1 Lihat pada skema 1.1. Denah lokasi pagelaran luar dan pagelaran dalam, bab I, hal.2.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "1 Lihat pada skema 1.1. Denah lokasi pagelaran luar dan pagelaran dalam, bab I, hal.2."

Transkripsi

1 Bab.III. PERGELARAN WAYANG KULIT PURWA JAWA, GAYA YOGYAKARTA. LAKON PARTA KRAMA 3.1. Peran Pertunjukan Wayang Kulit Dalam Seni Budaya Yogyakarta Kehidupan dan perkembangan pakeliran di Jawa. Sebelum kemerdekaan hingga kemerdekaan, penyelenggaraan pertunjukan wayang masih dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan ritual agraris atau feodalisme. Pada masa itu, kehidupan pakeliran di Jawa, terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur, menggunakan pakem murni dari keraton. Terdapat beberapa sekolah pedalangan di Kasultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran, yang telah menyusun pakem pedalangan, yang berisi tentang panduan teknis untuk para dalang dan calon dalang. Isi dari pakem tersebut adalah, 1) petunjuk penggunaan bahasa wayang, gendhing, sulukan, bangunan lakon; 2) contoh-contoh tentang ringkasan lakon dan wacana (baik narasi maupun cakapan); 3) persyaratan calon dalang yang baik dan larangan-larangan; serta 4) panduan cerita, baik berupa garis besar berurutan (lakon gancaran) maupun skenario lengkap (pakem pedalangan jangkep) (Serat Sastramiruda, dalam Sastra Jawa. 2001; Murtiyoso, dkk. 2004; Hadiprayitno K. 2004). Pakem, oleh keraton dipakai sebagai salah satu sarana untuk melestarikan nilai-nilai estetika pedalangan yang menyangkut sabet, catur, karawitan, dan lakon; dapat disikapi sebagai satu bentuk acuan bagi calon dalang. Pakem pedalangan ini semula diperuntukkan bagi calon dalang di lingkungan keraton, tetapi pada kenyataannya juga diikuti para dalang muda dari berbagai desa di sekitar. Kemudian kembali ke desanya masing-masing, menjadi dalang terkenal dengan tetap berpedoman pada pakem keraton yang sudah diperolehnya selama belajar. Akibatnya kehidupan pakeliran gaya kerakyatan yang bentuk ekspresi dan sifatnya lebih bebas, sederhana, serta lugas, yang sebelumnya sudah beredar di desa-desa, penggunaannya menjadi semakin menyusut, karena pakem keraton dianggap lebih bermutu. Sebab ekspresi pakeliran tradisi gaya Keraton dianggap memiliki nilai adiluhung. Wacana nilai Adiluhung itu sendiri berarti, tidak ada seorang dalang sehebat 100

2 apapun dia, dapat mengikuti alur yang sama persis dengan pakem yang ditentukan, karena memang gaya pakem sudah sangat tua. Seperti yang tersurat dalam Serat Sastramiruda karya Kangjeng Pangeran Arya Koesoemadilaga (de Bliksem, dalam Sastra Jawa, 2001). Pada perkembangannya kemudian, pakeliran Jawa, meskipun secara politis, keraton memang sudah tidak memiliki otoritas lagi, tetapi wibawanya di bidang seni pedalangan masih sangat luas. Karena dianggap sangat berat bagi para dalang, disamping alasan lain, pakem pedalangan keraton dianggap membekukan kreatifitas para dalang. Maka pada masa ini muncul Ki Nartasabda, yang semula mengacu pada pakem pakeliran gaya Surakarta, dengan berani mencampur aduk segala teknis dan gaya dari berbagai daerah, dalam adegan-adegan tertentu. Menekankan pada garapan dramatik ekspresi antawacana (dialog antar tokoh), menyelipkan lagu-lagu pop, musik keroncong, serta gendhinggendhing klasik dalam garapan kerawitannya. Cara-cara Ki Nartasabda dalam mengemas pakelirannya, banyak ditiru para dalang lain, hingga sekarang. Ki Nartasabda dikenal sebagai dalang pembaharu, yang berdampak pada selera para penonton hingga saat ini. Agaknya, penekanan pakeliran bentuk menghibur inilah yang selanjutnya mempunyai pengaruh luas terhadap wujud pertumbuhan dan perkembangan wayang dimasa-masa berikutnya. Hingga saat ini, masih ada semacam sentralisasi gaya pakeliran Ki Anom Suroto dan Ki Manteb Soedharsono yang mengacu pada pakeliran pakem keraton Surakarta. Menurut Bambang Murtiyoso (2004), para dalang muda, pada satu sisi berusaha meniru Ki Anom Suroto pada teknik penyajian suluk dan antawacana. Pada sisi lain berusaha meniru Ki Manteb Soedharsono, dalam hal teknik sabet dan garapan lakon serta karawitan, yang sudah sangat populer. Pada dasarnya mereka mengacu pada pakeliran padat, baik bentuk maupun teknik penyajian, dengan memasukkan alat musik nongamelan (bas drum, simbal, senar drum, clarinet, biola, dan key board organ). Teknik sabet yang lebih variatif, kemudian membuat, meniru, wayang-wayang baru untuk melengkapi kebutuhan. Serta memasukkan beberapa teknik perfilman yang dianggap relevan; misalnya: sound effect, lighting dan flashback. Hal ini terjadi dimungkinkan karena fungsi pakeliran telah 101

3 bergeser dari tujuan semula dipandang sebagai panutan dan falsafah hidup lebih berperan sebagai bentuk seni klangenan serta dijadikan wahana untuk mempertahankan nilai etika, devosional (memiliki nilai ibadah), estetika dan hiburan. Kemudian beralih kearah hiburan komersial, karena dampak kebutuhan pariwisata. Penelitian ini tidak memakai sampel dari pakeliran kedua tokoh dalang Surakarta tersebut, yang memiliki tingkat kepopuleran yang sangat tinggi, tetapi lebih memilih pakeliran tradisi gaya Yogyakarta, yang masih berbasis pada tradisi pakem pakeliran keraton yang dianggap adiluhung, dan sekaligus merakyat. Menurut Bambang Murtiyoso (2004), Meskipun garapan pakeliran Dalang Ki Timbul Hadiprayitno KMT Cermo Manggolo sudah lebih mengarah ke garapan hiburan yang sarat dengan gaya dagelan mataram dengan humornya yang kreatif. Masih tetap berbasis pakem tradisi gaya keraton Yogyakarta, sekaligus memiliki kualitas suara sangat bagus; dalam bahasa Jawa kung dan gandem serta, bernafas panjang (landhung). Penelitian bahasa rupa gerak bayangan pergelaran wayang kulit Purwa Jawa kali ini, memilih tradisi gaya Yogyakarta, karena masih ada dalang yang menggunakan pakem adiluhung tersebut, meskipun tidak persis benar. Pada penelitian bahasa rupa ini, masih diperlukan pengetahuan mendasar tentang bahasa rupa wayang kulit Purwa melalui pergelarannya karena berhubungan dengan konsep asli pada sabet (seluruh gerak wayang), yang berdasar pada lakon wayang. Adapun lakon wayang Purwa tradisi gaya Yogyakarta yang dijadikan obyek penelitian, adalah lakon wayang Parta Krama pentas dalang Ki Timbul Hadiprayitno KMT Cermo Manggolo. Pentas dalang Ki Timbul Hadiprayitno tersimpan dalam bentuk rekaman CD, dan merupakan pentas dari salah satu gaya dan versi lakon wayang dalam tradisi pewayangan Yogyakarta. Perkembangan pakeliran wayang meliputi unsur-unsur garap pakeliran yaitu: lakon, sabet (seluruh gerak wayang), catur (narasi dan cakapan), karawitan (gendhing, sulukan dan properti panggung). 1). Di dalam garap lakon, akan dibicarakan beberapa masalah tentang lakon yaitu: pengertian, pertumbuhan, dan perkembangan lakon wayang, penggolongan jenis, penyajian alur dan garap serta maknanya. 2). Bidang sabet, akan 102

4 dikemukakan tentang: sabet pada jejer, sabet adegan kedhatonan, sabet paseban jawi, sebet perang gagal dan sabet perang kembang. 3) Bidang catur membahas tentang pengertian, perubahan struktur ungkapan, perubahan penggunaan bahasa, dramatisasi dialog wayang, dan bentuk-bentuk inovasi imitatif dalam catur. 4). Bidang karawitan dan property antara lain; perangkat gamelan, gendhing, gendhing patalon, gendhing pokok atau baku, dan gara-gara, serta sulukan. Untuk kedua bidang, catur dan kerawitan hanya dipakai sebagai latar pelengkap obyek penelitian sehingga tidak banyak dibahas. Sedangkan bidang lakon dan bidang sabet, akan dibahas lebih lanjut, karena merupakan bagian penting dari bahasa rupa gambar 2 dimensi aspek gerak pada jagad pewayangan dari bayangan wayang kulit yang dimainkan oleh dalang (pagelaran wayang kulit luar ). Pagelaran wayang kulit yang disaksikan dari punggung dalang, disebut pagelaran wayang kulit dalam 1. Pengertian lakon Pertunjukan wayang kulit purwa, lazim disebut pakeliran. Jika orang melihat sebuah pertunjukan wayang, sebenarnya yang dilihat adalah pertunjukan lakon. Oleh karena itu, kedudukan lakon dalam pakeliran sangat penting sifatnya. Melalui garapan lakon, terungkap nilai-nilai kemanusiaan yang dapat memperkaya pengalaman kejiwaan. Dikalangan pedalangan pengertian Lakon sangat tergantung dengan konteks pembicaraannya. Lakon dapat diartikan alur cerita, atau judul cerita, atau dapat diartikan sebagai tokoh utama dalam cerita (Kuwato dalam Murtiyoso. 2004). Selain itu lakon merupakan salah satu kosakata bahasa Jawa, yang berasal dari kata laku yang artinya perjalanan atau cerita atau rentetan peristiwa (Murtiyoso. 2004). Jadi lakon wayang adalah perjalanan cerita wayang atau rentetan peristiwa wayang. Perjalanan cerita wayang ini berhubungan dengan tokoh-tokoh yang ditampilkan sebagai pelaku dalam pertunjukan sebuah lakon. Kemudian di dalam sebuah cerita wayang akan muncul permasalahan, konflik-konflik dan penyelesaiannya ini terbentang dari awal sampai akhir pertunjukan (jejer sampai dengan tancep kayon) dengan wujud kelompok unit-unit yang 1 Lihat pada skema 1.1. Denah lokasi pagelaran luar dan pagelaran dalam, bab I, hal

5 lebih kecil yang disebut adegan. Unit adegan yang satu dengan adegan yang lain, saling terkait, baik langsung maupun yang tidak langsung membentuk satu sistem yang disebut lakon. Judul lakon Judul lakon adalah suatu nama untuk menunjuk rentetan peristiwa tertentu. Fungsinya sebagai pembatas atau pembeda antara satu kelompok peristiwa, dengan kelompok peristiwa yang lain. Hal ini tampak jelas apabila judul lakon itu merupakan suatu bagian dari cerita besar, misalnya, cerita perang Baratayudha. Peristiwa kepergian Kresna ke Hastina sebagai duta dibatasi dalam judul Kresna Duta, peristiwa tampilnya Bisma ke medan perang sampai gugur, dibatasi dengan judul Bisma Gugur, begitu seterusnya. Meskipun lakon yang dipentaskan adalah lakon carangan 2, tetapi lakon itu tentu dikaitkan dengan suatu kehidupan tokoh wayang dalam episode tertentu. Misalnya, lakon carangan Parta Krama (Kisah Arjuna merebut Sumbadra), dalam pakeliran tradisi gaya keraton Yogyakarta, dibuat menjadi berseri, yakni Srikandi Maguru Manah, Abimanyu Lahir, Sumbadra Larung. Sedangkan lakon carangan Parta Krama diambil dari Kakawin Sumbadra Wiwaha, yang merupakan bagian dari Adiparwa 3 Pertumbuhan dan Perkembangan Lakon Lakon wayang sudah diketahui sejak tahun 907 seperti yang tersurat dalam prasasti Balitung (Zoetmulder. 1983). Dari isi prasasti Balitung dapat diketahui bahwa kedua epos besar yang berasal dari India yaitu wiracarita Mahabarata dan Ramayana telah dipertunjukkan pada masa itu. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya di Indonesia, epos Mahabarata dan Ramayana ini oleh para pujangga atau genius lokal telah dimodifikasi sedemikian rupa (penambahan dan perubahan) dalam kurun waktu yang sangat panjang untuk diselaraskan 2 Lakon carangan, adalah merupakan lakon yang digubah dari lakon pokok, yang kenudian dikembangkan sendiri. Bahkan bisa diurai lagi, menjadi cerita-cerita yang lain lagi. 3 Hasil wawancara dengan Kasidi Hadiprayitno, dosen pedhalangan Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, 8 Agustus 2006, berikut juga dari rujukan buku tulisan P.J. Zoetmulder

