Oleh : AVICENNA A

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Oleh : AVICENNA A"

Transkripsi

1 DAYA MULTIPLIKASI TUNAS TEMU HITAM (Curcuma aeruginosa Roxb.) SECARA IN VITRO MELALUI EFISIENSI KOMPOSISI MEDIA DASAR DAN PENAMBAHAN BENZIL AMINO PURIN Oleh : AVICENNA A DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

2 RINGKASAN AVICENNA. Daya Multiplikasi Tunas Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) Secara In Vitro Melalui Efisiensi Komposisi Media Dasar dan Penambahan Benzil Amino Purin (Dibimbing oleh Nurul Khumaida dan N. Nova Kristina). Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari adanya pengaruh kombinasi komposisi media dasar dan konsentrasi BAP terhadap daya multiplikasi tunas temu hitam pada kultur in vitro. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli- Desember 2009 di Laboratorium Kultur Jaringan Plasma Nutfah dan Pemuliaan, Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika Cimanggu, Bogor. Penelitian ini meliputi tahap multiplikasi tunas temu hitam dalam kultur in vitro dan tahap aklimatisasi di rumah kaca. Tahap multiplikasi tunas temu hitam dalam kultur in vitro menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas 2 faktor. Faktor pertama adalah komposisi media dasar yang terdiri dari 3 taraf, yaitu media dasar MS, ½ MS, dan Hyponex. Faktor kedua adalah konsentrasi BAP yang terdiri dari 4 taraf yaitu 0.0, 1.5, 3.0, dan 4.5 ppm. Percobaan terdiri dari 12 kombinasi perlakuan yang meliputi media MS + BAP 0.0 ppm, MS + BAP 1.5 ppm, MS + BAP 3.0 ppm, MS + BAP 4.5 ppm, ½ MS + BAP 0.0 ppm, ½ MS + BAP 1.5 ppm, ½ MS + BAP 3.0 ppm, ½ MS + BAP 4.5 ppm, Hyponex + BAP 0.0 ppm, Hyponex + BAP 1.5 ppm, Hyponex + BAP 3.0 ppm, dan Hyponex + BAP 4.5 ppm. Setiap kombinasi perlakuan terdiri dari 8 ulangan sehingga terdapat 96 satuan percobaan. Tahap aklimatisasi dilakukan di rumah kaca setelah plantlet berumur 8 MST. Pengelompokan plantlet didasarkan pada asal kombinasi perlakuan dalam kultur in vitro. Plantlet ditanam pada campuran media arang sekam dan kompos dengan perbandingan 1 : 1. Setiap perlakuan terdiri dari 10 ulangan dan setiap ulangan terdiri dari satu plantlet, sehingga terdapat 120 satuan percobaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi media Hyponex + BAP 4.5 ppm mampu menghasilkan jumlah tunas terbanyak, sehingga lebih dianjurkan

3 dibandingkan penggunaan kombinasi media lain. Perbedaan kondisi tunas pada kultur in vitro diduga karena perbedaan kandungan unsur hara pada tiap-tiap komposisi media dasar. Konsentrasi BAP 4.5 ppm pada kombinasi media dasar MS + BAP 4.5 ppm dan Hyponex + BAP 4.5 ppm menghasilkan jumlah tunas dan jumlah daun terbanyak selama pertumbuhan plantlet, namun diduga masih dapat ditingkatkan dengan meningkatkan konsentrasi BAP hingga kisaran optimum 4.89 ppm. Analisis biaya bahan dasar pembuatan media MS, ½ MS, dan Hyponex menunjukkan bahwa bahan dasar media MS memiliki pembiayaan tertinggi, yang diikuti oleh ½ MS dan Hyponex secara berturut-turut. Substitusi stok hara makro MS dengan pupuk majemuk Hyponex mampu menekan biaya bahan dasar pada pembuatan komposisi media dasar Hyponex sehingga biaya pembuatan media menjadi lebih rendah dibandingkan media dasar MS dan ½ MS. Total biaya bahan dasar dalam pembuatan media MS, ½ MS, dan Hyponex menunjukkan perbandingan relatif biaya bahan dasar ½ MS dan Hyponex yang lebih kecil terhadap MS. Pada saat total biaya bahan dasar media MS adalah 100 %, biaya bahan dasar pembuatan media ½ MS hanya memerlukan % dari total biaya bahan dasar media MS, sedangkan pada media Hyponex total biaya bahan dasar berkisar % terhadap media dasar MS. Tahap aklimatisasi menggunakan media arang sekam + kompos (1 : 1) yang sesuai bagi pertumbuhan plantlet. Kondisi plantlet pada tahap aklimatisasi diduga dipengaruhi oleh kombinasi perlakuan saat berada dalam kultur in vitro. Persentase keberhasilan aklimatisasi tertinggi yaitu 60 %, diperoleh pada kombinasi media Hyponex dengan penambahan BAP 1.5, 3.0 dan 4.5 ppm serta media MS + BAP 1.5 ppm, sedangkan persentase terendah yaitu 10 %, diperoleh pada kombinasi perlakuan ½ MS ppm dan ½ MS ppm.

4 DAYA MULTIPLIKASI TUNAS TEMU HITAM (Curcuma aeruginosa Roxb.) SECARA IN VITRO MELALUI EFISIENSI KOMPOSISI MEDIA DASAR DAN PENAMBAHAN BENZIL AMINO PURIN Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor AVICENNA A DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

5 JUDUL NAMA NRP : DAYA MULTIPLIKASI TUNAS TEMU HITAM (Curcuma aeruginosa Roxb.) SECARA IN VITRO MELALUI EFISIENSI KOMPOSISI MEDIA DASAR DAN PENAMBAHAN BENZIL AMINO PURIN : Avicenna : A Menyetujui, Dosen Pembimbing Pembimbing I Pembimbing II Dr. Ir. Nurul Khumaida, MSi NIP Dra. N. Nova Kristina NIP Mengetahui, Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB Dr. Ir. Agus Purwito, MSc Agr NIP Tanggal Lulus :

6 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 12 November 1987 di Cimahi, Jawa Barat. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara pasangan Bapak Moh. Yuhan Suprianto dan Ibu Irawati. Pada tahun 1999 penulis menyelesaikan pendidikannya di SD Kartika III-4 Cimahi. Penulis menyelesaikan pendidikan di SLTPN 3 Cimahi pada tahun Selanjutnya penulis lulus dari SMAN 2 Cimahi pada tahun Tahun 2005 penulis diterima di IPB melalui jalur SPMB. Selanjutnya pada tahun 2006 penulis diterima di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian. Selama masa pendidikan baik di SMA hingga perguruan tinggi, penulis aktif di beberapa organisasi maupun kepanitiaan event di sekolah dan kampus. Saat SMA penulis menjadi ketua umum Kelompok Ilmiah Remaja periode 2003/2004. Penulis juga mengikuti Olimpiade sains dan Ilmu Komputer pada tingkat provinsi. Pada tahun 2002 penulis tergabung dalam unit kegiatan mahasiswa Kushin Ryu M Karate-do di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Saat menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Agronomi (HIMAGRON) selama satu periode kepengurusan 2006/2007 sebagai staf Departemen Eksternal. Pada periode kepengurusan selanjutya penulis juga aktif dalam kepanitiaan Festival Tanaman XXIX yang diadakan oleh HIMAGRON. Penulis telah menjadi asisten praktikum mata kuliah Ekologi Pertanian dan Dasar-Dasar Agronomi selama masing-masing satu semester. Pada tahun 2009 penulis ikut tergabung dalam kepanitian Simposium Nasional Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia (PERIPI) di BB Biogen, Cimanggu, Bogor.

7 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan hidayah dan kekuatan sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul Daya Multiplikasi Tunas Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) Secara In Vitro Melalui Efisiensi Komposisi Media dan Penambahan Benzil Amino Purin. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama masa penelitian dan penulisan skripsi penulis mendapatkan banyak bimbingan, bantuan, dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu penulis menyampaikan terima kasih kepada : 1. Orang tua yang senantiasa memberikan dukungan dan doa bagi penulis. 2. Dr. Ir. Nurul Khumaida, MSi. dan Dra. N. Nova Kristina atas bimbingan, arahan, dan bantuan selama penelitian dan penulisan skripsi. 3. Dr. Ir. Sugiyanta, MSi. selaku pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam menyelesaikan studi. 4. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika, serta seluruh staf Lab. Kelti Pemuliaan, Ibu Ifat, Ibu Siti, Bapak Dedi, Mbak Dewi, Ibu Salamah, Bapak Yayat, dan seluruh staf lainnya 5. Purwati atas bimbingan statistika dan dukungan semangatnya. Mas Arif dan Ady Daryanto atas petunjuk dan arahan dalam pengolahan data. Ayu Nina, Ahmad Rifqi, Tiara Yudilastari, Suwarno, Abdul Hakim yang telah memberikan bantuan dan dukungannya. 6. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang berkepentingan. Bogor, Juli 2010 Penulis

8 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... vii DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... viii ix PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 4 Hipotesis... 4 TINJAUAN PUSTAKA... 5 Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.)... 5 Perbanyakan Tanaman Secara Kultur Jaringan... 7 Media... 8 Zat Pengatur Tumbuh... 9 Pupuk Majemuk Pengganti Hara Makro Multiplikasi Tunas dalam Kultur In Vitro Aklimatisasi BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Percobaan Pelaksanaan Penelitian Pengamatan Multiplikasi Tunas Temu Hitam pada Media Perlakuan In Vitro Tahap Aklimatisasi HASIL DAN PEMBAHASAN Multiplikasi Tunas Temu Hitam pada Media Perlakuan In Vitro Jumlah Tunas Tinggi Tunas Jumlah dan Warna Daun Jumlah dan Panjang Akar Analisis Biaya Bahan Dasar dalam Pembuatan Media Tanam In Vitro 31 Tahap Aklimatisasi Persentase Plantlet Hidup Penampilan Tanaman dan Warna Daun... 35

9 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 41

10 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Rekapitulasi Analisis Sidik Ragam pada Peubah Jumlah Tunas, Tinggi Tunas, Jumlah dan Warna Daun, serta Jumlah dan Panjang Akar Kultur In Vitro Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) Pengaruh Interaksi Komposisi Media Dasar dan Konsentrasi BAP terhadap Rataan Jumlah Tunas Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) dalam Kultur In Vitro Pengaruh Interaksi Komposisi Media Dasar dan Konsentrasi BAP terhadap Rataan Tinggi Tunas Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) dalam Kultur In Vitro pada 8 MST Pengaruh Interaksi Komposisi Media Dasar dan Konsentrasi BAP terhadap Rataan Jumlah Daun Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) dalam Kultur In Vitro Pengaruh Komposisi Media Dasar terhadap Rataan Jumlah dan Panjang Akar Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) dalam Kultur In Vitro pada 8 MST Analisis Biaya Bahan Dasar Pembuatan Media Dasar MS, ½ MS, dan Hyponex Jumlah dan Persentase Plantlet Hidup pada seluruh Kombinasi Perlakuan Kultur In Vitro Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) saat Aklimatisasi Persentase Warna Daun Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) pada Asal Komposisi Media Dasar dalam Kultur In Vitro saat Aklimatisasi. 36

11 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Tanaman Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) dan Rimpang Temu Hitam Penampilan Tunas Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) In Vitro pada Perlakuan Media Dasar MS (kiri) dan Media Dasar Hyponex (kanan) pada 8 MST Bagan Warna Daun The Royal Horticultural Society pada Green Group 143 dan Inisiasi Tunas Baru Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) In Vitro pada 4 MST Kurva Analisis Regresi Pengaruh Konsentrasi BAP terhadap Jumlah Tunas Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) pada 8 MST Kurva Analisis Regresi Pengaruh Konsentrasi BAP terhadap Jumlah Daun Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) pada 8 MST Visualisasi Warna Daun antara Perlakuan Media Dasar MS dan Media Dasar Hyponex pada 8 MST 28 8 Perakaran Tunas Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) pada 8 MST dalam Media MS, Media ½ MS dan Media Hyponex 30 9 Aklimatisasi Plantlet Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) pada 4 MSA. Penampilan Plantlet Asal Perlakuan Komposisi Media MS, ½ MS, dan Hyponex... 35

12 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Komposisi Media Dasar MS, ½ MS, dan Hyponex Kandungan Pupuk Majemuk Hyponex ( ) Analisis Biaya Bahan Dasar Pembuatan Media Dasar MS Analisis Biaya Bahan Dasar Pembuatan Media Dasar ½ MS Analisis Biaya Bahan Dasar Pembuatan Media Dasar Hyponex Sidik Ragam Jumlah Tunas Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) pada Kultur In Vitro Sidik Ragam Tinggi Tunas Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) pada Kultur In Vitro Sidik Ragam Jumlah Daun Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) pada Kultur In Vitro Sidik Ragam Warna Daun Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) pada Kultur In Vitro Sidik Ragam Panjang Akar dan Jumlah Akar Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) pada Kultur In Vitro Uji Lanjut Kontras Ortogonal Pengaruh Komposisi Media Dasar Terhadap Warna Daun Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) pada Kultur In Vitro Keragaan Tunas Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) sebelum Aklimatisasi pada media MS + BAP 0.0 ppm, MS + BAP 1.5 ppm, MS + BAP 3.0 ppm, dan MS + BAP 4.5 ppm Keragaan Tunas Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) sebelum Aklimatisasi pada media ½ MS + BAP 0.0 ppm, ½ MS + BAP 1.5 ppm, ½ MS + BAP 3.0 ppm, dan ½ MS + BAP 4.5 ppm Keragaan Tunas Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) sebelum Aklimatisasi pada media Hyponex + BAP 0.0 ppm, Hyponex + BAP 1.5 ppm, Hyponex + BAP 3.0 ppm, dan Hyponex + BAP 4.5 ppm. 52

13 15. Kondisi dan Penampilan Plantlet Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) pada seluruh Kombinasi Perlakuan saat 5 MSA Serangan Cendawan pada Media Tanam Aklimatisasi... 53

14 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan mayoritas masyarakat yang masih memegang penuh tradisi lokal. Tradisi ini juga mengakar pada masalah kesehatan dengan menggunakan bahan tanaman (ethnomedicine). Pengobatan tradisional lebih dikenal dengan menggunakan jamu-jamuan dan telah menyatu dengan kehidupan masyarakat melalui konsumsi sehari-hari. Dukungan pemerintah serta kecenderungan masyarakat untuk kembali menggunakan obat tradisional menjadi indikasi pentingnya peran industri jamu. Bahan dasar dalam pembuatan jamu (obat-obatan tradisional) umumnya berupa simplisia tanaman dari jenis temutemuan, seperti jahe, kunyit, temulawak, dan kencur. Temu hitam, temu mangga, dan temu putih adalah salah satu dari jenis temu-temuan yang digunakan, namun belum diproduksi secara nasional oleh petani untuk memenuhi kebutuhan industri. Paket teknologi untuk perbanyakan tanaman temu-temuan, baik yang sudah ataupun belum diproduksi secara nasional, perlu disiapkan melalui cara konvensional ataupun dengan sentuhan teknologi terkini. Penelitian dan pengembangan tanaman temu-temuan pun dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan tanaman dengan kuantitas dan kualitas yang lebih baik dari sebelumnya. Temu hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) merupakan tanaman terna tahunan yang lazim digunakan sebagai bahan obat dan banyak tumbuh di hutan atau pekarangan secara liar. Tanaman ini merupakan salah satu tanaman obat yang berasal dari Asia Tenggara, menyebar mulai dari Myanmar hingga Indonesia. Rimpang tanaman ini banyak digunakan sebagai bahan untuk obat seperti obat cacing, kudis, pelangsing badan, serta reumatik. Menurut Sangat (2001) pada pengamatan lapangan di daerah Yogyakarta dan sekitarnya, rimpang temu hitam digunakan sebagai penambah nafsu makan dan obat cacing dalam ramuan jamu. Temu hitam juga lazim digunakan untuk melancarkan ASI dan keluarnya darah nifas. Perbanyakan tanaman membantu menjaga kuantitas pasokan bahan dasar industri tanaman obat. Perbanyakan tanaman secara konvensional pada temu

