BAB II KAJIAN PUSTAKA. sayap berbentuk membran. Saat ini telah ditemukan tidak kurang dari

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA. sayap berbentuk membran. Saat ini telah ditemukan tidak kurang dari"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum tentang Lalat Lalat adalah salah satu insekta ordo diptera yang mempunyai sepasang sayap berbentuk membran. Saat ini telah ditemukan tidak kurang dari sampai species lalat. Namun tidak semua species ini perlu diawasi, karena beberapa diantaranya tidak berbahaya bagi manusia ditinjau dari segi kesehatan (Depkes RI, 1991). Menurut Sigit dan Hadi (2006) menjelaskan bahwa: Yang tergolong lalat pengganggu kesehatan adalah Ordo Diptera, Subordo Cyclorrhapha, dan anggotanya terdiri atas lebih dari spesies lebih di seluruh dunia. Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa lalat merupakan ordo diptera yang termasuk dalam klasifikasi serangga (insecta) pengganggu yang menyebarkan penyakit dan menyebabkan gangguan kesehatan bagi manusia dengan spesies yang sangat banyak. Lalat adalah salah satu vektor yang harus dikendalikan karena dapat pengganggu aktifitas dan kesehatan masyarakat. Sebagai alat transportasi yang sangat baik dalam penularan penyakit, lalat sangat menyukai tempat yang tidak berangin, tetapi sejuk dan kalau malam hari sering hinggap di semak-semak di luar tempat tinggal, lebih menyukai makanan yang bersuhu tinggi dari suhu udara sekitar dan sangat membutuhkan air (Widyati & Yuliarsih, 2002). Kusnaedi (2006) menyatakan bahwa: Tingginya kehidupan lalat dikarenakan tingginya kondisi lingkungan yang saniter (filth = jorok ). Hal ini 8

2 9 berarti bahwa lalat merupakan binatang yang senang hidup di lingkungan yang kotor dan lembab. 2.2 Siklus Hidup Lalat Depkes (1991) menerangkan bahwa: Lalat adalah insekta yang mengalami meta-morfosa yang sempurna, dengan stadium telur, larva/tempayak, kepompong dan stadium dewasa. Hal ini menunjukkan semua lalat mengalami metamorfosis sempurna dalam perkembangannya (Sigit & Hadi, 2006). Metamorfosis sempurna yang dialami lalat adalah sebagai berikut: Stadium telur, stadium larva/tempayak, stadium kepompong dan terakhir stadium dewasa. Siklus ini bervariasi bergantung pada keadaan lingkungan perkembangbiakannya. Waktu yang dibutuhkan lalat menyelesaikan siklus hidupnya dari sejak masih telur sampai dengan dewasa antara 12 sampai 30 hari. Menurut Depkes RI (1991), bahwa: rata-rata perkembangan lalat memerlukan waktu antara 7-22 hari, tergantung dari suhu dan makanan yang tersedia. Gambar 2.1 Siklus Hidup Lalat (sumber: goldcitypestservices.com, 2008)

3 10 Berdasarkan Depkes (1991) siklus hidup lalat diuraikan sebagai berikut: 1. Telur Telur diletakkan pada bahan-bahan organik yang lembab (sampah, kotoran binatang, dan lain-lain) pada tempat yang tidak langsung kena sinar matahari. Telur berwarna putih dan biasanya menetes setelah 8-30 jam, tergantung dari suhu sekitarnya. 2. Larva/tempayak Gambar 2.2 Telur Lalat (sumber: creatures.ifas.ufl.edu, 2013) Tingkat I : telur yang baru menetes, disebut instar I berukuran panjang 2 mm, berwarna putih, tidak bermata dan kaki, amat aktif dan ganas terhadap makanan, setelah 1-4 hari melepas kulit keluar instar II. Tingkat II : ukuran besarnya 2 kali instar I, sesudah satu sampai beberapa hari, kulit mengelupas keluar instar III. Tingkat III: larva berukuran 12 mm atau lebih, tingkat ini memakan waktu 3 sampai 9 hari.

4 11 Larva mencari tempat dengan temperatur yang disenangi, dengan berpindah-pindah tempat, misalnya pada gundukan sampah organik. Temperatur yang disukai adalah C. 3. Pupa/kepompong Gambar 2.3 Larva Lalat (sumber: creatures.ifas.ufl.edu, 2013) Pada masa ini, jaringan tubuh larva berubah menjadi jaringan tubuh dewasa. Stadium ini berlangsung 3-9 hari. Temperatur yang disukai ± 35 0 C. Gambar 2.4 Pupa Lalat (sumber: creatures.ifas.ufl.edu, 2013)

5 12 4. Dewasa Proses pematangan menjadi lalat dewasa kurang lebih 15 jam dan setelah itu siap untuk mengadakan perkawinan. Seluruh waktu yang diperlukan 7-22 hari, tergantung pada suhu setempat, kelembaban dan makanan yang tersedia. Umur lalat dewasa dapat mencapai 2-4 minggu. 2.3 Pola Hidup Lalat Gambar 2.5 Lalat Dewasa (sumber: creatures.ifas.ufl.edu, 2013) Pola hidup lalat terbagi menjadi beberapa bagian. Adapun pola hidup lalat adalah sebagai berikut Tempat perindukan/berbiak Sucipto (2011) menyatakan bahwa : Tempat yang disenangi lalat adalah tempat yang basah seperti sampah basah, kotoran binatang, tumbuh-tumbuhan yang busuk, kotoran yang menumpuk secara kumulatif. Depkes RI (1991) memaparkan bahwa : Tempat yang disenangi adalah tempat basah, benda-benda organik, tinja, sampah basah, kotoran binatang, tumbuh-tumbuhan busuk, kotoran yang menumpuk secara kumulatif (dikandang hewan) sangat disenangi oleh larva lalat, sedangkan yang tercecer jarang dipakai sebagai tempat berbiak lalat. Secara umum tempat perindukan bagi lalat adalah tempat yang kotor dan basah.

6 Jarak terbang Jarak terbang sangat tergantung pada adanya makanan yang tersedia, ratarata 6-9 km, kadang-kadang dapat mencapai km dari tempat berbiak atau 7-12 mil dari tempat perkembangbiakannya. Selain itu ia mampu terbang 4 mil/jam (Depkes, 1991) Kebiasaan makan Lalat memakan makanan yang dimakan oleh manusia sehari-hari, seperti gula, susu dan makanan lainnya, kotoran manusia serta darah. Bentuk makanannya cair atau makanan yang basah, sedang makanan yang kering dibasahi oleh ludahnya terlebih dulu, baru diisap (Depkes, 1991). Dalam Widyati & Yuliarsih (2002) mengungkapkan bahwa: Lalat lebih menyukai makanan yang bersuhu tinggi daripada lingkungan sekitarnya Tempat istirahat Dalam memilih tempat istirahat (resting place), lalat lebih menyukai tempat yang tidak berangin, tetapi sejuk, dan kalau malam hari sering hinggap di semak-semak di luar tempat tinggal (Widyati & Yuliarsih, 2002). Lalat beristirahat pada lantai, dinding, langit-langit, jemuran pakaian, rumput-rumput, kawat listrik dan lain-lain serta sangat disukai tempat-tempat dengan tepi tajam yang permukaannya vertikal. Tempat istirahat tersebut biasanya dekat dengan tempat makannya dan tidak lebih dari 4,5 meter di atas permukaan tanah (Depkes, 1991). Lalat istirahat ditempat dimana ia hinggap dan atau tempat yang dekat dari tempat hinggapnya.

