HASIL DAN PEMBAHASAN Purifikasi Limbah Biodiesel Purifikasi limbah biodiesel dilakukan untuk mengurangi bahkan menghilangkan bahan kimia lain yang tidak dibutuhkan atau yang berfungsi sebagai inhibitor dalam proses fermentasi. Selain itu, dengan menggunakan bahan baku gliserol yang lebih murni akan memudahkan proses pemurnian produk akhir fermentasi, karena bahan pengotor dalam hasil fermentasi lebih sedikit, bila dibandingkan proses fermentasi yang menggunakan limbah biodiesel tanpa pemurnian. Pembuatan biodiesel umumnya menggunakan katalis basa (NaOH). Basa yang berlebihan diperkirakan akan mengganggu proses fermentasi, sehingga diperlukan metode purifikasi limbah biodiesel yang pada umumnya menggunakan asam. Penelitian ini menggunakan asam sulfat yang merupakan asam kuat yang akan bereaksi dengan basa (NaOH), reaksi ini menghasilkan garam natrium sulfat. Keberadaan basa ini dapat dilihat dari nilai ph limbah yaitu sebesar 8. Reaksi antara asam sulfat dengan limbah biodiesel menghasilkan garam natrium sulfat dan gliserol. Limbah biodiesel (a.l. NaOH, trigliserida + H2SO4 Na2SO4 + Gliserol + + Asam lemak bebas) RCOONa Garam tersebut kemudian dapat dipisahkan dengan penyaringan. Pada penelitian ini terlihat bahwa proses pemurnian pada limbah biodiesel, menghasilkan cairan yang lebih jernih. Larutan hasil pemurnian ini dapat dilihat pada Gambar 4A, sedangkan limbah biodiesel yang belum dimurnikan dapat dilihat pada Gambar 4B. A B
Gambar 4 Limbah biodiesel (A) Setelah purifikasi; (B) Sebelum purifikasi Keberadaan senyawa-senyawa yang terkandung dalam limbah biodiesel sebelum purifikasi tergantung kepada bahan baku yang digunakan untuk produksi biodiesel. Selanjutnya dilakukan analisis kualitatif untuk mengetahui kandunagn senyawa dalam limbah biodiesel. Bahan baku untuk produksi biodiesel dalam penelitian menggunakan Crude Palm Oil (CPO) sehingga senyawa-senyawa yang terkandung melalui analisis kualitatif GC-MS menunjukkan selain mengandung gliserol antara lain juga mengandung metil ester dari asam palmitat, asam oktadekanoat dan asam oleat, (Gambar 5 dan Tabel 4). Gambar 5 Kromatogram GC-MS limbah biodiesel sebelum purifikasi Tabel 4 Hasil analisis GC-MS limbah biodiesel sebelum purifikasi (kualitatif) No Senyawa sebelum purifikasi Waktu retensi (menit) % Luas puncak 1 Gliserol 2,896 43,92 2 Metil ester tetradekanoat, 12,345 0,37 3 Metil ester palmitat 14,936 12,24 4 Asam n-heksadekanoat 15,342 1,68 5 Metil ester 9-oktadekenoat (Z) 17,376 15,81 6 Metil ester oktadekanoat 17,699 1,96 7 Asam oleat 17,767 4,46 8 Dodekenilsuksinat anhidrid 19,438 4,94
9 Etil ester heksadekanoat, 2-20,541 6,56 hidroksi-1-(hidroksimetil) 10 Tidak teridentifikasi 22,001 8,06 Analisis kualitatif yang dilakukan menunjukkan bahwa pemurnian menghasilkan senyawa yang lebih murni yang dapat dilihat dari berkurangnya jenis senyawa-senyawa pengotor yang awalnya berjumlah sembilan selain gliserol dalam limbah biodiesel sebelum purifikasi menjadi hanya berjumlah empat setelah purifikasi (Lampiran 7). Reaksi kimia yang terjadi dalam proses purifikasi, selain penggaraman, juga menghasilkan senyawa kimia lainnya yaitu Fessenden et al. (1995) menyatakan bahwa suatu alkohol dicampur dengan asam sulfat akan menghasilkan sederetan reaksi reversible. Produk mana yang lebih berlimpah bergantung pada struktur alkohol, konsentrasi