4 TINJAUAN PUSTAKA Botani Kedelai Kedelai (Glycine max L. Merr) termasuk family Leguminoceae. Kedelai merupakan tanaman semusim dan tidak tahan terhadap genangan air. Irwan (2006) menyatakan kedelai mempunyai perakaran berbentuk akar tunggang dan akar serabut (sekunder) yang tumbuh dari akar tunggang. Kedelai juga mempunyai akar adventif yang tumbuh dari bagian bawah hipokotil. Pada umumnya, akar adventif terjadi karena cekaman tertentu, misalnya kadar air tanah yang terlalu tinggi. Perkembangan akar sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik dan kimia tanah, jenis tanah, cara pengolahan, kecukupan hara, dan ketersediaan air di dalam tanah. Umumnya akar tunggang hanya tumbuh pada kedalaman lapisan tanah yang tidak terlalu dalam, sekitar 30-50 cm. Sementara akar serabut dapat tumbuh pada kedalaman tanah sekitar 20-30 cm. Pertumbuhan batang kedelai dibedakan menjadi dua tipe, yaitu tipe determinate dan indeterminate. Pertumbuhan batang tipe determinate ditunjukkan dengan batang yang tidak tumbuh lagi pada saat tanaman mulai berbunga. Sementara pertumbuhan batang tipe indeterminate dicirikan bila pucuk batang tanaman masih bisa tumbuh daun, walaupun tanaman sudah mulai berbunga. Jumlah buku pada batang tanaman dipengaruhi oleh tipe tumbuh batang dan periode panjang penyinaran pada siang hari (Irwan, 2006). Pembentukan bunga juga dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban. Pada suhu tinggi dan kelembaban rendah, jumlah sinar matahari yang jatuh pada ketiak tangkai daun lebih banyak. Hal ini akan merangsang pembentukan bunga. Bentuk daun kedelai ada dua yaitu bulat (oval) dan lancip (lanceolate). Bentuk daun mempunyai korelasi dengan potensi produksi biji (Irwan, 2006). Suhu optimal untuk pertumbuhan kedelai adalah 24-25 o C. Suhu yang terlalu rendah (10 o C) dapat menghambat proses pembungaan dan pembentukan polong kedelai. Sebaliknya suhu yang terlalu tinggi (40 o C) menyebabkan bunga menjadi rontok (Irwan, 2006).
5 Kedelai termasuk tanaman yang mudah untuk dibudidayakan, tanaman ini dapat tumbuh pada ph tanah 5.8 7, curah hujan 100-400 mm/bulan, kelembaban antara 60 % - 70 %, dengan dan ketinggian kurang dari 600 m di atas permukaan laut (mdpl) (Tustiana, 2009). Fagi dan Tangkuman (1985) menyatakan kandungan air tanah yang optimal bagi kedelai adalah pada kisaran tegangan air 0.3-0.5 atm. Dalam keadaan status air yang demikian, serapan hara N, P, K dan Ca berlangsung baik dan tanaman dapat memanfaatkan nitrogen yang terfiksasi di bintil-bintil akar. Lahan Pasang Surut Berdasarkan penyebaran, sifat-sifat atau karakteristik tanah yang terbentuk lahan rawa dapat dibagi menjadi tiga zona yaitu zona I (wilayah rawa pasang surut air asin/payau), zona II (wilayah rawa pasang surut), dan zona III (wilayah rawa lebak/rawa non pasang surut). Ciri unik dari lahan pasang surut adalah adanya senyawa besi sulfida (FeS 2 ) yang biasa disebut pirit. Kandungan pirit di daerah pasang surut umumnya 0-5 % dan kerap menjadi permasalahan terutama pada saat lahan rawa dibuka untuk pertanian maupun pada saat pengolahaan lahan karena pirit bila terkena oksigen di udara akan teroksidasi dan melepaskan asam sulfat dan Fe 3+ yang merupakan racun bagi tanaman. Oleh karena itu pada saat pengolahan lahan perlu hati-hati dan diusahakan agar bongkahan tanah yang mengandung pirit tidak diangkut ke atas (Gandasasmita et al., 2006). Menurut Gandasasmita et al. (2006) lahan pasang surut merupakan tanah yang jenuh air atau tergenang dangkal, sepanjang tahun atau dalam waktu yang lama. Widjaja-Adhi et al. (1997) menyatakan lahan pasang surut dibagi menjadi 4 golongan menurut tipe luapan air pasang, yaitu: tipe A, lahan terluapi oleh pasang besar (pada waktu bulan purnama maupun bulan mati) maupun pasang kecil (pada waktu bulan separuh). Tipe B, lahan terluapi oleh pasang besar saja. Tipe C, lahan tidak terluapi oleh air pasang besar maupun pasang kecil, namun permukaan air tanahnya cukup dangkal, yaitu kurang dari 50 cm. Tipe D, lahan tidak terluapi oleh air pasang besar maupun pasang kecil, namun permukaan air tanahnya lebih dari 50 cm.