7 Lama hidup Pada musim panas, usia lalat berkisar antara 2-4 minggu, sedang pada musim dingin bisa mencapai 70 hari (Depkes, 1991). Widyati dan Yuliarsih (2002) menyatakan bahwa: Tanpa air lalat tidak dapat hidup lebih dari 46 jam. Sehingga lama hidup lalat pada umumnya berkisar antara 2-70 hari Temperatur dan kelembaban Lalat mulai terbang pada temperatur 15 0 C dan aktifitas optimumnya pada temperatur 21 0 C. Pada temperatur di bawah 7,5 0 C tidak aktif dan di atas 45 0 C terjadi kematian pada lalat. Sedangkan Kelembaban erat hubungannya dengan temperatur setempat (Depkes, 1991) Sinar Lalat merupakan serangga yang bersifat fototropik, yaitu menyukai sinar. Pada malam hari tidak aktif, namun bisa aktif dengan adanya sinar buatan. Efek sinar pada lalat tergantung sepenuhnya pada temperatur dan kelembaban (Depkes, 1991). Melihat pola hidupnya, lalat merupakan tipe makhluk hidup yang kompleks dan dapat berkembang biak dengan pesat serta mampu bertahan hidup dengan relatif lama pada temperatur dan keadaan tertentu. 2.4 Jenis - Jenis Lalat Sebagai makhluk hidup, tentunya lalat memiliki banyak spesies. Berdasarkan pembagian spesiesnya, lalat memiliki beberapa spesis yang terpenting dari sudut kesehatan yaitu : lalat rumah (Musca domestica), lalat

8 15 kandang (Stomoxys calcitrans), lalat hijau (Phenisial), lalat daging (Sarchopaga), dan lalat kecil (Fannia) (Depkes RI, 1991) Lalat rumah (Musca domestica) Gambar 2.6 Lalat Rumah (Musca domestica) (sumber: Wikipedia, 2013) Menurut Sucipto (2011) bahwa: Lalat rumah termasuk family Muscidae sebarannya diseluruh dunia, berukuran sedang dan panjang 6-8 mm, berwarna hitam keabu-abuan dengan empat garis memanjang gelap pada bagian dorsal toraks dan satu garis hitam medial pada abdomen dorsal, matanya pada yang betina mempunyai celah yang lebih lebar sedangkan lalat jantan lebih sempit, antenanya terdiri dari tiga ruas, bagian mulut atau proboscis lalat disesuaikan khusus dengan fungsinya untuk menyerap dan menjilat makanan berupa cairan, sayapnya mempunyai vena 4 yang melengkung tajam ke arah kosta mendekati vena 3, ketiga pasang kaki lalat ini ujungnya mempunyai sepasang kuku dan sepasang bantalan disebut pulvilus yang berisi kelenjar rambut. Pada umumnya siklus hidup dan pola hidup lalat rumah ini sama dengan siklus dan pola hidup lalat pada umumnya, yakni memerlukan suhu 30 o C untuk hidup dan kelembaban yang tinggi, tertarik pada warna terang sesuai dengan sifat fototrofiknya, ukurannya yang berkisar mm dan seterusnya. Bedanya dengan lalat jenis lain yakni terletak pada beberapa bentuk tubuhnya dan kebiasaannya tinggal.

9 Lalat kandang (Stomoxys calcitrans) Menurut Sucipto (2011) bahwa, lalat kandang: (1). Lalat ini bentuknya menyerupai lalat rumah tetapi berbeda pada struktur mulutnya yang berfungsi menusuk dan menghisap darah, (2). Lalat ini merupakan penghisap darah ternak yang dapat menurunkan produksi susu. Kadang-kadang menyerang manusia dengan menggigit pada daerah lutut atau kaki bagian bawah, (3) Lalat kandang dewasa berukuran panjang 5-7 mm, mempunyai bagian mulut (proboscis) meruncing untuk menusuk dan menghisap darah, (4). Bagian thoraksnya terdapat garis gelap yang diantaranya berwarna terang, (5). Sayapnya mempunyai vena 4 yang melengkung tidak tajam ke arah kosta mendekati vena 3, (6). Antenanya terdiri atas tiga ruas, ruas terakhir paling besar, berbentuk silinder dan dilengkapi dengan arista yang memiliki bulu hanya pada bagian atas. Gambar 2.7 Lalat Kandang (Stomoxys calcitrans) (sumber: Wikipedia, 2013) Siklus hidup dari lalat kandang juga hampir sama dengan siklus hidup lalat pada umumnya. Yang membedakannya yakni pada lama berlangsungnya siklus, jarak terbang, serta ada siklus pradewasa (pupa). Dan cenderung menghisap darah. Tahap larva berlangsung selama 1-3 minggu, kemudian menjadi pupa dan akan muncul stadium pradewasa setelah satu minggu atau lebih, dan siklus hidup berkisar 3-5 minggu pada kondisi optimal. Saat dewasa lalat ini menghisap darah hewan dan cenderung tetap di luar rumah di tempat yang terpapar sinar matahari serta termasuk penerbang yang kuat dan bisa melakukan perjalanan jauh dari tempat perindukan (Sucipto, 2011).

10 Lalat hijau (Phenisial) Gambar 2.8 Lalat Hijau (Phenisial) (sumber: Wikipedia, 2013) Menurut Sucipto (2011) bahwa Lalat hijau termasuk kedalam family Calliphoridae serta terdiri atas banyak jenis, umumnya berukuran dari sedang sampai besar dengan ciri-ciri sebagai berikut : (1). Warna hijau, abu-abu, perak mengkilat atau abdomen gelap, (2). Lalat ini berkembang biak di bahan yang cair atau semi cair yang berasal dari hewan dan jarang berkembang biak di tempat kering atau bahan buah-buahan, (3). Jantan berukuran panjang 8 mm, mempunyai mata merah besar, (4). Lalat ini dilaporkan juga membawa telur cacing Ascaris lumbriocoides, Trichuris trichiura dan cacing kait pada bagian tubuh luarnya dan pada lambung lalat Lalat daging (Sarchopaga) Gambar 2.9 Lalat Daging (Sarchopaga) (sumber: Wikipedia, 2013) Menurut Sucipto (2011) bahwa Lalat daging termasuk dalam family Sarcophagidae dengan ciri-ciri sebagai berikut : (1). Berwarna abu-abu tua, berukuran sedang sampai besar, kira-kira 6-14 mm panjangnya, (2). Lalat ini mempunyai tiga garis gelap pada bagian dorsal toraks, dan perutnya mempunyai corak seperti papan catur, (3). Bersifat viviparous dan mengeluarkan larva hidup

11 18 pada tempat perkembangbiakannya seperti daging, bangkai, kotoran dan sayuran yang sedang membusuk, (4). Siklus hidup lalat ini berlangsung 2-4 hari. Lambungnya mengandung telur cacing Ascaris lumbricoides dan cacing cambuk Lalat kecil (Fannia) Gambar 2.10 Lalat Kecil (Fannia), (a) Fannia Canicularis, (b) Fannia Scalaris (sumber: Wikipedia, 2013) Lalat Fannia canicularis dan Fannia scalaris dikenal dengan nama Litte house flies. Lalat ini berkembang biak di tempat kotoran basah hewan piara, orang atau unggas, atau buah-buahan yang sedang membusuk. Lalat ini lebih menyukai keadaan sejuk dan lebih lembab dibandingkan jenis-jenis Musca. Lalat ini juga menghabiskan waktunya lebih banyak di dalam hunian manusia, dan tempat jantan berkeliling di sekitar lampu-lampu yang menggantung. (Sucipto, 2011). Pada umumnya segala jenis atau spesies lalat memiliki kecenderungan pola hidup dan siklus hidup yang hampir sama. Namun pada keadaan-keadaan tertentu dan tempat-tempat tertentu ada lalat yang mampu bertahan kuat dibandingkan dengan lalat-lalat yang lainnya. Tapi hal ini tidak mempungkiri bahwa spesies-spesies lalat yang telah disebutkan diatas merupakan vektor pembawa penyakit dan merupakan hewan pengganggu yang harus dikendalikan sehingga perlu diketahui siklus dan pola hidupnya agar mudah untuk dikendalikan.

