BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori kesesuaian kepribadian-pekerjaan (person job- fit) adalah milik dari

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS PENELITIAN. melakukan balas budi terhadap organisasi dengan bersikap dan berprilaku lebih

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Organizational Citizenship Behavior (OCB) Organizational Citizenship Behavior (OCB) pertama kali dipopulerkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Organizational Citizenship Behavior. Menurut Organ, Podsakoff, & MacKinzie (2006), organizational

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian OCB dan DOCB

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. berbeda. Cara pertama diajukan oleh Mowday, Porter, dan Steers, 1982;

BAB II KAJIAN PUSTAKA Organizational Citizenship Behavior (OCB) individu yang melebihi tuntutan peran di tempat kerja dan dihargai dengan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. organisasi tersebut (Mathis & Jackson, 2006). Menurut Velnampy (2013)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kepuasan kerja (job satisfaction) didefinisikan sebagai suatu perasaan positif

BAB II URAIAN TEORITIS. Pembahasan mengenai Organizational Citizenship Behavior (OCB)

BAB I PENDAHULUAN. Setiap organisasi memiliki berbagai tujuan. Untuk mencapai tujuannya,

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. pandangan karyawan ketika mereka telah diperlakukan dengan baik oleh

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Suatu perusahaan memiliki tujuan untuk mencapai keunggulan, baik

BAB II URAIAN TEORITIS. a. Komitmen Organisasi paling sering didefinisikan yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. SDM merupakan aset penting dalam suatu organisasi, karena merupakan sumber

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Organisasi ataupun perusahaan tidak akan dapat bertahan tanpa

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN TEORI. A. Organizational Citizenship Behavior (OCB) 1. Pengertian Organizational Citizenship Behavior (OCB)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dinamika kerja di lingkungan industri dan organisasi akhir-akhir ini selalu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Organizational Citizenship Behavior (OCB) OCB sebagai perilaku individual yang bersifat bebas (discretionary),

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS Pengertian Organizational Citizenship Behavior

BAB II LANDASAN TEORI. Komitmen karyawan terhadap organisasi merupakan suatu hubungan antara

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel. Variabel Tergantung : Organizational Citizenship Behavior. B. Definisi Operasional

BAB II LANDASAN TEORI. dan tujuan-tujuannya, serta berniat memelihara keanggotaan dalam organisasi

BAB II TINJAUN PUSTAKA. 1. Definisi Organizational Citizenship Behavior (OCB) dari deskripsi pekerjaan. (Organ, 2006).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Organizational Citizenship Behavior (OCB) Schultz (Prihatsanti, 2010) menyatakan bahwa OCB melibatkan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. dalam menyelesaikan tugas yang diberikan oleh perusahaan.

BAB. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. semakin kuat dan semakin ketat. Persaingan dalam dunia bisnis, ditandai dengan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. Teori yang melandasi penelitian ini adalah teori pertukaran sosial. Fung et

PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Teori pertukaran sosial menurut Staley dan Magner (2003) menyatakan

BAB I PENDAHULUAN. rapuh saat sumber daya yang dimilikinya tidak memiiki visi yang sama dalam

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Menurut Stephen P. (2002:135) Dalam suatu organisasi kepemimpinan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Intention to quit adalah kecenderungan atau niat karyawan untuk berhenti

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Pengertian Organizational Citizenship Behavior (OCB) adalah perilaku individu yang

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan adalah suatu organisasi yang memiliki tujuan tertentu yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Merriam Webster dalam (Zangaro, 2001), menyimpulkan definisi

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia (SDM) merupakan aset yang penting dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. habisnya. Didalam UU No.20/2003 tentang sistem pendidikan Nasional,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Komitmen Organisasi. Komitmen organisasi menurut Allen dan Meyer (1990), adalah keadaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Organizational Citizenship Behavior (OCB) 1. Definisi Organizational Citizenship Behavior

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan antara job..., Putriani Pradipta Utami Setiawan, FISIP Universitas UI, 2010 Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berbagai pengaruh lingkungan seperti lingkungan psikologis, pengaruh sosial,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sikap (attitude) adalah pernyataan evaluatif, baik yang menyenangkan

BAB I PENDAHULUAN. untuk berbenah diri untuk bisa menangkap peluang dan menyesuaikan diri dari

BAB II LANDASAN TEORI. Cascio (2003) mengungkapkan OCB sebagai perilaku kebijaksanaan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. Konsep tentang Locus of control pertama kali dikemukakan oleh Rotter

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hal yang sangat penting karena faktor manusia sangat berperan dalam

BAB I PENDAHULUAN. banyak hal, selain kualitas SDM, sistem dalam organisasi, prosedur

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia merupakan aset penting dalam suatu organisasi, karena

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah belum optimal.

