NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM CERITA WAYANG KULIT LAKON DEWA RUCI SKRIPSI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM CERITA WAYANG KULIT LAKON DEWA RUCI SKRIPSI"

Transkripsi

1 NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM CERITA WAYANG KULIT LAKON DEWA RUCI SKRIPSI Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I) Oleh IMAM SETIAWAN NIM JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2016 i

2 ii

3 iii

4 iv

5 v

6 MOTTO Barang siapa sudah mengenal dirinya maka ia sudah mengenal Tuhannya, dan barang siapa sudah mengenal Tuhannya maka ia sudah mengenal rahasia dirinya (Hadits Qudsi) vi

7 PERSEMBAHAN Skripsi Ini Penulis Persembahkan Untuk: Kedua orangtua penulis, Ayahanda Saprowi dan Ibunda Nuryati yang telah memberikan kasih sayang dan selalu mendo akan dalam menyelesaikan studi dan penulisan skripsi ini dengan baik dan lancar. Mbah Kakung dan Mbah Putri, beserta adik tercinta Ananda Ana Wulan Juliyanti yang selalu mendo akan dan memberikan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan penulisan skripsi ini. Semoga Allah swt selalu dan akan selalu melimpahkan rahmat, dan inayah-nya, dan kucuran karunia kesehatan bagi keluarga penulis. vii

8 KATA PENGANTAR Assalamu alaikumwr. Wb Puja dan puji marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan yang maha Esa sebagai ungkapan rasa syukur kepadanya yang telah dan senantiasa melimpahkan hidayah dan inayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu persyaratan wajib untuk dapat memperoleh gelar Sarjana Srata Satu Pendidikan Islam (S.Pd.I) Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Solawat serta salam marilah kita sanjungkan kepangkuan Baginda Rosulullah Muhammad SAW yang mana beliau lah yang merupakan insan pilihan Allah. Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan, bimbingan, dan dorongan dari berbagai pihak. Olehkarenaitu, penulis ingin menyampaikan banyak terimakasih atas segala nasehat, bimbingan, dukungan, dan bantuannya kepada: 1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd selaku Rektor IAIN Salatiga. 2. Bapak Suwardi, M. Pd selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Salatiga. 3. Ibu Siti Rukhayati, M. Ag selaku Kajur PAI IAIN Salatiga. 4. Bapak Drs. Juz an, M. Hum selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, dan sumbangan pemikiran terbaiknya dalam masa bimbingan hingga selesainya penulisan skripsi ini. viii

9 ix

10 ABSTRAK SETIAWAN, IMAM Nilai-Nilai Pendidikan dalam Cerita Wayang Kulit Lakon Dewa Ruci. Pembimbing: Drs. Juz an, M. Hum. Kata Kunci: Nilai Pendidikan, Wayang Kulit, Lakon Dewa Ruci. Latar belakang penelitian ini melihat pendidikan yang terjadi di era globalisasi yang membawa arus modernisasi dalam perubahan dan kemajuan bangsa Indonesia. Sebagaimana dapat dilihat dari tingkah laku peserta didik yang meremehkan guru dalam proses pembelajaran. Guru menjadi panutan bagi peserta didik selama proses belajar mengajar. Menanggapi hal tersebut, kiranya perlu rumusan nilai-nilai pendidikan yang sesuai dengan konteks nilai pendidikan moral dan nilai pendidikan budi pekerti. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kisah wayang kulit lakon Dewa Ruci, nilai-nilai pendidikan dalam cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci dan implementasinya dalam berbagai aspek pendidikan. Penelitian ini merupakan jenis penelitian pustaka (Library Research), yang mencari dari sumber bacaan dan pustaka. Objek material dalam penelitian ini adalah nilai-nilai pendidikan moralitas dan budi pekerti dalam cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci. Metode dalam penelitian ini menggunakan analisis konteks, yaitu membahas sekaligus sebagai kerangka berfikir untuk mengumpulkan data dan menyusun data yang telah terkumpul. Peneliti juga menggunakan metode deskriptif dan induktif, metode deskriptif yaitu peneliti menguraikan secara teratur konsepsi buku, sedangkan metode induktif yaitu menganalisa buku yang kemudian mengambil kesimpulan. Hasil dalam penelitian ini meliputi pengertian lakon Dewa Ruci, pertunjukan lakon Dewa Ruci, makna ajaran Dewa Ruci, serta nilai-nilai pendidikan moral dan nilai pendidikan budi pekerti, yaitu lebih giat menuntut ilmu dan bekerja keras, hidup rukun, jujur, ikhlas, taat kepada guru, teguh dalam pendirian, dan mempunyai sikap hormat, dan kesabaran. Harapan itu dapat terjadi apabila dalam proses pendidikan didasari dengan nilai-nilai pendidikan yang benar dan mulia. Salah satu alternatifnya ialah merujuk pada nilai-nilai pendidikan dalam cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci. x

11 DAFTAR ISI Halaman LEMBAR BERLOGO... i HALAMAN JUDUL... ii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii PENGESAHAN KELULUSAN... iv PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN... v MOTTO... vi PERSEMBAHAN... vii KATA PENGANTAR... viii ABSTRAK... x DAFTAR ISI... xi DAFTAR LAMPIRAN... xv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1 B. Fokus Penelitian... 5 C. Tujuan Penelitian... 5 D. Kegunaan Penelitian... 6 E. Penegasan Istilah... 6 F. Kajian Pustaka... 8 G. Metode Penelitian H. Sistematika Penulisan xi

12 BAB II LANDASAN TEORI A. Wayang Kulit 1. Pertunjukan Wayang Kulit Lakon Wayang Kulit Purwa Unsur-unsur Wayang Kulit Purwa Gendhing (suluk) dalam Wayang Kulit Pagelaran Wayang Kulit Purwa B. Pendidikan 1. Pengertian Pendidikan Unsur-unsur Pendidikan Tujuan Pendidikan Macam-macam Nilai Pendidikan Wayang dengan Pendidikan BAB III HASIL PENELITIAN A. Pengertian Lakon Dewa Ruci B. Pertunjukan Lakon Dewa Ruci C. Makna Ajaran Dewa Ruci BAB IV PEMBAHASAN A. Kisah Wayang Kulit Lakon Dewa Ruci B. Nilai-nilai Pendidikan Cerita Wayang Kulit Lakon Dewa Ruci C. Implementasi Nilai-nilai Cerita Wayang Kulit Lakon Dewa Ruci dalam Pendidikan xii

13 BAB V PENUTUTP A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT HIDUP LAMPIRAN-LAMPIRAN xiii

14 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam era globalisasi ini, arus modernisasi membawa perubahan dan kemajuan yang berarti bagi bangsa Indonesia. Arus modernisasi dapat memberikan kemudahan dalam kehidupan bangsa Indonesia dalam satu sisi. Pada sisi lainnya arus modernisasi dapat mengubah jati diri bangsa Indonesia jika salah menyikapinya. Indonesia yang kaya akan keragaman budaya dapat dijadikan sebagai alat untuk menegaskan kepribadian bangsa Indonesia. Salah satu unsur yang dapat menjadi identitas jati dan diri kebudayaan bangsa Indonesia adalah kesenian, terutama kesenian wayang kulit yang menjadi kesenian asli bangsa Indonesia itu sendiri dan menjadi salah satu kebanggan bagi bangsa Indonesia hingga ke Mancanegara. Budaya wayang merupakan salah satu kesenian tradisional Nusantara yang sampai sekarang masih menghirup hembuskan nafas kehidupannya, terutama di wilayah Jawa, Bali, dan Sunda. budaya asli bangsa Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Di Jawa, seni wayang memiliki berbagai genre, antara lain wayang golek, wayang beber, wayang wong, wayang klitik, dan wayang kulit. Berdasarkan ceritanya, wayang kulit masih dibagi menjadi beberapa jenis, antara lain wayang kancil, wayang wahyu, dan wayang purwa (Achmad S.W, 2014:12). 1

15 Wayang adalah salah satu seni budaya bangsa asli Indonesia yang menonjol di antara berbagai karya budaya lainnya. Wayang berkembang pesat di Pulau Jawa dan Bali. Selain di Pulau Jawa dan Bali, seni pertunjukan wayang juga populer di berbagai daerah seperti Sunda, Sumatera, dan Semenanjung Malaya. Budaya wayang meliputi berbagai seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan lain-lain. Wayang juga merupakan salah satu bentuk seni budaya klasik tradisional yang telah berkembang selama berabad-abad. Budaya wayang yang terus berkembang dari zaman ke zaman juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, pemahaman filsafat, serta hiburan. Dalam perkembangannya wayang kulit lebih populer, karena wayang kulit mengandung banyak ajaran mulia, kesenian pertunjukan wayang kulit masih dipertahankan dan dilestarikan dalam masyarakat, khususnya masyarakat Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Jawa masih membutuhkan pesan-pesan atau nilai-nilai moral dalam cerita wayang kulit. Wayang merupakan tontonan sekaligus tuntunan. Tontonan, mengarahkan pada fungsi paedagogis (pendidikan), sedangkan tuntunan merujuk pada arah sebagai sosok karya seni yang mengandung nilai estetis (keindahan). Wayang diturunkan oleh para leluhur secara turun temurun kepada anak cucu mereka secara tradisional, wayang merupakan gambaran kehidupan manusia di dunia yang mengandung dua sifat yaitu, ada sifat baik dan sifat buruk. Sebagai contoh, wayang yang memiliki sifat baik adalah Kesatria Pandawa (dalam cerita Mahabarata). 2

16 Oleh karena itu, wayang oleh para leluhur Jawa diharapkan tidak saja menjadi tontonan, tetapi juga bias menjadi tuntunan manusia dalam berperilaku (Rahardjo, 2010:113). Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia. Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan. Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya tokoh Punakawan (Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong) dalam pewayangan sengaja diciptakan para budayawan Indonesia (tepatnya budayawan Jawa) untuk memperkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benarbenar jahat. Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan. Pada umumnya, masyarakat Jawa menggambarkan Punakawan sebagai orang kecil (kelas bawah), sedangkan yang menjadi majikannya adalah seorang bangsawan atau priayi (Rahardjo, 2010:114). Dalam setiap pagelaran kesenian wayang kulit, cerita wayang selalu berusaha memberikan jawaban mendasar atas berbagai problematika yang terjadi pada kehidupan pribadi maupun umum. Dalam kehidupan pribadi, cerita 3

17 wayang kulit memberikan jawaban berupa budi pekerti yang tidak hanya bersifat normatif, melainkan aplikatif karena disampaikan dengan contohcontoh dalam pagelaran kesenian wayang, bukan indoktrinatif (gagasan) melainkan edukatif (mendidik) (Solichin, 2011:12). Pagelaran wayang selalu senantiasa mengandung berbagai nilai kehidupan luhur yang dalam setiap cerita lakonnya selalu memenangkan kebaikan dan mengalahkan keburukan. Hal itu menunjukkan bahwa dalam kehidupan suatu perbuatan baik yang akan menang dan perbuatan buruk akan selalu kalah. Begitu besarnya peran pagelaran wayang dalam kehidupan umat manusia, itu menunjukkan bahwa wayang kulit tidak hanya menjadi media, tetapi wayang kulit merupakan salah satu identitas jati diri manusia dalam melakukan perbuatan sehari-hari dalam kehidupan. Berangkat dari beberapa pandangan diatas, penulis hendak meneliti tentang nilai-nilai pendidikan dalam cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci. Sesungguhnya bagaimana kisah wayang kulit lakon Dewa ruci, apa saja nilainilai pendidikan dalam cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci, serta apa implementasi dari nilai-nilai tersebut dalam pendidikan. Berbagai nilai yang terdapat dalam cerita wayang kulit dengan lakon Dewa Ruci akan memberikan sumbangan dalam proses pendidikan. Cerita wayang kulit yang telah menunjukkan eksistensinya dalam menghadapi berbagai keadaan zaman, memberikan sumbangan dalam keberhasilan penyiaran agama, sehingga berbagai aspek yang terdapat dalam cerita wayang kulit dapat dikaitkan dengan proses pendidikan. 4

