BAB IV KEMITRAAN ANTAR STAKEHOLDERS DALAM PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL KERAJINAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV KEMITRAAN ANTAR STAKEHOLDERS DALAM PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL KERAJINAN"

Transkripsi

1 BAB IV KEMITRAAN ANTAR STAKEHOLDERS DALAM PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL KERAJINAN IV.1. Pemetaan Stakeholders dalam Pengembangan Industri Kecil Kerajinan Analisis stakeholders merupakan alat untuk memahami konteks sosial dan kelembagaan dari sebuah program atau kebijakan (McCracken, 1998 dalam Sayuti, 2003). Lebih lanjut dikatakan bahwa alat ini dapat menyediakan informasi awal dan mendasar tentang siapa yang akan terkena dampak dari suatu program (dampak positif maupun negatif); siapa yang dapat mempengaruhi program tersebut (positif maupun negatif); individu atau kelompok mana yang perlu dilibatkan dalam program tersebut, dan bagaimana caranya, serta kapasitas siapa yang perlu dibangun untuk memberdayakan mereka dalam berpartisipasi. Dengan demikian analisis stakeholders menyediakan sebuah landasan dan struktur untuk perencanaan partisipatif, implementasi dan monitoring. Dalam studi ini hasil dari analisis stakeholders digunakan untuk menentukan responden kunci yang akan dijadikan sebagai narasumber wawancara. IV.1.1. Pengertian Stakeholders Stakeholders adalah orang, kelompok atau institusi yang dikenai dampak dari sebuah intervensi program (baik posistif maupun negatif) atau pihak-pihak yang dapat mempengaruhi dan atau dipengaruhi hasil intervensi tersebut (McCracken,1998 dalam Sayuti, 2003). Stakeholders yang dimaksud sangat kompleks dan memungkinkan adanya stakeholders yang tersembunyi atau belum teridentifikasi. Oleh karena itu diperlukan suatu analisis stakeholders secara menyeluruh. Tahapan analisis stakeholders adalah sebagai berikut (McCracken, 1998 dalam Sayuti, 2003; Bank Dunia, 1998) : 1. Mengidentifikasi stakeholders yang terlibat melalui pertanyaan-pertanyaan berikut : Siapa pihak-pihak yang berpotensi memperoleh manfaat? Siapa pihak-pihak yang dirugikan? 45

2 Apakah kelompok yang kemungkinan kalah sudah teridentifikasi? Apakah pihak-pihak yang berlawanan sudah teridentifikasi? Bagaimana hubungan antar stakeholders? 2. Menganalisa kepentingan dan dampak potensial dari implementasi program atau kebijakan terhadap kepentingan masing-masing stakeholders : Apa harapan stakeholders terhadap program? Apa saja keuntungan yang akan diperoleh stakeholders? Apa saja sumberdaya yang dapat dimobilisasi oleh stakeholders tersebut? Apa saja kepentingan stakeholders yang menimbulkan konflik dengan tujuan program? 3. Menilai tingkat pengaruh dan tingkat kepentingan (influence dan importance) masing-masing stakeholders. Influence adalah besarnya pengaruh stakeholders berkaitan dengan kemampuan atau kapasitas kontrol sumberdaya tertentu atau kekuatan (power) tertentu yang dapat mempengaruhi pelaksanaan kebijakan. Importance adalah derajat sejauh mana pencapaian hasil pelaksanaan program bergantung pada keterlibatan aktif suatu stakeholders tertentu. Identifikasi stakeholders dapat diperoleh melalui informasi dari peraturan perundangan yang berlaku, dokumen rencana, media cetak dan survey primer. Berdasarkan sumber tersebut akan diperoleh daftar stakeholders beserta kepentingan, dampak kepentingan terhadap program, serta penilaian terhadap tingkat kepentingan (importance) dan pengaruh (influence) berdasarkan skala tertentu. Selanjutnya skala kepentingan dan pengaruh tersebut dipetakan berlawanan satu dengan yang lainnya. Berdasarkan pemetaan ini diperoleh stakeholders kunci dan stakeholders utama. Stakeholders kunci adalah stakeholders yang berlaku sebagai critical player dan memiliki tingkat pengaruh dan kepentingan yang tinggi terhadap keefektifan program. Sementara itu, stakeholders utama merupakan stakeholders yang memiliki kaitan kepentingan secara langsung dengan suatu kebijakan, program dan proyek serta dinilai memiliki tingkat kepentingan yang tinggi tetapi pengaruhnya rendah sehingga perlu pemberdayaan. Stakeholders pendukung (sekunder) adalah stakeholders yang tidak memiliki kaitan kepentingan secara langsung terhadap suatu kebijakan, program dan proyek tetapi memiliki pengaruh 46

3 yang tinggi. Dapat juga dikatakan individu, kelompok maupun organisasi yang mempunyai pandangan atau posisi yang sama dan siap bergabung didalam suatu koalisi untuk mendukung isu tertentu. Dalam pemetaan stakeholders ini akan dicari stakeholders kunci yang kemudian dijadikan sebagai narasumber wawancara. IV.1.2. Pemetaan Stakeholders Dalam studi ini analisis stakeholders ditujukan untuk mengidentifikasi pelaku-pelaku yang terkait dalam pengembangan industri kecil kerajinan sebagai basis pengembangan ekonomi lokal. Hasil analisis stakeholders adalah teridentifikasinya responden kunci yang dijadikan sebagai narasumber wawancara. Sebagai langkah awal proses pengidentifikasian dilakukan dengan mengelompokkan stakeholders yang memiliki keterkaitan dalam pengembangan industri kecil yaitu : 1. Kelompok regulator (pemerintah) Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi DIY Dinas Perindustrian Perdaganagn dan Koperasi Gunungkidul UPT Balai Bisnis DIY Dekranasda 2. Kelompok Swasta Pedagang/Eksportir Asosiasi/Yayasan BUMN 3. Kelompok Industri Kecil Kerajinan Pengrajin sentra industri kecil kerajinan Bobung Pengrajin sentra industri kecil ornamen batu Pengrajin sentra industri kecil kerajinan bambu 4. Kelompok Perguruan Tinggi dan LSM Perguruan Tinggi di Gunungkidul Perguruan Tinggi di DIY LSM di Gunungkidul 47

4 Tahap awal dari stakeholders analisis adalah mencari interest dan pengaruh (influence) setiap stakeholders. Untuk memperoleh kedua informasi tersebut diperoleh dari data-data sekunder (peraturan, studi, artikel yang terkait dengan PEL atau industri kecil). Berikut akan dijelaskan proses analisis stakeholders yang hasilnya digunakan sebagai responden untuk diwawancarai. 48

5 Tabel IV.1. INTEREST, KEPENTINGAN DAN PENGARUH STAKEHOLDERS DALAM PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL KERAJINAN DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL KELOMPOK STAKEHOLDERS INTEREST STAKEHOLDERS TERHADAP IKK I. Kelompok Regulator (Pemerintah) Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi DIY Pengembangan industri kecil se DIY Dinas Perindustrian Perdagangan Pengembangan industri dan Koperasi Gunungkidul kecil Gunungkidul UPT Balai Bisnis DIY Dekranasda Pengembangan Desain Promosi dan Pemasaran Konsultasi bisnis Pembinaan industri kecil kerajinan PENGARUH (INFLUENCE) STAKEHOLDERS TERHADAP IKK Perumusan kebijakan pengembangan,implementasi program dan penyediaan fasilitas bagi industri se DIY Perumusan kebijakan pengembangan,implementasi program,pendanaan dan penyediaan fasilitas bagi industri kecil menengah Gunungkidul Peningkatan kapasitas SDM Pengrajin Pelayanan informasi dan konsultasi Pembinaan baik pelatihan keterampilan, teknis, desain dan SDM. Fasilitasi aspek pemasaran DAMPAK PROGRAM TERHADAP INTEREST (+) (0) (-) KEPENTINGAN (IMPORTANCE) STAKEHOLDERS KESUKSESAN PROGRAM 1 = little/no importance 2 = some importance 3 = moderate importance 4 = very importance 5 = critical player PENGARUH (INFLUENCE) STAKEHOLDERS TERHADAP PROGRAM 1 = little/no influence 2 = some influence 3 = moderate influence 4 = significant influence 5 = very influence II. Kelompok Swasta Pedagang/Eksportir Asosiasi/Yayasan BUMN Kerjasama bisnis dengan orientasi profit Kerjasama bisnis dengan orientasi profit Pembinaan industri kecil Misi pengembangan usaha kecil Pemasaran produk Pemasaran produk kerajinan Penguatan modal Pelatihan-pelatihan Ketersediaan kredit pengembangan usaha Sumber : Hasil Analisis

6 Lanjutan KELOMPOK STAKEHOLDERS INTEREST STAKEHOLDERS TERHADAP IKK III. Kelompok Industri Kecil Kerajinan Pengrajin Sentra Industri Kecil Kerajinan Bobung Peningkatan pendapatan dan skala usaha PENGARUH (INFLUENCE) STAKEHOLDERS TERHADAP IKK Peningkatan jumlah unit usaha Penyerapan tenaga kerja DAMPAK PROGRAM TERHADAP INTEREST (+) (0) (-) KEPENTINGAN (IMPORTANCE) STAKEHOLDERS KESUKSESAN PROGRAM 1 = little/no importance 2 = some importance 3 = moderate importance 4 = very importance 5 = critical player PENGARUH (INFLUENCE) STAKEHOLDERS TERHADAP PROGRAM 1 = little/no influence 2 = some influence 3 = moderate influence 4 = significant influence 5 = very influence Pengrajin Sentra Industri Kecil Kerajinan Ornamen Batu Peningkatan pendapatan dan skala usaha Peningkatan jumlah unit usaha Penyerapan tenaga kerja Pengrajin Sentra Industri Kecil Kerajinan Bambu Peningkatan pendapatan dan skala usaha Peningkatan jumlah unit usaha Penyerapan tenaga kerja IV. Kelompok Perguruan Tinggi dan LSM Perguruan Tinggi di DIY Perguruan Tinggi di Gunungkidul LSM di Gunungkidul Sumber : Hasil Analisis 2008 Penelitian dan pengembangan teknologi produksi Peningkatan kapasitas SDM pengrajin Penelitian dan pengembangan teknologi produksi Peningkatan kapasitas SDM pengrajin Lembaga pelayanan alternatif bagi industri kecil yang berfungsi sebagai perantara untuk menjembatani industri kecil dengan pemerintah dan swasta Pembinaan dan pelatihan-pelatihan bagi pengrajin Pembinaan dan pelatihan-pelatihan bagi pengrajin Sangat berpotensi sebagai partner industri kecil Penelitian, pelatihan, konsultasi dan fasilitasi bagi industri kecil

7 Tabel IV.2. PEMETAAN STAKEHOLDERS BERDASARKAN PENGARUH (INFLUENCE) DAN KEPENTINGAN (IMPORTANCE) INFLUENCE OF IMPORTANCE OF ACTIVITY TO STAKEHOLDERS STAKEHOLDERS Little/No Importance Some Importance Moderate Importance Very Importance Critical Player Little/No Influence Some Influence Moderate Influence Perguruan Tinggi dan LSM Significant Influence BUMN Disperindagkop DIY UPT Balai Bisnis DIY Dekranasda Very Influence Pedagang/Eksportir Asosiasi/Yayasan Sumber : Hasil Analisis 2008 Disperindagkop Gunungkidul Pengrajin Sentra IKK Bobung Pengrajin Sentra IKK Ornamen Batu Pengrajin Sentra IKK Bambu Ket. Stakeholders kunci/utama 51

