BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh rata-rata jumlah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. semua bagian dari tubuh rusa dapat dimanfaatkan, antara lain daging, ranggah dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. unggas air yang cocok untuk dikembangbiakkan di Indonesia. Sistem

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

JUMLAH SEL DARAH MERAH, KADAR HEMOGLOBIN, DAN NILAI HEMATOKRIT LUAK JAWA (Paradoxurus hemaphroditus) PURNOMO

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Permintaan masyarakat terhadap sumber protein hewani seperti daging, susu, dan

TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Kucing Karakteristik Kucing

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. rusak dan terkontaminasi oleh zat-zat yang tidak berbahaya maupun yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Obat adalah zat yang digunakan untuk terapi, mengurangi rasa nyeri, serta

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Indek Eritrosit (MCV, MCH, & MCHC)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. rawat inap di RSU & Holistik Sejahtera Bhakti Kota Salatiga. kanker payudara positif dan di duga kanker payudara.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (cairan darah) dan 45% sel-sel darah.jumlah darah yang ada dalam tubuh sekitar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam broiler merupakan ayam ras tipe pedaging yang umumnya dipanen

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Darah merupakan media transportasi yang membawa nutrisi dari saluran

HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan

BAB 1 PENDAHULUAN. masa kehamilan. Anemia fisiologis merupakan istilah yang sering. walaupun massa eritrosit sendiri meningkat sekitar 25%, ini tetap

HASIL DAN PEMBAHASAN. diberi Fructooligosaccharide (FOS) pada level berbeda dapat dilihat pada Tabel 5.

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Viskositas darah didefinisikan sebagai kontribusi faktor reologik darah terhadap

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hemoglobin. Hemoglobin Burung Merpati Jantan dan Betina sebelum dan sesudah Dilatih Terbang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia. Pertama, kurang energi dan protein yang. kondisinya biasa disebut gizi kurang atau gizi buruk.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memenuhi fungsinya untuk membawa O 2 dalam jumlah yang cukup ke

HASIL DAN PEMBAHASAN. ternak. Darah terdiri dari dua komponen berupa plasma darah dan bagian padat yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan rekayasa genetik dari bangsa-bangsa ayam dengan produktivitas tinggi,

BAB I PENDAHULUAN. lain. Salah satu fungsi darah adalah sebagai media transport didalam tubuh, volume darah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Tahap Persiapan Hewan Percobaan Aklimatisasi Domba

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Total Protein Darah Ayam Sentul

PENDAHULUAN. puyuh (Cortunix cortunix japonica). Produk yang berasal dari puyuh bermanfaat

BAB I PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya. manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan gagalnya pertumbuhan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tubuh, membawa nutrisi, membersihkan metabolisme dan membawa zat antibodi

GAMBARAN DARAH ANJING KAMPUNG JANTAN (Canis familiaris) UMUR 3 SAMPAI 7 BULAN KRESNA NURDIN NUNU NUGRAHA

HEMATOLOGI KLINIK ANJING PENDERITA DIROFILARIASIS. Menurut Atkins (2005), anjing penderita penyakit cacing jantung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi

TINJAUAN PUSTAKA. Guntoro (2002) menyatakan bahwa sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oksigen. Darah terdiri dari bagian cair dan padat, bagian cair yaitu berupa plasma

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Jumlah Sel Darah Merah. dapat digunakan untuk menilai kondisi kesehatan ternak.

I. PENDAHULUAN. atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur

Curriculum vitae Riwayat Pendidikan: Riwayat Pekerjaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut W.J.S Poerwodarminto, pemahaman berasal dari kata "Paham

5 KINERJA REPRODUKSI

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. TINJAUAN PUSTAKA. plasma dan sel darah (eritrosit, leukosit, dan trombosit), yang masing -masing

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Central RSUP Dr. Kariadi

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Salah satu kondisi berbahaya yang dapat terjadi. pada ibu hamil adalah anemia.

BAB 1 PENDAHULUAN. Defisiensi besi merupakan gangguan nutrisi yang secara umum. terjadi di seluruh dunia dan mengenai lebih kurang 25% dari seluruh

TINJAUAN PUSTAKA. genetis ayam, makanan ternak, ketepatan manajemen pemeliharaan, dan

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM BIOLOGI PERHITUNGAN JUMLAH ERITROSIT DARAH

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Peralatan Prosedur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dinamakan sebagai pembuluh darah dan menjalankan fungsi transpor berbagai

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam bentuk. variabel tertentu ( Istiany, 2013).

I. PENDAHULUAN. tersebut merupakan faktor pendukung keberhasilan budidaya sapi Bali (Ni am et

PENDAHULUAN. Tingkat keperluan terhadap hasil produksi dan permintaan masyarakat berupa daging

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan

BAB I PENDAHULUAN. mengandung protein dan zat-zat lainnya seperti lemak, mineral, vitamin yang

BAB I PENDAHULUAN. trimester III sebesar 24,6% (Manuba, 2004). Maka dari hal itu diperlukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Darah adalah cairan yang terdapat pada semua makhluk hidup (kecuali

GAMBARAN DARAH ANJING KAMPUNG JANTAN (Canis familiaris) UMUR 3 SAMPAI 7 BULAN KRESNA NURDIN NUNU NUGRAHA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Ketersediaan kantong darah di Indonesia masih. sangat kurang, idealnya 2,5% dari jumlah penduduk untuk

I. PENDAHULUAN. Broiler adalah ayam yang memiliki karakteristik ekonomis, memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Donasi darah merupakan proses pengambilan darah. secara sukarela dari seseorang kemudian darahnya akan

I. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Profil Kecamatan Bangkinang Seberang, Kecamatan

B A B I PENDAHULUAN. pembangunan dalam segala bidang. Pertumbuhan ekonomi yang baik,