18 Dalam cerita lakon Dewa Ruci terdapat berbagai aspek pendidikan, karena dalam cerita lakon Dewa Ruci terdapat wejangan yang dapat mengobarkan jiwa untuk menuntut ilmu, berbuat sesuai dengan nilai atau norma yang berlaku, dan menjadi cerita yang memuat ajaran moralitas dan budi pekerti yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada, serta memberikan kontribusi yang bermanfaat dalam pendidikan, sehingga menarik untuk dikaji nilai-nilai pendidikan dalam cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci. Berdasarkan persoalan tersebut maka penulis tergerak untuk mengajukan penelitian berjudul NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM CERITA WAYANG KULIT LAKON DEWA RUCI. B. Fokus Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka peneliti mendapatkan beberapa fokus masalah, diantaranya sebagai berikut: 1. Bagaimana kisah wayang kulit lakon Dewa Ruci? 2. Apa nilai-nilai pendidikan dalam cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci? 3. Bagaimana implementasi nilai-nilai cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci dalam pendidikan? C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan fokus penelitian di atas, adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui kisah wayang kulit lakon Dewa Ruci. 2. Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan dalam cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci. 5

19 3. Untuk mengetahui dan memahami penerapan dari nilai-nilai cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci dalam pendidikan. D. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memiliki kegunaan baik untuk peneliti sendiri maupun untuk masyarakat Jawa khususnya. Secara lebih rinci kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kegunaan Teoritis Secara teoritis keilmuan, hasil dari penilitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan melalui seni budaya wayang kulit, utamanya adalah membentuk jati diri manusia yang baik melalui nilai-nilai pendidikan. 2. Kegunaan Praktis Secara Praktis keilmuan, penelitian ini diharapakan dapat menjadi acuan pada proses pembelajaran dan dapat memberi wawasan bagi masyarakat mengenai seni budaya wayang kulit. E. Penegasan Istilah 1. Nilai Nilai juga diartikan kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat disukai, diinginkan, berguna, dihargai dan dapat menjadi objek kepentingan (Sjarkawi, 2009:29). Nilai merupakan sifat atau hal-hal yang penting bagi kemanusiaan. 6

20 2. Pendidikan Pendidikan menurut Hamalik (2003:79), didefinisikan sebagai proses pengubahan tingkah laku seseorang melalui serangkaian proses. Secara umum pendidikan adalah usaha untuk membantu seseorang yang belum dewasa mencapai kedewasaan melalui serangkaian proses. 3. Cerita Cerita adalah serangkaian peristiwa yang disampaikan, baik berasal dari kejadian nyata (non fiksi) ataupun tidak nyata (fiksi). Pengertian cerita dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2007:210), a) tuturan yang membentangkan bagaimana terjadinya suatu hal atau peristiwa; b) karangan yang menuturkan perbuatan, pengalaman, atau penderitaan orang (baik sungguh-sungguh terjadi maupun rekaan belaka); c) lakon yang diwujudkan atau di pertunjukkan di gambar hidup (sandiwara, wayang, dan sebagainya); d) omong kosong; dongengan (yang tidak benar). 4. Wayang Kulit Kata wayang berasal dari bahasa Jawa, yaitu wewayang, yang artinya bayangan atau bayang-bayang (Poerwadarminta, 1976:745). Wayang Kulit biasanya disebut Wayang Purwa adalah gambar atau tiruan orang dan sebagainya untuk pertunjukan suatu lakon. 5. Dewa Ruci Dewa Ruci adalah nama seorang Dewa Kerdil (mini) yang dijumpai oleh Bima atau Werkudara dalam sebuah perjalanan mencari air kehidupan (Yudhi, 2012:71). Nama Dewa Ruci kemudian diadobsi diangkat menjadi lakon atau 7

21 judul pertunjukan wayang, yang berisi ajaran atau falsafah hidup moral orang Jawa. F. Kajian Pustaka Wayang merupakan salah satu kesenian tradisi dari bangsa Indonesia yang sampai sekarang masih ada dan dilestarikan. Dalam setiap pementasan wayang, seorang dalang pasti menyelipkan pesan-pesan moral atau pendidikan kepada penonton yang terwujud dalam setiap alur ceritanya. Salah satu cerita pewayangan yang cukup terkenal dan memiliki pesan moral adalah cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci. Menurut Pujo Prayitno (1962) dalam terjemahan bebas serat Dewa Ruci Kidung Macapat yang bersumber dari Serat Dewa Ruci Kidung gubahan Pujangga Surakarta. Beberapa waktu kemudian-pada pergantian abad ke di lingkungan Keraton Surakarta, tampil pujangga Raden Ngabehi Yosodipuro I ( ). Banyak karya sastra disebut-sebut sebagai gubahan atau tulisan Yosodipuro I. Serat Dewa Ruci memuat kisah Bima yang atas perintah Durna mencari air suci (tirta pawitra sari) dan akhirnya berjumpa dengan Dewaruci. Dalam wejangan Dewaruci kepada Bima termuat ajaran tentang hakikat diri manusia. Lakon Dewaruci menampilkan pencarian manusia sampai menemukan dirinya yang sejati. Penemuan diri yang sejati ini merupakan modal untuk melaksanakan tugas di tengah masyarakat. Yudhi AW dalam bukunya Serat Dewa Ruci Pokok Ajaran Tasawuf Jawa (2012), membahas naskah Dewa Ruci antara pengarang, naskah, hipogram, dan naskah transformasi. Dalam analisinya dijelaskan Serat Dewa Ruci Tulisan 8

22 Yasadipura I dan naskah-naskah transformasinya. Buku ini memperkaya penelitian ini terutama dalam analisis mengenai kandungan isi dalam pertunjukan wayang. Iman Budhi Santosa dalam bukunya yang berjudul Saripati Ajaran Hidup Dahsyat dari Jagad Wayang (2011), wayang kulit dipakai untuk memperagakan lakon-lakon yang bersumber dari epos Mahabarata dan Ramayana, oleh karena itu disebut juga Wayang Purwa. Sampai sekarang pertunjukan wayang kulit disamping merupakan sarana hiburan juga merupakan salah satu bagian dari upacara-upacara adat. Narasinya menggunakan bahasa lokal. Dalam buku ensiklopedia karakter tokoh-tokoh wayang, menyingkap nilainilai adiluhung dibalik karakter wayang karya Sri Wintala Achmad (2014) menjelaskan, Bima merupakan tokoh protagonis dalam pewayangan cerita lakon Dewa Ruci yang memiliki ciri fisik tinggi, besar, dan kokoh. Bima tidak dapat menyembah dan menggunakan bahasa yang halus kepada seorang yang pantas dihormati, namun ia memiliki sifat-sifat positif yang melekat di dalam dirinya. Buku lain yang menunjang adalah tulisan Bambang Murtiyoso (2004) tentang Pertumbuhan dan Perkembangan Seni Pertunjukan Wayang. Buku ini merupakan buku penunjang tulisan Soetarno dan Nayawirangka karena dalam buku ini dipaparkan unsur-unsur garap pakeliran secara lengkap sesuai perkembangan saat ini. Tulisan ini berguna untuk menganalisis jenis dan fungsi 9

23 janturan, pocapan, ginem, dhodhogan-keprakan, sulukan, dan gending iringan yang telah mengalami perkembangan dari buku Nayawirangka. G. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian memerlukan pendekatan yang tepat untuk memperoleh data yang akurat. Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research), langkah awal dalam penelitian ini adalah dimulai dengan studi pustaka mengenai lakon Dewa Ruci. Penulis secara khusus mencari referensi yang bersinggungan dengan lakon Dewa Ruci, struktur lakon, jalinan unsur-unsur pakeliran, estetika pedalangan, pesan-pesan dalam pakeliran baik yang sudah diterbitkan maupun yang belum diterbitkan. Sumber-sumber pustaka sebagai data tertulis ini berupa buku-buku, laporan penelitian, dan naskah. Mengenai dilakukannya studi kepustakaan dimaksudkan untuk memperoleh keabsahan bagi suatu penelitian. 2. Sumber Data Sumber Data yang dipakai dalam penelitian ini ada dua, yaitu: a) Sumber Data Primer Sumber data yang dibuat oleh individu untuk mengungkapkan karya penelitiannya secara otentik dan orisinil, bersumber dari terjemahan bebas serat Dewa Ruci kidung macapat karya Pujo Prayitno (1962) yang menjelaskan tentang cerita lakon Dewa Ruci. 10

24 b) Sumber Data Sekunder Sumber data dari pengumpulan informasi atau data yang diperoleh dari buku-buku dan tulisan dari displin ilmu yang berkaitan, yaitu buku tentang wayang kulit, filsafat, dan kebudayaan Jawa dalam upaya membangun keselarasan dan website tentang nilai-nilai pendidikan dalam wayang kulit. 3. Prosedur Pengumpulan Data Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini adalah peneliti melakukan pengamatan secara langsung dengan membaca dan menelaah dari beberapa referensi buku dan sumber pustaka tentang seni kebudayaan wayang, serta mencari data yang sesuai dengan hal-hal atau variabel dengan keterangan yang jelas dan memadai dengan isi buku. 4. Analisis Data Berdasarkan hasil pengumpulan data, selanjutnya peneliti akan melakukan analisa dan pembahasan secara deskriptif tentang nilai yang terkandung dalam cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci. Dengan demikian, data yang diperoleh disusun sedemikian rupa sehingga dikupas secara runtut. Dalam hal ini, penelitian mempelajari suatu masalah yang ingin diteliti secara mendasar dan mendalam. Metode yang digunakan untuk membahas dan sekaligus sebagai kerangka berfikir pada penelitian ini adalah analisis konteks, yaitu suatu usaha untuk mengumpulkan data dan menyusun data yang telah terkumpul, digunakan metode: 11

25 a) Metode deskriptif, yaitu peneliti menguraikan secara teratur konsepsi buku. b) Metode induktif, yaitu dengan analisa isi buku, maka penulis mengambil kesimpulan atau generalisai dengan metode induksi. 5. Tahap-tahap Penelitian Tahap-tahap penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah sebagai berikut: a. Tahap pra lapangan 1) Mengajukan judul penelitian 2) Menyusun proposal penelitian 3) Konsultasi penelitian kepada pembimbing b. Tahap analisis data, meliputi kegiatan: 1) Penemuan hal-hal yang penting dari data penelitian c. Tahap penulisan laporan penelitian: 1) Penulisan hasil penelitian 2) Konsultasi hasil penelitian kepada pembimbing 3) Perbaikan hasil konsultasi 4) Pengurusan kelengkapan persyaratan ujian 5) Ujian munaqosah skripsi 12

26 H. Sistematika Pembahasan Sistematika pembahasan dalam penyusunan skripsi ini dipakai sebagai aturan yang saling terkait dan saling melengkapi. Adapun sistematika penulisan adalah sebagai berikut: 1. Bagian Awal Berisi mengenai halaman judul, halaman persetujuan pembimbing, halaman pengesahan kelulusan, halaman pernyataan keaslian tulisan, halaman motto dan persembahan, kata pengantar, abstrak dan daftar isi. 2. Bagian Isi Bagian ini terdiri dari beberapa bab, antara lain sebagai berikut: BAB I: PENDAHULUAN Bab I merupakan pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II: LANDASAN TEORI Bab II merupakan landasan teori dari penelitian. Pada bagian ini dikemukakan teori-teori yang telah diuji kebenarannya yang berkaitan dengan obyek formal penelitian, seperti wayang kulit purwa, meliputi tinjauan tentang pertunjukan wayang kulit purwa, lakon wayang kulit purwa, kelengkapan wayang kulit purwa, pagelaran wayang kulit purwa, dan tinjauan hubungan wayang dengan pendidikan. 13

