VII. SOLUSI MODEL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VII. SOLUSI MODEL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 VII. SOLUSI MODEL DAN PEMBAHASAN Pada bab ini secara khusus akan membahas seluruh hasil simulasi dengan enam skenario yang digunakan. Hal ini penting dilakukan sebelum selanjutnya dilakukan dua hal : (1) analisis perbandingan (comparative analysis) antar berbagai skenario dalam rangka manjawab tujuan nomor 3, dan (2) analisis kelembagaan untuk melihat kinerja alokasi lahan berdasarkan konsep RTRW untuk menjawab tujuan nomor 4. Analisis alokasi penggunaan lahan dengan pendekatan Model Goal Programming dijalankan dengan paket program ABQM versi DOS. Rincian program dan output disajikan pada Lampiran 1 sampai Lampiran 6. Solusi yang dihasilkan Goal Programming memperlihatkan nilai-nilai variabel keputusan yang memperlihatkan solusi alokasi luas penggunaan lahan yang paling optimal dari berbagai alternatif strategi penggunaannya untuk menghasilkan berbagai barang dan jasa dalam kondisi dan kendala yang dipertimbangkan dalam berbagai skenario. Nilai-nilai variabel deviasi memperlihatkan tingkat ketercapaian tujuan yang diinginkan. Apabila variabel deviasi negatif (d - ) dan mempunyai nilai, itu berarti tujuan yang diinginkan tidak tercapai. Apabila variabel deviasi positif (d + ) dan mempunyai nilai, itu berarti tujuan yang diinginkan terlampaui. Apabila tujuan yang diinginkan tepat tercapai maka nilai variabel d - dan d + akan bernilai sama dengan nol. Nilai total fungsi tujuan (Z) dalam hal ini kurang bermakna untuk pembuatan keputusan karena tidak memperlihatkan deviasi pencapaian dari setiap tujuan yang diinginkan. Jadi dari output Goal Programming ini yang penting

2 138 diinterpretasikan adalah alokasi variabel keputusan, deviasi ketercapaian dan ketidaktercapaian dari setiap barang dan jasa yang diinginkan dan status/kondisi kendala sumberdaya yang dipertimbangkan sehubungan dengan berbagai alternatif penggunaan lahan yang ada untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Dari beberapa skenario yang disusun dimaksudkan untuk melihat sejauhmana suatu kebijakan pembangunan dengan atau tanpa mengintegrasikan aspek lingkungan. Bagaimana dampak eksternalitas akan mempengaruhi produktivitas total suatu wilayah dan upaya-upaya apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut, berapa biaya opportunitas yang ditanggung masyarakat dan lain-lain akan dapat dilihat dengan melakukan analisis perbandingan antar skenario (selanjutnya akan dibahas pada Bab VIII) Solusi Model Untuk Tujuan Pembangunan Ekonomi Skenario untuk tujuan pembangunan ekonomi menunjukkan pergeseran peruntukan lahan sebagaimana disajikan pada Tabel 32 yaitu dari kondisi semula terutama untuk usaha budidaya udang intensif dan budidaya udang organik + bandeng. Hasil solusi optimal untuk budidaya udang intensif adalah nol dari kondisi semula 50 ha. Hal ini bisa dipahami mengingat pola usaha udang intensif ini dalam skala besar dan dalam jangka panjang berpotensi menimbulkan pencemaran pada kawasan sekitarnya. Memang produktivitas udang dari pola budidaya udang intensif ini sangat tinggi, namun jika akhirnya mencemari lingkungan dan mengancam ekosistem sekitarnya sehingga hal ini akan menurunkan potensi ekonomi secara keseluruhan. Solusinya agar potensi udang intensif tetap ada, maka pola pengusahaannya diarahkan pada pola usaha

3 139 budidaya udang semi intensif. Pola ini jauh lebih aman, mengingat pada pola ini sebagian masih mengandalkan peran dari alam terutama tanaman mangrove yang sengaja dibudidaya di sekeliling tambak. Keberadaan tanaman mangrove ini akan mampu menetralisir racun-racun yang ada di dalam kolam tambak sehingga tidak menimbulkan pencemaran baik di dalam kolam sendiri maupun kolam-kolam lain di sekitarnya. Pergeseran pola budidaya kearah pola budidaya udang semi intensif lebih banyak dikontribusi oleh tambak-tambak organik. Kita tahu bahwa produktivitas udang pada tambak udang organik ini relatif rendah, sehingga penggunaan lahan untuk usaha jenis ini yang terlalu luas jelas akan menurunkan potensi ekonomi yang dihasilkan kawasan pesisir. Tabel 32. Alokasi Penggunaan Lahan Untuk Tujuan Pembangunan Ekonomi Luas (Ha) Variabel Strategi Pengembangan Lahan Keputusan Kondisi Saat Solusi Penelitian Optimal X1 Bandeng intensif + U. Campur X2 B intensif + U Cmpr Tumpang gilir dg Garam X3 Bndg + U Organik + U Cmpr X4 U Intensif X5 Semi Intensif X6 Eksploitasi Campuran Ht Mangrove Total Sebagaimana disajikan pada Tabel 33, secara umum skenario ini dapat meningkatkan potensi ekonomi yang ditunjukkan oleh terlampauinya target keuntungan hampir dua kali lipat yaitu sebesar Rp Semua target produksi barang dan jasa terlampuai kecuali untuk udang organik. Penurunan hasil produksi udang organik lebih disebabkan oleh berkurangnya luas lahan tambak organik dari ha menjadi ha.