relatif pereaksi-pereaksi dan temperatur campuran reaksi. Pada umumnya alkohol primer menghasilkan ester sulfat pada temperatur rendah, eter pada temperatur sedang dan alkena pada temperatur tinggi. Alkohol tersier dan sebagian besar alkohol sekunder menghasilkan produk alkena. Pada penelitian ini reaksi dilakukan pada temperatur 40-50 o C, sehingga kemungkinan reaksi kimia yang terjadi adalah reaksi yang menghasilkan ester sulfat. Senyawa ester sulfat (asam sulfur dimetil ester) terbukti ada dalam limbah biodiesel setelah purifikasi (Lampiran 7). Analisis kuantitaif terhadap limbah biodiesel setelah purifikasi menggunakan alat Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (HPLC) menunjukkan kandungan gliserol sebesar 17,5 g/l (Lampiran 8) Penentuan Awal Bakteri yang digunakan Biosintesis 1,3-propanadiol oleh bakteri E. aerogenes AY-2 dan E. aerogenes AD-H43 menunjukkan bahwa bakteri E. aerogenes AD-H43 memberikan hasil yang lebih tinggi yaitu 31,13% (luas puncak) pada Gambar 7 dibandingkan dengan bakteri E. aerogenes AY-2 sebesar 26,06%(luas puncak) pada Lampiran 9. Sehingga untuk penelitian selanjutnya digunakan E. aerogenes AD-H43. Kurva Pertumbuhan Bakteri E. aerogenes AD-H43
Kurva pertumbuhan dibuat dengan mengukur jumlah sel bakteri yang hidup atau mati. Pengukuran dilakukan dengan dua cara, pertama dengan menghitung jumlah sel/ml yang hidup menggunakan mikroskop, dan yang kedua dengan menggunakan spektrofotometer untuk melihat tingkat kekeruhan (Optical Density, OD) yang terbaca melalui nilai absorbansi yang dihasilkan. Metode yang kedua ini tidak dapat mengamati jumlah sel yang hidup atau mati, melainkan hanya dapat memperkirakan yang tumbuh saja. Pengukuran OD E. aerogenes AD-H43 dilakukan pada λ = 680 nm. Hal ini mengacu kepada Rachman et al. (1997) yang telah melakukan pengukuran OD pada E. aerogenes AY -2. Penentuan kecepatan tumbuh dan waktu bakteri melakukan proses metabolisme dapat diketahui dengan melihat nilai maksimum atau rods (µ). Rumus dari µ = tan α = nilai OD akhir fase log dibagi dengan waktu pada saat akhir fase log. Pada penelitian ini diperoleh nilai µ dari E. aerogenes AD-H43 = 0,09 j -1 (Lampiran 12). Kurva pertumbuhan terdiri dari empat tahapan pertumbuhan. Pertama fase lag, fase log (fase logaritmik), fase stasioner dan fase kematian (death phase). Titik awal fase logaritmik tidak dapat diamati pada kurva, karena fase lag pada kultur E. aerogenes AD-H43 terjadi sangat cepat dan diperkirakan fase tersebut terjadi sebelum jam ke-4 (Gambar 6). Hal ini menunjukkan bahwa E. aerogenes AD-H43 memiliki pertumbuhan yang sangat baik pada medium kompleks gliserol, karena pada medium terdapat gliserol sebagai sumber karbon, ekstrak khamir dan tripton sebagai sumber asam amino, unsur makro serta mikro (Co, Mg, Se dan Fe) yang penting dalam membantu pertumbuhan bakteri. Fase log diduga terjadi sebelum jam ke-4 sampai jam ke-8. Fase stasioner dimulai setelah jam ke-8 dan pada jam ke-16 fase kematian telah mulai terjadi karena nilai OD mulai berkurang. E. aerogenes AD-H43 membutuhkan waktu 8 dan 12 jam untuk mencapai akhir fase log. Akhir fase log adalah kondisi pada kurva pertumbuhan saat bakteri mencapai jumlah maksimal dan aktif melakukan metabolisme. Hal ini menjadi dasar pertimbangan dalam penentuan inokulasi, yaitu pada waktu pertumbuhan bakteri pada jam ke-8.
