I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program

BAB I PENDAHULUAN. dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya yang menjadi masalah

IV. DINAMIKA PENDIDIKAN DASAR

BAB I PENDAHULUAN. strategi pembangunan daerah mulai dari RPJPD , RPJMD ,

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan kemakmuran masyarakat yaitu melalui pengembangan. masalah sosial kemasyarakatan seperti pengangguran dan kemiskinan.

BAB I PENDAHULUAN. multidimensi, yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek. hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pembangunan pada dasarnya merupakan suatu proses multidimensional

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki struktur pemerintahan dan kualitas pembangunan nasional guna

BAB I PENDAHULUAN. Pada September 2000 sebanyak 189 negara anggota PBB termasuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan oleh program pembangunan nasional ( Propenas ) yakni di

BAB I PENDAHULUAN. negara. Menurut Bank Dunia (2000) dalam Akbar (2015), definisi kemiskinan adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Masalah. Pembangunan adalah kenyataan fisik sekaligus keadaan mental (state

I. PENDAHULUAN. Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari

BAB I PENDAHULUAN. (Pemekaran setelah Undang-Undang Otonomi Khusus) yang secara resmi

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan serta penanganan ketimpangan pendapatan. dunia. Bahkan dari delapan butir Millenium Development Goals (MDGs) yang

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 189 negara anggota PBB pada bulan September 2000 adalah deklarasi Millenium

(1) menghapuskan kemiskinan dan kelaparan; (2) mewujudkan pendidikan dasar untuk semua orang; (3) mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA DAN STRATEGI PERCEPATAN PENCAPAIAN INDIKATOR-INDIKATOR MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS DI KABUPATEN JEMBER

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. terbukti PBB telah menetapkan Millenium Development Goals (MDGs). Salah

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut

BUPATI KUANTAN SINGINGI PROVINSI RIAU

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. oleh semua lapisan masyarakat yang memenuhi syarat kuantitas dan kualitasnya.

PERAN DAN FUNGSI LEGISLATIF DALAM MENDORONG PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN ABAD MILENIUN/MDGs. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI

BAB I PENDAHULUAN. dalam Millenium Development Goals (MDGs). MDGs berisi delapan tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota,

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan ke arah desentralisasi. Salinas dan Sole-Olle (2009)

I. PENDAHULUAN. Sebelum otonomi daerah tahun 2001, Indonesia menganut sistem

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional. Pembangunan. secara material dan spiritual (Todaro dan Smith, 2012: 16).

BAB I PENDAHULUAN. suatu perhatian khusus terhadap pembangunan ekonomi. Perekonomian suatu

DAFTAR ISI. RAD MDGs Jawa Tengah

BAB I PENDAHULUAN. wewenang pelaksanaan pemerintahan diserahkan kepada daerah itu sendiri secara

TINJAUAN PUSTAKA Masalah Gizi Ganda

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPAHIANG NOMOR 04 TAHUN 2013 TENTANG

Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

BAB I PENDAHULUAN. Oleh karena itu, pembangunan merupakan syarat mutlak bagi suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN. sekelompok orang yang tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan

(Sakernas), Proyeksi Penduduk Indonesia, hasil Sensus Penduduk (SP), Pendataan Potensi Desa/Kelurahan, Survei Industri Mikro dan Kecil serta sumber

I. PENDAHULUAN. (NSB) termasuk Indonesia sering berorientasi kepada peningkatan pertumbuhan

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan khususnya pembangunan manusia dapat dinilai

BAB I PENDAHULUAN. disertai dengan pembiayaan yang besarnya sesuai dengan beban kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kemiskinan merupakan hal klasik yang belum tuntas terselesaikan

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan daerah lain di pulau Jawa yang merupakan pusat dari pembangunan

DEMOGRAFI KOTA TASIKMALAYA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

STUDI EMPIRIS CAPAIAN MDGS DI PROVINSI RIAU

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu indikator kemajuan suatu negara tercermin pada kemajuan bidang

BAB I PENDAHULUAN. pada sebuah ketidakseimbangan awal dapat menyebabkan perubahan pada sistem