15 2 hitam umumnya dilakukan dengan menggunakan rimpang sebagai sumber bibit. Satu bibit temu hitam dapat dihasilkan dari satu buah rimpang yang memiliki 2 3 mata tunas. Perbanyakan temu hitam, selain secara konvensional, dapat juga dilakukan melalui teknik kultur jaringan atau teknik kultur in vitro. Perbanyakan melalui teknik kultur jaringan memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan teknik perbanyakan secara konvensional. Wetter dan Constabel (1991) menuturkan bahwa teknik kultur jaringan memungkinkan perbanyakan tanaman secara massal dan cepat dengan hasil yang seragam serta memungkinkan tanaman terbebas dari patogen dan virus. Selain itu teknik ini juga memungkinkan untuk melakukan seleksi pada tingkat sel dan jaringan. Perbanyakan dengan kultur jaringan telah dilakukan pada tanaman temutemuan seperti jahe, kunyit, dan temulawak. Media tanam yang sering digunakan pada perbanyakan temu-temuan dalam kultur jaringan adalah media MS yang diperkaya dengan zat pengatur tumbuh BAP. Penelitian pada tanaman temulawak secara in vitro dilaporkan oleh Darma (2007) dan Widiyaningsih (2007) dengan menggunakan zat pengatur tumbuh BAP dan 2-ip. Sementara tanaman kunyit secara in vitro dilaporkan oleh Riansyah (2007) dengan menggunakan zat pengatur tumbuh IBA dan BAP. Biaya bahan dasar yang mahal dalam teknik kultur jaringan masih menjadi kendala dalam produksi massal, sehingga perlu diupayakan efisiensi penggunaan bahan agar teknik ini dapat digunakan secara luas. Salah satu alternatif yang dapat digunakan adalah melakukan modifikasi komposisi media dasar dengan menggunakan pupuk majemuk sebagai bahan pengganti stok hara makro. Penelitian dengan menggunakan pupuk majemuk sebagai pengganti hara makro media MS telah dilakukan pada tanaman anggrek dan tanaman anthurium. Pupuk majemuk yang umum digunakan sebagai pengganti hara makro tersebut adalah pupuk dengan merk dagang Hyponex ( ). Penggunaan Hyponex pada kultur jaringan digunakan pada taraf konsentrasi 2 3 g/l media. Penelitian pada tanaman anggrek oleh Rachmatullah (2009) menunjukkan bahwa konsentrasi optimum Hyponex untuk multiplikasi adalah 2 g/l media. Belum dilaporkan adanya penggunaan media berbahan dasar Hyponex (media Hyponex) untuk perbanyakan temu-temuan pada kultur in vitro, sehingga pada temu hitam,

16 3 penggunaan Hyponex dengan konsentrasi 3 g/l media diharapkan mampu memberikan pertumbuhan dan multiplikasi tunas yang memadai. Selain mengganti stok hara makro MS dengan pupuk majemuk, cara lain yang telah diterapkan untuk menghemat biaya adalah dengan mengurangi konsentrasi hara makro dari komposisi media. Hasil penelitian pada tanaman linum (Linum usitatissimum Griseb.) oleh Fu et al. (2004), menggunakan media MS dengan konsentrasi hara makro setengah dari yang dianjurkan (media ½ MS), mampu menginduksi daya multiplikasi tanaman tersebut hingga membentuk perakaran. Daya multiplikasi tanaman pada kultur jaringan dapat ditingkatkan dengan menambahkan zat pengatur tumbuh (ZPT) dari golongan sitokinin pada komposisi media yang digunakan. Zat pengatur tumbuh golongan sitokinin yang sering digunakan dalam teknik kultur jaringan tanaman adalah BAP, zeatin, dan kinetin. Zat pengatur tumbuh jenis BAP merupakan ZPT yang berfungsi merangsang pembelahan sel, morfogenesis, pertunasan, pemecahan dormansi, serta menghambat senesens dan absisis tanaman. Penambahan BAP pada kultur in vitro temu hitam bertujuan untuk meningkatkan daya multiplikasi tunas sehingga jumlah tunas yang terbentuk lebih banyak dari kondisi normal (tanpa penambahan BAP). Secara endogen, tanaman telah memproduksi ZPT alami (fitohormon) untuk merangsang pertumbuhan, akan tetapi penambahan ZPT dari luar (aplikasi eksogen) mampu memacu pertumbuhan dan perkembangan tanaman agar menjadi lebih baik. Konsentrasi optimum BAP pada penelitian kultur jaringan temu hitam Hoesen et al. (2001) adalah 5.0 ppm. Konsentrasi pada taraf yang lebih tinggi mampu memicu mutasi dan terhambatnya multiplikasi. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini menggunakan BAP dengan konsentrasi lebih rendah, yaitu ppm yang diharapkan mampu meningkatkan daya multiplikasi temu hitam dengan baik. Keberhasilan dalam perbanyakan dengan menggunakan teknik kultur jaringan akan lebih baik apabila diikuti dengan keberhasilan pada tahap aklimatisasi. Tahap aklimatisasi merupakan tahapan penting bagi tanaman agar mampu beradaptasi dari kondisi heterotrof menjadi autotrof atau dari kondisi buatan (in vitro) menuju kondisi lapang (ex vitro). Kemampuan untuk beradaptasi

17 4 pada kondisi lapang tersebut bervariasi antar spesies tanaman, yang meliputi kondisi lingkungan melalui penyungkupan, sanitasi media, dan pengaturan frekuensi penyiraman. Beberapa jenis temu-temuan yang telah berhasil diaklimatisasi adalah jahe, temulawak, dan kunyit. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan komposisi media dasar dan konsentrasi BAP yang tepat untuk multiplikasi dan pertumbuhan tunas temu hitam in vitro dan aklimatisasinya. Hipotesis 1. Komposisi media dasar yang tepat mampu meningkatkan multiplikasi tunas temu hitam in vitro. 2. Konsentrasi BAP yang tepat dapat meningkatkan multiplikasi tunas temu hitam in vitro. 3. Terdapat interaksi antara komposisi media dasar dan konsentrasi BAP terhadap multiplikasi tunas temu hitam in vitro. 4. Terdapat pengaruh kombinasi komposisi media dasar dan konsentrasi BAP dalam kultur in vitro terhadap persentase tumbuh plantlet temu hitam saat aklimatisasi.

18 TINJAUAN PUSTAKA Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) Tanaman temu hitam merupakan tanaman yang termasuk kedalam jenis temu-temuan. Tanaman ini merupakan terna tahunan yang bersifat rimbun dengan batang semu yang tingginya mampu mencapai 2 m. Secara umum tanaman ini dapat dibedakan dengan tanaman temu-temuan sejenis melalui daunnya. Pada daun temu hitam, terdapat pertulangan utama yang membujur dengan garis tebal berwarna cokelat tua (Gambar 1a). Tanaman temu hitam juga mudah dikenali dari rimpangnya. Rimpang temu hitam umumnya berwarna putih pada bagian tengahnya, dan diikuti warna gelap melingkar pada bagian luar rimpang saat diiris melintang (Gambar 1b). Rimpang yang terbentuk pada umumnya memiliki aroma khas dengan bau yang agak menyengat. Baunya yang khas disebabkan oleh minyak atsiri yang terkandung didalam rimpang. a b Gambar 1. (a) Tanaman Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) dan (b) Rimpang Temu Hitam Temu hitam memiliki penamaan yang berbeda dari setiap daerah. Penduduk di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur menyebut tanaman ini dengan istilah temu ireng. Di daerah Jawa Barat temu hitam dikenal dengan istilah koneng hideung. Nama daerah lainnya mencakup tamu hitam, temo ereng, tamu

19 6 leteng dan temu lotong. Penamaan temu hitam sendiri besar kemungkinan disebabkan oleh bagian rimpangnya yang berwarna biru atau abu-abu gelap. Menurut Hartini (2001), hasil pengamatan mengenai ciri-ciri morfologi tanaman temu hitam mencakup sebagai berikut. Batang temu hitam merupakan batang semu, basah, dan berwarna hijau. Rimpang berdaging dan bercabang horizontal dengan bagian dalam bila diiris melintang terlihat lingkaran berwarna biru, biru kehijauan atau violet, dan sebagian berwarna putih. Tangkai daun hijau dan panjangnya mampu mencapai 30 cm. Daun berbentuk lonjong berwarna hijau, dan sepanjang tulang daunnya berwarna merah lembayung sampai ungu. Perbungaan keluar dari bagian samping batang semunya dengan mahkota luar bagian tepinya berwarna merah keunguan sedangkan bagian dalam dari mahkota berwarna putih kekuningan, serta bagian pangkalnya putih kehijauan mendekati warna hijau pada tangkai bunga. Berikut merupakan sistematika tanaman temu hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.). Divisi Sub divisi Kelas Ordo Famili Genus Jenis : Spermatophyta : Angiospermae : Monocotyledonae : Zingiberales : Zingiberaceae : Curcuma : Curcuma aeruginosa Roxb. Temu hitam beradaptasi dengan baik pada tempat yang agak ternaung di daerah dataran rendah. Tanaman ini tumbuh secara optimal pada ketinggian m dpl. Diperkirakan tanaman temu hitam berasal dari Burma (Myanmar), yang kemudian menyebar ke daerah tropik lainnya seperti Kamboja dan Indonesia. Temu hitam dimanfaatkan sebagai bahan baku ramuan pengobatan tradisional. Tanaman ini memiliki khasiat untuk mengobati beberapa penyakit seperti reumatik, cacingan, luka menahun, dan pendarahan pada saat haid (Djazuli et al., 2001). Selain bagian rimpang, daun temu hitam juga dimanfaatkan

20 sebagai bahan baku pengobatan karena kandungan minyak esensialnya yang cukup tinggi. 7 Perbanyakan Tanaman Secara Kultur Jaringan Kultur jaringan atau teknik kultur in vitro, merupakan teknik mengisolasi suatu bagian tanaman berupa sel, jaringan, atau organ tanaman yang digunakan sebagai bahan untuk memperbanyak serta meregenerasikan tanaman lengkap dalam kultur aseptik. Menurut Caponetti et al. (2005) bidang kultur jaringan tanaman berlandaskan pada pemikiran bahwa suatu tanaman dapat dipisahpisahkan menjadi masing-masing komponen bagian (organ, jaringan, sel), yang dapat dimanipulasi secara in vitro untuk kemudian ditumbuhkan kembali sebagai tanaman yang lengkap. Berbagai jenis tanaman telah dikembangkan dan diperbanyak melalui teknik ini, termasuk temu-temuan, seperti jahe, temulawak, dan kunyit. Penelitian-penelitian telah dilakukan untuk berbagai tujuan seperti produksi metabolit sekunder, peningkatan keragaman genetik, atau perbaikan karakter suatu sifat tanaman. Bagian tanaman seperti sel, jaringan, dan organ yang masih muda dan aktif melakukan pembelahan dapat dibiakkan dan dikulturkan secara aseptik melalui kultur jaringan. Media aseptik yang digunakan dalam kultur ini dapat berupa media agar padat ataupun media cair. Tahapan perbanyakan suatu tanaman umumnya diawali dengan menanamkan sel, irisan organ, atau jaringan steril pada media tersebut. Setelah selang beberapa waktu, bergantung kepada jenis tanaman, akan didapatkan tanaman dalam bentuk plantlet baru. Plantlet dapat disubkulturkan kembali menjadi beberapa bagian dengan melakukan pemindahan bagian tanaman pada media hara yang baru. Regenerasi tanaman pada teknik kultur jaringan umumnya terjadi melalui dua cara, yaitu organogenesis dan embriogenesis somatik. Organogenesis dapat dipahami sebagai proses terbentuknya organ-organ tanaman seperti tunas, daun atau akar dari suatu jaringan tanaman. Inisiasi organogenesis ini dapat berasal dari sel somatik khususnya sel meristem yang berada pada titik tumbuh tanaman. Embriogenesis somatik merupakan suatu proses perkembangan sel-sel somatik

21 melalui tahap-tahap embriogenik sehingga menghasilkan tanaman utuh tanpa terjadinya peleburan sel gamet. 8 Media Salah satu faktor terpenting dalam kultur jaringan ialah media tanam yang mengandung unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Pengetahuan mengenai kebutuhan hara yang dibutuhkan oleh tanaman berperan penting dalam kesuksesan perbanyakan suatu tanaman. Pengetahuan ini mencakup pengetahuan mengenai penggunaan jenis dan komposisi media yang sesuai bagi tiap jenis tanaman. Pengetahuan ini akan menjadi landasan dasar dalam menyediakan media pertumbuhan optimum bagi tanaman. Seperti diterangkan oleh Yuwono (2008) bahwa komponen utama dalam kultur jaringan tanaman meliputi bahan awal (starting materials), media yang sesuai, dan tempat kultivasi tanaman. Media hara dalam kultur jaringan setidaknya mengandung lima kelompok senyawa. Senyawa tersebut terdiri atas garam anorganik, sumber karbon, vitamin, zat pengatur tumbuh, dan bahan pelengkap organik (Wetter dan Constabel, 1991). Senyawa-senyawa ini haruslah mampu menyediakan hara dan nutrisi yang dibutuhkan oleh tanaman. Hara esensial yang dibutuhkan oleh tanaman didefinisikan oleh Soffee (1995) sebagai unsur-unsur yang dibutuhkan bagi pertumbuhan normal tanaman yang tidak dapat digantikan oleh unsur lain, dimana tidak seluruh tanaman memiliki kebutuhan hara yang sama. Unsur-unsur hara seperti sodium (Na), silikon (Si), dan kobalt (Co) hanya dibutuhkan oleh spesiesspesies tanaman tertentu saja. Bahan pelengkap organik yang umumnya terdiri atas nitrogen organik, berbagai asam organik, metabolit dan ekstrak tambahan tidak mutlak diperlukan, akan tetapi dapat meningkatkan ketahanan dan perbanyakan sel tanaman. Media tanam yang banyak digunakan dalam teknik kultur jaringan adalah media MS yang dikembangkan oleh Murashige dan Skoog. Menurut Chawla (2002) media MS memiliki komposisi garam dan hara mineral yang dapat digunakan secara luas dalam sistem kultur tanaman yang berbeda-beda. Dalam pengembangan media tersebut, tidak hanya kebutuhan mineral saja yang harus diperhitungkan, tetapi juga konsentrasi aktual dan relatif dari berbagai bahan

22 9 anorganik yang menunjukkan perbedaan yang sangat penting bagi pertumbuhan tanaman. Komposisi garam dan hara mineral yang dibutuhkan oleh tanaman disuplai oleh beberapa komponen bahan dasar pembuatan media. Beyl (2005) mengatakan bahwa pada media MS, senyawa MgSO 4 menyediakan magnesium dan belerang bagi tanaman; NH 4 H 2 PO 4, KH 2 PO 4, atau NaH 2 PO 4 menyediakan fosfor; CaCl 2.H 2 O atau Ca(NO 3 ) 2.4H 2 O menyediakan kalsium; KCl, KNO 3, atau KH 2 PO 4 menyediakan potasium; dan KCl dan CaCl 2.H 2 O menyediakan klor. Zat Pengatur Tumbuh Zat pengatur tumbuh (ZPT) merupakan unsur esensial yang diperlukan oleh suatu media agar dapat memacu dan meningkatkan pertumbuhan tanaman sesuai dengan kebutuhan. Gaba (2005) mendefinisikan ZPT sebagai suatu zat sintetis yang digunakan untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Zat ini berbeda dengan hormon yang dibentuk secara alami oleh tanaman. Zat pengatur tumbuh dikelompokkan kedalam lima jenis yang meliputi auksin, sitokinin, gibberelin, asam absisik, dan etilen. Beberapa jenis ZPT sering digunakan untuk memacu multiplikasi tanaman. Chawla (2002) berpendapat bahwa ZPT yang paling banyak digunakan tersebut adalah kinetin, benzyl adenine atau 6-benzyl amino purin, zeatin, dan isopentenyladenine. Multiplikasi tanaman dalam kultur jaringan dapat ditingkatkan dengan menggunakan ZPT dari golongan sitokinin. Sitokinin berperan dalam merangsang pembelahan sel, morfogenesis, pertunasan, pembentukan kloroplas, pembentukan umbi, pemecahan dormansi, pembukaan stomata, pembungaan dan pembentukan buah partenokarpi. Disamping itu sitokinin juga mampu menghambat senesens dan absisis tanaman. Peran sitokinin secara tidak langsung dipengaruhi oleh kadar auksin yang diproduksi didalam jaringan tanaman. Wattimena (1988) menyatakan bahwa sitokinin mempengaruhi berbagai proses fisiologis didalam tanaman. Aktivitasnya yang utama adalah mendorong pembelahan sel-sel meristem dimana efek-efek ini akan bergantung dari hadirnya fitohormon lain, terutama auksin. Hal ini juga didukung oleh Soffee (1995) yang menyatakan bahwa saat berasosiasi dengan auksin, sitokinin dapat menghambat dominansi apikal dan senesens, memudahkan

23 10 transpor hara, dan menstimulasi pembentukan organ. Kadar hormon internal (endogenous) ini, seperti auksin dan sitokinin, dapat dimanipulasi melalui aplikasi dan pemberian zat pengatur tumbuh sejenis dari luar (exogenous application) sehingga mampu menekan kadar hormon internal dalam tanaman. Sitokinin dikelompokkan ke dalam dua jenis. Kelompok pertama adalah sitokinin alamiah, yang disebut pula sebagai fitohormon. Sitokinin alamiah di dalam tanaman adalah zeatin yang tersedia dalam bentuk zeatin ribotida dan zeatin ribosida. Kelompok kedua adalah sitokinin sintetis yang tersedia dalam bentuk benzyl adenine (BA), 6-benzyl amino purine (BAP), 2-iP, dan kinetin. Struktur inti utama dari sitokinin sintetis adalah modifikasi adenin dan rantai samping yang berasal dari asam mevalonat (Wattimena et al., 1992) Gaba (2005) mengungkapkan bahwa sitokinin berguna dalam mikropropagasi tanaman. Mikropropagasi sendiri dapat diartikan sebagai teknik produksi massal tanaman secara in vitro yang diawali dengan induksi pucuk dan tunas yang diikuti oleh pembentukan akar tanaman. Dengan penggunaan sitokinin yang tepat maka multiplikasi tanaman dapat dipacu dan bentuk tak stabil seperti kalus dapat dikurangi. Multiplikasi tunas yang diinduksi oleh aplikasi sitokinin pada dasarnya akan memecah dominansi apikal pada tanaman, sehingga pertumbuhan tunas aksilar akan terstimulasi. Hal ini didukung oleh Wattimena et al. (1992) yang mengungkapkan bahwa pengaruh dominansi meristem apikal dapat dihilangkan dengan menambahkan zat pengatur tumbuh ke dalam medium aseptik. Sebagai hasilnya adalah tunas dengan jumlah cabang yang cukup banyak. Pupuk Majemuk Pengganti Hara Makro Tanaman sangat memerlukan unsur-unsur makro dalam jumlah besar yang dan unsur-unsur mikro yang dibutuhkan dalam jumlah lebih sedikit. Kebutuhan hara makro pada kultur jaringan tanaman dibutuhkan dalam jumlah millimolar (mm), sedangkan hara mikro hanya dibutuhkan dalam jumlah yang lebih sedikit (µm) dibandingkan dengan hara makro (Beyl, 2005). Kebutuhan akan unsur hara tersebut harus disediakan oleh media tanam yang akan digunakan dalam kultur in vitro.