12 Penyakit yang Disebabkan oleh Lalat Sucipto (2011) mengemukakan bahwa: lalat merupakan vektor mekanis jasad-jasad patogen terutama penyebab penyakit usus, dan bahkan beberapa spesies khususnya lalat rumah dianggap sebagai vektor thypus abdominalis, salmonellosis, cholera, disentri tuberculosis, penyakit sapar dan trypanosominasi serta lalat Chrysops dihubungkan dengan penularan parasit flaria loa loa dan pasteurella tularensis penyebab tularemia pada manusia dan hewan. Secara lebih detail Sucipto (2011) menjelaskan beberapa penyakit yang disebabkan oleh lalat antara lain: (1). Disentri, dengan gejala sakit pada bagian perut, lemas karena terhambat peredaran darah dan pada kotoran terdapat mucus dan push, (2). Diare, dengan gejala sakit pada bagian perut, lemas dan pencernaan terganggu. Disentri dan diare termasuk karena Shigella spp atau diare bisa juga karena Escherichia coli, (3). Thypoid, gejala sakit pada bagian perut, lemas dan pencernaan terganggu, penyebabnya adalah Salmonella spp, (4). Cholera, gejala muntah-muntah, demam, dehydrasi, penyebabnya adalah Vibrio cholera, (5). Pada beberapa kasus, sebagai vektor penyakit lepra dan yaws (Frambusia atau Patek), (6). Kasus kecacingan pada manusia dan hewan juga banyak ditularkan oleh lalat rumah, lalat hijau dan Sarcophaga spp. Misal cacing jarum atau cacing kremi (Enterobius vermin cularis), cacing giling (Ascaris lumbricoides), cacing kait (Ancylostoma sp, Necator), cacing pita (Taenia, Dypilidium caninum), cacing cambuk (Trichuris trichiura), (7). Belatung lalat Musca domestica, Chrysomya dan Sarcophaga dapat juga menyerang jaringan luka pada manusia dan hewan. Infestasi ini disebut myasis atau belatungan. 2.6 Pengukuran Tingkat Kepadatan Lalat Pada lingkungan yang tergolong kotor, sangat banyak dikerumuni lalat. Untuk meminimalisir pembiakkan lalat perlu diadakan upaya pengendalian lalat. Sering kali upaya pengendalian terhadap lalat cenderung hanya untuk membunuh lalat saja yang dalam waktu relatif singkat populasi lalat tersebut akan menurun. Akan tetapi lalat yang masih tertinggal dapat hidup apabila menemukan tempattempat untuk berkembang biak, dan suatu saat akan mampu membuat suatu populasi baru sehingga upaya pengendalian akan sia-sia. Oleh karena itu upaya

13 20 pengendalian lalat seharusnya tidak hanya ditujukan pada populasi lalat dekat dengan manusia saja, tetapi juga harus pada sumber-sumber tempat berkembang biaknya lalat. Berdasarkan Depkes RI (1991) bahwa: Sebelum melakukan pengendalian, perlu dilakukan pengukuran tingkat kepadatan lalat dimana data ini dapat dipakai untuk merencanakan upaya pengendalian, yaitu tentang kapan, dimana dan bagaimana pengendalian yang akan dilakukan. Selain itu pengukuran tingkat kepadatan lalat diperlukan untuk menilai keberhasilan pengendalian sebelum dan sesudah dilakukan penanganan. Perlunya melakukan pengukuran tingkat kepadatan lalat adalah bertujuan untuk mengetahui tentang: (1). Tingkat kepadatan lalat. (b). Sumber-sumber tempat berkembang biaknya lalat. Dari sudut pandang peneliti, melakukan pengukuran tingkat kepadatan lalat sangatlah penting sebagai data dan pertimbangan awal untuk mengambil langkah apa yang akan dilakukan untuk mengendalikan lalat dan sasaran tempat yang tepat yang akan ditindaki untuk melakukan pengendalian tersebut. Sebagai usaha dasar dalam melakukan pengukuran tingkat kepadatan lalat perlu diperhatikan terlebih dahulu persiapan pengukurannya, waktu pengukuran, peralatan pengukuran, dan cara pengukurannya Persiapan pengukuran Dalam melakukan penelitian, perlu persiapan yang matang terlebih dahulu. Dalam persiapan penelitian, yang perlu ditentukan adalah alat yang digunakan dan lokasi atau tempat pengukuran. Depkes RI (1991) mengemukakan bahwa: kepadatan lalat dapat diukur dengan menggunakan beberapa alat atau teknik/cara, namun cara yang paling mudah, murah dan cepat adalah dengan menggunakan fly grill.

14 21 Persiapan pengukuran tebagi atas penyediaan alat dan penentuan lokasi pengukuran. Dalam penyediaan alat, tinggal memilih salah satu bentuk teknik pengukuran dan pembuatannya disesuaikan dengan kebutuhan. Dalam Depkes RI (1991), menjelaskan bahwa sasaran yang diukur kepadatan lalatnya adalah lokasi yang berdekatan dengan kehidupan manusia antara lain : (1). Pemukiman penduduk, (2). Tempat-tempat umum (pasar, terminal kendaraan umum, rumah makan restoran, hotel/losmen dan sebagainya), (3). Lokasi sekitar tempat pengumpulan sampah sementara yang berdekatan dengan pemukiman dan lokasi sekitar tempat pembuangan akhir sampah yang berdekatan dengan pemukiman Waktu pengukuran Menurut Depkes RI (1991), bahwa : Waktu pengukuran kepadatan lalat hendaknya dapat dilakukan pada : (a). Setiap kali dilakukan pengendalian lalat (sebelum dan sesudah), (b). Monitoring secara berkala, yang dapat di lakukan sedikitnya 3 bulan satu kali. Jadi, waktu pengukuran adalah saat yang tepat dan baik untuk melakukan pengukuran. Seperti yang telah dijelaskan di atas waktu pengukuran kepadatan lalat dilakukan sebelum dan sesudah melakukan pengendalian serta dilakukan secara berkala Peralatan pengukuran Peralatan pengukuran adalah alat yang akan digunakan untuk mengukur hal yang dimaksud. Dalam penelitian ini alat yang digunakan antara lain fly grill, counter, termometer, hygrometer, alat tulis menulis, dan waktu/jam/stopwatch

15 22 Menurut Depkes RI (1991), bahwa: Peralatan yang dipakai untuk mengukur kepadatan lalat antara lain : fly grill, dan counter untuk menghitung lalat yang hinggap di fly grill Cara pengukuran Cara pengukuran merupakan hal yang paling penting untuk diketahui dan dipelajari, sebab melalui cara pengukuran yang baik kita akan memperoleh data yang akurat. Hasil data yang diperoleh akan menunjukkan apa yang kita ingin dapatkan. Cara pengukuran menurut Depkes RI (1991) adalah : Fly grill diletakkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan (berdekatan dengan tempat sampah, kotoran hewan, kandang dan lain-lain) pada daerah yang akan diukur. Pengukuran kepadatan lalat dengan mempergunakan fly grill didasarkan pada sifat lalat, yaitu kecenderungannya hinggap pada tepi-tepi atau tempat yang bersudut tajam. Pada fly grill yang telah diletakkan pada tempat yang telah ditentukan, banyaknya jumlah lalat yang hinggap selama 30 detik, dihitung. Pengukuran ini dilakukan 10 kali pengukuran atau 10 kali per 30 detik pada setiap lokasi. Lima perhitungan tertinggi dibuat rata-ratanya dan dicatat dalam kartu pencatatan. Hasil perhitungan rata-rata ini merupakan petunjuk (indeks) populasi dalam suatu lokasi tertentu (Depkes RI, 1991). Hasil rata-rata pengukuran ini, kemudian di interpretasi dengan satuan block grill. Berdasarkan Depkes RI (1991), interpretasi hasil pengukuran dengan satuan block grill adalah sebagai berikut.

