BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Konsep Pengembangan Ekonomi Lokal Secara garis besar dikenal tiga konsep utama dalam pengembangan wilayah, yaitu Konsep Pembangunan dari atas (Development from Above), Konsep Pembangunan dari Bawah (Development from Bellow) dan Konsep Pengembangan Ekonomi Lokal (Local Economic Development). Konsep pertama dan kedua ternyata belum mampu menjawab seluruh dampak yang terjadi, khususnya dampak negatif berupa terjadinya disparitas wilayah. Konsep pertama cenderung menguntungkan wilayah yang lebih besar. Wilayah dengan potensi sumberdaya lebih kaya akan menghisap sumberdaya wilayah dibelakangnya (backwash effect) sehingga mengakibatkan terjadinya disparitas wilayah. Konsep Pembangunan dari Bawah secara konsepsi memungkinkan wilayah yang lebih kecil membangun dirinya sendiri karena terpisah dari wilayah lainnya. Namun pada kenyataannya, pembangunan lebih mengarah pada sistem pasar. Akibatnya hubungan antara wilayah menjadi tidak ada batas, yang kemudian dikenal dengan istilah globalisasi. Ini berarti Konsep Pembangunan dari Bawah sulit sekali diterapkan. Kondisi tersebut diatas mendorong timbulnya Konsep Pengembangan Wilayah dengan pendekatan Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL). Konsep ini telah dikembangkan pada konteks Eropa Barat, namun semakin dirasakan relevansinya untuk negara berkembang seperti Indonesia (Firman,1996). Fenomena yang terjadi di Indonesia bahwa beberapa wilayah masih sangat bergantung kepada pemerintah pusat dan belum dapat secara optimal memanfaatkan potensi-potensi yang dimiliki sebagai pendorong pengembangan wilayahnya. Pengembangan Ekonomi Lokal diartikan sebagai penumbuhan suatu lokalitas secara sosial-ekonomi dengan lebih mandiri berdasarkan potensi-potensi yang dimiliki, baik sumberdaya alam, geografis, kelembagaan, kewiraswastaan, pendidikan tinggi, asosiasi profesi dan lain-lain. Hal ini harus dilakukan pada skala yang kecil (skala komunitas). Titik sentralnya adalah mengorganisir serta mentransformasi potensi-potensi tersebut menjadi penggerak bagi pengembangan ekonomi lokal (Firman, 1999). Blakely (1989) menambahkan bahwa pengembangan ekonomi lokal adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan atau kelompok masyarakat mengelola sumberdaya yang ada dan mengambil bagian dalam susunan persekutuan (partnership) dengan sektor 16

2 swasta atau yang lainnya, menciptakan lapangan kerja dan merangsang kegiatan ekonomi dalam zona perekonomian yang telah ditetapkan dengan baik. Ciri utama dari pengembangan ekonomi lokal ini didasarkan pada kebijakan pengembangan endogen (endogenous development) yang menggunakan kekuatan lokal sumberdaya manusia, kelembagaan dan fisik. Selanjutnya Blakely menambahkan bahwa pemerintah daerah, lembaga kemasyarakatan dan sektor swasta merupakan partner penting dalam proses pengembangan perekonomian lokal. Selanjutnya Coffey dan Polese (1984) dalam Taufik 2005 memberikan pengertian PEL sebagai peningkatan peran elemen-elemen endogenous dalam kehidupan sosial ekonomi suatu lokalitas dengan tetap melihat keterkaitan serta integrasinya secara fungsional dan spatial dengan wilayah yang lebih luas. Pada intinya PEL diartikan sebagai tumbuhnya kewirausahaan lokal serta berkembangnya perusahaan lokal. Sejalan dengan pernyataan diatas, Schumpeter (1961) dalam Coffey dan Polese (1984), menambahkan bahwa konsep PEL yang dibangun atas dasar semangat jiwa kewirausahaan dapat dijadikan penggerak utama ekonomi masyarakat. Peningkatan ekonomi masyarakat merupakan salah satu indikasi didalam pengembangan wilayah. Empat tahapan dari proses pengembangan lokal menurut Coffey dan Polese (1984) adalah sebagai berikut : 1. Tumbuh kembangnya kewiraswastaan lokal, yaitu masyarakat lokal mulai membuka bisnis kecil-kecilan, mulai mengambil resiko keuangan dengan menginvestasikan modalnya dalam kegiatan bisnis baru. 2. Pertumbuhan dan perluasan perusahaan-perusahaan lokal, yaitu lebih banyak perusahaan yang mulai beroperasi dan perusahaan-perusahaan yang sudah ada semakin bertambah besar dalam hal penjualan, tenaga kerja dan keuntungannya (lepas landasnya perusahaan lokal) 3. Berkembangnya perusahaan-perusahaan lokal keluar lokalitas 4. Terbentuknya suatu perekonomian wilayah yang bertumpu pada kegiatan dan inisiatif lokal serta keunggulan komparatif aktivitas ekonomi lokal tersebut. Dengan demikian pengembangan perekonomian lokal umumnya merujuk pada pengembangan lokal dengan pertumbuhan ekonomi sebagai landasannya, atau dengan kata lain pengembangan lokal adalah pertumbuhan ekonomi yang dimulai pada tingkat lokal dan terjadi dalam kondisi lokal yang sudah ada (sistem pasar bebas yang sudah ada). Dengan istilah sederhana, pengembangan ekonomi lokal menunjuk pada suatu 17

3 bentuk khusus dari pengembangan lokal dimana faktor-faktor internal atau lokal memainkan peran utama atau dapat juga menggunakan istilah pengembangan yang didasarkan pada lokalitas (locally based development). Aplikasi dari Konsep Pengembangan Ekonomi Lokal dapat dilakukan melalui pengembangan industri, terutama melalui industri kecil. Peranan industri dalam pertumbuhan wilayah salah satunya dikemukakan oleh Yeates and Gardner (dalam Tambunan dkk, 2002) bahwa kegiatan industri merupakan salah satu faktor penting dalam mekanisme perkembangan dan pertumbuhan wilayah. Kaitan perkembangan wilayah dengan kegiatan industri merupakan proses yang simultan. Hal ini disebabkan oleh adanya efek multiplier dan inovasi yang ditimbulkan oleh kegiatan industri berinteraksi dengan potensi dan kendala yang dimiliki wilayah. II.2. Peranan Industri Kecil Kerajinan dalam Pengembangan Ekonomi Lokal. Konsep pembangunan seringkali dikaitkan sebagai suatu proses. Proses industrialisasi merupakan suatu usaha untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk. Industrialisasi juga tidak lepas dari usaha untuk meningkatkan mutu sumberdaya manusia dan kemampuan untuk memanfaatkan sumberdaya alam secara optimal. Soepono (2000) dalam Wibowo menyatakan bahwa peranan industri kecil di Indonesia adalah karena persebarannya yang merata diseluruh tanah air, membentuk suatu saluran pemasaran barang dan jasa yang efektif, memanfaatkan bahan baku lokal dalam proses produksinya, menyediakan peluang kerja, sarana mengembangkan kewirausahaan, memperkuat struktur ekonomi dengan kemampuannya untuk mengaitkan dengan industri menengah dan besar. Industri kecil atau industri kerajinan mempunyai peranan yang strategis, baik dalam aspek pemerataan kesempatan berusaha yang menumbuhkan banyak wiraswasta dalam sektor industri; pemerataan penyebaran lokasi industri yang mendorong pembangunan daerah; pemerataan kesempatan kerja; maupun dalam menunjang program ekspor non migas dan melestarikan seni budaya bangsa. II.2.1. Pengertian Industri Kecil Diberbagai Negara dan lembaga terdapat berbagai pengertian yang berbeda mengenai industri kecil yang dianut. Di Indonesia terdapat berbagai pengertian, masingmasing dengan kriteria yang berbeda. Industri kecil adalah kegiatan manufaktur dengan jumlah tenaga kerja 5 19 orang (Biro Pusat Statistik), dengan modal kurang dari Rp

4 juta dan modal maksimum untuk satu siklus produksi Rp. 25 juta (Bank Indonesia). Secara lebih lengkap, Deperindag mendefinisikan industri kecil adalah industri dengan teknologi madya (tradisional), merupakan organisasi padat karya dengan kekayaan keseluruhan tidak lebih dari Rp. 600 juta, investasi per pekerja tidak lebih dari Rp. 625 ribu dan investasi peralatan (tidak termasuk tanah, gedung dan pembangkit listrik) tidak lebih dari Rp. 300 juta. Industri kecil tergolong dalam batasan Usaha Kecil menurut Undang-undang No. 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil, maka batasan Industri kecil didefinisikan sebagai berikut : Industri Kecil adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perseorangan atau rumah tangga maupun suatu badan, bertujuan untuk memproduksi barang ataupun jasa untuk diperniagakan secara komersial, yang mempunyai kekayaan bersih paling banyak Rp. 200 juta, dan mempunyai nilai penjualan pertahun sebesar Rp. 1 milyar atau kurang. Berdasarkan karakteristik faktor produksinya yaitu bahan baku, tenaga kerja, permodalan, teknologi, pemasaran, misi, pengelolaan dan keterkaitannya, industri kecil dibedakan ke dalam 3 jenis (Rosyidie, 1987 ; Wie, 1996) yaitu : a. Industri Kecil Modern (IKM) meliputi industri kecil dengan ciri-ciri menggunakan teknologi madya; skala produksi yang terbatas; tergantung pada dukungan litbang dan industri-industri rekayasa (industri besar); dilibatkan dalam sistem produksi industri besar dan menengah melalui sistem subkontrak, menggunakan mesin khusus dan alat perlengkapan modal lainnya; kualitas produk relatif baik dengan kemampuan bersaing dan jangkauan pasar relatif luas; dengan sistem pemasaran domestik dan eksport; lebih berorientasi profit dibandingkan perluasan lapangan kerja; sistem pengelolaan industri formal dengan pembagian kerja yang jelas. b. Industri Kecil Tradisional (IKT) dengan ciri ciri : menggunakan teknologi proses sederhana; teknologi pada bantuan unit pelayanan teknis (UPT) yang disediakan pemerintah sebagai bagian dari program bantuan teknis; mesin yang digunakan dan alat perlengkapan modal relatif sederhana; tenaga kerja tidak berkeahlian khusus; bahan baku dan modal industri terbatas; produk dengan jumlah dan kualitas terbatas; akses untuk menjangkau pasar diluar lingkungan langsungnya yang berdekatan terbatas; lokasinya di daerah perdesaan dan memiliki kaitan dengan sektor lain (pertanian, perdagangan, tenaga kerja) c. Industri Kecil Kerajinan (IKK) yang meliputi berbagai industri kecil yang sangat beragam mulai dari industri kecil yang menggunakan teknologi sederhana, teknologi 19

5 madya dan bahkan teknologi tinggi; tenaga kerja dengan ketrampilan khusus; produk barang kerajinan dan khas dengan jangkauan pasar lokal hingga eksport. Berdasarkan kriteria diatas maka dapat dikatakan bahwa industri kecil kerajinan adalah bagian dari industri kecil yang dalam proses produksinya membutuhkan ketrampilan khusus dari tenaga kerjanya. Hasil produksi industri kerajinan ini memiliki nilai seni yang tinggi dan membutuhkan kreatifitas dari pengrajin. Industri kecil kerajinan ini sebagian besar masih berskala industri rumah tangga, maka oleh sebab itu industri kecil kerajinan dikelompokkan kedalam industri kecil kerajinan rumah tangga. Industri kerajinan ini dalam proses produksinya dibedakan atas dua yaitu industri kerajinan tangan yang lebih dikenal dengan handycraft dan industri kerajinan (menggunakan mesin). II.2.2. Pengembangan Industri Kecil Kerajinan untuk menunjang Pengembangan Ekonomi Lokal Industri kecil, khususnya industri kecil kerajinan seringkali dipandang sebagai sektor marginal dengan berbagai kelemahan yang antara lain sebagai berikut : Tidak mempunyai perencanaan tertulis baik perencanaan produksi, perencanaan pasokan barang, perencanaan tenaga kerja dan sebagainya Kurang berorientasi pada masa depan Kurang memperhatikan administrasi dan sumberdaya manusia Standarisasi dan spesialisasi produk kurang terjaga Kapasitas peralatan dan mesin yang terbatas sehingga hanya mampu mengerjakan pekerjaan yang sederhana, akibatnya pada ukuran-ukuran dan kapasitas tertentu akan lebih mahal Perancangan (disain), riset dan pengembangan produk kurang diperhatikan. Memiliki posisi tawar yang lemah dalam pasar Akses kepermodalan yang lemah Namun demikian, industri kecil kerajinan juga memiliki kekuatan yang perlu diperhatikan antara lain : Hubungan antara aspek fisik dan rekayasa Faktor ini ditandai dengan adanya keselarasan hubungan antara aspek fisik dan rekayasa dalam proses produksi. Hubungan ini menyebabkan produk-produk tertentu hanya menguntungkan apabila dibuat oleh industri kecil, akibat sifat 20

6 produknya yang ringan dan kecil, membutuhkan tingkat ketelitian sedang, dapat dikerjakan dengan mesin-mesin ringan dalam proses perakitan yang sederhana dengan tingkat pulang pokok yang dapat dicapai dalam kuantitas yang rendah. Produk yang membutuhkan tenaga kerja yang sangat terampil dan ketelitian yang tinggi. Produk yang hanya dibuat dalam jumlah kecil dan tidak baku, dibuat bervariasi sesuai dengan permintaan konsumen Produk dengan keunggulan khusus dalam aspek desain ataupun produk khusus yang memerlukan inovasi dan kreatifitas dalam pembuatannya Hubungan antara pekerja dan pimpinan erat, maupun antar pekerja sendiri. Hal ini dapat meningkatkan produktivitas dan langkanya pemutusan hubungan kerja Pelayanan penjualan yang lebih baik Cepat memanfaatkan kesempatan yang sedang berkembang. Berdasarkan penjelasan diatas, dapat dikatakan bahwa keberadaan industri kecil kerajinan memiliki potensi untuk mewujudkan Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) di suatu wilayah. Konsep Pengembangan Ekonomi Lokal berupaya memberdayakan potensi-potensi lokal dengan cara meningkatkan kewirausahaan lokal untuk mencapai pertumbuhan dan kemandirian lokalitas. Konsep ini selaras dengan karakteristik industri kecil kerajinan yang umumnya berbasiskan pada sumberdaya lokal. Dalam hal ini industri kecil kerajinan dapat menjadi pemicu bagi pengimplementasian pengembangan ekonomi lokal suatu wilayah. Namun demikian, untuk mewujudkan PEL disuatu wilayah memerlukan prasyarat tertentu, baik dari industri kecil kerajinan itu sendiri (sebagai komponen pemicu), kondisi pengembangan wilayah suatu daerah, dan pemerintah daerah setempat (Firman, 1999). Prasyarat yang dimaksud adalah bagaimana ketiga komponen diatas dapat mendorong timbulnya kewirausahaan lokal sebagai indikasi berjalannya konsep PEL di suatu wilayah. Keberadaan industri kecil kerajinan dapat memberikan peran dalam pengembangan wilayah karena industri tersebut dapat membentuk jaringan (linkage) di wilayah tersebut. Keterkaitan jaringan pada sentra industri kecil kerajinan dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu : 21

7 1. Jaringan/keterkaitan industri dengan pelaku usaha lainnya yang terkait dengan input-output dalam proses produksi, misalnya hubungan industri kecil kerajinan dengan penghasil faktor produksi dan penerima hasil produksi. 2. Jaringan/keterkaitan industri kecil kerajinan dalam sentra industri dengan sesama industri kecil lainnya dalam semua jenis kegiatan yang dapat dilakukan bersama. 3. Jaringan/keterkaitan industri dengan berbagai institusi/lembaga terkait. Jaringan inilah yang menjadi kunci eksistensi industri kecil dalam mewujudkan PEL suatu wilayah. Adanya jaringan diatas pada satu sisi akan dapat mengembangkan usaha industri kecil, disisi lain akan dapat memberikan kontribusi terhadap ekonomi lokal berupa : - Pertumbuhan : penambahan jumlah aktivitas ekonomi di wilayah tersebut - Pemerataan : kesempatan masyarakat lokal untuk ikut serta dalam kegiatan ekonomi baik pada industri kerajinan tersebut maupun kegiatan ikutannya - Pemberdayaan : peningkatan kesejahteraan yang dialami penduduk lokal. Sementara itu, disisi pemerintah yang diperlukan adalah kebijakan-kebijakan apa yang telah dikeluarkan untuk mendorong tumbuhnya kewirausahaan lokal. Kebijakan ini dapat berupa kebijakan sektoral maupun spasial. Kebijakan dan regulasi pemerintah tidak selalu kondusif bagi perkembangan industri kecil. Kebijakan pemerintah untuk menciptakan kondisi persaingan domestik, struktur industri dan strategi pengembangannya akan kondusif bagi perkembangan industri. II.2.3. Kebijakan Pembinaan Industri Kecil Sejak lama Pemerintah sudah melakukan pembinaan terhadap Industri kecil. Berdasarkan Program Pembangunan Nasional ditetapkan program pokok pembinaan industri kecil, sebagai berikut: 1. Program penciptaan Iklim Industri yang Kondusif. Program ini bertujuan untuk membuka kesempatan berindustri seluas-luasnya, serta menjamin kepastian industri dengan memperhatikan kaidah efisiensi ekonomi sebagai prasyarat untuk berkembangnya industri kecil. Sedangkan sasaran yang akan dicapai adalah menurunnya biaya transaksi dan meningkatnya skala industri kecil dalam kegiatan ekonomi. 2. Program Peningkatan Akses kepada Sumber Daya Produktif. Tujuan program ini adalah meningkatkan kemampuan industri kecil dalam memanfaatkan kesempatan yang terbuka dan potensi sumber daya, terutama sumber 22