27 BAB III: HASIL PENELITIAN Bab III merupakan hasil penelitian, dalam bab ini diuraikan tentang pengertian lakon Dewa Ruci dan cerita lakon Dewa Ruci, pertunjukan lakon Dewa Ruci, serta makna ajaran Dewa Ruci. BAB IV: PEMBAHASAN Bab IV merupakan pembahasan yang meliputi kisah wayang kulit lakon Dewa Ruci, nilai-nilai pendidikan dalam cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci, dan implementasi nilai-nilai cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci dalam pendidikan. BAB V: PENUTUP Bab V merupakan kajian akhir dari skripsi atau penutup yang meliputi kesimpulan dan saran. 3. Bagian Akhir Pada bagian akhir memuat:daftar pustaka, lampiran-lampiran, serta daftar riwayat hidup yang dapat mendukung laporan penelitian ini. 14

28 BAB II LANDASAN TEORI A. Wayang Kulit 1. Pertunjukan Wayang Kulit Wayang kulit adalah salah satu bentuk seni pertunjukan yang sangat populer dan disenangi oleh berbagai kalangan atau lapisan masyarakat di Jawa khususnya. Sesuai dengan namanya, wayang kulit terbuat dari kulit binatang (kerbau, lembu, atau kambing), kemudian diwarnai. Wayang kulit merupakan seni tradisional yang berkembang di Indonesia terutama di pulau Jawa. Warisan kebudayaan wayang merupakan warisan yang adi luhung (berharga), edi peni (baik), dan penuh makna bagi kehidupan yang diajarkan pada setiap pertunjukannya. Menurut Santosa (2011:12-13), wayang kulit dipakai untuk memperagakan lakon-lakon yang bersumber dari epos Mahabarata dan Ramayana, oleh karena itu disebut juga Wayang Purwa. Sampai sekarang pertunjukan wayang kulit disamping merupakan sarana hiburan juga merupakan salah satu bagian dari upacara-upacara adat. Narasinya menggunakan bahasa lokal: Jawa, Bali, Banyumasan, Madura, atau Betawi, sesuai lokasi pagelaran. Setiap pertunjukkan wayang diiringi oleh gamelan dan tembang. Di Jawa, penabuh gamelan disebut wiyaga atau pengrawit. Jumlah mereka biasanya sekitar 18 orang, pelantun tembangnya terdiri dari beberapa perempuan (waranggana) dan beberapa lelaki yang disebut pradangga (wiraswara). Pagelaran wayang kulit atau wayang purwa di 15

29 Jawa biasanya dimulai pada pukul hingga pukul dini hari (menjelang subuh). Waktu pementasan tersebut dibagi menjadi tiga bagian yaitu, phatet nem, phatet sanga, phatet manyura. Makna pembagian waktu tersebut menggambarkan kelahiran, pertumbuhan, dan kematian. Semua itu merupakan lambang perputaran hidup manusia dalam pandangan mistik di Jawa. Sisi menarik dari pertunjukkan wayang purwa adalah pesan moral, etika, dan sikap hidup (budi pekerti) yang terdapat dalam setiap lakon yang digelar. Selain itu, aspek kemampuan dalang serta adegan goro-goro yang menampilkan humor punakawan (Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong) juga merupakan salah satu kekuatan wayang purwa, untuk meraih simpati masyarakat yang terus berubah dari zaman ke zaman. Awal mula bentuk wayang kulit purwa pertama kali adalah pada masa Raja Jayabaya di Kerajaan Kediri tahun 1135 Masehi. Saat itu, Raja Jayabaya ingin menggambarkan bentuk para leluhurnya dengan lukisan di daun lontar. Menurut Hazeu, cerita wayang sudah ada sejak zaman Raja Airlangga di Kerajaan Kahuripan di permulaan abad ke-11 Masehi. Pada saat itu, Raja Airlangga memiliki seorang raja kesusasteraan hebat, yaitu Empu Kanwa. Galigi merupakan salah satu tokoh dalam pewayangan, ia biasanya membawakan sebuah cerita tentang Bima, seorang Ksatria dari kisah Mahabharata. Penampilan yang dibawakan oleh Galigi tercatat dalam kakawin Arjunawiwaha yang dibuat oleh Empu Kanwa pada tahun 1135 yang mendiskripsikannya sebagai seorang yang cepat, dan hanya berjarak satu wayang dari Jagatkarana. Kata jagatkarana merupakan sebuah 16

30 ungkapan untuk membandingkan kehidupan nyata dengan dunia perwayangan, dimana Jagatkarana yang berarti penggerak dunia atau dalang terbesar hanyalah berjarak satu layar dari kita (Kresna, 2012:31). Menurut buku-buku Jawa seperti Serat Centhini dan Sastramiruda, dijelaskan bahwa wayang purwa sudah ada sejak zaman Prabu Jayabaya yang memerintah Kerajaan Mamenang tahun 989 Masehi, di mana wayang telah digambarkan diatas daun lontar. Wayang pada masa itu masih erat sekali kaitannya dengan fungsi religius, yaitu untuk menyembah atau memperingati para leluhur dan raja-raja yang telah meninggal dunia. Selanjutnya, pada zaman Prabu Suryahamiluhur yang memerintah Kerjaan Jenggala tahun 1244 Masehi, wayang purwa sudah dibuat di atas kertas Jawa (kulit kayu) dimana sisinya dijepit dengan kayu agar dapat tergulung rapi. Perkembangan selanjutnya pada zaman Raja Brawijaya yang memerintah Kerajaan Majapahit tahun 1379 Masehi, di mana wayang purwa telah dilukis berbagai warna dengan lebih rapi, lengkap, dengan pakaian yang kemudian disebut sebagai wayang sunggingan. Berlanjut ketika Raden Patah di Demak tahun 1515 Masehi, wayang purwa disempurnakan lebih baik lagi agar tidak bertentangan dengan agama (Soetarno, 2007:9). Dari beberapa penjelasan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa asal kelahiran wayang kulit purwa itu berada di Jawa. Wayang dari zaman ke zaman selalu mengalami perkembangan dan perubahan baik yang berupa bentuk, teknik permainanya, rincian, maupun jenisnya. Walaupun 17

31 mengalami perkembangan dan perubahan akan tetapi wayang kulit tetap eksis dalam setiap pertunjukannya. Wayang kulit digunakan dalam pementasan untuk memperagakan lakon-lakon yang bersumber dari epos Mahabarata dan Ramayana. Wayang kulit purwa menceritakan lakonlakon yang dimainkan oleh pedalang. Wayang kulit mempunyai berbagai unsur yang dapat mendukung setiap pagelaran wayang kulit, anatara lain dalang, wiyaga, gamelan, dan unsur-unsur lain. Dalam cerita tersebut terdapat ajaran-ajaran mulia seperti pesan moral, etika, dan sikap hidup (budi pekerti) yang dapat dijadikan gambaran hidup manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Wayang kulit juga bisa dijadikan acuan dalam proses pendidikan, karena nilai-nilai yang terkandung didalamnya mengandung berbagai ajaran yang mulia. Sumber lain menjelaskan, dalam pertunjukan wayang kulit purwa jumlah adegan dalam satu lakon tidak dapat ditentukan. Jumlah adegan ini akan berbeda-beda berdasarkan lakon yang dipertunjukkan atau tergantung dalangnya. Sebagai pra-tontonan adalah tetabuhan yang tidak ada hubungannya dengan cerita pokok, jadi hanya bersifat sebagai penghangat suasana saja atau pengantar untuk masuk ke pertunjukan yang sebenarnya. Sebagai pedoman dalam menyajikan pertunjukan wayang kulit biasanya seorang dalang akan menggunakan pakem pedalangan berupa buku pedalangan. Namun ada juga dalang yang menggunakan catatan dari dalang-dalang tua yang pengetahuannya diperoleh lewat keturunan. Meskipun demikian, seorang dalang diberi kesempatan pula untuk 18

32 berimprovisasi, karena pakem pedalangan tersebut sebenarnya hanya berisi inti cerita pokok saja. Untuk lebih menghidupkan suasana dan membuat pertunjukan menjadi lebih menarik, improvisasi serta kreativitas dalang ini memegang peranan yang amat penting. Warna rias wajah pada wayang kulit mempunyai arti simbolis, akan tetapi tidak ada ketentuan umum di sini. Warna rias merah untuk wajah misalnya, sebagian besar menunjukkan sifat angkara murka, akan tetapi tokoh Setyaki yang memiliki warna rias muka merah bukanlah tokoh angkara murka. Jadi karakter wayang tidaklah ditentukan oleh warna rias muka saja, tetapi juga ditentukan oleh unsur lain, seperti misalnya bentuk (patron) wayang itu sendiri. Perbedaan warna muka wayang ini tidak akan diketahui oleh penonton yang melihat pertunjukan dari belakang layar. Alat penerangan yang dipakai dalam pertunjukan wayang kulit dari dahulu sampai sekarang telah banyak mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan teknologi. Dalam bentuk aslinya alat penerangan yang dipakai pada pertunjukan wayang kulit adalah blencong, kemudian berkembang menjadi lampu minyak tanah (keceran), sekarang banyak yang menggunakan lampu listrik ( diakses tanggal 12 Oktober 2015). Dari pemahaman tersebut dapat ditegaskan bahwa, wayang kulit purwa setiap tokoh yang dimainkan memiliki karakter yang berbeda-beda. Pertunjukan wayang kulit purwa memiliki tujuan tidak hanya sebagai tontonan (hiburan), namun wayang kulit purwa juga sebagai tuntutan 19

33 (pembelajaran) bagi setiap penonton. Dengan demikian, sesudah menyaksikan pertunjukan wayang kulit purwa seorang penonton yang arif akan meneladani tingkah laku atau karakter dari setiap tokoh wayang yang dimainkan dengan karakter yang baik. Akhir-akhir ini para pedalang memberikan perubahan pada bentuk wayang dengan bentuk yang berbagai macam untuk menambah meriahnya pertunjukkan wayang, ada yang membuat wayang dengan tokoh pahlawan, tokoh-tokoh nasional, dan kartun anak-anak. Akan tetapi, semua itu tidak mengurangi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai pendidikan dalam cerita wayang mengandung banyak ajaran mulia yang dapat dijadikan pedoman bagi kehidupan manusia. Dengan demikian, pertunjukan wayang kulit dapat dijadikan pedoman hidup bagi manusia dan menjadi sarana untuk memberikan nilai-nilai pendidikan moral dan etika (budi pekerti) yang menyenangkan, karena suasananya menghibur penonton. Selain memperoleh hiburan dengan seni yang dimainkan oleh dalang dengan wayang kulit serta lagu-lagu iringan oleh para sinden atau penyanyi lagu-lagu yang mengiringi kisah cerita dalam pertunjukan wayang, penonton juga mendapatkan pendidikan moral dan budi pekerti. 2. Lakon Wayang Kulit Purwa Pertunjukan wayang kulit purwa lazim disebut pakeliran adalah salah satu cabang seni pertunjukkan tradisional bermedium ganda yang perwujudannya merupakan jalinan berbagai unsur, salah satunya adalah 20