Kurva Pertumbuhan Bakteri Enterobacter aerogenes AD-H43 0,8 0,7 Optical Density (OD) 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 0 4 8 12 16 20 Waktu (Jam) Gambar 6 Kurva pertumbuhan bakteri E. aerogenes AD-H43 Produksi 1,3-Propanadiol oleh E. aerogenes AD-H43 dalam Fermentor 3500 ml Produksi 1,3-propanadiol dilakukan menggunakan fermentor (kapasitas 6 l, volume maksimum media 3,5 l), secara fakultatif anaerob menggunakan metode Hungate Miller et al. (1974) yang diacu dalam Rachman et al. (1997). Metode ini digunakan karena bakteri E. aerogenes AD-H43 bersifat fakultatif anaerob (Holt et. al 1994) yaitu kondisi dengan adanya oksigen tidak akan mempengaruhi pertumbuhan bakteri. Analisis GC-MS hasil fermentasi (20 jam) oleh bakteri E. aerogenes AD- H43 (Gambar 7 dan Tabel 5 menunjukkan senyawa-senyawa yang dihasilkan bakteri E. aerogenes AD-H43 terutama asam asetat (P2), 1,3-propanadiol (P5) dan etanol (P1), asam propanoat (P3), serta 2,3-butanadiol (P4).
Gambar 7 Kromatogram GC-MS hasil fermentasi menggunakan bakteri E. aerogenes AD-H43 Tabel 5 Senyawa yang teridentifikasi dari hasil fermentasi No Pea k Senyawa yang teridentifikasi Waktu retensi (menit) % Luas puncak 1 Etanol 1,585 7.97 2 Asam asetat 2,451 51.58 3 Asam propanoat 2,717 7.23 4 2,3-butanadiol 3,258 2.09 5 1,3-propanadiol 3,569 31.13 Nishio dan Nakashimada (2004) melaporkan bahwa pembentukan asam organik dan alkohol oleh E. aerogenes tidak dapat dihindari karena fermentasi yang dilakukan bakteri tersebut bertipe mixed acid fermentation senyawa-senyawa tersebut antara lain adalah 1,3-propanadiol, gliserin-3 fosfat, asam suksinat, asam laktat, asam asetat dan etanol (Lampiran 13). Pada penelitian ini tingginya produksi asam asetat sesuai dengan adanya penurunan ph yaitu dari ph 6,47 menjadi 5,72 (Lampiran 13) dengan substrat gliserol yang semakin besar konsentrasinya (0,5%-5%). Walaupun dalam fermentasi ini menghasilkan asam asetat yang cukup tinggi, tetapi juga dihasilkan 1,3-propanadiol yang cukup signifikan dengan konsentrasi sebesar 0,067 g/l, rendemen produksi sebesar 0,093 (mol/mol gliserol). Berbagai hasil penelitian
produksi 1,3-propanadiol menggunakan bakteri E. aerogenes dan bakteri-bakteri lain telah dilakukan oleh para peneliti lain (Tabel 6). Tabel 6 Rendemen produksi beberapa macam bakteri dengan substrat gliserol Bakteri Gliserol (a/b) yang digunakan (g/l) Produk 1,3- Propanadiol (mol/mol gliserol) Pustaka K. pneumonia ATCC 25955 5 a 0,65 Cameron et al. (1994) K. oxitoca B-199 5 a 0,165 Cameron et al. (1994) C.freundii B-2644 5 a 0,4 Cameron et al. (1994) C.freundii ATCC 8454 5 a 0,25 Cameron et al. (1994) C. butylicum B-593 5 a 0,22 Cameron et al. (1994) E. aerogenes HU-101 (1,7) b (3,3) b (0,2) (0,22) (10) b (25) b (0,12) (0,17) a : gliserol Pure Analysis (PA) b : gliserol (limbah biodiesel) Ito et al. (2005) Ito et al. (2005) melaporkan bahwa fermentasi dengan substrat limbah biodiesel menggunakan bakteri E. aerogenes HU-101, rendemen cenderung meningkat dengan penurunan konsentrasi gliserol yang digunakan. Konsentrasi gliserol sebesar 1,70 g/l, merupakan konsentrasi optimum karena menghasilkan rendemen tertinggi yaitu sebesar 0,2 mol/mol gliserol. Hasil penelitian ini cukup efisien dan relatif sama dengan Ito et al. (2005), karena dengan konsentrasi gliserol yang dipakai sebesar 0,875 g/l dapat menghasilkan rendemen produksi 1,3-propanadiol sebesar 0,093 (mol/mol gliserol). Walaupun produksi 1,3- propanadiol oleh bakteri K. Pneumonia terbesar di antara bakteri yang lain, tetapi diperlukan penanganan yang sangat hati-hati karena dapat menyebabkan penyakit berbahaya seperti pneumonia. Sedangkan bakteri C. butylicum selain termasuk dalam tingkat penanganan tinggi juga termasuk bakteri yang bersifat anaerob yaitu bakteri yang hanya tumbuh tanpa adanya oksigen. Senyawa-senyawa 1,3-propanadiol hasil fermentasi ini kemudian diseparasi dengan dua metode yaitu distilasi pada tekanan udara normal dan distilasi vakum menggunakan alat rotari evaporator.