24 11 Media tanam yang saat ini sering digunakan dalam kultur in vitro telah didesain agar mampu memenuhi kebutuhan hara tanaman. Bahan kimia yang digunakan sebagai bahan dasar media dapat bervariasi. Masing-masing bahan dasar media dapat disubtitusi oleh bahan kimia lain selama bahan yang menggantikan cocok dan dapat menyuplai kebutuhan akan unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Salah satu jenis bahan yang mampu menggantikan bahan dasar makro pada media tanam MS adalah pupuk majemuk. Pupuk majemuk pada umumnya diaplikasikan di lapang untuk memenuhi kebutuhan unsur hara makro dan mikro tanaman. Pada media in vitro, pupuk ini lebih banyak digunakan sebagai pengganti bahan dasar hara makro media MS. Pupuk ini kemurniannya lebih rendah jika dibandingkan dengan unsur hara yang digunakan dalam menyusun suatu media aseptik di kultur in vitro. Karena kemurniannya yang rendah ini maka diperlukan konsentrasi yang tepat agar bahan lain yang ada didalamnya tidak mengganggu pertumbuhan tanaman. Pupuk majemuk yang telah digunakan sebagai pengganti hara makro MS telah banyak diaplikasikan pada beberapa jenis tanaman melalui teknik kultur jaringan, seperti pada tanaman anggrek dan anthurium. Siringo-ringo (2009) mengungkapkan bahwa media tanam berbahan dasar pupuk majemuk Hyponex dapat digunakan pada kultur jaringan anthurium dalam konsentrasi 2 g/l media. Kesamaan kandungan hara antara pupuk majemuk dan unsur hara makro media MS diharapkan dapat menjadi alternatif pengganti media dasar tersebut. Pada umumnya digunakan pupuk majemuk dengan merek dagang Hyponex ( ) dengan kandungan 4.5 % nitrat, 20.5 % urea, 5 % P 2 O 5, dan 20 % K 2 O atau Hyponex ( ) dengan kandungan 4 % nitrat, 4% ammonium, 12% nitrogen terlarut, 20% K 2 O 5, dan 20% K 2 O. Unsur-unsur lain yang terkandung didalamnya meliputi magnesium, kalsium, mangan, besi, boron, molybdenum, belerang, seng, tembaga, dan kobalt. Multiplikasi Tunas dalam Kultur In Vitro Multiplikasi tanaman pada kultur in vitro lebih mudah dilakukan melalui teknik kultur pucuk dan perbanyakan tunas. Teknik ini lebih banyak digunakan dalam produksi komersial suatu tanaman. Bagian tanaman yang digunakan

25 12 sebagai bahan perbanyakan dapat berupa ujung tunas lateral atau terminal dengan panjang berkisar cm bergantung kepada jenis tanaman. Ukuran tunas berpengaruh dalam keberhasilan teknik perbanyakan tunas dalam kultur in vitro. Tunas dengan ukuran yang lebih besar diketahui mampu lebih tahan saat dikulturkan pertama kali dalam media in vitro sehingga pertumbuhan dapat berlangsung lebih cepat dan menghasilkan banyak mata tunas dalam jangka waktu pendek. Tetapi seiring dengan bertambahnya ukuran eksplan, maka persentase kegagalan akibat kontaminasi saat pertama kali dikulturkan menjadi lebih besar. Terdapat beberapa alasan mengapa teknik kultur meristem dan tunas banyak digunakan dalam kultur in vitro, seperti diriwayatkan oleh Wattimena et al. (1992). Pertama bahwa kultur pucuk dapat diterapkan hampir pada berbagai jenis tanaman dengan prinsip pengerjaan yang sama. Alasan kedua adalah seragamnya tanaman yang dihasilkan secara genetik. Kemudian alasan terakhir adalah laju multiplikasi yang tinggi pada beberapa jenis tanaman, terutama tanaman semusim. Aklimatisasi Aklimatisasi menurut pengertian Briggs dan Calvin (1987) adalah proses adaptasi suatu organisme, khususnya tanaman, pada lingkungan yang baru. Aklimatisasi dapat pula dipahami sebagai proses pemindahan tanaman dari lingkungan yang aseptik dan terkendali (in vitro) kepada kondisi yang kurang aseptik (in vivo) yang diikuti oleh peralihan tanaman dari kondisi heterotrof menjadi autotrof. Pada saat aklimatisasi terjadi stres fisiologi, dimana tanaman yang dipindahkan dari kondisi intensitas cahaya tinggi menuju kondisi intensitas cahaya rendah akan mengalami reduksi secara cepat dalam hal fotosintesis. Perubahan dalam intensitas cahaya ini akan berpengaruh terhadap kondisi organorgan tanaman tersebut. Menurut Briggs dan Calvin (1987), tanaman yang tumbuh di bawah intensitas cahaya tinggi akan berbeda anatominya dengan tanaman yang dihasilkan di bawah intensitas cahaya rendah. Perbedaannya akan terlihat dari ukuran ketebalan, bentuk, dan jumlah daun serta ukuran akar.

26 13 Media tumbuh untuk aklimatisasi sangat beragam dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan serta kondisi tanaman. Media tanam aklimatisasi yang umum digunakan dapat berupa arang sekam, pasir, kompos, dan pupuk kandang. Salah satu jenis media dapat digunakan sebagai media tanam tunggal berbahan sejenis, atau dikombinasikan dengan media tanam dari jenis lain berdasarkan perbandingan tertentu. Arang sekam lebih banyak digunakan karena mudah diperoleh dan memiliki pori yang cukup besar. Sedangkan pasir memiliki kelebihan dalam kecepatan perkolasi air. Menurut Soepardi (1983), arang sekam merupakan media yang porous, beraerasi baik, memiliki daya tahan air yang tinggi, ringan, dan tidak bereaksi negatif dengan larutan hara. Sementara pasir merupakan zarah yang dapat menciptakan banyak ruang pori sehingga air berperkolasi dengan cepat, serta menyebabkan pembentukan akar tanaman menyebar karena ukuran ruang pori mikro. Arang sekam ataupun pasir dapat dikombinasikan dengan kompos sebagai media tanam aklimatisasi. Kompos yang digunakan dapat berupa hasil dari pelapukan bahan-bahan berupa dedaunan, jerami, alang-alang, rumput, sampah kota, dan kotoran hewan. Kompos digunakan untuk memperbaiki kemampuan media dalam menahan air, serta sebagai sumber bahan organik bagi tanaman.

27 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli hingga bulan Desember Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Plasma Nutfah dan Pemuliaan serta Rumah Kaca Kelompok Peneliti Plasma Nutfah dan Pemuliaan, Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika Cimanggu, Bogor. Bahan dan Alat Sumber tanaman yang digunakan adalah tunas temu hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) in vitro. Media subkultur adalah media MS + BAP 0.5 ppm. Media dasar perlakuan yaitu media MS (Murashige dan Skoog), ½ MS, dan modifikasi MS dengan pupuk majemuk Hyponex ( ), ZPT sitokinin (BAP), vitamin MS, agar-agar, dan akuades, sedangkan bahan media tanam pada aklimatisasi adalah arang sekam yang dicampur dengan kompos. Komposisi media dasar MS, ½ MS, dan Hyponex disajikan pada Lampiran 1. Peralatan yang digunakan meliputi Laminar Airflow Cabinet (LAC), autoklaf, alat-alat tanam (gunting, pisau scalpel dan pinset), botol kultur, aluminium foil, karet gelang, rak kultur, dan hand sprayer. Pada aklimatisasi peralatan yang digunakan meliputi gelas plastik, bak plastik, dan sungkup plastik. Metode Percobaan Penelitian ini menggunakan rancangan faktorial yang terdiri dari 2 faktor. Faktor pertama adalah komposisi media dasar yang terdiri atas 3 taraf, yaitu media MS, ½ MS, dan Hyponex. Faktor kedua adalah konsentrasi BAP yang terdiri dari 4 taraf yaitu 0.0, 1.5, 3.0, dan 4.5 ppm. Percobaan terdiri dari 12 kombinasi perlakuan yang masing-masing terdiri dari 8 ulangan sehingga terdapat 96 satuan percobaan.

28 15 Model linier rancangan penelitian adalah sebagai berikut : Y ijk = µ + i + j + () ij + ijk Keterangan : Y ijk = Nilai peubah yang diamati akibat komposisi media dasar ke-i, konsentrasi BAP taraf ke-j dan ulangan ke-k µ = Nilai rataan umum i j = Pengaruh komposisi media dasar ke-i = Pengaruh taraf konsentrasi BAP ke-j () ij = Pengaruh interaksi dari komposisi media dasar ke-i dan konsentrasi BAP ke-j ijk = Galat umum percobaan Pelaksanaan Penelitian 1. Multiplikasi Tunas Temu Hitam pada Media Perlakuan In Vitro Persiapan Bahan Tanaman Bahan tanam (eksplan) diperoleh dari tunas in vitro temu hitam yang telah dikultur selama 2 tahun dan disubkultur secara berkala setiap 4 bulan. Tunas in vitro digunakan sebagai bahan penelitian dan diperbanyak pada media MS yang ditambahkan BAP dengan konsentrasi 0.5 ppm. Komposisi media MS dapat dilihat pada Lampiran 1. Pembuatan Media Perlakuan Media perlakuan menggunakan 3 jenis komposisi media dasar, yaitu MS, ½ MS, dan Hyponex. Larutan stok (hara makro dan mikro, vitamin, Fe, dan myoinositol) dipipet sesuai dengan konsentrasi yang dibutuhkan untuk komposisi media MS dan ½ MS, kemudian ditambahkan BAP sesuai dengan perlakuan. Larutan kemudian ditambahkan akuades dan sukrosa. Derajat keasaman (ph) diatur sekitar 5.8 melalui penambahan NaOH atau HCl. Sebagai pemadat ditambahkan agar-agar dan dimasak sampai mendidih. Larutan kemudian dimasukkan ke dalam botol kultur untuk diautoklaf dengan suhu 121 C dan tekanan 17.5 psi selama 20 menit. Pada komposisi media berbahan dasar pupuk majemuk, digunakan Hyponex ( ) sebagai pengganti stok hara makro MS dengan konsentrasi

29 3 g/l media yang ditambahkan stok hara mikro MS, larutan Fe dan myo-inositol. Komposisi media Hyponex dapat dilihat pada Lampiran Penanaman Tunas pada Media Perlakuan Penanaman tunas dilakukan didalam Laminar Airflow Cabinet (LAC) yang sebelumnya disterilkan menggunakan alkohol. Peralatan yang dimasukkan kedalam laminar disemprot terlebih dahulu dengan alkohol berkonsentrasi 90% untuk menghindari sumber kontaminan. Alat tanam yang telah steril kemudian dapat digunakan untuk melakukan penanaman. Bahan tanam yang digunakan adalah tunas temu hitam in vitro dengan panjang kurang lebih cm. Tunas tersebut ditanam pada media perlakuan dengan satu tunas pada tiap botol kultur. Selanjutnya, botol kultur yang telah berisi tunas temu hitam disimpan pada rak kultur. 2. Tahap Aklimatisasi Aklimatisasi dilakukan setelah pengamatan dalam kultur in vitro selesai dan plantlet dianggap telah cukup tegar untuk dapat dipindahkan menuju lapangan. Media aklimatisasi menggunakan campuran arang sekam (sekam bakar) dan kompos dengan perbandingan 1 : 1 untuk semua jenis perlakuan. Campuran media disterilisasi terlebih dahulu untuk mematikan cendawan yang dapat menyebabkan kematian saat adaptasi plantlet. Setiap perlakuan terdiri dari 10 ulangan dengan setiap ulangan terdiri dari satu plantlet yang ditanam pada satu gelas media. Kelembaban media dijaga dengan menggunakan sungkup plastik sampai tanaman dianggap cukup tegar dan kuat untuk bertahan pada kondisi lingkungan normal. Pengelompokan plantlet pada tahap aklimatisasi didasarkan pada kombinasi perlakuan saat plantet masih berada dalam kultur in vitro. Hal ini dilakukan karena kombinasi perlakuan pada kultur in vitro diduga masih memiliki pengaruh saat plantlet diaklimatisasi.

30 17 Pengamatan 1. Multiplikasi Tunas Temu Hitam pada Media Perlakuan In Vitro Pengamatan dimulai pada saat 1 minggu setelah tanam (1 MST) sampai 8 MST. Peubah yang diamati antara lain jumlah tunas, tinggi tunas, jumlah dan warna daun, serta jumlah dan panjang akar. Jumlah Tunas Jumlah tunas yang terbentuk dihitung saat tunas berumur 1 MST hingga respon dari perlakuan terlihat dari keragaan plantlet pada 8 MST. Tinggi Tunas Tinggi tunas diukur pada akhir minggu pengamatan sesaat menjelang aklimatisasi (8 MST). Pengukuran dilakukan dengan mengeluarkan tunas dari botol kultur sehingga keakuratan pengukuran dapat tercapai. Jumlah dan Warna Daun Jumlah daun dihitung saat 1 MST hingga respon dari perlakuan terlihat dari keragaan tunas pada 8 MST. Jumlah daun yang diamati merupakan daun yang telah membuka penuh. Warna daun diukur saat daun telah terbuka penuh hingga respon dari perlakuan terlihat dari keragaan tunas pada 8 MST. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan bagan warna daun dari The Royal Horticultural Society. Jumlah dan Panjang Akar Jumlah dan panjang akar diukur pada akhir minggu pengamatan sesaat menjelang aklimatisasi (8 MST). Pengukuran dilakukan dengan mengeluarkan tunas dari botol kultur sehingga keakuratan pengukuran dapat tercapai.

31 18 2. Tahap Aklimatisasi Pengamatan dilakukan pada 1 minggu setelah aklimatisasi (1 MSA) hingga 5 MSA. Pengamatan meliputi persentase plantlet hidup serta penampilan dan warna daun plantlet. Persentase Plantlet Hidup Persentase plantlet hidup merupakan jumlah plantlet yang dianggap masih hidup dan mampu melanjutkan pertumbuhan, dengan jumlah daun minimal satu helai per plantlet. Persentase plantlet hidup diamati saat 1 MSA hingga 5 MSA. Penampilan Plantlet dan Warna Daun Penampilan tanaman diamati setelah sungkup plastik dibuka pada 4 MSA yang meliputi warna daun dan keragaan tanaman secara kualitatif. Warna daun diamati dengan menggunakan bagan warna daun dari The Royal Horticultural Society.