16 23 1) 0 2 : tidak menjadi masalah (rendah) 2) 3 5 : perlu dilakukan sebuah pengamanan terhadap tempat tempat berkembang biaknya lalat (sedang) 3) 6 20 : populasinya padat dan perlu pengamanan terhadap tempat-tempat berkembang biaknya lalat dan tindakan pengendaliannya (tinggi/padat) 4) 21 keatas : populasinya sangat padat dan perlu diadakan pengamanan terhadap tempat-tempat berkembang biaknya lalat dan tindakan pengendalian lalat (sangat tinggi/sangat padat) 2.7 Tinjauan Umum tentang Fly Grill Menurut Depkes RI (1991), bahwa: Fly grill dapat dibuat dari bilah-bilah kayu yang lebarnya 2 cm dan tebalnya 1 cm dengan panjang masing-masing 80 cm, sebanyak buah. Bilah-bilah tersebut hendaknya dicat putih. Bilahbilah yang telah disiapkan, dibentuk berjajar dengan jarak 1-2 cm pada kerangka kayu yang telah disiapkan dan sebaiknya pemasangan bilah pada kerangkanya mempergunakan paku sekrup sehingga dapat dibongkar pasang setelah dipakai. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa fly grill adalah alat yang digunakan untuk mengukur tingkat kepadatan lalat di lokasi pengukuran yang terbuat dari bilah-bilah dengan ukuran 80 cm x 2 cm. Bilah-bilah ini dibuat berjejer dengan spasi 1-2 cm sebanyak deret. Fly grill yang digunakan dibuat dengan teknik tertentu. Fitri (2012) menjelaskan bahwa: Cara pembuatan fly grill adalah sebagai berikut. (1) Mengukur dan memotong balok kayu masing-masing dengan panjang 80 cm, (2). Mengukur dan memahat balok kayu dengan jarak 2 cm. (3). Menghaluskan kayu dengan ampelas, dan membersihkannya dengan kain lap sampai bersih, (4). Memotong ban dengan panjang 80 cm, (5). Menghubungkan 2 bilah kayu dengan ban yang telah dipotong dengan jarak 2 cm yang disambung dengan paku sampai bilah kayu terakhir, (6) Melakukan hal yang sama hingga keempat sisi fly grill tertutup dengan ban pada kedua sisinya, (7). Melakukan uji fungsi fly grill.

17 24 Pembuatan fly grill yang dilakukan peneliti dalam menghadirkan alat adalah dibuat dengan cara yang sama seperti yang terurai diatas. Namun kali ini peneliti lebih menambahkan pada proses pengecetan atau pemberian warna. Setelah alat telah terangkai dengan baik maka peneliti akan membuat fly grill yang baru lagi hingga jumlahnya sesuai yang dibutuhkan peneliti. Fly grill yang telah terangkai rapi akan dicat dengan cat warna. Jumlah cat warna yang digunakan sesuai dengan jumlah fly grill yang telah berhasil dirangkai agar masing-masing fly grill akan dicat dengan warna yang berbeda. Adapun ilustrasi bentuk fly grill, digambarkan di bawah ini. Gambar 2.11 Fly grill (sumber: Depkes RI, 1991)

18 Kerangka Berpikir Kerangka teori LALAT Pasar Ikan /Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Tempat yang disukai Tempat basah Benda organik Tumbuhan/Benda busuk Sampah basah Makanan (Ikan) Pengukuran tingkat kepadatan lalat menggunakan fly grill < 2 ekor lalat per block grill Belum Berpotensi menyebarkan penyakit Warna Fly Grill - Biru - Hitam - Putih - Kuning - Merah - Coklat - Warna asli Perbedaan Jumlah Kepadatan Lalat tiap fly grill 2 ekor lalat per block grill Berpotensi menyebarkan penyakit Mempengaruhi derajat kesehatan Gambar 2.12 Kerangka Teori

19 Kerangka konsep Warna Fly Grill - Biru - Hitam - Putih - Kuning - Merah - Coklat - Warna asli kayu Suhu Kepadatan lalat Kelembaban Jumlah kepadatan lalat Keterangan : Gambar 2.13 Kerangka Konsep : Variabel bebas (Independent) : Variabel terikat (Dependent) : Tidak diteliti : Output 2.9 Hipotesis Penelitian Hipotesis dalam penelitian ini adalah Terdapat Pengaruh Variasi Warna Fly Grill Terhadap Kepadatan Lalat.

PROPOSAL REKAYASA SARANA SANITASI ALAT PENGHITUNG KEPADATAN LALAT (FLY GRILL) BAB I PENDAHULUAN

PROPOSAL REKAYASA SARANA SANITASI ALAT PENGHITUNG KEPADATAN LALAT (FLY GRILL) BAB I PENDAHULUAN PROPOSAL REKAYASA SARANA SANITASI ALAT PENGHITUNG KEPADATAN LALAT (FLY GRILL) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lalat merupakan salah satu insekta (serangga) yang termasuk ordo Dipthera, yaitu insekta

Lebih terperinci

Musca domestica ( Lalat rumah)

Musca domestica ( Lalat rumah) PARASITOLOGI LALAT SEBAGAI VEKTOR PENYAKT Musca domestica ( Lalat rumah) Oleh : Ni Kadek Lulus Saraswati P07134013007 KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR JURUSAN D-III

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Lalat 1. Definisi Lalat Lalat merupakan salah satu ordo Diptera. Tiga subordo Diptera yang penting yaitu Nematocera, Brachycera dan Cyclorrhapha. Famili yang penting dari subordo

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Perah Sapi perah merupakan salah satu komoditi peternakan yang dapat mendukung pemenuhan kebutuhan bahan pangan bergizi tinggi yaitu susu. Jenis sapi perah yang paling

Lebih terperinci

II. TELAAH PUSTAKA. Gambar 2.1 Morfologi nyamuk Aedes spp. (Wikipedia, 2013)

II. TELAAH PUSTAKA. Gambar 2.1 Morfologi nyamuk Aedes spp. (Wikipedia, 2013) II. TELH PUSTK Nyamuk edes spp. dewasa morfologi ukuran tubuh yang lebih kecil, memiliki kaki panjang dan merupakan serangga yang memiliki sepasang sayap sehingga tergolong pada ordo Diptera dan family

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan 3 TINJAUAN PUSTAKA Lalat Buah (Bactrocera spp.) Biologi Menurut Departemen Pertanian (2012), lalat buah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Phylum Klass Ordo Sub-ordo Family Genus Spesies : Arthropoda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. masalah kesehatan manusia, yaitu sebagai vektor penular penyakit. Lalat berperan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. masalah kesehatan manusia, yaitu sebagai vektor penular penyakit. Lalat berperan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lalat merupakan salah satu serangga ordo Diptera yang berperan dalam masalah kesehatan manusia, yaitu sebagai vektor penular penyakit. Lalat berperan sebagai vektor