HUBUNGAN ASUPAN ZAT BESI DENGAN KADAR HEMOGLOBIN DAN KADAR FERRITIN PADA ANAK USIA 6 SAMPAI 24 BULAN DI PUSKESMAS KRATONAN SURAKARTA

statistik menggunakan T-test (α=5%), baik pada perlakuan taurin dan tanpa diberi Hubungan kematangan gonad jantan tanpa perlakuan berdasarkan indeks

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Ayam petelur fase layer yang digunakan untuk penelitian dipelihara di CV.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terus

GAMBARAN HEMATOLOGI DOMBA SELAMA TRANSPORTASI : PERAN MULTIVITAMIN DAN MENIRAN

BAB 1 PENDAHULUAN. negara berkembang, termasuk. Riskesdas, prevalensi anemia di Indonesia pada tahun 2007 adalah

I PENDAHULUAN. peternakan. Penggunaan limbah sisa pengolahan ini dilakukan untuk menghindari

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

INTERPRETASI HASIL LABORATORIUM DISTEMPER ANJING

BAB I PENDAHULUAN. berbagai negara, dan masih menjadi masalah kesehatan utama di. dibandingkan dengan laki-laki muda karena wanita sering mengalami

Transkripsi:

16 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Luak yang digunakan dalam penelitian ini, adalah luak yang berasal dari hasil tangkapan liar yang diperoleh dari pengepul satwa di pasar hewan Jatinegara dan pasar hewan Pramuka di daerah Jakarta. Hasil pengukuran bobot luak yang digunakan adalah memiliki kisaran 2-2.5 kg. Secara visual testis pada luak jantan sudah terlihat dengan jelas, memiliki bentuk yang mirip dengan testis kucing, namun belum tercium bau khas luak yaitu bau khas daun pandan. Secara alamiah luak jantan dewasa akan mensekresikan minyak beraroma daun pandan yang berasal dari kelenjar sekretori di sekitar testis dan penisnya. Sekreta tersebut berguna untuk menarik luak betina ketika masa kawin, dan juga sebagai penanda wilayah teritorial luak jantan karena luak termasuk hewan yang soliter atau hidup menyendiri. Menurut Rodriguez et al. (2000) penandaan wilayah dilakukan karena adanya dominasi suatu individu atau kelompok hewan tertentu dalam suatu wilayah. Luak yang digunakan dalam penelitian ini memiliki gigi runcing dan berukuran kecil. Menurut Patau et al. (2010) luak dewasa memiliki empat buah gigi premolar atas dan gigi molar atas. Berdasarkan hasil pengamatan visual tersebut luak yang digunakan dalam penelitian ini termasuk ke dalam kisaran umur yang masih muda atau masa menjelang dewasa yaitu umur dibawah 12 bulan. Menurut Shiroff (2002), luak dapat hidup lebih dari 22 tahun. Luak dikatakan dewasa kelamin ketika berumur 11-12 bulan. Luak dewasa memiliki bobot tubuh 2-5.5 kg. Panjang tubuh luak dewasa mencapai 43.2-71 cm dan panjang ekor mencapai 40.6-66 cm. Selama penelitian berlangsung, dilakukan pengamatan terhadap adaptasi luak pada lingkungan yang baru. Pada saat luak datang dan dikandangkan dalam kandang besi, pola tingkah laku luak terlihat sangat agresif dengan manifestasi luak tersebut selalu ingin menyerang. Nafsu makan luak sangat rendah ditandai dengan banyak terdapat sisa makanan yang tidak dimakan oleh luak. Setiap harinya luak selalu berada dipojok kandang, tidur meringkuk menjauh dari pintu kandang. Ketika kandang luak dibersihkan dan waktu pemberian pakan, luak lari ketakutan menabrak-nabrak kandang dan berusaha menggigit tangan, keadaan

17 tersebut berlangsung kurang lebih 3 minggu. Pada minggu ke 5 dan seterusnya luak sudah mulai beradaptasi dengan baik terhadap kondisi kandang dan lingkungan kandang. Nafsu makan luak menjadi baik dengan sisa pakan yang sangat sedikit. Ketika dilakukan pemberian pakan dan pembersihan kandang, luak berusaha menghampiri ke arah pintu atau tetap tidur tanpa ada rasa terganggu. 4.1. Gambaran Butir Darah Merah ( BDM ) Luak Jawa Saat Datang dan Selama Proses Adaptasi Pengamatan terhadap gambaran butir darah merah luak mulai dilakukan secara berkelanjutan dari awal ketika luak baru datang hingga pengambilan darah ke 4 dengan selang waktu pengambilan darah selama 1 minggu. Gambaran butir darah merah luak diamati dengan melihat preparat ulas darah merah dan menghitung jumlah butir darah merah luak. 4.1.1 Gambaran Preparat Ulas Darah Merah Luak Jawa Gambar 2. Hasil pengamatan preparat ulas darah luak Jawa dapat dilihat pada Gambar 2. Hasil ulas darah luak Jawa pada pengambilan darah ke 3, dengan perbesaran mikoskop 1000x. Tanda panah menunjukan bentuk rouleaux. Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa sel darah merah luak mirip dengan sel darah merah mamalia lainnya, yaitu berbentuk bikonkaf dan tidak memiliki inti sel. Sel darah merah mamalia tidak memiliki inti sel, sedangkan pada bangsa burung, ikan, reptil, dan amfibi memiliki inti sel (Guyton 1997). Sel darah mamalia jika dilihat dari atas terlihat bulat, akan tetapi akan terlihat bikonkaf ketika dilihat dari samping, sehingga bagian tengah akan terlihat lebih cerah

