KULTUR IN VITRO SEL-SEL OTAK BESAR (CEREBRUM) ANAK TIKUS VIVIT RIYACUMALA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KULTUR IN VITRO SEL-SEL OTAK BESAR (CEREBRUM) ANAK TIKUS VIVIT RIYACUMALA"

Transkripsi

1 KULTUR IN VITRO SEL-SEL OTAK BESAR (CEREBRUM) ANAK TIKUS VIVIT RIYACUMALA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Kultur In Vitro Sel-sel Otak Anak (Cerebrum) Tikus adalah karya saya sendiri dengan arahan pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi. Bogor, Agustus 2010 Vivit Riyacumala NIM B

3 ABSTRAK VIVIT RIYACUMALA. Kultur In Vitro Sel-sel Otak Besar (Cerebrum) Anak Tikus. Dibimbing oleh ITA DJUWITA. Telah dilakukan penelitian kultur in vitro sel-sel otak besar anak tikus (Sprague Dawley) umur tiga hari dalam Dulbecco s Modified Eagle Medium (DMEM) yang mengandung Fetal Bovine Serum (FBS) 10%, dan gentamisin 50 µg/ml dengan dan tanpa penambahan insulin 5 µg/ml, transferin 10 µg/ml, selenium 5 µg/ml (ITS). Kultur dilakukan dalam inkubator CO 2 5% dan suhu 37 o C selama 11 hari. Identifikasi dilakukan terhadap jenis sel yang tumbuh berdasarkan pengamatan morfologi, kemampuan pertumbuhan sel (tingkat proliferasi dan population doubling time (PDT) serta panjang akson dendrit) berdasarkan penghitungan sel menggunakan hemositometer dan mikrometer, serta kandungan protein yang dihasilkan berdasarkan identifikasi menggunakan metode Sodium dodecyl sulfate polyacrilamide gel electrophoresis (SDS-PAGE). Data kuantitatif dianalisis menggunakan uji statistik T-test dalam program Minitab, sedangkan data kualitatif dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan pengamatan morfologi terdapat dua jenis sel yaitu sel saraf yang meliputi sel saraf bipolar dan multipolar serta sel glia yang meliputi astrosit fibrous, astrosit protoplasmik, oligodendrosit, dan mikroglia. Penambahan ITS ke dalam medium kultur mampu meningkatkan tingkat proliferasi (P<0,05) dengan PDT yang lebih rendah, meningkatkan pertumbuhan panjang akson dan dendrit, serta secara kualitatif produksi protein (berukuran antara 21,5 36,5 kda) yang lebih tinggi yang diindikasikan dari intensitas pita protein. Kata kunci: kultur sel, sel saraf, ITS, SDS-PAGE

4 ABSTRACT VIVIT RIYACUMALA. In Vitro Culture of Newborn Rat Cerebrum Cells. Under direction of ITA DJUWITA. Research has been conducted on in vitro culture of three days old rat cerebrum cells in Dulbecco s Modified Eagle Medium (DMEM) containing 10% Fetal Bovine Serum (FBS) and 50 µg/ml gentamycin, and supplemented with and without 5 µg/ml insulin, 10 µg/ml transferin, 5 µg/ml selenium (ITS). Culture was done in 5% CO 2 incubator at 37 o C for 11 days. Identification was done on types of cell based on morphological observation, growth capacity (cell proliferation, population doubling time/ PDT and length of axon and dendrit) based on calculation of the number of cells using hemocytometer and micrometer, and the protein produced by the cerebrum cells in the culture medium using sodium dodecyl sulfate polyacrilamide gel electrophoresis (SDS-PAGE) method. Quantitative data were analyzed using statistical T-test on Minitab program. The results showed that based on the morphological observations, there are two types of cells including nerve cells of bipolar and multipolar neurons and glial cells including the fibrous astrocyte, protoplasmic astrocyte, oligodendrocyte, and microglia. Supplementation of ITS into the culture medium could increase the cells proliferation rate (P<0.05) with lower PDT, axon and dendrit lenght growth and quantitatively the kda protein production as indicated by the intensity of the protein band. Keywords: cell culture, nerve cell, ITS, SDS-PAGE

5 Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian sebagiaan atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

6 KULTUR IN VITRO SEL-SEL OTAK BESAR (CEREBRUM) ANAK TIKUS VIVIT RIYACUMALA Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

7 Judul Skripsi Nama NIM : Kultur In Vitro Sel-sel Otak Besar (Cerebrum) Anak Tikus : Vivit Riyacumala : B Disetujui: Pembimbing Dr. Drh. Hj. Ita Djuwita, M.Phil Diketahui a.n. Dekan Wakil Dekan Dr. Nastiti Kusumorini Tanggal Lulus:

8 PRAKATA Syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul Kultur In Vitro Sel-sel Otak Besar (Cerebrum) Anak Tikus. Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan pada bulan Februari-Juli 2010 dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kedokteran hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Dr. Drh. Hj. Ita Djuwita, M.Phil selaku dosen pembimbing akademik sekaligus pembimbing skripsi yang telah memberikan banyak ilmu, bimbingan, dukungan, perhatian, dan pelajaran hidup selama menyelesaikan studi di S1. 2. Mas Wahyu, Bu Ekayanti, dan para staf laboratorium Anatomi, Histologi, dan Embriologi yang telah banyak membantu selama penelitian. 3. Dr. Nurhidayat, Dr. Joko Pamungkas, dan Dr. Iis Arifiantini selaku dosen penguji dalam seminar dan ujian akhir sarjana. 4. Harlystiarini, atas doa, dukungan, dan bantuan serta suka cita selama menjalani penelitian bersama. 5. Keluarga tercinta, Ayah dan Ibu serta Mas David, atas doa, dukungan, dan kasih sayangnya. 6. Teman-teman terbaik Sisca, Nirna, Nobo, Reni, Winda, Sekar, Bundo, Dina, Binol, Edo, Laras, Rista, Ninis, Nia, Dana, Yevi, atas semua bantuan dan dukungannya. 7. Keluarga besar wisma PNS, Haya, Bintang, Sofura, Nia, Sabti, Chika, Melly, Idja, Asti, Iwi, Nita, Lia, Mbak Vika, Mbak Vivi, Mbak Kiki atas semua keceriaan, kebersamaan, dan dukungannya. 8. Rekan-rekan penelitian di Laboratorium Embriologi Kak Yeni, Kak Devi, Rani, Riska, Adhil, Vin, Irma, Disa, Yayan, Ani, Nita, atas kebersamaan dan dukungan yang diberikan.

9 9. Rekan-rekan Aesculapius 43 atas dukungan, bantuan, serta kekompakan selama menempuh pendidikan S1 dan untuk semua pihak yang turut membantu kelancaran penelitian ini yang tidak bisa disebutkan satupersatu. Penulis menyadari penelitian ini masih jauh dari sempurna dikarenakan keterbatasan pengetahuan penulis. Namun demikian, penulis berharap agar hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk berbagai pihak. Bogor, Agustus 2010 Penulis

10 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kediri, pada tanggal 07 Juni 1988 dari pasangan Bapak Drs. Mujiono dan Ibu Anik Mutafarida. Penulis telah menempuh pendidikan formal di Madrasah Ibtidaiyah-YPSM Tawangrejo-Kediri (2000), SLTPN 1 Pagu-Kediri (2003), dan SMAN 2 Pare-Kediri (2006). Pada tahun 2006, penulis melanjutkan pendidikan sarjana di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI dan diterima di Fakultas Kedokteran Hewan setelah setahun di IPB. Selama menjalani pendidikan sarjana, penulis berkesempatan menjadi anggota dan pengurus Himpunan Minat dan Profesi Satwaliar divisi pendidikan ( ) dan divisi infokom ( ) serta aktif dalam berbagai kegiatan kepanitiaan. Untuk menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Kedokteran Hewan IPB, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul Kultur In Vitro Sel-sel Otak Besar (Cerebrum) Anak Tikus.

11 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... i DAFTAR GAMBAR... ii DAFTAR LAMPIRAN... iii DAFTAR SINGKATAN... iv PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 2 Manfaat... 2 TINJAUAN PUSTAKA... 3 Sel Saraf Otak... 3 Morfologi dan Fungsi Berbagai Jenis Sel Otak... 3 Kultur Sel Saraf... 5 Sistem Kultur... 6 Pemanfaatan Kultur Sel Saraf... 8 Protein yang Dihasilkan Sel Saraf... 9 Metode Analisis Protein Sel Saraf... 9 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Prosedur Kerja Isolasi Sel Saraf Otak Besar Kultur Sel Saraf Otak Pembuatan dan Koleksi Conditioned Medium Evaluasi Hasil Kultur Sel Otak Tipe-tipe sel Tingkat Proliferasi dan Population Doubling Time Pertumbuhan Panjang Akson dan Dendrit Identifikasi Protein Menggunakan SDS-PAGE Rancangan Percobaan HASIL DAN PEMBAHASAN Tipe-tipe Sel yang Tumbuh dan Berkembang dalam Kultur Pertumbuhan Sel Saraf Tingkat Proliferasi dan Population Doubling Time Panjang Akson dan Dendrit Komposisi Sel Saraf dan Glia Analisis Protein pada Kultur Sel Saraf Otak dengan Menggunakan SDS-PAGE... 22

12 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 29

13 DAFTAR TABEL Halaman 1 Tingkat proliferasi sel yang tumbuh dalam medium mdmem dan mdmem+its Panjang akson dan dendrit pada medium mdmem dan mdmem+its Persentase sel saraf dan sel glia yang berkembang dalam kultur... 22

14 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Morfologi neuron di dalam kultur Berbagai tipe neuron dan sel glia Morfologi sel-sel saraf dalam kultur in vitro Morfologi sel glia yang berkembang dalam kultur sel otak Morfologi neuroblast dengan pengamatan secara natif Morfologi sel saraf dengan pengamatan secara natif Sel saraf bipolar dengan akson bermyelin Hasil SDS elektroforesis CM kultur sel saraf yang diwarnai dengan silver nitrat... 23

15 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Pembuatan medium kultur mdmem Pembuatan mpbs Pembuatan separating dan stacking gel elektroforesis Pembuatan buffer SDS Pewarnaan silver nitrat Prosedur tripsinasi... 32

16 DAFTAR SINGKATAN CM DMEM FBS FGF HE IEF ITS MBP mdmem mpbs MS NBCS NGF PBS PLP SDS SDS-PAGE : conditioned medium : Dulbecco s Modified Eagle Medium : fetal bovine serum : fibroblast growth factor : hematoksilin eosin : isoelectric focusing : insulin transferrin selenium suplement : myelin basic protein : Dulbecco s Modified Eagle Medium yang telah dimodifikasi : phosphate buffered saline yang telah dimodifikasi : mass spectrometry : newborn calf serum : nerve growth factor : phosphate buffered saline : proteolipid protein : sodium dodecyl sulphate : sodium dodecyl sulfate polyacrilamide gel electrophoresis

17 PENDAHULUAN Latar Belakang Otak besar (cerebrum) merupakan bagian otak yang paling besar, tersusun atas jaringan saraf yang terdiri atas sel saraf (neuron) dan sel glia yang masingmasing berfungsi untuk menyampaikan sinyal dari satu sel ke sel lainnya dan melindungi, mendukung, merawat, serta mempertahankan homeostasis cairan di sekeliling neuron (Kuntarti 2007). Beberapa peneliti melaporkan bahwa sel saraf individu dewasa secara in vivo diketahui tidak memiliki kemampuan membelah (Cormack 2001; Junqueira & Carneiro 2005) meskipun telah ditemukan bahwa pada burung dewasa sel saraf masih dapat membelah (Junqueira & Carneiro 2005). Kerusakan pada sistem saraf pusat akan bersifat permanen karena ketidakmampuan sel saraf untuk melakukan regenerasi (Yiu & He 2006; Jusuf & Antarianto 2009). Kerusakan sel saraf dapat menyebabkan munculnya penyakit yang disebut dementia yang meliputi penyakit Alzheimer dan Parkinson (Halim et al. 2010). Menurut Gage dan Verma (2003) serta Halim et al. (2010) stem cell memiliki potensi besar sebagai alternatif terapi penyakit degenerasi saraf. Stem cell tersebut dapat diarahkan untuk berdiferensiasi membentuk sel saraf dan progenitor sel saraf. Pengarahan stem cell menjadi sel saraf dibutuhkan induktor seperti nerve growth factor (Zhang et al. 2006), fibroblast growth factor, atau suatu bahan kimia seperti retinoic acid dan sebagainya. Sel-sel otak besar dapat digunakan sebagai sumber untuk kultur sel saraf. Kultur sel saraf memiliki banyak manfaat terutama untuk menyelidiki karakteristik fisiologi dan metabolisme sel saraf serta pengujian terhadap efek zat tertentu (Butler 2004). Kultur in vitro sel saraf juga dapat digunakan untuk memproduksi berbagai growth factor ke dalam medium yang dapat digunakan untuk menginduksi perkembangan stem cell. Medium kultur yang telah mengandung sekreta sel-sel yang dikultur ini dikenal dengan conditioned medium (CM). Conditioned medium dari kultur primer sel saraf mengandung faktor pertumbuhan seperti nerve growth factor (NGF), glial derived neurotrophic factor (GDNF), nestin, dan glial fibrillary acidic protein (GFAP).