8 Berdasarkan hasil analisis stakeholders yang telah dilakukan diatas, diperoleh stakeholders kunci/utama yang nantinya menjadi narasumber wawancara (responden kunci). Adapun narasumber tersebut secara rinci adalah : - Stakeholders kunci/utama berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruhnya pada pengembangan industri kecil - Disperindagkop Kabupaten Gunungkidul Sebagai dinas teknis yang bertanggungjawab pada pembinaan dan pengembangan industri kecil di Kabupaten Gunungkidul - Pengrajin Sentra Industri Kecil Kerajinan Bobung - Pengrajin Sentra Industri Kecil Kerajinan Ornamen Batu - Pengrajin Sentra Industri Kecil Kerajinan Bambu Pengrajin ketiga sentra industri kecil kerajinan ini sebagai pelaku usaha yang berperan dalam peningkatan perekonomian daerah melalui penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat. - Stakeholders pendukung berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruhnya pada pengembangan industri kecil adalah : - Pedagang/eksportir Pelaku usaha yang berperan dalam pemasaran produk industri kecil - Asosiasi/Yayasan Pelaku usaha yang berperan dalam pemasaran dan pembinaan industri kecil kerajinan - Disperindagkop DIY Dinas teknis yang berperan dalam pengembangan dan pembinaan industri se DIY - UPT Balai Bisnis DIY Unit pelaksana teknis yang berperan dalam memfasilitasi aspek pemasaran produk industri kecil se DIY - Dekranasda Lembaga yang khusus membina industri kecil kerajinan - BUMN 52

9 Lembaga perbankan dan usaha besar yang berperan dalam bantuan permodalan usaha dan pembinaan bagi usaha kecil - Perguruan Tinggi dan LSM Sebagai lembaga penelitian dan pengembangan yang dapat membantu usaha kecil dalam pengembangan teknologi produksi, sumberdaya manusia. Pada penelitian ini stakeholders yang teridentifikasi menjadi narasumber wawancara kemudian disesuaikan dengan informasi dari stakeholders kunci/utama. Informasi dari masing-masing stakeholders ini digunakan untuk menganalisis pola kemitraan yang terjadi dalam pengembangan industri kecil kerajinan di Gunungkidul. IV.2. Identifikasi Pola Kemitraan antar Stakeholders dalam Pengembangan Industri Kecil Kerajinan Pola kemitraan yang diidentifikasi adalah pola kemitraan pada tiga sentra industri kecil kerajinan yaitu : sentra industri kecil kerajinan topeng dan batik kayu Bobung, sentra industri kecil kerajinan ornamen batu putih dan sentra industri kecil kerajinan bambu. Kemitraan pada masing-masing sentra adalah kemitraan antar industri kecil kerajinan, kemitraan antara industri kecil kerajinan dengan pedagang/eksportir, BUMN, asosiasi/yayasan, kemitraan antara industri kecil kerajinan dengan perguruan tinggi dan LSM, kemitraan antara industri kecil kerajinan dengan pemerintah. Berdasarkan pola kemitraan yang diatur dalam UU Nomor 9 Tahun 1995 tentang usaha kecil dan PP 44 tahun 1997 tentang kemitraan serta pola kemitraan usaha lainnya dalam pengembangan industri kecil kerajinan (Kuncoro, 2000), maka indikator kemitraan yang dibutuhkan dalam pengembangan industri dapat dilihat pada tabel IV.3 berikut : 53

10 Tabel IV.3. Indikator kemitraan yang dibutuhkan antara industri kecil kerajinan dengan stakeholders No Stakeholders Kemitraan yang dibutuhkan 1. Industri kecil kerajinan - Kemitraan dalam pengadaan bahan baku - Subkontrak - Kemitraan dalam pemanfaatan teknologi - Kemitraan dalam akses permodalan - Kemitraan dalam promosi & pemasaran 2. Pedagang & Eksportir BUMN, Asosiasi/Yayasan - Pola bapak angkat - Kredit bunga lunak - Subkontrak - Ventura - Perdagangan umum - Waralaba - Keagenan 3. Perguruan Tinggi Lembaga Masyarakat - Kemitraan dalam desain produk kerajinan - Kemitraan dalam pelatihan tenaga kerja - Kemitraan dalam pemanfaatan teknologi tepat guna (TTG) - Kemitraan dalam pelatihan teknik produksi & pengelolaan administrasi - Kemitraan dalam fasilitasi pada akses permodalan 4. Pemerintah - Pendidikan & Pelatihan - Bantuan Modal & Peralatan - Penelitian & Pengembangan - teknologi produksi - Perantara ind.kecil kerajinan dgn bapak angkat & Buyer - Pelayanan informasi & konsultasi - Fasilitasi Promosi produk IK Sumber : Diolah dari UU No 9 Tahun 1995 & PP 44 Tahun 1997; Kuncoro 2000 Pola pola kemitraan yang teridentifikasi diperoleh berdasarkan hasil wawancara dengan masing-masing stakeholders yang saling bekerjasama. Pola kemitraan ini dapat dilihat pada tabel IV.4 berikut : 54

11 STAKEHOLDERS INDUSTRI Tabel IV.4. Kemitraan Antar Stakeholders dalam pengembangan industri kecil kerajinan KEMITRAAN YANG DIBUTUHKAN DALAM PENGEMBANGAN INDUSTRI KEMITRAAN SENTRA BOBUNG KEMITRAAN SENTRA ORNAMEN BATU KEMITRAAN SENTRA KERAJINAN BAMBU Kemitraan dalam pengadaan bahan baku - Kesepakatan harga bersama - Sharing bahan baku Subkontrak - Subkontrak barang ½ Jadi & barang Jadi Kemitraan dalam pemanfaatan teknologi - Teknik pengawetan dan pengeringan bahan baku Kemitraan dalam akses permodalan - Pinjaman modal ke koperasi Kemitraan dalam promosi & pemasaran - Menampung Hasil Produksi Pengrajin Kecil Pola bapak angkat Kredit bunga lunak Subkontrak - Subkontrak barang ½ Jadi KET. PEDAGANG/EKSPORTIR Ventura Perdagangan umum - Pemasaran Konsinyasi, - Job Order Waralaba Keagenan Sumber : Hasil Analisis

12 Lanjutan Pola Bapak Angkat Fasilitasi Pameran Produk Kredit Bunga Lunak Permodalan Usaha BUMN Ventura Perdagangan umum Waralaba Keagenan Pola Bapak Angkat Kredit Bunga Lunak Permodalan Usaha Subkontrak Barang ½ Jadi ASOSIASI/YAYASAN Ventura Perdagangan umum Produsen Buyer (job order) Sumber : Hasil Analisis 2008 Waralaba Keagenan 56

13 Lanjutan Kemitraan dalam desain produk kerajinan Sentra Industri sebagai tempat magang dan penelitian PERGURUAN TINGGI & LSM Kemitraan dalam pelatihan tenaga kerja Kemitraan dalam pemanfaatan teknologi tepat guna (TTG) Kemitraan dalam pelatihan teknik produksi & pengelolaan administrasi Kemitraan dalam fasilitasi pada akses permodalan Pendidikan & Pelatihan, Peningkatan Kapasitas SDM Pengrajin Bantuan Modal & Peralatan Pasca Gempa PEMERINTAH Penelitian & Pengembangan teknologi produksi Pengembangan desain dan kualitas produk Perantara industri kecil kerajinan Temu Bisnis dengan bapak angkat & Buyer Pelayanan informasi & konsultasi Konsultasi manajemen usaha dan pemasaran Fasilitasi Promosi produk Industri Kecil Pameran Kerajinan & Show Room Sumber : Hasil Analisis

14 IV.3. Analisis Kemitraan antar Stakeholders dalam Pengembangan Industri Kecil Kerajinan IV.3.1.Kemitraan antar Industri Kecil Kerajinan Kemitraan antar pengusaha industri kecil kerajinan dilihat dari kemitraan pengadaan bahan baku, kemitraan subkontrak, kemitraan dalam pemanfaatan teknologi, kemitraan dalam akses permodalan, kemitraan dalam promosi dan pemasaran. IV Kasus I : Sentra Industri Kecil Kerajinan Bobung Berdasarkan hasil wawancara dengan 10 pengrajin dalam sentra Bobung pola kemitraan yang terjadi dapat diuraikan sebagai berikut : A. Kemitraan dalam pengadaan bahan baku Bahan baku yang digunakan untuk memproduksi topeng dan kerajinan batik kayu adalah kayu pule dan kayu sengon yang dipasok dari lokal Gunungkidul dan daerah sekitar. Khusus untuk kayu pule yang mulai langka di Gunungkidul, pasokan dipenuhi dari daerah Pacitan, Wonogiri dan Jawa Timur. Dalam pengadaan bahan baku ini pengrajin dalam sentra Bobung melakukan pemesanan sendiri-sendiri dengan 5 suplier tetap yang datang langsung ke sentra Bobung. Akan tetapi walaupun pengadaan bahan baku sendiri oleh pengrajin, terjadi kerjasama antar sesama pengrajin dalam hal kesepakatan harga penawaran. Jika supplier sudah mewarkan bahan baku kepada salah satu pengrajin maka pengrajin lain tidak mau lagi menawar dengan harga yang lebih tinggi dari pengrajin sebelumnya. Hal ini untuk menghindari permainan harga oleh supplier. Kerjasama lainnya adalah dalam hal pinjam meminjam bahan baku antar sesama pengrajin jika mendapatkan order yang banyak dalam waktu yang mendesak. Model kerjasama ini belum dapat dikatakan kemitraan yang dibutuhkan dalam pengembangan industri kecil kerajinan. Pengadaan bahan baku sendiri-sendiri memiliki kelemahan dalam hal kontinuitas pasokan sehingga mengalami kesulitan dalam memenuhi order yang banyak dengan waktu delivery yang mendesak. 58

15 B. Subkontrak Pengrajin disentra industri Bobung bekerjasama dengan cara subkontrak barang setengah jadi. Subkontrak dilakukan jika mendapatkan order yang besar dengan waktu pengerjaan yang singkat maka pengrajin melakukan pemesanan barang setengah jadi yang masih dalam bentuk putihan pada pengrajin lainnya. Model kemitraan ini sudah biasa dilakukan oleh pengrajin dalam sentra. Subkontrak hanya terbatas pada barang setengah jadi disebabkan penanganan proses finishing masing-masing pengrajin berbeda. Kualitas produk ditentukan oleh proses finishing ini. Dalam proses finishing dilakukan pengawetan produk yang oleh masingmasing pengrajin mempunyai teknik pengawetan khusus. Teknik pengawetan secara umum menggunakan bahan kimia, akan tetapi pengawetan khusus yang merupakan inovasi yang ditemukan sendiri oleh pengrajin masih dirahasiakan. Hal ini disebabkan karena persaingan usaha untuk mendapatkan buyer ditentukan oleh kualitas produk yang dihasilkan. Alasan lain subkontrak barang setengah jadi karena proses pembatikan dengan teknik pencampuran warna yang berbeda untuk masing-masing pengrajin dan untuk menjaga keseragaman warna sesuai dengan permintaan buyer. Teknik pencampuran warna ini dirahasiakan oleh pengrajin sebagai ciri khas produk. C. Kemitraan dalam pemanfaatan teknologi Industri kecil kerajinan pada umumnya belum memerlukan teknologi dalam bentuk mesin-mesin teknologi tinggi. Produk kerajinan ditentukan oleh kreativitas pengrajin dalam menghasilkan suatu produk dengan kualitas dan nilai seni yang tinggi. Walaupun belum membutuhkan mesin berteknologi tinggi, industri kecil kerajinan memerlukan inovasi dalam teknik produksi. Inovasi ini dalam bentuk teknik pengeringan dan pengawetan bahan baku, teknik finishing dan pewarnaan proses pembatikan. Pada sentra kerajinan Bobung telah terjalin kerjasama dalam pemanfaatan mesin pengering bahan baku. Mesin ini merupakan bantuan dari pemerintah melalui Disperindagkop Gunungkidul yang diberikan dalam rangka pemulihan usaha industri kecil pasca gempa. Mesin ini ditempatkan pada empat perusahaan yang berskala menengah dan dapat digunakan secara bersama oleh semua 59

