BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Pengertian Manajemen Stoner (1982 dalam Nurjaman, 2014, p.16), mendefinisikan manajemen sebagai proses perencanaan, pengorganisasian dan penggunaan sumber daya organisasi lainnya dalam rangka mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Sedangkan Handoko (1999 dalam Nurjaman, 2014, p.17), menyebutkan bahwa manajemen adalah proses yang terus-menerus dan dilakukan oleh organisasi melalui fungsionalisasi unsur-unsur manajemen tersebut, yang di dalamnya terdapat upaya saling mempengaruhi, saling mengarahkan dan saling mengawasi sehingga seluruh aktivitas dan kinerja organisasi dapat tercapai sesuai dengan tujuan. Jadi, dari kedua definisi tersebut disimpulkan bahwa manajemen terdiri dari berbagai macam proses yang dilakukan organisasi dengan maksud mencapai tujuan perusahaan. Tentunya manajemen tidak dapat berjalan dengan sendirinya, diperlukan banyak campur tangan, baik dari anggota organisasi maupun pihak di luar organisasi. 2.2 Pengertian Manajemen Personalia Handoko (1994 dalam Nurjaman, 2014, p.26), mendefinisikan manajemen personalia adalah penarikan, seleksi, pengembangan, pemeliharaan dan pembinaan sumber daya manusia untuk mencapai tujuan, baik tujuan individu maupun organisasi. Manullang (2001 dalam Nurjaman, 2014, p.27), menyatakan manajemen personalia adalah ilmu yang mempelajari cara memberikan fasilitas untuk perkembangan, pekerjaan dan rasa partisipasi pekerjaan dalam suatu kegiatan. Nitisemito (1996 dalam Nurjaman, 2014, p.27), menyatakan manajemen personalia adalah ilmu seni untuk melaksanakan antara lain perencanaan, pengorganisasian, pengawasan sehingga efektivitas dan efisiensi personalia dapat ditingkatkan semaksimal mungkin dalam mencapai tujuan. Dari semua definisi tersebut, dapat dipahami bahwa manajemen personalia adalah segala aktivitas yang berhubungan dengan sumber daya manusia yang mengatur dan menyediakan semua fasilitas agar dapat mendukung dan mengembangkan kinerja karyawan untuk mencapai tujuan organisasi.
2.3 Pengertian Kepemimpinan Dalam sebuah organisasi terdiri lebih dari satu anggota dan masing-masing anggota pasti memiliki peran dan tanggung jawab yang berbeda-beda. Tentunya diperlukan satu koordinator yang dapat mengatur, mengawasi, menyarankan bahkan sampai memotivasi, koordinator itulah yang kita sebut dengan pemimpin. Kepemimpinan mutlak diperlukan oleh organisasi. Robbins (dalam Italiani, 2013), menyatakan kepemimpinan merupakan proses memimpin sebuah kelompok dan mempengaruhi kelompok itu dalam mencapai tujuannnya. Sedangkan Agustian (dalam Putra, 2015), mengemukakan kepemimpinan adalah masalah yang berhubungan dengan intelegensi, kepercayaan, kebaikan, keberanian dan kedisiplinan. Widyatmini dan Hakim (dalam Putra, 2015), menyatakan bahwa kepemimpinan berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan. Jika kepemimpinan yang diterapkan pada suatu organisasi lemah, maka akan berdampak pada penurunan kinerja karyawan dan juga sebaliknya. Jadi, kepemimpinan yang ada pada suatu organisasi sangat berpengaruh pada apa yang organisasi hasilkan melalui anggota organisasi (kinerja karyawan). 2.4 Pengertian Kepemimpinan Transaksional Bass (dalam Italiani, 2013), mendefinisikan kepemimpinan yang melibatkan suatu proses pertukaran yang menyebabkan bawahan mendapat imbalan serta membantu bawahannya mengidentifikasikan apa yang harus dilakukan untuk memenuhi hasil yang diharapkan seperti kualitas pengeluaran yang lebih baik, penjualan atau pelayanan yang lebih dari karyawan, serta mengurangi biaya produksi. Yukl (dalam Italiani, 2013), menyatakan kepemimpinan transaksional dapat melibatkan nilai-nilai, tetapi nilai tersebut relevan dengan proses pertukaran seperti kejujuran, keadilan, tanggung jawab dan timbal balik. Robbins (dalam Italiani, 2013), menyatakan gaya kepemimpinan transaksional, yaitu pemimpin yang memimpin dengan menggunakan pertukaran sosial (transaksi). Pemimpin transaksional mengarahkan atau memotivasi bawahannya untuk bekerja mencapai tujuan dengan memberikan penghargaan atau produktivitas mereka. Jin (dalam Jabeen, Behery dan Elanain, 2015), menyatakan transformational leadership integrates the elements of empathy, compassion, sensitivity, relationship building and innovation. Bennett (dalam Jabeen, Behery dan Elanain, 2015), menyatakan