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nyamuk Aedes aegypti Aedes aegypti merupakan jenis nyamuk yang dapat membawa virus dengue penyebab penyakit demam berdarah. [2,12] Aedes aegypti tersebar luas di wilayah tropis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lalat adalah salah satu insekta yang termasuk ordo diptera, yaitu insekta yang mempunyai sepasang sayap yang berbentuk membran. Lalat dapat menimbulkan berbagai penyakit

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. dikenal orang karena lalat ini biasanya hidup berasosiasi dengan manusia.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. dikenal orang karena lalat ini biasanya hidup berasosiasi dengan manusia. BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lalat Rumah (Musca domestica) Lalat rumah (M. domestica) merupakan lalat yang paling umum dikenal orang karena lalat ini biasanya hidup berasosiasi dengan manusia. M. domestica

Lebih terperinci

Metamorfosis Kecoa. 1. Stadium Telur. 2. Stadium Nimfa

Metamorfosis Kecoa. 1. Stadium Telur. 2. Stadium Nimfa Metamorfosis Kecoa 1. Stadium Telur Proses metamorfosis kecoa diawali dengan stadium telur. Telur kecoa diperoleh dari hasil pembuahan sel telur betina oleh sel spermatozoa kecoa jantan. Induk betina kecoa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Lalat adalah serangga jenis Arthropoda yang masuk dalam ordo Diptera.

BAB 1 PENDAHULUAN. Lalat adalah serangga jenis Arthropoda yang masuk dalam ordo Diptera. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lalat adalah serangga jenis Arthropoda yang masuk dalam ordo Diptera. Beberapa spesies lalat mempunyai peranan penting dalam masalah kesehatan masyarakat. Serangga ini

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Vektor Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa vektor mekanis dan biologis, juga dapat berupa vektor primer dan sekunder.vektor mekanis adalah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi ongole merupakan keturunan sapi liar yang dijinakkan di India. Di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi ongole merupakan keturunan sapi liar yang dijinakkan di India. Di II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Ongole (Bos indicus) Sapi ongole merupakan keturunan sapi liar yang dijinakkan di India. Di Indonesia, sapi ini dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu Sumba ongole dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman penduduk serta tempat-tempat umum lainnya. Pada saat ini telah

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman penduduk serta tempat-tempat umum lainnya. Pada saat ini telah 1 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Lingkungan mempunyai pengaruh serta kepentingan yang relatif besar dalam hal peranannya sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nyamuk termasuk jenis serangga dalam ordo diptera, dari kelas insecta.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nyamuk termasuk jenis serangga dalam ordo diptera, dari kelas insecta. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nyamuk Sebagai Vektor Nyamuk termasuk jenis serangga dalam ordo diptera, dari kelas insecta. Nyamuk mempunyai dua sayap bersisik, tubuh yang langsing dan enam kaki panjang. Antar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lalat merupakan salah satu insekta Ordo diptera yang merupakan anggota kelas Hexapoda atau insekta mempunyai jumlah genus dan spesies yang terbesar yaitu mencakup

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dengan luas areal 0,8 Ha. Lokasi ini berada tidak jauh dari pemukiman penduduk

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dengan luas areal 0,8 Ha. Lokasi ini berada tidak jauh dari pemukiman penduduk BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Unit Pelaksanaan Teknis Dinas Daerah Pangkalan Pendaratan Ikan (UPTD PPI) Kota Gorontalo terletak di kelurahan Tenda Kecamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam visi Indonesia Sehat 2015 yang mengacu pada Millenium. Development Goals (MDG s), lingkungan yang diharapkan pada masa depan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam visi Indonesia Sehat 2015 yang mengacu pada Millenium. Development Goals (MDG s), lingkungan yang diharapkan pada masa depan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam visi Indonesia Sehat 2015 yang mengacu pada Millenium Development Goals (MDG s), lingkungan yang diharapkan pada masa depan adalah lingkungan yang kondusif

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Metode Suzuki Metode Suzuki adalah suatu metode yang digunakan untuk pemeriksaan telur Soil Transmitted Helmints dalam tanah. Metode ini menggunakan Sulfas Magnesium yang didasarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Lalat Lalat merupakan salah satu insekta Ordo diptera yang merupakan anggota kelas Hexapoda atau insekta mempunyai jumlah genus dan spesies yang terbesar yaitu mencakup 60-70

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 11 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 41 Hasil Identifikasi Berdasarkan hasil wawancara terhadap peternak yang memiliki sapi terinfestasi lalat Hippobosca sp menyatakan bahwa sapi tersebut berasal dari Kabupaten

Lebih terperinci

MANAJEMEN PENGENDALIAN LALAT. Dr. Devi Nuraini Santi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

MANAJEMEN PENGENDALIAN LALAT. Dr. Devi Nuraini Santi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara MANAJEMEN PENGENDALIAN LALAT Dr. Devi Nuraini Santi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN Lalat merupakan salah satu insekta (serangga) yang termasuk ordo diphtera, mempunyai sepasang

Lebih terperinci

PENGARUH VARIASI WARNA FLY GRILL TERHADAP KEPADATAN LALAT DI TEMPAT PELELANGAN IKAN (TPI) KOTA GORONTALO

PENGARUH VARIASI WARNA FLY GRILL TERHADAP KEPADATAN LALAT DI TEMPAT PELELANGAN IKAN (TPI) KOTA GORONTALO PENGARUH VARIASI WARNA FLY GRILL TERHADAP KEPADATAN LALAT DI TEMPAT PELELANGAN IKAN (TPI) KOTA GORONTALO Sri Elen Husain, Sunarto Kadir, Lintje Boekoesoe 1 Program Studi Kesehatan Masyarakat Peminatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminths 1. Pengertian Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan penularannya melalui tanah. Di Indonesia terdapat lima species cacing

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN LALAT (Cyclorrapha: Diptera) PADA LOKASI PENJUALAN IKAN SEGAR DI KOTA PADANG. Oleh

KEANEKARAGAMAN LALAT (Cyclorrapha: Diptera) PADA LOKASI PENJUALAN IKAN SEGAR DI KOTA PADANG. Oleh KEANEKARAGAMAN LALAT (Cyclorrapha: Diptera) PADA LOKASI PENJUALAN IKAN SEGAR DI KOTA PADANG Oleh Pipi Yuliana Putri, Jasmi, Armein Lusi Zeswita Program Studi Pendidikan Biologi STKIP PGRI Sumatera Barat.

Lebih terperinci

Bagaimanakah Perilaku Nyamuk Demam berdarah?