BAB II LANDASAN TEORI. berkaitan dengan komitmen afektif dan budaya organisasi. karena mereka menginginkannya (Meyer dan Allen, 1997)

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pencapaian tujuan tersebut, perusahaan membutuhkan tenaga-tenaga

BAB I PENDAHULUAN. Menghadapi situasi dan kondisi di era globalisasi ini, perusahaan dituntut

BAB I PENDAHULUAN. tersebut berbentuk perusahaan. Perusahaan merupakan badan usaha yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Aldag dan Resckhe (1997), Organizational Citizenship Behavior

BAB I PENDAHULUAN. Sumber Daya Manusia yang baik (SDM), berkualitas dan potensial merupakan

BAB I PENDAHULUAN. sebuah kebutuhan yang cukup penting. Hal ini menjadikan industri jual beli

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. dan sasaran melalui sumber daya manusia atau manajemen bakat lainnya. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia sangat berperan dalam usaha organisasi dalam mencapai

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Komitmen Organisasi paling sering didefinisikan yaitu: 2. Keinginan untuk berusaha keras sesuai keinginan organisasi;

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Suatu perusahaan memiliki tujuan untuk mencapai keunggulan, baik

BAB I PENDAHULUAN. siap terhadap perubahan tersebut. Globalisasi ditandai dengan adanya keterbukaan

BAB 1 PENDAHULUAN. Sumber Daya Manusia (SDM) yang potensial menjadi kebutuhan organisasi atau

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sumber daya manusia yang kompetitif akan terlahir dari dunia

BAB I PENDAHULUAN. dinamis, sehingga semua organisasi atau perusahaan yang bergerak di

TINJAUAN PUSTAKA Organizational Citizenship Behavior

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Organizational Citizenship Behavior (OCB) Terdapat beberapa pengertian oleh para ahli mengenai Organizational

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang. Organisasi modern meyakini bahwa manusia merupakan faktor penting

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini dunia mengalami perubahan dengan begitu cepatnya. Perubahan

BAB I PENDAHULUAN. peran yang sangat penting disamping sumber-sumber daya lain yang dimiliki

BAB II KERANGKA TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB 2 KAJIAN TEORETIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pernah dilakukan sebelumnya untuk semakin memperkuat kebenaran empiris

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Teori yang melandasi penelitian ini adalah Social Exchange Theory. Fung

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi informasi di Indonesia yang saat ini semakin pesat memunculkan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Kinerja merupakan salah satu alat ukur kerja karyawan dalam sebuah

BAB II KAJIAN PUSTAKA,KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. dan antar negara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan mempengaruhi satu

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia dinilai masih

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai rasa untuk memiliki dan bersedia untuk memberikan. kontribusi untuk membangun suatu sistem kerjasama yang sangat penting

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Person-Job Fit 2.1.1 Pengertian Person-Job Fit Teori kesesuaian kepribadian-pekerjaan (person job- fit) adalah milik dari John Holland, teori ini didasarkan dari kesesuaian karyawan dengan pekerjaanya (Robbins dan Judge, 2008 : 171). Holland dalam penelitiannya menyatakan bahwa ketika kepribadian dan pekerjaan sangat cocok maka akan memunculkan kepuasan dalam diri karyawan meningkat. Seperti contohnya orang yang realistis berada dalam situasi yang realistis lebih sesuai dari pada orang yang realistis berada dalam situasi yang konvensional (Robbins dan Judge, 2008 : 171). Person-job fit diartikan sebagai cocoknya kemampuan dari individu dengan tuntutan dari sebuah pekerjaan (Edwards, 1991). Person-job fit didefinisikan sebagai kompatibilitas antara individu dan pekerjaan atau tugas yang mereka lakukan di tempat kerja. Definisi ini mencakup kompatibilitas (kemampuan) berdasarkan kebutuhan karyawan dan perlengkapan pekerjaan yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan tersebut, serta tuntutan pekerjaan dan kemampuan karyawan untuk memenuhi permintaan tersebut (Cable dan DeRue, 2002). Penelitian terdahulu menyatakan bahwa dalam seleksi karyawan, organisasi harus menemukan pelamar yang memiliki bakat dan kemampuan yang sesuai dengan pekerjaan yang diberikan (Sekiguchi, 2004). Person-job fit dikaji dengan menetapkan