6 Menurut Sabran et al. (2000) kendala budidaya kedelai di lahan pasang surut terutama tipe luapan A dan B adalah genangan air. Tanaman kedelai adalah tanaman yang tidak toleran terhadap genangan. Genangan air dalam waktu yang lama akan mengurangi ketersediaan oksigen di lapisan perakaran sehingga respirasi akar akan terganggu bahkan dalam jangka waktu yang panjang dapat mematikan tanaman. Oleh karena itu kedelai pada umumnya diusahakan di lahan pasang surut tipe luapan C atau D. Masalah lain yang dihadapi adalah kemasaman tanah dan kandungan pirit (FeS 2 ) yang tinggi. Kemasaman tanah menyebabkan terhambatnya aktivitas bakteri pengikat N, kekahatan Ca, Na dan K. Gandasasmita et al. (2006) menyatakan dengan adanya penggalian saluran-saluran drainase permukaan air tanah menjadi turun dan tanah bagian atas menjadi kering dan terbuka. Akibat adanya oksigen di udara sehingga tanah bagian atas mengalami oksidasi sementara tanah bagian bawah tetap dalam keadaan tereduksi. Dalam kondisi tereduksi pirit bersifat stabil dan tidak berbahaya bagi tanaman. Drainase yang berlebihan akan menyebabkan keadaan aerob. Pirit yang berada di tanah bagian atas ikut terbuka dan mengalami oksidasi menghasilkan asam sulfat dan Fe +3. Sehingga tanah bereaksi masam yang mengakibatkan rendahnya ph tanah, banyak mengandung ion-ion sulfat (SO 4 ), meningkatkan kelarutan Fe dan Al yang dapat memfiksasi P sehingga ketersediaannya dalam tanah menjadi rendah. Budidaya Jenuh Air Budidaya basah adalah cara penanaman di atas bedengan dengan memberikan pengairan secara terus-menerus di dalam parit sehingga tanah di bawah perakaran menjadi jenuh. Budidaya basah menyebabkan lengas tanah berada di sekitar kapasitas lapang (Rahayu, 2003). Ghulamahdi et al. (1991) menyatakan budidaya jenuh air juga dapat diterapkan di areal dengan irigasi cukup baik atau pada areal penanaman dengan drainase kurang baik. Ghulamahdi (2009) menambahkan air di lahan pasang surut dapat dimanfaatkan untuk mengairi lahan budidaya jenuh air. Pada saat pasang
7 besar air akan semakin mudah masuk ke petakan melalui saluran air, jika pasang agak kecil dapat didorong dengan bantuan pompa. Pertumbuhan dan produksi kedelai pada budidaya jenuh air lebih tinggi dibandingkan budidaya secara konvensional (Rahayu, 2003). Indradewa et al. (2004) menambahkan bahwa kedelai yang dibudidayakan dengan genangan menyebabkan pertumbuhannya lebih cepat dibandingkan budidaya dengan pengairan luapan karena sebagian besar fotosintat akan dialokasikan ke bagian bawah tanaman. Menurut Ghulamahdi (2009) budidaya jenuh air meningkatkan bobot kering akar dan bintil akar serta aktifitas bakteri penambat N dibandingkan dengan irigasi biasa. Tampubolon (1988) menyatakan penggenangan secara terputus-putus dapat menghambat pertumbuhan dan menurunkan produksi kedelai serta menghambat penambatan N. Simanungkalit (1991) menyatakan pada budidaya secara konvensional produksinya lebih rendah karena selang waktu antara pemberian air irigasi tidak cukup untuk mencegah terjadinya cekaman air. Pada awal irigasi keadaan tanah menjadi jenuh air dan pada akhirnya mengalami kekeringan. Kelebihan air pada saat pemberian air irigasi menyebabkan kematian beberapa bintil akar yang terletak lebih dalam, sedangkan kekeringan menyebabkan kematian beberapa bintil akar di bagian atas. Suwarto (1994) menyatakan tinggi muka air tanah menjadi hal yang kritis dalam budidaya jenuh air karena dapat berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan kedelai. Ghulamahdi (2009) menambahkan tinggi muka air