PENDIDIKAN PROVINSI JAMBI :

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan

BAB I PENDAHULUAN. miskin mulai dari awal peradaban hingga sekarang ini. Kemiskinan

BAB I PENDAHULUAN. bermartabat. Kemiskinan menurut PBB didefenisikan sebagai kondisi di mana

I. PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN Hal ini berdasarkan dikeluarkannya Undang Undang No. 22 tahun 1999

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat terealisasi, maka beberapa

BAB I PENDAHULUAN. internasional dikenal adanya tujuan posisi manusia sebagai central dalam

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pada Bab IV, maka hasil yang

BAB 1 PENDAHULUAN. (a process of enlarging the choice of people). Indeks Pembangunan Manusia

I. PENDAHULUAN. Sudah enam puluh sembilan tahun Indonesia merdeka, telah banyak tindakantindakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas ekonomi dan tugas

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia diterjemahkan sebagai Tujuan Pembangunan Milenium yang

NOMOR : TANGGAL : TENTANG : RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KOTA BOGOR TAHUN 2013 BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, sehingga harus disembuhkan atau paling tidak dikurangi. Permasalahan kemiskinan memang

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat dilihat dari demografi, potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia,

Penilaian Pencapaian MDGs di Provinsi DIY Oleh Dyna Herlina Suwarto, SE, SIP

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masalah infrastruktur yang belum merata dan kurang memadai. Kedua, distribusi yang

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB I PENDAHULUAN. khususnya kebutuhan akan pendidikan sebagai suatu investasi. Oleh karena itu,

MDGs. Kebijakan Nasional Penanggulangan Kemiskinan. dalam. Direktorat Penanggulangan Kemiskinan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional September 2007

BAB I PENDAHULUAN. Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan). Maka kesehatan adalah dasar

Ikhtisar Pencapaian MDGs Provinsi Kepulauan Riau Menurut Jumlah Indikator

RINGKASAN PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan UU. No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi fiskal dan otonomi daerah telah membawa konsekuensi pada

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan salah satu masalah dalam proses pembangunan manusia. Permasalahan pendidikan hampir dimiliki oleh seluruh negara berkembang. Tanpa pendidikan suatu negara tidak akan berkembang, pembangunan manusianya terhambat dan dampak secara keseluruhan adalah pembangunan menyeluruh terhadap sebuah negara tidak akan berhasil. Kualitas pendidikan yang rendah merupakan masalah endemik di kebanyakan negara berkembang. Pencapaian pendidikan dasar menjadi konsensus dunia yang tertuang dalam salah satu target Millenium Development Goals (MDGs). Kepedulian dunia diwujudkan dengan diselenggarakannya Deklarasi Millenium (Millenium Declaration) pada bulan September 2000 yang diikuti oleh 189 negara anggota PBB termasuk Indonesia. Deklarasi tersebut menyepakati 8 tujuan pembangunan millenium atau yang lebih dikenal dengan Millenium Development Goals (MDGs). MDGs atau Tujuan Pembangunan Milenium adalah sebuah paradigma pembangunan yang berpihak pada pemenuhan hak-hak dasar manusia dan akan menjadi landasan pembangunan di abad milenium. Arah pembangunan MDGs dikemas menjadi satu paket yang dipilah menjadi 8 tujuan yang satu sama lain saling mempengaruhi dan bermuara pada percepatan peningkatan kualitas manusia yang lebih tinggi. Delapan tujuan tersebut adalah: (1) menanggulangi kemiskinan dan kelaparan; (2) mencapai pendidikan dasar untuk semua kalangan; (3) mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; (4) menurunkan angka kematian anak; (5) meningkatkan kesehatan ibu; (6) memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya; (7) memastikan keberlanjutan lingkungan hidup; (8) membangun kemitraan global untuk pembangunan. Tujuan pencapaian pendidikan dasar menjadi target kedua setelah target menanggulangi kemiskinan. Diharapkan semua anak pada tahun 2015 telah menyelesaikan pendidikan dasar. Dalam kasus Indonesia dengan adanya wajib belajar 9 tahun menjadi kewajiban setiap anak untuk menyelesaikannya. Target yang ingin dicapai adalah semua anak di usia pendidikan dasar harus menikmati pendidikan dasar. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RJPM) 2010-