pekerjaan yang dibutuhkan sesuai dengan analisis pekerjaan yang telah ditetapkan oleh pihak yang berwenang dalam organisasi sehingga bakat, pengetahuan dan kemampuan pekerja sesuai dengan tuntutan pekerjaan. Berdasarkan psikologi interaksional, premis yang mendasari person-job fit adalah bahwa karakteristik pribadi dan pekerjaan kerja bersama untuk menentukan hasil individual (farzaneh et al., 2014) Kristof-Brown (2005) menjelaskan person-job fit diartikan sebagai kesesuaian antara individu dengan pekerjaan atau tugas-tugas yang dilakukan di tempat kerja. Definisi ini mencakup kesesuaian berdasarkan kebutuhan karyawan dan perlengkapan kerja yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan tersebut, serta tuntutan pekerjaan dan keterampilan karyawan untuk memenuhi permintaan tersebut. 2.1.2 Dimensi-Dimensi Person-Job Fit Pada Kristof et al. (2005) menyatakan bahwa person-job fit terdapat dua dimensi, yaitu : 1. Demand-abilities fit, yang artinya pengetahuan, kemampuan yang dimiliki oleh pekerja cocok dengan apa yang diperlukan oleh bidang tersebut. Sekiguchi (2004) menyatakan bahwa dimensi demand-abilities fit meliputi tuntutan pekerjaan yang dibutuhkan cocok dengan kemampuan individu dalam rangka meyelesaikan pekerjaan yang sesuai dengan persyaratan kerja yang ditawarkan oleh organisasi. Tuntutan pekerjaan meliputi pengetahuan, keterampilan dan kemampuan (knowledge, skills, dan abilities). Kemampuan

(abilities) meliputi pendidikan, pengalaman, dan bakat dari individu atau pengetahuan, keterampilan dan kemampuan. 2. Need-supplies fit, keadaan dimana kebutuhan dari pekerja dan apa yang mereka harapkan tercapai pada saat mereka bekerja (kepuasaan pribadi karena pekerjaan tersebut). Sekiguchi (2004) menyatakan bahwa dimensi needsupllies fit merupakan keinginan dari individu cocok dengan karakteristik serta atribut pekerjaan sehingga mampu memenuhi keinginan individu. Keinginan individu mencakup pencapaian tujuan, kebutuhan psikologis, kepentingan dan nilai-nilai. Job Supplies meliputi karakteristik pekerjaan, gaji dan atribut pekerjaan lainya. 2.2 Person-Organization Fit 2.2.1 Pengertian Person-Organization Fit Person-organization fit secara umum didefinisikan sebagai kesesuaian antara nilai-nilai organisasi dengan nilai-nilai individu (Kristof, 1996). Sementara Donald & Pandey (2007) mendefinisikan person-organization fit adalah adanya kesesuaian / kecocokan antara individu dengan organisasi, ketika: 1) setidaknya ada kesungguhan untuk memenuhi kebutuhan pihak lain, atau 2) mereka memiliki karakteristik dasar yang serupa. Beberapa peneliti berpendapat bahwa individu dan organisasi saling tertarik manakala terdapat kesesuaian antara satu dengan yang lain, hal ini sangat berpengaruh terhadap organisasi dalam merekrut karyawan dan juga sikap karyawan

