STIE Putra Perdana Indonesia. STIE Putra Perdana. Indonesia. STIE Putra Perdana. Indonesia. Indonesia

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STIE Putra Perdana Indonesia. STIE Putra Perdana. Indonesia. STIE Putra Perdana. Indonesia. Indonesia"

Transkripsi

1 KONTRIBUSI HIJAU SEKTOR KEHUTANAN KABUPATEN BLORA PROPINSI JAWA TENGAH TAHUN = Oleh : Dr. M. Suparmoko., M.A. Gathot Widyantara., S.E., M.M. Dosen tetap SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI PUTRA PERDANA INDONESIA STIE Abstraction The forestry sector is a sector that contributes greatly to the development of both national and local levels. Forests in addition to produce timber and other byproducts such as resin, rattan, pharmaceuticals, forests also provide environmental services such as hold water, prevent flooding, reduce erosion and sedimentation, a source of biodiversity and forests also absorb carbon, thereby reducing air pollution. Therefore, the forest is very useful to support the life and development of all sectors of the economy such as agriculture, plantation and fisheries, industry, transport sector, the tourism sector, housing sector, and service sectors. The value of the contribution of the forestry sector in the Green GRDP Blora can be determined by subtracting the value of the depreciation of the value of the contribution of the forestry sector to the GRDP Blora conventional. In a row from 2002 to 2004, the value of the contribution of the forest sector in the green Blora GRDP respectively are: (2002: Rp billion), (2003: Rp billion), and (Year 2004 : USD billion). Abstraksi Sektor kehutanan merupakan sektor yang memberikan kontribusi besar terhadap pembangunan baik nasional maupun daerah. Hutan di samping menghasilkan kayu dan hasil ikutan lainnya seperti damar, rotan, bahan obatobatan, hutan juga memberikan jasa lingkungan seperti menampung air, menahan banjir, mengurangi erosi dan sedimentasi, sumber keaneka ragaman hayati dan hutan juga menyerap karbon sehingga mengurangi pencemaran udara. Oleh karena itu hutan sangat bermanfaat untuk mendukung kehidupan dan perkembangan semua sektor-sektor ekonomi yang lain seperti sektor pertanian, perkebunan dan perikanan, sektor industri, sektor perhubungan, sektor pariwisata, sektor pemukiman, dan sektor-sektor jasa. Nilai kontribusi hijau sektor kehutanan pada PDRB Kabupaten Blora dapat diketahui dengan mengurangkan nilai depresiasi sektor kehutanan dari nilai kontribusi konvensional pada PDRB Kabupaten Blora. Secara berturut-turut dari tahun 2002 hingga tahun 2004 nilai kontribusi hijau sektor kehutanan pada PDRB InoVasi Volume 9: April 2014 Page 322

2 Blora secara berturut-turut adalah: (Tahun 2002: Rp 235,48 milyar), (Tahun 2003: Rp 300,69 milyar), dan (Tahun 2004: Rp 288,50 milyar). merupakan negara yang memiliki hutan terluas nomor 3 (tiga) di I. Pendahuluan dunia setelah Brazil dan Kongo. Pada tahun 1977 luas tutupan hutan diperkirakan sekitar 100 juta hektar. Perkiraan rendah (modest estimate ) ada sekitar 20 juta orang yang mengandalkan kehidupannya langsung pada hutan. Sektor kehutanan juga merupakan penghasil devisa negara nomor 2 (dua) setelah minyak bumi dan gas alam pada periode tahun an. 1 Sektor kehutanan merupakan sektor yang memberikan kontribusi besar terhadap pembangunan baik nasional maupun daerah. Hutan di samping menghasilkan kayu dan hasil ikutan lainnya seperti damar, rotan, bahan obat- obatan, hutan juga memberikan jasa lingkungan seperti menampung air, menahan banjir, mengurangi erosi dan sedimentasi, sumber keaneka ragaman hayati dan hutan juga menyerap karbon sehingga mengurangi pencemaran udara. Oleh karena itu hutan sangat bermanfaat untuk mendukung kehidupan dan perkembangan semua sektor-sektor ekonomi yang lain seperti sektor pertanian, perkebunan dan perikanan, sektor industri, sektor perhubungan, sektor pariwisata, sektor pemukiman, dan sektor-sektor jasa. meningkat menjadi 2,1 ha/tahun antara , dan meningkat lagi menjadi 2,8 Namun kondisi hutan saat ini sangat memprihatinkan karena tingkat deforestasi hutan sangat tinggi sekitar 1,6 juta Ha/tahun antara , juta ha/tahun antara Sebagian besar kawasan hutan yang dinyatakan sebagai hutan lindung dan hutan konservasi justru banyak yang ditebang, sedangkan hutan produksi dan hutan konversi karena sudah menipis cadangan kayunya, justru boleh dikatakan hanya sebagian kecil saja yang diusahakan. Tampaknya juga ada motivasi lain bahwa para pemegang hak UPK yang akan mengkonversi hutan menjadi lahan perkebunan lebih senang memanen kayu hutan daripada memulai usaha perkebunan. Hasil diskusi dalam Rapat Koordinasi 1 Krystof Obidzinki and Christopher Barr, The Effects of Decentralization on Forests and Forest Industires in Berau District, East Kalimantan, CIFOR, Jakarta, 2003, 2 Bahan Pidato Kenegaraan Presiden Sektor Kehutanan (Draft Masukan Pusrentikhut) tak diterbitkan, 2004, hal 3; dan Dedi M. Riyadi, Sumberdaya Alam & Lingkungan Hidup : Antara Krisis dan Peluang, BAPPENAS, 2004, halaman 5. InoVasi Volume 9: April 2014 Page 323

3 Departemen Kehutanan di Palangkaraya mencatat bahwa ada sekitar 600 ijin pembukaan hutan yang akan dikonversikan menjadi kebun kelapa sawit. Sementara baru ada sekitar 8 ijin yang merealisasikan pembukaan kebun kelapa sawit tesebut. 3 Disamping itu penebangan liar ( illegal logging) semakin marak pula. Salah satu sebab dari penebangan liar tersebut adalah adanya kelebihan kapasitas industri pengolahan kayu di atas produksi kayu yang legal. Sampai dengan pertengahan tahun 1990-an industri kayu gergajian, industri kayu lapis dan industri bubur kayu bersama-sama diperkirakan mengkonsumsi 60-80juta m 3 kayu bulat per tahun. Sedangkan berdasarkan pengelolaan hutan berkelanjutan yang dicanangkan Pemerintah produksi kayu hutan hanya sebesar 25 m 3 per tahun. Jadi dengan permintaan akan kayu bulat yang lebih tinggi dibanding penawarannya yang secara legal diijinkan pemerintah, maka mau tidak mau kekurangan pasokan kayu dipenuhi dari penebangan liar. Belum lagi ada sejumlah besar kayu bulat yang diekspor ke Serawak melalui pelabuhan Entikong misalnya yang diperkirakan cukup besar jumlahnya. 4 Seperti telah disinggung bahwa ada motivasi lain bahwa para pemegang hak UPK yang akan mengkonversi hutan menjadi lahan perkebunan lebih senang memanen kayu hutan daripada memulai usaha perkebunan. Disamping itu penebangan liar semakin marak pula. Hingga tahun 2002 laju deforestasi hutan liar. Pembalakan liar disebabkan oleh peningkatan kebutuhan kayu bulat sebagai selama sepuluh tahun terakhir diperkirakan sebesar 1,6 juta ha/tahun (Renstra Dephut ). Sebagian besar kerusakan hutan disebabkan oleh pembalakan bahan baku industri pengolahan kayu dan mebel, baik di dalam negeri maupun permintaan dari luar negeri seperti Cina dan India. Selain itu penegakan hukum yang tidak efektif juga menyebabkan pembalakan lilar semakin marak. Sekali lagi ditegaskan bahwa peranan hutan dalam perekonomian sangatlah besar yaitu di samping menghasilkan kayu dan hasil ikutan lainnya sebagai produk primer kehutanan, hutan juga memberikan jasa lingkungan seperti menampung air, menahan banjir, mengurangi erosi dan sedimentasi, sumber keaneka ragaman hayati dan hutan juga menyerap karbon sehingga mengurangi pencemaran udara. 3 Rapat Koordinasi Departemen Kehutanan Propinsi Kalimantan Tengah di Palangkaraya, Mei InoVasi Volume 9: April 2014 Page Tesis Tidak Diterbitkan, kajian Ilmu Lingkungan Universitas, Jakarta, 2003

4 Oleh karena itu hutan sangat bermanfaat untuk mendukung kehidupan dan perkembangan semua sektor-sektor ekonomi lainnya mulai dari sektor pertanian, perkebunan dan perikanan, sektor industri, sektor perhubungan, sektor pariwisata, sektor pemukiman, dan bahkan sektor jasa sekalipun. Sektor kehutanan di sini telah mencakup sub-sektor hutan yang menghasilkan kayu dan hasil hutan lainnya dan sub-sektor industri pengolahan hasil hutan. Sub-sektor hutan yang menghasilkan kayu dan hasil hutan lainnya merupakan sektor unik dalam dalam perannya bagi pembangunan. Kontribusi sub- sektor hutan tersebut tidak boleh hanya dihitung dari kontribusinya terhadap pembentukan PDB atau PDRB, karena PDB dan PDRB adalah suatu konsep yang hanya menghitung nilai produksi yang dihasilkan oleh seluruh kegiatan ekonomi. Nilai kontribusi sektor kehutanan pada PDB dan PDRB itu sama dengan nilai tambah (value added) dari sektor hutan. Nilai tambah itu merupakan jumlah semua jenis penghasilan (upah, gaji, sewa, bunga, laba) yang diciptakan d alam setiap kegiatan eksploitasi hasil hutan, sedangkan sumberdaya hutannya sendiri (kayu, damar, rotan, madu, dan gaharu, misalnya) yang benar-benar diekstraksi dari hutan tidak muncul dalam bentuk nilai tambah. Karena itu perhitungan kontribusi pada PDB dan PDRB yang diterapkan bagi sektor-sektor yang mengelola sumberdaya alam sebenarnya kurang tepat dan bersifat misleading dalam penghitungan penebangan hutan, pengambilan rotan, damar, madu, hewan liar, bunga-bungaan kontribusinya bagi pembangunan nasional. Nilai tambah sektor kehutanan ( kontribusi pada PDB) terjadi bila terdapat dan pengambilan produk-produk kehutanan lainnya yang selanjutnya diolah oleh sekor industri pengolahan produk primer hutan. Sebenarnya dapat pula nilai tambah sektor kehutanan tercipta jika terjadi reboisasi, penghijauan lahan kritis, dan sebagainya.jadi jika sektor kehutanan ingin meningkatkan kontribusinya kepada PDB, harus ada kegiatan penebangan hutan, ekstraksi sumberdaya hutan lainnya maupun kegiatan reboisasi serta penghijauan lahan kritis, atau peningkatan dalam kegiatan pengolahan hasil hutan di sektor industri. Namun PDB itu tidak akan besar ( kecil) karena nilai tambah yang diciptakan oleh produk sektor kehutanan ( hutan dan indsutri pengolahan hasil hutan) lebih banyak terjadi di luar sektor kehutanan dan dihitung sebagai kontribui sektor-sektor non-kehutanan. Jadi InoVasi Volume 9: April 2014 Page 325