32 HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Multiplikasi Tunas Temu Hitam pada Media Perlakuan In Vitro Tunas temu hitam menunjukkan perbedaan pada keragaan tanaman dan warna daun berdasarkan faktor komposisi media. Tunas yang dikulturkan pada media dasar Hyponex terlihat layu dan cenderung mengalami senesens lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan komposisi media MS dan ½ MS (Gambar 2). Penampilan tunas yang dikultur pada komposisi media dasar MS menunjukkan tunas yang lebih tegar dan tebal dibandingkan media dasar ½ MS. a b Gambar 2. Penampilan Tunas Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) In Vitro pada Perlakuan (a) Media Dasar MS dan (b) Media Dasar Hyponex pada 8 MST Tunas baru muncul pada 2 MST untuk semua jenis perlakuan kecuali perlakuan media dasar MS + BAP 0.0 ppm dan ½ MS + BAP 0.0 ppm. Daun baru mulai terbentuk pada 1 MST untuk semua jenis perlakuan, kecuali perlakuan media dasar ½ MS + BAP 3.0 ppm, Hyponex + BAP 1.5 ppm, dan Hyponex + BAP 4.5 ppm. Seluruh perlakuan telah membentuk daun pada 4 MST. Pada peubah tinggi tunas, jumlah akar, dan panjang akar, pengukuran dilakukan pada

33 20 saat tanaman dikeluarkan sebelum tahap aklimatisasi (8 MST) untuk menghindari bias dalam pengukuran. Pada peubah jumlah tunas, faktor komposisi media dasar tidak berpengaruh nyata dari 1-8 MST. Faktor konsentrasi BAP tidak berpengaruh nyata pada 1 MST, tetapi berpengaruh sangat nyata pada 2 8 MST. Sedangkan interaksi antara media dasar dan konsentrasi BAP berpengaruh nyata pada 6 dan 8 MST, dan berpengaruh sangat nyata pada 7 MST (Tabel 1). Pada 8 MST faktor komposisi media dasar berpengaruh nyata terhadap peubah tinggi tunas, sedangkan konsentrasi BAP tidak berpengaruh nyata. Tetapi interaksi antara komposisi media dasar dan konsentrasi BAP pada media perlakuan berpengaruh nyata pada tinggi tunas (Tabel 1). Pada peubah jumlah daun, faktor komposisi media dasar berpengaruh sangat nyata pada 3 dan 8 MST, dan berpengaruh nyata pada 4 7 MST. Faktor konsentrasi BAP berpengaruh nyata hanya pada 5 MST, dan berpengaruh sangat nyata pada 6 8 MST, sedangkan interaksi antara komposisi media dasar dan konsentrasi BAP berpengaruh nyata pada 4 dan 8 MST, dan berpengaruh sangat nyata pada 5 7 MST (Tabel 1). Respon tanaman pada peubah warna daun diwakili oleh kelompok warna hijau kode 143 dan 144 (sub-kode A, B, C, dan D) pada bagan warna daun (Gambar 3). Analisis sidik ragam dan uji lanjut dilakukan melalui sistem pengkodean (scoring) kedalam rentang angka tertentu berdasarkan pengelompokan bagan warna daun. Gambar 3. Bagan Warna Daun The Royal Horticultural Society pada Green Group 143 dan 144

34 Tabel 1. Rekapitulasi Analisis Sidik Ragam pada Peubah Jumlah Tunas, Tinggi Tunas, Jumlah dan Warna Daun, serta Jumlah dan Panjang Akar Kultur In Vitro Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) Peubah Umur Komposisi Konsentrasi Interaksi (MST) Media Dasar BAP (Media x BAP) KK (%) Jumlah Tunas 1 tn tn tn tn ** tn tn ** tn tn ** tn tn ** tn tn ** * tn ** ** tn ** * Tinggi Tunas 8 * tn * 6.65 Jumlah Daun 1 tn tn tn tn tn tn * tn tn ** tn * ** * ** ** ** ** ** ** ** * ** * Warna Daun 4 ** * tn ** tn tn ** tn ** ** tn ** ** tn tn Jumlah Akar 8 * tn tn Panjang Akar 8 ** tn tn 6.24 Keterangan: data merupakan hasil transformasi rumus (x+0.5) 0.5 tn = tidak berbeda nyata pada taraf 5 % (P>0.05) * = berbeda nyata pada taraf 5 % (P<0.05) ** = sangat berbeda nyata pada taraf 1 % (P<0.01) 21 Pada peubah jumlah akar terlihat bahwa pada 8 MST faktor komposisi media dasar berpengaruh nyata, sedangkan faktor konsentrasi BAP dan interaksi tidak berpengaruh nyata (Tabel 1). Pada peubah panjang akar terlihat bahwa pada 8 MST faktor komposisi media dasar berpengaruh sangat nyata, sedangkan konsentrasi BAP dan interaksi tidak berpengaruh nyata. Hasil analisis sidik ragam terhadap peubah yang diamati dapat dilihat pada Lampiran 6 hingga Lampiran 10.

35 22 Jumlah Tunas Komposisi media dasar tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas selama pengamatan, sedangkan perlakuan konsentrasi BAP berpengaruh sangat nyata terhadap peubah jumlah tunas pada 2 8 MST. Inisiasi tunas pada 4 MST dapat dilihat pada Gambar 4. Jumlah tunas terbanyak pada 8 MST yaitu 4.00 tunas, yang diperoleh dari konsentrasi BAP pada taraf 4.5 ppm, sedangkan jumlah tunas terendah yaitu 1.54, diperoleh pada konsentrasi BAP 0.0 ppm. Gambar 4. Inisiasi Tunas Baru Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) In Vitro pada 4 MST Berdasarkan hasil analisis regresi, terlihat bahwa jumlah tunas memiliki persamaan Y = x x (R2 = ). Pada Gambar 5, terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi BAP maka jumlah tunas yang dihasilkan akan semakin banyak, hingga akhirnya akan mencapai titik konsentrasi optimum 4.89 ppm. Hal ini dapat diartikan bahwa konsentrasi BAP yang digunakan dalam penelitian ini masih di bawah titik optimum untuk multiplikasi tunas, sehingga masih dapat ditingkatkan hingga kisaran 4.89 ppm BAP. Melewati taraf konsentrasi optimum tersebut maka jumlah tunas yang dihasilkan akan berkurang karena telah jenuh dalam merespon BAP.

36 23 Jumlah Tunas y = x x R 2 = Konsentrasi BAP (ppm) Jumlah Tunas Poly. (Jumlah Tunas) Gambar 5. Kurva Analisis Regresi Pengaruh Konsentrasi BAP terhadap Jumlah Tunas Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) pada 8 MST Interaksi antara komposisi media dasar dan konsentrasi BAP berpengaruh nyata pada jumlah tunas pada 6 dan 8 MST. Pada 8 MST, jumlah tunas terbanyak diperoleh pada kombinasi perlakuan Hyponex + BAP 4.5 ppm, yaitu 4.50 tunas. Jumlah tunas terendah diperoleh pada kombinasi perlakuan MS + BAP 0.0 ppm dan ½ MS ppm BAP dengan jumlah yang sama, yaitu 1.13 tunas (Tabel 2). Peningkatan konsentrasi BAP pada media perlakuan diiringi oleh peningkatan kemampuan pembentukan tunas baru. Hal ini diduga karena BAP memiliki efek untuk menstimulasi pembelahan sel. Decoteau (2005) memaparkan bahwa sitokinin (BAP) merupakan senyawa sejenis adenin yang mampu menstimulasi pembelahan sel dan sitokinesis, pembesaran sel, diferensiasi jaringan, pembentukan kloroplas, dan merangsang pertumbuhan kotiledon. Konsentrasi sitokinin tertinggi umumnya terdapat pada daerah meristematik dan bagian-bagian tanaman dengan potensi pertumbuhan kontinu seperti pucuk, akar, dan daun muda. Hal ini didukung oleh Rusnanda (2007) pada tanaman temulawak, bahwa multiplikasi tunas secara in vitro dipengaruhi oleh faktor BAP, dimana BAP dengan konsentrasi 1 3 mg/l dapat meningkatkan jumlah tunas hampir 300 % dari perlakuan tanpa BAP.

37 24 Tabel 2. Pengaruh Interaksi Komposisi Media Dasar dan Konsentrasi BAP terhadap Rataan Jumlah Tunas Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) dalam Kultur In Vitro Kombinasi Perlakuan Umur (MST) MS + BAP 0.0 ppm 1.13 f 1.13 e 1.13 d MS + BAP 1.5 ppm 2.38 cde 2.63 bcd 2.75 bc MS + BAP 3.0 ppm 4.00 ab 4.00 abc 4.00 ab MS + BAP 4.5 ppm 4.00 a 4.00 ab 4.00 ab ½ MS + BAP 0.0 ppm 1.13 f 1.13 e 1.13 d ½ MS + BAP 1.5 ppm 3.38 abcd 3.50 abc 3.50 abc ½ MS + BAP 3.0 ppm 3.75 abc 3.75 abc 3.88 ab ½ MS + BAP 4.5 ppm 3.13 abcd 3.13 abcd 3.50 abc Hyponex + BAP 0.0 ppm 1.75 ef 2.00 de 2.38 c Hyponex + BAP 1.5 ppm 2.13 def 2.13 de 2.38 d Hyponex + BAP 3.0 ppm 2.50 bcde 2.50 cd 2.88 bc Hyponex + BAP 4.5 ppm 4.38 a 4.38 a 4.50 a Keterangan: Rataan yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf kepercayaan =0.05 Tinggi Tunas Komposisi media dasar berpengaruh nyata terhadap tinggi tunas pada 8 MST. Tunas tertinggi diperoleh pada perlakuan media dasar ½ MS yaitu 8.70 cm, sedangkan tunas terendah diperoleh pada perlakuan media dasar Hyponex yaitu 7.91 cm. Diduga terjadi keracunan unsur hara mikro pada penggunaan media Hyponex karena unsur-unsur tersebut telah disediakan melalui penambahan unsur mikro MS di dalam media, sehingga laju pertambahan tinggi tunas menjadi rendah. Keracunan hara dapat terlihat dari gejala pada tunas dimana tunas akhirnya terhambat dalam pertumbuhan tingginya. Decoteau (2005) mengemukakan bahwa gejala keracunan suatu unsur hara dapat terlihat dari terjadinya nekrosis, terhambatnya pertumbuhan terminal tanaman, dan tanaman tampak kerdil akibat pengurangan laju pertumbuhan. Perlakuan konsentrasi BAP tidak berpengaruh nyata terhadap peubah tinggi tunas pada 8 MST. Konsentrasi BAP diduga tidak memiliki pengaruh dalam pertambahan tinggi tunas karena BAP berfungsi dalam membantu pembelahan sel, sementara pertambahan tinggi tanaman merupakan mekanisme pemanjangan sel-sel batang tanaman.

38 25 Interaksi antara komposisi media dasar dan konsentrasi BAP berpengaruh nyata terhadap peubah tinggi tunas. Tunas tertinggi diperoleh pada kombinasi perlakuan ½ MS + BAP 0.0 ppm yaitu 9.34 cm, sedangkan tunas terendah diperoleh pada kombinasi perlakuan MS + BAP 1.5 ppm dan Hyponex + BAP 4.5 ppm, dengan tinggi tunas 7.31 cm (Tabel 3). Peningkatan konsentrasi BAP yang diikuti oleh rendahnya tinggi tunas mengindikasikan dugaan bahwa terjadi penghambatan dominansi apikal akibat aplikasi BAP sehingga pertumbuhan tunas terhambat. Tabel 3. Pengaruh Interaksi Komposisi Media Dasar dan Konsentrasi BAP terhadap Rataan Tinggi Tunas Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) dalam Kultur In Vitro pada 8 MST Konsentrasi BAP (ppm) Komposisi Media Dasar MS ½ MS Hyponex ab 9.34 a 8.13 abc c 7.98 abc 8.66 ab abc 8.98 a 7.53 bc abc 8.53 abc 7.31 c Keterangan: Rataan yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf kepercayaan =0.05 Jumlah dan Warna Daun Daun muncul dan membuka secara penuh pada seluruh kombinasi perlakuan pada 3 MST. Komposisi media dasar berpengaruh nyata terhadap peubah jumlah daun pada 3 dan 8 MST, serta berpengaruh sangat nyata pada 4 7 MST. Jumlah daun terbanyak pada 8 MST diperoleh pada perlakuan komposisi media MS dengan jumlah 7.25 helai daun, sedangkan jumlah daun terendah yaitu 5.38 diperoleh pada perlakuan komposisi media dasar Hyponex. Konsentrasi BAP berpengaruh nyata terhadap jumlah daun pada 5 MST dan berpengaruh sangat nyata pada 6 8 MST. Pada 8 MST, jumlah daun terbanyak diperoleh pada perlakuan konsentrasi BAP 4.5 ppm yaitu 7.88 helai daun, sedangkan jumlah daun terendah diperoleh pada perlakuan konsentrasi BAP 0.0 ppm yaitu 4.38 helai daun. Peubah jumlah daun memiliki respon linier terhadap peningkatan konsentrasi BAP dalam perlakuan. Hal ini dapat diartikan

39 26 bahwa konsentrasi BAP yang digunakan dalam penelitian ini belum mencapai taraf optimum bagi pembentukan daun dalam kultur in vitro. Seiring dengan semakin tingginya konsentrasi BAP yang digunakan maka semakin banyak jumlah daun yang dapat diperoleh. Hasil analisis regresi pada Gambar 6 menunjukkan bahwa jumlah daun terbanyak pada 8 MST diperoleh pada perlakuan konsentrasi BAP 4.5 ppm dengan persamaan Y = 0.806x (R 2 = 0.92). Peningkatan taraf konsentrasi BAP diatas 4.5 ppm hingga mencapai titik optimum masih dapat dilakukan untuk menambah jumlah daun dalam kultur in vitro. Riansyah (2007) dalam penelitiannya pada tanaman kunyit secara in vitro mengungkapkan bahwa peningkatan konsentrasi BAP dapat meningkatkan jumlah daun sebesar % pada 8 MST. Jumlah Daun y = 0.806x R 2 = Konsentrasi BAP (ppm) Jumlah Daun Linear (Jumlah Daun) Gambar 6. Kurva Analisis Regresi Pengaruh Konsentrasi BAP terhadap Jumlah Daun Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) pada 8 MST Interaksi komposisi media dasar dan konsentrasi BAP berpengaruh nyata pada 4 dan 8 MST serta berpengaruh sangat nyata pada 5 7 MST. Pada 8 MST, jumlah daun terbanyak diperoleh pada kombinasi perlakuan MS + BAP 4.5 ppm, yaitu 9.75 helai daun, sedangkan jumlah daun terendah diperoleh pada kombinasi perlakuan MS + BAP 0.0 ppm, yaitu 3.38 helai daun (Tabel 4). Siringo-ringo (2009) menyatakan bahwa penggunaan media dasar MS dan ½ MS memberikan pengaruh yang tidak berbeda terhadap jumlah daun tanaman Anthurium

40 plowmanii, namun penggunaan media Hyponex menghasilkan jumlah daun lebih rendah dibandingkan penggunaan kedua media tersebut. 27 Tabel 4. Pengaruh Interaksi Komposisi Media Dasar dan Konsentrasi BAP terhadap Rataan Jumlah Daun Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) dalam Kultur In Vitro Kombinasi Perlakuan Umur (MST) MS + BAP 0.0 ppm 1.75 bcd 2.13 ef 2.63 d 2.75 f 3.38 e MS + BAP 1.5 ppm 2.75 abcd 3.50 bcde 4.50 bcd 5.88 bcde 6.63 bcd MS + BAP 3.0 ppm 3.75 a 4.88 ab 6.88 ab 8.00 ab 9.25 ab MS + BAP 4.5 ppm 3.75 a 5.38 a 7.50 a 9.13 a 9.75 a ½ MS + BAP 0.0 ppm 2.38 abcd 2.75 cdef 3.25 cd 3.88 def 4.38 de ½ MS + BAP 1.5 ppm 2.38 abcd 3.63 bcde 5.25 bc 6.38 bcd 7.63 abc ½ MS + BAP 3.0 ppm 3.00 ab 4.13 abc 5.38 abc 7.25 abc 8.25 abc ½ MS + BAP 4.5 ppm 2.88 abc 3.88 abcd 4.88 bc 6.00 bcd 7.25 abc Hyponex + BAP 0.0 ppm 2.63 abcd 3.25 bcdef 3.88 cd 4.38 def 5.38 cde Hyponex + BAP 1.5 ppm 1.63 cd 1.88 d 2.75 d 3.50 ef 4.00 de Hyponex + BAP 3.0 ppm 1.38 d 2.63 cdef 3.25 cd 4.25 def 5.50 cde Hyponex + BAP 4.5 ppm 1.88 bcd 2.38 def 3.50 cd 5.00 cde 6.63 bcd Keterangan : Rataan yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf kepercayaan =0.05 Rendahnya laju pertambahan jumlah daun pada kombinasi perlakuan dengan media Hyponex diduga karena terganggunya proses pembelahan sel dan fotosintesis akibat defisiensi unsur klor, karena pupuk majemuk Hyponex tidak menyediakan unsur tersebut. Unsur hara klor sebagian besar disediakan dalam larutan stok hara makro MS. Selain itu kandungan unsur hara mikro pada media Hyponex yang diakumulasikan dengan hara mikro MS diduga dapat menyebabkan keracunan suatu unsur hara yang berpengaruh terhadap pembentukan daun baru tanaman. Warna daun selama periode pengamatan bervariasi antara hijau tua-cerah hingga hijau muda-cerah (Green Group 143) serta hijau tua-kusam hingga hijau muda-kusam (Green Group 144). Warna daun pada media dasar MS memiliki warna hijau yang lebih cerah dan pekat bila dibandingkan dengan media dasar Hyponex. Perbedaan warna daun antara komposisi media dasar MS dan Hyponex dapat dilihat pada Gambar 7.