18 (Silverthorn 2006). Sel darah merah luak memiliki kemiripan stuktur dengan sel darah merah kuda dan kucing, yaitu membentuk susunan tumpukan uang logam atau disebut juga rouleaux. Fenomena tersebut dapat dilihat pada sebagian besar preparat ulas darah luak, dari 40 hasil preparat ulas darah 5 di antaranya tidak menunjukan fenomena rouleaux. Hal tersebut terjadi karena hasil ulas darah yang terlalu padat. Pada sediaan natif sel darah merah sering terlihat seperti tumpukan uang logam (Rouleaux) yang disebabkan adanya daya tarik permukaan sel (surface traction) (Hartono 1995). Fenomena bentukan rouleux pada sel darah merah dapat terjadi karena adanya daya tarik permukaan antar sel darah merah dan jumlah sel darah merah yang padat dalam suatu bidang pandang. Menurut Stain (2012), fenomena rouleaux merupakan suatu keadaan fisiologis dari ikatan protein plasma yang dapat ditemukan pada ulas darah kuda dan kucing. Rouleaux terjadi akibat adanya ikatan anti bodi yang terdapat pada permukaan eritrosit satu sama lainnya sehingga membentuk tumpukan sel darah merah. Fenomena rouleaux juga dimungkinkan terjadi akibat penyakit immune-mediated hemolytic anemia, dan juga cryoglobulinemia (jarang terjadi). Fenomena rouleaux pada kuda dan kucing dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Preparat natif sel darah kuda 500x (sebelah kiri) (Sumber : Stain 2012) dan kucing 1000x (sebelah kanan) (Sumber: Rinnie 2011). 4.1.2 Jumlah Butir Darah Merah (BDM) Luak Jawa Pada saat penghitungan jumlah BDM, pengencer yang digunakan adalah larutan NaCl fisiologis 0.9%. Karena pada saat dilalukan pengenceran dengan menggunakan Hayem, ternyata sel darah merah tidak dapat terencerkan dengan

19 baik. NaCl fisiologis 0.9% dapat digunakan sebagai pengencer karena tidak merusak darah dan dianggap lebih dapat menguraikan tumpukan butir darah merah sehingga butir darah merah dapat diamati dengan baik. Kasus penggunaan pengencer NaCl fisiologis ini dilaporkan terkadang terjadi pada darah kucing dan domba. Nilai jumlah butir darah luak Jawa jantan dan luak Jawa betina pada saat datang dan selama proses adaptasi dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Rataan jumlah butir darah merah ( x 10 6 /ml) luak Jawa jantan dan luak Jawa betina pada saat datang dan selama proses adaptasi. Pengambilan Darah ke- Jenis kelamin 1 2 3 4 Jantan 11.69±1.92 b 8.46±1.15 a 9.63±1.81 ab 8.81±2.16 ab Betina 9.01±1.13 a 7.81±1.42 a 8.88±1.67 a 8.40±2.40 a Keterangan: - Superskip dengan huruf yang sama pada baris yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 5% (p<0,05). - Data disajikan : rataan ± standar deviasi Seperti yang terlihat pada Tabel 3, jumlah butir darah luak Jawa jantan dan luak Jawa betina memiliki pola fluktuasi yang hampir sama. pada pengambilan darah ke 1 jumlah BDM luak relatif tinggi, kemudian mengalami penurunan pada pengambilan darah ke 2. Pada pengambilan darah ke 3 jumlah BDM luak mulai naik sedangkan pada pengambilan darah ke 4 mengalami penuruanan jumlah BDM, namun jumlahnya masih dalam kisaran yang sama. Pada luak jantan terlihat penurunan secara draktis dan terlihat berbeda nyata pada pengambilan darah ke 1 menuju pengambilan darah ke 2. Pada pengambilan darah ke 3 dan ke 4 ternyata luak jantan menunjukan peningkatan jumlah butir darah merah sehingga kisarannya kembali sama dengan kisaran butir darah merah pada pengambilan darah ke 1. Pada pengambilan darah ke 1 terlihat jumlah BDM luak Jawa hampir sama dengan jumlah BDM luak dari Thailand. Pengambilan darah ke 1 dilakukan pada saat luak baru saja sampai di kandang penelitian. Jumlah BDM pada pengambilan darah tersebut dapat diduga sebagai keadaan darah luak pada saat di alam liar atau justru dalam keadaan stres karena proses penangkapan

20 seperti yang terlihat pada pola tingkah lakunya. Teknik penangkapan dan imobilisasi atau handling hewan sangat mempengaruhi tingkat stres hewan (Mudappa dan Chellam 2001). Stres dilaporkan dapat meningkatkan jumlah butir darah merah karena adanya pelepasan epinefrine. Pada pengambilan darah yang ke 2 yaitu pada minggu ke 5 setelah luak dikandangkan dalam kandang penelitian, luak dinilai telah melalui proses adaptasi. Jumlah BDM pada pengambilan darah ke 2 tersebut mengalami penurunan, dari 8 ekor luak yang digunakan 7 ekor diantaranya mengalami penurunan jumlah BDM. Pada pengambilan darah ke 2 ini kemungkinan luak mulai dapat beradaptasi. Hal tersebut juga terlihat pada pengamatan visual bahwa pada minggu ke 5 luak sudah mulai merasa tenang ketika dilakukan pembersihan kandang dan pemberian pakan. Secara umum pengambilan darah ke 3 dan ke 4 jumlah BDM terlihat lebih stabil kemungkinan pada saat inilah luak sudah mampu beradaptasi dengan baik pada lingkungan barunya. Pada pengambilan darah ke 4 ternyata jumlah BDM mengalami penurunan namun masih dalam kisaran yang sama dengan pengambilan darah yang ke 3 sehingga jumlah darah merah yang diperoleh dapat dianggap sebagai jumlah BDM normal luak Jawa pada perawatan dalam kandang. Jumlah BDM tersebut sebanding dengan nilai rata-rata jumlah BDM keseluruhan luak. Jika dibandingkan dengan jumlah BDM luak yang berasal dari Thailand ternyata jumlah butir darah merah luak Jawa ini berada pada kisaran bawah dari kisaran jumlah BDM luak dari Thailand yaitu 10.1-16.5 x 10 6 /ml (Salakij et al. 2007). Hal tersebut mungkin terjadi karena luak Jawa yang digunakan dalam penelitian ini masih muda. Jika dilihat dari bobot badan dan kondisi visual luak Jawa yang digunakan dalam penelitian ini, maka luak Jawa ini masih tergolong dalam umur yang masih muda atau menjelang dewasa sehingga jumlah butir darah merah yang diperoleh belum optimal. Keadaan tersebut dapat diangggap sebagai kondisi yang fisiologis. Menurut Shiroff (2002), luak dikatakan dewasa kelamin ketika berumur 11-12 bulan. Luak dewasa memiliki bobot tubuh 2-5.5 kg. Panjang tubuh luak dewasa mencapai 43.2-71 cm dan panjang ekor mencapai 40.6-66 cm. Jumlah BDM luak Jawa jantan terlihat lebih tinggi dari pada rata-rata jumlah BDM luak Jawa betina, namun keduanya masih dalam kisaran yang sama. Luak Jawa jantan memiliki kisaran jumlah BDM 7.64-11.76 x 10 6 /ml, sedangkan