untuk memilih pekerjaan tersebut. Beberapa bukti empiris mendukung pernyataan ini (Chatman, 1991; O Reilly). Berdasarkan pengertian person-organization fit tersebut, maka para peneliti menggunakan kesesuaian nilai-nilai sebagai operasional dari person-organization fit karena nilai-nilai adalah hal yang fundamental dalam mempertahankan karakteristik dari individual dan organisasi (Chatman, 1991). Sekiguchi (2004) menyatakan bahwa penelitian person-organization fit berawal dari kerangka kerja (framework) ASA (Attraction-Selection-Attrition) milik Schneider yaitu attraction (daya tarik), selection (seleksi) dan attrition. Schneider menyatakan bahwa individu tidak secara acak menerima sebuah kondisi melainkan melihat kondisi yang menarik bagi individu. Individu yang dipilih untuk menjadi bagian dalam suatu kondisi akan tetap bertahan dan membantu lingkungannya. Schneider menyatakan bahwa organisasi merupakan sebuah kondisi yang menarik bagi individu, sehingga individu merasa menjadi bagian yang membuat individu bertahan apabila memiliki kecocokan yang sesuai dengan individu dan berhenti apabila individu merasa tidak memiliki kecocokan dengan organisasi. Menurut Kristof (1996), terdapat empat defenisi dari person-organization fit yaitu : 1. Kesesuaian nilai (value congruence), adalah kesesuaian antara nilai instrinsik individu dengan organisasi (Chatman, 1991). 2. Kesesuaian tujuan (goal congruence), adalah kesesuaian antara tujuan individu dengan organisasi dalam hal ini adalah pemimpin dan rekan sekerja.

3. Pemenuhan kebutuhan karyawan (employee need fulfillment) adalah kesesuaian antara kebutuhan-kebutuhan karyawan dan kekuatan yang terdapat dalam lingkungan kerja dengan sistem dan struktur organisasi (Cable dan Judge, 1994) 4. Kesesuaian karakteristik kultur-kepribadian (culture personality congruence) adalah kesesuaian antara kepribadian (non-nilai) dari setiap individu dan iklim atau kultur organisasi (Bowen et al., 1991) Robbin dan Judge (2008:172) menjelaskan bahwa person-organization fit pada dasarnya memperlihatkan bahwa orang-orang tertarik dan dipilih oleh organisasi yang sesuai dengan nilai-nilai mereka, dan mereka meninggalkan organisasi yag tidak cocok dengan kepribadian mereka. Menurut Robbin dan Judge (2008:173) person-organization fit terdiri dari lima model besar (The Big Five Personality Model) yang teridiri dari lima faktor, yaitu : 1. Ekstraversi (extraversion). Dimensi ini mengungkapkan tingkat kenyamanan seseorang dalam berhubungan dengan individu lain. Individu yang memiliki sifat ekstraversi cenderung suka hidup berkelompok, tegas dan mudah bersosialisasi. 2. Mudah akur atau mudah bersepakat (agreeableness). Dimensi ini merujuk pada kecenderungan individu untuk patuh terhadap individu lainnya. Individu yang sangat mudah untuk bersepakat adalah individu yang senang bekerja sama, hangat, dan penuh kepercayaan. Sementara itu, indvidu yang tidak

mudah bersepakat cenderung bersikap dingin, tidak ramah dan suka menentang. 3. Suka berhati-hati (conscientiousness). Dimensi ini merupakan ukuran kepercayaan. Individu yang sangat berhati-hati adalah individu yang bertanggung jawab, teratur, dapat diandalkan, dan gigih. Sebaliknya, individu dengan sifat berhati-hati yang rendah cenderung mudah bingung, tidak teratur, dan tidak dapat diandalkan. 4. Terbuka terhadap hal-hal baru (opennesss to experience). Dimensi ini merupakan dimensi terakhir yang mengelompokkan individu berdasarkan lingkup minat dan ketertarikannya terhadap hal-hal baru. Individu yang sangat terbuka cenderung kreatif, ingin tahu, dan sensitif terhadap hal-hal yang bersifat seni. Sebaliknya, mereka yang tidak terbuka cenderung memiliki sifat konvensioal dan merasa nyaman dengan hal-hal yang telah ada. 5. Stabilitas emosi (emotional stability). Dimensi ini menilai kemampuan seseorang untuk stress. Individu dengan stabilitas emosi yang positif cenderung tenang, percaya diri, dan memiliki pendirian teguh. Sementara itu, individu dengan stabilitas emosi yang negatif cenderung mudah gugup, khawatir, depresi, tidak memiliki pendirian yang teguh. Selain itu menurut Autry dan Daugherty (2003) dalam Vilela et al. (2008) berpendapat bahwa dimensi-dimensi dari person-organization fit adalah adanya kesesuaian dengan tujuan perusahaan, kesesuaian dengan rekan kerja, dan kesesuaian dengan supervisor.