8 daya lokal yang tersedia. Sedangkan sasarannya adalah tersedianya lembaga pendukung untuk meningkatkan akses industri kecil terhadap sumber daya produktif, seperti SDM, modal, pasar, teknologi dan informasi. 3. Program Pengembangan Kewirausahaan dan industri kecil berkeunggulan kompetitif. Tujuannya untuk mengembangkan perilaku kewirausahaan serta meningkatkan daya saing industri kecil. Sedangkan sasaran adalah meningkatnya pengetahuan serta sikap wirausahawan dan meningkatnya produktivitas industri kecil. Sebelum dilaksanakannya kebijakan Otonomi Daerah pembinaan terhadap industri kecil, ditangani langsung oleh jajaran Departemen Perindustrian yang berada di daerah. Sedangkan pemerintah daerah hanya sekedar memfasilitasi, kalau tidak boleh dikatakan hanya sebagai penonton. Semua kebijakan dan pedoman pelaksanaannya merupakan kebijakan yang telah ditetapkan dari pusat, sementara aparat di lapangan hanya sebagai pelaksana. Pembinaan yang diberikan tersebut cenderung dilakukan secara seragam terhadap seluruh daerah dan lebih bersifat mobilisasi dibandingkan pemberdayaan terhadap industri kecil. Dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah maka pembinaan terhadap industri kecil perlu dirumuskan dalam suatu pola pembinaan yang dapat memberdayakan dan mendorong peningkatan kapasitas industri kecil tersebut. Pola pembinaan tersebut harus memperhatikan kondisi perkembangan lingkungan strategis yang meliputi perkembangan global, regional dan nasional. Disamping itu juga pola pembinaan tersebut hendaknya belajar kepada pengalaman pembinaan terhadap industri kecil yang telah dilaksanakan selama ini. Salah satu strategi pemberdayaan industri kecil adalah melalui kemitraan II.3. Kemitraan Usaha Kemitraan usaha bukanlah suatu konsep baru. Kemitraan usaha mengandung pengertian adanya hubungan kerja sama usaha diantara berbagai pihak yang sinergis, bersifat sukarela, dan dilandasi oleh prinsip saling membutuhkan, saling menghidupi, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Prinsip kerja sama seperti itu dapat mengatasi pembatas potensi usaha yang melekat pada satu unit usaha. Kemitraan ada yang bersifat vertikal (antar skala usaha), yaitu antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar, dan ada pula yang bersifat horisontal pada skala usaha yang sama. Namun, yang pada umumnya dimaksud dengan kemitraan adalah antar skala usaha. Ditinjau dari aspek bentuk usaha para pelakunya, kemitraan dapat terjalin antara koperasi, usaha swasta, dan BUMN. 23

9 Dalam Ketentuan Umum Peraturan Pemerintah Nomor. 44 Tahun1997 terutama dalam Pasal 1 menyatakan bahwa : Kemitraan adalah kerjasama usaha antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah dan atau dengan Usaha Besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh Usaha Menengah dan atau Usaha Besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Dalam Kepmenkeu RI No. 316/KMK.016/1994 sebagaimana telah dirubah dengan Kepmenkeu RI No. 60/KMK.016/1996 tentang Pedoman Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi Melalui Pemanfaatan Dana dari Bagian Laba BUMN, mewajibkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyisihkan dana pembinaan sebesar 1 % - 3 % dari keuntungan bersih, sistem keterkaitan Bapak Angkat Mitra Usaha, penjualan saham perusahaan besar yang sehat kepada koperasi dan lain sebagainya. Kemitraan usaha akan menghasilkan efisiensi dan sinergi sumber daya yang dimiliki oleh pihak-pihak yang bermitra dan karenanya menguntungkan semua pihak yang bermitra. Selain dapat memberikan kelenturan dan kelincahan bagi usaha besar, kemitraan usaha juga dapat menjawab masalah diseconomies of scale yang sering dihadapi oleh usaha besar. Kemitraan juga memperkuat mekanisme pasar dan persaingan usaha yang efisien dan produktif sehingga dapat mengalihkan dari kecenderungan monopoli/monopsoni atau oligopoli/oligopsoni. Bagi usaha kecil kemitraan jelas menguntungkan karena dapat turut mengambil manfaat dari pasar, modal, teknologi, manajemen, dan kewirausahaan yang dikuasai oleh usaha besar. Usaha besar juga dapat mengambil keuntungan dari keluwesan dan kelincahan usaha kecil. II.3.1. Unsur-Unsur Kemitraan Pada dasarnya kemitraan itu merupakan suatu kegiatan saling menguntungkan dengan berbagai macam bentuk kerjasama dalam menghidupi dan memperkuat satu sama lainnya. Julius Bobo menyatakan, bahwa tujuan utama kemitraan adalah untuk mengembangkan pembangunan yang mandiri dan berkelanjutan (Self-Propelling Growth Scheme) dengan landasan dan struktur perekonomian yang kukuh dan berkeadilan dengan ekonomi rakyat sebagai tulang punggung utamanya. Berkaitan dengan kemitraan seperti yang telah disebut di atas, maka kemitraan itu mengandung beberapa unsur pokok yang merupakan kerjasama usaha dengan prinsip saling menguntungkan, saling memperkuat dan saling memerlukan yaitu : 24

10 1. Kerjasama Usaha Dalam konsep kerjasama usaha melalui kemitraan ini, jalinan kerjasama yang dilakukan antara usaha besar atau menengah dengan usaha kecil didasarkan pada kesejajaran kedudukan atau mempunyai derajat yang sama terhadap kedua belah pihak yang bermitra. Ini berarti bahwa hubungan kerjasama yang dilakukan antara pengusaha besar atau menengah dengan pengusaha kecil mempunyai kedudukan yang setara dengan hak dan kewajiban timbal balik sehingga tidak ada pihak yang dirugikan, tidak ada yang saling mengeksploitasi satu sama lain dan tumbuh berkembangnya rasa saling percaya di antara para pihak dalam mengembangkan usahanya. 2. Antara Pengusaha Besar atau Menengah Dengan Pengusaha Kecil Dengan hubungan kerjasama melalui kemitraan ini diharapkan pengusaha besar atau menengah dapat menjalin hubungan kerjasama yang saling menguntungkan dengan pengusaha kecil atau pelaku ekonomi lainnya, sehingga pengusaha kecil akan lebih berdaya dan tangguh didalam berusaha demi tercapainya kesejahteraan. 3. Pembinaan dan Pengembangan Pada dasarnya yang membedakan hubungan kemitraan dengan hubungan dagang biasa oleh pengusaha kecil dengan pengusaha besar adalah adanya bentuk pembinaan dari pengusaha besar terhadap pengusaha kecil atau koperasi yang tidak ditemukan pada hubungan dagang biasa. Bentuk pembinaan dalam kemitraan antara lain pembinaan didalam mengakses modal yang lebih besar, pembinaan manajemen usaha, pembinaan peningkatan sumber daya manusia (SDM), pembinaan manajemen produksi, pembinaan mutu produksi, teknologi, pemasaran serta menyangkut pula pembinaan didalam pengembangan aspek institusi kelembagaan, fasilitas alokasi serta investasi. Berdasarkan uraian diatas bahwa kemitraan dapat didefinisikan merupakan jalinan kerjasama usaha yang merupakan strategi bisnis yang dilakukan antara dua pihak atau lebih dengan prinsip saling membutuhkan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Dalam kerjasama tersebut tersirat adanya satu pembinaan dan pengembangan, hal ini dapat terlihat karena pada dasarnya masing - masing pihak pasti mempunyai kelemahan dan kelebihan, justru dengan kelemahan dan kelebihan masingmasing pihak akan saling melengkapi dalam arti pihak yang satu akan mengisi dengan cara melakukan pembinaan terhadap kelemahan yang lain dan sebaliknya. 25