41 28 a b Gambar 7. Visualisasi Warna Daun antara Perlakuan (a) Media Dasar MS dan (b) Media Dasar Hyponex pada 8 MST Hasil pengamatan menunjukkan bahwa komposisi media dasar berpengaruh sangat nyata terhadap peubah warna daun pada 4 8 MST, sedangkan konsentrasi BAP berpengaruh nyata pada 4 MST tetapi tidak berpengaruh nyata pada 5 8 MST. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan komposisi media dasar berpengaruh kuat pada perbedaan warna daun tunas. Interaksi antara komposisi media dasar dan konsentrasi BAP berpengaruh nyata pada 6 7 MST, tetapi tidak berpengaruh nyata pada 8 MST. Variasi warna daun diduga terjadi akibat perbedaan kandungan unsur hara yang dimiliki setiap jenis komposisi media dasar. Perbedaan warna daun antar perlakuan pada 8 MST dapat terlihat dari uji lanjut dengan menggunakan kontras ortogonal (Lampiran 11), dimana media berbahan dasar stok hara makro MS dibandingkan pada media berbahan dasar pupuk Hyponex. Perbedaan pada warna daun berpengaruh nyata antara media dasar MS dan ½ MS terhadap komposisi media Hyponex, sedangkan perbandingan antara media dasar MS terhadap media ½ MS tidak berpengaruh nyata. Warna daun pada komposisi media MS dan ½ MS adalah hijau-tua cerah, sementara pada komposisi media Hyponex adalah hijaumuda kusam.

42 29 Kurangnya unsur klor pada media dasar Hyponex, diikuti oleh dugaan terjadinya keracunan unsur hara mikro akibat penambahan hara mikro MS menyebabkan pudarnya warna hijau pada perlakuan dengan komposisi media Hyponex. Perbedaan tersebut dapat terlihat jelas dengan membandingkan secara visual warna daun pada media berbahan dasar Hyponex dengan media MS. Diduga bahwa kandungan klorofil menjadi rendah sebagai akibat dari berlebihnya unsur hara mikro pada media. Jumlah dan Panjang Akar Komposisi media dasar pada 8 MST, berdasarkan analisis sidik ragam (ANOVA), berpengaruh nyata terhadap peubah jumlah akar, sedangkan konsentrasi BAP dan interaksi antara komposisi media dasar dan konsentrasi BAP tidak berpengaruh nyata. Jumlah akar terbanyak diperoleh pada perlakuan media dasar MS yaitu 7.53, sedangkan jumlah akar terendah diperoleh pada media Hyponex, yaitu 6.38 (Tabel 5). Pertambahan jumlah akar yang rendah pada media dasar Hyponex diduga karena kondisi media yang tidak seimbang dalam penyediaan unsur hara yang dibutuhkan oleh tunas. Kondisi media karena tidak adanya hara klor pada pupuk Hyponex diduga menghambat perkembangan struktur perakaran tunas sehingga jumlah akar menjadi sedikit. Selain itu terdapat pula perbedaan ketebalan akar antara media dasar MS, ½ MS, dan Hyponex. Keragaan pada daerah perakaran media dasar Hyponex menunjukkan bahwa perakaran tunas tampak lebih tebal dibandingkan dengan media MS dan ½ MS (Gambar 8). Russell (1977) menyatakan bahwa perbedaan dalam penyediaan kuantitas unsur-unsur hara bagi tanaman dapat mengubah morfologi sistem perakaran tanaman tersebut. Lebih lanjut dikemukakan pula bahwa pada tanaman barley (Hordeum vulgare), terjadinya defisiensi suatu unsur hara dapat mengurangi jumlah akar dengan rasio dari jumlah akar normal. Pada kultur in vitro, rendahnya jumlah akar pada media dasar Hyponex dikemukakan oleh Siringo-ringo (2009) dalam penelitiannya dengan menggunakan tanaman anthurium wave of love (Anthurium plowmanii), dimana media dasar Hyponex menunjukkan pertumbuhan jumlah akar yang lambat selama percobaan dibandingkan dengan media ½ MS.

43 30 a b 1 cm 1 cm c 1 cm Gambar 8. Perakaran Tunas Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) pada 8 MST (a) Media MS (b) Media ½ MS (c) Media Hyponex Pada 8 MST, komposisi media dasar berpengaruh sangat nyata pada peubah panjang akar, sedangkan konsentrasi BAP dan interaksi komposisi media dasar dan konsentrasi BAP tidak berpengaruh nyata. Akar terpanjang diperoleh pada media dasar Hyponex yaitu 4.69 cm, sedangkan akar terpendek diperoleh pada media dasar MS yaitu 2.54 cm (Tabel 5). Tabel 5. Pengaruh Komposisi Media Dasar terhadap Rataan Jumlah dan Panjang Akar Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) dalam Kultur In Vitro pada 8 MST Komposisi Media Dasar Jumlah Akar Panjang Akar (cm) MS 7.53 a 2.54 l ½ MS 7.44 a 3.25 k Hyponex 6.38 a 4.69 j Keterangan : Rataan yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji BNJ pada taraf kepercayaan =0.05

44 31 Bentuk perakaran tunas temu hitam diduga dipengaruhi oleh mekanisme penyerapan unsur hara yang dilakukan oleh tunas. Pengaruh perbedaan panjang akar antara ketiga jenis komposisi media dasar yang digunakan diduga terjadi karena perbedaan konsentrasi hara akibat kekurangan dalam unsur klor pada media Hyponex dibandingkan dengan media MS dan ½ MS. Russell (1977) mengemukakan bahwa perubahan pada panjang, volume, dan luas perakaran dapat bervariasi, bergantung pada konsentrasi suatu unsur hara pada media tanam yang dapat diakses oleh tiap-tiap bagian perakaran. Respon sistem perakaran terhadap perbedaan konsentrasi suatu unsur akan bergantung kepada jenis unsur hara dan spesies tanaman. Pada penelitian ini terlihat bahwa panjang akar tunas temu hitam in vitro dari yang terpanjang hingga yang terpendek terdapat pada media Hyponex, ½ MS, dan MS secara berturut-turut. Hingga saat ini belum dilaporkan adanya penelitian mengenai respon sistem perakaran temu hitam terhadap defisiensi unsur-unsur hara tertentu dalam kultur in vitro. Rachmatullah (2009) melaporkan hal serupa dalam penelitiannya menggunakan media dasar MS dan Hyponex pada tanaman anggrek, bahwa panjang akar terpanjang didapat pada perlakuan dengan media dasar Hyponex yang ditambah dengan vitamin ketimbang pada media dasar MS yang ditambah dengan vitamin. Analisis Biaya Bahan Dasar dalam Pembuatan Media Tanam In Vitro Komposisi media dasar Hyponex yang dikombinasikan dengan BAP mampu menghasilkan jumlah tunas terbanyak, yaitu 4.50 tunas, dibandingkan kombinasi perlakuan media dasar MS dan ½ MS. Hal ini menunjukkan kemampuan komposisi media dasar Hyponex untuk menggantikan media MS dan ½ MS dalam multiplikasi tunas temu hitam in vitro. Penggunaan Hyponex sebagai bahan pengganti hara makro MS dapat menekan biaya bahan dasar pembuatan media tanam in vitro. Bahan dasar yang digunakan dalam pembuatan media dasar MS, ½ MS, dan Hyponex meliputi stok hara makro, stok hara mikro, bahan organik, pupuk majemuk Hyponex, pemadat media (agar-agar), dan akuades. Analisis biaya bahan dasar pembuatan media MS, ½ MS, dan Hyponex menunjukkan bahwa bahan dasar media MS memiliki pembiayaan tertinggi, yang diikuti oleh ½ MS dan

45 32 Hyponex secara berturut-turut. Substitusi stok hara makro MS dengan pupuk majemuk Hyponex mampu menekan biaya bahan dasar pada pembuatan komposisi media dasar Hyponex sehingga biaya pembuatan media menjadi lebih rendah dibandingkan media dasar MS dan ½ MS. Komposisi media dasar MS memerlukan stok hara makro MS pada kisaran harga 3 842,72 rupiah per liter media, sedangkan media dasar ½ MS memerlukan stok hara makro MS pada kisaran harga 1 921,36 rupiah per liter media. Biaya bahan dasar pembuatan media dapat ditekan apabila stok hara makro MS dapat digantikan oleh pupuk majemuk Hyponex pada kisaran harga 750,00 rupiah per liter media (Tabel 6). Total biaya bahan dasar dalam pembuatan media MS, ½ MS, dan Hyponex menunjukkan perbandingan relatif biaya bahan dasar ½ MS dan Hyponex yang lebih kecil terhadap MS. Pada saat total biaya bahan dasar media MS adalah 100 %, biaya bahan dasar pembuatan media ½ MS hanya memerlukan % dari total biaya bahan dasar media MS, sedangkan pada media Hyponex total biaya bahan dasar berkisar % terhadap media dasar MS. Perhitungan terperinci biaya bahan dasar pembuatan media dilampirkan pada Lampiran 3,4 dan 5. Tabel 6. Analisis Biaya Bahan Dasar Pembuatan Media Dasar MS, ½ MS, dan Hyponex Nama Bahan Harga/Liter Media (Rupiah) MS ½ MS Hyponex Stok Hara Makro MS 3 842, ,36 0,00 Stok Hara Mikro MS 240,29 240,29 240,29 Bahan Organik 2 425, , ,53 Pupuk Majemuk 0,00 0,00 750,00 Bahan Pemadat Media 1 714, , ,32 Akuades 3 000, , ,00 Total Biaya , , ,14 Persentase Relatif Terhadap Media Dasar MS % % Keterangan : Total biaya tercantum tidak termasuk biaya pengadaan eksplan, bahan kimia selain bahan dasar media, upah tenaga kerja, biaya penggunaan alat dan listrik, serta biaya investasi media lainnya. Perbandingan relatif ½ MS terhadap MS = Perbandingan relatif Hyponex terhadap MS = 9301,50 100% = 82.88% 11222, ,14 100% = 72.44% 11222,86

46 33 2. Tahap Aklimatisasi Persentase Plantlet Hidup Aklimatisasi dilakukan pada tunas in vitro temu hitam yang telah berusia 8 MST. Penentuan waktu bagi tahapan aklimatisasi dilakukan setelah tunas dinilai memiliki jumlah daun yang cukup, sekitar 3 7 helai daun, untuk melakukan fotosintesis sendiri. Tunas juga diharapkan telah membentuk sistem perakaran yang cukup baik untuk menopang pertumbuhan dan perkembangan pada lingkungan baru yang non-aseptik. Keragaan plantlet sebelum ditanam pada media aklimatisasi dapat dilihat pada Lampiran 12, 13, dan 14. Media tanam yang digunakan dalam tahapan aklimatisasi adalah arang sekam dan kompos, dengan perbandingan 1 : 1. Arang sekam digunakan karena memiliki sifat yang porous dan baik bagi perkembangan akar tanaman. Menurut Mustikawati (2007) pada aklimatisasi tanaman nenas, media arang sekam lebih baik daripada media kompos + pasir bagi pertumbuhan plantlet nenas. Pada 3 MSA terjadi penurunan persentase plantlet hidup hampir pada semua perlakuan, kecuali pada asal kombinasi media Hyponex pada kultur in vitro dengan penambahan BAP 3.0 dan 4.5 ppm. Penurunan persentase hidup pada tahap awal aklimatisasi diakibatkan oleh kontaminasi cendawan yang tumbuh pada media tanam. Sumber kontaminasi diduga berasal dari agar-agar bekas media in vitro yang menempel pada daerah perakaran. Pencucian akar yang kurang bersih saat penanaman menyebabkan sisa agar-agar menjadi tempat berkembangnya mikroba dan cendawan yang mampu mengganggu pertumbuhan plantlet. Selain itu, kekurangan dalam faktor teknis akibat terlalu lamanya plantlet pada kondisi terbuka (transplanting shock) saat berlangsungnya penanaman, juga berpengaruh pada persentase plantlet hidup. Hal ini terkait oleh kondisi stomata pada plantlet sebagaimana dikemukakan oleh Yuwono (2008), bahwa saat aklimatisasi stomata tidak dapat berfungsi sempurna sehingga menyebabkan cekaman air pada beberapa jam pertama proses aklimatisasi. Penurunan persentase plantlet hidup terus terjadi hingga 5 MSA. Pada 5 MSA, persentase plantlet hidup terbanyak diperoleh pada asal perlakuan kombinasi media Hyponex + BAP 1.5, 3.0, dan 4.5 ppm, serta kombinasi media MS + BAP 1.5 ppm, yaitu 60 persen dari total plantlet keseluruhan. Persentase

47 34 plantlet hidup terendah diperoleh pada asal perlakuan kombinasi media ½ MS + BAP 0.0 dan 3.0 ppm, yaitu sebesar 10 persen (Tabel 7). Kondisi dan penampilan plantlet pada 5 MSA disajikan pada Lampiran 15. Selain karena kontaminasi oleh cendawan pada media tanam dan syok (transplanting shock), laju senesens yang tinggi pada plantlet juga menjadi salah satu penyebab semakin menurunnya persentase plantlet hidup. Visualisasi serangan cendawan pada media aklimatisasi disajikan pada Lampiran 16. Pergantian pada hampir seluruh organ plantlet, seperti daun dan akar, umum terjadi pada saat aklimatisasi. Organ-organ yang lama, terutama daun, akan mengalami senesens dan digantikan oleh organ yang baru. Senesens daun yang terjadi pada plantlet temu hitam harus diiringi oleh kemampuan plantlet untuk membentuk daun yang baru agar plantlet dapat bertahan hidup. Saat laju pembentukan daun baru lebih rendah dari laju senesens daun, maka plantlet akan mati. Hal inilah yang diduga sebagai penyebab menurunnya persentase plantlet hidup temu hitam saat menjelang 5 MSA. Soffee (1995) menyatakan bahwa apabila laju senesens suatu organ tanaman lebih tinggi daripada laju pembentukan organ baru, maka tanaman tersebut akan mengalami kelayuan dan berakibat pada nekrosis tanaman. Tabel 7. Jumlah dan Persentase Plantlet Hidup pada seluruh Kombinasi Perlakuan Kultur In Vitro Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) saat Aklimatisasi Kombinasi Perlakuan Umur (MSA) MS + BAP 0.0 ppm 7 (70) 6 (60) 5 (50) MS + BAP 1.5 ppm 8 (80) 6 (60) 6 (60) MS + BAP 3.0 ppm 9 (90) 8 (80) 4 (40) MS + BAP 4.5 ppm 6 (60) 5 (50) 4 (40) ½ MS + BAP 0.0 ppm 7 (70) 3 (30) 1 (10) ½ MS + BAP 1.5 ppm 8 (80) 6 (60) 5 (50) ½ MS + BAP 3.0 ppm 6 (60) 5 (50) 1 (10) ½ MS + BAP 4.5 ppm 8 (80) 8 (80) 4 (40) Hyponex + BAP 0.0 ppm 7 (70) 6 (60) 4 (40) Hyponex + BAP 1.5 ppm 9 (90) 9 (90) 6 (60) Hyponex + BAP 3.0 ppm 10 (100) 10 (100) 6 (60) Hyponex + BAP 4.5 ppm 10 (100) 9 (90) 6 (60) Keterangan : ulangan = 10. Angka dalam tanda kurung merupakan persentase (%) tanaman hidup setelah aklimatisasi.

48 35 Perbedaan bentuk pada sistem perakaran (panjang, luas permukaan, dan volume perakaran) antara plantlet pada asal perlakuan media dasar MS dan Hyponex diduga secara tidak langsung turut mempengaruhi kemampuan adaptasi ketika aklimatisasi. Rataan persentase plantlet hidup asal perlakuan media dasar Hyponex (55 %) masih lebih tinggi dibandingkan pada media dasar MS (47.5 %) dan media ½ MS (27.5 %). Bentuk perakaran yang panjang dan tebal pada asal media dasar Hyponex diduga menyebabkan plantlet tertanam kokoh dan memungkinkan untuk tetap stabil dalam masa aklimatisasi, dibandingkan dengan bentuk perakaran yang lebih pendek dan kecil pada asal perlakuan media dasar MS dan ½ MS. Penampilan Tanaman dan Warna Daun Perbedaan penampilan antar plantlet secara kualitatif setelah perlakuan dalam kultur in vitro tidak begitu terlihat pada saat aklimatisasi. Pada 1 3 MSA, pengamatan kualitatif pada plantlet dibatasi oleh plastik sungkup, sehingga pengamatan menjadi kurang maksimum. Pada 4 MSA, plantlet pada seluruh asal kombinasi perlakuan in vitro terlihat segar dan tidak tampak layu akibat perubahan kondisi lingkungan tumbuh, dan tunas baru mulai terbentuk pada seluruh kombinasi perlakuan (Gambar 9). Daun pada seluruh plantlet juga telah mengalami senesens dan digantikan oleh daun baru. a b c Gambar 9. Aklimatisasi Plantlet Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) pada 4 MSA. Penampilan Plantlet Asal Perlakuan (a) Komposisi Media MS, (b) ½ MS, dan (c) Hyponex

49 36 Berdasarkan pengamatan melalui peubah warna daun pada 4 MSA, tampak bahwa warna hijau pada seluruh plantlet didominasi oleh warna hijau cerah. Persentase warna hijau cerah tertinggi diperoleh pada plantlet asal perlakuan media dasar MS dan Hyponex, sedangkan persentase warna hijau cerah terendah diperoleh pada tanaman asal perlakuan media dasar ½ MS (Tabel 8). Diduga penyebab perubahan warna pada plantlet asal perlakuan media Hyponex disebabkan oleh perpindahan dari media dengan cekaman unsur hara (Hyponex) kepada media dengan unsur hara berimbang (arang sekam + kompos). Tabel 8. Persentase Warna Daun Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) pada Asal Komposisi Media Dasar dalam Kultur In Vitro saat Aklimatisasi Warna Asal Komposisi Media Dasar Visualisasi Kode Warna MS 1/2 MS Hyponex 143 A Hijau Cerah 143 B C A Hijau Kusam 144 B Keterangan : Kode warna dengan huruf alphabet A, B, dan C secara berurutan menunjukkan tingkat warna daun dari gelap hingga muda Pada kultur in vitro, komposisi media MS dan ½ MS memiliki hampir semua unsur hara esensial dengan perbandingan yang seimbang dan diperhitungkan sesuai kebutuhan rata-rata tanaman, sedangkan pada komposisi media Hyponex, diduga terdapat kekurangan dalam unsur hara klor. Bennett (1993) mengemukakan bahwa pada daun, klor berperan dalam penangkapan dan penyimpanan energi cahaya melalui keterlibatannya dalam reaksi fotofosforilasi fotosintesis. Hal ini diduga menjadi penyebab berbedanya warna daun pada saat tunas berada dalam kultur in vitro. Saat aklimatisasi dilakukan dan tunas berpindah dari media tanam in vitro menuju media tanam aklimatisasi (arang sekam + kompos), maka plantlet mengadaptasikan dirinya untuk mampu mensintesis klorofil dan melakukan fotosintesis secara normal, sehingga warna daun tidak tampak berbeda seperti pada perlakuan in vitro.

