I. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juli 2012 di Laboratorium Biokimia, Laboratorium Instrumentasi Jurusan Kimia Fakultas Matematika

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2012 sampai dengan bulan Juni 2012 di

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2012 sampai dengan bulan Juni 2012 di III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2012 sampai dengan bulan Juni 2012 di Laboratorium Biokimia Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB dan Laboratorium Terpadu,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat 12 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Survei penyakit klorosis dan koleksi sampel tanaman tomat sakit dilakukan di sentra produksi tomat di daerah Cianjur, Cipanas, Lembang, dan Garut. Deteksi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pemotongan Parsial dan Penyisipan Nukleotida pada Ujung Fragmen DNA Konstruksi pustaka genom membutuhkan potongan DNA yang besar. Untuk mendapatkan fragmen-fragmen dengan ukuran relatif

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Biologi dan Laboratorium Biokimia, Departemen Kimia Fakultas Sains dan

BAB III METODE PENELITIAN. Biologi dan Laboratorium Biokimia, Departemen Kimia Fakultas Sains dan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi dan Laboratorium Biokimia, Departemen Kimia Fakultas Sains dan Teknologi,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi DNA Genomik Sengon

HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi DNA Genomik Sengon HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi DNA Genomik Sengon DNA genomik sengon diisolasi dari daun muda pohon sengon. Hasil uji integritas DNA metode 1, metode 2 dan metode 3 pada gel agarose dapat dilihat pada Gambar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2012 sampai bulan Juli 2012, yang bertempat di Laboratorium Genetika dan Biologi Molekuler Jurusan Biologi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini

BAB III METODE PENELITIAN. Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini BAB III METODE PENELITIAN Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: pengumpulan sampel; lisis terhadap sampel mtdna yang telah diperoleh; amplifikasi daerah D-loop

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus-Desember 2015 di Laboratorium

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus-Desember 2015 di Laboratorium 23 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus-Desember 2015 di Laboratorium Biokimia Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Bioindustri, Pusat

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Bioindustri, Pusat BAB III BAHAN DAN CARA KERJA A. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Bioindustri, Pusat Teknologi Bioindustri, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (LTB- PTB-BPPT)-Serpong.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada 4 April 2016 sampai 16 Agustus 2016. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Riset Kimia Material dan Hayati Departemen

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2012 sampai bulan Desember 2012 di

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2012 sampai bulan Desember 2012 di 23 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2012 sampai bulan Desember 2012 di Laboratorium Biokimia Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Sebanyak 173 dan 62 contoh serum sapi dan kambing potong sejumlah berasal dari di provinsi Jawa Timur, Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Barat, Jakarta dan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Analisis Polymerase Chain Reaction (PCR) serta analisis penciri Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP) dilaksanakan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian Isolasi Aktinomiset

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian Isolasi Aktinomiset BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dari bulan Februari sampai dengan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODA. Kandang dan Perlengkapannya Pada penelitian ini digunakan dua kandang litter sebesar 2x3 meter yang

MATERI DAN METODA. Kandang dan Perlengkapannya Pada penelitian ini digunakan dua kandang litter sebesar 2x3 meter yang 11 MATERI DAN METODA Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung dari bulan Juni 2010 sampai dengan Juni 2011. Penelitian dilakukan di kandang FKH-IPB. Pengujian sampel dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 15 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2009 hingga Februari 2010. Tempat penelitian adalah di Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Reaksi Antiserum terhadap TICV pada Jaringan Tanaman Tomat

HASIL DAN PEMBAHASAN Reaksi Antiserum terhadap TICV pada Jaringan Tanaman Tomat 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Reaksi Antiserum terhadap TICV pada Jaringan Tanaman Tomat Reaksi antiserum TICV terhadap partikel virus yang terdapat di dalam jaringan tanaman tomat telah berhasil diamati melalui

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Konsentrasi immunoglobulin Y (IgY) yang diperoleh dalam penelitian ini adalah 9,57 mg/ml dan immunoglobulin G (IgG) adalah 3,75 mg/ml. Pada penelitian ini, antibodi yang dilapiskan

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Lampiran 1. Deskripsi Pembuatan Larutan Stok dan Buffer

LAMPIRAN. Lampiran 1. Deskripsi Pembuatan Larutan Stok dan Buffer LAMPIRAN Lampiran 1. Deskripsi Pembuatan Larutan Stok dan Buffer 1. Pembuatan Larutan Stok a. CTAB 5 % Larutan dibuat dengan melarutkan : - NaCl : 2.0 gr - CTAB : 5.0 gr - Aquades : 100 ml b. Tris HCl

Lebih terperinci

Air Panas. Isolat Murni Bakteri. Isolat Bakteri Selulolitik. Isolat Terpilih Bakteri Selulolitik. Kuantitatif

Air Panas. Isolat Murni Bakteri. Isolat Bakteri Selulolitik. Isolat Terpilih Bakteri Selulolitik. Kuantitatif 75 Lampiran 1. Metode Kerja L.1.1 Bagan kerja Air Panas - Isolasi dan Seleksi Bakteri Pemurnian Bakteri Isolat Murni Bakteri Uji Bakteri Penghasil Selulase Secara Kualitatif Isolat Bakteri Selulolitik

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Isolasi enzim fibrinolitik Cacing tanah P. excavatus merupakan jenis cacing tanah yang agresif dan tahan akan kondisi pemeliharaan yang ekstrim. Pemeliharaan P. excavatus dilakukan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.1.1. Tempat Penelitian Sampling bakteri kitinolitik dilakukan di beberapa lokasi sekitar Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Kejawanan Cirebon.