16 pengrajin yang ada dalam sentra kerajinan Bobung. Kerjasama lainnya adalah saling berbagi informasi dalam teknik pengawetan bahan yang menggunakan bahan kimia. Sedangkan teknik pengawetan khusus masih menjadi rahasia perusahaan masing-masing pengrajin seperti dijelaskan sebelumnya pada kemitraan subkontrak. D. Kemitraan dalam akses permodalan Sentra industri kerajinan Bobung telah memiliki koperasi pengrajin yang dibentuk sejak tahun 2006 tetapi diresmikan dan memiliki badan hukum baru tahun Koperasi ini dengan modal 600 juta sebagai bantuan pemerintah dalam rangka pemulihan usaha pasca gempa. Koperasi ini merupakan koperasi simpan pinjam yang melayani kebutuhan modal pengrajin dalam sentra. Koperasi juga menjadi wadah pengrajin dalam mendapatkan bantuan dari pemerintah. Kerjasama dalam akses permodalan antar sesama pengrajin hanya melalui koperasi untuk pinjaman modal skala kecil. Sedangkan untuk kebutuhan modal skala besar pengrajin mengakses sendiri ke BUMN yang menyediakan kredit usaha. Akses modal ke BUMN ini berdasarkan kebutuhan modal dan penilaian kelayakan usaha masing-masing pengrajin. Pengrajin belum mau bekerjasama dalam akses modal ke BUMN melalui koperasi disebabkan pembebanan bunga yang tinggi oleh pihak koperasi. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Bapak Basuki pimpinan perusahaan Hasta Karya dan beberapa pengrajin lainnya, bahwa akses modal melalui koperasi terjadi dobel bunga. Pinjaman modal dari BUMN dengan bunga lunak jika penyalurannya ditangani oleh koperasi maka pihak koperasi sebagai badan usaha membebankan kembali bunga sesuai ketentuan peminjaman melalui koperasi. Dobel bunga ini dirasakan berat bagi pengrajin jika meminjam dalam jumlah yang besar. Alasan lain belum ada kemitraan dalam akses modal bersama ke BUMN disebabkan sulitnya mendapatkan barang jaminan yang dapat digunakan bersama. Masing-masing pengrajin merasa berat menggunakan asset pribadinya sebagai jaminan bersama. Ini berkaitan dengan proses pengembalian kredit oleh masing-masing pengrajin yang meminjam secara bersama, dikhawatirkan ada kredit macet yang akan berimplikasi pada penyitaan barang jaminan. 60

17 E. Kemitraan dalam promosi dan pemasaran Sentra industri kerajinan Bobung belum bekerjasama dalam pemasaran bersama produk kerajinan. Hal ini disebabkan belum ada lembaga khusus yang menangani pemasaran produk kerajinan Bobung. Pemasaran masih dilakukan sendiri-sendiri oleh pengrajin yang menyebabkan lemahnya posisi tawar dengan pedagang/eksportir. Sebagian pengrajin lebih suka menjual produk setengah jadi karena permintaan untuk itu banyak dan lebih mudah memasarkannya. Pemasaran barang setengah jadi ini menyebabkan produk jadi sentra Bobung menjadi mahal dan kalah bersaing dengan produk sejenis dari daerah Bantul dan Yogyakarta. Pengrajin di dua daerah ini dapat menjual produknya lebih murah dari produk sentra Bobung karena mereka hanya mengerjakan proses finishing saja sehingga biaya produksinya lebih murah. Kerjasama dalam promosi dan pemasaran yang terjadi di sentra Bobung dalam hal mengikutkan produk pengrajin lain dalam pameran yang diikuti salah satu pengrajin jika produk tersebut jenisnya berbeda. Untuk pengusaha yang sudah berskala menengah menampung hasil barang setengah jadi pengrajin kecil. IV Kasus 2 : Sentra Industri Kecil Kerajinan Ornamen Batu Berdasarkan hasil wawancara dengan 10 pengrajin dalam sentra industri ornamen batu putih, pola kemitraan yang terjadi dapat diuraikan sebagai berikut : A. Kemitraan dalam pengadaan bahan baku. Kerjasama pengadaan bahan baku disentra kerajinan batu putih masih terbatas pada saling pinjam bahan baku jika mendapatkan order yang tiba-tiba. Kerjasama ini terjadi antara tiga pengrajin skala menengah. Pengadaan bahan baku secara bersama belum dilakukan karena di sentra ini belum terbentuk organisasi ataupun asosiasi yang menjadi wadah bagi pengrajin dalam sentra. Dari hasil wawancara dengan pengusaha ornamen batu ini didapat informasi supply bahan baku dipenuhi dari lokal Gunungkidul dengan 6 supplier untuk jenis batu putih. Supply batu putih ini diperoleh pengrajin dengan menambang langsung (membeli bukit karst) bagi perusahaan skala menengah. Pengrajin lainnya bekerjasama dengan penambang batu yang ada di Kecamatan Wonosari dan Semin. Sedangkan batu hitam di supply dari Sleman dan Merapi. 61

18 B. Subkontrak Dalam memenuhi order yang banyak dan tiba-tiba dengan waktu penyelesaian yang singkat, pengrajin di sentra ini bekerjasama dengan cara subkontrak dengan pengrajin lainnya. Subkontrak ini langsung untuk produk jadi dengan desain dari buyer. Dalam pelaksanaan subkontrak ini kesepakatan harga dilakukan secara bersama antara pengrajin penerima subkontrak dengan pemberi order. Ada keterbukaan harga antara pemberi order dengan pengrajin subkontrak, dimana harga disepakati jika selisihnya dari order awal dengan buyer tidak terlalu jauh. Mekanisme pembayaran antara pemberi order dengan pengrajin dilakukan pada saat produk diserahkan ke pemberi order. Kerjasama ini memberi keuntungan kedua pihak dimana pengrajin subkontrak tidak dibebankan resiko kerugian penjualan. Disisi lain pemberi order dapat menghemat biaya produksi dengan cara mensubkontrakkan sebagian proses produksinya ke pengrajin lain. C. Kemitraan dalam akses permodalan Akses ke sumber permodalan dilakukan langsung oleh masing-masing pengrajin sesuai dengan kebutuhan modal dan penilaian kelayakan usaha. Kerjasama antar pengrajin dalam mengakses sumber modal bersama belum terjadi disebabkan belum ada lembaga/organisasi yang memfasilitasi. Dari wawancara dengan pengrajin di sentra batu ini diperoleh informasi salah satu alasan belum ada kerjasama akses permodalan karena adanya pihak-pihak yang melakukan praktek rentenir. Menurut sebagian pengrajin skala kecil yang ada di sentra ini lebih mudah meminjam uang ke rentenir dibandingkan ke lembaga keuangan seperti Bank dan BUMN lainnya. Kesulitan pengrajin mengakses modal ke Bank karena persyaratan kredit dengan jaminan. Sedangkan ke rentenir tidak mempersyaratkan jaminan apapun, tetapi pembebanan bunga yang tinggi. Akan tetapi bagi pengrajin hal ini tidak menjadi masalah karena dapat menanggulangi kebutuhan modal usaha pengrajin jangka pendek. D. Kemitraan dalam promosi dan pemasaran. Kerjasama dalam promosi dan pemasaran antar pengrajin di sentra batu ini adalah kerjasama pemasaran dimana pengrajin skala menengah menampung hasil produksi pengrajin kecil. Hal ini berdasarkan wawancara dengan Bapak Ngatijan 62

19 pimpinan Mustafa Stone. Dalam sentra ini terdapat 3 usaha skala menengah yang membantu pengrajin kecil dalam memasarkan hasil produksinya. IV Kasus 3 : Sentra Industri Kecil Kerajinan Bambu Identifikasi pola kemitraan di sentra industri kecil kerajinan bambu ini dilakukan dengan wawancara pada 4 pengusaha kerajinan bambu yang sudah berskala ekspor. Dalam sentra industri terdapat banyak pengrajin bambu tetapi jenis produk yang dihasilkan sebagian besar adalah sangkar burung. Pola dan model kemitraan antar industri kerajinan bambu berdasarkan informasi dari 4 pengusaha/pengrajin ini adalah sebagai berikut : A. Kemitraan dalam pengadaan bahan baku Kerjasama antar pengusaha kerajinan bambu dalam pengadaan bahan baku belum terjadi disebabkan jenis bahan baku bambu yang dibutuhkan oleh masingmasing pengusaha berbeda sesuai dengan permintaan dari buyer. Bahan baku bambu ini sebagian masih dipenuhi dari lokal Gunungkidul, sedangkan untuk jenis bambu tertentu dipasok dari Pacitan dengan 4 suplier tidak tetap dan 1 suplier tetap. (hasil wawancara dengan Bapak Suwarji, pimpinan FDA Handycraft) B. Subkontrak Kemitraan dengan model subkontrak dilakukan oleh pengusaha kerajinan bambu di sentra ini jika mendapatkan order yang banyak dalam waktu yang singkat untuk diselesaikan. Pengrajin akan meminta barang setengah jadi ataupun barang jadi kepada pengrajin lainnya dengan harga yang sudah memperhitungkan keuntungan bagi pengrajin pemberi subkontrak. Kesepakatan harga disetujui jika harga dari pengrajin yang mensubkontrakkan selisihnya tidak jauh berbeda dengan harga order dari buyer. C. Kemitraan dalam pemanfaatan teknologi Dalam pemanfaatan teknologi, pengrajin sentra bambu masih menggunakan peralatan dengan teknologi sederhana. Inovasi teknologi berdasarkan kreatifitas masing-masing pengrajin dalam menghadapi persaingan 63

20 pasar. Ketatnya persaingan pasar ini menyebabkan pengrajin tidak mau berbagi infomasi dalam inovasi teknologi. Menurut Bapak Gunawan pimpinan Kurnia Handy Craft, persaingan antar pengrajin ini adalah persaingan tidak sehat dimana ada beberapa pengrajin terutama yang pemula bersedia menjual produk dengan harga dibawah harga pengrajin lainnya. Hal ini mereka lakukan untuk merebut pelanggan karena sulitnya memasarkan produk kerajinan bambu bagi pemula. D. Kemitraan dalam akses permodalan Kerjasama dalam akses permodalan ini belum terjadi di sentra industri kerajinan bambu disebabkan kebutuhan permodalan yang berbeda untuk masingmasing pengrajin. Dalam sentra ini belum ada lembaga/organisasi/asosiasi yang mewadahi pengrajin dalam mengakses sumber modal bersama. E. Kemitraan dalam promosi dan pemasaran Kerjasama dalam promosi dan pemasaran antar sesama pengrajin disentra ini belum terjalin disebabkan setiap pengrajin sudah memiliki buyer tetap yang secara rutin memesan produk kerajinan bambu. Kegiatan promosi melalui pameran yang difasilitasi oleh Dinas Perindagkop tetapi belum semua pengrajin berkesempatan untuk mengikuti. Dari wawancara dengan Bapak Gunawan dan Bapak Samto, diperoleh informasi bahwa pameran hanya diikuti oleh pengrajin yang sudah dikenal oleh pihak Dinas Perindagkop dan tidak ada giliran untuk pengrajin lainnya di sentra ini. IV.3.2. Kemitraan Antar Industri Kecil Kerajinan Dengan Pedagang/Eksportir, BUMN, Asosiasi/Yayasan Pola kemitraan yang diidentifikasi adalah pola bapak angkat, kredit bunga lunak, subkontrak, ventura, perdagangan umum, waralaba dan keagenan IV Kasus I. Sentra Industri Kecil Kerajinan Bobung Pola kemitraan yang ada di sentra ini berdasarkan hasil wawancara dapat dijelaskan pada uraian berikut : 64