50 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Komposisi media dasar memberikan pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan tunas temu hitam dalam kultur in vitro. Komposisi media dasar Hyponex pada kultur in vitro mampu menggantikan media MS dan ½ MS dalam multiplikasi tunas. Pemberian BAP mampu meningkatkan jumlah tunas dan daun temu hitam dalam kultur in vitro. Konsentrasi BAP 4.5 ppm menghasilkan jumlah tunas dan jumlah daun terbanyak, akan tetapi analisis regresi menunjukkan bahwa jumlah tunas dapat ditingkatkan melalui peningkatan konsentrasi BAP optimum pada taraf 4.89 ppm. Penggunaan kombinasi perlakuan Hyponex + BAP 4.5 ppm lebih dianjurkan dibandingkan kombinasi media MS dan ½ MS pada berbagai taraf konsentrasi BAP. Kombinasi media tersebut mampu menghasilkan jumlah tunas terbanyak dan dapat mengefisiensikan biaya bahan dasar pembuatan media. Kombinasi perlakuan dalam kultur in vitro diduga mempengaruhi kondisi pertanaman saat aklimatisasi. Persentase plantlet hidup terbanyak terlihat pada plantlet asal perlakuan komposisi media dasar Hyponex pada berbagai taraf konsentrasi BAP. Penggunaan media arang sekam + kompos juga dianggap sesuai bagi pertumbuhan plantlet dan mampu membantu pemulihan plantlet dari kondisi penggunaan media Hyponex dalam kultur in vitro. Saran Analisis unsur hara pada media dasar dan tunas temu hitam in vitro mampu membantu menerangkan gejala dan respon tanaman terhadap komposisi media dasar yang digunakan. Penambahan unsur hara klor diperlukan saat menggunakan Hyponex sebagai media tanam in vitro, agar diperoleh pertumbuhan yang optimum bagi tanaman. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui pengaruh komposisi media Hyponex terhadap pertumbuhan dan multiplikasi tanaman temu-temuan lain dalam kultur in vitro.

51 DAFTAR PUSTAKA Bennett, W. F Plant nutrient utilization and diagnostic plant symptoms, p In W. F. Bennett (Ed.). Nutrient Deficiencies and Toxicities In Crop Plants. APS Press. Minnesota. 202 p. Beyl, C. A Getting started with tissue culture : media preparation, sterile technique, and laboratory equipment, p In R. N. Trigiano and D. J. Gray (Eds.). Plant Development and Biotechnology. CRC Press. New York Getting started with tissue culture : media preparation, sterile technique, and laboratory equipment, p In R. N. Trigiano and D. J. Gray (Eds.). Plant Tissue Culture Concepts and Laboratory Exercises. CRC Press. New York. Briggs, B. G. and C. L. Calvin Indoor Plants. John Willey and Sons. New York. 516 p. Caponetti, J. D., D. J. Gray, and R. N. Trigiano History of plant tissue and cell culture. p In R. Trigiano and D. J. Gray (Eds.) Plant Development and Biotechnology. CRC Press. New York. Chawla, H. S Introduction to Plant Biotechnology. Science Publishers, Inc. New Hampshire. 532 p. Darma, C. H Pengaruh Penggunaan IBA dan BAP Terhadap Regenerasi Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Secara In Vitro. Skripsi. Program Studi Hortikultura. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor Decoteau, D. R Principles of Plants Science : Environmental Factors and Technology in Growing Plants. Pearson Prentice Hall. New Jersey. 412 p. Djazuli, M., I. Darwati, Rosita SMD Studi pola pertumbuhan dan serapan hara NPK temu ireng (Curcuma aeruginosa Roxb.). Warta Tumb. Obat Indonesia 7:6-8. Fu, W. Y., K. Hua, L. Yan, L. X. Chen, L. S. Jun, and X. Ying Study on flax genetic transformation mediated by Agrobacterium tumefaciens. Journal of Natural Fibers 1:1-10.

52 Gaba, V Plant growth regulators in plant tissue culture and development, p In R. Trigiano and D. J. Gray (Eds.) Plant Development and Biotechnology. CRC Press. New York. Hartini, S Konservasi ex-situ temu ireng (Curcuma aeruginosa Roxb.) di Kebun Raya Bogor. Warta Tumb. Obat Indonesia 7:1-5. Hoesen, D. S. H., F. Syarif dan Witjaksono Pembentukan dan pertumbuhan tunas temu ireng (Curcuma aeruginosa Roxb.) secara in vitro. Warta Tumb. Obat Indonesia 7:24-26 Murashige, T. and F. Skoog A Revised Medium for Rapid Growth and Bioassays with Tobacco Tissue. Pev. Plant Physiol. 15: Mustikawati, I Pengaruh Media Tumbuh dan Frekuensi Pemberian Pupuk Daun Terhadap Pertumbuhan Bibit Nenas (Ananas comosus (L.) Merr.) Selama Aklimatisasi. Skripsi. Program Studi Pemuliaan Tanaman dan Teknologi Benih. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 40 hal. Rachmatullah Pembesaran Plantlet Anggrek Dendrobium Kanayao Secara In Vitro dan Perlakuan Media Aklimatisasi. Skripsi. Program Studi Hortikultura. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 48 hal. Riansyah, R. S Multiplikasi Tunas Kunyit (Curcuma domestica Val.) Secara In Vitro. Skripsi. Program Studi Hortikultura. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 41 hal. Rusnanda, Y Pengaruh Konsentrasi BAP dan Sukrosa Terhadap Multiplikasi Tunas Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) Secara In Vitro. Skripsi. Program Studi Hortikultura. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 39 hal. Russell, R. S Plant Root Systems: Their Function and Interaction With The Soil. McGraw Hill Book Company. London. 298 p. Sangat, H. M Pengamatan awal etnobotani temu ireng. Warta Tumb. Obat Indonesia 7:33-35 Siringo-ringo, R. C. H. S Penggunaan Komposisi Media Dasar dan BAP Untuk Induksi Organogenesis Anthurium Wave of Love (Anthurium plowmanii) Secara In Vitro. Skripsi. Program Studi Pemuliaan Tanaman dan Teknologi Benih. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 52 hal. Soepardi, G Sifat dan Ciri Tanah. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 558 hal. 39

53 Soffee, R. J Primrose McConnell s : The Agricultural Notebook. Blackwell Science. Cambridge. 646 p. Wattimena, G. A Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor. Bogor. 146 hal. Wattimena, G.A., L.W. Gunawan, N.A. Mattjik, E. Syamsudin, N. M. A. Wiendi, A. Ernawati Bioteknologi Tanaman. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 310 hal. Wetter, L. R., dan F. Constabel Metode Kultur Jaringan Tanaman. M. B. Widianto (Penerjemah). Penerbit ITB Bandung. Bandung. 192 hal. Terjemahan dari: Plant Tissue Culture Methods. 40 Widiyaningsih, R Pengaruh Konsentrasi NAA dan 2-ip Terhadap Multiplikasi Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Secara In Vitro. Skripsi. Program Studi Hortikultura. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Yuwono, T Bioteknologi Pertanian. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 284 hal.

54 LAMPIRAN

55 42 Lampiran 1. Komposisi Media Dasar MS, ½ MS, dan Hyponex Larutan Stok Bahan Kimia Konsentrasi Dalam Media Dasar (mg/l) MS ½ MS Hyponex Hara Makro NH 4 NO CaCl 2. 2H 2 O MgSO 4. 7H 2 O KNO KH 2 PO Hara Mikro H 3 BO CoCl 2. 6H 2 O CuSO 4. 5H 2 O Na 2 EDTA FeSO 4. 7H 2 O MnSO 4. H 2 O KI Na 2 MoO 4. 2H 2 O ZnSO 4. 7H 2 O Bahan Organik Myo-inositol Glycine Nicotinic acid Pyridoxine HCl Thiamin HCl Gula Pupuk Majemuk Hyponex Sumber : Murashige and Skoog (1962) Lampiran 2. Kandungan Pupuk Majemuk Hyponex ( ) Unsur Hara Makro Unsur Hara Mikro Nitrogen [N] (25 %) Tembaga [Cu] --- Nitrat (4.5 %) Boron [B] --- Urea (20.5 %) Mangan [Mn] Phosphoric Acid P 2 O 5 (5 %) Molybdenum [Mo] Soluble Potash K 2 O (20 %) Kobalt [Co] Belerang [S] Besi [Fe bentuk kelat] Magnesium [Mg] Seng [Zn] Kalsium [Ca] Sumber : The Hyponex Company, Inc.

56 43 Lampiran 3. Analisis Biaya Bahan Dasar Pembuatan Media Dasar MS No Nama Bahan Pemakaian Satuan Harga/satuan (Rupiah) Harga/Liter Media (Rupiah) Stok Hara Makro MS 1 NH 4 NO gram 813, ,77 2 CaCl 2. 2H 2 O gram 800,80 266,03 3 MgSO 4. 7H 2 O 0.37 gram 977,60 361,71 4 KNO gram 865, ,02 5 KH 2 PO gram 1 336,40 227,19 Stok Hara Mikro MS 6 H 3 BO gram 800,80 4,96 7 CoCl 2. 6H 2 O gram ,00 0,55 8 CuSO 4. 5H 2 O gram 1 773,20 0,04 9 Na 2 EDTA gram 4 615,00 172,14 10 FeSO 4. 7H 2 O gram 865,80 24,07 11 MnSO 4. H 2 O gram 1 528,80 25,84 12 KI gram 3 348,80 2,78 13 Na 2 MoO 4. 2H 2 O gram 7 436,00 1,86 14 ZnSO 4. 7H 2 O gram 936,00 8,05 Bahan Organik 15 Myo-inositol 0.1 gram 9 620, Glycine gram 2 652,00 5,30 17 Nicotinic acid gram 7 722,00 3,86 18 Pyridoxine HCl gram ,00 93,34 19 Thiamin HCl gram ,00 2,27 20 Sukrosa/Gula 3 gram 452, ,76 Bahan Pemadat 21 Agar-agar 8 gram 214, ,32 Pelarut 22 Akuades 2 liter 1 500, ,00 Total Biaya ,86 Sumber : PT Merck Tbk

57 44 Lampiran 4. Analisis Biaya Bahan Dasar Pembuatan Media Dasar ½ MS No Nama Bahan Pemakaian Satuan Harga/satuan (Rupiah) Harga/Liter Media (Rupiah) Stok Hara Makro MS 1 NH 4 NO gram 813,80 671,39 2 CaCl 2. 2H 2 O gram 800,80 133,01 3 MgSO 4. 7H 2 O gram 977,60 180,86 4 KNO gram 865,80 822,51 5 KH 2 PO gram 1 336,40 113,59 Stok Hara Mikro MS 6 H 3 BO gram 800,80 4,96 7 CoCl 2. 6H 2 O gram ,00 0,55 8 CuSO 4. 5H 2 O gram 1 773,20 0,04 9 Na 2 EDTA gram 4 615,00 172,14 10 FeSO 4. 7H 2 O gram 865,80 24,07 11 MnSO 4. H 2 O gram 1 528,80 25,84 12 KI gram 3 348,80 2,78 13 Na 2 MoO 4. 2H 2 O gram 7 436,00 1,86 14 ZnSO 4. 7H 2 O gram 936,00 8,05 Bahan Organik 15 Myo-inositol 0.1 gram 9 620, Glycine gram 2 652,00 5,30 17 Nicotinic acid gram 7 722,00 3,86 18 Pyridoxine HCl gram ,00 93,34 19 Thiamin HCl gram ,00 2,27 20 Sukrosa/Gula 3 gram 452, ,76 Bahan Pemadat 21 Agar-agar 8 gram 214, ,32 Pelarut 22 Akuades 2 liter 1 500, ,00 Total Biaya 9 301,50 Sumber : PT Merck Tbk

58 45 Lampiran 5. Analisis Biaya Bahan Dasar Pembuatan Media Dasar Hyponex No Nama Bahan Pemakaian Satuan Harga/satuan (Rupiah) Harga/Liter Media (Rupiah) Pupuk Majemuk 1 Hyponex ( ) 3 gram 250,00 750,00 Stok Hara Mikro MS 2 H 3 BO gram 800,80 4,96 3 CoCl 2. 6H 2 O gram ,00 0,55 4 CuSO 4. 5H 2 O gram 1 773,20 0,04 5 Na 2 EDTA gram 4 615,00 172,14 6 FeSO 4. 7H 2 O gram 865,80 24,07 7 MnSO 4. H 2 O gram 1 528,80 25,84 8 KI gram 3 348,80 2,78 9 Na 2 MoO 4. 2H 2 O gram 7 436,00 1,86 10 ZnSO 4. 7H 2 O gram 936,00 8,05 Bahan Organik 11 Myo-inositol 0.1 gram 9 620, Glycine gram 2 652,00 5,30 13 Nicotinic acid gram 7 722,00 3,86 14 Pyridoxine HCl gram ,00 93,34 15 Thiamin HCl gram ,00 2,27 16 Sukrosa/Gula 3 gram 452, ,76 Bahan Pemadat 17 Agar-agar 8 gram 214, ,32 Pelarut 18 Akuades 2 liter 1 500, ,00 Total Biaya 8 130,14 Sumber : PT Merck Tbk

59 46 Lampiran 6. Sidik Ragam Jumlah Tunas Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) pada Kultur In Vitro SK Db F Hit Pr > F 1 MST Media BAP Media*BAP Galat 84 KK : MST Media BAP Media*BAP Galat 84 KK : MST Media BAP Media*BAP Galat 84 KK : MST Media BAP Media*BAP Galat 84 KK : MST Media BAP Media*BAP Galat 84 KK : MST Media BAP Media*BAP Galat 84 KK : MST Media BAP Media*BAP Galat 84 KK : MST Media BAP Media*BAP Galat 84 KK : Keterangan : data merupakan hasil transformasi rumus ( x + 0.5) 0. 5 MST = Minggu Setelah Tanam SK = Sumber Keragaman KK = Koefisien Keragaman (%)

60 47 Lampiran 7. Sidik Ragam Tinggi Tunas Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) pada Kultur In Vitro Peubah SK Db F Hit Pr > F Tinggi Tunas Media BAP Media*BAP Galat 84 KK : Keterangan : data merupakan hasil transformasi rumus ( x + 0.5) 0. 5 MST = Minggu Setelah Tanam SK = Sumber Keragaman KK = Koefisien Keragaman (%)

61 48 Lampiran 8. Sidik Ragam Jumlah Daun Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) pada Kultur In Vitro SK Db F Hit Pr > F 1 MST Media BAP Media*BAP Galat 84 KK : MST Media BAP Media*BAP Galat 84 KK : MST Media BAP Media*BAP Galat 84 KK : MST Media BAP Media*BAP Galat 84 KK : MST Media BAP Media*BAP Galat 84 KK : MST Media BAP Media*BAP Galat 84 KK : MST Media BAP Media*BAP Galat 84 KK : MST Media BAP Media*BAP Galat 84 KK : Keterangan : data merupakan hasil transformasi rumus ( x + 0.5) 0. 5 MST = Minggu Setelah Tanam SK = Sumber Keragaman KK = Koefisien Keragaman (%)