persen 2 2014 disebutkan bahwa salah satu sasaran pembangunan manusia Indonesia adalah pencapaian pendidikan dasar bagi seluruh anak di Indonesia dan menurunkan kesenjangan pendidikan antar wilayah. Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, menjamin hak atas pendidikan dasar bagi warga negara Indonesia yang berusia 7-15 tahun. Salah satu upaya untuk meningkatkan taraf pendidikan penduduk Indonesia adalah melalui peningkatan secara nyata persentase penduduk yang dapat menyelesaikan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun. Data Badan Pusat Statistik (2010) menunjukkan rata-rata lama sekolah penduduk umur 15 tahun ke atas di Indonesia hanya mencapai 7,9 tahun, masih jauh dari target pendidikan dasar di Indonesia yaitu 9 tahun. 100 90 80 70 60 SD SMP 50 2002 2004 2006 2008 2010 2012 Sumber : BPS (diolah) tahun Gambar 1 Angka Partisipasi Sekolah (APS) SD/sederajat dan SMP/sederajat tahun 2003-2010 Angka Partisipasi Sekolah 1 (APS) Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sejak tahun 2003 menunjukkan kenaikan, APS untuk usia 7-12 tahun (usia SD) di Indonesia adalah 96,42 persen, sampai tahun 2010 naik menjadi 98 persen. Artinya masih ada 2 persen anak Indonesia usia SD yang belum bersekolah. Sedangkan APS untuk usia 13-15 tahun (usia SMP) pada tahun 1 APS = P is P i x100 dimana P is :jumlah anak pada kelompok umur tertentu yang bersekolah, P i : jumlah anak pada kelompok umur tertentu.

Persen 3 2003 adalah 81,01 persen dan pada tahun 2010 meningkat menjadi 86,24 persen. Artinya dari 100 anak usia sekolah SMP masih ada 13 anak yang tidak bersekolah lagi. Untuk pencapaian pendidikan dasar selama 6 tahun Indonesia cukup berhasil, namun untuk pencapaian pendidikan dasar selama 9 tahun pada tahun 2015 terlihat masih jauh dari target yang diharapkan. Seperti ditunjukkan pada Gambar 1 kenaikan selama kurun waktu 7 tahun tidak signifikan. Angka putus sekolah 2 untuk anak usia SMP di Indonesia masih cukup tinggi, pada tahun 2010 angka putus sekolah SMP sebesar 12,89 persen. Sedangkan untuk tingkat SD relatif kecil yaitu 0,8 persen. Ada gap yang relatif besar antara putus sekolah SD dan SMP. Angka putus sekolah dapat dilihat dari Gambar 2. Gambaran tentang angka putus sekolah juga mengindikasikan masih tertinggalnya pembangunan manusia terutama dibidang pendidikan, oleh karena itu diperlukan suatu evaluasi lebih dalam dari pemerintah apakah proses pembangunan dunia pendidikan sudah optimal atau belum. Oleh karena itu diperlukan informasi tentang campur tangan pemerintah dalam pengembangan manusia terutama dibidang pendidikan sebagai modal pembangunan ekonomi. 16.00 14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 2008 2009 2010 7-12 tahun 13-15 tahun Gambar 2 Angka Putus Sekolah Indonesia tahun 2008-2010 Sumber : BPS, 2010 Tahun 2 Angka Putus Sekolah = P it P i x100 dimana P it : jumlah anak pada kelompok umur tertentu yang sudah tidak bersekolah (putus sekolah) dan P i :jumlah anak pada kelompok umur tertentu.