yang tetap akan menghilangkan pengaruh negatif dari kelebihan air pada pertumbuhan tanaman, karena kedelai akan beraklimatisasi dan selanjutnya tanaman memperbaiki pertumbuhannya. Tinggi muka air yang tepat di lahan pasang surut 15 cm di bawah permukaan tanah, dengan lebar saluran 30 cm dan dalam saluran 25 cm. Tanggap Kedelai terhadap Budidaya Jenuh Air Kedelai pada budidaya jenuh air akan beraklimatisasi selama dua minggu yaitu pada saat dua sampai empat minggu setelah pelaksanaan budidaya basah dimulai. Pada awal aklimatisasi, akar dan bintil akar di bawah permukaan air mati
8 dan selanjutnya tumbuh akar dan bintil akar di atas permukaan air. Kandungan N dalam jaringan tanaman dan N dalam daun menurun sehingga menunjukkan gejala klorosis. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya serapan nitrogen (CSIRO, 1983). Indradewa et al. (2004) menambahkan karena berkurangnya serapan N maka fotosintat dialokasikan ke bagian bawah tanaman (ke perakaran baru dan bintil akar). Ini berakibat aktivitas bintil mulai lebih awal dan dengan laju lebih cepat. Pada tahap aklimatisasi total bobot kering kedelai pada budidaya jenuh air lebih rendah dibandingkan budidaya biasa. Pada saat aklimatisasi pemupukan N penting untuk dilakukan karena dapat mempercepat masa aklimatisasi. Pertumbuhan kedelai pada tahap setelah aklimatisasi ditunjukkan oleh banyaknya akar dan bintil akar yang muncul di atas permukaan air dan daun hijau kembali. Laju pertumbuhan kedelai pada budidaya jenuh air menjadi lebih tinggi dibandingkan budidaya biasa. Simanungkalit (1991) menyatakan setelah aklimatisasi kandungan N daun meningkat dan total bobot kering tanaman pada BJA menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan budidaya konvensional. Tanggap varietas kedelai terhadap penggenangan berbeda-beda. Kedelai berumur panjang mempunyai pertumbuhan yang lebih baik dan produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedelai berumur pendek (CSIRO, 1983). Kompos Bertham (2002) menyarankan perlunya pengembalian jerami padi ke lahan sawah untuk mempertahankan kesuburan tanah dan membenahi sifat-sifat tanah bermasalah. Namun masukan berupa bahan organik tanpa dikomposkan dapat membawa patogen serta telur serangga yang pada akhirnya dapat mengganggu pertumbuhan dan produksi tanaman serta terjadinya immobilisasi hara oleh jasad renik pendekomposisi masukan organik. Oleh karena itu pengomposan merupakan salah satu cara memanipulasi mutu masukan organik dengan kondisi terkendali sehingga menghasilkan bahan organik dengan mutu tertentu. Pengomposan adalah suatu proses dekomposisi biologi dari bahan-bahan organik menjadi zat-zat seperti humus (kompos) oleh kelompok-kelompok mikroorganisme campuran dan berbeda-beda di bawah kondisi terkontrol baik
9 dalam keadaan aerobik (terdapat oksigen) atau dalam keadaan anaerobik (tanpa oksigen) (Gaur, 1981). Kompos merupakan hasil dari pengomposan. Menurut Djuarnani et al. (2009) secara ilmiah kompos dapat diartikan sebagai partikel tanah yang bermuatan negatif sehingga dapat dikoagulasikan oleh kation dan partikel tanah untuk membentuk granula tanah. Menurut Djuarnani et al. (2009) proses pengomposan dapat berlangsung dalam keadaan aerobik dan anaerobik. Pengomposan secara aerobik adalah dekomposisi bahan organik dengan kehadiran oksigen dan pengomposan secara anerobik adalah dekomposisi tanpa kehadiran oksigen (hampa udara). Pengomposan secara aerobik menghasilkan CO 2, H 2 O, humus, hara dan energi. Pengomposan secara aerobik ditandai dengan adanya kenaikan suhu. Pada