62 49 Lampiran 9. Sidik Ragam Warna Daun Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) pada Kultur In Vitro SK Db F Hit Pr > F 4 MST Media BAP Media*BAP Galat 84 KK : MST Media BAP Media*BAP Galat 84 KK : MST Media BAP Media*BAP Galat 84 KK : MST Media BAP Media*BAP Galat 84 KK : MST Media BAP Media*BAP Galat 84 KK : Keterangan : data merupakan hasil transformasi rumus ( x + 0.5) 0. 5 MST = Minggu Setelah Tanam SK = Sumber Keragaman KK = Koefisien Keragaman (%)

63 Lampiran 10. Sidik Ragam Panjang Akar dan Jumlah Akar Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) pada Kultur In Vitro Peubah SK Db F Hit Pr > F Panjang Akar Media BAP Media*BAP Galat 84 KK : Jumlah Akar Media BAP Media*BAP Galat 84 KK : Keterangan : data merupakan hasil transformasi rumus ( x + 0.5) 0. 5 MST = Minggu Setelah Tanam SK = Sumber Keragaman KK = Koefisien Keragaman (%) 50 Lampiran 11. Uji Lanjut Kontras Ortogonal Pengaruh Komposisi Media Dasar Terhadap Warna Daun Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) pada Kultur In Vitro MST Perbandingan Jenis Media MS & ½ MS vs Hyponex MS vs ½ MS 5 ** tn 6 ** tn 7 ** tn 8 ** tn Keterangan : tn = tidak berbeda nyata pada taraf 5 % (P>0.05) * = berbeda nyata pada taraf 5 % (P<0.05) ** = sangat berbeda nyata pada taraf 1 % (P<0.01)

64 51 a b c d Lampiran 12. Keragaan Tunas Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) sebelum Aklimatisasi. (a) MS + BAP 0.0 ppm (b) MS + BAP 1.5 ppm (c) MS + BAP 3.0 ppm (d) MS + BAP 4.5 ppm a b c d Lampiran 13. Keragaan Tunas Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) sebelum Aklimatisasi. (a) ½ MS + BAP 0.0 ppm (b) ½ MS + BAP 1.5 ppm (c) ½ MS + BAP 3.0 ppm (d) ½ MS + BAP 4.5 ppm

65 52 a b c d Lampiran 14. Keragaan Tunas Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) sebelum Aklimatisasi. (a) Hyponex + BAP 0.0 ppm (b) Hyponex + BAP 1.5 ppm (c) Hyponex + BAP 3.0 ppm (d) Hyponex + BAP 4.5 ppm Lampiran 15. Kondisi dan Penampilan Plantlet Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) pada seluruh Kombinasi Perlakuan saat 5 MSA

66 Lampiran 16. Serangan Cendawan pada Media Tanam Aklimatisasi (ditunjukkan oleh anak panah) 53

BAHA DA METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHA DA METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHA DA METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dimulai

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian 14 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2009 sampai dengan bulan Juni 2011 di Laboratorium Kultur Jaringan Kelompok Peneliti Biologi Sel dan Jaringan, Balai

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 22 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari 2010 sampai dengan Pebruari 2011. Tempat pelaksanaan kultur jaringan tanaman adalah di Laboratorium Kultur Jaringan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2010 sampai dengan bulan Oktober 2010 di Laboraturium Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat 17 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Perlakuan iradiasi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari 2009 sampai dengan bulan Agustus 2009 di Laboratorium Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 26 A. Jenis Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Jenis Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen. Penelitian eksperimen merupakan metode penelitian yang digunakan untuk mengetahui pengaruh

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini dilakukan dalam dua tahapan pelaksanaan, yaitu tahap kultur in vitro dan aklimatisasi. Tahap kultur in vitro dilakukan di dalam Laboratorium Kultur Jaringan

Lebih terperinci

PENGGUNAAN KOMPOSISI MEDIA DASAR DAN BAP UNTUK INDUKSI ORGANOGENESIS ANTHURIUM WAVE OF LOVE (Anthurium plowmanii) SECARA IN VITRO

PENGGUNAAN KOMPOSISI MEDIA DASAR DAN BAP UNTUK INDUKSI ORGANOGENESIS ANTHURIUM WAVE OF LOVE (Anthurium plowmanii) SECARA IN VITRO PENGGUNAAN KOMPOSISI MEDIA DASAR DAN BAP UNTUK INDUKSI ORGANOGENESIS ANTHURIUM WAVE OF LOVE (Anthurium plowmanii) SECARA IN VITRO Oleh Riyanti Catrina Helena Siringo ringo A34404062 PROGRAM STUDI PEMULIAAN

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dimulai pada bulan

BAHAN DAN METODE. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dimulai pada bulan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Fakultas Pertanian, Medan. Penelitian ini dimulai pada bulan Maret 2010 sampai dengan Juni 2010.

Lebih terperinci

GAHARU. Dr. Joko Prayitno MSc. Balai Teknologi Lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

GAHARU. Dr. Joko Prayitno MSc. Balai Teknologi Lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Kuliah 11 KULTUR JARINGAN GAHARU Dr. Joko Prayitno MSc. Balai Teknologi Lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi KULTUR JARINGAN Apa yang dimaksud dengan kultur jaringan? Teknik menumbuhkan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PEELITIA 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Balai Pengkajian Bioteknologi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Serpong, Tangerang. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Kelompok Peneliti Biologi Sel dan Jaringan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanaman, Jurusan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanaman, Jurusan 22 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanaman, Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung, Bandar Lampung. Penelitian

Lebih terperinci

IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Air leri merupakan bahan organik dengan kandungan fosfor, magnesium

IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Air leri merupakan bahan organik dengan kandungan fosfor, magnesium IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Air leri merupakan bahan organik dengan kandungan fosfor, magnesium dan vitamin B1 yang efektif bila dimanfaatkan sebagai bahan tambahan pada proses perbanyakan tanaman

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan Tanaman dan Media

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan Tanaman dan Media BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dalam kelas Liliopsida yang merupakan salah satu tumbuhan berbunga lidah dari

TINJAUAN PUSTAKA. dalam kelas Liliopsida yang merupakan salah satu tumbuhan berbunga lidah dari TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Menurut Jones dan Luchsinger (1979), tumbuhan anggrek termasuk ke dalam kelas Liliopsida yang merupakan salah satu tumbuhan berbunga lidah dari sekian banyak tumbuhan berbunga

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dimulai

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan tempat 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Penelitian pendahuluan

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan tempat 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Penelitian pendahuluan 12 menjadi planlet/tanaman. Hormon NAA cenderung menginduksi embrio somatik secara langsung tanpa pembentukan kalus. Embrio somatik yang dihasilkan lebih normal dan mudah dikecambahkan menjadi planlet/tanaman,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. bersifat eksperimen karena pada penelitian menggunakan kontrol yaitu

BAB III METODE PENELITIAN. bersifat eksperimen karena pada penelitian menggunakan kontrol yaitu 30 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan termasuk ke dalam penelitian yang bersifat eksperimen karena pada penelitian menggunakan kontrol yaitu pada medium Murashige-Skoog

Lebih terperinci

Kultur Jaringan Menjadi Teknologi yang Potensial untuk Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jambu Mete Di Masa Mendatang

Kultur Jaringan Menjadi Teknologi yang Potensial untuk Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jambu Mete Di Masa Mendatang AgroinovasI Kultur Jaringan Menjadi Teknologi yang Potensial untuk Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jambu Mete Di Masa Mendatang Tanaman jambu mete (Anacardium occidentale. L.) merupakan salah satu tanaman

Lebih terperinci

Pembuatan Larutan Stok, Media Kultur Dan Sterilisasi Alat Kultur Jaringan Tumbuhan. Nikman Azmin

Pembuatan Larutan Stok, Media Kultur Dan Sterilisasi Alat Kultur Jaringan Tumbuhan. Nikman Azmin Pembuatan Larutan Stok, Media Kultur Dan Sterilisasi Alat Kultur Nikman Azmin Abstrak; Kultur jaringan menjadi teknologi yang sangat menentukan keberhasilan dalam pemenuhan bibit. Kultur jaringan merupakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kultur Jaringan Tanaman Eksplan

TINJAUAN PUSTAKA Kultur Jaringan Tanaman Eksplan TINJAUAN PUSTAKA Kultur Jaringan Tanaman Kultur in vitro merupakan suatu budidaya dalam botol. Salah satu kegiatan dalam kultur in vitro adalah kultur jaringan yaitu budidaya in vitro yang menggunakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 17 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Institut Pertanian Bogor (PPLH IPB) dari bulan Oktober

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Lampiran 1. Persentase Data Pengamatan Kultur yang Membentuk Kalus. Ulangan I II III. Total A 0 B

LAMPIRAN. Lampiran 1. Persentase Data Pengamatan Kultur yang Membentuk Kalus. Ulangan I II III. Total A 0 B LAMPIRAN Lampiran 1. Persentase Data Pengamatan Kultur yang Membentuk Kalus Ulangan I II III Total A 0 B 0 0 0 0 0 A 0 B 1 0 0 0 0 A 0 B 2 0 0 0 0 A 0 B 3 0 0 0 0 A 1 B 0 1 1 1 3 A 1 B 1 1 1 1 3 A 1 B

Lebih terperinci

3 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat

3 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat 15 Tabel 8 Daftar komposisi media pada kultur mangga Komponen A B C D E Unsur makro ½ MS B5 B5 B5 ½B5 Unsur mikro MS MS MS MS MS Fe-EDTA ½MS MS MS MS MS Vitamin dan asam amino MS MS MS MS MS Asam askorbat

Lebih terperinci

RESPON PERTUMBUHAN MERISTEM KENTANG (Solanum tuberosuml) TERHADAP PENAMBAHAN NAA DAN EKSTRAK JAGUNG MUDA PADA MEDIUM MS

RESPON PERTUMBUHAN MERISTEM KENTANG (Solanum tuberosuml) TERHADAP PENAMBAHAN NAA DAN EKSTRAK JAGUNG MUDA PADA MEDIUM MS 1 RESPON PERTUMBUHAN MERISTEM KENTANG (Solanum tuberosuml) TERHADAP PENAMBAHAN NAA DAN EKSTRAK JAGUNG MUDA PADA MEDIUM MS Nurhafni Pembimbing : Dra. Yusmanidar Arifin, M. Si dan Milda Ernita, S. Si. MP

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. eksplan hidup, persentase eksplan browning, persentase eksplan kontaminasi,

HASIL DAN PEMBAHASAN. eksplan hidup, persentase eksplan browning, persentase eksplan kontaminasi, IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan terhadap proses induksi akar pada eksplan dilakukan selama 12 minggu. Pengamatan dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan dan pengaruh pada setiap perlakuan yang diberikan.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Secara umumm planlet anggrek Dendrobium lasianthera tumbuh dengan baik dalam green house, walaupun terdapat planlet yang terserang hama kutu putih Pseudococcus spp pada

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 26 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan 3, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB selama sembilan minggu sejak Februari hingga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pisang Barangan (Musa acuminata L.) Pisang adalah nama umum yang diberikan pada tumbuhan terna raksasa berdaun besar memanjang dari suku Musaceae. Beberapa jenisnya seperti

Lebih terperinci

Tabel 1. Kombinasi Perlakuan BAP dan 2,4-D pada Percobaan Induksi Mata Tunas Aksilar Aglaonema Pride of Sumatera Secara In Vitro

Tabel 1. Kombinasi Perlakuan BAP dan 2,4-D pada Percobaan Induksi Mata Tunas Aksilar Aglaonema Pride of Sumatera Secara In Vitro 11 agar. Zat pengatur tumbuh yang digunakan antara lain sitokinin (BAP dan BA) dan auksin (2,4-D dan NAA). Bahan lain yang ditambahkan pada media yaitu air kelapa. Bahan untuk mengatur ph yaitu larutan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dracaena adalah tanaman yang tumbuh tegak dengan bentuk batang bulat dan

TINJAUAN PUSTAKA. Dracaena adalah tanaman yang tumbuh tegak dengan bentuk batang bulat dan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi dan Taksonomi Tanaman Dracaena Dracaena adalah tanaman yang tumbuh tegak dengan bentuk batang bulat dan beruas-ruas. Daun dracaena berbentuk tunggal, tidak bertangkai,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Anggrek, Kebun Raya Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2010 hingga Juni 2011. Bahan dan Alat

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM KULTUR JARINGAN TANAMAN

LAPORAN PRAKTIKUM KULTUR JARINGAN TANAMAN LAPORAN PRAKTIKUM KULTUR JARINGAN TANAMAN MULTIPLIKASI TUNAS DARI TUNAS IN VITRO (TANAMAN ANGGREK DAN KRISAN) Disusun Oleh : Puji Hanani 4411413023 JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan studi pembiakan in vitro tanaman pisang yang terdiri

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan studi pembiakan in vitro tanaman pisang yang terdiri III. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan studi pembiakan in vitro tanaman pisang yang terdiri dari 2 percobaan yaitu: 1. Pengaruh konsentrasi BA dan varietas pisang (Ambon Kuning dan Raja Bulu)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis yang mempunyai keanekaragaman tanaman hortikultura meliputi tanaman buah, tanaman sayuran dan tanaman hias. Menurut Wijaya (2006), Indonesia

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca, Fakultas Pertanian, Universitas

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca, Fakultas Pertanian, Universitas 23 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung, Kampus Gedung Meneng, Bandar Lampung pada bulan Desember 2013

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan lain-lain. Selain itu, kencur juga dapat digunakan sebagai salah satu bumbu

BAB I PENDAHULUAN. dan lain-lain. Selain itu, kencur juga dapat digunakan sebagai salah satu bumbu 15 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kencur merupakan tanaman tropis yang cocok untuk dibudidayakan diberbagai daerah di Indonesia. Rimpang tanaman kencur dapat digunakan sebagai ramuan obat tradisional

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L) telah dilaksanakan di

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L) telah dilaksanakan di 22 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pengaruh Auksin (2,4 D) Dan Air Kelapa Terhadap Induksi Kalus Pada Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L) telah dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Universitas

Lebih terperinci

Tugas Akhir - SB091358

Tugas Akhir - SB091358 Tugas Akhir - SB091358 EFEKTIVITAS META-TOPOLIN DAN NAA TERHADAP PERTUMBUHAN IN VITRO STROBERI (Fragaria ananassa var. DORIT) PADA MEDIA MS PADAT DAN KETAHANANNYA DI MEDIA AKLIMATISASI Oleh Silvina Resti

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. berbagai macam tanaman hias. Pengembangan komoditi tanaman hias dilakukan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. berbagai macam tanaman hias. Pengembangan komoditi tanaman hias dilakukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki kondisi yang memenuhi persyaratan bagi pertumbuhan berbagai macam tanaman hias. Pengembangan komoditi tanaman hias dilakukan atas berbagai pertimbangan

Lebih terperinci

RESPONS PERTUMBUHAN TANAMAN ANGGREK (Dendrobium sp.) TERHADAP PEMBERIAN BAP DAN NAA SECARA IN VITRO

RESPONS PERTUMBUHAN TANAMAN ANGGREK (Dendrobium sp.) TERHADAP PEMBERIAN BAP DAN NAA SECARA IN VITRO RESPONS PERTUMBUHAN TANAMAN ANGGREK (Dendrobium sp.) TERHADAP PEMBERIAN BAP DAN NAA SECARA IN VITRO ABSTRAK Ernitha Panjaitan Staf Pengajar Fakultas Pertanian UMI Medan Percobaan untuk mengetahui respons

Lebih terperinci

REGENERASI TANAMAN SENGON (Albizia falcataria) MELALUI MULTIPLIKASI TUNAS AKSILAR DENGAN PENGGUNAAN KOMBINASI ZPT DAN AIR KELAPA SKRIPSI.

REGENERASI TANAMAN SENGON (Albizia falcataria) MELALUI MULTIPLIKASI TUNAS AKSILAR DENGAN PENGGUNAAN KOMBINASI ZPT DAN AIR KELAPA SKRIPSI. REGENERASI TANAMAN SENGON (Albizia falcataria) MELALUI MULTIPLIKASI TUNAS AKSILAR DENGAN PENGGUNAAN KOMBINASI ZPT DAN AIR KELAPA SKRIPSI Oleh: RAHADI PURBANTORO NPM : 0825010009 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Induk Hortikultura Gedung Johor Medan. Penelitian ini dimulai pada bulan

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Induk Hortikultura Gedung Johor Medan. Penelitian ini dimulai pada bulan BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan UPT. Benih Induk Hortikultura Gedung Johor Medan. Penelitian ini dimulai pada bulan November

Lebih terperinci

PENGARUH KONSENTRASI IAA, IBA, BAP, DAN AIR KELAPA TERHADAP PEMBENTUKAN AKAR POINSETTIA (Euphorbia pulcherrima Wild Et Klotzch) IN VITRO

PENGARUH KONSENTRASI IAA, IBA, BAP, DAN AIR KELAPA TERHADAP PEMBENTUKAN AKAR POINSETTIA (Euphorbia pulcherrima Wild Et Klotzch) IN VITRO PENGARUH KONSENTRASI IAA, IBA, BAP, DAN AIR KELAPA TERHADAP PEMBENTUKAN AKAR POINSETTIA (Euphorbia pulcherrima Wild Et Klotzch) IN VITRO Oleh : Pratiwi Amie Pisesha (A34303025) DEPARTEMEN AGRONOMI DAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Eksplorasi Eksplan Terubuk

HASIL DAN PEMBAHASAN Eksplorasi Eksplan Terubuk 22 HASIL DAN PEMBAHASAN Eksplorasi Eksplan Terubuk Bahan tanam awal (eksplan) merupakan salah satu faktor penting dalam keberhasilan perbanyakan tanaman secara in vitro. Eksplan yang baik untuk digunakan

Lebih terperinci

PENGGUNAAN IAA DAN BAP UNTUK MENSTIMULASI ORGANOGENESIS TANAMAN Anthurium andreanum DALAM KULTUR IN VITRO

PENGGUNAAN IAA DAN BAP UNTUK MENSTIMULASI ORGANOGENESIS TANAMAN Anthurium andreanum DALAM KULTUR IN VITRO PENGGUNAAN IAA DAN BAP UNTUK MENSTIMULASI ORGANOGENESIS TANAMAN Anthurium andreanum DALAM KULTUR IN VITRO Oleh : SITI SYARA A34301027 PROGRAM STUDI HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Botani Tanaman Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit disebut dengan nama latin Elaeis guineensis Jacq. Elaeis berasal dari Elaion yang dalam bahasa Yunani berarti minyak. Guineensis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kenaf (Hibiscus cannabinus L.)