5 terhadap PDB. nilai tambah tersebut dicatat sebagai kontribusi sektor lain di luar sektor kehutanan Sebagai contoh peghitungan nilai tambah sektor kehutanan saat ini hanya terbatas pada kegiatan di hutan dan pengolahan bahan primer hasil hutan saja. Padahal seperti industri kertas, industri kapal, industri mebel, industri rumah dan bangunan, industri transportasi darat (truk, kereta api, maupun trasnportasi air) banyak menggunakan bahan dari kayu. Industri farmasi dan obat-obatan banyak menggunakan produk hasil hutan seperti daun-daunan, akar-akaran, binatang liar dan sebagainya. Demikian juga industri perdagangan dan perhotelan tidak mungkin tidak menggunakan produk hutan seperti kayu, rotan, bunga-bungaan dan lain sebagimnya. Tetapi semua nilai tambah dari kegiatan yang menggunakan bahan hasil hutan tidak dihitung sebagian atau seluruhnya sebagai kontribusi sektor kehutanan pada PDB dan PDRB, melainkan dihitung sebagai nilai tambah masingmasing sektor yang melakukan kegiatan yang memanfaatkan hasil produksi kehutanan tersebut. Menurut harga berlaku sektor kehutanan ( hutan dan industri pengolah hasil hutan) menciptakan kontribusi dalam arti absolut ( rupiah) yang terus meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata setinggi 18,73% per tahun. Laju pertumbuhan setinggi itu terbentuk dari laju pertumbuhan sektor hutan murnisetinggi 13,29% per 1993 sampai dengan 2004, maka dapat diperkirakan sektor kehutanan murni tanpa tahun dan laju pertumbuhan sektor industri pengolah hasil hutansetinggi 28,36% per tahun. Dengan perhitungan laju inflasi rata-rata setinggi 14,23% per tahun antara industri pengolahan hasil hutan mengalami laju pertumbuhan negatif ( -0,94% per tahun) untuk periode waktu yang sama. Sektor industri pengolahan hasil hutan secara riel mengalami pertumbuhan sebesar 14,23% per tahun untuk periode waktu Dan secara keseluruhan untuk sektor kehutanan ( hutan dan indsutri pengolah hasil hutan) mengalami pertumbuhan riel setinggi 4,5% per tahun antara tahun Peningkatkan kontribusi sektor kehutanan pada PDB hanya akan terjadi bila nilai tambah sektor kehutanan meningkat lebih cepat daripada peningkatan nilai tambah sektor-sektor lain, karena sektor-sektor lain juga berusaha meningkatkan produksinya. Oleh karena itu kontribusi ( share) dalam arti InoVasi Volume 9: April 2014 Page 326 persentase tidak harus meningkat, karena meningkatnya kontribusi suatu sektor

6 (dalam %) akan selalu diimbangi oleh menurunnya kontribusi (dalam%) oleh sektorsektor lain. Kontribusi sektor kehutanan di Kabupaten Blora tidak boleh hanya dihitung dari kontribusinya terhadap pembentukan PDRB saja, karena PDRB merupakan suatu konsep yang hanya menghitung nilai produksi yang dihasilkan oleh semua kegiatan dalam suatu perekonomian secara regional. Seperti telah diketahui bersama bahwa kontribusi sektor kehutanan yang mencakup produksi hasil-hasil hutan dan industri pengolahan produk primer kehutanan, relatif kecil dan mulai menurun dari tahun ke tahun sejak Sejalan dengan komitmen pemerintah untuk melaksanakan pembangunan di bidang lingkungan hidup yang tertuang dalam PP No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun , khususnya dalam kerangka Program Peningkatan Kualitas dan Akses Informasi SDA dan LH, telah diarahkan untuk disusun dan diterapkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Hijau sebagai salah satu instrumen perencanaan. Penghitungan kontribusi hijau sektor kehutanan ( sektor produksi kayu dan hasil hutan lainnya serta industri pengolahan hasil hutan primer) terhadap PDRB sebelumnya telah diujicobakan di Kabupaten Berau, Propinsi Kalimantan Timur. Hasilnya menunjukkan bahwa kontribusi sektor kehutanan terhadap PDRB di Kab. pula. Namun bila dinilai dari besarnya kontribusi sektor kehutanan pada Berau menghasilkan angka negatif. Hal ini karena Kabupaten Berau memang masih memiliki hutan alam yang cukup luas dengan tingkat penebangan hutan yang tinggi pembangunan daerah dan pembangunan nasional maka nilai yang dihasilkan positif dan cukup besar yaitu berupa nilai tambah yang diciptakan seperti yang tercantum pada Laporan PDRB yang selanjutnya ditambah dengan nilai deplisi sumberdaya hutan dan nilai degradasi lingkungan yang ditimbulkannya. Perhitungan kontribusi hijau sektor kehutanan yang dilakukan di Kabupaten Berau belum tentu sama dengan kontribusi hijau sektor kehutanan yang terjadi di daerah/kabupaten lain. Oleh karena itu untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap mengenai kontribusi sektor kehutanan kepada pembangunan daerah pada umumnya, dirasa perlu dilakukan penghitungan kontribusi hijau sektor kehutanan pada PDRB di beberapa daerah/kabupaten lain. Untuk mempermudah para InoVasi Volume 9: April 2014 Page 327 peminat/petugas di daerah untuk menyusun Kontribusi Hijau Sektor Kehutanan

7 dalam PDRB atau dalam pembangunan di daerah, maka telah disusun pula sebuah panduan dalam bentuk Buku Pedoman Penyusunan PDRB Hijau Sektor Kehutanan 5. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) disusun tiap tahun dan diterapkan untuk tingkat regional atau daerah, seperti Propinsi, Kabupaten dan Kota. PDRB yang selama ini dihitung atau disebut sebagai PDRB Konvensional (Coklat) hanya mengukur hasil kegiatan ekonomi tanpa memasukkan dimensi lingkungan didalamnya. Oleh karena itu, PDRB harus dikembangkan dengan memasukkan nilai deplesi dan degradasi lingkungan agar diperoleh nilai PDRB yang baru atau yang disebut sebagai PDRB Hijau, karena PDRB Hijau menampilkan indikator kegiatan ekonomi dan sekaligus menampilkan nilai deplesi dan degradasi lingkungan sehingga struktur perekonomian dapat dilihat secara lebih realistis. PDRB Hijau dapat dimanfaatkan sebagai perangkat perencanaan pembangunan sektoral dan regional yang lebih baik, karena menampilkan hasil atau kinerja perekonomian setiap tahunnya secara lebih lengkap. Kesadaran atas perlunya pemahaman tentang PDRB Hijau telah mendorong Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan, Departemen Kehutanan Republik untuk menghitung secara lengkap kontribusi sektor kehutanan pada nilai PDRB di beberapa kabupaten, sehingga peranan dan kontribusi sektor kehutanan dimanfaatkan sebagai salah satu instrumen perencanaan pengelolaan dan pada pembangunan daerah dan pembangunan nasional akan tampak lebih realistis. Selanjutnya hasil perkiraan nilai kontribusi hijau yang lebih lengkap itu dapat pengembangan sektor kehutanan dengan lebih baik dan sempurna. Kegiatan studi yang akan dilakukan adalah menghitung secara lengkap kontribusi sektor kehutanan pada nilai PDRB di Kabupaten Blora, dengan harapan agar peranan dan kontribusi sektor kehutanan pada pembangunan daerah di Kabupaten tersebut akan tampak lebih realistissehingga perencanaan serta pelaksanaan pembangunan daerah yang bersangkutan akan dapat terlaksana dengan baik dan berkelanjutan. Manfaat dari studi ini adalah pemahaman dan penyempurnaan perencanaan dan pengelolaan sumberdaya hutan, tidak hanya bagi para pengelola di sektor InoVasi Volume 9: April 2014 Page Toni Suhartono, dkk, Buku Pedoman Penyusunan PDRB Hijau Sektor Kehutanan, Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan, Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan, 2005.

8 kehutanan, tetapi juga bagi para pelaksana pemerintahan maupun anggota DPRD yang bersangkutan. Lokasi sebagai penerapan studi mengenai kontribusi hijau oleh sektor kehutanan pada PDRB telah ditentukan yaitu di Kabupaten Blora, Propinsi Jawa Tengah. II. Metodologi Secara konvensional PDRB merupakan ukuran keberhasilan kinerja pembangunan suatu daerah apakah itu kabupaten, kota maupun propinsi. Karena PDRB sudah menjadi wacana nasional dan perwilayahan sejak pemerintahan Orde Baru, maka setiap daerah tingkat satu dan tingkat dua pada waktu itu sudah mampu secara rutin menyajikan data atau hasil perhitungan PDRB untuk setiap tahunnya. Budaya demikian berlanjut sampai sekarang baik untuk daerah kabupaten, kota maupun propinsi.apa yang dimaksud dengan PDRB? Pada dasarnya PDRB merupakan seluruh jumlah barang dan jasa akhir (final product) yang dihasilkan oleh suatu kegiatan perekonomian atau pembangunan regional ( daerah): kabupaten, kota, maupun propinsi, dalam waktu satu tahun yang dinyatakan dalam nilai rupiah. Dalam konsep PDRB yang konvensional tidak diperhitungkan dimensi lingkungan, artinya hilangnya nilai sumberdaya alam dan kerusakan lingkungan tidak diperhitungkan dalam penghitungan PDRB sebagai bagian dari angka penyusutan konvensional itu kita sebut dengan istilah PDRB Coklat karena dalam modal, maka nilai PDRB yang diperoleh hanya mencerminkan hasil kegiatan ekonomi suatu kabupaten, kota atau propinsi tertentu. Karenanya PDRB yang penghitungannya belum memasukkan penyusutan nilai modal alami yaitu sumberdaya alam dan lingkungan.produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Hijau merupakan pengembangan dari PDRB Coklat. PDRB Coklat sendiri merupakan catatan tentang jumlah nilai rupiah dari barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh suatu daerah (Propinsi/Kabupaten/Kota) dalam waktu satu tahun. Nilai PDRB suatu daerah sebenarnya adalah nilai tambah yang diciptakan oleh semua sektor usaha di daerah tersebut. Untuk keperluan analisis ekonomi daerah, PDRB dan serta perencanaan pembangunan di pendapatan regional 6 ditampilkan menurut sektor kegiatan InoVasi Volume 9: April 2014 Page Yang dimaksud dengan pendapatan regional adalah nilai PDRB setelah dikurangi dengan nilai penyusutan barang modal dan nilai pajak tidak langsung. Adapun yang dimaksud dengan pajak tidak

9 menilai keberhasilan pembangunan di daerah yang bersangkutan. satu tahun dan dinyatakan dalam nilai rupiah. Nilai yang dihasilkan seolah-olah sesungguhnya tidak demikian karena nilai sumberdaya ekonomi atau lapangan usaha. PDRB banyak digunakan sebagai instrumen untuk Dengan mengetahui kontribusi maupun laju pertumbuhan masing-masing sektor terhadap PDRB, maka hasil-hasil pembangunan per sektor dapat diketahui dengan jelas dan rencana pembangunan daerah karenanya dapat disusun secara lebih akurat. Namun demikian, penghitungan PDRB yang sudah dilakukan hingga saat ini baru menghitung nilai total barang dan jasa ( final product) yang dihasilkan selama memberikan gambaran tentang struktur perekonomian dan pertumbuhan ekonomi yang dialami oleh suatu daerah, baik secara total maupun secara sektoral, sehingga dianggap mencerminkan kondisi perekonomian daerah yang bersangkutan. Tetapi alam yang hilang (dieksploitasi) dan kerusakan ( degradasi) lingkungan akibat kegiatan ekploitasi itu sendiri belum diperhitungkan sebagai nilai kehilangan dan kerusakan yang seharusnya dibayar, sehingga nilai-nilai yang tercantum dalam PDRB yang konvensional itu belum menunjukkan nilai kemajuan pembangunan ataukesejahteraan masyarakat yang sesungguhnya. 7 Oleh karena itu, untuk membuat agar nilai-nilai yang ada di dalam PDRB mencerminkan nilai kesejahteraan yang sebenarnya dari hasil kegiatan GRDP) yang disebut juga sebagai PDRB Hijau yaitu dengan memasukkan ke dalam perekonomian atau pembangunan suatu daerah, maka perlu dilakukan penghitungan PDRB yang disesuaikan ( adjusted gross regional domestic bruto / penghitungan PDRB (Coklat) nilai deplesi sumberdaya alam dan kerusakan (degradasi) lingkungan yang ditimbulkan sebagai produk yang tidak diinginkan (undesirable outputs). Dengan demikian nilai PDRB yang telah disesuaikan tersebut dapat dijadikan acuan dasar yang lebih komperhensif bagi perencanaan pembangunan yang berkelanjutan yaitu dengan memperhatikan keberadaan faktor sumberdaya alam dan lingkungan di samping faktor-faktor lainnya. langsung adalah pajak yang beban pajaknya dapat digeserkan pada pihak lain, seperti PPN, pajak penjualan barang mewah, maupun cukai. 7 PDRB yang sekarang ada disusun secara konvensional dan disebut sebagai PDRB Coklat. Istilah PDRB coklat sebenarnya karena disejajarkan dengan adanya istilah Green GDP dan Brown GDP yang dikeluarkan oleh United Nations Statistical Office (UNSO, System of Integrated Economic and Environmental Account, New York, InoVasi Volume 9: April 2014 Page 330

10 menghitung yaitu: a) dengan menjumlahkan seluruh nilai tambah dari setiap sektor pendekatan nilai tambah atau pendekatan produksi. Untuk setiap sektor kegiatan Nilai produksi Dalam penghitungan nilai PDRB ada (3) tiga pendekatan utama dalam kegiatan ekonomi, b) dengan menjumlahkan semua jenis pendapatan yang diperoleh oleh para pemilik faktor produksi, seperti: tenaga kerja; modal; alat, perlengkapan dan sumberdaya alam; serta keahlian; dan c) dengan menjumlahkan seluruh pengeluaran setiap kegiatan di masing-masing sektor. Dalam kaitannya dengan sumberdaya alam, maka lebih banyak digunakan ekonomi dihitung kontribusinya terhadap angka PDRB dengan cara seperti pada Gambar 1. Rp Intermediate inputs (bahan-bahan) - (-) Nilai tambah(pdrb) Coklat Rp... Gambar 1 Kontribusi Sektor Kegiatan Ekonomi terhadap PDRB Coklat Yang dimaksud dengan intermediate inputs adalah semua bahan yang tidak memiliki produk yang dapat dijual di pasar seperti sektor pemerintahan dan digunakan dalam proses produksi, tidak termasuk tenaga kerja.kalau suatu sektor pendidikan, biasanya dipakai pendekatan pendapatan yaitu balas jasa terhadap faktor produksi dalam bentuk upah/gaji, sewa, bunga dan laba. Kalau pendekatan ini yang dipakai, angka atau nilai yang diperoleh bukannya PDRB, tetapi Pendapatan Regional. Untuk sampai pada nilai kontribusi hijau harus ditambahkan penyusutan barang modal buatan manusia, baru kemudian dikurangi dengan nilai deplesi dan nilai degradasi lingkungan. Selanjutnya cara menghitung nilai PDRB semi Hijau. PDRB Semi Hijau adalah hasil pengembangan konsep PDRB Coklat dengan memasukkan dimensi lingkungan (deplesi SDA dan kerusakan lingkungan) ke dalam perhitungan PDRB konvensional. PDRB konvensional ini, yang kita sebut juga dengan PDRB COKLAT InoVasi Volume 9: April 2014 Page 331

11 sampai pada PDRB Semi Hijau. Perhatikan Gambar 2 di bawah ini. STIE Deplesi SDA Gambar 2. Perhitungan Kontribusi Sektor Kegiatan Ekonomi Semi Hijau terhadap PDRB untuk dikembangkan menjadi PDRB Hijau langkah perhitungannya adalah PDRB semi hijau dikurangi dengan nilai deplesi dari sektor kehutanan hasil yang didapatkan baru Nilai produksi hutan Rp Intermediate inputs (bahan-bahan) Rp (-) Nilai tambah atau Rp... (PDRB Coklat) PDRB Semi Hijau Rp... Rp Untuk sampai pada nilai PDRB Hijau, maka selanjutnya nilai-nilai kontribusi pada PDRB Semi Hijau masih harus dikurangkan lagi nilai kerusakan atau degradasi lingkungan, sehingga akhirnya diperoleh nilai PDRB Hijau yang sebenarnya. Jadi sebagaimana tampak pada Gambar 3 di bawah ini. Rp Degradasi lingkungan Rp (-) PDRB HIJAU Rp (-) Gambar 3.3 Kontribusi Sektor Kegiatan Ekonomi terhadap PDRB Hijau Dalam hal ini sektor yang diamati atau dikaji adalah sektor kehutanan yang berkaitan dengan deplesi dan degradasi sumberdaya hutan di Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah. Secara singkat tahapan studi ini mencakup: InoVasi Volume 9: April 2014 Page 332

12 1. Mengidentifikasi jenis dan volume sumberdaya hutan yang digunakan dan diambil langsung dari hutan. Untuk ini informasi diperoleh dari Dinas Kehutanan dan Kantor Badan Statistik Daerah, serta wawancara langsung dengan beberapa perusahaan dan industri yang menggunakan bahan baku dari hutan. 2. Melakukan valuasi ekonomi terhadap sumberdaya hutan yang digunakan atau diambil. Valuasi dilakukan dengan pendekatan nilai pasar untuk produkproduk yang memiliki nilai pasar dan dipasarkan, atau menggunakan nilai barang pengganti dan barang pelengkapnya, maupun dengan contingent valuation dengan kesediaan membayar atau kesediaan menerima pembayaranuntuk produk yang tidak memiliki harga pasar atau untuk tidak dipasarkan khususnya untuk menaksir nilai kerusakan lingkungan. Data harga diperoleh baik dari data sekunder ataupun data primer dari perusahaan yang terlibat dalam proses produksi dan penggunaan sumberdaya hutan. 3. Menghitung volume kerusakan atau pencemaran karena pengambilan sumberdaya hutan dan proses produksi industri pada sektor kehutanan. Untuk ini digunakan beberapa metode pendekatan seperti metode observasi langsung dan metode perkiraan dengan menggunakan benefits transfer. Kemudian valuasi ekonominya dapat menggunakan metode biaya pengganti adanya kegiatan industri pengolahan hasil hutan digunakan pendekatan (replacement costs) dan metode pendapatan yang hilang ( forgone income). Untuk menghitung degradasi atau dampak negatif yang ditimbulkan karena penghitungan biaya pengolahan limbah dari industri pengolahan hasil hutan misalnya prevention cost. 4. Setelah nilai deplesi, degradasi lingkungan dan degradasi industri pengolahan hasil hutan dapat dihitung, selanjutnya nilai-nilai tersebut dikurangkan dengan nilai kontribusi sektor kehutanan, sehingga akan diperoleh nilai kontribusi hijau sektor kehutanan pada PDRB. 5. Kontribusi riil sektor kehutanan pada pembangunan dapat diperoleh dengan cara menambahkan kontribusi sektor kehutanan dengan depresiasi lingkungan dan dikurangi degradasi industri pengolahan hasil hutan. InoVasi Volume 9: April 2014 Page 333

13 III. Hasil dan Pembahasan Nilai Kontribusi sektor kehutanan Kabupaten Blora dari tahun 2002 hingga tahun 2004 tampak terus meningkat dari waktu ke waktu walaupun secara persentase Kontribusi sektor kehutanan terhadap PDRB Kabupaten Blora mengalami fluktuasi. Kontribusi sektor kehutanan pada PDRB Kabupaten Blora selain berasal dari nilai tambah karena kegiatan produksi kehutanan juga berasal STIE dari nilai tambah kegiatan industri yang mengolah hasil hutan seperti industri kayu dan hasil hutan lain, tetapi karena keterbatasan data nilai kontribusi industri gergajian, industri rotan, serta industri lainnya yang menggunakan bahan dasar kayu pengolahan kayu dan hasil hutan lainnya tidak dapat ditampilkan karena nilai kontribusi sektor industri pengolahan tidak dirinci secara detail. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. yang menyajikan nilai-nilai kontribusi sektor kehutanan dan sektor industri pengolahan kayu dan hasil hutan lainnya. Pada kolom terakhir disajikan nilai PDRB absolut Kabupaten Blora sebagai referensi untuk mengetahui berapa sesungguhnya nilai PDRB Kabupaten Blora dalam nilai rupiah. Dari Tabel 1. tampak bahwa kontribusi kayu dan hasil hutan lain pada PDRB Coklat dari tahun 2002 hingga tahun 2004 pada awalnya meningkat dari 15,86% pada tahun 2002 menjadi 16,62% pada tahun Namun setelah itu menurun menjadi 16,56% pada tahun Sedangkan untuk kontribusi industri pengolahan kayu dan hasil hutan di Kabupaten Blora tidak ada data. Tabel 1.Kontribusi Sektor Kehutanan pada PDRB Coklat Kabupaten Blora Tahun Kayu & Hasil Hutan Lain Rp (milyar) (%) Industri Pengolahan Kayu & Hasil Hutan Lain Rp (milyar) (%) Sektor Kehutanan Rp (milyar) (%) PDRB Coklat Rp (milyar) InoVasi Volume 9: April 2014 Page 334