suhu diatas 40 o C mikroorganisme mesofilik akan digantikan oleh mikroorganisme termofilik. Pada pengomposan secara anaerobik tidak terjadi fluktuasi suhu dan menghasilkan metana, CO 2, dan senyawa lain seperti asam asetat, asam propionat, asam butirat dan asam laktat. Pada umumnya pengomposan secara anaerobik akan menghasilkan bau yang tajam. Proses dekomposisi secara umum dapat dituliskan dalam reaksi berikut ini (Gaur, 1981): Bahan organik + CO 2 + H 2 O + Humus + Nutrien + Energi Proses dekomposisi dimulai dengan aktivitas mikroba menggunakan bahan organik untuk pertumbuhan dan pembentukan selnya sehingga pada saat proses dekomposisi dibebaskan CO 2, energi dan senyawa-senyawa antara (Miranti, 1996). Faktor-faktor yang mempengaruhi proses dekomposisi adalah ukuran bahan, rasio C/N, kelembaban dan aerasi, suhu pengomposan, ph dan mikroorganisme yang terlibat dalam pengomposan (Aminah et al., 2003). Suwastika dan Sutari (2009) menyatakan penambahan aktivator mempunyai pengaruh yang menguntungkan yaitu dapat mempercepat proses pengomposan 3-4 minggu dibandingkan dengan pengomposan tanpa aktivator dan dapat meningkatkan aktivitas jasad mikro yang menguntungkan seperti jasad mikro penambat nitrogen.
10 Menurut Djuarnani et al. (2009) rasio C/N adalah faktor yang paling penting dalam pengomposan. Dalam proses pengomposan mikroorganisme membutuhkan karbon sebagai sumber energi dan nitrogen untuk membentuk selnya. Suwastika dan Sutari (2009) menyatakan pada awal proses dekomposisi terjadi penurunan rasio C/N karena bahan organik yang digunakan mikroorganisme sebagai sumber energi dirombak menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana. Senyawa karbon kompleks akan dirombak menjadi karbon yang lebih sederhana sampai akhirnya senyawa tersebut tidak dapat didekomposisikan lagi seperti tanin, asam humat dan fulfat. Pada akhir dekomposisi, ratio C/N dan kandungan C-organik menurun sedangkan kandungan N dan unsur hara lainnya meningkat. Rasio C/N optimal bahan organik yang sudah matang adalah lebih kecil dari 20. Jika rasio C/N tinggi maka akan terjadi immobilisasi nitrogen oleh jasad renik untuk memenuhi kebutuhan N dalam perkembangbiakannya. Bila rasio C/N terlalu rendah menyebabkan kehilangan N dalam bentuk amonia (Miranti, 1996). Menurut Djuarnani et al. (2009) kandungan hara kompos meliputi humus (53.70 %), N (1.33 %), P 2 O 5 (0.83 %), dan K 2 O (0.36 %). Menurut Forum Pertanian Indonesia (2009) satu ton kompos jerami memiliki kandungan hara setara dengan 41.3 kg Urea, 5.8 kg SP-36, dan 89.17 kg KCl atau total 136.27 kg NPK per ton kompos kering. Kompos memiliki peranan penting bagi tanah karena dapat mempertahankan dan meningkatkan kesuburan tanah melalui perbaikan sifat kimia, fisik, dan biologinya. Pemberian kompos sangat baik karena dapat memberikan manfaat baik bagi tanah maupun tanaman. Djuarnani et al. (2009) menyatakan penambahan kompos dapat memperbaiki struktur dan lapisan tanah sehingga dapat memperbaiki agregat tanah, aerasi, drainase dan kemampuan daya serap tanah terhadap air. Komponen kompos yang paling berpengaruh terhadap sifat kimiawi tanah adalah kandungan humusnya. Humus yang menjadi asam humat dapat menurunkan Fe dan Al yang terlarut. Kompos dapat menggantikan unsur hara tanah yang hilang akibat terbawa oleh tanaman ketika dipanen. Kompos juga dapat meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah,
11 meningkatkan ketersediaan kation-kation seperti K +, Mg 2+, dan Ca 2+ dan dapat meningkatkan penyerapan unsur hara dari pupuk mineral oleh tanaman.