11 II.3.2. Pola Kemitraan Dalam rangka merealisasikan kemitraan sebagai wujud dari keterkaitan usaha, maka diselenggarakan melalui pola-pola yang sesuai dengan sifat dan tujuan usaha yang dimitrakan. Pola kemitraan yang umumnya telah banyak dilaksanakan mengacu pada pola kemitraan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil yang dijelaskan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan adalah sebagai berikut : - Pola Bapak Angkat - Kredit Bunga Lunak - Pola Subkontrak - Pola Dagang Umum - Pola Keagenan - Pola Waralaba - Bentuk - bentuk Lain Pola kemitraan yang dimaksud adalah bentuk atau sistem kerjasama antara dua pihak yang pelaksanaannya sesuai kesepakatan bersama. Pola kemitraan tersebut dapat dijelaskan dibawah ini. 1. Pola Bapak Angkat Pola hubungan ini dapat dibagi menjadi keterkaitan langsung (direct economic linkages) dalam bentuk subkontrak. Pola lain adalah hubungan keterkaitan tidak langsung (indirect economic linkages) di mana industri besar membantu industri kecil yang produknya diluar bisnis utama (line of business) industri besar. Dalam hal ini berupa hubungan dagang (pemasaran, pengadaan kebutuhan operasional) dan pembinaan. Dalam pola bapak angkat ini pihak perusahaan besar atau BUMN membina usaha kecil yang menjadi mitranya dalam bimbingan teknis produksi, manajemen, membantu memasarkan produk mitra binaan atau dengan pemberian bantuan fasilitas promosi pemasaran. Bapak angkat juga memfasilitasi mitra binaannya dalam bantuan modal usaha. Pola hubungan bapak-anak angkat yang murni, didasari oleh semangat kemitraan yang tinggi. 2. Kredit Bunga Lunak Kredit bunga lunak diberikan oleh BUMN kepada usaha kecil sebagai bantuan modal usaha. Kredit bunga lunak ini sebagai bagian dari pola kemitraan bapak angkat dimana BUMN menyalurkan kredit dengan bunga lunak untuk membantu permodalan usaha bagi usaha kecil. Bantuan kredit ini ada yang dengan persyaratan jaminan dan ada 26

12 juga yang tanpa jaminan. Usaha kecil dapat mengakses kredit ini dengan penilaian kelayakan usaha dari BUMN. 3. Pola Subkontrak Subkontrak adalah keadaan dimana sebuah perusahaan induk, dari pada melakukan pekerjaan sendiri, memesan pada sebuah perusahaan independen lainya untuk melakukan seluruh atau sebagian dari sebuah order yang telah diterima, dengan tetap bertanggung jawab untuk pekerjaan tersebut terhadap sipembeli (Watanabe, 1972 dalam Julissar, 2007). Hubungan subkontrak terdapat di mana sebuah perusahaan (pihak prinsipal) memberi pesanan kepada pihak lain (subkontraktor) untuk menghasilkan bagian-bagian, komponen-komponen, subassemblies atau assemblies untuk diintegrasikan ke dalam suatu produk yang akan dipasarkan oleh pihak prinsipal (UNIDO, 1974 dalam Julissar, 2007). Pola subkontrak adalah pola hubungan kemitraan yang dibangun oleh perusahaan dengan kelompok mitra usaha yang memproduksi kebutuhan yang diperlukan oleh perusahaan sebagai bagian dari proses produksinya. Ciri khas dari bentuk subkontrak ini adalah membuat kontrak bersama yang mencantumkan volume, harga dan waktu penyelesaian/penyerahan produk kepada pemesan. Pola ini mempunyai keuntungan yang dapat mendorong terciptanya alih teknologi, modal dan ketrampilan serta menjamin pemasaran produk kelompok mitra usahanya. Di Jepang subkontrak merupakan salah satu kebanggaan atas sumber-sumber kemajuan ekonomi mereka. Subkontrak memungkinkan terjadinya pembagian kerja yang ideal dari berbagai pelaku usaha. Subkontrak juga merupakan faktor penting dalam mencapai efisiensi ekonomi. Disamping itu subkontrak juga menyediakan kesempatan berusaha yang lebih luas bagi masyarakat. Dalam implementasinya, subkontrak bisa dibeda-bedakan menurut jenisnya (Dicken, 1986 dalam Julissar, 2007) : - Subkontrak Industrial : mengerjakan proses-proses tertentu, atau menghasilkan komponen-komponen tertentu (tetapi bukan barang jadi) yang akan diolah lebih lanjut oleh pihak pemesan. Dalam hal ini bisa berupa subkontrak komponen dan subkontrak proses. - Subkontrak Komersial : mengerjakan/menghasilkan barang jadi yang tinggal dipasarkan oleh pihak pemesan. Dalam hal ini umumnya pihak prinsipal bukanlah suatu industri manufaktur, tapi lebih merupakan perusahaan dagang. 27

13 4. Pola Dagang Umum Pola hubungan dagang umum tidak terlalu kompleks untuk diterapkan karena hanya merupakan wujud yang lebih formal dari transaksi dagang sepanjang saling ada kebutuhan. Dalam kemitraan dagang umum, kelompok mitra memasok kebutuhan yang diperlukan perusahaan mitra atau perusahaan mitra memasarkan hasil produksi kelompok mitra. Pola kemitraan dagang umum ini memiliki kelemahan antara lain kurangnya jaminan pemasaran, kelompok mitra sangat tergantung pada order dari perusahaan mitra. Disamping itu praktek pemasaran konsinyasi yang sering merugikan kelompok mitra, dimana berdampak langsung pada perputaran modal kelompok mitra yang umumnya terbatas dalam hal permodalan. 5. Pola Keagenan Merupakan salah satu bentuk hubungan kemitraan dimana industri kecil diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa dari usaha menengah atau usaha besar sebagai mitranya yang bertanggungjawab terhadap produk yang dihasilkan, sedangkan industri kecil diberi kewajiban untuk memasarkan barang dan jasa tersebut, bahkan disertai dengan target yang harus dipenuhi sesuai dengan ketentuan yang disepakati. 6. Pola Waralaba Merupakan salah satu bentuk hubungan kemitraan antara kelompok mitra dengan perusahaan pemberi hak lisensi, merek dagang, saluran distribusi perusahaannya kepada kelompok mitra usahanya sebagai penerima waralaba yang disertai dengan bantuan manajemen. Pemilik waralaba bertanggungjawab terhadap sistem operasi, pelatihan, program pemasaran, merek dagang dan hal lainnya kepada mitra pemegang usaha waralaba. Pemegang waralaba hanya mengikuti pola yang ditetapkan pemilik serta memberikan sebagian pendapatan berupa royalty dan biaya yang terkait dengan kegiatan usaha tersebut. 7. Bentuk-bentuk lainnya Selain daripada pola-pola seperti yang telah disebutkan di atas, seiring dengan semakin berkembangnya lalu lintas usaha (bisnis) dimungkinkan pula dalam perjalanannya nanti adanya timbul bentuk pola-pola lain yang mungkin saat ini atau pada saat yang mendatang akan atau sudah berkembang tetapi belum dibakukan. Pada studi ini pola kemitraan yang digunakan sebagai indikator untuk mengidentifikasi kemitraan yang terjadi antar stakeholders adalah pola kemitraan yang sudah biasa dilaksanakan antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar yang diatur dalam UU Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil dan PP Nomor 44 28

14 Tahun 1997 tentang Kemitraan dan bentuk kemitraan lainnya yang disesuaikan dengan kebutuhan pembinaan bagi industri kecil. Pembinaan bagi usaha kecil dilaksanakan untuk mengatasi permasalahan dasar yang dihadapi usaha kecil terutama dalam lemahnya struktur permodalan dan keterbatasan untuk mengakses sumber-sumber permodalan, kelemahan dalam menangkap peluang pasar, kelemahan dalam akses terhadap teknologi, sulitnya mendapatkan bahan baku dan bahan penolong yang disebabkan ketatnya persaingan usaha, masalah perbaikan kualitas produk, lemahnya sumberdaya manusia (Kuncoro, 2000). Menurut Kuncoro, pembinaan bagi usaha kecil ini dapat dilakukan melalui program pembinaan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendukung usaha kecil antara lain dapat dilihat pada tabel II.1 berikut : Tabel II.1. Program Lembaga-lembaga pendukung pengembangan usaha kecil No. Lembaga Pendukung Program 1. Pemerintah (Deperin) - Pendidikan dan pelatihan - Penelitian dan pengembangan teknologi produksi melalui riset & development - Pelayanan teknis melalui unit pelayanan teknis (UPT) - Pelayanan informasi dan konsultasi - Perantara usaha kecil dengan bapak angkat 2. Swasta - Peningkatan SDM melalui pendidikan dan latihan - Program keterkaitan usaha besar dan usaha kecil melalui kemitraan 3. LSM - Pelatihan teknis produksi dan pengelolaan administrasi - Penelitian dan konsultasi 4. Lembaga penelitian di Perguruan Tinggi Sumber : Mudrajat Kuncoro, Penelitian dan pengembangan teknologi produksi, sumberdaya manusia - Pelatihan dan teknis manajemen - Konsultasi dan pembinaan Berdasarkan pola kemitraan antara usaha besar dan usaha kecil serta program pembinaan usaha kecil oleh lembaga-lembaga pendukung usaha kecil tersebut dijadikan sebagai indikator dalam mengidentifikasi kemitraan antar stakeholders dalam pengembangan industri kecil kerajinan. Penetapan indikator ini disesuaikan dengan kebutuhan masingmasing stakeholders dalam menjalin kerjasama melalui kemitraan. 29