2.2.2 Dimensi-Dimensi Person-Organization Fit Dimensi-Dimensi person-organization fit dalam penelitian adalah sebagai berikut ( Netemeyer et al., 1997) : 1. Personal values, yaitu kesesuaian nilai pribadi dari individu karyawan dengan organisasi. Karyawan menyesuaikan karakterisik individunya dengan karakteristik organisasi atau perusahaan tempat ia bekerja 2. Concern for others, yaitu organisasi memiliki nilai yang sama seperti yang dimiliki individu karyawan berkaitan dengan kepedulian terhadap orang lain. 3. Honesty, yaitu organisasi memiliki nilai yang sama seperti yang dimiliki individu karyawan berkaitan dengan kejujuran dalam bekerja. 4. Fairness, yaitu organisasi memiliki nilai yang sama seperti yang dimiliki individu karyawan berkaitan dengan keadilan dalam bekerja di organisasi. 2.3 Komitmen Organisasional 2.3.1 Pengertian Komitmen Organisasional Organisasi pada umumnya membutuhkan karyawan yang memiliki komitmen organisasional yang tinggi agar organisasi dapat terus bertahan serta meningkatkan jasa dan produk yang dihasilkan (Chairy, 2002). Komitmen terhadap organisasi pada umumnya didefinisikan dengan sejauh mana keterlibatan seseorang dalam organisasi dan kekuatan identifikasinya terhadap suatu organisasi tertentu. Komitmen organisasional dapat dicirikan dengan: a) suatu kepercayaan yang kuat terhadap organisasi, dan penerimaan pada tujuan-tujuan dan nilai-nilai organisasi; b) kesediaan

untuk mengerahkan usaha keras demi kepentingan organisasi; dan c) keinginan yang kuat untuk memelihara hubungan dengan organisasi (Meyer et al., 1993) Komitmen organisasional menurut Williams dan Hazer (1986) didefinisikan tingkat identifikasi dan keterikatan individu terhadap organisasi yang dimasukinya, dimana karakteristik komitmen organisasional antara lain adalah loyalitas seseorang terhadap organisasi, kemauan untuk mempergunakan usaha atas nama organisasi, kesesuaian antara tujuan seseorang dengan tujuan organisasi. Mowday et al. (1979) mendefinisikan komitmen organisasional sebagai kekuatan yang bersifat relatif dari individu dalam mengidentifikasikan keterlibatan dirinya ke dalam bagian organisasi. Hal ini ditandai dengan tiga hal yaitu : 1. Penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi. 2. Kesiapan dan kesediaan untuk berusaha dengan sungguh-sungguh atas nama organisasi. 3. Keinginan untuk mempertahankan keanggotaan di dalam organisasi atau menjadi bagian dalam organisasi 2.3.2 Dimensi - Dimensi Komitmen Organisasional Meyer dan Allen, (1991) mendefinisikan komitmen organisasional sebagai derajat seberapa jauh pekerja mengidentifikasi dirinya dengan organisasi dan keterlibatannya dalam organisasi, menurutnya ada 3 komponen, yaitu:

1. Affective Commitment (AC). Affective commitment adalah suatu pendekatan emosional dari individu dalam keterlibatannya dengan organisasi, sehingga individu akan merasa dihubungkan dengan organisasi 2. Continuance Commitment (CC). Continuance commitment adalah hasrat yang dimiliki oleh individu untuk bertahan dalam organisasi, sehingga individu merasa membutuhkan untuk dihubungkan dengan organisasi. 3. Normative Commitment (NC). Normative commitment adalah suatu perasaan wajib dari individu untuk bertahan dalam organisasi. Anggota organisasi yang loyalitas dan kesetiaannya tinggi terhadap organisasi akan mempunyai keinginan yang tinggi terhadap organisasi dan membuat organisasi menjadi sukses. Makin kuat pengenalan dan keterlibatan individu dengan organisasi akan mempunyai komitmen yang tinggi. Apabila komitmen organisasional karyawan tinggi maka akan berpengaruh positif terhadap kinerja, sedangkan apabila komitmen rendah maka akan berpengaruh terhadap keinginan untuk berpindah (turnover) Meyer dan Allen, (1991) berpendapat bahwa setiap komponen memiliki dasar yang berbeda. Pegawai dengan komponen aktif tinggi, masih bergabung dengan organisasi karena keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi. Sementara itu pegawai dengan komponen kelanjutan tinggi, akan tetap bergabung dengan organisasi karena mereka membutuhkan organisasi.