21 luak Jawa betina memiliki kisaran jumlah BDM 6.96-10.24 x 10 6 /ml. Kisaran jumlah BDM luak Jawa tersebut ternyata memiliki kemiripan dengan kisaran jumlah BDM anjing (5.5-8.5 x 10 6 /ml) dan kucing (5.0-10.0 x 10 6 /ml) (Rebar 2000). Menurut Swenson (1997) jumlah sel darah merah dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah umur, jenis kelamin, latihan, keadaan gizi, laktasi, kebuntingan, pelepasan epineprin, siklus estrus, ras, volume darah, waktu harian, lingkungan, dan ketinggian. Secara fisiologis peningkatan jumlah butir darah merah dapat diakibatkan pengaruh dari peningkatan jumlah pembuluh darah kecil pada jaringan yang sedang tumbuh seiring peningkatan bobot badan hewan (Lawrence dan Fowler 2002). Menurut Brown dan Dellmann (1992) pertambahan umur berbanding lurus dengan peningkatan jumlah butir darah merah. Peningkatan jumlah butir darah merah memiliki pola yang sama dengan kadar hemoglobin dan hematokrit (Evans et al. 2006). Peningkatan jumlah sel darah merah yang lebih dari kisaran normal disebut polisitemia. Polisitemia dipicu oleh eritropoiesis yang berlebihan. Eritropoiesis adalah proses pembentukan sel darah merah. Peningkatan proses eritropoiesis dipicu oleh peningkatan hormon eritropoietin yang dihasilkan oleh ginjal sebagai kompensasi dari keadaan deoksigenasi jaringan. Menurut Rebar (2000) polisitemia terdiri dari polisitemia relatif dan absolut. Polisitemia relatif terjadi akibat dehidrasi pada hewan, sedangkan polisitemia absolut terjadi akibat adanya peningkatan produksi erithropoetin sebagai kompensasi dari berkurangnya suplai oksigen ke jaringan. Penurunan jumlah BDM dan hematokrit yang menyebabkan terjadinya penurunan hemoglobin disebut anemia (Hoffbrand 2005). Anemia dapat terjadi karena pembentukan darah yang kurang memadai akibat dari kurangnya nutrien tertentu. Anemia juga disebabkan oleh hilangnya darah akibat pendarahan karena luka maupun investasi parasit (Aroon at al. 2009). Selain itu anemia juga disebabkan karena laju hemolisis sel darah merah lebih cepat dari pada pembentukan sel darah merah yang baru sehingga dilepaskan sel darah merah yang belum masak atau reticulosit dalam jumlah besar ( Frandson 1992).

22 4.2. Kadar Hemoglobin Luak Jawa Saat Datang dan Selama Proses Adaptasi Tabel 4. Rataan kadar hemoglobin (g/dl) luak Jawa jantan dan luak Jawa betina pada saat datang dan selama proses adaptasi. Pengambilan Darah ke- Jenis kelamin 1 2 3 4 Jantan 12.87±4.02 a 10.03±1.42 a 11.42±2.75 a 10.99±2.73 a Betina 11.05±2.62 a 11.16±4.67 a 9.47±1.71 a 8.78±0.85 a Keterangan: - Superskip dengan huruf yang sama pada baris yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 5% (p<0,05). - Data disajikan : rataan ± standar deviasi. Pada Tabel 4 terlihat kadar hemoglobin pada luak Jawa jantan lebih fluktuatif dibandingkan dengan kadar hemoglobin luak Jawa betina. Rataan kadar hemoglobin pada semua pengambilan darah baik pada luak jantan maupun luak betina tidak menunjukan perubahan yang signifikan. Pada pengambilan darah ke 1 yaitu pada saat luak baru sampai di kandang penelitian, ternyata kadar hemoglobin yang diperoleh memiliki kisaran yang sama dengan kadar hemoglobin luak dari Thailand. Rataan kadar hemoglobin luak Jawa ini berada pada batas bawah dari kisaran kadar hemoglobin luak Thailand. Kadar hemoglobin tersebut kemungkinan masih dalam keadaan normal, tergantung hasil perhitungan indeks eritrosit yaitu MCHC. Nilai MCHC tersebut dapat digunakan untuk menentukan kadar hemoglobin luak Jawa yang sebenarnya yaitu dalam keadaan normal atau termasuk ke dalam keadaan anemia. Menurut Nugraha (2007) dalam hasil penelitiannya terhadap gambaran darah anjing umur 3-7 bulan mengatakan bahwa jumlah BDM, hemoglobin dan PCV akan meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Menurut Ganong (2001) butir darah merah membawa hemoglobin dalam sirkulasi menuju organ, sehingga kadar hemoglobin sebanding dengan jumlah butir darah merah matang yang bersirkulasi dan nilai hematokritnya (Evans et al. 2006). Pada penelitian ini kadar hemoglobin sebanding dengan jumlah butir darah merah, yaitu tidak