15 II.3.3. Faktor-faktor yang Menentukan Keberhasilan Kemitraan Bila disarikan dari berbagai tulisan mengenai kemitraan usaha, maka faktorfaktor yang menentukan keberhasilan kemitraan dapat dilihat pada tabel II.2 sebagai berikut. Tabel II.2. Faktor-faktor yang menentukan keberhasilan kemitraan Penulis/Tahun Faktor-faktor yang menentukan keberhasilan kemitraan 1. Marrioti (1993) Hubungan kemitraan harus didasarkan atas etika bisnis yaitu : 1. Karakter, integritas dan kejujuran 2. Kepercayaan 3. Komunikasi yang terbuka 4. Adil 5. Keinginan pribadi dari pihak yang bermitra (motivasi/minat) 6. Keseimbangan antara insentif dan resiko 2. Ratcheva and Vyakarnam (2001) Hubungan kemitraan biasanya dimulai antara dua pihak yang saling mengenal sehingga kredibilitas masing-masing tidak diragukan. Hubungan kemitraan tersebut harus didasarkan atas : 1. Kepercayaan, sehingga akan terjadi komunikasi dan saling berbagi informasi 2. Kemitraan tersebut dijalin bukan hanya atas hubungan komplementer namun pengertian adanya keuntungan jika terjalin kerjasama 3. Hubungan kerjasama harus dilegalkan Keberhasilan hubungan kemitraan sangat tergantung pada hubungan yang melibatkan interaksi pihak-pihak yang bermitra. Keeratan hubungan antar pelaku sedikit banyak berpengaruh pada pelaksanaan kemitraan antara kelompok mitra dan perusahaan mitra baik di sisi produksi ataupun di sisi pemasaran. Hubungan tersebut antara lain : 1. Hubungan saling mengenal. Banyak hubungan kemitraan yang dimulai atas dasar koneksitas, artinya pihak yang ingin menjalin kemitraan telah mengenal sebelumnya karakter dari calon mitranya. Alasan utama biasanya karena bemitra dengan orang yang sudah dikenal sebelumnya karakter orang tersebut sudah diketahui terutama kejujuran. 2. Saling percaya Kepercayaan merupakan landasan utama dalam bermitra, kepercayaan bisa tumbuh karena telah saling mengenal sebelumnya atau tumbuh karena jangka waktu pelaksanaan kemitraan. Bila telah ada saling percaya satu sama lain maka hubungan bermitra pun berjalan lebih baik. Hal tersebut karena tidak timbulnya rasa curiga dan 30

16 disisi lainpun antara pihak bermitra lebih transparan dalam hal-hal yang terkait langsung dengan usaha mereka. Kegagalan dalam membangun kemitraan biasanya bermula dari rasa curiga dan akhirnya sikap saling tidak percaya. Oleh karena itu sangat penting bila di antara pihak yang bermitra saling percaya sehingga memudahkan dalam melaksanakan kesepakatan yang telah disusun bersama. 3. Komunikasi Komunikasi merupakan hal penting dalam kerjasama. Melalui komunikasi maka setiap kendala, informasi dan gagasan bisa saling dipertukarkan. Komunikasi yang terbuka bisa berdampak pada kemajuan usaha. 4. Keinginan dari pihak yang bermitra Sebelum menjalin kemitraan, masing-masing pihak pasti memiliki keinginan untuk meningkatkan nilai tambah. Nilai tambah ini baik dari sisi ekonomi seperti penanaman modal, peningkatan keuntungan dan perluasan pasar. Dari sisi non ekonomi adalah penguasaan manajemen, penguasaan teknologi dan sebagainya. Kemitraan hanya dapat berlangsung secara efektif dan berkesinambungan jika kemitraan dijalankan dalam kerangka berfikir pembangunan ekonomi, dan bukan semata-mata konsep sosial yang dilandasi motif belas kasihan atau kedermawanan. Kemitraan yang dilandasi motif belas kasihan cenderung mengarah kepada inefisiensi sehingga tidak akan berkembang secara sinambung. Pemerintah juga berperan penting dalam memberikan informasi peluang kemitraan dan bantuan teknis kepada usaha kecil dalam perencanaan kemitraan dan negosiasi bisnis. Pemerintah dapat mendukung kemitraan dengan memantapkan saranaprasarana dan memperkuat kelembagaan pendukung kemitraan antara lain dengan mengembangkan sistem dan lembaga keuangan yang efektif bagi usaha kecil. Pemerintah juga dapat berperan dalam memberikan pedoman dan rambu-rambu tentang kemitraan melalui peraturan perundangan, misalnya bagaimana kemitraan itu dapat dijalankan secara saling menguntungkan, apa saja kriteria yang menjamin penanggungan resiko dan pembagian keuntungan secara adil, serta bagaimana mengatasi perselisihan yang terjadi diantara pihak-pihak yang bermitra. 31

17 II.4. Kajian Pengumpulan Data, Stakeholders dan Analisis Data Pada subbab ini terdapat beberapa bagian yang membahas tentang teori pengumpulan data, analisis stakeholders dan analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini. II.4.1. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam studi berhubungan dengan tujuan dan keluaran yang diharapkan. Dalam penelitian kualitatif ada 3 macam teknik pengumpulan data (M.Q. Patton, 1990) yaitu : 1. Observasi langsung yaitu kegiatan yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran detail tentang aktivitas, prilaku serta tindakan orang-orang dan rentang menyeluruh dari interaksi antarpersonal serta proses-proses keorganisasian yang menjadi bagian pengalaman manusia yang dapat diobservasi. 2. Wawancara mendalam yang terdiri dari 3 bentuk yaitu : a. Wawancara tidak terstruktur, yaitu wawancara yang mengacu kepada pertanyaan-pertanyaan yang dihasilkan secara spontan dalam alur interaksi yang alami. b. Wawancara semi terstruktur, yaitu wawancara yang mencakup tampilan serangkaian isu yang akan dieksplor kepada setiap responden yang biasa disebut dengan checklist wawancara. c. Wawancara terstruktur, yaitu wawancara yang terdiri dari serangkaian pertanyaan yang disusun dan diatur dengan hati-hati dengan tujuan untuk mengarahkan tiap responden melalui pertanyaan yang sama dengan kata-kata yang sama secara mendasar, 3. Dokumen tertulis, yaitu pengumpulan data kualitatif dalam bentuk petikan, kutipan atau keseluruhan bagian rekaman program, klinis, atau keorganisasian, memorandum dan korespondensi, laporan resmi, catatan harian personal dan respon terbuka yang tertulis berdasarkan survey dan kuesioner. Wawancara yang dilakukan dalam studi ini adalah wawancara semi terstruktur. Jenis wawancara ini dipilih karena dengan begitu responden dapat menjawab secara bebas dan lengkap tanpa adanya batasan tertentu. Meskipun begitu, serangkaian pertanyaan ditetapkan untuk menjaga agar wawancara tetap berada di dalam lingkup materi penelitian. Observasi langsung dan pengumpulan dokumen tertulis juga dilakukan untuk melengkapi data hasil wawancara. 32

18 II.4.2. Definisi Stakeholders Stakeholders didefinisikan sebagai individu, grup atau institusi yang memiliki kepentingan terhadap suatu proyek atau program. Secara lebih rinci, UN HABITAT (2000) mendefinisikan stakeholderss sebagai individu atau grup yang : - memiliki kepentingan, baik dalam mempengaruhi atau dipengaruhi oleh aktivitas/kegiatan yang menjadi isu utama - memiliki informasi, sumber daya dan keahlian yang dibutuhkan untuk penyusunan dan implementasi dari strategi - memiliki kontrol terhadap alat atau implementasi yang relevan Definisi stakeholders lainnya adalah kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu (Freedman,1982 dalam Ramizes, 1999). Sedangkan definisi stakeholders menurut Bank Dunia (1998), yaitu masyarakat, kelompok atau lembaga yang kemungkinannya dipengaruhi oleh intervensi yang diajukan (secara positif atau negatif), atau yang dapat mempengaruhi hasil intervensi. Definisi stakeholders menurut McCracken, 1998 dalam Sayuti, 2003 adalah orang, kelompok atau institusi yang dikenai dampak dari sebuah intervensi program (baik posistif maupun negatif) atau pihak-pihak yang dapat mempengaruhi dan atau dipengaruhi hasil intervensi tersebut. Untuk pengelompokan stakeholders, UNDP (1999) telah membagi dalam tiga kelompok yaitu pemerintah (state), masyarakat (society) dan swasta (privat sector). Dalam penelitian ini, stakeholders didefinisikan sebagai individu atau kelompok yang memiliki kepentingan, baik dalam mempengaruhi atau dipengaruhi oleh aktivitas/kegiatan yang menjadi isu utama. Berdasarkan definisi tersebut, stakeholders dalam pengembangan industri kecil kerajinan dapat dikelompokkan dalam : 1. Kelompok regulator (pemerintah). Pemerintah dalam hal ini dinas teknis terkait dalam pengembangan industri kecil yaitu Dinas Perindagkop DIY, Disperindagkop Gunungkidul, UPT Balai Bisnis DIY, Dekranasda 2. Industri kecil dalam hal ini industri kecil kerajinan sebagai anggota masyarakat yang menjadi sasaran proses perubahan dan diharapkan keterlibatannya dalam proses pemberdayaan. 3. Pihak swasta (pedagang/eksportir, BUMN, Asosiasi/yayasan), berfungsi sebagai mitra usaha industri kecil kerajinan 33