Lebih terperinci

o C 1 menit, penempelan 50 o C 1 menit, polimerisasi 72 o C 1 menit (tiga tahap ini

o C 1 menit, penempelan 50 o C 1 menit, polimerisasi 72 o C 1 menit (tiga tahap ini 13 BAB IV PERCOBAAN IV.1 Bahan Air miliq, deoksinukleotida trifosfat (dntp), MgCl 2, (Promega), enzim Pfu DNA polymerase, dapar Pfu (Stratagene), oligonukleotida SR1, SR2, SR3, SR4, SR5, AR6, AR7, AR8,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian tentang Karakterisasi genetik Udang Jari (Metapenaeus elegans De Man, 1907) hasil tangkapan dari Laguna Segara Anakan berdasarkan haplotipe

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah PENDAHULUAN Latar Belakang Canine Parvovirus merupakan penyakit viral infeksius yang bersifat akut dan fatal yang dapat menyerang anjing, baik anjing domestik, maupun anjing liar. Selama tiga dekade ke

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian

bio.unsoed.ac.id METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian III. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian 1.1. Peralatan Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah botol sampel, beaker glass, cool box, labu

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB. Biogen)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bakteri Micobacterium tuberculosis (M. tuberculosis). Tuberkulosis disebarkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bakteri Micobacterium tuberculosis (M. tuberculosis). Tuberkulosis disebarkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Micobacterium tuberculosis (M. tuberculosis). Tuberkulosis disebarkan melalui partikel

Lebih terperinci

METODOLOGI. Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan dan Alat. Cara Kerja

METODOLOGI. Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan dan Alat. Cara Kerja 17 METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan dari bulan Agustus 2011 sampai Maret 2012 di Laboratorium Biokatalis dan Fermentasi pada Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi. Tabel 1. Sampel Darah Sapi Perah dan Sapi Pedaging yang Digunakan No. Bangsa Sapi Jenis Kelamin

MATERI DAN METODE. Materi. Tabel 1. Sampel Darah Sapi Perah dan Sapi Pedaging yang Digunakan No. Bangsa Sapi Jenis Kelamin MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan Genetika, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan α-amilase adalah enzim menghidrolisis ikatan α-1,4-glikosidik pada pati. α-amilase disekresikan oleh mikroorganisme, tanaman, dan organisme tingkat tinggi. α-amilase memiliki peranan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian akan diawali dengan preparasi alat dan bahan untuk sampling

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian akan diawali dengan preparasi alat dan bahan untuk sampling 16 BAB III METODOLOGI PENELITIAN Penelitian akan diawali dengan preparasi alat dan bahan untuk sampling sel folikel akar rambut. Sampel kemudian dilisis, diamplifikasi dan disekuensing dengan metode dideoksi

Lebih terperinci

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN MENENGAH DIREKTORAT PEMBINAAN SEKOLAH MENENGAH ATAS

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN MENENGAH DIREKTORAT PEMBINAAN SEKOLAH MENENGAH ATAS KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN MENENGAH DIREKTORAT PEMBINAAN SEKOLAH MENENGAH ATAS Test Seleksi Calon Peserta International Biology Olympiad (IBO) 2014 2 8 September

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 6 Sampel yang akan diuji kemudian dimasukkan ke dalam sumuran-sumuran cawan ELISA sesuai dengan pola yang telah ditentukan. Setiap sumuran cawan berisi sebanyak 100 μl sampel. Cawan ELISA kemudian diinkubasi

Lebih terperinci

Pengujian DNA, Prinsip Umum

Pengujian DNA, Prinsip Umum Pengujian DNA, Prinsip Umum Pengujian berbasis DNA dalam pengujian mutu benih memang saat ini belum diregulasikan sebagai salah satu standar kelulusan benih dalam proses sertifikasi. Dalam ISTA Rules,

Lebih terperinci

METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE. Waktu dan Tempat Penelitian 18 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan April 2013 sampai dengan April 2014. Sampel diambil dari itik dan ayam dari tempat penampungan unggas, pasar unggas dan peternakan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN, ALAT DAN METODA

BAB III BAHAN, ALAT DAN METODA 15 BAB III BAHAN, ALAT DAN METODA 3.1 BAHAN Lactobacillus acidophilus FNCC116 (kultur koleksi BPPT yang didapatkan dari Universitas Gajah Mada), Bacillus licheniformis F11.4 (kultur koleksi BPPT yang didapatkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif untuk karakterisasi

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif untuk karakterisasi 26 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif untuk karakterisasi gen virulen dan eksperimental pada uji patogenesitas dengan menggunakan LD

Lebih terperinci

Tujuan Penelitian. Manfaat Penelitian

Tujuan Penelitian. Manfaat Penelitian 2 mikroorganisme patogen pada bahan pangan dan juga memiliki kemampuan probiotik untuk kesehatan konsumen. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perlu dilakukan seleksi yaitu mencari beberapa isolat

Lebih terperinci

EKSTRAKSI DNA. 13 Juni 2016

EKSTRAKSI DNA. 13 Juni 2016 EKSTRAKSI DNA 13 Juni 2016 Pendahuluan DNA: polimer untai ganda yg tersusun dari deoksiribonukleotida (dari basa purin atau pirimidin, gula pentosa,dan fosfat). Basa purin: A,G Basa pirimidin: C,T DNA

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental yang bertujuan untuk

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental yang bertujuan untuk 27 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan metode eksperimental yang bertujuan untuk mengamplifikasi Gen STX1A. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. protein hewani oleh manusia. Komponen-komponen penting dalam susu adalah

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. protein hewani oleh manusia. Komponen-komponen penting dalam susu adalah BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Susu telah dikonsumsi sejak zaman dahulu menjadi bahan pangan sumber protein hewani oleh manusia. Komponen-komponen penting dalam susu adalah protein, lemak, vitamin, mineral,

Lebih terperinci