Bagaimanakah Perilaku Nyamuk Demam berdarah? Bagaimanakah Perilaku Nyamuk Demam berdarah? Upik Kesumawati Hadi *) Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang

untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Brontispa sp di laboratorium. Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang membutuhkan. Tujuan Penelitian Untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nyamuk Aedes sp 1. Klasifikasi Nyamuk Aedes sp Nyamuk Aedes sp secara umum mempunyai klasifikasi (Womack, 1993), sebagai berikut : Kerajaan Filum Kelas Ordo Famili Genus Upagenus

Lebih terperinci

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER PENGAMATAN EPIDEMIOLOGI HASIL PEMERIKSAAN KECACINGAN di SD MUH. KEDUNGGONG, SD DUKUH NGESTIHARJO,SDN I BENDUNGAN dan SD CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Demam Berdarah Dengue Penyakit DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, yang ditandai dengan demam mendadak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nyamuk Culex sp Culex sp adalah genus dari nyamuk yang berperan sebagai vektor penyakit yang penting seperti West Nile Virus, Filariasis, Japanese enchepalitis, St Louis encephalitis.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera : Noctuidae :

Lebih terperinci

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) BAB II TIJAUAN PUSTAKA A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) Enterobiasis/penyakit cacing kremi adalah infeksi usus pada manusia yang disebabkan oleh cacing E. vermicularis. Enterobiasis

Lebih terperinci

Gambar 1. Drosophila melanogaster. Tabel 1. Klasifikasi Drosophila

Gambar 1. Drosophila melanogaster. Tabel 1. Klasifikasi Drosophila I. Praktikum ke : 1 (satu) II. Hari / tanggal : Selasa/ 1 Maret 2016 III. Judul Praktikum : Siklus Hidup Drosophila melanogaster IV. Tujuan Praktikum : Mengamati siklus hidup drosophila melanogaster Mengamati

Lebih terperinci

MAKALAH MASALAH KECACINGAN DAN INTERVENSI

MAKALAH MASALAH KECACINGAN DAN INTERVENSI MAKALAH MASALAH KECACINGAN DAN INTERVENSI Oleh: Muhammad Fawwaz (101211132016) FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS AIRLANGGA 1 DAFTAR ISI COVER... 1 DAFTAR ISI... 2 BAB I... 3 A. LATAR BELAKANG...

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Kupu-kupu Troides helena (Linn.) Database CITES (Convention on International Trade of Endangered Spesies of Wild Flora and Fauna) 2008 menyebutkan bahwa jenis ini termasuk

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Aedes aegypti Nyamuk Ae. aegypti termasuk dalam ordo Diptera, famili Culicidae, dan masuk ke dalam subordo Nematocera. Menurut Sembel (2009) Ae. aegypti dan Ae. albopictus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. peternakan skala besar saja, namun peternakan skala kecil atau tradisional pun

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. peternakan skala besar saja, namun peternakan skala kecil atau tradisional pun BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Peternakan merupakan salah satu sektor penting dalam menunjang perekonomian bangsa Indonesia dan sektor peternak juga menjadi salah satu sektor yang menunjang

Lebih terperinci

MODUL-6 PENGENDALIAN SERANGGA DAN TIKUS

MODUL-6 PENGENDALIAN SERANGGA DAN TIKUS MODUL-6 PENGENDALIAN SERANGGA DAN TIKUS Pengertian Pengendalian serangga, tikus dan binatang pengganggu lainnya adalah upaya untuk mengurangi populasi serangga, tikus, dan binatang pengganggu lainnya sehingga

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. family : Tephritidae, genus : Bactrocera, spesies : Bactrocera sp.

TINJAUAN PUSTAKA. family : Tephritidae, genus : Bactrocera, spesies : Bactrocera sp. 4 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Lalat Buah (Bactrocera sp.) Menurut Deptan (2007), lalat buah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: kingdom: Animalia, filum : Arthropoda, kelas : Insect, ordo : Diptera,

Lebih terperinci

... sesungguhnya segala sesuatu yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat rnenciptakan

... sesungguhnya segala sesuatu yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat rnenciptakan ... sesungguhnya segala sesuatu yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat rnenciptakan seek~r lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk rnenciptakannya. Dan jika lalat itu rnerarnpas sesuatu dari

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Parasit Lalat S. inferens Towns. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Class Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Arthropoda

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kutu penghisap merupakan parasit penghisap darah mamalia yang

TINJAUAN PUSTAKA. Kutu penghisap merupakan parasit penghisap darah mamalia yang 5 4 TINJAUAN PUSTAKA A. Kutu Kutu penghisap merupakan parasit penghisap darah mamalia yang memiliki bagian-bagian mulut seperti jarum (stilet) yang dapat masuk ke dalam kulit inangnya. Bagian-bagian mulut

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi Acerophagus papayae merupakan endoparasitoid soliter nimfa kutu putih pepaya, Paracoccus marginatus. Telur, larva dan pupa parasitoid A. papayae berkembang di dalam

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA Lalat penggorok daun, Liriomyza sp, termasuk serangga polifag yang dikenal sebagai hama utama pada tanaman sayuran dan hias di berbagai negara. Serangga tersebut menjadi hama baru

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Lalat Musca domestica Lalat merupakan salah satu spesies serangga atau insekta Ordo Dhiptera (bersayap dua) dan sayap berupa membran. Lalat tersebar luas keseluruh dunia. Lalat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Di awal atau penghujung musim hujan suhu atau kelembaban udara umumnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Di awal atau penghujung musim hujan suhu atau kelembaban udara umumnya BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Nyamuk Aedes Sp Di awal atau penghujung musim hujan suhu atau kelembaban udara umumnya relatif optimum, yakni senantiasa lembab sehingga sangat memungkinkan pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diare 2.1.1 Definisi Diare Menurut Depkes RI (2011), diare adalah suatu kondisi dimana seseorang buang air besar dengan konsistensi lembek atau cair, bahkan dapat berupa air

Lebih terperinci

KIAT-KIAT MEMILIH DAGING SEHAT Oleh : Bidang Keswan-Kesmavet, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (disadur dari berbagai macam sumber)

KIAT-KIAT MEMILIH DAGING SEHAT Oleh : Bidang Keswan-Kesmavet, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (disadur dari berbagai macam sumber) KIAT-KIAT MEMILIH DAGING SEHAT Oleh : Bidang Keswan-Kesmavet, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (disadur dari berbagai macam sumber) KASUS SEPUTAR DAGING Menghadapi Bulan Ramadhan dan Lebaran biasanya

Lebih terperinci

ISOLASI ACTINOMYCETES DARI LALAT RUMAH (Musca domestica) YANG BERPOTENSI SEBAGAI ANTIBIOTIK TERHADAP Escherichia coli

ISOLASI ACTINOMYCETES DARI LALAT RUMAH (Musca domestica) YANG BERPOTENSI SEBAGAI ANTIBIOTIK TERHADAP Escherichia coli 1 ISOLASI ACTINOMYCETES DARI LALAT RUMAH (Musca domestica) YANG BERPOTENSI SEBAGAI ANTIBIOTIK TERHADAP Escherichia coli SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Program

Lebih terperinci

ACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA

ACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA ACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA LANDASAN TEORI Organisme yang akan digunakan sebagai materi percobaan genetika perlu memiliki beberapa sifat yang menguntungkan,

Lebih terperinci

TAHAP TAHAP PERKEMBANGAN TAWON KEMIT (Ropalidia fasciata) YANG MELIBATKAN ULAT GRAYAK (Spodopteraa exigua)

TAHAP TAHAP PERKEMBANGAN TAWON KEMIT (Ropalidia fasciata) YANG MELIBATKAN ULAT GRAYAK (Spodopteraa exigua) TAHAP TAHAP PERKEMBANGAN TAWON KEMIT (Ropalidia fasciata) YANG MELIBATKAN ULAT GRAYAK (Spodopteraa exigua) SKRIPSI Diajukan Untuk Penulisan Skripsi Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Sarjana Pendidikan (S-1)

Lebih terperinci

Penyiapan Mesin Tetas

Penyiapan Mesin Tetas Dian Maharso Yuwono Pemeliharaan unggas secara intensif memerlukan bibit dalam jumlah yang relatif banyak, sehingga penetasan dengan mesin semakin diperlukan. Penetasan telur unggas (ayam, itik, puyuh,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. energi pada kumunitasnya. Kedua, predator telah berulang-ulang dipilih sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. energi pada kumunitasnya. Kedua, predator telah berulang-ulang dipilih sebagai TINJAUAN PUSTAKA Pentingnya predasi sebagai strategi eksploitasi dapat diringkas dalam empat kategori utama. Pertama, predator memainkan peran penting dalam aliran energi pada kumunitasnya. Kedua, predator