bahwa transactional leaders generally use the bureaucracy, policy, power and authority to maintain control; this style of leadership is occasionally referred to as authoritative. Jadi, kepemimpinan transaksional adalah sebuah gaya kepemimpinan yang terjadi karena mengharapkan timbal balik yang sepadan, yang dilakukan dengan cara-cara tertentu dan dengan pengawasan seorang pemimpin. Kepemimpinan transaksional tentunya memiliki beberapa dimensi yang dikemukakan oleh Bass (dalam Italiani, 2013), yaitu: Contingent Reward : - Karyawan mendapat pengarahan tentang prosedur pelaksanaan dalam tugas. - Karyawan mendapat pengarahan tentang target yang harus dicapai. - Karyawan mendapatkan balas jasa dari apa yang dicapai. Active Management by Exception : - Pemimpin melakukan pengawasan secara direktif. - Pemimpin mengetahui hasil kerja yang dikerjakan oleh karyawan. Passive Management by Exception : - Pemimpin memberikan peringatan. - Pemimpin memberikan sanksi apabila terjadi kesalahan. - Pemimpin memberikan tindakan koreksi terhadap karyawan (solusi). Kepemimpinan transaksional memiliki hubungan dengan kinerja karyawan. Menurut Widyatmini (2008) menyatakan bahwa kepemimpinan transaksional berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan. Hal ini menjelaskan bahwa kepemimpinan transaksional yang meningkat atau berkembang akan membawa dampak peningkatan juga terhadap kinerja karyawan atau kepemimpinan transaksional memiliki arah pertumbuhan yang searah dengan kinerja karyawan, ketika kepemimpinan transaksional mengalami peningkatan, maka kinerja karyawan juga akan mengalami peningkatan. Hal ini didukung oleh penelitian Haryadi (2003), Andarika (2004) Dan Ahn et.al (2005) yang menyimpulkan bahwa transactional leadership style has positive and significant effect on employee performance (dalam Sundi, 2013). Masalah yang disebabkan berasal dari penilaian karyawan dan tidak mengubah pengaruh kepemimpinan transaksional terhadap kinerja karyawan, hal ini
didukung pula oleh pernyataan Bass dan Avolio (2003) yang menyatakan bahwa It (transactional leadership) depends on employee assessment (dalam Sundi, 2013).. 2.5 Pengertian Komitmen Organisasi Mayer dan Allen (dalam Fitriastuti, 2013), menyatakan komitmen adalah keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi tertentu, keinginan untuk berusaha keras sesuai keinginan organisasi dan keyakinan terhadap penerimaan nilai dan tujuan organisasi. Faktor lainnya yang mempengaruhi kinerja karyawan adalah komitmen organisasi. Griffin (dalam Putra, 2015), mengemukakan komitmen organisasi merupakan sikap yang mencerminkan sejauh mana seseorang individu mengenal dan terikat pada organisasinya. Luthans (dalam Putra, 2015), menyatakan bahwa komitmen organisasi sebagai sebuah sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan kepada organisasi dan merupakan suatu proses berkelanjutan dimana anggota organisasi mengungkapkan perhatian mereka terhadap organisasi, terhadap keberhasilan organisasi serta kemajuan yang berkelanjutan. Pengertian tersebut secara tidak langsung menjelaskan bahwa komitmen organisasi juga dapat berhubungan kinerja karyawan. Hal tersebut juga didukung oleh teori yang dikemukakan oleh Morrison (dalam Putra, 2015), yang menyatakan pentingnya komitmen organisasi karena: (1) pengaruhnya pada turnover, (2) hubungannya dengan kinerja yang mengasumsikan bahwa individu yang memiliki komitmen cenderung mengembangkan upaya yang lebih besar pada pekerjaan. Benkhoff (dalam Asiedu, Sarfo dan Adjie, 2014), menyatakan bahwa several studies have been conducted to unveil the importance of employee or organizational commitment to the achievement of a good organizational performance. There has been a myriad of studies to assess the relationship between organizational commitment and performance. Jadi, dari pernyataan tersebut menyatakan bahwa ada hubungan antara komitmen organisasi dengan kinerja karyawan. Narteh (dalam Asiedu, Sarfo dan Adjie, 2014), mengemukakan committed employees are normally willing to exert extra effort towards the achievement of corporate goals and objectives. Jadi, bagaimana komitmen yang terbentuk akan berbanding lurus dengan usaha yang akan dilakukan karyawan saat menghadapi pekerjaannya demi tercapainya tujuan perusahaan. Komitmen organisasi juga memiliki dimensi menurut Allen dan Mayer (dalam Putra, 2015) :