14 Sumber : BPS, Kabupaten Blora, ,73 15, ,73 15, , ,65 16, ,65 16, , ,66 16, ,66 16, ,35 Deplesi kayu hutan adalah hilangnya kayu hutan akibat penebangan yang tercermin dari jumlah kayu yang ditebang di hutan. Tabel 2. menunjukkan luas areal tebangan dan volume kayu yang ditebang di Kabupaten Blora antara tahun 2002 hingga 2004 menurut Kesatuan Pemangkuan Hutan yang masuk dalam wilayah No. administrasi Kabupaten Blora. KPH Tabel 2.Luas Tebangan dan Produksi Kayu Jati di Kabupaten Blora Tahun Luas Luas Luas Tebangan M 3 Tebangan M 3 Tebangan M 3 1 Blora 114, ,00 165, ,00 161, ,00 2 Randublatung 249, ,00 303, ,00 428, ,00 3 Cepu 1.681, , , , , ,00 4 Mantingan Kebonharjo 209,90 213,00 115,10 601,00 143, ,00 STIE 6 Ngawi Jumlah 2.254, , , , , ,00 Sumber : Perum Perhutani (KPH Blora, Randublatung, Cepu, Ngawi, Kebon Harjo, Mantingan) Jenis kayu di Kabupaten Blora dibedakan menjadi dua yaitu jenis kayu jati dan jenis kayu mahoni. Dari Tabel 2. tampak bahwa antara tahun 2001 hingga 2004 terjadi penurunan volume produksi kayu jati pada tahun 2003 yaitu dari m 3 pada tahun 2002 menjadi m 3 pada tahun Pada tahun berikutnya, volume penebangan kayu mengalami peningkatan yang cukup tinggi yaitu m 3 pada tahun Sedangkan untuk kayu mahoni terjadi penurunan yang cukup drastis kurang lebih 50% dari tahun ke tahun yaitu sebanyak m 3 pada tahun 2002 menjadi 1.410,84 m 3 pada tahun 2003 dan selanjutnya menjadi 672,96 m 3. Untuk data luas tabangan kayu Mahoni tidak ada dikarenakan untuk produksi kayu tersebut merupakan hasil ikutan produksi kayu Jati. Tabel 3.Luas Tebangan dan Produksi Kayu Mahoni di Kabupaten Blora Tahun InoVasi Volume 9: April 2014 Page 335

15 Tabel 4. Produksi Kayu Bakar di Kabupaten Blora KPH Luas Luas Luas No. KPH Tebangan M 3 Tebangan M 3 Tebangan M 3 1 Blora - 43,00-5,00-18,00 2 Randublatung ,00-910,00-648,00 3 Cepu ,84-6,96 4 Mantingan Kebonharjo Ngawi Jumlah , ,84-672,96 Sumber : Perum Perhutani (KPH Blora, Randublatung, Cepu, Ngawi, Kebon Harjo, Mantingan) Catatan : Merupakan Hasil Ikutan Tebangan Kayu Jati Tahun No. m 3 m 3 m 3 1 Blora 1.911,00 819,00 61,00 2 Randublatung 1.922, , ,00 3 Cepu 793,70 476,50 592,00 4 Mantingan Kebonharjo Ngawi Jumlah 4.626, , ,00 Sumber : Perum Perhutani (KPH Blora, Randublatung, Cepu, Ngawi, Kebon Harjo, Mantingan) Setelah volume penebangan kayu dan produksi kayu bakar diketahui, maka dapat dihitung nilai deplesinya. Untuk melakukan penghitungan tersebut diperlukan nilai rente per unit (unit rent atau unit price) untuk menghitung nilai sumberdaya alam yang dideplesi. Data rente per unit untuk kayu di Kabupaten Blora belum ada sehingga perlu dihitung dengan menggunakan pendekatan harga pasar. Selanjutnya setelah didapatkan maka akan diperoleh laba kotor perusahaan diperoleh dengan mengurangkan seluruh biaya produksi dari harga kayu. Laba kotor ini masih dikurangi lagi dengan laba layak ( normal profit) perusahaan yang dalam hal ini dicerminkan sebesar suku bunga bank sebagai alternatif investasi yang dapat dilakukan oleh pemilik modal atau dalam perum perhutani itu sendiri sehingga diperoleh nilai unit rent. Besarnya suku bunga bank dalam studi ini adalah sebesar suku bunga SBI yang ditentukan oleh Bank. Adapun penghitungan unit rent untuk masing-masing komoditi adalah sebagai berikut: InoVasi Volume 9: April 2014 Page 336

16 Tabel 5.Penghitungan Unit Rent Kayu Jati Kabupaten Blora Tahun (Rp/m 3 ) Keterangan Harga Kayu Jati , , ,73 Biaya Umum , , ,95 Biaya Pemasaran , , ,93 Biaya Pembinaan Hutan , , ,35 Biaya Sarana dan Prasarana , , ,75 Biaya Eksploitasi Hutan , , ,35 Biaya Penyusutan , , ,27 Biaya Lain-lain 3.474, , ,43 Total Biaya , , ,02 Laba Kotor , , ,71 Laba Layak , , ,85 STIE Unit rent , , ,86 10,39% tahun 2002 = 7,07%) Sumber : Perum Perhutani Jawa Tengah (KPH Blora) data diolah Catatan : Laba layak atau balas jasa investasi diperhitungkan atas dasar suku bunga SBI dikalikan dengan seluruh biaya produksi.(suku bunga SBI : tahun 2002 = 15,28% ; tahun 2003 = Tabel 6. Penghitungan Unit Rent Kayu Mahoni Kabupaten Blora Tahun (Rp/m 3 ) Keterangan Harga Kayu Mahoni , , ,43 STIE Biaya Umum , , ,52 Biaya Pembinaan Hutan , , ,11 Biaya Sarana dan Prasarana , , ,72 Biaya Eksploitasi Hutan , , ,86 InoVasi Volume 9: April 2014 Page 337

17 Biaya Pemasaran , , ,36 Biaya Penyusutan 6.052, , ,29 Biaya Lain-lain 1.031, , ,06 Total Biaya ( ,57) ( ,79) ( ,92) Laba Kotor , , ,51 Laba Layak , , ,72 STIE Unit rent , , ,79 Sumber : Perum Perhutani Jawa Tengah (KPH Blora) data diolah Catatan : Laba layak atau balas jasa investasi diperhitungkan atas dasar suku bunga SBI dikalikan dengan seluruh biaya produksi.(suku bunga SBI : tahun 2002 = 15,28% ; tahun 2003 = 10,39% tahun 2002 = 7,07%) Tabel 7. Penghitungan Unit Rent Kayu Bakar Kabupaten Blora Tahun (Rp/SM) Keterangan Harga Kayu Bakar , , ,75 STIE Biaya Pengangkutan 9.145, , ,81 Biaya Lain-lain 6.859, , ,86 Total Biaya , , ,68 Laba Kotor , , ,07 Laba Layak 2.445, , ,92 Unit rent , , ,15 Sumber : Perum Perhutani Jawa Tengah (KPH Blora) data diolah Catatan : Laba layak atau balas jasa investasi diperhitungkan atas dasar suku bunga SBI dikalikan dengan seluruh biaya produksi. (Suku bunga SBI : tahun 2002 = 15,28% ; tahun 2003 = 10,39% tahun 2002 = 7,07%) Hasil penghitungan unit rent untuk kayu Jati, kayu Mahoni serta kayu bakar dari tahun 2002 hingga tahun 2004 dapat dilihat pada Tabel 8. berikut: Tabel 8. Unit Rent Kayu dan Hasil-hasil hutan lainnya di Kabupaten Blora InoVasi Volume 9: April 2014 Page 338

18 Tahun Hasil Hutan Rp/unit Jati Rp/M , , ,86 Mahoni Rp/M , , ,79 Kayu Bakar Rp/SM , , ,15 Sumber : Tabel 5., Tabel 6., dan Tabel 7. Dengan diketahuinya nilai unit rent dari masing-masing jenis kayu dan kayu bakar, maka dapat dihitung nilai deplesi kayu Jati, kayu Mahoni dan kayu bakar yaitu dengan cara mengalikan antara jumlah produksi dengan nilai unit rent untuk masingmasing komoditi. Penghitungan ini bertujuan untuk menunjukkan nilai kekayaan alam atau aset alam yang hilang akibat penebangan kayu hutan yang tidak diperhitungkan sebagai biaya atau modal alam. Oleh karena itu, nilai atau hasil dari sektor kehutanan belum mencerminkan nilai yang sesungguhnya dari hasil hutan karena modal alam belum diperhitungkan seperti halnya modal kapital dalam sebuah investasi. Adapun hasil penghitungan deplesi tampak seperti dalam Tabel 9. berikut: Tabel 9. Nilai Deplesi dan Hasil-hasil hutan lainnya di Kabupaten Blora Tahun (Rp. Juta) Mahoni 681,24 380,17 203, Jati , , ,04 Kayu Bakar 200,26 125,56 95,47 Jumlah , , ,91 Sumber : data diolah Salah satu sektor andalan di Kabupaten Blora yang terus mendapat perhatian hingga saat ini adalah sektor pertambangan. Dari tahun 2002 ke tahun 2003 kontribusi sektor mengalami peningkatan dari 15,86 % menjadi 16,56 %. Seperti telah diketahui bahwa kegiatan penebangan hutan selain mengakibatkan berkurangnya cadangan atau stock kayu di hutan, juga menyebabkan terjadinya degradasi tanah, udara, air, serta hilangnya keanekaragaman hayati. Hutan memiliki fungsi lingkungan yang sangat beragam, namun hingga kini penghitungan kontribusi InoVasi Volume 9: April 2014 Page 339 sektor kehutanan terhadap perekonomian tidak pernah memasukkan nilai fungsi

19 lingkungan yang dihasilkan oleh hutan. Oleh karenanya kontribusi sektor kehutanan dalam perekonomian memiliki prosentase yang sangat kecil yaitu rata-rata 16% per tahun khususnya di kabupaten Blora. Untuk menunjukkan nilai yang sesungguhnya dari sumberdaya hutan, maka selain nilai kayu yang dihasilkan juga harus dihitung nilai jasa lingkungan yang diberikan oleh hutan apabila hutan dipelihara dengan memperhatikan konsep kelestarian atau bahkan dengan kaidah konservasi. Mengingat data yang tersedia tentang macam dan besaran serta dampak degradasi lingkungan masih sangat terbatas, maka pendekatan penghitungan degradasi lingkungan akibat penebangan hutan atau eksploitasi kayu di Kabupaten Blora dilakukan dengan menggunakan hasil perhitungan yang telah dilakukan dalam studi-studi sejenis ( benefit transfer approach). Seperti telah diketahui bahwa hutan memiliki fungsi sebagai pencegah banjir, penyerap karbon ( carbon sink), konservasi air dan tanah, keanekaragaman hayati, transportasi air, pencegah erosi dan sedimentasi. Dengan adanya kegiatan penebangan di hutan, maka dapat dipastikan terjadi degradasi lingkungan yang ditunjukkan dengan hilangnya fungsi hutan seperti yang telah disebutkan di atas. Dalam studi ini, penghitungan degradasi lingkungan dihitung dengan menggunakan pendekatan hasil studi yang sudah dilakukan oleh peneliti lain untuk mengestimasi Kabupaten Blora dari tahun 2002 hingga tahun 2004 pada Tabel 11. dan biaya per jenis kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh penebangan kayu hutan (indirect used value). Dengan menggunakan data luas hutan yang ditebang di mengalikannya dengan nilai jasa hutan pada Tabel 10. maka akan diperoleh nilai degradasi sektor kehutanan kabupaten Blora. Tabel 10. Persentase dan Nilai Jasa Hutan Jenis Nilai Jasa yang Dihasilkan Nilai (US$/ha/thn) STIE Nilai penggunaan tak langsung Konservasi air dan tanah Penyerap karbon Pencegah banjir Transportasi air Keanekaragaman hayati 1.835,83 847,12 133,85 525,92 123,81 210,79 InoVasi Volume 9: April 2014 Page 340

20 Atas dasar bukan penggunaan Nilai opsi Nilai keberadaan 195,34 69,28 126,05 Sumber : Suparmoko dan NRM Catatan : Nilai degradasi ditunjukkan oleh nilai penggunaan tak langsung dan nilai atas dasar bukan penggunaan dihitung dengan asumsi bahwa penebangan kayu di hutan akan berakibat pada rusak atau hilangnya fungsi hutan. Tabel 11. Luas hutan yang ditebang menurut Jenis kayu STIE di Kabupaten Blora Tahun (ha) Jati 2.254, , ,40 Mahoni Total Area 2.254, , ,40 Sumber : Perum Perhutani (KPH Blora, Randublatung, Cepu, Ngawi, Kebon Harjo, Mantingan) Nilai degradasi yang ditunjukkan oleh nilai penggunaan tak langsung dan nilai atas dasar bukan penggunaan dihitung dengan asumsi bahwa penebangan kayu di hutan akan berakibat pada rusak atau hilangnya fungsi hutan. Adapun hasil penghitungan nilai degradasi hutan yang telah disesuaikan dengan nilai kurs yang berlaku di Kabupaten Blora dilakukan pada dua skenario dan dapat dilihat pada Tabel 12. dan Tabel 13. Untuk skenario yang pertama diasumsikan bahwa dari luas hutan yang ditebang akan berakibat rusak atau hilangnya fungsi hutan sebesar 100 %, sedangkan skenario yang ke kedua disamusikan dari luas hutan yang ditebang maka fungsi atau jasa hutan akan rusak sebesar 50% hal ini dikarenakan walaupun terjadi penebangan hutan akan tetapi pada areal penebangan tersebut masih tersisa pohonnya. Skenario I Tabel 12. Nilai Degradasi hutan Skenario I di Kabupaten Blora Tahun (Rp juta) InoVasi Volume 9: April 2014 Page 341 Fungsi Lingkungan

21 37.071, , ,24 I. Nilai penggunaan tak langsung Konservasi air dan tanah , , ,19 Penyerap karbon 2.694, , ,13 Pencegah banjir , , ,39 Transportasi air 2.492, , ,62 Keanekaragaman hayati 4.243, , ,90 II. Atas dasar bukan penggunaan Sumber : data diolah 3.932, , ,68 Nilai opsi 1.394, , ,78 Nilai keberadaan 2.537, , ,90 Total Degradasi I + II , , ,91 Skenario II Tabel 13. Nilai Degradasi hutan Skenario IIdi Kabupaten Blora Tahun (Rp juta) Fungsi Lingkungan I. Nilai penggunaan tak langsung , , ,62 STIE Konservasi air dan tanah 8.526, , ,10 Transportasi air 1.246, , ,31 Penyerap karbon 1.347, , ,06 Pencegah banjir 5.293, , ,70 Keanekaragaman hayati 2.121, , ,45 II. Atas dasar bukan penggunaan 1.966, , ,34 Nilai opsi 697,36 614, ,39 Nilai keberadaan 1.268, , ,95 Total Degradasi I + II , , ,96 Sumber : data diolah Dari Tabel 12. dan Tabel 13. di atas tampak bahwa nilai degradasi terbesar terjadi pada fungsi hutan untuk konservasi air dan tanah, kemudian diikuti dengan fungsi hutan sebagai pencegah banjir, fungsi hutan sebagai tempat berkembangnya InoVasi Volume 9: April 2014 Page 342

22 keanekaragaman hayati, diikuti dengan fungsi hutan sebagai penyerap karbon dan fungsi menjaga kelangsungan transportasi air. Sedangkan untuk nilai atas dasar bukan penggunaan terbesar adalah fungsi keberadaan hutan yaitu penilaian masyarakat akan pentingnya hutan, dan nilai opsi yaitu nilai pilihan untuk memanfaatkan hutan di masa mendatang. Dari hasil perhitungan nilai deplisi dan degradasi tampak bahwa nilainya selalu lebih besar dibandingkan dengan jumlah retribusi atau pungutan (PSDH) yang dikenakan untuk setiap m 3 kayu yang besarnya pada tahun 2004 hanya sebesar Rp ,- per m 3 atau apabila kita bandingkan antara nilai deplisi dan jumlah penerimaan PSDH di kabupaten Blora maka nilainya sangat jauh selisihnya yaitu Rp 107,6 milyar untuk nilai deplisi pada tahun 2004 dan Rp 6,6 milyar untuk penerimaan pembayaran PSDH kabupaten Blora tahun Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya pungutan atau retribusi yang dikenakan masih terlalu rendah karena tidak memperhitungkan nilai atau aset alam. Tabel 14. Pembayaran PSDH Di Kabupaten Blora Tahun 2004 (Rp Juta) No. K P H KPH Blora 421,32 4 KPH Mantingan 359,58 Sumber: Dinas Kehutanan Kabupaten Blora 2 KPH Randu Blatung 3.337,50 3 KPH Cepu 2.297,34 5 KPH Kebonharjo 155,00 6 KPH Ngawi 43,60 Total 6.614,33 Dengan diperolehnya nilai produksi hutan yang tercermin dalam besarnya kontribusi Coklat sektor kehutanan dalam PDRB, nilai deplesi kayu hutan, dan niai degradasi lingkungan sebagai akibat penebangan kayu hutan, maka dapat dilihat bahwa total nilai deplesi dan degradasi hutan kurang lebih sekitar 30 % dari nilai kontribusi Coklat sektor kehutanan dalam PDRB. Hal ini berarti bahwa nilai atau harga yang selama ini digunakan untuk menilai kayu hutan masih jauh lebih rendah dari nilai InoVasi Volume 9: April 2014 Page 343

23 sebagai suatu ekosistem diabaikan dan dianggap tidak memiliki nilai. transportasi air, keanekaragaman hayati, serta memiliki nilai lainnya yaitu nilai opsi yang dihitung dengan memasukkan nilai deplesi dan degradasi sumberdaya alam kerusakan fungsi lingkungan sebesar 100% sedangkan untuk skenario yang ke dua Tabel 15. Nilai Kontribusi Sektor Kehutanan pada PDRB, atau fungsi hutan yang terkandung dalam kayu. Dengan kata lain, fungsi hutan Kegiatan sektor kehutanan di Kabupaten Blora terutama dilakukan dalam bentuk penebangan pohon kayu jati kalaupun ada penebangan kayu rimba jenis kayu lainnya hal itu sifatnya hanya kayu ikutan. Seperti telah dibahas di Bab III bahwa hutan selain menghasilkan kayu juga mempunyai nilai fungsi lingkungan yang lain yaitu fungsi penyerap karbon, pencegah banjir, konservasi air dan tanah, dan nilai keberadaan, dengan melihat hal tersebut maka selanjutnya dilakukan penghitungan kontribusi hijau sektor kehutanan pada PDRB. Kontribusi hijau sektor kehutanan adalah besarnya nilai tambah sektor kehutanan dari kegiatan produksi dan lingkungan yang ditimbulkan oleh karena adanya kegiatan di sektor kehutanan dan kegiatan sektor industri pengolahan kayu dan hasil hutan lain. Adapun besarnya nilai kontribusi hijau maupun kontribusi riil sektor kehutanan tampak seperti pada Tabel 15. dan Tabel 16. Dalam penghitungan nilai kontribusi hijau maupun kontribusi riil sektor kehutanan dilakukan dengan dua skenario yaitu skenario yang pertama diasumsikan bahwa dari luas areal tebangan hutan terjadi diasumsikan bahwa dari luas areal penebangan tersebut fungsi lingkungannya hanya rusak 50% karena dari areal penebangan kayu yang ada tidak ditebang semua kayunya. Skenario I Deplesi Kayu, Degradasi Lingkungan, dan Nilai Kontribusi Riil Sektor Kehutanan pada PDRB di Kabupaten Blora(Rp. Milyar) No. URAIAN Kontribusi sub sektor kehutanan pada PDRB Kontribusi Industri pengolahan kayu dan hasil hutan pada PDRB Kontribusi sektor kehutanan pada PDRB 324,73 378,65 426, ,73 378,65 426,66 InoVasi Volume 9: April 2014 Page 344

24 Nilai Deplisi Sektor kehutanan Kontribusi Semi Hijau sektor kehutanan pada PDRB Degradasi Sub Sektor Kehutanan Degradasi Industri Pengolahan Kayu 68,75 59,90 107,57 255,98 318,75 319,09 41,00 36,11 61, Degradasi 41,00 36,11 61,17 9. Depresiasi 109,75 96,02 168,75 Kontribusi Hijau sektor kehutanan pada PDRB Kontribusi riil sektor kehutanan STIE 10. Sumber : data diolah 11. Skenario II 214,98 282,64 257,91 434,49 474,67 595,41 Tabel 16. Nilai Kontribusi Sektor Kehutanan pada PDRB, Deplesi Kayu, Degradasi Lingkungan, dan Nilai Kontribusi Riil Sektor Kehutanan pada PDRB di Kabupaten Blora(Rp. Milyar) No. URAIAN Kontribusi sub sektor 324,73 378,65 426,66 kehutanan pada PDRB pada PDRB Kontribusi Industri pengolahan kayu dan hasil hutan pada PDRB Kontribusi sektor kehutanan Nilai Deplisi Sektor kehutanan Kontribusi Semi Hijau sektor kehutanan pada PDRB Degradasi Sub Sektor Kehutanan Degradasi Industri Pengolahan Kayu ,73 378,65 426,66 68,75 59,90 107,57 255,98 318,75 319,09 20,50 18,06 30, Degradasi 20,50 18,06 30,59 9. Depresiasi 89,25 77,96 138, Kontribusi Hijau sektor kehutanan pada PDRB 11. Kontribusi riil sektor kehutanan Sumber : data diolah 235,48 300,69 288,50 413,99 456,61 564,82 InoVasi Volume 9: April 2014 Page 345

25 Seperti kita ketahui bahwa sumberdaya hutan dianggap sebagai salah satu sumber pendapatan negara yang nilainya dihitung sebagai nilai tambah dalam penghitungan PDB Coklat maupun PDRB Coklat. Besarnya kontribusi Coklat sektor kehutanan pada PDRB yang selama ini dihitung oleh BPS hanya menyajikan nilai produksi dari kayu hutan yang diambil saja. Cara pandang yang selama ini hanya menilai hutan dari sisi ekonomi saja akan membawa pada arah kebijakan yang keliru. Dengan menghitung nilai deplesi atas berkurangnya modal alam akibat adanya penebangan di mana penghitungannya dilakukan dengan mencari nilai unit untuk tahun 2004 (lihat Tabel rent untuk masing-masing jenis kayu, maka pada tahun 2002 diperoleh nilai deplisi sebesar Rp. 68,75 milyar, Rp. 59,90 milyar untuk tahun 2003, dan Rp. 107,57 milyar 15. dan Tabel 16.) yang besarnya sama antara skenario I dan skenario II. Di samping nilai deplisi tersebut juga terdapat nilai degradasi lingkungan yang timbul akibat adanya kegiatan penebangan kayu juga dihitung dan hasilnya dari tahun 2002 hingga 2004 berturut-turut adalah Rp. 41,00 milyar, Rp. 36,11 milyar, Rp. 61,77 milyar untuk skenario I sedangkan skenario II adalah sebesar Rp. 20,50 milyar, Rp. 18,06 milyar, dan Rp. 30,59 milyar. Sedangkan nilai degradasi yang diakibatkan dari kegiatan industri pengolahan kayu dan hail hutan lain belum muncul dikarenakan di Kabupaten Blora kegiatan yang ada nilai deplesi yang diperoleh harus dikurangkan dari nilai tambah sektor kehutanan. adalah industri kayu mebel (funiture) yang kegiataannya relatif belum mencemari lingkungan. Untuk mendapatkan nilai kontribusi semi hijau sektor kehutanan maka Sedangkan untuk memperoleh nilai kontribusi hijau sektor kehutanan maka nilai kontribusi semi hijau harus dikurangi lagi dengan nilai degradasi lingkungan yang tercipta. Tampak pada Tabel 15. maupun Tabel 16. bahwa hasil penghitungan tersebut menciptakan nilai yang lebih kecil apabila dibandingkan kontribusi coklat sektor kehutanan yang selama ini dihitung dalam PDRB Kabupaten Blora. Apabila nilai deplesi dan degradasi lingkungan dimasukkan dalam penghitungan, maka kontribusi hijau sektor kehutanan dari tahun 2000 hingga 2003 menjadi sebesar berturut-turut sebesar (Rp. 214,98 milyar), (Rp. 282,64 milyar), dan (Rp 257,91 milyar) untuk skenario I dan sebesar (Rp. 235,48 milyar), (Rp. 300,69 milyar), dan (Rp 288,50 milyar) untuk skenario II. InoVasi Volume 9: April 2014 Page 346

26 Apabila nilai kontribusi coklat, deplisi dan degradasi (depresiasi) sektor kehutanan digabungkan atau dijumlahkan maka dapat dilihat pada Tabel 15. dan Tabel 16. bahwa sesungguhya kontribusi riil sektor kehutanan dan industri pengolahan kayu dan hasil hutan lainnya pada pembangunan kabupaten Blora dari tahun 2002 hingga 2004 berturut-turut adalah sebesar Rp. 434,49 milyar, 474,67 milyar, dan Rp. 595,41 milyar untuk skenario I dan Rp. 413,99 milyar, Rp. 456,61 milyar, dan Rp. 564,82 milyar untuk skenario II. Oleh karena itu, cara pandang bagi penentu kebijakan harus segera diubah yaitu tidak hanya menilai sumberdaya hutan dari sisi ekonomi saja yang tercermin dari nilai tambah yang tercipta dari kegiatan produksi baik penebangan maupun pengolahan industri berbahan dasar kayu, tetapi kontribusi sektor kehutanan terdiri dari nilai tambah dari kegiatan produksi ditambah Rp. harus menghitung bahwa nilai penyusutan modal alam (deplesi) dan nilai kemampuan hutan mencegah kerusakan lingkungan (degradasi) dikurangi nilai pencemaran yang diakibatkan dari kegiatan industri pengolahan kayu dan hasil hutan. InoVasi Volume 9: April 2014 Page 347

PDRB HIJAU (KONSEP DAN METODOLOGI )

PDRB HIJAU (KONSEP DAN METODOLOGI ) PDRB HIJAU (KONSEP DAN METODOLOGI ) Oleh: M. Suparmoko Materi disampaikan pada Pelatihan Penyusunan PDRB Hijau dan Perencanaan Kehutanan Berbasis Penataan Ruang pada tanggal 4-10 Juni 2006 1 Hutan Indonesia

Lebih terperinci

VALUASI EKONOMI 3.1 Perkiraan Luas Tutupan Hutan 1

VALUASI EKONOMI 3.1 Perkiraan Luas Tutupan Hutan 1 VALUASI EKONOMI Dalam menentukan kontribusi suatu sektor kegiatan ekonomi terhadap pembangunan nasional pada umumnya dinyatakan dalam nilai uang yang kemudian dikonversi dalam nilai persentase. Setiap

Lebih terperinci

KONTRIBUSI HIJAU SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB DAN PEMBANGUNAN REGIONAL KABUPATEN BATANG HARI PROVINSI JAMBI 1

KONTRIBUSI HIJAU SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB DAN PEMBANGUNAN REGIONAL KABUPATEN BATANG HARI PROVINSI JAMBI 1 KONTRIBUSI HIJAU SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB DAN PEMBANGUNAN REGIONAL KABUPATEN BATANG HARI PROVINSI JAMBI 1 Oleh: Yugi Setyarko *) 1 Disarikan dari hasil penelitian, Penyusunan Kontribusi Hijau Sektor

Lebih terperinci

Pengertian Produk Domestik Bruto

Pengertian Produk Domestik Bruto KONTRIBUSI KEHUTANAN TERHADAP PRODUK DOMESTIK BRUTO 1 Dodik Ridho Nurrochmat 2 Pengertian Produk Domestik Bruto Neraca pendapatan nasional (national income accounting) merupakan salah satu inovasi penting

Lebih terperinci

PDRB HIJAU SEKTOR KEHUTANAN MELALUI PENDEKATAN NILAI EKONOMI JASA LINGKUNGAN. Emi Roslinda

PDRB HIJAU SEKTOR KEHUTANAN MELALUI PENDEKATAN NILAI EKONOMI JASA LINGKUNGAN. Emi Roslinda PDRB HIJAU SEKTOR KEHUTANAN MELALUI PENDEKATAN NILAI EKONOMI JASA LINGKUNGAN Emi Roslinda Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Pontianak Email : eroslinda71@gmail.com ABSTRAK Secara konvensional

Lebih terperinci

perkembangan semua sektor-sektor ekonomi yang sektor industri, sektor perhubungan, sektor ekonomi bagi sektor-sektor yang mengelola terintegrasi.

perkembangan semua sektor-sektor ekonomi yang sektor industri, sektor perhubungan, sektor ekonomi bagi sektor-sektor yang mengelola terintegrasi. INTEGRASI ANTARA ASPEK LINGKUNGAN DAN EKONOMI DALAM PENGHITUNGAN PDRB HIJAU PADA SEKTOR KEHUTANAN DI KABUPATEN KARANGASEM PROVINSI BALI Made Suyana Utama Fakultas Ekonomi Universitas Udayana Abstract In

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN I. 1. Perumusan Masalah

BAB I. PENDAHULUAN I. 1. Perumusan Masalah BAB I. PENDAHULUAN I. 1. Perumusan Masalah Hutan menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 adalah suatu kesatuan wilayah yang terdiri dari tegakan pohon dan faktor-faktor abiotis seperti, air, udara, tanah,

Lebih terperinci

PDRB HIJAU KOTA DEPOK 2014

PDRB HIJAU KOTA DEPOK 2014 9399002.3276 PDRB HIJAU KOTA DEPOK 2014 PDRB HIJAU KOTA DEPOK TAHUN 2014 No. Publikasi / Publication Number : 3276.0702 No. Katalog / Catalog Number : 9399002. 3276 Ukuran Buku / Book Size Jumlah Halaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Ketiadaan hak kepemilikan (property right) pada sumberdaya alam mendorong terjadinya

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Uraian dalam Bab ini menjelaskan hasil pengolahan data dan pembahasan terhadap 4 (empat) hal penting yang menjadi fokus dari penelitian ini, yaitu: (1) peranan sektor kehutanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sumberdaya hutan tropis yang dimiliki negara Indonesia, memiliki nilai dan peranan penting yang bermanfaat dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Manfaat yang didapatkan

Lebih terperinci

GAMBARAN SINGKAT TENTANG KETERKAITAN EKONOMI MAKRO DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM DI TIGA PROVINSI KALIMANTAN. Oleh: Dr. Maria Ratnaningsih, SE, MA

GAMBARAN SINGKAT TENTANG KETERKAITAN EKONOMI MAKRO DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM DI TIGA PROVINSI KALIMANTAN. Oleh: Dr. Maria Ratnaningsih, SE, MA GAMBARAN SINGKAT TENTANG KETERKAITAN EKONOMI MAKRO DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM DI TIGA PROVINSI KALIMANTAN Oleh: Dr. Maria Ratnaningsih, SE, MA September 2011 1. Pendahuluan Pulau Kalimantan terkenal

Lebih terperinci

STRUKTUR EKONOMI DAN SEKTOR UNGGULAN KABUPATEN JEPARA. M. Zainuri

STRUKTUR EKONOMI DAN SEKTOR UNGGULAN KABUPATEN JEPARA. M. Zainuri STRUKTUR EKONOMI DAN SEKTOR UNGGULAN KABUPATEN JEPARA Universitas Muria Kudus, Gondangmanis Bae, Po Box 53, Kudus 59352 Email: zainuri.umk@gmail.com Abstract The economic structure of Jepara regency shown

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Permasalahan yang sering dihadapi dalam perencanaan pembangunan adalah adanya ketimpangan dan ketidakmerataan dalam pembangunan. Salah satu penyebabnya adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan sumber daya alam yang menyimpan kekayaan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam lain yang terdapat di atas maupun di bawah tanah. Definisi hutan

Lebih terperinci

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 65 V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 5.1. Gambaran Umum dan Hasil dari Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Kabupaten Musi Rawas Tahun 2010 Pada bab ini dijelaskan

Lebih terperinci

I. PENDAHUL'CJAN Latar Belakang

I. PENDAHUL'CJAN Latar Belakang I. PENDAHUL'CJAN 1.1. Latar Belakang Selama tiga dekade terakhir, sumber daya hutan telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi nasional, yang memberi dampak positif terhadap peningkatan devisa, penyerapan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan salah satu kelompok hutan tropis ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Zaire, yang mempunyai fungsi utama sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa hutan adalah

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa hutan adalah BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa hutan adalah kesatuan ekosistem sumber daya alam hayati beserta lingkungannya yang tidak terpisahkan. Hutan merupakan

Lebih terperinci

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional Dalam penerbitan buku Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Tegal Tahun 2012 ruang lingkup penghitungan meliputi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekonomi tidak akan pernah ada tanpa sumberdaya alam dan lingkungan karena setiap aktivitas ekonomi pastilah bersentuhan dengan salah satu atau bahkan keduanya sekaligus.

Lebih terperinci

Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Berau selama dua tahun ini seiring dan. sejalan dengan perkembangan ekonomi nasional yaitu mengalami pertumbuhan yang

Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Berau selama dua tahun ini seiring dan. sejalan dengan perkembangan ekonomi nasional yaitu mengalami pertumbuhan yang BAB III TINJAUAN EKONOMI KABUPATEN BERAU 3.1. Tinjauan Umum Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Berau selama dua tahun ini seiring dan sejalan dengan perkembangan ekonomi nasional yaitu mengalami pertumbuhan

Lebih terperinci

D a f t a r I s i. iii DAFTAR ISI. 2.8 Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 2.9 Sektor Jasa-Jasa 85

D a f t a r I s i. iii DAFTAR ISI. 2.8 Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 2.9 Sektor Jasa-Jasa 85 D a f t a r I s i Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Grafik Daftar Tabel DAFTAR ISI Daftar Tabel Pokok Produk Domestik Regional Bruto Kota Samarinda Tahun 2009-2011 BAB I PENDAHULUAN 1 1.1. Umum 1 1.2. Konsep

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang

BAB I PENDAHULUAN. dapat memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang tidak ternilai harganya dan dapat memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang

Lebih terperinci

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU 6.1. Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku Aktivitas atau kegiatan ekonomi suatu wilayah dikatakan mengalami kemajuan,

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Pendekatan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan metode valuasi ekonomi. Konsep metode valuasi ekonomi ini merupakan suatu konsep penghitungan digunakan

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 Nomor Katalog : 9302001.9416 Ukuran Buku : 14,80 cm x 21,00 cm Jumlah Halaman

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang secara komprehensif dapat digunakan untuk

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kajian Penelitian Peranan Ekonomi Kehutanan Peranan ekonomi kehutanan antara lain dapat ditunjukkan oleh kontribusi manfaat pengusahaan hutan alam dalam peningkatan devisa,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terletak pada 113 0 44-119 0 00 BT dan 4 0 24 LU-2 0 25 LS. Kalimantan Timur merupakan

Lebih terperinci

INDIKATOR EKONOMI PROVINSI JAMBI TAHUN

INDIKATOR EKONOMI PROVINSI JAMBI TAHUN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Salah satu sasaran rencana pembangunan nasional adalah pembangunan disegala bidang dan mencakup seluruh sektor ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No. 41

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No. 41 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang

Lebih terperinci

REVITALISASI KEHUTANAN

REVITALISASI KEHUTANAN REVITALISASI KEHUTANAN I. PENDAHULUAN 1. Berdasarkan Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Tahun 2004-2009 ditegaskan bahwa RPJM merupakan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi Kalimantan Timur dan berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia. Kabupaten Malinau

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) merupakan salah satu penghasil batubara terbesar di Indonesia. Deposit batubara di Kalimantan Timur mencapai sekitar 19,5 miliar ton

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Potensi sumber daya alam Indonesia sangat melimpah, antara lain potensi

BAB I PENDAHULUAN. Potensi sumber daya alam Indonesia sangat melimpah, antara lain potensi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi sumber daya alam Indonesia sangat melimpah, antara lain potensi sumber daya alam dari kehutanan. Hasil hutan dapat dimanfaatkan sebesarbesarnya untuk kemakmuran

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBER NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG PENGENDALIAN PENEBANGAN POHON DI LUAR KAWASAN HUTAN KABUPATEN JEMBER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBER,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak awal tahun 1980-an peranan ekspor minyak dan gas (migas) terus

I. PENDAHULUAN. Sejak awal tahun 1980-an peranan ekspor minyak dan gas (migas) terus I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak awal tahun 1980-an peranan ekspor minyak dan gas (migas) terus mengalami penurunan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 1998 rasio ekspor terhadap

Lebih terperinci

Produk Domestik Bruto (PDB)

Produk Domestik Bruto (PDB) Produk Domestik Bruto (PDB) Gross Domestic Product (GDP) Jumlah nilai produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh unitunit produksi di dalam batas wilayah suatu negara (domestik) selama satu tahun.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan memiliki peranan penting bagi kehidupan manusia, baik yang berupa manfaat ekonomi secara langsung maupun fungsinya dalam menjaga daya dukung lingkungan. Hutan

Lebih terperinci

Pendapatan Nasional dan Perhitungannya. Oleh Ruly Wiliandri, SE., MM

Pendapatan Nasional dan Perhitungannya. Oleh Ruly Wiliandri, SE., MM Pendapatan Nasional dan Perhitungannya Oleh Ruly Wiliandri, SE., MM Pendapatan Nasional Pengertian Pendapatan Nasional dapat ditinjau dari sudut pandang berikut: 1. Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross

Lebih terperinci

PENDAPATAN REGIONAL REGIONAL INCOME

PENDAPATAN REGIONAL REGIONAL INCOME PENDAPATAN REGIONAL REGIONAL INCOME PENJELASAN TEKNIS 1. Metodologi penghitungan pendapatan regional yang dipakai mengikuti buku petunjuk BPS Sistem Neraca Nasional. 2. Pengertian Produk Domestik Bruto

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bentuk kenaikan pendapatan nasional. Cara mengukur pertumbuhan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. bentuk kenaikan pendapatan nasional. Cara mengukur pertumbuhan ekonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai macam industri yang secara tidak langsung menggambarkan tingkat ekonomi yang terjadi. Bagi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hal luasnya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ke-3 setelah Brazil dan

BAB I PENDAHULUAN. hal luasnya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ke-3 setelah Brazil dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagian dari hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Dalam hal luasnya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ke-3 setelah Brazil dan Republik

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN LARANGAN EKSPOR KAYU BULAT TERHADAP SEKTOR KEHUTANAN INDONESIA. Oleh: E.G. Togu Manurung, Ph.D.

DAMPAK KEBIJAKAN LARANGAN EKSPOR KAYU BULAT TERHADAP SEKTOR KEHUTANAN INDONESIA. Oleh: E.G. Togu Manurung, Ph.D. DAMPAK KEBIJAKAN LARANGAN EKSPOR KAYU BULAT TERHADAP SEKTOR KEHUTANAN INDONESIA Oleh: E.G. Togu Manurung, Ph.D. Sehubungan dengan rencana Departemen Kehutanan untuk membuka keran ekspor kayu bulat di tengah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006 BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006 4.1. Gambaran Umum inerja perekonomian Jawa Barat pada tahun ini nampaknya relatif semakin membaik, hal ini terlihat dari laju pertumbuhan ekonomi Jawa

Lebih terperinci

KODEFIKASI RPI 25. Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan

KODEFIKASI RPI 25. Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan KODEFIKASI RPI 25 Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan Lembar Pengesahan Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan 851 852 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014

Lebih terperinci

PENGHITUNGAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO SEKTOR KEHUTANAN

PENGHITUNGAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO SEKTOR KEHUTANAN PENGHITUNGAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO SEKTOR KEHUTANAN Disajikan Dalam Rapat Rekonsialiasi Data dan Informasi Kehutanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2017 Dr. Ir. Suhaeri Pusat Data dan

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORI DAN KONSEP. pendapatan perkapita riil penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka

BAB II KERANGKA TEORI DAN KONSEP. pendapatan perkapita riil penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka BAB II KERANGKA TEORI DAN KONSEP 2.1.Pembangunan Ekonomi Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita riil penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang (Sukirno

Lebih terperinci

PENDAPATAN REGIONAL REGIONAL INCOME

PENDAPATAN REGIONAL REGIONAL INCOME PENDAPATAN REGIONAL REGIONAL INCOME PENJELASAN TEKNIS 1. Metodologi penghitungan pendapatan regional yang dipakai mengikuti buku petunjuk BPS Sistem Neraca Nasional. 2. Pengertian Produk Domestik Bruto

Lebih terperinci

Sidang Pendadaran, 24 Desember 2016 Prodi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis ~VK

Sidang Pendadaran, 24 Desember 2016 Prodi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis ~VK Sidang Pendadaran, 24 Desember 2016 Prodi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis ~VK RAFIKA DEWI Fakultas Ekonomi dan Bisnis Prodi Ilmu Ekonomi 2016 Dosen pembimbing: Bapak Ahmad Ma ruf, S.E., M.Si.

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA TANGERANG

PEMERINTAH KOTA TANGERANG CHAPTER XIV REGIONAL INCOME Penjelasan Teknis Catatan Teknis 1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada tingkat regional (provinsi dan kabupaten/kota) menggambarkankemampuansuatu wilayah untuk menciptakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1)

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) TINJAUAN PUSTAKA Definisi Hutan Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut Undang- Undang tersebut, hutan adalah

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007 BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007 4.1. Gambaran Umum awa Barat adalah provinsi dengan wilayah yang sangat luas dengan jumlah penduduk sangat besar yakni sekitar 40 Juta orang. Dengan posisi

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA TANGERANG

PEMERINTAH KOTA TANGERANG CHAPTER XIV REGIONAL INCOME Penjelasan Teknis Catatan Teknis 1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada tingkat regional (provinsi dan kabupaten/kota) menggambarkan kemampuan suatu wilayah untuk menciptakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan basis perekonomiannya berasal dari sektor pertanian. Hal ini disadari karena perkembangan pertanian merupakan prasyarat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1)

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) TINJAUAN PUSTAKA Definisi Hutan Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut Undangundang tersebut, hutan adalah suatu

Lebih terperinci

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional Dalam penerbitan buku tahun 2013 ruang lingkup penghitungan meliputi 9 sektor ekonomi, meliputi: 1. Sektor Pertanian

Lebih terperinci

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia Mata Pencaharian Penduduk Indonesia Pertanian Perikanan Kehutanan dan Pertambangan Perindustrian, Pariwisata dan Perindustrian Jasa Pertanian merupakan proses untuk menghasilkan bahan pangan, ternak serta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode

I. PENDAHULUAN. menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peran sub sektor kehutanan pada perekonomian nasional Indonesia cukup menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode Pembangunan Lima Tahun Pertama

Lebih terperinci

DAFTAR GAMBAR. Gambar 1.1 Kontribusi Sektor Kehutanan terhadap PDB Nasional Tahun

DAFTAR GAMBAR. Gambar 1.1 Kontribusi Sektor Kehutanan terhadap PDB Nasional Tahun DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Kontribusi Sektor Kehutanan terhadap PDB Nasional Tahun 2006--2012... 3 Gambar 1.2 Produksi Kayu Bulat per Provinsi di Pulau Jawa Tahun 2012... 5 Gambar 1.3 Jumlah Industri Kehutanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, DEFINISI DAN METODOLOGI

BAB II KONSEP, DEFINISI DAN METODOLOGI BAB II KONSEP, DEFINISI DAN METODOLOGI 1. KONSEP DAN DEFINISI Konsep-konsep yang digunakan dalam penghitungan Produk Regional Bruto (PDRB) adalah sebagai berikut : Domestik A. PRODUK DOMESTIK REGIONAL

Lebih terperinci

ANALISIS KONTRIBUSI SEKTOR INDUSTRI TERHADAP PDRB KOTA MEDAN

ANALISIS KONTRIBUSI SEKTOR INDUSTRI TERHADAP PDRB KOTA MEDAN ANALISIS KONTRIBUSI SEKTOR INDUSTRI TERHADAP PDRB KOTA MEDAN JASMAN SARIPUDDIN HASIBUAN Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara email : jasmansyaripuddin@yahoo.co.id ABSTRAK Sektor

Lebih terperinci

Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan: Peserta PPG kompeten dalam menganalisis Pendapatan Nasional.

Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan: Peserta PPG kompeten dalam menganalisis Pendapatan Nasional. PENDAPATAN NASIONAL Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan: Peserta PPG kompeten dalam menganalisis Pendapatan Nasional. Pokok-pokok Materi: 1. Konsep Pendapatan Nasional 2. Komponen Pendapatan Nasional 3.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia jugalah yang melakukan kerusakan di muka bumi ini dengan berbagai

BAB I PENDAHULUAN. manusia jugalah yang melakukan kerusakan di muka bumi ini dengan berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lingkungan yang bersih adalah dambaan setiap insan. Namun kenyataannya, manusia jugalah yang melakukan kerusakan di muka bumi ini dengan berbagai macam kegiatan yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Suryana (2000 : 3), mengungkapkan pembangunan ekonomi adalah suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu masyarakat

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR Pada bab ini dijelaskan mengenai gambaran umum SNSE Kabupaten Indragiri Hilir yang meliputi klasifikasi SNSE Kabupaten Indragiri

Lebih terperinci

PENDAPATAN REGIONAL REGIONAL INCOME BAB IX PENDAPATAN REGIONAL CHAPTER IX REGIONAL INCOME Struktur Ekonomi. 9.1.

PENDAPATAN REGIONAL REGIONAL INCOME BAB IX PENDAPATAN REGIONAL CHAPTER IX REGIONAL INCOME Struktur Ekonomi. 9.1. BAB IX PENDAPATAN REGIONAL CHAPTER IX 9.1. Struktur Ekonomi 9.1. Economy Structure Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah indikator utama perekonomian di suatu wilayah. PDRB atas dasar harga berlaku

Lebih terperinci

MENENTUKAN BESARNYA NILAI SEWA PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN M. Suparmoko Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Budi Luhur

MENENTUKAN BESARNYA NILAI SEWA PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN M. Suparmoko Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Budi Luhur MENENTUKAN BESARNYA NILAI SEWA PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN M. Suparmoko Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Budi Luhur Email: msuparmoko@yahoo.com Silvana Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Lebih terperinci

Tantangan dan strategi pembangunan berkelanjutan melalui pengelolaan sumberdaya alam dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi

Tantangan dan strategi pembangunan berkelanjutan melalui pengelolaan sumberdaya alam dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi Tantangan dan strategi pembangunan berkelanjutan melalui pengelolaan sumberdaya alam dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi Elham Sumarga Rapat Konsultasi Analisis Ekonomi Regional PDRB se-kalimantan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki wilayah hutan yang luas, yaitu sekitar 127 juta ha. Pulau Kalimantan dan Sumatera menempati urutan kedua dan ketiga wilayah hutan

Lebih terperinci

PENDAPATAN REGIONAL REGIONAL INCOME

PENDAPATAN REGIONAL REGIONAL INCOME PENDAPATAN REGIONAL REGIONAL INCOME NUSA TENGGARA BARAT DALAM ANGKA 2013 NUSA TENGGARA BARAT IN FIGURES 2013 Pendapatan Regional/ BAB XI PENDAPATAN REGIONAL CHAPTER XI REGIONAL INCOME Produk Domestik

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri pengolahan kayu merupakan salah satu sektor penunjang perekonomian di Provinsi Jawa Timur. Hal ini terlihat dengan nilai ekspor produk kayu dan barang dari

Lebih terperinci

ekonomi K-13 PENDAPATAN NASIONAL K e l a s A. KONSEP PENDAPATAN NASIONAL Semester 1 Kelas XI SMA/MA K-13 Tujuan Pembelajaran

ekonomi K-13 PENDAPATAN NASIONAL K e l a s A. KONSEP PENDAPATAN NASIONAL Semester 1 Kelas XI SMA/MA K-13 Tujuan Pembelajaran K-13 ekonomi K e l a s XI PENDAPATAN NASIONAL Semester 1 Kelas XI SMA/MA K-13 Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mampu memahami konsep pendapatan nasional, metode penghitungan

Lebih terperinci

PERANAN SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP PEREKONOMIAN KABUPATEN ROKAN HILIR: ANALISIS STRUKTUR INPUT-OUTPUT

PERANAN SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP PEREKONOMIAN KABUPATEN ROKAN HILIR: ANALISIS STRUKTUR INPUT-OUTPUT PERANAN SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP PEREKONOMIAN KABUPATEN ROKAN HILIR: ANALISIS STRUKTUR INPUT-OUTPUT THE ROLE OF THE AGROINDUSTRY SECTOR TO ECONOMY OF KABUPATEN ROKAN HILIR ANALYSIS OF THE INPUT-OUTPUT

Lebih terperinci

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja Oleh: Putri Amelia 2508.100.020 Dosen Pembimbing: Prof. Dr. Ir. Budisantoso

Lebih terperinci

Katalog BPS :

Katalog BPS : Katalog BPS : 9902008.3373 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KOTA SALATIGA TAHUN 2011 KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas terbitnya publikasi Produk Domestik Regional Bruto Kota Salatiga

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2000 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2000 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2000 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2000 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Menghitung PDRB Hijau di Kabupaten Bandung

Menghitung PDRB Hijau di Kabupaten Bandung ISSN : 205-421 Menghitung PDRB Hijau di Kabupaten Bandung Randy Maulana Institut Teknologi Bandung E-mail : maulana.randy@fe.unpad.ac.id Abstrak. Ekonomi hijau menunjukan hubungan antara degradasi lingkungan,

Lebih terperinci

PERANAN SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP PEREKONOMIAN PROVINSI RIAU: ANALISIS STRUKTUR INPUT-OUTPUT

PERANAN SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP PEREKONOMIAN PROVINSI RIAU: ANALISIS STRUKTUR INPUT-OUTPUT PERANAN SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP PEREKONOMIAN PROVINSI RIAU: ANALISIS STRUKTUR INPUT-OUTPUT THE ROLE OF THE AGROINDUSTRY SECTOR TO ECONOMY OF RIAU PROVINCE: ANALYSIS OF THE INPUT-OUTPUT STRUCTURE Pradita

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ekonomi. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya

I. PENDAHULUAN. ekonomi. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan adalah sumberdaya alam yang siap dikelola dan dapat memberikan manfaat ganda bagi umat manusia baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi. Manfaat hutan

Lebih terperinci

Pendapatan Regional/ Regional Income

Pendapatan Regional/ Regional Income Nusa Tenggara Barat in Figures 2012 559 560 Nusa Tenggara in Figures 2012 BAB XI PENDAPATAN REGIONAL CHAPTER XI REGIONAL INCOME Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku pada tahun

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN IV/2012 DAN TAHUN 2012

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN IV/2012 DAN TAHUN 2012 No. 06/02/62/Th. VII, 5 Februari 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN IV/2012 DAN TAHUN 2012 Perekonomian Kalimantan Tengah triwulan IV-2012 terhadap triwulan III-2012 (Q to Q) secara siklikal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menjadi sumber pendapatan bagi beberapa negara di dunia. Pada tahun 2011,

I. PENDAHULUAN. menjadi sumber pendapatan bagi beberapa negara di dunia. Pada tahun 2011, I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Industri pariwisata saat ini sudah menjadi salah satu primadona dunia dan menjadi sumber pendapatan bagi beberapa negara di dunia. Pada tahun 2011, United Nations World

Lebih terperinci

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN MALUKU UTARA

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN MALUKU UTARA VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN MALUKU UTARA 6.1. Perkembangan Peranan dan Pertumbuhan Ekonomi Sektoral Maluku Utara Kemajuan perekonomian daerah antara lain diukur dengan: pertumbuhan

Lebih terperinci

PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2000 TENTANG

PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2000 TENTANG PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2000 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2000 UMUM Anggaran

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN II-2011

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN II-2011 No. 06/08/62/Th. V, 5 Agustus 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN II-2011 Pertumbuhan ekonomi Kalimantan Tengah triwulan I-II 2011 (cum to cum) sebesar 6,22%. Pertumbuhan tertinggi pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

Dari hasil perhitungan PDRB Kota Bandung selama periode dapat disimpulkan sebagai berikut :

Dari hasil perhitungan PDRB Kota Bandung selama periode dapat disimpulkan sebagai berikut : Penyajian statistik Produk Domestik Regional Bruto dapat digunakan sebagai bahan perencanaan pembangunan nasional dan regional khususnya di bidang ekonomi karena angka-angkanya dapat dipakai sebagai ukuran

Lebih terperinci

VI. DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR EKSTERNAL. Kebijakan makroekonomi yang dianalisis adalah kebijakan moneter, yaitu

VI. DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR EKSTERNAL. Kebijakan makroekonomi yang dianalisis adalah kebijakan moneter, yaitu VI. DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR EKSTERNAL 6.1. Dampak Kebijakan Makroekonomi Kebijakan makroekonomi yang dianalisis adalah kebijakan moneter, yaitu penawaran uang, dan kebijakan fiskal, yaitu

Lebih terperinci

8.1. Keuangan Daerah APBD

8.1. Keuangan Daerah APBD S alah satu aspek pembangunan yang mendasar dan strategis adalah pembangunan aspek ekonomi, baik pembangunan ekonomi pada tatanan mikro maupun makro. Secara mikro, pembangunan ekonomi lebih menekankan

Lebih terperinci

Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah

Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah Negara Indonesia yang terdiri dari 17.058 pulau itu memiliki keanekaragaman tumbuhan, hewan jasad renik yang lebih besar daripada negara-negara tetangganya.

Lebih terperinci

NSDA DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN. Deputi Bappenas Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup

NSDA DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN. Deputi Bappenas Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup NSDA DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Deputi Bappenas Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Sambutan dalam Rapat Koordinasi/Temu Karya Nasional Penyusunan Neraca Sumberdaya Alam Daerah Kemendagri,

Lebih terperinci

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 /

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 / BAB II METODOLOGI Dalam penyusunan publikasi Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Lamandau dipakai konsep dan definisi yang selama ini digunakan oleh BPS di seluruh Indonesia. Konsep dan definisi tersebut

Lebih terperinci

JURNAL GAUSSIAN, Volume 2, Nomor 3, Tahun 2013, Halaman Online di:

JURNAL GAUSSIAN, Volume 2, Nomor 3, Tahun 2013, Halaman Online di: JURNAL GAUSSIAN, Volume 2, Nomor 3, Tahun 2013, Halaman 219-228 Online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/gaussian ANALISIS SEKTOR UNGGULAN MENGGUNAKAN DATA PDRB (Studi Kasus BPS Kabupaten Kendal

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA No. 52/ V / 15 Nopember 2002 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA INDONESIA TRIWULAN III TAHUN 2002 TUMBUH 2,39 PERSEN Indonesia pada triwulan III tahun 2002 meningkat sebesar 2,39 persen terhadap triwulan II

Lebih terperinci