23 menunjukan perbedaan yang signifikan, kecuali pada luak jantan saat pengambilan darah ke 1. Kadar hemoglobin luak jantan pada pengambilan darah ke 1 juga menunjukan nilai yang paling tinggi. Kisaran Kadar hemoglobin luak Jawa jantan 8.26-13.72 g/dl, sedangkan kisaran kadar hemoglobin luak Jawa betina 7.65-12.11 g/dl. Jika dibandingkan dengan kisaran kadar hemoglobin anjing (12-18 g/dl), kucing (8-15 g/dl) (Rebar 2000) dan luak dari Thailand (12.3-15.5 g/dl) (Salakij et al. 2007), ternyata rataan kadar hemoglobin luak Jawa ini berada dibawah kisaran dari ketiga hewan tersebut. Guyton (1997) menyatakan bahwa gambaran darah dipengaruhi oleh umur, gizi, tingkat stres, dan perubahan lingkungan. Penurunan jumlah hemoglobin sering terjadi akibat dari defisiensi nutrien yaitu zat besi (Fe) dari sumber pakan. Berkurangnya jumlah hemoglobin ini dapat dilihat dari penurunan nilai indeks eritrosit (MCV, MCH, dan MCHC), penurunan saturasi transferin, serta penurunan feritin atau hemosiderin pada sumsum tulang (Muhammad dan Sianipar 2005). 4.3. Nilai Hematokrit Luak Jawa Saat Datang dan Selama Proses Adaptasi Nilai hematokrit luak Jawa jantan dan luak Jawa betina pada saat datang dan selama proses adaptasi secara jelas terlihat pada Tabel 5. Tabel 5. Rataan nilai hematokrit (%) luak Jawa jantan dan betina pada saat datang dan selama proses adaptasi. Pengambilan Darah ke- Jenis kelamin 1 2 3 4 Jantan 36.19±10.38 a 26.38±4.11 a 34.33±5.62 a 36.83±5.21 a Betina 33.25±4.79 a 31.88±9.73 a 26.63±6.50 a 32.56±9.47 a Keterangan: - Superskip dengan huruf yang sama pada baris yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 5% (p<0,05). - Data disajikan : rataan ± standar deviasi. Nilai hematokrit yang terlihat pada Tabel 5, mengalami fluktuasi berupa penurunan nilai hematokrit pada pengambilan darah ke 2 untuk luak jantan dan pengambilan darah ke 3 untuk luak betina. Fluktuasi nilai hematokrit tersebut

24 masih dalam kisaran yang sama, yaitu terlihat tidak ada nilai hematokrit yang berbeda nyata pada semua pengambilan darah. Pada pengambilan darah ke 4 nilai hematokrit yang diperoleh hampir sama dengan nilai hematokrit pada pengambilan darah ke 1. Pada pengambilan darah ke 2 terjadi penurunan nilai hematokrit pada 4 ekor luak Jawa jantan. Hal tersebut sebanding dengan jumlah BDM dan hemoglobin luak jantan yang mengalami penurunan akibat proses adaptasi. Sedangkan pada pengambilan darah ke 3 untuk luak betina mengalami penurunan yang disebabkan oleh adanya 1 ekor dari 4 ekor luak betina yang memiliki nilai hematokrit yang sangat rendah yaitu 17%. Keseluruhan nilai hematokrit yang diperoleh dalam penelitian ini, jika dibandingkan dengan nilai hematokrit anjing (37-55 %) (Rebar 2000) dan luak dari Thailand (37.3-46.1 %) (Salakij et al. 2007) maka kisaran nilai hematokrit luak Jawa berada pada batas bawah kisaran kedua hewan tersebut. Kisaran nilai hematokrit luak Jawa jantan adalah 25.50-40.76 %, sedangkan kadar hematokrit luak Jawa betina sekitar 23.48-38.08 %. Nilai hematokrit luak Jawa ini memiliki kemiripan dengan nilai hematokrit kucing (30-45%) (Rebar 2000). Keadaan tersebut sebanding dengan kisaran jumlah BDM dan kadar hemoglobin luak yang berada pada batas bawah kisaran jika dibandingkan dengan kisaran hematologi anjing, kucing, dan luak dari Thailand. Hematokrit atau Packed Cell Volume (PCV) adalah persentase volume butir darah merah dalam 100 ml darah (Cunningham 2002). Hematokrit menggambarkan volume atau besar kecilnya ukuran sel darah merah (Frandson 1992), bukan menggambarkan jumlah sel darah merah yang dihitung karena banyak kelainan bentuk morfologi sel darah merah yang dapat mempengaruhi besarnya nilai hematokrit. Menurut Nuraini (2006), jumlah sel darah merah memiliki hubungan berbanding lurus dengan nilai hematokrit. Semakin tinggi jumlah sel darah merah maka semakin tinggi pula nilai hematokrit yang diperoleh. Beberapa contoh kelainan morfologi sel darah merah seperti sel teardrop, anemia bulan sabit, anemia mikrositik dan anemia makrositik dapat menyebabkan perubahan volume darah merah (Hoffbrand 2005). Pola fluktuasi nilai hematokrit luak Jawa jantan dan betina ini sebanding dengan pola fluktuasi jumlah BDM dan kadar hemoglobin yang diperoleh.