4 Pada masa pemerintahan orde baru, pendidikan dasar yang wajib diikuti selama 6 tahun, target pada saat itu adalah pemberantasan buta huruf kepada seluruh masyarakat Indonesia. Kemajuan ekonomi dan perkembangan jaman menuntut perbaikan dari sisi pendidikan agar sumber daya manusia di Indonesia dapat mengikuti kemajuan ekonomi dan ikut serta dalam pembangunan di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi memerlukan sumber daya manusia yang berkualitas sehingga dapat menggunakan teknologi yang ada. Selain itu kemampuan dalam penguasaan teknologi juga menjadi dasar seseorang mendapatkan pekerjaan yang sesuai (Suryadarma et al., 2008). Dengan munculnya negara-negara industri di Asia Timur, banyak penelitian mengungkapkan bahwa keberhasilan pengembangan ini didukung oleh ketersediaan sumber daya manusia berpendidikan yang memadai. Sementara itu, sumber daya manusia yang berkualitas adalah output dari pembangunan pendidikan. Banyak perjanjian pembangunan internasional menyoroti peran penting pendidikan untuk mengatasi kemiskinan, kesetaraan gender dan keadilan sosial. Ini adalah alasan utama mengapa banyak negara di dunia-termasuk Indonesia telah memprioritaskan pada pendidikan pada pembangunan nasional tidak hanya sebagai bagian penting dari pembangunan manusia, tetapi juga sebagai hak dasar kemanusiaan. Semua alasan mendasar di atas telah dimasukkan bersama sebagai dasar pembangunan pendidikan di Indonesia (Purwanto, 2010). Salah satu program penting pembangunan pendidikan nasional yang disebut Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun (Wajardikdas 9 Tahun). Ini adalah program pendidikan 9 tahun wajib ditetapkan menjadi pendidikan dasar bagi warga negara Indonesia. Program ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1994 dan ditargetkan untuk mencapai hasil tertentu yang diukur mulai tahun 2008/2009. Partisipasi sekolah merupakan indikator dasar yang digunakan untuk melihat akses pada pendidikan khususnya bagi penduduk usia sekolah (BPS, 2010). Angka APS yang lebih rendah ditingkat SMP dibandingkan di tingkat SD di Sulawesi Utara menggambarkan masih adanya anak usia 13-15 tahun yang tidak bersekolah di SMP. Hal ini menunjukkan bahwa pemerataan pendidikan sampai tahun 2010 masih belum mencapai target, target MDGs dimana sampai

persen persen 5 tahun 2015 tidak ada lagi anak yang tidak bersekolah, untuk jenjang SD sudah bisa memenuhi namun untuk jenjang SMP relatif masih jauh. Sulawesi Utara walaupun memiliki APS yang lebih tinggi dari angka nasional, namun masih terdapat gap yang cukup besar antara APS SD dan SMP (Gambar 3). 100 95 90 85 7-12 tahun 13-15 tahun 80 75 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Gambar 3 Angka Partisipasi Sekolah SD-SMP di Sulawesi Utara 2003-2010 Selain itu angka putus sekolah Sulawesi Utara tahun 2008-2010 menunjukkan trend penurunan. Namun, angka putus sekolah SMP masih relatif besar, penurunan hanya 1 persen dalam jangka waktu 3 tahun (Gambar 4). Putus sekolah SMP masih lebih besar dari SD. Target MDG s yaitu pada tahun 2015 semua anak usia sekolah harus bersekolah akan tidak dapat terpenuhi jika angka putus sekolah masih banyak terjadi. 14 12 10 8 6 4 2 0 2008 2009 2010 SMP SD Gambar 4 Angka Putus Sekolah SD dan SMP di Sulawesi Utara 2008-2010