4 140 Tabel 33. Target Untuk Skenario Pembangunan Ekonomi No. Barang dan Jasa Yang Target Satuan Ditargetkan Target Bandeng (000/th) (+) Udang Organik (000/th) (-) Udang Intensif (000/th) (+) Udang Campuran (000/th) (+) Kupang (000/th) (+) Kerang (000/th) (+) Garam (000/th) (+) K Bakar (mangrove) (000/th) (+) Jasa Lingkungan (000/th) (+) Keuntungan (000/th) (+) Tabel 34 menunjukan kondisi sumberdaya akibat skenario pembangunan ekonomi. Sumberdaya lahan dapat teralokasi 100 persen, sedang potensi buaya petani yang tidak terserap untuk menunjang aktivitas perekonomian yang ada sebesar Rp atau sekitar persen,. Hal ini mengindikasikan suatu aktivitas perekonomian yang tinggi terutama untuk investasi yang mengarah pada usaha budidaya yang padat modal yaitu tambak semi intensif. Tabel 34. Kondisi Sumberdaya Setelah Dialokasikan Untuk Tujuan Pembangunan - Ekonomi No. Jenis Sumber Daya Satuan RHS Value 1 Biaya Petani (000) (-) Tenaga Kerja HOK (-) Tenaga Kerja Untuk Garam HOK (+) Luas Satuan Lahan 1 (Ha) Luas Satuan Lahan 2 (Ha) Luas Satuan Lahan 3 (Ha) Luas Satuan Lahan 4 (Ha) Hutan Mangrove Lestari 1 (Ha) Hutan Mangrove Lestari 2 (Ha) Luas Lahan Seluruhnya (Ha) Sebagai konsekuensi dari peningkatan investasi di sektor usaha tambak semi intensif, hal itu menuntut suatu penyediaan tenaga kerja yang memadai.

5 Dari potensi HOK yang tersedia hanya HOK atau sekitar 15 persen potensi tenaga kerja yang tidak terserap Solusi Model Untuk Tujuan Pembangunan Lingkungan Solusi model untuk skenario tujuan pembangunan lingkungan mengarahkan para pelaku pembangunan agar menerapkan teknologi yang ramah lingkungan, sedangkan hasil ekonomi tidak dipentingkan. Sebagaimana disajikan pada Tabel 35 bahwa teknologi produksi yang tidak ramah lingkungan seperti budidaya udang intensif dan semi intensif disarankan untuk tidak dilakukan. Hal ini karena kedua jenis pola budidaya tersebut masih menggunakan asupan pakan udang yang dibuat oleh pabrik (pelet) yang berpotensi mencemari lingkungan sehingga akan mengancam kelestarian ekosistem disekitarnya. Indikatorindikator teknologi ramah lingkungan begitu menonjol seperti : udang organik, dan hutan mangrove mengalami peningkatan. Tabel 35. Alokasi Penggunaan Lahan Untuk Tujuan Pembangunan Lingkungan Variabel Keputusan Strategi Pengembangan Lahan Kondisi Saat Penelitian Luas (Ha) Solusi Optimal X1 Bandeng intensif + U. Campur X2 B intensif + U Cmpr Tumpang gilir dg Garam X3 Bndg + U Organik + U Cmpr X4 U Intensif X5 Semi Intensif X6 Eksploitasi Campuran Ht Mangrove Total Pada skenario ini target keuntungan mengalami penurunan yang signifikan yaitu mencapai Rp atau turun sekitar 14,44 persen dari yang

6 142 ditargetkan. Penurunan ini lebih banyak dikontribusi oleh penurunan target produksi udang intensif. Walaupun secara umum produksi berbagai jenis komoditi seperti kupang, kerang dan bandeng mengalami peningkatan, namun ada penurunan sedikit saja pada produksi udang, maka dampaknya secara akonomis akan sangat terasa karena harga udang relatif mahal yaitu mencapai Rp /kg. Informasi tentang deviasi target produksi barang dan jasa untuk skenario pembangunan lingkungan secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 36. Tabel 36. Target Untuk Skenario Pembangunan Lingkungan No. Barang dan Jasa Yang Target Satuan Ditargetkan Target Bandeng (000/th) (+) Udang Organik (000/th) (-) Udang Intensif (000/th) (-) Udang Campuran (000/th) (+) Kupang (000/th) (+) Kerang (000/th) (+) Garam (000/th) (+) Kayu Bakar (mangrove) (000/th) (+) Jasa Lingkungan (000/th) (+) Keuntungan (000/th) (-) Tabel 37 menunjukan kondisi sumberdaya setelah dialokasikan untuk tujuan skenario pembangunan lingkungan. Semua sumberdaya dapat teralokasi 100 persen kecuali untuk biaya petani dan tenaga kerja. Solusi untuk skenario pembangunan lingkungan mengarahkan pada penggunaan teknologi yang ramah lingkungan dan cenderung tidak padat modal. Seperti pola budidaya udang organik dan eksploitasi hutan mangrove, kedua jenis pengusahaan tersebut lebih banyak mengandalkan proses alamiah dalam memproduksi barang-barang seperti udang organik, kupang, kerang dan kayu bakar. Teknologi budidaya udang organik dan eksploitasi hutan mangrove tidak padat karya. Hal itu terbukti dari

7 besarnya potensi tenaga kerja yang tidak terpakai yang mencapai HOK atau sekitar 56 persen lebih. Tabel 37. Kondisi Sumberdaya Setelah Dialokasikan Untuk Tujuan Skenario Pembangunan Lingkungan 143 No. Jenis Sumber Daya Satuan RHS Value 1 Biaya Petani (000) (-) Tenaga Kerja HOK (-) Tenaga Kerja Untuk Garam HOK Luas Satuan Lahan 1 (Ha) Luas Satuan Lahan 2 (Ha) Luas Satuan Lahan 3 (Ha) Luas Satuan Lahan 4 (Ha) Hutan Mangrove Lestari 1 (Ha) Hutan Mangrove Lestari 2 (Ha) Luas Lahan Seluruhnya (Ha) Solusi Model Untuk Skenario Terjadinya Eksternalitas dan Upaya Untuk Mengatasinya Solusi model untuk skenario ini akan mengarahkan pada pola pemanfaatan lahan yang mengurangi budidaya udang organik. Kita tahu bahwa budidaya udang organik sangat rentan akibat tekanan lingkungan oleh polusi dari limbah udang intensif. Jika mereka berada bersama-sama dalam satu lokasi, maka hal tersebut akan berdampak pada penurunan potensi produksi udang organik. Budidaya udang organik mengandalkan asupan makanan dari aliran air laut yang masuk ke dalam tambak melalui pintu outlet dan inlet secara bebas tanpa ada hambatan (open access). Bersamaan dengan itu unsur-unsur polutan yang dihasilkan oleh budidaya udang intensif masuk kedalam lingkungan tambak organik. Jika pada suatu kondisi dimana lingkungan sekitar tambak terjadi