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Soil Transmitted Helminth (STH) atau penyakit kecacingan yang penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan masyarakat khususnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pupuk dibedakan menjadi 2 macam yaitu pupuk organik dan pupuk anorganik

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pupuk dibedakan menjadi 2 macam yaitu pupuk organik dan pupuk anorganik II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pupuk Pupuk merupakan bahan alami atau buatan yang ditambahkan ke tanah dan dapat meningkatkan kesuburan tanah dengan menambah satu atau lebih hara esensial. Pupuk dibedakan menjadi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Family Genus

Lebih terperinci

BAB II. LANDASAN TEORI

BAB II. LANDASAN TEORI BAB II. LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian sampah. Solid waste atau refuse yang lazim disebut sampah adalah benda tidak dipakai, tidak diinginkan dan dibuang yang berasal dari suatu aktifitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan nyamuk Aedes sp dalam klasifikasi hewan menurut Soegijanto (2006)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan nyamuk Aedes sp dalam klasifikasi hewan menurut Soegijanto (2006) BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Aedes sp Kedudukan nyamuk Aedes sp dalam klasifikasi hewan menurut Soegijanto (2006) adalah sebagai berikut: Kingdom Phylum Super Class Class Sub Class Ordo Sub Ordo Family Sub

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. sayap (terbang) yang berbentuk membran. Hanya sesekali bergerak

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. sayap (terbang) yang berbentuk membran. Hanya sesekali bergerak BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lalat Lalat adalah insekta yang lebih banyak bergerak menggunakan sayap (terbang) yang berbentuk membran. Hanya sesekali bergerak menggunakan kakinya. Oleh karenanya daerah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Lalat Rumah (Musca Domestica)

TINJAUAN PUSTAKA. Lalat Rumah (Musca Domestica) 4 TINJAUAN PUSTAKA Lalat Rumah (Musca Domestica) Klasifikasi Kingdom : Animalia Phylum : Arthropoda Class : Hexapoda Ordo : Diptera Subordo : Cyclorrhapha Family : Muscidae Genus : Musca Species : Musca

Lebih terperinci

Rumah Sehat. edited by Ratna Farida

Rumah Sehat. edited by Ratna Farida Rumah Sehat edited by Ratna Farida Rumah Adalah tempat untuk tinggal yang dibutuhkan oleh setiap manusia dimanapun dia berada. * Rumah adalah struktur fisik terdiri dari ruangan, halaman dan area sekitarnya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. bawah, biasanya pada pelepah daun ke Satu tumpukan telur terdiri dari

TINJAUAN PUSTAKA. bawah, biasanya pada pelepah daun ke Satu tumpukan telur terdiri dari TINJAUAN PUSTAKA Biologi Ulat Api 1. Biologi Setothosea asigna Klasifikasi S. asigna menurut Kalshoven (1981) adalah sebagai berikut : Phylum Class Ordo Family Genus Species : Arthropoda : Insekta : Lepidoptera

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi, Anatomi dan Morfologi Nyamuk

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi, Anatomi dan Morfologi Nyamuk TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi, Anatomi dan Morfologi Nyamuk Nyamuk merupakan serangga yang memiliki tubuh berukuran kecil, halus, langsing, kaki-kaki atau tungkainya panjang langsing, dan mempunyai bagian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris lumbricoides Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat Indonesia (FKUI, 1998). Termasuk dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah Kingdom Filum Class Ordo Famili Genus : Animalia : Arthopoda : Insekta : Lepidoptera : Plutellidae : Plutella

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Ukuran Stadium Larva Telur nyamuk Ae. aegyti menetas akan menjadi larva. Stadium larva nyamuk mengalami empat kali moulting menjadi instar 1, 2, 3 dan 4, selanjutnya menjadi

Lebih terperinci

Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama

Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama Embriani BBPPTP Surabaya Pendahuluan Adanya suatu hewan dalam suatu pertanaman sebelum menimbulkan kerugian secara ekonomis maka dalam pengertian

Lebih terperinci

BALAI LITBANG P2B2 BANJARNEGARA IDENTIFIKASI DAN PEMBEDAHAN NYAMUK

BALAI LITBANG P2B2 BANJARNEGARA IDENTIFIKASI DAN PEMBEDAHAN NYAMUK IDENTIFIKASI DAN PEMBEDAHAN NYAMUK Balai Litbang P2B2 Banjarnegara Morfologi Telur Anopheles Culex Aedes Berbentuk perahu dengan pelampung di kedua sisinya Lonjong seperti peluru senapan Lonjong seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cacing tularan tanah merupakan cacing yang paling sering menginfeksi manusia, biasanya hidup di dalam saluran pencernaan manusia (WHO, 2011). Spesies cacing tularan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka kejadian kecacingan di Indonesia yang dilaporkan di Kepulauan Seribu ( Agustus 1999 ), jumlah prevalensi total untuk kelompok murid Sekolah Dasar (SD) (95,1 %),

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus hidup S. litura berkisar antara hari (lama stadium telur 2 4

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus hidup S. litura berkisar antara hari (lama stadium telur 2 4 TINJAUAN PUSTAKA Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae) Biologi Siklus hidup S. litura berkisar antara 30 60 hari (lama stadium telur 2 4 hari, larva yang terdiri dari 6 instar : 20 26 hari, pupa 8

Lebih terperinci

biologi SET 23 ANIMALIA 3 DAN LATIHAN SOAL SBMPTN ADVANCE AND TOP LEVEL A. FILUM ARTHROPODA a. Ciri Ciri b. Klasifikasi

biologi SET 23 ANIMALIA 3 DAN LATIHAN SOAL SBMPTN ADVANCE AND TOP LEVEL A. FILUM ARTHROPODA a. Ciri Ciri b. Klasifikasi 23 MATERI DAN LATIHAN SOAL SBMPTN ADVANCE AND TOP LEVEL biologi A. FILUM ARTHROPODA a. Ciri Ciri SET 23 ANIMALIA 3 1. Bersegmen metameri 2. Peredaran darah terbuka 3. Tidak punya Hb, tetapi memiliki haemocyanin

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 7 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Distribusi Spasial A. tegalensis pada Tiga Varietas Tebu Secara umum pola penyebaran spesies di dalam ruang terbagi menjadi tiga pola yaitu acak, mengelompok, dan teratur. Sebagian

Lebih terperinci

KUESIONER PENELITIAN

KUESIONER PENELITIAN Lampiran 5 KUESIONER PENELITIAN PENGARUH LINGKUNGAN TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH, PERSONAL HYGIENE DAN INDEKS MASSA TUBUH (IMT) TERHADAP KELUHAN KESEHATAN PADA PEMULUNG DI KELURAHAN TERJUN KECAMATAN

Lebih terperinci

HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA

HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA Jambu mete merupakan tanaman buah berupa pohon yang berasal dari Brasil Tenggara. Tanaman ini dibawa oleh pelaut portugal ke India

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sanitasi adalah usaha kesehatan masyarakat yang menitikberatkan pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sanitasi adalah usaha kesehatan masyarakat yang menitikberatkan pada BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sanitasi Sanitasi adalah usaha kesehatan masyarakat yang menitikberatkan pada pengawasan terhadap berbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia. Sedangkan

Lebih terperinci

*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi. Kata kunci : Pembuangan Tinja (jamban), Pengelolaan Sampah, SPAL, Kepadatan Lalat.