6 Sementara itu, pendidikan merupakan salah satu komponen pembentuk IPM. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Sulawesi Utara. Sejak tahun 2003 Sulawesi Utara berada pada peringkat kedua setelah provinsi DKI Jakarta. Namun jika membandingkan APS dari lima provinsi dengan IPM tertinggi, maka provinsi Sulawesi Utara berada paling bawah diantara kelima provinsi tersebut (Tabel 1). Walaupun secara nasional APS Sulawesi Utara masih berada diatas rata-rata Indonesia namun target MDGs belum tercapai. Apalagi Sulawesi Utara diharapkan menjadi gate way ke perdagangan internasional melalui program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Tabel 1 APS Provinsi Berperingkat IPM Tertinggi Tahun 2008-2010 (persen) DKI Sulawesi Dista Kalimantan Tahun R i a u Jakarta Utara Yogyakarta Timur SD/MI/Paket A 2008 98,82 97,87 98,36 99,62 98,35 2009 99,06 97,82 98,55 99,65 98,42 2010 99,16 98,3 98,75 99,69 98,68 SMP/ MTs/ Paket B 2008 90,53 88,46 91,83 92,91 90,78 2009 90,75 88,4 91,58 93,42 91,55 2010 91,45 89,06 92,09 94,02 92,49 IPM 2010 77,6 76,09 76,07 75,77 75,56 Angka Putus Sekolah 2010 8,31 10,48 7,13 5,98 6,95 Sumber : BPS (diolah) Dalam master plan MP3EI di Sulawesi Utara akan dibangun Kawasan Ekonomi Khusus dan pelabuhan internasional di Sulawesi Utara tepatnya di kota Bitung. Bitung diprioritaskan menjadi sentra industri pengolahan hasil perikanan di Indonesia bagian timur yang mampu masuk ke pasar internasional. Dengan adanya pembangunan infrastruktur yang diharapkan akan menaikkan perekonomian Sulawesi Utara pada khususnya dan Indonesia pada umumnya, oleh karena itu dibutuhkan sumber daya manusia yang berpendidikan dan mempunyai skill yang bisa masuk ke sektor industri dan mampu bersaing dengan dengan tenaga kerja lainnya. Selain itu Sulawesi Utara memiliki salah satu kabupaten yaitu kabupaten Kepulauan Talaud dan kabupaten Sangihe yang berbatasan laut dengan negara

7 Philipina. Daerah perbatasan menjadi tempat strategis setiap negara untuk mempertahankan kedaulatannya. Sehingga pembangunan manusia seharusnya diperkuat dengan menaikkan kuantitas dan kualitas pendidikan. 1.2 Perumusan Masalah Tingkat pendidikan penduduk di Sulawesi Utara masih didominasi tamatan SD/MI/Paket A dan yang tidak/belum punya ijazah (Tabel 2). Tingginya proporsi penduduk yang berpendidikan rendah menunjukkan masih kurangnya persiapan terhadap sumber daya manusia yang nantinya akan menjadi pelaku ekonomi, faktor produksi bagi industri-industri yang akan dibangun. Rencana jangka panjang pemerintah mempercepat pembangunan ekonomi di kawasan timur Indonesia khususnya Sulawesi Utara melalui MP3EI membutuhkan tenaga kerja yang mampu masuk dan dianggap mampu bekerja di lapangan usaha. Jika masyarakat Sulawesi Utara tidak siap dengan percepatan pembangunan yang akan berlangsung di tahun mendatang maka tujuan percepatan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan juga sulit untuk terwujud karena kurangnya persiapan di sumber daya manusia. Tabel 2 Persentase Penduduk Umur 10 Tahun Keatas Berdasarkan Pendidikan yang Ditamatkan Tahun 2010 Pendidikan yang ditamatkan Persentase (%) Tidak/Belum punya ijazah 20,78 SD/MI/Paket A 27,31 SLTP/MTs/Paket B 19,34 SMU/MA/Paket C 19,98 SMK 5,71 Diploma I/II 0,83 DIII/Sarjana Muda 1,16 DIV/S1 keatas 4,88 Sumber: Statistik Kesra Sulawesi Utara Tahun 2011 (diolah) Sejak desentralisasi fiskal telah terjadi proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah. Distribusi anggaran tersebut untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan (Sobari, 2011). Dengan adanya desentralisasi kewenangan dan manajemen keuangan yang ditangani langsung oleh daerah, diharapkan masalah di sektor pendidikan juga