21 A. Pola Bapak Angkat Pola bapak angkat dengan pihak BUMN dalam bentuk pemberian kredit modal usaha kepada pengrajin yang secara otomatis menjadi mitra bagi BUMN tersebut. BUMN yang menjadi bapak angkat ini antara lain adalah BNI, Mandiri, BRI, Sucofindo, Opalindo, Apikri, Pekerti, yayasan Bethesda, dimana kerjasama melalui fasilitasi pengrajin pada even-even pameran untuk promosi produk kerajinan, pelatihan-pelatihan manajemen usaha dalam rangka peningkatan kapasitas pengrajin. Pola bapak angkat ini belum terjadi dengan pedagang/eksportir, ini seperti diungkapkan oleh pengrajin yang ada dalam sentra Bobung. Pedagang/eksportir belum tertarik untuk menjalin kemitraan pola bapak angkat dengan pengrajin disebabkan minat dari pedagang yang lebih berorientasi bisnis dengan profit yang maksimal. Kerjasama pedagang/eksportir dengan pengrajin terbatas pada kerjasama perdagangan umum antara buyer dengan produsen. Pola kerjasama ini akan dijelaskan tersendiri pada pola kemitraan perdagangan umum. B. Kredit Bunga Lunak Hasil wawancara dengan pengrajin dalam sentra Bobung teridentifikasi kemitraan dengan pola kredit bunga lunak antara BUMN, Asosiasi/Yayasan dengan pengrajin dalam sentra. Kemitraan ini terbatas pada pemberian kredit usaha kecil untuk permodalan usaha sebagai kewajiban BUMN dalam pengembangan usaha kecil seperti yang diamanatkan oleh UU no 9 tahun 1999 tentang usaha kecil. Dimana BUMN diwajibkan menyisihkan 1-3% laba bersihnya untuk membantu pengembangan usaha kecil menengah. Bantuan kredit usaha ini diberikan kepada semua pengrajin dalam sentra dalam rangka pemulihan usaha pasca gempa. Sedangkan kredit usaha berskala besar diberikan sesuai penilaian kelayakan usaha pengrajin. Seperti yang diungkapkan oleh bapak Basuki yang telah menjadi mitra dari Sucofindo, akses terhadap sumber modal ini dilakukan sendiri-sendiri oleh pengrajin sesuai dengan kebutuhan permodalan dan penilaian kelayakan usaha. Kredit usaha kecil ini diberikan dengan bunga lunak sebesar 6 % pertahun dengan persyaratan jaminan kredit yang ditentukan oleh pihak BUMN. Kredit yang berasal dari Asosiasi/Yayasan diberikan kepada pengrajin yang sudah menjadi mitra mereka dalam pemasaran produk kerajinan. 65

22 Kemitraan yang dimaksud adalah hubungan kerjasama perdagangan umum yang akan dijelaskan tersendiri. Kredit yang diberikan oleh Asosiasi/Yayasan sebagai tambahan modal usaha dengan persyaratan yang ditentukan oleh Asosiasi tersebut. Salah satu syaratnya adalah menjadi anggota koperasi pada Asosiasi tersebut. Pengrajin sentra Bobung yang telah mendapatkan pinjaman kredit dari Asosiasi Apikri dan yayasan Bethesda ada lima pengrajin yang sudah dikategorikan cukup maju dan memasarkan produk melalui Apikri. (wawancara dengan bapak Basuki dan bapak Kadirman). C. Subkontrak Pola kemitraan subkontrak terjadi dengan pedagang/eksportir dan Asosiasi dengan pengrajin sentra Bobung dalam hal subkontrak barang setengah jadi (putihan). Dari hasil wawancara dengan pengrajin di sentra ini sebagian besar pengrajin menjalin kerjasama subkontrak barang setengah jadi karena lebih mudah memasarkan produk setengah jadi dibandingkan barang jadi. Order barang setengah jadi ini dilakukan pedagang/eksportir untuk diproses lebih lanjut dengan alasan biaya produksinya lebih murah jika dibandingkan membeli barang jadi langsung. Subkontrak barang setengah jadi dengan pedagang/eksportir ini dapat dikatakan juga hubungan kerjasama perdagangan umum. Order untuk subkontrak ini belum ada kontrak tertulis antara pengrajin dengan pedagang/eksportir. Transaksi hanya berdasarkan nota pesanan biasa. D. Perdagangan Umum Kemitraan dengan pola perdagangan umum antara pengrajin dengan pedagang/eksportir, asosiasi/yayasan adalah kerjasama pemasaran hasil produk industri kecil kerajinan. Pedagang/eksporit dan asosiasi/yayasan membeli atau memesan produk kerajinan ke pengrajin, atau sebaliknya pengrajin menawarkan dan menjual produk ke pedagang/eksportir dan asosiasi/yayasan. Sistem pemasaran yang terjadi adalah job order dan konsinyasi. Job order dengan uang muka dengan pelunasan setelah serah terima pesanan terakhir, sedangkan konsinyasi tanpa uang muka dengan pembayaran sebulan setelah produk dititipkan ke toko atau showroom kerajinan. Pemasaran konsinyasi ini hanya mampu dilakukan oleh pengrajin yang sudah memiliki modal yang cukup besar. 66

23 Sedangkan pengrajin kecil lainnya bergantung pada order dengan uang muka. Transaksi bisnis yang terjadi pada pola kemitraan perdagangan umum ini belum ada kontrak secara tertulis yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak yang bekerjasama. Kontrak kerjasama hanya berupa nota pesanan biasa seperti pada pola subkontrak dengan perjanjian-perjanjian secara lisan dimana resiko penjualan tetap menjadi tanggungan pengrajin. Resiko penjualan ini adanya produk reject setelah order diterima oleh eksportir dan pengrajin harus mengganti dengan produk yang baru. Hal ini sering menimbulkan kerugian bagi pengrajin karena harus mengeluarkan biaya produksi tambahan. E. Ventura, Waralaba dan Keagenan Pola kemitraan ventura, waralaba dan keagenan belum terjadi antara pengrajin dan pedagang, BUMN dan asosiasi. Produk kerajinan hanya salah satu varian produk yang diperdagangkan sehingga belum ada minat dari pedagang/eksportir untuk menjalin kerjasama dengan pola lain selain perdagangan umum. IV Kasus 2 : Sentra Industri Kecil Kerajinan Ornamen Batu Pola kemitraan yang diidentifikasi pada sentra ini berdasarkan hasil wawancara dengan 10 pengrajin dapat diuraikan sebagai berikut : A. Pola Bapak Angkat Kemitraan dengan pola bapak angkat ini terjadi dengan BUMN seperti sentra inustri kecil Bobung. Kerjasama terjadi karena pemberian bantuan kredit pasca gempa untuk pemulihan usaha. Pengrajin yang menjadi mitra BUMN difasilitasi dalam pameran untuk promosi produk kerajinan. Pembinaan lain yang diberikan adalah dalam manajemen usaha dengan mengikutkan pengrajin pada pelatihan-pelatihan yang diadakan oleh lembaga-lembaga perbankan dan BUMN lainnya. B. Kredit Bunga Lunak Kerjasama dalam pemberian fasilitas kredit bunga lunak kepada pengrajin dilakukan dalam rangka pemulihan usaha pasca gempa dan melalui program 67

24 BUMN dengan Kredit Usaha Kecil (KUK) bagi usaha kecil menengah. Kredit Usaha Kecil ini diberikan sesuai penilaian kelayakan usaha dan dengan persyaratan jaminan yang ditentukan oleh BUMN. KUK ini belum dapat diakses oleh semua pengrajin yang ada dalam sentra disebabkan persyaratan jaminan kredit tersebut. C. Subkontrak Sentra ornamen batu belum mengadakan subkontrak dengan pedagang/eksportir disebabkan order pasar untuk kerajinan batu ini terbatas dan sebagian besar berskala ekspor yang dilakukan langsung oleh perusahanperusahan eksportir. Hubungan kerjasama dalam bentuk perdagangan umum dimana order langsung dari buyer atau perusahaan eksportir. D. Perdagangan Umum Sebagaimana kemitraan dengan sentra Bobung, pola kemitraan perdagangan umum yang terjadi di sentra batu ini terbatas atas kerjasama dalam pemasaran dengan sistem job order. Perusahaan eksportir membeli produk kerajinan batu untuk kemudian diekspor sesuai permintaan buyer dari luar negeri. Ekspor kerajinan batu ini ke negara negara seperti Singapura, Malaysia, Eropa, Amerika. Ekspor ini masih melalui pihak ke 3 yaitu perusahan eksportir dan agenagen pengiriman barang seperti MSA Cargo. Pengrajin belum mampu melakukan ekspor sendiri karena keterbatasan kemampuan SDM dan untuk menghindari resiko penjualan akibat ulah buyer yang tidak melunasi pembayaran karena hilang kontak. Pengrajin yang mendapatkan buyer langsung dari luar negeri bekerjasama dengan agen-agen pengiriman barang untuk melakukan ekspor. Dengan kerjasama seperti ini tanggungjawab pengrajin hanya sampai pada proses pengiriman ke agen dan selanjutnya urusan ekspor menjadi tanggungjawab agen. Pembayaran juga dilakukan melalui agen tersebut sehingga dapat menghindarkan pengrajin dari resiko ditipu oleh buyer. Kerjasama pemasaran ini belum ada kontrak tertulis hanya berdasarkan nota pesanan dan atas dasar saling percaya. Untuk hubungan kerjasama perdagangan yang sudah berlangsung lama dan menjadi pelanggan tetap hal ini dapat saja dilakukan, akan tetapi dengan pelanggan baru akan menimbulkan masalah dikemudian hari seperti halnya kasus penipuan. 68

25 E. Ventura, Waralaba dan Keagenan Kemitraan dengan pola ventura, waralaba dan keagenan belum terjadi karena minat pedagang/eksportir masih terbatas pada perdagangan umum dengan orientasi profit yang maksimal. IV Kasus 3 : Sentra Industri Kecil Kerajinan Bambu Pola kemitraan sentra industri kecil kerajinan bambu dengan Pedagang/Eksportir, BUMN dan Asosiasi/Yayasan dapat diuraikan sebagai berikut : A. Pola Bapak Angkat Kemitraan dengan pola bapak angkat terjadi antara pengrajin dengan lembaga perbankan. Pengrajin sentra bambu ini menjadi mitra dari BRI dalam pemberian kredit usaha kecil. Seperti halnya sentra lainnya pengrajin yang mendapatkan kredit usaha akan menjadi mitra dari lembaga perbankan tersebut. B. Kredit Bunga Lunak Pola kemitraan dengan kredit bunga lunak menjadi salah satu program BUMN dalam pembinaan kepada usaha kecil. Pemberian kredit bunga lunak ini berdasarkan penilaian kelayakan usaha oleh pihak BUMN. Kredit bunga lunak yang diberikan berupa kredit usaha kecil dengan persyaratan jaminan. Belum semua pengrajin dapat mengakses kredit ini karena persyaratan jaminan yang belum dapat dipenuhi oleh pengrajin. C. Subkontrak Pola subkontrak antara pengrajin dengan pedagang/eksportir dan asosiasi terbatas pada subkontrak barang setengah jadi. Pengrajin sentra bambu mengerjakan sebagian komponen yang selanjutnya akan dilakukan proses finishing oleh pemberi order. Untuk produk yang menggunakan kombinasi bahan yang beragam, pengrajin mendapatkan order subkontrak dalam penyelesaian akhir menjadi barang jadi. 69