34 lakon. Jika orang melihat sebuah pertunjukkan wayang, sebenarnya yang dilihat adalah pertunjukkan lakon. Dengan demikian kedudukan lakon didalam pakeliran sangat vital sifatnya. Melalui garapan lakon akan terungkap nilai-nilai kemanusiaan yang dapat memperkaya pengalaman kejiwaan. Istilah lakon ternyata mengandung cakupan pengertian yang cukup luas. Dikalangan pedalangan pengertian lakon sangat melekat dari konteks pembicaraanya. Lakon dapat diartikan alur cerita, hal ini tampak pada ungkapan bahasa Jawa yang berbunyi lakone kepriye, lakone opo, lan lakone sopo?. Dari ungkapan pertama menunjukkan bahwa lakon diartikan sebagai jalan cerita, kemudian dari ungkapan kedua berarti judul cerita, sedangkan ungkapan terakhir diartikan sebagai tokoh utama dalam cerita (Kuwato, 1990:6). Menurut Soetarno (1995:31-37), lakon wayang menurut jenisnya dapat dibagi menjadi beberapa golongan, antara lain: a. Lakon Tragedi Lakon tragedi adalah jenis lakon yang menceritakan perang besar antara kedua tokoh sehingga dalam peristiwa itu timbul banyak korban. Contoh: Perang Bharatyudha yaitu perang antara pandawa dan kurawa. b. Lakon Raben atau Alap-alapan Lakon raben adalah lakon yang menceritakan perkawinan antara seorang putri raja dengan pangeran atau kesatria. Lakon perkawinan ini biasanya diawali dengan percintaan calon mempelai wanita mengenai suatu yang disebut bebama atau permintaan. Contoh: Parta karma, 21

35 Alap-alap Rukmini. c. Lakon Lahiran (kelahiran) Lakon jenis ini adalah menceritakan kelahiran tokoh wayang tertentu yang mempunyai karakter baik atau tokoh yang baik. Contoh: Kelahiran Gatutkaca. d. Lakon Kraman Lakon kraman adalah lakon yang menceritakan ketidakpuasan tokoh tertentu terhadap raja yang sedang berkuasa dengan kata lain pemberontakan untuk menjatuhkan penguasa. Contoh: Kangsa adu jago. e. Lakon Wahyu Lakon wahyu adalah lakon yang menceritakan tokoh-tokoh tertentu yang mendapat anugerah berupa wahyu dari dewa atas jasa-jasanya. Contoh: Wahyu Cakraningrat. f. Lakon Lebet atau Kasepuhan (mistik) Lakon ini berisi mengenai ajaran atau falsafah hidup atau ilmu kesempurnan hidup. Contoh: Dewa Ruci atau Bima Suci. Jadi, penulis menyimpulkan bahwa lakon wayang kulit purwa adalah perjalanan cerita wayang atau rentetan peristiwa wayang. Perjalanan cerita wayang ini berhubungan erat dengan tokoh-tokoh yang ditampilkan sebagai pelaku dalam pertunjukkan sebuah lakon. Unit adegan yang satu dengan lainnya saling terkait baik langsung maupun tidak langsung membentuk satu sistem yang disebut lakon. Setiap pagelaran wayang menghadirkan kisah atau lakon yang berbeda. Ragam 22

36 lakon terbagi menjadi beberapa bagian yang masing-masing mempunyai alur cerita sendiri. 3. Unsur-Unsur dalam Wayang Kulit Purwa Dalam pertunjukan seni wayang kulit purwa, dari setiap unsur pertunjukan wayang kulit purwa memiliki makna simbolik. Berikut ini adalah makna simbolik dari setiap unsur dalam pertunjukan wayang: a. Dalang yaitu orang yang memainkan wayang. Dalang bertugas sebagai pemimpin pertunjukan. Dalang adalah orang yang hanya sekedar menjalankan cerita-cerita (lakon) wayang yang telah ada sebelumnya. Meskipun demikian, dalang harus memahami betul pakem gamelan, karakter wayang, cengkok tembang, pribadi masing-masing waranggana dan wiyaga. Dalang menjadi pembawa cerita, sekaligus pemimpin atau komando bagi seluruh tim yang bersama-sama menjalankan pementasan sandiwara kehidupan wayang. Kekompakan terjadi bilamana para waranggana, wiyaga, dan asisten dalang memahami secara persis bagaimana jalan cerita lakon, menghayatinya serta bagaimana keinginan-keinginan Ki Dalang selama melakonkan wayang. Dalang ibarat pemuka agama, tokoh masyarakat, koordinator paguyuban dan perkumpulan, sesepuh desa, pemuka adat, pemimpin spiritual, yang hanya sekedar menjalankan hukum kodrat Tuhan, hukum alam, nilai-nilai tradisi dan budaya yang telah ada sebelumnya untuk mendasari lakon kehidupan di mercapada, sejak bumi ini ada. Siapapun 23

37 boleh dan bisa menjadi dalang, tidak pandang derajat, pangkat, maupun golongan. Maknanya, setiap orang boleh dan bisa menjadi ahli spiritual, pemuka adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, dst. Setiap manusia berhak menjadi khalifah di mercapada. Tak perlu menunggu disuruhsuruh Tuhan. Syaratnya hanyalah memahami akan nilai kesejatian kebenaran, memiliki banyak ilmu pengetahuannya, serta mampu mengendalikan diri agar menjadi manusia yang arif, berwibawa, bijaksana, adil dan paling penting adalah bersedia berbuat kebaikan pada sesama tanpa pandang apa sukunya, apa agamanya, apa budayanya, dari mana asalnya, siapa namanya, apa jabatannya. Dalang menjadi jalma manungsa kang hambeg utama, sadrema netepi titahing Gusti. Umpama manusia-manusia suci penegak keadilan dan kebenaran di muka bumi, yang hanya menetapkan segala tindakannya sesuai lakon dalam kodrat Hyang Widhi. b. Nayaga atau pengrawit merupakan istilah dalam pewayangan, yaitu sekelompok orang yang memiliki keahlian khusus menabuh gamelan. c. Sinden/ Swarawati yaitu orang yang bertugas seperti penyanyi. Di era modern ini sinden mendapatkan tempat atau posisi yang hamper sama dengan penyanyi campursari, bahkan sinden juga harus menjaga penampilan dengan berpakaian rapid an menarik. d. Pelawak yaitu orang yang melucu dalam pertunjukan wayang, pelawak juga termasuk tambahan dalam pertunjukan wayang. Sekarang dalam setiap pertunjukan wayang pelawak rata-rata ditampilkan, karena 24

38 pelawak memiliki fungsi yaitu menghibur para penonton. e. Wayang yaitu boneka tiruan orang yang terbuat dari kulit binatang yang dimainkan oleh seorang dalang. Melalui seorang dalang, wayangwayang tersebut dimainkan dengan latar belakang kelir di panggung kehidupan. Wayang dimaknai sebagai bayangan yang ditangkap oleh penonton dari belakang kelir. Namun dalam perkembangannya, pertunjukan wayang ketika dimainkan kini disaksikan oleh penonton dari depan kelir. f. Kotak yaitu tempat menaruh wayang yang berbentuk kotak dan terbuat dari kayu, juga digunakan oleh dalang untuk dodogan yang berfungsi memberi aba-aba pada pengiring dan menggambarkan suasana adegan. Wayang yang berada dalam kotak tersusun rapi dna keluar apabila akan dipentaskan, seorang dalang harus mengetahui wayang apa saja yang akan dimainkan dalam lakon yang akan dipentaskan. g. Keprak yaitu lempengan besi atau perunggu yang diletakan di kotak wayang dan dibunyikan oleh dalang, berfungsi sebagai pengisi suasana dan pemberi aba-aba. h. Cempala yaitu alat untuk membunyikan keprak. Untuk cempala yang dijepit dengan jempol kaki berbahan besi, sedang yang dipegang tangan berbahan kayu. Cempala yang dipegang tangan kiri dalang mempunyai fungsi yang sentral karena setiap sesi menggunakan pukulan cempala. i. Kelir yaitu kain putih dengan lis warna hitam atau merah yang dibentang, berfungsi untuk tempat memainkan wayang. Kelir juga 25

39 merupakan sebuah layar berwarna putih berbentuk empat persegi panjang dengan panjang 2 hingga 12 meter dan lebar 1,5 hingga 2,5 meter. Namun pada perkembanganya ada yang membuat kelir dengan bentuk setengah lingkaran. j. Debog yaitu batang pisang yang ditata dibagian gawang kelir berfungsi untuk menancapkan wayang. k. Blencong yaitu lampu untuk menerangi gawang kelir. Dahulu lampu terbuat dari tembaga berbahan bakar sumbu dan minyak kelapa. Dalam pengertian Jawa blencong yang bersinar menandakan tentang adanya sinar kehidupan yang terus menyertai kehidupan manusia. l. Simpingan yaitu wayang-wayang yang ditata rapi dikanan kiri gawang kelir. m. Gamelan yaitu alat musik jawa yang berlaras pelog dan slendro berfungsi untuk mengiringi pertunjukan wayang. n. Panggung yaitu tempat yang agak tinggi terbuat dari papan untuk menaruh peralatan wayang dan gamelan. Panggung bukan kebutuhan yang pokok karena pada hakekatnya pertunjukan bisa dilakukan dimana saja asalkan tempatnya cukup dan nyaman ( diakses tanggal 10 Oktober 2015). 4. Gendhing (Suluk) dalam Wayang Kulit Dalam sebuah pertunjukkan wayang kulit terdapat komponen yang 26

40 sangat penting dan tidak bisa dihilangkan yakni lagu atau biasa disebut dengan istilah gendhing. Dalam syair sebuah gendhing terdapat pesan moral yang berupa ajakan kebaikan. Gendhing sebagai lagu pada kebudayaan jawa sangat diperlukan, karena tanpa adanya iringan suara gendhing pertunjukan yang sedang berlangsung menjadi kurang meriah. Gending dan tembang dalam musik pakeliran menggunakan iringan gamelan. Musik gamelan yang digunakan berbeda dengan musik untuk tarian dan lagu Jawa. Gendhing atau lagu yang digunakan dalam pewayangan disebut gendhing wayang. Gending ini memang digarap secara khusus untuk keperluan pewayangan demi membangun suasana yang ada dalam adegan-adegan pewayangan (Murtiyoso, 2007:60). Menurut Murtiyoso (2007:60-61), ada 4 macam gendhing dalam wayang, yaitu: a. Gendhing patalon merupakan istilah untuk musik yang mengiringi pengantar awal pertunjukan wayang. Patalon berasal dari kata talu (Jawa) yang artinya adalah memukul. Musik ini menjadi tanda dimulainya sebuah pertunjukan wayang. Contoh: Cucur Bawuk dan Pareanom. b. Gendhing jejer merupakan musik yang mengiringi adegan-adegan atau latar tertentu dalam pentas wayang. Jejer merupakan bahasa Jawa untuk adegan. Setiap adegan memiliki iringan yang khas. Misalnya untuk adegan Kahyangan Suralaya digunakan Remeng, untuk adegan Astina dipakai gendhing Kawit. 27

41 c. Gendhing playon adalah musik yang digunakan untuk mengiringi seorang tokoh yang sedang berada dalam perjalanan. Playon dari kata mlayu yang artinya berlari. Misalnya untuk perjalanan Gathotkaca digunakan Palaran Gathotkaca. d. Gendhing perang adalah istilah untuk musik yang mengiringi adegan perang. Jenis musik ini mengiringi dua macam adegan perang, yaitu perang sederhana dan perang tanding atau besar. Misalnya untuk perang biasa digunakan iringan dengan gending Srepek Lasem, sementara untuk perang tanding antara ksatria dengan ksatria digunakan Ganjur. Perang antara binatang/raksasa dengan binatang digunakan Gangsaran. Dalam gendhing (suluk) pertunjukan wayang kulit ada juga cakepan. Cakepan adalah syair yang digunakan dalam suluk pada pertunjukan Wayang Kulit Purwa, atau syair yang digunakan dalam tembang iringan karawitan pakeliran, atau tembang macapat, tembang tengahan, dan tembang gedhe. Contoh cakepan sulukan Pathet Nem Ageng yang digunakan dalam adegan jejer pertama, yang mengambil dari tembang Gedhe Sardula Wirkidita sebagai berikut: Leng-leng ramya nikang cacangka kumenyar mangrengga rum ning puri, mangkin tan pasiring halep ikang umah mas lwir murub ring langit, tekwan sarwwa manik tanwingya sinawung saksat sekar ning suji, unggwan Bhanuwati janamrem alanggo mwang natha Duryyodhana. Cakepan sulukan Pathet Nem Ageng di atas diambil dari Serat 28

42 Baratayuda karya Empu Sedah dan Panuluh. Sedangkan sulukan yang cakepannya mengambil dari tembang macapat Durma contohnya Ada-ada Ma-taramansebagai berikut: Rindu mawur mangawur-awur wurahan, tengaraning angajurit, gong maguru gansa, teteg kadya butula, wor panjriting turanggaesti, rekatak ingkang, dwaja lelayu sebit. Cakepan Ada-ada Mataram di atas diambil dari Serat Arjunasasrabahu, karya Sindusastra, pujangga Keraton Surakarta. Cakepan sulukan yang digunakan pada pertunjukan Wayang Kulit Purwa, terutama di Surakarta, ada beberapa bentuk yakni, cakepan sulukan yang menggukan bahasa Kawi dan bahasa Jawa Baru ( diakses tanggal 20 Oktober 2015). Dari pemahaman tersebut dapat disimpulkan bahwa, dalam pewayangan ada yang namanya gendhing (suluk), yaitu tembang atau lagu dalam pewayangan, dan dalam gendhing tersebut ada cakepan, yaitu syair yang digunakan dalam gendhing (suluk) pada pertunjukan wayang kulit purwa atau syair yang digunakan dalam tembang karawitan pakeliran (macapat). 5. Pagelaran Wayang Kulit Purwa Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dari dialog-dialog tokoh wayang yang dimainkan. Pagelaran wayang kulit diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan oleh nayaga, dan tembang 29

43 atau nyanyian dilagukan oleh para pesinden. Pagelaran wayang kulit dimulai ketika sang dalang telah mengeluarkan gunungan, sebuah pagelaran semalam suntuk. Menurut Mulyono (1989: ), pagelaran wayang kulit mempunyai periode yang dapat dibagi berdasarkan waktunya, yaitu: a. Babak pertama, disebut pathet lasem (phatet nem) memiliki 3 jejeran dan 2 adegan perang yang diiringi gending-gending pathet lasem. Pada pathet lasem atau pathet nem memiliki ajaran yang bersumber dari lingkungan hidup lahir dan sebagian dari lingkungan hidup batin. Gambaran alam benda dan alam biologis terdapat dalam pathet ini dan pencarian jati diri sudah dimulai, maka penanaman nilai-nilai kehidupan tidak akan terlupakan pada periode ini. b. Pathet Sanga yang menjadi babak kedua memiliki 2 jejeran dan 2 adegan perang. Periode ini dinamakan periode wejangan spiritual, periode ini berlangsung pada pukul , dengan ditandai gunungan yang berdiri tegak ditengah-tengah kelir seperti pada waktu mulai pagelaran. Wejangan pada pathet sanga ini disampaikan kepada seorang satria oleh para Dewa, wejangan berisikan kesadaran ngudi kesempurnaan, untuk mendapatkannya seorang satria harus mampu mengolah batin dan mengetahui ajaran agama. Dari lingkungan hidup, batin meningkat kemampuan rasa kesusilaan sampai kemampuan rasa jati diri. Perjalanan mencapai kesempurnaan melalui kewajiban dengan memperoleh kesaktian, wejangan tentang manunggal, kasampurnaan. 30

44 c. Pathet Manyura yang menjadi babak ketiga mempunyai 2 jejeran dan 3 adegan perang. Salah satu bagian yang paling dinanti banyak orang pada setiap pagelaran wayang adalah gara-gara yang menyajikan guyonanguyonan khas Jawa. Dari pathet manyura ini penulis mengambil kesimpulan bahwa, siklus hidup manusia berasal dari yang tidak ada menjadi ada dan kembali tidak ada, inilah yang mendasari adanya kehidupan setelah mati. Siklus hidup manusia di dunia awal mulanya tidak ada, dan setelah itu terciptalah siklus hidup yang menjadikan manusia menjadi salah satu makhluk di dunia. Siklus itu akan kembali lagi dan hal ini menjadi bukti bahwa adanya kehidupan setelah manusia mati. Dalam pola intuisi akan memperlihatkan suatu proses evolusi kesadaran akal-budi yang lahiriah, menuju kesadaran yang tertinggi (higher counsciousness). Proyeksi nampak pada struktur aransemen yang diwakili dengan rangkaian gamelan pada slendro pathet 6, pathet 9, dan pathet manyura memberikan gambaran adanya proses ini. Pathet 6 seyogyanya menceritakan tentang persoalan-persoalan yang timbul akibat keinginan, baik yang bersifat kebendaan ataupun spiritual, dalam tataran dimensi ketiga. Pathet 9, menceritakan tentang proses seorang tokoh atau ksatria untuk mendapatkan kebenaran higher reality yang akan menjadi dasar atas tindakannya dalam menyelesaikan persoalan. Pathet Manyuro, atas kedewasaan jiwa yang didapatkan berkat adanya pencerahan moral (dalam pathet 9) maka seorang ksatria atau tokoh 31

45 tersebut melakukan tindakan atas dasar tersebut dengan cara pandang dan pengetahuan yang baru. Sikap ini dibedakan dengan sikap dan cara pandang lama yang masih dalam tataran dimensi ke III dalam pathet 6 (Dr. A Ciptoprawiro, dan dalam Kitab pakem Pewayangan, pustaka kraton Yogya) ( diakses tanggal 12 Oktober 2015). Dapat dipahami pagelaran wayang kulit yang dilakukan semalam suntuk mempunyai beberapa periode atau waktu yang dilakukan oleh seorang dalang. Periode atau waktu ini merupakan alur cerita yang dibawakan oleh seorang dalang. Kebanyakan dari penonton hanya melihat pertunjukan wayang yang sudah tersusun rapi, tetapi tidak mengetahui makna yang terkandung dalam setiap lakon yang dimainkan oleh dalang. B. Pendidikan 1. Pengertian Pendidikan Pendidikan menurut Hamalik (2003:79), didefinisikan sebagai proses pengubahan tingkah laku seseorang melalui serangkaian proses. Secara umum pendidikan adalah usaha untuk membantu seseorang yang belum dewasa mencapai kedewasaan melalui serangkaian proses. Pendidikan dapat diartikan sebagai pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan, dan penelitian. Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari 32

46 kehidupan manusia (Jalaluddin, 2001:65). Dari beberapa pendapat tentang pengertian pendidikan tersebut dapat dipahami bahwa, setiap manusia atau orang pasti mengalami dan melakukan yang namanya pendidikan. Pendidikan diperoleh seseorang dari lahir (buaian) sampai ke liang lahat (kematian). Pendidikan dapat diperoleh dengan cara pendidikan formal dan pendidikan informal. Pendidikan formal yaitu pendidikan yang berada dilingkungan sekolah atau lembaga pendidikan yang terkait, sedangkan pendidikan informal yaitu pendidikan di luar lingkungan sekolah atau lembaga pendidikan seperti keluarga, sekolah alam, lingkungan sekitar, dan lain-lain. 2. Unsur-Unsur Pendidikan Pendidikan menurut Suwarno (2006:33-46) memiliki lima unsur (komponen), yaitu sebagai berikut: a. Tujuan Pendidikan Tujuan pendidikan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh kegiatan pendidikan. Menurut jenisnya, tujuan pendidikan terbagi dalam beberapa jenis sebagai berikut: 1) Tujuan nasional yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh suatu bangsa. 2) Tujuan institusional yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai suatu lembaga pendidikan. 3) Tujuan kurikuler yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh suatu mata pelajaran tertentu. 33

47 4) Tujuan instruksional yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh suatu pokok atau sub pokok bahasan tertentu. b. Peserta didik Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu. c. Pendidik Pendidik adalah orang yang dengan sengaja mempengaruhi orang lain untuk mencapai tingkat kemanusiaan yang lebih tinggi. Secara akademis, pendidik adalah tenaga kependidikan, yakni anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. Pendidik berkualifikasi sebagai pendidik, dosen, konselor, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. d. Alat Pendidikan Alat pendidikan adalah hal yang tidak saja membuat kondisi-kondisi yang memungkinkan terlaksananya pekerjaan mendidik, tetapi juga mewujudkan diri sebagai perbuatan atau situasi yang membantu pencapaian tujuan pendidikan. e. Lingkungan Pendidikan Lingkungan pendidikan adalah lingkungan yang melingkupi terjadinya proses pendidikan. Lingkungan pendidikan meliputi: 34

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan sosial, adat istiadat. Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan sosial, adat istiadat. Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia yang terdiri atas beberapa pulau dan kepulauan serta di pulau-pulau itu terdapat berbagai suku bangsa masing-masing mempunyai kehidupan sosial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cerdas, sehat, disiplin, dan betanggung jawab, berketrampilan serta. menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi misi dan visi

BAB I PENDAHULUAN. cerdas, sehat, disiplin, dan betanggung jawab, berketrampilan serta. menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi misi dan visi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perwujudan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu dalam rangka membentuk generasi bangsa yang memiliki karakter dengan kualitas akhlak mulia, kreatif,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Seni Wayang Jawa sudah ada jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu ke indonesia. Wayang merupakan kreasi budaya masyarakat /kesenian Jawa yang memuat berbagai aspek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu dari sekian banyaknya kesenian di Pulau Jawa adalah kesenian wayang

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu dari sekian banyaknya kesenian di Pulau Jawa adalah kesenian wayang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu dari sekian banyaknya kesenian di Pulau Jawa adalah kesenian wayang kulit purwa. Kesenian wayang kulit purwa hampir terdapat di seluruh Pulau Jawa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penerangan, dakwah, pendidikan, pemahaman filsafat, serta hiburan.

BAB I PENDAHULUAN. penerangan, dakwah, pendidikan, pemahaman filsafat, serta hiburan. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wayang salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang terus berkembang dari zaman ke zaman,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenalnya, walaupun dengan kadar pemahaman yang berbeda-beda. Secara

BAB I PENDAHULUAN. mengenalnya, walaupun dengan kadar pemahaman yang berbeda-beda. Secara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kata seni adalah sebuah kata yang semua orang dipastikan mengenalnya, walaupun dengan kadar pemahaman yang berbeda-beda. Secara Etimologi istilah seni berasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wayang merupakan representasi kehidupan manusia yang memuat nilai, norma, etika, estetika, serta aturan-aturan dalam berbuat dan bertingkah laku yang baik. Wayang

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. wayang yang digunakan, yaitu wayang kulit purwa dan wayang kulit madya.

BAB IV PENUTUP. wayang yang digunakan, yaitu wayang kulit purwa dan wayang kulit madya. 104 BAB IV PENUTUP Lakon Anoman Mukswa merupakan lakon transisi dari wayang purwa menuju wayang madya sehingga dalam pementasannya terdapat dua jenis wayang yang digunakan, yaitu wayang kulit purwa dan

Lebih terperinci

BAB 2 DATA DAN ANALISA. - Buku Rupa Wayang Dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia. - Buku Indonesian Heritage Performing Arts.

BAB 2 DATA DAN ANALISA. - Buku Rupa Wayang Dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia. - Buku Indonesian Heritage Performing Arts. 3 BAB 2 DATA DAN ANALISA 2.1 Data Dan Literatur Metode penelitian yang digunakan: Literatur : - Buku Rupa Wayang Dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia. - Buku Indonesian Heritage Performing Arts. - Buku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1. Latar belakang Manusia adalah makhluk budaya, dan penuh simbol-simbol. Dapat dikatakan bahwa budaya manusia diwarnai simbolisme, yaitu suatu tata pemikiran atau paham yang menekankan

Lebih terperinci

Pagelaran Wayang Ringkas

Pagelaran Wayang Ringkas LOMBA KOMPETENSI SISWA SMK TINGKAT NASIONAL XIV Jakarta, 12 16 Juni 2006 KODE : 33 NAS Bidang Lomba Keahlian Seni Pedalangan Pagelaran Wayang Ringkas Test Project DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Kata tembang nyanyian sama fungsi dan kegunaannya dengan kidung, kakawin dan gita. Kata kakawin berasal

BAB I PENDAHULUAN. 1 Kata tembang nyanyian sama fungsi dan kegunaannya dengan kidung, kakawin dan gita. Kata kakawin berasal BAB I PENDAHULUAN A. Pendahuluan a. Latar Belakang Masalah Dalam menjalani kehidupannya di dunia manusia mengalami banyak peristiwa baik itu yang menyenangkan maupun yang menyedihkan. Terkadang beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia terdiri dari banyak suku yang tersebar dari Sabang sampai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia terdiri dari banyak suku yang tersebar dari Sabang sampai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia terdiri dari banyak suku yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, dengan banyak suku dan budaya yang berbeda menjadikan Indonesia sebagai bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebuah pembelajaran sangat ditentukan keberhasilannya oleh masingmasing guru di kelas. Guru yang profesional dapat ditandai dari sejauh mana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Wayang Golek adalah suatu seni pertunjukan boneka tiruan rupa manusia yang dimainkan oleh seorang dalang dengan menggabungkan beberapa unsur seni. Wayang Golek

Lebih terperinci

Oleh: Alief Baharrudin G

Oleh: Alief Baharrudin G METODE TRANSFER NILAI-NILAI KEISLAMAN DALAM CERITA WAYANG KULIT DITINJAU DARI PENDIDIKAN AKHLAK (Studi Tentang Lakon Dewaruci) SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi Sebagian Tugas dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh

Lebih terperinci

Pewayangan Pada Desain Undangan. Yulia Ardiani Staff UPT. Teknologi Informasi Dan Komunikasi Institut Seni Indonesia Denpasar.

Pewayangan Pada Desain Undangan. Yulia Ardiani Staff UPT. Teknologi Informasi Dan Komunikasi Institut Seni Indonesia Denpasar. Pewayangan Pada Desain Undangan Yulia Ardiani Staff UPT. Teknologi Informasi Dan Komunikasi Institut Seni Indonesia Denpasar Abstrak Sesuatu yang diciptakan oleh manusia yang mengandung unsur keindahan

Lebih terperinci

TONTONAN, TATANAN, DAN TUNTUNAN ASPEK PENTING DALAM AKSIOLOGI WAYANG

TONTONAN, TATANAN, DAN TUNTUNAN ASPEK PENTING DALAM AKSIOLOGI WAYANG TONTONAN, TATANAN, DAN TUNTUNAN ASPEK PENTING DALAM AKSIOLOGI WAYANG Oleh: Kasidi Hp. Disampaikan dalam Sarasehan Senawangi Dalam Rangka Kongres IX Senawangi 25-26 April 2017 Jakarta PENGERTIAN AKSIOLOGI

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia mempunyai berbagai suku bangsa dan warisan budaya yang sungguh kaya, hingga tahun 2014 terdapat 4.156 warisan budaya tak benda yang

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. kesimpulan untuk mengingatkan kembali hal-hal yang penting dan sekaligus

BAB V PENUTUP. kesimpulan untuk mengingatkan kembali hal-hal yang penting dan sekaligus BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian skripsi yang telah penulis bahas tersebut maka dapat diambil kesimpulan untuk mengingatkan kembali hal-hal yang penting dan sekaligus menjadi inti sari daripada

Lebih terperinci

Written by Administrator Monday, 03 December :37 - Last Updated Monday, 28 January :28

Written by Administrator Monday, 03 December :37 - Last Updated Monday, 28 January :28 Wayang dikenal oleh bangsa Indonesia sudah sejak 1500 th. sebelum Masehi, karena nenek moyang kita percaya bahwa setiap benda hidup mempunyai roh/jiwa, ada yang baik ada yang jahat. Agar tidak diganggu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bercerita memang mengasyikkan untuk semua orang. Kegiatan bercerita dapat dijadikan sebagai wahana untuk membangun karakter seseorang terutama anak kecil. Bercerita

Lebih terperinci

UNIVERSITAS DIPONEGORO

UNIVERSITAS DIPONEGORO MASYARAKAT DAN KESENIAN INDONESIA SEJARAH WAYANG KULIT SEBAGI KESENIAN INDONESIA Disusun Oleh: Ditujukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Masyarakat dan Kesenian Indonesia AHMAD ISLAHUDIN ALI 13030 1111

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari, kita ketahui terdapat beberapa jenis seni yang di

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari, kita ketahui terdapat beberapa jenis seni yang di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari, kita ketahui terdapat beberapa jenis seni yang di antaranya adalah Seni Rupa, Seni Musik, Seni Tari, dan Seni Teater. Beberapa jenis

Lebih terperinci

DESKRIPSI KARYA TARI KREASI S O M Y A. Dipentaskan pada Festival Nasional Tari Tradisional Indonesia di Jakarta Convention Centre 4-8 Juni 2008

DESKRIPSI KARYA TARI KREASI S O M Y A. Dipentaskan pada Festival Nasional Tari Tradisional Indonesia di Jakarta Convention Centre 4-8 Juni 2008 DESKRIPSI KARYA TARI KREASI S O M Y A Dipentaskan pada Festival Nasional Tari Tradisional Indonesia di Jakarta Convention Centre 4-8 Juni 2008 Oleh: I Gede Oka Surya Negara, SST.,MSn JURUSAN SENI TARI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berbagai budaya masyarakat, adat istiadat dan kebiasaan yang dilakukan turun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berbagai budaya masyarakat, adat istiadat dan kebiasaan yang dilakukan turun 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia eksotisme penuh dengan berbagai macam seni budaya, dari pulau Sabang sampai Merauke berbeda budaya yang dimiliki oleh setiap daerahnya. Berbagai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. wayang. Sebuah pemikiran besar yang sejak dahulu memiliki aturan ketat sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. wayang. Sebuah pemikiran besar yang sejak dahulu memiliki aturan ketat sebagai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia kesusasteraan memiliki ruang lingkup yang begitu luas dalam rangka penciptaannya atas representasi kebudayaan nusantara. Salah satu hasil ekspresi yang muncul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,

BAB I PENDAHULUAN. kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, 1 A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Kebudayaan merupakan hasil cipta manusia dan juga merupakan suatu kekayaan yang sampai saat ini masih kita miliki dan patut kita pelihara. Tiap masyarakat

Lebih terperinci

INTERAKSI KEBUDAYAAN

INTERAKSI KEBUDAYAAN Pengertian Akulturasi Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rizky Nugaraha,2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rizky Nugaraha,2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu suku bangsa terbesar di Indonesia adalah Suku Sunda. Dengan populasi yang tersebar di seluruh Indonesia dan peranannya di masyarakat serta ciri khasnya

Lebih terperinci

Hasil Wawancara Dengan Ki Kasim Kesdo Lamono dan Paguyuban Cinde

Hasil Wawancara Dengan Ki Kasim Kesdo Lamono dan Paguyuban Cinde Hasil Wawancara Dengan Ki Kasim Kesdo Lamono dan Paguyuban Cinde Laras - Bagaimana perkembangan kesenian wayang kulit saat ini ditengahtengah perkembangan teknologi yang sangat maju, sebenarnya semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki bermacam-macam suku bangsa,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki bermacam-macam suku bangsa, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki bermacam-macam suku bangsa, tidak hanya suku yang berasal dari nusantara saja, tetapi juga suku yang berasal dari luar nusantara.

Lebih terperinci

Menguak Nilai Seni Tradisi Sebagai Inspirasi Penciptaan Seni Pertunjukan Pada Era Global

Menguak Nilai Seni Tradisi Sebagai Inspirasi Penciptaan Seni Pertunjukan Pada Era Global Menguak Nilai Seni Tradisi Sebagai Inspirasi Penciptaan Seni Pertunjukan Pada Era Global Oleh: Dyah Kustiyanti Tradisi biasanya didefinisikan sebagai cara mewariskan pemikiran, pandangan hidup, kebiasaan,

Lebih terperinci

MITOS DRUPADI DEWI BUMI DAN KESUBURAN (Dasar-dasar Perancangan Karya Seni Pedalangan)

MITOS DRUPADI DEWI BUMI DAN KESUBURAN (Dasar-dasar Perancangan Karya Seni Pedalangan) MITOS DRUPADI DEWI BUMI DAN KESUBURAN (Dasar-dasar Perancangan Karya Seni Pedalangan) Oleh : Kasidi Jurusan Seni Pedalangan Fakultas Seni Petunjukan INSTITUT SENI INDONESIA YOGYAKARTA 2014 i Judul MITOS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih tersebar diseluruh Nusantara. Menurut Kodirun (dalam Koentjaranigrat,

BAB I PENDAHULUAN. masih tersebar diseluruh Nusantara. Menurut Kodirun (dalam Koentjaranigrat, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wayang adalah suatu kebudayaan yang ada di Indonesia sejak ajaran Hindu masih tersebar diseluruh Nusantara. Menurut Kodirun (dalam Koentjaranigrat, 1990:329). Daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cipta yang menggambarkan kejadian-kejadian yang berkembang di masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. cipta yang menggambarkan kejadian-kejadian yang berkembang di masyarakat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan karya sastra tidak dapat dilepaskan dari gejolak dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Karena itu, sastra merupakan gambaran kehidupan yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menanamkan nilai-nilai karakter dalam kehidupan. Dasar dari pengembangan pendidikan karakter

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Kesenian tradisional daerah dengan kekhasannya masing-masing senantiasa mengungkapkan alam pikiran dan kehidupan kultural daerah yang bersangkutan. Adanya berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wayang kulit adalah salah satu bentuk seni pertunjukan yang sangat popular dan disenangi oleh berbagai lapisan masyarakat di Jawa khususnya di wilayah Jawa Tengah dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah salah satu tonggak utama pembangun bangsa. Bangsa yang maju adalah bangsa yang mengedepankan pendidikan bagi warga negaranya, karena dengan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR Latar Belakang Masalah. kekayaan budaya yang amat sangat melimpah. Budaya warisan leluhur merupakan

BAB I PENGANTAR Latar Belakang Masalah. kekayaan budaya yang amat sangat melimpah. Budaya warisan leluhur merupakan BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia pada hakikatnya merupakan bangsa dengan warisan kekayaan budaya yang amat sangat melimpah. Budaya warisan leluhur merupakan aset tidak ternilai

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. Lakon Antaséna Rabi sajian Ki Anom Suroto merupakan. salah satu jenis lakon rabèn dan karangan yang mengambil satu

BAB VI KESIMPULAN. Lakon Antaséna Rabi sajian Ki Anom Suroto merupakan. salah satu jenis lakon rabèn dan karangan yang mengambil satu BAB VI KESIMPULAN Lakon Antaséna Rabi sajian Ki Anom Suroto merupakan salah satu jenis lakon rabèn dan karangan yang mengambil satu tokoh pokok Antasena kemudian ditambah tokoh-tokoh baru seperti Manuwati,

Lebih terperinci

INTERNALISASI NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DAN PELESTARIAN BUDAYA DAERAH MELALUI PERTUNJUKAN KETHOPRAK

INTERNALISASI NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DAN PELESTARIAN BUDAYA DAERAH MELALUI PERTUNJUKAN KETHOPRAK INTERNALISASI NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DAN PELESTARIAN BUDAYA DAERAH MELALUI PERTUNJUKAN KETHOPRAK Budi Waluyo, Astiana Ajeng Rahadini, Favorita Kurwidaria, Dewi Pangestu Said 229 SEMNASBAHTERA

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Punakawan merupakan tokoh dalam wayang yang merupakan bagian dari dunia

BAB V PENUTUP. Punakawan merupakan tokoh dalam wayang yang merupakan bagian dari dunia BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1) Tokoh Punakawan Dalam Wayang Punakawan merupakan tokoh dalam wayang yang merupakan bagian dari dunia wayang yang hanya ada di Indonesia. Punakawan adalah tokoh yang khas

Lebih terperinci

MATA PELAJARAN : SENI PEDALANGAN JENJANG PENDIDIKAN : SMK

MATA PELAJARAN : SENI PEDALANGAN JENJANG PENDIDIKAN : SMK MATA PELAJARAN : SENI PEDALANGAN JENJANG PENDIDIKAN : SMK Pedagogi Inti 1. Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, spiritual, sosial, kultural, emosional, dan intelektual. 2. Menguasai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah tentang sistem pendidikan nasional, dirumuskan bahwa:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah tentang sistem pendidikan nasional, dirumuskan bahwa: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan bagian terpenting dalam hidup manusia, pendidikan dapat dilakukan secara formal maupun non formal. Menurut UU No. 20 tahun 2003 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Budaya lokal menjadi media komunikasi di suatu daerah yang dapat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Budaya lokal menjadi media komunikasi di suatu daerah yang dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Budaya lokal menjadi media komunikasi di suatu daerah yang dapat mempersatukan dan mempertahankan spiritualitas hingga nilai-nilai moral yang menjadi ciri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Yunita, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Yunita, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kesenian merupakan hasil dari kebudayaan manusia yang dapat didokumentasikan atau dilestarikan, dipublikasikan dan dikembangkan sebagai salah salah satu upaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah karya seni tidak terlepas dari pembuatnya, yaitu lebih dikenal dengan

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah karya seni tidak terlepas dari pembuatnya, yaitu lebih dikenal dengan BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sebuah karya seni tidak terlepas dari pembuatnya, yaitu lebih dikenal dengan istilah seniman. Pada umumnya, seorang seniman dalam menuangkan idenya menjadi sebuah karya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penduduk Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai suku etnis dan bangsa yang memiliki ciri khas masing-masing. Dari berbagai suku dan etnis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semua peristiwa itu aktivitas menyimak terjadi. Dalam mengikuti pendidikan. peristiwa ini keterampilan menyimak mutlak diperlukan.

BAB I PENDAHULUAN. semua peristiwa itu aktivitas menyimak terjadi. Dalam mengikuti pendidikan. peristiwa ini keterampilan menyimak mutlak diperlukan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari, manusia dihadapkan dengan berbagai kesibukan menyimak. Dialog di keluarga, baik antara anak dan orang tua, antara orang tua, antar

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Penelitian ini menjawab dua persoalan yaitu bagaimana. Pertunjukan berlangsung selama dua jam sepuluh menit dan

BAB V PENUTUP. Penelitian ini menjawab dua persoalan yaitu bagaimana. Pertunjukan berlangsung selama dua jam sepuluh menit dan 253 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian ini menjawab dua persoalan yaitu bagaimana intertekstualitas struktur lakon dan mengapa dramatisasi diperlukan dalam sanggit lakon Hana Caraka Nabi Elia. Pertunjukan

Lebih terperinci

KRITIK SOSIAL DAN PESAN MORAL LEWAT PEMENTASAN WAYANG KULIT LAKON BIMA SUCI DALANG NI PAKSI RUKMAWATI

KRITIK SOSIAL DAN PESAN MORAL LEWAT PEMENTASAN WAYANG KULIT LAKON BIMA SUCI DALANG NI PAKSI RUKMAWATI KRITIK SOSIAL DAN PESAN MORAL LEWAT PEMENTASAN WAYANG KULIT LAKON BIMA SUCI DALANG NI PAKSI RUKMAWATI (Pentas di Desa Kedung Wangan Ungaran Semarang Jawa Tengah Acara Ruwatan Keluarga) SKRIPSI Untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konsep diri merupakan suatu bagian yang penting dalam setiap

BAB I PENDAHULUAN. Konsep diri merupakan suatu bagian yang penting dalam setiap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Konsep diri merupakan suatu bagian yang penting dalam setiap pembicaraan tentang kepribadian manusia. Konsep diri merupakan sifat yang unik pada manusia, sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan di negara manapun di dunia ini. Kebudayaan apapun dapat

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan di negara manapun di dunia ini. Kebudayaan apapun dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di era globalisasi tidak ada lagi sekat yang membatasi ruang kebudayaan di negara manapun di dunia ini. Kebudayaan apapun dapat dengan mudah di konsumsi dan di adaptasi

Lebih terperinci

PERAN GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM PEMBINAAN KARAKTER RELIGIUS PESERTA DIDIK DI SMP NEGERI 2 SUMBERGEMPOL TAHUN PELAJARAN 2014/2015 SKRIPSI

PERAN GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM PEMBINAAN KARAKTER RELIGIUS PESERTA DIDIK DI SMP NEGERI 2 SUMBERGEMPOL TAHUN PELAJARAN 2014/2015 SKRIPSI PERAN GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM PEMBINAAN KARAKTER RELIGIUS PESERTA DIDIK DI SMP NEGERI 2 SUMBERGEMPOL TAHUN PELAJARAN 2014/2015 SKRIPSI OLEH: MASTURI NIM. 3211113120 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Lebih terperinci

yang di gunakan pada pertunjukan wayang seperti kelir, blencong, kepyak,

yang di gunakan pada pertunjukan wayang seperti kelir, blencong, kepyak, BAB II ASAL-USUL WAYANG A. Sejarah Wayang Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang kaya dengan budaya. Di antara sekian banyak seni budaya yang ada, wayang dan seni pedalangan yang bertahan dari masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang mengiringi kebudayaan dari zaman ke zaman.akibat perkembangan itu

BAB I PENDAHULUAN. berkembang mengiringi kebudayaan dari zaman ke zaman.akibat perkembangan itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra Bali merupakan salah satu aspek kebudayaan Bali yang hidup dan berkembang mengiringi kebudayaan dari zaman ke zaman.akibat perkembangan itu maka di Bali lahirlah

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Kesenian wayang golek merupakan salah satu kesenian khas masyarakat

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Kesenian wayang golek merupakan salah satu kesenian khas masyarakat 143 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Kesenian wayang golek merupakan salah satu kesenian khas masyarakat Sunda yang sangat digemari bukan saja di daerah Jawa Barat, melainkan juga di daerah lain

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil temuan di lapangan mengenai perkembangan seni

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil temuan di lapangan mengenai perkembangan seni 147 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil temuan di lapangan mengenai perkembangan seni tradisional wayang kulit purwa di Kabupaten Tegal, maka terdapat empat hal yang ingin penulis

Lebih terperinci

14 Alat Musik Tradisional Jawa Tengah, Gambar dan Penjelasannya

14 Alat Musik Tradisional Jawa Tengah, Gambar dan Penjelasannya 14 Alat Musik Tradisional Jawa Tengah, Gambar dan Penjelasannya Alat musik tradisional asal Jawa Tengah (Jateng) mencakup gambarnya, fungsinya, penjelasannya, cara memainkannya dan keterangannya disajikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. unsur-unsur penting situasi di mana penutur mengujarnya. Makna. merupakan hubungan antara bahasa dengan bahasa luar yang

BAB I PENDAHULUAN. unsur-unsur penting situasi di mana penutur mengujarnya. Makna. merupakan hubungan antara bahasa dengan bahasa luar yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Bloomfield (dalam Abdul Wahab, 1995, h.40) makna adalah suatu bentuk kebahasaan yang harus dianalisis dalam batasbatas unsur-unsur penting situasi di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. wayang wong merupakan suatu khasanah budaya yang penuh dengan nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. wayang wong merupakan suatu khasanah budaya yang penuh dengan nilai-nilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wayang orang atau yang dalam bahasa Jawa sering disebut dengan istilah wayang wong merupakan suatu khasanah budaya yang penuh dengan nilai-nilai kesopanan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan berkaitan erat dengan proses belajar mangajar. Seperti di sekolah tempat pelaksanaan pendidikan, peserta didik dan pendidik saling melaksanakan pembelajaran

Lebih terperinci

ARTIKEL TENTANG SENI TARI

ARTIKEL TENTANG SENI TARI NAMA : MAHDALENA KELAS : VII - 4 MAPEL : SBK ARTIKEL TENTANG SENI TARI A. PENGERTIAN SENI TARI Secara harfiah, istilah seni tari diartikan sebagai proses penciptaan gerak tubuh yang berirama dan diiringi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesenian produk asli bangsa Indonesia. Kesenian wayang, merupakan

BAB I PENDAHULUAN. kesenian produk asli bangsa Indonesia. Kesenian wayang, merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang sangat kaya dengan aneka ragam kebudayaan dan tradisi. Potensi merupakan model sebagai sebuah bangsa yang besar. Kesenian wayang

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. Banyumas. Jemblung berawal dari dua kesenian rakyat yaitu Muyèn dan Menthièt.

BAB IV PENUTUP. Banyumas. Jemblung berawal dari dua kesenian rakyat yaitu Muyèn dan Menthièt. BAB IV PENUTUP Jemblung Banyumas merupakan salah satu bentuk kesenian tradisi rakyat Banyumas. Jemblung berawal dari dua kesenian rakyat yaitu Muyèn dan Menthièt. Muyèn merupakan kesenian macapatan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab pertama ini akan diuraikan secara berturut-turut : (1) latar

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab pertama ini akan diuraikan secara berturut-turut : (1) latar 1 BAB I PENDAHULUAN Dalam bab pertama ini akan diuraikan secara berturut-turut : (1) latar belakang penelitian, (2) rumusan masalah, (3) tujuan penelitian, (4) manfaat penelitian, (5) ruang lingkup penelitian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seni Dzikir Saman Di Desa Ciandur Kecamatan Saketi Kabupaten Pandeglang Banten

BAB I PENDAHULUAN. Seni Dzikir Saman Di Desa Ciandur Kecamatan Saketi Kabupaten Pandeglang Banten 1 A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Kesenian pada dasarnya muncul dari suatu ide (gagasan) dihasilkan oleh manusia yang mengarah kepada nilai-nilai estetis, sehingga dengan inilah manusia didorong

Lebih terperinci

PERKAWINAN. Diajukan. Sosial. Oleh: JURUSAN

PERKAWINAN. Diajukan. Sosial. Oleh: JURUSAN EKSISTENSI KESENIAN TRADISIONAL BEGALAN DALAM UPACARA PERKAWINAN MASYARAKAT DESA KEDONDONG KECAMATAN SOKARAJAA KABUPATEN BANYUMAS SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakartaa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kita adalah Negara yang memiliki beragam kebudayaan daerah dengan ciri khas masing-masing. Bangsa Indonesia telah memiliki semboyan Bhineka Tunggal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. budaya, baik berupa seni tradisional ataupun seni budaya yang timbul karena

BAB I PENDAHULUAN. budaya, baik berupa seni tradisional ataupun seni budaya yang timbul karena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman seni dan budaya, baik berupa seni tradisional ataupun seni budaya yang timbul karena proses akulturasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan yang ingin dicapai di dalam Tugas Akhir ini adalah menghasilkan

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan yang ingin dicapai di dalam Tugas Akhir ini adalah menghasilkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penciptaan Tujuan yang ingin dicapai di dalam Tugas Akhir ini adalah menghasilkan film dokumenter yang mengenalkan kebudayaan Wayang Krucil dari Desa Gondowangi Kabupaten

Lebih terperinci

menganggap bahwa bahasa tutur dalang masih diperlukan untuk membantu mendapatkan cerita gerak yang lebih jelas.

menganggap bahwa bahasa tutur dalang masih diperlukan untuk membantu mendapatkan cerita gerak yang lebih jelas. Bab. VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Teori bahasa rupa dapat menjelaskan gerak/sebetan wayang kulit purwa dengan cara menggunakan rangkaian gambar gerak dari satu gambar gerak ke gambar gerak

Lebih terperinci

BAB II IDENTIFIKASI DATA. A. Wayang Kulit

BAB II IDENTIFIKASI DATA. A. Wayang Kulit BAB II IDENTIFIKASI DATA A. Wayang Kulit 1. Pengertian Wayang Kulit Wayang dalam bahasa Jawa berarti bayangan dalam bahasa Melayu disebut bayang-bayang, dalam bahasa Aceh bayeng, dalam bahasa Bugis wayang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. masyarakat, bangsa, dan negara sesuai dengan pasal 1 UU Nomor 20 Tahun 2003.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. masyarakat, bangsa, dan negara sesuai dengan pasal 1 UU Nomor 20 Tahun 2003. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN 96 BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Kesenian wayang kulit purwa bagi bangsa Indonesia merupakan salah satu dari sekian banyak kekayaan budaya warisan leluhur yang sangat tinggi nilainya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggal masing-masing dengan kondisi yang berbeda. Manusia yang tinggal di

BAB I PENDAHULUAN. tinggal masing-masing dengan kondisi yang berbeda. Manusia yang tinggal di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bumi merupakan tempat tinggal seluruh makhluk di dunia. Makhluk hidup di bumi memiliki berbagai macam bentuk dan jenis yang dipengaruhi oleh tempat tinggal masing-masing

Lebih terperinci

LAPORAN TUGAS AKHIR PENCIPTAAN KARYA SENI PENCIPTAAN FILM ANIMASI DUA DIMENSI BIMA. Muhamad Maladz Adli NIM

LAPORAN TUGAS AKHIR PENCIPTAAN KARYA SENI PENCIPTAAN FILM ANIMASI DUA DIMENSI BIMA. Muhamad Maladz Adli NIM LAPORAN TUGAS AKHIR PENCIPTAAN KARYA SENI PENCIPTAAN FILM ANIMASI DUA DIMENSI BIMA Muhamad Maladz Adli NIM 1400082033 PROGRAM STUDI D-3 ANIMASI JURUSAN TELEVISI FAKULTAS SENI MEDIA REKAM INSTITUT SENI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian tradisional pada akhirnya dapat membangun karakter budaya

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian tradisional pada akhirnya dapat membangun karakter budaya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesenian tradisional pada akhirnya dapat membangun karakter budaya tertentu. Sebuah pernyataan tentang kesenian Jawa, kesenian Bali, dan kesenian flores, semuanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah Negara dengan latar belakang budaya yang majemuk. mulai dari kehidupan masyarakat, sampai pada kehidupan budayanya. Terutama pada budaya keseniannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nenek moyang yang memiliki nilai-nilai luhur budaya. Bali bukan hanya sebagai

BAB I PENDAHULUAN. nenek moyang yang memiliki nilai-nilai luhur budaya. Bali bukan hanya sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali dikenal sebagai salah satu penyimpanan naskah-naskah kuna warisan nenek moyang yang memiliki nilai-nilai luhur budaya. Bali bukan hanya sebagai penyimpanan naskah-naskah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan pengertian, konsepsi bahasa yang tepat (Teeuw, 1981: 1). Artinya bahasa

BAB I PENDAHULUAN. dengan pengertian, konsepsi bahasa yang tepat (Teeuw, 1981: 1). Artinya bahasa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah penggunaan bahasa yang khas, yang hanya dapat dipahami dengan pengertian, konsepsi bahasa yang tepat (Teeuw, 1981: 1). Artinya bahasa yang digunakan cenderung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Jawa Barat yang lebih sering disebut sebagai Tatar Sunda dikenal

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Jawa Barat yang lebih sering disebut sebagai Tatar Sunda dikenal BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Provinsi Jawa Barat yang lebih sering disebut sebagai Tatar Sunda dikenal memiliki warisan budaya yang beranekaragam. Keanekaragaman budayanya itu tercermin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelompok atau lapisan sosial di dalam masyarakat. Kebudayaan ini merupakan suatu cara

BAB I PENDAHULUAN. kelompok atau lapisan sosial di dalam masyarakat. Kebudayaan ini merupakan suatu cara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan manusia pada dasarnya dilatarbelakangi oleh adanya suatu sejarah kebudayaan yang beragam. Keberagaman yang tercipta merupakan hasil dari adanya berbagai

Lebih terperinci

\PESAN-PESAN MORAL PADA PERTUNJUKAN WAYANG KULIT

\PESAN-PESAN MORAL PADA PERTUNJUKAN WAYANG KULIT \PESAN-PESAN MORAL PADA PERTUNJUKAN WAYANG KULIT \PESAN-PESAN MORAL PADA PERTUNJUKAN WAYANG KULIT (Studi Kasus Pada Lakon Wahyu Makutharama dengan Dalang Ki Djoko Bawono di Desa Harjo Winangun, Kecamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki lingkungan geografis. Dari lingkungan geografis itulah

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki lingkungan geografis. Dari lingkungan geografis itulah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kekompleksitasan Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang memiliki lingkungan geografis. Dari lingkungan geografis itulah membuat Indonesia menjadi

Lebih terperinci

dari pengalaman tertentu dalam karya seninya melainkan formasi pengalaman emosional yang bukan dari pikiranya semata. 2.

dari pengalaman tertentu dalam karya seninya melainkan formasi pengalaman emosional yang bukan dari pikiranya semata. 2. A. Pendahuluan 1. Latar Belakang Masalah Musik sebagai bagian dari kebudayaan suatu bangsa, merupakan ungkapan serta ekspresi perasaan bagi pemainnya. Kebudayaan juga merupakan cerminan nilai-nilai personal,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sesuai dengan fungsi dan tujuan yang diinginkan. Kesenian dapat

BAB I PENDAHULUAN. yang sesuai dengan fungsi dan tujuan yang diinginkan. Kesenian dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang kaya akan kebudayaan serta memiliki beraneka ragam budaya. Kekayaan budaya tersebut tumbuh karena banyaknya suku ataupun etnis

Lebih terperinci

MODUL PEMBELAJARAN SENI BUDAYA

MODUL PEMBELAJARAN SENI BUDAYA MODUL PEMBELAJARAN SENI BUDAYA DISUSUN OLEH Komang Kembar Dana Disusun oleh : Komang Kembar Dana 1 MODUL PEMBELAJARAN SENI BUDAYA STANDAR KOMPETENSI Mengapresiasi karya seni teater KOMPETENSI DASAR Menunjukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari Tugas Akhir ini adalah membuat game bergenre rhythm bertema

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari Tugas Akhir ini adalah membuat game bergenre rhythm bertema BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penciptaan Tujuan dari Tugas Akhir ini adalah membuat game bergenre rhythm bertema cerita wayang Ramayana yang diperuntukkan bagi remaja usia 15-18 tahun. Hal ini dilatar

Lebih terperinci

PERNYATAAN. lainnya. Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penerbitan maupun yang

PERNYATAAN. lainnya. Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penerbitan maupun yang SENI DRAMA SEBAGAI MEDIA DAKWAH (Studi Kasus pada Teater Wadas Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang) SKRIPSI untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I) Jurusan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIK. menyangkut segala sesuatu yang baik atau buruk sebagai abstraksi,

BAB II KAJIAN TEORITIK. menyangkut segala sesuatu yang baik atau buruk sebagai abstraksi, BAB II KAJIAN TEORITIK A. Deskripsi Teori 1. Nilai Nilai adalah segala sesuatu yang dipentingkan manusia sebagai subjek, menyangkut segala sesuatu yang baik atau buruk sebagai abstraksi, pandangan, atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan adalah adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan

Lebih terperinci

2015 KESENIAN MACAPAT GRUP BUD I UTOMO PAD A ACARA SYUKURAN KELAHIRAN BAYI D I KUJANGSARI KOTA BANJAR

2015 KESENIAN MACAPAT GRUP BUD I UTOMO PAD A ACARA SYUKURAN KELAHIRAN BAYI D I KUJANGSARI KOTA BANJAR BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia kaya akan ragam suku sehingga dari keberagaman tersebut lahirlah banyak kesenian tradisi yang bersifat unik dan khas. Poerwadarminta (2001,

Lebih terperinci

BENTUK DAN FUNGSI KESENIAN OJROT-OJROT DI DESA KARANGDUWUR KECAMATAN PETANAHAN KABUPATEN KEBUMEN

BENTUK DAN FUNGSI KESENIAN OJROT-OJROT DI DESA KARANGDUWUR KECAMATAN PETANAHAN KABUPATEN KEBUMEN BENTUK DAN FUNGSI KESENIAN OJROT-OJROT DI DESA KARANGDUWUR KECAMATAN PETANAHAN KABUPATEN KEBUMEN Oleh: Ari Rahmawati Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa rahmawatiarie21@yahoo.co.id ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesenian merupakan salah satu bentuk kebudayaan manusia. Setiap daerah mempunyai kesenian yang disesuaikan dengan adat istiadat dan budaya setempat. Jawa Barat terdiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi syarat. Dilihat dari segi isinya, karya jenis tutur tidak kalah

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi syarat. Dilihat dari segi isinya, karya jenis tutur tidak kalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tutur merupakan salah satu jenis karya Sastra Jawa Kuno yang mengandung nilai filsafat, agama, dan nilai kehidupan. Menurut Soebadio (1985: 3), tutur merupakan pelajaran

Lebih terperinci

BAB II METODOLOGI. Keyakinan bahwa wayang merupakan produk budaya sejati bangsa. Indonesia antara lain ditegaskan oleh G.A.J. Hazeu, Brandes, N.J.

BAB II METODOLOGI. Keyakinan bahwa wayang merupakan produk budaya sejati bangsa. Indonesia antara lain ditegaskan oleh G.A.J. Hazeu, Brandes, N.J. BAB II METODOLOGI A. Identifikasi Masalah Keyakinan bahwa wayang merupakan produk budaya sejati bangsa Indonesia antara lain ditegaskan oleh G.A.J. Hazeu, Brandes, N.J. Krom, Prof. Kern, dan W.H. Rassers;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia di jaman dahulu. Mahabharata berasal dari kata maha yang berarti

BAB I PENDAHULUAN. manusia di jaman dahulu. Mahabharata berasal dari kata maha yang berarti BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam kesusastraan Indonesia kuno terdapat epos besar, yaitu kisah Mahabharata, yang pada awalnya ditulis dalam bahasa Sansekerta dimana menurut Nyoman (2014) dalam

Lebih terperinci