25 Colville dan Joanna (2002) mengatakan bahwa nilai hematokrit sebanding dengan jumlah butir darah merah dan kadar hemoglobin. Menurut Mbassa dan Poulsen (1993) nilai hematokrit dipengaruhi oleh waktu, tempat, dan kondisi hewan pada saat pengambilan darah. Sedangkan Jain (1993) mengatakan bahwa nilai hematokrit dipengaruhi oleh waktu dan kecepatan sentrifugasi. Bervariasinya nilai hematokrit ini juga dipengaruhi oleh tempat pengambilan darah. Pada hewan normal hematokrit dari darah vena lebih besar dari pada darah dari arteri, karena hidrasi dan butir-butir darah merah dan ukurannya yang bertambah (Stockham dan Scott 2008). Pengaruh nilai hematokrit terhadap viskositas darah yaitu semakin tinggi jumlah sel darah merah artinya semakin tinggi nilai hematokrit, berarti semakin banyak gesekan yang terjadi antara berbagai lapisan darah dan geseken ini menentukan vikositas darah (Guyton dan Hall 1999). Hematokrit merupakan indikasi proporsi sel dan cairan di dalam darah. Hematokrit yang rendah dapat mengindikasikan beberapa kelainan antara lain anemia, hemoragi, kerusakan sumsum tulang, kerusakan sel darah merah, malnutrisi, myeloma, dan artritis. Sebaliknya nilai hematokrit yang tinggi mengindikasikan keadaan dehidrasi eritrositosis maupun polisitemia di vena (Rebar 2000). 4.4. Indeks Eritrosit Luak Jawa Saat Datang dan Selama Proses Adaptasi Dalam perhitungan nilai indeks eritrosit ini, digunakan jumlah BDM, kadar hemoglobin dan nilai hematokrit dari pengambilan darah ke 1 sampai ke 4. Nilai indeks eritrosit luak Jawa jantan dan betina pada saat datang dan selama proses adaptasi secara jelas tersaji pada Tabel 6.

26 Tabel 6. Rataan nilai indeks eritrosit luak Jawa jantan dan luak Jawa betina pada saat datang dan selama proses adaptasi. Pengambilan Darah ke- Jantan 1 2 3 4 MCV (fl) 30.59±6.25 a 31.41±4.56 a 35.91±3.26 ab 43.01±9.22 b MCH (pg) 10.90±2.74 a 12.02±2.28 a 11.85±1.37 a 11.32±1.91 a MCHC (g/dl) 35.55±4.36 b 38.12±2.47 b 32.99±2.45 b 26.56±2.05 a Betina MCV (fl) 36.89±2.75 ab 40.37±5.11 b 29.94±5.44 a 39.03±4.02 b MCH (pg) 12.24±2.50 a 13.99±3.43 a 10.73±1.43 a 10.86±2.02 a MCHC (g/dl) 32.98±4.78 b 34.38±4.16 b 36.23±4.16 b 25.75±3.18 a Keterangan: - Superskip dengan huruf yang sama pada baris yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 5% (p<0,05). - Data disajikan : rataan ± standar deviasi. Indeks eritrosit ini digunakan untuk mengetahui adanya indikasi anemia dan penyebab anemia tersebut (Nordenson 2002). MCV menunjukan ukuran sel eritrosit. Kondisi dimana nilai MCV lebih rendah dari kisaran normal disebut mikrositika, jika nilai MCV dalam rentang normal disebut normositika, dan ketika nilai MCV lebih dari normal disebut makrositika. MCHC menunjukan intensitas warna eritrosit. Kondisi dimana nilai MCHC kurang dari normal disebut hipokromik, sedangkan ketika nilai MCHC dalam kisaran normal maka disebut normokromik (Rebar 2000). Menurut Nordenson (2002) indeks sel darah merah digunakan untuk mendefinisikan ukuran sel dan kandungan dari hemoglobin dari sel darah merah terkait dengan jumlah sel yang terdiri dari Mean Corpuscular Volume (MCV), Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH), dan Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC). Nilai Indeks eritrosit dipengaruhi oleh jumlah BDM, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit. sehingga faktor-faktor yang

27 mempengaruhi jumlah BDM, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai indeks eritrosit. Pada dasarnya keadaan gambaran darah luak pada pengambilan darah ke 1 adalah gambaran darah luak yang masih benar-benar liar karena baru ditangkap dari alam. Pada pengambilan darah ke 1 inilah di duga keadaan fisiologis normal luak Jawa dari alam liar. Pengambilan darah ke 2 dan ke 3 merupakan proses adaptasi sehingga gambaran darah yang diperoleh sangat fluktuatif. Sedangkan pada pengambilan darah ke 4, gambaran darah yang diperoleh dinilai sebagai gambaran darah normal luak Jawa pada pemeliharaan yang dikandangkan karena gambaran darah mulai stabil pada kisaran yang sama dengan gambaran darah pada pengambilan darah luak ke 1 dan gambaran darah luak di Thailand. Pada pengamatan visual luak pada minggu ke 6 dan ke 7 yaitu pada pengambilan darah ke 3 dan ke 4 luak sudah mengalami proses adaptasi dengan tingkah laku yang menggambarkan kenyamanan terhadap lingkungannya. Pada penelitian ini akan nilai indeks eritrosit dari pengambilan darah ke 1 sampai dengan pengambilan darah ke 4 dibandingkan dengan nilai indeks eritrosit dari Thailand. Tujuan dari perbandingan tersebut adalah untuk mengetahui kisaran normal nilai indeks eritrosit luak dari Jawa ini. Sebagai fokus perbandingan yang paling utama adalah indeks eritrosit dari pengambilan darah ke 1 dan ke 4, karena pada pengambilan darah ke 2 dan ke 3 luak dinilai belum beradaptasi dengan baik pada lingkungan kandang. Gambaran darah luak pada pengambilan darah ke 2 dan ke 3 lebih fluktuatif atau belum stabil. Berdasarkan morfologi ukuran sel darah merah (MCV) dan konsentrasi hemoglobin (MCHC) anemia dapat digolongkan menjadi 5 yaitu: Anemia hipokrom-mikrositer yaitu anemia yang memperlihatkan turunnya nilai MCHC dan MCV secara bersamaan. Anemia ini disebabkan oleh definisi besi (Fe), dan defisiensi vitamin B atau pyridoxin. Anemia hipokrom-makrositer adalah anemia yang dicirikan dengan menurunnya nilai MCHC dan meningkatnya nilai MCV. Anemia ini disebabkan oleh defisiensi asam folat dan termasuk anemia regeneratif yang dapat dikompensasi oleh tubuh (Sodikoff 1995, Rebar 2000). Anemia normokrom-normositer adalah anemia yang pertama sebelum terjadi anemia lainnya. Anemia ini menunjukan nilai MCV dan MCHC yang normal.