18 Dibandingkan dengan tipe sel lain seperti sel fibroblas dan epitel, kultur primer sel saraf otak lebih susah ditumbuhkan. Sel saraf berkembang dari progenitor saraf dan tidak mampu membelah ketika sudah mature, berbeda dengan sel fibroblas dan epitel yang kemampuan pertumbuhannya masih bagus meskipun sudah mature. Selain itu sel harus beradaptasi dengan lingkungan (Mather dan Roberts 1998) dan berinteraksi dengan populasi sel yang tidak homogen pada awal kultur primer. Oleh karena itu dibutuhkan medium yang mampu mempertahankan daya hidup pada kultur primer sel saraf otak. Insulin transferrin selenium (ITS) diketahui mampu meningkatkan daya hidup dan proliferasi sel (Freshney 1994). Kebanyakan medium kultur tidak mengandung ITS sehingga ingin diketahui pertumbuhan sel saraf dalam medium yang mengandung ITS. Penambahan ITS diharapkan dapat meningkatkan proliferasi sel. Tujuan Penelitian ini bertujuan mengetahui kemampuan pertumbuhan secara in vitro sel-sel saraf yang diisolasi dari otak besar anak tikus umur tiga hari dan secara khusus untuk mengidentifikasi tipe-tipe sel yang tumbuh, tingkat proliferasi, population doubling time (PDT) dan panjang akson dan dendrit serta gambaran kualitatif protein yang disekresikan. Manfaat Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah mendapatkan informasi tentang kemampuan pertumbuhan secara in vitro dan tingkat proliferasi sel saraf otak besar anak tikus dalam medium dengan dan tanpa penambahan ITS. Selain itu juga dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan conditioned medium dan galur sel. TINJAUAN PUSTAKA Sel Saraf Otak Otak merupakan bagian dari sistem saraf yang termasuk dalam susunan saraf pusat. Otak terdiri atas sel-sel saraf yang jumlahnya diperkirakan mencapai 100 milyar sel (Freudenrich 2001; Kuntarti 2007). Otak berfungsi dalam mengkoordinasi, mengontrol, dan mengatur seluruh aktivitas tubuh (Freudenrich

19 2001). Bagian-bagian otak vertebrata secara umum antara lain cerebrum, diensefalon, cerebellum, midbrain, pons, dan medulla oblongata (Kuntarti 2007). Bagian-bagian otak pada tikus dapat dibagi menjadi beberapa bagian utama yaitu otak depan (forebrain), batang otak (brain stem), otak tengah (midbrain), cerebellum, dan medulla oblongata. Otak depan terdiri atas korteks serebri, hippocampus, dan bulbus olfactorius. Batang otak meliputi ganglia basalis, septum, epithalamus, thalamus, dan hypothalamus. Sedangkan otak tengah meliputi tectum, tegmentum, dan pedunculi cerebri (Hedrich & Bullock 2004). Secara umum sistem saraf disusun oleh jaringan saraf yang terdiri atas selsel saraf atau neuron dan sel pendukung atau sel glia (Beresford 2001; Junqueira & Carneiro 2005). Neuron memiliki bagian-bagian yang sama seperti sel yang lain akan tetapi memiliki kemampuan yang istimewa yaitu kemampuan mentransmisikan sinyal dan menyampaikan pesan menuju sel target (Freudenrich 2001) sehingga dapat menjalankan fungsi sistem saraf seperti mengingat, berfikir, dan mengontrol semua aktivitas tubuh. Secara khusus neuron juga berfungsi dalam merangsang aktivitas sel tertentu dan melepaskan neurotransmitter dan molekul lain (Junqueira & Carneiro 2005). Sel glia atau neuroglia berfungsi untuk melindungi, mendukung, merawat, dan mempertahankan homeostasis cairan di sekeliling neuron (Kuntarti 2007). Morfologi dan Fungsi Berbagai Jenis Sel Otak Neuron terdiri dari tiga bagian utama yaitu dendrit, badan sel, dan akson (Gambar 1). Dendrit merupakan penjuluran-penjuluran kecil yang memanjang berfungsi dalam menerima stimulus dari lingkungan, sel sensoris atau sel saraf lainnya (Junqueira & Carneiro 2005). Badan sel berukuran besar mengandung bagian-bagian utama sel seperti nukleus, reticulum endoplasma, ribosom, dan mitokondria. Kerusakan pada badan sel menyebabkan kematian pada sel saraf (Freudenrich 2001). Badan sel berfungsi menerima stimulus dari dendrit untuk diteruskan menuju akson. Akson berupa penjuluran tunggal yang keluar dari badan sel. Fungsi akson yaitu menghubungkan stimulus menuju sel lainnya seperti sel saraf, otot, dan kelenjar. Bagian distal akson biasanya bercabang dan

20 berhubungan dengan sel lain baik sel saraf maupun sel lainnya membentuk struktur yang disebut sinaps (Junqueira & Carneiro 2005). Gambar 1 Morfologi neuron di dalam kultur, N: nukleus, P: perikaryon, D: dendrit, A: akson, H: axon hillock, tanda panah: sel glia (Kerr 2000). Neuron memiliki bentuk yang bervariasi. Berdasarkan bentuknya neuron dapat dikelompokkan menjadi neuron multipolar, bipolar, dan unipolar atau pseudounipolar (Gambar 2) yang didasarkan atas jumlah penjuluran akson dan dendrit (Junqueira & Carneiro 2005). Neuron multipolar memiliki satu penjuluran akson dengan banyak penjuluran dendrit. Neuron bipolar memiliki masing-masing satu penjuluran dendrit dan akson sedangkan neuron unipolar hanya memiliki satu penjuluran yang dekat dengan badan sel dan membagi menjadi dua cabang. Kebanyakan neuron dalam tubuh berbentuk multipolar (Cormack 2001; Junqueira & Carneiro 2005). Neuron bipolar dapat ditemukan pada ganglion cochlearis dan ganglion vestibularis serta pada retina dan mukosa olfaktorius. Neuron unipolar banyak ditemukan pada ganglion kranialis dan juga dapat ditemukan pada ganglion spinalis (Junqueira & Carneiro 2005). Sel glia terdiri dari astrosit, oligodendrosit, sel Schwann, sel-sel ependymal, dan mikroglia (Gambar 2). Sel glia lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan neuron. Sel glia terletak di sekitar sel saraf mengelilingi badan sel, dendrit, dan akson. Astrosit, oligodendrosit, sel-sel ependymal, dan mikroglia dapat ditemukan pada sistem saraf pusat sedangkan sel Schwann ditemukan pada saraf perifer (Junqueira & Carneiro 2005). Masing-masing sel

21 glia memiliki fungsi yang spesifik. Astrosit berfungsi dalam mengontrol sinyal antarneuron, mengatur ion dan metabolisme sel saraf, serta sebagai blood brain barrier (Cormack 2001). Oligodendrosit dan sel Schwann memiliki fungsi yang sama yaitu bertanggung jawab dalam sintesis selubung myelin, sedangkan mikroglia berfungsi sebagai makrofag. Sel-sel ependymal merupakan komponen sel glia yang menyusun plexus choroideus. Sel-sel ependymal berfungsi dalam sekresi dan pergerakan cairan serebrospinal (Junqueira & Carneiro 2005). Gambar 2 Berbagai tipe neuron dan sel glia (Cormack 2001). Kultur Sel Saraf Kultur sel adalah kultur sel-sel yang berasal dari organ atau jaringan yang telah diuraikan secara mekanis dan atau secara enzimatis menjadi suspensi sel. Suspensi sel tersebut kemudian dibiakkan menjadi satu lapisan jaringan (monolayer) di atas permukaan yang keras seperti botol, tabung, dan cawan atau menjadi suspensi sel dalam media penumbuh (Malole 1990). Kultur primer berarti menumbuhkan sel dari jaringan hewan secara langsung dalam medium penumbuh (Butler 2004). Kebanyakan kultur primer sel saraf didapatkan dari jaringan saraf tikus pada masa embrionik atau neonatal (Banker & Goslin 1998; Butler 2004). Sel-sel pada masa embrionik tersebut lebih mudah didispersi dan memiliki potensi pertumbuhan yang lebih unggul (Butler 2004). Di antara mamalia, tikus dan mencit merupakan spesies yang umum digunakan sebagai sumber jaringan pada

22 kultur saraf (Banker & Goslin 1998; Fedoroff & Richardson 2001). Penggunaan tikus dan mencit dapat memberikan keuntungan terutama pada konsistensi genetik dan biaya yang tidak terlalu mahal (Banker & Goslin 1998). Sel saraf dapat juga ditumbuhkan dari neural cell line (Murayama et al. 2001). Beberapa neural cell line telah dikembangkan seperti neuronal cell line, glial cell line, embryonal carcinoma cell line, dan melanoma cell line. Keuntungan menggunakan cell line antaralain memiliki kemampuan hidup lebih lama, pertumbuhannya tidak terbatas, dan terdiri dari satu jenis sel tunggal. Selain itu penggunaan cell line sebagai sumber kultur dapat mengurangi penggunaan hewan coba (Murayama et al. 2001). Ketersediaan sel tunggal dalam jumlah cukup besar dalam kultur dapat memberikan keuntungan untuk purifikasi bahan alami maupun rekombinan. Misalnya untuk produksi neuroendokrin yang jumlahnya dalam tubuh sangat sedikit. Meskipun demikian kultur sel saraf dari sumber cell line memiliki kekurangan terutama karena ketiadaan beberapa jenis sel yang berkembang dalam sistem saraf secara in vivo (Murayama et al. 2001). Sistem Kultur Kultur sel membutuhkan medium dan lingkungan yang sesuai dengan kondisi in vivo. Kondisi ini diciptakan dengan pengaturan temperatur, ph, oksigen, CO 2, tekanan osmosis, permukaan untuk melekat sel, nutrien dan vitamin, proteksi terhadap zat toksik, hormon, dan faktor pertumbuhan yang mengatur pertumbuhan dan diferensiasi sel (Malole 1990). Temperatur yang ideal untuk pertumbuhan sel adalah pada 37 C (Pollard & Walker 1990) dengan ph optimal 7,4 (Malole 1990). Selama kultur diusahakan ph tidak lebih rendah dari 7,0 karena ph yang rendah akan memperlambat pertumbuhan sel. Kestabilan ph dapat dijaga dengan sistem buffer karbondioksida-karbonat sama seperti dalam darah (Malole 1990). Sistem tersebut terdiri dari penambahan NaHCO 3 dalam medium dan udara yang mengandung karbondioksida 5%. (Malole 1990). Permukaan untuk melekat sel harus memiliki daya adhesif. Beberapa bahan tertentu dapat digunakan sebagai substrat untuk melekatkan sel seperti fibronectin, gelatin, dan kolagen (Butler 2004).