26 D. Perdagangan Umum Pola kemitraan perdagangan umum merupakan pola yang paling lazim dilakukan antara pedagang/eksportir dan asosiasi dengan pengrajin industri kecil. Seperti halnya kedua sentra industri kecil kerajinan sebelumnya, kemitraan perdagangan umum ini terbatas pada hubungan dagang biasa antara produsen dan pembeli/buyer. Pedagang/eksportir membeli atau memesan barang kepada pengrajin untuk kemudian dijual kembali kepada konsumen akhir. Transaksi bisnis ini ada yang sudah menggunakan kontrak tertulis yang semua persyaratannya dibuat oleh pembeli. Kontrak terutama berisi ketentuan-ketentuan mengenai kualitas, waktu penyelesaian, harga, pembayaran dan sanksi-sanksi. Kontrak akan disetujui oleh pengrajin jika ketentuan-ketentuannya dinilai tidak memberatkan pengrajin, terutama ketentuan mengenai harga, kualitas dan waktu penyelesaian produk. E. Ventura, Waralaba, Keagenan Pola kemitraan ventura, waralaba dan keagenan belum terjadi disentra ini. Hubungan kemitraan yang terjadi hanya terbatas pada pola yang telah dijelaskan sebelumnya. IV.3.3. Kemitraan antara Industri Kecil Kerajinan dengan Perguruan Tinggi dan LSM Kemitraan dengan perguruan tinggi dan lembaga masyarakat dilihat dari hubungan kerjasama dalam : 1) desain produk kerajinan; 2) pelatihan tenaga kerja; 3) pemanfaatan teknologi tepat guna; 4) pelatihan teknik produksi dan pengelolaan administrasi; 5) fasilitasi pada akses permodalan. Dari kelima model hubungan kemitraan ini untuk ketiga sentra industri kecil kerajinan belum terjalin kerjasama dengan pihak perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat. Berdasarkan wawancara dengan pengrajin di ketiga sentra ini diperoleh informasi bahwa pihak perguruan tinggi belum melakukan pembinaan kepada industri kecil. Sentra industri kecil menjadi lokasi magang bagi KKN Terpadu UGM. Kerjasama yang pernah terjadi adalah salah satu pengrajin di sentra Bobung menjadi instruktur pada pelatihan ketrampilan yang diadakan salah satu perguruan tinggi di Gunungkidul. Kerjasama lainnya terkait dengan budidaya kayu pule salah satu 70

27 bahan baku kerajinan topeng pada program pelestarian hutan wanagama oleh Dinas Kehutanan Gunungkidul dan Fakultas Kehutanan UGM. Program kerjasama ini tidak terkait secara langsung dengan pengrajin yang ada dalam sentra Bobung. Program-program pembinaan usaha kecil sebagai salah satu program pengabdian kepada masyarakat oleh perguruan tinggi belum menyentuh pengrajin yang ada disentra industri Gunungkidul. IV.3.4. Kemitraan antara Industri Kecil Kerajinan dengan Pemerintah Kemitraan yang dibutuhkan oleh industri kecil kerajinan dengan pemerintah dapat dilihat dari kemitraan dalam pendidikan dan pelatihan, bantuan modal dan peralatan, penelitian dan pengembangan teknologi produksi, perantara industri kecil kerajinan dengan bapak angkat dan buyer, pelayanan informasi dan konsultasi, fasilitasi promosi produk industri kecil. Hubungan kerjasama pada masing-masing sentra dapat dijelaskan sebagai berikut : IV Kasus I : Sentra Industri Kecil Kerajinan Bobung. Dari hasil wawancara dengan pengrajin di sentra bobung diperoleh informasi kerjasama dengan pemerintah seperti diuraikan dibawah ini : A. Pendidikan dan Pelatihan Sebagai upaya peningkatan kapasitas sumberdaya manusia para pengrajin, pemerintah menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan. Program dilklat yang telah diikuti pengrajin di sentra bobung antara lain diklat ekspor impor, diklat kluster industri, diklat pembatikan, pelatihan teknik pengawetan dan pengeringan bahan baku. B. Bantuan Modal dan Peralatan Program bantuan modal dan peralatan untuk pengrajin ini dalam rangka pemulihan usaha pasca gempa. Sentra kerajinan bobung mendapatkan bantuan modal usaha dari Departemen Koperasi dan UKM yang penyalurannya dilakukan melalui koperasi pengrajin. Selain bantuan modal, pemerintah juga memberikan bantuan peralatan kepada masing-masing pengrajin. Peralatan ini jenisnya berbeda untuk setiap pengrajin disesuaikan dengan kebutuhan dan skala usaha. 71

28 Peralatan bantuan ini dapat digunakan bersama oleh pengrajin dalam sentra. Seperti halnya untuk jenis peralatan bor, oven untuk pengeringan bahan baku yang jumlahnya terbatas. C. Penelitian dan Pengembangan Teknologi Produksi Kerjasama dalam pengembangan teknologi produksi melalui bantuan peralatan pengeringan bahan baku dan pelatihan teknik pembatikan dan pengawetan produk. Pemerintah memfasilitasi pelatihan ini sebagai upaya untuk meningkatkan daya saing produk kerajinan bobung. D. Perantara Industri Kecil Kerajinan dengan Bapak Angkat dan Buyer Kerjasama dalam upaya untuk memfasilitasi dan memediasi pengrajin dengan bapak angkat dan buyer dari luar negeri dilakukan melalui program misi dagang dengan kegiatan temu bisnis oleh UPT Balai Bisnis DIY. Temu bisnis ini sebagai upaya mempertemukan pengrajin dengan buyer dari luar negeri untuk meningkatkan ekspor produk kerajinan. E. Pelayanan informasi dan Konsultasi Kerjasama dalam pelayanan informasi dan konsultasi terutama sebagai wujud dari program pengembangan usaha kecil. Pelayanan informasi dan konsultasi ini dilakukan oleh Disperindagkop dan Balai Bisnis dalam rangka memberi bantuan konsultasi mengenai manajemen usaha maupun pemasaran. Pengrajin sentra bobung yang sudah mengakses program pelayanan ini masih terbatas pada pengrajin yang berskala menengah karena membutuhkan konsultasi manajemen usaha dan pemasaran untuk meningkatkan usahanya. F. Fasilitasi Promosi Produk Kerajinan Kerjasama dalam fasilitasi promosi produk kerajinan dilakukan melalui pameran baik dalam negeri maupun luar negeri dalam rangka peningkatan peluang pasar perdagangan luar negeri. Pameran produk kerajinan ini diikuti oleh pengrajin dalam sentra secara bergilir. Pameran produk ini dirasakan oleh pengrajin sangat membantu dalam pemasaran produk kerajinan. Dengan mengikuti pameran pengrajin mendapatkan buyer baru terutama buyer dari luar negeri untuk pameran bertaraf internasional seperti PPE dan INA Craft. Hal ini 72

29 memberi dampak pada peningkatan pemasaran produk kerajinan bobung sampai dengan skala ekspor. Fasilitasi lainnya dengan dibukanya showroom kerajinan oleh Dekranasda Gunungkidul dan showroom pada UPT Balai Bisnis DIY. Pengrajin dapat menggunakan showroom ini sebagai media promosi produk kerajinan. IV Kasus 2 : Sentra Industri ornamen Batu Kerjasama pengrajin sentra ornamen batu dengan pemerintah dalam pendidikan dan pelatihan seperti halnya sentra bobung adalah pada pelatihan ekspor impor, diklat kluster industri. Penyelenggaraan diklat ekspor impor ini untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman pengrajin tentang prosedur ekspor sehingga diharapkan pengrajin di Gunungkidul dapat melakukan ekspor secara langsung tanpa melalui pihak ketiga atau eksportir didaerah lain. Diklat kluster industri diselenggarakan sebagai upaya untuk membuka wawasan pengrajin akan pentingnya bekerjasama dalam suatu sistem yang terintegrasi sehingga produk kerajinan memiliki daya saing yang tinggi dengan produk sejenis dari daerah lain. Bantuan modal dan peralatan yang diterima sentra industri ornamen batu ini dalam rangka bantuan pemulihan usaha pasca gempa seperti halnya sentrasentra lainnya. Program penelitian dan pengembangan teknologi produksi belum dilakukan di sentra ini. Pengrajin dalam meningkatkan daya saing produknya selalu mencari inovasi baru terutama dalam hal desain produk. Pengrajin sentra ornamen batu telah ikut dalam temu bisnis yang diselenggarakan oleh balai bisnis. Mediasi dengan bapak angkat dilakukan oleh Disperindagkop melalui kegiatan sosialisasi yang mempertemukan pihak perbankan dan BUMN dengan pengusaha kecil. Dengan sosialisasi ini diharapkan pihak perbankan dan BUMN berminat menjalin kemitraan dengan pengusaha kecil melalui program bapak angkat. Dalam meningkatkan pemasaran produk kerajinan, pengrajin disentra batu di fasilitasi dalam pameran promosi seperti Pekan Raya Jakarta, Pameran Produk Ekspor (PPE), INA Craft. Kerajinan ornamen batu merupakan salah satu produk 73

30 ekspor, akan tetapi kesempatan untuk mengikuti pameran ini belum semua pengrajin mendapatkannya. Kendala pengrajin batu pada umumnya dalam mengikuti pameran karena jenis produk dengan dimensi dan volume yang besar menyebabkan biaya transportasi ke lokasi pameran tinggi sehingga manfaat yang diperoleh dirasakan kurang sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. IV Kasus 3 : Sentra Industri Kecil Kerajinan Bambu Kerjasama pengrajin sentra bambu dengan pemerintah dalam pendidikan dan pelatihan seperti halnya sentra lainnya. Program pelatihan ini hanya diikuti oleh pengrajin yang sudah maju sementara pengrajin kecil belum mendapatkan kesempatan. Hal ini seperti diungkapkan oleh bapak Gunawan salah satu pengrajin bambu yang belum pernah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Dalam hal bantuan modal dan peralatan, pengrajin mendapatkan bantuan pemulihan usaha pasca gempa. Program peningkatan teknologi industri sebagai upaya pengembangan teknologi produksi pada sentra kerajinan bambu diselenggarakan pelatihan pengembangan desain dan peningkatan kualitas kerajinan bambu oleh Disperindagkop Gunungkidul. Dengan pelatihan ini diharapkan produk kerajinan bambu mampu bersaing dengan produk sejenis dari daerah lain. Pengembangan desain kerajinan bambu ini diharapkan juga agar pengrajin tidak hanya menerima order barang setengah jadi akan tetapi dapat memproduksi barang jadi dengan desain yang mampu bersaing dipasar. IV.4. Analisis Faktor faktor yang mempengaruhi kemitraan antar stakeholders Berdasarkan hasil identifikasi pola kemitraan antar stakeholders dapat dilihat hubungan kemitraan yang terjadi belum maksimal sebagaimana prinsip kemitraan yang sejajar, saling membutuhkan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Dari kelemahan kemitraan yang ada sekarang dapat dilihat faktor-faktor yang menyebabkan kemitraan belum maksimal yang akan diuraikan berikut ini. Faktorfaktor yang dimaksud adalah alasan-alasan yang dikemukakan pengrajin. 74

31 IV.4.1. Faktor yang mempengaruhi kemitraan antar industri dalam sentra Berdasarkan wawancara dengan pengrajin di ketiga sentra industri kecil kerajinan maka faktor yang mempengaruhi kemitraan antar pengrajin dapat dilihat pada tabel IV.5 berikut : Tabel IV.5 Faktor yang mempengaruhi kemitraan antar industri dalam sentra Kemitraan yang dibutuhkan Kemitraan dalam pengadaan bahan baku Subkontrak Kemitraan dalam pemanfaatan teknologi Kemitraan dalam akses permodalan Kemitraan dalam promosi & pemasaran Sumber : Hasil Analisis 2008 Faktor Sentra Bobung Sentra Batu Sentra Bambu Peran kelembagaan koperasi belum maksimal Demand masih terbatas Tidak ada komunikasi yang terbuka -Peran kelembagaan koperasi (Bunga pinjaman tinggi) - Kepercayaan - Peran kelembagaan koperasi - Demand masih terbatas mediasi dari kelembagaan internal sentra Demand masih terbatas Tidak ada komunikasi yang terbuka Kepercayaan - Motivasi dari pengrajin Bahan baku berbeda Demand masih terbatas Tidak ada komunikasi yang terbuka Kepercayaan - Demand masih terbatas Pada kemitraan antar industri kecil kerajinan faktor yang menyebabkan kemitraan belum maksimal disebabkan demand untuk produk kerajinan ini masih terbatas sehingga pengrajin industri kecil saling bersaing dalam mendapatkan pembeli. Hal ini menyebabkan pengrajin tidak saling berkomunikasi secara terbuka dan saling percaya berbagi informasi baik dalam pemanfaatan teknologi maupun pemasaran. Minat pengrajin untuk bekerjasama dalam bentuk kemitraan dipengaruhi juga oleh belum adanya mediasi dari kelembagaan yang ada dalam sentra. Peran kelembagaan dalam hal ini koperasi di sentra bobung belum maksimal karena keterbatasan dana dan SDM pengelola sehingga belum mampu menjadi wadah bagi pengrajin. 75