28 Anemia ini di sebabkan oleh defisiensi eritropoietin, depresi sumsum tulang, hemoragi akut dan hemolisis. Anemia normokrom-normositer ini dapat termasuk anemia non regeneratif yang tidak dapat dikompensasi oleh tubuh, akibat defisiensi cobalt dalam waktu yang lama. Anemia normokrom-mikrositer adalah anemia yang dicirikan dengan nilai MCHC pada kisran normal namun terjadi penurunan nilai PCV. Anemia ini disebabkan oleh defisiensi zat besi (Sodikoff 1995, Rebar 2000). Pada ras anjing Japanese Akita terjadi secara normal, karena anjing ini memiliki ukuran sel darah merah yang kecil (Sodikoff 1995). Anemia normokromik-makrositer adalah anemia yang dicirikan dengan nilai MCHC yang normal dan naiknya nilai MCV. Anemia ini akibat respon awal anemia regeneratif dan kegagalan eritropoiesis akibat dari virus FeLv (feline panleukopeni virus) (Rebar 2000). 4.4.1. Mean Corpuscular Volume (MCV) MCV adalah volume rata-rata butir darah merah. Nilai MCV dipengaruhi oleh jumlah butir darah merah dan nilai hematokrit. Nilai MCV diperoleh dari hasil pembagian 10 kali nilai hematokrit dengan jumlah butir darah merah. Oleh karena itu ketika nilai hematokrit naik atau jumlah BDM turun maka nilai MCV akan ikut naik. Guyton (1997) menyebutkan bahwa penurunan nilai MCV disebabkan adanya perubahan ukuran butir darah merah menjadi lebih kecil dengan bertambahnya umur sel tersebut. Penurunan nilai MCV juga bisa disebabkan terjadinya devisiensi besi dan vitamin B 6. Sedangkan peningkatan nilai MCV disebabkan meningkatnya volume sel darah merah jika dibandingkan dengan volume plasmanya, yaitu pada saat hewan dehidrasi. Pada penelitian ini diperoleh nilai MCV luak jantan selalu meningkat dari pengambilan darah ke 1 sampai ke 4, sedangkan MCV luak betina sempat mengalami penurunan pada pengambilan darah ke 3. Pada pengambilan darah ke 4 nilai MCV luak betina mulai naik pada kisaran yang sama dengan pengambilan darah ke1 dan ke 2. Nilai MCV pada pengambilan darah ke 1 memiliki rataan yang lebih kecil dibandingkan nilai MCV pada pengambilan darah ke 4, namun keduanya masih memiliki kisaran yang hampir sama. Pada pengambilan darah ke 1 luak Jawa jantan memiliki kisaran nilai MCV 24.34-36.84 fl dan luak Jawa

29 betina memiliki kisaran 34.14-39.64 fl, sedangkan pada pengambilan darah ke 4 kisaran nilai MCV luak Jawa jantan dan betina masing-masing adalah 33.79-52.23 fl untuk dan 35.01-43.05 fl. Meningkatnya nilai MCV pada pengambilan darah ke 4 berbanding lurus dengan gambaran yang diperoleh pada pengukuran nilai PCV dan perhitungan jumlah butir darah merah. Pada pengambilan darah ke 4 nilai PCV mengalami kenaikan sedangkan jumlah butir darah merah mengalami penurunan. Kisaran nilai MCV mulai dari pengambilan darah ke 1 hingga pengambilan darah ke 4 ternyata hampir sama dengan kisaran nilai MCV dari 4 ekor luak yang berada di kebun binatang Kwaokeaw di Thailand yang diteliti oleh Salakij et al. (2007) yaitu 27.50-37.50 fl. 4.4.2. Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH) MCH adalah jumlah perbandingan kadar hemoglobin dengan jumlah butir darah merah dalam satuan pg (picogram) (Stockham dan Scott 2008). Nilai MCH diperoleh dari hasil pembagian 10 kali kadar hemoglobin dengan nilai hematokrit. Oleh karena itu ketika kadar hemoglobin naik atau nilia hematokrit turun maka nilai MCV akan ikut naik. Menurut Nugraha (2007) berdasarkan hasil penelitiannya terhadap anjing kampung umur 3-7 bulan menyatakan bahwa nilai MCH akan terus mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya umur. Stockham dan Scott (2008) Menyatakan bahwa, MCH adalah kadar hemoglobin yang terkandung dalam sel darah merah, sedangkan kadar hemoglobin dalam plasma akibat dari hemolisis tidak akan ikut terhitung secara akurat. Pada beberapa kasus anemia, perubahan rataan ukuran MCV secara langsung mengubah kandungan hemoglobin dalam darah merah dengan kata lain akan mempengaruhi MCH. Pada Tabel 6 dapat terlihat nilai MCH dari luak Jawa jantan memiliki kisaran yang sama pada pengambilan darah ke 1 dan ke 4. Hal tersebut terlihat dari tidak adanya nilai MCH yang berbeda nyata pada setiap pengambilan darah. Kisaran nilai MCH luak Jawa betina pada pengambilan darah ke 1 lebih rendah dari pada pengambilan darah ke 4. Kisaran MCH pada pengambilan darah ke 1 untuk luak Jawa jantan adalah 9.41-13.23 pg, sedangkan luak Jawa betina 8.84-12.88 pg. Sedangkan kisaran nilai MCH luak Jawa jantan dan betina pada pengambilan darah ke 4, masing-masing adalah 8.16-13.64 pg dan 9.74-14.74 pg.

30 Kedua kisaran nilai MCH tersebut masih dalam kisaran yang sama dengan nilai MCH luak dari Thailand (9.20-12.2 pg) (Salakij et al. 2007). Nilai MCH yang lebih mendekati nilai MCH normal luak dari Thailand adalah nilai MCH pada pengambilan darah ke 1. 4.4.3. Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) MCHC adalah nilai rata-rata konsentrasi hemoglobin dalam 100 ml butir darah merah (Cunningham 2002). Semakin tinggi hemoglobin yang terkandung dalam sel darah merah maka semakin besar pula nilai MCHCnya (Stockham dan Scott 2008). Pada setiap sampel darah setiap hewan eritrosit yang terkandung tidak selalu sama. Masing-masing sel darah merah memiliki volume yang berbeda, serta konsentrasi dan kandungan hemoglobin yang berbeda. Karena MCH menggambarkan besarnya hemoglobin dalam sel darah merah dan MCV menggambarkan volume rata-rata eritrosit, maka besarnya MCHC dapat dihitung dari hasil pembagian MCH oleh MCV (Stockham dan Scott 2008). Pada hasil penelitian ini terlihat nilai MCHC luak Jawa pada pengambilan darah ke 1 sampai ke 3 memiliki kisaran yang sama, sedangkan pada pengambilan darah ke 4 terjadi penurunan yang signifikan pada nilai MCHC baik pada luak jantan maupun luak betina. Penurunan nilai MCHC pada pengambilan darah ke 4 tersebut terjadi karena pada pengambilan darah ke 4 luak jantan dan betina mengalami penurunan kadar hemoglobin dan mengalami kenaikan nilai hematokrit sehingga nilai MCHC yang diperoleh menjadi lebih kecil atau menurun. Pada pengambilan darah ke 1 kisarah nilai MCHC luak Jawa jantan dan betina, masing-masing adalah 31.19-39-91 g/dl dan 28.79-37.15 g/dl. Kisaran nilai MCHC pada pengambilan darah ke 4 adalah 21.66-29.74 g/dl untuk luak Jawa jantan sedangkan kisaran nilia MCHC luak Jawa betina adalah 23.25-29.91 g/dl. Kisaran nilai MCHC luak dari Thailand yaitu 32.70-33.90 g/dl (Salakij et al. 2007). Nilai MCHC luak Jawa yang paling mendekati nilai normal MCHC luak dari Thailand adalah nilai MCHC pada pengambilan darah ke 1. Nilai MCHC pada pengambilan darah ke 4 ternyata berada di bawah kisaran normal nilai MCHC luak dari Thailand. Keadaan tersebut menggambarkan adanya kemungkinan luak Jawa yang dikandangkan mengalami anemia hipokromik yaitu yang ditandai dengan nilai MCHC di bawah normal. Pada pengambilan darah ke

31 4, jumlah BDM dan nilai hematokrit luak Jawa masih dalam kisaran normal. sedangkan kadar hemoglobin luak Jawa cukup rendah, yaitu berada di batas bawah kisaran normal. Pada pengambilan darah ke 4 yaitu ketika luak mulai dianggap dapat beradaptasi dengan lingkungan kandang, luak sebenarnya sudah mampu melakukan perbaikan fisiologis darahnya, terbukti dengan jumlah BDM dan nilai hematokrit yang kembali pada kisaran normal seperti yang terlihat pada Tabel 2 dan Tabel 4. Pada saat pemeliharaan di kandang kemungkinan luak mengalami kekurangan nutrien yang kaya Fe dari sumber pakannya, sebagai prekursor pembentuk darah yang mengikat hemoglobin. Sehingga sampai dengan pengambilan darah ke 4 atau 7 minggu setelah luak di kandangkan, luak tidak mampu meningkatkan kadar hemoglobinnya akibat kekurangan nutrien kaya Fe dari sumber pakannya. Selama pemeliharaan luak hanya diberi pakan berupa buah pisang sebanyak 5-7 buah per ekor/hari dan selingan daging kepala ayam 3-4 potong per ekor/hari. Buah pisang memiliki kandungan karbohidrat, vitamin, dan mineral (potasium dan kalium) yang cukup tinggi (Marisa 2006). Manajemen pemberian pakan tersebut dilakukan berdasarkan pengamatan lapang dan perkiraan. Pengamatan lapang dilakaukan pada lokasi pasar hewan dan pemelihara luak. Pemberian pakan luak dilakukan dengan perkiraan karena literatur mengenai kebutuhan nutrien pada luak sangat terbatas. Oleh karena itu peluang untuk terjadinya defisiensi nutrien tertentu dapat terjadi. Nilai MCHC adalah salah satu indeks BDM yang digunakan untuk identifikasi penyakit dengan gejala anemia. Rebar (2000) mengatakan MCV dan MCHC digunakan sebagai indikasi untuk mengetahui keadaan anemia. MCHC menggambarkan konsentrasi hemoglobin yang terkandung dalam rata-rata butir darah merah. Bila nilai MCHC berada di bawah kisaran normal (MCHC < 30 g/dl pada kucing) disebut hipokromik dan bila berada pada kisaran normal (30-36 g/dl pada kucing) disebut normokromik (Rebar 2000).