23 Sel di dalam tubuh organisme menerima nutrisi dari sirkulasi darah. Medium untuk kultur sel in vitro harus mampu menyuplai nutrisi yang sama seperti keadaan nutrisi pada darah (Radledge & Kristiansen 2001). Awalnya untuk menumbuhkan sel mamalia in vitro melibatkan medium yang berasal dari bahan alami seperti embrio ayam, serum, dan cairan limfe. Tetapi sejak tahun 1950 ditemukan medium kultur yang mengandung berbagai komponen penting dan sudah banyak perkembangan. Medium dasar untuk kultur sel adalah larutan garam seimbang. Larutan ini berfungsi untuk menciptakan ph dan osmolaritas fisiologis yang dibutuhkan untuk mempertahankan viabilitas sel in vitro. Untuk menciptakan kondisi yang mampu merangsang proliferasi sel, dalam medium perlu ditambahkan glukosa, asam amino, vitamin, dan beberapa garam tertentu yang dibutuhkan sesuai jenis sel yang dikultur (Radledge & Kristiansen 2001). Medium pertumbuhan yang sering dipakai untuk kultur sel mamalia adalah Dulbecco s Modified Eagle Medium (DMEM). Medium tersebut merupakan modifikasi dari Basal Medium Eagle (BME) yang mengandung konsentrasi asam amino dan vitamin empat kali lipat lebih banyak. Asam amino dan vitamin yang ditambahkan dalam media berfungsi sebagai suplemen tambahan. Awalnya DME mengandung 1000 mg/l glukosa dan dilaporkan pertama kali digunakan untuk kultur embrio tikus. Selain asam amino dan vitamin, medium ini juga mengandung asam folat, nikotinamid, riboflavin, vitamin B-12, dan garam mineral seperti kalsium korida, potasium klorida, magnesium sulfat, sodium klorida, dan monosodium fosfat. Natrium bikarbonat digunakan sebagai sumber karbonat yang dapat mempertahankan ph dan osmolaritas (Mather dan Barnes 1998). Medium DMEM sangat cocok digunakan dalam berbagai kultur sel termasuk sel-sel yang berasal dari manusia, monyet, hamster, tikus, mencit, ayam, dan ikan (Pombinho et al. 2004). Medium kultur dapat juga ditambahkan komponen lain seperti ITS. Suplemen ITS mengandung tiga komponen faktor pertumbuhan yang penting untuk beberapa tipe sel tertentu. Insulin penting dalam pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel sedangkan transferrin merupakan protein pengangkut zat besi (iron-transport protein) yang fungsinya sama seperti insulin (Banker &

24 Goslin 1998). Selenium berfungsi sebagai kofaktor sintesis glutathione, yaitu membantu memecah peroksida dan superoksida. Dilaporkan juga bahwa selenium mampu melindungi kerusakan yang distimulasi oleh cahaya (Banker & Goslin 1998). Selain itu selenium juga dapat mengoptimalkan pertumbuhan sel. Kebanyakan medium basal untuk kultur sel tidak mengandung ITS. Penambahan ITS diketahui mampu mengurangi penggunaan serum dalam medium. Banyak cell line seperti BHK, HeLa, Vero, MDCK, dan CHO dapat tumbuh dengan penambahan ITS meskipun serum yang digunakan 1-2% (Anonimus 2005). Sel tidak dapat hidup hanya dengan medium basal saja (Banker & Goslin 1998). Kebutuhan akan nutrisi dan faktor pertumbuhan untuk pemeliharaan sel dapat disediakan dalam medium dengan penambahan serum. Serum yang digunakan dapat diperoleh dari berbagai hewan seperti sapi (Fetal Calf Serum (FCS), Newborn Calf Serum (NBCS)), kuda, dan manusia (Mather & Barnes 1998). Jumlah serum yang ditambahkan biasanya 5-20% (Shuler & Kargi 1992; Banker & Goslin 1998). Menurut Banker dan Goslin (1998) FCS mengandung faktor mitogenik yang tinggi sehingga sering digunakan untuk keperluan kultur cell line atau kultur primer sel glia. Serum terbukti dapat mendukung pertumbuhan sel melalui penyediaan faktor hormonal, pertumbuhan, perlekatan, dan penyebaran sel (Mather & Roberts 1998) serta menyediakan transport protein pembawa hormon, mineral, dan lipid (Shuler & Kargi 1992). Penggunaan antibiotik dalam medium juga diperlukan untuk mencegah kontaminasi (Jakoby & Pastan 1979). Antibiotik yang sering digunakan dalam medium adalah gentamisin (Mather & Roberts 1998). Pemanfaatan Kultur Sel Saraf Kultur sel memiliki banyak manfaat terutama untuk menyelidiki karakteristik fisiologi dan metabolisme sel. Kultur sel juga bermanfaat dalam pengujian efek zat tertentu terhadap suatu sel. Zat toksik dan bahan-bahan mutagenik dapat dievaluasi di dalam kultur (Butler 2004). Selain itu kultur sel dapat digunakan untuk memproduksi bahan-bahan untuk mendiferensiasikan stem cell menjadi sel spesifik. Secara khusus, kultur sel saraf memiliki potensi untuk dimanfaatkan dalam terapi penyakit degenerasi saraf seperti Alzheimer dan

25 penyakit Parkinson. Hal ini karena sel saraf sendiri memiliki stem cell yang disebut sebagai neural stem cell (Halim et al. 2010). Stem cell pada jaringan saraf dimanfaatkan untuk regenerasi sel-sel saraf yang rusak. Saat ini penelitian baik riset maupun klinis telah banyak dilakukan untuk mengarahkan diferensiasi neural stem cell menjadi sel saraf (Halim et al. 2010) Protein yang Dihasilkan oleh Sel Saraf Otak menghasilkan bermacam-macam protein yang disekresikan oleh sel saraf maupun sel glia. Menurut Quarles et al. (2006) protein menyusun bagian otak tikus sebanyak 56,9%. Salah satu protein yang dihasilkan oleh sel saraf adalah protein tau. Protein ini dihasilkan dari bagian akson yang berfungsi dalam menstabilkan dan meningkatkan pembentukan mikrotubuli neuron serta meningkatkan viabilitas neuron (Hansson 2008). Bagian lain sel saraf seperti selubung myelin juga menghasilkan protein yaitu myelin basic protein (MBP) dan proteolipid protein (PLP). Kedua protein ini dapat larut dalam SDS elektroforesis dan dapat dipisahkan berdasarkan berat molekulnya (Quarles et al. 2006). Selain protein, sel saraf juga mensekresikan beberapa growth factor seperti nerve growth factor (NGF), glial derived neurotrophic factor (GDNF), nestin, dan glial fibrillary acidic protein (GFAP). Astrosit diketahui mampu mensekresikan fibroblast growth factor-1 (FGF-1) berdasarkan penelitian Ito et al. (2005). Metode Analisis Protein Sel Saraf Identifikasi protein dapat dilakukan dengan berbagai macam metode diantaranya liquid phase isoelectric focusing (IEF), imunopresipitasi, mass spectrometry (MS), dan gel elektroforesis (Hansson 2008). Protein merupakan molekul yang bersifat amfoter yang mengandung grup asam dan basa pada sekuen asam amino sehingga muatan protein akan bervariasi berdasarkan ph. Sifat demikian dimanfaatkan untuk memisahkan protein berdasarkan titik isoelektrik (pi) masing-masing protein dengan IEF. Titik isoelektrik akan berhenti pada ph spesifik ketika muatan protein sama dengan nol (Hansson 2008). Pemisahan protein dapat juga dengan metode imunopresipitasi apabila sampel biologis mengandung beberapa macam protein. Metode MS digunakan untuk menganalisis

26 massa protein berdasarkan rasio massa per muatan. Selain itu MS juga memberikan informasi tentang sekuen dan perubahan asam amino (Hansson 2008). Penelitian ini menggunakan gel elektroforesis untuk menganalisa protein. Elektroforesis mampu memisahkan protein dengan baik berdasarkan titik isoelektrik dan berat molekul. Biasanya metode yang digunakan adalah SDS- PAGE (Sodium dodecyl sulfate polyacrilamide gel electrophoresis ) (Hansson 2008). Menurut Roe (2001) dan Ahmed (2005) SDS-PAGE merupakan metode yang cukup cepat dalam identifikasi protein dan sering digunakan untuk memperkirakan berat molekul serta menentukan komposisi subunit dari suatu protein murni (Deutscher 1992). Penggunaan lain SDS-PAGE adalah untuk monitoring purifikasi protein, verifikasi konsentrasi protein, deteksi proteolisis, deteksi modifikasi protein, dan deteksi imunopresipitasi protein (Ahmed 2005). Mekanisme kerja SDS-PAGE sama seperti elektroforesis pada umumnya akan tetapi ditambahkan dengan sodium dodecyl sulphate (SDS) sebelum dilakukan elektroforesis. Adanya SDS yang merupakan bahan detergen anionik ini akan mendenaturasi protein lalu melekat kuat pada molekul yang diuraikan tersebut. Satu molekul SDS diperkirakan mengikat dua asam amino. Molekul SDS ini lalu menutupi permukaan protein dan membentuk jejaring muatan negatif yang dihasilkan dari grup sulfat pada molekul SDS. Semua protein akan bermuatan negatif dengan berat jenis yang sama sehingga protein tersebut hanya dapat dipisahkan berdasarkan ukurannya (Hames 1998). Protein dengan berat molekul rendah akan bergerak lebih cepat di dalam gel dibandingkan dengan protein dengan berat molekul besar. Berdasarkan prinsip tersebut berat molekul suatu protein dapat diperkirakan dengan memasukkan marker protein standar yang sudah diketahui berat molekulnya dalam gel yang sama (Ahmed 2005). Elektroforesis dapat dilakukan dalam dua sistem bufer yaitu sistem langsung dan tidak langsung. Sistem langsung (continuous system) hanya menggunakan satu separating gel serta buffer yang sama baik pada gel maupun bak elektroforesis sedangkan pada sistem tidak langsung (discontinuous system) terdiri dari dua macam gel yaitu separating gel dan stacking gel. Kedua gel ini memiliki daya rembes, daya ion, dan ph yang berbeda. Kelebihan penggunaan

27 sistem ini adalah didapatkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan tanpa stacking gel dalam volume sampel yang sama (Ahmed 2005). Deteksi protein dalam gel dilakukan dengan berbagai macam pewarnaan seperti coomassie blue, silver nitrat, dan amido black (Ahmed 2005). Coomassie blue merupakan pewarnaan yang cepat dan sering digunakan untuk visualisasi protein pada gel poliakrilamid (Ahmed 2005; Bonner 2007). Protein dapat terdeteksi oleh coomassie blue apabila konsentrasi sampel protein yang diloading dalam gel sebelum tahapan rehidrasi sebanyak 500 µg sampai dengan 1 mg (Blot 2003). Dibandingkan dengan coomassie blue, pewarnaan silver nitrat jauh lebih sensitif (Janson & Ryden 1998; Blot 2003) bahkan pada konsentrasi nanogram, akan tetapi membutuhkan waktu lebih lama (Ahmed 2005). METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Juli 2010 di Laboratorium Embriologi dan Laboratorium Layanan Pendidikan Terpadu, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

28 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain peralatan bedah steril, pinset, mikropipet, tip, timbangan digital, biosafety cabinet, mikroskop, cawan petri steril, object glass, cover glass, gelas piala, gelas ukur, tabung konikal, tabung eppendorf, mikrofilter, spuit, hemositometer, dan mesin elektroforesis. Bahan bahan yang digunakan antara lain otak tikus (Rattus norvegicus) umur 3 hari (newborn), medium kultur mdmem (Dulbecco s Modified Eagle Medium) yang dimodifikasi dengan penambahan asam amino non esensial (AANE) 10%, fetal bovine serum (FBS) 10%, sodium bikarbonat 3 mm, 2- mercaptoetanol 0,1 mm dan gentamisin 50 µg/ml, phosphate buffered saline yang dimodifikasi dengan penambahan FBS 0,1% dan gentamisin 50 µg/ml (mpbs), insulin transferrin selenium (ITS), pewarna hematoksilin eosin, dan pewarna silver nitrat. Metode Isolasi Sel Saraf Otak Besar Tikus strain SD (Sprague Dawley) umur 3 hari dimatikan terlebih dahulu dengan menggunakan eter kemudian daerah kepala didesinfeksi dengan alkohol 70%. Otak bagian cerebrum diisolasi dan dicuci dengan larutan PBS. Suspensi otak dibuat dengan cara menyedot dan mengeluarkan kembali secara berulang menggunakan spuit 1 cc yang mengandung larutan mpbs. Suspensi dimasukkan ke dalam tabung dan dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 210 g selama 10 menit. Pencucian dilakukan dengan mpbs sebanyak 4 kali ulangan dan medium mdmem sebanyak 1 kali ulangan. Terakhir pelet diresuspensi dalam larutan mdmem sebanyak 1 ml. Kultur Sel Saraf Otak Suspensi otak dengan konsentrasi 10 4 sel/ml dikultur dalam 3 cawan petri yang telah dilapisi dengan gelatin 0,1% dan berisi 2 ml mdmem dengan dan tanpa ITS. Kultur sel otak dilakukan dengan teknik aseptis di dalam clean bench untuk mencegah kontaminasi. Kultur diinkubasi dalam inkubator CO 2 5% pada suhu 37 C. Penggantian medium dilakukan setiap 2 hari untuk menyediakan

29 kembali nutrisi yang berkurang dan membuang sisa metabolisme sel. Kultur dilakukan selama 11 hari atau sampai mencapai konfluen 90%. Pembuatan dan Koleksi Conditioned Medium Kultur yang telah konfluen dilakukan koleksi medium. Medium kultur primer dibuang dan dicuci dengan PBS tanpa FBS. Selanjutnya diganti dengan mdmem tanpa FBS pada masing-masing petri sebanyak 2 ml. Setelah 2 hari medium dikoleksi dan disimpan dalam tabung eppendorf 1,5 ml pada refrigerator. Evaluasi Hasil Kultur Sel Otak Tipe-tipe Sel Identifikasi tipe-tipe sel yang tumbuh dilakukan berdasarkan morfologi sel baik secara natif maupun dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE). Kultur sel yang ditumbuhkan di atas cover glass dicuci menggunakan PBS kemudian difiksasi dalam larutan buffer paraformaldehid 4% selama 24 jam. Setelah 24 jam dilakukan penyimpanan dalam alkohol 50% selama 2 jam kemudian dalam alkohol 70% sampai dengan dilakukan pewarnaan HE. Kultur yang disimpan dalam alkohol 70% sebelum diwarnai dilakukan stopping point dalam alkohol 50% selama 3 menit. Selanjutnya direndam dalam aquades selama 5 menit, hematoksilin 4 menit, dan dibilas dengan aquades. Selanjutnya dilakukan perendaman dalam eosin selama 2 menit dan dibilas dengan aquades. Pewarnaan dilanjutkan dengan dehidrasi bertingkat dalam alkohol 70%, 80%, 90%, 96%, absolut 3 kali ulangan, masing-masing 10 menit dan dilanjutkan dalam xilol dua kali ulangan kemudian dimounting pada object glass menggunakan entelan. Evaluasi dilakukan dengan mengamati morfologi sel dengan mikroskop cahaya pada perbesaran 40x10. Tingkat Proliferasi dan Population Doubling Time Tingkat poliferasi ditentukan berdasarkan penghitungan jumlah sel sebelum dan setelah kultur mencapai konfluen 90%. Peningkatan (proliferasi) sel diketahui dari total sel yang tumbuh menggunakan kamar hitung hemositometer Improved Neubauer dengan perhitungan sebagai berikut: Total sel (sel /ml) = jumlah sel pada 5 kotak x faktor pengenceran x 10 4

30 Sedangkan Population Doubling Time (PDT) dihitung menggunakan rumus: PDT (hari) = 1 ( log jumlah sel akhir- log jumlah sel awal) x 3,32 waktu Pertumbuhan Panjang Akson dan Dendrit Pertumbuhan panjang akson dan dendrit diamati dengan mikroskop pada perbesaran 40x10 dan diukur menggunakan mikrometer. Satu skala mikrometer pada perbesaran 40x10 setara dengan 2,5 µm. Jumlah sel yang diukur sebanyak 50 sel untuk masing-masing ulangan. Identifikasi Protein Menggunakan Sodium Dodecyl Sulfate Polyacrilamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE) Elektroforesis diawali dengan pembuatan gel poliakrilamid yang terdiri atas dua bagian yaitu separating gel 12% dan stacking gel 4%. Selanjutnya chamber alat elektroforesis diisi dengan running buffer 1x sampai bagian bawah gel terendam. Sampel dari CM kultur sel saraf sebanyak 15 µl dicampurkan dengan loading buffer (1:2) dan dimasukkan ke dalam sumur gel. Larutan baku protein dimasukkan juga ke dalam gel sebagai marker. Elektroforesis dijalankan pada tegangan 120 V dan arus listrik sebesar 25 A selama 3 jam. Setelah proses running selesai, gel dilepaskan secara hati-hati dari lempeng kaca dan selanjutnya dilakukan visualisasi protein dengan pewarnaan silver nitrat. Rancangan Percobaan Kultur sel-sel saraf dibagi menjadi dua kelompok perlakuan berdasarkan kondisi medium yang digunakan yaitu (1) mdmem dan (2) mdmem yang ditambah dengan ITS (insulin 5 µg/ml, transferin 10 µg/ml, selenium 5 µg/ml) masing-masing sebanyak tiga kali ulangan. Parameter yang diamati adalah tipe sel yang tumbuh berdasarkan morfologi, panjang akson dan dendrit, komposisi sel saraf dan sel glia, tingkat proliferasi sel dan population doubling time, serta kandungan protein yang disekresikan. Data tipe-tipe sel berdasarkan morfologi sel serta gambaran protein diuraikan secara deskriptif sedangkan data kuantitantif

31 yaitu tingkat proliferasi, PDT dan panjang akson-dendrit dianalisis menggunakan metoda statistik T-test dengan tingkat kepercayaan 95%. HASIL DAN PEMBAHASAN Tipe-tipe Sel yang Tumbuh dan Berkembang dalam Kultur

32 Berdasarkan morfologi, sel-sel yang tumbuh dan berkembang dalam kultur primer terdiri dari dua tipe sel yaitu sel saraf dan sel-sel glia. Tipe sel saraf yang teramati dalam kultur adalah sel saraf bipolar dan sel saraf multipolar (Gambar 3). d a A a s d s B Gambar 3 Morfologi sel-sel saraf dalam kultur in vitro, a: akson, d: dendrit, s: badan sel. (A) Sel saraf multipolar. (B) Sel saraf bipolar. Pewarnaan HE. Bar: 10µm. Sel saraf umumnya memiliki morfologi badan sel yang besar dengan penjuluran akson dan dendrit. Morfologi sel saraf mudah diidentifikasi karena dicirikan oleh banyaknya penjuluran panjang yang khas (Junqueira & Carneiro 2005). Sel saraf bipolar memiliki inti sel bulat dengan satu penjuluran akson dan satu penjuluran dendrit. Sel saraf multipolar memiliki morfologi inti sel besar dengan beberapa penjuluran dendrit dan satu penjuluran akson. Penyusun utama jaringan saraf adalah sel saraf dan sel glia (Beresford 2001) dan sel saraf multipolar dan sel saraf bipolar merupakan jenis sel saraf yang sering ditemukan dalam susunan saraf pusat (Junqueira & Carneiro 2005; Cormack 2001). Tidak ditemukannya sel saraf unipolar dalam kultur karena biasanya sel ini berbentuk menyerupai sel saraf bipolar. Ditegaskan pula oleh Beitz dan Fletcher (2006) bahwa sel saraf unipolar berasal dari sel saraf bipolar dan setelah dewasa (mature) akan berkembang menjadi sel saraf bipolar. Sel-sel glia diidentifikasi dengan melihat morfologi, memiliki inti sel yang lebih gelap, dan ukuran yang relatif lebih kecil dari sel saraf. Sel glia yang teramati dalam kultur antara lain astrosit, oligodendrosit, dan mikroglia (Gambar 4). Sel glia terlihat lebih gelap dengan pewarnaan HE akan. Hal ini dikarenakan pada inti sel mengandung banyak kromatin (Beitz & Fletcher 2006). Astrosit

33 memiliki morfologi yang khas dengan penjuluran sitoplasma seperti bintang. Astrosit protoplasmik memiliki inti yang bulat berbeda dengan astrosit fibrous yang memiliki inti sedikit lebar dan memanjang. Oligodendrosit dapat diidentifikasi dari morfologinya yang menyerupai astrosit dengan jumlah penjuluran lebih sedikit dan kecil. Mikroglia memiliki inti sel kecil dan bulat dikelilingi dengan banyak penjuluran berukuran kecil. A B C D Gambar 4 Morfologi sel glia. (A) Astrosit protoplasmik. (B) Astrosit fibrous. (C) Oligodendrosit. (D) Mikroglia. Pewarnaan HE. Bar: 10µm. Beberapa sel glia seperti sel Schwann dan sel ependymal tidak ditemukan dalam pengamatan. Tidak ditemukannya pertumbuhan sel Schwann dalam kultur karena sel tipe ini ditemukan di susunan saraf perifer (Junqueira & Carneiro 2005). Sel-sel ependymal memiliki morfologi yang cukup berbeda dibandingkan sel glia lainnya akan tetapi sel ini juga tidak ditemukan di dalam kultur. Sel ini berbentuk seperti epitel kubus dan kadang memiliki silia (Junqueira & Carneiro 2005). Identifikasi dan karakterisasi sel ini berdasarkan penelitian Gabrion et al. (1998) dilakukan menggunakan transmission electron microscopy (TEM) dan teknik pewarnaan imunositokimia. Sel-sel glia yang ditemukan dalam kultur memiliki fungsi masing-masing yang spesifik. Astrosit berfungsi dalam memberi nutrisi sel saraf, mengontrol

34 sinyal antarneuron, mengatur ion dan metabolisme sel saraf, serta sebagai blood brain barrier (Cormack 2001). Oligodendrosit berfungsi dalam sintesis selubung myelin sedangkan mikroglia berfungsi sebagai makrofag dalam jaringan saraf (Junqueira & Carneiro 2005). Sel saraf berkembang dari progenitor saraf yang belum berdiferensiasi (Svendsen et al. 2001). Progenitor saraf atau neuroblast yang ditemukan dalam kultur memiliki morfologi bulat, bulat dengan disertai penjuluran pendek (bipolar neuroblast), serta berbentuk spindel yang memanjang (Gambar 5). Menurut Tzeng (2002) umumnya neuroblast di dalam kultur berbentuk bulat. Neuroblast akan berkembang menjadi sel saraf dan penjuluran neuroblast pada akhirnya akan membentuk akson dan dendrit (Kalverbour et al. 1999). Gambar 5 Morfologi neuroblast (tanda panah) dengan pengamatan secara natif. Bar: 10 µm. Sel saraf selain dikelilingi oleh berbagai sel glia juga dikelilingi oleh protein transmitter. Protein ini memiliki morfologi bulat, memiliki ukuran kecil, dan menempel pada sel saraf dengan jumlah cukup banyak (Gambar 6). Sel ini dibedakan dengan sel glia dengan melihat morfologi dan cara menempel pada sel saraf. Sel glia menempel pada sel saraf melalui penjuluran-penjulurannya sedangkan protein transmitter tidak memiliki penjuluran.

35 a s n d Gambar 6 Morfologi sel saraf dengan pengamatan secara natif, a: akson, d: dendrit, s: soma, n: inti sel, tanda panah: protein transmitter. Bar: 10 µm. Beberapa sel saraf ditemukan memiliki myelin. Myelin tampak seperti badan sel saraf namun berukuran kecil dan hanya terdapat pada akson (Gambar 7). Antar myelin dipisahkan oleh nodus Ranvier yang merupakan bagian akson yang tidak bermyelin (Agamanolis 2010). Myelin berfungsi untuk melindungi akson dan meningkatkan kecepatan impuls. Pada saraf perifer myelin dibentuk oleh sel Scwann sedangkan pada saraf pusat dibentuk oleh oligodendrosit (Agamanolis 2010). Gambar 7 Sel saraf bipolar dengan akson bermyelin (tanda panah hitam) yang dipisahkan oleh nodus Ranvier (tanda panah merah). Bar: 10 µm. Pertumbuhan Sel Saraf Tingkat Proliferasi dan Population Doubling Time. Jumlah sel yang tumbuh dalam medium mdmem dengan penambahan ITS secara nyata lebih banyak dibandingkan dengan medium mdmem (P<0,05). Demikian pula dengan

36 PDT yang dihasilkan pada medium mdmem+its lebih cepat dibandingkan tanpa penambahan ITS (Tabel 1). Tabel 1 Tingkat proliferasi sel yang tumbuh dalam medium mdmem dan mdmem+its Jumlah awal mdmem mdmem+its Jumlah akhir PDT Jumlah akhir PDT 9,0x10 4 6,2x10 5a ± ,9 ± 0,3 8,6x10 5b ± ,2 ± 0,2 Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0,05). Menurut Freshney (1994) insulin dalam suplemen ITS memiliki fungsi untuk meningkatkan penyerapan glukosa dan asam amino ke dalam sel. Efek mitogenik yang dihasilkan insulin dikarenakan pada sel terdapat reseptor terhadap insulin yaitu insulin-like growth factor receptor (reseptor IGF-1). Adanya transferin dan selenium juga membantu pertumbuhan sel menjadi lebih baik. Transferin diketahui sebagai protein pengangkut zat besi ke dalam sel. Protein ini juga dapat mengoptimalkan pertumbuhan sel melalui proses detoksifikasi terhadap peroksidase dan radikal bebas dalam medium (Freshney 1994). Selenium dalam medium digunakan sebagai antioksidan. Selenium dapat mengoptimalkan pertumbuhan sel melalui aktivasi glutathione peroxidase yang berfungsi dalam detoksifikasi dari radikal bebas. Suplemen ITS selain berfungsi dalam pertumbuhan sel juga dipakai untuk mengurangi penggunaan serum dalam medium (Freshney 1994). Population Doubling Time (PDT) adalah waktu yang diperlukan oleh populasi sel untuk menjadikan jumlahnya dua kali dari jumlah semula. Sel saraf yang dikultur dalam medium dengan dan tanpa ITS menunjukkan kisaran PDT yang normal. Menurut Martin (1994) sel saraf memiliki PDT sekitar 3-4 hari. Proliferasi sel yang cepat ditunjukkan dengan PDT yang rendah. Kultur sel saraf dalam medium dengan ITS menunjukkan nilai PDT yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan ITS ke dalam medium mampu meningkatkan proliferasi sel. Panjang Akson dan Dendrit. Panjang akson dalam medium mdmem berkisar dari µm dengan rata-rata 167,7 µm dan panjang dendrit 20,3-432

37 µm dengan rata-rata 102,5 µm. Panjang akson dalam medium mdmem+its berkisar dari 52,2-478,5µm dengan rata-rata 211,3 µm dan panjang dendrit 20,3-252,3 µm dengan rata-rata 115 µm. Panjang akson dan dendrit dalam medium mdmem dan mdmem+its tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Namun demikian secara rataan didapatkan angka lebih besar pada medium mdmem+its (Tabel 2). Tabel 2 Rataan panjang akson dan dendrit pada medium mdmem dan mdmem+its Parameter Ukuran panjang (µm ) dalam medium mdmem mdmem+its akson 167,7 ± 9,6 211,3 ± 36,4 dendrit 102,5 ± 6,6 115,0 ± 26,9 Akson dan dendrit dijadikan salah satu parameter ukuran pertumbuhan sel karena sel saraf yang mature dilihat dari ukuran akson dan dendrit yang dimilikinya. Isnaeni (2006) memaparkan bahwa penjuluran dendrit dan akson sangat bervariasi dalam ukuran dan bentuk. Hasil pengukuran menunjukkan panjang akson dan dendrit yang dihasilkan dari kultur sel saraf memiliki ukuran bervariasi yaitu berkisar antara µm. Menurut Korogod dan Dumont (2009) ukuran dendrit yang paling pendek pada tikus adalah 20,803 µm dan dapat mencapai panjang µm. Akson umumnya memiliki ukuran lebih panjang daripada dendrit meskipun beberapa neuron ditemukan memiliki ukuran akson yang pendek (Junqueira & Carneiro 2005). Sama seperti dendrit, ukuran akson yang dihasilkan dalam kultur juga bervariasi. Akson tikus berukuran kurang dari 1 mm dan dapat mencapai panjang 1 cm (Barres 1997). Ukuran akson yang dihasilkan dalam kultur relatif lebih pendek. Butler (2004) menyatakan bahwa pertumbuhan akson dan dendrit dapat menjadi lebih baik dengan penambahan NGF ke dalam kultur. Neuron cukup dapat teramati dengan pewarnaan HE namun penjuluran neuron tidak terwarnai jelas dengan HE (Agamanolis 2010). Akson dan dendrit dapat ditunjukkan dengan lebih jelas dengan pewarnaan silver (Agamanolis

38 2010). Umumnya pewarnaan silver yang digunakan untuk mewarnai akson dan dendrit adalah Bielschowsky stain (Agamanolis 2010). Komposisi Sel Saraf dan Glia. Hasil kultur in vitro menunjukkan bahwa komposisi rata-rata antara sel saraf dan glia tidak berbeda nyata yaitu masingmasing 47,8% dan 52,2%. (Tabel 3). Hasil pengamatan dengan menggunakan mikroskop menunjukkan jumlah sel saraf dan sel glia lebih banyak pada medium mdmem+its dibandingkan dengan dalam medium DMEM namun persentase sel-sel tersebut dalam kedua medium tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa sel yang dihasilkan memiliki komposisi yang sama tetapi berbeda tingkat kepadatannya. Tingkat kepadatan lebih tinggi dihasilkan pada medium mdmem+its. Tabel 3 Persentase sel saraf dan sel glia yang berkembang di dalam kultur (%) Jenis sel mdmem Medium mdmem+its Rata-rata Sel saraf 48,5 ± 10,3 47,16 ± 1,06 47,8 Sel glia 51,5 ± 10,3 52,84 ± 1,06 52,2 Sel glia memiliki persentase lebih banyak daripada sel saraf. Menurut Junqueira & Carneiro (2005) jumlah sel glia 10 kali lebih banyak dibandingkan dengan sel saraf dan mengisi jaringan saraf sebesar 90% (Beitz dan Fletcher 2006). Sel glia memiliki jumlah lebih banyak karena digunakan untuk membantu pertumbuhan sel saraf melalui absorbsi nutrisi secara optimal. Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh jumlah sel glia sedikit lebih banyak daripada sel saraf yaitu 52,2%. Komposisi sel saraf dan sel glia memiliki persentase yang sama pada otak manusia. Pewarnaan HE kurang mampu menggambarkan sel glia secara jelas terutama untuk sel yang berukuran sangat kecil. Penggunaan imunositokimia dalam pewarnaan sel dapat membantu identifikasi sel glia secara jelas (Beitz & Fletcher 2006). Analisis Protein pada Kultur Sel Saraf Otak dengan Menggunakan SDS- PAGE

39 Hasil elektroforesis menunjukkan bahwa CM yang dikoleksi dari kultur sel saraf baik dari medium mdmem maupun mdmem+its menghasilkan tiga pita dengan perkiraan berat molekul (BM) +66, +55 dan +30 kda yang menunjukkan intensitas pita tebal (Gambar 8). Sampel CM medium dengan penambahan ITS menunjukkan intensitas warna yang lebih gelap pada gel elektroforesis yang mengindikasikan konsentrasi protein yang lebih tinggi. Hal ini selaras dengan hasil pada Tabel 1 yang menunjukkan bahwa jumlah sel yang tumbuh dalam mdmem+its lebih tinggi dibandingkan dengan dalam mdmem. Jumlah sel yang tinggi akan menghasilkan konsentrasi protein yang tinggi pula ,3 kda 55,4 kda 36,5 kda 21,5 kda 3,5 kda Gambar 8 Hasil SDS elektroforesis CM kultur sel saraf yang diwarnai dengan silver nitrat. (1) Unstained marker. (2) Sampel mdmem. (3) Sampel mdmem+its. Sel saraf menghasilkan berbagai macam protein diantaranya protein tau, protein MBP (myelin basic protein), dan protein PLP (proteolipid protein). Protein tau memiliki berat molekul cukup besar yaitu kda (Holzer 2002). Protein yang dihasilkan myelin memiliki berat molekul lebih ringan, misalnya protein MBP yang memiliki berat molekul 21,5 kda dan protein PLP dengan berat molekul 30 kda (Quarles et al. 2006). Growth factor yang dihasilkan oleh sel saraf antara lain nerve growth factor (NGF), glial derived neurotrophic factor (GDNF), nestin, dan glial fibrillary acidic protein (GFAP) dengan berat molekul

HASIL DAN PEMBAHASAN Tipe-tipe Sel yang Tumbuh dan Berkembang dalam Kultur

HASIL DAN PEMBAHASAN Tipe-tipe Sel yang Tumbuh dan Berkembang dalam Kultur yaitu tingkat proliferasi, PDT dan panjang akson-dendrit dianalisis menggunakan metoda statistik T-test dengan tingkat kepercayaan 95%. HASIL DAN PEMBAHASAN Tipe-tipe Sel yang Tumbuh dan Berkembang dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tujuan

TINJAUAN PUSTAKA. Tujuan Dibandingkan dengan tipe sel lain seperti sel fibroblas dan epitel, kultur primer sel saraf otak lebih susah ditumbuhkan. Sel saraf berkembang dari progenitor saraf dan tidak mampu membelah ketika sudah

Lebih terperinci

Lampiran 1 Pembuatan Medium Kultur DMEM Lampiran 2 Pembuatan Larutan PBS Lampiran 3 Prosedur Pewarnaan HE

Lampiran 1 Pembuatan Medium Kultur DMEM Lampiran 2 Pembuatan Larutan PBS Lampiran 3 Prosedur Pewarnaan HE LAMPIRAN Lampiran 1 Pembuatan Medium Kultur DMEM Medium kultur DMEM merupakan medium Dulbecco s Modified Eagle s Medium (DMEM; Sigma) yang telah dimodifikasi dengan penambahan asam amino non-esensial (AANE;

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Morfologi Sel Fibroblas dalam Kultur In Vitro Hasil pengamatan kultur sel otot fetus tikus menunjukkan secara morfologi adanya dua bentuk sel, yakni sel fibrosit, berbentuk spindel

Lebih terperinci

PENGARUH CONDITIONED MEDIUM RAT EMBRYONIC FIBROBLAST

PENGARUH CONDITIONED MEDIUM RAT EMBRYONIC FIBROBLAST i PENGARUH CONDITIONED MEDIUM RAT EMBRYONIC FIBROBLAST (CM-REF) DENGAN DAN TANPA LEUKEMIA INHIBITORY FACTOR (LIF) DALAM MEDIUM TERHADAP TINGKAT PROLIFERASI DAN SIFAT PLURIPOTENSI MESENCHYMAL STEM CELL

Lebih terperinci

DIFERENSIASI EMBRYONIC STEM CELLS MENCIT MENJADI NEURON MENGGUNAKAN CONDITIONED MEDIUM RIRIS LINDIAWATI PUSPITASARI

DIFERENSIASI EMBRYONIC STEM CELLS MENCIT MENJADI NEURON MENGGUNAKAN CONDITIONED MEDIUM RIRIS LINDIAWATI PUSPITASARI DIFERENSIASI EMBRYONIC STEM CELLS MENCIT MENJADI NEURON MENGGUNAKAN CONDITIONED MEDIUM RIRIS LINDIAWATI PUSPITASARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN ORISINALITAS Dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kehidupan modern dewasa ini menyebabkan tingkat stress yang tinggi, sehingga menjadi salah satu faktor pemicu berkembangnya berbagai macam penyakit yang memerlukan penanganan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Tanaman mahkota dewa (Winarto 2009).

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Tanaman mahkota dewa (Winarto 2009). TINJAUAN PUSTAKA Mahkota Dewa Di daerah Sumatera (Melayu), mahkota dewa dikenal dengan nama buah simalakama sedangkan di pulau Jawa mahkota dewa dikenal dengan nama makuto dewo (Habsari 2010). Sistematika

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. primer sel otak fetus hamster ini merupakan penelitian eksperimental yang

BAB III METODE PENELITIAN. primer sel otak fetus hamster ini merupakan penelitian eksperimental yang 32 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian peran vitamin E (alpha tokoferol) terhadap proliferasi kultur primer sel otak fetus hamster ini merupakan penelitian eksperimental yang

Lebih terperinci

Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Metode Penelitian Pembuatan Tikus Diabetes Mellitus Persiapan Hewan Coba

Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Metode Penelitian Pembuatan Tikus Diabetes Mellitus Persiapan Hewan Coba Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2007 sampai dengan bulan Juli 2008 di Laboratorium Bersama Hewan Percobaan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

Jaringan syaraf. Jaringan syaraf = Jaringan komunikasi. Mengubah rangsang menjadi impuls. Memberikan jawaban terhadap rangsang

Jaringan syaraf. Jaringan syaraf = Jaringan komunikasi. Mengubah rangsang menjadi impuls. Memberikan jawaban terhadap rangsang Jaringan syaraf Jaringan syaraf = Jaringan komunikasi Menerima rangsang Mengubah rangsang menjadi impuls Meneruskan impuls ke saraf pusat Memberikan jawaban terhadap rangsang Sel syaraf punya tonjolan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian Pengaruh Vitamin E (α-tocoferol) Terhadap Kerusakan,

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian Pengaruh Vitamin E (α-tocoferol) Terhadap Kerusakan, BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian Pengaruh Vitamin E (α-tocoferol) Terhadap Kerusakan, Viabilitas, dan Abnormalitas Kultur Primer Sel Paru-Paru Fetus Hamster Yang Dipapar Etanol

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahapan dalam siklus sel. Sebagaimana Allah Swt berfirman dalam surat an Nuh :

BAB I PENDAHULUAN. tahapan dalam siklus sel. Sebagaimana Allah Swt berfirman dalam surat an Nuh : 13 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu ciri kehidupan sel ditandai dengan terjadinya proliferasi. Proliferasi merupakan pertumbuhan yang disebabkan oleh pembelahan sel yang aktif dan bukan

Lebih terperinci

Efek Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) terhadap Proliperasi dan Diferensiasi Sel Otak Besar Anak Tikus Berumur 3 Hari in vitro

Efek Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) terhadap Proliperasi dan Diferensiasi Sel Otak Besar Anak Tikus Berumur 3 Hari in vitro Efek Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) terhadap Proliperasi dan Diferensiasi Sel Otak Besar Anak Tikus Berumur 3 Hari in vitro Min Rahminiwati Ita Djuwita Yunita Ardini Latifah K Darusman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. milyaran sel-sel neuron yang berorganisasi dengan berbagai macam jaringan. proses proliferasi pada sel saraf otak (Sloane, 2003).

BAB I PENDAHULUAN. milyaran sel-sel neuron yang berorganisasi dengan berbagai macam jaringan. proses proliferasi pada sel saraf otak (Sloane, 2003). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem saraf merupakan struktur pusat pengaturan yang tersusun oleh milyaran sel-sel neuron yang berorganisasi dengan berbagai macam jaringan (Carlsson dkk, 2000).

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN 25 BAB 5 HASIL PENELITIAN Pada penelitian ini viabilitas sel diperoleh dari rerata optical density (OD) MTT assay dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Viabilitas sel (%) = (OD perlakuan / OD kontrol)

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Pemberian Vitamin E (α-tokoferol) dalam Media DMEM terhadap Konfluenitas Sel Ginjal Fetus Hamster yang Dikultur Primer Berdasarkan hasil penelitian dan analisis

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Rancangan Percobaan Metode Penelitian Koleksi Blastosis

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Rancangan Percobaan Metode Penelitian Koleksi Blastosis METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai dari September 2006 sampai dengan Mei 2007, di Laboratorium Embriologi dan Laboratorium Histologi, Departemen Anatomi, Fisiologi,

Lebih terperinci

Lampiran 1. Pembuatan Larutan Buffer untuk Dialisa Larutan buffer yang digunakan pada proses dialisa adalah larutan buffer Asetat 10 mm ph 5,4 dan

Lampiran 1. Pembuatan Larutan Buffer untuk Dialisa Larutan buffer yang digunakan pada proses dialisa adalah larutan buffer Asetat 10 mm ph 5,4 dan 39 Lampiran 1. Pembuatan Larutan Buffer untuk Dialisa Larutan buffer yang digunakan pada proses dialisa adalah larutan buffer Asetat 10 mm ph 5,4 dan buffer Asetat 20 mm ph 5,4. Larutan buffer asetat 10

Lebih terperinci

Fetus Hamster. Ginjal Fetus Hamster FBS

Fetus Hamster. Ginjal Fetus Hamster FBS 55 Lampiran 1. Kerangka Konsep Penelitian Fetus Hamster Ginjal Fetus Hamster Vitamin E FBS Media DMEM Konsentrasi: 1. 0 µm 2. 25 µm 3. 50 µm 4. 75 µm 5. 100 µm 6. 125 µm Vitamin Asam Amino Garam Glukosa

Lebih terperinci

Anesty Claresta

Anesty Claresta Anesty Claresta 102011223 Skenario Seorang perempuan berusia 55 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan berdebar sejak seminggu yang lalu. Keluhan berdebar ini terjadi ketika ia mengingat suaminya yang

Lebih terperinci

Lampiran 1 Prosedur Rotofor

Lampiran 1 Prosedur Rotofor Lampiran 1 Prosedur Rotofor Kalibrasi Membran Ion Membran ion terdiri dari membran kation yang berkorelasi dengan elektrolit H 3 PO 4 0,1 N terpasang pada elektroda anoda sebagai pembawa ion positif, sedangkan

Lebih terperinci

PROSEDUR TETAP PENGAMATAN EKSPRESI PROTEIN DENGAN METODE IMUNOSITOKIMIA

PROSEDUR TETAP PENGAMATAN EKSPRESI PROTEIN DENGAN METODE IMUNOSITOKIMIA Halaman 1 dari 7 FARMASI UGM Dokumen nomor : 0201200 Tanggal : 24 Maret 2009 URAIAN DIBUAT OLEH DIPERIKSA OLEH DIPERIKSA OLEH DISETUJUI OLEH Jabatan Staf Staf Supervisor Pimpinan Paraf Nama Aditya Fitriasari

Lebih terperinci

I. Tujuan Menentukan berat molekul protein dengan fraksinasi (NH 4 ) 2 SO 4 Teori Dasar

I. Tujuan Menentukan berat molekul protein dengan fraksinasi (NH 4 ) 2 SO 4 Teori Dasar I. Tujuan II. Menentukan berat molekul protein dengan fraksinasi (NH 4 ) 2 SO 4 Teori Dasar Penamabahan garam pada konsentrasi rendah dapat meningkatkan kelarutan protein (salting in). tetapi protein akan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2006 hingga Agustus 2007. Penangkapan polen dilakukan di kecamatan Pasar Minggu Jakarta Selatan dan analisa

Lebih terperinci

JARINGAN DASAR HEWAN. Tujuan : Mengenal tipe-tipe jaringan dasar yang ditemukan pada hewan. PENDAHULUAN

JARINGAN DASAR HEWAN. Tujuan : Mengenal tipe-tipe jaringan dasar yang ditemukan pada hewan. PENDAHULUAN JARINGAN DASAR HEWAN Tujuan : Mengenal tipe-tipe jaringan dasar yang ditemukan pada hewan. PENDAHULUAN Tubuh hewan terdiri atas jaringan-jaringan atau sekelompok sel yang mempunyai struktur dan fungsi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. terhadap proliferasi sel ginjal fetus hamster yang dikultur primer merupakan

BAB III METODE PENELITIAN. terhadap proliferasi sel ginjal fetus hamster yang dikultur primer merupakan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian tentang peran pemberian vitamin E dalam media DMEM terhadap proliferasi sel ginjal fetus hamster yang dikultur primer merupakan penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1.Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Riset Kimia Universitas Pendidikan Indonesia dan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Proliferasi Berdasarkan Population Doubling Time (PDT) Population Doubling Time (PDT) adalah waktu yang diperlukan oleh populasi sel untuk menjadikan jumlahnya dua

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Pertumbuhan dan Peremajaan Isolat Pengamatan Morfologi Isolat B. thuringiensis

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Pertumbuhan dan Peremajaan Isolat Pengamatan Morfologi Isolat B. thuringiensis 13 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, IPB, dari bulan Oktober 2011 Mei 2012. Bahan Isolasi untuk memperoleh isolat B. thuringiensis

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. asiatica L.) terhadap Pertumbuhan Sel Hepar Baby hamster yang Dipapar 7.12-

BAB III METODE PENELITIAN. asiatica L.) terhadap Pertumbuhan Sel Hepar Baby hamster yang Dipapar 7.12- BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian tentang Pengaruh Ekstrak Pegagan (Centella asiatica L.) terhadap Pertumbuhan Sel Hepar Baby hamster yang Dipapar 7.12- dimetilbenz(α)antrasen

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul PENGARUH PENAMBAHAN. AIR KELAPA (Cocos nucifera) TERHADAP VIABILITAS KULTUR SEL

KATA PENGANTAR. penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul PENGARUH PENAMBAHAN. AIR KELAPA (Cocos nucifera) TERHADAP VIABILITAS KULTUR SEL KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia sampai saat ini sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sel Fibroblas Morfologi dan Peranan Sel Fibroblas

TINJAUAN PUSTAKA Sel Fibroblas Morfologi dan Peranan Sel Fibroblas TINJAUAN PUSTAKA Sel Fibroblas Jaringan ikat merupakan jaringan yang bertanggung jawab untuk menunjang dan memelihara integritas struktur tubuh (Junquieira dan Carneiro 2005). Jaringan ini terdiri dari

Lebih terperinci

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. 4.1 Jenis Penelitian Penelitian ini adalah eksperimental laboratorik. Penanaman sel ke 96-wells plate. Uji Viabilitas Sel

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. 4.1 Jenis Penelitian Penelitian ini adalah eksperimental laboratorik. Penanaman sel ke 96-wells plate. Uji Viabilitas Sel BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian Penelitian ini adalah eksperimental laboratorik. 4.2 Alur Penelitian Kultur Sel dari Penyimpanan Nitrogen Cair Inkubasi selama 48 jam dalam inkubator dengan

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN BAB 5 HASIL PENELITIAN Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sel-sel pulpa hasil subkultur dari kultur primer sel pulpa gigi sehat. Gambaran mikroskopis kultur sel primer dan subkultur sel-sel

Lebih terperinci

Pertumbuhan dan Sekresi Protein Hasil Kultur Primer Sel-Sel Serebrum Anak Tikus

Pertumbuhan dan Sekresi Protein Hasil Kultur Primer Sel-Sel Serebrum Anak Tikus ISSN : 1411-8327 Pertumbuhan dan Sekresi Protein Hasil Kultur Primer Sel-Sel Serebrum Anak Tikus (IN VITRO GROWTH AND PROTEIN SECRETION OF NEWBORN RAT CEREBRAL PRIMARY CELLS CULTURE) Ita Djuwita 1*, Vivit

Lebih terperinci

PENGARUH CONDITIONED MEDIUM RAT EMBRYONIC FIBROBLAST

PENGARUH CONDITIONED MEDIUM RAT EMBRYONIC FIBROBLAST i PENGARUH CONDITIONED MEDIUM RAT EMBRYONIC FIBROBLAST (CM-REF) DENGAN DAN TANPA LEUKEMIA INHIBITORY FACTOR (LIF) DALAM MEDIUM TERHADAP TINGKAT PROLIFERASI DAN SIFAT PLURIPOTENSI MESENCHYMAL STEM CELL

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA PERCOBAAN KE 2 PEMISAHAN PROTEIN PUTIH TELUR DENGAN FRAKSINASI (NH 4 ) 2 SO 4

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA PERCOBAAN KE 2 PEMISAHAN PROTEIN PUTIH TELUR DENGAN FRAKSINASI (NH 4 ) 2 SO 4 LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA PERCOBAAN KE 2 PEMISAHAN PROTEIN PUTIH TELUR DENGAN FRAKSINASI (NH 4 ) 2 SO 4 Disusun oleh : Ulan Darulan - 10511046 Kelompok 1 Asisten Praktikum : R. Roro Rika Damayanti (10510065)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memicu timbulnya penyakit degeneratif termasuk kanker. Kandungan terbesar dalam

BAB I PENDAHULUAN. memicu timbulnya penyakit degeneratif termasuk kanker. Kandungan terbesar dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan alkohol sebagai minuman yang sudah tentu bertentangan dengan ajaran islam saat ini ada kecenderungan meningkat di masyarakat. Penggunaan alkohol terutama

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. metode freeze drying kemudian dilakukan variasi waktu perendaman SBF yaitu 0

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. metode freeze drying kemudian dilakukan variasi waktu perendaman SBF yaitu 0 37 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini sampel komposit hidroksiapatit-gelatin dibuat menggunakan metode freeze drying kemudian dilakukan variasi waktu perendaman SBF yaitu 0 hari, 1 hari, 7 hari

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh Vitamin E (α-tokoferol) terhadap persentase

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh Vitamin E (α-tokoferol) terhadap persentase BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian tentang pengaruh Vitamin E (α-tokoferol) terhadap persentase kerusakan, viabilitas, dan abnormalitas sel yang dipapar etanol pada kultur sel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap tubuh karena akan mengalami proses detoksifikasi di dalam organ tubuh.

BAB I PENDAHULUAN. terhadap tubuh karena akan mengalami proses detoksifikasi di dalam organ tubuh. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Alkohol merupakan zat kimia yang dapat menimbulkan berbagai dampak terhadap tubuh karena akan mengalami proses detoksifikasi di dalam organ tubuh. Penggunaan alkohol

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Alur penelitian yang akan dilakukan secara umum digambarkan dalam skema pada Gambar 6.

METODE PENELITIAN. Alur penelitian yang akan dilakukan secara umum digambarkan dalam skema pada Gambar 6. METODE PENELITIAN Alur penelitian yang akan dilakukan secara umum digambarkan dalam skema pada Gambar 6. Pengujian probiotik secara in vivo pada tikus percobaan yang dibagi menjadi 6 kelompok perlakuan,

Lebih terperinci

RPMI 1640 medium. Kanamisin 250 µg. Coomassie brilliant blue G-250

RPMI 1640 medium. Kanamisin 250 µg. Coomassie brilliant blue G-250 86 Lampiran 1. Larutan yang digunakan pada medium RPMI 1640 RPMI 1640 medium 10,4 g Penisilin G 100.000 IU Streptomisin 100 mg Gentamisin 5 mg Kanamisin 250 µg Semua bahan tersebut dilarutkan kedalam 1000

Lebih terperinci

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 3. Sistem Koordinasi dan Alat InderaLatihan Soal 3.1

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 3. Sistem Koordinasi dan Alat InderaLatihan Soal 3.1 SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 3. Sistem Koordinasi dan Alat InderaLatihan Soal 3.1 1. Perhatikan gambar berikut! Sel yang ditunjukkan gambar diatas adalah... neuron nefron neurit nucleus Kunci Jawaban : A

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. ahli medis, bahkan orang awam diseluruh penjuru dunia. Sesuai dengan kata yang

BAB I. PENDAHULUAN. ahli medis, bahkan orang awam diseluruh penjuru dunia. Sesuai dengan kata yang BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini, stem sel telah menjadi topik utama pembicaraan banyak ilmuwan, ahli medis, bahkan orang awam diseluruh penjuru dunia. Sesuai dengan kata yang menyusunnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Fakta menunjukkan bahwa pada proses penuaan terjadi kemunduran dan deplesi jumlah sel

BAB I PENDAHULUAN. Fakta menunjukkan bahwa pada proses penuaan terjadi kemunduran dan deplesi jumlah sel BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fakta menunjukkan bahwa pada proses penuaan terjadi kemunduran dan deplesi jumlah sel Langerhans di epidermis, yakni sel efektor imunogen pada kulit, penurunan daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mempertahankan integritas membran sel, sehingga kondisi sel tersebut

BAB I PENDAHULUAN. untuk mempertahankan integritas membran sel, sehingga kondisi sel tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Vitamin E dalam media kultur mempunyai peran penting, diantarannya adalah untuk mempertahankan integritas membran sel, sehingga kondisi sel tersebut seimbang dan dapat

Lebih terperinci

KULTUR IN VITRO SEL-SEL FIBROBLAS FETUS TIKUS HARLYSTIARINI

KULTUR IN VITRO SEL-SEL FIBROBLAS FETUS TIKUS HARLYSTIARINI KULTUR IN VITRO SEL-SEL FIBROBLAS FETUS TIKUS HARLYSTIARINI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan bahwa skripsi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Alur penelitian yang akan dilakukan secara umum digambarkan dalam skema pada Gambar 5.

BAHAN DAN METODE. Alur penelitian yang akan dilakukan secara umum digambarkan dalam skema pada Gambar 5. BAHAN DAN METODE Alur penelitian yang akan dilakukan secara umum digambarkan dalam skema pada Gambar 5. Pengujian Lactobacillus plantarum (BAL1) dan Lactobacillus fermentum (BAL2) pada tikus dengan perlakuan:

Lebih terperinci

HASIL. Tabel 1 Perbandingan berat abomasum, fundus, dan mukosa fundus dari domba di atas dan di bawah satu tahun

HASIL. Tabel 1 Perbandingan berat abomasum, fundus, dan mukosa fundus dari domba di atas dan di bawah satu tahun HASIL Ekstraksi Rennet dari Abomasum Domba di Atas dan di Bawah Satu Tahun Perbandingan antara berat abomasum, fundus, dan mukosa daerah kelejar fundus dapat dilihat seperti disajikan pada Tabel 1. Tabel

Lebih terperinci

Teknik Identifikasi Bakteri

Teknik Identifikasi Bakteri MODUL 5 Teknik Identifikasi Bakteri POKOK BAHASAN : 1. Teknik Pewarnaan GRAM (Pewarnaan Differensial) 2. Uji Katalase 3. Pembuatan stok agar miring TUJUAN PRAKTIKUM : 1. Mempelajari cara menyiapkan apusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kultur jaringan hewan merupakan metode untuk memelihara sel hidup

BAB I PENDAHULUAN. Kultur jaringan hewan merupakan metode untuk memelihara sel hidup BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kultur jaringan hewan merupakan metode untuk memelihara sel hidup atau memperbanyak sel dalam kondisi in vitro. Hasil dari kultur jaringan tersebut, selanjutnya dapat

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN BAB 5 HASIL PENELITIAN Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sel pulpa yang merupakan hasil subkultur dari kultur primer sel pulpa gigi sehat. Gambaran mikroskopis kultur sel primer dan subkultur

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata Linn) terhadap kultur primer sel

BAB III METODE PENELITIAN. pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata Linn) terhadap kultur primer sel BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian yang berjudul pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata Linn) terhadap kultur primer sel hepar

Lebih terperinci

DASAR-DASAR SISTEM SYARAF DAN JARINGAN SYARAF

DASAR-DASAR SISTEM SYARAF DAN JARINGAN SYARAF DASAR-DASAR SISTEM SYARAF DAN JARINGAN SYARAF Sistem syaraf bertanggung jawab dalam mempertahankan homeostasis tubuh (kesetimbangan tubuh, lingkungan internal tubuh stabil) Fungsi utamanya adalah untuk:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. proses di berbagai Negara. Saat ini penggunaan terapi stem cell menjadi

BAB I PENDAHULUAN. proses di berbagai Negara. Saat ini penggunaan terapi stem cell menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan penelitian mengenai Stem cell masih memasuki tahap proses di berbagai Negara. Saat ini penggunaan terapi stem cell menjadi terobosan baru dalam upaya pengobatan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Temulawak ( Curcuma xanthorhiza Roxb.

TINJAUAN PUSTAKA Temulawak ( Curcuma xanthorhiza Roxb. TINJAUAN PUSTAKA Temulawak (Curcuma xanthorhiza Roxb.) Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) adalah tanaman asli Indonesia yang berkhasiat untuk menjaga kesehatan dari berbagai penyakit (Hembing 2010).

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7 individu udang Jari yang diambil dari Segara Anakan Kabupaten Cilacap Jawa Tengah.

Lebih terperinci

Lampiran 1 Proses Dehidrasi Jaringan

Lampiran 1 Proses Dehidrasi Jaringan LAMPIRAN 30 Lampiran 1 Proses Dehidrasi Jaringan Dehidrasi merupakan proses mengeluarkan air dari dalam jaringan/organ dengan menggunkan bahan-bahan kimia tertentu. Dehidrasi jaringan dilakukan untuk mengikat

Lebih terperinci

Pembuatan Preparat Utuh (whole mounts) Embrio Ayam

Pembuatan Preparat Utuh (whole mounts) Embrio Ayam Pembuatan Preparat Utuh (whole mounts) Embrio Ayam Epy Muhammad Luqman Bagian Anatomi Veteriner (Anatomi Perkembangan) Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Tujuan : mempelajari keadaan morfologi

Lebih terperinci

Jaringan Otot dan Saraf Sebuah Karya Presentasi Kelompok 4

Jaringan Otot dan Saraf Sebuah Karya Presentasi Kelompok 4 Jaringan Otot dan Saraf Sebuah Karya Presentasi Kelompok 4 DOSEN Pengampu : Eva Tyas Utami,S.Si,M.Si Disusun Oleh : Laili Nur Azizah Lutfi (131810401004) Novita Nur Kumala (161810401003) Desy Lutfianasari

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.1.1. Tempat Penelitian telah dilaksanakan di laboratorium BKP Kelas II Cilegon untuk metode pengujian RBT. Metode pengujian CFT dilaksanakan di laboratorium

Lebih terperinci

KAJIAN MORFOLOGI SALURAN PERNAFASAN BURUNG WALET LINCHI (Collocalia linchi) DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA TRAKEA DAN PARU-PARU REZA HELMI SYAFIRDI

KAJIAN MORFOLOGI SALURAN PERNAFASAN BURUNG WALET LINCHI (Collocalia linchi) DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA TRAKEA DAN PARU-PARU REZA HELMI SYAFIRDI KAJIAN MORFOLOGI SALURAN PERNAFASAN BURUNG WALET LINCHI (Collocalia linchi) DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA TRAKEA DAN PARU-PARU REZA HELMI SYAFIRDI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan Maret 2012 dengan selang waktu pengambilan satu minggu. Lokasi pengambilan ikan contoh

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. RANCANGAN PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang dilaksanakan dengan Rancangan Acak Lengkap Faktorial dua faktor yaitu faktor kombinasi larutan enzim

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimental murni laboratoris in vitro. B. Sampel Penelitian Subjek penelitian ini adalah Human Dermal Fibroblast,

Lebih terperinci

SISTEM SARAF MANUSIA

SISTEM SARAF MANUSIA SISTEM SARAF MANUSIA skema sistem saraf manusia m e li p u ti m e li p u ti m e li p u ti m e li p u ti m e li p u ti m e li p u ti SEL SARAF Struktur sel saraf neuron: Badan sel, Dendrit Akson Struktur

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang uji sitotoksisitas rebusan daun sirsak (Annona muricata L)

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang uji sitotoksisitas rebusan daun sirsak (Annona muricata L) BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian tentang uji sitotoksisitas rebusan daun sirsak (Annona muricata L) terhadap kultur primer sel otak baby hamster yang dipapar dengan dimetilbenz(α)antrase

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan α-amilase adalah enzim menghidrolisis ikatan α-1,4-glikosidik pada pati. α-amilase disekresikan oleh mikroorganisme, tanaman, dan organisme tingkat tinggi. α-amilase memiliki peranan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE PENELITIAN

MATERI DAN METODE PENELITIAN MATERI DAN METODE PENELITIAN Waktu dan tempat penelitian Penelitian ini dilaksakan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Perlakuan

Lebih terperinci

BAB II PENJALARAN IMPULS SARAF. Ganglia basalis merupakan bagian dari otak yang memiliki peranan penting antara lain

BAB II PENJALARAN IMPULS SARAF. Ganglia basalis merupakan bagian dari otak yang memiliki peranan penting antara lain BAB II PENJALARAN IMPULS SARAF 2.1 Ganglia basalis dan subthalamik nukleus Ganglia basalis merupakan bagian dari otak yang memiliki peranan penting antara lain dalam menghasilkan gerakan motorik terutama

Lebih terperinci

BAB III METODE PENILITIAN. Penelitian ini telah dilakukan selama 3 bulan (Januari - Maret 2012).

BAB III METODE PENILITIAN. Penelitian ini telah dilakukan selama 3 bulan (Januari - Maret 2012). BAB III METODE PENILITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan selama 3 bulan (Januari - Maret 2012). Pemeliharaan dan perlakuan terhadap hewan coba dilakukan di rumah hewan percobaan

Lebih terperinci

merupakan komponen terbesar dari semua sel hidup. Protein dalam tubuh pembangun, dan zat pengatur dalam tubuh (Diana, 2009). Protein sangat penting

merupakan komponen terbesar dari semua sel hidup. Protein dalam tubuh pembangun, dan zat pengatur dalam tubuh (Diana, 2009). Protein sangat penting BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Protein merupakan zat yang sangat penting bagi setiap organisme serta merupakan komponen terbesar dari semua sel hidup. Protein dalam tubuh berfungsi sebagai sumber

Lebih terperinci

ORGANISASI KEHIDUPAN. Sel

ORGANISASI KEHIDUPAN. Sel ORGANISASI KEHIDUPAN Sel Sel adalah unit terkecil dari makhluk hidup. Ukuran sangat kecil untuk melihat harus dibantu dengan mikroskop. Kata sel berasal dari bahasa latin cellulae, yang berarti bilik kecil.

Lebih terperinci

II. METODELOGI PENELITIAN

II. METODELOGI PENELITIAN II. METODELOGI PENELITIAN 2.1 Metode Pengumpulan Data 2.1.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di UPT Laboratorium Biosain dan Bioteknologi Universitas Udayana. Penelitian ini berlangsung

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus 2009 (sampling sampai dengan embedding), Februari 2010 (sectioning), dan bulan Juli 2010 (pewarnaan),

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian murni yang dilakukan dengan metode deskriptif, yaitu suatu metode penelitian untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan

Lebih terperinci

UJI AKTIVITAS PENGHAMBATAN FRAKSI NON POLAR EKSTRAK KLIKA ANAK DARA (Croton oblongus BURM F.) TERHADAP SEL KANKER HELA

UJI AKTIVITAS PENGHAMBATAN FRAKSI NON POLAR EKSTRAK KLIKA ANAK DARA (Croton oblongus BURM F.) TERHADAP SEL KANKER HELA UJI AKTIVITAS PENGHAMBATAN FRAKSI NON POLAR EKSTRAK KLIKA ANAK DARA (Croton oblongus BURM F.) TERHADAP SEL KANKER HELA Nurshalati Tahar 1, Haeria 2, Hamdana 3 Jurusan Farmasi, Fakultas Ilmu Kesehatan,

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan dua rancangan penelitian, yaitu : deskriptif

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan dua rancangan penelitian, yaitu : deskriptif 26 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan dua rancangan penelitian, yaitu : deskriptif eksploratif dan eksperimental. Penelitian deskriptif eksploratif meliputi isolasi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap kadar glukosa darah dan histologi pankreas tikus (Rattus norvegicus) yang diinduksi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Sampel yang digunakan dalam penelitian

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Sampel yang digunakan dalam penelitian 12 METODE PEELITIA Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan April 2010, bertempat di Bagian Fungsi Hayati dan Perilaku Hewan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

EFEK PEMBERIAN EKSTRAK RIMPANG TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) TERHADAP PERTUMBUHAN SEL-SEL OTAK BESAR ANAK TIKUS SECARA IN VITRO YUNITA ARDINI

EFEK PEMBERIAN EKSTRAK RIMPANG TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) TERHADAP PERTUMBUHAN SEL-SEL OTAK BESAR ANAK TIKUS SECARA IN VITRO YUNITA ARDINI EFEK PEMBERIAN EKSTRAK RIMPANG TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) TERHADAP PERTUMBUHAN SEL-SEL OTAK BESAR ANAK TIKUS SECARA IN VITRO YUNITA ARDINI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN. 4.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik.

BAB 4 METODE PENELITIAN. 4.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik. BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik. 4.2 Subjek Penelitian Sampel dalam penelitian ini adalah C. albicans yang diperoleh dari usapan

Lebih terperinci

s - soluble fraction i - insoluble fraction p - post-ni 2+ column

s - soluble fraction i - insoluble fraction p - post-ni 2+ column METODE SDS- PAGE Oleh: Susila Kristianingrum susila.k@uny.ac.id SDS-PAGE Trx-STS Trx-CHS s i p s i p 97 66 45 60 K 31 22 14 s - soluble fraction i - insoluble fraction p - post-ni 2+ column Langkah SDS-PAGE

Lebih terperinci

Lampiran 1. Hasil identifikasi tumbuhan poguntano (Picria fel-terrae Lour.)

Lampiran 1. Hasil identifikasi tumbuhan poguntano (Picria fel-terrae Lour.) Lampiran 1. Hasil identifikasi tumbuhan poguntano (Picria fel-terrae Lour.) Lampiran 2. Gambar daun poguntano (Picria fel-terrae Lour.) a Keterangan: a. Gambar daun poguntano b. Gambar simplisia daun poguntano

Lebih terperinci

III. METODOLOGI Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian Pembuatan Ekstrak Bligo (mengacu Sugito 2010)

III. METODOLOGI Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian Pembuatan Ekstrak Bligo (mengacu Sugito 2010) III. METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Febuari 2010 sampai April 2010, bertempat Laboratorium Bersama Hewan Percobaan Departemen ITP dan SEAFAST CENTER IPB, Laboratorium Kimia

Lebih terperinci

EFEK PEMBERIAN V IRGIN COCONUT OIL

EFEK PEMBERIAN V IRGIN COCONUT OIL EFEK PEMBERIAN VIRGIN COCONUT OIL (VCO) TERHADAP PROFIL IMUNOHISTOKIMIA ANTIOKSIDAN SUPEROXIDE DISMUTASE (SOD) PADA JARINGAN GINJAL TIKUS DIABETES MELLITUS NOVITA SARI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT

Lebih terperinci

Sel fungsional yang bekerja pada sistem saraf

Sel fungsional yang bekerja pada sistem saraf FISIOLOGI VETERINER Sistem Saraf merupakan serangkaian mekanisme kerja yang kompleks dan berkesinambungan, yang bertugas menghantarkan impuls listrik yang terbentuk akibat adanya suatu stimulus (rangsang).

Lebih terperinci

PROSEDUR TETAP UJI PENGAMATAN PROLIFERASI SEL (DOUBLING TIME)

PROSEDUR TETAP UJI PENGAMATAN PROLIFERASI SEL (DOUBLING TIME) Halaman 1 dari 5 FARMASI UGM Dokumen nomor : CCRC0201500 Tanggal : 24 Maret 2009 URAIAN DIBUAT OLEH DIPERIKSA OLEH DIPERIKSA OLEH DISETUJUI OLEH Jabatan Staf CCRC Staf CCRC Supervisor CCRC Pimpinan CCRC

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimental, postest only control group design. Postes untuk menganalisis perubahan jumlah purkinje pada pada lapisan ganglionar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian deskriptif. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode B. Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah sampel DNA koleksi hasil

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Metode Penelitian Superovulasi Koleksi Sel Telur

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Metode Penelitian Superovulasi Koleksi Sel Telur METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung dari bulan Januari 2011 s.d. Februari 2012. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Embriologi Departemen Anatomi Fisiologi dan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 14 bulan, dimulai dari bulan Juni 2009 sampai Agustus 2010 bertempat di Laboratorium Riset Anatomi dan Laboratorium Embriologi,

Lebih terperinci

II. METODE PENELITIAN

II. METODE PENELITIAN II. METODE PENELITIAN 2.1 Persiapan Ikan Uji Ikan nila (Oreochromis niloticus) BEST didatangkan dari Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Bogor yang berukuran rata-rata 5±0,2g, dipelihara selama ±

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan percobaan post-test only control group design. Pengambilan hewan

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan percobaan post-test only control group design. Pengambilan hewan BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Jenis penelitian ini adalah eksperimental laboratorium, dengan rancangan percobaan post-test only control group design. Pengambilan hewan uji sebagai sampel

Lebih terperinci

PROSEDUR TETAP PENGAMATAN APOPTOSIS DENGAN METODE DOUBLE STAINING

PROSEDUR TETAP PENGAMATAN APOPTOSIS DENGAN METODE DOUBLE STAINING Halaman 1 dari 5 FARMASI UGM Dokumen nomor : 0201100 Tanggal : 24 Maret 2009 URAIAN DIBUAT OLEH DIPERIKSA OLEH DIPERIKSA OLEH DISETUJUI OLEH Jabatan Staf Staf Supervisor Pimpinan Paraf Nama Aditya Fitriasari

Lebih terperinci

Beberapa definisi berkaitan dengan elektroforesis

Beberapa definisi berkaitan dengan elektroforesis Prof.Dr..Ir.Krishna Purnawan Candra, M.S. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian FAPERTA UNMUL Beberapa definisi berkaitan dengan elektroforesis Elektroforesis : pergerakan partikel terdispersi secara relatif

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM 5, 6, 7, 8 ISOLASI DNA, ISOLASI PROTEIN DARAH, SERTA PEMERIKSAAN DENGAN TEKNIK PCR, ELEKTROFORESIS AGAROSE DAN SDS-PAGE

LAPORAN PRAKTIKUM 5, 6, 7, 8 ISOLASI DNA, ISOLASI PROTEIN DARAH, SERTA PEMERIKSAAN DENGAN TEKNIK PCR, ELEKTROFORESIS AGAROSE DAN SDS-PAGE LAPORAN PRAKTIKUM 5, 6, 7, 8 ISOLASI DNA, ISOLASI PROTEIN DARAH, SERTA PEMERIKSAAN DENGAN TEKNIK PCR, ELEKTROFORESIS AGAROSE DAN SDS-PAGE Nama (NIM) : Debby Mirani Lubis (137008010) dan Melviana (137008011)

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. tingkat waktu kematian terhadap kemampuan pergerakan silia cavitas nasi hewan

BAB 6 PEMBAHASAN. tingkat waktu kematian terhadap kemampuan pergerakan silia cavitas nasi hewan 42 BAB 6 PEMBAHASAN Penelitian ini mempunyai tujuan untuk melihat pengaruh perbedaan suhu dan tingkat waktu kematian terhadap kemampuan pergerakan silia cavitas nasi hewan coba post mortem. Penelitian

Lebih terperinci