BAB V KEMITRAAN ANTAR STAKEHOLDERS DAN ARAHAN PENINGKATANNYA DALAM PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL KERAJINAN

BAB V KEMITRAAN ANTAR STAKEHOLDERS DAN ARAHAN PENINGKATANNYA DALAM PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL KERAJINAN BAB V KEMITRAAN ANTAR STAKEHOLDERS DAN ARAHAN PENINGKATANNYA DALAM PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL KERAJINAN Dari hasil analisis kemitraan antar stakeholders pada ketiga sentra industri di Kabupaten Gunungkidul,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pembangunan yang berorientasi atau berbasis kegiatan ekonomi lokal menekankan pada kebijakan pembangunan pribumi (endogenous development policies) yang memanfaatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang UMKM merupakan unit usaha yang sedang berkembang di Indonesia dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang UMKM merupakan unit usaha yang sedang berkembang di Indonesia dan BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang UMKM merupakan unit usaha yang sedang berkembang di Indonesia dan keberadaannya perlu mendapat dukungan dari semua pihak, baik dari sektor pemerintah maupun non-pemerintah.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Rakyat 2.1.1 Definisi hutan rakyat Definisi Hutan rakyat dapat berbeda-beda tergantung batasan yang diberikan. Hutan rakyat menurut Undang-undang No. 41 tahun 1999

Lebih terperinci

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. dianggap cukup representatif dalam memberdayakan ekonomi masyarakat. Dalam

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. dianggap cukup representatif dalam memberdayakan ekonomi masyarakat. Dalam II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Pola Kemitraan Dalam suasana persaingan yang semakin kompetitif, keberadaan usaha mikro kecil dituntut untuk tetap dapat bersaing dengan pelaku usaha

Lebih terperinci

VII. KINERJA LEMBAGA PENUNJANG PEMASARAN DAN KEBIJAKAN PEMASARAN RUMPUT LAUT. menjalankan kegiatan budidaya rumput laut. Dengan demikian mereka dapat

VII. KINERJA LEMBAGA PENUNJANG PEMASARAN DAN KEBIJAKAN PEMASARAN RUMPUT LAUT. menjalankan kegiatan budidaya rumput laut. Dengan demikian mereka dapat VII. KINERJA LEMBAGA PENUNJANG PEMASARAN DAN KEBIJAKAN PEMASARAN RUMPUT LAUT 7.1. Kinerja Lembaga Penunjang Pengembangkan budidaya rumput laut di Kecamatan Mangarabombang membutuhkan suatu wadah sebagai

Lebih terperinci

Peningkatan Produktivitas Usaha Briket dan Tungku di Daerah Sleman Guna Mendukung Penyediaan Bahan Bakar Alternatif yang Ramah Lingkungan

Peningkatan Produktivitas Usaha Briket dan Tungku di Daerah Sleman Guna Mendukung Penyediaan Bahan Bakar Alternatif yang Ramah Lingkungan Peningkatan Produktivitas Usaha Briket dan Tungku di Daerah Sleman Guna Mendukung Penyediaan Bahan Bakar Alternatif yang Ramah Lingkungan I. Pendahuluan Dewasa ini harga bahan bakar minyak dunia cenderung

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM

BAB III GAMBARAN UMUM BAB III GAMBARAN UMUM Kabupaten Gunungkidul adalah salah satu Kabupaten yang ada di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan Ibukotanya Wonosari. Luas wilayah Kabupaten Gunungkidul 1.485,36 km2 atai

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG. Nomor : 08 Tahun 2015

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG. Nomor : 08 Tahun 2015 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG Nomor : 08 Tahun 2015 Menimbang : Mengingat : PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG USAHA MIKRO DAN KECIL DI KABUPATEN SERANG DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pasar belum tentu dapat dimanfaatkan oleh masyarakat yang kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. pasar belum tentu dapat dimanfaatkan oleh masyarakat yang kemampuan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan dinamika pembangunan, peningkatan kesejahteraan masyarakat telah menumbuhkan aspirasi dan tuntutan baru dari masyarakat untuk mewujudkan kualitas kehidupan

Lebih terperinci

6. URUSAN PERINDUSTRIAN

6. URUSAN PERINDUSTRIAN 6. URUSAN PERINDUSTRIAN Pembangunan perindustrian mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan dan merupakan salah satu pilar pertumbuhan ekonomi. Sektor industri memegang peranan penting dalam peningkatan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Definisi Kemitraan Definisi kemitraan diungkapkan oleh Hafsah (1999) yang menyatakan bahwa kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan

Lebih terperinci

6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM

6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM 48 6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 6.1. Kebijakan di dalam pengembangan UKM Hasil analisis SWOT dan AHP di dalam penelitian ini menunjukan bahwa Pemerintah Daerah mempunyai peranan yang paling utama

Lebih terperinci

BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM

BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM Pancasila dan Undang-undang Dasar Tahun 1945 merupakan landasan ideologi dan konstitusional pembangunan nasional termasuk pemberdayaan koperasi dan usaha

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN Tahap ini merupakan kelanjutan dari tahap pembentukan klaster industri kecil tekstil dan produk tekstil pada Bab IV. Pada bagian ini akan dilakukan analisis terhadap model

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Lembaga-lembaga perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Lembaga-lembaga perekonomian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi suatu bangsa memerlukan pola pengaturan pengelolaan sumber-sumber ekonomi yang tersedia secara terarah dan terpadu bagi peningkatan kesejahteraan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pengembangan ekonomi masyarakat. Usaha mikro selama ini terbukti dapat

I. PENDAHULUAN. pengembangan ekonomi masyarakat. Usaha mikro selama ini terbukti dapat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usaha kecil dan menengah (UKM) di Indonesia merupakan pemain utama dalam kegiatan perekonomian, dan merupakan akselerator dalam pengembangan ekonomi masyarakat. Usaha mikro

Lebih terperinci

IV.C.6. Urusan Pilihan Perindustrian

IV.C.6. Urusan Pilihan Perindustrian 6. URUSAN PERINDUSTRIAN Urusan perindustrian mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan ekonomi yaitu sebagai pemicu kegiatan ekonomi lain yang berdampak ekspansif atau meluas ke berbagai sektor

Lebih terperinci

PERAN ASPARTAN (ASOSIASI PASAR TANI) DALAM MENDORONG BERKEMBANGNYA UMKM DI KABUPATEN SLEMAN

PERAN ASPARTAN (ASOSIASI PASAR TANI) DALAM MENDORONG BERKEMBANGNYA UMKM DI KABUPATEN SLEMAN PERAN ASPARTAN (ASOSIASI PASAR TANI) DALAM MENDORONG BERKEMBANGNYA UMKM DI KABUPATEN SLEMAN Irawati, Nurdeana C, dan Heni Purwaningsih Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta Email : irawibiwin@gmail.com

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 97 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Pada bab ini, penulis akan memberikan mengenai kesimpulan dan saran terhadap penelitian yang telah dilakukan. Kesimpulan dan saran berdasarkan pada penjelasan bab sebelumnya.

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. analisis data tentang pemberdayaan industri kecil gitar di desa Mancasan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. analisis data tentang pemberdayaan industri kecil gitar di desa Mancasan BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dalam bab ini akan disajikan kesimpulan dari hasil penelitian dan analisis data tentang pemberdayaan industri kecil gitar di desa Mancasan Kabupaten Sukoharjo.

Lebih terperinci

PERAN KELEMBAGAAN PENGRAJIN KECIL DALAM MENINGKATKAN DISTRIBUSI NILAI TAMBAH INDUSTRI MEBEL. Oleh : MARGONO KETUA APKJ. Team penyusun : Legiman Arya

PERAN KELEMBAGAAN PENGRAJIN KECIL DALAM MENINGKATKAN DISTRIBUSI NILAI TAMBAH INDUSTRI MEBEL. Oleh : MARGONO KETUA APKJ. Team penyusun : Legiman Arya PERAN KELEMBAGAAN PENGRAJIN KECIL DALAM MENINGKATKAN DISTRIBUSI NILAI TAMBAH INDUSTRI MEBEL Oleh : MARGONO KETUA APKJ Team penyusun : Legiman Arya Pendahuluan APKJ sebagai lembaga yang terlahir dari keinginan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian ini dikembangkan untuk mengetahui interaksi antar stakeholder dalam

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian ini dikembangkan untuk mengetahui interaksi antar stakeholder dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian ini dikembangkan untuk mengetahui interaksi antar stakeholder dalam pengembangan UMKM mebel kayu di Kecamatan Wonogiri, Kabupaten Wonogiri. Industri mebel

Lebih terperinci

IDQAN FAHMI BUDI SUHARDJO

IDQAN FAHMI BUDI SUHARDJO RINGKASAN EKSEKUTIF WISHNU TIRTA, 2006. Analisis Strategi Penggunaan Bahan Baku Kayu Bersertifikat Ekolabel Di Indonesia. Di bawah bimbingan IDQAN FAHMI dan BUDI SUHARDJO Laju kerusakan hutan di Indonesia

Lebih terperinci

8 BANGUNAN TEORI INTEGRASI AGROINDUSTRI

8 BANGUNAN TEORI INTEGRASI AGROINDUSTRI 8 BANGUNAN TEORI INTEGRASI AGROINDUSTRI Pengembangan agroindustri terintegrasi, seperti dikemukakan oleh Djamhari (2004) yakni ada keterkaitan usaha antara sektor hulu dan hilir secara sinergis dan produktif

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA SISTEM

BAB IV ANALISA SISTEM 71 BAB IV ANALISA SISTEM 4.1. Analisa Situasional Agroindustri Sutera Agroindustri sutera merupakan industri pengolahan yang menghasilkan sutera dengan menggunakan bahan baku kokon yaitu kepompong dari

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa untuk lebih mempercepat perwujudan perekonomian nasional yang mandiri dan andal sebagai usaha

Lebih terperinci

BAB. X. JARINGAN USAHA KOPERASI. OLEH : Lilis Solehati Y, SE.M.Si

BAB. X. JARINGAN USAHA KOPERASI. OLEH : Lilis Solehati Y, SE.M.Si BAB. X. JARINGAN USAHA OLEH : Lilis Solehati Y, SE.M.Si SEBAGAI EKONOMI RAKYAT Ekonomi rakyat merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan terbukti menjadi katup pengaman

Lebih terperinci

BAB 5 ARAHAN PENGEMBANGAN USAHA TAPE KETAN SEBAGAI MOTOR PENGGERAK PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL

BAB 5 ARAHAN PENGEMBANGAN USAHA TAPE KETAN SEBAGAI MOTOR PENGGERAK PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL BAB 5 ARAHAN PENGEMBANGAN USAHA TAPE KETAN SEBAGAI MOTOR PENGGERAK PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL Dalam bab ini, akan dijelaskan mengenai temuan studi, kesimpulan serta rekomendasi pengembangan usaha tape

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk lebih mempercepat perwujudan perekonomian nasional yang mandiri dan

Lebih terperinci

EXECUTIVE SUMMARY KEBIJAKAN PENDUKUNG KEBERLANJUTAN USAHA KECIL DAN MENENGAH (STUDI KASUS KABUPATEN BOGOR DAN KOTA MALANG)