19 4. Lembaga pendidikan yang berfungsi sebagai pakar, penyedia informasi IPTEK dan dukungan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan sebagai perwujudan Tri Dharma Perguruan Tinggi II.4.3. Metode Analisi Data Analisis data merupakan proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain (Bogdan dalam Sugiyono, 2007). Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan akan dipelajari, dan membuat kesimpulan yang dapat diceritakan kepada orang lain. Metode penelitian kualitatif dibedakan dengan metode penelitian kuantitatif dalam arti metode penelitian kualitatif tidak mengandalkan bukti berdasarkan logika matematis, prinsip angka atau metode statistik. Bahan untuk analisis kualitatif adalah pembicaraan yang sebenarnya, isyarat dan tanda sosial lainnya (Mulyana, 2000). Analisis data dalam penelitian kualitatif, dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Pada saat wawancara, peneliti sudah melakukan analisis terhadap jawaban yang diwawancarai. Bila jawaban yang diwawancarai setelah dianalisis belum memuaskan, maka peneliti akan melanjutkan pertanyaan lagi sampai tahap tertentu diperoleh data yang dianggap kredibel. Miles dan Huberman (1984), mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas sehingga datanya sudah jenuh. Secara umum terdapat 3 tahap yang perlu dilakukan dalam analisis kualitatif, yaitu : 1. Reduksi data Merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian, penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data bukanlah sesuatu yang terpisah dari analisis. Pilihan peneliti tentang bagian mana yang dikode, bagian mana yang dibuang, pola-pola mana saja yang meringkas bagian yang tersebar, cerita yang sedang berkembang, semuanya merupakan pilihan analisis. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang mengarahkan, membuang yang tidak perlu, mengorganisasikan data, dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan final bisa ditarik dan diverifikasi. 34

20 2. Tampilan/penyajian data (data display) Penyajian data adalah penyusunan informasi untuk memungkinkan proses penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data kualitatif dapat berupa teks naratif, bagan, matriks atau grafik. Semuanya dirancang untuk menggabungkan informasi yang tersusun dalam suatu bentuk yang padu dan mudah dicerna. Dalam proses penyajian data, yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan memberikan gambaran dan rangkaian wawancara yang disajikan secara sistematis kemudian diperkuat oleh cuplikan atau penggalan kalimat dari responden yang diwawancarai. Penggalan kalimat tersebut untuk mempertegas pernyataan yang sudah dikemukakan oleh peneliti. 3. Penarikan kesimpulan Penarikan kesimpulan adalah mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan, pola, kejelasan, konfigurasi yang mungkin dan alur sebab akibat dengan menguji kebenaran, kekokohan dan kecocokan makna-makna yang muncul dari data. Tipe analisis kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif digunakan dalam menganalisis data berupa dokumen-dokumen (literatur) dan hasil wawancara. Dalam metode analisis kualitatif, prosedur penelitian akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati (Bogdan dan Tailor dalam Moleong, 2001). 35

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pembangunan yang berorientasi atau berbasis kegiatan ekonomi lokal menekankan pada kebijakan pembangunan pribumi (endogenous development policies) yang memanfaatkan

Lebih terperinci

BAB V KEMITRAAN ANTAR STAKEHOLDERS DAN ARAHAN PENINGKATANNYA DALAM PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL KERAJINAN

BAB V KEMITRAAN ANTAR STAKEHOLDERS DAN ARAHAN PENINGKATANNYA DALAM PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL KERAJINAN BAB V KEMITRAAN ANTAR STAKEHOLDERS DAN ARAHAN PENINGKATANNYA DALAM PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL KERAJINAN Dari hasil analisis kemitraan antar stakeholders pada ketiga sentra industri di Kabupaten Gunungkidul,

Lebih terperinci

WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BALIKPAPAN, Menimbang

Lebih terperinci

PERAN PEREMPUAN DALAM PERKEMBANGAN INDUSTRI KECIL (Studi Kasus: Perempuan dalam Industri Batik di Kabupaten Banyumas) TUGAS AKHIR

PERAN PEREMPUAN DALAM PERKEMBANGAN INDUSTRI KECIL (Studi Kasus: Perempuan dalam Industri Batik di Kabupaten Banyumas) TUGAS AKHIR PERAN PEREMPUAN DALAM PERKEMBANGAN INDUSTRI KECIL (Studi Kasus: Perempuan dalam Industri Batik di Kabupaten Banyumas) TUGAS AKHIR Oleh: INDRIYANI L2D 001 434 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM

BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM Pancasila dan Undang-undang Dasar Tahun 1945 merupakan landasan ideologi dan konstitusional pembangunan nasional termasuk pemberdayaan koperasi dan usaha

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Definisi Kemitraan Definisi kemitraan diungkapkan oleh Hafsah (1999) yang menyatakan bahwa kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk lebih mempercepat perwujudan perekonomian nasional yang mandiri dan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG. Nomor : 08 Tahun 2015

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG. Nomor : 08 Tahun 2015 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG Nomor : 08 Tahun 2015 Menimbang : Mengingat : PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG USAHA MIKRO DAN KECIL DI KABUPATEN SERANG DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa untuk lebih mempercepat perwujudan perekonomian nasional yang mandiri dan andal sebagai usaha

Lebih terperinci

NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN

NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa untuk lebih mempercepat perwujudan perekonomian nasional yang mandiri dan

Lebih terperinci

6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM

6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM 48 6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 6.1. Kebijakan di dalam pengembangan UKM Hasil analisis SWOT dan AHP di dalam penelitian ini menunjukan bahwa Pemerintah Daerah mempunyai peranan yang paling utama

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk lebih mempercepat perwujudan perekonomian nasional yang mandiri dan

Lebih terperinci

I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH

I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH I. UMUM Penerapan otonomi daerah sejatinya diliputi semangat untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 47 TAHUN : 2010 SERI : E PERATURAN BUPATI KULON PROGO NOMOR 63 TAHUN 2010 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pasar belum tentu dapat dimanfaatkan oleh masyarakat yang kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. pasar belum tentu dapat dimanfaatkan oleh masyarakat yang kemampuan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan dinamika pembangunan, peningkatan kesejahteraan masyarakat telah menumbuhkan aspirasi dan tuntutan baru dari masyarakat untuk mewujudkan kualitas kehidupan

Lebih terperinci

PERAN INSTITUSI LOKAL DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI WILAYAH (Studi Kasus: Proses Difusi Inovasi Produksi Pada Industri Gerabah Kasongan Bantul, DIY)

PERAN INSTITUSI LOKAL DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI WILAYAH (Studi Kasus: Proses Difusi Inovasi Produksi Pada Industri Gerabah Kasongan Bantul, DIY) PERAN INSTITUSI LOKAL DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI WILAYAH (Studi Kasus: Proses Difusi Inovasi Produksi Pada Industri Gerabah Kasongan Bantul, DIY) TUGAS AKHIR Oleh : ELISA NUR RAHMAWATI L2D000418 JURUSAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 07 TAHUN 2008 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 07 TAHUN 2008 TENTANG SALINAN PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 07 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DI KABUPATEN LAMONGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Rakyat 2.1.1 Definisi hutan rakyat Definisi Hutan rakyat dapat berbeda-beda tergantung batasan yang diberikan. Hutan rakyat menurut Undang-undang No. 41 tahun 1999

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1995 TENTANG USAHA KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1995 TENTANG USAHA KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 1995 TENTANG USAHA KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 melaksanakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1995 TENTANG USAHA KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1995 TENTANG USAHA KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1995 TENTANG USAHA KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa negara Republik Indonesia yang berdasarkan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang : a. bahwa Usaha Mikro,