8 144 pencemaran, maka solusinya adalah sementara waktu masyarakat tidak mengusahakan budidaya udang organik yang rentan terhadap kondisi lingkungan yang tercemar tersebut. Dan bersamaan dengan hal tersebut usaha budidaya udang intensif sementara waktu juga dihentikan. Penghentian kedua bentuk teknologi budidaya udang tersebut harus ada teknologi alternatif yang bisa menggantikan yaitu budidaya udang semi intensif. Langka kedua untuk mengatasi dampak eksternalitas yaitu memperbanyak tegakan mangrove, karena kita tahu bahwa mangrove terbukti dapat menyerap racun-racun yang berpotensi mengancam ekosistem tambak. Uraian ini sejalan dengan solusi alokasi lahan sebagaimana disajikan pada Tabel 38. Tabel 38. Alokasi Penggunaan Lahan Untuk Skenario Terjadinya Eksternalitas Luas (Ha) Variabel Strategi Pengembangan Lahan Keputusan Kondisi Saat Solusi Penelitian Optimal X1 Bandeng intensif + U. Campur X2 B intensif + U Cmpr Tumpang gilir dg Garam X3 Bndg + U Organik + U Cmpr X4 U Intensif X5 Semi Intensif X6 Eksploitasi Campuran Ht Mangrove Total Akibat terjadinya pergeseran dari pola budidaya udang organik ke arah udang semi intensif, maka terjadi peningkatan produksi udang intensif yang signifikan sebaliknya produksi udang organik menurun tajam. Secara umum target produksi barang dan jasa dari skenario ini mengalami peningkatan kecuali untuk udang organik, udang campur dan garam. Secara kumulatif dampak dari skenario ini menunjukkan peningkatan keuntungan yang cukup besar hampir dua

9 145 kali lipat dari target semula. Secara ekonomis skenario ini cukup menjanjikan dan secara lingkungan dampak penggunaan taknologi yang ada dijamin tidak akan menimbulkan dampak eksternalitas negatif yang besar sehingga skenario ini sebenarnya cukup ideal untuk direkomendasikan. Informasi tetang deviasi pencapaian target produksi barang dan jasa dapat dilihat pada Tabel 39. Penerapan teknologi budidaya tambak semi intensif menuntut penggunaan sumberdaya terutama sumberdaya modal dan tenaga kerja yang cukup banyak. Potensi sumberdaya modal (pembiayaan) yang tersedia semuanya terserap habis, sementara potensi tenaga kerja yang ada tidak mencukupi untuk menopang kelangsungan pola usaha ini. Hanya untuk sumberdaya lahan masih ada sisa lahan yang tidak teralokasi yaitu sebesar Ha. Penggunaan sisa lahan yang tidak teralokasi ini bebas sepanjang tidak menimbulkan pencemaran lingkungan. Dan karena letaknya ada pada satuan lahan 2 yang umumnya digunakan orang untuk budidaya udang organik, maka peruntukan lahan sisa tersebut dapat digunakan untuk melanjutkan usaha udang organik atau usaha udang semi intensif. Informasi kondisi sumberdaya setelah dialokasikan untuk tujuan skenario ini dapat dilihat pada Tabel 40. Tabel 39. Target Untuk Skenario Terjadinya Eksternalitas No. Barang dan Jasa Yang Target Satuan Ditargetkan Target Bandeng (000/th) (+) Udang Organik (000/th) (-) Udang Intensif (000/th) (+) Udang Campuran (000/th) (-) Kupang (000/th) (+) Kerang (000/th) (+) Garam (000/th) (+) Kayu Bakar (mangrove) (000/th) (+) Jasa Lingkungan (000/th) (+) Keuntungan (000/th) (+)

10 Tabel 40. Kondisi Sumberdaya Setelah Dialokasikan Untuk Skenario Terjadinya Eksternalitas No. Jenis Sumber Daya Satuan RHS Value 1 Biaya Petani (000) Tenaga Kerja HOK (+) Tenaga Kerja Untuk Garam HOK (+) Luas Satuan Lahan 1 (Ha) Luas Satuan Lahan 2 (Ha) (-) Luas Satuan Lahan 3 (Ha) Luas Satuan Lahan 4 (Ha) Hutan Mangrove Lestari 1 (Ha) Hutan Mangrove Lestari 2 (Ha) Luas Lahan Seluruhnya (Ha) (-) Solusi Model Untuk Skenario Jika Tidak Ada Hutan Mangrove Skenario ini dimaksudkan untuk melihat sejauhmana peranan hutan mangrove dalam pembangunan ekonomi yang ada. Jika tidak ada lagi hutan mangrove maka fungsi penyaringan polutan dari laut yang masuk ke kawasan tambak tidak ada lagi. Kondisi ini hampir bisa dipastikan bahwa untuk pola budidaya udang baik udang intensif maupun udang organik tidak lagi bisa diusahakan, karena udang sangat peka terhadap polusi air laut. Sehingga praktis yang masih bisa bertahan hanya bandeng dan garam. Hasil solusi optimal mengarahkan agar semua lahan yang ada semuanya diusahakan untuk budidaya bandeng, lihat Tabel 41. Skenario ini juga bisa menjelaskan fenomena pencemaran yang diakibatkan oleh pembuangan Lumpur Lapindo ke laut. Jika tingkat pencemaran sudah sedemikian tinggi sehingga tidak ada lagi lahan yang bisa dibudidaya udang sementara hanya bandeng yang masih tetap bertahan, maka kondisinya mirip dengan skenario tersebut diatas.

11 147 Tabel 41. Alokasi Penggunaan Lahan Untuk Skenario Jika Tidak Ada Hutan Mangrove Variabel Keputusan Strategi Pengembangan Lahan Kondisi Saat Penelitian Luas (Ha) Solusi Optimal X1 Bandeng intensif + U. Campur X2 B intensif + U Cmpr Tumpang gilir dg Garam Lahan peruntukan lain diluar (X1 dan X2) Total Semua target produksi tidak ada yang tercapai (nol) kecuali untuk bandeng dan udang campur, lihat Tabel 42. Dari hasil perhitungan secara kumulatif nampak bahwa target keuntungan mengalami penurunan sebesar Rp atau turun lebih kurang 10 persen dari target semula. Nilai ini sebenarnya menggambarkan jasa hutan mangrove secara ekonomi. Jika kita menghitung jasa hutan mangrove berdasarkan metode oportunitas, maka nilai kesempatan yang hilang tersebut adalah nilai jasa hutan mangrove yaitu sebesar Rp /tahun. Tabel 42. Target Untuk Skenario Jika Tidak Ada Hutan Mangrove Barang dan Jasa Yang Target No. Satuan Ditargetkan Target Bandeng (000/th) (+) Udang Organik (000/th) (-) Udang Intensif (000/th) (-) Udang Campuran (000/th) (+) Kupang (000/th) (-) Kerang (000/th) (-) Garam (000/th) (-) Kayu Bakar (mangrove) (000/th) (-) Jasa Lingkungan (000/th) (-) Keuntungan (000/th) (-)

12 148 Pengusahaan budidaya bandeng intensif ternyata memerlukan curahan tenaga kerja dan biaya yang sangat besar, sehingga dari potensi biaya dan tenaga kerja yang tersedia ternyata tidak mencukupi untuk itu. Hal itu terbukti dari deviasi yang negatif untuk kedua jenis sumberdaya tersebut sebagaimana nampak pada Tabel 43. Tabel 43. Kondisi Sumberdaya Setelah Dialokasikan Pada Kondisi Jika Tidak Ada Hutan Mangrove No. Jenis Sumber Daya Satuan RHS Value 1 Biaya Petani (000) (-) Tenaga Kerja HOK (-) Tenaga Kerja Untuk Garam HOK Luas Satuan Lahan 1 (Ha) Luas Satuan Lahan 2 (Ha) Luas Satuan Lahan 3 (Ha) Luas Satuan Lahan 4 (Ha) Hutan Mangrove Lestari 1 (Ha) Hutan Mangrove Lestari 2 (Ha) Luas Lahan Seluruhnya (Ha) Solusi Model Untuk Skenario Tahun 2011 Solusi alokasi penggunaan lahan untuk skenario pembangunan ekonomi tahun 2011 disajikan pada Tabel 44. Disini tidak banyak terjadi pergeseran penggunaan lahan dibandingkan dengan skenario yang sama tahun 2006, kecuali untuk pola usaha udang organik dari ha (2006) menjadi ha (2011) serta pola usaha udang semi intensif dari ha (2006) menjadi ha (2011). Pergeseran ini berdampak pada meningkatnya alokasi lahan untuk hutan mangrove dari ha (2006) menjadi ha (2011). Hal tersebut mengindikasikan semakin pentingnya mempertahankan kualitas lingkungan dengan memperbesar alokasi lahan untuk hutan mangrove. Sementara

13 149 untuk kepentingan ekonomi dicerminkan dengan besarnya porsi alokasi lahan untuk usaha udang semi intensif, karena pola usaha ini menjanjikan hasil produksi udang yang relatif tinggi dibandingkan dengan pola usaha udang organik. Memperbesar alokasi lahan untuk hutan mangrove bukan berarti akan menghilangkan kesempatan masyarakat untuk memperoleh peningkatan pendapatan. Kita tahun bahwa hutan mangrove disamping memiliki manfaat eksistensi dia juga memiliki manfaat langsung dan tidak langsung yaitu sebagai penghasil kayu bakar, kupang dan kerang yang selama ini dikenal memiliki pasar cukup baik. Dari pengusahaan hutan mangrove tersebut dapat diperoleh keuntungan ekonomi yang cukup besar yaitu Rp /ha/tahun. Tabel 44. Alokasi Penggunaan Lahan Untuk Skenario Tahun 2011 Luas (Ha) Variabel Strategi Pengembangan Lahan Keputusan Solusi Tahun Solusi Tahun X1 Bandeng intensif + U. Campur X2 B intensif + U Cmpr Tumpang gilir dg Garam X3 Bndg + U Organik + U Cmpr X4 U Intensif X5 Semi Intensif X6 Eksploitasi Campuran Ht Mangrove Total Tabel 45 menyajikan informasi tentang deviasi pencapaian target produksi barang dan jasa untuk tujuan skenario pembangunan ekonomi tahun Secara umum skenario ini masih menjanjikan penghasilan yang tinggi bagi masyarakat. Hal itu terbukti dengan kelebihan keuntungan dari yang ditargetkan yang mencapai Rp atau ada peningkatan sebesar 72.2 persen lebih. Namun peningkatan ini tidak sebesar pencapaian oleh skenario yang sama tahun

14 yang mencapai persen. Diduga penurunan kenaikan keuntungan dari target ini karena terlalu besarnya alokasi lahan untuk tujuan hutan mangrove. Tabel 45. Target Untuk Skenario Tahun 2011 No. Barang dan Jasa Yang Target Satuan Ditargetkan Target Bandeng (000/th) (+) Udang Organik (000/th) (-) Udang Intensif (000/th) Udang Campuran (000/th) (-) Kupang (000/th) (+) Kerang (000/th) (+) Garam (000/th) K Bakar (mangrove) (000/th) (+) Jasa Lingkungan (000/th) (+) Keuntungan (000/th) (+) Seluruh potensi sumberdaya dapat teralokasikan secara penuh kecuali untuk tenaga kerja dimana masih ada potensi tenaga kerja yang tidak terpakai yaitu sebesar HOK atau ada sisa sebesar 6.3 persen dari yang ditargetkan. Dibandingkan tahun 2006, berarti ada peningkatan penyerapan tenaga kerja sebesar sebesar 8.7 persen dari potensi tenaga kerja yang tidak terserap yang mencapai 15 persen. Kondisi perekonomian tahun 2011 bisa dikatakan mengalami peningkatan yang cukup besar. Hal itu terbukti dari seluruh potensi dana yang ada di masyarakat, semuanya terserap habis untuk kegiatan investasi di sektor pesisir. Adanya penambahan tanah oloran (tanah timbul) sebesar ha selama kurun waktu lima tahun ( ) ternyata juga habis dialokasikan untuk memperluas hutan mangrove, lihat Tabel 46 Ternyata sinyal perubahan harga-harga yang terjadi baik untuk harga input maupun harga output selama kurun waktu lima tahun akan mengarahkan para

15 pelaku ekonomi untuk mengalokasikan lahan pesisir untuk tujuan pembangunan 151 ekonomi tanpa mengorbankan kepentingan untuk tetap menjaga kualitas lingkungan. Tabel 46. Kondisi Sumberdaya Setelah Dialokasikan Untuk Skenario Tahun No. Jenis Sumber Daya Satuan RHS Value 1 Biaya Petani (000) ,000 2 Tenaga Kerja HOK (-) Tenaga Kerja Untuk Garam HOK Luas Satuan Lahan 1 (Ha) Luas Satuan Lahan 2 (Ha) Luas Satuan Lahan 3 (Ha) Luas Satuan Lahan 4 (Ha) Hutan Mangrove Lestari 1 (Ha) Hutan Mangrove Lestari 2 (Ha) Luas Lahan Seluruhnya (Ha) Solusi Model Untuk Skenario Konsep RTRW Tujuan utama dari konsep RTRW adalah untuk mencapai dua hal yaitu : (1) luas hutan lindung mangrove mencapai ha, dan (2) luas tambak organik yang mencapai ha. Tujuan dari konsep RTRW tersebut sebenarnya dapat dipahami sebagai upaya untuk mempertahankan kondisi ekosistem pesisir agar tetap lestari. Tetapi setelah disimulasikan berdasarkan kondisi aktual dilapangan seperti produktivitas lahan, kondisi kendala sumberdaya dan factor-faktor biofisik lainnya, ternyata apa yang dicita-citakan dalam konsep RTRW tidak sepenuhnya dapat terpenuhi. Luas tambak udang organik ternyata hanya dipenuhi oleh kombinasi antara organik dengan intensif yang mencapai ha. Sedangkan kondisi hutan

16 152 lindung mangrove justru mengalami peningkatan yang signifikan dari ha menjadi ha, lihat Tabel 47. Hal itu karena adanya pergeseran besarbesaran dari tambak udang organik seluas ha manjadi Padahal fungsi sekunder tambak organik adalah untuk penyangga ekosistem. Dengan tidak adanya pola budidaya tambak organik secara murni, maka harus ada kompensasi agar ekosistem pesisir tetap terjaga yaitu dengan memperbesar luas kawasan lindung mangrove. Tabel 47. Alokasi Penggunaan Lahan Untuk Skenario Konsep RTRW Luas (Ha) Variabel Strategi Pengembangan Lahan Keputusan Kondisi Saat Solusi Skenario Penelitian RTRW X1 Bandeng intensif + U. Campur X2 B intensif + U Cmpr Tumpang gilir dg Garam X3 Bndg + U Organik + U Cmpr X4 U Intensif X5 Semi Intensif (Organik dan Intensif) X6 Eksploitasi Campuran Ht Mangrove Total Tabel 48. Target Untuk Skenario Konsep RTRW No. Barang dan Jasa Yang Target Satuan Ditargetkan Target Bandeng (000/th) (+) Udang Organik (000/th) (-) Udang Intensif (000/th) (+) Udang Campuran (000/th) (+) Kupang (000/th) (+) Kerang (000/th) (+) Garam (000/th) (-) K Bakar (mangrove) (000/th) (+) Jasa Lingkungan (000/th) (+) Keuntungan (000/th) (+)

17 153 Secara umum strategi penggunaan lahan berdasarkan skenario konsep RTRW dapat memenuhi dua tujuan yaitu tujuan ekonomi dengan indikator pencapaian target keuntungan total dan tujuan lingkungan dengan indikator pencapaian target jasa lingkungan, lihat Tabel 48. Semua indikator tersebut menunjukkan nilai kelebihtercapaian yang cukup signifikan. Jasa lingkungan ada potensi kenaikan sebesar lebih dari 500 persen sedang persen. Kelebihtercapaian ini lebih dikontribusi oleh pertambahan luas hutan mangrove dan luas pola budidaya tambak udang semi intensif. Tabel 49. Kondisi Sumberdaya Setelah Dialokasikan Untuk Skenario Konsep - RTRW No. Jenis Sumber Daya Satuan RHS Value 1 Biaya Petani (000) Tenaga Kerja HOK (-) Tenaga Kerja Untuk Garam HOK (+) Luas Satuan Lahan 1 (Ha) Luas Satuan Lahan 2 (Ha) Hutan Mangrove Lestari (Ha) Tambak Udang Organik (Ha) (-) Luas Lahan Seluruhnya (Ha) Informasi tentang kondisi sumberdaya untuk tujuan skenario RTRW dapat dilihat pada Tabel 49. Secara umum seluruh sumberdaya yang tersedia sudah dapat dialokasikan untuk mendukung proses produksi pesisir. Untuk sumberdaya lahan seluruhnya habis teralokasi untuk berbagai kegiatan ekonomi. Namun target pemenuhan luas tambak udang organik seluas ha tidak bisa dipenuhi seluruhnya. Indikator ketenagakerjaan menunjukan masih ada potensi tenaga kerja yang tidak terserap sebesar HOK atau sekitar 1 persen dari seluruh potensi tenaga kerja yang ada. Sementara untuk tenaga kerja

18 khusus pengolahan garam ada peningkatan potensi permintaan sebesar atau sekitar persen. 154

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Wilayah pesisir mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Wilayah pesisir mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah pesisir mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan dan penghidupan bagi masyarakat di Kabupaten Kubu Raya yang memiliki panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan yang merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia tidak terlepas dari aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam (Bengen 2004). Peluang

Lebih terperinci

V. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

V. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN V. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5.1. Karakteristik Kabupaten Sidoarjo Menurut informasi dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Sidoarjo tahun 2004, kondisi geografis Kabupaten Sidoarjo ini terletak pada

Lebih terperinci

6 MODEL PENGEMBANGAN PESISIR BERBASIS BUDIDAYA PERIKANAN BERWAWASAN LINGKUNGAN

6 MODEL PENGEMBANGAN PESISIR BERBASIS BUDIDAYA PERIKANAN BERWAWASAN LINGKUNGAN 119 6 MODEL PENGEMBANGAN PESISIR BERBASIS BUDIDAYA PERIKANAN BERWAWASAN LINGKUNGAN Skenario pengembangan kawasan pesisir berbasis budidaya perikanan berwawasan lingkungan, dibangun melalui simulasi model

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi PENDAHULUAN Latar Belakang Meningkatnya harga udang windu di pasaran mendorong pembukaan lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi untuk pertambakan adalah hutan mangrove.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling

I. PENDAHULUAN. dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara laut dan daratan yang dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling berkaitan membentuk

Lebih terperinci

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN Hasil analisis LGP sebagai solusi permasalahan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kawasan pesisir Teluk Bone yang terajut oleh 15 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara dan membentang sepanjang kurang lebih 1.128 km garis pantai

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Contingent Valuation Method (CVM), eksternalitas, biaya produksi dan metode

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Contingent Valuation Method (CVM), eksternalitas, biaya produksi dan metode III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis meliputi konsep ekonomi pencemaran, Contingent Valuation Method (CVM), eksternalitas, biaya produksi dan metode valuasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Konversi Lahan Konversi lahan merupakan perubahan fungsi sebagian atau seluruh

II. TINJAUAN PUSTAKA Konversi Lahan Konversi lahan merupakan perubahan fungsi sebagian atau seluruh II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konversi Lahan Konversi lahan merupakan perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/PRT/M/2015 TENTANG

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/PRT/M/2015 TENTANG PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/PRT/M/2015 TENTANG EKSPLOITASI DAN PEMELIHARAAN JARINGAN IRIGASI TAMBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. beradaptasi dengan salinitas dan pasang-surut air laut. Ekosistem ini memiliki. Ekosistem mangrove menjadi penting karena fungsinya untuk

PENDAHULUAN. beradaptasi dengan salinitas dan pasang-surut air laut. Ekosistem ini memiliki. Ekosistem mangrove menjadi penting karena fungsinya untuk PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan masyarakat tumbuhan atau hutan yang beradaptasi dengan salinitas dan pasang-surut air laut. Ekosistem ini memiliki peranan penting dan manfaat yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir bukan merupakan pemisah antara perairan lautan dengan daratan, melainkan tempat bertemunya daratan dan perairan lautan, dimana didarat masih dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R Oleh : Andreas Untung Diananto L 2D 099 399 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Desa Dabong merupakan salah satu desa di Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat yang memiliki hamparan hutan mangrove yang cukup luas. Berdasarkan Surat

Lebih terperinci

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan KERANGKA PEMIKIRAN Dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu konsep pengelolaan dan konservasi berbasis sumberdaya alam serta orientasi perubahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 88 I. PENDAHULUAN Kawasan pesisir memerlukan perlindungan dan pengelolaan yang tepat dan terarah. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup menjadi tujuan akhir yang berkelanjutan. Telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kaya yang dikenal sebagai negara kepulauan. Negara ini

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kaya yang dikenal sebagai negara kepulauan. Negara ini BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara kaya yang dikenal sebagai negara kepulauan. Negara ini memiliki banyak wilayah pesisir dan lautan yang terdapat beragam sumberdaya alam. Wilayah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

VII. PROSPEK PERANAN KAKAO BAGI PEREKONOMIAN REGIONAL

VII. PROSPEK PERANAN KAKAO BAGI PEREKONOMIAN REGIONAL VII. PROSPEK PERANAN KAKAO BAGI PEREKONOMIAN REGIONAL Sektor ekonomi kakao yang sebenarnya merupakan bagian dari sub sektor perkebunan dan bagian dari sektor pertanian dalam arti luas mempunyai pangsa

Lebih terperinci

Widi Setyogati, M.Si

Widi Setyogati, M.Si Widi Setyogati, M.Si Pengertian Tambak : salah satu wadah budidaya perairan dengan kualitas air cenderung payau/laut, biasanya terdapat di pesisir pantai Tambak berdasarkan sistem pengelolaannya terbagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2007

Lebih terperinci

Bab V Kajian Keberlanjutan Penerapan Sistem Silvofishery dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Desa Dabung

Bab V Kajian Keberlanjutan Penerapan Sistem Silvofishery dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Desa Dabung Bab V Kajian Keberlanjutan Penerapan Sistem Silvofishery dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Desa Dabung V.1. Kajian keberlanjutan dengan Metode Ecological Footprint Seperti telah disebutkan sebelumnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di wilayah pesisir. Hutan mangrove menyebar luas dibagian yang cukup panas di dunia, terutama

Lebih terperinci

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal TINJUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, dan hutan payau (bahasa Indonesia), selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat

Lebih terperinci

Bab IV Deskripsi Tambak Silvofishery di Desa Dabung

Bab IV Deskripsi Tambak Silvofishery di Desa Dabung Bab IV Deskripsi Tambak Silvofishery di Desa Dabung Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa hanya ada 3 tambak yang menerapkan system silvofishery yang dilaksanakan di Desa Dabung, yaitu 2 tambak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas keseluruhan sekitar ± 5,18 juta km 2, dari luasan tersebut dimana luas daratannya sekitar ± 1,9 juta

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE JAKARTA, MEI 2005 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM Nomor 16/PRT/M/2011 Tentang PEDOMAN OPERASI DAN PEMELIHARAAN JARINGAN IRIGASI TAMBAK

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM Nomor 16/PRT/M/2011 Tentang PEDOMAN OPERASI DAN PEMELIHARAAN JARINGAN IRIGASI TAMBAK PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM Nomor 16/PRT/M/2011 Tentang PEDOMAN OPERASI DAN PEMELIHARAAN JARINGAN IRIGASI TAMBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM, Menimbang Mengingat : bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001).

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001). I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian mencakup kegiatan usahatani perkebunan, perhutanan, peternakan, dan perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan ragam. Dari sakala

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam pesisir merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati (biotik) dan komponen nir-hayati (abiotik) yang dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laju peningkatan produktivitas tanaman padi di Indonesia akhir-akhir ini cenderung melandai, ditandai salah satunya dengan menurunnya produksi padi sekitar 0.06 persen

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia. Dalam pelaksanaan proses pembangunan, manusia tidak terlepas dari aktivitas pemanfaatan

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. yang sangat strategis bagi pembangunan yang berkelanjutkan di Provinsi

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. yang sangat strategis bagi pembangunan yang berkelanjutkan di Provinsi 136 IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan Pengembangan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser memiliki peran yang sangat strategis bagi pembangunan yang berkelanjutkan di Provinsi Sumatera Utara dan NAD

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis berbentuk kepulauan dengan 17.500 pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan kawasan tempat tumbuh hutan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... vii. DAFTAR LAMPIRAN... viii

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... vii. DAFTAR LAMPIRAN... viii DAFTAR ISI DAFTAR TABEL........ iv DAFTAR GAMBAR........ vii DAFTAR LAMPIRAN........ viii I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang....... 1.2. Perumusan Masalah.......... 1.3. Tujuan dan Kegunaan..... 1.4. Ruang

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN YANG BERKELANJUTAN DI PULAU BUNAKEN MANADO

ANALISIS KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN YANG BERKELANJUTAN DI PULAU BUNAKEN MANADO Sabua Vol.7, No.1: 383 388, Maret 2015 ISSN 2085-7020 HASIL PENELITIAN ANALISIS KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN YANG BERKELANJUTAN DI PULAU BUNAKEN MANADO Verry Lahamendu Staf Pengajar JurusanArsitektur,

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Kondisi Geografis dan Iklim

IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Kondisi Geografis dan Iklim IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Kondisi Geografis dan Iklim Provinsi Banten secara geografis terletak pada batas astronomis 105 o 1 11-106 o 7 12 BT dan 5 o 7 50-7 o 1 1 LS, mempunyai posisi strategis pada lintas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Propinsi Sumataera Utara memiliki 2 (dua) wilayah pesisir yakni, Pantai

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Propinsi Sumataera Utara memiliki 2 (dua) wilayah pesisir yakni, Pantai I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Propinsi Sumataera Utara memiliki 2 (dua) wilayah pesisir yakni, Pantai Timur dan Pantai Barat. Salah satu wilayah pesisir pantai timur Sumatera Utara adalah Kota Medan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. potensi besar dalam pengembangan di sektor pertanian. Sektor pertanian di

I. PENDAHULUAN. potensi besar dalam pengembangan di sektor pertanian. Sektor pertanian di 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan ribuan pulau yang mempunyai potensi besar dalam pengembangan di sektor pertanian. Sektor pertanian di Indonesia telah memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kondisi lingkungan yang ekstrim seperti tanah yang tergenang akibat pasang surut laut, kadar garam yang tinggi, dan tanah yang kurang stabil memberikan kesempatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Welly Yulianti, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Welly Yulianti, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara maritim yang memiliki luas sekitar enam juta mil persegi, 2/3 diantaranya berupa laut, dan 1/3 wilayahnya berupa daratan. Negara

Lebih terperinci

VI. DAMPAK PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN TERHADAP DEGRADASI LINGKUNGAN

VI. DAMPAK PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN TERHADAP DEGRADASI LINGKUNGAN VI. DAMPAK PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN TERHADAP DEGRADASI LINGKUNGAN Berdasarkan hasil estimasi parameter 12 persamaan perilaku yang disajikan dalam Bab V dapat ditarik substansi temuan empiris

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang tabel 1.1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang tabel 1.1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Tegal terletak di pantai utara Jawa Tengah dengan wilayah pantai dan laut yang berbatasan dengan Kabupaten Tegal oleh Sungai Ketiwon di sebelah timur dan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sebuah ekosistem mempunyai berbagai fungsi penting dan strategis bagi kehidupan manusia. Beberapa fungsi utama dalam ekosistem sumber daya hutan adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkebunan merupakan salah satu subsektor strategis yang secara ekonomis, ekologis dan sosial budaya memainkan peranan penting dalam pembangunan nasional. Sesuai Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang terbesar di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang terbesar di dunia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang terbesar di dunia, dengan sekitar 18. 110 buah pulau, yang terbentang sepanjang 5.210 Km dari Timur ke Barat sepanjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau bernilai jika produksi, proses, maupun penggunaanya dapat dipahami. Oleh

BAB I PENDAHULUAN. atau bernilai jika produksi, proses, maupun penggunaanya dapat dipahami. Oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat penting bagi manusia, mengingat kebutuhan masyarakat baik untuk melangsungkan hidupnya maupun kegiatan kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perembesan air asin. Kearah laut wilayah pesisir, mencakup bagian laut yang

BAB I PENDAHULUAN. perembesan air asin. Kearah laut wilayah pesisir, mencakup bagian laut yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut. Kearah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di bumi saat ini, pasalnya dari hutan banyak manfaat yang dapat diambil

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di bumi saat ini, pasalnya dari hutan banyak manfaat yang dapat diambil BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan tumpuan dan harapan bagi setiap komponen makhluk hidup yang ada di bumi saat ini, pasalnya dari hutan banyak manfaat yang dapat diambil baik yang bersifat

Lebih terperinci

Penataan Wilayah Pengembangan FAKULTAS PETERNAKAN

Penataan Wilayah Pengembangan FAKULTAS PETERNAKAN Sistem Produksi Pertanian/ Peternakan Penataan Wilayah Pengembangan FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADJARAN Tradisi pertanian masyarakat Indonesia ------ integrasi tanaman dan ternak pertanian campuran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam 10 tahun terakhir, jumlah kebutuhan ikan di pasar dunia semakin meningkat, untuk konsumsi dibutuhkan 119,6 juta ton/tahun. Jumlah tersebut hanya sekitar 40 %

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada 8 februari 2010 pukul Data dari diakses

BAB I PENDAHULUAN. pada 8 februari 2010 pukul Data dari  diakses BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fakta jumlah pulau di Indonesia beserta wilayah laut yang mengelilinginya ternyata menempatkan Indonesia sebagai negara yang memiliki wilayah pesisir yang terpanjang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa komponen daya dukung lingkungan dalam optimasi penggunaan lahan berdasarkan pendekatan telapak ekologis di Kabupaten Gresik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN * 2009 ** Kenaikan ratarata(%)

I. PENDAHULUAN * 2009 ** Kenaikan ratarata(%) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara bahari dan kepulauan yang dikelilingi oleh perairan laut dan perairan tawar yang sangat luas, yaitu 5,8 juta km 2 atau meliputi sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Populasi penduduk dunia pertengahan 2012 mencapai 7,058 milyar dan diprediksi akan meningkat menjadi 8,082 milyar pada tahun 2025 (Population Reference Bureau, 2012).

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove tergolong ekosistem yang unik. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Selain itu, mangrove

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi setiap tahun dan cenderung meningkat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Peningkatan kebakaran hutan dan lahan terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tabel 1.1 Luas Hutan Mangrove di Indonesia Tahun 2002 No Wilayah Luas (ha) Persen

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tabel 1.1 Luas Hutan Mangrove di Indonesia Tahun 2002 No Wilayah Luas (ha) Persen BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 km serta lebih dari 17.508 pulau dan luas laut sekitar 3,1 juta km

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon bakau yang mampu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. ujung paparan benua (continental shelf) atau kedalaman kira-kira 200 m. Pulau-Pulau Kecil diantaranya adalah sebagai berikut :

TINJAUAN PUSTAKA. ujung paparan benua (continental shelf) atau kedalaman kira-kira 200 m. Pulau-Pulau Kecil diantaranya adalah sebagai berikut : TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pesisir LIPI (2007), menyatakan daerah pesisir adalah jalur tanah darat atau kering yang berdampingan dengan laut, di mana lingkungan dan tata guna lahan mempengaruhi secara langsung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pesisir memiliki peranan sangat penting bagi berbagai organisme yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pesisir memiliki peranan sangat penting bagi berbagai organisme yang berada di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesisir memiliki peranan sangat penting bagi berbagai organisme yang berada di sekitarnya. Kawasan pesisir memiliki beberapa ekosistem vital seperti ekosistem terumbu

Lebih terperinci

Peningkatan Pemberdayaan Masyarakat Perikanan Budidaya Melalui PUMP Perikanan Budidaya Sebagai Implementasi PNPM Mandiri Kelautan Dan Perikanan

Peningkatan Pemberdayaan Masyarakat Perikanan Budidaya Melalui PUMP Perikanan Budidaya Sebagai Implementasi PNPM Mandiri Kelautan Dan Perikanan Draft Rekomendasi Kebijakan Sasaran: Perikanan Budidaya Peningkatan Pemberdayaan Masyarakat Perikanan Budidaya Melalui PUMP Perikanan Budidaya Sebagai Implementasi PNPM Mandiri Kelautan Dan Perikanan Seri

Lebih terperinci

6 ANALISIS PEMODELAN PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN DI KAWASAN PESISIR BARAT KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN

6 ANALISIS PEMODELAN PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN DI KAWASAN PESISIR BARAT KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN 6 ANALISIS PEMODELAN PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN DI KAWASAN PESISIR BARAT KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN 6. Analisis Input-Output 6.. Analisis Keterkaitan Keterkaitan aktivitas antar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat dibutuhkan. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup seperti untuk membangun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam hayati, sumberdaya alam non hayati dan sumberdaya buatan, merupakan salah satu aset pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi sumberdaya manusia suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan pangan dalam jumlah dan kualitas

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dan laut merupakan daerah dengan karateristik khas dan bersifat dinamis dimana terjadi interaksi baik secara fisik, ekologi, sosial dan ekonomi, sehingga

Lebih terperinci

3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Pemikiran Pembangunan pulau kecil menjadi kasus khusus disebabkan keterbatasan yang dimilikinya seperti sumberdaya alam, ekonomi dan kebudayaannya. Hal

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kebakaran hutan di Jambi telah menjadi suatu fenomena yang terjadi setiap tahun, baik dalam cakupan luasan yang besar maupun kecil. Kejadian kebakaran tersebut tersebar dan melanda

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor yang penting dalam pembangunan. Indonesia, yaitu sebagai dasar pembangunan sektor-sektor lainnya.

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor yang penting dalam pembangunan. Indonesia, yaitu sebagai dasar pembangunan sektor-sektor lainnya. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang penting dalam pembangunan Indonesia, yaitu sebagai dasar pembangunan sektor-sektor lainnya. Pembangunan pertanian masih mendapatkan

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

SYLVOFISHERY (MINA HUTAN) : PENDEKATAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE SECARA LESTARI ABSTRAK

SYLVOFISHERY (MINA HUTAN) : PENDEKATAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE SECARA LESTARI ABSTRAK SYLVOFISHERY (MINA HUTAN) : PENDEKATAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE SECARA LESTARI Benny Hartanto Staf Pengajar Akademi Maritim Yogyakarta (AMY) ABSTRAK Penerapan sistem mina hutan (sylvofishery) di ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan total 17.504 pulau (Dewan Kelautan Indonesia (2010) dan Tambunan (2013: 1)). Enam puluh lima persen dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan. manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk

BAB I PENDAHULUAN. Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan. manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk mempertahankan eksistensinya. Penggunaan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitin ini adalah studi kasus. Studi kasus adalah penelitian tentang status subjek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN HUTAN KOTA DALAM STRATEGI PEMBANGUNAN PERKOTAAN PROVINSI BANTEN

PEMBANGUNAN HUTAN KOTA DALAM STRATEGI PEMBANGUNAN PERKOTAAN PROVINSI BANTEN PEMBANGUNAN HUTAN KOTA DALAM STRATEGI PEMBANGUNAN PERKOTAAN PROVINSI BANTEN Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Banten Hotel Ledian, 14 oktober 2014 I. GAMBARAN UMUM 1. WILAYAH PERKOTAAN PROVINSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan milik masyarakat berangsur-angsur menjadi pemukiman, industri atau usaha kebun berorientasi komersil. Karena nilai ekonomi lahan yang semakin meningkat maka opportunity

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan menggunakan jenis data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dari sumber data secara langsung.

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

DAMPAK POLA PENGGUNAAN LAHAN PADA DAS TERHADAP PRODUKTIVITAS TAMBAK DI PERAIRAN PESISIR LAMPUNG SELATAN

DAMPAK POLA PENGGUNAAN LAHAN PADA DAS TERHADAP PRODUKTIVITAS TAMBAK DI PERAIRAN PESISIR LAMPUNG SELATAN SEMINAR NASIONAL PERIKANAN DAN KELAUTAN 2016 Pembangunan Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional Bandar Lampung, 17 Mei 2016 DAMPAK POLA PENGGUNAAN LAHAN PADA DAS TERHADAP PRODUKTIVITAS

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sub-sektor perikanan tangkap merupakan bagian integral dari pembangunan kelautan dan perikanan yang bertujuan untuk : (1) meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat dimanfaatkan untuk menuju Indonesia yang maju dan makmur. Wilayah

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat dimanfaatkan untuk menuju Indonesia yang maju dan makmur. Wilayah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara maritim, kurang lebih 70 persen wilayah Indonesia terdiri dari laut yang pantainya kaya akan berbagai jenis sumber daya hayati dan

Lebih terperinci

Sidang Pendadaran, 24 Desember 2016 Prodi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis ~VK

Sidang Pendadaran, 24 Desember 2016 Prodi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis ~VK Sidang Pendadaran, 24 Desember 2016 Prodi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis ~VK RAFIKA DEWI Fakultas Ekonomi dan Bisnis Prodi Ilmu Ekonomi 2016 Dosen pembimbing: Bapak Ahmad Ma ruf, S.E., M.Si.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 22 PENDAHULUAN Latar Belakang Fenomena kerusakan sumberdaya hutan (deforestasi dan degradasi) terjadi di Indonesia dan juga di negara-negara lain, yang menurut Sharma et al. (1995) selama periode 1950-1980

Lebih terperinci