Pegawai yang memiliki komponen normatif yang tinggi, tetap menjadi anggota organisasi karena mereka harus melakukan. Setiap pegawai memiliki dasar dan tingkah laku yang berbeda berdasarkan komitmen organisasional yang dimilikinya. Pegawai yang memiliki komitmen organisasional dengan dasar afektif memiliki tingkah laku berbeda dengan pegawai yang berdasarkan kelanjutan. Pegawai yang ingin menjadi anggota akan memiliki keinginan untuk menggunakan usaha yang sesuai dengan tujuan organisasi. Sebaliknya, mereka yang terpaksa menjadi anggota akan menghindari kerugian finansial dan kerugian lain, sehingga mungkin hanya melakukan usaha yang tidak maksimal. Sementara itu komponen normatif yang berkembang sebagai hasil dari pengalaman sosialisasi, tergantung dari sejauh apa perasaan kewajiban pada diri pegawai untuk memberi balasan atas apa yang telah diterimanya dari organisasi. 2.3.3 Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Komitmen Organisasional Steers dan Porter dalam Rosilawati (2001), menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen terhadap perusahaan menjadi empat kategori, yaitu: 1. Karakteristik individu. Pengertian karakteristik individu mencakup : usia, masa jabatan, motif berprestasi, jenis kelamin, ras, dan faktor kepribadian. Sedang tingkat pendidikan berkorelasi negatif dengan komitmen terhadap perusahaan.

2. Karakteristik pekerjaan. Karakteristik pekerjaan meliputi kejelasan serta keselarasan peran, umpan balik, tantangan pekerjaan, otonomi, kesempatan berinteraksi, dan dimensi inti pekerjaan. 3. Karakteristik struktural. Faktor-faktor yang tercakup dalam karakteristik struktural antara lain ialah : derajat formalisasi, ketergantungan fungsional, desentralisasi, tingkat partisipasi dalam pengambilan keputusan, dan fungsi kontrol dalam perusahaan; 4. Pengalaman kerja. Pengalaman kerja dipandang sebagai kekuatan sosialisasi yang penting, yang mempengaruhi kelekatan psikologis. 2.4 Organizational Citizenship Behavior (OCB) 2.4.1 Pengertian Organizational Citizenship Behavior (OCB) Aldag dan Resckhe dalam Darto (2014), organizational citizenship behavior (OCB) merupakan kontribusi individu yang melebihi tuntutan peran di tempat kerja dan diberikan reward oleh perolehan kinerja tugas. OCB ini melibatkan beberapa perilaku meliputi perilaku menolong orang lain, menjadi volunteer untuk tugas-tugas ekstra, patuh terhadap aturan-aturan dan prosedur-prosedur di tempat kerja. Perilakuperilaku ini menggambarkan nilai tambah karyawan yang merupakan salah satu bentuk perilaku prososial, yaitu perilaku sosial yang positif, konstruktif dan bermakna membantu. Pengertian organizational citizenship behavior (OCB) merupakan perilaku individual yang bersifat bebas (discretionary) yang tidak secara langsung dan

eksplisit mendapat penghargaan dari sistem imbalan formal, dan yang secara keseluruhan mendorong keefektifan fungsi-fungsi organisasi (Organ, 2005). Perilaku yang menjadi tuntutan organisasi saat ini adalah tidak hanya perilaku in-role tetapi juga perilaku extra-role ini disebut juga dengan organizational citizenship behavior (OCB) dan orang yang menampilkan perilaku OCB disebut sebagai karyawan yang baik (good citizen). Ciri-ciri perilaku yang termasuk OCB adalah membantu rekan kerja, sukarela melakukan kegiatan ekstra ditempat kerja, menghindari konflik dengan rekan kerja, melindungi properti organisasi, menghargai peraturan yang berlaku di organisasi, toleransi pada situasi yang kurang ideal/ tidak menyenangkan ditempat kerja, memberi saran-saran yang membangun di tempat kerja, serta tidak membuang-buang waktu ditempat kerja (Robbin dan judge, 2008 : 40). Organisasi pada umumnya percaya bahwa untuk mencapai keunggulan harus mengusahakan kinerja individu yang setinggi-tingginya, karena pada dasarnya kinerja individual mempengaruhi kinerja tim atau kelompok kerja dan pada akhirnya mempengaruhi kinerja organisasi. Organisasi yang sukses membutuhkan karyawan yang akan melakukan lebih dari sekedar tugas formal mereka dan mau memberikan kinerja yang melebihi harapan. Dalam dunia kerja yang dinamis seperti saat ini dimana tugas makin sering dikerjakan dalam tim, fleksibilitas sangatlah penting. Organisasi menginginkan karyawan yang bersedia melakukan tugas yang tidak tercantum dalam deskripsi pekerjaan mereka. Menurut Robbins dan Judge (2008 : 40), fakta menunjukkan bahwa organisasi yang mempunyai karyawan yang memiliki OCB yang baik, akan