EXECUTIVE SUMMARY KEBIJAKAN PENDUKUNG KEBERLANJUTAN USAHA KECIL DAN MENENGAH (STUDI KASUS KABUPATEN BOGOR DAN KOTA MALANG) EXECUTIVE SUMMARY KEBIJAKAN PENDUKUNG KEBERLANJUTAN USAHA KECIL DAN MENENGAH (STUDI KASUS KABUPATEN BOGOR DAN KOTA MALANG) Peneliti: SAHAT ADITUA FANDHITYA SILALAHI PUSAT PENELITIAN BADAN KEAHLIAN SETJEN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. definisi industri kecil tersebut antara lain: tanah dan bangunan tempat usaha. c) Milik Warga Negara Indonesia (WNI)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. definisi industri kecil tersebut antara lain: tanah dan bangunan tempat usaha. c) Milik Warga Negara Indonesia (WNI) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Industri Kecil Sampai saat ini industri kecil memiliki berbagai macam definisi. Kriteria yang digunakan untuk mendefinisikan industri kecil pun beranekaragam, sehingga

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI PASAL 18 PERDA KOTA MOJOKERTO NOMOR 7 TAHUN 2009 TERHADAP PERLINDUNGAN USAHA DI KOTA MOJOKERTO

IMPLEMENTASI PASAL 18 PERDA KOTA MOJOKERTO NOMOR 7 TAHUN 2009 TERHADAP PERLINDUNGAN USAHA DI KOTA MOJOKERTO IMPLEMENTASI PASAL 18 PERDA KOTA MOJOKERTO NOMOR 7 TAHUN 2009 TERHADAP PERLINDUNGAN USAHA DI KOTA MOJOKERTO (Studi di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Mojokerto) JURNAL Untuk Memenuhi Syarat-Syarat

Lebih terperinci

OCCASIONAL PAPER OP/ 1 /2016

OCCASIONAL PAPER OP/ 1 /2016 OP/ 1 /2016 OCCASIONAL PAPER Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat,

Lebih terperinci

13 NAMA UNIT ORGANISASI : DINAS KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH, PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN

13 NAMA UNIT ORGANISASI : DINAS KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH, PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN 1 NAMA UNIT ORGANISASI : DINAS KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH, PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN TUGAS POKOK : Melaksanakan urusan pemerintahan daerah di bidang perekonomian meliputi koperasi

Lebih terperinci

PEGUKURAN KINERJA KEGIATAN

PEGUKURAN KINERJA KEGIATAN PEGUKURAN KINERJA KEGIATAN SKPD : Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM DIY Tahun : 2014 No. Sasaran strategis Indikator Program/Kegiatan Anggaran Kinerja Realisasi Fisik Keuangan % % KOPERASI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk lebih mempercepat perwujudan perekonomian nasional yang mandiri dan

Lebih terperinci

STRATEGI PEMBERDAYAAN UMKM DI WILAYAH SURAKARTA

STRATEGI PEMBERDAYAAN UMKM DI WILAYAH SURAKARTA STRATEGI PEMBERDAYAAN UMKM DI WILAYAH SURAKARTA Disampaikan oleh: Ravik Karsidi Heru Irianto Dalam Diskusi Regional Kerjasama Bank Indonesia Solo dengan Badan Koordinasi Pembangunan Lintas Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mutu lebih baik, dan lebih cepat untuk memperolehnya (cheaper, better and

BAB I PENDAHULUAN. mutu lebih baik, dan lebih cepat untuk memperolehnya (cheaper, better and BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dalam era globalisasi ini, distribusi dan logistik telah memainkan peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan perdagangan dunia. Terlebih lagi persaingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. agar mampu berkompetisi dalam lingkaran pasar persaingan global. Tidak hanya dengan

BAB I PENDAHULUAN. agar mampu berkompetisi dalam lingkaran pasar persaingan global. Tidak hanya dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada era globalisasi seperti sekarang ini, tingkat persaingan usaha sangatlah tinggi. Hal ini secara otomatis memaksa para pelaku usaha untuk terus mengembangkan diri

Lebih terperinci

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Indonesia yang kaya akan budaya dan hasil alamnya memiliki banyak industri yang menggantungkan usahanya pada hasil alam tersebut. Salah satu industri yang menggabungkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keempat, yaitu industri ekonomi kreatif (creative economic industry). Di

BAB I PENDAHULUAN. keempat, yaitu industri ekonomi kreatif (creative economic industry). Di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat ini dunia telah memasuki era industri pada gelombang keempat, yaitu industri ekonomi kreatif (creative economic industry). Di negara-negara maju sendiri mereka

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan bangsa Indonesia ke depan sangat tergantung pada kualitas sumber

I. PENDAHULUAN. Pembangunan bangsa Indonesia ke depan sangat tergantung pada kualitas sumber I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan bangsa Indonesia ke depan sangat tergantung pada kualitas sumber daya manusia Indonesia yang sehat fisik dan mental serta mempunyai ketrampilan dan keahlian

Lebih terperinci

EVALUASI PROGRAM PENGEMBANGAN KOMUNITAS

EVALUASI PROGRAM PENGEMBANGAN KOMUNITAS 53 EVALUASI PROGRAM PENGEMBANGAN KOMUNITAS Pada hakekatnya tujuan pembangunan adalah untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat baik perorangan, keluarga, kelompok maupun masyarakat dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan oleh suatu bangsa dalam upaya untuk meningkatkan pendapatan dan

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan oleh suatu bangsa dalam upaya untuk meningkatkan pendapatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan ekonomi diartikan sebagai suatu proses kegiatan yang dilakukan oleh suatu bangsa dalam upaya untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan yang dilakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. oleh kualitas SDM yang akan memanfaatkan fasilitas tersebut. (Indriati, A. 2015)

I. PENDAHULUAN. oleh kualitas SDM yang akan memanfaatkan fasilitas tersebut. (Indriati, A. 2015) I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) merupakan salah satu bagian terpenting didalam perekonomian suatu negara. Hal tersebut dikarenakan UMKM mampu menyerap tenaga kerja

Lebih terperinci

BAB III BERBAGAI KEBIJAKAN UMKM

BAB III BERBAGAI KEBIJAKAN UMKM BAB III BERBAGAI KEBIJAKAN UMKM Usaha Kecil dan Mikro (UKM) merupakan sektor yang penting dan besar kontribusinya dalam mewujudkan sasaran-sasaran pembangunan ekonomi nasional, seperti pertumbuhan ekonomi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor Usaha Kecil Menengah (UKM) merupakan unit usaha yang potensial untuk menopang perekonomian nasional. Usaha Kecil Menengah telah memberikan sumbangan yang nyata

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dalam rangka keterpaduan pelaksanaan pengembangan Ekonomi Kreatif, dengan ini

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Konsep Pengembangan Ekonomi Lokal Secara garis besar dikenal tiga konsep utama dalam pengembangan wilayah, yaitu Konsep Pembangunan dari atas (Development from Above), Konsep

Lebih terperinci

Ketua Komisi VI DPR RI. Anggota Komisi VI DPR RI

Ketua Komisi VI DPR RI. Anggota Komisi VI DPR RI PEMBERDAYAAAN KOPERASI & UMKM DALAM RANGKA PENINGKATAN PEREKONOMIAN MASYARAKAT 1) Ir. H. Airlangga Hartarto, MMT., MBA Ketua Komisi VI DPR RI 2) A. Muhajir, SH., MH Anggota Komisi VI DPR RI Disampaikan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) adalah suatu usaha yang

PENDAHULUAN. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) adalah suatu usaha yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) adalah suatu usaha yang menjadi motor penggerak bagi pertumbuhan ekonomi di banyak negara di dunia. UMKM khususnya di

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor industri sepatu di era globalisasi seperti sekarang ini berada dalam persaingan yang semakin ketat. Terlebih lagi sejak tahun 2010 implementasi zona perdagangan

Lebih terperinci

KONSEP EKO EFISIENSI DALAM PEMANFAATAN KELUARAN BUKAN PRODUK DI KLASTER INDUSTRI MEBEL KAYU BULAKAN SUKOHARJO TUGAS AKHIR

KONSEP EKO EFISIENSI DALAM PEMANFAATAN KELUARAN BUKAN PRODUK DI KLASTER INDUSTRI MEBEL KAYU BULAKAN SUKOHARJO TUGAS AKHIR KONSEP EKO EFISIENSI DALAM PEMANFAATAN KELUARAN BUKAN PRODUK DI KLASTER INDUSTRI MEBEL KAYU BULAKAN SUKOHARJO TUGAS AKHIR Oleh: HEPILIA KORNILASARI L2D 004 319 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

LAMPIRAN I.2 : KOPERASI DAN USAHA KECIL MENENGAH DINAS PERINDUSTRIAN, PERDAGANGAN, KOPERASI DAN U K M. JUMLAH ( Rp. ) ANGGARAN SETELAH PERUBAHAN

LAMPIRAN I.2 : KOPERASI DAN USAHA KECIL MENENGAH DINAS PERINDUSTRIAN, PERDAGANGAN, KOPERASI DAN U K M. JUMLAH ( Rp. ) ANGGARAN SETELAH PERUBAHAN LAMPIRAN I.2 : PEMERINTAH DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RINCIAN LAPORAN MENURUT URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH, ORGANISASI, PENDAPATAN, BELANJA DAERAH DAN PEMBIAYAAN TAHUN 2014 PERIODE BULAN : DESEMBER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. industri mendorong perusahaan untuk dapat menghasilkan kinerja terbaik. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. industri mendorong perusahaan untuk dapat menghasilkan kinerja terbaik. Dalam BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini, bisnis kian berfluktuasi dan persaingan bisnis semakin ketat. Fluktuasi bisnis ini disebabkan oleh ketidakpastian lingkungan bisnis dan stabilitas perekonomian.

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan Kekuatan yang dimiliki oleh kelompok pengrajin tenun ikat tradisional di desa Hambapraing, sehingga dapat bertahan sampai sekarang adalah, kekompakan kelompok, suasana

Lebih terperinci

I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH

I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH I. UMUM Penerapan otonomi daerah sejatinya diliputi semangat untuk mewujudkan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA KEDIRI

PEMERINTAH KOTA KEDIRI PEMERINTAH KOTA KEDIRI SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KEDIRI, Menimbang

Lebih terperinci

PENCAPAIAN EKO-EFISIENSI MELALUI KERJASAMA ANTAR PELAKU USAHA PADA KLASTER INDUSTRI BATIK SIMBANGKULON, KABUPATEN PEKALONGAN TUGAS AKHIR

PENCAPAIAN EKO-EFISIENSI MELALUI KERJASAMA ANTAR PELAKU USAHA PADA KLASTER INDUSTRI BATIK SIMBANGKULON, KABUPATEN PEKALONGAN TUGAS AKHIR PENCAPAIAN EKO-EFISIENSI MELALUI KERJASAMA ANTAR PELAKU USAHA PADA KLASTER INDUSTRI BATIK SIMBANGKULON, KABUPATEN PEKALONGAN TUGAS AKHIR Oleh: ERNI PURWANINGSIH L2D 004 311 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH

Lebih terperinci

2015 PENGARUH DIVERSIFIKASI PRODUK DAN PERSAINGAN TERHADAP PENDAPATAN PENGUSAHA BATIK DI CIREBON

2015 PENGARUH DIVERSIFIKASI PRODUK DAN PERSAINGAN TERHADAP PENDAPATAN PENGUSAHA BATIK DI CIREBON BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Banyak kota di Indonesia yang memproduksi batik dan tiap kota memiliki ciri tersendiri akan batik yang diproduksinya, seperti di Solo, Yogyakarta, Cirebon

Lebih terperinci

IV.C.6. Urusan Pilihan Perindustrian

IV.C.6. Urusan Pilihan Perindustrian 6. URUSAN PERINDUSTRIAN Pembangunan perindustrian mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan dan merupakan salah satu pilar pertumbuhan ekonomi, dalam hal ini sebagai pemicu kegiatan ekonomi lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka pengembangan ekonomi daerah yang bertujuan. meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka pengembangan ekonomi lokal

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka pengembangan ekonomi daerah yang bertujuan. meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka pengembangan ekonomi lokal BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam rangka pengembangan ekonomi daerah yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka pengembangan ekonomi lokal sesuai potensinya menjadi sangat penting.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bank merupakan lembaga perantara keuangan (financial intermediary)

BAB I PENDAHULUAN. Bank merupakan lembaga perantara keuangan (financial intermediary) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Bank merupakan lembaga perantara keuangan (financial intermediary) yang mempunyai kegiatan pokok menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang kemudian

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang : a. bahwa Usaha Mikro,

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERINDUSTRIAN

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERINDUSTRIAN PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERINDUSTRIAN 1 (satu) bulan ~ paling lama Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia di bidang Industri sebagaimana

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEMBATA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEMBATA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEMBATA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LEMBATA, Menimbang : a. bahwa usaha mikro, kecil dan

Lebih terperinci

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 10 TAHUN 2004

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 10 TAHUN 2004 QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 10 TAHUN 2004 T E N T A N G PEMBERDAYAAN SENTRA USAHA KECIL BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR PROVINSI NANGGIROE ACEH DARUSSALAM,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di Indonesia, pemerintah membuat kebijakan salah satunya dengan cara mengedepankan sektor industri.