Lebih terperinci

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

BAPPEDA KAB. LAMONGAN BAB IV VISI DAN MISI DAERAH 4.1 Visi Berdasarkan kondisi Kabupaten Lamongan saat ini, tantangan yang dihadapi dalam dua puluh tahun mendatang, dan memperhitungkan modal dasar yang dimiliki, maka visi Kabupaten

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

2013, No.40 2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENE

2013, No.40 2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENE LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.40, 2013 KOPERASI. Usaha Mikro. Kecil. Menengah. Pelaksanaan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5404) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

BUPATI MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MADIUN NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

BUPATI MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MADIUN NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH BUPATI MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MADIUN NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MADIUN, Menimbang : a.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1998 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN USAHA KECIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1998 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN USAHA KECIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1998 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN USAHA KECIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA a. bahwa usaha kecil merupakan bagian integral dari perekonomian nasional

Lebih terperinci

Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN USAHA KECIL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1

Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN USAHA KECIL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Copyright (C) 2000 BPHN PP 32/1998, PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN USAHA KECIL *35684 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 32 TAHUN 1998 (32/1998) TENTANG PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN USAHA KECIL

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA KEDIRI

PEMERINTAH KOTA KEDIRI PEMERINTAH KOTA KEDIRI SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KEDIRI, Menimbang

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH I. UMUM Dengan adanya otonomi daerah Pemerintah Provinsi memiliki peran yang

Lebih terperinci

KEMITRAAN USAHA DALAM KLASTER INDUSTRI KERAJINAN ANYAMAN DI KABUPATEN TASIKMALAYA TUGAS AKHIR

KEMITRAAN USAHA DALAM KLASTER INDUSTRI KERAJINAN ANYAMAN DI KABUPATEN TASIKMALAYA TUGAS AKHIR KEMITRAAN USAHA DALAM KLASTER INDUSTRI KERAJINAN ANYAMAN DI KABUPATEN TASIKMALAYA TUGAS AKHIR Oleh: AZWAR AMIN L2D 002 390 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Lebih terperinci

GUBERNUR RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF DAERAH PROVINSI RIAU

GUBERNUR RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF DAERAH PROVINSI RIAU GUBERNUR RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF DAERAH PROVINSI RIAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR RIAU, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEMBATA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEMBATA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEMBATA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LEMBATA, Menimbang : a. bahwa usaha mikro, kecil dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator ekonomi antara lain dengan mengetahui pendapatan nasional, pendapatan per kapita, tingkat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.4, 2014 EKONOMI. Pembangunan. Perindustrian. Perencanaan. Penyelenggaraan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5492) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

Undang Undang No. 9 Tahun tentang Usaha Kecil;

Undang Undang No. 9 Tahun tentang Usaha Kecil; Undang Undang No. 9 Tahun 1995 Tentang : Usaha Kecil Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 9 TAHUN 1995 (9/1995) Tanggal : 26 DESEMBER 1995 (JAKARTA) Sumber : LN 74; TLN 3611 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH

BAB II TINJAUAN UMUM USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH BAB II TINJAUAN UMUM USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH A. Definisi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) UMKM di definisikan dengan berbagai cara yang berbeda tergantung pada negara dan aspek-aspek lainnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami transformasi dari perekonomian yang berbasis industri. Sektor industri

BAB I PENDAHULUAN. mengalami transformasi dari perekonomian yang berbasis industri. Sektor industri BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Konsep pembangunan seringkali dianggap sama dengan proses industrialisasi. Proses industrialisasi dan pembangunan industri sebenarnya merupakan salah satu jalur

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1998 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN USAHA KECIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1998 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN USAHA KECIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1998 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN USAHA KECIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa usaha kecil merupakan bagian integral dari perekonomian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. definisi industri kecil tersebut antara lain: tanah dan bangunan tempat usaha. c) Milik Warga Negara Indonesia (WNI)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. definisi industri kecil tersebut antara lain: tanah dan bangunan tempat usaha. c) Milik Warga Negara Indonesia (WNI) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Industri Kecil Sampai saat ini industri kecil memiliki berbagai macam definisi. Kriteria yang digunakan untuk mendefinisikan industri kecil pun beranekaragam, sehingga

Lebih terperinci

Mendukung terciptanya kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Meningkatnya jumlah minat investor untuk melakukan investasi di Indonesia

Mendukung terciptanya kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Meningkatnya jumlah minat investor untuk melakukan investasi di Indonesia E. PAGU ANGGARAN BERDASARKAN PROGRAM No. Program Sasaran Program Pengembangan Kelembagaan Ekonomi dan Iklim Usaha Kondusif 1. Peningkatan Iklim Investasi dan Realisasi Investasi Mendukung terciptanya kesempatan

Lebih terperinci

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN Strategi pembangunan daerah dirumuskan untuk menjalankan misi guna mendukung terwujudnya visi yang harapkan yaitu Menuju Surabaya Lebih Baik maka strategi dasar pembangunan

Lebih terperinci

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN Strategi pembangunan daerah dirumuskan untuk menjalankan misi guna mendukung terwujudnya visi yang harapkan yaitu Menuju Surabaya Lebih Baik maka strategi dasar pembangunan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 10 TAHUN 2004

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 10 TAHUN 2004 QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 10 TAHUN 2004 T E N T A N G PEMBERDAYAAN SENTRA USAHA KECIL BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR PROVINSI NANGGIROE ACEH DARUSSALAM,

Lebih terperinci

BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR... TAHUN...

BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR... TAHUN... BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN, PEMBERDAYAAN, DAN PEMBINAAN KOPERASI DAN USAHA MIKRO,

Lebih terperinci

BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR

BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR A. KONDISI UMUM Sebagai motor penggerak (prime mover) pertumbuhan ekonomi, sektor industri khususnya industri pengolahan nonmigas (manufaktur) menempati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang UMKM merupakan unit usaha yang sedang berkembang di Indonesia dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang UMKM merupakan unit usaha yang sedang berkembang di Indonesia dan BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang UMKM merupakan unit usaha yang sedang berkembang di Indonesia dan keberadaannya perlu mendapat dukungan dari semua pihak, baik dari sektor pemerintah maupun non-pemerintah.

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1995 TENTANG USAHA KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1995 TENTANG USAHA KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1995 TENTANG USAHA KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila

Lebih terperinci

BAB VI SASARAN, INISITIF STRATEJIK DAN PROGRAM PEMBANGUNAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM

BAB VI SASARAN, INISITIF STRATEJIK DAN PROGRAM PEMBANGUNAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM BAB VI SASARAN, INISITIF STRATEJIK DAN PROGRAM PEMBANGUNAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM A. SASARAN STRATEJIK yang ditetapkan Koperasi dan UKM selama periode tahun 2005-2009 disusun berdasarkan berbagai

Lebih terperinci

BAB IV KEMITRAAN ANTAR STAKEHOLDERS DALAM PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL KERAJINAN

BAB IV KEMITRAAN ANTAR STAKEHOLDERS DALAM PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL KERAJINAN BAB IV KEMITRAAN ANTAR STAKEHOLDERS DALAM PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL KERAJINAN IV.1. Pemetaan Stakeholders dalam Pengembangan Industri Kecil Kerajinan Analisis stakeholders merupakan alat untuk memahami

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa masyarakat

Lebih terperinci

VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN

VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN 76 VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN Sistem pengembangan klaster agroindustri aren di Sulawesi Utara terdiri atas sistem lokasi unggulan, industri inti unggulan, produk unggulan,

Lebih terperinci

PENJELASAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 10 TAHUN 2010 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

PENJELASAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 10 TAHUN 2010 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH PENJELASAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 10 TAHUN 2010 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH I. UMUM Pembangunan Daerah bertujuan untuk mewujudkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan

Lebih terperinci

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN USAHA MIKRO

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN USAHA MIKRO SALINAN WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN USAHA MIKRO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PASURUAN, Menimbang

Lebih terperinci

LD NO.14 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL I. UMUM

LD NO.14 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL I. UMUM I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL 1. Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sebagai upaya terus menerus

Lebih terperinci

BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR

BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR A. KONDISI UMUM Sebagai motor penggerak (prime mover) pertumbuhan ekonomi, sektor industri khususnya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa masyarakat adil

Lebih terperinci

II. KERANGKA KAJIAN. a Industri skala mikro / rumah tangga adalah suatu perusahaan manufaktur yang mempekerjakan tenaga kerja 1-4 orang.