memiliki kinerja yang lebih baik dari organisasi lain. OCB juga sering diartikan sebagai perilaku yang melebihi kewajiban formal (extra-role) yang tidak berhubungan dengan kompensasi langsung. Artinya seseorang yang memiliki OCB tinggi tidak akan dibayar dalam bentuk uang atau bonus tertentu, namun OCB lebih kepada perilaku sosial dari karyawan. 2.4.2 Dimensi Dimensi Organizational Citizenship Behavior (OCB) Istilah organizational citizenship behavior (OCB) pertama kali dikemukakan oleh Organ (2003) yang menyatakan lima dimensi primer dari OCB yaitu : 1) Altruism, yaitu kemauan untuk membantu ketika rekan kerja membutuhkan bantuan yang berkaitan dengan kegiatan organisasional. 2) Conscientiousness, yaitu dedikasi kepada pekerjaan dan hasrat yang kuat untuk melebihi syarat-syarat formal yang diharapkan perusahaan dalam aspek-aspek seperti ketepatan waktu, penggunaan sumberdaya. 3) Sportmanship, yaitu perilaku karyawan yang merefleksikan toleransi tinggi terhadap gangguan pada pekerjaan atau dengan kata lain penerimaan karyawan akan keadaan yang kurang dibanding kondisi ideal. 4) Courtesy, yaitu perilaku yang merefleksikan bagaimana karyawan senantiasa mempertimbangkan apakah keputusan pekerjaan yang dilakukannya berpengaruh terhadap karyawan yang lain.

5) Civic Virtue, yaitu perilaku yang merefleksikan perilaku karyawan untuk melibatkan diri ke dalam aktivitas organisasi yang tidak diwajibkan dalam pekerjaan mereka. Seperti menghadiri pertemuan yang tidak diwajibkan tetapi membantu kepentingan perusahaan seperti informasi mengenai kebijakan baru. Beberapa pengukuran tentang OCB seseorang telah dikembangkan. Gonzalez et al. (2006) yang dibagi menjadi tiga dimensi sebagai berikut: 1. Obedience (ketaatan), yaitu perilaku yang meliputi penyelesaian tugas dengan teliti, bertanggung jawab, mematuhi peraturan organisasi, selalu tepat waktu, menunjukkan perilaku yang baik, menggunakan sumberdaya perusahaan dengan penuh rasa tanggung jawab. 2. Loyalty (kesetiaan), yaitu perilaku yang mempromosikan organisasi kepada pihak ketiga (sebagai contoh seorang karyawan dapat berbicara dengan baik mengenai organisasi kepada orang-orang internal maupun eksternal organisasi), melakukan perlindungan dan mempertahankan organisasi terhadap ancaman-ancaman eksternal, serta menjaga komitmen terhadap organisasi meskipun organisasi tersebut berada dalam keadaan kurang baik atau tidak ideal. 3. Participation (partisipasi), yaitu perilaku peduli terhadap persoalan yang dihadapi organisasi seperti menghadiri rapat, memberikan saran yang dapat meningkatkan kinerja karyawan.