TINJAUAN PUSTAKA. Kenaf (Hibiscus cannabinus L.) TINJAUAN PUSTAKA Kenaf (Hibiscus cannabinus L.) Tanaman ini merupakan tanaman herba semusim dengan tipe pertumbuhan semak berbentuk semak tegak (Balittas 1996). Kenaf termasuk kedalam famili Malvaceae

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kg, Papua sebanyak 7000 kg dan Yogyakarta sebanyak 2000 kg. Faktor yang

BAB I PENDAHULUAN. kg, Papua sebanyak 7000 kg dan Yogyakarta sebanyak 2000 kg. Faktor yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Indonesia, terdapat sekitar 31 jenis tanaman obat digunakan sebagai bahan baku industri obat tradisional (jamu), industri non jamu, dan bumbu, serta untuk kebutuhan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan / Ilmu Tanaman Fakultas

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan / Ilmu Tanaman Fakultas III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan / Ilmu Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Penelitian dilaksanakan mulai Maret 2013

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Anggrek Tebu (Grammatophyllum speciosum) Anggrek tebu (Grammatophyllum speciosum) merupakan anggrek yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Anggrek Tebu (Grammatophyllum speciosum) Anggrek tebu (Grammatophyllum speciosum) merupakan anggrek yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Anggrek Tebu (Grammatophyllum speciosum) Anggrek tebu (Grammatophyllum speciosum) merupakan anggrek yang diyakni merupakan anggrek terbesar yang pernah ada. Anggrek ini tersebar

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN A.

III. METODE PENELITIAN A. 13 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Oktober 2015 sampai bulan Februari 2016 yang bertempat di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan dan Bioteknologi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tanaman karet merupakan komoditi perkebunan yang penting dalam

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tanaman karet merupakan komoditi perkebunan yang penting dalam 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman karet merupakan komoditi perkebunan yang penting dalam industri otomotif dan merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memberikan sumbangan besar bagi perekonomian

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. 1. Percobaan 1: Pengaruh konsentrasi 2,4-D terhadap proliferasi kalus.

III. BAHAN DAN METODE. 1. Percobaan 1: Pengaruh konsentrasi 2,4-D terhadap proliferasi kalus. 18 III. BAHAN DAN METODE 3.1 STUDI 1: REGENERASI TANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) DARI KALUS YANG TIDAK DIIRADIASI SINAR GAMMA Studi ini terdiri dari 3 percobaan yaitu : 1. Percobaan 1: Pengaruh

Lebih terperinci

INDUKSI MUTASI KROMOSOM DENGAN KOLKISIN PADA TANAMAN STEVIA (Stevia rebaudiana Bertoni) KLON ZWEETENERS SECARA IN VITRO

INDUKSI MUTASI KROMOSOM DENGAN KOLKISIN PADA TANAMAN STEVIA (Stevia rebaudiana Bertoni) KLON ZWEETENERS SECARA IN VITRO INDUKSI MUTASI KROMOSOM DENGAN KOLKISIN PADA TANAMAN STEVIA (Stevia rebaudiana Bertoni) KLON ZWEETENERS SECARA IN VITRO Oleh: ASEP RODIANSAH A34302032 PROGRAM STUDI HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Prosedur Kerja Persiapan Bibit Tumih

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Prosedur Kerja Persiapan Bibit Tumih BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Lingkungan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Institut Pertanian Bogor (PPLH IPB). Penelitian ini

Lebih terperinci

PEMBUATAN MEDIA KULTUR JARINGAN TANAMAN

PEMBUATAN MEDIA KULTUR JARINGAN TANAMAN Laporan Pratikum Dasar-Dasar Bioteknologi Tanaman Topik 1 PEMBUATAN MEDIA KULTUR JARINGAN TANAMAN Oleh : Arya Widura Ritonga ( A24051682 ) Agronomi dan Hortikultura 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kultur

Lebih terperinci

III. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur In vitro Fakultas

III. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur In vitro Fakultas III. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur In vitro Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, pada Bulan November 2015 hingga

Lebih terperinci

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. hidup, terkontaminasi dan eksplan Browning. Gejala kontaminasi yang timbul

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. hidup, terkontaminasi dan eksplan Browning. Gejala kontaminasi yang timbul IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Keberhasilan suatu penelitian kultur in vitro dipengaruhi oleh eksplan yang hidup, terkontaminasi dan eksplan Browning. Gejala kontaminasi yang timbul dapat dicirikan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Temulawak merupakan tanaman obat berupa tumbuhan rumpun berbatang semu. Tanaman temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.),

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE. Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Teknologi

BAB III BAHAN DAN METODE. Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Teknologi BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Percobaan Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Teknologi Benih, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Jatinangor. Penelitian dilakukan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan krisan dalam sistematika tumbuhan (Holmes,1983)

TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan krisan dalam sistematika tumbuhan (Holmes,1983) TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Kedudukan krisan dalam sistematika tumbuhan (Holmes,1983) diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Plantae Subkingdom : Spermatophyta Superdivisio : Angiospermae Divisio

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. 1. Pengaruh konsentrasi benziladenin dengan dan tanpa thidiazuron terhadap

III. BAHAN DAN METODE. 1. Pengaruh konsentrasi benziladenin dengan dan tanpa thidiazuron terhadap III. BAHAN DAN METODE Penelitian ini terdiri atas 2 percobaan, yaitu: 1. Pengaruh konsentrasi benziladenin dengan dan tanpa thidiazuron terhadap multiplikasi tunas pisang Kepok Kuning (genom ABB) eksplan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pisang merupakan salah satu jenis tanaman asal Asia Tenggara yang kini sudah tersebar luas ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Tanaman pisang memiliki ciri spesifik

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan 13 I. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan dan Bioteknologi Fakultas Pertanian Univeristas Sebelas Maret Surakarta mulai bulan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium UPT BBI (Balai Benih Induk) Jl.

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium UPT BBI (Balai Benih Induk) Jl. III. BAHA DA METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium UPT BBI (Balai Benih Induk) Jl. Jendral Besar Dr. Abdul Haris asution Gedung Johor Medan Sumatera Utara, selama

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jack.) Kelapa sawit merupakan tanaman yang berasal dari Nigeria di Afrika Barat, kemudian menyebar ke Amerika Selatan dan sampai kesemenanjung

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani, Penyebaran dan Manfaat Tanaman Jarak Pagar ( Jatropha curcas L.) Kultur Jaringan Tanaman

TINJAUAN PUSTAKA Botani, Penyebaran dan Manfaat Tanaman Jarak Pagar ( Jatropha curcas L.) Kultur Jaringan Tanaman 18 TINJAUAN PUSTAKA Botani, Penyebaran dan Manfaat Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Klasifikasi botani jarak pagar menurut Hambali et al. (2006) yaitu : Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur In Vitro Fakultas

TATA CARA PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur In Vitro Fakultas III. TATA CARA PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur In Vitro Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada bulan Januari April 2016.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. stroberi modern (komersial) dengan nama ilmiah Frageria x ananasa var

PENDAHULUAN. stroberi modern (komersial) dengan nama ilmiah Frageria x ananasa var PENDAHULUAN Latar belakang Tanaman stroberi telah dikenal sejak zaman Romawi, tetapi bukan jenis yang dikenal saat ini. Stroberi yang dibudidayakan sekarang disebut sebagai stroberi modern (komersial)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Pertumbuhan dan perkembangan stek pada awal penanaman sangat dipengaruhi oleh faktor luar seperti air, suhu, kelembaban dan tingkat pencahayaan di area penanaman stek.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis peleitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen. Penelitian eksperimen adalah metode penelitian yang dilakukan dengan memanipulasi objek penelitian

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan, Gedung

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan, Gedung 20 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan, Gedung Bioteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung dari Bulan November 2011

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Pelaksanaan Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Pelaksanaan Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Pelaksanaan Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mudah diperbanyak dan jangka waktu berbuah lebih panjang. Sedangkan

BAB I PENDAHULUAN. mudah diperbanyak dan jangka waktu berbuah lebih panjang. Sedangkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Perbanyakan tanaman dapat dilakukan dengan cara generatif dan vegetatif. Perbanyakan tanaman secara generatif biasanya dilakukan melalui biji dan mengalami penyerbukan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain

BAB III METODE PENELITIAN. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain eksperimen. Menurut Nasution (2009) desain eksperimen yaitu penelitian yang dilakukan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 10 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian dimulai pada bulan Maret

Lebih terperinci

in. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Fisiologi dan Kultur Jaringan

in. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Fisiologi dan Kultur Jaringan in. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Fisiologi dan Kultur Jaringan Balai Penelitian Sei Putih Medan Sumatra Utara. Penelitian ini dilaksanakan selama 4

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan di Indonesia merupakan sumber plasma nutfah yang sangat potensial

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan di Indonesia merupakan sumber plasma nutfah yang sangat potensial 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Indonesia dikenal sebagai negara dengan tingkat keanekaragaman sumber daya hayati yang tinggi, khususnya tumbuhan. Keanekaragaman genetik tumbuhan di

Lebih terperinci

BAB 3 BAHAN DAN METODA

BAB 3 BAHAN DAN METODA BAB 3 BAHAN DAN METODA 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai dengan Oktober 2007 di Laboratorium Kultur Jaringan Unit Pelaksana Teknis Balai Benih Induk Dinas Pertanian Sumatera

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan ZipcodeZoo.com (2012) klasifikasi tanaman. Boesenbergia flava Holttum adalah Kingdom: Plantae, Class: Magnoliopsida

TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan ZipcodeZoo.com (2012) klasifikasi tanaman. Boesenbergia flava Holttum adalah Kingdom: Plantae, Class: Magnoliopsida TINJAUAN PUSTAKA Berdasarkan ZipcodeZoo.com (2012) klasifikasi tanaman Boesenbergia flava Holttum adalah Kingdom: Plantae, Class: Magnoliopsida Ordo: Zingiberales, Family: Zingiberaceae, Genus: Boesenbergia,

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PERBANYAKAN BIBIT PISANG ABAKA DENGAN KULTUR JARINGAN DR IR WENNY TILAAR,MS

TEKNOLOGI PERBANYAKAN BIBIT PISANG ABAKA DENGAN KULTUR JARINGAN DR IR WENNY TILAAR,MS TEKNOLOGI PERBANYAKAN BIBIT PISANG ABAKA DENGAN KULTUR JARINGAN DR IR WENNY TILAAR,MS PENDAHULUAN. Kultur jaringan adalah suatu teknik untuk mengisolasi, sel, protoplasma, jaringan, dan organ dan menumbuhkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Jati Emas (Cordia subcordata) kultur in vitro dengan induk tanaman pada mulanya berasal dari Myanmar.

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Jati Emas (Cordia subcordata) kultur in vitro dengan induk tanaman pada mulanya berasal dari Myanmar. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Jati Emas (Cordia subcordata) Jati Emas (Cordia subcordata) merupakan bibit unggul hasil teknologi kultur in vitro dengan induk tanaman pada mulanya berasal dari Myanmar. Jati Emas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 17 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Lingkungan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Institut Pertanian Bogor (PPLH IPB) dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi Tanaman Anggrek Vanda tricolor Lindl. var. suavis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi Tanaman Anggrek Vanda tricolor Lindl. var. suavis 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Tanaman Anggrek Vanda tricolor Lindl. var. suavis Anggrek merupakan salah satu tanaman hias yang mempunyai bentuk dan penampilan yang indah (Iswanto, 2002). Tanaman

Lebih terperinci

APLIKASI TEKNIK TOPING PADA PERBANYAKAN BENIH PISANG (Musa paradisiaca L.) DARI BENIH ANAKAN DAN KULTUR JARINGAN. Oleh BURHANUDIN RABANI A

APLIKASI TEKNIK TOPING PADA PERBANYAKAN BENIH PISANG (Musa paradisiaca L.) DARI BENIH ANAKAN DAN KULTUR JARINGAN. Oleh BURHANUDIN RABANI A APLIKASI TEKNIK TOPING PADA PERBANYAKAN BENIH PISANG (Musa paradisiaca L.) DARI BENIH ANAKAN DAN KULTUR JARINGAN Oleh BURHANUDIN RABANI A24052715 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, Fakultas

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, Fakultas 21 III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari

Lebih terperinci

DAFTAR LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara

DAFTAR LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara DAFTAR LAMPIRAN Lampiran A. Komposisi Media MS (Murashige & Skoog) 1962 Bahan Kimia Konsentrasi Dalam Media (mg/l) Makro Nutrien NH 4 NO 3 1650,000 KNO 3 1900,000 CaCl 2. H 2 O 440,000 MgSO 4. 7H 2 O 370,000

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Kondisi lingkungan yang teramati selama aklimatisasi menunjukkan suhu rata-rata 30 o C dengan suhu minimum hingga 20 o C dan suhu maksimum mencapai 37 o C. Aklimatisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nanas merupakan tanaman buah berupa semak yang memiliki nama ilmiah Ananas comosus. Nanas berasal dari Brasilia (Amerika Selatan) yang telah didomestikasi sebelum masa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) tergolong dalam famili Graminae yaitu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) tergolong dalam famili Graminae yaitu 11 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Tanaman Tebu Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) tergolong dalam famili Graminae yaitu rumput-rumputan. Saccharum officinarum merupakan spesies paling penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anggrek yang mendominasi pasar adalah anggrek impor, yaitu Dendrobium dan

BAB I PENDAHULUAN. anggrek yang mendominasi pasar adalah anggrek impor, yaitu Dendrobium dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anggrek merupakan jenis tanaman hias yang digemari konsumen. Jenis anggrek yang mendominasi pasar adalah anggrek impor, yaitu Dendrobium dan Phalaenopsis dari Negara

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1.1 Pengaruh Pembentukan Kalus Pada Media MS Kombinasi ZPT BAP dan 2,4-D.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1.1 Pengaruh Pembentukan Kalus Pada Media MS Kombinasi ZPT BAP dan 2,4-D. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1 Pengaruh Pembentukan Kalus Pada Media MS Kombinasi ZPT BAP dan 2,4-D. Selama masa inkubasi, kalus mulai terlihat tumbuh pada minggu ke-5. Data hari tumbuhnya kalus seluruh

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 47 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa respons pertumbuuhan tertinggi diperoleh pada eksplan biji panili yang ditanam dalam medium tomat. Pada perlakuan tersebut persentase rata-rata

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat. diameter 12 cm dan panjang 28 cm, dan bahan-bahan lain yang mendukung

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat. diameter 12 cm dan panjang 28 cm, dan bahan-bahan lain yang mendukung BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat lebih kurang 25 meter di atas permukaan laut.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sintetis dan mulai beralih dengan mengkonsumsi obat-obatan herbal.

BAB I PENDAHULUAN. sintetis dan mulai beralih dengan mengkonsumsi obat-obatan herbal. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini masyarakat mulai faham akan efek samping dari penggunaan obatobatan sintetis dan mulai beralih dengan mengkonsumsi obat-obatan herbal. Sekarang, banyak dilakukan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial, yaitu penambahan konsentrasi

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial, yaitu penambahan konsentrasi BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial, yaitu penambahan konsentrasi fosfor dalam media kultur

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN BAP DAN NAA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN TUNAS MIKRO KANTONG SEMAR (Nepenthes mirabilis) SECARA IN VITRO

PENGARUH PEMBERIAN BAP DAN NAA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN TUNAS MIKRO KANTONG SEMAR (Nepenthes mirabilis) SECARA IN VITRO PENGARUH PEMBERIAN BAP DAN NAA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN TUNAS MIKRO KANTONG SEMAR (Nepenthes mirabilis) SECARA IN VITRO Oleh: YAYU ALITALIA A34304025 PROGRAM STUDI HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci