1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota dapat dianggap sebagai suatu organisme hidup yang terus tumbuh dan berkembang dengan tingkat yang berbeda-beda, tuntutan terhadap ruang akan berlangsung terus, sementara ruang/lahan yang tersedia dan sesuai untuk menampung kegiatan perkotaan adalah tetap dan terbatas. Dalam kurun waktu tertentu, terutama jangka panjang, permasalahan kota tersebut dapat menimbulkan persoalan yang kompleks dan akan menyangkut segala aspek, baik bagi kota yang bersangkutan maupun wilayah belakangnya (hinterland). Permasalahan tersebut tidak hanya merupakan permasalahan fisik ruang, tetapi juga menyangkut fungsi dan struktur tata ruang serta fungsi ekologis yang pada akhirnya akan berpengaruh kepada perkembangan kota tersebut selanjutnya. Kota merupakan konsentrasi penduduk, material, dan energi dalam suatu area geografi yang relatif kecil sebagai fasilitas yang berfungsi sosial. Perkembangan kota sering menurunkan kualitas lingkungan lokal dan regional seperti lanskap alami yang digantikan dengan material antroposentris (Nowak, 2006) Meningkatnya jumlah penduduk kota menyebabkan meningkatnya kebutuhan ruang untuk permukiman, industri dan perkantoran. Hal ini menyebabkan semakin berkurangnya tutupan vegetasi di wilayah perkotaan. Konversi lahan dan tata ruang yang tidak sesuai peruntukan merupakan awal dari kerusakan lingkungan yang perlu segera ditanggulangi, yaitu dengan upaya pencegahan yang mendasar, sehingga daerah wilayah kota akan tetap menjadi daerah yang nyaman dan sehat. Pepohonan di kota mempunyai fungsi alami yang dapat meningkatkan kualitas lingkungan dan kesehatan manusia di dalam dan di sekitar area kota. Keuntungan tersebut termasuk perbaikan kualitas udara dan air, konservasi energi, pendingin temperatur udara, dan banyak fungsi lingkungan lainnya serta keuntungan sosial (Nowak, 2006).
Kota Sintang dengan luas 4.587 hektar sebagai Ibukota Kabupaten Sintang merupakan salah satu kota yang berada di jalur pelayaran Sungai Kapuas. Kota ini dibagi menjadi 3 Bagian Wilayah Kota (BWK) sesuai pembagian akibat aliran Sungai Kapuas dan Sungai Melawi. Secara administrasi, Kota Sintang meliputi tujuh kelurahan, yaitu: Kelurahan Kapuas Kanan Hulu, Kapuas Kiri Hilir, Tanjung Puri, Ladang, Kapuas kiri hulu, Kapuas Kiri Hilir dan Desa Baning Kota. Kota Sintang mempunyai jumlah penduduk sebanyak 53.151 jiwa. Rata-rata angka pertumbuhan penduduk dari tahun 2000 2006 adalah 3,93 % per tahun (BPS, 2007). Perkembangan Kota Sintang diikuti dengan perubahan penutupan dan penggunaan lahan seperti dibukanya lahan-lahan baru untuk bangunan dan jalan. Ketimpangan dalam pemanfaatan lahan menyebabkan perubahan lahan yang tidak terkendali sehingga kawasan hutan yang semula dilindungi oleh vegetasi alami berubah menjadi kawasan terbuka. Perubahan tata guna lahan tersebut mengubah karakteristik hidrogeografis kawasan tersebut dan secara langsung mengancam tata guna airnya (Sunaryo et al., 2007). Bertambahnya jumlah penduduk juga meningkatkan kebutuhan sumber daya alam seperti kebutuhan air bersih. Air tawar yang bersih sangat diperlukan oleh manusia untuk keperluan minum, masak, mandi, menyiram tanaman, mencuci pakaian, membersihkan rumah dan mobil. Air bersih diperoleh dari mata air yang letaknya kadang-kadang jauh di luar kota atau hasil dari olahan air sungai. Kesemuanya itu akan memerlukan biaya yang tinggi (Dahlan, 2004). Sungai Kapuas dan Sungai Melawi yang membagi Kota Sintang menjadi tiga wilayah merupakan sumber bahan baku air bersih yang dikelola oleh PDAM Kota Sintang. Sungai Kapuas mempunyai hulu di Kabupaten Kapuas Hulu dan Sungai Melawi mempunyai hulu di Kabupaten Melawi. Air baku diolah hingga menjadi air bersih, namun karena sumber air baku yang tidak jernih dan proses pengolahan yang tidak sempurna, maka air yang dihasilkan kualitasnya kurang bagus dilihat dari warna dan bahan-bahan yang terkandung di dalamnya.
Berdasarkan hasil pengukuran kualitas air oleh Bapedalda tahun 2006 pada Sungai Kapuas dan Sungai Melawi menunjukkan bahwa kualitas air tersebut di atas ambang batas yang telah ditetapkan pemerintah tentang Standar Kualitas Air di Perairan Umum (Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1990) untuk parameter air raksa, BOD, COD dan timbal. Hal ini disebabkan karena telah menurunnya kualitas lingkungan pada ke dua DAS tersebut akibat kegiatan pembukaan hutan (deforestasi) dan penambangan emas liar. PDAM Kota Sintang memiliki tiga mesin penyedot dan instalasi pengolahan air. Ketiga mesin penyedot air tersebut disesuaikan dengan tiga Bagian Wilayah Kota yang memang dibatasi oleh aliran Sungai Melawi dan Sungai Kapuas. Total kapasitas produksi dari 121 liter/detik atau setara dengan 3.815.856 m 3 /tahun (Bapeda Kota Sintang, 2008). Jangkauan pelayanan PDAM yang rendah karena baru dapat melayani 30% dari sasaran pengguna air bersih di perkotaan. Persentase tersebut belum memenuhi standar rata-rata cakupan pelayanan menurut Kepmendagri 47/1999 yaitu 60% (Bapeda Kota Sintang, 2006). Belum maksimalnya kapasitas produksi air bersih PDAM Kota Sintang menyebabkan kosumen belum dapat terlayani secara maksimal. Sumber air yang digunakan tidak sesuai standar kualitas air menurut PP. No. 20 tahn 1990, jangkauan pelayanan yang masih rendah serta waktu pengaliran air tidak 24 jam menyebabkan banyak pelanggan berhenti berlangganan dengan PDAM. Dari hasil laporan kinerja PDAM Kota Sintang diketahui bahwa pada tahun 2003 terdapat 7.048 sambungan, sedangkan tahun 2007 tersisa 3.028 sambungan. Masyarakat yang tidak terlayani PDAM mengusahakan sendiri dengan membuat sumur bor, kolam dan memanfaatkan air hujan. Peningkatan penggunaan sumur bor menyebabkan peningkatan penggunaan air tanah. Proyeksi kekurangan pasokan air bagi masyarakat Kota Sintang yang dilakukan oleh Bapeda Kota Sintang (2008) untuk tahun 2011 sebesar 5.133.668 liter/hari dan pada tahun 2016 menjadi 10.604.180 liter/hari. Belum optimalnya layanan kepada masyarakat dan menurunnya produksi air bersih pada musim kemarau menyebabkan sebagian masyarakat mengambil langsung dari sungai, kolam, sumur-sumur bor dan membeli air dari tangki-tangki mobil yang menjual air bersih.
Menjaga ketersediaan dan meningkatkan air tanah dapat dilakukan dengan cara membangun hutan kota. Hutan Kota memiliki derajat kerembesan tanah yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jenis permukaan lainnya. Permukaan tanah yang ditutupi dengan kombinasi pepohonan memiliki kemampuan infiltrasi yang tinggi. Sistem perakaran tanaman dan serasah yang berubah menjadi humus akan memperbesar jumlah pori tanah. Karena humus bersifat lebih higroskopis dengan kemampuan menyerap air yang besar maka kadar air tanah hutan akan meningkat. Jika hujan lebat terjadi, maka air hujan akan turun masuk meresap ke lapisan tanah yang lebih dalam menjadi air infiltrasi dan air tanah serta hanya sedikit yang menjadi air limpasan. Dengan demikian pelestarian hutan pada daerah resapan air dari kota yang bersangkutan akan dapat membantu mengatasi masalah air dengan kualitas yang baik. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota, disebutkan bahwa Hutan Kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan, baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang. Hutan kota merupakan bagian dari ruang terbuka hijau kota. Ruang terbuka hijau kota terdiri dari ruang terbuka hijau non hutan kota dan ruang terbuka hijau hutan kota. Ruang terbuka hijau non hutan kota terdiri dari: hutan, kebun, sawah, semak, dan rumput, sedangkan ruang terbuka hijau hutan kota adalah areal bervegetasi pohon yang sudah dikukuhkan sebagai kawasan hutan kota, untuk selanjutnya disebut hutan kota, sedangkan ruang terbuka non hutan kota disebut ruang terbuka hijau saja (Dahlan, 2007). Alasan memilih hutan kota antara lain: (1). Mengingat sudah dikukuhkan, maka alih fungsi lahan menjadi agak sulit, (2). Pembangunan hutan kota mempunyai tujuan yang jelas dalam pengelolaan lingkungan, (3). Biomassa daun yang banyak dapat meningkatkan kesejukan dan kenyamanan (Grey dan Deneke, 1978, Robinette 1983 dalam Dahlan, 2007), (4). Hutan kota tidak membutuhkan perawatan yang intensif dibandingkan taman kota. Oleh sebab itu, dana yang diperlukan untuk perawatan dan pemeliharaan relatif murah, (5). Merupakan habitat yang baik untuk burung dan satwa liar lainnya (Dahlan, 2007).
Pendekatan pembangunan hutan kota yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan parsial yakni menyisihkan sebagian dari kota untuk kawasan hutan kota (Dahlan, 2004). Untuk mengetahui seberapa luas hutan kota yang diperlukan maka dilakukan penelitian Analisis Kebutuhan Hutan Kota untuk Menjaga Ketersedian Air Di Kota Sintang berdasarkan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan kebutuhan air bersih masyarakat Kota Sintang. Hasil perhitungan tersebut disesuaikan dengan kondisi ruang terbuka hijau yang ada sekarang dan Rencana Detail Tata Ruang Kota sehingga diperoleh luas hutan kota yang dibutuhkan sesungguhnya. 1.2 Perumusan Masalah Penduduk Kota Sintang terus meningkat yang diikuti dengan pembangunan fisik kota seperti pemukiman yang dilengkapi dengan pusat perdagangan dan transportasi umum. Pembangunan fisik tersebut menggusur lanskap alami seperti hutan. Dampak dari kegiatan tersebut menyebabkan berkurangnya daerah tutupan bervegetasi yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air. Kebutuhan air bagi masyarakat Kota Sintang juga akan bertambah seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk sehingga ketersediaan air perlu dijaga. Untuk menjaga ketersedian air tersebut dapat dilakukan dengan membangun hutan kota sehingga rumusan permasalahan penelitian ini adalah berapa luas hutan kota yang harus disediakan untuk menjaga ketersedian air bagi masyarakat Kota Sintang. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah menentukan luas hutan kota untuk menjaga ketersediaan air di Kota Sintang. Untuk mencapai tujuan umum tersebut maka ada beberapa tujuan khusus lainnya yaitu: 1. Mengidentifikasi laju perubahan lahan hutan dan lahan terbangun. 2. Menghitung kebutuhan dan ketersediaan air bersih di Kota Sintang 3. Mengidentifikasi potensi hutan kota di Kota Sintang.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu, sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan bagi pihak pemerintah daerah dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Kota Sintang. Kemudian diharapkan dapat menjadi bahan rujukan dan pembanding bagi kota-kota lain yang mengalami permasalahan pembukaan lahan hutan dan ketersediaan air. 1.5 Kebaharuan Penelitian Penelitian yang pernah dilakukan di Kota Sintang yaitu penentuan luas Ruang Terbuka Hijau menggunakan standar yang ditetapkan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah dan tidak melakukan analisis perubahan penutupan lahan. Kebaharuan penelitian ini adalah menentukan kebutuhan luasan hutan kota berdasarkan kebutuhan air masyarakat Kota Sintang, menganalisis perubahan lahan dan memperhitungkan daya dukung jumlah penduduk dan luasan lahan terbangun.