Uji Kadar Senyawa yang Menguap di bawah Temperatur 105 o C dan 190 o C Sebelum separasi dilakukan, kadar senyawa yang menguap pada fraksi tertentu dari sampel hasil fermentasi ditentukan dengan menggunakan alat moisture analysis. Hasil uji kadar senyawa yang menguap di bawah 105 o C dan uji kadar senyawa yang menguap di bawah 190 o C (Tabel 7). Tabel 7 Hasil uji kadar senyawa yang menguap di bawah 105 o C dan uji kadar senyawa yang menguap di bawah 190 o C Sampel (triplo) Kadar yang menguap pada 105 o C (%) Kadar yang menguap pada 190 o C (%) I 97,50 98,24 II 97,52 98,17 III 97,51 98,29 Rata-rata 97,51 98,23 Uji ini dilakukan untuk mengetahui kadar senyawa-senyawa yang menguap di bawah 105 o C dan di bawah 190 o C sehingga dapat dijadikan acuan dalam memprediksi berapa persen sampel yang harus didistilasi. Hasil uji kadar senyawa yang menguap di bawah 105 o C rata-rata sebesar 97,51% yang artinya sisanya sebesar 2,49% adalah fraksi senyawa di atas 105 o C. Hasil uji kadar senyawa yang menguap di bawah 190 o C rata-rata sebesar 98,23% yang artinya sisanya sebesar 1,67% adalah fraksi senyawa di atas 190 o C termasuk di dalamnya adalah senyawa 1,3-propanadiol. Berdasarkan data ini dapat diprediksi bahwa distilasi dapat dilakukan sampai distilat tersisa ± 2% dari volume awal. Separasi 1,3-Propanadiol Hasil Fermentasi dengan Cara Distilasi pada Tekanan Udara Normal dan Distilasi Vakum Penggunaan metode distilasi dalam penelitian ini karena dua alasan. Pertama, distilasi mempunyai potensi yang besar dalam transfer massa yang besar karena dalam proses distilasi tidak memerlukan bahan tambahan lain. Kedua, adalah efisiensi termodinamik untuk distilasi lebih besar daripada efisiensi untuk proses pemisahan kimia yang lainnya (Wilson et.al 2000). Temperatur yang digunakan dalam distilasi pada tekanan udara normal sebesar 105 o C. Sedangkan dengan distilasi vakum lebih rendah yaitu 40 o C dengan tekanan 3,9 mmhg. Meloan (1999) (Lampiran 15) menunjukkan bahwa
dengan mengetahui data temperatur dan tekanan distilasi vakum yang digunakan maka dapat diketahui perkiraan titik didih normal komponen yang menguap dalam alat rotari evaporator dengan diagram nomograph. Pada penelitian ini, dengan distilasi vakum menggunakan temperatur pada 40 o C dan tekanan 3,9 mmhg, diperkirakan titik didih normal komponen dalam alat rotari evaporator adalah 176,1 o C. Berarti bahwa senyawa-senyawa yang titik didihnya di atas 176,1 o C tetap berada dalam labu distilat. Senyawa yang tetap berada dalam labu distilat adalah 2,3-butanadiol, 1,3-propanadiol dan senyawa-senyawa yang dapat menguap adalah etanol, air dan asam asetat. Hal ini terbukti dalam penelitian ini melalui hasil analisis GC-MS (Gambar 8 dan Gambar 9). Metode distilasi pada tekanan udara normal (Tabel 8) memberikan hasil bahwa senyawa yang menguap adalah etanol, air dan asam asetat dan senyawa yang tetap berada dalam labu distilat adalah senyawa-senyawa yang titik didihnya di atas 176,1 o C, antara lain adalah asam propanoat (puncak 1/P1), 2,3-butanadiol (P2 dan P4), asam butanoat (P3) dan senyawa target 1,3-propanadiol (P5).
Gambar 8 Kromatogram GC-MS hasil fermentasi setelah diseparasi dengan distilasi pada tekanan udara normal Tabel 8 Hasil analisis GC-MS hasil fermentasi setelah diseparasi dengan distilasi pada tekanan udara normal No Peak Senyawa yang teridentifikasi Waktu retensi % Luas puncak (menit) 1 Asam propanoat 2,239 28.53 2 (2S,3S)-2,3-Butanadiol 2,750 3.09 3 Asam butanoat 2,782 3.23 4 (2R,3R)-2,3-Butanadiol 2,286 10.95 5 1,3-Propanadiol 3,181 54.20 Hasil yang relatif sama didapatkan dengan metode distilasi vakum (Gambar 9 dan Tabel 9). Senyawa-senyawa yang titik didihnya di atas 176,1 o C masih berada dalam labu distilat, antara lain adalah asam propanoat (P1 dan P2), 2,3- butanadiol (P2 dan P3), senyawa target 1,3-propanadiol (P5) dan asam butanoat (P6).
Gambar 9 Kromatogram GC-MS hasil fermentasi setelah diseparasi dengan distilasi vakum dengan alat rotari evaporator Tabel 9 Hasil analisis GC-MS fermentasi setelah diseparasi dengan distilasi vakum menggunakan alat rotari evaporator No Peak Senyawa yang teridentifikasi Waktu retensi % Luas puncak (menit) 1 Asam propanoat 2,247 28,80 2 Asam propanoat, 2-metil 2,573 0,75 3 (2S,3S)-2,3-Butanadiol 2,743 4,39 4 (2R,3R)-2,3-Butanadiol 2,823 14,40 5 1,3-Propanadiol 3,182 51,34 6 Asam butanoat, 3-metil 3,422 0,32 Kedua metode distilasi yang digunakan terbukti dapat memisahkan senyawasenyawa berdasarkan perbedaan titik didih. Walaupun demikian terdapat kelebihan menggunakan distilasi vakum antara lain konsentrasi yang dihasilkan lebih tinggi, sebesar 16 kali dan dengan distilasi pada tekanan udara normal sebesar 11 kali (Tabel 10).
Tabel 10 Pengaruh teknik separasi terhadap konsentrasi hasil fermentasi Sampel Konsentrasi (g/l) Konsentrasi (% Kg/l) Kenaikan konsentrasi sebelum distilasi Hasil fermentasi 0,067 0,0067 - Distilat 1 0,790 0,0790 11X Distilat 2 1,110 0,1100 16X 1: Distilat pada tekanan udara normal, T=105 o C 2: Distilat pada tekanan vakum,, T=40 o C Jika dilihat dari konsentrasi baik itu dalam satuan g/l ataupun % memang telah terjadi peningkatan konsentrasi dari kedua metode distilasi, tetapi jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, hasil penelitian ini belum menghasilkan kemurnian yang cukup tinggi. Penelitian ini hanya menghasilkan kemurnian sebesar 0,11% sedangkan Hilaly et al. (2002) dengan metode kromatografi eksklusi menghasilkan kemurnian sebesar 80% (v/v), Baniel et al. (2006) dengan metode ekstraksi pelarut menghasilkan kemurnian sebesar 50% (b/b) dan Ames (2002) dengan metode tanpa dan penambahan basa pada broth fermentasi, kemudian dievaporasi dan selajutnya didistilasi secara batch dan continous. Kemurnian yang dihasilkan sebesar 75% (b/b) untuk tanpa penambahan basa pada broth fermentasi dan sebesar 95% (b/b) dengan penambahan basa pada broth fermentasi. Distilasi vakum dibandingkan dengan distilasi pada tekanan udara normal dinilai lebih baik, karena dengan pengurangan tekanan ikatan antar molekul menjadi lebih jauh dan kekuatan ikatan menjadi lemah, menyebabkan proses pemisahan akan lebih mudah. Meloan (1999) menyebutkan bahwa distilasi pada tekanan udara normal dengan temperatur tinggi akan menyebabkan senyawa target kemungkinan akan berpolimerisasi menjadi senyawa poliol, bereaksi antar senyawa dalam campuran, meledak dan kemungkinan lain akan terdekomposisi menjadi senyawa yang tidak dapat diidentifikasi.