*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi. Kata kunci : Pembuangan Tinja (jamban), Pengelolaan Sampah, SPAL, Kepadatan Lalat. HUBUNGAN ANTARA SANITASI DASAR DENGAN TINGKAT KEPADATAN LALAT DI RUMAH MAKAN PASAR TUMINTING KOTA MANADO Annisa Muthmainna Kasiono*, Jootje M. L. Umboh*, Harvani Boky* *Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Lebih terperinci

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I (Bagian Parasitologi) Pengertian Parasitologi adalah ilmu yang mempelajari jasad renik yang hidup pada jasad lain di dalam maupun di luar tubuh dengan maksud mengambil

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM AEDES AEGYPTI DAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)

BAB II TINJAUAN UMUM AEDES AEGYPTI DAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) BAB II TINJAUAN UMUM AEDES AEGYPTI DAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) 2.1 Aedes aegypti Mengetahui sifat dan perilaku dari faktor utama penyebab penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD), yakni Aedes aegypti,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Aedes sp. ,

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Aedes sp. , 5 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Aedes sp. Nyamuk masuk dalam ordo Diptera, famili Culicidae, dengan tiga subfamili yaitu Toxorhynchitinae (Toxorhynchites), Culicinae (Aedes, Culex, Mansonia, Armigeres),

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi dan Morfologi Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros) kelapa sawit di Indonesia adalah kumbang tanduk O. rhinoceros.

TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi dan Morfologi Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros) kelapa sawit di Indonesia adalah kumbang tanduk O. rhinoceros. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi dan Morfologi Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros) Kumbang penggerek pucuk yang menimbulkan masalah pada perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah kumbang tanduk O. rhinoceros.

Lebih terperinci

NYAMUK SI PEMBAWA PENYAKIT Selasa,

NYAMUK SI PEMBAWA PENYAKIT Selasa, PLEASE READ!!!! Sumber: http://bhell.multiply.com/reviews/item/13 Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes Albopictus yang mengandung virus dengue dapat menyebabkan demam berdarah dengue (DBD) yang ditandai dengan

Lebih terperinci

KBM 8 : Arthropoda Sebagai Vektor dan Penyebab Penyakit didik.dosen.unimus.ac.id

KBM 8 : Arthropoda Sebagai Vektor dan Penyebab Penyakit didik.dosen.unimus.ac.id Parasitologi Kesehatan Masyarakat KBM 8 : Arthropoda Sebagai Vektor dan Penyebab Penyakit Mapping KBM 8 2 Tujuan Pembelajaran Tujuan Instruksional Umum : Mahasiswa mampu menggunakan pemahaman tentang parasit

Lebih terperinci

BAB II PROSES METAMORFOSIS KUPU-KUPU. menetas. Proses ini melibatkan perubahan bentuk atau struktur

BAB II PROSES METAMORFOSIS KUPU-KUPU. menetas. Proses ini melibatkan perubahan bentuk atau struktur BAB II PROSES METAMORFOSIS KUPU-KUPU 2.1 Metamorfosis Metamorfosis adalah suatu proses biologi dimana hewan secara fisik mengalami perkembangan biologis setelah dilahirkan atau menetas. Proses ini melibatkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Tjitrosoepomo (1993), klasifikasi sirih (Piper bettle L.) adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Tjitrosoepomo (1993), klasifikasi sirih (Piper bettle L.) adalah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sirih (Piper bettle L.) 1. Klasifikasi Sirih (Piper bettle L.) Menurut Tjitrosoepomo (1993), klasifikasi sirih (Piper bettle L.) adalah sebagai berikut : Regnum Divisio Sub Divisio

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun TINJAUAN PUSTAKA 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) 1.1 Biologi Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun seperti atap genting (Gambar 1). Jumlah telur

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi dan Morfologi Rayap (Coptotermes curvignatus) Menurut (Nandika et, al.dalam Pratama 2013) C. curvignatus merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi dan Morfologi Rayap (Coptotermes curvignatus) Menurut (Nandika et, al.dalam Pratama 2013) C. curvignatus merupakan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi dan Morfologi Rayap (Coptotermes curvignatus) Menurut (Nandika et, al.dalam Pratama 2013) C. curvignatus merupakan rayap yang paling luas serangannya di Indonesia. Klasifikasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan oleh virus dengue dari genus Flavivirus. Virus dengue

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan oleh virus dengue dari genus Flavivirus. Virus dengue BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Demam Berdarah Dengue a. Definisi Demam berdarah dengue merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dari genus Flavivirus. Virus dengue terdiri

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. berkembang dan beriklim tropis, termasuk Indonesia. Hal ini. iklim, suhu, kelembaban dan hal-hal yang berhubungan langsung

BAB 1 PENDAHULUAN. berkembang dan beriklim tropis, termasuk Indonesia. Hal ini. iklim, suhu, kelembaban dan hal-hal yang berhubungan langsung BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyakit parasit baik yang disebabkan oleh cacing, protozoa, maupun serangga parasitik pada manusia banyak terdapat di negara berkembang dan beriklim tropis,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kecamatan Mranggen merupakan daerah yang berada di Kabupaten Demak

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kecamatan Mranggen merupakan daerah yang berada di Kabupaten Demak BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Mranggen merupakan daerah yang berada di Kabupaten Demak yang mempunyai banyak pemukiman kumuh, yaitu dapat dilihat dari

Lebih terperinci

DAUR HIDUP HEWAN ILMU PENGETAHUAN ALAM KELAS IV SD. Disusun oleh: Taufik Ariyanto /

DAUR HIDUP HEWAN ILMU PENGETAHUAN ALAM KELAS IV SD. Disusun oleh: Taufik Ariyanto / DAUR HIDUP HEWAN ILMU PENGETAHUAN ALAM KELAS IV SD Disusun oleh: Taufik Ariyanto / 101134063 P ernahkah kamu melihat perkembangan hewan yang hidup di lingkunganmu? Jika kamu memelihara hewan, kamu pasti

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis, 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Trasmitted Helminth Soil Transmitted Helminth ( STH ) merupakan infeksi kecacingan yang disebabkan oleh cacing yang penyebarannya melalui tanah. Cacing yang termasuk STH

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus

HASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus 12 HASIL DAN PEMBAHASAN Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus Telur Telur parasitoid B. lasus berbentuk agak lonjong dan melengkung seperti bulan sabit dengan ujung-ujung yang tumpul, transparan dan berwarna

Lebih terperinci

PENGENDALIAN HAMA dan PENYAKIT ULAT SUTERA I. PENDAHULUAN

PENGENDALIAN HAMA dan PENYAKIT ULAT SUTERA I. PENDAHULUAN PENGENDALIAN HAMA dan PENYAKIT ULAT SUTERA I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Penyakit merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas produksi kokon. Kerusakan yang disebabkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kesehatan lingkungan hidup manusia (Widyati, 2002).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kesehatan lingkungan hidup manusia (Widyati, 2002). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Higiene dan Sanitasi Higiene dan sanitasi adalah suatu istilah yang erat kaitannya satu sama lain sehingga tidak dapat dipisahkan. Namun demikian, pengertian higene

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa hidupnya.

TINJAUAN PUSTAKA. miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa hidupnya. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Sycanus sp. (Hemiptera: Reduviidae) Telur Kelompok telur berwarna coklat dan biasanya tersusun dalam pola baris miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa

Lebih terperinci

>> PENDAHULUAN >> TUJUAN >> MANFAAT

>> PENDAHULUAN >> TUJUAN >> MANFAAT >> PENDAHULUAN Pedoman Cara Ritel Pangan yang Baik di Pasar Tradisional adalah acuan yang digunakan dalam melakukan kegiatan ritel pangan di pasar tradisional dan dalam rangka pengawasan keamanan pangan

Lebih terperinci