II. KERANGKA KAJIAN. a Industri skala mikro / rumah tangga adalah suatu perusahaan manufaktur yang mempekerjakan tenaga kerja 1-4 orang. II. KERANGKA KAJIAN 2.1 Usaha Mikro dan Usaha Kecil Usaha Mikro adalah kegiatan ekonomi rakyat berskala kecil dan bersifat tradisional dan informal, dalam arti belum terdaftar, belum tercatat dan belum

Lebih terperinci

NARASI MENTERI PERINDUSTRIAN RI Pembangunan Industri yang Inklusif dalam rangka Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas

NARASI MENTERI PERINDUSTRIAN RI Pembangunan Industri yang Inklusif dalam rangka Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas NARASI MENTERI PERINDUSTRIAN RI Pembangunan Industri yang Inklusif dalam rangka Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas Sektor industri merupakan salah satu sektor yang mampu mendorong percepatan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBRANA, Menimbang : a. bahwa Koperasi dan

Lebih terperinci

DINAMIKA PERKEMBANGAN KLASTER INDUSTRI MEBEL KAYU DESA BULAKAN, SUKOHARJO TUGAS AKHIR. Oleh : SURYO PRATOMO L2D

DINAMIKA PERKEMBANGAN KLASTER INDUSTRI MEBEL KAYU DESA BULAKAN, SUKOHARJO TUGAS AKHIR. Oleh : SURYO PRATOMO L2D DINAMIKA PERKEMBANGAN KLASTER INDUSTRI MEBEL KAYU DESA BULAKAN, SUKOHARJO TUGAS AKHIR Oleh : SURYO PRATOMO L2D 004 354 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

Menimbang: a. bahwa Koperasi dan Usaha Kecil memiliki peran dan

Menimbang: a. bahwa Koperasi dan Usaha Kecil memiliki peran dan GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BEUTUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KEPULAUAN

Lebih terperinci

ANDRI HELMI M, SE., MM. SISTEM EKONOMI INDONESIA

ANDRI HELMI M, SE., MM. SISTEM EKONOMI INDONESIA ANDRI HELMI M, SE., MM. SISTEM EKONOMI INDONESIA Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi atau barang jadi menjadi barang yang bermutu tinggi dalam

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN Feed Back BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Subjek Penelitian Produk Kerajinan kriya anyam bahan lidi memiliki beragam varian, produkproduk tersebut memiliki nilai fungsi dan estetis yang menarik,

Lebih terperinci

Ringkasan. Kebijakan Pembangunan Industri Nasional

Ringkasan. Kebijakan Pembangunan Industri Nasional Ringkasan Kebijakan Pembangunan Industri Nasional Era globalisasi ekonomi yang disertai dengan pesatnya perkembangan teknologi, berdampak sangat ketatnya persaingan, dan cepatnya terjadi perubahan lingkungan

Lebih terperinci

IV.C.6. Urusan Pilihan Perindustrian

IV.C.6. Urusan Pilihan Perindustrian 6. URUSAN PERINDUSTRIAN Urusan perindustrian mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan ekonomi yaitu sebagai pemicu kegiatan ekonomi lain yang berdampak ekspansif atau meluas ke berbagai sektor

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat.

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat. SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat Rumusan Sementara A. Pendahuluan 1. Dinamika impelementasi konsep pembangunan, belakangan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. yang dapat dimanfaatkan oleh peneliti. 1 Pemilihan lokasi atau site selection

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. yang dapat dimanfaatkan oleh peneliti. 1 Pemilihan lokasi atau site selection BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Lokasi Penelitian Lokasi Penelitian adalah tempat yang berkaitan dengan sasaran atau permasalahan penelitian dan juga merupakan salah satu

Lebih terperinci

BAB III BERBAGAI KEBIJAKAN UMKM

BAB III BERBAGAI KEBIJAKAN UMKM BAB III BERBAGAI KEBIJAKAN UMKM Usaha Kecil dan Mikro (UKM) merupakan sektor yang penting dan besar kontribusinya dalam mewujudkan sasaran-sasaran pembangunan ekonomi nasional, seperti pertumbuhan ekonomi,

Lebih terperinci

PEREKONOMIAN INDONESIA

PEREKONOMIAN INDONESIA PEREKONOMIAN INDONESIA Ekonomi kerakyatan, sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 33 UUD 1945, adalah sebuah sistem perekonomian yang ditujukan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi. Sistem

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dalam rangka keterpaduan pelaksanaan pengembangan Ekonomi Kreatif, dengan ini

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN Tahap ini merupakan kelanjutan dari tahap pembentukan klaster industri kecil tekstil dan produk tekstil pada Bab IV. Pada bagian ini akan dilakukan analisis terhadap model

Lebih terperinci

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD)

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) A. Visi dan Misi 1. Visi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Sleman 2010-2015 menetapkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Bogor merupakan sebuah kota yang berada di Provinsi Jawa Barat. Kedudukan Kota Bogor yang terletak di antara wilayah Kabupaten Bogor dan dekat dengan Ibukota Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pembangunan industri merupakan bagian dari pembangunan ekonomi jangka panjang untuk mencapai struktur ekonomi yang seimbang. Tetapi adanya perbedaan potensi sumberdaya

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SRAGEN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SRAGEN, SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SRAGEN, Menimbang : a. bahwa usaha mikro, kecil, dan menengah

Lebih terperinci

STRATEGI DAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN

STRATEGI DAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN STRATEGI DAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN 1. Pendahuluan Sektor pertanian merupakan tumpuan ekonomi dan penggerak utama ekonomi nasional dan sebagian besar daerah, melalui perannya dalam pembentukan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wacana mengenai upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang semakin mengarah pada kebijakan untuk menciptakan kawasan-kawasan terpadu sebagai cara

Lebih terperinci

BUPATI BUTON PROVINSI SULAWESI TENGGARA

BUPATI BUTON PROVINSI SULAWESI TENGGARA BUPATI BUTON PROVINSI SULAWESI TENGGARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BUTON NOMOR 3 TAHUN 2015 T E N T A N G PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Maksud dan Tujuan

I. PENDAHULUAN. A. Maksud dan Tujuan I. PENDAHULUAN A. Maksud dan Tujuan Rencana Kerja (Renja) Dinas Peternakan Kabupaten Bima disusun dengan maksud dan tujuan sebagai berikut : 1) Untuk merencanakan berbagai kebijaksanaan dan strategi percepatan

Lebih terperinci

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MATARAM, Menimbang

Lebih terperinci

MENDORONG INOVASI DOMESTIK MELALUI KEBIJAKAN LINTAS LEMBAGA

MENDORONG INOVASI DOMESTIK MELALUI KEBIJAKAN LINTAS LEMBAGA MENDORONG INOVASI DOMESTIK MELALUI KEBIJAKAN LINTAS LEMBAGA PENDAHULUAN Kunci kemajuan suatu bangsa sesungguhnya tidak hanya ditentukan oleh potensi dan kekayaan sumber daya alam yang dimiliki, tetapi

Lebih terperinci

Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur

Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur XII Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur Globalisasi ekonomi menuntut produk Jawa Timur mampu bersaing dengan produk sejenis dari negara lain, baik di pasar lokal maupun pasar internasional. Kurang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERDAYAAN, PENGEMBANGAN DAN PERLINDUNGAN KOPERASI DAN USAHA KECIL

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERDAYAAN, PENGEMBANGAN DAN PERLINDUNGAN KOPERASI DAN USAHA KECIL PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERDAYAAN, PENGEMBANGAN DAN PERLINDUNGAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Ketua Komisi VI DPR RI. Anggota Komisi VI DPR RI

Ketua Komisi VI DPR RI. Anggota Komisi VI DPR RI PEMBERDAYAAAN KOPERASI & UMKM DALAM RANGKA PENINGKATAN PEREKONOMIAN MASYARAKAT 1) Ir. H. Airlangga Hartarto, MMT., MBA Ketua Komisi VI DPR RI 2) A. Muhajir, SH., MH Anggota Komisi VI DPR RI Disampaikan

Lebih terperinci

BUPATI BANYUWANGI PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI BANYUWANGI PROVINSI JAWA TIMUR 1 BUPATI BANYUWANGI PROVINSI JAWA TIMUR Menimbang Mengingat SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pola Kemitraan Dalam UU tentang Usaha Kecil Nomor 9 Tahun 1995, konsep kemitraan dirumuskan dalam pasal 26 sebagai berikut: 1. Usaha menengah dan besar melaksanakan hubungan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 8 2016 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR 08 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN USAHA MIKRO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALI KOTA BEKASI,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA

PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA YOGYAKARTA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan

Lebih terperinci

VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN

VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN 2013 2018 Visi Terwujudnya Kudus Yang Semakin Sejahtera Visi tersebut mengandung kata kunci yang dapat diuraikan sebagai berikut: Semakin sejahtera mengandung makna lebih

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN

Lebih terperinci

BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL

BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL 4.1 SASARAN DAN ARAHAN PENAHAPAN PENCAPAIAN Sasaran Sektor Sanitasi yang hendak dicapai oleh Kabupaten Gunungkidul adalah sebagai berikut : - Meningkatkan

Lebih terperinci