6 dengan situasi dan kondisi nilai budaya setempat. Oleh karena itu terdapat banyak hal yang tidak kita dapatkan dalam epos Mahabarata dan Ramayana yang asli, seperti misalnya tokoh Pancawala. Tokoh Pancawala ini di Indonesia adalah hasil perkawinan antara Drupadi dan Puntadewa, padahal dalam Mahabarata India kita ketahui Drupadi kawin dengan ke lima Pandawa dan dari hasil perkawinan itu lahirlah seorang anak lakilaki. Tokoh punakawan yaitu, Semar, Gareng, Petruk dan Bagong ternyata juga tidak didapatkan dalam epos India itu. Demikian juga lakon-lakon carangan termasuk sinkretisme (percampuran antara cerita Ramayana dan Mahabarata di dalam lakon pedalangan Jawa), juga tidak diketahui dalam cerita Ramayana dan Mahabarata yang asli. Banyak sumber lakon wayang purwa menjelaskan (Murtiyoso. 2004), bahwa Prabu Dharmawangsa Teguh, seorang raja yang bertahta di Jawa Timur (tahun ) menterjemahkan beberapa bagian dari Ramayana dan Mahabarata yang berbahasa Sansekerta ke dalam bahasa Jawa Kuna atau Kawi dalam bentuk prosa, diantaranya adalah, a. Utarakanda di antaranya berisi cerita tentang leluhur Dasamuka, Dasamuka Lahir, Arjuna Sastrabahu, dan cerita tentang Dewi Shinta. b. Adiparwa di antaranya berisi cerita Dewi Lara Amis, Bale Sigala-gala, Arimba Lena, Peksi Dewata, Kala Rahu (Rambu Culung atau terjadinya gerhana matahari), dan cerita lahir-lahiran termasuk perkawinan Arjuna dan Sumbadra. c. Subhaparwa berisi cerita Pandawa Dadu d. Wirathaparwa berisi cerita Jala Abilawa dan Wirarha Parwa e. Udyagaparwa di antaranya berisi cerita Kresna Gugah f. Bismaparwa berisi cerita Bisma Gugur dan lain-lain (Poerbatjaraka, 1952) Raja-raja Jawa yang lain setelah Prabu Dharmawangsa Teguh, setelah raja Kediri, Majapahit, Demak, Kartasura, dan Surakarta, banyak menghasilkan karya-karya sastra, diantaranya lakon-lakon wayang, seperti misalnya, lakon Kresna Kembang di ambil dari Kitab Kresnayana; lakon Ciptoning dari Kitab Arjunawiwaha; lakon Dasarata Lahir 105

7 diambil dari Kitab Sumanasantaka; Betara Gana Lahir diambil dari Smaradahana, dan lain sebagainya. Judul-judul lakon yang bersumber dari serat-serat seperti yang telah disebutkan, dan diantaranya masih dipentaskan oleh para dalang sampai sekarang. Namun sampai kurun waktu tertentu, wujud lakon di dalam pakeliran yang meliputi teknis pakeliran, alur lakon, bangunan lakon maupun garap lakonnya, baru dapat memperoleh gambaran, setelah munculnya pakem pedalangan-pedalangan di awal tahun 1930-an untuk panduan para siswa pedalangan, yang diprakarsa oleh Keraton Surakarta, Yogyakarta dan Mangkunegaran. Wujud pakeliran pada setiap generasi, sebelum dan sesudah adanya pakem, selalu mengalami perubahan, baik bentuk maupun isinya. Pada masa seputar kemerdekaan penyelenggaraan pertunjukan wayang terkait erat dengan kegiatan ritual, seperti suran, sedhekah bumi, sandranan dan semacamnya, maka lakon-lakon wayang yang beredar waktu itu kecuali lakon-lakon lama yang telah ada juga lakon-lakon ruwatan seperti Sudamala, Tudhungkala, Murwakala, Babat Wanamarta, Udan Mintaya dan lain-lain. Selain itu pertunjukan wayang juga digunakan untuk menyertai hajat yang berhubungan dengan daur hidup manusia, seperti mitoni, kelahiran, tetakan atau supitan, perkawinan, nyewu, dan sebagainya. Untuk hajat perkawinan lakon-lakon yang ditampilkan, adalah lakon-lakon raben, diantaranya Parta Krama, Wisanggeni Krama dan sejenisnya, juga untuk berbagai macam hajatan keluarga seringkali dipentaskan lakon jenis wahyu. Lakon-lakon wahyu ini, juga beredar di masyarakat pedalangan, misalnya, Makutharama, Purba Kayun, Trimanggala, Cangkir Gadhing, dan lain-lain. Kemudian pada perkembangannya muncul lakon-lakon baru yang disebut lakon carangan, dan ketentuan-ketentuan tersebut masih berlaku dan dimainkan oleh para dalang hingga saat ini. Pada perkembangannya kemudian dari hasil wawancara diperoleh keterangan bahwa hampir semua dalang mengaku, pernah menyusun, menggubah dan atau mencipta lakon. Lahirnya lakon-lakon carangan ini merupakan ekspresi seniman dalang yang terpacu oleh faktor internal dan eksternal untuk memenuhi tuntutan jaman, 106

8 karena lakon-lakon yang telah ada kemungkinan tidak lagi dapat menampung permasalahan-permasalahan yang ada di dalam masyarakatnya (Murtiyoso. 2006). Penggolongan jenis lakon Penggolongan jenis lakon wayang kulit purwa, dapat digolongkan menurut jenisnya, misalnya jenis wahyu, raben, lahir, mukswa dan lain-lain. Tujuan dari penggolongan jenis lakon yang dimaksudkan, adalah untuk memahami karakteristik lakon, yang sebelumnya (Murtiyoso. 2006) mengalami kesulitan dalam menggolongkan jenis lakon tersebut. Karena beragamnya lakon-lakon wayang yang diantaranya disebabkan adanya tumpang tindihnya alur, maka jenis lakon digolongkan berdasarkan judul-judul lakon dan peristiwa terpenting yang terjadi dalam suatu kelompok lakon. untuk mempermudah penggolongannya (Murtiyoso dan Suratno. 1992) Penggolongan berdasarkan judul lakon dapat digolongkan menjadi jenis lahiran, raben, alap-alapan, gugur atau lena, mbangun, jumenengan, wahyu, nama tokoh, banjaran dan duta. Sedangkan penetapan jenis lakon berdasarkan peristiwa terpenting yang terjadi dalam suatu kelompok lakon, antara lain jenis paekan, kraman, asmara, wirid, ngenger, kilatbuwanan, perang ageng, dan boyong. Selanjutnya secara singkat akan diuraikan masing-masing jenis lakon yang digolongkan berdasarkan kedua criteria itu berikut ciri pokok dengan contohnya (Mutiyoso, dkk. 2004) Penggolongan Berdasarkan Judul Lakon (Mutiyoso, dkk. 2004) 1. Jenis lahiran: ciri pokok lakon jenis lahiran adalah, bahwa dalam lakon ini terjadi kelakiran seorang tokoh wayang. Contoh: Setyaki Lahir, Abimanyu Lahir, Wisanggeni Lahir dan lain-lain. 2. Jenis raben: seperti halnya lakon jenis lahiran, di dalam lakon jenis raben atau krama ini terjadi perkawinan atau krama seorang tokoh wayang. Contoh: Parta Krama, Rabine Gathotkaca, Palasara Krama, Irawan Rabi, dan sejenisnya. 3. Jenis alap-alapan: dalam jenis alap-alapan ini, ceritanya terjadi perebutan putri raja diantara para satria atau raja dari berbagai tempat, misalnya, alap-alapan Sukesi, Alap-alapan Dursilawati, Alap-alapan Setyaboma, dan sejenisnya. Mirip 107

9 dengan lakon alap-alapan ini adalah lakon dengan judul sayembara, misalnya, Sayembara Kasipura, Gandamana Sayembara, dan Sayembara Mantili. 4. Jenis gugur atau lena: dalam lakon jenis ini terdapat meninggalnya seorang tokoh, misalnya Abimanyu Gugur, Gathotkaca Gugur, Salya Gugur, Dasamuka Lena, Kangsa Lena dan lain-lain. 5. Jenis mbangun: ciri pokok lakon jenis mbangun adalah adanya kegiatan pembangunan suatu tempat, misalnya mbangun Taman Maerakaca, mbangun Candi Saptarengga, Semar mbangun Gedhongkencana, Semar mbangun Klampis Ireng dan lain-lain. 6. Jenis jumenengan: di dalam lakon jenis jumenengan, terjadi kegiatan atau peristiwa pengukuhan atau penetapan seorang tokoh menjadi raja, misalnya Jumenengan Parikesit, Jumenengan Puntadewa, Jumenengan Kakrasana dan sejenisnya. 7. Jenis wahyu: isi pokok lakon jenis wahyu adalah peristiwa pemberian anugerah (wahyu) dari dewa kepada tokoh wayang tertentu karena keberhasilan atau jasa tokoh tertentu ini kepada dewa. Contoh: Wahyu Eka Bawana, Wahyu Trimanggala, Wahyu Payung Tunggulnaga, dan sejenisnya. 8. Jenis nama tokoh: ciri lakon wayang jenis nama tokoh yang dimaksudkan di sini adalah pertunjukan lakon wayang yang diberi judul dengan hanya menyebut nama tokoh wayang, dan nama tokoh ini, biasanya nama tokoh utama dalam peristiwa lakon. Misalnya: Begawan Kilatbuwana, Begawan Lomana, Mayangkara, Begawan Ciptoning, Watugunung, Begawan Dwihastha dan sejenisnya. 9. Jenis banjaran: adalah penggabungan beberapa lakon yang menceritakan seorang tokoh dari lahir sampai mati dalam satu kesatuan pentas. Contoh: Banjaran Bima, Banjaran Karna, Banjaran Gatutkaca, dan sejenisnya. 10. Jenis duta: ciri lakon jenis duta adalah adanya seorang tokoh wayang yang mendapat tugas menjadi duta dari seorang raja agar dapat menyelesaikan suatu masalah. Contoh: Anoman Dhuta, Kresna Dhuta, Drupada Dhuta, dan sejenisnya. 108

10 Penggolongan Jenis Lakon berdasarkan Peristiwa Penting (Mutiyoso, dkk. 2004) 1. Jenis paekan: ciri lakon jenis paekan adalah adanya rencana secara licik seseorang atau kelompok tokoh wayang untuk mencelakakan tokoh wayang yang lain. Misalnya: Gandamana Luweng, Gatutkaca Sungging, Kresna Cupu, Sinta Ilang, dan sejenisnya. 2. Jenis kraman: ciri lakon jenis kraman adalah adanya peristiwa pemberontakan atau makar, baik secara terang-terangan maupun terselubung. Misalnya: Brajadhenta mbalela, Kangsa Adu Jago, dan Jagal Abilawa. 3. Jenis asmara: ciri lakon jenis asmara adalah adanya kisah pokok tentang seorang tokoh yang jatuh cinta dengan lawan jenisnya. Misalnya: Sumbadra Larung, Petruk Gandrung, Irawan Maling, dan sejenisnya. 4. Jenis wirid: ciri pokok lakon jenis wirid adalah mengisahkan seorang tokoh wayang yang mendambakan hakekat kehidupan yang sempurna. Contohnya Kunjarakarna, Ciptaning, Bimasuci dan sejenisnya. 5. Jenis ngenger: jenis lakon ngenger ini mengisahkan adanya seorang tokoh wayang yang ingin mengabdikan diri kepada suatu negara atau raja. Contoh: Sumantri Ngenger, Wibisana Suwita, dan Trigangga Suwita. 6. Jenis kilatbuwanan: yang digolongkan ke dalam jenis kilatbuwanan ini adalah lakon-lakon yang memiliki ciri-ciri alur cerita mirip lakon Kilatbuwana. Adapun ciri-ciri itu diantaranya adalah: adanya seorang pendeta di Astina yang sanggup membatalkan perang Baratayuda dengan sarana membunuh tokoh penting yang berpihak kepada Pandawa, seperti Kresna, Anoman, Semar beserta anak-anaknya. Tokoh-tokoh yang akan dibunuh ini selalu terhindar dari kematian, dan beralih rupa menjadi pendeta. Pendeta baru inilah yang dapat membuka kedok pendeta palsu di Astina tersebut menjadi tokoh asli yaitu Guru, Durga, Rahwana atau Kala. Contoh: Begawan Lomana, Begawan Warsitajati, Kresna Cupu dan sejenisnya. 7. Jenis perang ageng: jenis lakon perang ageng adalah mengisahkan adanya tragedi perang besar serta melibatkan tokoh-tokoh penting. Contohnya: Baratayuda (Pandawa melawan Kurawa), Pamuksa (Tremboko melawan Pandu), 109