8 dapat diatasi. Daerah lebih leluasa untuk mengatur kebijakan di sektor pendidikan tanpa harus bergantung sepenuhnya kepada pemerintah pusat. Namun, desentralisasi keuangan yang telah dilakukan sejak tahun 2001 menunjukkan masih terjadi ketimpangan pencapaian pendidikan dasar di Indonesia. Dana Alokasi Khusus untuk sektor pendidikan belum menjadi prioritas alokasi anggaran. Tidak adanya standar dalam alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk sektor pendidikan di setiap kabupaten/kota di Indonesia sebagai salah satu penyebab tidak meratanya pencapaian pendidikan dasar (Suryadarma et al. 2005). Hal ini menjadi suatu kenyataan yang ironis karena daerah belum memahami esensi pendidikan dasar terhadap pembangunan di daerah. Provinsi Sulawesi Utara merupakan provinsi yang cukup mengalami perkembangan di era otonomi daerah. Sebelum era otonomi daerah, Sulawesi Utara hanya memiliki 5 kabupaten/kota. Setelah desentralisasi fiskal sampai tahun 2011 jumlah daerah tingkat II menjadi 15 yaitu 11 kabupaten dan 4 kota. Apakah dengan banyaknya kabupaten kota yang mekar juga mendorong peningkatan pencapaian di bidang pendidikan. Tidak dapat dipisahkan juga adanya faktor-faktor lain yang menyebabkan ketimpangan pencapaian pendidikan dasar. Menurut UNESCO (2008) faktorfaktor penyebab belum meratanya pencapaian pendidikan dasar dapat berupa faktor geografis, tingkat pendapatan suatu daerah, faktor kultural, individu bahkan faktor kemiskinan suatu keluarga. Beragamnya permasalahan pendidikan di Indonesia khususnya di Sulawesi Utara menjadi kajian penelitian yang menarik untuk diteliti sehingga perlu dianalisis faktor-faktor apa yang dapat mendorong peningkatan pendidikan dasar di Sulawesi Utara. Berdasarkan uraian permasalahan diatas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana dinamika pendidikan dasar di Sulawesi Utara? 2. Faktor-faktor apa yang memengaruhi pendidikan dasar di Sulawesi Utara? 3. Bagaimana hubungan faktor sosial, ekonomi dan geografis memengaruhi partisipasi sekolah usia 7-15 tahun?

9 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah maka secara umum tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian adalah: 1. Mengkaji dinamika pendidikan dasar di Sulawesi Utara. 2. Mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi partisipasi pendidikan dasar di Sulawesi Utara. 3. Mengkaji hubungan faktor sosial ekonomi, demografi terhadap partisipasi anak untuk bersekolah di pendidikan dasar di Sulawesi Utara. 1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain adalah memberikan informasi mengenai faktor-faktor yang memengaruhi pendidikan dasar di Sulawesi Utara dan memberikan rekomendasi kebijakan kepada pencapaian pendidikan dasar berdasarkan faktor-faktor yang didapat. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini dilakukan terhadap seluruh kabupaten/kota di provinsi Sulawesi Utara kurun waktu 2008-2010. Untuk kepentingan penelitian, kabupaten/kota yang mengalami pemekaran setelah tahun 2008 diagregasikan ke kabupaten/kota induk sebelum pemekaran. Sehingga data yang akan digunakan sebanyak 13 kabupaten/kota selama 2008-2010. Data yang digunakan berupa data sekunder, yaitu data partisipasi sekolah untuk usia 7-12 tahun, partisipasi sekolah untuk usia 13-15 tahun, pengeluaran riil program pendidikan dasar, alokasi dana bantuan operasional sekolah (BOS), persentase angka kemiskinan, pendapatan perkapita, persentase kepala rumah tangga yang berpendidikan diatas SD, persentase rumah tangga yang memiliki anggota rumah tangga diatas 5 orang, serta data-data yang relevan dengan penelitian. Data bersumber dari Badan Pusat Statistik, Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan Daerah Kementrian Keuangan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dan sumber-sumber lainnya. Dalam penelitian ini tidak memasukkan unsur faktor kualitas mutu pendidikan dasar, dan faktor kultural di masing-masing kabupaten/kota karena keterbatasan data.