Lebih terperinci

Strategi Pengembangan UMKM dengan Mengatasi Permasalahan UMKM Dalam Mendapatkan Kredit Usaha

Strategi Pengembangan UMKM dengan Mengatasi Permasalahan UMKM Dalam Mendapatkan Kredit Usaha Strategi Pengembangan UMKM dengan Mengatasi Permasalahan UMKM Dalam Mendapatkan Kredit Usaha Oleh : Nama : Debby Fuji Lestari NIM : 2107130015 Kelas : 2D Dosen : Ade Suherman, M.Pd PROGRAM STUDI AKUNTANSI

Lebih terperinci

Boks: Peluang, Tantangan dan Hambatan Pengembangan Ekspor DIY: Sebelum dan Setelah GempaTektonik 27 Mei 2006

Boks: Peluang, Tantangan dan Hambatan Pengembangan Ekspor DIY: Sebelum dan Setelah GempaTektonik 27 Mei 2006 Boks: Peluang, Tantangan dan Hambatan Pengembangan Ekspor DIY: Sebelum dan Setelah GempaTektonik 27 Mei 2006 Berdasarkan asesmen Bank Indonesia terhadap perekonomian DIY tahun 2005, diperoleh gambaran

Lebih terperinci

WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BALIKPAPAN, Menimbang

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dalam rangka keterpaduan pelaksanaan Pengembangan Ekonomi Kreatif, dengan ini

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. Pembentukan Organisasi Dinas Daerah Kabupaten Bandung, Dinas Koperasi

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. Pembentukan Organisasi Dinas Daerah Kabupaten Bandung, Dinas Koperasi 9 BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 2.1 Sejarah Singkat Perusahaan Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.41 Tahun 2008, Tentang Organisasi Perangkat Daerah ( Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2007 No.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Dalam mencapai keinginan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Dalam mencapai keinginan tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan kemajuan suatu negara, kebutuhan dan keinginan masyarakat semakin bertambah. Oleh karena itu masyarakat berusaha seoptimal mungkin untuk memenuhi

Lebih terperinci

KAJIAN KEBUTUHAN PELAYANAN KAWASAN PERINDUSTRIAN KALIJAMBE BERDASARKAN PREFERENSI PENGUSAHA MEBEL KECIL DAN MENENGAH DI KABUPATEN SRAGEN

KAJIAN KEBUTUHAN PELAYANAN KAWASAN PERINDUSTRIAN KALIJAMBE BERDASARKAN PREFERENSI PENGUSAHA MEBEL KECIL DAN MENENGAH DI KABUPATEN SRAGEN KAJIAN KEBUTUHAN PELAYANAN KAWASAN PERINDUSTRIAN KALIJAMBE BERDASARKAN PREFERENSI PENGUSAHA MEBEL KECIL DAN MENENGAH DI KABUPATEN SRAGEN (Studi Kasus: Pembangunan Kawasan Sentra Industri Mebel Kecamatan

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA STRATEGI PENGEMBANGAN KEMITRAAN USAHA GULA KELAPA DAN AREN

KEMENTERIAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA STRATEGI PENGEMBANGAN KEMITRAAN USAHA GULA KELAPA DAN AREN KEMENTERIAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA STRATEGI PENGEMBANGAN KEMITRAAN USAHA GULA KELAPA DAN AREN Disampaikan dalam acara: Workshop Nasional Pengembangan Industri Kecil Gula

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN TRADING HOUSE DALAM RANGKA PENINGKATAN EKSPOR NON MIGAS. Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan

PENGEMBANGAN TRADING HOUSE DALAM RANGKA PENINGKATAN EKSPOR NON MIGAS. Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan PENGEMBANGAN TRADING HOUSE DALAM RANGKA PENINGKATAN EKSPOR NON MIGAS Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Solo, 26 Januari 2017 OUTLINE Latar Belakang Benchmarking Trading House di Luar Negeri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring majunya ekonomi suatu negara, maka semakin banyak. kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring majunya ekonomi suatu negara, maka semakin banyak. kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring majunya ekonomi suatu negara, maka semakin banyak kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Barang kebutuhan itu belum

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. kategori tersebut dapat digolongkan menjadi pekerja informal. Berdasarkan data BPS

Bab I. Pendahuluan. kategori tersebut dapat digolongkan menjadi pekerja informal. Berdasarkan data BPS Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Pekerja formal dapat digolongkan berdasarkan penduduk yang berusaha dengan dibantu buruh tetap dan juga karyawan atau buruh, tidak termasuk dalam kategori tersebut

Lebih terperinci

PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM MENGEMBANGKAN KLASTER INDUSTRI KULIT DI KABUPATEN GARUT TUGAS AKHIR. Oleh : INDRA CAHYANA L2D

PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM MENGEMBANGKAN KLASTER INDUSTRI KULIT DI KABUPATEN GARUT TUGAS AKHIR. Oleh : INDRA CAHYANA L2D PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM MENGEMBANGKAN KLASTER INDUSTRI KULIT DI KABUPATEN GARUT TUGAS AKHIR Oleh : INDRA CAHYANA L2D 002 415 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci

BUSINESS PLAN RUMAH PRODUKSI KERUPUK UDANG

BUSINESS PLAN RUMAH PRODUKSI KERUPUK UDANG BUSINESS PLAN RUMAH PRODUKSI KERUPUK UDANG PIU KABUPATEN KUBU RAYA TAHUN 2014 BUSINESS PLAN INFRASTRUKTUR KOMPONEN 2 RUMAH PRODUKSI KERUPUK UDANG A. LATAR BELAKANG Business Plan merupakan suatu usulan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Dari hasil penelitian sebagaimana disampaikan dalam bab-bab sebelumnya, terdapat beberapa kesimpulan yang dirumuskan sebagai berikut.

BAB V PENUTUP. Dari hasil penelitian sebagaimana disampaikan dalam bab-bab sebelumnya, terdapat beberapa kesimpulan yang dirumuskan sebagai berikut. BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian sebagaimana disampaikan dalam bab-bab sebelumnya, terdapat beberapa kesimpulan yang dirumuskan sebagai berikut. a. Strategi penguatan kelembagaan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sakur, Kajian Faktor-Faktor yang Mendukung Pengembangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah, Spirit Publik, Solo, 2011, hal. 85.

BAB I PENDAHULUAN. Sakur, Kajian Faktor-Faktor yang Mendukung Pengembangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah, Spirit Publik, Solo, 2011, hal. 85. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Krisis ekonomi sebagai akibat adanya krisis moneter yang terjadi sejak pertengahan Juli 1997, berakibat bangkrutnya perusahaanperusahaan berskala besar tetapi

Lebih terperinci

GAMBARAN PELAYANAN DINAS KOPERASI UKM DAN PERINDUSTRIAN PERDAGANGAN KOTA BANDUNG

GAMBARAN PELAYANAN DINAS KOPERASI UKM DAN PERINDUSTRIAN PERDAGANGAN KOTA BANDUNG GAMBARAN PELAYANAN DINAS KOPERASI UKM DAN PERINDUSTRIAN PERDAGANGAN KOTA BANDUNG Dinas Koperasi UKM dan Perindustrian Perdagangan Kota Bandung adalah salah satu perangkat daerah di lingkungan Pemerintah

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 1 /V-SET/2014 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 1 /V-SET/2014 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 1 /V-SET/2014 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PEMBENTUKAN SENTRA HASIL HUTAN BUKAN KAYU UNGGULAN DIREKTUR JENDERAL

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Saat ini sektor Usaha kecil menengah semakin menggeliat sebagai penopang ekonomi nasional. Hal tersebut terlihat dari pengalaman yang mampu melewati masa krisis yang

Lebih terperinci

A RA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN, PEMBERDAYAAN DAN PEMBINAAN INDUSTRI MEBEL

A RA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN, PEMBERDAYAAN DAN PEMBINAAN INDUSTRI MEBEL SALINAN A RA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN, PEMBERDAYAAN DAN PEMBINAAN INDUSTRI MEBEL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, Menimbang

Lebih terperinci

wbab I PENDAHULUAN No Indikator Satuan Tahun 2011 *) TAHUN 2012 **) PERKEMBANGAN TAHUN Jumlah % Jumlah % Jumlah %

wbab I PENDAHULUAN No Indikator Satuan Tahun 2011 *) TAHUN 2012 **) PERKEMBANGAN TAHUN Jumlah % Jumlah % Jumlah % 1 wbab I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu Negara berkembang di kawasan Asia Tenggara yang terus berupaya untuk mencapai pembangunan ekonomi ke arah yang lebih baik.

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis 1 Pendahuluan (1) Permintaan terhadap berbagai komoditas pangan akan terus meningkat: Inovasi teknologi dan penerapan

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dalam rangka keterpaduan pelaksanaan Pengembangan Ekonomi Kreatif,

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 5 TAHUN : 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN PRODUK LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KULON PROGO,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Ekonomi kreatif yang digerakkan oleh industri kreatif, didefinisikan sebagai industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan serta bakat individu untuk menciptakan

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 47 TAHUN : 2010 SERI : E PERATURAN BUPATI KULON PROGO NOMOR 63 TAHUN 2010 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

10. URUSAN KOPERASI DAN UKM

10. URUSAN KOPERASI DAN UKM 10. URUSAN KOPERASI DAN UKM Perkembangan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan koperasi memiliki potensi yang besar dalam meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Hal ini ditunjukkan oleh keberadaan

Lebih terperinci

BUSINESS PLAN RUMAH PRODUKSI RAJUNGAN

BUSINESS PLAN RUMAH PRODUKSI RAJUNGAN BUSINESS PLAN RUMAH PRODUKSI RAJUNGAN PIU KABUPATEN KUBU RAYA TAHUN 2014 BUSINESS PLAN INFRASTRUKTUR KOMPONEN 2 RUMAH PRODUKSI RAJUNGAN A. LATAR BELAKANG Business Plan akan menjadi dasar atau pijakan bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perdagangan bebas antara ASEAN CHINA atau yang lazim disebut Asean

BAB I PENDAHULUAN. Perdagangan bebas antara ASEAN CHINA atau yang lazim disebut Asean 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan bebas antara ASEAN CHINA atau yang lazim disebut Asean China Free Trade Area (AC-FTA) yang terjadi saat ini sungguh sangat mengkhawatirkan bagi

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal Indentifikasi faktor internal dan eksternal sangat dibutuhkan dalam pembuatan strategi. Identifikasi faktor internal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Koperasi merupakan gerakan ekonomi yang sesuai dengan amanat pasal 33 UUD 1945 ayat 1 yang berbunyi bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasarkan

Lebih terperinci