Affective Commitment : - Keterikatan emosional. - Keterlibatan anggota pada organisasi. - Kesiapan terhadap konsekuensi yang akan dihadapi. Continuance Commitment : - Karyawan mengetahui adanya resiko (kerugian). - Karyawan siap dalam menerima resiko (kerugian). Normative Commitment : - Kewajiban untuk bertahan dalam organisasi. - Kewajiban untuk melaksanakan tugas yang diperintahkan. - Kewajiban untuk menerima nila dan budaya dalam organisasi. - Kewajiban untuk mematuhi peraturan yang berlaku dalam organisasi. Komitmen organisasi memiliki hubungan dengan kinerja karyawan. Komitmen dari seorang karyawan terhadap organisasinya dapat menjadi instrumen penting untuk meningkatkan kinerja dari karyawan tersebut (dalam Khan et al., 2010). Menurut Anik dan Arifuddin (2003) anggota organisasi yang berkomitmen terhadap organisasinya mungkin saja mengembangkan pola pandang yang lebih positif terhadap organisasi dan dengan sengan hati tanpa paksaan mengeluarkan energi ekstra demi kepentingan organisasi (dalam Putra, 2015). Hal tersebut menjelaskan bahwa komitemen organisasi memiliki arti yang lebih dari sekedar loyalitas yang pasif, tetapi melibatkan hubungan aktif dan keinginan karyawan untuk memberikan kontribusi yang berarti pada organisasinya (kinerja). Komitmen organisasi memiliki arah pertumbuhan yang searah dengan kinerja karyawan, ketika komitmen organisasi mengalami peningkatan, maka kinerja karyawan juga akan mengalami peningkatan. Hal ini didukung dengan pernyataan Cohen (2003) if members have higher levels of commitment are likely to show higher performance and productivity (dalam Aisedu, Sarfo dan Adjie, 2014). 2.6 Pengertian Kinerja Karyawan Robbins (dalam Tampi, 2014), mendefinisikan kinerja yaitu suatu hasil yang dicapai oleh karyawan dalam pekerjaannya menurut kriteria tertentu yang berlaku
untuk suatu pekerjaan. Dessler (dalam Tampi, 2014), menyatakan bahwa kinerja karyawan merupakan prestasi kerja, yakni perbandingan antara hasil kerja yang dilihat secara nyata dengan standar kerja yang telah ditetapkan organisasi. Pada hakikatnya kinerja karyawan adalah dasar dari suatu organisasi yang dapat berkembang, tanpa adanya kinerja karyawan yang baik suatu organisasi tidak akan bergerak menuju perkembangan. Selain itu, komitmen organisasi yang terbentuk juga dapat menjadi penentu kinerja karyawan. Budaya organisasi yang diterapkan melalui kepemimpinan juga akan mempengaruhi kinerja karyawan. Robbins (dalam Rizkansyah, Yunus dan Amri, 2015), adapun dimensi dan indikator dari kinerja karyawan adalah sebagai berikut: 1. Kualitas Persepsi karyawan terhadap kualitas pekerjaan. Mampu mengevaluasi pekerjaan yang dilakukan. 2. Kuantitas Mampu menyelesaikan pekerjaan sejumlah yang dihasilkan dalam pekerjaan. Mengetahui jumlah standar pekerjaan yang diselesaikan. 3. Ketepatan waktu Mampu menyelesaikan pekerjaan dengan cepat dibandingkan dengan target yang ditentukan. Tingkat suatu aktivitas diselesaikan pada waktu awal yang ditetapkan 4. Efektivitas Memaksimalkan penggunaan sumber daya organisasi. Mengikuti seluruh prosedur yang berlaku. Meminimalisasi tingkat kesalahan. Memiliki kemampuan bekerja yang sesuai. Memiliki keterampilan kerja yang sesuai.
5. Kemandirian Fungsi kerja yang dijalankan secara mandiri. Kepatuhan terhadap kondisi kerja yang berlaku. 6. Komitmen Kerja Komtimen dan tanggung jawab karyawan terhadap perusahaan. Mengikuti nilai dan budaya yang berlaku dalam organisasi. 2.7 Kerangka Pemikiran Kepemimpinan Transaksional Contingent Reward Active Management by Exception Passive Management by Exception Komitmen Organisasi Affective Commitment Active Continuance Commitment Normative Commitment T1 T3 T2 Kinerja Karyawan Kualitas Kuantitas Ketepatan waktu Efektivitas Kemandirian Komitmen kerja Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Sumber : Peneliti (2016) 2.8 Hipotesis Hipotesis T-1 Ho: Kepemimpinan transaksional tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja karyawan.
Ha: Kepemimpinan transaksional berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja karyawan. Hipotesis T-2 Ho: Komitmen organisasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja karyawan. Ha: Komitmen organisasi berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja karyawan. Hipotesis T-3 Ho: Kepemimpinan transaksional dan komitmen organisasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja karyawan. Ha: Kepemimpinan transaksional dan komitmen organisasi berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja karyawan.