2.4.3 Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Organizational Citizenship Behavior (OCB) Faktor-faktor yang mempengaruhi OCB cukup kompleks dan saling terkait satu sama lain. Diantara faktor-faktor tersebut yang akan dibahas antara lain adalah budaya dan iklim organisasi, kepribadian dan suasana hati (mood), persepsi terhadap dukungan organisasional, persepsi terhadap kualitas interaksi atasan-bawahan, masa kerja dan jenis kelamin (gender) memberikan dampak yang cukup signifikan sehingga perkembangannya perlu untuk diperhatikan, yaitu (Soegandhi dkk., 2013) : 1. Budaya dan Iklim Organisasi. Menurut Organ (2006), terdapat bukti-bukti kuat yang mengemukakan bahwa budaya organisasi merupakan suatu kondisi awal yang utama memicu terjadinya OCB. Sloat (1999) dalam Soegandhi dkk. (2013), berpendapat bahwa karyawan cenderung melakukan tindakan yang melampaui tanggung jawab kerja mereka apabila mereka: 1) Merasa puas akan pekerjaannya 2) Menerima perlakuan yang sportif dan penuh perhatian dari para pengawas. 3) Percaya bahwa mereka diperlakukan adil oleh organisasi. Iklim organisasi dan budaya organisasi dapat menjadi penyebab kuat atas berkembangnya OCB dalam suatu organisasi. Di dalam iklim organisasi yang positif, karyawan merasa lebih ingin melakukan pekerjaannya melebihi

apa yang telah disyaratkan dalam uraian pekerjaan, dan akan selalu mendukung tujuan organisasi jika mereka diperlakukan oleh para atasan dengan sportif dan dengan penuh kesadaran serta percaya bahwa mereka diperlakukan secara adil oleh organisasinya. 2. Kepribadian dan suasana hati (mood). Kepribadian dan suasana hati (mood) mempunyai pengaruh terhadap timbulnya perilaku OCB secara individual maupun kelompok. George dan Brief (1992) dalam Soegandhi dkk. (2013) berpendapat bahwa kemauan seseorang untuk membantu orang lain juga dipengaruhi oleh mood. Meskipun suasana hati sebagian dipengaruhi oleh kepribadian, ia juga dipengaruhi oleh situasi, misalnya iklim kelompok kerja dan faktor-faktor keorganisasian. Jadi jika organisasi menghargai karyawannya dan memperlakukan mereka secara adil serta iklim kelompok kerja berjalan positif, maka karyawan cenderung berada dalam suasana hati yang bagus. Konsekuensinya, mereka akan secara sukarela memberikan bantuan kepada orang lain. 3. Persepsi terhadap Perceived Organizational Support. Studi Shore dan Wayne (1993) dalam Soegandhi dkk. (2013) mengemukakan bahwa persepsi terhadap dukungan organisasional (Perceived Organizational Support/ POS) dapat menjadi prediktor OCB. Pekerja yang merasa didukung organisasi, akan memberikan timbal baliknya (feed back) dan menurunkan ketidakseimbangan dalam hubungan tersebut dengan terlibat dalam perilaku citizenship

4. Persepsi terhadap kualitas hubungan atau interaksi atasan-bawahan. Miner (1988) dalam Soegandhi dkk. (2013) mengemukakan bahwa interaksi atasan bawahan yang berkualitas akan berdampak pada meningkatnya kepuasan kerja, produktifitas, dan kinerja karyawan. 5. Masa Kerja. Greenberg dan Baron (2000) dalam Soegandhi dkk. (2013) mengemukakan bahwa karakteristik personal seperti masa kerja dan jenis kelamin berpengaruh pada OCB. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Sommers et al. (1996) dalam Soegandhi dkk. (2013) Masa kerja dapat berfungsi sebagai prediktor OCB karena variabel-variabel tersebut mewakili pengukuran terhadap investasi karyawan di organisasi. Penelitian- penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa masa kerja berkorelasi dengan OCB. Karyawan yang telah lama bekerja akan memiliki kedekatan dan keterikatan yang kuat dengan organisasi tersebut. Masa kerja yang lama juga akan meningkatkan rasa percaya diri dan kompetensi karyawan dalam melakukan pekerjaannya, serta menimbulkan perasaan dan perilaku positif terhadap organisasi yang mempekerjakannya. 6. Jenis Kelamin (gender) Konrad et al. (2000) dalam Soegandhi dkk. (2013) mengemukakan bahwa perilaku-perilaku kerja seperti menolong orang lain, bersahabat dan bekerja sama dengan orang lain lebih menonjol dilakukan oleh wanita daripada pria.