11 Guntarayana (Ciptoning melawan Niwatakawaca) Gojalisuta (Kresna melawan Bomanarakasura) dan sejenisnya. 8. Jenis boyong: ciri lakon boyong adalah mengisahkan adanya perpindahan seseorang atau kelompok tokoh wayang dari satu tempat ketempat lain. Contoh: Srimulih, Pendawa Boyong, Sinta Boyong, Semar Boyong dan sejenisnya. Pertunjukan wayang yang dipelajari dalam penelitian ini adalah, pagelaran Ki Timbul Hadiprayitno KMT Cermo Menggolo dari Yogyakarta, dengan lakon Parta Krama. Lakon Parta Krama menurut penggolongan berdasarkan judul lakon merupakan jenis raben. Terjadinya perkawinan antara Bratajaya atau Rara Ireng atau Sumbadra dengan Parta atau Premadi atau Arjuna. Lakon ini berkisah tentang cinta segitiga antara Burisrawa, Sumbadra, dan Arjuna. Kemudian diadakan sayembara antara Burisrawa dan Arjuna. Siapa yang berhasil memenangkan sayembara, akan mendapatkan Sumbadra. Ternyata, Arjuna yang memenangkannya dan mendapatkan Sumbadra sebagai istrinya, sedangkan Burisrawa lari ke hutan dan menjalani kehidupan membujang seumur hidup. Sabet. Sabet merupakan unsur pakeliran yang meliputi semua gerak dan penampilan boneka wayang di atas panggungan atau kelir atau layar yang disajikan oleh dalang (Murtiyoso, 2004). Pada umumnya secara teknis, sabet digolongkan menjadi lima bagian, yaitu: cepengan, solah, tanceban, bedholan, dan entas-entasan. Cepengan adalah cara memegang wayang, dan Pendidikan dalang Habirandha berpedoman pada empat hal, yaitu: (1) mucuk, cara memegang wayang untuk tokoh halus. (2) magak, cara memegang wayang untuk tokoh karakter gagah. (3) ngepok, cara memegang wayang untuk tokoh raksasa. (4) njagal, cara memegang wayang untuk tokoh binatang atau kereta yang ditarik kuda. Solah, meliputi seluruh gerak-gerak di dalam wayang di dalam kelir. Solah dalam pakeliran dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu solah umum, yaitu gerakan 110

12 terbang, berjalan, menari, menendang, melompat, dan semacamnya. Solah khusus, yaitu gerakan-gerakan jaranan, kiprahan, perang ampyak, gleyongan dan gerak sarapada. Tanceban yaitu posisi pencacakan wayang pada batang pisang (gedebog) selama pertunjukan. Tanceban wayang mempunyai aturan-aturan tertentu yang berkaitan dengan tinggi, rendahnya kedudukan, umur, situasi, dan lain-lain. Bedholan adalah tindakan mencabut wayang dari posisi tanceban. Dalam pertunjukan wayang pada umumnya dibedakan atas bedholan jejer dan bukan jejer. Di dalam bedholan jejer semua wayang di sebelah kanan dalang (ratu dan parekan) didahulukan, setelah itu baru wayang di sebelah kiri dengan urutan wayang yang paling penting di dahulukan. Pada bedholan bukan jejer, yang di bedhol terlebih dahulu disesuaikan dengan kebutuhan. Entas-entasan adalah gerak wayang yang meninggalkan panggung wayang. Di dalam entas-entasan dipertimbangkan adanya bentuk bayangan, karakter serta suasana tokoh. Penampilan semua tokoh wayang diharapkan agar tampak hidup, sesuai dengan perwatakan, keadaan, dan besar-kecilnya wayang. Disamping itu ekspresi sabet wayang di antaranya dipengaruhi wanda dan teknik penggunaan tangkai wayang (gapit). Sehingga dapat diperhitungkan bahwa sabet wayang dapat enak ditonton baik dari depan maupun belakang layar. Sabet pada Jejer Sabet jejer dalam pakeliran sekarang sudah berkembang. Pada adegan babak unjal datangnya seorang tamu pada jejer atau adegan pertama terdapat perkembangan sabet yang belum pernah terjadi, yaitu tamu dalam babak unjal ini menari. Sebagai wujud tontonan, hal ini sah-sah saja, hanya saja perlu dipertimbangkan dengan memperhatikan kesesuaian antara karakter wayang dengan ekspresi gerak tariannya, 111

13 Sabet Adegan Kedhaton Adegan kedhatonan dalam pakeliran sekarang ini jarang ditampilkan, tetapi Limbuk Cangik selalu ada, bahkan dalam bangunan lakon di atas, adegan limbukan telah dijadikan primadona dalam pagelaran wayang sekarang. Gerak sabet limbukan yang ditampilkan para dalang sekarang banyak variasinya, misalnya dulu gerakam sabet limbukan hanya terbatas pada gerakan berjalan melenggang. Pada saat sekarang ini pada perkembangannya sampai dengan gerakan joget gleyongan, yaitu wayang putren atau dayang dengan desain khusus (pada leher dan lambung wayang diberi persendian khusus supaya dapat digerakkan dengan leluasa). Menurut penulis, joget gleyongan gerakannya lebih banyak mengambil dari gerak tari gambyong. Sabet adegan Paseban Jawi Sabet yang menonjol pada adegan paseban jawi, adalah gerak kayon, budhalan, kiprahan dan jarangan. Seperti halnya adegan limbukan, makin beragamnya gerak. Begitu pula dengan irama gendhing dengan tempo yang lebih cepat, disesuaikan dengan gerak sabet yang lebih bervariatif. Khusus garap kayon selain ditampilkan pada adegan paseban jawi juga dilakukan pada adegan gara-gara, dan lebih dikembangkan lagi. Teknik atau cara mencabut tanceban wayang yang satu dengan yang lain, jaraknya lebih cepat. Wayang terdahulu belum sampai dientas, wayang berikutnya sudah di bedhol. Sehingga tampak lebih cekatan. Mereka ini sering menampilkan bedholan tokoh wayang secara terus menerus dengan perpindahan pegangan tangan (dalang) kanan ke kiri secara bergantian hingga bedholan selesai Sabet Perang Gagal dan Perang Kembang. Melihat perkembangan sekarang, khususnya pada sabet dalam perang gagal tampak semakin banyak gerak-gerak wayang yang disajikan dalam pakeliran, meniru gerakan yang realis yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari, seperti gerakan akrobatik, misalnya menirukan gerak silat, tinju, berjungkir-balik, berputar-putar dan sebagainya. 112

14 Pada sabet perang kembang, banyak terjadi perkembangan, baik pada saat menari maupun pada saat perang. Sebenarnya hal yang demikian tidak lazim dalam dunia pakeliran tradisi, dan dapat dikatakan telah mengingkari makna simbolis yang biasa berkembang di kalangan pedalangan, bahwa tokoh baik di sebelah kanan, dan tokoh jelek di sebelah kiri. Dari uraian tersebut dapat dipahami, bahwa dalam pertunjukkan wayang sekarang secara realitas terdapat dua cara dalam menyikapi sebet wayang. Golongan sikap yang pertama memandang bahwa sabet dalang harus tetap dalam bingkai pakeliran tradisi. Melalui pengertian masih tetap mempertimbangkan karakter tokoh, konsep pewayangan dan sebagainya. Golongan sikap yang kedua yang memandang sabet sebagai ajang untuk pamer ketrampilan. Jadi dapat disimpulkan bahwa, di satu sisi bertahan pada konvensikonvensi klasik tradisional, di sisi lain menghendaki inovasi yang sesuai dengan tuntutan jamannya. Catur Pengertian catur adalah semua wujud bahasa atau wacana yang diucapkan oleh dalang di dalam pakeliran (Murtiyoso, 1981). Catur dibagi menjadi tiga golongan yang disebut: janturan, pocapan dan ginem. Janturan adalah wacana dalang yang berupa deskripsi suasana suatu adegan yang sedang berlangsung, dengan ilustrasi gendhing sirepan. Pocapan, yaitu ucapan dalang yang berupa narasi, pada umumnya menceritakan peristiwa yang telah, sedang dan akan berlangsung tanpa gendhing. Adapun ginem yakni wacana dalang yang memerankan dialog tokoh-tokoh wayang dalam suatu adegan, yang disesuaikan karakter dan suasana masing-masing tokoh. Karawitan dan Properti Keberhasilan pertunjukan wayang sangat ditentukan oleh jalinan bangunan garap berbagai aspeknya yakni: lakon, sabet, catur dan karawitan. Pada perkembangannya, salah satu fenomena yang menarik adalah, adanya penambahan jumlah instrumen dalam karawitan misalnya, saron dan demung, yang semula tidak ada. 113

15 Berbagai referensi menunjukkan bahwa semula karawitan pakeliran, hanya menggunakan seperangkat gamelan wayang (gadon plus) laras slendro, tanpa sindhen. Pada perjalanannya, secara bertahap perangkat karawitan semakin bertambah mulai dari kehadiran sindhen hingga mencapai wujudnya seperti sekarang ini. Sulukan Sulukan adalah lagu vokal khusus untuk keperluan pakeliran. Sulukan digolongkan menjadi pathetan, sendhon, dan ada-ada. Kesan rasa dan atau suasana yang ditimbulkan dari ketiga golongan sulukan ini sangat bergantung pada melodi (lagu), syair serta cara penyampaiannya. Kecenderungan dalam pertunjukan wayang sekarang, repertoar sulukan disajikan dengan cara lebih meriah, digunakan gendhing palaran yang disajikan sebagai pengganti sulukan, untuk mengungkap suasana tegang atau marah Peran susunan lakon wayang kulit purwa gaya Yogyakarta Bangunan lakon wayang tradisi gaya Yogyakarta, terdiri dari susunan-susunan yang masing-masing susunan saling berkaitan dalam keseluruhan yang utuh. Setiap unsur dari susunan-susunan ini mempunyai fungsi dan kedudukan masing-masing dalam membentuk lakon suatu pertunjukan. Susunan lakon wayang dibangun di atas plot yang terdiri dari berbagai peristiwa atau kejadian-kejadian yang terjelma ke dalam episode-episode yang bersiklus (Becker, 1979). Suatu plot lakon wayang membicarakan gambaran suatu tindakan, suatu cara, dan peristiwa. Lakon wayang disusun berdasarkan tiga bagian utama yang masing-masing bagian dibatasi oleh rentang titi nada suara musik gamelan sebagai iringan lakon wayang yang ada pada suara gamelan. Pada setiap bagian itu terdapat susunan internal yang telah ditentukan. Bagian-bagian itu disebut Pathet, dan ke tiga bagian itu meliputi Pathet Nem, Pathet Sanga dan Pathet Manyura. 114

16 Setiap pementasan lakon wayang terbagi ke dalam tiga bagian pathet yang masingmasing mempunyai susunan internal yang sama dalam setiap pathet, terdiri dari tiga bagian. Ini hanya berlaku pada pedalangan gaya Yogyakarta yaitu, 1. Jejer, sebagian besar lakon wayang biasanya dimulai dengan pertemuan di suatu istana, seorang raja dengan segenap punggawa kerajaan, dan pada saat inilah suatu persoalan muncul dan suatu rencana mulai dibentuk. 2. Adegan, mungkin dapat terjadi dua adegan atau lebih, yang berasal dari pertemuan pada jejer, misalnya adegan gapuran, budhalan atau paseban jawi dan adegan-adegan di luar istana lainnya. Disamping itu, hampir selalu ditemui perjalanan meninggalkan tempat pertemuan yang disebut budhalan. 3. Perang, suatu adegan perang muncul pada akhir perjalanan, walaupun pada kenyataannya sering tidak selalu setiap perjalanan berakhir dengan perang, tergantung pada lakon yang dipentaskan. Setiap suasana yang terjadi di dalam suatu cerita lakon wayang, memiliki tiga unsur yang tetap yaitu, 1. Deskripsi suatu cerita yang berupa janturan, kandha, dan carita 2. Ginem atau pocapan, yaitu berupa dialog antartokoh wayang 3. Selanjutnya diikuti oleh suatu tindakan yang berwujud gerak-gerak wayang, antara lain, berupa perang antartokoh wayang atau dapat juga lumaksana, yang lazim disebut dengan istilah sabetan. 115

17 Penjelasan tersebut dapat digambarkan dalam bentuk skema untuk mempermudah memahami paparan tersebut, Parta Krama Pathet Nem Pathet Sanga Pathet Manyura Jejer adegan perang jejer adegan perang jejer adegan perang Deskripsi 2 Dialog 3 - Tindakan Sequence ke-11, adegan Kedhaton Dwarawati Skema: 3.1 Skema pengembangan lakon (Becker, A.L. 1979). Pementasan lakon wayang kulit purwa pada umumnya secara minimal memiliki susunan seperti skema tersebut. Suasana adegan tertentu baik jejer, adegan, dan perang, masingmasing mempunyai susunan, yaitu 1) deskripsi, 2) dialog, dan 3) tindakan. Oleh karena itu setiap susunan internal sebenarnya masih dapat dibagi lagi dengan berbagai unsur penyangga pementasan misalnya, jenis-jenis sulukan, keprakan, dan gending-gending iringan wayang. Tidak menutup kemungkinan pada pementasan lakon wayang kulit purwa terjadi perubahan-perubahan urutan, misalnya berupa pengulangan, penghilangan, dan penambahan adegan. Bahkan sering terjadi adanya variasi-variasi susunan dan penyisipan dalam suatu suasana pementasan. Hal seperti ini merupakan sesuatu yang lazim dan wajar. Misalnya pada suatu suasana tertentu, setelah deskripsi berakhir, 116

18 kemudian menyusul alunan suluk. Bisa jadi ketika suasana hati berubah, atau seorang tokoh hadir dalam suatu pertemuan, maka sulukan lain dinyanyikan. Gambaran yang lebih jelas adalah munculnya adegan gara-gara. Jika dilihat secara sepintas adegan gara-gara seakan-akan terpisah dari cerita lakon bahkan seperti adegan yang berdiri sendiri. Dalam tradisi pewayangan Yogyakarta secara jelas disebutkan garagara bukan termasuk jejeran, namun demikian, keberadaanya diharuskan, dengan fungsi sebagai penurunan ketegangan dramatik selama pathet Nem. Setelah adegan gara-gara dianggap cukup, dengan segera dalang akan kembali kepada alur cerita lakon wayang yang terputus sebelumnya (Mudjanasttistomo, dkk. 1977). Pada pemaparan selanjutnya, dijelaskan lebih lanjut susunan pementasan lakon wayang kulit purwa berdasarkan tradisi pewayangan Yogyakarta (Mudjanattistomo, dkk 1977), dengan menyesuaikan rentang titi nada dasar bunyi gamelan yang disebut pathet, yang meliputi tiga bagian wilayah nada sebagai berikut: 1. Pathet Nem. Jejer pertama, pada jejer ini biasanya kisah terjadi di sebuah istana, raja bertahta di hadapan punggawa. Pada bagian ini suatu peristiwa mulai dibahas dan disusun rencana untuk menentukan jalan keluarnya. Pokok persoalan mulai dipaparkan (Kuntara Wiryamartana. 1990), kemungkinan biasa terjadi, pokok persoalan, justru telah muncul pada peristiwa sebelumnya. Penggunaan gending iringan pada jejer pertama meliputi (1) Ayak-ayak Pathet Nem diikuti dengan (2) Gending Karawitan Slendro Pathet Nem bersamaan dengan dalang mendeskripsikan jejeran yang disebut janturan. Istilah janturan ini hanya digunakan untuk jejer pertama. Setelah selesai janturan gending beralih ke (3) Gendhing Ladrang Karawitan kemudian suwuk, dalang membawakan sulukan lalu dialog antar tokoh wayang. Setelah jejer pertama berakhir dilanjutkan dengan adegan yang merupakan rangkaian dari: 117

19 (a). Jejer pertama sebagai berikut, 1. Adegan Kedhaton (adegan keraton), adegan ini berisi pertemuan antara raja dan permaisurinya, dilanjutkan dengan limbukan, yaitu dialog antara Limbuk dan Cangik. Mereka berbincang-bincang berbagai hal yang berkaitan dengan masalah-masalah kehidupan sehari-hari, kadang-kadang dengan lawakan, nyanyian dan tarian (van Groenendael. 1987). 2. Adegan Paseban Jawi (adegan balai penghadapan luar), bagian ini apabila menggunakan gending iringan, maka harus disertai carita, setelah dialog dilanjutkan budhalan (adegan pemberangkatan) dan perang ampyak (adegan perang beramai-ramai). Sering terjadi dalam pementasan ditemukan adegan perang yang lain, yang disebut perang kembang, yang biasa terdapat pada tradisi pewayangan Surakarta, adalah perang antara ksatria melawan raksasa atau dalam tradisi Yogyakarta, disebut perang bambangan cakil (Nojowirongko. 1960). (b). Jejer kedua, pelaksanaan jejer ini, setelah semua rangkaian pada jejer pertama selesai. Adapun adegan perang yang terdapat pada jejer ini disebut perang simpangan. (c). Jejer ketiga menyusul setelah semua rangkaian jejer sebelumnya selesai. Dalam bagian ini, jenis gending iringan yang digunakan merupakan peralihan dari Pathet Nem ke Pathet Sanga, sehingga setelah bunyi gending gamelan suwuk, sulukan yang dinyanyikan dalang pun harus beralih ke pathet sanga yaitu suluk lagon sanga wetah. Pada pelaksanaan jejer ketiga sering digantikan dengan bentuk gladhagan (jejeran tanpa menggunakan iringan) yaitu sebuah adegan yang tidak mempergunakan gending melainkan menggunakan iringan playon, dan dengan sendirinya kedudukan carita digantikan oleh kandha. Apabila dalam rangkaian adegan ini, dijumpai peristiwa perang, maka perang itu disebut perang gagal ( perang yang tidak berkesudahan). 118

20 2. Pathet Sanga (a). Adegan Gara-gara, adegan ini tidak termasuk dalam jejeran. Adapun pelaksanaannya diperhitungkan pada waktu tengah malam. Bagian ini merupakan kesempatan bagi dalang untuk menampilkan lawakan melalui tokoh-tokoh panakawan, yaitu Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Disampaing itu, gara-gara merupakan media yang tepat untuk menyampaikan pesan-pesan program pembangunan (van Groenendael, 1987). (b). Jejer keempat, tempat terjadinya jejer ini biasanya dipertapaan, hutan atau istana, tergantung pada alur cerita lakon yang dipentaskan. Adegan perang pada rangkaian jejer ini disebut perang begal, berupa perang antara ksatria melawan raksasa atau binatang jelmaan dewa, tergantung lakon yang dipentaskan. (c). Jejer kelima, jejeran ini disebut jejer Uluk-uluk, artinya sebagai pemberi isyarat bahwa lakon wayang telah sampai pada inti cerita. Apabila waktu pementasan sangat mendesak, jejeran ini digantikan dengan bentuk gladhagan begitu juga jejer berikutnya. Pada jejer ini terjadi transisi dari Pathet Sanga ke Pathet Manyura. Adegan perang yang terdapat pada rangkaian ini disebut perang tanggung 4. Sulukan yang dibawakan dalang pun telah menggunakan Suluk Pathet Manyura Wetah. 3. Pathet Manyura (a). Jejer keenam, pada jejer ini isi cerita mengarah ke penyelesaian lakon. Adapun perang yang terdapat pada rangkaian jejer ke enam disebut perang tandang 5. (b). Jejer ketujuh, jejer disebut jejer Pathet Galong karena sulukan yang dilagukan oleh dalang adalah Suluk Galong Wetah. Sulukan ini sekaligus sebagai pemberi syarat kepada penabuh gamelan agar membunyikan 4 Perang tanggung: perang para ksatria melawan para raksasa. Pada perang ini, satu persatu para raksasa dikalahkan oleh para ksatria. 5 Perang tandang: di pakeliran Surakarta biasa disebut perang sintren: dalam perang ini biasanya musuh sudah dapat dikalahkan. 119

21 gending yang berakhir dengan nada gong ke tiga, tanda perpindahan dari Pathet Manyura ke Pathet Galong. Adegan perang pada jejer ke tujuh disebut perang brubuh 6. Pementasan lakon di akhiri dengan tarian golek kayu, kemudian tancep kayon, yaitu dalang menancapkan kayon atau gunungan di tengah kelir di antara jajaran tokoh wayang sebagai tanda pementasan lakon telah selesai. Kemudahan memahami susunan pementasan lakon wayang kulit purwa berdasarkan tradisi pewayangan gaya Yogyakarta, dapat dideskripsikan dalam bentuk tabulasi sederhana sebagai berikut, Tabel 3.1. Jejer pertama: Pathet Nem I Kejadian di istana Gending iringan disertai carita Jejer Adegan Perang Kedhaton Limbukan Paseban Jawi - budhalan Perang Ampyak atau Perang Kembang atau Perang Bambangan Cakil II III Gending iringan peralihan Pathet Nem ke Pathet Sanga Suwuk Suluk Lagon Sanga Wetah Perang Simpangan Gladagan (jejeran tanpa iringan) Menggunakan iringan -playon Carita diganti kandha Perang Simpangan (perang antara tokoh baik dan tokoh jahat) Perang Gagal (perang yang tidak berkesudahan) 6 Perang brubuh: perang habis-habisan: perang akhir dan menentukan antara kedua belah pihak dan pengikut masing-masing, dan biasanya dengan kemenangan akhir pada sang pahlawan. 120

22 Tabel 3.2. Pathet Sanga Jejer Adegan Perang - Gara-gara dimainkan Punakawan (Semar, Gareng, Petruk, Bagong) - IV Kejadian di hutan, pertapaan, istana V Jejer Uluk-uluk/inti cerita Sulukan: Suluk Pathet Manyura Wetah Perang Begal Bila mendesak, diganti Gladhakan Transisi ke Pathet Manyura Perang Begal (perang antara ksatria dan raksasa atau jelmaan dewa) Perang Tanggung (pada perang ini lawan sudah mulai dikalahkan satu persatu) Tabel 3.3. Pathet Manyura IV Jejer Adegan Perang Mengarah ke penyelesaian lakon Perang Tandang (musuh sudah dapat dikalahkan) VII Jejer Pathet Galong Sulukan: Suluk Galong Wetah Suluk pemberi isyarat: Penabuh gamelan: gending berakhir dengan nada gong ke tiga: pathet manyura ke pathet galong Perang Brubuh (perang habishabisan) Jejer terakhir Diakhiri: Tarian golek kayu & tancep kayon/gunungan PENUTUP Berlangsung sampai kemenangan akhir pada sang pahlawan 121

23 3.2. Fokus Kajian Dalam Cerita Parta Krama Ringkasan cerita lakon Parta Krama Cerita ini berawal dari adegan negara Dwarawati. Prabu Kresna menerima tamu dari utusan negara Ngastina dan Mandaraka yang diwakili oleh Prabu Baladewa. Tujuan dari bertamu tersebut untuk melamar dewi Sembadra atau Bratajaya untuk dijodohkan dengan Raden Burisrawa. Mendengar lamaran tersebut Prabu Kresna menjadi bingung karena sudah terlanjur menerima lamaran dari Begawan Abiyasa dan Dewi Kunthi. Begawan Abiyasa dan Dewi Kunthi melamar Dewi Bratajaya untuk dijodohkan dengan Arjuna dan lamaran tersebut disetujui oleh Prabu Kresna. Dalam persetujuan tersebut tinggal mencari hari yang tepat untuk melangsungkan pernikahan kedua mempelai. Dari dua pelamar tersebut Prabu Kresna sangat kebingungan untuk memilih siapa yang akan diterima. Sebelum ada putusan yang jelas, utusan dari Begawan Abiyasa dan Pandawa yang diwakilkan oleh Raden Gathotkaca datang bertamu. Tujuan kedatangan Gathotkaca melanjutkan persetujuan yang sudah disepakati untuk menentukan hari pernikahan antara Raden Arjuna dan Dewi Sembadra. Kedatangan Gathotkaca untuk meminta kesepakatan hari pernikahan Arjuna dan Dewi Sembadra membuat Prabu Baladewa sangat marah. Karena alasan lebih berkuasa prabu Baladewa mengusir Gathotkaca namun Gathotkaca tidak mau pergi. Perkelahianpun hampir terjadi namun dapat diredakan oleh Prabu Kresna. Akhirnya dengan alasan lebih tua dan berkuasa pula, Prabu Baladewa minta Syarat untuk pelamar pihak Pandawa. Syarat tersebut antara lain : 1) pernikahan harus berada dalam Saka Dhomas Bale Kencana, 2) Perjalanan penganten dari Amarta menuju Dwarawati harus naik kereta Jatisura yang ditarik kuda bejumlah 4, berkepala raksasa, berkusir seorang dewa yang gantheng, diiring dewa berjumlah 30 dan bidadari berjumlah ) untuk tontonan sebelah kanan kiri kereta harus diberi kayu klepu Dewa Daru Parijatha Kencana, 4) harus ada raksasa berbulu putih yang lidahnya ditumbuhi jamur grigih dan sedang mengandheng kera putih yang bisa menari di lengkungan penjalin, 5) harus ada segala macam binatang yang bisa berbicara selayaknya manusia. Dalam batasan tujuh hari pihak pandawa harus bisa menyerahkan syarat tersebut. Setelah mendengar permintaan tersebut Gathotkaca berpamitan untuk pulang ke Amarta. Setelah kepergian Gathotkaca Prabu Kresna minta hal sama kepada Pelamar dari Astina. Akhirnya Prabu Baladewa juga menyanggupi syarat tersebut dan minta pamit untuk 122

24 mencari syarat tersebut. Setelah adegan kundur kedhaton dilanjutkan adegan para Kurawa yang ingin menghentikan perjalanan Gathotkaca. Namun berkat kesaktian Gathotkaca, rintangan tersebut dapat diatasi. Akhirnya Prabu Baladewa marah dan menghajar Gathotkaca. Tidak lama kemudian perkelahian dapat dilerai oleh Prabu Kresna. Prabu Kresna memerintahkan kepada Gathotkaca untuk segera memberi tahu syarat tersebut kepada Para Pandawa. Mendengar perintah tersebut Gathotkaca segera berpamitan dan pergi. Prabu Baladewapun segera pergi untuk memberitahukan kepada Kurawa mengenai syarat tersebut. Setelah Prabu Baladewa memberitahu syarat tersebut, para Kurawa yang dipimpin oleh Prabu Karna dan Sengkuni segera pergi ke alas Gembringan untuk mencari syarat yaitu mencari sekelompok hewan yang bisa berbicara seperti manusia. Dilanjutkan adegan Alas/hutan Gembringan dengan raja seekor gajah yang bernama Diradamuka. Diaramuka dihadap oleh saudara-saudaranya yang berwujud macan, kuda, bantheng dan semua hewan namun bisa berbicara selayaknya manusia. Ketika sedang asyik berbicara satu dengan yang lain tiba-tiba seekor hewan yang berwujud anjing dan kucing datang. Mereka melaporkan bahwa di alas Gembringan ada sekelompok manusia yang merusak habitat alas Gembringan. Mendengar laporan tersebut Diradamuka segera memerintahkan Perjingga Tamengasta yang berwujud macan untuk memberi pelajaran kepada mereka yang merusak alas Gembringan. Ketika para Kurawa sedang memasuki alas tersebut tiba-tiba seekor macan menyerang dan prajurit Astina kalang kabut lari ketakutan. Akhirnya perang terjadi antara Kurawa dengan para hewan di alas Gembringan. Karena kesaktian dan kelincahan hewan-hewan alas Gembringan, para Kurawa tidak bisa membelenggu satupun hewan. Akhirnya Kurawa mundur dan dilanjutkan adegan Gara-Gara. Dalam adegan gara-gara menceritakan Punakawan yang sedang bersendau gurau sambil melantunkan gendhing dan lagu-lagu dolanan. Setelah bersendau gurau mereka menghadap sang tapa Begawan Abiyasa di Wakiratawu. Prabu Puntadewa di Negara Ngamarta dihadap oleh Begawan Abiyasa, sang Ibunda Dewi Kunthi, keempat saudara Arjuna, Punakawa dan Raden Gathotkaca. Setelah Gathotkaca menceritakan kejadian dan syarat yang harus dipenuhi, para Pandawa gelisah karena merasa tidak mungkin bisa mencari syarat tersebut. Dalam kegelisahan para 123

25 Pandawa, Punakawan Semar memecah suasana dengan memberi solusi. Setelah mendengar solusi dari Semar Badranaya, raden Gathotkaca segera diperintahkan untuk pergi ke Singgelapura untuk mencari Saka Domas Bale Kencana. Raden Werkudara diperintahkan untuk pergi ke alas Gembringan mencari sebanyak hewan yang bisa berbicara, sedangkan Arjuna diperintahkan untuk pergi ke kahyangan untuk minta bantuan dewa dan mencari kereta Jatisura. Setelah mereka pergi untuk mencari masingmasing persyaratan dilanjutkan adegan alasan (kejadian dalam hutan) Dalam perjalanan Raden Arjuna beserta punakawan bertemu dengan Begawan Kamunayeksa. Setelah mengetahui bahwa dia adalah Permadi, Begawan Kamunayeksa segera mengutarakan maksudnya. Begawan Kamunayeksa bermaksud untuk menjadikan Arjuna sebagai menantunya, namun Arjuna tidak mau dan akhirnya terjadi peperangan yang seru. Karena kelicikan Kamunayeksa, Arjuna dapat diculik dan dibawa untuk dipertemukan kepada anaknya yang bernama Endang Pujawati. Setelah Arjuna mengetahui wujud dari anak Begawan Kamunayeksa sangat cantik maka dia mau untuk dijadikan menantu. Sebelum berpamitan Arjuna menceritakan keadaan yang sebenarnya dan syarat untuk pernikahannya dengan Dewi Bratajaya. Karena Begawan Kamunayeksa berwujud Raksasa putih dan lidahnya tubuh jamur grigih maka Dewi Pujawati memerintahkan ayahnya untuk menolong Arjuna sebagai syarat pernikahan dengan Dewi Sembadra. Setelah Begawan Kamunayeksa bersedia Arjuna melanjutkan perjalanan ke kahyangan, dan dilanjutkan adegan Negara Singgela. Prabu Wibisana di Negara Singgela dihadap oleh Denta Wilukrama sedang menerima tamu yaitu Raden Gathotkaca. Raden Gathotkaca segera memberitahu maksud kedatangannya untuk meminjam Saka Domas Bale Kencana. Maksud Gathotkaca diberi ijin oleh Prabu Wibisana namun ketika hendak diangkat ternyata ada berjuta-juta roh halus yang tidak mau melepaskan Saka Domas Bale Kencana, namun berkat kesaktian Gathotkaca dapat mengusir roh-roh tersebut. Ketika Gathotkaca membawa pergi Saka Domas Bale Kencana, Prabu Wibisana membaca mantra aji pameling untuk mengundang Hanoman dengan maksud menghentikan perjalanan Gathotkaca. Dalam perjalanan Gathotkaca dihadang oleh Hanoman. Karena Gathotkaca tidak mau mengembalikan Saka Domas Bale Kencana akhirnya perang terjadi, dan Saka Domas Bale Kencana dibuang supaya jatuh di pelataran negara Dwarawati. Namun setelah mengetahui bahwa 124

26 Gathotkaca adalah putra dari Raden Werkudara yang tak lain adalah saudaranya tunggal Bayu, maka Hanoman menyetujui maksud Gathotkaca, bahkan ia mau menjadi syarat lamaran yaitu kera putih yang menari diatas ujung penjalin. Setelah persetujuan tersebut Gathotkaca segera kembali ke Dwarawati, dan dilanjutkan adegan kahyangan. Bathara Guru dan Narada di Kahyangan, menerima kedatangan Semar Dan Permadi. Setelah Semar mendesak Bathara Guru dan Narada di Kahyangan, akhirnya mereka berdua bersedia membantu untuk memenuhi persyaratan lamaran yaitu, dewa 30, widadari 1000 (sakethi kurang sawiji), kereta Jatisura beserta kusirnya, tontonan suwarga kayu Klepu Dewadaru, dan pecut penjalin untuk menggiring hewan yang bisa berbicara. Setelah mendapatkan kesepakatan tersebut Semar dan Raden Permadi kembali ke Ngarcapada dan dilanjutkan adegan alas Gembringan. Raden Werkudara di alas Gembringan bertemu dengan Diradamuka. Setelah Raden Werkudara menceritakan bahwa ia mau memboyong segala binatang yang bisa berbicara seperti manusia, Diradamuka marah dan akhirnya terjadi perang. Dalam peperangan raden Werkudara terdesak mundur dan bertemu dengan Bathara Narada. Bathara Narada memberi pusaka yang berwujud pecut penjalin cacing untuk menggiring semua hewan di alas Gembringan. Berkat pusaka tersebut akhirnya Raden Werkudara dapat menggiring semua hewan yang bisa berbicara. Prabu Kresna dan Prabu Baladewa di negara Dwarawati menunggu kedatangan pelamar dengan membawa semua syarat. Tidak lama kemudian pelamar Amarta datang dengan membawa semua syarat. Kedatangan pelamar Amarta diwakili oleh Narada dan Raden Werkudara. Dengan syarat itulah Raden Permadi berhak meminang Dewi Sembadra. Dengan semua kejadian itu Raden Werkudara marah karena merasa dipersulit untuk melamar Dewi Sembadra menjadi jodoh Permadi. Dalam kemarahan itu Raden Werkudara berbalik minta syarat yaitu orang Dwarawati harus ada yang bisa mengimbangi onclang gada Lukitasari dengan Werkudara. Permintaan Raden Werkudara dipenuhi oleh Prabu Kresna. Akhirnya Raden Setyaki dipilih oleh Prabu Kresna sebagai jago Dwarawati untuk menandingi onclang gada Lukitasari. Dalam oclang gada Raden Setyaki bisa mengimbangi Raden Werkudara, namun ketika melihat keindahan bentuk serta relief gada Lukitasari, raden Setiyaki lengah dalam memegang gada tersebut dan jatuh mengenai paha sebelah kanan yang membuat ia cacat (kencet). 125

27 Karena Setyaki sudah bisa mengimbanginya, maka Werkudara memberi nama Setyaki dengan nama Bima Kunthing, dan berhak memakai atribut sama seperti Raden Werkudara. Prabu Baladewa marah karena dipengaruhi Patih Sengkuni dan hendak melabrak Raden Permadi namun dapat dihentikan Prabu Kresna. Setelah Baladewa mengetahui kalau dirinya diperalat Patih Sengkuni ia berbalik marah dan melabrak para Kurawa. Setelah kejadian itu maka terlaksanalah pernikahan antara Raden Permadi dan Dewi Sembadra (Parta Krama). Kemudian ringkasan cerita tersebut, dapat dijelaskan dalam bentuk tabulasi sesuai dengan pakem dari pathet nem, pathet sanga, dan pathet manyura, dengan tabel-tabel sebagai berikut: Tabel 3.4: Pathet Nem Parta Krama Jejer Adegan Perang Kejadian di istana Gending iringan disertai carita Gending iringan peralihan Pathet Nem ke Pathet Sanga Suwuk Suluk Lagon Sanga Wetah Iringan GendingWirangrong 1. Negara Dwarawati, prabu Kresna menerima tamu Prabu Baladewa dan Gathotkaca yang datang kemudian. 2. Setelah adegan kedhaton lalu Obrolan Limbuk dan Cangik. Baladewa marah pada Gathotkaca dan menghajarnya. Dapat dilerai Oleh prabu Kresna dan memerintahkan Gathotkaca memberi kabar para Pandawa tentang syarat tersebut. 1. Atas perintah Baladewa, para Kurawa menuju alas Gambringan untuk mencari isyarat perkawinan. 2. Di alas Gambringan, Raja Diradamuka (berwujud gajah) Dihadap saudara-saudaranya yang berwujud hewan hutan. 3. Patih Sengkuni dan Dursasana Terjadi peperangan antara Gathotkaca dan Kurawa untuk mencegah Gathotkaca dalam Perjalanan mencari syarat perkawinan. Iringan Playon Lasem Seekor macan menyerang para prajurit Astina dan perkelahian terjadi. Iringan: Playon Lasem Perang antara Aswatama dan macan, Aswatama kalah diganti Dursasana

BAB IV PENUTUP. Hadiprayitna dapat dipahami sebagai sikap kreatif dalang sebagai pelaku seni

BAB IV PENUTUP. Hadiprayitna dapat dipahami sebagai sikap kreatif dalang sebagai pelaku seni BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Sanggit Gugurnya Bisma di dalam lakon Bisma Gugur sajian Ki Timbul Hadiprayitna dapat dipahami sebagai sikap kreatif dalang sebagai pelaku seni pedalangan dalam rangka mengubah

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. wayang yang digunakan, yaitu wayang kulit purwa dan wayang kulit madya.

BAB IV PENUTUP. wayang yang digunakan, yaitu wayang kulit purwa dan wayang kulit madya. 104 BAB IV PENUTUP Lakon Anoman Mukswa merupakan lakon transisi dari wayang purwa menuju wayang madya sehingga dalam pementasannya terdapat dua jenis wayang yang digunakan, yaitu wayang kulit purwa dan

Lebih terperinci

1 Tata Ungkapan Luar (TUL) adalah bagaimana mambuat perbedaan antara TUD di satu gambar dengan

1 Tata Ungkapan Luar (TUL) adalah bagaimana mambuat perbedaan antara TUD di satu gambar dengan Bab. IV. ANALISIS GERAK PADA JEJER I ADEGAN KEDHATON - PATHET NEM (Menggunakan pendekatan hasil disertasi Primadi) 4.1. Sajian data dan analisis lengkapnya (tabulasi pembacaan/analisis terhadap gerakgerak)

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. Lakon Antaséna Rabi sajian Ki Anom Suroto merupakan. salah satu jenis lakon rabèn dan karangan yang mengambil satu

BAB VI KESIMPULAN. Lakon Antaséna Rabi sajian Ki Anom Suroto merupakan. salah satu jenis lakon rabèn dan karangan yang mengambil satu BAB VI KESIMPULAN Lakon Antaséna Rabi sajian Ki Anom Suroto merupakan salah satu jenis lakon rabèn dan karangan yang mengambil satu tokoh pokok Antasena kemudian ditambah tokoh-tokoh baru seperti Manuwati,

Lebih terperinci

MATA PELAJARAN : SENI PEDALANGAN JENJANG PENDIDIKAN : SMK

MATA PELAJARAN : SENI PEDALANGAN JENJANG PENDIDIKAN : SMK MATA PELAJARAN : SENI PEDALANGAN JENJANG PENDIDIKAN : SMK Pedagogi Inti 1. Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, spiritual, sosial, kultural, emosional, dan intelektual. 2. Menguasai

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Penelitian ini menjawab dua persoalan yaitu bagaimana. Pertunjukan berlangsung selama dua jam sepuluh menit dan

BAB V PENUTUP. Penelitian ini menjawab dua persoalan yaitu bagaimana. Pertunjukan berlangsung selama dua jam sepuluh menit dan 253 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian ini menjawab dua persoalan yaitu bagaimana intertekstualitas struktur lakon dan mengapa dramatisasi diperlukan dalam sanggit lakon Hana Caraka Nabi Elia. Pertunjukan

Lebih terperinci

Bab V. PEMAKNAAN ATAS HASIL ANALISIS GERAK MENYELURUH PADA JEJER I, ADEGAN KEDHATON, LAKON PARTA KRAMA 5.1. Pemaknaan atas hasil analisis Pemaknaan

Bab V. PEMAKNAAN ATAS HASIL ANALISIS GERAK MENYELURUH PADA JEJER I, ADEGAN KEDHATON, LAKON PARTA KRAMA 5.1. Pemaknaan atas hasil analisis Pemaknaan Bab V. PEMAKNAAN ATAS HASIL ANALISIS GERAK MENYELURUH PADA JEJER I, ADEGAN KEDHATON, LAKON PARTA KRAMA 5.1. Pemaknaan atas hasil analisis Pemaknaan yang dimaksud merupakan perolehan dari data-data yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. wayang. Sebuah pemikiran besar yang sejak dahulu memiliki aturan ketat sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. wayang. Sebuah pemikiran besar yang sejak dahulu memiliki aturan ketat sebagai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia kesusasteraan memiliki ruang lingkup yang begitu luas dalam rangka penciptaannya atas representasi kebudayaan nusantara. Salah satu hasil ekspresi yang muncul

Lebih terperinci

menganggap bahwa bahasa tutur dalang masih diperlukan untuk membantu mendapatkan cerita gerak yang lebih jelas.

menganggap bahwa bahasa tutur dalang masih diperlukan untuk membantu mendapatkan cerita gerak yang lebih jelas. Bab. VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Teori bahasa rupa dapat menjelaskan gerak/sebetan wayang kulit purwa dengan cara menggunakan rangkaian gambar gerak dari satu gambar gerak ke gambar gerak

Lebih terperinci

Pagelaran Wayang Ringkas

Pagelaran Wayang Ringkas LOMBA KOMPETENSI SISWA SMK TINGKAT NASIONAL XIV Jakarta, 12 16 Juni 2006 KODE : 33 NAS Bidang Lomba Keahlian Seni Pedalangan Pagelaran Wayang Ringkas Test Project DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. kulit purwa yaitu Wisnu Ratu, Arjunasasra lahir dan Sumantri Ngenger.

BAB IV PENUTUP. kulit purwa yaitu Wisnu Ratu, Arjunasasra lahir dan Sumantri Ngenger. BAB IV PENUTUP Lakon Sokasrana ini pada dasarnya diadaptasi dari tiga lakon wayang kulit purwa yaitu Wisnu Ratu, Arjunasasra lahir dan Sumantri Ngenger. Pengadaptasian tiga lakon menjadi satu lakon dengan

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. mengakibatkan perubahan teknik tabuhan pada beberapa instrument bonang

BAB IV KESIMPULAN. mengakibatkan perubahan teknik tabuhan pada beberapa instrument bonang BAB IV KESIMPULAN Penerapan suwuk gropak dalam karawitan pakeliran gaya Yogyakarta mengakibatkan perubahan teknik tabuhan pada beberapa instrument bonang penerus, bonang barung, peking, serta penyederhanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Seni Wayang Jawa sudah ada jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu ke indonesia. Wayang merupakan kreasi budaya masyarakat /kesenian Jawa yang memuat berbagai aspek

Lebih terperinci

Hasil Wawancara Dengan Ki Kasim Kesdo Lamono dan Paguyuban Cinde

Hasil Wawancara Dengan Ki Kasim Kesdo Lamono dan Paguyuban Cinde Hasil Wawancara Dengan Ki Kasim Kesdo Lamono dan Paguyuban Cinde Laras - Bagaimana perkembangan kesenian wayang kulit saat ini ditengahtengah perkembangan teknologi yang sangat maju, sebenarnya semakin

Lebih terperinci

TONTONAN, TATANAN, DAN TUNTUNAN ASPEK PENTING DALAM AKSIOLOGI WAYANG

TONTONAN, TATANAN, DAN TUNTUNAN ASPEK PENTING DALAM AKSIOLOGI WAYANG TONTONAN, TATANAN, DAN TUNTUNAN ASPEK PENTING DALAM AKSIOLOGI WAYANG Oleh: Kasidi Hp. Disampaikan dalam Sarasehan Senawangi Dalam Rangka Kongres IX Senawangi 25-26 April 2017 Jakarta PENGERTIAN AKSIOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu dari sekian banyaknya kesenian di Pulau Jawa adalah kesenian wayang

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu dari sekian banyaknya kesenian di Pulau Jawa adalah kesenian wayang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu dari sekian banyaknya kesenian di Pulau Jawa adalah kesenian wayang kulit purwa. Kesenian wayang kulit purwa hampir terdapat di seluruh Pulau Jawa.

Lebih terperinci

PENERAPAN TLUTUR DALAM PAKELIRAN WAYANG KULIT GAYA YOGYAKARTA VERSI KI TIMBUL HADIPRAYITNA, KI SUTEDJO, KI SUGATI, DAN KI MARGIONO.

PENERAPAN TLUTUR DALAM PAKELIRAN WAYANG KULIT GAYA YOGYAKARTA VERSI KI TIMBUL HADIPRAYITNA, KI SUTEDJO, KI SUGATI, DAN KI MARGIONO. PENERAPAN TLUTUR DALAM PAKELIRAN WAYANG KULIT GAYA YOGYAKARTA VERSI KI TIMBUL HADIPRAYITNA, KI SUTEDJO, KI SUGATI, DAN KI MARGIONO Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN SEMBADRA DILARUNG (PAKEM BALUNGAN) KE SEMBADRA LARUNG (PAKEM JANGKEP): ANALISIS PERBANDINGAN ALUR DAN PENOKOHAN SKRIPSI

PERKEMBANGAN SEMBADRA DILARUNG (PAKEM BALUNGAN) KE SEMBADRA LARUNG (PAKEM JANGKEP): ANALISIS PERBANDINGAN ALUR DAN PENOKOHAN SKRIPSI PERKEMBANGAN SEMBADRA DILARUNG (PAKEM BALUNGAN) KE SEMBADRA LARUNG (PAKEM JANGKEP): ANALISIS PERBANDINGAN ALUR DAN PENOKOHAN SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penerangan, dakwah, pendidikan, pemahaman filsafat, serta hiburan.

BAB I PENDAHULUAN. penerangan, dakwah, pendidikan, pemahaman filsafat, serta hiburan. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wayang salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang terus berkembang dari zaman ke zaman,

Lebih terperinci

RAMAYANA FULL STORY DALAM RANGKA FESTIVAL RAMAYANA INTERNATIONAL DI INDIA

RAMAYANA FULL STORY DALAM RANGKA FESTIVAL RAMAYANA INTERNATIONAL DI INDIA RAMAYANA FULL STORY DALAM RANGKA FESTIVAL RAMAYANA INTERNATIONAL DI INDIA A. PENDAHULUAN Cerita Ramayana begitu terkenal di seluruh penjuru dunia, terutama negaranegara yang mempunyai tradisi budaya yang

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. Banyumas. Jemblung berawal dari dua kesenian rakyat yaitu Muyèn dan Menthièt.

BAB IV PENUTUP. Banyumas. Jemblung berawal dari dua kesenian rakyat yaitu Muyèn dan Menthièt. BAB IV PENUTUP Jemblung Banyumas merupakan salah satu bentuk kesenian tradisi rakyat Banyumas. Jemblung berawal dari dua kesenian rakyat yaitu Muyèn dan Menthièt. Muyèn merupakan kesenian macapatan yang

Lebih terperinci

SUWUK GROPAK DALAM KARAWITAN PAKELIRAN WAYANG KULIT GAYA YOGYAKARTA

SUWUK GROPAK DALAM KARAWITAN PAKELIRAN WAYANG KULIT GAYA YOGYAKARTA SUWUK GROPAK DALAM KARAWITAN PAKELIRAN WAYANG KULIT GAYA YOGYAKARTA Skripsi untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat sarjana S-1 pada Program Studi Seni Karawitan Kompetensi Pengkajian

Lebih terperinci

BAB 2 DATA DAN ANALISIS Perang Wanara dan Raksasa. satu ksatria yang sangat ditakuti oleh lawannya.

BAB 2 DATA DAN ANALISIS Perang Wanara dan Raksasa. satu ksatria yang sangat ditakuti oleh lawannya. BAB 2 DATA DAN ANALISIS 2.1. Legenda Hanoman 2.1.1 Perang Wanara dan Raksasa Setelah lakon Hanoman Obong. Hanoman kembali bersama Sri Rama dan Laskmana beserta ribuan pasukan wanara untuk menyerang Alengka

Lebih terperinci

Deskripsi Karawitan Pakeliran Garapan Kolaborasi. Wayang Jawa - Bali. Dalang : Dru Hendro, S.Sen dan I Wayan Nardayana

Deskripsi Karawitan Pakeliran Garapan Kolaborasi. Wayang Jawa - Bali. Dalang : Dru Hendro, S.Sen dan I Wayan Nardayana Deskripsi Karawitan Pakeliran Garapan Kolaborasi Wayang Jawa - Bali Dalang : Dru Hendro, S.Sen dan I Wayan Nardayana Penata Karawitan: Saptono, S.Sen Dibiayai Oleh Program Semi-Que V Prodi Pedalangan STSI

Lebih terperinci

B A B I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

B A B I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang B A B I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pakeliran atau ringgitan adalah istilah bahasa Jawa untuk pengertian suatu pentas atau pertunjukan wayang kulit. Pentas ini menyajikan permainan ringgit wacucal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Wayang Golek adalah suatu seni pertunjukan boneka tiruan rupa manusia yang dimainkan oleh seorang dalang dengan menggabungkan beberapa unsur seni. Wayang Golek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tradisi tulis yang berkembang di masyarakat Jawa dapat diketahui melalui

BAB I PENDAHULUAN. Tradisi tulis yang berkembang di masyarakat Jawa dapat diketahui melalui BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tradisi tulis yang berkembang di masyarakat Jawa dapat diketahui melalui naskah kuna. Jenis isi dari naskah kuna sangat beragam. Jenis teks tersebut antara lain berisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenalnya, walaupun dengan kadar pemahaman yang berbeda-beda. Secara

BAB I PENDAHULUAN. mengenalnya, walaupun dengan kadar pemahaman yang berbeda-beda. Secara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kata seni adalah sebuah kata yang semua orang dipastikan mengenalnya, walaupun dengan kadar pemahaman yang berbeda-beda. Secara Etimologi istilah seni berasal

Lebih terperinci

AGUS SANTOSO PERNIKAHAN ARJUNA. Sebuah Epik Arjunawiwaha Karya Mpu Kanwa

AGUS SANTOSO PERNIKAHAN ARJUNA. Sebuah Epik Arjunawiwaha Karya Mpu Kanwa AGUS SANTOSO PERNIKAHAN ARJUNA Sebuah Epik Arjunawiwaha Karya Mpu Kanwa CIPANAS PRESS 2014 Diterbitkan oleh Cipanas Press (STT Cipanas) Jl. Gadog I/36 Cipanas Cianjur 43253 Jawa Barat Indonesia Cetakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cipta yang menggambarkan kejadian-kejadian yang berkembang di masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. cipta yang menggambarkan kejadian-kejadian yang berkembang di masyarakat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan karya sastra tidak dapat dilepaskan dari gejolak dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Karena itu, sastra merupakan gambaran kehidupan yang terjadi

Lebih terperinci

DESKRIPSI SENDRATARI KOLOSAL BIMA SWARGA

DESKRIPSI SENDRATARI KOLOSAL BIMA SWARGA DESKRIPSI SENDRATARI KOLOSAL BIMA SWARGA Oleh : I Gede Oka Surya Negara, SST.,M.Sn. JURUSAN SENI TARI FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR 2009 KATA PENGANTAR Berkat rahmat Tuhan

Lebih terperinci

Wujud Garapan pakeliran Jaya Tiga Sakti Kiriman I Gusti Ngurah Nyoman Wagista, Mahasiswa PS. Seni Pedalangan ISI Denpasar. Wujud garapan pakeliran

Wujud Garapan pakeliran Jaya Tiga Sakti Kiriman I Gusti Ngurah Nyoman Wagista, Mahasiswa PS. Seni Pedalangan ISI Denpasar. Wujud garapan pakeliran Wujud Garapan pakeliran Jaya Tiga Sakti Kiriman I Gusti Ngurah Nyoman Wagista, Mahasiswa PS. Seni Pedalangan ISI Denpasar. Wujud garapan pakeliran Jaya Tiga Sakti ini adalah garapan pakeliran inovativ

Lebih terperinci

Analisis Semiotik dalam Suluk Pakeliran Lakon Retno Sentiko Oleh Ki Seno Nugroho

Analisis Semiotik dalam Suluk Pakeliran Lakon Retno Sentiko Oleh Ki Seno Nugroho Analisis Semiotik dalam Suluk Pakeliran Lakon Retno Sentiko Oleh Ki Seno Nugroho Oleh : Eka Homsatun Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa ekahomsatun@yahoo.co.id Abstrak: Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berbagai budaya masyarakat, adat istiadat dan kebiasaan yang dilakukan turun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berbagai budaya masyarakat, adat istiadat dan kebiasaan yang dilakukan turun 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia eksotisme penuh dengan berbagai macam seni budaya, dari pulau Sabang sampai Merauke berbeda budaya yang dimiliki oleh setiap daerahnya. Berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wayang kulit adalah salah satu bentuk seni pertunjukan yang sangat popular dan disenangi oleh berbagai lapisan masyarakat di Jawa khususnya di wilayah Jawa Tengah dan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Wayang wong gaya Yogyakarta adalah segala bentuk drama tari tanpa

BAB V KESIMPULAN. Wayang wong gaya Yogyakarta adalah segala bentuk drama tari tanpa BAB V KESIMPULAN Wayang wong gaya Yogyakarta adalah segala bentuk drama tari tanpa topeng (meski sebagian tokoh mengenakan topeng, terminologi ini digunakan untuk membedakannya dengan wayang topeng) yang

Lebih terperinci

dari pengalaman tertentu dalam karya seninya melainkan formasi pengalaman emosional yang bukan dari pikiranya semata. 2.

dari pengalaman tertentu dalam karya seninya melainkan formasi pengalaman emosional yang bukan dari pikiranya semata. 2. A. Pendahuluan 1. Latar Belakang Masalah Musik sebagai bagian dari kebudayaan suatu bangsa, merupakan ungkapan serta ekspresi perasaan bagi pemainnya. Kebudayaan juga merupakan cerminan nilai-nilai personal,

Lebih terperinci

MITOS DRUPADI DEWI BUMI DAN KESUBURAN (Dasar-dasar Perancangan Karya Seni Pedalangan)

MITOS DRUPADI DEWI BUMI DAN KESUBURAN (Dasar-dasar Perancangan Karya Seni Pedalangan) MITOS DRUPADI DEWI BUMI DAN KESUBURAN (Dasar-dasar Perancangan Karya Seni Pedalangan) Oleh : Kasidi Jurusan Seni Pedalangan Fakultas Seni Petunjukan INSTITUT SENI INDONESIA YOGYAKARTA 2014 i Judul MITOS

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. kesimpulan untuk mengingatkan kembali hal-hal yang penting dan sekaligus

BAB V PENUTUP. kesimpulan untuk mengingatkan kembali hal-hal yang penting dan sekaligus BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian skripsi yang telah penulis bahas tersebut maka dapat diambil kesimpulan untuk mengingatkan kembali hal-hal yang penting dan sekaligus menjadi inti sari daripada

Lebih terperinci

Karya Tari Ramayana Dwi Tunggal. Kasultanan dan Puro PA

Karya Tari Ramayana Dwi Tunggal. Kasultanan dan Puro PA Karya Tari Ramayana Dwi Tunggal Kasultanan dan Puro PA Rancangan : Urutan Adegan Ramayana Lampahan Sinta Obong Bagian I Bagian II Bagian III Bagian IV : Introduksi Rahwana berhasil membawa Sinta, di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1. Latar belakang Manusia adalah makhluk budaya, dan penuh simbol-simbol. Dapat dikatakan bahwa budaya manusia diwarnai simbolisme, yaitu suatu tata pemikiran atau paham yang menekankan

Lebih terperinci

Pewayangan Pada Desain Undangan. Yulia Ardiani Staff UPT. Teknologi Informasi Dan Komunikasi Institut Seni Indonesia Denpasar.

Pewayangan Pada Desain Undangan. Yulia Ardiani Staff UPT. Teknologi Informasi Dan Komunikasi Institut Seni Indonesia Denpasar. Pewayangan Pada Desain Undangan Yulia Ardiani Staff UPT. Teknologi Informasi Dan Komunikasi Institut Seni Indonesia Denpasar Abstrak Sesuatu yang diciptakan oleh manusia yang mengandung unsur keindahan

Lebih terperinci

Pupuh 1 (bait 1-5) : Manggala dipersembahkan kepada Dewa Wisnu yang menjelma menjadi manusia pada zaman Dwapara.

Pupuh 1 (bait 1-5) : Manggala dipersembahkan kepada Dewa Wisnu yang menjelma menjadi manusia pada zaman Dwapara. RINGKASAN KEKAWIN KRESNAYANA Pupuh 1 (bait 1-5) : Manggala dipersembahkan kepada Dewa Wisnu yang menjelma menjadi manusia pada zaman Dwapara. Pupuh 2 (bait 1-8) : Ada suatu kerajaan yang bernama Dwarawati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wayang merupakan representasi kehidupan manusia yang memuat nilai, norma, etika, estetika, serta aturan-aturan dalam berbuat dan bertingkah laku yang baik. Wayang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari Tugas Akhir ini adalah membuat game bergenre rhythm bertema

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari Tugas Akhir ini adalah membuat game bergenre rhythm bertema BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penciptaan Tujuan dari Tugas Akhir ini adalah membuat game bergenre rhythm bertema cerita wayang Ramayana yang diperuntukkan bagi remaja usia 15-18 tahun. Hal ini dilatar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesenian produk asli bangsa Indonesia. Kesenian wayang, merupakan

BAB I PENDAHULUAN. kesenian produk asli bangsa Indonesia. Kesenian wayang, merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang sangat kaya dengan aneka ragam kebudayaan dan tradisi. Potensi merupakan model sebagai sebuah bangsa yang besar. Kesenian wayang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Budaya tersebut terbagi dalam beberapa daerah di Indonesia dan salah satunya adalah

BAB I PENDAHULUAN. Budaya tersebut terbagi dalam beberapa daerah di Indonesia dan salah satunya adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki budaya yang sangat banyak. Budaya tersebut terbagi dalam beberapa daerah di Indonesia dan salah satunya adalah Bandung.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan sosial, adat istiadat. Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan sosial, adat istiadat. Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia yang terdiri atas beberapa pulau dan kepulauan serta di pulau-pulau itu terdapat berbagai suku bangsa masing-masing mempunyai kehidupan sosial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cerdas, sehat, disiplin, dan betanggung jawab, berketrampilan serta. menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi misi dan visi

BAB I PENDAHULUAN. cerdas, sehat, disiplin, dan betanggung jawab, berketrampilan serta. menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi misi dan visi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perwujudan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu dalam rangka membentuk generasi bangsa yang memiliki karakter dengan kualitas akhlak mulia, kreatif,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah karya seni tidak terlepas dari pembuatnya, yaitu lebih dikenal dengan

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah karya seni tidak terlepas dari pembuatnya, yaitu lebih dikenal dengan BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sebuah karya seni tidak terlepas dari pembuatnya, yaitu lebih dikenal dengan istilah seniman. Pada umumnya, seorang seniman dalam menuangkan idenya menjadi sebuah karya

Lebih terperinci

Bab VI Simpulan & Saran

Bab VI Simpulan & Saran Bab VI Simpulan & Saran VI.1. Simpulan Berdasarkan analisis pada perupaan sampel artefak yang saling diperbandingkan, maka sesuai hipotesis, memang terbukti adanya pemaknaan Tasawuf yang termanifestasikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. wayang wong merupakan suatu khasanah budaya yang penuh dengan nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. wayang wong merupakan suatu khasanah budaya yang penuh dengan nilai-nilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wayang orang atau yang dalam bahasa Jawa sering disebut dengan istilah wayang wong merupakan suatu khasanah budaya yang penuh dengan nilai-nilai kesopanan dan

Lebih terperinci

UNIVERSITAS DIPONEGORO

UNIVERSITAS DIPONEGORO MASYARAKAT DAN KESENIAN INDONESIA SEJARAH WAYANG KULIT SEBAGI KESENIAN INDONESIA Disusun Oleh: Ditujukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Masyarakat dan Kesenian Indonesia AHMAD ISLAHUDIN ALI 13030 1111

Lebih terperinci

Movement art in the puppet performances is often mentioned as sabetan. Puppet movement art, that contains rules, norms, guidance (orientation) is

Movement art in the puppet performances is often mentioned as sabetan. Puppet movement art, that contains rules, norms, guidance (orientation) is Movement art in the puppet performances is often mentioned as sabetan. Puppet movement art, that contains rules, norms, guidance (orientation) is convention that is observed and referred to guidance the

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN PERANCANGAN

BAB 2 LANDASAN PERANCANGAN BAB 2 LANDASAN PERANCANGAN 2.1 Tinjauan Umum 2.1.1 Sumber Data Data dan informasi untuk mendukung proyek Tugas Akhir ini diperoleh dari berbagai sumber, antara lain: Pencarian bahan melalui artikel dan

Lebih terperinci

\PESAN-PESAN MORAL PADA PERTUNJUKAN WAYANG KULIT

\PESAN-PESAN MORAL PADA PERTUNJUKAN WAYANG KULIT \PESAN-PESAN MORAL PADA PERTUNJUKAN WAYANG KULIT (Studi Kasus Pada Lakon Wahyu Makutharama dengan Dalang Ki Djoko Bawono di Desa Harjo Winangun, Kecamatan Godong, Kabupaten Grobogan dalam Acara Bersih

Lebih terperinci

INTERAKSI KEBUDAYAAN

INTERAKSI KEBUDAYAAN Pengertian Akulturasi Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing

Lebih terperinci

BAB 2 DATA DAN ANALISA. - Buku Rupa Wayang Dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia. - Buku Indonesian Heritage Performing Arts.

BAB 2 DATA DAN ANALISA. - Buku Rupa Wayang Dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia. - Buku Indonesian Heritage Performing Arts. 3 BAB 2 DATA DAN ANALISA 2.1 Data Dan Literatur Metode penelitian yang digunakan: Literatur : - Buku Rupa Wayang Dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia. - Buku Indonesian Heritage Performing Arts. - Buku

Lebih terperinci

\PESAN-PESAN MORAL PADA PERTUNJUKAN WAYANG KULIT

\PESAN-PESAN MORAL PADA PERTUNJUKAN WAYANG KULIT \PESAN-PESAN MORAL PADA PERTUNJUKAN WAYANG KULIT \PESAN-PESAN MORAL PADA PERTUNJUKAN WAYANG KULIT (Studi Kasus Pada Lakon Wahyu Makutharama dengan Dalang Ki Djoko Bawono di Desa Harjo Winangun, Kecamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penduduk Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai suku etnis dan bangsa yang memiliki ciri khas masing-masing. Dari berbagai suku dan etnis

Lebih terperinci

PEMBINAAN PEMBELAJARAN CATUR PAKELIRAN

PEMBINAAN PEMBELAJARAN CATUR PAKELIRAN Abdi Seni Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat PEMBINAAN PEMBELAJARAN CATUR PAKELIRAN BAGI SISWA LEMBAGA PENDIDIKAN KETRAMPILAN KURSUS PEDALANGAN SEKAR RINONCE DI WONOGIRI Kuwato Jurusan Seni Pedalangan,

Lebih terperinci

MATERI STUDI RELIGI JAWA

MATERI STUDI RELIGI JAWA MATERI STUDI RELIGI JAWA Bahasa dan sastra; karya sastra Jawa Kuna yang tergolong tua; karya sastra Jawa Kuna yang bertembang; karya sastra Jawa Kuna yang tegolong muda; karya sastra yang berbahasa Jawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara yang kaya dalam berbagai hal, termasuk dalam segi kebudayaan.

BAB I PENDAHULUAN. negara yang kaya dalam berbagai hal, termasuk dalam segi kebudayaan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang besar dan luas. Dengan kondisi geografis yang demikian, membuat Indonesia menjadi negara yang

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN 96 BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Kesenian wayang kulit purwa bagi bangsa Indonesia merupakan salah satu dari sekian banyak kekayaan budaya warisan leluhur yang sangat tinggi nilainya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari, kita ketahui terdapat beberapa jenis seni yang di

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari, kita ketahui terdapat beberapa jenis seni yang di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari, kita ketahui terdapat beberapa jenis seni yang di antaranya adalah Seni Rupa, Seni Musik, Seni Tari, dan Seni Teater. Beberapa jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih tersebar diseluruh Nusantara. Menurut Kodirun (dalam Koentjaranigrat,

BAB I PENDAHULUAN. masih tersebar diseluruh Nusantara. Menurut Kodirun (dalam Koentjaranigrat, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wayang adalah suatu kebudayaan yang ada di Indonesia sejak ajaran Hindu masih tersebar diseluruh Nusantara. Menurut Kodirun (dalam Koentjaranigrat, 1990:329). Daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tari adalah gerak-gerak dari seluruh bagian tubuh manusia yang disusun selaras

I. PENDAHULUAN. Tari adalah gerak-gerak dari seluruh bagian tubuh manusia yang disusun selaras 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tari adalah gerak-gerak dari seluruh bagian tubuh manusia yang disusun selaras dengan irama musik serta mempunyai maksud tertentu. Tari juga merupakan ekspresi jiwa

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. Berdasarkan hasil penelitian Lagu gedé dalam Karawitan. Sunda Sebuah Tinjauan Karawitanologi, diketahui keunggulan

BAB VI KESIMPULAN. Berdasarkan hasil penelitian Lagu gedé dalam Karawitan. Sunda Sebuah Tinjauan Karawitanologi, diketahui keunggulan BAB VI KESIMPULAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian Lagu gedé dalam Karawitan Sunda Sebuah Tinjauan Karawitanologi, diketahui keunggulan musikal lagu gedé tidak dapat diragukan. Kompleksitas musik

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH : KARYA SENI MONUMENTAL

KARYA ILMIAH : KARYA SENI MONUMENTAL KARYA ILMIAH : KARYA SENI MONUMENTAL JUDUL KARYA : Desain Stage Properti Tari Kreasi Baru Satrianing Ganesha PENCIPTA : Cokorda Alit Artawan, S.Sn.,M.Sn DIPENTASKAN PADA PARADE GONG KEBYAR DEWASA DUTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun di bumi Indonesia. Berbagai bentuk kesenian, upacara keagamaan, ritual, dan

BAB I PENDAHULUAN. tahun di bumi Indonesia. Berbagai bentuk kesenian, upacara keagamaan, ritual, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bangsa Indonesia tak terlepas dari seni dan budaya yang lahir dari 300 lebih suku bangsa maupun dari pengaruh asing yang telah berakar selama ribuan

Lebih terperinci

3. Karakteristik tari

3. Karakteristik tari 3. Karakteristik tari Pada sub bab satu telah dijelaskan jenis tari dan sub bab dua dijelaskan tentang fungsi tari. Berdasarkan penjelasan dari dua sub bab tersebut, Anda tentunya telah memperoleh gambaran

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Kesenian wayang golek merupakan salah satu kesenian khas masyarakat

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Kesenian wayang golek merupakan salah satu kesenian khas masyarakat 143 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Kesenian wayang golek merupakan salah satu kesenian khas masyarakat Sunda yang sangat digemari bukan saja di daerah Jawa Barat, melainkan juga di daerah lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ujian mata kuliah Proyek Akhir yang bertema The Futuristic Of. Ramayana. Yang bertujuan untuk memperkenalkan suatu budaya

BAB I PENDAHULUAN. ujian mata kuliah Proyek Akhir yang bertema The Futuristic Of. Ramayana. Yang bertujuan untuk memperkenalkan suatu budaya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Pagelaran Tata Rias dan Kecantikan ini menyelenggarakan ujian mata kuliah Proyek Akhir yang bertema The Futuristic Of Ramayana. Yang bertujuan untuk memperkenalkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Melihat perkembangan dan kemajuan ilmu teknologi yang semakin

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Melihat perkembangan dan kemajuan ilmu teknologi yang semakin BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Melihat perkembangan dan kemajuan ilmu teknologi yang semakin berkembang pesat dengan adanya sarana media pendidikan dan hiburan yang lebih banyak menggunakan media

Lebih terperinci

MODUL PEMBELAJARAN SENI BUDAYA

MODUL PEMBELAJARAN SENI BUDAYA MODUL PEMBELAJARAN SENI BUDAYA DISUSUN OLEH Komang Kembar Dana Disusun oleh : Komang Kembar Dana 1 MODUL PEMBELAJARAN SENI BUDAYA STANDAR KOMPETENSI Mengapresiasi karya seni teater KOMPETENSI DASAR Menunjukan

Lebih terperinci

Kendangan Matut. Latar Belakang

Kendangan Matut. Latar Belakang Kendangan Matut Latar Belakang Karawitan Jawa merupakan bentuk musik yang didalamnya penuh dengan garap ricikan atau instrumen gamelan. Garap sendiri merupakan elemen yang harus hadir didalam sajian karawitan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kita adalah Negara yang memiliki beragam kebudayaan daerah dengan ciri khas masing-masing. Bangsa Indonesia telah memiliki semboyan Bhineka Tunggal

Lebih terperinci

ANOMAN MUKSWA. Catur Cang Pamungkas Jurusan Pedalangan Institut Seni Indonesia Yogyakarta ABSTRAK

ANOMAN MUKSWA. Catur Cang Pamungkas Jurusan Pedalangan Institut Seni Indonesia Yogyakarta ABSTRAK 1 ANOMAN MUKSWA Catur Cang Pamungkas Jurusan Pedalangan Institut Seni Indonesia Yogyakarta ABSTRAK Lakon Anoman Mukswa merupakan lakon transisi dari wayang purwa menuju wayang madya sehingga dalam pementasannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,

BAB I PENDAHULUAN. kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, 1 A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Kebudayaan merupakan hasil cipta manusia dan juga merupakan suatu kekayaan yang sampai saat ini masih kita miliki dan patut kita pelihara. Tiap masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bercerita memang mengasyikkan untuk semua orang. Kegiatan bercerita dapat dijadikan sebagai wahana untuk membangun karakter seseorang terutama anak kecil. Bercerita

Lebih terperinci

UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta PAKELIRAN WAYANG KULIT PURWA LAKON RESI SUBALI

UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta PAKELIRAN WAYANG KULIT PURWA LAKON RESI SUBALI PAKELIRAN WAYANG KULIT PURWA LAKON RESI SUBALI Mustiko Bayu Wibowo Jurusan Pedalangan, Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta. email: Bayuwibowo20@yahoo.co.id ABSTRAK Karya ini merupakan tanggapan dari

Lebih terperinci

Work Shop Tari Golek Menak Gaya Yogyakarta di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta, 2005.

Work Shop Tari Golek Menak Gaya Yogyakarta di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta, 2005. A. Judul Kegiatan: Work Shop Tari Golek Menak Gaya Yogyakarta di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta, 2005. B. Deskripsi Kegiatan Kegiatan work shop Tari Golek Menak gaya Yogyakarta ini merupakan agenda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Parwa merupakan kesusastraan Jawa Kuna yang berbentuk prosa liris.

BAB I PENDAHULUAN. Parwa merupakan kesusastraan Jawa Kuna yang berbentuk prosa liris. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Parwa merupakan kesusastraan Jawa Kuna yang berbentuk prosa liris. Parwa berarti bagian buku/cerita (Mardiwarsito, 1986:410). Parwa juga dikatakan sebagai bagian dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peneliti mengenal penari-penari wayang topeng di Malang, Jawa Timur sejak

BAB I PENDAHULUAN. Peneliti mengenal penari-penari wayang topeng di Malang, Jawa Timur sejak A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Peneliti mengenal penari-penari wayang topeng di Malang, Jawa Timur sejak tahun 1980. Perkenalan itu terjadi ketika peneliti belajar menari di Sanggar Tari Laras Budi

Lebih terperinci

yang di gunakan pada pertunjukan wayang seperti kelir, blencong, kepyak,

yang di gunakan pada pertunjukan wayang seperti kelir, blencong, kepyak, BAB II ASAL-USUL WAYANG A. Sejarah Wayang Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang kaya dengan budaya. Di antara sekian banyak seni budaya yang ada, wayang dan seni pedalangan yang bertahan dari masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia di jaman dahulu. Mahabharata berasal dari kata maha yang berarti

BAB I PENDAHULUAN. manusia di jaman dahulu. Mahabharata berasal dari kata maha yang berarti BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam kesusastraan Indonesia kuno terdapat epos besar, yaitu kisah Mahabharata, yang pada awalnya ditulis dalam bahasa Sansekerta dimana menurut Nyoman (2014) dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah salah satu tonggak utama pembangun bangsa. Bangsa yang maju adalah bangsa yang mengedepankan pendidikan bagi warga negaranya, karena dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab pertama ini akan diuraikan secara berturut-turut : (1) latar

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab pertama ini akan diuraikan secara berturut-turut : (1) latar 1 BAB I PENDAHULUAN Dalam bab pertama ini akan diuraikan secara berturut-turut : (1) latar belakang penelitian, (2) rumusan masalah, (3) tujuan penelitian, (4) manfaat penelitian, (5) ruang lingkup penelitian,

Lebih terperinci

CITRA TOKOH RAMA BARGAWA DALAM LAKON BANJARAN RAMA BARGAWA

CITRA TOKOH RAMA BARGAWA DALAM LAKON BANJARAN RAMA BARGAWA CITRA TOKOH RAMA BARGAWA DALAM LAKON BANJARAN RAMA BARGAWA Ismi Handayani dan Nanny Sri Lestari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Sastra Daerah untuk Sastra Jawa ismihandayani30@gmail.com Abstrak Skripsi

Lebih terperinci

Putri Sinar Alam dan Putri Sinar Kaca (Cerita Rakyat dari daerah Jabung)

Putri Sinar Alam dan Putri Sinar Kaca (Cerita Rakyat dari daerah Jabung) Putri Sinar Alam dan Putri Sinar Kaca (Cerita Rakyat dari daerah Jabung) Ditulis kembali oleh : Iin Muthmainnah Teruntuk Sekolah Alam Mutiara Lampung Bandarlampung 2005 Judul Naskah : Putri Sinar Alam

Lebih terperinci

NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM CERITA WAYANG KULIT LAKON DEWA RUCI SKRIPSI

NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM CERITA WAYANG KULIT LAKON DEWA RUCI SKRIPSI NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM CERITA WAYANG KULIT LAKON DEWA RUCI SKRIPSI Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I) Oleh IMAM SETIAWAN NIM 111 11 098 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia terdiri dari banyak suku yang tersebar dari Sabang sampai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia terdiri dari banyak suku yang tersebar dari Sabang sampai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia terdiri dari banyak suku yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, dengan banyak suku dan budaya yang berbeda menjadikan Indonesia sebagai bangsa

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN RELEVAN

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN RELEVAN BAB II LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN RELEVAN A. Landasan Teori 1. Kebudayaan Banyak orang mengartikan kebudayaan dalam arti yang terbatas yaitu pikiran, karya, dan semua hasil karya manusia yang memenuhi

Lebih terperinci

LAKON WAHYU EKA BAWANA SAJIAN KI SRI SUSILO THENGKLENG DI SANGIRAN: KAJIAN MITOLOGI

LAKON WAHYU EKA BAWANA SAJIAN KI SRI SUSILO THENGKLENG DI SANGIRAN: KAJIAN MITOLOGI LAKON WAHYU EKA BAWANA SAJIAN KI SRI SUSILO THENGKLENG DI SANGIRAN: KAJIAN MITOLOGI TESIS Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana S2 Program Studi Pengkajian Seni Minat Pengkajian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rizky Nugaraha,2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rizky Nugaraha,2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu suku bangsa terbesar di Indonesia adalah Suku Sunda. Dengan populasi yang tersebar di seluruh Indonesia dan peranannya di masyarakat serta ciri khasnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Jawa Barat yang lebih sering disebut sebagai Tatar Sunda dikenal

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Jawa Barat yang lebih sering disebut sebagai Tatar Sunda dikenal BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Provinsi Jawa Barat yang lebih sering disebut sebagai Tatar Sunda dikenal memiliki warisan budaya yang beranekaragam. Keanekaragaman budayanya itu tercermin

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN MUDA (MANDIRI)

LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN MUDA (MANDIRI) LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN MUDA (MANDIRI) KAJIAN BENTUK, MAKNA DAN FUNGSI PATHETAN DALAM GENDING KLENENGAN Oleh: Drs. Teguh, M. Sn. Dibiayai DIPA ISI Yogyakarta No: DIPA-023.04.2.506315/2014 tanggal

Lebih terperinci

1. Bagaimana radio Gema Surya FM berupaya melestarikan kesenian Jawa. 2. Apa tujuan dari program acara kesenian jawa di RGS?

1. Bagaimana radio Gema Surya FM berupaya melestarikan kesenian Jawa. 2. Apa tujuan dari program acara kesenian jawa di RGS? Lampiran 1 KUISIONER 1. Bagaimana radio Gema Surya FM berupaya melestarikan kesenian Jawa di Ponorogo? 2. Apa tujuan dari program acara kesenian jawa di RGS? 3. Program kesenian jawa apa saja yang disiarkan

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. Berdasarkan data yang ditemukan dapat disimpulkan bahwa slentho

BAB IV PENUTUP. Berdasarkan data yang ditemukan dapat disimpulkan bahwa slentho BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan data yang ditemukan dapat disimpulkan bahwa slentho Gamelan Kyai Kancilbelik Keraton Surakarta mempunyai spesifikasi bentuk, berbeda dengan slentho yang terdapat

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. pelestarian dan keberlangsungan seni karawitan. Pada gending tengahan dan

BAB IV PENUTUP. pelestarian dan keberlangsungan seni karawitan. Pada gending tengahan dan BAB IV PENUTUP Tugas Akhir dengan kompetensi penyajian adalah sebuah wadah yang pas untuk penggalian gending-gending tradisi. Langkah ini dilakukan dalam upaya pelestarian dan keberlangsungan seni karawitan.

Lebih terperinci